Ceritasilat Novel Online

Bende Mataram 18

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 18


Sangaji terperanjat. Cepat-cepat ia membungkuk sambil berkata takzim, "Meskipun aku seumpama berhati sebesar gunung, takkan berani mencoba-coba melawan kesaktian Tuan."
"Hm... layanilah aku!" sahut Adipati Surengpati dengan tertawa dingin. "Seranglah aku dengan ilmu sakti Gagak Seta. Aku akan tetap berdiri di tempatku tanpa bergerak. Asal aku mengelak atau menangkis, hitunglah aku kalah melawan engkau..."
"Aku tak berani," kata Sangaji dengan sung-guh-sungguh.
"Meskipun tak berani, kau tetap wajib melayani aku."
SANGAJI jadi serba salah. Pikirnya, ayah Titisari ini begini keras hatinya. Wataknya mau menang sendiri. Nampaknya dia takkan melepaskan aku, sebelum aku melayani kehendaknya.
Biarlah kulawannya. Rupanya dia hendak menghisap tenagaku, kemudian dilontarkan kembali.
Dengan demikian aku akan roboh oleh tenaga lontaran kembali. Biarlah aku roboh beberapa kali.
Apa artinya demi Titisari?"
"Mengapa melamun?" bentak Adipati Surengpati. "Seranglah aku! Kalau kau menolak, aku akan menghajarmu! Mengerti?"
Sebentar Sangaji terhenyak. Kemudian tim-bullah watak jantannya. Lantas menyahut, "Baiklah!
Karena Tuan memberi perintah padaku agar melawan, terpaksa aku tak berani membantah.
Setelah berkata demikian, cepat ia melingkarkan tangan. Itulah suatu jurus gempuran ilmu sakti Kumayan Jati yang pertama. Tetapi ia hanya menggunakan tenaga himpun enam bagian, karena khawatir akan melukai ayah Titisari. Kecuali itu andaikata tenaga lontarannya dikembalikan, robohnya takkan begitu keras, la menyerang ke arah dada Adipati Surengpati seperti batu
berlumut. Gempuran itu lewat begitu saja seperti tergelincir.
"Hai, anak muda! Kau kira, aku ini siapa sampai engkau berani merendahkan diriku?" tegur Adipati Surengpati dengan mata berapi. "Apa engkau menggempur dengan tenaga setengah-setengah" Apakah kau kira aku takkan tahan menerima gempuranmu?"
Sangaji terkejut. Gugup ia menjawab, "Tak berani aku menggunakan semua tenagaku terhadap Tuan."
"Hm, dengan Adipati Surengpati, jangan engkau membiasakan diri bermain-main dengan
seorang dari tingkatan tua."
Mendengar teguran itu, Sangaji jadi serba salah. Maka tanpa ragu-ragu kini dia menghimpun seluruh tenaga dengan tata-napas ilmu sakti Kumayan Jati. la berputar lantas melepaskan
serangan. Tangan kirinya mengancam dengan dibarengi tangan kanannya menyerang perut.
"Bagus! Inilah baru pukulan yang berarti," puji Adipati Surengpati tersenyum.
Sangaji kaget bukan main. Serangan hebat tak kepalang. Meskipun belum sehebat Gagak Seta, tetapi rasanya bisa mematahkan dahan pohon gundul bayi. Tapi begitu serangannya tiba,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mendadak saja ia kena sedot. Sedotan itu keras bukan main, sehingga lengannya terasa hampir terlepas dari pundak, la kesakitan, sampai tak terasa terloncatlah perkataannya, "Ampun atas kekurangajaranku ini..."
Tetapi tangannya tetap teringkus, sedang tenaganya lenyap entah ke mana perginya.
Wirapati dan Bagus Kempong heran menyaksikan peristiwa itu. Mereka kaget tatkala Sangaji melepaskan gempuran dahsyat. Kemudian heran dan berkhawatir menyaksikan lengan Sangaji
tiba-tiba terkulai. Sedetik mereka berpikir, benar-benar hebat Adipati Surengpati. Tanpa berkelit atau menangkis, ia sanggup membuat lengan Sangaji mati kutu...
Terdengar Adipati Surengpati membentak, "Kau pun harus merasakan tanganku, agar kau lebih bisa menilai tinggi rendahnya ilmu Karimun Jawa. Nah, bagaimana menurut hematmu. Manakah yang lebih tinggi nilainya antara ilmu sakti Gagak Seta dan ilmu Karimun Jawa?"
Belum lagi Sangaji membuka mulut, sekonyong-konyong berdesirlah angin tajam. Sangaji memejamkan mata menahan sakit. Cepat-cepat ia menjejak tanah hendak mengelak. Di luar
dugaan, tinju Adipati Surengpati telah tiba dengan didahului mengait kaki. Tanpa ampun lagi, Sangaji roboh terguling. Titisari terperanjat, lantas memekik seru. "Ayah! Jangan sakiti dia!"
Setelah berkata demikian, gadis itu langsung menubruk ke arah tubuh Sangaji dan mendekap di atasnya. Maksudnya hendak menghalang-halangi serangan balasan ayahnya.
Tetapi Adipati Surengpati menyerang. Melihat anaknya melindungi tubuh Sangaji, tinjunya
diubah menjadi satu cengkeraman. Sebat luar biasa, ia mencengkeram kemeja Sangaji. Kemudian pemuda itu diangkat tinggi. Tangan kirinya terus membuat suatu lingkaran kecil hendak menusuk tulang rusuk. Melihat gerakan lingkaran tangan kiri itu,
Wirapati dan Bagus Kempong terkejut. Mereka tahu, bahwa gerakan itu adalah suatu serangan maut. Maka mereka maju dengan berbareng hendak menolong Sangaji. Wirapati berada di depan.
Dengan sebat ia menyabetkan pedang dibarengi dengan pegasan pedang Bagus Kempong yang
menyerang pula dari samping.
Adipati Surengpati ternyata tiada memedulikan serangan pedang mereka berdua. Dengan
tenang ia menyibakkan gadisnya. Tangan kirinya terus bergerak melingkar kalung. Tatkala kedua pedang murid Kyai Kasan Kesambi tiba mendadak saja patah menjadi empat potong. Peristiwa ini membuktikan, bahwa Adipati Surengpati sesungguhnya kebal dari senjata tajam.
Titisari lantas saja menangis. Teriaknya, "Ayah, bunuhlah dia! Tetapi untuk selamanya, tak mau aku bertemu denganmu..." Setelah berkata demikian, tanpa menoleh lagi, ia terus melesat melarikan diri.
Melihat laku anaknya, Adipati Surengsari terkejut berbareng gusar, la kenal akan kekerasan hati anaknya yang tak beda dengan kekerasan hatinya. Sekali berkata dia melakukan tanpa
pertimbangan lagi. Cepat ia mengurungkan niatnya hendak mendaratkan serangan maut terhadap Sangaji. Kemudian melesat hendak mengejar puterinya. Ternyata Titisari tiada lagi nampak batang hidungnya. Maka ia berdiri terhenyak di tepi lapangan dengan pandang terlongoh-longoh. Sejenak kemudian, barulah dia menoleh. Waktu itu, ia melihat Wirapati dan Bagus Kempong lagi menolong Sangaji berdiri. Ternyata lengan Sangaji nyaris patah, maka dengan gugup mereka berdua
memijat-mijat melancarkan jalan darahnya dan lintang urat-uratnya. Melihat kesibukan mereka, mendadak saja timbulah amarah Adipati Surengpati. Kepergian Titisari lantas saja ditumpahkan kepada kedua murid Kyai Kasan Kesambi itu. Dengan sekali melesat ia menghampiri mereka
berdua sambil berkata nyaring.
"Kamu berdua, lekaslah bunuh diri! Dengan begitu tak usah aku membinasakan kamu dengan tanganku sendiri. Kalau kamu menolak, aku bakal menyakitimu..."
Wirapati dan Bagus Kempong adalah murid Kyai Kasan Kesambi. Selama menjadi murid,
mereka dididik memiliki budi-pekerti luhur. Keselamatan diri, diabaikan demi cita-cita membela keluhuran. Kalau tidak, masakan Wirapati sampai berani mengorbankan diri selama dua belas tahun semata-mata membela nama perguruannya. Maka oleh ancaman
Adipati Surengpati, serentak timbulah watak kejantanan dan ksatriaannya. Mereka terus saja berdiri sejajar dengan pandang mata tak berkedip.
"Seorang laki-laki, berapa takut akan derita," bentak Wirapati. "Cobalah!" Dan Bagus Kempong menyambung pula. "Kau bersakit hati, karena harga dirimu kena terhina bocah kemarin sore. Kini,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
engkau hendak merendahkan nama perguruan dan guru kami Kyai Kasan Kesambi, apakah itu
suatu laku bijaksana?"
Sangaji jadi tegang. Ia sadar bahwa mereka berdua takkan mampu melawan Adipati
Surengpati. Sama sekali tak diinginkan, bahwa mereka berdua akan membuang nyawa dengan
sia-sia semata-mata karena perkaranya. Maka lantas saja ia melompat menyanggah dan berdiri dengan gagah di depan mereka sambil berkata tegas kepada Adipati Surengpati.
"Abas Pringga Aguna, aku seorang diri yang membinasakan. Kesetiaannya tiada sangkut pautnya dengan guruku dan pamanku. Aku sendiri yang akan mengganti nyawanya." Ia tahu kalau watak gurunya adalah penuh keperwiraan. Maka ia menambah lagi, "Tetapi... perkenankan aku memohon waktu. Aku datang ke mari hendak menuntut balas almarhum ayahku yang dibunuh
orang dengan semena-mena. Berilah aku tempo satu bulan! Setelah itu, aku berjanji hendak menemui Tuan ke Karimun Jawa. Di sana aku menerima titah Tuan."
Kusut gelombang pikiran Adipati Surengpati. Karena terganggu ketentraman hatinya oleh
kepergian gadisnya, ia terus saja mengumbar amarahnya. Teringat pula, bahwa gadisnya minggat lagi karena membela pemuda itu, maka tanpa disadari gelombang marahnya lantas jadi mereda.
Tanpa melepaskan sepatah kata pun ia memutar tubuhnya dan terus menghilang mengejar
gadisnya. Wirapati dan Bagus Kempong heran, mengapa kata-kata Sangaji bisa menaklukkan pendekar
sakti yang terkenal beradat kukuh dan keras hati itu. Mereka bercuriga. Pandangnya lantas saja ditebarkan. Siapa tahu, Adipati Surengpati lagi melakukan suatu jebakan. Tetapi ternyata pendekar sakti itu benar-benar meninggalkan gelanggang.
Mendadak saja, terdengarlah Pringgasakti tertawa mendongak ke angkasa. Semua berputar
mengarah kepadanya. Iblis itu menjejak tanah dan kemudian terus berjumpalitan di udara.
Setelah mendarat, ia lenyap pula di balik belukar. Kini tinggal para pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Sanjaya terus berteriak keras, "Guru! Bawalah aku!" Tetapi iblis Pringgasakti tiada menghiraukan muridnya itu lagi. Sekitar lapangan seolah-olah jadi hening tiada suara. Teranglah sudah, bahwa iblis yang pernah menggemparkan sejarah lebih dari setengah abad lamanya itu, kini benar-benar jadi bangkrut. Setengah abad yang lalu, dia pernah bertanding melawan Kyai Kasan Kesambi selama tujuh hari tujuh malam. Taraf kesaktian Kyai Kasan Kesambi belum
mencapai tingkatan sekarang, tetapi peristiwa itu benar-benar menggemparkan sejarah.
Mendadak pada hari itu dia rontok berantakan oleh cucu murid Kyai Kasan Kesambi. Inilah suatu peristiwa aib yang mencoreng mukanya sangat mendalam. Karena itu, bagaimana dia bisa
menanggung malu demikian besar. Maka dia menghilang dengan begitu saja, tanpa memedulikan seruan muridnya.
19 PUKULAN BESI TULANG MENYAKSIKAN kepergian Pringgasakti, Sanjaya berdiri tegak dengan hati ciut, bagaimana
tidak" Kini dia tak mempunyai andalan lagi untuk menghadapi Wirapati, Bagus Kempong dan
Sangaji. Yuyu Rumpung yang dijagoi terenggut tenaganya oleh pukulan sakti Sangaji. Dia sendiri, sudah kehilangan tenaga himpun ilmu sakti Karimun Jawa. Kini tinggal empat orang pembantunya yang belum boleh diandalkan. Yakni Abdulrasim, Sawung-rana, Manyarsewu dan Cocak Hijau.
Meskipun Wirapati dan Bagus Kempong telah kehilangan senjata, tetapi pukulan sakti Sangaji tak boleh dipandang ringan. Pringgasakti sendiri tak dapat melawannya. Memperoleh pikiran demikian, mau tak mau ia harus memaksa diri menelan kenyataan pahit. Maka dengan kepa-la
menunduk ia berjalan melintasi lapangan menghampiri kudanya. Ternyata kelima pendekar
undangan ayahnya, pandai juga melihat gelagat. Merasa tak ungkulan melawan pihak Wirapati, mereka cepat meninggalkan lapangan tanpa memedulikan kehormatan diri.
"Aji!" kata Wirapati setelah mereka mening-galkan lapangan. "Sungguh berbahaya! Adik-angkatmu terdidik di tengah-tengah keluarga agung. Kau bisa memaafkan, itulah baik. Tetapi untuk selanjutnya, engkau harus berhati-hati menghadapinya."
Sangaji menoleh. Belum dapat ia menangkap maksud gurunya. Karena itu, pandangnya tak
beralih. Wirapati tersenyum. Berkata, "Apakah kau kira sudah selesai persoalan kita pagi ini" Hm, mereka seumpama angin laut, sebentar pergi sebentar datang pula dengan tak ter-duga-duga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Apakah kau kira adik-angkatmu bekerja untuk kepentingan diri" Hm, bagai-mana dia bisa
menguasai pendekar-pendekar sakti begitu banyak. Aku yakin bahwa di belakang punggungnya ada yang mengendalikan. Karena itu, seumpama dia sadar akan kekeliruannya, tidaklah gampang-gampang dia membebaskan diri dari orang yang me-ngendalikan."
Sangaji mengerenyitkan dahi. Masih saja dia belum bisa mengerti. Wirapati yang mengenal
kesederhanaan otaknya, lantas saja mene-rangkan dengan sabar,
"Baiklah kuberi tahu, bahwa adik angkatmu itu dipelihara oleh musuh besarmu."
"Siapa?" "Siapa lagi kalau bukan Pangeran Bumi Gede?"
Mendengar gurunya menyebutkan nama Pangeran Bumi Gede, pemuda itu terperanjat.
Bukankah dia yang membunuh ayahnya" Teringat akan nasib ayahnya, tanpa disadari sendiri
seluruh tubuhnya menggigil.
"Akan kucari dia! Akan kutuntut kekejamannya membunuh Ayah!" Sangaji meledak. "Tetapi apa hubungannya dengan pusaka warisan Paman Wayan Suage?"
"Ah bocah, dengarkan. Kematian ayahmu dahulu disebabkan pula karena memiliki pusaka Pangeran Semono," sahut Wirapati cepat.
Pendekar Bagus Kempong yang semenjak tadi berdiam diri, tertarik perhatiannya oleh
pembicaraan itu. Serentak dia minta keterangan, "Adikku Wirapati. Kau membicarakan perkara pusaka Pangeran Semono. Apakah yang pernah dikabarkan oleh guru kita sebagai warta
takhayul?" Wirapati tertawa perlahan. Dengan meng-genggam tangan kakak seperguruannya erat-erat, ia membawa berteduh di tepi lapangan.
"Biarlah kuterangkan, apa sebab kakak menjumpai aku sedang bertempur melawan kerubutan mereka."
Kemudian berceritalah dia tentang pengala-mannya dua belas tahun yang lalu, tentang
peristiwa perebutan pusaka sakti Pangeran Semono sampai kembalinya ke daerah Jawa Tengah.
Setelah berpisah dengan Sangaji di batas kota Pekalongan, segera ia berangkat dengan Nuraini ke Desa Karangtinalang. Dua hari lamanya ia menunggu kedatangan Sa-ngaji. Karena iseng, diam-diam berangkatlah dia menjejak pengalamannya dahulu tatkala bertempur melawan orang-orang Banyumas di tepi sebuah petak hutan sebelah tenggara Desa Karangtinalang. la mencoba
mengingat-ingat tempat Wayan Suage dahulu disembunyikan di dalam semak belukar untuk
menghindari orang-orang dari Banyumas. Tetapi tempat itu susah ditemukan lagi. Maklumlah, semuanya sudah berubah. Waktu itu hutan terbakar. Mestinya semak belukar itu pun ikut terbakar pula. Memperoleh kenyataan demikian, segera ia mencari sungai yang berlumpur.
Dahulu dia menceburkan diri ke dalam su-ngai berlumpur itu agar dapat bebas dari ancaman api. Ternyata sungai itu tak berubah. Hanya saja untuk menduga-duga di mana Wayan Suage
menyembunyikan benda pusaka Pangeran Semono adalah sulit sekali. Timbul pulalah dugaannya, bahwa tiada mus-tahil Wayan Suage menyembunyikan benda tersebut ke tempat lain.
Waktu pulang ke pondok pada sore harinya, mendadak saja Desa Karangtinalang penuh
dengan laskar Pangeran Bumi Gede. la men-coba mencari Nuraini. Ternyata Nuraini berpindah tempat juga. Akhirnya ia memutuskan untuk menunggu kedatangan Sangaji di tempat lain. la yakin, bahwa kedatangan laskar Pangeran Bumi Gede pasti mengenai benda warisan Wayan
Suage. Karena itu, ia lebih tekun menebak-nebak di manakah kiranya benda tersebut
disembunyikan Wayan Suage. Tetapi usahanya gagal. Tatkala pada hari itu dia mencoba
menjenguk tepi sungai, para pendekar undangan Pangeran Bumi Gede yang diperintahkan
menjaga petak lembah sungai memergoki. Dan terjadilah suatu pertempuran berat sebelah.
Untung, kakak seperguruannya kala itu kebetulan lewat di daerah itu, sehingga ia memperoleh bantuan.
"Dua belas tahun kita berpisah ternyata kakak banyak berubah," kata Wirapati sambil mengamat-amati Bagus Kempong. Tadi karena terlibat dalam suatu pertempuran, ia tak sempat memperhatikan kakak-seperguruan-nya dengan saksama.
"Apakah yang berubah?" sahut Bagus Kempong.
"Rambut pelipismu sudah memutih. Jidat-mu bertambah pula dengan beberapa guratan.
Pastilah selama ini, kakak cukup sibuk dalam suatu darma perguruan kita. Hm, aku berun-tung
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bisa hidup kembali dari suatu pengem-baraan dan kini dapat berjumpa kembali dengan kakak...
sungguh-sungguh aku..."
"Wirapati, adikku," Bagus Kempong terharu mendengar luapan ucapan Wirapati yang terbesit dari lubuk hatinya. "Memang kami semua berprihatin memikirkan engkau yang tiada kabar beritanya. Kami semua diperin-tahkan turun gunung untuk mencari beritamu. Tetapi engkau
seperti terselimuti bumi, lenyap tiada bekas."
Mereka lantas saja berpelukan erat. Dan Sangaji jadi perasa. Pikir anak muda itu, "Dua belas tahun guru mengembara hanya untukku, dengan meninggalkan semua yang dicintai. Alangkah
besar budinya terhadapku. Budi besar setinggi gunung itu, entah bagaimana caraku membalas..."
Tak terasa, air mata anak muda mengembeng pada gundu matanya. Mendadak saja, Wirapati
berkata kepadanya. "Kau mengerti sekarang, bahwa api ben-cana itu dinyalakan oleh Pangeran Bumi Gede. Dialah yang menghancurkan kebahagiaan rumah tangga orangtuamu. Dialah yang membunuh
orangtuamu dan akhirnya mencelakakan pamanmu, Wayan Suage. Dan dia pulalah yang
menaruhkan jurang dalam antara engkau dan adik angkatmu. Itulah sebabnya kukatakan, bahwa engkau harus bersikap hati-hati terhadap adik-angkatmu. Karena dia dididik dalam keluarga agung, yang terang-terang menjadi musuh keluargamu."
Sekarang barulah jelas bagi Sangaji maksud gurunya memperingatkan sikapnya terhadap
Sanjaya. Mengingat persahabatan orang tuanya, memang dia harus bisa bersikap memaafkan dan lapang dada. Tetapi apakah Sanjaya memiliki pandangan dan sikap hidup demikian, hanyalah setan dan malaikat-malaikat yang tahu.
"Guru," akhirnya dia berkata dengan hati-nya. "Apakah faedahnya memperebutkan suatu pusaka yang bukan hakku" Pusaka Pangeran Semono itu entah kelak jatuh kepa-da siapa, apa peduliku?"
Mendengar ujar muridnya, Wirapati tertawa perlahan melalui dada. Teringatlah ia, bahwa
dahulu ia pernah mengucapkan kata-kata itu terhadap Wayan Suage dan Ki Hajar Karang-pandan.
Tak terduganya bahwa muridnya kini mewarisi sikapnya yang perwira dan bersih sehingga mau tak mau ia jadi terharu juga.
"Aji!" katanya menggurui, "Tak malu rasa-nya aku mempersembahkan terhadap guru sebagai cucu-muridnya. Hanya saja, meng-ingat benda pusaka itu telah merenggutkan nyawa orangtuamu dan pamanmu, alangkah akan sia-sia apabila engkau bersikap dingin tak memedulikan. Lantas apakah arti korban ayah dan pamanmu" Ingatlah, bahwa almar-hum pamanmu mempercayakan
benda ke-ramat tersebut kepadamu. Di alam baka be-tapa dia memperoleh ketenteraman, apabila engkau mensia-siakan pesannya terakhir." Ia berhenti mencari kesan. Meneruskan, "Tentang siapa yang berhak memiliki pusaka tersebut, baiklah kita serahkan kepada kakek-gurumu. Biarlah Beliau yang menentukan. Keputusan kakek gurumu tak pernah salah."
"Adikku Wirapati!" tiba-tiba Bagus Kempong menyahut.
"Benar-benar aku merasa keripuhan men-dengar semua ujarmu. Engkau berbicara perkara pusaka Pangeran Semono, pembi-nasaan orang-orang Banyumas dan kepen-tingan muridmu
memperebutkan benda ter-sebut. Eh, apakah pusaka itu benar-benar ada dalam percaturan hidup ini?"
Wirapati menoleh perlahan-lahan kepada kakak seperguruannya. Memang dahulu gu-runya
pernah mengabarkan adanya benda keramat itu. Tetapi sebagai benda keramat yang benar-benar ada, betapa kakak sepergu-ruannya akan dapat dibuat mengerti serta yakin" Karena itu dia berkata menegaskan, "Dua belas tahun lamanya aku pergi tanpa berpamit Guru, meskipun bukan perkara benda keramat tersebut, tetapi itulah yang menyebabkan. Apakah hal itu belum
meyakinkan Kakak?" "Hm, melihat engkau begini sungguh-sung-guh, mestinya aku harus percaya. Tetapi apakah kata guru nanti setelah mendengar kisah pengembaraanmu, inilah yang sulit untuk meyakinkan."
"Ya, aku tahu dan justru aku akan mengabarkan kepada Beliau. Apa kabar guru kita?"
"Ehm..." sahut Bagus Kempong. Kemudian lama ia tak membuka mulut. Dan Wirapati jadi cemas. Dengan pandang tak berkedip ia mengawasi kakak-seperguruannya. Hatinya sibuk
menduga-duga. Maklumlah, dua belas tahun yang lalu gurunya sudah berusia 70 tahun lebih. Ia khawatir, kakak seperguruan-nya akan mengabarkan bahwa gurunya sudah meninggal dunia.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Beberapa saat kemudian, Bagus Kempong berkata, "Guru masih sehat wal-afiat. Bahkan
tubuhnya nampak kian segar bugar. Hanya saja, Beliau sudah meninggalkan urusan du-nia.
Sehingga kukhawatirkan bahwa kisah pengembaraanmu tiada didengarkan. Bukan-kah hal itu
akan membuatmu kecewa" Masa perjuangan selama 12 tahun, bukanlah mu-rah."
Mendengar jawaban Bagus Kempong, hati Wirapati lega seperti seseorang memperoleh seteguk air dalam saat-saat dahaga kering. Lantas saja menyahut, "Meskipun seumpama Guru tiada mendengarkan sepatah kataku, apa peduliku" Aku bisa hidup dengan selamat dan bisa bertemu kembali dengan Guru, bukankah suatu karunia yang mahal dibeli?"
Mata Wirapati lantas saja jadi berseri-seri penuh syukur. Tetapi Bagus Kempong nampak
menundukkan kepala, sehingga mau tak mau ia sibuk lagi menebak-nebak.
"Adik Wirapati! Bahwasanya engkau mengi-ra, aku bertambah putih rambutku karena
kesibukan bekerja adalah benar belaka. Ketahuilah setelah engkau pergi tiada kabar berita"
perguruan kita sering didatangi orang-orang sakti hendak menuntut dendam!"
"Mengapa?" Wirapati terkejut.
"Dua belas tahun yang lalu, di lembah su-ngai ini kedapatan delapan orang lebih tewas bekas teraniaya. Orang-orang mengabarkan, bahwa mereka pernah melihat dirimu berada di antara
hutan yang terbakar. Meskipun kami"saudara-saudara seperguruan"sama sekali tiada percaya, bahwa engakaulah yang membinasakan mereka, tetapi tuduhan anak-keluarganya kian lama kian keras. Sekarang-setelah aku mendengarkan keterangan dari mulutmu sendiri bahwa itulah
perbuatan pendekar dari Karangpandan, aku bertambah yakin akan kebersihan dirimu."
"Ih!" Wirapati terperanjat sampai berjing-krak. Tak kukira bahwa sepeninggalku, pergu-ruan justru kena noda begini jahat. Lantas siapakah mereka yang berkurang-ajar menda-tangi
perguruan" Pikir Wirapati dalam hati.
Bagus Kempong tertawa mendongak. Menjawab, "siapa yang datang, apa perlu kau-ributkan"
Perkaramu adalah perkara kita bersama. Kalau sekarang aku melihat engkau datang dengan
kebersihan hati, sudahlah suatu tebusan yang mahal harganya. Dan legakan hatimu, bahwa
saudara-saudaramu tetap berkukuh, bahwa tuduhan itu tiada beralasan."
Mendengar kata-kata Bagus Kempong, Wirapati jadi terdiam. Dan Sangaji jadi bertambah
perasa. Anak muda itu lantas saja berpikir lagi, ternyata Guru tidak hanya mempersembahkan keperwiraannya belaka untukku, tetapi benar-benar telah mengorbankan kehormatan
perguruannya juga. Siapa mengira, bahwa kepergiannya membawa pula suatu malapetaka sendiri.
Memperoleh pikiran demikian, ia merasa lebih kecil. Sebentar tadi ia resah memikirkan kepergian Titisari. Maklumlah, ia kenal perangai dan watak Titisari yang manja dan agak liar. Dadanya penuh dengan api. Apa yang dikatakan harus saja dilakukan tanpa pertimbangan. Kini, entah ke mana perginya hanya setan-setan belaka yang tahu. Dan apabila dibandingkan dengan kisah
pengembaraan gurunya, alangkah sekerdil biji asam. Diam-diam ia merasa malu sendiri. Lantas saja terdengarlah suara gurunya Jaga Saradenta yang galak dahulu. "...Ih! Kau laki-laki, bukan perempuan. Seorang laki-laki masakan takut mati segala!"
Mendadak saja, Wirapati berkata kepada-nya, "Aji! Marilah cepat-cepat mendaki Gunung Damar. Pertama-tama, ingin aku memperkenalkan engkau kepada guruku. Kedua, ingin benar aku melihat kesehatan beliau. Tentang sahabatmu Titisari, perlahan-lahan bisa kita urus. Aku percaya, meskipun perangai Adipati Surengpati bukan seperti manusia lumrah, tetapi pasti tidak akan menyakiti puterinya. Kulihat tadi, dia terlalu menyayangi."
Mendengar ujar gurunya, Sangaji gugup. Karena waktu itu, justru dia lagi memperban-dingkan persoalannya dengan kebesaran jiwa gurunya.
"Guru, perkara Titisari tak usahlah Guru ikut memikirkan. Dia sudah pulang ke rumahnya.
Hatiku senang dan bersyukur. Yang penting sekarang aku harus ikut Guru ke mana Guru pergi,"
kata Sangaji dengan terbata-bata.
Wirapati puas mendengar ucapan muridnya. Segera ia memberi isyarat kepada Bagus
Kempong, untuk meneruskan perjalanan. Waktu itu, matahari telah condong ke barat. Angin senja sudah mulai meraba tubuh.
Mereka berjalan mengarah ke timur menyekat punggung pegunungan. Kiranya sifat Bagus
Kempong nampak keras di luartapi nampak panas di dalam. Di antara murid Kyai Kasan Kesambi, dialah yang jarang benar bergurau. Wirapati dan Suryaningrat dahulu agak segan kepadanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bahkan agak ketakut-takutan. Lebih takut menghadapinya daripada kakak perguruannya yang
tertua, Gagak Handaka dan Ranggajaya. Padahal hubungan kekadangan mereka sangat erat
melebihi saudara sekandung. Tatkala Wirapati menghilang dengan tiba-tiba, diam-diam Bagus Kempong berduka tak terkatakan. Hanya lahirnya saja ia berlaku tenang seperti tiada terjadi sesuatu. Ia minta izin gurunya hendak menyelidiki daerah lembah Sungai Jali yang dikhabarkan orang-orang pernah melihat adik-seperguruannya itu. Selama dua belas tahun, terus-menerus ia menghisap berita dengan tak mengenal bosan. Mendadak saja, pada hari itu ia bertemu dengan tak terduga-duga. Hatinya girang bukan kepalang, namun masih saja ia menyembunyikan
perasaan. Rasa girangnya tak dibiarkan meluap-luap. Sekali-kali ditutupi dengan kata-kata keras dan berwibawa. Dengan kata-kata kering dia berkata, "Wilayah lembah Sungai Jali, ternyata luas juga. Dua belas tahun aku mencoba menjejakmu. Hm ..."
Wirapati yang kenal akan pribadinya, segera mengetahui bahwa di balik kata-katanya yang
kering sederhana itu bersembunyi suatu luapan doa terima-kasih kepada Tuhan, maka dia jadi terharu.
"Kangmas Bagus Kempong! Apakah benar sanak-keluarga orang-orang Banyumas yang
dibinasakan Ki Hajar Karangpandan mencari balas kepada perguruan kita" Peristiwa ini benarbenar membuat hatiku tiada enak sekali."
"Apa sebenarnya yang terjadi dalam pertempuran itu?" potong Bagus Kempong.
Kembali Wirapati menceritakan pengala-mannya sewaktu dia melindungi Wayan Suage dari
buruan orang-orang Banyumas yang menginginkan pusaka Pangeran Semono dan cara Ki Hajar
Karangpandan membinasakan mereka. Dia sendiri segera meninggalkan Wayan Suage sewaktu
hutan terbakar. Dengan demikian tiada berhasil pula menyelamatkan pusaka keramat Pangeran Semono.
Setelah mendengar penjelasan itu, Bagus Kempong minta keterangan pula tentang ben-tuk
pusaka keramat Pangeran Semono, yang dahulu dikabarkan gurunya hanya sebagai dongeng
belaka. Setelah Wirapati dapat me-nerangkan dengan jelas, diam-diam ia mulai merenungkan.
Akhirnya berkata dengan me-lepaskan endapan napas.
"Ih, kiranya begitu. Apabila kami sudah mengetahui kejadiannya sejelas ini, pastilah saudara-saudaramu bisa menentukan sikap tegas. Dan Guru tak usah pula menyekap diri dalam bilik
persemedian untuk mencari kebeningan dalam suatu kekeruhan kedunia-wian. Hm, tapi
seumpama engkau tiada pulang, pasti persoalan ini akan mengganjel pada saudara-saudara
seperguruanmu sepan-jang zaman."
"Ki Hajar Karangpandan sebenarnya bukanlah manusia jahat, biadab atau seorang yang ingkar kepada sendi-sendi ksatrian. Bahkan dia seorang ksatria sejati yang menganggap ringan nyawanya sendiri demi suatu hal yang diakui sebagai darma," kata Wirapati.
Kemudian ia menerangkan, betapa Ki Hajar Karangpandan berjuang merebut kesejahte-raan
keluarga Made Tantre dan Wayan Suage hanya untuk suatu perkenalan dalam masa tak lebih dari satu jam belaka. Dan mendengar ujar Wirapati ini. Bagus Kempong mengangguk-angguk dengan hatinya. Katanya dalam hati, hebat pendeta itu! Dan kalau Wirapati bisa mengimbangi kebesaran jiwanya, bukanlah berarti pula menjunjung nama Guru, nama perguruan dan saudara-saudaranya dengan sekaligus" Lantas berkata memuji, "Baiklah, ternyata kepergianmu selama dua belas tahun tidaklah sia-sia. Siapa mengira, bahwa engkau pergi dengan memikul papan nama perguruanmu.
Hari ini aku mengucapkan terima-kasih. la berhenti mengesankan. Meneruskan. "Cara Ki Hajar Karangpandan membunuh sesama hidup sesungguhnya keji dan ganas. Tetapi dia seorang lakilaki hebat. Tahukah ilmu apa yang digunakan?"
"Mula-mula aku heran mendengar gelora suaranya yang gemuruh."
"Itulah ilmu Guntur Sejuta!" Bagus Kempong menyekat.
"Hanya saja betapa tupai pandai berlompat, sekali-kali akan terjatuh juga. la mengira, su-dah berhasil membinasakan semuanya. Tetapi sesungguhnya masih ada seorang yang sela-mat."
"Siapa dia?" Wirapati heran.
"Salah seorang di antara mereka masih bisa menyenakkan napas. Siapa namanya, tiada
seorangpun dapat mengenalnya. Hanya saja sebelum melepaskan napasnya yang peng-habisan,
dia menyebut-nyebut namamu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ah!" Wirapati terperanjat. Teringatlah dia kepada peristiwa pengepungan dahulu. Mere-ka mengancam dan menggertak. Sebagai murid keempat Kyai Kasan Kesambi bagai-mana bisa
menerima gertakan itu tanpa mem-balas. Tiada mustahil bahwa dia pun mem-perkenalkan nama perguruannya untuk men-jaga kehormatan diri.
"Berita beradu di antara mereka, lantas saja tersebar ke seluruh persada bumi. Tapi kami semua tiada percaya, bahwa engkaulah yang membinasakan mereka begitu keji dan ganas.
Sepanjang pengetahuan kami, Guru belum pernah menurunkan ilmu Guntur Sejuta. Tetapi
bagaimana bisa kami meyakinkan mereka dengan alasan itu," kata Bagus Kempong dengan dahi mengerenyit. "Mereka yang datang kebanyakan terdiri dari orang-orang daerah Banyumas. Namun lambat-laun, orang sakti dari seluruh penjuru pada datang juga. Dari Ungaran, Bagelen, Maospati, Ponorogo, Madura, Surakarta, Kediri dan Banyuwangi. Kejadian inilah yang membuat Guru dan sekalian saudara-seperguruanmu keheran-heranan. Masakan mereka semua adalah sanak-keluarga yang terbinasakan" Dua belas tahun lamanya, hal itu merupakan suatu teka-teki besar.
Dan pada hari inilah baru jelas.
Ternyata di balik kedatangannya bersembu-nyilah sesuatu maksud. Penuntutan balas di-alihkan hanya sebagai dalih belaka. Kiranya mereka,... tahukah engkau apa maksud mere-ka
sesungguhnya?" Wirapati diam menduga-duga.
"Orang-orang Banyumas dahulu menge-pung Wayan Suage perkara pusaka Pangeran Semono,
... Ah! Apakah mereka mengira, aku menggondol pusaka keramat Pangeran Semono."
Dengan melemparkan penglihatan di jauh sana, Bagus Kempong menyahut, "Sekiranya hari ini tak kudengar dari mulutmu tentang adanya pusaka Pangeran Semono, sampai mati pun tiada jelas bagiku."
Wirapati terdiam. Pikirnya, ya, aku pun dahulu berpikir demikian juga. Malah, ingin aku melihat bagaimana sikap Guru apabila aku mengisahkan tentang adanya pusaka keramat itu.
Tengah Wirapati memikirkan tentang orang-orang yang datang berbondongan di perguruannya
dengan berpura-pura mengaku sebagai sanak keluarga orang-orang Banyumas yang dibinasakan Ki Hajar Karangpandan sebagai dalih. Mendadak Bagus Kempong berkata lagi, "Biarlah mereka datang lebih sering lagi, apapeduli kita" Hanya saja, kemudian tahukah engkau siapa lagi yang datang pada hari-hari ini?"
Wirapati melengak ). Tak dapat ia menebak, sehingga terpaksa ia meninggikan alisnya. Dan berkatalah Bagus Kempong, "Gtusan Sri Sultan Hamengku Buwono II."
"Sri Sultan?" Wirapati terperanjat. Sangaji pun yang berjalan di belakangnya ikut terpe-ranjat pula.
8) melengak : tercengang-cengang.
"Meskipun tidak terang-terangan, tetapi utusan Sri Sultan seringkali menjenguk perguruan kita.
Kemudian utusan-utusan Patih Danurejo pula. Seperti kauketahui, ibukota kerajaan kini sedang meruncing. Antara keluarga garwa padmi83) dan para selir seringkali timbul fitnah-fitnah dan bentrokan-bentrokan. Akhir-akhir ini bahkan mulai pula timbul suatu pertempuran terang-terangan antara pihak Patih Danurejo dan Sri Sultan. Dan semenjak itu, Guru lantas saja mengundurkan diri dari persoalan keduniawian. Nampaknya Beliau sangat kecewa lalu menenggelamkan diri dalam sanggar semadi. Beliau hanya muncul sekali satu tahun di hadapan kita."
Mendengar kabar itu, Wirapati jadi bere-nung-renung. Alangkah banyak perubahan yang terjadi selama dia meninggalkan perguruan. Tak terasa terlontarlah perkataannya, "Tak kusangka, bahwa kepergianku tanpa pamit itu membawa suatu akibat demikian besar."
"Ah, semua itu bisa terjadi di atas kemam-puan manusia," sahut Bagus Kempong. "Siapa saja bisa dan pernah mengalami peristiwa-peristiwa yang tak terduga sama sekali."
Wirapati menghela napas dalam.
"Sebenarnya, apakah yang mendorong mereka untuk merebut pusaka itu" Bukankah pusaka tetap sebagai benda mati?"
"Ha, justru aku ingin memperoleh keterang-anmu, karena engkau telah memperoleh
kesempatan mengenal benda perebutan itu," sahut Bagus Kempong cepat.
Tentang daya guna pusaka Pangeran Semono itu, sama sekali ia tak menaruh per-hatian. Ia
hanya mendengar suatu kabar bela-ka, bahwa barangsiapa memiliki kedua pusaka tersebut akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sakti tanpa guru, kebal dari sekalian senjata dan kelak bisa menguasai nusantara. Ia menganggap kabar itu sebagai dongeng kanak-kanak belaka yang tak masuk akal. Tetapi oleh pertanyaan Bagus Kempong, sekonyong-konyong ia teringat sesuatu. Cepat ia menoleh kepada Sangaji dan bertanya,
"Aji! Kau dahulu pernah berkata kepadaku, bahwa engkau memperoleh kisikan beradanya benda tersebut dari almarhum pamanmu. Benarkah itu?"
Sangaji yang semenjak tadi berdiam diri, dengan gugup menjawab,
"Benar. Tatkala paman hendak bertempur melawan laskar Pangeran Bumi Gede ia mem-bisiki sesuatu kepadaku."
"Apa katanya?" "Begini," kata Sangaji mengingat-ingat. "Anakku, tak dapat aku berbicara berkepan-jangan kepadamu, mengapa semuanya ini mesti terjadi. Tetapi ingat-ingatlah pesanku ini! Sesampaimu di desa tempat engkau dilahirkan, lekas-lekaslah engkau berangkat ke tenggara. Di sana engkau akan melihat sepetak hutan dan suatu perkampungan baru. Dahulu hutan itu terbakar habis. Kini tinggal sisa-sisanya belaka. Meskipun demikian bekas-bekas kelebatannya belum juga hilang. Di sana engkau akan melihat sebuah sungai berlumpur yang melingkari hutan itu. Carilah di antara tebingnya suatu penglihatan penuh batu-batu. Turunlah engkau ke bawah. Di dasar sungai itu, engkau akan menemukan pusaka warisanmu. Dua buah jumlahnya. Kuwariskan kedua-duanya
pula kepadamu."

Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekonyong-konyong berbareng dengan kalimatnya yang penghabisan, terdengarlah suatu
gemeresak mahkota daun kemudian berkelebatlah sesosok bayangan yang terus saja meluncur ke tanah.
Wirapati dan Sangaji terperanjat. Sekaligus Umbulah kecurigaannya. Dan hampir berba-reng mereka terus meloncat hendak mengejar.
Mendadak Bagus Kempong menyanggah dengan nyaring.
"Jangan mau dikecohkan! Itulah akal memancing harimau dari sarangnya, lihat seberang!"
Wirapati dan Sangaji terheran-heran. Segera mereka menebarkan pandangnya, tetapi tiada
sesuatu yang mencurigakan. Diam-diam mereka berpikir, "Apakah salah penglihatan?"
Bagus Kempong adalah murid Kyai Kasan Kesambi yang ketiga. Kecuali memperoleh pendidikan menajamkan indera, diberi pula ajaran menggunakan pra rasa naluriah. Rasa bagi Kyai Kasan Kesambi menjadi dasar sendi utama dalam menurunkan ilmunya. Karena menurut pengertiannya ketajaman indera adalah suatu akibat belaka. Wirapati sebe-narnya menerima pula ilmu itu. Hanya saja dia meninggalkan perguruan selama dua belas tahun tanpa penilikan Guru. Karena itu agak ketinggalan daripada Bagus Kempong. Maka itu, belum lagi habis menduga-duga, Bagus Kempong telah berkata menggurui.
"Di balik semak-semak itu, bersembunyi delapan orang. Mereka bersenjata semua. Lihatlah gemerlap senjatanya." Dan kembali Wirapati dan Sangaji terheran-heran. Mereka mengamat-amati barisan semak-semak, tetapi gemerlap senjata sama sekali tak dilihatnya. Tetapi sekonyong-konyong terdengarlah suatu desing suara. Sebatang anak panah menyibak udara. Kemudian
muncullah tiga orang, empat, lima dan akhirnya delapan kepala mencongakkan diri dari balik semak-belukar. Dan barulah Wirapati dan Sangaji terperanjat. Sambil melesat mengelakkan diri dari sambaran angin, diam-diam mereka mengagumi ketajaman rasa Bagus Kempong.
Ke delapan orang yang bersembunyi di balik belukar itu, ternyata mengenakan kedok. Yang
kelihatan hanya dua gundu matanya. Terang mereka, tak mau dikenali orang.
"Kangmas Bagus Kempong!" seru Wirapati kagum. "Benar-benar aku merasa takluk!"
Bagus Kempong seperti tak mendengarkan ucapannya. Dia terus berteriak nyaring.
"Kawan dari manakah yang berada di depan" Kami Bagus Kempong dan Wirapati anak murid Kyai Kasan Kesambi menyam-paikan salam."
Namun mereka yang mencongakkan diri dari balik semak-semak tiada menyahut sama sekali
seolah-olah tuli. Bahkan mereka terus bergerak mengepung. Tiba-tiba Bagus Kempong terus saja sadar. Katanya setengah terperanjat, "Celaka! Mereka hendak mem-bakar alang-alang! Kita akan dibakar hidup-hidup!"
Tepat dugaan pendekar yang sudah berpe-ngalaman ini. Kira-kira lima belas langkah di depan mereka, nampak api mulai menyala membakar alang-alang. Melihat nyalanya api. Bagus Kempong
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tertawa dingin. Terus saja dia berjalan tanpa bersuara menghampiri mereka. Tahu-tahu, tubuhnya melesat secepat kilat. Tiga orang sekaligus kena disambarnya. Kakinya menendang dan ketiga-tiganya ter-pental di udara.
Orang keempat kaget setengah mati menyaksikan serangan Bagus Kempong menyambar betis.
Orang itu kena ditariknya dan dilemparkan pula ke udara.
Bagus Kempong tiada berniat membunuh. Dia hanya hendak menunjukkan gigi belaka, agar
mereka tiada memandangnya terlalu ren-dah. Karena itu, orang keempat yang dilem-parkan ke udara dibiarkan berjumpalitan dengan merdeka. Tetapi orang itu nampaknya tiada mau mengerti akan kelapangan dada Bagus Kempong. Begitu kakinya menancap di atas tanah, lantas saja
melesat sambil menikam. Bagus Kempong tiada terkejut sama sekali. Memang, dia adalah salah seorang murid Kyai
Kasan Kesambi yang canggih. Ilmunya jauh di atas Wirapati. Sewaktu bertempur melawan
pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede, dia hanya mengiringi maksud dan tujuan
Wirapati. Karena itu dia hanya bertahan dan bermaksud melindungi Wirapati belaka. Tapi kini, dia berkelahi dengan bisa mengambil keputusannya sendiri. Maka begitu ia ditikam musuh, dengan sebat ia menangkap lengan tanpa mengelak. Sikunya terus menyodok dan tahu-tahu orang itu jatuh terkapar di atas tanah dengan melontakkan darah kental. Berbareng dengan terkaparnya lawan, ia berseru kepada Wirapati.
"Lihat di sana! Rupanya kita dihadang barisan yang berjumlah cukup banyak. Kita sudah mentaati peraturan. Tapi mereka tak memedulikan. Karena itu, terjang!"
Wirapati melepaskan pandang ke depan. Kira-kira lima puluh langkah di depannya, berdirilah belasan orang yang berjalan mem-bentuk setengah lingkaran. Terang sekali, mereka hendak
mengepung rapat. Waktu itu matahari belum tenggelam. Karena itu senjata mereka nampak meman-tulkan
cahaya gemerlapan. Yang sebelah kiri bersenjatakan pedang dan yang kanan golok, panah dan cempuling.
Tiba-tiba seorang laki-laki yang menge-nakan kedok juga dan bertubuh tegap, menghunus
pedangnya dan memberi isyarat aba-aba agar berhenti. Kemudian dia maju tiga langkah dan
dijajari dua orang pada tiap sisinya. Orang itu membungkuk pendek seba-gai tanda memberi hormat. Pedangnya di-tusukkan ke bawah.
Bagus Kempong membalas hormat sekali, lalu berjalanlah dia maju. Ternyata Bagus Kempong
tak diusiknya. Mereka bahkan menyibakkan diri memberi jalan. Tetapi begitu Bagus Kempong keluar dari kepungan, segera barisan menutup pintu lagi sehingga Wirapati dan Sangaji kini terkurung di tengah-tengah. Serentak mereka menghunus pedangnya dan ditelentangkan ke titik tengah.
"Apakah kalian menghendaki Wirapati?" dengus Wirapati sambil tertawa dingin. Ter-ingat, bahwa pedangnya telah kena dipatah-kan Adipati Surengpati, ia merasa agak kuwa-lahan. Tetapi sebagai seorang pendekar, tak sudi ia memperlihatkan kelemahannya. Itulah sebabnya dia berkata lagi, "Agaknya Tuan-tuan hendak mengkerubut aku. Benar-benar Tuan-tuan menghargai aku sampai main kerubutan."
Laki-laki bertubuh tegap itu nampak berbimbang-bimbang. Sekonyong-konyong ia
mengacungkan ujung pedangnya ke tanah lagi sebagai tanda memberi jalan.
"Aji! Berjalanlah engkau dahulu!" kata Wirapati kepada Sangaji.
Sangaji terus melangkah maju. Tetapi baru saja melangkah mendadak sinar pedang berkelebat.
Tahu-tahu empat pedang telah mengancam dadanya. Karena terkejut, Sangaji cepat mundur.
Namun keempat pedang itu pun ikut bergerak. Malahan ujungnya terus menggetar siap menikam.
Melihat Sangaji terancam senjata, Bagus Kempong tiba-tiba meloncat masuk ke dalam
kepungan lagi dengan melintasi pagar manu-sia. Kedua tangannya lantas bekerja. Dengan
mengeluarkan tepukan, tahu-tahu empat pedang itu terpental ke udara. Tepukan tangan empat kali beruntun itu, benar-benar luar biasa sampai keempat pedang bisa terbang ke udara dengan berbareng. Dan belum lagi mereka tersadar dari rasa terkejut dan kagum, tangan Bagus Kempong yang cekatan telah menyambar pergelangan tangan laki-laki bertubuh tegap yang masih
menggenggam pedang. Ia heran sampai tercengang-cengang, karena pergelangan tangan itu
begitu empuk dan lunak. "Hai! Apakah dia seorang wanita," dia berpikir sibuk. Tetapi dia terus
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bekerja. Kelima jarinya mencengkeram nadi pergelangan. Dan pedang terlepas dari tangan dan jatuh dengan gemerincing. di tanah.
Karena senjata yang bertubuh tegap terlepas dari tangan, keempat orang yang mendampingi
mundur dengan berbareng. Tapi mendadak saja dari arah samping berkelebatlah sinar pedang dan menusuk tiga kali beruntun. Itulah suatu serangan pedang berbau ajaran Barat.
"Ilmu pedang Kepatihan Danurejan...! Apakah mereka laskar Patih Danurejo?" Diam-diam Bagus Kempong menduga. Ia menunggu tusukan yang penghabisan. Tatkala ujungnya hampir
menancap di dada, cepat luar biasa ia menyurutkan diri. Tangannya memutar danterus menepuk ke datan pedang dengan dibarengi tusukan jari.
Menepuk sambil berputar serta menusukkan jari, nampaknya sederhana dan mudah dilakukan.
Tetapi sebenarnya ia lagi menggunakan ilmu sejati ajaran Kyai Kasan Kesambi. Dalam kalangan pendekar, ilmu tenaga itu di sebut gendam. Seseorang untuk memiliki tenaga gendam, harus menghimpun secara teratur paling tidak tiga tahun lamanya. Sesat dan bersih tergantung belaka kepada ajaran yang ditekuni.
Ajaran Kyai Kasan Kesambi tak pernah ter-lepas dari pokok soal. Yakni, mengutamakan rasa kemanusiaan yang disenduknya dari ku-bangan rasa sejati. Geraknya lancar halus ba-gaikan air, mengingat jasmaniah ini asalnya dari zat-zat air. Tetapi barangsiapa kena ben-turannya akan tergetar seluruh sendi tena-ganya. Karena betapa sakti orang itu, bukankah salah satu anasir yang menjadikan dia seorang manusia berasal dari anasir air" Maka begitu pedang tadi kena sampok ) seketika seluruh tubuhnya terasa menjadi lemah-lunglai dan seolah-olah terselimuti bulu beleter ).
Tahu-tahu, tak terasa pedang itu telah tercabut dari genggamannya. Dia hendak bertahan, namun aneh! Mendadak saja tubuhnya limbung sampai terhuyung ke belakang beberapa langkah. Terus saja terbanting di atas tanah dengan melontakkan darah. Inilah kehebatan ilmu gendam
perguruan Kyai Kasan Kesambi, kekuatan badai yang susah dibayangkan.
Menyaksikan kegagahan Bagus Kempong, orang yang bertubuh tegap tadi serentak memberi
aba-aba, "Mundur!" Suaranya nya-ring merdu. Terang sekali-dia seorang wanita. Dan begitu mendengar aba-aba itu, semua yang mengepung memutar tubuh. Tak usah menunggu waktu
lama, tubuh mereka cepat menghilang di balik semak-semak belukar.
Melihat mereka lari mengundurkan diri, Bagus Kempong berdiri tegak dengan sikap
menghormat. Kemudian berseru nyaring, "Sampaikan sembah Bagus Kempong dan Wirapati
kepada Gusti Patih Danurejo. Dengan ini kami berdua memohon maaf sebesar-besarnya atas
kelancangan kami." Yang memimpin mereka tidak menjawab. Ia hanya menoleh, kemudian memberi senyum.
Setelah itu lenyap dari penglihatan.
"Dia seorang wanita!" tukas Sangaji. "Guru, siapakah dia?"
Wirapati mengerenyitkan dahi. Dia menoleh kepada Bagus Kempong meminta keterangan.
Katanya, "Apakah mereka utusan Patih Danurejo?"
"Bukan! Mereka utusan Sri Sultan," sahut Bagus Kempong.
"CItusan Sri Sultan?" Wirapati menegas dengan heran.
"Tetapi mengapa Kangmas berkata me-nyampaikan sembah kepada Gusti Patih Danurejo?"
"Pertama-tama mereka mengenakan kedok semenjak semula. Hal itu berarti, bahwa mere-ka tak ingin dikenal. Kedua, gerakan pedang mereka adalah tipu-tipu serangan Danurejan yang berbau barat. Jadi terang sekali mereka memalsukan diri agar tiada dikenal. Karena itu aku harus menghargai dan melindungi maksud mereka dengan menyebutkan sebagai laskar Patih Danurejo."
"Dari manakah Kangmas mengetahui, bahwa mereka utusan Sri Sultan" Apakah ada di antara mereka yang kau ketahui?"
"Tidak," jawab Bagus Kempong. "Aku me-ngenal mereka, karena kepandaiannya masih dangkal. Agaknya yang dikirimkan Sri Sultan ke wilayah Gunung Damar ini, bukanlah jago-jago pilihan. Terang sekali, tugas mereka bukan untuk menggempur lawan. Tetapi mungkin hanya
bertugas menghisap berita atau pengintaian belaka. Tadi sewaktu aku menepuk mereka,
mendadak saja mereka mencoba bertahan. Lapis tenaga pertahanan mereka lunak pula. Dan
dalam dunia ini yang memiliki tenaga gendam sejati hampir sama adalah guru kita dan almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono 1. Memang, untuk meniru-kan gerak-tipu ilmu perguruan lain adalah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mudah. Tetapi apabila sekonyong-konyong dipaksa untuk mengadu tenaga, mau tak mau terpaksa berlindung ke bentengnya terakhir. Yakni dasar ajaran perguruannya yang sejati. Pada saat itulah kedok mereka terbuka."
Mendengar keterangan Bagus Kempong, tiba-tiba saja Sangaji merasa bahagia, la kagum dan
bangga atas keluhuran budi sesama perguruan gurunya. Dan dia termasuk salah seorang
anggotanya. "Kangmas Bagus Kempong!" kata Wirapati setelah berdiam sejenak. "Sebenarnya, mereka tak bisa bertahan tatkala engkau menepuk pedangnya. Dengan demikian, kedoknya takkan
kauketahui. Memang menurut guru dahulu, ilmu warisan Sri Sultan Hamengku Buwono 1 tak kalah hebatnya. Hanya saja, apabila masih dangkal bisa membahayakan diri sendiri manakala bertahan terhadap suatu tenaga gendam yang jauh di atasnya. Seperti tadi, andaikata Kangmas
menganggap mereka sebagai lawan benar, pastilah orang yang menyerang dari samping akan
kena kau-rubuhkan dengan sekaligus. Untung, Kangmas hanya menggunakan beberapa bagian
saja, sehingga dia hanya lontak darah dan terjungkal selintasan." Ia berhenti berpikir lagi. Tiba-tiba berkata penuh teka-teki. "Aneh! Benar-benar aneh! Almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah sahabat karib guru kita sewaktu Perang Giyanti. Mengapa kini keturunannya
mengganggu?" "Eh, apakah engkau lupa kepada kisah pe-ngalamanmu sendiri perkara pusaka Pangeran
Semono?" sahut Bagus Kempong. "Apakah engkau tak dapat menerka, mengapa mereka memalsukan diri sebagai laskar Danurejan?"
"Ah! Wirapati terperanjat. Suatu ingatan berkelebat dalam benaknya. "Benar-benar mengherankan, bahwa Sri Sultan pun meng-inginkan pula pusaka kramat itu.
"Setidak-tidaknya garwo padmi atau salah seorang anggota kerajaan," potong Bagus Kempong.
"Hanya saja, mula-mula mereka salah duga. Kita dikiranya laskar Danurejan. Mestinya mereka tahu, bahwa utusan Patih
Danurejan berkeliaran di daerah lembah Sungai Jali. Lantas mereka mengikuti jejak. Mungkin pula, diam-diam mereka telah mengetahui pula terjadinya pertempuran antara kita dan pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Tetapi apabila mereka mendengar ucapan salamku,
seketika berubahlah terkaannya." Meskipun demikian, mereka tetap hendak minta keterangan lebih jelas lagi dari mulut Sangaji.
Sangaji terkejut, tak terduga sama sekali, bahwa ujarnya mengenai tempat penyim-panan
pusaka warisan Wayan Suage, telah kena diintip orang. Pastilah hal ini akan masih ada ekornya, memperoleh pikiran demikian, dia merasa bersalah. Mendadak saja. ia melihat lima batang pedang yang terlempar di atas tanah. Cepat ia membungkuk dan hendak menjamahnya.
"Jangan pegang senjata mereka!" kata Bagus Kempong. "Siapa tahu hulu pedang ter-ukir namanya. Bila sampai demikian, tak bisa lagi kelak kita berpura-pura tak tahu menahu."
Terhadap kepandaian Bagus Kempong, diam-diam Sangaji kagum luar biasa. Karena itu ia tak membantah atau mencoba memper-oleh keterangan. Ia percaya, pastilah paman-nya itu telah
mempunyai perhitungan jauh.
"Marilah kita pergi saja!" kata Bagus Kempong lagi.
Dengan berdiam diri, Wirapati dan Sangaji mengikut' Bagus Kempong. Mendadak saja, mereka mendengar suara kuda. Tatkala menoleh, ternyata Willem dan kuda putih Titisari tertambat pada sebuah pohon. Sangaji terus saja berseru girang.
"Willem! Eh... siapakah yang mengan-tarkan?"
Karena masih terpengaruh sepak terjang Adipati Surengpati dan luapan girang gurunya, Sangaji sampai lupa kepada kudanya. Kini sekonyong-konyong berada di depannya. Pastilah ada
seseorang yang sengaja mengantarkan jasa-jasa baik. Siapa dia" Sangaji tahu, bahwa si Willem tak gampang bisa didekati seseorang yang belum dikenalnya. Memperoleh pikiran demikian,
sekaligus ia menduga kepada Titisari. "Apakah dia selama ini mengikutinya dengan diam-diam?"
Sebaliknya Bagus Kempong tak tahu, bahwa Sangaji membawa kuda. Begitu melihat
kegirangan Sangaji, alisnya terus saja terangkat. Pikirnya, anak ini berhati sederhana, tetapi agak sembrono. Kuda dan pesan warisan pusaka yang sedang diperebutkan agaknya tiada meresap
dalam hatinya benarbenar. Tetapi ia tak berkata. Sebaliknya, Wirapati yang kenal akan tabiat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kakak-seper-guruannya, terkejut melihat kesan mukanya. Dengan sekali pandang, tahulah dia apa arti tergeraknya deretan alis. Maka dengan menarik napas dia berkata kepada muridnya.
"Aji! Ambillah kudamu!"
Sangaji terus saja melompat menghampiri kudanya. Kemudian, berkatalah Wirapati kepada
Bagus Kempong. "Agaknya, kita terpaksa berpisah lagi."
"Mengapa?" Bagus Kempong terkejut ber-bareng heran.
"Muridku sama sekali belum memperoleh pengalaman dalam percaturan hidup. Ia begitu
semberono mengucapkan kata-kata terakhir Wayan Suage di tengah lapang terbuka. Seumpama
nasi sudah menjadi bubur, biarlah aku mengejar kelalaian ini. Bawalah dia menghadap Guru dahulu. Aku akan mencari kedua pusaka warisan itu sampai ketemu. Dengan begitu, muridku tak mensia-siakan pesan terakhir seseorang yang telah menaruhkan kepercayaan besar terhadapnya."
"Wirapati!" Bagus Kempong memotong dengan raut muka sungguh-sungguh. Kemu-dian dengan menggenggam tangannya erat-erat ia meneruskan, "Ikrar saudara seperguruan kita selamanya berbunyi hidup-mati bersama sampai akhir zaman. Tentang maksudmu mencari pusaka warisan itu, mengapa tidak kita lakukan bersama-sama" Kesalahan muridmu itu pun tiada terlalu besar."
Kering kata-kata Bagus Kempong, tetapi mengandung ungkapan rasa yang susah untuk
dilukiskan. Maka dengan terharu Wirapati terus menyahut.
"Kangmas Bagus Kempong, tak berani aku meminta kepadamu agar ikut memikul kewa-jiban ini. Sebaliknya, mendengar ujarmu, tak berani pula aku menolak. Dengan begitu, teri-malah ucapan terima kasihku. Kangmas berkata muridku tiada melakukan kesalahan terlalu besar, apa maksudmu?"
Sambil menguraikan genggaman tangan-nya, Bagus Kempong tertawa perlahan. Dengan
pandang berseri-seri ia berkata, "Tepatlah amanat Guru tentang dirimu. Itulah sebabnya engkaulah yang dipilih guru menjadi ahli waris perguruan kita."
"Hai!" Wirapati terkejut.
"Benar." Bagus Kempong mengesankan.
"Apakah alasan Beliau?"
"Dengarkan, kata beliau. Berbicara tentang mutu ilmu yang kaumiliki kini, mungkin engkau kalah setingkat dengan saudara-saudara seperguruanmu. Maklumlah, selama itu engkau merantau tiada kabar berita sepuluh tahun lebih. Tetapi seorang ahli waris Kyai Kasan Kesambi mempunyai kewajiban berat. Seseorang tidak cukup hanya mengutamakan ilmu-warisan belaka untuk menjadi ahli-waris-nya. Tetapi terutama, jiwa besar, jujur dan pengalaman yang luas. Syarat inilah yang kelak menjadi sendi utama untuk memperkembangkan ilmu warisan Guru," ia berhenti
mengesankan. Meneruskan, "dengan berbekal jiwa besar, jujur dan pengalaman luas, engkau akan sanggup melayani kemukjizatan sesuatu ilmu lebih mendalam lagi. Guru yakin, bahwa
kejujuran dan kebersihan hatimu kelak akan dapat mengatasi noktah-noktah hati yang ren-dah jahat. Setelah itu, engkau akan maju lagi satu langkah dengan tanpa kausadari sendiri, karena engkau kelak akan bisa mengusir pen-jajah dan menegakkan negara. Itulah cita-cita guru. Apabila kelak engkau bisa mewujudkan, alangkah menggirangkan dan membesarkan hati. Hal itu berarti, bahwa engkau telah berhasil menunaikan kewajiban azas perguru-an. Itulah sebabnya, Guru lebih mengutama-kan keadaan jiwa untuk menjadi ahli warisnya. Kemudian baru bakat. Tentang
kebesaran jiwa, bagaimana kami berempat dapat menandingimu. Engkau pun memiliki bakat yang jauh lebih bagus daripada kami. Soalnya, karena engkau agak lama merantau. Tapi kami yakin, apabila engkau telah kembali ke perguruan, engkau akan bisa melampaui kami berempat."
Mendengar ujar Bagus Kempong, Wirapati terperanjat sampai berjingkrak. Dengan
menggeleng-gelengkan kepala berbareng dengan menggoyangkan tangan, dia berkata nyaring
setengah gugup. "Tidak! Tidak! Bagaimana aku bisa menjadi ahli-waris guru. Guru berbicara demikian, sematamata oleh rasa rindunya terhadapku. Hm, kemampuanku tak dapat menandingi sekalian saudara seperguruan." "Wirapati! Itu semua adalah amanat Guru." "Baik. Andaikata benar, aku pun tak berani menerimanya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bagus Kempong tersenyum. Berkata me-maklumi. "Ucapanmu ini pun menunjukkan kejujuran dan kebesaran jiwamu. Engkau merasa diri rendah, itulah bagus. Memang saat ini demikianlah keadaanmu, sehingga belum sanggup menilai kesalahan muridmu. Muridmu memang masih hijau, sehingga semberono dalam mengungkapkan sesuatu hal. Tetapi dikatakan melakukan kesalahan besar, tidaklah kena. Karena, orang yang melompat dari mahkota daun tadi bukankah temannya berjalan?"
"Temannya berjalan?" Wirapati keheran-her-anan. Terang sekali ia tadi melihat sesosok tubuh melesat turun dari pohon. Gerak-geriknya cekatan dan gesit. Meskipun tidak jelas jenisnya, tetapi masakan dia Titisari"
Bagus Kempong seperti dapat menebak kesibukan hatinya. Dengan tepat ia berkata, "Siapa lagi kalau bukan dia" Diapun yang menambatkan kuda. Mampaknya gadis itu menaruh perhatian besar terhadap muridmu, sehingga ia berani memikul akibatnya dengan sengaja membuat suara
gemeresak. Pastilah dia bermaksud memberi peringatan, karena di balik belukar bersembunyi orang-orang terten-tu yang lagi mengintai perjalanan kita. Aku pun mula-mula menaruh syak kepadanya. Mendadak kudengar langkahnya yang ringan dan gerakan tangan seolah-olah
menuding. Itulah salah satu jurus ilmu Karimun Jawa yang sering dibicarakan Guru. Hanya saja, dia mengubah kibasan tangan dengan gerakan menuding."
Mendengar keterangan Bagus Kempong, Wirapati benar-benar merasa takluk. Pikirnya, benarbenar maju pesat ilmu Kangmas Bagus
Kempong. Dalam satu detik, dia bisa menebak lawan atau kawan. Berbareng pula mengkumandangkan aba-aba sandi. Bukankah kecerdasan otaknya jauh lebih cekatan dan cerdas
daripadaku" Betapa aku bisa menerima pencalonan guru menjadi ahli warisnya" Terang sekali, guru berkata demikian karena rindu semata-mata kepadaku.
Memang ketangkasan berpikir Bagus Kem-pong benar-benar mengagumkan. Bahkan apabila
dia mau mengutarakan dengan sebe-nar-benarnya, hati Wirapati bisa menjadi kecil. Sebab
sesungguhnya, jauh-jauh Bagus Kempong telah mengetahui bahwa di belakang mahkota daun
bersembunyi seseorang. Seper-ti diketahui dia sudah memiliki ilmu rasa sejati. Meskipun panca inderanya belum bekerja, rasa sejatinya telah mengkisiki. Ia mendengar pula tata-napasnya.
Sebagai salah seorang murid Kyai Kasan Kesambi yang telah menerima pula ajaran menyelami ilmu sesuatu perguruan lainnya, sekaligus pikirannya bekerja. Teringatlah dia nada tata napas itu.
Bukankah tata-napas yang dimiliki Adipati Surengpati dan puterinya tatkala mengadu kepandaian dengan Sangaji" Pada saat itu pula, ia mendengar gemeresek belukar tak jauh dari pohon. Maka begitu Titisari melesat turun ke tanah, dengan sengaja ia berseru kepada Wirapati dan Sangaji agar melepaskan perhatiannya ke arah lain. Ia berseru seolah-olah Titisari termasuk salah seorang dari mereka yang mengintai di balik belukar. Dengan demikian ia memberi kesan pula kepada mereka yang mengintai, bahwa Titisari bukan termasuk salah seorang rombongannya. Inilah yang dinamakan ilmu sekali menepuk dua lalat mati.
Tengah Wirapati sibuk mengagumi ketang-kasan Bagus Kempong, terdengarlah Sangaji
berteriak nyaring, "Guru! Lihat! Lihat dia menyediakan tiga ekor kuda!"
Wirapati terus saja melesat menghampiri sebatang pohon yang terukir dengan beberapa deret huruf. Bunyi huruf itu, "di depan patroli kompeni."
"Hai! Benar-benar dia." Dengus Wirapati "... patroli kompeni" Mengapa kompeni berke-luyuran sampai di wilayah ini?"
Sangaji terus membagi kuda tunggangan. Bagus Kempong memperoleh seekor kuda hitam.
Terang sekali itulah salah seekor kuda pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Entah dengan cara bagaimana, Titisari ternyata bisa merampasnya. Dan kuda putih ditunggangi
Wirapati. Sangaji sendiri tetap berada di atas punggung Willem.
"Peringatan ini, baiklah kita perhatikan," kata Bagus Kempong. "Agaknya Patih Danurejo benarbenar berhasrat merebut pusaka sakti itu sampai minta bantuan kom-peni. Inilah suatu kesalahan.
Dengan menge-rahkan tenaga kompeni berarti memberi kesempatan kompeni pula untuk
mengenal daerah-daerah yang bersembunyi di balik pegunungan."
Semenjak di Jakarta, Wirapati sudah mem-buktikan dengan mata kepalanya sendiri, bahwa
Patih Danurejo bekerjasama dengan kompeni untuk dapat memenangkan per-soalannya. Hal itu bukanlah suatu kabar baru. Yang diherankan ialah bahwa dalam waktu yang hampir bersamaan, ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menjumpai dua kekuatan besar yang nampaknya saling bersaing. Daerah lembah Kali Jali benarbenar merupakan ajang pertempuran yang sebentar atau lama akan meletuskan suatu
pertempuran menentukan. Terhadap Patih Danurejo, ia memperoleh kesan buruk pertama-tama
sepak-terjang Pangeran Bumi Gede dan beker-jasamanya dengan kompeni. Karena itu diam-diam ia mengkhawatirkan pihak utusan Sri Sultan Hamengku Buwono II yang tadi kena dilukai kakak seperguruannya beberapa orang di antaranya.
"Nampaknya, jejak kita sudah mereka ketahui," kata Wirapati. "Kita kembali ke tepi sungai atau meneruskan perjalanan ke Gunung Damar sama saja bahayanya. Aji! Kalau kelak bertemu dengan Titisari, sam-paikan salamku kepadanya."
Mendengar gurunya menyebut nama Titisari, berserilah mata Sangaji. Tetapi tak berani
membuka mulut. Memang, ia sudah menduga bahwa tentang beradanya tiga ekor kuda di tempat itu adalah berkat jasa Titisari. Samar-samar dia bisa menebak maksud gadis pujaannya itu, agar cepat-cepat meninggalkan daerah yang dianggapnya berbahaya.
"Benar," sahut Bagus Kempong. "Kita pasti menjumpai rintangan-rintangan perjalanan.
Mengingat pesan almarhum yang dirahasia-kan, sebaiknya janganlah kita memperlihatkan diri apabila tidak terpaksa. Hm, hampir saja aku kesalahan tangan."
Nyata sekali, Bagus Kempong merasa menyesal karena melukai utusan Sri Sultan meskipun
tidak dengan sengaja. Diam-diam Sangaji berpikir, "Paman hanya menggunakan tenaga selintasan saja. Tujuannya tidak melu-kai lawan. Semata-mata mempertahankan diri. Mereka terluka, karena kesalahannya sendiri. Meskipun demikian Paman begitu ber-duka. Alangkah mulia dia. Kelak, aku pun akan meniru dia. Jika tak terpaksa, jangan sekali-kali menggunakan ilmu Kumayan Jati."
Memperoleh pikiran demikian, mendadak teringat dia bahwa ia belum mengabarkan tentang ilmu Kumayan Jati kepada gurunya. Serentak berkatalah dia hati-hati, "Guru! Maafkan kelalaianku.
Karena Guru tadi masih sibuk . berbicara dengan Paman, tak berani aku mengganggu.
Sesungguhnya, aku hendak mengabarkan bahwa di tengah perjalanan bertemulah aku dengan
seseorang yang mena-makan diri Gagak Seta. Meskipun aku belum berani mengangkat guru
kepadanya sebelum memperoleh ijin Guru, tetapi aku telah meneri- 1 ma delapan bagian ilmunya.
Untuk ini..." "Aji! Tahukah engkau azas perguruan kita?" potong Wirapati. "Semenjak kanak-kanak, aku diwajibkan menghafal tujuh deret kalimat hingga meresap dalam lubuk hati. Yakni, menghormati Tuhan semesta alam, bumi kelahiran, orang tua, guru, saudara tua, pergaulan dan sesama hidup.
Mengapa selain Tuhan, bumi kelahiran, orang tua, guru dan saudara tua, aku diharuskan
menghormati pergaulan dan sesama hidup pula" Karena sekalian satwa alam ini adalah ayat
Tuhan itu sendiri. Gagak Seta adalah seorang dari angkatan tua yang setaraf dengan kakek-gurumu. Hanya bertemu saja dengan dia, sesungguhnya merupakan suatu kehormatan besar.
Apalagi sampai menurunkan suatu ilmu. Apabila engkau tidak berkenan dalam hatinya, meskipun engkau lahir sampai tujuh kali, takkan orang tua itu demikian murah hati terhadapmu. Karena itu, di kemudian hari apabila engkau dapat bertemu kembali dengan dia, sampaikan pula hormatku kepadanya. Hendaklah engkau menekuni ilmu warisannya dengan sungguh-sungguh. Dengan
demikian, kau tak mensia-siakan jerih payahnya. Aku sendiri berharap, mudah-mudahan engkau bisa mengambil manfaatnya, sehingga di kemudian hari engkau bisa menciptakan suatu ilmu
gabungan antara ilmu perguruanku dan ajarannya. Syukur pula, apabila engkau bisa mengambil sari-sari ilmu gurumu Jaka Saradenta. Karena gurumu sesungguhnya adalah murid almarhum Kyai Haji Lukman Hakim."
Betapa gembira hati Sangaji, tak terperikan mendengar ucapan gurunya. Gurunya ternyata
tiada bersakit hati atau menyesali. Tapi bahkan menganjurkan pula. Inilah di luar dugaannya.
Sesungguhnya apabila dia se-orang pemuda yang encer otaknya, mestinya sudah dapat menebak keadaan hati gurunya semenjak tadi. Sebab apabila gurunya tiada menyetujui, pastilah dia akan kena tegur, tatkala habis bertempur melawan Pring-gasakti. Bukankah dia bertahan dan melawan kegagahan iblis itu dengan ilmu ajaran Gagak Seta" Ternyata kakak seperguruannya, guru-nya tiada pula menaruh keberatan. Bahkan tiba-tiba ikut berkata, "Sangaji! Kulihat gerakanmu masih menemukan suatu rintangan tertentu. Tunggulah sampai engkau meng-hadap kakek gurumu.
Siapa tahu, engkau bisa memperoleh suatu petunjuk-petunjuk yang berharga."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Arah perjalanan mereka kini berubah lagi. Tepat bersamaan dengan tenggelamnya mata-hari, mereka menghadap ke arah barat daya. Sangaji mengikuti Guru dan pamannya tanpa minta
keterangan. Seluruh hatinya benar-benar takluk kepada keluhuran budi mereka berdua. Pada suatu desa, mereka berhenti mengisi perut di sebuah kedai. Memang semenjak pagi hari tadi, mereka hampir melalaikan kepentingan jasmaninya. Itulah sebabnya, meskipun hidangan yang disajikan sangat sederhana, mereka menelannya dengan lahap.
Dalam pada itu malam hari telah merangkak dengan diam-diam. Sekonyong-konyong
terdengarlah beberapa orang berlari-lari melintasi jalan. Salah seorang melihat mereka dan dengan gugup melambaikan tangan,
"Raden(suatu sebutan semacam tuan)!, masuklah kekampung! Serdadu-serdadu kompeni mulai membunuh orang."
"Membunuh orang" Mengapa?" sahut pemi-lik kedai dengan muka berubah.
"Siapa yang tahu" Kabarnya mereka me-maksa penduduk agar menunjukkan Desa
Karangtanggung, Singajaya, Gowong dan entah apa lagi. Siapa sudi berkeluyuran begini malam hari sepanjang lembah Kali Jali. Salah-salah matilah digigit ular."
Setelah berkata demikian, orang itu terus saja menghilang di balik perkampungan. Seperti teman-temannya, ia mengira memper-oleh keamanan apabila sudah bersembunyi dalam
kampung. "Raden! Nampaknya Raden tak beruntung. Di depan serdadu-serdadu kompeni yang kabarnya begitu jahat. Aku sendiri terpaksa menutup warung," kata pemilik kedai kepada Wirapati, Bagus Kempong dan Sangaji. Benar-benar ia nampak gugup, hingga tangannya gemetaran.
Selamanya, anak murid Kyai Kasan Kesambi benci bukan kepalang kepada istilah serdadu.
Maklumlah, Kyai Kasan Kesambi adalah bekas pejuang penentang penjajah. Dahulu ia merupakan salah seorang pembantu kepercayaannya Pangeran Mangkubumi 1 dalam Perang Giyanti. Karena itu, sikap hidupnya ini ditanamkan dalam lubuk hati sekalian murid-muridnya. Meskipun demikian, Kyai Kasan Kesambi melarang keras melakukan pembunuhan terhadap kompeni apabila tidak
terpaksa. Soalnya, karena bagaimanapun alasannya melaksanakan pembunuhan adalah suatu
perbuatan yang berlumuran darah. Sebaliknya jika sudah terlanjur demi membela keamanan, dia tak pernah mengomeli. Malah seringkali dipuji. Ia hanya memberi saran agar lebih berhati-hati.
Jika bersua dengan petroli kompeni yang berjumlah dari 20 orang lebih baik menyingkir. Tetapi, kalau jumlahnya tak lebih dari 15 orang"apabila berbuat sewe-nang-wenang tehadap rakyat"
bolehlah mencoba-coba mengadu untung.
Kini, Bagus Kempong dan Wirapati men-dengar sepak terjang serdadu-serdadu kom-peni.
Keruan saja, darahnya langsung men-didih serentak mereka melompati kudanya dan
mengaburkan ke arah utara. Sangaji pun tak mau ketinggalan. Dengan menunggang Willem, ia bisa gampang mengejar mereka berdua. Hanya saja hatinya agak segan ber-lawan-lawanan
dengan kompeni. Maklumlah, hampir lima tahun, ia manja di dalam tangsi Belanda di Jakarta.
Kira-kira dua pai jauhnya, terdengarlah kesibukan-kesibukan di depan sana. mereka mendengar jerit ngeri. Cepat-cepat mereka mengeprak kudanya. Apabila sudah dekat dengan gemas mereka melihat dua orang ser-dadu Bumiputera sedang menghajar seorang anak berumur 10-12 tahun.
Terdengar mere-ka membentak-bentak.
"Kau mau tidak mengantarkan kami?"
Anak itu tak kuasa membuka mulutnya. Kedua orang tuanya mencoba membela.
"Lepaskan dia! Biar kita berdua menjadi penunjuk kalian."
Mendengar ujar mereka, kedua serdadu itu tertawa mendongak hampir berbareng. Men-dadak
saja anak itu terus diangkat ke udara dan ditendang dijungkir-balikkan. Sudah ba-rang tentu anak itu menjerit kesakitan selagi masih berjungkir-balik di udara. Begitu jatuh tengkurap di atas tanah, serdadu yang lain menyambarnya dan ditendang lagi ke udara. Kini mengarah ke dalam barisan.
Serdadu-serdadu yang lain segera menyambutnya dan dilemparkan pula ke udara seperti bola keranjang.
Melihat sepak terjang mereka, darah Sangaji mendidih juga. Teringatlah dia akan nasibnya dahulu tatkala diperlakukan demi-kian oleh Mayor de Groote. Maka dengan gusar ia terus
melabrak maju. Tapi belum sampai ia sempat menerjang, ternyata guru-nya sudah turun tangan.
Anak murid Kyai Kasan Kesambi yang keempat itu dengan tangkas meloncat dari kudanya selagi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kakinya belum menginjak tanah, tangannya sudah menyambar. Seorang serdadu yang lagi sibuk hendak menyambut anak malang itu, tiba-tiba saja terjungkal di tanah dengan memuntahkan
darah. Sedangkan si anak terus dilemparkan perlahan kepada Bagus Kempong.
Melihat Wirapati menyerbu dengan men-dadak, serdadu-serdadu yang lain terperanjat.
Mendadak terdengar pekik pemimpin regu, "Hai! Bukankah mereka ini yang kita cari?"
Berbareng dengan pekikannya pemimpin regu itu terus menusukkan bayonetnya. Dia adalah
seorang sersan. Meskipun hari remang-remang gelap, nyata sekali bahwa dia seorang Belanda.
"Guru, awas!" Teriak Sangaji terkejut. "Hm," dengus Wirapati tenang. "Kausaksikan bagaimana gurumu menghajar serdadu-serdadu. Empat tahun di Jakarta, tangan gurumu tersekap dalam
kantong celana demi keselamatanmu."
Dengan tertawa Wirapati menghadapi serangan sersan Belanda itu. Bayonet tinggal belasan
centi saja dari dadanya. Mendadak tangan kirinya membalik dan terus menangkap laras senapan.
Berbareng dengan itu, tangannya menyodok. Laras senapan yang berbayonet itu membalik 180
derajat oleh tepukan tenaga dorong. Belum lagi sersan itu sadar akan artinya, dadanya tertembus bayo-netnya sendiri. Dengan sekali menjerit ia ter-jungkal di tanah tanpa berkutik lagi.
Menyaksikan ketangkasan Wirapati, ser-dadu-serdadu lainnya berteriak-teriak menyerbu rapat.
Mereka bersenjatakan pedang dan tombak. Nyata sekali, bahwa dalam suatu patroli hanya
serdadu bangsa Belanda saja yang bersenjatakan senapan. Lainnya yang berbangsa Bumiputera hanya bersenjatakan pedang panjang, tombak atau penggada.
Tanpa bicara lagi, Sangaji terus meloncat turun dari kudanya. Cepat ia rebut pedang salah seorang serdadu. Dengan tenaga sakti ilmu Kumayang Jati, ia memutar pedang itu secepat kitiran.


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua kali ia membabat dan dua serdadu kena tebas.
Melihat gelagat buruk, serdadu-serdadu yang lain terus melarikan diri dengan tung-ganglanggang. Lari mereka berpencaran. Meskipun demikian, mereka masih sempat pula
melampiaskan dendamnya pada rakyat yang tadi dipaksa ke luar dari rumah. Karena itu, banyak di antara penduduk yang kena tikaman pedang atau kemplang penggada. Sehingga suara jerit
ketakutan dan kesakitan mengiang ke udara.
Bagus Kempong yang lagi menolong si anak, mendidih darahnya melihat sepak terjang
begundal-begundal kompeni Belanda. Dengan berteriak nyaring ia berkata, "Jangan biarkan mereka lari berpencaran!"
Berbareng dengan teriaknya, ia lari melesat ke jurusan barat menghadang empat serdadu.
Sekali bergerak, keempat serdadu itu jatuh berdeburan di atas tanah. Maklumlah, mereka tiada memiliki suatu kepandaian yang berarti. Bagi Bagus Kempong merupakan makanan empuk belaka.
Dalam pada itu, Sangaji berkelahi pula dengan penuh semangat. Hatinya tidak segan-segan lagi melabrak sekalian serdadu, karena gemas menyaksikan kekejaman menghajar seorang anak.
Dengan pedang rampasannya ia merangsak. Dengan tinjunya yang bertenaga ia menghajar kalang kabut.
"Bagus!" puji Wirapati gembira. Ia tak me-ngira, bahwa muridnya mau berkelahi juga melawan golongan kompeni. Sekonyong-konyong ia melihat seorang serdadu berewok menyerang dari
timur. Cepat ia menangkis dan dengan sekali gempur, sedadu itu jatuh tertelungkup. Tetapi mendadak saja, tahu-tahu serdadu itu melesat dan berhasil menangkap pergelangan tangan
Sangaji. Sangaji terperanjat. Tanpa berpikir lagi, ta-ngannya terus menghantam dengan jurus ilmu sakti Kumayan Jati. Serdadu itu menggeliat mundur tiga langkah sambil terpekik heran. Kemudian dengan gerakan aneh, ia menyerang lagi. Kali ini lebih dahsyat dan tangkas. Tangan Sangaji kena ditangkapnya dan terus ditarik maju.
Bagus Kempong dan Wirapati heran menyaksikan keperkasaan serdadu itu. Tenaga Sangaji
bukanlah suatu tenaga dorong murahan. Setiap pukulannya mengandung tenaga ilmu Kumayan
Jati. Namun serdadu itu kuat bertahan seolah-olah kebal dari suatu pukulan betapa sakti pun.
Mereka terperanjat, tatkala melihat lengan Sangaji kena tangkap pula.
Maka tanpa berpikir lagi, Bagus Kempong melesat maju sambil melontarkan gempuran.
Serdadu itu kaget. Ia tahu bahaya. Cepat ia melepaskan cengkramannya dan menangkis
gempuran Bagus Kempong. "Plak!" Bagus Kempong terkejut bukan kepalang. Ia merasa tenaga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pukulan lawan begitu kuat bagaikan gugurnya sebuah bukit batu. Tubuhnya sam-pai tergeliat mundur.
Sebaliknya serdadu itu pun tak tahan menangkis gempuran Bagus Kempong. la tergeliat sampai tubuhnya berputar kemudian kabur dan lenyap di gelap malam.
"Jangan kejar! Berbahaya," Bagus Kempong berteriak memperingatkan.
Wirapati terkejut. Paras Bagus Kempong ternyata pucat lesi, terang sekali terluka tiada enteng.
Cepat Wirapati membopongnya. Se-baliknya, Sangaji nampak duduk bersimpuh di atas tanah.
Lengannya berdarah terkena cengkeraman serdadu tadi. Maka cepat-cepat ia menyalurkan napas dan darahnya, agar terhindar dari suatu kemungkinan terkena racun.
"Tolong muridmu dahulu!" bisik Bagus Kempong lemah. Dia sendiri terus duduk menenangkan diri di atas tanah.
Waktu itu, Wirapati melihat tiga orang ser-dadu sedang datang mengepung Sangaji.
Dengan sebat Wirapati menyambar senja-tanya. Sekali tusuk, dua orang mati ter-jungkal.
Lainnya segera melarikan diri. Tetapi Wirapati sedang marah. Pedang rampasan terus ditimpukkan dengan sekuat tenaga. Agaknya hatinya bergejolak hebat karena marah melihat kakak
seperguruannya terluka oleh akal licik seorang serdadu. Tenaga lontarannya kuat luar biasa sehingga mem-bawa suara mendesing. Maka terdengarlah suara gedebrukan. Serdadu itu mati
tertancap lontaran pedang seperti terpantek di atas tanah.
Wirapati lantas menolong muridnya dan dibawa berdiri menghampiri Bagus Kempong. Pada
waktu itu para serdadu sudah meninggalkan kampung. Bagus Kempong masih memejamkan mata
mengatur perna-pasannya. Kemudian, merogoh sebutir ra-muan obat buatan gurunya, wajahnya yang tadi pucat perlahan-lahan bersemu merah kembali.
"Tenaga pukulan luar biasa kuat," katanya lemah berbarengan dengan menyenakkan mata.
Mendengar kakak seperguruan sudah dapat berbicara tenang, hati Wirapati lega bukan main.
Meskipun demikian, belum berani ia mengajak berbicara lebih banyak lagi.
"Apakah orang itu benar-benar mening-galkan kita?" Bagus Kempong menegas dengan lemah.
"Ya, bagaimana keadaan Kangmas?"
"Tak usahlah kau bercemas hati," sahut Bagus Kempong. Tangannya menggapai pun-dak Wirapati. Dengan memejamkan mata ia merenung-renung. Sejenak kemudian ia mem-buka
matanya kembali sambil berkata, "Tak dapat aku menebak siapa dia. Terang sekali ia seorang pendekar yang menyamar sebagai serdadu murahan dengan menyembunyikan maksud-maksud
tertentu. Melihat dia hendak menculik Sangaji, pastilah dia mengincar pula pusaka keramat. Aih, tak kukira begini besar pengaruh pusaka keramat Pangeran Semono. Baiklah... marilah kita pulang ke gunung, kita minta keterangan Guru dari cabang kesaktian manakah orang itu."
Mendengar ujar Bagus Kempong, tahulah Wirapati bahwa kakak seperguruannya meng-hendaki
agar dia membatalkan maksudnya mengambil pusaka warisan. Mengingat di antara mereka yang memperebutkan pusaka sakti terdapat orang-orang sakti. Sedangkan kakak seperguruannya
terluka pula, maka ia menerima baik saran itu. Cepat ia memapah Bagus Kempong dan dengan hati-hati di-dudukkan di atas pelana kuda. Ia sendiri terus melompat naik di belakangnya. Dengan demikian, ia dapat memeluk tubuh kakak-seperguruannya. Sangaji sendiri, tak perlu memperoleh bantuan. Pemuda itu sudah bisa menguasai diri. Meskipun demikian, Wirapati minta keterangan kepadanya, "Sangaji! Bagaimana dengan lukamu?"
Dengan menggelengkan kepala Sangaji menjawab, "Hanya luka tak berarti. Anehnya tubuhku merasa jadi panas."
Mereka menderapkari kudanya perlahan-lahan menuju ke timur kembali. Sampai di Desa
Salatiyang mereka berhenti di sebuah gardu penjagaan. Khawatir sisa serdadu-serdadu tadi masih berusaha mengejarnya, maka Wirapati menutup pintu gardu dengan selembar sarung. Setelah itu ia mendampingi kakak-seperguruannya mengatur tata-napas. Sekali-kali ia meraba kening
muridnya pula yang berubah menjadi panas seperti seseorang terserang penyakit demam.
Menjelang tengah malam, Bagus Kempong sudah pulih sebagian tenaganya. Ia berjalan
mondar-mandir melemaskan urat tulangnya. Kemudian berkata, "Wirapati, adikku! Selama hidupku kecuali guru belum pernah kukete-mukan seorang jago seperkasa orang tadi."
Wirapati mendengarkan kata-kata kakak-seperguruannya dengan cermat. Tapi sewaktu ia
menggempur serdadu itu, nampaknya begitu lemah. Dengan sekali gempur, ternyata ia rebah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah dipikir-pikir pulang balik, sadarlah dia bahwa orang itu sebenarnya hanya berpura-pura untuk mengincar mangsa yang dikehendaki. Merasa berhasil mengungkap mangsa yang dihendaki, dengan mati-matian ia mencoba hendak mempertahankan. Sayang sekali baik Wirapati, Sangaji maupun Bagus Kempong tidak begitu mengamat-amati bentuk tampangnya. Maklumlah, kecuali
hari gelap, dalam suatu pertempuran seru bagaimana sempat pula memperhatikan perawakan
lawan seorang demi seorang. Samar-samar mereka hanya teringat, bahwa orang itu
berperawakan agak pendek. Mukanya penuh bulu.
Diam-diam dia berpikir dalam hati. Kangmas Bagus Kempong lebih kuat dari-padaku, meskipun demikian kena dilukai. Hm, pastilah bukan orang sembarangan. Dia pun mengincar Sangaji. Aih, agaknya pesan terakhir Wayan Suage yang diungkapkan Sangaji, sudah bukan menjadi suatu
rahasia lagi. Jangan-jangan, dia pun termasuk salah seorang yang menyelundup dalam barisan utusan Sri Sultan, sehingga dapat mendengar kata-kata Sangaji. Bagus! Jika bangsat itu berani datang kembali dengan mengancam nyawa Sangaji, biarlah aku mengadu nyawa. Karena ini,
segera ia berkata kepada Bagus Kempong, "Kangmas, apakah keadaan badanmu sudah pulih kembali?"
Persaudaraan seperguruan mereka sudah dipupuk semenjak kanak-kanak, sehingga suatu
isyarat mata atau suatu gerakan tangan sudah cukup untuk saling memahami kehendak hati
masing-masing. Maka Bagus Kempong lantas saja bisa menerima, bahwa adik-seperguruannya
mengkhawatirkan keadaannya.
"Aku hanya hendak melemaskan urat belikat belaka."
Setelah berkata demikian, kembali ia duduk bersemadi menenangkan hati. Ia duduk dekat
Sangaji. Teraba oleh suhu tubuh Sangaji yang agak tinggi, ia menyenakkan mata. Sebentar ia memperhatikan paras pemuda itu, kemudi-an memejamkan mata kembali. Sebagai se-orang
pendekar yang berpengalaman tahulah dia dengan sekali pandang, bahwa luka Sangaji meskipun teraba oleh sesuatu racun tidak akan membahayakan nyawa.
Dalam gardu itu lantas saja terselimuti suatu kesenyapan. Angin mendesir lembut meraba kain sarung yang terpancang menjadi tirai. Bulan di luar nampak remang-remang. Suasana damai
terasa meraba sekitar lembah pegunungan. Wirapati jadi bermenung-menung. Dua belas tahun yang lalu, seringkali dia lewat sekitar Dusun Salatiyang. Meskipun kini belum berubah, tetapi pengalamannya sehari tadi mempunyai kesan tertentu. Daerah lembah Gunung Damar yang
dahulu aman tenteram, ternyata mulai dikunjungi orang-orang tertentu yang mengandung maksud jahat.
Selagi ia bermenung, mendadak saja kain sarung yang terpancang di depannya
menggelembung lembut seperti teraba suatu tangan. Tajam ia mengamat-amati. Benar juga.
Perlahan-lahan sarung itu tersingkap. Kemudian muncullah kepala seseorang men-jenguk ke
dalam. Ia bersangsi dan mau men-duga, bahwa orang itu mungkin seorang pe-ronda kampung
atau salah seorang penduduk. Mungkin pula seorang pengembara yang kebetulan lewat. Tetapi aneh! Mengapa pendengarannya yang tajam tiada mendengar langkahnya. Memperoleh
pertimbangan ini, ia jadi curiga. Cepat ia bersiaga menghadapi kemungkinan.
Orang yang menyingkap sarung itu, seorang laki-laki berperawakan tinggi tipis. Ia mengenakan baju dan celana pendek. Tangannya menggenggam cambuk, mirip seorang sais. Begitu
melihat siapa yang berada di dalam gardu, terus mundur dengan tertawa melalui hidung.
Melihat gerak-gerik orang itu. Wirapati yakin bahwa maksudnya tidak baik. Hatinya menjadi mendongkol, mendengar nada tertawanya dan kekurangajarannya. Tatkala sarung itu turun dan bergelombang ke luar, ia membarengi dengan menyodokkan tangan dengan tenaga gendam.
Seketika itu juga, tirai sarung itu terbang dan tepat mengenai dada. Laki-laki itu kaget sampai memekikkan suara. Tubuhnya terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh tertengkurap. Ia mencoba
tertatih-tatih bangun. Begitu dapat berdiri tegak mendadak saja berlari kabur sambil berteriak,
"Bangsat! Ajal kalian sudah di depan mata, masih berani berlagak sok pendekar?"
Bagus Kempong sudah tentu mengetahui peristiwa itu, tetapi dia tetap tak bergerak dari
tempatnya. Sebaliknya Wirapati terus berkata kepadanya, "Sejiwan sudah berada di depan.
Apakah kita tidak berangkat saja?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tidak!" sahut Bagus Kempong cepat dan tegas. "Malam ini biarpun badai turun dengan dahsyat, kita tak perlu meninggalkan tempat ini. Esok pagi biarlah kita berangkat bersama dengan merangkaknya matahari."
Mendengar kata-kata Bagus Kempong, Wirapati dengan cepat dapat memahami. Se-mangat
keperwiraannya lantas saja berkobar-kobar. Katanya bergelora, "Ya, benar. Jarak perjalanan ke Sejiwan tinggal enam-tujuh pai. Betapapun kita berdua tak becus menghadapi mereka masa harus merosotkan papan nama perguruan. Masakan di kaki Gunung Damar, kita masih menempuh
perjalanan pada malam hari untuk menghindari mereka?"
"E-hm." Bagus Kempong berdehem. "Jejak kita terang sudah ketahuan orang-orang ter-tentu.
Biarlah mereka menyaksikan bagai-mana cara murid Kyai Kasan Kesambi meng-hadapi ajalnya."
Sangaji mendengarkan ucapan guru dan pamannya dengan jelas. Gurunya sama sekali tiada
menyinggung dirinya. Pamannya pun demikian, seolah-olah dia tidak termasuk hitungan. Di sini ternyata, bahwa guru dan pamannya tak menginginkan dia terlibat dalam kesukaran. Bahkan
mereka bersiap-sedia, mengorbankan nyawa bila perlu demi menjaga keselamatan dirinya. Tetapi bagai-mana dia mau diperlakukan demikian" Meski-pun dia tahu maksud baik guru dan pamannya, tetapi diam-diam ia sudah mengambil keputusan, "Jika orang semalam datang kem-bali mengganggu Guru dan Paman karena menginginkan diriku, biarlah aku mengadu nyawa."
Keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan. Waktu itu matahari telah sepenggalah
tingginya. Angin meniup sejuk membawa hawa pegunungan. Mereka meneruskan perjalanan
dengan berkendaraan kuda. Bagus Kempong tak membutuhkan bantuan tenaga Wirapati,
meskipun kesehatan dan tenaganya belum pulih seperti sediakala. Itulah sebabnya pula, kudanya hanya dibiarkan berjalan perlahan-lahan.
Baru saja melampaui dua pai, mereka telah disusul satu rombongan berkuda. Tidak jauh di
sana, kira-kira seratus langkah di depan mereka berdiri empat penumpang kuda pula yang
bersiaga menghadang di tepi jalan. Dengan demikian, mereka terjepit dari belakang dan depan.
Dengan sikap tak memedulikan, Bagus Kempong lewat di depan mereka. Sedangkan
Wirapati menjajari di sampingnya dengan waspada. Mereka yang menghadang ternyata terdiri dari seorang kakek, seorang wanita muda yang cantik dan dua perwira yang mengenakan pakaian seragam.
Wanita muda itu memegang pedang pan-jang dan dengan isyarat mata ia memberi pe-rintah
kepada si kakek agar menghadang dengan melintangkan kudanya. Kedua perwira yang
mendampingi ikut pula melintangkan kudanya sambil tersenyum-senyum meren-dahkan.
Wirapati terus saja lari mendahului Bagus Kempong, sedangkan Sangaji menjaga di belakang.
Dengan menahan gejolak hati, Wirapati memberi hormat dari atas kudanya. Kemudian menyapa,
"Terimalah hormat kami berdua. Bagus Kempong dan Wirapati anak murid Kyai Kasan Kesambi.
Tuan-tuan telah mengunjungi daerah kami dan ternyata kami lalai meng-adakan penyambutan.
CJntuk kelalaian kami harap dimaafkan. Sekiranya Tuan-tuan berla-pang dada, dapatkah kami mengetahui nama-nama Tuan yang mulia?"
Wanita muda itu hanya tersenyum belaka sebagai balasan. Sedangkan kedua perwira yang
mendampingi, meludah ke tanah.
Kemudian si kakek yang berambut gimbal membalas dengan kasar.
"Siapa sudi menerima hormatmu. Cukup serahkan saja bocah itu dan kami takkan mempersulit kalian berdua."
"Bocah ini adalah murid kami. Dan kami adalah murid Kyai Kasan Kesambi. Biarlah beliau yang memutuskan. Lagi pula apakah keuntungannya Tuan membawa murid kami. Sekiranya Tuan
membutuhkan petunjuk atau keterangan tentang tempat-tempat yang Tuan kehendaki, lebih
berhasil apabila membawa kami berdua," sahut Wirapati yang dengan menahan marah. Tetapi di dalam hati dia sibuk menimbang-nimbang, terang sekali mereka mencari perkara. Sangaji hendak dibawanya supaya bisa dipaksanya menunjukkan pusaka warisan. Hm, Kangmas Bagus Kempong
menderita luka tak enteng. Tetapi masa aku harus menyerah mentah-mentah di daerahku sendiri"
Tengah dia sibuk menimbang-nimbang, Kakek itu berkata dengan nada merendahkan.
"Pikirlah masak! Kakakmu seperguruan ter-luka berat. Bocah itu pun kurang sehat. Tinggal kau seorang diri. Masa kamu mampu melawan kami?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah kamu akan mengadu jumlah banyak?" Wirapati tak sabar lagi. Dengan pan-dang tajam ia melepaskan kata-kata tajam pula.
"Bagus! Telah lama aku mendengar kabar, bahwa murid-murid Kyai Kasan Kesambi tak
gampang-gampang bisa diruntuhkan.
Pagi ini biarlah kita mencoba-coba, seru Kakek itu sambil mencabut tongkat galih pohon jambe
). Tongkat itu bentuknya seder-hana tetapi berkepala ular dan terus diputar-putar sehingga mengeluarkan suara berdesing.
Di antara anak murid Kyai Kasan Kesambi, Wirapati adalah salah seorang murid yang ahli dalam menggunakan senjata panjang. Dia terkenal dengan sebutan Aria Sada Lanang ). Tatkala
menerima ajaran ilmu senjata ia diperkenalkan oleh gurunya tentang berma-cam-amcam aliran yang menggunakan senjata sebagai sendi kekuatannya. Maka pengetahuannya tentang
perguruan-perguruan yang mengajar ilmu senjata cukup luas.
Demikianlah, tatkala melihat bentuk senjata kakek itu hatinya jadi tercekat. Teringatlah dia, bahwa gurunya pernah memperkenalkan adanya suatu aliran yang berpusat di sekitar Gunung
Liman, yang mahir menggunakan tongkat berkepala ular sebagai senjatanya yang ampuh. Cara bertahan dan menyerang aliran Gunung Liman agak berbeda dengan ajaran gurunya. Tetapi lebih ganas dan keji. Sebab kecuali dilumurui racun jahat, tiap jurusnya tak memberi kesempatan kepada lawan untuk bernapas barang sekejap pun. Cikal bakal aliran itu bernama Hewa. Apakah Hewa suatu sebutan atau gelar, gurunya tak dapat menjelaskan. Memperoleh ingatan ini, Wirapati mencoba menguasai diri. Seperti diketahui, dia diajar untuk menghormati angkatan tua oleh gurunya, maka segera ia berkata penuh hormat.
"Apakah Kakek berasal dari Gunung Liman" Barangkali Kakek kenal dengan seorang sakti bernama Hewa, sampaikan salamku."
Mendengar kata-kata Wirapati, Kakek itu terperanjat. Tak pernah diduganya, bahwa Wirapati semuda itu sudah mempunyai penge-tahuan luas sehingga mengenal asal-usulnya. Sesungguhnya Kakek itulah yang di sebut He-wa. Namanya yang lengkap, Hajar Sandihewa. Jabatannya ketua aliran sakti dari Gunung Liman. Kedatangannya ke Gunung Damar ialah atas undangan Patih
Danurejo dan dijanjikan akan memperoleh upah besar apabila berhasil membawa pulang pusaka sakti
Pangeran Semono. Beberapa bulan lamanya ia mencoba mengumpulkan berita. Selama itu, tak
pernah ia memperkenalkan namanya atau memperlihatkan macam kepandaiannya. Tak tahunya,
baru saja ia muncul telah dikenal oleh seorang pemuda layak cucunya. Karena itu, terpaksa ia menjawab, "Legakan hatimu. Akulah sendiri yang bernama Hewa. Lengkap-nya Hajar Sandihewa."
"Golongan kalian selamanya tak pernah berhubungan atau bergaul dengan kami dalam
percaturan hidup. Mengapa tiba-tiba Kakek berada di Gunung Damar" Apabila kami pernah
melakukan suatu kesalahan, tolong berilah penjelasan."
Hajar Sandihewa tersenyum merendahkan, mendengar ucapan Wirapati.
"Memang antara golonganku dan golongan-mu tak pernah terjadi suatu permusuhan. Aku pun pernah mendengar berita, tentang kegagahan anak murid Kyai Kasan Kesambi. Tetapi
kedatanganku kemari sesungguhnya hanya menginginkan bocah itu agar memberi keterangan
tentang pusaka Pangeran Semono."
Terdengarnya ia berbicara pantas. Tetapi nadanya berat dan mendesak. Bahkan dengan
lambaian tangan, ia memberi aba-aba kepada rombongan yang mengikuti dari belakang agar
mengepung lebih rapat. Terang sekali, ia hendak memutuskan perkara itu dengan suatu
kekerasan. Mau tak mau, Wirapati mendongkol menyaksikan sikapnya. Karena itu mendadak saja, ia
berkata kaku. "Seumpama aku bersitegang dan menolak kehendakmu apakah yang akan kaulakukan?"
"Ilmu Kyai Kasan Kesambi termasyur di seluruh jagad. Siapa yang tak kenal" Aku pun termasuk salah seorang di antara mereka yang tak berani meremehkan anak muridnya. Kebetulan sekali, kudengar kakak seperguru-anmu terluka dan bocah itu keracunan. Kesempatan ini sangat baik untuk kupergu-nakan memaksa kau dengan mengandalkan jumlah banyak. Seumpama kau
membandel, akan kami persilakan engkau pergi dengan bebas. Hanya saja, kakakmu dan bocah itu harus kutahan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Heran Wirapati mendengar kata-kata Hajar Sandihewa yang hendak mempergunakan
kesempatan itu untuk kepentingannya. Nyata sekali, betapa rendah budinya. Karena itu, tak ada guna faedahnya berlaku hormat kepada-nya. Maka serentak ia menegakkan kepala dan
membentak, "Bagus! Jika begitu, terpaksa aku memberanikan diri mencoba-coba ilmu sakti dari Gunung Liman. Tapi andaikata engkau terpaksa mengalah satu dua jurus ter-hadapku, bagaimana selanjutnya?"
"Jika aku kalah, sudah tentu kami beramai-ramai akan maju mengkerubut," sahut Hajar Sandihewa dengan tertawa riuh. "Habis inilah suatu kesempatan bagus yang belum tentu kuketemukan dalam sepuluh tahun. Sebaliknya, andaikata tiba-tiba saudara-saudara
seperguruanmu secara kebetulan berada di sini, kalian boleh mengkerubut kami. Dengan
demikian, bukankah adil?"
Terang sekali, Kakek itu tahu"Wirapati hanya seorang diri, namun ia mencoba men-cari kata-kata imbangan dengan mengumpa-makan anak murid Kyai Kasan Kesambi tiba-tiba datang.
Maksudnya hendak mempertahankan kehormatan dirinya sebagai seorang dari angkatan tua.
Sebaliknya, Wirapati jadi sadar bahwa tiada gunanya mengadu mulut lagi. Tetapi hatinya sibuk memikirkan keselamatan kakaknya seperguruan dan Sangaji yang lagi terserang sesuatu racun.
Cepat ia berpikir, biarlah kubekuknya dia untuk kujadikan sandera memaksa kawan-kawannya mengadakan kerubutan. Dengan cara mengancam nyawanya, bukankah kawan kawannya
terpaksa membatalkan maksudnya hendak mengkerubut aku dan Kangmas yang sedang terluka
parah" Memperoleh keputusan itu, segera ia meloncat dari kudanya dengan enteng sekali.
Kemudian, ia meminjam pedang Sangaji hadiah Willem Erbefeld. Berkata menantang, "Mari! Kau adalah tamuku. Silakan menyerang dahulu."
Hajar Sandihewa dengan gesit melompat turun dari kudanya. Mendadak saja terus menyerang
dengan keji dan ganas. Benar-benar serangannya tak mengenal ampun dan segan-segan. Wirapati dengan cepat mengelak tiga kali beruntun-runtun sambil berpikir dalam hati, hari ini aku bertempur dengan keselamatan Kangmas, perguruan dan Sangaji. Jika aku sampai gugur, rasanya tak sia-sia hidupku di dunia. Tapi, hm. Sangaji belum memenuhi tekadnya hendak membalas
dendam ayahnya. Apakah dia harus tewas dalam pertempuran ini.
Pada saat itu ia melihat tongkat Hajar Sandihewa menyambar dahsyat. Segera ia menangkis
dan mencoba mengadu tenaga. Terlintaslah suatu pikiran. Biarlah aku berpura-pura kalah tenaga.
Dengan begitu, dia berpikir tak perlu minta bantuan teman-temannya.
Apa yang terlintas dalam benaknya segera dilakukan. Begitu ia terbentur tongkat Hajar
Sandihewa, ia mundur tergeliat. Karuan Hajar Sandihewa yang tadi beragu menghadapi anakmurid Kyai Kasan Kesambi, menjadi girang dan berbesar hati.
Ha, katanya anak-murid Kyai Kasan Kesambi hebat tak terkalahkan. Ternyata hanya berilmu
dangkal. Tenaganya tak mele-bihi pekerja kampungan. Tahulah aku se-karang, mungkin orang-orang itu hanya me-ngibul belaka, pikirnya. Setelah itu berseru kepada kawan-kawannya! "Kalian tak usah membantu. Biarlah aku membereskan bocah ini seorang diri."
Secepat kilat ia menyodokkan tongkatnya. Wirapati menangkis dengan susah payah. Sekalisekali ia menyerang juga, tapi nampak sekali tak berdaya. Karena itu, hati Hajar Sandihewa kian menjadi besar. Sekaligus tim-bullah angan-angannya hendak mempergu-nakan kesempatan ini
untuk mengangkat nama. Maka dengan tertawa riuh meren-dahkan lawan, ia menyambar pulangbalik bagaikan burung sikatan.
Meskipun dia bergerak demikian cepat, namun tiap serangannya selalu kena ditangkis lawan.
Memperoleh kenyataan itu, hatinya jadi panas. Dengan menjejak tanah, ia hendak mengadu
kegesitan. Tongkatnya terus menyambar, menyodok, memukul, menebas dan memotong jurus
tangkisan dan serangan. Wirapati terus bermain mundur. Otaknya yang cerdas dan penglihatannya yang tajam, segera menyelami ilmu Gunung Liman. Dan tak usah lama, ia telah memperoleh kesim-pulan. Benar
gerak-gerik Hajar Sandihewa cepat, ganas dan ruwet. Tetapi banyak me-ngandung lubang
kelemahan. Tetapi ia masih belum mau membalas. Ia menunggu sampai lawannya dimabukkan
semangat menang yang berlebih-lebihan. Pada saat yang ditung-gu-tunggu sewaktu Hajar
Sandihewa mulai bertempur dengan membentak-bentak, segera ia merubah tata-berkelahinya.
Kemudian ber-kata, "Hajar Sandihewa! Apakah hanya ini ilmu kepandaianmu" Hm, bagaimana kau
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berani berkeluyuran memasuki wilayah Gunung Damar hanya dengan berbekal ilmu kepandaian
murahan begini. Lihat pembalasanku!"
Mendadak saja pedang Wirapati berputar seperti kitiran, kemudian mengalun tinggi-ren-dah bagaikan gelombang laut merabu daratan. Hajar Sandihewa kena dilihatnya. Terus saja ujungnya menusuk dan di tengah jalan tangan kirinya menyodok tulang rusuk. Tak ampun lagi. Hajar
Sandihewa runtuh ke tanah sambil berteriak tinggi. Belum lagi ia sempat bangkit kembali, gagang pedang Wirapati telah menyodok tulang lehernya. Seketika itu juga, kakinya terus berlutut dan ia jatuh menu-lungkupi bumi.
"Hai, Hajar Sandihewa! Lihat! Mestinya beginilah gerakanmu!" kata Wirapati. Terus saja ia menirukan gerakan lawan. Pedangnya bergetar lembut dan menghamburkan pantul-an gelombang pendek. Tiba-tiba menusuk empat puluh lima kali pada tubuh Hajar Sandihewa.
"Waduh!" teriak Hajar Sandihewa. Seluruh tubuhnya menjadi pedih dan nyeri. Ia kagum luar biasa. Pikirnya, sekalipun dia tak berkisar dari tempatnya, aku pun takkan sanggup menusuk sampai melebihi lima kali. Tapi dia bisa menghamburkan satu serangan 45 kali tusukan dengan sekaligus. Biarlah aku menjadi muridnya, kepandaianku masih selisih jauh ... hm ... mataku lamur sampai tak bisa menilai ketangguhannya.
Melihat Hajar Sandihewa kena dijatuhkan, kawan-kawannya yang mengepung serentak turun
dari kudanya dan siaga menyerbu. Cepat Wirapati mengancamkan pedangnya ke teng-gorokan
Hajar Sandihewa sambil membentak.
"Lekas kalian enyah dari Gunung Damar.
Begitu kalian lenyap dari penglihatan, Hajar Sandihewa akan kubebaskan."
Dengan mengancam keselamatan nyawa Hajar Sandihewa, Wirapati mengira mereka akan
terpaksa tunduk kepada kehendaknya. Tak terduga, wanita cantik yang tadi memberi isyarat mata kepada Hajar Sandihewa agar melintangkan kudanya, menegakkan pedang-nya ke udara sambil
berseru nyaring, "Kawan-kawan serbu! Tawan mereka yang terlukai"
"Siapa berani maju selangkah, akan kubunuh Hajar Sandihewa!" gertak Wirapati.
Siapa mengira, ternyata wanita cantik itu tiada menggubris ancamannya. Dengan memutar
pedangnya, ia malahan mendahului menerjang. Sudah barang tentu bawahannya ikut pula
menerjang. Seperti wanita itu, mere-ka tak memedulikan keselamatan Hajar Sandihewa.
Sesungguhnya, wanita muda itu adalah salah satu keluarga ningrat di Yogyakarta. Puteri
siapakah dia, sejarah tak memperke-nalkan. Dia adalah pemimpin pasukan penyerbu itu.
Tujuannya hendak menculik Sangaji untuk memperoleh keterangan tentang pusaka Pangeran
Samono. Hajar Sandihewa merupakan jago undangan belaka. Syukur dia bisa berhasil memenuhi undangan dengan janji upah besar. Apabila tidak, matipun tak menjadi soal.
Keruan saja dalam hal ini, Wirapatilah yang jadi keripuhan. Rencananya sekaligus gagal.
Dengan cepat tahulah dia, bahwa Hajar Sandihewa tak dapat dibuatnya suatu sandi-wara.
Membunuhnya pun tiada guna. Tatkala melihat delapan orang hendak menyerang Bagus Kempong yang masih duduk bercokol di atas kudanya, cepat ia berkisar hendak menghadang. Tetapi dia kena dilibat tujuh orang yang menyerang dari samping. Terpaksa ia mempertahankan diri dan berusaha memusnahkan. Hatinya jadi gelisah. Apalagi dari arah lain, menyerbu suatu gerombolan yang sedang mengepung Sangaji.
"Aji! Apakah kamu belum bisa bergerak?" tanyanya lantang. Belum lagi Sangaji men-jawab, mendadak terdengar Bagus Kempong berseru lantang.
"Suryaningrat! Mengapa masih menong-krong di atas pohon" Apalagi yang kautung-gu" Tolong kakakmu!"
Mendengar seruan Bagus Kempong, Wira-pati heran. Apakah kakaknya seperguruan lagi main
gertak" Ternyata untuk kesekian kalinya, ia kagum kepada ketajaman indera kakaknya
seperguruan. Karena berbareng dengan kalimat seruan yang penghabisan, sekonyong-konyong
terdengarlah suatu suitan nyaring di udara. Seseorang melesat dari mahkota daun sambil berteriak nyaring.
"Kangmas Wirapati! Baik-baikkah engkau" Aku benar-benar rindu padamu!"
Seorang pemuda berperawakan tinggi tegap, turun di atas tanah dengan mencabut pedang.
Dialah Suryaningrat anak murid Kyai Kasan Kesambi kelima. Dia tadi bersembunyi di balik pohon
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang berada kira-kira dua puluh langkah dari medan pertempuran. Dan Bagus Kempong bisa
mendengar pernapasannya. Itulah suatu tanda betapa tajam ilmu panca-inderanya.
Mendengar suara Suryaningrat, sudah ba-rang tentu Wirapati girang bukan main. Dengan hati meluap-luap ia menyambut.
"Suryaningrat! Engkaukah itu?"
Suryaningrat tertawa nyaring. Dalam pada itu pedangnya bergetar lembut dan tiba-tiba
menerjang gerombolan yang datang me-nyerang Bagus Kempong, tubuhnya melesat ke sana ke
mari bagaikan bayangan. Dan terdengarlah suara gemelontangan. Ternyata pedang mereka yang menyerang terenggut
dari tangannya masing-masing.
Wanita muda yang memimpin penyerbuan terperanjat menyaksikan kegesitan lawan. Cepat ia
membagi anak buahnya agar mem-bendung. Dengan demikian ia bisa leluasa menawan Sangaji
atau Bagus Kempong. Tetapi usahanya sia-sia belaka. Sangaji yang dikiranya telah punah
tenaganya oleh suatu racun, ternyata bisa pula melontarkan tenaga dahsyat sekali dua kali.


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sedangkan pemuda yang datang membantu itu, bergerak luar biasa gesit. Belum lagi ia sempat mengatur perlawanan, pedangnya sendiri kena dilontarkan ke udara.
Wirapati kagum bukan kepalang menyak-sikan kegesitan dan ilmu pedang Suryaningrat. Diamdiam ia girang. Katanya dalam hati, ah, agaknya ilmu Mayangga Seta sudah diturunkan kepada Suryaningrat dan kini dirubah menjadi sendi ilmu pedang. Kemudian berseru nyaring, "Bagus!
Guru sudah berhasil mencip-takan ilmu pedang Mayangga Seta."
Sesungguhnya ilmu pedang yang dimainkan Suryaningrat adalah sendi-sendi ilmu Mayangga
Seta yang sudah diturunkan kepada sekalian muridnya dua belas tahun yang lalu, tatkala Wirapati sedang menempuh perjalanan ke daerah Barat. Jurusnya hanya meliputi empat belas macam.
Gerakannya sederhana. Tetapi mengandung tenaga getar yang dahsyat dan perubahan-perubahan bidang gerak yang susah diduga. Dua belas tahun yang lalu, tatkala Wirapati tiada kembali ke perguruan, Kyai Kasan Kesambi segera memanggil sisa muridnya, la merundingkan kemungkinan sendi-sendi ilmu Mayangga Seta untuk dijadikan dasar penciptaan ilmu pedang. Mula-mula Kyai Kasan Kesambi memperoleh kesulitan-kesulitan, karena ilmu Mayangga Seta sebenarnya adalah suatu ilmu pelipatan diri. Tetapi ternyata kini, semua kesulitan bisa diatasi. Suryaningrat sudah dapat mempertunjukkan kehebatannya. Dan tiada seorang jago pun undangan Patih Danurejo
mampu mengadakan suatu perlawanan dalam tiga gebrakan.
Karena kagumnya. Wirapati sampai melon-cat mundur ke luar gelanggang. Dengan cer-mat ia
menonton bagaimana Suryaningrat me-mainkan pedangnya. Dengan hanya melon-tarkan lima
jurus serangan belaka, tujuh belas orang jaguan undangan Patih Danurejo, kena dilukai. Lebih mengherankan lagi, bahwa senjata mereka masing-masing tiba-tiba saja terlepas dari tangan.
"Mundur!" seru wanita muda itu. Segera ia melompat ke atas kudanya dan kabur ke utara.
Begundal-begundalnya ikut pula lari tunggang-langgang berpencaran.
Wirapati kemudian membebaskan Hajar Sandihewa. Senjata tongkatnya yang runtuh di tanah
dipungutnya dengan hormat dan diselipkan ke pinggang pemiliknya. Sudah barang tentu, wajah Hajar Sandihewa merah karena malu. Cepat-cepat ia lari dan kabur tanpa keblat.
Dalam pada itu, Suryaningrat telah me-nyarungkan pedangnya kembali. Kemudian
menghampiri Wirapati dan berkata penuh girang sambil menggenggam tangan.
"Kangmas Wirapati, apakah engkau jatuh dari langit?"
"Betapa rinduku kepadamu."
"Suryaningrat! Kau sudah begini besar. Tubuhmu tumbuh menjadi tegap tinggi," sahut Wirapati tertawa. Tatkala mereka berpisah dahulu, Suryaningrat lagi berusia 17 tahun. Selang dua belas tahun, ia berubah menjadi seorang pemuda masak yang gagah dan ganteng. Maka dengan
menggandeng tangannya, Wirapati membawa ke arah Sangaji. Pemuda itu yang masih terganggu kesehatannya itu, dengan memaksakan diri turun dari kudanya.
"Siapa dia?" Suryaningrat heran.
"Dialah kemenakan muridmu. Namanya Sangaji."
"Ah! Dialah yang menolong muridku Retno-ningsih?" Suryaningrat terbeliak. "Pantas! Meskipun terkena racun, tinjunya masih dahsyat."
Kisah Sepasang Rajawali 5 Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long Pendekar Bayangan Setan 14

Cari Blog Ini