Ceritasilat Novel Online

Pedang Kiri Pedang Kanan 12

Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Bagian 12


kulit muka sendiri lebih tebal daripada orang lain, meski dirinya dihina dan dimusuhi. namun kesehatannya tidak
terganggu sama sekali, bahkan napsu makannya juga tidak
berkurang, bahkan takaran makannya malah bertambah,
kalau biasanya dua mangkuk nasi. sekarang tiga
mangkukpun terasa belum kenyang.
Satu hari seorang jongos datang mengundang, katanya:
"Hujin memerintahkan setiap murid ikut keluar menyambut Lengki dari Bengcu."
Peng-say menjadi ragu Menurut aturan, karena dia
sudah tercatat sebagai murid sementara Lam-han, meski
secara resmi belum pernah belajar silat kepada Sau Cenghong, betapapun ia harus ikut anak murid yang lain keluar menyambut Lengki atau panji kebesaran ketua persekutuan
lima besar, Tapi bila mengingat keadaan sendiri yang
diperlakukan dingin, kalau ikut keluar, bukankah akan
mencari malu sendiri"
Setelah berpikir dan menimbang sejenak, akhirnya ia
memutuskan, biarpun nanti diperlakukan dingin, ia harus
ikut keluar. Yang menjadi alasan keputusannya ini bukan
lantaran dia sudah resmi murid Lam-han, tapi menguatirkan apa yang akan terjadi diluar nanti.
Sebab ia teringat kepada peristiwa di kediaman Wi Kayhou tempo hari, begitu panji Bengcu muncul disana,
segenap anggota keluarg Wi lantas tertimpa bencana.
Apakah sekarang kejadian begitu akan berulang pula"
Begitulah sendirian ia lantas menuju ke tempat
penyambutan tamu, dilihatnya di ruangan besar itu sudah
berduduk seorang botak dan seorang kurus kering seperti
orang sakit tebese. Jelas mereka itulah adik seperguruan sang Bengcu, yaitu Ting Tiong dan Liok Pek, mereka sudah dikenal Peng-say dikediaman Wi Kay-hou dan cukup dalam
kesannya. Di depan kedua tamu itu berduduk Leng Tiong-cik,
mungkin sang guru belum lebaran tirakat, maka ibu guru
mewakiii menemui tamu.
Diantara tetamu itu, kecuali Ting Tiong dan Liok Pek,
semua murid Say-koan yang ikut hadir di tempat Wi Kayhou tempo hari kini juga datang semua, mereka berdiri
disamping kanan-kiri Ting Tiong dan Liok Pek.
Di kedua samping Leng Tiong-cik juga berdiri Sau Penglam, Kiau Lo-kiat dan lain2, mereka sudah hadir sejak tadi, hanya Soat Peng-say saja yang datang paling lambat.
Setelah masuk kesitu, Peng-say lantas berdiri agak jauh
dibelakang Leng Tiong-cik, sang ibu-guru melototinya
sekejap, agaknya merasa tidak senang karena dia datang
terlambat. Didengarnya Ting Tiong sedang bertanya: "Sau-hujin, tolong tanya, apakah Sau-suheng berada dirumah?"
"Ada!" jawab Leng Tiong-cik singkat.
Mungkin dia sudah mendengar apa yang terjadi di
kediaman Wi Kay-hou, sebab itulah jawabannya cekak-aos
dan sikapnya dingin terhadap Ting Tiong dan rombongannya. Dahi Liok Pek tampak berkerut, ucapnya dengan kurang
senang: "Mengapa tidak keluar menyambut?"
"Apakah perlu?" jengek Leng Tiong-cik.
Liok Pek membentang Lengki atau panji kebesaran yang
dipegangnya dan berkata: "Dia boleh memandang rendah kami berdua, tapi tidak boleh tidak menghormati Lengki
ini!" Leng Tiong-cik memandang Lengki itu sekejap, katanya:
"Ada keperluan apa kunjungan kalian ini, silakan bicara saja dan tidak perlu menakuti orang dengan Lengki!"
"Silakan Sau-suheng keluar untuk bicara!" seru Liok Pek sambil angkat Lengki tinggi2.
Dia sengaja perkeras suaranya agar didengar oleh Sau
Ceng-hong, maka suaranya nyaring bergema memekak
telinga. Air muka Leng Tiong-cik berubah, ucapnya: "Orang she Liok. ditempatku ini jangan kau main gila, gulung panjimu itu!"
Dengan bersitegang leher Liok Pek tidak menghiraukan
permintaan Leng Tiong-cik itu. Kuatir urusan bisa runyam, cepat Ting Tiong berkata: "Sam-sute, boleh kau gulung Lengki kita."
Liok Pek juga tahu tempat keluarga Sau ini tidak dapat
dibandingkan rumah keluarga Wi, melulu nyonya Sau saja
mungkin mereka berdua bukan tandingannya, jika Ssu
Ceng-hong dibikin gusar dan tampil kemuka, tentu lebih
celaka lagi bagi mereka.
Maka ia tidak berani berlagak lagi, dengan ogah2an ia
gulung panjinya,
"Sau-hujin," kata Ting Tiong kemudian, "bukan maksud kami menakuti orang dengan Lengki, tapi kami ingin Siu-suheng keluar untuk bicara berhadapan dengan kami, sebab persoalan ini sangat penting harus dirundingkan langsung dengan Sau-suheng."
"Urusan apa, boleh cooa katakan lebih dulu," ujar Leng Tiong-cik.
"Apakah Hujin dapat mengambil kepututan?" tanya Ting Tiong dengan ketawa,
"Sekiranya
dapat keputusan sendiri tentu akan kuputuskan, kalau tidak dapat barulah kuundang keluar
suamiku," jawab Leng Tiong-cik ketus.
"Untuk apa menambah pekerjaan!" tanpa pikir Liok Pek menyeletuk.
Leng Tiong-Cik menjadi gusar, mendadak ia mengebrak
meja, seketika meja kecil itu ambles kebawah, keempat kaki meja hampir separoh ambles kedalam ubin, tapi cangkir teh di atas meja tidak bergetar, bahkan air teh tidak tercecer setitikpun.
Batapa pun hebat Lwekang yang diperlihatkan Leng
Tiong-cik ini, semua murid Say-koan sama terkesiap. Tapi Liok Pek lantas mendengus, katanya di dalam hati, "Hm, kau pamer kelihayanmu ini untuk menggertak diriku?"
Melihat sikap Liok Pek yang menantang itu, Leng Tiongcik tambah murka, damperatnya: "Orang she Liok, kau meremehkan aku Leng Tiong-cik ya?"
Liok Pek menjawab: "Hui-uh-kiam Leng-lihiap sudah
lama termashur, mana berani kupandang remeh tokoh
Leng-lihiap" Hanya saja hehe, urusan ini kukira kau tidak mampu mengambil keputusan!"
"Coba katakan, lihat saja apakah aku dapat memutuskannya atau tidak?" kata Leng Tiok-cik.
Dengan tertawa Ting Tiong lantas menyela: "Jika Hujin berkeras mau memutuskan sendiri urusan ini dan merasa
tidak perlu mengejutkan Sau-suheng, baiklah Sute, boleh
kau katakan kepada Sau-hujin, habis itu segera kitapun
dapat membawa pergi orang yang kita inginkan."
Tapi Liok Pek lantas menjawab: "Kukira cara ini kurang baik, apabila Sau-suheng tidak mau mengerti."
"Siapa yang hendak kalian bawa?" tanya Leng Tiong-cik cepat.
"Sute, asalkan Sau-hujin sudah mengizinkan, kan sama saja?" ujar Ting Tiong, dia tidak menjawab dulu pertanyaan Leng Tiong-cik,
Keruan nyonya Sau itu sangat mendongkol.
"Kalian jangan mengharap akan membawa apapun dari
tempatku ini" demikian ia lantas berteriak.
"Puteramu membunuh orang, apakah juga tidak boleh
kami membawanya pergi?" kata Ting Tiong.
"Pedang anak Lam selamanya tidak pernah membunuh
orang yang tak berdosa, barang siapa terbunuh olehnya
tentu orang itu pantas dibunuh, kalian tidak berhak
membawanya pergi!" seru Leng Tiong-cik.
Ting Tiong ter-bahak2, katanya: "Hahahaha! Ucapan
Sau-hujin ini sungguh tidak masuk diakal, tak terduga isteri Kun-cu-kiam yang termashur ternyata seorang perempuan
yang tidak tahu aturan dan suka menang sendiri!"
"Mau apa jika tidak tahu aturan?" teriak Leng Tiong-cik, dia sudah marah, maka tambah nekat. "Terhadap kawanan penindas yang suka membunuh orang tak berdosa secara se-wenang2 dengan memperalat nama Bengcu sebagai tameng,
hakikatnya tidak perlu bicara tentaog aturan segala!"'
"Kau tidak mau pakai aturan, kamipun tidak perlu
sungkan2 padamu!" ucap Ting Tiong sambil memandang
anak muridnya, ia memberi tanda agar siap turun tangan.
Urusan sudah kadung begini, jika tidak segera dicegah,
kalau sampai kedua pihak sudah bergebrak. pihak mana
yang akan kalah atau menang adalah soal belakang, yang
jelas peristiwa ini adalah malapetaka bagi dunia persilatan umumnya.
Dengan sendirinya Sau Peng-lam tidak ingin malapetaka
ini timbul lantaran dirinya. segera ia tampil kemuka dan berseru: "Ting-susiok, tolong tanya siapakah yang telah kubunuh" Jika Wanpwe salah membunuh, kurela menerima
hukuman dari Bengcu padahal seingatku, akhir2 ini selain kubunuh seorang murid Tang-wan bernama Lo Ci-kiat,
rasanya tiada orang kedua lagi yang kubunuh. Memangnya
karena membunuh Lo Ci-kiat itu Wanpwe dianggap
bersalah?"
"Hm, bisa juga berlagak kau!" jengek Ting Tioog.
"Kematian Lo Ci-kiat tiada yang menganggap kau salah.
Coba jawab, sesudah membunuh Lo Ci-kiat, siapa pula
yang kau bunuh"!"
"Itulah yang membingungkan Wanwe, mohon Susiok
suka memberitahu," jawab Peng-lam.
"Hui-susiokmu, bagaimana?" Liok Pek menyeletuk.
Hati Peng-lam tergetar, air mukanya berubah hebat.
"Hm, perubahan air mukamu ini sama dengan suatu
pengakuan, lekas katakan, dengan akal keji apa kau bunuh Hui-sute"!" jengok Ting Tiong.
Air muka Leng Tiong-cik juga berubah. Tadi karena
emosi, hampir saja ia bergebrak dengan lawan, kalau saja hal itu terjadi, jelas pihak sendiri yang bersalah dan nama baik suami juga akan ikut ternoda.
Maklumlah, dia baru saja bertengkar dengan suami
sendiri, hatinya masih geram, menghadapi urusan apapan
tidak dipikir lagi secara mendalam, baginya paling2 rumah tangga berantakan dan mati semuanya. Tapi setelah
pikirannya tenang kembali barulah ia ingat seharusnya dia menanyai dulu siapa yang dibunuh Peng-lam, dengan
demikian sekali pun nanti harus bertengkar dengan lawan
pihak sendiri menpunyai alasan yang cukup kuat, bila
tersiar juga tidak malu.
Siapa tahu orang yang dibunuh anak Lam ialah Hut Pin
jelas dia tidak dapat membelanya lagi, jelek2 Hui Pin
adalah angkatan yang lebih tua, tokoh Ngo-tay-lian-beng, biasanya
setiap anggota lima besar ini sangat mementingkan tingkatan., jika membunuh Susiok, lalu apa
yang dapat dikatakan"
Begitulah dengan suara terputus Leng Tiong-cik
bertanya: "Anak Lam, apakah betul kau ....kau yang
membunuh Hui-susiokmu?"
"Tidak!" jawab Peng-lam.
Melihat Peng-lam menjawab dengan tegas tanpa sangsi,
hati Leng Tiong-cik merasa mantap, ia cukup kenal watak
anak angkatnya yang jujur ini, kalau bilang satu tentu tidak merjadi dua, bila dia bilang tidak, maka pasti tidak.
Dengan tertawa ia lantas tanya pula: "Jika begitu,
mengapa air mukamu berubah, tadi kukira kau merasa
berdosa, maka takut. Jadi kau benar2 tidak membunuh Huisugiok." "Gibo jangan kuatir," kata Peng-lam. "Biar anak mengulangi
sekali lagi, anak sama sekali tidak membunub Hui-susiok,"
"Hm, kalau begitu, ingin kupinjam ucapan Gibomu,
sebab apa air mukamu berubah?" tukas Ting Tiong.
Segera Liok Pek menyambung: "Dan ketika mendengar
kusebut nama Hui-susiok, seketika air mukamu berubah,
jika betul kau tidak mencelakai dia, mengapa kau keder,
jelas karena ada sesuatu yang tidak beres pada dirimu!"
"Sebabnya air mukaku berubah adalah karena ada orang memfitnah diriku," tutur Peng-lam. "Justeru Wanpwe ingin tanya kepada Susiok, siapa yang bilang aku yang
membunuh Hui susiok,"
"Darimana kau tahu orang memfitnah kau?" Ting Tiong berbalik tanya.
"Kematian Hui-susiok itu, kecuali orang yang membunuhnya, yang tahu hanya ada tiga orang, yaitu Gilim Sumoay dari Siong-san-pay, seorang anak perempuan
kecil dan diriku. Pembunuhnya itu adalah seorang tokoh
yang punya nama cemerlang tidak nanti dia menjerumuskan diriku, Gi-lim Sumoay dan anak perempuan itupun tidak nanti mengatakan aku yang
membunuhnya, sekarang kedua Susiok nenuduh diriku, bila
bukau salah seorang diantara mereka bertiga itu memfitnah diriku, mengapa aku yang kalian cari?"
"Tidak perlu kita persoalkan siapa yang memfitnah kau,"
kata Ting Tiong. "Untuk membuktikan bukan kau yang
membunuh Hui-susiok, kau harus menunjuk pembunuh
yang sebenarnya itu, setelah kami ketemukan orangnya,
tentu tuduhan padamu akan kami tarik kembali."
Peng-lam menggeleng, katanya: "Tidak, tidak dapat
kukatakan."
"Anak Lam, kenapa tidak dapat kau katakan?" tanya Leng Tiong-cik.
"Ya, apapun tidak dapat kukatakan," jawab Peng-lam tegas. "Sebab, kalau kukatakan, maka akan timbul
malapetaka besar."
Dengan sendirinya ia tidak dapat mengatakan si
pembunuhnya adalah anggota Ngo-tay-han-beng sendiri,
sebab akibatnya akan menimbulkan bunuh membunuh di
antara orang2 lima besar sendiri. Umpama dia tidak
menyebut namanya Bok Jong siong dan melulu bilang
pembunuhnya adalah anggota lima besar, hal inipun akan
menimbulkan curiga Ting Tiong dan Liok Pek, bila
dilaporkan kepada Coh-suheng mereka, tentu juga akan
menimbulkan prasangka jelek terhadap anggota Ngo-taylian-beng lainnya yang dianggap sengaja memusuhi Saykoan serta membunuh Hui Pin. Dan akibatnya yang lebih
luas adalah persatuan lima besar akan lemah dan
berantakan. Namun siapakah yang tahu kekuatiran Sau Peng-lam ini"


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ting Tiong tertawa dingin dan mendesak pula: "Anak
muda, jangan kau berlagak lagi. Jangan kau kira kami ini mudah kau kelabui. Si pembunuhnya bukan lain adalah
dirimu sendiri!"
Peng-lam menggeleng, jawabnya: "Aku berani bersumpah, bukan diriku?"
"Memangnya kau perlu saksi yang dapat tunjuk hidung dan baru kau mau mengaku?" kata Ting Tiong.
"Bagus, aku justeru ingin tahu siapa dia?" jawab Peng-lam.
"Bukan kau akan tahu, untuk membuktikan bukan kami
mau gertak belaka," kata Liok Pek. "Suheng, apakah perlu orang itu dibawa kemari?"
Ting Tiong berpikir sejenak, akhirnya ia mengangguk
dan berkata: "Baiklah!"
Segera Liok Pek berteriak; "Ting-tat, suruh mereka
menggotongnya kemari!"
Terdengar suara Su Ting-tat mengiakan diluar.
