Ceritasilat Novel Online

Pedang Kiri Pedang Kanan 10

Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Bagian 10


menyusul lantas menggelegar bunyi petasan.
Dengan tersenyum simpul Wi Kay-hou lantas maju ke
tengah serta memberi hormat sekeliling, Semua orang sama berdiri membalas hormatnya.
"Para ksatria, para sahabat, para hadirin yang
terhormat,"
demikian Wi Kay-hou lantas mulai menyampaikan kata pengantar. "Atas kedatangan para
hadirin dari jauh. sungguh semua ini suatu kehormatan
besar bagi orang she Wi, untuk mana lebih dulu diucapkan terima kasih banyak2. Hari ini orang she Wi menyatakan
Kim-bun-se-jiu, selanjutnya tidak ikut campur lagi segala urusan dunia Kangouw, untuk ini kukira para hadirin sudah tahu sebab musababnya. Seperti sudah terjadi tadi, Cayhe sudah diangkat sebagai seorang pejabat, kata peribahasa:
Terima gaji dari sang junjungan harus setia bekerja bagi sang junjungan. Orang Kangouw kita selalu bicara tentang setia dan bakti, urusan negara dan persoalan dinas justeru harus kita taati sebagai balas jasa terhadap kerajaan
Bilamana ada pertentangan di antara keduanya, orang she
Wi bisa jadi akan serba susah. Maka selanjutnya Wi Kayhou menyatakan mundur dari dunia persilatan. Apabila
diantara anak muridku ada yang mau masuk ke perguruan
lain akan kuberi kebebasan. Sekarang Cayhe mengundang
kedatangan para hadirin ke sini, tujuanku adalah agar para sahabat sudi menjadi saksi. Seterusnya bila kalian
berkunjung pula ke Cu-joan sini, kalian masih tetap sahabat baik orang she Wi. Hanya segala urusan dunia persilatan
dengan baik-buruknya sama sekali orang she Wi tidak mau
tahu lagi."
Sehabis bicara, kembali Wi Kay-hou memberi hormat
sekeliling kepada para hadirin.
Sebelumnya para hadirin sudah menduga akan pernyataan Wi Kay-hou itu, mereka sama pikir: "Kalau dia sudah bertekad akan menjadi pembesar, setiap orang
mempunyai cita2 sendiri. siapa pun tak dapat menentang
dan memaksanya. Toh selama ini dia juga tidak berbuat
salah apapun. selanjutnya di dunia persilatan boleh anggap saja tiada pernah terdapat tokoh macam dia ini."
Tapi ada juga yang berpendapat pengunduran diri Wi
Kay-hou ini tesungguhnya telah merusak nama baik Thaydan-pay, tentu maksud Wi Kay-hou ini sebelumnya sudah
diketahui oleh ketua Thay-san-pay, yaitu "Khim-lo" Bok Jong-siong, si kakek kecapi. Mungkin karena marahnya,
maka anak murid Thay-san-pay sendiri tiada seorangpun
yang hadir. Lalu ada pula yang berpikir: "Ngo-tay-lian-beng akhir2
jini menjagoi dunia persilatan dan melakukan hal2 bajik dimana2, selama ini perbuatan mereka sangat terpuji dan
dikagumi orang. Tapi sekarang Wi Kay-hou bertindak
demikian, di depannya orang mungkin tidak berani bicara, tapi di belakangnya pasti banvak yang mencemoohkannya.
" Dalam pada itu ada juga yang bergembira dan bersyukur
serta mengejek Ngo-tay-lian-beng yang biasanya sok
menganggap kelima aliran mereka adalah golongan
terhormat, tapi nyatanya bila menghadapi persoalan
pangkat dan harta, tidak urung juga tunduk kepada pihak
pembesar negeri, Lalu apa artinya "pendekar" yang selalu di-dengung2kan, perserikatan kelima aliran besar itu"
Begitulah para hadirin itu masing2 mempunyai pikiran
dan pendapatnya sendiri, seketika ruangan besar itu
menjadi sunyi senyap. Mestinya sudah waktunya orang
banyak memberi ucapan selamat kepada Wi Kay-hou, akan
tetapi beribu orang yang hadir sekarang ini tiada
seorangpun yang bersuara.
Wi Kay-hou tidak menaruh perhatian terhadap sikap
para hadirin yang tidak wajar itu, ia berpaling ke luar dan berseru dengan lantang: "Tecu Wi Kay-hou berkat ajaran guru berbudi selama ini, sungguh merasa malu tidak dapat ikut mengembangkan nama baik Thay-san-pay. Syukur
segala sesuatu telah dibereskan oleh Bok-suko, mengingat kemampuan Tecu yang cuma begini2 saja, bertambah atau
berkurang seorang Wi Kay-hou rasanya tidaklah menjadi
soal. Maka selanjutnya Tecu menyatakan Kim-bun-se-jiu,
pikiran Tecu sepenuhnya akan dicurahkan kepada tugasnya
yang baru, dalam hal ini Tecu berjanji takkan menggunakan ilmu silat ajaran perguruan sebagai modal untuk mencari
kenaikan pangkat dan menarik keuntungan. Mengenai
persoalan orang Kangouw dengan segala suka-dukanya
Tecu berjanji pula takkan ikut campur dan mencari tahu.
Bilamana janji ini dilanggar, biarlah mendapat ganjaran
seperti pedang ini!"
Habis berkata, mendadak ia mencabut pedangnya terus
ditekuk dengan kedua tangan, "pleuk", pedang patah menjadi dua. Menyusul kedua potong pedang patah
dilemparkannya kelantai, "cret-cret", kedua potong pedang patah ambles kedalam ubin.
Melihat ini, semua orang sama terkesiap, baru sekararg
mereka menyaksikan betapa hebat tenaga jari Wi Kay-bou.
"Sayang, sungguh sayang!" terdengar Bun-siansing bergman sambil menghela napas gegetun. Yang disesalkan
entah pedang patah itu atau menyayangkan tokoh macam
Wi Kay-hou itu rela menghambakan diri kepada pihak
pembesar, Dengan tersenyum simpul Wi Kay-hou lantas menyingsingkan lengan baju, kedua tangannya lantas
hendak dimasukkan ke dalam baskom.
Tapi baru saja tangannya hampir masuk kedalam air
baskom, mendadak diluar pintu ada orang membentak:
"Nanti dulu!"
Wi Kay-bou terkejut, ia berpaling, dilihatnya empat
lelaki kekar berbaju kuning muncul dari luar sana. Begitu masuk pintu, keempat orang ini lantas berdiri dikedua sisi lalu seorang lelaki berbaju kuning lainnya yang bertubuh sangat tinggi melangkah masuk dengan bersitegang.
Orang jangkung ini membawa sehelai panji pancawarna
dan penuh hiasan batu permata, ketika panji pancawirna itu dikebaskan, terpancarlah cahaya kemilauan beraneka
warna, Kebanyakan orang kenal panji panca warna ini, hati
mereka sama terkesiap dan membatin: "Inilah Lengki (panji kebesaran) Bengcu Ngo-tay-lian-beng!"
Terlihat si jangkung mendekati Wi Kay-hou, lalu berseru
sambil mengangkat tinggi2 panji panca warna yang
dibawanya; "Wi-susiok, atas perintah Ngo tay-bengcu, urusan Kim-bun-se-jiu Wi-susiok diminta agar ditunda
untuk sementara."
"Atas dasar panji kebesaran Bengcu ini. sudah tentu orang she Wi akan mematuhi perintah beliau" jawab Wi Kay-hou dengan hormat. Setelah berhenti sejenak, lalu ia menyambung pula: "Tapi entah apa maksud tujuan
sesungguhnya perintah Bengcu ini?"
"Maaf Wi-susiok, Tecu hanya melaksanakan tugas saja dan tak tahu apa maksud tujuan Bengcu," jawab lelaki jangkung itu.
"Jangan sungkan," ujar Wi Kay-hou. "Hiantit ini Jian-tiang-siong (si pohon cemara seribu tombak) Su Ting-tat
bukan?" Meski Wajahnya tampak tersenyum, tapi suaranya sudah
rada gemetar, jelas datangnya urusan ini terlalu mendadak sehingga orang yang berpengalaman seperti dia juga
tergetar. Lelaki jangkung itu memang betul anak murid Say-koan
(kantor barat, salah satu anggota lima besar) Jian-tiang-siong Su Ting-tat, si cemara seribu depa,
Bangga juga Su Ting-tat karena nama dan julukannya
dikenal oleh Wi Kay-hou, ia sedikit membungkuk tubuh
sebagai tanda hormat dan berkata: "Tecu Su Ting-tat menyampaikan salam hormat kepada Wi susiok."
Lalu ia memberi hormat pula kepada Thian-bun Tojin,
Sau Ceng-hong, Ting-yat Suthay dan lain2. katanya:
"Murid Ngo-hoa-koan menyampaikan sembah hormat
kepada para Supek dan Su-siok."
Keempat lelaki berseragam kuning yang lain serentak
juga ikut memberi hormat!
Ting-yat Suthay sangat senang, sembari membalas
hormat ia berkata: "Bagus sekali jika Suhumu tampil kemuka untuk mencegah urusan ini. Maksudku, orang
belajar silat seperti kita ini harus mengutamakan setia
kawan, hidup bebas merdeka, perlu apa menjabat pembesar
apa segala" Cuma kulihat segala sesuatunya sudah diatur
oleh Wi-hiante dengan baik, rasanya dia juga takkan terima nasihatku, maka sejak tadi aku tidak mau banyak omong."'
Wi Kay-hou merasa tersinggung. segera ia berseru:
"Dahulu waktu Say-lam-ji-ki ( Kedua orang kosen dari barat dan selatan) dan Tionggoan Sam-yu mulai bersekutu,
kelima besar ini sudah berjanji akan bahu-membahu saling membantu untuk menegakkan kebenaran dunia persilatan,
apabila menghadapi sesuatu urusan yang menyangkut
kepentingan kelima aliran besar, maka be-ramai2 harus
tunduk kepada perintab Ngo-hoa-koancu yang menjabat
Bengcu, panji pancawarna ini adalah hasil ciptaan kelima besar kita, melihat panji ini sama seperti menghadapi Bengcu, ini harus diakui. Akan tetapi sekarang persoalan Kimbun-se-jiu ini adalah urusan pribadi orang she Wi, kurasa orang she Wi tidak pernah melanggar peraturan dunia
persilatan dan juga tidak mengkhianati persekutuan kita, bahkan sama sekali tiada hubungannya dengan persoalan
kelima aliran besar kita. Kebetulan disini sudah hadir
kawan2 sebanyak ini, segala sesuatu tentu harus
berdasarkan 'keadilan dan kebenaran'. Dalam hal urusan
pribadiku jelas aku tidak terikat di bawah perintah panji
pengenal Beng-cu ini Untuk ini kuharap Su-hiantit suka
menyampaikan pendirianku ini kepada gurumu, katakan
orang she Wi terpaksa tak dapat patuh kepada perintahnya dan mohon Toa-suheng sudi memberi maaf "
Habis berkata, kembali ia mendekati baskom emas itu.
Tapi Su Ting-tat lantas melompat maju dan mengadang
di depan baskom itu sambil mengangkat tinggi2 panji
pancawarna, serunya: "Wi-susiok, Suhu telah memberi pesan secara wanti2 agar Wi-susiok harus dicegah untuk
sementara jangan melaksanakan Kim-bun-se-jiu. Kata
Suhuku, Ngo-tay-lian-beng kita senasib setanggungan,
hubungan kita selama ini seperti saudara sekandung.
Perintah Suhuku ini berdasarkan kebaikan Ngo-tay-lianbeng kita dan juga demi menegakkan wibawa dunia
persilatan, berbareng itu juga demi kebaikan Wi-susiok
sendiri." "Hahahaha!" Wi Kay-hou bergelak tertawa. "Sungguh keterangan ini membuat orang she Wi merasa bingung
Sebab, bilamana Toa-suheng benar2 bermaksud baik,
mengapa tidak mencegah sebelum hal ini terjadi, tapi
kenapa menunggu pada saat orang she Wi sedang menjamu
tamu, di tengah berlangsungnya upacara ini barulah panji kebesaran ini ditonjolkan, cara ini tidakkah jelas2 sengaja hendak membikin susah orang she Wi dan agar ditertawai
para ksatria KangouW?"
"Menurut pesan Suhu." demikian jawab Su Ting-tat,
"katanya Wi-susiok adalah ksatria sejati dari Thay-san-pay, setiap orang Bu-lim sangat menghormati keluhuran budi
Wi-susiok. Suhu kamipun sangat kagum dan karena itu
Tecu dilarang bersikap kurang hormat sedikitpun, bilamana pesan ini dilanggar, tentu akan dihukum secara setimpal."
"Ah, Bengcu terlalu memuji diriku, mana orang she Wi mempunyai kehormatan sebesar itu?" ujar Wi Kay-hou
tersenyum. Melihat kedua orang itu hanya bicara tanpa menyelesaikan persoalannya, Ting-yat menjadi tidak sabar, serunya: "Wi-hiante, kukira mewang tiada halangan
bilamana urusanmu ini ditunda untuk sementara. Yang
hadir sekarang ini semuanya adalah sahabat baik,
memangnya siapa yang akan mentertawakan dirimu"
Seumpama ada satu-dua manusia yang tidak tahu diri dan
berani menyindir atau ber-olok2, andaikan Wi-hiante tidak menghiraukannya, akulah orang pertama yang takkan
tinggal diam!"
Habis berkata, sorot matanya menyapu sekeliling para
hadirin dengan sikap yang menantang, se-akan2 ingin tahu siapakah yang berani bermusuhan dengan Ngo-tay-lian
beng mereka. Maka berkatalah Wi Kay-hou: "Jika Ting-yat Su-thay
sudah berkata demikian, baiklah urusan Kim- bun-se-jiu
kutunda sampai lohor besok. Para hadirin kuharap jangan
pulang dahulu, silakan tinggal disini, sementara ini biar kumohon petunjuk dulu dengan para Hiantit dari Say-koan"
"Terima kasih Wi-susiok," ucap Su Ting-tat, Panji pancawarna lantas diturunkan dan memberi hormat.
Pada saat itulah tiba2 suara seorang perempuan
berkumandang dari ruangan belakang: "He. hei. apa2an kau ini" Aku suka bermain dengan siapa, memangnya peduli
apa dengan kau"'
Sebagian besar hadirin sama melengak, dari suaranya
jelas itulah si anak perempuan yang mengaku bernama Kik
Fi-yan, yaitu anak perempuan yang bertengkar dengan
Ciamtay Cu-ih kemarin dulu.
Lalu terdengar lagi suara seorang lelaki berkata:
"Hendaklah kau berduduk tenang disitu dan jangan
sembarangan bergerak, sebentar lagi tentu akan kubebaskan kau."
"Hah, sungguh aneh, memangnya ini rumahmu?"
terdengar Kik Fi-yan berteriak. "Aku suka ikut Wi-cici ke taman belakang untuk menangkap kupu2, mengapa kau
merintangi kesenangan kami?"
"Baiklah, jika mau pergi boleh kau pergi sendiri, nona Wi biar tunggu sebentar di sini," kata lelaki itu.
"Tapi Wi-cici bilang jemu melihat tampangmu, maka
hendaklah kau enyah sejauhnya," kata Kik Fi-yan. "Wi-cici kan tidak kenal kau, untuk apa kau bertingkah di sini?"
Segera terdengar lagi suara seorang perempuan lain
berkata: "Marilah kita pergi saja, Kik-moay- moay, jangan hiraukan dia."
Tetapi lelaki itu lantas mengherdik: "Nona Wi, silakan kau duduk sebentar disini."
Wi Kay-hou menjadi gusar, pikirnya: "Dari mana
datangnya penyatron yang kurang ajar ini, berani main gila di rumahku dan bersikap kasar terhadap anak Jing di depan umum?"
-ooo0dw0ooo- Jilid 19 Sementara itu murid Wi Kay-hou, yaitu Bi Oh-gi lantas
memburu masuk ke ruang belakang- Dilihatnya Sumoaynya. yaitu Wi Jing dan Kik Fi-yan bergandengan
tangan berdiri di serambi sana, seorang pemuda baju kuning mementangkan tangan merintangi jalan kedua nona itu.
