Ceritasilat Novel Online

Pedang Kiri Pedang Kanan 16

Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Bagian 16


"Sungguh aku tidak tahu apa paedahnya bila kulaksanakan kehendakmu ini?" Peng-say menggeleng.
"Tahukah kau Soat Koh sangat mencintai kau?"
"Apa salahnya kalau begitu?" tanya Peng-say.
"Jika dia menyukai seorang lelaki yang jujur, tentu aku tidak anti, tapi dia tidak boleh mencintai seorang lelaki yang tidak teguh imamnya yang di benci gurunya. Sebab seorang lelaki bila cintanya tidak teguh, akibatnya yang rugi ialah pihak peremruan. Aku tidak mau Soh Koh mengulangi
sejarah gurunya."
"Dimanakah ada tanda aku tidak ....tidak setia atau tidak teguh" . . . ." tanya Peng-say dengan tergegap.
"Sepenuh hati kau bertekat membalas dendam sumoaymu, cintamu padanya boleh dikatakan tulus dan
teguh. Tapi sekarang Soat Koh juga mencintai kau. lalu
bagaimana sikapmu?"
Peng-say merasa serba salah, jawabnya: "Aku sendiri kan belum ber ....beristeri. . ."
"Maksudmu, karena Soat Koh cinta padamu, supaya
tidak mengecewakan dia, maka kau mau nikahi dia?"
"Lelaki sudah dewasa wajib menikah, asal.. .. asalkan Soat Koh sudi menjadi .... menjadi isteriku dan bibi juga setuju, Soat Koh memang. . .memang jodohku yang
setimpal."
"Hm. kau nikahi dia karena terpaksa, apakah kelak kau tak menyesal?"
"Masa keponakan ter . . . terpaksa?"
"Tidak terpaksa, jadi sukarela?"
Peng-say mengangguk.
Mendadak Soat Ciau-hoa menjadi gusar, raungnya
tertahan: "Kau masih berani menyatakan cintamu ini
setulus hati?"
"Memangnya ken.... kenapa?" Peng-say terkejut.
"Dalam pandanganmu Cin Yak-leng sudah menjadi
isterimu, kata2 ini diucapkan oleh kau sendiri, betul tidak?"
"Betul," jawab Peng-say.
"Nah, sekarang isterimu mati dan kau nikah lagi, apakah cintamu ini tulus dan murni?"
Peng-say tak acuh, jawabnya: "Kalau Yak-leng tidak
mati, tentu saja akan kunikahi dia. Sekarang dia telah
terbunuh, aku bersumpah akan membalaskan dendamnya.
Kata orang kuno, ada tiga pasal orang yang tidak berbakti, pasal utama di antaranya ialah tidak punya keturunan.
Nah, tentu aku tidak boleh sendirian selama hidup hanya
lantaran kematian Yak-leng. Kelak, bilamana Soat Koh
sudah menjadi isteriku, cintaku padanya akan teguh tanpa berubah selamanya, kenapa bilang cintaku tidak murni?"
"Kentut!" bentak Ciau-hoa mendadak.
Tanpa terasa ia memaki. suaranya menjadi agak keras,
kuatir didengar Soat Koh, ia coba berpaling kesana, untung Soat Koh asyik membuat sayur dan tidak memperhatikan
apa yang terjadi di sini.
Dengan suara tertahan Soat Ciau-hoa lantas berkata
pula: "Kaum lelaki kalian memang terlalu egois, sedikit2
menonjolkan ujaran orang kuno tentang tiga pasal tidak
berbakti segala, hakikatnya kentut belaka. Kalau bukan
diracuni oleh ujar orang kuno itu, tidak nanti adik
perempuanku menjadi korban lelaki seperti ayahmu itu. . .
Kalau menurut pernyataannya, jadi ayahmu itupun
pencinta yang luhur" Dia menyukai adik perempuanku, tapi
lantaran tidak disetujui Leng Tiong-cik. dia tidak berani membela ibumu dan membiarkan ibumu diusir oleh Leng
Tiong-cik. Baginya. cintanya terhadap Leng Tiong-cik
adalah tulus dan murni, hanya demi mendapatkan anak,
maka dia bergendak dengan adik perempuanku, ia merasa
perbuatannya itu harus dimaklumi demi mendapatkan
keturunan yang merupakan salah satu pasal utama ketidak
berbakti orang lelaki. Tapi apakah kaum lelaki pernah
berpikir bagi nasib ibumu" Bukankah hidupnya menjadi
merana lantaran perbuatan ayahmu" Jika bukan Sau Cenghong, tidak nanti kau kehilangan kasih ibu dan ayah sejak kecil?"
Peng-say tertunduk dan tidak dapat bersuara.
Makin bicara makin marah Soat Ciau-hoa. sambungnya
pula: "Ingin kutanya padamu. setelah kau nikahi Soat Koh, apabila dia tidak dapat melahirkan, lalu bagaimana
sikapmu?" "Tidak ....tidak nanti kunikah lagi . . . ." jawab Peng-say dengan tergagap.
"Hm, aku tidak percaya di dunia ada lelaki sebaik ini, sudah tentu bukannya tidak mungkin ada lelaki demikian,
tapi kau ini anaknya Sau Ceng-hong. ada ayah masa ada
anak yang tidak menurun" Terhadap orang lain mungkin
aku masih menaruh harapan bagi Soat Koh. tapi terhadap
dirimu, betapapun aku tidak percaya."
"Dengan contoh seperti nasib ibuku, mana dapat kubikin susah lagi anak perempuan lain?" bantah Peng-say.
"Jika demikian, jadi bila benar2 Soat Koh tidak dapat melahirkan anak, maka kau tetap akan setia padanya, pasti tidak meniru cara ayahmu?"
"Ya, pasti tidak!" jawab Peng-say tegas.
Soat Ciau-hoa menggeleng, katanya: "Kukira jika kau benar2 seorang setia, tidak seharusnya kau nikah lagi
dengan Soat Koh."
Peng-say menjadi bingung, tanyanya: "Mengapa tidak
boleh?" "Coba jawab, Cin Yak-leng telah melahirkan anak
bagimu belum?" tanya Ciau-hoa.
Muka Peng-say menjadi merah, katanya: "Janganlah bibi berpikir yang bukan2, selama ini hubunganku dengan Yak-leng selalu berada dalam batas2 kesopanan."
"Bagus." kata Ciau-hoa. "Kalau Cin Yak-leng benar isterimu, meski dia sudah mati dan tidak meninggalkan
anak bagimu, kan seharusnya kau tidak boleh menikah lagi melainkan harus taat kepada pernyataanmu sendiri, setia
sampai akhir hidupmu."
"Ini ....ini.... "
"Kenapa" Apa salah?" tukas Soat Ciau-hoa. "Antara laki2 dan perempuan, asalkan suka sama suka. cinta
mencintai, kenapa mesti hidup resmi suami-isteri baru
benar2 dianggap suami-isteri" Bila Cin Yak-leng tidak mati, jelas kau pasti akan menikahi dia, ini pernyataanmu sendiri, kaupun bilang dalam pandanganmu dia sudah menjadi
isterimu. Dengan demikian, bila dia belum mati, tapi
lantaran berbagai rintangan dia gagal menjadi isterimu.
apakah kau takkan menganggap dia sebagai isterimu lagi"
Suami-isteri dalam batin lebih baik daripada suami-isteri lahiriah, ikatan batin kan lebih kekal daripada ikatan
jasmani?" Peng-say hanya manggut2 saja tanpa bersuara.
"Akhirnya kau paham juga, bagus sekali! Maka selama hidupmu ini kau harus membujang seperti seorang
perempuan yang menjanda, selamanya kau tidak boleh
menikah. dengan demikian barulah kau terpuji sebagai
lelaki pecinta yang suci murni."
"Masa di dunia ini ada lelaki yang membujang seperti perempuan menjanda". . . ."
"Kenapa tidak ada" Perempuan boleh menjanda, lelaki kan juga harus menduda?" dia merandek sejenak, lalu berkata pula: "Umpama kau tidak tahan membujang dan ingin beristeri, aku takkan peduli jika kau ambil isteri orang lain, tapi tidak boleh menikahi Soat Koh. Jika kau anggap bibimu ini keterlaluan, terserah, boleh kau maki sesukamu di dalam hati."
"Aku tidak boleh menikahi Soat Koh, dengan sendirinya akupun takkan menikahi perempuan lain."
"Bisa demikian tentu saja lebih baik," kata Ciau-hoa.
Setelah dipikir, hatinya merasa tidak enak, katanya pula:
"Jangan kau salahkan bibi karena menganggap kau ini murid Tio Tay-peng. maka sengaja mengarang macam2
alasan untuk menaklukkan kau. Bukan mustahil kau pun
akan setia padanya bila menikahi Soat Koh, tapi kulihat
cintamu kepada Soat Koh tidaklah tulus, hanya disebabkan dia cinta padamu, karena kasihan, maka kau menikahi dia.
Rasa simpatik begini menunjukkan kau ini pemuda yang
perasa, orang yang perasa tentu juga pencinta yang tidak teguh, dapat jatuh cinta kepada perempuan lain lagi.
Padahal kalian berdua yang satu adalah keponakanku, yang lain adalah muridku, sudah tentu aku tidak ingin Kalian
mengalami hal yang menyesal dan mengecewakan. Pula,
sekarang karena kau kasihan kepada Soat Koh dan
menikahi dia, siapa berani menjamin kelak. kau takkan
kasihan lagi kepada anak perempuan lain dan menikahinya
pula. Sebab itulah aku paling benci kepada lelaki yang sok
pencinta. Peng-say. mengingat bibimu, hendaklah kau putus cinta muridku ini."
Sampai akhirnya nada Soat Ciau-hoa se-olah2 orang
yang memohon dengan sangat, jangankan Peng-say sudah
terpengaruh oleh ocehannya tadi. melulu nadanya yang
memohon ini saja sudah cukup membuat hatinya lunak.
Terpaksa ia menjawab: "Baiklah bibi, akan kulakukan menurut kehendakmu."
"Bagus, selanjutnya hendaklah kau jauhi dan bersikap seketusnya terhadap muridku itu. Maklumlah, jika kau
tidak bersikap ketus padanya, tidak nanti dia patah hati.
Dan kalau dia tidak patah hati, sama saja kau bikin celaka dia selama hidup."
"Kukira cara demikian kurang baik." kata Peng-say.
"Apakah ada akalmu yang lebih bagus untuk mematikan cinta Soat Koh padamu?" tanya Soat Ciau-hoa.
"Akan kujauhi dia sedikit demi sedikit supaya tidak terlalu menyolok sehingga dia juga takkan terluka hatinya, karena sikapku yang dingin, lama2 dia sendiri juga akan
jemu padaku dan akhirnya dengan sendirinva dia takkan
gubris lagi padaku, cara demikian kan jauh lebih baik?"
Soat Ciau-hoa pikir jalan pikiran Peng-say ini memang
boleh juga, tanyanya kemudian: "Kau yakin akan dapat menjauhi Soat Koh?"
"Manusia berperasaan, untuk menjauhi seorang teman
yang tak bersalah padamu secara mendadak memang bukan
suatu pekerjaan mudah. tapi lama2 tentu tidak menjadi
soal." "Tapi kau harus bersumpah," kata Ciau-hoa.
"Bersumpah akan menjauhi Soat Koh" Baiklah, demi
kebaikannya aku akan bersumpah."
"Hanya menjauhi dia saja belum cukup."
'Habis bagaimana?" tanya Peng-say.
"Kau harus bersumpah selama hidupmu takkan
mengadakan upacara nikah dengan Soat Koh."
"Baiklah, demi Allah, aku bersumpah. . . ."
"He. bersumpah apa?" tanya Soat Koh tiba2 muncul dari dapur dengan membawa nampan berisi nasi dan empat
piring sayuran.
Sementara itu hari sudah jauh malam, sebegitu jauh
Peng-say belum makan apa2, tentu saja perutnya terasa
lapar. ia pandang daharan yang dibawa Soat Koh itu sambil menelan air liur.
Soat Ciau-hoa sendiri juga sudah lapar, segera ia berkata:
"Mulailah kita makan, Soat Koh, pergi kau mengambil lagi sebuah bangku."
Setelah menaruh bangku yang diambilnya didepan meja,
Soat Koh mengulangi pertanyaannya tadi kau bersumpah
apa?" "Oo. . .ti. . .tidak sumpah apa2," jawab Peng-say dengan tergegap. Ia tidak berani memandang si nona, ia berlagak mengincar santapan dimeja.
"Sudahlah, jangan omong iseng lagi, marilah makan Soat Ciau-hoa membelokkan perhatian Soat Koh. Segera ia
mendahului menyumpit sepotong daging dan diberikan
pada Peng-say. "Terima kasih." ucap Peng-say pelahan. Tanpa sungkan2
Peng-say pegang dendeng itu terus dilalapnya.
"He, nanti dulu. tidak boleh kau makan!" seru Soat Koh tiba2.
Peng-say jadi melengak, tanyanya: "Tidak boleh
dimakan" Apakah belum masak?"
"Belum masak tentu tidak kusuguhkan," kata Soat Koh dengan tertawa. "Tanganmu baru saja digunakan menyeret mayat dan belum dicuci. mana boleh dibuat pegang
makanan?" "Oya, aku lupa," kata Peng-say sambil menaruh kembali dendengnya, segera ia menuju dapur untuk cuci tangan.
Soat Koh lantas berbangkit dan hendak ikut ke sana.
"Kau mau apa?" tanya Ciau-hoa.
"Darah masih berlepotan di-mana2, biar kubersihkan
dulu," kata Soat Koh.
"Tidak perlu, bersihkan saja nanti."
"Kalau tidak dibersihkan dulu, rasanya jijik, mana ada napsu makan?"
"Makanlah sekedarnya, habis makan kita harus
berangkat, buat apa dibersihkan segala?"
"Berangkat kemana?" tanya Peng-say yang baru muncul dari dapur.
'Mencari gurumu," kata Ciau-hoa.
"Mencari guruku?" Peng-say menegas dengan terperanjat. "Ya. kenapa, tidak boleh?" kata Ciau-hoa.
"Boleh. boleh, tentu saja boleh!" jawab Peng-say cepat.
Sejenak kemudian, ia berkata pula: "Tapi. bibi. janganlah hendaknya kau mencari guruku untuk berkelahi."
"Cis, siapa yang mencarinva untuk berkelahi?" gerutu Ciau-hoa. "Kucari dia justeru hendak minta maaf padanya."
"Dahulu guruku yang bersalah kepada bibi, mestinya
beliau yang harus datang kesini dan minta maaf padamu."
"Huh. dia mau minta maaf padaku. tunggu kalau
matahari terbit dari barat."
"Soalnya guruku tidak tahu dimana berada bibi, nanti kalau sudah kulaporkan, tentu beliau akan datang kemari."
"Sudahlah. kau kan bukan gurumu, darimana tahu dia
akan kesini untuk minta maaf padaku?"
Selagi Peng-say ingin menjelaskan sesuatu, tiba2 Ciauhoa berkata pula: "Padahal juga bukan urusan dahulu itulah maka kuhendak minta maaf padanya."
"Oo, memangnya untuk apa bibi minta maaf?"
"Kau lupa pernah kutuduh kau disuruh gurumu kesini
untuk merebut kitab pusakaku, bila bukan demikian. aku
akan menjura dan minta maaf padanya. Akhirnya terbukti
memang bukan begitu, apa yang sudah kukatakan harus
kupegang teguh, janjiku harus kutepati. Jika aku diharuskan minta maaf karena kejadian dahulu itu, matipun aku tidak sudi."
"Kedatanganku secara mendadak tentu menimbulkan
salah paham bibi, tapi kalau bibi berkeras hendak mencari guruku untuk minta maaf, tentu saja akan kubawa ke sana."
"Huh, jangan lain di mulut lain di hati!'" jengek Soat Ciau-hoa.
"Kutahu guruku sangat ingin bertemu dengan bibi, jika bibi mau kesana, tentu saja kebetulan, betapapun
keponakan tidak berani lain di mulut lain di hati."
"Jika demikian, mengapa tadi kau kuatir aku akan
mencari dia untuk berkelahi" Karena rasa kuatir ini,
tentunya kau tidak suka membawaku kesana. Apa ini bukan
lain di mulut lain di hati?"