Meski lahirnya Peng-lam tenang2 saja sambil memandang keluar ruangan tamu, sebenarnya hatinya juga
kebat-kebit tidak tenteram, ia merasa tidak berdosa,
sebenarnya ia tidak takut akan dituduh orang sebagai
pembunuh. Namun siapakah orang yang menuduhnya itu,
hal inilah yang membuatnya tidak tenteram.
Sejenak kemudian, seorang lelaki jangkung berbaju
kuning memimpin beberapa orang tukang pikul menggotong masuk sebuah dipan yang diberi tenda seperti
tandu. Setelah tenda ditaruh di lantai, tidak terlihat orang keluar dari tandu itu.
Peng-lam tidak tahan, segera ia berseru: "Siapa itu yang di dalam tandu?"
"Ak. . . .aku, Toako . . .aku!" terdengar suara seorang perempuan muda menyahut dengan suara ter-sendat2.
Seluruh tubuh Peng-lam bergetar hebat, serunya: "He, Gi-lim Sumoay!?" Dia hampir tidak percaya kepada
telinganya sendiri, suara itu ternyata betul suara Gi-lim.
Liok Pek ter-bahak2, katanya: "Siausuhu ini ternyata kasmaran terhadap dirimu, sejauh itu dia tidak mau
mengaku siapa pembunuh Hui-sute, sesudah kami pancing
dengan macam2 akal akhirnya barulah ia bicara terus
terang." "Gi-lim Sumoay, coba kau keluar sini!" kata Peng-lam dengan pedih dan gemas.
"Aku. . .aku tidak. . . .tidak dapat. . . ."
Mendadak Peng-lam hendak melompat kedepan tandu,
tapi Ting Tiong lantas menghantam dari jauh sambil
membentak: "Kau mau apa"!"
Peng-lam terdesak mundur oleh angin pukulan itu, tapi
dia tidak berhenti, segera ia melayang lagi ke sana,
"Kembali" bentak pula Ting Tiong, kembali ia memukul.
Sekali ini Peng-lam sudah memperhitungkan daya
pukulan Ting Tiong, begitu melayang maju, mendadak ia
menggeliat dan berubah tempat.
Karena itulah pukulan Ting Tiong itu mengenai tempat
kosong. diam2 ia mengeluh: "Celaka!"
Tampaknya Peng-lam sudah dekat dengan tandu itu,
tahu2 Liok Pek telah memburu maju, tanpa bersuara ia
terus menghantam.
Yang dipikir Peng-lam hanya menghindari pukulan Ting
Tiong tadi, sama sekali ia tidak menduga tokoh kelas tinggi Say-koan sebagai Liok Pek ini dapat menyergapnya secara
mendadak. Ketika ia merasa angin pukulan dahsyat
menyambar tiba untuk mengelak sudah terlambat, dalam
keadaan gawat, tiba2 terdengar suara mendesing, segera ia tahu
ibu-gurunya telah menolongnya dengan menyambitkan "Tau-kut-ting" atau paku penembus tulang.
"Tau-kut-ting" adalah senjata rahasia andalah Leng Tiong-cik, kekuatannya mampu menghancurkan Khikang
(kekuatan perut) musuh, angin pukulan dahsyat bagaimanapun tak dapat menahannya, bila terkena tubuh
musuh segera menembus tulang dan menancap ke dalam
tubuh, lihaynya tidak kepalang.
Karena itulah lekas2 Liok Pek menarik tangannya ketika
melihat Tiau-kut-ting itu menyambar ke tengah telapak
tangannya. Meski jiwa Peng-lam dapat diselamatkan, tapi sebagian
angin pukulan Liok Pek itu tetap mengenai tubuhnya
sehingga menambah daya lompatnya kesana, dengan kuat
ia terus menubruk ke depan tandu. Tampaknya sukar
baginya untuk mengerem dan tandu itu pasti akan
ditumbuknya hingga hancur.
Se-konyong2 Su Ting-tat mengadang ke depan, kedua
tangannya terus menolak.
"Bagus!" bentak Peng-lam, buru2 iapun memapak
dengan kedua telapak tangannya.
Empat tangan beradu, "blang", Peng-lam dapat menahan tubuhnya dan berdiri tegak, sebaliknya Su Ting-tat menjerit ngeri, tubuhnya yang jangkung itu mencelat keluar ruangan dan jatuh terbanting.
Untung dia cukup tangkas, otot tulangnya sangat kuat.
meski bamtingan itu membuatnya kesakitan dan sampai
sekian lama tidak sanggup merangkak bangun. namun tidak
sampai terluka parah.
Sebenarnya tenaga dalam Su Ting-tat selisih tidak terlalu jauh dengan Peng-lam, soalnya Peng-lam mendapat
tambahan tenaga pukulan Liok Pek tadi. dengan sendirinya luar biasa kuatnya. Jadi mencelatnya Su Ting-tat sebagian boleh dikatakan akibat dibanting oleh tenaga pukulan Sang susioknya sendiri.
Ketika Peng-lam dapat menahan tubuh dan berdiri tegak
tepat ia berdiri di depan tandu, mendadak ia menyingkap
tabir tandu. Semua orang mengira dia akan mencelakai Gi-lim,
bahkan Leng Tiong-cik juga menyangka dia akan
membunuh Gi-lim untuk menghilangkan saksi. Siapa tahu
setelah tabir tandu dibukanya, lalu ia berjongkok ke bawah dengan pelahan dan bertanya: "He, kak. . . .kakimu. . . ."
Gi-lim sekarang ternyata bukan Gi-lim yang jelita pada
sebulan yang lalu, kini wajahnya kurus pucat, hanya dalam
waktu sesingkat ini dia sudah kurus dan layu, jubah
agamanya kotor dan rombeng.
"Mereka telah .... telah memotong urat besar kakiku . . .
." dengan tersedu-sedan Gi-lim berkata sambil mendekap mukanya.
Peng-lam menoleh dan memandang Ting Tiong dengan
gusar. Ting Tiong merasa lega setelah mengetahui Peng-lam
tidak bermaksud membunuh Gi-lim, dengan tak acuh ia
berkata: "Beberapa kali Nikoh cilik itu mau kabur, terpaksa kami memotong urat kakinya . . . ,"
"Tentunya kau tahu dia ialah murid kesayangan Ting-yat Suthay?" teriak Peng-lam dengan gusar.
"Memangnya kenapa kalau dia murid kesayangan Tingyat?" jengek Ting Tiong. "Dia tersangkut perkara membunuh orang yang lebih tua, dosanya pantas dihukum
mati, melulu memotoog urat kakinya saja adalah hukuman
yang terlalu ringan"
"Kematian Hui-susiok hakikatnya tiada sangkut pautnya dengan dia!" teriak Peng-lam.
"Waktu kami menemukan jenazah Hui-sute, hanya dia
sendiri yang berada disana," tutur Ting Tiong. "Waktu kami tanya dia, dengan gelagapan ia tak dapat menerangkan
duduknya perkara. Kalau bilang dia tiada sangkut-pautnya dengan kematian Hui-sute, siapa yang mau percaya?"
"Hutang ini kelak Siong-san-pay yang akan membikin
perhitungan dengao kalian!" teriak Peng-lam dengan
menggertak gigi.
Ting Tiong hanya mendengus saja dan menyepelekan
peringatan tersebut.
Peng-lam berjongkok lebih rendah dan tanya Gi-lim:
"Dan dimana Fifi?"
Gi-lim seperti merasa malu dan tidak berani menatap
Peng-lam, jawabnya dengan menunduk' "Sesudah kau
pergi, dia juga lantas pergi."
"Dan kau, mengapa kau tidak pergi, betapa bahayanya
kau tinggal sendirian di sana," kata Peng-lam .
"Aku menunggu , . . . menunggu kau, kutunggu sampai .
. . sampai hari kedua . . . ."
Peng-lam menghela napas, katanya: "Untuk apa
menunggu diriku"! Ikut pergi bersama Fifi kau segala
urusan menjadi beres?" Tapi sekarang ... dia tidak tega
mengomeli Gi-lim lagi dan tidak meneruskan ucapannya.
Gi-lim menangis pelahan, katanya: "Kau sendiri bilang hanya pergi .... pergi sebentar dan segera akan kembali, maka kutunggu disana, siapa . . .siapa tahu sampai esok
paginya kau tetap tidak datang kembali . . . ."
Peng-lam jadi ingat ketika dia hendak pergi itu memang
pernah menyatakan akan segera kembali lagi, malahan
dirinya memberi pesan agar Nikoh cilik itu menemani Fifi dan menunggunya sebentar, tak terduga Nikoh cilik yang
polos ini benar2 menunggu terus di tempat yang berbahaya itu dan dirinya juga tanpa kembali lagi kesana. Sekarang urusan sudah telaniur begini, apakah dia dapat disalahkan"
Padahal dimalam gelap sendirian dia menunggui tiga sosok mayat di sana, memangnya untuk apa" Kalau ada yang
salah. tentu dirinya harus disalahkan lebih dulu karena
menyatakan akan kembali lagi ke sana dan lupa
menyuruhnya pergi saja.
"Kemudian ... kemudian datanglah si botak dan si setan jangkung itu," tutur Gi-lim pula, "mereka menggali keluar
mayat Hui susiok dan bertanya padaku siapa pembunuhnya. Sudah tentu aku tidak berani omong.
Kulihat mereka menggali keluar pula jenazah Wi-susiok
dan kakek Fifi serta mencincang jenazah mereka. Ai,
orang2 benar2 maha jahat, orang mati saja di . . . ."
-Ooo0dw0ooO- Jilid 23 Mestinya ia hendak mengomeli mereka yang merusak
mayat orang mati, tiba2 teringat olehnya Sau Peng-lam juga pernah menyayat mayat Hui Pin, maka urung melanjutkan
ucapannya, ia lantas ganti haluan dan berkata pula; "Lalu mereka .... mereka memaksa aku mengikuti mereka pergi,
sepanjang jalan aku ditanyai pula siapa pembunuh Hui
susiok, katanya siapa mereka dan ada hubungan apa
dengan Hui-susiok. tapi mereka tidak mau menerangkan,
hanya terus memaksa agar aku mengaku siapa yang
membunuh Hui-susiok. . . ."
"Sesungguhnya siapa yang membunuh Hui-susiok?"
tukas Leng Hiang tiba2.
Gi-lim mengangkat kepala dan memandangnya sekejap,
lalu menunduk pula, tanyanya kepada Peng-lam dengan
suara pelahan: "Toa . . .Toako, siapakah dia?"
"Dia inilah Leng-sumoay, Leng Hiang," jawab Peng-lam.
"Gi-lim cici," kata Leng Hiang pula, "tentu kau tahu pembunuh Hui-susiok yang sebenarnya, betul tidak" Jut
keh-lang tidak boleh berdusta, nah, lekas katakanlah,
siapakah pembunuh itu sebenarnya?"
"Tidak tahu?" jawab Gi-lim dengan dingin.
"Tadi kau bilang tidak berani omong, jadi bukannya
tidak tahu," kata Leng Hiang. "Bila sejak semula kau bilang tidak tahu, kan tidak banyak urusan seperti sekarang?"
Peng-lam menghela napas, katanya: "Ucapan Sumoayku
memang betul, seharusnya sejak semula kau bilang tidak
tahu saja, padahal kalau kau katakan tidak tahu, siapa lagi yang dapat memaksa kau?"
Gi-lim merasa kurang senang karena Peng-lam membela
ucapan Leng Hiang, semula ia setengah berbaring
ditandunya menghadapi Peng-lam, sekarang mendadak ia
membalik tubuh ke samping.
Segera Ting Tiong menyambung pula: "Watak Siausuhu
ini polos bersih, tidak suka berdusta. Sau Peng-lam, biarpun kau inginkan dia bantu menutup, rahasiamu dan
menyatakan tidak tahu, kan sudah terlambat sekarang "
Peng-lam lantas bertanya: "Gi-lim, betulkah aku
pembunuhnya?"
Tapi Gi lim diam saja.
"Sau Peng-lam, tidak perlu tanya lagi," sela Liok Pek,
"Dengan jelas sudah dikatakannya kepada kami bahwa kau pembunuhnya. Tiada gunanya banyak bertanya pula,
sekalipun ia kau tanyai juga ia tak berani omong. Padahal juga tidak perlu ditanyai pula, berdiam berarti mengakui.
Nah anak muda, ikutlah kami ketempat Coh-suheng untuk
mengaku dosamu. Seorang lelaki sejati berani berbuat
berani bertanggung jawab, apa gunanya kau ngotot disini.
apakah ingin membikin susah Gihu dan Gibomu?"
Peng-lam jadi emosi, teriaknya. "Tidak, pembunuhnya bukan
aku, Gi-lim, katakanlah, apakah aku ini pembunuhnya?"
"Sam-sute, tangkap dia dan berangkat!" kata Ting Tiong.
Segera Liok Pek melangkah maju, melihat Leng TiongCik tidak merintanginya, ia lantas berkata kepada Penglam. "Menurutlah sedikit, sekarang tiaada orang berani membela kau lagi, malahan kami nanti dapat mintakan
sedikit kelonggaran bagimu di tempat Coh-suheng agar kau tidak dihukum siksa dan bereskan kau secara cepat saja."
Peng-lam jadi ngeri membayangkan hukuman siksa yang
kejam itu, ia berusaha berontak pada kesempatan terakhir, teriaknya pula dengan suara gemetar, "Gi-lim, lekas katakan bahwa aku bukan pembunuhnya."
Tapi Gi-lim tetap bungkam.
Liok Pek lantas berkata pula: "Coba, dia tetap diam saja.
Sudahlah, jangan bikin malu, memangnya kau hendak
berlutut dan menyembah padanya untuk memohon dia
mengatakan kau bukan pembunuhnya" Hayolah berangkat,
tunjukan kejantananmu sedikit!"
Dengan lesu Pang-lam berbangkit, ucapnya dengan
lemas: "Baik, silakan kalian meringkus diriku!"
"Nah, beginilah baru kelihatan sedikit jiwa ksatria murid Lam-han," ucap Liok Pek sambil mengeluarkan seutas tali kulit.
"Jangan meringkus dia!" mendadak Gi-lim berseru,
"bukan dia pembunuhnya, pembunuh yang sebenarnya
ialah. . . ."
"Tutup mulut!" bentak Peng-lam,
"Cara bagaimana harus kukatakan?" tanya Gi-lim dengan gegetun.
"Cukup begitu saja," Kata Peng-lam.
"Tapi mereka memaksa kukatakan pembunuhnya," ujar Gi-lim.
"Lebih baik kita mati sendiri daripada mengatakan
pembunuh yang sebenarnya," kata Peng-lam dengan
kereng. Gi-lim menghela napas, ucapnya: "Kutahu, selalu
kuingat pada ucapan Toako, kukuatir dia akan mencari
setori dan mengadu pedang dengan guruku, maka sejauh ini tidak kusebut namanya."
Kiranya dia tidak berani menyebut Bok Jong-siong
sebagai pembunuhnya bukan lantaran dia berkuatir


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akibatnya seperti apa yang dipikirkan Peng-lam, sebabnya dia tidak berani omong hanya karena ucapan Peng-lam
tempo hari. Disamping dongkol, geli juga Peng-lam, tapi juga merasa
lega. Tak disangkanya bahwa ucapannya yang bersifat
gurauan tempo hari bisa mendatangkan efek seperti
sekarang ini, Cuma, apa sebabnya kemudian Gi-lim
mengaku dia sebagai pembunuhnya, inilah yang tidak
dipahami. Tiba2 Ting Tiong bertanya: "Siausuhu, siapa pembunuh Hui-susiokmu yang sesungguhnya?"
Sekarang Gi-lim sudah bertambah cerdik, ia menjawab:
"Aku tidak tahu."
Dengan suara keras Liok Pek menggertaknya: "Tidak
tahu" Akan kami beset kulitmu!"
"Mati Saja aku tidak takut sekarang, masa takut dibeset?"
jawab Gi-lim dengan tertawa. "Biar-pun kau menyiksa diriku juga aku tidak takut lagi."
"Sam-sute, bawa Sau Peng-lam!" seru Ting Tiong.
"He, ini tidak boleh jadi, dia bukan pembunuhnya!"
teriak Gi-lim "Sudah pernah kau katakan dia ini pembunuhnya, tiada gunanya sekarang kau menyangkal!" kata Ting Tiong. Lalu ia membentak: "Bawa dia berangkat!"
Selagi Liok Pek hendak turun tangan, terdengar Gi-lim
berteriak dengan cemas: "Tidak, jangan kalian membawa pergi dia, dia benar2 bukan pembunuhnya!"