Dari pakaiannya Bi Oh-gi tahu pemuda itu adalah murid
Say-koan, diam2 ia mendongkol, ia sengaja berdehem, lalu berseru : "Suheng ini apakah dari Say-koan, kenapa tidak berduduk saja di ruangan depan?"
Orang itu berpaling, kiranya lelaki kekar berusia 27-28
tahun, dengan ketus ia menjawab: "Tidak perlulah. Atas perintah Bengcu, setiap anggota keluarga Wi harus diawasi, satupun tidak boleh lolos."
Beberapa kalimat ini diucapkan dengan tidak keras,
namun cukup angkuh dan menusuk perasaan. Para hadirin
diruangan pendopo sama mendengarnya, semuanya sama
melengak! Dengan gusar Wi Kay-hou lantas tanya Su Ting-tat:
"Sebenarnya kalian mau apa ?"
Su Ting tat lantas berseru: "Ban-sute, keluarlah kemari!
Kalau bicara hendaklah hati2 sedikit. Wi susiok sudah
berjanji takkan cuci tangan."
"Bagus sekali jika begitu," kata pemuda diruangan dalam itu, Lalu iapun keluar keruangan depan dan memberi
hormat kepada Wi Kay-hou dan berkata ; "Murid Say-koan Ban Tay-peng menyampaikan sembah hormat kepada Wi-susiok."
Sampai gemetar Wi Kay-hou saking gusarnya, teriaknya:
"Ada berapa murid Say-koan yang datang kemari, boleh kalian unjuk diri seluruhnya !"
Baru habis ucapannya, mendadak dari atap rumah,
diluar pintu, di pojok ruangan sana, dihalaman belakang, berpuluh orang dari muka-belakang dan kanan-kiri serentak menjawab : "Baik! murid Say-koan menyampaikan hormat kepada Wi-susiok !"
Berpuluh orang berseru serentak, suaranya nyaring dan
diluar dugaan pula, keruan para hadirin sama terkejut,
Maka tertampaklah di atas rumah berdiri belasan orang,
semuanya berseragam kuning.
Tapi orang2 yang muncul di ruangan pendopo ini terdiri
dari berbagai dandanan, jelas sudah sejak tadi mereka
menyusup ke situ dan diam2 mengawasi tindak-tanduk Wi
Kiy-hou, karena mereka bercampur di tengah rbuan orang
sehingga tidak menimbulkan curiga siapapun juga.
Yang per-tama2 tidak tahan ialah Ting-yat Suthay,
segera ia berteriak: "Ap. . . apakah artinya ini" Sungguh terlalu menghina orang!"


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maaf, Supek," ucap Su Ting-tat. "Menurut perintah Suhuku, apapun juga kami harus mencegah Wi-susiok agar
tidak sampai Kim-bun-se-jiu, lantaran kuatir Wi-susiok
tidak mau mematuhi perintah, terpaksa kami bertindak
agak keras."
Pada saat itu pula dari ruangan belakang muncul lagi
belasan orang, diantaranya terdapat isteri Wi Kay-hou dan dua puteranya yang masih kecil serta tujuh muridnya. Di
belakang setiap orang dibuntuti seorang murid Say-koan,
malahan anak murid Say-koan itu sama memegang belati
dan mengancam punggung Wi-hujin dan lain2.
Rupanya anak murid Say-koan itu telah menyelundup ke
halaman belakang dan berhasil mengatasi nyonva Wi dan
anak muridnya dengan ancaman senjata. Jadi sikap Ban
Tay-peng terhadap Wi Jing tadi malah lebih halus, dia
cuma menyuruh nona itu jangan sembarangari bergerak,
tapi tidak sampai mengancamnva dengan kekerasan.
Segera Wi Kay-hou berseru: "Para hadirin, kalian
menyaksikan sendiri, bukanlah orang she Wi ini suka
bertindak tidak se-mena2, tapi lantaran Coh-suheng
mengancam dengan kekerasan, bilamana orang she Wi
menyerah begitu saja, dimana pula aku dapat menancap
kaki lagi" Coh-suheng melarang diriku Kim-bun-se-jui,
hehe, kepala orang she Wi boleh dipenggal, tapi cita2nya harus terlaksana!"
Sembari bicara ia terus melangkah maju dan kedua
tangannya hendak dimasukkan ke dalam baskom tadi.
"Nanti dulu!" teriak Su Ting-tat mendadak, panji pancawarna berkibar dan segera menghadang di depan Wi
Kay-hou. Tanpa bicara jari tangan kiri Wi Kay-hou mencolok
kedua mata Su Ting-tat. Tapi Su Ting-tat sempat
menangkis, cepat Wi Kay-hou menarik kembali tangan kiri, menyusul tangan kanan lantas mencolok pula ke mata
lawan. Agak repot juga bagi Su Ting-tat untuk menangkis,
terpaksa ia melompat mundur.
Begitu lawan terdesak mundur, kedua tangan Wi Kayhou lantas terjulur pula kedalam baskom, Tapi segera
terdengar angin menyambar dari belakang, dua orang
menubruk tiba pula.
Tanpa menoleh kaki kiri Wi Kay-hou mendepak ke
belakang, "blang", kontan seorang murid Say-koan terpental. Menyusul tangan kanan juga meraih kebelakang
menurut arah suara angin, dada baju murid Say-koan yang
lain kena dicengkeramnya terus diangkat dan dilemparkan
kearah Su Ting-tat.
Cara Wi Kay-hou mendepak dengan kaki kiri dan
mencengkeram dengan tangan kanan ini dilakukan dengan
gesit dan cepat se-olah2 di punggungnya bertumbuh mata,
sungguh gaya seorang tokoh sejati dan lain daripada yang lain,
Setelah kedua orang itu dijatuhkan, anak murid Saykoan jadi terkesiap, seketika tiada seorang- pun berani maju lagi.
Tapi murid Say-koan yang berdiri dibelakang puteranya
lantas mengancam : "Wi-suiiok, jika kau tidak berhenti, segera kubunuh puteramu!"
Wi Kay-kou menoleh, dipandangnya sekejap puteranya
yang masih kecil itu, lalu menjengek: "Para pahlawan sama hadir di sini. berani kau ganggu seujung rambut anakku,
berpuluh murid Say-koan kalian pasti akan hancur lebur di sini."
Ucapan ini bukan cuma gertakan, sebab kalau a&nak
murid Say-koan benar2 berani mencelakai anaknya yang
masih kecil itu tentu akan menimbulkan kemarahan umum,
bilamana para pahlawan bergerak serentak, berpuluh murid Say-koan pasti sukar lolos dari peradilan orang banyak.
Dalam pada itu Wi Kay-hou lantas mendekati baskom
dan tangannya terjulur pula ke dalam baskom. Tampaknya
sekali ini tiada orang lagi yang mampu merintanginya. Tak tersangka, mendadak cahaya perak berkelebat, sepotong
Am-gi atau senjata gelap yang kecil menyambar tiba.
Terpaksa Wi Kay-hou melangkah mundur setindak.
"Tring", Am-gi itu tepat mengenai tepi baskom emas itu, seke-tika baskom itu terjatuh ke lantai dan menimbulkan
suara gemerantang, baskom terbalik dan air tertumpah
memenuhi lantai.
Berbareng itu tampak bayangan kuning berkelebat, dari
atas rumah melompat turun seorang, sebelum kakinya
terangkat, baskom emas yang terbalik itu diinjaknya dan
kontan baskom itu menjadi gepeng.
Pendatang ini adalah lelaki berumur 40-an, bertubuh
sedang agak kurus, bibir berkumis tikus, ia merangkap
tangan memberi hormat dan berseru: "Wi-suheng, atas perintah Bengcu, Wi-suheng dilarang Kim-bun-se-jiu!"
Wi Kay-hou kenal orang ini adalah tokoh ke-empat dari
Say-koan, yaitu Sute keempat Ngo-hoa- koancu, bernama
Hui Pin terkenal dengan Tay-jiu-in (pukulan tangan besar).
Melihat gelagatnya, agaknya seluruh kekuatan Say-koan
telah dikerahkan untuk menghadapi dirinya. Karena
baskom emas sudah diinjak rusak, upacara Kim-bun-se-jiu
jelas tak dapat berlangsung lagi. Urusun sekarang harus
dihadapinya dengan sabar atau mesti bertempur sekuatnya"
Begitulah ia menjadi ragu, otaknya berputar cepat,
pikirnya: "Meski Say-koan memegang panji kebesaran Ngo-tay-tay-lian-beng, tapi mereka bertindak secara kasar begini, memangnya beribu ksatria yang hadir disini tiada
seorangpun yang berani tampil untuk bicara secara adil?"
Segera ia membalas hormat Hui Pin dan berkata; "Huiheng berkunjung kemari, mengapa tidak masuk sejak tadi
untuk minum barang secawan, tapi malah bersembunyi di
atas hingga terjemur sinar matahari. Kukira Ting-suheng
dan Liok- suheng berdua tentu juga sudah datang dan
silakan turun saja sekalian. Melulu melayani orang she Wi seorang. Hui-suheng sendiri saja sudah lebih dari cukup, kalau mesti menghadapi para ksatria yang hadir disini,
kukira seluruh Say-koan juga tetap tidak cukup. Maka baik yang terang maupun secara gelap, semuanya tiada
gunanya." "Untuk apa Wi-suheng mesti mengucapkan kata2
mengadu domba begitu?" ujar Hui Pin dengan tersenyum.
"Seumpama cuma Wi-suheng saja yang berhadapan dengan diriku juga Cayhe tidak sangpup melawan, terutama
gerakan cepat dan jitu seperti Wi-suheng tadi. Say-koan
sama sekali tidak berani memusuhi Thay-san-pay, lebih2
tidak berani menyalahi setiap ksatria yang hadir di sini, bahkan Wi-suheng juga kami tidak berani menyalahi.
Hanya saja demi keselamatan beratus ribu jiwa kawan
dunia persilatan terpaksa kami datang untuk memohon agar Wi-suheng suka membatalkan niat Kim-bun-se-jiu ini."
Keterangan ini membikin para hadirin melenggong
bingung, mereka sama pikir: "Soal Wi Kay-hou akan Kim-bun-se-jiu, mengapa menyangkut jiwa beratus ribu jiwa
kawan Bu-lim segala?"
Benar juga, segera Wi Kay-hou menanggapi; "Ah,
ucapan Hui-suheng itu terasa terlalu meninggikan harga diri orang she Wi. Padahal diriku cuma kaum keroco Thay-san-pay, sedangkan Ngo-tay-lian-beng tidak kurang tenaga yang cakap, ketambahan seorang she Wi tidak bertambahh kuat,
kehilangan seorang she Wi juga tidak menjadi lemah. Masa setiap gerak-gerik orang she Wi bisa menyangkut
keselematan jiwa beratus ribu kawan Bu-lim?"
"Betul," tukas Ting-yat Suthay "Bahwa Wi hiante mau Kim-bun-se-jiu untuk menjabat pangkat sebesar karung
kedelai itu, terus terang akupun tidak setuju. Tapi setiap manusia mempunyai cita2-nya sendiri, kalau dia suka
pangkat dan ingin kaya, asalkan tidak merugikan rakyat
jelata, tidak merusak rasa setia kawin Bu-lim, maka orang lain pun tidak dapat mencegahnya secara paksa. Kukira Wi-hiante juga tidak mempunyai kemahiran sehebat itu
sehingga dapat membikin susah kawan Bu-lim sebanyak
itu?" "Ting-yat Suthay," kata Hui Pin. "Anda adalah murid Buddha yang beribadat, dengan sendirinya anda tidak
paham seluk beluk kelicikan manusia, apabila intrik besar ini sampai terlaksana, bukan saja kawan Bu-lim akan
banyak jatuh korban, bahkan rakyat jelata yang tak berdosa juga akan banyak tertimpA bencana. Coba para hadirin
pikir, nama Wi Kay-hou dari Thay-san-pay betapa
gemilangnya di dunia Kangouw, masa sudi menurunkan
derajat sendiri dan mau mengabdi bagi segelintir pembesar yang kotor dan korup itu" Wi-suheng sendiri terkenal kaya raya, masa kemaruk harta dan ingin pangkat segala" Sudah tentu di balik urusan ini masih ada sebab2 lain yang tak dapat diberitahukan kepada orang luar."
Ucapan ini dapat diterima oleh para hadirin, memangnya mereka meragukan tindakan Wi Kay-hou yang
ingin menjabat pangkat yang tak ada artinya itu, padahal dia adalah tokoh Thay-san-pay yang terkenal dan terhormat di dunia persilatan.
Tapi Wi Kay-hou tidak menjadi gusar, sebaliknya malah
tertawa, katanya: "Bagus, bagus sekali, kiranya dibalik urusan ini masih ada intrik keji yang tak boleh
diberitahukan kepada orang luar Hui-suheng, jika kau
sengaja menfitnah orang, hendaklah caramu bicara harus
dibuat serapihnya. Sibenarnya urusan ini tidak ingin
kukemukakan, kalau dibicarakan hanya akan membikin
malu rumah tangga Thay-san-pay sendiri. Tapi urusan
sudah kadung begini, terpaksa harus kukatakan terus terang dan mohon para kawan memberi keadilan. Maka Ting-suheng dan Liok suheng dipersilahkan keluar saja sekalian!"
Serentak dari sebelah timur dan barat atap rumah
terdengar orang berseru: "Baik!"
Menyusul dua sosok bayangan kuning berkelebat, tahu2
di tengah ruangan sudah berdiri dua orang. Ginkang yang
indah ini serupa seperti Hui Pin melayang turun tadi.
Yang berdiri di sebelah timur adalah seorang botak,
saking kelimisnya hingga mengkilat kepalanya, ialah Jisute ketua Say-koan, namanya Ting Tiong.
Orang di sebelah barat kurus kering seperti orang sakit
tebese, punggung agak bungkuk, muka pucat, persis orang
yang sudah belasan hari tidak makan nasi.
Para hadirin kenal orang ini adalah tokoh Say-koan yang
menduduki kursi pimpinan ketiga, namanya Liok Pek
berjuluk Wi-bin-cukat atau si Cu-kat Liang bermuka
kuning. Cukat Liang atau Khong Beng adalah seorang ahli
siasat di jaman Sam-kok, dari julukan ini dapat
diperkirakan orang she Liok ini pasti banyak tipu akalnya.
Kedua orang itu ber-sama2 memberi hormat: "Selamat
bertemu Wi-suheng, selamat bertemu para Enghiong
(pahlawan, ksatria)!"
Ting Tiong dan Liok Pek juga terkenal dan disegani di
dunia persilatan, maka para hadirin sama berdiri untuk
membalas hormat.
Melihat jago Say-koan semakin banyak yang datang
lamat2 semua orang merasakan gelagat tidak enak. Jelas
persoalannya bertambah gawat dan mungkin tidak
menguntungkan tuan rumah.
Segera Ting-yat Suthay membuka suara: "Wi-hiante.
jangan kuatir, segala urusan di dunia ini tak terlepas dari satu kata, yaitu kebenaran. Biarlah orang lain berjumlah banyak dan lihay2, memangnya kawan2 kita dari Yan-san,
Lam-han dan Siong-san hanya datang untuk gegares saja
tanpa ikut campur?"
Di balik ucapannya jelas dia ingin menyatakan bilamana
Say-koan bertindak se-wenang2, maka dia orang pertama
dari Siong-san-pay yang akan tampil kemuka untuk
membela keadilan. sedangkan Thian-bun Tojin, Sau Cenghong dan lain2 juga takkan tinggal diam.
Wi Kay-hou tersenyum getir, katanya: "Sungguh
memalukan jika urusan ini dibicarakan, sebenarnya urusan interen Thay-san-pay kami, tapi para hadirin harus ikut
susah. Sekarang orang she Wi sudah tahu duduknya
perkara, pasti Bok-suhengku telah mengadukan diriku
kepada Bengcu kita dari Say-koan tentang macam2
kesalahanku sehingga para Suheng dari Say-koan sekarang
diutus menuntut diriku. Baik, baik, biarlah aku mengaku
salah saja kepada Bok-suheng,"
Sinar mata Hui Pin menyapu sekeliling para hadirin,
kelihatan sorot matanya tajam berwibawa, jelas Lwekangnya sangat tinggi. Katanya kemudian: "Persoalan ini sama sekili tidak ada sangkut-pautnya dengan Bok-taysiansing. Boleh silakan Bok-tay- siansing tampil ke muka untuk menjelaskan duduk- nya perkara!"
