Prabarini Karya Putu Praba Darana Bagian 1
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karya : Putu Praba Darana
Sumber DJVU : BBSC
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://
http://dewikz.byethost22.com/
Synopsis : Roman sejarah berlatar Kerajaan Penjalu di masa akhir
pemerintahan Raja Jayabhaya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jayabhaya, raja Kerajaan Penjalu, terkenal adil dan
bijaksana. Rakyat hidup makmur, wilayah kerajaan diperluas
sampai ke Swarnadwipa (Sumatra). Kejayaan sang Raja ketika
mengalahkan Kerajaan Jambi diabadikan dengan indahnya
oleh kepala pendeta istana, Mpu Panuluh, dalam Kakawin
Gatotkaca-craya.
Namun... tak ada gading yang tak retak. Di masa senja
usianya, Jayabhaya takluk tak berdaya di depan Dinar,
brahmani dusun yang cerdas-jelita, yang baru berusia 18
tahun. Dengan paksa diboyongnya gadis itu ke istana,
diangkat menjadi permaisuri, dan dianugerahi nama Prabarini: wanita yang bersinar-sinar.
Sementara itu, di Perguruan Widya Trisnapala, Mpu Sedah
mempelajari kakawin Hariwangsa karya Mpu Panuluh, yang
melukiskan kisah cinta Sri Kresna dengan Dewi Rukmini.
Sebagai brahmana muda yang cerdas, ia bisa membaca apa
yang tersirat di balik kisah itu, yakni bahwa Permaisuri
Prabarini tak lain adalah Dinar, kekasihnya.
Kekuatan cinta mengalahkan akal-budi. Jayabhaya yang
bergelar Madhusudanawata alias titisan Wisnu, dan Mpu
Sedah, brahmana muda yang dihormati rakyat, mengabaikan
segala dan semua... demi memperebutkan Prabarini.
Penerbit PT Gramedia Jl. Palmerah Selatan 22 Lt. IV Jakarta 10270
-ooo0dw0oooo- PRABARINI oleh Putu Praba Darana
GM 401 90.906 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Penerbit PT Gramedia, Jl. Palmerah Selatan 22, Jakarta
10270 Sampul dikerjakan oleh N.B.C. Sukma Diterbitkan
pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia, anggota IKAPI,
Jakarta, Juli 1990
Pernah dimuat sebagai cerita bersambung di harian SURYA,
Surabaya. Perpustakaan Nasional : katalog dalam terbitan (KDT)
DARANA, Putu Praba
Prabarini / oleh Putu Praba Darana. " Jakarta : Gramedia,
1990. 448 bal. ; 18 cm.
ISBN 979-403-906-3.
1. Fiksi Indonesia. I. Judul.
8X0.3 Dicetak oleb Percetakan PT Gramedia, Jakarta
-ooo0dw0ooo- Om Awighnam Astu Namas Siddam...
Semoga segala pikiran baik datang dan menyempurnakan
penyembahanku pada Tuhan, Yang Awal, Khalik, Maha
Pelindung dan... Yang Akhir...
Putu Praba Darana.
-ooo0dw0ooo- Anakku, Betapa jauhnya, melelahkan...
betapa sukarnya, menyakitkan...
melangkahkan kaki, menapaki jalan menuju
sebuah jatidiri di tengah bumi dan manusianya,
serta segala kehendaknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Muak! Tapi biarlah, Nak
sekalipun acapkali tersandung
langkah ini terus menapaki jalanku sendiri
menjadikan diri, seperti adanya aku!
Ya, aku! Bingkisan buat anakku tercinta.
Putu Praba Darana
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
BAB I ADILUWIH Bintang gemintang menghias langit. Bertaburan seolah
jamrud, yang bertebaran di angkasa tanpa dapat dihitung
jumlahnya. Bulan juga mulai merangkak naik di ufuk timur.
Merangkak. Namun dengan pasti melangkahi mega-mega
yang putih dan tipis. Ingin mendapatkan tempat di antara
segala bintang. Bahkan memudarkan cahaya semua bintang.
Beberapa bentar kemudian ia memamerkan senyum
kemenangan yang ceria. Tidak lagi ia pedulikan mendung
putih berkejaran gumpal demi gumpal. Lapis demi lapis. Dan
juga angin yang mendorong awan-awan itu. Kelelawar dan
kalong pun hilir-mudik mencari makanan. Ujung pepohonan
bergoyang karena jamahan angin yang bertiup pelahan.
Geseran bintang-gemintang mengiringi purnama telah
meninggalkan jarak. Benda-benda angkasa itu tak pernah
menghitung berapa panjang jarak yang telah mereka lalui.
Bahkan mereka tidak pernah peduli. Dan esok akan
mengadakan ulangan-ulangan pada yang sama. Muncul di
timur dan tenggelam di. barat. Ya, di depan mereka ada jarak, di belakang mereka juga. Namun mereka tak pernah bosan.
Mengulang dan mengulang. Berselang-seling dengan mentari.
Mengabdikan diri, memberikan penerangan bagi manusia yang
menghuni bumi. Itu berbeda dengan nasib manusia. Apa yang terjadi
kemarin tak akan terulang pada esok. Semua yang terlewati
tinggal menjadi ingatan yang bernama kenangan. Dan antara
manusia dengan kenangan itu dipisahkan oleh waktu atau
masa. Sungguh itu merupakan jarak pemisah yang tiada
mungkin diatasi oleh siapa pun. Karena memang waktu adalah
kekuasaan dewa perkasa yang bernama Hyang Maha Kala.
Hyang Bathara Kala. Tak seorang jua yang dapat berdaulat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terhadap Bathara Kala. Dewa itu pula yang mendorong roda
usia manusia dan bumi. Bahkan zaman. Ia punya kuasa yang
tidak terbantahkan. Dan ada orang yang berkata bahwa siapa
yang mengalahkan Kala maka dia mampu menggenggam
bumi dengan segala isinya. Bahkan menggenggam kehidupan.
Ia mungkin akan menjadi salah seorang yang menatap hidup
dengan semua masalahnya sambil menyunggingkan senyum
di bibir. Demikian pula saat itu, bulan memancarkan sinar emasnya
di atas desa Adiluwih. Menyinari padi-padi di sawah, kelapa atau palawija di ladang-ladang. Juga menyinari kali yang
mengalir berkelok-kelok di tepian desa Adiluwih itu.
Pendek kata menyinari semua-mua. Tak terkecuali alunalun di seberang halaman 'Perguruan Tinggi Widya Trisnapala, yang dipimpin oleh seorang mahaguru, Mpu Brahma Dewa.
Sebagaimana biasa tepat saat purnama bulan Sriwana (antara
bulan Juli dan pertengahan Agustus), pada tahun ajaran
kelima perguruan tinggi ini selalu mewisudha para brahmana
yang dinyatakan lulus.
Kali ini Sedah memperoleh kehormatan diwi-sudha sebagai
seorang rsi dengan nilai terbaik di antara tiga belas rsi yang dinyatakan lulus saat ini. Seperti Perguruan Tinggi Nandala di Sriwijaya, Perguruan Tinggi Widya Trisnapala ini pun,
memberlakukan peraturan yang ketat, termasuk memberikan
gelar cuma lima tahun sekali. Bahkan setiap kali ujian
dilaksanakan terakhir semacam itu, Brahma Dewa selalu
mendatangkan guru-guru besar dari luar negeri, seperti dari Jambu-dwipa, Swarnadwipa, dan juga China, sekalipun selalu
di bawah pengawasan pandita istana Penjalu, "ifang Tersuci
Mpu Panuluh. Itu sebabnya, salah satu syarat untuk lulus dari perguruan tinggi itu harus menguasai bahasa Sansekerta.
Menurut para guru besar Widya Trisnapala, hampir semua
pengetahuan ditulis dalam Sansekerta.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Persyaratan yang berat untuk lulus dari Widya Trisnapala
itu menyebabkan banyak brahmana yang tidak lulus ujian.
Dan karena itu mereka harus menunggu lima tahun lagi.
Cukup lama, tapi itulah peraturan yang berlaku. Maka semua
harus menerima apa yang sudah berlaku bertahun-tahun. Ada
yang tidak terima, tapi tidak berani menyatakan
ketidakterimaannya sebagai suatu pendapat. Karena tiap
perguruan tinggi yang sudah punya nama seperti itu, tidak
akan menggubris semua pendapat, yang dianggap dapat
mengurangi citranya.
Api unggun telah dinyalakan di tengah alun-alun. Menjilat
meraih langit, menyaput hawa dingin di malam purnama itu.
Saat itu para siswa yang duduk di bangku awal, atau mereka
yang belum ikut ujian, ataupun mereka" yang mengulang
karena tidak lulus, sudah berjajar rapi mengitari api unggun dalam jarak beberapa puluh depa. Kehangatan menyentuh
tubuh mereka. Beberapa bentar kemudian terdengar giringgiring dibunyikan. Mantera diucapkan oleh beberapa
brahmani, yang juga siswa Widya Trisnapala, mengiringi
langkah wisudhawan keluar dari barak persiapan. Berbaris
rapi, di belakang seorang gadis pembawa pataka (bendera
yang berjumbai-jumbai pada pinggir-pinggirnya) Gadis yang
telanjang dada dengan rambut terurai. Berbalut kain sutera
kuning sebagai penutup bahagian bawah tubuhnya. Pataka itu
juga berwarna kuning dengan gambar Ganesya di tengahnya.
Pelahan sekali langkah mereka. Serasi kaki mereka waktu
menapak bumi. Seandainya tidak ada barisan pembawa obor
yang mengapit mereka, tentulah barisan itu tak ubahnya
barisan siput yang pulang ke persembunyian setelah
memangsa dedaunan di ladang petani. Namun wajah mereka
menatap mantap ke arah altar yang-disediakan di dekat api
unggun. Mata mereka seolah mampu menembus keremangan
malam. Dan membelah masa depan. Hanya mereka yang
tahu, sebab beberapa bentar kemudian suara gamelan
menenggelamkan semua perhatian atas mereka. Wajah-wajah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang ceria seperti wajah para dewa itu sementara terhilang
dari pandang. Hanyut dalam kejut. Apalagi disusul nyanyian
melengking tinggi. Semua giring-giring berbunyi berbareng.
Menyambut hadirnya sang wisudhawan. Beberapa bentar lagi,
tepuk tangan meriah seperti tumpukan batu bata yang rubuh
bila didengar dari kejauhan. Namun wisudhawan tetap tenang
menyungging senyum di bibir. Dengan jubah biru tua yang
berselempang kain sutera kuning emas mereka nampak
anggun. Rambut mereka terurai tanpa dipotong ataupun
dikondai, menunjukkan bahwa Perguruan Tinggi Widya
Trisnapala tidak terikat oleh peraturan kerajaan yangx
melarang semua lelaki mengurai rambutnya seperti laiknya
brahmana Ciwa. Di altar Mpu Brahma Dewa tampak berdiri dengan tenang.
Jubahnya kuning dengan kalung emas bermedali bergambar
parasyu (gambar kapak lambang ketajaman pikiran yang
dipegang oleh tangan kiri belakang Ganesya, yang
digambarkan punya empat tangan) yang terbuat dari emas
sebesar telapak tangan. Tangan kirinya memegang tasbih
aksmala (lambang keberanian sebagai irama dalam hidup)
seperti lambang Ga-nesya. Agak ke belakang, di bahagian kiri altar yang tinggi itu, duduk Mpu Panuluh, sebagai peninjau
dan wakil kerajaan untuk mengakui keabsahan wisudha itu.
Sedang di sebelah kanan, juga agak ke belakang, berdiri fylpu Dharmajapa yang memegang tongkat bergiring-giring dengan
gambar cakra pada ujungnya. Sedang di bawah altar, di
sebelah kanan, ada panggung kehormatan yang
diperuntukkan bagi para undangan. Mereka adalah guru-guru
besar dari berbagai perguruan tinggi, baik dari dalam negeri maupun dari manca negara. Inilah keunggulan Perguruan
Tinggi Widya Trisnapala dibanding perguruan tinggi mana pun di seluruh kekuasaan Kerajaan Penjalu.
Sering kali Mpu Panuluh minta laporan, berapa biaya yang
dikeluarkan setiap kali mengundang guru besar dari manca
negara macam itu" Toh di Daha (Daha adalah ibukota
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kerajaan Penjalu) banyak guru yang terpilih dalam Dewan
Cerdik Pandai kerajaan. Tentunya mereka mampu menjadikan
murid Widya Trisnapala brahmana yang jempolan. Tapi pihak
Widya Trisnapala tetap tidak mau minta bantuan kerajaan
untuk banyak hal., untuk biaya maupun pengajar.
Semua tetabuhan dan bunyi lengkingan nyanyian berhenti
ketika para wisudhawan sudah berjajar lurus di depan altar.
Suasana menjadi amat tenang. Cuma gemertak kayu yang
terbakar dalam api unggun raksasa itu saja yang terdengar.
Secara serempak tanpa ada yang memerintah atau memberi
aba-aba, semua tertunduk dalam doa. Bahkan memasuki
nirwikana (kesatuan antara Brahman (Tuhan) dan Atman
(jiwa)). Beberapa bentar hanyut dalam nirwikana itu. Itulah tingkah kaum brahmana setiap kali akan memulai sesuatu
yang dianggap suci, atau melakukan pekerjaan yang dianggap
penting. Tiba-tiba Mpu Dharmajapa membunyikan giring-giring di
tangannya sambil mengangkat tongkat tinggi-tinggi. Setelah
semua orang mendongak, seorang brahmana yang bertindak
sebagai pemimpin acara memohon Mpu Panuluh agar berdoa
untuk seluruh wisudhawan. Maka yang dimaksud maju dan
mengangkat kedua tangannya sambil mengucapkan mantra.
"Om awighnam astu..." dan seterusnya, kemudian ditutup dengan, "Aum santih santih santih!" (Oh Tuhan, damai, damai, damai bagi semuanya!)
Semua orang mengikuti dengan khidmat. Sementara para
wisudhawan mengikutinya dengan hati berdebar. Diri seolah
terayun-ayun antara dua dunia: kegembiraan dan tanggung
jawab. Gembira meraih gelar, tapi menyadari tanggung jawab
besar mengabdi pada kemanusiaan menanti. Tanggung jawab
dari seorang yang berpengetahuan untuk menyingkap rahasia
alam yang mengundang berjuta tanya. Bahkan lebih dari itu,
tugas brahmana pula menguak tabir kezaliman yang selalu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
disembunyikan oleh sementara orang yang meraih
keberuntungannya dari kejahatan.
Panuluh kembali ke tempatnya setelah selesai mendoakan
para wisudhawan. Giring-giring kembali dibunyikan sebelum
pemimpin acara menyebutkan bahwa acara wisudha dimulai.
