Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong Bagian 14
Memangnja Tjiumoti sudah tahu sebabnja Lweekangnja tersesat, semuanja gara2 latihan menurut Ih-kin-keng itu. Ia pikir untuk memunahkan siksaan itu tentunja djuga mesti ditjari djalannja melalui kitab itu. Djadi kitab itu memegang kuntji mati-hidupnja, mana boleh sampai hilang"
Dalam gugupnja, tanpa pikir lagi ia terus melontjat kedalam sumur. Ia kuatir didalam sumur itu ada rintangan apa2, kuatir pula Bujung Hok dapat membuka sendiri Hiat-to jang tertutuk dan akan menjergapnja dibawah, maka sebelum kakinja menjentuh tanah, lebih dulu ia memukul dua kali kebawah untuk menahan daja turunnja pula.
Sudah tentu pukulannja itupun tidak berguna, daja turunnja tidak tertahan, sebaliknja badannja malah tertolak miring sehingga blang, kepalanja membentur dinding sumur.
Djika diwaktu biasa, biar kepalanja dikemplang djuga takkan mendjadi soal, tapi sekarang matanja lantas ber-kunang2 dan kepala pusing tudjuh keliling, bluk, ia djatuh tersungkur didasar sumur.
Sumur itu adalah sumur mati, sudah lama kering airnja, didasar sumur penuh rumput dan daun kering jang sudah membusuk, saking banjak timbunan daun dan rumput kering jang sudah busuk itu sehingga telah berubah menjadi lumpur jang tebal.
Karena djatuhnja Tjiumoti itu, seketika hidung dan mulutnja terbenam kedalam lumpur, ia merasa badannja pelahan2 djuga ambles kebawah. Segera ia bermaksud merangkak bangun, tapi tjelaka, kaki dan tangannja serasa lemas semua.
Tengah gugup dan bingung, tiba2 terdengar suara orang berseru diatas sana: Koksu (imam negara)! Koksu! ~ itulah suara keempat djago Turfan tadi.
Aku berada disini! demikian sahut Tjiumoti.
Tapi begitu ia bitjara, seketika lumpur masuk kedalam mulutnja sehingga susah mengeluarkan suara.
Sajup2 terdengar keempat djago Turfan itu sedang bitjara diatas sana.
Kata jang seorang: Aneh, kemanakah perginja Koksu" ~ Lalu jang lain mendjawab: Mungkin Koksu tidak sabar menunggu kita dan beliau telah tinggal pergi lebih dulu. Beliau telah pesan kita menutup lubang sumur ini dengan batu, maka boleh kita kerdjakan sadja.
Terdengar kawan2nja menjatakan setudju, lalu terdengar suara gedebukan, rupanja mereka mulai mengusung batu2 besar.
Sungguh kedjut Tjiumoti tak terhingga. Kalau sampai mulut sumur tersumbat, maka tamatlah riwajatnja. Segera ia bermaksud berteriak, tapi asal dia pentang mulut, maka lumpur busuk lantas membandjir masuk.
Dalam pada itu sudah terdengar suara gemuruh jang keras, batu2 besar sudah menutup lubang sumur. Rupanja djago2 Turfan itu ingin melaksanakan perintah sang Koksu jang mereka pudja sebagai malaikat dewata, maka mereka telah mendatangkan batu2 besar dan sekaligus mulut sumur itu telah ditutup dan ditimbun beberapa potong batu raksasa jang masing2 beberapa ratus kati beratnja.
Tidak lama kemudian terdengar djago2 Turfan itupun berangkat pergi dengan ketawa2, rupanja mereka sangat senang karena telah mendjalankan tugas dengan baik.
Tjiumoti pikir sekali ini djiwanja pasti akan melajang dan terkubur didalam sumur itu. Dia adalah seorang pandai, baik agamanja maupun ilmu silatnja boleh dikata tiada bandingannja di daerah barat situ, siapa duga achirnja akan terkubur didalam lumpur sumur mati itu. Setiap manusia tentu akan mati, tapi mati setjara penasaran demikian benar2 tidak rela bagi Tjiumoti, dalam sedihnja air matanja lantas ber-linang2.
Meski tubuhnja penuh lumpur, kotornja tak keruan, tapi seperti biasa dikala orang menangis, iapun mengangkat tangannja hendak mengusap air mata. Diluar dugaan, baru tangan kanan terangkat, tiba2 tangannja menjenggol sesuatu benda, segera ia memegangnja, kiranja adalah Ih-kin-keng jang memang hendak ditjarinja itu.
Sesaat itu Tjiumoti tidak tahu mesti menangis terus atau mesti tertawa.
Kitab pusaka itu sudah diketemukan kembali, tapi dalam keadaan demikian apa gunanja"
Tiba2 terdengar suara seorang wanita sedang bitjara: Tjoba dengarkan, orang2 Turfan itu telah menutup mulut sumur dengan batu besar, lantas tjara bagaimana kita akan keluar dari sini"
Ternjata jang bitjara itu adalah Giok-yan.
Seketika semangat Tjiumoti tergugah demi mendengar suara orang.
Pikirnja: Kiranja dia tidak mati, dan entah sedang bitjara dengan siapa"
Djika disini ada orang lain lagi, dengan bergotong-rojong mungkin batu2
penjumbat diatas akan dapat diangkat dan keluar dari sini.
Dalam pada itu terdengar suara seorang lelaki telah mendjawab utjapan Giok-yan tadi: Asal aku senantiasa berdampingan dengan kau, biar tidak dapat keluar dari sini djuga tidak mendjadi soal. Asal kau berada didampingku, maka sumur berlumpur busuk bagiku akan sama seperti taman disorgaloka.
Tjiumoti terkedjut mendengar suara itu: Kiranja dia djuga tidak mati"
Dia telah terluka oleh aku punja Hwe-yam-to, tentu dia sangat dendam padaku. Pada saat ini aku sama sekali tak dapat menggunakan tenagaku, djika kesempatan ini digunakan olehnja untuk menuntut balas, wah, tentu tjelakalah aku!
Kiranja jang bitjara itu adalah Toan Ki...
Tadi ketika dilemparkan kedalam sumur oleh Bujung Hok, seketika dia pingsan sehingga dia tidak begitu runjam sebagai Tjiumoti walaupun badannja terbenam lumpur.
Kemudian waktu Giok-yan menerdjun kedalam sumur, sungguh sangat kebetulan, kepala nona itu dengan tepat menumbuk Tan-tiong-hiat didada Toan Ki sehingga pemuda itu tertumbuk sadar kembali. Sedang Giok-yan djatuh tepat diatas badan pemuda itu sehingga tidak sampai terluka, bahkan tidak banjak berlepotan lumpur jang kotor itu.
Ketika mendadak Toan Ki tersadar, pelahan2 ia lantas bangun, tapi tiba2
terasa pangkuannja bertambah seorang. Selagi heran dan sangsi, tiba2
didengarnja Bujung Hok sedang bitjara diatas sumur: Piaumoay, betapapun didalam hati-ketjilmu toh mentjintai Toan-kongtju, walaupun hidup takdapat mendjadi isterinja, tapi dapat mati bersama satu liang kubur, betapapun hal ini dapatlah memenuhi tjita2mu djuga.
Utjapan itu dengan djelas dapat didengar oleh Toan Ki, seketika ia terkesima dan tanpa merasa ia menggumam sendiri: Apa" Ah, ti... tidak!
Tidak! Aku... aku masakan punja redjeki sebesar itu"
Diluar dugaan mendadak orang jang berada didalam pangkuannja itu telah berkata: Toan-kongtju sungguh aku ini sangat bodoh. Kau selalu sedemikian baiknja padaku, tapi aku... aku...
Ha" Kau.... Kau adalah nona Ong" seru Toan Ki dengan kaget.
Ja, sahut Giok-yan.
Biasanja Toan Ki sangat menghormati nona itu, sedikitpun tidak berani timbul pikiran rendah dan kotor terhadap nona jang dipandangnja maha agung dan sutji itu. Sekarang demi mengetahui nona itu berada didalam pangkuannja, dalam kaget dan girangnja segera ia hendak berbangkit untuk melepaskan Giok-yan.
Akan tetapi tempat didasar sumur itu tidak terlalu luas (sumur itu sempit diatas tapi melebar dibawah) dan penuh lumpur pula. Baru sadja Toan Ki berdiri dan kedua kakinja lantas ambles kedalam lumpur, terpaksa ia tetap memondongnja dan ber-ulang2 menjatakan penjesalannja: Maaf nona, maaf! Kita berada didalam lumpur, terpaksa aku berlaku kurang sopan padamu.
Giok-yan menghela napas, didalam hati merasa sangat berterima kasih.
Sesudah mengalami kedjadian2 selama ini, terutama peristiwa terachir, dimana dua kali dia hendak membunuh diri dan selalu gagal, maka dia benar2 sudah paham dan terang-gamblang terhadap djiwa Bujung Hok, betapapun ia tidak dapat menipu dirinja sendiri lagi akan tjinta Bujung Hok itu. Ditambah lagi Toan Ki memang benar2 mentjintai dia dengan setulus hati dan segenap djiwa-raganja, kalau dibandingkan, maka djelas jang satu sangat berbudi dan mentjintainja setjara mendalam, sebaliknja jang lain rendah budi pekertinja dan tjuma mementingkan kepentingan pribadi sendiri.
Dia menerdjun kedalam sumur, kedjadian ini meski tjuma berlangsung dalam sekedjap sadja, tapi dalam benaknja telah terdjadi perubahan sangat besar. Semula dia tjuma menjesali nasib sendiri dan bertekad membunuh diri untuk membalas kebaikan Toan Ki, tak terduga pemuda itu dan dirinja ternjata tidak djadi mati semua. Sudah tentu kedjadian diluar dugaan ini membuatnja girang tidak kepalang.
Sebenarnja Giok-yan adalah seorang gadis lemah-lembut dan halus budinja, tapi sekarang sesudah mengalami peristiwa2 dan pukulan2 batin, mendadak sifatnja berubah banjak, saking terharunja ia terus berkata setjara terus terang kepada Toan Ki: Toan-kongtju, tadinja aku menjangka engkau sudah tewas, bila teringat kepada kebaikanmu padaku, sungguh aku mendjadi berduka dan menjesal pula telah membikin ketjewa kau. Sjukurlah Tuhan maha adil, engkau ternjata baik2 sadja. Dan apa jang kukatakan diatas tadi tentunja kau djuga mendengar, bukan" ~ Ketika mengadjukan pertanjaan terachir itu, tanpa merasa mukanja mendjadi merah djengah, terus sadja ia menjembunjikan mukanja disamping leher Toan Ki.
Sesaat itu tubuh Toan Ki serasa me-lajang2 ke-awang2 seperti dialam mimpi. Ternjata apa jang pernah dilamunkan selama ini dalam sekedjap ini telah mendjadi kenjataan. Keruan girang Toan Ki bukan main, tiba2 kakinja terasa lemas, ia djatuh terduduk didalam lumpur, punggung bersandar dinding sumur, tapi tangan masih memondong tubuh Giok-yan.
Tak terduga beberapa utas rambut Giok-yan telah menjusup kedalam hidung Toan Ki sehingga rasanja seperti di-kili2, kontan Toan Ki bersin beberapa kali.
He, kenapa kau" Apa kau terluka" tanja Giok-yan.
O, ti... tidak... Hatjiii... hatjiii... aku tidak terluka apa...
hatjii... dan djuga bu... hatjiii... bukan masuk angin, aku tjuma kelewat senang maka... ha... hatjiii, maka hampir2 aku djatuh pingsan malah, demikian djawab Toan Ki sambil ber-ulang2 bersin.
Karena didasar sumur itu gelap gulita, dengan sendirinja satu-sama-lain takbisa melihat dengan djelas. Giok-yan hanja tersenjum sadja dan tidak bitjara pula. Dalam hati iapun sangat bahagia dan gembira. Sedjak ketjil ia kesemsem kepada sang Piauko, tapi tidak mendapat balas tjinta sebagaimana mestinja dan baru sekarang ia benar2 dapat menikmati rasa tjinta kasih antara dua hati jang terdjalin mendjadi satu.
No... nona Ong, apa sih jang... jang kau katakan diatas tadi, aku tidak mendengar utjapanmu itu, tanja Toan Ki dengan ter-gagap2.
Kukira engkau adalah seorang lelaki djudjur dan tulus, tak terduga kau djuga pintar pura2, sahut Giok-yan dengan tersenjum. Sudah terang kau telah mendengar apa jang kukatakan tadi, tapi sekarang kau minta aku mengulangi sekali lagi didepanmu. Idiiih, malu ah, aku takmau katakan lagi.
Toan Ki mendjadi gugup, ia tjoba mendjelaskan: Ti... tidak aku be...
benar2 tidak mendengar apa jang kau katakan tadi. Nah, biar aku bersumpah, djika aku mendengar, biarlah aku di... ~ Sampai disini mendadak mulutnja tertutup oleh sebuah tangan jang hangat2 halus. Njata Giok-yan telah mendekap mulutnja.
Kalau memang tidak mendengar ja sudah, kenapa mesti pakai bersumpah apa segala, demikian kata sinona.
Sungguh girang Toan Ki melebihi tadi. Sedjak dia kenal Giok-yan, belum pernah ia diperlakukan sedemikian baiknja oleh nona itu. Maka ia lantas tanja pula: Habis, apa sih jang kau katakan diatas sumur tadi"
Aku bilang... tapi mendadak Giok-yan merasa serba kikuk dan urung meneruskan. Ia belokkan kedjurusan lain. Biarlah kuterangkan lain kali sadja. Toh hari depan kita masih tjukup pandjang, buat apa mesti ter-buru2.
Hari depan kita masih tjukup pandjang, buat apa mesti ter-buru2! kata2
ini benar2 seperti wahju malaikat dewata jang djatuh dari langit baginja.
Makna daripada kata2 itu sudah terang menjatakan bahwa untuk selandjutnja Giok-yan akan selalu hidup berdampingan dengan dia.
Namun Toan Ki masih ragu2 atas pendengarannja sendiri, ia masih menegas: Kau... kau maksudkan untuk seterusnja kita akan selalu berada bersama"
Giok-yan merangkul leher Toan Ki dan ber-bisik2 ditepi telinganja: Toan-long, asal kau tidak mentjela diriku, tidak marah padaku karena tempo hari aku telah bersikap dingin padamu, maka untuk selama hidup ini aku rela ikut bersama kau dan takkan... takkan meninggalkan dikau pula.
Djantung Toan Ki hampir2 melontjat keluar dari mulutnja saking kerasnja berdebar. Ia tanja pula: Habis bagaimana dengan Piaukomu" Selama ini kau sangat suka padanja.
Ja, tapi toh dia tidak pernah memperhatikan diriku, sahut Giok-yan. Dan baru sekarang aku tahu siapakah gerangan orang didunia ini jang benar2
mentjintai aku dan mengasihi aku, siapa jang telah memandang diriku lebih berharga daripada djiwanja.
Kau maksudkan aku" tanja Toan Ki.
Siapa lagi kalau bukan kau, sahut Giok-yan. Tiba2 ia menangis, katanja pula: Selama hidup Piaukoku itu selalu bermimpi akan mendjadi radja Yan.
Tapi maklum djuga, sedjak turun temurun keluarga Bujung mereka memang sudah mempunjai tjita2 jang muluk2 itu. Sebenarnja Piauko bukan seorang djahat, dia tjuma kepingin mendjadi radja, maka segala urusan lain telah dikesampingkan olehnja.
Mendengar nada sinona ada maksud membela dan mengetjilkan kesalahan Bujung Hok, kembali Toan Ki berkuatir pula. Tanjanja tjepat: Nona Ong, andaikan kelak Piaukomu menginsafi keselahannja dan tiba2 membaiki kau lagi, lan... lantas bagaimana kau"
Toan-long, sahut Giok-yan dengan menghela napas. Meski aku adalah seorang wanita bodoh, tapi sekali2 bukan manusia jang bermartabat rendah.