Keadaan menjadi sunyi, semua orang sama menunggu,
akan tetapi sejauh itu tidak kelihatan Khim- lo", si kakek kecapi Bok Jong-siong memperlihatkan diri. Maklumlah,
ketua Thay-san-pay ini memang tidak hadir disini.
Dengan terseuyum pahit Wi Kay-hou lantas bicara pula:
"Tentang ketidak cocokan diriku dengan Bok-suheng kukira bukan rahasia lagi dan cukup diketahui oleh kawan Bu-lim sehingga akupun tidak perlu menutupi hal ini. Karena
tinggalan leluhur, kehidupan keluargaku memang lebih
longgar dan serba cukup, sebaliknya Bok-suko adalah orang miskin. padahal terhadap antar kawan adalah jamak
bilamana bantu membantu, apalagi di antara Suheng dan
Sute sendiri. Akan tetapi rupanya Bok-suko sendiri merasa kurang senang pada padaku sehingga selamanyeatidak
pernah menginjak rumahku. sudah ber-tahun2 kami tidak
pernah bertemu dan bicara, maka sekarang jelas Bok-suko
juga takkan hadir. Yang membuat penasaran padaku adalah
Toa-bengcu hanya percaya kepada pengaduan sepihak dari
Bok-suko, lalu para Suheng dikirim kemari untuk menuntut kepadaku, bahkan anak isteriku juga kalian tawan, kukira cara bertindak kalian ini rada2 keterlaluan."
Mendadak Hui Pin berkata kepada Su Ting-tat: "Angkat Lengki!"
Su Ting-tat mengiakan dan mengacungkan panji
pancawarna ke atas dan berdiri disamping Hui Pin.
Dengan kereng Hui Pin lantas berseru: ' Wi-suheng,
urusan ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan
Bok-taysiansing, ketua Thay-san-pay kalian, maka tidak
perlu kau menyinggung urusannya- Menurut perintah
Bengcu, kami diharuskan menyelidiki tentang hubunganmu
dengan Tonghong Put-pay dari Mo-kau, Bengcu ingin tahu
sebenarnya ada persekongkolan apa antara Wi-suheng
dengan gembong Ma-kau itu. Intrik apa yang sedang kalian atur untuk menghadapi Ngo- tay-lian-beng serta para kawan Bu-lim yang berdiri di pihak kebenaran?"
Ucapan ini seketika menggemparkan para hadirin. Mokau atau agama Ma yang terkenal kejam dan keji itu selama ini suka memusuhi kaum ksatria di dunia persilatan.
permusuhan kedua pihak sudah berlangsung selama ratusan
tahun, sudah sering terjadi pertarungan selama ini dan
masing-masing pihak sama banyak jatuh korban. Diantara
ribuan orang yang hedir sekarang ini sedikitnya ada
separohnya yang pernah mengalami keganasan pihak Mokau. Ada ayah atau saudaranya terbunuh, ada yang guru
dan saudara seperguruan teraniaya. Bilamana mereka
menyebut Ma-kau, siapapun menggreget dengan benci dan
dendam. Sebabnya kelima besar mengadakan persekutuan,
tujuan utama adalah untuk menghadapi musuh tertangguh
ini. Maklumlah, ilmu silat Ma-kau mempunyai gayanya
tersendiri, baik Lwekang maupun Gwe-kang, semuanya
mempunyai aliran sendiri, meski ilmu silat Beng-bun Ceng-pay (golongan dan perguruan yang termashur) cukup hebat, sering juga dikalahkpn oleh orang Ma-kau, Apalagi Ma-kau Kaucu, ketua Ma-kau, Tonghong Put-pay, sesuai dengan
namanya "Put-pay" atau tak terkalahkan, terkenal sebagai jago nomor satu yang tak terkalahkan selama ratusan tahun ini.
Sekarang para hadirin itu mendengar Hui Pin menuduh
Wi Kay-bou diam2 bersekongkol dengan pihak Ma-kau
atau agama iblis itu, apakah tuduhan ini benar atau tidak, yang pasti hal ini memang menyangkut keselamatan pribadi dan keluarga mereka. Sebab itulah rasa simpati mereka
terhadap Wi Kay bou jadi seketika lenyap.
Terdengar Wi Kay-hou menjawab: "Selama hidupku
boleh dikatakan tidak pernah bertemu dengan Tanghong
Put-pay dari Ma-kau, maka tuduhanmu tentang persekongkolan dan intrik yang ku-atur bersama Ma-kau
entah darimana dasarnya?"
Hui Pin memandang Sam-suhengnya, yaitu Liok Pek.
dengan suara halus Liok Pek lantas berkata: Wi-suheng,
ucapanmu kukira ada sebagian yang tidak benar dan tidak
jujur. Coba jawab, ada seorang Hou-hoat tianglo (tertua
pelindung agama) dari Mo-kau, namanya Kik Yang, Wisuheng kenal dia atau tidak?"
Sebenarnya Wi Kay-hou sangat tenang, tapi demi
mendengar nama Kik Yang, seketika air mukanya berubah
pucat, mulutnya terkancing dan tidak dapat menjawab.
"Kau kenal Kik Yang tidak?" mendadak Ting Tiong ikut bertanya dengan suara bengis, padahal si botak ini sejak tadi
hanya diam saja. Begitu lantang suaranya sehingga anak


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telinga orang serasa mendengung
Namun Wi Kay-hou tetap diam saja dan tidak
menjawab, beribu pasang mata sama menatapnya, didalam
hati orang2 itu sama merasa Wi Kay-hou menjawab atau
tidak akan sama saja. Kalau dia tidak dapat menjawab, itu pun berarti mengakui secara diam2.
Selang agak lama barulah Wi Kay-hou mengangguk dan
berkata: "Memang betul, Kik Yang, Kik-toako, bukan saja aku memang kenal, bahkan ialah satu2nya sahabatku yang
paling karib selama hidupku ini."
Seketika suasana menjadi gaduh. semua orang ramai
membicarakan hal ini.
Beberapa kalimat ucapan Wi Kay-hou itu memang jauh
diluar dugaan orang banyak. Tadinya mereka menyangka
seumpama Wi Kay-hou tidak menyangkal, paling2 juga
cuma mengaku sekadar kenal saja dengan Kik Yang, sama
sekali tak terduga bahwa dia akan bicara secara terus terang dan malah menegaskan gembong Ma-kau itu adalah
satu2nya sahabatnya yang paling karib.
Wajah Hui Pin menampilkan senyuman puas, katanya:
"Nah. kau sudah mengaku sendiri, urusan menjadi mudah.
Seorang lelaki sejati, berani berbuat harus berani
bertanggung jawab. Wi Kay-hou, Coh-cungcu sudah
memutuskan dua jalan dan terserah kepadamu untuk
memilihnya."
Wi-kay-hou seperti tidak pernah mendengar ucapan Hui
Pin itu, dengan tak acuh dia berduduk, diangkatnya poci
arak dan menuang penuh satu cawan, lalu diminumnya
dengan pelahan.
Para ksatria diam-diam sama kagum melihat keterangan
tuan rumah itu menghadapi urusan gawat yang dituduhkan
kepadanya ini. Dengan suara nyaring Hui Pin lantas berseru pula: "Kata Coh-cungcu, Wi Kay-hou adalah tokoh terkemuka Thay-san-pay, sayang salah bergaul dengan orang jahat dan
tersesat, apabila mau insaf. sesuai pedoman kaum pendekar kita yang selalu mengutamakan kebajikan, maka Wi Kay-hou akan diberi kesempatan untuk memperbaharui
hidupnya. Jika kau memilih jalan ini, maka dalam batas
Waktu satu bulan kau diharuskan membunuh gembong
Ma-kau yang bernama Kik Yang itu, harus kau buktikan
dengan membawa kepalanya. Habis itu segala kesalahanmu
yang lalu takkan diungkit dan kita masih tetap sahabat baik, tetap saudara."
Para ksatria yang hadir dapat mengerti keputusan ketua
Ngo-tay-lian-beng itu, terutama bila mengingat keganasan orang Ma-kau yang suka membunuh tanpa kenal ampun,
antara yana jahat dan yang baik tidak mungkin berdiri
sejajar, bilamana Coh-bengcu mengharuskan Wi Kay-hou
membunuh Kik Yang untuk menembus kesalahannya,
maka perintah ini pun tidak terlalu berlebihan.
Wajah Wi Kay-hou yang agak pucat itu terkilas
senyuman pedih, ucapnya: "Kit-toako dan aku sekali
bertemu lantas seperti kenalan lama, kami telah bersahabat tanpa cadangan apapun. Sudah belasan kali kami bertemu
dan selalu tidur bersama dan bicara sepanjang malam,
terkadang bila menyinggung perbedaan pendapat mengenai
perguruan masing2, Kik-toako selalu menyatakan menyesal
dan menganggap permusuhan
antara kedua pihak sebenarnya tidak perlu. Persahabatanku dengan Kik-toako
hanya menyangkut seni suara, dia adalah ahli kecapi dan
aku gemar meniup seruling. dalam pertemuan kami
sebagian besar waktunya kami gunakan untuk memetik
kecapi dan meniup seruling bersama. Mengenai ilmu silat
selamanya tidak pernah kami singgung."
Ia merandek dan tersenyum, lalu menyambung pula:
Bisa jadi para hadirin tidak percaya, tapi bagiku, pada masa ini, kalau bicara tentang memetik kecapi. maka tiada orang lain lagi yang bisa menandingi Kik-toako, dalam hal
meniup seruling, kuyakin juga tiada orang kedua lagi.
Meski Kik-toako adalah orang Ma-kau, tapi dari suara
kecapinya kutahu kepribadiannya yang luhur dan suci serta berjiwa besar, sungguh orang she Wi sangat kagum dan
memujinya. Biarpun orang she Wi ini orang kasar juga
tidak nanti membikin celaka seorang Kuncu (lelaki sejati) seperti Kik-toako."
Makin heran para ksatria mendengar ucapan tuan rumah
ini, sama sekali mereka tidak menyangka persahabatan Wi
Kay-kou dengan Kik Yang ternyata dimulai dari seni
musik, kalau tidak mau percaya, nyatanya cara bicaranya
sedemikian sung-guh-sungguh, sedikitpun tidak ada tanda2
berdusta. Apalagi kalau mengingat tokoh2 Thay-san-pay
dan tingkatan dahulu hingga sekarang memang banyak
yang gemar main musik, seperti pejabat ketua sekarang,
yaitu Bok Jong-siong, Bok-taysiansing, dia berjuluk "Khim-lo" atau si kakek kecapi, hobbinya main kecapi dan tersobor dengan istilah "ditengah kecapi tersembunyi pedang, suara kecapi timbul dari batang pedang". Maka walau Wi Kay-hou yang juga gemar meniup suling bersahabat dengan Kik
Yang yang ahli petik kecapi, maka hal ini menang bukan
tidak mungkin terjadi.
Maka Hui Pin lantas berkata pula: "Tentang
persahabatan Wi-suheng dengan gembong iblis she Kik itu
dimulai dengan main musik, hal ini sudah lama diselidiki Coh-bengcu dengan jelas. Kata Beng-cu, orang Ma-kau
selalu berpikiran busuk, mereka tahu pengaruh kelima besar kita setelah bersekutu menjadi bertambah kuat dan sukar
dilawan oleh Mo-kau, maka dengan segala daya upaya
mereka bermaksud memecah belah dan mengadu domba
diantara kita. Terhadap anak murid kita yang muda mereka pancing dengan perempuan cantik. Terhadap tokoh
terkemuka seperti Wi-suheng yang biasanya hidup prihatin, usaha
mereka lantas melalui hal2 yang menjadi kesukaanmu. maka Kik Yang ditugaskan memikat Wisuheng melalui jalan seni musik. Dalam hal ini ingin kami peringatkan Wi-suheng agar menyadari bahwa dimasa lalu
kawan kita telah banyak yang menjadi korban keganasan
Ma-kau, mengapa engkau sama sekali tidak menginsafi
kesesatanmu karena terpengaruh oleh daya pikat orang?"
"Betul, ucapan Hui-sute memang tidak salah," timbrung Ting-yat Suthay. "Yang menakutkan dari Mo-kau bukan karena kekejian ilmu silatnya, tapi terletak pada berbagai macam tipu muslihatnya yang sukar diduga. Wi-sute,
engkau adalah orang baik dan Kuncu sejati, bukan soal jika kau tertipu oleh kaum iblis yang rendah dan kotor itu.
Biarlah kita be-ramai2 turun tangan membinasakan orang
she Kik itu dan bereslah segala persoalannya, Ngo-tay-lian-beng kita selamanya senasib setanggungan, janganlah kita mau dipecah-belah oleh orang jahat dari Ma-kau sehingga
bertengkar diantara kawan sendiri."
"Benar, Wi-sute," Thian-bun Tojin juga ikut bicara,
"seorang lelaki sejati bila berbuat salah harus berani memperbaikinya. Biar kau bunuh gembong iblis she Kik itu, setiap pendekar paati akan mengacungkan jempol dan
memuji kejantananmu, sebagai kawanmu kamipun akan
merasa bangga,"
Wi Kay-ho tidak menanggapinya, sorot matanya beralih
ke arah Sau Ceng-hong, katanya: "Sau-toako, engkau
adalah Kuncu yang bijaksana, para tokoh Bu-lim yang hadir di sini sama mendesak padaku agar mengkhianati kawan.
Coba bagaimana pendapatmu?"
"Wi-hiante," jawab Sau Ceng-hong, "terhadap kawan sejati, kaum persilatan kita tidak segan2 mengorbankan jiwa raga demi persahabatan. Tapi orang she Kik dari Ma-kau
itu jelas2 manis di mulut korup di dalam, tertawa tapi
berbisa, dia berusaha menyeret Wi-heng menurut hobimu,
ialah musuh yang paling keji. Jika orang demikian juga
dapat disebut sebagai kawan, apakah istilah 'kawan' takkan ternoda" Orang kuno demi setia kawan rela mengorbankan
keluarga sendiri, apalagi gembong iblis yang kau sebut
sebagai kawan ini?"
Ucapan Sau Ceng-hong yang tegas itu menimbulkan
pujian orang banyak, seru mereka: "Kata2 Sau-siansing memang benar, terhadap kawan harus bicara tentang budi
setia, terhadap musuh tidak ada soal setia kawan apa
segala?" Wi Kay-hou menghela napas, ucapnya kemudian, "Pada
permulaan persahabatanku dengan Kik-toako memang
sudah kuduga akan terjadi hal2 seperti sekaraag ini. Akhir2
ini setelah menilik keadaan umumnya, kuduga tidak lama
lagi antara Ngo-tay-lian-beng dan Ma-kau pasti akan terjadi pertarungan sengit. Yang satu pihak adalah saudara
persekutuan, di pihak yang lain adalah sababat karib, orang she Wi jelas tidak dapat membela pihak manapun, karena
terpaksa maka kugunakan akal Kim-bun-se-jiu ini dengan
maksud mengumumkan kepada para kawan Bu-lim bahwa
mulai saat ini orang she Wi telah mengundurkan diri diri dunia persilatan dan takkan ikut campur setiap urusan
Kangouw lagi. Agar tidak tersangkut dalam persoalan
kawan Kangouw, aku sengaja berusaha mendapatkan satu
pangkat yang kecil sekadar untuk menutupi maksud
tujuanku ini, siapa tahu Coh-bengcu memang maha sakti,
langkah orang she Wi ini tetap tak dapat mengelabui dia."
Mendengar keterangan ini barulah para hadirin tahu
duduknya perkara, mereka sama pikir: "Kiranya begitu tujuannya mencuci tangan dengan mengundurkau diri,
pantas ia sengaja beli pangkat hanya untuk alasan saja."
Hui Pin, Ting Tiong dan Liok Pek juga saling pandang
dan merasa puas, pikir mereka: "Untung Coh-suko
mengetahui akal busukmu dan mencegah tindakanmu tepat
pada waktunya, kalau
tidak tentu akan terkabul
kelicikanmu."
