Ceritasilat Novel Online

Pedang Kiri Pedang Kanan 8

Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Bagian 8


kutarik keuntungan darimu"'
Sau-toako menjawab: 'Habis, sudah jelas kau tahu aku
jemu melihat Nikoh, bila melihat Nikoh perutku lantas
mual, cara bagaimana aku dapat minum arak, apalagi
berlomba minum dengan kau"'
-Kembali Thio Yan-coan bergelak tertawa, katanya: 'Sauheng, kutahu dengan segala daya-upayamu ingin kau
selamatkan Nikoh cilik ini. Akan tetapi ketahuilah, sudah menjadi watakku yang gemar main perempuan melebihi
sayang pada nyawanya sendiri, sekali kupenujui Nikoh cilik ini, apapun juga tak akan kulepaskan dia. Jika kau ingin kubebaskan dia, maka hanya ada satu syarat.'
-Dengan tegas Sau-toako menjawab: 'Baik, katakan
syaratmu, mendaki gunung bergolok atau terjun kelautan
api, bila Sau Peng-lam berkerut kening jangan kau anggap sebagai lelaki.'
Dengan tertawa Thio Yan-coan menuang dua mangkok
arak dan berkata: 'Silakan habiskan dulu arak ini dan segera kukatakan padamu.'
-Sau-toako terus angkat semangkuk arak itu dan berseru:
'Baik, minum!' Thio Yan-coan juga angkat mangkuk arak yang lain, bersama2 mereka menghabiskan isi mangkuk masing2.
Dengan tertawa Thio Yan-coan lantas berkata: 'Sau-heng,
karena Cayhe sudah menganggap kau sebagai sahabat,
maka segala sesuatu juga harus menurut peraturan Kangouw, yakni: 'isteri sahabat, tidak boleh diganggu. Nah, jika kau berjanji akan menikahi Nikoh cilik ini. . . ."
Bertutur sampai disini, muka Gi-lim kelihatan merah
jengah, ia menunduk dan suaranya semakin lirih sehingga
hampir tidak terdengar.
Ting-yat menggebrak meja dan berteriak: "Ngaco belo!
Makin omong makin kotor. Lalu bagaimana?"
Dengan suara lirih Gi-lim menyambung lagi: "Thio Yan-coan itu terus mengoceh tak keruan, katanya: "Seorang lelaki sejati, sekali bicara tidak nanti dijilat kembali. Bila kau berjanji akan menikahi dia, segera kubebaskan dia,
bahkan akan kuminta maaf padanya. Selain jalan ini, tidak nanti kulepaskan dia'
-Sau-toako mendamperatnya: 'Cris, apa kau sengaja
hendak membuat diriku sial selama hidup" Sudahlah, soal
ini jangan kau singgung lagi.'
-Thio Yan-coan lantas membual macam2 lagi, katanya:
'bila rambutku dibiarkan tumbuh panjang kan bukan Nikoh
lagi. Dia mengoceh banyak kata2 gila lagi, aku mendekap
kuping dan tidak sudi mendengarkan.
-Sau toako juga lantas membentak. "Tutup mulut! Jika kau sembarangan omong lagi, mau-tak-mau aku bertindak
Pokoknya, jika tidak kau lepaskan dia, biarlah kita
bertempur lagi mati2an.'
Thio Yan-coan tertawa, katanya: 'Kau bukan tandinganku, bertempur hanya akan bikin jiwamu amblas.'
Tapi Sau-toako membantah, katanya: 'Jika bertempur
dengan berdiri aku memang bukan tandinganmu, tapi
bertempur dengan berduduk jelas kau bukan tandinganku.
..." Dari penuturan Gi-lim tadi semua orang sudah tahu cara
bagaimana Thio Yan-coan berduduk menghadapi serangan
Te-coat Tojin yang lihay. dari sini dapat diketahui betapa
lihaynya dia bertempur sambil berduduk. Tapi sekarang Sau Peng-lam justeru menyarankan bertempur dengan berduduk
pasti dapat mengalahkan Thio Yan-coan, jelas kata2 ini
hanya ingin memancing kemarahan lawan saja.
Ho Sam-jit manggut2, katanya: "Terhadap bangsat cabul begitu kalau dapat memancingnya berjingkrak dan murka,
lalu mencari kesempatan untuk turun tangan, jalan ini
memang akal bagus."
"Akan tetapi Thio Yan-coan itu tidak menjadi marah
setelah mendengar ucapan Sau-toako itu," tutur Gi-lim lebih lanjut. "Dia malah tertawa dan berkata: Sau-heng, yang kukagumi adalah ketabahan dan jiwa ksatriamu, tapi
bukan ilmu silatmu.'
Kontan Sau-toako menjaWab: 'Dan yang kukagumi
adalah kecepatan golokmu jika bertempur dengan berdiri,
tapi bukan permainan golokmu dengan berduduk.'
"Thio Yan-coan ter-bahak2 pula, kataya, 'Dalam hal ini ada yang tidak diketahui olehmu Waktu muda pernah
kakiku menderita penyakit dan selama dua tahun terpaksa
aku harus berlatih golok sambil berduduk. Jadi bertempur dengan berduduk adalah kemahiranku. Tadi aku bergebrak
dengan si Tojin hidung kerbau itu degan berduduk bukan
karena aku menghina dia, soalnya aku memang sudah biasa
bertempur dengan berduduk, jadi malas untuk berdiri.
Untuk ini, jelas kau pun bukan tandinganku.'
-Sau-toako menjawab pula: 'Agaknya Thio-heng juga
tidak tahu akan diriku, bahwa kau berlatih ilmu golok
dengan berduduk selama dua tahun lantaran kau menderita
sakit pada kakimu, tapi tahukah kau bahywa dahulu setiap hari aku berlatih lmu pedang dengan berduduk". . . ."
Sampai di sini, pandangan semua orang sama tertuju
kearah Kiau Lo-kiat, semua orang ingin tahu apakah
ucapan Sau Peng-lam itu betul atau tidak" Maklumlah,
selama ini mereka tidak tahu apakah diantara ilmu silat
Lam-han yang terkenal itu terdapat Cara latihan dengan
berduduk seperti apa yang dikatakan Sau Peng-lam"
Terpaksa Kiau Lo-kiat menggeleng dan berkata: Toasuheng sengaja menipu dia, didalam perguruan kami sama
sekali tidak terdapat cara berlatih demikian."
"Ya, Thio Yan-coan juga tidak percaya," tukai Gi-lim.
"Dia menegas: 'Apakah betul ucapan Sau-heng ini" Wah, rasanya aku menjadi ingin belajar kenal dengan ilmu
pedang Lam-han yang bernama ilmu pedang. . . . ilmu
pedang apa, Sau-heng",
-Sau-toako tertawa, jawabnya: 'Sesungguhnya ilmu
pedungku ini bukan ciptaan guruku melainkan hasil
pemikiranku sendiri.'
Mendengar ini, air muka Thio Yan-coan seketika
berubah, katanya: 'O. kiranya demikian. Wah. bakat Sauheng sungguh sangat mengagumkan'. . . ." "
Semua orang maklum apa sebabnya Thio Yan-coan
sangat tertarik oleh keterangan Sau Peng-lam itu. Sebab
bukan sesuatu pekerjaan mudah untuk menciptakan sejurus
ilmu pukulan atau ilmu pedang kalau tidak memiliki
Kungfu maha tinggi dan mempunyai pengetahuan yang
luas serta kecerdasan luar biasa, tidak nanti dapat
menciptakan sesuatu jurus baru atau membuat aliran
tersendiri. Diam2 Kiau Lo-kiat jadi berpikir: "Wah, kiranya diam2
Toa-suheng telah menciptakan sejurus ilmu pedang baru,
mengapa dia tidak pernah lapor kepada Suhu" Apakah dia
ingin mendirikan perguruan tersendiri dan melepaskan diri dari Lam-han?"
Didengarnya Gi-lim menyambung pula: "Sau-toako
tertawa dan berkata: 'Ah, ilmu pedang yang berbau busuk
masa kau kagumi"'
Thio Yan-coan sangat heran dan bertanya: 'Bau busuk
apa maksudmu"'
-Akupun sangat heran, paling2 ilmu pedangnya
dikatakan jelek, masa dibilang bau busuk" Tapi Sau-toako lantas menjelaskan: 'Terus terang kukatakan, setiap pagi hari, bila aku kebelakang untuk buang air besar, ketika
berjongkok didalam kakus itulah, aku merasa sebal melihat kawanan lalat terbang kian kemari. Maka pedang kuangkat
dan kugunakan menusuki kawanan lalat. Semula tusukan
pedangku selalu meleset, tapi lama2 menjadi jitu, setiap pedangku bergerak si lalat lantas jatuh. Lambat-laun dari gerakan menusuk lalat itu dapatlah kupikirkan sejurus ilmu pedang. Cuma waktu memainkan pedang itu selamanya
kuberjongkok dalam kakus, sebab itulah kukatakan berbau
busuk.' -Aku merasa geli oleh ceritanya itu. Sau-toako memang
jenaka, bisa saja dia berlatih pedang cara aneh begitu.
Sebaliknya air muka Thio Yan-coan menjadi kelam setelah
mendengar keterangan Sau-toako itu, katanya: 'Sau-heng,
kuanggap kau sebagai sahabat, tapi uraianmu ini kurasakan terlalu menghina, memangnya kau anggap Thio Yan-coan
ini sebagai lalat didalam kakus itu" Baik. akan kubelajar kenal dengan ilmu .... ilmu pedang. . . . !"
Sampai disini, diam2 semua orang mengangguk. Mereka
tahu, pertandingan diantara jago silat kelas tinggi tidaklah boleh lengah dan gelisah, Cara bicara Sau Peng-lam itu
sengaja hendak memancing kemarahan pihak lawan.
Sekarang Thio Yan-coan benar2 dibikin marah, jadi
langkah pertamanya sudah berhasil.
"Lalu bagaimana?" Ting-yat bertanya.
"Sau-toako tertawa," tutur Gi-lim, "Katanya: 'Caranya kulatih ilmu pedangku ini hanya karena iseng saja dan tiada maksud tujuan hendak kugunakan untuk mengadu
kepandaian dengan orang lain, maka janganlah Thio-heng
salah paham, betapapun aku tidak berani mengangap Thioheng sebagai lalat didalam kakus.'
-Aku merasa geli mendengar dia menyebut lalat didalam
kakus, tanpa terasa aku tertawa Thio Yan-coan menjadi
gusar, golok diloloskan dan ditaruh di atas meja, katanya;
'Baik. sekarang boleh kita mulai bertarung dengan
berduduk.' -Diam2 aku merasa kuatir melihat sorot matanya yang
buas itu, jelas orang she Thio itu tidak kenal ampun lagi dan bermaksud membunuh Sau-toako. Tapi Siu-toako tetap
tenang2 saja. katanya dengan tertawa: "Main senjata dengan berduduk jelas kau bukan tandinganku. Padahal
kita baru saja bersahabat, kenapa mesti cekcok pula.
Apalagi seorang lelaki sejati tidak nanti kutarik keuntungan dari sahabat sendiri dengan mengandalkan Kungfu
kemahiran sendiri'
-Tapi Thio Yan-coan menjawab: 'Aku sendiri yang ingin
bertanding dan takkan kutuduh kau menarik keuntungan
atas diriku.' 'O, jadi Thio-heng bertekad harus bertanding"'
'Ya, harus!' jawab Thio Yan-coan.
-'Bertanding sambil berduduk' Sau-toako menegas.
-'Ya, bertanding dengan tetap berduduk.' jawab Thio
Yan-coan. "Akhirnya Sau-toako berkata: "Baik, jika demikian, kita harus menetapkan suatu peraturan. Sebelum kalah-menang
diketahui, barang siapa berdiri lebih dulu akan kuanggap kalah.'
Tanpa pikir Thio Yan-coan menjawab; 'Betul, sebelum
kalah atau menang diketahui, barang siapa berdiri lebih
dulu dianggap kalah.'
"Sau-toako lantas bertanya pula: 'Dan bagaimana bagi yang kalah"'
'Terserah padamu.' jawab Thio Yan-coan. Sau-toako
termenung, katanya: 'Baiklah, bagi yang kalah, pertama,
kelak bila melihat Nikoh cilik ini tidak boleh lagi berkata kasar dan bersikap kurang sopan padanya, tapi harus
memberi hormat dan menyapa: 'Siau-suhu, Tecu Thio Yancoan menyampaikan salam hormat.'
"Thio Yan-coan mengomel: 'Huh, darimana kau tahu
aku yang bakal kalah" Jika kau yang kalah. lalu
bagaimana"Sau-toako menjawab: 'Aku-pun begitu. Pokoknya. siapa
yang kalah harus menjadi cucu murid Tingyat Losuthay
atau menjadi murid Nikoh kecil ini.'
Suhu, coba bayangkan. jenaka bukan Sau-toako itu"
Masa mereka bertanding sendiri, yang kalah harus menjadi murid Siong-san-pay dan mana boleh kuterima mereka
sebagai murid."
-ooo0dw0ooo- Jilid 15 Bicara sampai disini, tersembul senyumannya yang
hambar, Sejak tadi dia merasa sedih dan menangis, Kini
terunjuk senyumannya sehingga menambah kecantikannya.
"Lelaki bangor begitu, segala kata apapun dapat
diucapkan mereka, masa kau sangka sungguh2," ujar Tingyat, "Kukira tujuan Sau Peng-lam itu hanya ingin
memancing marah Thio Yan-coan Lalu cara bagaimana
orang she Thio itu menjawabnya?"
"Thio Yan-coan menjadi ragu2 meiihat sikap Sau-toako yakin pasti menang itu," tutur Gi-lim. "Maka Sau-toako memancing lagi: 'Bagaimana,jika kau merasa pasti kalah
dan tidak ingin menjadi murid Siong-san-pay, maka
bolehlah kita batalkan pertandingan ini.'
-Dengan gusar Thio Yan-coan menjawab: 'Omong
kosong! Baik. jadi, barang siapa kalah dia harus
mengangkat Nikoh cilik ini sebagai guru!'
Cepat aku berseru: "He, tidak boleh jadi! Aku tidak mau menerima kalian sebagai murid. Kungfuku rendah, lagi pula guruku juga tidak mengizinkan. Setiap orang Siong-san-pay kami adalah Nikoh, mana boleh ....'
-Tapi Sau-toako lantas memotong ucapanku, katanya:
'Itulah keputusan hasil kompromi kami, mau atau tidak
harus kau terima dan jangan banyak omong, lalu dia
berpaling dan berkata pula kepada Thio Yan-coan: 'Dan
kedua, barang siapa kalah, dia harus angkat golok dan
sekaii potong, jadilah dia sebagai Thaykam.'
Suhu, entah apa artinya sekali potong dengan golok
lantas menjadi Thaykam?"
Pertanyaan ini membikin semua orang sama tertawa,
mereka anggap Nikoh cilik ini benar2 hijau pelonco dan
tidak tahu seluk beluk orang hidup. Thaykam adalah orang
kasim, orang kebiri, dayang keraton. Arti sekali potong
dengan golok lantas menjadi Thaykam ialah yang kalah
harus mengebiri dirinva sendiri.
Ting-yat juga merasa geli meiihat kepolosan anak
muridnya itu, tapi dia hanya tersenyum saja dan menjawab:
"Ah, itupun kata2 kasar kaum bergajul. JiKa tidak tahu, tidak perlu kau tanyakan."
"O, kiranya bukan kata2 baik," ucap Gi-lim. "Sehabis mendengar ucapan Sau-toako itu, Thio Yan-coan lantas
melototi Sau-toako dan bertanya: 'Memangnya kau yakin
pasti akan menang"'
Sau-toako menjawab: "Ya, pasti! Bila bertempur dengan berdiri, di dunia ini nomor urutanku adalah ke-39. tapi
kalau bertempur dengan berduduk, nomor urutanku ialah
ke 2!' -Tampaknya Thio Yan-coan sangat heran oleh keterangan Sau-toako ini, ia tanya: 'O, kau cuma nomor 2
lantas siapa yang nomor satu,"
Sau-toako menjawab: 'Yang nomor satu ialah Mo-kaukaucu (ketua agama) Tonghong Put-pay!'. .."
Air muka semua orang sama berubah demi mendengar
Gi-lim menyebut "Mo-kau-kaucu Tong-hong Put-pay".
Agaknya Gi-lim juga merasakan suasana diruangan
besar ini mendadak berubah aneh, ia menjadi heran dan
juga takut, ia menyangka ucapannya tadi ada yang keliru, maka cepat ia tanya: "Suhu, apakah ucapanku tadi ada yang tidak benar?"
"Jangan kau sebut lagi nama orang ini," kata Ting-yat,
"Kemudian bagaimana jawaban Thio Yan-coan.
Dia lantas mengangguk dan berkata: "Baik, jika kau
bilang jago nomor satu ialah Tonghong-kaocu, akupun
setuju. Cuma kau mengaku nomor dua, kukira agak tertalu
besar bualanmu. Memangnya kau dapat melebihi ayahmu.
Sau-siansing"
Sau-toako menjawab: 'Yang kumaksudkan kan bertanding sambil berduduk" Jika bertempur dengan berdiri, ayahku memang menduduki urutan keenam. Aku sendiri
ke-39. jelas selisih sangat jauh dengan beliau.'
-Thio Yan-coan mengangguk, katanya: 'O, kiranya
demikian. Lantas aku nomor berupa jika bertempur dengan
berdiri" Siapa pula yang memberikan nomor urutan itu"'
Sau-toako menjawab sambil Setengah berbisik, katanya:
'Wah, inilah rahasia besar. Karena persahabatan kita,
biarlah kukatakan terus terang, tapi jangan kau katakan
pula kepada orang lain, kalau tidak, bisa jadi dunia


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persilatan akan terjadi pergolakan hebat.... Tiga bulan yang lalu,
kelima Ciangbunjin Ngo-tay-lian beng kami berkumpul di Soh-hok-han dan membicarakan tokoh Bulim masa kini. Saking gembiranya dalam ber-bincang2 itu, kelima Ciangbunjin lantas memberikan daftar urutan para
tokoh dunia sekarang. Terus terang, Thio-heng, kelima guru kami itu sangat benci kepada kepribadianmu, kau dicaci-maki habis2an dan tidak laku satu peserpun. Tapi bicara
mengenai ilmu silatmu, mengenai Kungfumu, semuanya
merasa kepandaianmu masih boleh juga. Kalau bertempur
dengan berdiri menurut urutan di dunia persilatan sekarang ini kau terhitung jago nomor 13."
Serentak Thian-bun Tojin dan Ting-yat Suthay berkata:
"Si Sau Peng-lam itu sermbarangan mengoceh, mana
pernah terjadi pertandingan begitu?"
"O, kiranya Sau-toako cuma membohongi dia," kata Gi-lim "Thio Yan-coan itu tampaknya juga setengah percaya setengah tidak. Dia berkata: 'Para ketua Ngo tay-lian-beng adalah pimpinan dunia persilatan masa kini, bisa
mendapatkan pujian mereka sungguh akupun merasa
bangga. Bahwa, diriku diberi nomor urutan ke-13, haha,
aku harus berterima kasih. Eh, Sau-heng, apakah di depan kelima Ciangbunjin itu kaupun mempertunjukkan kau
punya ilmu pedang kakus yang berbau busuk itu" Kalau
tidak, mengapa mereka memberi kau kau nomor dua"'
-Sau-toako tertawa dan menjawab; 'Tentang ilmu pedang
kakus ini memang kurang sopan jika kumainkan di depan
umum, apalagi harus kuperlihatkan di depan kelima
Ciangbunjin. Gaya ilmu pedang berbau busuk ini tidak
pantas dilihat, namun sangat lihay. Pernah kubicara dengan tokoh terkemuka dari Ma-kau dan mereka pun mengakui di
dunia ini selain Tonghong-kaucu sendiri tiada orang lain lagi yang mampu menandingi diriku. Hanya saja, Thio-heng, persoalannya harus dipikirkan kembali, meski ilmu
pedangku ini sangat hebat, kecuali kugunakan menusuk
lalat waktu berak, sesungguhnya sukar dipraktekkan. Habis, coba kau bayangkan, bilamana benar2 bertempur, siapakah
yang mau bertanding denganku
sambil berduduk"
Seumpama kita sudah berjanji akan bertandig dengan
berduduk, bilamana nanti kau kalah, bisa jadi dari malu kau menjadi gusar, lalu mendadak berdiri. Padahal kau jago
nomor 13 jika bertempur dengan berdiri maka dengan
mudah dapat kau bunuh diriku yang jago nomor dua jika
bertempur sambil berduduk. Maka dari itu, kau ini jago
nomor 13 tulen, sebaliknya aku ini jago nomor dua cuma
nama kosong belaka.'
-Thio Yan-coan mendengus, katanya: 'Hm, Sau-heng,
mulutmu ini memang pintar bicara Dari mana pula kau
tahu bahwa bertempur dengan berduduk aku pasti kalah,
darimana pula kau tahu dari malu aku akan menjadi gusar, lalu berdiri dan membunuhmu"'
Sau-toako menjawab: 'Asakan kau berjanji setelah kalah
kau takkan membunuhku, maka syarat kedua tentang
menjadi Thaykam boleh kita batalkan, supaya kau tidak
sampai putus turunan dan berdosa kepada leluhurmu. Nah,
tidak perlu banyak bicara lagi, marilah kita mulai
bergebrak!' -Habis berkata, kontan Sau-toako menjungkir-balikkan
meja sehingga mangkuk piring berantakan. Kedua orang
lantas duduk berhadapan, yang satu memegang golok dan
yang lain memegang pedang. -'Hayolah mulai! Siapa yang
berdiri lebih dulu, siapa yang mengangkat pantat lebih dulu meningggalkan kursinya, dia dianggap kalah"' seru Sau-toako. 'Baik, ingin kulihat siapa yang akan berdiri lebih dulu!'jawab Thio Yan-coan."
Gi-lim berbenti sejenak, lalu menyambung pula: "Baru saja mereka mau bergebrak, tiba2 Thio Yan-coan melirik
sekejap ke arahku dan mendadak tertawa ter-bahak2,
katanya: 'Sau heng, sudahlah, aku menyerah saja. Rupanya diam2 kau menyembunyikan teman dan sengaja hendak
membikin susah padaku, bila kita sudah ,ulai bertanding, temanmu terus mengganggu, atau nikoh cilik ini meng-kili2
dibelakangku kan mungkin aku akan terpaksa berbangkit.'
-Sau-toako tertawa, katanya: 'Tidak, kujamin tak ada
orang ketiga yang ikut campur pertandingan kita ini, Nikoh cilik, apakah kau menghendaki aku kalah bertanding"'
-Aku menjawab: 'Sudah tentu kuharapkan kau menang,
kau jago nomor dua jika bertempur dengan berduduk,
manabisa kalah.'
Sau-toako mengangguk, katanya: 'Bagus, jika begitu
silakan kau pergi saja, makin cepat makin baik, makin jauh makin baik! Sialan, jika ditunggui seorang pere mpuan
gundul begini, tanpa bertempur saja aku sudah kalah.'
-Tanpa menunggu tanggapan Thio Yan-coan kontan
pedang Sau-toako lantas menusuknya. Thio Yan-coan
menangkis dan balas menyerang sambil berkata: 'Hebat,
sungguh akal bagus caramu menolong si Nikoh cilik ini.
Sau-heng, kau benar2 seorang pencinta yang baik hati.
Cuma pertaruhanmu ini terlalu besar dan juga terlalu
berbahaya bagimu.'
-Waktu itu barulah aku paham, kiranya maksud Sautoako bertanding dengan berduduk dan barang siapa
bangkit lebih dulu dianggap kalah, tujuannya adalah untuk menyelamatkan diriku agar aku sempat melarikan diri.
Agar tidak dianggap kalah Thio Yan-coan tidak dapat
meninggalkan kursinya dengan sendirinya dia tak sempat
menawan diriku."
Mendengar sampai disini, diam2 semua orang merasa
gegetun atas usaha Sau Peng-lam dengan susah payah itu.
Ilmu silatnya tak dapat mengungguli Thio Yan-coan, selain mengalahkan dia dengan akal memang tiada jalan lain
untuk menolong Gi-lim.
"Tentang pencinta segala, semua itu kata2 kasar.
selanjutnya jangan kau sebut dan jangan kau pikir," kata Ting-yat.
Gi-lim menunduk, jawabnya: "O, kiranya kata2 itupun tidak baik. Tahulah Tecu sekarang."
"Kesempatan baik itu mestinya kau gunakan untuk
angkat kaki bukan" Jika Thio Yan-coan berhasil membunuh
Sau Peng-lam, tentu kau tak dapat kabur," kata Ting-yat pula.
"Ya, Sau-toako juga terus mendesak, terpaksa aku
memberi hormat kepadanya dan berkata: "Terima kasih atas pertolongan Sau-suheng. Habis itu aku lantas
meninggalkan tempat itu. Tapi baru sampai diujung tangga.
mendadak kudengar Thio Yan-coan membentak: 'Kena!'
Waktu aku menoleh. dua titik darah muncrat pada
mukaku. Kiranya pundak Sau-toako telah terkena golok.
Terlihat Thio Yan-coan lagi tertawa dan berkata:
'Bagaimana ilmu pedang jago nomor dua di dunia ini,
kukira juga cuma begini saja!'
Sao-toako menjawab: 'Sebelum Nikoh itu pergi, mana
bisa kukalahkan kau" Ai, agaknya memang sudah
ditakdirkan aku mesti mengalami petaka ini.'
-Kupikir Sau-toako jemu kepada Nikoh, jika kutinggal
lagi disitu mungkin akan membikin celaka jiwanya.
Terpaksa kuturun dari loteng restoran itu. Setiba dibawah, kudengar dering nyaring beradunya senjata, kembali
terdengar Thio Yan-coan membentak: 'Kena!'
Tentu saja aku terkejut dan berkuatir, kuyakin Sau-toako pasti terluka pula. Tapi aku tidak berani naik lagi keloteng, terpaksa aku berputar kebelakang dan melompat keatas
wuwungan restoran itu, dari situ aku mengintip ke bawah
melalui jendela. Kulihat Sau-toako masih terus bertempur dengan sengit meski tubuhnya sudah berlepotan darah
segar, sebaliknya Thio Yan-coan sama sekali tidak terluka.
Tidak lama kemudian, kembali Thio Yan-coan membentak
dan lengan kiri Sau-toako terbacok lagi satu kali. Ia lantas menarik goloknya, katanya dengan tertawa: 'Sau-heng,
seranganku ini sengaja kuberi kelonggaran!'
-Sau-toako menjawab dengan tertawa: 'Dengan sendirinya kutahu. Jika bacokanmu agak keras, tentu
lenganku ini sudah buntung!'
Coba, Suhu, dalam keadaan begitu Sau-suheng masih
dapat tertawa. Maka Thio Yan-coan berkata pula: 'Dan
pertarungan ini dilanjutkan tidak"'
Dengan tegas Sau-toako menjawab: 'Sudah tentu
diteruskan, kalah atau menang kan belum jelas, siapapun
belum ada yang berdiri.'
-Thio Yan-coan itu membujuk: 'Kukira lebih baik kau
mengaku kalah saja dan berdirilah. Biarlah kita batalkan segala perjanjian tadi dan kau tidak perlu mengangkat guru kepada Nikoh cilik itu'
Namun Sau-toako tidak mau terima. jawabnya: 'Tidak
bisa. Seorang lelaki sejati, sekali sudah bicara tidak nanti dijilat kembali.'
-Thio Yan-coan berkata: 'Sudah banyak lelaki kepala
batu di dunia ini, tapi orang seperti Sau-heng baru sekarang untuk pertama kalinya kulihat. Baik, anggaplah kita seri, tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah.
Bagaimana" kalau kita sudahi pertandingan ini"'
-Sau-toako tertawa dan memandangi dia tanpa bersuara.
Darah segar bercucuran dari luka yang memenuhi
tubuhnya. Mendadak Thio Yan-coan membuang goloknya.
baru saja dia mau berbangkit, sekonyong2 teringat olehnya bila berdiri akan berarti kalah. makanya tubuhnya cuma
bergeliat sedikit, Lalu berduduk kembali sehingga belum
sampai berbangkit dari kursinya. Dengan tertawa Sau-toako berkata: 'Thio-heng, kau sungguh sangat cerdik!. . . ."
Mendengar sampai disini, tanpa terasa semua orang
sama menghela napas menyesal, semuanya merasa sayang
bagi usaha Sau Peng-lam.
Gi-lim lantas menyambung pula: "Thio Yan-coan
menjemput kembali goloknya dan berkata: 'Awas, Sauheng, akan kumainkan golok kilat. Bila terlambat sebentar lagi mungkin Nikoh cilik itu akan kabur dan sukar disusul.'
Aku menjadi gemetar mendengar dia akan mengejar
diriku. Akupun kuatir Sau-toako akan dicelakai olehnya,
aku menjadi bingung. Tiba2 teringat olehku sebabnya Sautoako bertempur mati2an dengan orang jahat itu adalah
demi menolong diriku. Jika sekarang kubunuh diri didepan mereka, maka urusan akan menjadi beres dan Sau-toako
tidak akan ikut menjadi korban.
-Segera aku melolos pedangku yang patah itu, selagi aku
hendak melompat masuk kesana, mendadak kulihat Sautoako tergeliat, orangnya berikut kursinya jatuh terguling, kulihat tangan Sau-toako menahan lantai dan berusaha
merangkak bangun dengan kursi yang masih menindih
tubuhnya. Tapi lantaran lukanya cukup parah, seketika dia tak dapat berbangkit.
-Thio Yan-coan sangat senang, katanya dengan tertawa:
'Bagaimana. jago nomor dua bertempur sambil berduduk,
lalu jago nomor berapa jika merangkak"'
Sambil bicara dan bergelak tertawa terus berdiri.
-Mendadak Sau-toako ter-bahak2, katanya: 'Aha, kau
'kalah!' Thio Yan-coan tertawa dan menjaWab: 'Kau sendiri
sudah kalah sedemikian rupa, masa kau bilang aku yang
kalah"' Sambil mendekam di lantai Sau-toako bertanya: 'Coba
jawab, bagaimana menurut perjanjian kita"'
-Thio Yan-coan menjawab: 'Kita sudah berjanji akan
bertempur dengan berduduk, barang siapa berdiri lebih
dulu, bila pantat meninggalkan kursinya lantas dianggap ....
dianggap. . . . dianggap . . 'sampai beberapa kali dia
menyebut dianggap dan tak dapat menyambung. Baru
sekarang dia menyadari telah terjebak. Dia sendiri sudah berdiri, sebaliknya Sau-toako sejak tadi belum pernah
berdiri, bahkan kursi juga masih menempel ditubuhnya,
meski keadaannya rada runyam, tapi menurut perjanjian
jelas Sau-toako yang menang."
Serentak semua orang bersorak dan tertawa gembira.
Hanya Ciamtay Cu-ih saja yang mendengus, katanya: "Hm, bocah bergajul itu sengaja main akal bulus dengan bangsat cabul semacam Thio Yan-coan itu, apakah tidak membikin
malu kaum Beng-bun-cing-pay kita?"
"Akal bulus apa katamu?" damperat Ting-yat dengan gusar. "Seorang lelaki sejati boleh adu akal dan tidak perlu adu kekuatan. Memangnya Hong hoa-wan kalian ada
ksatria muda yang berbudi luhur begitu?"
Rupanya ia sangat berterima kasih kepada Sau Peng-lam
setelah mengikuti cerita Gi-lim tadi, tanpa menghiraukan keselamatan sendiri Peng-lam telah menjaga nama baik
Siong-san-pay serta menyelamatkan kesucian Gi-lim. Maka
rasa marahnya semula kepada Sau Peng-lam kini sudah
melayang ke-awang2.
Ciamtay Cu-ih menjengek pula: "Hm, ksatria muda ahli merangkak yang hebat!"
Dengan murka Ting-yat menjawab: "Apakah Hong-hoawan kalian. . . ."
Belum lanjut ucapannya, cepat Wi Kay-hou menyela,
katanya kepada Gi-lim: "Lalu bagaimana Siausuhu, Thio Yan-coan mengaku kalah atau tidak?"
Gi-lim menutur pula: "Thio Yan-coan berdiri dengan
melenggong, seketika ia merasa bingung dan dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Sau-toako lantas berseru:
'Siau-sumoay dari Siong-san-pay, turunlah kemari, bahagialah kau mendapatkan murid baru!'
Kiranya dia sudah tahu sejak tadi persembunyianku di
atas rumah. Meski orang she Thio itu terkenal jahat, tapi apa yang pernah dikatakannya tidak diingkarinya, waktu itu dengan mudah mestinya dia dapat membunuh Sau-toako,
habis itu baru membekuk lagi diriku. Tapi semua ini tidak dilakukannya, dia malah berseru padaku: 'Dengarkan, nona cilik, lain kali bila kau berani bertemu lagi denganku. sekali tabas segcea akan kubinasakan kau.'
-Memangnya aku tidak sudi menerima orang jahat begitu
sebagai murid, ucapannya itu sudah tentu kebetulan bagiku.
Habis bicara Thio Yan-coan lantas menyimpan goloknya
terus melangkah pergi. Baru sekarang aku berani melompat turun, kubangunkan Sau-toako dan membububi lukanya
dengan obat, kuhitung luka diseluruh tubuhnya berjumlah
18 tempat."
Mendadak Ciamtay Cu-ih menyeletuk; "Selamat, Tingyat Suthay, selamat!"
"Selamat apa?" tanya Ting-yat dengan heran.
"Selamat padamu karena kau baru saja menerima
seorang cucu murid yang termashur," kata Ciamtay Cu-ih.
Keruan Ting-yat menjadi murka, ia menggebrak meja
dan hendak melabrak orang.
Tapi Thian-bun Tojin keburu mencegah. katanya:
"Ciamtay-sicu, kukira tidak boleh kau omong begitu.
Antara Su-ki dan Sam-yu kita mana boleh berkelekar iseng begini?"
Karena merasa bersalah, pula merasa segan terhadap
Thian-bun Tojin, maka Ciamtay Cu-ih melengos kesana
dan pura2 tidak dengar.
Gi-lim lantas menyambung lagi ceritanya: "Sehabis
kububuhi obat pada luka Sau-toako, tiba2 tangga loteng
berbunyi, naiklah dua orang yang kukenal sebagai murid
Hong-hoa-wan, satu diantaranya ialah si jahat Lo Ci-kiat ini. Dia memandang padaku, lalu memandang pula Sau
toako, akhirnya aku lagi yang ditatapnya dengan sikap yang kurang sopan. Sau-toako melototi orang she Lo itu,
mendadak ia tanya padaku: 'Sumoay, apakah kau tahu
Kungfu apa yang menjadi andalan Hong hoa-wan"'
-Aku menjawab tidak tahu, sebab Kungfu Hong-hoa-wan
kabarnya sangat banyak. Sau-toako berkata pula: "Kungfu andalan Hong-hoa-wan memang sangat banyak, tapi satu
diantaranya yang paling terkenal ialah .... Hehe, agar tidak menyakitkan hati, biarlah tidak kukatakan.'
-Habis berkata ia melirik sekejap kearah Lo Ci kiat.
Karena itulah Lo Ci-kiat lantas mendekati Sau-toako dan
membentak: 'Kungfu apa" Coba sebutkan!'
Dengan tertawa Sau-toako berkata: 'Sebenarnya tidak
ingin kukatakan, apakah kau sengaja memaksa kukatakan"
Baiklah, Kungfu itu adalah jurus yang disebut belibis
hinggap ditanah pasir dengan pantat lebih dulu!'
"Lo Ci-kiat menggebrak meja dan membentak: 'Omong
kosong! Tidak ada jurus belibis jatuh dengan pantat lebih dulu segala! Ngaco belo!'
Sau-toako tertawa dan menjawab: 'Itulah jurus andalan
Tang-wan kalian. masa tidak pernah kau-dengar. Apa kau
ingin tahu" Coba kau membalik tubuhmu, biar

Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kupertunjukkan jurus tersebut!'
-Rupanya Lo Ci-kiat tahu Sau-toako sengaja hendak
menyindirnya, segera ia menjotos. Mestinya Sau-toako
hendak mengelak, tapi dia sudah terlalu banyak kehilangan darah, tenaganya sangat lemah, baru bergerak segera dia
jatuh terduduk lagi, Jotosan lawan dengan tepat mengenai hidungnya sehingga mencucurkan darah pula. . . Segera Lo Ci-kiat hendak menghantam lagi, tapi dapat kutangkis,
kataku: 'Jangan kau serang orang yang terluka parah,
memangnya terhitung orang gagah macam apa tindakanmu
ini"' Lo Ci-kiat lantas memaki: Nikoh cilik, rupanya kau
terpikat oleh bangsat cilik yang ganteng ini ya" Hayo,
menyingkir, kalau tidak, nanti kaupun kuhajar!'
-Aku menjawab: 'Kutahu kau ini murid Tang-wan, kau
berani menghina diriku, pasti akan kulaporkan kepada
gurumu Hong-hoa-wancu.'
-Dia menjawab dengan cengar-cengir: 'Huh; kau sendiri
tidak patuh pada peraturan suci, setiap orang dapat
menghajar kau!'
Berbareng sebelah tangannya terus meraih diriku, cepat
kutangkis, tak terduga dia cuma memancing saja, tangan
yang lain mendadak mencolek pipiku sambil bergelak
tertawa. Gusar dan dongkol aku, beruntun kuserang tiga
kali dan semuanya dapat dihindarkan olehnya.
-Tiba-tiba Sau-toako berkata padaku: 'Sumoay, tidak
perlu kau gubris dia, biar kuatur tenagaku sebentar lagi dan segalanya akan beres.'
Kulihat air muka Sau-toako pucat lesi. Pada saat itulah
Lo Cia-kiat berlari maju hendak memukulnya lagi. Tapi
mendadak sebelah kaki Sau-toako mendepak dan tepat
mengenai bokongnya. Karena depakan yang cepat lagi jitu
itu. Lo Ci-kiat tidak dapat berdiri tegak lagi, ia jatuh terguling ke bawah loteng.
-Dengan suara pelahan Sau-toako berkata padaku:
Sumoay, inilah jurus paling diandalkan Hong-hoa-wan
mereka, namanya belibis hinggap di padang pasir dan jatuh dengan pantat lebih dulu. Coba lihat, cara jatuhnya tadi mirip nama jurus itu bukan"
-Aku hendak tertawa. tapi melihat wajahnya kian lama
kian pucat, aku menjadi kuatir, kataku: 'Hendaklah kau
istirahat sebentar dan jangan bicara.'
Kulibat lukanya mengalirkan darah lagi, jelas depakannya tadi terlalu kuat menggunakan tenaga sehingga lukanya pecah lagi.
-Dalam pada itu Lo Ci-kiat yang terguling kebawah
loteng itu telah berlari ke atas loteng lagi, kini dia sudah membawa sebilah golok melengkung ia membentak: 'Kau
ini Sau Peng-lam dari Lam-han bukan"'
Sau-toako menjawab dengan tertawa: 'Murid Tang-wan
yang pamer jurus jatuh dengan bokong lebih dulu, termasuk anda sudah berjumlah tiga orang. Pantas .... pantas . . . .'
-Sambil bicara ia terus ter-batuk2. Kukuatir Lo Ci-kiat
mencelakai dia, maka akupun melolos pedang dan berjaga
disamping. Lo Ci-kiat lantas bicara kepada temannya: 'Le-sute, kau layani Nikoh cilik ini.'
Temannya mengiakan, dengan golok melengkung segera
dia membacok diriku. Terpaksa kutangkis dengan pedang,
Disebelah sana Lo Ci-kiat juga melancarkan serangan
gencar terhadap Sau-toako. Sekuatnya Sau-toako menangkis, keadaannya cukup gawat. Bseerapa jurus lagi,
pedang Sau-toako terbentur jatuh. Segera golok Lo Ci-kiat mengancam di dada Sau-toako dan mengejek dengan
tertawa: 'Asalkan kau panggil kakek tiga kali padaku, segera kuampuni jiwamu.'
-Sau-toako tertawa, jawabnya: 'Baik, akan kupanggil,
sesudah itu, kau harus mengajarkan jurus. . . .jurus belibis
jatuh dengan pantat lebih dulu padaku. . . .' Belum habis ucapannya, si jahat Lo Ci-kiat ini terus mendorong
goloknya dan menancap di dada Sau-toako, hati orang jahat ini sungguh amat keji dan kejam. . . ."
Bercerita sampai disini, air mata Gi-lim lantas berderai membasahi
kedua pipinya. Dengan tersendat ia menyambung pula: "Mel. . . melihat keadaan Sau-toako itu.
segera kuterjang kesana hendak mencegahnya, namun
golok melengkung Lo Ci-kiat itu sudah menikam dada Sautoako . . ."
Seketika semua orang sama bungkam. suasana menjadi
hening. Ciamtay Cu-ih merasa sorot mata orang banyak tertuju
kearahnya dengan penuh rasa benci dan gusar serta
menghina. Dia ingin bicara sesuatu, tapi tidak tahu apa
yang yang harus dikatakan.
Selang sejenak barulah dia berucap: "Ceritamu ini kukira tidak seluruhnya benar dan tidak sejujurnya. Kau bilang Lo Ci-kiat telah membunuh Sau Peng-lam, tapi mengapa Ci-kiat meninggal pula di tangan bocah she Sau itu?"
"Setelah tertikam goloknya, Sau-toako tertawa." tutur Gi-lim pula. "Dia lantas membisiki aku;
'Siausumoay, ada .... ada suatu rahasia besar akan
kuceritakan padamu. Kau tahu jurus pedang nomor satu
didunia, yaitu Siang-liu-kiam-hoat, kitab .... kitab pusaka ilmu pedang itu ber.... berada di . . . . makin lirih suaranya sehingga akupun tidak mendengar, hanya kelihatan
bibirnya saja ber-gerak2 dan entah apa yang dikatakan. . . ."
Tujuan Ciamtay Cu-ih mengirim keempat muridnya,
yaitu "Eng Hiong Ho Kiat", kedaerah Tionggoan, maksudnya ingin mencari tahu sumber berita mengenai
Siang-liu-kiam-hoat ilmu pedang nomor satu di dunia itu.
Jika di Tionggoan betul muncul ilmu pedang tersebut, maka mereka diwajibkan segera memberi laporan.
Sekarang ia sendiri mendengar Gi-lim menyinggung
Siang-liu-kiam-hoat, tentu saja ia terkesiap, seketika ia menjadi tegang, tanyanya: "Di .. .dimana. . . ."
Maklum, sejak tersiarnya berita tentang Siang-liu-kiamhoat nomor satu di dunia, sejak itu hampir setiap orang
persilatan sama menaruh perhatian terhadap jejak kitab
pusaka ilmu pedang itu, siapapun ingin menemukan kitab
itu dan menjadi jago pedang nomor satu di dunia.
Hanya saja selama berpuluh tahun cuma berita itu saja
yang tersiar, tapi belum pernah terbukti Siang-liu-kiam-hoat muncul di dunia persilatan, maka lama2 orangpun sama
melupakannya dan menganggapnya sebagai isyu belaka.
Tapi Ciamtay Cu-ih tahu Siang-liu-kiam-hoat itu benar2
ilmu pedang keluarga Sau dari Pak-cay dan bukan omong
kosong belaka. Selama 27 tahun ini tidak pernah dia
melupakan jejak Siang-liu-kiam- boh meski dia jauh berada dilautan timur sana, Sekarang mendadak terdengar
beritanya, maka iapun ingin tahu dan bertanya dimana
beradanya kitab pusaka itu. Tapi segera teringat olehnya bilamana terang2an ia ikut bertanya tentang kitab pusaka itu, hal ini sama artinya dirinya juga mengincar kitab
pusaka yang dianggap cuma isyu oleh orang lain itu.
Sebab itulah dia tidak lantas bertanya lebih lanjut, diam2
ia hanya berharap Gi-lim yang masih hijau itu akan
bercerita terus terang rahasia apa yang didengarnya. asalkan dirinya mengetahui jejak kitab pusaka itu. maka tidak sulit baginya untuk memastikan pemilik kitab itu masih hidup
atau sudah mati.
Jadi yang diperhatikan olehnya sesungguhnya bukan
dimana beradanya Siang-liu-kiam-hoat melainkan matihidupnya Sau Ceng-in dari Pak-cay.
Semua orang tidak memperhatikan gerak-gerik Ciamtay
Cu-ih, merekapun tidak peduli cerita Gi-lim tentang Siangliu-kiam-boh segala, sebab mereka menganggap hal itu
cuma isyu, cuma desas-desus cuma omong-kosong belaka,
di dunia ini hakikatnya tidak ada Siang-liu-kiam-hoat,
Mereka cuma menduga sebabnya Sau Peng-lam menyebut
Siang-liu-kiam-boh sebelum ajalnya itu pasti mempunyai
maksud tujuan tertentu.
Betul juga, segera terdengar Gi-lim bercerita pula:
"Ketika mendengar Sau-toako bicara tentang ilmu pedang nomor satu di dunia, Lo Ci-kiat jadi ketarik dan ingin tahu.
ia mendekati Sau-toako dan berjongkok, ia ingin
mendengarkan kitab pusaka itu berada dimana. Diluar
dugaan mendadak Sau-toako menyambar pedangnya yang
terjatuh dilantai itu, terus dicobloskan ke perut Lo Ci kiat. .
. .Kontan orang jahat she Lo itu terjungkal, kaki dan
tangannva berkelejotan, dan tidak dapat bangun lagi.
Kiranya Sau-toako dapat menyelami ketamakan orang yang
mengincar Siang-liu-kiam-boh, maka ia sengaja memancing
si jahat she Lo itu kedekatnya, lalu membunuhnya untuk
melampiaskan sakit hatinya. . . ."
Habis bercerita, Gi-lim menjadi lemas lunglai, ia
bergeliat dan jatuh pingsan. Cepat Ting-yat menahan
pinggang Gi-lim dan memandang Ciamtay Cu-ih dengan
menndelik. Semua orang sama terdiam, semuanya sama membayangkan betapa mendebarkan pertarungan yang
terjadi di Cui-sian-lau itu.
Dalam pandangan Thian-bun Tojin, Bun-sian-sing, Ho
Sam-jit dan lokoh2 kelas tinggi, sudah tentu ilmu silat Sau Peng-lam, Lo Ci-kiat dan lain2 mungkin tiada sasuatu yang istimewa, tapi apa yang terjadi dalam pertarungan sengit itu sangat ngeri dan jarang terjadi didunia Kangouw. Apalagi kejadian itu dk'sahkan o!eh seorang N'koh jilita se-bagai Gi litr, je'as nada seiuatu yang sengajn di-besar2kan atau di-bumbu2i.
Thian-bun Tojin lantas tanya Te-coat Tojin; "Sute,
setelah terluka, lalu kau kemana?"
"Maksudku hendak lari ke bawah loteng untuk mencari bala bantuan guna menumpas bangsat cabul itu," tutur Te-coat, "Tapi lantaran lukaku terlalu parah. setiba dibawah aku lantas jatuh tersungkur dan tidak dapat bergerak lagi."
"Jika demikian, jadi kau pun menyaksikan sendiri apa yang terjadi itu?" tanya Thian-bun.
"Ya, Sau Peng-lam dan Lo Ci-kiat sama2 berhati keji dan bertindak kejam, akhirnya keduanya gugur bersama," jawab Te-coat Tojin.
Sorot mata Ciamtay Cu-ih lantas beralih ke arah Kiau
Lo-kiat. dengan muka guram ia mendengus: "Kiau-hiantit, beberapa hari yang lalu Sau Peng-lam telah melukai Ci-eng dan Ci-hiong, pagi tadi dia membinasakan Ci-kiat pula di tempat yang sama. Sesungguhnya Tang-wan kami ada
permusuhan apa dengan Lam-han kalian sehingga tanpa
sebab musabab Suhengmu selalu mencari perkara kepada
anak murid Tang-wan kami?"
Kiau Lo-kiat menggeleng, jawabnya: "Entah, Tecu tidak tahu. Semua itu adalah sengketa pribadi antara Sau-toasuheng dengan Lo-suheng dari Tang-wan kalian, sama
sekali tiada sangkut-pautnya dengan hubungan baik antara Tang-wan dan Lam-han."
Walaupun begitu, dalam hati Kiau Lo-kiat berpikir besar
kemungkinan Toa-suheng mengetahui tindak-tanduk anak
murid Tang-wan yang tidak pantas, makanya Toa-suheng
menjadi marah dan sengaja hendak menghajar mereka.
Sudah tentu kuatir bikin marah Ciamtay Cu-ih, maka apa
yang dipikirnya itu tidak berani dikatakannya.
Ciamtay Cu-ih lantas mendengus: "Hm, tidak ada
sangkut-paut apa, mengapa kau mengelakkan tanggungjawab. . . ."
Belum habis ucapannya, mendadak terdengar suara
gedubrakan, daun jendela disebelah kiri mendadak
terpentang didobrak orang, lalu melayang masuk satu
orang. Para hadirin adalah jago2 kelas tinggi dan dapat
memberi reaksi dengan cepat, begitu melihat sesuatu, segera mereka menyingkir kesamping dan siap siaga.
Belum lagi terlihat jelas siapa orang yang melayang
masuk itu, "brak", kembali melayang masuk pula satu orang. Keduanya terus mendekam di lantai dan tidak
bergerak. Dari pakaian mereka yang serba putih jelas mereka
adalah anak murid Tang-wan. Di bagian bokong mereka
jelas kelihatan ada bekas di depak oleh kaki.
Terdengar di luar jendela ada orang berseru lantang:
"Inilah gaya belibis hinggap di padang pasir dan jatuh dengan pantat lebih dulu!"
Secepat terbang Ciamtay Cu-ih terus melayang keluar
jendela disertai dengan suatu pukulan dahsyat, sebelah
tangannya menolak ambang jendela, ttubuhnya terus
melayang ke atap rumah, dengan sebelah kaki berdiri ditepi
emper, berpuluh tombak disekelilingnya dapat dilihat
dengan jelas. Akan tetapi suasana sunyi senyap. hujan rintik2, malam
kelam, tiada nampak bayangan seorangpun, ia pikir orang
ini tentu sembunyi disekitar sini, tidak mungkin dalam
waktu sekejap ini menghilang tanpa bekas. Ia menyadari
orang ini pasti lawan tangguh, segera ia lolos golok
melengkung, dengan gerak cepat ia mengitar satu keliling gedung keluarga Wi ini.
Waktu itu kecuali Thian-bun Tojin yang menjaga gengsi
dan tetap berduduk ditempatnya, yang lain seperti Ting-yat Suthay, Ho Sam-jit, Bun-siansing dan tokoh2 lain serentak juga ikut melompat keluar. mereka sempat melihat seorang tua berjubah putih bertubuh pendek gemuk sedang
meluncur dengan cepat dalam kegelapan, begitu cepat
sehingga mirip sejalur bayangan putih berkelebat di
kejauhan. Diam2 mereka sangat kagum terhadap Ginkang
Ciamtay Cu-ih yang tinggi dan tidak malu sebagai salah
satu tokoh Su-ki yang terkenal itu.
Meski sangat cepat Ciamtay Cu-ih memeriksa sekitar
kediaman keluarga Wi itu, hampir setiap pelosok telah
ditelitinya. Sesudab mengitar satu keliling, lalu dia
melompat masuk kembali keruangan tamu tadi. Dilihatnya
kedua muridnya masih meringkuk dilantai, pada pantat
mereka masih terlihat jelas bekas kaki yang membikin matu Hong hoa-wan dari Tang wan itu.
Segera Ciamtay Cu-ih meraih salah seorang itu sehihgga
rebah telentang, dilihatnya orang ini adalah muridnya yang bernama Sun Ci-cun, sedang seorang lagi ialah Ko Ci-thong.
Dia menepuk Hiat-to Sun Ci-cun, lalu bertanya: "Kau dikerjai siapa tadi?"
Sun Ci cun ingin bicara, tapi sukar mengeluarkan suara.
Ciamtay Cu ih terkejut. Caranya membuka Hiat-to yang
tertutuk itu sudab hampir menggunakan tenaga dalam yang
penuh, tapi Hiat-to Sun Ci-cun ternyata beium lagi terbuka, maka dapat diketahui tenaga tutukan lawan terlebih kuat
dari pada dirinya.
Biarpun perawakan Ciamtay Co-ih pendek gemuk, tapi
semangat tempurnya sangat kuat, setelah mengetahui
sedang menghadapi musuh lihay, dia tidak menjadi keder,
sebaliknya bertambah semangat.
Diam2 ia mengerahkan tenaga dalam sendiri dan
disalurkan ke Leng-tay-hiat di punggung Ci-cun. Selang
sebentar lagi, pelahan2 Ci-cun mulai dapat bersuara: "Su ....
Suhu . . . ."
Ciamtay Cu-ih tidak menjawabnya, ia menyalurkan
tenaga dalamnya lebih lanjut. Akhirnya dapatlah Ci-cun
bicara dengan jelas: "Suhu, Tecu tidak tahu siapa lawan itu."
"Dimana kalian dikerjai dia?" tanya Ciamtay Cu-ih.
"Tecu dan Ko-sute sedang buang air diluar sana,
mendadak Tecu merasa punggung kesemutan dan begitulah
kami telah dikerjai oleh keparat jahanam itu,"' tutur Ci-cun.
"Hus, orang adalah tokoh kelas tinggi dunia persilatan, jangan sembarangan memaki!" damperat Ciamtay Cu-ih.
Terpaksa Ci-cun mengiakan dan tidak berani bersuara
lagi. Seketika Ciamtay Cu-ih tidak dapat meraba orang
macam apakah pihak lawan. Waktu ia berpaling, dilihatnya Thian-bun Tojin tenang2 saja seperti tidak mau tahu
terhadap apa yang terjadi, Mendadak terpikir olehnya: "Ah,
jangan2 orang itu berada di tengah orang banyak diruangan pendopo?"
Segera ia mengajak Ci-cun ke ruangan besar, dilihatnya
orang lagi ramai membicarakan kematian seorang murid
Yan-san-pay dan seorang murid Tang-Wan. Semua orang
lantas bungkam demi nampak munculnya Ciantay Cu-ih.
Sorot mata Ciamtay Cu-ih yang tajam itu menyapu
pandang wajah setiap orang. Yang hadir disitu semuanya
adalah jago angkatan muda, meski tidak banyak yang
dikenalnya, tapi dari dandanan mereka hampir sebagian
besar diketahuinya dari golongan atau aliran mana. Ia
menduga diantara jago angkatan muda ini pasti tiada yang memiliki tenaga dalam sekuat itu, apabila orang itu
mencampurkan diri disini tentu akan kelihatan menyolok.
Se-konyong2 sorot matanya yang tajam berhenti pada


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri satu orang.
Bentuk orang ini agak janggal dan memuakkan. Entah
sakit bisul atau sebab lain, mukanya tertempel beberapa
potong koyok, punggungnya menonjol, jelas seorang
bungkuk. Mendadak Ciamtay Cu-ih teringat kepada satu orang, Ia
terkejut. Pikirnya: "Apakah mungkin dia" Konon orang ini mengasingkan diri jauh di utara yang dingin sana dan tidak pernah masuk ke Tionggoan, juga tiada sesuatu hubungan
dengan Ngo-tay-lian-beng, mengapa dia bisa hadir di
tempat Wi Kay-hou ini" Tapi kalau bukan dia, di dunia
persilatan kan tiada orang bungkuk lain yang berbentuk
seperti ini" Wah, jika betul dia, rasanya sukar dilayani."
Pandangan semua orang serentak juga beralih kesana
mengikuti tatapan Ciamtay Cu-ih. Beberapa orang yang
berusia agak lanjut dan berpengalaman segera bersuara
heran. Wi Kay-hou juga lantas tampil kedepan dan memberi
hormat kepada orang bungkuk itu, katanya: "Maaf, sama sekali Cayhe tidak tahu kehadiran anda sehingga tidak
melakukan penyambutan selayaknya."
Padahal si bungkuk itu sama sekali bukan tokoh kosen
dunia persilatan segala, dia tak-lain-tak-bukan ulah Soat Peng-say. Dia menyamar sebagai orang bungkuk, tapi
kuatir dikenal orang Tang-wan, maka sejak tadi dia selalu memencilkan diri dibelakang orang banyak dengan
menunduk. Sekarang pandangan orang banyak sama terpusat
kepadanya, seketika Peng-say serba susah, cepat ia
berbangkit dan membalas hormat Wi Kay-hou, katanya;"Ah, mana Cayhe berani menerima penghormatan sebesar ini."
Wi Kay-hou tahu tokoh bungkuk yang disegani itu
berasal dari daerah utara, tapi logat orang ini jelas orang dan daerah Tionggoan. Umurnya juga tidak cocok, diam2
ia menjadi curiga.
Tapi iapun tahu tindak-tanduk tokoh bungkuk itu
selamanya sukar diraba, maka dia masih tetap bersikap
hormat dan berkata: "Cayhe Wi Kay-hou, mohon tanya
siapa nama anda yang terhormat?"
Melihat orang sudah berusia lanjut, juga tergolong Bulim cianpwe atau angkatan tua dunia persilatan, tapi
sedemikian menaruh hormat kepada dirinya, betapapun
Peng-say merasa rikuh, dengan gugup ia menjawab: ' O,
Cayhe she Soat."
"Apakah Soat artinya salju?"' tanya Wi Kay-hou.
"Betul, betul, Soat artinya salju." jawab Peng-say.
Jawaban ini membuat beberapa orang bersuara kaget
pula. Sebab tokoh bungkuk yang tinggal di daerah utara
yang dingin dan sepanjang tahun diliputi salju itu memang she Soat.
Orang she Soat tidak banyak, sekarang diketahui Pengsay mengaku she Soat, bentuknya juga bungkuk dan
bermuka jelek, segera orang menyangka dia ini benar2
tokoh bungkuk dari utara itu.
Tapi setelah Wi Kay-hou memancingnya lebih cermat,
diketahuinya usia Peng-say selisih terlalu jauh dengan tokoh yang terkenal itu, rasanya tidak mungkin si tokoh itu
sendiri, andaikan ada hubungannya, paling2 juga cuma
angkatan mudanya.
Maka dia lantas bertanya: "Cara bagaimana anda
menyebut Say-pak-beng-to Soat-tayhiap" Apakah beliau itu angkatan tua anda?"
Karena Ciamtay Cu-ih masih menatapnya dengan sikap
garang Peng-say kuatir penyamarannya diketahui, bilamana hal ini terjadi, lalu setelah ditanya dan diketahui pula dirinya bukan anak murid Lam-han, besar kemungkinan
Ciamtay Cu-ih akan mendesak pula pengakuan Kiau Lokiat tentang siapa yang ikut membunuh anaknya, dan kalau Kiau Lo-kiat mengaku, maka dirinya bisa celaka.
Dalam keadaan kepepet begini dilihatnya Wi Kay-hou
sangat menghormat kepada pendekar besar yang juga she
Soat itu, diam2 Peng-say merasa akan lebih aman jika
untuk sementara dirinya mengikuti arah angin saja agar
penyamarannya tidak diketahui Ciamtay Cu-ih, maka dia
lantas menjawab pertanyaan Wi Kay-hou tadi.
"Kau tanya tentang Say-pak-beng-to Soat-tayhiap" Hehe, beliau memang boleh dikatakan angkatan tua kami!"
Karena tidak menemukan orang lain yang mencurigakan
di ruangan ini, Ciamtay Cu-ih menduga orang yang
mengerjai kedua muridnya itu pasti si bungkuk ini. Jika
menghadapi Say-pak-beng-to (si unta sakti dari utara) Soat Ko-hong sendiri, mungkin dirinya harus berpikir dua kali, tapi orang ini hanya angkatan muda keluarga Soat, kenapa mesti takut padanya. Apalagi dia yang mencari perkara
lebih dulu kepada Tang-wan,
Sebagai satu di antara Su-ki yang disegani, selama hidup Ciamtay Cu-ih tidak pernah tunduk kepada siapapun juga,
sekarang iapun tidak rela Tang-wan dihina orang. Segera ia mendengus: "Hong-hoa-wan dan Soat-siansing dari Say-pak selamanya tiada sesuatu sengketa apapun, entah sebab apa anda telah meaghajar muridku yang tak becus ini?"
Menghadapi Ciamtay Cu-ih, Peng-say jadi ingat orang
ini sengaja menyuruh anaknya berbuat se-wenang2, bahkan
menyuruhnya menikahi puterinya sendiri, perbuatan
demikian tiada ubahnya seperti hewan, seketika darah
bergolak di rongga dada Peng say, saking gemasnya segera ia hendak memakinyi sebagai hewan. Tapi segera teringat
lagi akibatnya jika dirinya bertindak ceroboh, mungkin
gagal menolong adik Leng, sebaliknya jiwa sendiripun akan melayang disini.
Karena tidak tahu apa maksud ucapan Ciamtay Cu-ih
tadi, tapi iapun mengikuti nada orang dan menjawab:
"Anakmu sendiri berbuat jahat, muridmu pasti juga bukan orang baik2. Selama hidup Say-pak-beng-to Soat-cianpwe
suka melakukan kebajikan, menumpas kaum lalim dan
membantu kaum lemah. Aku yang menjadi angkatan muda
beliau dengan sendirinya juga ingin mewakilkan beliau
untuk memberi hajaran kepada muridmu."
Tidak kepalang gusar Ciamtay Cu-ih sehingga mukanya
merah padam. Sedangkan Wi Kay-hou bertambah yakin Soat Peng-say
pasti anak murid Soat Ko-hong, setelah mendengar
jawabannya itu, ia menjadi kuatir Ciamtay Cu-ih akan
menyerang Soat Peng-say, akibatnya tentu akan mendatangkan pembalasan Soat Ko-hong yang terkenal
sukar dilayani itu. Maka cepat ia menengahi, katanya:
"Ciamtay-wancu dan Soat-heng, kalian berkunjung kemari, dengan sendirinya kalian adalah tamu agungku. Hendaklah
kalian ingat diriku dan sudilah minum secawan perdamaian. Hayo ambilkan arak!"
Segera kaum pelayan mengiakan dan menuangkan arak!
Sudah tentu Ciamtay Cu-ih tidak gentar terhadap si
bungkuk muda ini, tapi teringat kepada macam2 tindakan
keji Soat Ko-hong seperti yang tersiar di dunia kangouw, betapapun ia sungkan untuk bermusuhan dengan orang
begitu. Akan tetapi ketika arak disodorkan oleh pelayan, ia tidak lantas menerimanya, ia ingin tahu dulu bagaimana
sikap lawan. Sebaliknya Soat Peng-say juga sangat gemas terhadap
Ciamtay Cu-ih, terutama bila ingat orang ini mengharuskan adik Leng menjanda selama hidup bagi anaknya, meski dia
jeri terhadap kepandaian orang, namun hal ini tidak
mengurangi rasa bencinya kepada Ciamtay Cu-ih.
Karena itulah iapun memandang Ciamtay Cu-ih dengan
melotot, iapun tidak menerima arak yang disodorkan
kepadanya. Malahan mestinya dia ingin memaki orang, tapi terpengaruh oleh wibawa Ciamtay Cu-ih, ia tidak berani
bersuara. Mendadak Ciamtay Cu-ih menjengek: "Eh, marilah kita berkawan . ..." berbareng itu secepat kilat dia jabat sebelah tangan Soat Peng-say.
Cepat Peng-say meronta, tapi tidak terlepas, segera ia
merasakan tangannya kesakitan, tulang telapak tangan
sampai bunyi berkeliutan, rasanya akan hancur teremas.
Tapi Ciamtiy Cu-ih tidak lagi mengerahkan tenaga
remasannya, maksudnya cuma hendak membikin Soat
Peng-say kesakitan dan minta ampun saja. Tak terduga
Peng-say memang anak bandel. biarpun sakitnya merasuk
tulang, namun karena bencinya terhadap Ciamtay Cu-ih,
biar matipun dia tidak sudi minta ampun, Maka sama sekali ia tidak bersuara,, ia hanya meringis kesakitan dan tetap bertahan.
Wi Kay hou dapat melihat butiran keringat sebesar
kedelai menghiasi dahi Soat Peng-say, namun anak muda
ini masih tetap bertahan tanpa bersuara, diam2 iapun
kagum terhadap kekerasan hati Peng-say. Segera ia
bermaksud melerai.
Tapi sebelum dia bersuara, se-konyong2 seseorang
berseru dengan suara melengking tajam! "Ciamtay-wancu, kenapa kau iseng dan merecoki anak Soat Ko-hong"!"
Waktu semua orang berpaling, terlihatlah di depan pintu
berdiri seorang bungkuk pendek gemuk.
Muka orang bungkuk ini penuh panu, banyak pula toh
hijau dan berbulu, mukanya sungguh jelek, tubuhnya
gemuk dan sangat pendek, ditambah lagi punggungnya
yang menggunung, dipandang dari jauh mirip satu biji
bakpao raksasa.
Kebanyakan hadirin tidak pernah melihat muka asli Soat
Ko-hong. Sekarang pendatang ini memberitahukan namanya sendiri dan cocok dengan potongannya yang aneh
itu, maka terkesiap juga orang banyak.
Yang lebih hebat lagi, si bungkuk yang buntak ini
tampaknya sangat lambat gerak-geriknya tapi entah cara
bagaimana, tahu2 dia telah menggelinding kesamping Soat
Peng-say. Sambil menepuk pundak Peng-say, dengan tertawa ia
berkata. "Anak baik, cucu sayang, kau telah membual bagi kakek, bahwa kakek suka menumpas yang lalim dan
menolong kaum lemah, semua obrolanmu itu sungguh
sangat menyenangkan hatiku!"
Tapi ia terkejut karena tepukannya tidak membuat
pegangan Ciamtay Cu-ih terlepas. Maka sembari bicara
dengan Soat Peng-say ia terus mengerahkan tenaga
dalamnya, waktu dia menepuk lagi untuk kedua kalinya,
sekarang telah digunakan tenaga sepenuhnya.
Pandangan Peng-say menjadi gelap, darah terasa
bergolak dan hampir saja tertumpah keluar, sebisanya dia bertahan dan menelan kembali darah yang akan membanjir
keluar itu. Tangan Ciamtay Cu-ih sekarang juga merasa kesakitan
dan tidak sanggup menjabat lebih erat lagi, terpaksa ia lepas tangan dan mundur selangkah, pikirnya: "Keji amat hati orang bungkuk ini, demi untuk menggetar lepas tanganku,
dia tidak segan2 menimbulkan luka dalam anak-buahnya
sendiri." Tapi Soat Peng-say lantas bergelak tertawa, katanya
kepada Ciamtay Cu-ih: "Haha, tampaknya Kungfu Honghoa-wan kalian juga cuma begini saja, kalau dibandingkan Soat-cianpwe ini sungguh selisih sangat jauh, kukira lebih baik kau angkat guru saja kepada Soat-cianpwe dan
mungkin kau akan tambah pandai. . . ."
Sebenarnya luka dalam Soat Peng-say cukup parah,
waktu bicara, isi perutnya serasa berjungkir balik tak
keruan, sekuatnya ia selesaikan ucapannya dan tubuhpun
ter-huyung2. Ciamtay Cu-ih berkata: "Baik, kau suruh aku belajar kepada Soat-siansing, saranmu ini memang sangat baik.
Kau sendiri adalah anak murid Soat siansing, kepandaianmu tentu juga sangat tinggi biarlah kubelajar
kenal dulu dengan kau."
Dengan ucapannya itu secara langsung dia menantang
Soat Peng-say, sebagai seorang tokoh ternama, dengan
sendirinya Soat Ko-hong tidak dapat ikut campur.
Soat Ko-hong lantas menyurut mundur dua tindak,
katanya dengan tertawa; "Eh. cucuku sayang, kukira
kepandaianmu masih terlalu cetek, jelas kau bukan
tandingan Hong hoa-wancu, begitu gebrak tentu kau bisa
dibinasakan olehnya. Padahal kakek sudah terlanjur sayang kepada cucu ganteng seperti kau ini, jika terbunuh tentu sukar mencari cucu yang lain. Begini saja, kau berlutut dan menyembah serta panggil kakek padaku dan mintalah agar
kakek turun tangan bagimu."
Soat Peng-say memandang Ciamtay Cu-ih sekejap, lalu
memandang Soat Ko-hong pula. Pikirnya: "Jika benar harus kuhadapi orang she Ciamtay ini, bisa jadi sekali gebrak saja aku akan terbunuh lalu cara bagaimana dapat kuselamatkan adik Leng" Sebaliknya, seorang lelaki gagah perwira mana boleh tanpa alasan menyebut orang bungkuk ini sebagai
kakek, aku terhina tidak menjadi soal, tapi leluhur juga ikut terhina, itulah yang tidak boleh terjadi. Sekali aku
menyembah padanya, itu berarti aku telah minta
perlindungan kepada Say-pak-beng-to lalu selamanva sukar lagi bagiku untuk mengangkat namaku sendiri."
Karena pikirannya bergolak, tubuh Peng-say menjadi
gemetar. "Hm. kukira kau memang pengecut!" demikian Ciamtay Cu-ih mengejek pula, "Maka lebih baik kau menyembah dan mobon bantuan orang, kan tidak menjadi soal
bagimu?" Lamat2 ia dapat melihat hubungan Soat Peng-say dan
Soat Ko-hong rada2 luar biasa, jelas bukan anggota
keluarga sendiri, buktinya Peng-say cuma menyebut tokoh
bungkuk itu sebagai "Cianpwe" dan tidak menggunakan panggilan lain. Sebab itulah ia sengaja memancingnya
dengan kata2 yang menusuk perasaan, asalkan Soat Pengsay tidak tahan dan maju sendiri untuk menghadapi dia,
maka urusan menjadi mudah diselesaikan.
Pikiran Peng-say juga sedang bekeria, teringat olehnya
selama lebih sebulan ini, sejak di Siau-ngo-tay-san dirinya dikalahkan Liok-ma, ber-turut2 ditemui pula tokoh2 kelas tinggi, kepandaian sendiri sesungguhnya selisih sangat jauh dibandingkan anak murid Su-ki maupun Sam-yu, jelas
untuk menolong adik Leng bukanlah pekerjaan yang
mudah. Tapi teringat olehnya cerita sejarah di jaman
permulaan dinasti Han, sebelum masa jayanya Han Sin
pernah dihina orang dengan disuruh merangkak lewat
selangkangan, tapi dia rela melakukannya dan akhirnya
malah mendapat pahala dan jadilah dia panglima yang tak
terkalahkan dan berhasil ikut membangun dinasti Han yang jaya itu.
Seorang lelaki sejati, jika tidak sabar terhadap soal kecil, tentu akibatnya akan mengacaukan urusan besar. Asalkan
kelak dapat berjaya dan menonjol, apa halangannya
sekarang mendapatkan sedikit hinaan"
Karena pikiran itulah, mendadak ia membalik tubuh
terus berlutut kepada Soat Ko-hong, disembahnya tokoh
bungkuk itu, katanya: "Kakek, kelakuan Ciamtay Cu-ih ini tiada ubahnya seperti hewan, setiap orang Bu-lim wajib
membunuhnya. Untuk itu hendaklah kakek menegakkan
keadilan dan menumpas orang jahat ini bagi dunia
Kangouw. Perbuatan Soat Peng-say ini benar2 diluar dugaan
siapapun juga termasuk Soat Ko-bong dan Ciamtay Cu-ih,
tiada seorangpun yang menyangka anak muda yang keras
kepala ini mau tunduk dan menyembah kepada orang.
Hendaklah dimaklumi bahwa setiap orang persilatan
pada umumnya mengutamakan nama dan kehormatan,
biarpun di-sayat2 juga tidak mau tunduk, apalagi dihina di depan umum.
Tadinya semua orang mengira si bungkuk muda ini
adalah cucu Soat Ko-hong, umpama bukan cucu sungguh2,
mungkin juga cucu murid atau cucu keponakan dan
sebagainya. Hanya Soat Ko-hong sendiri yang tahu anak
muda ini tiada sangkut-paut sedikitpun dengan dirinya.
Namun Ciamtay Cu-ih dapat melihat ketidak beresan
diantara hubungan Soat Ko-hong dan Soat Peng-say itu,
hanya saja ia tidak dapat menerka dengan pasti huhungan
sesungguhnya antara kedua orang itu, namun didengarnya
panggilan "kakek" yang diucapkan Peng-say itu terasa sangat dipaksakan. ia menduga mungkin anak muda itu


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

takut mati, maka terpaksa memanggil kakek kepada si
bungkuk untuk minta perlindungan.
Begitulah Soat Ko-hong lantas bergelak tertawa dan
berseru: "Hahahaha! Cucu sayang, bagaimana, apakah kita benar2 hendak main2?"
Kedengarannya dia bicara kepada Soat Peng-say, tapi dia
berkata sambil menghadapi. Ciamtay Cu-ih, jadi ucapannya
"cucu sayang" itu se-akan2 ditujukan kepada tokoh Tang-wan itu.
Keruan Ciamtay Cu-ih tambah murka, ia tahu
pertarungan ini bukan saja menyangkut mati-hidupnya
sendiri, bahkan juga menyangkut jaya dan runtuhnya Honghoa-wan. Maka diam2 ia menghimpun tenaga dan siap
siaga, ia tertawa hambar dan berkata: "Rupanya Soat-siansing ada maksud pamer ilmu saktinya di depan orang
banyak, agar semua orang dapat menambah pengalaman,
terpaksa kuiringi kehendak Soat-siansing."
Dari tepukan Soat Ko-hong tadi Ciamtay Cu-ih sudah
tahu tenaga dalam si bungkuk terlebih kuat daripada
dirinya, bahkan kelihatan sangat keras, sekali dilontarkan sukar ditahan lagi dan pasti akan terus melanda lawan
seperti gugur gunung dahsyatnya. Maka diam2 Ciamtay
Cu-ih mengambil keputusan dalam serarus jurus pertama
hanya akan bertahan saja tanpa menyerang, akan
ditunggunya bilamana kekuatan musuh sudah mulai lemah
baru dia akan melancarkan serangan balasan.
Sesungguhnya ilmu silat Hong-hoa-wan di lautan timur
juga berasal dari Tionggoan, mengutamakan kelunakan
untuk mengatasi kekerasan, maka dalam hal kesabaran
Ciamtay Cu-ih cukup tahan uji. Ia pikir asalkan dapat
bertanding sama kuatnya dengan tokoh bungkuk ini, maka
nama baik Hong-hoa-wan dapatlah ditegakkan kembali dan
berjaya seperti 27 tahun yang lalu. Ia menduga bila si
bungkuk tak dapat merobohkan lawannya, akhirnya tentu
akan gelisah dan menyerang secara ceroboh, apabila
pertarungan sudah melebihi ratusan jurus, bukan mustahil akan dapat ditemukan lubang2 kelemahan si bungkuk,
tatkala mana dapatlah dia merobohkan lawan tersebut
dengan mudah. Rupanya maksud kedatangannya kedaratan Tionggoan
ini salah satu tujuannya ialah ingin menegakkan nama
Hong-hoa-wan. Maklumlah sudah 27 tahun dia mengasingkan diri, pada umumnya orang Bulim sudah
melupakan dia. Di dunia persilatan sekarang orang hanya
memuja Sam-yu Ji-ki atau Tiga serangkai dan dua tokoh
sakti, yaitu apa yang sekarang bergabung di dalam Ngo tay-lian-beng atau persekutuan lima besar ini. Terhadap Ji-ki atau dua tokoh sakli yang lain, meski diketahui Ciamtay
Cu-ih masih hidup dilautan bebas sana, tapi dianggap sudah menghilang seperti halnya Sau Ceng-in dari Pak-cay.
Nama "Say-pak-beng-to" atau si untu sakti dari utara, memang tidak segemilang Sam-yu dan Ji-ki, tapi dalam
pandangnn tokoh2 angkatan tua, ilmu silat si makhluk aneh ini bahkan diatas kelima tokoh besar itu. Apabila sekarang Ciamtay Cu-ih dapat mengalahkannya sejurus-dua, maka
harga diri Ciamtay Cu-ih pasti akan menanjak dan tiada
seorangpun yang berani meremehkan dia.
Soat Ko-hong sendiri juga
sedang me-nimang2 lawannya, ia lihat perawakan Ciamtay Cu-ih kurus kecil
seperti badan anak kecil, kalau ditimbang mungkin tidak
ada 80 kati. tapi berdirinya ternyata begitu tegak dan kukuh seperti bukit yang tak tergoyahkan, sikapnya yang kereng jelas menampilkan gaya seorang guru besar suatu aliran
tersendiri, jelas betapa tinggi Lwekang si kakek kecil ini tidak boleh dipandang enteng. Maka diam2 Soat Ko-hong
merasa waswas, betapapun si bungkuk tidak boleh
terjungkal ditangan seorang kakek kecil begini. Karena
itulah dia tidak berani sembarangan melancarkan serangan, tapi mengawasi lawan dengan cermat.
Begitulah kedua orang pendek itu saling menatap dengan
prihatin, senyuman mereka sudah lenyap dan pertarungan
sengit segera akan terjadi.
Thian-bun Tojin, Ting-yat Suthay dan lain2 sama tidak
suka kepada Ciamtay Cu-ih. sebab pada 27 tahun yang lalu, pada masa jayanya Ciamtay Cu-ih, boleh dikatakan di mata
tokoh Tang-wan itu tidak merasakan adanya Tionggoansamyu, anak murid tiga serangkai itupun sering dihinanya.
Tapi sekarang jaman telah berubah, Sam-yu dan Ji-ki telah bersekutu dan memimpin dunia persilatan, namun Ciamtay
Cu-ih sama sekali tidak memberikan salam atau kata2
pujian lain, dalam pandangannya se-olah2 persekutuan lima besar itu telah merosotkan harga diri Bulim-suki dahulu.
Mengenai pribadi Soat Ko-hong, namanya sangat busuk
di dunia persilatan. Meski dia tidak melakukan kejahatan dan memusuhi Ngo-tay-lian-beng, tapi hampir semua tokoh
utama kelima besar itu lama memandang Soat Ko-hong
sebagai manusia rendah dan tidak sudi berkumpul dengan
dia. Sebab itulah, bagaimana hasil dari pertarungan antara
Ciamtay Cu-ih dan Soat Ko-hong ini bukan soal bagi
mereka. Bahkan dalam hati Thian-bun Tojin dan Ting-yat
Suthay berharap semoga pertarungan kedua orang itu
berlangsung dengan sengitnya, kalau keduanya mampus
bersama malahan kebetulan bagi mereka.
Hanya Wi Kay-hou saja yang mempunyai hubungan
yang rada akrab dengan Ciamtay Cu-ih, di samping itu
iapun tuan rumahnya, maka sedapatnya ia ingin mencegah
pertarungan kedua orang itu.
Akan tetapi kedua orang itu adalah tokoh yang punya
harga diri, barang siapa mundur lebih dulu berarti kalah.
Walaupun keduanya juga menyadari pertarungan ini tanpa
tujuan berarti, cuma keduanya sudah kadung sama ngotot
sehingga mau-tak-mau harus saling gebrak.
-ooo0dw0ooo- Jilid 16 Pada saat pertarungan sudah hampir berlangsung itulah.
se-konyong2 seorang melompat keluar dari belakang meja
dan "bluk" jatuh di lantai. Belum lagi semua orang tahu jelas apa yang terjadi "bluk", kembali seorang menerobos keluar lagi dan terbanting di lantai. Keduanya sama
menggeletak tengkurap dan tak berkutik.
Walaupun muka kedua orang itu tidak kelihatan jelas,
tapi keduanya sama memakai seragam putih dan bagian
pantat masing2 ada cap kaki. Menyusul terdengar suara
seorang anak perempuan berteriak dengan nyaring: "Itulah kepandaian andalan Tang-Wan yang disebut jatuh dengan
pantat lebih dulu!"
Tentu saja Ciamtay Cu-ih sangat gusar, sekali berpaling, tanpa peduli siapa yang bicara itu, terus saja ia melompat kesana menurut arah datangnya suara tadi, dilihatnya
seorang anak perempuan berbaju hijau berdiri disamping
meja, tanpa pikir lengan anak perempuan itu terus
dicengkeramnya.
"Aduh, mak!" teriak
anak perempuan itu dan menangislah dia.
Ciamtay Cu-ih terkejut Saking gusarnya oleh ucapannya
yang menghina tadi, ia sangka kedua muridnya telah
dikerjai pula oleh dara cilik ini, tanpa pikir ia terus
mencengkeramnya dengan keras, ketika dara cilik itu
menjerit dan menangis barulah ia ingat orang hanya anak
perempuan yang masih kecil, tindakannya ini tentu akan
menurunkan derajatnya sebagai Hong-hoa-wancu, maka
cepat ia lepas tangan.
Tak tersangka anak perempuan itu makin keras
menangisnya, bahkan terus ber-teriak2: "Lenganku patah, lenganku patah! Uuhhh! Kau mematahkan lenganku. . . ."
Hong-hoa-wancu Ciamtay Cu-ih sudah pernah menghadapi pertempuran sengit dan sering mengalami
pertarungan dahsyat, tapi adegan runyam begini belum
pernah dialaminya. Apalagi sorot mata beratus orang sama tertuju kepadanya dengan sikap yang tidak suka, seketika mukanya merah, dengan bingung ia membujuk anak dara
itu: "Diam, jangan menangis, jangan menangis, tanganmu tidak apa2, tidak patah."
"Patah, sudah patah!" seru dara cilik itu dengan menangis. "Huk-huk, orang tua memukul anak kecil, tidak tahu malu. Uuhhh. sakit. . . . sakit. ..."
Usia anak perempuan ini kira2 baru 11 atau 12'tahun,
berbaju hijau muda, kulit badannya putih bersih, mukanya bulat telur, cantik menyenangkan, setiap orang pasti
bersimpati padanya. Maka beberapa orang lantas berteriak:
"Terlalu si pendek itu, hajar saja dia! Ya, mampuskan tua bangka kecil yang tidak tahu malu itu!"
Ciamtay Cu-ih merasa serba susah. menghadap
kemarahan orang banyak, ia tidak berani menanggapi,
terpaksa ia membujuk pula si anak kecil, "Maaf adik cilik, jangan nmenangis, tidak apa2, coba kuperiksa tanganmu,
bagian mana yang sakit?" Sambil berucap ia terus hendak menggulung lengan baju anak perempuan itu.
Tapi anak itu lantas berteriak: "Tidak, jangan menyentuh diriku. O, ibu, tua bangka pendek ini telah mematahkan
lenganku!"
Selagi Ciamtay Cu-ih merasa bingung, tiba2 dari
kerumunan orang banyak tampil kemuka seorang lelaki
berjubah putih. ialah Ji Ci-ho, salah seorang murid
kesayangan Ciamtay Cu-ih, "Anak kecil jangan cengeng dan pura2." kata Ci-ho kepada dara cilik itu. "Tangan
guruku sama sekali tidak menyentuh dirimu, manabisa
lenganmu dipatahkan olehnya?"
"Uuhhhh! ibu, ada orang jahat hendak memukul aku
lagi!" teriak anak perempuan itu.
Ting-yat menjadi gusar, segera ia melangkah maju terus
menampar kemuka Ci-ho sambil membentak: "Besar
memukul kecil, tidak tahu malu"!"
Segera Ci-ho hendak menangkis, tak tahunya Ting-yat
Suthay justeru sengaja memancingnya menangkis, mendadak tangan Ting-yat yang lain meraih dan dapat
memegang tangan Ci-ho, menyusul tangan kiri terus
memotong ke balik siku Ci-ho, bilamana serangan ini tepat kena sasarannya, maka tangan Ci-ho itu pasti patah.
Untung Ciamtay Cu-ih keburu bertindak, secepat kilat ia
tutuk punggung Ting-yat, inilah serangan maut yang
memaksa lawan harus menyelamatkan diri sendiri lebih
dulu. Mestinya siku tangan Ci-ho sudah tertekan oleh
tangan Ting-yat, tapi tiba2 didengarnva sambaran angin
yang kuat, tutukan Ciamtay Cu-ih sudah mendekat,
terpaksa Ting-yat lepas tangan dan menangkis kebelakang.
Ciamtay Cu-ih tidak ingin bertempur dengan Ting-yat, ia
tersenyum dan melompat mundur.
Biasanya Ting-yat Suthay sangat suka kepada anak
perempuan yang cantik, hampir semua muridnya adalah
nona cantik pilihan seperti halnya Gi-lim yang jelita itu. Dia lantas pegang tangan anak perempuan tadi dan bertanya
dengan suara lembut: "Anak sayang, bagian mana yang sakit, coba kulihat, akan kuobati kau!"
Tapi dilihatnya lengan anak perempuan itu tidak patah,
maka legalah hatinya. Ia menyingsing lengan baju anak
perempuan itu, terlihat dengan jelas lengannya yang putih mulus itu ada empat jalur hijau, bekas cengkeraman jari.
Dengan gusar Ting-yat lantas membentak Ci-ho:
"Bangsat cilik yang suka membohong, coba lihat sendiri, jika gurumu tidak menyentuh tangannya, siapa lagi yang
meremas lengannya sehingga meninggalkan bekas jari ini?"
"Okui (kura2) yang meremas tanganku, Okui yang
meremas tanganku!" seru anak perempuan itu sembari
menuding punggung Ciamtay Cu-ih.
Mendadak bergemuruhlah gelak tertawa orang banyak,
ada yang sedang minum sehingga air teh tersembur keluar
lagi, ada yang menungging sambil memegangi perutnya
yang mulas saking gelinya.
Ciamtay Cu-ih menjadi bingung, ia tidak tahu apa yang
ditertawakan orang banyak itu. Ia pikir anak perempuan
memakinya sebagai Okui (kata makian atau kata kiasan
bagi kaum germo), hal ini dapat dimengerti karena anak
perempuan itu merasa penasaran dan mestinya tidak ada
sesuatu yang menggelikan. Namun orang banyak toh tetap
bergelak tertawa terhadapnya, mau-tak-mau ia menjadi
heran dan serba kikuk.
Cepat Ci-ho melompat kebelakang Ciamtay Cu-ih dan
menanggalkan sehelai kertas yang menempel di baju sang
guru, berbareng kertas itu terus diremasnya
Ciamtay Cu-ih meminta kertas itu, dibentangnya dan
dilihat, ternyata kertas itu bergambar se-ekor Okui atau kura2. Terang ditempel oleh anak perempuan itu ketika
dirinya lengah tadi.
Gusar dan malu Ciamtay Cu-ih, tapi segera iapun
terkesiap. Pikirnya: "Okui ini jelas sudah dilukis
sebelumnya, jadi diam2 memang ada orang yang
mendalangi perbuatan anak perempuan ini."
Ia berpaling dan memnndang Wi Kay-hou sekejap,
pikirnya: "Anak ini tentu anggota keluarga Wi, rupanya Wi Kay-hou yang main gila padaku."
Ditatap begitu oleh Ciamtay Cu-ih, segera Wi Kiy-hou
paham apa artinya, ia mendekati anak perempuan itu dan
bertanya: "Adik cilik, kau ini keluarga siapa" Di mana ayah-bundamu?"
Pertanyaan ini mempunyai dua maksud tujuan, pertama
untuk membuktikan dirinya tiada sangkut-pautnya dengan
anak perempuan itu. Kedua ia sendiripun merasa curiga
dan ingin tahu siapa yang membawa anak ini kemari.
Terdengar anak perempuan itu menjawab, "Ayah ibuku
ada urusan lain telah pergi, aku disuruh duduk menunggu
disini, katanya sebentar akan ada tontonan yang menarik, katanya ada orang dapat melayang dan menggeletak tak
bergerak, konon gerakan ini adalah Kungfu kebanggaan
Tang-wan yang disebut belibis jatuh dengan pantat lebih
dulu dan apa segala, tampaknya memang betul sangat
menarik!" Sambil berkata ia terus bertepuk tangan dan tertawa
gembira, padahal airmata masih meleler dipipinya.
Semua orang menjadi senang, mereka tahu itu orang tua
yang sengaja mengajarkan anak perempuan ini mencemoohkan Tang-wan. Nama Tang-wan memang
kurang baik, sekarang dua muridnya menggeletak di situ
tanpa bisa bergerak, boleh dikatakan Tang-wan telah
kehilangan pamor habis2an, maka bergemuruhlah tertawa
orang banyak. Ciamtay Cu-ih menepuk tubuh salah seorang muridnya
itu, ia menjadi kaget ketika tubuh muridnya dirasakan
sudah kaku dan dingin. Jelas keduanya sudah mati sejak
tadi. Cepat ia membalik tubuh muridnya itu, tertampak air
mukanya mengunjuk senyuman aneh. Seketika jari Ciamtay
Cu-ih bergetar, betapapun tenangnya, demi melihat
senyuman yang aneh ini, sungguh seperti melihat hantu,
takut dan ngeri.
Maklumlah, sebab senyuman aneh ini baginya sudah
tidak asing lagi, justeru senyuman aneh ini adalah akibat pukulan "Cui-sim-ciang" (pukulan penghancur hati), sejenis Kungfu khas Tang-wan sendiri.
Orang yang mati terkena pukulan maut itu akan
memperlihatkan tanda khas, yaitu senyuman yang aneh.
Sesungguhnya juga bukan senyuman, akan tetapi lebih tepat dikatakan meringis. karena korban yang terkena Cui-sim-ciang akan merasakan kesakitan luar biasa sehingga kulit daging bagian muka berkerut dan mengejang sehingga


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menimbulkan "senyuman" yang aneh ini.
Di seluruh dunia ini hanya Cui-sim-ciang saja yang dapat menimbulkan air muka yang aneh itu pada korbannya, dari
sini dapat diduga bahwa kedua muridnya ini mati di tangan orang seperguruannya sendiri. Seketika muka Ciamtay Cu-ih menjadi sebentar pucat sebentar hijau dan tidak dapat bersuara.
"Hei, Cui-sim-ciang!" mendadak Soat Peng-say berteriak.
"Inilah Kungfu Tang-wan sendiri!"
Kiranya pada waktu mau turun gunung Peng-say telah
diberitahu oleh gurunya agar hati2 terhadap Cui-sim-ciang dari Tang-wan dan diberi penjelasan ciri2 ilmu pukulan
tersebut, maka begitu melihat segera ia tahu.
Di antara para hadirin yang berusia agak tua juga kenal
ciri khas Cui-sim-ciang ini, maka banyak diantaranya ikut berseru: "Ah, kiranya orang Tang-wan saling membunuh sendiri!"
Kusut juga pikiran Ciamtay Cu-ih,dengan suara rendah
ia berkata kepada Ci-ho agar menggotong pergi mayat
kawannya itu. Cepat Ci-ho memanggil beberapa saudara
perguruannya, be-ramai2 kedua sosok mayat itu lantas
diusung pergi. Mendadak anak perempuan tadi berseru sambil
berkeplok: "Wah, orang Hong-hoa-wan dari Tang-hay
sungguh sangat banyak! Mati satu digotong dua, mati dua
digotong empat!"
Dengan muka kelam Ciamtay Cu-ih bertanya kepada
anak perempuan itu: "Siapa ayahmu" Kata2mu barusan ini apakah ajaran ayahmu?"
Hendaklah maklum bahwa ucapan anak perempuan tadi
sesungguhnva sangat keji, tiada ubahnya seperti mengutuki.
Jika bukan diajar oleh orang tua, usia sebaya dia pasti tidak dapat mengeluarkan Kata2 begitu.
Anak perempuan itu tidak menjawab pertanyaan
Ciamtay Cu-ih, dengan tertawa ia malah menyambung pula
angka perkalian: "Satu kali dua sama dengan dua, dua kali dua sama dengan empat, dua kali tiga .... dua kali enam
sama dengan duabelas. . . ."
"He, kutanya padamu!" seru Ciamtay Cu-ih, suaranya cukup bengis.
Anak perempuan itu mewek2 dan menangis lagi sambil
menyembunyikan mukanya di pangkuan Ting-yat.
"Jangan takut! Anak sayang, jangan takut!" hibur Tingyat sambil tepuk2 punggungnya dengan pelahan. Lalu dia
berpaling kepada Ciamtay Cu-ih dan berkata: "Kau sendiri tidak becus mengajar dan anak muridmu saling membunuh
sendiri, kenapa kau lampiaskan rasa gusarmu terhadap
seorang anak kecil?"
Ciamtay Cu-ih mendengus dan tidak menggubrisnya.
Mendadak anak perempuan itu menengadah dan berkata
kepada Ting-yat: "Losuhu. dua kali dua sama dengan
empat, dua orang mati digotong empat orang, dua kali tiga sama dengan enam, tiga orang mati harus digotong enam
orang, dua kali empat sama dengan delapan ..." dia tidak melanjutkan, tapi lantas tertawa ter-kikik2.
Tercengang juga orang banyak melihat anak perempuan
ini sebentar tertawa sebentar menangis, kalau anak kecil umur lima-enam tahun masih dapat dimengerti, tapi anak
perempuan ini tampaknya berumur antara dua belasan,
malahan perawakannya rada jangkung, apalagi setiap
ucapan selalu mengutuki Ciamtay Cu-ih, jelas bukan kata2
anak kecil yang belum tahu apa2, tapi pasti ada dalangnya di belakang anak ini.
Dengan suara keras Ciamtay Cu-ih lantas berseru:
"Seorang lelaki sejati harus bertindak secara terang2an, jika ada kawan yang tidak suka kepada diriku, silakan tampil ke muka untuk bicara, jika main sembunyi2 dan menyuruh
seorang anak kecil untuk mengoceh iseng begitu,
memangnya terhitung ksatria atau orang gagah macam
apa?" Meski pendek perawakan Ciamtay Cu-ih. tapi kata2nya
itu sangat keras dan lantang hingga terasa mendengung di telinga pendengarnya. Mau-tak-mau semua orang sama
merasa kagum dan tidak berani lagi memandang hina
padanya. Suasana menjadi hening, tiada seorangpun yang
menanggapi. Selang sejenak, tiba2 anak perempuan tadi berkata;
"Losuhu, dia tanya orang gagah macam apa" Apa orang dari Hong-hoa-wan mereka itu-pun orang gagah?"
Ting-yat Suthay adalah tokoh terkemuka Siong-san-pay,
meski iapun tidak suka terhadap pribadi Ciamtay Cu-ih,
tapi tidaklah leluasa baginya untuk menghina Hong-hoawan didepan umum, maka ia hanya menjawab secara
samar2: "Hong-hoa-wan di. . . dimasa dahulu memang
banyak juga menampilkan orang gagah."
"Dan sekarang bagaimana" Apakah masih tersisa orang gagahnya?" tanya pula si anak perempuan.
Di seluruh ruangan pendopo hanya si anak perempuan
saja yang bicara, suaranya bening dan jelas sehingga sangat menarik perhatian.
Dengan benci Ciamtay Cu-ih melototi anak perempuaanitu, dari ucapan anak itu ia ingin tahu
sebenarnya siapa biangkeladi dibelakang layar yang sengaja mencari perkara kepada Tang-wan.
Ting-yat berdehem, jawabnya kemudian: "Hal ini kurang jelas, jaman sudah berubah, orang sekarang lain dengan
orang dulu. Ksatria sejati dan orang gagah tulen memang
jarang terlihat lagi."
Di balik ucapan itu jelas dapat diketahui dia tidak
mengakui bahwa di Hong hoa-wan sekarang masih ada
ksatria sejati.
Si anak perempuan lantas berkata pula: "Tapi kutahu ada seorang ksatria tulen." Sambil bicara ia tertawa terhadap Gi-lim.
Sementara itu tokoh2 angkatan tua sudah keluar
keruangan depan, Kiau Lo-kiat dan Gi-lim juga ikut keluar.
Kiau Lo-kiat kembali bergabung dengan para Sutenya,
sedangkan Gi-lim berdiri tidak jauh di samping Ting-yat, saat itu dia sedang melamun, maka jamsa sekali tak
dihiraukannya apa artinya mendadak anak perempuan itu
tertawa kepadanya.
Ia sedang mengenangkan kejadian pagi tadi, ia
memondong jenazah Sau Peng-lam dan meninggalkan Cuisian-lau tanpa menghiraukan pandangan orang lain yang
ter-heran2. Tanpa tujaan ia melangkah ke depan, ia merasa jenazah
yang dipondongnya makin lama makin dingin. ia tidak
merasakan beratnya jenazah itu, juga tidak tahu berduka.
lebih2 tidak tahu kemana jenazah itu akan dibawanya"
Setiba ditepi sebuah kolam teratai, tertampak bunga
teratai mekar dengan indahnya, mendadak dadanya
ditumbuk sesuatu, ia tidak tahan lagi, bersama jenazah yang dipondongnya ia lantas jatuh pingsan.
Waktu ia siuman kembali, terasa cahaya matahari
menyilaukan mata, cepat ia hendak memondong jenazah
Sau Peng-lam lagi, tapi tangannya meraba tempat kosong.
Ia melompat bangun, dilihatnya dirinya masih berada ditepi kolam teratai itu, bunga teratai masih mekar dengan indah, namun jenazah Sau Peng-lam sudah hilang tak berbekas.
Dengan cemas ia berlari mengitari kolam teratai itu,
tetap jenazah itu tidak diketemukan, ia coba memandang
pakaian sendiri yang berlepotan darah, terang bukan
mimpi, tapi kemana perginya jenazah Sau toako"
Selain takut dan sedih, hampir saja ia jatuh kelengar
pula. Ia berusaha menenangkan diri, lalu mencari lagi,
namun jenazah Sau-toako benar2 telah lenyap tanpa bekas.
Malahan iapun memeriksa kolam teratai dengan airnya
yang jernih itu. tapi juga tiada terlihat sesuatu yang
mencurigakan. Begitulah, dengan bingung iapun menuju ke Cu-joan dan
bergabung dengan gurunya di kediamanan Wi Kay-hou.
Tapi dalam hati senantiasa ber-tanya2: "Kemana perginya jenazah Sau-toako" Apakah ditolong orang yang kebetulan
lalu di Sana" Atau digondol binatang buas?"
Teringat tewasnya Sau-toako adalah akibat hendak
menyelamatkan dirinya, tapi sekarang jenazah Sau-toako
saja tak dapat dijaga dengan baik olehnya. Bila benar
jenazah digondol dan dimakan binatang, maka dirinya
sungguh tidak ingin hidup lagi.
Padahal seumpama jenazah Sau Peng-lam sekarang
masih baik-baik dan tidak hilang, rasanya ia pun tidak ingin hidup lagi.
Tiba-tiba, dari libuk hatinya yang dalam timbul pikiran
yang seharusnya tidak boleh terjadi pada orang beragama
seperti dia. Pikiran ini sudah timbul ber-kali2 seharian ini, tapi
segera ia dapat mengatasi pergolakan pikiran itu, ia
membatin: "Mengapa hatiku menjadi tidak tenang dan suka berpikir hal yang bukan2 begini" Sungguh terlalu dan tidak boleh terjadi lagi."
Akan tetapi sekarang pikiran demikian timbul kembali
dan sukar lagi dihalau. dengan jelas terbayang olehnya;
"Waktu kupondong jenazah Sau-toako, timbul pikiranku akan kupondong dia untuk selamanya, betapapun akan
kucari jenazahnya. Sebab apakah timbul pikiran demikian"
Apakah karena tidak tega jenazahnya dimakan binatang
buas" Ah, tidak, rasanya tidak. Waktu kupondong
jenazahnya dan duduk termenung ditepi kolam teratai,
mengapa mendadak aku jatuh pingsan" Ah, sungguh
konyol aku ini. Tapi, tapi seharusnya tidak boleh kupikirkan hal ini, Suhu takkan mengizinkan, Buddha juga melarang,
ini pikiran sesat, pikiran jahat, aku tidak boleh tersesat.
Akan tetapi, kemana perginya jenazah Sau-toako?"
Begitulah pikirannya menjadi kacau, tiba2 ia seperti
melihat senyuman yang menghiasi ujung mulut Sau Penglam, senyuman yang acuh-tak-acuh, lalu terbayang pula
cara Sau Peng-lam memakinya sebagai "Nikoh cilik sialan"
dengan sikap yang menghina itu. Mendadak dadanya
kesakitan seperti disayat-sayat dan. ... tersadarlah dia dari lamunannya.
Begitulah didengarnya Ciamtay Cu-ih sedang bertanya:
"Kiau Lo kiat, apakah anak perempuan ini anak murid Soh-hok-han kalian?"
Rupanya teringat olehnya anak perempuan itu menyebut
"Belibis jatuh denan pantat lebih dulu" tadi, timbul dugaannya jangan2 anak perempuan ini kenal Sau Peng-lam
dan mungkin pula anak murid Lam-han. Tapi Kiau Lo-kiat telah menyangkal, jawabnya: "Bukan, adik cilik ini bukan murid Lam-han, bahkan baru sekarang Tecu melihat dia."
"Baik, tak menjadi soal jika kau tidak mengakuinya,"
kata Ciamtay Cu-ih, mendadak tangannya berayun, setitik
sinar hijau terus menyambar kearah Gi-lim, berbareng ia
membentak: "Siau-Suhu, apa ini?"'
Gi-lim sedang ter-mangu2 tak disangkanya Ciamtay Cuih akan menyerangnya dengan Am-gi atau senjata gelap.
Titik hijau itu adalah sebiji gurdi kecil, dari suara
mendengingnya jelas tenaga sambitannya cukup keras.
Tiba-tiba timbul rasa senang dalam hati Gi-lim: "Biarkan saja dia membunuhku. Memangnya aku tidak ingin hidup
lagi, bisa mati akan lebih baik."
Karena hasrat ingin mati, maka sama sekali ia tidak
menghindar atau berkelit ketika senjata rahasia itu
menyambar tiba, padahal beberapa orang sama berteriak
memperingatkan dia.
Cepat Ting-yat mendorong pelahan anak perempuan tadi
kesamping, menyusul ia terus melayang maju dan
mengadang di depan Gi-lim.
Jangan mengira Ting-yat sudah tua, gerakannya ternyata
gesit dan cepat luar biasa, dia sempat mengadang didepan senjata rahasia dan masih dia sempat menangkis atau
menangkap senjata rahasia itu. Tak tersangka kira2
setengah meter di depan Ting-yat, mendadak senjata
rahasia itu jatuh kebawah dan "plok", jatuh ke lantai.
Sebenarnya sekali raih saja senjata rahasia itu dapat
ditangkap Ting-yat dengan mudah, tapi menurut taksirannya, luncuran gurdi yang lambat itu masih sempat ditangkapnya nanti bila sudah dekat didepan dadanya.
Dengan cara demikian akan lebih menonjol gayanya
sebagai seorang tokoh silat terkemuka.
Tak tersangka cara Ciamtay Cu-ih menggunakan tenaga
sambitan senjata rahasia memang sangat aneh, sudah
diperhitungkannya dengan baik bilamana senjata rahasia itu mendekati sasarannya, daya luncurnya akan mulai lemah
dan kira2 setengah meter didepan ia akan akan jatuh
ketanah, Dan Ting-yat ternyata terjebak, begitu tangannya
terjulur. tahu2 meraih tempat kosong, hal ini berarti dia telah kalah satu jurus. Tanpa terasa mukanya menjadi
merah, tapi tiada alasan baginya untuk marah.
Pada saat itulah dilihatnya tangan Ciamtay Cu-ih
berayun lagi, segulung kertas telah dilemparkan kemuka
anak perempuan tadi. Gulungan kertas ini adalah kertas
yang bergambar kura2 yang diremasnya tadi.
Baru sekarang Ting-yat tahu maksud tujuan Ciamtay Cuih, rupanya Hong-hoa-wancu itu sengaja menyambitkan
gurdi kecil tadi untuk memancing dia menyingkir dan tidak sengaja hendak melukai Gi-lim.
Dilihatnya sambaran pulungan kertas itu sangat keras,
jauh lebih kuat daripada sambaran gurdi tadi. Bagi seorang ahli Lwekang, biarpun sehelai daun atau secuil kelopak
bunga saja dapat digunakan melukai orang. Jika pulungan
kertas itu tepat mengenai muka anak perempuan itu, maka
sukar baginya untuk terhindar dari luka parah.
Tatkala mana Ting-yat berdiri disamping Gi-lim, apa
yang terjadi ini terlalu cepat, betapapun ia tidak sempat lagi menolongnya. Baru saja ia berseru memperingatkan, tiba2
terlihat anak perempuan itu mengangkat tangan kanan,
jarinya yang kecil itu menyelentik pulungan kertas. "Crit", pulungan2 kertas itu hancur menjadi kertas kecil2 dan
bertebaran seperti kupu2.
Serentak belasan orang berteriak memuji. Akan tetapi air muka tokoh2 besar seperti Ting-yat, Ciamtay Cu-ih, Thian-bun Tojin, Wi Kay-hou, Bun-siansing. Ho Sam-jit seketika berubah hebat.
"Hehe, bagus sekali jurus 'Pek-niau-tiau-bong' yang kau perlihatkan ini, Nona cilik!" seru Ciam-tay Cu-ih.
Seketika pandangan semua orang sama terpusat kearah
anak perempuan itu dan ingin tahu bagaimana jawabnya.
Sebab setiap tokoh besar itu tahu jurus "Pek-niau-thiau-hong" atau beratus burung menghadap Hong (rajanya
burung), adalah Kungfu khas Ma-kau atau agama Ma, sekte
agama yang didirikan Mani pada abad ketiga di Persia
(agama ini masuk kedaratan Tiongkok pada jaman
pertengahan dinasti Tong, sekitar tahun 750).
Menurut kabar, ilmu selentikan jari Pek-niau-tiau-hong,
itu sekaligus mampu melukai belasan orang. serangan ganas dan sukar dihindar, Dengan sendirinya anak perempuan
sekecil ini belum sempurna latihan Kungfunya, jika cukup waktu latihannya, yang diselentik juga bukan kertas
melainkan Am-gi sebangsa pasir berbisa, dalam jarak sekitar beberapa meter beratus ribu biji pasir kecil berhamburan, sekaligus
betapapun lihaynya seorang juga sukar meloloskan diri.
Bila membicarakan Ma-kau, orang2 dari perguruan
ternama sama merasa pusing kepala terhadap Kungfu yang
sukar dilawan itu, karena itu pula kebanyakan orangpun
merasa benci terhadap kekejian orang Ma-kau.
Siapa sangka seorang anak perempuan cantik jelita
begini juga mahir ilmu yang keji dan juga lihay ini. Di luar dugaan, anak perempuan itu lantas tertawa dan


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjawab: "Siapa bilang jurus ini Pek-niau-tiau-hong" Kata ibuku, Kungfu ini bernama It-ci-sian. Cuma sayang belum
sempurna latihanku, jika kulatih 20 tahun lagi mungkin
cukuplah. Cuma 20 tahun rasanya terlalu lama, tatkala
mana mungkin rambutku sudah ubanan dan ompong, apa
gunanya lagi It-ci-sian yang hebat ini?"
Thian-bun Tojin dan Ting-yat saling pandang sekejap,
keduanya sama mengunjuk rasa heran dan kejut.
"Kau bilang ilmu sakti ini It-ci-sian?" Ting-yat menegas.
"Jika demikian, apakah ibumu bertempat tinggal di Ci-tiok-to (pulau bambu ungu) di laut timur sana?"
Anak perempuan itu tertawa, jawabnya: "Betul atau
tidak boleh kau menerkanya sendiri. Yang pasti ibu telah memberi pesan agar asal-usul kami tidak boleh dikatakan
kepada orang luar."
Thian-bun Tojin dan lain2 sudah lama mendengar
kungfu istimewa Ma-kau yang disebut Pek-niau-tiau-hong
ini, tapi sampai dimana lihaynya belum pernah melihatnya, apalagi Kungfu anak perempuan ini belum terlatih
sempurna, jadi tulen atau palsunya juga sukar dibedakan.
Padahal ilmu sakti "It-ci-sian" atau tenaga sakti satu jari, konon adalah Kungfu khas Keng-goat Sin-ni, seorang
Nikoh sakti yang bermukim di Ci-tiok-to dan selama ini
kabarnya tidak pernah di ajarkan kepada orang luar. Jika anak perempuan ini mahir It-ci-sian, maka pasti ada
hubungan erat dengan Nikon sakti itu.
Keng-goat Sin-ni adalah tokoh dongeng di didunia
persilatan, siapapun merasa tidak dapat menandinginya,
walaupun pengakuan anak perempuan ini entah betul atau
tidak, tapi akan lebih baik percaya daripada tidak, untuk apa tanpa sebab memusuhi tokoh sakti yang sukar dijajaki itu.
Begitulah seketika Thian-bun Tojin dan lain2 sama
bersuara kaget. air muka mereka dari rasa benci berubah
menjadi menghormat.
Air muka Ciamtay Cu-ih juga berubah pucat setelah
mendengar nama "It-ci-cian", seketika ia menjadi bimbang dan entah apa yang harus dilakukannya terhadap anak dara itu.
Ting-yat Suthay memang suka kepada anak perempuan
yang cantik, apalagi anak dara ini mengaku ada hubungan
erat dengan Ci-tiok-to di lautan timur, sesama penganut
ajaran Buddha", betapapun anak dara ini harus dibela dan tidak boleh dianiaya Ciamtay Cu-ih.
Tapi, mengingat Ciamtay Cu-ih juga seorang pemimpin
besar suatu perguruan terkenal juga sukar dilawan, jika
harus bertengkar dengan dia, rasanya juga tidak berpaedah.
Maka ia lantas berkata kepada Gi-lim: "Orang tua adik cilik ini entah kemana, Gi-lim., boleh kau bawa dia pergi
mencarinya agar di tengah jalan tidak diganggu orang."
Gi-lim mengiakan, ia mendekati anak perempuan itu dan
menarik tangannya. Anak dara itu tertawa kepada Gi-lim
dan ikut keluar.
Ciamtay Cu-ih merasa tiada gunanya menghalangi, dia
cuma mendengus saja dan tidak menghiraukannya.
Setiba diluar ruangan besar, Gi-lim bertanya kepada
anak perempuan itu: "Adik cilik, siapakah she dan
namamu?" "Aku she Sau dan bernama Peng-lam," jawab anak dara itu dengan mengikik tawa.
Hati Gi-lim berdebur keras, segera ia menarik muka dan
berkata: "Kutanya dengan sungguh2, mengapa kau
bergurau denganku?"
"Masa aku bergurau padamu?" jawab anak dara itu dengan tertawa. 'Memangnya cuma kawanmu saja boleh
bernama Sau Peng-lam dan aku tidak boleh?"
Gi-lim menghela napas, hatinya menjadi pedih, hampir
saja air matanya menetes pula, katanya: "Sau-toako ini telah menyelamatkan jiwaku, aku utang budi padanya, tapi dia mati bagiku, sebaliknya aku tidak. . . .tidak bisa
membalas apa-apa padanya."
Selagi mereka bicara, terlihat dua orang bungkuk, yang
satu tinggi dan yang lain pendek, keduanya berlalu di
serambi sana. Jelas itulah Say-pak-beng-to Soat Ko -ong
dan Soat Peng-say. Anak perempuan itu tertawa dan
berkata pula: "Di dunia ini mana ada kejadian secara kebetulan begini, ada seorang bungkuk tua bermuka buruk
begini didampingi lagi seorang bungkuk muda dengan
muka sama jeleknya."
Gi-lim kurang senang karena anak dara itu suka
mencemooh orang lain, katanya: "Adik cilik, maukah kau mencari sendiri ayah-ibumu" Kepalaku sakit, badanku
kurang sehat."
"Ah, kepala sakit dan kurang sehat apa segala, pura2
belaka?" tiba2 anak dara itu ber-olok2.
Kutahu, lantaran mendengar nama Sau Peng-lam, maka
hatimu lantas kesal. Padabal gurumu mengutus kau
mengawasi diriku, masa aku akan kau tinggalkan" jika aku diganggu orang nanti, tenta kau akan dimarahi gurumu."
Kungfumu lebih tinggi dari padaku, kaupun cerdik.
sampai2 tokoh termashur seperti Hong-hoa-wancu itupun
terjungkal ditanganmu," kata Gi-lim. "Jika kau tidak mengganggu orang bolehlah orang merasa bersyukur, mana
ada orang lain yang berani menggangu kau lagi?"
Nona clik itu tertawa, katanya sambil menarik tangan
Gi-lim: "Cici yang baik, janganlah kau ber-olok2. Padahal tadi kalau tidak dilindungi gurumu, tentu aku sudah kena dihajar oleh kakek cebol itu. Cici yang baik, yang benar aku she Kik namaku Fi-yan, kakek dan ayah bundaku sama
memanggil diriku Fifi, maka kaupun boleh panggil Fifi
padaku.' Karena anak dara itu mau memberitahukan namanya.
rasa kurang senang Gi-lim tadi lantas lenyap. Cuma ia
masih heran darimana anak dara ini mengetahui dirinya
sedang menguatirkan Sau Peng-lam sehingga sengaja
menggunakan nama Sau-toako untuk menggodanya"
Ia pikir besar kemungkinan ketika dirinya melaporkan
Pengalamannya kepada sang guru tadi, semua itu telah
didengar oleh nona cilik yang binal ini. Maka ia lantas
berkata: "Baik, Fifi, marilah kita mencari ayah-ibumu.
Menurut kau, kira2 kemanakah mereka?"
Sudah tentu kutahu mereka pergi kemana," jawab Kik
Fi-yan alias Fifi. "Jika kau ingin mencari mereka, silakan kau pergi mencarinya, aku sendiri tidak mau pergi."
Gi-lim menjadi heran, tanyanya: "Aneh. mengapa kau
sendiri malah tidak mau mencari mereka?"
"Usiaku masih semuda ini, aku tidak rela menyusul
ayah-ibuku," kata Fifi "Berbeda dengan kau, kulihat hatimu sangat berduka, mungkin kau ingin pergi kesana
selekasnya."
Hati Gi-lim menjadi pilu sebab ia tahu arti ucapan anak
dara itu, katanya dengan tersendat: "O, jadi . . . .jadi ayah ibumu sudah. . . ."
"Ya, ayah dan ibu sudah lama meninggal, jika kau mau mencari mereka boleh silakan menuju ke akhirat," kata Fifi.
Kembali Gi-lim merasa kurang senang, katanya: "Jika ayah-bundamu sudah meninggal, mana boleh kau gunakan
hal ini untuk bercanda denganku. Baiklah, jika demikian
adanya, biarlah kupulang kesana."
Tapi sekali meraih Kik Fi-yan telah mencengkeram
pergelangan tangan Gi-lim, katanya dengan setengah
memohon: "O, Cici yang baik, aku sebatangkara, tidak mempunyai teman bermain, sudilah engkau mengawani
aku sebentar."
Karena urat nadi pergelangan tangan terpegang, seketika
Gi-lim merasa sebagian badannya kesemutan dan tak
bertenaga, diam2 ia terkejut dan merasakan kepandaian
nouna cilik ini memang berada di atasnya. Karena
permintaannya yang kelihatan memelas, ia lantas menjawab: "Baiklah, akan kutemani kau sebentar, tapi jangan kau bicara hal2 yang iseng lagi."
"Ada kata2 yang kau kira iseng, bagiku justeru tidak iseng, ini kan bergantung kepada pikiran masing2" ujar Fifi.
"Eh, Gi-lim Cici, kan lebih baik kau tidak menjadi Nikoh?"
Gi-lim melengak oleh ucapan anak dara itu, ia surut
mundur satu langkah, Fifi lantas lepaskan pegangannya dan berkata pula: "Memang apa paedahnya menjadi nikoh"
Tidak boleh ikan, tidak boleh makan udang, daging juga
dilarang. Padahal, Cici, engkau sedemikian cantiknya
karena kepalamu dicukur kelimis, kecantikanmu menjadi
banyak berkurang. Apabila engkau piara rambut lagi, wah, pasti sangat mempesona."
Karena ucapan yang ke-kanak2an ini, Gi-lim tertawa dan
menjawab: "Kami sudah masuk perguruan yang kosong,
bagi kami segala apa di dunia serba kosong, peduli lagi
cantik buruk apa segala."
Fifi memiringkan mukanya ke samping dan memandang
Gi-lim dengan cermat, waktu itu hujan sudah reda, awan
buyar, cahaya bulan yang remang2 menyinari wajah Gi-lim
yang cantik itu sehingga tambah mengiurkan.
"Ai, pantas orang begitu merindukan dirimu," ucap Fifi kemudian dengan menghela napas.
Muka Gi-lim menjadi merah, tanyanya: "Apa katamu,
Fifi" Jangan kau ber-olok2 lagi, akan kutinggal pergi."
"Baiklah, aku tidak omong lagi," ucap Fifi dengan tertawa. "Eh, Cici, sudilah engkau memberikan sedikit Thian-hiang-toan-siok-ciau, perlu kutolong seorang yang
terluka parah."
"Siapa yang akan kau tolong?" tanya Gi-lim.
"Orang ini sangat penting, sementara ini tak dapat
kukatakan padamu." jawab Fifi.
"Permintaanmu mestinya dapat kupenuhi, tapi Suhu
telah memberi pesan agar obat luka ini tidak sembarang
diberikan kepada orang, sebab kalau orang jahat yarg
terluka, betapapun obat ini tidak boleh diberikan padanya."
"Cici, apabila ada orang memaki gurumu dengan kata2
kotor tanpa alasan, orang ini tergolong baik atau jahat?"
"Dia memaki guruku, dengan sendirinya orang jahat,
masa dapat dikatakan baik?"
"Anehlah. kalau begitu," ujar Fifi dengan tertawa.
"Padahal ada seorang yang selalu mencaci-maki kaum
Nikoh, katanya bila melihat Nikoh pasti kalah judi.
Gurumu dimaki, kaupun dicaci. tapi kau justeru
menuangkan hampir seluruh obatmu kepada lukanya. ..."
Tanpa menunggu habisnya ucapan Fifi dengan air muka
berubah segera Gi-lim membalik tubuh dan tinggal pergi.
Tapi sekali berkelebat Fifi telah mengadang didepan Gilim sambil merentangkan kedua tangannya dengan tertawa.
Mendadak pikiran Gi-lim tergerak: "Ah. kalau tidak
salah di Cui-sian-lau kemarin anak dara ini juga berduduk bersama seorang tua dimeja sebelah, waktu Sau-toako tewas dan kupondong jenazahnya, agaknya anak dara inipun
masih di restoran itu. Dengan sendirinya semua kejadian
waktu itu disaksikannya. Apakah .... apakah sejak itu dia selalu menguntit di belakangku?"
Gi-lim berniat tanya sesuatu, tapi mukanya menjadi
merah dan sukar diutarakan. "Cici, kutahu kau ingin tanya padaku. Kemana perginya jenazah Sau-toako" begitu
bukan?" "Ya, betul," jawab Gi-lim. "Jika adik sudi memberitahu, sungguh
aku. . . .aku akan sangat berterima kasih padamu."
"Aku sendiri tidak tahu, tapi ada satu orang tahu," tutur Fifi "Orang ini terluka parah, jiwanya dalam bahaya, bila Cici mau menyelamatkan dia dengan Thian-hiang-toan-siok-ciau, tentu dia akan memberitahukan padamu dimana
beradanya jenazah Sau-toako itu."
"Kau sendiri benar2 tidak tahu?" tanya Gi-lim.
"Aku Kik Fi-yan, jika mengetahui berada dimana
jenazah Sau Peng-lam, biarlah besok juga aku mati
ditangan Ciamtay Cu-ih, badanku akan di-cincang olehnya.
. . ." Cepat Gi-lim mendekap mulut anak dara itu dan
menyela: "Sudahlah, aku percaya, tidak perlu kau
bersumpah. Marilah kita pergi menanyai orang itu,
siapakah dia?"
"Orang itu jelas orang baik, mau menolongnya atau tidak terserah padamu," ujar Fifi. "Tempat yang harus kita datangi juga bukan tempat yang baik."
Karena tekadnya irngin menemukan jenazah Sau Penglam, biarpun hutan golok atau gunung juga akan
diterjangnya, peduli tempatnya baik atau tidak. Maka Gilim lantas menjawab tegas: " Marilah kita pergi ke sana."
Sampai diluar pintu gerbang, hujan ternyata masih turun
dengan lebatnya, di samping pintu sana berserakan puluhan pajung kertas minyak, segera Fifi dan Gi-lim masing2
mengambil sebatang payung terus menuju ke arah timur
laut. Waktu itu sudah jauh malam, orang dijalanan sudah
jarang2, di mana mereka lalu seringkali menimbulkan
gonggong anjing.
Gi-lim terus ikut Fifi ke depan. jalan yang dilalui
kebanyakan adalah gang2 yang sempit, tapi yang dpikir Gilim hanya jenazah Sau Peng-lam, maka tak dipedulikannya
kemana dirinya akan dibawa dara itu.
Akhirnya Fifi membawa Gi-lim menyelinap kesebuah
lorong sempit dan berhenti di depan rumah pada ujung
gang itu, tertampak sebuah lampu merah kecil tergantung di atas pintu. Fifi mengetuk pintu tiga kali, segera ada orang buka pintu dan melongok keluar. Fifi ber-bisik2 ditelinga orang itu serta menjejalkan sesuatu pada tangannya.
Lalu terdengar orang itu berkata: "Ya, ya, baik, silakan Siocia masuk."
Fifi menoleh dan memberi tanda kepada Gi-lim agar ikut
masuk, waktu lalu disamping orang membukakan pintu itu,
tertampak orang ini dandan dengan rapi, berbaju bersih,
rambut tersisir kelimias melihat Gi-lim yang ternyata
seorang nikoh jelita, kelihatan orang itu mengunjuk rasa heran dan bingung. Cepat juga orang itu berlari ke depan untuk menunjukkan jalan. Setelah menyusuri sebuah
serambi, sampailah mereka di suatu kamar samping, ia
menyingkap tirai dan berkata: "Siocia, Suhu, silakan duduk di dalam."
Begitu tirai tersingkap, kontan terendus bau harum bedak dan yanci. Setelah masuk, Gi-lim melihat di ruangan ini ada
sebuah tempat tidur besar, selimut bantal semuanya serba bersulam indah. Pada selimut itu tersulam sepasang Yan-yang, yaitu sejenis burung merpati yang sedang bermain air dengan warna yang menarik dan hidup.
Sejak kecil Gi-lim sudah menjadi Nikoh di Pek-hun-am,
selimut yang dipakainya sehari2 adalah selimut kain hijau polos, selama hidupnya tidak pernah melihat bantal selimut semewah ini ia hanya memandang sekejap saja lalu
melengos. Dilihatnya pula di atas meja menyala sebatang lilin
merah, disamping lilin ada sebuah cermin dan sebuah kotak alat2 rias. di depan tempat tidur, dilantai, ada dua pasang kasut kain bersulam, sepasang kasut lelaki dan sepasang
kasut perempuan, tertaruh berjejer.
Jantung Gi-lim berdetak keras, waktu menengadah,
tertampaklah seraut wajah cantik bersemu merah jelas
itulah wajah sendiri yang tercermin dikaca rias.
Tiba2 tirai pintu tersingkap dan masuklah seorang babu
membawakan teh wangi. Pakaian babu ini ringkas dan
cekak, potongannya genit. jalannya berlenggak-lenggok
Melihat keadaan demikian, makin takutlah hati Gi-lim,
dengan suara tertahan ia tanya Fifi: "Sesungguhnya tempat apakah ini?"
Fifi tidak lantas menjawab, ia mendekati babu genit tadi dan ber-bisik2 padanya, babu itu mengiakan dengan
tertawa, lalu melangkah pergi dengan berlenggok.
Diam2 Gi-lim membatin: "Melihat lagak lagunya,
perempuan ini pasti bukan orang baik2."
Selagi hendak tanya Fifi, tiba2 terdengar suara orang
mengakak-tawa diluar pintu. suara tertawa seorang lelaki, rasanya sudah sangat dikenalnya.
Dengan terkejut Gi-lim berbangkit dan hendak melolos
pedang, tapi tangannya meraba tempat kosong, entah sejak kapan pedangnya telah hilang,
Di tengah gelak tertawa orang itu lantas menyingkap tirai dan melangkah masuk. Tapi begitu melihat Gi-lim. seketika orang itu berhenti tertawa, air mukanya berubah merah,
menyengir dan serba salah.
Hati Gi-lim berdebur keras. Kiranya orang yang masuk
ini tak-lain-tak-bukan ialah Ban-li-tok-heng Thio Yan-coan.
Keruan Gi-lim mengeluh dalam hati: "Wah, celaka! Aku telah terjebak oleh setan cilik Kik Fi-yan ini. Pantas dia bilang orang itu sangat merindukan diriku, kiranya yang
dimaksud ialah...."
Thio Yan-coan juga melenggong, tapi segera membalik
tubuh dan melangkah keluar.
"Hei. tunggu dulu! Kenapa begitu melihat diriku lantas mau kabur"!" seru Fifi.
Setiba diluar pintu barulah Thio Yan-coan menjawab:
"Aku . . . aku tidak dapat menemui . . .menemui Siau-suhu ini."
Fifi tertawa terkikik, katanya: "Thio Yan-coan. kau ini memang manusia yang tidak dapat dipercaya dan tidak
pegang janji. Kau pernah bertaruh dengan Sau Peng-lam
dan kau kalah, kan harus kau angkat Siau-suhu ini sebagai guru. Sekarang setelah bertemu dengan sang guru, kenapa
kau tidak memanggil Suhu dan juga tidak menyembah.
Memangnya kau tahu aturan dan sopan santun atau tidak?"
"Ai. omongan ini jangan di-singgung2 lagi," ujar Yan-coan. "Aku telah tertipu oleh Sau Peng-lam. mengapa kau datang ketempat begini" Hayolah cepat pergi, lekas. anak perempuan masa berkeliaran ditempat pelacuran?"
Mendengar kata2 "Tempat pelacuran" seketika jantung Gi-lim berdetak pula dan hampir saja jatuh semaput.


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Waktu melihat lampu merah di depan pintu, melihat
keadaan di dalam rumah ini, lamat2 ia memang sudah
merasakan gelagat tidak enak, tapi sama sekali tak
disangkanya bahwa Fifi bisa membawanya ke tempat
pelacuran. Meski dia tidak terlalu jelas "rumah pelacuran" itu sebenarnya tempat yang bagaimana, tapi dia pernah
mendengar cerita orang bahwa pelacur adalah perempuan
yang paling hina dan menjijikkan di dunia ini. Setiap lelaki asalkan berduit. tentu bisa memanggil pelacur. Sekarang
dirinya dibawa Kik Fi-yan ke tempat beginian memangnya
dirinya hendak disuruh melacurkan diri"
Berpikir demikian, hampir saja Gi-lim menangis, Untung
begitu melihat dirinya segera Thio Yan-coan angkat kaki
dan tidak berani memaksakan sesuatu padanya, tampaknya
keadaan tidak begitu gawat.
Didengarnya Kik Fi-yan sedang berkata dengan tertawa.
"Lelaki kan manusia, perempuan juga manusia, kalau lelaki boleh ke rumah Pelacuran ini, kenapa kami tidak boleh?"
Thio Yan-coan jadi kelabakan sendiri di luar pintu,
katanya sambil menggeleng: "Fi-yan. jika kakekmu
mengetahui kau berada di sini, tentu aku akan dibunuhnya Ai, Fifi yang baik, Fifi sayang, kumohon dengan sangat,
janganlah kau bercanda padaku secara begini. Lekaslah
pergi bersama Siau-suhu ini. asalkan segera kau pergi, apa yang kau-minta padaku pasti kuturut!"
"Aku justeru tidak mau pergi," jawab Fifi dengan tertawa
"Di kota Cu-joan ini hanya tempat inilah yang paling cocok, maka malam ini aku dan Gi-lim Cici akan tidur di
sini." "Ai, Fifi, sesungguhnya kau mau pergi atau tidak?" Thio Yan-coan memohon pula.
"Tidak, aku justeru tidak mau pergi, habis kau mau apa"
Seorang lelaki sejati, sekali bicara tidak nanti dijilat kembali. Sekali tidak pergi tetap tidak pergi."
"Ai, Fifi, kau kan bukan lelaki sejati," ujar Thio Yan-coan. "Fifi sayang, lekas pergilah kau. Biarlah besok akan kubawakan beberapa macam barang mainan yang menarik
bagimu." "Cis, untuk apa barang mainan?" omel Fifi "Akan kukatakan kepada Yaya (kakek) bahwa Thio Yan-coan
yang membawaku ke sini."
Karuan Thio Yan-coan melonjak kaget, cepat ia berseru;
"Wah,Fifi manis, kenapa kau omong begini" Aku kan tidak bersalah apa2 kepadamu, dustamu ini bisa mendatangkan
kematian bagiku. Kau punya Liangiim (hati nurani) atau
tidak?" "Aneh, kau berani tanya padaku punya Liang-sim atau tidak" Padahal kau sendiri bagaimana, kau-punya Liangsim tidak" Berhadapan dengan guru sendiri, tidak menyapa dan tidak menyembah, tapi putar tubuh dan hendak angkat
kaki" Inikah Liang-sim yang kau katakan?"
"Baik, baiklah, anggap aku bersalah. Ai, Fifi sayang, sesungguhuya apa kehendakmu?"
"Tujuanku adalah demi kebaikanmu agar kau menjadi
lelaki sejati, apa yang sudah kau katakan supaya kau tepati.
Romantika Sebilah Pedang 5 Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Pendekar Latah 25

Cari Blog Ini