Ceritasilat Novel Online

Pedang Kiri Pedang Kanan 17

Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Bagian 17


aku tidak sudi, apalagi perbuatan membunuh dengan upah
yang berlumuran darah. Jangankan membunuh murid Samlo, biarpun disuruh bunuh murid Ma-kau yang tak berdosa
juga tak dapat kupenuhi. Maka aku lantas meninggalkan
Ngo-hoa-koan, Coh Cu-jiu mengirim orang mencegat diriku
agar kembali kesana. Ku tahu kalau sudah kembali kesana
dan tidak menurut perintahnya, bisa jadi jiwaku akan
melayang. Demi mencari selamat, terpaksa kudatang
kemari dan mohon Sam-lo sudi menerima diriku."
Bok Jong-siong mengangguk, katanya: "Terima kasih
atas penghargaan Ih-heng kepada kami, jika kami tidak
menerima dirimu, rasanya se-olah2 kami takut kepada Coh
Cu-jiu. Akan tetapi jika kau sudah berada disini, mau-tak-mau kau mesti menerima perintah kami. Demi pemusatan
tenaga, setiap orang dilarang bertindak sendiri2, padahal kau sudah biasa hidup bebas, apakah kau tahan?"
"Di dunia persilatan sekarang terbagi menjadi tiga
kekuatan dan harus kupilih satu di antaranya," jawab Ih Ka-oh. "Sebelum kemari Wanpwe sudah menyelidiki dengan jelas setiap tindak-tanduk murid Sam-lo, kuyakin di bawah
pimpinan Sam-lo tentu tidaklah berlawanan dengan hati
nurani." "Bagus! Ambilkan arak!" seru Bok Jong-siong.
Segera seorang murid mengiakan dan menuang
semangkuk arak serta disodorkan ke depan Bok Jong-siong.
Lebih dulu Bok Jong-siong mencocok ujung jari sendiri
sehingga darah menetes ke dalam mangkuk. Lalu murid itu
menyodorkan mangkuk arak itu ke depan Thian-bun
Totiang dan Ting-sian Suthay, kedua or ng juga mencocok
ujung jari dan meneteskan darah ke dalam arak.
Akhirnya murid itu menyodorkan mangkuk itu ke depan
Ih Ka-oh, tanpa ragu Ih Ka-oh juga mencocok ujung jari
dan meneteskan darah kedalam arak, lalu mangkuk itu
diterimanya. Sekarang coba perhatikan, saudaraku, jika dengan jurus
Hong-tiam-thau (burung Hong manggut kepala) kutusuk
Liam-coan-hiatmu, lalu cara bagaimana kau sambut
seranganku ini?" tanya Bok Jong-siong tiba2.
"Dengan gerakan Soat-pau-nio-wi (lepas jubah berikan tempat),
golokku mematahkan tusukan pedangmu. berbareng kugeser kesamping, tangan kiri menghantam Gihay-hiat di pinggangmu," jawab Ih Ka-oh dengan mantap.
Begitulah Bok Jong-siong mulai menguji kemampuan
Kungfu Ih Ka-oh secara lisan, dengan sendirinya ilmu
pedang ketua Thay-san-pay itu sangat hebat, tapi Ih Ka-oh juga dapat melayani dengan sama kuat.
Ketika sampai pada jurus ketujuh, Bok Jong-siong
melancarkan jurus serangan "Coh-yu-hong-goau" atau kanan-kiri menemukan rejeki.
Terpaksa Ih Ka-oh termenung sejenak, kemudian
menjawab: "Sungguh hebat serangan ini, tangan kiriku tidak sempat menolong diri sendiri, sebelah kanan dapat
dipertahankan, tapi sebelah kiri pasti terserang, rasanya aku pasti kalah dan terluka."
"Jarang ada anak muda yang mampu menyambut
seranganku hingga belasan jurus, tampaknya Ih-heng
memang tidak malu sebagai golok nomor satu dari
Tiongtiau," kata Bok Jong-siong. "Silakan minum arak berdarah itu, selanjutnya kita adalah orang sekeluarga."
Tanpa ragu Ih Ka-oh mengangkat mangkuk arak tadi
dan ditenggaknya hingga habis.
Lalu Bok Jong-siong menyuruh muridnya membawa Ih
Ka-oh kebelakang untuk tukar pakaian yang bertanda
Siong, Tiok dan Bwe.
Setelah Ih Ka-oh mengundurkan diri, lalu petugas
mengantar maju seorang pemuda berjubah sulam dan
berpedang. "Silakan duduk," kata Bok Jong-siong terhadap pemuda perlente itu.
Pemuda itu bernama Ho Bu-cit, terkenal dengan julukan
"Bu-eng-kongcu", si Kongcu tanpa bayangan. Ia tahu kursi yang dimaksud itu hanya sekadar panjangan saja, untuk
menghormati Sam-yu, sudah tentu tidak ada yang berani
berduduk di situ. Maka seperti juga Ih Ka-oh tadi, dengan tertawa ia memperkenalkan namanya dan menyatakan
tidak berani berduduk. Walaupun di mulut bicara demikian, namun sikapnya tampak agak pongah se-akan2 tidak
memandang sebelah mata kepada Tionggoan-samyu.
"Anda berasal dari perguruan mana?" tanya Bok Jong-siang pula.
Ho Bu-cit kurang senang, pikirnya: "Begitu kau dengar nama Ih Ka-oh lantas tahu asal-usulnya, memangnya aku
Bu-eng-kongcu kalah terkenal daripada orang she Ih itu?"
Padahal Bu-ong-kongcu hanya terkenal di daerah
selatan, termashur juga baru2 saja, jaraknya dengan
Soatang juga terlalu jauh sehingga Bok Jong-siong memang tidak tahu namanya, berbeda dengan Ih Ka-oh yang
memang sudah lama menonjol di dunia Kangaow daerah
Tionggoan. Ho Bu-cit berkerut kening, jawabnya kemudian:
"Wanpwe tidak mempunyai perguruan, sejak kecil hanya ikut belajar pada ayah sendiri sehingga mungkin tiada
sesuatu yang dapat kutonjolkan."
"Bolehkah kutahu nama ayahmu?" tanya Bok Jong-siong pula.
"Ayahku bernama Gi-peng?" jawab Bu-cit.
"Aha, kiranya Lam-hong-taykun?" seru Bok Jong-siong.
"Kiranya kau ini putera Ho-heng. Baikkah ayahmu?"
"Selamanya ayahku tidak pernah sakit. beliau sehat2
saja," jawab Bu-cit.
"Tentu saja dia sehat2 saja, kalau tidak masakah
bernama Gi-peng (bebas sakit)?" ujar Bok Jong-siong dengan tertawa.
"Wanpwe juga ingin menyumbangkan tenaga disini,
entah Sam-lo sudi memberikan minum arak darah atau
tidak?" kata Bu-cit pula.
"Apakah kedatanganmu ini sepengetahuan ayahmu?"
tanya Bok Jong-song. "Apapula cita2mu?"
"Ayah jauh di selatan sana dan tidak urus persoalan Kangouw lagi, kedatangannya ini adalah kehendak
Wanpwe sendiri," jawab Bu-cit, "Saat ini dunia persilatan terbagai menjadi tiga kekuatan, tapi kuyakin perpecahan ini tidak akan lama, akhirnya dunia persilatan pasti akan
dipersatukan lagi. Untuk itulah Wanpwe bermaksud ikut
membantu kalian menaklukkan dunia."
"Kau anggap pihak kami ini lebih besar harapannya?"
tanya Jong-siong dengan tertawa, "Tapi Tionggoan-samyu hanya bersatu untuk menghadapi serangan dari luar, bukan maksud kami akan merajai dunia persilatan. Kelak bila
orang2 yang berambisi besar menaklukkan dunia itu sudah
lenyap, Sam-yu kamipun akan bubar dan hidup
mengasingkan diri seperti ayahmu."
Ho Bu-cit tampak kecewa, katanya: "Sesungguhnya aku memang menaruh harapan besar kepada pihak kalian, maka
kudatang membantu, tak terduga, Sam-lo ternyata tidak ada maksud menjagoi Bu-lim, terpaksa Cayhe mohon diri saja."
"Menurut pendapatku, lebih baik Kongcu pulang ke
selatan saja dan jangan mimpi akan merajai Bu-lim.
Hendaklah tahu, di atas orang pandai ma-sih ada yang lebih pandai, dunia seluas ini, tidak mungkin dapat diperintah oleh seorang saja. Kukira, Ho Bu-cit, lekas kau sadar dan pulanglah!"
"Itu bukan urusanmu!" jawab Ho Bu-cit dengan ketus, segera ia membalik tubuh dan bertindak pergi dengan
langkah lebar. "Lihat pedang!" nendadak Bok Jong-siong membentak, Dengan cepat Ho Bu-cit membalik tubuh dan hendak
melolos pedang. tak terduga hanya sarung pedang saja yang masih tersandang di punggungnya, pedangnya sudah
terbang tanpa sayap. Dalam pada itu sinar pedang
gemerdep sedang menyambar tiba ia terkejut dan melompat
mundur sebisanya.
Setelah menusuk satu kali, Bok Jong-siong tidak
menyusulkan serangan lain, ia lemparkan pedangnya dan
membentak: "Tangkap pedangmu ini!"
Waktu Ho Bu-cit menangkap pedang yang dilemparkan
kepadanya itu, dilihatnya pedang itu adalah miliknya
sendiri dan entah cara bagaimana telah berada di tangan
Bok Jong-siong.
Habis melemparkan pedang Bok Jong-siong membalik
tubuh dan kembali ke kursinya.
Bu-cit menjadi gusar, ia menyendal pedangnya sehingga
mendengung, nyata tenaga dalamnya tidak lemah, ia
melompat maju sambil berteriak: "Kem...."
Belum lagi kata "kembali" terucapkan, mendadak ia merasakan dadanya rada silir2 dingin, waktu ia menunduk, kejutnya tak terkatakan lagi.
Rupanya cuma sekali tusuk tadi Bok Jong-siong telah
menggores tujuh lingkaran kecil di dada Ho Bu-cit. Sebelum bergerak tidaklah ketahuan, begitu Bu-cit bergerak, seketika kain kecil2 bundar sama rontok sehingga kelihatan daging tubuhnya, dan barulah Bu-cit tahu apa yang terjadi.
Setelah duduk kembali di kursinya, Bok Jong-siong
mendengus: "Ho Bu-cit, terimalah nasihatku, lebih baik kau pulang saja!"
"Maaf, tak dapat kuterima," jawab Bu-cit, namun nadanya sudah jauh lebih lunak, malahan ia lantas memberi penjelasan: "Tujuanku keluar ini adalah menjelajahi dunia, maka dalam waktu singkat tidak mungkin kupulang ke
selatan." "Semoga tujuanmu benar2 hanya pesiar menjelajah
dunia saja," kata Bok Jong-siong, "kalau tidak, hm, kukira kau sendiri sudah tahu, Antar tamu!"
Segera petugas yang bersangkutan mengiakan dan
mendekati Ho Bu-cit.
Diam2 pemuda itu sangat penasaran, pikirnya didalam
hati: "Hm, memangnya hanya satu jurus. ilmu pedangmu dapat menggertak diriku" Justeru aku akan menggabungkan
diri ke pihak lawanmu untuk memusuhi kalian!"
Sudah tentu jalan pikirannya itu tidak berani diperlihatkan, betapapun kecepatan pedang Bok Jong-siong tadi telah membuatnya keder.
Lalu orang ketiga yang diajukan adalah seorang pemuda
bermuka pucat, bajunya yang berwarna biru itu meski
masih baik, namun kelihatan sudah tua, warnanya sudah
luntur, tampaknya orang ini tidak begitu beruntung
berkecimpung di dunia Kangouw. Akan tetapi petugas
penyambut tamu tidak berani menilai orang dari
pakaiannya, maka tanpa pilih bulu iapun dibawa
menghadap Sam-lo.
Begitu maju pemuda itu lantas memberi sembah kepada
Sam-lo. Menurut pengakuannya ia bernama Ci Tay-yu,
anak murid Eng-jiu-bun, perguruan yang tersohor dengan
cakar elang, kedatangannya ingin mengabdi bagi kepentingan Bu-lim umumnya untuk menghadapi Mo-kau
dan Say-koan yang di-anggapnya se-wenang2.
Namun Bok Jong-siong cukup pengalaman dan tajam
pandangannya, sekali pandang saja ia tahu orang she Ci ini tidak berisi. Maka ketika mengujinya dengan mangkuk
penuh arak, dari jauh Bok Jong-siong meluncurkan
mangkuk itu kepada Ci Tay-yu, serunya: "Minumlah arak ini, Ci-heng."
Melihat mangkuk arak itu menyambar tiba dengan
pelahan, Ci Tay-yu mengira tidak sulit untuk menangkapnya, tapi iapun tidak berani gegabah, dengan
tenaga Eng-jiau-kang segera mangkuk itu ditangkapnya.
Tak tersangka, meski mangkuk itu tampaknya sudah
terpegang, tapi mendadak bisa meronta seperti binatang
kecil yang tertangkap, sekuatnya Ci Tay-yu berusaha
memegangnya, namun mangkuk itu masih berontak.
Akhirnya meski mangkuk itu tidak sampai terbanting jatuh, namun isi mangkuk sudah berceceran dan tak dapat
diminum lagi. "Ci-heng," kata Bok Jong-siong kemudian dengan kurang senang, "berbicara hendaklah yang jujur. Jika benar kau sudah memahami Eng-jiau-kang, mustahil tidak mampu
minum arak dalam mangkuk itu?"
"O, aku. , . , aku kurang hati2 sehingga....." Ci Tay-yu masih mencari alasan.
Tapi Bok Jong-siong lantas membentak: "'Kau belum
mau bicara terus terang" Hakikatnya kau bukan murid Engjiau-bun, betul tidak?"
Melihat tuan rumahnya marah, Ci Tay-yu menjadi
ketakutan, jawabnya: "Ya, aku. . . .aku hanya mencuri belajar be.....berapa jurus......"
"Maaf," kata Bok Jong-siong, "Tionggoan-samyu kami bukan kaum hartawan, anggaran belanja kami terbatas dan
tidak sanggup memberi makan kepada kaum penganggur,
silakan kau cari tempat lain saja."
Ingin mencari makan, akhirnya gagal, dengan malu Ci
Tay-yu lantas angkat kaki.
Selagi petugas tadi hendak mengantar kepergian orang
she Ci itu, mendadak Bok Jong-siong berteriak: "Kemari kau!"
Dengan takut petugas itu memberi hormat dan bertanya:
"Ada pesan apa, Suhu?"
"Kau bukan orang baru, mengapa seorang cecunguk
yang cuma ingin cari makan begitu kau bawa kesini?" omel Bok Jong-siong. "Meski Hwe-koan kita menerima siapa pun juga dan tidak pandang bulu, tapi sedikit cermat saja tentu akan kau lihat orang ini sama sekali tidak punya Kungfu
apa2, sebaliknya kau bawa dia kesini, buang2 waktu dan
tenaga percuma."
Petugas itu ketakutan sebab mengira sang guru akan
menjatuhkan hukuman padanya, cepat ia berlutut dan
menyembah ber-ulang2 dan minta ampun.
"Sudahlah, pergi sana, lain kali harus lebih awas," kata Bok Jong-siong.
Sesudah kejadian ini, berikutnya adalah giliran Sau
Peng-say. Orang yang membawa Peng-say kemari itu
menjadi ragu2 terhadap kemampuan anak muda itu,
dengan suara pelahan ia bertanya: "Sau-heng,
jangan.....janganlah kau serupa orang she Ci tadi"! Jika.....
jika kau tidak yakin akan sanggup marilah kita turun
gunung saja agar nanti aku tidak kena damperat."
Namun Peng-say diam2 saja tanpa gubris.
"Cu-gi, mana kawan yang kau antar, silakan maju
kesini," seru Bok Jong-siong.
Cu-gi adalah nama pengantar Peng-say itu, dengan
gugup ia menjawab. "Suhu, kukira..... kukira kawan ini tidak jadi....."
Belum lanjut ucapannya, tahu2 Peng-say sudah maju
ketengah. Karena Lwekangnya sangat tinggi dan sudah
bersatu dengan jiwa-raganya, maka lahiriah Peng-say
kelihatan seperti pemuda yang tidak memiliki kepandaian
apa2. Dengan sendirinva Bok Jong-siong tidak pernah
membayangkan Lwekang pemuda didepannya bisa sehebat
ini, sebab dalam usia muda belia begini tidak mungkin
menguasai Lwekang yang berpadu dengan jiwa-raganya
sehingga tidak kelihatan dari luar. Ia pandang Peng-say
sejenak, ia mengira anak muda ini tentu juga tidak lebih baik dari pada Ci Tay-yu tadi. Maka iapun tidak
menyilakan Peng-say berduduk, dengan dahi berkerut ia
lantas tanya: "Siapakah nama Anda terhormat ?"
"Wanpwe Sau Peng-say!" jawab Peng-say sembari
memberi hormat.
Meski nama Peng-say dan Sau Peng-lam hanya beda satu
huruf saja, namun Bok Jong-siang tidak pernah berpikir
bahwa di antara kedua orang ini ada hubungan apa2.
Maklumlah, ilmu silat Sau Peng-lam terhitung nomor


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

satu di antara anak murid Lima Besar, bahkan sudah dapat menjajari para ketua Lima Besar. Sedangkan Sau Peng-say
di depannya sekarang tiada kelihatan memiliki sesuatu
kepandaian. bedanya seperti langit dan bumi jika
dibandingkan Sau Peng-lam, sebab itulah nama Peng-say
tidak menimbulkan perhatiannya.
Maka Bong Jong-siang lantas bertanya pula: "Sau-heng berasal dari perguruan mana?"
"Wanpwe anak murid Soh-hok-han," jawab Peng-say.
Thian-hun Totiang menjadi gusar, katanya: "Eh, saudara cilik, jika kau mengaku murid perguruan lain mungkin kami akan percaya, tapi kau mengaku sebagai murid Soh-hok-han, setan yang mau percaya padamu!"
Nyata, Thian-bun Totiang juga menyangsikan kepandaian Sau Peng-say dan mengira iapun serupa Ci Tayyu tadi yang cuma ingin cari makan belaka.
"Tapi Wanpwe benar2 anak murid Soh-hok-han," kata Peng-say pula.
Ting-sian Suthay menjadi curiga, ia pikir anak muda ini
jelas bukan orang dungu. masa sengaja mengaku sebagai
anak murid Soh-hok-han yang sudah musnah itu" Jangan2
ucapannya ini memang beralasan. Maka dengan tertawa ia
bertanya: "Cara bagaimana kau memanggil Sau Peng-lam?"
"Dia adalah Gihengku (kakak angkatku)," jawab Peng-say.
"Dan apa sebutanmu kepada Soh-hok-hancu Sau Cenghong?" tanya Ting-sian pula.
"Beliau adalah mendiang ayahku," kata Peng-say tegas.
"Ayah sedarah?" tanya Ting-sian.
"Betul, ayah sedarah," jawab Peng-say.
"Jika demikian, jadi Leng Tiong-cik
ialah ibu kandungmu?" tanya Ting-sian lebih lanjut.
Asal Peng-say mengangguk atau mengiakan, maka
kontan Sam-lo bisa mendepaknya keluar. Sebab setiap
orang Bu-lim mengetahui Leng Tiong-cik itu mandul, tidak pernah
melahirkan bagi Sau Ceng-hong. Dengan pertanyaannya itu Ting-sian ingin membuktikan kebohongan Peng-say.
Bok Jong-siong dan Thian-bun Totiang tahu maksud
tujuan kawannya itu, maka dengan mata terbelalak
merekapun menantikan jawaban Peng-say.
Namun mereka sama kecewa, Peng-say tidak mengangguk, sebaliknya malah menggeleng dan berkata:
"Bukan, dia bukan ibuku."
"Tapi apakah kau tahu Leng Tiong-cik itu ialah isteri Sau Ceng-hong?" tanya Ting-sian pula.
"Tahu," jawab Peng-say.
"Nah, kalau kau mengakui Sau Ceng-hong sebagai ayah, kenapa tidak mengakui isterinya sebagai ibumu?" kata Thian-bun Totiang.
"Ucapan Totiang memang tepat, sepantasnya akupun
harus mengakui dia sebagai ibu," ujar Peng-say, "Cuma dia bukan ibu-kandungku, ibu-kandung Wanpwe sendiri
ialah...."
"Siapa"!" bentak Sam-lo berbareng.
"Ibu Wanpwe sudah meninggal pada waktu Wanpwe
berumur sepuluh, ibu she Soat, keturunan keluarga Soat di Say-Pak."
"O, jadi pamanmu ialah Say-pak-beng-to Soat Ko-hong?"
Bok Jong-Siong menegas.
"Betul," jawab Peng-say.
Ketiga orang tua itu lantas saling tukar pikiran dengan
suara bisik2, sejenak kemudian, Bok Jong-siong berkata
pula: "Sekarang kami percaya kau memang benar putera Sau Ceng-hong dari Lam-han. Ayolah, sediakan tempat
duduk bagi saudara cilik ini!"
Hanya sekejap saja dua lelaki kekar telah membawakan
sebuah kursi besar bersandaran seperti ketiga kursi besar yang diduduki Sam-lo itu. Kursi ini jelas berbeda dengan kursi yang terletak di depan Sam-lo tadi.
"Silakan duduk," kata Bok Jong-siong.
Peng-say ingin mengucapkan sesuatu, tapi Bok Jongsiong lantas menggoyangkan tangan dan berkata: "Jangan menolak, orang lain boleh sungkan, kau tidak perlu
sungkan2."
Peng-say jadi melengak oleh sikap tuan rumah yang
berubah 180 derajat itu.
Didengarnya Bok Jong-siong telah memberi penjelasan:
"Selama ini jabatan ketua Soh-hok-han diwariskan turun temurun kepada anak, tidak beruntung ayahmu telah
meninggal, meski sebelumnya dia tidak mengumumkan
siapa yang akan menerima jabatan ketua yang ditinggalkannya, namun meninggalnya ayahmu secara
mendadak, menurut aturan kedudukan Ciangbunjin adalah
hakmu. Jadi sekarang kau adalah ketua suatu perguruan,
silakan duduk agar kita tidak kehilangan tata adat sesama orang Kangouw."
Peng-say menjadi agak ter-sipu2, ucapnya dengan ragu:
"Tapi . . . tapi di atas Wanpwe masih . . . masih ada kakak Sau Peng-lam."
"Sau Peng-lam hanya anak angkat ayahmu, bila di dunia ini tiada kau Sau Peng-say, sudah tentu jabatan ketua Soh-hok-han dapat diwariskan kepadanya," kata Bok Jongsiong. "Sekarang setelah kami berunding, kami mengakui kau adalah anak sedarah Sau Ceng-hong, dengan sendirinya harus mengikuti peraturan perguruanmu dan sekaligus
mengakui kau sebagai ketua Lam-han. Jika kau menolak,
hal ini akan menandakan kepalsuanmu, bisa jadi akan
menimbulkan curiga kami bahwa kau sebenarnya bukan
anak Sau Ceng-hong."
Karena alasan ini, mau-tak-mau Peng-say harus
menerimanya dan berduduklah dia di kursi besar yang
disediakan bagi setiap ketua perguruan itu.
Hanya tanya jawab beberapa kalimat saja, semula tidak
percaya Peng-say adalah anak murid Soh-hok-han, tapi
mendadak lantas mengakui dia sebagai pejabat ketua Lamhan, perubahan tiba2 ini selain membuat Peng-say rada
heran, bahkan semua orang yang menyaksikan juga merasa
bingung. Setelah Peng-say mengaku sebagai anak Sau Ceng-hong,
kalau semula Sam-lo mencurigai dia sebagai murid Lamhan, kenapa tidak meragukan pula pengakuan Peng-say itu"
Sungguh teka-teki yang sukar dipecahkan oleh semua
orang. Hanya Sam-lo saja yang paham duduknya perkara,
mereka percaya Sau Peng-say memang betul2 adalah anak
Sau Ceng-hong. Rupanya kuncinya terletak pada pengakuan Peng-say
bahwa ibunya berasal dari keluarga Soat di Say-pak, hal
inilah yang meyakinkan Sam-lo dan tidak sangsi lagi.
Di dunia Kangouw sekarang memang cuma beberapa
orang sahabat lama Sau Ceng-hong saja yang tahu bahwa
selain isterinya, Leng Tiong-cik, sesungguhnya Sau Cenghong masih mempunyai seorang kekasih gelap lagi.
Kawan2 lama Sau Ceng-hong, terutama yang karib seperti
Tionggoan-samyu, tentu saja tahu jelas siapa kekasih Sau Ceng-hong itu serta asal-usulnya.
Begitulah, maka Tionggoan-samyu secara resmi telah
mengakui Sau Peng-say sebagai pejabat ketua Lam-han
sekarang. Akan tetapi baru saja Peng-say menduduki kursinya,
kesulitan segera timbul.
Didengarnya Bok Jong-siong bertanya padanya: "Sau
Peng-say, selaku Ciangbunjin Soh-hok-han, seharusnya kau
bertanggung jawab atas peristiwa yang menyangkut
perguruanmu. Sekarang ingin kutanya apakah perguruanmu memang diam2 bersekongkol dengan Makau." Dengan kehormatan seorang Ciangbunjin, Peng-say
menjawab dengan tegas; "Ingin kutanya juga, siapakah yang bilang perguruan kami bersekongkol dengan Ma-kau?"
"Ting Tiong dan Liok Pek dari Say-koan," kata Bok Jong-siong.
"Ingin kutanya pula, apakah Sam-lo dapat mempercayai
kepribadian mendiang ayahku?" tanya Peng-say pula.
Bahwa Sau Ceng-hong mencari kekasih lagi karena ingin
mendapatkan keturunan, hal ini dapat dimengerti oleh
siapapun juga, apalagi menurut adat kuno, Leng Tiong-cik telah melanggar hukum adat. yaitu tidak dapat melahirkan, untuk ini Sau Ceng-hong tidak menceraikan dia, pada
umumnya sikap Sau Ceng-hong itu malah dipuji sebagai
seorang ksatria sejati.
Karena itulah Bok Jong-siong lantas menjawab: "Kami percaya penuh terhadap pribadi ayahmu."
"Bagaimana kalau dibandingkan kepribadian Ting dan
Liok dari Say-koan itu?" tanya Peng-say pula.
Bok Jong-siong tahu maksud pertanyaan anak muda itu,
dengan tertawa ia menjawab, "Dengan sendirinya jauh lebih unggul."
"Jika begitu, kan seharusnya Sam-lo jangan percaya
kepada ocehan Ting dan Liok berdua dan merendahkan
kepribadian mendiang ayahku."
"Ucapan yang tepat, sesungguhnya kami memang tidak
percaya ayahmu bisa bersekongkol dengan Ma-kau," ujar
Bok Jong-siong dengan tertawa. Ia menghela napas, lalu
melanjutkan: "Cuma, setelah ayahmu meninggal, saksi
hidup tidak ada lagi, orang lantas percaya kepada desasdesus yang disebarkan Ting dan Liok berdua. Apalagi
waktu itu demi persatuan antara persekutuan Lima Besar,
mau-tak mau kita percayai apa yang dikatakan mereka."
"Sudah membunuh orang, masih memfitnah lagi," kata Peng-say dengan gemas. "Wahai Ting Tiong dan Liok Pek, keji amat cara kalian itu?"
"Coh Cu-jiu juga berjiwa sempit, sedikit urusan saja tentu dijadikan alasan untuk bikin geger." kata Bok Jong-siang.
"Sekarang kami sudah tahu Coh Cu-jiu dendam kepada
ayahmu karena dahulu ayahmu telah berusaha mengalangi
dia terpilih sebagai Bengcu persekutuan kita. Mengenai
pembunuhannya secara keji terhadap segenap anggota
keluarga perguruanmu, permusuhan berdarah ini. setiap
sahabat ayahmu kelak pasti akan membantumu untuk
membikin perhitungan dengan mereka."
"Kedatangan Wanpwe ini justeru ingin memohon
bantuan Sam-lo terhadap sakit hati mendiang ayahku itu,"
kata Peng-say. "Jangan kuatir." jawab Bok Jong-siong sambil mengangguk, "biar pun kau tidak datang memohon, tidak nanti kami Sam-yu menyudahi persoalan ini,"
"Apakah karena urusan ayahku itulah Sam-lo memutuskan hubungan dengan Coh Cu-jiu?" tanya Pengsay. "Bukan," jawab Bok Jong-siong.
"Habis sebab apa Sam-lo bermusuhan dengan Coh Cujiu?" "Untuk ini hendaklah kau harus bertanggung jawab "
kata si kakek kecapi itu.
"Aku" Aku bertanggung jawab?" Peng-say menegas dengan terkejut.
"Ya," tutur Bok Jong-siong. "Kau tahu musuh kita nomor satu ialah Mo-kau, tujuan persekutuan Lima Besar
juga untuk menghadapi Ma-kau. Dua tahun yang lalu kami
mendengar segenap anggota perguruaanmu terbunuh,
tatkala mana kami sudah tahu Coh Cu-jiu yang sengaja
mencari alasan untuk menumpas Lam-han, tapi mengingat
persatuan kita harus menghadapi Ma-kau, maka kami tidak
bertindak apa2. Akan tetapi sikap kami yang lebih
mementingkan persatuan ini berbalik malah dianggap
lemah oleh Coh Cu-jiu, diam2 ia hendak membikin celaka
Tionggoan Sam-yu kami.'"
"Memangnya apa alasannya?" tanya Peng-say.
"Hendaklah kau beritahukan dulu kepada kami dimana
beradanya Sau Peng-lam sekarang?" tanya Bok Jong-siong.
"Apakah sengketa antara Sam-lo dengan Coh Cu-jiu ada
sangkut-pautnya dengan Gihengku?" tanya Peng-say.
"Betul, maka Sam-yu kami minta pertanggungan
jawabmu untuk menyerahkan Sau Peng-lam."
"Sesudah itu, lalu apa yang akan Sam-lo lakukan
terhadap Gihengku?"
"Akan kutanya dia, mengapa dia lupa budi mengingkar janji"!" kata Bok Jong-siong.
"Lupa budi dan ingkar janji?" Peng-say menegas dengan bingung. "Gihengku adalah seorang lelaki sejati, masa dia pernah lupa budi dan ingkar janji?"
"Apakah kau tahu peristiwa terbunuhnya Hui Pin. Sute Coh Cu-jiu yang terkenal sebagai jago pukulan Tay-jiu-in itu?" tanya Bok Jong-siong.
"Tahu, cuma entah siapa yang membunuhnya?"
"Akulah yang membunuhnya," kata Jong-siong.
"Sebab apakah Bok-lo membunuh Hui Pin?"
"Sebab kalau tidak kubunuh dia tentu ada lima orang lain yang akan terbunuh," tutur Bok Jong-siong. "Di antara kelima orang termasuk pula Sau Peng-lam. Tak tersangka
Gihengmu ternyata tidak dapat jaga rahasia, walau pun
akupun bersalah karena waktu itu tidak kujelaskan betapa berbahayanya urusan, tapi Gihengmu adalah seorang jago
yang telah ternama, mustahil tidak dapat membedakan
bahava atau tidaknya sesuatu perkara?"
"Sebab itulah maka Bok-lo menuduh Gihengku lupa budi dan ingkar janji?" tanya Peng-say.
"Betul, kalau dia tidak membocorkan rahasia peristiwa itu sehingga diketahui Coh Cu-jiu, tentu urusan tidak
berubah menjadi seperti sekarang ini," kata Bok Jong-siong.
"Betapa sempitnya jiwa Coh Cu-jiu, lantaran kematian Hui Pin itu, secara besar2an dia telah mengerahkan segenap
kekuatan Say-koan untuk menyatroni kami, untunglah
kawan2 dari Yan-san dan Siong-san pay keburu datang
menolong, kalau tidak tentu saat ini Thay-san-pay sudah
runtuh habis2an."
"Tionggoan-samyu
sudah bersatu padu, senasib setanggungan, demi membela seorang Sutenya yang
durhaka itu dia tidak segan2 merusak persatuan kita, dia pandang rendah Bok-lo berarti meremehkan Sam-yu pula,
yang untung adalah Ma-kau." demikian sambung Thianbun Totiang. "Apabila kami tidak bertahan mati2an.


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tionggoan-samyu tentu sudah hancur sejak lama. Namun
Say-koan juga tidak mendapatkan keuntungan apa2, Coh
Cu-jiu tidak mau menjadi Bengcu tapi lebih jika merusak
persatuan, meski selama setahun ini Say-koan banyak
menambah anggota-baru, namun anak muridnya juga tidak
sedikit yang menjadi korban keganasan pihak Ma-kau."
Ting-sian Suthay menggeleng, katanya; "Coh Cu-jiu
membela urusan kecil sehingga kehilangan yang besar,
mendingan cuma kehilangan kawan sekutu. yang celaka
ialah anak buahnya makin lama makin gado2 tak keruan
sehingga banyak merugikan nama Say-koan sendiri."
"Orang ini terlalu ambisius." kata Thian-bun. "Demi menjagoi Bu-lim, dia tidak memikirkan namanya lagi yang
tercemar. Tapi kita menjadi kenal juga wajah aslinya."
"Tapi harus diceritakan juga, bila Sau Peng-lam tidak membocorkan rahasia terbunuhnya Hui Pin, tentunya
urusan takkan berantakan seperti sekarang," kata Bok Jong-siong. "Betapapun Coh Cu-jiu adalah tokoh perguruan ternama, Ngo-hoa-koan sudah termashur selama ratusan
tahun, hal ini diketahui oleh siapapun juga, kalau tidak terpaksa, kukira tidak nanti Coh Cu-jiu memperlihatkan
ambisinya yang gede itu."
Peng-say menjadi kurang senang, tanyanya: "Memangnya Gihengku yang mengakibatkan Coh Cu-jiu
meninggalkan jalan yang baik dan menuju ke jalan sesat?"
"Kau penasaran bagi Gihengmu, bukan?" ujar Ting-sian dengan tersenyum. "Setiap urusan tentu ada sebab dan akibatnya. Dalam hal ini, memang berawal oleh karena
Gihengmu membocorkan rahasia kematian Hui Pin, maka
urusan menjadi runyam begini. Tapi mungkin juga sudah
takdir, andaikan tiada persoalan Sau Peng-lam sehingga
Say-koan putus hubungan dengan Sam-yu kami, kukira
akhirnya Coh Cu-jiu juga akan memusuhi kami."
"Tapi kuyakin Gihengku tidak nanti membocorkan
rahasia kematian Hui Pin," kata Peng-say.
"Berdasarkan apa kau berkata demikian?" tanya Thian-bun.
"Kalau Giheng mau berbuat begitu, tidak nanti Gi-lim membunuh diri di Soh-hok-han," tutur Peng-say,
"Hah, Gi-lim mati di Soh-hok-han?" seru Ting-sian kaget.
"Sebab apa dia bunuh diri?"
"Supaya tidak ada orang dapat memaksa dia memberi
keterangan tentang siapa yang membunuh Hui Pin," tutur Peng-say.
"Sesungguhnya bagaimana kejadiannya, coba ceritakan sejelasnya," pinta Bok Jong-siong.
Peng-say lantas menceritakan apa yang terjadi Soh-hokhan dahulu, dimana Ting Tiong dan Liok Pek dengan anak
buah Say-koan hendak menawan Sau Peng-lam dan
memaksanya supaya dia memberi keterangan siapa yang
membunuh Hui Pin, Akhirnya ia berkata: "Namun Giheng tidak mau mengaku, sedangkan Gi-lim telah jatuh ditangan orang Say-koan, Nikoh cilik itu terharu melihat sikap tegas Gihengku, ia kuatir dirinya tidak tahan disiksa Ting Tiong dan Liok Pek dan akhirnya mungkin akan mengaku terus
terang apa yang terjadi, maka dia terus membunuh diri
untuk menghindari siksaan musuh. Kemudian rombongan
Ting Tiong meninggalkan Soh-hok-han. tapi malamnya
segenap anggota perguruan telah mengalami penyembelihan habis2an, meski Giheng tidak mati, namun
terlalu berat terkena racun bius sehingga otaknya menjadi kurang waras dan melupakan segala kejadian di masa lalu,
dengan sendirinya tidak mungkin lagi membocorkan
rahasia yang diketahuinya."
"Aneh," kata Thian-bun Totiang. "Mengapa Coh Cu-jiu sengaja bilang Sau Peng-lam yang memberitahukan hal
terbunuhnya Hui Pin itu."
Bok Jong-siong berpikir sejenak, samar2 ia dapat meraba
duduknya perkara, katanya kemudian sambil manggut2:
"Tahulah aku, agaknya Coh Cu-jiu mendengar desas-desus Hui Pin mati di tanganku, tapi dia tak dapat membuktikan, maka Ting Tiong dan Liok Pek diperintahkan mengusutnya
ke Lam-han, meski Sau Peng-lam tidak membocorkan apa
yang terjadi, tapi mereka tahu Sau Peng-lam mengetahui
kejadian yang sebenarnya dan sengaja tidak mau mengaku.
Kemudian Coh Cu-jiu membawa anak buahnya ke Thaysan dan mencari diriku, dia sengaja bilang Sau Peng-lam
yang memberitahukannya tentang kematian Hui Pin itu,
tanpa menyelidiki lagi kukira benar2 Peng-lam yang
membocorkan rahasia itu, aku menjadi gusar dan dendam,
maka tanpa banyak susah lagi Coh Cu-jiu pun yakin berita yang didengarnya itu memang betul, maka Thay-san kami
telah diobrak-abrik oleh orang Say-koan."
"Gi-lim sudah mati, Sau Peng-lam kurang waras,
darimana pula Coh Cu-jiu mendapatkan berita tentang kau
yang membunuh Hui Pin?" tanya Thian-bun.
"Siapa lagi kalau bukan pihak Mo-kau," kata Bok Jong-siong.
"Mo-kau" Darimana pula Mo-kau tahu?" Thian-bun merasa bingung.
"Kan sudah kukatakan, waktu kubunuh Hui Pin,
seluruhnya ada lima orang yang ikut menyaksikan. Wi-sute dan gembong Mo-kau Kik Yang kemudian mati, sisa tiga
orang lagi, Gi-lim dan Peng-lam jelas tidak membocorkan
kejadian itu, lalu siapa lagi kalau bukan cucu perempuan Kik Yang, Kik Fi-yan yang membocorkannya" Kik Fi-yan
masih kecil dan tidak mungkin diperalat orang, sepulangnya di markas Mo-kau, tentunya dia melaporkan tentang
kematian kakeknya kepada sang Kaucu, mau-tak-mau tentu
ia ceritakan pula terbunuhnya Hui Pin itu. Nah,
kesempatan baik ini apa dapat di-sia2kan oleh Tonghong
Put-pay, dengan sendirinya ia terus menyebar-luaskan
berita tentng terbunuhnya Hui Pin olehku."
"Ya, jadi selama ini kita telah salah menuduh Sau Peng-lam," kata Ting-sian.
"Untuk itu hendaklah Sau-heng suka memaafkan,"
segera Bok Jong-siong berbangkit dan memberi hormat
kepada Peng-say.
Cepat Peng-say berdiri dan membalas hormat.
Selagi kedua orang itu berjengkang-jenking saling
memberi hormat, tiba2 seorang murid Thay-san-pay berlari masuk dan berteriak: "Musuh menyerbu tiba!"
Serentak anak murid Thay-san-pay sama melolos senjata
sehingga terdengar suara gemeratang-ramai dengan sinar
pedang berkilauan.
Tiba2 terdengar suara seorang perempuan berkata
dengan tertawa: "Wah, ramai sekali disini!"
Waktu semua orang memandang ke sana. tertampaklah
di depan pintu berdiri seorang gadis jelita berambut
panjang, usianya baru 20 tubuhnya yang bernas terbungkus di dalam baju sutera hitam yang tipis, jelas kelihatan tidak membawa senjata apapun.
Dengan lemah gemulai gadis itu melangkah ketengah
ruangan, lalu mengikik tawa sambil mendekap mulutnya
dengan lengan bajunya yang longgar, katanya: "Hihi,
apakah anak murid Sam-yu biasanya menyambut kedatangan tamu dengan senjata terhunus?"
Melihat lawan hanya seorang gadis lemah, para murid
yang sudah telanjur melolos pedang itu sama menyadari
ketegangannya sendiri, maka be-ramai2 mereka menyimpan
kembali senjata masing2.
Segera Bok Jong-siong berkata: "Sam-yu tidak menerima tamu yang sembarangan menerobos tanpa permisi, silakan
nona pulang!"
"Tidak menerima tamu yang terobosan, apakah juga
tidak menerima musuh yang berterobosan?" jawab gadis rambut panjang dengan tertawa.
"Nona datang sendirian, apakah kau tidak terlalu
meremehkan orang?" jengek Bok Jong-siong.
"Tidak, aku membawa serta seorang teman," kata nona itu.
"Jika begitu, silakan menghadap sekalian," kata Jong-siong.
"Ah, dia hanya seorang hamba saja, tidak berani berdiri sejajar dengan para ksatria yang hadir di sini," ujar si nona.
Dia bicara dengan selalu tersenyum simpul, sedikitpun tiada tanda2 hendak mencari perkara.
Bok Jong-siong menjadi tidak enak sendiri, terpaksa ia
tanya dengan ramah: "Lalu apa maksud kedatangan nona?"
Mata si nona yang jeli itu mengerling sekejap
sekelilingnya, lalu menjawab dengan tertawa: "Kedatanganku hanya ingin mempertunjukkan sedikit
kepandaian seni yang tidak berarti kepada tuan2 disini."
Lalu ia bertepuk tangan pelahan, seorang genduk cilik
berdandan sebagai pelayan lantas melangkah masuk dengan
cepat, tangan genduk cilik mengusung sebuah kecapi tujuh senar lalu berdiri di samping nona tadi.
Sesudah menerima kecapi itu, nona rambut panjang itu
berkata: "Aku baru saja belajar metik sebuah lagu baru dan ingin kupertunjukan kepada tuan2, apabila Anda sudi,
silakan mendengarkan."
"Apakah nona sengaja hendak pamer dan mencari gara2
ke sini?" tegur Bok Jong-siong dengan menarik muka
"Yang baik takkan datang, yang datang tentu bermaksud tidak baik, kedatanganku mana berani kukatakan hendak
pamer, mencari gara2 sih memang betul," jawab nona itu dengan tertawa.
"Siapa yang mendalangi kau kesini?" tanya pula Bok Jong-siong.
"Tidak ada yang suruh atau mendalangi, aku sendiri
yang suka kemari," jawab nona itu. "Cuma sebelumnya ayahku sudah tahu, tadinya beliau mencegah niatku, tapi
karena tekadku sudah bulat, terpaksa beliau meluluskan."
"Siapa nama ayahmu yang terhormat?" tanya si kakek kecapi Bok Jong-siong.
Seperti anak kecil yang merasa penasaran, nona itu
menjengkitkan mulut dan berkata: "Ai, mengapa Bok-lo tidak tanya namaku, tapi cuma tanya nama ayahku"
Memangnya namaku tiada harganya untuk ditanya?"
"Baiklah, mohon tanya siapakah nama harum nona?"
kata Bok Jong-siong dengan tertawa.
Nona rambut panjang itu tertawa senang sehingga
kelihatan barisan giginya yang rajin dan putih bak biji
ketimun. Jawabnya: "Aku she Tonghong dan bernama Kui-le."
"Tonghong Kui-le?" Bok Jong-siong mengulang nama itu sambil berkerut kening. "Kau kenal Tonghong Put-pay tidak?"
"Ah, tanpa kukatakan juga dapat kau terka dengan
tepat," ujar si nona rambut panjang alias Tonghong Kui-le.
"Tonghong Put-pay ialah ayahku."
Keterangan ini membuat semua orang saling pandang
dengan kejut dan heran, beberapa orang diantaranya lantas saling bisik2: "Berani amat budak ini datang sendirian ke sini!"
Tajam juga telinga Tonghong Kui-le, sorot matanya yang
tajam menatap orang yang bersuara itu ia bertanya:
"Memangnya kenapa aku tidak berani datang kesini?"
Orang yang ditatap itu adalah anak murid Thay-san-pay
yang usianya sebaya dengan Tonghong Kui-le, anak muda
ini ternyata lebih pemalu daripada anak perempuan,
seketika mukanya menjadi merah dan tak dapat menjawab.
Tongliong Kui-le lantas menjawab pertanyaannya
sendiri: "Ya, antara Ma-kau dan Tionggoan-samyu boleh dikatakan seperti api dan air, kalau bertemu. bila bukan membunuh tentu akan terbunuh Mungkin aku memang
tidak tahu diri dan berani datang kesini sendirian, nyaliku memang agak besar, tapi....." dia tersenyum, lalu
menyambung, "akupun tahu tuan2 adalah ksatria ternama yang berbuat luhur, tentunya kalian takkan menganiaya
seorang anak perempuan yang tidak dapat melawan.
berdasarkan pikiran inilah aku lantas berani datang ke sini."
Mendadak Thian-bun Totiang
mendengus: "Hm.
perempuan lain mungkin akan kami lepaskan, tapi kau
adalah anak Ma-kau-kaucu, kau boleh datang dan tidak
boleh pergi!"
"Eh, Totiang yang bermuka Kwan Kong (seorang
panglima perang terkenal jaman Sam Kok yang bermuka
merah) ini apakah Thian-bun Totiang adanya?" tanya
Tonghong Kui-le dengan tertawa.
Kembali Thian-bun hanya mendengus saja.
Tonghong Kui-le berkata pula: "Waktu aku hendak
berangkat, ayahku memang merasa kuatir, kata beliau:
'Anak Le, kepergianmu ke Thay-san tanpa bersenjata, meski pihak lawan kebanyakan adalah tokoh2 pendekar ternama
dan berbudi luhur dan takkan bertindak kasar padamu, tapi mendingan bila kau ketemu orang lain, jika kepergok
Thian-bun Totiang, biarpun kau tidak melawan juga dia
takkan melepaskan kau.' " Sudah tentu aku tak percaya,
kataku: 'Ayah, Thian-bun Totiang memandang kejahatan
sebagai musuh, orangnya jujur dan adil, jangan kau
menakut-takuti aku agar aku tidak berani pergi.' " Ayah
berkata pula dengan menyesal: 'Anak Le, mungkin kau
tidak tahu bahwa guru Thian-bun Totiang tewas
ditanganku, bencinya padaku tentu merasuk tulang, tapi
iapun tidak mampu berbuat apa2 terhadapku. Selama
berpuluh tahun ini dia tidak dapat menuntut balas padaku.
Sekarang kepergianmu ini tentu sangat kebetulan baginya, seperti anak domba yang disodorkan ke mulut harimau,
tentu kau takkan dilepaskan, dia pasti akan membunuhmu
untuk melampiaskan dendamnya."
Merah padam wajah Thian-bun Totiang, bentaknya
dengan gusar; "Betul, aku tidak dapat membunuh
Tonghong Put-pay, terpaksa kubunuh anak perempuannya!"
Namun Tonghong Kui-le tidak gentar sedikit-pun,
ucapnya dengan tertawa: "Dengan ucapannya tadi ayah mengira aku dapat di-takuti, tak tersangka aku telah
menjawab; 'Ayah, engkau yang telah membunuh guru
orang, syukur jika kepergian anak ini dapat dilepaskan oleh Thian-bun Totiang, kalau tidak, ya nasib. Pendek kata anak sudah bertekad akan berkunjung ke Thay-san."
Karena nada si nona tidak menyetujui sikap ayahnya
yang telah membunuh guru orang, rasa gusar Thian-bun
rada berkurang, tapi ia lantas mendengus; "Hm, anak perempuan sudah bosan hidup barangkali."
"Betul juga, sejak kutahu ayah banyak membunuh orang, aku memang rada2 bosan hidup." kata Tonghong Kui-le.
"Maka dengan menyerempet bahaya kudatang kesini untuk melerai permusuhan ayah dengan Sam-lo agar kedua pihak
tidak lagi saling bunuh membunuh dan menimbulkan
korban yang tak berdosa."
"Cara bagaimana akan melerai permusuhan ini?" tanya Bok Jong-siong.
"Caranya sangat sederhana," jawab Tonghong Kui-le dengan tertawa. "Asalkan Sam-lo mengalah kepada ayahku, kan urusan menjadi beres."
"Hm, mengapa nona tidak minta ayahmu yang mengalah
kepada kami?" jengek Bok Jong-siong.
"Sudah tentu telah kumintakan, kalau tidak untuk apa kudatang kesini untuk mempertunjukkan kepandaian apa
segala?" kata si nona. "Malahan ayahku sudah berjanji segenap kekuatan Ma-kau akan dipindahkan keluar dari
Tionggoan dan mundur ke Kwan-gwa."
Selama ini Mo-kau malang melintang di Kwan-lay,
(didalam perbatasan tembok besar) dan Kwan-gwa (di luar
perbatasan), sudah lama dunia persilatan Tionggoan
mengalami gangguannya. Kalau terjadi Kwan-gwa, karena
tempatnya terlalu jauh, Tionggoan-samyu tidak dapat ikut campur, tapi kalau terjadi sesuatu di Kwan-lay, betapapun
Sam yu tidak bisa tinggal diam sehingga permusuhan kedua pihak makin mendalam, soal bunuh membunuh juga sudah
sering terjadi,
Sekarang kalau pihak Mo-kau mau mundur keluar
perbatasan, sudah tentu hal ini sangat menguntungkan
dunia persilatan daerah Tionggoan, suasana dapatlah aman tenteram dan Sam-yu juga tidak perlu banyak ikut campur
urusan lagi. Bila Ma-kau hijrah keluar Kwan-gwa, disana
yang akan dihadapinya hanya Say-koan saja, keduanya
sama2 kejamnya dan keras, bila terjadi gontok2an diantara mereka dan akhirnya sama2 hancur, itulah sangat kebetulan bagi dunia persilatan umumnya.
Karena itulah Bok Jong-siong sangat menarik perhatian
terhadap uraian Tonghong Kui-le tadi, segera ia bertanya:
"Dengan syarat apa ayahmu menyanggupi

Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan mengundurkan kekuatan Mo-kau dari daerah Tionggoan?"
"Syaratnya" Kan sudah kukatakan kedatanganku ini
hendak memberi pertunjukkan, apabila Sam-lo sanggup
mendengarkan satu lagu kecapiku. segera kupulang untuk
memberitahukan kepada ayah, lalu apa yang sudah
dijanjikan segera dapat dilaksanakan."
"O, kiranya kedatangan nona ini hendak menguji
kekuatan Sam-yu kami?" Bok Jong-siong mengangguk.
"Tidak menjadi soal bagi kami untuk mendengarkan
kecapimu, tapi apakah kau dapat menjamin ayahmu akan
menepati janji?"
"Urusan orang tua mana orang yang menjadi anak berani memberi jaminan?" jawab Tonghong Kui-le. "Namun janji ayah memang sudah jelas dan pasti, bilamana kalian sudah mendengar bunyi kecapiku dan kuatir ayahku ingkar janji, nanti boleh kalian tawan diriku untuk dijadikan sandera.
Hendaklah kalian maklum, ayah hanya mempunyai anak
perempuan diriku ini satu2nya, aku dipandangnya lebih
berharga daripada jiwa beliau, dengan sandera diriku pasti dapat memaksa beliau menepati janji."
"Baik, akan kami dengarkan lagu kecapimu. kata Bok
Jong-siong. "Tapi ingat, lebih baik kita bicara buruk di muka, nanti kami takkan segan2 bertindak padamu, demi
mengusir Ma-kau keluar dari Tionggoan terpaksa akan
kami tawan kau sebagai sandera. Pula kami takkan peduli
apakah tindakan kami ini akan dapat memaksa ayahmu
atau tidak. kalau kami bunuh kau sedikitnya akan dapat
menghibur arwah para ksatria yang telah menjadi korban
keganasan Ma-kau kalian."
"Boleh saja, terserah apa kehendak kalian nanti," ujar Tonghong Kui-le. "Akan tetapi bagaimana tindakan kalian apabila kalian tidak sanggup mendengarkan bunyi
kecapiku?"
Sudah tentu Bok Jong-siong tidak percaya akan terjadi
sesuatu yang luar biasa pada bunyi kecapi si nona, maka
dengan tegas ia menjawab: "Bila begitu, seterusnya Sam-yu dan anak muridnya tak-kan mengganggu-gugat apa vang
dilakukan pihak Ma-kau."
Tonghong Kui-le menggeleng pelahan, katanya: "Tidak perlu begitu. Pernah kudengar ayahku berkata: Asalkan
Tionggoan-sam-yu mati semua, yang lain2 tidak ada artinya lagi, hanya di bawah pimpinan Tionggoan-samyu barulah
mereka berani mengadakan perlawanan terhadap agama
kita." "O, maksudmu, jika kami tidak sanggup mendengarkan
bunyi kecapimu, kami harus membunuh diri, begitu?" tanya Bok Jong-siong.
Melihat cara bicara Tonghong Kui-le begitu yakin dan
pasti, walaupun sukar dipercaya bahwa dengan usia semuda
ini nona ini mampu mengerahkan Lwekangnya kedalam
suara kecapinya untuk membunuh orang. Namun buktinya
dia hanya membawa seorang pelayan dan mampu
menerjang keatas gunung, jelas kepandaiannya memang
tidak boleh dipandang enteng, bukan mustahil di tengah
suara kecapinya ada sesuatu kekuatan gaib, hal ini yang
harus dijaga. Untuk menjaga agar anak muridnya serta Sau Peng-say
yang tampaknya tidak memiliki kekuatan Lwekang itu tidak menjadi korban, segera ia memberi perintah: "Kecuali aku dan Thian-bun Toheng serta Ting-sian Suthay, yang lain2
semuanya mundur keluar."
"Tidak, siapapun tidak boleh pergi," kata Tonghung Kui-le mendadak.
Bok Jong-siong berkerut kening, katanya dengan kurang
senang: "Bila kami Sam-yu tidak sanggup mendengarkan bunyi kecapi nona, anak murid kami yang berada disini
tentu juga sukar lolos dari kematian. Kalau nona tidak
menyetujui ayahmu saling membunuh dengan kaum
persilatan kami dengan sendirinya nona juga takkan senang membunuh orang, mengapa anak murid kami harus kau
suruh tetap tinggal disini?"
Tonghong Kui-le tertawa, jawabnya: "Mereka harus
tetap tinggal disini untuk menyaksikan-cara bagaimana
ketika guru mereka mati agar nanti tidak mencurigai aku
menggunakan akal licik. Namun Bok-lo janganlah kuatir.
suara kecapiku ini kubunyikan tertuju kepada sasaran
tertentu, kecuali Sam-lo pasti takkan kulukai orang lain."
Sam-lo memang tidak percaya di dunia ada suara kecapi
dapat membunuh orang, sekarang si nona bahkan membual
bahwa suara kecapinya dapat dikendalikan sesuka hatinya
terhadap musuh yang dituju, hal ini lebih2 sukar dipercaya.
Maka sambil menengadah dan tertawa Bok Jong-siong
lantas berkata: "Bagus, jika nona mempunyai kesaktian begitu, agaknya kamilah yang terlalu banyak berkuatir.
Ayolah sediakan meja dan bakar dupa, marilah kita siap
mendengarkan."
"Tidak perlu repot," ujar Tonghong Kui-le, Dengan lengan bajunya yang lebar segera ia mengebat lantai
beberapa kali, lalu berduduk dengan gayanya yang manis,
kecapi tujuh senar yang dibawanya lantas ditaruh
didepannya, terjulur tangannya yang putih mulus dengan
jari jemarinya yang lentik dan mulailah dia menyetel senar kecapinya sesuai nada yang diperlukan.
"Lagu ini bernama Siau-go-yan-he, harap para hadirin mendengarkan!" katnnya kemudian dan mulailah memetik kecapinya, seketika terdengar suara kecapi yang merdu
berkumandang menyusup ke telinga setiap orang.
Tionggoan-samyu tidak berani gegabah. mereka mengira
si nona akan meleburkan kekuatan Lwekangnya kedalam
suara kecapi untuk menyerang mereka, maka diam2
merekapun mengerahkan tenaga dalam untuk ber-jaga2.
Mereka pikir betapa pun tinggi kekuatan si nona juga sukar melawan mereka bertiga, jika perlawanan demikian terus
berlangsung, andaikan nona itu mengeluarkan segenap
kemahirannya juga takkan berbahaya bagi mereka.
Dengar dan dengar lagi, tanpa terasa timbul perasaan
sedih Bok Jong-siong, pikirnya: "Kepandaian memetik kecapi budak ini sudah mencapai tingkatan tertinggi,
selama hidup aku pun belajar main kecapi, tapi belum
pernah sanggup membawakan lagu sedemikian mengharukan" Percuma aku mendapat julukan si kakek
kecapi!" Lambat-laun ia menjadi lupa mengerahkan tenaga
perlawanan, pikirannya ikut terhanyut oleh alunan suara
kecapi yang menggetar sukma itu.
Kalau Bok Jong-siong sampai terpengaruh oleh suara
kecapi Tonghong Kui-le, jangan ditanya lagi anak murid
Sam-yu, barang tentu Thian-bun Totiang dan Ting-sian
Suthay juga tidak terkecuali. Mereka sama
lupa mengerahkan tenaga dalam untuk melawan, malahan
mereka merasa kurang jelas mengikuti Irama kecapi, kalau bisa tumbuh lagi sepasang suling tentu dapat lebih meresapi bunyi kecapi yang mengharukan itu. Seketika semua orang
jadi melupakan bahaya apa yang sedang dihadapinya.
Lagu "Siau-go-yan-he" sendiri sebenarnya tidak dapat membunuh orang, kelihayannya terletak pada suaranya,
biarpun telinga kau tutup juga tetap akan terpengaruh oleh iramanya yang merdu, betapapun kekuatan tenaga dalam
seseorang, apabila sudah terpengaruh, maka longgarlah
kewaspadaan dan tentu saja dalam keadaan demikian tentu
saja tak bisa berkutik dan akan disembelih orang sesukanya.
Diantara semua hadirin itu kecuali Tonghoug Kui-le
sendiri, hanya ada dua orang lagi yang tidak terpengaruh oleh irama kecapi itu, yang satu adalah genduk cilik yang ikut datang bersama Tonghong Kui-le. Sebenarnya dia
bukan babu atau pelayan biasa melainkan adik perempuan
Tonghong Kui-le sendiri, namanya Tonghong Kui-jin. Dia
sengaja berdandan sebagai genduk agar tidak menarik
perhatian musuh. Sebabnya dia tidak terpengaruh oleh
suara kecapi adalah karena dia sendiri juga pernah belajar lagu Siau-go-yan-he itu, hanya saja tidak semahir sang
kakak. Seorang lagi yang tidak terpengaruh irama kecapi ialah
Sau Peng-say. Dia masih duduk tenang2 dikursinya, malahan dia
sangat getol mengikuti irama kecapi itu, tanpa terasa jari jemarinya ikut ber-gerak2 mengetuk lutut sendiri sungguh ia ingin mengeluarkan serulingnya dan membawakan lagu itu
bersama Tonghong Kui-le.
Sejenak kemudian, tiba2 Tonghong Kui-le berseru:
"Moaymoay (adik), sudah waktunya boleh turun tangan!"
Usia Tonghoug Kui-jin baru 15-16, kulit badannya hitam
manis, meski tidak semulus kakaknya, tapi juga tergolong cantik.
Sambil mendengus ia mengeluarkan sebilah belati,
selangkah demi selangkah ia mendekati Tiong-goan Samyu. Sudah tentu ketiga orang itu tidak menyadari bahaya
yang sedang mengancam, mereka masih kesemsem oleh
irama kecapi dan tidak bergerak sedikitpun.
"Bila mati kubunuh janganlah Sam-lo menyesal salah
kalian sendiri karena berani bermusuhan dengan ayahku!"
gumam Tonghong Kui-jin dengan pelahan, belati
berkelebat, segera ia hendak menikam ulu hati Bok Jongsiong. Namun Sau Peng-say sudah ber-siap2, mendadak ia
melompat maju. secepat kilat ia pegang pergelangan
Tonghong Kui-jin, katanya sambil menggeleng: "Eh, mana boleh kau berbuat demikian?"
"He, kau.....kau...." Tonghong Kui-jin menjerit dengan mata terbelalak. Nyata kejutnya tak terkatakan, seperti
melihat hantu saja.
"Aku" Aku sangat baik," kata Peng-say dengan tertawa.
"Eh. duduk, silakan duduk, jangan mengganggu gairah permainan kecapi Tacimu!"
Habis berkata Peng-say tarik Tonghong Kui-jin dan
menyuruhnya berduduk. Sia2 saja Tonghong Kui-jin
memiliki ilmu silat yang tinggi, karena pergelangan
tangannya terpegang, sama sekali ia tak dapat bergerak. ia hanya menjerit: "Lepaskan. lepaskan aku!...."
Sekuatnya ia meronta, tapi tenaga yang dikerahkan itu
segera sirna terbendung oleh tenaga dalam lawan yang
menyalur masuk tangannya. Tahulah dia Lwekang lawan
sangat tinggi dan sukar dilawan. Jika banyak tingkah lagi, bila tergetar oleh tenaga dalam lawan yang kuat itu, bisa jadi dirinya sendiri yang akan runyam.
Terpaksa ia berdiri dan tidak meronta lagi, jeritannya
berubah menjadi memohon: "Harap..... harap lepaskan aku....."
"Jangan bicara dulu, kalau pikiran Tacimu terkacau, mungkin irama kecapi akan sumbang dan Sam-lo akan
segera mendusin, jika demikian jadinya tentu celakalah
kalian," kata Peng-say dengan tertawa.
Dalam pada itu Tonghong Kui-le juga melihat adik
perempuannya tertangkap oleh Peng-say sebabnva dia tidak berani memberi pertolongan justeru sesuai apa yang
dikatakan Peng-say itu. Ia tahu Lwekang Tionggoan-samyu
tidaklah lemah. kalau irama kecapi mengendur sedikit tentu mereka akan sadar kembali. Dan kalau Sam-lo turun tangan sekaligus, tentu mereka kakak beradik tak dapat lolos lagi.
Karena itulah Tonghong Kui-le tetap main kecapi tanpa
berhenti, tapi pandangannya tertuju kearah Sau Peng-say. ia heran orang macam apakah pemuda tak dikenal ini.
ternyata tidak terpengaruh oleh suara kecapinya yang lihay itu.
Tapi hanya sejenak ia mengamati anak muda itu, diam2
ia terkejut: "Pantas dia lebih kuat dari pada Sam-lo, kiranya
Lwekangnya sudah terlebur hingga bersatu dengan jiwaraganya dan tidak kelihatan."
-ooo0dw0ooo- Jilid 32 Kalau dipikir lagi, ia merasa hal tersebut sebenarnya
tidak mungkin terjadi, usia pemuda ini selisih tidak banyak dengan dirinya, mana mungkin menguasai Lwekang
setinggi itu, bahkan tingkatan yang belum juga dicapai
ayahnya sendiri.
Namun bukti terpampang didepan mata, Tong-hong Putpay yang terkenal sebagai tokoh nomor satu di dunia juga tidak
tahan oleh pengaruh irama kecapi anak perempuannya sendiri, tapi anak muda ini justeru sanggup bertahan. Jawabannya hanya satu, yaitu Lwekangnya
sudah mencapai tingkatan yang sukar untuk dijajaki.
Diam2 Tonghong Kui-le menjadi nekat, pikirnya:
"Dahulu kupaksakan memetik lagu ini hingga bagian
keempat. akibatnya aku sakit parah dan hampir saja mati.
Sekarang, demi mengatasi lawan tangguh ini, terpaksa
kupetik bagian keempat ini tanpa memikirkan akibatnya,"
Dia nengira daya pengaruh bagian keempat tentu jauh
lebih kuat daripada ketiga bagian depan, asalkan bagian
keempat ini dapat mempengaruhi pemuda itu dan
membebaskan adik perempuannya. tentu pemuda itu dan
Sam-lo dapat pula dibunuhnya.
Demi mencapai maksudnya, tanpa menghiraukan
bahaya yang bakal dirasakannya sendiri, begitu bagian
ketiga selesai, segera ia sambung pula bagian keempat.
Bagian keempat dari lagu Siau-go-yan-he ini baru satu kali saja pernah dimainkannya sejak dia belajar.
Ketika bagian keempat itu berlangsung setengah jalan,
tertampaklah dahi Tonghong Kui-le berkerut, wajahnya
sedih, napas megap2, jelas tidak kepalang siksaan yang
dialaminya. Peng-say menjadi heran, pikirnya: "Tampaknya lagu
yang dipetiknya ini bukan saja judulnya sama dengan lagu serulingku, bahkan juga tak dapat diselesaikan secara paksa.
Jangan2 antara lagu kecapinya ini dan lagu serulingku
adalah satu lagu yang harus dibawakan bersama, jika
dibawakan sendiri2 dengan kecapi atau seruling saja akan menimbulkan bahaya bagi si pemainnya sendiri?"
Sejak tadi ia memang heran mengapa dirinya tidak
terpengaruh oleh irama kecapi si nona, se-olah2 setiap nada yang dipetik Tonghong Kui-le itu sudah apal baginya, tapi jelas juga tidak sama dengan apa yang dipelajarinya. Kini melihat penderitaan si nona ketika memainkan bagian
keempat itu, maka timbul pikirannya
tadi untuk memainkan lagu itu bersama si nona, ingin dicobanya
apakah permainan bersama itu dapat menghilangkan
penderitaan bagi si pemainnya atau tidak.
Segera ia menutuk Hiat-to Tonghong Kui-jin dan
dibaringkan kelantai, dikeluarkannya seruling kemala
tinggalan Cin Yak-leng dahulu, setelah mengingat kembali lagu yang pernah dipelajarinya itu, pada suatu nada tertentu segera seruling itu ditiupnya.
Begitu irama seruling bergabung dengan irama kecapi,
seketika dalam hati Peng-say merasa "plong", seperti ikan mendapat air, seperti burung berkicau di hutan, gembira
dan nikmat. Diam2 Peng-say berpikir; "Ternyata betul dugaanku,
pantas dia memetik kecapinya sekian lama dan tidak dapat mempengaruhi diriku seperti halnya orang lain, sebaliknya
aku malah seperti dirayu sehingga aku pun getol akan
mernainkan lagu ini bersama dia."
Dalam pada itu napas Tonghong Kui-le juga sudah
mulai teratur lagi, rasa sedih pada wajahnya sudah lenyap, jari jemarinya me-nari2 diatas senar kecapinya, ia pun
mengikuti irama seruling dengan kesemsem, rasa gembira
dan nikmatnya tidak berbeda dari pada Peng-say. Makin
lama bahkan seperti lupa daratan, ber-ulang2 nona itu
mulai main mata terhadap anak muda itu.
Perasaan orang lain yang hanyut oleh irama kecapi itu
ternyata tidak berubah, hanya saja dari duka nestapa tadi kini telah berubah menjadi riang gembira, air muka yang
sedih sama hilang, kini semuanya memejamkan mata
dengan tersenyum, se-olah2 sedang mengenangkan kejadian
yang menyenangkan yang pernah dialaminya,
Setelah lagu itu selesai dimainkan, sepasang muda-mudi
yang baru kenal ini saling pandang seperti sahabat lama
yang sudah lama berpisah, Baik Tonghong Kui-le maupun
Peng-say berdiri dengan tersenyum simpul. keduanya
sama2 bergirang se-olah2 baru mendapatkan sahabat karib, keduanya saling pandang tanna berkedip.
Tonghong Kui-jin merasa heran, pikirnya "Aneh, bilakah mereka berkenalan" Jangan2 orang ini adalah kekasih Cici"
Pantas Cici tidak gugup ketika melihat aku ditawan
olehnya, sebaliknya dia juga cuma mencegah aku


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membunuh Sam-lo dan tidak bertindak kasar padaku."
Dalam pada itu, Tionggoan-samyu dan anak muridnya
yang bertenaga dalam kuat sudah mulai sadar dan
membuka mata. Tonghong Kui-jin menjadi kuatir melihat Sam-lo sudah
sadar kembali. Kakaknya sudah selesai memetik kecapi dan Sam-lo tidak kurang apapun, sebentar lagi mereka kakak
beradik tentu akan ditangkap untuk memaksa ayahnya
memenui janji yang telah dikemukakan kakaknya. Padahal
kedatangan mereka ini hanya bertekad harus menang,
tujuannya membunuh Tionggoan-samyu, sama sekali
mereka lidak pernah membayangkan akan kalah dan untuk
itu harus memenuhi janji apa segala.
Sekarang kekalahan sudah jelas di pihak mereka, terang
mereka tak dapat memenuhi janji, jalan paling selamat
adalah kabur saja selekasnya. Maka Tonghong Kui-jin
lantas berteriak: "Cici, lekas minta kekasihmu melindungi kita lari!'
Melihat belati Tonghong Kui-jin tadi tergeletak didepan
mereka, meski Bok Jong-siong tidak tahu sebab apa Hiat-to nona itu tertutuk, tapi pahamlah dia sekarang akan tipu
muslihat kakak beradik itu. segera ia menjengek: "Lari"
Hm. sudah kalah lantas mau lari begitu saja?"
"Kami tidak kalah!" teriak Tonghong Kui-jin. "Kekasih Ciciku yang menyelamatkan kalian, kalau dia tidak campur tangan, tentu sejak tadi kalian bertiga sudah mati di ujung belatiku'"
"Oo?" dengan ragu Bok Jong-siong mengikuti sorot mata Tonghong Kui-jin kearah Peng-say, tanyanya: "Jadi dia yang mencegah perbuatanmu?"
Mulut Tonghong Kui-jin menjengkit, dengan angkuh ia
berkata: "Memangnya! Kalau tidak ada dia, betapa lihay Sam-yu kalian juga akan kalah habis2an."
"Suara kecapi kakakmu hakikatnya tidak dapat
membunuh kami," kata Bok Jong-siong.
"Ya, tapi kami kan tidak menyatakan suara kecapi akan langsung membunuh orang," kata Tonghong Kui-jin. "Coba
kalau tadi kekasih Taciku tidak ikut campur tangan, apakah kalian dapat lolos dari ujung belatiku?"
Sam-yu sama memandang kearah Sau Peng-say,
tertampak anak muda itu dan Tonghong Kui-le masih
saling pandang dengan mesra tanpa menghiraukan orang
lain, jelas keduanya adalah sepasang kekasih yang cinta
mencintai. Jadi mereka bertiga memang betul telah
diselamatkan oleh kekasih musuh, meski tidak kalah, apa
pun yang dapat mereka katakan"
Tonghong Kui-jin berkata pula: "Jika kalian bertiga terbunuh, meski tidak langsung mati di tangan Taciku, tapi asal mulanya adalah karena kalian terpengaruh oleh suara kecapi Taci dan secara tidak langsung kalian terbunuh.
Apabila kalian mampu, kalian harus menggunakan
kekuatan batin sendiri untuk mendengarkan lagu Siau-goyan-he tadi, tapi kenyataannya kalian tidak sanggup
melawannya, jadi kalau menurut aturan, jelas kalian yang kalah dan bukan kami."
Diam2 Thian-bun Totiang merasa mulut nona cilik ini
sangat tajam, sudah kalah berbalik menuduh pihak lawan
yang harus menyerah. Betapapun hal ini lidak boleh diakui, kalau tidak, tentu nona itu akan mendesak mereka agar
membunuh diri. Teringat kepada hal tersebut, cepat Thian-bun berkata:
"Kami tidak suka banyak omong dengan kalian, kita hanya bicara menurut perjanjian, kami sudah mempertaruhkan
jiwa dengan kakakmu, apakah kami harus mati di bawah
suara kecapi Tacimu atau terbunuh oleh tipu muslihat, bila betul mati. tentunya kami tidak dapat omong apa2 lagi.
Tapi sekarang kami masih hidup segar bugar dan hal ini
berarti kalian yang kalah. Dan kalau kalian kalah, kalian harus menjadi tawanan kami, baru akan kami bebaskan
kalian apabila ayahmu sudah memenuhi janji dengan
menarik seluruh kekuatan Ma-kau keluar dari daerah
Tionggoan."
Maksud Tonghong Kui-jin sebenarnya hendak putar
lidah untuk membikin Sam-lo tidak dapat bicara lagi,
dengan demikian mereka kakak beradik dapat meninggalkan Thay-san dengan selamat.
Tak terduga Thian-bun Totiang tidak pedulikan
ocehannya dan tetap tidak mau mengaku kalah. Diam2
Tonghong Kui-jin menjadi kuatir kalau2 Tojin yang
pemberang ini sampai naik darah dan main kasar, maka
jangan harap lagi mereka akan pergi dengan aman.
Cepat ia menggunakan siasat lunak, katanya: "Baiklah, apa yang terjadi barusan tak dapat dikatakan Sam-lo yang kalah, tapi kami pun tidak kalah, bagaimana kalau kita
anggap seri" Sam-lo adalah tokoh2 berbudi luhur dan orang tua welas asih, tentunya kalian tidak akan sembarangan
menangkap anak perempuan yang datang tanpa membawa
senjata seperti kami ini" Apalagi yang menolong kalian
adalah kekasih Taciku sendiri, bagaimana kalau kalian
memberi kelonggaran kepada kami mengingat pertolongannya tadi?"
Meski keras watak Thian-bun Totiang, tapi dia memang
orang yang suka pada yang lunak dan tidak mau pada yang
keras. Setelah si nona bicara secara halus, hatinya menjadi lemas dan tidak bersuara lagi.
Segera Bok Jong-siong menukas: "Baiklah, mengingat
saudara Sau. bolehlah kalian pergi saja!"
Dengan tertawa girang Tonghong Kui-jin lantas berseru:
"Ayolah, Cici, untuk apa bertengger disitu" Lekas bukakan Hiat-to adikmu ini!"
Tak terduga, mendadak Peng-say berkata; "Bok-lo.
selamanya aku tidak kenal kedua nona ini."
"Hah, apa betul?" serentak Sam-lo menegas.
"Betul," sambung Tonghong Kui-le tiba2. "Memang betul selama ini kami tidak kenal Sau-kongcu ini. Apabila tidak keberatan, bolehkah kutahu nama Sau-kongcu yang
terhormat?"
"Baru tadi kudatang kemari dan ingin mengabdi kepada Sam-lo, jadi aku adalah musuh dengan Mo-kau kalian,
kukira tidak perlu saling memperkenalkan nama," jawab Peng-say ketus.
Rupanya ia lihat Sam-lo hendak membebaskan musuh
penting karena dirinya, maka perlu ia menegaskan
pendiriannya agar Sam-lo tidak salah paham padanya
sehingga mempengaruhi persatuan mereka menghadapi
Say-koan kelak.
Tonghong Kui-le melengak oleh jawaban Peng say itu,
tapi ia lantas tersenyum dan berkata: "Jadi kau
menghendaki Sam-lo menawan kami kakak beradik?"
"Cayhe tiada permusuhan dan dendam apa-pun dengan
nona berdua, dengan menjelaskan pendirianku bukanlah
maksudku agar kalian ditangkap oleh Sam-lo, soal kalian
akan ditawan atau tidak yang penting Sam-lo harus
mengesampingkan diriku dalam persoalan ini."
Segera Bok Jong-siong berkata: "Jika demikian kedua nona Tonghong tidak boleh pergi dengan begitu saja."
Dengan mendelik Tonghong Kui-jin lantas berteriak:
"Habis akan kalian apakah kami berdua" Memangnya
kalian mengira pihak yang menang dan kami akan ditawan
untuk dijadikan sandera dan memaksa ayahku mengundurkan segenap kekuatan Mo-kau dari Tionggoan?"
"Sesuai kehendak nona tadi, biarlah kita mengakui apa yang terjadi tadi sebagai seri, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang, kami pun takkan memaksa ayahmu
melaksanakan janji Taci-mu tadi. Cuma kalian datang
dengan muslihat keji, betapapun kalian tak boleh pergi
seenaknya, kalian harus diberi tanda jasa sedikit agar
segenap orang Kangouw tahu Thay-san bukan tempat yang
boleh sembarangan disatroni."
Baru habis ucapan Bok Jong-siong, mendadak diluar
bergema gelak tertawa orang yang memekak telinga,
serunya: "Jong siong, untuk apa membikin susah dua orang anak dara?" " Belum lenyap suaranya, sesosok bayangan hitam secepat anak panah terus melayang tiba.
"Tonghong Put-pay!" bentak Bok Jong-siong.
Mendengar pendatang adalah Ma-kau-kaucu Tonghong
Put-pay, cepat Peng-say melompat ke depan Tonghong Kuijin, kedua tangan bersilang didepan dada dan siap
menghadapi segala kemungkinan.
Cepat amat datangnya bayangan hitam tadi, belum lagi
Peng-say melihat jelas wajah pihak lawan, tahu2 suatu arus angin dahsyat menyambar dari depan.
"Bagus!" teriak Peng-say. Berbareng kedua tangannya juga disodokkan ke depan.
Terdengar suara "blang" yang keras, Peng-say tetap berdiri tegak di tempatnya, sebaliknya bayangan hitam itu bersuara
heran. Menyusul tangan kirinya terus menghantam seorang Tosu Yan-san-pay yang sedang
berdiri di sebelah Peng-say.
Melihat Tosu itu tidak ber-jaga2, cepat Peng-say
menolongnya, segera ia menggeser kesana terus mencengkeram sehingga serangan lawan dipatahkan.
"Haha! Tertipulah kau!" seru bayangan hitam tadi sambil bergelak tertawa. secepat kilat ia tarik kembali serangannya, lalu berjongkok dan mengangkat Tonghong Kui-jin sembari
berteriak: "Ayo, pergi, anak Le!"
Sam-lo serentak menghantam, tak terduga bayangan
hitam dapat melayang pergi secepat terbang, hanya ujung
jubahnya saja tampak berkibar, hantaman mereka tidak
mencapai sasarannya.
Thian-bun Totiang penasaran, segera ia hendak
mengejar, tapi Bok Jong-siong lantas mencegahnya.
"Sudahlah, biarkan mereka pergi!"
Tadi semua orang hanya melihat bayangan hitam
melayang masuk secepat terbang, mengenai caranya
mengadu pukulan dengan Sau Peng-say dan menolong
puterinya, gerakannya terlalu cepat sehingga tak terlihat jelas, habis itu dengan begitu saja bayangan hitam itu
melayang pergi pula dengan memondong dan menggandeng dua nona, hanya sekejap itu kedua puterinya
telah dibawanya lari.
Beberapa anak murid Tay-san-pay segera akan mengejar
juga, tapi Bok Jong-siong segera membentak: "Semuanya kembali, tidak perlu mengejar!" " Ia tahu tiada seorangpun mampu melawan Tonghong Put-pay, jika mengejar, paling2
hanya mengantarkan nyawa.
Didengarnya di kejauhan bergema suara tertawa orang
yang memekak telinga katanya: "Kedua anak perempuan ini tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, secara sembrono mereka menerjang ke atas gunung dengan
maksud hendak mengembangkan namanya, maaf jika
tindakan mereka telah mengganggu kalian!" " Pada waktu mulai bicara terasa orangnya baru di depan rumah, tapi
pada akhir katanya rasanya orang sudah berada beratus
tombak jauhnya.
"Sungguh tak terduga, selain Kungfunya nomor satu di dunia, iblis inipun memiliki Ginkang yang hebat!" kata Thian-bun Totiang sambil menyengir.
'Konon Ginkang Ban-li-tok-heng Thio Yan-cuan itupan
ajaran Mo-kau-kaucu," kata Ting-sian.
"Apa betul?" Thian-bun terkejut.
"Akupun tidak begitu jelas, tanya saja kepada Bok-lo,"
kata Ting-sian.
"Waktu Mo-kau mula2 muncul di Kangouw, karena
pengalamanku masih cetek, aku telah salah bergaul juga
dengan Tonghong Put-pay," tutur Bok Jong-siong. "Ai, karena
kesalahan yang tidak sengaja
itu, jadilah penyesalanku selama hidup ini."
Sesudah berhenti sebentar, ia berkata pula: "Memang betul, Ginkang si bangsat cabul Thio Yan-coan itu memang betul ajaran Tonghong Put-pay."
Thian-bun Totiang menggeleng kepala, katanya dengan
gegetun: "Pantas ketika kedua anak perempuannya
menerjang ke atas sini, sepanjang jalan tiada berita yang kita terima, tampaknya betapa ketat penjagaan kita tetap sukar menahan serbuan anak murid Tonghong Put-pay."
"Jangan Totiang terlalu
percaya kepada bualan Tonghong Put-pay," kata Bok Jong-siong. "Hm, kedua budak itu sembarangan menerjang ke atas gunung sini.
kalau tidak dibawa sendiri olehnya mana mampu kedua
budak itu sampai disini" Aku cukup kenal pribadi
Tonghong Put-pay, lahirnya saja dia berlagak sebagai
seorang ksatria sejati, padahal hatinya kejam luar biasa, tiada kejahatan yang tidak diperbuatnya. Kalau tidak, mana
bisa nama Mo-kau menjadi sebusuk ini di bawah
pimpinannya" Dia melihat Sam-yu kita bersatu-padu
dengan kuat, ia tahu bila sembarangan menyerbu kesini
pasti akan mengalami kegagalan total, sebab itulah sebegitu jauh dia tidak berani sembarangan bertindak. Sam-yu kita adalah seperti duri di dalam dagingnya, sebelum tertumpas dia tidak dapat tidur nyenyak, kalau menyerbu secara
terang2an tidak berani, maka dia lantas mengutus kedua
budaknya itu untuk melaksanakan tipu muslihat kejinya.
Ingin mengembangkan nama, itulah alasan yang dia
berikan kepada anaknya, bila rencananya berlangsung
dengan baik dan Sam-yu kita terbunuh, maka senanglah
dia. Bila gagal, dengan alasan ingin menolong anaknya
yang tidak menuruti nasihatnya dia lantas unjuk diri disini."
"Ya, untung hari ini Sau-sicu berada di sini, kalau tidak Sam-yu kita pasti celaka," ujar Thian-bun sambil memberi hormat kepada Sau Peng-say.
"Ah, Wanpwe hanya hadir secara kebetulan saja,
menjadi kewajibanku juga untuk membantu sekuatnya,"
kata Peng-say sambil membalas hormat.
Melihat Tonghong Put-pay telah mengadu pukulan
dengan anak muda itu dan tidak dapat membuatnya
tergetar sedikitnya, tahulah Ting-sian Suthay bahwa
Lwekang Peng-say sukar dijajaki, dengan tertawa iapun
berkata: "Nyata kita telah salah pandang semua. Sau-sicu terbukti tidak terpengaruh oleh suara kecapi jangan2
Lwekangmu sudah mencapai tingkatan penyatuan jiwa-raga
seperti ayahmu?"
"Lwekangku sebenarnya sangat rendah," tutur Peng-say,
"tapi mendiang ayahku diam2 telah menyalurkan segenap tenaga dalamnya kepadaku, aku sendiri tidak tahu apakah
sudah mencapai tingkatan seperti apa yang dikatakan
Suthay, yang terang, lantaran kehilangan Lwekangnya,
maka ayah sampai dicelakai oleh Ting Tiong dan Liok
Pek." "Omitohud!" Ting-sian bersabda. "Pantas Sau-tayhiap tertimpa musibah, kalau tidak begitu, siapa yang mampu
membunuhnya?"
"Sakit hati ayah harus kubalas," kata Peng-say dengan perasaan berduka, "untuk itu, mohon Sam-lo sudi memberi bantuan dan Wanpwe pasti akan sangat berterima kasih "
"Kejahatan yang diperbuat Say-koan tidak kurang dari pada Ma-kau, musuh utama Sam-yu sekarang ialah Say-koan, sekali pun tiada permintaanmu, Sam-yu juga takkan
tinggal diam terhadap biang-keladinya."
Tiba2 Bok Jong-siong bertanya: "Tadi waktu kami
bertiga hanyut oleh suara kecapi, lalu ada suara seruling mengiringi bunyi kecapi, apakah Sau-lote yang meniup
serulingnya?"
Waktu mereka sadar, Peng-say sudah menyimpan
kembali serulingnya sehingga tidak diketahuinya siapa yang meniup seruling, hanya samar2 mereka tahu ada suara
seruling yang mengiringi kecapi yang dipetik Tonghong
Kui-le. Maka Peng-say mengangguk: "Betul, Wanpwe yang
meniup seruling."


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Entah lagu yang dibawakan Sau-lote tadi dapat belajar dari siapa?" tanya Bok Jong-siong pula.
"Berdasarkan satu buku not pelajaran seruling yang
bernama Siau-go-yan-he dan dapat kupelajari sendiri," tutur Peng-say.
"Pemberian siapa pula buku not seruling itu?"
"Dari Gihengku Peng-lam," kata Peng-say.
"Oo," Bok Jong-siong seperti menyadari sesuatu, "pantas rasanya
sudah pernah kudengar, kiranya
sebelum meninggal Wi-sute telah menghadiahkan buku nada
Serulingnya kepada Gihengmu lalu dari Gihengmu
diberikan pula kepadamu. Akan tetapi kemana perginya
buku nada kecapi milik Kik Yang?" .
"Nada kecapi apa?" tanya Peng-say heran.
"Waktu mudaku pernah salah bergaul dengan orang
jahat, tak tersangka Wi-sute telah mengulangi perbuatanku itu dan bersahabat dengan gembong Mo-kau Kik Yang.
Cuma Wi-sute tidak bergaul secara ngawur seperti diriku.
mereka bersahabat berdasarkan perpaduan suara seruling
dan kecapi, nilai persahabatan mereka suci bersih dan tak dapat dibayangkan oleh orang awam. Sayang, antara aku
dan Wi-sute ada selisih paham, aku tak dapat memahami
dia sehingga waktu Coh Cu-jiu menyuruh ketiga Sutenya
mencelakai Wi-sute, sekalipun sebelumnya aku sudah
dengar, tapi aku tidak segera tampil untuk mencegahnya.
Sesudah itu, menjelang ajalnya, kudengar Wi-sute dan Kik Yang bersama membawakan lagu 'Siau-go-yan-he' diluar
kota Cu-joan, dari suara musik mereka itulah kutahu
persahabatan mereka sangat akrab dan bersih. Cuma
sayang, keadaan sudah terlambat, biarpun pada saat
berbahaya dapat kubunuh Hui Pin toh tetap tak dapat
menyelamatkan jiwa mereka. Dengan kematian mereka
kupikir lagu Siau-go-yan-he yang sukar dicari itu
selanjutnya pasti akan lenyap dari muka bumi ini, siapa
tahu dua tahun kemudian dapat kudengar pula disini."
Dia berhenti sejenak, lalu berkata pula: "Waktu nona Tonghong menyebut nama lagunya tadi, tergetar juga
hatiku. Kupikir mungkin cuma judulnya saja yang sama,
tapi bukan lagu Siau-go-yan-he ciptaan Kik Yang dan Wisute. Akan tetapi setelah kau mengiringinya dengan suara
serulingmu, nadanya lantas berubah dan mirip waktu lagu
itu dibawakan oleh Wi-sute dan Kik Yang. Cuma waktu itu
mereka dalam keadaan terluka parah, badan lemah dan
tenaga kurang, tentunya tidak seperti permainan kalian tadi yang dapat menghanyutkan para pendengarnya dan
melupakan segala apa disekitarnya. Sekarang kutahu dari
buku nada seruling pemberian Wi-sute itulah kau dapat
belajar lagu Siau-go-yan-he ini, tentunya pada Kik Yang
juga ada buku nada kecapi yang sama, jangan2 sebelum
mati Kik Yang telah memberikan buku nada itu kepada
cucu perempuannya, yaitu Kik Fi-yan, nona cilik itu
membawa pulang buku nada itu kepada Ma-kau dan
sekarang nona Tonghong itu berhasil pula mempelajarinya
seperti halnya kau."
"Tidak," tutur Peng-say, "Wi-susiok memberikan buku nada seruling kepada Peng-lam Giheng, Kik Yang juga
memberikan buku nada kecapi kepadanya."
"Oo" Darimana kau tahu?" tanya Jong-siong.
"Giheng sendiri pernah berkata kepadaku bahwa
padanya masih ada satu buku nada kecapi dengan judul
'Siau-go-yan-he',
maksudnya aku disuruh mengajar Siausumoaynya, yaitu Leng Hiang. kemudian berhubung
sesuatu hal Leng Hiang Sumoay tidak jadi belajar,
seterusnya buku nada itu pun tidak pernah diperlihatkan
padaku. Setelah diingatkan Bok-lo barulah kuingat kepada kejadian dahulu itu,"
Bok Jong-siong merasa bingung, katanya: "Kalau begitu, mengapa buku nada tersebut bisa beredar sampai ditangan
puteri Tonghong Put-pay sehingga dia berhasil mempelajarinya" Jangan2....." tapi mengingat persoalan ini sangat penting, segera ia tutup mulut dan tidak berani
sembarangan meramal.
Menurut perkiraanku, bisa jadi buku nada itu beredar
ketangan orang Ma-kau melalui tangan Ban-li-tok-heng
Thio Yan coan," tutur Peng-say.
"Aneh, kenapa berhubungan lagi dengan bangsat cabul itu?" tanya Bok Jong-siong.
Peng-say merasa malu bila teringat kepada kejadian
dahulu, ia menceritakan sekadarnya apa yang pernah
dialaminya, lalu berkata: "Ilmu pedang Wan-pwe terlalu rendah dan jauh bukan tandingan ilmu golok kilat Thio
Yan-coan itu sehingga kusaksikan dia menawan pergi
Gihengku tanpa dapat bertindak apa2....."
"Ilmu golok Pi-hong-cap-sah-to Thio Yan-coan itu
memang juga ilmu golok kebanggaan Tonghong Put-Pay
dan jarang ada yang sanggup menandinginya," ujar Jong-siong.
"Bicara sejujurnya. Suteku Te-coat Tojin juga tewas di tangan bangsat she Thio itu dengan golok kilatnya," sela Thian-bun Totiang.
Peng-say tahu maksud mereka adalah untuk menghiburnya, ia mengangguk dan berkata pula: "Kupikir setelah Gihengku jatuh dalam cengkeraman murid Mo-kau
seperti Thio Yan-coan itu, dengan sendirinya buku nada
kecapi yang dibawanya juga telah digeledah oleh Thio Yan coan dan kemudian dipersembahkannya kepada gurunya."
Bok Jong-siong menggeleng, katanya: "Tidak, tidak
mungkin. Kejahatan bangsat she Thio itu sudah kelewat
takaran dan terlalu berani, hal ini tidak disukai Tonghong Put-pay, maka sudah lama dipecat dari perguruannya,
sudah lama dia mencari dunianya sendiri dan tidak
mungkin dia pulang ke Ma-kau untuk mempersembahkan
sejilid nada kecapi. Setahuku, dia telah di-uber2 oleh Tingyat Suthay, saking kepepetnya dia telah kabur ke daerah
selatan, bila dia berani kembali lagi ke Ma-kau, tentu dia tidak perlu ngacir jauh keselatan melainkan pulang dan
minta perlindungan kepada Tonghong Put-pay."
"Demi mencari murid kesayangannya si Gi-lim. sampai sekarang Sumoayku masih sibuk mencari jejak bangsat she
Thio itu bila dia lari pulang dan minta perlindungan kepada Mo-kau, betapapun tabahnya Sumoay tentu juga tidak
berani mencari perkara kesana." kata Ting-sian Suthay.
"Sekarang kita sudah merasakan lihaynya lagu Siau-goyan-he, kitab nada kecapi itu tiada ubahnya kitab pusaka ilmu silat dan tak ternilai harganya, bukan mustahil bangsat Thio Yan-coan itu akan menggunakan kitab berharga ini
sebagai persembahannya kepada Tonghong Put-pay agar
dia dapat diterima kembali kedalam Ma-kau?" kata Thian-bun Totiang.
"Kutahu Thio Yan coan itu jahat lagi tamak," kata Bok Jong-siong. "Bilamana dia tahu kitab nada kecapi yang berada pada Sau Peng-lam itu tak ternilai harganya, tentu akan dikangkangi dia sendiri, tidak nanti dibawanya pulang ke Ma-kau dan dipersembahkan kepada gurunya."
"Jika begitu, cara bagaimanakah kitab nada kecapi Sau Peng-lam itu bisa jatuh ke tangan orang Ma-kau?" tanya Thian-bun.
Bok Jong-siong termenung sejenak, katanya kemudian:
"Waktu kita dengar berita terbunuhnya segenap anggota Lam-han, bagaimana perasaan To-heng ketika itu?"
"Tatkala mana betapapun aku tidak percaya Ting Tiong dan Liok Pek mampu membunuh Sau Ceng-hong, tapi
sekarang baru kutahu lebih dulu dia sudah kehilangan
Lwekangnya," kata Thian-bun Totiang.
"Sau-lote," tanya Bok Jong-siong kepada Peng -say,
"kabarnya sebelum anggota perguruanmu terbunuh, lebih dulu mereka telah dikerjai orang, apa betul?"
"Ya, Ting Tiong dan Liok Pek benar2 kotor dan rendah, mereka telah menggunakan obat bius," tutur Peng-say dengan gemas.
Bok Jong-siong manggut2, lalu ia bertanya kepada
Thian-bun Totiang: "Menurut pendapat To-heng, apakah mungkin Leng-lihiap dapat dicelakai Ting Tiong dan Liok
Pek segampang itu?"
"Jangankan cuma Sutenya, biarpun dengan Gin kang
Coh Cu-jiu sendiri juga jangan harap akan dapat mendekati kamar tidur Sau Ceng-hong untuk meniupkan obat bius
diluar tahu Sau Ceng-hong." kata Thian-bun. "Mengenai Leng Tiong-cik, ilmu silatnya tidak dibawah kita, terang Ting Tiong berdua juga sukar mencelakainya."
"Aku pun berpikir begitu," ujar Bok Jong-siong. "Bagiku di dunia ini hanya ada Ginkang seorang yang mampu
berbuat sesuatu didepan kamar tidur Leng-hiap dan
berlangsung diluar tahunya."
"Tonghong Put-pay!" seru Thian-bun Totiang.
"Bagaimana
pendapat Suthay?"
tanya Jong-siong terhadap Ting-sian.
"Kalau Tonghong Put-pay tidak takut perbuatan kejinya itu akan menimbulkan kemarahan dunia persilatan
umumnya, tentu tindakannya itu mempunyai alasan yang
kuat, cuma tidak diketahui apa tujuannya dia menempuh
bahaya dengan menyatroni Lam-han?" kata Ting-sian
Suthay. Di balik ucapannya itu jelas dia telah mengakui
hanya Tonghong Put-pay saja yang mampu berbuat apa2
diluar kamar tidur Leng Tiong-cik tanpa kuatir dipergoki pendekar perempuan yang lihay itu.
"Persekutuan Lima Besar kita memang harus diakui
kurang beruntung karena dipimpin oleh ketua yang kurang
bertanggung-jawab, tapi apapun juga persekutuan kita tetap membuat kepala pusing Tonghong Put-pay," ucap Bok
Jong-siong. "Bilamana dia ingin memperluas pengaruh Ma-kau, sedikitnya dia harus menghancurkan dulu persekutuan Lima Besar kita. Lihat saja caranya dia memperalat jiwa
Coh Cu-jiu yang sempit itu dengan menyebarkan berita
tentang terbunuhnya Hui Pin olehku, jelaslah Tonghong
Put-pay sengaja hendak memecah belah dan mengadu
domba diantara Lima Besar kita untuk kemudian satu
persatu dihancurkan. Betapapun harus kita akui, Sau-heng terhitung paling kuat diantara kelima aliran kita, cuma
sayang caranya menerima murid hanya mengutamakan
kwalitas dan tidak kwantitas, karena itulah sejauh itu
kekuatan Lam-han terhitung paling lemah diantara
persekutuan kita. Kalau Tonghong Put-pay ingin menggempur Lima Besar tentu akan dipilihnya bagian yang
paling lemah, jadi Soh-hok-han pasti akan dijadikan sasaran pertama."
"Ya, mungkin itulah alasan pokok Tonghong Put-pay
menumpas Lam-han lebih dulu, tapi tak dapat dikatakan
Sau-tayhiap terlalu sedikit muridnya dan lemah kekuatannya, maka lebih dulu menjadi sasaran pihak Makau," kata Ting-sian. "Maklumlah, Lam-han mempunyai hubungan yang erat dengan Bu-tong-pay. anak murid Bu-tong-pay berjumlah ribuan dan siap untuk diperbantukan
kepada Sau-tayhiap, sesungguhnya kekuatan kami sendiri
tak dapat menandingi Lam-han, jika betul Tonghong Putpay hendak menghancurkan Lima Besar satu persatu, maka
sasarannya yang pertama seharusnya Siong-san-pay kami."
"Bicara tentang kekuatan masing2, sesungguhnya Yansan kami pun lebih lemah daripada Siong-san," kata Thian-bun Totiang. "Tapi Tonghong Put-pay tidak berani
menyerang Yan-san, sebab ia tahu, bila Yan-san hancur,
sisa empat aliran lain tentu akan bersatu lebih erat untuk menghadapi Ma-kau. Tonghong Put-pay tidak gentar
terhadap salah satu aliran kita, yang ditakuti adalah kita bersatu-padu menghadapi dia, Tonghong Put-pay tidak
terlalu ambisius seperti Co Cu-jiu, yang diutamakan adalah perkembangan
Ma-kau, agaknya dia tidak mau sembarangan mengorbankan jiwa sebagian besar anak
buahnya dengan menyerang Lam-han dan sisa keempat
aliran lainnya."
"Betul," Bok Jong-siong mengangguk tanda setuju.
"Disinilah letak perbedaan Tonghong Put-pay dengan Coh Cu-jiu. Tonghong Put-pay tegas2 menyatakan bahwa
pedomannya adalah orang tidak menyatroni dia, maka dia
pun tidak mengganggu orang. Cuma ajaran agamanya yang
disebarnya itu berlawanan dengan dasar hidup dunia
persilatan kita, maka mau-tak-mau kita harus mencegah
perluasan pengaruh Ma-kau. Jika dia sendiri yang
menumpas Lam-han, bukan mustahil persoalannya di
timbulkan oleh kitab nada kecapi itulah,"
"Apakah maksud Bok-lo. demi mendapatkan kitab nada
kecapi yang berada pada Giheng-ku itu, maka Tonghong
Put-pay tidak segan2 bertindak keji dan kotor?" sela Peng-say.
"Ehm, besar kemungkinan memang begitu," kata Bok Jong-siong.
"Tapi cara bagaimana menjelaskan bekas pukulan Tayjiu-in yang terdapat pada para anggota Lam-han yang
terbunuh itu?" tanya Peng-say.
"Tonghong Put-pay sangat pintar. hampir setiap Kungfu andalan berbagai aliran dan perguruan
lain juga dipelajarinya, lebih2 Lima Besar kita yang jelas2 memusuhi dia, tentu saja dia lebih2 giat berusaha menjajaki ilmu silat andalan kita. Tay-jiu-in adalah Kungfu andalan Say-koan
yang sukar dilatih, tapi mungkin dia berhasil mencuri
belajar sedikit. Setelah kawan2 Lam-han kalian dikerjai
dengan obat bius, dalam keadaan tak sadar tentu mudah
terpukul olehnya, maka tidak sulitlah baginya untuk
meninggalkan bekas pukulan Tay-jiu-in di tubuh setiap
korbannya."
"Dan Ting Tiong dan Liok Pek mengapa mau menerima
tuduhan orang yang sesungguhnya bukan diperbuat oleh
mereka?" tanya Peng-say.
"Ting Tiong dan Liok Pek itu serupa Suheng mereka,
sama sombong dan tinggi hati, anggapan mereka hanya
Say-koan saja yang paling hebat, aliran lain bukan
tandingan mereka. Bisa jadi Peng-lam oleh Tonghong Putpay sengaja dibiarkan hidup, tapi lebih dulu merusak
syarafnya sehingga pikirannya menjadi tidak waras, dalam keadaan linglung Peng-lam lantas menyiarkan peristiwa
terbunuhnya segenap anggota Lam-han adalah perbuatan
Ting Tiong dan Liok Pek. dengan begini perhatian orang
dapat dialihkan sehingga orang tidak mencurigai dia dan
terhindarlah dia dari kerubutan umum. Rupanya kedua
keparat Ting Tiong dan Liok Pek itupun mau saja
menanggUng tuduhan orang, mereka mengira dengan
demikian nama mereka akan tambah terkenal sehingga
Ngo-hoa-koan juga bertambah wibawa dan termashur."
"Apakah Bok-lo tahu antara Coh Cu-jiu ada sengketa
apa2 dengan mendiang ayahku?" tanya Peng-say,
"Memangnya kenapa?" tanya Bok Jong-siong.
Peng-say tidak ingin bercerita tentang pertemuan Ki-lian-san dahulu, maka ia hanya menjawab: "Menurut Kiausuheng, dahulu ayah tidak setuju Coh Cu-jiu dipilih sebagai Bengcu persekutuan Lima Besar, entah betul tidak hal ini?"
"Ayahmu memang lebih tahu daripada orang lain," kata Jong-siong dengan gegetun. "Kalau dipikir sekarang baru diketahui sebab musababnya dia anti terpilihnya Coh Cn-jiu dahulu, kiranya dia sudah dapat mengetahui Coh Cu-jiu
berjiwa kotor dan bukan Bengcu yang tepat. Sayang dahulu Sam-yu kami tidak mau menerima nasihatnya, akhirnya
kami tetap mendukung Coh Cu-jiu dan terpaksa ayahmu
menyetujuinya."
"Bok-lo sendiri tahu kesempitan jiwa Coh Cu-jiu.
persoalan kecil saja pasti dituntutnya, apakah tidak
mungkin dia dendam kepada ayah, lalu menyuruh Ting
Tiong dan Liok Pek membikin celaka segenap anggota
Lam-han kami?"
Bok Jong-siong terdiam sejenak, katanya kemudian:
"Tapi kecurigaan terhadap Tonghong Put-pay jauh lebih besar daripada Coh Cu-jiu, buktinya anak perempuannya
mahir memetik lagu Siau-go-yan-he, inilah soal yang sukar dipecahkan."
"Tapi buku nada kecapi berada pada Gihengku Peng

Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lam, darimana Ma-kau-kaucu bisa tahu?" tanya Peng-say.
"Tentu saja Kik Fi-yan yang melaporkan padanya," kata Jong-siong. "Pendek kata, setiap kejadian sebelum
kakeknya mati tentu akan dilaporkannya kepada Tonghong
Put-pay." "Lalu darimana pula Tonghong Put-pay mengetahui
bahwa lagu itu mempunyai daya pikat terhadap musuh?"
tanya Peng-say pula.
"Inilah kuncinya yang utama," kata Jong-siong. "Jika sebelumnya Tonghong Put-pay memang sudah tahu lagu
kecapi itu ada daya pikat terhadap musuh, maka
terbunuhnya anggota perguruan Lam-han kemungkinan
adalah perbuatannya, kalau sebaliknya memang tiada
alasan untuk menuduhnya."
"Betul," tukas Ting-sian Suthay, "memang disinilah letak kunci utama tindakan Tonghong Put-pay. Bila sebelumnya
dia tidak tahu apa manfaat kitab nada itu, rasanya tidak perlu menyerempet bahaya dengan mencelakai Sau-tayhiap."
"Kik Yang adalah gembong Ma-kau, demi kejayaan
agamanya sudah tentu ia ingin menciptaksn sesuatu senjata yang ampuh untuk mengalahkan musuh, maka menurut
pendapatku, Tonghong Put-pay adalah biangkeladi daripada terbunuhnya segenap anggota Lam-han," kata Thian-bun Totiang. "Sebab itulah, selaku Kaucu tentunya iapun tahu usaha Kik Yang akan menciptakan lagu
mautnya itu, bisa jadi dia sendiripun memberi dukungan
akan daya cipta Kik Yang itu."
"Kalau cuma untuk mengatasi musuh, Ma-kau mereka
tidak kurang tokoh2 tangguh," kata Bok Jong-siong. "Cita2
Kik Yang sendiri mungkin tidak terbatas cuma untuk
mengatasi musuh saja, dengan lagu maut Siau-go-yan-he itu dia ingin mempengaruhi daya tempur tokoh Bu-lim yang
memusuhi mereka, bahkan dengan lagu itu ia ingin
memikat khalayak ramai agar menyembahnya sebagai
malaikat dewata. Dengan kekuatan anggota Ma-kau yang
fanatik tentu pengaruh mereka akan lebih disebar luaskan.
Sayang Wi-sute telah diperalat tanpa sadar untuk ber-sama2
menciptakan lagu itu, bilamana ia tahu dialam baka tentu juga akan menyesal."
Peng-say ternyata tidak sependapat, katanya sambil
menggeleng: "Jika betul begitu, kenapa Kik Yang tidak menyerahkan kedua kitab nada itu kepada sang Kaucu, tepi diberikan kepada Gihengku malah" Memang bisa terjadi
Wi-susiok keburu mengetahui muslihatnya, maka buku
nada seruling sebegitu jauh belum diserahkan kepada Kik
Yang, tapi paling tidak kitab nada kecapi milik Kik Yang sendirikan
seharusnya diberikan kepada cucu perempuannya agar dapat dibawa pulang ke Ma-kau?"
Karena uraian Peng-say cukup masuk diakal dan
beralasan, terpaksa Sam-yu tidak dapat bicara lagi.
"Maka menurut pendapatku," demikian ucap Peng-say lebih lanjut, "sebabnya Tonghong Kui-le mahir memetik lagu Siau-go-yan-he, besar kemungkinan sejak kecil dia ikut belajar nada Kik Yang, dengan sendirinya lagu ciptaan Kik Yang itu...."
Mendadak ia berhenti, sebab ia merasa uraiannya ini
kurang tepat. Setelah menciptakan lagu "Siau-go-yan-he"
itu, tentu Kik Yang juga tahu berbahayanya bilamana lagu tersebut dibawakan sendirian, mana mungkin diajarkannya
kepada Tonghong Kui-le dan membikin susah nona itu.
Didengarnya Thian-bun Totiang telah membenarkan
uraiannya tadi: "Batul, betul, besar kemungkinan budak itu belajar memetik kecapi langsung dengan Kik Yang dan
bukan belajar melalui kitab nada. tentunya kitab nada
kecapi itu masih berada pada Sau Peng-lam."
Dengan ucapannya ini, ia sendiri telah menyangkal
kepastian tentang Tonghong Put-pay adalah biangkeladai
pembunuhan segenap anggota Lam-han tadi.
Bok Jong-siong lantas berkata pula: "Tapi kalau
Tonghong Kui-le tidak belajar melalui kitab nada, tentunya dia sudah mahir memetik lagu itu sejak dua tahun yang
lalu, tidak mungkin baru sekarang dia menyatroni kita. hal inipun sangat mencurigakan."
Bicara sampai di sini, Peng-say jadi kehilangan
pegangan. Padahal urusan ini menyangkut sakit hati
pembunuhan ayahnya, betapapun harus diselidikinya sejelas2nya dan pasti dapat diketahui siapa sebenarnya si
pembunuhnya. Mendadak ia berbangkit dan memberi hormat kepada
Sam-yu, katanya: "Maaf. Wanpwe mohon diri sekarang
juga. " "He, Sau-lote hendak kemana?" tanya Bok Jong-siong.
"Ma-kau," jawap anak muda itu.
"Ma-kau?" Thian-bun terkejut, mendadak ia pun berdiri dan menegas: "Mau apa ke sana?"
"Untuk menyelidiki duduknya perkara yang sebenarnya,"
jawab Peng-say.
Bok Jong-siong manggut2, katanya: "Ya, hanya ke Makau saja segala persoalannya dapat diselidiki dengan jelas.
Cuma kukira apa pun juga tidak nanti Tonghong Put-pay
mau membeberkan rahasianya kepadamu, kepergianmu
seorang diri ini perlu dipikirkan dengan masak2."
"Demi menyelidiki duduk perkara yang sebenarnya
musibah yang menimpa perguruanku, terpaksa Wanpwe
menyerempet bahaya tanpa menghiraukan urusan lain,"
jawab Peng-say.
Si kakek kecapi menggeleng kepala, katanya pula:
"Tonghong Put-pay ini sangat jahat dan licin, tidaklah mudah bagimu
untuk memancing pengakuan dari mulutnya. Akan lebih baik jika kau tunggu lagi setahun dua tahun. bila kekuatan Sam-yu kami sudah terpupuk lebih
kuat, biarlah kami pergi bersamamu agar kau tidak
menghadapi bahaya seorang diri. Tapi sekarang kekuatan
Sam-yu belum cukup kuat untuk menghadapi Ma-kau,
kuharap Sau-lote dapat bersabar samentara waktu."
"Ya, betul juga," berbareng Thian-bun dan Ting-sian mendukung usul kawannya.
"Terima kasih atas maksud baik Sam-lo," kata Peng-say.
"Tapi Wanpwe sudah memutuskan akan pergi sekarang
juga, bukannya aku kepala batu, soalnya ingin cepat2
mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Soal bahaya,
biarlah Wanpwe sedapatnya menghindari kontak langsung
dengan Ma-kau."
"Apakah kau takkan langsung mencari Tonghong Putpay?" tanya Bok Jong-siong,
"Kungfu iblis ini memang maha sakti, kalau tidak perlu, demi keselamatanku sendiri tentunya kuhindari bertemu
dengan dia."
"Tapi kalau tidak langsung kau temui dia, cara
bagaimana akan kau dapatkan keterangan yang sebenarnya?" ujar Bok Jong-sion. "Hendaknya diketahui bahwa tindak-tanduk Tonghong Put-pay biasanya sangat
hati2, jika benar dia sendiri yang membunuh segenap
anggota perguruanmu, mungkin tiada orang kedua lagi
yang tahu kejadian ini."
"Maksud Bok-lo, dia sendiri yang langsung membunuh
ayahku dan lain2?" tanya Peng-say
"Kalau bukan dia sendiri, tiada orang kedua lagi di Ma-kau yang memiliki Ginkang begitu tinggi dan mampu
menyusup ke Lam-han tanpa diketahui oleh Leng Tiong cik
dan para Suhengmu. Jika dia turun tangan sendiri. hal ini menandakan dia sangat memandang panting urusan ini,
untuk menghindarkan rahasia tindakan diketahui orang,
sangat mungkin hanya dia sendiri yang turun tangan."
"Ya, memang dia sendiri saja yang mampu membunuh
segenap anggota perguruanku." kata Peng-say setelah termenung sejenak. "Tapi Wanpwe tidak percaya bahwa peristiwa ini ditutupnya rapat2 hingga anak perempuannya juga tidak diberitahu,"
"Apa katamu" Jadi kau takkan mencari Tonghong Putpay melainkan akan mencari anak perempuannya?" seru Thian-bun Totiang
"Ya, kupikir selain langsung mencari Tonghong Put-pay, jalan lain hanya cari anak perempuannya saja kalau aku
ingin tahu duduknya perkara yang sebenarnya," kata Peng-say.
Bok Jong-siong mengangguk: "Betul juga, dari anak
perempuannya itu kukira juga dapat dikorek keterangan
yang diharapkan. Cuma untuk menanyai Tonghong Kui-le,
bahayanya juga tidak lebih sedikit daripada langsung
mencari Tonghong Put-pay."
"Ah, masa begitu," ujar Thian-bun, "Kungfu anak perempuan itu mana dapat dibandingkan dengan ayahnya"
Kuyakin budak itu pasti bukan tandingan Sau-sicu."
"Sesungguhnya, dengan kemampuan Sau-lote sekarang
memang tidak perlu gentar lagi terhadap Tonghong Putpay," kata Bok Jong-siong. "Paling2 Sau-lote bukan tandingannya, tapi untuk menyelamatkan diri jauh daripada cukup. Tapi untuk menghadapi seluruh kekuatan Ma-kau,
hendaklah sedapatnya Sau-lote
menghindari kontak
langsung dengan Ma-kau, hendaklah merahasiakan jejak
dan jangan sampai kepergok Tonghong Put-pay dan kedua
anak perempuannya."
"Wah, kalau begitu, lalu kepada siapa Sau-sicu akan mencari keterangan?" Thian-bun.
"Menurut pendapatku, sebaiknya......"
Belum lanjut ucapan Bok Jong-siong. dengan tertawa
Peng-say menukas: "Jangan kuatir Bok-lo, ku kira tidaklah berbahaya jika kutemui Tonghong Kui-le."
"Apakah dia tidak bakal membongkar asal usulmu bila melihat kau?" tanya Bok Jong-siong.
"Wanpwe percaya dia takkan membikin susah padaku,"
jawab Peng-say pasti.
"Oo?" Bok Jong-siong menjadi ragu2, ia pikir jangan2
anak muda ini ada hubungan istimewa dengan nona
Tonghong itu. Maka iapun tidak banyak omong lagi.
Padahal antara Peng-say dan Tonghong Kui-le tidak ada
sesuatu hubungan istimewa apapun. Bahkan merekapun
baru bertemu satu kali saja. Cuma Peng-say mempunyai
firasat dan percaya bilamana bertemu lagi tentu Tonghong Kui-le takkan memandangnya sebagai musuh, sama halnya
ketika Tonghong Put-pay muncul menolong kedua
puterinya itu, yang dipikir Peng-say hanya merintangi
pertolongannya kepada Tonghong Kui-jin dan tidak
mencegah Tonghong Kui-le akan ditolong ayahnya, malah
dalam lubuk hatinya ia justeru berharap Tonghong Kui-le
lekas2 dibawa pergi. Maka Peng-say lantas berkata pula:
"Terhadap seluk-beluk Mo-kau, sama sekali Wanpwe tidak tahu, sebelum berangkat, kuharap Sam-lo sudi memberi
petunjuk seperlunya."
Bok Jong-siong lantas menguraikan susunan organisasi
Ma-kau. dibawah pimpinan sang Kaucu terdapat Su-taytianglo atau empat tertua, di bawahnya lagi terdapat Ngoheng-tong, lima seksi yang dibagi menurut lima unsur, yaitu
air, api. emas, kayu dan bumi. Kungfu para Tongcu atau
kepala Ngo heng-tong itu tidak seberapa hebat yang lihay adalah barisannya yang mahir mengepung musuh dan sukar
untuk lolos. Di antara Su-tay-tianglo itu termasuk pula Kik Yang,
sekarang Kik Yang sudah mati sehingga tiga orang tertua
saja, ilmu silat mereka rata2 tergolong kelas satu, meski tidak selihay kaucu sendiri, yaitu Tonghong Put-pay, tapi semuanya memiliki ilmu gaib sehingga Peng-say diminta
menaruh perhatian terhadap mereka.
Lalu Bok Jong-siong menjelaskan ilmu andalan ketiga
Tianglo itu disertai kemahiran perang dari pasukan Ma-kau di bawah pimpinan Ngo hong-tong.
Sudah tentu pengetahuan susunan organisasi Ma-kau itu
sangat berfaedah bagi Sau Peng-say, tapi sekarang bukan
maksudnya hendak perang dengan Ma-kau, yang perlu
segera diketahuinya adalah hal2 yang paling utama, maka
dengan ragu2 ia bertanya; "Entah di.....di manakah letak markas Ma-kau itu?"
"Hah, masa tempat Ma-kau saja tidak tahu?" seru Thian-bun heran.
Peng-say merasa kikuk, jawabnya: "Pengetahuan
Wanpwe memang sangat cetek, meski sudah beberapa
tahun berkelana di dunia Kauouw, tapi.....tapi jarang ikut campur urusan besar sehingga pengetahuanku sangat
terbatas......"
"Kau pun tak dapat disalahkan," ujar Bok Jong-siong dengan tertawa. "Ma-kau memang sebuah organisasi
rahasia, jangankan kau tidak banyak ikut campur urusan
Kangouw, sekalipun orang Kangouw kawakan juga cuma
tahu anggota Ma-kau tersebar di-mana2 namun jarang yang
tahu seluk-beluk Ma-kau yang sebenarnya. Berbeda dengan
golongan kita, lantaran kita bermusuhan langsung dengan
Ma-kau, dengan sendirinya keadaan musuh harus ketahui
se-jelas2nya."
Ia berhenti sejenak, lalu menyambung: "Ma-kau berasal dari negeri asing, dari wilayah barat merembes ke
Tionggoan, sebelumnya markas mereka berada di daerah
Sinkiang, jadi sebenarnya sekampung halaman dengan
Ngo-hoa-koan. Tapi itu gunung tidak mungkin ada dua raja hutan, sebab itulah anggota Ma-kau dan orang Say-koan
sampai sekarang tetap bermusuhan, keduanya saling gencet dan ingin menghancurkan lawan. Kira2 baru 23 tahun
markas Ma-kau pindah kedaerah Tionggoan dan bercokol
di Cong-lam-san yang terletak di selatan kota Si-an. Pesat juga ajaran mereka, rupanya Tonghong Put-pay tidak tahan hidup kesepian di pegunungan dan ingin juga menikmati
kehidupan di dunia ramai, maka dia telah pimpin anak
buahnya masuk ke kota Si-an. Meski secara resmi pihak
yang berwajib melarang berdirinya Ma-kau (agama Ma atau
paham Mani berasal dari Persia), namun kota Si-an dan
hampir seluruh wilayah Siamsay telah menjadi pangkalan
Ma-kau yang kuat. Jika sekarang kau pergi ke tempat Makau sana, kau harus melalui propinsi Holam dan Hopek, di sana masih termasuk wilayah pengaruh Tionggoan-samyu
kita, maka dapat kau jelajahi dengan aman, diam2 anak
murid kita tentu akan memberi bantuan padamu. Tapi
setelah masuk ke wilayah Soasay. maka kau perlu hati2 dan waspada sebab kebanyakan orang Kangouw di daerah ini
diam2 ada hubungan dengan Ma-kau. -Maju lagi adalah wilayah Siamsay,di sana boleh dikatakan termasuk dunianya Ma-kau, kau mesti tambah hati2 dan
jangan sekali2 menimbulkan curiga orang. Sebaiknya
jangan membawa senjata, berdandanlah sebagai rakyat
jelata, ditambah lagi Lwekangmu sudah sempurna,
tentunya tidak mudah dikenali sebagai orang persilatan.
Jika sepanjang jalan aman dan sampai di Si-an, tentu tidak sulit bagimu untuk menemukan jejak musuh, sebab setiap
orang yang agak lain daripada rakyat biasa di kota itu
pastilah anggota Ma-kau. Mengenai markas besar Ma-kau
memang sukar disebut, kelinci saja membuat lubang sarang se-banyak2nya, apalagi Ma-kau yang licik itu. Untuk
mencarinya diperlukan kecerdasanmu sendiri, pokoknya
kau harus waspada dan gesit."
Peng-say mengucapkan terima kasih atas keterangan itu
lalu ia mohon diri dan berangkat.
Dari Soatang ia masuk ke propinsi Hopak, beberapa hari
kemudian ia sudah sampai di Holam, sepanjang jalan orang persilatan yang ditemuinya hampir seluruhnya memakai
baju bertanda pengenal Tionggoan-samyu, yaitu pakai
gambar cemara, bambu dan sakura.
Setelah masuk wilayah Soasay, Peng-say tidak berani
melarikan kudanya terlalu cepat, ia pun ganti baju sebagai seorang pelajar, tapi sayang membuang kedua pedangnya
yang sudah biasa digunakan, apa lagi tanpa membawa
senjata, bila ketemu musuh cara bagaimana akan membela
diri" Maka kedua pedang itu dibungkusnya bersama dengan
uang perak dan pakaian sehingga berwujud satu bungkusan
panjang, lalu ditaruh di belakang pelana kuda. Ia pikir
seumpama orang mengetahui dia membawa senjata,
melihat dandanannya sebagai seorang Suseng (kaum
pelajar) yang membawa pedang, mungkin orangpun takkan
curiga. Kalau berdandan sebagai Suseng, maka meski berlagak
lemah-lembut dan sopan santun. maka pelahan Peng-say
menjalankan kudanya, hanya terkadang saja kudanya


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilarikan, itupun terbatas kecepatannya. Berbeda dengan
orang Kangouw yang kasar, bila melarikan kudanya tentu
berpacu dan menimbulkan debu tebal.
Jinghoa adalah sebuah kota kecil di perbatasan Holam
dan Soasay, baru sampai disini Peng-say lantas merasakan gelagat tidak enak. Ia merasakan sebuah kereta kuda selalu mengintil di belakangnya. jika kereta itu tidak sengaja
menguntitnya, tidak seharusnya jaraknya selalu bertahan
sekian jauhnya. Apalagi umumnya penumpang kereta itu
ingin cepat2 sampai ditempat tujuan, mengapa kereta tidak dilarikan secepatnya"
Ketika Peng-say berhenti bersantap di Jinghoa. ia lihat
kereta kuda itu lalu kesana dengan pelahan dan tidak ikut berhenti. Diam2 ia mentertawakan dirinya sendiri yang
terlalu perasa.
Habis makan ia melanjutkan perjalanan pula. Tidak
lama, dilihatnya kereta kuda tadi berhenti dibawah pohon rindang di tepi jalan sana. "Hah, bukankah aku yang sedang ditunggu?" demikian ia membatin.
Tapi iapun tidak berani memastikannya, bukankah kuda
penarik kereta itu telah dilepas dan sedang makan rumput disamping sana" Apalagi orang berhenti mengaso dibawah
pohon kan juga kejadian biasa"
Waktu lalu disamping kereta itu, Peng-say sengaja turun
dari kudanya, ia mengusap keringat sambil berguman
sendiri: "Wah, alangkah panasnya!" Seperti tidak sengaja, ia melirik ke dalam melalui jendela yang terbuka, sekilas
dilihatnya bayangan seorang Nikoh didalam. Kusir kereta
itu adalah seorang tua kurus, ia menanggapi gerundelan
Peng-say tadi: "ya, hawa bulan enam ini panasnya memang luar biasa."
Peng-say hanya tertawa saja, segera ia menaiki kudanya
dan melanjutkan perjalanan. Dia tidak curiga lagi,
walaupun tidak lama kemudian kereta tadi kembali
menyusulnya. Petangnya sampailah dia di kota Yang-sia, bila maju lagi akan sampai di pegunungan Tiong-tiau, didepan kelihatan
jelas lereng gunung ber-deret2.
Karena jalan pegunungan lebih sulit dilalui, hampir
kebanyakan tamu sama berhenti di Yang-sia, begitu pula
Peng-say, ia lantas mencari hotel untuk bermalam.
Esoknya pagi2 sekali Peng-say sudah bangun, kebanyakan tamu masih tidur lelap, ia kuatir mengejutkan Nikoh yang bermalam di kamar depan sana, maka diam2 ia
membayar rekening
hotel dan menyuruh pelayan membukakan pintu terus berangkat.
Kabut pagi masih tebal, meski musim panas hawa terasa
sejuk juga, Peng-say melarikan kudanya lebih cepat, tak
lama kemudian mulailah menanjak jalan pegunungan,
akhirnya dapatlah ia melintasi pegunungan itu, sementara hari sudah terang benderang.
Setiba di jalan datar, segera Peng-say melarikan kudanya lagi, ia pikir setelah sejauh ini, orang yang dikirim Sam-lo itu pasti sudah ketinggalan.
Rupanya kemarin setelah mengetahui penumpang kereta
itu adalah seorang Nikoh, maka ia mengira pasti anak
murid Siong-san-pay yang sengaja dikirim Sam-lo untuk
melindunginya. Siangnya sampailah dia di Bun-hi, suatu kota agak besar.
Sejak pagi Peng-say belum sarapan, perutnya sudah
keruyukan. Maka begitu melihat rumah makan segera ia
turun dari kudanya dan menyuruh jongos memberi makan
kepada kudanya, ia sendiri lantas naik ke atas loteng
restoran itu. Tapi begitu sampai di atas, Peng-say jadi terkejut: "Aneh, mengapa dia bisa berada disini lebih dulu?"
Kiranya Nikoh penumpang kereta itu dilihatnya sudah
berduduk didekat jendela, meski Nikoh itu duduk
menghadap kesana, tapi dari bayangan punggungnya segera
dikenalnya sebagai Nikoh kemarin itu.
Kalau Peng-say melenggong memandangi Nikoh itu, tak
diperhatikannya bahwa disamping sana ada dua lelaki juga telah melihat kedatangannya, cuma kedua orang itu cepat2
menunduk kepala dan memakai sesuatu pada muka
masing2, jelas mereka takut dikenali Peng-say.
Kalau Peng-say tidak melihat perbuatan kedua orang itu.
namun si Nikoh tejah dapat melihat semuanya itu.
Agaknya kedua orang itu tetap kuatir dikenali Peng-say,
mereka meningalkan sepotong uang perak di atas meja, lalu ber-gegas2 berbangkit dan meninggalkan restoran itu.
Ketika mereka lewat disamping Peng-say, sekilas anak
muda itu dapat melihat kedua orang ini bermuka bopeng.
Tempat yang ditinggalkan kedua orang itu berjajar
dengan tempat duduk si Nikoh, agar dapat melihat wajah
orang lebih jelas, Peng-say lantas menuju ke tempat duduk itu.
Segera pelayan mendekatinya untuk membersihkan meja
sambil tanya santapan apa yang dikehendaki tamunya.
Peng-say minta seadanya disediakan dua macam sayur
dan satu porsi kuah. Diam2 ia melirik si Nikoh, tapi sayang, muka orang tertutup kain cadar, kain tipis penutnp muka
untuk menahan debu, yang kelihatan cuma matanya saja
sehingga sukar dikenali.
Di meja Nikoh itu tertaruh semangkuk mi dan dan dua
mangkuk sayur dan tahu, isi mangkuk sudah tinggal
separoh, agaknya sejak tadi orang sudah makan kenyang.
Peng-say melongok keluar jendela, ternyata setiap orang
yang berlalu lalang di bawah dapat terlihat jelas dari atas.
Tergerak hatinya, pikirnya: "Habis makan dia tidak terus berangkat, jangan2 dia sengaja menunggu aku untuk
kemudian menguntit lagi?"
Mestinya Peng-say bermaksud menyapa si Nikoh untuk
menjelaskan bahwa dirinya tidak memerlukan perlindungan, namun Nikoh itu sama sekali tidak
memandang kearahnya, hakikatnya seperti tidak tahu
bahwa di sebelahnya berduduk seorang Sau Peng-say.
Dengan sendirinya Peng-say tidak berani sembarangan
menyapa, bila orang tidak menggubrisnya, kan runyam"
Apalagi belum pasti juga apakah Nikoh ini orangnya Samlo. Menurut perkiraan Peng say, sebabnya si Nikoh dapat
mendahuluinya sampai disini, tentu waktu dia meninggalkan hotel tadi sempat diketahui olehnya, Tapi
cara bagaimana pula orang mendahuluinya kesini"
Kecepatan kereta kuda jelas tidak dapat menyusulnya,
apalagi di bawah sana juga tidak terdapat kereta, lalu
apakah orang menggunakan Gin-kang untuk menyusulnya"
Jika demikian halnya, maka kehebatan Ginkang si Nikoh
sungguh sangat mengejutkan.
"Bisa jadi dia Sumoaynya Ting-sian Suthay, kalau tidak mana bisa mempunyai Ginkang setinggi ini?" demikian pikir Peng-say.
Jago yang dikirim Sam-lo untuk melindunginya sudah
tentu tokoh seangkatan dengan ketiga orang tua itu, maka
Peng-say yakin si Nikoh pasti Sumoay atau adik
seperguruan Ting-sian Suthay. Iapun heran Ting-sian yang sudah tua itu masih mempunyai Sumoay semuda ini"
Dari dahi orang yang kelihatan diluar kain cadar itu,
Peng-say memperkirakan umurnya baru likuran saja.
Pada saat itulah pelayan datang membawakan santapan
pesanan Peng-say. Nikoh itu seperti sengaja menghindari
pandangan Peng-say, pada saat pandangan Peng-say teraling2 oleh si pelanan, cepat si Nikoh lantas meninggalkan restoran.
Waktu Peng-say tahu apa yang terjadi, terpaksa ia
hatinya melongo saja menyaksikan kepergian Nikoh itu.
Habis makan, Peng-say meninggalkan restoran itu, lebih
dulu ia pandang kanan kiri jalan benar juga, dilihatnya
sebuah kereta menunggu disana. Bukan kereta yang
kemarin. mungkin baru disewa.
Peng-say terus melarikan kudanya dengan pelahan,
benarlah kereta itu lantas menyusul kearahnya. Ia ragu
apakah mesti membentaknya agar Nikoh itu pergi saja"
Tapi segera ia merasa tidak pantas berbuat demikian
jangankan orang mungkin adalah Sumoay Ting-sian
Suthay, seumpama murid Ting-sian juga tidak boleh
membentaknya pergi secara kasar.
Tapi kalau Nikoh itu tidak disuruh pergi rasanya tidak
enak kalau selalu dikintil orang. ber-ulang2 Peng-say
menoleh. satu kali dilihatnya kebelakang kereta si Nikoh terdapat pula dua orang penguntit penunggang kuda, meski mereka menguntit dari jauh dan main sembunyi2, namun
Memburu Manusia Harimau 2 Sepasang Garuda Putih Seri Keris Pusaka Sang Megatantra 5 Karya Kho Ping Hoo Duri Bunga Ju 7

Cari Blog Ini