Terdengar Wi Kay-hou menyambung pula penuturannya: "Mo-kau dan kaum pendekar kita sudah
sering bentrok, tentang siapa yang benar dan salah seketika sukar untuk diceritakan. Yang kuharap hanya dapat
terhindar dari pertarungan berdarah ini agar dapat hidup tenteram hingga tua, kukira maksudku ini sama sekali tidak melanggar peraturan perguruan dan juga perjanjian Ngo-tay-lian-beng."
"Hm, kalau setiap orang meniru kau, pada saat genting melarikan diri digaris depan. bukankah Ma-kau yang akan
malang melintang didunia KangouW dan meracuni orang?"
jengek Hui Pin. "Sekalipun kau ingin menghindari segala persengketaan, mengapa iblis she Kik itu ikut mengasingkan diri pula?"
Wi Kay-hou tersenyum, jawabnya: "Di depanku Kiktoako sudah tegas2 bersumpah pada cakal-bakal Mo-kau
mereka bahwa selanjutnya betapa?pun terjadi perselisihan antara Ma-kau mereka dengan kaum pendekar kita, Kik-toako berjanjj akan menarik diri dari segala persoalan dan tidak mau ikut campur. Orang tidak mengganggu kita,
kitapun tidak mengganggu orang."
"Hehehe, tapi kalau kaum pendekar kita yang
mengganggunya, lalu bagaimana?" jengek Hui Pin.
"Kik-toako menyatakan pasti akan mengalah sedapatnya dan takkan main kekerasan, sebisanya dia akan berusaha
mendamaikan segala kesalah-pahaman," kata Wi Kay-hou.
Setelah merandek sejenak, tiba2 ia menyambung pula:
"Kemarin baru saja Kik-toako mengirim kabar padaku
bahwa murid Lam-han yang bernama Sau Peng-lam dilukai
orang, keadaannya sangat parah, Kik-toakolah yang telah
menyelamatkan dia."
Keterangan ini menggemparkan lagi bagi para hadirin,
lebih2 anak murid Lam-han, orang2 Siong-san-pay dan
Tang-wan, semuanya bisik2 ramai membicarakan apa yang
terjadi. Biasanya Leng Hiang paling memperhatikan Sau Penglam, demi mendengar kabar sang Suheng, seketika ia
bertanya: " Wi-susiok, berada dimanakah Toa-suko kami"
Apakah .... apakah betul dia di tolong oleh ....oleh Cianpwe the Kik itu?"
"Kalau Kik toako bilang begitu, kuyakin pasti adanya,"
ujar Wi Kay-hou. "Kelak bila bertemu dengan Sau-hiantit tentu dapat kau tanyai dia."
"Kenapa mesti heran?" jengek Hui Pin. "Orang Ma-kau berusaha merangkul siapapun, segala jalan ditempuhnya.
Kalau dia berhasil merangkul Wi-suheng dengan segala
daya upaya, dengan sendirinya diapun akan berhasil
merangkul anak murid Lam-han. Bisa jadi lantaran itu Sau Peng-lam akan berterima kasih padanya serta akan
membalas budi kebaikan pertolongan jiwanya. Di tengah
Ngo-tay-lian-beng kita selanjutnya akan bertambah lagi
seorang murtad."
Alis Wi Kay-hou menegak, tanyanya dengan "Huisuheng, kau bilang akan bertambah lagi seorang murtad" di tengah Ngo-tay-lian-beng kita, apa artinya 'lagi' yang kau maksudkan itu?"
"Siapa yang berbuat tentu tahu sendiri, kenapa mesti bertanya lagi"!" jawab Hui Pin.
"Hm, jadi kau tuduh orang she Wi ini adalah murid
murtad?" jengek Wi Kay-hou. "Padahal orang she Wi bersahabat dengan siapapun adalah urusan pribadiku, orang lain tidak perlu ikut campur. Selamanya orang she Wi tidak berani melawan guru dan berbuat sesuatu yang memalukan
perguruan. Istilah 'murid murtad' itu biarlah kuatur kembali lengkap padarmu!"
Sebenarnya sikapnya sangat ramah dan bicaranya
beraturan, tapi kini mendadak suaranya berubah keras dan tegas, sikapnya kereng dan gagah, sama sekali berbeda
daripada semula.
Melihat kedudukan Wi Kay-hou yang tidak menguntungkan, tapi masih berani bicara dan berdebat
secara tajam terhadap Hui Pin, mau-tak-mau para hadirin
sama tagum kepada keberaniannya.
Hui Pin lantas berkata pula: "Jika demikian, jadi jalan pertama jelas tak dapat ditempuh Wi- suheng, sudah pasti kau tidak mau menumpas kejahatan dan membunuh
gembong iblis she Kik itu"
"Bila Coh-bengcu ada perintah lain, boleh silahkan Hui-suheng bertindak saja sekarang dan membunuhlah segenap
keluarga orang she Wi!" tantang Wi K.ay-hou.
"Hm, tidak perlu mentang2 karena kehadirinnya para
pahlawan yang berada disini lalu kau kira Ngo-tay-lianbeng kita tidak dapat membersihkan rumah tangga sendiri"'
jengek Hui Pin. Mendadak ia menggapai Su Ting-tat dan
berseru; "Kemari !"
Su ting-tat mengiakan dan melangkah maju. Panji
kebesaran pancawarna yang dipegang Su Ting-tat itu lantas diambil Hui Pin terus diacungkan ke atas sambil berseru:
"Dengarkan Wi Kay-hou Atas perintah Coh-bengcu, jika kau tidak sanggup membunuh Kik Yang dalam batas waktu
sebulan, maka terpaksa Ngo-tay-lian-beng harus segera
membersihkan rumah tangga sendiri agar tidak menimbulkan bibit bencana di kemudian hari, babat rumput sampai se-akar2nya tanpa kenal ampun, Nah hendaklah
kau pikirkan lagi untuk yang terakhir.!"
Wi Kay-bhu tersenyum pedih, jawabnya: "Orang she Wi bersahabat dengan Kik-toako berdasarkan kecocokan hati
nurani masing2, tidak nanti kubunuh Kawan karib untuk
menyelamatkan dirinya sendiri. Kalau Coh-bengcu tetap
tidak dapat memaklumi keadaanku, orang she Wi cuma
sendirian, mana dapat kulawan Coh-bengcu. Say-koan
kalian memang sudah mengatur segala sesuatu sebelumnya,
bisa jadi peti mati bagi orang she Wi juga sudah kalian
sediakan. Maka mau tunggu apalagi, jika ingin turun
tangan boleh silakan saja."
Hui Pin lantas mengebaskan panjinya dan berseru
lantang: "Thian-bun Supek dari Yang-san-pay, Sau-susiok dari Lam-han, Ting-yat Suthay dari Siong-san-pay serta
para saudara dari berbagai aliran dan golongan yang hadir disini, Coh-bengcu telah memberi pesan bahwa selamanya
antara yang baik dan yang jahat tidak pernah berdiri
bersama, Mo-kau dan Ngo-tay-lian-beng kita selamanya
bermusuhan tanpa kenal kompromi. Sekarang Wi Kay-hou
dari Thay-san-pay sengaja bergaul dengan orang jahat,
berkomplot dengan musuh, setiap anak murid Ngo-tay-muipay kita wajib menumpasnya bersama untuk ini, bagi siapa
saja yang tunduk kepada perintah ini dipersilakan berdiri kesisi kiri!"
Yang pertama berdiri adalah Thian-bun Tojin, dengan
langkah lebar ia menuju kesisi kiri tanpa memandang Wi
Kay-hou. Kiranya guru Thian-bun Tojin dahulu justeru ditewaskan


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh seorang tertua Ma-kau, sebab itulah bencinya terhadap Ma-kau boleh dikatakan merasuk tulang. Karena dia telah
mendahului berdiri kesisi kiri, dengan sendirinya tindakannya diikuti oleh semua anak muridnya.
Menyusul Sau Ceng-hong lantas berbangkit, katanya:
"Wi-hiante, asalkan kau mengangguk, orang she Sau siap membereskan Kik Yang itu bagimu. Kau bilang seorang
lelaki sejati tidak boleh mengkhianati kawan, memangnya
di dunia ini hanya Kik Yang saja yang menjadi kawanmu,
para pahlawan Ngo-tay-lian-beng kita ini bukan lagi
kawanmu. Coba pikir, beribu teman yang hadir disini
semuanya datang dari tempat jauh hanya untuk menghadiri
upacara Kim-bun-se-jiu yang kau lakukan, mereka ingin
memberi selamat kepadamu dengan hati yang tulus, apakah
tindakan mereka ini tak cukup akrab" Biarpun orang she Kik itu ahli memetik kecapi dan sangat mencocoki
seleramu, tapi jiwa segenap anggota keluargamu, persahabatan antara Ngo-tay-lian-beng kita,
persaudaraan para ksatria yang hadir ini, semua ini
digabung menjadi satu masakah tidak dapat membandingi
seorang Kik Yang?"
Wi Kay-hou menggeleng pelahan, katanya: "Sau-suheng, engkau seorang terpelajar, tentunya kau tahu ada yang tidak boleh dilakukan seorang lelakj sejati. Aku sangat berterima kasih atas nasihatmu. Akan tetapi orang sengaja mendesak agar kubunuh Kik Yang, hal ini sama sekali tidak boleh
kulukukan. Sama halnya bila ada orang memaksa kubunuh
Sau-heng atau mencelakai salah seorang kawan yang hadir
di sini. biarpun segenap anggota keluarga orang she Wi
akan menjadi korban juga tak nanti kutunduk kepala.
Bahwa Kik-toako adalah sahabat karibku, hal ini sudah
jelas dan tidak meragukan lagi, tapi Sau-heng kan juga
sahabat-baikku Apabila Kik-toako sampai bersuara ingin
mencelakai salah seorang kawanku dari Ngo-tay-lian-beng, maka akupun akan memandang rendah kepribadiannya dan
takkan menganggap dia sebagai kawan lagi."
Ucapan yang jujur dan tulus ini membuat para ksatria
sama terharu, Maklumlah, orang persilatan paling
mengutamakan budi setia, kini Wi Kay-hou ternyata rela
berkorban segalanya demi persahabatannya dengan Kik
Yang, mau-tak-mau semua orang merasa gegetun-.
Tapi Sau Ceng-bong lantas menggeleng, katanya: "Wihiante, ucapanmu ini tidaklah tepat. Bahwa Wi-hiante
mengutamakan budi setia kawan.ini dikagumi siapapun
juga. Tapi kau tidak dapat membedakan antara yang baik
dan jahat. tidak tahu benar dan salah, inilah kurang
bijaksana. Ma-kau terkenal jahat. sudah banyak kaum kita yang menjadi korban keganasannya, tapi hanya karena
kecocokan dalam hal main musik lantas Wi-hiante
menyerahkan jiwanya segenap anggota keluarga kepadanya, betapapun kau telah salah mengartikan budi
setia." Wi Kay-hou tersenyum hambar, jawabnya: "Sau-toako,
lantaran engkau tidak suka kepada seni suara, maka engkau tidak paham maksudku. Hendaklah kau maklum, kata2
atau tulisan masih dapat berdusta dan pura2, tapi suara
kecapi dan seruling adalah suara isi hati. sedikitpun tidak dapat dipalsukan. Perbuatanku dengan Kik-toako didasari
oleh paduan suara kecapi dan seruling sehingga antara kami sudah ada ikatan batin. Siaute rela menjamin dengan jiwa
segenap anggota keluargaku bahwa Kik-toako sama sekali
tidak berbau jahat seperti orang Mo-kau yang lain meski
Kik-toako sendiri adalah salah seorang gembong mereka."
Melihat keteguhan hati Wi Kay-hou, Sau Ceng-hong
tidak bicara lagi, ia menghela napas dan melangkah ke sisi Thian-bun Tojin, anak murid Lam-han juga lantas
mengikuti jejak sang guru.
Ting-yat Suthay memandang Wi Kay-hou tajam2,
katanya kemudian: "Selanjutnya harus kusebut kau Wi-hiante atau namamu saja?"
"Jiwaku sudah tinggal waktu sekejap saja, selanjutnya Suthay takkan memanggil diriku lagi." ujar Wi Kay-hou dengan tersenyum pahit.
"Omitohud!" sabda Ting-yat dengan menyesal, pelahan iapun melangkah kesebelah Sau Ceng-hong dan diikuti
anak muridnya. Segera Hui Pin berseru lantang pula: "Persoalan ini adalah urusan Wi Kay-hou seorang dan tiada sangkut
pautnya dengan anak murid Thay-san-pay, asalkan tidaK
ikut menggabungkan diri kepada pihak pengkhianat, maka
semuanya disilakan berdiri kesebelah kiri."
Seketika suasana menjadi hening. Selang sejenak.
seorang lelaki muda berkata: "Wi-supek, maaf bila Tecu bersalah."
Serentak ada 30-an murid Thay-san-pay berdiri kesisi kiri yang ditunjuk, mereka adalah angkatan muda Thay-san-pay, murid keponakan Wi Kay-hou. Tapi tokoh angkatan
tua Thay-san-pay serta anak murid ketuanya, yaitu Khim-lo Bok Jong-siong, tiada seorangpun yang hadir.
Hui Pin lantas berteriak pula: "Murid keluarga Wi juga disilakan berdiri kesebelah kiri "
Tapi Hiang Tay-lian lantas berseru lantang. "Kami
Sudah banyak menerima budi kebaikan perguruan,
sekarang Suhu ada kesulitan, betapapun kami wajib
membelanya. Setiap murid keluarga Wi siap sehidup semati bersama Suhu."
Bercucuran air mata Wi Kay-hou, ucapnya dengan
terharu: "Hebat sekali, kau. Tay-lian! Dengan kata2mu itu sudah cukup tanggung jawabmu terhadap Suhu. Bolehlah
kalau berdiri kesebelah Sana' Suhu sendiri yang berbuat dan tiada sangkut pautnya dengan kalian."
"Sret", mendadak Bi Oh-gi melolos pedang, serunya:
"Kerabat keluarga Wi sudah tentu bukan tandingan Ngo-tay-lian-beng, urusan hari ini tiada jalan lain kecuali mati saja. Tapi barang siapa yang ingin mencelakai guruku yang berbudi, maka harus lebih dulu melangkahi mayatku."
Habis berkata ia terus berdiri tegak didepan sang guru. " f
"Hm, mutiara sebesar menir jUga memancarkan
cahaya"!" jengek Hui Pin, sekali tangan mengayun, "crit", setitik sinar perak terus menyambar secepat kilat.
Wi Kay-hou terkejut.-cepat ia mendorong bahu kanan
Oh Bi-gi sehingga murid itu tertolak kesamping, dengan
sendirinya sinar perak itu lantas menyambar kedada Wi
Kay-hou sendiri. Hiang Tay-peng terlalu bernapsu ingin melindungi sang
guru, tanpa pikir ia melompat maju, kontan terdengar dia menjerit, jarum perak itu tepat masuk di ulu hatinya,
seketika ia terkapar dan binasa. Dengan tangan kanan Wi Kay-hou mengangkat tubuh
Hiang Tay-lian, setelah memeriksa pernapasannya yang
ternyata sudah berhenti, lalu ia berpaling dan berkata
kepada Ting Tiong: "Ting-loji, Say-koan kalian yang lebih dulu membunuh muridku!"
"Betul, kami yang membunuh lehih dulu, habis mau
apa?" jaWab Ting Tiong ketus
Mendadak Wi Kay-hou angkat mayat Hiang Tay-lian,
sekuatnya terus dilemparkan kepada Ting Tiong. Melihat gerakan lawan, Ting Tiong tahu kelihayan
kungfu Thay-san-pay, tenaga lemparannya ini jelas tidak
boleh dibuat main2. Segera ia menghimpun tenaga, ia
bermaksud menangkap mayat itu untuk kemudian
dilemparkan kembali.
Tak tersangka gerakan Wi Kay-hou itu ternyata hanya
pura2 saja, tampaknya hendak dilemparkan ke depan, tapi
mendadak ia melompat kesamping mayat Hiang Tay-lian,
terus disodorkan ke depan Hui Pin.
