Ceritasilat Novel Online

Bende Mataram 8

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 8


kehormatan dirinya tak mengizinkan, la lantas berbalik sambil menanggalkan baju jaketnya.
Dengan tertawa dingin ia berjalan mau meninggalkan gelanggang.
"Apa kau benar-benar mau pergi?" tegur Sangaji.
Pemuda ningrat itu lalu berjaga-jaga diri. Diam-diam ia mengatur tipu-muslihat. Ia tetap berjalan meninggalkan gelanggang. Sangaji segera menubruk mau menarik lengannya. Maksudnya hanya untuk menyanggah. Mendadak si pemuda ningrat berputar sambil menengkurapkan
jaketnya pada gundul Sangaji. Karuan saja Sangaji yang tak menduga bakal diserang secara demikian, jadi gelagapan. Di saat itu si pemuda ningrat menghajar tulang rusuk Sangaji sampai dua kali berturut-turut.
Kena dihajar demikian, Sangaji tak kehilangan pengamatan diri. Untung dia pernah menghisap getah pohon sakti Dewadaru dan pernah menerima petunjuk-pentunjuk Ki Tunjungbiru mengenai penguasaan pemapasan. Meskipun hajaran si pemuda ningrat bukan setengah-setengah, tetapi tulang rusuknya tak patah. Hanya ia merasa sakit bukan main. Cepat ia mengumpulkan tenaga, tanpa memikirkan jaket yang menelungkup kepalanya, ia terus menyerang dengan jurus-jurus ajaran Wirapati yang cepat gesit. Serangannya melalui bawah jaket dan berhasil mengenai lawan sembilan kali berturut-turut. Inilah keistimewaan Wirapati yang dapat menciptakan jurus
pembalasan dengan menggunakan jaring tipu-muslihat musuh. Hanya sayang, Sangaji belum
mempunyai tenaga cukup sehingga jurus yang hebat itu jadi kurang sempurna. Seumpama
Wirapati sendiri yang menggunakannya, pasti lawan yang kena hajar akan rontok tulangbelulangnya. Si pemuda ningrat, sebenarnya bukan seorang pemuda yang lemah. Hanya saja, ia tak mengira Sangaji bisa melakukan serangan pembalasan selagi kepalanya tertengkurap jaket. Gerakan
tangan Sangaji tak nampak karena jaketnya sendiri. Inilah namanya, senjata makan tuan. Mula-mula ia mengira Sangaji akan kelabakan karena penglihatannya kena tertungkrap jaket, tak tahunya malah bisa mempergunakan sebagai pelindung gerakan pembalasannya. Ia jadi
kerepotan. Gugup ia berlompatan dan menangkis sebisa-bisanya. Tujuh kali dia bisa menangkis serangan Sangaji, tetapi pukulan yang kedelapan dan kesembilan benar-benar mengenai telak.
Tubuhnya sampai terjengkang. Syukur, ia tak kehilangan akal, dengan melepaskan jaket, ia menjejak tanah dan berhasil melesat jauh.
Sangaji membuang jaket yang menengkurap kepalanya. Wajahnya agak pucat karena kaget.
Inilah pengalamannya yang pertama kali menghadapi lawan yang melakukan tipu-muslihat. Ia mengira, kalau dalam suatu pertempuran akan berlaku aturan-aturan berkelahi menurut tata-tertib jurus-jurus ajaran. Tak tahunya, baru pertama kali ia berkelana ke luar daerah sudah menemukan lawan yang bisa berlaku curang. Diam-diam ia merasa bersyukur, dirinya terlepas dari suatu marabahaya.
Sebaliknya, si pemuda ningrat mendongkol hatinya, karena kena tendang serta pukulan
Sangaji. Segera ia melesat maju sambil mencengkeramkan jari. Serangannya mengarah pada
pundak Sangaji. Sangaji belum bersiaga. Ia masih berenung-renung memikirkan pengalamannya. Tahu-tahu ia
diserang lagi. Karena gugup ia hanya menangkis separuh tenaga. Dia terkejut bukan main, tatkala dadanya merasa sakit kena tindih. Cepat ia mundur. Justru ia mundur, si pemuda ningrat berhasil menumbukkan tangan kirinya ke dadanya. Tak ampun lagi ia jatuh terjengkang sampai tangannya memegang tanah.
Melihat dia jatuh, para penonton golongan bajul dan pengiring bertepuk tangan gembira.
Mereka tertawa dan bersuit-suitan. Si pemuda ningrat kemudian tertawa panjang sambil berkata,
"Dengan bekal kepandaian begini, kau mau menjadi pahlawan" Mana bisa" Kuanjurkan, kau
belajar sepuluh tahun lagi kepadaku sebelum melihat dunia untuk yang kedua kalinya..."
Sangaji tak pandai mengadu kecepatan lidah. Dengan berdiam diri, ia mengumpulkan tenaga.
Dadanya memang terasa sakit kena kimbukannya. la mencoba mengatur pemapasannya. Ketika
dirasanya agak enakan, segera ia bangkit lalu menyerang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Awas!" ia berseru. Kali ini ia menggunakan jurus ajaran Jaga Saradenta, yang mengutamakan mengadu tenaga. Itulah sebabnya, meskipun belum sempurna, ayunan tinjunya mengeluarkan
kesiur angin. Pemuda ningrat itu terkejut. Gugup ia merendahkan kepala dan dapat mengelak dengan
gampang. Di luar dugaan, serangan Sangaji tidak berhenti sampai di situ saja. Sekonyongkonyong siku kanannya disodok-kan ke samping dan tangan kirinya maju hendak membentur
muka. Terpaksalah si pemuda ningrat menangkis dengan kedua tangannya. Mereka berdua bentrok
dengan hebatnya. Sangaji menang tenaga, tetapi si pemuda ningrat menang gesit dan nampak sekali menang latihan. Itulah sebabnya, mereka jadi berimbang. Begitu berbentrokan, kedua-duanya mundur selangkah dengan tubuh bergoyang-goyang.
Sangaji merasa, ia menang tenaga. Maka itu, cepat-cepat ia mengumpulkan tenaga lagi.
Kemudian mengadu tumbukan. Si pemuda ningrat terpaksa pula melayani. Dengan begitu, mereka berdua lantas saja jadi berkutat.
Perlahan-lahan tapi pasti, Sangaji berhasil mendorong lawannya. Diam-diam ia gembira. Ia sudah memikirkan pula jurus berikutnya untuk meruntuhkan lawan. Tetapi tiba-tiba tenaga
lawannya hilang begitu saja. Tak ampun lagi tubuhnya lantas saja terhuyung ke depan, karena tak sempat lagi menahan diri. Selagi ia terhuyung, tangan lawannya melayang memukul
punggungnya. Masih dia berusaha menangkis dengan memutar tubuh. Tetapi lawannya bukan
lawan bodoh. Begitu ia berpaling, lantas saja kaki lawannya menendang lututnya.
Sangaji jadi keripuhan. Tubuhnya tak dapat ditahannya lagi. la jatuh terbalik untuk yang kedua kalinya. Tetapi kali ini, tubuhnya tak! sampai mengenai tanah. Dengan cepat siku-nya
disanggakan, lalu kakinya menjejak dada lawannya sangat sebat.
Ternyata lawannya dapat mengelakkan diri. Tetapi Sangaji mendadak saja bisa meneruskan
menyerang beruntun. Kali ini, dia menggunakan jurus-jurus ajaran Wirapati dan Jaga Saradenta dengan berbareng. Itulah sebabnya, sekarang ia nampak tangguh dan cepat. Jurus ajaran
Wirapati dan Jaga Saradenta sangat berbahaya jika dilakukan dengan berbareng. Apabila sekali mengenai tubuh lawan, bisa memisahkan tulang-belulang. Untung Sangaji bukan seorang pemuda yang kejam. Ia sadar, kalau dirinya tak mempunyai permusuhan mendalam dengan si pemuda
ningrat. Tujuan perkelahian itu, semata-mata hanya mendesak agar si pemuda mau membayar
pulang harga celana Nuraini.
Tetapi lawannya berpikir sebaliknya. Melihat Sangaji bertempur dengan jurus-jurus yang sangat berbahaya, lantas saja ia memikirkan suatu tipu-muslihat lagi. Ia sengaja membuka dadanya, seolah-olah mengesankan tak dapat menjaga diri.
Sangaji kena terjebak. Melihat dia membuka dada, tak sampai hati ia meneruskan serangannya.
Ia menarik tangannya. Kini hanya mengarah kepada lambung. Tak tahunya, ini-lah kejadian yang diharap-harapkan lawannya. Begitu ia sembrono, kedua tangan lawannya lantas saja bekerja.
Yang sebelah kiri menyodok lengan dan yang sebelah kanan menumbuk dada.
Sangaji kaget. Cepat-cepat ia menarik kedua tangannya untuk melindungi dada. Mendadak
lawannya membatalkan pula serangannya. Kali ini hanya menyambar dan menangkap
pergelangan. Kemudian sambil menarik kuat ia melompat tinggi. Kakinya menjejak paha Sangaji dan terus melesat ke udara berjumpalitan. Karuan saja, Sangaji jatuh terbalik kena dorongan tenaga. Mukanya sampai mencium tanah begitu panjang.
Mustapa kala itu telah terbebat rapi. Kedua pergelangan tangannya, dapat digerakkan sedikit meskipun nyeri luar biasa. Melihat Sangaji kena dirobohkan tiga kali berturut-turut, ia merasa iba.
Tanpa memikirkan dirinya sendiri, lantas saja ia maju menolong membangunkan Sangaji. Ia tahu, Sangaji bukan lawan si pemuda ningrat. Maka ia berkata menyabarkan, "Anak muda, jangan layani dia. Apa gunanya berkelahi melawan seorang anak muda yang tak mempunyai harga diri?"
"Sangaji roboh dengan kepala berputaran dan mata kabur. Ia tak mengira, diperlakukan
lawannya begitu kejam. Sedangkan tadi, ia berlaku memaafkan kepadanya. Kini, timbullah
dendamnya. Serentak ia merenggutkan diri dari tangan Mustapa kemudian melompat maju.
"Eh ...! Kamu belum takluk juga?" seru si pemuda ningrat.
Sangaji tak menyahut. Ia terus merangsak dengan sungguh-sungguh. Hebat kali ini, karena dia tak sudi lagi memberi ampun.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagus!" seru si pemuda ningrat. "Tapi jangan salahkan aku! Aku terpaksa melayani-mu
dengan sungguh-sungguh. Nah mundurlah, sebelum terlanjur!"
"Bayar pulang dahulu celana dia. Baru kita bicara," sahut Sangaji.
Si pemuda ningrat serta pengiringnya terpaksa tertawa geli, menyaksikan ketololannya.
"Hai! Nona itu kan bukan adikmu?" seru salah seorang pengiring. "Mengapa ngotot?"
Sangaji tak mendengarkan ocehan orang itu. Ia terus merangsak sambil mengancam lagi,
"Kamu bayar pulang tidak?"
"Eh, sahabat!" sahut si pemuda ningrat. "Nampaknya kau mau mengadu nyawa. Buat apa"
Kalau aku kawin dengan gadis itu, apa kamu lantas bisa menjadi iparku?"
"Aku bukan kakaknya. Mengapa kau bilang seolah-olah dia adikku?" damprat Sangaji.
Benar-benar ia marah kali ini. Matanya melotot, sedang napasnya kembang-kempis.
"Bagus! Kau mau jadi pahlawan" Majulah!" tantang si pemuda ningrat.
Mereka jadi bertarung lagi. Kali ini Sangaji tak berkelahi dengan setengah hati. Itulah sebabnya, lambat-laun si pemuda ningrat kena didesak mundur sampai merasa keripuhan. Dia mencoba
mengadu kegesitan, tetapi Sangaji bisa bergerak dengan gesit berkat ajaran jurus-jurus Wirapati.
Pada saat itu, penonton makin lama makin banyak. Mustapa yang memperhatikan mereka, jadi tak enak hati. la sadar, kalau polisi sampai datang urusan bisa bertambah runyam. Lagi pula, ia tahu kalau di antara mereka terdapat pendekar-pendekar sakti yang ikut pula memperhatikan jalannya pertempuran. Pandang mata mereka luar biasa tajam. Di antara mereka ada pula yang membekali senjata rahasia. Kalau saja mereka tiba-tiba ikut campur dengan melepaskan senjata rahasia, akan celakalah. Kalau mengenai si pemuda ningrat, bagaimana bisa dia bebas dari suatu urusan besar. Sebaliknya kalau mengenai Sangaji, bagaimana mungkin dia membiarkan pemuda itu berkorban untuk dirinya"
Mendapat pikiran demikian, hati-hati ia menyelinap di antara penonton, la menaruh curiga kepada segerombol penonton yang sikapnya luar biasa. Orang yang berdiri di depan,
berperawakan tinggi besar. Dia mengenakan kopiah putih seperti seorang haji. Tapi pandangnya keruh mengingatkan pada raut-muka seorang algojo. Yang berdiri di sebelah kirinya, seorang lakilaki berperawakan kurus. Orang ini sudah berusia lanjut. Rambutnya hampir putih semua.
Wajahnya berkerinyut. Meskipun demikian, pandangnya berwibawa, kereng berdiri di sebelah kanan, seorang pemuda berkumis tebal dan mengenakan pakaian serba putih. Perawakan
tubuhnya kukuh. Dialah Kartawirya yang dulu mengancam Sangaji di dalam losmen.
"Manyarsewu!" kata laki-laki kurus berusia lanjut. "Kamu datang dari Ponorogo ke mari,
semata-mata hendak memenuhi panggilan Pangeran Bumi Gede. Bocah ngganteng berpakaian
mentereng itu, putera Pangeran Bumi Gede. Apa kamu mau membiarkan dia dirangsak habishabisan pemuda tolol itu" Kalau sampai putera Pangeran Bumi Gede terluka, apa nyawa kita bisa selamat...?"
Manyarsewu adalah seorang laki-laki Berperawakan tinggi besar yang mengenakan kopiah haji.
Mendengar kawannya berkata demikian, ia hanya tersenyum sambil menjawab, "Cocak Hijau, kau usilan. Meskipun dia mampus di depan kita, paling-paling ayahnya cuma mematahkan kakimu
sebelah. Mustahil Pangeran Bumi Gede menginginkan nyawamu..."
Mustapa terperanjat. Orang yang bernama Cocak Hijau itu berkata, kalau si pemuda ningrat adalah putera seorang pangeran. Kalau begitu tak dapat disalahkan, kalau dia menolak mengawini anakku, pikir Mustapa. Ah, jangan-jangan inilah permulaan bencana. Kalau dia sampai dilukai pemuda itu, celaka. Di antara pengiringnya terdapat orang-orang begini perkasa.
"Jangan takut!" sambung Kartawirya. "Berani aku bertaruh, kalau putera Pangeran Bumi Gede tak bakal bisa dikalahkan. Lihat!"
Manyarsewu tertawa melalui dadanya. Menyahut, "Putera Pangeran Bumi Gede pasti bisa
mentaksir kekuatan lawan. Sepuluh tahun lamanya, kabarnya dia sudah mengenal bermacammacam ilmu silat. Gurunya banyak. Akan sia-sia jadinya, kalau sekali-kali dia tak mencoba ketangguhan ilmunya."
"Itu benar." ujar Cocak Hijau. "Cuma saja, kalau kita bisa membuat jasa, akan baik akibatnya.
Pasti kita akan mendapatkan keistimewaan, selama rapat berlangsung."
"Hihaa... mana bisa beliau senang, seandainya kita datang membantu ..." Manyarsewu tetap membandel. Mendadak Kartawirya mengalihkan pembicaraan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Eh, Paman Manyarsewu dan Paman Cocak Hijau! Ilmu silat dari mana yang dipergunakan
putera Pangeran Bumi Gede" Coba tebak!"
Manyarsewu dan Cocak Hijau tertawa hampir berbareng. Hampir berbareng pula mereka
menyahut, "Anak haram! Kau menguji kami! Ilmu silat yang dipergunakan terang berbau daerah Gunung Lawu ... Benar, tidak?"
Kartawirya terkejut. Mendadak wajahnya jadi agak pucat. Katanya minta penjelasan.
"Apakah gurunya pendeta gila yang bernama Hajar Karangpandan?"
Mereka berdua tertawa mendongak.
"Ah!" Kartawirya benar-benar terkejut. Memang antara golongannya dengan Ki Hajar
Karangpandan mempunyai ganjelan dalam. Dua belas tahun yang lalu, anak buah sang Dewaresi yang diutus mengawal Keris Tunggulmanik dan Bende Mataram, bisa dirampas Ki Hajar
Karangpandan. Rombongan yang terdiri dari dua puluh orang, mati semua tiada seorangpun yang selamat.
"Ah, tak mungkin! Tak mungkin!" seru Kartawirya. "Pendeta gila itu mempunyai sejarah buruk terhadap sang Dewaresi. Dia seorang musuh bebuyutan kaum ningrat. Sedangkan sang Dewaresi adalah sekutu Pangeran Bumi Gede. Bagaimana bisa Pangeran Bumi Gede membiarkan puteranya berguru pada musuh kaum ningrat?"
Manyarsewu menyahut, "Apa kaukira Dewaresi mempunyai hubungan baik dengan Pangeran
Bumi Gede" Eh, seperti kau tak mengenal peraturan dunia. Kalau saja sekarang mau akur,
semata-mata bukan karena tali persekutuan melainkan karena kepentingan yang sama."
"Apa itu?" "Masa kau tak tahu" Pemimpinmu kepengin menjadi Bupati Banyumas yang syah. Sedangkan
Pangeran Bumi Gede mengharap bisa mendapat bantuannya untuk suatu tujuan tertentu."
"Mana bisa pemimpinku gila pangkat" Biarpun bukan seorang bupati, tapi kekuasaannya
melebihi seorang adipati mancanegara." Kartawirya membela kehormatan pemimpinnya.
Manyarsewu dan Cocak Hijau tertawa melalui hidung. Sejurus kemudian berkata,
"Baiklah kalau begitu kehadiranmu di Pekalongan bukankah seaneh Ki Hajar Karangpandan
menjadi guru putera Pangeran Bumi Gede?"
Kartawirya diam menimbang-nimbang. Berbicara mengenai keanehan, memang kehadiran
pemimpinnya di Pekalongan untuk nemenuhi undangan Pangeran Bumi Gede susah ditebaknya.
"Pendek kata, Pangeran Bumi Gede bukan orang sembarangan. Kau tahu?" ujar Cecak Hijau.
"Beliau seorang pangeran yang pandai berergaul dan yang mempunyai hari depan gemilang. Kalau sedari siang-siang kita bisa menyesuaikan diri, bukankah kita bakal kebagian rejeki" Nah, lihat pertarungan mereka!"
Mereka bertiga lantas saja melepaskan pandangannya ke arah gelanggang. Sangaji ternyata
merubah tata-berkelahinya. Kini dia tak bergerak banyak. Malahan nampak seperti berajal-ajalan.
Tubuhnya terjaga rapat, sehingga ke mana saja si pemuda ningrat hendak melepaskan
serangannya selalu batal.
"Cocak Hijau! Kau sudah tua bangkotan, coba tebak darimana asal tata-berkelahi anak muda itu!"
Cocak Hijau diam sejenak. Ia mencoba menebak. Tetapi ternyata sia-sia belaka.
Akhirnya berkata, "Kelihatannya ilmunya kacau tak karuan. Pasti bukan seorang guru-nya".
"Kau tua bangkotan benar," sahut Manyarsewu tertawa berkakakkan. "Melihat gerak-geriknya dia ahli waris seorang guru yang mengutamakan tenaga jasmani."
"Hai! Bukankah hampir serupa dengan tata-berkelahinya si Kodrat dulu?" seru seseorang dari jauh sana.
Mustapa mengamat-amati orang yang berseru itu. Ternyata ia seorang laki-laki yang
berperawakan pendek buntet. Kepalanya botak. Berkumis putih agak tak terpelihara. Dia
mengenakan pakaian putih pula seperti Kartawirya. Meskipun Mustapa belum mengenal siapa dia, tapi dengan cepat dapat menebak kalau dia termasuk dari golongan Kartawirya anak-buah dari orang yang disebut sang Dewaresi. Nampaknya dia lebih tangguh daripada Kartawirya. Mestinya kepandaian-nyapun bukan sembarangan. Selagi dia berpikir, mendadak Kartawirya melompat ke dalam gelanggang sambil berteriak dengki, "Ah, celaka! Kaulah bocah yang main gila...!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semua orang kaget. Mustapa sendiri sampai tersirat darahnya. Segera ia bersiap hendak
menolong Sangaji, jika Kartawirya terus menyerang. Tapi di luar dugaan, Kartawirya bukan menyerang Sangaji, melainkan mengarah kepada pemuda yang menggenakan pakaian kumal.
Pemuda itu memekik terkejut. Terus dia lari berputaran sambil memekik-mekik, "Ayo! Ayo! Ayo bermain tikus-tikusan!"
Sangaji sedang menumpahkan seluruh perhatiannya, la heran, ketika mendengar suara yang
sudah dikenalnya. Itulah suara pemuda kumal yang dulu menjadi temannya makan di restoran Nanking Cirebon. Tatkala ia mengerlingkan mata, hatinya terkesiap. Pemuda ini sedang diuber-uber Kartawirya yang dulu mengancamnya di losmen Cirebon. Perhatiannya jadi buyar, sehingga ia kena tendang lawannya.
"Berhenti dulu!" ia berseru, sambil melompat ke luar gelanggang. "Aku hendak pergi sebentar.
Segera aku kembali."
"Lebih baik kau mengaku kalah ..." ejek lawannya.
Sangaji tidak ada niat mau berkelahi mati-matian dengan si pemuda ningrat. Pikirannya sedang kusut, karena memikirkan nasib pemuda kumal yang sedang diuber-uber Kartawirya. Mendadak, sewaktu ia hendak mengejar Kartawirya, si pemuda kumal nampak kembali sambil tertawa
senang. Ia lariberputar-putar dengan mata berseri-seri. "Ayo! Ayo! Ayo main tikus-tikusan!" Dan di belakangnya, nampak Kartawirya menguber dengan muka penasaran.
Kartawirya mencoba menubruk dengan sekuat tenaga. Tetapi si pemuda kumal ternyata sangat gesit, la meloncat tinggi dan terus lari berputaran. Dan dia benar-benar dapat bergerak segesit tikus. Karuan saja Kartawirya mendongkol bukan main sampai dadanya serasa hampir meledak.
Mulutnya lantas saja bekerja, la memaki kalang kabut tak karuan juntrungnya.
Penonton jadi tertawa bergegaran. Inilah permainan lain lagi yang tak kurang menarik
perhatian. Mereka bersorak-sorak gembira. Dan si pemuda kumal bertambah gembira. Ia lari berlompat-lompatan. Sekarang gayanya seperti seekor kuda lagi meloncati galah. Dan demikian Kartawirya tambah menjadi-jadi. Karena merasa dipermainkan, serentak ia menghunus sebilah golok bermata cabang tiga. Ia terus memburu sambil menyabetkan goloknya.
Seketika itu juga, penonton jadi terdiam. Hati mereka tegang luar biasa karena mence-maskan si pemuda kumal, bahkan kian edan-edanan. Dia lari berputar, kemudian melesat dengan sekali melompat. Mendadak melesat kembali seolah-olah mau menubruk dada. Karuan saja Kartawirya menjadi keripuhan. Masih dia menyabetkan goloknya. Tapi pemuda kumal itu meloncat tinggi dan di luar dugaan bisa mengemplang pipi pulang pergi, sehingga raut muka Kartawirya jadi merah ungu seperti jantung babi.
"Ayo! Ayo! Sekarang bermain kuda lumping!" teriak si pemuda kumal sambil tertawa mengejek.
Ia mencibirkan bibirnya sambil melambai-lambaikan tangannya.
"Bangsat! Jangkrik! Babi! Kambing! Itik! Iblis! Setan! Gendruwo! Kuda!" maki Kartawirya
kalang-kabut. "Kalau aku tak berhasil membeset kulitmu, lebih baik kumakan sendiri tulang-tulangku...!"
la terus melejit, tetapi si pemuda kumal tak takut. Dia bahkan memperhebat ejekannya sambil bersumbar-sumbar. Kemudian lari memasuki gelanggang. Tak lama lagi menyusup di antara
penonton dan muncul kembali seperti orang bermain kucing-kucingan.
Penonton yang kena disusupi, jadi bubar berderai. Tetapi mereka bergembira. Mereka tertawa riuh bergegeran. Apa lagi jika menyaksikan Kartawirya makin lama makin jadi kalap.
Pada saat itu, muncullah tiga orang lagi yang memburu si pemuda kumal dengan serentak.
Perawakan mereka berbeda-beda. Yang seorang tinggi kurus bermuka bopeng. Itulah dia si Setan Kobar. Yang kedua, berperawakan pendek gendut. Dialah Cekatik gelar Simpit Ceker Bebek. Dan yang ketiga seorang pemuda bernama Maling. Merekalah dulu yang tergantung di atas pohon.
Mereka berteriak-teriak kacau, "Kurang ajar iblis kuda! Kauanggap apa sih kami ini, lantas kaugantung di atas pohon?"
Mendengar teriakan mereka, Sangaji terkejut. Barulah kini dia sadar, kalau kawannya itu
sebenarnya seorang pemuda bukan semba-rangan. Terang sekali, kalau dialah yang menggantung ketiga orang itu seorang diri.
"Hebat!", puji Sangaji dalam hati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Peristiwa Kartawirya dan ketiga rekannya kena dipermainkan seorang pemuda kumal, masuk
dalam pembicaraan Manyarsewu dan Cocak Hijau. Manyarsewu sesungguhnya seorang pendekar
sakti dari Ponorogo. Ia sampai mendapat gelar Warok Ponorogo yang disegani pendekar-pendekar sakti lainnya. Sedangkan Cocak Hijau sebenarnya bernama Andi Malawa berasal dari Makassar. la menetap di Pulau Jawa setelah kawin dengan seorang gadis dari Gresik. Semenjak itu dia
mendapat gelar Cocak Hijau, karena ilmu berkelahinya yang sangat gesit bagaikan seekor burung cocak. Seringkali dia bertanding melawan pendekar-pendekar sekitar Gresik. Pernah pula melawat ke Malang, Jombang, Mojokerto dan Kediri. Akhirnya bertemu dengan Manyarsewu dan menjadi sahabat. Karena mereka berdua pernah mengadu kepandaian dan di antara mereka tidak ada
yang kalah atau menang. "Eh, Cocak Hijau!" kata Manyarsewu. "Kabarnya Kartawirya itu mempunyai gelar Singalodra.
Kenapa dia kena dipermainkan anak kemarin sore" Lihat laki-laki berkepala botak, bertubuh pendek buntet itu! Dia Paman guru Kartawirya. Kelihatannya, dia men dongkol dan malu."
"Kaukenal dia?" tanya Cocak Hijau.
"Orang itu pernah keluyuran sampai ke daerah Ponorogo. Ilmunya hebat tak tercela. Namanya Sidik Mangundirja gelar Yuyu Rumpung. Kabarnya dia menjadi penasehat sang Dewaresi."
Mendengar nama Yuyu Rumpung, Mustapa kaget. Diam-diam ia mengamat-amati orang
berkepala botak yang berkumis serabutan dan berperawakan pendek buntet. Pernah dia
berkeliling sampai ke daerah Banyumas.
Nama itu tak asing lagi baginya. Dia terkenal sakti dan galak. Hanya saja, belum pernah ia melihat orangnya.
Yuyu Rumpung kelihatan gusar. Mukanya merah padam. Tangannya meremas-remas. Dan
Manyarsewu terdengar berkata lagi, "Dia gusar, lihat! Maklum, keponakannya seperti bocah tiada guna sampai kena dipermainkan bocah ingusan."
Dalam pada itu, perkelahian antara Sangaji dan si pemuda ningrat berhenti begitu saja. Si pemuda ningrat nampak letih. Ia berhasil merobohkan Sangaji sampai enam tujuh kali, tetapi benar-benar harus memeras keringat. Sebaliknya Sangaji nampak masih segar-bugar. Ia masih bersedia melanjutkan perkelahian.
Mustapa datang menghampiri dan berusaha membujuknya agar mengalah. Mula-mula Sangaji
enggan mendengarkan bujukan Mustapa, tetapi akhirnya dia menurut. Maklumlah, tidak ada
niatnya mau berkelahi mati-matian melawan si pemuda ningrat. Ketika mereka berdua mau
mengundurkan diri, terdengarlah suara ribut lagi.
Si pemuda kumal datang berloncatan sambil membawa robekan kain putih. Dia tertawa dengan pandang berseri-seri. Tak lama kemudian, nampaklah Kartawirya datang memburu.
Pakaian si pesolek kini berubah tak keruan macam. Kain dadanya robek, sedang lengan bajunya buntung. Tahulah orang, kalau pemuda kumal itu telah merobek kain dada dan lengan bajunya.
Maka itu mereka tertawa riuh.
Kartawirya marah bukan kepalang sampai warna mukanya biru pengab. Dengan sepenuh
tenaga dia melesat mengejar si pemuda kumal yang telah menghilang lagi di antara penonton.
Tak lama kemudian, datang pulalah ketiga rekannya yang berteriak-teriak sambil mengacungacungkan senjatanya. Mereka berusaha mengejar si pemuda kumal secepat mungkin. Tapi terang, ilmunya kalah jauh sehingga mereka mirip tuyul-tuyul belaka.
Semua orang heran dan geli menyaksikan mereka uber-uberan tak keruan juntrungnya.
Akhirnya mereka tertawa berkakakkan seperti melihat badut. Berbareng dengan itu, terde-ngarlah suara bentakan-bentakan dari arah timur. Dua regu polisi datang menyibakkan penonton dengan menyabetkan cemetinya.
"Minggir! Minggir! Raden Ayu Bumi Gede lewat!"
Semua orang terkejut. Buru-buru mereka menyibakkan diri. Buat Kota Pekalongan,
kedatangannya seorang isteri pangeran adalah jarang terjadi. Itulah sebabnya mereka ingin melihat kaya apa seorang isteri pangeran, seolah-olah dia bukan termasuk golongan manusia yang doyan makan dan minum.
Mendengar suara polisi dan melihat kesibukan orang, si pemuda ningrat mengeri-nyitkan dahi.
Terdengar ia menggerutu, "Siapa yang lapor aku berada di sini?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Para pengiringnya, tidak ada yang berani menjawab. Memang salah seorang di antara mereka ada yang lari melaporkan peristiwa perkelahiannya dengan Sangaji. Mendapat laporan itu, Raden Ayu Bumi Gede segera datang dengan berkendaraan kereta berkuda.
Mustapa mendongakkan kepala. Ingin ia mendapat penglihatan agak luas. Diapun termasuk
seseorang yang belum pernah melihat wajah isteri kaum ningrat tinggi. Selain isteri-isteri kaum ningrat tinggi itu jarang sekali men-jengukkan diri di luar rumah, merekapun tinggal di dua buah kota kerajaan belaka. Yakni Surakarta dan Yogyakarta.
Tak lama kemudian sebuah kereta berkuda empat datang bergeritan. Kereta itu berhenti di
pinggir lapangan. Beberapa pengiring lantas menghampiri dan membungkuk hormat. Dari dalam kereta, terdengarlah suara seorang wanita, "Mana dia" Panggil kemari! Mengapa dia berkelahi di sembarang tempat?"
Mustapa mendengar suara wanita itu cukup terang. Mendadak sekujur badannya menggigil.
Mukanya pucat dan bibirnya bergetaran lembut. Pendengarannya seolah menangkap suatu suara yang telah lama dikenalnya. Diam-diam ia berpikir keras, "Ih! Mengapa dia" Apa benar dia" Masa dia?"
Tiba-tiba dia tertawa perlahan mengejek dirinya sendiri. Pikirnya pula, hmm... kalau pikiran sedang angot... mana bisa dia isteriku...
Waktu itu Nuraini datang mendekati. Ia mencemaskan dirinya karena kelihatan berubah
wajahnya. Menimbang kalau dia lagi luka parah, ia mengira rasa sakitnya tak terta-hankan lagi.
Maka hati-hati Nuraini minta penjelasan, "Ayah, istirahatlah! Mengapa ...?"
Mustapa terkejut. Ia menoleh, lalu tersenyum pahit. Setelah itu penglihatannya dilemparkan kembali ke arah kereta berkuda, la mulai berpikir keras lagi. Kesan pende-ngarannya benar-benar mengejutkan hatinya.
Waktu itu si pemuda ningrat telah menghadap ibunya. Nampak sekali, kalau dia manja benar pada ibunya. Ia menjengukkan kepalanya ke dalam kereta sambil berbicara tak begitu terang.
Ibunya"yang disebut Raden Ayu Bumi Gede"terdengar pula berbicara. Lamat-lamat dia berkata,
"Mengapa berkelahi" Lihat, kau tak mengenakan baju luar. Kalau sampai masuk angin, apa
jadinya?" "Ibu. aku sedang bermain-main. Bukan berkelahi seperti Ibu sangka," si pemuda ningrat
memberi keterangan. Lengan Raden Ayu Bumi Gede, nampak menjulur dari balik dinding kereta. Lengan itu berwarna kuning manis dan berkesan bersih. Kemudian terdengar Raden Ayu Bumi Gede berkata agak
terang, "Pakailah bajumu! Mari kita ke Kadipaten! Ayahmu sudah lama menunggu kehadiranmu."
Mendengar suara terang itu, kembali Mustapa terkejut sampai tubuhnya bergetaran. Tak
disadari sendiri, mulutnya berkomat-kamit "'Ah, masa dia" Apa benar ada dua wanita yang mirip suaranya di dalam pagutan hidup ini" Mana bisa!"
Nuraini yang berdiri dekat padanya, kembali minta penjelasan, "Ayah berbicara dengan siapa"'
Mustapa terkejut. Gugup ia menjawab sambi tersenyum pahit seakan-akan mengejek dirinya
sendiri, "Ah, pikiranku sedang angot, anakku. Aku teringat kepada ibumu."
Mendengar keterangannya, Nuraini jadi perasa. Berkatalah dia menenteramkan,
"Bukankah Ibu telah lama meninggal dunia?"
Maksud Mustapa hendak mewartakan tentang isterinya, tetapi Nuraini mengira dia sedang
membicarakan ibu kandungnya. Meskipun demikian, Mustapa tidak berusaha menjelaskan.
Kembali ia tersenyum pahit sambil menjenak napas.
Seorang pengiring segera memungut jaket si pemuda ningrat yang dibuang Sangaji ke tanah
tatkala menungkrap kepalanya. Pengiring itu agaknya hendak membuat jasa di hadapan Raden Ayu Bumi Gede. Dengan mata melotot ia mendamprat Sangaji.
"Kau monyet kampungan! Lihat, kau membikin kotor jaket ndoromas."
Sangaji tak meladeni. Melihat sikap orang, pengiring itu memperoleh hati. Terdorong oleh suatu keinginan hati agar mendapat pujian Raden Ayu Bumi Gede dan mengira pula Sangaji seorang pemuda kampung yang tidak berkepandaian, pengiring itu lantas saja menghampiri dengan
membawa cambuk. Dengan sekuat tenaga ia mengayunkan cambuknya hendak menghajar
Sangaji sesuka hatinya. Tak tahunya, Sangaji meloncat membela diri. Dengan sebelah tangan ia menangkap lengannya, kemudian tangannya menyapu sambil menyodokkan siku. Tak ampun lagi,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
si pengiring yang malang itu jatuh roboh terguling. Sangaji nampaknya benar-benar mendongkol bercampur dengki. Serentak ia merampas cambuk itu dan disabetkan pulang balik ke muka si pengiring sampai babak belur berbentong-bentong.
Sebagian penonton yang tadi kena gertak dan cemeti polisi, diam-diam memuji kebera-nian
Sangaji. Mereka bersyukur dalam hati, menyaksikan salah seorang pengawal kereta berkuda kena hajar.
Tetapi polisi-polisi yang lain, yang menjadi pula pengiring istri Pangeran Bumi Gede, datang membela rekannya. Mereka lantas mengepung Sangaji dan menyerang setengah kalap karena
gusar. Sangaji tidak gentar. Dengan cekatan ia menangkap salah seorang di antara mereka, lalu dilemparkan ke udara. Belum lagi orang itu jatuh ke tanah, lainnya terlempar pula. Begitulah saling susul seperti bola keranjang terjun dari udara ke udara.
Penonton bersorak gembira, mengagumi keperkasaan Sangaji. Sebaliknya si pemuda ningrat
jadi penasaran. Segera ia melompat kembali ke tengah gelanggang sambil membentak, "Hai! Kau masih saja berani ugal-ugalan di depanku?"
Terus saja ia menyambar Sangaji yang sedang menerkam dua orang polisi. Sangaji tak menjadi gugup. Cepat ia mendorong dua orang polisi itu sebagai perisai. Maka celakalah nasib mereka berdua. Mereka kena hajar majikannya sendiri, sampai berkaok-kaok kesakitan.
Si pemuda ningrat semakin bertambah gusar. Lantas saja ia merangsak maju dengan
melepaskan jurus-jurus berbahaya. Sangaji mengelak dan membela diri. Dan sebentar saja,


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka berdua bertempur kembali.
"Jangan berkelahi! Tahan!" teriak Raden Ayu Bumi Gede dari dalam keretanya sambil melongok ke luar jendela.
Agaknya pemuda ningrat itu biasa dimanjakan ibunya. Ternyata ia tak mendengarkan larangan ibunya, malahan menjawab, "Ibu! Biar kulabraknya bocah kampungan ini!"
la lantas memperhebat tekanan. Terang sekali, maksudnya hendak mencari muka dan
memamerkan kepandaiannya pula kepada ibunya. Tetapi ia kecele. Sampai lebih dari empat belas jurus, serangannya selalu saja kena digagalkan Sangaji. Itulah sebabnya, kini ia benar-benar menumpahkan seluruh perhatiannya. Ia, merangsak dan merangsak tiada henti. Akhirnya pada jurus ke delapan belas, ia berhasil merobohkan Sangaji sampai dua kali berturut-turut.
Dalam pada itu Mustapa tidak lagi menaruh perhatian kepada perkelahian itu. Pandangannya lagi dipusatkan kepada Ibu si pemuda ningrat yang menjengukkan kepalanya di jendela kereta.
Ternyata Raden Ayu Bumi Gede seorang perempuan yang berwajah manis luar biasa. Rambutnya tersisir rapi dan digelung bagus. Padang raut mukanya terang ben-derang, karena bermata
cemerlang, beralis tebal dan berhidung mungil. Di atas bibirnya bersemayam sebuah tahi lalat hitam menyolok. Inilah suatu keselarasan yang jarang terdapat di kolong dunia. Dan begitu Mustapa mengamat-amati wajah perempuan itu, lantas saja berdiri terpaku dengan pandang mata tak berkedip.
Sangaji kala itu, kena dirobohkan lagi. Tetapi ia emoh menyerah kalah. Bahkan kian lama kian ngotot. Tubuhnya seolah-olah kian perkasa bagaikan sebuah patung besi. Sekarang, ia tak bisa dirobohkan lagi. Gerak geriknya mantap dan berbahaya.
Si pemuda ningrat heran sampai tercengang sebentar. Tak dapat ia menebak, mengapa
lawannya bertambah lama nampak bertambah kuat serta ulet. Kalau tadi ia berhasil me-robohkan manakala kakinya mengenai sasaran, kini jatuh sebaliknya. Beberapa kali ia melepaskan
tendangan. Tetapi aneh! Sangaji tak bergeming. Malahan terasa tenaganya kena terhisap. Ia tak mengerti khasiat pohon sakti pohon Dewadaru yang telah mendarah daging dalam tubuh Sangaji.
Seseorang yang telah menghisap getah pohon itu, akan bertambah kuat dan kuat manakala
tubuhnya terus bergerak. Karena otot-ototnya lantas menjadi kejang dan aliran darahnyapun semakin cepat. Darah ini seperti berdesakan mencari tempat dan berusaha meruap keluar. Apabila tubuh kena pukulan, dengan sedirinya bebareng mendesak melegakan diri. Itulah sebabnya,
Sangaji tak mempan kena pukulan betapa keraspun. Ia nampak seperti orang kebal yang tahan melawan tajamnya senjata atau peluru.
Dalam pada itu, si pemuda kumal dan Kartawirya nampak kembali berlari-larian memasuki
gelanggang. Kali ini keadaan Kartawirya tambah korat-karit. Rambutnya jadi awut-awutan dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
wajahnya keruh seperti babi terpanggang. Goloknya yang bercabang tiga nampak mentublas
selembar kertas cukup besar yang tertera sederet tulisan: "Babi ini dilelangkan."
Dengan demikian, terang-terangan Kartawirya dianggap sebagai seekor babi yang hendak
dilelangkan karena tiada guna. Sudah barang tentu, mereka yang dapat membaca tulisan itu sekaligus tertawa berkakakkan. Sedangkan yang buta-huruf buru-buru minta penjelasan. Apabila telah mendapat penjelasan segera mereka tertawa bergegeran.
Si pemuda kumal benar-benar hendak nsempermain-mainkan Kartawirya sepuas-puas harinya,
la lari bolak-balik sambil meloncat-loncat gesit. Tak lama kemudian, ia mengluarkan segulung kertas lagi yang ada tulisannnya pula. Entah kapan ia menulis, orang tak tahu. Hanya saja gulungan kertas itu lantas dipetang pada sebilah tongkat semacam bendera. Dan di antara kibaran angin terbacalah uksannya: "Minggir! Minggir! Babi hitam itu terlalu galak!"
Keruan saja, penonton yang bisa membaca bertambah tertawa gelak. Mereka sampai
berlompat-lompatan ke udara karena geli bercampur kagum. Tak lama lagi munculah Tiga badut lainnya. Merekalah si Setan Kobar, Cekatik gelar Simpit Ceker Bebek dan Maling. Mefeka berlari-larian seperti sedang berlomba. pada pantatnya masing-masing terpancang tali panjang seperti ekor. Pada ujungnya tertempel selembar kertas pula, yang berkibar-kibar ke udara. Kertas inipun ada hurufnya yang terbaca cukup terang: "Inilah anak-anak kuda binal."
Manjarsewu dan Cocak Hijau tercengang-cengang sampai berdiri bengong. Terang sekali,
mereka bertiga kena dirobohkan si pemuda kumal. Mukanya nampak benjut dan gosong. Lantas saja mereka berdua sibuk menduga-duga tentang si pemuda kumal.
Sangaji sedang bertempur dengan sengitnya melawan si pemuda ningrat, la tak mempunyai
kesempatan untuk melihat permainan badut-badutan itu. Lengannya kena dihajar dua kali oleh lawannya. Tetapi segera ia dapat membalas dua kali pula dan kini berkelahi dengan menggunakan jurus-jurus gabungan ajaran Wirapati dan Jaga Saradenta. Dia nampak tangguh, kuat, bengis, dan berbahaya. Si pemuda ningrat sendiri lantas saja terpaksa mengeluarkan ilmu simpanannya yang berbahaya. Dengan demikian, kedua-duanya terancam oleh suatu serangan yang bisa
mengakibatkan luka parah tak terlukiskan.
Manjarsewu, Cocak Hijau dan Yuyu Rum-pung yang merasa diri sebagai, pendekar sakti, tahu menjaga kehormatan diri. Mereka tak mau melerai atau mencampuri urusan. Hanya saja mereka nampak mengkhawatirkan keselamatan si pemuda ningrat. Karena itu nampak sekali, kalau
mereka sedang bersiaga membantu si pemuda ningrat, apabila benar-benar dalam keadaan
berbahaya. Tetapi munculnya si pemuda kumal, sedikit banyak mengganggu juga pemusatan
perhatiannya. Apalagi Yuyu Rumpung. Orang tua bertubuh pendek buntet itu merasa sebal,
menyaksikan kemenakan muridnya kena dipermainkan si pemuda kumal demikian rupa.
Makin lama Sangaji kelihatan makin gagah. Hal ini tidak mengherankan. Getah Dewa-daru kini benar-benar sedang bekerja. Getah sakti itu seolah-olah ikut bertempur dengan sibuknya.
Sebaliknya si pemuda ningrat nampak letih. Maklumlah, sebagai seorang yang biasa hidup
dimanjakan di dalam istana mungkin juga kurang berlatih dengan sungguh-sungguh. Itulah
sebabnya, lambat laun ia jadi terdesak. Sekarang bahkan hanya bisa membela diri saja. Mendadak Sangaji melompat menerkam. Cepat-cepat ia meninju sejadi-jadi-nya dengan maksud menahan
serangan. Tetapi Sangaji dapat berlaku sebat. Gerakannya lebih cepat. Dengan tangan kanan ia membentur siku si pemuda ningrat. Berbareng dengan itu tangan kirinya maju membekuk leher.
Si pemuda ningrat benar-benar terkejut. Tak diduganya, kalau lawannya bisa berlaku sehebat itu dalam saat-saat menunggu tenaga terakhir. Cepat-cepat ia meniru gerakan Sangaji. Tangannya lantas juga membekuk leher. Dengan begitu kedua pemuda itu saling berkutat mempertahankan batang lehernya.
Beberapa waktu kemudian, keadaan mereka bertambah berbahaya. Masing-masing berusaha
hendak mematahkan tulang lengan dan tulang leher dengan berbareng. Tangan yang satu
mencekik dan yang lain memutar lengan.
Semua orang yang memperhatikan pertarungan itu memekik kaget. Ibu si pemuda ningrat yang berada di keretapun kelihatan pucat. Nuraini yang di dekat Mustapa pucat pula.
Manyarsewu, Cocak Hijau dan Yuyu Rumpung lantas saja berjaga-jaga siap menolong si
pemuda ningrat. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi sejurus kemudian pertarungan antara Sangaji dan si pemuda ningrat berubah dengan
tiba-tiba. Dia diajak berkutat mengerahkan segenap tenaga. Sekonyong-konyong dia menarik seluruh tenaganya, sehingga terasa menjadi lenyap. Sangaji kaget. Sebelum sadar akan akibatnya, si pemuda ningrat merenggutkan diri dan berhasil menggaplok muka Sangaji sampai kelabakan.
Dan benar-benar Sangaji terkejut kena gaplokan itu. Matanya sampai berkunang-kunang dan
kepalanya serasa berputaran. Untung dia tidak kehilangan akal. Secepat kilat ia tata-berkelahinya.
Teringatlah dia pada ajaran Jaga Saradenta. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia menangkap pinggang lawannya dan di angkat ke udara. Kemudian dengan mengerahkan tenaga ia melemparkan
sekuat-kuatnya. Tetapi si pemuda ningrat bukannya lawan yang lemah, la tahu bahaya. Begitu dirinya terapung di udara, segera teringatlah jurus-jurus ilmunya. Sebelum tubuhnya mendarat ke tanah ia menjejak keras. Seketika itu juga, tubuhnya melesat seperti sebatang tombak
terlemparkan. Dengan cepat ia menyambar paha Sangaji dan didorongnya sepenuh tenaga.
Kena dorongan tak terduga itu, Sangaji roboh terguling. Melihat Sangaji terguling, pemuda ningrat itu melesat lagi menyambar tombak salah seorang pengiringnya. Kemudian menikam
tubuh lawannya. Terang sekali, hawa pembunuhan mulai berbicara. Itulah sebabnya penonton lantas saja mundur berserakan. Sebaliknya di luar dugaan, Sangaji cukup berwaspada. Begitu melihat berkelebatnya mata tombak, dengan gesit dia menggulingkan diri. Tetapi lawannya terus memburu dengan menikamkan tombak tiada hentinya. Maka terpaksalah ia menjejak tanah
dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Sekali melesat ia dapat berdiri tegak berbareng dengan menghunus pedang hadiah Willem Erbefeld. Sekarang pertempuran dilanjutkan dengari mengadu senjata masing-masing. Sangaji menggunakan ilmu pedang ajaran Wirapati, sedangkan si pemuda ningrat menggunakan ilmu tombak gaya Bali. Melihat gaya itu, Mustapa terkejut.
"Ah!" ia komat-kamit. "Pemuda itu mengenal ilmu tombak Bali. Siapa gurunya?"
Suasana gelanggang pertarungan kini benar-benar menjadi sibuk tegang. Banyak penonton
yang mundur ketakutan. Raden Ayu Bumi Gede sampai pula memekik-mekik menyerukan
pertolongan. Mendengar pekik Raden Ayu Gede, Cocak Hijau ingin membuat jasa. Segera ia
melesat ke dalam gelanggang pertarungan dan sekali depak berhasil mementalkan pedang Sangaji sehingga terapung tinggi di udara.
Sangaji terkejut bukan kepalang. Cepat ia mundur, tetapi kalah gesit. Tahu-tahu ia kena hajar pundaknya. Hebat akibatnya. Selama berguru kepada Wirapati dan Jaga Saradenta belum pernah ia bertemu pukulan sekuat itu. Kecuali kala kena terkam Pringgasakti. Itulah sebabnya, lengannya lantas saja lumpuh tak dapat digerakkan.
"nDoromas! Minggir! Biar kutamatkan riwayat bocah itu, agar nDoromas bebas dari
gangguannya ..." kata Cocak Hijau.
Habis berkata demikian, dengan gesit ia meloncat lagi dan menerjang. Sangaji tak berdaya mempertahankan diri. Masih dia berusaha menangkis, tetapi bagaimana mampu melawan tenaga Cocak Hijau yang dahsyat, la berguling bergelimpangan di tanah. Tatkala itu dalam sekilas pandang ia melihat telapak kaki Cocak Hijau terjun hendak menginjak lehernya. Cepat ia
bergulingan. Tetapi Cocak Hujau lebih gesit lagi. Berbareng dengan datangnya bahaya, mendadak nampaklah sesosok bayangan melesat ke dalam gelanggang. Kaki Cocak Hijau kena terbentur.
Masing-masing terpental satu langkah dan berdiri bergoyangan.
Cocak Hijau terperanjat. Pembela Sangaji terperanjat pula. Mereka lantas saling mengamat-amati. Ternyata penolong Sangaji adalah seorang laki-laki berumur kurang lebih 60 tahun.
Rambutnya nampak putih dan sebagian kepalanya tertutup oleh kopiah hitam. Mukanya licin, sama sekali tak berkumis atau berjenggot. Ini menandakan, kalau orang itu gemar pada
kebersihan. Pakaian yang dikenakan warnanya agak kelabu.
"Apakah Tuan yang bernama Cocak Hijau, pendekar dari Gresik?" kata orang itu. "Hari ini aku yang rendah dapat berjumpa dengan Tuan, alangkah besar rejekiku."
"Hm ... bagaimana berani kamu menyebut diriku sebagai pendekar Gresik," sahut Cocak Hijau dengan suara parau. "Namaku sebenarnya Daeng Malawa. Cuma orang usilan saja yang menyebut diriku Cocak Hijau. Bolehkah aku mengenal nama Tuan dan gelar Tuan?"
Orang itu tersenyum manis. "Aku seorang pegunungan. Padepokanku berada di sebelah selatan Gunung Lawu ..." jawabnya dengan takzim.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ih!" potong Cocak Hijau terkejut. "Apakah Tuan yang di sebut Panembahan Tirtomoyo" Ah,
mataku buta sampai tak mengenal tingginya gunung dan dalamnya lautan. Maafkan aku ..."
Mendengar disebutnya nama itu, Manyarsewu dan Yuyu Rumpung ikut pula terperanjat. Hanya
mereka yang masih asing bagi pendengarannya tiada mempunyai kesan. Mereka hanya kagum
atas kegesitannya tadi. Diam-diam mereka memperhatikan warna dan potongan pakaian yang
dikenakan. Kesan mukanya dan pribadinya.
Sebaliknya, Manyarsewu dan Yuyu Rumpung nampak mengerinyitkan dahinya. Sudah lama
mareka mengenal nama itu. Suatu nama yang agung bersemarak melintasi gunung-gunung.
Bagaimana tidak" Panembahan Tirtomoyo adalah seorang saleh. Kecuali itu sakti dan berwibawa besar. Pada jaman Perang Giyanti, ia adalah seorang pejuang ulung di samping Raden Mas Said.
Banyak sekali jasanya dalam sejarah kebangkitan Kerajaan Mangkunegoro.
Dengan tersenyum ramah, Panembahan Tirtomoyo menghampiri Sangaji dan berkata kepada
Cocak Hijau, "Sama sekali aku tak kenal bocah ini. Aku hanya tertarik pada kemuliaan hatinya dan kegagahannya. Karena dorongan hati itu, aku memberanikan diri terjun ke dalam gelanggang dengan maksud memohon ampun pada Tuan."
Melihat sikapnya yang sopan santun dan tahu merendahkan diri, semua orang lekas saja
terpikat. Cocak Hijau sendiri jadi segan pula. Dengan membungkuk hormat, ia me-nyatakan
persetujuannya. Panembahan Tirtomoyo membungkuk hormat juga dan menyatakan terima kasih berulang kali.
Tatkala memutar tubuh hendak meninggalkan gelanggang, mendadak pedangnya bersinar tajam
kepada si pemuda ningrat. Berkata angker, "Siapa namamu" Siapa pula gurumu?"
Tatkala si pemuda ningrat mendengar nama Panembahan Tirtomoyo, ia sudah menjadi gelisah.
Agaknya ia pernah mendengar nama itu. Segera ia hendak berlalu, mendadak ia kena pandang.
Gugup ia menjawab pertanyaan Panembahan Tirtomoyo, "Aku putra Pangeran Bumi Gede. Nama
guruku tak dapat kusebutkan di sini."
"Hm! Bukankah gurumu pendeta edan-edanan dari Karangpandan?" bentak Panembahan
Tirtomoyo. Untuk mempertahankan harga diri dan menutupi rasa gugupnya, si pemuda ningrat tertawa
cekikikkan. Ia hendak membelokan perhatian.
Tetapi ia terkesiap ketika melihat pandang Panembahan Tirtomoyo yang menyala seperti
sebilah belati menusuk ulu hati. Maka kuncuplah hatinya dan segera ia mengangguk.
"Hm! Memang sudah kuduga, kamu murid adikku." Kata Panembahan Tirtomoyo. "Bagus benar
kelakuanmu. Apa kau tak pernah menerima petuah gurumu" Apa kau tak pernah menerima pesan-pesan sumpah suatu perguruan?"
Pemuda ningrat itu tampak berubah air mukanya. Benar-benar hatinya kuncup kena pandang
Panembahan Tirtomoyo. Selagi dia kebingungan, mendadak ibunya memanggil, "Ayo pulang! Apa lagi yang kautunggu?"
Lega hatinya mendengar panggilan itu. Dengan demikian ia mempunyai alasan untuk
meninggalkan lapangan. Tetapi teringat akan kata-kata Penembahan Tirtomoyo, kalau gurunya adalah adiknya ia jadi cemas. Khawatir jika sepak terjangnya pada hari itu terdengar oleh gurunya yang sok edan-edanan, segera ia mengubah sikapnya yang keagung-agungan. Cepat-cepat ia
membungkuk memberi hormat kepada Panembahan Tirtomoyo seraya berkata takzim, "Paman
mengenal guruku. Karena itu, sudilah Paman datang berkunjung ke rumah pondokanku di kota ini.
Ingin aku mendengar petuah-petuah Paman yang lebih mendalam. Pasti ada guna-faedahnya
bagiku." Penembahan Tirtomoyo bukanlah seorang anak kemarin sore. Ia seorang yang mempunyai
pergaulan luas dalam kalangan ningrat.
Maka ia tahu pula arah lagak-lagunya. Dengan suara dingin ia menjawab, "Hm."
Pemuda ningrat itu benar-benar cerdik. Melihat gelagat kurang baik, segera ia meng-hampiri Sangaji sambil membungkuk takzim. Berkata merendahkan diri, "Saudara! Kalag tidak bertempur, pastilah kita berdua tak bakal saling mengenal. Aku sangat mengagumi ilmu kepandaianmu. Maka itu, perkenankan pula aku mengundangmu juga datang berkunjung ke pondokanku. Ini bukan
rumahku, tapi aku punya keleluasaan untuk menerima tamu undanganku. Maukah kau memenuhi
harapanku ini demi memperkokoh suatu persahabatan?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi Sangaji bukanlah seorang pemuda yang bisa menyesuaikan diri dengan suatu perubahan pembicaraan. Hatinya terlalu sederhana dan utuh. Tanpa menjawab, ia menuding kepada Nuraini sambil berkata, "Bagaimana soal perjodohanmu dengan Nona itu?"
Keruan saja si pemuda ningrat jadi tersipu-sipu. Cepat-cepat ia berusaha menyembunyi-kan peristiwa itu di hadapan ibunya. Berkata mengesankan, "Hal itu akan kita bicarakan bersama dengan perlahan-lahan."
Mendengar jawabannya, Mustapa menghampiri Sangaji dan menarik lengannya berbisik, "Anak
muda, mari kita pulang! Apa perlu melayani seorang bangsat kecil?"
Meskipun diucapkan dengan berbisik, tetapi pemuda ningrat itu mendengar tiap patah katanya dengan jelas. Menuruti tabiat dan harga dirinya, pasti ia akan mengumbar rasa mendongkolnya.
Tetapi ia nampak tersenyum seolah-olah hendak memperlihatkan kesabarannya. Semua orang
tahu, kalau dia segan terhadap Panembahan Tirtomoyo.
"Paman." Katanya sejurus kemudian kepada Panembahan Tirtomoyo. "Sampai di sini kita
berpisah. Benar-benar aku menunggu kunjungan Paman."
Setelah berkata demikian, cepat ia mengundurkan diri dan lari melompat ke dalam kereta.
Segera sais membentak kuda-kudanya dan kereta berangkat dengan bergeritan.
Panembahan Tirtomoyo mendongkol menyaksikan sikap pemuda ningrat yang keagungagungan itu. Dahulu, Raden Mas Said yang terkenal dengan Pangeran Samber Nyawa tak berani berlaku keagung-agungan terhadapnya. Sekarang melihat sepak terjang pemuda itu, ia merasa seperti diingusi terang-terangan. Tetapi sebagai seorang pendeta yang saleh, lekas saja ia menenangkan diri. Kepada Sangaji ia lalu berkata ramah, "Bocah. Kamu ikutlah denganku!"
"Aku hendak menunggu sahabatku dahulu ..." sahut Sangaji. la melingukkan kepala mencari
sahabatnya si pemuda kumal. Mendadak saja si pemuda kumal telah berada di depan-nya. Ia
berkata sambil celingukan, "Jangan risaukan aku. Aku tak kurang suatu apa... Aku nanti datang mencarimu. Apakah kamu telah membuka lipatan kertasku" ..." setelah berkata demikian ia berlari menyusup di antara penonton, karena mendengar langkah sera-butan.
Tak lama kemudian, Kartawirya nampak mendatangi. Orang itu benar-benar sudah bangkrut.
Kumisnya yang tebal tinggal separo, seperti habis kena cabut. Darahnya nampak masih mengental di sudut-sudut bibir dan hidungnya.
Sangaji tertawa dalam hati. Tahulah dia, kalau orang itu kena diselomoti sahabatnya. Tapi teringat pada ancamannya kala di losmen Cirebon, segera ia membungkuk pada Panembahan
Tirtomoyo untuk mencari perlindungan. Katanya dengan hormat, "Aki, terima kasih atas bantuan Aki..."
Panembahan Tirtomoyo tidak melayani upacara itu. Sebat ia menangkap pergelangan Sangaji, kemudian dibawanya berlalu meninggalkan gelanggang. Cepat sekali jalannya, sehingga tahu-tahu sudah berada di jalanan kota sebelah timur.
Makin lama makin cepat langkah Panembahan Tirtomoyo. Ia seperti hendak menguji kecakapan Sangaji. Ketika menyaksikan napas Sangaji tetap berjalan dengan wajar dan sama sekali tidak berangsur, diam-diam ia heran. Untuk mendapat keyakinan, ia kini mengajak Sangaji berlari-larian. Mula-mula perlahan-lahan, lambat laun kencang bagaikan angin.
Sangaji pernah mendapat petunjuk-petunjuk yang berguna dari Ki Tujungbiru tentang
menguasai pernapasan. Itulah sebabnya, ia tetap dapat mengikuti larinya Panembahan Tirtomoyo dengan napas wajar.
"Eh!" Panembahan Tirtomoyo heran. "Dasarmu bagus! Mengapa kau tak dapat mengalahkan
pemuda tadi?" Tak tahu Sangaji, bagaimana harus menjawab pertanyaan Panembahan Tirtomoyo. Karena itu
ia hanya tertawa panjang dengan kepala kosong.
"Siapa gurumu?"
"Guruku dua orang?" jawabnya. "Tetapi ada pula seorang yang memberi petunjuk tentang laku bersemedi dan cara menguasai tenaga dan pernafasan."
"Siapa dia?" tanya Panembahan Tirtomojo cepat.
"Orang menyebutkannya Ki Tunjungbiru. Tapi menurut guruku, dia bernama Otong
Darmawijaya asal dari Banten."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar nama itu, mendadak saja Panembahan Tirtomojo girang. Dengan menekam tangan
Sangaji, dia berkata, "Engkau beruntung, bocah. Bagus! Aku kenal siapa dia itu. Eh, siapa namamu?"
"Sangaji." "Namamu tak buruk pula." Ujar Panembahan Tirtomojo.
"Tahukah kau siapakah guru pemuda ningrat tadi?"
Sangaji menggelengkan kepala.
0oo0 12 RADEN MAS SANJAYA PANEMBAHAN TIRTOMOYO memperlambat larinya. Akhirnya berjalan wajar seperti seseorang
yang lagi menikmati pemandangan. Ia menunggu kesan Sangaji. Tetapi ternyata kesan Sangaji dingin membeku seolah-olah enggan menaruh perhatian. Diam-diam ia heran atas tabiat pemuda itu yang tiada usilan. Pikirnya, hatinya beku sederhana. Kokoh dan utuh. Bagus bakatnya. Kalau saja ia menemukan seorang guru yang pandai mengenal pribadinya, kelak bakal jadi seorang kesatria-pendeta. Sebagai seorang pendeta, lantas saja hatinya kian tertambat pada pribadi Sangaji.
Sangaji sendiri waktu itu memang lagi berpikir lain. Dia hanya mendengar ujar Panembahan Tirtomoyo dengan setengah hati, karena pikirannya mendadak melayang kepada sahabatnya si pemuda kumal. Sesungguhnya dalam segala hal, hatinya lebih tertarik pada gerak-gerik pemuda kumal itu daripada yang lain. Ia sudah memperoleh kesan buruk terhadap si pemuda ningrat. Apa perlu hendak mengetahui keadaannya lebih jauh" Inilah ciri-ciri pribadinya yang jauh berlainan daripada kebanyakan manusia yang masih berdarah panas. Mungkin pula, usianya masih muda.
Hatinya masih hijau pupus terhadap segala persoalan hidup yang bernapaskan lika-liku pelik.
Terhadap si pemuda kumal, ia mempunyai kesan aneh. Teringat akan kepandaiannya yang
dapat mempermain-mainkan orang semacam Kartawirya, hatinya ikut bersyukur dan girang luar biasa. Ingin ia hendak lekas-lekas bertemu agar dapat menumpahkan semua perasaannya. Lalu ia teringat pula kepada lipatan kertas yang diberikan kepadanya semenjak di Cirebon. Dua kali ia melalaikan pesannya agar membuka lipatan kertas itu setelah dua hari dua malam. Tetapi oleh suatu kesibukan pesannya belum dapat dilaksanakan. Tatkala pagi tadi dia menerima warta
tentang kedatangannya dari mulut pelayan losmen, ia lupa pula membuka lipatan kertas itu karena terdorong rasa girang. Kini ia mau melakukan tegoran sahabatnya itu.
Diam-diam ia merogoh kantungnya. Ternyata lipatan kertas itu masih mengeram baik-baik.
Segera ia hendak merogoh, mendadak mendengar Panembahan Tirtomoyo berkata seolah-olah
mendesak. "Pernahkah kamu mendengar tentang seorang pendeta edan-edanan bernama Ki Hajar
Karangpandan?" Sangaji mengangguk. Memang ia pernah mendengar nama itu. Pertama-tama keluar dari mulut
kedua gurunya. Kedua, dari mulut Ki Tunjungbiru tatkala mengisahkan riwayat pertemuannya sehingga orang tua itu terikat oleh suatu perjanjian tiada kawin selama hidupnya.
"Dia seorang guru besar," ujarnya dingin. Ia teringat kepada pemuda Surapati yang
mengabarkan dirinya sebagai murid Ki Hajar Karangpandan di samping sahabatnya semasa kanak-kanak Sanjaya.
"Dialah guru pemuda itu."
"Sudah kuduga sebelumnya, karena gerak-geriknya mirip dengan seorang pemuda yang pernah
berkelahi denganku di Jakarta."
"Siapa pemuda itu?"
"Namanya Surapati. Dia adik seperguruan teman sepermainanku semasa kanak-kanak."
"Hm." Panembahan Tirtomoyo berdengus melalui hidungnya. "Akupun segera mengenal tatailmu berkelahinya. Itulah gaya adik kandungku Hajar edan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar keterangan Panembahan Tirtomoyo bahwa Ki Hajar Karangpandan adalah adik
kandung, terperanjatlah Sangaji mengingat bahwa dia sampai berkelahi melawan muridkemenakannya, hatinya merasa bersalah. Cepat-cepat dia berkata, "Aki! Kalau begitu aku bersalah terhadap Aki karena berkelahi melawan kemenakan murid Aki. Aku mohon maaf sebesar-besarnya.
Alasan perkelahian itu sebenarnya hanya berkisar pada soal perjodohan. Dia hendak mengingkari janji dan menghina kehormatan seorang gadis dengan terang-terangan di muka umum. Sekiranya aku tahu dia adalah murid adik Aki, bagaimana aku berani berlaku lancang ..."
Panembahan Tirtomoyo tertawa perlahan.
"Tak perlu kamu minta maaf padaku. Bahkan aku perlu menyatakan kekagumanku. Hatimu
amat mulia, bocah. Aku senang padamu. Kau tahu, meski pun adikku seorang pendeta edanedanan, tapi hatinya jujur bersih. Tak bakal ia membantu muridnya dengan membabi buta. Tak bakal pula dia membiarkan muridnya merusak namanya. Kau tahu, karena demi nama, adikku
bersedia berkelahi mengadu nyawa. Demi nama, dia berani menyiksa diri tidak kawin sepanjang hidupnya. Demi nama pula, dia terikat oleh suatu perjanjian dengan dua orang pendekar utama pada jaman ini." la berhenti mengesankan. "Bocah! Siapakah sebenarnya nama kedua gurumu dan kamu berasal dari mana" Menilik tata bahasamu kamu bukan seorang anak yang hidup di tengah pergaulan daerah Jawa Tengah."
Dua belas tahun lamanya Sangaji hidup di kota Jakarta. Meskipun dapat berbicara bahasadaerah Jawa Tengah dengan lancar, tetapi bahasa sehari-sehari yang digunakan ialah bahasa Melayu Jakarta. Itulah sebabnya bagi pendengaran orang Jawa Tengah, tutur katanya terdengar kaku.
Sangaji menatap pandang Panembahan Tirtomoyo. Terhadap orang sesaleh dia, tak perlu ia
menaruh keberatan menyebut nama kedua gurunya.
"Guruku dua orang. Yang berusia tua bernama Jaga Saradenta dan berusia pertengahan,
Wirapati." "Ah!" seru Panembahan Tirtomoyo terkejut. "Masa kamu murid mereka" Kabarnya dua orang
itu, sekarang berada di daerah barat."
"Benar." Sahut Sangaji dengan hati bangga. "Beliau berdua berada di Jakarta selama
mengasuhku." "Eh ... jadi... jadi kaukah bocah pertaruhan itu?"
Sangaji menebak-nebak arti kata orang tua itu. Terus terang, dia belum bisa menanggapi.
"Pertaruhan?" tanya Sangaji minta penjelasan.
"Ya, bukankah kamu anak yang dijadikan pertaruhan antara kedua gurumu dan Hajar" Dua
tahun yang lalu, aku berjumpa dengan Hajar di dekat Desa Bekonang. Dia menceritakan seperti itu demi kehormatan diri masing-masing."
"Ah, itukah maksud Aki?" Sangaji baru mengerti. Lalu ia mengangguk.
"Kamu tahu, diapun anak yang dipertaruhkan."
"Dia siapa?" "Pemuda keagung-agungan tadi."
Mendengar keterangan Panembahan Tirtomoyo tentang si pemuda ningrat yang senasib
dengannya, rasa dengkinya turun. Ia malah tertawa perlahan karena geli.
"Ia dipertaruhkan untuk bertanding melawan siapa?"
"Melawanmu." "Aku?" Sangaji heran.
"Ya, karena dia itulah Sanjaya."
Kalau orang kaget disambar petir, tidaklah sekaget Sangaji. Pandangnya lantas saja jadi kabur dan hatinya memukul keras. Kakinya terasa menjadi kejang. Dan dia berdiri tegak bagaikan sebatang tonggak. Bagaimana tidak" Nama Sanjaya tak pernah hilang dalam perbendaharaan
benaknya, sebagai teman sepermainan masa kanak-kanak.
Ibunya selalu menderukan nama itu berulang kali, setiap kali membicarakan hal-hal yang
terdapat di dalam daerah Jawa Tengah. Maksud ibunya hendak menanamkan bibit persahabatan sekuat-kuatnya dalam hatinya. Tatkala harus berguru pada Jaga Saradenta dan Wirapati, diapun sadar apa guna-faedah-nya. Juga kala dia harus berangkat ke Jawa Tengah. Perjalanan itu
semata-mata untuk urusan pertemuannya dengan temannya sepermainan masa kanak-kanak, si
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sanjaya. Karena itu, sepanjang perjalanan ia selalu mengharapkan suatu pertemuan selekas mungkin, sampai-sampai ia mengira si pemuda kumal adalah Sanjaya. Tak tahunya, kini dia malah bisa bertemu tanpa perantaraan kedua gurunya. Cuma saja terjadinya pertemuan itu, mengapa begitu rupa" Ingin dia membantah keterangan Panembahan Tirtomoyo. Alasannya kuat pula.
Pertama-tama, Sanjaya bukanlah anak seorang ningrat. Dia anak almarhum sahabat ayahnya.
Sama-sama anak kampung seperti dirinya. Kedua, barangkali dia adalah murid Ki Hajar
Karangpandan yang lain seperti Surapati. Dan ketiga, seumpama si - pemuda ningrat itu benarbenar Sanjaya, masa tak mengenal dirinya" Masa dua belas tahun bisa berubah sehebat itu seperti membalik bumi. Tapi ia terperanjat sendiri, jika teringat kalau diapun tak mengenal siapakah si pemuda ningrat itu. Memperoleh pertimbangan demikian, seluruh tubuhnya lantas menjadi lemas.
Gap-gap ia menatap muka Panembahan Tirtomoyo untuk mencari keyakinan. Sesungguhnya
alasan untuk tidak mempercayai orang tua itu, tidak ada sama sekali. Wajah itu, begitu alim dan saleh. Dia bukan termasuk golongan orang yang bisa bergurau. Memikir demikian hatinya kian memukul sampai terdengar berdegupan.
"Aki!" katanya perlahan-lahan setengah berbisik. "Sekiranya dia benar teman sepermainanku Sanjaya, mengapa dia menghina diri seorang gadis di depan umum. Seumpama dia enggan
mengawini Nona itu, apakah jadinya?"
Benar-benar Sangaji pemuda yang beku dan bersih hati. Tak gampang-gampang melupakan
perkara perjodohan Nuraini. Rupanya sesuatu hal yang menusuk perasaan tetap saja melekat pada perbendaharaan kalbunya.
Panembahan tersenyum melihat tata-pengucapan hatinya. Ia menjawab seperti menggurui,
"Bocah, benar-benar kamu berhati mulia. Melihatmu, lantas saja timbul keheranan mengapa
adikku bisa mendapat murid seperti Sanjaya. Apakah dia tak memperhatikan nilai-nilai budi pekerti" ... " ia berhenti, merenung-renung. Kemudian meneruskan sambil menggeleng-gelengkan kepala, "Baiklah kupinta penjelasannya. Beberapa hari ini dia akan sampai juga di kota ini."
"Siapa?" "Adikku Hajar Karangpandan."
Mendengar jawaban Panembahan Tirtomoyo, diam-diam Sangaji bergirang hati. Ia berharap,
kedua gurunya sampai pula.
"Bocah, sebenarnya kamu harus memikirkan kepentinganmu sendiri. Kamu bakal di uji dan
mendapat ujian berat. Sebab bagaimanapun juga, Sanjaya adalah murid adikku. Pastilah dia telah memiliki bermacam-macam ilmu jasmaniah dan mantran." Kata
Panembahan Tirtomoyo mengesankan. "Pernahkah - kamu mendengar tentang ilmu


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mantran?" "Apakah itu?" Panembahan Tirtomoyo tertawa dalam dada. Sambil membimbing Sangaji ia berkata, "Dengar!
Di dalam pergaulan hidup ini, tidak selamanya berjalan di atas nilai-nilai tata-jasmaniah yang wajar. Sejarah manusia menemukan sesuatu pengucapan-pengucapan lain oleh pengalaman usia manusia itu sendiri. Penemuan itu disebut tata-gaib."
"Apakah itu?" Sangaji heran.
"Suatu derun pengucapan manusia yang mulai meragukan kemampuan tenaga jasmaniah
untuk mencapai sesuatu maksud. Mengapa, anakku" Inilah alasannya." Kata Panembahan
Tirtomoyo menggurui. "Manusia ini mempunyai perlengkapan jasmani yang cukup sempurna untuk menyatakan ungkapan hati. Manusia mempunyai dua buah mata, dua tangan, dua kaki dan
tulang-belulang lengkap dengan otot-otot serta segalanya. Tetapi anakku, apakah benar
perlengkapan jasmani itu mampu menguber tiap derun angan manusia" Tidak! Sama sekali tidak!
Bahkan terasa dalam hati, bahwa perlengkapan tubuh alangkah kerdil. Mata umpamanya, selagi terhalang oleh dinding saja, sudah terasa kerdil. Karena mata tak kuasa menembus. Lengan dan tangan sekalipun cekatan dan perkasa, apakah mampu memeluk gunung atau menggempur bukit"
Begitu juga kaki walaupun teguh sentosa bagaikan pohon besi, apakah sanggup pula melompati luasnya lautan?"
"Lantas?" Sangaji tertarik hatinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Oleh kenyataan yang mengecewakan deru angan itu, manusia mulai menggali dan menggali.
Akhirnya diketemukan suatu perlengkapan lain yang dapat mengatasi dan mampu menguber
setiap angan." "Apakah itu?" "Cipta." Panembahan Tirtomoyo menyahut cepat. "Kalau mau disebutkan selengkap-lengkapnya ialah: Hidup, Gerak, Rasa, Cipta, dan Karsa. Inilah alat tata-rasa jasmaniah manusia. Karena tidak nampak, maka tata-rasa itu disebut golongan rohaniah. Nah, tata-rasa ini mempunyai
pengucapan-pengucapan sendiri, kemampuan-kemampuan sendiri dan laku sendiri. Mengingat
tata-rasa sebagai suatu alat manusia, harus juga mengalami suatu latihan tertentu. Bukan seperti tata-jasmani yang mengutamakan latihan raga, tetapi lebih mengutamakan pengendapan. Inilah yang di-sebut orang laku bertapa. Orang mengurangi! laku makan-minum dan tidur. Mengapa
begitu" Karena manakala manusia tidak makan-minum dan tidur, terjadilah suatu pembakaran dalam tubuh. Itulah akibatnya pemberontakan dan kegiatan tata-rasa yang butuh nada pelepasan.
Seperti sebuah roda berputar akan berbunyi bergeritan dan panas, ketika orang mencoba
menekannya kuat-kuat. Apabila tekanan dilepaskan, dengan mendadak saja roda itu akan
berputar kencang berdesingan karena endapan tenaga yang tertekan."
Panembahan Tirtomoyo berhenti mencari kesan. Ketika melihat Sangaji benar-benar merasa
tertarik, ia meneruskan seperti sedang menggurui,
"Seumpama sebuah bendungan air yang tergenang arus air terus-menerus, membutuhkan
suatu pelepasan teratur. Air itu akan menggoncangkan segala dan menjebol mengikuti saluran di mana saja terjadi. Begitu juga luapan tata-rasa itu akan menurut kehendak angan manusia
bagaikan suatu saluran tertentu. Maka karena pengalaman manusia pula, terjadilah suatu istilah-istilah penggolongan saluran tata-rasa yang disebut orang mantran. Pernahkah kamu mendengar istilah-istilah seperti Mantran kekebalan, Ismu petak, Ismu Aji Gajah Wulung, Ismu Gunting, Mantran Sapu Jagad, Aji Welut Putih, Aji Bragola, Aji Brajalamatan, Aji Jayengkaton dan
bermacam mantran dan aji lainnya" Itulah seumpama saluran-saluran sebuah bendungan air yang sedang memberontak. Hebat tenaganya, dan memiliki tata-kerja yang tak dapat dilawan oleh tata-kerja jasmaniah. Itulah sebabnya, maka tata-kerja tenaga itu disebut tata-gaib. Barangsiapa yang lebih kuat maka dialah yang menang."
Mendengar tutur-kata Panembahan Tirtomoyo, Sangaji merenung-renung. Akhirnya berkata,
"Apakah Sanjaya memiliki tenaga ajaib itu?"
"Adikku memiliki bermacam mantran dan aji. Apakah Sanjaya diwarisi ilmu saktinya, kita lihat nanti. Tetapi kamu tak usah berkecil hati. Aku berada di sampingmu. Kalau adikku bermain ugal-ugalan, biarlah aku nanti yang meladeni."
Sangaji mengernyitkan dahi. Panembahan Tirtomoyo mengira dia sedang dalam keragu-raguan.
Mau dia membesarkan hatinya, mendadak Sangaji berkata di luar dugaan.
"Tapi ... bagaimana nasib gadis tadi" Apakah kita biarkan dia meradangi nasibnya yang buruk?"
"Ah!" Panembahan Tirtomoyo terperanjat. Kemudian ia tertawa geli sampai tubuhnya
bergoncang-goncang. "Bocah! Benar-benar kamu tak mau memikirkan kepentingan dirimu sendiri.
Alangkah mulianya hatimu. Baik, ayo kita jenguk keadaan gadis itu. Kulihat tadi, hatinya keras sampai mau bunuh diri di depan umum. Aku khawatir, kalau dia mau melakukan perbuatan
terkutuk itu di dalam penginapannya ... Ayo!"
Habis berkata demikian dengan sebat pergelangan tangan Sangaji disambarnya. Kemudian
dibawa lari secepat angin. Diam-diam Sangaji mengagumi ilmu larinya, dilihat dari tata mata, dia sudah berusia lanjut. Tak tahunya gerakannya gesit luar biasa sampai dia sendiri terasa dibawa terbang melintasi tanah.
Sebentar saja mereka telah tiba di tempat pemberhentian kuda. Dengan gampang mereka
menemukan losmen miskin yang berdiri di dalam gang kecil. Tatkala mereka hendak memasuki pintu pagar, serombongan polisi daerah datang menyambut sambil memperlihatkan sepucuk surat lipatan.
"Tuan-tuan berdua mendapat undangan Raden Mas Sanjaya agar sudi berkunjung ke istana
Kadipaten. Inilah surat undangan beliau."
Panembahan Tirtomoyo diam menimbang-nimbang. "Baiklah. Sampaikan saja, kalau kami
berdua akan segera datang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah berkata demikian, dengan menggandeng tangan Sangaji ia memasuki losmen.
Rombongan polisi daerah itu, lantas saja mengundurkan diri. Rupanya mereka telah agak lama menunggu kedatangan mereka berdua. Begitu selesai melakukan tugas, cepat-cepat
meninggalkan serambi losmen.
"Sangaji! Baiklah kita datang saja. Di sana kamu bakal ketemu dengan Sanjaya. Mungkin
pertemuan itu akan mendatangkan angin bagus."
Sangaji mengangguk. Hatinya girang. Memang ia merasa menyesal, mengapa sampai
bertengkar dengan temannya itu. Seumpama siang-siang dia mengetahui siapa pemuda ningrat itu sebenarnya, takkan terjadi peristiwa demikian.
Waktu memasuki kamar, mereka melihat Mustapa sedang merebahkan diri di atas
pembaringan. Kedua pergelangan tangannya membengkak dan berwarna biru. Nuraini yang
terluka dadanya, duduk di sampingnya dengan wajah kebingungan. Alangkah dia bergirang hati, tatkala melihat kedatangan mereka. Gugup ia mempersilakan duduk di atas kursi, sedang dia sendiri tetap berada di tepi pembaringan.
Panembahan Tirtomoyo membuka bebat yang melilit pergelangan, kemudian memeriksa
dengan cermat. Tulang pergelangan kedua belah tangan patah. Itulah kejadian lumrah dalam suatu pertarungan. Hanya saja bengkak itu nampak tersembunyi bentong-bentong merah hitam seperti kena bisa ular.
Ih, aneh! pikir Panembahan Tirtomoyo. Biarpun Hajar memiliki ilmu mantran pelik-pelik, tetapi tak mungkin mengantongi suatu mantran jahat. Sanjaya terang anak murid Hajar. Dari manakah dia mempunyai ilmu pukulan begini berbisa"
Selagi Panembahan Tirtomoyo sibuk menebak-nebak, Sangaji mengawaskan Nuraini yang
selalu menunduk dalam, la jadi perasa. Ingin ia membesarkan hatinya dan menyatakan pula
bersedia membela kehormatannya betapa besar akibatnya.
Tak lama, Panembahan Tirtomoyo merogoh kantung sakunya dan mengeluarkan sebuah kotak
kecil terbuat dari kayu. "Siapakah namamu?" katanya pada Nuraini.
Nuraini menegakkan kepala.
"Nuraini binti Maksum."
"Dialah ayahmu?"
"Bukan. Dia ayah angkatku. Namanya Mustapa."
Panembahan Tirtomoyo tak bertanya lebih jauh. Ia mengalihkan pembicaraan,
"Ayah angkatmu kena pukulan beracun. Kebetulan aku mengantongi sebuah kotak kecil berisi bubuk daun Sangkalputung. Daun ini sangat mustajab untuk memulihkan tulang patah. Nanti
kutolong menyambungkan tulangnya yang patah. Hanya saja aku mengkhawatirkan bentongbentong racun itu. Kamu perlu merawatnya hati-hati."
Nuraini terperanjat. Sangajipun kagetnya pula.
"Kena racun" Kapan dia kena racun?"
"Dia bukan kena racun, tetapi kena. pukulan beracun. Rupanya Sanjaya mempunyai pukulan
berbisa yang berbahaya. Darimana dia mendapat pukulan itu, sulit aku menebaknya. Jelas sekali pukulan demikian, bukan berasal dari Hajar. Pasti ada lika-likunya di belakang kejadian ini."
Sangaji diam berpikir keras. Ia mencoba mengingat-ingat perkelahian antara Sanjaya dan
Mustapa. Sanjaya tadi hanya mengembangkan ke lima jarinya seperti hendak mencakar. Lalu
diterkamkan dan menyambar pergelangan. Serangan inilah yang mematahkan pergelangan tangan Mustapa.
"Tak mungkin! Tak mungkin!" dia komat-kamit.
Panembahan Tirtomoyo yang sedang menyambung tulang pergelangan, menoleh.
"Apanya yang tak mungkin?"
"Sebab-musabab patahnya tulang pergelangannya, masih teringat segar dalam benakku. Dia
kena serangan aneh semacam jurus milik Pringgasakti."
"Apa katamu?" Panembahan Tirtomoyo terperanjat, la nampak menguasai diri, karena tengah
menyambung tulang. Setelah selesai, segera ia menyuruh Nuraini memborehkan bubuk
Sangkalputung dan membebatnya rapi. Kemudian membawa Sangaji ke luar losmen.
"Kamu tadi mnegatakan apa?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji mengisahkan riwayat pertemuannya dengan Pringgasakti di sebuah bukit daerah
Cibinong. Karena pengalamannya itu, gerakan serangan Sanjaya mengingatkan dia kepada gaya Pringgasakti.
"Ah! Bukankah Pringgasakti si iblis itu" Masa dia masih hidup pada jaman ini?" potong
Panembahan Tirtomoyo gugup. Ia mempercepat langkahnya seolah-olah hendak memburu
sesuatu. Sangaji mencoba membicarakan Pringgasakti menurut pendengarannya dari omongan kedua
gurunya. Panembahan Tirtomoyo mendengarkan dengan berdiam diri. Diam-diam ia mulai curiga pada murid adik kandungnya.
"Kau bilang, gurumu Jaga Saradenta melihat Pringgasakti berjalan bersama Pangeran Bumi
Gede di Jakarta?" dia menegas.
"Begitulah kata guruku Jaga Saradenta."
Panembahan Tirtomoyo menaikkan alisnya, tetapi tidak mengucap sepatah kata lagi. Dengan
berdiam diri ia menggandeng Sangaji memasuki halaman Kadipaten Pekalongan yang lebar dan luas. Pendapa Kadipaten bagaikan sebuah pendapa pangeran-pangeran pati di Surakarta atau Yogyakarta. Teguh, tegak dan mentereng. Di sana nampak segerombolan orang yang
mengenakan pakaian daerah masing-masing.
"Sangaji, dengarkan!" bisik Panembahan Tirtomoyo. "Dalam hal kecerdikan dan pengalaman
bergaul dalam dunia luas ini, kamu kalah dengan Sanjaya. Karena itu mulai sekarang kamu harus bersikap hati-hati dan waspada. Jangan biarkan hatimu dikisiki luapan perasaan belaka. Kuasailah dirimu sebaik mungkin! Bergaul dengan penguasa-penguasa negara tak boleh menyatakan
perasaan hati dengan terang-terangan. Kau mengerti?"
Sangaji mengangguk. "Bagus!" Panembahan Tirtomoyo gembira-melihat Sangaji mendengarkan nasehatnya.
Meneruskan, "Lebih baik kamu tak dikenal mereka daripada memperkenalkan diri dengan terang-terangan. Ada guna faedahnya. Karena itu, janganlah kamu menyapa Sanjaya dahulu. Lain kali masih ada kesempatan. Kini bersikaplah wajar seperti tadi. Selain dirimu aman, kamu mempunyai kesempatan mengamat-amati dia sebelum bertanding. Dengan begitu, kamu bisa menempatkan
diri kelak dalam gelanggang pertandingan."
Sangaji tak menyetujui nasehat yang terakhir ini. Hatinya yang jujur bersih emoh berbuat suatu laku curang. Tetapi tatkala hendak membuka mulut, tiba-tiba Panembahan Tirtomoyo seperti telah dapat membaca hatinya.
"Bukankah kamu tadi telah mendapat pengalaman, bagaimana licinnya lawanmu" Dalam suatu
pertandingan, orang tak boleh hanya mengutamakan keuletan tenaga belaka. Sebelum kamu
memasuki wilayah Jawa Tengah, bukankah kamu telah diselidiki terlebih dahulu" Kau tadi bilang perkara perkelahianmu melawan pemuda Surapati adik seperguruan Sanjaya."
Teringat akan Surapati, Sangaji terkesiap. Barulah sekarang dia mengerti tentang arti
kedatangan pemuda itu di Jakarta dan dengan sengaja menantang berkelahi tanpa sesuatu,
alasan tertentu. Sebagai seorang pemuda yang masih jujur bersih dan tak pernah pula memikirkan tentang hal-hal yang tiada lurus biar selintaspun, lantas saja timbul rasa dengkinya pada pemuda Surapati. Mendapat perasaan demikian, ia kemudian mengangguk tanpa ragu-ragu lagi.
Sanjaya yang berada di pendapa, waktu itu datang menyambut kedatangan Panembahan
Tirtomoyo. la tertawa berseri-seri seraya berkata merendahkan diri.
"Paman benar-benar sudi berkunjung di rumah pondokanku. Meskipun rumah ini bukan rumah
sendiri, tetapi aku mendapat kebebasan luas untuk berlaku sebagai tuan rumah. Nah, selamat datang Paman. Selamat datang pula kuucapkan pada sahabat kecil ini."
Sangaji mengangguk. Hatinya tiba-tiba menjadi pedih, melihat sepak-terjang dan perangai
temannya sepermainan dahulu. Dengan pandang tajam ia mengamat-amati dan mencoba
mencari-cari suatu ingatan dalam masa kanak-kanaknya. Lapat-lapat dikenalnya pula potongan tubuh dan raut-muka temannya itu. Justru ia memperoleh ciri-ciri ingatan, jantungnya memukul keras. Untung, ia tadi telah menerima nasehat Panembahan Tirtomoyo. Maka cepat-cepat ia
menguasai luapan perasaannya, sampai mukanya merah padam.
Sanjaya tersenyum melihat perubahan air muka Sangaji. la mengira olok-oloknya dengan
menggunakan istilah sahabat kecil, mengenai sasaran dan tetamunya tak dapat berkutik untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membalas permainannya. Sebaliknya Panembahan Tirtomoyo kelihatan mendongkol. Lalu ia
mendamprat, "Berapa tahun kamu menjadi murid gurumu sampai kau tak mengenal tata-istiadat?"
"Itulah celakanya, kalau seseorang menekuni pelajaran suatu ilmu acak-acakan," sahut Sanjaya dengan tertawa lebar. Maksudnya hendak merendahkan diri, tapi justru menikam kehormatan
gurunya sebagai adik kandung Panembahan Tirtomoyo. Maka orang tua itu membentak tajam.
"Meskipun gurumu orang edan-edanan, ilmunya bukan ilmu acak-acakan. Gurumu bakal tiba di sini, mengapa kamu berani merendahkan keharuman namanya?"
"Guruku telah berada di sini, malah. Apakah Paman ingin bertemu dengan beliau?"
Panembahan Tirtomoyo heran sampai terhenyak. Berkata menebak-nebak, "Di mana dia
sekarang" Coba panggil! Aku mau bicara!"
"Silakan masuk. Segera akan kuundangnya kemari," sahut Sanjaya. Ia kemudian memanggil
salah seorang penjaga dan membisikkan suatu kalimat perintah.
Panembahan Tirtomoyo dan Sangaji kemudian memasuki pendapa kadipaten. Pendapa itu
benar-benar mentereng dan penuh hiasan beraneka-warna.
Bukan sekali dua kali Sangaji pernah melihat gedung-gedung mentereng. Sudah sering dan
sudah pula menjadi suatu penglihatan lumrah dalam sehari-harinya ketika masih berada di
Jakarta. Tetapi pendapa Kadipaten Pekalongan ini, memang benar-benar istimewa. Kesannya lain daripada gedung-gedung mentereng milik bangsa Belanda atau Tionghoa.
Hiasannya khas selera Jawa Tengah. Berwibawa, angker dan indah. Di sudut sana berdirilah seonggok tombak pusaka dengan didampingi payung emas. Kemudian gambarraja Susuhunan
Surakarta lengkap dengan permaisuri dan keturunannya. Pada dinding lain tergantunglah
bermacam-macam hiasan yang terbuat dari emas dan perak dengan diselang-seling hiasan terbuat dari beludru mahal dan kain batik pilihan. Di atas lantai tergelarlah dua perangkat gamelan Pelok dan Selendro yang terawat baik-baik. Nampak pula sebuah kotak wayang kulit yang berdiri di antara pot-pot tetanaman. Di hampir tiap sudut pendapa duduklah beberapa penjaga siap dengan senjatanya. Dan di dekat pintu masuk yang dihiasi gambar sepasang muda-mudi lagi berkasih-kasihan, nampak enam dayang-dayang duduk bersila dengan kepala menunduk.
Sanjaya segera memperkenalkan dengan tetamu-tetamu undangan lainnya yang terdiri dari dua puluh orang. Di antara mereka nampaklah Manyarsewu pendekar sakti dari Ponorogo, Yuyu
Rumpung, Cocak Hijau dan dua orang opsir Belanda.
"Inilah Cak Abdulrasim dari Madura. Dan ini Putut Tunggulnaga dari Kediri," kata Sanjaya lagi.
Kemudian berturut-turut ia menyebut nama-nama, Sawungrana dari Surabaya, Glatikbiru dari Banyuwangi, Wiryadikun dan Somakarti dari Surakarta, Wongso Gdel dari Blora, Jokokrowak dari Kudus, Orang-aring dari Maospati, Trunaceleng dari Sragen. Keyong Growong dari Cirebon,
Munding Kelana dari Indramayu, Banyak Codet dari Cilacap, Sintir Modar dari Bagelen dan Gajah Banci dari Semarang.
Panembahan Tirtomoyo tercengang-cengang hingga dia sibuk menduga-duga, "Aneh, mengapa
benggolan-benggolan dari semua penjuru berkumpul di sini?"
Sebagai seorang bekas pendekar alam yang banyak mempunyai pengalaman, sudah barang
tentu mengenal nama-nama dan gelar mereka semua. Karena itu dia kini bersikap hati-hati dan berwaspada.
"Ah," katanya merendahkan diri. "Tak berani aku menerima kehormatan begini besar sampai
pula diperkenalkan dengan para pendekar sakti."
Sekonyong-konyong terdengarlah suara parau seperti burung betet pendekar sakti.
"Eh"semenjak kapan Panembahan Tirtomoyo bekerja sama dengan Jaka Saradenta Gelondong
Segaloh?" Panembahan Tirtomoyo terkejut. Suara itu luar biasa tajamnya dan mempunyai tenaga
mantran. Cepat-cepat ia mengatur pernapasan dan menenteramkan diri sambil melayangkan
pandangnya ke arah datangnya tegoran. Ternyata yang berbicara adalah Yuyu Rumpung si
pendek buntet. Memang orang itu masih penasaran menyaksikan kemenakan muridnya kena
dipermain-mainkan oleh si pemuda kumal sahabat Sangaji. Sebagai seorang yang luas
pemandangannya, lantas saja dapat menebak perhubungan antara Sangaji dan si pemuda kumal.
Diapun dapat menebak ilmu tata-berkelahi Sangaji. Maklumlah, dia berasal dari Banyumas dan menjadi penasehat sang Dewaresi. Dengan sendirinya mengenal juga siapa Jaga Saradenta.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bukankah dia paman Kodrat yang dahulu pernah menjadi salah seorang bawahan sang Dewaresi"
Sehabis melepaskan tegoran untuk mempengaruhi keadaan, ia berjalan menghampiri Panembahan Tirtomoyo.
"Ih! Belum pernah aku bertemu denganmu seperti air kali dan air telaga, mengapa kamu tiba-tiba bersikap demikian garang?" kata Panembahan Tirtomoyo di dalam hati. Menimbang kalau orang itu bukan tokoh sembarangan, maka dia bersikap sabar. Dengan sopan ia menyahut, "Nama dan gelar Tuan telah lama kukenal. Mengapa Tuan salah duga terhadapku?"
Yuyu Rumpung tertawa riuh sampai perutnya terguncang-guncang. Berkata nyaring,
"Bukankah Tuan yang terkenal dengan nama Panembahan Tirtomoyo?"
"Tak berani aku memperkenalkan diri dengan sebutan sementereng itu. Namaku sebenarnya
Tunggulgeni. Gubukku berada di Tirtomoyo. Hanya orang yang salah dengar menyebut diriku
sebagai Panembahan Tirtomoyo."
Yuyu Rumpung tak mempedulikan sikap orang yang begitu sabar dan sopan-santun. Tabiatnya
memang keras dan mau menang sendiri. Sepak terjangnya galak dan gampang marah. Itulah
sebabnya, meskipun hampir semua bawahan sang Dewaresi dalam asuhannya, tidak ada
seorangpun yang berhasil mewarisi ilmu kepandaiannya.
Dia lantas saja melototkan pandang kepada Sangaji. Tanpa sungkan-sungkan, tangannya
mencengkeram hendak merenggutkan rambut Sangaji. Untung Sangaji cukup berwaspada. Melihat gerakan orang, cepat ia mundur selangkah. Panembahan Tirtomoyo sendiri lalu maju melindungi.
"Bagus! Bagus! Kau melindungi kelinci cilik ini!" Yuyu Rumpung mengumbar amarahnya. Terus saja ia menyambar dada Panembahan Tirtomoyo.
Melihat orang demikian galak, Panembahan Tirtomoyo tak dapat bersikap mengalah lagi. Cepat ia mengangkat tangan bersiaga menangkis. Sekonyong-konyong, sewaktu kedua tangan perkasa akan saling berbenturan, berkelebatan sesosok bayangan. Bayangan itu menangkap tangan
Panembahan Tirtomoyo dan tangan Yuyu Rumpung dengan berbareng dan dilontarkan. Hebat
akibatnya. Kedua orang sakti itu dapat dipentalkan sampai mundur dua langkah. Mereka jadi tercengang-cengang, karena kalau bukan orang tangguh takkan mungkin mampu mementalkan
tangan mereka. Dengan tak setahunya sendiri, mereka mengawaskan pemisah itu. Dia adalah seorang laki-laki berumur kira-kira 36 tahun. Pakaiannya serba putih, bertubuh tegap perkasa dan bertampang ngganteng. Tatkala Yuyu Rumpung melihat siapa dia, lantas saja mengundurkan diri cepat-cepat.
Sanjaya kemudian berkata memperkenalkan.
"Paman! Beliau bernama Yuyung Permana yang disebut orang dengan gelar sang Dewaresi.
Beliau berasal dari Banyumas dan baru untuk pertama kali ini menginjak kota Pekalongan. Karena itu, beliau ingin berkenalan dengan Paman dan tetamu-tetamu undangan lainnya."
Tidak semua yang hadir kenal siapa sang Dewaresi itu. Paling-paling mereka hanya mengenal namanya belaka sebagai dongengan. Tetapi melihat cara mundur Yuyu Rumpung, sebagian besar dari mereka kuncup hatinya. Panembahan Tirtomoyo dan Sangaji yang baru untuk pertama kali bertemu pandang dengan sang Dewaresi, diam-diam menyiasati dirinya.
Orang itu memang berpribadi besar. Alisnya yang tebal menolong kesan penglihatannya.
Sangaji lantas saja teringat kepada tutur-kata gurunya Wirapati sewaktu berhenti di sebuah warung di sebelah barat kota Cirebon. Dialah yang disebut-sebut sebagai pemimpin rombongan pemuda-pemuda berpakaian putih. Dia pulalah yang disujuti Kartawirya dan rekan-rekannya yang dahulu mencoba merampas kuda dan kantong uang untuk diserahkan kepadanya.
Sementara itu, sang Dewaresi lantas saja merangkapkan tangannya seraya membungkuk
merendahkan diri. "Sebenarnya aku harus sudah berada di Pekalongan beberapa hari yang lalu. Sayang, di tengah jalan aku bertemu dengan suatu perkara yang tak dapat kuabaikan sehingga memperlambat
perjalanan. Maafkan kelambatanku ini."
Melihat cara dia memisahkan Panembahan Tirtomoyo dan Yuyu Rumpung dan sekarang bisa
bersikap merendah hati, orang-orang segera bersikap waspada. Seolah-olah sudah saling memberi isyarat, segera sadar bahwa orang itu amat berbahaya. Hanya Sangaji sendiri yang tak begitu menaruh perhatian berlebih-lebihan. Begitu ia mendengar keterangan sang Dewaresi bahwa dia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terlambat di jalan oleh sesuatu perkara, lantas saja teringat kepada kedua gurunya. Apakah dia kena dihadang kedua gurunya, sehingga terpaksa mesti bertempur seru"
Panembahan Tirtomoyo pandai melihat gelagat. Tahu, bahwa mereka yang hadir bukan orang
sembarangan, maka segera ia mengalihkan pandang kepada Sanjaya. la merasa diri tiada
ungkulan jika meladeni mereka dengan sekaligus. Karena itu berusaha menguasai diri agar jangan terlibat oleh sesuatu persoalan hingga menerbitkan suatu pertengkaran. Katanya kepada Sanjaya mengalihkan kesan.
"Mana gurumu" Mengapa belum juga muncul?"
"Ah," sahut Sanjaya berpura-pura terkejut. Lalu ia memanggil seorang penjaga dan memberi perintah: "Undang guruku!"
Mendengar bunyi perintah Sanjaya, hati Panembahan Tirtomoyo lega. Bila Ki Hajar
Karangpandan muncul di sampingnya, tak usah dia cemas menghadapi mereka. Biarpun mereka
menyerang dengan berbareng, rasanya sanggup melawan serta mengatasi.
Tidak lama kemudian, terdengarlah suara langkah berat. Lalu muncullah seorang laki-laki gede, berperut gede, berkulit hitam lekam dan mengenakan pakaian potongan bangsa Belanda. Pada dewasa itu adalah janggal sekali, seorang bumi putra mengenakan pakaian potongan barat. Lakilaki yang masih mempunyai kehormatan diri, tak sudi mengenakan pakaian demikian. Sebab
orang-orang lantas menuduhnya sebagai begundal-begun-dal Belanda.
Orang itu, berjanggut lebat dan berkumis lebat pula. Roman mukanya angker, tetapi kocak
matanya. Dengan demikian lebih patut disangka seorang bangsat daripada seorang pembesar
negeri. "Guru!" Sanjaya tiba-tiba menyambut dengan gembira. "Paman itu hendak bertemu dengan
guru ..." Melihat tampangnya orang gede itu dan mendengar lagu suara Sanjaya, hati Panembahan
Tirtomoyo panas seperti terbakar.
Tahulah dia, bahwa pemuda ningrat itu hendak mempermain-mainkan dirinya. Maka dia
berpikir dalam hati, benar-benar berhati busuk bocah ini. Bagaimana adikku bisa mempunyai murid begini rendah budi-pakartinya... Tetapi meskipun hatinya panas, nampak sekali dia bisa mengendalikan diri.
Orang bertubuh gede itu, lalu menghampiri Panembahan Tirtomoyo serta menegur seperti
seorang pembesar negeri. "Apa perlu kau hendak bertemu dengan aku" Bilang! Aku paling benci melihat pendeta "cuh"
manusia sok suci. Bih! Enek memuakkan!"
Bukan main sombong manusia gede itu. Memang dia seorang pegawai tinggi dalam
pemerintahan Kepatihan Yogyakarta. Orang-orang menyebutkan sebagai bupati anom, entah
bagian apa. Mungkin bagian perhubungan, karena di mana saja ada seorang pembesar berpesiar ke luar daerah, selalu nampak batang hidungnya.
Dengan memaksakan diri Panembahan Tirtomoyo bersikap merendah. Berkatalah dia menusuk,
"Memang kami ini golongan manusia yang sok kesuci-sucian. Pantas tak disukai cecongorcecongor pembesar negeri seperti Tuan. Nah"kebetulan hari ini, aku yang rendah bertemu
dengan moncong Tuan. Bolehkan aku yang rendah mengharapkan derma?"
Terang sekali, Panembahan Tirtomoyo membalas kesombongan pembesar itu dengan kata-kata
yang tak kurang pedasnya. Dan pembesar gendut yang sebenarnya bernama Danuwinoto itu,
terhenyak sampai tercengang-cengang. Maklumlah, biasanya orang kuncup hatinya apabila kena gertak. Apalagi berada di hadapan para pembesar negeri lainnya. Tetapi kali ini dia tertumbuk batu. Belum pernah selama hidupnya, ia kena semprot seseorang yang tiada mempunyai
kedudukan, di depan hidung majikannya, la tak tahu, kalau orang yang dihadapi itu pernah menjadi tangan kanannya Sri Mangkunegoro takala masih berjuang menuntut keadilan. Dengan kepala berteka-teki ia menoleh kepada Sanjaya, anak majikannya, la ingin memperoleh
penerangan lagi mengenai jalannya permainan ini.
Memang dia bukan guru Sanjaya. Cuma, sewaktu Sanjaya masih kanak- kanak pernah
mengajari satu dua jurus belaka. Kalau disebut sebagai seorang guru, sebenarnya masih kurang jauh syarat-syaratnya. Tetapi tadi dia dikisiki oleh Sanjaya, bagaimana dia harus bersikap di depan Panembahan Tirtomoyo.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maksudnya untuk membuat malu sang Pendeta. Sebagai seorang hamba yang mengharapkan
kebagian rejeki sebanyak-banyaknya manakala bisa meladeni kehendak majikan, maka tanpa pikir lagi lantas saja dia bekerja.
Sanjaya tersenyum panjang.
"Guru! Bukankah cukup jelas maksud Paman menemui Guru" Dia minta derma."
Danuwinoto berdiri melongoh. Sama sekali tak diduganya, bahwa persoalan itu akan
dikembalikan kepadanya. Hatinya lantas saja jadi kelabakan hingga matanya terkocak.


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sanjaya rupanya bisa menebak gejolak hatinya. Ia ingin menolong bawahannya. Lalu
memanggil seorang dayang dan disuruhnya mengambil uang sebanyak 50 ringgit. Ini adalah suatu jumlah luar biasa besar untuk suatu derma. Dan sekali lagi, Danuwinoto yang mata duiten jadi terlongoh-longoh.
"Mari kita duduk," terdengar Sanjaya mempersilakan tetamu-tetamu undangannya. "Paman
Panembahan Tirtomoyo baru sekali ini berkunjung kemari. Berilah tempat yang luas, Tuan-tuan sekalian!"
Dengan hati mendongkol Panembahan Tirtomoyo terpaksa menerima tata cara penyambutan,
la duduk bersama Sangaji. Dan di depannya tetamu-tetamu lainnya duduk seolah-olah sedang merubung dan siap mengkerubut bila perlu. Dua orang opsir Belanda yang hadir pula pada jamuan itu, ikut pula duduk. Tetapi mereka berdua lalu 'berbicara sendiri. Akhirnya berjalan mengelilingi pendapa mengamat-amati perhiasan dinding dan dua perangkat gamelan yang menarik
perhatiannya. Dayang-dayang yang tadi duduk bersimpuh di dekat pintu masuk, segera bekerja dengan
cekatan. Mereka mulai mengeluarkan minuman dan penganan. Begitulah, lantas saja terjadilah suatu perjamuan yang disertai gelak tawa sebebas-bebasnya.
Sangaji yang semenjak tadi berdiam diri, diam-diam memperhatikan air muka Panembahan
Tirtomoyo. Orang tua itu seakan-akan sedang berpikir keras memecahkan sesuatu persoalan.
Mendadak saja ia mendongakkan kepala dan berkata nyaring kepada Sanjaya.
"Eh, anak muda! Kebetulan sekali di sini hadir para pendekar yang sudah mempunyai ,
pengalaman luas dalam pergaulan hidup dalam dunia ini. Aku akan minta pendapat, pertimbangan dan pengadilan mereka."
"Silakan berbicara Paman!" sahut Sanjaya dengan kepala berteka-teki.
"Perkara anak gadis Mustapa. Bukankah urusannya belum selesai" Sebagai seorang kesatria
bagaimana bisa membiarkan orang lain menderita demikian hebat. Selagi kita bersenang-senang dijamu orang, apakah tidak baik Mustapa dan gadisnya dipanggil kemari" Sekalian membicarakan perjodohanmu ..."
Perkataan tadi ditujukan kepada yang hadir agar mendapat pertimbangan. Tetapi belum lagi mereka membuka mulut, Sanjaya telah mendahului dengan tertawa gelak.
"O, perkara si dia" Itu sih, perkara mudah. Aku setuju dengan pendapat Paman, agar mereka ikut hadir pula. Selanjutnya, aku akan tunduk pada tiap keputusan Paman dan Tuan-tuan
sekalian." Heran Panembahan Tirtomoyo mendengar kata-kata Sanjaya. Selagi ia hendak menebak-nebak
ke arah mana tujuan si pemuda itu, mendadak dia berkata kepada Sangaji,
"Sebaliknya saudara kecil ini saja yang memanggil mereka. Bukankah mereka percaya kepada sahabat kita ini?"
Panembahan Tirtomoyo mengernyitkan dahi. Sejurus kemudian ia mengangguk menyetujui.
Dan Sangaji segera berangkat. Sepanjang jalan pikiran Sangaji pepat dan kusut memikirkan teman sepermainannya itu.
Alangkah buruk kesannya. Sanjaya sekarang bukan lagi Sanjaya dua belas tahun yang lalu.
Mengapa segala-galanya berubah" Pemuda yang jujur bersih itu tak pernah berpikir, bahwa masa dua belas tahun bisa berbicara banyak. Seorang yang sehat walafiat umpamanya, bisa dirubah menjadi orang gila dalam masa itu. Seorang wanita cantik jelita apabila dirundung kemalangan secara terus-menerus selama dua belas tahun, betapa takkan bisa menjadi seorang manusia
kempong-perot" Hutan belukar pun bisa menjadi suatu ladang yang terang-berderang dalam
jangka waktu itu pula. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tatkala tiba di losmen, segera ia memasuki kamar Mustapa. Alangkah terkejutnya! Mustapa dan gadisnya tiada lagi berada di dalam kamarnya. Cepat-cepat ia mencari pen-jelasan kepada pelayan losmen. Pelayan itu berkata kalau Mustapa dan gadisnya dijemput oleh sebuah kereta.
Menurut pendengarannya ada seorang kenalannya yang mengundang mereka berdua
mengunjungi rumahnya. "Siapa yang mengundang mereka?" Sangaji menegas.
Pelayan tak dapat menerangkan. Karena itu Sangaji bergegas kembali ke kadipaten. Dan belum lagi dia melaporkan apa yang telah ter
jadi di losmen, terdengarlah Sanjaya tertawa melalui dadanya.
"Sahabat kecil! Mana mereka" ..."
Tanpa curiga, Sangji menjawab, "Mereka tidak ada dalam kamarnya. Ada seseorang
mengundang mereka ke rumahnya. Entah ke mana."
Sanjaya nampak menghela napas. Katanya seakan-akan menyesal, "Eh ... ke mana mereka
pergi ...?" Kemudian berpaling kepada salah seorang penjaga dan terus memberi perintah.
"Cari mereka sampai ketemu. Lalu ajakiah ke mari."
Penjaga itu membungkuk dan bersembah, kemudian mengundurkan diri. Panembahan
Tiritomoyo menjadi sibuk sendiri. Kecurigaannya lantas saja membersit hebat. Akhirnya dia berkata dalam hati, hm ... biarpun kamu main sandiwara di depanku, sebentar atau lama akan terbongkar kedokmu.
Mendadak Sanjaya berkata minta pertimbangan, "Paman! Mereka tidak ada. Lalu bagaimana
baiknya?" "Hm." Dengus Panembahan Tirtomoyo. "Kamu licin seperti belut, anak muda. Kukhawatirkan
kau akan menumbuk batu."
Sanjaya tertawa gelak. Dan Danuwinoto hamba berperut gede yang berdiri di sampingya, tak senang hati mendengar kata-kata Panembahan Tirtomoyo. Memang semenjak majikannya
memberi perintah mengambil derma sebanyak 50 ringgit itu bukan jumlah yang sedikit. Dia sendiri hanya bergaji 20 ringgit setiap bulannya sebagai bupati anom.
Eh ... tak karuan-karuan jadinya. Mengapa Raden Mas Sanjaya sudi bersikap merendah
terhadap pendeta brandalan ini, pikirnya. Lalu ia maju lagi sambil membentak.
"Hai pendeta bau, siapa sih kamu sebenarnya" Dari mana pula asalmu, sampai berani main gila di sini" Apakah pendapa kadipaten ini kau anggap sebagai surau kampungan?"
Panembahan Tirtomoyo tak meladeni, hanya membalas bertanya,
"Tolong terangkan kepadaku kamu orang Jawa atau Belanda" Atau memang orang blesteran?"
Dikatakan orang blasteran bukan main gusar si Danuwinoto. Tanpa berbicara lagi, ia lalu
melompat. Tinjunya terayun hendak mendorong muka Panembahan Tirtomoyo. tetapi ia ketumbuk batu. Panembahan Tirtomoyo ternyata tiada berkisar dari tempat duduknya. Dia hanya melempar putungan panganan sambil berkata, "Eh, kau begini galak. Kalau kau mau menerangkan terus-terang, sudahlah tak usah berbicara."
Danuwinoto kaget bukan main. Tiba-tiba saja ia tertahan dan dadanya menjadi sesak seperti kena tindih suatu benda seberat seratus kati. Meledak dia berseru, "Bangsat! Kau menggunakan ilmu siluman macam apa"
"Sabar! Sabar, Tuan bupati..." tiba-tiba terdengar suara parau, itulah suara Yuyu Rumpung.
Mendengar suara itu, Danuwinoto mau melompat mundur, tapi tubuhnya benar-benar seperti
tertancap di lantai. Yuyu Rumpung segera menolong. Dengan menggunakan separoh tenaga, ia menghentakkan. Tetapi sebenarnya, separo tenaganya lebih dari cukup. Danuwinoto kena
terenggutkan, hanya terlalu kuat sehingga pembesar berperut gede terpental dan jatuh
terjengkang ke lantai. Karuan saja para hadirin lainnya, tertawa berkakakan.
Danuwinoto segera bangun dengan tertatih-tatih. Hebat rasa mendongkolnya, tetapi ia tak
berdaya menghadapi Panembahan Tirtomoyo. Karena merasa diri tak ungkulan, dengan memaksa diri menelan malu, ia ngoyor pergi seperti seorang yang habis kencing.
"Ilmu wilayah Gunung Lawu memang tiada tandingnya. Pantas tak memandang sebelah mata
dengan ilmu-ilmu lainnya. Sampai berani membantu anak waris ilmu Jaga Saradenta segaluh si keparat," teriak Yuyu Rumpung.
"Bagaimana berani aku menerima pujian-mu." Sahut Panembahan Tirtomoyo dengan sabar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dengan pendekar-pendekar Gunung Lawu, pihak kami tidak ada suatu perkara. Sekarang
perkenankan kami memohon keterangan, mengapa Tuan membantu musuh kami bebuyutan"
Meski si keparat Jaga Saradenta berada di sini pula, kami yang bodoh ini tidak bakal mundur selangkah pun juga."
"Barangkali Tuan hanya salah mengerti," kata Panembahan Tirtomoyo. "Aku kenal siapa Jaga Saradenta. Tetapi hanya kenal namanya, bukan orangnya. Antara dia dan aku belum pernah saling berhubungan. Karena itu bagaimana bisa Tuan menuduh aku membantu dia" Dalam hal apa?"
"Bagus! Bagus!" teriak Yuyu Rumpung sambil berdiri tegak. "Kalau begitu serahkan bocah itu kepadaku!" habis berkata begitu, dengan sebat ia meloncat menerkam dada Sangaji.
Panembahan Titomoyo terperanjat. Cepat luar biasa ia mendorong Sangaji dari tempat
duduknya sehingga terpental jauh, sedang lengannya sediri menyambut serangan orang.
Yuyu Rumpung tak sempat lagi menarik serangannya. Ia menubruk kursi kosong sehingga
hancur berantakan. Sedang sikunya cepat-cepat menangkis lengan Panembahan Tirtomoyo.
"Bagus! Benar-benar kamu melidungi dia!" teriaknya marah.
"Sabar Tuan," kata Panembahan Tirtomoyo. "Bocah ini aku yang membawa kemari. Karena itu
sedikit banyak aku yang harus memikul tanggung jawab. Sekiranya Tuan masih saja berdendam kepadanya, tak dapatkah Tuan mencari kesempatan pada lain kali, saat aku tidak ada di
sampingnya?" Sang Dewaresi yang semenjak tadi berdiam diri, kemudian campur bicara.
"Yuyu Rumpung! Dalam hal apa kau berdendam kepada bocah itu?"
Mendengar suara sang Dewaresi, redalah amarah Yuyu Rumpung. Perlahan-lahan ia kembali
duduk ke kursinya sambil menjawab, "Sampai hari ini, Kartawirya, Setan Kobar, Cekatik, Maling dan rombongan yang lain belum bisa bekerja semestinya, semata-mata karena dipermainkan
bocah itu. Masa kita biarkan dia mencoreng muka anak-anak kita?"
Mendengar keterangan Yuyu Rumpung, sang Dewaresi menegakkan kepala. Juga tetamu
undangan lainnya sekaligus mengarahkan pandangannya kepada Sangaji. Mereka semua akan
pula membantu Yuyu Rumpung bilamana perlu untuk menangkap si anak muda. Diam-diam
Panembahan Tirtomoyo cemas juga. Musuh yang berada di depannya, berjumlah banyak dan
bukan orang-orang sem-barangan. Apa daya, jika mereka bertindak berbareng" Cepat-cepat ia mencari akal untuk membebaskan Sangaji. Pikirnya, empat puluh tahun lamanya, aku berkelana dan bertempur di sembarang tempat dan waktu. Tapi kali ini, memang sulit. Dapatkah aku
melawan mereka sambil melindungi dia" Rasanya tak mungkin! Malahan menolong diri sendiripun bukan gam-pang. Agaknya satu-satunya jalan untuk melawan mereka harus mengulur waktu
sambil menerka-nerka apa maksud tujuan mereka berada di sini. Barangkali di kemudian hari ada gunanya.
Memikir demikian, lalu ia menggapai Sangaji agar duduk di kursi lain. Kemudian berkata,
"Tuan-tuan sekalian. Bukanlah mudah bisa bertemu dengan Tuan-tuan sekalian sekaligus pada sembarang waktu, sekiranya orang tak mempunyai rejeki besar. Karena itu, patutlah hari ini aku bersujud kepada Tuhan untuk menyatakan terima kasihku. Sebab Tuan-tuan sekalian bukanlah manusia lumrah. Tuan-tuan adalah sekumpulan manusia-manusia yang mempunyai gelar dan
nama besar." Ia berhenti sebentar mengesankan. Kemudian meneruskan sambil menuding
Sangaji. "Bocah ini bukan sanak bukan kadangku. Tapi dia seorang anak muda yang berhati mulia, jujur dan berhati bersih. Hanya sayang, dia belum mengenal betapa tingginya udara dan betapa besarnya gunung dan betapa luasnya persada bumi. Karena umur dan pengalamannya yang masih hijau itulah, sampai dia berani menyusahkan rekan-rekan Tuan dan dengan sendirinya
menyusahkan kepentingan Tuan-tuan pula. Jika Tuan-tuan kini bermaksud hendak menahan dia, akupun tak dapat mempertahankan dan membelanya. Memang bocah ini patut mendapat
ganjaran setimpal dengan perbuatannya. Hanya saja demi kepentingan Tuan-tuan sendiri, aku dan bocah ini pula, aku memberanikan diri untuk memohon satu hal. Yakni, perlihatkan kepandaian Tuan-tuan di hadapannya. Dengan demikian, akan bisa membuka matanya agar di kemudian hari tidak lagi membuat susah kita sekalian. Kedua kalinya dengan menyaksikan dengan mata
kepalanya sendiri betapa tingginya kepandaian Tuan-tuan, dia takkan menyesali aku mengapa tak mampu membela dirinya ..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maksud Panembahan Tirtomoyo cukup jelas. Dia hendak mengulur waktu agar mendapat
kesempatan mencari kesempatan jalan keluar sebaik-baiknya. Tapi Cocak Hijau yang sejak tadi berdiam diri, merasa ditantang. Memang dialah orang yang pertama kali merasakan benturannya, tatkala berada di dalam gelanggang pertarungan hendak menghajar Sangaji.
"Biarlah aku belajar mengenal dengan Tuan. Akan kubikin dia percaya dengan menjungkir
balikkan Tuan di depan hidungnya," serunya keras.
"Eh, Saudara ..." potong Panembahan Tirtomoyo. "Bukan maksudku mengadu Saudara di
depan si bocah, tetapi sebaliknya perlihatkan kepandaian saudara di depannya. Dengan sejurus dua jurus ilmu kepandaian Saudara, aku percaya dia bakal terbuka matanya. Dia bakal mendapat pengertian, bahwa di luar gunung ada gunung lainnya. Di luar pulau ada persada bumi yang lebih luas lagi. Kelak dia pasti jera dan tak berani mengumbar tingkah-laku ..."
Cocak Hijau mendongkol. Sebagai seorang yang sudah lanjut usia, ia sadar sedang diejek
orang. Tetapi kata-kata Panembahan Tirtomoyo cukup terang dan jelas, sehingga susah untuk ditentang.
Mayarsewu pendekar sakti dari Ponorogo bisa berpikir lebih terang. Pikirnya dalam hati,
mustahil pendeta ini tidak mempunyai saudara-saudara seperguruan. Dia bukan orang
sembarangan, saudara-saudara seperguruannya pasti juga sehebat dia. Bila Cocak Hijau sampai melukai atau membuat malu dia, tidak mustahil akan berekor panjang. Mana bisa saudara-saudara seperguruannya tinggal berdekap tangan. Sekarang kita berkumpul bersama. Bila datang
waktunya kita berpisah, inilah celakanya.
Memperoleh pikiran demikian, lantas saja ia berseru kepada Cocak Hijau.
"Cocak Hijau! Kata-kata Tuan Pendeta patut kau dengar. Itulah jalan sebaik-baiknya. Nah, perlihatkan sedikit kepandaianmu!"
Mayarsewu adalah sahabat Cocak Hijau. Pernah dia bertempur melawan dia dan tak ada yang
kalah atau menang. Dengan begitu, tentang kepandaiannya dan mulutnya dia kenal benar.
Dewi Ular 3 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Seruling Gading 7

Cari Blog Ini