Dan satu demi satu mereka dipanggil menghadap ke altar.
Mpu Brahma Dewa mengalungkan medali emas bergambar
bunga teratai ke leher mereka yang terpanggil Sebagai tanda bahwa orang tersebut resmi menjadi brahmana yang telah
meraih gelar kebrahmanaannya melewati ujian berat setelah
belajar bertahun-tahun. Bukan sekadar dikarenakan darah
yang mengalir dalam tubuh mereka, tapi telah mereka
lengkapi dengan pengetahuan.
"Brahmana tanpa pengetahuan adalah penjahat!" begitu antara lain amanat Mpu Brahma Dewa kala mereka pertama
kali menginjakkan kaki ke bale pracabaan (ruangan khusus
untuk memberikan kuliah umum) Widya Trisnapala. Ucapan
itu mereka ingat terus. Sebagai cambuk dalam menuntut ilmu.
Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita bisa melihat, sekarang banyak brahmana yang tidak menyumbangkan pengetahuannya demi kemanusiaan. Tapi di
atas gelar brahmana itu, seorang yang paling dungu sekali
pun, mengaku berhak menerima persembahan. Harta dan
kalau mungkin wanita cantik! Ini juga barangkali termasuk
salah satu tanda akhir zaman," sambung Brahma Dewa lebih tandas.
Lamunan para wisudhawan dan undangan punah ketika
pengacara berkata dengan keras,
"Mohon perhatian! Yang kami panggil sebentar lagi adalah mereka yang harus menghadap Yang Suci Brahma Dewa dan
Yang Tersuci Mpu Panuluh untuk mendapat pengesahan atas
keberhasilannya dalam ujian. Nah, yang mendapat
penghormatan pertama adalah..." berhenti sebentar.
Wisudhawan berdebar. Muka mereka agak memerah. Keluarga
atau istri atau barangkali tunangan mereka yang kala itu juga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diundang dan duduk di bangku kehormatan pun ikut berdebar.
Kendati sudah pasti. Ya, sudah pasti menerima gelar...
"Pi-nang-kil!" Suara pemimpin acara memanggil dengan tekanan yang khusus. "Yang Suci Pinangkil!" lebih keras dari semula. Dan tepuk tangan pun menggemuruh.
Pinangkil maju pelahan-lahan. Sesekali ia melirik ke arah
bangku kehormatan. Istrinya duduk bersama ayah-ibu dan
mertuanya. Dan entah berapa kali ia membetulkan letak
lengan jubahnya yang sebenarnya tidak salah itu. Bahkan
secara tidak sadar sambil berjalan ia juga sering mengelus
kumis yang sudah dirapikan sejak tadi. Sampai di hadapan
kedua mpu itu ia menyembah. Sementara itu seorang gadis
yang berwajah gilang-gemilang, bermata bundar dan berkain
sutera merah, bertelanjang dada, namun pada dada kirinya
tersampir selendang sutera putih, maju mendekat Mpu
Brahma Dewa dengan mempersembahkan sebuah talam
tempat medali serta kalungnya. Pinangkil menyembah. Maju
lagi beberapa langkah. Mpu Brahma Dewa mengambil kalung
dan medali di atas talam emas. Kemilau diterpa sinar
rembulan. Sebentar kemudian kalung serta medali emas itu
berpindah tempat. Di leher Rsi Pinangkil. Menyembah lagi.
Kemudian dipersilakan berdiri di sebelah kanan altar.
Para gadis berbisik-bisik. Tidak tahu apa yang mereka
bicarakan. Barangkali saja mereka tidak -tahu bahwa Pinangkil sudah beristri. Dan tanpa menunggu bisikan-bisikan itu
lenyap, pemimpin acara sudah memanggil lagi, "De-wa-bra-ta... Rsi Dewabrata!"
Dan kejadian seperti tadi hampir sama terulang. Namun
Dewabrata bukan seorang tinggi besar. Perawakannya sedang
dan kumisnya kecil melintang. Gerakannya lincah.
"Ja-ti-mur-ti! Rsi Jatimurti!"
Seorang berkulit hitam, rambutnya keriting dan giginya
agak menonjol ke depan, maju di bawah tepuk-tangan riuh. Ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak punya saudara di Kediri, sehingga tak perlu melirik ke bangku kehormatan. Namun kesan para pengunjung ia
nampak selalu riang. Barangkali juga karena giginya itu.
"Sing-da-bra-da"Ka-la-mar-cun-da! Dari Swarnadwipa. Rsi Singdabrada Kalamarcunda!?"
Meskipun disebutkan dari Swarnadwipa, rupanya orang ini
keturunan dari Negeri Jambudwipa;'
Hidungnya mancung. Brewoknya amat lebat. Gagah sekali
dalam jubahnya yang biru tua itu. Senyumnya menawan.
Memamerkan gigi yang rapi. Rupanya ia rajin menggosoknya
dengan arang, kendati di sela-selanya masih nampak bekas
kinang. Merah. Rambutnya ikal disanggul di atas kepala,
namun kulitnya sawomatang.
"Si-da-ra-ga! Rsi Sidaraga!"
"Mar-ma-de-wa! Rsi Marmadewa!"
Terus. Nama demi nama dipanggil. Dan kemudian mereka
berderet di kanan altar. Sedah berdebar menanti namanya
dipanggil. Makin sedikit jumlah yang menemaninya berbaris,
makin keras debar jantungnya. Dan... rupanya ia yang terakhir dipanggil. Seribu rasa menyatu. Karena perhatian semua
orang kini tertumpah padanya. Ia tidak berani melirik pada
ayahnya yang datang dari lereng barat Gunung Kawi itu.
Namun ia menenangkan hatinya. Ia berusaha meluruskan
pandang ke altar. Ah, kenapa kini yang memegang nampan
adalah Dinar" Seorang gadis berambut hitam pekat dan
disanggul tepat di atas kepalanya, seperti sebuah mahkota.
Selendang sutera buatan Kediri sendiri, tersampir di bahunya, menutup susu kanannya. Sedang susu kiri dibiarkan terbuka
seolah ingin memamerkan kulit yang mulus berwarna kuning
langsat. Putik susunya punya warna lain dari gumpalan daging yang menyangganya. Merah jambu bercampur sedikit coklat
yang dikuasai kuning. Suatu pertanda bahwa belum a la bayi
yang mengisapnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Untaian kalung mutiara yang menghias leher jenjang
bergaris-garis menyerupai leher ular menunjukkan bahwa ia
anak orang kaya. Belum lagi pending emas yang menghias
pinggang di bawah pusarnya. Pinggang seperti pinggang
tawon. Hati Sedah kian berguncang kala langkahnya sudah
mendekati altar. Mata Dinar seolah bintang timur yang setia meneranginya. Ia segera membuang pandang ke arah Mpu
Brahma Dewa agar tak terganggu. Nanti saja setelah selesai
acara wisudha ini ia akan mendatangi Dinar secara pribadi. Di bawah empat mata ia akan melamarnya. Sebelum gadis
idaman setiap pria yang belajar di perguruan Tinggi Widya
Trisnapala ini makin dekat dengan altar, ia melirik sedikit. Ah, bibir Dinar yang tipis dan mungil berbentuk seperti busur, dan berwarna seperti kulit manggis yang merekah itu nampak
tersenyum tipis. Seolah ikut gembira. Ya, ikut merayakan
keberhasilan Sedah. I}an setelah Sedah menyembah seperti
halnya wisudhawan lainnya gemerisik kain sutera pembungkus
tubuh bagian bawah Dinar mengiringi langkah yang bergesa.
Sedah menunduk. Matanya yang biasanya tajam itu seolah
kehilangan keberanian untuk menatap apa yang ada di
depannya. Wajahnya sedikit memerah. Jauh, di bangku
kehormatan beberapa gadis berbisik-bisik, membicarakan
pemuda yang berbadan semampai agak jangkung itu.
"Kau pernah melihat Hyang Kamajaya?" tanya seorang gadis pada temannya.
"Belum."
"Itulah dia..."
"Kau" Jatuh hati rupanya" Apa dia mau" Pipimu tembem
seperti apem begini," celoteh temannya.
"Huh, kamu! Seperti yang paling cantik saja!" Cemberut.
Di rombongan lain beberapa orang yang sudah berumur
juga ikut memperbincangkannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Andai ia mau, ingin aku mengambilnya jadi menantu.
Tampan sekaligus pintar. Sungguh anak kekasih dewata," kata seorang brahmana pada istrinya.
"Jangan mengandai-andai, Kanda. Sepantasnyalah ia
beristrikan seorang bidadari."
"Itu menyalahi kodrat, Istrinda. Mana ada brahmana
beristrikaivfcidadari. Brahmana harus beristrikan brahmani."
"Sang Mintaraga beristrikan Supraba (Mintaraga dan
Supraba adalah tokoh dalam kakawin Arjuna Wiwaha, di mana
Arjuna sebagai Miraaraga bertapa dan mengalahkan musuh
para dewa sehingga dihadiahi Dewi Supraba). Apa salahnya"
Hyang Maha Dewa sendiri sering menghadiahkan bidadari
pada manusia. Lihat, Dewi Tari yang dihadiahkan pada
Rahwana." "Ah...."
Perkataan itu terputus karena pemimpin acara
mengumumkan: "Kita semua dimohon berdiri. Untuk
menghormati wisudhawan ini. Karena selain Rsi Sedah lulus
tanpa cela, seluruh penguji telah bersepakat untuk
memberinya nilai terbaik."
Tepuk tangan gemuruh menyambut ucapan itu. Sedah
tersenyum. Setumpuk kebahagiaan tersusun dalam hatinya.
Kekaguman terpancar dari pandangan mata para undangan.
Bahkan Brahma Dewa sendiri tampak amat bangga. Sebab
telah sepuluh tahun belakangan ini tidak ada siswa Widya
Trisnapala yang dinyatakan meraih nilai terbaik. Sungguh yang dicapai oleh Sedah itu adalah hasil yang luar biasa. Dan itu yang menyebabkan Dewan Penguji bersepakat untuk
menobatkan Sedah menjadi Maha Rsi. Semua geleng kepala
atas kecemerlangan ingatan yang dianugerahkan oleh Hyang
Maha Dewa pada Sedah.
Tapi apakah semua orang akan jujur menerima kekalahan
mereka" Segala hal memiliki berbagai sisi. Candala Raka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menampilkan sisi lain dari kebanyakan orang yang hadir di
Adiluwih itu. "Betapa akan pongahnya anak itu," katanya sambil
mendekatkan mulutnya ke telinga Detya Butha Wreku. Dan
yang belakangan terpaksa menunduk karena memang
tubuhnya yang tinggi besar.
"Aku tidak melihatnya, Kawan. Memang ingatannya luar
biasa tajamnya, seperti kapak parasyu. Mengapa kita harus
iri?" "Bukan iri. Tapi -ipakah dia tidak menyuap para guru besar itu, sehingga ia mampu menjawab semua pertanyaan?"
"Jauhkanlah tuduhan macam itu dari hatimu, Candala Raka.
Banyak pertanyaan yang tidak terjawab oleh kita pada saat
ujian berhasil dijawab oleh Sedah. Juga pertanyaan yang
semestinya diperuntukkan orang lain, Sedah mampu
menjawab dengan lugas. Hati-hatilah dengan sikapmu, sebab
kita ini adalah brahmana. Ingat, seorang berpengetahuan
tinggi yang tak mampu menguasai benih kejahatan yang
tersimpan dalam hatinya akan segera menjelma menjadi
penjahat yang paling keji dan kotor!"
Candala Raka nampak menghela napas panjang. Ia dan
Detya Butha Wreku termasuk sekian orang yang tidak lulus.
Namun Bhuta Wreku ini sanggup menerima kenyataan dan
akan mengulang lima tahun lagi. Padahal orang ini datang dari Jambudwipa. Mengapa ia tak merasa rugi waktu"
Lamunannya dihentikan oleh suara tetabuhan. Juga giringgiring. Kemudian pengacara meminta semua orang berdiri,
untuk menghormati hari bahagia yang diterima oleh Sedah
dan Perguruan Tinggi Widya Trisnapala. Tetabuhan berhenti.
Sebagai gantinya adalah tepuk tangan semua orang. Dinar
yang mengantarkan talam berusaha mencuri pandang ke arah
Sedah. Namun di hadapan Mpu Panuluh dan Brahma Dewa,
Sedah tidak berani melakukan hal yang sama. Setelah itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sedah diperkenankan berdiri bersama kawan-kawannya yang
lulus dan mendapat gelar Rsi. Kendati ia sendiri mendapat
gelar Maha Rsi.
Kemudian semua undangan dipersilakan duduk kembali.
Saat selanjutnya adalah mendengar amanat dan pesan Dang
Hyang Mpu Brahma Dewa (Dang Hyang dimaksudkan sebagai
gelar guru besar). Sebenarnyalah pesan itu ditujukan untuk
mereka yang akan meninggalkan Widya Trisnapala. Semua
mata tertuju ke altar. Juga semua telinga diarahkan untuk
mendengarkan suara Mpu Brahma Dewa. Tidak kurang-kurang
orang yang menganggap kata-katanya sama seperti ucapan
dewata. Karena Mpu Brahma Dewa memang seorang
pendiam. "Dunia sedang dilanda ketidak-pastian, ketidakadilan...,"
begitu antara lain sebagian amanat dang hyang itu. "Karena itu brahmana bertugas untuk menjadi pemecah persoalan.
Bukan sebaliknya, menjadi penyebab persoalan. Pengetahuan
untuk mengabdi pada kemanusiaan. Bukan sebaliknya,
menginjak-injak manusia dan kemanusiaan," tandas brahmana itu. Diam sebentar dan sambil senyum ia menebarkan
pandang pada semua-semua.
"Sekali lagi aku mengingatkan pada para brahmana!
Mengabdi kemanusiaan adalah seindah-indahnya panggilan
hidup. Tugas kemanusiaan bukan cuma tugas para tabib.
Membuat orang mengerti akan keadaannya, akan hakikat
hidupnya, akan haknya sebagai manusia, dan tugasnya
sebagai manusia. Dan, yang lebih dari semua itu, membuat
orang menemukan kembali jatidirinya adalah tugas
kemanusiaan. Termasuk di dalamnya memperjuangkan
kebebasan bagi mereka yang teraniaya di bawah kuk
pengisapan manusia sejenisnya.
Semua orang saling pandang. Terkesiap hati Sedah yang
amat memperhatikan ucapan dang hyang yang amat
dikaguminya itu. Demikian pula para murid yang lain.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Pesan yang terakhir sebelum para Yang Suci terjun ke
tengah samodra kehidupan yang maha luas ini, ialah, jangan
lupa belajar dan selalu mengadakan pengamatan atas
kehidupan."
