Ceritasilat Novel Online

Dendam Empu Bharada 1

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 1


Seri Dendam Empu Bharadha
Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Daftar Isi : Seri Dendam Empu Bharadha
Daftar Isi : Dendam Empu Bharada Prahara PRASASTI KERTANEGARA 1289
Jilid 1 I II Jilid 2 I II III Jilid 3 I II Jilid 4 I Jilid 5 I II Jilid 6 I II III Jilid 7 I II Jilid 8 I II Jilid 9 I II Jilid 10 I II Jilid 11 I II III Jilid 12 I II Jilid 13 I Jilid 14 I II Jilid 15 I II Jilid 16 I II III Jilid 17 I II Jilid 18 I II Jilid 19 I II Jilid 20 I Jilid 21 I II Jilid 22 I II Jilid 23 I II Jilid 24 I II III Jilid 25 I II Jilid 26 I II Jilid 27 I II III Jilid 28 I II Jilid 29 I II Jilid 30 I III Jilid 31 I II Jilid 32 I II Jilid 33 I II Jilid 34 I II III Jilid 35 I Jilid 36 Tamat I II III PENUTUP KATA. Dendam Empu Bharada Dicetak dan diterbitkan oleh:
Penerbit :Margajaya Surakarta Karya : SD DJATILAKSANA Hiasan gambar : Oengki.S Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Pembuat Ebook : Scan DJVU : Koleksi Ismoyo
http://cersilindonesia.wordpress.com/
Convert, edit teks & Ebook : MCH & Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kang-zusi.info http://cerita-silat.co.cc/
Prahara Arjuna, Kawi. Kelud, Welirang, Anjasmara
ksatrya-ksatrya Giri Panca
tegak berjajar menghambur murka
enyah, jangan sentuh raganya
dia gugur, pecah ratna di tangan diwna, tombak durhaka
darah, jasad, cita-citanya
kan s'lalu menyemarak kebesaran
bumi ksatrya Singasari Senapati-senapati Arga Lima
Brama, Lamongan. Raung. Merapi. Argapura
menggelegar geram hak kami memulia bhakti puja
Kertanagara raja ksatrya Jenggala
semayam dikesahduan kawah Arga Lima
terpuja keabadian batara Siwa-Buddha.
Semeru, maharesi Awang Ketawang
melayang tantang melantang
Salah engkau. Arjuna Giri Panca Kertanagara bukan milik Singasari semata salah engkau,
mahapati Brama dia bukan hak Arga Lima semesta camkan......
lebih bukan pula sesembahan si durna dia milik para insan marsakata putera puteri seluruh
nuswantara yang tulus akan makna memulia
gugur bunga teriring doa suhada seribu mahkota anugerah dewa.
ki Purwacarita. PRASASTI KERTANEGARA 1289
yo pura panditac crestha aryyo Bharad abhijnatah jnanasiddhim samagamya, bhijnatabha muniqvarah ratnakarapramanan tu dvaidhikrtya yavavanim katibhedanam samarthya kumbhavajrodekena vai parasparavirodhena nrpayor yudahakanksinoh etasmaj Janggalety esa pamjaluviseya smrta Dahulu adalah seorang pandita utama bernama Arya Bharada, yang telah mencapai
kebijaksanaan dalam ilmu. yang sempurna seria diberka ilmu kewahyuan (Abhijna), seorang guru
diantara sekalian orang bijaksana (muni).
Beliaulah yang dahulu membagi dua pulau Jawa yang banyak mempunyai tambang permata,
dengan air kendi dan langit, karena dua orang anak raja bermusuh-musuhan menghendaki
perjuangan, tanah yang bernama Jenggla dan daerah Panjalu.
"hitaya sarbasatvanam".
prageva nrpates sada sopulrapotradarasya ksityekibha abarahat Untuk kebahagiaan segala mahluk
terutama sekali senantiasa bagi
Raja, putera. cucu, dan isterinya.
karena dialah yang melaksanakan
Persatuani tanah air. Prasasti KERTANEGARA " JOKODOLOK
Saka : 1211. SAPTA PARVA : prof. H. M. Yamin
(Oo-dwkz-ismoyo-oO) Jilid 1 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
I Bongkah-bongkah tanah yang menganga di penghujung akhir musim kemarau, tidaklah kuasa
untuk mengancam langkah kaki yang berderap menurut irama hati yang empunya. Kegersangan
pedesaan, kelengangan lembah, kelayuan alam sekeliling, tidak pula kuasa melunglaikan
semangat yang bersemayam di dada orang itu. Seorang pemuda, tampan dan berwajah
lembut. Tetapi bernyali singa, berhati baja.
"Tanah bongkah, wajib diolah, bukan disingkiri" pikirnya seraya memandang retak-retak yang
mengurat di bumi ia berjalan manusia memang lumuh, cari enak saja. Mereka meninggalkan tanahtanah yang yang membongkah di musim kering, pada hal di musim hujan bumi itu menyerahkan
diri pada pacul dan bajak, dihancurkan dan dipaksa menumbuhkan padi dan jelai. Oleh manusia
dan untuk manusia" Ia menghela napas. "Bumi bersifat besar dan pemurah. Dia menampung manusia, khewan, mahluk yang bernyawa
maupun tak bernyawa dan seluruh isi alam. Dia memberi kebutuhan dan kehidupan, bahkan
menampung tulang-tulang keakhiran hidup, mayat dan bangkai. Serba adil tanpa membedakan
yang mulia dengan yang hina, yang kaya dengan yang papa, yang jahat dengan yang baik, raja
dengan sudra, semua akan kembali ke tanah dan menjadi tanah"
"Bumi dak mengharap balas karena sifatnya hanya memberi tak pernah meminta. Tetapi
manusialah yang harus tahu dan menyadari akan kebesaran bumi. Manusialah yang harus malu
karena tak menger budi. Tidakkah tanah yang bongkah, ibarat daging tubuh yang menganga,
mengapa mereka tak mau menimbuni supaya rapat. Tidakkah tanah yang kering ibarat tubuh yang
sakit panas" Mengapa mereka tak mau mengairi supaya segar?"
Ia hen kan tuntutannya karena harus menyingkirkan ran ng semak onak yang berkeliar ke jalan.
Kemudian melanjutkan langkah pula. .
"Menyia-nyiakan bumi, berani tak tahu menerima kasih kepada Hvang Agung. Bumi adalah
karunia-NYA. Dan Hyang Batara Agung telah melimpahkan karunia besar kepada kerajaan dan
rakyat Singasari, .berupa bumi yang luas dan subur. Mengapa kita tak bekerja keras untuk
menyambut karunia itu. Mengapa ... " ia tak melanjutkan pertanyaan karena menyadari sesuatu
Menyadari bahwa ia sendiripun seorang kawula, bahkan kalau menurut silsilah keturunan, ia
masih mempunyai hubungan darah dengari pendiri kerajaan Singasari yang pertama. Mengapa
ia harus menyesalkan orang lain dan tidak pernah menyesalkan dirinya sendiri "Ah" ia
mendesuh. Tersipu malu. Penyadaran yang menyengat ha sanubarinya bagai pancaran kilat yang menyibak kabut
kekelaman awan. Dan serempak bagaikan pula halilintar yang menggelegar di cakrawala, serentak
terngiang-ngiang dalam telinganya bahwa ia dipesan dari ayahandanya, Lembu Tal, dikala ia
mohon diri. "Nararya, puteraku" kata Dyah Lembu Tal "sebelum kenal orang lain. sebelum kenal seisi jagad
ini, engkau harus mengenal dirimu sendiri. Agar engkau dapat menghaya dimanakah tempatmu,
dimanakah engkau harus menempatkan dirimu. Engkau tergolong dalam kasta ksatrya, angger.
Karena eyangmu adalah Batara Narasingamur . Sebelum memakai nama ke-resian itu, kakekmu
bernama Mahisa Campaka, putera dari eyang Mahisa Wonga Teleng. Dan eyang Mahisa Wonga
Teleng itu adalah putera dari moyangmu sri Rajasa sang Amurwabhumi, rajakula kerajaan
Singasari" "Lalu siapakah baginda Kertanagara yang sekarang memerintah kerajaan Singasari ini, rama?"
"Baginda Kertanagara adalah putera dari baginda Wisnuwardana dan baginda Wisnuwardana itu
putera Anusapa . Anusapa putera eyang puteri Ken Dedes dengan Tunggul Ametung akuwu


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tumapel" "Jika demikian rama masih mempunyai hubungan darah dengan baginda Kertanagara?"
"Hubungan itu dari garis keturunan eyang puteri Ken Dedes"
Nararya mengangguk, kemudian bertanya "Rama, mengapa rama dak tampil dalam
pemerintahan dan lebih senang tinggal di pertapaan yang sesunyi ini ?"
Lembu Tal menghela napas "Angger, rama hanya menurutkan pesan eyangmu Batara
Narasingamur . Beliau memesan, supaya aku jangan ikut campur dalam pemerintahan dan
menyepikan diri di pegunungan. Memohon kepada dewata agar dikaruniai keturunan putera lelaki"
"Apakah maksud pesan mendiang eyang itu, rama?"
"Eyangmu dak menjelaskan kecuali berpesan wan -wan , apabila kelak dikabulkan dewata
mendapat putera lelaki, supaya dididik menjadi seorang ksatrya utama"
"Lalu?" tanya Nararya.
"Hanya itu, angger" jawab Lembu Tal.
Nararya termenung, merenungkan keterangan ramanya. Ia berusaha untuk meneli apa yang
tersembunyi di balik pesan eyang Narasingamur . Namun tak bersua jua "Rama, hamba mohon
petunjuk, apakah yang rama hendak tahkan kepada Nararya" akhirnya ia menyerahkan diri
kepada ramanya. Lembu Tal menghela napas "Dalam hal ini, Nararya, rama tak mempunyai suatu petunjuk.
Melainkan hendak menganjurkan kepadamu. Cobalah engkau berziarah ke makam eyangmu Batara
Narasingamur di Wengker. Beliau seorang resi yang sidik. Mudah-mudahan engkau akan
menerima wangsit di sana, angger"
Nararya mengunjungi gurunya, resi Sinamaya di gunung Kawi, memohon petunjuk. Berkata resi
itu "Nararya, semua ilmu kanuragan, jaya-kawijayaan yang kumiliki telah habis kuberikan
kepadamu. Juga ilmu sastra dan agama, engkaupun telah putus. Tiada yang dapat kuajarkan lagi
kepadamu. Hanya pesanku, ilmu itu harus engkau amalkan, untuk kepen ngan dan kesejahteraan
negara, rakyat dan sesama titah manusia"
Nararya mengangguk penuh rasa patuh.
"Nararya" kata empu - Sinamaya pula "aku seorang resi biasa, seorang manusia yang tak kuasa
menentukan sesuatu dan tak berwewenang melanggar kodrat Prakitri. Menurut wawasan yang
kutanggapi pada keheningan cipta semedhiku, sudah bertahun-tahun aku seper terpanear suatu
sinar gaib vang melambangkan pertanda bahwa dewata hendak menurunkan wahyu yang maha
keramat. Wahyu dari seorang maharaja besar yang akan memerintah suatu kerajaan baru. Lebih
besar dari kerajaan Airlangga, lebih luas dari daerah kerajaan Daha dan Singasari"
Nararya mendengarkan dengan penuh perha an. Ia tahu dalam kerendahan ha dan kata-kata
gurunya, terselip suatu petunjuk dari seorang resi yang gentur bertapa dan telah mencapai tataran
tinggi dalam semedhi. "Wahyu luhur Itu, hanya turun dalam seratus tahun sekali dan merupakan wahyu seorang
rajakula dari sebuah kerajaan baru. Moyangmu, sri Rajasa sang Amurwabhumipun juga
menerima wahyu luhur itu"
"Guru, adakah baginda Kertanagara sekarang ini dak menerima wahyu dari dewata" " tanya
Nararya. Empu Sinamaya hanya menjawab "Telah kukatakan bahwa wahyu luhur itu hanya kepada
seorang rajakula, pendiri dari sebuah kerajaan baru. Anak keturunannya, memang mendapat
wahyu, tetapi tidaklah wahyu mustika buana yang seperti kusebutkan tadi"
Nararya termenung dalam pergolakan yang hening.
"Nararya" kata pula empu Sinamaya "aku tak dapat mengatakan apa-apa kepadamu kecuali
hanya, terjunlah ke dalam kancah yang akan disinari wahyu gaib itu"
Meriah wajah Nararya mendengar ucapan empu Sinamaya. Ia menyadari bahwa bukan ada
suatu alasan mengapa gurunya yang sak itu menganjurkannya. Sebagai seorang muda, tak lepas
Nararya dari cita-cita yang besar.
Rupanya empu Sinamaya dapat menilai apa yang mencercah pada wajah muridnya "Raden
Nararya" ujarnya pelahan tandas, "janganlah engkau tergesa bergirang dulu. Aku hanya
menerangkan tentang sesuatu yang memercik dalam tanggapan indera pengamatanku. Akupun
wajib menganjurkan engkau supaya ikut terjun dalam menyambut wahyu luhur itu Dan aku akan
merasa gembira apabila engkau berhasil. Tetapi jangan engkau kecewa karena apa yang dapat
kulakukan hanya terbatas pada menganjurkan itu. Engkau sendiri, raden, yang harus berusaha
untuk mencapainya. Berhasil atau gagal harapanmu itu semata tergantung pada usahamu sendiri.
Tiada seorang yang dapat membantumu atau mencarikan untukmu, dak aku, dak pula para
dewata. Dewata hanya merestui permohonan yang disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh"
Wajah Nararya hanya sedikit meredup, namun tak sampai bermuram durja. Karena selama
belajar di pertapaan, banyak wejangan dan ajaran-ajaran luhur yang diresapnya. Kemudian ia
menerangkan bahwa menurut ramanya, ia dianjurkan untuk menyepi di candi makam eyang Batara
Narasingamurti agar memperoleh ilham. Empu Sinamaya menyetujui.
"Tolong ..." ba- ba Nararya atau pemuda yang berjalan menyusur jalan-jalan di tengah
belantara yang sepi, tersentak dari lamunan, ke ka mendengar teriak meminta tolong. Seke ka ia
teringat bahwa kedua bujang tua yang menjadi cantrik di pertapaan ramanya dan yang
mengasuhnya sejak kecil, masih ter nggal di belakang. Dan suara teriakan itu berasal dari Doyo,
salah seorang dari kedua punakawannya.
Lembu Tal amat sayang kepada puteranya. Karena baru pertama kali itu Nararya pergi jauh ke
luar daerah, ia tak tega dan menitahkan kedua hambanya Noyo dan Doyo, untuk mengiringkan
momongannya. Semula Nararya tak menghendaki kedua bujang pengasuhnya itu ikut. Mereka
sudah tua dan gemar berolok-olok, suka melakukan hal hal yang aneh. Lebih leluasa berjalan
seorang diri daripada membawa kedua hamba yang suka bertindak ugal-ugalan.
Tetapi Lembu Tal berkeras menghendaki Noyo dan Doyo supaya mengiringkan. Noyo dan Doyo
sendiri menangis karena Nararya menolak mereka. Akhirnya, melihat kesungguhan ha kedua
bujang itu dan mengingat bahwa dibalik ndakan- ndakan yang kurang layak, Noyo dan Dcyo
berhati jujur dan benar-benar sayang kepada momongannya, akhirnya Nararya meluluskan.
"Mengapa paman Doyo" tegur Nararya setelah menghampiri.
"Raden" seru Doyo "adakah kita akan melanjutkan perjalanan pada malam ini?"
"Mudah-mudahan setelah melintas bukit itu kita bersua dengan desa dan bermalam disitu.
Mengapa?" Nararya balas bertanya.
"Raden" kata Doyo "hutan ini ada penunggunya. Kita harus lekas-lekas keluar"
Nararya terkesiap lalu tertawa "Penunggu" Siapa?"
"Entah, raden" kata Doyo pula "tetapi rupanya penunggu hutan disini jahil sekali. Mukaku
ditampar" "O, itulah sebabnya maka engkau berteriak tadi?"
Doyo mengiakan. Nararya terdiam. Ia tak lekas mempercayai sesuatu yang belum yakin akan kebenarannya.
Memang rakyat desa di sekeliling pertapaan ayahnya mempunyai kepercayaan bahwa jin, roh,
setan dan bangsa badan halus itu ada. Mereka percaya bahwa se ap tempat, benda, pusaka serta
patung-patung dalam candi itu memiliki roh atau makhluk gaib yang menjaga. Namun Nararya
sendiri masih belum menerima keseluruhannya karena selama ini belum pernah ia berhadapan
dengan makhluk-makhluk gaib itu.
Tengah ia merenung ba- ba indera pendengarannya menangkap suara kesiur angin yang
menggelepar macam sayap bertebar. Kemudian iapun dikejutkan oleh teriakan Noya "Aduh,
mukaku ..." Nararya makin yakin akan dugaan yang direka dalam merenungkan laporan Doyo tadi.
Serentak ia ayunkan tangan kanan menampar ke udara, ke arah angin bertebar suara aneh
yang telah terlingkup dalam perburuan perhatian dan pendengarannya. Plok, terdengar bunyi
sebuah benda membentur batang pohon dan meluncur jatuh ke tanah. Sekali ayunkan tubuh dan
menjemput ke tanah "Paman Doyo, apakah ini penunggu hutan yang mengganggumu itu?" ia
melontarkan sebuah benda kecil kearah Doyo.
Doyo gopoh menyambuti dan berteriak "O, batara agung, kiranya engkau"
"Apakah itu, Doyo?" seru Noyo.
"Kelelawar" seru Noyo geram "hampir saya aku ma kaku karena ketakutan. Kukira kalau
penunggu hutan yang jail kepadaku"
"Engkau memang tolol" gumam Noyo.
"Engkaupun juga tolol, kakang Noyo" jawab Doyo "mengapa engkau ikut ketakutan, eh, kemana
raden Nararya?" Kedua hamba itu terperanjat ke ka tak mendapatkan Nararya "Hai, raden sudah jauh di muka
itu" keduanya segera bergegas menyusul.
Memang Nararya sudah lanjutkan langkah. Bukan hanya kali itu tetapi sudah berulang kali
selama dalam perjalanan, kedua hambanya itu menimbulkan hal-hal yang menjengkelkan, aneh
dan sering menggelikan juga. Pernah Noyo dan Doyo karena hari malam, hendak minta menginap
di rumah seorang penduduk. Yang empunya rumah dak ada, mereka terus melahap makanannya.
Ke ka yang empunya rumah pulang, mereka marah dan mengusir kedua orang itu. Pernah pula
tanpa sengaja karena hendak mandi di sebuah pancuran, mereka membikin gempar beberapa gadis
desa yang tengah mandi di situ. Dan tak jarang di beberapa tempat, kedua bujang tua itu menjadi
buah tertawaan anak-anak yang menyoraki dan melempari batu.
Memikirkan kedua punakawannya itu, memang Nararya merasa geli-geli geram. Tetapi ia tak
pernah marah ataupun memaki ataupun memukul mereka. Sejak kecil, merekalah yang
mengasuh dan merawatnya. Ia tahu mereka bukan jahat melainkan agak aneh dan malah suka
membawa tabiat seperti anak kecil. Iapun tahu bahwa mereka amat setya dan sayang
kepadanya. Hubungan mereka hampir tidak seperti gusti dengan hamba tetapi, hampir seperti
keluarga. Noyo dan Doyo sejak kecil telah dipungut oleh ayah Nararya. Kedua orang itu sudah
sebatang kara. "Nararya, musuh yang paling, sukar kita kalahkan yalah nafsu dalam diri kita. Di antaranya nafsu,
kemarahanlah yang sering kali menyerang kita. Oleh karena itu jangan sampai engkau menyerah
dalam kekuasaan nafsu tetapi kuasailah nafsu. Ketahuilah, angger, orang yang dapat menindas
nafsu kejahatan dalam ba nnya, lebih digdaya daripada kasatrya yang mengalahkan musuh di
medan laga" demikian terngiang pula wejangan empu Sinamaya, guru yang. dihormatinya itu.
"Mengapa aku harus marah kepada kedua hamba pengasuhku itu." sering Nararya bertanya
kepada dirinya sendiri dikala ia marah melihat perbuatan Noyo dan Doyo yang dianggapnya
tidak benar, Menelusuri jalur yang menuju ke sumber Kemarahan, ia menemukan, melihat dan
menganggap bahwa jalur-jalur itu penuh dengan rumput dan semak onak yang tak
menyedapkan mata. Sesuatu yang dirasa dan dianggap tak berkenan pada citarasa dan
seleranya itulah yang menumbuhkan, membanjir dan jnengahrkan air bah yang memenuhi telaga
kemarahan sehingga meluap dan menggenangi alam pikirannya, ia merenung dan termenung,
membening dan menghening, membenam dan akhirnya tenggelam, menyelam dalam kekelaman
dan tibalah ia di dasur telaga Kemarahan.
Ia melihat bahwa dasar daripada telaga yang permukaannya bergolak-golak, ternyata tenang. Ia
merasakan bahwa telaga yang tampaknya keruh dan gelap ternyata dasarnya bening. Ia merasakan
pula bahwa telaga yang tampaknya panas di permukaan, ternyata sejuk di dasarnya. Ketenangan,
kebeningan dan kesejukan air di dasar telaga Kemarahan itu. menyegarkan pikiran, dan jiwanya,
membangkitkan semangat dan gairahnya..
Serentak ia melambung ke atas permukaan. Ia merasakan permukaan telaga itu dak lagi
bergolak ataupun panas ataupun keruh. Ia berenang ke tepi dan melangkah, menelusuri jalur-jalur
jalan. Baginya rumput-rumput dan semak onak itu dak menyengat mata lagi. Ia terkejut namun
dak heran. Karena ia sudah bersua dengan suatu kesadaran. Bahwa kemarahan itu mbul dari
pikiran yang telah diselapu dengan penilaian-penilaian. Penilaian yang disesuaikan dengan cita
rasa dan kehendaknya sendiri. Ia marah kepada Noyo dan Doyo karena menganggap ngkah ulah
mereka dak sesuai dengan kehendak pikirannya. Dalam meni
k- k kesadaran itu, makin jelaslah keadaan dari k- k itu dan makin melambunglah penger annya pada suatu puncak
kesadaran. Bahwa secara tak sadar ia telah melakukan paksaan. Memaksa orang harus menuiut
sesuai dengan kehendaknya, harus ber ndak sesuai dengan jalan pikirannya ba pada
k penemuan itu ia mendesuh kejut "aku mengharuskan paman Noyo dan Doyo harus dapat berpikir
seper apa yang kupikirkan. Harus dapat berbuat seper apa yang kuinginkan. Aku marah karena
mereka tak dapat berpikir dan ber ndak seper yang kukehendaki. Pada hal kedua paman itu
orang-orang yang sederhana pikirannya, sempit pandangan, kurang pengalaman dan dangkal
pengetahuan. Ah" ia mengakhiri peneli an pada kekhilafannya dengan rasa malu dan sesal karena
secara halus ia memaksa meningkatkan nilai kesadaran Noyo dan Doyo harus seukuran dirinya. Ia
mengharuskan kedua paman itu sama ukuran nilai segala-galanya dengan dirinya. Ah, betapa
khilafnya. Berakhirnya ujung penyusuran ke jalur-jalur pema-wasan diri peribadi, serempak berakhir pula
ujung terakhir dari hutan yang dilintasinya itu. Pada lintasan gerumbul pohon di bukit sebelah
muka, balah ia di-sebuah pedesaan kecil. Ia dan kedua hambanya bermalam di rumah seorang
penduduk. Demikian yang dilakukan selama dalam perjalanan. Se ap meminta menginap selalu ia
disambut dengan penuh keramahan oleh tuan rumah. Dan untuk membalas budi, ingin ia
menyatakan terima kasih dengan memberi uang sekedar sebagai penggan makanan'yang telah
dihidangkan. Tetapi mereka menolak .dengan mengatakan, mereka menerima orang, bukan
menerima uang. Telah meresap dalam ajaran hidup mereka, rakyat di desa-desa bahwa adat hidup
harus tolong menolong. Memberi penginapan kepada orang yang kemalaman, menolong kepada
orang yang menderita kesusahan, merupakan kelayakan adat hidup. Sejernih alam udara di desa,
sejernih pula alam pikiran mereka. Seindah alam pemandangan di desa, seindah itu pula ha
rakyatnya. Diam-diam tergerak ha Nararya akan kesan yang diperolehnya dari sikap dan kehidupan rakyat
desa. Kesan itu berkembang dan merekahkan kesimpulan, melahirkan janji bahwa untuk membalas
kebaikan mereka, kecuali terhadap dirinya pun terhadap kerajaan dan seluruh kawula karena
merekalah penghasil-penghasil yang rajin dari bahan makanan yang menghidupi seluruh rakyat. Ia
harus melindungi mereka agar mereka tetap memiliki dan mengolah tanah miliknya, agar mereka
tetap hidup sejahtera di desa dan agar mereka dihargai dan diperlakukan sama dengan golongan
yang dianggap berjasa. Ia pun harus memperbaiki jalan-jalan yang bongkah, agar mereka dapat
leluasa membawa barang hasil bumi ke kota. Demikian janji pertama yang menggores di lubuk ha
Nararya. Untuk melaksanakan janji itu, ia harus bekerja keras dan berjuang mengabdi negara,
memperbaiki tingkat hidup para kawula, baik di kota maupun di desa-desa.
Dari Singasari ke Wengker, bukanlah suatu perjalanan yang singkat tetapi amat jauh. Nararya
tahu bahwa ia harus melalui pura Daha, kerajaan besar dan jaya tetapi sejak raja Kertajaya
dikalahkan oleh Ken Arok maka Daha disatukan dibawah kekuasaan Singasari. Walaupun dalam
kerajaan Singasari terjadi peris wa bunuh membunuh diantara putera Ken Dedes dengan Tunggul
Ametung lawan putera Ken Dedes dengan Ken Arok atau sri Rajasa sang Amurwabhumi, namun
Daha tetap tak berdaya melepaskan diri dari kekuasaan Singasari. Sebagai penggan raja Kertajaya
maka diangkatlah oleh baginda Rajasa Jayasaba sebagai raja Daha, Kemudian raja Sastrajaya lalu
Jayakatwang yang sekarang ini.
Baru pertama kali itu Nararya turun mengembara keluar. Ia tak faham akan suasana di luar.
Iapun tak tahu bagaimana keadaan tanah Daha dan sikap orang Paha terhadap Singasari. Hanya
pernah ramanya, memperingatkan, supaya berha -ha membawa diri terutama apabila menginjak
telatah Daha "Raja Jayakatwang yang sekarang diangkat baginda Kertanagara sebagai raja di Daha,
seorang yang cerdik dan sakti"
Maka kepada kedua hamba pengiringnya, Noyo dan Doyo, Nararya berpesan supaya mereka
jangan bertindak sembrono, agar jangan menimbulkan hal-hal yang menghambat perjalanan.
Saat itu mereka harus melintasi sebuah hutan pula. Hutan itu merupakan hutan terakhir di
mana mereka segera akan menyusur jalan besar yang menuju ke pura Daha. Nararyapun
berpesan agar kedua pengiringnya berhati-hati menghadapi ular dan binatang-binatang buas
yang masih banyak terdapat dalam hutan.
Tak berapa lama masuk ke daerah hutan, ba- ba mereka dikejutkan oleh aum yang dahsyat.
Jelas aum seekor harimau "Raden, rupanya seekor harimau akan mengganggu kita" seru Noyo
seraya bersiap dengan pedang.
Nararya tak menjawab melainkan hanya mengangguk. Pemuda itu tengah, mempertajam aji
Pangrungu untuk mengikuti jejak harimau itu. Ia dapat menangkap derap kaki harimau itu yang
menerjang semak gerumbul. Namun ada suatu keheranan yang menyelinap dalam
pendengarannya. Aum binatang itu dahsyat, menunjukkan kemarahan, tetapi nadanya bergetar
rintihan. Demikian pula derap kakinya tidaklah semantap seekor harimau yang perkasa.
Keheranannya makin meningkat.
Aum yang menggetarkan seisi penghuni hutan itu makin lama makin terdengar jelas. Angin
yang berhembuspun makin membiaskan bau anyir. Darah. Tetapi tak sempat Nararya meneliti
penilaiannya lebih jauh. Sehembus angin keras yang menderu, pohon bergetar, ranting
berguncang, daun-daunpun menyiak. Seekor harimau loreng yang besar, hampir sebesar anak
kerbau menerobos, la mengaum keras dan terguling-guling.
Noyo dan Doyo serempak berhamburan hendak mengayunkan senjata. Walaupun sebelumnya
mereka gemetar karena ngeri mendengar aum yang dahsyat, namun ke ka melihat harimau itu
berguling-guling berlumuran darah, kedua hamba itu serentak bangkit nyalinya dan hendak
membunuh binatang itu. "Jangan!" teriak Nararya seraya loncat menarik bahu kedua hambanya. Kemudian ia
menyelimpat maju ke muka harimau.
Harimau itu berbangkit, sejenak mengisar kepala untuk menjilat darah yang bercucuran pada
lambungnya. Nararya terkesiap. Ia melihat darah merah yang melumuri lambung harimau itu
berasal dari sebatang anakpanah yang menancap di lambung. Segema ia dapat merangkai suatu
kesimpulan. Harimau itu tentu dipanah orang, kemungkinan pemburu, lalu melarikan diri. Dalam
menerjang gerumbul pohon dan semak tadi, batang panah yang masih hinggap di badannya
melanggar batang pohon sehingga menimbulkan nyeri sakit yang hebat dan darahpun mengucur
deras. Harimau serentak memberingas kala melihat seorang manusia muda tengah tegak menggagah di
hadapannya. Ia mengaum pula, matanya memandang buas ke arah Nararya. Nararyapun menatap
mata binatang itu dengan pandang mata yang tajam. Sejenak beradulah pandang antara seekor
harimau loreng dengan seorang anak muda. Noyo dan Doyo terkejut. Mereka gelisah, sekali.
Dilihatnya raden Nararya dak membekal senjata sedang harimau itu memperlihatkan taringnya
yang besar dan tajam. Noyo mengeluh dan hendak berseru memperingatkan momongannya. Doyo
siap hendak menghampiri dan memberikan pedangnya kepada bendaranya. Tetapi sebelum kedua
hamba itu sempat melaksanakan maksudnya, tiba-tiba suatu peristiwa yang aneh terjadi.
Dari mengaum, harimau itu bergan mengulum. Sepasang matanya yang berkilat buas, meredup
ketakutan. Kepala yang meregang tegak, menunduk terkulai. Kedua kaki depan menekuk membawa
tubuhnya mengendap ke tanah. Sepintas menyerupai orang yang sedang menyembah. Nararya
terpukau melihat sikap dan ulah harimau itu. Seke ka mbul rasa iba dalam ha nya. Tentulah
harimau itu sedang menderita kesakitan yang hebat dan hendak mohon pertolongan kepadanya. Ia
seorang pemuda yang berha asih. Ia tak memikirkan adakah harimau itu akan menggigitnya


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ataupun menerkamnya. Tetapi jelas ia melihat binatang itu sedang menderita kesakitan. Ia tak
menghiraukan bahwa harimau itu jenis binatang yang buas, gemar makan manusia. Baginya saat
itu ia sedang menghadapi seekor binatang yang menderita luka dan memohon pertolongan. Maka
menapaklah ia ke muka. "Raden ..." serempak Noyo dan Doyo berteriak hendak mencegah tetapi Nararya sudah ba di
muka harimau, merapat di muka binatang itu. Tiba- ba binatang itu merundukkan mukanya ke
kaki Nararya dan menjilat-jilat dengan pelahan.
Makin tumbuh kepercayaan Nararay pada diri sendiri bahwa binatang itu mengharapkan
pertolongannya. Serentak ia berjongkok, mengelus-elus kepala binatang itu. Harimau itu pejamkan
mata, beberapa airmata meni k turun. Nararya makin iba. Cepat ia beringsut ke sisi binatang itu.
Sebatang anakpanah telah menancap di lambung tubuh binatang itu, menyusup masuk sampai
dalam hingga tinggal bagian tangkai yang tampak.
Nararya segera bekerja. Tangan kiri mencengkeram bagian lambung yang berhias anakpanah,
agar mengurangi rasa sakit. Kemudian tangan kanan mulai mencabut anakpanah. Pelahan tetapi
mantap, ia menarik anakpanah itu, kemudian ba- ba ia menariknya dengan cepat. Harimau
mengaum pelahan kemudian memalingkan kepala dan menjila liang luka yang mengucurkan
darah. Nararya agak bingung. Ia tak membekal obat apa-apa. Untunglah ia sempat memperha kan
bahwa setelah dijila sendiri oleh harimau, pendarahan pada luka itupun berhen dan selang
beberapa jenak kemudian binatang itupun dapat berbangkit.
"Pergilah" Nararya mengangguk ke ka harimau itu memandangnya. Binatang itu merundukkan
kepala ketelapak kaki Nararya, setelah itu ia lari masuk ke dalam gerumbul lebat.
"Ah ..." terdengar Noyo dan Doyo menghembus napas panjang. Wajahnya yang dicekik
ketegangan pun mulai berahgsur-angsur tenang. Tetapi Nararya tak menghiraukan. Pemuda itu
masih mengama batang anakpanah. Rupanya ia heran dan merenungkan anakpanah itu. Selain
indah buatannya, pun pangkal tangkainya bersalut sebuah lingkaran emas, menyerupai sebentuk
cincin kecil. Belum puas meneli , ba- ba ia dikejutkan oleh suara derap kaki manusia menerjang gerumbul
dan me-nyiak daun. Dua lelaki berpakaian prajurit muncul bergegas-gegas. Keduanya memelihara
kumis tebal, tubuh kekar dan membawa tombak. Yang satu agak pendek dari kawannya. Mereka
memberingas ketika melihat Nararya tengah memegang anakpanah
"Hai, siapa engkau!" hardik salah seorang yang bertubuh agak pendek,
Nararya tak lekas menjawab melainkan memandang kedua prajurit itu.
"Gagukah engkau?" ulang prajurit itu disertai hardikan marah.
"Aku seorang pejalan yang kebetulan lalu di hutan ini" sahut Nararya dengan tenang.
"Mana harimau itu?" tiba-tiba prajurit yang bertubuh tinggi berseru.
Nararya terkesiap. Cepat Nararya dapat merangkai dugaan bahwa kedua prajurit itulah yang
melukai harimau loreng tadi. Bagaimanakah ia harus memberi jawaban. Sejenak ia menimang.
Sebelum sempat menemukan jawaban tersebut, prajurit itupun sudah menghardik lagi "Dimana
engkau sembunyikan harimau itu."
Nararya terkesiap "Ki sanak, pertanyaanmu aneh benar. Mengapa aku harus menyembunyikan
harimau?" Tiba- ba muncul pula seorang prajurit yang bertubuh nggi besar, gagah perkasa "Ki lurah
Menggala, anakmuda itulah yang menyembunyikan harimau tadi. Lihatlah, dia memegang
anakpanah gus pangeran" seru prajurit yang pertama tadi demi melihat kehadiran prajurit nggi
besar. "Minta kembali anakpanah dan harimau itu!" seru prajurit nggi besar yang disebut Menggala.
Sepadan dengan tubuhnya yang nggi besar, nada suaranya-pun menggemerontang laksana
gelegar halilintar. Prajurit yang diperintah itu cepat maju menghampiri dengan langkah angkuh, berhen ga
langkah di hadapan Nararya lalu ulurkan tangan dan membentak "Berikan anakpanah itu dan
harimau yang berlumuran darah tadi!" hardiknya.
Nararya mengangguk "Baik. Tetapi sebelumnya sukalah ki prajurit memberitahu, milik siapakah
anakpanah yang seindah ini ?"
Sebenarnya jika mengenai lain benda, tentulah prajurit itu akan menolak bahkan akan
membentak. Tetapi saat itu lain halnya. Tiba- ba ia mendapat pikiran untuk membanggakan
sesuatu yang akan meruntuhkan nyali pemuda itu "Anakpanah itu milik gus kami, pangeran
Ardaraja, putera mahkota kerajaan Daha"
"O" desis Nararya seraya mengangsurkan anakpanah "maaf, aku tak tahu"
Perobahan wajah dan nada getar dari Nararya diar kan lain oleh prajurit Daha itu. Ia anggap
anakmuda itu tentu ketakutan. Setelah menyambu anakpanah, ia mengangkat dengan kedua
Tangannya ke muka dan berseru "Jangan meminta maaf kepadaku tetapi kepada gus pangeran.
Lekas engkau haturkan sembah kepada anakpanah ini sebagai engkau berhadapan dengan
pangeran sendiri" Nararya terbeliak, cahaya wajahnya tampak menebar merah. Ia merasa tersinggung atas
ucapan prajurit itu. Anakpanah telah dikembalikan, mengapa harus di-perintah untuk
menyembah benda itu. Namun mengingat bahwa perjalanan itu adalah untuk bertapa memohon
petunjuk dari eyang Batara Narasingamurti yang dimakamkan di bumi Wengker, ia berusaha
untuk mengendapkan kemarahan "Ki prajurit, sesungguhnya aku tak tahu apabila anakpanah itu
adalah milik pangeran Ardaraja. Atas kesalahan itu, aku telah menghaturkan maaf dan
mengembalikan anakpanah. Tidakkah hal itu sudah cukup ?"
"Tidak" seru prajurit Daha itu "apabila milikku, aku dapat menerima. Tetapi anakpanah ini
adalah milik gusti pangeran Ardaraja, putera sang prabu Jayakatwang dari kerajaan Daha. Tak
mungkin engkau memperlakukan seperti milik orang biasa. Lekas, jangan banyak ucap.
lakukanlah perintahku !"
Nararya mengangguk "Ki prajurit, aku. hendak minta pernyataanmu yang sungguh-sungguh.
Benarkah anakpanah itu milik pangeran Ardaraja"
"Mengapa aku berbohong" Kami adalah prajurit-prajurit yang mengiring pangeran berburu di
hutan ini" "Jika demikian" kata Nararya dengan nada masih tenang "bawalah aku menghadap kepada
pangeran" Prajurit itu terdiam, bersangbi. Ia berpaling ke arah prajurit nggi besar yang berdiri beberapa
langkah di belakang dengan masih bercekak pinggang. Prajurit nggi besar itu berpangkat lurah
prajurit, bernama Sura-menggala. Suramenggala gelengkan kepala.
"Tidak" sahut prajurit Jkepada Nararya pula "persoalan ini cukup ditangan kami. Pangeran tak
mau sembarangan menerima orang yang tak dikenal apalagi engkau hanya orang kecil"
Nararya tersenyum. Se kpun ia tak marah mendapat ejekan itu. Memang sejak dari pertapaan
ia telah berpesan kepada kedua hambanya, agar se ap menghadapi pertanyaan orang, janganlah
menyebut dirinya siapa. Cukup menyebut sebagai putera begawan Sinamaya dari gunung Kawi. Ia
kua r apabila mengatakan dirinya seorang anak desa, tentu menimbulkan kecurigaan dan ke dak
kepercayaan orang. "Jika demikian" kata Nararya akhirnya "tolong ki prajurit sampaikan sembah permohonan
maafku ke hadapan pangeran"
Prajurit itu terbeliak ke ka melihat Nararya berputar tubuh terus hendak ayunkan langkah.
Cepat ia berteriak "Hai, berhen dulu" serunya seraya mengejar "kuperintahkan engkau harus
memberi sembah kepada anakpanah gusti pangeran sebagai pernyataan engkau mohon maaf"
Nararya hen kan langkah, menyahut tenang "Jika engkau bawa aku ke hadapan pangeran, aku
bersedia menyembah di hadapannya. Tetapi jika ki prajurit suruh aku menyembah pada sebuah
benda, ah, rasanya janggal bagiku"
"Pokok" seru prajurit itu dengan marah "engkau mau melakukan perintahku atau dak. Jika
berani membangkang, tentu kuremukkan tulang lehermu"
Marah sekali Nararya mendengar kata-kata prajurit itu. Demikiankah sikap prajurit Daha
terhadap rakyat kecil" Tidakkah Daha itu berada di bawah kekuasaan Singasari, mengapa sikap dan
ulah prajurit-prajurit Daha sedemikian congkak dan sewenang-wenang "Aku putera rama Lembu
Tal, keturunan dari sri Rajasa sang Amurwabhumi rajakula Singasari. Mengapa aku harus menerima
hinaan dari seorang prajurit kerucuk Daha yang sampai saat ini masih dibawah kekuasaan
Singasari?" demikian barinnya berbisik dan darah muda pun bergelora meluap-luap. Ia. siap
hendak memberi hajaran kepada prajurit itu. Tetapi ba- ba terngiang wejangan dari ramanya
pada saat ia mohon diri hendak bertapa "Nararya, berat nian laku orang yang hendak bertapa itu.
Bertapa berar mengheningkan cipta, rasa, nafsu dan ba n untuk memasuki alam yang hening,
bening dan hampa. Disitulah engkau akan melihat, mendengar, merasakan dan menanggapi
sesuatu yang sukar diterima pada akal, sukar dirasa pada pikiran, sukar ditanggapi panca-indera,
sukar dihaya nalar. Karena sesuatu itu hanya memancar pada keendapan ba n di bawah alam
sadar yang suwung dan hening, bebas dari segala sifat. Dan jangan engkau lupa, Nararya, bahwa
dalam menuju ke arah keheningan itu engkau tentu akan mengalami beberapa gangguan dan
godaan. Sesungguhnya gangguan dan godaan itu dapat engkau hapuskan apabila engkau
menghayatinya. Timbul karena engkau timbulkan, lenyap karena e.ngkau lenyapkan"
Tersusup akan rangkaian wejangan dari ramanya, terhentaklah hati Nararya. la menyadari
bahwaf apa yang dihadapinya saat itu, merupakan salah sebuah gangguan atau godaan. Jelas
apabila ia tanggapi, hal itu tentu akan membangkitkan kemarahannya. Pada hal kemarahan
adalah musuh utama dari batin manusia. Percikan kesadaran itu, bagaikan bunga api yang
berhamburan, memancarkan cahaya merah dan panas, kemudian berhamburan jatuh dan
padam. "Baiklah, ki prajurit . . ." baru ia berkata begitu tiba-tiba Doyo berseru "Jangan, ra . . . Jaka"
Kerena gugup hampir saja Doyo lupa dan menyebut Nararya dengan panggilan raden. Pada hal
Nararya sudah memesan wanti-wanti jangan menggunakan sebutan itu apabila dihadapan orang.
"Paman, kutahu apa maksudmu. Silahkan paman mundur" terpaksa Nararva hen kan kata-kata
untuk mencegah Doyo. Kemudian ia melanjut "prajurit, aku hendak menghaturkan sembah kepada
anakpanah pangeran Ardaraja"
Prajurit itu cepat mengangkat anakpanah ke muka dada; sebagai langkah untuk menerima
sembah Nararya. Nararyapun segera duduk bersila dihadapan prajurit itu lalu mengangkat kedua
tangan dan menyembah. Tiba- ba suatu peris wa yang luar biasa terjadi. Suatu peris wa yang mengejutkan sekalian
orang. Tiba- ba prajurit itu menjerit keras lalu mematahkan anakpanah itu "Ma lah engkau, ular ...."
serunya seraya memban ng kutung-kutung anakpanah itu ke tanah, menginjak-injak, kemudian
tertawa gelak-gelak seperti seorang yang telah membunuh musuh.
Kawan prajurit yang seorang, terkejut menyaksikan hal itu. Segera ia lari menghampiri "Arga,
mengapa engkau patahkan anakpanah gusti pangeran?"
Prajurit yang disebut Arga itu merentang mata dan memberingas "Apa katamu" Engkau gila! Ular
itu hendak menggigit leherku, harus dirobek-robek badannya"
Kawannya makin terkejut. Lebih terkejut pula ke ka memperha kan gundu mata Arga merah
meregang sehingga urat-urat tampak menyembul. Sikapnya memberingas buas "Arga, kenapa
engkau?" prajurit itu menghampiri, maksudnya hendak menolong. Tetapi prajurit Arga serentak
menyongsongnya dengan sebuah hantaman ke dada "Enyah engkau, bedebah!"
Karena tak menyangka, prajurit itu terhunjam dadanya, terhuyung-huyung ke belakang dan jatuh
terduduk "Ha, ha, ha" prajurit Arga kembali tertawa keras dan panjang.
Bekel Suramenggala melihat kesemuanya itu. lapun segera loncat menghampiri "Arga, apa
engkau gila!" hardiknya.
"Setan, engkaupun hendak mengganggu aku!" teriak prajurit Arga lalu menghantamnya. Namun
bekel Suramenggala sudah siap. Beringsut menghindar ke samping, ia mengirim sebuah tendangan
yang tepat mengenai perut. Arga. Prajurit itu mengerang keras dan rubuh terguling-guling.
Bekel Suramenggala tak menghiraukan. Ia menolong prajurit yang dihantam Arga tadi "Darpa,
apakah engkau terluka?"
Darpa mengangguk tetapi mengatakan tak berbahaya "Arga seper orang kesurupan setan, ki
bekel. Matanya merah sekali" katanya.
"Ya, aneh mengapa ba- ba ia seper orang gila?" kata bekel Suramenggala lalu berpaling
kearah prajurit Arga "Hai, dia lenyap!"
Memang pada saat Suramenggala menolong prajurit Darpa, prajurit Arga bangkit dan melarikan
diri. Sayup-sayup terdengar suara prajurit itu tertawa terbahak-bahak "Dia gila"
ba- ba Suramenggala kerutkan wajah "mendadak sekali"
"Benar" sambut prajurit Darpa "sesaat setelah pemuda itu menyembahnya, dia terus
memberingas gila, mematah-matahkan anakpanah karena dianggapnya seekor ular berbisa yang
hendak menggigitnya"
Suramenggala kerutkan dahi, pandang matanya mulai menyusur ke arah Nararya. Nararya tegak
berdiri tenang "Hm" Suramenggala mendesuh lalu ayunkan langkah menghampiri.
"Ki bekel" seru Nararya mendahului "karena perintah telah kulaksanakan maka akupun hendak
melanjutkan perjalanan lagi"
"Berhen " teriak bekel Suramonggala ke ka melihat pemuda itu berputar tubuh "engkau apakan
anakbuahku tadi" "Aku ?" Nararya terkesiap "dia menyuruh aku menyembah anakpanah dan telah kulakukannya"
"Dia gila!" seru bekel Suramenggala "engkau menggunakan ilmu hitam untuk mencelakainya"
Alis Nararya menegak, kemudian merebah kembali "Ah. sama sekali dak, ki bekel. Aku tak
mengerti yang disebut ilmu hitam itu. Aku hanya melakukan apa yang diperintahkan"
"Hm" Suramenggala mendesuh. Jawaban pemuda itu memang tepat seper yang disaksikannya
sendiri. Dan sukar untuk membuk kan ilmu hitam itu. Namun ia tetap hendak mempersulit
Nararya "Engkau telah mengembalikan anakpanah itu tetapi anakpanah itu telah hancur"
"Yang mematahkan adalah ki prajurit tadi"
"Benar" sahut Suramenggala "tetapi harimau itu belum engkau kembalikan"
Nararya terbeliak "Harimau" Aku tak menyembunyikan harimau itu. Dia sudah lari" Ia segera
menuturkan peristiwa tentang harimau itu.
"Dengan begitu engkaulah yang melepaskan harimau itu" seru Suramenggala "sekarang engkau
harus mencarinya" "Ah, ki bekel" Nararya menghela napas "bagaimana mungkin untuk mencari harimau yang sudah
lari" "Harimau itu sudah menjadi milik pangeran Ardaraja dan engkau berani melepaskannya. Maka
engkau wajib mencarinya pula. Barang siapa mencuri, mengambil dan menghilangkan benda milik
raja, dia harus dihukum potong tangannya. Jika engkau tak sanggup menyerahkan harimau itu,
serahkanlah kedua tanganmu!"
Nararya menghela napas dalam ha . Apa yang menjadi pesan ramanya memang benar. Berat
nian gangguan dan godaan yang menghadang pada orang yang hendak bertapa itu. Menurut pesan
ramanya, ia harus berusaha untuk menekan kemarahan karena kemarahan itu menjadi perintang
dan pantangan besar bagi orang yang hendak memohon wahyu. Kepada prajurit yang
menyuruhnya menyembah anakpanah milik pangeran Ardaraja, telah ia lakukan. Walaupun
ba nnya meronta tetapi pikirannya menyadari. Namun apabila sekarang ia harus bersabar,
dakkah ia akan kehilangan kedua tangannya" Cita-citanya adalah untuk mengabdi negara dan
rakyat. Sudah tentu pengabdian itu menuntut suatu usaha perjuangan yang berat. Dapatkah ia
menunaikan kesemuanya itu apabila ia seorang cacad yang dada bertangan" Relakah ia kehilangan
kedua tangannya hanya karena sesuatu peris wa yang tak pen ng dan tak layak seper yang
dituntut oleh bekel prajurit Daha itu"
"Dharma seorang ksatrya adalah menegakkan keadilan, menjunjung kebenaran, berpijak
keutamaan dan berlandas kesucian. Menolong yang lemah dan memberantas yang lalim, berfihak
kepada yang benar serta menentang yang jahat" demikian wejangan resi Sinamaya. Dan serentak
kata-kata itu berhamburan mendebur telinganya pula. Kelak dalam tugas-tugas mengamalkan
dliarma keksatryaan itu, ia pas akan berhadapan dengan orang-orang jahat semacam
Suramenggala. Mengapa harus tunggu kelak" Bukankah sekarang ia telah berhadapan dengan
orang-orang yang harus diberantasnya" Sekarang dan besok, apa bedanya"
"Lekas serahkan tanganmu!" ulang Suramenggala disertai merentang mata lebar-lebar seolah
hendak menelan Nararya. "Ki bekel" sahut Nararya setelah membulatkan keputusan "aku tak tahu bahwa, harimau it'u
adalah binatang perburuan pangeran Ardaraja. Kulihat binatang itu terluka dan nalongso
meminta pertolongan. Sebagai manusra, aku wajib memberi pertolongan kepada segala mahluk
yang sedang tertimpa kesusahan. Setelah kucabut anakpanah, binatang itupun terus lari ke
dalam hutan. Jika aku dipersalahkan untuk kesalahan yang tak kuketahui itu, akupun menerima.
Tetapi yang berhak menjatuhkan hukuman itu adalah pangeran sendiri. Maka bawalah aku ke
hadapan pangeran" "Bedebah" bentak Suramenggala "engkau menghina aku" Aku adalah lurah prajurit Daha yang
telah mendapat kepercayaan penuh dari pangeran Ardaraja. Dan apa yang kujatuhkan kepadamu,
adalah hukum yang telah disahkan dalam kerajaan Daha. Mengapa engkau masih mengada-ada
hendak bertemu dengan gus pangeran" Sudah, jangan banyak cakap, lekas serahkan tanganmu
atau terpaksa akan kupaksamu"
"Ki bekel" seru Nararya dengan agak tegang "mengapa aku berkeras hendak minta dihadapkan
pada pangeran Ardaraja adalah karena aku hendak mohon maaf dan menghaturkan penjelasan,
bahwa sama sekali aku tak tahu bahwa binatang itu telah menjadi perburuan pangeran. Mungkin
pangeran dapat memper mbangkan kesalahanku. Namun jika engkau menolak permohonanku ini,
akupun terpaksa menolak keputusanmu"
Merah wajah lurah prajurit yang bertubuh nggi besar itu. Rupanya dalam kalangan prajuritprajurit Daha, ia mempunyai pengaruh dan ditaku sehingga menimbulkan sikap yang congkak. Ia
melangkah maju "jika demikian, engkau memang sudah bosan hidup" kata-kata terakhir itu disertai
dengan gerak ayunan tangan kanan ke arah dada Nararya. Waktu pemuda itu menyurut mundur,
Suramenggala tak terkejut karena ia sudah menduga lawan tentu takkan menyerah begitu' saja.
Maka tanpa menarik kembali tangan kanannya yang masih melayang kemuka itu, ia melonjak maju
dan mengirim sebuah tendangan keras.
Bahwa untuk serangan yang kedua itu masih tetap luput, daklah mengejutkan Suramenggala. Ia
sudah menduga pemuda itu tentu berisi. Maka secepat menarik tangan dan kaki, ia terus loncat
menerjang dengari silih bergan melayangkan kedua njunya. Kali ini baru ia terkejut. Serangannya
itu dilakukan pada jarak yang dekat sekali, hampir merapat dan dilancarkan dengan gerak yang
amat cepat dan dahsyat, namun tetap tak mengenai sasaran bahkan ia kehilangan pandang
dimana lawan berada. Karena jelas Nararya tidak berada lagi di sebelah muka.
Ia menduga lawan tentu menghindar ke samping. Cepat ia berputar ke samping. Tetapi tetap tak
ada. Ia berputar lagi ke belakang dan ternyata lawan sudah berada di belakangnya. Ia terus hendak
mengangkat tangannya untuk menyambar tubuh dan berhasil mencengkam pinggang lawan.
Dengan kerahkan tenaga ia menggembor keras lalu mengangkat tubuh Nararya, maksudnya setelah
terangkat di atas kepala hendak diban ngnya ke tanah "Huh" ba- ba ia mendesuh kejut ke ka
dirasakan tubuh pemuda itu amat berat sekali. Ia kerahkan lagi segenap kekuatannya dan menyentakkannya ke atas. Tetapi ia harus mendesuh dan mengerang karena kaki Nararya laksana
tumbuh akarnya, macam pohon kamal yang kokoh sekali. Merah padam muka Suramenggala.
"Hm. rupanya dia memiliki aji Pengantepan yang hebat" pikir Suramenggala "jika demikian
baiklah kuremas saja pinggangnya supaya hancur"


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cepat sekali tenaga dihimpun kearah tangan dan secepat itu pula ia menggerakkan kesepuluh
jarinya untuk meremas pinggang Nararya "Huh" kali ini bukan lagi ia mendesuh melainkan lebih
banyak menyerupai memekik kejut. Kerasnya remasan tangan hanya menimbulkan rasa sakit pada
tulang-tulang jarinya sendiri karena pinggang yang diremas itu menyelimpat lepas. Kulit pinggang
pemuda itu tiba-tiba saja berobah selicin badan belut. Makin diremas kuat-kuat, makin lepas.
"Aji Belut-pu h" serentak terkilas dalam,angan-angan Suramenggala. Kilas itu hanya secepat kilat
merekah, tak lebih lama dari sekejab mata. Namun belum sempat ia membayangkan dalam anganangan apa yang akan dilakukan selanjutnya, ba- ba bahunya dirasakan mengencang, makin keras
dan makin sakit, seper dicengkeram oleh sepit baja. Ia terkejut dan meronta tetapi lebih terkejut
lagi karena merasa tenaganya hilang, bahkan gerakannya itu hanya menimbulkan rasa sakit pada
tulang bahunya. Iapun masih merasa bahwa pada saat itu punggung pinggangnya dicengkeram
tangan, serta merasa pula bahwa tubuhnya terangkat naik, namun ia tak kuasa untuk mengerahkan
tenaga melawannya. Nararya mengangkat tubuh bekel yang nggi besar itu, kemudian diputar-putar dan hendak
dilemparkan ke-dalam semak. Tetapi belum sempat ia melaksanakan maksudnya, sekonyong
terdengar suara teriak bernada marah dan memerintah "LepaskanI"
Kabut kemarahan yang mencengkam benak Nararya saat itu bagaikan dilanda hembusan
angin keras. Pelahan-lahan kemarahan itupun berangsur mengendap. Kesadaran mulai
memancar. Betapapun ia harus mentaati pesan ramanya. Mengatasi gangguan dan godaan,
bukan berani harus melakukan pembunuhan. Pembunuhan atas jiwa manusia bahkan terhadap
jiwa binatang maupun lain-lain pada masa hendak menjalankan tapa-brata, akan merusak
tujuan. Tak mungkin akan mencari kesucian dengan berlumuran dosa pembunuhan. Bahkan
marah saja sudah merupakan perintang dalam mencapai sesuatu tujuan dalam tapa.
Serentak ia hen kan putaran tubuh Suramenggala dan meletakkannya di tanah. Namun sesaat
lurah prajurit itu masih rebah tak sadarkan diri. Kemudian Nararya bernaling kearah suara tadi. Ia
terkejut demi melihat seorang anakmuda berwajah cakap berseri, mengenakan busana perburuan
yang indah. Duabelas prajurit mengiring di belakang, lengkap dengan alat2 berburu. Ada yang
membawa busur dan anakpanah, tombak, cempuiing, supit dan jaring. Menilik dandanan, cahaya
muka dan pengiring2 yang berjumlah sekian banyak, cepat Nararya dapat menduga bahwa ia
sedang berhadapan dengan pangeran Daha yang bernama Ardaraja.
"Hai, anakmuda, mengapa engkau hendak membunuh bekel Suramenggala?" tegur pemuda itu.
Nararya memberi hormat dan dengan penuh kerendahan ha menjawab "Mohon maaf, raden,
hamba tiada bermaksud hendak membunuh ki bekel"
"Tetapi engkau putar-putar tubuhnya, tentu akan engkau lemparkan" seru pemuda itu.
Kembali Nararya memberi hormat "Telah terjadi sedikit salah faham sehingga hamba terpaksa
kesalahan tangan mengangkatnya"
"Hm" pemuda itu mendesuh lalu berpaling memanggil prajurit Darpa. Prajurit itu tersipu-sipu
maju, duduk bersila dan menghaturkan sembah.
"Prajurit" seru pemuda itu "ceritakan apa yang terjadi di sini"
Prajurit Darpa melaporkan semua yang terjadi. Tentang prajurit Arga yang ba- ba gila karena
menerima sembah pemuda itu. Tentang pertempuran bekel Suramenggala dan berakhir bekel itu
dikalahkan. Sudah tentu kesemuanya laporan itu, cenderung untuk menumpahkan semua
kesalahan pada Nararya. "Benarkah begitu, anakmuda?" selesai mendengar laporan, raden itu segera bertanya kepada
Nararya. Ia menduga, sebagaimana umumnya orang lain, tentulah pemuda itu akan menolak dan
membela diri atas tuduhan-tuduhan yang dilancarkan prajurit Darpa. Dan ia memang ingin
mendapat keterangan dari lain fihak yang berlainan pula dengan laporan Darpa.
"Benar, raden" kata Nararya "memang hambalah yang bersalah karena tak tahu bahwa harimau
itu adalah binatang perburuan raden. Tentang peris wa prajurit yang ba- ba berobah ingatan
itu, sama sekali hamba dak mencelakainya melainkan hamba melakukan apa yang
diperintahkannya. Dan tentang ki bekel, hamba hanya ingin supaya hamba dihaturkan kehadapan
raden, tetapi rupanya ki bekel berkeras menolak dan hendak menghukum hamba"
Tiga kesan yang mengejutkan hati raden itu. Pertama pengakuan secara terus terang dari
Nararya tentang kesalahannya. Kedua, mengapa prajurit Arga mendadak gila dan ketiga,
kekalahan yang diderita Suramenggala. Untuk kesan pertama, ia memuji kejujuran Nararya.
Yang kedua, ia heran. Tetapi yang ketiga, benar-benar ia terkejut dan hampir tak percaya.
Suramenggala terkenal digdaya, bertenaga kuat, menjadi orang kepercayaannya yang setya
dan berani. Ia memandang tajam kepada Nararya untuk meneliti sesuatu pada diri pemuda itu.
Namun tak ada yang menimbulkan kesan bahwa pemuda itu seorang yang berilmu sakti
ataupun bertenaga kuat. Hanya scoiang pemuda biasa yang berwajah cakap.
"Siapa namamu?" tanyanya.
Nararya sudah mengetahui dari pembicaraan prajurit Darpa tadi, bahwa raden yang berhadapan
dengan dirinya itu adalah raden Ardaraja, pangeran mahkota dari Daha. Dengan kata merendah,
iapun memberitahukan nama dan desa asalnya.
"O, pantas engkau seorang putera resi, Nararya" pangeran Ardaraja mengangguk "karena
wajahmu menunjukkan engkau bukan pemuda desa"
Nararya mengucapkan beberapa kata merendah.
"Aku senang akan kejujuranmu" kata pangeran Ardaraja "terutama akan keksatryaanmu.
Karena di Daha semua pemuda harus berlatih ilmu kanuragan dan kedigdayaan. Setiap tahun,
di alun2 pura Daha diadakan pertandingan ksatryaan, adu ilmu kanuragan dan kesaktian. Yang
menang diangkat sebagai prajurit dan bekel. Bahkan di kampung dan desa2, diadakan juga
pertandingan semacam itu untuk memilih pendekar yang paling sakti"
Nararya mengangguk sebagai tanda menaruh perhatian atas keterangan pangeran Ardaraja
dan memuji Tetapi dalam hati Nararya terkejut. Baru ia tahu bahwa wa di kerajaan Daha
berlaku peraturan semacam itu Jika rakyat telah diberi latihan ilmu keprajuritan, jika para
pemuda telah ditanamkan suatu keharusan untuk memiliki ilmu kanuragan, tidakkah negara
Daha menjadi sebuah negara yang kuat" Tetapi adakah hal itu sudah sepengetahuan dan seidin
kerajaan Singasari" Namun belum sempat ia menarik garis penyelidikan lebih panjang, pangeran Ardarajapun
sudah melanjutkan kata-katanya "Aku terkejut, Nararya, bahwa engkau mampu mengalahkan
bekel Suramenggala. Karena dikalangan prajurit2 Daha, Suramenggala sangat disegani
keberanian dan kedigdayaannya. Maka ingin sekali aku menyaksikan kedigdayaanmu dalam
merobohkan Suramenggala tadi"
"Ah" Nararya menghela napas "apa yang hamba lakukan tadi hanyalah secara kebenaran belaka.
Mana hamba dapat mengalahkan ki bekel yang gagah perkasa itu"
"Begini, ahakmuda" kata pangeran Ardaraja yang gemar melihat adu kanuragan "apa yang
dikatakan Suramenggala tadi memang benar. Selayaknya engkau mendapat hukuman. Tetapi kali
ini karena senang melihat kedigdayaanmu, maka kuberimu kebebasan dengan syarat apabila
engkau dapat merobohkan bekel Suramenggala pula" kemudian berpaling kearah Suramenggala
yang sudah bangun, pangeran Ardaraja bertanya "Bukankah begitu, Suramenggala?"
Pertanyaan pangeran itu mengandung suatu tawaran apakah Suramenggala berani menghadapi
Nararya lagi. Sudah tentu di hadapan junjungan dan beberapa anakbuahnya, Suramenggala harus
menerima "Hamba akan melakukan apapun yang gusti titahkan" sahutnya.
"Nah, engkau dengar Nararya" seru pangeran Ardaraja "kalian boleh adu kepandaian. Tunjukkan
kesaktian kalian tetapi janganlah sampai mencapai tingkat yang membahayakan jiwa."
Dalam pesan itu sesungguhnya pangeran Ardaraja mempunyai maksud tersembunyi untuk
menarik Nararya sebagai prajurit Daha. Namun Nararya dan Suramenggala tak menyadarj. Nararya
hanya memuji bahwa pangeran anom dari Daha itu seorang pangeran yang bijaksana. Sedang
Suramenggala agak merasa heran. Kemudian ia menafsirkan bahwa pangeran Ardaraja bermaksud
hendak membantunya. Apabila ia kalah, Nararya sudah diperingatkan tak boleh menewaskan
jiwanya. Sedang apabila ia menang, tentulah pangeran takkan murka apabila ia membinasakan
lawan. Demikian penilaian Suramenggala akan ucapan pangeran Ardaraja sebagaimana
perlindungan yang selalu dilimpahkan kepadanya.
Kini Nararya berhadapan dengan Suramenggala. Dalam pertarungan tadi, ia sudah mengetahui
bahwa lurah prajurit itu memang bertenaga besar sekali. Tetapi karena tubuhnya yang nggi dan
besar, gerakannya pun kurang gesit. Sebagai seorang kelana, sebagai seorang yang walaupun tak
sengaja tetapi telah bersalah kepada pangeran Daha, ia harus tahu menempatkan diri. Apabila ia
hendak membanggakan diri dan mengalahkan Suramenggala, kemungkinan pangeran Ardaraja
tentu kurang senang karena hal itu dianggap merendahkan kewibawaan pengiring seorang
pangeran. Dan yang pas , Suramenggala tentu akan mendendam. Sesungguhnya ia bersedia
mengalah tetapi apabila kalah ia kuatir akan mendapat hukuman dari pangeran itu.
Dalam keadaan masih bimbang itulah Nararya sudah diserang oleh Suramenggala dengan
pukulan yang gencar lagi keras. Nararya hanya menghindar dan bertahan. Beberapa saat
kemudian setelah menemukan cara bagaimana ia harus menghadapi lawan, barulah ia
memperoleh siasat. Ia hendak menghabiskan napas lurah prajurit itu hingga akan jatuh lemas
sendiri. Dia pasti takkan mendendam dan pangeran Ardarajapun tentu tak mempunyai alasan
untuk marah. Tetapi Suramenggala juga tahu akan kelemahan dirinya dan siasat yang digunakan lawan. Ia
tak mau terpancing oleh jerat lawannya. Sekonyong-konyong dalam sebuah kesempatan di
mana Nararya agak lengah, ia loncat menerkamnya. Nararya terkejut karena selama beberapa
saat tadi, Suramenggala hanya memukul dan menghantam, menebas dan menepis. Jarak amat
dekat sekali. Kecuali ia menghantam dada lurah prajurit itu, barulah ia dapat terlepas dari
pelukannya: Namun jika berbuat begitu, Suramenggala tentu akan menderita luka. Suatu yang
tak ia inginkan terjadi. Antara arus penimangan Nararya dengan gerak cengkeraman Suramenggala, ternyata lebih cepat
gerakan Suramenggala. Lurah prajurit itu berhasil menerkam pinggang Nararya dengan kedua
tangannya lalu dengan menggembor keras ia menyentakkan tubuh lawan ke atas kepala.
Maksudnya hendak membantingnya ke tanah.
Sekalian rombongan prajurit Daha terkejut. Demikian pula Noyo dan Doyo. Bahkan karena
terangsang oleh kelatahan menirukan gerak orang, Noyo telah memeluk tubuh Doyo dan
diangkatnya juga. Sudah tentu Doyo meronta-ronta "Kakang Noyo, engkau gila ..."
Teriak Doyo itupun serempak diiring dengan sorak bergemuruh dari anakprajurit Daha ke ka
menyaksikan tubuh Nararya diban ng ke bawah oleh Suramenggala. Tetapi sorak gemuruh
berhen ba- ba ke ka melihat Suramenggala rubuh sendiri ke tanah sedangkan Nararya ke ka
melayang di udara dapat bergeliatan dan meluncur ke tanah dengan kedua kaki tegak berdiri.
Memang prajurit2 Daha itu melihat, ketika tubuhnya diangkat Nararya bergeliatan meraihkan
tangannya ke arah kedua bahu Suramenggala. Mereka kira pemuda itu tentu berusaha untuk
mencari pegangan untuk bertahan. Dan merekapun menduga pemuda itu gagal karena
tubuhnya dapat dilempar Suramenggala. Mereka bersorak untuk menyambut kemenangan lurah
mereka. Benar2 diluar dugaan kalau peristiwa akan berlangsung diluar dari apa yang mereka
bayangkan. Demikian kejadian yang mengejutkan sekalian prajurit-prajurit, memang baru terlintas dalam
benak Nararya pada de k2 ke ka pinggangnya dicengkam Sura"'menggala. Tiba2 saja ia mendapat
siasat. Dibiarkannya saja Suramenggala mengangkat tubuhnya. Pada saat tubuh berayun keatas
kepala Suramenggala, secepat itu pula kedua tangannya menyusur ke bawah mencengkeram tulang
teraju Suramenggala. Sesaat lurah prajurit itu melemparkannya, Nararyapun menyerempaki dengan
suatu remasan yang kuat pada tulang bahu lawan. Remasan itu berhasil melunglaikan tenaga
Suramenggala sehinggga ia terhuyung-huyung kebelakang dan jatuh ke tanah.
"Cukup" seru pangeran Ardaraja seraya memberi isyarat kepada Suramenggala dan Nararya
supaya berhen "Suramenggala telah berhasil melemparkan Nararya tetapi pemuda itupun
berhasil merubuhkan lawan. Dengan demikian keduanya berimbang ada yang kalah dan menang.
Hanya menurut penilaian, Nararya lebih unggul karena walaupun dilempar, tetapi masih dapat
berdiri tegak. Sedangkan Suramenggala jatuh di tanah"
Pangeran Ardaraja tak mau menyinggung perasaan Suramenggala. Lurah prajurit itu dahulu
bekas seorang kepala penyamun yang amat ganas dan termashyur digdaya. Mempunyai anakbuah
banyak dan berpengaruh. Kemudian dapat dibujuk untuk masuk menjadi prajurit Daha, diangkat
sebagai lurah dan menjadi orang, kepercayaan pangeran Ardaraja.
"Bekel Suramenggala seorang prajurit digdaya, jarang orang dapat menandinginya. Engkau,
Nararya, dapat menandinginya dengan baik. Karena itu layaklah kalau engkau kubebaskan dari
hukuman" kata pangeran Ardaraja pula.
Nararya menghaturkan terima kasih.
"Nararya" seru pangeran Ardaraja pula "orang Daha selalu menghargai seorang ksatrya yang
digdaya., Dan aku peribadi, senang sekali dengan lelaki yang sak . Maka aku akan mengangkatmu
sebagai seorang prajurit bhayangkara yang akan menjaga keselamatan puri keraton Daha"
Prajurit2 Daha bersorak gembira. Mereka mendukung pernyataan pangeran itu. Mereka
mempunyai kesan baik terhadap pemuda dari gunung Kawi itu. Sikapnya rendah ha , dak
sombong walaupun menang. Masih muda lagi tampan.
Nararya terbeliak. Ha nya berdebar keras. Bukan karena gembira menerima pengangkatan yang
tak pernah diharapkan itu. Masuk sebagai prajurit Daha, harus melalui penyaringan. Harus
bertubuh sehat, kuat, digdaya dan setya. Untuk menjaga seorang prajurit biasa, sudah harus
menempuh ujian2 kanuragan yang berat. Apalagi menjadi seorang lurah prajurit atau bekel. Orang
yang gagah perkasa dan bertenaga kuat seper Suramenggala barulah sebagai lurah prajurit
pangkatnya. Lebih pula untuk diangkat sebagai seorang prajurit adika-bhayangkara yang
dipercayakan menjadi keselamatan keraton Daha. Tentu sukar sekali. Harus membuk kan
kesetyaannya terhadap kerajaan, harus membuktikan kedigdayaan yang menonjol. Sekalian prajurit
termasuk Suramenggala, terkejut mendengar keputusan pangeran Ardaraja terhadap seorang
pemuda yang baru saja dikenal. Namun mereka tak berani membantah.
Bagi prajurit Daha, diangkat sebagai bhayangkara keraton itu merupakan suatu kehormatan
besar. Namun dak demikian dengan Nararya, Tujuannya daklah hanya terbatas sampai di situ. Ia
menginginkan sesuatu yang lebih tmggi lagi. Dan untuk mencapai cita-cita itu maka ia hendak
bertapa. "Adakah ini termasuk salah satu dari apa yang dimaksud gangguan atau godaan oleh rama itu?"
bertanyalah ia kepada ha nya sendiri. Godaan itu bermacam-macam sifat dan bentuknya. Bertemu
dengan orang yang hendak menyamun harta ataupun jiwanya, juga merupakan sodaan. Sesuatu
yang membangkitkan nafsu kemarahannya dapat digolongkan sebagai godaan. Kemudian bertemu
dengan benda atau harta atau lain2 hal yang berharga, juga suatu godaan karena hal itu
membangkitkan nafsu kemilikan atau loba. Mendapat tawaran diangkat sebagai bhayangkara,
serupa dengan mendapat harta yang tak tersangka-sangka. Membangkitkan rasa kemilikan pula.
Demikian renungan yang cepat sekali melintas dan menghilang dalam benak Nararya.
Menghilang karena ia sudah mempunyai pendirian yang teguh. Maka dengan tersipu-sipu ia
menghaturkan terima kasih kepada pangeran Ardaiaja kemudian ia menyatakan bahwa ia masih
mempunyai suatu tugas dari ramanya "Hamba di tahkan rama hamba untuk mengunjungi makam
eyang hamba yang dikebumikan di Wengker, gus "katanya " oleh karena itu hamba mohon maaf
karena terpaksa hamba harus menunaikan perintah rama hamba itu lebih dahulu"
"O, tetapi bukankah setelah selesai ke Wengker, engkau tentu dapat menerima pengangkatanku
itu, Nararya?" pangeran Ardaraja mendesak pula.
"Raden" kata Nararya pula "rasanya sukar menumpahkan rasa terima kasih hamba atas kebaikan
raden kepada diri hamba. Dan rasanya hamba ingin sekali membalas budi raden itu. Namun hamba
adalah putera tunggal dari rama dan ibu hamba yang sudah lanjut usia. Oleh karena itu hamba
telah berjanji dalam ha untuk merawat mereka sampai di hari tua sebagai balas bhak hamba
kepada orang tua. Setelah dari Wengker, hamba terpaksa harus pulang dulu untuk mohon idin dari
kedua orangtua hamba, raden"
"Tetapi Nararya, tentulah kedua orangtuamu akan bersyukur apabila engkau menjabat
kedudukan itu. Engkau boleh memboyong mereka ke pura Daha sekali"
Nararya menghela napas "Rama hamba itu seorang tua yang aneh perangai. Jika hamba
menerima anugerah raden tanpa memberitahukan dulu kepada rama, hamba tak sampai ha
melihat beliau bersedih. Baginya yang pen ng adalah bhak hormat puteranya daripada segala
harta dan pangkat. Rama hamba, raden, ada menginginkan lagi soal keduniawian. Hamba tak
ingin menyakiti hatinya, raden"
Pangeran Ardaraja menimang. Ada suatu percikan yang berhambur menimbulkan suatu rasa
dalam ba nnya. Ketampanan wajah Nararya itu cukup mendebarkan ha se ap gadis. Kehalusan
tutur bahasanya, menimbulkan rasa suka orang. Kesak annya, menggemparkan se ap lawan. Dan
kebhak annya terhadap orangtua menimbulkan rasa malu pada se ap orang yang tak tahu akan
orangtua. Percik-percik itu menumpuk lapisan kesan yang hampir saja mendorong perasaan
Ardaraja... kearah rasa iri "Ah, apabila aku bukan seorang putera mahkota yang kelak akan
menggan kan kedudukan rama baginda, tentu aku akan menyanggah dewata, mengapa Nararya
memiliki beberapa kelebihan dari aku. Bahkan... ia bersangsi untuk membayangkan bisikan suara
hatinya yang menuntut agar Nararya saat itu dilenyapkan saja. Tetapi ia segera menghapus bayangbayang hitam itu. "Baiklah, Nararya" akhirnya ia melepas juga permintaan pemuda itu "aku takkan memaksa
engkau. Tetapi apabila semua pekerjaanmu telah selesai dan engkaupun sudah meminta
persetujuan ramamu, hendaknya engkau lekas menghadap aku di keraton"
Nararya tersipu-sipu menghaturkan sembah terima kasjjinya atas kebaikan pangeran itu.
Demikian setelah cukup lama berada di situ, akhirnya pangeran Ardaraja dan rombongan
pengiringnya meninggalkan tempat itu.
((Oo-dwkz-ismoyo-oO)) II Baru pertama kali ini Nararya benar2 merasakan dan menghaya apakah yang disebut lapar dan
haus. Sejak kecil mula, perasaan itu tak pernah dirasakan benar-benar. Apa yang ia kata dan
rasakan apabila minta makan kepada ibunya, ataupun diwaktu kecil kepada Noyo dan Doyo yang
memomongnya, hanya apabila perutnya kosong. Atau mungkin apabila makanan yang berada
dalam kandung pencernahannya sudah habis. Ataupun mungkin pula karena mulut ingin
menikma hidangan. Adat kebiasaan dari orangtuanya yang memberinya makan pada waktu pagi,
siang dan malam, juga membawa pengaruh pada pikirannya sehingga apabila ba pada waktuwaktu itu, iapun seperti merasa lapar.
Tetapi bagaimana sesungguhnya lapar yang benar-benar lapar itu, baru pertama itu ia
menderita. Betapa dak. Hampir tujuh hari tujuh malam ia tak menelan sebu r nasi, meneguk
setetes airpun juga. Badannya terasa panas, lemas, kepala pening, pandang matanyapun
berkunang-kunang. Tubuhpun terasa ringan, lunglai ada tenaga. Ruas2 tulang nyeri. Namun kesadaran pikirannya
masih memercik, menggelorakan jiwanya yang telah dibulatkan dalam tekad. Tekad yang dipateri
kemauan baja. Biarlah ia mad andaikata karena itu ia harus ma "Nararya, tekad atau kehendak itu
merupakan api dari jiwa. Tanpa kemauan dan tekad, jiwa akan redup. Dan ketahuilah puteraku,
tanpa kemauan, manusia itu hanya hidup dalam hidup, bukan hidup dalam dharmanya" demikian
yang pernah dikatakan ramanya pada suatu kala "dan tekad itu merupakan senjata yang p'aling
ampuh dari manusia, sampai dewa2 pun harus meluluskan apa yang menjadi tekad kemauan
seorang ksatrya yang diciptakan dalam tapa-bratanya"
Dan apa yang diwejangkan ramanya itu memang benar. Dengan tekad kepaserahan yang tulus,
pelahan-lahan mengendaplah pikiran Nararya ke alam keheningan. Dalam keheningan itulah ia


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasakan suatu perasaan yang tenang dan damai. Tiada rasa lapar itu merin h-rin h, ada lagi
rasa dahaga itu mencekik-cekik kerongkongannya, ada lagi rasa panas menggigil tubuhnya, dada
lagi rasa nyeri menggigit-gigit ruas2 tulangnya, ada lagi rasa pening membelit kepala, ada lagi
pandang matanya berkunang-kunang. Ia rasakan tubuhnya nyaman. Ia rasakan sesuatu dalam
tubuhnya seolah membawa kesadaran pikirannya melayang dan membubung ke udara. Terang dan
benderang diangkasa raya. Ia terus melayang dan melayang, jauh keatas, makin nggi seiiingga
mencapai suatu alam kehampaan raya. Makin lama makin redup, redup dan akhirnya gelap
gelita..... Ia tak tahu dimana ia berada karena indera perasaannya sudah ada padanya Ia kehilangan diri.
Dalam keadaan hampa itu, ba- ba muncul seorang resi tua renta. Rambut dan janggutnya yang
pu h hampir menutupi wajah, sehingga tak jelas. Demikian pula seluruh tubuhnya seper
diselimuti awan putih "Nararya, cucuku....." tiba2 terdengar suara selembut angin mendesis, namun
cukup jelas. Nararya terkejut "Eyang, siapakah eyang ini?"
"Adakah engkau tak mengenal aku?" seru pula suara itu.
"Ti . . . dak, eyang".
"O, pantas, Nararya" seru suara itu "karena aku keburu moksha ke ka engkau masih dalam
kandungan. Aku eyangmu Narasing imurti, angger"
"O, eyang" tergopoh Nararya menghaturkan sembah "Maafkan, eyang"
"Tak apa, angger. Lalu apa maksudmu engkau menyiksa dirimu di makam ini?"
"Eyang, hamba hanya mengemban titah dari rama, supaya menghadap kepada eyang"
"Apa keperluanmu?"
"Rama tak dapat memberi keterangan atas pertanyaan hamba, eyang. Mengapa, rama nggal
mengasingkan diri di gunung, tak mau memegang jabatan pemerintahan. Padahal bukankah eyang
dahulu menjabat sebagai ratu Angabaya dari kerajaan Singasari" Rama hanya mengatakan kepada
hamba, bahwa rama di tahkan demikian oleh eyang. Maka rama sekarang menitahkan hamba
untuk menghadap eyang guna memohon keterangan eyang tentang hal itu"
"Memang keterangan ramamu Lembu Tal itu benar" kata resi tua itu "akulah yang
memerintahkannya supaya hidup menyepikan diri di gunung. Karena sia-sia belaka ramamu
memegang jabatan di kerajaan. Dia hanya sebagai perantara dari insan yang akan melaksanakan
perjanjianku, angger"
"Duh, eyang" sembah Nararya "adalah sudah menjadi cita-cita hamba untuk mengetahui apakah
yang sesungguhnya terjadi pada keluarga kita. Mohon eyang berkenan memberi keterangan kepada
hamba" Resi tua itu tampak pejamkan mata merenung. Beberapa jenak kemudian ia membuka mata
dan menghela napas "Sesungguhnya hal ini merupakan rahasia yang telah disepakati dengan
sumpah oleh dua orang, aku dan kakang Rangga Wuni atau sri baginda Wisnuwardhana.
Bahwa kami berdua tak boleh membocorkan rahasia itu kepada siapapun juga ..."
Resi berambut pu h itu berhen sejenak, sementara Nararya mendengarkan dengan penuh
perhatian. Ia tak mau menukas pembicaraan eyangnya.
"Aku akan bercerita, Nararya" kata resi tua.
"Baik, eyang. Hamba akan mendengarkan dengan sepenuh minat hamba" kata Nararya.
"Sesungguhnya eyangmu ini berlainan garis keturunan dengan kakang Rangga Wuni atau sri
baginda Wisnuwardana. Aku kala itu bernama Mahisa Campaka, putera dari Mahisa Wonga Teleng.
Dan ramaku Mahisa Wonga Teleng itu adalah putera dari eyang Ken Arok dengan eyang putri Ken
Dedes. Sedangkan kakang Rangga Wuni itu adalah putera Anusapa dan Anusapa itu adalah
putera eyang puteri Ken Dedes dengan Tunggul Ametung akuwu Tumapel. Jadi Anusapa itu anak
tiri dari eyang Ken Arok dan tak mempunyai garis keturunan dari eyang Ken Arok"
"Eyang Ken Arok mempunyai lain isteri yani eyang puteri Ken Umang. Dan dari eyang puteri
Ken Timang, eyang Ken Arok mendapat tiga orang putera dan seorang puteri. Di antaranya
yalah Panji Tohjaya. Karena eyang Ken Arok dibunuh oleh Anusapati maka paman Tohjaya
membalas dendam, membunuh Anusapati kemudian menduduki tahta kerajaan Singasari.
"Pada suatu hari kami menghadap pamanda baginda Tohjaya. Tampaknya pamanda baginda
berkenan dalam ha melihat kami. Tetapi entah bagaimana atas hasutan dari mentri Pranaraja,
akhirnya paman baginda marah dan menitahkan senopa Lembu Ampal untuk membunuh kami.
Oleh seorang resi, kami diberitahukan tentang niat buruk itu dan kami dianjurkan supaya ke luar
dari pura bersembunyi. Sejak saat itu aku dan kakang Rangga Wuni mengadakan persekutuan
untuk melawan paman Tohjaya. Dia tega hendak membunuh anak kemanakannya sendiri, mengapa
kami tak tega untuk mengeramannya " Demikian pikiran kami sebagai anak muda yang masih
berdarah panas pada kala itu"
"Entah bagaimana mbullah pikiranku untuk bertapa di makam eyang Ken Arok. Segera
kulaksanakan niatku itu tanpa sepengetahuan kakang Rangga Wuni. Dalam bersemedhi di makam
eyang Ken Arok itu, aku berhasil bertemu dengan suatu bayangan yang bentuknya seper eyang
Ken Arok. Aku segera mengutarakan rencanaku bersekutu dengan kakang Rangga Wuni hendak
memberontak paman Tohjaya, kemudian memohon petunjuk eyang Ken Arok.
"Eyang Ken Arok menghela napas dan mengangguk. Beliau menyatakan bahwa kesemuanya itu
memang sudah kodrat yang digaris oleh Hyang Batara Agung bahwa Tohjaya tak dapat menjadi raja
di Singasari" "Diam-diam aku gembira mendengar petunjuk itu. Lalu kumohon petunjuk pula bagaimana akan
ikatan persekutuanku dengan kakang Rangga Wuni apabila kelak berhasil merebut tahta kerajaan"
"Eyang Ken Arok mengangguk. Beliau mengatakan bahwa kesemuanya itu sudah digariskan
oleh Hyang Batara Agung. Manusia hanya dibenarkan berusaha tetapi tak dikuasakan untuk
memutuskan kodrat. Kemudian eyang Ken Arok bertepuk tangan dan tahu-tahu muncullah
sebatang pohon maja. Kata eyang Ken Arok "Mahisa Gampaka, pohon maja ini hanya berbuah
lima biji. Akan kuberikan kepadamu dan kepada Rangga Wuni. Betapapun halnya, karena
engkau adalah cucu keturunan darahku, maka engkau boleh memetik tiga butir dan yang dua
butir engkau pelikkan untuk Rangga Wuni"
"Akupun segera melakukan titah eyang Ken Arok. Kupetik kelima buah maja itu dan aku
dipersilahkan eyang untuk mengambil dan memilih sendiri bagianku dan menyisihkan dua butir
untuk bagian kakang Rangga Wuni. Kemudian eyang Ken Arok berkata pula "Mahisa Gampaka,
nah, sekarang secara bergilir engkau kupaslah buah maja itu dan cicipilah. Apabila rasanya
pahit, berarti takkan mendapat wahyu yang berupa tahta kerajaan Singasari. Jika manis, itulah
wahyu kerajaan. Nah, sekarang engkau kupas dulu bagianmu"
"Akupun segera melakukan perintah. Tetapi buah maja pertama yang kukupas ternyata pahit
rasanya. Eyang Ken Arok menghela napas. Dalam dan panjang. Kemudian suruh aku mengupas sebu r
maja yang menjadi bagian kakang Rangga Wuni "Manis" seruku ke ka mencicipi daging maja itu.
Dan eyang Ken Arok hanya geleng-geleng kepala "Kodrat dewata tak dapat diungkiri. Ketentuan
Hyang Jagadnata, angger, bahwa untuk keturunan pertama atau masa sekarang ini, Rangga
Wunilah yang akan direstui menjadi raja ...."
Aku tertegun dalam kelelapan rasa hampa. Tiba- ba pula eyang Ken Arok menyuruhku
mengupas lagi buah maja kedua yang menjadi bagianku. Kulakukan perintah itu dan kucicipi
rasanya "Pahit lagi, eyang!"
Eyang Ken Arok memberi isyarat dan akupun lalu mengupas buah maja kedua yang menjadi
bagian milik kakang Wuni. Ternyata manis. Dua buah maja bagianku, pahit semua dan dua biji maja
bagian dari Rangga Wruni manis semua. Karena mengkal, kukupas buah maja ke ga yang menjadi
bagianku itu " Manis, eyang ..."
Eyang Ken Arok mengangguk dan mendengus pe-lahan " Mahisa Campaka, telah menjadi
ketentuan Hyang Batara Agung, bahwa tahta kerajaan Singasari, bukan menjadi bagianmu. Untuk
keturunan yang sekarang dan satu keturunan lagi, Rangga Wunilah yang akan menduduki tahta itu"
Aku hanya menengadah dengan ketulusan iba.
"Tetapi janganlah engkau berkecil hati, Mahisa Campaka" kata eyang Ken Arok pula "karena
Rangga Wuni hanya dapat menikmati tahta kerajaan sampai dua turunan saja. Pada keturunan
yang ketiga nanti, keturunanmulah yang akan menggantikan tahta itu"
Aku hanya memaserahkan segala-galanya kepada ketentuan Hyang Widhi. Demikian resi tua yang
mempunyai bentuk bayangan sebagai Batara Narasingamur itu mengakhiri penuturannya kepada
Nararya. Nararya terkejut, gemetar "Eyang, jadi diri hamba ini ..."
"Nararya, aku tak dapat memberi kepas an apa2. Yang memberi petunjuk itu adalah eyang
buyutmu Ken Arok, maka mohonlah keterangan kepada beliau. Apa yang kuberikan kepadamu tadi,
hanya renungan dalam ciptaku....."
Dikala Nararya sedang mengadakan wawancara dengan bayang2 yang dalam perasaannya
menyerupai seorang resi tua, kemudian resi tua itu mengaku dirinya arwah dari Batara
Narasingamur , maka terjadilah suatu peris wa yang tak terduga-duga dalam candi itu. Seorang
dara can k ba2 berlari-lari memasuki candi. Wajah pucat, napas terengah-engah, rambut kusut
masai dan tubuh gemetar. Noyo dan Doyo yang menjaga di pintu candi terkejut lalu menegur "Siapa engkau ?"
Melihat kedua punakawan tua, dara itu terkesiap dan termangu-mangu "Paman, tolonglah, aku
sedang dikejar oleh gerombolan penjahat" sesaat teringat pula dara itu akan peris wa yang tengah
dialami dan serentak meminta pertolongan.
"Siapa engkau " Mengapa dikejar gerombolan penjahat ?" seru Doyo.
"Aku anak lurah desa Jenangan, akan menghaturkan sesaji ke candi ini tetapi di tengah jalan
telah bertemu gerombolan orang jahat yang hendak menangkap aku"
"O" seru Doyo terrtganga karena kesima melihat kecan kan dara ayu itu "engkau puteri lurah
Jenangan, siapakah namamu roro ayu ?"
Dara itu terbeliak, memandang ke belakang dan berseru pula dengan gugup "Ah. paman,
tolonglah aku. Jangan tanya yang lain2 dulu....."
"Jangan takut, roro" serentak Doyo berseru "bersembunyilah ke dalam candi, bila mereka berani
datang kemari, akulah yang akan menghadapi"
"Terima kasih, paman, engkau sungguh baik" seru dara itu dengan nada yang lembut.
Sebagai seorang punakawan, belum pernah Doyo menerima pujian se nggi itu. Apalagi dari
mulut seorang dara jelita. Seke ka ia gelagapan "Masuklah, aku akan yang menghadapi mereka"
serunya dengan penuh nada bangga.
"Eh, Doyo, jangan engkau membanggakan diri dihadanan roro ayu ini. Apa engkau kira aku tak
dapat melindunginya?" ba- ba Noyo menyelutuk, kemudian berpaling kearah dara itu "Masuklah,
roro biar aku yang menghajar mereka"
Kedua bujang itu lupa bahwa saat itu, momongan mereka sedang bersemedhi dalam candi.
Merekapun lupa bahwa mereka ditugaskan menjaga di pintu agar jangan ada orang yang
menggangu hajat Nararya. Memang ada suatu sifat yang menghinggapi kaum lelaki. Bahwa mereka
sering dirangsang oleh naluri kejantanannya. Terutama apabila berhadapan dengan kaum wanita,
yang can k pula, tentu mbul rasa kejantanannya dan ingin mengunjukkan kepahlawanannya.
Biasanya orang-orang mudalah yang sering dihinggapi oleh sifat-sifat itu. Tetapi tua sekalipun Noyo
dan Doyo itu, namun mereka tetap berha muda juga. Dan lupalah mereka akan tugas yang
dipercayakan oleh bendaranya.
Dara itu hendak melangkah tetapi ba- ba ia berhen puia "Paman berdua, emban pengasuhku
yang mengiring aku kemari telah ditangkap gerombolan orang jahat itu. Tolonglah dia, paman"
"Jangan kua r, roro" serempak kedua punakawan itu berseru, masing-masing membusungkan
dada, menunjukkan sifat keperkasaan.
Dara itu segera melangkah masuk, bersembunyi di-sebuah sudut. Setelah menenangkan napas,
teringatlah ia akan mimpinya "Adakah ini yang terpancar dalam mimpiku itu" Jika demikian, aku
telah salah tafsir" pilarnya. Kemudian iapun teringat akan cerita orang-orang tua, bahwa mimpi itu
harus ditafsirkan dari sudut kebalikannya. Jika dalam mimpi merasa senang atau mendapat sesuatu
benda yang berharga, tandanya akan mendapat kesusahan. Kebalikannya apabila dalam mimpi
menderita kesusahan, misalnya bertemu dengan harimau buaya yang menyeramkan, tandanya
akan bertemu dengan priagung yang berpangkat tinggi.
"Ah, benar" dara itu berkata dalam ha "aku salah menafsirkan ar mimpiku. Kulihat dalam
candi ini tumbuh sekuntum bunga yang memancarkan cahaya gilang gemilang. Kutafsirkan tentu
wahyu atau sesuatu yang luar biasa. Tetapi ternyata aku bertemu dengan gerombolan penjahat
yang hendak menawan diriku. Kepala gerombolan begitu bengis dan menyeramkan, hendak
memper .... memper .... isteri .... aku" dara itu tersipu-sipu merah wajahnya.
"Tetapi jelas kudengar suara sayup-sayup entah dari mana, tetapi kurasa seper dari angkasa.
Suara lembut itu dengan tandas mengatakan "Anak perempuan, ketekunanmu ap malam
menghaturkan sesaji dan mempersembahkan doa, telah didengar dewata. Pergilah ke candi makam
di Wengker. Disitu engkau akan bertemu dengan suatu benda yang luar biasa, sekuntum bunga
wijayakusuma yang suci dan agung. Jika engkau dapat meme knya, kelak engkau tentu akan
menjadi wanita yang nggi derajatmu. Tetapi ha -ha lah, bunga itu amat peka sekali. Se ap bau
manusia, akan melenyapkan bunga itu. Muda-mudahan kehadiranmu itu takkan melenyapkannya.
Dan itu berar pengabdianmu diterima....." dara itu tanpa sadar mengenang pula suara yang
didengarnya dalam mimpi yang anehku. Seumur hidup baru pertama kali itu ia mendapat impian
yang sedemikian gaib. Iapun menceritakan mimpi aneh itu kepada ayahnya, lurah desa Jenangan. Lurah Jeuangan dapat
menanggapi sasmita yang dilimpahkan dewata kepada pulennya "Ambari, rupanya dewata telah
mengabulkan doa permohonanmu, angger. Menurut tafsiranku, kembang wijayakusuma itu hanya
dimiliki oleh Sri Batara Krishna
san Batara Wisnu. Apabila dalam candi itu tumbuh sekuntum
bunga wijayakusuma, berar di situ tentu terdapat seorang insan yang kelak akan menjadi orang
yang berderajat agung"
"Rama, idinkanlah aku ke sana untuk melaksanakan sasmita yang dihmpahkan dewata itu" dara
itu mendesak. Lurah Jenangan menimang. Isterinya sudah sejak lama meninggal dunia dan ia hanya mempunyai
seorang anak perempuan yang diberi nama Mayang Ambari. Nama itu dipilih sesuai dengan impian
isterinya dikala mengandung, telah diberi oleh seorang tua seikat mayang atau bunga pohon
kelapa. Maka setelah lahir dan ternyata bayi perempuan, lurah Jenangan memberi nama Mayang
Ambari. "Tetapi candi Wengker itu cukup jauh, angger, bagaimana rama tega membiarkan engkau pergi
seorang diri" kata lurah Jenangan "seharusnya akulah yang mengantar. Tetapi saat ini desa kita
sedang mengadakan gotong royong membuat bendungan air. Aku sebagai lurah yang memimpin
pekerjaan itu tak dapat meninggalkan pekerjaan begitu saja. Bagaimana kalau nan saja apabila
sudah selesai pembuatan bendungan itu, angger?"
Tetapi dara Mayang Ambari mendesak "Ah, rama, pembuatan bendungan air itu tentu makan
waktu yang lama. Sedangkan jelas dalam sasmita yang kutanggapi dalam impianku itu, supaya aku
segera menuju ke candi Wengker"
Lurah Jenangan menghela napas.
"Tetapi aku berani pergi seorang diri, rama" seru Mayang Ambari pula.
Lurah Jenangan terbeliak "Jangan, Mayang, jangan pprgi sendiri. Engkau seorang puteri, banyak
bahayanya jika pergi seorang diri"
"Tetapi asal aku menurutkan jalan besar, tentu takkan bersua dengan harimau. Bukankah
tempat harimau itu di dalam hu tan, rama?"
Mayang Ambari baru menjelang dewasa. Sifat ke-kanak-kanakannya masih belum lepas. Apalagi
ia puteri tunggal dari lurah Jenangan. Sangat dimanjakan sekali oleh ayahnya. Berat nian ha lurah
itu untuk tak menuru permintaan puterinya, seberat rasa ha nya untuk melepaskannya pergi
seorang diri. Tiba- ba cerahlah wajah lurah itu. Segera ia memanggil seorang pengalasan. Gendrek, demikian
nama pengalasan yang sudah belasan tahun ikut lurah Jenangan, sudah iebih dari gapuluh tahun
umurnya namun belum juga beristeri. Selain buruk rupa, pun Gendrek agak tolol. Tiada seorang
gadis di desa itu yang mau diperisteri. Namun Gendrek seorang bujang yang rajin dan setya
sehingga mendapat kepercayaan penuh dari lurah Jenangan.
Setelah menghadap maka lurah Jenangan menitahkan Gendrek untuk mengawal perjalanan
Mayang Ambari ke Wengker. Di samping itu, nyi Gandik, inang pengasuh Mayang Ambaripun
disuruh ikut serta pula. Demikian pada hari itu Mayang Ambari diiring emban nyi Gandik dan bujang Gendrek segera
berangkat ke Wengker. Pada masa itu jalan masih sepi dan harus melalui hutan. Matahari menjulang di tengah
angkasa, memancarkan sinarnya yang amat terik. Jalan bongkah-bongkah dan berselimutkan
debu debal. Sawahpun kering, sekeliling penjuru alam menampakkan suasana kegersangan.
Rakyat di desa-desa berkeluh kesah mengharapkan hujan yang tak kunjung datang. Musim
kemarau tahun itu lebih panjang dari tahun-tahun yang .lalu. Karena petani-petani tak dapat
mengerjakan sawah, hasil bumi berkurang, bahan panganpun mulai meningkat harganya.
Rakyat desa tiada lain daya kecuali hanya giat mengadakan sesaji kepada dewa-dewa agar
segera diberi hujan. Lurah Jenangan mempunyai pendapat lain. Daripada menghamburkan tenaga dan beaya untuk
mengadakan upacara sesaji, lebih bermanfaat mengajak penduduk desanya untuk bergotong
royong membuat bendungan atau waduk penampung air hujan. Agar kelak di musim kemarau,
mereka tak perlu cemas tanah-tanahnya kering.
Karena tak tahan akan teriknya matahari, Mayang Ambari mengajak kedua pengiringnya untuk
meneduh di bawah pohon yang rindang. Mayang Ambari menyatakan keinginannya untuk meneguk
air yang sejuk. Kerongkongannya terasa kering sekali. Disuruhnya Gendrek mencari air.
Gendrekpun segera melakukan perintah. Ia sendiri juga haus. Namun kemanakah ia harus
mencari sungai, belik, sendang atau pancuran. Namun baginya, se ap perintah dari ki lurah
terutama rara Mayang Ambari, harus dilaksanakan sampai berhasil. Sudah beberapa saat
menerjang ke hutan dan gerumbul, belum juga melihat sumber air.
"Goblok!" tiba-tiba ia berteriak memaki dirinya sendiri lalu lari menghampiri sebatang pohon
asam yang tinggi. Ia memanjat pohon hingga sampai ke puncak. Dari puncak itu ia melepas
pandang ke sekeliling penjuru. Tiba-tiba ia memekik "Itulah .... " Rupanya ia melihat sesuatu
yang diinginkan. Diluap rasa girang, Gendrek mengacungkan kedua tangannya ke atas. Ia lupa
kalau saat itu sedang berdiri di puncak dahan pohon. Karena melonjak, tergelincirlah ia dari
ketinggian puncak pohon, krakk .... untung pakaiannya terkait pada ranting yang lebat sehingga
ia tak sampai jatuh ke tanah. Sekalipun demikian, muka dan tubuhnya babak belur juga. Namun
ia tak menghiraukan. Setelah menuruni pohon ia segera lari menuju ke tempat yang dilihatnya
sebagai sebuah sendang kecil atau kolam yang diairi oleh sebuah saluran air dicelah-celah batu
padas yang terletak di atas.
Sekeliling sendang itu ditumbuhi tanaman alang-alang yang lebat. Karena ada manusia yang
mengusik tempat itu maka alang-alang itu tumbuh subur se nggi orang. Berpuluh-puluh batang
alang-alang yang karena sudah tua, rebah terbenam di dalam air.
Ke ka menyiak gerumbul alang-alang, girang Gendrek bukan kepalang. Sendang itu jernih sekali
airnya. Ke ka hendak terjun, Gendrek terkejut karena melihat sendang itu penuh dengan belut
yang karena melihat kedatangan manusia, mereka serempak menyusup masuk ke dalam liang di
bawah akar gerumbul alang-alang.
Didesanya Gendrek gemar sekali makan belut. Apabila disuruh memeriksa sawan milik lurah
majikannya, tak lupa ia mencari belut yang banyak terdapat di parit-parit sekeliling pematang.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat sendang itu penuh belut, lupalah Gendrek akan tugasnya. Serentak ia menyingsingkan
lengan baju dan mulai menyorongkan kedua tangannya, menyusup ke bawah akar gerumbul alangalang, dimana belut-belut itu bersarang. Ia memang pandai menangkap belut. Dalam waktu yang
tak berapa lama, berhasillah ia menangkap berpuluh ekor belut. Tetapi ke ka ia belum puas
dengan hasil penangkapannya itu dan menyusupkan kedua tangannya ke dalam sebuah liang, ia
menjerit kaget dan menarik tangannya ke luar "Aduh . . . aduh ..." tak hen -hen nya mulut
menjerit kesakitan dan tangan ditepis-tepiskan. Sesaat memeriksa, ia terbeliak kaget. Ternyata dua
buah ujung jarinya telah berlumuran darah. Ternyata kedua jari itu berhias luka macam digigit
binatang. Setelah rasa sakit berkurang, bukan merasa jera karena jarinya terluka, kebalikannya ia bahkan
marah. Mencabut parang, ia segera membabat gerumbul alang-alang yang tumbuh disekeliling
liang. Karena parang tak dapat dimasukkan dalam liang, ia naik ke daratan menebang bambu dan
membuat semacam tombak yang ujungnya diruncingkan. Dengan senjata itu ia terjun lagi ke dalam
sendang lalu menusukkan ujung bambu ke dalam liang. Setelah beberapa saat, ia yakin bahwa
binatang dalam liang itu tentu sudah mati. Maka iapun memasukkan tangannya lagi.
"Aduh ..." tiba-tiba ia menjerit lagi. Bahkan kali ini lebih keras. Ia menarik tangannya tetapi
selekas tangan ke luar, ia menjerit dan melonjak-lonjak "mati aku . . ."
Jari tangan kanan Gendrek digigit oleh binatang yang sepintas pandang menyerupai seekor ular,
tetapi panjangnya hanya setengah lengan, badan berwarna merah merabara. Kencang sekali gigitan
binatang itu sehingga karena sakit dan bingung, Gendrek lari naik ke daratan. Walaupun tolol
tetapi dalam menghadapi bahaya dan rasa sakit yang nyeri itu, memancarlah pikiran Gendrek. Jika
ia menggunakan tangan kiri untuk menarik, kemungkinan sukar ataupun kalau dapat tentulah jari
tangannya akan ikur hilang. Jika menggunakan parang, ia kua r akan membacok jarinya sendiri.
Namun ia tak sempat berpikir lagi karena gigitan itu makin sakit sehingga kepalanya pening mata
berpudar, pikiran mulai gelap. Akhirnya ia kalap dan terus menggigit kepala binatang itu dan
terjadilah gigit menggigit antara seekor binatang yang menyerupai belut-ular dengan seorang
manusia. Binatang itu sesungguhnya seekor belut yang luar biasa. Oleh kawanan belut di sendang itu, dia
dianggap sebagai raja. Tubuhnva yang dua kali lipat dari belut biasa, warnanya yang merah seper
bara dari umurnya yang entah sudah berapa puluh tahun. Baik tanaman ataupun binatang,
diantara suatu jenis tentu kadang muncul satu yang luar biasa. Demikian pula dengan belut raksasa
yang menggigit jari Gendrek. Karena merasa tulang jari hampir patah, dengan penuh kegeraman
Gendrek menggigit leher belut-uiar itu dan rasa kemarahan yang meluap-luap menyebabkan
Gendrek kalap. Bukan melainkan menggigit, pun ia menghisap juga darah belut itu. Pada saat
mencapai puncak ketegangan, pandang mata Gendrek terasa gelap, bumi yang dipijaknya terasa
amblong, benda-benda Jisekeliling terasa berputar-putar, makin lama makin deras dan akhirnya
rubuhlah ia tak kabarkan diri lagi.
Entah berselang berapa lama ke ka membuka mata, Gendrek rasakan semangatnya segar,
bahkan terasa meluap-luap. Badannya terasa panas. Memandang ke samping dilihatnya belut-ular
itu sudah ma karena putus lehernya. Memeriksa jari tangannya ternyata luka bekas gigitan belut
itu kelihatan sudah Jkering darahnya. Ia heran tetapi serentak iapun teringat akan tugasnya. Segera ia menghampiri
sendang dan mengambil kantong kulit, diisi air lalu bergegas kembali.
Cukup lama Mayang Ambari dan emban Gandik menunggu Gendrek "Ah, barangkali dia tersesat
di hutan" keluh Mayang Ambari.
"Mungkin dia diterkam harimau atau jatuh ke jurang" sambut nyi Gandik dengan geram "kalau
hanya tersesat tentulah sudah kembali. Masakan sampai sekian lama. Dari tengah angkasa,
sekarang matahari sudah condong ke barat"
Setelah menunggu pula sampai cukup lama, akhirnya Mayang Ambari segera mengajak emban
pengasuhnya melanjutkan perjalanan lagi "Kalau kita percepat langkah kaki, menjelang petang kita
tentu sudah ba di candi itu" kata Mayang Ambari untuk menghibur dan membangkitkan
semangat emban Gandik dan semangatnya sendiri juga.
Saat itu surya sudah hinggap di puncak gunung dan Mayang Ambari. ba di sebuah jalan
simpang ga. Yang satu menjurus ke selatan dan yang lain ke barat. Tiba- ba ia terkejut
mendengar suara orang berteriak-teriak memanggil namanya. Makin lama makin jelas. Ke ka
berpaling ke belakang dilihatnya Gendreklah yang berlari-lari menghampiri "Roro,
berhenti......berhenti....."
Mayang Ambari dan emban Gandik hentikan langkah. Dengan napas terengah-engah Gendrckpun
tiba "Maafkan, roro.....inilah airnya" ia menyerahkan kantong air kepada Mayang Ambari.
Mereka berhenti di tepi jalan. Ketika hendak minum, dilihatnya airnya agak kotor, ia tak mau
dan memberikan kepada nyi Gandik. Nyi Gandik terus meneguknya.
"Gendrek, mengapa begitu lama sekali engkau mencari air?" tegur Mayang Ambari.
Saat itu Gendrek duduk di atas sebuah batu. Tetapi matanya memandang lekat-lekat pada
Mayang Ambari. Mayang Ambari terkejut. Tak biasanya Gen ......
Halaman 59-60 hilang .... pada ayahnya, yang selama itu menyayang dan patuh pada perintahnya, ba- ba dapat
berobah sifatnya seper serigala. Iapun tak sempat untuk merenungkan, adakah demikian itu
makna dari impiannya. Yang ada dalam pikirannya saat itu hanyalah membawa diri lari sekencang
kemampuan kakinya. Tiba- ba ia melihat sebuah rombongan orang muncul dari ujung jalan di sebelah muka.
Harapannya mbul kembali untuk membangkitkan kedua kakinya yang sudah terasa panas, lunglai
ada bertenaga. Hampir ia hen kan langkah ke ka melihat rombongan itu terdiri dari kawanan
lelaki yang berwajah bengis, muka berlumuran brewok dan janggut lebat, tubuh kekar dan
membawa senjata tajam. Terutama yang menyentakkan rasa kejutnya adalah salah seorang lelaki
yang berbaju merah darah, kumis lebat merimbun seperti semak, biji mata bundar besar memancar
sinar bengis, dada bidang berhias segerumbul rambut, urat pada kedua lengannya melingkarlingkar bagai akar pohon brahmastana.
"Kawanan perampok ?" serentak melintas suatu kilas dugaan dalam benak Mayang Ambari.
Hampir ia berputar tubuh dan lari balik. Tetapi ketika pandang matanya tertumbuk pada
bayangan Gendrek yang tengah berlari-lari di kejauhan, iapun bimbang. Apabila lari balik,
tentulah akan diterkam Gendrek yang sedang dirangsang nafsu setan. Sedangkan apabila ia
melanjutkan perjalanan, tentulah akan berhadapan dengan rombongan lelaki yang bengis itu.
Namun akhirnya ia memutuskan. Dari arah belakang jelas Gendrek itu merupakan bahaya yang
mengancam dirinya, sedang rombongan lelaki di sebelah muka itu belum tentu kalau kawanan
perampok. Mika pilihan telah putus dan ia berputar tubuh ialu lanjutkan lari ke muka.
"Hai. ada peri, kawan" teriak salah seorang dari rombongan lelaki itu manakala Mayang Ambari
tiba di hadapan mereka Peri adalah is lah untuk bangsa jin lelembut perempuan. Demikian kepercayaan mereka.
Keluarnya pada malam hari dalam peragaan sebagai seorang wanita yang amat can k dan
menyiarkan bau harum. Apabila salah seorang lelaki dalam rombongan itu meneriakkan peringatan
demikian kepada kawannya, memang cukup beralasan. Saat itu hari sudah menjelang petang,
jalanan sunyi senyap. Apabila ba- ba muncul seorang dara can k berlari-lari dijalan, dakkah hal
itu cepat akan membangkitkan pikiran orang bahwa dara itu tentu bukan bangsa insan manusia
melainkan seorang peri"
Tetapi lelaki yang berada di sebelah depan dan paling dekat jaraknya dengan Mayang Ambari tak
menghiraukan peringatan kawannya. Ia terpesona melihat kemunculan seorang dara yang can k,
berlari-lari seorang diri "Berhenti, anak perempuan" seru lelaki itu seraya hadangkan lengannya.
Mayang Ambari berhen , memandang lelaki berwajah bengis itu dengan menggigil. Dugaannya
bahwa rombongan lelaki bersenjata itu gerombolan perampok makin mengesan "Siapa engkau ...."
"Jangan takut bocah ayu" kata lelaki bertubuh kekar itu dengan tersenyum lebar "siapa engkau,
dan mengapa engkau berlari-lari di kepetangan hari begini?"
"Aku hendak ke candi Wengker ..." belum selesai Mayang Ambari menerangkan, ba- ba ia
mendengar suara derap langkah orang berlari. Ia berpaling dan gemetar.
"Mengapa engkau ketakutan" Eh, lelaki itu seper hendak mengejarmu" seru lelaki bengis itu
pula seraya' menyongsong pandang ke arah Gendrek yang berlari-lari mendatangi.
"Dia hendak mengejar aku, tolonglah...." Mayang Ambari makin menggigil manakala Gendrek
makin dekat. "Bersembunyilah di belakang, aku yang akan menyelesaikan orang itu" seru lelaki bengis itu lalu
tampil ke muka menyongsong Gendrek "Berhenti" bentaknya Seraya bercekak pinggang.
Gendrek terkejut dan berhenti "Siapa engkau ?"
"Jangan bertanya! Engkau harus menjawab dua pertanyaanku. Mengapa engkau hendak
mengejar dara itu?" hardik lelaki bengis itu pula.
"Dia . . . dia calon isteriku yang melarikan diri. Kembalikanlah dia kepadaku" seru Gendrek.
"Keparat, engkau berani berdusta!" bentak pula lelaki bengis itu "tak mungkin dara secan k itu
menjadi isteri seorang manusia buruk seperti engkau !"
"Benar, ki sanak. Aku tak bohong"
Lelaki bengis itu merentang mata makin raerabe-ngiskan raut muka "Bohong atau tak bohong,
hanya engkau sendiri yang tahu. Tetapi dengarkanlah. Baik dara ayu itu calon isterimu atau bukan,
karena dia sudah jatuh di tangan gerombolanku, maka dia menjadi milikku"
Gendrek terbelalak. Rasa kejut yang mencengkam dirinya telah menebarkan gejolak nafsu
kejantanannya, berhamburan lenyap. Saat itu nafsu-nafsu itu ter ndas dan dari endapan ha
nuraninya, meluaplah kemurnian dari jiwa peribadinya. Serentak ia teringat akan dirinya, akan
tugasnya dan akan perbuatannya yang melanggar susila. Sesalnya mulai mengabut,
menggumpalkan awan, memancarkan kilat- kilat kemarahan "Siapa engkau ?" ia balas menghardik
keras. "Hm, rupanya engkau bernyali juga" seru lelaki bengis tertawa mengejek "hendak kuuji adakah
nyalimu sebesar macan atau sekecil nyali kus. Dengarkanlah, gerombolanku ini adalah anakbuah
dari kakang Singa Barong dan aku sendiri adiknya yang bernama Singa Sarkara. Jika engkau masih
ingin melihat surya esok hari, pergilah. Jangan mengganggu dara ayu itu, dia sudah dimiliki kakang
Singa Barong. Tetapi kalau engkau sudah jemu hidup, majulah"
Gendrek terkejut. Di desa ia pernah mendengar orang bercerita tentang gerombolan perampok
Singa Barong yang paling ditaku rakyat Wengker dan Matahun. Gerombolan itu ganas dan kejam.
Ia membayangkan rara Ambari tentu akan dibawa ke sarang mereka dan dipaksa menjadi isteri
Singa Barong yang terkenal gemar merusak kaum wanita. Makin membayangkan hal itu makin
pecahlah rasa sesal berhamburan menyayat-nyayat ha nya. Rasa sesal dan takut akan dosa,
apabila sudah meluap nggi acapkali akan membobolkan dinding yang melapisi nafsu amarah.
Seke ka mbullah tekad Gendrek untuk menyelamatkan jiwa puteri lurah tuannya. Dalam pandang
matanya, Singa Sarkara yang terkenal buas tak lain hanya seprang lelaki sama seper dirinya. Iapun
merasa memiliki tubuh kekar dan lengan-lengan berotot melingkar seper Singa Sarkara. Bahkan
kalau menilik umur, ia lebih muda dari Singa Sarkara maka iapun harus lebih kuat. Timbulnya
penilaian itu telah membangkitkan semangat dan membesarkan nyali Gendrek.
"Perampok, kembalikan dara itu" serunya dengan mata berkilat-kilat.
Singa Sarkara agak terkejut melihat perobahan wajah Gendrek. Jika tadi tampak ketolol-tololan
dan takut, saat itu menggagah pandang dengan penuh keberanian seorang lelaki
"Keparat, engkau berani melawan aku?" serunya lalu loncat dan menghantam Gendrek. Karena
menerima serangan, Gendrekpun tak mau menyerah. Ia tak menger ilmu kanuragan. Bekalnya
hanya tekad, tekad untuk menebus dosa dan menyelamatkan Mayang Ambari. Dan jiwanya telah
dipertaruhkan. Krakkkk..... Terdengar dua kerat tulang tangan saling beradu keras dan terdengar pula pekik kesakitan dari
mulut Gendrek yang terbungkuk-bungkuk, menyurut mundur. Singa Sarkara tertawa bangga,
melangkah maju ia ayunkan tangan hendak mengakhiri daya perlawanan Gendrek.
Gendrekpun menyadari ancaman itu. Apabila ia tak memberi perlawanan, habislah sudah
riwayatnya. Daiam de k-de k jiwa terancam maut, mbullah kenekadan Gendrek. Ke ka tangan
Singa Sarkara sedang diangkat, Gendrek nekad loncat dan memekik pinggang orang terus dijepit
sekuat-kuatnya. Gendrek memang memiliki tenaga kuat. Apalagi ap hari dia bekerja berat,
mengambil air, menebang kayu dan memandikan kerbau milik lurah Jenangan. Gendrek suka
dengan anak kerbau yang masih kecil. Waktu menurun ke sungai, dipanggulnya anak kerbau itu.
Dan karena rasa sayangnya, sampai besarpun kerbau itu ap hari masih dipanggulnya. Dan hal itu,
tanpa disadari, makin memperkokoh kekuatannya.
Karena tak menduga, Singa Sarkara telah terdahului oleh Gendrek. Belum njunya dilayangkan,
perutnya sudah dicekik Gendrek dan karena hendak membalas tangannya yang sakit tadi maka
Gendrekpun menggigitnya "Aduh ..." Singa Sarkara menjerit dan meronta sekuat-kuatnya. Akibatnya, ia malah jatuh
terjerembab ke belakang ditindih Gendrek.
"Hai, hajar keparat itu !" teriak lelaki berbaju merah bara. Dia adalah Singa Barong, pemimpin
gerombolan perampok yang mengganas ditelatah Wengker dan Matahun.
Tujuh orang anakbuah Singa Barong serentak berhamburan menghajar Gendrek. Tetapi setelah
dapat merubuhkan Singa Sarkara, Gendrekpun terus loncat dan melawan. Karena tak menger ilmu
kanuragan, maka perlawanannyapun hanya secara nekad saja, memukul, menepis, menyikut,
meninju, menyepak bahkan kalau perlu ia menanduk dengan kepala dan menggigit.
Melihat ketujuh anakbuahnya tak mampu meringkus Gendrek, marahlah Singa Barong
"Menyingkir !" Selekas anakbuahnya menyurut mundur, Singa Barong terus melangkah maju dan
ayunkan tinjunya yang sebesar buah kelapa "Sambutlah"
Setelah dikeroyok tujuh orang, tenaga Gendrekpun habis. Namun karena hendak membela
jiwanya, terpaksa ia mengangkat tangan menangkis, krak .... Gendrek membungkuk karena tulang
tangannya patah dan tubuhnya segera melayang seper bola pada saat Singa Barong menyusuli
sebuah tendangan keras maka tenggelamlah Gendrek dalam semak lebat.
"Beres" seru kepala gerombolan Singa Barong "mengapa kamu bertujuh tak mampu
membereskan seekor lalat begitu?" kepala gerombolan itu kerlingkan matanya yang bundar dan
ketujuh anakbuahnya menggigil
Kemudian menghampiri ke tempat Singa Sarkara ia-menyepak tubuh adiknya "Bangun, mengapa
tak malu dilihat anakbuahmu"
Saat itu Singa Sarkara sudah sadar. Sesungguhnya tak mungkin iat pingsan apabila kepalanya tak
terantuk batu keras. Dan ke ka menggeliat bangun ia masih menjerit "Aduh . . . keparat itu
menggigit perutku sampai berdarah!" kemudian dengan pelahan-lahan ia berbangkit memandang
ke sekeliling dan berseru "Mana keparat itu?"
"Carilah dalam semak itu" kata Singa Barong geram tetapi dalam ha sesungguhnya ia merasa
geli melihat adiknya meringis menahan rasa sakit.
Singa Sarkara membersihkan pakaiannya yang kotor, sesaat kemudian ia bertanya ba- ba "Hai,
mana dara ayu tadi?"
Perha an anakbuah Singa Barong memang tertumpah ruah pada Gendrek dan kemudian sampai
lama mengiku pertempuran Singa Barong lawan Gendrek lalu memperha kan keadaan Singa
Sarkara yang pingsan. Cukup lama yang telah menghisap perha an mereka. Pertanyaan Singa
Sarkara telah membangkitkan pikiran mereka akan dara itu
"Hilang ..." seke ka seorang anakbuahnya memekik kaget. Dan segera di susul pula pekik teriakan
dari kawan-kawannya yang lain.
"Kamu keparat semua!" bentak Singa Barong dengan marah sehingga sekalian anakbuahnya
menggigil seperti berhadapan dengan harimau buas.
"Kakang Barong, kemana dara itu?" seru Singa Sarkara.
"Tanyakan kepada mereka yang menjaga anak perempuan itu" sahut Singa Barong geram.
"Kemana?" seru Singa Sarkara berpaling kearah anakbuahnya.
Cempurit, salah seorang anakbuah yang paling bernyali berani segera menjawab "Tadi dara
itu berdiri di belakang kami. Kami tak memperhatikannya lagi karena kami bertempur dengan
lelaki itu. Kemudian kamipun mencurah perhatian mengikuti ki lurah Singa menghajar manusia
itu. Setelah itu kami menghampiri untuk memberi pertolongan ki Sarkara"
"Jadi tidak engkau perhatikan lagi dara itu?" teriak Singa Sarkara.
"Tidak, ki Sarkara, sesaat kami lupa akan dirinya. Dan kami tak menyangka dia berani melarikan
diri" "Hayo, kalian maju satu-satu ke sini" teriak Singa Sarkara seraya mencabut cambuk. Dengan katakata itu ia hendak memerintahkan anakbuahnya maju untuk menerima hukuman cambuk.
Demikian biasanya kalau ia menjatuhkan hukuman kepada anakbuahnya.
Cempurit tampil lebih dulu. Ia merasa bersalah dan iapun merasa memang wajib menerima
hukuman. Di hadapan Singa Sarkara yang menjadi pemimpin kedua, ia tegak berdiri dengan
paserah. "Engkau tahu kesalahanmu?" tegur Singa Sarkara.
"Ya" Cempurit menjawab ringkas.
"Hm, engkau harus menerima hukuman" seru Singa Sarkara seraya mengangkat cambuk. Tetapi
ba- ba Singa Barong membentak "Jangan! Daripada membuang waktu menghukum orang, lebih
baik lekas perintahkan mereka mengejar anak perempuan itu"
Singa Sarkara terkesiap. Memang apa yang dikatakan kakangnya itu tepat. Dan pula ia menyadari
bahwa dirinya tak lepas dari kesalahan karena diban ng Gendrek. Kalau tak sampai terjadi
peristiwa itu, bukankah anakbuahnya masih dapat menjaga dara itu"
"Cempurit" serunya keras "karena kakang Barong memberimu ampun, lekas engkau
menghaturkan terima kasih kepadanya dan segera mengejar anak perempuan itu"
Cempurit menghadap Singa Barong dan memberi sembah terima kasih lalu mengajak kawankawannya mengejar ke selatan. Singa Sarkara dan Singa Barong pun mengikuti dibelakang mereka.
Demikian asal mula seorang dara can k, Mayang Ambari, muncul di candi VVengker dan akhirnya
di suruh bersembunyi dalam candi oleh Noyo dan Doyo.
Setelah beberapa saat berada dalam candi yang gelap itu, akhirnya pandang matanyapun agak
Pendekar Bodoh 3 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Legenda Kematian 7

Cari Blog Ini