Ceritasilat Novel Online

Bende Mataram 43

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 43


dengan berjumpalitan. Setelah dapat berdiri dengan tegak, ternyata masing-masing lengannya tergarit juga ujung pedang. Maka bisa dibayangkan betapa cepat tikaman itu. Dan benar-benar Maulana Syafri termasuk tokoh pendekar yang susah diukur kepandaiannya.
Dalam pada itu Titisari yang telah terlepas dari kurungan para pendekar-pendekar segera
melesat memburu ke arah barat. Di depannya sebuah rumah terbakar hebat. Kemudian terdengar bayi menangis. Berbareng dengan tangis itu, terdengar pula suara pilu memekik tinggi:
"Jangan sentuh anakku! Jangan sentuh anakku!"
Itulah suara seorang wanita berumur dua puluh tahunan. Kemudian suatu bayangan berkelebat melesat ke halaman. Dan wanita muda yang memekik pilu, nampak memburu ke luar. Dialah
rupanya ibu dari bayi yang kini kena didukung bayangan itu.
"Anakku, kembalikan! Kembalikan!" teriaknya lagi dengan suara parau.
Bayangan itu, ternyata Edoh Permanasari. Dengan langkah lenggak-lenggok dan tertawa
senang, ia menyahut: "Salahmu sendiri kenapa sampai mempunyai anak."
"Salah bagaimana," wanita muda itu bingung.
"Hm, kenapa bukan aku yang mempunyai anak" Kenapa kau?" sahut Edoh Permanasari bergusar. Seperti diketahui Edoh Permanasari benci kepada semua hal yang berbau cinta kasih, la beriri hati manakala melihat sepasang suami isteri dapat hidup berbahagia. Dan lebih-lebih terhadap sepasang suami isteri yang dikurniai seorang anak pada tahun tahun pertama setelah mereka kawin. Itulah disebabkan, karena dia sendiri gagal dalam hal kisah asmara. Ia merasa dikhianati laki-laki pujaan hatinya. Oleh dendam hati, ia benci terhadap semua laki-laki. Lalu rasa dendam dan bencinya dilampiaskan terhadap sepasang makhluk yang seolah-olah mengejek
padanya. Titisari mengetahui hal itu dari pembicaraan pendekar lnu Kertapati dan Sidi Mantera tatkala sedang berteduh di sebuah rumah pemujaan. Mendengar kisah Edoh Permanasari, ia agak tertarik.
Itulah berhubung diapun lagi mengalami nasib demikian. Tetapi melihat kekejaman dan keganasan Edoh Permanasari, hatinya yang luhur tidak dapat membiarkan. Maka begitu menyaksikan
penderitaan wanita muda itu yang menangisi jiwa anaknya, segera ia bertindak. Dengan bersuit, ia melompat sambil membentak. "Lepas!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar bentakan serta melihat berkelebatnya suatu bayangan, hati Edoh Permanasari
tercekat. Namun ia seorang pendekar wanita yang sudah berpengalaman. Dalam rasa kagetnya, masih bisa ia berlaku tenang. Ia mengibaskan pedangnya sambil menjejak tanah. Dan benarbenar tak memalukan ia disebut sebagai pewaris tunggal Ratu Fatimah yang pernah
mengguncangkan dunia. Tubuhnya tiba-tiba melesat dengan gaya manis dan sedap sekali dan
serangan mendadak itu dapat dihindarkan dengan cara ajaib. Tetapi serangan Titisari bukan serangan biasa. Jurus yang digunakan dipetik dari lingkaran ajaib guratan keris sakti Kyai Tunggulmanik yang tiada keduanya di dunia ini. Begitu merasa sasarannya bakal lolos, cepat ia menyodokkan pedangnya. Dengan gerakan yang susah dilihat, bayi sudah kena direbutnya.
Kemudian dengan mengejek ia melompat mundur sambil membujuk-bujuk bayi itu.
"Diam.... diam, manis. Betapa jahat iblis ini, pasti tidak bakal dapat menyentuh tubuhmu.
Selama aku berada di sini..."
Bukan main herannya Edoh Permanasari. Terkejut, bergusar, heran, terkejut dan rasa
penasaran berkecamuk sekaligus dalam lubuk hatinya, sampai wajahnya berubah hebat menjadi pucat bagaikan kertas. Selama hidupnya, kecuali gurunya, tiada yang sanggup menggagalkan apa yang sudah dikuasainya. Dan begitu mengenal siapa penyerangnya, jantungnya berdegupan.
Namun ia seorang maha guru besar yang sudah terlatih menguasai diri. Maka dengan hati
ditenang-tenangkan ia berkata, "Eh, kau lagi Nona. Kita bagaikan air laut dan air gunung. Tapi dua kali sudah, engkau mengganggu kesenanganku."
Titisari tertawa melalui hidungnya sambil terus membujuk-bujuk si orok. Lalu menyahut acuh tak acuh. "Ah, apakah aku salah dengar" Bukankah engkau menantang aku untuk bermain-main"
Nah, sekarang sudah kumulai. Masakan aku mengganggumu?"
"Hm," dengus Edoh Permanasari. Biasanya ia bermulut tajam. Tapi menghadapi Titisari, ia seakan-akan merasa kalah setingkat. Gadis di depannya ini, rupanya pandai pula menggunakan ketajaman lidah. Itulah sebabnya, timbullah keangkuhannya. Katanya, "Hm, kau jangan berlagak dahulu bisa merampas bayi itu dari tanganku. Kau bisa merampas, masakan aku tak dapat?"
Benar-benar ia dapat membuktikan ucapannya. Dengan mengibaskan pedang, ia melejit
dengan menghujani berondongan tikaman yang berbahaya. Titisari boleh gesit dan lincah. Tetapi menghadapi serangan berondongan demikian, ia merasa diri tak dapat bergerak dengan leluasa.
Inilah disebabkan, karena, bayi yang didukungnya bukan sebuah benda yang dapat ditenteng dengan seenaknya. Tapi dasar otaknya memang cerdas luar biasa. Dalam seribu kerepotannya, masih bisa dia menimbang-nimbang cepat: "Dia merebut bayi ini kembali, demi kehormatannya.
Sebaliknya aku bertujuan menyelamatkan jiwanya. Kalau bayi kubiarkan dalam dukungannya,
bukankah hanya tinggal menjaga tangan jahatnya saja" Memikir demikian, ia sengaja melepaskan dukungannya. Dan Edoh Permanasari menyambar bayi itu dengan penuh kemenangan.
Kemudian ia melesat mundur untuk bisa mengumbar rasa puasnya atas kemenangan itu. Tetapi Titisari tidak membiarkan dia dapat bernapas. Dengan menggunakan ilmu Ratna Dumilah ia
melompat. Dan selagi tubuhnya masih berada di udara, pedangnya sudah menotok punggung
Edoh Permanasari. Diserang cara demikian, Edoh Permanasari bergusar sekali. Bentaknya, "Sama sekali aku tak bermusuhan denganmu dan aku selalu berbicara manis terhadapmu, kenapa kau menikam dengan kejam?"
Titisari tidak melayani. Ia terus melejit. Dan Edoh Permanasari bertambah-tambah rasa
gusarnya. Dengan memekik marah, ia menangkis pedang Titisari. Tetapi Titisari tak sudi memberi hati pada lawannya. Terus menerus ia mengirimkan serangan berantai.
Ratna Dumilah memang suatu ilmu sakti yang jarang tandingannya. Jumlah serangannya seribu jurus. Ilmu itu hanya dapat dimainkan oleh seorang yang sanggup bergerak cepat, lincah dan berotak cerdas. Gagak Seta dahulu tidak menurunkan ilmu tersebut kepada
Sangaji. Karena ia tahu, bahwa muridnya itu berotak sederhana serta lamban. Sebaliknya
Titisari sedikit banyak pernah mengenal ilmu sakti ayahnya yang mutunya sejajar dengan
pendekar-pendekar lainnya. Maka Gagak Seta tidak ragu-ragu untuk mewariskannya. Barang siapa yang tidak dapat mengimbangi kecepatan gerakan ilmu Ratna Dumilah, sebentar saja akan
berkunang-kunang matanya. Untunglah, Edoh Permanasari adalah pewaris ilmu pedang Ratu
Fatimah yang bersandar pula kepada kecepatan gerak. Meskipun jurus-jurusnya berbeda, namun intinya sama. Karena itu, dia dapat mengimbangi. Sekalipun demikian karena tangan kirinya harus
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mendukung seorang anak, baik tenaga maupun kegiatan jadi berkurang. Pada saat itu, ingin ia melemparkan bayi itu. Tapi Titisari tidak memberi kesempatan untuk melakukan maksud itu. Terus menerus ia dicecar dengan rangkaian serangan yang berteka-teki dan sukar diduga-duga. Dengan demikian, ia jatuh di bawah angin. Baru beberapa jurus, ia sudah merasa kuwalahan. Mau tak mau ia jadi kagum. Pikirnya, murid siapa dia" Selama hidupku, inilah baru tandinganku benar-benar....
Sesudah lewat beberapa jurus lagi, Edoh Permanasari yang berpengalaman segera mengetahui bahwa Titisari tidak berani menyerang ke arah bayi seolah-olah takut melukai. Dengan cepat ia dapat menebak hati lawannya. Ia girang dan berkata di dalam hatinya, "Bayi ini rupanya mahluk mujur. Tadinya, ingin aku membunuhnya dengan segera, lantas datanglah perempuan jahanam
ini. Kini aku ganti kena dicecar suatu serangan terus-menerus dan rupanya dia mau melukai. Ai, masakan di dunia ini ada pengalaman begini?" Memikir demikian lantas saja ia berkata, "Nona, kedatanganmu bukankah hendak memenuhi undanganku untuk mencoba-coba mengadu
kepandaian" Jika kau ingin mencoba-coba mengukur kepandaianku, mengapa justru memilih
tempat dan waktu yang kurang tepat?"
Sebagai seorang gadis yang cerdik dan cerdas luar biasa, otak Titisari sudah barang tentu tak perlu kalah dengan otak Edoh Permanasari. Ia tahu, bahwa Edoh Permanasari ingin melepaskan beban itu. Menimbang, bahwa yang perlu diutamakan dahulu adalah jiwa anak itu, maka ia
menyahut. "Bagus! Kita berdua memangnya tak ada sangkut-pautnya dengan anak itu. Jika kau memang ingin mencoba ilmu kepandaian, nah berikan anak itu kembali kepada yang berhak. Kita lantas mencari tempat yang sesuai. Bukankah kau mengajak aku ke sebelah bukit sana?"
"Baik, itulah yang kukehendaki," kata Edoh Permanasari. Tetapi Titisari terlalu mengenal manusia macam Edoh Permanasari. Di mulutnya ia menganjurkan untuk menyerahkan anak itu,
tetapi serangannya tak pernah berhenti. Setelah mendesak mundur beberapa langkah, ia berkata memerintah.
"Lepaskan pedangmu dahulu, dan baru akan percaya mulutmu!"
Bukan main mendongkolnya hati Edoh Permanasari. Memang ia bermaksud hendak
menggunakan kesempatan gencatan itu untuk menghabisi nyawa si orok. Sebagai seorang
pendekar jempolan yang tinggi hati, mana dapat ia mengalah terhadap seorang lawan yang
hendak merintangi kemauannya. Ia sudah menganggap diri seorang licin yang sebentar lagi akan dapat mengingusi lawannya. Tak tahunya, lawannya lebih licin lagi.
"Bagus! Kau tak mau mendengar kata-kataku" Pedangku juga tak sudi berdamai," gertak Titisari. Dan gadis itu terus memberon-dongi lagi dengan serentetan serangan berantai. Maka mau tak mau, ia terpaksa menyahut:
"Nanti dahulu! Tahan!" dan setelah berkata demikian, ia melemparkan pedangnya ke tanah.
Meskipun demikian, masih saja Titisari menikam pinggangnya. Ia memiringkan tubuhnya untuk mengelak. Tahu-tahu bayi di gendongannya sudah berpindah di tangan Titisari.
Diam-diam ia kagum luar biasa. Dua kali, lawannya dapat merampas dengan cara yang tak
dapat dimengerti. Seumpama menghendaki jiwanya, bukankah siang-siang sudah melayang"
Memikir demikian, bulu tengkuknya meremang. Dan seketika itu juga, teringatlah dia kepada pedang pusaka andalannya Sangga Buwana.
Dalam pada itu, Titisari telah menyerahkan bayi rampasannya kepada ibunya yang jadi girang luar biasa. Ibu muda itu sudah kehilangan rumah dan suaminya. Walaupun demikian, melihat anaknya kembali ke pangkuannya, masih ia terhibur juga.
"Nona, kau siapa?" katanya di antara sedu-sedannya.
"Aku belum berarti berhasil menolong seluruhnya. Lihatlah dia masih hidup segar bugar," sahut Titisari sambil menuding Edoh Permanasari. Maksudnya, apabila dia gagal, iblis itu masih sempat mencabut nyawa anaknya. Ibu muda itu rupanya dapat menebak maksudnya, sehingga wajahnya
menjadi pucat lesi. Titisari bersenyum untuk membesarkan hatinya, lalu berkata kepada Edoh Permanasari. "Mari sekarang ke mana?"
Tanpa berbicara lagi, Edoh Permanasari menjejak tanah dan terbang ke arah barat daya. Dua kali ia pernah mengadu kepandaian dengan Titisari, walaupun hanya selintasan. Ia belum merasa puas, karena belum menggunakan pusaka andalannya pedang Sangga Buwana. Kini ia sudah
bersiaga. Itulah sebabnya, ia jadi mantap. Sebaliknya, tatkala kemarin malam Titisari berhantam dengan Edoh Permanasari hatinya masih was-was karena dalam keadaan limbung. Hari ini, hati
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan pikirannya sudah kembali jernih serta segar-bugar sehingga terasa pulih seperti sediakala.
Karena itu kedua-duanya kini merupakan dua ekor singa betina yang akan menentukan siapakah di antara berdua yang lebih unggul.
Mereka berdua mengarah ke bukit batu yang nampak tak jauh dari desa itu. Keduanya sedang mengadu kepandaian ilmu berlari. Edoh Permanasari merupakan pewaris tunggal Ratu Fatimah yang termasyhur dengan ilmu larinya. Dan Titisari merupakan pewaris tunggal pula dari ilmu petak pendekar sakti Gagak Seta. Ilmu lari Edoh Permanasari terkenal tiada bandingnya di seluruh Jawa Barat. Gayanya berlenggak-lenggok seakan-akan sedang menari. Tetapi ilmu petak ciptaan Gagak Seta adalah ilmu sakti istimewa. Keduanya memiliki kunci kebagusannya masing-masing. Karena itu meskipun Titisari tadinya berada di belakang kini sudah dapat menjajari. Lalu Edoh
Permanasari menancap gasnya. Tubuhnya berkelebat bagaikan bayangan. Tapi tatkala menoleh, Titisari ternyata dapat menjajari segaris lurus. Gadis itu bersenyum-senyum seakan-akan tiada mengindahkan perubahan napasnya, sehingga untuk kesekian kalinya Edoh Permanasari menjadi kagum. Pikirnya di dalam hati: Tak kuduga bahwa di dunia ini masih ada macam ilmu berlari yang sejajar dengan ilmu Ratu Fatimah. Hm, kalau hari ini aku tak dapat menghabisi nyawanya,
bukankah di kemudian hari aku bakal berbahaya"
Beberapa saat kemudian, sampailah mereka pada suatu lapangan terbuka di tepi hutan. Edoh Permanasari lantas berhenti. Dengan memutar tubuhnya, ia menghadap Titisari. Lalu berkata nyaring. "Nona, denganmu belum pernah aku bertemu. Apalagi berkenalan. Tapi hari ini, kita harus mencapai suatu keputusan siapakah yang masih dapat mempertahankan nyawanya.
Bukankah sayang?" "Apakah yang kausayangi?" sahut Titisari cepat. "Pernahkah kau merasa sayang terhadap muda mudi yang kaubunuhi tanpa mengerti apa sebabnya" Hm, di depan hidungku, janganlah kau
berlagak menjual ceri-tera burung!"
Perkataan Titisari sedikitpun tidak bersalah. Ratusan pasangan muda mudi mati di tangannya tanpa ia mengenal siapa mereka. Tadinya ia menganggap suatu kewajaran belaka. Tapi setelah mendengar ucapan Titisari, hatinya tercekat. Dan bulu kuduknya meremang dengan tak
diketahuinya sendiri. Sebentar ia menatap wajah Titisari dengan mulut membungkam. Kemudian timbullah
dugaannya. "Haaa, tahulah aku kini. Pastilah kau ini salah seorang jago mereka untuk menuntut dendam padaku. Hm, jago betina penjual tenaga dari mana kau ini sebenarnya?"
"Siapa kesudian menjual tenaga?" Titisari membentak.
"Di dunia ini siapakah yang dapat memerintah aku" Kau sendiri masakan becus memerintah aku" Aku ingin datang, dan datanglah aku. Aku ingin mengambil nyawamu dan aku kini benarbenar ingin mengambil nyawamu. Sekiranya kepalamu sudah berhasil kupang-kas, masakan laku kujual" Hebat kalau sampai laku kujual. Dengan begitu tuduhanmu aku sedang menjual tenaga, benar-benar cocok."
Mendengar ucapan Titisari, Edoh Permanasari tak tahan lagi menguasai ketenangannya.
Maklumlah, selama beberapa puluh tahun yang lalu, ia selalu diagung-agungkan oleh lawan dan kawan. Karena itu, sekaligus ia menarik pedang andalannya dari sarungnya. Benar-benar hebat perbawa pedang pusaka itu. la mengeluarkan sinar hijau serta berhawa dingin luar biasa, sehingga hati Titisari tercekat juga. Pikir gadis itu, rupanya Paman Maulana Syafri tidak membual. Benarbenar pedang mustika. Kalau aku dapat memiliki pedang itu, bukankah aku bakal dapat
menandingi keris Kyai Tunggulmanik milik Sangaji"
Memikir demikian, ia segera mengasah otak. Dasarnya berotak encer, sebentar saja ia sudah memperoleh tujuh sampai delapan siasat. Karena itu, wajahnya lantas saja nampak cerah.
"Pedang hebat!" pujinya. "Sayang ia berada di tangan seorang iblis. Bukankah tidak tepat?"
Edoh Permanasari mendengus. Katanya mengalihkan perhatian, "Silakan Nona kau boleh
menyerang dulu!" Dua kali Titisari pernah bertempur melawan Edoh Permanasari. la merasa bahwa ilmu keTitisari memutar pedangnya. Tring! Tring! Tring! Dan semua jarum Edoh Permanasari yang
berbisa luar biasa itu dapat ditangkisnya jatuh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kepandaiannya sendiri tidak selisih jauh dengan iblis itu. Sekarang Edoh Permanasari malahan sudah menggenggam pedang mustika yang kabarnya tiada taranya. Inilah bahaya. Maka satu-satunya jalan untuk melawannya, hanyalah ilmu sakti Kyai Tunggulmanik. Meskipun ia belum menguasai intinya, tetapi yang penting ialah menghindari setiap serangan lawan. Sebab sekali pedangnya terbentur pada pedang lawan, pastilah akan terajang dengan sekaligus. Kalau sampai kejadian demikian, jangan lagi memperoleh kemenangan, mempertahankan nyawa sendiri belum tentu mampu. Namun dasar ia puteri pendekar besar, hatinya besar pula. Ia ingin mencoba
sampai di mana kebenaran tutur-kata Maulana Syafri. Maka ia hendak menggunakan ilmu silat Ratna Dumilah dengan ilmu sakti Witaradya sekaligus. Memikir demikian, segera ia berkata: "Kau menghendaki agar aku menyerang dahulu" Bagus!" serunya nyaring. Lantas saja ia memutar pedangnya. Kemudian dengan langkah menginjak tempat-tempat inti ilmu petak ajaran Gagak
Seta, ia mulai menyerang.
Melihat serangan Titisari yang cepat dan dahsyat luar biasa, hati Edoh Permanasari tercekat juga. la percaya, pedang pusakanya yang sudah sering menolong jiwanya semenjak puluhan
tahun yang lalu, pasti pula akan melindungi juga kali ini. Memperoleh keyakinan demikian, ia mengebas. Suatu hawa dingin berbareng dengan kejapan sinar seketika itu juga datang
bergulungan menyambut pedang Titisari. Hanya satu benturan kecil saja, namun demikian pedang Titisari terpapas ujungnya. Untung, ilmu yang jarang terlihat di mata para cerdik pandai, sehingga rahasia intinya belum tersiar luas. Maka begitu kena serangan berbahaya, gerakan pertahanannya terjadi dengan wajar.
Titisari terlolos dari serangan berikutnya. Ia melejit ke samping dengan jantung berdegup-an.
Pedangnya memang bukan pedang mustika, meskipun tidak boleh dikatakan pedang tiada
harganya. Meskipun demikian, terpapas-nya ujung pedangnya begitu gampang, mau tak mau
membuat jantungnya memukul. Benar-benar pedang mustika, pikirnya yakin.
"Nona, jika hanya satu jurus saja, engkau sudah kuncup setengah mati, maka kau bukan tandingku lagi. Silakan pergi saja!" ejek Edoh Permanasari yang telah memperoleh angin baik.
"Nona tua!" sahut Titisari tajam. Ia sengaja hendak membakar hati lawannya. "Seorang pendekar yang hanya mengandalkan kepada pedangnya, masakan pantas disebut seorang
pendekar besar" Kau bilang hendak mengadu ilmu kepandaian, tak kusangka alihkan mengadu
pada pedang semata. Apakah cara begitu engkau mengangkat namamu?"
Sebutan nona tua bagi Edoh Permanasari luar biasa dahsyatnya, namun ia masih tak mau
terbakar hatinya mengingat lawannya sangat tangguh. Maka sambil memekakkan telinga, ia
berkata: "Bilanglah kau takut kepada pedangku! Kalau sedari tadi kau berkata begitu, masakan aku mau menang sendiri."
Setelah berkata demikian, ia memasukkan pedangnya. Mendadak di luar dugaan suatu benda
berkeredepan menembus udara. Itulah jarum Gunung Gilu yang berbisa luar biasa.
Titisari terkejut bukan main. Mimpipun tidak, bahwa Edoh Permanasari pandai menggunakan
senjata jarum. Dengan hati mencelos, ia memutar pedangnya. Tring! Tring! Tring! Dan semua jarum Edoh Permanasari dapat ditangkisnya jatuh, la baru hendak melepas napas lega, tetapi suatu serangan baru terjadi lagi. "Celaka!" ia memekik.
Serangan yang kedua ini, keji bukan kepalang. Semua jalan lari, tertutup oleh puluhan jarum berbisa. Titisari kelabakan benar-benar. Namun ia murid seorang pendekar Gagak Seta, ditambah pula puteri seorang pendekar besar Adipati Surengpati. Dalam seribu kerepotannya, masih bisa ia menangkis semua jarum berbisa itu dengan rapih. Tapi tak urung, keringat dinginnya keluar bertetesan. Segera ia berseru nyaring, "Eh Nona tua. Dua kali kau menyalahi ucapanmu sendiri.
Mengapa kau menyerang dengan senjata keji begini?"
"Hm, apakah membidik jarum bukan termasuk suatu ilmu kepandaian" Kalau begitu, aku jadi tak mengerti."
Titisari seorang gadis tajam mulut. Coba, kalau saja Edoh Permanasari tidak bersegan-segan kepadanya, pastilah dia sudah mengumbar adatnya manakala seseorang berani menggunakan
istilah nona tua. Tetapi sekalipun ia nampak menguasai diri, sesungguhnya sudah timbul niatnya hendak mencabut nyawa Titisari benar-benar. Matanya menjadi merah dan gerak-geriknya mulai menjadi ganas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lekaslah kau membunuh diri, agar tanganku tak usah kaukotori dengan darahmu!" bentak Edoh Permanasari garang.
"Aih, enak saja. Kau menggunakan pedang pusaka, meskipun begitu pedangku hanya rompal sedikit. Kau menggunakan jarum berbisa, meskipun begitu aku bisa menangkis jatuh. Siapa bilang aku tak mampu melawanmu" Lihatlah jarummu!" kata Titisari berani, la menoleh meruntuhkan pandang ke tanah. Suatu pandangan mengerikan meremangkan bulu romanya. Jarum-jarum Edoh
Permanasari yang runtuh tertangkis ke tanah melayu-kan rumput. Hanya beberapa saat saja dan rumput yang tadi hijau segar, mendadak saja berubah kering melayu. Itulah suatu bukti betapa berbahaya racun yang terkandung pada jarum Edoh Permanasari. Seumpama mengenai tubuh
manusia, betapa akibatnya sudah dapat dibayangkan.
"Baiklah begini saja," akhirnya ia memutuskan. "Kau boleh menggunakan pedang pusakamu.
Aku tetap pinjam pedang muridmu. Kalau kau bisa memapas pedangku sampai sebatas hulu, nah, pada saat itu kau cin-cangpun aku takkan menyesal."
"Bagus!" sahut Edoh Permanasari girang. "Nah, kau boleh menyerang dahulu tiga jurus. Aku takkan membalas."
Itulah kesempatan bagus bagi Titisari. Edoh Permanasari terlalu yakin kepada kepandaian
sendiri. Sama sekali tak pernah ia bermimpi, bahwa Titisari masih mengantongi suatu ilmu sakti yang tiada taranya dalam dunia ini. Itulah ilmu sakti keris Kyai Tunggulmanik. Dan itu pulalah salah satu siasat Titisari untuk menjebak lawannya yang memang sangat berbahaya.
"Baiklah Nona tua, hunuslah pedang pusaka andalanmu." Masih ia membakar hati. "Sekarang berwaspadalahi"
Meskipun ilmu sakti keris Kyai Tunggulmanik baru dikuasai kulitnya saja, tetapi jurus-jurusnya memang merupakan inti dari seluruh ilmu silat yang ada dalam persada bumi. Bila Edoh
Permanasari tadi tidak terjebak, barangkali pedangnya yang tajam luar biasa masih dapat
membendung jurus berantainya yang ajaib luar biasa. Tapi ia sudah berjanji takkan membalas menyerang dalam tiga jurus. Artinya, ia hanya mengelakkan saja. Betapa ia sanggup berlaku demikian. Lowongan tiga jurus, merupakan suatu kesempatan yang bagus luar biasa. Seumpama seekor harimau sudah berhasil menjebol pagar besi. Keruan saja, pedang pusaka Sangga Buwana tiba-tiba saja macet tak dapat digerakkan. Ruang geraknya seperti jadi sempit, sehingga Edoh Permanasari berteriak karena kagetnya.
Titisari tidak sudi membiarkan lawannya memperoleh kesempatan, walaupun hanya sedetik. Ia terus memberondongi dengan jurus ajaib keris sakti Kyai Tunggulmanik yang benar-benar luar biasa.
"Ah, bagus!" terdengar suatu suara di pinggir lapangan. Itulah suara Maulana Syafri yang menyatakan kagum luar biasa. Pendekar itu setelah bertempur beberapa saat melawan ketiga musuhnya, lantas melarikan diri. Dalam hal mengadu kecepatan berlari, ilmunya berada di atas mereka. Itulah sebabnya, sesudah berlari-larian memutari bukit, desa serta melompati beberapa sungai, ia telah meninggalkan ketiga lawannya jauh-jauh. Setelah itu, ia segera lari mengarah ke desa kembali hendak menjejak ke mana perginya Titisari. Kebetulan sekali ia bertemu dengan ibu muda yang sedang mabuk suka cita karena mendapatkan anaknya kembali. Segera ia mendapat
keterangan ke jurusan manakah perginya Titisari dengan Edoh Permanasari. Maka dengan cepat ia menemukan lapangan adu kepandaian itu. la menonton di luar lapangan dan sempat menyaksikan ilmu sakti Titisari yang istimewa. Begitu kagum dia, sampai mulutnya terloncat kata-katanya yang memuji kehebatan jurus-jurus yang memberondongi tubuh Edoh Permanasari.
Titisari sendiri tidak memedulikan. Sebagai seorang gadis yang sudah berpengalaman pula, tak mau ia diganggu oleh suatu pendengaran yang dapat mengalutkan pemusatan semangatnya.
Sebaliknya Edoh Permanasari yang dicecar habis-habisan sampai tak dapat berkutik, terpaksa menebalkan mukanya. Serunya lantang, "Tahan! Tahan! Mari kita berunding!"
Sudah barang tentu, Titisari tak sudi mendengarkan ocehannya. Katanya membalas, "Apa yang akan kaurundingkan" Nyawamu sudah diambang pintu. Nah, lebih baik berdoalah!"
Mendengar ujar Titisari, Edoh Permanasari keripuhan benar-benar. Akhirnya mencoba, "Inilah tidak adil! Tidak adil!"
"Apanya yang tidak adil?" bentak Titisari.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau tadi bilang, aku hanya mengandalkan pedang pusaka sehingga kau tak dapat bergerak.
Sekarang kau mencecar aku terus-menerus sehingga aku tak dapat bergerak. Aku tadi meluluskan permintaanmu. Tapi kau kini tidak mendengarkan kata-kataku. Bukankah ini tidak adil?"
Titisari tak segera menjawab. Ia seperti menimbang-nimbang sebentar, lalu berkata, "Baiklah!
Aku titip kepalamu dahulu!"
Setelah berkata demikian, ia meloncat mundur. Dan Edoh Permanasari bersyukur bukan main.
Puluhan tahun lamanya, malang melintang ke segenap penjuru sebagai iblis yang menakutkan.
Tetapi sebenarnya watak aslinya tidaklah kejam benar-benar. Kekalapannya semata-mata karena menuruti rangsang hati yang gagal dalam soal asmara. Ia menganggap dunia ini kejam
kepadanya. Maka perbuatannya yang kejam luar biasa itu, dianggapnya sebagai pekik menuntut keadilan. Tentu saja keadilan menurut ukuran kehendaknya. Sekarang ia merasakan betapa kecut hatinya tatkala maut nyaris mengancamnya. Di luar dugaan Titisari masih sudi memberi
kesempatan padanya. Sekaligus timbullah watak aslinya yang halus. Lantas saja ia tersenyum bersyukur sambil membungkuk hormat. Katanya lembut, "Sungguh luar biasa ilmu pedang Nona.
Aku menyatakan kalah. Hanya saja ingin aku memperoleh penjelasan dari manakah asal ilmu
saktimu itu dan siapakah guru Nona?"
"Kau ingin tahu siapa guruku" Dialah malaikat. Dengan sendirinya, ilmu saktinya berasal dari surga," sahut Titisari. Sebenarnya kalau mengingat asal usul ilmu sakti keris Kyai Tunggulmanik itu, tidaklah berbeda jauh kata-kata Titisari. Karena siapa penggubahnya, setanpun tak
mengetahui juga. Sebaliknya bagi pendengaran Edoh Permanasari sangat menyakitkan hatinya. Ia merasa diri direndahkan dan dihina. Seketika itu juga terbangunlah sifat angkuhnya. Dengan sendirinya keganasannya lantas saja ikut berbicara.
"Hm," dengusnya. Kemudian meneruskan dengan suara melalui hidungnya. "Kali ini aku memang kalah. Tapi belum berarti kalah. Kau tadi ketakutan melawan jarum Giluku, karena itu anggaplah saja seri. Satu-satu."
"Belum tentu." .
"Kau berani mengulangi seranganmu kembali" Hayo boleh coba! Kalau aku sampai mundur sejangkah, hitung aku memang kalah daripadamu."
"Eh, benar-benar kau iblis berkepala besar. Pantaslah kau disegani orang," kata Titisari.
Menurut pantas, Titisari pasti akan mengulangi serangannya dengan menggunakan ilmu saktinya.
Tetapi ia mempunyai siasat lain, dengan didahului pekik peringatan, ia menyerang dengan ilmu Ratna Dumilah yang digabung dengan ilmu Witaradya.
"Ah, kalau hanya macam begini, masakan kau mampu memundurkan aku" Salahmu sendiri,
kalau pedangku singgah di tubuhmu," kata Edoh Permanasari dengan penuh kemenangan.
Tubuhnya berkelebat. Dan pedang Sangga Buwana mengaung dengan mengeluarkan hawa dingin
luar biasa. Titisari tak berani menangkis, la boleh gesit. Tetapi ilmu warisan Ratu Fatimah merupakan ilmu pedang yang jarang memperoleh tandingan. Karena itu betapa ia berusaha menghindarkan
benturan, tak urung pedangnya kena juga tersambar. Dan sekali tersentuh, pedangnya tertebas kutung sebagian.
"Bagaimana?" ejek Edoh Permanasari menang.
"Bagaimana" Aku belum mati," balas Titisari sengit. Dan dengan gesit ia menikam berturut-turut.
"Anak bandel! Masih berani kau menangkis pedangku" Lihat!" kata Edoh Permanasari. Hebat gerakan pedangnya. Setelah ia menggebu serangan Titisari, ia ganti membalas menyerang. Dalam hal menyerang, hatinya mantap. Karena pedangnya dapat diandalkan. Sebaliknya, Titisari tak berani menangkis langsung. Itulah sebabnya, ia jadi keripuhan. Dan kembali pedangnya kutung sebagian. Edoh Permanasari girang. Meletuslah ejekannya lagi, "Bagaimana?"
"Bagaimana" Aku belum mati," sahut Titisari.
"Bagus! Kau mencari mampusmu sendiri!"
Edoh Permanasari gregetan. Ia mengulangi serangannya kembali. Tetapi Titisari dapat
mengelak, malahan lantas menyapu pinggangnya. Edoh Permanasari terkejut bukan kepalang.
Serangan ini datangnya dengan tiba-tiba dan sukar diduga. Namun ia seorang iblis yang benarTiraikasih Website http://kangzusi.com/
benar perkasa. Dalam kekagetannya masih ia menangkis. Lalu menjejak tanah dan terbang ke samping.
"Kau mau lari ke mana?" bentak Titisari sambil melejit.
"Masakan aku lari" Lihat pedangku!" Edoh Permanasari menyahut menggurui. Dan kali ini benar-benar hebat serangannya. Dengan suara menderu-deru, pedangnya bergulungan menutup
semua bidang gerak. Itulah yang disebut jurus angin puyuh mengisar bumi. Jurus ini belum pernah ia pergunakan. Gurunya dahulu pernah berpesan sering: Jangan menggunakan jurus itu apabila tidak terjepit benar-benar. Karena jurus angin puyuh mengisar bumi sangat ganas dan luar biasa hebat. Begitu rapat dan rapi serangannya, sehingga seumpama lalatpun takkan dapat lolos. Kini menghadapi Titisari ia menggunakan jurus tersebut. Itulah terjadi, karena hatinya panas dan beriri atas kepandaian lawannya.
Titisari kaget setengah mati menghadapi serangan itu. Ia tahu Edoh Permanasari salah seorang lawan tangguh, tetapi sekali tak disangkanya bahwa dia benar-benar memiliki ilmu pedang
sehebat itu. Andaikata iblis itu hanya menggunakan pedang biasa, jurusnya sudah susah untuk ditangkis. Apalagi ia menggenggam pedang mustika tiada taranya di dunia, maka kehebatannya susah untuk dilukiskan.
Menghadapi serangan maut itu, sepatutnya ia harus melawan dengan ilmu sakti keris Kyai
Tunggulmanik. Karena hanya ilmu sakti itulah satu-satunya yang masih mampu mengatasi semua jurus yang terdapat di dalam persada bumi ini. Tetapi Titisari memang berwatak angkuh dan berkepala besar. Masih saja ia mencoba menggebu serangan lawannya dengan jurus Ratna
Dumilah. Untunglah, ilmu sakti Ratna Dumilah merupakan ilmu silat istimewa pula. Kalau tidak, masakan nama Gagak Seta dapat disejajarkan dengan Kebo Bangah, Adipati Surengpati dan Kyai Kasan Kesambi. Namun sekalipun demikian, Titisari tetap rugi. Itulah disebabkan, ia hanya memiliki pedang biasa. Dalam seribu kerepotannya, ia terpaksa membenturkan pedangnya lintang beberapa kali. Dan pedangnya terkutung menjadi delapan bagian. Yang tertinggal hanya hulunya belaka.
Edoh Permanasari sudah barang tentu girang luar biasa. Mau ia membuka mulut untuk
mengejek lawannya pada detik-detik penghabisan, mendadak saja Titisari menghantamkan hulu pedangnya dengan menjerit putus asa. Itulah memang satu-satunya daya untuk mempertahankan jiwanya pada saat penghabisan. Edoh Permanasari tahu akan hal itu. Dengan sebat ia merajang hulu pedang Titisari. Tetapi pada saat itu sekonyong-konyong lagi ia melihat suatu benda berkeredepan memberondongi dirinya. Inilah suatu kejadian di luar dugaan, bahwa lawannya sebenarnya bisa menggunakan ilmu bidik tak beda dengan dirinya. Tatkala itu, tubuhnya berada sangat dekat dengan lawannya. Meskipun andaikata ia bertubuh iblis benar-benar, ia takkan mampu mengelakkan. Satu-satunya jalan hanya memutar pedangnya. Sudah barang tentu, ia
kasep. Sebelum pedangnya dapat digerakkan, biji-biji sawo Titisari sudah menusuk seluruh tubuhnya dengan telak. Tahu-tahu tubuhnya lemas terkulai. Dan pedang pusakanya runtuh di atas tanah. "Ah!" seru Maulana Syafri kagum di pinggir lapangan. Barulah ia tahu kini, apa sebab sehari tadi Titisari keluar masuk kampung mengumpulkan biji-biji sawo dan kerikil tajam. Pikirnya diam-diam, biji sawo tidak beracun. Jauh bedanya dengan jarum-jarum Gilu. Biji-biji sawo itu paling-paling hanya dapat menyakiti tubuh. Tetapi ia dapat membidikkan senjata itu pada jarak sangat dekat, sehingga bisa melumpuhkan urat nadi lawan. Ini suatu perhitungan jitu yang harus
menggunakan keuletan dan kesabaran. Hai-hai! Benar-benar hebat gadis itu. Kalau tidak
mempunyai perhitungan jauh dan kenal pada kepandaian sendiri, betapa ia berhasil melakukan serangan demikian terhadap Edoh Permanasari ... dan makin ia merenungkan si tua makin kagum luar biasa. Harga gadis itu lantas saja naik tinggi di dalam hatinya.
"Bagaimana?" Titisari membalas mengejek menirukan kata-kata lawannya, la menghampiri dengan langkah wajar, seolah-olah kejadian itu memang harus terjadi demikian. Memang itu semua sudah termasuk dalam salah satu siasatnya. Ia sengaja berlagak keripuhan. Pedangnya sengaja dibenturkan sampai terkutung sedikit demi sedikit. Itulah siasat memancing kegirangan lawan. Begitu lawannya mabuk oleh hati besar, ia menghantamkan senjata bidiknya dengan
dibarengi pekik putus asa. Edoh Permanasari sudah barang tentu tak dapat menduga siasat
lawannya yang memiliki kecerdikan di atas kepalanya sendiri, la maju merapat, karena senjata musuhnya tinggal hulunya saja. Sama sekali tak terbayangkan, bahwa itulah siasat pancingan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lawan agar datang merapat. Karena itu, begitu melihat berkeredepnya lawan, hatinya mengeluh.
Seluruh urat nadinya kena terbidik. Dan tubuhnya lantas terkulai tanpa dikehendaki sendiri.
"Nona, aku mengaku kalah," katanya dengan suara berputus asa. "Sudah belasan tahun, aku malang melintang tanpa tandingan. Sudah belasan tahun pula, aku membunuh entah sudah
berapa jumlahnya. Aku sendiri tidak mengira bahwa aku masih dapat hidup sampai pada hari ini.
Sekarang aku bertemu denganmu. Baik bertanding kepintaran, kecerdikan maupun ilmu silat aku berada di bawahmu. Maka aku rela mati di tanganmu. Tapi sebelum mati perkenankan aku
mengajukan suatu permohonan."
Titisari mengawaskan wajah Edoh Permanasari yang menjadi pucat, la tahu, hal itu terjadi bukan karena kena dilumpuhkan senjata bidiknya. Tetapi mengira, bahwa ia tak sanggup
mempertahankan nyawanya lagi. Karena itu, segera ia menegas dengan pandang mata tajam.
"Apa itu?" Dengan menghela napas, iblis itu menyahut. "Nona, denganmu, belum pernah aku bertemu, apalagi berkenalan. Tadinya aku mengira, bahwa dunia ini tiada tandingku lagi. Ternyata aku jatuh melawan kepandaianmu. Kau licin dan cerdik. Tapi betapa juga, kau berhasil melumpuhkan aku.
Sekarang sebelum mati, ingin aku mengenal siapakah engkau sebenarnya dan apakah alasanmu kau berlawanan dengan aku. Dengan begitu, di alam baka aku bisa memberikan pertanggungan jawabku kepada guruku."
Titisari mengerutkan dahinya. Teringat betapa kejam iblis itu, sudah sepantasnya dia harus mati. Tetapi mengingat pula bahwa kekejaman iblis itu akibat kegagalan cinta kasih, hatinya terguncang. Itulah disebabkan, ia mengalami nasib yang sama pula. Seandainya benar-benar ia bakal kehilangan Sangaji untuk selama-lamanya, bukan mustahil ia akan berbuat demikian pula.
Mungkin pula lebih kejam dan lebih ganas. Memikir demikian, diam-diam ia menghela napas.
Kemudian berkata, "Meskipun belum pernah aku bertemu muka dengan gurumu, hatiku sangat tertarik begitu mendengar nama agungnya. Sayang aku tak beruntung. Tetapi sekarang aku telah berkenalan dengan pewarisnya. Hatiku terhibur juga. Aku telah mengenal siapa namamu dan
siapa pula dirimu. Memang rasanya tak adil bila aku tetap membisu. Tapi benarkah engkau ingin mengenal aku?"
Edoh Permanasari mengangguk.
"Puaskah hatimu, setelah kau mengetahui siapa diriku?" Titisari menegas.
"Aku akan dapat pulang ke alam baka dengan hati puas," jawab Edoh Permanasari.
"Baiklah," Titisari memutuskan. "Pernahkah engkau mendengar suatu nama Adipati Surengpati?"
"Apakah yang kau maksudkan salah seorang sakti kelas utama di Jawa Tengah?" Edoh Permanasari menegakkan kepala.
"Ya, benar," sahut Titisari. "Dan apakah kau pernah mendengar nama Gagak Seta?"
"Ah, bukankah namanya sejajar dengan Adipati Surengpati?"
"Benar." "Apa hubungannya Nona menyebut kedua nama tokoh tersakti itu?" tanya Edoh Permanasari
"Adipati Surengpati adalah ayahku. Gagak Seta adalah guruku," kata Titisari. Dan mendengar perkataan Titisari, Edoh Permanasari terbelalak. Juga Maulana Syafri yang berada dipinggir lapangan. Baru itulah ia tahu siapa gadis itu sebenarnya.
"Jadi ... jadi ..." Edoh Permanasari tergagap-gagap. Wajahnya lantas berubah hebat. Katanya lagi dengan menaikkan suaranya. "Kalau begitu Nona ... aku puas kalah di tanganmu. Aku puas ...
aku puas. Sekarang matipun aku rela. Silakan bunuhlah aku! Hanya saja, sepanjang
pengetahuanku, guruku belum pernah bertemu muka dengan ayahmu maupun gurumu. Mengapa
engkau sampai masuk ke wilayah Jawa Barat dan kini memburu-buru aku?"
"Memang benar. Sesungguhnya ... denganmu aku tak mempunyai permusuhan apa pun juga.
Karena itu, tiada niatku untuk mengambil nyawamu."
Mendengar ujar Titisari, hati Edoh Permanasari tercengang. Inilah suatu kejadian yang takkan pernah terjadi pada dirinya. Musuh sudah tertawan, masakan diampuni" Karena itu, hampir-hampir ia tak percaya kepada pendengarannya sendiri. Menegas untuk mencari keyakinan.
"Aku jadi tak mengerti. Lantas apa maksudmu memusuhi aku?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku ingin mencari seorang kawan seiring sejalan," kata Titisari. Dan wajah Edoh Permanasari mendadak menjadi merah oleh rasa bergusar. Katanya, "Hm, kau boleh membunuh aku, boleh pula mencincang aku. Mengapa mesti mempermain-mainkan aku?"
Titisari tahu, Edoh Permanasari salah paham. Maka dengan tenang ia menyahut, "Aku berkata dengan sesungguhnya. Selama hidupku, baru untuk pertama kali ini aku mengambah wilayah
Jawa Barat. Aku mendengar, engkau seorang pendekar wanita yang kejam serta ganas akibat
cinta asmara. Hatiku lantas tertarik. Sebab kedatanganku ke mari ini, sesungguhnya karena akibat itu pula. Aku dipermainkan pemuda pujaanku. Dia anak kompeni. Namanya Sangaji."
"Ah!" Edoh Permanasari memekik perlahan.
"Tetapi pemuda itu seorang pendekar yang paling tinggi ilmu silatnya pada zaman ini. Meskipun andaikata aku mempunyai sayap, belum tentu aku sanggup melawan satu jurus saja. Kemudian mendengar engkau memiliki pedang mustika tiada taranya di jagat ini, timbullah niatku hendak meminjam pedangmu. Untuk dapat meminjam pedang mustikamu, satu-satunya jalan bukankah
hanya mengadu untung belaka?" kata Titisari.
Kalau saja ucapan ini disampaikan kepada seorang yang sehat akalnya, siapapun sudi
mendengarkan. Tetapi Edoh Permanasari mempunyai jalan hidupnya sendiri. Mendengar seorang gadis hendak membalas dendam kepada kekasihnya yang membuatnya kecewa, itulah sudah
selayaknya dan wajar. Maka ia tak bersangsi sedikitpun. Tanpa merasa, ia meruntuhkan pandang ke tanah melihat pedang mustikanya.
Titisari tak menunggu jawaban atau pembenaran lagi. Tubuhnya terus membungkuk memungut
pedang Sangga Buwana. Hatinya girang luar biasa. Mendadak selagi ia mengamat-amati pedang mustika itu, suatu kesiur angin menyerang padanya, la menoleh. Suatu bayangan berkelebat menghantam dadanya. Dan ia terjungkal dengan melontakkan darah.


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tatkala ia menjenakkan mata, ia melihat dua orang laki-laki saling berhantam dengan serunya.
Yang satu Maulana Syafri. Lainnya seorang laki-laki berambut putih dan berjenggot penuh. Dialah Tatang Manggala adik seperguruan tabib sakti Maulana Ibrahim.
Seperti diketahui, ia muncul pula di samping pendekar Sindung Riwut, Ratu Kenaka dan
Kusuma Winata. Tatkala Maulana Syafri bertempur seru melawan tiga pendekar lainnya, ia tidak menampakkan diri. Memang ia cerdik. Dalam hal mengadu tenaga, ia kalah jauh dengan Maulana Syafri. Tetapi ia seorang yang berpengetahuan tinggi dalam soal tata pemerintahan. Itulah sebabnya, selagi kakaknya seperguruan menjadi seorang tabib sakti dan adiknya seperguruan (Diah Kartika) menjadi salah seorang penasihat tinggi Laskar. Perjuangan Jawa Barat, ia memilih jalan hidupnya dengan mengabdikan diri kepada Kerajaan Banten. Karena Edoh Permanasari salah seorang murid Ratu Fatimah, dengan sendirinya ia mempunyai hubungan erat. Itulah sebabnya pula, ia lebih menaruhkan perhatiannya kepada Edoh Permanasari dan Titisari daripada
menggabungkan diri dengan ketiga rekannya untuk mengeroyok Maulana Syafri.
Tatkala ketiga pendekar rekannya kena di-ingusi Maulana Syafri, ia sendiri tetap berada di dekat Edoh Permanasari. Heran ia melihat ketangkasan Titisari. Ternyata gadis itu dapat pula menjatuhkan Edoh Permanasari. Melihat bahaya, ia segera bertindak. Begitu Titisari hendak merampas pedang pusaka junjungan (Ratu Fatimah) muncullah dia dengan mengendap-endap.
Lalu menghantam dada Titisari dengan pukulan beracun. Tetapi pada saat itu pula. Muncullah Maulana Syafri. Sebentar ia berhantam seru. Merasa diri takkan ungkulan melawan raja muda itu, cepat ia menyambar tubuh Edoh Permanasari.
"Lepas!" bentak Maulana Syafri. la tahu, maksud Tatang Manggala hendak membawa lari Edoh Permanasari. Tetapi Tatang Manggala memang benar-benar cerdik. Di luar dugaan, tangannya sudah menggenggam pedang pusaka Sangga Buwana dan diputar bagaikan kitiran. Maulana Syafri segan kepada pedang itu, sehingga tak berani merangsak lagi. Kesempatan itu dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh Tatang Manggala. Dengan mengerahkan tenaga ia memanggul tubuh Edoh Permanasari. Lalu melarikan diri dengan secepat-cepatnya.
Maulana Syafri berbimbang-bimbang. Hendak ia mengejar, tetapi melihat Titisari jatuh terduduk hatinya memukul cemas. Maka ia membatalkan niatnya. Selagi begitu, terdengarlah pekik sorak beramai. Itulah anak-anak murid Edoh Permanasari yang dapat menjejak ke tempat gurunya
berada setelah berputar-putar dari desa ke desa sekian lamanya. Di samping mereka muncul pula Sindung Riwut, Ratu Kenaka dan Kusuma Winata. Mereka memang tadi dapat dikecoh habisTiraikasih Website http://kangzusi.com/
habisan, namun hanya sebentar. Sebab betapapun juga mereka bertiga termasuk golongan
pendekar besar. Setelah sadar akan tipu muslihat lawannya, segera balik ke desa semula.
Maulana Syafri tak sempat lagi berpikir-pikir panjang. Terus saja ia menyambar tubuh Titisari dan melesat bagaikan terbang. Dan pada saat itu Titisari pingsan tak sadarkan diri.
Sepanjang jalan ia mengasah otak. Pikirnya: "Tatang Manggala, Diah Kartika adalah adik seperguruan tabib sakti Maulana Ibrahim. Dalam hal ilmu silat mungkin mereka berada di
bawahku. Tetapi dalam hal ilmu ketabiban, di dunia ini siapakah yang dapat menandingi. Bocah ini agaknya kena salah satu pukulan beracun. Obat pemunahnya hanya ada pada mereka. Untung,
meskipun pada akhir-akhir ini Himpunan Sangkuriang berpecah-belah, mungkin aku masih bisa membujuk Diah Kartika. Kukira Diah Kartika mengerti pula bagaimana cara mengobati.
Memikir demikian, hatinya lega. Namun ia bercemas pula melihat Titisari tidak berkutik dalam dukungannya. Cepat ia memasuki hutan belantara. Lalu menurunkan Titisari ke tanah. Meskipun bukan seorang tabib, namun ia seorang raja muda yang sudah kenyang makan garam. Ontuk
pertolongan pertama, cepat-cepat ia mengurut urat-urat Titisri agar darahnya berjalan lancar.
Sekian lamanya ia mengurut dan barulah Titisari tersadar.
Waktu itu gelap malam mulai tiba. Bulan sabit telah muncul pula di angkasa. Dengan perihatin, Maulana Syafri meneruskan perjalanan. Gadis itu sudah tersadar, tetapi mulutnya seperti terkunci.
Dan mau tak mau, ia menjadi bingung pula. Segera ia mendaki suatu ketinggian hendak
menebarkan penglihatan. Sekitar tempat itu hanya petak hutan dan ladang yang gelap pekat.
Hubungan antara Maulana Syafri dan Titisari terjadi karena alasan-alasan yang aneh. Namun Maulana Syafri sudah merasa diri terikat. Makin tahu ia siapa gadis itu, hatinya makin terpikat.
Dan dengan tak setahunya sendiri, ia seperti merasakan sebagai bagian dari hidupnya sendiri.
Apakah dasar sesungguhnya, ia sendiri tak tahu.
Berada di tengah hutan sangat banyak bahayanya. Apalagi, ia sedang dikejar-kejar oleh anakanak murid Edoh Permanasari dan tiga pendekar musuhnya. Anak-anak murid Edoh Permanasari, mungkin pula sudah berbalik untuk mengikuti jejak gurunya. Tetapi tiga pendekar lawannya yang datang mencari padanya untuk menuntut dendam pastilah tidak mau sudah, sebelum menemukan dirinya.
Terhadap Kusuma Winata yang berwatak satria dan Sindung Riwut yang hidup sebagai seorang pendekar sejati, tidaklah perlu dicemaskan. Sebaliknya yang membuat dirinya banyak berpikir ialah bila berhadapan dengan Ratu Kenaka. Sebab tangan Ratu Kenaka sangat beracun. Ilmu silatnya tidak bermutu tinggi, tetapi racunnya jauh lebih berbahaya daripada kedua rekannya dan Edoh Permanasari. Hutan dan ladang yang tergelar disekelilingnya rasanya tidak dapat memberi tempat untuk berlindung. Dengan terpaksa Maulana Syafri meneruskan perjalanannya. Tujuannya sudah tetap, hendak mendaki Pegunungan Karumbi mencari Diah Kartika. la menerjang rerumputan
setinggi lutut. Bahaya ular berbisa tidak dihiraukan. Sudah begitu, saban-saban betisnya masih kena ditusuki duri-duri semak. Pedih, perih dan panas rasanya. Namun ia berjalan terus.
Karena malam gelap tak dapat ditembus sinar bulan sabit terpaksalah dia berjalan perlahan-lahan. Jalan yang diambah nampak gelap. Kerapkali ia khawatir akan tersesat. Siapa tahu di depannya menghadang sebuah jurang curam. Kalau sampai terjeblos....
Setelah menderita perih panas dalam perjalanan itu, Maulana Syafri tiba-tiba melihat sebuah bintang besar di udara sebelah kirinya. Rendah bintang itu, seperti berada di atas cakrawala.
Cahayanya berkelip-kelip, la pandang bintang itu untuk mencoba mengenal namanya. Sesudah berjalan kurang lebih lima pai jauhnya, lenyaplah bintang itu terhalang suatu ketinggian, la melayangkan pandang ke kiri dan melihat berkelipnya api.
"Api!" Ia berbisik girang di dalam hati. "Ada api, pastilah ada rumah pula."
Dengan penuh semangat, ia mengarah ke nyala api tersebut. Satu jam kemudian, ia tiba pada suatu gerombol pohon yang diatur berkelompok-kelompok. Dan api nampak berada di celah-celahnya. Suatu ingatan menusuk benaknya, la seperti pernah mengenal penglihatan itu.
Mendadak saja hatinya bersorak.
"Hi! Bukankah ini tangan Diah Kartika?" serunya girang di dalam hati. Diah Kartika bersemayam di atas bukit Karumbi. Tetapi ia terkenal berada di tempat-tempat tertentu. Setiap kali ia berada di suatu tempat yang cocok, ia merubah letak penglihatannya seperti pertapaannya di atas
Pegunungan Karumbi. Dengan demikian, rekan-rekan seperjuangan dan handai taulannya cepat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengenalnya. Ia adalah adik seperguruan tabib sakti Maulana Ibrahim yang terkenal pandai. Diah Kartika tidak mewarisi ilmu ketabiban, tetapi memiliki pengetahuan ilmu alam, ukur dan aljabar.
Karena itu, ia tergolong seorang cendekiawan pada zamannya. Hendaklah diketahui, bahwa ilmu-ilmu tersebut tidak hanya dimiliki oleh bangsa Barat, Mesir, Arab, Tionghoa atau India. Di Jawa pun, ilmu tersebut sudah dikenal semenjak zaman dahulu kala. Ini terbukti dengan tetap tegaknya bangunan candi-candi besar sampai pada zaman sekarang. Borobudur, Kalasan dan Dieng
umpamanya, tidak lapuk oleh majunya zaman. Sekiranya para arsiteknya tidak memiliki
pengetahuan ilmu hitung, masakan dapat membangun yang terakui sebagai suatu bangunan abadi di dunia" Soalnya, karena bangsa Jawa tidak mempunyai kebiasaan untuk mencatat atau menulis suatu pengetahuan. Penyiarannya hanya dilakukan lewat tutur kata turun-temurun belaka.
Maulana Syafri segera menghampiri arah nyala api itu. Sudah sekian lamanya ia berjalan,
namun letak api itu seperti berpindah-pindah, la berhenti mengamat-amati. Api menyala di belakang deretan pohon. Untuk mencapai tempat itu dia harus memutar jalan lewat rimba. Maka ia masuki rimba yang berada di sebelah kanannya. Ternyata jalanan di rimba itu tidak selalu lurus.
Berbelok-belok, berliku-liku dan malang melintang. Dan tiba-tiba nyala api lenyap dari penglihatan.
Maulana Syafri tak berputus asa, sekalipun hatinya mengeluh. Dengan sebat ia melompat ke atas sebatang pohon. Dari atas ia menjenguk ke bawah. Ternyata letak beradanya api tadi, sudah dilewati. Api sekarang berada di belakang punggungnya, la heran.
Perlahan-lahan ia turun ke tanah dengan masih menggendong Titisari. Segera ia berbalik. Dan kembali ia kehilangan nyala api. Sekarang benar-benar ia menjadi heran. Dua tiga kali ia mengulang dan dua tiga kali pula ia kehilangan sasaran. Karena hatinya ikut berbicara ditambah pula tenaganya sudah banyak terbuang, lambat-laun kepalanya terasa menjadi pusing.
Penglihatannya mulai kabur. Dan akhirnya ia menjadi jengkel. Ingin ia terbang melewati pohon-pohon yang merupakan pagar penghalang itu. Tetapi rimba itu sangat gelap. Siapa tahu, ada jebakannya pula. Selain itu, berjalan lewat pohon dengan menggendong Titisari akan merupakan suatu pemandangan yang tidak sedap. Ia khawatir pula akan terceblos dalam suatu jurang atau akan terbentur suatu dahan yang mengandung racun. Salah-salah, akan menambah penderitaan Titisari. Memperoleh pertimbangan demikian, ia berhenti beristirahat dahulu. Titisari masih saja menutup mulut.
Gadis itu sudah memperoleh kesadarannya semenjak tadi. Ia tahu, bahwa dirinya dibawa
berputar-putar tak keruan juntrungnya. Namun ia berdiam diri saja. Mendadak ia berkata lemah,
"Paman! Berjalanlah ke kanan, ke samping kanan!" Mendengar Titisari berbicara, giranglah hati Maulana Syafri.
"Nona, kau baik?"
Titisari menyahut, tetapi suaranya tidak jelas.
"Apakah kau mengenal jalanan ini?" Maulana Syafri menegas.
"Mengapa engkau tak berjalan ke samping kanan?" sahut Titisari. Kali ini cukup jelas, sehingga hati orang tua itu menjadi bersyukur. Teringatlah dia tadi, bahwa Titisari puteri Adipati Surengpati yang terkenal berotak malaikat pada zaman itu. Maka ia menurut petunjuk Titisari tanpa
membantah sedikitpun. Beberapa langkah kemudian, kembali Titisari berkata: "Paman, beloklah ke kiri. Delapan langkah saja."
Maulana Syafri menurut, la yakin kepada kecerdasan otak gadis itu. Tadi dia sudah dapat
membuktikan sewaktu bertempur melawan Edoh Permanasari. Pikirnya, benar-benar seekor
harimau akan beranak harimau pula. Adipati Surengpati terkenal pandai. Melihat puterinya, agaknya nama itu bukan bualan kosong. Memikir demikian, ia merasa diri bertambah dekat
kepada Titisari seolah-olah bagian hidupnya sendiri yang sangat dibutuhkan.
"Sekarang menikung ke kanan empat belas langkah," kata Titisari lagi.
Maulana Syafri menurut. Dan selanjutnya ia menuruti gadis itu. Setiap kali ia harus menikung ke kiri atau ke kanan. Kadang-kadang memotong jalan pula.
Titisari memang sudah mewarisi kepandaian ayahnya hampir enam bagian. Ayahnya terkenal
sebagai seorang ahli ilmu alam, ilmu hayat, ilmu ukur, ilmu tumbuh-tumbuhan dan bintang.
Orang-orang pada zaman itu berkata: "Adipati Surengpati berasal dari langit, la pandai membaca dan menghitung bintang. Sudah barang tentu, itulah julukan yang berlebihan. Tetapi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sesungguhnya Adipati Surengpati merupakan seorang cendekiawan yang jarang ada tandingnya pada zaman itu."
Melihat letak nyala api tetap tak berubah, hati Maulana Syafri makin yakin dan yakin terhadap Titisari. Malahan dengan tak disadarinya sendiri, terbitlah suatu bintik rasa takluk. Langkahnya kini menjadi lebar, la berjalan ke sana ke sini, mundur maju dan kerapkali pula meloncat. Akhirnya nyala api bertambah dekat. Karena hatinya sangat bernafsu, segera ia lari cepat untuk
menghampiri. "Jangan terburu-buru!" kata Titisari menasihati. Tetapi Maulana Syafri sudah terlanjur lari cepat. Tahu-tahu kakinya terjeblos dalam lumpur setinggi dengkul. Ia kaget setengah mati. Sebab kedua kakinya terasa kena seret. Syukur ia seorang berilmu. Cepat-cepat ia menggenjot diri melesat ke atas. Dan dengan ilmu itu, ia berhasil terlolos dari belenggu lumpur.
Di atas tanah kering, ia berdiri teriongoh-lo-ngoh. la malu bercampur mendongkol. Dengan pandang penasaran ia mengamat-amati api itu. Di depannya samar-samar terlihatlah asap putih membumbung ke udara. Dan sedikit banyak, bulan sabit akhirnya menolong juga. Ia melihat
sebuah rumah gubuk. Dan melihat bentuk rumah itu, hatinya girang. Terus saja ia berseru
nyaring. "Diah Kartika! Akulah Maulana Syafri. Aku datang dengan membawa seorang sahabat yang sedang menderita luka parah."
Titisari tersenyum. Orang tua itu akhirnya memperkenalkan namanya sendiri tanpa ia bersusah-susah lagi untuk menanyakan.
Agaknya hatinya sudah tawar terhadapnya dan tidak bersikap tegang seperti kemarin. Dalam pada itu, Maulana Syafri berseru nyaring lagi: "Memang, pada akhir-akhir ini kedudukan kita amat sulit. Antara kita terjadi saling mencurigai, sehingga kau pun tentu tak senang hati mendengar kedatanganku ini. Tetapi aku memberanikan diri untuk datang kepadamu. Malahan aku
memberanikan diri pula untuk memohon kemurahan hatimu. Berilah kami tempat beristirahat.
Sahabatku ini membutuhkan pertolonganmu."
Di dalam malam sesunyi itu, suara Maulana Syafri amat berkumandang. Kata-katanya jelas
pula. Namun setelah menunggu sekian lamanya, tetap saja tiada jawaban. Karena itu, Maulana Syafri mengulangi perkataannya se-patah demi sepatah dengan suara merendahkan diri pula. Dan diam-diam hati Titisari menjadi terharu.
Meskipun belum menyatakan terang-terangan, gadis itu mengerti bahwa Maulana Syafri
seorang raja muda. Ontuk dia, raja muda itu menggendongnya hampir sepanjang malam. Ontuk dia, raja muda itu sampai mau merendahkan diri terhadap sesama rekannya yang sama pula
kedudukannya. Kalau dipikir, susah payah Titisari dalam menolong jiwa Maulana Syafri tidaklah seberat perjuangan raja muda itu.
Sementara itu, suara Maulana Syafri tidak memperoleh jawaban. Dan untuk ketiga kalinya,
Maulana Syafri mengulangi perkataannya. Dan barulah terdengar suara seseorang perempuan tua:
"Eh, Maulana! Kau seorang raja muda, masakan tidak tahu sopan santun" Sudah larut malam begini, kau berteriak-teriak tak keruan. Masakan aku harus membuka pintu lalu menyambutmu di luar" Kau seorang raja muda yang tinggi ilmunya, hayo datanglah ke mari! Apakah rumah ini asing bagimu?"
Menilik bunyi kata-katanya berkesan ramah. Tapi suaranya tawar, sehingga tahulah Titisari bahwa perempuan itu tidak mengharap kedatangan rekannya.
"Hm ..." Maulana Syafri menggrendeng. Selama ia berserikat dengan Diah Kartika dalam Himpunan Sangkuriang, belum pernah ia mengganggunya. Bahkan hubungannya tidak begitu erat.
Sebenarnya untuk selama hidupnya belum tentu ia akan meminta sesuatu kepadanya. Tapi
mengingat Titisari, ia sudah melanggar beberapa pantangannya sendiri. Ia seorang yang berhati tinggi. Adatnya tak dapat disumbari orang. Mendengar suara
Dengan mengerahkan tenaga, Tatang Manggala memanggul tubuh Edoh Permanasari, lalu
melarikan diri secepat-cepatnya.
Diah Kartika, ia merasa diri ditantang. Maka tak mengherankan, bahwa ia menjadi gelisah.
Dengan tajam ia pandang rumah gubuk itu. Rumah itu berada di tengah-tengah lumpur. Tadi
kalau saja tidak memperoleh petunjuk-petunjuk Titisari meskipun satu bulan penuh tindakan sampai di sini. Sekarangpun ia mendapat kesulitan yang sama pula. Hatinya lantas mengeluh. Ini
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
semua akibat perpecahan yang terkutuk, katanya di dalam hati. Antara raja muda satu dan lainnya saling bentrok. Dengan sendirinya saling mencurigai. Selamanya belum pernah aku berhubungan.
Malam ini tiba-tiba aku datang mengunjungi. Maka tidaklah terlalu salah, bila ia mencurigai aku...."
Titisari menegakkan kepala. Ia menebarkan penglihatannya yang masih nampak lemah. Selang beberapa saat lamanya ia berkata setengah berbisik.
"Rumah ini agaknya dibangun di atas lumpur. Sekarang Paman perhatikan! Bukankah bentuk bangunan tanahnya bulat?"
Maulana Syafri menajamkan mata. Kemudian mengangguk seraya berkata: "Benar."
"Dan bentuk rawa ini persegi bujur, bukan?"
"Benar. Bagaimana kau mengetahui begitu jelas?" Maulana Syafri girang.
"Kau usahakan dirimu berada di sudut timur ' laut. Lalu berjalanlah memutar ke kiri tujuh langkah," kata Titisari dengan suara wajar. Lalu menikung ke kanan tiga langkah. Setelah itu lima langkah lurus ke depan. Sembilan -langkah lagi, mundurlah ke samping kanan tiga langkah. Lalu memotong jalan tujuh langkah ke kiri. Pasti engkau takkan terjeblos dalam lumpur.
Maulana Syafri tidak beragu lagi. Tadi Titisari sudah berhasil membawanya sampai ke tempat itu. Sekarang pun juga. Ia berjalan menuruti petunjuk-petunjuknya. Tetapi dengan begitu
ternyatalah, bahwa semenjak tadi dia sudah berada di bawah perintah gadis luar biasa itu.
Bukankah tidak jauh dengan seorang budak yang menghambakan diri"
Segera ia memperbaiki pakaiannya, lalu memeluk Titisari erat-erat. Setelah itu berjalan
menurut petunjuk Titisari. Dan benarlah. Setiap kali kakinya mendarat, tibalah pada sebatang tunggak yang dapat bergerak miring ke sisi. Maka barang siapa yang tak pandai ilmu meringankan tubuh, pastilah akan tergelincir atau terbanting masuk kubangan lumpur. Seratus dua puluh sembilan langkah sudah. Dan sampailah kakinya menginjak pada dataran bulat. Itulah ruang tanah di mana rumah Maulana Syafri lalu memeluk Titisari erat-erat Setelah itu berjalan menyeberangi lautan lumpur menuju rumah Diah Kartika menurut petunjuk Titisari.
Diah Kartika didirikan. Oleh petunjuk Titisari, ia berjalan memutar. Ternyata nyala api di depannya tidak berubah. Sekarang bahkan memperlihatkan bahwa rumah itu tanpa pintu.
"Melompatlah! Dan taruhlah kakimu pada sisi rumah!" bisik Titisari.
Maulana Syafri terus meloncat sambil berkata di dalam hati: "Benar-benar hebat gadis ini.
Semua teka-teki, dapat ditebaknya dengan jitu."
Tempat di mana Maulana Syafri mendaratkan kakinya adalah tanah kering. Tetapi sepuluh senti meter di sekelilingnya merupakan lautan lumpur. Kurang berhati-hati sedikit saja seseorang akan mati tenggelam kena seret lumpur.
Maulana Syafri lantas menyelundup ke sebelah kiri. Sampailah dia di pekarangan. Di depannya nampak suatu terowongan dan di tengah terowongan itulah api yang tadi kena dilihatnya. Setelah dekat ternyata terowongan itu merupakan pintu masuknya.
"Masuk! Semuanya biasa. Tak ada bahayanya," bisik Titisari lagi.
Maulana Syafri mengangguk. Lalu berseru nyaring lagi:
"Maafkan Diah atas kelancanganku ini. Perkenankan aku memasuki rumahmu."
Berbareng dengan ucapannya, masuklah ia ke dalam rumah.
Maulana Syafri dan Diah Kartika merupakan tokoh penting Himpunan Sangkuriang. Bahkan
menduduki tokoh inti, karena mereka berdua menjabat sebagai anggota Dewan Penasihat. Namun keduanya belum pernah saling mengunjungi rumahnya masing-masing. Tak mengherankan,
bahwa begitu masuk ke dalam ruang tengah, Maulana Syafri segera melayangkan matanya. Di
atas meja berbentuk panjang tujuh pelita ditaruhkan pada tempat-tempat tertentu yang diatur menurut segi-segi derajat penglihatan. Jadi cahaya pelita yang tadi dilihatnya di kejauhan, ternyata berjumlah tujuh buah. Tentu saja, ia tadi kena dibuat bingung. Hebatnya, pelita itu mempunyai segi pemantulan satu derajat sehingga dari tempat tertentu hanya nampak satu
cahaya. Di depan meja panjang itu, duduklah Diah Kartika di atas tanah lagi merenungi puluhan lembar daun bambu yang diatur berserakan. Seluruh perhatiannya tertumpah pada lembaran daun itu, sehingga ia tak menghiraukan kedatangan Maulana Syafri. Pantas saja, dia tadi bersikap tawar.
Diah Kartika sudah nampak sangat tua. Padahal umurnya sebaya dengan Maulana Syafri.
Rambutnya sudah nampak menjadi putih semua. Kulit mukanya berkeriputan. Tangannya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bergemetaran setiap kali hendak bergerak. Tetapi janganlah dikira bahwa ia benar-benar sudah buyuten. Gerakannya gesit, cekatan dan ganas, la masih sanggup mengimbangi gerakan Edoh
Permanasari. Padahal Edoh Permanasari dahulu pernah berhubungan erat dengan anak
tunggalnya: Pendekar Kamarudin.
Maulana Syafri membawa Titisari duduk di atas kursi. Gadis itu nampak kucel. Wajahnya pucat lesi bagaikan kapuk kuyu. Melihat wajahnya, hati Maulana Syafri menjadi iba. Hendak ia membuka mulut untuk minta sete-guk air hangat baginya, tapi batal. Ia melihat, betapa Diah Kartika lagi memusatkan seluruh perhatiannya kepada lembaran-lembaran daun bambu. Nampaknya ia lagi
menghadapi suatu kesulitan yang sudah lama tak terpecahkan. Dan ia tak mau mengganggunya.
Setelah beristirahat selintasan, Titisari memperoleh sedikit kesegarannya kembali. Maka ia ikut pula memperhatikan kesibukan Diah Kartika. Diamat-amatinya letak lembaran daun itu, lalu keningnya berkerut-kerut. Setiap lembar daun bambu itu berukuran empat senti dan lebar dua senti. Dan Diah Kartika terus mencurahkan perhatiannya.
Maulana Syafri tak mengerti masalah apa yang sedang direnungkan itu. Tatkala melihat betapa kening Titisari berkerut-kerut pula, hatinya menjadi heran. Pikirnya, untuk seluruh wanita di Jawa Barat, Diah Kartika adalah seorang cendekiawan satu-satunya. Rupanya gadis itu pun demikian.
Ayahnya seorang sarjana, apakah dia sudah mewarisi ilmunya. Kalau benar, akan banyak daya gunanya....
Tiba-tiba terdengar Titisari berkata, "Lima! Tiga ratus tujuh puluh lima!"
Diah Kartika terkejut. Ia menengadah. Pandang matanya tajam. Agaknya hatinya tak senang.
Sesaat kemudian ia tunduk lagi dan mencoba menghitung dengan suatu corat-coret. Terdengar kemudian ia memekik perlahan. Ternyata hitungan Titisari jitu sekali. Kembali ia menegakkan kepalanya dan mengamat-amati Titisari. Dilihatnya wajah Titisari kucel kuyu. Ia tunduk lagi dan menguji hitungan itu kembali. Benar-benar tak salah. Karena itu, ia segera hendak menghitung pula pecahan lainnya.
Titisari meruntuhkan pula pandangannya ke tanah, la bersikap menunggu. Tetapi sampai sekian lamanya, Diah Kartika belum juga berhasil memecahkan hitungannya. Lantas Titisari berkata tenang: "Seratus dua puluh empat."
Kembali Diah Kartika terkejut. Ia menengadah. Wajahnya berubah merah. Lalu dengan hati
penasaran ia melanjutkan hitungannya. Setelah berkutak-kutik selintasan, ternyata benar hitungan Titisari. Memperoleh kenyataan itu, terus saja ia berdiri tegak. Sekarang nyatalah, bahwa tubuh Diah Kartika sudah bongkok dimakan usianya. Keningnya sudah pada berkeriput. Meskipun
demikian, matanya bersinar tajam luar biasa.
"Mari, ikuti aku!" katanya sambil menuding ke arah sebuah pintu samping. Ia berjalan mendahului dengan berbatuk-batuk kecil.
Maulana Syafri memapah Titisari lagi untuk mengikuti Diah Kartika. Sampai di depan kamar, ia berhenti tak mau masuk. Dinding kamar sebelah dalam, berbentuk bundar. Lantainya penuh pasir dan di atasnya terdapat coretan-coretan dan tanda-tanda lurus dan bulat. Nampak pula guratan huruf-huruf catatan. Bunyinya ternyata suatu dalil-dalil tertentu. Menimbang bahwa hal itu mungkin sangat penting bagi Diah Kartika, ia tak berani melangkahkan kaki karena takut merusak atau menghapus sebagian.
Menyaksikan penglihatan itu, wajah Titisari nampak tenang. Tiada suatu kesan rasa heran atau kagum. Sebab itulah ilmu aljabar yang dijajarkan dengan dalil-dalil ilmu alam. Semuanya itu sudah pernah dipelajarinya lewat ayahnya. Dengan tiba-tiba ia menarik pedang Maulana Syafri.
Kemudian dengan mengajak Maulana Syafri melangkah masuk, ia meliuk ke tanah. Tangannya
menggarit-garit suatu deretan angka dengan ujung pedang. Lalu berkata, "Apakah ini benar?"
Ternyata ia sudah memecahkan beberapa hitungan dengan cepat dan tepat. Maka lagi-lagi Diah Kartika memekik kagum. Setelah mengawasi dengan tercengang, bertanyalah dia, "Kau siapa?"
"Itulah hitungan ilmu aljabar," kata Titisari yang tidak menjawab langsung pertanyaan Diah Kartika. Dan tanpa diminta ia segera menjelaskan tentang dalil-dalil tertentu, serta cara memecahkannya.
Mendengar kuliah Titisari, wajah Diah Kartika pucat lesi. Ia seperti berputus asa. Tubuhnya bergoyang-goyang, lalu menjatuhkan diri di atas pasir seraya memegang kepalanya. Ia nampak berpikir keras. Sejenak kemudian, ia menegakkan pandangnya. Wajahnya kembali menjadi terang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Berkata, "Nampaknya kau lebih mengenal dalil-dalil di luar pengetahuanku. Tapi cobalah hitung soal ini!"
Diah Kartika menunjuk suatu gambar tanah liat (miniatur) yang berada di pojok kamar.
Setelah diterangi sebuah dian, ternyatalah bahwa gambar itu menggambarkan suatu tata
wilayah. Pada gambar itu nampak deretan-deretan pohon, gundukan tanah, sungai, empang
lumpur, lika-liku jalan dan semak belukar. Semuanya itu diatur merupakan jebakan penglihatan.
Titisari mengamat-amati sebentar. Teringatlah bahwa ayahnya mengatur pulau Karimun Jawa
sebagai gambar itu pula. Bahkan lebih pelik dan sulit. Maka dengan gampang ia berkata, "Kukira mudah saja. Beginilah cara menghitung dan memecahkan." Lalu ia meng-gurat-guratkan
pedangnya di atas pasir. Melihat betapa tepat hitungan Titisari, wajah Diah Kartika menjadi pucat lesi. Napasnya lantas saja menjadi sesak.
"Ah ..." keluhnya dalam. "Kukira ciptaanku ini hanya kumiliki sendiri. Ternyata engkaupun mengetahui juga. Bagaimana bisa begitu?"
"Hitungan ini sudah lama diketahui manusia semenjak zaman purba," kata Titisari. "Sewaktu aku menerima pelajaran dari Ayah, mula-mula diwajibkan aku menghafal dalil-dalilnya. Coba dengarkan dalil-dalilnya. Engkaupun akan dapat menghafalkan di luar kepala!"
Dan benar-benar Titisari menyebutkan beberapa dalil ilmu Aljabar dengan cepat serta lancar.
Setelah itu, ia beralih pada dalil-dalil ilmu Alam dan bintang. Kemudian dia berkata, "Rupanya engkau belum pernah mempelajari ilmu bintang. Baiklah kugambarkan di sini."
Ia menggurat-gurat beberapa letak bintang. Dan Diah Kartika memandangnya dengan hati
takjub. Lantas ia berbangkit lagi dengan tubuh bergemetaran.
"Puluhan tahun aku menekuni ilmu itu. Selama itu belum pernah aku menjumpai seorang yang dapat mengenalnya. Tak tahunya, engkau begini masih muda belia sudah melebihi aku. Malahan sudah dapat menyelami sampai ke dasarnya. Sebenarnya kau siapa Nona?" katanya. Tiba-tiba ia berbatuk-batuk sambil menekan-nekan dadanya. Dari sakunya ia mengeluarkan sebutir obat.
Setelah ditelan, batuknya lenyap dan wajahnya menjadi tenang kembali. Dan tahukah Titisari, bahwa hati orang tua itu sangat kecewa dan merasa runtuh kebanggaannya. "Habislah ... habislah sudah ..." katanya berulang kali. Dan tiba-tiba air matanya mengucur deras.
Titisari menoleh kepada Maulana Syafri untuk minta penjelasan, apa sebab Diah Kartika
menangis. Tetapi wajah Maulana Syafri nampak tak mengerti juga. Akhirnya saling memandang dengan penuh pertanyaan.
Selang beberapa saat, Diah Kartika nampak sudah dapat menguasai diri. Mau ia berkata,
sekonyong-konyong terdengarlah gemerisik orang di luar empang. Tahulah Maulana Syafri dan Titisari, bahwa mereka itulah pengejarnya.
"Musuh atau sahabat?" Diah Kartika bertanya.
"Musuh," jawab Maulana.
"Hm, mendengar langkahnya seperti Sindung Riwut, Ratu Kenaka dan anak murid Gunung
Mandalagiri. Benarkah itu?"
"Ya," jawab Maulana Syafri pendek. Ia tahu, Diah Kartika mempunyai pendengaran tajam dan otaknya cerdas pula sehingga dengan cepat dapat menebak siapakah yang berada di luar. Namun ia menambahi. "Selain mereka bertiga, masih ada pula beberapa anak murid Edoh Permanasari."
Mendengar nama Edoh Permanasari, mendadak saja wajah Diah Kartika menjadi bengis. Lantas membentak, "Kalau begitu, siapakah Nona ini?"
"Legakan hatimu," kata Maulana Syafri. "Gadis inilah yang justru lagi dikejar-kejar anak murid Edoh Permanasari. Sebab iblis itu tadi sore kena dikalahkannya."
"Hai! Benarkah itu?" suara Diah Kartika menjadi girang. Ia percaya keterangan rekan seperjuangannya itu.
"Usianya masih begini muda, tetapi sudah dapat mengalahkan Edoh. Sebenarnya siapakah dia dan mengapa ia menderita luka?"
"Periksalah sendiri!"
Diah Kartika menghampiri Titisari dan membuka baju luarnya. Dahinya berkerut-kerut tatkala memeriksa lukanya. Terdengar ia menggerendeng tidak begitu jelas.
"Hai! Kenapa dia ikut-ikutan pula" Apakah dia menantang aku?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maulana Syafri tahu, bahwa antara Diah Kartika dan kakak seperguruannya Tatang Manggala
sudah terbit suatu perpecahan semenjak mudanya. Itulah terjadi, karena panggilan hidup masingmasing. Diah Kartika berpihak kepada Ratu Bagus Boang, sedangkan Tatang Manggala
mengabdikan diri kepada Ratu Fatimah.
Dengan cekatan Diah Kartika mengambil sebutir ramuan obat dari tempat penyimpanannya.
Kemudian berkata, "Telanlah! Dan legakan hatimu, meskipun mereka kini berada di dekat kita, tetapi mereka takkan mampu memasuki rumah lumpur kita. Kau beristirahatlah di sini. Kau harus sembuh kembali seperti sediakala, karena aku ingin beromong-omong lebih banyak lagi denganmu
..." 48. SONNY DE HOOP
MAULANA SYAFRI berhenti menyusut keringat. Bulan malam sudah berada tepat di atasnya. Ia menatap wajah Sangaji yang nampak termangu-mangu. Kemudian meneruskan, "Demikianlah pula cara Titisari menaklukkan Suryapranata. Benar-benar luar biasa kepintaran putri Adipati Surengpati itu. Ilmu silatnya kita tak usah kalah, tetapi kecerdasannya berada jauh di atas kita sehingga dapat mengikat kita."
"Apakah dia pula yang mengatur semua perjalananku?" Sangaji menyela.
"Tentu, tentu. Siapa lagi kalau bukan dia," sahut Maulana Syafri. "Dialah yang mengatur benda-benda persembahan. Dia pulalah yang memberi tanda-tanda sandi di tempat-tempat tertentu, tatkala Paduka menuju ke Gunung Cibugis. Dia pulalah yang mengatur hubungan kita dengan Ki Tunjungbiru. Dan atas petunjuknya, Suryapranata menjadi salah seorang penjaga penjara Glodok.
Karena itu, Paduka tak perlu mencemaskan keadaan Ki Tunjung-biru. Malam ini, dia sudah dapat menghadap Paduka dengan selamat tak kurang suatu apa.
Memang semenjak ia berada di atas dataran tinggi Gunung Cibugis, ia seolah-olah berada dekat dengan Titisari. Tak tahunya, itu semua ternyata permainan Titisari. Dengan Titisari, sudah lama ia takluk. Tetapi sama sekali tak pernah dia bermimpi, bahwa Titisari memiliki otak secemerlang itu.
Dengan sekali tepuk, dia dapat menguasai tokoh-tokoh Himpunan Sangkuriang dan dia sendiri.
Gadis itu tak ubah seorang sutradara yang sudah mengatur jalannya tiap-tiap tokoh yang
disuruhnya bermain di atas panggung.
"Hanya satu hal aku tak mengerti. Itulah peracunan rombongan penyerbu di atas dataran ketinggian Gunung Cibugis. Siapakah yang melakukan?" kata Sangaji.
"Gusti Aji," sahut Maulana Syafri lancar. "Sesungguhnya kalau hamba tidak membuktikan sendiri takkan mau percaya, bahwa di dunia ini ada seorang gadis memiliki otak secemerlang itu.
Dia tidak hanya menguasai kita semua, tapipun dapat menghancurkan rombongan musuh
penyerbu markas besar Himpunan Sangkuriang yang mula-mula dipergunakan untuk
membangunkan persatuan kita kembali."
"Cobalah uraikan yang lebih jelas lagi. Aku jadi tidak mengerti," potong Tubagus Simuntang.
Maulana Syafri tertawa terbahak-bahak. Katanya kemudian, "Nah lihatlah, kau hanya
menyumbangkan suatu pendengaran, namun kepalamu sudah pusing. Coba bayangkan betapa
hebat otak Titisari yang bahkan mengatur pelaku-pelakunya."
"Baik, baik ... baik. Siapa bilang otakku cemerlang," kata Tubagus Simuntang yang berwatak berangasan.
"Begini," Maulana Syafri mulai. "Kau masih ingat betapa Edoh Permanasari dikalahkan.
Ternyata dia tidak hanya dikalahkan ilmu silatnya, tapipun hatinya. Hal itu terjadi, karena Titisari pandai mengikat suatu kisah yang senapas dengan perjalanan hidup iblis itu. Bukankah dia bercerita tentang hubungannya dengan Gusti Sangaji?"
"Benar." "Di luar dugaan juga, semenjak itu Edoh Permanasari banyak mendengarkan kata-kata puteri Adipati Surengpati. Katakan saja, dia patuh seperti diriku terhadapnya. Dan semenjak itu, iblis Edoh Permanasari menjadi duta keliling puteri Adipati Surengpati. Dia disuruh menghubungi semua tokoh-tokoh pendekar lawan Himpunan Sangkuriang untuk menyerbu dataran tinggi
Gunung Cibugis. Sudah barang tentu puteri Adipati Surengpati mengarang cerita dahsyat tentang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gusti Aji. Dikatakan bahwa Himpunan Sangkuriang kini sedang meminta bantuan tokoh sakti dari Jawa Tengah. Itulah Gusti Sangaji. Dan ia menganjurkan, sebelum tokoh itu mampu bertindak, hancurkan seluruh pendekar Himpunan Sangkuriang mumpung mereka datang berkumpul. Puteri
Adipati Surengpati pandai membakar hati pula. Dikatakan, ia berani bertaruh bahwa semua
pendekar Jawa Barat takkan dapat memenangkan tokoh sakti itu. Kecuali dia sendiri. Maka
pesannya, asal mereka merasa diri tak ungkulan lekaslah turun gunung. Dia sendiri yang akan membereskan. Sudah barang tentu aku tahu maksudnya. Dia hendak memberi kesempatan
kepada Gusti Sangaji untuk mengangkat nama. Itulah sebabnya, dengan kurang ajar aku
memberanikan diri untuk menguji Gusti Aji. Maksudku, agar Himpunan Sangkuriang jangan
terpedaya oleh akal cerdik belaka sampai sudi mengakui orang tak berguna menjadi junjungan kita. Tak tahunya, ternyata Gusti Aji memang pantas menjadi junjungan kita. Inilah rejeki besar bagi laskar perjuangan Himpunan Sangkuriang."
"Dan Kompeni... mengapa ikut-ikutan pula menyerbu?" Tatang Sontani minta keterangan.
"Itulah bagianku," sahut Maulana Syafri. "Seperti kau ketahui aku menyandang pakaian kompeni. Gusti Aji sendiri menyaksikan, betapa aku mendapat kepercayaan kompeni untuk
mengawal puteri komandan Mayor de Hoop. Maka kau bisa mengira-ngira sendiri, betapa aku
berhasil menjilat pantat kompeni. Demikianlah dengan berbisik puteri Adipati Surengpati memberi petunjuk kepadaku, agar aku membuat laporan kilat tentang berkumpulnya tokoh-tokoh Himpunan Sangkuriang yang sudah lama menjadi musuh kompeni. Hal ini perlu untuk menguatkan
kedudukan puteri Adipati Surengpati itu terhadap kesangsian pihak pendekar penyerbu. Bukankah dengan demikian, kedudukannya lantas menjadi terang bahwa dia berpihak kepada kompeni"
Edoh Permanasari dan kawan-kawannya jadi lebih mantap. Tak tahunya ... tak tahunya ... begitu mereka habis tugasnya menyerbu dataran tinggi, putri Adipati Surengpati menjebaknya dengan jitu."
"Apa itu?" potong Tubagus Simuntang dan Tatang Sontani berbareng dengan bernafsu.
"Lihatlah setelah aku berhasil menyerbu ke dataran tinggi, aku mendapat tugas lagi menawan pendekar-pendekar penyerbu. Bukankah hebat akal itu?"
"Akal bagaimana?"
"Dengan menggunakan racun, mereka kita tangkap. Maka kesalahan tangan itu kini beralih kepada pihak kompeni. Mereka lalu aku giring masuk ke kamp tawanan dan aku sengaja
melepaskan beberapa orang rombongan mereka masing-masing. Itu semua kukerjakan atas
petunjuk puteri Adipati Surengpati. Dengan begitu, mereka bisa memberi laporan kepada ketua mereka, bahwa rombongan kini kena tawan kompeni. Bukankah mereka lantas menjadi berbalik melawan kompeni" Inilah yang dinamakan akal sekali menepuk dua lalat dengan sekaligus.
Terbuktilah kini, penjara diserbu orang-orang pandai. Bukankah peristiwa ini akan menegangkan hubungan antara mereka dan pihak kompeni" Sebaliknya kitalah kini yang ganti menjadi
penonton. Waktu menyerbu dataran tinggi Gunung Cibugis, mereka bersatu padu dengan
kompeni. Tapi begitu turun dari gunung, mereka cakar-cakaran. Ini semua berkat otak puteri Adipati Surengpati yang cemerlang. Hayo katakan bahwa puteri Adipati Surengpati itu tidak berotak luar biasa. Tatang Sontani, kau selamanya membanggakan diri sebagai seorang yang berotak gemilang. Dapatkah kau melampaui otak puteri Adipati Surengpati itu?"
Baik Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang tercengang-cengang mendengar penjelasan itu.
Pantas saja, kompeni dapat dengan lancar menyerbu dataran ketinggian Gunung Cibugis yang banyak lika-likunya dan jebakannya. Tak tahunya, Maulana Syafri yang memimpin. Dan itu semua adalah berkat petunjuk Titisari. Tatang Sontani yang jujur lantas saja mengakui, bahwa dalam hal mengadu ketajaman otak dan kecerdikan akal ia kalah jauh. Maka besarlah keinginannya hendak melihat wajah puteri itu. Tetapi sesungguhnya, Tatang Sontani seorang cendekiawan yang jarang pula terdapat pada zaman itu. Setelah merenung sejenak, mendadak ia seperti melihat sesuatu yang berkelebat dalam benaknya. Pikirnya hati-hati, pedang Sangga Buwana berada di tangan Tatang Manggala, sudah cukup terang jawabannya. Dengan Edoh, pendekar tua itu bersekutu semenjak
zaman Ratu Fatimah. Sebaliknya meskipun pedang pusaka tidak gampang-gampang beralih di
tangan seseorang, kukira puteri Adipati Surengpati yang mengatur. Edoh Permanasari nampaknya menaruh kepercayaan besar terhadapnya. Pantaslah oleh pintarnya puteri Adipati Surengpati
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengatur cerita, iblis itu sampai mau membuat jasa dengan menyerang Gusti Aji mati-matian di atas Gunung Cibugis. Tetapi sebaliknya ... apakah inti tujuan puteri Adipati Surengpati
sebenarnya" Bukankah ... bukankah semata-mata hendak merebut Gusti Aji dari tunangannya"
Sekarang, penjara kena serbu. Yang menyerbu pihak para pendekar sekutu kompeni. Memang
inilah akal bagus untuk mengelabui pihak kompeni yang semenjak ini akan menjadi bermusuhan.
Tetapi puteri Adipati Surengpati itu menganjurkan pula membebaskan Ki Tunjungbiru. Ha ...
masakan kompeni tidak dapat membaca lain lagi" Ki Tunjungbiru sudah diketahui menjadi musuh besar pihak penyerbu. Sekarang mendadak lenyap dari penjara, masakan dia dibebaskan oleh para penyerbu" Orang goblokpun tahu, bahwa hal itu tidak mungkin. Kalau orang goblok saja tahu akan hal itu, masakan puteri Adipati Surengpati tidak dapat berpikir" Bukankah maksudnya sengaja melibatkan.
Gusti Aji" Sebab dengan hilangnya Ki Tunjungbiru tahulah kompeni, bahwa Himpunan


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sangkuriang mengambil bagian dalam penyerbuan itu. Dan teringat kepada Himpunan
Sangkuriang, pastilah kompeni segera teringat kepada kedudukan Gusti Aji. Kompeni pasti
bertindak. Ya, kompeni pasti bertindak. Gusti Aji sendiri bisa menyelamatkan diri. Tetapi ibunya"
Bukankah ibunya berada dalam pengawasan kompeni" Menawan ibunya bukankah sama halnya
menawan hati Gusti Aji" Dan kalau sampai terjadi begitu, Gusti Aji akan bermusuhan dengan kompeni. Hal itu berarti pula, pecahnya hubungan antara Gusti Aji dengan tunangannya. Hebat tapi berbahaya. Salah-salah bisa mengorbankan jiwa. Memikir sampai di situ, tubuh Tatang Sontani bergemetaran. Lantas bertanya mencoba. "Kak Maulana, kau tadi berkata bahwa malam ini Ki Tunjungbiru akan datang menghadap Gusti Aji. Apakah pembebasan Ki Tunjungbiru diatur pula oleh puteri Adipati Surengpati?"
"Tentu. Mengapa?" sahut Maulana Syafri tak ragu.
"Ah, celaka!" Tatang Sontani terkejut. Ia sudah dapat menduga, namun mendengar jawaban itu tak urung hatinya benar-benar terkejut.
Sangaji tercekat hatinya. Terhadap Tatang Sontani, ia menaruh, kepercayaan besar. Raja muda itu tidak akan memekik demikian, sekiranya tiada alasan yang kuat. Maka segera ia minta
keterangan. "Apakah ada yang salah?"
Dengan membungkuk hormat, Tatang Sontani menjawab hati-hati. "Sekarang Ki Tunjungbiru mungkin sudah berada di luar penjara. Oleh hati penasaran, pastilah kompeni akan meminta ganti kerugian. Hamba yakin, bahwa mereka sudah mengetahui kedudukan Paduka. Karena itu hamba
khawatir, kompeni akan minta pertanggungan jawab Paduka."
"Ha, Gusti Aji sudah berada di sini. Kompeni bisa apa?" sahut Tubagus Simuntang.
"Benar, tapi ibu Gusti Aji?" kata Tatang Sontani dengan suara menggeletar. Mendengar kata-kata Tatang Sontani, kepala Sangaji seperti kena sambar geledek. Ia seorang pemuda yang
berhati tenang. Terlalu tenang. Malah meskipun demikian, tubuhnya bergemeteran mendengar pernyataan itu.
Terus saja dia berkata, "Paman sekalian ... sambutlah Aki Tunjungbiru. Aku sendiri akan masuk ke kota."
Setelah berkata demikian, dengan sekali menjejak tanah tubuhnya melesat bagaikan bayangan.
Ia tak memedulikan segala. Gerakannya sebagai orang gila. Karena itu bisa dibayangkan betapa hebat kegesitannya. Hanya sekejap mata, bayangannya sudah lenyap ditelan tirai malam. Memang sewaktu mendengarkan kisah tentang Titisari, hatinya menjadi terharu. Ia tak tahu sendiri, apakah berbangga, bersyukur, girang atau mengagumi. Yang terasa, ingin sekali ia melihat wajah pujaan hatinya itu. Namun begitu mendengar ancaman bahaya terhadap ibunya, lenyaplah semua
angannya. Tak mengherankan, bahwa larinya menubras-nubras seolah-olah hendak menjangkau
tujuannya satu langkah sampai.
Peristiwa jebolnya penjara Glodok sesungguhnya menggegerkan kompeni. Dari semua jurusan, kompeni datang dengan senjatanya. Tetapi semua penyerbu sudah lenyap kembali dengan
membawa rekan-rekannya yang terkurung. Setelah diperiksa, Ki Tunjungbiru hilang pula. Maka pihak mana yang menyerbu penjara Glodok jatuh pada Himpunan Sangkuriang.
Sonny de Hoop yang ikut pula lari ke penjara, mengetahui semua kejadian itu dengan jelas.
Sepulangnya dari penjara, ia berpikir keras. Himpunan Sangkuriang ikut memegang saham
penyerbuan itu. Hal itu berarti Sangaji akan terseret pula. Kalau pihak kompeni dengan terangTiraikasih Website http://kangzusi.com/
terangan memusuhi Sangaji, sudah bisa dibayangkan betapa akibatnya. Sangaji pasti akan
meninggalkan kota Jakarta untuk memasuki gunung. Bila ini terjadi, itulah berarti ia akan terpisah untuk selama-lamanya. Memperoleh pikiran demikian, hatinya menjadi pedih pilu. Pikirannya pepat, alisnya senantiasa berkerut-kerut. Akhirnya ia nampak gelisah.
Mayor de Hoop tahu apa sebab anak tunggalnya berduka cita. Malam itu ia datang dengan
membawa minuman keras. Sambil meneguk minuman, ia membawa sikap girang luar biasa.
Kerapkali ia memandang Sonny dengan mata berkilat-kilat untuk menyatakan suka cita. Kemudian dengan tertawa ia berkata, "Sonny, kau tak usah bersedih hati. Percayalah, Sangaji tidak akan meninggalkan kota Jakarta lagi. Aku mempunyai suatu tipu daya untuk membawa dia kepadamu.
Lihat saja esok pagi. Percayalah kata-kataku ini! Tak usahlah kau bersangsi. Ingatlah, kau adalah anak tunggalku. Seumpama kau menginginkan rembulan atau bintang-bintang di langit masih
sanggup aku mengambilnya. Sonny, lihatlah betapa besar kasih sayang Ayah kepadamu..."
Sonny girang tapipun bersangsi. Benarkah perkataan ayahnya itu" Melihat wajahnya, kesannya tidak berdusta. Ia percaya, ayahnya banyak tipu dayanya. Sebagai seorang perwira, ia terkenal cakap dalam pekerjaan. Karena itu cepat saja ia memperoleh kepercayaan atasannya. Apalagi, dia tidak pernah pula ingkar janji. Kalau sudah berjanji, ia akan membuktikan. Hanya tipu daya apakah yang hendak dilakukan terhadap Sangaji, Sonny tidak dapat menebak. Ingin ia bertanya untuk mendapat ketegasan, tetapi ayahnya nampak sibuk dengan araknya. Terus menerus
ayahnya meneguk minuman keras, sehingga mulutnya tak sempat lagi berbicara.
Diam-diam Sonny mencoba memecahkan teka-teki itu dalam kamar tidurnya. Namun sampai
larut malam, masih belum nampak bayangannya. Tiba-tiba suatu pikiran menusuk benaknya.
"Tidak biasanya Ayah membawa minuman keras begitu banyak. Rupanya dia menunggu tamu. Dia pun bukan peminum. Apa sebab ia hampir menghabiskan satu botol penuh" Rupanya dia akan
memutuskan suatu hal yang bertentangan dengan hati nurani sendiri. Teringat akan janji tipu daya itu, Sonny de Hoop menggeridik. Terus saja ia melompat turun dari tempat tidurnya.
Kemudian dengan mengendap-endap ia menghampiri kamar tamu. Di belakang pintu, ia
bersembunyi. Dan benar ia mendengar suara orang.
Yang berbicara tegas, terang ayahnya. Lainnya seorang laki-laki yang mengenakan pakaian
preman. Setelah diamat-amati ternyata salah seorang pelayan yang sengaja ditanam kompeni dalam rumah tangga Sangaji.
"Apakah rumah itu benar-benar dapat dibeli?" kata ayahnya. "Menyongsong zaman baru yang bakal datang, tidaklah gampang."
"Apakah adat istiadat bangsa Inggris lain dengan bangsa Belanda?" tanya pelayan itu.
"Sudah tentu. Sedangkan masakan, lain koki lain resepnya."
Sonny de Hoop, tahu bahwa pembicaraan itu menyangkut tentang akan datangnya pemerintah
Inggris di Indonesia yang akan menggantikan kedudukan pemerintah Belanda. Dan mendengar
pembicaraan itu, hati Sonny tak tertarik. Hampir ia kembali ke kamar tidurnya, tetapi sebelum kakinya bergerak tiba-tiba ia mendengar ayahnya mengalihkan pembicaraan.
"Meriam besar itu nampaknya hebat. Bagaimana menurut pendapatmu, kalau ia meledak di dalam kota" Apakah penduduk bakal terkejut?" demikianlah pertanyaan ayahnya.
"Mungkin penduduk akan terkejut, tetapi mereka akan mengira suatu ledakan petasan," jawab pelayan itu.
"Gedung pesanggrahan itu berada di tengah lapang terbuka. Terapit tangsi pasukan berkuda dan terpisah jauh dari perkampungan. Seumpama penduduk terbangun oleh rasa kaget, paling-paling mereka mengira suatu latihan militer. Hamba percaya takkan menimbulkan suatu
kecurigaan yang bukan-bukan."
Sonny de Hoop terperanjat. Suara meriam" Gedung pesanggrahan" Itulah gedung yang
diberikan kompeni kepada Sangaji.
"Lain daripada itu, belum tentu meriam akan ditembakkan," kata pelayan itu lagi. "Di bawah ancaman meriam masakan Sangaji akan tetap membandel" Seumpama Sangaji tidak sudi
menyerah, bagaimana dengan ibunya?"
"Beberapa tahun tak pernah aku bertemu muka dengan Sangaji. Tetapi semenjak dahulu aku tahu, dia berwatak keras hati dan tabah. Sangaji akan menyerah kepada tutur kata yang lemah lembut daripada suatu kekerasan". Kukira, dia lebih senang mengorbankan diri daripada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyerahkan diri. Apalagi dia kini menjadi seorang pemimpin Besar laskar perjuangan. Harga martabatnya jauh lebih tinggi dari pada gelegar meriam...." ujar Mayor de Hoop. Kemudian terdengar ia menghela napas berat. Katanya lagi, "Sangaji kini bukan Sangaji beberapa tahun yang lampau. Semenjak berada di Jawa, ia pandai ilmu silat dan memiliki ilmu pengetahuan sangat tinggi pula. Ini terbukti, dia dipilih menjadi pucuk pimpinan tertinggi Himpunan
Sangkuriang. Peristiwa demikian, tidaklah gampang. Berpuluh tahun lamanya, pemimpinpemimpin laskar perjuangan itu berpecah-belah karena saling berebutan untuk memperoleh kursi pimpinan. Ternyata dengan sekali hantam saja, Sangaji sudah berhasil merebutnya. Apalagi kalau bukan karena dia memiliki suatu kepandaian melebihi semuanya. Sungguh sayang bahwa dia
nampaknya tidak bersedia bekerjasama dengan kompeni. Karena itu, kita sudah memutuskan
untuk mengepung kediamannya rapat-rapat. Sekali terlolos, bahayanya tak dapat kita bayangkan lagi. Tetapi, ah! Moga-moga dia teringat akan perhubungannya dengan Sonny. Kalau dia
menyerah kepadaku, masih aku mempunyai daya untuk menyelamatkan. Sebaliknya bila
membangkang demi kewajiban akan membuat
Sonny sangat berduka. Karena itu dia harus kita singkirkan untuk selama-lamanya
Sebagai seorang komandan, Mayor de Hoop sudah menerima laporan tentang diri Sangaji
semenjak tiba di Jakarta. Siang-siang ia sudah menduga buruk. Karena itu Rukmini lantas saja dipindah kediamannya di sebuah gedung pesanggrahan yang letaknya di tengah lapang dekat
tangsi pasukan berkuda. Rukmini dijadikan sandera dan jaminan untuk menjinakkan pemuda itu.
Terbangun bulu roma Sonny de Hoop mendengar ucapan ayahnya. Ia kaget berbareng kecewa.
Lantas apa yang dimaksudkan suatu daya untuk menahan Sangaji" Apakah meriam itu" Ia kenal watak Sangaji. Pasti ia akan tersinggung. Kalau ia merasa diri tersinggung, ia tak takut kepada segala. "Sangaji dalam bahaya!" katanya di dalam hati. Dan ia jadi bergelisah. Di kejauhan ia mendengar kentong tangsi tiga kali. Itulah suatu tanda, fajar akan tiba.
Syukurlah, ayahnya dan pelayan itu segera mengakhiri pembicaraan. Cepat Sony de Hoop
"menyelinap ke dalam dan memasuki kamar tidurnya. Ia mendengar ayahnya masuk ke dalam
juga, setelah mengantarkan pelayan itu di serambi kanan.
Mayor de Hoop memasuki kamar tidurnya. Tapi sampai lama, lampu masih saja menyala, itulah suatu tanda, bahwa dia belum tidur. Melihat itu, hati Sonny jadi bergelisah sendiri.
Kamar tidurnya berada di depan kamar tidur ayahnya. Sekiranya ia banyak bergerak, ayahnya akan mendengar atau melihatnya. Karena itu, perlahan-lahan ia menjatuhkan diri di atas tempat tidur menentramkan hati. Sekian lamanya ia menunggu, kamar ayahnya masih saja nampak
menyala. Akhirnya lonceng tangsi memperingatkan waktu setengah empat pagi. Dan mendengar bunyi lonceng itu, hati Sonny de Hoop gelisah bukan kepalang. Alangkah lamanya menunggu
ayahnya tidur, la mengintip dan kini bahkan nampak ayahnya berjalan mondar-mandir. Rupanya dia pun bergelisah pula. Melihat ayahnya mondar-mandir, kembali hati Sonny memukul. Katanya,
"Aku harus menolong Sangaji. Aku harus menolong Sangaji ... meskipun dia terpaksa
meninggalkan aku...."
Dengan derun hati ia mengawaskan kamar ayahnya. Terus menerus ia berdoa, agar ayahnya
cepat-cepat tidur. Akhirnya ia dapat bernapas lega. Nyala lampu ayahnya padam. Itulah suatu tanda, ayahnya sudah menidurkan diri. Ia menunggu beberapa saat, lalu melompat turun dari tempat tidur. Segera ia hendak keluar kamar, mendadak teringatlah dia, bahwa di luar ada penjaga dinas. Mungkin penjaga takkan merintangi kepergiannya, tetapi dia pun wajib memberi kabar kepada ayahnya. Hal itu sudah barang tentu tak dikehendaki. Maka mau tak mau ia berpikir keras untuk mengatasi.
Dengan hati-hati ia membangunkan budaknya yang tidur sekamar dengannya. Katanya
perlahan, "Kau ambillah dua botol arak. Berikan kepada dua penjaga di luar. Bilang Tuan Mayor yang menghadiahi mengingat hawa sangat dingin."
Dalam pada itu, ia menaruhkan obat bius di dalamnya. Lalu menunggu kembalinya si budak.
Seperempat jam ia menunggu dengan hati memukul, la khawatir, tipu dayanya tidak berhasil.
Karena itu ia berjingkit-jingkit mengintip dan mendengarkan pembicaraan mereka. Kalau mampu, ingin ia menahan waktu yang terus berjalan merangkak-rangkak. Akhirnya budaknya datang juga dengan warta yang menggembirakan hati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mereka berdua benar-benar kedinginan. Memperoleh dua botol arak, seperti berlomba mereka meminumnya tanpa bersangsi. Sekarang mereka tidur seperti mampus.
Mendengar warta itu, Sonny de Hoop lantas mengenakan pakaian lapangan. Setelah memberi
kisikan kepada -budaknya agar tidak membangunkan ayahnya, segera ia menyusup keluar
halaman. Di tepi jalan, ia menjela-jahkan matanya.
"Malam ini seluruh serdadu berjaga-aga karena peristiwa penjara. Moga-moga aku selamat..."
doanya dalam hatinya. Tetapi doanya ternyata justru meramalkan dirinya. Di tengah jalan ia berpapasan dengan serdadu patroli. Ia segera dibawa menghadap piket. Begitu ia berada di bawah penerangan lampu, komandan piket kaget bercampur heran. Katanya, "Miss Sonny...
hendak ke mana?" Bingung Sonny de Hoop menghadapi pertanyaan itu, meskipun ia sudah berjaga-jaga untuk
jawabannya. Akhirnya ia mencoba, "Serdadumu benar-benar tak tahu aturan. Masakan aku perlu dibawa ke mari" Masakan tidak kenal diriku?"
"Bukan begitu, Nona. Soalnya ini sangat istimewa. Mereka melakukan kewajiban dengan baik."
"Hm, sampai akupun dicurigai dan perlu ditangkap. Apakah baru kali ini mereka tahu
kebiasaanku" Bukankah setiap fajar hari aku mempunyai kebiasaan untuk menghirup udara?"
Perwira piket itu tidak menyahut. Alasan Sonny de Hoop masuk akal. Namun ia bercuri-ga.
Katanya di dalam hati, malam ini ayahnya sendiri yang memberi perintah agar memperkuat
perondaan. Siapa saja dilarang berkeliaran dalam jam malam. Masakan dia tidak diberi tahu"
Mustahil! Setelah berpikir demikian, dia berkata, "Ah mungkin ayahmu lupa untuk memberi kabar padamu, bahwa malam ini berlaku jam malam sampai pukul enam pagi. Baiklah begini. Kau
beristirahatlah di sini sampai waktu jam malam habis. Aku berjanji peristiwa ini tidak akan kulaporkan atau kubicarakan dengan siapa saja."
Sonny de Hoop bergelisah. Tetapi alasan opsir piket itu masuk akal. Maka mau tak mau ia
harus menyabarkan diri. Tetapi sabar itu sendiri merupakan suatu siksa luar biasa baginya.
Seluruh tubuhnya seakan-akan digerumuti ribuan semut api.
Perwira piket itu bersikap hormat padanya. Ia memerintahkan salah seorang bawahannya agar memasak kopi. Lalu dia sendiri yang melayani. Justru ia bersikap hormat, Sonny de Hoop malahan menjadi mati kutu. Coba perwira itu bersikap kasar padanya, ia bisa bersikap keras untuk menyanggah penahanan itu.
Jam lima pagi, sudah. Dari jauh Sonny mendengar suara roda bergeritan. la melongokkan
kepalanya dan melihat satu peleton serdadu mendorong sebuah gerobak berisi muatan berat.
Setelah diamat-amati, hatinya memukul deras. Itulah sepucuk meriam raksasa yang dikawal
dengan sangat cermat. "Letnan!" akhirnya ia tak dapat menyabarkan diri lagi. "Pagi-pagi benar mereka membawa-bawa sepucuk meriam. Apakah mereka sedang berlatih?"
Perwira piket berbimbang-bimbang. Lalu mengangguk. Tentu saja, anggukkan itu membuat hati Sonny de Hoop bertambah gelisah. Katanya lagi, "Nampaknya akan dibawa ke lapangan tangsi kavaleri. Masakan mereka berlatih menembak meriam di tengah kota?"
"Hal itu, aku tak mengetahui dengan jelas," sahut perwira itu. Tapi sesaat kemudian, buru-buru ia memperbaiki. "Nona puteri seorang perwira pastilah tahu bahwa rahasia militer tak dapat terbaca oleh ibu jarinya sendiri."
Sonny de Hoop menghela napas. Teringat kata-kata ayahnya semalam, seluruh bulu romanya
menggeridik. Ia harus cepat-cepat bertindak. "Sangaji harus secepat kilat meninggalkan kediamannya. Moga-moga dia sudah pergi... moga-moga dia sudah pergi, doanya deras dalam
hati. Tetapi justru mendengar bunyi doanya, hatinya kian menjadi gelisah. Akhirnya dia
memberanikan diri. "Sampai jam berapa aku harus tinggal di sini?"
Perwira itu tak segera menyahut, setelah berpikir sejenak baru ia menjawab, "Minumlah kopi Nona dahulu. Setelah habis kurasa habis pulalah waktu jam malam..."
Mendongkol hati Sonny de Hoop mendengar bunyi jawaban perwira itu. Tetapi baik sikap
maupun nada suara perwira itu tak dapat tercela, karenanya ia tak dapat berbuat sesuatu. Tanpa merasa ia meruntuhkan pandang ke mangkok kopinya. Sudah barang tentu, masih panas benar.
Asapnya masih tebal meraba udara pagi hari.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hm," ia gemas. Dan untuk menghindari pandang selidik perwira itu, mau tak mau ia harus menghadapi hidangan itu dengan wajah cerah. Tetapi Sonny de Hoop bukan Titisari yang bisa membawa diri amat licin. Meskipun ia berusaha keras untuk meniadakan kesan kegelisahan
hatinya, namun dia tak dapat meloloskan diri dari pandang perwira itu yang sudah banyak
berpengalaman. "Rupanya Nona pagi hari ini tidak hanya bertujuan untuk menghirup hawa segar. Apakah salah tebakanku," katanya sopan.
Kau memang pantas disambar geledek, maki Sonny de Hoop dalam hati. Lalu menjawab
mengada-ada. "Itulah rahasiaku. Rahasia perempuan tidak berbeda jauh dengan rahasia militer.
Biarpun ia jarinya sendiri tidak boleh mengetahui."
"Ah benar, Nona." Perwira itu buru-buru menyahut sopan.
Sonny de Hoop melemparkan pandang ke jalan. Peleton yang mengangkut meriam raksasa tadi
sudah mulai memasuki lapangan. Mereka disambut oleh dua pasukan besar yang nampaknya
sudah mengepung rumah Sangaji rapat-rapat. Melihat pemandangan itu, hatinya terpaksa ingin meledak. Ingin saja ia memukuli kepala perwira itu pasti yang pandai membawa sikap terlalu manis. Teringat kepada waktu yang dijanjikan, ia memaksa diri menghirup kopinya dengan sekali teguk. Tetapi kopi itu memang masih panas. Begitu hendak ditelan, ia melontakkan kembali karena tak tahan kena jilatnya.
"Hari masih terlalu pagi," kata perwira itu dengan suara merdu. "Mengapa buru-buru" Ah, benar-benar Nona mempunyai maksud jauh lebih penting dari pada menghirup hawa pagi."
Hati Sonny de Hoop sudah mendongkol kena siksa panas kopi. Keruan saja, begitu mendengar ujar perwira itu, lantas saja ia meledak.
"Ya, benar ... aku hendak meledakkan kota Jakarta ini dengan meriam itu. Kau percaya, tidak"
Nah, laporkan aku kepada komandanmu."
Didamprat demikian, perwira itu hilang kecurigaannya yang melit. Buru-buru ia menyahut. "Ah, Nona sungguh pandai bergurau. Mana dapat aku melaporkan Nona kepada komandan. Baiklah
begini saja, minumlah habis dahulu kopi itu agar tak sia-sia jerih payah anak buah kami. Kemudian Nona kami antarkan pulang."
"Kalau aku mau pulang, masakan aku perlu diantarkan?" kata Sonny de Hoop sengit, la mengulangi menghirup kopinya, la berhasil meneguk, tapi untuk menghabiskan membutuhkan
waktu seperempat jam. Waktu ia diperkenankan meninggalkan tangsi, matahari sudah mengintip di ufuk timur. Melihat tiga peleton mengepung kediaman Sangaji, Sonny de Hoop terus lari memasuki lapangan sambil berteriak nyaring.
"Sangaji! Lariii...!"
Suara tembakan peringatan terdengar meletus di udara. Seorang memburu masuk ke lapangan
sambil berteriak, "Sonny ...! Balik!"
Sonny de Hoop berhenti menoleh. Melihat opsir itu, ia segera menegur.
"Van Vuuren! Apa artinya ini?"
Letnan Van Vuuren sudah sering menyertai Sonny di medan perang. Karena itu, hubungannya
agak rapat juga. Mendengar teguran Sonny, ia tak bersakit hati, menyahut dengan suara wajar.
"Perintah, Sonny! Maaf!"
"Kau maksudkan Sangaji?" Sonny de Hoop bergemetaran.
"Ya." Sonny de Hoop sudah tahu, mereka mengepung rumah Sangaji. Malahan semenjak tadi malam
ia mengetahui hal itu. Tetapi mendengar ketegasan Letnan Van Vuuren, wajahnya berubah hebat.
Pucat lesi tak ubah mayat. Tergagap-gagap ia berkata menyanggah. "Apakah kau lantas hendak menembak" Berbicaralah dahulu!"
Letnan Van Vuuren menghela napas. Ia tahu hubungan antara Sonny de Hoop dan Sangaji.
Dalam hati nuraninya tak sampai hati, ia melakukan perintah itu. Karena itu mendengar perkataan Sonny de Hoop, ia mencoba menahan perasaan diri. Lalu berteriak keras, "Sangaji...! Kau dengar suaraku ini" Semenjak jam empat pagi tadi, engkau kuberi kesempatan untuk menyerah. Mengapa membangkang" Jika jam sudah memukul sampai enam kali, aku hanya bisa memberi perintah
tembak! Kau dengar perkataanku ini?"
Lama tiada jawaban. Akhirnya terdengar suatu suara dahsyat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau tembaklah! Tak usah engkau banyak berbicara!"
"Bagus! Aku akan menghitung sampai sepuluh kali" sahut Letnan Van Vuuren. "Jika aku sudah menghitung sampai sepuluh dan engkau tetap membandel, aku akan memberi perintah
menembak. Kau pikirkanlah masak-masak! Ingat, semutpun masih sayang akan nyawanya..."
Tatkala Sangaji menemui Sonny de Hoop di pendapa, sebenarnya Rukmini masih ingin
melanjutkan pembicaraannya. Anak itu datang pergi tak keruan tujuannya, semenjak ia merantau ke Jawa. Selagi rasa kangennya belum habis, mendadak timbullah masalah baru yang memaksa dirinya untuk menentukan sikap.
Masalah Sonny dan Titisari bukanlah merupakan persoalan yang gampang dipecahkan.
Di sini berkisar soal budi. Dengan keluarga Sonny de Hoop, ia merasa berutang budi. Karena semenjak Sangaji bertunangan dengan Sonny, Mayor de Hoop bersedia menjadi pelindungnya.
Sebaliknya dengan Titisari, Sangaji berutang jiwa. Kalau dinilai, utang jiwa itu lebih tinggi daripada utang budi. Apalagi Sangaji nampaknya lebih condong kepada Titisari. Hanya saja persoalan ini dengan tidak langsung menyangkut martabat bangsa. Bagaimanapun alasan Sangaji, dia sudah menerima janji. Dan sebagai seorang laki-laki sejati, dia harus menepati janji itu. Kalau tidak, namanya akan runtuh habis. Seumpama daun kering lebih berharga dari padanya.
Hal itu ingin dibicarakan lagi dengan perlahan-lahan. Sekonyong-konyong Sangaji kabur lagi, karena peristiwa penjara. Sekian lamanya ia menunggu, tapi anaknya belum kembali pulang.
Apakah dia pergi lagi" pikir Rukmini gelisah.
Sampai jam tiga pagi hari, ia menunggu. Tatkala ia hendak menjenguk pendapa, seorang
letnan datang padanya. "Apakah anakmu belum pulang?" tanyanya.
"Belum," jawab Rukmini dengan kepala teka-teki. Ia menajamkan penglihatannya. Samar-samar nampaklah beberapa serdadu berseragam berjalan mondar-mandir di pinggir lapangan.
Rukmini hidup lama di dekat tangsi militer. Meskipun tidak mengetahui urusan militer, namun nalurinya berbicara juga. Nampaknya ada sesuatu yang tidak beres, pikirnya. Memikir demikian, ia berkata gugup.
"Marilah duduk!"
Tetapi opsir itu menolak tawarannya. Ia bahkan berpamit memundurkan diri. Di jauh sana ia berbicara kasak-kusuk dengan bawahannya. Dan betapa sederhana hati Rukmini, ia menjadi
curiga. Kemudian datanglah pelayan kepercayaan Mayor de Hoop. Begitu melihat wajah Rukmini yang bingung, mulailah dia beraksi. Katanya dengan suara setengah menggertak. "Nyonya, nampaknya ada sesuatu kejadian yang menyangkut diri Tuan muda. Rumah ini, kenapa tiba-tiba dikepung militer?"
"Dikepung?" Rukmini terkejut. Wajahnya berubah.
"Begitulah hamba dengar selintasan," pelayan itu mengarang cerita. "Kabarnya, salah seorang sahabat Tuan muda melarikan diri dari penjara. Kompeni lantas menuduh Tuan muda. Sebenarnya kompeni ingin be-kerjasama dengan Tuan muda. Tapi nampaknya sukar untuk melaksanakan
Harpa Iblis Jari Sakti 24 Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Keris Pusaka Dan Kuda Iblis 1

Cari Blog Ini