Selanjutnya Brahma Dewa turun setelah lebih dahulu
mengucapkan serentetan doa. "Aum santih, santih, santih..."
Dan semua orang berdiri. Untuk kemudian berhamburan
mengelilingi api unggun, kelompok demi-kelompok menemui
keluarga masing-masing. Dan mereka menari serta menyanyi
bersama mengucap syukur atas anugerah yang diberikan
Hyang Maha Dewa hari ini.
Beriung-riung mereka melompat dan menyanyi serta
menari sambil bergandengan tangan. Sedah mendekati
ayahnya. Walau hati mengajaknya mendekati Dinar yang saat
ini melompat-lompat bagai kijang betina menari sendiri. Ia
dengar jelas suara Dinar memuji Hyang Maha Dewa, "Hing Kling! Hing Kling! Narakam Kira Asma..."
Namun Sedah bersama ayahnya terlebih dahulu. Keduanya
tak henti-hentinya memuji kebesaran Hyang Maha Dewa atas
anugerah yang diterima oleh Sedah. Sambil melompat-lompat
mengitari api unggun, Sedah kemudian bertanya pada
ayahnya, "Bapa lihat gadis itu?"
"Kalau tidak salah ia keponakan Mpu Brahma Dewa?"
"Benar."
"Kenapa?"
"Bapa izinkan hamba melamarnya."
"Hyang Bathara! Kau?"
"Ya. Kami sering berbincang-bincang. Asal Bapa
mengizinkan saja. Aku lakukan sekarang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lakukan, Anakku! Aku berdoa untukmu." Orang tua itu melepas anaknya untuk mendekati gadis yang memang
menurut penilaiannya sukar dicari tandingannya itu. Sekalipun di kalangan ksatria di kota-kota besar yang pernah ia
kunjungi, tak pernah ia bersua yang seperti itu. Sambil masih melompat dan berdoa, ia tidak melihat justru saat itu Candala Raka yang sejak tadi memperhatikan Dinar juga mencoba
mendekati gadis itu.
Candala Raka memang penasaran. Setiap kali ia mendekati,
gadis itu selalu menyibukkan diri. Kalau tidak sedang belajar atau membaca lontar ya... mengerjakan pekerjaan lainnya.
Tidak pernah memberi kesempatan berbincang lama. Pernah
memang keduanya berjalan seiring waktu kebetulan ada
santiaji (santapan rohani) siswa dari semua tingkat di bale pracabaan. Tapi belum sempat bicara panjang teman-teman
putri Dinar pada berdatangan dan ikut berjalan seiring.
Betapapun hatinya hancur, namun jika melihat senyum Dinar,
lumatlah sudah semua penyesalan yang diakibatkan oleh
kegagalan dalam ujian. Saat matanya mengawasi gadis itu
sambil mendekatinya, seseorang telah menyentuhnya.
Terkejut. Derya Butha Wreku memandangnya sambil tertawa tanpa
suara. "Berdosa kau! Berdoa mengucap syukur pada Hyang Maha
Dewa sambil melamunkan seorang gadis."
"Ah, kau..."
"Itu rupanya yang membuat kau sengaja tidak menjawab
pertanyaan dengan sempurna. Ingin berlama-lama di
Adiluwih. Menunggu si dia agar bisa lulus bersama-sama."
Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Butha Wreku memamerkan giginya yang besar-besar dan
dilapisi warna kekuning-kuningan. Rupanya ia kurang
memanfaatkan arang atau bubukan batu bata sebagai
penggosok giginya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendadak muka Candala Raka menjadi merah. Menahan
gelombang dalam dadanya. Ia rasa temannya ini mengejek.
Ingin Candala Raka mematahkan batang leher pemuda tinggi
besar berkulit hitam dan berperut gendut ini. Namun demi
melirik jari-jemari kawannya yang sebesar-besar buah pisang kluthuk itu, hatinya menjadi ngeri. Andaikata saja Butha
Wreku ini membalas dan meremas tubuhnya, tentu tulangtulangnya akan remuk. Ah, tak seharusnya ia menjadi siswa di tempat ini. Untuk selamanya dia tidak akan lulus, gumam
Candala dalam hati. Kepalanya sedungu kerbau. Sepatutnya ia jadi budak pengangkut pasir di sungai____ Namun segera ia
tersenyum. Tersenyum untuk menutupi kepahitan dalam
hatinya. "Tahu saja..."
"Kenapa tidak" Semua orang mengimpikan jadi
pendampingnya. Semua ingin memetik kembang yang begitu
molek." "Termasuk kau?"
"Para guru besar pun. Ya. Para dang hyang pun."
"Ah?" Candala menatap wajah temannya dengan sungguh-sungguh. "Kau mengigau barangkali?"
"Aku bilang para dewa sekali pun." Butha Wreku
menegaskan sambil menghapus air liur sialan yang merembes
pelahan di sudut kedua belah bibirnya. Kemudian melanjutkan lagi.
"Kau tidak perhatikan Dang Hyang Chen Yu Ming dari
daratan China itu" Semalam dia mengigau, memanggilmanggil nama Dinar."
"Gila kau! Kenapa sekarang tidak mendekatinya?"
"Guru besar kan tidak seperti kita. Masa iya ada guru besar yang berani merendahkan martabatnya sendiri dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mendekati gadis impian pada saat berdoa seperti ini" Kaupikir mereka itu buaya?"
Candala Raka tidak bertanya lagi. Kemudian mencoba
meninggalkan temannya untuk bergesa mendekati sang gadis.
Namun____ "Drubiksa!" ia mengumpat tanpa dapat menahan.
Wreku terkejut, dan menoleh mencari Dinar. Gadis itu
ternyata sudah dalam gandengan tangan Sedah. Ia tahu
persis Candala Raka benar-benar terbakar. Anak muda ini
perlu ditolong, pikirnya. Jika tidak, bisa memalukan Widya
Trisnapala. Perguruan tinggi yang namanya punya arti tempat belajar yang tanpa membeda-bedakan, jadi satu perguruan
tinggi yang menghargai persamaan dan persaudaraan. Ia
segera berjaga-jaga. Mata Candala Raka menyala.
"Ke mana kau?" tegurnya kala Candala telah kehilangan pertimbangan.
"Kubunuh anak it.u!"
"Membunuh?"
Candala meronta. Namun tangannya telah digenggam oleh
tangan Butha Wreku yang perkasa. Bahkan kini Wreku
mengangkat-angkat tubuhnya seolah mempermainkan
boneka. Begitu pintarnya, sehingga orang lain mengira
keduanya sedang menari bersama.
"Kelakuanmu seperti para darmana (sebutan untuk budakbudak penarik perahu yang mengangkut pasir atau barangbarang dagangan dari hilir Sungai Brantas atau Kali Kanta,
mudik ke Daha atau Tumapel) saja. Atau barangkali para
darmana tidak pernah melakukannya. Ayam jantan yang
bertarung sampai mati memperebutkan betinanya.'
"Kau dibayar berapa oleh Sedah, sehingga kaulindungi dia seperti ini?" Candala melotot.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Rupanya drubiksa telah menginap dalam kepalamu!"
Detya Butha Wreku agak kasar. "Ingat kita ini brahmana!
Brahmana!"
Nafas Candala tersengal-sengal.
"Aku melakukan ini karena mengasihimu. Mengasihi semua orang. Jodohnya belum tentu di tangan Sedah. Tapi kali ini
Sedah berkesempatan untuk menari bersamanya. Jangan iri!
Jangan pula cemburu!"
Gigi Candala gemertak. Menahan marah. Tapi di-tangan
Butha Wreku yang perkasa itu, ia tak berani berbuat apa pun.
Kini ia melihat Sedah dan Dinar melompat-lompat, menarinari. Menyanyi bersama. Dua pasang kijang muda.
Menggemaskan. Dan memang saat itu hati Dinar berbunga oleh
kegembiraan. Tak semua gadis dapat bergandengan tangan
dengan pemuda terpandai di seluruh kerajaan ini. Bahkan
mendapat pengakuan dari Perguruan Tinggi Nalanda dari
Jambudwipa yang dinyatakan oleh kepala perutusannya,
Agraha Devapati.
"Betapa akan bangga wanita yang telah melahirkan Yang
Suci jika mendengar anugerah ini," kata Dinar pada Sedah dalam bisik.
Sedah tersenyum. Tak tahu bagaimana harus menjawab.
Masih belum mampu menguasai diri, dari ayunan sang rasa.
Tidak mengira bahwa akan begitu mudah Dinar menerima
tangannya kala ia mengulurkan tangan untuk mengajaknya
bergandengan. Sedah mengajak Dinar untuK; berdoa bersama
terlebih dahulu. Kemudian saling bertukar pantun bersahutsahutan dalam tembang.
Sedah: Anak macan di kandang sapi
Sapi benggali dari Gunung Kawi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Banyak macam anak mudi
Tapi aku cuma menari dengan yang satu ini.
Dinar: Anak macan di kandang kuda
Kuda jantan dari Kediri
Banyak macam anak muda
Aku tetap akan pilih sang Maha Rsi.
Memerah wajah Sedah mendengar itu. Keringat membasahi
tubuh keduanya. Kehangatan api unggun menambah indahnya
malam. Sedah: Di sana ada gunung yang bernama Kelut
Di bawahnya mengalir sebuah kali
Sudah lama rasa bingung dan kalut
Mencari tahu di mana bisa melabuhkan hati
Berdesir hati Dinar mendengarnya. Namun segera ia
menjawab dengan lincahnya:
Kembang mekar menanti kupu
Dalam putik tersedia madu
Hati muda terayun dalam sipu
Jika dipetik dara pun mau....
Sebongkah kegembiraan muncul di kalbu Sedah. Gadis
idaman para dewa itu menerima cintanya. Tanpa sadar ia
meremas tangan dalam genggamannya itu. Kehangatan bukan
cuma dikarenakan api unggun. Keduanya tidak menyadari
entah dari mana lagi datangnya. Namun yang jelas
kehangatan makin membuat keduanya seolah mendidih.
Manik-manik keringat bermunculan di dahi mereka. Dan tanpa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berjanji, dalam pandang mereka saling meremas. Kaki mereka
seolah tidak pernah merasa lelah. Menari mengikuti irama
gamelan. Irama hati juga.
Sedah kini benar-benar menyadari apa yang tertera dalam
lambang Ganesya. Bahwa keberanian merupakan irama dalam
hidup. Orang yang tidak memiliki keberanian sebenarnya telah kehilangan irama dalam hidupnya. Di manakah keindahan
suara gamelan tanpa iramanya" Demikian pula halnya hidup.
Ia percaya bahwa tidak mungkin dapat memadu hati dalam
janji jika ia tidak berani menyatakan cintanya pada Dinar.
Kebahagiaan juga membutuhkan keberanian.
Tanpa terasa titik-titik embun pun mulai turun. Bathara
Kala dengan pelahan telah menggelindingkan waktu. Dan pagi
pun mulai mengintip. Pelahan. Pelahan sekali, api unggun ikut surut. Pemimpin acara tidak lagi memerintahkan pawang api
menambah kayu, yang kebetulan sekali memang sudah habis
dari persediaannya. Jilatannya sudah tidak seperkasa kemarin sore. Tak juga seperti tadi malam. Makin lama makin pendek.
Tidak lagi mencakar langit. Juga kehangatannya. Makin susut.
Sebagai gantinya udara sejuk turun pelahan-lahan.
Titik-titik hitam kecil, mungkin abu yang terangkat naik
waktu api menjilat angkasa, kini mulai ikut turun bersama
embun. Jatuh pada tubuh-tubuh yang masih menari,
menabuh, atau pohon-pohon, daun-daun dan atap-atap
rumah serta rerumputan. Tapi semua tak mengacuhkannya.
Asyik. Makin asyik. Sampai api unggun benar-benar pudar dan genta besar di gerbang Widya Trisnapala berbunyi dengan
keras. Bertalu-talu. Memberi tanda bahwa upacara usai. Dan
semua harus berhenti untuk kembali ke barak masing-masing.
Sebahagian harus kembali ke wismanya. Tak terkecuali Sedah
dan Dinar. Harus berhenti.
Ayah Sedah masih menunggu di kejauhan. Hatinya ikut
gembira. Anaknya masih saja berdiri berhadap-hadapan
dengan gadis yang dia impikan. Yang dalam lontar-lontar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
suratnya anak itu selalu menceritakan tentang keramahan,
tentang senyum, tentang matanya yang seperti bintang
kejora. Pendek kata dalam tiap suratnya tidak pernah terlewat satu atau dua kalimat untuk menceritakan gadis itu dengan
segala kelebihannya. Sebagai orang-tua yang bijak, tentulah ia sudah tanggap bahwa anaknya jatuh hati pada Dinar.
Dan menurut pendapatnya Sedah tidak berlebihan. Ia lihat
Dinar benar-benar gadis yang sukar dicari bandingnya.
Matanya menyiratkan bahwa anak itu amat cerdas. Memang
seorang brahmani yang luar biasa. Ia membayangkan betapa
akan bahagia anaknya kelak jika mampu mempersunting gadis
itu. "Api sudah memudar, namun arang yang menggunung itu
masih merah membara. Begitulah hati ini, Kanda. Kehangatan
yang Kanda berikan malam ini akan tetap membara." Dinar berbisik. Tangannya masih dalam genggaman Sedah. Dan
memang pemuda itu tak ingin melepaskannya lagi. Kendati
orang-orang sudah mulai meninggalkan tempat itu. Satu-satu.
Sampai akhirnya habis.
"Api unggun ini boleh padam. Upacara boleh usai. Tapi
kasihku yang berawal dari sekarang, hanya akan berakhir bila kematian telah menjemputku."
"Kanda..." Dinar tak dapat menahan hatinya. Tanpa memperhatikan sekelilingnya, ia menjatuhkan kepalanya ke
dada Sedah. Dan untuk pertama kalinya, Sedah
memberanikan diri membelai kepala Dinar. Membelai
rambutnya. "Bisakah aku percaya?" Dinar berdebar.
"Mari kita menghadap ayahandaku. Setelahnya menghadap
Mpu Brahma Dewa dan ayahandamu, supaya mereka semua
menyaksikan, dan merestui cinta kita ini."
"Hyang Dewa Ratu! Kita lebih dahulu ke pura."
Keduanya berlari-lari kecil menuju pura, yang ada di
tengah-tengah perkampungan barak para siswa. Mereka tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mempedulikan lagi semua orang melihat ke arah mereka.
Bergandengan tangan. Seolah tidak mau berpisah lagi.