Karena hal ini datangnya terlalu cepat dan tak ter-duga2, terpaksa Hui Pin angkat tangannya di depan dada untuk
menahan sodokan mayat itu, Tapi pada saat itu juga tahu2
iga kanan lantas terasa kesemutan, teryata ia sudah kena ditutuk Wi Kay-hou.
Setelah berhasil dengan serangannya, tangan kiri Wi
Kay-hou merampas Lengki yang dipegang Hui Pin, tangan
kanan melolos pedang dan mengancam di tenggorokan Hui
Pin dan membiarkan mayat Hiang Tay-lian jatuh ke lantai.
Beberapa gerakan dan kejadian ini sungguh berlangsung
dengan sangat cepat, ketika Hui Pin tertawan, panji
kebesaran terampas, habis itu barulah semua orang.
menyadari apa yang terjadi, Jelas yang digunakan Wi Kayhou ini adalah kungfu khas Thay-san-pay, yaitu apa yang
disebut "Pek-pian-jian-hoan cap-sah-sik atau 13 gerakan seratus perubahan dan seribu impian,"
Sudah lama orang mendengar kepandaian khas Thay
san-pay itu dan baru sekarang mereka menyaksikan dengan
mata kepala sendiri. Konon ke-13 gerakan perubahan ajaib ini diciptakan oleh
tokoh Thay-san-pay angkatan yang lalu, tokoh ini hidup
dari main sulap dan berkeliling di dunia Kangouw
Permainan sulap umumnya mengutamakan kecepatan dan
tipuan, suara di timur yang terjadi di barat, tujuannya untuk mengelabui mata telinga penonton.
Tokoh Thay-san-pay itu konon berwatak kocak, makin
tua makin tinggi ilmu silatnya, kepandaiannya main sulap juga bertambah ajaib. Akhirnya ia melebur gerakan sulap ke dalam ilmu silatnya dan dari ilmu silatnya disalurkan
kedalam permainan sulap, suddh tentu peleburan ini
semakin menambah ragam pertunjukannya yang menarik.
Karena bagusnya, akhirnya
ilmu silatnya yang bercampur dengan ilmu sulap itu menjadi salah satu
kepandaian khas Thay-san-pay.
Wdaak Wi Kay-hou biasanya pendiam dan tidak banyak
tingkah, ilmu yang berhasil dipelajarinya dari perguruan itu selama ini belum pernah digunakannya, sekarang dalam
keadaan kepepet dikeluarkannya dan ternyata berhasil
dengan baik sehingga tokoh Say-koan yang termashur
seperti Tay-jiu-in Hui Pin ini dapat dibekuknya.
Begitulah dengan tangan kanan mengangkat panji
pancawarna dan pedang di tangan lain melintang di leher
Hui Pin, dengan suara berat ia seru: "Ting-suheng dan Liok-suheng, maafkan jika terpaksa kurampas Leng-ki yang kita hormati ini, maksudku juga tidak berani memeras kalian,
aku cuma ingin mohon jasa baik saja dari kalian."
Ting tiong saling pandang sekejap dengan Liok Pek,
keduanya sama berpikir: "Hui-sute berada dalam cengkeramannya. terpaksa harus mendengarkan apa
kehendaknya."
"Minta jasa baik apa?" tanya Ting Tiong.
"Mohon kalian suka menyampaikan permintaanku agar
keluarga Wi diperbolehkan mengasingkan diri, selanjutnya tidak ikut campur apa pun di dunia persilatan. Seterusnya akupun tidak akan bertemu pula dengan Kik-toako, dengan
para Su-heng dan kawan2 juga mulai sekarang kita
berpisah. Wi Kay-hou membawa keluarga dan muridnya
berangkat ke tempat yang jauh seumur hidupnya takkan
menginjak tanah Tionggoan lagi."'
Ting Tiong ragu2, katanya kemudian: "Urusan ini aku dan Liok-sute tidak dapat memberi keputusan dan harus
dilaporkan kepada Coh-suko serta minta pertimbangannya."
Di sini terdapat ketua Yan-san dan Lam-han, dari Siongsay-pay juga hadir Ting-yat Suthay, selain itu para ksatria yang hadir juga dapat menjadi saksi," sampai di sini Wi Kay-hou menyapu pandang sekeliling ruangan, lalu
menyambung: "Sekarang orang she Wi mohon para kawan sudi
memberi dukungan, supaya aku tetap mempertahankan budi setia terhadap kawan, sekaligus juga menyelamatkan jiwa anak muridku."
Ting-yat Suthay adalah wanita yang keras diluar dan
lunak di dalam, meski perangainya pemberang, tapi hatinya welas-asih, dia yang per-tama2 buka suara: "Cara begini memang sangat baik, supaya tidak menimbulkan cekcok
antara kita. Ting-suheng dan Liok-suheng, boleh kita terima permintaan Wi-hiante ini. Jika dia sudah berjanji takkan bergaul lagi dengan orang Ma-kau dan akan jauh
meninggalkan Tionggoan, ini sama seperti di dunia ini tiada
seorang Wi Kay-hou lagi, untuk apa pula kita mesti banyak membunuh orang yang tak berdosa?"
"Ya. cara ini memang cukup bagus, entah bagaimana
pendapat Sau-hiante?" tukas Thian-bun Tojin.
"Wi-hiante adalah orang yang bisa pegang janji, jika ia sudah omong begitu, kita percaya kepadanya." ujar Sau Ceng-hong, "Marilah, mari, dari lawan biarlah kita menjadi kawan saja, Wi-hiante, boleh kau lepaskan Hui-hiante,
marilah kita minum ber-sama2 satu cawan arak perdamaian, besok pagi2 boleh kau bawa muridmu dan
meninggalkan kota Cujoan ini."
Namun Liok Pek lantas menanggapi; "Kalau ketua Yansan-pay dan Lam-han sudah omong begitu. Ting-yat Suthay
lebih2 menyokong kehendak Wi Kay-hou itu, mana kami
berani berlawanan dengan pikiran orang banyak. Cuma,
saat ini Hui-sute dari Say-koan berada dalam cengkeraman Wi Kay-hou, jika kami menerima permintaan begini saja,
kelak orang Kangouw pasti akan bilang Say-koan berada di bawah ancaman Wi Kay-hou dan terpaksa harus tunduk
dan mengaku kalah. Bila cerita ini tersiar, lalu kemana
muka Say-koan akan ditaruh?"
"Maksud Wi-hiante ialah minta ampun kepada Say-koan dan bukan memaksa dan memeras. darimana bisa
dikatakan Say-koan terpaksa tunduk dan menyerah?" tukas Ting-yat Suthay.
Tapi Liok Pek lantas mendeogus. serunya- "Tik Siu,
siap!" Murid Say-koan yang berdiri di belakang putera sulung
Wi Kay-hou lantas mengiakan. pedang yang dipegangnyn
terus mengancam di punggung Wi-kongcu.
Dengan kereng Liok Pek lantas berkata: "Wi Kay-hou, jika kau ingin minta ampun, hendaklah ikut kami ke Say-koan untuk menemui Coh-bengcu dan mohon ampun
langsung kepada beliau, kami hanya pelaksana tugas
menurut perintah saja dan tak berwenang memutuskan
sesuatu, hendaklah segera kau serahkan kembali Lengki
yang kau rampas itu serta melepaskan Hui-sute!"
Wi Kay-hou tersenyum pedih, tanyanya kepada
puteranya: "Nak, kau takut mati atau tidak?"'
Dengan tegas anak itu menjawab: "Anak turut kepada
perkataan ayah, anak tidak gentar!"
"Bagus, anak bagus!" kata Wi Kay hou.
Segera Liok Pek membentak: "Bunuh!"
Kontan pedang Tik Siu ditolak ke depan dan menembus
jantung Wi-kongcu dari belakang, waktu pedang dicabut,
seketika Wi-kongcu jatuh tersungkur bermandikan darah.
Wi hujin (nyonya Wi) menjerit dan menubruk mayat
anaknya. Kembali Liok Pek membentak: "Bunuh lagi!


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pedang Tik Siu bekerja pula dan kembali menembus
punggung Wi-hujin
Ting yat Suthay menjadi gusar, tanpa bicara ia hantam
Tik Siu sambil mendamperat: "Binatang kau!"
Tapi Ting Tiong keburu melompat maju dan menyambut
pukulan Ting yat itu. "Plak" kedua tangan beradu, tenaga pukulan Ting-yat kalah kuat, ia tergetar mundur dua tiga langkah, dada terasa sesak, darah bergolak dan hampir
tertumpah, tapi sekuatnya ia telan kembali darah yang
sudah hampir tersembur itu.
Ting Tiong tersenyum, katanya: "Maaf!"
Kiranya Ting yat Suthay bukan ahli dalam ilmu pukulan,
apalagi pukulannya tadi ditujukan kepada Tik Siu, serangan seorang tua terhadap orang muda, tidak digunakannya
sepenuh tenaga. Tak disangkanya mendadak Ting Tiong
turun tangan sepenuh tenaga, ketika merasa adu pukulan
tak dapat dihindarkan, namun sudah terlambat bagi Tingyat untuk mengerahkan tenaga. tahu2 tenaga pukulan Ting
Tiong sudah membanjir tiba.
Begitulah Ting-yat Suthay telah terluka dalam dan
hampir tumpah darah, dengan gusar ia lantas memberi
tanda kepada anak muridnya dan berseru: "Kita pergi!" "
segera ia melangkah keluar dan diikuti oleh para Nikoh.
"Bunuh lagi! " terdengar Liok Pek memberi aba2 pula.
Serentak dua murid Say-koan mengayun pedangnya dan
dua murid keluarga Wi terkapar binasa pula. "Dengarkan para murid keluarga Wi " demikian Liok Pek berseru, "jika kalian ingin hidup, lekas kalian berlutut dan minta ampun, kalian harus menyatakan Wi Kay-hou
bersalah. dengan demikian kalian akan terhindar dari
kematian."
Wi Jing, puteri Wi Kay-hou. dengan murka mendamperat: ' Bangsat, Say-koan kalian jauh lebih jahat dan keji daripada Ma-kau!"
Segera Ban Tay-peng menabas dengan pedangnya,
kontan Wi Jing terbelah menjadi dua dari bahu kanan
hingga ke pinggang kiri. Su Ting-tat dan murid Say-koan
lain juga bertindak, beberapa murid keluarga Wi yang
sudah tertutuk Hiat-tonya segera dibunuh pula.
Meski para Kastria yang hadir di ruangan ini sebagian
besar sudah berpengalaman tempur, tapi menyaksikan
pembunuhan secara kejam begini, tidak urung banyak yang
merasa ngeri. Ada juga sebagian orang tua ingin bersuara mencegah,
tapi tindakan pihak Say-koan sesungguhnya teramat cepat, baru ragu sejenak, tahu2 mayat sudah bergelimpangan
memenuhi ruangan. Apalagi mereka pikir meski tindakan
Say-keon ini terasa agak kejam, namun selanjutnya adalah demi menghadapi Mo-kau dan bukan soal menuntut balas
terhadap pribadi Wi Kay-hou.
Selain itu Say-koan sekarang sudah mengatasi keadaan,
sampai tokoh termashur seperti Ting-yat Suthay juga
terpaksa harus tinggal pergi, tokoh2 lain seperti Thian-bun Tojin, Sau Ceng-hong dan lain2 juga diam saja, padahal
persoalan ini menyangkut urusan Ngo-tay-lian-beng sendiri, orang luar menjadi tidak enak ikut campur, daripada
mencari penyakit, lebih baik mencari selamat sendiri saja.
Begitulah dalam pada itu anak murid keluarga Wi sudah
habis terbunah semua. yang tertingal hanya putera
kesayangan Wi Kay-hou yang terkecil, namanya Wi Kin.
Anak ini baru berumur 11 tahun, cakap dan pintar.
Agaknya sebelumnya Liok Pek sudah menyelidiki dengan
jelas bahwa Wi Kay-hou sangat sayang kepada putera
bungsu ini, sekarang anak ini hendak diperalatnya untuk
menundukkan Wi Kay-hou, segera ia berkata kepada Su
Ting-tat: "Coba tanya bocah ini, mau minta ampun atau tidak. Kalau tidak, potong dulu hidungnya, lalu iris daun telinganya, kemudian cungkil biji matanya, biar dia rasakan betapa sakitnya."
Su Ting-tat mengiakan, lalu ia berpaling dan tanya Wi
Kin: "Nah, kau minta ampun atau tidak?"
Muka Wi Kin tampak pucat pasi dan badan gemetar
"Anak yang baik," seru Wi Kay-hou "Kakakmu telah mati dengan gagah berani, mati biar mati, kenapa mesti
takut?" "Akan tetapi. . . akan tetapi mereka hendak. . . hendak memotong hidungku dan. ....dan mencungkil mataku. . . ."
"Hahaha! Dalam keadaan begini memangnya kau masih
berharap mereka akan melepaskan kita?" seru Wi Kay-hou dengan terbahak.
"Tapi. . .tapi ayah, engkau ber. .. . berjanji saja akan. . .
.akan membunuh Kik-pepek dan. . . ."
"Binatang, apa katanya?" bentak Kay-hou dengan gusar.
Su Ting-tat sengaja angkat pedangnya dan dinaik
turunkan didepan hidung Wi Kin, katanya: "Anak kecil, jika kau tidak berlutut dan minta ampun, segera kupotong hidungmu. Nah, satu. ...dua. . ."
Belum lagi "tiga" diucapkan, cepat Wi Kin bertekuk lutut di lantai dan memohon: "Jang. . .Jangan. . ."
"Bagus, akan kuampuni kematianmu, tapi kau harus
menyatakan kesalahan Wi Kay-hou didepan para kestria
yang hadir disini," seru Liok Pek dengan tertawa.
Wi Kin memandang sang ayah, sorot matanya penuh
rasa memelas dan memohon.
Sejak tadi Wi Kay-hou sangat tenang meski menyaksikan
kematian anak-isterinya terbunuh secara kejam, tapi
sekarang ia benar2 tak dapat menahan rasa murkanya, ia
membentak: "Binatang kecil, apakah kau tidak merasa berdosa terhadap ibumu?"
Tapi Wi Kin menyaksikan ibu dan kakak2nya
menggeletak bermandikan darah, pedang Su Ting-tat juga
terus mengancam didepan hidungnya, ia menjadi ketakutan
dan berkata kepada Liok Pek: "Mohon. . .mohon engkau suka. . . .suka mengampuni ayahku."
"Ayahmu berkomplot dengan penjahat dari Ma-kau,
menurut kau tindakannya salah atau tidak?" tanya Liok Pek.
"Ya, sa .. . .salah!" jawab Wi Kin dengan suara hampir tidak terdengar.
"Orang begini pantas dibunuh atau tidak?" tanya Liok Pek pula.
Wi Kin menunduk dan tidak berani menjawab.
"Bocah ini tidak mau bicara, bunuh saja dia!" seru Liok Pek.
Su Ting-tat mengiakan. Ia tahu ucapan Liok Pek hanya
untuk menggertak saja, maka iapun angkat pedang dan
berlagak hendak menabas.
Wi Kin menjadi takut, cepat ia bersuara: "Ya, pan. . .
pantas dibunuh!"
"Bagus!" seru Liok Pek sambil berkeplok. "Selanjutnya kau bukan orang Thay-san-pay lagi dan juga bukan putera
Wi Kay-hou, kuampuni jiwamu!"
Saking ketakutan, kaki Wi Kin serasa lemas sehingga
tidak sanggup berdiri.
Melihat kepengecutan anak itu, para ksatria sama merasa
malu baginya, bahkan ada yang merasa muak dan berpaling
ke arah lain. Wi Kay-hou menghela napas panjang, katanya
kemudian: "Orang she Liok, kau yang menang," "
Mendadak panji rampasannya dilemparkan kearahnya,
berbareng sebelah kakinya mendepak Hui Pin hingga
terjungkal, lalu teriaknya dengan lantang: "Orang she Wi sudah kalah dan runtuh habis-habisan, rasanya akupun
tidak perlu banyak menimbulkan korban."