Liok Pek tidak menghiraukannya dan segera akan turun
tangan. Tapi Leng Tiong-cik lantas mencegah: "Liok-sute, nanti dulu!"
"Apakah Sau-hujin hendak merintangi tugas kami?"
tanya Ting Tiong.
"Anak Lam bukan pembunuhnya, dengan sendirinya
harus kurintangi," jawab Tiong-cik.
"Jelas Nikoh cilik ini terbujuk sehingga menyatakan puteramu bukan pembunuhnya," kata Ting Tiong. "Tapi coba Sau-hujin pikirkan, pertanyaannya yang sudah
terlambat ini apakah berguna?"
"Ingin kutanyai dia lebih jelas, boleh?" kata Leng Tiong-cik.
"Silakan," jawab Ting Tiong.
Segera Leng Tiong-cik bertanya: "Gi-lim Siau-suhu,
sebab apa mula2 kau memfitnah Sau-toakomu sebagai
pembunuh Hui-susiok" Tentunya kau tahu bahwa jiwanya
hampir melayang lantaran berusaha menyelamatkan
kesucianmu, masa begini cepat kau lupa kepada buai
pertolongannya atau kau memang tidak tahu kebaikan
orang kepadamu?"
"Aku bukan patung, masa tidak tahu kebaikan orang
padaku?" jawab Gi-lim. "Kebaikan Toako padaku cukup jelas kuketahui, tidak perlu kau menginagtkan diriku."
"Habis kenapa kau sampai hati membikin susah dia?"
tanya Tiong-cik pula.
Mendadak Gi-lim menangis, selang sejenak, ia mengusap
air mata sambil menunduk, katanya: "Tidak seharusnya dia melupakan
diriku, aku ditinggalkan sendirian di pegunungan sunyi sana, aku ketakutan dan semalaman
tidak berani tidur, kududuk di samping tiga kuburan baru, menangis semalam suntuk. Besoknya aku ditangkap
mereka, mereka menyiksa diriku dan menakuti diriku
dengan macam2 jalan, semula aku masih bertahan,
kemuadian aku mulai menyalahkan Sau-toako, tidak
seharusnya dia meninggalkan diriku dan pergi bertemu
dengan Siausumoaynya yang bernama Leng Hiang dan aku
dilupakannya . .. ."
Mendengar penuturan Gi-lim ini, diam2 Peng-lam
merasa penasaran, padahal kepergiannya itu adalah menuju ke kelenteng Toapekong untuk menolong Soat Peng-say
dan tidak pernah pergi berkencan dengan Leng Hiang. Tapi dalam benak Gi-lim yang tidak tahu apa yang terjadi ini
menyangka dia pergi menemui Siau-sumoaynya.
Inilah jalan pikiran perempuan yang sering2 menuju
ekstrim. Meski Gi-lim sudah menjadi Nikoh, tapi dia tetap perempuan dan tak terhindar dari sifat2 perempuan.
"O jadi kau menyesal Sau-toako melupakan kau, tapi kau pun tak juga berani menyebut nama si pembunuh yang
sebenarnya, maka saking tidak tahan oleh macam2 siksaan, lantas kau berdusta bahwa Sau-toako ialah pembunuhnya,
begitu?" tanya Leng Tiong-cik.
Gi-lim mengangguk, katanya: "Menyesal sih memang
menyesal, cuma tidak sengaja membikin susah padanya.
Aku cuma ingin bertemu dengan Sau-toako, kupikir hanya
dengan jalan mengaku Sau-toako sebagai pembunuhnya
barulah mereka akan membawa diriku untuk ku ditemukan
dengan dia."
"Sungguh, Nikoh cilik yang berhati busuk," damperat Leng Hiang, "jiwanya hampir saja melayang bagimu, masa kau bilang tidak sengaja bikin susah dia?"
Gi-lim tidak menghiraukannya, dengan suara pelahan ia
bergumam: "Akhirnya toh aku dapat bertemu dengan dia!"
Dari nadanya Peng-lam merasakan gelagat tidak baik,
cepat ia berseru: "Jangan!"
Namun sudah terlambat, pada saat mengucapkan kata2
terakhir itu, sebilah belati yang digenggam Gi-lim secepat kilat bersarang di ulu hati sendiri.
Cepat Peng-lam memburu maju dan memondongnya, ia
bermaksud mencabut belati itu.
Tapi Gi-lim sempat memegang tangannya, ucapnya
dengan menahan sakit: "Biar kukata ....katakan. . . ."
Peng-lam melihat belati itu menancap sangat dalam di
ulu hati Nikoh cilik itu, bila dicabut bisa jadi jiwa Gi-lim akan terus melayang dan tidak sempatt bicara Iagi.
Dengan tersendat ia lantas menjawab: "Baiklah. ka . ..
.katakanlah!"
Sekuatnya Gi-lim bicara dengan ter-putus2: "Matipun aku tidak .... tidak sengaja membikin celaka dirimu . . ,."
"Kutahu, kutahu . ..." air mata ber-linang2 di kelopak mata Peng-lam.
"Dan akupun tidak dapat . . . ,tidak dapat membikin susah Suhu . . . ."
Peng lam mengangguk dengan terharu.
"Jika .... jika aku mati, mereka .... mereka tak dapat lagi meng .... mengorek pengakuanku tentang pembunuh yang
sebenarnya .... "
Sampai di sini mulutnya terus terkatup rapat2, dari sudut mulutnya merembes keluar darah hitam, suhu badannya
mulai turun, makin turun dan makin dingin.
Sampai sekian lama barulah Sau Peng-lam mengetahui
Gi-lim sudah mati. Kedua tangannya terasa kesemutan dan
mati rasa, air matanya bercucuran.
Ting Tiong memberi isyarat kepada kawannya, serentak
dia dan Liok Pek menubruk kebelakang Sau Peng-lam.
Gi-lim sudah mati, hanya dari Peng-lam saja dapat
dikorek keterangan siapa pembunuh yang sesungguhnya.
Peng-lam se-akan2 tidak tahu akan sergapan itu, dengan
ter-mangu2 ia tetap memandangi jenazah Gi-lim.
Tapi Leng Tiong-cik lantas bertindak, dengan pedang
terhunus iapun melompat maju sambil membentak: "Berani kau!" " Selagi masih terapung di udara. pedangnya
sekaligus menusuk ke kanan dan ke kiri sehingga Ting
Tiong dan Liok Pek dipaksa harus menyelamatkan diri
lebih dulu. Leng Tiong-cik berjuluk "Hui-ih-kiam" atau pedang hujan gerimis, gerak pedangnya secepat dan sederas seperti hujan gerimis, susul menyusul tanpa berhenti. Meski satu lawan dua, tapi sekali sudah menyerang kedua lawannya
sama sekali tidak berkesempatan untuk melolos senjata.
Selangkah demi selangkah Ting Tiong dan Liok Pek
terdesak mundur sehingga kepepet di sudut dinding dan ta kbisa mundur lebih jauh lagi. Tapi hanya sampai di sini saja Leng Tiong-cik lantas menarik kembali pedangnya dan
berkata, "Sementara ini titip dulu kepalamu! Sekaraog lekas enyah dari sini!"
Ting Tiong dan Liok Pek merasa kehilangan pamor,
mereka memberi hormat dan berkata: "Budi Leng-tihiap yang tidak membunuh kami pasti kami ingat dengan baik!"
" Habis berkata mereka terus membalik tubuh dan pergi.
Sudah tentu anak murid Say-koan yang ikut hadir juga
merasa kehilangan muka oleh karena kekalahan kedua
Susioknya. dalam sekejap mereka pun pergi seluruhnya.
Hanyi tersisa keempat kuli tukang pikul tandu itu, mereka masih berdirl melongo di situ dengan bingung.
Leng Tiong-cik menyuruh pelayan memberikan upah
kepada mereka dan menyuruhnya pergi dengan tandunya,
tandu yang kosong, sebab orang yang tadinya berbaring di tandu itu kini masih berada dalam pangkuan Sau Peng-lam.
Setelah mendapat isyarat dari Leng Tiong-cik, seorang
murid perempuan berumur tiga puluhan mendekati Penglam dan berkata: "Toa-suko,
biarkan aku yang memondongnya."
Peng-lam diam saja, tiada tanda2 akan menyerahkan
mayat Gi-lim itu.
"Orang sudah mati, sebaiknya lekas dikebumikan,
biarlah kubawa pergi untuk mengatur segala apa yang
perlu," kata pula Sumoaynya itu.
"Tidak perlu bikin susah Sumoay, biar kusendiri yang mengubur dia," kata Peng-lam.
Tiong-cik menjadi kurang senang, katanya: "Anak Lam, apa jadinya kau pondong seorang Nikoh begitu" Lekas
serahkan!"
Terpaksa Peng-lam menyerahkannya kepada Sumoaynya, tapi tetap ikut pergi untuk mengubur Gi-lim.
Leng Tiong-cik sangat mendongkol, waktu berpaling,
dilihatnya Soat Peng-say berdiri di belakang, segera ia
membentak: "Untuk apa kau berdiri disitu" Nonton dagelan anggapanmu"!"'
Peng-say menjadi gugup, jawabnya dengan gelagapan:
"Tecu .... Tecu tidak bermaksud demikian . .."
Entah mengapa, Leng Tiong-cik lantas benci bila melihat
tampang Peng-say, ia membentak pula: "Lekas enyah dari sini!"
Dengan menahan rasa penasaran, terpaksa Peng-say
mengiakan. Belum lagi dua-tiga langkah ia berjalan didengarnya
Leng Tiong-cik berteriak pula: "Enyahlah yang jauh, sebaiknya enyah saja dari gunung ini. Disini hanya
diperlakukan dingin oleh saudara seperguruan, apa tidak
risi?" Mendengar cemoohan ini, seketika air mata Peng-say
bercucuran, katanya didalam hati: "Baik, enyah ya enyah!
Dalam keadaan begini, masa aku masih punya muka untuk
berdiam lagi disini?"
Dengan setengah berlari ia menerjang keluar, tapi sampai di ambang pintu, dilihatnya seorang mengadang ditengah
jalan. Waktu ia menengadah ternyata sang guru adanya.
Rupanya sudah sejak tadi Sau Ceng-hong berada disitu, tapi tiada seorangpun yang tahu.
Peng-say memberi hormat dan berucap dengan suara
sedih: "Suhu, murid mohon diri!"
Sau Ceng-hong tidak memperlihatkan sesuatu tanda, ia
hanya bersuara pelahan.
Dengan terkesima Peng-say memandang Sau Ceng-hong
sekejap, bukannya dia heran pada sikap sang guru yang
tiada memberi tanda apa2, tapi heran lantaran cuma
sebulan tidak bertemu, mengapa Sau Ceng-hong sudah
berubah jauh lebih tua, seperti sudah berpisah berpuluh
tahun. Peng-say lantas berlari kembali ke kamarnya, ia tidak
mempunyai barang milik, ia hanya mengambil seruling
kemala, satu2nva barang tinggalan mendiang Cin Yak-leng, seruling ini tidak boleh hilang. dengan hati2 ia
menyimpannya di dalam baju lalu turun gunung dengan
langkah cepat. Selagi menuruni puncak gunung. tiba2 didengarnya
suara Kiau lo-kiat berteriak di belakang: "Cap-itsute:"
Peng-say berhenti dan menoleh. jawabnya: "Ji-suko, aku sudah pamit kepada Suhu dan sekarang bolehlah kupergi."
Kiau Lo-kiat berlari ke samping Peng-say, setelah
menghembus napas. ia berkata dengan tertawa: "Kedatanganku bukan untuk membujuk engkau kembali
keatas gunung, Suhu yang menyuruhku mengantar kau
sebentar!"
"Ah, mana berani kubikin capai Ji-suko, kukira tidak perlu diantar," kata Peng-say.
"Tidak, harus kuantar, hayolah jalan!" seru Kiau Lo-kiat sambil memegang sebelah tangan Peng-say terus diajak
berlari ke bawah.
Sepanjang jalan mereka terus berlari secepat terbang,
orang lalu lalang sama heran menyaksikan kecepatan
mereka, hanya kelihatan dua titik bayangan, hanya sekejap saja sudah menghilang di kejauhan,
Setelah berlari sekian lama, mendadak Kiau Lo-kiat
berhenti dan menjatuhkan diri berduduk ditanah dengan
napas ter-engah2. Sebaliknya air muka Peng-say biasa2 saja, se-olah2 tidak keluar tenaga.
Peng-say ingat, dahulu waktu gurunya menggunakan
tanda untuk mengumpulkan para saudaranya di kelenteng
Toapekong itu, dirinya berlari paling lambat, hanya dapat mengikuti bayangan Leng Hiang dari jauh. Apalagi Kiau
Lo-kiat, begitu mulai berlari lantas jauh meninggalkan dia.
Siapa tahu hanya dalam waktu sebulan saja, bukan saja
dirinya sekarang mampu berlari sejajar Ji-suheng ini,
bahkan tidak merasa lelah, kenyataan yang aneh
membuatnya heran. Ia menyangka hasil latihan ke 18 gaya
semadi itu, diam2 ia merasa terima kasih kepada Sau Penglam yang telah memberikan buku nada seruling itu.
Dilihatnya Kiau Lo-kiat masih ter-engah2 sambil
menegeleng, katanya: "Sudah tua, tidak berguna lagi!"
Semula Peng-say mengira sang Ji-suheng ini rendah hati
dan pura2 saja, tapi setelah diperhatikan lagi, tampaknya memang sungguh2 payah, sekali ini ia menjadi rada sangsi terhadap kemampuannya sendiri, masa dalam sebulan saja
Lwekangnya sudah melampaui Ji-suhengnya"
Ia ter-mangu2 dengan penuh tanda tanya dalam
benaknya Sejenak kemudian, Kiau Lo-kiat berbangkit dan
berkata: "Apa yang kau renungkan" Perut sudah lapar, marilah kita cari makanan?"
Tidak jauh di depan adalah Huiciu, kota pelabuhan yang
cukup ramai, mereka masuk kota dan mencari rumah
makan serta pesan santapan dengan arak.
Kiau Lo-kiat menuang dua cawan arak dan mengajak
minum: "Cap-itsute, silakan minum satu cawan. Santapan ini anggaplah perjamuan selamat jalan bagimu, sebentar
jangan kau berebut bayar rekening denganku."
Peng-say tertawa, katanya; "Jika begitu, tarima kasih lebih dulu."
Sekaligus mereka masing2 menghabiskan tiga cawan
arak, setelah makan beberapa sumpit sayur dengan
bersemangat Kiau Lo-kiat berkata pula: "Mari, marilah minum lagi, hari ini kita harus minum sampai mabuk!"
Karena hatinya lagi duka dan kesal, Peng-say memang
perlu penyaluran, dengan tertawa ia berkata: "Baik, harus minum sampai mabuk!" "Ia menuang penuh satu cawan,
sekali tengggak dihabiskan pula. Tanpa makan sayur segera ia isi lagi cawannya.
Selagi dia hendak minum pula. tiba2 Kiau Lo-kiat
memegang tangannya dan bertata. "Nanti dulu, hati2 kalau mabuk."
"Bukankah Ji-suko sendiri bilang harus minum sampai mabuk?" tanya Peng-say dengan heran.
Kiau Lo-kiat tertawa, katanya: "Mabuk sih boleh saja, kalau merusak kesehatan, inilah yang tidak boleh."
"Jangan kuatir, hanya beberapa kati arak saja, biarpun mabuk juga takkan mengganggu kesehatan-ku."
Lo-kiat menggeieng, katanya: "Seorang kalau tiada
mempunyai sesuatu pikiran. betapa dia mabuk, asalkan
berkeringat, segera dia akan sadar kembali, tapi bagi orang yang batinnya tertekan, terus menerus minum arak terang
tidak baik."
"Masa aku punya pikiran apa2. marilah, kita minum
lagi" ucap Peng-say dengan tertawa.
Namun Lo-kiat tetap memegangi tangannya, katanya
dengan tertawa: "Cap-itsute, bicaramu terang tidak jujur, apakah betul kau tidak menanggung pikiran?"
Seketika dada Peng-say terasa kecut, air matanya lantas


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menetes. Umumnya lelaki tidak mudah mencucurkan air mata,
sebab rasa dukanya belum tersentuh, tapi sekali kalau sudah menangis, maka sukar dibendung lagi. Begitu pula keadaan Peng-say sekarang, sungguh ia ingin menangis se-keras2nya. Akan tetapi sedapatnya dia bertahan, hanya saja air matanya sukar dibendung.
Kiau Lo-kiat menghela napas, katanya: "Marilah kita makan nasi dulu, habis makan akan kubicara banyak2
denganmu. Nanti kalau pikiranmu sudah terbuka barulah
kita minum arak lagi se-puas2nya."
Segera Peng-say mengusap air mata dan mengiakan.
Sedapatnya ia menghilangknn rasa dukanya, ia mendahului
mengisi mangkuknya dengan nasi, lalu dimakannya dengan
bernapsu. Diam2 Lo-kiat mengangguk dan memuji: "Cap-itsute
memang seorang lelaki hebat, senang atau susah dapat
dihadapinya dengan tabah."
Hanya sekejap saja sebakul nasi sudah mereka sikat
habis. Selesai membayar, dengan perut kenyang mereka
meninggalkan rumah makan itu.
Kiau Lo-kiat mendapatkan sebuah hotel yang cukup
santai, ia memilih sebuah kamar sejuk agar dia dapat
berbicara dengan Soat Peng-say.
Kedua orang berdiam di dalam kamar sambil menikmati
teh teko. Sehabis menghirup secangkir teh, berkatalah Kiau Lo-kiat: "Cap-itsute, isi hatimu mengenai nona Cin tidak perlu kita bicarakan. Marilah kita bicara dulu tentang sebab musabab Sunio tidak suka padamu, bahkan menyuruh kau
enyah." "Jelas beliau memang tidak suka padaku, masa perlu
sebab musabab segala?" kata Peng-say.
"Tampangmu tidak jelek, setiap orang yang pertama kali melihat kau tentu akan merasa suka, hanya Sunio yang
terkecuali, bilamana tidak ada sebab2nya, apakah masuk di akal?" ujar Kiau Lo-kiat dengan tertawa.
"Ah, jangan Ji-suko berseloroh," kata Peng-say dengan muka merah.
"Tidak, sama sekali aku tidak menggoda kau,
tampangmu memang menyenangkan orang," ucap Kiau Lokiat dengan sungguh2. "Sebabnya Sunio tidak suka padamu jelas bukan lantaran mukamu menjemukan, tapi dalam
pandangan Sunio, wajahmu ini menimbulkan rangsangan
perasaan yang hebat, dari rasa tidak suka lantas timbul rasa bencinya."
Secara dibawah sadar Peng-say meraba mukanya sendiri,
katanya dengan heran: "Apa artinya ucapanmu. Ji-suko?"
"Yakni, karena mukamu ini sangat mirip dengan ibumu,"
jawab Lo-kiat. "Hah, jika demikian, jadi sejak dahulu Sunio kenal
ibuku?" seru Peng-say.
Lo-kiat mengangguk, katanya: "Betul, Sunio kenal
ibumu, Suhu juga kenal. Akupun tidak dapat dikatakan
kenal ibumu, namun pernah kulihat beliau beberapa kali.
Pada pertama kalinya kulihat kau, tanpa terasa kuperhatikan dirimu dan timbul perasaan seperti sudah
kukenal." "Ya, akupun tahu wajahku rada mirip mendiang ibu,"
ujar Peng-say. "Numpang tanya. wajahku yang mirip ibuku ada
sangkut-paut apa dengan Sunio, mengapa mengakibatkan dia benci padaku?"
Lo -kiat menggeleng, katanya dengan menyesal:
"Makanya Suhu menyuruh kuberi penjelasan padamu, tapi akupun tidak tahu cara bagaimana harus kukatakan.
Pokoknya sebab yang menimbulkan rasa benci Sunio
padamu, selain disebabkan wajahmu mirip ibumu, sebab
yang terbesar adalah karena kau ini putera Suhu."
Peng-say lantas teringat kepada gurunya yang pertama,
yaitu Tio Tay-peng, waktu pertama kali bertemu, sang guru juga mengaku kenal ibunya. tapi kemudian nama ibunya
saja tidak cocok. Sekarang Suhu yang kedua inipun bilang kenal ibunya, malahan mengaku sebagai ayahnya, jangan2
nama ibu juga tidak jelas, kalau begini barulah lucu. Pikir punya pikir, ia menjadi geli sendiri.
Kiau Lo-kiat mengira ucapannya tadi pasti akan
membikin kaget Soat Peng-say, siapa tahu, anak muda itu
bukan saja tidak terkejut, bahkan menampilkan senyuman
geli, hal ini benar2 tak diduganya sama sekali.
Dengan tertawa Peng-say malah berkata pula: "Ji-suko, apakah Suhu bilang sendiri padamu bahwa aku ini
anaknya?" Lo-kiat merasa tidak senang terhadap sikap Peng-say
yang tidak pantas ini, segera ia menjengek: "Betul, Apakah Suhu mengakui kau sebagai anaknya menimbulkan rasa
sangsimu?"
"Tiada bukti tanpa saksi, dengan sendirinya aku sangsi,"
ujar Peng-say dengan tertawa.
"Bukti yang nyata adalah namamu!" seru Lo-kiat dengan mendongkol.
"Namaku?" Peng-say menegas.
"Ya," jawab Lo-kiat. "Menurut tradisi keluarga Sau, angkatan Suhu kita pakai nama 'Ceng', maka Suhu bernama
Ceng-hong dan Sau-supek dari Pak-cay bernama Ceng-in,
kedua saudara sepupu sama2 memakai nama dasar Ceng
Sampai angkatan kita, waktu Suhu mengangkat Toa-suko
sebagai anak, nama angkatannya pakai 'Peng', maka Toasuko diberi bernama Peng-lam, bagi putera kandung sendiri Suhu memberinya nama Peng-say."
Pada waktu mengucapkan kata "Peng-say", karena gemasnya, Kiau Lo-kiat sengaja mengucapnya dengan
suara keras dan nyaring.
Lalu Lo-kiat menyambung pula: "Menurut cerita Suhu, Soat Kun-hoa yaitu ibumu. pada waktu meninggalkan
beliau sedang hamil. Sudah tentu Suhu merasa berat untuk berpisah, maka beliau memberi pesan, bilamana jabang-bayi lahir, baik lelaki maupun perempuan hendaklah diberi
nama 'Sau Peng-say'. Suhu tahu ibumu dendam padanya
bisa jadi nama 'Peng-say' takkan dipakai, lebih2 tidak nanti memakai she beliau. Benar juga, ibumu lebih suka anaknya ikut she sendiri daripada pakai she ayahnya. Namun ibumu toh tetap menuruti sebagian pesan Suhu, yakni tetap
memberi nama Peng-say padamu sesuai permintaan
ayahmu sendiri."
Mendengar sampai disini, tidak tahan lagi Peng-say,
mendadak mendekap dilantai dan menangis. Suara
tangisannya sekarang tercampur antara perasaan sedih dan girang. Sedihnya karena nasib kehidupan sendiri yang
nelangsa, punya ayah, tapi tidak tahu.
Yang membuatnya bergirang adalah sekarang dengan
pasti telah diketahuinya siapa gerangan ayah kandungnya sendiri.
Sekarang dia tidak perlu sangsi lagi, sebab "Soat Kun-hoa" yang disebut Kiau Lo-kiat itu memang betul ialah nama ibunya.
Jika Soat Peng-say menangis, maka Kiau Lo-kiat yang
tertawa. cuma tertawa yang mencucurkan air mata, dia
terharu dan juga bergirang bagi sang guru yang sekarang
jelas diketahui mempunyai anak keturunannya sendiri.
Setelah menangis dengan puas, Peng-say berduduk lagi
dan mengusap air matanya, mendadak ia tertawa.
Kiau Lo-kiat melengak, katanya dengan tertawa: "Hah, sungguh lucu, baru sekarang kulihat ada orang lelaki ya
menangis ya tertawa sekaligus."
Tiba2 Peng-say berbangkit dan berkata:" Ji-suko, marilah kita berangkat!"
"Kemana?" tanya Lo-kiat heran.
"Minum arak!" kata Peng-say. "Sekarang aku tidak mempunyai tanggungan pikiran lagi. biarpun minum seribu
cawan juga tidak bakalan mabuk."
"Tidak perlu ter-buru2, duduk dulu!" kata Lo-kiat.
"Tidak minum arak juga harus berangkat!" kata Peng-say pula.
"Kemana lagi?"
"Ke Soh-hok-han, harus kupanggil ayah beberapa kali kepada Suhu, lalu menyembahnya seratus kali."
Lo-kiat tertawa, katanya: "Menyembah seribu kali juga tak dapat membalas budi kebaikan ayah. Duduk, duduklah,
kau bukan anak kecil, segala suka-duka harus dapat kau
tahan. Kelak masa kuatir tiada kesempatan untuk
memanggil ayah dan menyembah padanya" Hayolah
duduk, banyak urusan yang harus kubicarakan dengan kau,
habis bicara barulah kita pergi."
Dengan menahan perasaannya Peng-say berduduk pula,
lalu bertanya: "Sebab apa ibu meninggalkan ayah?"
"Bicara soal ini, memang inilah kelemahan ayahmu,"
tutur Lo-kiat "Bukan maksudku sengaja mengeritik orang tua, sesungguhnya Suhu memang kelewat takut bini.
Tidakkah kau lihat waktu kau dienyahkan Sunio, beliau kan tidak berani bersuara" Dalam keadaan serupa itulah ibumu tinggal pergi dengan gusar."
"Jika demikian, lebih baik aku tidak pulang ke Soh-hok-han saja agar ayah tidak serba susah," kata Peng-say.
"Ya, kukira sebaiknya memang begitu," kata Lo-kiat sambil manggut2 "Kau dapat berpikir bagi Suhu, kau
memang anak baik Kuingat pada waktu ibumu meninggalkan Soh-hok-han, waktu itu Toa-suko masih
kecil, tapi usiaku sudah likuran, aku masih ingat ketika kepergian ibumu dengan menahan sesal. Sesungguhnya
Sunio terlalu menghina dia, Sunio memandang rendah asalusul ibumu, katanya keluarga Soat dari Say-pak tiada
satupun orang baik, sampai2 pamanmu Soat Ko-hong dan
bibimu Soat Ciau-hoa juga dimakinya ..."
"Hah, Soat Ciau-hoa itu bibiku?" seru Peng-say kaget.
Diam2 ia berpikir: "Pantas waktu pertama kali bertemu,
Suhu menyangka ibuku ialah Soat Ciau-hoa, jangan2
wajahku juga mirip bibi?"
"Apakah Ibumu tidak pernah bercerita padamu?" tanya Lo-kiat.
Peng-say menggeleng, katanya: "Tidak, ibu selamanya tidak bicara tentang asal-usulnya sendiri. Soat Ko-hong
adalah pamanku juga baru kudengar pertama kali dari
ayah." "Soat Ciau-hoa adalah saudara kedua, ibumu nomor
tiga," demikian tutur Kiau Lo-kiat pula. "Bicara terus terang, nama bibimu Soat Ciau-hoa memang kurang sedap
di dunia Kangouw, pamanmu Soat Ko-hong sudah kau
ketahui, iapun orang yang sukar direcoki. Tapi apapun juga, ibumu sendiri tidak berbuat sesuatu yang tidak baik.
Malahan Suhu memuji kecantikan dan kebaikan hati
ibumu, sebagai perempuan teladan Ibumu tidak tahu Suhu
sudah menikah, maka mau tinggal bersama dia. Ketika
diketahuinya Suhu sudah berkeluarga dan tidak dapat
diterima oleh isteri tua, betapa sedihnya dapat dibayangkan.
Sesudah ibumu pergi karena tidak tahan usikan Sunio,
dengan sendirinya Suhu juga dibenci olehnya."
Diam2 Peng-say menghela napas, katanya: "Pantas ibu selamanya tidak pernah menyinggung ayah, sampai
meninggal juga tidak pernah menyebut ayah sekatapun, seolah2 aku memang dilahirkan tanpa ayah. Aku memang
sudah tahu she yang kupakai bukan she ayah, aku menjadi
sedih karena she saja tidak punya. Baru sekarang kutahu
persis aku ini she Sau. Tapi arwah ibu di alam baka
mungkin tidak menghendaki aku she Sau, coba Ji-suko,
bagaimana baiknya bagiku?"
Dendam adalah soal lain, she aslimu harus kau pakai,
jika kau she Soat, bukankah sama saja seperti ibumu,
kaupun benci kepada ayahmu" Ibumu boleh benci kepada
Suhu, tapi kau tidak boleh benci kepada ayahnya sendiri.
Selanjutnya kau harus she Sau, andaikan ibumu masih
hidup tentu juga takkan memaksa kau tetap pakai she
ibumu." "Baiklah Ji-suko, seterusnya namaku ialah Sau Peng-say
" "Bagus, bila keputusanmu ini kulaporkan kepada Suhu, beliau pasti akan tertawa gembira. Lebih2 bila nama 'Sau Peng-say' kemudian termashur di dunia Kangouw, Suhu
pasti akan lebih kegirangan."
"Ji-suko," kata Peng-say, "ada dua hal yang tidak jelas begiku, mohon Ji-suko suka memberi petunjuk."
"Dalam hal apa" Bisa jadi kedua hal yang tidak kau
ketahui ini justeru hal2 yang hendak kujelaskan padamu."
"Pertama, mengenai sikap sesama saudara seperguruan terhadap diriku, entah dalam hal apa aku berbuat salah
sehingga mereka memandung hina padaku, sampai2 Toasuko yang mula2 sangat baik padaku, mendadak juga tidak
menggubris padaku. Selama Suhu tirakat. di Soh-hok-han
selain Ji-suko seorang, tiada lagi yang mau menggubris
diriku, sesungguhnya apakah sebabnya?"
"Apakah kau masih ingat Leng-sumoay ingin belajar
main kecapi dengan kau?" kata Lo-kiat dengan gegetun.
"Ya, hanya belajar dua hari, selanjutnya dia tidak datang lagi. Sampai saat ini akupun tidak tahu sebab apa
mendadak dia tidak belajar terus."
"Sebab inilah yang menjadi alasan bagi Toa-suko dan Sumoay lain tidak menggubris padamu. Menurut cerita
Leng-sumoay, katanya pada waktu mengajarkan main
kecapi, kau telah berbuat tidak pantas padanya."
Wajah Peng-say yang putih sekilas berkelebat warna
hijau sehingga membuat Kiau Lo-kiat terkesiap. tapi Peng-yay hanya gusar didalam batin saja dan tidak dikeluarkan, dia banya menggeleng dan berkata: "Tidak ada, sama sekali tidak pernah terjadi hal demikian."
"Aku percaya tidak pernah terjadi, Suhu juga percaya,"
kata Lo-kiat. "Cuma sayang Toa-suko tidak percaya," ujar Peng-say dengan menyesal.
"Diam2 Toa-suko pernah bicara dengan aku, iapun
menyangsikan kebenaran kejadian ini, namun ia pun
percaya Leng Hiang tidak pernah berdusta padanya, mautak-mau ia harus percaya. Tapi kupikir, sekalipun Siausumoay tidak suka berdusta, namun bila ada orang
menghasut dan membujuknya, dia masih muda belia dan
tidak memiliki keteguhan hati, bisa jadi dia akan menurut dan berdusta, lebih2 jika orang yang menyuruhnya
berbohong itu ialah Sunio, tentu saja Siau-sumoay akan
menurut saja."
"Sunio katamu?" seru Peng-say tertahan. "Bag. . .
.bagaimana bisa jadi begini?"
"Kukenal pribadi Sunio," tutur Lo-kiat. "Apabila dia benci
pada seorang, maka cara apapun dapat digunakannya, lantaran dia benci pada ibumu, maka kau
pun dibencinya. Dahulu ia membikin khe-ki ibumu
sehingga minggat, tentu iapun akan berusaha mencari jalan untuk mengusir kau. Tapi daripada mengusir, kalau bisa
dicarinya akal agar kau pergi dengan sendirinya, cara yang paling baik ialah membikin kau malu sendiri uatuk tinggal lebih lama lagi di situ."
Peng-say manggut2. katanya: "Ya, memang kalau tidak dicegah Ji-suko sudah lama aku hengkang dari sana."
"Maka dari sini dapatlah kutimbang dan kupikirkan
bahwa Leng-sumoay pasti berdusta, karena hasutan Sunio,
dia sengaja merusak nama baikmu, maka para saudara
seperguruan sama buang muka padamu. Dalam keadaan
demikian kau ternyata masih kerasan dan tidak pergi
dengan sendirinya, hal ini malah diluar dugaan Sunio.
Mungkin Sunio menjadi tidak sabar, maka selagi marah2
tadi dia terus mengenyahkan kau."
Apa yang diterka Kiau Lo-kiat ini memang tepat. cuma
kritiknya terhadap Leng Hiang ada kekeliruan. Meski Leng Hiang masih muda belia. tapi tidak seperti dugaannya
bahwa nona itu belum mempunyai pendirian teguh.
Sebabnya Leng Hiang mau berbohong bukan disebabkan
dia menuruti saja intrik bibinya secara membabi buta. Leng Tiong-cik juga tidak bodoh. iapun kuatir maksudnya
mengusir Peng-say dan apa yang dibincangkan bisa jadi
Leng Hiang tak-mau melakukannya, kalau dipaksakan
sehingga rahasianya terbongkar, kan dia bisa malu sendiri.
Sebab itulah Leng Tiong-cik telah memperalat titik
kelemahan Leng Hiang agar nona ini mau berdusta.
Pada hari kedua setelah Leng Hiang belajar main kecapi
dengan Peng-say, Leng Tiong-cik telah memanggil Leng


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hiang dan berkata padanya: "Anak Hiang, paman hendak menjodohkan kau kepada Soat-suko, entah bagaimana
pikiranmu?"
Mendengar itu Leng Hiang kaget seperti dengar bunyi
geledek di siang hari bolong, cepat ia berlutut dan
memohon: "O, bibi, anak tidak suka kepada perjodohan ini, bibi cukup tahu isi hatiku, kecuali dia, selama hidup anak tidak ....tidak mau kawin."
"Ya. kutahu kau suka kepada anak Lam," kata Tiong-cik.
"Tapi pamanmu berkeras pada keputusannya, akupun tak
berdaya, sampai anak Lam juga berusaha menjadikan
keinginan pamanmu itu, masa kau tidak tahu?"'
"Ti .... tidak mungkin!" kata Leng Hiang menggeleng dan menangis.
"Malam itu waktu beliau pulang dari Cujoan, aku dan paman telah bertengkar mengenai perjodohanmu, tatkala
mana ada seorang mencuri dengar di luar, paman dan aku
sama tahu, cuma pertengkaran kami lagi berlangsung
dengan sengit sehingga tidak menghiraukannya. Coba kau
terka, siapakah orang yang mencuri dengar itu?"
"Apa Toa-suko?" tanya Leng Hiang.
"Betul, memang dia," kata Tiong-cik. "Suara kaki anak Lam dibuat pelahan sekali, tapi aku dan pamanmu
membesarkan dia sejak kecil, sudah tentu kami kenal gerak-geriknya Kau tahu betapa sayang dan hormat anak Lam
terhadup Gihunya. Ketika dia mengetahui sang Gihu
hendak menjodohkan kau kepada Soat-sukomu, biarpun
dalam hati anak Lam seribu kali tidak suka, namun ia rela mengorbankan kepentingan sendiri demi tercapainya cita2
pamanmu." "O, pan. . .pantas. . . ."
"Kabarnya kau belajar main kecapi dengan Soat-sukomu, anak Lam yang menyuruh kau belajar, apakah betul?"
Sekarang tahulah Leng Hiang maksud tujuan Toasukonya, ia menjadi sangat berduka dan menangis melulu
tanpa menjawab,
"Jelas tindakan anak Lam itu sengaja hendak
mendekatkan kau dengan Soat-sukomu," kata Tiong-cik dengan menghela napas. "Ai, anak Lam sungguh bodoh, kenapa dia bertindak tanpa pikir. Sudah sebesar itu, masa
dia tidak paham cinta antara laki2 dan perempuan dan
menyerah begitu saja?"
Makin sedih hati Leng Hiang, ia mendekap dalam
pangkuan Leng Tiong-cik dan menangis tersedu sedan.
"Jangan menangis sayang, biarlah bibi mencarikan akal bagimu," kata Tiong-cik sambil tepuk-tepuk bahu si nona
.... -^oOo^dw^oOo^- Karena tidak mau dijodohkan kepada Sau Peng-say, juga
supaya Toa-sukonya tahu bahwa pengorbanannya bagi
Cap-itsute itu ternyata sia2 belaka karena pribadi Sute itu ternyata rendah, maka tanpa pikir ia menerima gagasan
sang bibi, ia lantas menyebarkan isyu bahwa dirinya telah diganggu oleh Sau Peng-say, dengan demikian pribadi
Peng-say lantas dipandang hina oleh sesama saudara
seperguruannya, anak muda itu dianggap bajul buntung,
pemuda yang suka mengganggu orang perempuan. Murid
Lam-han yang lelaki sama tidak menggubrisnya lagi, murid perempuan
malahan terus menyingkir jauh2 bila melihatnya. Terhadap Leng Hiang. Leng Tiong-cik sengaja bilang
gagasannya itu demi kepentingan nona itu. padahal yang
benar adalah demi kepentingan Tiong-cik sendiri. Dengan
kabar bohong yang disebarkan Leng Hiang itu, secara tidak langsung ia memperalat nona itu untuk menghancurkan
reputasi putera kandung suaminya sendiri.
Syukur Kiau Lo-kiat melihat ada sesuatu yang ganjil,
maka ia membujuk Sau Peng-say supaya jangan pergi dulu.
Sebab itulah maksud tujuan Leng Tiong-cik belum tercapai.
Ketika nyonya rumah itu sudah kehilangan akal dan tidak
sabar lagi, secara blak2an ia lantas mengenyahkan Peng-say di depan orang banyak, maka tersingkap pula rencananya.
Kalau semula Kiau Lo-kiat hanya curiga saja, sekarang
terbuktilah intrik Leng Tiong-cik itu.
"Ji-suko. mengapa ayah mau percaya padaku?" tanya Peng-say kemudian.
"Dalam hal ini kau mesti berterima kasih padaku," ujar Lo-kiat dengan tertawa. "Kata pribahasa, yang paling tahu watak anaknya tiada yang lebih daripada sang ayah.
Namun Suhu tidak langsung membesarkan kau, ia tidak
kenal jiwamu ini baik atau jahat. Di tengah desas desus
orang banyak bila telinga Suhu mudah di-kili2, bisa jadi dia akan anggap kau ini anak durbaka. Tapi lantaran Ji-sukomu ini bantu memberi penjelasan dengan menganalisa semua
kejadian dari awal hingga akhir, maka sadarlah Suhu akan dudulnya perkara dan aku lantas disuruh menyusul
kemari." Alangkah terima kasih Peng-say, segera ia hendak
berlutut dan menyembah kepada Ji-suhengnya itu. Cepat
Lo-kiat memegangnya dan berkata: "Kau belum lagi
menyembah kepada ayahmu, masa menyembah dulu
padaku, kan repot aku."
Dengan rasa haru dan terima kasih Peng-say berkata:
"Bila Ji-suko tidak bantu memberi penjelasan bagiku, mustahil ayah mau mengakui anak padaku dan kalau ayah
tidak menyuruh kau menyusul ke mari, manabisa kutahu
siapa ayahku yang sebenarnya, semua ini jelas jasa Ji-suko."
Habis berkata ia berkeras ingin menyembah kepada Kiau
Lo-kiat sebagai tanda terima kasihny"!. Lo-kiat tidak dapat mencegahnya, terpaksa membiarkan Peng-say menyembah
tiga kaki. Lalu keduanya berduduk lagi.
"Cap-itsute," kata Lo-kiat kemudian, "tempo hari waktu berada di Ciau-ciu-wan, bersama nona she Soat itu kalian telah membunuh Ciamtay Boh-ko, ilmu pedang yang kalian
gunakan itu apakah betul Siang-liu-kiam-hoat berasal dari Pak-cay?"
"Ya, betul," Peng-say mengangguk.
"Kau hanya menguasai setengah bagian saja?"
"Betul. Yang kukuasai hanya setengah bagian Coh-pikiam-hoat (pedang taagan kiri). sedangkan Soat Koh
menguasai Yu-pi-kiam-hoat (pedang tangan kanan)."
"Sute," kata Lo-kiat pula setelah berpikir sejenak,
"dapatkah kau beritahu siapa gerangan orang yang
mengajarkan padamu Coh-pi-kiam-hoat dari Siang-liu-kiam
itu?" "Guruku itu she Tio bernama Tay-peng:" jawab Peng-say.
"Tio Tay-peng" .... Tio Tay-peng" . . ." Lo-kiat mengulangi nama itu beberapa kali, ia berpikir sekian lama, kemudian menggeleng, katanya pula: "Aneh! Nama ini
mengapa tidak pernah kudengar sebelum ini?"
"Guruku itu memang bukan orang yang terkenal," ucap Peng-say dengan kikuk.
Lo-kiat merasa ucapannya itu rada menyinggung
perasaan, cepat ia berkata: "Maaf Cap-itsute. pengalamanku cupet dan pengetahuanku cetek sehingga tidak kenal nama
gurumu, sekali lagi maaf."
Peng-say tambah rikuh, katanya; "Ah, mengapa Ji-suko jadi sungkan padaku."
Lo-kiat lantas berkata pula: "Suhu, didalam sebutan Suhu ini terdapat kata 'hu' (ayah), jadi budi pendidikan
Suhu tidaklah kalah pentingnya daripada budi ayah-bunda.
Apabila ada orang bersikap atau bicara menghina guruku,
tentu akupun akan merasa tidak senang. Maka tidak perlu
heran apabila ucapanku tadi sekiranya menyinggung
perasaanmu."
"Ah, sudahlah, jangan kita bicara soal ini," kata Peng-say dengan tertawa. "Waktu Ji-suko berangkat, entah adakah sesuatu pesan ayah?"
"Ya, dia suruh kau bunuh Ciamtay Cu-ih," kata Lo-kiat.
Dengan gemas Peng-say berkata: "Orang ini yang
membikin mati adik Leng, jika tidak kubunuh dia
kubersumpah tidak menjadi manusia Sekalipun tiada pesan
dari ayah juga aku bertekad akan menuntut balas bagi adik Leng, cuma saja . . . ." ia menggeleng dan menghela napas panjang.
"Tidaklah sulit untuk membunuh Ciamtay Cu-ih!" ucap Lo-kiat dengan tertawa.
Peng-say mengira sang Ji-suko mempunyai maksud
tertentu, ia mengangguk dan berkata: "Ya. memang,
asalkan punya cita2 yang teguh, biarpun besi juga dipat
diasah menjadi jarum. Tapi untuk itu kan memerlukan
waktu yang lama" Bilamana kelak Kungfuku melebihi
Ciamtay Cu-ih, bisa jadi dia sudah mati tua."
"Kutahu inilah yang kau anggap sulit dalam hatimu
sekarang," ujar Lo-kiat dengan tertawa. "Tapi dalam pandanganku, hal ini bukan soal. Sebenarnya kalau kau
dapat mempelajari setengah bagian lain Siang-liu-kiam-hoat dari Soat Koh, kan segala soal dapat kau pecahkan?"
"Jadi maksudmu. asalkan Siang-liu-kiam-hoat dapat
dipelajari dengan lengkap, dengan mudah pula ^ Ciamtay
Cu-ih dapat kubunuh?" tanya Peng-say.
"Ya, seratus persen!" ucap Lo-kiat dengan pastu. "Meski didunia persilatan ada pameo yang mengatakan 'Siang-liu-kiam-hoat
nomor satu di dunia', tapi menurut pandanganku, hal ini cuma kabar angin saja dan tidak ada dasarnya. Kalau berdasarkan inilah Ji-suko menyatakan
seratus persen pasti akan berhasil mengalahkan Ciamtay
Cu-ih bila ku-mahir Siang-liu-kiam-hoat secara lengkap,
apakah hal ini bukan cuma khayalan belaka?"
Mendadak Lo-kiat membuka bajunya dan memperlihatkan dadanya sambil berseru: "Coba kau lihat sendiri!"
Terlihat dadanya yang kurus itu jelas tertulis tujuh huruf besar, yakni berburyi: "Siang-liu-kiam-hoat nomor satu di dunia" Tulisan itu berjajar tujuh Huruf itu bukan ditulis dengan pit atau pensil, tapi huruf itu terdiri dari goresan bekas2 luka. Jelas bekas senjata tajam. sesudah lukanya
sembuh, codet itu tak dapat dihapus lagi.
Peng-say terkesima bingung dan tak dapat bicara.
Dengan sehuruf demi sehuruf Lo-kiat meraba tulisan
didadanya dan mengucapkannya: "Siang-liu-kiam-hoat
nomor satu di dunia! Nah, siapa berani menyangkalnya?"
"Jangan2. . . .jangan2 dari sinilah tersiarnya semboyan itu?" kata Peng-say dengan ter-gagap2.
Lo-kiat mengangguk, katanya: "Dahulu Sau-supek
berdemontrasi dan meninggalkan tulisan ini, tak tersangka tulisan
ini telah menjadi iklan baginya sehingga
menimbulkan kegemparan di dunia persilatan, setiap orang tahu dan setiap orang membicarakannya. Apabila Sau-supek masih hidup dan diketemukan, biaya iklan ini masih harus kutagih padanya." " Habis berkata ia tertawa terbahak2.
Melihat sikap sang Ji-suheng yang sama sekali tidak
punya rasa dendam karena dadanya telah dilukai begitu
rupa, diam2 Peng-say merasa hormat dan kagum. Segera ia
bertanya pula: "Toapek (paman) sengaja pamer kelihayannya ini kepada siapa?"
"Bagi Suhu dan Tangsay-ji-ki (kedua orang kosen dari timur dan barat)," tutur Lo-kiat.
"Waktunya apakah terjadi ketika pertemuan di Ki-lian-san yang diadakan Ciamtay Cu-ih pada 28 tahun yang
lalu?" "Darimana kau tahu?" Lo-kiat balas bertanya.
"Pernah kudengar cerita
Sau Kim-leng tentang perjalanan ibunya mencari Toapek. Menurut keterangan ibu Kim-leng, konon waktu Toapek menghadiri pertemuan di
Ki-lian-san, Siang-liu-kiam-hoat
baru saja berhasil diciptakan Toapek dan belum diketahui orang Kangouw.
Tapi sesudah menghadiri pertemuan itu beliau lantas
hilang. Padahal hanya pada pertemuan di Ki-lian-san itu
Tospek sempat mempertunjukkan Siang-liu-kiam-hoat.
Kukira dahulu Ji-suko pernah ikut ayah menghadiri
pertemuan itu, sebab hanya dalam pertemuan itulah ada
kemungkinan Toapek meniggalkan tulisan ini di dadamu."
Kiau Lo-kiat menengadah dan mengembuskan napas
panjang, katanya: "Kejadian pada 28 tahun yang lalu itu, kalau dipikirkan sekarang setiap adegannya se-olah2
terbayang kembali dengan jelas. Ya, memang betul, kecuali Su-ki (empat kosen) yang menghadiri pertemuan itu, di
dunia ini satu2nya orang yang dapat menceritakan apa yang terjadi dalam pertemuan itu hanya diriku seorang"
"Sudikah Ji-suko menceritakan padaku pengalamanmu
itu?" pinta Peng-say.
"Pernah kuceritakan kejadian ini kepada satu orang, karena itu aku sangat menyesal dan sudah bersumpah
takkan menceritakannya lagi kepada siapapun. Tapi kau
harus dikecualikan, kau harus mengetahui kejadian itu.
Sebab peristiwa itu menyangkut nasib keluarga Sau kalian yang tragis. Kisah itu harus dimulai dari tiga angkatan lebih tua keluarga Sau kalian Kakek moyangmu, yaitu kakek
guruku, terhitung angkatan yang memakai nama Giok. Sau
Giok-eng, begitu nama kakek-moyangmu, dia dan
kakaknya yang bernama Sau Giok-ci adalah saudara
kembar, mereka adalah murid Bu-toag-pay dari keluarga
preman. Lantaran mereka adalah saudara kembar maka
keduaya saling sayang menyayangi, belum 20 tahun
umurnya sudah tamat belajar segenap Kungfu Bu-tong-pay
sehingga menjadi murid Bu-tong yang paling menonjol dan
paling tinggi prestasinya dalam sejarah Bu-tong-pay. Waktu mulai terjun ke dunia Kangouw, kedua bersaudara itu
hampir tidak pernah berpisah, hanya dalam waktu singkat
nama Pendekar Kembar telah mendapatkan pujian dimana2. -Kemudian kedua saudara kembar itu mendapat penemuan
aneh, mereka mendapat ajaran seorang kosen yang sudah
lama mengasingkan diri. Kungfu mereka bertambah hebat,
sampai2 ketua Bu-tong-pay sendiri pada masa itupun bukan tandingan mereka, Dengan kemajuan pesat mereka
ditambah lagi mereka selalu bertindak bersama dalam
menghadapi setiap persoalan, dengan sendirinya nama
mereka semakin tenar, sebutan merekapun dari Pendekar
berubah menjadi Ki (ajaib. sakti atau kosen), bersama tokoh Tang-wan dan Say-koan pada masa itu mereka disebut
sebagai Bu-lim-su-ki (empat kosen dari dunia persilatan).
-Tang-wan atau Hong hoa-wan menjagoi lautan timur,
Ngo-hoa-koan atau Say-koan merajai wilayah barat, tatkala mana baik selatan maupun utara belum ada tokoh yang
memadai untuk disebut tokoh utama, maka sesudah
berunding. kedua saudara kembar itu sepakat untuk yang
satu tinggal di utara dan yang lain berdiam di selatan dan merajai daerahnya masing2 untuk menandingi kedua orang
sakti yang lain. Berpisahnya kedua saudara kembar itu pun menimbulkan mala petaka bagi keluarga Sau sendiri.
Sebelum keduanya membagi wilayah kekuasaan, dunia
Kangouw menyebut mereka Hengte ji-ki (dua orang sakti
saudara kembar), tiada perbedaan tinggi rendah. Sesudah
berpisah sebutan mereka berubah menjadi Lim-pak-jiki (dua kosen dari selatan dan utara), maka dunia KangouW pun
mulai memperbincangkan siapa yang lebih lihay, siapa yang lebih unggul, Lam-ki atau Pak-ki" Jutteru wajah kedua
orang serupa sepertj pinang dibelah dua, perbuatan mulia yang dilakukan Lam-ki sering2 disangka sebagai perbuatan Pak-ki dan begitu pula sebaliknya."
"Berbuat bajik tidak perlu diketahui orang lain, soal ini sebenarnya tidak ada artinya, cukup asalkan si pelakunya sendiri sudah berbuat kemuliaan dan sudahlah, peduli orarg lain akan menganggap siapa yang berbuat. Apalagi,
seumpama keliru sangka, paling2 juga saudara sendiri yang mendapat nama, antara saudara kandung, apalagi kembar,
apa bedanya."
"Akan tetapi salah anggap itu terjadi semakin sering, lama2 tentu saja kedua pihak lama2 tidak enak bila
mendengar orang menganggap tindakan mulia sebagai
dilakukan saudaranya, padahal yang benar dia sendiri yang melakukannya. Jadi jasa itu bukannya tercatat atas
namanya sendiri malah dirasakan kepada orang lain,
biarpun orang itu adalah saudaranya sendiri. Lama2 tentu juga menimbulkan rasa penasaran. Lantaran inilah, bibit
sengketa antar kedua saudara kembar itupun mula lahir."
"Kenapa tidak meninggalkan nama sehabis berbuat
sesuatu" Dengan meninggalkan nama si pelakunya tentu
takkan menimbulkan salah sangka orang." kata Pang-say.
"Coba kau pikir, setelah kau berbuat sesuatu kebaikan.
apakah kau suka meninggalkan namamu" tanya Lo-kiat
dengan gegetun.
Peng-say menggeleng
"Memang, orang yang membuat kebajikan secara jujur


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan tulus, tidak ingin perbuatannya diketahui orang," kata Lo kiat. "Dan runyamnya urusan justeru timbul karena terlalu seringnya orang salah anggap. Setiap manusia pada umumnya mempunyai rasa harga diri, kalau perbuatan
baiknya yang meski tidak suka diketahui orang lain, bila sering menimbulkan salah anggap, betapapun akan
membuat hatinya tidak enak. Akan lebih baik jadinya bila segala sesuatu perbuatannya itu tidak diketahui orang dan pasti juga takkan menimbulkan perkara. Namun nama
mereka terlalu tenar mereka sering menjadi bahan
pembicaraan orang Kangouw, meski tidak banyak orang
yang kenal wajah mereka, tapi asalkan terjadi setuatu
peristiwa, segera orang tahu hal itu dilakukan oleh salah seorang Pendekar Kembar keluarga Sau. Selisih paham di
antara saudara adalah soal jamak, celakanya urusannya
menyangkut nama. Pada umumnya orang kalau menyebut
jurusan tentu akan bilang Selatan baru kemudian menyebut utara, lantaran mereka berdua tinggal di selatan dan utara, maka mereka pun disebut Lam-pak-ji-ki, Tang atau timur
selalu disebut lebih dulu daripada Say atau barat. Secara kebetulan pada waktu itu nama Tang-wan memang lebih
menonjol daripada Say-koan, maka adalah sesuai dengan
kenyataan jika orang menyebut Tang-say-ji-ki.
-Dengan contoh tersebut, menurut jalan pikiran orang
awam, selatan di atas utara tentu juga berdasarkan
kenyataan. Lantaran itu, lambat laun lantas tersiar berita di dunia Kangouw bahwa ilmu silat Soh-hok-hancu dari Lam-han memang lebih tinggi daripada Leng-hiang-caycu dari
Pak-cay. Karena sudah terjadi kecenderungan pikiran
begitu, menyusul kejadian yang salah anggap juga condong ke Lam-han, banyak perbuatan mulia yang dilakukan Pak-cay selalu dikatakan orang sehagai perbuatan Lam-han.
Dengan sendirinya nama Lam-han makin lama juga
semakin gemilang dibandingkan Pak-cay, maka mulailah
Sau Giok-ci tidak terima. Dapat kita bayangkan, tentu Sau Giok-ci akan berpikir: 'Aku ini si kakak. masa namaku
malah di bawah adik. Tidak, tidak boleh jadi, hal ini harus diluruskan sesuai keadaan yang sebenarnya.
-Kau tahu, antara saudara kembar, keakraban persaudaraan memang jauh lebih erat daripada saudara
kandung biasa, tapi terhadap mereka harus selalu
diperlakukan sama rata dan sama adil, bila nama salah satu pihak mendapat perlakukan tidak seimbang maka mudah
sekali menimbulkan rasa sirik dan iri, tidak mau mengalah, berbeda dari-pada saudara kandung biasa yang lebih mudah saling mengalah. Rupanya perasaan sirik Sau Giok-ci telah menghanyutkan rasionya, jauh2 dari utara ia datang ke
Huiciu untuk menantang duel dengan adiknya. Sudah tentu
Sau Giok-eng tidak mau cekcok dengan saudaranya sendiri, ia tidak terima tantangan itu. Tak terduga Sau Giok-ci
masih terus mendesak dan mempropokasi dengan berbagai
cara, adiknya dituduh memalsukan namanya sehingga
banyak jasa perbuatannya disangka sebagai perbuatan
adiknya, sebab itulah urasan lantas salah anggap Lam-han lebih hebat daripada Pak-cay.
-Sau Giok-eng merasa tidak pernah berbuat sebagaimana
dituduh kakaknya itu, tentu saja ia sangat marah dan
penasaran, iapun berpikir mestinya aku yang menuduh kau
telah merampas jasa perbuatanku, sekarang kau malah
menuduh aku lebih dulu,
-Menurut cerita Suhu, semula kakeknya malah berusaha
menghindari percecokan itu dan bersabar sebisanya, tapi
akhirnya ia tidak tahan ketika S?u Giok-ci mendesak kakek Suhu agar pindah rumah. Agaknya Sau Giok-ci merasa
tempatnya yang terletak di utara itu lebih dirugikan, maka ia ingin pindah ke selatan, sebaliknya adiknya yang pindah ke Leng-hiang cay di utara, Kalau orang bilang selatan-lebih atas daripada utara, sebagai kakak, dengan sendirinya lebih berhak tinggal di selatan Padahal Sau Giok-eng, kakek
Suhu, sudah belasan tahun di Soh-hok-han, nama Lam-han
adalah merek dagangnya yang sudah terdaftar, mana dia
mau meninggalkannya begitu saja" Maka dia menolak
permintaan Sau Giok-ci, sebaliknya Giok-ci tetap memaksa dia pindah. Makin memuncak pertengkaran mereka,
akhirnya pertarungan besar sukar dihindari lagi, kakekmoyangmu itu telah duel dengan kakaknya sendiri. Kungfu
mereka berasal dari perguruan yang sama, bakat merekapun seimbang, dengan sendirinya pertarungan mereka itu sukar ditentukan mana lebih unggul dan siapa lebih asor. Mereka bertempur hingga tiga hari tiga malam lamanya, sampai
semangat loyo dan tenaga habis, ketika mereka benar2
sudah kehabisan tenaga dan tidak sanggup berhantam lagi, sementara itu jiwa mereka sudah seperti pelita yang
kehabisan minyak. Maka hanya beberapa bulan setelah duel itu, kedua saudara kembar itu ber-turut2 meninggal dunia.
Untunglah keduanya masing2 mempunyai seorang anak
lelaki sebagai keturunan, tapi antara Kedua keluarga sukar didamaikan lagi, masing2 saling menyalahkan pihak lain
yang mengakibatkan kematian ayahnya. Meski kedua
keluarga tidak saling baku-hantam lagi, tapi lantas putus hubungan. Walaupun begitu, kedua keluarga tentu saja
tidak mau kalah nama, malahan berlomba saling
mengalahkan, biarpun putus hubungan, tapi diam2 adu
kekuatan dan berebut nama, kedua pihak sama2 berusaha
mempertinggi Kungfu sendiri agar kelak akan dapat
melebihi lawan.
-Turun temurun hingga angkatan Suhu dan Supek
sekarang, pertarungan secara diam2 itupun masih terus
berlangsung. Seperti halnya Supek berhasil menciptakan
Siang-liu-kiam-hout, maka Suhu juga tekun meyakinkan Ci
he-kang, semacam ilmu Bu-tong-pay yang sukar dilatih."
Bicara sampai disini, Kiau Lo-kiat merasa haus. ia minta pelayan
menyediakan teh, panas2 air teh terus diminumnya. Peng-say sendiri hanya ter-mangu2 dan tidak minum.
Tiba2 ia bertanya: "Ji-suko, sesungguhnya Toapek
meninggal tidak?"
Lo-kiat menggeleng, katanya: "Soal ini sampai sekarang belum jelas bagiku."
"Jika tidak meninggal, mengapa sampai sekarang belum juga ada kabar beritanya?" ujar Peng-say dengan ragu.
"Dalam pertemuan Ki-lian-san Supek telah terluka
parah, meski tidak binasa seketika, kukira harapan untuk hidup tidaklah besar, bisa jadi dirinya sudah meninggal."
"Siapakah yang melukai Toapek" Ap .... apakah. . . ."
"Bukan ayahmu, jangan kuatir," tukas Lo-kiat. "Ayahmu bukan orang berhati keji begini, yang melukai Toapekmu
ialah Ciamtay Cu-ih dan Ngo-hoa-koancu, Coh-bengcu,
Coh Cu-jiu."
Peng-say terdiam sejenak, katanya kemudian: "Menurut pendapatku, ayah pasti berbuat sesuatu kesalahan terhadap Toapek, betul tidak Ji-suko?"
Lo-kiat mengangguk, lalu bertanya: "Berdasarkan apa kau menarik kesimpulan demikian?"
"Aku tidak kenal Toapek. tapi dari uraian Kim-leng serta nama jurus2 Siang-liu-kiam-hoat, kuduga pribadi Toapek
pasti ramah tamah dan tidak ambisius, tidak mungkin ia
melampiaskan amarahnya atas diri Ji-suko tanpa sebab.
Beliau menggores tujuh huruf di dadamu, meski dilakukan
sebagai pamer kekuatan, tentu juga lantaran dia gemas
kepada ayahku, kalau tidak tentulah disebabkan tutur kata Ji-suko yang telah membikin marah Toapek."
Cepat Lo-kiat menggeleng kepala, katanya: "Tidak,
memangnya ada berapa kepalaku, masa berani kubikin
marah beliau. Melihat ilmu pedangnva yang maha lihay itu.
aku menjadi ketakutan dan berdiri di samping tanpa berani bergerak, mana aku berani bicara dan membikin marah
padanya." "Habis entah dalam hal apa ayah berbuat salah kepada Toapek sehingga Ji-suko yang menderita?" ucap Peng-say dengan menyesal.
"Penderitaan kulit daging ini tidak ada artinya dan tidak perlu diungkit," kata Lo-kiat. "Marilah kita bicara saja tentang pertemuan di Ki-lian-san itu. Suhu membawa aku
kesana, tujuannja agar menambah pengalamanku, setelah
menyaksikan Kungfu ketiga orang sakti yang lain dan tentu akan banyak manfaatnya bagi kemajuanku kelak. Tatkala
mana Toa-suko masih kecil. maka Suhu tidak membawa
serta dia. "Setiba di Ki-lian-san, Sam-ki (tiga orang sakti) sudah datang lebih dulu, hanya Suhu yang datang terakhir.
Melihat aku ikut datang, Ciamtay Cu-ih kurang senang,
begitu melihat segera minta Suhu menyuruh kuturun
gunung, katanya mereka pun tidak membawa anak murid,
masa Suhu harus diistimewakan. Suhu menjadi rikuh dan
bermaksud menyuruhku pergi, syukur Supek lantas buka
suara dan menyatakan tidak ada alangannya aku tinggal
disitu, ditengah mereka berbincang ilmu silat, Kalau ada seorang yang melayani segala keperluan merekakan jadi
kebetulan"
"Waktu itu Coh-bengcu tidak memberikan pendapatnya, maka Ciamtay Cu-ih tidak banyak omong lagi, aku jadi
tetap tinggal disana. Dengan demikian aku dapat melihat
diskusi ilmu silat antara kaum ahli. Ketika datang,
sepanjang jalan kugembira ria, tak tersangka begitu sampai di atas gunung Ciamtay Cu-ih lantas menyuruh kupergi.
tentu saja aku kecewa, syukur Supek membelaku sehingga
aku tetap tinggal disitu. Keruan rasa terima kasihku
padanya waktu itu tak terkatakan, sungguh aku ingin
menyembah tiga kali padanya."
"Dan sekarang masih terima kasih atau tidak?" tanya Peng-say dengan tertawa.
"Tetap terima kasih!" jawab Lo-kiat.
"Terima kasih padanya karena ketujuh huruf yang
ditinggalkannya di dadamu itu?"
"Jangankan cuma sedikit luka ini, sekalipun sebelah bahuku tertabas, asal aku dapat meyaksikan keadaan
mereka serta mendengarken pembicaraan mereka mengenai
berbagai ilmu silat yang luas dan dalam, maka akupun
takkan menyesal."
"Sungguh tak tersangka Ji-suko sedemikian keranjingan ilmu silat, maaf jika Sute telah menyinggung perasaanmu."
0odwo0 Jilid 24 Lo-kiat tertawa, katanya: "Sudahlah, urusan lain kita kesampingkan. Kita kembali bicara mengenai pertemuan
mereka itu. Selama tiga hari tiga malam mereka berbincang mengenai limu silat. Akhirnya Ciamtay Cu-ih tidak terima karena secara teori Siang-liu-kiam-hoat ciptaan Supek itu dapat mengalahkan ilmu permainan golok kebanggaannya,
maka ia ingin dibuktikan dalam praktek. Ilmu permainan
golok kebanggaan Ciamtay Cu-ih itu bernama 'Lian-goancam' (bacokan berantai). pada waktu perang tanding secara lisan, Lian-goan-cam dikalahkan Siang-liu-kiam pada jurus ke-39, siapa tahu pada prakteknya Ciamtay Cu-ih jadi
tambah malu. sebab menjelang jurus ke-sembilan, dada
Ciamtay Cu-ih sudah terkena pedang Supek dan diberi satu goresan. Kiranya dalam pertandingan lisan Supek sengaja
memberi kelonggaran 30 jurus bagi Ciamtay Cu-ih.
Sebaliknya tokoh Tang-wan ini tidak tahu diri dia berkeras menantang bertanding dalam praktek, akibatnya dia
mengalami kekalahan mengenaskan. Keruan muka Ciamtay Cu-ih menjadi pucat, diam2 aku sangat senang,
coba kalau Suhu tidak disitu, bisa jadi aku sudah bersorak.
-Agaknya Coh-bengcu juga penasaran karena iimu
pukulan andalannya, yaitu Tay-jiu-in, dalam pertandingan lisan ternyata dikalahkan oleh Siang-liu-kiam pada jurus ke 50. Seperti juga Ciamtay Cu-ih, iapun minta bertanding
dalam praktek. Supek memenuhi permintaannya dan
menyimpan kedua pedangnya. Coh-bengcu menyilakan
Supek menyerang. tapi Supek sengaja memberi kesempatan
lebih dulu bagi Coh-bengcu.
-Coh-bengcu menjadi kurang senang melihat pedang
Supek tidak digunakan, ia tanya apa sebabnya. Supek
berkata: 'Kau tidak pakai senjata, dengan sendirinya akupun tidak boleh menggunakan senjata. Tapi kedua telapak
tanganku juga dapat kumainkan seperti pedang, tanpa
menggunakan pedang juga dapat kuhadapi setiap
seranganmu.' Coh-bengcu mengira Supek memandang
enteng padanya, ia berteriak gusar: 'Baik, kalau kecundang jangan kau salahkan diriku!'- Dia menyangka ilmu
pukulannya sendiri tiada bandingannya, kalau Supek tidak menggunakan pedang pasti akan dikalahkan olehnya, siapa
tahu cara Supek dapat menggunakan tangan kosong seperti
memainkan kedua pedangnya dengan sama lihaynya,
benarlah, menjelang jurus ke 50, jari tangan kirinya setajam pisau telah merobek baju dada Coh-bengcu sehingga
belasan senti panjangnya. Rupanya sebelum bertanding
Supek sudah siap akan menandingi Tay-jiu-in dengan kedua telapak tangan kosong, dengan sendirinya tangan kosong
tidak sama menggunakan pedang yang mampu memainkan
Siang-liu-kiam-hoat secara tepat dan memancarkan segenap intisarinya. Coba kalau Supek menggunakan pedang,
mungkin Coh-bengcu juga tidak mampu bertahan sampai
jurus kesepuluh."
Peng-say sangat senang mendengarkan cerita itu bila
membayangkan Siang-liu-kiam-hoat
ternyata dapat mengalahkan Ciamtay Cu-ih pada jurus ke-sembilan,
hatinya menjadi kegirangan dan semangatnya berkobar.
Mendadak ia bertanya: "Bagaimana dengan ayahku?"
"Ayahmu kenapa, dia kan di rumah sekarang," jawab Lo-kiat.
"Kutahu dia berada di rumah, bukan ini yang
kutanyakan," kata Pang-say.
"Habis mengenai apa?"
"Pada jurus keberapa ayahku dikalahkan Siang-liukiam?" Lo-kiat tertawa, katanya: "Wah, dari nada pertanyaanmu, se-olah2 kau harap ayahmu juga dikalahkan
olehnya." "Bu. . . .bukan begitu maksudku," muka Peng-say menjadi merah. "Cuma kukira besar kemungkinan ayah
juga bukan tandingan Toapek."
"Kemungkinan bukan tandingannya memang juga
mungkin terjadi, tapi mereka berdua tidak sempat
bertanding sendiri, waktu Suhu juga terjun ke arena
pertarungan, kedudukan sudah berubah menjadi tiga lawan
satu." "Tiga lawan satu?" seru Peng-say terkejut. "Jadi. . ..jadi mereka bertiga mengerubut Toapek seorang?"
"Ya, kejadian inilah yang selama hidup disesalkan oleh Suhu," kata Lo-kiat dengan gegetun. "Suhu tahu, bilamana beliau tidak ikut bertempur. betapapun Coh-bengcu dan
Ciamtay Cu-ih takkan mampu mengalahkan Supek. Hal ini
terjadi waktu Coh-bengcu sudah jelas kalah, jika dia sportip, seharusnya dia mengaku kalah secara jujur, tapi dia justeru tidak tahu malu dan ngotot tidak mau mundur, bahkan
pura2 belum kalah, bahkan ia berteriak: 'Hayo, tambah lagi 50 jurus!'
-Dia bicara dengan nada seperti 50 jurus pertama itu
belum kalah melainkan seri sehingga dia menantang
bertanding 50 jurus lagi. Ia tidak mau tahu luka di dadanya itu, apabila Supek tidak bermurah hati, tentu jiwanya sudah melayang, Supek sendiri tidak menghiraukan lawan yang
tidak jujur itu, ia siap mundur dari arena. Diluar dugaan, Ciamtay Cu-ih yang berdiri disamping mendadak melompat
maju terus membacok, dalam keadaan tidak ter-duga2.
Supek masih sempat mengelak. dengan
gusar ia membentak: 'Apa artinya ini"' Tapi Ciamtay Cu-ih pura2
tidak dengar, ia berseru malah: 'Memang betul bertempur
50 jurus lagi!'
Bersama dengan serangan Coh-bengcu yang lihay, segera
mereka mengerubut Supek sehingga sama sekali Supek
tidak sempat melolos kedua pedang yang tersandang di
punggungnya."
"Mereka berdua ingin membinasakan Toapek," ucap Peng-say dengan mengertak gigi.
"Memang," kata Lo-kiat. "Suhu juga dapat melihat kedengkian kedua orang itu terhadap Supek, jelas mereka
hendak menumpas lawan yang jauh lebih tangguh itu agar
di dunia ini tiada orang yang berkepandaian lebih tinggi daripada mereka. Hanya sekejap saja 50 jurus sudah lewat.
Makin lama Suhu tambah terkesiap, tak diduganya dengan
bertangan kosong Supek mampu melawan dua tokoh sakti
jaman ini, bahkan tampaknya lebih banyak menangnya
daripada kalahnya.
-Coh-bengcu dan Ciamtay Cu-ih juga merasakan gelagat
tidak menguntungkan mereka, kalau tanpa senjata saja
lawan sedemikian lihay, bilamana kedua pedangnya sempat
dikeluarkannya, jelas jiwa mereka pasti akan melayang.
Mereka berusaha mempergencar serangannya, tampaknya
mereka masih di atas angin, padahal tidak demikian halnya.
serangan mereka itu laksana rontakan osang yang hampir
tenggelam, mereka menyadari tidak sanggup menahan
serangan lawan, terpaksa balas menyerang dengan nekat di samping mempertahankan kedudukan yang tidak kalah,
berbareng juga ingin membikin repot lawan agar tidak
sempat melolos pedangnya. Tapi serangan gencar mereka
ternyata tidak cukup mengancam Supek, sebaliknya kedua


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telapak tangan Supek tetap bermain selihay memegang
pedang, sesungguhnya bukan Supek tidak sempat melolos
pedangnya, tapi beliau merasa belum perlu menggunakan
senjata, kalau dengan bertangan kosong saja dapat
mengalahkan kedua lawannya, untuk apa mesti melolos
pedang" Dalam keadaan gawat, Ciamtay Cu-ih coba
berseru kepada Suhu: 'Sau-heng, sebaiknya kau pun maju! Sampai beberapa kali ia berseru, namun Suhu sama sekali
tidak terpengaruh. Coh-bengcu sendiri tidak ikut berseru agar Suhu ikut maju mengeroyok, tapi jelas dalam hati ia sangat berharap Suhu membantu mereka. Ketika dilihatnya
Suhu tetap tidak berniat ikut bertempur, akhirnya ia buka mulut: 'Sau-heng, apakah kau tega menyaksikan jiwa kami
melayang disini"' Dengan tak acuh Suhu menjawab: 'Lenghiang-caycu tidak bermaksud membunuh kalian, asalkan
kalian berhenti menyerang, kan urusan menjadi beres"' Tapi Supek lantas menanggapi: 'Tidak, mana boleh begitu
murah bagi mereka" Sudah
jelas mereka berniat membinasakan diriku, tidak boleh mereka sudahi urusan
begini saja. Selamanya Sau Ceng-in memakai patokan, bila orang lain tidak boleh melanggar diriku, akupun tidak akan mengganggu orang lain. Sekarang mereka telah bertindak
sejauh ini kepadaku, apa yang mereka kehendaki atas
diriku. kepada mereka akan kulaksana kehendak yang
sama.' Habis bicara, serentak Supek melancarkan serangan kilat. Sekali Supek mulai menyerang, seketika Coh-bengcu dan Ciamtay Cu-ih terdesak mundur terus menerus keadaan
mereka menjadi gawat, setiap saat mereka bisa mati di
bawah pukulan Supek. Mendadak Coh-bengcu berteriak.
'Sau Ceng-in. Setelah kami berdua mati, tentu namamu
akan tersiar sebagai jago nomor satu di dunia!'
-Supek tertawa dan berkata.'Selama hidupku tidak
kuperhatikan soal nama dan keuntungan, tapi kalau ada
orang sengaja mengantarkan nyawa padaku, kalau kutolak
rasanya tidak hormat, terpaksa kuterima dengan senang
hati.' -Pada saat itulah, mendadak Suhu ikut terjun ketengah
gelanggang pertempuran. Dengan gusar Supek membentak:
'Apakah kau hendak membantu mereka dan membunuh
diriku"' - Melihat itu Ciamtay Cu-ih ter-bahak2 gembira. katanya:
'Kalau dia tidak memburuh kau, cara bagaimana Sau-heng
akan dapat membalas sakit hati kakeknya"'
-'Hm, apa betul begitu"' jengek Supek.
-Rupanya begitu ikut bertempur, segera Suhu merasakan
sendiri betapa lihaynya Siang-liu-kiam-hoat, karena dia
harus mencurahkan segenap perhatiannya untuk bertempur
sehingga tidak sempat menanggapi ucapan mereka.
-Supek lantas berkata pula: 'Adik Ceng-hong, permusuhan
kedua keluarga kita sudah lama kulupakan, tiada maksudku hendak
membunuh kau, lekas kau mundur!' - Ciamtay Cu-ih kuatir Suhu benar2 mengundurkan diri,
cepat ia berseru: 'Sau-heng, jangan kau tertipu, jika sekarang tidak kau tuntut balas sakit hati leluhurmu, kelak dia yang akan
mencari dan menuntut balas padamu.' -Suhu masih tetap tidak bersuara. Sedangkan Supek mulai
merasakan kelihayan Suhu, betapa lihaynya Siang-liu-kiam-hoat tetap tidak terlepas dari dasar2 ilmu pedang keluarga Sau, apalagi sudah cukup lama sejak tadi Suhu
mengamatinya disamping, sudah diselaminya letak kehebatan Siang-liu-kiam-hoat, untuk mengalahkannya
memang sulit, tapi cukup kuat untuk menahan. Setelah
seragannya mulai kurang leluasa. Supek menjadi gugup,
dengan suara bengis ia berkata: 'Sau Ceng-hong, tak
tersangka Kun-cu-kiam yang terkenal juga berhati busuk
tiada ubahnya seperti Coh dan Ciamtay berdua Sekalipun
sekarang kau dapat membunuhku, jelas bukan lantaran kau
hendak menuntut balas bagi kakekmu.' -Setelah bergebrak beberapa puluh jurus, Suhu mulai
terbiasa dengan gerak serangan Siang-liu-kiam-hoat, ia
menjaWab: 'Permusuhan lelubur kita, kau lupa akupun
tidak mengingatnya lagi.' -Supek lantas bergelak tertawa, serunya. 'Hahaha, ternyata betul. jadi maksudmu membunuhku sekarang serupa
tujuannya dengan mereka, yakni sirik karena aku berhasil menciptakan Siang-liu-kiam-hoat ini. Baik, seranglah lebih gencar, lihat saja kau yang mampus atau aku yang gugur!'
-Supek berusaha melolos pedang, tapi Suhu tidak memberi
kesempatan padanya, Suhu tahu bilamana Supek sampai
bersenjata, maka mereka pasti celaka. Nyata, Supek telah kehilangan
kesempatan yang baik untuk melolos pedangnya, tadi ketika menghadapi Coh dan Ciamtay
berdua ia masih banyak kesempatan, sekarang kesempatan
itu sudah lenyap sama sekali. Terpaksa ia menggunakan
kedua tangan kosong untuk menghadapi kerubutan tiga
besar." Sampai disini, Peng-say menghela napas menyesal,
katanya: "Cara demikian sungguh terlalu tidak adil."
"Tiga lawan satu, memangnya siapa yang bilang adil"'
ujar Lo-kiat. "Tapi kau pun perlu tahu, sama sekali tiada pikiran ayahmu hendak membunuh Supek. Suhu hanya
ingin memaksa mundur Supek. maka beliau telah berkata:
'Kakak Ceng-in, bukan tujuanku hendak menuntut balas
sakit hati leluhur, akupun tidak sirik kepada kepintaranmu.
Asalkan kau berjanji tidak membunuh mereka berdua,
bolehlah segera kita sudahi pertarungan ini.' -Supek mendengus: 'Hm, kau kira kemenangan sudah pasti
berada padamu"' -Suhu menjawab: "Bila kedua pedangnu terhunus. jiwa kami bertiga segera terancam, siapa berani bilang kami pasti akan menang"' - 'Haha, asal kau tahu saja!'
seru Supek dengan tertawa bangga. Tapi Suhu lantas
berkata pula: 'Namun bila kau tidak berjanji takkan
membunuh Coh dan Ciamtay-heng berdua. maka kau pun
tidak nanti mempunyai kesempatan untuk melolos pedang.'Supek berkata: 'Apakah kau kuatir namaku akan tambah
termashur setelah kubunuh mereka berdua"' - Suhu diam saja tanpa menjawab. Kembali Supek bergelak
tertawa dan berkata: 'Hahaha, kiranya kau takut nama Pak-cay
melebihi Lam-han kalian!' - Setelah paham maksud tujuan Suhu ikut bertempur, Supek lantas menambahkan lagi: 'Meski kau bilang sudah
melupakan permusuhan leluhur, yang benar kau tidak
pernah lupa. Masa kau tidak tahu bahwa kakek kita justeru lantaran berebut nama begini dan akhirnya gugur bersama"
Ai, sudahlah, bilamana kau mempersoalkan hal ini, aku
tidak juga mempersoalkannya. Silakan berhenti, aku mau
pergi saja.' -Habis berkata, kedua tangannya mendesak mundur
Coh-bengcu dan Ciamtay Cuh-ih, lalu ia merangkap kedua
tangannya seperti tanda memberi salam. Suhu tidak tahu
Supek benar2 berhenti bertempur, ia kuatir kesempatan
akan digunakan Supek untuk melolos pedang, maka
serangan Suhu tidak menjadi kendur. Supek menjadi
marah, bentaknya: 'Kau. . . .' Ia menyangka Suhu
bermaksud membunuhnya. terpaksa ia mematahkan
serangan Suhu, tapi dia menjadi lupa bahwa disamping
masih ada dua musuh, peluang itu segera digunakan
dengan baik oleh Coh-bengcu dan Ciamtay Cu-ih, golok
Ciamtay Cu-ih menancap dipinggang Supek, sedangkan
pukulan Coh-bengcu tepat mengenai dadanya. -Setelah terluka parah begitu, Supek tetap tidak roboh, ia balas menghantam, sekaligus Coh-bengcu dan Ciamtay Cu-ih juga dipukul hingga mencelat, tapi lantaran tenaga
dalamnya telah banyak berkurang karena luka parah itu,
kedua lawan tidak sampai menggeletak, mereka melejit di
udara dan dapat turun dengan selamat. Supek memandangi
Suhu dan berkata dengan rasa pedih: 'Kau . . ..' mendadak tubuhnya lemas dan jatuh terkulai. Serentak Coh-bengcu
dan Ciamtay Cu-ih melompat maju hendak membunuhnya
akan tetapi Suhu lantas membentak agar mereka berhenti.
Kedua orang itu juga rada jeri terhadap Suhu dan tidak
mengganas lagi. Mendadak Supek berdiri, darah tampak
menggenangi tempat rebahnya tadi. Ki-lian-san sepanjang
tahun senantiasa diliputi salju, darah di atas tanah bersalju itu jadi lebih menyolok tampaknya. Aku sampai kesima
menyaksikan itu, ada maksudku ingin memayang Supek,
tapi aku masih berdebar oleh pertarungan sengit tadi dan rasanya kakipun sukar bergerak. Supek telah melolos kedua pedangnya dan digunakan sebagai tongkat penyangga agar
tubuhnya tidak roboh lagi. Dengan mengertak gigi Supek
berkata: 'Ingat Sau Ceng-hong ingat. . . .' sedapatnya dia menahan rasa sakit lukanya dan sebisanya mengucapkan
kata2 tersebut sehingga mulutnya penuh darah dan
menakutkan. Dengan langkah sempoyongan ia lantas
melangkah ke arahku, kusangka dia hendak membunuh
diriku, aku ketakutan dan hampir saja berlutut dan minta ampun. Ketika sampai didepanku, Supek membentak agar
aku minggir. Aku mengiakan dengan menggigil, saking
bingungnya, bukannya minggir kesamping, sebaliknya aku
mundur kebelakang selangkah demi selangkah, dengan
sendirinya aku masih mengalangi jalan Supek, entah dia
lantas marah atau sebab lain, mendadak pedangnva
menunjuk. Aku mengeluh dan menyangka jiwaku pasti
akan melayang. sebisanya kuperhatikan gerakan pedang
Supek dan berusaha mengelak, tapi tetap tidak mampu.
Saking cemasnya akupun jatuh pingsan. Waktu aku
siuman, kulihat Suhu berdiri disampingku, kulihat dadaku sendiri penuh darah, aku berseru kaget, Suhu berkata sambil menggeleng, "Nyalimu sungguh kecil. Tapi jangan Kuatir, kau tidak bakalan mati.'
- Akupun merasa tiada sesuatu apapun, waktu kuperiksa
lebih jauh, kulihat baju dadaku berderet tujuh lubang, satu lubang terdiri dari satu huruf, darah merembes keluar dari lubang itu. Ketujuh huruf itu menggores di bajaku, tapi juga tertinggal di dadaku untuk selamanya, waktu itu dapat
kulihat jelas ketujuh huruf itu berbunyi Siang-liu-kiam-hoat nomor satu di dunia'. Karena hanya terluka luar saja, hatiku menjadi tenang. kutanya Suhu dimana Supek, Suhu
menjawab dengan sedih; 'Sudah pergi, semoga dia sanggup
turun gunung dan mencai pengobatan.' -Kutanya pula; 'Dan dimanakah Coh-bengcu dan Ciamtaywancu"' -Suhu menjelaskan; 'Begitu Supekmu pergi, mereka pun
angkat kaki.' -Aku menjadi kuatir dan berkata: 'Wah, jangan2 mereka
akan mengejar Supek"' - Tapi Suhu menggeleng, katanya: 'Tidak, mereka tidak
berani.' - Kiranya Supek berlagak seperti sangat payah, padahal dia masih mempunyai sisa tenaga, setelah meninggalkan tulisan di dadaku, dia lantas lari pergi secepat terbang. Rupanya ketujuh huruf itu menimbulkan pengaruh bagi Coh dan
Ciamtay berdua, mereka tidak berani mengejarnya,
sebaliknya mereka terus pergi ke arah yang berlawanan se-akan2 kuatir kalau2 Supek akan balik lagi untuk mencari
mereka. Tampaknya nyali mereka telah pecah ketakutan
oleh Siang-liu-kiam-hoat yang lihay itu, mereka masih terus was-was. kuayir kalau Supek menuntut balas kepada
mereka. Sampai beberapa tahun kemudian, setelah Supek
tiada kabar beritanya lagi di dunia Kangouw, hati mereka baru merasa lega dan menganggap Supek sudah mati."
Diam2 timbul rasa kagum dan hormat Peng-say kepada
pamannya itu, bobot Sau Ceng-in sekarang dalam hatinya
terasalah jauh melebihi bobot ayahnya, Sau Ceng-hong. Ia
coba bertanya pula: "Ji-suko, menurut kau. sebenarnya Toupek sudah meninggal atau belum?"
"Jika dikatakan Supek sudah meninggal. kukira juga
sangat besar kemungkinannya." jawab Lo-kiat. "Tapi akhir2
ini di dunia Kangouw tersiar berita bahwa jejak beliau
terlihat muncul lagi, kukira hal ini tidaklah betul. Jika karena berita itu lantas memastikan Supek belum mati, hal ini terlalu bersifat pribadi, coba pikir, siapa yang pernah melihat sendiri jejak Supek" Kalau ada. barulah hal ini
dapat dipastikan. Tapi sampai saat ini tiada seorangpun
berani menjadi saksi mata, maka berita munculnya Supek
masih tanda tanya besar. Lagi pula, andaikan Supek belum meninggal, mengapa beliau mesti menyembunyikan
jejaknya dan sampai sekarang tiada seorangpun yang tahu
berada dimana" Kecuali mengasingkan diri. dengan ilmu
pedang Supek yang lihay itu. rasanya tidak perlu
mengasingkan diri. Padahal bila Supek mengasingkan diri
hal ini pun tidak mungkin terjadi. Sebab isterinya telah berusah-payah
mencarinya sekian tahun di dunia KangouW. saking lelahnya tanpa hasil dan akhirnya
meninggal, apakah hati Supek tidak tergugah bila
mengetahui kejadian ini" Bila benar dia cuma mengasingkan diri, tentu sejak dulu2 dia keluar menemui
isterinya."
"Jika demikian, jadi harapan Toapek masih hidup
hampir mendekati nihil?" tanya Peng-say pula.
"Kita sama2 tidak dapat memastikan mati-hidupnya
Supek, terkadang kita anggap sesuatu sudah pasti,
kenyataannya justeru kebalikannya. Tapi ada orang yang
dapat memberi keterangan yang lebih mendekati kepastian, yaitu gurumu, Tio Tay-peng, kuberani katakan dia pasti
tahu " Peng-say mengangguk. katanya: "Ya, setengah bagian
Siang-liu-kiam-hoat yang ditemukan Suhu itu besar
kemungkinan ada sangkut-pautnya dengan Toapek, tugas


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

utama kepergianku ini adalah bertanya kepada beliau
menjenai urusan Supek ini."
"Ayahmu juga berharap Supek masih hidup di dunia ini, meski Supek masih salah paham terhadap Suhu dan
menganggap Suhu yang mengakibatkan dia dicelakai. besar
kemungkinan orang pertama yang akan dicarinya untuk
menuntut balas ialah Suhu. Namun Suhu sudah
menyatakan, bila Supek datang mencarinya, Suhu akan
memberi penjelasan apa yang terjadi sesungguhnya, akan
dijelaskan bahwa dahulu sama sekali Suhu tidak bermaksud membunuhnya."
"Bila salah paham Toapek sudah terlalu mendalam dan tidak mau terima penjelasannya, lalu bagaimana?" tanya Peng-say.
"Seumpama dia main kekerasan dengan Suhu, terang
Suhu juga tidak gentar," tutur Lo-kiat. "Kata Suhu, dorongan menciptakan Siang-liu-kiam-hoat oleh Supek itu
berasal dari Liang-gi-kiam-hoat andalan Bu-tong-pay itu."
"Betul," sela Peny-say. "Menurut cerita Kim-leng.
Sebabnya Toapek menciptakan Siang-liu-kiam-hoat adalah
karena ada ilmu pedang Bu-tong-pay yang harus dimainkan
dua orang sekaligus, yaitu ilmu pedang yang bernama
Liang-gi-kiam-hoat" Toapek menganggap ilmu pedang yang
dimainkan dua orang tentu kurang leluasa, maka dengan
susah payah diciptakannya Liang-gi-kiam-hoat yang hanya
dimainkan satu orang saja. Menurut cerita Kim-leng dari
ilmu pedang keluarga sendiri itu akhirnya Toapek
menciptakan sejurus ilmu pedang yang hebat daripada
Liang-gi-kiam-hoat dan cukup diamainkan satu orang saja, lalu diberinya nama Siang-liu-kiam-hoat."
"Kupercaya kejadian itu," kata Kiau Lo-kiat. "Jangan kau kira nama Bu-tong-pay kalah tenar daripada Ngo-tay-lian-beng sesungguhnya ilmu silat Bu-tong tidak lebih asor, hanya saja pusakanya belum sempat digali sehingga banyak tokohnya yang terpendam, namanya juga semakin
menurun. Setelah Supek menemukan pusaka simpanan Butong-pay dan dari Liang-gi-kiam-hoat mulai menimbulkan
ilhamnya, ditambah lagi kecerdasan Supek sendiri, akhirnya terciptalah ilmu pedang nomor satu di dunia ini. Suhu
sendiri mengaku kecerdikannya bukan tandingan Supek dan
tidak dapat menciptakan jurus ilmu pedang yang hebat, tapi beliau mencari jalan lain melalui dasar Lwekang yang kuat.
Menurut Suhu, biarpun ilmu pedang nomor satu di dunia
atau ilmu pukulan yang tiada tandingannya, kalau Lwekaag kurang kuat, apa yang dipahaminya juga tiada gunanya,
sebab sekalipun dengan jurus serangannya yang lihay dan
dapat mengalahkan lawan yang Lwekangnya lebih tinggi,
tapi bila ketemu lawan yang Lwekangnya sudah mencapai
puncaknya, betapapun bagus jurus serangannya juga sukar
dikembangkan. Berdasarkan teori inilah, Suhu terus berlatih Lwekang dengan tekun. Suhu juga tahu banyak pusaka Bu-tong-pay yang belum digali, 30 tahun yang lalu beliau
tinggal satu tahun di ruangan perpustakaan Bu-tong-san dan menemukan semacam ilmu Lwekang yang disebut 'Ci he-kang' Menurut cerita Suhu. bila ilmu ini berhasil dilatih.
Lwekangnya akan mencapai puncaknya sempurna dan sulit
ditandingi kecuali lawan juga memiiiki Lwekang yang
sempurna seperti Ci-he-kang."
Peng-say jadi sangat tertarik oleh cerita ini, katanya:
"Dan sudahkah berhasil ayah meyakinkan Ci-he-kang itu?"
"Sudah berhasil," kata Lo-kiat.
"Jika begitu, mengapa dalam pertemuan di Ki-lian-san ayah bukan tandi...." Peng-say menjadi ragu untuk
melanjutkan ucapannya.
Dengan tertawa Lo-kiat berkata: "Meski Suhu tidak
sempat bertanding satu lawan satu dengan Supek. tapi
sudah terjadi tiga lawan satu barulah mereka mampu
menandingi Siang-liu-kiam-hoat
Supek, maka dapat
diperkirakan bila satu-lawan-satu jelas Suhu juga pasti
bukan tandingan Supek, hal ini tidak perlu pantang
dikatakan. Cuma Suhu juga menyatakan, bilamana Ci-hekang berhasil diyakinkan pada waktu pertemuan di Ki-lian-san itu, maka Siang-liu-kiam-hoat Supek yang bersumber
dari Liang-gi-kiam-hoat itu tidak perlu ditakuti lagi. Kata Suhu, dengan Ci-he-kang, betapa hebat serangan Siaog-liu-kiam-hoat akan sukar dikeluarkan. paling sedikit Suhu akan bertahan dan takkan terkalahkan. Tapi lantaran Ci-he-kang adalah inti Lwekang Bu-tong-pay yang sukar dipahami,
maka dalam sejarah Bu-tong-pay, selain cikal bakalnya,
yaitu Thio Sam-hong, belum pernah berhasil diyakinkan
oraag lain. Maka dapat dibayangkan, betapapun pintarnya
Suhu juga sukar memahaminya hanya dalam Waktu dua
tiga tahun saja."
"Ya, akulah yang terlalu perasa," kata Peng-say sambil menggaruk kepalanya sendiri. "Kau bilang ayah berhasil meyakinkan Ci-he-kang, lantas kukira hal itu terjadi pada 28 tahun yang lalu, maka kusangsi mengapa ayah bukan
tandingan Supek."
"Kukatakan sudah lama Suhu berhasil meyakinkannya,
mungkin kata 'sudah lama' itulah menimbulkan salah
pahammu." kata Lo-kiat dengan tertawa. "Tepatnya, baru setengah tahun yang lalu Suhu berhasil meyakinkan Ci-he-kang. maka sekarang beliau tidak perlu gentar lagi terhadap Siang-liu-kiam-hoat Supek, maka biarpun Supek masih
hidup dan datang ke Soh-hok-han untuk menantang Suhu,
pasti juga Suhu tidak takut padanya."
Sementara itu malam telah tiba, kedua orang sudah
merasakan lapar. Lo-kiat pesan santapan pula, sekali ini mereka telah makan minum dengan sepuasnya.
"Ji-suko," kata Peng-say kemudian. "Apa yang terjadi dalam pertemuan Ki-lian-san itu kecuali ke-empat tokoh
yang bersangkutan, hanya engkau saja yang tahu dengan
jelas. Dengan sendirinya ayah dan kedua tokoh sakti
lainnya tidak mau menyiarkan kejadian itu, kukira engkau juga sungkan menceritakannya kepada orang luar. Sebab,
betapapun pendirian ayah pada waktu itu, tentang tiga sakti mengeroyoK seorang kosen, bila tersiar tentu tidak akan
menguntungkan nama baik ayah."
"Betul, makanya aku sama sekali tutup mulut, kepada Toa-suko juga tidak pernah kuceritakan," kata Lo-kiat.
"Kalau begitu, seharusnye urusan ini tertutup rapat, mengapa kemudian tersiar berita Siang-liu- kiam-hoat
nomor satu di dunia, jangan2 tulisan di-dada Ji-suko itu telah dilihat orang luar?"
"Memang begitulah!" kata Lo-kiat.
"O... apakah Waktu kau mandi dan dilihat orang" tanya Peng-say dengan tertawa.
"Hah, pintar juga kau menebak," kata Lo-kiat.
Bicara tentang mengintip orang mandi, Peng-say jadi
teringat pada waktu masih kecil, sering Cin Yak-leng
mengintip dia mandi, tanpa terasa ia menjadi sedih pula
karena ingat si nona.
"Eh, tanpa sebab mengapa kau menjadi murung lagi'"
tanya Lo-kiat dengan tertawa.
"AH, mana?" sedapatnya Peng-say berlagak gembira, lalu bertanya pula: "Berapa orang yang mengintip Ji-suko waktu mandi?"
"Seorang saja sudah membikin aku menyesal setengah
mati, kalu beberapa orang, wah. kan bisa celaka?" ujar Lo-kiat.
"Kenapa Ji-suko jadi seperti orang perempuan" Lelaki mandi memang tidak perlu takut diintip orang, apa
halangannya" Jika anak perempuan mandi diintip orang,
nah, baru menyesal dan sedih."
Peng-say lantas tanya pula: "Ji-suko, jika kau tidak takut diintip
orang, tapi mengapa tadi kau- bilang menyesal?"
Mendadak Lo-kiat menghela napas, katanya sambil
menggeleng: "Menyesal bukan lantaran orang mengintip aku mandi, tapi menyesal karena aku telah menceritakan
kejadian di Ki-lian-san itu."
Peng-say jadi teringat pada ucapan Ji-suko yang
menyatakan menyesal karena pernah menceritakan kejadan
itu kepada seorang, sebab itulah dia bersumpah tidak mau bercerita lagi kepada orang kedua. Terang di dalam urusan ini ada suatu kisah lain. Ia menjadi ketarik dan bertanya bagaimana terjadinya.
"Cukup panjang jika diceritakan," demikian tutur Lo-kiat. "Setelah pulang dan Ki-lian-san, lantaran ada bekas luka di dada, kecuali Suhu, kepada siapapun hampir tidak pernah kuceritakan apa yang terjadi. bila ditanya kamipun menjawab segala sesuatu berlangsung dengan memuaskan.
masing2 hanya tukar pikiran tentang ilmu silat saja. Sampai Sunio sendiripun tidak tahu peristiwa tentang itu. Kukuatir luka di dadaku diketehui orang dan ditanya, demi
menghindari kesukaran, betapapun panasnya hawa. tidak
pernah lagi kubuka baju, pada waktu mandi juga
menghindari mandi bersama orang lain. Tapi aku
mempunyai hobi mandi, yakni pada setiap musim dingin,
hampir setiap hari kupergi ke tempat mandi untuk mandi
uap. Kalau tidak mandi uap, rasa badan menjadi tidak
enak, apalagi di waktu musim dingin, bila tidak mandi uap, rasanya darahpun akan beku. Kupikir pada musim dingin
tahun yang lalu, Pada musim dingin sepulangnya dari Kilian-san itu, aku bertekad akan menghapuskan hobi mandi
uap itu. Tapi ketika hawa meningkat dingin, aku tidak
tahan lagi, kembali kumat penyakitku. badan terasa gatal, betapapun harus berendam di air panas untuk meeyegarkan
Golok Halilintar 8 Raja Naga 7 Bintang Karya Khu Lung Rahasia 180 Patung Mas 5

Cari Blog Ini