Berulang Candala Raka yang mengintip dari sela rumpun
bambu kuning di dekat baraknya mengerutkan gigi. Menahan
hati yang panas. Sementara itu ayah Sedah mengikuti dari
kejauhan sambil geleng-geleng kepala. Ia tidak berani masuk pura. Takut mengganggu kedua muda-mudi yang tentunya
sedang masuk dalam alam darana (alam konsentrasi pada
waktu bersemadi: memusatkan perhatiannya pada satu titik,
Hyang Maha Dewa, jagad dan pramudita) untuk bersua
dengan Hyang Maha Kuasa. Hyang Maha Dewa!
0oo0dw0ooo0 Mentari sudah sejak tadi merekah menguak kabut. Para
petani Adiluwih sibuk membajak sawahnya, sejak keremangan
masih menguasai jagad. Sedang anak-anak kecil mengikuti
alur bajak yang ditinggalkan oleh kerbau itu sambil bergurau dengan saudara-saudaranya, sebab dari bongkahan tanah
yang terbalik karena bajak itu sering muncul jangkrik atau
gangsir yang kemudian pada berenang di air yang segera
mengisi alur itu. Berebutlah anak-anak itu sambil berbagi
tawa. Sementara orangtua mereka mengendalikan bajak
sambil berkidung dalam berbagai tembang. Menghibur diri
atau menghibur sang kerbau" Sama-sama.
Sementara itu di beberapa sudut petak sawah ada
beberapa orang yang mencangkul mempersiapkan
persemaian. Beberapa bentar kemudian para wanitanya
datang sambil membawa bakul. Luar biasa kebahagiaan yang
tersirat dalam kehidupan mereka itu. Sedah tersenyum ketika mengamati.
"Kenapa Kanda tiba-tiba tersenyum?" Dinar yang sedang di sebelahnya bertanya.
"Adinda, sepatutnyalah kita menghadapi hidup dan semua permasalahannya ini dengan senyum. Lihatah!" Ia menunjuk para petani yang sedang beriung-riung dalam makan pagi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bersama. "Mereka itu! Kendati sudra papa, sedang membajak pun bibir mereka berkidung. Nah, siapa bilang sudra tidak bisa berbahagia?"
"Ya, lihat Kanda, suami-istri dan anak-anak! Berbagi suka dan duka. Sama-sama tertawa. Tapi juga sama-sama
berlepotan lumpur." Dinar setuju. Tanpa sadar ia pun
mempererat pelukannya atas lengan Sedah.
Dan kaki mereka terus melangkah lamban. Seolah takut
bumi yang mereka injak akan merekah dan menelan mereka
ke dalam perut bumi.
"Bisakah nanti kita seperti mereka?"
"Mengapa tidak?" Sedah menjawab tangkas. "Kesamaan pandangan dan kesamaan kepentingan telah membuat
mereka berbagi secara adil semua suka dan duka."
"Bukankah cinta yang membuatnya, Kanda?"
"Cinta" Sebahagian memang benar,-Adinda. Tapi cinta saja tidak dapat menjadi dasar dalam menata kehidupan. Suatu
persekutuan dapat terjalin terus jika pandangan hidup dan
kepentingannya terjaga dalam kesamaan."
"Hyang Dewa Ratu!" Dinar menyebut dalam kekaguman. Ia belum pernah menerima pelajaran semacam itu. Kendati dari
ayahnya ataupun pamannya, Mpu Brahma Dewa. Dari mana
Sedah memperoleh pengetahuan semacam ini"
Tanpa sadar mereka sudah mengelilingi Adilu-wih. Banyak
orang menyapa kedua brahmana muda itu dengan ramah.
Sementara kedua orang-tua mereka saling beramah-tamah
dan berunding dengan disaksikan oleh Mpu Brahma Dewa.
Dan kesepakatan pun telah tercapai. Karena Sedah dan Dinar
sudah berjanji kala keduanya berhadapan dengan Hyang
Maha Dewa di pura, sebagai orang yang disebut brahmana
maka mereka peka dan tidak mungkin menghalangi kehendak
keduanya. Cuma Sedah masih akan pulang ke lereng Gunung
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kawi terlebih dahulu. Ia telah berjanji pada teman ayahnya
bahwa ia akan membantu pembangunan pertapaan dan
perguruan di Panawijen.
"Barangkali kita akan berpisah selama dua tahun." Sedah menghela napas panjang. "Kau mau bersabar" Sementara kau masih perlu menambah pengetahuan di sini?"
"Aku akan bisa tamat nanti lima tahun mendatang." Dinar memandang wajah kekasihnya.
"Setelah dua tahun aku akan datang dan menunggui kau di sini."
"Benarkah itu" Ah...." Tanpa sadar Dinar meraih leher Sedah untuk mendekatkan mukanya. Dan kesempatan itu tak
disia-siakan oleh Sedah. Ia pun menundukkan kepalanya
dan... kedua wajah berpadu dalam ciuman. Sama-sama baru
pertama kali melakukannya. Sama-sama tak dapat menahan
gejolak jiwa. Juga tak mampu menguasai debar jantung
masing-masing. Kanda... Adinda... Akibatnya mereka tak menyadari bahwa sejak tadi langkah
Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka diikuti oleh Candala Raka dari kejauhan. Dan betapa
panas hati Candala ketika melihat kemesraan yang sedang
berlangsung di hadapannya. Kendati dari kejauhan. .Ketika
Sedah menyudahi ciumannya dan mengamati sekelilingnya,
buru-buru ia menyelinap ke dalam semak. Dan ternyata
pasangan itu membalikkan tubuh untuk kemudian berjalan
kembali ke perguruan. Pendek-pendek langkah mereka.
Terpaksa Candala merapatkan diri ke tanah dengan tanpa
gerak kala Sedah dan Dinar melewatinya. Lama sekali
rasanya. Karena ia menunggu sampai beberapa jarak.
Mau tak mau ia harus menahan rasa gatal dan panas yang
disebabkan oleh gigitan semut merah. Ah, sial. Kebetulan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sarang semut. Dan ketika ia berdiri sambil membersihkan
pakaiannya... minta ampun... keluhnya. Dagu dan dadanya
penuh lumpur yang berwarna coklat. Setelah diciumnya... tahi kerbau! Candala buru-buru berlari-lari kecil ke sungai. Ia
mandi tanpa lebih dulu melepas jubahnya. Tentu bukan
kebiasaan, brahmana mandi bersama-sama anak-anak yang
sedang memandikan kerbau. Apa boleh buat. Mereka toh
cuma anak-anak kecil yang tidak mungkin menceritakan
aibnya ini pada teman-temannya di barak. Akibatnya ia tidak akan berani segera pulang sebelum jubahnya kering kembali.
Dan ia mencari tempat sepi untuk kemudian menjemur
jubahnya setelah mandi. Sungguh aniaya tersendiri____
Dan itu pula yang menjadi salah satu sebab, kenapa
Candala tidak ada waktu Sedah berpamitan pada seluruh
rekannya di perguruan, bahwa ia akan ke Gunung Kawi
selama dua tahun. Sementara itu beberapa teman lainnya
yang telah lulus, sudah lebih dahulu meninggalkan Widya
Trisnapala. Walau memang ada beberapa yang masih tinggal
untuk menyelesaikan beberapa masalah. Misalnya, karena ada
di antara mereka yang sudah terlanjur menikah dengan
perawan Adiluwih dan punya anak sebelum tamat belajar.
Tentu memakan waktu untuk meninggalkan Adiluwih dengan
membawa serta anak dan istri mereka.
Yang terakhir Sedah dengan ayahnya berpamitan kepada
calon mertuanya. Entah apa sebabnya, maka Mpu Dewaprana
beserta istrinya merasa berat ditinggalkan oleh Sedah. Seolah Sedah adalah bahagian dari hidup mereka. Apalagi melihat
wajah anaknya, Dinar, yang bermendung.
Rasanya mereka ingin menahan Sedah di Adiluwih saja,
supaya keduanya segera membangun bahtera rumah tangga.
"Ampunkan hamba, Yang Suci...," Sedah menyembah
sambil tetap berdiri. "Bukan hamba akan melukai hati. Tapi apalah artinya hidup ini, jika tidak dapat mempersembahkan
yang kita miliki pada kehidupan" Mengabdi pada kemanusiaan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
adalah panggilan suci dan mulia. Karena itu, perkenankan
hamba menepati janti terlebih dahulu pada orang Panawijen."
"Jika soalnya mengabdikan diri, maka di sini pun bisa. Tapi soal janji, itu yang tak mungkin kita ingkari." Dewaprana mengangguk-angguk. "Nah, Dinar... jangan kau bersedih lagi.
Ia tentu tidak akan ingkar, bukan?"
"Mana ada brahmana menipu," ibunya ikut menghibur.
Semua jadi tertawa mendengar itu. Dinar juga. Kemudian
mendekati Sedah. Tanpa malu ia memeluk pemuda itu, seraya
katanya, "Seolah dalam mimpi. Atau memang benar-benar mimpi?"
"Aku tak tahu bagaimana menjawabnya, Adinda. Tapi yang pernah terjadi antara kita sebenarnyalah bukan cuma mimpi.
Walau seperti mimpi. Memang banyak orang yang
menyamakan hidup sebagai kenyataan dan mimpi." Sedah
diam sebentar sambil membetulkan rambut Dinar yang terurai
karena ditiup angin.
"Tapi kita harus mengakui bahwa hidup memang sering
dihiasi oleh mimpi-mimpi indah dan dihantui oleh mimpi-mimpi buruk. Namun manusia memilih yang pertama sebagai ladang
perburuan. Karena memang begitu indahnya impian itu. Dan
itu sebabnya jika impian itu berhenti, kita ingin
memperpanjangnya. Seakan kita mampu memperpanjang
impian itu."
"Apakah kita tak kuasa?"
"Jika kekuasaan yang demikian itu ada di tangan manusia, maka tak perlu ada Hyang Maha Dewa Wasesa Jagad
Pramudita!"
"Kanda..." .
"Dua tahun tidak lama jika kita dapat membunuhnya.
Membunuh kesepian dalam alunan rindu dengan belajar untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menambah pengetahuan kita. Ingat-ingat! Hyang Maha Dewa
mengajar pada kita, bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu
yang ajaib. Begitu ajaibnya, sehingga dalam keseakanan ia
tinggal di tempat yang amat tinggi, yang sukar untuk kita
capai." "Hyang Dewa Ratu!"
"Nah, selamat tinggal, Adinda. Selamat tinggal, Bapa..."
Sedah dan ayahnya membalikkan badan. Namun kepalanya
masih menoleh ke belakang. Dinar melambai dan melambai...
0ooo0dw0ooo0 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
BAB II SANGKAR EMAS Lebih dari tiga bulan Dinar hampir tidak bisa sama sekali
berpisah dari bayang-bayang Sedah.
Sungguh menakjubkan cara anak muda itu hadir dalam
hidup Dinar, demikian antara lain yang dipikirkan Dinar.
Tahun-tahun ajaran pertama ia kenal Sedah tidak ada setetes pun perkiraan, bahwa pemuda itu akan hadir dalam hidupnya.
Dan tidak seperti kebanyakan pemuda, Sedah memang
mendahulukan pelajaran - dari wanita idamannya. Dengan
pandai ia menyimpan rapat-rapat gejolak hatinya. Baru setelah selesai dan berhasil mencapai gelar Maha Rsi ia menyatakan
cintanya. Entah berapa lama Dinar mulai memperhatikan pemuda
yang menjadi buah bibir para sebayanya maupun kakakkakak, serta angkatan yang sebaya dengan adik-adiknya. Atau barangkali saja semua wanita yang pernah bersua dengan
pemuda itu. Semula Dinar merasa tak ada keistimewaan pada
Sedah. Bukankah siswa dari Jambudwipa lebih gagah dan
tampan dibanding dia" Dan ia tahu persis bahwa di antara
siswa-siswa dari Jambu-dwipa atau Swarnadwipa dan mungkin
juga dari China ada yang mencoba-coba mendekatinya.
Macam-macamlah tingkah mereka. Ada yang memberi hadiah
permata dan barang-barang keramik dari China. Misalnya saja Tan Kiat Mung, yang pernah memberinya hadiah setelah
beberapa lama berkenalan dengannya.
"Ibuku mengirimnya dari negeri leluhur. Nah, apa gunanya aku menyimpan barang ini" Mungkin lebih cocok jika
menghiasi lehermu." Pemuda itu bercakap dalam Sansekerta.
Dinar memang tak kuasa menolak. Namun ternyata barang
itu tak mampu membuka hati Dinar lebih lanjut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tak kurang dari Butha Wreku yang pemalu itu," pernah
pula memberinya hadiah kain mori dan sutera halus bikinan
Jambudwipa. Kain-kain itu bernasib sama dengan permata
serta tembikar keramik dari China itu. Di mata mereka Dinar seolah jinak-jinak belut. Betapa pun jinaknya, jika sudah di lumpur belut, akan sulit ditangkap.. Kendati tangan
penangkapnya kadang sudah penuh berlepotan lumpur.
Perawakan Sedah cuma ramping saja. Bahkan seolah
keberatan menyangga kepala yang berambut tebal dan ikal
itu. Kulitnya memang kuning, agak lebih banyak putih
kemerah-merahan. Telinganya agak sedikit lebar. Alisnya
memang tebal berbentuk golok, dengan warna hitam pekat
seperti rambutnya. Mukanya lebih tidak mempunyai daya tarik lagi sebenarnya. Andaikan pipinya tidak sedikit montok, tentu akan tampak rahangnya yang ngungkal gerung (rahangnya
kaku dan sedikit menonjol, sehingga wajahnya hampir nampak
persegi), membuat wajahnya tidak bulat telur seperti wajah
Dinar. Senyum Sedah memang agak menawan dengan bibir
yang tipis, bahkan sedikit mungil hampir seperti bibir seorang wanita. Tapi bila tertawa akan tampak susunan gigi yang
kurang rapi. Karena pada bahagian atasnya taring kirikanannya lancip seperti taring anjing. Sedang sebelah taring kanan, giginya agak melesek ke dalam. Gingsul (salah satu
giginya tumbuh agak menjorok ke dalam)
Dinar tak percaya bahwa wajah yang demikian ini mampu
merontokkan iman para wanita. Apa yang membuatnya
menarik" tanya Dinar dalam hati. Barangkali saja mereka itu berlebihan membicarakan Sedah. Tapi setelah ia
mendekatinya, ia tahu, bahwa mata pemuda itulah yang
membuat banyak wanita terguncang imannya. Ia sendiri
merasa copot jantungnya tersedot mata Sedah yang tajam itu.
Mata yang seolah mampu menggeledah semua yang berada
dalam tubuhnya. Hidungnya juga tidak terlalu mancung,
namun tentu tidak bisa dikatakan pesek. Ditambah
pengetahuan serta gaya Sedah bicara yang semuanya kini tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bisa hilang dari ingatan Dinar. Sampai-sampai setiap kali ia keluar dari balai pracabaan, tentu menjadi bahan gurauan
teman-teman gadisnya, karena ia sering menjawab keliru jika ditanya oleh para dang hyang.