"Betul, keponakan memang kuatir, makanya kuharap
janganlah bibi mencari guruku untuk berkelahi, permohonanku itu timbul dari lubuk hatiku jadi bukannya
tidak berani membawa bibi kesana. Hendaklah bibi maklum
bahwa guruku benar2 sangat ingin bertemu dengan bibi,
biarpun menyerempet bahaya juga akan kulaksanakan cita2
guruku itu."
Mendengar Peng-say dua kali menyebut Tio Tay-peng
sangat ingin bertemu dengan dia, hati Soat Ciau-hoa jadi tergerak, pikirnya: "Jangan2 lelaki berheti kaji itu akhir2 ini merasa menyesal karena telah melukai aku dan hal ini telah dilihat oleh bocah Sau Peng-say, seharusnya sejak dulu2 dia mencari diriku."
Ia tidak tahu bahwa Tio Tay-peng memang menyesal
atas perbuatannya dahulu itu, sebabnya dia tidak mencari Soat Ciau-hoa adalah dia salah sangka ibu Sau Peng-say
sebagai Soat Ciau-hoa. Karena Peng-say mengaku ibunya
sudah meninggal, maka disangkanya Soat Ciau-hoa telah
meninggal. Apabila dia tahu Soat Ciau-hoa masih hidup,
tentu dia akan mencarinya betapa pun rintangan yang harus dihadapinya.
Maka berkatalah Soat Ciau-hoa: "Baiklah, anggap kau bicara dengan setulus hati. Bolehlah kita berangkat sehabis makan."
"Suhu," kata Soat Koh, "sudah beberapa malam engkau kurang tidur, bagaimana kalau istirahat dulu barang
beberapa hari barulah kita berangkat ke Kimciu?"
"Tidak, tidak boleh istirahat lagi, kita harus cepat2
meninggalkan tempat ini."
"Kenapa mesti ter-buru2?" tanya Soal Kolh.
"Ucapan gurumu memang betul, Soat Koh," kata Peng-say, "Kita memang harus lekas2 meninggalkan tempat ini."
"Sebab apa?" tanya Soat Koh.
"Con Cu jiu cukup kenal Siang-liu-kiam-hoat, dia sendiri pernah dikalahkan oleh ilmu pedang ini, sebab itulah dia bertekad mencari jalan untuk mematahkan setiap jurus ilmu pedang ini. Meski waktu gurumu bertanding dengan dia
hanya menggunakan Pedang Kanan, kukira dia pasti
mengenali setengah bagian Siang-liu-kiam ini. Karena dia pernah dikalahkan Toapek, dia menjadi sirik dan rela
menurunkan derajat sendiri dan bergabung dengan Ciamtay
Cu-ih untuk mencelakai pamanku. Sekarang Siang-liu-kiam
muncul kembali. hal ini tentu saja membuatnya tidak enak makan tidak nyenyak- tidur, kalau gurumu tidak dibereskan tentu dia tidak rela. Bahwa dia mengirim Boh-pak-sam-hiong dengan anak buahnya ke sini, menurut dugaanku,
tujuannya

Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selain hendak menawan gurumu untuk memaksanya merekam Siang-liu-kiam-hoat, berbareng itu
gurumu akan dipaksa mengaku darimana mendapatkan
ajaran Siang-liu-kiam. Dia kuatir Toapek belum lagi mati, betapapun dia pasti ingin tahu dengan jelas. Mengingat
urusan sepenting ini, tentu Cuh Cu-jiu tidak bertindak
kepalang tanggung. bisa jadi rombongan Boh-pak-samhiong hanya perintis yang dikirim, mungkin ia sendiripun berangkat ke sini. Bilamana kita tidak berangkat sekarang.
kalau anak murid Say-koan sempat bergabung dengan Coh
Cu-jiu dan memburu ke sini maka sukarlah bagi kita untuk lolos."
"Kukira urusan ini tidak nanti begini kebetulan. Sudah dua hari Boh-pak-sam-hiong mengerubut Suhu disini.
kenapa dia tidak muncul. Maka kuyakin malam inipun
takkan terjadi apa2 dan Suhu dapat tidur sepuasnya, biarlah kita berangkat saja besok."
Peng-say sengaja hendak memusuhi kehendak si nona
supaya dia marah, maka ia menjengek: "Hm. kalau kita berangkat besok, mungkin satupun diantara kita takkan bisa lolos dari cengkeraman Coh Cu-jiu."
"Kau takut kepada Coh Cu-jiu."
"Aku ingin membalas dendam dan orang pertama yang
akan kucari ialah Coh Cu-jiu, masa kutakut padanya?"
jawab Peng say. "Jika dia datang. kebetulan bagiku untuk mengadu jiwa dengan dia. Andaikan tidak mampu
kukalahkan dia dan gagal membalas dendam, bagiku tidak
menjadi soal, betapapun bibi tidak boleh ikut menempuh
bahaya. Demi keselamatan bibi, kan pantas kalau kita lekas meninggalkan tempat ini."
"Baiklah, kutahu kau tidak takut mati menghadapi Coh Cu-jiu." kata Soat Koh dengan tertawa. "Cuma aku tidak setuju dengan analisamu. Kau bilang kemungkinan Coh
Cu-jiu akan menyusul tiba, bilamana betul demikian, tentu Boh-pak-sam hiong dan begundalnya tidak perlu ter-buru2
menyerbu ke dalam sini dan melabrak Suhuku dengan
mati2an, kenapa mereka tidak bertahan dan mengepung
saja sambil menunggu kedatangan Coh Cu-jiu?"
Soat Koh mengira alasannya ini pasti akan membikin
bungkam Sau Peng-say. tak terduga anak muda itu lantas
mendengus, katanya: "Hm, orang yang pikirannya
sederhana memang selalu memandang setiap persoalan
pada permukaannya saja."
Tentu saja Soat Koh mendongkol, ia tertegun . katanya
kemudian: "Kau bilang pikiranku sederhana?"
"Tidakkah memang begitu?" ujar Peng-say. "Padahal bila kau mau berpikir lebih cermat, tentu akan paham
segalanya."
"Pikiranku memang sederhana, hakikatnya aku tadak
paham apa2 "jawab Soat Koh dengan marah.
"Karena kau mengaku berpikiran sederhana, kujelaskan padamu," kata Peng-say. "Sebabnya Boh-pak-sam-hiong tidak menunggu kedatangan Coh Cu-jui!. alasannya sangat
sederhana, yakni seperti apa yang pernah juga dikatakan
bibi sendiri. mereka ingin memperlihatkan kemampuan
mereka kepada sang Bengcu. Soalnya menurut perhitungan
mereka, orang yang dikirim melapor kepada Coh Cu-jiu
pasti akan tiba kembali dalam waktu singkat ini. Mereka
pikir sebelum Coh Cu-jiu tiba. bila mereka berhasil
menawan bibi, tentu akan berjasa besar. Andaikan sukar
terlaksana keinginan mereka, asalkan bertahan hingga
datangnya Coh Cu-jiu. tentu segala persoalan akan beres
juga. Perhitungan mereka ini bila tidak meleset dari
dugaanku tentu akan lebih terbukti setiap saat Coh Cu-jiu akan muncul disini. Mengenai Coh Cu- jiu mengirim anak
buahnya supaya menguntit jejak bibi memang bukannya
tidak beralasan. Soalnya dia ingin tahu sebagian Siang-liu-kiam-hoat yang lain kecuali sebagian yang dipahami bibi
itu. ia ingin tahu apakah Toapek sudah meninggal atau
masih hidup. Coh Cu-jiu adalah gembongnya kaum iblis,
sudah tentu dia sangat licik dan licin. setiap tindaktanduknya tentu juga sudah dipikir dengan masak2, tidak
nanti dia berbuat sesuatu kebodohan seperti sangkaan
orang." Soat Koh menjadi bungkam, betapapun ia tak dapat
berdebat dengan Peng-say, dengan mendongkol ia berolok:
"Bagus, didunia ini ternyata ada orang yang memuji
kepintaran musuhnya."
Diam2 Soat Ciau-hoa merasa puas melihat cara bicara
Peng-say yang tajam itu sehingga membikin sirik Soat Koh, ia pikir bila begini terus menerus. akhirnya nona itu pasti akan kecewa dan gemas terhadap anak muda itu dan bisa
jadi cintanva akan pudar. Maka ia lantas menyela:
"Sudahlah. kalian tidak perlu bertengkar, jangan buang2
waktu lagi. lekas makan, lalu berangkat."
"Jangan2 kau percaya ocehannya, Suhu. biarlah kita
berangkat besok saja," demikian Soat Koh masih terus ngotot.
"Sudahlah, muridku," kata Ciau-hoa. "Kutahu kau sayang kepada gurumu dan kuatir gurumu terlalu lelah.
Tapi hendaklah jangan kau cuma memikirkan gurumu,
sebaliknya malah bikin celaka kita bertiga. Uraian kakakmu Peng bukannya tidak beralasan. Daripada tinggal di sini
dengan kemungkinan bahaya akan mengancam, lebih baik
gurumu saja lelah sedikit dan cepat2 meninggalkan tempat ini."
Terpaksa Soat Koh menganguk dan tidak bicara lagi.
Selesai isi perut, ketiganya lantas bebenah seperlunya, lalu berangkatlah menuju ke Kamciu.
Sepanjang jalan Soat Koh tidak bicara dengan Peng-say,
mungkin ia masih mendongkol. Tapi kebetulan malah bagi
Peng-say. "0O0" O0dw0O "0O0 "
Jilid 30 SUATU hari sampailah mereka di Kamciu.
"Di mana Suhumu bertempat tinggal?" tanya Ciau-hoa.
"Di kaki puncak Ki-lian." tutur Peng-say.
Mereka bertiga menunggang kuda, maka Peng-say lantas
mendahului melarikan kudanya ke kaki gunung.
Melihat suasana ditepi jalan, diam2 Soat Ciau hoa
merasa gegetun.
Kiranya jalanan ini adalah jalan yang dahulu pernah
dilaluinya bersama Tio Tay-peng waktu dari hotel mereka
menuju ke Ki-lian-san. Kejadian itu sudah 20 tahun
berselang, tapi pemandangan setempat masih serupa
dahulu, sedikitpun tidak berubah.
Ia masih ingat, satu2nya yang berbeda adalah dahulu
sedang turun salju, sedangkan sekarang cuaca terang
benderang, namun urusan dan orangnya sudah tidak sama,
bayangan kekasih di masa lalu itu kini entah berada di
mana" Setiba di kaki gunung, Soat Ciau-hoa menunjuk sebuah
jalan kecil dan berkata: "Dahulu aku dan Tio Tay-peng manjat ke atas melalui jalan ini, di atas puncak sana
kutemukan Siang-liu-kiam-boh."
"Di sebuah gua rahasia di sekitar puncak Sana guruku
menetap," tutur Peng-say.
"Oo?" diam2 Soat Ciau-hoa merasa heran mengapa Tio Tay-peng memilih gua rahasia di sini sebagai tempat
tinggalnya"
Didengarnya Peng-say bertutur pula: "Dua-tiga kali
setiap bulan guruku pasti mendaki ke puncak gunung
melalui jalan kecil ini. Suatu hari pernah kuminta Suhu
membawa serta diriku main2 ke atas gunung, tapi Suhu
tidak mengizinkan, katanya di puncak gunung hanya salju
melulu, tiada sesuatu yang menarik. Karena penolakan
Suhu itu, selanjutnya aku tidak pernah minta lagi, tapi
diam2 kupikir Suhu terlalu mementingkan dirinya sendiri, diatas puncak tentu pemandangan sangat indah dan Suhu
hanya ingin menikmatinya sendiri."
"Hm, mana boleh kau berpikir begitu, masa ada guru
yang tidak mau menikmati pemandangan indah bersama
muridnya?" jengek Soat Koh mendadak. "Di puncak gunung sangat dingin dan memang salju melulu, jelas tiada sesuatu yang menarik, makanya gurumu tidak mau
mengajak serta kau. Hanya orang udik saja yang tidak
pernah lihat salju dan merasa tertarik oleh pemandangan di puncak gunung."
"Aku memang orang udik, makanya ingin menikmati
pemandangan salju yang memenuhi puncak gunung," kata Peng-say.
Soat Koh tampak kurang senang, katanya: "Kenapa
akhir2 ini selalu kau bicara ketus padaku"!"
"Jika kau anggap ucapanku kasar, jangan kau gubris
diriku," jawab Peng-say dengan tertawa.
"Hm, memangnya kau kira aku suka menggubris kau?"
jengek Soat Koh. "Hanya karena pendapatmu keliru,
terpaksa aku menyeletuk untuk membetulkan jalan
pikiranmu."
"Bila pandanganku keliru dan kau suka memberi koreksi, tentu saja aku berterima kasih padamu," kata Peng-say.
"Tapi pendapatku atas kepergian guruku ke atas puncak itu mempunyai alasan tersendiri. Bibi bilang Siang-liu-kiam-boh ditemukan di atas puncak itu, hal ini mengingatkan
padaku ketika setiap kali Suhuku turun dari atas puncak, beliau selalu kelihatan berduka, jelas kepergian Suhu ke atas
puncak itu bukan untuk menikmati pemandangan segala.
Tentu beliau ada alasan lain sehingga aku tidak boleh ikut."
"Alasan lain apa?" tanya Soat Koh.
"Bibi, jika aku salah omong hendaklah engkau jangan marah." pinta Peng-say.
"Katakan saja," ujar Ciau-hoa.
Maka Peng-say lantas menyambung: "Mungkin Suhu
kuatir kuganggu ketenangannya di atas puncak, sebab
beliau di sana hanya termenung mengenangkan kekasihnya
di masa lampau. . . ."
"Maksudmu setiap kali gurumu pergi ke puncak sana
hanya untuk mengenangkan Suhuku?" tanya Soat Koh
dengan tertawa.
"Omong kosong!" omel Soat Ciau-hoa.
"Bukan murid yang omong, tapi dia," ujar Soat Koh sambil menuding Peng-say.
"Hm, kutahu sebab apa Tio Tay-peng sering naik ke atas puncak, tentu karena dia tidak puas dengan Pedang Kiri
yang dilatihnya," kata Soat Ciau-hoa. "Meski dia tidak tahu kitab yang diperolehnya itu cuma setengah bagian, tapi
dalam hati dia tahu hanya Pedang Kiri saja tidak mungkin mencapai nomor satu di dunia. Demi untuk menyelidikinya
secara tuntas, maka dia sering mendatangi tempat wafatnya Sau Ceng-in dengan tujuan kalau dapat menemukan Kiam-boh yang benar2 dapat membuatnya menjadi jago pedang
nomor satu di dunia."
"Tapi selain
Siang-liu-kiam-hoat, pamanku
tidak mempunyai ilmu pedang lain lagi yang dapat dikatakan
nomor satu di dunia, sedangkan guruku sudah tahu dengan
pasti bahwa yang dilatihnya adalah Siang-liu-kiam-hoat,
mana mungkin dia mencari Kiam-boh lain lagi" Betapapun
tuduhan bibi kepada guruku ini tidak dapat kusetujui."
"Aku tidak perlu minta persetujuanmu," jengek Ciau-hoa. "Jika tidak percaya, setiba di atas pun tak nanti tentu dapat kau buktikan bahwa ucapan bibimu tidaklah keliru."
Begitulah mereka lantas turun dari kuda dan berjalan ke
atas menyusuri jalan sempit itu.
Jalan itu jarang dilalui orang sehingga hampir tidak
kelihatan sebagai jalan lagi, ditambah dari atas gunung
sering ada salju yang cair dan mengalir turun melalui jalan itu, maka jalannya terasa lembab dan licin.
Tidak jauh, Peng-say meninggalkan jalan sempit itu dan
melompat ke atas batu padas terus melayang ke atas. Hal ini segera ditiru oleh Soat Ciau-hoa dan Soat Koh, dengan
Ginkang mereka terus melayang dan meloncat ke atas
dengan cepat. Setiba di suatu tempat yang agak datar, tertampak di
pojok sana ada sebuah gua, untuk memandang ke sini dari
bawah harus dilakukan dengan mendongak, tapi dibandingkan puncak Ki-lian yang ribuan kaki tingginya,
tempat ini tidak lebih hanya kaki gunung saja.
"Di dalam gua inilah guruku bertempat tinggal," kata Peng-say.
