Ceritasilat Novel Online

Bende Mataram 17

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 17


lengan bajunya kena tercengkeram hingga sobek memanjang. Syukur, kulitnya tak tergarit.
Bagaimanapun juga, pemuda itu menjadi gentar. Meskipun demikian, ia tetap melawan. Dengan meliukkan tubuh ia menyerang. Setelah itu, dia berkisar dan lari berloncatan mendekati sebatang pohon lagi.
Tatkala itu, Pringgasakti sudah berputar bagaikan seekor harimau ganas yang luput menubruk mangsa. Ia menggerung tinggi dan siap menubruk kembali. Terdengar Sangaji berseru, "Aki Pringgasakti! Kepandaianku tak dapat menandingi kepandaianmu. Kasihanilah diriku."
Terang, anak muda itu memberi hati kepada Pringgasakti. Kecuali itu, memberi pamor pula.
Sebenarnya, ia tak kalah menghadapi iblis itu. Dengan cara bertempur begini ia akan memperoleh kemenangan. Tapi keluhuran budinya mengajak dirinya lebih baik mengalah terhadap seseorang yang berusia tua.
Mendengar kerendahan hati Sangaji, mau tak mau Pringgasakti menyahut, "Jikalau kita mengadu kepandaian, mestinya aku harus menyatakan kalah setelah aku tak berhasil
menumbangkan engkau dalam tiga jurus. Tapi sekarang, soalnya adalah lain. Aku bukan lagi mengadu ilmu kepandaian. Tetapi aku hendak menuntut balas. Karena itu salah seorang harus mampus."
Sehabis mengucapkan kalimat itu, ia terus menyerang saling menyusul. Tangannya kembali
berserabutan dengan disertai tendangan kaki yang mengeluarkan deru angin. Tetapi Sangaji dapat juga mengelakkan dengan ilmu petaknya yang lincah. Ia melompat ke sana ke mari dengan selalu mendekati pohon.
Makin lama hati Pringgasakti makin gemas. Pada akhirnya, ia menyerang dengan dua tangan
berbareng. Hebat akibatnya. Waktu itu Sangaji berada di bawah sebatang pohon sebesar
sepelukan tangan anak berumur sepuluh tahun. Cepat ia bergeser sambil melontarkan pukulan.
Maka dengan suara bege-meretak, pohon itu tumbang kena serangan Pringgasakti yang dahsyat.
Semua yang berada di situ adalah pen-dekar-pendekar terkenal. Meskipun demikian, mereka
terkejut menyaksikan kedahsyatan serangan Pringgasakti. Berbareng mereka melompat ke
samping menghindari tumbangnya pohon itu. Celakalah nasib Yuyu Rumpung. Pendekar yang
masih merem-me-lek menahan rasa nyerinya itu, tak dapat bergerak dengan cepat. Kakinya
segera kena himpitan, sehingga ia menjerit-jerit seperti seekor babi kena sembelih. Manyarsewu dan Cocak Hijau segera menolongnya.
Sanjaya yang berada tak jauh dari tempat itu, hendak mempergunakan kekacauan itu dengan
melarikan diri. Ia sudah memutar tubuh. Tahu-tahu punggungnya menjadi kaku. Tubuhnya tak dapat digerakkan lagi, sehingga terpaksalah dia berdiri seperti tugu. Siapa yang menghukum dia demikian, tak tahulah kita.
Pringgasakti sendiri, kala itu lagi memperhatikan Sangaji semata. Kakek itu benar-benar kagum dan dengan diam-diam memuji ilmu kepandaiannya. Pikirnya, hebat benar anak ini. Dahulu seusia dia, aku belum memiliki ilmu yang dimilikinya sekarang. Kelak, apabila dia sudah sebaya dengan aku ini, belum tentu dewa-dewa kayangan dapat mengalahkan. Ia akan malang-melintang tanpa tandingan. Ah, lebih baik kutumpasnya sekarang, agar kelak tidak menjadi penyakit berbahaya.
Ia terus menyambar dengan menyerang lebih gesit lagi. Kali ini Sangaji benar-benar terdesak.
Tenaganya telah separuh terkuras. Meskipun masih gesit, namun menghadapi serangan
Pringgasakti yang melanda saling menyusul, ia merasa kuwalahan juga. Kedua kaki iblis itu ternyata dapat bergerak saling berganti. Kadang-kadang di tengah jalan berhenti dengan tiba-tiba untuk digantinya dengan kibasan tangan dan cengkeraman jari.
"Awas!" seru Wirapati. Guru itu, benar-benar mulai merasa gelisah. Ia menyayangkan, apabila muridnya terpaksa memperoleh bahaya yang tak dapat dielakkan. Sedangkan dia sendiri merasa tak mampu menolong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam keadaan bahaya, Sangaji masih bisa bergerak dengan gesit. Dengan tangan kirinya ia membendung serangan. Kemudian tangan kanannya menyedot dengan jurus ilmu sakti Kumayan
Jati ke tujuh belas. Hanya sayang, tenaganya sudah banyak berkurang. Begitu tenaganya
terbentur, ia terpental mundur tiga langkah. Pringgasakti pun tak terkecuali. Ia ter-paksa pula mundur terhuyung tiga langkah. Tetapi ia bergembira. Sebab, tahulah dia bahwa tenaga lawannya sudah berkurang.
Maka dengan berani, ia terus mengembangkan kelima jarinya. Cepat ia memutar jari kelingking dan menggurat telapak tangan Sangaji dengan kuku jari penunjuk. Kemudian melompat mundur dengan tertawa berdongak.
Sangaji terperanjat. Insaflah dia, bahwa baru saja ia mendapat bahaya. Gugup ia memeriksa tangan. Darah hitam bersemu hijau merembes keluar dari telapak tangan. Seluruh tubuhnya
lantas menjadi panas. Itulah akibat luka guratan Pringgasakti yang beracun. Seketika itu juga, ia hanya terkejut. Ia mengeluh kepada Titisari,
"Titisari, aku kena racun..." Habis berkata demikian, terus saja ia melompat merangsak Pringgasakti.
Aku harus merebut obat pemunahnya, pikirnya.
Tetapi Pringgasakti adalah seorang iblis yang licin. Tak mau lagi ia melayani, la hanya mengelak dengan berloncatan dan lari berputaran.
Titisari dan Wirapati kaget sekali mendengar suara keluhan Sangaji. Dari kaget, mereka
menjadi gusar. Ternyata Pringgasakti berhati palsu, keji dan biadab. Itulah sesuatu hal yang tak pernah mereka duga. Maklumlah, mereka adalah keturunan ksatria sejati. Meracun lawan tatkala sedang mengadu kepandaian adalah tabu.
"Abu!" teriak Titisari. "Kau sudah kalah, mengapa meracun" Benar-benar kau iblis seperti kata orang. Pantaslah kamu sampai hati mengkhianati ayahku. Hayo, keluarkan obat pemunahnya."
Pringgasakti berlagak tak mendengar ujar Titisari. Masih saja ia lari berputar-putaran dengan tertawa bergelak-gelak. Ia girang benar, melihat Sangaji terus mengubernya tanpa berhenti.
Pikirnya dalam hati, makin mengeluarkan tenaga makin dekatlah saat mampusmu. Racunku akan bekerja dengan hebat. O, terima kasih kau janda Calon Arang yang sudi mewariskan ilmu racunmu kepada anak turunanmu. Siapa menyangka, bahwa dengan ilmu kepandaianmu aku berhasil
membalaskan dendam, adikku"
Janda Calon Arang seorang sakti aliran sesat pada zaman Erlangga. la beragama Durga dan
malang melintang tiada lawannya. Dalam menekuni ilmunya, seringkali dia mengadakan
percobaan-percobaan dengan meracuni penduduk sekitarnya. Bahkan lambat-laun menyerang
ibukota dan berani memusuhi raja. Tapi ia dikalahkan oleh seorang sakti lainnya bernama Empu Baradah.
Dengan matinya janda yang kejam itu, lenyap pula ilmunya dari percaturan orang. Tak tahunya setelah melalui tujuh abad, muncullah Pringgasakti sebagai tokoh sakti yang mengejanal ilmu jahat itu. Siapa gurunya, sejarah tak dapat membuka tabirnya.
Sesungguhnya, setelah berputar-putar beberapa saat lamanya, mata Sangaji mulai terasa
menjadi kabur. Kepalanya pusing, benaknya seperti kena tusuk ribuan jarum. Tubuhnya lantas saja menjadi panas. Belum selintasan sudah menggigil bagai seseorang menderita sakit demam.
Itulah suatu tanda bahwa racun Pringgasakti mulai bekerja
Titisarir cemas melihat keadaan kekasihnya. Ternyata wajah Sangaji berubah menjadi pucat lesu. Semangatnya merembes seperti air.
"Aji mundurr!" Mendengar suara kekasihnya, tersadarlah Sangaji. Cepat ia menghentikan langkahnya,
nafasnya tersengal-sengal. Semangatnya terasa terbang, la tahu, apabila kekasihnya cemas melihat suatu dasar alasan yang kuat, takkan mencegah sepak terjangnya dengan sunguh-sungguh. Tetapi hatinya masih penasaran terhadap kekejian dan kepalsuan lawan, ingin ia
menggempur sekali mati, agar bisa bersama-sama memasuki liang kubur. Sayangnya, terasa
lemas tak berdaya. Tetapi di luar dugaan, terjalinlah suatu keajaiban yang tak pernah terpikirkan.
Seperti diketahui, ilmu sakti Kumayan Jati terbagi menjadi dua. Yakni, pukulan keras dan lembek. Tanpa disadari Sangaji sendiri, ia telah melontarkan pukulan lembek.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maklumlah, enam pokok pukulan yang merupakan jurus ilmu sakti Kumayan Jati belum
diwariskan kepadanya. Ternyata pukulan lembek itu berdasarkan suatu himpunan tenaga yang terpusat. Kemudian
dilepaskan dengan perlahan, seperti seseorang yang menahan napas tatkala tersengal-sengal.
Sangaji menaruh dendam besar kepada Pringgasakti. Semangatnya berkobar-kobar untuk
menggempur mati. Tetapi kemudian untuk melontarkan pukulan penuh dendam itu dengan titik-balik tenaga, gagal karena tenaganya seolah-olah lenyap. Justru itulah letak rahasia pukulan lembek. Begitu pukulan itu dilepaskan dengan asal-asalan, mendadak saja Pringgasakti memekik kaget. Pundaknya tiba-tiba terhajar tanpa sepengetahuannya. Lantas saja ia jatuh terjungkal.
Titisari dan Wirapati melihat, tatkala Sangaji melepaskan suara pukulan. Di saat itu mereka hendak menyerang Pringgasakti. Mendadak saja, mereka merasa seperti disibakkan oleh suatu gumpalan awan bergulungan. Cepat mereka meloncat ke samping. Berbareng dengan itu, mereka melihat Pringgasakti kaget sampai berjingkrak. Inilah suatu kejadian di luar dugaan mereka.
Sebentar Titisari tercengang-cengang, mendadak saja suatu ingatan menusuk benaknya. Cepat ia menghampiri Sangaji dan memeluknya sewaktu akan roboh. Bisiknya setengah girang.
"Engkau kena racun, tetapi masih bisa memukul dari jauh. Pastilah itu jasa getah saktimu.
Cepat, pusatkan seluruh perhatianmu untuk menghimpun tenaga getah sakti! Berusahalah
mendesak racun iblis itu ke ujung jari. Kemudian lontarkan pukulan semacam tadi."
Saat itu, mata Sangaji sudah benar-benar menjadi kabur. Pendengarannya berubah lemah pula.
Ia seperti kena obat bius yang segera meluluhkan semua tenaganya. Tapi ingatannya masih bisa bekerja. Begitu mendengar bisik Titisari, cepat-cepat ia menyedot napas ajaran tata napas Ki Tunjungbiru. Benar juga! Tiba-tiba suatu hawa hangat bergolak di dalam perutnya.
Kemudian bergulungan mengitari pusat. Itulah cara menghimpun tenaga ajaran Ki Tunjungbiru yang menurut Gagak Seta bernama ilmu Bayu Sejati. Setelah itu, perlahan-lahan ia menyalurkan gumpalan hawa hangat ke dadanya. Dari sana terus menyalur ke lengannya. Hampir saja dia
berhasil, tetapi tiba-tiba ia mendengar kesiur angin. Dan itulah kesiur angin tenaga pukulan Pringgasakti.
Iblis itu gusar bukan kepalang kena pukulan yang luput dari pengamatannya. Selama hidupnya, belum pernah ia mengalami kejadian demikian. Waktu itu ia benar-benar terjungkal sampai
mencium tanah. Seluruh tubuhnya menggigil, karena menahan rasa nyeri. Dengan menggerung
keras, ia bangkit dan terus menyerang dengan menutup mata. Tetapi di tengah jalan, ia dirintangi Wirapati. Terpaksa ia menyibakkan penghalang itu. Dengan demikian, tenaga serangannya agak berkurang. Belum lagi ia bisa menyibakkan benar-benar terdengar pulalah suatu serangan dahsyat dari samping. Itulah serangan Bagus Kempong murid ketiga Kyai Kasan Kesambi. Kaget ia
memiringkan tubuh dengan bergulingan. Dan benar-benar hebat iblis itu. Meskipun ia kena serang begitu cepat danganas, namun masih saja tangan bisa mencengkeram ke arah Sangaji. Hanya
saja, ia menjadi kaget. Kelima jarinya menjadi panas dan pedih. Selain itu, gatal pula. Cepat ia menarik dan memeriksanya. Ternyata kelima jarinya kena duri tajam baju Titisari, yang melindungi dada dan punggung.
"Wuhaaaa!" jeritnya tinggi karena mendongkol.
Pendekar-pendekar lainnya yang tadi mengkerubut Wirapati dan Bagus Kempong, ternyata
tiada bergerak dari tempatnya. Meskipun Manyarsewu dan Cocak Hijau beradat berangasan,
mereka termasuk tokoh-tokoh pendekar yang menjunjung tinggi sifat ksatria. Mereka benci
melihat Pringgasakti berhati keji dan palsu dengan meracun lawan. Sawungrana dan Abdulrasim pun diam-diam ikut mengumpat kepalsuan itu pula. Dengan demikian, Wirapati dan Bagus
Kempong bisa melawan Pringgasakti dengan perhatian penuh.
Oleh perlindungan Wirapati dan Bagus Kempong yang cukup tangguh, Sangaji jadi tak
terganggu lagi. Pemuda itu terus memusatkan seluruh tenaga getah sakti. Beberapa saat
kemudian, berhasillah dia mendesak racun jahat Pringgasakti sampai ke ujung jari. Kini ia melihat, ujung jarinya meng-uapkan asap tipis. Kiranya dengan cara de-mikianlah, mengapa tangan
Pringgasakti nampak selalu berasap. Ternyata yang berasap itu adalah semacam asap tipis, tergolong salah satu ilmu karang ) yang sudah lama hilang dari percaturan manusia.
Titisari bergembira melihat kekasihnya berhasil mendesak racun yang merayap ke dalam
tubuhnya. Wajahnya sudah kembali menjadi merah segar! Dengan luapan hati, ia bertanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagaimana?" "Aku berhasil," sahut Sangaji dengan tersenyum bersyukur. "Rasa runyam dalam tubuhku, begini lenyap dengan cepat. Rupanya racun ini bisa bekerja dengan cepat dan hilang pula dengan cepat."
"Tapi mengapa masih berasap?"
"Benar-benar aneh sifat racun ini. Serasa ada sebuah gelembung sebesar bongkah batu melekat di ujung jari."
Titisari diam sejenak. Tiba-tiba teringatlah dia kepada pengalaman sebulan yang lalu di dalam gua. Sangaji berhasil menggempur dinding gua dengan sekali gempuran. Maka ia berkata dengan penuh harapan.
"Aji! Kau berhasil mendesak racun itu sampai ke ujung jari. Hanya saja, engkau belum berhasil membebaskan dan melontarkan. Mengapa?"
Sangaji mencoba melontarkan gelembung asap yang melekat di ujung jari. Tetapi ia tak
berhasil, mencoba lagi, dan tetap tak berhasil juga. Akhirnya, dia menggelengkan kepala, karena tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Bagaimana caramu mendesak racun berasap itu?" tanya Titisari cemas.
"Dengan ilmu tata napas Ki Tunjungbiru."
"Hai, bukankah menurut Paman Gagak Seta, bernama Bayu Sejati?"
Sangaji mengangguk. "Kau dahulu pernah menggempur dinding gua dengan mengadukkan tata-napas Bayu Sejati dan Kumayan Jati. Mengapa sekarang tak kaucoba?"
Memang Sangaji sudah mempunyai pikiran demikian. Hanya saja, ia masih gentar memperoleh
pengalamannya dahulu. Bukankah dia hampir tak dapat bernapas. Kini dalam tubuhnya mengalir pula hawa beracun. Tanpa petunjuk Gagak Seta, ia bisa mengalami bahaya. Sedangkan dahulu saja, tubuhnya hampir pecah. Karena itu, ia menjawab, "Aku tak berani. Racun masih melekat pada jalan darah."
Titisari jadi kecewa. Harapan untuk dapat memukul roboh Pringgasakti dengan suatu pukulan ajaib, meredup. Mendadak ia berkata lagi, "Tapi kau tadi bisa melontarkan pukulan dari jauh.
Mengapa?" Diingatkan tentang pukulan yang baru saja dilontarkan tadi, terbangunlah semangat Sangaji.
Terus saja ia menghimpun tenaga sambil menyahut, "Tadi aku menggunakan tata-napas Kumayan Jati tatkala memukulkan, tenagaku terhalang."
"Tapi hasilnya bagus. Cobalah!" Titisari memberi semangat.
Betapa lemah seorang pemuda. Tapi apabila diberi semangat oleh kekasihnya, akan terbangun pula keberaniannya. Maka ia segera berdiri. Cepat ia menyalurkan gelombang tata-napas Gagak Seta. Seperti diketahui, sifatnya galak dan mendesak dengan sekuat tenaga. Alangkah girang hatinya, karena gelembung asap beracun itu terasa tersembul ke luar. Kini terasa tinggal sejalur benang belaka yang masih melekat pada ujung jari.
"Guru minggir!" teriaknya.
Berbareng dengan teriakannya, dilontarkan-lah gelembung asap beracun itu berbareng dengan pukulan lembek ilmu sakti Kumayan Jati.
Mendengar seruan Sangaji, Wirapati dan Bagus Kempong dengan berbareng melompat ke
samping. Mereka ingat, Sangaji bisa memukul Pringgasakti dari jarak jauh. Maka berbareng dengan loncatannya, suatu gumpalan angin halus terlontar bergulungan. Pringgasakti sedang repot menghadapi serangan Wirapati dan Bagus Kempong yang cepat dan berbahaya. Dia pun tak mengira, Sangaji bisa pulih kembali begitu cepat. Tahu-tahu dadanya jadi sesak, la merendah dan terhajarlah pundaknya. Tanpa bersuara lagi, ia roboh terguling. Secepat kilat Wirapati
menghampiri dan menyabetkan pedangnya.
"Guru! Ampuni dia!" teriak Sangaji, sambil menangkis pedang Wirapati dengan pukulan lembek pula. Wirapati segera meloncat mundur dan berdiri berdampingan dengan kakaknya seperguruan yang tangguh.
Waktu itu, Pringgasakti sudah tertatih-tatih bangun lagi. Ia nampak agak sempoyongan, tetapi masih mau melawan. Sangaji jadi perasa. Berkatalah anak muda itu, "Hari ini, baiklah kita akhiri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
saja permusuhan kita. Kami tak akan meghukum kau yang berlaku curang. Nah, pergilah dengan selamat!"
"Hm!" dengus Pringgasakti. "Kau hebat benar. Kau bisa membebaskan diri dari racunku, malahan dapat pula mengembalikan."
Setelah berkata demikian, ia merogoh sebungkus ramuan obat dari sakunya. Lekas-lekas ia
menelannya dan segera menyalurkan napas untuk mengusir asap racunnya sendiri.
Sekonyong-konyong, berkelebatlah sesosok bayangan. Dialah orang yang mengenakan jubah
abu-abu dan bertopeng hantu. Tahu-tahu, punggung Pringgasakti kena tercengkeram dan terus diangkat tinggi-tinggi, berbareng dengan itu, terus melesat sambil menggondol Pringgasakti.
Peristiwa itu benar-benar mengagetkan dan mengagumkan semua yang melihat. Pringgasakti
adalah seorang iblis sakti. Tetapi dengan mudah, hantu berjubah abu-abu itu dapat menerkamnya demikian rupa sehingga tak berdaya sama sekali. Tenaganya luar biasa kuat dan tangkas melebihi manusia wajar. Keruan saja, makin direnungkan makin menakjubkan hati, sampai-sampai
pendekar Majarsewu dan Cocak Hijau yang biasanya mengagungkan kepandaiannya sendiri,
berdiri terlongoh. Wirapati, Bagus Kempong, Sangaji dan Titisari saling berpandang. Dalam hati mereka masingmasing timbulah suatu keinginan memperoleh keterangan tentang hantu itu. Sadar bahwa mereka benar-benar gelap mengenai hantu itu, maka sasaran mereka kini mengarah kepada para
pendekar. Tetapi pendekar-pendekar ini pun setali tiga uang seperti keadaan mereka. Karena itu, akhirnya mengalamatkan teka teki hatinya kepada Sanjaya. Maklumlah, mereka kenal Pringgasakti sebagai gurunya. Tetapi Pringgasakti tadi, tiada kenal pula dengan asal-usul hantu itu. Bahkan ia mencoba menangkapnya, namun selalu gagal.
Sebaliknya Titisari yang ingatannya tajam, berpikir lain melihat Sanjaya, teringatlah ia pada Nuraini. Antara pemuda itu dan Pringgasakti tadi terjadilah suatu percakapan samar-samar mengenai Nuraini. Nampaknya dalam hal ini, Nuraini memegang peranan pula.
Sesungguhnya munculnya Pringgasakti dengan tiba-tiba itu adalah jasa Nuraini. Malam itu, setelah melompat ke luar jendela, terus saja ia hendak pulang ke pondok. Hatinya girang bukan main. Apabila teringat akan dekapan Sanjaya mukanya merah dan terasa panas. Tetapi mulutnya dengan tak disadarinya, selalu menyungging senyum menggigit. Ontunglah, waktu itu malam hari.
Keadaan wajahnya terlindung kepekatan malam. Selain itu, dusun sangat sunyi. Seumpama
keadaan demikian terjadi pada siang hari, pastilah dia akan disangka orang gendeng.
Selagi ia merenung-renung, pundaknya ditepuk perlahan amat lembut. Terkejut ia melompat ke depan. Kemudian menoleh cepat sambil mempersiagakan tangan. Berbareng dengan itu
terdengarlah suara lemah lembut,
"Nuraini! Malam ini kau tidur di mana?"
Hatinya lega luar biasa, melihat siapa yang berbicara. Karena dia adalah pujaan hatinya.
Ternyata Sanjaya mengikuti dirinya dengan diam-diam tatkala meninggalkan rumah almarhum
Wayan Suage dan Made Tantre.
Sesungguhnya, demikian halnya. Kedatangan Sanjaya ke Dusun Karangtinalang, adalah atas
perintah Pangeran Bumi Gede, untuk menyelidiki benda mustika warisan Pangeran Semono yang diimpi-impikan semenjak belasan tahun yang lalu. Teringat, bahwa benda mustika tersebut dahulu dibawa oleh Wayan Suage, maka Pangeran itu men-duga bahwa dengan munculnya Wayan Suage
kembali, berarti munculnya wasiat Pangeran Semono juga. Dari keterangan sang Dewaresi, ia mendengar kabar bahwa Wayan Suage dahulu membawa benda mustika tersebut di sekitar kali
Jali. Karena itu ia segera memanggil Sanjaya agar mengikuti ke mana perginya kawan Wayan Suage yang membawa mayatnya. Dia menaruh harapan besar pula, bahwa Sanjaya akan berhasil memperolehnya, mengingat anak itu adalah keturunan Wayan Suage. Siapa tahu, bahwa sebelum Wayan Suage menghembuskan napasnya yang penghabisan sudah membisiki tentang beradanya
benda mustika Pangeran Semono kepada salah seorang di antara mereka yang melindungi dirinya.
Ontuk diwariskan kepada anaknya. Maka dengan sungguh-sungguh ia berkata kepada anak
angkatnya. "Tanpa benda wasiat Pangeran Semono, ayahmu ini takkan berhasil menaiki tahta kera-jaan.
Sebaliknya apabila engkau berhasil membawa pulang benda mustika tersebut akan memudahkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ayahmu naik tahta. Dan itu berarti kebahagiaanmu pula. Engkau akan kuangkat menjadi patih.
Dengan demikian, ayah dan anak tercatat oleh sejarah sebagai pembangun kerajaan baru."
Sanjaya tahu bahwa ayahnya sedang merebut tahta kerajaan dengan diam-diam. Karena
dengan giatnya mengumpulkan pendekar-pendekar pilihan dari seluruh wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur agar menjadi pembantunya yang setia. Maka dia mendengarkan tiap kata ayahnya
dengan sungguh-sungguh. "Benda wasiat Pangeran Semono dulu dibawa lari ke sekitar lembah Sungai Jali. Kurunglah lembah itu untuk satu pancingan. Apabila salah seorang dari mereka muncul di sekitar lembah, janganlah beragu lagi. Teruslah bertekun dan bertindaklah mengimbangi keadaan. Rebutlah
kembali hak-milikmu. Kalau kau berhasil, dunia ini berada dalam genggafnanmu," kata Pangeran Bumi Gede.
Sanjaya girang mendengar ucapan ayahnya. Ia percaya ayahnya sangat cerdik dan pandai. Ia tahu pula, di belakang ayahnya berdiri Patih Danurejo II dan kompeni.
Demikianlah maka dia mulai membagi pekerjaan, ia mengikuti perjalanan ayahnya pulang ke
Bumi Gede sampai di persimpangan Ambarawa. Sedang Yuyu Rumpung dengan Sawungrana
diperintahkan untuk mengambil jalan pegunungan. Dia ditugaskan untuk menjejak dan menyelidiki di mana mayat Wayan Suage dikebumikan.
Sanjaya sendiri, kemudian membawa empat orang pendekar dan empat puluh tentara berkuda,
la mengambil jalan lewat Magelang atas petunjuk-petunjuk ayahnya. Kemudian mengurung Dusun Karangtinalang, setelah memperoleh laporan Yuyu Rumpung bahwa pendekar itu telah berjumpa dengan Sangaji dan Titisari. Tetapi, ternyata ia tak berhasil. Seluruh dusun sudah diaduknya.
Sangaji dan Titisari tetap tak dapat diketemukan.
Beberapa hari kemudian, datang suatu laporan bahwa para pendekar melihat berkele-batnya
sesosok bayangan yang mencurigakan. Sekaligus terbangunlah kecurigaannya. Ia menduga,
tentang salah seorang kawan yang dulu melindungi Wayan Suage. Mendadak saja muncullah
Nuraini di luar dugaannya. Betapa dia takkan girang. Dengan diketemukan Nuraini, akan
terbukalah tabir yang menggelapkan penyelidikannya. Maka ia tak mau membiarkan burung itu terlepas dari intaiannya. Begitu Nuraini hilang meloncati jendela, terus saja ia menguntitnya.
"Kau mau apa?" Nuraini membalas per-tanyaannya dengan jantung berdegupan.
Sanjaya seperti menyesali diri, berkata dengan hati-hati.
"Satu minggu aku berada di sini, dan sama sekali tak kuketahui bahwa itu adalah rumah kita.
Mestinya aku memberi kabar kepadamu. Tapi di mana engkau berada selama ini belum kuketahi pula. Ah, tentunya kamu tersiksa dalam satu minggu ini. Di mana kamu terpaksa menumpang
tidur?" "Bukankah sudah kukatakan, bahwa malam ini aku hendak menginap di rumah sahabatku?"
"Siapa sahabatmu itu?"
Nuraini tak lekas menjawab pertanyaan itu. la sibuk menimbang-nimbang. Dia tahu, kekasihnya bermusuhan dengan Sangaji, mengingat pertengkarannya dahulu di arena adu nasib di
Pekalongan. Apabila mendengar Sangaji berada di sekitar dusun itu, pastilah akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Tetapi karena sudah terlanjur berbicara tentang seorang sahabat, mau tak mau ia harus menerangkan. Clntung dia cerdik. Maka cepat-cepat ia memberi keterangan.
"Semenjak kanak-kanak, aku tinggal di dusun ini. Seluruh dusun ini adalah sahabatku. Mengapa engkau mengurus siapakah sahabatku."
Sanjaya adalah pemuda yang licik dan licin. Meskipun menaruh curiga pada Nuraini, ia bisa berlagak tak menghiraukannya lagi. Dengan lembut, ia menarik lengan Nuraini dan diajaknya duduk di atas tanggul jalan.
"Nuraini, aku hendak berbicara kepadamu."
Nuraini menjatuhkan diri ke sampingnya. Hatinya berdetak-detak. Maklumlah, hatinya memang sudah runtuh terhadap pemuda itu.
"Tahukah kamu mengapa aku datang ke dusun ini?" Sanjaya berkata lagi.
"Hm, bukankah dusun ini adalah tempat kelahiranmu?" tukas Nuraini.
"Ah, ya." Sanjaya seperti tersadar. Kemudian berkata lagi. "Sebenarnya aku sedang bertaruh."
"Bertaruh?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Di dalam keluarga kami, bertaruh merupakan suatu kegembiraan yang tak ternilai harganya. Di dalam pertaruhan itu, seseorang akan diajar memiliki sifat-sifat kejantanan dan kecerdasan otak yang cemerlang."
"Eh, mengapa begitu?" Nuraini heran.
"Kelak, kamu bakal mengerti sendiri apabila telah memasuki keluarga kami."
Betapa girang gadis itu tatkala mendengar impian yang mendatang begitu empuk dan sedap,
tak terperikan. Lantas saja ia berpikir, kiranya dia mencintai aku hanya saja ia terhalang oleh peraturan-peraturan tertentu. Maka berkatalah dia dengan napas tersekat-sekat.
"Ayah-angkatku adalah ayahmu sejati. Apakah benar-benar kau menganggap dirimu seorang anak pangeran" Ah, sayang!"
"Mengapa?" Sanjaya terkejut seperti tersengat lebah. Memang, berkat kelicinannya ia sudah dapat menebak hati Nuraini. Apabila bisa membawa diri, pastilah dia berhasil mengorek
keterangan dari mulut Nuraini di manakah Sangaji kini berada. Dengan jalan mengemukakan
keadaan keluarganya, dia bermaksud hendak menanamkan pengaruh kewibawaannya. Dipercaya,
apabila Nuraini telah jatuh hatinya benar-benar pasti akan patuh pada setiap kehendaknya. Tak tahunya gadis itu mendadak berpaham jauh berlainan.
"Sampai saat ini, kukira kau seorang yang pandai dan gagah. Aku membohongi diriku sendiri, bahwasanya engkau ikut pangeran itu semata-mata dengan perhitungan tertentu. Pastilah
sebentar lagi, engkau akan kembali ke dusun tempat kelahiranmu. Dugaanku ternyata dikuatkan oleh munculnya tiba-tiba di dusun tempat engkau dilahirkan dan ditimang-timang ayahmu sejati semasa kanak-kanak," kata Nuraini.
Sanjaya terdiam mendengar ujar Nuraini yang terucapkan dengan nada tertekan-tekan. Itulah suatu tanda bahwa dia lagi berbicara dengan hatinya. Dan betapa palsu hati Sanjaya, ia jadi terharu juga.
"Rupanya kamu lebih mengetahui keadaanku semasa kanak-kanak, daripada aku sendiri," ia mengalah.
"Ayahmu sendiri yang membicarakan dirimu," sahut Nuraini. Kemudian gadis itu
mengungkapkan riwayat keluarga Sanjaya menurut tutur-kata almarhum Wayan Suage. la
bercerita dengan penuh semangat dan tak terputuskan, sampai tahu-tahu fajar terasa menguak di timur.
Sebagai seorang yang cerdas, tahulah Sanjaya bahwa maksud gadis bercerita begitu berteletele adalah untuk menarik dirinya ke pihaknya. Ia dianjurkan pula, agar meninggalkan kehidupan bangsawannya dan kembali kekehidupan asal-usul. Dengan demikian tataran dirinya akan sama derajat dan sama martabat. Tapi betapa dia dapat dipengaruhi demikian gampang. Hati dan darah pemuda itu sudah tertanam dalam, di dataran keluarga bangsawan. Apalagi setelah menjenguk Dusun Karangtinalang. Keadaannya terlalu lengang dan sunyi mati. Bagaimana ia dapat hidup di dusun demikian. Apa pula mata-pencaharian-nya untuk hidupnya di kemudian hari. Kenang-kenangannya semasa kanak-kanak dahulu terlalu tipis, sehingga tak kuasa menanamkan bibit pembawaan. Tetapi ia dapat berlaku cerdik dan licin. Dengan sabar ia mendengarkan tutur kata gadis itu.
Nuraini sendiri tak menginsapi keadaan Sanjaya. Hatinya penuh nyanyian kasih yang murni, sehingga ia mengukur Sanjaya seperti mengukur bajunya sendiri.
"Sanjaya!" Katanya setengah berbisik. "Ayahmu dahulu terpaksa kubakar jenazahnya di tengah jalan. Tetapi abunya akan kutanam di sini."
"Ah!" Sanjaya terkejut. Hatinya tergetar juga. Tetapi maklumlah, sebenarnya tentang sepak terjang Wirapati, Jaga Saradenta, Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru, Sangaji, Titisari dan Nuraini sewaktu membakar mayat Wayan Suage sudah diintip belaka oleh Yuyu Rumpung dan
kemudian dilaporkan sewaktu dia tiba di Dusun Karangtinalang.
Nuraini mengira, Sanjaya belum mengetahui peristiwa itu. Maka dia terus mengabarkan.
Kemudian dikabarkan pula bahwa para pendekar itu akan segera menyusul Wirapati dan dia yang berangkat dahulu ke Karangtinalang.
"Kak Sangaji berada pula di sekitar dusun ini," kata Nuraini.
"Sangaji" Siapa dia?" Sanjaya berpura-pura tolol.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ah," tiba-tiba Nuraini terperanjat. Ia insyaf akan ketelanjurannya. Tetapi sadar bahwa tiada gunanya untuk menyesali diri, maka dia berkata dengan setengah berdoa.
"Dialah anak sahabat almarhum ayahmu. Itulah pemuda yang dahulu muncul di arena adu nasib. Kaupun pernah berhantam. Bukankah menggelikan" Sebenarnya engkau harus meneruskan tali persahabatan orangtua-mu."
Mendengar Sangaji berada di sekitar Dusun Karangtinalang, tergetarlah hati Sanjaya. Dengan kesabarannya, ternyata usahanya nampak berhasil. Cepat ia menyembunyikan gejolak hatinya, la berdiri tegak seolah-olah sedang terharu.
"Apakah dia berada di sini?" tanya Sanjaya minta keterangan.
"Ya. Mengapa?" "Di mana dia kini berada?"
"Apa maksudmu?"
"Ah! Masa kamu tak tahu?" Sanjaya gugup. Kemudian berpikir, biarlah dia kubawa kembali ke Pesanggrahan. Di sana dia kukurungnya. Kemudian aku memerintahkan Paman Abdulrasim, Yuyu Rumpung, Manyarsewu dan
Cocak Hijau menangkap bocah itu. Masakan akan gagal"
Memperoleh pikiran demikian, segera ia meraih lengan Nuraini sambil berkata penuh sesal.
"Lihat! Aku begini gopoh. Semenjak peristiwa di Pekalongan, hatiku luar biasa gelisah. Aku merasa bersalah. Karena itu, ingin aku menemui dia untuk membicarakan suatu hal yang penting. Lebih cepat lebih baik."
"Kamu hendak berbicara mengenai apa?" tiba-tiba suara Nuraini keras.
Sanjaya diam sejenak. Pikirannya bekerja keras.
"Ingatkah kau tadi, bahwa aku membicarakan perkara pertaruhan" Sebenarnya aku lagi
bertaruh demi ibuku."
"Bertaruh demi ibumu?" Nuraini terperanjat berbareng heran.
"Ya. Kau ingin mendengar" Dengarkan," sahut Sanjaya cepat sambil menggandeng Nuraini berjalan perlahan-lahan menuju ke pesanggrahan.
"Setelah peristiwa di Pekalongan dahulu ibuku terus jatuh sakit," katanya mengada-ada.
"Semua tabib diundang untuk memeriksa penyakitnya. Tetapi semuanya gagal. Mereka
meramalkan, bahwa ibuku takkan sembuh kembali. Tetapi aku berani bertaruh, bahwa ibuku akan dapat kusem-buhkan."
"Dengan cara bagaimana?" Nuraini tertarik.
"Karena aku tahu, Ibu terlalu memikirkan putera Paman Made Tantre. Ingin beliau membawa anak paman itu hidup bersamaku di istana Bumi Gede, karena itu aku datang ke Karangtinalang.
Niatku hendak mencarinya sampai ketemu. Aku percaya, bahwa dia berada di dusun ini. Hanya saja, aku belum berhasil menemukan tempatnya berada. Ia berhenti mencari kesan. Meneruskan,
"Nuraini! Apakah kau tak menginginkan Ibu sembuh kembali?"
"Tentu saja! Mengapa kau berkata demikian?" Nuraini menyahut cepat." Tapi yakin, bahwa kak Sangaji takkan sudi datang dan hidup bersama di rumah bukan keluarganya."
"Benarkah itu" Kau berani bertaruh?"
"Aku berani bertaruh." Nuraini yakin. Dan mendengar ucapannya, Sanjaya tertawa senang.
"Mengapa kau tertawa?" tegur Nuraini.
"Nah, apa kubilang tadi. Belum lagi kau memasuki keluargaku, kau sudah mulai mengerti arti kata bertaruh. Alangkah bahagianya kelak, apabila kamu hidup di sampingku bersama anak Paman Made Tantre."
Nuraini terperanjat mendengar ujar Sanjaya. Ya, tanpa disadari sendiri dia mulai bertaruh pula.
Inilah suatu kekalahan. Tetapi hatinya terhibur mendengar rencana hidup Sanjaya di kemudian hari. Sebagai seorang gadis yang sedang dimabukkan kasih, kata-kata demikian benar-benar seperti mimpi kejatuhan bulan.
"Itukah kehendakmu hendak berbicara dengan Kak Sangaji?" ia mencari keyakinan lagi.
"Ya. Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk membujuknya agar sudi mengunjungi ibuku.
Syukur dia mau terus berdiam bersamaku. Tentu saja bantuanmu sangat kupinta."


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Nuraini diam menimbang-nimbang. Lama dia berdiam diri. Dan sementara itu, mereka telah
sampai di Pesanggrahan. Segera Sanjaya membawanya masuk ke dalam rumah. Seperti tadi,
mereka duduk berhadap-hadapan bahkan agak berdekatan.
"Apakah dia berada di dekat rumah kita ini?" Sanjaya menegas yang dimaksudkan dia adalah Sangaji, karena ia enggan memanggil nama itu.
"Sebentar lagi matahari terbit. Kuantarkan nanti ke pondoknya," kata Nuraini.
Sanjaya merasa tak dapat memaksa lagi. Pikirnya, apakah dia mencurigai aku" Baiklah
kusuruhnya seluruh tentara berkuda berangkat terlebih dahulu. Dengan kepergian mereka dia pasti mempercayai aku.
Memperoleh pikiran demikian, segera ia memberi perintah kepada seorang penjaga
membangunkan pemimpin pasukan. Apabila sudah menghadap, ia memerintahkan agar tentara
berkuda semua berangkat pulang ke Bumi Gede. Setelah itu, ia memanggil Yuyu Rumpung,
Manyarsewu, Cocak Hijau, Sawungrana dan Abdulrasim. Mereka semua diberi perintah untuk
berangkat pulang dengan mengedipkan mata.
"Antarkan paman-paman ini sampai ke per-simpangan jalan. Kemudian Paman menunggu
kedatanganku," katanya kepada Abdulrasim.
Kelima pendekar itu segera berangkat bersama seluruh pasukan berkuda. Itulah sebabnya,
tatkala Sangaji dan Titisari meninggalkan pondok, mereka tak melihat lagi tentara berkuda Sanjaya yang mendiami rumah ayahnya.
Dalam hal tata kecerdikan dan kelicinan, bagaimana dapat Nuraini melawan Sanjaya. Maka
gadis itu benar-benar percaya, bahwa maksud Sanjaya adalah benar-benar membersit dari
ketulusan hatinya. Apabila tidak, mengapa memerintahkan semua tentara berkuda dan
pengawalnya meninggalkan dusun. Sama sekali ia tak menduga arti kedipan mata itu yang banyak mengandung arti dalam. Bagi seorang pendekar, cukuplah sudah untuk menduga-duga.
Sebaliknya bagi seorang gadis seperti Nuraini yang belum banyak makan garam, bagaimana bisa mengetahui maksud hati Sanjaya. Maka setelah membersihkan badan, dengan senang ia
mengantarkan Sanjaya menjenguk pondok Sangaji yang berada di luar batas dusun, la tak
mengetahui, bahwa pada waktu itu para pendekar mengikutinya dari jauh.
Waktu itu matahari telah agak tinggi di udara. Angin pegunungan mulai terasa meraba tubuh.
Suasana di pedusunan riang gembira. Penduduknya keluar halaman, berjuang memenuhi
kebutuhannya masing-masing.
Nuraini terus saja memasuki pondok dengan memanggil nama Titisari. Betapa kagetnya, ia
menjumpai pondok itu kosong melompong. Nampaknya, baru saja ditinggalkan. Seperti diketahui, Sangaji dan Titisari berangkat meninggalkan pondok hampir berbareng dengan terbitnya matahari.
Mereka menjauhi jalan dusun. Dengan demikian perjalanan mereka tak kepergok Sanjaya dan
Nuraini. Menyaksikan peristiwa itu, hati Sanjaya mendongkol bukan main. Ingin ia memaki-maki gadis itu, apa sebab semalam tiada menunjukkan tempat beradanya buruannya dengan segera. Syukur, dia bisa menahan hati. Bukankah dia berkata kepada gadis itu untuk menemui Sangaji dengan maksud baik" Maka yang diperlihatkan kepada Nuraini adalah rasa kecewanya. Sambil memeriksa ruang pondok itu, ia berkata dengan mendongkol, "Mengapa dia pergi?"
Nuraini tak lekas menjawab. Ia heran juga, mengapa Sangaji dan Titisari tiba-tiba meninggalkan pondok. Sibuklah dia menebak-nebak. Tak disadari, terloncatlah perkataannya, "Barangkali gurunya yang mengajak pergi."
"Gurunya?" Sanjaya terkejut. "Siapa?"
Nuraini membungkam. Sadarlah dia, bahwa untuk yang kedua kalinya dia kelepasan berbicara.
Maka ia keluar pintu dan berdiri tegak di depan pondok dengan berenung-renung.
"Adik!" mendadak Sanjaya memanggilnya dengan meng-adik.
"Apakah aku tak dapat menyembuhkan sakit ibuku?"
Nuraini berputar dengan pandang terharu. Menyahut, "mengapa?"
"Bagaimana aku bisa bertemu dengan dia?"
Nuraini mengerenyitkan dahi. Berkata, "Kutaksir, belum lama dia meninggalkan pondok ini.
Sekiranya engkau kejar, pasti akan bertemu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebenarnya Sanjaya tahu, bahwa Sangaji belum lama meninggalkan pondok. Tampak kaki dan
pembaringan jelas menyatakan bahwa semalam masih dibuat berbaring seseorang. Hanya saja ia mempunyai rencana sendiri. Maka berpura-puralah dia dungu terhadap Nuraini. Bertanya minta pertimbangan.
"Ya, memang begitu. Tetapi ke mana dia pergi, inilah soalnya yang sulit. Guruku memiliki ketajaman indera melebihi orang."
"Siapa" Apakah Ki Hajar Karangpandan?"
Sanjaya menggelengkan kepala.
"Apakah yang muncul dahulu di alun-alun Pekalongan?" Mendadak Nuraini teringat.
Sanjaya mengangguk. Dahinya berkerinyit. Dia lagi berpikir keras dengan menahan
kedongkolan hatinya. "Pikirnya, anak tolol itu didampingi gurunya. Para pendekar sudah terlanjur meninggalkan dusun. Karena itu aku harus memanggil guru. Dengan guruku seorang, semuanya akan beres. Setelah berpikir demikian dia berkata memutuskan.
"Begini saja. Apa kau sudi menolongku?"
"Demi kebaikanmu, mengapa tidak?"
Nuraini percaya bahwa Sanjaya benar-benar bermaksud baik terhadap Sangaji.
"Guruku mempunyai adat yang aneh. Dia selalu berlatih pada saat luang. Kini dia berada di sekitar Secang. Pergilah engkau mencari padanya untuk menyampaikan wartaku."
Sanjaya kemudian menjelaskan di mana letak Secang. Ia mengeluarkan sebuah benda
berbentuk tengkorak manusia. Setelah diangsurkan, berkatalah dia mengesankan, "Carilah sebuah simpang jalan yang mengarah ke sebuah gundukan. Di atas gundukan itu, engkau akan
menemukan tumpukan batu. Itulah tanda, bahwa guruku berada di sana. Taruhlah benda itu di atasnya dan coretkan tanda mata angin di mana aku kini berada. Setelah itu cepat-cepatlah pergi, sebelum guruku muncul."
Kemudian ia mengalungkan sapu tangan hitam bersulam seekor kuda.
"Pakailah!" katanya' lagi. "Mungkin ada gunanya."
Nuraini segera berangkat mengikuti pertun-juk itu. Ia mengarah ke timur laut. Menjelang
petang hari, sampailah dia di kota Magelang.
Magelang adalah kota kompeni Belanda pada masa itu.Tangsinya berada dekat bukit Tidar.
Gardu pengintainya merupakan menara suar yang mempunyai penglihatan luas di seluruh penjuru.
Kotanya ramai dan penuh rumah-makan Tionghoa. Pasaran terbuka terdapat di mana-mana.
Penduduknya hilir-mudik tiada kunjung sepi, meskipun masih kalah dengan kota Yogyakarta atau Surakarta.
Nuraini tidak memperhatikan semua itu. Sesudah makan, cepat ia menuju ke utara. Di batas kotapraja, ia berhenti sebentar mengintip penjagaan. Memang pada dewasa itu, ada penjaga pintu bergiliran. Seseorang tak dapat dengan mudah keluar-masuk kota sesuka hatinya.
Setelah malam hari tiba, cepat Nuraini melintasi batas kota dan sebentar saja sampailah dia di pinggiran. Seberang-menye-berang jalan berdiri petak-petak hutan dan sawah. Jalan yang
dirambahnya agak lumayan keadaannya apabila dibandingkan dengan jalan pedusunan. Kira-kira bulan hampir tersembul di udara, dia telah tiba di Secang. Di sana ia melihat persimpangan jalan menuju Temanggung.
Apakah simpang jalan inikah yang dikehendaki Sanjaya" pikirnya. Sebentar ia menim-bangnimbang, kemudian segera membelok ke barat. Ia segera melihat sebuah gundukan tanah yang berada agak jauh dari jalan raya.
Maka tanpa ragu-ragu lagi, ia terus mendekati.
Dua jam lamanya, ia mencari tumpukan batu. Masih saja dia belum menemukan, sehingga
hampir putus asa. Pikirnya, biarlah aku mencari penginapan dahulu. Besok pagi, aku mencarinya lagi.
Tak jauh dari tempat itu, nampaklah sebuah gubuk reyot. Dengan kegirangannya larilah dia menghampiri. Mendadak saja, kakinya terantuk sebuah tumpukan batu. la kaget sampai mundur.
Sebab tatkala diamat-amati, ternyata bukanlah bongkahan batu semata. Tetapi bercampur pula dengan beberapa kerat tulang-tulang manusia dan binatang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ih!" hatinya tergetar. Ia hendak memutar tubuh untuk kabur. Hatinya ngeri luar biasa.
Maklumlah, kala itu dia berada di atas gundukan tanah yang tinggi. Sekelilingnya remang.
Keadaannya lengang dan senyap. Hanya terdengar sekali-sekali angin mendesir menghembus
daun. Untunglah, dia bukan pula seorang gadis lemah hati. Dalam kengeriannya, masih bisa dia menenangkan diri. Sesaat kemudian terpikirlah bahwa tiada perlunya takut. Oleh pikiran itu, dengan memaksa diri ia bersenyum dan lantas saja menaruhkan benda Sanjaya di atas tumpukan batu.
Tak kukira, bahwa gurunya mempunyai adat
yang aneh. Mestinya seorang yang luar biasa. Pantas, guru-guru Kak Sangaji menyebutnya
sebagai iblis. Apakah benar-benar dia iblis" pikirnya. Dan kembali bulu kuduknya menggelidik.
Memang dia mengenal guru Sanjaya dengan selintasan saja, tatkala di Pekalongan. Waktu itu dia lagi bersimpuh sedih menghadapi mayat Wayan Suage. Dengan demikian, tak begitu
memperhatikan. Ia pun tak mengetahui, bahwa guru Sanjaya mempunyai kebiasaan menghisap
darah seorang gadis. Apabila hal itu sudah diketahui, belum tentu dia sudi melakukan perintah Sanjaya. Bukankah hal itu samalah halnya dengan mencari mati sendiri"
Sebentar ia bermenung-menung di dekat tumpukan batu. Mendadak teringatlah dia kepada
pesan Sanjaya, agar meninggalkan tempat itu dengan segera. Percaya bahwa pesan Sanjaya pasti ada maksudnya, maka cepat-cepat ia menuruni gundukan tanah itu. Sebentar saja lenyaplah dia di kegelapan malam. Dengan demikianlah, ia membatalkan maksudnya hendak menginap di gubuk
reyot. Inilah nasibnya yang baik. Sesungguhnya seseorang yang belum sampai pada batas
perjalanan hidupnya, seperti diselimuti dewa. Seumpama dia menginap di gubuk itu, belum tentu esok hari bisa melihat matahari lagi seperti kemarin.
Malam itu dia terus berjalan pulang ke Dusun Karangtinalang. Menjelang fajar sampai dia di halaman rumah. Ia berharap bisa bertemu dengan Sanjaya. Ternyata pemuda itu meninggalkan dusun dengan tiada kabarnya. Sebentar dia terlongong-longong karena heran men-siasati
perangai kekasihnya. Tapi karena lelah, akhirnya dia tertidur tak setahunya sendiri.
Kira-kira matahari menjenguk udara setengah penggalah tingginya, ia terbangun dengan
geragapan. Teringat akan kekasihnya, ia segera membersihkan badan. Kemudian berusaha
mencarinya, la yakin, bahwa kekasihnya masih berada di sekitar dusun itu. Apabila tidak, mengapa memanggil gurunya. Demikianlah, menjelang tengah hari sampailah dia di sebelah barat daya Dusun Karangtinalang. Jejak kekasihnya, benar-benar lenyap tak keruan. Duduklah dia di pinggir jalan di bawah sebatang pohon. Mendadak ia mendengar sesuatu. Cepat ia menajamkan
pendengaran. Tak usah lama ia menunggu. Odara sekonyong-konyong berubah menjadi hitam
pekat, la menengadah. Dan nampaklah ratusan ribu tabuan terbang berdengungan menutupi
cahaya surya yang hendak mendekati bumi.
Tengah dia sibuk menebak-nebak, pundaknya diraba oleh suatu tangan yang empuk berdaging.
Ia kaget bukan kepalang. Tanpa menoleh ia melesat ke depan, kemudian sambil melindungi
dadanya, ia memutar tubuh. Di luar dugaannya, orang yang meraba pundaknya sudah berada pula di belakangnya dan kembali meraba pundak. Keruan saja, ia kaget sekali dan cepat melesat ke depan. Tetapi kembali pula pundaknya teraba dari belakang. Enam kali berturut-turut dia
dipermainkan demikian. Mau tak mau keringat dingin mulai berbicara.
"Kau siapa?" akhirnya dia menegur dengan jantung berdegupan. Sadarlah dia, bahwa orang yang meraba pundaknya itu pastilah bukan orang sembarangan.
"Benar-benar manis. Siapakah kamu Nona?" terdengar suatu suara.
Cepat Nuraini memutar tubuh dan di depannya berdirilah seorang laki-laki setengah umur yang mengenakan pakaian putih bersih dan hiasan dada yang mentereng. Dialah sang Dewaresi yang baru saja meninggalkan serambi rumah batu di Desa Gebang sehabis dipermainkan Gagak Seta dan Titisari.
Nuraini belum pernah mengenal sang Dewaresi. la hanya menduga, bahwa orang itu bukan
manusia baik dan pasti seorang pendekar sakti. Maka ia memutar tubuh dan lari secepatcepatnya. Tetapi sambil tertawa bening, sang Dewaresi dapat menyusulnya ke mana saja berlari.
Bahkan tiba-tiba saja, sang Dewaresi sudah berada di depannya menghadang dengan tangan
terbuka. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Nuraini merasa tak berdaya. Hampir saja dia terhenyak masuk ke dalam pelukannya. Untung
dia gesit. Cepat ia menjejak tanah dan melesat ke samping. Tapi untuk kedua kalinya orang itu sudah berada pula di depannya. Setelah empat-lima kali mengalami kejadian yang sama, Nuraini jadi nekad. Tiba-tiba saja ia menghunus belati dan kemudian menyerang tiga kali berturut-turut.
Tentu saja sang Dewaresi dapat menghindari dengan mudah.
"Ih begini galak kau manis," kata sang Dewaresi sambil tertawa.
la mengelak ke samping. Tangannya mengibas perlahan, tahu-tahu ia sudah berhasil memeluk pinggang Nuraini yang langsing padat.
Nuraini berontak sekuat-kuatnya, tetapi sia-sia belaka. Bahkan pelukan itu kian menjadi
kencang sampai pinggangnya terasa nyeri. Belatinya pun, akhirnya terampas pula.
Merasa tercengkeram bahaya, ia berontak sekali lagi. Ternyata, ia malah kena peluk kian rapat.
Tubuhnya terpilin-pilin pula, dan tiba-tiba saja urat nadinya tertekan seperti cara Titisari menguasai dirinya. Maka ia rebah terkulai tak dapat berkutik.
Perlahan-lahan sang Dewaresi tertawa, berkata, "Manis siapakah namamu" Jika kau berjanji mau mengikuti aku ke mana aku pergi, kamu akan segera kumerdekakan."
Setelah berkata demikian, sang Dewaresi memeluknya sambil meraba-raba lengan dan
lehernya. Sekaligus menggeridiklah bulu roma Nuraini. Tahulah dia, bahwa orang itu adalah bangsa buaya darat yang berbahaya. Hatinya menjerit dan mendongkol sampai akhirnya hampir menyita napasnya. Maklumlah, dia tak kuasa berbuat sesuatu untuk mempertahankan diri, karena tubuhnya lemas kehilangan gerak. Lantas saja dia pingsan tak sadarkan diri.
Waktu menyenakkan mata, ia heran bukan kepalang. Ternyata ia berbaring di atas rerumputan.
Di belakangnya berdiri enam orang berpakaian putih memegang golok. Sang Dewaresi berdiri tegak di depannya menghadapi seorang laki-laki yang berwajah luar biasa. Orang itu mengurai rambut.
Kepalanya gede, bibirnya tebal, kulitnya hitam mengkilat. Untuk girangnya teringatlah dia.
Pikirnya dalam hati, bukankah dia yang dahulu di alun-alun Pekalongan. Mestinya dialah guru Sanjaya. Nampaknya dia begini tegang.... Ah!
la melihat Pringgasakti lagi menghadapi sang Dewaresi dan anak-buah siap untuk berkelahi.
Masing-masing mempersiagakan senjata, hanya Pringgasakti seorang yang tetap bersenjatakan kedua belah tangan belaka.
"Saudara kamu keliru," kata sang Dewaresi.
Pringgasakti tertawa mendongak.
"Biarpun aku sudah tua bangka, dua mataku ini belum pernah mengkhianati aku," katanya.
"Hm, apa buktinya?"
Kembali lagi Pringgasakti tertawa. Sambil mengerling kepada kain bersulam yang melilit leher Nuraini, dia berkata.
"Di dunia ini di manakah terdapat kain leher yang mengemban pekerjaan tanganku sendiri?"
Sang Dewaresi menoleh ke arah Nuraini yang sudah menyenakkan mata. Ternyata gadis itu
benar-benar mengenakan kain bersulam melilit leher, la seperti tersadar akan kesem-bronoannya.
Kemudian berkata memutuskan.
"Baiklah. Kamu menghendaki gadis ini" Itu gampang. Aku pernah mendengar kabar dan tahu belaka, bahkan pada saat-saat tertentu kau membutuhkan darah seorang gadis untuk menambah tenaga. Bagaimana kalau kita saling tukar-menukar."
"Hm, apa kauhilang?" bentak Pringgasakti. "Kau berbicara seolah-olah dia milikmu. Bagaimana kamu berani berlagak demikian terhadapku?"
Hati Nuraini tergoncang mendengar percakapan mereka. Teringat akan pesan Sanjaya, bahwa
ia harus cepat-cepat meninggalkan di mana gurunya berada, tahulah kini apa maksudnya.
Apakah benar apa yang dikatakan laki-laki berbaju putih ini, pikirnya. Mendengar guru Sanjaya tiada membantah, bulu kuduknya lantas saja berdiri tegak. Inilah namanya, keluar dari seorang singa tercebur ke mulut buaya.
Peristiwa selanjutnya terjadi dengan cepat. Mendadak saja sang Dewaresi telah melancarkan suatu serangan maut. Rupanya dia memilih turun tangan dahulu daripada menunggu serangan
lawan. Maka dengan menyabetkan pedang tipisnya, dia bersuit memberi aba-aba kepada hambaTiraikasih Website http://kangzusi.com/
hambanya. Hampir berbareng dengan itu, ratusan ribu tabuan yang beterbangan di udara meniup berbareng laksana seekor naga.
Pringgasakti mendongak ke udara, la terkejut melihat ratusan ribu tabuan berdengungan
menyerang dari udara. Cepat ia melompat mundur beberapa langkah.
Tabuan kelingking binatang piaraan sang Dewaresi, bukanlah jenis tabuan lumrah. Binatang itu mempunyai sengat berbahaya dan diborehi racun pula. Barangsiapa kena sengatannya akan tewas dalam beberapa detik.
Kembali hati Nuraini jadi berdegupan. la melihat guru Sanjaya berubah parasnya, suatu tanda bahwa dia takut juga menghadapi serangan binatang berbisa itu. Meskipun terhadap mereka
berdua tiada pilihannya, tetapi di luar kesadarannya sendiri ia mengharapkan guru Sanjaya menang dalam pertarungan itu. Inilah suatu gejala, betapa hatinya telah terenggut penuh oleh Sanjaya. Sampai-sampai seluruh kepentingannya sendiri diperuntukkan belaka untuk kekasihnya yang mengharapkan kedatangan gurunya yang berbahaya.
Hanya beberapa detik, Pringgasakti berdiri tegak kehilangan akal. Mendadak saja ia melolos ikat pinggangnya yang terbuat sebesar telunjuk. Takkala dikibaskan mendadak saja berubah menjadi cemeti yang panjang dan terus saja diputar berdengungan di udara.
"Ih!" kata sang Dewaresi. Pikirnya, bukankah ini cemeti pamuk pusaka sakti Adipati Surengpati" Bagaimana iblis itu bisa memiliki" Apakah di samping kitab pusaka sakti ia mencuri pula cemeti keramat itu"
Memang cemeti yang dikibaskan di udara itu adalah cemeti pamuk milik Adipati Surengpati
yang disegani orang-orang sakti pada zaman itu. Cemeti pamuk memiliki kesaktian luar biasa.
Sekali dikibaskan ke udara, terde-ngunglah dia. Seperti baling-baling raksasa, cemeti tersebut dapat mengumpulkan angin bergulungan. Kemudian dilontarkan merupakan suatu tenaga dorong yang dahsyat. Itulah sebabnya pula, maka tentara udara sang Dewaresi kena disibakkan dan banyak yang rontok di tanah.
"Hai, iblis Pringgasakti!" seru sang Dewaresi, setelah beberapa saat terhenyak. "Dengarkan!
Sama sekali aku tidak menghendaki nyawamu! Berikan kitab pusaka Karimun Jawa kepadaku dan kamu akan kubebaskan dan kuhadiahi pula gadis molek ini."
Pringgasakti tidak-mengacuhkan. Ia terus memutar cemetinya kian lama kian keras.
"Baik kau boleh memutar cemetimu satu hari satu malam. Dua hari, tiga hari, lima hari ... ya sepuluh hari. Apa kau sanggup" Aku ingin melihat kesanggupanmu."
Pringgasakti tetap tak menyahut. Ia seperti tak mendengarkan, namun hatinya sebenarnya
mulai gelisah. Dengan bertekun ia mulai pula mencari kesempatan untuk meloloskan diri dari libatan ratusan ribu binatang berbisa yang menyerang terus menerus tak mengenal berhenti. Ia sadar pula, bahwa sekali kena sengat nyawanya takkan tertolong. Sekiranya sang Dewaresi
memberi obat pemusnah baginya, kesannya sangat hina.
Menyaksikan kebandelan Pringgasakti, sang Dewaresi kemudian duduk di atas tanah sambil
menyarungkan pedang pusakanya. Kemudian ia mengeluarkan sepotong paha ayam seraya
berkata nyaring. "Pringgasakti, pikirlah semasak-masaknya sebelum nyawamu terenggut oleh ribuan tetabuanku.
Kitab pusaka Karimun Jawa, bukankah kauperoleh dari mencuri" Selama kau minggat dari Karimun Jawa, pastilah kamu sudah berhasil meyakinkan isinya. Apa perlu kaupeluki kitab itu" Sebuah kitab adalah benda mati. Nyawamu jauh lebih berharga daripada benda mati. Sebaliknya, apabila
kauserahkan kitab tersebut, kau akan bertambah dengan seorang sahabat yang senantiasa
bersiaga memberi pertolongan. Bukankah suatu usul yang bagus?"
"Kalau begitu, nah bubarkanlah barisan tabuanmu!" sahut Pringgasakti.
Sang Dewaresi tertawa berkakakan.
"Serahkan kitab pusakamu dahulu!"
Kitab pusaka Adipati Surengpati yang dicuri Pringgasakti bernama Witaradya. Kitab Witaradya, sebenarnya adalah kitab penuntun mencapai kemukswan tak beda dengan syu-tra-syutra Weda.
Hanya saja, di dalam kitab Witaradya tersembunyi mantram rahasia sar-wasakti yang berjumlah seribu lima ratus gurindam, sekaligus akan menjadi tokoh sakti setengah dewa. Itulah sebabnya, maka kitab itu bernama Witaradya. Artinya, setengah dewa. Pringgasakti telah berhasil mencuri kitab Witaradya, tetapi hanya seperempat bagian. Meskipun hanya seperempat bagian, kesakTiraikasih Website http://kangzusi.com/
tiannya bertambah. Terbukti dalam usia setinggi itu, masih saja tubuhnya gagah perkasa tak kurang suatu apa pun juga. Itulah sebabnya, ia memandang kitab Witaradya, bagian jiwanya sendiri. Karena itu, betapa dia sudi menyerahkan kitab tersebut dengan gampang. Maka pikirnya di dalam hati, kalau terpaksa, biarlah kuserahkan. Tetapi begitu tangannya meraba kulit kitab, aku akan meremas semua halamannya agar hancur bersama melesatnya nyawaku.
Memperoleh putusan demikian, hatinya tenang. Sebaliknya Nuraini yang menyaksikan
keripuhannya menghadapi barisan tabuan, menjadi gelisah luar biasa. Tak sampai hati ia
menyaksikan guru kekasihnya runtuh di ha-dapannya. Maka diam-diam berdoa kian gemuruh
dalam hatinya. Dalam pada itu barisan tabuan sang Dewaresi makin lama makin pepat dan berbahaya. Mau tak mau Pringgasakti jadi kebingungan.
Hm.. tak kukira, akhirnya aku mati demikian hina, keluhnya dalam hati. Lantas saja berteriak keras. "Baiklah! Aku menyerah kalah. Ambillah buku ini!"
Sambil berteriak demikian, tangan kanannya merogoh saku. Sang Dewaresi mengamat-amati.
Sang Dewaresi sesungguhnya seorang tokoh yang cukup cerdik, licin dan berpengalaman.
Sebagai seorang yang berpengalaman, tak gampang-gampang ia menaruh kepercayaan terhadap
seseorang. Sebaliknya, Pringgasakti bukan seorang tokoh murahan. Dia pun seorang yang
kenyang makan garam. Maka begitu mendengar seruan sang Dewaresi cepat ia menarik tangan kanannya yang
merogoh saku, sambil berteriak nyaring. "Terimalah!"
Sebuah benda logam berkeredip di udara dan sang Dewaresi lantas saja roboh. Nuraini
mendengar suara bersuling dan melihat pula berkeredepnya suatu benda. Seketika itu juga, tahulah dia bahwa Pringgasakti telah melepaskan senjata rahasianya yang beracun. Empat orang pengikut sang Dewaresi roboh pula berturut-turut tanpa berkutik.
"Iblis!" maki sang Dewaresi seraya bergulingan. Ternyata oleh kesehatannya, ia dapat mengelakkan sambaran senjata rahasia Pringgasakti. Karena terperanjat, cepat ia bergulingan di atas tanah. Begitu merasa terbebas, hatinya menjadi kecut. Tertatih-tatih ia bangkit berdiri.
Hatinya meledak menyanyikan dendam. Dampratnya lagi, "Kau sudah kuberi kesempatan, tapi telingamu pekak! Bagus! Hari ini, akan kubuat kau setengah hidup setengah mati."
Pringgasakti heran menyaksikan sang Dewaresi dapat membebaskan diri dari sambaran senjata rahasianya. Biasanya orang tak berdaya, karena sama sekali tak menduga. Maka diam-diam ia memuji kesehatan lawan.
Dan begitu mendengar ancamannya, mau tak mau hatinya jadi cemas.
Tak lama kemudian, sang Dewaresi lantas bersiul panjang memberi aba-aba kepada tentara
tahuannya. Seketika itu juga, udara seperti pepat terpenuhi ribuan ekor tabuan yang terus saja turun menyambar dengan cepat dan berbondong-bondong. Pringgasakti kaget luar biasa. Gugup ia memutar cemeti Pamuknya. Puluhan dan bahkan ratusan ekor tabuan runtuh di atas tanah.
Tetapi tentara udara sang Dewaresi berjumlah ribuan, puluhan ribu ya malahan ratusan ribu ekor.
Satu jam lamanya Pringgasakti berjuang mengatasi maut yang dapat menyerang pada saatsaat tertentu. Ratusan bahkan ribuan ekor tabuan telah dapat diruntuhkan. Namun tentara tabuan sang Dewaresi nampak seperti tiada habisnya. Berkelompok-kelompok mereka terus menyerang tanpa berhenti, dan sekali kena sengatnya pastilah nyawa Pringgasakti takkan tertolong lagi.
Sang Dewaresi sendiri, hatinya tegang luar biasa. Ia menyaksikan kegagahan Pringgasakti. Ia menyaksikan bagaimana tentara tahuannya kena diruntuhkan ribuan ekor. Tetapi, sama sekali ia tak dapat bertindak untuk mendesak lawan. Cemeti Pamuk yang diputar tiada henti merupakan rintangan lingkaran bahaya. Karena itu, terpaksalah dia menunggu dengan mempersiapkan
senjata rahasianya pula yang terbuat dari ramuan bisa ular, bisa kala dan buah ingas. Barangsiapa kena bidikannya akan mati terjengkang dengan darah hitam menghijau.
"Jangan mencoba bermimpi hendak meng-hancurkan kitab. Sekali kulihat tanganmu hendak menghancurkan, terpaksa aku menghujani dengan senjata beracunku. Masa kau terserang dari atas dan bawah, akan mampu mengelak dalam waktu satu jam?"
Pringgasakti berlagak tak menghiraukan, tetapi hatinya cemas. Maklumlah, apa yang dikatakan sang Dewaresi sedikitpun tidak salah. Tenaga saktinya memang luar biasa kuat. Tetapi apabila dipaksa bertahan terus menerus tiada henti, bagaimanapun juga takkan sanggup. Memperoleh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pikiran demikian, wajahnya berubah pucat. Cepat ia meraba saku celananya. Mendadak ia melihat, sang Dewaresi mulai mengancamkan senjata rahasianya. Sebenarnya tiada perlu dia takut
menghadapi senjata rahasia sang Dewaresi, dalam keadaan biasa. Tapi kali ini keadaannya begini mendesak dan terjepit. Tentara tabuan kian lama kian terasa menjadi galak. Mereka bahkan berani menghampiri dan terbang berlingkaran berlapis-lapis.
Tepat pada saat Pringgasakti tengah berpikir keras untuk mencari jalan keluar, terdengarlah suatu bunyi siul panjang menukik udara. Bunyi siul itu seperti suara burung kurcitak yang dapat melepaskan bunyi siul melengking tajam. Tak lama kemudian suara siulan itu disusul dengan nada tiupan seruling yang halus merdu dan mengalun berombak tiada hentinya.
Kedua orang yang sedang mengadu keuletan itu menjadi terkejut. Sang Dewaresi melayangkan matanya. Tiba-tiba saja di atas sebatang pohon yang berada tak jauh dari gelanggang
pertempuran nampaklah seorang yang mengenakan jubah abu-abu duduk bercokol di atas dahan.
Orang itu mengenakan topeng tipis yang buruk bukan main. Sekali pandang orang akan mengira bertemu dengan hantu pemangsa manusia.
Sebagai seorang sakti ia kagum bukan main. Karena sama sekali tak mendengar kehadirannya.
Diam-diam ia menyesali pendengarannya yang selamanya diagung-agungkan. Pringgasakti pun
diam-diam terkejut pula. Meskipun dalam keadaan sibuk, biasanya pendengarannya yang tajam masih bisa menangkap bunyi daun yang jatuh dari ranting.
Tapi kali ini sama sekali tidak. Dengan mengerlingkan mata, ia mengamat-amati orang
berjubah abu-abu itu selintasan. Waktu itu angin meniup tajam sampai menggoyangkan mahkota daunan. Tetapi orang itu dapat duduk bercokol dengan tenang dan sama sekali tak tergeser. Hal itu membuktikan, betapa hebat ilmu ringan tubuhnya.
Sementara itu orang berjubah abu-abu terus meniup serulingnya sambil sekali-kali bersiul panjang melengking. Tiba-tiba saja, barisan tabuan yang terbang berlingkaran tersibak bubar.
Seperti tersapu hawa panas, barisan tabuan itu memanjat tinggi di udara dan bubar berderai tak keruan.
Sang Dewaresi terheran-heran. Selama hidupnya belum pernah ia mengalami kejadian seperti hari itu. Cepat ia mencoba menguasai, la bersiul panjang seperti biasanya. Tetapi bunyi siulnya seperti tertindas dan terlindas oleh siulan orang berjubah abu-abu. Akhirnya, bahkan dirinya merasa seperti terserang suatu aliran hawa yang panas bukan kepalang. Ia kaget dan cepat-cepat mempertahankan diri. Namun, ia kena tergeser oleh suatu dorongan halus tetapi kuat luar biasa.
Pringgasakti waktu itu terus saja duduk bersila di atas tanah. Dengan sungguh ia mencoba bertekun bersemadi. Darahnya terasa bergolak sangat cepat dan menusuk-nusuk kepala. Karena hebatnya pengaruh siulan orang berjubah abu-abu itu, tubuhnya sampai menggigil.
Nuraini yang terbaring di atas rerumputan, terkena pula serangan orang bejubah abu-abu itu.
Ia mencoba bergerak dan bangun tertatih-tatih. Tetapi hawa udara seperti menindasnya di tanah.
Maka terpaksa ia me-rangkak-rangkak mencoba menjauhi. Mendadak saja, pinggangnya terasa
kena sambar. Cepat ia menoleh. Ternyata dia sang Dewaresi yang dalam kegugupannya, terus saja melarikan diri sambil menggondol mangsanya. Syukurlah, pengaruh orang berjubah abu-abu itu menyiutkan hatinya. Andaikata tidak, Nuraini pasti akan menjadi korban kebiadap-annya.
Karena itu, dia hanya berani menggondol pergi selintasan saja. Khawatir ia akan dikejar orang berjubah abu-abu, maka Nuraini dilemparkan ke tanah. Sedangkan dia sendiri lari Iintang-pukang tak tentu arah tujuannya.
"Bagus!" seru Titisari dengan tiba-tiba. "Memang selama hidupku tak pernah aku percaya pada hantu. Kini ternyata benar belaka.
Apakah kalian percaya ada hantu muncul di siang hari?"
Sangaji, Wirapati, Bagus Kempong, Sanjaya dan pendekar-pendekar lainnya diam tak
menyahut. Masing-masing lagi terbenam dalam benaknya yang penuh dengan teka-teki.
Mendadak saja terdengar Bagus Kempong berkata kepada Wirapati,
"Adikku Wirapati. Benar-benar hebat muridmu. Dia sanggup mengalahkan iblis itu, sedangkan aku sendiri belum tentu bisa."
Wirapati sesungguhnya heran dan kagum kepada kemajuan Sangaji. Tahulah dia, bahwa
muridnya menggunakan ilmu sakti bukan berasal dari perguruannya atau ajaran Jaga Saradenta.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maka sebagai orang jujur dia lantas saja berkata, "Janganlah Kakak memuji terlalu tinggi terhadapku. Sebagai guru betapa takkan girang menyaksikan kemajuan salah seorang muridnya.
Hanya saja apabila mengira, bahwa kemajuannya adalah hasil ajaranku benar-benar salah. Aku sendiri kagum kepadanya."
Mendengar percakapan gurunya dengan Bagus Kempong, hati Sangaji tak tenteram. Meskipun
gurunya tiada mencelanya, tetapi ia merasa bersalah menerima ajaran seseorang. Hal itu berarti bahwa ia mengangkat seseorang guru lain di luar pengetahuan gurunya. Memperoleh
pertimbangan demikian, cepat ia men-bungkuk hormat kepada Wirapati.
"Guru! Sesungguhnya..." Tetapi baru mengucap demikian, mendadak saja Pringgasakti sudah berada di depannya kembali dengan bertolak pinggang.
"Hai bocah! Kau benar-benar sudah dapat memahami ilmu Kumayan Jati ajaran si jem-bel Gagak Seta. Bagus! Otakku tumpul, sampai aku tadi tak mengenal ilmu saktimu. Hm ... sekarang janganlah kau mengira, bahwa aku takkan sanggup melawan ilmumu. Ingat-ingat-lah, bahwa aku murid Adipati Surengpati. Murid Adipati Surengpati betapa takkan mampu melawan murid Gagak Seta. Cuh! Hayo kita bertempur kembali... Ingin aku melihat sampai di mana kehebatan ilmu sakti Kumayan Jati," damprat Pringgasakti.
Sangaji seorang pemuda yang sabar dan jujur. Mendengar tantangan Pringgasakti, ia
membungkuk hormat sambil menyahut.
"Sebenarnya, aku bukan tandinganmu. Aku hanya dapat melawan kegagahanmu secara
kebetulan belaka. Apabila kali ini engkau telah sadar akan kelalaianmu, pastilah aku bukanlah lawanmu lagi. Karena itu, mestinya aku harus menyatakan takluk kepadamu..."
"Ilmu sakti Kumayan Jati terbagi menjadi dua. Pukulan keras dan pukulan lembek. Semuanya berjumlah delapan belas jurus. Kemudian ditambah pula enam pukulan guntur. Kulihat, engkau belum menggunakan seluruhnya."
Pringgasakti tak menghiraukan.


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ocapanmu benar belaka," sahut Sangaji, "Memang belum seluruhnya aku menggunakan semua pukulan ilmu sakti Kumayan Jati."
"Mengapa?" Mendengar penegasan Pringgasakti, cepat-cepat Titisari mencegah agar merahasiakannya.
Tetapi Sangaji yang jujur mendadak saja menjawab, "Sebab, aku belum menerima warisan ilmu Kumayan Jati dengan seluruhnya."
"Bagus!" sahut Pringgasakti dengan gembira. Kedua kelopak matanya lantas saja bersinar terang. "Belum lagi engkau menerima ajaran ilmu sakti Gagak Seta, ternyata kau telah dapat menjatuhkan aku. Hm, apakah Gagak Seta benar-benar seorang mahasakti tak terlawan" Ah,
terpaksalah aku menguji dirimu anak muda."
Mereka yang mendengar bunyi ucapan Pringgasakti jadi heran dan cemas. Ternyata alasan
pertempuran tidak hanya berkisar soal mempertahankan harga diri dan pembalasan dendam tetapi mendadak saja menyangkut pula tentang adu ilmu sakti. Di sini terasa terjadinya bibit bentrokan antara Adipati Surengpati dan Gagak Seta.
Sangaji masih saja berlaku sabar. Katanya mengalah, "Titisari, kawanku ini yang masih begini muda tak dapat aku lawan. Apalagi melawan engkau. Ilmu Adipati Surengpati adalah salah satu ilmu di dunia ini, yang kukagumi dengan segenap hatiku..."
"Eh Abu!" Titisari menyambung, "Apakah maksudmu menantang kawanku dengan mengadu ilmu Karimun Jawa" Masakan ada seorang di kolong langit ini yang mampu melebihi ayahku?"
"Ehem agar hatiku yakin, apa buruknya aku menguji kawanmu...." Pringgasakti tetap bersikap tegang. Dengan tiba-tiba pula, kakinya terus menjejak dan menyerang cepat. Sangaji mengelak ke samping. Dan pudarlah benteng kesabarannya. Dengan mata berapi-api meledaklah suaranya,
"Aku sudah berusaha menghormati tataran angkatan tua. Tapi engkau tetap membandel.
Bahkan menyerang aku dengan tiba-tiba. Silakan!" Habis berkata demikian, tinjunya lantas saja menyerang. Dan terdengarlah derum angin bergulungan. Pringgasakti melompat ke samping dan menyambut serangan Sangaji dengan cengkeramannya.
"Pukullah aku dengan jurusmu yang tanpa suara," seru Pringgasakti. "Dengan menggunakan pukulanmu yang bersuara, kau bukan tandinganku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar ucapan Pringgasakti, Sangaji melompat mundur sambil berkata, "Pukulanku tanpa bersuara berjudul pukulan iblis. Dalam keadaan biasa, aku dilarang melepaskan. Karena hal itu bertentangan dengan pengucapan darah seorang ksatria. Andaikata pada suatu hari aku melihat seseorang menggunakan pukulan demikian terhadap seseorang yang belum patut dimusnahkan,
akan kuku-tuki dan kubenci sampai tujuh turunan. Karena itu, betapa aku sudi menggunakan jurus itu terhadapmu" Kalau tadi aku melontarkan pukulan demikian, bukanlah dengan sengaja. Tapi semata-mata untuk mengusir hawa racunmu yang mulai merayapi tubuh. Jadi aku berdaya
mempertahankan diri terhadap racun dan bukan terhadapmu. Dengan demikian, adalah benarbenar hina apabila kau memaksa dirimu agar bertempur melawan pukulan iblisku. Aku emoh."
Suara Sangaji meskipun menggelikan dalam pendengaran para pendekar, tetapi berkesan
sungguh-sungguh. Sehingga mau tak mau hati nurani Pringgasakti tergerak juga.
Ih! anak muda ini berhati mulia, pikirnya. Tetapi ia membentak, "Aku minta kepadamu, agar engkau menggunakan pukulan iblismu. Jadi bukan kesalahanmu apabila engkau terpaksa
menggunakan. Dan tenang-tenangkan-lah hatimu, karena aku mempunyai cara untuk
memecahkan. Apa perlu kamu berpura-pura berbicara kemanusiaan terhadap aku iblis tua
bangka?" Sangaji mengerling kepada seseorang berjubah abu-abu yang menggunakan topeng mayat.
Pikirnya, mungkin dia telah mengajarkan ilmu memecahkan pukulan sakti Paman Gagak Seta. Jika mampu siapakah dia"
Sangaji diam-diam menimbang-nimbang, la melihat Pringgasakti terus mendesak. Karena itu
mau tak mau ia terpaksa berkata memutuskan, "Baiklah! Aku akan mencoba melayani
kehendakmu." Sangaji lantas saja mengingat-ingat semua jurus ilmu sakti Kumayan Jati dan pukulan rahasia hasil penemuannya dengan tiba-tiba tadi. Diam-diam ia menyalurkan tata napas Baju Sejati dan Kumayan Jati. Ternyata dia tak menemukan suatu kesulitan, meskipun belum terlalu lancar. Tetapi andaikata Pringgasakti mendadak bisa bergerak di luar dugaan, rasanya dia masih mampu untuk mempertahankan diri. Memperoleh pikiran demikian, majulah dia memasuki gelanggang pertempuran. Mendadak saja ia mendengar angin berdesir lewat di sampingnya, la kaget. Cepat ia menoleh dan menarik tinjunya ke dada. Kemudian merubahnya dengan suatu jurus lain. Tetapi kembali ia mendengar suara srr... lewat di sampingnya. Ia kaget bercampur heran. Karena begitu tinjunya hendak dikembangkan, Pringgasakti sudah dapat menebak dengan cepat dan tepat.
Tahu-tahu ia kena suatu tangkisan hebat yang segera dapat mementalkan tinjunya.
Dengan hati penuh dengan teka-teki, ia berkisar dari tempatnya dan mempersiapkan gempuran lembek yang tadi dapat meruntuhkan. Dan kembali ia mendengar suara berdesir.
Tatkala tinjunya dilontarkan, Pringgasakti dapat menangkis cepat, bahkan bisa pula mendahului menyerang. Dan untuk kedua kalinya, serangan Sangaji luput. Malahan lengan bajunya sobek selintasan.
Aneh! Dia tahu menebak jurus pukulan rahasia ilmu sakti Kumayan Jati, sudahlah aneh.
Sekarang malahan dapat mendahului pukulan pula, pikir Sangaji dalam hati. la masih belum percaya. Ia mengira, itulah suatu kejadian secara kebetulan. Maka dengan sebat ia mengirimkan tiga pukulan lembek dari jurus tahap kedua. Inilah pukulan lembek yang paling membahayakan.
Selama dia mewarisi ilmu sakti Kumayan Jati, baru pada saat itulah ia menggunakan.
Pringgasakti nampak gugup, la merasa seperti terdesak dan terhimpit suatu tenaga angin
Tetapi tak dapat menebak dari mana arah datangnya. Mendadak saja ia mendengar suara... srrr-srrr... tiga kali berturut-turut. Mendengar suara angin itu, cepat ia mencengkeramkan dan merabu maju.
Pengalaman adalah mahaguru, kata pepatah. Maka lambat-laun Sangaji jadi cerdik juga. Tak ragu-ragu lagi, ia menduga kepada orang berjubah abu-abu. Untuk meyakinkan dirinya segera ia melepaskan pukulan lembek tahap kedua jurus ke-empat, sambil mengerlingkan mata. Sekarang ia melihat orang berjubah abu-abu itu menyentil sebutir kerikil yang cepat melesat ke udara.
Suaranya terdengar pula berdesir.
Ah, pantas iblis itu bisa mengelakkan pukulan rahasia ilmu sakti Kumayan Jati. Tetapi siapakah orang berjubah abu-abu itu yang bisa memberi petunjuk-petunjuk" Kenapa dia paham pula akan rahasia ilmu sakti Kumayan Jati yang tiada duanya dalam dunia ini" la terus bergulat dalam
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
benaknya. Akhirnya memutuskan, "Baiklah! Setelah aku menghabiskan kesembilan jurus tahap kedua yang lembek, aku akan menyatakan takluk ... Masakan dia akan memaksa aku melakukan jurus yang keras?"
Pertempuran terus berlangsung dengan bertambah seru. Sangaji selalu menjadi pihak
penyerang. Suatu tanda, bahwa Pringgasakti sebenarnya tiada paham dengan ilmu sakti Kumayan Jati. Hanya saja, suara berdesirnya kerikil yang melesat ke udara kian nyata. Bahkan kini, mau tak mau orang berjubah abu-abu terpaksa dengan terang-terangan membantu Pringgasakti.
Pringgasakti lantas saja bisa merubah diri menjadi pihak penyerang oleh petunjuk-petunjuk orang berjubah abu-abu. Dia kini jadi galak dan ganas. Angin serangan bergulungan hebat dan tiap kali gerak didahului dengan suara desirnya kerikil. Mereka yang berdiri di pinggir gelanggang, kini dapat menyaksikan dengan terang-terangan bagaimana Pringgasakti dibantu oleh orang
berjubah abu-abu itu. Dua kali Pringgasakti kena terdesak ke pojok. Tetapi selalu dapat
membebaskan diri, malahan bisa membalas menyerang tiga kali bemntun-runtun.
Titisari yang berotak cerdik, jadi berpikir keras. Ia mulai mencari akal. Diam-diam ia memungut beberapa butir kerikil. Kemudian meniru perbuatan orang berjubah abu-abu dengan menyentilkan kerikil itu ke arah Pringgasakti untuk mengacaukan pemusatan pikirannya. Kadang-kadang ia menyerang ke tempat kosong, ke udara bebas atau ke tanah. Bahkan berani pula menyerang
kerikil orang berjubah abu-abu itu. Tetapi orang berjubah abu-abu itu benar-benar mengagumkan.
Apabila kerikilnya terpukul, justru bisa mendengungkan suara lebih tajam dan arah-nya lantas saja bisa bergeser tempat. Kalau tadi dimaksudkan sebagai penunjuk pertahanan diri, kini oleh pantulan kerikil Titisari berubah menjadi petunjuk dan menyerang.
Bagus Kempong, Wirapati, Abdulrasim, Cocak Hijau, Manyarsewu, Sawungrana, Yuyu Rumpung
dan Sanjaya semua terheran-heran menyaksikan kehebatan ilmu menyentil orang berjubah abu-abu itu. Panah atau peluru pistol, tidaklah sehebat sentilannya. Barangsiapa kena tersentil, pasti takkan berkesempatan melepaskan sepatah katapun jua.
Titisari berdiri tertegun, la sampai ter-cengang-cengang karena heran bukan kepalang. Tanpa berkedip ia mengamat-amati orang berjubah abu-abu yang mengenakan topeng setan.
Dalam pada itu, keadaan Sangaji kena terdesak Pringgasakti yang dapat bergerak dengan sebat oleh petunjuk sentilan kerikil tajam. Iblis itu tinggal mengikuti arah segi lintang desiran kerikil.
Maka serangannya kian lama kian berbahaya.
Tiba-tiba terdengarlah suatu suara nyaring. Dan nampaklah dua butir kerikil saling berbenturan di udara. Kerikil yang pertama melesat agak kendor. Yang kedua pesat dan menyekat keblat. Tak urung kedua butir itu berbenturan dan meletikkan sinar api. Justru pada waktu itu Pringgasakti melompat menubruk dengan menggeram, sedangkan Sangaji cepat-cepat meloncat ke samping.
Kemudian terdengar suara Titisari memekik tinggi.
"Ayah!" Gadis itu lantas saja lari ke arah orang berjubah abu-abu dan terus memeluknya, la menangis keras sambil berkata menyesali, "Ayah! Kenapa Ayah mengenakan topeng begini buruk?"
Peristiwa itu di luar dugaan, orang berjubah abu-abu itu sampai dia berdiri tertegun. Dengan sendirinya keadaan di gelanggang pertempuran jadi berubah. Pringgasakti yang sudah merangsak menubruk dengan menggerung mendadak saja berhenti di tengah jalan, karena kehilangan
petunjuk. Inilah suatu kesempatan yang bagus bagi Sangaji. Segera ia melepaskan serangan lembek jurus kesembilan. Tanpa petunjuk orang berjubah abu-abu, Pringgasakti kehilangan daya-geraknya bagaikan seseorang yang kehilangan kedua belah matanya. Maka tak ampun lagi ia kena terpukul jurus kesembilan ilmu sakti Kumayan Jati dan jatuh terkapar di atas tanah. Seluruh tenaganya seperti terkikis, sehingga iblis yang terkenal sakti itu tak mampu berdiri tegak lagi.
Abdulrasim yang sudah memperoleh kisikan sang Dewaresi tentang siapakah Titisari sebenarnya, kaget sewaktu gadis itu memanggil orang berjubah abu-abu sebagai ayahnya. Karena kagetnya kakinya sampai gemetaran. Betapa tidak" la kenal siapakah Ayah Titisari. la kenal pula siapakah Adipati Surengpati. Selain terkenal bengis dan kejam, ia seorang mahasakti setengah dewa.
"Ayah kenapa Ayah datang ke mari?" tegur Titisari.
"Kenapa aku datang ke mari" Bukankah karena engkau aku sampai keluyuran ke mari?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Titisari girang bukan kepalang. Ia tahu dan semua orang tahu bahwa Adipati Surengpati adalah seorang tokoh mahasakti yang angkuh. Dahulu pernah bersumpah takkan mendarat di Pulau
Jawa. Dan sumpahnya ditepati, meskipun oleh sumpah itu membuat dia tak bisa mengejar
Pringgasakti. Apa sebab dia bersumpah tak sudi mendarat di pulau Jawa, adalah gara-gara
keputusan Mangkubumi 1 yang mengesyahkan Pangeran Samber Nyawa menjadi Mangkunegoro 1
di Surakarta. Dia sendiri sebenarnya berangan-angan besar untuk menjadi salah seorang raja di Pulau Jawa. Karena ternyata angan-angannya tak tercapai, maka minggatlah dia dari Yogyakarta dan bermukim ke sebuah pulau di seberang utara Pulau Jawa. Di pulau itu ia mendirikan semacam kerajaan kecil, dan dialah yang menjadi rajanya.
"Ayah, maksud Ayah hendak mencari aku ternyata sudah tercapai. Bagus! Bagus!" kata Titisari manja.
"Hm... karena engkaulah aku terpaksa men-genakan topeng buruk ini."
Titisari jadi terharu. Tahulah dia, bahwa untuknya ayahnya bersedia mengorbankan segalanya.
Ternyata nilainya jauh lebih tinggi daripada kitab pusaka Witaradya yang dipan-dangnya sebagai jiwanya sendiri. Tatkala dahulu ia kehilangan kitab pusaka Witaradya, tak sudi dia menyeberangi lautan. Karena mendongkol dan murka ia melampiaskan dendamnya kepada hamba-sahaja yang
setia. Semuanya diputuskan urat dan tulang-belulangnya, sehingga menjadi orang-orang lumpuh.
Tetapi begitu melihat anak daranya melarikan diri dari Pulau Karimun Jawa, ia batalkan
sumpahnya dan terus mengejar sampai bertemu pada hari itu. Sekalipun mendongkol, Adipati Surengpati bersyukur menyaksikan anak-daranya tiada kurang suatu apa.
"Ayah!" bisik Titisari lagi yang tahu membaca gejolak hati ayahnya. "Mulai sekarang, aku berjanji akan menjadi seorang anak yang baik dan penurut. Aku akan selalu mendengarkan semua perkataanmu."
Mendengar janji Titisari, Adipati Surengpati terus memeluk anaknya.
"Pimpinlah bangun murid Ayah, si Abu Pringgasakti," ia berkata kepada Titisari.
Titisari segera menghampiri Pringgasakti dan menolong menegakkan.
Bagus Kempong, Wirapati dan pendekar-pendekar lainnya segera membungkuk memberi
hormat kepada Adipati Surengpati. Terdengar Adipati Surengpati menghela napas dalam. Berkata setengah menyesali.
"Abu! Karena kamu, aku banyak menyiksa orang-orang tak berdosa. Karena engkau, aku
kehilangan sebagian kitab pusaka keluargaku. Sehingga isteriku meninggal oleh duka cita."
Mendengar ucapan Adipati Surengpati, Pringgasakti menggigil ketakutan. Tapi begitu
mendengar berita meninggalnya isteri Adipati Surengpati, mendadak saja dia menangis
menggerung-gerung. "Mengapa menangis?" bentak Adipati Surengpati bengis
Peringgasakti kenal baik tabiat gurunya yang benci kepada bunyi tangis. Maka seketika itu juga, ia berhenti menangis. Sebaliknya Titisari nampak menjadi manja. Terus saja gadis itu menghampiri ayahnya sambil berkata, "Ayah! Nampaknya Ayah mendongkol benar kepada Pringgasakti. Apakah Ayah mendongkol pula terhadapku?"
"Kau pun termasuk salah satu anasir membu-yarkan ketenteraman hatiku. Hm!" Adipati Surengpati menghela napas. Dan Titisari mundur setengah langkah sambil melilitkan lidahnya.
"Ayah! Mari kuperkenalkan dengan beberapa sahabatku," katanya mengalihkan pembicaraan.
"Inilah Paman Bagus Kempong dan Paman Wirapati, murid Kyai Kasan Kesambi yang tersohor di seluruh jagat."
"Hm," dengus Adipati Surengpati.
"Dan ini sahabatku, Sangaji." Titisari tak peduli. Tapi Adipati Surengpati bersikap dingin dan membeku. Ia melemparkan pandang ke sana. Melihat sikapnya, Bagus Kempong dan Wirapati
mendongkol hatinya. Mereka merasa seperti direndahkan. Diam-diam mereka membenarkan warta tentang watak dan perangai Adipati Surengpati yang aneh, kejam, bengis dan tak tahu aturan.
Apabila dia menjadi guru seorang iblis seperti Pringgasakti, sudahlah selayaknya.
Waktu itu Adipati Surengpati menatap muka Titisari sambil berkata memerintah, "Kau
mempunyai benda milik apalagi" Ambillah! Dan ayo berangkat pulang!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa yang kupunyai?" Titisari tertawa geli. "Tiada yang kumiliki kecuali diriku sendiri. Apakah Ayah hendak membawa Abu pulang pula ke Karimun Jawa?"
Dengan mata berkilatan, Adipati Surengpati mengawasi Pringgasakti. Mendadak saja, Sanjaya yang selama itu berdiam saja datang menghampiri. Memang pemuda itu adalah seorang anak
yang licin dan pandai mengambil hati. Begitu ia melihat betapa gurunya-Pringgasakti ketakutan setengah mati terhadap Adipati Surengpati secara tak resmi menjadi kakek gurunya"
"Cucu-murid Sanjaya perkenankan meng-haturkan sembah," katanya takzim.
Adipati Surengpati menoleh kepada Pringgasakti dengan meninggikan alisnya. Menegas, "Dia cucu muridku" Semenjak kapan dia menjadi muridmu" Dan kapan pula kamu berhak mengambil
murid untuk menurunkan Ilmu Karimun Jawa tanpa sepengetahuanku?"
Gugup Pringgasakti hendak menjawab. Tetapi belum lagi mulutnya terbuka, Adipati telah
menyambar lengan Sanjaya. Kemudian dilemparkan tinggi di udara. Begitu ia menangkap dengan tangan kiri, lantas saja tangan kanannya menghantam pundaknya.
Pringgasakti kaget bukan kepalang sampai dia memekik, "Guru!"
Hajaran Adipati Surengpati membuat Sanjaya jatuh berjungkir-balik di udara dan runtuh di atas tanah tanpa tenaga.
"Hm!" dengus Adipati Surengpati. "Bagaimana kamu berani mewariskan Ilmu Karimun Jawa kepadanya" Karena itu, hari ini kurenggut semua tenaganya. Selanjutnya, dia takkan dapat lagi berlatih ilmu Karimun Jawa. Mengerti?"
Pringgasakti mengangguk dengan mulut ter-bungkam. Sama sekali ia tak berdaya menghadapi
gurunya yang bengis dan sakti. Tetapi masih dia mencoba, "Guru! Untuk menghimpun tenaga jasmaniah, seseorang membutuhkan waktu paling tidak empat tahun lamanya. Apa sebab guru
lantas saja melenyapkan begitu saja" Apakah tidak me-nyayangkan bakat seorang muda sebagai tunas mekar di kemudian hari?"
"Kau tak perlu mengoceh seperti burung. Sedang nyawamu sendiri belum pasti selamat, mengapa kau berpura-pura menjadi pahlawan?"
Pringgasakti terkenal sebagai iblis kejam dan bengis. Puluhan bahkan ratusan orang sudah menjadi korban kebiadapannya.
Tanpa berkedip ia merenggut nyawa seseorang dengan begitu saja. Tetapi meskipun demikian, dalam hati nuraninya mengalirlah sebintik jiwa ksatria juga. Terbukti dengan peristiwa kali itu.
Ternyata ia kasihan kepada Sanjaya sebagai guru dan murid. Maka begitu melihat muridnya
tersiksa, lantas saja ia memberanikan diri untuk menuntut keadilan.
Nyawanya sendiri tak dihiraukan lagi. Berkata dengan suara bergetar, "Guru! Selama aku meninggalkan Karimun Jawa, tiada hasratku hendak mencari murid atau menurunkan warisan ilmu sakti Karimun Jawa tanpa sepengetahuan guru. Tetapi terhadap anak itu, mendadak saja hatiku tergerak. Karena pertama-tama, ia adalah seorang pemuda yang berbakat. Kedua, ia putera
seorang pangeran yang pantas memiliki sepercik ilmu sakti guru. Dan ketiga, kuharapkan kelak bisa menjadi ahli waris kesaktian guru. Karena itu, alangkah pedih rasa hatiku melihat guru memusnahkan tenaga saktinya. Dengan demikian, ia akan menjadi seorang pemuda yang hina-dina. Menjadi seorang pemuda cacat jasmaniah selama hidupnya."
"Andaikata benar begitu, apa peduliku?" potong Adipati Surengpati tanpa perasaan.
Mendengar ucapan Adipati Surengpati, tak terasa sekalian para pendekar menoleh kepada
Sanjaya. Pemuda itu benar-benar tertumbuk batu. Tadinya dia mengira akan mudah mengambil hati
Adipati Surengpati. Tak tahunya, Adipati Surengpati bukanlah seperti manusia lumrah. Wataknya aneh. Tabiatnya susah ditebak.
Karena itu ia terkenal sebagai si iblis dari Karimun Jawa. Sekarang, tenaga saktinya terpunah sudah oleh hajaran Adipati Surengpati. Tak mengherankan, bahwa wajahnya sekaligus menjadi kuyu. Tenaga jasmaniahnya lumpuh. Dengan pandang suram ia menyiratkan pandang kepada
sekalian yang hadir seolah-olah minta bantuan. Tetapi bagaimana mereka berani berkutik di depan Adipati Surengpati yang terkenal sebagai seorang mahasakti setengah dewa"
"Hai, siapa namamu anak muda?" mendadak saja Adipati Surengpati berkata kepada Sanjaya.
Sanjaya hendak menjawab, tetapi Pringgasakti mendahului, "Dia bernama Sanjaya, pu-tera Pangeran Bumi Gede."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ih! Siapa kesudian berbicara dengan hamba Belanda?" Adipati Surengpati meludah ke tanah.
"Untunglah, aku tidak memusnahkan seluruh tenaga jasmaninya. Aku hanya mengambil milikku belaka, agar dia tak bisa menekuni ilmu sakti Karimun Jawa. Berbahagialah!"
Mendengar ujar Adipati Surengpati, Pringgasakti girang bukan kepalang sampai air matanya bercucuran.
Tatkala itu Titisari menoleh kepada Sangaji sambil berkata, "Aji! Hebat tidak ayahku" Dilihat sepintas lalu, pakarti ayahku adalah kejam. Siapa mengira, kalau Ayah hanya mengambil haknya kembali sebagai hukuman terhadap seorang pengkhianat yang berani mencuri wewenang
seseorang. Inilah namanya maling kepergok di siang hari bolong."
"Ayahmu hebat sekali, Titisari," sahut Sangaji dengan jujur. "Kalau kau nanti sudah pulang kembali ke kampung halaman, janganlah kau mensia-siakan ajaran ayahmu. Pasti kamu kelak
akan menjadi pendekar sakti tak terlawan."
"Kau ikut juga kan ke Karimun Jawa?" sahut Titisari cepat. Mukanya berubah, suatu tanda hatinya cemas.
"Aku hendak mengikuti guru mendaki Gunung Damar. Kelak aku akan menjengukmu."
Titisari jadi gelisah seperti cacing tercebur di atas penggorengan. Katanya setengah menjerit,
"Tidak! Tidak! Tak mau aku berpisah denganmu."
Sangaji menarik napas. Sebenarnya, dia pun agak berkeberatan berpisah dengan Titisari,
Sewaktu hendak menyatakan isi hatinya, men-dadak saja ia melihat Adipati Surengpati berkelebat menyambar Sanjaya. Anak muda itu dilemparkan ke udara dan ditendang jungkir-balik. Tak
ampun lagi. Sanjaya menggelinding di atas tanah. Tetapi yang aneh adalah sikap Pringgasakti.
Begitu melihat muridnya jatuh bergulingan, dia bahkan berjingkrak sambil berteriak nyaring.
"Sanjaya! Lekaslah engkau menghaturkan sembah kepada Kakek-guru. Beliau telah
menghadiahi semacam tenaga sakti kepadamu."
Dengan tertatih-tatih, Sanjaya merayap bangun. Mula-mula matanya berkunang-kunang.
Sekonyong-konyong dalam tubuhnya terasa mengalir semacam hawa hangat. Lantas saja ia
merasa segar-bugar. Oleh teriakan Pringgasakti tahulah dia bahwa Adipati Surengpati sedang menganugrahi semacam ilmu sakti dengan diam-diam. Cepat ia maju dan hendak menghaturkan
sembah. Tetapi Adipati Surengpati membentak, "Sudah kukatakan tadi, bahwa aku telah memusnahkan semua tenaga sakti ilmu Karimun Jawa. Kalau saja kini kamu merasa memperoleh tenaga baru, sebenarnya adalah untuk bekal menekuni ilmu tata-berkelahi lumrah. Sebaliknya untuk menekuni ilmu sakti janganlah mengharap yang bukan-bukan." Baik Pringgasakti maupun Sanjaya kecewa mendengar keterangan Adipati Surengpati, tetapi mereka tak dapat berbuat lain, kecuali hanya membungkam mulut.
"Abu!" Tiba-tiba suara Adipati Surengpati berubah menjadi garang. Sebenarnya engkau manusia terlalu jahat. Tetapi aku tahu, kau telah menderita batin pula. Tadi kulihat, sewaktu kau terdesak oleh anak muda itu, teringatlah kamu pada nama perguruanmu. Sehingga dengan
berbekal petunjukku, kamu berani melabrak anak muda itu demi mempertahankan nama
perguruan. Bagus! Karena jasamu itu, aku akan membiarkan engkau hidup untuk beberapa
bulan." Mendengar ujar gurunya, hati Pringgasakti terperanjat bercampur heran. Tak pernah
diduganya, bahwa gurunya akan mengampuni kesalahannya dengan mudah, mengingat pegawaipegawainya disiksa sepanjang hidupnya tanpa berdosa karena perbuatannya semata. Itulah
sebabnya oleh rasa syukur, ia duduk bersimpuh untuk menyatakan terima-kasih tak terhingga.
"Bagus!" Adipati Surengpati menyahut sembah muridnya. Kemudian menepuk pundak
Pringgasakti sambil berkata, "Kau murid mengenal budi."
Pringgasakti terkejut. Pundaknya tiba-tiba terasa menjadi nyeri. Matanya berkunang-kunang dan dunia seolah-olah berputar di depannya. Tahulah dia, bahwa gurunya sedang menjatuhkan suatu siksaan yang mengerikan. Siksaan itu bernama, Tepukan Cakrabirawa. Barangsiapa kena tepukan tersebut, seluruh tubuhnya akan terasa seperti ditusuki ribuan jarum. Makin dia bergerak, makin sakit. Setelah lewat satu bulan, tenaganya mulai sunat. Grat-uratnya mulai lemah dan darahnya mulai membeku. Apabila sudah berkembang demikian, tiada seorang pun di kolong
langit ini yang mampu mengobati, meskipun dewa sendiri tidak. Teringat akan siksaan itu, air
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mata Pringgasakti mengalir deras. Dengan tersekat-sekat ia berkata, "Guru, muridmu memang berdosa tak teram-punkan. Pantaslah guru menghukum aku mati. Karena aku dahulu terbelenggu oleh nafsu ingin menjadi seorang pendekar tersakti di dunia ini, sampai aku mencuri sebagian kitab pusaka guru. Sama sekali tidak terduga, bahwa oleh perbuatan itu, ibu Titisari wafat karena berduka. Tetapi, perkenankanlah aku memohon hukuman mati yang lain. Bebaskan aku dari
siksaan Tepukan Cakrabirawa."
Adipati Surengpati tidak tergerak hatinya. Dengan wajah membeku dan menatap muridnya.
Mulutnya menyungging suatu senyum yang sukar untuk terbaca. Karena itu, Pringgasakti jadi putus asa. Cepat luar biasa ia mencabut cemeti pamuk dan segera hendak menghajar tubuhnya sendiri sehingga mampus dengan seketika itu juga. Tetapi Adipati Surengpati bukanlah seseorang yang mudah dikelabui. Belum lagi Pringgasakti bisa bergerak, tahu-tahu cemeti pamuk telah berpindah ke tangan pemiliknya semula.
"Eh, mengapa kamu ingin cepat-cepat mati di hadapan gurumu?" tegur Adipati Surengpati tak berperasaan. "Mati di hadapanku bukankah tidak mudah?"
Mendengar ujar gurunya, tahulah Pringgasakti bahwa gurunya akan menurunkan siksaan lain
yang jauh lebih mengerikan. Kemudian ia mengerling kepada Sangaji dan kemudian berkata,
"Terimalah rasa terima-kasihku atas jasamu membunuh adikku. Andaikata dia masih hidup, pastilah matinya hari ini akan tersiksa seperti aku."
Adipati Surengpati tak memedulikan ujar muridnya. Dengan suara dingin dia berkata, "Tepukan Cakrabirawa ini akan bekerja setelah lewat satu tahun. Dalam satu tahun ini engkau akan kuberi tugas menyelesaikan pekerjaan suci. Setelah selesai, kau boleh datang ke
Karimun Jawa. Aku akan membebaskan siksaan ini dari tubuhmu."
Girang hati Pringgasakti mendengar ujar gurunya. Dengan terharu ia bersembah lagi seraya berkata takzim.
"Katakanlah, tugas apa yang harus kulakukan" Meskipun harus menyeberang lautan api dan telaga golok tajam, takkan muridmu mundur selangkah pun juga. Bersabdalah!"
Adipati Surengpati tersenyum. Berkata, "Eh, kamu seolah-olah mampu melakukan tugasmu yang belum lagi kuterangkan. Tahukah kau tugas apa yang akan kaupikul, sampai begini gagah lantas saja bisa menerima?"
Hati Pringgasakti kecut. Tak berani ia men-jawab. Kepalanya hanya menunduk lebih dalam.
Melihat muridnya tak berani berkutik, berkatalah Adipati Surengpati.
"Dengarkan! Yang pertama, bagian Wirata-dya yang kau curi, harus kaukembalikan se-lengkap-lengkapnya. Dan ingatlah siapa pula yang pernah melihat atau membaca isinya, harus kau bunuh.
Dua orang pernah melihat, dua orang itu pulalah yang harus kamu bunuh. Gmpama kata seratus orang pernah membaca, bunuh pulalah seratus orang itu. Kemudian kedua matamu yang pernah menekuninya, harus kau cungkil dari kelopaknya. Dengan demikian, kedua matamu yang biadab itu telah memperoleh hukumannya yang adil. Sebaliknya, apabila engkau melalaikan salah seorang saja, janganlah engkau berharap bisa kembali kepadaku. Aku akan mencarimu dan akan
menghukumu dengan suatu hukuman yang setimpal. Tidak hanya hukuman Tepukan Cakrabirawa saja yang akan menyiksamu, tetapi aku masih mempunyai cara lain yang belum pernah kau dengar, yakni Tepukan Lebur-saketi. Sekali kau kena kuraba, maka kamu tak merasa
beranggota tubuhmu. Dengan begitu kamu akan mati penasaran. Karena orang mengira, kau mati bunuh diri karena terganggunya kewarasan otakmu. Bukankah mati demikian jauh lebih
mengenaskan?" Mereka yang mendengar ujar Adipati Surengpati, bergidik seluruh bulu romanya. Pikir mereka, benar-benar dia merupakan iblis samudra Karimun Jawa. Pantas orang gagah tak senang dengan sepak-terjangnya yang sesat dan bengis.
"Sekarang yang kedua!" kata Adipati Surengpati lagi, "Karena pengkhianatanmu, ibu Titisari meninggal dunia oleh duka-cita. Bagian kitab pusaka Witaradya yang tiga bagian, dibawanya hilang ke liang kubur.
Entah dibuang ke mana. Hanya setan dan iblis yang tahu. Karena itu, menjadi kewajibanmu
pula untuk mencari sampai ketemu. Kau-sanggup?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pringgasakti mengangguk, meskipun dalam hatinya ia mengeluh. Sebaliknya Titisari berpikir, Ibu wafat semenjak aku masih kanak-kanak. Selama itu Ayah tak pernah membicarakan perkara bagian kitab pusaka Witara-dya yang hilang.
"Ini suatu tanda, bahwa Ayah tak berdaya untuk menemukan kembali. Hal itu berarti, angan-angannya untuk menjadi seorang pendekar tersakti pada zaman ini tak tercapai. Sekarang Abu diperintahkan mencari bagian kitab itu dalam tempo satu tahun. Masakan dia mampu?"
Sebaliknya Adipati Surengpati tidak menghiraukan. Nampaknya sama sekali tiada pertimbangan demikian. Hatinya dingin membeku bagaikan batu karang berlumut. Dengan mendongakkan
kepala ia berkata tanpa perasaan.
"Kitab pusaka Witaradya engkaulah yang mengambil dan menjamahnya sendiri. Sama sekali aku tak mewariskan, menganjurkan atau mengajarkan. Sebaliknya kamu menekuni sendiri.
Apakah yang harus kaulakukan sebagai seorang murid yang berbakti?"
Pringgasakti segera dapat menebak kehendak Adipati Surengpati. Dahinya berkerinyit.
Keringatnya mengucur deras. Akhirnya, dengan bergetar ia berkata hormat. "Guru! Tak usahlah guru kecewa mempunyai murid seperti aku. Umurku sudah cukup tua. Jauh lebih tua daripada usia guru sendiri. Apa perlu masih bersitegang dengan mempertahankan kesenangan hidup. Baik!
Setelah aku selesai melakukan tugas guru, aku tahu apa yang harus dilakukan oleh seorang murid yang berbakti. Dengan kedua tanganku sendiri, aku akan merenggutkan semua ajaran kitab suci Witaradya dari tubuhku."
Mendengar ujar Pringgasakti, otak Sangaji yang tumpul belum bisa menangkap maksudnya.
Segera ia mengerling kepada Titisari. Gadis itu mengunci mulut. Ia enggan memberi keterangan.
Karena itu ia menoleh kepada gurunya, Wirapati. Dengan tangan kanan membaca kutung kedua belah tangannya. Wirapati memberi isyarat apa arti merenggutkan ilmu sakti kitab pusaka
Wataradya. Memperoleh keterangan isyarat itu, barulah Sangaji mengerti arti merenggutkan semua ajaran ilmu kitab suci Witaradya. Katanya terheran-heran dalam hati, ah, kiranya dia hendak mengutungi kedua belah tangannya sendiri. Pringgasakti menurut kabar adalah seorang iblis yang luar biasa jahat. Tapi nampaknya pada hari ini, ia insyaf akan kejahatannya. Mengapa masih harus
menjalankan hukuman begini berat" Biarlah Titisari kudesak agar memohon ampun kepada
ayahnya." Tengah Sangaji sibuk berpikir, mendadak Adipati Surengpati berpaling kepadanya sambil
berkata, "Kau yang bernama Sangaji?"
Sangaji segera membungkuk hormat sambil bersembah. Berkata, "Aku bernama Sangaji. Asal dari Jakarta..."
"Muridku kedua bernama Abas, kaulah yang menewaskan. Bagus! Pastilah engkau lebih hebat dari padanya." Sangaji terperanjat. Nada Adipati Surengpati berkesan kurang menyedapkan hati.
Tetapi cepat-cepat ia menyahut, "Waktu itu, aku lagi berumur empat belas tahun. Aku kena tangkap dia. Tanpa kusenga-ja, pistol yang kugenggam meletus. Karena dia menyentil
pelatuknya..." "Begitu?" Adipati Surengpati mendengus. Suaranya luar biasa dingin. "Abas adalah muridku kedua yang murtad. Meskipun demikian orang di luar kalangan kami, tak kuperkenankan
menghukum semena-mena. Apakah kaukira, murid dari Karimun Jawa bisa dibinasakan seseorang dengan seenaknya saja?"
Sangaji memang tak pandai berdebat. Maka dia diam tak tahu apa yang harus dikatakan.
Melihat Sangaji diam seperti tersumbat mulutnya, Titisari terus saja berkata mewakili.
"Ayah kematian Abas disebabkan suatu kecelakaan. Bukan suatu pembunuhan dengan
sengaja." Adipati memejamkan mata seolah-olah tiada sudi mendengarkan tiap patah kata anaknya.
Berbareng dengan menyenakkan mata, ia menentang Sangaji dengan pandang berapi-api.
"Si bule Gagak Seta, biasanya tak senang mempunyai murid. Tetapi kini, ternyata dia telah mengajari kamu ilmu rahasianya hampir tamat. Pastilah kamu mempunyai sifat-sifat baik dan bakat bagus yang melebihi semuanya yang pernah diketemukan. Apabila tidak demikian, pastilah kamu sudah berhasil membujuk atau menjebaknya sehingga mau tak mau dia harus menurunkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ilmu saktinya kepadamu. Ternyata dengan berbekal ilmu sakti si bule yang belum sempurna, kau telah berhasil merobohkan murid Karimun Jawa.
E-hm... di kemudian hari, apabila aku bertemu dengan gurumu, pastilah dia bakal mengoceh tak keruan."
"Ayah!" kembali Titisari memotong. "Memang benar Paman Gagak Seta mengajari dia, bukan karena Sangaji adalah muridnya tetapi semata-mata oleh suatu bujukan. Juga bukan dialah yang mengakali. Tetapi aku! Ayah, Sangaji adalah seorang pemuda polos hati. Janganlah Ayah berlaku begini bengis sampai dia jadi ketakutan!"
Kali ini Adipati Surengpati benar-benar tidak mendengarkan perkataan anaknya. Sebenarnya, semenjak isterinya meninggal dunia karena duka-cita, seluruh cinta-kasihnya dialihkan kepada gadisnya. Itulah sebabnya, ia memanjakan Titisari sampai melampaui batas, la tak memedulikan tingkah-laku Titisari yang agak liar dan terlalu berani menentang semua lakunya yang tidak disetujui. Suatu kali, Titisari merasa tersinggung, tatkala dia mencoba mengajari tata-susila pergaulan. Terus saja gadis itu minggat, peristiwa itu membuat dia terkejut. Cepat-cepat ia mengejar. Sepanjang perjalanan, dia mengira bahwa gadisnya akan sangat menderita. Tak
tahunya, Titisari tetap sehat wal-afiat. Bahkan nampak kian segar-bugar dan bercahaya seri seorang gadis remaja yang telah menemukan suatu keputus-an hati. Dengan pandang penuh
selidik ia mengamat-amati pergaulan gadisnya dan Sangaji. Ternyata hati anaknya lebih ber-cenderung kepada pemuda itu. Oleh kesan ini, hatinya kurang senang. Maka terus saja dia berkata kepada Sangaji.
"Setelah kamu bisa memiliki ilmu sakti Gagak Seta, pastilah kau tak menghargai penduduk Karimun Jawa."
Titisari kenal watak ayahnya yang angkuh dan mau menang sendiri. Pikirnya dalam hati, Ayah tak senang menyaksikan Sangaji bisa merobohkan Abu dengan ilmu sakti Paman Gagak Seta. Hal ini bisa membahayakan Sangaji.
Memperoleh pikiran demikian, segera dia berkata nyaring, "Ayah! Bagaimana Aji berani menghina murid-murid Karimun Jawa" Dia bisa merobohkan Abu karena secara kebetulan belaka.
Ayah tak percaya" Lihat!"
Setelah berkata demikian, gadis itu terus saja melompat menyerang Sangaji dengan ilmu ajaran ayahnya sambil berkata menggertak.
"Mari! Kita bertanding! Keluarkan ilmu sakti Paman Gagak Seta! Aku akan merobohkan kamu dengan ilmu sakti Karimun Jawa!"
Dengan sengaja Titisari menantang Sangaji. Ia tahu bahwa ilmu Sangaji telah maju berlipat ganda dengan sewaktu baru berkenalan dahulu di Cirebon. Tetapi ia percaya, masih bisa melayani dalam dua puluh gebrakan. Ia berharap, mudah-mudahan ayahnya puas.
Sangaji mengerti maksud Titisari. Melihat Adipati Surengpati diam mengamat-amati, maka
segera ia membalas tantangan itu.
"Biasanya aku selalu kalah melawan kamu. Tetapi kalau kamu mengira, aku jera kepada gebukanmu kau berpikir berlebih-lebihan. Kali ini, kalau kau mampu menggebuk lagi, aku
menyatakan takluk." Setelah berkata demikian, terus ia mengayunkan tangan dan membalas serangan dengan suatu jurus ilmu sakti Kumayan Jati.
"Bagus!" Titisari tertawa merendahkan. Cepat ia berkisar dengan ilmu langkah Karimun Jawa dan terus menyabetkan tangannya. Itulah suatu jurus ajaran Adipati Surengpati yang terkenal dengan nama Angin Laut Menumbuk Karang.
Sangaji melawan ilmu sakti Karimun Jawa dengan ilmu sakti Kumayan Jati. Tetapi ia sayang kepada keselamatan Titisari. Itulah sebabnya, ia berkelahi dengan setengah hati. Sebaliknya Titisari berkelahi dengan sungguhsungguh. Maklumlah, dia harus membuktikan keunggulan ilmu sakti Karimun Jawa yang sesungguhnya bukanlah ilmu murahan. Kegesitan dan tenaga dorongnya luar biasa. Siku jurusnya tajam dan bidang geraknya menempati kedudukan mata angin yang
selalu ber-putar bagaikan gelombang laut. Maka beberapa kali, Sangaji kena terhajar. Celakanya, Titisari menghajar dengan sungguh-sungguh. Bahkan gadis itu menggunakan seluruh tenaganya karena dia tahu tubuh Sangaji kuat.
"Kau masih tak menyerah kalah?" gertaknya sambil terus merangsak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
**** Sangaji tak menyahut. Dia bertahan sebisa-bisanya dengan jurus-jurus ilmu sakti Kumayan Jati.


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak saja, Adipati Surengpati yang tadi menonton dengan berdiam diri, melesat ke tengah gelanggang. Cara dia melesat begitu cepat, sampai luput dari pengamatan sekalian yang berada di sekitar gelanggang. Tahu-tahu kedua tangan Adipati Surengpati telah mencengkeram tengkuk Sangaji dan Titisari dengan berbareng. Titisari terus dilemparkan dengan tangan kiri asal terlempar saja. Sebaliknya dengan tangan kanan, Adipati Surengpati mengerahkan suatu himpunan tenaga tertentu. Kemudian menghentakkan pemuda itu ke udara melewati kepalanya. Ia bermaksud
hendak merobohkan Sangaji dengan sekali hentakan. Dengan berjungkir-balik melewati
kepalanya, masakan takkan roboh babak-belur"
Tetapi aneh! Sangaji yang telah mengantongi ilmu sakti Kumayan Jati bukanlah lagi merupakan seorang pemuda yang masih belum pandai beringus. Begitu ia kena dijungkir-balikkan di udara, terus saja kakinya turun terlebih dahulu. Dan menancap kokoh bagaikan batu karang.
Sebenarnya, apabila dia bisa bermain sandiwara, mestinya harus berpura-pura jatuh
bergulingan serta membiarkan mukanya babak-belur. Tetapi memang dia seorang pemuda yang
jujur dan tiada pandai berpura-pura. Dengan demikian Adipati Surengpati sekaligus bisa menilai ketang-guhannya. Lantas saja Adipati Surengpati jadi panas hati.
"Hai! Kau kira siapa aku, sampai kau berani mengelabui aku dengan permainan sandiwara" Aku tak mempunyai murid lagi. Karena itu, kau hendak mencoba-coba ketangguhan ilmu ajaran Gagak Seta" Mari!" bentaknya bengis.
Lambang Naga Panji Naga Sakti 5 Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D Pendekar Remaja 14

Cari Blog Ini