"Melamun, ya" Ah, anak manis sekarang banyak melamun.
Dulu tidak sudi. Sekarang setengah mati," Malawati meledek.
Memerah wajah Dinar mendengar itu. Tapi ia tersenyum.
Memang murah senyum. Lesung pipit menghias pipi montok
seperti pipi bayi.
"Dinar yang cari-cari penyakit. Dia coba-coba, akhirnya...?"
yang lain lagi juga nyeletuk.
Tapi Dinar tidak sakit hati. Karena memang benar kata-kata
temannya itu. Dulu ia menganggap bahwa benteng hatinya
cukup kuat. Dan bahkan mungkin saja Sedah yang akan
tergila-gila. "Hatimu tidak di sini kendati kau ada di sini," Malawati meneruskan gurauannya.
"Ada-ada saja. Kau pikir hatiku bisa copot dari tempatnya"
Seperti apa saja..."
"Hatimu telah terbawa pergi oleh Maha Rsi Sedah."
Semua cekikikan dalam tawa. Untung memang, Dinar
seorang periang. Tapi bila ia sedang sendiri, maka semua
tembang dalam senandungnya hanya untuk Sedah. Ya, Sedah!
Bayangan kala menari bersama, berdoa bersama, dan... kala
pertama saling berciuman. Semua akan bermunculan kala
sedang terjebak dalam kesendirian. Jika sudah demikian,
manusia sering membiarkan dirinya hanyut dalam
ketidaksadaran untuk berandai-andai.
Andai aku seekor burung gelatik
Ingin terbang mengejarnya
hinggap di pundaknya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masuk sangkarnya
sangkarnya! Tapi dia rajawali
Yang lepas, terbang.... Tinggi menguak awan.
Dinar terkejut sendiri tanpa sadar waktu sudah berada di
peraduannya malam itu. Rajawali" ia mengulang sloka terakhir dari syair yang dibuatnya sendiri sebagai kidung pujian bagi kekasihnya, Sedah. Rajawali adalah seekor burung yang tak
suka beriung-riung dengan teman-temannya, melainkan suka
pada kehidupan di angkasa bebas yang keras. Dan memang
itu salah satu milik Sedah yang membuatnya kagum.
"Aku ingin segera menamatkan pelajaran di sini. Ingin
selekasnya bebas dari keharusan-keharusan yang diberikan
oleh para dang hyang," kata Sedah kala pertama kali mereka saling berkenalan.
"Kenapa" Bukankah dalam hidup memang banyak
keharusan?"
"Keharusan membuat kita jadi semacam siput. Mudah lisut karena takut. Aku ingin mengerjakan apa yang aku suka.
Bukan yang diharuskan oleh orang lain."
Dari percakapan itu Dinar menilai bahwa anak muda itu
ingin menerjunkan diri dalam kebebasan. Dan tentunya
barangsiapa mendambakan kebebasan ia juga tidak suka
melanggar kebebasan orang lain.
"Tak ada orang yang suka melaksanakan keharusan bisa
menjadi pribadi yang besar. Tidak! Sebab ia tak pernah
menciptakan sesuatu dari pendapatnya sendiri. Apa
bahagianya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Walau keharusan yang diberikan oleh orang-tua sendiri?"
"Ada masanya orangtua memberikan keharus-ankeharusan. Tapi, pada akhirnya orangtua harus merelakan
anaknya terbang ke angkasa kehidupan."
"Hyang Dewa Ratu! Bagaimana dengan kebersamaan"
Hidup memerlukan kebersamaan. Karena pada dasarnya kita
tidak terlahir dari belahan batu." Dinar gemas.
Tapi Sedah tersenyum dan amat tenang. Menghela napas
sebentar kemudian menoleh ke angkasa. Beberapa jenak.
Dinar melihat juga ke angkasa. Seekor elang berputar-putar di angkasa.
"Rombongan burung pipit dan gelatik tak pernah terbang setinggi itu." Tangan Sedah diangkat lurus ke atas. Dan telunjuknya menuding burung yang sedang berputar-putar di
langit biru. "Kebersamaan kadang-kadang sangat diperlukan. Tapi
untuk bisa meraih cita-cita yang tinggi, rajawali harus terbang sendiri. Sendiri! Ia tak pernah menggubris kebersamaan,
sebab kadang justru kebersamaan itu membuat impian indah
jadi ambruk sama sekali," tegas Sedah.
"Hyang Dewa Ratu! Jika demikian manusia tak perlu kawin-mengawin, karena tak diperlukan lagi kebersamaan."
"Perkawinan adalah salah satu tugas mulia yang berisikan tanggung-jawab." Sedah ini menatap wajah Dinar. Mata gadis itu tampak berkilau-kilau memantulkan sinar mentari.
"Tugas mulia untuk mengisi keseimbangan dalam
kehidupan. Dewata telah memberikannya sebagai kodrat.
Karena itu tak banyak orang yang dapat mengesampingkan
perkawinan dalam hidupnya. Jadi perkawinan diperlukan
untuk menjaga keberlangsungan dan perputaran hidup dan
kehidupan."
"Cuma itu?" Dinar berusaha mendesak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sedah diam. Dahan bergoyang menahan Tiupan angin. Daun gemersik.
Rerumputan menari di bawah mentari. Tapi mentari itu berlari.
Kian jauh. Jauh. Dan makin jauh. Mengabur. Kini Dinar
tergagap. Ia mendapati dirinya tersengal di sisi
pembaringannya. Sutera putih alas tidurnya awut-awutan. Aku tidak tidur, gumamnya dalam hati. Ia menarik napas panjang.
Memati-diri untuk masuk alam semadi. Ia ingin melepas diri
dari bayang-bayang Sedah. Ya, harus! Tapi tidak bisa. Tiap
kali menutup mata, tiap sloka kidung yang ditembangkan
Sedah mengiang di telinganya.
Semadi yang pada hakikatnya mematikan segala ingatan,
segala keinginan, segala kegiatan dan gerakan justru saat
manusia masih hidup. Itu sebabnya disebut memati-diri atau
istilah yang lebih lazim adalah pati-raga. Usaha itu pun gagal.
Sebab seolah angin yang masuk melalui lubang hidung atau
pori-pori kecil, tubuhnya juga mendengungkan: Sedah! Sedah!
Sedah! Tanpa sadar Dinar melelehkan air mata. Tapi sebagai
seorang brahmani ia segera sadar. Ia hapus air mata yang
melaju lamban di kedua belah pipinya yang halus itu. Suara
seseorang berdehem di luar biliknya. Ia cepat-cepat
mengambil lontar kosong. Diambilnya pula alat penulis. Ia
tidak boleh menyimpan apa saja yang menggumpal di
dadanya. Tulisnya:
Memang sudah lapuk, sudah banyak dilalui orang tapi...
Aku serasa berayun meniti pelangi
di antara gumpalan awan kelabu.
Batas! Dan jangkarnya telah bersauh
senyum bertepikan aniaya
Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sang rajawali terbang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melintas awan-awan.
Hati resah dalam tanya
Bila ku menapaki jalan-jalanmu"
Mendaki menguak langit
menjangkau cintaku...
Dengan berakhirnya tulisan itu, Dinar mengatupkan mata.
Tertelungkup menahan kantuk. Ayam jantan berkokok.
Menjemput fajar.
Berbeda dengan teman-teman lainnya, Candala Raka
merasa bahwa dengan seringnya Dinar pergi menyendiri,
adalah kesempatan yang termanis untuk mendekati hati anak
itu. Iai yakin bahwa cinta akan bisa dibangun dengan
seringnya mereka saling bersua dan saling menghibur.
Bukankah kebiasaan memudahkan segala-gala" Maka ia perlu
merebut hati Dinar yang sudah ditinggal oleh Sedah itu.
Mula-mula ia tidak membicarakan masalah cinta. Tidak.
Candala Raka bukan brahmana jika tidak cerdik.
"Kok berjalan-jalan sendiri?" pancingnya suatu hari ketika dengan sengaja ia menjumpai Dinar yang sedang berjalan-jalan di sela-sela pohon murbei di perkebunan milik Perguruan Tinggi Widya Trisnapala.
Agak terkejut Dinar mendengar sapa Candala. Pemuda
gagah yang sering mendekatinya sejak saat sebelum Sedah
meninggalkan Adiluwih. Ia diberitahu oleh beberapa teman
putrinya bahwa pemuda itu bahkan sering membayangbayangi-nya. Namun ia memaksakan diri tersenyum sambil
memutar tubuhnya untuk berbalik ke arah perguruan tinggi.
"Ya. Cari angin."
"Boleh aku menemani jalan-jalan?"
"Boleh. Tapi aku sudah lelah. Dan aku akan kembali."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Candala sedikit kecewa. Tapi disembunyikannya. Dadanya
terguncang melihat deretan mutiara kecil yang berjajar rapi di sela bibir Dinar. Tak jemu-jemu rasanya ia memandangi wajah yang serasi antara kulit dan bentuk muka yang bulat telur itu.
Makin mendebarkan karena Dinar baru saja berkinang,
sehingga bibir itu berwarna sedikit merah. Tipis. Setipis bibir itu sendiri.
"Kok sering memisahkan diri dari teman-teman" Ada
kesulitan yang perlu dibantu" Atau cuma ingin
memperhatikan..."
"Tidak ada masalah apa pun." Dinar menjawab dengan tangkas dan lincah. Hatinya mengajak kaki bergesa. Namun ia heran kenapa langkahnya seolah menjadi makin pendek-pendek. Candala Raka memberanikan diri mejajarinya. "Aku cuma ingin memanjakan hati dalam mengagumi Hyang Maha
Dewa. Luar biasa! Ulat-ulat menjelma menjadi kain yang indah dan halus."
"Bukankah itu menunjukkan daya cipta manusia yang
mendorong budaya menjadi begitu tingginya" Dan karena itu
kita yang tak mampu mencipta dan ?hanya menjiplak orangorang China dalam menjadikan ulat itu kain yang halus dan
kita beri nama sutera, maka kita mengatakan bahwa itu
anugerah Hyang Maha Dewa."
"Hyang Maha Dewa Ratu! Betapa benarnya pendapat itu.
Tapi sayang, yang Suci tidak menyertakan penyelidikan dari
mana ulat terlahir* Dari mana manusia memiliki bahagian
tubuh yang bernama kepala. Dan dari kepala itulah terlahir
begitu banyak pengetahuan dan pendapat." "Oh, ampun!" Dan sebelum ia mengeluarkan pendapatnya lagi, mereka sudah
sampai di halaman perguruan tinggi. Dinar cepat-cepat masuk ruang belajar, sementara teman-temannya masih bergurau di
luar. Dinar menjadi sangat tidak enak berjalan berbareng
Candala Raka di bawah pandang teman-temannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebaliknya, Candala Raka memasuki halaman dengan
pongah. Seolah ia berkata, bukan cuma Sedah yang bisa
berjalan berjajar dengan Dinar. Ia pun bisa. Dan belum tentu jika Sedah nanti yang memetik kembang dari Adiluwih itu.
Siapa tahu, aku! Dan aku harus mencari jalan agar impianku
itu terwujud. "Dari mana kalian?" tanya Butha Wreku pada Candala.
"Mengisi hati yang kesepian."
"Dewa Bathara! Baru tiga bulan mereka berpisah.
Mungkinkah Dinar melakukannya?"
"Kau ini seperti sudra yang dungu," desis Candala Raka makin pongah. Ia tahu Butha Wreku pun pernah jatuh cinta
pada gadis yang sedang jadi kembang Adiluwih itu. "Bukankah hidup ini mengandungkan berlaksa merjan kemungkinan"
Barangkali tidak denganmu, tapi mungkin denganku. Apalagi
dulu ia menyambut Sedah kan karena kekaguman sekilas.
Bukan dari hati yang terdalam."
Detya Butha Wreku mengangguk-angguk. Jauh dalam
sudut hatinya, ia menjadi iri. Kalau saja Candala benar, maka ia benar-benar manusia tidak beruntung. Dan Candala tidak
hanya mengatakan itu pada Wreku, tapi pada hampir setiap
teman lelakinya. Apalagi Dinar tidak pernah menyadari
keadaannya. Besoknya berulang kejadian yang sama. Kalau ia
sedang memunguti murbei yang berjatuhan karena terlalu
matang dan tidak ada yang memanen.
Tanpa sesadarnya Candala sudah menunggu di tengahtengah kebun murbei itu. Hatinya memang berdebar keras.
Apa saja yang dikerjakan pemuda ini, maka setiap hari di sini"
Dan ia buru-buru membalikkan tubuh.
"Kita sama-sama, Dinar. Waktu istirahat kita masih
panjang, bukan?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Eh, terima kasih. Aku hendak membawa buah murbei ini
pulang dulu." Dinar mencari alasan.
"Cuma segitu kau bawa pulang" Ini, aku tadi juga mencari.
Bawalah sekalian jika kau mau."
Dinar ragu. Tapi takut menyinggung perasaan dan
menimbulkan kesan angkuh, maka ia menerimanya. Ragu
memang. Tapi tanpa kata ia memasukkan kumpulan murbei
milik Candala Raka. Mengapa bisa bertepatan juga pemuda ini sedang cari buah murbei" Siali Dinar mengumpat dalam hati.
"Mengapa kau sekarang jarang bergurau bersama temantemanmu" Atau bertembang bersama dalam kidung pujian di
pura-pura" Tampaknya aneh."
"Aku kan sudah berbeda dengan mereka." Dinar mencoba berterus-terang pada Candala Raka, dengan harapan pemuda
itu tak lagi mendekatinya.
"Apanya yang berbeda?"
Angin siang bertiup di sela pepohonan murbei. Membelai
tubuh mereka. Menyejukkan.
"Aku sekarang milik Sedah. Maha Rsi Sedah." Ia pandang Candala dengan saksama untuk melihat perubahan air muka
pemuda itu. Namun ia tak melihatnya. Bahkan dengan tenang
Candala memamerkan senyumnya.
"Sedah sudah jauh. Jauh. Di lerang Gunung Kawi. Dan
andai saja kau tahu tempat di mana Sedah sekarang
mengajar, maka kau akan meragukan apakah Sedah-mu itu
tetap seperti yang dulu."
"Apa maksudmu?" Kini Dinar mengerutkan dahinya. Mata yang berbola hitam dan bening itu makin menarik.
"Wanita mana yang tak mengagumi Sedah" Ia punya seribu macam daya untuk mempesona wanita. Sesuai dengan
kecerdikan yang dimilikinya. Para dang hyang saja bisa dijerat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sehingga memberitahukan semua soal yang akan diujikan
pada ujian itu. Wajar saja jika ia lulus terbaik." Candala kembali tersenyum dengan tatapan mata yang aneh.
"Hyang Dewa Ratu!" Dinar menahan hati. "Sampai hati kau berkata seperti itu?" suara Dinar bergetar.
"Aku bersungguh-sungguh. Jangan kau kaget seperti itu!"
Sebenarnyalah Dinar tidak terkejut, tapi amat tersinggung
oleh tuduhan Candala itu. Bukankah itu sama dengan
menuduh pamannya, Mpu Brahma Dewa, menerima suap dari
Sedah" Juga ayahnya" Sungguh suatu penghinaan terhadap
citra Widya Trisnapala.
"Kau punya bukti yang menguatkan tuduhan-mu itu" Dan
kau tahu pada siapa saja Sedah menyuap?"
"Mengapa tidak?" Candala tegar. "Dewa Ratu!" mendadak Dinar menutup wajahnya dan berbalik lalu lari. "Dinar!"
Candala berteriak. Tapi Dinar tidak menoleh lagi. Ia bergesa pulang. Ia bertanya pada ayahnya, pada ibunya, apakah benar mereka menerima suap dari Sedah. Jika demikian halnya,
tentu mereka adalah sebu-ruk-buruknya brahmana. Baik yang
menyuap maupun yang menerima suap, sebab itu bukan
kebiasaan para brahmana.
Beberapa teman putri Dinar menjadi heran karena anak itu
tidak ke tempat mereka belajar. Bukan kebiasaan Dinar
begitu. Maka mereka ramai-ramai merubung Candala yang
datang searah dengan gadis itu. Walau ada persaingan di
antara mereka dalam memperebutkan cinta Sedah, namun
kini itu sudah berlalu. Mereka mengaku secara jujur bahwa
mereka kalah dengan Dinar.
"Ya, biasa. Aku menjelaskan padanya bahwa Sedah itu
lulus dari sini karena menyuap beberapa % guru besar. Itu
sebabnya ia dipilih jadi yang terbaik." Candala menjelaskan.
"Rupanya hatinya terluka mendengar kenyataan ini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Candala! Kami keberatan atas fitnahmu ini!" salah seorang di antara putri-putri itu mendamprat dengan ketus. "Kau benar-benar ular bilu-dak! Kita semua tahu bahwa Sedah
sungguh pintar. Aku juga ikut diuji bersamanya. Aku gagal.
Aku tak sakit hati. Karena memang aku tahu dia punya kepala cemerlang."
"Gila kau Mandraswati. Barangkali saja kau terpesona
karena wajahnya yang elok sehingga tak melihat
kegugupannya waktu diwisudha dulu. Nah, sebenarnya jauh
dalam lubuk hatinya, anak itu "mengakui bahwa ia belum berhak menerima gelar Maha Rsi Jadi..."
"Rupanya kau jatuh cinta pada Dinar dan kalah oleh Sedah sehingga engkau menyebar fitnah. Itulah rupanya yang
membuat Dinar terlalu sering menyendiri. Drubiksa kau!"
Tuding beberapa putri lagi. Dan tak ayal yang lain ikut-ikutan.
Hati Candala meriup takut. Akhirnya ia menyingkir dari
kerumunan gadis-gadis itu.
"Drubiksa!" teriak mereka mengikuti langkahnya. Dan Candala menundukkan kepala menuju bale pracabaan.
Sementara itu Dinar telah memasuki halaman belakang
rumah Dang Hyang Dewaprana. Ia memang tidak lewat depan
sebagaimana biasa. Bahkan ia masuk dengan diam-diam.
Sampai-sampai juru masak yang sibuk di dapur tidak
melihatnya, karena memang terhalang oleh tumpukan
persediaan kayu bakar. Dengan melewati sebuah lorong besar
Dinar mencapai bilik tengah rumahnya yang digunakan untuk
menyimpan kumpulan lontar. Untuk beberapa bentar ia
berhenti. Memperhatikan kumpulan lontar yang disimpan
dalam bumbung-bumbung (tabung-tabung dari bambu yang
dipotong dari pangkal ruasnya sampai kira-kira setengah
meter, diberi bahan pengawet untuk menyimpan lontar) lontar yang berisikan pengetahuan dan cerita. Sayang hanya kaum
brahmana saja yang boleh menyentuhnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika hendak melangkahkan kaki ia dengar suara berbisik
dari dalam bilik di seberang bilik penyimpanan lontar itu. Dinar menajamkan telinga untuk mendengarnya, sambil menahan
hati yang didera oleh keinginan untuk menjumpai ibubapaknya. Keinginannya menanyakan kebenaran ucapan
Candala Raka begitu besar. Ah, rupanya ayahnya, Dang Hyang
Dewaprana serta ibunya. Apa yang sedang mereka
percakapkan" Dinar menempelkan kupingnya ke dinding
bambu itu. "Kau ini bagaimana, Istrinda" Apakah kau sudah bertanya pada Dinar" Itu kan cuma bicara orang?" terdengar suara Dewaprana.
Hati Dinar berdebar. Dan ingin tahu kelanjutan
pembicaraan mereka.
"Yang Suci tidak percaya" Tanyalah pada para pembantu di dapur itu! Ia selalu pergi ke kebun murbei berduaan. Ini baru tiga bulan Sedah pergi. Belum dua tahun. Pokoknya Yang Suci harus memberi peringatan pada Dinar. Jangan sampai ia
seperti ibunya."
"Istrinda! Hati-hatilah bicara!"
"Nyatanya memang ia bukan anak kita sendiri, Suaminda.
Tapi semua orang tahu bahwa ia sebagai anak kita. Janganjangan perangainya akan sama dengan bapaknya, si
Palagantara itu!"
"Istrinda! Tahan! Kau ini brahmani! Mengapa bicaramu tak terkendali seperti orang dungu?"
"Justru hamba brahmani, hamba malu Dinar berbuat
begitu." Dengup jantung Dinar kian berdebar mendengarnya. Apa
arti semua ini" Apa yang aku lakukan, sehingga memalukan
Nyi Dewaprana yang ternyata bukan ibu kandungnya itu" Lalu
siapa Palagantara itu" Ayahku" Di mana dia sekarang" Berjuta
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pertanyaan tiba-tiba saja berlarian dalam kepalanya. Seolah berkejaran dengan tiada yang dapat tertangkap.
"Baik! Akan aku peringatkan dia. Tapi kita harus jelas dulu masalahnya. Dinar telah kita didik secara baik, sebagai
seorang brahmani. Tentu aku tidak percaya jika ia berakhianat pada janji yang diucapkannya di hadapan Hyang Maha Dewa."
"Biasanya, begitu ayahnya, begitu pula anaknya. Menyesal aku telah menyetujui memungutnya."
"Jagad Dewa Pramudita!"
Hanya itu yang didengar Dinar, karena ia segera berbalik
meninggalkan tempat itu. Hatinya * buntu. Tidak tahu apa
yang harus dikerjakan. Rasanya sebongkah batu besar
menindih dadanya.
Air mata berderai tanpa tertahan. Jagad Dewa, apa
salahku" Maka Ibu telah menjatuhkan hukuman seperti itu"
Jadi kasih yang ditunjukkannya selama ini kesemuan"
Mengapa brahmani sanggup hidup dalam kesemuan seperti
itu" Dalam ketidaktahuannya, ia tertuntun kembali ke
Perguruan Tinggi Widya Trisnapala. Ternyata semua siswa
sedang dikumpulkan di bale pracaba-an. Rupanya ada sesuatu
yang penting, karena berlangsung di luar kebiasaan. Pelanpelan ia duduk di bahagian paling belakang. Ia sempat melihat di deretan tengah orang yang membuatnya jadi buah bibir dan membuat ibunya marah. Candala Raka. Benci rasanya. Tapi
apa yang harus dilakukannya" Pemuda itu rupanya sengaja
meniupkan api kebusukan.
Mpu Brahma Dewa sedang membacakan suatu berita yang
baru saja dikirim oleh penguasa Kerajaan Penjalu. Dan semua orang yang tinggal di daerah kekuasaan Penjalu harus tahu
berita ini. Sekalipun hati masih gundah, sebagai seorang
brahmani Dinar merasa berkepentingan mendengar semua
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kejadian. Kebiasaan telah membuatnya jadi seperti sangat
haus akan segala berita.
"Hal yang sangat menyedihkan bagi kaum brahmana, yaitu peperangan antara Penjalu dan Jenggala akan segera
berakhir. Perang saudara yang terjadi sejak peristiwa
pembelahan Kerajaan Kahuripan menjadi Penjalu dan
Jenggala. Bumi Jawa terbelah jua oleh peperangan yang tidak berkeputusan. Kita kaum brahmana sedih melihat kenyataan
ini. Sebab peperangan merusak semua dan segala."
Diam sebentar untuk memperhatikan para siswa. Kemudian
menoleh pada deretan guru besar. Ada beberapa tempat
duduk yang kosong. Ke mana saja mereka itu" Tanya Brahma
Dewa dalam hati. Atau mereka sedang kosong dan mengajar
di lain tempat" Memang ada yang sering-sering diundang
perguruan tinggi lainnya, di luar negeri. Selama itu juga
mendapat izin dari pemerintah pusat di Penjalu. Biasanya
mereka dilarang menerima undangan dari Jenggala. Sungguh
itu bertentangan dengan tata kebrahmanaan. Memang siasat
kekuasaan tidak akan pernah sejalan dengan pemikiran para
brahmana yang mendambakan terciptanya perdamaian yang
tulus. Sebab siasat kekuasaan juga mengatasnamakan dirinya
demi kemanusiaan. Membunuh sekali pun berhak
mengatasnamakan diri demi kemanusiaan asal itu mengabdi
pada suatu kekuasaan.
"Beberapa waktu yang lalu, Yang Mulia Rakai Huno Dyah
Pawasi telah mengerahkan laskar Penjalu secara besarbesaran. Karena Yang Maha Mulia Mapanji Jayabhaya Sri
Warmesywara Ma-dhusudanawata Anindita Suhtrsinghadani
Paraka-rama Uttungga Dewa sudah tidak sabar lagi. Beliau
memerintahkan agar laskar Penjalu berperang habis-habisan
sampai Jenggala bertekuk-lutut."
Berhenti lagi. Beberapa orang menjadi bergidik. Perang
tidak lagi mengindahkan suatu persaudaraan. Dinar pun ngeri mendengar itu. Bukankah Sri Maharaja Hemabhupati masih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
saudara sepupu Jayabhaya" Bukankah mereka masih samasama keturunan Bathara Erlangga" Ah, bagaimana macamnya
Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jayabhaya itu" Saudara sendiri ditumpas!
Dinar tertarik untuk mendengar lanjutannya. Menangkah
Penjalu" Jika demikian, kasihan Jenggala. Bagaimana pula
sikap Jayabhaya menghadapi orang lain" Benarkah ia
menegakkan kemanusiaan seperti yang tertulis dalam karyakarya tulis para mpu. Brahmana pun sanggup melakukan
penipuan. Untuk apa" Uang dan kekuasaan.
"Dan saat ini peperangan telah menunjukkan adanya
penyelesaian," lagi Brahma Dewa melanjutkan, namun air mukanya tampak bermendung. Itu dapat dimaklumi; sebab ia
memang tidak senang terhadap peperangan.
"Laskar Jenggala makin terdesak, dan laskar Penjalu mulai memasuki wilayah Jenggala. Ternyata kawula Ngantang
memihak pada Penjalu. Itu sebabnya Penjalu Jayanti (Prasasti Ngantang tahun 1135 menyebutkan kemenangan Penjalu).
Masih belum diberitakan nasib Sri Maha Prabhu Hembhupati."
(Raja Jenggala, (nama lengkapnya tidak terungkap))
Tiada sorakan seperti orang-orang Daha mendengar berita
ini. Dan tiap pendengar tenggelam dalam pendapat serta
penilaian masing-masing. Candala Raka sekilas teringat pada adik ibunya yang menjadi pemimpin laskar berkuda Penjalu.
Dalam hati ia berdoa agar pamannya yang menunjang
pembiayaan keluarganya itu selamat dalam pertempuran.
Lain lagi Dinar. Bagaimana kira-kira wajah Jayabhaya itu"
Begitu kejamnya orang itu. Begitu banyak pujangga yang
mengagungkannya. Sampai-sampai ada kakawin Gatotkaca
Qraya karya Mpu Panuluh, yang menceritakan kemenangan
Jayabhaya di Jambi. Bahkan kalau orang melihat namanya
yang begitu panjang, tentu kesannya Jayabhaya adalah
seorang mulia dan berbudi luhur. Mungkin saja orang
menyebutnya sebagai dewa. Coba! Dia juga menggunakan
nama Ma-dhusudanawata! Bukankah itu berarti dia menyebut
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diri sebagai ketirisan Wisnu" Tak kurang-kurang memang
orang yang memiliki kuasa tertinggi, menghanyutkan diri ke
alam keseakan-an. Seakan-akan aku adalah dewa! Apa
tujuannya" Tidak lebih untuk memperbodohkan orang lain.
"Bagaimana sikap Perguruan Tinggi Widya Trisnapala
dalam kejadian ini?" tanya Butha Wreku dengan suara keras setelah mengangkat tangannya.
"Ya! Bagaimana sikap kita?" tanya salah seorang guru besar. "Kita harus menunjukkan sikap!"
"Memang! Kita, sebagai perguruan tinggi dan tempat
berkumpul para brahmana, harus menunjukkan sikap. Dan
sikap kita akan menjadi panutan bagi brahmana di lain
tempat. Nah, apa sekarang pendapat yang bisa kita
sumbangkan demi kemanusiaan?" Mpu Brahma Dewa
mengajak semua orang berunding.
Tenang sesaat. Dua saat. Tiga saat.
Suara burung-burung merajai suasana di luar ruangan.
Seolah-olah saling bercanda satu dengan lainnya. Saling
memperdengarkan kicaunya. Tak mereka hiraukan perang
besar yang membentang sepanjang perbatasan Jenggala dan
Penjalu. Mayat ataupun bangkai bertebaran di seputar sungai Brantas yang menjadi batas yang membelah Kerajaan
Kahuripan menjadi dua, Penjalu dan Jenggala. Satu di
bahagian utara, sedang sebahagian lainnya di selatan. Atau
sebaliknya, burung-burung itu ingin mewartakan bahwa di sela pepohonan, bebatuan, atau yang dihanyutkan oleh aliran air
Sungai Brantas yang amat deras itu terdapat ribuan mayat
manusia dan bangkai binatang. Mati! Mati tak ubahnya kucing budug tanpa harga.