Hari ini aku sudah mengikat djandji dengan kau, djika kelak aku berbuat hal2 jang tidak baik, bukankah akan merusak nama baikku sendiri" Apakah aku tidak merasa berdosa terhadap tjintamu jang murni kepadaku"
Toan Ki kegirangan mendapat djawaban itu, ia berseru gembira, segera ia angkat sedikit kepala sinona, dia sendiri lalu menunduk hendak mentjium.
Dengan malu2 Giok-yan menjambutnja dengan mesra dan empat bibir lantas terkatup mendjadi satu. Tapi baru kepalang-tanggung, se-konjong2 dari atas terdengar suara menjambarnja sesuatu benda besar jang djatuh kebawah.
Keruan kedua orang terkedjut dan tjepat menjisih ketepi dinding. Maka terdengarlah suara bluk jang keras, sesosok tubuh telah djatuh kedasar sumur itu.
Siapa itu" tanja Toan Ki.
O, akulah! sahut orang itu jang ternjata adalah Bujung Hok.
Rupanja sesudah Toan Ki sadar kembali, dia lantas roman dengan Giok-yan sehingga keduanja lupa daratan se-akan2 hidup didunia sendiri, andaikan saat itu langit akan ambruk atau bumi meledak tentu djuga takkan terpikir oleh mereka. Dengan sendirinja pertarungan sengit antara Tjiumoti dan Bujung Hok jang diatas sumur tadi djuga tak mereka pedulikan. Sekarang demi mendadak Bujung Hok djatuh kedalam sumur, barulah kedua orang itu kaget dan menjangka Bujung Hok sengadja datang hendak mengganggu djandji setia mereka.
Segera Giok-yan berkata dengan suara gemetar: Piau... Piauko, kau mau apalagi datang pula ke... kesini" Hidupku ini sekarang sudah kupasrahkan kepada Toan-kongtju, djika engkau mau membunuh dia, bolehlah kau membunuh aku sekalian.
Sungguh girang sekali Toan Ki mendengar pernjataan tegas Giok-yan itu.
Mestinja dia tidak kuatir dirinja dibunuh Bujung Hok, jang dikuatirkan adalah Giok-yan akan terbudjuk dan kembali lagi kepangkuan Piaukonja.
Tapi sesudah mendengar utjapan Giok-yan itu, seketika legalah hatinja. Ia merasa pula sinona telah mendjulurkan tangannja untuk menggenggam kedua tangan sendiri, hal ini makin menambah kepertjajaannja, segera ia berkata: Bujung-kongtju, kau boleh pergi mendjadi Huma keradjaan Se He, aku tak nanti berebutan dengan kau, bahkan aku akan membantu terlaksananja tjita2mu itu. Adapun Piaumoaymu ini sudah mendjadi milikku, kau takkan dapat merebutnja lagi. Giok-yan, betul tidak katamu"
Betul, sahut Giok-yan. Biar mati atau hidup aku sudah pasti akan ikut kau.
Karena Hiat-to tertutuk, maka Bujung Hok dapat mendengar dan bitjara, tjuma takbisa bergerak. Diam2 ia memikir: Mereka berdua belum mengetahui aku telah dikalahkan Tjiumoti dan dalam keadaan tak berkutik, maka mereka masih sangat djeri padaku, kuatir kalau aku membikin susah mereka. Ja, hal ini akan menguntungkan diriku, biarlah aku melakukan tipu mengulur tempo pula.
Maka ia lantas berkata: Piaumoay, sesudah kau mendjadi isteri Toan-kongtju, maka kita sudah terhitung pamili sendiri. Toan-kongtju adalah adik iparku, masakah aku tega mentjelakai dia lagi"
Dasar Toan Ki memang seorang djudjur dan polos, sedang Giok-yan masih hidjau, maka mereka pertjaja penuh kepada utjapan Bujung Hok itu, dalam girangnja mereka lantas mengutjapkan terima kasih.
Lalu Bujung Hok berkata pula: Toan-hiante, sekarang kita sudah orang sekeluarga, kalau aku pergi mendjadi Huma keradjaan Se He, maka kau takkan merintangi lagi bukan"
Sudah tentu, sahut Toan Ki tjepat. Asal aku dapat memperisterikan Piaumoaymu, maka tiada tjita2ku jang lain lagi, biarpun aku didjadikan malaikat dewata djuga aku tidak mau.
Pelahan2 Giok-yan menggelendot dibahu Toan Ki, girangnja tak terkatakan.
Dalam pada itu diam2 Bujung Hok tjoba mengerahkan tenaga dalamnja untuk membujarkan Hiat-to jang tertutuk Tjiumoti tadi. Karena seketika susah dipunahkan, pula tidak sudi minta pertolongan, maka ia hanja menggerutu didalam hati: Dasar sifat kaum wanita memang gampang terpengaruh dan mudah berganti tjinta, buktinja memang betul seperti Piaumoay sekarang ini. Kalau dia ingat kebaikanku, tentu dia sudah mendekati dan membangunkan aku.
Dia mentjertja orang lain, tapi lupa dirinja sendiri jang tak berbudi sehingga Giok-yan merasa putus asa dan hendak bunuh diri. Padahal tempat didasar sumur itu luasnja kira2 tjuma dua-tiga meter, djarak mereka satu-sama-lain sebenarnja sangat dekat, asal Giok-yan melangkah satu tindak sadja sudah dapat mentjapai Bujung Hok. Tapi dia merasa djeri, kuatir kalau Bujung Hok bertipu muslihat dan membikin tjelaka Toan Ki. Selain itu iapun takut menimbulkan rasa tjuriga Toan Ki, maka sedjak tadi selangkahpun Giok-yan tidak berani sembarangan bergerak.
Begitulah, karena pikirannja bingung, maka untuk membuka Hiat-to jang tertutuk mendjadi tambah susah. Sedapat mungkin Bujung Hok tjoba tenangkan diri, lalu pelahan2 membuka djalan darah jang tertutuk itu. Dan baru sadja dia dapat bergerak dan mulai berdiri, plok tiba2 ada sesuatu benda djatuh disebelahnja. Njata itu adalah Ih-kin-keng jang terlepas dari badju Tjiumoti. Dan karena keadaan gelap gulita, Bujung Hok segera menjingkir kesamping untuk mendjauhi benda jang djatuh itu. Dan untung karena dia menggeser minggir, maka waktu kemudian Tjiumoti melompat turun tidak sampai mendjatuhi tubuhnja.
Kembali tadi. Sesudah Tjiumoti dapat menemukan kembali Ih-kin-keng, saking senangnja ia terus ter-bahak2. Karena luang sumur itu sangat sempit, maka kumandang suara tertawanja itu sampai men-dengung2 memekak telinga Toan Ki.
Dan karena tertawanja itu, ternjata Tjiumoti tak mampu menghentikan pula bergolaknja hawa murni jang semakin hebat dan makin melembung rasanja, pikirannja mendjadi katjau, seketika ia mendjadi seperti orang gila, ia menghantam dan menendang serabutan dikumbangan lumpur itu. Dan sudah tentu serangan2 jang ngawur itu selalu mengenai dinding sumur, terkadang sangat keras sehingga batu petjah dan debu pasir bertebaran, tapi terkadang sangat lemah, sedikitpun tak bertenaga.
Giok-yan sangat takut, dengan kentjang ia memepet disisi Toan Ki, bisiknja pelahan: Dia sudah gila, dia sudah gila!
Ja, rupanja dia benar2 sudah gila, sahut Toan Ki.
Sementara itu kebebasan bergerak Bujung Hok sudah pulih kembali, untuk tidak terkena serangan Tjiumoti, segera ia gunakan ilmu tjetjak merajap untuk merajap keatas dan menggemblok didinding sumur.
Tjiumoti masih terus tertawa dan napasnja djuga semakin ter-sengal2, sebaliknja pukulan dan tendangannja tambah tjepat.
Taysu, lebih baik kau duduk sadja dan istirahat dengan hati tenang sadja! demikian Giok-yan tjoba membudjuk dengan tabahkan hatinja.
Hahahahaha! Aku takmau! seru Tjiumoti sambil ter-bahak2, bahkan ia terus mentjengkeram kearah Giok-yan. Ditempat jang sempit itu, dengan sendirinja susah bagi Giok-yan untuk menghindar, keruan tjengkeraman Tjiumoti itu sudah sampai diatas pundak sinona.
Dengan mendjerit kaget lekas2 Giok-yan mengegos. Sedang Toan Ki terus menggeser madju untuk mengadang didepan sinona, serunja: Kau sembunji dibelakangku sadja.
Dan pada saat itu djuga kedua tangan Tjiumoti sudah merangsang madju lagi dan dengan tepat mentjekik leher Toan Ki. Seketika Toan Ki merasa napasnja mendjadi sesak dan takbisa membuka suara.
Giok-yan sangat kuatir, lekas2 ia bantu menarik tangan Tjiumoti. Tapi waktu itu Tjiumoti sudah dalam keadaan kalap, meski hawa murninja bergolak dan susah dikendalikan, tapi tenaga tjekikan itu ternjata sangat kuat. Sudah tentu Giok-yan hanja seperti menarik ketjapung menghinggap ditiang batu sadja, sedikitpun takdapat mengendurkan tangan Tjiumoti jang mentjekik Toan Ki itu.
Kuatir kalau Toan Ki tertjekik mati, saking bingungnja Giok-yan terus ber-teriak2: Piauko, Piauko, lekas kau menolongnja. Hwesio ini hendak mentjekik mati Toan-kongtju!
Untuk sedjenak Bujung Hok mendjadi ragu2. Pikirnja: Pemuda she Toan ini menjatakan hendak membantu aku mendjadi Huma keradjaan Se He, tapi entah omongannja dapat dipertjaja atau tidak. Dia pernah mengalahkan aku di Siau-sit-san sehingga nama keluarga Bujung kami runtuh habis2-an dan kehilangan muka didepan orang banjak, sekarang dia terantjam bahaja, buat apa aku mesti menolong dia" Apalagi ilmu silat paderi ini sangat tinggi dan sudah bagiku untuk menandingi dia, biarlah mereka berdua mati konjol dalam pertarungan mereka, kukira djalan ini paling selamat bagiku. ~
Karena itu, ia semakin kentjang memegang tjelah2 dinding sumur itu dengan memasuki djarinja dan tidak mau turun untuk membantu, biar Giok-yan ber-teriak2 minta tolong sampai suaranja serak, tetap Bujung Hok tidak peduli dan anggap tidak mendengar.
Sementara itu mata Toan Ki tampak sampai mendelik, keruan Giok-yan tambah kuatir, ia gunakan kepalan untuk menghantam kepala dan punggung Tjiumoti sambil ber-teriak2. Sudah tentu Tjiumoti tidak merasakan pukulan2 sinona, ia hanja ngos2-an napasnja sambil ter-bahak2 pula, berbareng masih terus mentjekik leher Toan Ki dengan sekuatnja...
Kembali bertjeritakan rombongan Siau Hong dan lain2.
Pagi itu Pah Thian-sik dan Tju Tan-sin mendjadi sibuk karena kehilangan Toan Ki dan Giok-yan.
Wah, pangeran tjilik kita ini memang mirip ajahandanja, di-mana2 suka main roman, tentu tengah malam dia telah kabur bersama nona Ong dan entah kemana perginja, demikian kata Tan-sin.
Ja, pangeran tjilik kita orangnja ganteng dan romantis, lebih suka wanita daripada tahta, sahut Thian-sik. Dia djatuh hati kepada nona Ong, hal ini telah diketahui semua orang. Kalau suruh dia mendjadi Huma keradjaan Se He, ai, kukira sulit. Apalagi sifat pangeran kita ini sangat kepala batu, dahulu Sri Baginda ingin dia beladjar silat, tapi dia tetap membangkang dan tidak mau, kalau dipaksa, dia lantas minggat dari istana.
Tiada djalan lain, terpaksa kita mentjarinja dan membudjuknja sedapat mungkin, udjar Tan-sin.
Pah-heng, kata Tan-sin pula. Aku djadi ingat kedjadian dahulu, ketika pangeran tjilik kita minggat dari istana. Siaute dititahkan Ongya untuk mentjarinja, dengan susah pajah achirnja lantas aku dapat menemukan dia, siapa duga... sampai disini ia lantas bisik2: siapa duga dia telah kesemsem kepada nona Bok Wan-djing ini, dan seperti sekarang, ditengah malam buta merekapun diam2 mengelojor kabur. Untung Siaute sudah mendjaga ditengah djalan sehingga dapat mempergoki mereka.
Wah, djika begitu, maka sekarang inipun salahmu, seru Thian-sik. Kau sudah berpengalaman, kenapa kedjadian dahulu itu boleh terulang lagi"
Bukankah semalam kita harus berdjaga setjara bergiliran untuk mengawasi gerak-gerik mereka"
Tan-sin menghela napas gegetun, katanja: Aku mengira dia pasti akan ingat hubungan baiknja dengan Siau-tayhiap dan Hi-tiok Siansing dan tidak nanti tinggal pergi begitu sadja, siapa tahu... siapa tahu... ~ Mestinja dia hendak mengatakan siapa tahu pangeran kita ternjata lebih mementingkan wanita daripada persahabatan,. Tapi kata2 jang tidak pantas diutjapkan kaum bawahan kepada djundjungannja ini urung dilontarkan.
Begitulah karena tak berdaja lagi, terpaksa kedua orang itu melaporkan apa jang terdjadi kepada Siau Hong dan Hi-tiok. Segera para kawan dikerahkan untuk mentjari, tapi sudah ditjari ubek2an selama sehari, tetap bajangan Toan Ki dan Giok-yan tak diketemukan.
Malam itu semua orang berkumpul dikamarnja Toan Ki jang kosong itu untuk berunding. Dan sudah tentu mereka tidak memperoleh sesuatu akal jang baik untuk mentjari pemuda itu.
Tengah mereka bingung, tiba2 bagian protokol keradjaan Se He mengutus seorang untuk menemui Pah Thian-sik dan memberitahukan bahwa besok malam hari Tiongtjhiu baginda radja akan mengadakan perdjamuan besar diistana Se-hwa-koing untuk menghormati para tamu jang datang dari berbagai pendjuru, maka pangeran Tayli itu diharap suka hadir.
Sudah tentu Pah Thian-sik takdapat mengatakan lenjapnja Toan Ki, ia hanja menjanggupi sadja undangan itu.
Utusan itu pernah disuap oleh Pah Thian-sik, maka sikapnja sangat baik, waktu hampir berpisah, tiba2 ia membisiki Thian-sik pula: Pah-loheng, biarlah aku memberi info padamu. Dalam perdjamuan Sri Baginda besok malam, disitu djuga Sri Baginda akan mengamat-amati gerak-gerik dan tampan dan kepandaian para tamu tjalon menantu radja itu. Sesudah perdjamuan boleh djadi akan diadakan perlombaan membuat sjair dan bersadjak, atau mungkin djuga memanah dan bertanding silat untuk menentukan siapa jang sesuai untuk mendjadi pasangan Tuan Puteri kami.
Maka besok malam ialah kuntji utama bagi sukses tidaknja usaha para tjalon, untuk mana diharapkan Toan-kongtju suka memperhatikan.
Ber-ulang2 Pah Thian-sik mengutjapkan terima kasih, berbareng ia mengeluarkan sepotong uang emas dan didjedjalkan ketangan utusan itu.
Setiba kembali didalam kamar, segera Thian-sik memberitahukan info jang baru didapat itu. Katanja pula: Tin-lam-ong telah memberi pesan dengan wanti2 agar Pangeran tjilik kita harus membawa pulang puteri Se He. Kalau tugas jang diserahkan pada kami ini gagal, maka kami sungguh malu untuk menemui Ongya lagi.