"Sungguh tak tersangka dibalik batu2 padas ada tempat datar begini, hebat juga gurumu dapat menemukannya,"
kata Soat Koh. Karena bakal bertemu dengan bekas kekasihnya,
betapapun hati Soat Ciau-hoa rada berdebar, suaranya
menjadi rada gemetar, dengan tergegap ia bertanya;
"Apakah Su . . . .Suhumu sekarang berada di dalam gua?"
"Mungkin tidak ada," jawab Peng-say. "Kalau beliau ada di dalam gua, kedatangan kita tentu sudah dilihatnya.
Sekarang tiada terdengar sesuatu suara, agaknya Suhu telah naik ke atas puncak lagi."
Diam2 Ciau-hoa menghela napas lega, ejeknya: "Hm,
tentunya ke atas gunung untuk mencari pusaka pula."
Peng-say mendahului masuk ke dalam gua, tapi
mendadak ia bersuara heran: "He, tidak betul'"
"Tidak betul bagaimana"!" tanya Ciau-hoa dengan jantung berdetak.
"Tampaknya sudah lama sekali Suhu meninggalkan
tempat ini," kata Peng-say. Dia meraba debu di atas meja batu, lalu berkata pula: "Inilah tempat yang kami gunakan sebagai meja makan, biasanya selalu dibersihkan, tapi
sekarang debu setebal ini. jelas sudah cukup lama meja ini tidak pernah digunakan."
"Mung . . . mungkinkah terjadi sesuatu?" tanya Ciau-hoa dengan kuatir.
"Kukira tidak sampai terjadi apa2," kata Peng-say.
"Mungkin kedatangan kita tidak kebetulan, Suhu sedang pergi ke tempat jauh dan sudah beberapa bulan tidak
pulang." Ciau-hoa agak kecewa, tanyanya pula: "Apakah kau tahu dia pergi kemana?"
"Bila Suhu pergi jauh, beliau tentu meninggalkan pesan, boleh jadi dia akan memberitahukan padaku kemana beliau
pergi," kata Peng-say sambil mendekati sebuah tempat tidur, ia coba menggerayangi bawah tempat tidur.
"Apa yang kau cari?" tanya Soat Koh.
Peng-say tidak menjawab, tapi dari bawah tempat tidur
ditariknya keluar sebuah peti kayu. Ia membuka tutup peti, dilihatnya isinya cuma pakaian melulu dan tiada secarik
kertas apapun. "Aneh," gumamnya. "Suhu pergi jauh tapi tidak membawa pakaian, juga tidak meninggalkan pesan.
Padahal waktu kuturun gunung, beliau telah berkata
padaku bahwa bila beliau bepergian tentu akan meninggalkan surat di dalam peti ini."
Soat Ciau-hoa tampak ikut prihatin, katanya; "Kukira mungkin terjadi sesuatu diluar dugaan. Apakah gurumu
selalu membawa Siang-liu-kiam-boh di dalam bajunya?"
"Selamanya Suhu tidak pernah membawa benda2
penting dalam bajunya, milik beliau yang penting selalu
disembunyikan di liang yang terletak di bawah tempat
tidur," tutur Peng-say.
"Jika begitu lekas kau periksa adakah terdapat Siang-liu-kiam-boh," kata Ciau-hoa. "Kalau tidak ada, hanya ada dua kemungkinan. kitab pusaka itu dibawa serta oleh gurumu
atau sudah ditemukan oleh musuh yang telah mencelakai
gurumu." Segera Peng-say meraba lagi kebawah tempat tidur.
dipindahkannya sepotong batu, lalu ditariknya keluar satu bungkusan dan dibukanya, terlihatlah benda2 berharga
sebangsa emas perak, tiada terdapat barang sejenis kitab dan sebagainya.
"Coba cari lagi!" kata Ciau-hoa dengan agak tegang.
Peng-say meraba pula agak lama, akhirnya ditemukan
lagi satu bungkus kecil kain biru berbentuk segi empat,
sekali pandang lantas tahu isinya pasti sebangsa buku.
Cepat bungkusan itu dibukanya, betul juga, isinya adalah beberapa jilid buku pelajaran silat serta cara2 bersemadi agar menjadi dewa segala, yaitu sebangsa primbon yang
banyak terdapat di pasar. Tapi seselah diperiksa lagi, paling bawah adalah satu jilid buku kain tipis, sampul buku tiada tertulis apa2, hanya pada kanan-kiri terlukis sebatang
pedang panjang.
"Itulah Siang-Hu-kiam-boh," seru Ciau hoa. "Jika kitabnya masih terdapat disini. tentunya gurumu juga tidak mengalami bahaya. Mungkin gurumu sedang pergi jauh
dan belum pulang. Jika ada alangan, tidak nanti kitab
pusaka yang diincar setiap orang ini masih tersimpan
dengan baik disini."
Peng say sendiri tidak pernah melihat kitab pusaka ini.
iapun tidak tahu apakah kitab ini tulen atau palsu. Ia coba membalik halaman pertama, tertampaklah di tengah2
halaman tertulis "Siang-liu-kiam-boh", sehalaman penuh hanya tertulis empat huruf-besar ini. hanya di bagian kanan atas diberi catatan oleh Tio Tay-peng yang berbunyi: "Kitab ini dihadiahkan kepada anakku Tio Peng-say, dari ayah".
Sekali pandang saja Peng-Say lantas mengenali tulisan
tangan gurunya, ia tidak heran tentang salah paham
gurunya yang menyangka dirinya sebagai anaknya.
Tapi Soat Ciau-hoa lantas gusar, tanyanya: "Siapa itu Tio Peng-say?"
Kiranya iapun dapat mengenali tulisan Tio Tay-peng, ia


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak menyangka laki yang tidak setia itu mempunyai pula anak yang bernama "Tio Peng-say", maka ia sangat marah.
Cepat Peng-say menjawab: "Yang dimaksud ialah
diriku." "Kau. . . .kau. . . .jadi kau ini anak Tio Tay-peng?" teriak Ciau-hoa dengan suara melengking.
"Bukan, Suhu salah sangka ...,."
Tapi Soat Ciau-hoa sudah kadung naik darah, ia tuding
Peng-say dan memaki: "Bagus, kau memang nomor satu
dalam hal berdusta. Hm, tadinya kau mengaku sebagai
anak Sau Ceng-hong, dustamu ini sungguh sangat rapi,
pantas kau tahu seluk-beluk keluarga Soat kami, kiranya
kau ini anak haram yang dilahirkan adik perempuanku
yang tidak tahu malu dengan keparat Tio Tay-peng itu."
Dia tidak memberi kesempatan kepada Peng-say untuk
memberi penjelasan, mendadak ia berpaling dan berkata
kepada Soat Koh. "Lolos pedangmu dan bantu aku
membunuh anak haram ini!"
Melihat sang guru benar2 murka dan mencabut pedang.
cepat Soat Koh berseru: "Suhu, bukankah sudah kau
sanggupi takkan membunuh dia?"
"Aku berjanji takkan membunuh muridnya Tio Taypeng, tapi tidak pernah menyanggupi tidak membunuh
anaknya," jawab Soat Ciau-hoa.
"Apa per. . . .perbedaannya?" ujar Soat Koh.
Ciau-hoa tahu sendirian sukar membunuh Peng-say, ia
menjadi gusar melihat Soat Koh belum lagi melolos
pedangnya, damperatnya dengan gusar: "Budak kurang
ajar, tambah lama kau kau tambah tidak menurut perintah
gurumu!" "Bukan murid tidak menurut perintah, tapi kita sudah berjanji tidak membunuhnya, kita tidak. . .. tidak boleh ingkar janji. . . ."
"Anak haram ini telah menipu kita, dosanya harus mati"
teriak Ciau-hoa,
"Bibi," kata Peng-say, "dapatkah kau tenangkan diri dan dengarkan penjelasanku?"
"Bukti nyata terdapat di depan mata, apalagi yang akan kau jelaskan?" damperat Ciau-hoa.
"Suhu, berikan kesempatan padanya," Soat Koh ikut memohon.
Sambil mengangkat pedangnya, Soat Ciau-hoa berteriak
dengan gusar: "Jika kau tidak segera melolos pedang dan membunuhnya, selanjutnya kita putus hubungan sebagai
ibu dan anak."
"Apa katamu, Suhu"!" teriak Soat Koh terkejut.
"Orang ini adalah kakakmu, kau telah mencintai
kakaknya sendiri, kalau bukan dia yang mampus biarlah
kau yang mati, sudah ber-ulang2 ibu memperingatkan agar
jangan menggubris anak atau murid Tio Tay-peng, yang
kukuatirkan justeru kejadian ini. Sekarang hal ini benar2
terjadi, bila kau merasa berat membunuh kakak sendiri.
boleh kau bunuh diri saja."
Soat Koh tampak sedih, katanya: "Sekalipun dia
memang kakakku dari satu ayah, tapi kami....kami tidak
berbuat. . . ."
"Lolos pedangmu!" teriak Ciau-hoa dengan bengis.
Mendadak Peng say bergelak tertawa, katanya: "Hahaha, di dunia ini ternyata ada orang memaksa kakak adik saling membunuh, sungguh jarang terlihat."
"Justeru sekarang boleh kau lihat!" bentak Ciau-hoa.
"Bibi, seumpama kau benci pada guruku yang tidak setia padamu
dan anaknya harus kau bunuh untuk melampiaskan dendammu, tapi tidak seharusnya dalam
keadaan demikian kau katakan rahasia ayah Soat Koh.
Perlu bibi ketahui, Soat Koh dan aku sama2 suci bersih,
jangan kau gunakan alasan hubungan kami yang tidak
senonoh dan mendesak dia membunuhku. Kini biarpun kau
paksa dia. kukira dia takkan sampai hati membantu kau
membunuh kakaknya sendiri."
Mendadak Soat Ciau-hoa mengacungkan pedangnya
sambil berteriak: "Tanpa bantuannya, aku sendiripun sanggup membunuh kau!"
Peng-say berlagak tak acuh untuk meredakan suasana
yang tegang, katanya dengan tertawa: "Sudah tentu, aku memang bukan tandingan bibi, tapi kumohon sebelum bibi
turun tangan sudilah berpikir lagi lebih cermat apakah
mungkin aku ini anak Tio Tay-peng" Usia Soat Koh lebih
muda dari padaku, apakah sebelum bibi kenal guruku. lebih dulu ibuku sudah kenal dia?"
Pertanyaan terakhir ini membikin pikiran Soat Ciau-hoa
agak jernih, pikirnya: "Ya. memang tidak mungkin. Sejak kukenal Tio Tay-peng sehingga putus hubungan, belum
pernah kami berpisah seharipun. Pada masa itu tidak
mungkin dia kenal Kun-hoa, jika mereka kenal setelah
hubungan kami putus tentu tidak dapat melahirkan anak
yang lebih tua daripada Soat Koh. Jangan2 Tio-peng yang
linglung itu benar2 salah mengenali bocah ini sebagai anak yang kulahirkan?"
Tiba" dilihatnya Peng-say mengeluarkan satu biji mutiara merah. Soat Ciau-hoa kenal mutiara ini, serunya: "He, Pi-tun-cu!"
"Betul, lantaran Pi-tun-cu inilah guruku salah sangka aku sebagai puteranya," kata Peng-say sambil menuding mutiara merah yang dipegangnya. "Hal ini tidak kuketahui
sebelumnya, Kiau-jisuko yang membantuku menganalisa
sebab-musabab guruku mau mengajarkan Siang-liu-kiam
kepadaku. Kalau bukan disebabkan salah sangka guruku,
biar pun dia mau terima aku sebagai muridnya tentu juga
aku diharuskan memenggal lengan kanan sendiri seperti
dia!" "Soat Koh," kata Ciau-hoa tiba2, "coba keluarkan Pi-tun-cu pemberian ibu itu."
"Bibi, sudah jelas dia she Tio, mengapa masih
memanggilnya Soat Koh?" ujar Peng-say.
"Mengapa ibumu dahulu juga menyuruh kau she Soat
dan tidak memberitahukan bahwa sebenarnya kau she
Sau?" jawab Ciau-hoa.
Peng-say menjadi bungkam. Soat Ciau-hoa berkata pula:
"Akupun mempunyai pikiran yang sama dengan ibumu,
tidak ingin anak kandung sendiri ikut she ayahnya yang
tidak berbudi dan tidak setia. Sang ayah tidak memenuhi
kewajiban sebagai orang tua, mana boleh menerima
keturunan tanpa susah payah?"
"Kenapa tidak kau katakan sejak dulu", ibu. selama ini anak mengira dirinya adalah anak yatim piatu yang tidak
punya ayah-ibu," kata Soat Koh.
"Sejak kecil kau sering tanya padaku mengenai ibumu,"
tutur Ciau-hoa dengan menyesal, "aku pura2 kenal ibumu, padahal yang kuceritakan adalah kisah hidupku sendiri.
Sebabnya tidak kukatakan siapa ibumu adalah karena aku
mempunyai kesukaran sendiri. Aku lebih suka selama hidup tidak dipanggil ibu daripada kau mengetahui perbuatan
busuk ayah-bundamu di masa lalu."
"Tapi hubungan antara bibi dan guruku kan sudah
diketahui olehnya?" sela Peng-say.
"Kuceritakan pengalamanku yang pahit itu kepadanya
adalah supaya dia paham betapa busuknya kaum lelaki
sehingga tidak sampai mengulangi sejarah ibunya. Kupikir, kalau dia tidak tahu aku ini ibunya, tentu hubungan kalian yang harus dibatasi ini tidak sampai mempengaruhi
jiwanya, tak tersangka, meski kuperingatkan dengan susah-payah, tetap tidak ada gunanya," Ciau-hoa meng-geleng2, lalu menyambung pula: "O, anakku bila nasihat ibu tidak kau turut. kelak tentu kau akan tertipu pula oleh lelaki."
Soat Koh tertawa, katanya: "Bu, jangan kuatir, anak cukup cerdik. kalau pihak lawan tidak ber-sungguh2 hati, tidak mudah anak tertipu."
"Anak-cucu mempunyai rejekinya masing2, akupun
malas lagi urus dirimu," ujar Soat Ciau-hoa. "Mana Pi-tun-cu itu, coba keluarkan!"
"Sampai sekarang apakah bibi masih sangsi padaku?"
tanya Peng-say.
"Ya, kalau Soat Koh tidak dapat memperlihatkan Pi-tun-cu, jelas ceritamu tentang Tio Tay-peng salah mengenali
kau sebagai anaknya lantaran melihat mutiara merah ini
tentu juga bohong besar."
Soat Koh lantas membalik kesana untuk membuka baju
luar, sampai lama barulah ia dapat mengeluarkan Pi-tun-cu yang disimpannya di dalam kutang.
Mutiara ini asalnya adalah milik Cui-hun Tojin, yaitu
murid tertua Bu-tong-pay, bentuknya serupa dan besarnya
juga sama seperti Pi-tun-cu milik Peng-say itu, andaikan ada sedikit perbedaannya, kalau tidak tahu bahwa mutiara itu ada dua biji, tentu mudah dikacaukan.
Dengan tertawa Peng-say berkata: "Untung mutiaramu
tidak hilang, kalau tidak tentu bibi akan menyangka
mutiaraku ini adalah pemberianmu."
Soat Koh melotot padanya, katanya: "Manabisa
kuhilangkan mutiara ini, lebih2 tidak nanti kuberikan
padamu." Melihat mutiara anaknya masih tersimpan baik2, Ciauhoa merasa lega, katanya: "Kelak bila kau dapatkan orang yang dapat dipercaya, dengan sendirinya boleh kau berikan mutiara ini kepadanya seperti pernah kukatakan padamu.
Tapi harus hati2. jangan salah pilih orang,"
Peng-say lantas menggoda: "Pantas tidak nanti diberikan padaku. kiranya aku bukan orang yang dipenujui nona."
Dengan gusar Ciau-hoa melototi anak muda itu dan
mengejek: "Kurang ajar! Hendaklah kau bersikap sopan sedikit, mulai sekarang jauhi anak-perempuanku. Mana
kitabnya" Setelah bertukar, pergilah kau ke arahmu sendiri dan jangan bertemu lagi dengan anakku."
"He, seb. . . .sebab apa?" tanya Soat Koh cepat.
"Kenapa" Kau merasa berat berpisah dengan bocah ini?"
tanya Ciau-hoa.
