Ceritasilat Novel Online

Bende Mataram 7

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 7


meskipun dia menyetujui pikiran Wirapati.
Wirapati terdiam. Memang urusan pejanjian pertandingan yang sudah dirintis dengan susah
payah semenjak dua belas tahun yang lalu, tidak boleh terbengkalai oleh urusan baru. Namun sebagai seorang pendekar yang sadar akan arti kebangsaan dan negara, dia tak dapat
membiarkan diri membuta pada perkembangan keadaan. Jaga Saradenta adalah bekas pejuang
pula. Meskipun usianya sudah lanjut, namun semangatnya masih muda. Kalau tidak begitu
masakan dia mau membiarkan dirinya berlarat-larat sampai ke Jakarta tanpa memperhitungkan kepentingan diri.
"Kalau begitu, biarlah Sangaji berangkat lebih dulu." Akhirnya Wirapati memutuskan.
"Apa dia harus berangkat seorang diri?"
"Benar," Wirapati menjawab sambil mengangguk. "Kemudian kita menyusul. Kurasa dalam satu bulan kita sudah bisa sampai ke tujuan."
Jaga Saradenta diam menimbang-nimbang. Lalu berkata menguatkan, "Itupun baik. Sangaji
memang harus mempunyai pengalaman sendiri. Pengalaman harus diperolehnya sendiri, karena tak dapat dipelajari dalam rumah perguruan. Mendapat pengalaman akan banyak faedahnya." la berhenti sebentar. Kemudian berkata kepada Sangaji, "Keputusan gurumu banyak faedahnya
bagimu. Kalau sebelum bertanding, kamu punya pengalaman, kami berdua tak usah
mencemaskan kekalahanmu."
Mendengar keputusan kedua gurunya, Sangaji tak senang. Segera ia menyatakan keberatannya berpisah dengan mereka.
"Bocah! Kau sudah besar! Sebesar kerbau bongkotan! Kau harus belajar berdiri sendiri. Kalau kami mampus, apa kau mau ikut mampus juga?" damprat Jaga Saradenta. "Lagi pula kau ini
muridku! Muridku tak boleh mempunyai hati sekecil cacing!"
Wirapati yang bisa bersabar hati, lalu membujuk. "Pergilah dulu menunggu barang satu bulan.
Tunggulah kami di Kota Magelang. Seumpama kami berdua menghadapi urusan pelik, salah
seorang dari kami akan datang mengurusimu. Hal itu janganlah kaurisaukan."
Sangaji lebih mendengarkan kata-kata pertimbangan Wirapati. itulah sebabnya, sekali-pun
hatinya berat terpaksa dia menerima. Kemudian Wirapati dan Jaga Saradenta sibuk
menggambarkan peta sejadi-jadinya untuk menunjukkan letak Kota Magelang.
"Dua rombongan berpakaian putih yang terdiri dari dua belas orang tadi hendak merampas
kuda atau kantong uangmu. Kau tak usah meladeni mereka. Hindarilah mereka. Kau bisa
mengandalkan dirimu kepada kecepatan si Willem. Jika kau tak lengah, kamu bisa meninggalkan mereka jauh-jauh."
Jaga Saradenta senang mendengar ujar Wirapati. Pikirnya, "Rasakan, akhirnya kamu mengakui betapa pentingnya seekor kuda. Tadi berlagak tak menghargai..."
"Umpama kata benar-benar mereka main gila kepadamu, kami berdua takkan tinggal diam,"
ujar Wirapati lagi. "Kami akan mencarinya."
"Benar," Jaga Saradenta menguatkan. ' Akupun diam-diam akan mengawasimu dari jauh.
Masalah itu jangan kaurisaukan."
Sehabis berkemas-kemas, Sangaji berlutut minta diri. Wirapati dan Jaga Saradenta
mengantarkan sampai ke tempat si Willem yang lagi menggerumuti serbuk dan rumput. Mereka kelihatan beriapang dada melepaskan muridnya berangkat seorang diri.
"Ah, kamu kelihatan sudah dewasa," kata Jaga Saradenta membesarkan hati. "Cuma saja,
ingatlah pesanku ini. Jangan sekali-kali merasa dirimu terlalu kuat. Sebaliknya jangan juga kamu merasa rendah diri. Pokoknya kamu harus bisa membiasakan diri berlaku hati-hati dan waspada.
Di dalam dunia ini banyak orang pandai. Lihat saja, gunung-gunung yang berdiri di atas Pulau Jawa ini, tidak hanya satu. Gunung Tangkuban Perahu nampaknya gede, tapi Gunung Slamet
masih gede lagi. Gunung Merapi dan Lawu kelihatannya tinggi sekali, tapi Gunung Semeru lebih tinggi lagi."
Wirapati tersenyum mendengar rekannya berbicara. Orang tua yang sok lekas uring-uringan itu tak biasa memberi petuah-petuah begitu hebat seperti kali ini. Tapi dia ikut juga menambahi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dengarkan kata-kata gurumu itu! Sering-kali kulihat, kaungotot. Karena itu, sekiranya kamu tak bisa memenangkan lawan, lebih baik mengundurkan diri. Bukankah ketika kau melawan empat orang pemuda dulu, begitu ngotot" Untung mereka tak mengenal ilmu silat."
Sangaji mengangguk. Segera ia melompat ke atas punggung si Willem. Dan belum lagi berjalan satu jam, ia menjumpai jalan bersimpang tiga. Ia ingat peta coretan kedua gurunya. Tapi dia dipesan memilih jalan yang sunyi dan-kecil. Meskipun berlika-liku dan sukar, tapi dia bisa menghindari kemungkinan pencegatan dua rombongan pemuda berpakaian putih. Selain itu, si Willem bisa diandalkan.
Begitulah, maka dia memilih jalan yang terkecil. Hari telah mulai gelap. Jauh di depan-nya nampak sebuah bukit menghadang padanya. Dia tak ragu-ragu. Segera ia mengeprak si Willem.
Jalan itu benar-benar berlika-liku dan sempit. Agaknya lebih jauh bila dibandingkan dengan jarak jalan lalu-lintas umum. Untung si Willem dapat lari dengan lancar. Kuda itu tak takut pada jalan sempit
Mendadak dalam gelap malam, ia melihat suatu cahaya biru melesat di udara. Cahaya itu pecah bertebaran dan hilang lenyap. Sangaji terkejut. Mulailah dia berpikir, apa itu yang dinamakan tanda-udara" Jika benar, mengapa melesat dari arah bukit"
Diam-diam ia meraba gagang pedang pemberian Willem Erbefeld semasa masih dalam latihan.
Dia tak pernah berlatih ilmu pedang ajaran kakak-angkatnya karena kedua gurunya melarang.
Tetapi ia menerima ajaran-ajaran ilmu pedang Wirapati. Karena itu, meskipun belum mahir, ia mengenal ilmu pedang cukup baik.
Di depannya mendadak muncul tiga orang berpakaian putih. Sangaji tidak ragu lagi. Pasti itulah mereka tadi. Segera ia bersiaga menjaga diri.
"Numpang jalan!" ia berteriak nyaring. Ketiga orang itu tertawa. Salah seorang me-nyahut cepat, "Mengapa mesti permisi dulu" Lewatlah! Kami tak mengganggumu!"
Sangaji belum mempunyai pengalaman dalam menempuh perjalanan malam ia mengira dirinya
terlalu curiga dan salah duga. Maka ia mengendorkan kesiagaannya. Dalam hatinya ia malu atas kelakuannya sendiri yang buru-buru bersikap mencurigai. Tapi tiba-tiba yang lain berkata, "Eh "
berapa banyak isi kantongmu?"
"Mengapa tanggung-tanggung" Sekalian kudanya," yang satunya menyambung seolah-olah
sedang bertukar-pikir. Sangaji terkesiap, la lantas melihat mereka bertiga melintang jalan, la memperhatikan keadaan kiri-kanan mereka. Jalan begitu sempit. Seberang-menyeberang jalan penuh batu bongkahan.
Malam gelap pula. Kalau ia turun dari kuda untuk melawan mereka bertiga, mungkin tak berhasil.
Jangan-jangan si Willem bisa dilarikan selagi dia dibuat sibuk.
Memikir demikian ia menarik les dan balik kembali. Kira-kira sepuluh derapan, ia berpu-tar lagi sambil menjepitkan kaki. Willem kaget, serentak menjejak tanah dan melesat bagaikan terbang.
Waktu itu tiga pemuda berpakaian putih mengira, Sangaji hendak melarikan diri.
Buru-buru mereka lari mengejar, tak tahunya Sangaji berputar kembali dengan tiba-tiba
menghentakkan kudanya. Karuan saja mereka terkejut bukan kepalang.
"Awas! Buka jalan!" teriak Sangaji sambil menghunus pedang.
Mereka benar-benar gugup, karena sama sekali tak menduga bakal diterjang secara mendadak.
Tapi begitu mendengar teriakan Sangaji, hati mereka jadi panas. Seolah-olah telah berjanji, mereka kemudian meloncat berbareng hendak menyambar les. Tetapi Willem lari amat pesat. Di samping itu, ketika melihat mereka bergerak hendak menyambar les, Sangaji membentak hebat.
Si Willem berbenger dan terus menjejak tanah melewati gundul-gundul mereka.
Kejadian itu di luar perhitungan ketiga pemuda itu. Mereka begitu terkejut sampai terdiam beriongong-longong. Darahnya tersirap menusuk kepala. Sama sekali tak diduganya, kalau kuda Sangaji benar-benar jempolan sampai bisa meloncat melewati kepala. Coba kurang bertenaga sedikit saja, gundul mereka bisa tersambar potol.
Sangaji sendiri tak mengira, Willem bisa main akrobat. Tadinya dia hanya bermaksud memberi semangat tempur agar menerjang ketiga pemuda itu dengan sepenuh tenaga. Pedang-nya sudah dilintangkan hendak membacok mereka. Tak tahunya, dia dibawa terbang. Inilah pengalamannya pertama yang luar biasa pula.
Beberapa waktu kemudian, ia mendengar mereka bertiga berteriak-teriak kalang-kabut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mereka memaki-maki sejadi-jadinya karena penasaran. Lalu terdengarlah bunyi bersuitnya
beberapa batang panah. Tetapi Sangaji tak menghiraukan. Larinya si Willem jauh lebih pesat daripada melesatnya panah mereka.
Hampir semalaman penuh, ia melarikan kudanya"karena
takut dihadang yang lain. Ketika perasaan hatinya merasa
tenteram, ia memperlambatkan dengan bujukan manis.
Terima kasih, Willem. Malam ini kau menyelamatkan aku.
Besok pagi aku akan membalas budi. Akan kubelikan kau
serbuk halus, gula-gula dan rumput hijau."
Kemudian ia membawa si Willem beristirahat, la melihat
sebuah gubuk yang berdiri di tepi sungai. Tanpa berpikir
lagi, ia memasukinya dan merebahkan diri. Mulailah
benaknya membaca pengalamannya tadi. Kesannya hebat,
seram dan menegarkan hati. Hampir fajar menyingsing ia
bergulak-gulik tak dapat memejamkan mata.
Keesokan harinya, setelah mandi di sungai, ia
meneruskan perjalanan. Pengalamannya semalam, tiba-tiba
mematangkan dirinya tanpa disadari sendiri. Dadanya serasa
penuh, pandangnya tajam dan merasa diri menjadi manusia
lain daripada kemarin. Si Willem tetap segar-bugar. Larinya
cepat dan tidak ada tanda-tanda kelelahan. Karena itu,
sebentar saja sampailah dia di perbatasan Kota Cirebon.
Cirebon adalah kota Kasultanan. Meskipun kalah ramai jika dibandingkan dengan Jakarta, tetapi bukan merupakan kota tak berarti. Cirebon merupakan kota perhubungan, karena letaknya berada di perbatasan wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Selain itu memiliki pelabuhan yang ramai juga dikunjungi perahu-perahu dagang dari berbagai pulau.
Sangaji menuntun kudanya dan berjalan keliling kota. Ia menjenguk toko-toko dagang,
menengok pasar dan membeli beberapa keranjang buah-buahan. Setelah itu ia mencari serbuk halus, gula-gula dan rumput hijau untuk si Willem. Kebetulan di dekat penjualan serbuk dan rumput, berdirilah sebuah restoran Tionghoa. Belum pernah sekali juga ia memasuki restoran Tionghoa, tapi karena perut merasa lapar dan mengingat pula perut si Willem, ia memasuki restoran itu.
Segera ia memesan sepiring nasi, sepiring daging sapi dan udang goreng. Itulah macam
masakan yang dia kenal. Pelayan yang meladeni tersenyum dan lekas saja memaklumi, kalau si pemuda tanggung itu bukan golongan pemuda-pemuda yang sudah mempunyai pengalaman
melihat luasnya dunia. Lantas saja dia memandang kurang kepada Sangaji. Tapi ia bersikap diam, agar jangan
mengecewakan tetamu. Tengah Sangaji bersantap, terdengar pelayan itu sedang ribut dengan seorang pemuda yang
mengenakan pakaian kumal. Teringat akan pengalaman semalam, Sangaji terus bangun dan
melompat lari menengok kudanya. Ternyata si Willem masih nampak menggerumuti rumput muda dan serbuk halus bercampur gula-gula. Sekarang ia menaruh perhatian kepada pemuda kumal itu.
Umurnya kira-kira tujuh belas tahun. Kelihatannya bengal dan bandel. Anehnya, suara-nya kecil nyaring. Meskipun demikian enak didengar, la mengenakan celana bertambal. Terang, dia seorang pemuda melarat.
"Mau apa lagi kau?" bentak pelayan restoran.
"Sebentar menjenguk dapurmu," sahut si pemuda. Habis berkata demikian, lantas saja dia
masuk dapur dan memungut sepotong daging. Tangannya ternyata kotor. Sepotong daging itu
bentong-bentong kotor karena tangannya. Keruan saja, si pelayan marah. Tanpa berkata lagi, ia melayangkan tangan. Di luar dugaan, si pemuda gesit. Ia merendah sedikit dan tamparan itu melayang bebas di udara.
Sangaji ingat akan nasibnya sendiri, dua belas tahun yang lalu. Meskipun waktu itu umurnya baru menginjak enam tujuh tahun, riwayat perjalanannya yang pahit dan sengsara masih teringat lapat-Iapat dalam benaknya. Terbayanglah betapa nestapa dia, tatkala harus berjalan memasuki
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tiap kota dan akhirnya menumpang perahu dari Cirebon. Lalu, betapa hebat deritanya sewaktu tiba di Jakarta. Terpaksa dia diajak hidup dari teritisan ke teritisan. Untung saja bertemu dengan seseorang dermawan yang kebetulan bernama Haji Idris. Itulah sebabnya, begitu ia melihat si pemuda dan perlakuan si pelayan yang kasar, lantas saja dia menjadi perasa.
"Jangan! Jangan!" ia mencegah. "Aku nanti yang membayar sepotong daging itu." Kemudian
kepada si pemuda, "Apa Saudara mau duduk bersamaku" Barangkali hidangan ini cukup untuk
menahan lapar." Mendengar kata-kata Sangaji yang ramah dan penuh perasaan, si pemuda lalu ber-senyum.
Setelah itu merenggutkan sepotong daging yang telah kotor olehnya dan dilemparkan ke luar pintu. Katanya nakal kepada pelayan, "Lihat! Jangan kau kira aku mengotori dagingmu, agar terpaksa kau memberikan kepadaku."
Di luar pintu, berdirilah tiga ekor anjing buduk. Begitu melihat dan mencium daging mentah, mereka lalu berebut. Inilah rejeki nomplok bagi ketiga anjing itu.
"Sayang... seribu sayang..." jerit si pelayan. "Sepuluh tahun aku bekerja di sini, belum pernah makan daging sebesar itu seorang diri... Kau tadi bisa berikan kepadaku, kalau tak sudi."
Sangaji pun heran menyaksikan tingkah-laku si pemuda. Terang ia melihat, kalau si pemuda memang lapar. Dilihat dari gerak-geriknya yang bengal dan bandel, mestinya ia sengaja mengotori potongan daging itu agar terpaksa diberikan kepadanya. Mengapa kini tiba-tiba bisa berlagak angkuh dan tak pedulian" Meskipun ia mendapat kesan demikian, ia tetap menutup mulut. Dengan hormat ia menarik kursi buat si pemuda.
"Ayo kita makan bersama," Sangaji menawari.
Si pemuda itu tertawa. Lagaknya masih angkuh. Jawabnya mempertahankan harga diri, "Baik.
Akupun sebenarnya lagi mencari teman untuk kuajak makan bersama. Tak tahunya, kambing itu menduga buruk padaku."
Lidah pemuda itu terang berasal dari daerah Jawa Tengah sekitar Semarang. Sangaji hidup
selama lebih dari sepuluh tahun di Jakarta. Dia biasa menggunakan bahasa Melayu Jakarta dalam pergaulan. Tapi tak melupakan bahasa daerahnya, karena ibunya menggunakan bahasa daerah
sehari-hari. Karena itu begitu mendengar logat bahasa si pemuda, ia menjadi senang. Rasa hatinya terasa begitu dekat dengan tiba-tiba.
"Apa hidangan ini cukup kita makan bersama?" pemuda itu bertanya lagi.
Sangaji diam mempertimbangkan, lalu memanggil pelayan. Dia memesan sejenis masakan lagi.
Tapi si pelayan nampak ogah-ogahan. Apalagi harus bekerja untuk si pemuda kumal itu. Si
pemuda segera mengetahui kata hati si pelayan. Ia mendamprat nyaring, "Hai, apa kausangka aku ini seorang melarat sampai tak bakal bisa membayar makanan" Biar aku berpakaian begini, tapi belum tentu aku bisa menikmati makananmu."
Sangaji diam-diam tersenyum dalam hati. Melihat sikap angkuhnya si pemuda, men-dadak saja teringatlah dia kepada perangai temannya semasa kanak-kanak si Sanjaya. Ia mau menduga-duga, tetapi belum berani meyakinkan diri.
Si pelayan yang kurang senang pada si pemuda kumal, kemudian datang mendamprat. "Apa
kau bilang" Buat Kota Cirebon, inilah restoran yang paling baik dan seringkali dikunjungi pembesar-pembesar. Orang-orang Belanda-pun suka kemari."
"Apa kalau sudah dikunjungi orang-orang Belanda, sudah berarti restoranmu mempunyai resep makanan enak?"
Si pelayan jadi penasaran. Pemilik restoran-pun yang mendengar ujar si pemuda ikut tertusuk perasaannya. Dia lalu datang menghampiri. Berkata hormat dibuat-buat, "Apakah kata Tuan"
Apakah jenis masakan kami, belum bisa memenuhi selera Tuan" Restoran ini bernama "Nanking".
Nanking adalah kota besar di negeri Tiongkok. Termasyur dengan resep masakannya, jenis buah-buahan dan perempuannya. Tuan belum pernah menginjak negeri Tiongkok, kalau perlu kami bisa menuturkan. Masakan Jawa kalau dibanding dengan jenis masakan Tiongkok, belum ada
sepersepuluhnya ..."
"Hm! Apa kalau sudah berani menyebut restoran Nanking mesti bisa menjamin mutu
masakannya" Kau mengobrol perkara negeri Tiongkok, akupun bisa membual perkara masakan
Jawa. Apa masakan Tionghoa" Apa kau kira aku belum mengenal?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar dan melihat kawannya berbicara begitu lantang, Sangaji merasa tak enak. Ia ingin menengahi, mendadak pemilik restoran jadi penasaran. Katanya menguji sambil mengulum
mengejek, "Tuan bilang sudah kenal masakan Tionghoa" Baik, paling-paling macam resep mutu rendahan."
"Hm. Baik kau dengar! Aku akan menyebutkan semua macam masakan Tionghoa yang sering
kumakan setiap hari. Jika kau tak bisa membuat masakan yang kupesan, apa saubilang?"
"Umurku sudah hampir lima puluh tahun. Aku hidup selama 35 tahun di Nanking. Selama
hampir 25 tahun, aku bekerja di sebuah restoran besar. Tuan bisa menyebut macam masakan
yang Tuan sukai dan aku akan membuatkan."
"Betul?" "Betul!" Si pemuda menggigit bibirnya. Lantas berkata, "Aku khawatir kau tak mampu, karena
restoranmu begini kecil." Sehabis berkata begitu, ia melayangkan matanya. Dan si pemilik restoran bertambah hebat rasa penasarannya. Menyahut lantang, "Sebaliknya aku khawatir Tuan tak bisa membayar."
Si pemuda kemudian menatap muka Sangaji.
"Apa kau mau membayar semua yang kumakan?"
Sangaji mengangguk, karena dia sibuk menduga-duga tentang diri Sanjaya.
"Tak perduli berapa banyak aku makan?" si pemuda menegas.
Sangaji mengangguk lagi. Melihat Sangaji mengangguk menyanggupi, si pemuda berpaling
kepada pemilik restoran, "Temanku ini akan membayar. Nah, sekarang dengarkan semua macam masakan yang bakal kami pesan. Terlebih dahulu biar kawanku ini, lantas aku."
Sangaji sebenarnya tak mengenal tentang macam masakan. Dia hanya sedang bergembira.
Pertama-tama, bertemu dengan seorang teman di tengah perjalanan yang sebaya umurnya.
Kedua, menduga barangkali si pemuda itu Sanjaya. Ketiga, merasa tertarik oleh lagak-lagu si pemuda yang berani dan lancar bicaranya. Lantas saja, dia berkata dengan maksud
menggembirakan pertaruhan itu.
"Satu keranjang daging kerbau goreng. Satu keranjang hati lembu goreng. Satu keranjang usus kambing goreng. Satu keranjang ..."
Ia mengira, kalau sudah menyebut suatu jumlah masakan dengan ukuran keranjang, sudah
merupakan suatu pesanan yang luar biasa. Tak tahunya si pemuda menungkas, "Eh, jangan!
Mengapa begitu sederhana?"
"Lho, bukankah aku sudah memesan macam goreng daging, goreng hati dan goreng usus
masing-masing satu keranjang" Dia tentu terpaksa memotong kerbau, lembu dan kambing
beberapa ekor." "Jangan diributi perkara daging, hati, usus dan tetek-bengek. Itu bukan makanan buat orang seperti kita. Tapi ukuran keranjang itu pantas buat raksasa atau anjing buduk."
Sangaji segera mau mengalah. Memangnya tak becus menyebut sejenis masakanpun, selain
serba goreng. "Baiklah, kalau begitu kau saja yang memesan. Pasti aku akan ikut makan
pesananmu." Si pemuda lalu menggosok-gosokan tangan. Ia seolah-olah lagi sibuk memilih nacam masakan yang berjumlah lebih seribu dalam benaknya. Kemudian memutuskan.
"Baiklah kita minum dahulu atau makan buah-buahan yang serba segar. Kata dia, aku harus
memesan masakan yang khas keluaran Tionghoa. Bukankah begitu?"
Pemilik restoran mengangguk sambil mengulum senyuman merendahkan.
"Bagus! Sediakan buat kami berdua, buah-buahan yang serba kering, manis-madu dan asamsegar." "Sebutkan, buah-buahan apa itu?" Si pemilik restoran senyumnya lebih lebar.
"Karena restoran ini begini kecil ... baiklah agar kau tak usah payah-payah dan repot..." si pemuda berkata terputus-putus untuk mengesankan setiap patah katanya. "Sediakan saja buah leci, lengkeng, co dan ginseng. Entah di sini ada atau tidak. Kemudian yang manis-madu, buah jeruk Tiauwhoa-kim-kie, anggur hiangyoh, buah tho tong songtiauw dan buah lay hauw-longkaun..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar bunyi macam buah-buahan yang disebutkan si pemuda begitu lancar, si pemilik
restoran terperanjat sampai pucat.
Tak mengira dia kalau si pemuda itu benar-benar mengenal macam buah-buahan yang mahal
dan lezat dari negeri Tionghoa. Seseorang yang belum pernah merasakan dan mencicipi macam buah-buahan itu, betapa bisa tepat mengatur tata kelezatan dan mengenal namanya dalam
bahasa Tionghoa. Sebaliknya, Sangaji jadi bangga dan besar hati mempunyai kawan baru ini.
Tadinya dia merasa khawatir, mengingat ketajaman lidah si pemuda. Kalau sampai tak bisa
menyebut macam masakan Tionghoa, setidak-tidaknya dia ikut ditertawakan si pemilik restoran.
Tak tahunya, selain berlidah tajam, ia bisa diandalkan. Bagi dia yang sama sekali tak mengenal nama jenis masakan Tionghoa sehurufpun, lantas saja merasa takluk sampai ke bulu-bulunya.
Si pemuda itu rupanya tahu, kalau baik Sangaji maupun si pemilik restoran mulai keran
padanya. Maka ia sengaja memperlihatkan mutu dirinya. Dengan gaya memaafkan dan
memaklumi atas kemiskinan si pemi-ik restoran, dia berkata, "Kalau aku menuruti kebiasaanku, takut kau tak dapat memenuhi. Baiklah aku minta tujuh macam hidangan saja. Ceker bebek
goreng, puya asap, soto kijang, lidah ayam cah, soto burung manyon, bakso kelinci, kaki babi hong ..."
Kali ini si pemilik restoran benar-benar merasa takluk, la berdiri melongoh. Khawatir si pemuda akan memesan hidangan lainnya, cepat-cepat ia memotong, "Tuan... Cirebon bukan Nanking.
Bagaimana bisa kami menyediakan macam masakan yang Tuan pesan."
"Mengapa tidak?" sahut si pemuda. "Semua pesanan ini, sudah kutaksir sebelumnya akan dapat kausajikan. Apa susahnya" Ceker bebek. Di Cirebon masa tidak ada itik" Lidah ayam. Masa di Cirebon tidak ada ayam" ..."
"Ya betul, Tuan. Tapi burung wanyoh,, kijang dan kelinci, di mana kami bisa cari. Masakan kami harus menguber-uber binatang itu di tengah alam yang begini luas?"
"Zie ye," kata si pemuda dalam bahasa Belanda. Kemudian ia berbicara dalam bahasa Belanda dengan Sangaji amat lancar. Sekarang, baik Sangaji maupun si pemilik restoran mempunyai kesan lain terhadapnya. Mereka yakin, kalau si pemuda itu ternyata seorang pelajar yang lagi jatuh miskin. Maka diam-diam, mereka bersikap hormat.
"Baiklah," kata si pemuda itu memaklumi. "Sediakan saja masakan yang kaubanggakan. Aku
berjanji akan memakannya habis tanpa berbicara. Dan tolong ambillah anggur Pe-khoen-cioe."
"Tuan maksudkan arak?"
"Katakan saja anggur, biar temanku ini mau minum."
Kebetulan sekali si pemilik restoran mempunyai arak Pekhoen-cioe yang sudah disimpan selama sepuluh tahun. Maka bergegas ia masuk ke dalam sambil menghambur-hamburkan perintah
menyediakan macam hidangan kepada juru-masak dan pelayannya.
Sangaji puas menyaksikan penyelesaian babak-akhir adu lidah. Ternyata si pemuda
berpengetahuan luas. Meskipun kedengarannya berbicara tajam, tetapi menyenangkan dan bisa memaklumi orang. Ini membuktikan, kalau meskipun si pemuda cerdas otaknya dan luas
pengalamannya, mau memaafkan serta memaklumi perlakuan orang terhadapnya. Bukankah dia
sama sekali tak menyinggung apalagi bersikap menggugat perlakuan si pelayan yang mau
menempeleng kepalanya" Tapi dengan bersenjata pengetahuannya yang luas, dia bisa
menaklukkan tidak hanya terhadap si pelayan saja. Baik si pemilik restoran dan dirinya sendiri benar-benar kena ditaklukkan.
"Saudara Sangaji masih mencoba. Apa benar-benar kita berdua nanti dapat meng-habiskan
semua hidangan yang akan disediakan?"
"Perang belum selesai seluruhnya," sahut si pemuda dengan tertawa. "Nanti kita ajak si pemilik restoran makan bersama. Aku akan melayani dan kau yang membayar. Aku ingin melihat, apakah hidangan yang dimakan bisa menjadi daging."
Mendengar rencana si pemuda, mau tak mau Sangaji tertawa geli. Alangkah lucu, sekiranya
bisa kejadian si penjual makan jualannya sendiri dan dibayar oleh si pembeli. Kalau si penjual mempunyai harga diri, mana bisa menelan traktiran si pembeli. Ini namanya cara pukulan baru yang bisa membekas panjang dalam perut sampai usus-ususnya. Dan sekali lagi, Sangaji kagum pada kecerdikan dan kepintaran si pemuda. Ia sampai mau percaya, kalau otak si pemuda lebih cerdik dan lebih pintar daripada Wirapati, gurunya yang dipuja selama ini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Selang setengah jam, hidangan dan masakan yang menjadi kebanggaan pemilik restoran
Nanking tiba. Sangaji mencoba mencicipi. Terus-terang ia mengakui kelezatannya. Tetapi si pemuda makan dengan ogah-ogahan. Melihat lakunya yang ogah-ogahan, si pemilik restoran
sibuk menduga-duga. Ini sudah merupakan suatu siksaan baginya. Mendadak pula si pemuda
berkata, "Apa sudah betul bumbunya?"
"Masa bisa kurang"
"Cobalah makan! Kalau benar-benar kau-doyan, baru aku mau percaya."
Si pemilik restoran mana mau diajak menggerumuti masakannya sendiri yang sedang dijualnya.
Kalau disuruh memilih, lebih suka ia memperoleh celaan daripada diperlakukan begitu. Tapi justru ia mempertahankan kehormatan diri, hatinya selalu kebat-kebit. Bagaimana tidak" Di seluruh dunia ini mana bisa seorang juru masak dicela masakannya" Meskipun andaikata si pencela benar, dia akan siap-sedia hendak mempertahankan dan membela diri.
Si pemuda bersikap tak pedulian. la lalu berbicara dengan bebas menanyakan asal-usul Sangaji.
Tapi ketika si pemilik restoran mau mengundurkan diri, cepat-cepat ia minta penjelasan tentang bumbu masakan yang dihidangkan, kemudian mencela kekurangannya dan menggurui bagaimana
semestinya. Celakalah, dia benar-benar hatinya tersiksa. Mundur tak bisa, tetap berdiri seperti jongos enggan.
Sangaji teringat pada pesan kedua gurunya. Dia harus bersikap hati-hati dan tak boleh
berbicara banyak. Maka dia tak mengaku berasal dari Jakarta. Cuma menerangkan, datang dari daerah Jawa Barat dan pekerjaannya berburu.
Mendengar kata-kata berburu, si pemuda nampak girang. Segera ia menanyakan tentang
perangai dan lagak-lagu binatang perburuan. Maka terpaksalah Sangaji mengiringi kemauan si pemuda sebisa-bisanya. la bercerita tentang harimau, babi hutan, ular, burung, kijang, rusa, gajah, kera dan lutung. Binatang-binatang itu memang pernah dijumpai sewaktu dahulu berburu dengan keluarga Mayor De Hoop. Tetapi jika dikatakan dia mengenal binatang-binatang itu dalam arti kata yang benar, tidak benar. Karena itu tutur-katanya mengenai binatang-binatang itu, lebih bersifat ke kanak-kanakan. Tapi justru bersikap ke kanak-kanakan, si pemuda yang mendengarkan jadi kian tertarik.
"Aku ingin memiliki semuanya!" seru si pemuda girang.
"Buat apa?" "Buat main-main."
Sangaji dapat merasakan kegirangan si pemuda. Terus saja dia bicara dan bicara. Si pemuda sendiri lantas juga menumpahkan semua angan-angannya. Ia ingin menjelajah ke seluruh pelosok Pulau Jawa. Ia akan menyeberangi hutan, mendaki gunung dan bukit-bukit serta memanjat
pohon-pohon tinggi. Amat gembiranya, tangannya berserabutan. Suatu kali Sangaji kena sentuh tangannya. Dia
kaget, karena tangan si pemuda dirasakan lunak. Diam-diam ia mulai mengamat-amati wajah si pemuda. Ternyata berkulit halus pula, berwarna kuning kehitam-hitaman dan bersih. Matanya lentik dengan bentuk alisnya yang bagus. Maka perlahan-lahan, tak mau ia menduga lagi kalau si pemuda itu adalah Sanjaya.
"Sebenarnya kamu berasal dari mana?" ia memberanikan diri untuk menanyakan asal-usulnya.
"Jauh! Jauh amat!" jawab si pemuda.
Mendapat kesan kalau si pemuda tak mau berterus-terang, maka ia tak mendesak lagi.
Mendadak si pemuda berseru, "Ah, semuanya sudah menjadi dingin."
Sangaji terperanjat. Baru dia ingat akan macam hidangan yang begitu banyak disedia-kan di depannya. Karena terlalu tenggelam dalam percakapan, ia sampai lupa mencoba mencicipi
semuanya. "Biarlah suruh memanaskan," katanya.
'Tidak. Ini namanya kurang asli. Suruh saja mengundurkan dan mengganti dengan ma-sakan
lain," si pemuda seperti menggerutu. Ia lalu menyuruh si pemilik restoran yang masih saja berdiri tegak di sampingnya untuk mengangkat semua hidangan dan mengganti dengan masakan baru.
Si pemilik restoran bertambah heran. Hidangan belum semua dimakan. Harganya-pun bukan
murah, karena dia sendiri yang membuatnya istimewa. Sekarang mau pesan hidangan yang lain.
Selama dia membuka restoran di Cirebon, belum pernah mempunyai tamu semacam hari itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi ia tak berbicara sepatahpun. Ia memanggil pelayan-pelayan-nya. Kemudian mengundurkan diri dari samping si pemuda dengan hati lega. Maklumlah, dia lantas merasa dibebaskan. Tapi di dalam hati dia menyukurkan Sangaji. Hm ... rasakan! Uangmu bakal disedot habis. Mengapa tak sadar dipermainkan pemuda gila....
Sangaji sendiri tak memikirkan perkara berapa dia harus membayar semua hidangan. Hatinya sudah merasa kena direbut si pemuda. Bahkan karena senangnya, lantas saja dia mengambil
sepasang pakaian baru dan diberikan kepada si pemuda sebagai tanda ikatan persahabatan.
Setelah itu ia membekali pula uang sejumlah seratus ringgit. Bukan main besar jumlah itu, sampai si pemilik restoran yang mendengar gerincing uang jadi ngiler.
Si pemuda menerima hadiah itu, tanpa mengucap terima kasih sepatahpun. Bahkan tidak
nampak kesan sedikitpun jua, seolah-olah sudah semestinya Sangaji menghaturkan persembahan kepadanya.
Tatkala itu, masuklah seorang pemuda ke dalam restoran. Pemuda itu berwajah amat cakap.
Umurnya kurang lebih 19 tahun dan dandanannya mentereng. Ia melirik kepada Sangaji.dan si pemuda,Ternudian dengan sikap angkuh duduk di kursi sebelah sana. Ia memanggil pelayan
dengan suatu isyarat. Kemudian memesan empat macam masakan.
"Apa cukup buat bekal pulangmu?"
"Aku tak mau pulang ke rumah," jawab si pemuda dengan menggelengkan kepala.
"Mengapa?" "Ayahku tak menghendaki aku pulang."
Masa begitu, Sangaji heran.
"Buktinya, aku sampai ke mari. Tapi ayahku mana mencariku?"
Sangaji bertambah heran. Lantas saja tahu, kalau si pemuda itu biasa dimanjakan ayah-nya.
"Ibumu kan rindu padamu?"
"Ibuku sudah lama meninggal dunia. Kata Ayah, semenjak aku belum pandai merangkakrangkak." Sangaji jadi terharu. Sekarang ia yakin benar, kalau si pemuda itu bukan Sanjaya.
"Apa ibu sambungan tak mengurusmu, sampai ayahmu tak menghendaki kamu pulang?" ia
mencoba mencari kejelasan.
"Mana berani Ayah mengambil isteri baru" Kalau berani mencoba, dia akan kuracun."
"Siapa yang kau racun?"
"Isterinya," sahut si pemuda tanpa ragu-ragu. Melihat lagak-lagunya, Sangaji percaya kalau si pemuda itu akan melakukan apa yang telah diucapkan. Diam-diam ia merasa diri bernasib lebih baik dari si pemuda. Itulah sebabnya pula, ia bertambah berkasihan kepadanya.
Selagi dia sibuk menggerayangi keadaan si pemuda, mendadak di luar restoran terdengar
bentakan-bentakan dan bengar si Willem. Serentak darahnya tersirap. Terus ia melompat dari kursinya dan lari ke luar. Betapa kagetnya, ia melihat tiga pemuda berpakaian putih sedang mengepung si Willem. Mereka berusaha hendak menyambar les, tetapi Willem be-rontak. Itulah mereka semalam yang menghadangnya. Ia heran, kenapa mereka bisa menyusul begitu cepat.
"Eh, di siang hari bolong kamu berani merampas kuda," bentaknya gusar. Ia hendak meloncat menerkam salah seorangnya. Tiba-tiba saja seorang di antara mereka jatuh tersungkur di tanah.
Heran dia, mengapa roboh sendiri. Ia menoleh dan dilihatnya si pemuda kumal berdiri di
belakangnya sambil bersenyum. Belum lagi dia membuka mulut, si pemuda berkata mendahului,
"Jangan pedulikan maling-maling itu. Pesanan kita sudah datang."
"Mereka hendak merampas kudaku," Sangaji mencoba memberi penjelasan. "Tapi aneh, dia
roboh sendiri tanpa ku ..."
la tak meneruskan, karena melihat si pemuda sudah balik duduk kembali. Maka ia duduk pula di sebelahnya, kemudian melirik kepada pemuda mentereng.
Pemuda mentereng dan tampan itu, justru memandang padanya. Dengan demikian pandang
mata mereka bertemu. Pemuda itu mengangguk hormat. Pandang matanya heran dan
mengagumi. "Inilah air tehmu," temannya mendadak berkata, la segera mengarahkan perhatiannya kepada temannya yang sedang menuang air teh. "Kudamu kenapa diincar mereka?" tanya si pemuda.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji hendak menyahut, mendadak didengarnya suara langkah berderapan. Ia menoleh.
Ternyata enam orang pemuda berpakaian putih memasuki restoran dengan pandang mengancam.
Tetapi mereka tidak menunjukkan tanda-tanda mau menyerang. Mereka seperti sedang
menyelidiki dirinya dan sikapnya berhati-hati. Tak lama kemudian salah seorang di antara mereka, melemparkan suatu benda tajam. Sangaji terperanjat. Jarak antara dia dan enam orang pemuda berpakaian putih itu sangat dekat. Sudah barang lentu, tak mungkin lagi dia menangkis lemparan benda tajam itu. Seketika itu juga ia bergerak hendak menghindari, tapi teringatlah dia kalau temannya berada di belakangnya. Pabila dia melompat ke samping, temannya pasti kena
sambaran benda tajam tadi. Di luar dugaan"selagi dia belum mendapat keputusan, pemuda
mentereng yang duduk di kursi sebelah sana, meloncat gesit seperti terbang. Dengan sekali sambar, ia berhasil menangkap benda tajam itu. Ternyata benda itu, sebilah belati kecil terbuat dari benda logam berwarna ke kuning-kuningan.
Pemuda mentereng itu tidak berhenti sampai di situ saja. Ia memperlihatkan ketangkasannya.
Cepat luar biasa, ia melesat dan menerjang enam orang pemuda berpakaian putih sekaligus.
Entah bagaimana, mereka kena dihajar pulang balik.
"Mundur!" teriak salah seorang di antara mereka. "Belum waktunya kita mengadu kepandaian.
Ingat! Dia si pemuda berpakaian mentereng!"
Mendengar teriakan itu, lainnya lalu lari berserabutan. Sebentar saja lenyap dari penglihatan.
Ketika suara mereka tak kedengaran lagi, pemuda mentereng itu menghampiri Sangaji dan
temannya. Dengan sedikit membungkuk dia bertanya, "Apakah aku boleh mengenal nama kalian berdua?"
Sangaji segera akan menjawab, tetapi Sangaji dan
pemuda berpakaian kumal sedang duduk bersama
akan menikmati hidangannya, tiba-tiba kawannya
mendahului, "Kami ini bangsa perantau. Tidak ada
artinya memperkenalkan nama kami yang tidak ada
harganya." Pemuda mentereng yang tampan itu, tersenyum.
Ia membungkuk hormat lagi sambil menegas,
"Apakah kalian berasal dari kepu-lauan Karimun
Jawa" Menilik Ilmu Sentilan kalian yang bisa
merobohkan lawan tanpa berkisar dari tempat,
sangat kukagumi." Kawan Sangaji menyahut, "Apa sih bagusnya Ilmu
Sentilan dari Karimun Jawa?"
Pemuda mentereng bersikap tak mendengarkan
kata-kata si pemuda kumal. Pandangnya mengarah
kepada Sangaji yang sudah berdiri tegak di
depannya. "Baiklah, kalau kalian tak mau memperkenalkan
diri," akhirnya dia berkata setelah menimbang-nimbang sejurus. "Kita berpisah sampai di sini. Lain hari kita bertemu kembali."
Sangaji membalas membungkuk ketika melihat si pemuda mentereng membungkuk hormat
padanya. Ia tak menduga sesuatu, tiba-tiba si pemuda mentereng melesat kepadanya sambil
mengayunkan tangannya. Serangan si pemuda mentereng, sama sekali tak di duga Sangaji.
Namun ia masih berwaspada. Betapa herannya, ia melihat gerakan sambaran si pemuda
mentereng seperti gerakan Pringgasakti yang dulu pernah menerkam pergelangan tangannya.
Teringat akan pe-ngalamannya dulu, segera ia mengerahkan tenaga. Getah Dewadaru disuruhnya bekerja. Itulah sebabnya begitu sambaran si pemuda mentereng mengenai sasaran, lantas saja mental kembali. Ia heran sampai terlongong sebentar.
"Mengapa ... mengapa kau menyerangku?" Sangaji minta penjelasan.
Si pemuda mentereng tertawa perlahan. Menyahut, "Aku cuma ingin menguji ilmumu. Tadinya
kukira kauhebat. Sehebat Ilmu Sentilanmu. Tak tahunya, kau tak memiliki ilmu berkelahi yang pantas untuk dibicarakan ..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Terang, si pemuda merendahkan Sangaji. Tapi Sangaji tak kuasa membalas. Memang ia
seorang pemuda yang tak pandai berperang lidah. Sebaliknya kawannya tidak demikian.
Menyaksikan Sangaji tak mampu membalas hinaan lawan, ia segera berseru, "Hai! Apa kamu mau pergi?"
Memang, waktu itu si pemuda telah mengungkurkan hendak meninggalkan restoran. Dia puas,
karena telah dapat menghina lawan. Karena seruan si pemuda kumal, ia menoleh.
"Apakah kamu mau berbicara?"
"Berbicara sih, tidak," sahut si pemuda kumal. "Cuma aku menemukan benda ini. Apakah ini kepunyaanmu?"
Baik Sangaji maupun si pemuda mentereng, heran melihat benda tajam salah seorang
rombongan pemuda berpakaian putih, berada di tangan si pemuda kumal. Jelas, tadi benda tajam itu telah kena tangkap si pemuda mentereng dan disisipkan pada ikat pinggang. Bagaimana bisa berada di tangan si pemuda kumal"
Dengan tersipu-sipu, si pemuda mentereng menerima kembali benda rampasannya. Kemudian
mundur beberapa langkah sampai di ambang pintu. Tiba-tiba ia melihat empat butir benda
berwarna kuning menyambar dirinya. Gugup ia menangkis berserabutan. Karena gerakannya
cepat, ia berhasil menangkis semua. Meskipun demikian, ia kaget bercampur heran. Segera ia mengamat-amati mereka berdua. Dilihatnya Sangaji tetap berada di tempatnya. Si pemuda
kumalpun tak berubah tempat, tetapi mulutnya tersenyum kecil.
"Baiklah! Lain kali kita bisa bertemu kembali," seru si pemuda mentereng. Ia melemparkan segenggam uang makanan, kemudian melesat pergi.
Sangaji heran menyaksikan tingkah-laku si pemuda mentereng. Mengapa dia tiba-tiba
menangkis berserabutan, pikirnya. Diapun melihat melesatnya empat butir benda kuning, tetapi ia tak dapat menduga darimana datangnya.
"Hai, mengapa benda tajam si pemuda tadi bisa berada di tanganmu?"
Si pemuda kumal tertawa. Katanya; "Selagi dia menyerangmu, benda itu jatuh. Lalu ku-pungut dan kuperlihatkan kepadanya. Coba kalau tidak secara kebetulan aku menemukan benda itu, kau bisa direndahkan ..."
Sangaji adalah seorang pemuda yang jujur. Menimbang, jawaban si pemuda cukup masuk akal, ia tak mengurus lebih lanjut. Waktu itu pelayan-pelayan restoran sedang sibuk memunguti uang si pemuda mentereng, dengan berdiam diri. Rupanya mereka kenal siapakah si pemuda mentereng itu. Maka mereka tak berani mengomel.
Dengan persetujuan si pemuda kumal, Sangaji pun membayar semua hidangan yang telah
disediakan. Jumlah penghitungannya sangat mahal. Semuanya berjumlah dua puluh ringgit. Tetapi Sangaji membayar harga hidangan dengan berdiam diri dan dengan gampang. Malahan, ia
memberi persen pula kepada para pelayan dan pemilik restoran. Keruan saja, dia dan temannya lalu mendapat perlakuan luar biasa. Mereka berdua dielu-elukan sebagai raja.
Kedua pemuda itu, keluar dari restoran tanpa tujuan. Willem dituntun Sangaji dan melangkah dengan gagah. Si pemuda kumal kagum.
"Maling-maling tadi akan merampas kudamu. Pasti kudamu bagus."
"Tidak hanya kudaku saja yang mau dirampas, tapi kantong uangku juga," sahut Sangaji.
Kemudian ia mengisahkan riwayat perjalanan dan keperkasaan Willem. Si pemuda ikut berbesar hati mendengar kegagahan Willem.
"Dia kuda jempolan," katanya memuji sambil melompat-lompat girang. Sejurus kemudian, dia diam seperti lagi berpikir. Berkata hati-hati, "Kak! Apa aku boleh minta sesuatu darimu?"
"Tentu!" sahut Sangaji cepat. "Katakan! Kalau aku bisa melakukan, tentu akan kukerjakan."
"Sebenarnya aku senang juga pada si Willem. Apa boleh kuminta?"
"Kamu senang benar" Baik, akan kuhadiahkan si Willem kepadamu," sahut Sangaji pula.
Si pemuda itu terperanjat. Sebenarnya dia hanya main-main belaka. Bukankah dia baru
berkenalan" la sudah dapat memastikan, kalau Sangaji akan menolak permintaannya. Tak tahunya
"di luar dugaan"Sangaji meluluskan permintaannya. Hebat pengaruh kerelaan Sangaji
melepaskan kudanya. Si pemuda kumal itu mendapat kesan bersimpang-siur. Hatinya bercampur keharuan mendalam. Dia adalah seorang pemuda yang menurut keterangannya, tiada beribu lagi.
la merasa tak dikehendaki juga oleh ayahnya. Itulah sebabnya, begitu menerima rasa kasihTiraikasih Website http://kangzusi.com/
sayang dari Sangaji, seketika itu juga air matanya mengalir, la menangis sedih sampai
membungkuk-bungkuk di pinggir jalan. Keruan saja, Sangaji yang tidak merasa berbuat sesuatu yang aneh, jadi kebingungan. Segera ia meraih dan minta penjelasan mengapa dia menangis.
"Apakah kamu sakit?" tanyanya.
Si pemuda menggeleng-gelengkan kepala. Tapi ia terus mendekam menyembunyikan mukanya.
"Adik! Apa yang salah?" Sangaji minta penjelasan lagi. Memang ia pantas memanggil si pemuda adik, karena usianya jelas lebih muda daripadanya.
Perlahan-lahan, si pemuda kumal mengangkat kepalanya. Kemudian menoleh dan mengamatamati Sangaji. Pandangnya penuh haru dan rasa terima kasih. Sebaliknya Sangaji merasa tak berbuat sesuatu. Kini malahan keheran-heranan, ketika melihat warna pipi si pemuda kumal yang kehitam-hitaman luntur sedikit. Di balik warna kulit yang kehitam-hitaman, tersembullah kulit muka lagi yang berwarna kuning langsat.
Apa dia menderita sakit, sampai menjadi pucat" Sangaji sibuk menduga-duga. Mendapat
dugaan demikian, cepat ia memapah si pemuda kumal dan diletakkan di atas pelana si Willem.
"Terima kasih," bisik si pemuda kumal. "Aku akan meneruskan perantauanku."
Sangaji mengangguk sambil menepuk paha si Willem. Ia berkata kepada kudanya: "Willem! Dia adalah sahabatku, tak beda dengan diriku sendiri. Lindungilah dia dan bawalah dia ke tempat tujuannya. Nah, pergilah!"
Willem lantas saja lari berderap. Sangaji mengikuti dengan pandangnya sampai makin lama
makin menjauh. Tiba-tiba ia melihat Willem berhenti beberapa waktu. Kemudian berputar kembali dan datang berbalik.
"Apa ada yang ketinggalan?" Sangaji menyambut.
Si pemuda kumal menggeleng. Tangannya melambai. Maka Sangaji menghampiri.
"Kak, apa aku boleh mengenal namamu?" ujar si Pemuda.
"Ah!" Sangaji terperanjat. Baru kini sadar, kalau selama berkumpul dan berbicara, masingmasing belum memperkenalkan namanya. Maka serentak ia menjawab, "Aku bernama Sangaji.
Kamu siapa?" Si pemuda kumal tak menyahut. Dia hanya mengulurkan sehelai kertas yang dilipat. Katanya memesan, "Bukalah, setelah dua hari dua malam. Kamu akan mengenal namaku."
Sangaji menerima lipatan kertas itu dengan berdiam diri. Setelah si pemuda pergi, dia
meneruskan berjalan mencari penginapan. Ia tidak keluar dari kamarnya sampai malam tiba
dengan diam-diam. Pengalamannya sehari tadi alangkah banyak dan menyenangkan. Tapi tatkala ia mau memadamkan lampu untuk terus tidur, tiba-tiba pintu kamar didobrak orang. Belum lagi dia menyapa, muncullah lima orang pemuda berpakaian putih di depannya. Itulah anak buah sang Dewaresi yang masih penasaran, karena kawannya seorang kena dirobohkan.
Perawakan kelima pemuda hampir sama. Hanya tiga orang yang nampak menyolok. Yang
pertama, berperawakan paling kokoh. Mukanya hitam dan berkumis tebal teratur.
Matanya bulat seperti gundu. Yang kedua, tinggi jangkung. Mukanya bopeng dan mulutnya
selalu mengulum senyum mengejek. Orang ini lantas saja melompat ke atas tempat tidur dengan menghunus golok. Nampaknya ia berangasan dan ditugaskan memegat Sangaji di atas
pembaringan, siapa tahu Sangaji menyimpan senjata rahasia di bawah bantal. Dan yang ketiga berperawakan gendut. Perutnya buncit. Mulutnya lebar. Telinganya persegi.
Melihat mereka menerobos masuk. Sangaji terperanjat. Apalagi dia telah dapat menebak siapa mereka. Segera ia mundur ke sudut menjaga kemungkinan.
Si kurus bopeng yang berada di atas pembaringan, lalu berkata nyaring, "Kau baru tahu kami sekarang, bukan" Hai lebarkan lobang telingamu dan dengarkan. Kami semua anak buah sang
Dewaresi, berasal dari Banyumas. Kau tahu, siapakah sang Dewaresi" Meskipun bukan Adipati maupun Bupati, tapi beliau merajai seluruh daerah Banyumas. Biar bupati Banyumas sendiri, membungkuk sepuluh kali dulu sebelum berbicara. Dan sekarang, siapa dia yang berdiri tepat di depanmu?"
Sangaji mengarah kepada orang yang berperawakan paling kokoh dan berkumis tebal teratur.
Terdengar si kurus bopeng memperkenalkan, "Dialah pemimpin rombongan kami. Namanya
Kartawirya berasal dari Tasikmalaya. Orang Banyumas memberi julukan padanya, Singalodra. Dan dia yang gemuk itu bernama Cekatik gelar Simpit Ceker Bebek. Sebab biarpun gendut, dia bisa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berenang menyeberangi Nusakambangan seperti itik. Yang dua itu Kasun dan Maling. Aku sendiri diberi julukan Setan Kobar, sebenarnya nama kanak-kanakku Bagus Irawan ..."
Mendengar si kurus bopeng menyebut dirinya Setan Kobar, Sangaji bisa menerima. Memang
rupanya mirip setan seumpama di dunia ini benar-benar ada setan. Tapi tatkala memperkenalkan nama kanak-kanaknya sebagai Bagus Irawan, itulah yang tak cocok sama sekali. Bagaimana si kurus jangkung lagi bermuka bopeng, bisa mempunyai nama Bagus. Diam-diam, ia tertawa geli dalam hati. Tapi mulutnya membungkam dan kewaspadaannya tiada kurang.
"Sebenarnya apa maksud kalian kemari?" dampratnya.
Si Setan Kobar tertawa meriah memekakkan telinga. Lalu menjawab, "Kami anak buah sang
Dewaresi tak biasa dihina orang. Lagi pula tak pernah kami memberi hutang piutang. Tapi kalau toh ada orang hutang satu, harus membayar satu pula. Kontan dan pakai bunga. Nah, dengarkan apa kata pemimpin rombongan kami!"
Sangaji pernah mendengar nama Kartawirya dari keterangan gurunya Wirapati. Dialah yang
memberi tanda udara dan mengincar kantong uangnya. Pikirnya, orang ini tentu bukan orang sembarangan. Melawan dia seorang, belum tentu aku menang. Sekarang di sini ada lima orang.
Baiklah, aku berlaku bijaksana. Memikir demikian ia melirik ke jendela. Tapi si Setan Kobar benarbenar awas seperti setan. Dia tahu maksud Sangaji, lalu mendamprat sambil tertawa meriah.
"Jangan kau berpikir bisa lari meloncat jendela! Baiklah dengarkan kata sang Singalodra akan berbicara, supaya kupingmu tidak kehilangan sepatah katanya."
Sangaji sadar, dia benar-benar terkurung rapat. Berbicara dalam hal pengalaman, mana bisa dia mengatasi "mereka. Maka mau tak mau ia terpaksa mendengarkan dampratan si kurus
bopeng. "Bocah" kata Kartawirya garang. "Tak biasa aku menagih hutang seorang bocah. Lagipula,
mana bisa aku menerima pembayaran tanpa bunga. Sekarang jawablah! Di mana gurumu?"
"Guruku tidak di sini" Kalau ada, masa membiarkan aku kalian kurung?"
Jawaban Sangaji tepat dan masuk akal. Maka Kartawirya nampak terperanjat dan kecewa.
Katanya, "Ah! Kalau begitu, kuberi kau kesempatan untuk bernapas malam ini. Esok pagi, kau harus datang menemuiku di perbatasan Cirebon sebelah timur bersama gurumu. Dengan begitu, kau bisa membayar hutang sebagaimana mestinya. Aku akan menunggu."
Setelah berkata demikian, Kartawirya keluar dari kamar sambil memberi perintah: "Kita pergi!
Tutup pintu!" Mereka semua keluar dari kamar. Si kurus bopeng melompat turun dari atas pembaringan. Lalu ia menutup pintu kamar dengan gerakan menghentak. Tentu saja, pintu terbanting keras sampai berbunyi berbeletokan.
Sangaji mendengar mereka menggerendel pintu. Kemudian ia memadamkan pelita dan duduk
di tepi pembaringan. Lantas ia mengintip keluar dari sela-sela jendela, dilihatnya kamar terjaga rapat. Nampak si Setan Kobar, Cekatik gelar Simpit Ceker Bebek berjalan mondar-mandir bersama Kasun dan Maling.
Kira-kira seperempat jam lagi, Sangaji mendengar suara gemerisik di atas genting. Lalu
terdengarlah bentakan si kurus bopeng, "Hai bocah! Jangan kaukira bisa kabur!"
Sangaji heran. Siapakah yang dimaksudkan si kurus bopeng. Dia sendiri berada di dalam
kamar. Dengan menahan napas, ia benar-benar mengintip, mereka kelihatan sibuk. Si kurus
bopeng dan Cekatik gelar Simpit Ceker Bebek memasuki alam gelap seakan-akan bergerak
mengejar sesuatu. "Kita berdua tetap di sini," bisik Kasun kepada Maling.
"Mengapa tidak membantu?" bantah Maling.
"Mereka pasti bisa menangkap dia. Apa perlu kita ribut-ribut?"
Mereka kemudian tidak berkata-kata lagi. Kesenyapan menyulubungi seluruh alam. Hanya
napas mereka berdua terdengar kempas-kempis. Sangaji menghampiri pembaringan. Hati-hati ia menidurkan diri. Tapi sampai hampir pagi, matanya tetap menyala.
Tatkala matahari menjenguk di udara, pelayan rumah penginapan datang membuka kamar.
Pelayan itu mengucapkan selamat pagi dan datang mengantarkan makan pagi. Sangaji melompat dari tempat tidur. Betapa herannya, Kasun dan Maling tidak nampak batang hidungnya. Jadi semalam, kamarnya tidak terjaga. Tapi karena sudah berjanji, ia mempersiapkan diri untuk menemui Kartawirya di suatu tempat yang sudah ditentukan semalam. Cepat-cepat ia makan dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
segera membayar penginapan. Di luar penginapan, mendadak ia disambut oleh Kasun. Orang itu memperlihatkan goloknya sambil memberi syarat agar mengikuti.
Kalau mau melawan, Sangaji merasa sanggup menumbangkan pemuda itu. Tetapi ia dididik
kedua gurunya berwatak kesatria. Sekali berjanji, emoh ia mengingkari. Maka ia menurut.
Ternyata dia dibawa mengarah ke timur. Sampai di perbatasan wilayah Cirebon, ia tak
menjumpai sesuatu. Kini, hutan panjang mulai lergelar di depannya. Sangaji mulai berpikir, Guru berada di suatu tempat entah di mana. Tak mungkin mereka bisa tiba menolong diriku. Daripada aku di hina mereka, lebih baik kulawan sampai mati.
Mendapat keputusan demikian, hatinya mantap. Ia disuruh menunggu di bawah pohon. Kasun
kemudian pergi meninggalkannya seorang diri. Karena lama tidak muncul kembali, duduklah dia bersemadi menurut ajaran Ki Tunjungbiru. Getah Dewadaru lantas saja bekerja. Seluruh tubuhnya terasa hangat dan segar.
Hampir siang hari, dia menunggu. Kasun tak muncul lagi. Ke mana dia" Apa dia sedang
mengatur jebakan bersama teman-temannya" Serentak ia berdiri dan menghunus pedang.
Selangkah demi selangkah ia memasuki hutan. Matanya dilayangkan ke sekitarnya, hendak
berjaga-jaga jika terjadi suatu serangan tiba-tiba. Sekonyong-konyong teringatlah dia kepada pesan gurunya Wirapati, 'Sekiranya kau merasa tak bisa memenangkan lawan, lebih baik
mengundurkan diri!' Karena ingatan itu dia berpikir, sekarang tidak seorangpun yang mengawasi aku. Mengapa aku tak melarikan diri. Hutan ini cukup lebat. Masa kurang akal untuk
menyembunyikan diri"
Ia segera mau melarikan diri, sekonyong-konyong terdengarlah suara makin kalang-kabut.
"Hai monyet! Kambing! Jangkrik! Anak haram jadah!"
Ia heran bercampur kaget. Menilik suaranya, itulah lagu-suara si kurus-bopeng dan ketiga temannya. Dimanakah mereka berada" Sangaji memutar pedangnya, menjaga suatu
kemungkinan. Tapi, mereka tidak juga datang menyerang.
"Hai monyet! Kambing! Jangkrik! Anak haram jadah!" Terdengar lagi mereka memaki kalangkabut. Sangaji terkesiap. Cepat ia mendongak. Ia sercengang-cengang sampai berdiri terlongohlongoh. Di atas pohon si kurus bopeng, Cekatik gelar Simpit Ceker Bebek dan Maling kelihatan bergantungan. Kedua kaki dan kedua tangan mereka terikat erat-erat. Nampaknya, mereka seperti terkerek ke atas dahan yang paling tinggi. Tali kerekan ternyata terpancang pada pohon lain, mereka mencoba meronta-ronta saat melihat Sangaji. Tetapi justru bergerak, tubuhnya lantas berputaran. Karena di antara seluruh anggota badannya hanya mulutnya yang bebas, maka
mereka memaki kalang-kabut sejadi-jadinya.
Sangaji benar-benar heran. Tetapi melihat rubuh mereka berputaran dan bagaimana mereka
repot hendak berusaha menghentikan Sri. mau tak mau dia tertawa tergelak-gelak.
"Apa kamu sedang main akrobat" Jangan banyak cing-cong" Ayo turun! Tak sudi aku Telihat
permainanmu." Sangaji agak geli.
Mendengar Sangaji berteriak demikian, si mrus bopeng yang berangasan lalu memaki kalangkabut lagi, "Monyet! Kambing! Jangkrik! Anak haram jadah! Moga-moga kau digerumuti iblis!"
Sangaji tertawa terbahak-bahak. Ia memang telah memutuskan mau melarikan diri. Begitu ia melihat mereka berada di atas pohon, bukankah sudah terang di mana mereka kini berada" Maka ia mengundurkan diri sambil berseru, "Maaf! Tak bisa aku memenuhi undangan pemimpinmu! Aku terpaksa pergi!"
Mereka memaki kalang-kabut lagi. Kali ini lebih seram dan sibuk. Merasa diri sebagai anak-buah sang Dewaresi yang disegani orang di seluruh Banyumas, mereka malu untuk minta pertolongan.
Tetapi begitu melihat Sangaji hampir menghilang di balik belukar, berubahlah pikiran si kurus bopeng. Ia takut mati kering di atas pohon. Dengan melupakan rasa harga diri, ia berteriak,
"Bocah bagus, kami menyerah kalah! Bebaskan kami dari siksaanmu!"
Sangaji heran mendengar bunyi teriakannya. Mereka mengira, dialah yang mengerek-nya ke
atas pohon" Ia berpikir sejenak. Kemudian menghampiri sambil berseru, "Sebenarnya siapa yang menggantungmu?"
"Kau masih saja mau mempermainkan kami" Kalau bukan kamu, siapa lagi?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekarang dia tak ragu-ragu lagi. Pasti ada seseorang yang menolong dirinya dengan diamdiam. Siapa" Apakah si pemuda mentereng di restoran kemarin"
Menimbang, antara dia dan mereka sebenarnya tidak pernah merasa bermusuhan, maka ia
memutuskan mau menolong juga. Perlahan-lahan ia mengerek mereka turun sampai ke tanah.
Ternyata mereka terikat erat-erat mulai dari leher sampai ke ujung kaki dengan tali duk. Pantas mereka tak bisa berkutik sama sekali.
Sebelum membebaskan ikatan, ia menotok urat-urat nadi mereka agar tak bisa bergerak.
Kemudian pangkal paha di depaki. Sekalipun mereka berkaok-kaok kesakitan, ia tak
mempedulikan. "Mana pemimpinmu yang bernama Kartawiya?"
"Bangsat!" maki si kurus bopeng sambil menahan rasa nyeri. "Bukankah dia sedang
mengejarmu" Kausesatkan di mana dia sekarang?"
Sangaji tak menjawab. Ia melangkah pergi dengan berdiam diri. Berpikir, Kartawirya mengejar penolongku. Mereka bertiga digan-smg di atas pohon. Pantas Kasun tidak muncul kembali. Orang itu setelah melihat rekanrekannya tergantung di atas pohon, diam-diam lalu melarikan diri daripadaku. Diapun pasti mengira, aku yang menyiksa teman-temannya.
Maka kini ia melangkah dengan mantap. Dalam hati ia memuji penolongnya. Ia yakin, si
penolong memiliki ilmu berkelahi jauh lebih tinggi daripadanya. Cuma saja, ia tak bisa menduga-duga siapa orang itu.
Ke luar dari hutan, Sangaji meneruskan perjalanannya ke timur. Dua jam lamanya dia berjalan.
Menjelang sore hari, sebuah kereta pos militer lewat berderapan. Ia berseru hendak menumpang.
Mula-mula ditolak, tapi ketika dia memperhatikan kantong uangnya, maka ia dipersilakan dengan hormat.
Sais kereta pos militer ternyata seorang serdadu asal dari Jawa Timun. Dua temannya yang lain berasal dari kepulauan Maluku. Usianya sudah pertengahan. Menurut tutur katanya, lima tahun lagi dia bakal pensiun. Ia tukang bicara. Selama dalam perjalanan, mulutnya tak pernah berhenti.
Ia bercerita tentang pengalamannya menjadi serdadu. Seringkali dia mengalami pertempuran sengit. Setelah mengisahkan tentang macam pertempuran, tak lupa pula mengomongkan perkara perempuan. Matanya lantas saja menyala-nyala seperti anjing serigala. Katanya, semua
perempuan yang hidup di seluruh kepulauan Nusantara, pernah dijelajahinya.
Tak biasa Sangaji mendengar omongan perkara perempuan. Maka cepat saja, hatinya merasa
muak. Tetapi ia terpaksa mendengarkan. Apalagi merasa berkat pertolongannya bisa menumpang kereta berkuda. Ia hanya mengharapkan, moga-moga kereta lekas-tekas sampai ke tempat
tujuan. Pukul sepuluh malam, sampailah dia di Tegal. Ia membayar biaya kereta yang langsing menjadi milik si serdadu, kemudian cepat-cepat mencari penginapan. Tetapi mana bisa dia mencari rumah penginapan pada waktu pukul sepuluh malam. Terpaksa ia beristirahat di teritisan sebuah toko.
Teringatlah dia pada riwayatnya dua belas tahun yang lalu, tatkala dengan ibunya harus tidur d teritisan pada waktu malam hari. Mengingat hal itu, terkenanglah dia kepada cinta kasih ibunya.


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa sadar, air matanya berlinangan.
Selagi benaknya dihanyutkan oleh lamunannya, sekonyong-konyong ia mendengar gen-dang
sekali-kali berbunyi dang-ding-dung. la melongok ke jalan. Dilihatnya seorang laki-laki berjalan pincang sedang menuju ke arahnya. Laki-laki itu berumur pertengahan. Di pung-gungnya
tergantung sebuah gendang. Ia berjalan bersama seorang gadis kira-kira berumur 18 tahun. Lakilaki itu membawa si gadis berhenti beristirahat di teritisan toko itu juga.
Ah, diapun terpaksa menginap pula di sini seperti aku, pikir Sangaji.
Melihat seorang pemuda mengenakan pakaian mahal, laki-laki itu kaget. Ia mengira, Sangaji adalah anak atau pegawai dari toko tersebut. Maka dengan hormat laki-laki itu berkata, "Tuan Muda, apakah kami boleh menumpang beristirahat barang sebentar di sini?"
"Tentu," Sangaji menyahut heran. "Akupun seorang penumpang seperti Bapak."
"Ah!" Laki-laki itu kini menjadi heran. Lalu ia duduk di samping Sangaji, sambil merentangkan kakinya. Ternyata betis laki-laki itu yang sebelah kanan, buntung seperti terpagas dan disambung dengan bumbung .
"Apakah Tuan Muda bukan penduduk kota Tegal?" dia bertanya kepada Sangaji.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku datang dari Cirebon, Pak. Karena terlalu malam, aku tak mendapat penginapan."
"Tuan Muda mau ke mana?"
"Ke Pekalongan."
"Eh, sejalan dengan kami pula," kata laki-laki itu sambil memberi tempat kepada gadis-nya.
Lalu dia tak berkata-kata lagi. Agaknya da terlalu capai dan sudah biasa hidup dalam perantauan.
Itulah sebabnya, dia gampang tidur di mana saja dia berada. Lain halnya dengan Sangaji.
meskipun dia pernah mengalami tidur di teritisan pada masa kanak-kanaknya, aetapi nasibnya kemudian sudah berubah baik. Kecuali itu, ingatannya diamuk oleh kenangan-ya sendiri semasa kanak-kanak yang begitu pahit. Maka hampir satu malam penuh, tak dapat ia memicingkan mata barang seben-tarpun.
Sebelum fajar menyingsing, diam-diam ia meninggalkan teritisan. Laki-laki berkaki buntung dengan gadisnya masih saja tidur dengan naknya. Ia terus berjalan mengarah matahari terbit.
Kira-kira menjelang sore hari, sampailah da di Pekalongan. Di kota ini, ia mendapat tumah penginapan. Semalam penuh ia tidur menebus rasa lelahnya.
Pada keesokan harinya, ia terbangun karena ketukan lembut. Segera ia membuka pintu dan
dilihatnya, pelayan rumah penginapan berdiri dengan hormat di depannya. Kata pelayan itu,
"Semalam ada seorang pemuda yang tak mau menyebutkan diri menanyakan tentang keadaan
Tuan. Dia titip pesan kepada kami, apa Tuan sudah membuka lipatan kertas?"
Mendengar ujar pelayan rumah penginapan, Sangaji kaget seperti tersengat lebah. Baru dia ingat pada kertas lipatan yang diberikan kawan barunya. Menduga kalau orang yang datang ke rumah penginapan adalah pemuda itu, girangnya bukan kepalang. Untung buat si pelayan, ia mendapat persen tak terduga-duga. Keruan dia bergembira sampai tak bisa berbicara.
"Apa dia datang?" seru Sangaji gembira.
Pelayan itu cuma bisa mengangguk.
"Di mana dia sekarang?" Sangaji menegas.
"Dia lantas pergi."
"Kapan?" "Semalam." Sangaji kecewa. Tetapi ia yakin, kalau kawannya itu masih berada di dalam kota. Maka cepatcepat ia merapikan pakaiannya. Kemudian lari ke kamar mandi.
Pekalongan ternyata bukan kota kecil. Banyak pula gedung-gedung Tionghoa berdiri dengan
megahnya. Selain itu, gedung-gedung pemerintahan banyak yang mentereng pula. Pantas
setengah abad yang lalu pernah meletus pemberontakan hebat di kota ini, pikir Sangaji.
Sangaji terus berjalan-jalan tanpa tujuan. Ia memutuskan mau berusaha mencari kawannya.
Selain itu, siapa tahu kedua gurunya sudah tiba juga di kota ini. Bukanlah menurut tutur-kata mereka akan datang ke Pekalongan intuk menyelidiki suatu perserikatan yang mencurigakan"
Kira-kira pukul sepuluh, Sangaji memasuki sebuah restoran kecil. Sesudah itu ia bersiap untuk berangkat lagi. Mendadak tak jauh dari restoran itu, terlihatlah suatu lapangan penuh kerumunan orang. Sebagai seorang yang datang dari jauh, cepatlah dia tertarik. Ia mengira suatu tontonan rakyat. Mungkin lenong Jawa Barat, mungkin pula kentrung Pesantren atau tontonan khas dari daerah Pekalongan.
Ia menyusup di antara penonton. Ternyata benar dugaannya. Orang-orang lagi merubung
tontonan lenong Jawa Barat. Tapi anehnya, tetabuhannya hanya sebuah gendang. Dari
pembicaraan orang-orang di depannya, tontonan itu adalah sebuah Gendang Pencak.
Sangaji melongok ke dalam arena. Alangkah terkejutnya! Di dalam arena nampaklah seorang
laki-laki berkaki buntung lagi memukul gendang dengan seorang gadis berdiri di sampingnya.
Gadis itu mengenakan pakaian merah potongan laki-laki. Bukankah mereka berdua yang menginap di teritisan sebuah toko di Tegal, kemarin malam" Kalau dulu Sangaji tak begitu memperhatikan, kini diam-diam mengagumi perawakan si gadis. Ternyata gadis itu berperawakan tinggi sedang.
Tubuhnya singsat, rambutnya terurai panjang dan berwajah amat cantiknya.
Sangaji seorang pemuda yang masih terbuka hatinya. Meskipun ia tahu arti cantik, tetapi tidak berpikir lebih jauh. Karena itu, hatinya belum bisa tertambat oleh arti kecantikan seorang gadis.
Itulah sebabnya, ia bisa tak menghiraukan kejelitaan Sonny De Hoop.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Si gadis merah kelihatan membisiki telinga laki-laki buntung. Segera laki-laki buntung
meninggalkan gendangnya dan kemudian berbicara keras, "Tuan-tuan, kami berasal dari Jawa Barat. Sebenarnya aku dulu pernah hidup di Jawa Tengah. Namaku Mustapa. Karena sesuatu
kejadian, aku meninggalkan kampung halaman dan merantau tanpa tujuan. Aku bertemu dengan ayah si gadis. Dia seorang ahli pencak dari Garut. Pada suatu malam ia sakit keras dan
menyerahkan gadisnya. Dia berpesan sebelum meninggal, kalau gadisnya mewarisi ilmu silatnya.
Itulah warisan satu-satunya yang bisa diberikan kepada gadisnya. Biarlah anakku kelak mendapat jodohnya dengan berbekal ilmu silatnya, kata ayahnya. Setelah dia meninggal,' gadisnya ikut merantau denganku. Gadis ini bernama Nuraini. Sudah kuajak dia menjelajah negeri. Mulai dari Jawa Timur sampai Banyumas. Terus ke Cirebon dan hari ini tiba di sini. Di mana kami berada, selalu kami selenggarakan arena mengadu nasib. Barangsiapa dapat mengalahkan ilmu silatnya, Nuraini akan bersedia menyerahkan diri. Aku selalu mengharap-harapkan kebahagiaannya, agar dia jangan ikut bersengsara seperti nasibku. Tetapi di mana saja kami berada, belum pernah Nuraini dikalahkan orang. Itulah sebabnya, aku mohon bantuan Tuan-tuan sekalian. Pekalongan terkenal dengan harimau dan naga-naganya yang bersembunyi di belakang tembok kotanya. Aku berharap, moga-moga harimau dan naga pekalongan muncul pada hari ini. Siapa tahu, disinilah bersembunyi jodoh Nuraini... Tuan-tuan, janganlah segan-segan. Memang pertunjukan ini masih asing bagi tata pergaulan di Pekalongan. Sebaliknya sudah menjadi suatu kelumrahan di Jawa Barat..."
Kemudian Mustapa mengabarkan tentang pertunjukan semacam itu di Jawa Barat.-Menurut dia, semua anak-anak ahli silat akan mencari jodohnya dengan berbekal ilmunya. Barangsiapa bisa mengalahkan, dia akan bersedia mengabdikan diri seumur hidupnya.
Bahkan bagi seorang gadis yang benar-benar tinggi ilmunya, berani mencanangkan diri
berlebih-lebihan. Barangsiapa dapat menyentuh dadanya, dia sudah mengaku kalah.
Sehabis Mustapa mencanangkan diri, kembali ia memukul gendang sejadi-jadinya. Dan kembali Sangaji mengamat-amati si gadis Nuraini. Benar-benar dia rupawan tidak bercela. Pribadinya agung. Sayang, dia bukan anak seorang pangeran atau bupati. Sekiranya dia anak seorang
pangeran atau bupati takkan mungkin mencari jodohnya lewat suatu pertandingan umum.
Selagi ia merenung-renung, sekonyong-konyong melompatlah seorang laki-laki tegap tinggi.
Mendengar logat bahasanya, ia berasal dari daerah Jawa Barat pula. Rasa segan atau malu tidak nampak. Mungkin arena pertandingan begitu, sudah seringkali dikenal dan pernah juga menguji untung nasibnya.
Nuraini lantas saja melesat di tengah gelanggang. Sangaji terperanjat. Ia tak menyangka, si gadis bisa bergerak begitu enteng dan tangkas. Pikirnya, benar-benar mengherankan! Ilmu
silatnya, ternyata tak lemah. Pantas ia susah dikalahkan ... Memikir demikian, hatinya jadi semakin tertarik.
Sebentar saja perkelahian telah dimulai.
Perkelahian itu makin lama makin seru. Penonton bersorak-sorai menjagoi masing-masing.
Setelah berlangsung beberapa waktu, mulailah terjadi suatu kelompok pertaruhan.
Nuraini tidak hanya pandai bersilat, tetapi cerdik pula. Ia berpura-pura membuka lowongan.
Terang, ia sedang memancing. Sebaliknya melihat lowongan itu, lawannya menduga dia sedang lengah. Cepat ia diserang. Dengan kecepatan luar biasa, Nuraini mengendapkan diri dan menyapu lawannya dengan kakinya. Tak ampun lagi, laki-laki yang mencoba mengadu untung jatuh
terjengkang sampai kedua tangannya sibuk menerkam tanah. Penonton bersorak mengguntur.
Dan laki-laki itu melompat menyelinapkan diri dengan wajah merah dadu. Ia hilang di antara penonton dan kabur entah ke mana.
Arena jadi sepi kembali. Sekali lagi, Mustapa bercanang memperkenalkan si gadis. Setelah itu menunggu beberapa waktu lamanya. Jika tidak ada lagi yang berani memasuki gelanggang ia
berdiri sambil berkata nyaring, "Sayang Tuan-tuan ... hari sudah menjadi panas. Perkenankan kami mengundurkan diri. Kami bermalam di sebuah losmen murahan di dekat pemberhentian
kuda. Besok pagi, kami akan datang kembali. Mudah-mudahan kedatangan kami ini akan lekas tersiar di seluruh pelosok-pelosok kota. Kami mengharapkan muncul harimau dan naga
pekalongan yang sudah terkenal semenjak satu abad yang lalu..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sehabis berkata begitu, ia bersiap-siap hendak meninggalkan gelanggang. Penontonpun akan segera bubar. Mendadak terdengarlah suara keras parau, "Tunggu dulu!"
Itulah suara seorang laki-laki sudah ubanan. Mukanya sudah berkeriput. Punggungnya
bongkok. Terang, dia berumur melebihi 60 tahun. Tapi ia gesit. Habis berseru, ia melompat ke tengah gelanggang.
Melihat munculnya si tua bangkotan, orang-orang jadi tertawa bergegaran. Seorang laki-laki usia pertengahan yang bercambang tebal, lantas memasuki gelanggang sambil mendamprat, "Hai anjing buduk! Benar-benar kau mau merebut isteri?"
Orang-orang tertawa lagi bergegaran. Karuan si tua bangkotan merasa tersinggung
kehormatannya. Ia membalas mendamprat, "Kenapa" Kenapa" Ini kan merdeka. Siapa saja boleh mengadu untung, bukan" Meskipun aku berusia lanjut, tapi aku laki-laki. Lagi pula, aku tak beristeri."
"Baik! Baik! Biarpun kau tak beristeri dan kemudian bisa memenangkan pertaruhan ini, apa tidak iba kepada nasib si gadis" Paling-paling kau bisa tahan hidup hanya tiga tahun lagi. Apakah si gadis yang begini remaja, akan terpaksa hidup jadi janda?"
Si tua bangkotan gusar bukan kepalang. Ia maki kalang-kabut.
"Kau bukan Tuhan! Kau bukan malaikat! Kau bukan iblis yang bisa meramalkan umurku. Aku
percaya, umurku bakal cukup panjang. Apalagi kalau aku memperisteri dia, umurku bisa mencapai dua ratus tahun lagi..."
Laki-laki berusia pertengahan yang bercambang tebal, tertawa geli. Katanya, "Aku berasal dari Jawa Timur. Terus terang, aku pernah kawin sampai lima kali. Namun selalu gagal. Kali ini, akupun akan mencoba mengadu untung. Kalau aku bisa membawa bunga itu pulang ke Jawa
Timur, aku akan bersumpah takkan kawin lagi."
Penonton tertawa berbareng. Mereka mendapat kesan lain daripada si tua bangkotan. Meskipun demikian, artinya setali tiga uang. Kedua-duanya paling tidak bekas buaya buntung.
Sebaliknya kasihan buat Nuraini. Meskipun terpaksa mengadu untung nasib dirinya lewat
gelanggang, dia seorang gadis yang bersih suci. Begitu mendengar omongan mereka berdua,
mukanya merah dadu karena merasa terhina. Serentak ia hendak melesat menghajar mereka
berdua dengan sekaligus. Tetapi Mustapa mencegahnya.
"Tenangkan dirimu. Ayahmu telah mempercayakan dirimu kepadaku. Mana bisa aku
membiarkan kamu dihina orang" Kalau mereka nekad mau memasuki pertaruhan ini, biarlah aku yang maju."
Waktu itu si tua bangkotan dan si cambang tebal masih saja mengadu omongan. Lalu Mustapa memberi jalan penyelesaian. Katanya nyaring, "Kamu berdua berkelahilah dulu. Siapa yang
menang, maju melawan aku."
"Bagus!" seru si cambang tebal bergembira. Ia meludah ke tanah sambil merapikan pakaiannya. "Ayo kita mulai, hai anjing buduk!" tantangnya.
Si tua bangkotan gusar bukan kepalang. Terus saja dia mengirimkan tinjunya. Begitulah, maka mereka berdua lantas saja berkelahi amat serunya.
Sangaji memperhatikan cara mereka berkelahi. Masing-masing mempunyai gerakan-gerakan
tubuh yang berbeda. Si cambang tebal mengandalkan keperkasaan tubuhnya.
Tinjunya menyambar-nyambar hebat dan bergemuruh. Sebaliknya, si tua bangkotan seperti
mempunyai ilmu kebal. Ia tak takut kena gebuk. Malahan, seringkali kepalanya sengaja dibuat perisai.
Satu kali, si cambang tebal berhasil menggebuk si tua bangkotan sampai empat kali beruntun.
Tapi. si tua bangkotan, benar-benar bandel. Gebukan hebat itu tak dihiraukan. Ia menyusup ke bawah ketiak dan menumbuk perut si cambang tebal. Tumbukan itu sama sekali tak terduga-duga. Si cambang tebal terpental dan jatuh cekakaran di atas tanah. Keruan saja penonton jadi tertawa mengguruh, mengingat lagaknya yang tadi begitu merendahkan si tua bangkotan.
Sejalan dengan watak orang Jawa Timur, si cambang tebal itu tak mau dihina orang. Ia lebih suka mati daripada menanggung hinaan. Cepat ia bangkit dan menghunus golok. Serunya, "Anjing buduk, kau mempunyai ilmu kebal. Sekarang coba tahan bacokanku."
Si tua bangkotan jadi was-was. Ia mencabut senjatanya pula yang berupa sebuah penggada
terbuat dari besi. Melihat mereka mencabut senjata, penonton jadi ketakutan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tahan mereka!" terdengar seruan di antara penonton.
Mendengar teriak penonton, Mustapa jadi tersadar. Kalau sampai terjadi suatu pembunuhan, mau tak mau ia akan diseret di depan pengadilan. Maklumlah, dia yang bertanggung jawab
terjadinya arena adu nasib.
Cepat-cepat ia bertindak. Ia maju tertatih-tatih sambil berteriak keras, "Tahan! Tahan! Tak boleh kalian menggunakan,senjata tajam!"
Dua orang itu sedang bertempur mati-matian. Sudah barang tentu tak mendengarkan teriakan Mustapa.
Melihat mereka tak menghiraukan dirinya, mendadak ia melesat menyerbu. Dengan sekali
tendang, kedua senjata masing-masing kena dikaburkan. Sehabis itu ia menghajar masing-masing pula dengan satu depakan. Kedua-duanya terpental jatuh dengan napas kempas-kempis.
Para penonton kagum kepada keperkasaan Mustapa, sampai mereka bersorak memuji. Sama
sekali mereka tak menyangka, kalau si buntung bisa berkelahi begitu hebat. Dengan garang ia menantang si tua bangkotan dan si cambang tebal. Kedua-duanya menjadi kuncup dan pergi
meninggalkan gelanggang dengan berdiam diri.
Sangaji kini mengamat-amati Mustapa. Perawakan Mustapa tinggi besar. Dadanya bidang dan
mengesankan bentuk tubuh yang kekar. Punggungnya bungkuk sedikit, tetapi pandang mukanya tajam berwibawa. Sayang, agak keruh dan berkerinyut. Rambutnya sudah separoh putih.
Dibandingkan dengan kekekaran tubuhnya, rambutnya putih terlalu cepat. Teringatlah dia tutur-kata orang, kalau orang yang banyak berduka akan cepat menjadi tua.
"Ayo, kita pulang. Tak perlu lagi menginap di kota ini. Kita terus ke Semarang!" katanya mendongkol kepada Nuraini.
Si gadis mengangguk dan penonton siap bubar. Selagi mereka hampir berpencaran, terdengarlah suara tapak kuda berderapan. Beberapa penunggang kuda datang menghampiri
lapangan. Dilihat dari pakaiannya, terang mereka bukan penduduk Pekalongan. Yang berada di depan adalah seorang pemuda yang berpakaian amat mentereng. Roman mukanya tampan luar
biasa. Sangaji terkejut. Begitu melihat si pemuda, lantas saja dia mengenalnya. Itulah si pemuda mentereng yang dulu menyerang dirinya di restoran Nanking Kota Cirebon.
Yang menunggang kuda di belakangnya berlaku sangat hormat kepadanya. Ternyata mereka
adalah pengiring si pemuda. Mereka segera menghentikan kudanya, tatkala si pemuda mentereng menahan les. Si pemuda mentereng ternyata sedang memperhatikan gelanggang. Ia heran
melihat kesibukan orang. Saat pandang matanya tertumbuk kepada Mustapa dan Nuraini, hatinya jadi tertarik. Segera ia menghampiri dan bertanya minta penjelasan, "Apa sudah bubar?"
Dengan gugup, Mustapa menghadap padanya. Sekali pandang tahulah dia, kalau pemuda itu
pasti bukan orang sembarangan. melihat dandanannya paling tidak anak seorang adipati atau pangeran.
"Sebenarnya ini pertunjukkan Gendang Pencak," jawabnya hormat.
"Gendang Pencak" Apa itu?"
Mustapa kemudian menerangkan dengan sejelas-jelasnya. Si pemuda jadi makin tertarik.
Katanya, "Apa dia yang bernama Nuraini?"
Mendengar namanya disebut, Nuraini menundukkan pandang. Wajahnya memerah dadu. Justru
begitu, kecantikannya malahan bertambah. Ia berusaha membuang muka ke samping. Jantungnya berdegupan. Selama merantau hampir ke seluruh pulau Jawa, belum pernah ia menjumpai
seorang pemuda begitu tampan.
Ternyata pemuda itu tertarik pula pada kecantikan wajahnya. Ia melompat turun dari kudanya dan buru-buru salah seorang pengiringnya menyambar les.
"Bagaimana aturan pertandingan ini?" tanyanya.
Mustapa segera memberi penjelasan dengan sikap sangat hormat.
"Hm ... apa aku boleh mencoba-coba?" kata si pemuda.
"Ah, paduka bergurau ..." sahut Mustapa dengan tertawa lebar.
"Kenapa aku mesti bergurau?"
"Sebabnya begini. Kami ini termasuk rakyat jelata, tetapi sebisa-bisanya meniru adat para kesatria. Kalau berkata satu harus satu. Kalau sudah berjanji, pantang mengingkari," ujar Mustapa. "Nuraini diserahkan almarhum ayahnya kepadaku. Kubawa dia berkeliling ke selu-ruh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
negeri dengan harapan agar cepat mendapat jodoh. Barang siapa mampu mengalahkan, dialah
jodohnya. Baik Nuraini maupun yang akan mencoba kepandaiannya, masing-masing terikat janji kesatria ..."
"Apa selama ini belum pernah ada yang mengalahkan?" si pemuda memotong seolah-olah tidak mendengarkan ujar Mustapa.
"Seluruh daerah Jawa Timur dan hampir seluruh daerah Jawa Tengah pernah kami lalui. Jika sudah ada yang berhasil mengalahkan, tentu saja tak bakal kami tiba di Pekalongan."
"Ah! Masa tidak ada yang bisa mengalahkan" Aku tak percaya."
"Benar." Mustapa mencoba mempertahankan. "Barangkali, karena para pendekar segan
memenuhi harapan kami berdua. Mungkin karena suatu alasan tertentu. Mereka sudah beristeri atau karena tak tega bertarung melawan Nuraini..."
"Kalau begitu, biarlah aku mencoba-coba. Ayo!" kata si pemuda. Mendengar kata-kata si
pemuda yang diucapkan dengan jelas, penonton yang hampir bubaran berkumpul kembali.
Sebentar saja arena pertandingan penuh sesak. Yang tadi membuat pertaruhan, mulai pula
berunding dan mencari petaruh-petaruh baru.
Diam-diam Mustapa girang hatinya. Pemuda itu tampan lagi seorang anak ningrat. Ia berdoa, moga-moga dialah jodoh si gadis. Nuraini sendiri menaksir si pemuda. Selama berkeliling ke seluruh wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah, belum pernah ia bertemu seorang pemuda seperti dia. Roman muka dan perawakan tubuhnya yang singsat sedang, mengagumkan hatinya. Maka
itu, begitu habis memberi hormat lalu menanggalkan baju luarnya.
Si pemuda mentereng membalas hormat seraya bersenyum. Giginya yang putih bersih
tersembul seleret dari kedua bibirnya.
"Silakan nona. Kaulah yang membuka dulu permainan ini," katanya.
"Silakah Tuan membuka baju luar dulu," balas si gadis.
"Ah, tak usah. Masa permainan akan sampai mengeluarkan keringat?" pemuda itu berkata
dengan angkuh. Dan para penonton yang sudah bisa menilai ilmu silat si gadis berkata dalam hati,
"Eh"kamu berlagak benar. Sebentar kau akan merasakan gaplokkan-nya ..."
'Tuan! Apakah kita boleh mulai?" Nuraini bertanya.
"Kaulah yang membuka permainan."
"Masa aku dahulu" Mestinya Tuan."
Menimbang kata-kata Nuraini bernada angkuh, pemuda itu tidak berlaku segan lagi. Tiba-tiba saja ia berkisar ke sudut kanan, sehingga baju luarnya yang terbuat dari kain sutra, berkibaran.
Setelah itu ia melesat berputaran dan sekonyong-konyong tangan kirinya menyambar secepat kilat.
Nuraini terkejut melihat gerakannya yang begitu cepat. Selama berkeliling ke berbagai daerah, belum pernah ia bertemu tanding sehebat kali ini. Buru-buru ia mengendapkan kepala dan terus menyusup ke bawah ketiak si pemuda. Tapi di luar dugaan, si pemuda sangat gesit. Tangan
kirinya tiba-tiba turun dan dibarengi dengan sodokan kanan. Melihat gerakan pemuda itu begitu hebat, penonton ber-teriak terkejut. Mereka mengira, Nuraini sukar meloloskan diri. Tak tahunya, Nuraini masih bisa menghindar dengan menjejak tanah. Tubuhnya lantas saja melesat mundur beberapa langkah.
"Bagus!" seru penonton hampir berbareng. Kemudian salah seorang penonton ada yang
berteriak, "Siapa yang bakal menang?"
"Si pemuda," sahut seorang lagi.
"Mana bisa" Dilihat gerakannya, si gadis Jang bakal menang. Coba tadi pemuda itu yang
menyerang dulu sehingga si gadis bisa terdesak dan hampir keripuhan, itu sudah pasti. Tapi kalau si gadis begitu dapat membebaskan diri dari serang cepat, itulah yang patut dibicarakan."
"Kita bertaruh?"
"Ayo!" Mereka berdua lalu bertaruh. Penonton yang lain ikut pula bertaruh. Tetapi kemudian,
terdengar lagi suara lain.
"Nanti dulu ... lihat!"
Semua mengawaskan ke gelanggang. Waktu sekali lagi, si pemuda ningrat sedang merangsak
si gadis. Nuraini dengan cepat mundur jumpalitan. Tetapi si pemuda terus memburu. Terang, dia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tak mau lagi memberi kesempatan. Ia ingin menjatuhkan Nuraini secepat mungkin. Melihat dia berlaku kejam, Nuraini tak kehilangan akal. la meloncat mundur lagi dan mendadak sebelah kakinya dijejakkan ke atas dan mengancam hidung. Si pemuda terperanjat. Sama sekali tak
diduganya, kalau Nuraini bisa mengirimkan serangan selagi berloncat undur. Untuk, membebaskan diri, si pemuda terpaksa melompat tinggi ke udara pula. Dengan begitu, mereka turun ke tanah seperti saling berjanji. Pakaian mereka yang longgar, berkibar-kibar kena angin.
"Hebat!" seru penonton.
"Apa pendapat kalian?" tanya suara lain yang tadi berseru. "Aku mempunyai bunyi pertaruhan lain. Pemuda itu memang bakal dikalahkan, tetapi dengan cara lain."
"Dengan cara lain bagaimana?"
"Dengan periahan-lahan, supaya tak usah menanggung malu. Mengapa begitu" Sebab, pemuda
itu terlalu ngganteng dan anak ningrat."
Orang-orang yang mendengar pada tertawa.
Tetapi mereka ikut menyetujui bunyi per-aruhan itu. Diam-diam Sangaji menaruh per-hatian kepada pertarungan si pemuda mentereng dan Nuraini. Mereka belum mengeluarkan ilmu
simpanannya masing-masing, tetapi terang sekali kalau mereka bisa berkelahi dengan baik.
Pemuda itu ngganteng. Gadis itu cantik, kata Sangaji di dalam hati. Sama pula memiliki
Kecakapan berkelahi. Kalau si pemuda bisa memperisterikan dia, itulah pantas. Mereka bakal jadi suami-isteri yang berharga untuk dibicarakan ...
Dulu, ia tidak begitu senang terhadap si pemuda, tatkala menyerang dirinya di restoran Banking Cirebon. Tetapi kini setelah mempunyai pikiran demikian, tak lagi dia benci. Malahan, dia mengharap-harap agar pemuda mentereng itu dapat mengalahkan Nuraini.
Dalam pada itu pertandingan berjalan terus. Makin lama makin seru. Kini, Nuraini tidak berlaku segan-segan lagi. Perlahan-lahan dia mulai bisa menguasai dan tiba-tiba terdengar suara: brett ...!
Ternyata lengan baju luar si pemuda kena disambar dan robek sekaligus. Nuraini kemudian
melompat mundur jauh-jauh sambil mengibaskan ujung rambutnya yang panjang.
"Berhenti dulu!" seru Mustapa. "Silakan paduka menanggalkan baju luar, baru menentukan
babak terakhir siapa yang menang."
Wajah si pemuda ningrat kelihatan geram. Tangannya lalu bergerak dan robeklah baju luar
dengan suara berkerebetan. Seorang pengiring lari menghampiri dan dengan sikap hormat
membuka baju luarnya yang terbuat dari bahan sutra mahal. Kini, nampaklah dia mengenakan baju dalamnya. Baju dalamnya terbuat pula dari bahan sutra.
Warnanya biru laut sangat indah. Ia jadi semakin tampan. Wajahnya nampak bercahaya dan
matanya yang cemerlang tambah berkilauan. Siapa gadis yang takkan gandrung melihat
kegantengannya. Begitu selesai merapikan pakaiannya, tanpa berkata sepatah katapun terus saja menyerang
Nuraini. Sekarang ia menggunakan tangan kiri dan melesat berputaran sangat gesit dan indah.
Melihat gerakannya, Nuraini terperanjat. Tak terkecuali Mustapa dan Sangaji. Mereka tak
menyangka, kalau pemuda ningrat itu benar-benar hebat dan gagah.
Ternyata dia tidak lagi bersenyum atau memperlihatkan wajah berseri. Benar-benar dia
bertekad hendak menjatuhkan si gadis di depan umum. Pandang matanya bersungguh-sungguh
dan seolah-olah menyala bagaikan Dintang bergetar di tengah langit hitam kelam. Gerak-geriknya cepat rapih dan berbahaya.
Sangaji memusatkan seluruh perhatiannya. Mendadak dia seperti terhentak. Ih! Bukankah
gerak-gerik dan corak ilmu silatnya seperti Surapati, pemuda yang menyerangku di Jakarta dulu"
Ah"apa dia seperguruan dengan Surapati..." pikir Sangaji.
Memikir demikian, perhatiannya makin terpaku. Ia melihat pemuda itu mulai bisa me-nguasai Nuraini dengan kecepatannya. Sekarang mulai nampak juga, sukar untuk membalas menyerang.
Mempertahankan diri, belum tentu dapat tahan lama.
Pemuda ini lebih mahir daripada Surapati. Nuraini bukan lagi tandingnya, pikir Sangaji. Lalu ia telah mendapat kepastian. Pikirnya, sebentar lagi, kalian akan diumumkan menjadi sepasang suami-isteri..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mustapapun girang menyaksikan jalannya pertempuran. Dengan bekal pengalamannya tahulah
dia, siapa yang bakal menang dan kalah. Maka dia berseru, "Nuraini, anakku! Sudahlah, tak usah kau lawan lebih lama lagi! lawanmu menang jauh daripadamu ..."
Tetapi dia sedang berkutat mati-matian melawan si pemuda. Seruan Mustapa tak digubrisnya.
Bahkan ia merasa diri seperti direndahkan di depan umum. Itulah sebabnya, timbullah
ketekatannya. Tanpa mempedulikan segala, lantas saja dia menyerang. Inilah bahaya.
Melihat dia menyerang, si pemuda ningrat berkata dalam hati, eh, kamu nekad. Kalau aku mau menjatuhkan segampang memuntir leher itik. Cuma sayang, kamu begitu jelita.
Benar saja. Begitu Nuraini merentang kaki hendak menjejak, si pemuda mengibaskan tangan
dan dengan gesit akan menangkap. Nuraini tahu bahaya. Cepat-cepat ia menarik kembali dengan dibarengi sebelah kakinya menusuk pinggang. Si pemuda tak menjadi gugup. Kaki itu
disambarnya. Karena Nuraini berlaku cepat, celananya saja yang kena terkam. Celaka! Celana itu kena dirobek sampai di bawah lutut. Seketika itu juga nampaklah kulit lututnya yang bersih kuning.
Penonton bersorak kaget. Nuraini tak kurang kagetnya. Tetapi si pemuda jadi gembira. Tiba-tiba saja terpancarlah nafsu birahinya. Cepat luar biasa ia menyerang dan kembali lagi menangkap kaki Nuraini sambil tangannya yang lain merangkul punggung.
Semenjak celananya kena dirobek pemuda itu sampai di bawah lutut, hati Nuraini sudah
menjadi keripuhan. Karena itu, dengan gampang si pemuda dapat menangkap kakinya embali.
Baru sekarang, dia menjadi malu penar-benar dan sadar akan kelalaiannya.
Penonton bersorak lagi. Kali ini bernada gembira dan meriuh. Tetapi yang penasaran aan
cemburu, menggerutu dan memaki-maki rialam hati. Yang agak tebal agamanya, segera
menngundurkan diri karena melihat suatu pemandangan mengerikan di depan umum. Tetapi si
pemuda tak peduli. Kaki Nuraini makin diangkat naik, sehingga tak bisa berkutik lagi. Kemudian berkata, "Bagaimana, nona?"
Dengan suara perlahan, Nuraini meminta, "Lepaskan aku!"
Si pemuda ningrat tertawa. Menyahut. "Perkara melepaskan sih, gampang. Panggillah aku
'kangmas' terlebih dahulu!"
Nuraini mendongkol diperlakukan demikian. Serentak ia meronta, tetapi benar-benar tak
berdaya. Pemuda itu menggenggam kakinya erat-erat dan pelukannya makin merapat. Melihat itu, Mustapa segera maju menghampiri.
"Paduka telah menang. Tolong lepaskan kakinya!"
Si pemuda tak menggubris. Ia bahkan tertawa melebar. Pelukannya kian erat dari kaki Nuraini diangkat kian tinggi. Karuari Nuraini bertambah malu. Kini, timbullah kemarahannya. Dengan sekuat tenaga ia menje jakkan kaki dan melesat maju. Dan terlepaslah kakinya. Tetapi si pemuda tak mau dikalahkan. Tangannya menyambar lagi dan robeklah! celana si gadis. Sekarang benarbenar sampai di pangkal lutut.
Nuraini terpaksa berjongkok sambil merapatkan robekan celananya. Ia hampir menangis karena menanggung malu. Sebaliknya si pemuda tertawa berkikikkan. Penonton yang rada-rada
mempunyai bakat bajul, lalu berteriak menyetujui.
"Robek terus, ndoromas! Sekali-kali bolehlah dia mengalami telanjang di depan umum."


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar mereka berkata demikian pemuda itu merasa mendapat hati. Matanya menyala dan
tertawanya kian berkikikkan Senang dia melihat Nuraini kerepotan menutupi lututnya.
Mustapa menghampiri seraya membungkuk! hormat, "Mengapa Paduka memperlakukan begitu"
Bukankah sekarang dia jadi milik Paduka sendiri?"
"Masa begitu?" Sebentar Mustapa berdiri menebak-nebak, Kemudian tertawa panjang seperti
memaklumi cirinya yang kurang pengertian. "Ah"ya... orang sebodoh aku mana bisa sandingkan dengan paduka yang biasa berpikir dan berbicara gaya ningrat. Seorang ningrat bisa mengangguk, selagi hatinya melawan. Seorang ningrat bisa tertawa riang, selagi hatinya menangis meraung-raung," ia berhenti mengesankan dirinya sendiri. Kemudian mengalihkan pembicaraan, "Paduka telah memenangkan pertandingan ini. Perkenankan aku mengucap terima kasih. untuk
perundingan selanjutnya, apakah aku boleh mengenal nama Paduka?"
"Mengapa kau berbicara yang bukan-bukan!" sahut pemuda itu cepat. Dia berputar dan
bergerak hendak meninggalkan gelanggang. Dua orang pengiringnya datang menghampiri dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membawakan pakaian luar semacam jaket. Seraya menerima jaketnya, ia mengerling manis
kepada Nuraini. Terlalu manis malah, sehingga berkesan pancaran nafsu birahi.
Mustapa menyangka, kalau cara tak sudi memperkenalkan namanya dengan terus terang
adalah kelumrahan kaum ningrat sebagai adat pergaulan. Itulah sebabnya, cepat-cepat ia berseru mengerti.
"Kami berdua tinggal di sebuah losmen dekat pemberhentian gerobak. Apakah Paduka sudi
berjalan bersama ke losmen tersebut untuk meneruskan pembicaraan ini?"
"Kenapa ke sana" Aku tak punya waktu," sahut si pemuda kasar. "Lagipula apa sih yang mau kalian bicarakan?"
Mustapa terperanjat, la sibuk menebak-nebak. Air mukanya berubah.
"Paduka kan sudah berhasil mengalahkan! anakku?" dia berkata dengan masih terua bertekateki dalam benaknya. "Kalau sudah menang?"
"Sudah barang tentu, anakku ini sudah menjadi jodoh Paduka. Paduka tahu, kalau dunia ini mengizinkan manusia berkelahi sampai mati mengenai empat hal. Satu, urusan keyakinan sujud pada suatu kepercayaan. Dua, urusan negara. Tiga, urusan jodoh. Dan empat, urusan kehormatan diri. Ah, mestinya paduka sudah pernah membaca cerita-cerita kuno. Semua buku-buku itu
mengisahkan perkara pertempuran mengenai empat hal tersebut.
Sekarang ini, aku sedang berbicara mengenai jodoh dan kehormatan diri sekaligus. Kumohon dengan sangat, agar Paduka mendengarkan dengan sedikit perhatian."
Mendengar ujar Mustapa si pemuda heran sampai tercengang-cengang. Dengan suara tinggi,
dia menjawab, "Jodoh" Urusan perjodohan" Kapan kita terikat perjanjian begitu" Ini kan main-main mengadu kepandaian" Masa soal jodoh dibawa-bawa. Kamu gila, masa aku harus berjodoh dengan anakmu, gadis jalanan?" Ujar si pemuda ningrat tajam luar biasa, sampai Mustapa pucat.
Penonton dan Sangaji yang tadi ikut bergembira menyaksikan kemenangannya, begitu mendengar kata-katanya yang tajam berubah menjadi tak senang pula. Mereka jadi berbelas-kasih pada Mustapa dan gadis. Alangkah hebat penderitaan hatinya, dihina dan direndahkan terang-terangan di depan umum.
"Kau ... kau ...!" Mustapa tergagap-gagap deh rasa marahnya.
Pengiring si pemuda begitu mendengar majikannya diperengkaukan, lalu maju sambil
mendamprat. "Apa kau, kau, kau" Kamu anggap siapa Beliau" Apakah beliau akan kamu paksa me-ngawini
gadis jalanan karena semata-mata menang berkelahi" Eh, tidaklah semudah begitu. Paling tidak, kamu harus menghadap ayah dan ibunya. Tidak lantas berbicara dan ngomong tanpa aturan di tengah alam terbuka."
Bukan main marah Mustapa. Serentak dia melompat
dan menggaplok si pengiring sampai berkaok-kaok
kesakitan. Bagaimana tidak" Gaplokan yang disertai
suatu kemarahan luar biasa, hebat akibatnya. Gigi si
pengiring rontok lima biji. Lalu jatuh pingsan, karena
melihat darahnya menyemprot keluar.
Si pemuda mentereng tahu menjaga kehormatan diri.
Ia tak mempedulikan keadaan pengiringnya yang jatuh
pingsan. Sambil memberi perintah pengiring lain agar
menolong kawannya, ia menghampiri kudanya. Tatkala
hendak meloncat ke atas pelana, Mustapa berseru
dengan nada marah. "Jadi kau datang cuma ingin mengganggu kami" Jika
sedari tadi kau tak berniat memperisterikan dia,
mengapa memasuki gelanggang" Biar begini rendah dan
hina, kamipun manusia yang mempunyai kehormatan
diri. Takkan kami membiarkan diri menggerogoti tulang
di jalanan seperti anjing. Takkan bakal membiarkan diri
mampus telanjang bulat di tengah jalan seperti binatang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi pemuda itu tetap tak mau menghiraukan. Dia lantas melompat di atas pelana dan siap menarik les kudanya. Dan Mustapa habis kesabarannya. Dengan berteriak dia memaki, "Bangsat benar kau! Pantas rakyat-mu tak pernah akur sama golonganmu! Dengarkan! Anakku juga takkan kuizinkan kawin dengan manusia anjing seperti tampangmu. Cuma saja, sekarang bayar celananya yang kau robek."
Pemuda itu menjawab, "Robeknya celana dia, kan salahnya sendiri. Mengapa seorang
perempuan mengenakan celana" Coba, dia tak banyak cingcong mencari jodoh dengan mengadu
kepandaian, takkan bakal mengalami peristiwa begini. Takkan bakal celananya robek sampai lutut..." lalu dia tertawa berkikikkan.
Tubuh Mustapa menggigil. Tanpa berkata lagi, ia melesat menangkap kaki si pemuda hendak
menyeretnya ke tanah. Untung dia awas. Begitu melihat Mustapa melayang hendak menubruk, ia menarik kakinya. Dia menang mudah dan menang cekatan. Dada Mustapa kena dibentur balik dan pergelangan tangannya dihantam telak, sampai tulangnya patah gemeretak.
"Karena kau menyerang, terpaksa aku membela diri. Lagi pula kalau sekali-kali aku tak
menghajar padamu, tentu kau masih saja memaksa aku mengawini anakmu, si gadis pasaran..."
seru pemuda itu sambil tertawa mengejek. Lalu ia menjejak sanggurdi kuda dan melesat ke
tengah lapangan. Gerak-gerik pemuda itu memang cekatan dan gesit. Sayang, mulutnya terlalu tajam. Lagi pula, sikapnya begitu angkuh dan gaya tertawanya menjemukan pendengaran. Selain penonton
golongan bajul, tidak ada yang senang padanya. Mendengar ia merendahkan Mustapa, mereka
ikut jadi panas hati. Cuma saja mereka tak dapat berbuat lain, kecuali memaki-maki dalam hati.
Mustapa bangun dengan tertatih-tatih. Pergelangan tangannya sebelah kiri mulai tam-pak
bengkak. Tetapi ia tak menghiraukan. Mulutnya bergetaran, suatu tanda kalau dadanya serasa hampir meledak. Mendadak ia meloncat sambil berteriak, "Nuraini anakku! Biarlah aku mengadu nyawa!"
Si pemuda cukup berwaspada. Tahulah dia, kalau Mustapa sedang kalap. Maka dengan mudah,
ia meloloskan diri dari serangan itu. Kakinya bergeser ke kanan, sedang tangan kiri disodokkan hendak menumbuk dada. Mau tak mau, Mustapa cepat-cepat menarik serangan-nya. Kini ia
menangkis dengan tangan kanannya dan kakinya bergerak.
Si pemuda kaget bukan main. Sama sekali lak diduganya kalau Mustapa bergerak sehebat itu, malahan berani menangkis serangan dengan serangan. Buru-buru ia menarik tangan kirinya dan diangkat tinggi untuk melindungi mukanya. Mustapa yang sedang kalap, tak mengindahkan
gerakan lawan. Tangan kirinya yang sudah patah pergelangannya ditarik mundur untuk
melindungi dada. Kemudian dengan tangan kanannya ia menyerang. Tatkala si pemuda
menangkis sambil mundur, dengan sebat kaki kirinya menjejak tanah. Sekali melesat, kaki
kanannya menerjang ringgang. Inilah hebat.
Melihat Mustapa memiliki jurus-jurus berbahaya, pemuda itu kini tak berani lagi memandang rendah. Gugup ia merapatkan diri. Sekonyong-konyong tangannya bergerak menyambar
pergelangan tangan kanan Mustapa sambil melesat mundur. Dengan begitu, ia berhasil melakukan serangan tipu muslihat. Nampaknya ia membalas menyerang, tak tahunya ia sebenarnya mundur.
Saat kedua kakinya jatuh ke tanah, ia melesat lagi dengan mengembangkan sepuluh jarinya.
Mustapa terkejut. Penontonpun tak kurang terkejutnya. Mereka sampai berteriak. Sangaji yang memperhatikan gerak gerik pemuda, kian jadi curiga. Aneh! Ini gerak-gerik Pringgasakti! Apa hubungannya dengan pemuda itu"
Tatkala itu, Mustapa kena diserang. Kini pergelangan tangan kanannya patah lagi. Dengan
begitu, ia kini sama sekali tak berdaya. Masih ia mencoba mengadu kecekatan kaki. Tapi kakinya yang sebelah bukan kaki utuh. Itulah sebabnya, dengan mudah ia kena disapu dan jatuh
bergelimpangan di atas tanah.
Nuraini pucat lesi. Serentak ia melesat menubruk ayah-angkatnya. Celananya yang kena robek, disobeknya separo hendak dibuatnya bebat pergelangan tangan ayahnya. Terang, ia tak
memikirkan lagi kepentingan diri. Tetapi Mustapa menolak dengan mendorongkan sikunya.
"Kau minggir, anakku! Hari ini, biarlah aku mati di depan matamu! Sama sekali aku tak
menyesal. Kelak kusampaikan kejadian ini kepada ayahmu di alam baka ..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wajah Nuraini suram. Perlahan-lahan ia berdiri sambil menatap wajah si pemuda. Hebat
kesannya. Pandangnya tajam. Rambutnya terurai. Celananya buntung sebelah. Sekonyongkonyong ia melolos sebilah belati mengkilat. Inilah belati warisan ayahnya almarhum.
Penonton diam menebak-nebak. Apakah Nuraini mau mengadu nyawa pula dengan si pemuda
ningrat" Di luar dugaan, mendadak saja Nuraini menancapkan belatinya ke dadanya sendiri. Inilah di luar dugaan orang.
Mustapa agaknya mengenal tabiat si gadis. Secepat kilat, tangan kanannya yang telah patah pergelangannya melesat menghalangi. Tapi mana bisa tangannya yang sudah patah menghalangi gerakan Nuraini yang begitu tangkas serta penuh nafsu. Keruan saja, telapak tangannya kena tertumblas dan tersalib di atas dada si gadis.
Meskipun demikian, maksud Mustapa hendak menghalang-halangi kekalapan Nuraini, tidaklah
seluruhnya gagal. Karena telapakan angannya, dada Nuraini hanya tertusuk sedalam seperempat dim. Dengan demikian, batallah niatnya hendak bunuh diri.
Para penonton dengki pada si pemuda berbareng duka. Sama sekali tak mereka sangka, kalau tontonan yang menarik itu akan berakhir dengan lumuran darah. Ingin campur tangan, mereka tak berani.
Lain halnya dengan Sangaji. Ia yang dididik oleh kedua gurunya berdarah ksatria, seketika ku juga tak kuat menahan diri. Serentak ia melompat ke tengah gelanggang sambil memanggil si pemuda ningrat yang sedang berjalan balik ke arah kudanya.
"Hai sahabat Nanking Cirebon!" ujarnya. Ia belum mengenal nama pemuda itu. Sebaliknya
teringat akan pertemuannya di restoran Nanking Cirebon, lantas saja berseru demikian. Penonton golongan bajul dan para pengiring pemuda ningrat, tertawa berbareng mendengar ujarnyaJ
Mereka menganggap lucu bunyi seruan Sangaji
Pemuda ningrat itu menoleh. Begitu melihat Sangaji, ia terhenyak sebentar. Kemudian ikuti pula tertawa sambil berkata, "Eh ... kamul Kamu memanggil Nanking Cirebon di Kota Pekalongan, apa maksudmu?"
Kembali penonton golongan bajul dan para pengiring tertawa geli. Benar-benar mereka
menganggap, Sangaji seorang pemuda tolol yang tak masuk hitungan. Memang sikap Sangaji
waktu itu berkesan ketolol-tololan. Ia sendiri belum tahu dengan pasti apa yang harus dilakukan.
Begitu mendengar kata-kata! si pemuda, ia berdiri melongoh. Derai tertawa! penonton belum disadari, kalau mereka sedang menertawakan ketololannya.
"Apa kamu lalu meninggalkan mereka dengan begitu saja?" serunya.
"Habis" Apa aku harus mencampuri urusan mereka" Biar mereka bunuh diri, apa
kepentinganku?" "Kamu harus kawin dengan Nona itu!"
Si pemuda ningrat tercengang. Penonton golongan bajul tercengang. Para pengiringpun
Bcrcengang. Akhirnya mereka semua tertawa berkakakkan.
"Jika aku tak sudi... kamu mau apa?" kata pemuda ningrat dengan suara nyaring.
"Jika kau tak sudi mengawini dia, mengapa kau tadi memasuki gelanggang" Apa kau tak
Kndengar keterangan bapak itu tentang maksud arena ini?"
Si pemuda ningrat menaikkan alisnya. Ia memandang tajam kepada Sangaji. Lalu berkata
tegas, "Sebenarnya kamu mau apa?"
Sangaji menoleh kepada Nuraini.
"Nona itu cantik dan ilmu silatnyapun bagus. Mengapa kamu tak sudi kawin dengan dia" Apa celanya" Sekiranya kau mengambil dia sebagai istrimu, kalian berdua akan menjadi sepasang garuda yang elok. Sebaliknya jika menolak, di belakang hari kau akan menyesal. Dan apakah ada seorang gadis yang begitu cantik memiliki ilmu silat pula?"
"Eh ... kamu ini mau jadi comblang?"
Pemuda itu tertawa geli. Para pengiring dan penonton golongan bajul ikut tertawa geli pula.
Kata pemuda ningrat itu lagi, "Kamu ini siapa, sih" Kamu murid siapa" Kamu memanggil apa pada Adipati Karimun Jawa Surengpati?"
Sangaji heran. Ia menggelengkan kepala.
"Siapa guruku, tak dapat aku memperkenalkan. Aku tak kenal pula siapa itu Adipati Karimun Jawa Surengpati."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Habis, siapakah yang mengajarimu Ilmu Sentilan Istimewa yang pernah kauperlihatkan di
restoran Nanking Cirebon" Bukankah itu Ilmu Sentilan ajaran Adipati Karimun Jawa?" pemuda ningrat heran.
"Semua kepandaianku adalah berkat ajaran guruku."
"Siapa gurumu?"
"Tak mau aku memberitahukan."
"Baiklah... " sahut si pemuda ningrat setelah menimbang-nimbang sebentar. Kemudian ia
berbalik hendak menghampiri kudanya.
Sangaji buru-buru menyanggah sambil berseru, "Hai! Kau mau ke mana?"
Si pemuda ningrat menoleh. Pandangnya heran menebak-nebak. Menyahut, "Habis... kau mau
apa?" "Bukankah aku tadi menyarankan, agar kamu mengawini dia?"
Pemuda ningrat itu tertawa dingin. Ia mendongkol bercampur geli pada Sangaji. Segera ia
memutar tubuhnya dan berjalan meninggalkan gelanggang.
Mustapa yang melihat peristiwa itu, sekonyong-konyong datang menghampiri Sangaji. Ia tahu, Sangaji seorang pemuda berbaik hati. Hanya saja, tak pandai mengadu lidah. Maklumlah, Sangaji seorang pemuda yang baru saja melihat dunia. Lika-liku penghidupan sama sekali belum
diketahui. "Saudara kecil, apa perlu melayani manusia semacam dia," Mustapa berkata. Waktu menginap di teritisan toko di Tegal, ia tak begitu memperhatikan muka Sangaji. Kecuali itu, hari amat gelap.
Itulah sebabnya ia tak mengenalnya. Setelah berkata demikian, sambil menatap si pemuda ningrat ia meneruskan, "Asal saja nyawaku masih melekat pada tubuhku yang cacat ini, suatu kali aku akan dapat membalas sakit hati. Siapa namamu, anak muda?"
Sangaji hendak menjawab, sekonyong-konyong ia mendengar pemuda ningrat tertawa.
"Hai tua bangka!" ujarnya. "Sudah kutegaskan tadi, kalau tak sudi aku memanggilmu mertua.
Kenapa kau memaksa saja?"
Sangaji habis kesabarannya. Ia terlalu iba pada Mustapa, karena itu tanpa mempedulikan
segala lantas saja dia melompat.
"Kalau begitu, bayar kembali celananya!" ia membentak.
Si pemuda ningrat menegakkan kepala. Dengan pandang angkuh, ia mendamprat, "Eh kau
golongan seorang yang suka usilan. Apa kau menaruh hati kepada gadis itu, tapi tak berani terang-terangan" Nah, ambillah dia! Kuhadiahkan kepadamu!"
"Apa kaubilang?" Sangaji membentak.
Si pemuda ningrat tertawa berkikikkan. Mendadak saja, Sangaji menggerakkan kedua
tangannya. Inilah ajaran Jaga Saradenta yang terdiri dari 72 jurus. Begitu kedua tangannya bergerak, lantas saja menyambar dan mencengkram tangan.
Si pemuda ningrat terkejut bukan kepalang. Sama sekali tak diduganya, kalau Sangaji bisa bergerak begitu sebat dan kuat. Tahu-tahu, pergelangan tangannya kena ditangkap erat. Ia berusaha merenggut, tetapi sama sekali tak dapat berkutik. Dalam terkejutnya, ia berkata mencoba menenangkan diri, "Hai, kau mau mampus?"
Kemudian ia berontak sambil menendang perut Sangaji. Tetapi Sangaji cukup berwaspada. Ia tak mengelak atau menghindarkan serangan. Sebaliknya ia hanya menarik tangan. Dengan begitu, si pemuda ningrat tertarik ke depan sampai tubuhnya terbungkuk-bungkuk. Batallah ia hendak menyerang perut, malahan kini akan jatuh tersungkur ke depan. Untung tubuhnya dapat bergerak dengan ringan. Begitu ia merasa terlempar, cepat-cepat menjejak tanah. Tubuhnya hanya
tergoncang sedikit, tetapi tak jadi jatuh tertengkurap ke tanah. Meskipun demikian, kejadian ini berarti kalau dia kalah satu babak. Seketika itu juga rasa marahnya melonjak sampai ke kepala.
Dengan membentak ia berpaling kepada Sangaji, "Kau sudah bosan hidup?"
Sangaji menggelengkan kepala sambil menjawab tenang, "Tak ada niatku untuk berkelahi
dengan tampangmu. Meskipun menang, belum tentu kau mau mengawini dia. Bayar saja harga
celananya!" Penonton yang mengira Sangaji mau membela keadilan jadi kecele mendengar ujarnya. Sama
sekali tak diduganya, kalau sikapnya yang garang berwibawa hanya berhenti sampai di situ saja.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebenarnya, si pemuda ningrat agak segan pada Sangaji mengingat pengalamannya di restoran Nanking Cirebon. Cuma saja, kalau ia dipaksa membayar celana Nuraini di depan umum,
Pendekar Remaja 2 Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Kemelut Blambangan 1

Cari Blog Ini