Mendadak ia palangkan pedang terus hendak menggorok
leher sendiri. Pada detik paling gawat itulah se-konyong2 dari atas
emper rumah sana melayang turun sesosok bayangan
hitam, dengan gerakan secepat kilat tangan orang itu lantas meraih
pergelangan tangan Wi Kay-hou sambil membentak: "Lelaki menuntut balas, sepuluh tahun lagi juga belum terlambat. Hayo pergi!"
Sambil bicara, ia seret Wi Kay-hou terus diajak berlari
keluar secepat terbang.
"Kik-toako, kau ..." seru Kay-hou.
"Tidak perlu banyak bicara!" jawab orang itu. Kiranya dia inilah gembong Ma-kau, Kik Yang adanya.
Segera ia percepat langkahnya, Tapi baru beberapa
langkah, Ting Tiong. Liok Pek dan Hui Pin bertiga serentak menghantam punggung mereka.
Kik Yang menyadari di tempat ini hadir jago2 kosen
yang tak terhitung jumlahnya, setiap orang juga musuh
bebuyutan Ma-kau, jika sampai terlibat dalim pertarungan tentu sukar untuk meloloskan diri.
Segera ia berseru kepada Wi Kay-hou: "Lari!"
Sekuatnya ia tolak punggung Kay-hou hingga melayang
lebih cepat kedepan, berbareng itu ia himpun segenap
tenaganya pada punggungnya, ia terima mentah2 pukulan
tiga jago Say-koan itu.
"Blang", Kik Yang juga mencelat keluar. Sekalipun ilmu silatnya sangat tinggi, tapi betapa hebat tenaga pukulan gabungan tiga tokoh utama Say-koan, kontan Kik Yang
tumpah darah Namun begitu ia sempat mengayun
tangannya kebelakang, segerombol jarum hitam lantas
bertebaran sebagai hujan.
Cepat Ting Tiong berteriak: "Hek-hiat-sin-ciam, cepat menghindar!"
Buru2 ia melompat kesamping. Sedangkan para ksatria
menjadi kaget demi mendengar nama Hek-hiat-sin-ciam
atau jarum sakti darah hitam dari Mo-kau ini, cepat mereka berusaha berkelit dan mengegos, saking banyaknya orang
terjadilah tumbuk menumbuk, suasana menjadi kacau.
Sekalipun begitu, terdengar juga jeritan belasan orang.
"Aduh!. . .Celaka!"
Lantaran terlalu berjubel, hamburan jarum berbisa
itupun sangat banyak dan cepat. Akhirnya berpuluh orang
termakan juga oleh jarum itu.
Di tengah suara hiruk-pikuk, Kik Yang dan Wi Kay-hou
sudah kabur jauh.
= oOdOwOo = Jilid 20 Kembali bercerita tenang Sau Peng-lam. Setelah sadar
dan melihat semangka, tanpa pikir semangka diraihnya
terus dimakan. Ia tidak tahu bahwa sudah sekian lama Gilim menunggunya sadar untuk makan bersama meski
Nikoh jelita itu sendiri sebenarnya sangat kelaparan.
Melihat Peng-lam makan semangka dengan lahapnya,
dengan tertawa Gi-lim berkata: "Dalam mimpipun sering kau sebut nama seorang, siapakah si dia itu?"
"Ah masa?" jawab Peng-lam dengan meleagak.
"Memangnya kau kira aku berdusta" Coba jawab.
siapakah orang yang bernama Leng Hiang itu?"
"Oo. dia Sumoayku, usianya sebaya dengan kau."
"Kau sangat menyukai dia bukan?"
"Selain Sumoayku, dia juga keponakan ibu guruku.
dengan sendirinya kusuka padanya Di Soh-hok-han, jika
iseng tentu dia mencariku untuk mengajak bermain, karena dia cocok bermain denganku, aku menjadi tambah suka
padanya." Seketika kecut rasa hati Gi-lim, ia menunduk dan tidak
bicara lagi, ia sendiri tidak tahu mengapa pikirannya bisa begitu.
Luka Peng-lam cukup parah, tapi berkat obat luka Siongsan-pay yang mujarab yang dibubuhkan di luar dan
diminum, ditambah lagi dia masih muda dan kuat,
Lwekangnya juga cukap sempurna, setelah tidur selama dua hari semalam ditepi air terjun itu, kini lukanya sudah rapat, sebab itulah begitu sadar kembali lantas sehat seperti tidak pernah terjadi apapun.
Seharian ini mereka cuma makan semangka dengan
sendirinya tak bisa kenyang, padahal Peng-lam belum dapat melakukan sesuatu gerakan keras meski tampaknya sudah
sehat. Ia minta Gi-lim berburu kelinci atau menangkap
ikan. Tapi apapun Gi-lim tidak mau, ia bilang dapatnya
Peng-lam lolos dari maut adalah berkat perlindungan
Buddha, untuk bayar kaul, paling baik anak muda itu
jangan makan daging selama setahun sebagai tanda terima
kasih kepada sang Buddha, kalau dia disuruh membunuh
makhluk berjiwa yang menjadi pantangan agamanya,
betapapun dia tidak mau.
Peng-lam mentertawakan jalan pikiran Gi-lim yang kekanak2an itu, tapi iapun tak dapat memaksanya.
Malamnya, kedua orang duduk bersandar di dinding
tebing dan memandangi udara yang penuh dengan bintik2
terang, yaitu kunang2 yang tak terhitung banyaknya.
Kata Peng-lam: "Musim panas tahun yang lalu pernah
kutangkap be-ribu2 kunang2, kumasukkan dalam beberapa
buah kantung tipis dan kugantung di dalam kamar, sungguh sangat menarik."
"Tentunya Sumoaymu yang minta kau menangkapi
kunang2 itu bukan?" tanya Gi-lim.
"Hm, kau sangat pintar, tepat benar tebakanmu.
Darimana kau tahu Sumoayku yang minta kutangkapkan
kunang2 baginya?"
"Habis watakmu tidak sabaran, kau pun bukan anak
kecil, mana kau telaten menangkap beribu kunang2, tentu
karena permintaan Sumoaymu," setelah berhenti sejenak, lalu Gi-lim tanya pula: "Kemudian bagaimana kunang2 itu kau gantung dalam kamar"'
"Sumoay mengambilnya dan digantung di dalam
kelambu, dia bilang langit kelambu akan gemerlapan seperti beratus ribu bintang2 dilangit dan dia pun seperti tidur di tengah awang2, bila membuka mata, sekelilingnya hanya
bintang2 belaka."
"Sumoaymu memang suka bermain, untung juga dia
mempunyai Suko seperti kau, jika dia menginginkan
bintang2 dilangit, mungkin juga akan kau tangkapkan
baginya." "Asal mula menangkap kunang2 memang lantaran kami
bicara tentang bintang2 dilangit," tutur Peng-lam dengan tertawa. "Malam itu kami berduduk mencari angin diluar
dan memandangi bintang2 yang bertaburan dilangit. Tiba2
Sumoay menghela napas dan menyatakan sayang sebentar
lagi harus pergi tidur, alangkah terangnya bilamana dapat tidur diudara terbuka, begitu membuka mata lantas melihat bintang2 dilangit se-akan2 sedang berkedip padanya.
Karena pikiran Sumoay itu, aku lantas mengusulkan
menangkap kunang2 saja dan ditaruh didalam kelambunya,
keadaannya akan serupa dengan bintang2 yang bertaburan
dilangit."
"O, kiranya kau yang mengusulkannya," kata Gi-lim.
"Ya, tapi Sumoay bilang kunang2 itu akan terbang kian kemari dan merambati tubuhnya. Tiba2 ia mengusulkan
akan menjahit beberapa kantungan sutera tipis untuk wadah kunang2. Dan begitulah dia lantas membuat kantungan dan
aku sibuk menangkap kunang2. Cuma sayang, kunang2 itu
hanya tahan hidup semalam, besoknya semua kunang2 itu
mati seluruhnya."
"Hah, be-ribu2 kunang2 itu telah mati akibat ulah kalian"
Ai, mengapa .... mengapa kalian begitu. . . ."
"Maksudmu kami kejam bukan?" tanya Peng-lam
dengan tertawa. "Ai, sebagai murid Buddha hatimu
memang welas-asih. Padahal kalau tidak ditangkap kami,
bila musim dingin tiba, kunang2 itu tetap akan mati beku.
Mati cepat atau mati lambat kan sama saja?"'
Gi-lim ter-mangu2 sejenak, katanya kemudian dengan
hambar: "Ya, hidup manusia di dunia ini memang juga begitu, Ada yang mati lebih cepat, ada yang mati lebih
lambat, cepat atau lambat akhirnya akan mati juga.
Menurut sang Buddha, setiap orang tak terhindar dari
penderitaan lahir, tua sakit dan mati. Untuk membebaskan diri dari sengsara memang tiduklah mudah."
"Betul, makanya untuk apa kau selalu bicara tentang peraturan dan pantangan segala, jangan membunuh, tidak
boleh mencuri dan entah apa lagi. Jika sang Buddha harus mengurusi setiap persoalan, wah. beliau bisa kerepotan."
Gi-lim terdiam dan entah apa yang harus dibicarakan.
Pada saat itulah, se-konyong2 di udara sebelah kiri sana sebuah bintang pindah meluncur membelah angkasa.


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menurut Gi-ceng Suci," kata Gi-lim, "apabila melihat bintang pindah tempat, jika ujung baju cepat2 diberi satu ikatan, berbareng itu dalam hati menyatakan sesuatu
angan2, asalkan ikatan ujung baju diselesaikan sebelum
lenyapnya bintang pindah dan angan2 juga sudah terpikir, maka angan2 itu kelak akan terkabul. Menurut kau,
ceritanya itu betul atau tidak?"
"Entah, aku tidak tahu, tapi boleh juga kita mencobanya, cuma tangan kita mungkin tidak secepat itu," kata Peng-lam dengan tertawa sambil memegang ujung baju, lalu
sambungnya pula: "Hayolah, kau pun siap, bila terlambat sedetik saja mungkin akan gagal."
Gi-lim siap memegang ujung bajunya dan memandang
langit dengan termenung.
Malam di musim panas memang banyak meteorit, tiba2
sebuah meteor tampak meluncur membelah angkasa, cuma
meteor ini dalam sekejap saja lantas lenyap, jari Gi-lim baru bergerak dan meteor itupun sudah hilang.
Ia bersuara kecewa, terpaksa ia menunggu lagi.
Tiba2 ada lagi meteor yang meluncur dari barat ke timur
dengan jarak yang panjang, gerak tangan Gi-lim sangat
cepat, berhasil juga dia membuat satu ikatan pada ujung
bajunya. "Aha, bagus, bagus, kau berhasil!" seru Peng-lam girang
"Thian maha pengasih, tentu cita2mu akan terkabul "
Gi-lim menghela napas, katanya: "Tapi yang kupikirkan hanya membuat ikatan pada ujung baju ini. seketika belum sempat memikirkan sesuatu angan2."
"Jika begitu harus kau siapkan dulu angan2-mu, apalkan dulu agar nanti tidak lupa lagi," ujar Peng-lam dengan tertawa.
Sambi! memegangi ujung bejunya Gi-lim ter-menung
lag!, pikirnya. "Apa
angan2ku" Apa yang harus kupikirkan?"
Dia pandang Peng-lam sekejap, mendadak pipinya
bersemu merah den cepat melengos ke arah lain.
Dalam pada itu di angkasa ber-turut2 meluncur lewat
beberapa meteor. Peng-lam ber-teriak2 dan mendesak: "Itu dia ada satu! He, panjang amat ekor bintang itu! Eh, kau berhasil membuat ikatan tidak" Terlambat lagi bukan?"
Tapi pikiran Gi-lim terasa kusut, dalam lubuk hatinya
lamat2 memang terkandung suatu harapannya, tapi
harapan itu tak berani dibayangkannya, apalagi memohon
kepada Thian yang maha pengasih. Seketika ia merasa
takut, tapi juga terasa senang tak terperikan.
Didengarnya Peng-lam lagi bertanya; "He, Sudah Kau
pikirkan belum cita2mu" Hanya satu cita2 saja, lebih dari itu takkan manjur."
Gi-lim tetap diam saja, ia merasa bingung cita2 apa yang harus dikemukakan" Ia menengadah memandang langit
dengan kesima. "He, kenapa kau tidak bicara?" seru Peng-lam pula. "Jika kau tidak mau omong, biarlah kuterka saja isi hatimu!"
"Tidak, tidak. jangan!" seru Gi-lim.
"Memangnya kenapa" Akan kutebak tiga kali, coba jitu atau tidak?" ujar Peng-lam dengan tertawa.
Gi-lim berbangkit, katanya: "Jangan, jika kau katakan,
segera kupergi."
Peng-lam ter-bahak2, katanya; "Baik, baik, takkan
kukatakan Seumpama kau berhasrat menjadi ketua Siongsan-pay kan juga tidak perlu merasa malu?"
Gi-lim melengak, pikirnya: "Masa dia cuma menerka aku ingin menjadi ketua Siong-san-pay" Padahal.. . .padahal hal ini tak pernah kupikirkan. . . ."
Pada saat itulah dari kejauhan tiba2 berkumandang suara
"creng-creng" yang nyaring, suara orang memetik kecapi.
Peng-lam saling pandang sekejap dengan Gi-lim, mereka
sama merasa heran mengapa di pegunungan sunyi ini ada
orang memetik kecapi"
Tapi suara kecapi itu sangat merdu dan nyaring, sekejap
pula terdengar suara seruling yang halus teriring ditengah suara kecapi itu. Paduan suara kedua macam alat musik itu terdengar sangat halus dan menggetar sukma.
Suara kecapi dan seruling itu se-olah2 sahut menyahut,
berbareng itu pelahan2 juga makin mendekat.
Peng-lam membisiki Gi-lim: "Aneh sekali suara musik ini, mungkin tidak menguntungkan kita. Sebentar biar
apapun yang terjadi hendaklah jangan bersuara."
Gi-lim mengangguk.
Suara kecapi tadi terdengar mulai meninggi, sebaliknya
nada suara seruling semakin rendah, namun biarpun suara
seruling semakin rendah tidak berarti putus atau berhenti,
suara seruling masih terus berkumandang terbawa angin
dan mengalun merdu dengan irama yang mengharukan.
Tiba2 dari balik batu padas sana muncul tiga sosok
bayangan orang. Waktu itu rembulan kebetulan ter-aling2
oleh gunung sehingga keadaan menjadi remang2, tertampak
ketiga orang itu yang dua tinggi dan yang satu pendek, yang tinggi adalah dua lelaki dan yang pendek ialah perempuan.
Kedua lelaki itu lantas mencari tempat duduk di atas
batu, yang satu memetik kecapi dan yang lain meniup
seruling, yang perempuan cuma berdiri saja disamping
pemetik kecapi.
Pelahan Peng-lam menarik kepalanya kebelakang
dinding batu dan tidak berani mengintip lagi, agaknya
kuatir dipergoki kedua orang itu.
Sementara itu irama seruling terdengar sangat lembut
dan merdu. Diam2 Peng-lam berpikir: "Air terjun itu terletak di sebelah Sana, gemerjuk air yang keras itu ternyata tidak dapat menutupi suara kecapi dan seruling yang halus,
tampaknya Lwekang kedua orang ini tidaklah cetek."
"Creng-creng", tiba suara kecapi menimbulkan suara keras, suara yang berhasrat membunuh. Suara kecapi yang
mendadak melengking tajam ini membuat hatinya
terkesiap, namun suara seruling tadi masih tetap mengalun merdu dan halus.
Selang sejenak, irama kecapi mulai berubah halus juga
mengikuti irama seruling, kedua suara alat musik itu
sebentar meninggi dan lain saat merendah, se-konyong2
suara kecapi dan seruling berubah keras, seketika seperti beberapa seruling dan beberapa kecapi berpadu suara
sekaligus. Peng-lam sangat heran mengapa bisa datang orang
sebanyak ini"
Waktu ia mengingip pula kesana, ternyata di situ masih
tetap berduduk dua orang dan seorang lagi berdiri
menunggu. Kiranya kedua pemain seruling dan kecapi itu benar2
sangat mahir sehingga se-olah2 dua orang bisa berubah
menjadi empat orang dan empat berubah menjadi delapan.
Hanya sebuah alat tetabuhan bisa menimbulkan berbagai
suara alat musik yang berbeda.
Darah Peng-lam serasa bergolak dan hampir saja ia tidak
tahan dan ingin berdiri, mendadak suara teruling dan kecapi berubah lagi, sekarang suara seruling berubah menjadi
irama pokok dan suara kecapi hanya sebagai suara
pengiring saja. Akan tetapi suara kecapi juga semakin tinggi nadanya.
Secara tidak tahu apa sebabnya hati Peng-lam terasa
pedih, waktu ia berpaling, dilihatnya Gi-lim sudah
mengucurkan air mata.
Se-konyong2 terdengar suara mendering, senar kecapi
putus beberapa jalur, seketika suara kecapi berhenti, segera pula seruling juga berhenti bersuara.
Seketika suasana menjadi bening, hanya kelihatan sang
dewi malam menghias angkasa dan bayangan pohon di
tanah "Wi-hiante," demikian terdengar seorang bicara dengan pelahan, "agaknya sudah takdir bahwa hari ini kita harus mati disini. Yang harus kusesalkan adalah tadi kakak tidak lebih
cepat turun tangan sehingga mengakibatkan keluargamu menjadi korban kaum pengganas, sungguh hati
kakak merasa sangat tidak enak."
Lalu terdengar seorang lagi berkata: "Kita cukup paham perasaan masing2, untuk apa omong ha|2 ini . . ."
Dari suaranya segera Gi-lim tahu siapa pembicara kedua
ini, segera ia membisiki Sau Peng-lam: " Itulah Wi Kay-hou, Wi-iusiok."
Mengenai peristiwa yang berlangsung dikediaman Wi
Kay-hou, sudah tentu Gi-lim dan Sau Peng-lam tidak tahu
menahu, sekarang melihat Wi Kay-hou muncul di
pegunungan sunyi ini, seorang lagi bicara tentang "kita sudah ditakdirkan mati disini segala serta segenap anggota keluargamu telah menjadi korban kaum pengganas",
seketika mereka dibuat tercengang.
Terdengar Wi Kay-hou berkata lagi: "Orang hidup tidak lebih beruntung daripada mati, asalkan mendapatkan teman karib, biarpun mati aku tidak menyesal."
Seorang lagi menanggapi: "Wi-hiante, dari nada
serulingmu rasanya kau masih menyesalkan sesuatu,
jangan2 karena puteramu si Wi Kin yang takut mati pada
saat berbahaya itu kau anggap telah menodai nama
baikmu." Wi Kay-hou menghela napas panjang, jawabnya:
"Dugaan Kik-toako memang betul. Se-hari2 terlalu
kumanjakan anak itu dan kurang memberi pelajaran, tak
tersangka anak itu sedemikian pengecut."
Yang dipanggil Kik-toako itu memang betul Kik Yang
adanya. gembong Mo-kau yang menjadi gara2 itu.
Terdengar ia berkata: "Pengecut atau tidak, paling2
seratus tahun dan semuanya akan pulang kedalam tanah,
apa bedanya" Yang salah ialah diriku. Sudah lama
kusembunyi diatas rumah, seharusnya kuturun tangan lebih dini, kukira Wi-hiante tidak ingin bermusuhan dengan Ngotay-lian-beng hanya lantaran diriku, sebab itulah aku ragu2
untuk turun tangan. Siapa tahu ketua lima besar kalian itu tega bertindak sedemikian keji dan ganas."
Wi Kay-hou termenung sejenak, ia menghela napas
panjang, lalu berkata: "Orang2 awam macam mereka itu mana tahu keluhuran persahabatan kita melalui seni musik ini" Mereka suka mengukur orang lain dengan bajunya
sendiri, dengan sendirinya mereka menyangka hubungan
kita ini akan merugikan Ngo-tay-lian-beng dan kaum
pendekar. Ai, memangnya juga tak dapat menyalahkan
mereka bilamana mereka memang tidak paham. Kik-toako,
Tay-cuy-hiat dipunggungmu terluka parah dan mengguncang urat nadi jantung bukan?"
"Ya, Tay jiu-in tokoh Say-koan memang lihay, tak
tersangka waktu kusambut pukulan dahsyat itu dengan
punggungku, karena kerasnya tenaga pukulan musuh juga
menggetar putus urat nadi jantungku," ujar Kik Yang
"Apabila sebelumnya kutahu Hiante juga sukar terhindar dari elmaut ini, secomot Hek hiat-sin-ciam itu kukira tidak perlu kuhamburkan sehingaa banyak menimbulkan korban
orang yang tak berdosa, toh tiada gunanya bagi
persoalannya."
Tergetar hati Peng-lam mendengar nama "Hek-hiat-sin-ciam" atau jarum sakti darah hitam, pikirnya: "Apakah mungkin orang ini adalah tokoh Ma-kau" Cara bagaimana
pula Wi-susiok bisa bersahabat dengan dia?"
Terdengar Wi Kay-hou tertawa, katanya; "Menimbulkan korban orang tak berdosa memang betul harus disesalkan.
Tapi lantaran itu kita dapat pula memainkan bersama satu lagu, selanjutnya di dunia ini tiada lagi paduan suara kecapi dan seruling seperti kita ini."
Kik Yang menghela napas, katanya: "Memang betul,
sejak jaman dahulu hingga sekarang, kuyakin tiada ahli
musik lain yang dapat memainkan lagu 'Siau-go-yan-he'
(hina kelana) kita ini."
"Ucapan Kik-toako memang betul, tapi mengapa engkau menghela napas?" tanya Wi Kay-hou. "Ah, tahulah aku, tentu engkau menguatirkan Fifi."
Terkesiap hati Gi-lim: "Fifi" Jangan2 Fifi itulah yang dimaksudkannya?"
Benar juga, segera didengarnya suara Kik Fi-yan lagi
berkata "Yaya (kakek), bilamana engkau dan kakek Wi sudah sembuh, biarlah kita meluruk kesana, akan kita
bunuh habis segenap anggota Say-koan mereka untuk
membalas dendam nenek Wi dan lain2."
Se-konyong2 terdengar orang bergelak tertawa, habis itu
dari balik batu padas sana melompat keluar sesosok
bayangan, sinar hijau berkelebat, tahu2 seorang berdiri di depan Kik Yang dan Wi Kay-hou dengan pedang terhunus.
Siapa lagi dia kalau bukan jago Toa-jiu-in yang
termashur dari Say-koan, yaitu Hui Pin adanya.
Dia mendengus, katanya: "Besar amat mulut anak
perempuan ini, hendak membunuh habis segenap anggota
Say-koan, masakah di dunia ini ada pekerjaan semudah
itu?" Wi Kay-hou berbangkit dan berkata: "Hui Pin, kau
sudah membunuh segenap anggota keluarga itu, orang she
Wi juga mendekati ajal akibat pukulan kalian bertiga
saudara seperguruan, sekarang apalagi yang kau kehendaki?"
Hui Pin ter-bahak2, katanya: "Anak perempuan ini
bilang membunuh habis, maka kedatanganku ini hendak
membikin habis2an."
Tiba2 Gi-lim membisiki Peng-lam: "Fifi dan kakeknya telah menyelamatkan jiwamu, kita harus mencari akal
untuk menolong mereka."
Tanpa diminta memang Peng-lam sedang memikirkan
akal yang sekiranya dapat digunakan menyelamatkan kedua
penolongnya itu. Cuma pertama lantaran Hui Pin adalah
tokoh Say-koan, biarpun dirinya tidak terluka juga bukan tandingannya. Kedua, Kik Yang adalah gembong Ma-kau,
selama ini pihak Cing-pay dan Ma-kau tidak kenal
kompromi, Lam-han juga memandang Ma-kau sebagai
musuh, mana boleh sekarang dirinya membantu pihak
musuh malah"
Karena pikiran inilah dia menjadi ragu2 den sukar
mengambil keputusan.
Terdengar Wi Kay-hou berkata pula: "Orang she Hui,
apapun kau tergolong tokoh ternama dari Beng bun-cingpay. Sekarang Kik Yang dan Wi Kay hou jatuh
ditanganmu, mau bunuh boleh kau bunuh, mau gantung
boleh kau gantung, matipun kami tidak menyesal. Tapi
kalau kau menganiaya seorang anak perempuan apakah
perbuatan ini pantas disebut gagah perkasa" " Fifi, lekas kau pergi saja!"
"Tidak, aku akan mati bersama Yaya dan kakek Wi.
tidak nanti kuhidup sendiri," jawab Fifi tegas.
"Lekas pergi, lekas!" seru Wi Kay-hou "Urusan orang tua tiada sangkut-pautnya dengan anak kecil seperti kau."
"Tidak, aku tidak mau pergi," jawab Fifi.
"Sret-sret," mendadak ia melolos kedua bilah pedangnya dan mengadang di depan Wi Kay-hou.
Melihat Fifi melolos senjata, Hui Pin menjadi girang, ia pikir kebetulan baginya. Dengan tertawa ia lalu berkata:
"Anak dara ini menyatakan hendak membunuh habis
segenap anggota Say-koan kami, tampaknya dia benar2
ingin melaksanakannya."
Tapi Wi Kay-hou lantas menarik tangan Fifi dan
mendesaknya agar lekas lari saja. Namun luka dalamnya
terlalu parah, ditambah lagi dia banyak mengeluarkan
tenaga dalam ketika memainkan lagu "Hina Kelana" tadi, karena itulah hampir tak kuat dia memegang tangan anak
dara itu. Maka dengan enteng saja Fifi dapat meronta lepas
pegangan Wi Kay-hou Pada saat itulah cahaya hijau
berkelebat, tahu2 pedang Hui Pin sudah menusuk
kemukanya. Cepat pedang kiri Fifi menangkis, berbareng
pedang kanan balas menusuk.
Hui Pin tertawa, pedangnya berputar dan menyampuk
pedang kanan Fifi. Seketika lengan anak dara itu kesemutan dan pedang terlepas dari cekalan,
Sekali putar dan menyendal lagi pedangnya, pedang kiri
Fifi juga tergetar mencelat. Berbareng itu ujung pedang Hui Pin lantas mengancam dileher Fifi, katanya terhadap Kik
Yang: "Kik-tianglo, akan kugunakan dulu mata kiri cucu perempuanmu, habis itu baru kupotong hidungnya dan
menyayat . . ."
Mendadak Kik Fi-yan menjerit terus menubruk maju
malah, ia sengaja menumbukkan lehernya ke ujung pedang
musuh. Namun gerakan Hui Pin cukup cepat pedang sempat
ditarik kembali sehingga tubuh Kik Fi-yan terus menumbuk kearahnya. Segera jari Hui Pin bekerja, bahu kanan anak
dara itu tertutuk dan jatuh terguling.


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hahahaha!" Hui Pia bergelak tertawa. "Orang jahat, ingin matipun tidak mudah. Biarlah kukorek dulu sebelah
matamu." Segera ia angkat pedangnya dan benar2 hendak
mencungkil mata Fifi.
"Tahan!" mendadak seorang membentak dibelakangnya.
Karuan Hui Pin terkejut, pikirnya: "Aneh, masa sama sekali aku tidak tahu ada orang berada di belakang?"
Ia tidak tahu bahwa sejak tadi Sau Peng-lam dan Gi-lim.
sudah sembunyi dibelakang batu tanpa bergerak sedikitpun, kalau tidak, mustahil dia tidak tahu ada orang merunduk ke belakangnya"
Cepat Hui Pin membalik tubuh dengan pedang siap
melintang di depan dada, di bawah cahaya bulan
tertampaklah seorang pemuda berdiri tegak di depannya
dengan bertolak pinggang, sikapnya menghina tapi
mukanya pucat pasi.
"Siapa kau?" tanya Hui Pin.
"Siautit Sau Peng-lam dari Lam-han., terimalah
hormatku, Hui-susiok," kata Peng-lam sambil memberi hormat, namun badannya lantas tergeliat se-akan2 roboh.
Hui Pin mengangguk, ucapnya: "O, kiranya murid
pertama Sau-suheng. Silahlah, tak perlu banyak adat Untuk apakah kau berada disini?"
"Siautit (kemanakan) terluka oleh murid Tang-wan dan sedang merawat lukaku di sini, beruntung dapat bertemu
dengan Hui-susiok," jawab Peng-lam.
"Hm, kebetulan kemunculanmu," dengus Hui Pin.
"Anak dara ini adalah kaum jahat anggota Ma-kau dan pantas dibunuh, jika aku turun tangan sendiri disangka
orang tua menganiaya anak kecil. boleh kau saja yang
membunuh dia " " Sembari bicara iapun menuding kearah Kik Fi-yan.
Tapi Sau Peng-lam menggeleng, jawabnya. "Kakek anak dara ini bersahabat karib dengan Wi-susiok dari Thay-san-pay, kalau diurutkan dia masih lebih rendah satu tingkatan daripadaku, jika Siautit membunuh dia, tentu orang
Kangouw juga akan menuduh orang Lam-han menganiaya
anak kecil, bila tersiar tentu nama kami akan tercemar.
Lagipula Kik-cianpwe ini dan Wi-susiok sama terluka, jika kau aniaya anak kecil di depan mereka perbuatan ini kukira tidak pantas dilakukan oleh kaum ksatria kita. Tindakan
demikian jelas2 tidak nanti dilakukan oleh murid Lam-han kami."
Jelas di balik ucapannya dia ingin menyatakan bila apa
yang tidak sudi diperbuat oleh orang Lam-han toh
dilakukan juga oleh orang Say-koan, maka teranglah nilai Say-koan akan jauh di bawah Lam-han.
Seketika alis Hui Pin menegak, sorot matanya tampak
buas, katanya: "Hah, kiranya diam2 kau pun bersekongkol dengan kaum siluman Ma-kau. Oya, tadi Wi Kay-hou juga
bilang siluman she Kik ini telah mengobati lukamu dan
menyelamatkan jiwamu, hm, tak tersangka anak murid
utama Lan-han yang terhormat seperti kau juga menyerah
kepada Mo-kau secepat ini"!"
Pedang yang dipegangnya tampak bergetar, Cahayanya
gemerdep, tampaknya setiap saat hendak ditusukkan kearah Sau Pang-lam
"Sau-hiantit," tiba2 Wi Kay-hou menyeletuk, "urusan ini tiada sangkut-pautnya dengan kau, tidak perlu kau ikut
Campur. Lekas pergi saja, lekas, supaya kelak ayah
angkatmu tak ikut mendapat kesulitan."
Peng-lam ter-bahak2, jawabnya: "Wi-susiok, kita ini sok mengaku sebagai kaum pendekar dan bersumpah tidak
hidup berdampingan dengan kaum jahat. Lalu apa artinya
'pendekar' itu. Menganiaya orang yang sudah terluka parah apakah perbuatan seorang pendekar" Hendak membunuh
anak kecil yang tak sanggup melawan, apakah terhitung
pendekar berbudi" Haha, apabila perbuatan2 macam begini
sampai dilakukannya, lalu apa beda antara kaum pendekar
dan kaum iblis jahat?"
"Perbuatan2 rendah begitu juga tidak sudi dilakukan oleh anggota agama kami yang kalian anggap sebagai agama
iblis," kata Kik Yang tegas. "Saudara Sau, hendaklah kau pergi saja dan jangan ikut campur. Jika Say-koan ingin
berbuat demikian, biarkan saja dia berbuat sesukanya."
Peng-lam tertawa, katanya: "Mana aku mau pergi. aku justeru ingin tahu betapa hebat dan bijaknya Hui-tayhiap, pendekar besar kita dari Say-koan. jago Toa-jiu-in kita yang termashur ini."
Habis berkata ia terus berpangku tangan dan bersandar
pada pohon. Seketika timbul hasrat Hui Pin untuk membunuhnya,
ucapnya dengan menyeringai: "Hm, kau kira dengan
ucapanmu itu lalu dapat mengekang diriku agar tidak
membunuh ketiga siluman ini" Hehe, jangan kau mimpi.
Membunuh tiga orang namanya membunuh, membunuh
empat orang namanya juga membunuh, tidak ada bedanya
bagiku." " Habis berkata ia lantas maju dua langkah kedepan Sau Peng-lam.
Meski dilihatnya Sau Peng-lam adalah ahli-waris
kesayangan Kun-cu-kiam Sau Ceng-hong, betapa tinggi
ilmu silatnya konon tidak dibawah tokoh utama golongan
lain. Persoalan sekarang menyangkut nama baik pribadi Hui
Pin sendiri dan Say-koan, jika sampai anak muda itu lolos tentu nama Say-koan akan runtuh habis2an, berbareng itu
antara Lam-han dan Say-koan pasti juga akan terjadi
bentrokan besar. Jalan yang baik hanya membunuh Sau
Peng-lam itu untuk menghilangkan saksi hidup, dengan
demikian bencana dikemudian haripun tidak perlu
dikuatirkan lagi.
Melihat keberingasan orang, mau-tak-mau Peng-lam
terkesiap juga, diam2 ia memikirkan akal untuk meloloskan diri, namun lahirnya dia tetap tenang2 saja dan berkata:
"Hui-susiok, apakah kau pun akan membunuh diriku untuk menghilangkan saksi?"
"Hehe, kau memang pintar, tepat sekali ucapanmu,"
jengek Hu Pin sambil ter-kekeh2 dan mendesak maju pula.
Pada saat gawat itulah dari balik batu sana muncul pula
seorang Nikoh muda jelita sambil berseru: "Hui susiok, lautan sengsara tak terbatas, mau berpaliag akan mencapai tepi. Saat ini baru timbul maksud jahatmu, tapi kejahatan nyata belum kau perbuat. Tahanlah kudamu di tepi jurang
belum terlambat."
Nikoh jelita ini bukan lain daripada Gi-lim. Padahal
Peng-lam menyuruh dia sembunyi di belakang batu dan
jangan bersuara. Tapi demi dilihatnya keadaan Sau Penglam sangat berbahaya, tanpa pikir panjang lantas tampil
kemuka dan bermaksud menasehati Hui Pin supaya tidak
melakukan kejahatan.
Hui Pin juga terkejut, tanyanya: "Kau orang Siong-san-pay bukan" Mengapa kau pun main sembunyi disini?"
Muka Gi-lim menjadi merah, jawabnya dengan tergegap2: "Aku .... aku. . . ."
"He, Gi-lim Cici, memang sudah kuduga engkau pasti
berada bersama Sau-toako," seru Fifi, meski dia tertutuk dan hanya menggeletak tak bisa berkutik di tanah, tapi
mulutnya bisa bicara. "Wah, engkau ternyata dapat
menyembuhkan luka Sao-toako, cuma sayang .... kami
semua ini segera akan mati."
"Tidak," ujar Gi-lim sambil menggeleng. "Hui-susiok adalah ksatria besar, tokoh termashur, masa dia sampai hati mencelakai orang yang terluka parah dan nona kecil seperti kau?"
Fifi tertawa dingin, katanya. "Kau bilang dia tokoh termashur, ksatria apa?"
"Hui-susiok adalah tokoh terkemuka dari Say-koan yang memegang pimpinan Ngo-tay-lian-beng," tutur Gi-lim.
"segala sesuatu tentu akan dilakukannya dengan mengutamakan keluhuran budi dan bijaksana."
Ucapan Gi-lim itu keluar dari lubuk hatinya yang tulus.
Maklumlah, dia memang polos dan belum tahu selukbeluknya orang hidup, setiap urusan selalu berpikir pada hal2 yang baik. Tapi bagi pendengaran Hui Pin, ucapannya itu dirasakan sebagai sindiran. Diam2 ia membatin: "Sekali
mau berbuat harus sampai tuntas. Jika salah satu saksi
hidup sampai lolos, maka selanjutnya nama baik orang she Hui pasti akan runtuh."
Setelah tekadnya bulat, segera ia angkat pedangnya dan
menuding Gi-lim. katanya; "Kau sendiri kan tidak terluka dan juga bukan anak kecil, tentunya dapat kubunuh kau
bukan?" Keruan Gi-lim kaget, jawabnya sambil menyurut
mundur: "Hahhh, aku .... aku .... mengapa hendak kau bunuh diriku?"
"Sebab kau berkomplot dengan siluman Mo-kau, jelas
kau bersaudara dengan mereka. dengan sendirinya kau pun
tak dapat kuampuni," kata Hui Pin sambil mendesak imaju dan mengangkat pedangnya hendak menusuk
Cepat Sau Peng-lam melompat maju dan menghadang
didepan Gi-lim, sambil berseru: "Lekas lari, Sumoay, pergilah mencari bantuan kepada Suhumu!"
Ia tahu tempat mereka berada itu sangat terpencil, sukar diketahui kemana akan menemukan Ting-yat Suthay.
Sebabnya dia menyuruh Nikoh jelita itu mencari bantuan
pada gurunya hanya sebagai alasan untuk menyuruhnya lari saja.
Pedang Hui Pin bergerak, segera ia menusuk bahu kanan
Peng-lam. Cepat Sau Peng-lam mengegos, tapi "sret-sret-sret", kembali Hui Pin menyerang tiga kali hingga Peng-lam
mengelak dengan rada kelabakan.
Melihat itu, Gi-lim tidak tinggal diam, cepat ia melolos pedangnya yang patah itu dan menyerang Hui Pin. serunya:
"Sau-toako, engkau terluka, lekas mundur!"
"Hahaha, Nikoh cilik telah goyang imamnya, rupanya
kau terpikat oleh pemuda ganteng sehingga diri sendiri pun tak terpikir lagi," ejek Hui Pin ter-babak2-Mendadak ia membacok. Terpaksa Gi-lim menangkis,
"trang", kedua pedang beradu dan pedang Gi-lim tergetar jatuh. Menyusul pedang Hui Pin lantas berputar balik dan mengancam ulu hati Gi-lim.
Serangan ini cepat lagi jitu, termasuk jurus serangan
suatu ilmu pedang Say-koan.
Karena orang yang harus dibunuhnya berjumlah lima,
meski selain Gi-lim, yang lain sama terluka parah dan tidak mampu melawan, tapi demi kebaikan sendiri agar tiada
satupun yang sempat lolos, maka cara menyerangnya tidak
kenal ampun lagi.
Gi-lim menjerit dan bermaksud melompat mundur,
namun ujung pedang musuh sudah menyambar tiba.
Untung Sau Peng-lam keburu menubruk maju, segera ia
mencolok kedua mata Hui Pin.
Dalam keadaan demikian, andaikan Hui Pin sampai
membunuh Gi-lim, tapi mata sendiri juga harus menjadi
korban. Terpaksa melompat mundur, namun pedangnya
yang juga ditarik kembali sempat menyayat luka panjang
dilengan kiri Sau Peng-lam.
Tubrukan Sau Peng-lam untuk menolong Gi-lim ini
sesungguhnya dilakukan dengan nekat, seketika lukanya
kambuh dan napas ter-sengal2, ia ter-guling2 akan roboh.
Cepat Gi-lim memeganginya, katanya dengan sendat:
"Biarlah dia bunuh saja kita berdua!"
"Lekas. . . lekas kau lari. . ." ucap Peng-lam dengan ter-engah2.
"Tolol," omel Kik Fi-yan dengan tertawa. "Masa sampai saat ini belum lagi kau tahu isi hati orang" Dia menyatakan ingin mati bersamamu. . . ."
Belum habis ucapannya, dengan menyeringai Hui Pin
telah mendesak maju dengan pedang terhunus.
Peng-lam merasa kusut pikirannya, ia heran sebab apa
Gi-lim ingin mati bersamanya" Meski Nikoh itu utang budi padanya karena jiwanya pernah diselamatkan. tapi
persahabatan merekapun baru berlangsung selama beberapa
hari ini, paling2 cuma sesama saudara perguruan lima besar saja semua ini kan tidak perlu harus dibalas dengan
mengorbankan jiwa segala"
Diam2 ia kagum terhadap anak murid Siong-san-pay
yang berbudi dan setia kawan, Ting-yat
Suthay dianggapnya benar2 tokoh yang hebat.
Dilhatnya Hui Pin lagi mendesak maju pula, pedangnya
gemerdep menyilaukan mata. Selagi tokoh Say-koan itu
hendak menyerang, tiba-tiba dari balik pohon Siong sana
berkumandang suara kecapi yang rawan.
Suara kecapi itu sangat memilukan, seperti penuh rasa
penyesalan dan seperti pula orang menangis sedih.
Menyusul suara kecapi itu menjadi bergemetar, nadanya
berubah ter-putus2 seperti air hujan yang setitik demi setitik menetes diatas daun.
Tergetar hati Hui Pin, pikirnya: "Ah, Siau-sian-ya-uh Bok Jong-siong. si kakek kecapi ketua Thay-san-pay telah datang!"
Bok Jong Siong selain berjuluk "Khim-lo" atau kakek kecapi, juga terkenal dengan julukan "Siau-siang-ya-uh"
atau hujan gerimis dimalam sunyi, Julukan ini diberikan
orang oleh karena bunyi kecapinya yang bernada sedih.
Suarra kecapi itu makin lama makin sedih, namun sejauh
itu Bok Jong Siong, Bok-taysiansing tidak menampakkan
diri. "Apakah Bok-taysiansing adanya?" seru Hui Pin
"Mengapa tidak keluar untuk bertemu?"
Mendadak suara kecapi itu berhenti dari balik pohon
Siong muncul sesosok bayangan tinggi kurus.
Sudah lama Sau Peng-lam kenal nama si kakek kecapi
Bok-taysiansing, tapi belum pernah berjumpa. Dibawah
cahaya bulan sekarang dapat dilihatnya perawakan kakek
kecapi ini kurus kering, kedua pundaknya agak menjembul
ke atas mirip orang yang mengidap sakit bengek atau asma.
Sungguh tak tersangka, ketua Thay-san-pay yang
termashur, Suheng Wi Kay-hou yang disegani itu, ternyata seorang tua yang menyerupai orang sakit tebese begini.
Dengan tangan kiri menjinjing kecapi, Bok Jong-siong
memberi salam kepada Hui Pin dan menyapa: "Hui-suheng, baik2kah Coh-bengcu?"
Melihat ketua Thay-san-pay ini tidak bermaksud jahat,
pula diketahui selama ini dia tidak cocok dengan Wi Kayhou, maka Hui Pin lantas menjawab: "Terima kasih atas perhatian Bok-taysiansing Suko kami baik2 saja. Wi Kay-hou dari Thay-san kalian bergaul dengan Ma-kau dan
bermaksud buruk terhadap Ngo-tay-lian-beng kita. menurut Bok-taysiansing, bagaaimana kita harus bertindak?"
"Harus dibunuh!" ucap Bok Jong-siong dengan dingin sambil melangkah kearah Wi Kay-hou dan begitu kata
"bunuh" terucapkan, se-konyong2 cahaya tajam berkelebat, tangannya sudah memegang sebilah pedang panjang,
sempit dan tipis, dimana sinar pedang gemerdep, tahu2
dada Hui Pin yang dituju.
Serangan ini cepat luar biasa, keruan Hui Pin kaget
setengah mati, cepat ia melompat mundur, namun tidak
urung dadanya sudah terluka, baju terobek dan darah
mengucur. Kejut dan gusar Hui Pin, segera ia balas menyerang.
Tapi sekali sudah mendahului, serangan Bok Jong-siong
yang lain susul menyusul menyambar tiba pula. Pedangnya
yang tipis sempit itu, laksana ular gesitnya dan bergetar tiada hentinya menerobos kian kemari ditengah sinar
pedang Hui Pin.
Mestinya Hui Pin bermaksud membentak dan memaki,
namun serangan Bok Jong-siong teramat cepat sehingga dia terdesak dan tidak sempat buka mulut.
Kik Yang, Wi Kay hou dan Sau Peng-lam adalah ahli
pedang, mereka menjadi kesima dan tercengang menyaksikan betapa lihay ilmu pedang Bok Jong-siong ini!.
Padahal selama berpuluh tahun Wi Kay-hou belajar
bersama sang Suheng, tapi sama sekali tak diketahuinya
ilmu pedang Suhengnya sedemikian bagusnya.
Tertampak tetesan darah menciprat diantara sambaran
kedua pedang, Hui Pin melompat kian kemari dan
menangkis sekuatnya, akan tetapi tidak pernah terlepas dari kurungan sinar pedang Bok Jong-siong.
Terlihat sekitar kedua orang itu sudah terciprat menjadi satu lingkaran darah. Mendadak Hui Pin menjerit dan
melompat keatas,
Sebaliknya Bok Jong-siong lantas menarik pedangnya
dan melompat mundur, pedang dimasukkannya ketengah
kecapi, lalu putar tubuh dan melangkah pergi. Lagu "Siausian-ya-uh" tadi bergema pula dari balik pohon sana dan makin lama makin jauh . , , .
Setelah melompat keatas tadi, tahu2 Hui Pin lantas jatuh terkapar, darah menyembur keluar dari dadanya laksana air pancuran.
Kiranya dalam pertarungan sengit tadi sekuatnya dia
mengerahkan tenaga dalam untuk menghadapi serangan
Bok Jong-siong yang lihay itu, setelah dadanya tertusuk
pedang, tenaga dalamnya belum lagi hapus sehingga darah
terdesak keluar melalui luka tusukan pedang. Keadaannya
menjadi seram dan misterius.
Gi-lim memegangi lengan Sau Peng-lam, jantungnya berdebar2. Meski sudah ber-tahun2 ia belajar silat, tapi belum pernah menyaksikan pembunuhan secara mengerikan
begini. Sementara itu Hui Pin sudah terkapar bermandi darah
dan tidak bergerak, jelas sudah binasa.
"Wi-hiante," ucap Kik Yang dengan gegetun, "pernah kau katakan padaku bahwa antara kau dan Suhengmu tiada
kecocokan, tak tersangka pada saat kau menghadapi bahaya dia turun tangan menyelamatkan dirimu."
"Tindak-tanduk Suhengku memang aneh dan sukar


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diduga," kata Wi Kay-hou. "Ketidak cocokanku dengan dia juga bukan urusan kaya dan miskin, hanya soal watak saja yang berbeda."
Kik Yang menggeleng. katanya: "Ilmu pedangnya
sedemikian hebat, kecapi yang dibunyikannya justeru
sedemikian sedihnya dan mengharukan orang, rasanya
terlalu kampungan."
"Memang begitulah sifat Suko," kata Wi Kay-hou, "Ber-ulang2 begitulah lagu yang dibawakannya, nadanya selalu
sedih memilukan. Bila mendengar suara kecapinya, rasanya aku ingin menghindarinya jauh2."
Diam2 Peng-lam membatin: "Kedua orang ini benar2
sudah keranjingan seni musik, pada saat gawat antara mati dan hidup begini mereka masih bicara tentang lagu segala."
Terdengar Wi Kay-hou berkata pula: "Tapi bila bicara tentang ilmu pedang jelas aku ketinggalan jauh, se-hari2 aku memang kurang hormat kepadanya, jika dipikir sekarang,
sungguh aku merasa menyesal dan malu."
Kik Yang meng-angguk2, katanya: "Ketua Thay-san-pay memang benar2 tidak bernama kosong."
"Yaya, hendaklah kau buka Hiat-toku dan marilah kita pergi saja," tiba2 Fifi berseru.
Kik Yang berusaha bangun, tapi baru tubuh bagian atas
menegak, dengan lemas ia jatuh berduduk lagi. katanya
dengan menggeleng: "Ai, aku tidak sanggup." Tiba2 ia berpaling kepada Sau Peng-lam dan berkata: "Adik cilik, ada satu hal ingin kumohon bantuanmu, entah engkau mau
menerima atau tidak?"
"Permintaan apapun pasti akan kulaksanakan," jawab Peng-lam.
Kik Yang memandang Wi Kay-hou sekejap, lalu berkata:
"Aku dan Wi-hiante sama mabuk seni suara sehingga lupa daratan, hasil pemikiran kami selama beberapa tahun
adalah menciptakan sebuah lagu 'Siau-go-yan-he'. Kami
yakin lagu ini sangat hebat dan belum pernah ada sejak
dahulu hingga sekarang. Selanjutnya sekalipun didunia ini mungkin terdapat manusia seperti Kik Yang, tapi belum
tentu akan muncul pula seorang Wi Kay-hou, se-umpama
ada juga manusia seperti Kik Yang dan Wi Kay-hou juga
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 14 Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo Pedang Tanpa Perasaan 9

Cari Blog Ini