"Ti. . . .tidak. . bukan. . . ." Soat Koh menjadi malu.
"Baik, ibu sangat senang karena Pi-tun-cu tidak kau berikan padanya, walaupun bocah ini tidak jelek, tapi kau harus paham dia murid siapa dan anak siapa" Satu saja
cukup, apalagi dua2nya, baik guru maupun ayahnya adalah
lelaki yang tak dapat dipercaya, lalu apakah dia ini dapat dipercaya" "
"Aku lebih suka kau kawin dengan seorang cacat
daripada ikut dia." Dalam gugupnya Soat Koh menjadi lupa akan malu, serunya: "Peng-ko!"
"Ada apa?" tanya Peng-say.
"Ayolah. katakan isi hatimu kepada ibuku!"
"Isi hati apa?" tanya Peng-say pula.
"Tidak dapatkah kau nyatakan hatimu tetap tak kan
berubah untuk selamanya?"
"Apa gunanya biar pun kukatakan?" Peng-say berlagak bodoh.
Berderailah air mata Soat Koh. katanya dengan terputus2: "Nyata dalam ....dalam hatimu hakikatnya .... tidak ada diriku . . . ."
"O, anakku, rupanya baru sekarang kau tahu. kata Ciau-hoa. "Bilamana dia memikirkan kau mustahil dalam
keadaan begitu dia tidak bicara. Maksud tujuan bocah ini jelas cuma mengincar Pedang Kananmu, kini tujuannya
hampir tercapai, mana dia pikirkan dirimu lagi" Kan sudah kukatakan betapapun dia tidak dapat dipercaya?"
"Makanya aku tidak perlu menyatakan isi hati segala,"
tukas Peng-say sambil menyengir.
Ciau-hoa kuatir dalam keadaan terangsang bisa jadi anak
muda itu akan menceritakan terpaksa harus menjauhi Soat
Koh karena ditekan oleh dirinya. Maka cepat ia menyela:
"Lekas berikan kitab mu!"
"Apakah bibi tidak ingin menemui guruku lagi?" tanya Peng-say.
"Aku sengaja datang minta maaf padanya, tapi dia tidak ada di sini, mana mungkin kutunggu dia di sini" Biarlah
pertemuan ini kubatalkan saja."
"Bibi masih dendam pada guruku, bila bertemu tentu
marah, boleh juga tidak jadi bertemu. Mengenai minta maaf segala kukira juga tidak perlu. Tapi bibi kan seharusnya memberi kesempatan kepada Soat-Koh untuk menemui
ayahnya." Soat Koh gemas kepada Peng-say karena anak itu tidak
berbudi, ucapnya sambil menggeleng: "Aku pun tidak ingin tinggal lebih lama lagi di sini."
"Kau tidak ingin bertemu dengan ayahmu?" tanya Peng-say.
Soat Koh melengos, katanya dengan menahan air mata:
"Marilah kita pergi, ibu!"
"Apakah kau bermaksud menahan kami di sini" tanya
Soat Ciau-hoa. "Betul, sebaiknya kalian tunggu dulu sampai pulangnya guruku," kata Peng-say.
"Siapa tahu bilakah dia akan pulang?"
"Suhu tidak membawa pakaian segala, mungkin
berangkatnya ter-gesa2, sepantasnya beliau takkan pergi
terlalu lama, bisa jadi dalam satu-dua hari ini dia akan pulang."
"Lalu bagaimana setelah dia pulang?" tanya Ciau-hoa.
"Kan kebetulan jika kalian memang bermaksud menemui guruku?" ujar Peng-say. "Selain itu, sebelum guruku pulang, betapapun aku tidak berani mengadakan tukar-menukar
kitab." "Dalam pesannya jelas2 kitab itu telah diberikan
kepadamu, mengapa kau tidak berani mengambil keputusan
sendiri?" tanya Ciau-hoa.
"Aku bukan Tio Peng-say, tidak berani kuterima, harus kutemui dulu guruku untuk menjelaskan duduknya perkara,
bilamana kemudian Suhu setuju diberikan kepada Sau
Peng-say barulah kitab ini benar menjadi milikku."
"Huh, omong melulu," omel Ciau-hoa. "Kau tidak berani mengambil keputusan, boleh juga batal tukar menukar. Kita berangkat, Soat Koh, orang macam ayahmu itu tidak
bertemu juga tidak perlu menyesal. Mengenai ilmu pedang
nomor satu di dunia, mungkin Sau Peng-say ini
mengimpikannya bagi kita tidak ada artinya, tidak perlu
mengandalkannya untuk membalas dendam apa segala."
Sudah tentu Peng-say tidak ingin kehilangan kesempatan
baik ini, sekali ibu dan anak itu pergi, ke mana lagi harus mencari mereka kelak"
Karena cemas, cepat ia berseru: "Nanti dulu, bibi!"
"Tukar atau tidak?" Ciau-hoa menegas.
"Kukira Suhu pasti tahu masih ada Pedang Kanan Siangliu-kiam, kuyakin beliau pasti akan menukarnya . . . ."
"Tentu saja, tak dapat tukar menukar pasti juga dia akan main rebut," jengek Cian-hoa.
"Janganlah bibi terlalu memandang rendah kepribadian guruku," protes Peng-say.
"Huh, kepribadian Tio Tay-peng itu berharga berapa satu kilo?" jengek Ciau-hoa. "Hm. kitab Pedang Kiri itu bukankah dapat dia rebut dariku dengan cara yang kotor"
Jangan kau banyak omong lagi. bilamana aku naik darah.
jangankan tukar menukar, mungkin akan kuminta kembali
secara resmi, kalau perlu kamipun akan main rebut, main
rebut juga kami tidak perlu malu karena kitab itu asalnya memang milikku,"
Peng-say mem-balik2 halaman kitab yang dipegangnya
itu dan berkata: "Jika demikian, bila aku tidak menurut akan tukar menukar, kan boleh dikatakan orang paling
goblok di dunia ini"!"
"Jangan kau salah omong, bukan kau menurut, tapi kau yang minta tukar menukar ini," kata Ciau- hoa.
"Meski bibi menggunakan akal mundur dulu untuk
kemudian mendesak maju, padahal bibi sendiri sebenarnya
sangat ingin mendapatkan kitab Pedang Kiri ini, sama
halnya seperti hasratku ingin mendapatkan Pedang kanan,"
kata Peng-say dengan tertawa. "Baiklah, boleh kita tukar menukar sesuai kepentingan masing2, cuma .... ."
"Kenapa" Kau takut aku berdusta dan minta kukeluarkan juga kitabku untuk tukar menukar Secara koritan?" tanya Ciau-hoa.
"Jika bibi sudah berjanji akan tukar menukar, masa
keponakan berani curiga lagi" Bila perlu boleh bibi ambil dulu kitabku ini, tapi hendaklah bibi tahu, kitab Pedang Kiri ini bukanlah palsu." sembari bicara ia terus mem-balik2
halaman kitab itu.
"Kupercaya tidak palsu, berikan sini!"
Selagi Peng-say hendak menyatakan agar jangan sang
bibi nanti memberikan kitab Pedang Kanan palsu,
mendadak dilihatnya dari dalam kitab yang dipegangnya itu melayang jatuh secarik surat. Cepat ia menjemputnya dan
dibaca, ternyata tulisan tangan gurunya,
Kiranya Tio Tay-peng memang bepergian jauh dan
meninggalkan pesan. hanya suratnya diselipkan di dalam
kitab pedang itu, kalau tidak di-balik2 setiap halamannya sukarlah menemukannya.
Dilihatnya surat itu tertulis: "
Peng-say anakku. Bila surat ini kau temukan, ayahmu pasti sudah tidak berada lagi di dunia fana ini. Mestinya tidak ingin kuberitahukan rahasia bahwa gurumu sebenarnya juga ayahmu, namun tidak dapat kukelabui kau selama hidup.
Anakku, di masa lalu ayahmu telah berbuat sesuatu yang sangat tercela, sebab itulah sejauh itu tidak berani kuakui kau sebagai anak. Peristiwa lama itu sampai kini ayahmu masih belum berani menuliskannya dengan jelas di sini, kukira lebih baik kau tidak perlu tahu. Mengenai aku ini ayah kandungmu, janganlah kau sangsi, ibumu sudah meninggal belasan tahun, ilmu pedangmu sudah jadi. ayah tidak perlu berkuatir apa2 lagi, biarlah kupergi menyusul ibumu. Aku bersalah padanya, biarlah kupergi ke tempat yang menimbulkan peristiwa duka itu untuk menghabisi hidupku ini agar bisa cepat2 bertemu dengan ibumu dialam baka untuk menyatakan rasa penyesalanku."
Sampai terkesima Peng-say membaca surat itu.
Ciau-hoa juga ingin tahu apa yang tertulis dalam surat
itu, ia bertanya: "Apa yang ditulis gurumu" Adakah dia memberitahukan ke mana dia pergi?"
Peng-say tidak menjawabnya. sikapnya kelihatan aneh.
Soat Ciau-hoa menjadi tidak sabar, mendadak ia sambar
suat itu dari tangan Peng-say.
Ketika dibacanya kalimat "Peng-say anakku", ia mendengus dan anggap Tio Tay-peng sudah linglung
sehingga salah mengenali orang lain sebagai anaknya. Tapi mendadak air mukanya berubah hebat ketika membaca
lebih lanjut. gumamnya: "Tidak berada lagi di dunia fana ini" Ap . . . .apa yang hendak dilakukannya?"
Jantung Ciau-hoa mulai berdetak keras, ketika surat itu
habis dibaca seluruhnya, seketika iapun kesima seperti
kehilangan sesuatu surat itu terjatuh dari pegangannya juga tidak dirasakan lagi.
Dengan tersendat Peng-say berkata: "Bi. . .bibi.
tampaknya Suhu. . .Suhu sudah. . . ."
Mau-tak-mau Ciau-hoa meneteskan air mata ucapnya
sambil menggeleng: "Masa si linglung ini tidak dapat membedakan ibumu bukan diriku dari nama kami?"
"Tapi Suhu tidak mengetahui nama ibuku," tutur Peng-say.
"Dia tidak pernah tanya padamu?"


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pernah, tapi. . .tapi tidak kukatakan. . . ."
"Mengapa tidak kau katakan?" bentak Ciau-hoa.
"Apakah kau sengaja hendak menipunya?"
Peng-say lantas menceritakan kedatangan Tio Tay-peng
di rumah keluarga Beng di Pakkhia dahulu. di mana Tio
Tay-peng telah mendepaknya sehingga dia jatuh tersungkur, ia bertutur: "Ketika Suhu melihat dari bajuku jatuh keluar sebiji mutiara, beliau lantas mengira aku ini anaknya. Aku sendiripun tidak tahu seluk-beluknya, sebaliknya Suhu juga tidak langsung mengakui aku sebagai anak, beliau cuma
bilang kenal ayahku. katanya aku bernama Tio Peng-say.
Dengan sendirinya aku tidak percaya, kutanya bila dia
kenal ayahku apakah juga kenal ibuku" Dia bilang tentu
saja kenal, katanya ibuku bernama Soat Ih-nio, kukatakan salah, dia lantas bilang ibuku ada nama lain Soat Ciau-hoa.
Kupikir mungkin dia ingin menipu mutiaraku. makanya
sengaja menyebut beberapa nama. Maka ketika dia berbalik tanya siapa nama ibuku jika apa yang dikatakanaya itu
keliru, aku menjadi tidak berani omong terus terang.
Kemudian Suhu memaksa diriku ikut ke sini untuk
mengajarkan Siang-liu-kiam padaku, tadinya kukuatir
kalau2 lengan-kananku juga akan ditabasnya seperti dia,
maka aku berkeras tidak mau mengangkat guru padanya,
tapi setelah dia memperlakukan diriku seperti anaknya
sendiri, juga berjanji takkan menabas lenganku. barulah aku mulai belajar pedang padanya. Lima tahun kubelajar ilmu
Pedang Kiri, selama itu Suhu tidak bicara tentang ibuku.
Pernah satu kali kutanya apakah betul dia kenal ayahku. dia mengangguk, katanya ayahku juga she Tio, jadi seharusnya aku ikut she ayah. Waktu itu aku tidak mau, tapi kuminta Suhu suka menceritakan segala sesuatu tentang ayahku.
Rupanya Suhu menjadi kurang senang dan tidak mau
bercerita apa2 lagi, maka akupun tidak berani tanya lebih lanjut. Kupikir Suhu tidak bermaksud jahat padaku, akupun tidak berpikir hal lain dan tekun belajar Pedang Kiri dengan Suhu,"
Sampai di sini Peng say menghela napas, lalu
sambungnya lagi: "Sayang waktu itu Suhu tidak tanya padaku siapa nama ibuku, selama berkumpul lima tahun,
aku sudah cukup kenal kepribadian Suhu dari dekat, bila
beliau tanya lagi tentang ibuku, tentu akan kukatakan terus terang nama ibu, dengan demikian mungkin Suhu akan
menyadari kekeliruannya sendiri dan tidak menganggap
bibi sudah meninggal sehingga bertekad menyusul bibi
dialam baka seperti apa yang terjadi sekarang ini."
Setelah tahu duduknya perkara, dengan tertawa getir
Ciau-hoa berkata: "Dahulu aku bergaul rapat dengan
gurumu, kukuatir dia memandang rendah padaku, maka
kugunakan nama samaran Soat Ih-nio. Meski kemudian ia
dapat menyelidiki nama asliku, tapi iapun tidak yakin
apakah Soat Ciau-hoa itu namaku yang sebenarnya.
Seumpama kau beritahu nama ibumu juga dia takkan ragu
Soat Kun-hoa bukanlah diriku, agaknya memang sudah
takdir harus terjadi berbagai kesalah pahaman ini."
"Dan kedatangan kita sekarang jelas sudah terlambat,"
kata Peng-say, "apakah bibi tahu tempat yang menimbulkan duka seperti apa yang dimaksudkan guruku
ini?" "Kau sendiri sudah tahu bukan?"
"Entah betul tidak dugaanku, kukira yang dimaksudkan adalah suatu tempat di atas puncak yang didatangi Suhu
beberapa kali setiap bulan untuk mengenangkan bibi
itulah." Ciau-hoa berpikir sejenak, katanya kemudian: "Betul atau tidak, setelah kita pergi kesana tentu akan
mengetahuinya."
Habis berkata ia lantas mendahulai melangkah keluar
dan mendaki ke atas puncak.
Setiba di tempat tujuan, berdasarkan ingatan Soat Ciauhoa, dengan cepat dapatlah ditemukan tempat yang pernah
didatangi rombongan Cui-hun dahulu, disitulah Cui-hun
dan kawan2nya saling bunuh membunuh memperebutkan
Siang-liu-kiam- boh.
Cui-hun tidak membawa lagi Pi-tun-cu. maka serupa Cu
Hoay-tong. tubuhnya juga telah membeku terbungkus oleh
salju sehingga terwujut tiang es.
Memandangi kedua tiang es berbentuk tubuh manusia
itu, teringat kepada pertemuannya pertama kali dahulu,
Ciau-hoa merasa terharu.
Peng-say dan Soat Koh tidak tahu siapa2 yang terbeku di
situ, tapi mereka tahu tentu kedua orang itu mati saling labrak, jelas satu di antaranya pada waktu akan mati masih mengerahkan sisa tenaganya untuk membinasakan lawan
sehingga akhirnya kedua orang gugur bersama.
Sesudah berhenti sejenak segera Ciau-hoa berlari ke gua
yang dahulu ditemukan Siang-liu-kiam-boh itu. Dilihatnya
di dalam gua mayat bergelimpangan, seluruhnya ada
belasan, keadaan ini serupa dengan apa yang dilihatnya
likuran tahun yang lalu, mayat2 itu masih menggeletak di tempat semula.
Hanya di dalam gua dahulu cuma ada sesosok mayat
yang duduk menghadapi dinding gua, tapi sekarang mayat
yang duduk menghadap dinding adalah dua sosok. Tempat
di mana mayat kedua ini berduduk itu adalah tempat yang
mudah tersorot cahaya dari luar, yakni tempat di mana Soat Ciau-hoa berduduk setelah menemukan kitab pusaka,
karena kegirangan ia terus duduk membaca disitu.
Kotak kemala yang berisi kitab itu terletak di samping
mayat itu, tempat kotak kemala itupun tidak bergeser,
keadaan ini serupa Soa Ciau-hoa lagi asyik membaca kitab temuannya di masa likuran tahun yang lalu.