"Seharusnya kita mengucapkan selamat atas kemenangan
Penjalu ini. Kita perlu mengadakan pengucapan syukur pada
Hyang Maha Dewa, atas kebijakan Sri Jayabhaya yang
membawa kesejahteraan pada kawula Penjalu. Memang demi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kesejahteraan itu diperlukan pengorbanan. Tumbal! Dan
Jenggala telah menjadi tumbal itu. Bukankah kita harus
mengucap syukur karena bukan kita yang dijadikan tumbal.
Bukankah suatu kebijakan luar biasa jika Sri Jayabhaya
mengorbankan orang lain?" Candala Raka membuka suara
lebih dahulu setelah semua tidak mengeluarkan pendapat.
Tapi seusai ia mengutarakan pendapat seperti itu, para wanita yang hadir langsung saling bertukar bisik. Akibatnya suara
seperti lebah pulang kandang memenuhi ruangan.
Brahma Dewa segera angkat suara untuk menghentikan
raungan lebah itu. Ia tak tahu apa yang sedang mereka
bicarakan. "Saudara-saudara! Hentikan saling bisik ini! Jika punya pendapat, hendaknya disampaikan padaku. Bukan cuma pada
teman! Agar kita segera memperoleh kesepakatan."
Suasana kembali tenang. Tapi beberapa mata kini
mengawasi Candala Raka. Terutama kaum wanita. Brahma
Dewa mengawasi mereka. Kemudian ganti mengawasi pilarpilar kayu yang kokoh dan berjajar rapi, menyangga atap ijuk yang lebar itu. Beberapa bentar kemudian menatap ke
halaman. Kumpulan batu sebesar-besar telor ayam dan itik
ditata di jalanan menuju barak-barak, diapit tanaman
kembang kenanga dan kantil putih yang rimbun daunnya.
Belum lagi beraneka kembang pacar dan sedap malam, atau
melati yang menyuguhkan aroma damai. Tak mengherankan,
burung dan kupu ataupun kumbang berebut dulu hinggap di
pepohonan itu. "Kita memang tinggal di wilayah Penjalu. Dan kebetulan menang. Tapi bagaimana perasaan kita, seandainya kita
tinggal di Jenggala?" Tiba-tiba saja Dinar memecahkan
kesunyian setelah lebih dahulu mengacungkan telunjuknya ke
atas untuk minta diizinkan bicara. "Hamba percaya, tentu kita akan sangat menderita. Demikian pula halnya dengan orang-orang Jenggala saat ini. Berlarian diburu oleh ganasnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pedang, tombak, dan panah. Sebagai brahmana yang
mendambakan peradaban yang lebih baik, seharusnya kita
malah berusaha mencegah peperangan ini. Setidaknya kita
mengajukan permohonan agar pembantaian atas orang-orang
Jenggala dihentikan. Demi kemanusiaan. Demi peradaban."
Tepuk-tangan riuh dari kaum brahmani mengiringi katakata penghabisan Dinar. Tanda bahwa mereka sangat setuju.
Bahkan beberapa siswa pria pun ikut setuju. Telinga Candala Raka mendadak menjadi merah melihat kenyataan itu. Apalagi
jika ia teringat akan lecehan anak-anak dara sebelum santiaji itu.
"Ada yang berkeberatan pada pendapat Dinar?" Brahma Dewa mengajukan pertanyaan.
Candala Raka ingin mengangkat tangan. Tapi ia menahan
hati. Ia tahu begitu angkat bicara, gadis-gadis itu akan saling bertukar bisik lagi. Atau barangkali saja malah meraung,
meledak dalam rasa ketidaksenangan.
"Silakan mengajukan pendapat jika kalian tidak setuju!"
Brahma Dewa menekankan. "Jangan di sini diam, tapi kembali ke barak dengan hati panas dan muka muram. Ingat-ingat!
Jika mukamu muram dan hatimu tidak sejahtera, maka dosa
mengintip di pintu hatimu!"
Sekali lagi Candala seperti tersentak mendengar itu. Dosa
mengintip di balik pintu hati" Benarkah itu" Dosa ada di
ambang hatiku" Dosa bisa terjadi saat orang tersenyum. Bisa!
Kapan saja bisa. Di mana saja. Dan tidak jarang orang
bermuka murung malah menemukan jalan yang terbaik bagi
hidupnya. Hati Candala ramai dengan perdebatan.
Berdentingan pantul-memantul di tiap dinding hatinya. Tapi
diam. Tak ingin melukai hati Dinar. Jika ia melakukannya,
tentu akan menimbulkan kebencian di hati gadis pujaannya
itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah nanti kita tidak dituduh sebagai pengkhianat?"
Amandakala, seorang dari Swarnadwipa bertanya.
Brahma Dewa seperti tersentak.
Semua juga. Dan pelan-pelan semua mata tertuju pada
Dinar yang duduk bersandar pilar belakang ruangan. Ada yang meleceh. Ada yang mengharap keterangan. Ada yang ingin
anak itu membela pendapatnya. Dan benar... Brahma Dewa
meminta pendapat Dinar.
Sebab dengan tuduhan pengkhianatan, Rakai Hino Dyah
Pawasi (Rakai Hino dapat disamakan dengan kepala kabinet
atau kepala pemerintahan. Zaman Majapahit memakai istilah
pratandamukha) akan menutup perguruan tinggi ini. Mungkin
untuk sementara. Atau bahkan bisa selamanya tidak
diperkenankan melakukan kegiatan apa pun. Dinar menarik
napas panjang. Untuk sementara melupakan semua yang
menindih kalbunya. Lalu pelahan ia mulai mengutarakan
pendapatnya. "Pengkhianatan" Sungguh suatu pertanyaan yang aneh jika ini dilontarkan oleh kaum brahmana. Pada kodratnya manusia
dilahirkan dalam persekutuan. Persekutuan antara anak dan
bunda! Anak dan ayahnya. Juga persekutuan antara atman
dan brahman! (persekutuan antara tubuh dan jiwa: manusia
dan Tuhan) Jagad pramudita dan diri. Dan semua itu tercapai dengan dasar kasih yang tulus. Itulah Nirwikana." Diam sebentar. Melirik ke semua arah.
Lalu, "Kita brahmana sekarang! Kodratnya, kaum brahmana
dipakai oleh Hyang Maha Dewa sebagai alat untuk melahirkan
ilmu pengetahuan dan mengamalkannya pada hidup dan
kehidupan. Dan brahmana terbiasa mengajukan pendapat.
Karena memang ia belajar untuk itu! Suatu pendapat yang
memperbaiki tata kehidupan. Mengapa lalu kita takut
dibayangi oleh pendapat kita sendiri" Takut dituduh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pengkhianat bangsa" Akhirnya, takut pada pendapatnya
sendiri" Ahai, alangkah lucunya jika brahmana seperti itu. Tak sepatutnya ia menjadi brahmana. Dan tak ada gunanya ia
belajar bertahun-tahun untuk menjadi brahmana. Karena pada
akhirnya ia tidak akan membuahkan apa-apa, kecuali
menjadikan diri anjing peliharaan yang setia pada tuannya."
Berhenti lagi. Dan orang-orang berdecak penuh
kekaguman. Sebahagian meriup kecil. Para brahmani
tersenyum. Senang.
"Seharusnya kita kembali pada kodrat kita. Terlahir sebagai brahmana. Terlahir untuk membela kemanusiaan dan
kebenaran walau bukan dengan senjata, bukan dengan
membunuh, tapi dengan kata-kata dan pengetahuan. Jadi
hamba tetap pada pendirian semula. Brahmana harus
mencegah pembunuhan manusia atas manusia. Mencegah
kerusakan alam serta isinya. Karena memang untuk itulah kita terlahirkan."
"Jagad Dewa Pramudita!" Brahma Dewa menyebut.
"Setuju!" Serentak suara kaum brahmani. Dan beberapa brahmana.
"Aku akan berangkat ke Daha. Karena kita tidak
diperkenankan mengajukan pendapat dengan membawa arakarakan siswa seperti di Jambu-dwipa atau Swarnadwipa dan
negeri-negeri lain. Kita harus menyampaikannya melalui Yang Tersuci Panuluh, pandita istana Daha. Nah, kembalilah ke
barak masing-masing! Selamat sore."
Kala semua orang mulai berdiri dan meninggalkan tempat,
Dinar seperti disentakkan dari sebuah mimpi buruk. Kembali ia teringat pada persoalan yang sedang dihadapinya. Ia memang
berdiri. Tapi bergerak pelan-pelan sambil menunduk.
Malawati menepuk pundaknya dari belakang, kala ia
bersandar di pilar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa saja yang kaulamunkan ini, wanita hebat?"
Dinar tak menjawab. Ia menarik napas panjang.
"Hembusan napasmu menyulingkan kidung buat Sedah,
Wong ayu." Malawati menggoda.
Dinar mengerutkan dahi. Membuat alisnya hampir-hampir
bertemu. Dan Malawati melihat wajah itu makin membuatnya iri. Tak
salah jika Sedah memilihnya. Tapi Malawati segera terkejut
ketika memperhatikan wajah temannya. Air mata kini meleleh
lamban di kedua pipi montok Dinar.
"Dinar"!"
Dan Dinar memandang temannya yang agak gemuk,
namun wajahnya amat manis itu. Dengan tahi lalat di sudut
bibir sebelah kanan atas. Pandangan matanya juga gilanggemilang. "Ada apa kau Dinar" Mari ke barakku. Jangan dilihat orang air matamu itu!" Ia kemudian memapah temannya ke
kamarnya. Kecil jika dibanding kamar Dinar di rumah
Dewaprana. Tempat tidur Malawati cuma ambin bambu yang
ditutup dengan permadani. Lontar berhamburan tidak teratur.
Dan Dinar duduk di ambin itu sambil menunduk.
"Ada permasalahan yang besar?"
"Ya, Sahabat." Dinar menghapus air matanya.
"Apa?" Malawati bangkit menyulut pelita. Pelita dengan minyak kelapa sawit. Memang keremangan mulai turun di
kamar itu. "Susah untuk menceritakannya." Dinar menggeleng. Air matanya kembali mengalir. Tapi segera dihapusnya. Ia ingat
betul, bahwa ia terdidik di lingkungan brahmana.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tapi tak baik menyimpan kesesakan dalam dada. Lihat!
Lahar yang tersimpan di perut Gunung Kelut itu. Jika terlalu padat akan muntah. Dan itu membahayakan banyak orang."
"Hyang Dewa Ratu!" Dinar menyebut. Kemudian
memandang temannya.
Malawati membelainya. Seperti pada adik sendiri.
"Jangan khawatir. Jika memang perlu, aku akan
merahasiakan. Ya. Merahasiakan. Percayalah. Siapa tahu, aku bisa menolongmu. Siapa tahu?" kata-kata Malawati meluncur dengan merdu.
Dinar senang mendengar warna suara itu. Seolah
membawa kedamaian. Barangkali begitulah kira-kira suara
tokoh Banowati dalam Maha-bharata, si istri raja Hastina itu.
Ia menarik napas panjang, lalu,
"Baiklah...," katanya. Lalu ia ceritakan semua yang ia alami.
Malawati terpatri di tempat duduknya. Mendadak napasnya
ikut sesak. "Kau tahu di mana Palagantara berada?"
"Sama sekali aku tidak tahu."
"Ini memang harus dirahasiakan. Jika sampai ketahuan dan ternyata Palagantara bukan seorang brahmana, bisa-bisa kau
dikeluarkan dari Widya Trisnapala. Bahkan bisa dituntut."
"Hyang Dewa Ratu!" Dinar mengeluh pelahan. Tiba-tiba saja sejuta bintang seolah berputar-putar di seputar
kepalanya. Dekat. Dekat sekali! Dan pandangannya menjadi
kabur. Malawati cepat merebahkannya ke pembaringan. Ia benarbenar menjadi iba. Tapi' dengan tenang ia membasuh keringat dingin yang keluar dari pori-pori halus di tubuh Dinar yang kuning langsat itu. Ah, tubuh sempurna, tanpa cacat setitik pun. Andai ia bukan seorang brahmani, mengapa Hyang Maha
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dewa menganugerahkan kepala yang begini cemerlang"
gumamnya dalam hati sambil menyisir rambut Dinar dengan
jari-jemarinya yang runcing.
Kala Dinar tersandar, ia menjadi agak malu.
"Tidurlah dulu, Manis. Kau terlalu lelah."
Menggeliat. Membangkitkan kekaguman. Jika aku yang
wanita begini kagum, apalagi pria. Tiba-tiba ia ingat Candala Raka. Ah tentu ini adalah ulah Candala Raka. Maka ia segera bertanya,
"Apakah kau punya hubungan dengan Candala Raka?"
"Aku sudah berpikir bahwa ini adalah ulahnya. Tapi Bunda telah menjadi begitu marah."
"Belum tentu! Belum tentu beliau benar-benar marah.
Namun barangkali sangat malu mendengar kau mengingkari
janjimu pada Sedah. Apalagi sampai menjadi buah bibir. Nah, berbincang-lah kau dengan ibundamu itu. Walau mungkin saja
benar kau bukan anaknya sendiri. Tapi kebiasaan berkumpul
denganmu, tentunya telah menumbuhkan rasa kasih seperti
halnya pada anak sendiri."
"Tapi aku ragu..."
"Aku antar kau sampai di depan rumahmu.
Hari sudah mulai gelap. Jika kau tidak pulang tentu akan
menjadikan Adiluwih ini terkoyak oleh kegemparan."
Sekali lagi Malawati membimbing temannya. Teman-teman
putri lainnya, yang tahu bahwa Dinar ada di kamar Malawati, diam sambil dipenuhi tanda-tanya, apalagi dari celah dinding kamar masing-masing mereka dapat mengintip Dinar dalam
bimbingan. Sebenarnya bukan cuma teman-teman putri yang
mengintip, baik dari tempat mereka mandi ataupun kamar
masing-masing, tapi juga Candala Raka. Karena itu ia sengaja mencegat di balik gerbang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Memang tepat jika ia mencegat di gerbang itu. Karena
banyak bunga yang merupakan tumbuhan perdu dan rumpun
Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melati yang lebat dan dapat dijadikan tempat bersembunyi.
Tapi ia sama sekali tidak tahu kapan waktunya Dinar akan
pulang. Lama. Membosankan. Nyamuk dan semut, menambah
rasa jengkel dalam penantian.
Akhirnya tampak juga si Dinar. Ah, berjalan bersama
Malawati. Drubiksa! Kali ini ingin ia memberanikan diri
berterus-terang. Bahwa daripada menunggu Sedah, baiklah
lari bersamanya saja. Tapi ada Malawati. Ah, tak peduli.
Kemudian ia keluar dari tempat persembunyiannya. Sebentar
ia membersihkan jubahnya. Memetik sekuntum mawar dan
setangkai melati. Makin dekat langkah mereka, makin keras
debar jantungnya. Diri berayun-ayun dalam keraguan. Tapi
kali ini titik. Titik penentuan. Aku kalah oleh Sedah karena aku belum pernah melamarnya dengan terus-terang.
"Eh, selamat petang..." Gugup begitu keduanya dekat.
Dinar dan Malawati tidak tersenyum sebagaimana biasanya.
Bahkan mata mereka memancarkan api. Tapi ia menebalkan
telinga. "Baru pulang, Dinar. Eh..." Mencoba mencegat keduanya. "
Dinar makin gusar. Menahan lahar di dalam dada. Lelaki
dengan mulut manis tapi berhati drubiksa.
"Eh, aku ingin memperundingkan pendapatmu tadi____"
Candala memperoleh bahan untuk membuka pembicaraan.
"Kau hendak menuduhku pengkhianat?" Dinar masih tanpa senyum dan tidak menghentikan langkah. Mukanya nampak
merah jambu. Malawati ikut gemas.
"Bukan. Bukan aku... tapi... tentunya Sri Maharaja..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Justru yang menuduhlah pengkhianat terhadap kodratnya.
Ya, kodratnya sebagai manusia yang terdiri dari kumparan
otot dan daging, yang diciptakan oleh Hyang Maha Dewa
dengan kasih dan anugerah."
"Jagad Dewa! Berani kau berkata seperti itu?"
"Terserah kau menilaikan. Kita memang berpijak pada
landasan yang tidak sama. Nah, minggir-lah. Kami akan
lewat." "Dinar! Sikapmu berubah mendadak. Kemarin senyummu
begitu manis..."
"Sungguh hebat kau! Mulutmu manis namun penuh racun,"
Dinar memotong.
"Atau barangkali karena ada Malawati kau malu
meramahiku. Aku sengaja memetik kembang ini untuk
menyatakan bahwa aku..."
Dengan tangan gemetar Dinar menepis tangan Candala
yang mengulurkan kembang. Dan kembang-kembang itu
terburai berhamburan di tanah.
"Untuk inilah sebenarnya kau mencegat aku dan menyebar kebohongan ke seluruh Adiluwih! Ingin menyisihkan Sedah
dari hatiku dan menggantikannya dengan dirimu!"
Ternganga mulut Candala Raka mendapat perlakuan itu.
Marah tak tertahankan. Apalagi di bawah saksi Malawati.
"Makan saja kembang-kembangmu itu!" ejek Malawati.
Makin terbakar. Ingin ia mencekik leher kedua wanita muda
itu, tapi tak berani melakukannya. Ia tidak terbiasa
membunuh. Tapi kata-kata mereka benar-benar menyakitkan.
Dengan loyo ia kembali ke baraknya. Tapi sebelum masuk
kamarnya, suara Malawati terngiang kembali di telinganya.
Makan kembang-kembang itu\ Langkahnya terhenti
mendadak. Dinar yang membuatnya dilecehkan oleh Malawati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan beberapa waktu lalu mereka juga meneriakinya sebagai
drubiksa. Aku harus beri pelajaran buat mereka, ancamnya dalam
hati. Malam ini juga ia akan meminta tolong pamannya, Kuda
Amiraga, kepala pasukan berkuda Penjalu. Ia sekarang sedang menuju ke Daha dari Ngantang. Ia akan bertanya, apakah
yang harus dilakukan untuk menghadapi perawan yang bengal
seperti Dinar. Tentu sebagai seorang yang biasa bertugas di mana-mana, pamannya bukan hanya berpengalaman
menaklukkan musuh di medan laga, tapi juga menaklukkan
hati wanita. Ia bertekad hendak meninggalkan Widya
Trisnapala tanpa izin. Dan ia tidak akan memberitahukan hal ini pada bapaknya. Karena bapaknya akan marah mendengar
keinginannya mempersunting Dinar sebelum menamatkan
pelajaran. Sementara itu Malawati dan Dinar sudah sampai di
pendapa rumahnya. Pada Nyi Dewaprana, Malawati
menjelaskan bahwa Dinar takut pulang karena selalu di
bayangi oleh Candala Raka.
"Makin nekat saja anak itu," kata Malawati.
"Jadi bukan Dinar sengaja mencari kesempatan saat kalian istirahat?" tindas Nyi Dewaprana kala menyambut mereka di pendapa.
"Ampunkan hamba, Bunda..." Dinar berdebar di bawah sorot-mata ibunya yang kini nampak asing.
"Sungguh. Hamba berani menjadi saksi. Di hadapan Hyang Maha Dewa sekalipun hamba rela menjadi saksi." Malawati sekali lagi mengajukan pembelaan.
"Baiklah. Silakan masuk." Nyi Dewaprana tersenyum dibuat-buat.
"Terima kasih, Yang Suci. Hamba cuma mengantar..." Lalu ia berpamitan. Ia berniat menceritakan pada teman-temannya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tentang penolakan rDinar ini, sebab sudah ada beberapa
teman yang mulai membicarakan hubungan Candala Raka
dengan Dinar. Seolah Dinar tak layak menjadi seorang
brahmani, karena tidak menepati janji.
"Tidak banyak lelaki jalang seperti Candala Raka itu,
Teman-teman. Orang semacam itu memandang wanita cuma
sebagai alat pemuas atau pelampiasan kejalangannya. Dan
hidup ini dipandang dari penting atau tidaknya menuruti kejalangannya. Mereka tidak memperhatikan kesusilaan lagi.
Makin banyak perempuan kehilangan kesusilaan makin senang
mereka. Dengan begitu mereka akan makin leluasa
memanjakan kej alangannya."
"Hyang Dewa Ratu!" sebut para siswi itu hampir berbareng.
Dan mereka berjanji, bersama-sama akan menjadikan Candala
Raka sebagai bahan ejekan.
Berbeda dengan keadaan Dinar. Sekalipun ia sudah
menjelaskan pada kedua orangtuanya, tapi sikap Nyi
Dewaprana masih belum berubah. Mendung tergambar di
wajah wanita tua itu. Membuat hati Dinar makin gundah.
Maka ia bertekad untuk membongkar pedalaman Nyi
Dewaprana. "Tampaknya Ibunda tidak berkenan pada keterangan
hamba. Apakah kiranya yang menjadikan sebab?"
"Tidak pernah ada seorang brahmani yang menjadi buah
bibir semacam kau. Dinar, aku tak tahu bagaimana cara kita
menghapus aib di kening kita ini?" wanita tua itu melengos ke tempat lain. Mukanya masih bermendung.
"Hyang Dewa Ratu!" Dinar menyebut.
Dewaprana sendiri tak kalah terkejutnya.
"Bukankah kita bisa menjelaskan pada semua orang bahwa bukan niat Dinar untuk berdua-dua dengan Candala Raka?"
Dewaprana menenangkan istrinya. "Lihat! Teman Dinar, si
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Malawati pun memberikan kesaksiannya. Apa yang perlu kita
sangsikan dari anak kita ini?"
"Sedah! Hamba takut Sedah mendengar ini dan marah.
Kemudian membatalkan pertunangan ini. Betapa malunya
kita." "Aku akan menjelaskan pada Sedah." Dewaprana masih pada pendiriannya.
"Suaminda... pikirkan ini masak-masak! Apa Sedah yang
bermata dewa itu akan percaya pada keterangan kita?" Nyi Dewaprana melengking. Semua terkejut.
Dinar menyembah sambil meneteskan air mata.
"Ampunkan hamba, Ibunda Yang Suci. Barangkali hamba
tidak layak lagi mendapatkan kasih dari Bunda..."
"Dinar!" Dewaprana yang memotong. "Jangan ucapkan itu, Nak. Memang ibumu sedang marah..."
"Barangkali Ibunda betul. Bahwa tidak setetes pun darah brahmana mengalir dalam tubuh hamba. Maka..."
"Cukup! Kau adalah anakku, Dinar!"
"Suaminda!"
"Istrinda! Tak patut brahmana melengking-lengking seperti itu!"
"Jadi hamba yang tak patut?"
Semua terdiam. Sampai beberapa jenak. Suara jangkrik
dan binatang malam lain menguak suasana. Temaram
rembulan mulai menerangi kegelapan. Mendung tipis
berkejaran di dekat rembulan. Tapi anak-anak kecil sudah
tidak ada di halaman.Tak ada lagi yang main jamuran, gobaksodor, atau sembunyi-sembunyian. Bulan tanggal tua.
"Siapakah Palagantara... dan di mana orang itu sekarang?"
Dinar memberanikan diri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pelan suaranya. Tapi serasa petir di telinga Dewaprana. Ia
pandang wajah istrinya. Sebentar kemudian Dinar. Bergantiganti. Juga Dinar memandangnya. Kemudian pada istri
Dewaprana. Air matanya memantulkan cahaya pelita yang
terpasang di sudut ruangan.
"Jagad Dewa Pramudita..." Dewaprana akhirnya
menjatuhkan diri di tempat duduk. Ia tak mungkin lagi
menutup-nutupi. Tak mungkin brahmana menipu. Tidak.
"Ampuni aku, Dinar. Aku tidak tahu di mana dia berada. Ia adalah ayahmu. Ia menyerahkan kau, waktu kau masih bayi
merah, kemudian pergi entah ke mana." "Di manakah ibundaku?"
"Yah, Dewa Bathara! Aku juga tak akan menipu. Aku tak
tahu dia siapa. Juga tak tahu dia di mana. Sungguh, Dinar.
Aku tidak bohong. Itulah yang kutahu tentang asal-muasalmu.
Sebab setelannya, kau adalah anakku. Anakku!" Dewaprana gemetar.
"Hamba tidak tahu mengapa sejak sekarang ada tangan
yang mahakuat, yang menghalangi kasih Bunda pada hamba.
Barangkali memang waktunya, anak itik berenang di air.
Sekalipun kala masih berupa telor dulu dierami oleh induk
seekor ayam."
"Apa maksudmu Dinar?"
"Ampunkan hamba, Yang Suci. Barangkali lebih baik jika hamba pergi mencari Sedah. Hamba akan berterus-terang.
Apabila Sedah menolak hamba, maka hamba akan mencari
Palagantara..."
"Dinar..."
"Ampunkan aku, Dinar..." Nyi Dewaprana gemetar. Ia sama-sekali tidak menduga Dinar akan mengambil keputusan
seperti itu. "Bertimbanglah Dinar.."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Barangkali karena hamba bukan brahmana, sehingga nalar ini tak sanggup lagi bertimbang. Ampunkan hamba." Setelah menyembah, Dinar surut ke biliknya.
Sementara itu kedua suami-istri saling berpandangan dalam
penyesalan yang amat dalam.
"Biarlah aku besok mengantar Dinar, Istrinda. Kita
tunjukkan padanya, bahwa kita bukan pengusir yatim-piatu."
"Kanda... ampunkan hamba." Nyi Dewaprana terhuyung masuk ke bilik Dinar. Serta-merta dipeluknya Dinar yang
sedang berkemas-kemas.
"Jangan pergi, Anakku..."
"Jika hamba tidak pergi, Candala Raka akan merupakan
ancaman yang membahayakan keselamatan hamba. Bahkan
ancaman bagi perguruan tinggi kita. Hamba harus
menghindarinya."
"Tapi..."
"Relakan hamba, Yang Suci. Karena hambalah yang
menyebabkan Candala Raka berpikiran jahat, atau banyak
lelaki lain jatuh dalam dosa. Biarlah hamba akan pergi."
"Oh, Dinar..." Tangis Nyi Dewaprana makin menjadi-jadi.
Dan itu menarik perhatian Nyi Rumbi, inang pengasuh Dinar,
yang berada di bilik sebelah. Ia tertarik untuk menengok ke bilik Dinar.
"Jagad Dewa Bathara! Ada apa ini ribut-ribut?"
Dan kala ia tahu Dinar akan pergi, maka meledaklah tangis
wanita gemuk bermuka bulat itu. Namun tumpahan air mata
mereka tak dapat membendung niat Dinar untuk melangkah
ke luar rumah Mpu Dewaprana. Juga malam yang sunyi itu.
Dan itu sebabnya Nyi Rumbi tak sampai hati membiarkannya
pergi sendiri. Ia bertekad mengikuti kepergian Dinar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Biarkan aku sendiri, Bibi. Aku menolak ditemani oleh Bapa Mpu Dewaprana, mengapa kau ikut?"
"Tapi hamba tidak bisa berpisah dengan Yang Suci." Wanita itu mengejar terus. Tak ia pedulikan dinginnya hawa malam
yang menusuk kulitnya. Akhirnya berdua mereka menguak
sunyi. Menerjang malam, berjalan menuju ke timur. Gunung
Kawi. Sawah di kiri-kanan jalan membentang luas, tidak
menunjukkan warna hijau seperti sediakala. Kendati rembulan bersinar pucat, namun kere-mangan lebih banyak dikuasai
warna hitam. Kerikil menggelitik telapak kaki, nyeri. Terkadang menyeruak debu, atau menjejaki rerumputan. Tapi mereka
berjalan terus. Kini rumah-rumah desa Adiluwih sudah tiada.
Gerumbul hitam membentang di hadapan mata mereka. Hutan
lebat. Jalan makin sempit. Keraguan memercik di sudut hati
Dinar. Namun tekad telah mengatasi semua ketakutan. Aum
harimau yang sedang memburu lawannya, atau mungkin
sedang kawin, kembali membuat hati berdesir. Keduanya
berpelukan sesaat. Tapi begitu aum itu musnah ditelan gema, kaki mereka kembali melangkah. Tidak ada penerangan.
Mereka bertekad, berpelita bintang dan beroborkan rembulan.
Hutan memang tidak menjanjikan apa-apa pada Dinar dan
Nyi Rumbi, kecuali semak-belukar dan jurang dan onak duri.
Tapi keduanya tidak peduli. Malam telah berganti pagi. Dan
dua orang itu tetap berjalan. Dan terus berjalan. Kelelahan mulai ikut memberikan aniaya tersendiri. Yang lebih
menjengkelkan adalah rombongan nyamuk.
Kendati mentari sudah menguak gelap, mereka tak berhenti
menyedot darah. Nyi Rumbi melihat betapa tubuhnya sudah
dipenuhi bintik-bintik merah. Nyamuk yang menyebabkannya.
Dinar masih mengenakan jubah kebrahmanaan. Maka ia
selamat dari keganasan binatang-binatang durhaka itu.
Nyi Rumbi memang arif. Ia membawa sedikit perbekalan
makanan kala akan berangkat. Dan itu mereka hemat, makan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sedikit-sedikit. Dan minum bisa mereka dapatkan dari mata
air-mata air kecil yang ada di hutan. Bahkan tidak jarang
mereka minum dari kali-kali kecil yang kebetulan mereka
Golok Halilintar 3 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Kisah Para Pendekar Pulau Es 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama