Ceritasilat Novel Online

Bende Mataram 45

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 45


melakukan pukulan yang menentukan, ia jadi mengerti. Mau ia menyeru, sekonyong-konyong
terdengar gurunya Jaga Saradenta berseru nyaring kepada Ki Hajar Karangpandan.
"Hai, Pendeta Edan! Kau mengajak kakak seperguruanmu Tirtomoyo menelanjangi kedua
pendekar rebusan itu. Apakah adil" Semenjak dahulu, Cocak Hijau dan si bangkotan Manyarsewu bukankah lawan kita berdua" Dengan kakakmu Tirtomoyo tiada sangkut-pautnya!"
Mendengar ucapan Jaga Saradenta, Hajar Karangpandan melengak sejenak. Begitu mengenal
suaranya, pendeta edan itu tertawa riuh. Lalu menyahut. "Ah! Demang Segaluh! Kau selamat"
Kudengar suaramu begitu kuat. Apakah muridmu berada pula di sini?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku seorang tua bangkotan semenjak dahulu berjalan seorang diri. Muridku memang jempolan melebihi muridmu. Tetapi belum sampai hatiku untuk bersandarkan diri kepadanya."
"Bagus! Bagus!" Hajar Karangpandan tertawa terbahak-bahak sambil terus merabu lawannya.
"Kau benar-benar akan ikut mengambil bagian" Baiklah Kakak Tirtomoyo apakah engkau sudi mendengarkan comelan demang edan itu?"
Panembahan Tirtomoyo kenal akan sepak-terjang adik seperguruannya yang edan-edanan itu.
Dengan tertawa perlahan, ia lantas menjejak tanah dan melesat keluar gelanggang. Dan pada saat itu, masuklah Jaga Saradenta ke dalam arena.
Manyarsewu dan Cocak Hijau mendongkol bukan main diperlakukan demikian. Itulah suatu
hinaan di luar batas. Selama hidupnya mereka berdua termasuk pendekar jempolan. Mereka-pun mengandal kepada kepandaiannya sendiri. Dahulu mereka berdua pernah bertarung menguji
kepandaian dengan Ki Hajar Karangpandan dan Jaga Saradenta di lapangan Kota Pekalongan.
Meskipun lawannya tangguh, namun mereka tidak berada di bawahnya. Maka begitu Jaga
Saradenta memasuki gelanggang, seperti berjanji mereka berdua merangsak dengan
menggunakan senjata andalannya.
"Hai, Jaga Saradenta! Kudengar pukulanmu hebat sekali!" kata Hajar Karangpandan. "Tapi kau lagi menghadapi manusia yang sedang sekarat. Kalau kau tidak mengeluarkan senjata
cempulingmu, aku khawatir kau bakal kebakaran jenggot!"
"Jenggot apa?" sahut Jaga Saradenta si penaik darah. "Sudah lama aku tidak memelihara jenggot."
"Bagus, bagus! Kalau begitu, mari kita bertaruh untuk yang penghabisan kali..."
"Apakah kau hendak mengajak aku minggat ke wilayah barat lagi?"
"Bukan, bukan," sahut Hajar Karangpandan sambil bertempur. "Masing-masing kini menemukan musuh bebuyutan. Siapa yang bisa merebahkan lawan lebih dahulu, dia yang menang. Aku sendiri bersedia menyembah kakimu tujuh ratus kali."
"Siapa kesudian kau sembah" Memangnya kakiku ini kaki perempuan" Huuu ..." damprat Jaga Saradenta dengan mata melotot. "Tapi baiklah! Aku bukan banci. Mari kita mulai!"
Dengan sebat, Jaga Saradenta menghunus cempulingnya dari sarungnya. Itulah senjata
andalannya semenjak dahulu. Dia kini sudah lanjut usianya. Meskipun demikian tenaganya seperti bertambah. Itulah akibat kena pertolongan Sangaji, sewaktu dia luka parah. Tenaga sakti Sangaji yang merasuki tubuhnya ternyata menambah keteguhannya. Tak mengherankan, bahwa tiada
selang beberapa waktu terdengarlah jerit melengking. Pendekar Cocak roboh terguling kena tikamannya. Tetapi pada saat itu Manyarsewu rebah pula terbabat pedang Hajar Karangpandan.
Dengan begitu mereka berdua tiada yang kalah atau menang dalam pertaruhan itu.
Besar pengaruh keruntuhan itu bagi Pangeran Bumi Gede. Rupanya pertarungan itu merupakan pertaruhan nyawanya.
"Eh, mulutmu ini manakah yang benar" Yang satu bilang bukan muridku. Yang lain bilang muridku. Apakah mulutmu biasa bocor?" tegur Gagak Seta.
"Bukan begitu," Hajar Karangpandan menyahut cepat. "Sebagai seorang murid yang mendurhakai guru, sebenarnya sudah lama dia harus mati. Tapi mengingat ayahnya ..."
"Mengapa ayahnya?"
"Ayahnya seorang laki-laki tulen. Seorang laki-laki sejati."
Gagak Seta tercengang. Lantas kaget. Terus berkata dengan suara rendah. "Ah ya. Bukankah ayahnya sahabat ayah muridku Sangaji?"
"Benar ..." sahut Hajar Karangpandan bersemangat.
"Cuma saja dia berhati binatang sampai tega membiarkan ayahnya sendiri dibunuh ayahnya yang gadungan itu. Karena itu, izinkan aku menagih hutang. Aku gagal mendidik anaknya ... kini akan kubayar dengan membunuh musuh besarnya..."
Setelah berkata demikian, dengan sekali melompat Hajar Karangpandan menghampiri Pangeran Bumi Gede. la tahu, Pangeran Bumi Gede mempunyai senjata rahasia. Untuk melawan senjata
rahasia itu, ia sudah berjaga-jaga karena itu hatinya tak gentar.
"Tunggu!" tiba-tiba terdengar suara menggelegar. Sangaji meloncat ke tengah gelanggang.
Dan semua menoleh oleh rasa kaget. Wirapati berteriak girang bercampur heran. Segera ia lari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menghampiri, tapi begitu teringat akan persoalan gawat yang belum memperoleh penyelesaian itu, ia menahan diri.
"Paman Hajar Karangpandan," kata Sangaji dengan sikap hormat. "Dahulu hari semasa aku dan Adinda Sanjaya masih kanak-kanak Paman menghadiahi kami berdua suatu benda pusaka. Itulah pusaka keris Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram. Hari ini, dari jauh aku datang untuk
kukembalikan kepada yang berhak. Bukankah keris Kyai Tunggulmanik hak milik Adinda Sanjaya?"
"Hai! Mengapa soal lama itu diungkit-ungkit kembali?" kata Hajar Karangpandan sesudah mengatasi rasa herannya, la seorang yang memiliki akal banyak dan cerdik. Ia menduga, kata-kata Sangaji pasti mempunyai latar belakang yang penting. Maka ia menyabarkan diri untuk menunda maksudnya hendak menghabisi nyawa Pangeran Bumi Gede. "Di Pekalongan dahulu, bukankah aku sudah bilang bahwa kedua pusaka itu sudah menjadi milikmu seorang" Buat apa kau bagikan kepada manusia setengah binatang?"
"Tidak, Paman," sahut Sangaji dengan suara sedih. "Ibuku berpesan, bahwa aku harus mengembalikan kepada yang berhak menerimanya. Kalau aku tidak melaksanakan, arwah Ibu tak kan memperoleh ketenteraman di alam baka."
"Hai, kenapa ibumu?" Hajar Karangpandan terkejut. "Apakah ... apakah ..."
Merah mata Sangaji mendengar pertanyaan itu. Ia segera mengalihkan pembicaraan. Katanya
dengan menelan ludah, "Sekarang biarlah aku melaksanakan pesannya yang terakhir. Ibu menghendaki, agar kedua pusaka itu kuserahkan kepadanya penuh-penuh."
"Tidak, tidak! Itu tidak adil! Tidak adil!" Hajar Karangpandan berjingkrakan.
Sangaji tidak menghiraukan reaksi Ki Hajar Karangpandan. Ia menenteng kedua pusaka
warisan itu dengan kedua tangannya, lalu menghampiri Sanjaya.
"Adikku Sanjaya ... terimalah. Kemudian pergilah dari sini. Bawalah ibumu pulang ke kampung.
Aku yang menjamin, bahwa mereka tidak akan mengusik dirimu."
Girang Sanjaya mendengar kata-kata Sangaji. Hampir ia tidak percaya kepada pendengarannya sendiri. Dengan tertatih-tatih ia bangkit.
"Ini ... untukku" O, kau sangat baik hati ..." katanya dengan suara gemetaran. Itulah pusaka yang selalu terbayang di dalam mimpinya. Sekian tahun ia berjuang untuk memperolehnya. Dan berapa banyak korban yang sudah dilakukan, tak terhitung lagi nilainya. Kini diluar dugaan ia dapat memperolehnya dengan sangat mudah. Karena itu ia bersangsi akan maksud baik Sangaji.
la menoleh kepada ayahnya untuk minta pertimbangan. Ternyata Pangeran Bumi Gede membalas dengan anggukan. Mata Pangeran Bumi Gede yang sudah nampak redup mendadak timbul lagi
sinarnya. Maka dengan mantap ia menerima kedua pusaka sakti itu.
"Terima kasih bisiknya. Lalu ia berputar menghadap ayahnya. Berkata dengan tak jelas, "Ayah
... periksalah tulen tidaknya ... bukankah ini kehendak Tuhan?"
Dengan mata berseri-seri, Pangeran Bumi Gede menerima kedua pusaka Pangeran Semono itu
dengan tangan kirinya. Sedang tangan kanannya masih menggenggam tongkat senjata
rahasianya. Sekonyong-konyong selagi ia memeriksa kedua pusaka impian itu, suatu kesiur angin dahsyat menghantam dirinya. Terdengar suara nyaring menyusul.
"Lepaskan! Lepaskan! Itulah milik Raja Langit."
Sangaji melesat mundur begitu terasa kena dampratan angin dahsyat. Kemudian peristiwa
selanjutnya terjadi dengan sangat cepatnya.
Dengan menghantamkan tenaga saktinya, Kebo Bangah merebut pusaka idaman hatinya.
Sebaliknya Pangeran Bumi Gede bukan pula manusia tiada gunanya. Begitu ia kena damparan
tenaga dahsyat, masih ingat ia menggunakan senjata berbisanya. Begitu menjepret, Kebo Bangah menjerit tinggi.
"Bangsat! Kenapa kau mencabut nyawa Raja dari Langit?" makinya dengan suara murka. Sekali berputar ia menubruk dan menghantamkan pukulannya dengan menggunakan seluruh tenaganya.
Bres! Jangan lagi manusia yang terdiri dari tulang dan daging, sedangkan batu hancur berantakan kena hantaman tenaga saktinya. Maka tanpa berkesempatan mengaduh lagi, tubuh Pangeran
Bumi Gede terbelah menjadi empat bagian.
"Addooo ... tolong!" jerit Kebo Bangah. Tubuhnya menggigil.
Sangaji melesat maju hendak menolong, tetapi Wirapati mencegah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jangan raba!" Sangaji terkejut, sehingga ia mengurungkan niatnya. Benar saja, setelah meliuk-liuk dengan berjungkir-balik, Kebo Bangah menghembuskan napasnya yang penghabisan dengan tubuh
hangus terbakar. Dan menyaksikan betapa hebat senjata berbisa Pangeran Bumi Gede, semua
pendekar menggeridik bulu kuduknya.
"Jahanam!" maki pendekar Gagak Seta yang berwatak ksatria. "Ini sungguh keji. Hanya iblis yang sudi menggunakan senjata begitu."
Murid-murid Kyai Kasan Kesambi selamanya diajar membenci macam bentuk senjata rahasia
yang berbisa. Meskipun mereka tidak mengeluarkan kutukan, namun hatinya mengutuki terjadinya peristiwa itu.
Lain halnya dengan Adipati Surengpati. Meskipun sedikit banyak Sanjaya pernah mengantongi sekelumit ilmu Witaradya lewat muridnya Pringgasakti, tapi mengingat dia anak Pangeran Bumi Gede yang biadab itu, timbullah murkanya. Sekali meloncat tangannya hendak menyambar
tengkuk Sanjaya. Tiba-tiba terdengar pemuda itu mengeluh.
"Aduh, kakiku..."
Rupanya butiran senjata rahasia Pangeran Bumi Gede tidak semuanya mengenai tubuh Kebo
Bangah. Sebagian kena ditangkis buyar oleh tenaga gempuran pendekar sakti itu. Dan di antara butiran itu menyelonong mengenai mata kaki Sanjaya. Tetapi mereka ingat, bahwa pemuda itu pandai bermain licik dan licin. Mereka bersangsi. Baru setelah nampak suatu warna hitam mulai menjalar naik nyaris sampai ke betis, mereka semua memekik terkejut.
Semua yang berada di lapangan itu, bukan tokoh-tokoh sembarangan. Bahkan merupakan
tokoh tertinggi yang terdapat di Jawa Tengah. Seperti Adipati Surengpati, Gagak Seta, anak murid Kyai Kasan Kesambi, Ki Hajar Karangpandan, Panembahan Tirtomoyo, Sangaji dan Titisari. Namun melihat bisa yang mengancam jiwa Sanjaya, mereka kehilangan daya. Tak tahulah mereka apa yang harus dilakukan, sampai pula Adipati Surengpati yang terkenal sebagai seorang cendekiawan mengerenyitkan dahi. Sanjaya memang pantas menerima kematiannya. Tetapi teringat betapa
mengerikan akibat racun berbisa itu, merekapun tak sampai hati.
Di antara mereka, Sangaji yang paling gopoh. Pemuda itu berhati mulia. Meskipun sudah
beberapa kali ia kena diingusi Sanjaya, namun tetap ia sayang kepadanya. Hal itu disebabkan, karena Sanjaya kini merupakan sanak satu-satunya yang terdekat. Sudah barang tentu tak ingin ia membiarkannya mati seperti Kebo Bangah. Maka tanpa berpikir lagi, ia maju hendak mencegah menjalarnya bisa itu dengan mengandal kepada tenaga saktinya. Tapi baru saja tangannya
bergerak, berkelebatlah sesosok bayangan. Dialah Wirapati. Dengan pedang terhunus ia
memangkas kaki Sanjaya setinggi betis. Itulah yang pernah dilakukannya terhadap ayah Sanjaya.
Dengan menjerit tinggi, Sanjaya rebah tak sadarkan diri. Menyaksikan keadaan Sanjaya, bukan main terharu hati Sangaji. Tapi ia tahu, bahwa itulah usaha satu-satunya untuk menyelamatkan nyawa saudara angkatnya. Cepat ia mencegah mengalirnya darah. Kemudian merobek lengan
bajunya sendiri untuk pembebat lukanya.
Para pendekar lainnya lantas datang merubung. Wirapati, Jaga Saradenta, Ki Hajar
Karangpandan dan Panembahan Tirtomoyo. Mereka inilah yang tahu benar akan perjalanan hidup Sanjaya. Bahkan mereka pernah mempunyai sangkut-pautnya.
Sekonyong-konyong mereka menyibak. Seorang gadis dengan rambut terurai datang
menerobos masuk. Langsung ia memeluk tubuh Sanjaya dengan menangis sedih. Berbisik ia
berkata, "Barulah sekarang engkau merasakan pula penderitaan almarhum ayahmu ... Alangkah cepat peredaran hidup ini. Kemarin engkau masih berlagak sebagai anak pangeran. Sekarang engkau sudah kehilangan semuanya ... Meskipun begitu ... biarpun kau menjadi seorang
pengemispun, hatiku takkan berubah. Bukankah aku pernah berkata begitu terhadap adikku
Titisari?" Dengan penuh cinta kasih ia menciumi paras Sanjaya yang menjadi pucat pasi. Kemudian
dipapahnya di atas pundaknya. Dan semua yang menyaksikan menjadi terharu, karena mereka
kenal siapakah gadis itu.
"Kak Nuraini!" kata Titisari. "Hendak kau bawa ke mana dia?"
"Orang tuanya dahulu mempunyai sedikit warisan separuh rumah di Desa Karangtinalang. Dia akan kurawat di rumah itu sampai sembuh. Sekiranya sudah sembuh hatinya tak berubah, aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
akan membunuh diri ... Adikku Titisari, kau sangat berbahagia. Kedua pipimu nampak penuh...,"
sahut Nuraini. Dengan perlahan-lahan, ia memutar tubuhnya. Kemudian berjalan keluar lapangan dengan
menyibakkan pagar laskar yang sedang mengepung.
"Nuraini, tunggu!" seru Sangaji. Ia menuntun kuda pemberian Willem Erbefeld, lalu diberikan kepadanya. Dengan pertolongannya pula, Nuraini naik di atas punggung. Dan tubuh Sanjaya
diletakkan melintang di atas kedua pupunya, la mengangguk untuk menyatakan terima kasih, lalu menarik kendali kudanya. Perlahan-lahan binatang itu mendaki gundukan ketinggian, kemudian menyusur jalan mengarah ke Dusun Karangtinalang.
"Kasihan Kak Nuraini," bisik Titisari di samping Sangaji.
Sangaji menghela napas. Sedih hatinya mengenangkan nasib Nuraini yang buruk. Tiba-tiba ia memutar tubuh dengan wajah bersungut-sungut. Pandangnya runtuh kepada dua benda pusaka
warisan Pangeran Semono yang membuat geger dunia. Teringatlah dia kepada kata-kata ibunya.
Lantas saja timbullah pikirannya: "Benarlah kata Ibu. Di mana saja, kedua benda ini akan selalu membuat sial, pertengkaran, perselisihan atau menerbitkan suatu keruwetan yang memakan
korban jiwa." Setelah berpikir demikian, ia berkata nyaring kepada Ki Hajar Karangpandan.
"Paman Hajar Karangpandan! Lewat kedua tangan Paman; pusaka warisan ini kuterima dan kukenal. Sekarang izinkan aku, Paman!"
Ki Hajar Karangpandan tak dapat menangkap maksud Sangaji. Maka ia berkata minta
keterangan. "Kau minta izin apa dariku?"
"Kedua pusaka ini akan kulenyapkan saja dari percaturan manusia ..." Sangaji tidak menunggu jawaban Hajar Karangpandan oleh rangsang hatinya. Dengan sekali meloncat ia menyambar keris Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram. Kemudian ia mengerahkan tenaganya hendak
meremukkan berpuing-puing. Tenaga sakti Sangaji bukan main hebatnya. Di jagat ini hakekatnya tiada yang mampu menandingi. Untuk meremuk kedua pusaka sakti itu, ia bersungguh-sungguh.
Maka benar-benar ia mengerahkan seluruh tenaga dahsyatnya. Dahulu saja dengan beberapa
bagian tenaga saktinya, tenaga himpunan Kebo Bangah yang mampu menghancurkan batu
raksasa, kena disapu sampai terpental. Apalagi sekarang ia mengerahkan seluruh tenaganya.
Tetapi suatu keajaiban terjadi di luar akal manusia. Sekonyong-konyong terlihatlah suatu cahaya mengejap dengan cerahnya. Kemudian disusul dengan suara gelegar dari arah tenggara.
Setelah itu terasalah bumi berderak-derak.
Sangaji terkejut. Hai! Apakah ini" ia berpikir heran. Tiba-tiba di depannya nampak suatu gumpalan angin berputaran. Pusaran angin itu makin lama makin cepat. Lambat laun terasa
seperti asap bergulungan. Pada detik itu muncullah suatu pemandangan yang mengerikan. Suatu makhluk tinggi besar yang tubuhnya hampir mencapai lapis udara, berdiri tegak di hadapannya.
"Hai!" seru bayangan raksasa itu. "Kau makhluk apa sampai berani bermaksud menghancurkan kedua pusaka ini" Apakah ini milikmu" Apakah kau yang membuat" Apakah kau sudah mendapat izin" Siapa yang mengizinkan. Aku Mapatih Lawa Ijo penanggung jawab kedua pusaka
junjunganku, masakan akan tinggal diam?" bayangan raksasa itu berhenti sejenak. Berkata lagi,
"Hm ... hm ... kau sudah berhasil memecahkan rahasia Kyai Tunggulmanik, itulah karena nasibmu yang baik. Karena engkau seorang manusia yang jujur yang mulia hati. Tetapi tahukah engkau apa rahasianya yang tergurat pada pusaka Bende Mataram" Sayang ... sayang ...! Bawa kemari!
Kau tidak suka, akan kuberikan kepada yang lain!"
Bayangan raksasa itu kemudian menyambar kedua pusaka warisan Pangeran Semono.
Tiba-tiba didepannya nampak suatu gumpalan angin berputar. Pada detik itu muncullah suatu pemandangan yang mengerikan. Suatu makhluk tinggi besar berdin tegak dihadapannya.
Kemudian dibuangnya tinggi di udara sambil berkata nyaring.
"Lihat! Aku tak pilih kasih! Siapa yang akan dapat membaca arti rahasia yang tergurat pada logam pusaka Bende Mataram, dialah kelak manusia sejati yang akan menentukan sejarah."
Setelah berkata demikian, bayangan itu lenyap dari penglihatan.
Tenaga Sangaji seperti punah. Dan pada detik itu, ia rebah tak sadarkan diri. Titisari yang berada di dekatnya segera menolong menyadarkan. Dan begitu sadar kembali, Sangaji
mengembara matanya. Para pendekar ternyata tetap berada pada tempatnya dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memancarkan pandang kagum. Ia heran. Berkata nyaring kepada Titisari. "Titisari! Kemana dia perginya?"
"Siapa yang pergi?" Titisari heran.
"Eh tadi... eh ... Mapatih Lawa Ijo!"
"Lawa Ijo?" Titisari bertambah-tambah heran. Mendadak tertawa manis seraya berkata, "Eh kau sedang bermimpi atau ..."
"Titisari! Kau melihat apa?" Sangaji memotong. Sekarang pandangnya berkesan bingung. Ia mengucak-ucak matanya. Bukankah aku tidak tidur"
"Tidak! Kau sedang menghancurkan kedua pusaka warisan. Aku hanya melihat suatu letikan cahaya. Lalu kau rebah! Agaknya kau sangat bernafsu sampai kehilangan keseimbanganmu."
"Benar ... benar ... tapi lantas ... kau melihat apa?"Sangaji terbata-bata.
"Aku melihat apa?"
"Apakah kau tidak mendengar suara gelegar?"
Titisari bergeleng kepala dengan wajah heran.
"Cahaya cerah membubung tinggi?" Sangaji menegas.
"Tidak. Hanya suatu kejapan. Itulah terjadi karena suatu geseran antara kedua pusakamu."
"Aneh!" "Apakah yang aneh?"
Sangaji benar-benar menjadi bingung. Berkata lagi dengan gopoh. "Apakah engkau tidak melihat asap bergumpalan?"
"Lalu angin puyuh" Lalu bumi benderak-derak" Lalu..."
Titisari menarik napas. Dengan memegang bahunya, gadis itu berkata penuh pengertian.
"Marilah kita temui Ayah dahulu. Lantas kita mencari tempat yang sunyi untuk beristirahat. Pada akhir-akhir ini dalam dirimu memang bertumpuk-tumpuk berbagai persoalan rumit ..."
Sangaji tertegun mendengar kata-kata Titisari. Tak dapat mengerti, apa sebab Titisari tak melihatnya. Terhadap keterangan seorang, dalam keadaan begitu betapapun juga ia akan
menyangsikan. Tetapi terhadap keterangan Titisari ia harus percaya. Titisari tak pernah berbohong kepadanya. Maka ia menghela napas. Lalu berkata, "Baiklah. Perlahan-lahan kelak kuceritakan.
Tetapi ... engkau melihat suatu cahaya, bukan" ... Tetapi sekarang di mana kedua benda itu?"
"Lihatlah! Semua paman-pamanmu tertegun karena kagum menyaksikan tenaga saktimu.
Karena kedua pusaka itu hancur menjadi debu kena remas tenaga saktimu yang dahsyat," jawab Titisari meyakinkan.
Sangaji menebarkan matanya dan melihat sekalian pendekar berdiri tertegun mengawaskan
dirinya. Wajah mukanya menyatakan suatu kekaguman yang sangat.
Dalam keheningan itu, terdengarlah pendekar besar Gagak Seta tertawa nyaring.
"Anakku Sangaji! Kau disebut anak tolol, tapi sebenarnya tidak. Semua orang di jagat ini tahu bahwa warisan Pangeran Semono kini sudah tersimpan di dalam dadamu. Meskipun bendanya
tiada lagi dalam persada bumi ini ... tapi kau telah menyimpan rahasianya di dalam rasamu.
Bagus! Kalau kelak ada yang berpenasaran, bolehlah mencari dirimu. Tanggung akan ketumbuk batu! ... Hai, Jangkrik Bongol kau mau bilang apa?"
Adipati Surengpati mendengus. Ia membungkam. Titisari datang padanya dengan berlarian.
Kemudian berkata, "Ayah! Selamanya anakmu membuat hati Ayah risau. Sekarang, biarlah aku bersumpah akan merawat Ayah baik-baik. Karena ... lihatlah Ayah, aku membawa bakal
menantumu pulang ke kandang
Ki Hajar Karangpandan, Panembahan Tirtomoyo, Jaga Saradenta, Wirapati dan sekalian anak
murid Kyai Kasan Kesambi kenal akan lagak lagu Adipati Surengpati. Ternyata ayah dan anaknya tidak jauh bedanya. Mereka berdua nampaknya tidak menghiraukan pandang orang lain. Enak saja ia mengutarakan rasa hatinya di depan umum tanpa bersegan-segan. Di antara mereka
sesungguhnya hanya Gagak Seta yang kenal benar akan watak Adipati Surengpati. Lantas saja ia berseru nyaring, "Hai, Adipati Surengpati! Dengan ini aku membungkuk hormat padamu berbareng menyatakan takluk. Karena engkau kini akhirnya memperoleh seorang menantu yang paling tinggi ilmunya di zaman ini. Siapa berani bersaing lagi dengan keluargamu. Hanya saja, kapan kita semua bisa menghadiri hari upacara perkawinannya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Merah wajah Titisari mendengar kata-kata pendekar Gagak Seta. Betapapun juga ia seorang
gadis. Meskipun polos tapi mengenai soal yang satu itu, mestinya hanya enak untuk dibicarakan sendirian dengan kasak-kusuk.
Gagak Seta tertawa senang. Katanya lagi, "Kau iblis kecil, hayo bilanglah bahwa hatimu tidak berbahagia. Karena itu tertawalah! Gurumu ini sudah lama merindukan bunyi tertawamu...!"
Dan benar-benar Titisari tertawa dengan hati berbahagia.
TAMAT Manusia Harimau Jatuh Cinta 2 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pendekar Wanita Penyebar Bunga 16

Cari Blog Ini