Memandangi mayat kedua itu, meneteslah air mata Soat
Ciau-hoa yang terus membeku di pipinya dan tak dapat
kering, ia tahu keadaan didalam gua yang tidak berubah itu sengaja dipertahankan oleh Tio Tay-peng, sekaligus iapun teringat kepada kunjungan Tio Tay-peng ke tempat ini
beberapa kali setiap bulan seperti cerita Peng-say, tentunya Tio Tay-peng berduduk di tempat ini untuk mengenangkan
dan menyesali kejadian dahulu.
Agaknya setelah Tio Tay-peng salah sangka Peng-say
sebagai anaknya, lalu ia bertekad akan mati berduduk di
tempat yang penuh kenangan ini. setiap bulan dia pasti
datang kesini. mungkin dalam lamunannya ia telah bertemu dengan ibunya Peng-say.
Setelah Peng-say selesai belajar Pedang Kiri, Tio Taypeng merasa tiada sesuatu kekuatiran lagi, maka pada
kunjungan terakhir ke gua ini, dia duduk disitu pula tanpa
mengerahkan tenaga dalam sehingga membiarkan dirinya
mati beku begitu saja.
Menurut jalan pikirannya. setelah sukma meninggalkan
raganya tentu akan segera berkumpul dengan sukma ibunya
Peng-say dan tak terpisahkan lagi. Cuma sayang ibu Sau
Peng-say bukanlah Soat Ciau-hoa, apabila cerita sukma
atau roh memang ada, tentu roh Tio Tay-peng akan kecelik dan kecewa hingga sekarang, sebab sampai saat ini tentu dia masih belum berhasil bertemu dengan arwah Soat Ciau-hoa
di alam halus. Mendadak Soat Ciau-hoa tertawa aneh, katanya
terhadap mayat Tio Tay-peng: "Tio cilik, sewaktu hidupmu kau salah sangka keponakanku sebagai anakmu, sesudah
mati kau pun salah sangka adik perempuanku sebagai
isterimu. Hendaklah kau tunggu dulu, suatu hari kita pasti akan bertemu lagi dan berkumpul untuk selamanya."
Setelah merandek sejenak, ia menggeleng dan berkata
pula: "Rasanya aku pun sangsi, bila setiap hari kau menghadapi arwah adik perempuanku yang kau kira
sebagai diriku, jangan2 akhirnya Kun-hoa juga akan
terpikat olehmu."
Tiba2 ia duduk berjajar dengan mayat Tio Tay-peng,
katanya pula dengan tertawa: "Kukira akan lebih baik bila cepat2 kususul kau saja, jangan kuatir kau!"
Tidak lama kemudian, waktu Peng-say dan Soat Koh
menyusul tiba, mereka merasa di dalam gua sunyi senyap
se-olah2 tidak pernah didatangi siapapun juga.
Soat Koh rada merinding melihat mayat yang
bergelimpangan di dalam gua, dengan suara agak gemetar
ia berseru: "I. . .ibu, di . . . .dimana kau?"
Pandangan Peng-say lebih tajam, segera dilihatnya
bayangan tubuh sang guru yang berduduk sejajar dengan
bibinya, dengan suara pedih ia lantas berkata: "Kulihat ibumu duduk disamping jenazah guruku."
Akhirnya Soat Koh dapat juga melihat ibunya, ia tuding
mayat di samping sang ibu yang diketahuinya sudah lama
beku itu dan bertanya: "Apakah dia . . . .dia ini ayahku?"
Peng-say mengangguk, jawabnya: "Ya. Boleh kau minta ibumu berbangkit saja!"
Disangkanya setelah menemukan mayat Tio Tay-peng,
sang bibi menjadi sangat berduka sehingga seketika duduk ter-mangu2 disitu.
Soat Koh juga berpikir begitu, pelahan ia mendekati dan
berseru pelahan: "Ibu!" " Tapi mendadak ia terus menjerit pula.
Keruan Peng-say kaget dan memburu maju serta
bertanya: "Ada apa?"
Soat Koh tidak menjawab. ia tuding darah yang
bergenang di tanah, sekujur badan gemetar sehingga sukar bersuara lagi.
Melihat darah itu mengaiir dari tubuh sang bibi, diam2
Peng-say mengeluh urusan bisa celaka. Cepat ia memeriksa pernapasan Soat Ciau-hoa, ternyata napas sang bibi sudah berhenti. Dilihatnya lengan tunggal Soat Ciau-hoa
memegang sebilah belati dan tepat menikam di ulu hati
sendiri. Dengan berduka cita, akhirnya Peng-say dan Soat Koh
mengubur mayat Tio Tay-peng dan Soat Ciau-hoa didalam
satu liang lahat yang sama.
Ketika menguruk gundukan salju yang terakhir, Soat
Koh tidak tahan lagi, ia jatuh berduduk di samping kuburan yang ditimbuni dengan salju itu dan menangis ter-gerung2.
Peng-say tidak membujuknya, ia masuk kedalam gua
dan membawa keluar mayat yang duduk menghadapi
dinding itu. Pada wajah mayat ini ada bekas luka pedang, ciri khas ini makin meyakinkan Peng-say bahwa orang ini
pastilah pamannya sendiri. yaitu Leng-hiang-caycu Sau
Ceng-in. Waktu di Leng-hiang-cay, Sau Kim-leng pernah bilang
pada wajah ayahnya ada sesuatu ciri yang sangat menyolok, tak disangkanya ciri khas yang dimaksud adalah codet
bekas luka. Pikirnya: "Dengan ilmu pedang Toapek yang nomor satu di dunia, siapa pula yang mampu melukai
mukanya ini?"
Pertanyaan ini kecuali Sau Kim-leng dan Liok-ma
mungkin tiada orang lain yang dapat menjawabnya.
Setelah jenazah Sau Ceng-in dikubur, Peng-say memberi
hormat terakhir dengan menyembah beberapa kali, katanya:
"Suatu hari kelak bila Titji (keponakan) berhasil belajar lengkap Siang-liu-kiam-hoat, tentu akan kubunuh Ciamtay
Cu-ih dan Coh Cu-jiu untuk membalas sakit hati Toapek."
Se-konyong2 terdengar Soat Koh mendengus di
belakangnya: "Hm, membunuh Ciamtay Cu-ih untuk
membalas dendam Piaumoay dan membunuh Coh Cu-jiu
untuk membalas sakit hati ayah, untuk apalagi kau bilang akan membunuh kedua orang itu untuk membalas sakit hati
Toapekmu" memangnya kau akan membunuh mereka,
kenapa kau tambahi sebagai jasamu bagi pamanmu."
"Eh, kenapa kau tidak menangis lagi?" tanya Peng-say ambil berpaling.
"Memangnya kenapa" Kau senang melihat aku mati
menangis?" omel Soat Koh.
"Manabisa?"
ujar Peng-say. "Aku justeru kuatir
kesehatanmu terganggu oleh karena kau kelewat sedih
menangis."
"Huh, jangan sok baik hati," jengek Soat Koh. 'Jika benar kau kuatir aku kelewat sedih, mengapa tidak kau hibur
diriku?" "Ayah-bundamu wafat dua2nya, kejadian mendadak ini
tentu sangat berduka bagimu, ingin membujuk dan
menghibur juga sukar rasanya, kukira akan lebih baik kau menangis se-puas2nya agar hatimu merasa lega."
"Berikan Kiam-bohmu padaku." tiba2 Soat Koh
menjulurkan tangannya.
Peng-say mengeluarkan Kiam-boh Pedang Kiri tanpa
ragu sedikitpun terus disodorkan.
Setelah menerima, dengan hati2 Soat Koh menyimpan
Kiam-boh itu, lalu bertanya: "Mengapa mendadak kau
menjadi baik hati dan tidak sangsi lagi?"
"Kau kan puteri guruku, hanya kaulah yang berhak
menerima kitab pusaka ini," kata Peng-say. "cuma kuharap engkau suka kembali she Tio agar sesudah meninggal
guruku merasa lega karena kitab pusakanya telah berada di tangan ahli warisnya yang sesungguhnya. Aku sendiri
bukan Tio Peng-say yang dimaksudkan Suhu, tidak
seharusnya kumiliki kitab ini."
"Tapi aku tetap bernama Soat-koh dan tidak mau
bernama Tio-koh."
"Kukira kurang baik. . . ."
"Kenapa tidak baik, namaku Soat-koh dan she Tio,
kenapa tidak boleh?"
"O, Tio Soat-koh" Hm, bagus, nama ini memang lebih
sedap didengar." seru Peng-say sambil berkeplok.
"Kau berbuat murah hati, tampaknya aku harus meniru,"
kata Soat-koh setelah berpikir sejenak dan mengeluarkan
kitab pusaka Pedang Kanan, katanya pula: "Ibu sudah berjanji akan menukar kitab ini dengan kitabmu, sebab
itulah pada waktu mengubur jenazah beliau diam2 telah
kuambil, sedianya akan kutukarkan dengan kitabmu."
Memandangi kitab Pedang Kanan di tangan Soat-koh
itu, jantung Peng-say berdetak keras, hampir saja ia
mengulurkan tangannya untuk menerima, tapi segera
dilihatnya Soat-koh telah menyimpan kembali kitab itu dan berkata: "Sebenarnya aku pun berniat menukarkan kitab ini denganmu, waktu kuminta kitab Pedang Kiri darimu
memang sudah timbul niatku itu. Tak tersangka kau bicara tentang hak milik segala, kupikir alasanmu memang tepat, kitab ayahku memang benar adalah hakku, maka tanpa
sungkan telah kuterima dengan baik dan sekarang kupikir
tidak perlu lagi kutukar dengan kau."
Peng-say menjadi sangat kecewa, tanyanya: "Mengapa
kau berubah pendirian?"
"Jika kitab yang menjadi hakku, kan pantas kalau
kuterima, sekarang tiada barang lain yang dapat kau tukar denganku, mana boieh kuberikan kitabku ini dengan
percuma?" Peng-say garuk2 kepala dan merasa menyesal, tahu
begini, berikan saja kitab itu dan tidak perlu banyak omong.
Soat-koh dapat menerka apa yang dipikir anak muda itu,
katanya: "Kau pun tidak perlu menyesal, seumpama tadi
kau tidak perlu banyak bicara, tentu aku pun akan
mengemukakan alasan ini untuk meminta kembali kitab
yang menjadi hakku ini."
"Jika demikian, jadi kau memang tidak mempunyai
maksud tukar-menukar?"
"Siapa bilang tidak, bila kau tidak tahu aturan. terpaksa kutukar dengan kau, tak tersangka kau ini cukup bijaksana dan murah hati."
Kembali Peng-say garuk2 kepala, katanya: "Kau bilang kau pun akan bermurah hati, entah maksud...."
"Aha, akhirnya kelihatanlah belangmu," jengek Soat-koh. "Hm kau pun tahu aku ini orang yang berwatak terus terang. kau tahu aku ini takkan bikin rugi padamu."
Terpaksa Peng-say memohon: "Kuharap nona suka
menolong, maklumlah sakit hatiku sedalam lautan. .."
"Sudahlah, kutahu betapapun kau harus menguasai
Siang-liu-kiam dengan lengkap, tidak perlu kau main
minta2, aku pasti takkan membikin kecewa padamu."
Peng-say bergirang, cepat ia tanya: "Jika begitu, entah kapan baru boleh kuterima kitabmu Pedang Kanan itu?"
"Kapan katamu" Bilakah kukatakan akan kuberikan
padamu?" tanya Soat-koh dengan heran.
Peng-say menjadi kelabakan. katanya; "Ha... habis ...."
"Kiam-boh tidak akan kuberikan padamu, tapi aku pun takkan bikin kecewa kau, dengan sendirinya ada caraku
untuk mengajarkan Siang-liu-kiam-hoat padamu agar kau
dapat membalaskan sakit hati Piaumoaymu."
Peng-say meraba kepalanya lagi dengan sangsi,
gumamnya: "Tanpa kitabnya cara bagaimana dapat
kupelajarinya dengan lengkap?"
"Terdapat guru didepan mata dan tidak kau mohon,
yang kau pikirkan hanya ingin mendapatkan kitab yang
berupa benda mati itu, sungguh tolol!" ucap Soat-koh sambil menggeleng.
Tanpa pikir Peng-say terus menjura. katanya dengan
tertawa: "Jika demikian, sekarang juga ku-angkat guru padamu, cuma selanjutnya harus membikin repot Suhu."
"Kalau tidak repot, cara bagaimana harus ku-ajar kau dan bagaimana pula akan kau ajar aku?" kata Soat-koh.
Lalu iapun memberi homat dan berkata: "Nah, aku pun mengangkat guru padamu."
"Kiam-boh sudah kau punya, untuk apa mengangkat
guru padaku?" tanya Peng-say.


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak boleh lebih rendah satu angkatan dari
padamu," ujar Soat-koh.
Selagi Peng-say hendak tanya apa alangannya biarpun
lebih rendah satu tingkatan. Tiba2 ia merasa ucapan Soat-koh itu mengandung arti yang dalam. pikirnya: "Jika dia bermaksud
mengikat perjodohan denganku, dengan
sendirinya sang suami tidak boleh lebih rendah satu
tingkatan. Ai, sekali pun kau suka padaku, bagiku justeru sulit, selama hidupku ini tidak nanti kunikahi kau dengan resmi."
Maklumlah, dia sudah bersumpah pada Soat Ciau-hoa,
selama hidup ini memang tidak boleh mengadakan upacara
nikah dengan Soat-koh.
Didengarnya Soat-koh berkata pula: "Dari pada belajar dari kitab yang mati kan lebih baik mendapat petunjuk guru secara langsung dan tentu akan mendapat kemajuan lebih
cepat. Boleh kita saling belajar di gua bawah sana, bila ada
waktu senggang kitapun dapat berziarah ke sini, bagus
bukan?" Hak utama sekarang dipegang orang, mau-tak-mau
Peng-say harus menurut, jawabnya: "Baiklah, gagasanmu memang baik."
Kedua orang lantas menyembah lagi didepan kuburan
Tio Tay-peng dan Soat Ciau-hoa, lalu mereka turun
kebawah gunung dan berdiam di gua bekas tempat tinggal
Peng-say, di mana anak muda itu belajar Pedang Kiri
selama lima tahun dengan Tio Tay-peng.
Di dalam gua itu masih cukup banyak tersedia
perbekalan, maka mereka tidak perlu kuatir apa2, hari ini juga mulailah mereka saling belajar ilmu pedang masing2.
Malamnya, karena terikat oleh adat istiadat. dalam hal
tidur menjadi persoalan. Menurut pikiran Soat-koh, asalkan hati masing2 sama suci bersih. kenapa mereka tidak boleh tidur bersama satu ranjang"
Ketika luka Peng-say belum sembuh, pada waktu
bermalam di hotel. Soat-koh sudah pernah beberapa kali
tidur bersama Peng-say disatu ranjang, sebab itulah Soat-koh mengemukakan pendapatnya itu secara lugu tanpa
merasa malu atau kikuk.
Akan tetapi Peng-say menolak dengan keras, jangankan
tidur bersama satu ranjang, sebab ia kuatir pergaulan
mereka akan tambah mesra dan jatuh lagi ke dalam jurang
cinta dan sukar lagi dipisahkan, bahkan anak muda itu tidak berani tidur di dalam gua, ia lebih suka tidur di tempat terbuka diluar gua, biarpun kenyang derita kedinginan.
sedapatnya ia ingin menjauhi Soat-koh.
Betapapun Soat-koh adalah anak perempuan. tidak enak
baginya untuk memaksa tidur bersama Peng-say. Maka
malam itu keduanya lantas tidur terpisah, yang satu di
dalam dan yang lain di luar gua.
Beberapa hari berlalu dengan cepat, lambat laun Soatkoh merasakan Peng-say sengaja hendak menghindarnya,
dengan sendirinya rasa harga dirinya tertusuk. ia mulai
kesal dan tidak bersemangat belajar pedang.
Hari ini Peng-say sudah apal berlatih jurus pertama
Siang-liu-kiam-hoat yang bernama "Kiong-siang-kut-thau"
itu, ia minta Soat Koh mengajarkan lagi jurus kedua yang bernama "Put-cun-kay-ti". Akan tetapi Soat-koh menolak, katanya mesti tunggu setelah ia sendiri pun menguasai jurus pertama barulah sama2 mengajarkan jurus kedua.
Tunggu punya tunggu, sampai setengah bulan barulah
Soat-koh dapat menguasai jurus pertama, nyata kemajuannya sedikitnya selisih tiga kali daripada Peng-say.
Jurus kedua malahan dapat diapalkan Peng-say dengan
lebih cepat, hanya dua-tiga hari saja sudah mahir dan dapat bekerja sama dengan sangat rapat dengan jurus pertama.
Sebaliknya Soat-koh memerlukan waktu hampir sebulan
barulah dapat menguasai jurus pertama untuk bisa bekerja sama dengan jurus yang sama dengan tangan kanan.
Karena Lwekang Soat-koh memang kalah kuat daripada
Peng-say, kemajuannya selalu tak dapat mengikuti
kecepatan anak muda itu. Hal ini bukan karena dia kurang berbakat, soalnya semangat belajarnya kurang. dengan
sendirinya kemajuannya ter-sendat2.
Lebih runyam lagi Soat-koh berkeras tidak mau
mengajarkan jurus berikutnya sebelum ia sendiri menguasai jurus yang sedang dilatihnya.
Di bawah kekuasaan orang. terpaksa Peng say menurut
dan sabar menunggu. malahan ia kuatir kalau2 si nona
ngambek dan tidak mau mengajar, maka sama sekali ia
tidak berani mendesak.
Pada waktu menunggu, Peng-say suka mengulangi
berlatih jurus2 yang telah dipelajarinya, maka setiap jurus tambah apal bagi anak muda itu. Namun lama2 ia menjadi
gelisah juga, betapapun ia ingin lekas2 dapat menguasai
Siang-liu-kiam-hoat itu. Untuk ini terpaksa ia harus bantu Soat-koh berlatih lebih giat. Seringkali dia memberitahukan saripati pemikirannya pada setiap jurus itu kepada nona itu dengan tujuan agar dapat maju sepesatnya dirinya.
Tapi lantaran selisih Lwekang kedua orang terlalu jauh.
Peng-say sendiri tahu rintangan ini dan tak berdaya.
Namun lambatnya kemajuan Soat-koh ternyata bukan
disebabkan selisih Lwekang mereka yang jauh. Hal ini
lambat lalu dapat dilihat oleh Peng-say, suatu hari
kebetulan dilihatnya Soat-koh berlatih dengan ke-malas2an, mau-tak-mau pemuda itu menggerundel: "Dapatkah kau
lebih bersemangat, jika berlatih cara begini sampai kapan baru akan selesai?"
"Kau terdorong oleh hasrat akan menuntut balas, dengan sendirinya kau belajar dengan giat dan maju lebih cepat,"
kata Soat-koh. "Sebaliknya kubelajar tanpa maksud tujuan, juga tiada dorongan orang, terpaksa kubelajar seenaknya."
"Memangnya cara bagaimana kau minta doronganku"
Bukankah setiap hari akupun bantu kau berlatih?"'
"Aku bukan anak kecil," kata Soat-koh dengan tertawa,
"tidak perlu didorong oleh kata muluk2. Soalnya aku memang tidak bersemangat, biarpun kau bantu juga tiada
gunanya, bila kau ingin kumaju lebih cepat, kau mesti. . . ."
"O, mesti apa?" tanya Peng-say. "Ayolah katakan. bila dapat kupenuhi pasti kulaksanakan."
Soat-koh menunduk dan memainkan ujung bajunya,
katanya dengan suara lirih: "Tidakkah kau tahu hati perempuan terkadang dapat dibujuk" Bilamana setiap hari
hatiku senang tentu semangat belajarku akan bangkit."
"Aku tidak pandai bicara. juga bukan orang yang suka membujuk rayu, rasanya aku tidak sanggup." kata Peng-say sambil menggeleng.
Soat-koh berkata pula dengan suara yang lebih lirih,
begitu lirih sehingga hampir hanya dapat didengar olehnya sendiri. Untung pendengaran Peng-say sangat tajam berkat Ci-he-kang yang dikuasainya, dia dapat mendengar jelas si nona sedang berkata: "Asalkan kau mau pindah ke dalam gua dan tidur bersamaku, setelah kutahu benar kau
memang baik padaku, perbuatan lebih baik daripada kata2, dengan begitu tentu aku akan bersemangat. . . ."
Mendadak Peng-say menarik muka seperti seorang guru
agama, katanya: "Pemuda dan pemudi mana boleh tidur bersama satu tempat. Tidak.. .tidak boleh jadi!"
Ia kuatir si nona berucap hal2 lain yang lebih konjol lagi dan sukar untuk menjawabnya, maka cepat2 menyingkir
dan mulai berlatih ilmu pedang.
Menghadapi gadis cantik, lelaki mana yang tidak
bergairah untuk menggaulinya" Pada dasarnya Soat-koh
juga nona baik2 dan cocok menjadi pasangan Peng-say,
sudah tentu anak muda inipun suka adanya. Tapi sumpah
telah mengikatnya, meski jelas2 diketahui seorang
perempuan seperti Soat-koh telah mendahului minta
padanya, terpaksa ia keraskan hati dan tidak mengubrisnya.
Sebenarnya ia hendak menjelaskan sumpahnya kepada
Soat-koh agar nona itu tidak menaruh harapan apa2
terhadapnya, tapi iapun kuatir Soat-koh akan kecewa dan
tidak mau lagi mengajarkan Pedang Kanan padanya.
Melihat gelagatnya, terpaksa Peng-say harus menunggu
dengan sabar, pikirnya: "Paling lambat waktu tiga atau empat tahun tentu juga dapat kupahami ke-49 jurus Pedang Kanan Siang-liu-kiam-hoat."
Perhitungan Peng-say itu berdasarkan satu jurus paling
lambat sebulan akan dapat dikuasainya, empat tahun berarti 48 jurus, jadi empat tahun lebih sebulan tentu ke-49 jurus Siang-liu-kiam lengkap akan dapat dipahaminya.
Di luar dugaan. kenyataannya justeru jauh daripada
perhitungannya. selama setahun pertama Soat-koh hanya
menguasai tujuh jurus Pedang Kiri, bahkan jurus kedelapan diperlukan latihan hingga dua bulan. Naga2nya kalau
melihat kemajuan selambat ini, bisa jadi Peng-say harus
menunggu delapan hingga sepuluh tahun.
Peng-say tidak sabar lagi. ia tidak dapat menunggu lagi, ilmu pedang yang mestinya dapat dikuasainya dalam waktu
setahun paling lama tidak mau ditnuggunya dengan
membuang tempo percuma hingga delapan atau sepuluh
tahun. Suatu hari berkatalah ia kepada Soat-koh: "Sisa ke-41
jurus Siang-liu-kiam Kanan itu maukah sekaligus kau
ajarkan padaku?"
Dengan tegas Soat-koh menolak, katanya: "Tidak bisa, tidak boleh kemajuanmu melampaui diriku."
Peng-say meng-geleng2 katanya pula: "Coba terangkan, mengapa aku harus mengawani kau di sini dengan membuang2 waktu percuma?"
"Siapa yang suruh kau mengawani aku di sini?" jawab Soat-koh dengan kurang senang. "Bila kau anggap buang waktu percuma, silakan kau pergi saja sekarang juga."
Melihat gelagat tidak menguntungkan, terpaksa Peng-say
berucap dengan nada memohon: "Maklumlah. Aku ingin
buru2 menuntut balas, dapatkah kau memberi kelonggaran,
biarkan kubelajar dulu selengkapnya. Apakah kau kuatir
aku akan membikin susah kau jika seluruh Siang-liu-kiam
sudah kupahami" Untuk ini janganlah kau kuatir, kelak bila aku Sau Peng-say berbuat sesuatu yang tidak baik padamu, biarlah aku terkutuk dan mati secara mengenaskan."
"Hm!," Soat-koh mendengus, "bukannya kukuatir membikin susah olehmu, kutahu sekalipun sama2 berhasil
menguasai Siang-liu-kiam secara lengkap juga aku bukan
tandinganmu. Jika kau ingin berbuat susah padaku setiap
saat dapat kau lakukan, hanya saja mungkin kau tidak
berani." Peng-say merasa ucapan si nona benrmakna ganda.
maka tidak berani menanggapinya, dengan tertawa ia
berkata: "Habis bilakah aku harus menunggu supaya dapat menguasai Siang-liu-kiam selengkapnya?"
"Aku tidak tahu, hal inipun bergantung kepada bakatku,"
"Bakat nona kan sangat tinggi. meski kemajuanmu
sekarang sangat lambat, tapi bila pikiranmu sudah terbuka, tidak sampai setahun sisa ke -41 jurus tentu dapat kau
pahami." "Hah, jangan kau mengumpak diriku, biarpun kau sebut diriku kelangit juga tiada gunanya. Pendek kata aku sudah ambil keputusan. kita harus mendapatkan kemajuan
bersama, sebabnya.. .." sampai di sini ia sengaja jual mahal dan tidak melanjutkan.
"Apa sebabnya?" tanya Peng-say.
"Coba jawab, setelah Siang-liu-kiam-hoat lengkap kau kuasai, lalu apa tindakanmu?"
"Masa perlu tanya lagi" Dengan sendirinya kugunakan membunuh Ciamtay Cu-ih dan Coh Cu-jiu."
"Lalu apakah kau tahu, setelah Siang-liu-kiam lengkap kukuasai, lalu akan kuapakan?"
"Dapat kau gunakan untuk lebih banyak melakukan
perbuatan2 yang mulia!"
Soat-koh mengangguk: "Betul, kau memang tidak malu
sebagai kawanku. Selain itu, Siang-liu-kiam-hoat juga akan kugunakan untuk menuntut balas kepada Ciamtay Cu-ih
dan Coh Cu-jiu berdua."
Peng-say menjadi heran, tanyanya: "Aneh, belum pernah kudengar kau pun bermusuhan dengan mereka?"
"Masa kau lupa pada pesan tinggalan Leng-hiang-caycu yang terukir di dinding gua itu?" tutur Soat- koh. "Dia mengharapkan barang siapa yang menemukan kitab
pusakanya supaya membunuh ketiga orang ini. Meski tidak
dijelaskannya siapa2 ketiga orang yang dimaksud, tapi sejak adanya penjelasanmu, dua diantara ketiga orang itu tidak perlu diragukan lagi pastilah Ciamtay Cu-ih dan Coh Cu-jiu dan seorang lagi ialah mendiang ayahmu. Apakah ayahmu
bersalah atau tidak terhadap Leng-hiang-caycu, orang mati tidak perlu lagi diusut. namun Ciamtay Cu-ih dan Coh Cu-jiu belum mati, setelah Siang-liu-kiam berhasil kukuasai sepenuhnya, tentunya aku wajib membunuh kedua orang
itu untuk membalaskan sakit hati pamanmu Leng-hiangcaycu." "Untuk itu kenapa harus mempelajari Siang-liu-kiam
secara lengkap bersamaku?" '
"Supaya kau tahu bahwa bukan maksudku sengaja
mempersulit kau," jawab Soat-koh. "Coba kau pikir, jika kau berhasil menguasainya lebih dulu secara lengkap terus
kau bunuh Ciamtay Cu-ih dan Coh Cu-jiu, lalu cara
bagaimana aku dapat membalaskan sakit hati pamanmu?"
"Setelah kubunuh mereka berdua kan berarti juga sudah membalaskan sakit hati Toapek?"
"Tapi tujuanmu kan bukan khusus untuk ini, kukira
rmaksud baikmu ini tidak dapat diterima oleh pamanmu.
Sebaliknya aku memang melulu hendak membalaskan sakit
hati Leng-hiang-caycu, bilamana pamanmu itu mengetahui
di alam baka, tentu beliau lebih suka aku yang membunuh
Ciamtay dan Coh berdua daripada kau yang membunuh
mereka." "Masa kau benar2 ingin membalaskan sakit hati
pamanku?" tanya Peng-say dengan tertawa.
"Kenapa tidak" Kau tidak percaya?" jawab Soat-koh dengan marah, "Hm, tiba saatnya nanti boleh kita
berlomba, coba siapa yang lebih dulu berhasil membunuh
kedua musuh itu,"
"Kupercaya kau bukan orang kecil yang mau terima
kebaikan orang secara percuma, maka mulai sekarang
bolehlah kita berlomba."
"Perlombaan harus adil, itulah sebabnya aku tidak ingin kau
berhasil menguasai Siang-liu-kiam
lebih dulu daripadaku, nah, paham?"
"Paham sih sudah, cuma aku pun ingin memperingatkan padamu, jika kau berniat membalaskan sakit hati Toapek,
tentunya tidak boleh membiarkan Ciamtay Cu-ih dan Coh
Cu-jiu mati tua."
Soat-koh mafhum akan sindiran anak muda itu,
jawabnya: "Bakatku rendah, apa dayaku jika dalam waktu beberapa tahun yang singkat ini aku tidak dapat menguasai Siang-liu-kam" Andaikan kedua musuh itu keburu mati
sebelum Siang-liu-kiam berhasil kukuasai, di alam baka
tentunya Leng-hiang- caycu juga dapat memaafkan diriku."
"Kalau memang betul kurang berbakat sih bukan soal
lagi, runyamnya kalau cuma menggunakan alasan
membalas dendam pamanku sebagai tameng. padahal yang
benar ialah tiada niat untuk belajar."
"Darimana kau tahu aku tidak berniat belajar?" bentak Soat-koh dengan mendelik.
"Jika kau berniat belajar, seharusnya kau dorong dirimu sendiri agar bersemangat" Tapi setiap kali latihan, jelas kau tidak bersemangat dan selalu lesu cara begini, bila benar2
Ciamcay Cu-ih dan Coh Cu-jiu keburu mati, lalu cara
bagaimana tanggung jawabmu terhadap Pamanku" Hendaklah maklum, usia Ciamtay dan Coh berdua sudah
cukup lanjut. hidup mereka tidak bisa terlalu lama lagi."
"Ya, apa boleh buat, hal ini kan tidak dapat
menyalahkan diriku," ujar Soat-koh sambil menghela napas.
Dengan mendongkol Peng-say berkata pula: "Kau
mengulur waktu belajar dan sengaja mem-buang2 waktu
berharga bagiku yang harus membalaskan sakit hati
Toapek. kalau bukan kau yang disalahkan, siapa lagi yang mesti disalahkan?"
Kembali Soat-koh menghela napas, katanya: "Kukira
harus menyalahkan dirimu sendiri. Dapatkah kubelajar
dengan bersemangat semuanya bergantung padamu, kan
sudah kau ketahui."
Karena terpaksa dan tiada jalan lain, se-olah2 penuh
semangat pengorbanan Peng-say berkata: "Baiklah, mulai malam nanti kupindah tidur di dalam gua."
Tapi sekarang Soat-koh berbalik tidak mau, jengeknya:
"Hm, muda-mudi mana boleh tinggal di dalam satu kamar."
Peng-say melengak, sampai sekian lama barulah dapat
menjawab: "Ya, benar, maaf."
Soat-koh tertawa, katanya: "Jarang nampak kau ter-sipu2
begini. Kakak Peng, meski bujang dan gadis tidak boleh
tinggal didalam satu kamar tapi kau kan dapat membuat
pasangan muda-mudi itu tinggal di dalam satu kamar secara resmi?"
"Secara resmi bagaimana?" tanya Peng-say.
"Asalkan kita terikat menjadi suami-isteri kan jadinya resmi?"
"Mak.... maksudmu kita.... kita mengadakan upacara
nikah?" tanya Peng-say.
"Untuk menjadi suami-isteri dengan sendirinya harus menikah dengan upacara."
Namun bayangan sumpah "tidak boleh mengadakan
upacara nikah" yang pernah diucapkannya di depan Soat Ciau-hoa masih menghantui pikiran Peng-say. terpaksa ia
menjawab secara samar2: "Urusan penting ini harus. . .
.harus dirundingkan lebih jauh ...."
"Berunding
apalagi" Jangan2 di dalam hatimu hakikatnya memang tidak suka padaku?"
"O. ti. . .tidak.. . .tidak!" jawab Peng-say cepat.
"Kita sudah cukup umur dan dapat memutuskan


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

urusannya sendiri, jika kau suka padaku, hari ini juga dapat kita melangsungkan upacara nikah."
Cepat Peng-say menggeleng kepala, katanya: "Wah,
tidak, jangan! Harus dirundingkan lagi dengan lebih
cermat!" Tiba2 Soat-koh mencucurkan air mata, katanya:
"Sebagai anak perempuan, tanpa malu telah kukeluarkan isi
hatiku, tapi kau malah. . . .malah menolak dengan alasan ini dan itu. Sau Peng-say. baru sekarang kukenal kau, jelas dalam hatimu hanya terdapat Cin Yak-leng yang sudah
mati itu mana pernah kau pikirkan diriku?"
Bicara sapai di sini, ia merasa sangat penasaran, ia
membuang muka terus berlari ke dalam gua ia menjatuhkan
diri di pembaringan dan menangis sedih.
Malam ini, diam2 Peng-say menyusup ke dalam gua.
Sampai di depan tempat tidur, dilihatnya Soat-koh sudah
tidur dengan pipi masih basah air mata. Ia menghela napas pelahan, mendadak ia menutuk Hiat-to tidur si nona. Lalu dari dalam baju Soat-koh dikeluarkannya dua jilid buku
tipis. Ia membalik halaman salah satu jilid itu dan dikenal
sebagai kitab Pedang Kiri miliknya sendiri. buku ini ia
masukkan kembali ke dalam baju Soat koh, jilid yang lain jelas
adalah Pedang Kanan, tanpa melihat terus dimasukkan bajunya sendiri.
Dengan suara pelahan ia bergumam: "Soat-koh. harap
maafkan diriku. Aku tidak dapat menikahi kau, hal ini
bukan karena aku tidak suka, tapi lantaran terikat oleh
sumpahku. Sekarang karena tiada jalan lain, terpaksa
kugunakan cara ini untuk mengambil kitabmu ini."
Setelah mendapatkan Kiam-boh Pedang Kanan malam
itu juga ia meninggalkan Kiamciu untuk menghindari
pengejaran Soat-koh.
Setiba di suatu kota kecil yang tak diketahui namanya,
fajar belum lagi menyingsing, namun ia merasa sangat
lelah, sedapatnya ia menci ri sebuah hotel kecil, ia ketuk pintu dan minta mondok di situ.
Berada di dalam kamar, ia mengeluarkan Kiam-boh
Pedang Kanan itu, saking semangatnya hingga rasa
kantukpun hilang. Segera ia mulai membaca dibawah
lentera. Ia merasa jurus pertama "Kiong-siang-kut-thau" ada sedikit berbeda daripada ajaran Soat-koh. tapi tak
diperhatikan, ia mengira mungkin ajaran Soat koh yang
kurang tepat. Begitu seterusnya, hingga jurus kedelapan
rasanya masih tetap ada sedikit perbedaannya. Maka
heranlah Peng-say, apakah mungkin ajaran Soat-koh itu
keliru seluruhnya"
Ia menggeleng dan bergumam sendiri. "Tidak mungkin, jika ajaran Soat-koh tidak benar, mana-bisa jurus ajarannya dapat bekerja sama dengan sangat rapi dengan Pedang Kiri yang kukuasai ini" Jangan2 apa yang tertulis di Kiam-hoh inilah yang tidak benar?"
Untuk membuktikan kebenaran ajaran Soat-koh atau
tulisan dalam Kiam-boh yang salah, tanpa istirahat Pengsay lantas coba2 memainkan ilmu pedang menurut
petunjuk kitab itu. Tapi dari ke-delapan jurus yang telah dikuasainya itu ternyata tiada satupun dapat bekerja sama dengan baik dengan Pedang Kirinya sendiri.
Keruan Peng-say terkesiap, pikirnya: "Jelas Kiam-boh ini telah diubah di bagian2 yang penting, kitab ini palsu dan tidak berguna sama sekali,"
Berpikir demikian, ia menjadi gugup, dilihatnya fajar
hampir menyingsing, cepat ia bebenah pula dan melompat
keluar jendela terus berlari kembali ke arah semula.
Sepanjang jalan ia sangat menyesal mengapa begitu
gegabah, masa Kiam-boh asli dan palsu saja tidak dapat
membedakannya"
Tapi ia lantas menghibur dirinya sendiri: "Kiam-boh ini telah diubah dengan sangat teliti, dalam keadaan ter-gesa2
siapapun sukar membedakan tulen atau palsunya."
Diam2 iapun berdoa: "Semoga setiba di sana Soat-koh belum lagi mendusin, dengan begitu dapatlah kukembalikan kitab palsu ini tanpa diketahuinya. bisa juga kugeledah pula bajunya, syukur dapat kutemukan kitab yang asli, kalau
tidak ketemu, biarlah tetap kutinggal bersama Soat-koh.
meski terlambat beberapa tahun akan lebih baik daripada
sama sekali tidak dapat mempelajarinya."
Tiba2 ia menggeleng kepala dan berpikir pula: "Tapi bagaimana nanti bila Soat-koh sudah mendusin" Ah, secara mendadak dapat pula kututuk Hiat-to tidurnya dan
kusimpan kembali kitabnya atau mencari kitab yang tulen, bila tidak berhasil, kubuka Hiat-tonya dan mengaku cuma
bergurau saja dengan dia. Kalau kuminta maaf, tentu iapun tidak sangsi lagi."
Tapi lantas terpikir lagi: "Tapi kalau Soat-koh sudah mendusin dan mengetahui perbuatanku yang mencuri
kitabnya, lalu bagaimana?"
Akhirnya ia jadi nekat dan memutuskan: "Demi
membalas sakit hati orang tua. bila perlu kugunakan
kekerasan untuk menundukkan Soat-koh dan akan
kugeledah kitab pusakanya yang tulen." " Tapi lantas terpikir lagi: "Dan bagaimana kalau tidak kutemukan kitab yang tulen" Apakah dapat kupaksa dia merekam isi Kiam-bohnya" Tidak, tidak boleh jadi, perbuatan se-wenang2 ini betapa-pun tidak boleh kulakukan, harus kujelaskan
sumpah yang telah kuucapkan sehingga aku tidak dapat
menikahi dia, lalu akan kumohon dengan baik2 agar
merekam kembali isi kitabnya, mau atau tidak bergantung
kepadanya, yang pasti tidak boleh kugunakan kekerasan."
Setelah mengambil keputusan2 itu, sekuat tenaga ia
berlari terlebih cepat. Melihat gelagatnya, sebelum pagi tiba rasanya dia dapat berada kembali di gua sana.
Ketika ia tiba di tanah datar tempat gua itu, napasnya
benar2 sudah megap2. Dalam pada itu sang surya sudah
mulai memancarkan cahayanya. ia pikir biasanya Soat-koh
bangun agak siang, bisa jadi saat inipun belum mendusin.
Segera ia mengatur napasnya yang masih ter-engah2 itu.
lalu mendekati gua dengan langkah pelahan.
Setiba didalam gua, segera ia memandang ketempat tidur
di dalam sana, diam2 ia berharap Soat-koh masih berbaring di situ, tak terduga, selimut dan bantal ternyata sudah
terlipat dan ditaruh di tempatnya dengan rapi.
Melihat gelagatnya, jelas sudah lama Soat-koh bangun,
namun ia tetap berharap si nona belum mengetahui
tercurinya kitab. Tapi ketika pandangannya beralih ke meja batu sana, seketika ia melenggong dan berdiri terpaku.
Sejak tadi ia sudah memperhitungkan
segala kemungkinan buruknya bilamana setelah mendusin Soatkoh mengetahui kitabnya tercuri, tapi mengenai kemungkinan perginya si nona setelah mengetahui kecurian itu tidak berani dipikirnya, sebab kalau sampai nona itu pergi dengan marah tentu sukar lagi untuk dibujuk kembali, kalau tidak dapat membujuk kembali Soat-koh, lalu cara
bagaimana dia akan mempelajari Siang-liu-kiam-hoat
secara lengkap"
Dan sekarang di dalam gua tiada terdapat si nona,
agaknya kemungkinan yang paling buruk yang tidak berani
dibayangkannya itu kini benar2 telah terjadi. Diiihatnya ada sepotong surat terletak di atas meja, hal ini membuat
tubuhnya terasa lemas.
Dengan lesu ia mendekati meja, surat itu di-ambilnya
dan dibaca, surat itu tertulis:
"Memang sudah kuduga pada suatu hari kau akan berbuat demikian, sejak mulai berlatih disini akupun sudah ber-jaga2, tak tersangka baru sekarang kau turun tangan. Sungguh kau ini memang rada menarik, tapi lebih cepat atau lebih lambat berbuat, akhirnya tetap sama saja. Kau, Sau Peng-say, akhirnya dapat ku-kenali dengan benar, kau adalah seorang munafik. Munafik, mungkin kau akan membantah sebutanku ini, mungkin kau akan bilang terpaksa bertindak demikian demi menuntut balas tapi apakah kau harus menggunakan cara mencuri secara licik begini"
Terus terang, selama setahun ini aku memang sengaja
mempersulit kau dalam hal belajar. Tapi hendaklah kau maklum akan tindakanku ini, soalnya kukuatir setelah menguasai Siang-liu-kiam, yang kau pikirkan hanya membalas dendam dan takkan ingat lagi pada diriku. Sebab itulah. sebelum kutahu persis isi hatimu, tidak berani kuajarkan Pedang Kanan secara terbuka.
Sayang kau tolol, kau tidak paham pikiranku, kau hanya menunggu dan menunggu lagi secara bodoh dan tidak mengerti cara
lain untuk mengikat diriku sehingga hilanglah kesempatanmu untuk mempelajari Pedang Kanan dengan cepat.
Tapi kau pun tak daoat dikatakan tolol, sebab dalam hatimu hakikatnya tiada terdapat diriku, cara bagaimana kau dapat menaruh perhatian padaku" Untuk ini malahan harus kupuji akan kejujuranmu yang tidak mau membujuk rayu dengan kata2
manis. Kalau kau tidak suka padaku, seharusnya kau bicara terus terang agar aku tidak mengkhayalkan sesuatu yang muluk2, tatkala mana rasanya akupun tidak bakalan menolak
mengajarkan Pedang Kanan padamu, betapapun ibu sudah berjanji akan tukar-menukar denganmu, aku tidak boleh mengingkari janji ibu hanya karena kau tidak suka padaku....."
Membaca sampai di sini, diam2 Peng-say mendengus:
"Hm, tukar-menukar" Hakikatnya tipuan belaka!"
Ooode--wiooO Jilid 31 Rupanya waktu menulis surat Soat-koh juga dapat
meraba pikiran Peng-say bila membaca sampai di sini,
maka selanjutnya ia menulis:
"Memang, ada maksud ibuku akan menukar kan kitab palsu ini padamu, padahal kitab yang tulen sudah lama dibakar oleh ibu, kitab palsu ini sengaja ditulis untuk ber-jaga2 kalau2 ada orang main rebut. Menurut pendapat ibu. bila tidak sanggup melawan, kitab palsu ini akan dapat menyelamatkannya, sedangkan kitab palsu inipun takkan berguna bagi si
perampasnya. Perlu diketahui, ibu sama sekali tidak setuju jika kau membalaskan sakit hati Soh-hok-hancu yang telah membikin sengsara hidup ibumu itu, sebab itulah beliau tidak ber-sungguh2
akan mengajarkan Pedang Kanan padamu. Tapi aku tidak setuju dengan pendirian ibu itu, diam2 pernah kuputuskan akan merekam sejilid kitab asli bagimu untuk memenuhi janji ibu padamu. Akan tetapi tindak tandukmu sangat mengecewakan aku, kau terlalu banyak memikirkan untung-ruginya sehingga tidak berani menyatakan sikapmu dengan tegas, sungguh kau pengecut.
Kau sendiri yang me-nyia2kan kesempatan mendapatkan kitab aslinya, kesempatan ini tidak mungkin datang lagi. Hendaknya tidak perlu buang2 tenaga untuk mencari diriku, betapapun alasannya tidak nanti aku mau lagi merekam sejilid kitab aslinya untuk seorang pengecut dan munafik. Sudah tentu, jika kau berkeras akan mencari diriku juga tidak ada yang dapat merintangi kau, tapi ingin kukatakan padamu, segala ikhtiarmu hanya akan sia2 belaka, sekalipun dengan wajahmu yang menyeringai kudukku akan kau-ancam dengan pedangmu juga tetap takkan menggoyahkan pendirianku ini!"
Peng-say menggeleng kepala sehabis membaca surat itu,
gumamnya: "Jangan kuatir, Soat-koh, aku Sau Peng-say bukanlah manusia yang tidak tahu malu!"
Dengan perasaan berat ia memandang sejenak keadaan
di dalam gua, lalu ia mengundurkan diri dengan perasaan
hampa. Ia bertekad akan menggunakan kedelapan jurus
Siang-lui-kiam untuk menuntut balas kepada gembong2
Tang-wan dan Say-koan sekalipun harus mempertaruhkan
nyawanya. Ingin menuntut balas, dengan sendirinya
harus membalas dulu sakit hati sang ayah. Apalagi Ngo-hoa-koan terletak di Sinkiang, jaraknya lebih dekat dengan Kamciu, hanya belasan hari saja mungkin dapat mencapai tempat
tujuan. Kalau pergi kelautan timur jelas akan lebih jauh.
Tapi yang dituju Peng-say sekarang justeru kearah timur.
Sungguh aneh, masa dia memilih tempat yang lebih jauh
untuk membalas sakit hati Piaumoaynya"
Ternyata bukan begitu, betapapun Peng-say takkan
mencari Ciamtay Cu-ih untuk mengadu jiwa. Hanya
dengan delapan jurus Siang-liu-kiam-hoat yang dikuasainya tidak mampu membunuh Ciamtay Cu-ih. Jangan2 dia
sendiri akan mati terbunuh dilautan timur sana, lalu siapa pula yang akan membalaskan sakit hatinya" Kalau mau
mengadu jiwa harus dimulai mengadu jiwa dengan Ngohoa-koancu Coh Cu-jiu, jika beruntung tidak mati barulah nanti berusaha menantut balas bagi Piaumoaynya.
Hal inipun tidak boleh dikatakan dia tidak mementingkan sakit hati Piaumoaynyar sebab buktinya dia
menuju ke timur lebih dulu.
Kiranya keberangkatannya ke jurusan timur adalah
untuk minta bantuan kawan. Kalau ada yang membantu
tentu akan jauh lebih baik daripada dia pergi sendirian ke Say-koan.
Lantas siapakah kawan yang hendak dimintai bantuan"
Kalau kawan itu tidak kuat, apa gunanya" Rupanya di Bulim sekarang telah berdiri satu kekuatan baru yang selain memusuhi Ma-kau juga ber lawanan dengan Say-koan.
Selama setahun dia mencari Soat-koh tempo hari, Pengsay mendengar kabar bahwa dunia persilatan yang tadinya
terbagi menjadi dua pihak yang bermusuhan antara Ma-kau
dan Ngo-tay-lian-beng atau Lima Besar, kini telah terpecah sehingga terbagi menjadi tiga pihak dan kekuatan ketiga itu dipimpin oleh Tionggoan-samyu, tiga serangkai tokoh
Tionggoan. Seperti sudah diceritakan, Tionggoan-samyu terdiri dari
Bok Jong-siong, si kakek kecapi, ketua Thay-san-pay.
Thian-bun Totiang, ketua Yan san-pay dan Ting-sian
Suthay, si Nikoh penyair, ketua Siong-san-pay.
Tadinya ketiga perguruan terkenal itupun anggota "Lima Besar", tapi kini persekutuan lima besar itu sudah pecah dan bubar, kini di dunia Kongouw tiada sebutan Lima Besar
lagi. Sejak Lam-han terbasmi oleh Say-koan. Tionggoansamyu lantas bermusuhan dengan Say-koan yang bermula
adalah sesama anggota persekutuan.
Di dunia persilatan sekarang, kecuali Ma-kau yang tidak
ada perubahan, kaum persilatan yang tergolong aliran
"Ceng" atau asli kini telah pecah menjadi dua, satu golongan tetap di bawah pimpinan Say-koan, golongan lain adalah perserikatan antara Tionggoan-samyu ini.
Apa yang terjadi ini sebenarnya adalah kemalangan bagi
golongan Ceng-pay di dunia persilatan, untung meski
golongan Ceng-pay pecah menjadi dua, baik golongon yang
dipimpin Say-koan yang terus memupuk kekuatan itu serta
golongan yang dipertahankan oleh Tionggoan-samyu itu,
keduanya tidak sampai ditumpas oleh Ma-kau yang
tergolong Sia-pay atau golongan yang dianggap jahat.
Hanya kekuatan dan pengaruh Ma-kau sekarang tambah
maju daripada semula.
Setelah kehilangan anggota sekutunya, yaitu Tionggoansamyu, demi memperkuat dirinya, tanpa penyaringan lagi
Say-koan menerima anggata se-banyak2nya, dengan
sendirinya cara memupuk kekuatan demikian banyak
menimbulkan kerugian, karena diantara murid baru dengan
sendirinya terdapat anasir2 jahat yang menimbulkan
malapetaka bagi dunia persilatan tiada ubahnya seperti
perbuatan Ma-kau.
Coh Cu-jiu hanya seorang gembong yang mementingkan
dirinya sendiri, pada hakikatnya kekuatan Bu-lim di bawah pimpinannya itu sukar dibedakan antara golongan hitam
dan putih, yang dipikirnya cuma merajai dunia Kangouw
melulu. Sejak Tionggoan-samyu bertengkar dengan Say-koan,
lambat-laun dapatlah mereka mengetahui wajah asli Coh
Cu-jiu, mereka tahu bilamana kekuasaan orang ini berhasil tumbuh, di bawah pengaruhnya dunia persilatan pasti tidak pernah aman lagi. Daripada nanti dia tumbuh menjadi
besar dan menimbulkan petaka bagi umum, akan lebih baik
jika sekarang ditumpasnya, sekalipun untuk itu mereka
harus berserikat dengan Ma-kau.
Akan tetapi Ma-kau juga bukan golongan baik, ditambah
lagi Tionggoan-samyu turun temurun bermusuhan dengan
Md-kau, belum pernah timbul pikiran mereka akan
berserikat dengan Ma-kau, biarpun kekuatan mereka masih
lemah, namun mereka tetap ingin menegakkan keluhuran
dunia persilatan.
Singkatnya, dunia persilatan sekarang terdiri dari tiga
kelompok besar yang saling gontok2an dan tidak kenal
kompromi. Peng-say tidak tahu apa sebabnya Tionggoan-samyu
bermusuhan dengan Say-koan, waktu itu dia sibuk mencari
Soat-koh sehingga tidak sempat menyelidiki. Namun ia
merasa gembira setelah tahu di dunia persilatan sekarang berdiri kekuatan ketiga itu. Ia pikir hal ini sedikitnya membuktikan tindakan Say-koan membunuh segenap
anggota Lam-han yang menjadi sekutunya itu tidak
dibenarkan oleh Tionggoan-samyu, bukan mustahil dari situ pula timbul bibit permusuhan mereka.
Kepergian Peng-say ini ingin menggabungkan diri
dengan Tionggoan-samyu,
bagi pribadinya dengan demikian akan mendapat bantuan untuk membalas sakit
hati orang tua, bagi bepentingan umum juga dia dapat ikut menegakkan kebenaran dan keadilan Bu-lim, jadi sekali
jalan dua tujuan.
Setiba di kota Cu-joan di daerah Soatang mau-tak-mau ia
menjadi sangat terharu. Teringat olehnya dahulu ia
menyamar sebagai orang bungkuk, kebetulan kepergok oleh
anak murid ayahnya, tapi sekarang para Suheng itu tidak


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertinggal seorangpun.
Waktu ia lalu dijalan yang terletak kediaman keluarga
Wi, tanpa terasa ia masuk ke rumah minum yang terletak
tidak jauh di situ, sampai lama ia mernandangi meja yang pernah diduduki rombongan Kiau Lo-kiat itu, sayup2 ia
seperti mendengar suara tertawa si kera Kang Ciau-lin yang kocak itu.
Sampai lama ia melamun di situ, akhirnya ia menaruh
uang minum di atas meja dan meninggalkan kedai minum
itu. Dilihatnya gedung keluarga Wi itu masih tetap megah.
Rupanya sejak Wi Kay-hou mati, semua harta bendanya
telah diambil-alih oleh Suhengnya, yaitu Bok Jong-siong, si kakek kecapi.
Sebenarnya Wi Kay-hou masih mempunyai seorang
anak lelaki bernama Wi Kin, tapi bocah itu berjiwa
pengecut, pada saat bahaya dia mengorbankan sang ayah
demi mencari selamat sendiri. Karena itu setiap orang
Thay-san-pay tidak lagi mengakui dia sebagai anak Wi Kay-hou dan tidak berhak menerima harta warisan sang ayah.
Untuk menghindarkan tuduhan orang luar, Bok Jongsiong tidak mengangkangi sepeserpun harta tinggalan Wi
Kay-hou, semuanya menjadi milik Thay-san-pay, gedung
keluarga Wi yang megah inipun dijadikan sebagai tempat
tamu. Tionggoan-samyu diketuai oleh Bok Jong-siong, sejak
Tionggoan-samyu bermusuhan dengan Say-koan, bila anak
murid Sam-yu berkumpul, selalu tempat Thay-san-pay lni
digunakan sebagai pangkalan.
Sebabnya Yan-san-pay disebut aliran Yan-san dan Siongsan-pay disebut aliran Siong-san adalah karena tempat
kediaman ketua masing2 berada di Yan-san dan Siong-san,
kedua gunung yang cukup ternama.
Kini demi pemusatan tenaga, "Ciu-to" atau Tojin arak Thian-bun Totiang serta "Si-ni" atau Nikoh penyair Ting-sian Suthay, tidak segan2 meninggalkan pangkalan masing2
dan hijrah ke Thay-san. Dari sini dapat diukur betapa
kukuh persatuan mereka, sebab itu juga, biarpun "Lima Besar' sudah hilang dua dan tinggal Tionggoan-samyu yang lemah, toh Mo-kau tidak berani meremehkannya dan
sembarangan mengganggu, begitu juga Say-koan tidak
berani menyatroninya.
Dengan pemusatan kekuatan ketiga aliran itu, dengan
sendirinya harta kekayaan ketiga aliran itupun terhimpun disitu. Maka gedung keluarga Wi yang dijadikan tempat
tamu Thay-san-pay ini lantas berubah menjadi tempat resmi penerimaan tamu bagi Tionggoan-samyu, selama ini sudah
banyak juga orang gagah yang telah menggabungkan diri,
Begitulah setelah jelas keadaannya, segera Peng-say
menuju ke Thay-san untuk menggabungkan diri. Thay-san
terletak tidak jauh dari kota Cu-joan, penjagaan sangat
keras, tanpa melampaui penyambutan Cu joan-hwe-koan,
yaitu gedung tamu bekas kediaman Wi Kay-hou itu, jangan
harap orang akan dapat naik ke atas gunung. Oleh sebab itu Peng-say mendatangi juga gedung keluarga Wi itu.
Tiga hari dia tinggal disitu, petugas mengatur pada hari ini Peng-say boleh naik ke Thay-san, maka anak muda itu
diberitahu agar siap untuk berangkat, agar Peng-say tidak menyesal, petugas itu memberitahu pula bahwa selain Peng-say masih ada juga tamu lain yang menunggu lebih dari tiga hari.
Rupanya untuk bertemu dengan Sam-yu telah diadakan
peraturan yang cukup ketat, begitu pula bagi peminat yang ingin menggabungkan diri dengan persekutuan tiga
serangkai itu, selain harus diuji langsung oleh Sam-yu, habis itu harus bersumpah setia dengan minum arak berdarah.
Meski Tionggoan-samyu bukan suatu organisasi, tapi
setiap orang yang masuk perserikatan dengan sendirinya
dianggap sebagai anak buah Samyu dan harus memakai
baju yang bersulam simbul Siong (cemara), Tiok (bambu)
dan Bwe (sakura). Bila melihat simbul itu, orang Kangouw akan segera tahu orang ini adalah anggota perserikatan
Tionggoan-samyu.
Siong adalah tanda pengenal Bok Jong-siong, Tiok
mewakili Thian-bun Totiang dan Bwe mewakili Ting-sian
Suthay, biasanya ketiga macam pepohonan itu dapat
tumbuh semarak di musim dingin, maka perserikatan
mereka juga disebut Hwe-han-sam-yu atau tiga serangkai di ujung tahun yang dingin. Meski perserikatan Tionggoan-samyu itu tidak diberi nama organisasi, tapi orang
Kangouw lantas menyebutnya sebagai Sam-yu-pang atau
klik tiga serangkai.
Tionggoan-samyu kuatir orang jahat menyusup kedalam
perserikatan dan mungkin akan merugikan nama baik
mereka, maka pada waktu menguji peminat yang ingin
menggabungkan diri digunakan cara2 yang ketat, pedoman
mereka adalah "lebih baik kurang daripada mendapatkan aib". Biasanya Sam-yu sendiri yang langsung menguji, sikapnya kereng, pertanyaannya jelas, sehari hanya
beberapa orang saja yang dapat diterima, sebab itulah
bilamana peminatnya membanjir, terpaksa harus menunggu
giliran. Waktu Peng-say datang di kantor penyambutan tamu, ia
pikir dirinya bukan kenalan Sam-yu, dengan sendirinya
tidak dapat mengunjungi mereka sebagai sahabat, maka ia
minta bertemu dengan alasan hendak menggabungkan diri,
ia pikir dirinya adalah angkatan muda, tidaklah salah jika mesti menuruti peraturan.
Petugas yang menerimanya menganggap dia sama
seperti peminat yang lain sehingga dia harus menunggu
menurut nomor gilirannya. Sudah tentu petugas tidak tahu bahwa dia sesungguhnya adalah anak Sau Ceng-hong,
kalau tidak, tentu akan diantar ke atas gunung secara
khusus dan diladeni pula tersendiri.
Maklumlah, setelah Sau Ceng-hong mati, kini Peng-say
merupakan tokoh utama Lam-han, sedangkan setiap tokoh
utama suatu aliran selalu disambut dengan tingkatan yang sama oleh Tiong goan-samyu, hal ini disebabkan antara
ketua atau pemimpin satu aliran dengan aliran lain selalu dipandang sama derajat, maka asalkan benar tokoh utama
sesuatu aliran, dengan sendirinya akan disambut dengan
hormat oleh Tionggoan-samyu.
-00 de-wi 00- Peng-say tidak tahu aturan ini, disangkanya Tionggoansamyu sama angkatannya dengan mendiang ayahnya, maka
dirinya sendiri pun terhitung Wanpwe atau angkatan lebih muda. Ia tidak tahu bahwa orang Kangouw membedakan
tingkatannya berdasarkan ketua sesuatu aliran atau
golongan yang masih hidup dan tidak bergantung pada
Umurnya. Sekarang Sau Peng-lam tidak diketahui jejaknya, orang
Kangouw menganggap Lam-han sudah tamat, betapapun
petugas penyambut tamu Thay-san-pay itu tidak tahu
bahwa selain anak angkat Sau Peng-Lam sebenarnya Sau
Ceng-hong masih mempunyai anak darah dagingnya sendiri
sebagai Sau Peng-say ini. Apalagi Peng-say sendiri juga
tidak memberi keterangan, sebab
itulah Peng-say diharuskan antri juga untuk bertemu dengan Tionggoansamyu. Thay-san adalah pegunungan ternama, salah satu
gunung terbesar dari lima gunung besar di Tiong-kok,
letaknya di barat kota Cu-joan. banyak puncak-puncak
terkenal diatas gunung itu, di antaranya ada sebuah Tiang-jin-hong atau puncak bapak mertua, disitulah Tionggoansamyu berdiam. Setiba diatas pnncak, Peng-say melihat sebuah bangunan
besar dan megah, diam2 ia membayangkan betapa sulitnya
mengangkut bahan2 bangunan ke puncak setinggi ini, tanpa terasa ia menghela napas gegetun.
Ia ikut petugas penyambut tamu itu masuk keruangan
pendopo, disitu sudah menuggu berpuluh orang, ada yang
berjubah ringkas, semuanya menyandang pedang, gagah
dan kereng, semuanya berdiri di kanan dan kiri, pada ujung tengah sana terdapat tiga kursi besar, disitulah berduduk tiga orang tua.
Orang yang duduk di tengah tampak kurus kering, kedua
bahunya rada menjumbul mirip seorang penderita sakit
asma. Diam2 Peng-say membatin: "Orang ini adalah Khim-lo Bok Jong-siong yang merupakan tokoh nomor satu
diantara Tionggoan-samyu."
Duduk di sebelah kiri Bok Jong-siong adalah seorang
Tosu tua bemuka merah, orang inipun sudah dikenal Pengsay dahulu di rumah Wi Kay-hou, ia tahu Tosu ini adalah
Thian-bun Totiang dari Yan-san-pay.
Di sebelah kanan Bok Jon-siong adalah seorang Nikoh
tegap tapi berwajah welas-asih, usianya kelihatan baru
setengah umur. Peng-say tidak kenal Nikoh ini, tapi ia
dapat menduga tentulah si Nikoh penyair Ting-sian Suthay.
Waktu itu di depan Tionggoan-samyu berdiri satu orang.
Si pengantar membisiki Peng-say dengan suara tertahan:
"Ber-turut2 sudah datang lebih dulu beberapa kawan yang ingin masuk menjadi anggota dan diantar oleh kawanku,
kau harus tunggu sebentar sampai giliranmu nanti."
Peng-say mengangguk dan berdiri disamping, ia coba
memandang kearah ketiga takoh pimpinan itu. Didengarnya Bok Jong-siong lagi berkata kepada orang
yang berdiri di depannya: "Sobat ini disilakan berduduk."
Orang itu bersenjata golok. di sampingnya tersedia
sebuah kursi kosong, tapi dia hanya memandang kursi itu
sekejap, lalu menggeleng, katanya dengan hormat: "Di depan Sam-lo (tiga tertua). Wanpwe Ih Ka-oh tidak berani berduduk."
"Ih Ka-oh" Apakah Ih-heng yang berjuluk Golok nomor satu dari Tiongtiau?" tanya Bok Jong-siong dengan
tersenyum. "Nama itu adalah pemberian kawan Kangouw,
sesungguhnya Wanpwe tidak sesuai menerima julukan itu.
Orang gagah di Tiongtiau sangat banyak, mana berani
kuterima gelar Golok nomor satu dari Tiongtiau?" demikian jawab orang yang mengaku bernama Ih Ka-oh.
Betapapun gemilangnya Ih-heng menjagoi daerah
Tiongtiau, tapi sekarang kau datang kemari untuk
mengabdi kepada Sam-yu dan harus tunduk kepada
perintah kami, apakah hal ini tidak membuat penasaran
padamu?" kata Bok Jong-siong pula.
"Karena terpaksa, mau-tak-mau Wanpwe harus menggabungkan diri dengan Sam-lo," kata Ih Ka-oh,
Pada umumnya orang yang ingin menyumbangkan
sedikit tenaganya, tidak pernah ada yang bilang "karena terpaksa" seperti Ih Ka-oh ini, tentu saja semua orang merasa heran.
Bok Jong-siong juga melengak, katanya: "Coba jelaskan lebih lanjut."
"Justeru karena nama golok nomor satu itulah tahun
yang lalu Say-koan telah mengutus orang mengundang
Wanpwe masuk ke Ngo-hoa-koan dan disambut sebagai
tamu terhormat," demikian tutur Ih Ka-oh. "Waktu itu kupikir adalah suatu kehormatan besar bagiku kalau diriku
juga menarik perhatian Ngo-hoa-koancu, maka kuterima
dengan baik undangan itu. Siapa tahu Ngo-hoa-koan
sekarang sudah bukan Ngo-hoa-koan yang dulu lagi.
Maksud tujuan Coh Cu-jiu mengundang diriku bukanlah
untuk bersahabat, tapi aku hanya akan digunakan sebagai
pembunuh!"
"Apakah Coh Cu-jiu menyuruh kau membunuh anak
murid Sam-yu kami?" tanya Bok Jong-siong.
"Dengan upah besar dia menghendaki kubunuh anak
murid Sam-lo, bahkan juga membunuh anak murid Makau. Padahal aku Ih Ka-oh sudah terbiasa hidup bebas, jika aku diharuskan terikat dan menurut perintah, betapapun
Kisah Para Pendekar Pulau Es 21 Panji Wulung Karya Opa Memanah Burung Rajawali 14

Cari Blog Ini