Ceritasilat Novel Online

Pedang Kiri Pedang Kanan 13

Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Bagian 13


badan. Mandi di rumah tentunya tiada perlengkapan yang
cukup, kurang nikmat pula rasanya. Kupikir pada musim
dingin tahun yang lalu sedikit sekali ketemu kenalan
dirumah mandi kota, kalau bukan kenalan. biarpun tulisan di dadaku terlihat juga tidak menjadi soal, andaikata
ditanyai asalkan kujawab dengan ketus tentu orangpun
tidak berani tanya lebih jauh. Setelah ambil keputusan
begitu dengan tak sabar aku lantas pergi ke kota untuk
mandi di rumah mandi langgananku. Memang benar, tidak
ada orang yang tanya meski melihat codet di dadaku
banyak yang mengira aku mempunvai hobi tatto. Yang
kukuatirkan adalah ketemu kenalan baik, syukur selama
beberapa hari tidak bertemu dengan kenalan dirumah
mandi itu. Diam2 aku bersyukur tepat memilih tempat.
Siapa tahu. pada hari berikutnya lantas datang kesukaran, diluar dugaan aku kepergok kenalan baik, bahkan boleh
dikatakan kenalan yang sangat karib."
"Memangnya siapa dia?" tanya Peng-say.
"Suhengnya Toasuko," kata Lo-kiat.
"Suhengnya Toa-suko kita?" Peng-say menegas dengan heran. "Toa-suko kan saudara seperguruan yang teratas, masa kita masih ada Suheng yang lain?"
"Bukan di perguruan kita ini, tapi di perguruan lain,"
tutur Lo-kiat. "Tahukah kau Toa-suko masih mempunyai seorang Suhu lagi?"
"Ahhh. tahulah aku, dia memang murid Bu~tong-pay,"
seru Peng-say. "Ya, begitulah. Soalnya keluarga Sau tidak mau
melupakan sumbernya, setiap turunan. baik Lam-han
maupun Pak-cay sedikitnya ada seorang anak keluarga
langsung yang menjadi murid Bu-tong-pay, meski tidak
langsung belajar silat dengan Suhu Bu-tong-pay itu, tapi resminya diakui sebagai murid Bu-tong. Salama tiga
angkatan Lam-han dan Pak-cay hanya mempunyai
keturunan tunggal, tiap2 turunan hanya melahirkan satu
anak Seperti Suhu sendinri beliau adalah murid gurunya
Tong-thian Totiang, ketua Bu-tong sekarang, begitu pula
Sau-supek dari Pak-cay. Jadi sebenarnya antara Sau-supek dan Suhu selain menjabat ketua Pak-cay dan Lam-han,
resminya merekapun seperguruan. Angkatan terakhir,
karena Sau-supek tidak punyai anak lelaki, maka Pak-cay
tiada orang yang menjadi murid Bu-tong, Suhu waktu itu
juga tidak punya anak, yang ada cuma saak angkat, yakni
Toa-suko kita, maka Toa-suko lantas dijadikan murid Butong atas nama Lam-han, dia mengangkat Tong-thian
Totiang sebagai guru. Tatkala mana usia Toa-suko baru
enam tahun, anak kecil dengan sendirinya tak dapat bergaul dengan orang dewasa, Suhengnya adalah murid kesayangan
Tong-thian Totiang, bergelar Cui-hun. Sejak Toa-suko
masuk perguruan. Cui-hun sering datang ke Soh-hok-han
untuk menjenguk Sutenya, maka dalam waktu singkat ia
pun bersahabat denganku, Dasarnya memang akan timbul
perkara, pada musim dingin itupun Cui-hun masuk ke
rumah mandi itu dan memergoki diriku. Tak kusangka Cuihun juga langganan dan juga mempunyai hobi mandi. Jika
sebelumnya kutahu dia juga suka mandi disitu, matipun
aKu tidak mau datang ke sana. Sesudah berada di kolam
mandi, dengan sendirinya tulisan di dadaku dilihat oleh
Cui-hun, dia menjadi heran dan bertanya padaku, apa
artinya tulisan itu, Ia bertanya pula Siang liu-kiam-hoat itu ilmu pedang dari aliran mana" Dia tahu Lam-han tidak ada ilmu pedang yang bernama begitu, maka aku pun tak dapat
mendustai dia, terpaksa kujawab secara samar2 bahwa
itulah ilmu pedang aliran lain. - Dengan ragu ia bertanya pula: 'Apakah kau sendiri yang membuat
ketujuh huruf di dadaku ini"' - Kubenarkan secara samar2. Dia lantas menggeleng dan
berkata: 'Ah, mana mungkin. Lam-han dan Pak-cay
terkenal dengan ilmu pedangnya, masa kau malah
menyebut ilmu pedang aliran lain nomor satu di dunia"
Memangnya tiada ilmu pedang lain yang melebihinya"'
- Kutahu wataknya yang suka menang, kujawab di atas
orang pandai masih ada yang lebih pandai, - 'Setahuku,
pada saat ini tiada ilmu pedang lain yang lebih unggul.
Bagaimana dengan Liang-gi-kiam hoat perguruan kami"'
tanyanya. - Sebenarnya Liang-gi-kiam-hoat Bu-tong-pay terkenal
sebagai ilmu pedang tiada tandingan, tapi ilmu pedang itu harus dimainKan dua orang ber-sama2 dengan tepat, sedikit keliru saja berarti memberi peluang bagi musuh untuk
membobolnya. Sebab itulah meski nama Liang-gi-kiam-host
sangat besar, namun tidak mendapat perhatian orang
persilatan. Aku tidak pernah melihat permainan Liang- gi-kiam-hoat, tapi kupikir kalau Siang-liu-kiam-hoat ciptaan Supek
itu. berasal dari Liang-gi-kiam-hoat, konon
menghapus kekurangan pada Liang-gi-kiam-hoat dan
menambahkan keunggulan ilmu pedang Pak-cay sendiri,
dengan sendirinya Siang-liu-kiam-hoat lebih lihay daripada Liang-gi-kiam-hoat, ditambah lagi aku sendiri memang
menyaksikan kelihayannya, sejauh itu sangat kukagumi,
maka tanpa pikir kujawab: 'Ya, Liang-gi-kiam-hoat tidak
dapat menandingi Siang-liu-kiam-hoat.'
- Dengan sendirinya Cui-hun tidak terima, ia mendamperat:
'Ah, omong kosong!' - Segera ia merasa ucapannya itu kurang sopan. cepat ia
minta maaf padaku, persahabatan kami cukup karib, aku
tidak mempersoalkan ucapannya itu, kutarik dia terjun ke kolam dan berendam bersama. Mungkin makin dipikir dia
semakin penasaran oleh ucapanku yang menyatakan Lianggi-kiam-hoat tak dapat menandingi Siang-liu-kiam-hoat itu, maka tidak lama kemudian ia memegang bahuku dan
berkata pula: 'Lo-kiat, aku tetap tidak percaya' - 'Tidak percaya juga tidak soal!' kataku dengan agak
mendongkol. - Dia juga tidak ngotot lagi, sebaliknya malah memohon
padaku: Lo-kiat, mungkin ucapanmu memang benar.
Dapatkah kau beritahukan padaku ilmu pedang aliran
manakah Siang-liu-kiam-hoat
itu"' - Aku tak dapat menjawab, terpaksa aku pura2 kheki
padanya dan menjawab ketus: 'Tidak tahu"' - Segera ia berganti siasat, dengan cengar-cengir ia
membujuk: 'Lo-kiat jangan marah padaku, jika salah,
biarlah kuminta maaf. Persahabatan kita sudah sekian
lamanya, masa hanya urusan sekecii ini kau marah padaku"
- Aku tetap bersungut dan tidak menggubrisnya. Dia tetap melanjutkan siasatnya dengan cengar- cengir, bilamana rasa dongkolku sudah hilang. tahu-tahu dia ulangi lagi
pertanynannya: - 'Sesungguhnya Siang-liu-kiam-hoat itu
ilmu pedang aliran mana"' - Karena pertanyaan yang tidak habis2 itu, aku tambah
dongkol. dengan ketus kukatakan, 'Bicara terus terang, tidak ingin
kuberitahukan padamu Nah, jelas"' - Agaknya harga dirinya juga merasa tersinggung, ia
termenung sampai lama. Diam2 aku menyesal mengingat
persahabatan kami yang karib, aku lantas berkata pula:
'Sesungguhnya bukannya aku tidak mau memberitahukan
padamu, aku cuma kuatir kau penasaran dan mencari tokoh
Siang-liu-kiam itu untuk bertanding, jika sampai terjadi demikian, bukankah aku yang membikin celaka padamu
malah"' - Mendadak ia meloncat keluar kolam dan menuding diriku
dengan marah: 'Lo-kiat, kau terlalu memandang rendah
diriku, jangankan di dunia persilatan memang tiada ilmu
pedang Siang-liu-kiam- hoat segala, sekalipun ada juga tiada artinya
bagiku!' - Habis berkata ia terus tinggal pergi dengan gusar.
- Kusangka persahatan kami telah berakhir, sampai esoknya ketika kumandi lagi di tempat itu hatiku masih kesal. Diluar dugaan, iapun giat, kembali ia muncul lagi dirumah mandi itu. Mula2 kami berlagak tidak kenal lagi, tapi akhirnya dia mendekati aku pula. Karena itu kembali kami mengobrol
dengan asiknya seperti tidak pernah terjadi apapun. Tak
terduga, dia tetap tidak melupakan soa| Liang-gi-kiam-hoat tak dapat menandingi Siang-liu-kiam-hoat itu, begitu ada kesempatan, kembali ia bertanya: 'Lo-kiat, apakah benar2
ada sesuatu aliran yang mahir Siang-liu-kiam"'
- Kupikir bila kujawab ada, tentu dia akan mendesak dan
bertanya aliran mana. Jika kukatakan tidak ada, rasa hatiku tidak enak, sebab sikapnya bcgitu simpatik, begitu serius, jika aku tidak bicara sejujurnya. rasanya tidak tega. Selagi aku ragu2, kembali dia berkata pula: 'Kupercaya
jawabanmu tidak tahu kemarin itu memang betul, sebab
kalau di dunia persilatan benar ada suatu aliran yang mahir Siang-liu-kiam, mengingat hubungan baik kita ini, tidak
nanti kau tolak pertanyaanku. kuyakin apa yang disebut
Siang-liu-kiam nomor satu di dunia itu hanya karanganmu
sendiri, betul tidak"' - Dasar aku memang tidak biasa berdusta, akupun tidak
dapat mengaku bahwa hal itu adalah karanganku sendiri,
maka sambil menggeleng kujawab: 'Siang-liu-kiam nomor
satu di dunia memang terjadi benar2, tulisan di dadaku
inipun bukan omong kosong!' - Seketika air mukanya berubah guram, ucapnya: 'Jika
demikian, jadi Liang-gi-kiam tak dapat menandingi Siangliu-kiam juga benar"' - Aku mengangguk, seperti memohon aku menjawab: 'Cuihun Toheng, sebaiknya janganlah kita membicarakan
urusan ini.' - Dia menukas: 'Tidak membicarakan urusan ini juga boleh, cuma sedikitnya harus kau katakan padaku Siang-liu-kiam
itu ilmu pedang aliran imana" Jika tidak kau katakan,
betapa pun aku tidak percaya adanya kenyataan Siang-liukiam nomor satu di dunia itu!' - Dengan mendongkol kukatakan padanya: 'Lebih baik kau
tidak percaya saja!' - Sekali ini aku berlagak kheki dan tinggal pergi agar dia tidak rewel lagi. Besoknya aku mencari rumah mandi yang
lain agar tidak bertemu lagi dengan dia. Siapa duga, dia seperti sengaja menguntit diriku, tahu2 ia muncul disana.
Dan mulai melancarkan siasat baru dengan minta maaf dan
main bujuk. Setelah hubungan pulih kembali, lagi2 dia
mengajukan pertanyaan yang sama padaku. - Nyata Cui-hun ini benar2 orang yang berkepala batu, ber-ulang2 cekcok, ber-ulang2 dia membaiki diriku lagi,
kemudian mengajukan pertanyaan yang sama pula.
Akibatnya aku menjadi kewalahan, terus terang kukatakan
padanya: 'Coba kau pikir, bila Sam-ki melawan It-ki (satu lawan tiga) dan ternyata It-ki itu tidak kalah, bukankah ilmu
pedang yang dimainkannya terhitung nomor satu di dunia"'
- Dia tercengang mendengar keteranganku, tanyanya: 'Masa betul
terjadi begitu"' - Kujawab: 'Jika aku tidaak menyaksikan dengan mata
kepalaku sendiri masa kuberani menyatakan Liang-gi-kiam
tidak dapat menandingi Siang-liu-kiam"'
-Seperti sudah kuduga, dia tentu tidak berhenti sampai di situ saja dan pasti akan bertanya lebih lanjut, segera ia bertanya pula: 'Siapakah gerangan It-ki yang kau
maksudkan itu"'
- Kuminta dia bersumpah tidak boleh menyiarkan
ceritaku, dia menurut dan bersumpah, lalu kuberitahu:
'Ialah Leng-hiang caycu dari Pak-cay!' - Dia menegas pula: 'Sebab apa Sam-ki yang lain menempur Leng-hiang-caycu
seorang"' - Aku ingin menutupi hal yang sebetulnva, maka secara
ringkas kuceritakan bahwa semula Su-ki hanya tukar
pikiran mengenai ilmu silat masing2. lalu saling menjajal.
tapi akhirnya satu-lawan-satu
tiada yang mampu menandingi Leng-hiang caycu, Ji-ki juga tidak dapat
melawannya, dengan sendirinya Sam-ki lantas maju
sekaligus, hal ini cukup masuk di akal, kenapa nesti
bertanya pula.' - Tapi dia masih penasaran dan bertanya bagaimana
lanjutannya" Karena ber-turut2
bertanya bagaimana selanjutnya, akhirnya hampir seluruh kejadian kuceritakan sehingga apa yang diketahuinya se-olah2 dia juga ikut


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyaksikan sendiri,"
"Pantas Ji-suko bilang urusan bisa celaka jika lebih dari seorang melihat tulisan di dadamu, se-orang saja tak dapat kau tolak, bila beberapa orang, mungkin setiap saat mereka akan merecoki kau dan mau-tak-mau harus kau ceritakan
kepada mereka peristiwa seluruhnya," kata Peng-say
dengan tertawa.
"Ya, makanya setelah kejadian itu, sedapatnya tulisan di dadaku ini kututup rapat2, sekalipun masuk ke rumah
mandi juga kupakai baju dalam," kata Lo kiat.
"Tapi kalau ditanya orang mengapa mandi dengan
berbaju, cara bagaimana Ji-suko mentawabnya?" tanya Peng-say dengan tertawa.
"Kepada orang yang baru kenal kujaWab dengan ketus
bahwa aku suka mandi cara begitu, peduli apa dengan kau.
Dan kepada kenalan lama yang bertanya, kubilang memang
demikianlah kebiasaanku mandi dengan berbaju dalam,
hendaklah dia jangan heran."
Peng-say jadi geli dan tertawa ter-pingkal2.
Lo-kiat membiarkan anak muda itu tertawa sepuasnya,
ia merasa sejak meninggalnya Cin Yak-leng baru sekarang
dia tertawa gembira.
Sesudah kenyang tertawa, kemudian Peng-say bertanya:
"Sebabnya Jisuko bilang menyesal telah menceritakan peristiwa di Ki-lian-san itu kepada Cui-bun Suheng, apakah lantaran dia tidak mentaati sumpahnya dan membocorkan
kejadian itu kepada pihak ketiga?"
Lo-kiat menggeleng. katanya: "Bukan, Cui-bun memang berhati
tamak, meski bukan seorang Cut- keh-leng yang bermoral tinggi, tapi dalam hal sumpah dia dapat mematuhinya, setahuku. dia tidak membocorkan
rahasia tersebut."
Peng-say menjadi heran, katanya: "Kalau begitu mana mungkin tersiar berita tentang Siang-liu-kiam nomor satu di dunia?"
"Berita itu memang bocor dari mulut Cui-hun sekalipun dia tidak menyiarkan kejadian seluruhnya," kata Lo-kiat.
"Begini kejadiannya, setelah kuberitahu apa yang terjadi di Ki-lian-san itu, hari ke-tiga dia datang lagi mencariku di Soh-kok-han dan mengajak pergi mencari Sau-susiok.
Karena resminya guru Cui-hun masih pernah Suhengnya
Sau-supek dan Suhu kita, maka Cui-hun menyebut Sausupek sebagai Susiok. Kulihat dandanan Cui-hun memang
ada maksud menempuh perjalanan jauh untuk mencari Sausupek. maka kutanya untuk apa dia ingin mencarinya"
- Cui-hun menjawab: 'Sau-susiok terluka parah, dia tentu memerlukan orang melayani dia. Setelah kita temukan dia, bolehlah kita menyembuhkan ia sekedar memenuhi
kewajiban kita seperti Sutit (mu- rid kemenakan).,
- Karena alasannya memang kuat. mau-tak-mau
kubenarkan. Dengan tertawa Cui-hun lantas berkata pula:
'Jika begitu, hayolah kita berangkat!'
_ Aku menggoyang tangan dan menjawab:'Tidak, aku
tidak berani, bila melihat diriku, bisa jadi Supek akan
membunuhku!' - Kata Cui-hun: 'Ah, omong kosong, gurumu kan tidak
berselisih apapun dengan dia, masa dia membunuh orang
sesukanya" Pula sifat Sau-susiok terkenal ramah-tamah,
tidak nanti dia membenci gurumu hanya karena sedikit
persoal-an itu. Hayolah berangkat, bila kau tidak ikut, sukar bagiku menemukan beliau.'
- Tapi apapun aku tidak mau, bila terbayang betapa
murka Supek sesudah terluka, jika teringat pedang kilatnya yang sukar dibayangkan itu, aku menjadi ngeri dan tidak
berani ikut pergi. Dengan mendongkol Cui-hun lantas
berkata: 'Kau tidak mau ikut, kelak bila kudapatkan
keuntungannya jangan kau menyesal '
- 'Mendapat keuntungan apa"' tanyaku heran. - Dengan tertawa Cui-hun menjawab: 'Kau tahu Sau-susiok
tidak puaya anak, meski ilmu sakti keluarga Sau itu hanya diturunkan kepada anak tidak kepada murid. tapi kalau
tidak punya anak, kepada siapa akan dia turunkan ilmunya"
Pada umumnya setiap tokoh persilatan tentu tidak rela hasil ciptaannya ikut terkubur dengan kematiannya, jika kita
melayani dia pada waktu dia ada kesukaran, mungkin dia
menjadi senang dan bisa jadi akan mengajarkan Siang-liukiam-hoat kepada kita.'
- Dalam hati kutertawai jalan pikiran Cui-hun yang kekanak2an itu, kataku: 'Bila ada keuntungannya biarlah kau ambii sendiri saja, aku tidak berminat dan tidak mau ikut.
Kan tidak sulit jika kau ingin mencari Sau-supek, pergilah Ke Ngo-tay-san saja, buat apa mengajak diriku"'
-Dengan suara keheranan Cui-hun berkata; 'Masa kau
tidak tahu bahwa sampai saat ini Sau-susiok belum pernah pulang ke Leng-hiang-cay"'
- Tergerak pikiranku, segera kubayangkan tentu Supek
sudah meninggal, aku lantas bertanya: 'Dari siapa kau
dengar kabar ini"'
- Cui-hun menjawab: 'Karena Sau-susiok belum juga
pulang, bibi Sau pernah mencarinya ke Ki-lian-san dan
tiada hasilnya, lalu anak murid Bu-tong kami diminta
bantuannya agar ikut mencari. Berita ini kuperoleh dari
anak murid Bu-tong kami, kabarnya bibi Sau hendak datang ke Huiciu sini untuk tanya apa yang terjadi dalam
pertemuan Ki-lian-san itu.'
- Kupikir hal ini tentu juga diketahui Suhu mungkin
kuatir aku memperlihatkan sesuatu tanda yang mencurigakan, maka Suhu tidak bilang padaku dan waktu
Sau-pekbo datang juga tidak mempertemukan diriku
kepadanya. Hanya begini dugaanku kemudian waktu bibi
datang betul, Suhu telah menugaskanku keluar sehingga
aku benar2 tidak sempat bertemu dengan bibi.
- Maka kujawab: 'bila Supek tidak pulang ke Leng-hiangcay kan sulit lagi mencarinya, mungkin Supek hanya
terluka parah dan tidak meninggal, jika kau ingin belajar Siang-liu-kiam-hoat padanya, bolehlah kau mencarinya
sendiri. Meski dunia ini sangat luas, tapi asalkan punya cita2, akhirnya pasti akan tercapai, Betul tidak"'
- Dia tahu aku menyindirnya, tapi dia tidak patah
semangat. sebaliknya menyatakan dengan tegas: 'Tidak sulit untuk menemukan Sau-susiok, dia pasti berada disekitar Kilian-san!'
- kutanya apa dasarnya" Dia menjawab: "Menurut
ceritamu, luka Sau-susiok sangat parah dan tidak pulang ke Leng hiang-cay, ini membuktikan dia tak dapat berjalan
jauh, dan pasti masih tinggal disekitar Ki-lian-san'
- Kubilang alasannya itu cukup berdasar, tapi kutanya
pula kalau betul Sau-supek masih di Ki-lian-san, mengapa bibi tidak dapat menemukannya. Tapi dia juga mempunyai
dasar analisanya sendiri, ia bilang bibi Sau tidak
mengetahui tempat di mana Su-ki bertemu, padahal luas Kilian-san be-ribu2 li, dengan sendirinya sukar dicari.
sedangkan aku tahu persis tempat pertemuan itu. maka aku diajak mencarinya mulai dari tempat pertemuan itu terus
menjalar ke tempat seputarnya, hasilnya pasti akan
memuaskan. Apa lagi bibi Sau tidak tahu apa yang terjadi dalam pertemuan Ki-lian-san itu, dia hanya ingin mencari suami, setelah gagal dia lantas turun gunung lagi. Berbeda dengan kita, kalau kita mencari dengan sungguh2 pasti akan dapat menemukannya.
- Begitulah dia masih terus memohon dengan sangat agar
aku membawanya ke Ki-lian-san dan aku tetap menolak,
jengekku: 'Nyata maksud tujuanmu tidak suci, jangankan
aku tidak berani kesana, andaikan berani juga takkan
kubawa kau kesana!'
- Dari malu dia menjadi gusar, ucapnya dengan
mendongkol 'Baik, jika kau tidak mau pergi, akan kuajak
belasan sahabatku yang lain, orang banyak tentu juga
mudah menemukannya.'
- Dari ucapannya itu kurasakan sebagai ancaman, dia seolah2 hendak menyatakan bila aku tidak mau pergi, dia
akan memberitahukan kejadian di Ki-lian-san kepada
kawannya agar ikut pergi mencari Supek. Aku terkesiap,
dengan gusar kubentak dia: 'Jadi kau hendak mengingkari
sumpahmu"'
- Dia mendengus dan tidak menjawab. Dengan gusar
kuperingatkan dia: 'Jika kau bertindak demikian dan
merusak nama baik guruku, jangankan guruku tidak
bakalan mengampuni kau, sekarang juga aku Kiau Lo-kiat
bisa membinasakan kau untuk menghapus saksi hidup!'
- Dia menyadari bukan tandinganku, maka tidak berani
lagi mengancam, katanya: 'Lo kiat, kita bukan teman baru, kau cukup kenal pribadiku, masa aku ini manusia rendah
yang suka melanggar sumpah sendiri'
- Melihat cara bicaranya yang tegas dan simpatik aku
menjadi menyesal atas ucapan aku sendiri. kataku dengan
gegetun: 'Cui-hun, aku salah omong, kau pasti bukan
manusia begitu, kita adalah sahabat karib dapatlah kau
terima nasihatku" Ingatlah, ketamakan seorang seringkali mendatangkan malapetaka, hendaklah dicamkan!'
- Tapi dia tidak mau terima nasihatku katanya; 'Aku
sudah bertekad akan mencarinya, jangan kuatirnya pasti
takkan terjadi apa2. Kepergianku ini hanya akan menolong Susiok, masa bakal tertimpa malapetaka apa segala"'
- Dia tidak mengakui ketamakannya, maka akupun tidak
mencegah lebih lanjut, kutanya: 'Kau benar2 akan
mengajak ber-puluh orang kawanmu kesana"'
- Dia menjawab: 'Kau tidak mau ikut, terpaksa
kukerahkan orang sebanyak2nya dan tiada jalan lain.' - Aku bertanya
pula: Tanpa mendapat keuntungan, apa
kawan2mu itu mau ikut mencari tanpa tujuan"' - Kukuatir
dia melanggar sumpah, maka kuingin tahu cara bagaimana
dia membujuk kawannya agar membantunya mencari.
- Maka dia menerangkan: 'Aku cuma mengatakan di Kilian-san ada kitab pusaka Siang-liu-kiam-hoat yang nomor satu di dunia, maka mereka lantas tertarik. Tentunya kau tahu, ucapan aku si Cui-hun Tojin kan cukup berbobot
diantara teman2 sendiri, tidak perlu kupropagandakan lagi mereka pun percaya penuh adanya Siang-liu-kiam-hoat
nomor satu di dunia Nah, kan beres segala urusannya!'
- Dia adalah murid kesayangan Tong-thian Supek, murid
tertua Ciangbunjin Bu-tong sekarang, kelak dia yang akan mewarisi jabatan ketua itu, dengan sendirinya ucapannya
cukup berbobot dan dipercaya. Maka akupun tidak kuatir
lagi dia akan melanggar sumpahnya. Hanya pada waktu dia
akan berangkat, pada kesempatan terakhir masih kunasihati dia agar jangan buang2 tenaga dan pikiran percuma,
kataku: 'Besar kemungkinan Supek sudah meninggal, apa
gunanya andaikan kau dapat menemukan jenasahnya"'
- Dia tertawa dan berkata: 'Kalau kudapat mengubur
jenazah kaum Cianpwe, kan juga perbuatan baik" Selain
itu, jelas aku takkan sia2. umpama Sau-susiok sudah
meninggal, dari jenazahnya kan dapat kutemukan Siang-liu-kiam-boh!'
- Aku menjadi gusar dan mendamperat perbuatan bajik
apa, tujuanmu tidak baik, kau berani menggeledah jenazah Sau-susiok. dosamu akan mendapat ganjaran setimpal.'
- Cui-hun hanya tertawa dan menjawab: 'Bertujuan tidak
baik bagaimana"
Kan justeru aku yang akan mengembangkan ilmu pedang ciptaannya, bilamana Susiok
tahu di alam baka, dia tentu akan terhibur dan bergembira.'
- Aku menggeleng, terpaksa berkata: Baiklah. terserah
padamu. Semoga kau dapat menemukan Sau-susiok yang
masih hidup dan layani dia dengan baik agar beliau
mengajarkan Siang-liu-kiam padamu. Cuma jangan kau
terburu napsu sehingga diketahui Supek bahwa kedatanganmu itu hanya hendak mengincar ilmu silatnya,
jika demikian jadinya, hm. biar kau rasakan betapa lihaynya Siang-liu-kiam.'
- Dia ter-bahak2. katanya; 'Jangan kuatir biar kulayani
dia sepuluh atau dua puluh tahun juga takkan terjadi apa2 '
- Ketika hampir berpisah, dengan kuatir kutanya pula:
'Kawanmu yang akan kau ajak turut serta itu apakah dapat dipercaya"'
- Dengan penuh keyakinan dia berkata: 'Mereka juga
sahabat karibku, tiada ubahnya seperti dirimu,'
- Aku menggeleng dan berkala pula: 'Manusia mati
karena harta, burung mati karena pangan. Di mata orang
persilatan seperti kita ini, ilmu sakti jauh lebih berharga daripada harta benda apapun, hendaklah kau waspada
terhadap hati orang yang mudah berubah.'
- Dia tertawa dan tidak mengacuhkan pesanku itu dan
berangkat dengan penuh keyakinan, tapi sejak itu dia tidak pernah kembali, seperti halnya Supek, laksana batu
tenggelam dilautan "
Sesudah merandek sejenak, kemudian Lo-kiat menyambung pula dengan gegetun: "Yang menghilang
bersama dia seluruhnya ada belasan anak murid perguruan
ternama, ada juga satu-dua diantaranya yang tidak punya
reputasi baik didunia Kangouw, mungkin Cui-hun hanya
pikir mereka adalah sahabat karibnya dan tidak pedulikan bagaimana nama baik mereka. Belasan anak murid
perguruan ternama itu bersama Cui-hun lantas menghilang
sejak musim dingin itu, tapi melalui mulut mereka di dunia Kangouw lantas tersiar semboyan 'Siang-liu-kiam nomor
satu di dunia', maka ber-bondong2 orang sama berusaha
mencari, tapi siapa pun tidak tahu mencarinya di Ki-lian-san, mungkin belasan teman Cui-hun itu waktu berangkat
hanya pamit kepada sanak keluarganya akan pergi mencari
Siang-liu-kiam-boh, tapi tiada seorangpun yang mengatakan tempat yang akan mereka datangi, rupanya mereka pun
kuatir orang lain akan menguntit mereka sehingga terjadi perebutan
cari pusaka. Hilangnya Cui-hun juga menggemparkan Bu-tong-pay, Tong-thian Supek juga
memerintahkan anak muridnya mencarinya. tapi tidak
berhasil. Waktu Cui-hun berangkat, kepada gurunya dia
hanya pamit akan berkelana di dunia Kangouw, maka
Tong-thian Supek mengira murid kesayangannya itu
mungkin terbunuh oleh musuh ketika mengembara.
Akupun berpendapat tiada harapan hidup bagi Cui-hun.
menurut perkiraanku, dia dan belasan temannya itu telah
mengalami dua kemungkinan. Pertama, mereka berhasil
menemukan jenazah Supek dan menemukan Siang-liukiam-boh. tapi lantaran masing2 sama mau memilikinya
sendiri, akhirnya terjadi pertempuran diantara mereka
sendiri dan semuanya gugur.
- Kemungkinan lain adalah mereka berhasil menemukan
Supek yang masih hidup, Supek terluka parah, mungkin
sukar terhindar dari cacat badan, lalu Cui-hun pura2
melayani beliau dengan harapan Supek akan menyerahkan
Siang-liu-kiam-boh padanya. Dia sabar menunggu, tapi
kawannya yang tidak sabar, mungkin mereka mengira
Supek sudah cacat dan tidak perlu ditakuti lagi. maka Cui-hun dibujuk agar ber-sama2 memaksa Supek menyerahkan
Siang-liu-kiam-boh. Mereka tidak tahu terluka parah Supek masih sanggup memainkan ilmu pedangnya yang sakti dan
menulis didadaku, biarpun sudah cacat. hanya beberapa
kaum muda masa terpandang olehnya" Jadi kemungkinan
kedua itu adalah Cui-hun dan belasan kawannya itu telah
dibunuh seluruhnya oleh Supek. Bisa jadi pula Cui-hun


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhati jujur dan berbuat luhur, ia tidak mau dihasut oleh kawan2nya.dan tetap membela Supek, akhirnya dia gugur
bersama musuh. Bilamana demikian kematiannya masih
cukup berharga dan kudu dipuji.
- Cuma, betapapun caranya dia mati, semua itu adalah
gara2ku, aku menyesal telah menceritakan kejadian di Kilian-san itu, apabila aku berkeras tidak bicara, tidak nanti timbul keserakahannya akan memiliki ilmu pedang nomor
satu di dunia itu. Maka aku bersumpah takkan bicara lagi kepada orang kedua, biarpun orang itu adalah sahabatku
yang paling karib. Tapi kau berbeda dengan orang lain, apa yang terjadi itu adalah urusan keluarga Sau kalian, kau
harus diberitahu. Pula kau memang sudah memiliki
setengah bagian Siang-liu-kiam-hoat, aku harus lebih
menjelaskan padamu bahwa Siang-liu-kiam memang
benar2 ilmu pedang nomor satu di dunia. Harus kudorong
kau, kurangsang kau, supaya timbul hasratmu untuk
mencari lagi setengah bagian yang lain dari pada ilmu
pedang itu."
Biarpun didorong dan dirangsang, tampaknya tiada
gunanya sama sekali, sebab Sau Peng-say tidak menanggapi ucapan Kiau Lo-kiat itu dan bicara tentang setengah bagian
Siang-liu-kiam-hoat yang lain, tapi ia malah bertanva:
"Setelah berita Sang-liu-kiam-hoat nomor satu di dunia itu tersiar luas dan didengar ayan, apakah beliau tidak
mengusut darimana timbulnya isyu itu?"
"Tidak," jawab Lo-kiat. "Mungkin Suhu kira murid Pak-cay hendak mengangkat tinggi nama baik Pak-cay dan
sengaja menyebarkan semboyan tersebut. Sama sekali
beliau tidak menyangka bahwa berita itu berasal dari Cuihun setelah dia melihat tulisan didadaku. Mengenai
hilangnya Cui-hun, hal ini tidak kulaporkan kepada Suhu, lebih2 tidak berani kuberitahukan kepada Tong-thian
Supek, Kukuatir, bilamana kukatakan kepada Tong-thian
Supek, jangan2 beliau tak dapat memaklumi duduknya
perkara, tentu aku akan didamperat dan dihukum oleh
Suhu. Sebab itulah, sampai saat ini kecuali kepadamu, tidak pernah lagi kukatakan kepada orang kedua."
"Jika demikian, jadi tetap tiada orang tahu darimana awal-mulanya berita tentang Siang-liu-kiam nomor satu di dunia itu?"
Lo-kiat menggangguk, katanya: "Ya, tak mungkin ada
orang tahu, kalau tidak. dengan hilangnya Cui-hun tentu
tidak sukar. bagi anak murid Bu-tong untuk menyelidkinya, padahal Tong-thian Supek sampai saat ini belum tahu lagi sebab apa murid kesayangannya itu hilang tanpa bekas, hal ini membuktikan kepergian Cui-hun bersama belasan
kawannya itu benar2 dirahasiakan, yang diberitahu hanya
sanak-keluarganya bahwa mereka pergi mencari Siang-liukiam-hoat yang nomor satu di dunia, kemudian hanya
berita ini saja yang tersiar melalui mulut anggota keluarg mereka itu. Hendaklah maklum bahwa sahabat2 Cui-hun
yang ikut hilang itu semuanya adalah tokoh ternama dan
berkedudukan di dunia persilatan, berita yang tersiar dari anggota keluarga mereka itu meski tanpa bukti mereka
cukup untuk dipercaya oleh orang Bu-lim. Sebab itulah
orang2 lantas ikut mencarinya secara membabi-buta,
seketika dunia persilatan menjadi gempar, sampai sekarang sudah likuran tahun, tapi banyak yang belum lupa pada
Siang-liu-kiam-hoat yang nomor satu di dunia dan diam2
masih berusaha mencarinya."
"Ji-suko, diantara tokoh2 yang ikut hilang bersama Cui-hun itu apakah juga terdapat kenalanmu?" tanya Peng-say.
"Sahabat Cui-hun itu kebanyakan memang kukenal.
delapan diantara 12 orang yang ikut hilang itu kukenal, keempat orang lainnya tidak kukenal, tapi kemudian akupun
tahu siapa mereka itu,"
"Adakah diantaranya termasuk guruku, Tio Tay-peng?"
tanya Peng-say pula,
Lo-kiat mengeleng, jawabnya: "Tidak ada, makanya
begitu mendengar nama gurumu, seketika aku sangat heran, sama sekali tiada maksudku memandang rendah gurumu.
Sebab kupikir bilamana gurumu mendapatkan setengah
bagian Siang-liu-kiam-boh, seharusnys dia adalah satu
diantara ke- 12 orang yang ikut hilang bersama Cui-hun itu, kalau tidak, manabisa dia pergi ke Ki-lian-san dan
menamukan setengah jilid Siang-liu-kiam-boh
itu" Mengenai gurunya Soat Koh, kan kita tidak tahu namanya.
maka menurut perkiraanku, jika dia bukan Cui-hun sendiri pasti satu diantara ke-12 kawannya itu."
"Tapi guru Soat Koh adalah seorang perempuan
setengah baya dan berlengan satu," tutur Peng-say.
"Perempuan" Wah, kalau begitu urusan ini jadi tambah aneh!"
"Anakah diantara ke-12 orang yang hilang itu tiada
terdapat orang perempuan?"
"Ya," jawab Lo-kiat sambil mengangguk. "Sungguh aneh. siapa pula gerangannya?"
"Ji-suko," kata Peng-say, "coba, apakah kau kira dugaan ibu Kim-leng betul atau tidak" Menurut ibunya, belasan
orang yang hilang itu telah mengerubut dan membunuh
Toapek dan merampas kitab ilmu pedangnya, tapi
mendadak muncul pula seorang yang lebih lihay, Kiam-boh
direbut dan orang2 itupun dibunuhnya, sebab itulah tiada seorang pun yang pulang dengan hidup. Lantaran orang
yang membunuh mereka itu tidak termasuk diantara
rombongan Cui-hun, maka betapapun bibi menyelidikinya
tetap tak dapat mengetahui siapakah dia."
Lo-kiat menggeleng, katanya: "Perkiraan bibi itu kukira tidak sesuai dengan keadaannya, sebab kepergian Cui-hun
dan rombongannya itu sangat dirahasiakan, tidak nanti ada orang menguntit dan mencegat mereka untuk merampas
Siang-liu-kiam-boh yang berhasil mereka temukan itu Jika kepergok secara kebetulan, darimana pula diketahui mereka memegang kitab pusaka itu?"
"Tapi menurut penuturan Kim-leng, bibi memperkirakan orang yang muncul mendadak itu pun ikut bantu belasan
orang yang hilang itu mengerubuti Toapek Jika betul terjadi demikian, dengan sendirinya orang itu akan mendapatkan
manfaatnya, maka dia mau membantu mereka."
"Cap-itsute, menurut pendapatmu, bagaimana ilmu silat gurumu?" tanya Lo-kiat.
"Lima tahun kubelajar ikut guruku, selama itu guruku hanya mengajarkan setengah bagian Siang-liu-kiam-hoat,
ilmu silat lainnya tiada yang diajarkan padaku. Pernah
kutanya kepada beliau mengapa tidak mengajarkan
Lwekang atau Kongfu lain, tapi beliau menjawab, selain
Coh-pi-kiam-hoat ini, Kungfu lain Suhu tidak berani
mengajarkan padaku."
Lo-kiat meng-angguk2, katanya: "Ya, tampaknya
gurumu memang cukup tahu diri, jelas lantaran ilmu
silatnya yang lain tidak tinggi, makanya bilang tidak berani diajarkan padamu Jika demikian, jelaslah gurumu bukanlah tokoh persilatan kelas tinggi. Coba pikir, mungkinkah
terjadi Cui-hun dan kawan2nya meminta bantuan gurumu
agar ber-sama2 membunuh Supek" Tidak, pasti tidak
mungkin, Cui-hun dan kawan2nya pasti tidak suka usaha
mereka dimasuki orang luar. Gurumu juga tidak mungkin
sekaligus membunuh Cui-hun dan kawan2nya, biarpun
dibantu guru Soat Koh juga tidak mungkin terjadi.
Berdasarkan ini kubilang perkiraan bibi itu pasti keliru, malahan berani kukatakan salah seorang Su-ki juga tidak
mampu membunuh Cui-hun dan kawas2nya sekaligus serta
merampas Siang-liu-kiam-boh dari tangan mereka."
Walaupun sikap dan ucapan Kiau Lo-kiat tiada tanda2
menghina Tio Tay-peng, tapi jelas sangat merendahkan
ilmu silat Tio Tay-peng, hal ini membuat Peng-say rada
kurang senang, ia berkata: "Tapi kenyataannya guruku dan guru Soat Koh masing2 mendapatkan setengah bagian
Siang-liu-kiam-boh."
Ucapannya ini se-olah2 hendak membantah uraian Kiau
Lo-kiat tadi dan ingin bertanya pula cara bagaimana Ji-suko itu akan memberi alasannya,
Sudah tentu Peng-say tidak mengharapkan gurunya
adalah si pembunuhnya, tapi kini demi kehormatan sang
guru, ia malah berharap Kiau Lo-kiat akan menyatakan
besar kemungkinan gurunya yang membunuh Cui-hun dan
rombongannya. Lo-kiat tidak dapat menyelami jalan pikiran Sau Pengsay sebagai murid orang, dia hanya menggeleng dan
berkata; "Ya, memang hal ini membuat bingung juga
padaku. Jika gurumu ada kemungkinan membunuh Cuihun dan rombongannya, namun hal ini mana mungkin,
manabisa jadi?"
Peng-say tambah mendongkol karena Lo-kiat tidak
menghormati Kungfu Tio Tay-peng, tanpa pikir ia berseru:
"Tapi ilmu silat lain guruku juga belum tentu di bawah Su-ki."
Lo-kiat memandang Peng-say sekejap, melihat wajah
anak muda itu merah padam, ia tahu Sutenya ini rada
emosi, cepat ia berkata: "Jika demikian halnya, tentu besar kemungkinan gurumu mampu membunuh mereka."
Tapi nadanya kurang meyakinkan, hal ini terdengar
dengan jelas. Tentu saja Peng-say tambah kheki, katanya: "Ji-suko tentu mencemoohkan diriku, apabila kepandaian guruku
memang hebat, mengapa tidak diajarkan padaku, begitu
bukan?" "Cap-itsute," kata Lo-kiat dengan sungguh2, "antara kita sebaiknya jangan sampai cekcok hanya karena soal sepele
ini. Memangnya kau merasa kepandaian gurumu yang lain
ada kemungkinan di atas Su-ki" Ingat, kita sekarang sedang menyelidiki kejadian yang sebenarnya. Seyogianya kau
mesti bantu gurumu melepaskan diri dari tuduhan sebagai
pembunuh Toapekmu. Memangnya kau malah berharap
gurumu adalah seorang pembunuh yang kejam?"
Ucapan ini seperti kemplengan keras yang tepat
mengenai kepala Peng-say, anak muda itu terkesiap dan
berkeringat dingin, cepat2 ia menggeleng dan berkata:
"Sudah tentu tidak, Ji-suko, tidak nanti kuharapkan begitu.
Memang aku yang salah omong,"
"Baik, sekarang kau sudah sadar dan bolehlah kita bicara dengan kepala dingin," ujar Lo-kiat dengan tertawa.
"Sudah tentu kungfu guruku tidak mungkin diatas Su-ki, buktinya beliau malu untuk mengajarkan kepandaiannya
kepadaku," kata Peng-say dengan gegetun.
"Meski kukatakan salah seorang Su-ki juga tidak dapat membunuh Cui-hun dan kawannya, maksudku bukan harus
orang yang berkepandaian lebih tinggi diripada Su-ki baru dapat
melakukannya. Sebab
mampu tidak melulu mengandalkan kekuatan. tapi juga perlu pakai otak, pakai kecerdasan, asalkan dapat menggunakan akal untuk
menutupi kekurangan ilmu silatnya, maka orang demikianpun harus disegani. Namun minimal ilmu silatnya
juga harus lebih tinggi daripada salah seorang rombongan Cui-hun itu. Mungkin gurumu memang cerdik dan banyak
akalnya, tapi entah bagaimana ilmu silatnya."
"Akupun tidak jelas, selain ilmu pedang kiri itu belum pernah kulihat guruku memainkan Kungfu lain, mungkin
beliau mengira aku menjadi bosan karena setiap hari hanya berlatih pedang kiri yang begitu2 saja, pernah beliau berkata padaku bahwa bukan dia sengaja tak mengajarkan ilmu silat lain padaku, soalnya dasar Lwekangku sudah cukup
kupelajari sendiri selama hidup."
"O. jangan2 dia mengetahui dasar Lwekangmu berasal
dari Bu-tong?" tanya Lo-kiat.
Peng-say mengiakan.
"Ucapan gurumu memang betul." kata Lo-kiat pula.
"Jangan kau kira isi Siang-cing-pit-lok itu tiada sesuatu yang istimewa, padahal bila benar2 kau latih dengan baik sesuai
isinya, maka gerakanmu saja sudah cukup mengejutkan
orang. Namun tidaklah mudab untuk meyakinkan semacam
kungfu dengan sempurna. Memang isi Siang-cing-pit-lok itu cukup mengasyikkan untuk dipelajari selama hidup."
"Guruku juga berkata padaku apa sebabnya ibuku tidak mengajarkan
ilmu silat perguruannya sendiri, tapi
menyuruh kubelajar Kungfu Bu-tong-pay, soalnya ibu tahu
ilmu silatnya sendiri tidak dapat dibandingkan dengan
Lwekang Bu-tong-pay yang hebat. Jalan pikiran guruku
ternyata sesuai dengan ibu, kukira inilah alasannya
mengapa sejauh itu guruku tidak mengajarkan ilmu silat
lain padaku."
"Gurumu kenal pada ibumu?" tanya Lo-kiat.
"Beliau mengaku kenal, tapi menurut pandanganku,
agaknya tidak benar."
"Mengapa bisa begitu?"
"Waktu beliau melihat kubawa satu mutiara, beliau
lantas mengaku kenal . . . ,"
"Mutiara" Apakah Pi-tun-cu?" tukas Lo-kiat.
-oo0dw0ooo- Jilid 25 Peng-say mengeluarkan mutiaranya yang berwarna
merah itu dan berkata: "Aku pun tidak tahu apakah
namanya Pi-tun-cu atau bukan. Mutiara ini adalah satu2nya barang tinggalan ibu. Karena kenal barang ini guruku lantas bilang kenal ibuku. Tapi dia telah salah menyebut nama
ibu, sebab itulah kuragukan dia benar2 kenal ibu. Baru
sekarang kutahu babwa dia memang salah sangka Sebab
Waktu itu dia bilang ibuku bernama Soat Ciau-hoa,
padahal menurut keteranganmu, Soat Ciau-hoa adalah
bibiku, tidak tahu, maka mungkin dia salah sangka bibi
sebagai ibuku."
Sambil memandang Pi-tun-cu yang dipegang Peng-say,
Lo-kiat berkata: "Mutiara ini memang benar Pi-tun-cu (mutiara anti kotoran), asalnya barang ini ada sepasang dan menjadi pusaka Bu-tong-pay. Satu biji diantaranya berada pada keluarga ayahmu, mungkin beliau memberikannya
sebagai tanda mata kepada ibumu, sekarang mutiara ini
kembali lagi berada padamu, hendaklah kau simpan dengan
baik2 dan jangan sampai hilang. Mutiara yang lain biasanya dipegang oleh ketua Bu-tong-pay setiap angkatan. jadi
seharusnya disimpan Tong-thian Supek, karena Cui-hun
dipandang sebagai ahli warisnya, maka mutiara itu pun
diwariskan kepada Cui hun."
"Oo, jadi Cui-hun juga memegang sebiji Pi-tun-cu?"
Peng-say menegas.
"Ya," jawab Lo-kiat. "Karena Cui-hun hilang, dengan sendirinya mutiara itupun ikut bilang. Tong- thian Supek sampai sekarang masih berusaha mencari mutiara itu,
bilamana mutiara itu diketemukan tentu tidak sulit untuk menemukan jejak Cui-bun."
Kini Peng-say dapat menyelami sesuatu hal, dengan
terkesiap dan gegetun ia berkata: "Sekarang kutahu
siapakah guru Soat Koh, dia tak lain tak bukan ialah
bibiku." "Ya, memang besar kemungkinannya,"
Lo-kiat mengangguk setuju.
"Kuyakin pasti betul," ucap Peng-say tegas. "Guruku dan bibi
ber-sama2 telah membunuh Cui-hun dan rombongannya sehingga masing2 mendapatkan setengah
bagian Siang-liu-kiam-boh, selain itu bibi juga menemukan Pi-tun-cu yang dibawa Cui-hun."
Teringat kepada Siang-liu-kiam-boh yang diperoleh
gurunya dengan secara tidak halal itu, Peng-say menjadi
sedih dan malu, ucapnya sambil menggeleng: "Aku tidak percaya, sungguh aku tidak percaya bahwa Suhu .... beliau adalah seorang kejam. ..."
Betapapun murid tidak pantas mencela sang guru, maka
Peng-say tidak melanjutkan ucapannya, ia mendekap
mukanya dan sangat berduka.
Lo-kiat berusaha menghiburnya: "Cap-itsute, belum
tentu gurumu itu orang jahat, jika lantaran gurumu
mendapatkan Siang-liu-kiam-boh dengan cara keji, jelas ia seorang yang sangat mementingkan diri sendiri, mana bisa dia membagi setengah kitab pusaka itu kepada bibimu"
Bagaimana bisa pula dia mengajarkan Siang-liu-kiam-hoat
yang diperolehnya dengan susah payah itu kepadamu?"
Peng-say menurunkan kedua tangannya, katanya dengan
bimbang: "Kupikir sebabnya Suhu mengajarkan Pedang
Kiri padaku adalah karena salah sangka aku adalah
anaknya sehingga selama ini dia tetap menyangka ilmu
pedangnya yang diperolehnya dengan susah payah ini telah diajarkan kepada anaknya sendiri."
"Hal ini mana .... mana mungkin?" ujar Lo-kiat.
"Kuyakin hubungan guruku dengan bibi pasti luar biasa, kalau tidak untuk apa dia sengaja membawaku ke
tempatnya untuk belajar Pedang kirinya" Sebabnya adalah
karena anak bibi pasti juga anaknya. Ketika dia melihat
kubawa Pi-tun-cu, mukaku juga mirip bibi, maka dia lantas saiah sangka pada diriku. Kau tahu, selama lima tahun, aku diperlakukannya seperti arak kandungnya."
Lalu ia menceritakan apa yang terjadi di rumah Beng
Eng-kiat di Pakkhia dahulu, kemudian ia bertanya: "Kalau guruku sudah ada peraturan, melulu mengajarkan ilmu


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang satu tangan, padahal ilmu pedangnya sebenarnya
harus dimainkan dengan dua pedang, mengapa dia tidak
membuntungi sebelah tanganku seperti dia sendiri, tapi aku hanya disuruh mengikat lengan kanan untuk belajar Pedang Kiri?"
"Ya, manusia manapun juga tentu tidak menghendaki
anaknya sendiri cacat badan seperti ayahnya," kata Lo-kiat dengan gegetun. "Jika menurut ceritamu ini, memang betul gurumu telah salah sangka kau sebagai anaknya."
"Dan entah anak guruku itu sekarang masih hidup di
dunia ini atau tidak, bilamana dia masih hidup di dunia ini.
tentu akan kuajarkan Pedang Kiri ini kepadanya, sebab
ilmu pedang ini adalah haknya, tapi telah kudapatkan.
Bahwa aku dapat belajar ilmu Pedang Kiri ini sesungguhnya adalah berkat dia."
Lo-kiat menjadi sangsi, tanyanya kemudian: "Masa
selama berkumpul lima tahun sama sekali gurumu tidak
menemukan sesuatu yang tidak cocok atas dirimu?"
"Selama lima tahun, Suhu tidak pernah bercerita tentang hubungannya
dengan bibi dimasa lalu dia membicarakannya denganku ada kemungkinan dia akan
menemukan kekeliruannya sendiri. Bisa jadi dia merasa
bersalah kepada bibi, maka sama sekali tidak mengungkit
urusan di masa lampau."
"Darimana kau tahu gurumu bersalah terhadap bibimu?"
tanya Lo-kiat. "Soat Koh yang bilang Katanya, seorang she Tio yang berbuat keji telah memapas buntung sebelah lengan
gurunya, dan orang keji yang dimaksudkannya ialah
guruku." "Dan mengapa gurumu sendiri juga buntung sebelah
lengannya?"
"Menurut cerita Soat Koh orang she Tio juga tidak
mendapatkan keuntungan, sebab kemudian lengan kanannya juga dibuntungi gurunya. Sangat kebetulan juga, guruku buntung lengan kanan dan mendapatkan Siang-liu-kiam-boh bigian kiri, sedangkan bibiku buntung lengan kiri dan mendapatkan Kiam-boh bagian kanan. Tidak jelas apa
sebabnya guruku justeru membuntungi lengan kiri bibi dan tidak menabas tangan kanannya?"
"Alasan ini tidak kuat untuk dijelaskan," ujar Lo-kiat.
"Sebab keluarga Soat dari Say-pak terkenal mahir
memainkan pedang tangan kiri, kalau gurumu ingin
mencaplok sendiri Siang-liu-kiam-boh, dengan sendirinya
harus menabas lengan kiri bibimu, supaya dia tidak mampu menggunakan pedang dan berebut kitab lagi dengan
gurumu." "Ai, hanya karena sejilid kitab ilmu pedang, kedua
kekasih harus saling membikin cacat. sungguh tidak
berharga untuk berbuat demikian!" ucap Peng-say dengan menghela napas menyesal.
Lo-kiat masih juga sangsi, ia bertanya pula: "Bahwa gurumu merasa berdosa terhadap bibimu sehingga selama
lima tahun dia tidak berani mengaku terus terang kau ini anaknya, alasan ini memang dapat diterima. Tapi ada satu hal agak ganjil, seharusnya dia bertanya dimana beradanya Siang-liu-kiam-boh bagian kanan. Kau katakan ibumu
sudah meninggal, dia menyangka bibimu yang sudah
meninggal, seyogianya bilamana bibimu meninggal tentu
akan mewariskan Kiam-boh kepada anaknya sendiri. Masa
dia sama sekali tidak curiga ketika mengetahui Kiam-boh
yang dimaksud tidak berada padamu?"
"Hakikatrya guruku tidak tahu Siang-liu-kiam-boh itu terdiri dari dua jilid," tutur Peng-say. "Menurut cerita Soat Koh, sebelumnya bibi, yaitu guru Soat Koh, telah
menyimpan salah satu jilid kitab itu didalam baju sendiri, lalu berlagak membaca jilid yang lain. Karena jang dipikir guruku hanya merebut kitab yang sedang dibacanya, dia
tidak menyangka kalau bibi sudah menyembunyikan jilid
yang lain, disangkanya kitab yang direbutnya itu adalah
Siang-liu-kiam-boh yang lengkap."
"Inilah yang tidak kupahami," ujar Lo-kiat sambil menggeleng. "Masa bibimu menyembunyikan sebagian
Kiam-boh itu dan gurumu tidak tahu" Memangnya mereka
mencegat Cui-hun dari dua jurusan sehingga bibimu
berhasil menemukan dulu Siang-liu-kiam-boh?"
"Bisa jadi begitulah. maka ketika guruku selesai
membereskan lawannya dan mendekati bibi. dilihatnya bibi sedang membaca kitab pusaka itu, segera timbul
maksudnya ingin mencaplok sendiri kitab itu, maka secara keji ia menabas lengan kiri bibi."
Lo-kiat coba merenungkan apa yang mungkin terjadi,
katanya kemudian sambil menggeleng: "Suasana perebutan kitab di waktu itu sungguh sukar untuk dibayangkan. 13
murid dari perguruan ternama, semuanya jago kelas satu,
mana bisa seluruhnya terjungkal di tangan guru dan
bibimu" Kupikir kejadian ini pasti tidak sedemikian
sederhana, tentu masih ada sebab musabab lain."
"Ilmu silat guruku mungkin tidak tinggi, tapi bibi adalah adik perempuan Say-pay-beng-to, ilmu silatnya pasti tidak lemah, apakah kekuatan mereka tidak cukup untuk
mengalahkan Cui-bun dan rombongannya?"
"Ilmu silat keluarga Soat di Say-pak memang lain dari pada yang lain, misalnya pamanmu, Soat Ko-hong, jelas
llmu silatnya tidak dibawah Su-ki dan Sam-yu. Tapi kedua adik perempuannya sejak kacil sudah meninggalkan rumah
sehingga tidak mendapatkan pendidikan kungfu yang
tinggi. Setahuku, waktu bibimu mengembara di daerah
Tionggoan, hampir tiada orang yang memuji kehebatan
ilmu silatnya, sebaliknya Cui-hun sudah mendapatkan
seluruh kungfu Bung-tong-pay, melulu dia seorang saja
sukar bagi bibimu untuk membunuhnya."
"Sudahlah, persoalan ini tidak perlu diperbincangkan lagi. kalau melulu berpikir tanna bukti, tentu sukar untuk dipecahkan. Kuharap guruku. dan bibi tidak pernah
membunuh Toapek, kelak kalau berjumpa lagi dengan Suhu
akan kumohon beliau supaya menceritakan apa2 yang
terjadi dahulu, dengan begitu segala persoalannya tentu
akan jelas."
"Apabila gurumu dan bibimu ternyata pernah membantu Cui-hun dan rombongannya mengerubuti Toapekmu, lalu
bagaimana?"
"Kalau Ji-suko menjadi diriku, bagaimana tindakanmu?"
Peng-say balas bertanya.
"Urusan yang sudah lalu, kesalahan apapun sukar
diperbaiki lagi, terpaksa dianggap selesailah sudah."
"Dan kematian Toapek akan dibiarkan sia2 begitu?"
"Habis mau apa" Dapatkah kau menuntut balas terhadap gurunya sendiri atau terhadap bibimu sendiri" Kukira tidak boleh timbul pikiran demikian!"
"Budi guru setinggi langit, sukar bagiku membalasnya, maka apapun juga aku tak dapat bersikap kurang hormat
terhadap guruku. Mengenai bibi. bila betul dia ikut serta
membunuh Toapek, maka hubungan kekeluargaan ini akan
kuputuskan selama hidup!"
"Wah, jangan, mana boleh jadi begitu!" seru Lo-kiat cepat. "Jika kau tidak mengakui dia sebagai bibimu. mana dia mau mengajari ilmu Pedang Kanan padamu" Makanya
selain harus kau akui dia sebagai bibimu, bahkan harus kau mohon bibimu atau murid bibimu yang bernama Soat Koh
itu agar mau mengajarkan ilmu pedangnya padamu."
Peng-say seperti kurang berminat terhadap Siang-liukiam-hoat. ucapnya dengan tersenyum getir: "Sekalipun kedua tanganku sudah mahir memainkan Siang-liu-kiam-hoat, lalu apa gunanya?"
"Wah benar sekali gunanya," kata Lo-kiat."Suhu tahu kau bertekad akan menuntut balas bagi nona Cin, maka
beliau memberi pesan betapa pun kau harus belajar Siangliu-kiam secara lengkap. bila sudah berhasil menguasai ilmu pedang itu, untuk membunuh Ciamtay Cu-ih menjadi
semudah membalik telapat tangan sendiri. Mengenai
Supek, apabila benar-benar2 sudah mati akibat terluka di pertemuan Ki-lian-san, maka tidak perlu sangsi Ciamtay
Cu-ih itulah si pembunuh Supek. Jadi, kalau Ciamtay Cu-ih kau bunuh, hal ini bukan saja sakit hati nona Cin terbalas, bahkan sekaligus membalaskan sakit hati Supek, malahan
juga berarti menghilangkan suatu penyakit bagi dunia
persilatan."
"Masa selain menguasai Siang-liu-kiam-hoat secara
lengkap tidak dapat membunuh Ciamtay Cu-ih?"
"Sulit, teramat sulit untuk membunuh Ciamtay Cu-ih, jika Siang -iu-kiam-hoat tidak kau kuasai secara lengkap."
kata Lo-kiat. "Waktu kususul kemari, Suhu justeru memberi pesan wanti2 agar memperingatkan padamu, sebelum
Siang-liu-kiam-hoat kau kuasai secara lengkap, jangan
sekali2 kau sembarangan bertindak. Hendaklah maklum
bahwa ilmu silat di dunia sekarang hanya Siang-liu-kiam
saja yang dapat membinasakan Ciamtay Cu-ih. Jelas Suhu
sangat sayang kepada anaknya sendiri, ia kuatir kau gagal menuntut balas, sebaliknya malah terbunuh. Maka memberi
pesan sebelum melaksanakan niatmu menuntut balas harus
kau belajar dulu Siang-liu-kiam-hoat secara lengkap."
"Bahwa Siang-liu-kiam nomor satu di dunia memang
sudah terbukti dan tidak dapat disangkal lagi," kata Peng-say, "tapi itupun harus melihat siapa gerangan yang menguasai ilmu pedang itu. Masih kuingat Ji-suko pernah
menyatakan ucapan ayah bahwa sekalipun ilmu pedang
nomor satu di dunia, tapi kalau tak menguasai Lwekang
dengan sempurna, biarpun paham ilmu pedang yang maha
sakti juga tiada gunanya. Bagiku justeru disinilah letak kelemahanku, dasar Lwekangku belum kuat biarpun Siang-liu-kiam dapat kukuasai secara lengkap juga tiada
gunanya." "Apakah kau kira Lwekangmu tidak berguna?" tanya Lo-kiat dengan tertawa.
"Kalau kuceritakan, sungguh aku menjadi malu sendiri,"
ujar Peng-say sambil menggeleng, "Pernah Liok-ma
menggetar patah pedangku dengan cambuknya, kalau
kubilang Lwekangku hebat, bukankah cuma menipu diriku
sendiri?" "Jangan kau meremehkan dirimu sendiri, Cap-itsute
yang dulu dan Cap-itsute yang sekarang kan sudah lain,"
ujar Lo-kiat. "Ya, akhir2 ini akupun merasa Lwekangku ada
kemajuan, tapi kalau dibandingkan tokoh ternama,
kemajuanku boleh dikatakan tiada artinya."
"Coba ceritakan, sampai berapa kuat Lwekangmu
dahulu?" tanya Lo-kiat dengan tertawa.
"Sekuat tenaga mungkin cukup untuk meratakan alat
perabot sebangsa meja kursi," tutur Peng-say.
"Ah, Cip-itsute terlalu rendah hati," ujar Lo-kiat sambil menggeleng.
"Seorang pesilat biasa saja sanggup menghancurkan meja kursi, masa sedemikian tak becus
kau, sudah sekian tahun berlatih Lwekang hanya sekuat
pesilat biasa saja."
"Kenyataaanya
memang begitu, paling2 telapak tanganku hanya mampu menghancurkan perabot yang
terbuat dari kayu Lam."
"Oo, kalau begitu menjadi lain soalnya," kata Lo-kiat.
"Kayu Lam tergolong kayu yang paling keras dan rapat.
pesilat biasa saja sukar membelahnya dengan golok, tapi
telapak tanganmu mampu memotongnya, nyata latihan
Lwekangmu selama beberapa tahun ini tidaklah sia2."
Lalu Lo-kiat menunjuk meja pendek di depan mereka
dan berkata pula: "Hotel ini cukup bagus, alat perabotnya juga terbuat dari kayu Lam. Coba Cap-itsute, boleh kau uji dengan meja ini, ingin kulihat sampai dimana tingkat
Lwekangmu?"
Peng-say meraba meja yang cukup indah dan kukuh itu,
katanya dengan menyesal: "Meja sebagus ini, kan sayang kalau dirusak?"
"Biarlah aku yang ganti-rugi kepada pemilik hotet," kata Lo-kiat. "Hanya saja mungkin tenagamu tidak kuat
merusak meja ini, maka pemilik hotel akan gagal mendapat keuntungan dari ganti rugi ini."
Peng-say tahu sang Ji-suko sengaja memancingnya, tapi
ia memang ingin coba2 juga, segera ia angkat telapak
tangannya. "Nanti dulu," kata Lo-kiat sebelum tabasan telapak tangan Peng-say itu dilakukan. "Bagaimana kalau kita bertaruh sedikit?"
Peng-say tertawa, jawabnya: "Kalau Ji-suko suka, boleh saja."
"Begini," kata Lo-kiat. "Bila meja ini dapat kau hantam remuk, aku yang ganti rugi kepada yang empunya barang.
Jika tidak dapat kau rusakkan, kau harus bayar dua kali
lipat uang ganti rugi meja ini."
Peng-say cukup yakin pasti mampu menghancurkan
meja itu, maka tanpa pikir ia berkata: "Baik, jadi!"
Segera ia menghimpun tenaga, tangan diangkat pula.
Melihat wajah anak muda itu samar2 bersemu hijau, Lokiat tahu sekali ini dia telah mengerahkan segenap
tenaganya. Peng-say memang sudah menghimpun segenap tenaga
pada telapak tangan kiri yang hendak digunakan menabas
itu. Tindakannya ini bukan lantaran dia takut kalah, tapi takut kalau2 dia tak dapat menghancurkan meja itu, hal ini tentu akan membuatnya malu besar.
Pelahan ia menurunkan telapak tangan kirinya. ketika
sudah dekat meja baru mendadak dihantamkan dengan
keras. Siapa tahu, meja itu tiada rusak sedikitpun. Keruan
Peng-say bersuara heran dengan muka merah, tak tersangka olehnya tenaga yang sudah dikerahkan sepenuhnya ternyata tidak mampu menghancurkan meja itu, ia menjadi heran
apakah Lwekangnya sendiri bukannya maju, sebaliknya
malah mundur"
Kiau Lo-kiat bergelak tertawa. Sudah tentu Peng-say jadi malu, ia menunduk dan berkata, "Baiklah aku kalah."
"Tidak, kau tidak kalah, justeru kau yang menang,
kemenangan yang gemilang," kata Lo-kiat malah.
Peng-say menyangka orang bicara secara terbalik,
ucapnya sambil menyengir: "Kutahu biarpun Siang-liu-kiam-hoat kupelajari dengan lengkap juga tiada gunanya,
buktinya kan sudah jelas."
"Siapa bilang tiada gunanya?" ujar Lo-kiat. "Justeru tenagamu sekarang sama sekali tidak di bawah pamanmu
Soat Ko-hong."
Peng-say merasa kurang senang, katanya: "Ucapan Jisuko ini tidakkah terlalu menghina pamanku?"
"Siapa bilang menghina" Coba, boleh kau dorong meja ini," kata Lo-kiat dengan tertawa.
Peng-say menurut dan coba mendorong meja itu, ia
menyangka meja yang kukuh dan berat itu pasti takkan
bergerak, tak terduga, bergerak sih memang tidak, tapi
begitu tersentuh tangannya, seketika meja itu ambruk
hancur menjadi bubuk. Keruan Peng-say menjadi kaget.
Lo-kiat meraup secomot bubuk kayu meja itu, katanya
dengan tertawa: "Menurut cerita Toa-suko tempo hari, katanya pamanmu Soat Ko-hong ketika berada di kelenteng
Toa-pekong sana pernah sekali hantam menghancurkan
meja sembahyang, Toa-suko sangat terkejut dan kagum,
katanya tokoh Bu-lim sekarang jarang yang bertenaga
dalam sekuat pamanmu itu. Namun Toa-suko juga
menambahkan bahwa betapapun hebat tenaga dalam Soat
Ko-hong tetap tak dapat menandingi kekuatan Suhu. Soat
Ko-hong hanya dapat membuat remuk bagian meja yang
terkena pukulannya, sebaliknya dengan Ci-he-kangnya
Suhu sanggup menghacur luluhkan sebuah meja sembahyang seluruhnya. Bisa jadi cerita Toa-suko itu tidak seluruhnya benar. sebab pukulan pamanmu dahulu itu
mungkin dilakukan dengan sekenanya, bilamana digunakan
sepenuh tenaga bisa jadi seluruh meja sembahyang juga
akan tergetar hancur seperti pukulan Suhu, tapi berdasarkan kemampuanmu sekarang, sedikitnya kau tidak dibawah
pamanmu, betul tidak menurut pendapatmu?"
Peng-say sendiri sampai melenggong, dengan bingung ia
memandangi meja yang telah hancur menjadi bubuk kayu
itu, se-olah2 tidak memperhatikan apa yang diucapkan
Kiau Lo-kiat. "Jangan melenggong, apakah sekarang kau masih tidak percaya?" kata Lo-kiat pula dengan tertawa.
"Sungguh sukar untuk di ... .dipercaya . . . ." ucap Peng-say dengan ter-gegap2.
"Tapi bukti menjadi saksi, mau-tidak-mau kau harus
percaya. Makanya aku ingin tanya, wahai Cap-itsute,
mengapa Lwekangmu bisa maju sepesat ini?" kata Lo-kiat dengan tertawa.


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku . . . .aku tidak ....tidak tahu. . . ."
"Tambahnya tenaga dalam biasanya tidak mungkin
terjadi dalam waktu sehari atau semalam, tapi apakah kau percaya bahwa Lwekang memang dapat mendadak
bertambah beberapa kali lipat dalam waktu singkat?" tanya Lo-kiat pula.
Dengan gelagapan Peng-say menjawab: "Tidak .... tidak percaya, eh, per. . . .percaya."
"Hahaha, Mengapa sudah bilang tidak percaya, lalu kau katakan percaya lagi?"
"Ya, betapapun aku tidak percaya terhadap hal2 yang mustahil terjadi, tapi mau-tidak-mau harus percaya pula
kepada kenyataan didepan mata ini."
"Ketambahan tenaga dalam beberapa kali lipat secara mendadak, kalau dibicarakan memang mustahil bisa terjadi.
Tapi juga tidak dapat dikatakan tidak mungkin terjadi.
Sebab bagi kaum ahli Lwekang ada semacam ilmu yang
disebut 'Si-oh-koan-teng, pernahkah kau dengar?"
Peng-say menggeleng.
Maka Lo-kiat menyambung pula: "Si-oh-koan-teng
adalah istilah agama Buddha, artinya memberikan
kecerdasan dan kebijaksanaan kepada seseorang. Istilah ini digunakan dalam ilmu silat, sudah tentu tidak berarti
menyalurkan kecerdasan atau kebijaksanaan kepada
seseorang, tapi dimaksudkan penyaluran tenaga dalam.
Bagi yang menerima penyaluran tenaga itu, dalam waktu
singkat tenaga dalamnya akan bertambah berlipat kali. Cara bagaimana menyalurkan tenaga dalam" Karena menyagkut
ilmu yang maha tinggi, aku sendiri tidak paham, hanya
kutahu bilamana menggunakan ilmu Si-oh-koan-teng
tersebut, maka seluruh tenaga dalam seorang dapat
disalurkan ke tubuh orang yang lain, dengan demikian
tenaga dalam kedua orang akan terbaur menjadi satu pada
orang yang menerima saluran tenaga itu."
Mendengar sampai disini, Peng-say lantas teringat
kepada Sau Ceng-hong yang berwajah kurus pucat dan tua
waktu kepergok diambang pintu Soh-hok-han ketika dia
hendak minggat diusir Leng Tiong-cik tempo hari. Tanpa
terasa ia berteriak: "Oo, ayah!"
Dengan menghela napas Lo-kiat berkata pula: "Kukira sekarang kau pasti paham sebab musababnya Lwekang
yang bertambah kuat secara mendadak ini. Selama sebulan
Suhu tirakat, setiap malam beliau selalu mengunjungi
kamarmu. dengan ilmu Si-oh-koan-teng beliau telah
menyalurkan Ci-he-kang padamu, jadi kekuatanmu
sekarang sama dengan kekuatanmu semula ditambah
dengan kekuatan ayahmu kemarin."
Tanpa bicara lagi mendadak Peng-say melompat bangun
terus berlari pergi.
"Tunggu!" seru Lo-kiat ia melemparkan sepotong uang perak terus mengejur keluar.
"O0"odwo"0O"
Sudah jauh malam, bulan tinggi menghiasi cakrawala
dengan cahayanya yang terang menyinari bumi.
Dengan susah payah akhirnya Lo-kiat dapat menyusul
Peng-say, keduanya berlari secepat terbang. Lampat-laun
Lo-kiat merasa kewalahan, dengan megap2 ia berkata:
"Lambat sedikit, Cap-itsute!"
Peng-say lantas kendurkan larinya. Langkah Lo-kiat
menjadi agak longgar, bicaranya tidak ter-engah2 lagi, ia berkata pula: "Cap-itsute, apakah kau hendak pulang ke Soh-hok-han?"
Peng-say mengiakan.
"Bukankah kau kuatir ayahmu akan serba Susah
mengapa mendadak kau hendak pergi ke sana?"
Dengan agak tersendat Peng-say menjawab: "Aku takkan tinggal lama disana, cukup asalkan tahu kesehatan ayah
tidak beralangan dan segera kutinggalkan pergi lagi."
Lo-kiat juga berduka, katanya: "Gara2 Subo, kalian ayah dan anak tidak dapat berkumpul. ku-tahu kalian pasti
sama2 merasa berduka. Tapi jangan kuatir. takkan terjadi apa2 atas diri Suhu, beliau cuma menyalurkan tenaganya
padamu, kini beliau berubah menjadi orang biasa. Kau
disuruh membunuh Ciamtay Cu-ih, supaya kau dapat
langsung menuntut balas bagi nona Cin, Suhu sendiri sudah kehilangan tenaga dan tidak mampu berbuat apa2 lagi,
terpaksa suruh kau belajar Siang-liu-kiam- hoat secara
lengkap agar pesan Suhu tadi bisa terlaksana."
Dengan pedih Peng-say berkata: "Kutahu maksud ayah, kupasti melaksanakan harapannya. Akan kumohon kepada
bibi agar mengajarkan bagian kanan Siang-liu-kiam-hoat
padaku, akan kulaksanakan pesan beliau, sebelum lengkap
menguasai Siang-liu-kiam-hoat aku pasti takkan bertanding secara gegabah."
"Menurut pendapatku, sebaiknya jangan kau pulang ke Soh-bok-han," kata Lo-kiat. "Setelah kau tahu maksud ayahmu, bolehlah kau laksanakan sekuat tenagamu, kelak
boleh kau hibur beliau bilamana tugasmu sudah selesai.
Untuk apa sekarang kau pulang kesana, kan hanya
menambah rasa dukanya saja?"
"Tidak, sebelum melihat ayah dalam keadaan baik ,
betapapun hatiku tidak tenteram," kata Peng-say.
"Demi kesehatan ayahmu, hendaklah jangan kau pulang kesana," bujuk Lo-kiat pula. "Hendaklah kau tahu, meski kesehatan Suhu sekarang tak beralangan, tapi badannya
jelas sangat lemah, bila kau temui beliau, betapapun hatinya pasti akan terharu. Kau tidak menjadi soal, tapi Suhu pasti tidak tahan akan emosinya, betul tidak?"
Tak tahun lagi air mata Peng-say bercucuran, dengan
pedih ia berkata: "Baiklah, aku berjanji takkan menemui
ayah, aku hanya akan memandangnya dari luar jendela
saja, setelah kulihat beliau tidur dengan nyenyak segera kutinggal pergi."
Lo-kiat tidak bicara lagi. Tidak lama kemudian
sampailah mereka di kaki gunung. Karena ingin cepat2
sampai, Peng-say tidak sabar. ia pegang tangan Lo-kiat
terus dibawa lari ke atas gunung.
Setiba di Soh-hok-han, Lo-kiat kuatir mengejutkan Sunio
dan para saudara seperguruannya, ia tidak masuk melalui
pintu depan, tapi membawa Peng-say memutar ke samping.
kekamar tulis yang biasa didiami sendiri oleh Sau Cenghong. Kamar tulis itu menghadap ke barat, saat itu rembulan
yang sudah condong ke barat itu sedang memancarkan
cahayanya yang terang dan menembus jendela yang ditutup
dengan kertas tembus cahaya itu, maka keadaan di dalam
kamar cukup jelas kelihatan.
Pelahan Lo-kiat membolongi kertas jendela dan
mengintip kedalam, lalu ia berpaling dan mendesis kepada Peng-say: "Kebetulan Suhu memang lagi tidur."
Peng-say mengintip juga, dilihatnya di tempat tidur yang menghadap kejendela itu berbaring seorang berjubah hijau, tapi mukanya menghadap kesebelah dalam sehingga tidak
kelihatan mukanya, hanya dari bayangan punggungnya
samar2 dapat dipastikan ialah ayahnya sendiri, yaitu Sau Ceng-hong.
Meski ia tidak tahu sebab-musabab sang ayah selalu tidur sendirian dikamar tulis ini, tapi keadaan dan pemandangan ini menimbulkan semacam perasaan pedih dan haru dalam
hati Peng-say, tanpa terasa ia berseru tertahan: "Ayah!"
Di tengah malam sunyi begini, meski suara Peng-say itu
se-olah2 tertahan di tenggorokan, namun cukup jelas
terdengar. Tapi aneh, tidak kelihatan Sau Ceng-hong
bergerak sama sekali. Padahal bagi tokoh persilatan kelas tinggi seperti dia ini, bila dalam keadaan hening begini tak dapat mendengar suara Peng-say yang lirih itu, hakikatnya dia tiada ubahnya seperti seorang tuli.
Karena kedatangannya sudah bertekad takkan mengejutkan ayah, sebab Peng-say tahu seorang tokoh silat kelas tinggi bilamana kehilangan tenaga dalam, maka daya pendengarannya akan jadi puntul seperti orang awam,
sebab itulah sekarang sang ayah tidak terjaga dari tidurnya.
Tapi bila mengingat sebabnya sang ayah sampai berubah
menjadi begitu, tanpa terasa air mata Peng-say bercucuran.
Lo-kiat ikut meneteskan air mata, ucapnya dengan suara
tertahan: "Cap-itsute.
bolehlah kau pergi saja." Peng-say mengiakan pelahan, dengan rasa berat ia
membalik tubuh dan ikut pergi bersama Lo-kiat, namun
beberapa kali dia menoleh lagi, pemandangan ini mirip
orang yang akan berpisah untuk selama-lamanya.
Diam2 Lo-kiat terharu, ia membujuknya: "Kalian ayah dan anak hanya berpisah untuk sementara waktu saja, kelak kalian masih dapat berkumpul dan hidup bahagia."
"Kelak" Harus tunggu sampai kapan?" ucap Peng-say dengan tersenyum getir.
Nadanya membayangkan "kelak" yang tak terbatas itu.
Leng Tiong-cik tidak suka padanya, dalam keadaan
demikian. kecuali ibu tiri itu mati barulah memungkinkan bagi Peng-say untuk pulang berkumpul dengan ayahnya.
Bagi Sau Ceng-hong yang sudah cukup tua itu, tidaklah
mungkin dia menceraikan isterinya yang mandul itu demi
membela puteranya.
Kiau Lo-kiat berjalan didepan, ber-ulang2 ia menghela
napas, katanya: "Entah apa manfaatnya bagi Sunio dengan caranya menyingkirkan dirimu. Bilamana tahu begini,
seharusnya Suhu jangan berterus terang kepadanya.
Menurut cerita Suhu, pada malam hari pertama kita pulang kesini segera beritahukan kepada Sunio tentang dirimu.
adalah darah dagingnya. Seketika air mnka Sunio berubah
tidak senang, meski tidak memberi reaksi pada saat itu juga, namun Suhu sudah lantas tahu Sunio tidak suka padamu.
Benar juga, dengan segala daya upaya Sunio berusaha
memencilkan dirimu, bahkan cuma urusan perjodohan
Leng Hiang saja Sunio bertengkar dengan Suhu, bahkan
menyatakan anak pasti sama dengan ibunya, maka Suhu
dilarang mengajarkan ilmu silat kepadamu."
Dengan menahan rasa gusar Peng-say bertanya: "Apa
artinya anak pasti sama dengan ibunya" Memangnya ibuku
pernah berbuat salah apa?"
"Kalau diceritakan, hal ini memang tidak beralasan," ujar Lo-kiat dengan penasaran. "Jangankan paman dan bibimu bukan manusia jahat dan tak terampunkan, sekalipun
begitu, apa sangkut-pautnya mereka dengan ibumu" Dan
apa sangkut-pautnya
dengan pribadimu"
Menurut pendapatku, sebabnya Sunio benci padamu adalah karena
rasa cemburunya, dia cemburu karena kau adalah putera
Suhu, dia gemas karena kau bukan putera yang dilahirkan
dia sendiri, rasa cemburu ini, rasa gemasnya, sama sekali tidak berdasar. Habis kan salah dia sendiri, kenapa dia
mandul" . . ."
Sampai disini, mendadak Kiau Lo-kiat menahan
mulutnya. mungkin ia merasa tidak pantas ber-olok2
kepada orang tua.
Sejenak kemudian, ia berkata pula: "Dengan keadaannya Suhu tidak mau menuruti kehendak Sunio dan tidak
mengajarkan kepandaian kepada anaknya sendiri, tapi
beliau juga tidak ingin bertengkar antara suami-isteri dihari sudah tua begini. Sebab itulah dengan alasan Sunio
menolak perjodohanmu dengan Leng Hiang, dengan gusar
beliau lantas menutup diri dan tirakat, tapi diam2 seluruh Lwekangnya telah disalurkan kepadamu, beliau berharap
kelak kau akan menonjol di dunia persilatan. Cuma Suhu
yang harus dikasihani, dengan nama dan kedudukannya dia
tidak dapat mengadakan pirayaan bagi anaknya sendiri.
Kau tahu, betapa Suhu mendambakan keturunannya yang
akan mewarisi Lam-han kita ini" Hanya lantaran cemburu
Sunio, segala angan2 Suhu telah lenyap bagai impian,
akhirnya malahan berkumpul dengan anaknya sendiri juga
tidak dapat. Sesunguhnya Suhu juga terlalu mengalah
terhadap Sunio, apabila aku, kalau Sunio tidak dapat
menerima kau, lebih baik kuceraikan dia. Sunio tidak dapat melahirkan anak, dia sudah melanggar salah satu dari tujuh pasal kebaktian orang perempuan, untuk mana secara resmi dapat diceraikan tanpa syarat."
Makin bicara makin bersemangat sehingga Lo-kiat lupa
dia masih berada di Soh-hok-han. Waktu dia menyadari
suaranya sedemikian kerasnya sehingga segenap penghuni
Soh-hok-han dapat mendengar suaranya, namun sudah
terlambat, suaranya sudah telanjur tercetus dari mulutnya.
Selagi ia hendak menyuruh Peng-say lekas pergi agar
Sunio dan lain2 tidak keluar setelah mendengar suaranya.
Pada saat itulah mendadak dari pojok dinding sana
menubruk keluar sesosok bayangan sambil membentak:
"Sattt!"
Di bawah cahaya rembulan kelihatan orang itu mendelik
dan beringas, sikapnya sangat menakutkan.
"He, Toa-suko, aku!" teriak Lo-kiat kaget.
Yang menubruk keluar ini memang betul Sau Peng-lam
adanya. Lo-kiat mengira sang Suheng salah sangka dirinya
sebagai musuh, maka biarpun tubrukan Peng-lam itu sangat keras ia tidak berkelit, ia percaya bilamana dirinya sudah bersuara,
tentu Toa-suko akan menarik kembali serangannya tepat pada waktunya.
Tak terduga serangan Peng-lam itu sama sekali tiada
tanda2 dihentikan, maka tanpa ampun dada Kiau Lo-kiat
yang kurus itu tepat kena dihantam.
Mana Lo-kiat sanggup menahan pukulan Peng-lam yang
dahsyat itu, ia menjerit, tubuhnya mencelat dan "bluk", ia terbanting jatuh di sana.
Dengan kuatir Peng-say
memburu maju untuk memeriksa keadaan luka Ji-suko itu. Didengarnya Peng-lam telah memburu dari belakang sambil membentak, "Lari kemana, bangsat!" " Berbareng itu angin pukulan
menyambar tiba, kedua tangannya menghantam sekaligus,
nyata Peng-say hendak dibinasakannya.
Di bawah cahaya bulan yang cukup terang, tidak
mungkin lagi Peng-lam salah mengenali kawan sendiri,
andaikan pangling, sebelum tahu jelas maksud tujuan
musuh juga tidak pantas melancarkan serangan mematikan
begini. Nyata Peng-lam memang bermaksud membunuh
dirinya dan Kiau Lo-kiat.
Sudah tentu Peng-say tidak mau mati konyol tanpi\a
tahu sebab musebabnya, cepat ia membalik tubuh dan
menangkis. "Blang", empat tangan beradu, tenaga dalam Peng-say sekarang jauh di atas Peng-lam, cukup tiga bagian
tenaganya saja kontan menggetar Peng-lam hingga jatuh
terjengkang. Sambil meraba pantatnya yang kesakitan Peng-lam
merangkak bangun, dengan menyengir seperti orang
linglung ia berseru: "Wah, lihay amat!" " Lalu dengan mata melotot ia berkata pula terhadap Peng-say: "Orang she Ting, boleh kau tunggu pembalasanku. Seorang lelaki yang ingin menuntut balas, sepuluh tahunpun belum terlambat!"
Peng-say jadi melenggong, pikirnya heran: "Toa-suko hendak menuntut balas apa?"
Selagi ia hendak bertanya. mendadak Peng-lam berlari
pergi turun ke bawah gunung.
Dengan rasa sangsi Peng-say
berjongkok untuk
memeriksa luka Kiau Lo-kiat. Ternyata sangat parah luka
Ji-suko itu, darah masih terus merembes keluar dari
mulutnya. Cepat Peng-say menutuk beberapa Hiat-to penting
ditubuh Lo-kiat, sebelah tangannya menahan dadanya dan
menyalurkan hawa murni uutuk penyembuhan luka dalam
Ji-suko itu. Di tengah malam sunyi terdengar suara Toa-sukonya
berkumandang dari bawah gunung: "Hahahaha! Liok Pek sudah kubunuh, haha Liok Pek sudah kubunuh!"
Peng-say tambah bingung dan curiga, entah Toa-suko itu
kenapa, menyebutnya orang she Ting, terang berteriak pula bahwa Liok Pek telah dibunuh olehnya"
Ia tidak berani banyak pikir lagi, tapi memusatkan
perhatian untuk menyembuhkan luka Ji-sukonya. Ia merasa
denyut jantung Lo-kiat sangat lemah, meski detaknya
bertambah kuat setelah disaluri tenaga dalamnya, tapi ia belum berani menarik tanganya.
Selang sejenak kemudian, dengan suara lemah Lo-kiat


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata: "Cap-itsute, sudah, cukuplah."
Peng-say tidak paham ilmu pertabiban, ia tidak tahu
sesungguhnya bagaimana keadaan luka suko itu, melihat
orang sudah dapat berbicara, sangkanya sudah tidak
beralangan lagi, maka ia menurut dan menarik kembali
tangannya sambil berkata: "Ji-suko, biar kuantar kau ke tempat ayah."
"Jangan, tidak perlu," kata Lo-kiat. Peng-say coba mendengarkan dengan cermat, katanya kemudian: "Aneh.
mengapa Sunio dan para Suheng sama sekali tiada
terdengar bertindak apa-pun?"
Lo-kiat rada gemetar, ucapnya lemah: "Apa betul?"
"Suara tadi cukup keras, mustahil kalau mereka tidak mendengar dan seharusnya mereka keluar untuk memeriksa
apa yang terjadi, tapi sampai sekarang ternyata tiada suara apa2 dan tidak kelihatan seorangpun."
Dengan Lwekangnya sekarang, ditengah malam sunyi
begitu, biarpun daun jatuh di kejauhan juga dapat
didengarkannya, apalagi suara yang ditimbulkan seseorang.
Luka Lo-kiat cukup parah. bicara saja terasa berat,
dengan sendirinya daya pendengarannya telah banyak
berkurang, setelah mengetahui gelagat tidak enak. suaranya bertambah gemetar, katanya dengan ter-putus2: "Cob . . .
coba pondonglah diriku, kita .... kita ke kamar Sunio dan
....dan lain2 . . . ."
Beberapa kamar di deretan samping sana adalah kamar
tidur para murid Lam-han, Peng-say memondong Lo-kiat
menuju kesalah satu kamar itu.
"Inilah kamar. . .kamar tidur Nio Hoat," kata Lo-kiat.
Segera Peng-say berteriak: "Sam-suko! Sam-suko!. . . ."
Akan tetapi sampai sekian lamanya tiada terdengar
jawaban Nio Hoat,
Gemertuk gigi Kiau Lo-kiat, ucapnya dengan ter-putus2:
"Coba ter. . . .terjang ke dalam!"
Sekali depak Peng-say membikin daun pintu terpentang,
ternyata pintu kamar tidak dipalang dari dalam, hanya
tersentuh pelahan saja lantas terbuka.
Remang2 di dalam kamar dan samar2 terlihat perawakan
Nio Hoat yang kekar itu dengan dada terbuka berbaring
telantang ditempat tidurnya.
Setiba di depan tempat tidur Nio Hoat masih tetap tidak
bergerak, saking tak tahan guncangan perasaannya Lo-kiat lantas berteriak: "Samsute!"
Peng-say dapat melihat dengan jelas, dengan suara sedih
ia berkata: "Sam-suko sudah. . . .sudah meninggal. . . ."
Dengan menggeh2 Lo-kiat berkata: "Coba ke. . . ke
kamar sebelah. . . ."
Kamar sebelah adalah kamar tidur Si Tay-cu, murid
Lam-han keempat. Keadaan Si Tay-cu juga serupa Nio
Hoat, iapun telentang dengan dada terbuka, juga sudah
mati. Ber-turut2 adalah Ko Kin-beng, murid kelima dan Kang
Ciau-lin, murid keenam yang berjuluk si kera itu. Kedua
orang itupun mati telentang dengan dada terbuka.
Keempat saudara seperguruan yang berkepandaian
paling tinggi serta bergaul paling erat dengan Kiau Lo-kiat kini sudah mati semua. Sampai disini Lo-kiat tidak tahan lagi, ia menangis ter-gerung2, ucapnya dengan suara terputus2: "Cap. . . .Cap-itsute, coba. . . .coba kau periksa cara....cara bagaimana matinya Lak-sute. . . ."
Peng-say coba memeriksa tubuh Kang Ciau-lin, katanya
kemudian: "Lak-suko terkena pukulan di bagian dada dan mati karena nadi jantungnya putus."
"Apakah ada be ... . bekas telapak tangan warna hitam?"
tanya Lo-kiat. "Ya, ada, tepat di dada Lak-suko," jawab Peng-say.
"Itulah Tay-jiu-in, pukulan khas Say-koan." kata Lo-kiat dengan menggreget.
Mendadak Peng-say merasa kepala pusing dan sempoyongan. "He, didalam kamar masih ada bau obat bius, lekas
keluar!" seru Lo-kiat kaget.
Untunglah sisa obat bius itu sudah tipis, sesudah diluar dan mengghisap hawa udara segar, rasa pusing Peng-say
lantas lenyap. Namun Lo-kiat dalam keadaan terluka, daya tahannya
jauh lebih lemah daripada Peng-say, kontan sisa makanan
didalam perutnya tertumpah keluar, bahkan darah ikut
tersembur keluar dan mengotori dada Peng-say.
Cepat Peng-say menutuk lagi Hiat-to dan menyalurkan
pula tenaga dalamnya.
Sejenak kemudian dapatlah Lo-kiat bicara: "Cukuplah, coba pergi ke kamar Sunio!"
Peng-say tidak tahu dimana letak kamar ibu-gurunya,
setelah ditunjukkan Lo-kiat, segera ia berlari ke sana.
Hanya didorong pelahan saja pintu kamar Leng Tiongcik lantas terbuka.
"Jangan ter-buru2 masuk!" kata Lo-kiat. Ia kuatir kamar tidur ibu-gurunya itu juga serupa kamar Lak-kau-ji yang
masih ada sisa obat bius, setelah menunggu sejenak barulah dia berkata pula: "Baiklah, sekarang boleh masuk!"
Kamar tidur Leng Tiong-cik berbentuk apa yang disebut
"suite room" jaman kini, kamar tidur berikut ruangan duduk dan sebagainya, antara ruangan duduk dan tempat tidur
diberi aling2 kain tabir,
Waktu tabir disingkap, terlihatlah Leng Tiong-cik
berbaring miring ditempat tidurnya dengan memakai
selimut tipis, tampaknya nyenyak benar tidurnya.
Mehhat keadaan ibu gurunya serupa ayahnya tadi, kaki
dan tangan Peng-say terasa dingin semua, ia merasa ragu2
untuk memeriksa keadaan Leng Tiong-cik.
Padahal tidak perlu diperiksa juga sudah dapat diketahui apa yang telah terjadi. Kalau Leng Tiong-cik tidak mati, mustahil dia tidak tahu ada orang masuk kamarnya"
Namun yang dipikir Peng-say adalah segi baiknya, berulang2 ia berkata pada dirinya sendiri: "Musuh tidak berani membunuh Sunio dan Ayah, maka Sunio dan ayah cuma
pingsan karena obat bius musuh saja."
Kalau melihat keadaan tidur Leng Tiong-cik dan Sau
Cing-hong yang berbaring miring itu memang bisa terjadi
sebagaimana dugaan Peng-say. Tapi kalau bilang musuh
tidak berani membunuh mereka, hal ini jelas sangat
menggelikan. Coba pikir, kalau jelas2 meraka sudah terbius dan tidak sadar lagi, masa musuh perlu takut lagi kepada mereka dan tidak berani membunuhnya"
Bisa jadi musuh masih mengindahkan peraturan
Kangouw dan tidak mau membunuh seorang perempuan
sehingga mati dengan dada terbuka.
Dengan kaki terasa lemas Peng-say mendekati tempat
tidur lalu berdiri ter-mangu2.
"Apakah Sunio juga sudah meninggal?" tanya Lo-kiat.
"Ti . . . tidak .... belum . . ." jawab Peng-say.
Rada hati hati Lo-kiat. Tapi segera terpikir olehnya hal itu hampir tidak mungkin terjadi, pula jawaban Peng-say itu dirasakannya kurang meyakinkan. Namun ia sendiri tak
dapat bergerak dan tidak dapat memeriksa sendiri keadaan ibu-gurunya, coba tanya pula: "Darimana kau tahu Sunio tidak mati?"
"Dia serupa ayah, juga . . .juga sedang tidur dengan nyenyak, pasti tidak mati!" kata Peng-say.
Lo-kiat sudah luas pengalamannya, ia tahu bagaimana
perasaan Peng-say sekarang, katanya dengan gegetun: "O
jadi Sunio tidur seperti Suhu berbaring dengan menghadap kedalam?"
"Betul, dia tidur selelap ini, pasti tidak mati," kata Peng-say pula.
"Sudah tentu kita berharap Suhu dan Sunio tidak mati,"
ucap Lo-kiat. "Tapi kalau mati, hendaklah kau berani menghadapi kenyataan ini. Cap-itsute, boleh kau.... coba periksa pernapasan Sunio."
Dengan sebelah tangan memondong tubuh Lo-kiat,
tangan Peng-say yang lain terjulur pelahan ke depan hidung Leng Tiong-cik. Tapi sampai sekian lamanya tangan Peng-say tetap terletak di depan hidung ibu-gurunya dan tidak ditarik kembali.
Lo-kiat dapat merasakan apa yang telah terjadi, air
matanya berderai, ucapnya dengan suara parau: "Sudah mati?"
"Ya, sudah mati," jawab Peng-say dengan melenggong seperti patung.
Pelahan ia membalik tubuh dan pelahan berjalan keluar
kamar, langkahnya berat seperti menyeret benda beribu
kati, ia menuju ke kamar tulis Sau Ceng-hong tadi,
Posisi tidur Sau Ceng-hong tadi tidak berubah
sedikitpun, pintu kamarnya juga tidak terpalang, sedikit terdoroag lantas terbuka, ini membuktikan setelah musuh
meniupkan asap bius, lalu membuka pintu untuk
membunuh Sau Ceng-hong.
Kini Peng-say tidak mengharapkan lagi ayahnya cuma
dalam keadaan tidur, iapun tidak takut kepada sisa obat
bius yang masih tertinggal didalam kamar, begitu pintu
terbuka segera ia memburu ke tempat tidur. Lebih dulu ia mendudukkan Lo-kiat pada kursi, lalu ia merangkul
jenazah ayahnya yang sudah kaku dan dingin itu, namun
tidak mencucurkan air mata barang setetespun.
"Coba kau periksa punggung Suhu apakah juga terdapat bekas telapak tangan?" ucap Lo-kiat dengan suara sedih.
Peng-say mengiakan. Segera ia membuka jubah hijau
yang dipakai Sau Ceng-hong, lalu membuka baju dalam,
setelah dilihatnya sekejap, lalu baju2 itu dikenakannya
kembali. Katanya kemudian: "Betul, di punggung ayah juga ada bekas telapak tangan berwarna hitam, serupa ke-empat Suheng tadi."
Lo-kiat kuatir anak muda itu terlalu sedih sehingga akan banyak mempengaruhi tindakan selanjutnya, maka ia
sengaja memberi persoalan kepadanya agar Peng-say
memeras otak, katanya; "Apakah kau tahu siapakah yang membunuh Suhu dan para Suheng?"
"Ting Tiong dan Liok Pek," jawab Peng-say singkat.
"Ya. pasti tidak salah lagi," kata Lo-kiat "Lebih dulu mereka telah meniupkan asap pembius ke kamar Suhu dan
lain2, dalam keadaan tidak sadarlah mereka dibunuh.
Secara terang2an, mereka pasti bukan tnandingan Suhu dan Sunio, terpaksa mereka menggunakan cara rendah dan
kotor ini Sebabnya Toa-suko tidak terbunuh, mungkin
waktu itu dia bangun tidur, waktu merasakan asap pembius musuh, sekuatnya ia menerjang keluar kamar sehingga
tidak banyak terbius."
"Bisa jadi Toa-suko melihat perbuatan Ting Tiong dan Liok Pek dengan caranya yang rendah ini, pada sebelum
kehilangan kesadarannya itu ia masih ingat baik2 nama
kedua bangsat ini, setelah menerjang keluar, Toa-suko
lantas jatuh pingsan. Ketika siuman kembali, kebetulan kita pulang, Toa-suko menyangka kita ini Ting Tiong dan Liok
Pek, maka tanpa kenal ampun melancarkan serangan maut
kepada kita, Lantaran perawakanmu tinggi besar menyamai
Ting Tiong, maka dia menyangka kau ini Ting Tiong,
tubuhku kurus kecil, maka aku dianggap Liok Pek. Kalau
tidak masa dia menyebut kau orang she Ting dan
menyatakan pula Liok Pek telah dibunuh olehnya" Aku
telah dihantam olehnya sehingga mencelat, dia menduga
aku pasti tak dapat hidup lagi, maka dia mengira sudah
berhasil membunuh Liok Pek. . ."
"Perkiraanmu ini ada yang tidak cocok," ujar Peng-say.
"Mustahil Ting Tiong dan Liok Pek tidak membunuh Toasuko sekalian sehingga hilanglah semua saksi hidup "
Hati Lo-kiat rada lega mendengar Peng-say dapat
menanggapi persoalannya dengan cermat. Segera ia
membuat persoalan baru agar Peng-say lebih banyak
memeras otak sehingga tidak melulu bersedih memikirkan
kematian ayah, segera ia berkala pula: "Ha! Toa-suko tidak dibunuh oleh Ting Tiong berdua tidak sulit untuk
dibayangkan. Waktu kita datang tadi di kamar si monyet
masih ada sisa asap bius, ini menandakan Ting Tiong dan
Liok Pek belum lama meninggalkan tempat ini. Di tengah
malam buta, selagi semua orang tidur nyenyak. tentunya
mereka tidak menyangka Toa-suko belum lagi tidur, mereka hanya meniupkan asap pembius sekamar demi sekamar,
kuyakin di kamarku pasti juga penuh dengan asap bius itu.
Bahwa perbuatan mereka itu berjalan dengan lancar,
sampai Sunio juga tidak merasakannya semua ini pertanda
bahwa yang bekerja cuma Ting Tiong dan Liok Pek berdua,
sebab selain mereka berdua, murid Say-koan angkatan
kedua tiada yang memiliki Ginkang setinggi ini, hanya
mereka berdua saja yang mampu menggunakan Ginkang
mereka yang tinggi sehingga segenap anggota perguruan
kita menjadi korban perbuatan mereka yang licik ini.
Karena mereka meniupkan asap bius sekamar demi
sekamar besar kemungkinan mereka tidak tahu Toa-suko
sempat menerobos keluar kamar, setelah pekerjaan mereka
selesai dan mulai melakukan pembunuhan satu persatu
barulah diketahui kamarku dan kamar Toa-suko kosong
tanpa penghuni. Mungkin mereka menyangka Toa-suko
dan diriku sedang turun gunung sehingga tidak berada di
dalam kamar, mereka tidak menyangka ada orang
menerjang keluar kamar dan jatuh pingsan diluar."
"Jisuko memang tidak tidur di kamar, selimut bantalmu tentu masih terletak dengan rapi sehingga jelas kelihatan penghuninya memang lagi keluar. Sebaliknya Toa-suko
habis tidur, tentu tempat tidurnya dapat ditemukan
bekas2nya."
Lo-kiat barkerut kening, katanya kemudian: "Ya,
beralasan juga analisamu, tapi bisa juga diperkirakan begini, setelah Toa-suko menerjang keluar kamar, dia jatuh pingsan di tempat yang sukar ditemukan musuh. . . ."
Kirena memikirkan soal2 yang dikemukakan Lo-kiat itu
sehingga rasa berduka Peng-say terlupakan, tapi ketika
berpaling dan melihat jenazah ayahnyaa, mendadak ia
menjadi sedih dan menangis tersedu-sedan.
Meski Lo-kiat mengatakan Toa-sukonya tidak ditemukan
Ting Tiong dan Liok Pek sehingga tak terbunuh oleh
mereka, tapi iapun tahu alasannya itu kurang berdasar,
kalau kamar Sau Peng-lam diketahui ada bekas dibuat tidur, pasti juga Ting Tiong dan Liok Pek akan memikirkan
sebabnya Peng-lam tidak berada di kamarnya dan tentu
akan berusaha menemukannya. Betapapun luasnya Sohhok-han, bilamana mereka mau mencari dan menggeledah.
akhirnya tempat jatuh pingsan Peng-lam pasti juga akan
ditemukan. Sebab apa Toa-suko tidak mati, ini memang suatu tanda
tanya besar dan sukar untuk mendapatkan jawabannya
sekarang, harus tanya kepada Peng-lam sendiri baru jelas duduknya perkara. Tapi Lo-kiat tahu sang Toa-suko sudah
gila, ditanya juga takkan diperoleh sesuatu keterangan.
Kalau Sau Peng-lam tidak gila, tidak nanti ia
menganggap Lo-kiat sebagai Liok Pek dan menganggap
Peng-say sebagai Ting Tiong. Ia pun tidak mungkin berpura2 gila, suara tertawanya waktu berlari pergi itu
membuktikan dia keracunan sangat dalam, andaikan bisa
sadar kembali, tentu jaringan otaknya juga sudah rusak.
Kiau Lo-kiat berpengalaman luas, tergolong orang
Kangonw kawakan, banyak permainan aneh yang
mengandung mujizat telah dikenalnya, ia menduga gilanya
Sau Peng-lam pasti akibat racun asap bius musuh yang
merusak syaraf otak besarnya.
Waktu Peng-say menangis sambil mendekap jenazah
ayahnya, keadaan Kiau Lo-kiat bertambah payah, ia
menyadari lukanya yang kena hantaman Toa-suko itu
sangat parah dan tiada harapan lagi buat hidup, tapi ia tidak ingin Peng-say membuang2 tenaga baginya, maka
sedapatnya ia menahan darah yang hampir tersembur lagi
dari mulutnya, ia berkata: "Cap-itsute, hendaklah jangan berduka, coba dengarkan uraianku. Tentang terbunuhnya
segenap anggota perguruan kita, pembunuhnya jelas Ting
Tiong dan Liok Pek. hal ini tidak perlu disangsikan lagi.
Mungkin kau merasa sangsi, kalau sama2 anggota
persekutuan lima besar. mengapa Say-koan sampai hati
turun tangan sekeji ini" Bagi orang2 yang tidak tahu seluk-beluk Ngo-tay-lian-beng. rasa sangsi ini memang beralasan.
Betapa pun Ting Tiong dan Liok Pek tidak mungKin
melakukan keganasan ini hanya karena dia pernah
dikalahkan Sunio. Tapi kau harus tahu bahwa antara
perguruan kita sudah lama ada selisih paham dengan Saykoan. Coh-bengcu, Coh Cu-jiu hanya lahirnya saja akur
dengan Suhu, tapi di dalam hati keduanya tidak cocok, Hal ini disebabkan Suhu tidak menyuKai kepribadian Coh Cu iu dan mengangapnya tidak memenuhi syarat untuk
menjadi Beng-cu lima besar. Ketika terjadi persekutuan
pada 20 tahun yang lalu, waktu pemilihan Bengcu, sekuat
tenaga Suhu menolak Coh Cu-jiu menjabat ketua
persekutuan, karena itu hampir saja Coh Cu-jiu tidak
terpilih. Kemudian berkat bujukan Tionggoan sam-yu,
akhirnya Suhu megalah. Tapi sejak itu Coh Cu-jiu lantas
sakit hati kepada Suhu dan memandang Suhu sebagai duri
di dalam daging. Sesungguhnya moral Coh Cu-jiu ini
sangat rendah, di luar persoalan pertemuan di Ki-lian-san, dimana sejak dikerubut, melulu soal pembunuhan segenap


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluarga Wi-susiok saja sudah cukup memperlihatkan
betapa sempit jiwanya, orang macam begitu mana sesuai
untuk menjadi pemimpin para pahlawan" Karena peristiwa
terbunuhnya keluargn Wi-susiok itu, Suhu
pernah menyesali hal itu sebagai kemalangan Ngo-tay-lian-beng,
dia menyesal dahulu telah mengalah, kalau dia tetap pada pendiriannya, sekali pun kelima besar gagal bersekutu dan masing2 mencari jalannya sendiri2, belum tentu kaum kita akan dapat dikalahkan Ma-kau. Bersekutu memang juga
ada manfaatnya, tapi kalau dipimpin oleh orang yang
berjiwa sempit seperti Coh Cu-jiu, lambat atau cepat Ngo-tay-lian-beng juga pasti akan runtuh. Lihat saja sekarang.
Lima besar sudah hilang satu, lantaran kematian Wi-susiok jelas Boktay-siansing dari Thay-san-pay juga pasti tidak mau mendukung Coh Cu-jiu sepenuh hati. Ting-yat Suthay
dari Siong-san-pay juga terhina, ditambah lagi kematian Gi-lim, murid kesayangannya itu, bilamana kejadian ini
sampai tersiar, mustahil Ting-yat bisa tinggal diam terhadap Ting Tiong dan Liok Pek, Padahal Tionggoan-samyu terdiri dari Thian-bun Supek dari Yan-san-pay, Boktay-siansing
dari Thay-san-pay serta Ting-sian Suthay dari Siong-sanpay, mengingat apa yang sudah terjadi ini, kelak mereka
pasti juga tidak sudi mendukung Coh Cu-jiu. Kalau sudah
begitu, maka tepatlah seperti dugaan Suhu, lima besar
akhirnya pasti akan runtuh. Memang, semua ini adalah
kemalangan bagi dunia kependekaran kita, tapi siapa yang harus disalahkan" Ting Tiong dan Liok Pek juga serupa
Suhengnya Coh Cu-jiu, semuanya berjiwa sempit,
berpikiran picik, sedikit2 sakit hati dan menuntut balas.
Tidak perlu kau sangsikan lagi, si pembunuhnya pasti
mereka berdua, bisa jadi tindakan mereka ini pun direstui oleh Coh Cu-jiu. Dasar Suhu memang orang yang jujur dan
tidak ber-jaga2 segala kemungkinan. Padahal setelah
peristiwa dia menolak Coh Cu-jiu menjadi Bengcu, sejak itu beliau seharusnya ber-jaga2 akan akibatnya. Ngo tay-lian-beng jelas akan runtuh dalam waktu singkat ini, maka kau pun tidak perlu kuatir tindakanmu menuntut balas akan
merugikan persatuan kaum pendekar, yang penting
hendaklah kau latih Siang-liu-kiam-hoat dengan lengkap
dan sempurna, paling tidak harus kau bunuh Ting Tiong
dan Liok Pek untuk .... untuk membalas sakit hati Suhu
dan. . . dan para saudara seperguruan kita!"
"Kutahu, Ji-suko, kutahu. ..." jawab Peng-say dengan tersendat.
Dengan tabah ia berdiri, ia pondong jenazah ayahnya
dan mendekati Lo-kiat. tanyanya: "Ji-suko, bagaimana keadaanmu sekarang?"
Namun mata Lo-Liat tampak terpejam rapat dan tidak
menjawab, waktu Peng-say merabanya, ternyata sang Jisuko sudah mangkat. . . .
"0O0"odwo"0O0"
Liong-bun-tin adalah sebuah kota yang cukup ramai di
barat Huiciu. "Gin-pin-lau", demikian nama sebuah restoran paling besar di kota itu.
Hari tepat lohor, saat yang paling ramai dan sibuk di
restoran itu. Bagian bawah sudah penuh tamu, hanya di
atas loteng yang masih ada tempat lowong, mungkin
kebanyakan tamu malas untuk naik-turun loteng.
Di sebuah meja kecil dekat dengan ujung tangga loteng
berduduk sendirian seorang pemuda berbaju putih, pakaian tanda berkabung. Melihat wajahnya yang lesu dan sedih,
besar kemungkinan dia sedang berkabung bagi orang
tuanya. Memang, dia bukan lain daripada Sau Peng-say yang
tiga hari yang baru lalu kematian ayah. Sendirian Peng-say mengubur jenasah ayahnya dan likuran mayat anggota
keluarga Lam-han, dengan sedih ia meninggalkan Soh-hokhan dan meneruskan perjalanan ke barat.
Ngo-hoa-koan atau kantor lima bunga, terkenal juga
sebagai Say-koan atau kantor barat, letaknya jauh di
propinsi Sinkiang.
Sinkiang terletak di daerah barat, kalau Peng-say menuju ke arah barat, apakah dia hendak menuntut balas kepada
Ting Tiong dan Liok Pek"
Jika demikian halnya, dengan kekuatan sendirian,
rasanya terlalu tidak tahu diri. Sebab kalau dia gagal
menuntut balas, sebaliknya terbunuh, lalu siapa yang lagi akan menuntut balas bagi kematian Cin Yak-leng, Sau
Ceng-hong serta saudara2 seperguruannya"
Apakah karena darah muda, terdorong oleh tekadnya
akan membalas dendam, lalu secara nekat hendak
menempur Ngo-hoa-koan yang mempunyai be-ribu2 anak
murid itu"
Tidak, dalam hal ini Sau Peng-say masih cukup
berkepala dingin. ia tahu bukan soal kalau cuma jiwanya
sendiri yang melayang, yang lebih penting adalah soal
menuntut balas, hal ini harus dilakukannya sendiri, maka segala urusan tidak boleh bertindak secara gegabah.
Sekalipun tanpa pembantu dan segala sesuatu harus
dilakukannya sendiri, namun ia akan taat kepada pesan Jisuko. ia harua belajar dulu Siang-liu-kiam-hoat secara
lengkap, habis itu barulah membalas dendam. Paling
sedikit, bilamana Siang-liu-kiam sudah dikuasainya,
harapan berhasilnya menuntut balas akan lebih besar
sehingga tidak sampai sia2 usahanya membalas dendam,
dan mungkin jiwa sendiri akan melayang malah.
Tapi kemanakah dia harus belajar setengah bagian Siangliu-kiam-hoat yang lain, yaitu bagian kanan"
Di manakah bibinya, Soat Ciau-hoa" Entah, dia tidak
tahu! Dan dimanakah Soat Koh" Ia pun tidak tahu!
Dari pada mencari orang didunia seluas ini secara
ngawur, tidakkah lebih baik pergi ke Sin-kiang untuk
menyelidiki kekuatan Ngo-hoa-koan yang sebenarnya dan
kalau bisa membalas dendam sekaligus bila ada kesempatan baik. Syukur kalau dalam perjalanan dapat berjumpa
dengan bibi dan Soat Koh, kalau tidak, pergi ke Sin-kiang rasanya akan jauh lebih baik daripada luntang-lantung kian kemari tanpa arah tujuan.
Demikianlah maksud tujuan Sau Peng-say dalam
perjalanan ke barat ini.
Apakah nanti akan berhasil berjumpa dengan bibinya
dan Soat Koh serta memohon mereka mengajarkan
setengah bagian Siang-liu-kiam-hoat, Kali ini terpaksa
terserah kepada nasib nanti.
Untuk hidup, manusia tidak boleh tidak makan. Sebab
itulah Peng-say berada di restoran Gin-pin-Lau itu untuk memenuhi kebutuhan orang hidup.
Apakah dia membawa sangu yang cukup"
Sudah tentu cukup, bahkan jauh daripada cukup kalau
tidak, mana dia berani masuk ke restoran besar itu"
Maklumlah, harta benda Soh-hok-han yang paling
bernilai sekarang berada padanya dan lebih dari cukup
untuk digunakannya selama hidup.
Namun Peng-say adalah pemuda yang sederhana, sejak
kecil sudah terbiasa hidup hemat, ia bukan tipe pemuda
yang pegang uang terus ber-foya2, terus makan besar.
Apalagi dia baru kematian ayahnya, mana dia ada gairah
buat makan minum besar"
Lihat saja, di meja hanya semangkuk nasi putih dan dua
piring sayur, daging tidak dipesan, arak tidak juga
diminum, tamu begini tentu saja tidak disukai oleh pelayan restoran, pantas kalau pelayan meminta dia pindah kemeja yang dekat dengan ujung tangga loteng itu.
Semula Peng-say memilih meja yang berdekatan dengan
jendela, namun pelayan yang biasanya menjilat ke atas dan meludah ke bawah itu menjadi kurang senang ketika
melihat santapan yang dipesan Peng-say hanya begitu saja, dengan tertawa yang di-buat2 ia lantas minta Peng-say suka pindah ke meja dekat tangga loteng dengan alasan anak
muda itu cuma makan sendirian.
Peng-say adalah pemuda yang lugu, ia lihat ruang bawah
memang sudah penuh, bila dirinya mengangkangi sebuah
meja besar, kalau tamu membanjir lagi mungkin dia akan
menghalangi pasaran restoran itu. Maka tanpa keberatan
apa2 dia pindah ke tempat yang ditunjuk.
Kemudian datanglah dua tiga tamu lain yang royal,
ternyata setiap tamu itu mengambil satu meja sendirian dan si pelayan tidak minta mereka pindah tempat, yang jelas
santapan yang mereka pesan itu jauh lebih banyak dan lebih berharga daripada pesanan Peng-say.
Maka tahulah dia telah menjadi korban "jiwa penjilat" si pelayan. Tapi setelah berpikir, dimana- pun juga kaum
budak memang rata2 berjiwa penjilat begitu, maka iapun
tidak mempersoalkannya lebih lanjut.
Ia pikir di dekat tangga loteng atau didekat jendela kan sama saja, asalkan ada tempat untuk makan, dapat
mendengar obrolan orang, kan cukup"
Sudah dua hari dia menempuh perjalanan, sepanjang
perjalanan sudah cukup banyak didengarnya berita yang
menyangkut Lam-han. Di kota Liong-bun inipun dia ingin
tabu apa yang dibicarakan penduduk setempat, sebab itulah ia sengaja makan di restoran yang paling ramai.
Kalau ruangan bawah tidak penuh, sebenarnya iapun
malas naik ke atas loteng. Apalagi di ruang bawah yang
penuh tamu itu akan lebih banyak orang membicarakan
persoalan yang ingin didengarnya.
Dia heran darimana khalayak ramai sedemikian cepat
mendengar kemalangan yang menimpa Lam-han, siapakah
yang menyiarkan kejadian ini"
Belum Peng-say menghabiskan satu mangkuk nasinya,
mendadak naiklah serombongan lelaki berseragam kuning
sehingga agak mengacaukan napsu makannya. Apalagi
ketika dikenalinya satu-dua orang berseragam kuning itu, cepat ia menunduk dan berpaling ke arah lain.
Di atas loteng itu ada lima pelayan, karena datangnya
rombongan tamu itu, para pelayan itu sibuk mengatur meja buat mereka. Kebetulan orang2 itu terbagi menjadi lima
meja sehingga satu meja tepat diladeni seorang pelayan.
Orang2 yang mengelilingi empat meja segera ber-teriak2.
sebelum pelayan mendekat: "Lekas bawakan arak dan
siapkan santapan!"
Hanya dua laki2 baju kuning yang duduk bersama disatu
meja tampaknya lebih sabar dan tenang daripada
kawannya. Setelah pelayan menyodorkan daftar makanan,
dengan lagak tuan besar seorang lelaki berkepala botak
menerima daftar itu dan dibaca sejenak, lalu berkata:
"Buatkan daging panggang, daging sapi dan kambing
komplit ditambah sup buntut, empat meja yang lain juga
diberi santapan yang sama. Cepat!"
"Dan araknya?" tanya si pelayan.
Lelaki satunya lagi yang kurus kering seperti orang sakit tebese menjawab: "Arak apa Suheng" Tiok-yap-jing di kota ini lumayan juga."
"Baiklah. beri arak Tiok-yap-jing!" seru si botak.
Kedua orang yang dikenal Peng-say ini memang betul
Ting Tiong dan Liok Pek, kedua tokoh Say-koan yang lihay itu.
Orang2 yang berduduk di meja2 lain adalah anak murid
Say-koan yang ikut dinas ke Huiciu. Satu di antara orang2
yang duduk di sebelah sana. yang lebih tinggi satu kepala daripada orang lain ialah Su Ting-tat yang berjuluk Jian-tiang-siong (cemara seribu depa).
Karena mereka habis bekerja berat, perjalanan mereka
lebih lambat, baru sekarang mereka sampai di Liong-buntin. -ooo0dw0ooo- Jilid 26 Peng-say menyadari seorang diri sukar melawan orang
banyak, bukan saat dan tempatnya untuk membalas
dendam sekarang, maka cepat ia menunduk agar tidak
dikenali musuh, sedapatnya ia menahan rasa murkanya.
Diam2 ia berkata kepada dirinya sendiri: "Sabar, sabar!
Toa-suko sudah gila, tugas menuntut balas kini terletak
pada diriku seorang, maka sekali2 tidak boleh gegabah dan mengorbankan nyawa secara sia2"
Di tengah makan minum itu, se-konyong2 Liok Pek
berkata: "Ji-suheng, terbunuhnya segenap anggota Lam-han
bila dibiarkan tersiar begitu saja, mungkin akan tidak
menguntungkan kita."
Meski Liok Pek bicara dengan suara sangat lirih, namun
dapat didengar Peng-say dengan jelas, maka anak muda ini lantas pasang kuping dan mendengarkan pula.
"Hm, tidak menguntungkan bagaimana?" dermikian terdengar Ting Tiong mendengus pelahan. "Justeru makin luas berita itu tersiar. makin menguntungkan kita."
"Tapi kedatangan kita ke Tionggoan ini adalah untuk menegakkan wibawa terhadap Wi-susiok agar tiada anggota
Ngo-tay-lian-beng yang berkompromi dengan Mo-kau. Tapi
siapa saja kalau sudah kepepet pasti melawan, suatu
peristiwa itu saja sudah cukup memusingkan. bila ditambah lagi dengan berita yang tidak menguntungkan kita ini dan diketahui Tionggoan-sam-yu, tentu akan timbul rasa tidak senang mereka, jangan sampai mereka bergabung menjadi
satu dan berbalik memusuhi Say-koan kita, ini kan bisa
runyam." "Mereka berani'"!" kata Ting Tiong tak acuh_
"Berani atau tidak adalah soal lain," ujar Liok Pek dengan suara tertahan, "yang jelas, menghadapi persoalan ini kita harus mengadakan anti propaganda, dengan begitu barulah kita dapat tidur dengan nyenyak tanpa kuatir lagi."
"Kau kan terkenal sebagai Khong Beng. akalmu pasti
bagus," kata Ting Tiong. "Terus terang. mengenai persoalan ini aku sendiri sebenarnya rada-rada kuatir. Coba lekas
katakan bagaimana akalmu akan anti propaganda?"
"Kalau tindakan kita cukup beralasan, tentu Tionggoan-sam-yu tak bisa omong apa2 lagi," tutur Liok Pek.
"Sekarang kalau kita mengakui kebenaran terbunuhnya segenap anggota Lam-han secara terang2an, kita nyatakan
dasar pembunuhan itu adalah karena Sau Ceng-hong
berusaha bersekongkol dengan Ma-kau, intriknya ketahuan
kita, maka kita melaksanakan perintah Bengcu dan
membunuhnya."
"Akal bagus!" seru Ting Tiong sambil berkeplok.
"Dengan demikian, bukan saja Tionggoan-sam-yu tak bisa bicara lagi, bahkan juga tidak berani kompromi dengan
pihak Ma-kau, malahan Thian-bun Totiang pasti akan
memuji tepat pembunuhan yang kita lakukan ini."
"Ya, guru Thian-bun Totiang terbunuh oleh orang Mo-kau, dia pasti tidak dapat kompromi dengan pihak Mo-kau,
malahan dia justeru sangat benci bila di antara anggota lima besar ada yang bergaul dengan orang Mo-kau, tentu saja dia akan memuji pembunuhan yang kita lakukan ini. Yang
lebih bagus lagi, kalau Soh-hok-han sudah tiada seorangpun yang hidup, hal perlakuan kita terhadap Gi-lim. murid
kesayangan Ting-yat Suthay itu tentu juga tak seorangpun yang tahu. bahkan kita dapat memutar-baliknya kejadian ini dan menuduh Sau Peng-lam telah memperkosa Gi-lim,
lantaran malu Nikoh jelita itu membunuh diri di Soh-hokhan." "Bagus!" saking senangnya Ting Tiong berteriak.
Tamu2 lain sampai melengak dan sama memandangnya
dengan ter-heran2. mereka sama menyangka apakah orang
ini sudah gila"
Lantaran lagi senang, Ting Tiong tidak menjadi marah
meski dipandang orang banyak, ia hanya berusaha
menutupi kelakuannya itu dengan berseru pula: "Arak bagus, arak bagus!"
Karena yang dipuji bagus adalah arak, maka orang lain
tidak memperhatikannya lagi.
Dengan gembira Liok Pek lantas berkata pula dengan
suara pelahan :"Kita membunuh segenap keluarga Lamhan, hal ini sama dengan membalaskan sakit hati murid
kesayangan Ting-yat. dia tentu akan melupakan dendam
adu pukulanmu dengan dia tempo hari. Coba. Ji-suheng.
julukanku sebagai Khong Beng tidak percuma bukan?"
Sembari berkata ia terus menenggak habis isi cawannya,
lalu memandang Ting Tiong. menunggu pujiannya.
Tak terduga Ting Tiong tidak memberi pujian apa2,
sebaliknya malah berkata, "Wah. Sute, akulah yang sial."
"Sial apa?" tanya Liok Pek dengan bingung.
"Kau tahu pergaulan Sau Ceng-hong sangat luas,
bilamana mereka mendengar aku yang membunuh segenap
anggota keluarga Lam-han, bukan mustahil satu-dua di
antara sahabatnva akan membelanya, lambat atau cepat
pasti ada orang akan menagih utang darah ini kepadaku."
Kuatir sang Suheng tidak berani menanggung resiko,
Liok Pek sengaja mengumpaknya lagi: "Tapi di antara sahabat Sau Ceng-hong masa ada yang mampu menandingi
Ji-suheng?"
"Be. . . .betul juga," ucap Ting Tiong dengan agak kaku.
Setelah minum lagi beberapa cawan arak, makin dipikir
makin tidak enak, akhirnya ia menyalahkan orang yang
sembarangan menyiarkan berita itu. Mendadak ia menggebrak meja dan berteriak: "Ku- ...-rang ajar. Kalau tertangkap, akan kurobek mulutnya!"
"Mulut siapa, Suheng?" tanya Liok Pek.
Pada saat itulah di bawah sana tiba2 terdengar suara
orang tertawa latah, lalu suara parau orang berteriak:
"Seluruh anggota Soh-hok-han terbunuh, pelakunya Ting Tiong!"
Memangnya Ting Tiong lagi gemas oleh kejadian itu,
kini didengarnya lagi orang berteriak begitu, keruan ia
menjadi murka dan segera hendak menerjang ke bawah


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk membekuk orang itu, bisa jadi akan dihantam hingga mampus ditempat atau mungkin akan diseretnya ke atas
loteng untuk kemudian dibanting ke bawah.
Liok Pek kenal watak sang Suheng, cepat ia mencegah:
"Sabar dulu, Suheng, duduklah, tidak nanti dia dapat lolos."
" Lalu ia berpaling dan memberi perintah: "Ting-tat, lekas turun ke bawah sana dan undang kesini orang yang berteriak2 itu."
Su Ting-tat mengiakan terus berlari turun secepat
terbang. Dengan marah2 Ting Tiong duduk kembali.
Liok Pek berkata: "Entah siapakah orang ini" Jika
Suheng membunuhnya sekarang. kukira juga sudah
terlambat, berita itu sudah telanjur tersiar. Kukira lebih baik biarkan dia hidup untuk melaksanakan propaganda kita,
bagaimana pikiran Suheng?"
Matipun Ting Tiong tidak mau kehilangan muka.
jawabnya: "Siapa bilang aku hendak membunuh dia"
Biarkan saja dia berteriak, masa kutakut orang membela
Sau Ceng-hong dan menuntut balas padaku" Soalnya
kubenci kepada orang begini, kalau tidak merobek
mulutnya atau menggampar dia beberapa kali rasanya tak
terlampias gemasku."
Diam2 Liok Pek merasa geli, tapi ia menyatakan setuju:
"Ya, betul, memang pantas dihajar dia! Kalau mereka tidak mengetahui siapa yang gembar-gembor di bawah sana, bagi
Peng-say jelas kenal suara orang itu sebagai Toa-suhengnya, yaitu Sau Peng-lam.
Pikirnya: "Pantas selama dua hari ini sepanjang jalan kudengar orang membicarakan peristiwa pembunuhan di
Soh-hok-han, kiranya Toa-suko yang menyiarkannya.
Jangan2 pembunuhnya memang di lakukan Ting Tiong
sendiri dan tidak termasuk Liok Pek" Jika betul demikian, biarlah kupusatkan perhatianku lakukan Ting Tiong sendiri dan tidak termasuk Liok Pek" lebih dulu untuk membalas
dendam." Semula ia bermaksud mencegah kepergian Su Ting-tat
agar Sau Peng-lam tidak dibawa ke sini dan mungkin akan
dibunuh oleh Ting Tiong, tapi kemudian didengarnya Ting
Tiong tidak bermaksud membunuh orang, pula iapun ingin
tahu duduk perkara yang sebenarnya, maka dia menjadi
ragu untuk bertindak.
Sejenak kemudian, terdengarlah suara tertawa Sau Penglam yang tidak waras itu bergema di bawah tangga loteng, terdengar suara Su Ting-tat sebagai penunjuk jalan sedang berkata: "Silakan naik ke atas, Tayhiap!"
Apa yang disebut "Tayhiap" atau pendekar besar itu taklain-tak-bukan ialah Sau Peng-lam yang berbaju compangcamping dengan rambut kusut dan muka kotor. berbeda
jauh sekali dengan Sau Peng-lam dahulu yang gagah dan
tampan. Sesudah naik ke atas loteng, dengan tertawa lebar Penglam lantas bertanya: "Siapa yang mengundang Sau-tayhiap ke sini?"
Sinar matanya yang guram tampak jelilatan kian kemari,
sekali pandang saja segera akan di ketahui bahwa orang ini pasti kurang waras.
Dengan benci Ting Tiong mendelik padanya, sungguh ia
ingin melompat maju dan sekali hantam mampuskan Penglam, Dengan suara tertahan Liok Pek membisiki sang Suheng:
"Tampaknya dia sudah gila, hendaklah Suheng mengalah sedikit, biar kutanyai dia."
Ting Tiong lantas melengos kesana. Lalu Liok Pek
menggapai dan berkata: "Silakan duduk di sini, Sautayhiap!" Dengan lagak tuan besar Peng-lam melangkah ke sana,
setiba di depan Liok Pek, mendadak ia bersuara heran: "He, tampaknya sudah pernah kukenal kau! Apakah kau yang
mengundangku?"
Melihat Peng-lam tidak kenal lagi padanya, Liok Pek
pikir barangkali anak muda ini benar2 sudah gila, dengan tertawa ia menjawab: "Ya, akulah yang mengundang kau."
Se-konyong2 Peng-lam membentak: "Siapa namamu?"
Keras juga suaranya sehingga anak telinga orang serasa
pekak. semua orang sama terkejut.
Liok Pek tahu tenaga dalam Peng-lam belum lagi hilang,
ia tidak berani meremehkannya lagi, dengan waspada ia
berkata: "Cayhe she Liok bernama Pek."
Kerut kening Peng-lam mengulang nama itu. Mendadak
ia menengadah dan tertawa terbahak2: "Hahaha! Omong kosong! Dusta! Liok Pek sudah lama kubunuh, manabisa
kau ini Liok Pek."
Mula2 Liok Pek melengak, tapi lantas teringat olehnya
orang tidak waras, tidak ada gunanya berdebat dengan dia, akan lebih baik menuruti saja kehendaknya agar dapat
ditanyai dengan lebih jelas, dengan tertawa ia lantas
berkata: "Memang betul, Liok Pek yang itu memang benar sudah kau bunuh. tapi Liok Pek ini bukan Liok Pek itu,
sungguh, aku tidak membohongi kau."
Mendadak Peng-lam menarik muka dan bertanya: "Jadi
kau pun bernama Liok Pek?"
Pendekar Cacad 2 Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Peristiwa Bulu Merak 5

Cari Blog Ini