Tiba2 Tiok-kiam mengikik tawa lalu berkata: Pah-loya, apa boleh hamba ikut bitjara sedikit"
Silakan, sahut Thian-sik.
Sebabnja ajah baginda Toan-kongtju mengharuskan dia menikah dengan puteri Se He, maksud tudjuannja kan ingin besanan dengan keradjaan Se He untuk memperkuat kedudukan keradjaan Tayli mereka, bukan" tanja Tiok-kiam.
Benar, djawab Thian-sik.
Adapun mengenai puteri Se He itu akan setjantik bidadari atau sedjelek setan takkan dipikir oleh Toan-ongya, bukan" ganti Kiok-kiam jang bertanja.
Ja, tetapi sebagai Tuan Puteri jang diagungkan, sekalipun tidak setjantik bidadari, paling tidak toh djuga akan punja roman muka jang lumajan, udjar Tan-sin.
Nah, sekarang kami ada suatu akal, asal puteri Se He dibojong pulang ke Tayli, maka soal Toan-kongtju akan diketemukan dalam waktu singkat atau tidak mendjadi takkan merupakan soal lagi, sekarang Bwe-kiam jang berkata.
Dan Lan-kiam djuga tidak ketinggalan, katanja: Nanti, kalau Toan-kongtju sudah bosan pesiar ke-mana2 dengan nona Ong, lewat setahun atau dua tahun, tentu dia akan pulang sendiri ke Tayli, tatkala mana djuga belum terlambat untuk minta dia melangsungkan pernikahan dengan puteri Se He.
Heran dan girang pula Thian-sik dan Tan-sin, kata mereka berbareng: He, akal para nona ini benar2 sangat baik, tjoba djelaskan lagi.
Segera Bwe-kiam bitjara lebih dulu: Sekarang kalau kita minta nona Bok menjamar sebagai seorang pemuda peladjar, bukankah akan djauh lebih tampan daripada Toan-kongtju. Lalu kita minta nona Bok suka menghadiri perdjamuan radja Se He besok malam, kukira tiada seorangpun diantara be-ribu2 tetamu itu mampu menandingi ketampanannja.
Ja, nona Bok adalah adik perempuan Toan-kongtju, demikian Lan-kiam menjambung. Kalau adik perempuan mewakilkan kakaknja mengambil isteri demi kepentingan negara serta untuk memenuhi tugas atas perintah ajah, bukankah djalan ini boleh dikata sekali tepok beberapa laler"
Dan bila nona Bok sudah terpilih sebagai Huma, untuk melangsungkan upatjara pernikahan tentu masih tjukup lama waktunja, dalam pada itu Toan-kongtju tentu sudah dapat diketemukan, demikian Tiok-kiam menambahkan.
Ja, andaikan Toan-kongtju tetap belum diketemukan, tiada halangannja djuga kalau nona Bok mewakilkan kakaknja melangsungkan pernikahan, akhirnja Kiok-kiam menutup usul mereka. Lalu keempat dara itu lantas tertawa tjekikikan.
Dasar anak kembar empat, maka pikiran mereka sama, lagak-lagu merekapun sama, tertawa sama, diwaktu bitjara djuga sama dan entah apalagi jang sama...
Untuk sedjenak Pah Thian-sik dan Tju Tan-sin hanja saling pandang sadja. Mereka merasa usul dara2 itu terlalu sembrono, kalau sampai konangan, tentu urusan akan runjam, bukan sadja gagal mengikat perbesanan dengan Se He, bahkan bukan mustahil radja Se He akan mengamuk dan menjatakan perang kepada Tayli.
Rupanja Bwe-kiam dapat menerka apa jang dipikirkan Thian-sik berdua, segera ia berkata pula: Sebenarnja Toan-kongtju toh mempunjai saudara angkat sebagai Siau-tayhiap dan mestinja tidak perlu mentjari sandaran kepada Se He, tjuma Tin-lam-ong telah memberi perintah sehingga terpaksa mesti diturut. Dan kalau terdjadi apa2, Siau-tayhiap adalah Lam-ih Tayong dari keradjaan Liau dengan kekuatan militer jang dahsjat, asal beliau mau ikut bitjara, maka segala persoalan tentu dapat diatasi, tidak nanti radja Se He berani main gila kepada keradjaan Tayli.
Sebagai seorang menteri jang dipertjaja dan ikut memegang pemerintahan, sudah tentu Pah Thian-sik bukan seorang bodoh. Mengenai Siau Hong dapat didjadikan bala bantuan keradjaan Tayli, hal ini memang sudah didalam perhitungannja. Tjuma sadja dia merasa tidak enak untuk mengutjapkan sendiri. Kini demi mendengar utjapan Bwe-kiam itu dan Siau Hong djuga mengangguk, maka semangatnja seketika terbangkit. Pikirnja: Usul keempat dara tjilik ini tampaknja seperti permainan anak ketjil, tapi selain djalan ini sesungguhnja djuga tiada tjara lain, hanja nona Bok entah suka menerima dan mau menjerempet bahaja atau tidak"
Karena itu, segera ia sengadja berkata: Usul nona2 ini memang akal sangat bagus, tapi pelaksanaannja benar2 terlalu berbahaja. Pabila sampai konangan penjamaran nona Bok nanti, tentu ada kemungkinan nona Bok akan tertawan, apalagi disitu hadir kesatria2 dari segenap pendjuru, dalam hal orangnja sudah tentu nona Bok adalah paling tampan, tapi kalau mesti bertanding silat dan mengalahkan mereka, wah, ini agak kurang mejakinkan.
Seketika pandangan semua orang lantas beralih kepada Bok Wan-djing dan ingin tahu bagaimana pendiriannja.
Maka berkatakan Wan-djing: Pah-siansing, kau tidak perlu memantjing aku dengan kata2mu itu, soalnja engkohku... engkohku itu... ~ hanja sampai disini, mendadak air matanja lantas bertjutjuran dan tidak sanggup meneruskan lagi.
Rupanja telah terdjadi pertentangan batinnja, teringat olehnja apa jang dilakukan Toan Ki dengan Giok-yan sekarang adalah mirip dengan kedjadian Toan Ki dalam perdjalanan bersama dirinja diwaktu dahulu, tjoba kalau pemuda itu bukan kakaknja sendiri, tentu pemuda itupun takkan mengingkar djandji. Tapi sekarang Toan Ki sedang ber-tjumbu2an dengan nona lain, sebaliknja dia sendiri hidup kesepian disini, bahkan para kambrat keradjaan Tayli malah minta dia berdjoang baginja.
Dasar watak Bok Wan-djing memang takmau kalah, dikala pikirannja pepet, mendadak ia angkat medja didepannja sehingga terbalik, seketika mangkok-piring petjah berantakan, lalu ia melompat keluar.
Semua orang saling pandang dengan bingung dan merasa kurang senang pula. Jang paling menjesal adalah Pah Thian-sik, katanja: Semuanja adalah salahku. Djika aku memohonnja dengan kata2 halus paling2 nona Bok tjuma menolak sadja permintaanku, tapi karena aku telah sengadja memantjingnja dengan kata2 jang menjinggung perasaannja, maka dia mendjadi marah2.
Begitulah, besoknja semua oran gmasih terus berusaha menemukan Toan Ki, didalam kota tampak sangat ramai dengan hilir-mudiknja pemuda2 gagah dan perlente, mungkin sebagian besar akan ikut dalam perdjamuan malaman Tiongthjiu dalam istana radja nanti.
Sampai petang semua orang telah pulang dan Toan Ki tetap tidak diketemukan. Maka berkatalah Siau Hong: Djika Samte sudah pergi dari sini, maka beramai2 kitapun boleh pulang sadja, tak peduli siapa jang akan mendjadi Huma nanti, semuanja tiada sangkut-pautnja dengan kita.
Ja, utjapan Siau-tayhiap memang benar, supaja kita tidak menjaksikan orang lain mendjadi Huma dan menimbulkan rasa penasaran, udjar Thian-sik.
Eh, Tju-siansing, kau sendiri sudah beristeri belum" demikian tiba2
Tjiong Ling tanja kepada Tju Tan-sin. Djikalau Toan-kongtju tidak mau mendjadi Huma, kenapa bukan kau sadja jang magang" Eh, siapa tahu kalau kau akan dianugerahi puteri Se He jang tjantik itu, djika demikian, bukankah djuga akan banjak manfaatnja bagi keradjaan Tayli"
Tan-sin tertawa, sahutnja: Ai, nona Tjiong ini suka berkelakar sadja.
Sudah lama aku punja isteri dan punja selir, banjak pula putera-puteriku, mana boleh aku ikut2 berlomba berebut puteri seperti kaum muda mereka"
Tjiong Ling melelet lidah dan tidak bitjara lagi.
Sebaliknja Tju Tan-sin lantas menambahi lagi dengan tertawa: Ja, sajang wadjah nona Tjiong sendiri masih terlalu muda, pipimu dekik pula dan tidak mirip orang lelaki, kalau tidak, wah, tentu kau dapat mewakilkan engkohmu untuk mengikuti sajembara itu...
Apa" Mewakilkan engkohku" Tjiong Ling menegas.
Tan-sin merasa telah kelepasan mulut. Tapi dalam hatinja membatin: Memangnja kau adalah puteri Tin-lam-ong dari hubungan jang tidak sah, peristiwa jang masih dirahasiakan ini tidak boleh sembarangan kukatakan.
Pada saat itulah tiba2 terdengar seorang berkata diluar kamar sana: Pah-siansing, Tju-siansing, marilah kita boleh berangkat sekarang!
Dan dimana kerai tersingkap, masuklah seorang pemuda jang ganteng dan tampan. Siapa lagi dia kalau bukan Bok Wan-djing jang telah menjamar sebagai pemuda peladjar.
Keruan semua orang terkedjut dan bergirang pula, kata mereka: He, apa nona Bok sudah bersedia pergi"
Tapi Bok Wan-djing lantas mendjawab: Tjayhe she Toan bernama Ki, adalah putera pangeran Tin-lam-ong dari Tayli, diharap utjapan kalian sukalah hati2.
Walaupun suaranja njaring merdu sebagai suara wanita, tapi banjak djuga pemuda peladjar jang bersuara lemah-lembut, maka tidak perlu diherankan.
Karena merasa Bok Wan-djing dapat menirukan lagak-lagu Toan Ki, maka tertawalah semua orang.
Rupanja sesudah marah2 sebentar dan pulang kekamarnja dengan menangis, besok paginja setelah di-pikir2 pula, ia merasa tidak enak telah berlaku kasar dihadapan orang banjak, pula ia merasa tertarik djuga djika dia menjamar sebagai Toan Ki untuk ikut berebut puteri Se He dengan djago2
lain. Dalam hati ketjilnja lapat2 merasa: Kau (maksudnja Toan Ki) ingin menikah dan hidup bahagia dengan nona Ong, tapi aku djusteru sengadja mewakilkan kau mengambil seorang Tuan Puteri untuk isterimu, biar hidupmu kelak selalu tjektjok diantara dua isteri, dengan begini barulah kau tahu rasa.
Kemudian teringat pula olehnja waktu dia datang kekota Tayli dahulu, dimana ajah Toan Ki djuga dihadapkan pada masalah isteri dan kekasih lain sehingga membuatnja serba salah dan kikuk, kalau sekarang Toan Ki djuga mempunjai seorang isteri Tuan Puteri setjara resmi, maka Giok-yan tentu takkan berhasil mendjadi isterinja jang sah.
Begitulah djalan pikiran kaum wanita. Kalau dia sendiri tidak bisa mendjadi isterinja Toan Ki, maka diapun tidak mengidjinkan seorang gadis lain dapat hidup bahagia sebagai istennja. Makin dipikir makin senang, maka dia lantas mengambil keputusan dan bersedia menjamar sebagai Toan Ki.
Dengan demikian, maka tjepat2 Pah Thian-sik dan lain2 lantas ber-gegas2
menjiapkan segala sesuatu jang perlu untuk berangkat menghadiri perdjamuan radja.
Tiba2 Wan-djing berkata: Siau-toako dan Hi-tiok Djiko, bila kalian sudi ikut aku pergi bersama, aku keperdjamuan itu, maka segala apa aku takkan takut lagi. Kalau tidak, apabila terdjadi pertempuran, mana aku mampu melawan orang. Didalam istana rasanja djuga tidak pantas aku sembarangan membidikan panah berbisa untuk membunuh musuh.
Baiklah, aku dan Djite sudah dipesan oleh paman Toan, sudah tentu kami akan membantu sekuat tenaga, sahut Siau Hong dengan tertawa.
Segera semua orang berdandan seperlunja untuk ikut pergi. Siau Hong dan Hi-tiok menjaru sebagai pengiring dari keradjaan Tayli. Tjiong Ling dan Bwe-kiam berempat saudara mestinja ingin ikut djuga dengan menjamar sebagai lelaki, tapi Pah Thian-sik telah mentjegah mereka agar djangan ikut, untuk mendjaga penjamaran Bok Wan-djing sadja susah, apalagi kalau ditambah penjamaran mereka berlima, tentu rahasia mereka akan terbongkar.
Karena itu, terpaksa Tjiong Ling dan lain2 menurut.
Sesudah rombongan mereka berada ditengah djalan, tiba2 Pah Thian-sik berseru: Ai, hampir2 membikin urusan mendjadi runjam. Bukankah Bujung Hok itupun akan hadir dan ikut berebut mendjadi Huma, dia kenal baik pada Toan-kongtju, lantas bagaimana nanti"
Siau Hong tertawa, katanja: Pah-heng tidak perlu kuatir. Bujung-kongtju djuga serupa dengan Samte, diapun telah menghilang tanpa pamit, tadi aku telah mentjari tahu ketempatnja, kulihat Ting Pek-djwan, Pau Put-tong dan kawan2nja djuga sedang kelabakan mentjari Kongtju mereka.
Wah, ini sangat kebetulan, kata semua orang dengan girang.
Sungguh Siau-tayhiap mempunjai pikiran jang pandjang, sampai2
sebelumnja keadaan Bujung Hok djuga telah diselidikinja, udjar Tan-sin.
Bukannja aku bisa berpikir pandjang, sahut Siau Hong. Aku hanja kuatirkan kepandaian Bujung Hok jang tinggi itu akan merupakan lawan paling tangguh bagi nona Bok, maka... hehe, hehe!
Kiranja Siau-tayhiap hendak membudjuk dia agar malam ini djangan ikut hadir dalam perdjamuan., kata Pah Thian-sik dengan tertawa.
Agaknja Tjiong Ling merasa bingung atas petualangan mereka itu, dengan mata terbelalak ia tanja: Sebabnja djauh2 Bujung-kongtju datang kesini djusteru ingin mendjadi Huma, mana mungkin dia dapat dibudjuk olehmu" Apa memangnja Siau-tayhiap adalah sobat baiknja Bujung-kongtju.
Sobat sih bukan, sela Bok Wan-djing dengan tertawa, Tjuma kepalan Siau-tayhiap terlalu keras baginja, maka dia terpaksa mesti menurut nasihatnja.
O! Tjiong Ling melongo, baru sekarang dia paham duduknja perkara.
Begitulah, setiba rombongan mereka didepan istana, segera Pah Thian-sik menjodorkan kartu undangan. Maka tertampaklah Le-poh Siang-si (menteri urusan protokol) keradjaan Se He lantas menjambut keluar sendiri dan menjilakan rombongan Bok Wan-djing kedalam istana. Ternjata sudah ada lebih seratus pemuda jang telah hadir disitu dan duduk tersebar diruang situ, ditengah ada suatu medja jang dilapisi dengan sutera2 kuning bersulam, mungkin itulah tempat duduk radja Se He sendiri, dikanan-kirinja terdapat pula dua baris medja jang dilapis dengan sutera ungu.
