Ceritasilat Novel Online

Naga Dari Selatan 2

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Bagian 2


langit) itu. Baik ilmunya gwakang (luar) maupun lweekang,
telah mencapai kesempurnaan. Lebih2 sepasang tun-kongkian (semacam tongkat pesegi terbuat dari bahan baja
murni), lihaynya bukan olah2. Kalau tiada memiliki
kepandaian yang sehebat itu, masakan dia dapat diangkat
menjadi ketua Thian-tee-hwee" Tapi mata The Go yang
celi, segera mengetahui, bahwa sewaktu masuk kedalam
ruangan tadi langkah kaki dari orang she Ki tersebut enteng
mengambang bagai orang yang tak mengerti ilmu silat saja.
Bagi seorang akhli, itu saja sudah cukup memberitahukan,
kalau orang telah punah kepandaiannya. Untuk membuktikannya, dia telah menyelonong menamparnya,
dan ternyata dugaannya itu tak meleset.
Karena tak dapat menghalangi gerakan The Go itu, Kiau
To menyala kemarahannya, bentaknya: "Bagus, aku Kiau
lojin, juga akan meminta pengajaran barang sejurus!"
Mulut mengucap, tangan menjulur dan tubuhnya sudah
segera melesat kebelakang The Go, wut, wut wut, kelima
jarinya bagaikan deru angin menyambar siku lengan The
Go. Tapi orang she The ini, begitu melihat orang melesat
kebelakangnya, pun segera ikut berputar. Untuk ancaman
cengkeram itu, tak mau dia menyingkir, melainkan
membalikkan kipasnya, gunakan tangkai kipas untuk
menutuk lengan belakang lawan. Yang diarah adalah "yang
ti", "yang ko" dan "yang kee", 3 buah jalan darah.
Dengan tertawa dingin, Kiau To turunkan lengannya,
diteruskan untuk mencengkeram perut orang. The Go
cukup insyaf akan kelihayan cengkeram itu. Sekali kena
dicengkeram, isi perutnya pasti akan merocot keluar.
Cengkeram itu disebut "toh beng cap jit jiau" atau 17 cakar
perampas jiwa. Salah satu kepandaian istimewa dari orang
she Kiau itu. Sewaktu tegas melihat bahwa setiap kali menyerang
tentu terdiri dari 3 buah cengkeraman, The Go tak mau
berlaku terburu-buru. Dengan tenang dinantikannya kelima
jari orang menyentuh pakaiannya, baru miringkan
kipasnya. Sebat luar biasa, kipas itu di-kebut2-kan 3 kali,
dan 3 kebutan itu ternyata untuk menutuk jalan darah
"siang yang", "tiong tiong" dan "kwat tiong". Ketiga jalan
darah itu masing2 dibawah kuku dari jari telunjuk, tengah
dan manis. Gerak serangan Kiau To tadi, bukan saja amat cepat,
pun isi kosongnya sukar diduga. Bahwasanya The Go dapat
tepat menduga jatuhnya serangan orang dengan suatu
tutukan yang tepat, telah memaksa Kiau To buru2 menarik
kembali cengkeramannya. Begitulah dalam sekejab saja,
kedua orang itu telah bertempur sampai 6 jurus, dan selama
itu masih belum ketahuan menang kalahnya. Tapi dalam
penilaian seorang akhli, sudah dapat menaksir siapa yang
lebih unggul: Kiau To menyerang dulu, tapi dapat dipaksa
mundur oleh The Go.
Ceng Bo siangjin yang selama itu mengawasi disamping,
diam2 mengalem The Go yang dalam usia semuda itu telah
dapat memiliki kepandaian yang sedemikian tingginya.
Walaupun didengarnya cerita2 tentang keganasan orang she
The itu, namun selama itu belum pernah dia menyaksikan
sendiri. Pada saat itu dia masih mempunyai urusan penting,
kiranya lebih baik menghindari bentrokan2 yang tiada
gunanya, maka berserulah dia: "Kiau-heng silahkan
mundur. The-heng, jika tiada urusan lain, harap tinggalkan
tempat ini!"
Ramah tamah nadanya, namun dalam ucapan itu
tergenggam suatu perbawa yang memaksa orang mengindahkan. Ketiga saudara Chi dan Ti Gong hweeshio
sudah terus hendak ayunkan langkah pergi, sebaliknya Ciok
Jiso perdengarkan suara ketawa dingin acuh tak acuh.
Sedang The Go bibirnya ber-gerak2 seperti hendak
mengucap apa2, tapi tiba2 terdengar gemeroncangnya
senjata dan Ciok Siaulan, itu nona yang sejak masuk
kedalam biara tadi tak bicara apa2, kini dengan hi-jat (garu
ikan), tampil kehadapan The Go. Dari gerakannya, terang
nona itu tak lemah kepandaiann ya. Tapi demi sudah
berhadapan dengan The Go, mukanya menjadi merah dan
dengan tundukkan kepala ke-malu2an ia berkata dengan
suara sember: "Engko Go, turutlah kata2 totiang itu, mari
kita tinggalkan tempat ini!"
Kalau semua orang tak menghiraukan hal itu, adalah
Bek Lian yang menjadi sibuk sendiri. Sejak diketahui sikap
sinona tersebut yang begitu memperhatikan sekali akan The
Go, hati Bek Lian sudah kurang senang. Kini demi
didengar mulut sinona memanggil "engko" pada The Go,
Bek Lian tak dapat mengendalikan perasaannya lagi.
Memang dalam biara Cin Wan Kuan itu, selain sang ayah,
se-olah2 dialah yang menjadi ratunya. Segala perentahnya
tak boleh dibantah. Perangainya keliwat angkuh karena
dimanjakan. "Hai, kau mau apa?" bentaknya kepada Siaulan sigadis hitam manis itu.
Ciok Siau-lan berpaling. Demi tampak Bek Lian itu
bagaikan seorang puteri kahyangan cantiknya dan dari
sikapnya kentara menaruh perhatian pada engkoh Go-nya
itu, merahlah mata sinona. Ciok Siau-lan itu hanya berkulit
agak hitam saja, karena sebenarnya iapun cantik juga.
Dalam sikapnya yang begitu minta, dikasihani, ia tambah
kelihatan menarik. Katanya dengan ter-iba2: "Taci, kau
sungguh cantik sekali! Engkoh Go adalah kepunyaanku,
jangan kau tega merebutnya! Kalau kau hendak merebut,
karena kalah cantik, aku pasti kalah!"
Sedikitpun Bek Lian tak mengira, kalau dihadapan
sekian banyak orang, gadis hitam Itu berani mengatainya
secara begitu. Memang ia sendiri sudah merasa tak pada
tempatnya menanyai orang begitu tadi. Maka dari malu, ia
berobah menjadi gusar. "Budak hina, apa katamu itu?"
dampratnya, terus ulurkan tangan merebut senjata sinona.
Tapi dengan hanya goyangkan sedikit senjatanya itu,
tangan Bek Lian sudah menangkap angin. Gelang besi yang
dipasang pada ketiga ujung garu penusuk ikan itu, menjadi
berkerontangan, namun Ciok Sian-lan tak mau balas
menyerang. Malah dengan tertawa sedih ia berkata. "Taci,
kalau kau tak merebut engkoh Go-ku kau sungguh taciku
yang berbudi." Rawan dan lembut kata2nya itu diucapkan,
sehingga meluluhkan perasaan orang.
Bek Lian kesima seperti terpaku ditanah. Tetap
menyerang, salah berhentipun malu. Sebenarnya perasaan
itu hanyalah suara hatinya sendiri, karena selain The Go,
semua orang ternyata tak menghiraukan hal itu. Kini
tahulah orang she The tersebut, bahwa sijelita yang berhati
tinggi itu, ternyata menaruh hati padanya.
Begitu penuh rasa hati Bek Lian yang mengira bahwa
sekalian orang diruangan situ se-akan2 mencemohkan
kelakuannya. Saking malu dan gusarnya terdengarlah suara
"hu, hu" dan pecahlah tangisnya. Sekali memutar tubuh, ia
terus lari keluar menuju kekamarnya. Tio Jiang yang sangat
open terhadap sucinya itu, sambil delikkan matanya kepada
The Go terus ber-gegas2 mengikuti Bek Lian.
Setelah sijelita pergi, legahlah hati Ciok Siau-lan, lalu
mengajak lagi kepada The Go: "Engkoh Go, mari kita lekas
turun gunung. Hidup ditengah laut, kan lebih berbahagia!
Peduli apa sih dengan tentara Ceng atau Beng"!"
Sebaliknya demi mengetahui sinona itu mengganggu
kesenangannya, The Go tumpahkan kemarahannya
padanya. ,,Budak hina, jangan ngaco belo!"
Didamprat begitu, ternyata Siau-lan tak marah, malah
dengan mengucur beberapa butir air mata, ia tampak
meratap: "Engkoh Go, makilah sesukamu, aku takkan
marah. Sekalipun kau pukul, akupun tetap tak marah.
Pukullah!"
Untuk membuktikan kata2nya itu, sinona angsurkan
senjatanya, siapa oleh The Go ternyata juga disambutinya.
Senjata hi-jat itu berbentuk seperti garu berujung tiga yang
tajam. Setiap ujung, dipasangi sebuah gelangan besar.
Begitu gerak, tentu mengeluarkan bunyi berkerontangan.
Begitu menyambuti dengan wajah bengis, The Go undur
selangkah terus menusuk ulu hati sinona. Sebaliknya
sinona, malah meramkan kedua matanya, dengan wajah
ikhlas, ia nantikan sang ajal. Baginya binasa ditangan orang
yang dicintainya, adalah suatu kebahagian besar.
Tapi secepat kilat, begitu ujung hi-jat menusuk,
sekonyong2 Ciok Jiso menyampok dengan kim-konglunnya. Karena memang tak gunakan kekuatan, begitu
disampok, The Go segera undur lagi.
"Cian-bin long-kun, jangan keliwat menghina keluarga
Ciok!" bentak wanita itu. Sembari tertawa dingin, The Go
lemparkan hi-jat, dan menyahut: "Kan adikmu sendiri yang
memintanya, mengapa kau sesalkan orang!"
Terang kalau Ciok jisoh, atau kakak iparnya telah
membantunya, namun Ciok Siau-lan malah membantahnya: "Ensoh, sudahlah. Biarkan dia menghina,
aku rela saja!"
Ciok jisoh menghela napas. "Adikku, dikolong langit ini
banyak nian orang yang melebihi dia, mengapa kau mantep
padanya saja?"
"Ya, memang hatiku tertampak padanya seorang," sahut
Sian-lan dengan rawan. Mendengar itu, The Go tertawa
dingin. Kini tahulah sekalian orang disitu, bahwa Ciok Siau-lan
telah ter-gila2 pada The Go, tapi sebaliknya anak muda itu
tak menghiraukannya. Bagi seorang macam Ceng Bo
siangjin yang telah merasakan pahit getirnya gelombang
asmara sehingga rela menjadi seorang sahit, kedengaran
menghela napas. Sebaliknya tidak demikian dengan Kiau
To dan Ki Cee-tiong. Kedua orang ini bermula meyakinkan
ilmu gwakang (tenaga luar) kemudian baru lweekang.
Untuk memelihara peyakinan gwakang itu, orang harus
tetap membujang, menjauhkan diri dari paras cantik. Kata2
"asmara" tak terdapat dalam kamus hatinya. Begitu melihat
kelakuan The Go terhadap sinona Siau-lan, karena sudah
menjadi seorang tanpa guna Ki Cee-tiong sih hanya
menggeram saja dalam hati, tapi Kiau To mana mau sudah.
Dengan suara keras dia segera berseru: "Orang she The,
pergilah sana bereskan urusan gelapmu dengan wanita itu.
Jangan unjuk kemesuman di Giok-li-nia sini!"
Sedari dikatakan "ibu dan anak belajar sama seorang
guru" tadi, The Go benci sekali kepada Kiau To. Maka
dengan delikkan matanya dia segera menyahut: "Adakah
Giokli-nia ini milikmu orang she Kiau" Memang harini aku
The Go hendak bikin ramai disini, habis kau mau apa?"
Ucapan dan sikap Cian-bin long-kun itu memang keliwat
kurang ajar sekali, sehingga sampai2 seorang sabar macam
Ceng Bo siangjin membeliakkan mata, kearahnya serta
diam2 memaki "biadab". Tapi Ceng Bo orangnya keliwat
menjaga nama, sekalipun hati mendongkol namun
mulutnya tak mau mendamprat. Sebaliknya Kiau To
dengan tertawa dingin segera menyahut: "Siapa bilang
Giok-li-nia ini tiada bertuan, hanya saja pemiliknya itu tak
sudi kotorkan tangan untuk menghajar adat padamu. Maka
biarlah Kiau jiya ini yang akan mewakili tuan rumah untuk
memberi hajaran padamu!"
Cepat The Go pentang kipasnya. "Kiau loji, lama nian
kudengar bahwa sebatang tiang-pian dan sepasang
kepalanmu itu tiada lawannya didunia persilatan. Maka
hari ini aku hendak mohon pengajaran ilmumu ke 36 jurus
'liok kin pian hwat' serta 'toh beng cap jit jiao' itu!"
"Liok kin plan hwat" ilmu pian (cambuk 6 indera itu,
adalah kepandaian istimewa yang diwarisi dari guru Kiau
To, Tay Siang Siansu. Yang dimaksud dengan "liok kin"
yakni berdasarkan keenam indera yang termaktub dalam
kitab keagamaannya, yakni "mata, telinga, hidung, tubuh,
mulut dan perasaan." Kesemuanya itu diciptakan dalam
sebuah ilmu pian yang disebut "liok kin pian hwat". Setiap
baglan terdiri dari 6 jurus, jadi sama sekali berjumlah 36
jurus. Terutama ke 6 jurus yang terakhir yang disesuaikan
dengan bunyi kitab itu: "Perasaan, adalah akar (sumber)
dari keinginan."
Karena keinginan itu tiada batasnya, maka ke 6 jurus
itupun penuh dengan gerak-perobahan yang sukar diduga.
Lemah gemulai tampaknya namun hebat keliwat2, tangkas
cepat tiada terkira. Kiranya sukar untuk melukiskan dengan
kata2, cukup kalau dikatakan "datangnya tanpa bayangan,
perginyapun tanpa bekas."
Berkat ilmupiannya itu, dapatlah Tay Siang Siansu
malang melintang selama lebih dari 20 tahun didunia
persilatan dengan tanpa tandingan. Tapi kemudian, karena
salah paham kena diadu domba oleh siaojin (orang yang
bermartabat rendah), dia telah bentrok dengan sepasang
suami isteri yang terkenal gagah dan perwira budinya, dan
berakhir Siansu itu telah kena dijatuhkan oleh pasangan
suami isteri yang memiliki dua macam ilmu pedang
sejodoh, saling mengisi dan saling bantu membantu. Buru2
Tay Siang Siansu pulang kebiara Liok-yong-si di Kwiciu,
kemudian kepada murid tunggalnya, Kiau To, ia
meninggalkan pesan: "Luasnya dunia, dalamnya ilmu silat,
sungguh tiada dapat diukur. Kali ini aku hendak berkelana
lagi. Kalau dalam 10 tahun nanti tak kembali, anggaplah
aku sudah meninggal 10 tahun. Kalau 20 tahun, anggap 20
tahun yang meninggal." Setelah meninggalkan kata2 itu,


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berangkatlah Tay Siang Siansu pergi berkelana.
Pada ketika itu, Kiau To baru berumur 20-an. Dia baru
saja mendapat pelajaran ilmu pian. Dia asalnya memang
seorang kacung biara Liok-yong-si situ. Ketika Tay Siang
Siansu mengetahui anak itu mempunyai tulang yang bagus,
Tay Siang berkeras menyuruh anak itu menjadi orang biasa
lagi, karena masih belum temponya untuk menjadi orang
pertapaan, tapi disamping itu dia menurunkan pelajaran
ilmu silat pada anak itu. Orang yang meyakinkan ilmu pian
"liok kin pian hwat", harus menjaga betul2 ke 6 inderanya
itu supaya jangan sampai ternoda oleh nafsu2 selera.
Memang pada hakekatnya, itulah intisari daripada
pelajaran Buddha.
Dalam kebatinan, Kiau To penasaran dirinya dianggap
belum berjodoh masuk ke lapangan agama itu. Begitu
suhunya pergi, diapun tak lama kemudian juga tinggalkan
biara Liok-yong-si untuk berkelana didunia persilatan,
kemudian masuk dalam Thian-tee-hwee.
Dengan kepandaiannya silat yang tinggi, tak berapa tahun
kemudian, dia segera menduduki kursi kedua dalam
pimpinan Thian-tee-hwee tersebut.
Ber-tahun2 dalam pertempuran, paling banyak dia hanya
gunakan sampai jurus ke 28 saja dari "liok kin pian hwat",
dan lawan pasti akan sudah keok. Tapi orang yang dapat
bertahan sampai jurus ke 28 itupun sudah tergolong jago
yang sukar dicari. Maka selama itu, ke 6 jurus penghabisan
itu belum pernah digunakannya.
Bahwa kini The Go telah menantang "liok kin pian
hwat"nya itu, diapun tak berani memandang ringan pada
lawan itu. Karena dari beberapa gerakannya tadi, cukup
diketahuinya bahwa orang she The itu telah dapat mewarisi
kepandaian dari suhunya, Ang Hwat cinjin, yang sangat
terkenal sebagai akhli tutuk jempolan. Kalau tidak
demikian, masa anak itu sedemikian temberangnya"
"Kalau Cian-bin long-kun menghendaki begitu, akupun
mengiringkan saja. Bagaimana kalau kita ambil tempat
dilapangan luar sana?" sahutnya.
Tanpa mengucap apa2 The Go ber-kipas2 seraya
melangkah keluar. Dengan memungut senjata hi-jat, Ciok
Siaulanpun mengikutinya. Tapi baru The Go melangkah
beberapa tindak, dari luar pintu se-konyong2 menobros
masuk seseorang, yang begitu menampak The Go terus
menusuk dengan pedangnya. Sebat sekali The Go
mengegos kesamping dan karena tak keburu menarik
serangannya ujung pedang orang itu Iangsung menusuk
kepada Ciok Siau-lan. Nona yang berada dibelakang The
Go itupun dengan gugup segera hadangkan hi-jatnya untuk
menangkis. Kini tahulah sekalian orang, bahwa sipenyerang
itu bukan lain adalah Tio Jiang.
"Siau-ko, dia cukup keras, biarkan aku yang membereskan!" seru Kiau To, namun Tio Jiang tak mau
menghiraukan. Begitu pedang dibalikkan, dengan jurus "Ho
peh kuan hay", ujung pedangnya diguratkan keatas
menyerang The Go. Tapi kini The Go sudah siaga. Dengan
tenang, dia ulurkan kipas. Begitu ujung pedang tiba, kipas
dipalangkan dan laksana besi sembrani telah menempel
lekat2 dibatang pedang. Sekali tangannya kanan mengibas,
mulutnyapun membentak: "Enyahlah!"
Gambar 8 Baru saja The Go melangkah keluar, tahu2 ia dipapak sekali
tusukan oleh Tio Jiang, cepat ia mengegos hingga serangan itu
menuju Ciok Siau-lan yang berada dibelakangnya.
Tio Jiang merasa seperti dari ujung pedangnya mengalir
suatu tenaga kuat yang menggempur siku tangannya. Begitu
keras tenaga gempuran itu, hingga terasa tangannya
kesemutan dan "kerontang", lepaslah pedang itu jatuh
ketanah. The Go bergelak tawa, tapi tak mau balas
menyerang. Namun sekalipun tahu bukan tandingannya,
Tio Jiang tak mau mengalah. Dia pungut lagi pedang terus
menyerang kembali dengan jurus "hay li long huan". Jurus
ini, baru saja kemaren siang dia pelajari, sehingga baru saja
2 kali berlatih. Sampai dimana kebagusan ilmu pedang itu,
entahlah. Yang diketahuinya hanialah kunci aba2 jalannya,
terdiri dari 8 kata: "4 datar 8 tenang, mulut, hidung, mata,
telinga." Begitulah tangan kanan mencekal tangkai pedang
dengan agak kendor, selekas diangkat naik terus dikibaskan
keatas, tengah dan bawah. Kemudian selagi sinar pedang
berkelebatan, tiba2 ujungnya ditusukkan kearah kepala dan
muka The Go. Bermula The Go anggap kepandaian Tio Jiang itu,
hanya biasa saja. Buktinya, tadi dengan hanya gunakan
sedikit lweekang, dia telah berhasil membikin terpental
pedang anak itu. Nah karena anak itu tetap membandel,
biar dia unjuk sedikit kepandaian untuk menghajarnya.
Tapi sedikitpun dia tak menduga, kalau ilmu pedang "to
hay kiam hwat" dari Ceng Bo siangjin itu, hebatnya bukan
kepalang. Sampai jurus ke 4 "Ho Peh kuan hay" tadi, sudah
mulai nampak keindahannya. Jurus "hay li long huan" itu
adalah jurus yang ke 6, istimewa diperuntukkan menyerang
kepala dan muka orang.
Sewaktu, Tio Jiang membolang balingkan pedangnya
dalam 3 kiblat tadi, masih The Go tak mengacuhkan. Tapi
se-konyong2 ujung pedang dalam gaya yang luar biasa
dapat menusuk kemuka, telah membuat The Go serasa
terbang semangatnya. Gaya serangan macam itu, betul2
belum pernah dilihatnya selama ini. Dengan sibuknya,
segera dia gunakan jurus "tiat pan kiau" (jembatan besi
gantung) badannya membalik kebelakang terus melengkung
kebawah. Dengan tiara itu, barulah dia dapat terhiiidar dari
tusukan pedang. Tapi ketika mata pedang berkelebat lewat
disamping mukan ya, muka teraaa seperti disambar deru
angin yang dingin. Diam2 dia mengeluh "celaka", dia
perkokoh kuda2 kakinya. Kakinya tetap tegak terpaku, tapi
tubuhnya tiba2 menggeliat kesamping. Itulah ilmu "i heng
huan wi" (memindah bayangan, mengganti kedudukan),
suatu ilmu mengentengi tubuh tingkat tinggi.
Sayang Tio Jiang bukan Ceng Bo siangjin. Ilmunya
pedang itu baru saja kemaren dipelajari, jadi masih belum
sempurna. Coba pada saat itu, dia terus susuli lagi dengan
jurus yang ke 7"hay Iwee sip ciu", kalau tidak binasa sekurang2nya The Go pasti akan terluka berat. Malah hal
yang harus disayangkan itu tak cukup begitu saja, karena
setelah mendapat pengalaman pahit itu, The Go telah dapat
menarik pelajaran berharga dari ilmupedang "to hay kiam
hwat" tersebut. Dikelak kemudian hari walaupun ilmu
pedang Tio Jiang telah sempurna, namun tak mudah lagilah
kiranya untuk mengalahkan The Go. Dan memang hal itu
telah terjadi dikemudian harinya, hanya saja lebih baik kita
jangan melantur kekejadian yang belum datang.
Sewaktu The Go dengan cara-geliatannya yang luar
biasa itu dapat menggelincir keluar pintu, dengan bernapsu
sekali Tio Jiang terus akan mengejarnya, tapi Ceng Bo
siangjin yang tahu akan kekuatan mereka tadi, buru2
mencegahnya: "Jiang-ji, Kiau susiok hendak bertanding
dengan dia, mengapa kau turut2an menimbrung?"
Tio Jiang menurut tapi mulutnya menyomel: "Bangsat
itu telah membuat marah suci, sehingga suci menangis tak
mau sudahnya!"
Orang2 bermula mengira kalau anak itu tentu
mempunyai dendam besar sehingga hendak mengadu jiwa
dengan The Go, siapa kira hanya lantaran soal Bek Lian
menangis saja. Sudah tentu orang2 sama geli melihatnya.
Tapi bagi Tio Jiang hal itu merupakan soal penting. Bek
Lian tertawa, dia juga merasa berbahagia. Bek Lian
menangis, diapun turut bersedih. Ya, segala apa yang
dirasakan oleh sijelita itu, se-olah2 seperti dirasakannya
juga. Tadi dia coba hiburi sang suci, tapi sebaliknya dari
menerima kasih Bek Lian malah menumpahkan kemendongkolan hatinya pada Tio Jiang. Anak itu sudah
kenyang menerima gegeran (dampratan) sang suci, jadi
dianggapnya biasa saja. Tapi apa yang paling menyakitkan
hatinya ialah rasa sedih yang dikandung oleh Bek Lian itu.
Mengapa sang suci sampai sedemikian berdukanya" Ah, tak
lain tak bukan, The Go lah biang keladinya. Maka tanpa
banyak cingcong lagi, tadi dia telah serang si Cian-bin longkun itu. Walaupun akhirnya ditegur oleh Ceng Bo siangjin,
namun hati Tio Jiang tetap puss, karena dengan
perbuatannya tadi dia merasa seperti telah Tio Jiang tetap
puas, karena dengan perbuatannya tadi dia merasa seperti
telah menunaikan panggilan hatinya untuk membela Bek
Lian. "Jiang-ji jangan sembarangan mengomong!" lagi2 sang
suhu membentaknya. Dan Tio Jiangpun tak berani bercuit
lagi. ---oo0-dwkz-TAH-0oo--Setelah sekalian orang sama keluar untuk menyaksikan
pertempuran, Ceng Bo siangjin segera mengajak Ki Ceetiong: "Ki-heng, mari kita masuk kedalam saja untuk
merundingkan masalah yang peting."
Dengan ucapan itu, Ceng Bo telah mengira, betapa
lihaynya The Go namun rasanya Kiau To cukup dapat
mengatasi. Dan kalau orang she The itu sudah
dipecundangi, kiranya yang lain2pun takkan berani
mengadu biru. Adanya Ceng Bo ber-gegas2 balik kegunung
lagi, kiranya memang mempunyai suatu urusan yang
penting. Oleh karena Ceng Bo mengatakan "masalah
penting," maka Ki Cee-tiong segera mengikutnya.
Sudah sejak menyaksikan ramai2 tadi, Yan-chiu ketarik
sekali hatinya. Hanya lantaran suhunya berada disitu, jadi
tak beranilah ia ini itu. Tapi begitu sang suhu sudah berlalu,
segera ia loncat mencekal tangan Tio Jiang: "Suko. hayo
kita lihat Kiau susiok menghajar sikurang ajar itu!"
Dengan tersenyum tawar, Tio Jiang menurut. Tapi baru
saja dia melangkah keluar pintu, disana dilihatnya Kiau To
sudah saling berhadapan dengan The Go. Jarak keduanya
hanya terpisah 2 meter saja. Ber-gegas2 Tio Jiang menuju
kedekat tanah lapang itu. Dengan tempelkan badannya
pada suatu batu karang yang menonjol, dia tegak berdiri
mengawasi jalannya pertandingan. Tahu orang tak begitu
mempedulikan, Yan-chiu mendongkol. Iapun menyingkir
agak jauh dari sukonya itu.
Tak berapa lama kemudian, Kiau To dan The Go
masing2 bertukar salam, setelah itu mereka lalu sama
mundur sampai satu tombak jauhnya. Dengan mata saling
mengawasi, mereka segera bergerak ber-putar2. Sekalipun
Tio Jiang bukan tergolong jago kelas satu, namun 6 tahun
diasuh oleh seorang akhli kenamaan macam Ceng Bo
siangjin, diapun cukup mengetahui arti gerakan kedua
orang itu. Betul nampaknya saja mereka main ayal2an,
yang satu ber-kipas2 yang lain menggendong tangan,
namun sebenarnya mereka itu sedang ber-siap2 untuk suatu
pertempuran dahsyat.
Gerak kaki The Go merupakan sebuah lingkaran kecil.
Sewaktu ber-gerak2 itu sikapnya tenang sekali. Pula
gerakannya itu agak aneh, sehingga tiada seorangpun yang
mengetahui gerakan-kaki ilmu silat apakah itu. Sebaliknya
kaki Kiau To ber-putar2 dalam formasi lingkar besar, malah
mengitari daerah The Go sana. Langkah kakinya sangat
anteng, kokoh bagai gunung Thay-san. Nyata ilmu silat
keduanya itu berlainan, namun dua2nya adalah akhli
semua. Kini perhatian semua orang ditumpahkan kesitu.
Sejenak kemudian, tiba2 Kiau To tertawa keras. Ilmunya
lweekang adalah pelajaran dari kaum agama. Dalam
beberapa kitaran saja, dia telah dapat mengalurkan tenaga
dalamnya keseluruh tubuh. Tertawanya tadi, pertanda dari
sudah mengalirkan tenaga itu dan begitu keras suara ketawa
itu hingga orang yang belum tinggi ilmu silatnya, pasti akan
terpelanting kaget. "Cian-bin long-kun, silahkan menyerang
dulu!" serunya kemudian,
Gambar 9 Dengan sengit Kiau To tempur The Go yang telah membokong
kawannya. Tapi The Go tak menyahut. IImunya lweekang adalah
ad yaran dari Ang Hwat cind yin gunung Ko-to-san, yang
berpokok pada ketenangan. Menghadapi musuh lihay,
harus makin tenang dan se-kali2 tak mau menyerang lebih
dahulu. Memang hal itu sudah diketahui Kiau To, siapa
telah sengaja bertanya untuk menggodanya. Tapi diluar
dugaan The Go telah menyahut:
"Baik!" seraya
menghampiri maju, sembari melipat kipas terus gunakan
tangkainya untuk menutuk kedua pundak lawan.
Cepat dan berbahaya adalah serangan The Go itu,
sehingga Kiau To tak menyangka barang serambutpun juga.
Cepat2 dia pendakkan tubuh, begitu membalik siku
lengannya, kelima jari yang laksana kulit besi itu, segera
mencengkeram siku tangan orang. Atas ancaman itu, The
Go mundur kebelakang seraya tertawa, karena serangannya
tadi itu ternyata hanya gertakan kosong saja.
"Jangan lari!" bentak Kiau To dengan marah ketika tahu
dirinya dipermainkan begitu. Berbareng dengan memburu
maju,

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kini dia gunakan dua tangannya untuk mencengkeram. Begitu hampir mengenai, kedua tangannya
itu dipentang. Yang kiri untuk mencengkeram pinggang
orang, sedang yang kanan untuk mencengkeram kearah
dada. Dengan bersuit nyaring, tiba2 The Go melambung
keatas, melayang keatas kepala lawan. Dan ketika berada
diatas kepala, dia segera tutukkan kipasnya kearah jalan
darah ,,peh hap hiat" di-umbun2 kepala.
Menampak lawan telah gunakan jurus yang berbahaya,
Kiau To segera putar tubuhnya untuk mencengkeram paha
belakang lawan, tapi si The Go dengan lincahnya sudah
melorot turun ketanah lagi. Kini dengan tangkai kipas, dia
merangsang seru sekali, menghujani lawan dengan tutukan2
yang berbahaya. Mau tak mau terpaksa Kiau To harus
mengakui kalau lawan itu betul2 seorang berisi. Dalam
pada itu berpikirlah dia, kalau kali ini sampai tak dapat
mengatasi lawan, mungkin dikemudian hari sukar untuknya
mendapat kedudukan layak didunia persilatan, akibatnya,
Thiantee-hweepun akan merosot namanya. Dengan
ketetapan itu, dia segera berlaku hati2 sekali gunakan ilmu
cengkeram "toh beng cap jit jiao".
Begitulah dalam beberapa kejab saja, kedua rival itu telah
bertempur lebih dari 30 jurus. Makin lama, makin seru.
Sesaat saling merapat, sesaat saling berpencar, gerakannya
kian pesat. Orang2 yang menyaksikan, sama berpudar
penglihatannya. Selama itu sudah beberapa kali Ciok Siaulan hendak tampil membantu, tapi selalu dicegah oleh Ciok
jisoh. Pada saat itu Tio Jiang menampak Bek Lian muncul
dan berdiri ditempat agak berjauhan, sedang Yanchiu
malah sudah lari memapaki sang suci. Seperti terkena
stroom, Tio Jiang segera hendak menghamperi sang suci
juga, tapi baru hendak mengangkat kaki, tiba2 merasa ada
suatu tenaga yang luar biasa kuatnya telah mencekik
tengkuknya (leher belakang). Dalam kagetnya, dia terus
hendak berpaling kebelakang, tapi oleh begitu kuat cekikan
itu sehingga tak dapatlah dia gerakkan lehernya. Malah
sesaat itu kedengaran sipencekik itu berseru: "Buyung,
jangan lari. Kalau kau pergi, Sam-thay-ya pasti takkan bisa
melihat pertunjukan bagus. Mereka berdua telah bertempur
dengan seru, ya tidak?"
Dari nada suaranya, tahulah Tio Jiang kalau orang itu
adalah siorang tua kate yang dijumpainya digunung tempo
hari. "Sam-thay-ya!" serunya dengan kaget. Tapi baru
mulutnya bertereak, atau lehernya dirasakan seperti dicekik
keras sehingga sampai hampir tak dapat bernapas rasanya.
"Buyung, kalau berani bertereak lagi, awas! Jangan sampai
orang2 itu tahu aku berada disini!" siorang tua aneh itu
mendampratnya. Dengan terengah2 Tio Jiang mengiakan:
"Sam-thay-ya, tapi kendorkan sedikit cengkerammu itu ah!"
"Bagus, buyung, kau berani mempermainkan Samthayya"!" kembali orang tua aneh itu mendamprat. Tio
Jiang meringis, namun tak berdaya untuk lepaskan diri.
"Masa aku berani mempermainkan kau?" dia memperotes
dengan berjengit. Sam-thay-ya ketawa ter-besit2, rupanya
saking gembiranya, ujarnya: "Kalau Sam-thay-ya kendorkan tangan, kau tentu akan ngacir pergi bukan?"
Pikir Tio Jiang, orang tua itu memang benar2 seorang
aneh yang linglung, sahutnya: "Aku tak pergi dan
membayangimu, kau mau tidak melepas aku?"
Kini agaknya siorang tua linglung itu puas, lalu
kendorkan cengkeramannya. Beberapa kali Tio Jiang usap2
batang lehernya, dan coba gerak2kan kepalanya supaya
kendor, setelah itu lalu menghela napas. Ketika dia
mengawasi lagi kegelanggang pertempuran, kiranya kini
cara bertempur dari Kiau To dan The Go itu sudah berobah
sifatnya. Kalau tadi keduanya adu kegesitan, kini ternyata
lambat2 saja gerakannya, sehingga Tio Jiang dapat
melihatnya dengan jelas.
Tapi Itu bukan berarti keduanya sudah kepayahan,
malah pada kebalikannya kini telah menginjak dalam phase
(tingkatan) yang berbahaya. Tak lagi The Go jual obral
tertawanya, tapi dengan delikkan sepasang matanya dia
menatap tajam2 kearah Kiau To, siapa sebaliknyapun
berlaku demikian juga. Keduanya sama ber-putar2 kian
kemari, kemudian pada lain saat, dengan menggerung keras
terus saling menerjang. Anehnya, hanya sebentar saja saling
terjang itu berlangsung, karena pada lain saat mereka sudah
saling pencar dan kembali ber-putar2 lagi. Bagi orang yang
belum tinggi ilmunya silat, tentu tak tahu apa artinya itu.
Ini berlaku juga pada Tio Jiang. Tapi Sam-thay-ya yang
bersembunyi dibelakangn ya selalu kedengaran mericis
sendirian. Sesaat mengatakan "ah, sudah 6 jurus, kipas
anak itu meleset, kalau tidak tentu dapat menutuk jalan
darah thian-tee-hiat lawan"! Tapi pada lain saat kedengaran
dia berbisik "ah, 3 jurus yang hebat, cengkeram orang itu
luput, sayang, sayang!"
Bermula Tio Jiang mengira kalau orang tua linglung itu
ngaco belo tak keruan. Tapi begitu dia memperhatikan
dengan seksama, ialah ketika kedua orang itu saling terjang
lagi, ternyata memang benar seperti yang diocehkan oleh
silinglung tadi, kedua orang Itu telah saling lancarkan
serangan dengan gerak yang luar biasa cepatnya.
Mengetahui itu, diam2 Tio Jiang kagum atas kelihayan
siorang tua aneh. Demikianlah kedua orang itu telah
bertempur hampir 200 jurus, tapt tetap belum ketahuan
menang kalahn ya.
Cian-bin long-kun The Go berpuluh kali melancarkan
tutukannya, tapi tak dapat menemui sasarannya, aebaliknya
ilmu "toh beng cap jit jiao" yang bergaya 3 kali serangan
kosong satu kali serangan iai dari Kiau Topun tak banyak
gunanya. Masing2 saling mengagumi kepandaian lawan.
Tapi se-konyong2 The Go merobah gayanya. Kakinya
dimiringkan, sebentar kekanan sebentar kekiri, aehingga
sukar lawan untuk menerjangnya. Sedang kipasnya tiba2
dikibaskan, sehingga kain lipatannya terlepas jatuh. Kiranya
rangka kipas itu terdiri dari 14 batang lidi baja. Begitu
dipentang untuk dibuat menyerang, dapat menusuk jalan
darah lawan sampai 14 buah banyaknya. "cret, cret!"
pakaian Kiau To telah dapat dilubanginya beberapa buah.
Sudah tentu buru2 Kiau To lancarkan pukulannya, terus
loncat mundur, serunya: "Orang she The, Kiau jiyapun
hendak gunakan senjata!"
"Silahkan!" sahut The Go.
Begitu tangannya merogoh pinggang, Kiau To telah
menarik keluar sebatang pian sebesar lengan anak bayi,
panjangnya hampir dua meteran. Pian itu lemas sekali,
'warnanya kuning ke-merah2an, terbuat dari anyaman urat2
kerbau. Dengan mencekal pecut, Kiau To makin bertambah
garang. Sekali mengibas, dia menghajar lawan. Namun dari
menyingkir, sebaliknya The Go tetap berdiam diri, malah
maju menerjang sekali. Benar ujung pian itu melayang
kepunggung The Go, tapi 14 batang lidi baja dari rangka
kipas itu maju menusuk. Sudah tentu karena tak mau
tertusuk, Kiau To menggeliat kebelakang dan karena
tubuhnya mundur kebelakang, tangannyapun turut tersentak kebelakang, jadi piannya pun makin keras
jalannya. Namun bagaikan seekor belut, The Go miringkan
tubuhnya kesamping sampai hampir seperti jatuh ketanah
dan berhasil menghindar dari hajaran pian yang sebaliknya
kini terus langsung menghajar tuannya sendiri. Cepat2 Kiau
To memutar tubuh agar piannya melibat lawan lagi. Tapi
The Go tak kurang sebatnya dorongkan kipasnya kemuka
sehingga terserak 7 batang dikiri dan 7 batang dikanan,
dengan dijepit oleh kedua jari ditusukkan kearah jalan
darah hong-si dan hok-tho, sekali gus dua. Dan dalam pada
itu, dia loncat keatas untuk menghindari hajaran pian, lalu
maju menerjang.
Dua buah serangan itu, aneh dan cepat sekali. Hajaran
pian tadi, telah dilancarkan se-kuat2n ya oleh Kiau To yang
ingin lekas2 merebut kemenangan. Dirangsang begitu aneh
sehingga hampir sad ya jalan darah hong-si-hiatn ya kena
ditutuk, telah membuatnya terperanjat dan ter-sipu2 buang
dirinya ketanah untuk bergelundungan. Dengan berbuat
begitu, barulah dia dapat menghindar dari serangan musuh.
Kalau akhli silat bertempur, jurus2nya memang aneh
luar biasa. Cara Kiau To menolong diri itu memang
istimewa, tapi lebih istimewa lagi adalah serangan yang
berikutnya dari The Go. Dengan miring2 seperti orang
mabuk yang sukar diduga arah langkahnya, tiba2 dia
merangsang dengan cepatnya. Lagi2 Kiau To terpaksa
menyingkir mundur. Saking bingung akan gaya serangan
orang, dan sibuk menyingkir kesana sini, terpaksa Kiau To
tak dapat gunakan pisaunya.
Melihat Kiau susioknya terdesak, Tio Jiang ber-ulang2
membanting kaki. Tlba2 orang tua linglung yang
bersembunyi dibelakangnya tadi berkata: "Gerakan anak itu
disebut 'hong cu may ciu', ilmu istimewa Ang Hwat cinjin
dari gunung Ko-to-san!"
---oo0-dwkz-TAH-0oo--BAGIAN 3 : HILANG TAK BERBEKAS
Mendengar itu, hati Tio Jiang tertarik. "Loocianpwee.....
eh, salah, Sam-thay-ya, bagaimana kau tahu kalau itu jurus
ilmu silat 'hong cu may ciu' (orang gila menjual arak)?"
tanyanya. Orang tua kate yang aneh itu tertawa tawar, sahutnya :
"Buyung, kau berani tak memandang mata pada Sam-thayya" Karena sudah ber-kali2 mendengar ucapan yang
melantur dari siorang tua aneh itu, kini Tio Jiang tak kaget
lagi. "Kalau Sam-thay-ya tahu, coba katakan kali ini orang
itu akan menutuk bagian mana?"
Pada saat itu Kiau To tengah abitkan piannya kearah
The Go, siapa tampak miringkan tubuhnya kesebelah
kanan. Melihat itu berserulah Sam-thay-ya: "Setelah
memutar tubuh, dia (The Go) tentu akan menutuk jalan
darah yang-kwan-hiat dipunggung orang itu (Kian To)."
Tio Jiang agak sangsi, karena The Go kala itu bereda
disebelah kanan Kiau To, bagaimana dapat menutuk
punggungnya" Tapi berbareng dengan ucapan siorang tua
aneh itu, tampak tubuh The Go menggeliat condong
kemuka, lalu se-konyong2 berputar mengangkat tubuhnya
lagi. Dengan rebah bangun cara begitu itu, kini The Go
berada disamping lawan, dan apabila dengan sekali rebahbangun lagi, dia tentu akan tepat berada dibelakang lawan
serta dapat menutuk punggung.
"Hai," Tio Jiang mengeluarkan seruan tertahan sambiI
mengawasi Kiau To. Rupanya orang she Kiau belum insyaf
kalau lawan bisa menutuk punggung, maka begitu
mendengar ada samberan angin dari belakang, dengan
sibuk dia terus maju dua langkah kemuka untuk
menghindar. Ini bukan berarti karena tahu akan ditutuk
lawan, melainkan hanya sekedar penjagaan saja atas
serangan lawan yang sangat membingungkan itu. Oleh
karena inisiatip berada ditangan musuh, diapun tak dapat
menguasai permainannya pian lagi.
Buru2 Tio Jiang berpaling. Dilihatnya orang tua aneh itu
tengah kerat-kerutkan alisnya sehingga hidungnyapun turut
naik turun. "Buyung, percaya tidak omonganku?" tegur
orang tua tersebut.
Pepatah mengatakan "didalam keadaan mendesak, orang
bisa mengeluarkan pikiran yang cerdas". Tio Jiang bukan
seorang yang sama sekali tak berbakat. Soalnya dia itu tak
pandai omong. Maka sesaat itu terkilaslah suatu pikiran
bagus padanya. "Sam-thay-ya, kalau ber-turut2 10 kali kau
bisa menebak jitu, aku benar2 tunduk padamu!"
"Baik," sahut siorang tua sambil mengatupkan kelopak
matanya. Ketika Tio Jiang alihkan pandangannya kegelanggang,
dilihatnya Kiau To baru saja dengan susah payah lolos dari
dua buah serangan The Go. Ikat kepalanya yang berwarna
hitam putih itupun sudah terpapas jatuh oleh rangka kipas
The Go. Kini pemimpin no. 2 dari Thian-Tee-Hui itu makin
keripuhan, sebaliknya si The Go makin tangkas. Gerak
serangannya memang seperti gaya seorang gila, menjorok
ketimur tapi ternyata memukul kebarat, berkelebat kearah
selatan namun kearah utara yang dihantamnya. Tio Jiang
tak dapat mengendalikan diri lagi, serunya: "Kiau susiok,
jangan kuatir. Ilmu menutuk orang itu dinamakan 'hong cu
may ciu', semuanya aku tahu!"
Mendengar itu, The Go terperanjat sekali. Masakan anak
gembala itu tahu akan ilmu perguruannya "hong cu may
ciu" yang istimewa itu" Karena pikirannya terpecah,
gerakannyapun agak lambat. Kiau To pun bukan seorang
jago sembarangan, begitu gerak lawan lamban maka
piannya hidup gayanya lagi. "Wut......" dia lancarkan
serangan balasan. The Go seperti orang gelagapan, burudia tenangkan pikirannya, lalu rubuhkan diri kebelakang.
Begitu pian sudah lewat, serentak dia berdiri tegak lagi.
"Sam-thay-ya, dia mau menutuk apa?" buru2 Tio Jiang
bertanya, tapi hai, mengapa orang tua aneh itu tak
menyahut" Tio Jiang menoleh kebelakang dan dapatkan
siorang tua aneh itu unjuk kemarahan. "Sam-thay-ya,
mengapa kau diam saja?" tanyanya dengan heran.
"Kau ini seorang bujang yang licin. Suhu dari anak
muda itu adalah sahabatku. Kau hendak memberi kisikan
pada orang itu, supaya anak itu kalah?"
Sudah terlanjur diketahui, Tio Jiang tak mau kepalang


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanggung, ujarnya: "Sam-thay-ya, kalau sememangnya tak
tahu, bilang saja tak tahu dah!"
Kontan saja siorang tua linglung itu menyahut dengan
murkanya: "Kau berani memandang remeh pada Sam-thayya" Hm, kali ini dia hendak menutuk jalan darah sitiokgong dipinggir mata!"
Tanpa pedulikan lagi, lekas2 Tio Jiang berpaling
kemuka. Tepat pada saat itu, The Go tutukkan kipasnya,
dan benar juga yang diarah ialah jalan darah si-tiok-gong
yang terletak dipinggir mata. Benar Kiau To dapat
menghindar, tapi karena tak mengerti akan gerak serangan
lawan, dia tak berani gegabah balas menyerang, dengan
begitu dia tetap dipihak yang diserang.
Setelah mengirim tutukannya tadi, The Go tampak
huyung2kan tubuhnya kesamping, sedang Kiau To sambil
tegak berdiri, bolang balingkan piannya siap untuk
menyambut. "Wi-tiong-hiat!" tiba2 mulut siorang tua aneh
berseru pelan2, tanpa ditanya lagi. Jalan darah wi-tiong-hiat
itu terletak pada buku-persambungan betis dengan paha,
jadi tampaknya mustahil dapat diarah." Tapi karena sudah
bulat kepercayaannya, dengan tak banyak cingcong lagi,
buru2 Tio Jiang berseru: "Kiau susiok, kali ini dia hendak
menutuk 'wi-tiong-hiat'mu!"
Baru seruan itu keluar, tiba2 The Go melengak, namun
karena tangan sudah bergerak maju sukarlah untuk ditarik
kembali. Se-konyong2 dia melambung keatas meloncati
samberan pian. Dengan tangan dan kaki berserabutan
macam orang kelelap disungai, dia meluncur turun
dibelakang Kiau To. Begitu hampir ketanah, tiba2
tangannya kiri dicengkalkan kebumi, sedang tangan kanan
menutukkan rangka kipas kearah jalan darah wi-tiong-hiat
dibetis orang! Karena mendapat peringatan dari Tio Jiang, kini Kiau
To sudah bersiaga. Tahu musuh melayang turun
kebelakangn ya, dia tinggal diam saja. Tapi begitu musuh
sudah menyentuh bumi serta belum sempat untuk
melancarkan serangannya, Kiau To barengi memutar
tubuhnya dengan sebuah hajaran pian yang seru. Sudah
tentu The Go tak mau biarkan iganya dilibat cambuk
musuh, maka buru2 dia batalkan rencana penyerangannya
tadi, diganti dengan jejakkan kedua kakinya ketanah untuk
berdiri tegak. Dalam kesibukannya itu, dia sempat juga
melirik kearah Tio Jiang, namun anak itu tak mau
hiraukan. Dengan balingkan tangannya kebelakang dia
kutik2 tubuh siorang tua linglung lagi. "Jin-tiong-hiat" bisik
suara dari belakang, dan kembali Tio Jiang berseru keras
lagi: "Kiau susiok, orang itu hendak menutuk jin-tiong-hiatmu!" Memang setelah berdiri tegak, tiba2 The Go berjongkok
dan ber-putar2 kemuka Kisu To lalu secepat kilat angkat
tubuhnya keatas. Menurut rencana Kiau To tiara
menghalau serangan orang itu ialah putar pian untuk
melindungi tubuh bagian muka. Tapi karena sudah
mendapat peringatan Tio Jiang, maka sengaja dia biarkan
saja lawan menyerang. Sebaliknya dari memutar pian, dia
kibaskan pian itu keatas melampaui kepala lawan,
kemudian dengan se-konyong2 disentaknya pian itu
menurun kebelakang musuh untuk menghantam bagian
tengkuknya (leher sebelah belakang). Jadi kalau The Go
tetap hendak menutuk jintiong-hiat lawan, tengkuknyapun
tentu terhantam pian. Maka buru2 dia menghindari hajaran
pian dan dalam penghindarannya itu gerakannyapun tak
menurut gaya "hong cu may ciu" lagi.
Tapi menggunakan kelemahan lawan itu, Kiau To segera
hajarkan piannya lagi. Wet, wet, wet, ber-turut2 The Go
undur sampai 3 langkah, baru dia dapat dengan susah
payah menghindar. Jurus2 selanjutnya, Kiau To menang
angin. Tiang-pian atau ruyung panjang macam cambuk menari2 dengan lincah dan seru, samberan anginnya
kedengaran men-deru2. Beberapa kali The Go berganti
gaya, baru akhirnya dapat dia balas menyerang. Tapi setiap
kali dia hendak lancarkan serangannya jurus "orang gila
menjual arak" itu, setiap kali itu pula tentu dipecahkan oleh
tereakan Tio Jiang. Dalam beberapa jurus saja, topi-pelajar
yang menutupi kepalanya kena dihajar jatuh oleh pian Kiau
To. Bahkan kini keadaan The Go tak keruan macamnya.
Rambutnya terurai kacau, mukanya bercucuran keringat
dan kotor dan gaya gerakannyapun sudah limbung. Asal
dua kali lagi Tio Jiang memberi kisikan kepada Klan To,
maka si The Go itu pasti akan rubuh.
Dalam saat2 yang genting itu, tiba2 "trang" terdengar
bunyi senjata berkeroncangan, dibarengi dengan melesatnya
sesosok tubuh kedalam gelanggang, serta seruan melengking: "Cis, tak malu, dua mengerubut satu!"
Kiranya itulah sigadis nelayan Ciok Siau-lan. Begitu
melesat maju, dia tusukkan hi-jat (garu ikan) kedada Kiau
To. Namun pemimpin kedua dari Thian-te-hwe hanya
berkelit saja tak mau balas menyerang, karena dia curahkan
perhatiannya mendengari seruan Tio Jiang untuk menghadapi serangan The Go. Sampai pada saat itu,
siorang tua aneh tadi sudah memberi 8 kali petunjuk yang
kesemuanya jitu sekali. Jadi masih kurang 2 kali lagi. Tapi
dengan tampilnya sigadis nelayan itu, walaupun menang
angin, kiranya masih sukar juga bagi Kiau To untuk
mengalahkan The Go. Dalam pada itu sempat pula Kiau
To menyapukan matanya
kesekeliling tempat itu. Dilihatnya sigenit Yan-chiu berdiri disebelah sucinya (Bek
Lian), memandang dengan penuh keheranan kepadanya
(Kiau To) mengapa dapat memecahkan gaya ilmu silat The
Go yang luar biasa anehnya itu. Buru2 dia (Kiau To)
memberi isyarat tangan kepada gadis lincah itu, siapapun
ternyata dapat menangkap maksud orang serta terus berkaok2: "Mengapa kau tak tiru2 memberi tahu saja" Apakah
karena ilmu tutukanmu terpecahkan, kau marah karena
malu" Kalau mau berkelahi, akulah tandingmu." habis
berkata begitu, tangannya melepaskan senjatanya bandringan yang terikat dipinggang, begitu melangkah
maju, kira2 masih satu tombak jauhnya, ia sudah lontarkan
bandringan rantai itu seraya enjot tubuhnya kemuka.
Tadi karena kuatir orang yang dikasihinya (The Go)
sampai celaka, Ciok Siau-lan buru2 maju membantu. Tapi
seperti dikatakan orang "kalau hati gelisah, orangnyapun
kacau". Siau-lan mainkan ilmu permainannya garu
"Lamhay cak sat" (laut selatan mendampar ikan tawes)
secara rancu sekali. Maka dalam 10-an jurus, ia tak dapat
melukai Kiau To. Malah pada saat itu, keburu Yan-chiu
sudah menyerang dari belakang, maka buru2 ia putar tubuh
dan menangkis dengan hi-jatnya (penusuk ikan).
"Oho, kiranya hanya begini saja!" seru Yan-chiu sambil
leletkan lidah demi senjatanya saling beradu. Tapi apakah
benar kepandaian sigadis hitam dari laut selatan itu hanya
sebegitu saja" Bukan, itulah siasat cerdik dari sigenit Yanchiu untuk membikin panas hati lawan. Karena pada
hakekatnya, gerakan memutar tubuh sembari menusuk dari
Siau-lan tadi, terselip jurus dari ilmu tombak Yo-kee-jiang
yang termasyhur. Yo-kee-jiang atau ilmu tombak keluarga
Yo (Nyoo), adalah buah ciptaan Yo Ci-giap, seorang
panglima yang terkenal pada jaman Pak Song (kerajaan
Song utara). Salah satu jurusnya yang paling lihay ialah
yang disebut "hwee ma jiang" atau memutar kuda dengan
menusuk. Ilmu permainan jat (tusuk garu) dari keluarga Ciok Siaulan, penuh dengan gaya perobahan. Hampir gaya yang
indah dari pelbagai permainan senjata panjang, diambil dan
dipersatukan dalam satu permainan jat itu. Sewaktu berada
ditengah laut, asal kelihatan ada ikan mengambang, sekali
tusuk tentu kena. Saking gapahnya Siau-lan mainkan jat itu,
ia telah digelari sebagai Lam-hay hi-li (sigadis nelayan dari
laut kidul). Sebenarnya tadi, dengan susah payah baru Yanchiu dapat menghindar dari tusukan Siau-lan, namun
dasarnya genit, mulut Yan-chiupun tetap mengeluarkan
ejekannya tadi. Tapi Siau-lan tak mau ambil mumet,
melainkan menyerang lagi.
Karena merasa tak ada lagi angin menyambar
dibelakangnya, tahulah Kiau To kalau sigadis hitam tadi
sudah dilibat oleh Yan-chiu. Tapi pada saat itu justeru The
Go sudah menyerangnya, rangka kipasnya dipecah menjadi
3 bagian berbareng maju menutuk.
"Kiau susiok, awas kong-sun-hiat!" kembali Tio Jiang
berseru. Kini Kiau To dapat memperhitungkan, meskipun
gaya si The Go itu seperti orang ter-huyung2, tapi karena
jalan darah kong-sun-hiat itu terletak pada 3 dim dibelakang
ibu jari kaki, maka dia duga lawan tentu akan menjorok
maju. Maka dia segera gunakan jurus "cu ham to cuan"
hajarkan piannya.
Benar juga, The Go se-konyong2 jatuhkan tubuhnya
kemuka untuk menutuk jempol kaki orang, tapi ujung
tiangpianpun sudah menurun datang. Saking kagetnya,
buru2 The Go loncat bangun, sehingga buyarlah kuda2
kakinya. Sekali Kiau To angkat kakinya kiri, dia mendupak
se-kuat2nya kebetis The Go. Betapapun anak muda itu coba
loncat mundur dengan cepatnya, namun samberan angin
dupakan yang keras itu telah membuatnya ter-huyung2
sampai 7 atau 8 langkah kebelakang, baru dia dapat berdiri
anteng lagi. Tapi baru sang kaki anteng, laksana bayangan,
Kiau To sudah melesat datang terus menghajarkan pian
kemukanya. Dalam gugupnya, The Go hendak menangkis
dengan lengan kanan, tapi serangan lawan itu adalah jurus
dari permainan pian liok-kin-pian-hwat yang penuh dengan
variasi gaya. Tiba2 tangkai pian menurun, hendak melibat
siku tangan kanan lawan. Hendak The Go menarik mundur
siku tangannya itu, tapi ujung pian telah melibat kipasnya.
Melihat tiang-pian berhasil melibat kipas, Kiau To
membentak: "Lepas!", dengan kerahkan seluruh tenaganya
dia sentakkan pian kebelakang untuk membetot kipas.
Tangan The Go segera terasa kesemutan, buru2 diapun
kerahkan lweekangnya untuk menarik balik kipasnya. Jadi
kini kedua seteru itu saling tarik adu lweekang. Hanya
beberapa kejab saja adu tarik itu berlangsung, karena tiba2
terdengar bunyi yang keras "krakkk" dan putuslah rangka
kipas yang terbuat daripada baja murni itu. Bagian
tangkainya masih terpegang The Go, tapi bagian atasnya
kecantol diujung tiang-pian. Sekali Kiau To kibaskan
piannya, maka diudara segera tampak beberapa puluh
bintik sinar kemilau dari kutungan batang rangka tertimpa
cahaya matahari, dan cet, cet cet, berpuluh kutungan lidi
baja itu menyusup masuk ke sebuah puhun siong semua.
Penilaian meskipun orang menganggap The Go telah
kalah karena senjatanya patah, namun sebenarnya
kepandaiannya setingkat lebih atas dari Kiau To.
Kutungnya kipas itu, bukan karena lweekang The Go
kurang tinggi, tapi oleh karena rangka kipas itu merupakan
lidi2 yang terbuat dari baja, jadi begitu saling ditarik,
tentulah putus.
Melihat kipasnya patah, merahlah selebar muka si The
Go, siapa lalu mundur beberapa langkah dan dengan
tertawa mesam dia berkata: "Kiau loji, aku mengaku
kalah!" Kiau To seorang yang berwatak jujur. Tahu kalau
kemenangannya itu tak begitu gemilang, dia segera
rangkapkan kedua tangan memberi hormat seraya berseru:
"Maafkanlah........" Tapi baru ucapan itu keluar, disana
terdengar Yan-chiu berteriak: "Aku tak mau berkelahi lagi
dengan kau!"
Ternyata hanya dalam tujuh delapan jurus saja, Siau-lan
telah dapat mendesak Yan-chiu sampai kewalahan tak bisa
balas menyerang. Tapi sembari bertempur itu, mata Siaulan senantiasa diarahkan pada The Go. Demi melihat
pemuda kesayangannya itu kalah, iapun agak lambat
gerakannya. Dan karena memperoleh kesempatan ini, Yanchiu dapat loncat undur beberapa tindak. Tapi dasar nona
genit, ia tetap tak mau akui kekalahannya melainkan
keluarkan jengekannya lagi, se-olah2 dia tak mau kotorkan
tangannya berkelahi dengan nona lawannya itu. Dan
karena memangnya Siau-lan tak mau terlibat dalam
pertempuran dengan Yan-chiu, begitu lawan lari, iapun
buru2 menghampiri The Go seraya bertanya dengan
cemasnya: "Engkoh Go, bagaimana?"
Dihadapan sekian banyak orang, dirinya telah kena
dipecundangi itu, perasaan The Go sukar dilukiskan.
Dupakan Kiau To tadi, terasa sakit sekali. Belum sempat
dia empos semangatnya untuk menghilangkan rasa sakit
itu, dia sudah dipaksa untuk adu Iweekang lagi. Ini
menyebabkan rasa sakit itu makin menghebat. Kalau
bukannya dia itu tergolong orang yang berhati keras, apa
lagi dihadapan sekian banyak orang dan teristimewa
dihadapan Bek Lian, tentu siang2 dia sudah tak kuat lagi
berdiri jejak. Tapi disebabkan terlalu memaksa diri itu,
keningnya tampak bercucuran keringat.
GAMBAR 10 Dengan perasaan cemas, Siau-lan keluarkan saputangan untuk
mengusap muka The Go yang dicintainya itu.
Melihat itu, hati Siau-lan seperti di-remas2. Buru2 ia
keluarkan saputangan putih, niatnya hendak menyeka


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kening sang kekasih itu. Tapi The Go menghindar
kesamping seraya mendamprat: "Menjemukan sekali,
budak yang tak tahu malu!"
Namun gadis nelayan yang hitam manis kulitnya itu
sudah dimabuk asmara. Walaupun dimaki, ia tetap
mengikuti lagi untuk menyeka kening orang. Kalau sinona
begitu ter-gila2, sebaliknya The Go makin jemu. Tadi
sewaktu melihat Bek Lian lari masuk dengan menangis
karena ucapan Siau-lan, The Go gusar sekali. Maka setelah
menghindar dari rangsangan Siau-lan, dia (The Go segera
melirik kearah Bek Lian. Demi diketahuinya juwita itupun
mengawasi dirinya, terhiburlah hati The Go sehingga untuk
sesaat itu dia ter-longong2. Tapi justeru selagi dia terlongong2 seperti kehiIangan semangat itu, tahu2 saputangan Siau-lan sudah menyeka dikeningnya. Seketika
itu meluaplah kemarahan The Go, serentak dia ulurkan
tangannya kanan, dengan kelima jari yang bagaikan kait
besi kerasnya itu, dia cengkeram bahu sinona. Sudah tentu
karena tak mengira orang yang dikasihinya itu berbuat
begitu, menjeritlah Siau-lan karena kesakitan. Malah saking
hebatnya cengkeram itu, muka sinona berobah ke-hijau2an
dan bibirnya menjadi pucat lesi. Namun sembari meronta,
masih sinona ikhlas menderita, serunya: "Engkoh Go,
tumpahkan kemarahanmu itu padaku, aku tak sesalkan
kau!" Empat keluarga The, Ciok, Ma dan Chi dari Laut
Selatan itu, sebenarnya akrab sekali hubungannya, lebih
dari itu, malah hubungan mereka itu dipererat juga dengan
perkawinan. Misalnya Ciok jisoh itu adalah berasal dari
keluarga Ma. Bermula karena Ciok Siau-lan jatuh hati
padanya. walaupun gadis itu tak secantik bidadari, namun
karena dilautan ia tergolong jelita kelas pilihan, maka The
Gopun bersikap mengimbangi kasih sinona itu. Tapi sejak
dia berjumpa dengan bidadari Lo-hou-san Bek Lian,
lupalah sudah dia akan Siau-lan. Untuk mengunjukkan
pada sijuwita bahwa dia tiada sedikitpun mempunyai
perasaan apa2 terhadap sigadis nelayan, The Go lupa akan
rasa kasihan lagi. Apalagi sememangnya dia itu seorang
yang berwatak kejam ganas, seketika itu timbullah
rencananya yang jahat. Dengan menyeringai, dia segera
mendamprat : "Budak hina yang tak punya malu?"
Demi mengetahui tindakan The Go itu, cemaslah Ciok
jisoh. Ia cukup kenal keganasan orang she The itu, yang
berani melakukan segala macam perbuatan jahat. "Orang
she The. kau berani menghina adikku?" serunya cemas
sembari lari menghampiri, namun sudah terlambat. Karena
pada saat itu, tampak The Go mengangkat kakinya kanan.
Dengan lututnya dia bentur dada sinona, sembari lepaskan
cengkeramnya tadi. "Aduh...." hanya sekali mulut Siau-lan
merintih tubuhnya sudah segera rubuh terlentang kebelakang..........
Syukur tepat pada saat itu, Ciok jisoh sudah tiba disitu,
sehingga terus dapat menyanggah tubuh adik iparnya.
Melihat tindakan yang kejam itu, bukan saja Ciok jisoh,
pun Kiau To, Tio Jiang dan Yan-chiu yang berwatak jujur
perwira itu, marah sekali. Masa seorang lelaki berbuat
semacam begitu terhadap seorang gadis yang menyayanginya. Yan-chiu yang paling tak kuat menahan
peraasannya itu, segera memaki: "Kau benar2 seorang yang
tak kenal budi! Mengapa kau berbuat sekejam itu?"
Sebenarnya The Go masih belum hilang kemarahannya
terhadap Siau-lan, tapi demi mendengar dampratan Yanchiu itu, buru2 dia berganti wajah. Dengan tertawa manis
dia menyahut: "Nona Yan, kalau andainya ia itu seorang
lelaki dan aku ini perempuan, dia pantas ditampar tidak?"
Yan-chiu terdesak kepojok oleh pertanyaan itu. Kalau
mengiakan, terang dia setuju perbuatan anak muda tadi.
Namun tidak setuju, berarti dia itu seorang gadis yang
rendah nilainya. Sesaat dara yang belum faham akan seluk
beluk pergaulan muda mudi itu, menjadi jengah dan terlongong2 sampai sekian detik.
"Budak perempuan yang tak kenal malu macam begitu,
perlu apa diberi hidup?" The Go main unjuk "keperwiraannya" seraya kerlingkan ekor mata kearah Bek
Lian. ---oo0-dwkz-TAH-0oo--Sebagai seorang gadis, Bek Lian merasa kurang penuju
atas perbuatan sianak muda itu terhadap sesama kaumnya.
Tapi entah bagaimana, demi mengetahui si The Go benci
pada perempuan lain, diam2 ia merasa girang. Dan ketika
anakmuda itu mengawasi dirinya, ia menjadi jengah sendiri
terhadap orang banyak, maka buru2 dongakkan kepala
memandang awan dilangit.
Yan-chiu yang biasanya bermulut tajam itu, kali ini
terpukul k.o. oleh kelicinan The Go, namun ia tetap
penasaran, serunya: "Ya biar bagaimana juga, tak pantas
kau melukai orang, nah sudah tak mau berbantah lagi
dengan kau."
Sedang Tio Jiang yang tak pandai ber-kata2 itu hanya
menuding kepada The Go seraya berseru dengan gelagapan
: "kau...... kau....."
"Aku bagaimana?" cepat The Go menukasnya sambil
menahan kesakitan.
"Kau seharusnya tahu bahwa ia menaruh hati padamu?"
sahut Tio Jiang.
The Go ber-gelak2, ujarnya: "Engkoh kecil, hatimu
murni amat. Namun setiap curahan kalbu itu harus
berbalas. Misalnya kau sendiri saja, menaruh hati pada
seorang nona, dan ia tak membalas cintamu, andainya kau
masih menguber2 saja, apakah kau harus memaksanya?"
The Go sengaja mengucap dengan nada keras, agar orang2
dapat mendengarnya.
Wajah Tio Jiang merah padam. Sepintas teringatlah
perihal dirinya sendiri. Dia telah abdikan panggilan hatinya
terhadap sang suci, namun suci itu tak ambil perhatian
kepadanya. Dalam hal itu, dia tak dapat sesalkan sikap
sucinya itu. Berpikir sampai disitu, dia melangkah maju
hendak mengatakan sesuatu. Hai, kalau tadi begitu bergerak
siorang tua aneh tentu lekas2 mencengkeramnya, tapi kini
tidak lagi. Kemana dia" Buru2 dia berpaling dan dapatkan
orang tua aneh itu sudah tiada disitu. Tapi karena saat itu
dia sedang mempunyai urusan, maka dia tak mau
menyibukinya lagi.
Sebaliknya karena telah dapat membuat Yan-chiu dan
Tio Jiang bungkam, The Go merasa girang, dengan
dongakkan kepalanya dia tertawa riang. Tiba2 dirasanya
ada sebuah sinar berkelebat disusul dengan samberan angin
keras menyampok datang. Buru2 dia tundukkan kepalanya,
lalu dengan tahankan rasa sakit dia melangkah setindak
kesamping. Kiranya itulah Ciok jisoh menyerang dengan
kim-kong-lun (senjata roda baja). Kalau tadi dia tak lekas2
menghindar tentu celaka sudah.
"Ciok jisoh, kau juga akan main2 dengan aku?" tanyanya
dengan menyeringai.
Tadi sewaktu Kiau To kirim dupakannya, dengan
sebatnya The Go mundur kebelakang, maka orang2 sama
mengira kalau dia dapat menghindari serangan itu. Dan
meskipun sudah terluka, masih dia unjuk senyuman sambil
ber-kata2 agar tak kentara sakit. Ternyata Ciok jisohpun
dapat dikelabuhinya. Sedikitpun jago perempuan itu tak
mengetahui bahwa lutut The Go telah terluka, ya sekalipun
tak sampai patah tulangnya, tapi cukup membuat
gerakannnya tak leluasa. Maka demi The Go mengeluarkan
hardikannya, karena merasa kalah tinggi kepandaiannya,
iapun bersangsi. The Gopun tak mau mempedulikannya.
Dipungutnya ikat kepalanya yang jatuh ditanah, setelah
membereskan rambutnya yang kacau, lalu dipakainya lagi.
Kemudian katanya kepada Kiau To dan Tio Jiang berdua:
"Kepandaian jiwi berdua, aku amat kagum. Terutama
kepada engkoh kecil ini yang telah dapat mengenal ilmu
tutukan darah dari perguruanku yang sangat dirahasiakan
itu. Kalau benar2 seorang lelaki, nanti pada hari Peh-cun
tahun muka, supaya datang kebio Ang-kun-kiong digunung
Ko-to-san!"
Saat itu Tio Jiang tengah kelelap dalam pikirannya
mengenai perhubungannya dengan sang suci, jadi dia tak
mendengarkan apa yang dikatakan The Go itu. Sebaliknya
Kiau To yang merasa kalau kemenangannya tadi itu tak
layak, hendak menghibur agar lawan itu jangan kehilangan
muka. Tapi demi menyaksikan kekejaman orang itu
terhadap seorang gadis kawannya, dia berbalik gusar sekali.
Maka demi siganas itu mengeluarkan tantangannya, kontan
saja dia menyahut: "Kau mau agul2kan nama Anghunkiong untuk menggertak orang" Hm, ucapan seorang
lelaki........"
"Laksana kuda mencongklang pesat!" buru2 The Go
menyambung kata2 Kiau to itu, "nah, siaoseng hendak
minta diri!" Dan dengan kata2nya itu The Go sudah
melesat dua tombak jauhnya, justeru tepat disisi Bek Lian.
Melihat anak muda itu hendak berlalu, hati Bek Lian seperti
terasa kehilangan sesuatu, maka tanpa dapat ditahan lagi,
meluncurlah kata2 dari mulutnya: "Kau..... kau terus pergi
begini saja?"
"Tahun muka, kalau dapat kau turut saja berkunjung ke
Ko-to-san, kita pasti akan berjumpa pula," sahut The Go
dengan berbisik.
Bek Lian sendiripun tak tahu, mengapa dalam
perkenalan sesingkat waktu itu saja, dia sudah mempunyai
perasaan begitu terhadap sianak muda itu. Pehcun (Pesta
air) masih setengah tahun lagi, baginya waktu itu keliwat
lama sekali. "Kecuali Pehcun itu, apakah tiada lain
kesempatan lagi?" tanyanya.
Mendengar itu, The Go girang bukan buatan, sahutnya
berbisik: "Kalau kau dapat turun gunung, carilah aku ke
Kwiciu!" Bek Lian mengangguk dan setelah melesat lagi beberapa
kali. The Gopun lenyap kebawah gunung. Ketiga saudara
Chi buru2 mengikut jejaknya. Hweeshio gemuk Ti Gong
taysu setelah merandek sejenak lalu menghampiri Ciok
jisoh, siapa tengah berjongkok memeriksa luka adik
iparnya. Demi melihat sihweeshio datang, Ciok jisoh segera
membentaknya: "Kepala gundul, sejak naik kemari kaulah
yang mulai cari perkara, sana enyahlah!"
Dengan tertawa menyengir, hweeshio gemuk itu pamitan
lalu ayunkan langkahnya turun gunung. Dan karena
berhenti sebentar itu, dia sudah ketinggalan jauh dengan
The Go dan ketiga saudara Chi. Sukur jalanan disitu tak
keliwat ber-belit2, jadi diapun tak sampai kesasar. Malah
kuatir kalau Ciok jisoh yang sedang gusar itu menyuaulnya,
dia percepat langkahnya. Kira2 satu li jauhnya, tiba2 dia
teringat akan sesuatu, lalu menoleh memandang kepuncak
tadi. Sampai sekian saat dia merandek dan merenung. Pada
lain saat ketika dia hendak lanjutkan perjalanannya lagi, sekonyong2 dari sebelah samping terdengar orang berkata
dengan nada yang dingin sekali: "Kepala gundul, kau
kenapa" Mengenang Liok-ya" Inilah liokya-mu berada
disini!" Mendengar nada yang dikenalnya sejak 10 tahun yang
lalu. bagaikan diburu setan Ti Gong segera loncat kemuka.
Kebetulan tempat yang diloncatinya itu adalah sebuah
semak belukar duri. Biarpun ilmunya mengentengi tubuh
cukup baik, begitu turun kesemak terus secepatnya loncat
keatas lagi, namun tak urung jubahnya bagian bawah
tertusup pecah oleh duri2 disitu, sehingga tak keruan
macamnya. GAMBAR 11 Selagi Ti Gong Hwesio ngacir kebawah gunung, tiba2 ia
dipapak si Bongkok, Thaysan-sin-tho, seorang musuh buyutan
pada 10 tahun yang lalu.
"Ha. ha, mengapa takut, kepala gundul?" kedengaran
suara tadi tertawa mengejek, "liok-ya masih belum selesai
dahar, belum sempat untuk memberesimu. Kalau kenal
aelatan, lekas jongkok memberi hormat. Apabila liok-ya
attdah selesai menyantap kaki anjing ini, baru nanti
memberi putusan!"
Ti Gong terkejut bercampur marah, cepat dia berpaling
kebelakang. Tak jauh dari situ, tampak seorang yang
berwajah mesum tengah menggerogoti sepotong paha
anjing. Ha, itulah sibongkok dari biara Cin Wan Kwan.
Melihat dugaannya tak meleset, lebih dahulu Ti Gong
gunakan tangannya kiri melindungi dada, lalu tangannya
kanan menuding pada sibongkok, dia balas mendamprat:
"Bagus, Thaysan Sin-tho! Mengapa kau sembunyikan diri
menjadi paderi gagu berganti nama Hwat Ji tojin" Ceng Bo
siangjin tentu kena kau kelabui!"
Sembari masih menggerogoti kaki anjing, si Bongkok
berbangkit dan menyahut dengan pelahan: "Benar, orang
she Bek itu telah kukelabui!"
Tegas dilihat oleh Ti Gong, bahwa ketika si Bongkok itu


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbangkit, meskipun masih tetap seorang bongkok, tapi
jauh bedanya dengan bentuknya ketika berada dibiara Cin
Wan Kwan tadi. Kini sepasang matanya memancarkan
sorot ber-api2. Ya, itulah orang she Ih nama Liok bergelar
Thaysan sin-tho (si Bongkok sakti dari gunung Thaysan)
yang telah dijumpainya 10 tahun berselang dipesisir utara
sungai Tiangkang. Itu waktu dia tengah melakukan
keganasan membunuh wanita hamil, mengeluarkan
kandungannya untuk dibuat ramuan obat. Perbuatannya itu
kepergok Thaysan Sin-tho dan dalam pertempuran itu dia
kena dijatuhkan oleh sibongkok tersebut.
Dengan kekalahan itu, Ti Gong lalu mencari guru yang
pandai, mencukur rambutnya masuk menjadi hweeshio dan
meyakinkan ilmu silat lagi dengan jerih payah. Setelah
merasa kepandaiannya cukup, dia cari lagi musuhnya itu
guna melakukan pembalasan. Tapi dari selatan menjelajah
keutara, orang2 persilatan golongan atas yang dijumpainya
sama mengatakan bahwa Ih Liok itu sudah sejak 10 tahun
ini menghilang tak berbekas, entah mati atau hidup. Ti
Gong terpaksa hentikan pengejarannya.
Sewaktu melihatnya dibiara Cin Wan Kwan tadi, Ti
Gong sudah curiga. Tapi demi mendengar keterangan Tio
Jiang bahwa sibongkok itu adalah seorang tuli dan gagu,
apalagi setelah dicobanya ternyata benar dia itu tak bisa
ilmu silat maka Ti Gongpun lepaskan kecurigaannya itu.
Ah, mimpipun tidak dia kalau kini sibongkok yang ternyata
benar2 Thaysan Sin-tho itu, sudah menunggunya dibawah
gunung situ. Merasa dirinya itu sudah banyak berbuat
kejahatan dan keganasan, diam- bercekat hati Ti Gong.
Tapi demi merasa bahwa jerih payahnya meyakinkan ilmu
silat telah membuat dirinya jauh berlainan dari 10 tahun
yang lalu, timbullah nyalinya lagi. "Hm, orang she Ih, Ceng
Bo siangjin boleh kau selomoti, tapi aku tidak!"
Ih Liok memberakot lagi segumpal daging paha
anjingnya, sembari berkeruyukan mengunyah, dia menyahut dengan suara sember: "Tak dapat mengelabui
kau, Liok-yapun tak jeri. Coba kulihat, apakah mulutmu itu
masih bisa dipakai berbicara lagi?"
"Celaka!" diam2 Ti Gong mengeluh dalam hati menduga
kalau ucapan sibongkok ttu tentu ada apa2-nya. Cepat2
dengan gerak "i-heng huan-poh" dia raba tasbih 108
mutiaranya itu untuk mendahului menyerang musuh. Tapi
sudah terlambat. Sesosok bayangan bundar hitam,
merangsang datang. Gerakannya lebih cepat dari suara.
Baru tangan meraba mutiara, atau serangkum angin keras
telah menyampok putus kawat peronce mutiara itu.
Insyaflah Ti Gong, bahwa jerih payah peyakinannya selama
10 tahun ini masih tak dapat menandingi kesaktian Thaysan
Sin-tho. Rupanya dalam waktu itu, Thaysan Sin-thopun
membuat kemajuan yang pesat sekali. Tahu gelagat jelek,
buru2 dia hendak kabur, tapi sudah tak keburu lagi. Sesaat
itu dirasanya seluruh persendian tulangnya kesemutan dan
tubuhnya lemah lunglai. Kiranya dia telah kena
dicengkeram oleh Thaysan Sin-tho. Sewaktu berpaling
kebelakang, dilihatnya wajah sibongkok itu amat menakutkan sekali walaupun mulutnya masih enak2an
menggeragoti santapannya itu. Saking ketakutan, buru2 Ti
Gong meratap: "Liok-ya, ampunilah.......", tapi belum
sempat dia mengucapkan "jiwaku", atau dadanya serasa
sesak, mulut terasa manis dan matanya ber-kunang2 gelap.
Sekali Thaysan Sin-tho menepuk kearah dadanya, tubuh Ti
Gong segera ngelumpruk, kepalanya terkulai dan putuslah
nyawanya. Begitu tangan Thaysan Sin-tho melepas, sekali dorong
tubuh Ti Gong yang gemuk itu segera ber-guling2 kebawah
gunung. Setelah itu, tampak Ih Liok menepuk2 tangan,
sembari menyembat santapannya kaki anjing tadi, dia
segera memanggul tong air. Dalam bentuknya sebagai
imam Bongkok yang tuli gagu dari Cin Wan Kwan, dia
mendaki keatas gunung lagi.
Mayat Ti Gong yang digelundungkan kebawah oleh
Thaysan Sin-tho dengan cepatnya telah dapat menyusul
perjalanan ketiga saudara Chi. Mendengar dibelakangnya
ada suara benda ber-gelundung ketiga orang itu sama
menoleh kebelakang dan mengenalnya itu sebagai potongan
tubuh Ti Gong. Tapi mengapa bergelundungan, tidak
berjalan biasa saja" Karena tak tahu kalau Ti Gong sudah
menjadi mayat, mereka sama tertawa geli. Seru Chi Sim:
"Toa-hweeahio, mengapa bergelundungan begitu" Apa
kuatir kalau ketinggalan 'sepur'?" Sedang lain saudaranya
juga menambahi: "Bukan, rupanya toa-hweeaio hendak
meniru Hoa-hweesio Lou Ti-sim dari kawanan Liang-san.
Bukankah setelah mencuri arak digunung Siau-pa-ong, lalu
menggelundung turun gunung?"
Sewaktu ketiga saudara itu berolok2 dengan riangnya,
tubuh Ti Gongpun sudah tiba dihadapan mereka.
"Celaka!" tiba2 Chi Sim menjerit kaget. Ternyata kedua
saudaranyapun telah mengetahui perihal Ti Gong itu.
Buru2 mereka mengangkatnya untuk diperiksa. Amboi,
ternyata dada Ti Gong telah hancur jeroannya, maka
sewaktu diangkat itu mereka dapatkan bahwa mayat
hweeshio yang gemuk itu sangat ringan sekali, se-olah2 tak
bertulang lagi. Saking takutnya ketiga saudara Chi berseru
memanggil The Go yang jauh berada dimuka: "The toako,
ada peristiwa hebat!"
The Go mendengar juga teriakan itu, tapi mengira kalau
yang dimaksudkan dengan "peristiwa" itu adalah Kiau To
dan Ceng Bo siangjin melakukan pengejaran, dia agak
terkejut. Terang dia tak nanti sanggup melawan kedua
tokoh itu, apalagi ketiga saudara Chi Itu orang2 yang tak
berguna, maka dari merandek dia malah percepat
langkahnya. Ketiga saudara Chi itu adalah orang2 kasar. Betul
biasanya mereka tak takut dengan Ti Gong, tapi karena
perhubungan diantara keempat keluarga The, Ciok, Ma dan
Chi itu sangat akrab sekali, maka mereka anggap Ti Gong
itu juga termasuk orang sendiri. Melihat kematian yang
mengenaskan dari sihweeshio, perasaan merekapun tak
enak. Diulanginya lagi seruannya memanggil The Go,
namun yang tersebut belakang itu berlaga tak mendengar,
malah kini lari se-kencang2nya. Melihat itu mereka
mengeluh, kenapa tadi tak lekas2 berjalan sehingga
kesamplokan dengan mayat Ti Gong. Ah, lebih baik
gelundungkan lagi saja mayat itu, dan mereka mengikutinya dari belakang.
Tepat pada saat tubuh Ti Gong menggelundung dikaki
gunung, The Gopun sampai ditempat situ. Melihat ada
sesosok tubuh bergelundungan,
buru2 dia loncat menghindar, sehingga tubuh itu menggelundung beberapa
meter lagi baru berhenti. Kini baru The Go kaget, berbareng
pada saat itu ketiga saudara Chi tadipun tiba, terus
menuturkan apa yang dialaminya tadi. Wajah The Go
hanya mengunjuk senyuman getir, tapi diam2 dia makin
mendendam pada orang2 Cin Wan Kwan. Hanya terhadap
sijuwita Bek Lian, dia tak dapat melupakannya. Sesaat
terbayanglah kecantikan puteri gunung Lo-hou-san yang
sangat mempesonakan itu. Pikirnya: "Sungguh tak nyana
kalau dipuncak yang sunyi itu, terdapat seorang bidadari.
Aku, The Go, seorang bun-bu coan-cay (serba guna),
mempunyai hari depan yang gemilang, apapun tentu dapat
kucapai. Walaupun aku terikat permusuhan dengan
kaumnya, namun hati seorang gadis itu lemah, masakan dia
bakal terluput dari tanganku?" Puas melamun, dia segera
dupak mayat Ti Gong kedalam sebuah semak belukar,
kemudian dengan ketiga saudara Chi, lanjutkan perjalanannya menuju ke Kwiciu.
---oo0-dwkz-TAH-0oo--Sekarang mari kita tengok keadaan digunung Lo-housan.
Sepeninggalnya The Go, Bek Lian seperti kehilangan
sesuatu. Dengan ter-longong2 ia memandang kearah awan
yang bertebaran dilangit, pikirannya jauh me-layang2.
Sedang disebelah sana Ciok jisoh dan Kiau To sedang asyik
memereksa luka Siau-lan. Habis memeriksa, keduanya
sama berkerut alis.
Kata Kiau To: "Ciok jisoh, kini tiada lawan atau kawan,
menolong orang adalah yang terpenting. Adikmu terluka
parah, baik dibawa masuk kedalam biara dahulu!" Sembari
berkata itu dia ulurkan tangannya hendak menutuk jalan
darah thian-ti-hiat yang terletak disebelah dada sinona.
Maksudnya hendak menolong supaya mengurangkan
sakitnya. Tapi teringat kalau yang sakit itu adalah seorang
nona, dia batalkan niatnya dan merandek. Tahu akan
maksud baik orang she Kiau itu, karena dirinya sendiri tak
mengerti ilmu menutuk, buru2 Ciok jisoh mempersilahkan:
"Kisu looji, tutuklah, jangan sungkan!"
Mendapat anjuran itu, baru Kiau To berani. Tapi ketika
tangannya menyentuh badan sinona, tiba2 hatinya bergetar.
Diam2 dia mengeluh dan lekas2 tenangkan pikirannya.
Setelah itu, Ciok jisoh menggendong adik iparnya itu
masuk kedalam biara. Yan-chiu meskipun genit dan nakal,
tapi hatinya welas asih. Tadipun dia sudah mendamprat
The Go dan kini iapun mengikuti Ciok jisoh masuk
kedalam. Sebaliknya Tio Jiang melihat sucinya menjublek diam,
ialu menghamperi dan berkata dengan tertawa: "Suci, tadi
Kiau susiok dapat menangkan orang itu, adalah karena
kebetulan "
Belum omongan Tio Jiang itu selesai, Bek Lian sudah
cepat memotongnya: "Kau menyingkir sana, mau tidak?"
Mendapat sambutan dingin itu, tetap Tio Jiang tak
marah, katanya pula: "Tetapi orang itu........."
Kalau tadi hanya mulutnya saja yang menyemprot, kini
tiba2 dengan gusarnya Bek Lian angkat kedua tangannya
terus hendak menampar Tio Jiang. Namun Tio Jiang tak
mau menghindar. Dia mempunyai cara berpikir sendiri
yang aneh: "Suci memukul aku ini karena marah padaku.
Bukantah aku harus membiarkan dipukul supaya menghilangkan kemarahannya?" Maka dari menyingkir,
sebaliknya Tio Jiang lantas ulurkan kepalanya kemuka.
Bek Lian tahu kalau anak itu bukan seorang tolol. Cuma
saja, memang begitu melihat ia, Tio Jiang itu lalu seperti
orang gagu dan merah mukanya. Dahulu sebelum berjumpa
dan mengetahui bahwa didunia ini ternyata ada seorang
lelaki (The Go) yang bagusnya seperti Arjuna itu, ia sih tak
begitu jemu terhadap Tio Jiang. Tapi kini setelah berjumpa
dengan "Arjuna"nya itu, dia benci melihat kelakuan sang
sutee yang tolol itu. Buru2 dia tarik pulang tangannya, terus
melangkah maju tak ambil mumet lagi pada Tio Jiang.
Tio Jiang mengintil anjing, serunya: "Suci aku........."
"Kau mengapa, kau menyingkir sana mau tidak?" Bek
Lian putuskan omongan orang dengan ketusnya, seraya
melangkah maju lagi dua tindak. Justeru disebelah muka itu
adalah sebuah karang buntu yang meluncur kebawah curam
sekali. Melihat itu Tio Jiang gugup dan berteriak: "Suci,
hati2lah!"
Jengkel direcoki sang Sute, Bek Lian timbul kemarahannya lalu hendak me-maki2nya. Tapi tepat pada
saat itu Yan-chiu kelihatan muncul dari dalam biara dan
ber-lari2 menghampiri. Kira2 masih beberapa meter
jauhnya, ia sudah me-lambai2kan tangannya seraya berseru:
"Lekas kemarilah! Mengapa kalian berdua omong tak
putus2nya itu" Suhu memanggil kita, bertiga!" Sembari
berkata itu sinona genit itu masih sempat unjuk "muka
setan" pada Tio Jiang, katanya pula: "Suhu memanggil kita
itu, apakah bukan hendak mengajarkan jurus ke 5, 6 dan 7
dari To-hay-kiam-hwat" Kau sirik,tidak?"
Namun Tio Jiang tak hiraukan olok2 sumoaynya itu.
Begitu Bek Lian ayunkan langkah pulang, diapun terus
mengintil saja. Hendak berkata lagi, dia tak berani, namun
kalau diam saja dia merasa seperti ada sesuatu yang
mengganjel dalam hatinya. Tiba2 dia rasakan ada orang
menarik bajunya, ketika menoleh kebelakang, ha, si Yanchiu yang menggodanya lagi. Menuding kearah Bek Lian,
nona nakal itu mengiwi-iwi (unjuk muka seperti setan)


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padanya. Sudah tentu Tio Jiang jadi uring2an bentaknya:
"Sumoay, mengapa kau terus2an menggoda orang saja?"
Yan-chiu jebikan bibirnya menyahut: "Huh, terhadap
suci sih seperti tikus berhadapan dengan kucing, tapi kalau
terhadap aku mau main galak2an ya?"
Sebenarnya terhadap Yan-chiu, Tio Jiang menyayang
seperti seorang adik kandungnya sendiri. Ketika dua tahun
yang lalu Yan-chiu datang digunung situ, dialah yang
merawatnya. Maka atas protes Itu, dia hanya menyengir
saja: "Sumoay, kalau kau tak selalu mencari kesalahan dan
tak menggoda aku, aku pasti sayang padamu."
Yan-chiu goyang2kan tangannya berseru: "Apa2an sih
itu! Kau sayang saja pada suci, kan ia nanti tak mau
menghiraukanmu!"
Sambil bicara itu, mereka sudah melangkah kedalam
pintu biara. Didengarnya Ceng Bo siangjin batuk2
diruangan samping, maka merekapun tak berani bicara
keras2, terus masuk kedalam. Begitu masuk, dilihatnya sang
suhu itu duduk disebuah kursi, wajahnya keren sekali.
Memang Ceng Bo siangjin itu tak suka banyak omong.
Diantara ketiga saudara seperguruan itu, kecuali Bek Lian
yang karana dimanjakan oleh kecintaan sang ayah, kalau
berhadapan dengan ayahnya itu tetap berani berbicara.
dengan keras. Tapi sutee dan sumoaynya itu karena merasa
sebagai anak yatim piatu yang ditolong oleh Ceng Bo
siangjin, merekapun tahu diri. Disamping itu, keduanya
pun agak jeri terhadap sang suhu yang dihormatinya itu.
Demi nampak wajah suhunya luar dari biasanya, begitu
masuk Tio Jiang dan Yan-chiu terus tegak berdiri dengan
khidmatnya. Adalah Bek Lian seorang saja yang berani
maju dan menghampiri kearah meja disisi ayahnya untuk
melihat sebuah peta yang terbentang disitu. Sementara Ki
Cee-tiong, itu toa-ah-ko Thian Tee Hui, tetap riang berseri
wajahnya. Memang dengan wajahnya yang selalu ber-seri2
itu, kalau sedang menghadapi ketegangan, tampak makin
lucu kelihatannya.
Setelah ketiga muridnya datang. Ceng Bo siangjin segera
suruh mereka melihat peta bumi itu. Menunjuk kearah tapal
batas Tiau-yang, berkatalah Ceng Bo siangjin: "Coba kalian
lihat, tentara Ceng sudah tiba disini! Turut katanya Ki
susiokmu ini, kaisar Siau Bu yang bertakhta di Kwiciu itu,
mempunyai dua orang menteri yang bernama Ko Tiau-cian
dan Hongo-ciu. Kedua orang itu berlainan muka dengan
hatinya (palsu). Salah seorang akan bersekongkol dengan
tentara Ceng, agar memperoleh pangkat. Ah, anjing2 Boanciu terkenal ganas sekali. Misalnya peristiwa pengganasan
dan pembunuhan besar2an di Yangciu dan Ka-ting, entah
berapa banyak jiwa bangsa Han yang melayang! Kita akan
segera turun gunung menggabungkan diri ber-sama2
dengan saudara2 dari Thian-Tee-Hui guna berusaha
mengusir tentara musuh dari perbatasan Kwitang. Ini
adalah urusan besar. Kepandaian kalian bertiga sebenarnya
masih belum seberapa, seharusnya belum waktunya turun
gunung, tapi apa boleh buat!"
Ketiga anak muda itu mendengarinya dengan penuh
perhatian. Tiba2 Bek Lian kedengaran membuka mulut:
"Ayah, aku dan Yan-chiu sumoay masih belum belajar ilmu
pedang dengan sempurna!"
Ceng Bo siangjin menghela napas, ujarnya: "Ah, terus
terang saja lebih baik jangan harapkan hal itu. Sebenarnya
To-hay-kiam-hwat itu walaupun satu jurusnya saja, kalian
berdua tak boleh belajar. Telah kuajarkan 4 jurus pada
kamu berdua itu, sudah berarti mencelakai. Lian-ji, kau
harus belajar ilmu pedang 'hoan kang kiam hwat' seperti
ibumu itu, tetapi ah.............."
Sejak Bek Lian berangkat besar, setiap kali mendengar
sang ayah membicarakan ibunya, tentu disusul dengan
helaan napas yang panjang. Entah tak tahulah Bek Lian apa
sebabnya dan lama sudah ia ingin mengetahui sebab itu.
Maka menggunai kesempatan kala itu, ia beranikan diri
bertanya: "Ayah, dimanakah ibu?"
Ceng Bo siangjin ter-mangu2 sampai sekian lama, lalu
tiba2 dia berkata: "Lekas siapkan senjatamu ikut Ki dan
Kiau kedua susiokmu pergi ke Kwiciu. Aku segera akan
menyusul!"
Walaupun kurang puas atas jawaban yang bukan
jawaban itu, namun Bek Lian tak berani membantah sang
ayah. Tiba2 Tio Jiang teringat akan halnya siorang tua aneh
(Sam-thay-ya) itu, hendak dia tuturkan pada suhunya, atau
tiba2 dari arah luar Ciok jisoh kedengaran berseru keras:
"Kiau loji, pil istimewa buatan suhumu Tay Siang Siansu
itu, sungguh mujijat sekali. Siau-lan sudah sadarkan diri,
rasanya sudah tak apa2 lagi. Biar gunung dan sungai
menyaksikan, kami keluarga Ciok telah berhutang budi
padamu!" "Ciok jisoh," sahut Kiau To seraya tertawa, "apa2an kau
omong begitu. Itulah sudah jamaknya orang persilatan
saling tolong menolong. Kau hendak membalas budi untuk
sebuah pil buatan suhuku, ah susahlah rasanya! Hati2lah
setelah kau turun gunung. Sadarkan adikmu bahwa orang
itu seorang ganas, tak usah memikirkan padanya!"
Tapi berbareng pada saat itu, kedengaran suara Siau-lan
mengajak taci iparnya: "Soso, hayo kita lekas pergi, kalau
terlambat tentu takkan dapat berjumpa dengan engkoh Go!"
Mendengar itu Ki Cee-tiong yang berada disebelah
dalam segera bertanya pada Tio Jiang: "Hai, mengapa loji
begitu murah hati mengobral pil sam-kong-tan" Siapakah
yang terluka dan mengapa?" Atas pertanyaan itu Tio Jiang segera tuturkan duduk perkaranya. Dan baru saja selesai
menutur, Kiau To yang habis mengantar Ciok jisoh dan
Ciok Siau-lan berangkat, sudah balik dan masuk kedalam
ruangan lagi. "Sisu-ko, kau sungguh hebat," seru Kiau To mengalem
Tio Jiang, "tapi mengapa kau kenal akan ilmu tutuk "hong
cu may ciu" orang itu?"
"Ah, mana aku tahu! Itulah seorang tua aneh berjanggul
panjang bernama Sam-thay-ya yang memberitahu padaku!"
sahut Tio Jiang, tapi berbareng saat itu se-konyong2 Ceng
Bo siangjin berbangkit dan tangannya memijat meja, krak,
krak, rompallah ujung meja ltu.
Melihat kelakuan aneh dari Ceng Bo siangjin itu, orang2
sana terkejut sekali. Malah dengan tak terkesiap, Yan-chiu
menatap sang suhu. sesaat teringatlah Ceng Bo siangjin
bahwa tadi dia telah kehilangan penguasaan dirinya, maka
dengan tertawa tawar dia bertanya pada Tio Jiang:
"Sik loo-sam itu mengatakan apa lagi?"
"Sik Loo-sam," Tio Jiang mengulangi pertanyaan
suhunya dengan keheranan.
"Itulah siorang tua kate tadi!" buru2 Ki Ce-tiong
menanggapi. "Oh," seru Tio Jiang, "dia bilang, dia bukannya takut
menemui suhu, melainkan tak ingin bertemu saja. Dan
kemudian bilang, dia hanya tahu makan tak tahu berpikir."
Ceng Bo siangjin tundukkan kepala merenung sejenak
Ialu berkata: "Sudah jangan hiraukan dia, kalian ikut saja
pada saudara Ki dan Kiau menggabungkan diri dalam
Thian-Hui di Kwiciu. Tak berapa hari kemudian, aku tentu
menyusul kesana !"
Bagi kaum persilatan, selain senjatanya tak ada lain
benda perbekalannya lagi. Begitulah mereka bertiga lalu
menuju kekamarnya masing2 untuk berkemas membawa
sedikit barang yang perlu. Mendengar dapat pergi ke
Kwiciu, bukan kepalang girangnya Yan-chiu. Tak berapa
lama kemudian, Ki Ce-tiong, Kiau To, Bek Lian, Tio Jiang
dan Yan-chiu berangkat turun gunung. Meskipun ilmu
silatnya sudah punah, tapi sedikit2 Ki Ce-tiong masih bisa
menggunakan ilmu mengentengi tubuh, jadi kini mereka
berlima dapat berjalan berendeng.
Berada sendirian didalam kamarnya, Ceng Bo siangjin
tampak mondar-mandir, lalu mengambil pedangnya yang
tergantung pada dinding. Pedang itu sebuah tiang-kiam
(pedang panjang), bentuknya sangat istimewa jauh
berlainan dari pedang biasa, karena lebih panjang beberapa
dim. Sarung pedang itu yang sebelah berbentuk bundar,
yang sebelah terepes. Tangkai pedang itu yang sebelah
kanan panjang yang sebelah kiri pendek. Lebih dahulu
Ceng Bo meniup sarung pedang itu, lalu membersihkannya
dengan lengan baju. Rupanya dia begitu sayang sekali akan
pedangnya itu. Setelah itu, dengan pe-lahan2 dia lolos
keluar. Dibarengi dengan suara bergemuruh samar2, batang
pedang itu tertarik keluar ke-biru2an warnanya. Anehnya,
pedang itu seperti tak mempunyai ujung. Jadi batang
pedang itu tampaknya bundar panjang seperti sebuah
berambang panjang. Ceng Bo siangjin ketuk2kan dua buah
jarinya kebatang pedang, dan terdengarlah suara bening
macam suara batu pualam. Ditariknya pula batang pedang
itu sedikit keatas lagi, lalu dengan ter-longong2 dia
mengawasi dua huruf "yap kun" yang terukir disitu.
Mendadak dia menghela napas, wajahnya mengunjuk
kedukaan yang sangat.
Setelah memandang sampai sekian saat, dia segera
sarungkan lagi pedangnya, lalu menuju keluar. Saat itu
keadaan disekeliling puncak situ lelap sekali. Hanya ada
sementara burung berkicau keluar dari dalam hutan puhun
siong dan Hwat Ji tojin itu tojin gagu tuli yang nampak
memikul tong air mendaki keatas, untuk diisikan kedalam
gentong. Karena sudah biasa jadi Ceng Bo pun tak merasa
heran. Se-konyong2 Ceng Bo siangjin bersuit pelahan, tapi
nadanya ternyata melengking bening sekali. Thaysan Sintho Ih Liok, itu sibongkok yang pura2 menyaru jadi orang
tuli gagu, sambil menuang air sambil memperhatikan gerakgerik Ceng Bo itu. Tadi sewaktu dilihatnya siangjin itu
keluar sendirian dengan membawa pedang pusakanya yang
sama sekali tak boleh disentuh orang itu, diapun sudah
terperanjat heran. Dan begitu mendengar siangjin itu
bersuit, tahulah dia kalau kepala Cin Wan Kuan itu tengah
menyampaikan tantangan. Apakah penyaruannya itu sudah
diketahuinya" Demikian pikir Ih Liok dengan gelisah dan
oleh karena kegelisahannya itu dia telah keliru menuangkan
setengah tong air itu keluar gentong. Tapi ternyata suitan
Ceng Bo itu makin lama makin tinggi nadanya, baru dia
(sibongkok) lega hatinya karena terang itu bukan ditujukan
dirinya. Tak antara lama, kumandang suitan itu sudah jauh
menyusup keseluruh pelosok. Tapi orangnya sendiri sudah
menggendong tangan dengan mencekali pedang, tampak
mondar-mandir kian-kemari. Hanya kini sikapnya sudah
tenang lagi. Diam2 Ih Liok merasa kagum. Tapi dia tetap
heran, siapakah yang hendak diundang berkelahi oleh
siangjin itu" Tengah dia me-mikir2 itu, tiba2 didengarnya
ada seseorang berteriak: "Hay-te-kau, jangan bersuit setan
lagi, jantung Sam-thay-ya kau tusuk2 rasanya!" Berbareng
dengan teriakan itu, dari sebelah bawah sana melesat
sesosok tubuh dan entah bagaimana caranya, dalam dua
kali loncatan saja orang itu sudah berada satu tombak
jauhnya dihadapan Ceng Bo siangjin. Demi melihat siapa
orang itu, sibongkok bukan main terkejutnya terus bergegas2 masuk kedalam bio. Tapi disitu dia mengintip keluar
dari sela2 lubang pintu. Oleh karena bio itu sudah kosong,
jadi perbuatannya itu tiada seorangpun yang tahu.
Begitu nampak munculnya orang itu, Ceng Bo siangjin
segera berhenti bersuit serta lalu membentak: "Sik Lo-sam,
tidak nyana setelah berpisah 10 tahun bisa berjumpa lagi
bukan?" Batok kepala siorang tua yang besar itu tampak
mengangguk beberapa kali, lalu menyahut: "Benar, benar,
Hayte-kau, sungguh tak nyana. Tapi mana Kang-siang-yan"
mengapa ia tak tampak " Kau mempunyai murid yang baik
ya" Makanya sampai tak kenal suhunya itu siapa, ha, ha!"
Sambil mendengari ocehan si Sam-thay-ya atau Sik
Losam itu, tangan Ceng Bo siangjin yang digendong
dibelakang tadi ditarik dan dialihkan kemuka dada, lalu
balas bertanya: "Sik Lo-sam, ia berada dimana?"
"Siapa" Siapa yang kau maksudkan berada dimana itu?"
tanya siorang tua kukway dengan heran.
Ceng Bo siangjin tetap berlaku sabar, katanya: "Yang
pada 10 tahun berselang ketika sedang beristirahat sakit
dikaki gunung ini, malam2 kau ......... tutuk jalan darahnya
itulah!" Ketika mengucapkan kata2nya yang terakhir itu
nadanya berat tenggorokannya gemetar, seperti menderita
suatu kesakitan. Sebaliknya siorang tua kate aneh itu seperti
tak kejadian apa2, ia menepuk batok kepalanya sendiri
berseru: "O, itulah Kang-siang-yan !"
"Benar, dimanakah dia?" hardik Ceng Bo dengan nada
keras. "Sret", se-konyong2 orang tua aneh itu melesat 3 tindak
kebelakang. Ceng Bo siangjin melangkah maju setindak
mengikutinya. "Entah, aku tak tahu!" Sik Lo-sam gelengkan kepalanya.
"Sring", Ceng Bo siangjin melolos pedangnya.
"Bagus, Hay-te-kau! Kau mau berkelahi lagi" Mari, mari,
mari!" seru Sik Lo-sam seraya silangkan kedua tangannya,
maju kemuka terus menghantam Ceng Bo siangjin. Tapi
dengan kibaskan baju pertapaannya, Ceng Bo telah dapat
menghalau serangan itu, seraya berseru: "Sik Lo-sam, kau
mau tidak menerangkan duduk perkara yang sebenarnya
dari peristiwa dahulu itu?"
Gambar 12 "Bagus, Hay-te-kau! Kau mau berkelahi lagi" Mari, mari,
mari!" seru Sik Lo-sam seraya silangkan kedua tangannya, maju
kemuka terus menghantam Ceng Bo siangjin.
Tapi dengan kibaskan baju pertapaannya, Ceng Bo telah dapat
menghalau serangan itu, seraya berseru: "Sik Lo-sam, kau mau
tidak menerangkan duduk perkara yang sebenarnya dari peristiwa
dahulu itu?"
"Bukan aku. Tapi siapa yang menutuk pingsan
Kangsiang-yan, aku menyaksikan dengan mata kepala
sendiri. Tapi kau tetap tak mempercayai keteranganku,


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

habis aku harus mengatakan bagaimana" Pedangmu itu,
kau curi kepunyaan Kang-siang-yan !"
Melihat caranya siorang tua aneh itu berkata secara
berputar balik sukar dirasakan, setelah berpikir sejenak,
berkatalah Ceng Bo: "Sik Lo-sam, pedang ini merupakan
sepasang lelaki dan perempuan. Ketika itu Kang-siang-yan
sedang sakit, aku kegunung mencari obat. Ketika pulang
kudapati hanya kau seorang yang berada disitu, itu
waktu........ ya kau tentu mengetahui sendiri keadaan itu
waktu. Setelah kututuk-sembuhkan jalan darahnya, ia tak
mau bicara apa, tahu2 pergi entah kemana. Adakah kau
pernah bertemu padanya?"
"Haya, kalau tak kau sebut2 hal itu tentu aku lupa.
Nyonya itu keliwat bengis, kalau aku tak cepat2
menyingkir, tentu sudah tak bernyawa lagi."
"Dimana kau menjumpainya?" tanya Ceng Bo siangjin
dengan gugup. Sik Loo-sam gelengkan kepala, menyahut: "Entahlah,
aku lupa. Otak Sam-thay-ya ini, tak bisa muat barang."
Kini Ceng Bo hilang sabarnya. "Sik Loo-sam, kau juga
tergolong tokoh kenamaan dalam dunia persilatan.
Menghina isteri orang, harus menerima hukuman apa, kau
bilanglah!"
Mata istimewa dari siorang tua aneh itu berkicup
membalik, sahutnya: "He, siapa yang menghina isterimu?"
Ceng Bo siangjin perdengarkan ketawa tawar, terus
siapkan pedangnya. Tanpa kelihatan bergoyang tubuh,
"sret" tahu2 Sik Loo-sam melesat kesamping pintu bio dan
terus miringkan kepalanya untuk mendengari, lalu
mendorong pintu terus masuk. Sibongkok Ih Liok yang
berada dibelakang pintu tak dapat lari mengumpat.
---oo0-dwkz-TAH-0oo--"Bagus, Hay-tee-kau, kau sembunyikan seorang pembantu?" Sik Loo-sam menjerit seraya mencengkeram
lengan kanan sibongkok. Thaysan Sin-tho Ih Liok bukan
seorang yang lemah, sebenarnya dia dapat menghindar dari
cengkeram itu. Tapi tiba2 dia memperoleh pikiran, maka
mandah diam saja. Gerakan Sik Lo-sam itu luar biasa
cepatnya, begitu mencengkeram terus dia lemparkan
sibongkok itu keluar. Sewaktu melayang diatas, tangan dan
kakinya berserabutan dan mulutnya ber-kuik2 men-jerit2.
Melihat itu buru2 Ceng Bo siangjin maju untuk
menyanggapi, lalu pelan2 ditaruhkan diatas tanah.
Tadi Sik Loo-san tak mau memperdatakan siapa yang
disergapnya itu. Begitu sibongkok disambuti Ceng Bo,
diapun terus ikut memburunya serta membolak-balikkan sibongkok, kepalanya (sibongkok) ditundukkan lalu didongakkan dan dipereksanya sampai sekian saat.
"Sik Loo-sam, kau apakan dia?" tanya Ceng Bo siangjin
dengan heran. "Sibongkok ini! Yang malam itu masuk kedalam pondok
hendak mencuri pedang, adalah sibongkok ini!" sahut Sik
Loo-sam. Tengah Ceng Bo siangjin melengak tak tahu apa yang
harus diperbuat, se-konyongr sibongkok itu meronta terus
enjot tubuhnya keatas. Gerakannya yang luar biasa
tangkasnya itu, sungguh diluar dugaan orang. Sik Lo-sam
pun cepat mundur selangkah, dan baru Ceng Bo siangjin
sadar apa sebenarnya, yang telah terjadi, sibongkok itu
sudah melakukan suatu gerakan yang istimewa. Selagi
melayang diudara, kakinya kiri diinjakkan kekaki kanan,
sekali enjot terus melambung lagi makin tinggi. Itulah suatu
gerak ilmu mengentengi tubuh yang sakti. Saat itu dia
sudah berada diluar karang buntu tadi, dan sembari
melayang turun kelembah, mulutnya berseru: "Malam itu
benar aku berada di dalam pondok, tapi belum sempat
mendapatkan pedang itu. Yang menutuk jalan darah hunhiat pun bukan aku!" Dan berbareng dengan seruannya itu,
orangnya pun sudah menobros kedalam halimun tebal.
Kalau orang biasa saja yang loncat turun tadi, tentu tak
sedemikian lincahnya. Ceng Bo siangjin dan Sik Lo-sam
adalah tokoh akhli. Tahu mereka bahwa sibongkok tadi
telah gunakan gerak cian-kin-tui (tindihan seribu kati) agar
secepatnya dapat turun kebawah serta dapat selekasnya
lolos dari tangan kedua akhli kenamaan itu.
GAMBAR 13 Se-konyong2 si Bongkok itu meronta terus enjot tubuh meloncat
keatas, terus melesat kebawah gunung melarikan diri.
"Itulah Thaysan Sin-tho!" tiba2 Ceng Bo siangjin teringat
akan seorang tokoh persilatan yang lihay.
Karena tak tahu bahwa sibongkok itu telah menyaru
sebagai Hwat Ji tojin yang gagu untuk bekerja dibiara situ,
dengan delikkan mata, Sik Lo-sam menegur: "Mengapa"
Apa kau tak tahu?"
Dengan terjadinya peristiwa itu, tahulah Ceng Bo bahwa
peristiwa 10 tahun yang lalu itu makin ruwet jalannya.
Thaysan Sin-tho diutara dan dia sendiri didaerah selatan,
jangankan berkenalan, sedang melihat wajahnya pun belum
pernah. Apalagi Thaysan Sin-tho itu juga seorang tokoh
yang namanya sangat berkumandang didunia persilatan.
Tapi mengapa pada waktu itu (peristiwa 10 tahun
berselang) orang bisa kedapatan berada dipondoknya juga"
Dan yang paling tak dibuat mengerti, mengapa sibongkok
itu rela kerja berat selama 6 tahun dibiara situ" Lagi,
mengapa begitu terbuka kedoknya lalu buru2 mengambil
langkah seribu" Adakah sesungguhnya dia itu tahu akan
keadaan yang sebenarnya" Orang yang dapat menundukkan
isterinya, boleh dihitung dengan jari. Kalau bukannya
sibongkok, mungkinkah Tay Siang Siansu dari gereja
Liokyong-si di Kwiciu" Benar sebabnya sang isteri yang
sangat dikasihi itu sampai jatuh sakit adalah karena
perbuatan Tay Siang Siansu. Tapi ia adalah seorang imam
kelas tinggi yang telah menuntut penghidupan suci,
masakan dia mau melakukan perbuatan yang serendah itu"
Ketika dia balik kepondok, hanya Sik Lo-sam yang ada
disitu, tapi dia menyangkal keras. Juga tadi sibongkokpun
membantah tuduhan itu. Tapi kenyataannya, begitu
dipulihkan jalan darahnya yang tertutuk tadi, tanpa berkata
suatu apa Kang Siangyan sang isteri itu, telah menghilang
dan sejak itu sampai kini tak pernah muncul kembali. Oleh
karena kala itu dia sibuk berkelahi dengan Sik Lo-sam yang
dicurigainya, jadi dia tak sempat untuk menguntit sang
isteri. Dilihat dari perkembangannya, rahasia itu takkan
terpecahkan selama dia belum berhasil menjumpai sang
isteri sendiri. Namun tiga tahun lamanya dia berkeliaran
mencarinya, tapi tetap sia2. Akhirnya karena putus asa, dia
ambil keputusan menjadi pertapa (imam). Tapi setiap kali
teringat nasib dari sang isteri yang tak ketahuan rimbanya
itu, hatinya perih seperti di-sayat2.
Begitulah pada saat itu, lubuk pikiran Ceng Bo penuh
dikarungi oleh seribu satu pertanyaan, yang tak terpecahkan
olehnya. Dengan helaan napas panjang, dia memberi
isyarat tangan: "Sik Lo-sam, kau enyahlah !"
"Suruh aku pergi sih mudah, tapi harus mengajari aku 3
jurus ilmu pedang!"
Ceng Bo siangjin tahu kalau orang tua itu seorang yang
linglung, tapi sangat suka sekali belajar ilmu silat. Adakah
ilmu orang lain itu baik atau buruk, dia selalu meminta
diajari beberapa jurus. Mengingat bahwa ilmu pedangnya
"to hay kiam hwat" itu tak boleh diturunkan pada orang
luar, maka Ceng Bo siangjin mendapat akal, katanya: "Sik
Lo-sam, kalau kau dapat mencarikan isteriku, ilmu
pedangku akan kuturunkan padamu seluruhnya!"
Mendengar itu, hidung Sik Lo-sam berkembang kempis
saking girangnya. "Baik, baik", serunya seraya memutar
tubuh terus lari kebawah gunung. Ceng Bo siangjin
menghela napas lagi, setelah menyarungkan pedangnya dia
kedengaran berkata seorang diri; "Ang-moay, Ang-moay,
kemanakah kau ini" Kalau benar2 kau mempunyai dendam,
biarlah seluruh sisa hidupku ini kugunakan untuk mencari
musuhmu itu!"
Habis mengikrarkan isi hatinya itu, dengan pe-lahan2 dia
menuju kedalam biara. Rupanya dia mendendam kemarahan besar, maka tanah yang dilaluinya itu hingga
sampai kemuka pintu, tampak ada bekas telapak kakinya
yang mendalam. Malam itu tak kejadian apa2. Pada besoknya sore, baru
kelihatan Ceng Bo siangjin muncul keluar dari biara. Dari
sikapnya yang sangat lesu itu, terang kalau tadi malam dia
kurang tidur. Dengan menyelipkan pedang dipinggang, dia
gunakan ilmunya lari cepat untuk turun gunung.
Kerajaan Beng yang berhijrah kedaerah selatan itu,
terpecah menjadi dua, masing2 dikepalai oleh seorang
kaisar. Kaisar2 itu saling bertempur sendiri, tapi sedikitpun
tak menghiraukan akan serbuan tentara Ceng yang sudah
tiba ditapal batas. Kaisar Siau Bu yang berkedudukan di
Kwiciu, telah mengirim tentara untuk menindas kaisar
Liong Bu yang berkedudukan di Siao Ging. Terang kalau
pasukan penyerbu dari kaisar di Kwiciu itu telah dapat
dibasmi habis2an, tapi Kaisar Liong Bu di Siau Ging telah
keliru menyangka kalau tentaranya yang kalah, maka
dengan ter-sipu2 dia melarikan diri. Baru setelah tiba di
Ngociu propinsi Kwisay dan mendapat laporan resmi
tentang jalannya pertempuran yang sebenarnya, kaisar
Liong Bu pulang kembali kekota raja Siau Ging. Seorang
junjungan yang setolol itu mana dapat memimpin
pemerintahannya untuk menggempur tentara penjajah
Ceng! Sejak isterinya menghilang secara aneh itu, semangat
Ceng Bo siangjin sudah padam, hatinya tawar akan urusan
dunia. Tapi kali ini setelah mendapat surat undangan dari
perkumpulan Thian Te Hui, hatinya tergugah lagi. Bahwa
tanah tumpah darahnya akan dijajah oleh tentara asing,
itulah suatu hinaan besar. Maka dengan melupakan
kedukaannya, dia segera berangkat ke Kwiciu memenuhi
undangan lcetua Thian Te Hui tersebut. Tapi setibanya
disana, didengarnya kalau keempat bajak laut dari Laut
Selatan yakni The, Ciok, Ma dan Chi berkunjung ke Lohou-san untuk mencarinya. Maka dengan ber-gegas2
pulanglah dia kegummg. Walaupun, mondar-mandir dalam
perjalanan sejauh itu, namun dia tak merasa lelah.
Sewaktu turun gunung untuk yang kedua kalinya ini,
Ceng Bo siangjin berlaku hati2 dalam perjalanan. Siang hari
dia tak berani gunakan ilmu berjalan cepat, karena kuatir
menimbulkan kecurigaan orang. Kalau malam hari, dia tak
mau menginap dihotel tapi mencari tempat dibiara yang
rusak. Menjelang siang hari pada hari kedua, barulah dia
tiba dipintu kota sebelah timur.
Markas perkumpulan Thian Te Hui yang sangat
dirahasiakan itu, karena sudah pernah datang kesitu, maka
dengan mudah Ceng Bo dapat langsung menuju kesana.
Tapi baru melangkah kedalam, dia segera mendapat ada
sesuatu perobahan. Biasanya, anggauta2 perkumpulan itu
banyak sekali jumlahnya, sehingga keadaan markas itu
selalu ramai. Tapi saat itu, sepi2 saja keadaannya. Juga
dalam perjalanan kesitu tadi, dia tak menjumpai barang
seorang anggautanya.
Diam2 Ceng Bo siangjin terperanjat dalam hatinya.
Setelah melalui beberapa rumah dan sebuah gedung hesar,
baru didengarnya ada suara orang sedang ber-cakap2. Tapi
dari nada percakapan mereka yang tak keruan juntrungannya itu, terang kalau keliwat banyak minum
arak. Setelah menurut arah suara itu, ternyata disitu
terdapat dua orang lelaki tengah bermain domino (terbuat
dari bahan tulang), dan dihadapannya ada seguci arak. Dari
dandanannya, mereka itu adalah anggauta Thian-Te-Hui.
Baru Ceng Bo siangjin hendak membuka mulut, atau salah
seorang dari mereka telah melihatnya dan menggoyang2kan tangannya: "Lo-to (imam tua), kali ini kau sial.
Orang2 sudah sama berangkat, kau susullah!".
Ceng Bo siangjin tak kenal dengan orang itu, sembari
tertawa kecil dia bertanya: "Mana toa-ah-ko?"
"Semuanya sudah pergi kegunung Gwat-siu-san, pergilah!" sahut yang seorang lagi dengan tak sabaran.
---oo0-dwkz-TAH-0oo--BAGIAN 4 : PERTEMPURAN DIATAS
LUITAY "Mengapa disana ?" tanya pula Ceng Bo siangjin dengan
heran. Rupanya kedua orang itu adalah golongan orang2 kasar,
dengan menggebrak meja mereka berseru: "Bukankah kau
ini hendak memungut derma" Kesanalah, tanggung dalam
satu bulan kau takkan kelaparan?"
Merasa bahwa didalam kata2 orang itu terselip sesuatu
hal, apalagi mereka dalam keadaan mabuk mengoceh tak
keruan, Ceng Bo tak mau cari urusan. Tanpa banyak bicara
dia terus keluar dari situ untuk menuju kegunung Gwat-siusan. Belum lagi tiba digunung tersebut, Ceng Bo sudah


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat disepanjang jalan banyak orang2 yang berjalan,
malah dikedua tepi jalan banyak didirikan warung2 darurat
serta penjual2 sama menjajakan dasarannya. Dengan rasa
heran, Ceng Bo siangjin lanjutkan perjalanannya. Tapi
makin dekat kegunung itu makin ramai pula orang. Lagi
maju sedikit, segera dia tampak ada dua buah luitay
(panggung untuk bertempur) yang besar. Di-tengah2 dari
salah satu panggung luitay itu, digantungi sebuah lencana
besar, berbentuk bulan, sebelah atas hitam dan sebelah
bawahnya putih. Sementara yang sebuah, tiada ada
pertandaan apa2. Disekeliling luitay itu didirikan panggung
penonton yang penuh sesak dengan manusia.
Melihat lencana hitam putih itu, tahulah Ceng Bo
siangjin bahwa Thian Tee Hui tengah membuka luitay
ditempat itu. Diam2 dia mengeluh. Suasana negara begini
suram, mengapa main dirikan luitay mencari permusuhan"
Orang2 sama ber-bondong2 kesitu, kota Kwiciu kosong,
kalau se-waktu2 pasukan Ceng menyerang, bukankah
celaka" Ceng Bo siangjin ambil putusan untuk menemui Ki
Cee-tiong dan Kiau To, tapi karena orang2 disekitar luitay
itu penuh sesak ber-jubel2, sukarlah dia mendapatkannya.
Malah ketiga anak muridnya, Tio Jiang, Bek Lien dan Yanchiu, pun tak kelihatan batang hidungnya.
Satu2nya jalan untuk menemui pemimpin2 Thian Tee
Hui itu ialah loncat keatas luitay, tapi Ceng Bo tak mau
berbuat begitu. Dia cukup tahu, memang2 orang2 yang
berjejal itu sebagian besar adalah penonton biasa, tapi tentu
tidak sedikit jumlahnya tokoh2 persilatan yang turut hadir
juga. Dia membiluk, singgah pada sebuah warung dan
memesan minuman.
Belum berapa lama dia duduk, dari arah belakang
terdengar ada dua orang tengah ber-cakap2. "Toako, kali ini
bakal ada pertunjukkan yang bagus benar2. Sejak beberapa
tahun ini, dikalangan persilatan sepi dengan keramaian
macam begini," kata salah seorang. Sementara kawannya
dengan menghirup tehnya kedengaran berkata dengan suara
sember: "Benar, Thian Tee Hui itu sudah mempunyai nama
dikalangan persilatan!" Orang yang pertama terdengar
berkata pula: "Ya, aku merasa heran mengapa Thian Tee
Hui sampai terlibat permusuhan dengan Hay-siang su-kee
(4 keluarga dari Laut selatan)?"
"Akupun baru lusa datang dari Go-ciu. Konon kabarnya
ji-ah-ko (pemimpin kedua) Thian Tee
Hui telah membinasakan salah seorang dari bajak Laut itu, yaitu si Ti
Gong hweeshio!" sahut kawannya. "Astaga, dua tahun
yang lalu aku pernah berjumpa dengan Ti Gong hweeshio,
kepandaiannya sih tak seberapa. Mungkin karena peraturan
perguruannya yang menetapkan 'dendam harus dibalas',
maka kali ini kalau tiada suhunya tentu susiok (paman
guru) yang mempelopori pertandingan luitay ini!" kata yang
seorang pula. Mendengar itu, Ceng Bo siangjin terkesiap. Heran dia,
mengapa Kiau To tertuduh membunuh Ti Gong" Dia yakin
disitu tentu terselip sesuatu yang tak beres. Maka dia
Ianjutkan mendengari lagi. Kata salah seorang dari orang
itu pula: "Benar, tokoh yang angker macam Sam Tay
tianglo dari gereja Ci Hun Si digunung Lam-kun-san itu,
mana mau menerima hinaan begitu" Karena anak muridnya
terbinasa, dia tentu mencari balas pada Thian Tee Hui, dan
mengirim surat tantangan. Karena Thian-Te-Hui pun
sedang jaya, sudah tentu terima juga tantangan itu.
Menurut berita2 yang kudengar sampai siang ini, orang2
dari kedua fihak semua sudah hadir disini!"
Ceng Bo siangjin makin mengeluh. Yang dimaksud
dengan Sam Tay tianglo (tiga serangkai imam) gereja Ci
Hun Si itu ialah: To Kong, To Ceng dan To Bu. Meskipun
dia sendiri belum pernah bertemu muka, namun nama
ketiga hweeshio besar itu sangatlah terkenal didunia
persilatan. Kalau kali ini mereka berserekat dengan keempat
bajak dari Laut Selatan itu, urusan tentu makin besar. Anghwat cinjin (suhu dari The Go) dari Ang-hun-kiong di Koto-san, tentu akan keluar kandang juga. Sekali bertempur,
mungkin setengah bulan atau bisa juga setengah tahun
belum habis. Dengan begitu bukankah akan membikin
kapiran urusan besar" Kini tentara Ceng sudah berada
ditapal batas, rakyat hanya mengharap akan usaha Thian
Tee Hui, dengan berserekat pada seluruh tokoh persilatan,
untuk melawannya. Adakah Ki Cee-Tiong dan Kiau To,
kedua pemimpin Thian Tee Hui itu tak menginsyafi hal itu"
Selagi dia me-nimang2 dalam pikirannya, tiba2 dari
tengah2 kedua luitay itu, terdengar bunyi genderang bertalu2, dibunyikan 3 kali. Ceng Bo mendongak kemuka dan
dapatkan matahari sudah hampir ditengah, jadi luitay
segera akan dimulaikan. Sesaat itu hiruk pikuk suara orang
menjadi sirap hening. Pada lain saat dari belakang luitay
tampak muncul 3 orang paderi yang bertubuh kurus2. Yang
dua orang memanggul sebuah bok-pay (papan) sekira 3 kaki
panjangnya. Yang seorang tidak membawa apa2. Begitu
keluar kedua paderi yang membawa bokpay tadi segera
lontarkan bokpaynya keatas udara. Dengan lurus dan tepat,
bokpay itu melayang kearah tiang penglari yang paling
tinggi dari luitay itu. Ketika hampir dekat dengan penglari,
tiba2 paderi yang tak membawa apa2 tadi tampak gerakkan
tangannya keatas dan tik, tik, dua buah benda, hitam kecil
panjang melayang menyusup kedalam bok-pay yang segera
menempel lekat pada tiang penglari.
Kiranya yang dilepaskan itu adalah dua buah paku,
untuk memaku bok-pay itu.
GAMBAR 14 Mendadak paderi ketiga itu ayun tangannya, dan"tak-tak" dua
kali, dua papan kecil yang kedua kawannya telah terpaku diatas
penglari. Demonstrasi kepandaian yang ditunjukkan ketiga paderi
Kisah Pedang Di Sungai Es 16 Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemetik Harpa 25

Cari Blog Ini