Disebelah kanan sudah berduduk seorang pemuda gagah, bermata besar dan beralis tebal dan memakai djubah merah tua, diatas djubah tersulam dua ekor harimau, dibelakangnja berdiri delapan djago pengawal.
Segera Pah Thian-sik dan lain2 mengetahui pemuda gagah ini tentu adalah pangeran Tjong-tjan dari Turfan.
Segera Le-poh Siang-si menjilakan Bok Wan-djing duduk dibarisan medja sebelah kiri dan tidak ditjampurkan dengan orang lain. Hal ini menundjukkan bahwa diantara pemuda2 pengikut sajembara ini hanja pangeran Turfan dan pangeran Tayli jang mempunjai kedudukan paling agung, maka radja Se He menghormatinja dengan tjara lain daripada jang lain.
Begitulah para tamu2 be-ramai2 masih terus tiba dan mengambil tempat duduk masing2. Sesudah semua kursi penuh terisi, lalu dua perwira piket berseru: Para tamu agung sudah lengkap hadir semua, tutup pintu!
Maka ditengah iringan suara musik pelahan2 pintu istana dirapatkan. Dan begitu pintu istana tertutup, segara berbaris keluar serombongan pengawal jang bersendjata lengkap. Menjusul suara musik bergema pula, dua barisan dajang keraton berdjalan keluar dari ruang dalam, tangan masing2 membawa sebuah Hiolo (anglo dupa) ketjil buatan kemala putih, asap tipis tampak mengepul dari Hiolo2 itu.
Semua orang tahu Sri Baginda sebentar lagi akan keluar, maka semuanja lantas diam dan menahan napas.
Paling achir keluarlah empat pengawal berdjubah sulam, semuanja bertangan kosong, lalu berdiri dikedua sisi singgasana radja.
Melihat pelipis keempat pengawal itu semuanja menondjol, maka tahulah Siau Hong pasti mereka adalah djago pengawal radja jang memiliki ilmu silat sangat tinggi.
Lalu satu diantara keempat djago pengawal itu berseru: Sri Baginda tiba, sambutlah!
Semua orang lantas berlutut dengan kepala menunduk.
Maka terdengarlah suara langkah orang jang keluar dari ruang dalam, lalu duduk diatas singgasana jang sudah tersedia. Dan sesudah djago pengawal tadi memberi aba2 pula, barulah semua orang berbangkit dan disilakan kembali ketempat duduk masing2.
Waktu Siau Hong memandang si Radja dilihatnja perawakannja sedang sadja, mukanja kereng, agaknja djuga seorang tokoh kesatria didunia persilatan.
Kemudian Le-poh Siang-si telah madju kesamping singgasana sang radja dan membentang sehelai amanat, lalu dibatjanja dengan suara njaring: Paduka Jang Mulia Sri Baginda Radja menjampaikan terima kasih atas kehadiran tuan2 sekalian, marilah ber-sama2 mengeringkan setjawan!
Para tamu menjampaikan sembah hormat, lalu sama2 mengangkat tjawan masing2. Tapi radja itu hanja menempelkan tjawannja kebibir sebagai lambang sadja, lalu meninggalkan singgasananja dan masuk kembali keruang belakang. Segera para pengawal djuga ikut masuk semua kebelakang sehingga dalam sekedjap sadja suasana telah kembali seperti tadi.
Semua orang saling pandang dengan tertjengang, sama sekali tak terduga oleh mereka bahwa satu kata patah sadja tidak bitjara dan minum setjegukpun tidak, lalu radja itu sudah mengundurkan diri. Padahal bagaimana wadjah kami seorangpun belum diperiksanja dengan djelas, entah tjara bagaimana dia akan memilih menantunja" demikian pikir semua orang.
Sekarang silakan para hadirin makan minum setjara bebas, seru Le-poh Siang-si.
Segera pelajan membawakan daharan2 jang sudah tersedia semangkuk demi semangkuk.
Se He adalah negeri pegunungan jang dingin, bahan makanan mereka jang utama adalah daging sampi dan kambing, biarpun namanja perdjamuan keradjaan, tapi jang disuguhkan djuga tidak lebih daripada daging2 sampi dan kambing dalam potongan2 besar.
Melihat Siau Hong berdiri mengawal disampingnja, Bok Wan-djing merasa tidak enak, segera ia berbisik: Siau-toako, Hi-tiok Djiko, silakan kalian berduduk dan ikut makan minum.
Tapi Siau Hong dan Hi-tiok hanja tersenjum sadja sambil geleng2 kepala.
Wan-djing kenal watak Siau Hong jang paling gemar minum arak, tiba2 ia mendapat akal, ia memberi tanda dan memberi perintah: Tuangkan arak!
Sebagai pengawal dalam penjamaran, Siau Hong menurut dan menuangkan semangkuk arak.
Boleh kau tjoba rasanja arak ini, kata Wan-djing pula.
Sungguh girang Siau Hong tak terkatakan, hanja dua-tiga kali tjegukan sadja arak semangkuk penuh itu sudah dihirupnja kedalam perut.
Tjoba semangkuk lagi! kata Wan-djing pula. Dan segera Siau Hong minum lagi semangkuk.
Disebelah sana pangeran Turfan itu djuda sedang makan minum. Sesudah minum beberapa tegukan arak, ia menjambar sepotong daging panggang terus digeragoti dengan lahapnja. Sesudah daging itu tinggal sekerat tulang belakang, segera ia melemparkan tulang itu kearah Bok Wan-djing dengan lagak seperti tidak sengadja. Tapi samberan tulang itu ternjata sangat tjepat, njata tenaganja tidaklah ketjil.
Segera Tju Tan-sin melolos kipasnja dan mengipas sekali kearah tulang itu. Kontan tulang itu terkipas balik dan menjambar kembali kearah pangeran Tjong-tjan.
Tapi seorang djago Turfan keburu menangkap tulang itu sambil memaki dalam bahasanja, se-konjong2 ia angkat sebuah mangkuk besar terus menimpuk kearah Tan-sin.
Sekali ini berganti Thian-sik jang turun tangan, ia memapak dengan sekali pukulan, dimana angin pukulannja tiba, kontan mangkuk itu petjah mendjadi beberapa keping dan berhamburan kembali kearah orang2 Turfan.
Lekas2 seorang djago Turfan lain menanggalkan djubahnja, sekali pentang dan mengebas, tahu2 petjahan mangkuk itu telah kena digulung semua oleh djubahnja, gerak-geriknja ternjata sangat gesit dan tjekatan.
Selagi pertarungan itu akan meningkat, se-konjong2 terdengar suara genta ber-talu2, lalu muntjul dua barisan orang jang ber-matjam2
bentuknja, ada jang tinggi, ada jang pendek, ada jang berdandan ringkas, ada jang berdjubah longgar, semuanja bersendjata dalam bentuk jang beraneka ragam pula.
Seorang pembesar jang berdjubah sulam dan berdjalan didepan, agaknja seperti komandan kedua barisan djago2 itu, segera membentak dengan suara keras: Perdjamuan ini diadakan didalam istana, hendaklah tuan2 tahu tata-tertib sedikit! Ini adalah djago2 pilihan dari It-bin-tong negeri kami, djika tuan2 ingin berkelahi, nah, boleh silakan tjoba2 dengan mereka satu-melawan-satu, tapi dilarang main kerubut.
Siau Hong dan lain2 tahu It-bin-tong adalah suatu dewan jang istimewa dari keradjaan Se He, didalam dewan itu terkumpul banjak sekali djago2
silat pilihan dari segenap pendjuru. Karena itu Pah Thian-sik dan kawan2nja lantas berhenti menjerang, setiap benda jang ditimpukan orang2
Turfan lantas ditangkapnja dan ditaruh diatas medja sendiri, ia tidak balas menimpuk lagi.
Kemudian pembesar berdjubah sulam tadi lantas berkata kepada pangeran Tjong-tjan: Harap Jang Mulia memberi perintah agar bawahanmu tidak mengatjaukan suasana ketenangan ini.
Melihat djago2 It-bin-tong itu ada ratusan orang djumlahnja, kalau sampai tjektjok dan bertempur, tentu pihaknja takdapat melawan, maka Tjong-tjan lantas memberi tanda untuk menghentikan pengikutnja jang masih ber-teriak2 itu.
Helian-tjiangkun, apakah Tuan Puteri ada sesuatu perintah" segera Le-poh Siang-si bertanja kepada pembesar berdjubah sulam tadi.
Kiranja pembesar itu adalah Helian Tiat-su, jaitu tokoh jang dahulu pernah memimpin djago2 It-bin-tong menudju ke Tionggoan, tapi disana mereka telah dirobohkan dengan kabut berbisa oleh Bujung Hok jang menjamar sebagai Li Yan-tjong.
Setelah mengalami peristiwa jang merugikan itu, segera Helian Tiat-su membawa rombongannja pulang kandang. Dia pernah melihat Siau Hong palsu jang disamar A Tju dan pernah kenal Bujung Hok jang disamar Toan Ki, tapi Siau Hong tulen dan Toan Ki palsu jang berada didalam istana sekarang ini tidak pernah dikenalnja. Mestinja diantara djago2 It-bin-tong itu djuga terdapat Toan Yan-khing, Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho, tapi mereka mempunjai rentjananja sendiri dan sudah tentu tidak mau diperalat oleh keradjaan Se He, maka saat ini mereka sedang bertugas dilain tempat sehingga penjamaran Siau Hong dan Bok-Wan-djing itu tidak sampai konangan.
Kemudian Helian Tiat-su lantas berseru: Menurut titah Tuan Puteri, bila para tamu agung sudah selesai dahar, semuanja disilakan minum teh ke kamar batja di Djin-hong-kok.
Djing-hong-kok itu diketahui adalah istana kediaman Bun-gi Kongtju, puteri Se he jang tjari djodoh sekarang ini. Keruan para pemuda sangat senang dan bersemangat, dengan undangan itu, teranglah puteri Se He itu ingin memilih sendiri tjalon suaminja. Pikir mereka: Biarpun nanti tidak terpilih, paling sedikit djuga dapat melihat wadjah si-tjantik sehingga perdjalanan ini tidak sia2 belaka.
Dasar watak pangeran Tjong-tjan memang paling tidak sabaran, dia jang per-tama2 berdiri dan berseru: Setiap saat kita dapat makan dan minum.
Tapi sekarang paling perlu kita melihat puteri aju lebih dulu!
Benar! serentak sebagian besar hadirin menjokongnja.
Segera Tjong-tjan minta Helian Tiat-su membawa mereka ketempat tudjuan.
Mari, pangeran Toan dan para hadirin jang lain! seru Helian Tiat-su dan didjawab dengan suara sorakan gembira orang banjak.
Demikianlah Helian Tiat-su lantas membawa para tjalon Huma itu menudju kebelakang. Sesudah menjusur sebuah taman, lalu membelok beberapa kali, kemudian waktu melintas sebuah bukit buatan, tiba2 Bok Wan-djing merasa disebelahnja telah bertambah seorang.
Waktu ia melirik, tanpa merasa ia mendjerit tertahan dalam kagetnja.
Ternjata orang disebelahnja tak-lain-tak-bukan adalah Toan Ki.
Apa kau terkedjut, pangeran" tanja Toan Ki dengan pelahan dan tertawa.
Apa kau sudah tahu semua" balas tanja Bok Wan-djing dengan berbisik.
Tahu semua sih tidak, tapi melihat gelagatnja dapatlah menerka sebagian besar persoalannja, sungguh membikin susah kau sadja, sahut Toan Ki.
Bok Wan-djing tjoba mengawasi kanan-kirinja, ia lihat tiada pembesar Se He didekatnja, sebaliknja dibelakang Toan Ki kelihatan ada dua pemuda.
Jang seorang berusia 30-an dengan sikap agak angkuh, jang seorang lagi ternjata sangat tampan dan lebih muda.
Hanja sedikit memperhatikan sadja segera Wan-djing mengenali pemuda tampan itu adalah samaran Giok-yan. Seketika ia mendjadi gusar, katanja: Bagus kau, seenaknja kau mengelojor pergi bersama nona Ong, tapi aku jang harus mewakilkan kau menempuh bahaja ini.
Djangan marah dulu, adikku manis, kata Toan Ki. Kedjadian ini agak pandjang untuk ditjeritakan. Pendek kata aku telah dilemparkan kedalam sumur oleh orang dan hampir2 mati konjol.
Mendengar pemuda itu mengalami bahaja, seketika rasa perhatiannja melebihi rasa gusarnja, tjepat Wan-djing tanja: Apa kau tidak terluka"
Kulihat air mukamu agak putjat.
Seperti diketahui, didasar sumur itu Toan Ki telah ditjekik oleh Tjiumoti sehingga susah bernapas, pelahan2 ia sudah hampir tak sadarkan diri.
Sebaliknja Bujung Hok jang mendempel di dinding sumur jang lebih tinggi itu merasa sjukur dan senang, kalau bisa dia berharap Toan ki tertjekik mati sadja.
Sudah tentu jang paling kuatir adalah Giok-yan, meski dia telah menghantam dan menggebuki Tjiumoti, tapi masih tetap tak menolong Toan Ki. Dalam gugup dan bingungnja, mendadak Giok-yan terus menggigit lengan kanan Tjiumoti.
Ketika se-konjong2 merasa Kiok-ti-hiat dilengan kanan mendjadi kesakitan, Tjiumoti merasa hawa murni jang bergedjolak didalam tubuh dan tak tersalurkan itu mendadak melanda keluar sebagai ban gembos, hawa murni itu mengalir dari telapak tangannja dan masuk keleher Toan Ki jang ditjekiknja itu.
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mestinja Tjiumoti merasa badannja melembung se-akan2 meledak, tapi mendadak gembos, seketika ia merasa segar kembali sehingga djari jang mentjekik leher Toan ki itu pelahan2 djuga mendjadi kendur.
Hendaklah maklum bahwa Tjiumoti benar2 seorang tokoh sakti dalam duni apersilatan jang djarang terdapat, dasar pejakinannja sangat kuat, maka sekali tenaga dalamnja terhimpun, susahlah bagi Toan Ki untuk menjedot tenaganja dengan Tju-hap-sin-kang jang ampuh.
Baru sesudah Giok-yan menggigit sekali ditempat Kiok-ti-hiatnja, dalam kagetnja hawa murni jang bergolak itu lantas membandjir keluar. Dan sekali hawa murni itu mendapat djalan saluran, maka susahlah tertahan lagi, serentak tenaga itu mengalir kedalam tubuh Toan Ki dengan tak ber-henti2.
Tadinja pikiran Tjiumoti memang sudah mulai katjau dan hampir2 tak sadar, sesudah tenaga dalamnja terkuras keluar hampir separoh, mendadak pikirannja djernih kembali, keruan ia terperandjat: Wah, tjelaka! Djika aku punja tenaga murni tersedot terus seperti ini, pasti dalam waktu tak lama lagi aku akan lemas dan mendjadi orang tjatjat.
Karena itu sekuatnja ia berusaha melawan, namun sekarang sudah terlambat. Sesudah hampir separuh tenaga murninja masuk tubuh Toan Ki, perbandingan kekuatan kedua pihak mendjadi lebih njata lagi, tidak mungkin Tjiumoti dapat melawan, biarpun dia merontak sekuat mungkin tetap takdapat menahan mengalir keluarnja tenaga murni itu.
Sebaliknja Giok-yan mendjadi lega demi melihat akibat gigitannja itu lantas tjekikan Tjiumoti itu mendjadi agak kendur. Tapi dilihatnja tangan Tjiumoti itu masih tetap memegang leher Toan Ki, segera ia menariknja pula.
Tak terduga tangan Tjiumoti itu sudah seperti terpantek dileher Toan Ki, biarpun dia menarik dan membetot, tetap tangan Tjiumoti takmau lepas.
Walaupun Giok-yan paham (setjara teori) ilmu silat berbagai golongan dan aliran didunia ini, tapi ia tidak tahu ilmu apakah jang digunakan Tjiumoti sekarang ini, karena itu ia pikir ilmu apapun djuga tentu akan merugikan Toan Ki, maka sedapat mungkin ia berusaha hendak menolongnja.
Tjiumoti sendiripun mengeluh, didalam hati ia berharap Giok-yan akan dapat menarik lepas tangannja. Siapa tahu ketika tangan Giok-yan memegang tangan Tjiumoti, seketika nona itu merasa badannja menggigil, tenaga murninja djuga mendadak tersedot keluar dan tak tertahankan.
Kiranja saat itu Toan Ki sudah pingsan, dengan sendirinja asal ketemu tenaga jang sakti itu tidak kenal kawan atau lawan, asal ketemu tenaga lantas sedot sadja, maka bukan Tjiumoti sadja jang tenaga murninja terisap, bahkan Giok-yan djuga ikut mendjadi korban. Maka tidak lama kemudian Giok-yan dan Tjiumoti telah djatuh pingsan semua.
Selang agak lama, ketika tidak mendengar suara apa2 dari ketiga orang jang berada dibawah itu, segera Bujung Hok tjoba memanggil beberapa kali, tapi tidak mendapat djawaban. Pikirnja: Djangan2 ketiga orang itu sudah gugur bersama"
Lebih dulu ia mendjadi girang. Tapi segera teringat hubungan baik dirinja dengan Giok-yan, mau-tak-mau ia merasa berduka djuga. Kemudian terpikir pula olehnja: Wah, tjelaka! Kalau mereka tidak mati, dengan tenaga gabungan empat orang mungkin akan dapat keluar dari sini, tapi sekarang tinggal aku seorang, tentu akan susah menjingkirkan batu besar diatas. Ai, djika kalian ingin mati, kenapa tidak tunggu dulu dan mati diluar sumur sana sadja"
Dan baru ia hendak melompat turun untuk memeriksa keadaan Tjiumoti dan Giok-yan bertiga, tiba2 terdengar ada suara orang bitjara diatas, suaranja berisik ramai, agaknja adalah kaum petani bangsa Se He.
Rupanja mereka berempat telah ribut semalam suntuk didasar sumur itu dan sekarang fadjar sudah menjingsing, banjak kaum petani jang membawa sajur2-an hendak mendjual ke pasar di dalam kota dan lewat disamping sumur itu.
Diam2 Bujung Hok membatin: Djika aku berteriak minta tolong, para petani itu belum tentu sanggup memindahkan batu2 karang jang besar itu.
Dan bila merasa tak kuat, tentu mereka akan tinggal pergi dan tak peduli lagi. Djalan paling baik jalah memantjing mereka dengan redjeki.
Maka ia lantas sengadja berteriak: Hei, semua emas ini adalah milikku, kalian tidak boleh ikut mengangkangi. Ja, biarlah aku membagi kalian 3000
tahil sadja. ~ Lalu ia berseru pula dengan suara lain jang sengadja di-buat2: Tidak bisa! Emas intan sebanjak ini kita ketemukan bersama, sudah tentu harus kita bagi dengan sama-rata. ~ Kemudian ia sengadja membikin suaranja setengah tertahan dan berkata; Sssst, djangan keras2, kalau sampai didengar orang, tentu mereka djuga akan minta bagian dan bagian kita tentu akan berkurang!
Suara tanja-djawab jang sengadja diutjapkan Bujung Hok itu ia siarkan dengan tenaga dalam jang kuat sehingga dapat didengar dengan djelas oleh para petani jang lewat dipinggir sumur itu.
Dasar manusia, siapa orangnja jang mendengar ada redjeki takkan ketarik"
Keruan sadja para petani itu terkedjut dan bergirang pula. Beramai2
mereka lantas merubungi sumur itu dan serentak berebut untuk menjingkirkan batu2 karang itu. Meski batu2 karang itu sangat besar dan antap, tapi dengan tenaga gotong-rojong orang banjak, achirnja batu2 itu dapat disingkirkan.
Sudah tentu Bujung Hok sudah ber-siap2, ia tidak menunggu sampai batu2
itu disingkirkan semua, baru sadja kelihatan ada suatu lowongan jang tjukup untuk diterobos, terus sadja ia merembet keatas dan mendadak wuttt, ia terus melajang keluar.
Tentu sadja para petani itu kaget setengah mati karena hanja dalam sekedjap sadja bajangan Bujung Hok itu sudah menghilang dikedjauhan.
Walaupun masih tjuriga dan takut, tapi karena daja tarik harta karun, achirnja para petani itu tetap menjingkirkan batu2 karang, lalu seorang kawan mereka jang paling tabah dikerek kedalam sumur dengan tambang.
Setiba didasar sumur, begitu tangannja meraba segera orang itu dapat memegang badan Tjiumoti. Memangnja dia sudah was-was dan kebat-kebit, begitu kena meraba badan manusia, segera ia menjangka serangka majat.
Keruan kagetnja tak terkatakan, hampir2 sukmanja terbang meninggalkan raganja. Tjepat ia menggojangkan tambang dan minta dikerek keatas.
Mendengar didalam sumur itu ada orang mati, seketika para petani itu mendjadi ketakutan dan berlari bubaran, mereka sama kuatir ikut tersangkut perkara pembunuhan, djangan2 harta karun belum diperoleh, tapi sudah masuk bui lebih dulu.
Begitulah sampai dekat lohor, ber-turut2 ketiga orang didalam sumur itu barulah siuman kembali.
Orang pertama jang siuman adalah Giok-yan. Begitu sadar kembali, jang per-tama2 teringat olehnja adalah Toan Ki. Meski saat itu adalah siang bolong, tapi didasar sumur itu tetap sangat gelap, ia tjoba meraba dengan tangannja dan dapat menjentuh Toan Ki, segera ia berseru: Toan-long, o, Toan-long, ba... bagaimanakah dengan dirimu"
Karena tidak mendapat djawaban Toan Ki, Giok-yan menjangka pemuda itu sudah mati ditjekik Tjiumoti, terus sadja ia menangis sedih, ia angkat majat Toan Ki dan merangkulnja dengan kentjang didepan dada sambil sesambatan: O, Toan-long, sedemikian baik dan setiamu kepadaku, tapi selama ini aku belum pernah membalas apa2 padamu, baru sadja kita berharap akan hidup bahagia di-hari2 jang akan datang, siapa tahu...
siapa tahu djiwamu sudah melajang ditangan paderi djahat ini...
Utjapan nona ini hanja betul separoh sadja, demikian tiba2 terdengar Tjiumoti menjela, rupanja iapun sudah sadar. Walaupun Lolap adalah paderi djahat, tapi aku tidak membunuh Toan-kongtju.
Dan pada saat itu Toan Ki telah siuman djuga. Ia mendengar utjapan Giok-yan jang meresap itu bergema ditepi telinganja, ia mendjadi girang.
Tiba2 ia merasa badannja sendiri berada didalam pelukan sinona, segera ia pura2 masih belum sadar dan tak berani bergerak, kuatir kalau diketahui Giok-yan dan dilepaskan sehingga tidak dapat lagi merasakan nikmatnja dalam pelukan sang kekasih.
Dalam pada itu Tjiumoti telah berkata: Kekasihmu itu tidaklah kutewaskan, sebaliknja djiwaku jang hampir2 binasa ditangannja.
Air mata Giok-yan lantas bertjutjuran, sahutnja: Dalam keadaan begini kau masih hendak mengapusi aku" Ketahuilah bahwa hatiku seperti di-sajat2, lebih baik kaupun tjekik mati aku sadja agar aku dapat menjusul Toan-long dialam baka.
Mendengar utjapan sinona jang tulus iklas dan meresap itu, sungguh girang Toan Ki tak terkira.
Tjiumoti sendiri meski sudah kehilangan tenaga murni, tapi pikirannja masih sangat tjermat, pengalamannja djuga luas dan kenjang makan asam-garam, dari suara napas Toan Ki jang pelahan tapi tertahan itu, segera ia mengetahui pemuda itu sebenarnja sudah sadar, tapi sengadja diam sadja, maka iapun tahu maksudnja. Tiba2 ia menghela napas pelahan dan berkata: Toan-kongtju, aku telah salah beladjar ilmu sakti Siau-lim-pay sehingga membikin tjelaka diriku sendiri, untung engkau telah menjedot tenaga dalamku sehingga aku tidak sampai mati konjol seperti orang gila.
Sekarang meski ilmu silatku sudah punah, namun djiwaku telah selamat, untuk ini aku harus mengutjapkan terima kasih atas pertolonganmu.
Toan Ki adalah seorang jang rendah hati, demi tiba2 mendengar paderi itu mengutjapkan terima kasih padanja, tanpa merasa ia terus mendjawab: Ah, Taysu djangan merendah diri. Tjayhe punja kepandaian dan kebaikan apa sehingga berani dianggap telah menjelamatkan djiwa Taysu"
Giok-yan mendjadi girang ketika mendadak mendengar Toan Ki sudah sadar kembali, tapi ia lantas tertjengang pula dan paham sebabnja pemuda itu sengadja diam sadja jalah agar dapat berada didalam pelukannja, keruan ia mendjadi girang2 malu, sekuatnja ia dorong pergi Toan Ki dan mentjomel: Uh, kau ini!
Toan Ki mendjadi malu djuga karena rahasianja terbongkar. Lekas2 ia berbangkit dan bersandar didinding sebelah. Tiba2 ia ingat sesuatu dan bertanja: He, dimanakah Bujung-kongtju"
Ha, aku mendjadi lupa djuga, dimanakah Piauko" sahut Giok-yan.
Sungguh girang Toan Ki melebihi mendapat warisan demi mendengar kata2
aku mendjadi lupa djuga. Padahal selama ini perhatian Giok-yan selalu terpusat kepada Bujung Hok seorang, tapi sekarang walaupun sudah selang hampir sehari toh nona itu tidak ingat kepada Bujung Hok, hal itu menandakan bahwa dirinja sekarang sudah bertukar tempat dengan Bujung Hok dilubuk hati sinona.
Tengah Toan Ki riang gembira, terdengar Tjiumoti telah berkata: Sifat Toan-kongtju sangat tulus dan djudjur, redjeki dikemudian hari pasti tiada takaran. Hari ini Lolap ingin mohon diri, rasanja kelak susah untuk berdjumpa pula. Disini ada satu djilid kitab, bila kelak Kongtju kebetulan ada tempo, tolonglah kitab ini suka dikembalikan kepada Siau-lim-si. Semoga Kongtju berdua hidup bahagia sampai hari tua.
Habis berkata, segera ia menjerahkan kitab Ih-kin-keng kepada Toan Ki.
Apakah Taysu hendak pulang ke Turfan" tanja Toan Ki.
Mana suka, mungkin pulang kesana, mungkin tidak! sahut Tjiumoti dengan samar2. Lalu ia berbangkit, ia tjoba menarik tambang pandjang jang ditinggalkan kaum petani tadi dan ternjata tjukup kentjang, agaknja udjung atas diikat dibatu karang. Dengan tambang itulah ia lantas merambat keatas dan tinggal pergi.
Sekarang tinggal Toan Ki berhadapan dengan Giok-yan didalam sumur itu, walaupun berada ditempat lumpur tapi hati mereka sangat senang, siapapun tidak punja pikiran buat keluar dari sumur itu. Pelahan2 tangan kedua orang sama2 mendjulur kedepan, empat tangan saling menggenggam, dua perasaan bersatu.
Sambung ke jilid 40
Ini jilid 43 Sementara itu hari sudah mulai gelap, beberapa peradjurit pendjaga itu lagi sibuk menjalakan pelita2 disekitar ruangan pendopo itu.
Berkat tjahaja lampu itu Siau Hong dapat melihat tulisan2 diatas kertas jang dibentangkan itu, ternjata tulisan dalam beberapa huruf ketjil itu berbunji: Bala bantuan sudah tiba, malam ini djuga lepas dari bahaja.
Siau Hong mendengus tanpa bitjara, hanja kepalanja menggeleng pelahan.
Tapi A Tji lantas berkata dengan nada jang di-buat2: Pasukan kita jang dikerahkan kali ini tidaklah sedikit djumlahnja. Peradjurit2 kita tangkas dan perbekalan tjukup, sudah tentu kita akan menang dimana pasukan kita tiba, maka djanganlah engkau kuatir.
Tidak, djusteru karena aku tidak ingin banjak menimbulkan korban, makanja aku telah dikurung disini oleh Hongsiang, kata Siau Hong.
Untuk menangkan perang, jang diperlukan adalah perhitungan jang tepat dan siasat jang lihay, mana boleh berpikir tentang korban jang akan djatuh" udjar A Tji.
Siau Hong tjoba melirik ketiga orang pembudjuk jang lain, kelihatan diantaranja ada jang sedang gojang2 kipas jang mereka bawa, ada jang kebas2 lengan badju setjara sembunji2 se-olah2 kuatir muka asli mereka dikenali orang, terang mereka itu adalah bala bantuan jang dibawa sendiri oleh A Tji.
Dengan menghela napas kemudian Siau Hong berkata: Ja, aku sangat berterima kasih kepada maksud baikmu, tetapi hendaklah maklum bahwa pendjagaan musuh sangat rapat dan keras, untuk merebut wilajah kedudukan mereka lebih2 tidaklah mudah..................
Belum selesai utjapannja, tiba2 terdengar beberapa peradjurit pendjaga tadi sedang men-djerit2 kaget: He, ada ular! Ada ular berbisa! Darimana datangnja ular2 berbisa sebanjak ini!
Waktu Siau Hong menoleh, benar djuga dilihatnja diambang pintu, dari tjelah2 djendela dan lantai ruangan situ sudah penuh dibandjiri ular2
berbisa. Binatang2 merajap itu menjusur kian kemari dengan kepala mendongak dan lidah men-desis2, suasana mendjadi katjau balau dan peradjurit2 itu berlari kian kemari untuk menghindari.
Hati Siau Hong tergerak: Melihat gelagatnja, agaknja kawanan ular ini sengadja dilepaskan oleh saudaraku dari anggota Kay-pang!
Dalam pada itu para peradjurit pendjaga tadi sedang menggunakan sendjata mereka untuk membunuh dan mengusir kawanan ular. Malahan komandan piket jang mendjaga Siau Hong lantas memberi perintah: Para peradjurit jang mendjaga Siau-tayong tidak boleh sembarangan menjingkir pergi, jang membangkang akan dihukum mati!
Rupanja komandan piket itu tjukup tjerdik, ia melihat datangnja kawanan ular itu agak aneh dan luar biasa, ia kuatir kalau peradjurit2 pendjaga itu bingung menghadapi kawanan ular dan kesempatan itu akan digunakan oleh Siau Hong untuk meloloskan diri.
Karena perintah itu, terpaksa para peradjurit jang mendjaga disekitar kurungan tidak berani sembarangan bergerak, mereka tetap mengarahkan udjung tumbak mereka kepada Siau Hong jang mengeram didalam kurungan itu.
Namun tidak urung mereka mendjadi kebat-kebit djuga, sambil mengantjam Siau Hong, pandangan merekapun ber-ulang2 diarahkan kepada kawanan ular, bila ada ular jang mendekat lantas mereka bunuh.
Selagi suasana mendjadi katjau, se-konjong2 terdengar pula suara riuh ramai dibelakang istana: Api! Ada api! Kebakaran! Kebakaran! Tolong! Ada kebakaran! Tolong!
Segera komandan piket tadi berseru: Kahur, lekas pergi memberi lapor kepada komandan, tanjakan apakah Siau-tayong harus segera dipindahkan atau tidak"
Jang bernama Kahur itu adalah seorang Pek-hu-tiang (kepala seratus orang, pangkat setingkat kapten). Ia mengiakan dan membalik tubuh. Baru sadja dia hendak berlari pergi untuk menunaikan tugasnja, tiba2 seorang telah membentaknja didepan pintu ruangan: Tetap ditempatmu masing2, djangan terkena tipu pantjingan musuh, awas, kalau ada orang menjerbu kesini segera Siau Hong dibunuh dahulu!
Ternjata jang bitjara adalah komandan pasukan pengawal jang hendak dimintai petundjuk itu sudah datang sendiri. Dia bersendjata golok pandjang dan dengan gagah berdiri didepan pintu.
Se-konjong2 sesuatu bajangan emas berkelebat, seekor ular ketjil berwarna emas telah melajang keatas dan menjambar kemuka komandan pasukan pengawal itu. Tjepat perwira itu menjampuk dengan sendjatanja, namun lebih dulu sudah terdengar suara mendesingnja sendjata rahasia, seketika ruangan situ mendjadi gelap gulita. Rupanja ada orang menjambitkan sendjata2 rahasia untuk memadamkan pelita.
Maka terdengarlah komandan pasukan pengawal itu mendjerit ngeri sekali, dia sudah dipagut oleh ular warna emas tadi dan roboh terguling.
Kiranja satu diantara keempat orang pembudjuk palsu tadi adalah Tjiong Ling jang menjamar. Dia telah melepaskan Kim-leng-tju dan berhasil membinasakan perwira musuh.
Tanpa ajal lagi A Tji lantas mengeluarkan golok mestika, tjepat ia memotong putus rantai besi jang menjambung diatas borgol Siau Hong.
Baru Siau Hong merasa ragu2 apakah dirinja dapat keluar dari kurungan terali besi jang kuat itu, mendadak tanah ditengah kurung besi dimana dia berpidjak itu terasa blong, tubuhnja terasa andjlok kebawah.
Ia dengar A Tji sedang berkata diluar kurungan dengan suara setengah tertahan: Lekas lari melalui djalan dibawah tanah!
Dan belum lagi kaki Siau Hong menjentuh tanah, tiba2 terasa kedua kakinja telah ditjengkeram oleh sepasang tangan terus ditarik lagi kebawah. Ketika dapat berdiri tegak dibawah tanah, dilihatnja orang jang menariknja itu adalah Hoa Hek-kin, itu djago tukang gangsir dari Tayli.
Ternjata Hoa Hek-kin telah giat bekerdja selama belasan hari sehingga berhasil menggangsir dan membuat sebuah lorong dibawah tanah jang menembus tepat dibawah kurungan besi Siau Hong.
Segera Hek-kin menarik Siau Hong dan merangkak mundur untuk keluar dari lubang gangsir itu. Betapa tjepatnja tjara Hoa Hek-kin merangkak ternjata tidak kalah daripada orang berdjalan ditanah datar. Hanja sekedjap sadja puluhan meter lubang gangsir itu telah dilaluinja, lalu ia memajang Siau Hong untuk berdiri dan menerobos keluar dari liang itu.
Ternjata dimulut liang itu sudah menunggu tiga orang. Mereka adalah Toan Ki, Hoan Hwa dan Pah Thian-sik. Begitu melihat Siau Hong telah ditolong keluar dengan selamat, terus sadja Toan Ki menjapa sambil menubruk madju untuk merangkul sang Toako.
Siau Hong tepuk2 punggung Toan Ki, lalu katanja dengan tertawa: Hari ini barulah aku menjaksikan ilmu sakti Hoa-suto, sungguh aku kagum sekali dan banjak terima kasih.
Sungguh Siaudjin (hamba) teramat bangga atas pudjian Siau-tayong ini, sahut Hoa Hek-kin dengan rendah hati. Tempat di mana mereka berada itu tidak terlalu djauh dari istana Lam-ih Tay-ong, maka terdengarlah di-mana2 penuh suara teriakan peradjurit Liau jang riuh rendah. Terdengar pula orang meniup terompet dan lewat dibelakang rumah sana disertai suara teriakan2: Awas! Musuh telah menjerang pintu gerbang timur, pasukan pengawal radja harus tetap berada ditempat tugasnja dan tidak boleh sembarangan bergerak!
Siau-tayong, marilah kita terdjang keluar melalui pintu gerbang sebelah barat, adjak Hoan Hwa jang merupakan ahli siasat dari keradjaan Tayli.
Belum lagi Siau Hong mendjawab, tiba2 dari lubang gangsir dibawah tanah itu terdengar suara seruan A Tji jang penuh rasa sjukur dan girang.
Tjihu, tunggu dulu padaku! ~ Menjusul anak dara itu lantas melontjat keluar dari mulut liang seperti kelintji gesitnja. Djanggut anak dara itu masih penuh djenggot palsu, mukanja penuh debu tanah dan kotor. Namun bagi penglihatan Siau Hong, sedjak dia kenal A Tji, hanja saat inilah anak dara itu paling tjantik tampaknja.
Segera A Tji melolos pula goloknja hendak memotong borgolnja Siau Hong, tapi borgol itu menempel rapat ditangan Siau Hong, bilamana sedikit kurang tepat tentu akan melukainja. Maka ia mendjadi ragu2, achirnja ia serahkan sendjatanja kepada Toan Ki dan meminta: Koko, harap engkau jang memotongnja!
Toan Ki lantas angkat golok itu, dimana tenaga dalamnja disalurkan, dengan mudah sadja borgol besi itu dapat dipapasnja sebagai memotong kaju mudahnja.
Dalam pada itu dari lubang gangsir itu telah menerobos keluar pula tiga orang. Jang pertama adalah Tjiong Ling, lalu Bok Wan-djing dan orang ketiga adalah seorang anggota Kay-pang berkantong delapan.
Anggota Kay-pang itu adalah ahli memain ular, kawanan ular jang membandjiri ruang tadi adalah hasil pekerdjaannja jang sukses. Demi melihat Siau Hong telah dapat diselamatkan tanpa halangan suatu apapun, dengan air mata ber-linang2 anggota Kay-pang berkantong delapan itu lantas menjapa: Pangtju, selama ini engkau .... ~ sampai disini ia tak sanggup meneruskan lagi saking terharunja.
Sudah lama sekali Siau Hong tidak pernah mendengar orang menjebutnja sebagai Pangtju, mau-tak-mau ia mendjadi terharu djuga demi nampak sikap anggota Kay-pang jang sedemikian setia padanja itu. Sahutnja dengan suara parau: Sungguh aku sangat berterima kasih atas bantuanmu.
Sungguh bangga dan terharu pula anggota Kay-pang berkantong delapan itu atas pudjian Siau Hong, tak tertahankan lagi air matanja lantas bertjutjuran sebagai hudjan.
Kawan2 kita sudah mulai bergerak dipintu gerbang timur, marilah kita lantas kabur sadja mumpung suasana sedang katjau! demikian adjak Hoan Hwa. Dan paling baik Siau Tayong djanganlah perlihatkan dirimu agar tidak dikenali oleh pihak musuh.
Siau Hong mengiakan atas saran itu. Segera mereka menerdjang keluar melalui pintu depan. Waktu Siau Hong menoleh, kiranja rumah dimana mereka keluar itu adalah sebuah rumah jang sudah rusak tak terawat dan tidak menarik bila dipandang dari luar.
Karena A Tji sedikit banjak telah menguasai bahasa Tjidan, maka dia lantas ber-teriak2: Kebakaran! Kebakaran! Lekas tolong kebakaran!
Dengan menirukan apa jang dikatakan A Tji itu, segera Hoan Hwa dan Hoa Hek-kin djuga ikut2 berteriak.
Pah Thian-sik memiliki Ginkang jang paling tinggi, maka bila disekitarnja tiada peradjurit Liau, segera ia menjalakan api sehingga dalam sekedjap sadja ada belasan tempat berdjangkit kebakaran lagi.
Begitulah mereka bersembilan terus berlari kepintu gerbang barat. Toan Ki dan lain2 telah menjaru sebagai orang Tjidan, apalagi suasana didalam kota telah mendjadi katjau-balau sehingga rombongan mereka tidak menimbulkan perhatian orang lain. Terkadang bila ada pasukan berkuda Tjidan menerdjang tiba, segera mereka menjingkir kepodjok djalan jang sepi dan gelap untuk menghindari.
Sekaligus mereka telah melintasi belasan djalanan kota, terdengar suara terompet berbunji disebelah utara diseling dengan djerit orang jang ramai: Wah, tjelaka! Pasukan musuh telah membobol pintu gerbang utara, Hongsiang telah ditawan musuh! Hongsiang telah ditawan musuh!
Keruan Siau Hong djuga terkedjut, ia berhenti dan berkata: Apakah betul radja Liau tertawan" Samte, radja Liau itu adalah saudara-angkatku, biarpun dia tidak setia padaku, tapi tidak boleh aku melupakan budinja, maka .... maka djanganlah kau mentjelakai dia ....
Tjihu djangan kuatir, kata A Tji dengan tertawa. Berita tertawannja radja Liau itu adalah siasat kita jang sengadja disiarluaskan oleh para Tongtju dari Leng-tjiu-kiong untuk membingungkan pihak musuh. Padahal didalam kota Lamkhia ini terdapat pasukan pendjaga jang kuat, radja merekapun dikelilingi oleh puluhan ribu peradjurit, masakah begitu gampang untuk menangkapnja"
O, djadi para pengikut Djite itupun datang djuga" Siau Hong menegas dengan girang dan kedjut.
Tidak tjuma pengikut2 si Hwesio tjilik sadja jang datang, bahkan Hwesio tjilik itupun sudah tiba, malahan bininja djuga dibawa kemari sekalian, kata A Tji.
Hwesio tjilik apa dan bininja siapa" tanja Siau Hong dengan bingung.
Masakah Tjihu sudah lupa" sahut A Tji dengan tertawa. Hwesio tjilik adalah si Hi-tiok-tju, bininja bukan lain adalah puteri keradjaan Se He jang dimenangkannja dalam sajembara tempo hari. Hanja sadja puteri itu selalu menutupi mukanja dengan kerudung sehingga selain Hwesio tjilik, orang lain tiada satupun jang boleh melihatnja. Ketika kutanja si Hwesio tjilik: Bagaimana matjam binimu itu, dia tjantik atau tidak" ~ Namun si Hwesio tjilik hanja ter-senjum2 sadja dan tidak pernah mendjawab.
Walaupun sedang melarikan diri, tapi tiba2 mendengar hal2 jang menarik itu mau-tak-mau Siau Hong merasa bersjukur djuga bagi Hi-tiok jang berhasil memperisterikan puteri Se He itu, tanpa merasa ia memandang sekedjap kearah Toan Ki.
Seperti diketahui, ketika be-ramai2 mereka pergi ke Se He untuk mengikuti sajembara, sebelum hasil sajembara itu diumumkan, Siau Hong sudah meninggalkan negeri itu lebih dulu.
Rupanja Toan Ki tahu perasaan sang Toako, dengan tertawa ia berkata: Toako tidak perlu bersangsi, sebab Siaute sama sekali tidak sirik atas kedjadian itu. Djiko djuga tidak terhitung mengingkari djandji. Urusan ini memang agak pandjang untuk ditjeritakan, biarlah nanti akan kudjelaskan dengan pelahan2.
Tengah bitjara, kembali mereka telah berlari suatu djarak jang tjukup djauh, tertampak sebuah panggung besar ditengah lapangan didepan sana djuga sedang terbakar, api men-djilat2 dengan hebatnja. Dua helai bendera jang terpantjang diatas tiang bendera didepan panggung itupun sudah terdjilat api.
Siau Hong mengetahui lapangan itu adalah alun2 terbesar jang berada dikota Lamkhia, biasanja digunakan untuk latihan berbaris peradjurit Liau. Tapi entah sedjak kapan didirikan panggung besar itu, ternjata ia sendiri tidak pernah mengetahui.
Sri Baginda, setelah podium kebesaran dan bendera keradjaan Liau ini terbakar, ini akan merupakan alamat djelek bagi gerakan militer Liau, mungkin rentjana menjerang keradjaan Song terpaksa harus dipikirkan lagi oleh Yalu Hung-ki demikian kata Pah Thian-sik dengan tertawa.
Mendengar Thian-sik memanggil Sri Baginda dan tampak Toan Ki telah manggut2, keruan Siau Hong ter-heran2. Segera ia tanya: Samte, apakah kau... kau sudah mendjadi radja"
Dengan muram Toan Ki mendjawab: Ja, setjara mendadak ajah telah meninggal dalam perdjalanan pulang, paman baginda telah meninggalkan tahta pula dan mendjadi paderi dikuil Thian-liong-si, maka Siaute disuruh menggantikan tahtanja. Padahal Siaute sama sekali tidak punja kepandaian apa2, sungguh memalukan untuk memangku djabatan setinggi ini.
Ai, Samte! seru Siau Hong terkedjut. Engkau sekarang adalah kepala negara Tayli, mana boleh engkau sembarangan menghadapi bahaja bagi kepentinganku" Pabila terdjadi sesuatu halangan, tjara bagaimana aku akan bertanggung-djawab kepada rakjat dan negeri Tayli kalian"
Toan Ki tertawa, katanja: Tayli adalah sebuah negeri ketjil jang djauh terpentjil didaerah selatan, sebutan radja adalah tjuma nama kosong belaka, dipandang djuga Siaute tidak memper seorang radja, sungguh hanja membikin malu sadja. Adapun hubungan kita melebihi saudara sekandung, djika Toako ada kesukaran, masakah Siaute boleh tinggal diam tanpa ikut tjampur"
Apalagi Siau-tayong telah berusaha mentjegah radja Liau memerangi keradjaan Song, untuk ini kami rakjat seluruh negeri Tayli ikut merasa berterima kasih padamu, demikian Thian-sik ikut bitjara. Hendaklah maklum, pabila radja Liau berhasil menundukkan Song, maka langkah kedua sudah tentu akan mentjaplok Tayli pula. Padahal negeri kami ketjil dan lemah, mana dapat melawan pasukan Liau jang tangkas dan kuat" Maka Siau-tayong telah menjelamatkan keradjaan Song berarti pula telah menolong negeri Tayli kami. Kalau sekarang orang Tayli mentjurahkan segenap tenaganja untuk mengabdi kepada Siau-tayong tentunja djuga sudah sepantasnja.
Aku hanja seorang jang paham ilmu silat sadja, soalnja aku tidak tega membiarkan kedua negeri saling perang dan menimbulkan korban jang tak berdosa, mana aku berani anggap berdjasa hanja karena sedikit usahaku itu" sahut Siau Hong.
Sedang bitjara, tiba2 bagian selatan sana api ber-kilat2 mendjulang tinggi, penduduk dalam ber-kelompok2 ber-bondong2 menjelamatkan diri tertjampur diantara pasukan2 Liau jang tjoba menenangkan suasana.
Terdengar teriakan orang: Hwesio2 Siau-lim-si dari selatan bersama orang2 gagah jang tidak sedikit djumlahnja telah membobol pintu gerbang selatan! ~ Lalu ada pula jang berteriak: Lam-ih Tay-ong Siau Hong telah memberontak dan takluk kepada keradjaan Song, radja Liau sudah dibunuh olehnja!
Malahan ada beberapa orang Tjidan lantas menanggapi dengan mengertak gigi: Siau Hong itu telah mengchianati bangsa dan menjerah kepada musuh, sungguh aku ingin dapat menggigit dagingnja dan mengunjahnja mentah2.
Apa benar Sri Baginda telah dibunuh oleh bangsat maha durdjana Siau Hong itu" demikian tanja seorang kawannja dengan gugup.
Mengapa tidak benar" sahut seorang Tjidan jang lain. Dengan mataku sendiri aku menjaksikan Siau Hong menerdjang kedepan Sri Baginda dan dengan tumbaknja ia telah menusuk dada Sri Baginda sehingga tembus.
Bangsat keparat Siau Hong itu mengapa sedemikian kedjamnja"
Sesungguhnja dia itu orang Tjidan atau bangsa Han" kata seorang tua dengan sengit.
Konon dia adalah orang Song jang sengadja menjaru sebagai orang Tjidan, bangsat itu benar2 sangat litjin dan kedjam melebihi binatang! sahut pula kawannja tadi.
Mendengar orang2 itu sambil lari sembari mentjatji maki dan mengutuki Siau Hong, keruan A Tji mendjadi gusar, ia angkat tjambuknja terus menjabet kearah orang Tjidan jang lewat disisinja.
Namun Siau Hong keburu mentjegahnja, sambil meng-gojang2 kepalanja ia berkata dengan suara tertahan: Biarkan mereka bitjara sesukanja, djangan digubris! ~ Lalu iapun bertanja: Apakah benar2 para paderi sakti dari Siau-lim-si djuga ikut datang"
Harap Pangtju maklum, ketika nona Toan (A Tji) keluar dari kota Lamkhia, diluar kota dia lantas bertemu dengan Go-tianglo dari Kay-pang kita dan membitjarakan tentang pengorbanan Pangtju, demi untuk menolong djiwa rakjat dan negeri Song kita, katanja Pangtju telah berusaha mentjegah rentjana radja Liau akan menjerbu negeri Song sehingga menimbulkan amarah radja Liau serta ditawan. Atas tjerita itu Go-tianglo tak dapat mempertjajainja karena Pangtju diketahui adalah orang Tjidan, masakah mungkin pikiranmu tjondong kepada negeri Song kita" Maka diam2
beliau telah menjusup kedalam kota Lamkhia untuk menjelidiki sendiri persoalan Pangtju ini dan achirnja dapat diketahui dengan pasti bahwa apa jang ditjeritakan nona Toan ternjata benar adanja. Segera Go-tianglo menjebarkan perintah 'Djing-tiok-leng' (titah bambu hidjau) dan memberitahukan kepada para kesatria Tionggoan tentang kebaikan budi dan djiwa kesatria Pangtju, dan karena terharu dan terima kasih atas keluhuran budi Pangtju itu, maka dengan dibawah pimpinan paderi2 Siau-lim-si itu, para kesatria Tionggoan lantas ber-bondong2 datang keutara sini untuk menolong Pangtju.
Siau Hong mendjadi teringat kepada peristiwa di Tjip-hian-tjeng tempo dulu, dimana dia bertarung dan dikerubut oleh para kesatria Tionggoan sehingga tidak sedikit djago2 silat telah dibunuh olehnja. Tapi hari ini para kesatria itu djusteru datang untuk menolongnja, sungguh hatinja mendjadi berduka dan berterima kasih pula.
Ja, begitulah, maka dengan tjepat berita tentang Tjihu itu telah disebarkan oleh para pengemis dari Kay-pang sehingga dalam waktu singkat telah diketahui oleh para kesatria di-mana2. Ai, tjelaka! Wah sajang, sungguh sajang! demikian tiba2 A Tji berseru gegetun.
Ada apakah" tanja Toan Ki kaget.
Wah, aku punja Pek-giok-giok-ting (wadjan kemala hidjau) jang kugunakan untuk memantjing datangnja kawanan ular dan kutaruh diruangan pendopo sana, dalam keadaan ter-buru2 aku mendjadi lupa mengambilnja kembali, sahut A Tji.
Sudahlah, benda jang tak berarti itu buat apa mesti selalu dipikirkan dan dibawa terus kemanapun kau pergi" udjar Toan Ki dengan tertawa.
Hm, kau anggap wadjan itu benda tak berarti" Kalau tiada benda mestika itu, tentu kawanan ular itu takkan membandjiri ruangan itu sedemikian tjepatnja dan Tjihu tentu djuga susah untuk meloloskan diri setjara begini mudah, demikian bantah A Tji.
Tengah bitjara, tiba2 terdengar suara riuh ramainja orang bertempur.
Dibawah tjahaja api kelihatan peradjurit2 Liau dalam djumlah besar sedang saling gasak sendiri.
Aneh, mengapa bertempur sendiri ... udjar Siau Hong dengan heran.
Toako, jang terdapat kain putih dileher mereka itu adalah kawan kita sendiri, kata Toan Ki.
Segera A Tji mengeluarkan sepotong kain putih dan diserahkan kepada Siau Hong, katanja: Ikatlah dilehermu, Tjihu!
Sekilas pandang Siau Hong merasa bingung djuga untuk membedakan mana adalah peradjurit kawan dan lawan, ia merasa bingung pihak mana jang harus dibunuhnja. Dan ditengah suasana jang gaduh itu terkadang terdjadi peradjurit2 Liau jang sebenarnja telah saling membunuh. Sebaliknja peradjurit2 Liau palsu jang pakai tanda kain putih dileher itu dapat mengajunkan sendjata mereka dengan djitu keatas badan peradjurit dan perwira Liau jang tulen sehingga orang2 Liau satu persatu bergelimpangan binasa.
Sambil memegangi kain putih jang diterimanja dari A Tji itu, tangan Siau Hong mendjadi gemetar, dalam hatinja seakan sedang mendjerit: Aku adalah orang Liau, aku bukan orang Han! Aku orang Liau dan bukan orang Han! Betapapun kain putih ini tak dapat dipakai diatas leherku!
Dan pada saat itulah tiba2 terdengar suara mentjitjit ber-ulang2, pintu gerbang barat jang antap itu telah didorong terpentang oleh orang. Ber-bondong2 Toan Ki dan Hoan Hwa lantas menerdjang keluar dengan mengapit disamping Siau Hong.
Dibawah tjahaja api jang terang benderang itu tertampak djelas anggota2
Kay-pang dalam djumlah besar sudah menunggu diluar kota dengan membawa kuda. Ketika melihat Siau Hong, serentak mereka bersorak-sorai: Kiau-pangtju! Kiau-pangtju!
Ditengah malam gelap tertampak kedua barisan obor lantas menjingkir minggir, lalu seorang penunggang kuda tampak madju kedepan. Penunggang kuda itu adalah seorang pengemis tua, dengan kedua tangannja terangkat keatas ia memegangi Pak-kau-pang, itu pentung penggebuk andjing jang merupakan benda tanda pengenal Pangtju dari Kay-pang. Pengemis tua itu ternjata Go-tiang-lo adanja.
Sesudah berada didepan Siau Hong tjepat Go-tianglo melompat turun dari kudanja dan berlutut, katanja: Go Tiang-hong atas nama para anggota Kay-pang dengan ini mempersembahkan kembali Pak-kau-pang ini kepada Pangtju.
Kami telah gegabah dan goblok sehingga telah banjak membikin susah Pangtju jang tidak bersalah, sungguh kami lebih bodoh daripada hewan, untuk mana dimohon Pangtju suka memberi ampun dan sudilah melupakan apa jang telah lalu dan kembali mendjadi Pangtju kita untuk memimpin kami jang selama ini seperti kanak2 jang kehilangan orang tua. ~ Sembari berkata iapun menjodorkan Pak-kau-pang ketangan Siau Hong.
Siau Hong mendjadi terharu menghadapi kawan2 seperdjoangan dimasa lalu ini, katanja: Go-tianglo, Tjayhe memang benar2 adalah orang Tjidan.
Sungguh aku merasa terima kasih tak terhingga atas budi kebaikan kalian.
Tentang kedudukan Pangtju sekali2 aku tidak dapat mendjabatnja. ~
Berbareng iapun membangunkan Go-tianglo.
Go-tianglo adalah seorang jang berhati lurus, ia mendjadi bingung atas sikap Siau Hong itu, katanja sambil garuk2 kepala: Engkau... engkau mengaku sebagai orang Tjidan pula dan tak... tak mau mendjadi Pangtju"
Ah, Kiau-pangtju, sudahlah, djangan kau marah lagi kepada perbuatan kami jang ngawur dahulu itu dan terimalah kembali djabatanmu!
Dalam pada itu terdengar suara tambur perang didalam kota mendadak berbunji menggelegar, terang ada pasukan besar Liau segera akan menerdjang keluar.
Tjepat Toan Ki berkata: Go-tianglo, marilah kita lekas berangkat, pasukan musuh terlalu kuat, djika mereka sempat menjusun kekuatan tentu kita tak dapat melawannja.
Siau Hong tahu djuga sebabnja orang2 Kay-pang bersama kesatria2
Tionggoan itu dapat unggul sementara adalah karena mereka menjerang setjara mendadak sehingga berhasil, tapi kalau benar2 bertempur melawan pasukan Liau sudah tentu ribuan orang2 Kangouw itu bukan tandingan pasukan Liau jang berdjumlah ratusan ribu dan terlatih dengan baik itu.
Apalagi kalau terdjadi pertempuran tentu akan banjak menimbulkan korban pula, hal ini sangat berlawanan dengan keinginannja, maka ia lantas berkata: Go-tianglo, urusan Pangtju biarlah dibitjarakan nanti. Jang penting sekarang lekaslah kau memberi perintah agar para saudara kita segera mundur kebarat sana.
Go-tianglo mengiakan dan segera memberi perintah itu. Serentak barisan belakang Kay-pang berubah mendjadi barisan depan dan tjepat mengundurkan diri kedjurusan barat. Tidak lama kemudian Hi-tiok djuga telah menjusul tiba dengan membawa para peradjurit wanita dan 36 Tongtju dan 72 Totju.
Sesudah beberapa li djauhnja, para djago negeri Tayli dibawah pimpinan Siau Tiok-sing dan Tju Tan-sin djuga sudah menjusul datang. Tapi para kesatria Tionggoan dan para paderi Siau-lim-si tetap tidak kelihatan.
Bahkan sajup2 terdengar pertempuran jang gegap-gempita didalam kota Lamkhia.
Rupanja para kesatria Tionggoan dan para paderi Siau-lim telah kena ditjegat musuh didalam kota, biarlah kita menunggu dulu sementara, udjar Siau Hong.
Tidak lama kemudian suara pertempuran didalam kota tadi makin lama makin keras. Toan Ki merasa tidak enak, katanja: Harap Toako tunggu dulu disini, biarlah aku pergi membantu mereka.
Habis berkata ia lantas memimpin para djago Tayli dan memburu kembali kekota Lamkhia.
Sementara itu subuh sudah tiba, tjuatja mulai terang. Siau Hong sendiri merasa sedih dan kuatir, ia tidak tahu para kesatria Tionggoan itu dapat meloloskan diri atau tidak.
Suara pertempuran semakin dahsjat, para djago negeri Tayli telah menerdjang kembali kedalam pasukan musuh, tapi para kesatria Tionggoan tetap belum kelihatan lolos dari kepungan.
Tiba2 datang seorang kurir anggota Kay-pang dan memberi laporan: Beberapa ribu peradjurit Liau telah mendjaga rapat pintu gerbang barat, djago2 Tayli tidak dapat menjerbu kedalam kota, sebaliknja para kesatria Tionggoan djuga tidak dapat menerdjang keluar.
Segera Hi-tiok memberi tanda dan berseru: Orang2 Leng-tjiu-kiong ikutlah padaku untuk memberi bantuan kesana. ~ Segera ia pimpin anak buahnja jang berdjumlah ribuan orang itu dan menerdjang kembali kearah Lamkhia.
Diatas kudanja Siau Hong tjoba memandang kebelakang, tertampak kota Lamkhia penuh diliputi asap jang mengepul tebal, di-mana2 terdapat gumpalan api jang me-njala2, sungguh susah untuk dibajangkan betapa djadinja kota itu didalam kantjah kekatjauan perang itu.
Sesudah ditunggu setengahan djam pula, kembali seorang kurir memberi lapor lagi : Toan-ongya dari Tayli dan Hi-tiok Siansing dari Leng-tjiu-kiong telah berhasil membobol kepungan musuh dan sudah menjerbu kedalam kota.
Biasanja djika ada pertempuran Siau Hong selalu memimpin dan tampil paling depan tapi sekarang dia hanja menunggu dari djauh, rasanja tjemas dan kuatir pula. Maka achirnja ia berkata : Biarlah aku pergi melihatnja
! Tjepat A Tji, Bok Wan-djing dan Tjiong Ling mentjegahnja : Djangan, djusteru orang Liau lagi intjar dirimu djangan sekali2 engkau menempuh bahaja ini.
Tidak apa2, djangan kuatir, udjar Siau Hong. Segera ia melarikan kudanja kedepan dengan disusul oleh para anggota Kay-pang.
Sampai diluar pintu gerbang barat kota Lam-khia, tertampak dibawah tembok benteng, ditepi djalan dan disepandjang sungai jang mengelilingi benteng kota itu penuh bergelimpangan majat2 jang be-ratus2 banjaknja.
Ada peradjurit dan perwira Tjidan, ada djuga anak buahnja Toan Ki dan Hi-tiok.
Pintu gerbang kota setengah tertutup, beberapa Totju bawahannja Hi-tiok tampak memutar sendjata mereka sedang mendjaga disamping pintu dan sedang menghadjar peradjurit2 Liau jang menerdjang madju agar mereka tidak dapat menutup pintu gerbang itu.
Tiba2 terdengar suara riuh ramai kuda2 berlari dari sebelah utara dan selatan. Siau Hong terkedjut, serunja: Tjelaka, pasukan Liau setjara besar2an hendak mengepung kita dari djurusan2 selatan dan utara.
Tjepat ia melontjat keatas, kakinja memantjal sekali didinding benteng, dengan tenaga dorongan itu tubuhnja lantas mentjelat keatas dan menghinggap diatas tembok benteng, dari situ ia dapat memandang djauh kedalam kota. Maka tertampaklah bagian barat kota, dalam lingkaran seluas satu li lebih itu terdapat gerombol2an orang disana-sini, njata para kesatria Tionggoan telah dipotong dan di-pisah2kan oleh peradjurit2 Liau jang berdjumlah lebih banjak itu dan sedang dikerubut dalam kelompok2
lebih ketjil. Walaupun para kesatria Tionggoan itu berilmu silat tinggi, tapi setiap orangnja harus melawan beberapa orang sampai belasan peradjurit Liau jang tangkas, lama kelamaan mereka mendjadi kewalahan djuga.
Dengan berdiri diatas tembok benteng Siau Hong dapat memandang kedalam dan keluar kota. Ia mendjadi bingung djuga menghadapi suasana pertempuran itu. Para kesatria Tionggoan jang terkepung itu telah bertempur mati2an demi untuk menolong dia, maka tidaklah mungkin ia menjaksikan para kesatria Tionggoan itu terbinasa dibawah sendjata peradjurit Liau tanpa memberi bantuan. Tapi kalau dia melompat turun dan menolong mereka, ini berarti dia setjara terang2an bermusuhan dengan pihak Liau dan mendjadi seorang pengchianat bangsa. Hal ini tidak sadja berdosa kepada leluhurnja sendiri, bahkan selamanja akan ditjatji-maki dan dikutuki oleh bangsanja sendiri.
Djika dia tjuma melarikan diri sadja dan meninggalkan negerinja sendiri, perbuatan demikian paling2 akan dianggap sebagai tidak setia.
Tetapi kalau angkat sendjata dan menjerang bangsa dan negerinja sendiri, ini benar2 perbuatan pengchianatan jang maha berdosa.
Biasanja Siau Hong dapat bertindak tjepat dan tegas, tapi sekarang ia mendjadi serba susah. Sekilas tertampak olehnja dipodjok bawah benteng sana ada beberapa djago Tjidan sedang mengerubuti dua paderi tua Siau-lim-si. Salah seorang paderi tua itu bersendjata golok, mulutnja menjemburkan darah, terang sudah terluka parah.
Waktu diperhatikan lebih djauh, segera Siau Hong mengenal paderi tua itu adalah Hian-bing Taysu. Paderi jang lain bersendjata tongkat dan sedang berusaha mati2an untuk melindungi kawannja jang terluka. Paderi bersendjata tongkat ini ternjata Hian-sik adanja.
Saat itu dua djago Tjidan sedang angkat parang mereka untuk membatjok kearah Hian-bing. Segera Hian-bing angkat tangan kanannja dengan maksud hendak menangkis dengan goloknja. Tak tersangka lukanja sudah teramat parah, baru sadja lengannja terangkat sebatas dada, sungguh tjelaka, rasanja sudah tidak kuat lagi. Tjepat Hian-sik memberi bantuan, tongkatnja menjampuk, trang-trang, kedua parang musuh telah terbentur balik. Saking kuat tenaganja Hian-sik sehingga kedua djago Tjidan tak mampu menguasai lagi sendjatanja sendiri, kedua parang itu membatjok dibatok kepalanja sendiri sehingga petjah berantakan.
Sudah tentu Hian-sik sangat girang. Tapi mendadak terdengar Hian-bing mendjerit, tahu2 pundak kirinja sudah berlumuran darah, ternjata kena dilukai pula oleh musuh.
Kontan Hian-sik balas menjabet dengan tongkatnja sehingga djago Tjidan jang melukai Hian-bing itu terhantam dan remuk tulang dadanja. Dan karena serangannja jang hendak membela kawan itu, ia sendiri mendjadi kurang pendjagaan, kesempatan itu telah digunakan oleh seorang djago Tjidan jang lain untuk menusukkan tumbaknja kedada Hian-sik.
Tjret, Hian-sik tidak sempat menangkis, perutnja dengan tepat tertusuk tembus dan terpantek diatas dinding benteng. Namun Hian-sik tidak lantas tewas, dengan tenaganja jang masih ada mendadak ia menggertak sekali, tongkatnja lantas mengemplang kebawah sehingga kepala orang Tjidan itu hantjur lebur dan mati lebih dulu daripada Hian-sik sendiri.
Melihat perut Hian-sik tertembus tumbak musuh dan terang tak bisa hidup lagi, Hian-bing mendjadi bingung sehingga permainan goloknja tak keruan djurusnja, dengan air mata bertjutjuran ia ber-teriak2: Sute! Sute!
Darah panas Siau Hong mendjadi bergolak, ia tidak dapat menahan perasaannja lagi, mendadak ia berteriak keras2: Ini Siau Hong berada disini! Kalau mau bunuh boleh bunuhlah aku, tapi djangan membunuh orang lain jang tak berdosa! Berbareng Siau Hong lantas melompat turun kebawah, dimana kakinja melajang, sebelum dia menjentuh tanah, kontan empat djago Tjidan sudah lantas didepaknja hingga mentjelat. Dan setelah berdiri tegak, tjepat ia menarik Hian-bing dan tangan lain pegang tongkatnja Hian-sik sambil berkata: Hian-sik Taysu, bantuan Tjayhe ini terlambat datangnja, sungguh dosaku tak terhingga besarnja. ~ Menjusul tongkat jang dipegangnja itu terus disabetkan sehingga dua djago Tjidan terpaksa melompat menjingkir.
Tidak, kami jang telah memfitnah Kiau-pangtju sebagai orang Tjidan adalah lebih besar pula dosa kami, sahut Hian-sik dengan tersenjum getir.
Dan sjukurlah sekarang duduknja perkara dapat dibikin djelas .........
belum selesai utjapannja, sekali kepalanja menunduk ternjata napasnja sudah berhenti.
Sambil melindungi Hian-bing segera Siau Hong menerdjang kearah beberapa djago Tayli jang sedang dikerubut musuh disebelah kiri sana.
Melihat Lam-ih Tay-ong mereka mendadak muntjul dengan gagah berwibawa, mau-tak-mau para peradjurit dan perwira Liau mendjadi djeri. Sebaliknja Siau Hong lantas kerdjakan tongkatnja, walaupun ia tidak ingin membunuh orang, tapi terluka djuga bila berkenalan dengan tongkatnja.
Peradjurit2 ber-teriak2 ketakutan dan be-ramai2 menjingkir mundur sehingga Siau Hong dapat menerdjang kian kemari dengan tjepat dan leluasa, hanja dalam waktu singkat ia sudah dapat mengumpulkan dua-tiga ratus kesatria Tionggoan jang tadinja bertjerai-berai dan terkepung tadi.
Hendaklah saudara2 djangan terpisah lagi, bergabungklah dalam rombongan besar untuk bertempur bersama! seru Siau Hong.
Segera ia memimpin dua-tiga ratus orang itu dan bergeser kesana dan kesini, bila ada kawan jang terkepung lantas didekatinja untuk menolongnja keluar. Maka rombongannja itu makin lama makin bertambah banjak djumlahnja. Sampai achirnja sudah lebih seribu.
Lalu Siau Hong menggabungkan diri dengan rombongan2 Hi-tiok, Toan Ki dan para kesatria Tionggoan dibawah pimpinan Hian-to Taysu dari Siau-lim-si terus menerdjang kepintu gerbang kota. Siau Hong mendahului memburu kedepan, dengan gagah ia berdiri diatas pintu gerbang dan membiarkan rombongan2 para kesatria Tionggoan, Tayli dan Leng-tjiu-kiong keluar kota dengan aman. Pasukan Liau jang mengedjar itu ternjata tidak berani menjerbu madju, mereka hanja ber-teriak2 dari djauh dan gentar terhadap wibawa Lam-ih Tay-ong mereka.
Menunggu sesudah semua orang sudah keluar benteng dengan selamat, paling achir barulah Siau Hong sendiri menjusul keluar kota. Waktu ia menoleh kebelakang, tertampak majat bergelimpangan di-mana2 dan ber-tumpuk2, entah berapa banjak korban jang djatuh dalam pertempuran sengit itu.
Tiba2 terlihat olehnja diantara majat2 jang menggeletak didalam kota itu terdapat dua perwira wanita Leng-tjiu-kiong jang berlumuran darah dan sedang me-rintih2 dan me-ronta2 hendak berdiri tapi rupanja tidak kuat lagi.
Tanpa pikir Siau Hong menerdjang masuk lagi kedalam kota, ia pegang punggung kedua wanita itu dan dibawa lari keluar. Tapi tidak seberapa djauhnja, mendadak terdengar suara tambur menggelegar mengguntjang bumi, dua pasukan Liau setjara besar2an telah menjerbu tiba dari arah kanan dan kiri.
Seketika Siau Hong merasa tjemas. Kedua pasukan musuh itu djumlahnja paling sedikit ada sepuluh ribu banjaknja, sedangkan kawan2 dipihak sendiri sudah bertempur sekian lamanja, kalau tidak terluka tentu djuga sudah terlalu letih, tjara bagaimana akan dapat menghadapi pasukan musuh jang bertenaga baru ini"
Tjepat ia berteriak: Kawan2 dari Kay-pang mengiring dari belakang, serahkan kuda tunggangan kalian kepada kawan2 lain jang terluka dan biarkan mereka mundur lebih dulu!
Anggota2 Kay-pang mengiakan serentak dan be-ramai2 melompat turun dari kuda mereka. Lalu Siau Hong berteriak pula:
Pasang Pak-kau-tay-tin (barisan besar menggebuk andjing)!
Maka terdengarlah suara tembang para pengemis jang sedang minta2 sambil mengatur barisan setjara selapis demi selapis.
Hian-to Taysu, Djite dan Samte, lekas memimpin bawahan kalian mundur dulu kedjurusan barat, biarkan kami jang mendjaga dibagian belakang!
teriak Siau Hong lagi.
Dibawah sinar matahari udjung golok dan tumbak pasukan Liau itu tampak gemilapan menjilaukan mata, berpuluh ribu kuda berlari serentak menerdjang tiba, suaranja benar2 menggetar sukma dan menakutkan.
Melihat kekuatan musuh jang luar biasa itu, Hi-tiok dan Toan Ki menaksir Pak-kau-tay-tin jang dipasang anggota Kay-pang itu betapapun djuga susah menahan terdjangan pasukan musuh. Maka mereka berdua lantas berdiri dikanan-kiri Siau Hong dan berkata: Toako, kita adalah saudara angkat, kalau ada kesukaran biarlah ditanggung beramai, mati atau hidup harus bersama pula.
Djika begitu, lekas perintahkan bawahan kalian mundur lebih dulu, kata Siau Hong.
Tjepat Hi-tiok dan Toan Ki lantas meneruskan perintah itu kepada anak-buahnja masing2.
Siapa tahu bawahan Leng-tjiu-kiong telah menjatakan tidak mau meninggalkan madjikan mereka didalam keadaan bahaja, lebih2 para djago Tayli djuga tidak mau mengundurkan diri dan membiarkan radja mereka menghadapi maut.
Dalam pada itu pasukan berkuda Liau sudah makin dekat, panah jang dibidikkan sudah hampir mentjapai tempat dimana Siau Hong dan kawan2nja berada.
Hian-to mestinja sudah mundur lebih dulu dengan memimpin para kesatria Tionggoan, tapi sekarang demi nampak rombongan Siau Hong terantjam bahaja, seketika ada beberapa puluh orang diantaranja berlari kembali untuk membantu.
Diam2 Siau Hong mengeluh. Pikirnja: Biarpun ilmu silat kawan2 ini sangat tinggi, tapi mereka tidak kenal ilmu peperangan dan tidak tahu disiplin militer, tjara bagaimana mereka akan sanggup melawan pasukan Liau jang berdjumlah besar" Kematianku adalah tidak mendjadi soal, tapi kalau para kawan djuga dibinasakan oleh peradjurit Liau diluar kota Lamkhia ini, lantas bagaimana aku ...
Selagi bingung dan entah tindakan apa jang harus diambilnja. Sekonjong2 ditengah pasukan Liau itu terdengar suara gembreng jang njaring dan ditabuh setjara menitir. Njata itulah tanda menarik mundurnja pasukan.
Begitu mendengar suara titir gembreng itu, seketika pasukan Liau jang sedang menerdjang kedepan itu serentak membalik haluan, kuda mereka berputar, barisan belakang lantas berubah mendjadi barisan muka dan beramai2 mundur ke utara dan selatan, dari arah mana mereka datang tadi.
Siau Hong mendjadi ter-heran2 dan tidak mengerti apa jang sudah terdjadi. Walaupun pasukan Liau sudah mundur, tapi dilihatnja djauh dibelakang pasukan Liau sana debu mengepul tinggi disertai suara teriakan riuh ramai, rupanja bagian belakang pasukan Liau itu telah digempur oleh pasukan jang lain pula.
Keruan Siau Hong tambah heran: Mengapa dibelakang pasukan Liau ada pasukan pihak lain lagi, djangan2 terdjadi pemberontakan pula" Dan siapakah jang memberontak" Dari muka dan belakang Hongsiang digentjet musuh, tentu keadaannja sangat tidak menguntungkan.
Begitulah djiwa kesatria Siau Hong, baru sadja dia terhindar dari kepungan pasukan Liau, sekarang dia sudah lantas menguatirkan keselamatannja Yalu Hung-ki.
Melihat pasukan Liau mendadak ditarik kembali, segera para anggota Kay-pang ber-teriak2, tapi karena tiada perintahnja Siau Hong mereka tidak berani sembarangan mengedjar dan membunuh musuh.
Waktu Siau Hong melompat dan berdiri diatas kudanja untuk memandang djauh kebagian belakang pasukan Liau, dilihatnja disana banjak berkibar pandji2 warna putih, diudarapun terdjadi hudjan panah dan peradjurit Liau banjak jang terdjungkal djatuh dari kudanja. Achirnja sadarlah Siau Hong: Ah, kiranja adalah kawan2-ku dari suku Nuchen jang telah tiba. Entah dari mana mereka.
Ilmu memanah pemburu2 Nuchen itu sungguh sangat lihay, merekapun sangat gagah dan tangkas dimedan perang. Setiap seratus orang mereka terbagi mendjadi satu pasukan ketjil, dengan menunggang kuda mereka ber-teriak2
terus menerdjang ketengahKarena diterdjang setjara mendadak, seketika barisan peradjurit Liau mendjadi katjau balau. Pula suku Nuchen itu memang tangkas dan gagah berani, panglima Liau dapat melihat gelagat, ia kuatir digentjet pula oleh pasukan jang dipimpin Siau Hong, maka tjepat2 ia memberi tanda menarik mundur pasukannja.
Hoan Hwa berpangkat Suma atau menteri urusan perang, maka dia mahir ilmu kemiliteran. Ia melihat ada kesempatan bagus, segera katanja kepada Siau Hong: Siau-tayong, lekas kita serbu sadja, inilah saat jang paling bagus untuk menghantjurkan musuh.
Tapi Siau Hong hanja menggeleng kepala sadja.
Djarak dari sini ke Gan-bun-koan terlalu djauh, kalau kesempatan bagus ini tidak kita gunakan untuk menghantjurkan pasukan Liau, kelak tentu akan membahajakan malah, demikian kata Hoan Hwa pula. Apalagi djumlah musuh terlalu banjak dan djumlah kita sedikit, kita belum tentu dapat mengundurkan diri dengan aman dan selamat.
Namun Siau Hong tetap menggeleng kepala.
Sungguh Hoan Hwa tidak habis mengerti. Pikirnja: Siau-tayong tidak mau menjerang dan membunuh musuh, djangan2 dia masih berharap kelak akan dapat memperbaiki hubungan dengan radja Liau"
Dalam pada itu terlihat orang2 Nuchen dalam kelompok2 ketjil dengan telandjang setengah badan, ada jang bermantelkan kulit binatang, masih terus menerdjang musuh sambil menghudjani panah sehingga musuh kalang kabut. Ada lebih seribu orang peradjurit Liau jang tidak sempat masuk seluruhnja kedalam kota, semuanja telah dipanah mati dibawah benteng kota.
Pemburu2 Nuchen itu kalau habis membunuh musuh segera buah kepala sang korban dipenggal olehnja dan digantung disabuknja. Maka diantara orang2
Nuchen itu ada jang membawa puluhan buah kepala jang penuh tergantung dipinggangnja.
Para kesatria sudah banjak berpengalaman dalam pertarungan sengit, tapi pembunuhan setjara kedjam dan biadab seperti orang2 Nuchen ini baru pertama kali ini dilihatnja. Keruan mereka terkesiap.
Tiba2 diantara pemburu2 Nuchen itu muntjul seorang lelaki tinggi besar sambil ber-teriak2: Siau-toako, Siau-toako, Wanyan Akut telah datang membantu engkau berkelahi dengan orang Tjidan!
Kiranja dia adalah saudara angkat Siau Hong ketika bertemu dipegunungan Tiang-pek-san dahulu, jaitu Wanyan Akut dari suku Nuchen.
Sungguh girang Siau Hong tak terkatakan, tjepat ia memapak madju, kedua orang lantas saling rangkul dan berdjabat tangan dengan terharu.
Siau-toako, dahulu engkau telah pergi tanpa pamit, sungguh aku sangat kuatir dan rindu sekali, demikian kata Akut. Kemudian dari penjelidik dapat diketahui bahwa engkau telah mendjadi pembesar dinegeri Liau, hal inipun tidak mendjadi soal. Tjuma orang Liau itu sangat litjin, kukira kedudukanmu mungkin tak bisa tahan lama. Benar djuga, kemarin dulu penjelidik memberi laporan pula, katanja engkau telah dikurung oleh radja Liau keparat itu sebagai binatang, sungguh kami merasa sangat kuatir dan lekas2 memburu kemari. Sjukurlah Siau-toako ternjata baik2 sadja, kami merasa girang sekali
Bukit Pemakan Manusia 2 Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Kisah Pedang Bersatu Padu 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama