Prabarini Karya Putu Praba Darana Bagian 2
jumpai di perjalanan. Dan siang hari, kala mentari tepat di atas kepala, keduanya mengambil waktu untuk istirahat.
Pohon rindang menjadi pelindung mereka. Silir angin
memberikan kesejukan dan bersama kelelahan kedua orang
itu masuk ke dalam alam mimpi. Mimpi Nyi Rumbi dan Dinar
ternyata berbeda. Nyi Rumbi merasa seolah didatangi kambing yang amat besar yang menjilat-jilat kakinya. Lalu ia berlari.
Membawa tubuhnya yang gemuk itu menghindari kambing
yang nekat mencium-cium pantatnya. Sebaliknya Dinar
bermimpi seolah sedang bergandengan tangan dengan Sedah.
Keduanya berjalan pelan-pelan, meniti pelangi.
Namun impian Dinar segera berhenti. Ia terkejut oleh
jeritan Nyi Rumbi. Wanita itu duduk dengan rambut terurai
dan napasnya tersengal-sengal. Ia raba tubuh Nyi Rumbi yang basah oleh keringat. Dingin.
"Bibi...," desisnya. Heran. Ia pandangi sekelilingnya. Masih di dalam hutan. Juga Nyi. Rumbi menoleh kiri-kanan.
"Oh, hamba mim... mimpi," katanya sambil senyum.
"Kukira kau dari mana, maka keringatmu begini banyak.
Atau barangkali bersua harimau tutul?"
"Ah, tidak____" Kemudian Nyi Rumbi menceritakan
mimpinya. Membuat keduanya tertawa geli. Tapi Dinar sendiri malu menceritakan mimpinya. Ingin rasanya tidur kembali
untuk menyambung mimpi. Tapi ia sadar bahwa untuk
menjumpai Sedah tak mungkin hanya mengulur-ulur impian.
Tak ada sesuatu yang dapat dicapai dalam tidur. Impian cuma membuahkan kekecewaan.
Waktu mandi sore di sebuah belik (mata air) ia tak berani
lama-lama. Karena di samping nyamuk yang buas, ada lintah
yang tak segan mengisap darah siapa pun. Dan kalau lintah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sudah menempel di kulit, binatang itu sukar dilepaskan
sebelum kenyang. Begitu pula Nyi Rumbi. Tak berani terlalu
lama di air. Mereka mandi bergantian. Saling menjaga.
Dua hari kemudian baru mereka memasuki perkampungan
kecil Dusun Hyang (bukan desa Turun Hyang yang termuat
dalam Prasasti Turun Hyang itu). Di sini mereka berusaha
mencari perbekalan. Cuma beberapa puluh rumah yang ada di
perkampungan itu. Kawula di sini pada umumnya masih
mengenakan cawat yang kumuh. Hati Dinar sedikit berdesir
melihat sorot mata mereka. Rumah mereka umumnya terbuat
dari ilalang, baik dinding maupun atapnya.
Lelaki mereka tidak mencangkul di ladang, karena
pekerjaan itu dilakukan oleh wanitanya. Lelaki hanya berburu.
Dinar iba melihat perempuan yang mencangkul sambil
menggendong bayi.
Ah, ternyata peradaban belum menjamah desa ini. Padahal
Prabu Jayabhaya selalu mendengungkan bahwa seluruh negeri
ada dalam kesejahteraan. Tak ada lagi kawula yang belum
terjamah oleh peradaban. Lalu apa gunanya orang itu
mengumpulkan kaum brahmana beriung-riung di istananya"
Dinar benar-benar heran. Apa pula artinya penanaman murbei
besar-besaran untuk peternakan ulat sutera itu" Untuk apa
pertenunan yang didirikan di mana-mana atas anjuran Sri
Maha Raja itu" Ke mana kain-kain itu sehingga orang-orang
sini cuma bercawat" Dengan kata lain, kesejahteraan di
Penjalu ini cuma dinikmati oleh sebahagian orang yang
memperoleh kesempatan untuk menikmatinya.
Tapi di luar dugaan mereka berdua, ternyata kepala
perkampungan itu sangat baik. Kepala kampung
mempersilakan brahmani muda itu singgah barang sebentar.
Dan karena takut diperlakukan yang tidak sopan, Dinar
mengiakan. Memang rumahnya lebih besar dari rumah
lainnya, tapi tetap dari ilalang. Dan tiang-tiangnya terbuat dari bambu, demikian juga penyangga ilalang yang juga diapit oleh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bambu. Seorang perempuan yang masih belum tua tampak
terbaring di balai-balai, di sudut ruangan, dikelilingi tiga anak lelaki dan dua anak perempuan.
"Dia adalah istriku, Yang Suci," kepala dusun itu menyembah.
Dinar mendekati perempuan yang sedang terbaring itu. Tak
ada bilik-bilik dalam ruangan besar itu.
"Jagad Dewa Pramudita!" Suara merdu Dinar menyebut.
"Kenapa ini?"
"Sakit, Yang Suci," kembali suara parau kepala dusun itu menjelaskan.
Tanpa kain. Tentu tubuh wanita itu kedinginan. Segera
Dinar membuka bungkusannya. Ia ambil kain persediaannya.
Tatkala akan menutupkan pada perempuan itu, Dinar makin
terkejut. Wajah perempuan itu nampak amat pucat. Bahkan
matanya memantulkan sinar kuning.
"Dirgahayu!" Dinar menyapa wanita yang lemah itu. Seleret senyum terbias di bibir pucat sebagai jawaban.
"Kalian ingin ibu kalian sembuh?" tanya Dinar pada anak-anak kepala dusun itu.
Mereka mengangguk bersama-sama sambil menyembah.
Tak berani memandang wajah Dinar. Kepala dusun juga
menyembah penuh harap.
"Nah, carilah pisang emas (pisang seperti pisang susu, tapi kecil-kecil dan rasanya amat manis), segera!" perintah Dinar yang kemudian dibebankan oleh kepala dusun itu
pada anak tertua. Anak kedua juga mengikutinya. "Juga gula aren!"
"Hamba, Yang Suci."
"Carikan juga daun saga!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kepala dusun itu segera meninggalkan mereka diikuti oleh
anaknya yang ketiga. Segera sesudah itu Nyi Rumbi
diperintahkan memasak air panas. Sedangkan kedua anak
perempuan yang masih kecil-kecil itu tetap menunggui ibunya.
Sementara itu Dinar segera tenggelam dalam doa. Agak lama
memang. Kemudian terdengar ribut-ribut di luar rumah dan
suara kedua bocah yang bertugas mencari pisang emas telah
tiba. Ternyata dia tidak cuma berdua. Semua anak muda dan
bocah-bocah sebayanya telah menunjukkan kasih setia untuk
membantu kedua bocah itu dalam mencari pisang emas yang
masak. Keduanya menyerahkan pada Dinar, kemudian
menyembah. Dinar kemudian memanggil kedua anak perempuan yang
masih kecil-kecil itu. Bersama Nyi Rumbi, Dinar metani (metani (Jawa) = mencari kutu di kepala, biasa dilakukan oleh
perempuan-perempuan yang kekurangan kerja) kepala anak
itu. Ternyata dugaan Dinar benar. Banyak kutu di kepala
anak-anak yang berambut tebal dan agak keriting itu. Setelah itu mencampur kutu-kutu hasil tangkapannya dengan pisang
emas yang sudah dikupasnya dan menyuapkannya ke mulut
istri kepala dusun. Banyak sekali pisang yang dibawakan oleh teman-teman kedua bocah tadi. Setelahnya anak-anak itu juga menyerahkan gula aren yang masih cair. Dan Nyi Rumbi
menghangatkannya lebih dahulu. Dengan cangkir yang
terbuat dari batok (batok(jawa) = tempurung kelapa) Nyi
Rumbi memberikan air gula aren itu pada istri kepala dusun
itu. Beberapa saat kemudian, keringat membasahi tubuh itu.
"Satu minggu lagi Ibu akan sembuh. Tapi jangan ke ladang dulu. Jangan bekerja apa-apa."
"Ham... ham... ba, Yang... Suci." Wanita itu menjawab dan akan bangkit untuk menyembah. Ia rasa tubuhnya mulai
segar. "Jangan bangkit!" cegah Dinar. "Kau tidak boleh bergerak!
Nanti aku beri tahu suamimu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kemudian pada anak-anak perempuan itu Dinar
menjelaskan bahwa ibu mereka akan segera sembuh jika tidak
banyak bergerak.
"Karena itu, kalian harus membantu! Menggantikan Ibu di ladang. Sanggup?"
Anak-anak itu saling pandang. Berunding dalam pandang.
Tapi yang tua segera memutuskan, "Hamba, Yang Suci."
Jemari runcing Dinar membelai rambut anak itu. Bau apek
(apek (Jawa) = bau tidak enak yang ditimbulkan oleh rambut
yang lama tidak dikeramasi) merangsang hidung Dinar. Tapi ia tahan juga. Demikian kala kepala dusun tiba dengan
membawa sepikul daun saga, karena dibantu oleh
penduduknya, ia juga memberitahukan hal yang serupa.
"Jadi istri hamba tidak boleh kerja?"
"Untuk sementara, barang dua atau tiga bulan, sekalipun nanti jika ia sudah bisa berjalan. Jika tidak, ia akan mati."
"Dewa Bathara!" lelaki itu menyembah. "Hamba, Yang Suci."
Kala tengah hari Dinar akan berpamitan untuk melanjutkan
perjalanan kepala dusun itu mencegahnya.
"Ampunkan hamba, Yang Suci. Istri hamba tampak damai
berada di dekat Yang Suci. Tunggulah barang sehari-dua, agar bisa sembuh." Lelaki itu menyembah dan mengiba-iba.
Dan Dinar menuruti kehendak kepala dusun yang malang
itu. Bersama Nyi Rumbi ia banyak berdoa dan bekerja untuk
menyembuhkan istri kepala dusun. Sebab kata kepala dusun,
dukun-dukun sudah menyuruhnya mempersiapkan ke-matian
istrinya. Jika ingin istrinya tetap hidup, maka kepala dusun itu harus menyerahkan anak gadisnya untuk dipersembahkan
pada dewa-dewa. Dewa Pamali menghendaki nyawa istrinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dukun dari mana itu?" tanya Dinar heran. "Dukun Kanta.
Karena memang ia tinggal di dekat mata air."
"Mata air Kali Kanta?"
"Betul, Yang Suci."
"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya istrimu akan
sembuh." Tegas Dinar. "Asal kauturuti semua petunjukku."
Dalam hati kepala dusun itu bertanya, siapakah putri ini"
Jangan-jangan penjelmaan Dewi Ratih" Atau Hyang Laksmi
penjelmaan Hyang Durga Mahisasura Mardhini itu" Seribu
tanya menggelembung tanpa jawab. Namun ia bersembah
jua. Tepat satu minggu kemudian, istri kepala dusun itu mampu
berdiri kembali. Walau rasanya mual karena terlalu banyak
makan pisang dan kutu anaknya, tapi karena ingin sembuh, ia terima juga apa pun yang disuapkan Dinar dan Nyi Rumbi ke
dalam mulutnya.
Penduduk Dusun Hyang kagum luar biasa, sekaligus takut
pada wanita molek yang sedang lewat di desa mereka itu.
Semua lelaki dan perempuan bersujud kala Dinar
meninggalkan mereka. Perempuan pada menangis karena tak
lagi mendengar suara merdu yang menembangkan kidungkidung sendu kala kesenyapan mulai merajai malam. Tak lagi
melihat senyum manis di bibir mungil dengan lesung pipit di pipi montok. Pendek kata, sekalipun cuma satu minggu Dinar
di dusun itu, namun semua orang merasa kehi-x langan.
Seolah Dinar telah menjadi bahagian dari kehidupan desa kecil terpencil itu.
Hari-hari terlewati bersama jarak yang telah dilalui. Hutan, jurang, bukit, sawah dan perkampungan berapa jumlahnya tak
diingatnya, telah menjadi saksi berapa jarak yang telah
ditempuh oleh kedua wanita itu. Dinar tak pernah menghitung berapa jauhnya. Namun hari dan malam yang dilewatinya
bicara sendiri. Kini mereka telah hampir memasuki Ngantang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebuah desa terkenal. Karena di desa inilah Sri Jayabhaya
memperoleh kemenangan besar atas Jenggala. Dan di sini
pula Jayabhaya menulis Prasasti "Penjalu Jayan-thi" dan mengucap terima kasih atas bantuan semua kawula Ngantang
yang setia. Gemercik suara air Kali Kanta telah terdengar jelas.
Bebatuan di sepanjang hamparan dasar kali membuat aliran
Kali Kanta makin deras dan terkesan ganas. Gerumbul rumpun
bambu menaungi kali yang mengalir berkelok-kelok dari timur ke barat, terus berbelok ke utara melewati rimba,
persawahan, dan desa-desa untuk kemudian bermuara di
Sungai Brantas. Dinar tak tahu di mana mata air Kali Kanta, tapi ia mengerti jelas bahwa yang melewati desa Ngantang ini adalah Kali Kanta yang terkenal itu. Mentari telah condong ke ufuk barat. Itu sebabnya Dinar mengajak Nyi Rumbi mencari
kali itu untuk mandi.
Hati keduanya menjadi amat gembira setelah menemukan
Kali Kanta, sebelum mereka memasuki Ngantang. Warna
airnya yang jernih mem-buih karena membentur bebatuan,
membuat mereka lupa diri. Air yang tersedia itu, anugerah
Hyang Maha Dewa akan menyegarkan tubuh yang telah
seharian berjalan. Yang seharian diselimuti debu dan dibasahi keringat. Dan keduanya menuruni tebing kali'yang memang
tidak terlalu curam. Di bawah rimbunnya bambu, keduanya melepas
pakaian karena merasa aman.*- Mereka tidak lagi berawasawas pada macan yang merajai rimba. Begitu asyik keduanya
bercanda. Saling bantu membersihkan daki di punggung.
Sehingga mereka tidak menyadari bahwa mentari telah
bergulir memasuki perut bumi. Pelahan, tapi pasti. Yang
tersisa cuma suatu tanda semburat di ufuk barat. Awan
jingga! Dinar tak pernah menyadari bahwa Ngantang yang akan
mereka lewati itu adalah daerah pertahanan yang amat kuat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di sini berjaga-jaga pasukan berkuda puluhan ribu jumlahnya.
Sekalipun Jenggala telah takluk, namun Penjalu masih
menempatkan laskar yang kuat untuk mengawasi
kemungkinan pemberontakan musuh yang turun-temurun itu.
Sekalipun sayup, Dinar dan Nyi Rumbi mendengar suara tawa,
bahkan kadang juga suara gamelan ditabuh.
Memang Dinar tidak tahu bahwa saat itu Sri Maha Raja
Prabhu Jayabhaya sedang beranjang-karya di Ngantang.
Keduanya masih asyik saling menciprat-cipratkan air ke tubuh masing-masing. Di sela itu mereka juga memperdengarkan
suara cekikikan. Melepas kelelahan dan kejenuhan selama
menempuh perjalanan jauh, karena esok akan melanjutkan
perjalanan, setelah nanti malam menginap di Ngantang.
Kala bola bumi bergulir mendekati malam, dan kegelapan
mulai turun, baru keduanya mengangkat tubuh ke tebing.
Namun baru saja mereka melilitkan kain di pinggang, tiba-tiba sebuah tangan perkasa penuh bulu menangkap tangan dan
pinggang Dinar. Cuma sebuah pekikan lirih yang menunjukkan
pembelaan diri. Setelah itu semuanya sia-sia. Tanpa tahu
bagaimana caranya, kedua orang itu telah berada di atas
punggung dua kuda dalam pangkuan dua lelaki perkasa.
Secepat kilat pula kuda bergerak bersama lima orang
pengiring lainnya. Dinar dan Nyi Rumbi tak mampu melihat
wajah para penculik mereka. Teriakan Dinar minta tolong juga sia-sia. Dan setelah menguak gerumbul ilalang, sampailah
mereka pada suatu perkampungan yang penuh dengan orang
bersenjata. Bahkan di antara rumah-rumah yang berpenghuni
cuma lelaki bersenjata itu, ada kandang kuda yang amat
besar. Dinar tak tahu berapa jumlah kandang yang ada di
dalam-, nya. Di sebuah rumah besar berdinding batu dengan
pendapa yang besar pula mereka berbelok. Halamannya
terbuat dari hamparan hijau seperti alun-alun yang juga luas.
Ada gerbang yang dijaga oleh orang-orang bersenjata. Pada
umumnya rambut mereka disanggul di atas kepala. Tata
rambut dan sumping kulit kerbau, serta gelang di lengan,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memberikan petunjuk bagi Dinar bahwa penculiknya adalah
laskar Penjalu.
Kuda yang mengangkutnya berhenti persis di depan
pendapa. Salah seorang dari mereka turun dan melapor pada
caraka (urusan) yang bertugas di pendapa. Caraka itu masuk
dan beberapa bentar kemudian seorang tinggi besar keluar
dari rumah itu. Langkahnya mantap. Dan semantap itu
suaranya kala bertanya pada anak buahnya yang sedang
berlutut menyembahnya.
"Ada apa, Cemengan?" Alisnya yang tebal membuat
matanya makin tajam. Suaranya seolah mengguruh.
"Hamba mempersembahkan seorang gadis yang amat
cantik?" "Apa tujuanmu" Kau mencari kenaikan pangkat dengan
menyuap aku?" Mata orang itu tidak berkedip. Sekalipun tanpa dihias kumis, namun wajahnya membuat anak buahnya
menjadi gugupi Apalagi disertai pertanyaan itu.
"Am... pun, Yang Mulia...." Orang itu gugup.
"Penculikan itu sendiri adalah tindakan tercela. Turunkan gadis itu!"
Dan terjadilah kehendaknya. Dinar dihadapkan pada
pemimpin laskar berkuda itu. Dalam ketakutan Dinar
mendongak, memperhatikan lelaki setengah baya yang berdiri
di hadapannya. Tapi orang itu sama sekali tak menoleh.
Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan sudut mata pun tidak! Mata orang itu masih
mengawasi anak buahnya dengan tajam. Dinar berdebar;
Mulut orang itu terkatup rapat. Rahangnya yang tampak
menonjol melintang kaku.
"Kau mengerti bahwa perbuatanmu ini bisa dihukum?"
"Hamba, Yang Mulia," Prajurit yang gempal itu gemetar.
Nyi Rumbi dan Dinar pun tak kalah gemetarnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku bukan orangnya yang dapat kauperlakukan begini.
Mengerti?"
"Hamba, Yang Mulia."
Dengan sedikit gerakan orang itu menoleh pada Dinar.
Hatinya sedikit heran karena Dinar tidak menyembahnya.
Dengan suara berat ia bertanya.
"Siapa namamu?"
"Dinar," jawaban yang tanpa penghormatan. Sekalipun saat ini ia juga telanjang dada, tidak secuil pun tanda-tanda yang menunjukkan bahwa" ia brahmani.
"Dinar" Dan itu pembantumu?"
"Hamba..."
Orang itu memutar tubuhnya menghadap si caraka.
Suaranya masih berat, sekalipun bening dan menggambarkan
ketenangan yang luar biasa. "Panggil tamuku!"
Caraka itu menyembah lalu memunggunginya.
"Mengherankan, seorang brahmani berjalan tanpa kawalan para cantrik. Hendak ke mana?" Masih tanpa senyum.
Dinar berdesir. Pertanyaan sederhana yang penuh selidik.
"Ke lereng Gunung Kawi..."
"Jauh benar." Orang itu memotong. Kemudian diam sesaat.
Lalu menoleh pada anak buahnya yang tadi menculik Dinar.
Sementara itu Dinar melirik ke sana-kemari untuk mengamati
keadaan. Ternyata pendapa itu dihiasi janur-jemanur.
Bahkan disediakan tempat duduk istimewa. Ada umbulumbul beraneka macam di gapura. Juga sepanjang dinding
pagar halaman yang amat luas itu. Tapi Dinar tak mengerti
apa makna semua itu. Tentu bukan penyambutan bagi dirinya.
Dinar tak sempat merenung terlalu jauh, karena beberapa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jenak kemudian, ia dikejutkan oleh munculnya seseorang dari balik pintu. Dan ia menyebut dalam hati.
"Ini wanita yang kaumaksud?" Kuda Amiraga dengan suara mengguruh bertanya pada orang yang baru muncul itu.
Berpakaian brahmana. Masih muda.
"Paman!" brahmana muda itu bergirang. "Benar." Dan kemudian langsung pada Dinar. "Tak kukira kau menyusul aku kemari. Tapi kenapa kau tak mengenakan pakaian brahmani?"
Merah muka Dinar mendengarnya. Mata tajam Kuda
Amiraga terus memperhatikan kedua orang itu. Candala Raka
berjalan mendekati Dinar. Nyi Rumbi memandang Dinar heran.
"Ternyata kau tak kuasa menipu diri sendiri, bukan" Kau mencintaiku?" Candala Raka tersenyum penuh kemenangan.
"Hyang Dewa Ratu!" Dinar menyebut dalam marahnya.
"Bandit! Jadi kaulah otak penculikan diriku" Kau yang
membayar dia untuk menculik aku?"
"Sabar! Kau sendiri yang datang ke sini. Bahkan rela
melepas kebrahmanianmu. Artinya kau tidak terikat lagi
dengan kekasihmu, bukan?"
Seperti ditampar oleh seribu petir Dinar mendengar itu.
Maka ia menoleh pada Kuda Amiraga.
"Yang Mulia!" teriaknya berani. "Inikah kerja laskar Penjalu yang kabarnya pelindung kawula itu" Kau pintar bersandiwara.
Ternyata kalian telah bersekongkol dalam menculik aku. Tapi kau berpura-pura memarahi mereka. Ternyata kau sama
banditnya dengan Candala Raka!"
Kulit muka sawo matang Kuda Amiraga makin kelam
mendengar itu. Telinganya seolah dapat bergerak-gerak
seperti telinga macan yang mendengar langkah mangsanya.
Hatinya terbakar bukan kepalang. Tak pernah ia mendapat
perlakuan semacam itu. Dari wanita mana pun. Apalagi, ia
adalah seorang perwira tinggi yang amat disegani di Penjalu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia selalu menang dalam setiap pertempuran. Maka dengan
suaranya yang seperti guruh itu dia tatap wajah Candala Raka.
"Kau yang meminta aku melamarnya. Kaukatakan bahwa
kalian sudah saling mencintai. Tapi sekarang kau
mempermalukan aku. Brahmana macam apa kau?"
"Paman..."
"Rupanya kau akan menggunakan kewibawa-anku untuk
memaksakan kehendakmu pada orang lain. Kau sudah
bersalah terhadap seorang perwira tinggi. Ini penghinaan! Kau harus dihukum!" ?geram Kuda Amiraga.
"Paman..."
"Juga kau!" kemudian ia menunjuk Dinar. "Yang bersalah bukan aku. Seharusnya kubiarkan kau diperkosa ramai-ramai
oleh Cemengan dan kawan-kawannya di hutan." Berhenti
sebentar sambil menelan ludahnya. Matanya tetap tajam.
Bahkan kini memancarkan bara yang menganga di dadanya.
Dinar terkesiap mendengar kata-katanya. Brahmana tak
berharga di mata Kuda Amiraga.
"Rasa keadilan dalam hatiku membuat aku turun tangan
menyelamatkanmu. Tapi rasa keadilanku yang terusik itu pula membuat aku akan menghadapkanmu pada penguasa hukum
atas Penjalu, Yang Maha Mulia Sri Jayabhaya yang sebentar
lagi akan tiba di sini."
"Hyang Dewa Ratu!" Dinar memandang Rumbi.
"Kau sudah menghinaku. Sekarang kau boleh pilih. Aku
menyerahkanmu ke tangan penculik-mu atau..."
"Paman, ampuni, hamba. Berikan ia sebagai istriku."
Candala Raka berjuang.
"Tutup mulutmu! Caraka! Panggil para inang juru masak
kita!" Candala tidak berkutik. Karena Kuda Amiraga tak mempedulikan omongannya. Beberapa jenak tak seorang pun
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bergeming. Kecuali orang-orang yang sibuk memasang pelita,
untuk mengusir kegelapan. Dalam hati Dinar bertanya, Sri
Jayabhaya" Akan tiba di sini" Mengherankan seorang raja tiba tanpa penyambutan yang luar biasa.
Memang tak ada penyambutan luar biasa. Karena
Jayabhaya akan datang dengan diam-diam. Secara resmi
Jayabhaya bermalam di rumah kepala desa Ngafltang, tapi
sebenarnya Jayabhaya tidak pernah merasa aman tinggal di
luar tembok istananya sendiri. Maka setiap kali beranjangkarya ia selalu berpindah-pindah tempat tidur, untuk mengelabui
musuh-musuhnya. Bukan tak mungkin Raja Jenggala,
Hemabhupati, mengirim telik (serdadu rahasia/agen rahasia)
untuk membunuhnya.
Ruangan telah menjadi terang kembali oleh pelita yang
begitu banyak. Dan beberapa bentar kemudian dua orang
wanita juru masak yang dimaksud oleh Kuda Amiraga
memasuki pendapa. Ternyata mereka bukan juru masak biasa,
karena di pinggang mereka juga bergantung pedang yang
tidak terlalu panjang, yang tidak sebesar milik prajurit pria.
Orang-orang itu juga telanjang dada seperti laiknya prajurit pria.
"Beri dia ruangan tersendiri. Beri juga pakaian! Karena dia akan aku hadapkan pada Yang Maha Mulia." Suara Kuda
Amiraga membalas penghormatan mereka.
"Hamba, Yang Mulia." Dua orang itu menyembah lagi, kemudian mendekati Dinar. Keduanya mengerti benar apa
makna kata-kata Kuda Amiraga. Wanita ini menjadi tawanan
terhormat. Jangan coba-coba meninggalkan tempat ini kalau
ingin selamat. Demikian peraturan yang tidak tertulis dan tak terucapkan. Tapi mendadak saja Candala Raka kembali
berkicau, "Paman. Begitu tega Paman memperlakukan hamba seperti
ini. Kembalikan istriku..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baik. Aku tanya padamu, _Dinar! Benarkah kau istrinya?"
"Penipu!" desis Dinar jengkel, sekalipun ia putus asa.
"Kau telah mengarang cerita bohong padaku. Dan hampirhampir saja aku dipermalukan di Adiluwih. Tapi kau tidak
meluputkannya di sini. Di hadapan anak buahku. Sekarang
masih memaksa aku. Membantah keputusanku. Tidak tahukah
kamu bahwa aku penguasa di sini" Semua orang harus patuh
padaku. Kau justru menghancurkan kewibawaanku. Karena itu
selayaknya kepalamu yang keras ini dipisahkan dari tubuhmu!"
"Paman..." Candala menjatuhkan diri dalam ketakutan yang amat sangat. "Aku anakmu sendiri..."
"Kewibawaan hanya bisa ditegakkan oleh kebenaran.
Barangsiapa tak berpegang teguh pada kebenaran, tak pantas
menjadi seorang pemimpin. Dan kau____Ah, jika brahmana
seperti ini dibiarkan hidup, maka^pekerjaanmu kelak tak lebih dari mengotori negeri yang aku cintai dengan segala
kekuatanku..."
"Paman!" Candala menangis tersedu-sedu. Menyembah.
Sementara itu Dinar menyebut dalam hati. Apa jadinya jika
ia membantah. Anak kakaknya sendiri dibunuh. Maka ia dan
Nyi Rumbi tak membantah ketika dibimbing masuk. Sayup ia
sempat mendengar perintah Kuda Amiraga pada prajuritnya
untuk melaksanakan pembunuhan itu. Candala Raka berteriakteriak, memohon ampun. Tapi suaranya makin lama makin
punah dari pendengaran Dinar.
Masuk ke rumah besar. Melewati lorong-lorong yang
diterangi sinar pelita yang terpasang sepanjang kiri-kanan
lorong itu. Ada bilik yang selalu tertutup dan dijaga. Tentu itu gedong pusaka (bilik penyimpanan senjata). Setelah itu ia
melihat di sebelahnya ada ruangan yang lebih besar. Saat ini bilik itu juga dijaga. Mungkin ini bakal tempat tidur Jayabhaya nanti. Di sebelahnya juga satu ruangan besar. Ternyata ia
dihentikan di depan ruangan ini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sudah mandi?" tanya salah seorang wanita tadi.
"Sudah."
Keduanya membuka pintu dan mempersilakan Dinar
masuk. Apa yang dilihat Dinar cukup membuatnya tercengang.
Ada sebuah tempat tidur yang besar dengan alas permadani
Mesir. Hijau warnanya. Ada sebuah kotak besar seperti almari.
Ternyata seorang dari kedua wanita itu menuju ke sana dan
mengambil kain wanita dari dalamnya. Tanpa banyak bicara ia langsung melepas pakaian Dinar.
"Aku bisa melakukannya sendiri," bantah Dinar, sementara Nyi Rumbi tak habis pikir. Tapi dua wanita itu tak menggubris sama sekali. Tanpa daya Dinar harus telanjang bulat. Kedua
wanita itu berdecak melihat setiap lekuk tubuh gadis di
hadapannya itu. Sungguh luar biasa, puji mereka tanpa
berjanji. Dan keduanya geleng kepala sambil berdecak. Dinar resah dipandang semacam itu. Apalagi dalam ketelanjangan.
Hampir ia menangis. Namun ketidakterimaannya tidak
membuahkan hasil. Kulit Dinar yang halus seperti kulit bayi membuat mereka benar-benar iri. Apalagi kulit itu jarang
menerima sengatan mentari karena selalu mengenakan jubah
kebrahmani-an. Dan kala kain dililitkan, Dinar masih
menunjukkan, ketidakterimaannya,
"Aku seorang brahmani. Aku tak mau berbusana seperti
ini." "Ini perintah! Jika membantah... Tahu nasib Candala Raka"
Atau kau ingin seperti dia" Yang lebih buruk dari itu juga..."
"Apa" Apa yang lebih buruk dari kematian?"
Kedua wanita yang juga masih muda itu terkikik-kikik. Dinar dan Nyi Rumbi pun saling pandang.
"Rupanya kau belum pernah mendengar ada yang lebih
berat dari hukuman mati bagi tiap wanita" Ada seorang teman kami menolak melayani Sri Jayabhaya waktu beliau
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
beranjangkarya semacam sekarang ini, karena dia sedang
hamil muda. Ia mengalami nasib yang amat buruk. Ia
dilempar ke tengah-tengah budak yang dipekerjakan di
tambang emas. Di sana ia harus melayani para budak itu
bergantian..."
"Dewa Bathara!" Dinar menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Nyi Rumbi pun tak kalah takutnya.
"Bayangkan! Ratusan budak! Kita cuma seorang. Dan
mereka itu tentu sangat haus, karena bertahun-tahun tidak
bersua dengan wanita. Jika kita sudah lemas, akan diangkat
untuk diberi makan dan istirahat. Setelah cukup sehat
dilempar lagi untuk mereka yang belum menerima giliran.
Begitu seterusnya sampai semua budak merasakan tubuh
kita." Kepala Dinar menjadi pening mendengar itu. Tubuhnya
lemas. Wajahnya pucat. Tidak bisa ia membayangkan
menerima kehinaan yang sedemikian itu. Nyi Rumbi masih
bersimpuh. Ia makin terpesona memandang Dinar dalam
busana seorang wanita kasta satria. Sekalipun sedikit pucat, namun gambaran lekuk tubuh Dinar lebih nampak jelas. Tak
seperti jika sebagai seorang brahmani, yang menutup lekuklekuk tubuhnya dengan jubah. Kain melilir^itat, tentu tak
menyembunyikan bentuk pinggul Dinar. Juga bahagian
depannya yang sedikit terbelah sampai sebatas lutut,
memberikan pesona tersendiri saat wanita muda itu berjalan.
Sementara itu malam kian merangkak jauh. Dan sebentarsebentar lolong anjing hutan menguak kesunyian. Pikiran
Dinar kini berlarian kian-kemari tanpa arah. Jauh di sudut
hatinya ada tanya: masihkah ada harapan bersua Sedah"
Masa lalunya kembali melintas. Sepercik penyesalan muncul
di balik dinding hatinya. Andaikata ia tidak meninggalkan
Adiluwih, barangkali saja tidak akan pernah terjadi hal yang seperti ini. Dalam diam, pelahan-lahan air matanya tersembul
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
di sela kedua belah kelopak matanya. Lalu bergulir malas.
Butir demi butir. Turun membasahi pipi yang montok itu.
"Hyang Dewa Ratu! Kenapa Yang Suci menangis?"
"Keberadaanku tak mampu melawan kodrat. " Bibi, ampuni aku telah menyeretmu pada aniaya ini."
"Oh, Yang Suci... jangan pikirkan hamba. Hamba akan setia mati ataupun hidup."
"Bibi..." Dinar menjatuhkan diri ke pelukan Nyi Rumbi.
Beberapa bentar terbenam dalam isak, dalam ketidakberdayaan. Di luar masih sering terdengar suara anjing
menggonggong. Kunang-kunang bergerak seolah bintangbintang yang sedang mendarat. Jangkrik dan binatang malam
lainnya memperdengarkan suaranya sendiri. Seolah tak peduli pada isak Dinar, yang tidak menyadari bahwa sebenarnya
rombongan Sv'i Jayabhaya telah tiba, karena memang ia tak
mendengar apa yang sedang terjadi di seputarnya.
Pengamatannya sedang berlarian tak menentu. Berulang
wajah dan nama Sedah muncul di awan-awan hatinya, tapi
berkali-kali pula pergi seperti rajawali terbang. Sampai kedua orang itu disentakkan oleh suara pintu dibuka.
"Hapus air matamu itu!" salah seorang dari dua wanita yang tadi mengawalnya itu benkata. "Atau susumu yang
montok itu akan kauserahkan pada ratusan budak-budak?"
Punah seketika kekuatan Dinar. Kelincahannya musnah
sama sekali. Apalagi ketika mulut wanita muda itu
memerintahkan agar ia berdiri. Seluruh persendiannya
gemetar. Pelahan ia melangkah sesuai kemauan dua wanita
itu. Sementara Nyi Rumbi mengikuti di belakang ketiganya.
Tentu bukan karena ketatnya kain yang melilit bagian bawah
tubuhnya, tapi karena memang kekuatannya sudah habis.
Ketakutan merajai hatinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam iringan dua prajurit wanita, ia kembali menyusuri
lorong yang dilewatinya tadi. Namun tidak kembali ke
pendapa. Di tengah-tengah ternyata ada belokan ke kiri.
Beberapa puluh langkah kemudian mereka memasuki ruangan
besar. Lantainya digelari permadani merah. Dinar tak tahu,
siapa-siapa yang duduk di ruangan itu, berapa orang yang
sedang berkumpul di ruangan itu. Tidak! Ia tidak tahu. Karena ia memang menunduk dalam-dalam. Tapi kebiasaannya
sebagai brahmani, membuatnya tidak bersimpuh dan
menyembah. Namun Nyi Rumbi yang ngelesot di sampingnya
mengamati semua dan segala. Ada sekurangnya enam belas
pilar kayu yang kokoh menyangga atap ruangan itu. Dinding
kayu berukir-ukir mengelilingi mereka. Namun ia tidak tahu
jenis kayu apa yang dibuat sebagai dinding itu. Di tiap-tiap pilar tertancap pelita yang terbuat # dari perunggu. Letaknya miring hingga membuat sudut pada pilar itu. Masih ada lagi di kiri-kanan tempat duduk yang kini diduduki oleh Jayabhaya.
Hingga Nyi Rumbi dapat melihat jelas wajah Jayabhaya. Tinggi besar, bahkan agak sedikit gemuk jika dibanding Kuda
Amiraga. Cambang di depan dan telinganya memanjang
sampai ke pangkal rahangnya. Sudah lebih separoh warnanya
bercampur putih. Tidak berkumis. Seperti halnya Kuda
Amiraga, ia tidak memelihara kumis. Hidungnya mancung.
Tidak seperti Amiraga yang sedikit melebar kendati tidak
Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pesek. Gelang emas menghiasi pergelangan tangan dan
pangkal lengannya. Empat buah. Sebagai keturunan Erlangga, maka ia mengenakan simbol garuda mukha pada pending
emasnya. Membuktikan betapa kayanya Jayabhaya.
Betapa tidak" Setelah mengalahkan Jambi yang diabadikan
oleh Mpu Panuluh dalam kakawin Gatotkaca Craya, dia
memiliki banyak tambang emas di Swarnadwipa. Maka tak
heran ke mana pun pergi ia selalu membawa tongkat
sepanjang lengan yang terbuat dari emas murni. Pangkal
tengkorak bertaring sebesar kepalan tangan wanita pada
tongkatnya itu juga terbuat dari emas murni.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Inikah dia?" suara Jayabhaya memecah keheningan.
Memang tidak semantap suara Kuda Amiraga, bahkan sedikit
sengau, tapi itu cukup membuat tubuh Dinar menggigil seperti orang kedinginan.
"Hamba, Yang Maha Mulia." Amiraga menyerahkan.
"Bapa Yang Tersuci, benarkah ini seorang brahmani" Dari Widya Trisnapala?"
Mpu Panuluh yang menyertai perjalanan Raja itu
menggosok-gosok matanya. Dengan saksama ia memandang.
Ya! Ia teringat.
"Hamba, Yang Maha Mulia." Suaranya sedikit ragu.
Tapi Dinar tidak lupa, bahwa itu adalah suara Mpu Panuluh.
Sepercik harapan memuncrat di sudut hatinya: mudahmudahan Mpu Panuluh menolongnya.
"Apakah brahmana diajar menghina seorang perwira tinggi seperti yang telah dilakukannya?"
Dinar menyebut dalam hati. Satu tuduhan tanpa
menanyainya lebih dahulu. Ia tidak segera mendengar
jawaban Mpu Panuluh. Orang tua itu mengernyitkan dahinya
sambil mengelus-elus jenggot putih sepanjang leher. Suasana menjadi hening kembali. Dinar memperoleh kesan, Mpu
Panuluh pun dalam kesulitan di bawah lindasan mata
Jayabhaya. Tapi Dinar tetap menunduk.
"Widya Trisnapala adalah perguruan tinggi terbaik di
seluruh wilayah Penjalu. Hamba tahu, tidak mungkin diajarkan cara-cara menghina. Memang brahmana bukan diajar agar
menghina, tapi mengajar yang tidak tahu."
"Jika demikian ia patut menerima hukuman?" Jayabhaya mendesak lagi.
Kembali Mpu Panuluh bergelut dalam kebim-bangan. Ia
berkali menghela napas panjang. Tapi Jayabhaya menanti
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan sabar. Matanya yang agak sipit karena bulu matanya
tidak lebat itu berkali mengamati Dinar. Mulai dari ujung kaki sampai rambutnya. Dan hatinya bergetar. Luar biasa. Wajah
bulat telor. Dihiasi mata bundar dengan alis teduh berbentuk kembang turi. Bibirnya tipis mungil.
"Segala purba wasesa tentang hukum ada di tangan raja, bukan di tangan pandita." Panuluh menjawab dengan bijak.
Bijak untuk menyelamatkan diri sendiri. "Ampunkan hamba..."
Dinar kecewa luar biasa. Tapi apa dayanya" Doa terus
terucapkan dalam hati. Segala mantra ia baca, namun apa
yang didengarnya membuatnya jatuh pingsan.
"Bawa dia ke istana, Rakai Hino Dyah Pawasi! Dia akan
menjadi Permaisuri Penjalu. Perintahkan seluruh dayang
kepala dan kepala biti perwara istana mempersiapkannya. Kau sendiri, persiapkanlah upacara peresmiannya. Semua akan kita lakukan segera setelah aku tiba dari anjang-karya."
"Bagaimana dengan Putra Mahkota?"
"Beri tahu padanya: Ini keputusan Raja. Tanpa
mengganggu kedudukannya sebagai Rakai Holu, karena dialah
memang pewaris Kerajaan Penjalu yang sah. Tapi jabatan
Permaisuri yang kosong selama beberapa tahun karena
berpulangnya adinda sorga (istilah untuk pembesar yang mati karena sakit, bukan karena perang) haruslah diisi."
"Hamba Yang Mulia." Orang itu menyembah.
Dan pada kedua pengawal wanita serta Nyi Rumbi, ia
memerintahkan agar tubuh Dinar diangkat.
"Yang Tersuci, pulanglah beserta mereka. Persiapkan
upacara yang akan Yang Tersuci pimpin itu. Umumkanlah pula
bahwa nama pramesywari adalah Prabarini. Artinya, wanita
yang bersinar-sinar. Juga siapkan pakaiannya. Jangan pakaian brahmana, karena ia telah menjadi satria yang akan diperistri oleh Maha Raja."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hamba, Yang Maha Mulia."
Panuluh segera meninggalkan Jayabhaya. Dalam hati
mengakui, siapa yang tak akan runtuh imannya berhadapan
dengan wanita seperti Dinar" Ah, namanya bukan berarti uang emas lagi, sehingga diperebutkan oleh banyak orang. Tapi
diganti Prabarini: wanita yang bersinar-sinar. Istri seorang Madhusudanawata, yang berarti raja ketitisan Wisnu. Ketitisan Sang Wasesa Jagad Semesta dan Pramudita! Tak boleh ada
yang memperebutkannya lagi jika tidak ingin lumat binasa.
Siapa yang tak akan tunduk pada Jayabhaya Sang
Madhusudanawata itu" Kaum brah-manapun harus tunduk!
Raja-raja asing pun harus mendengarnya.
Panuluh sendiri merasa, bahwa ia tidak berdaya di hadapan
Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmesywara
Madhusudanawata Anindita Suhtrsinghadani Parakarama
Uttungga Dewa. Tak ada yang boleh membantah, kendati
usianya sudah di atas lima puluh, tapi mengambil
paramesywari gadis berumur enam belas tahun. Juga tak
boleh dibantah, walau menyalahi peraturan karena gadis itu
dari kasta brahmana yang seharusnya dihormatinya. Karena
Jayabhaya juga bergelar Anindita alias Yang Tak Bercela!
Maka dengan kepala tertunduk ia melaksanakan semua yang
dimaukan Sri Jayabhaya!
0ooo0dw0ooo0 Ibukota Kerajaan Penjalu menjadi semarak dengan tibatiba. Jalan-jalan raya maupun perkampungan dihiasi umbulumbul. Ribuan, dengan aneka warna-warni. Tiap pendapa di
rumah-rumah bekel, kepala kampung, atau pamong praja
lainnya, juga dihias dengan umbul-umbul dan janur-jemanur.
Tidak, kalah meriah dibanding Hari Raya Wai^aka atau Hari
Raya Kuningan. Tidak! Jalan-jalan dibersihkan. Tidak satu
rumpun rerumputan pun diperkenankan tumbuh. Semarak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memang, kebetulan juga karena ketika itu awal musim semi di Daha.
Pedati-pedati, dan kereta-kereta penumpang juga dihiasi
dengan umbul-umbul, tapi tentu ukurannya jauh lebih kecil
dibanding dengan yang tertancap di pinggir-pinggir jalan.
Yang di pinggir jalan panjangnya barangkali hampir dua depa, tapi yang di pedati-pedati itu cuma satu depa. Lebarnya juga cuma sejengkal, dibanding yang di pinggir-pinggir jalan yang dua kalinya.
Lumut-lumut yang menempel di dinding percandian atau
perbentengan kota juga dibersihkan. Sampai-sampai dinding
batu yang mengelilingi kota Daha itu tampak seolah baru.
Ukir-ukiran yang terpampang tinggi di alun-alun untuk memuji kebesaran Sri Jayabhaya diberi warna baru setelah dibersihkan dari debu yang menyelimutinya. Apalagi ukir-ukiran yang
menempel di dinding perbentengan keraton. Semua seolah
baru. Dermaga yang menjadi tempat berlabuh perahu, dan jung
Penjalu di tepi Sungai Brantas juga dibersihkan dan dihias.
Bukan cuma dermaganya yang dihias, tapi semua perahu milik
warga negara Penjalu yang berpangkalan di dermaga Daha
harus dihias. Beraneka sutra untuk umbul-umbul. Dan jika
perlu, diperbaharui warnanya, seperti milik kerajaan. Semua diperbaharui. Apalagi kapal-kapal perang milik laskar laut
Penjalu. Pendek kata semua dan segala diharuskan
menyambut hari pernikahan Sri Jayabhaya.
Tidak tanggung-tanggung. Sri Jayabhaya bahkan
memerintahkan orang membangun taman tersendiri untuk
Prabarini. Taman itu dikerjakan oleh lebih dari tiga ratus
orang, dengan maksud agar cepat selesai. Tapi mereka bukan
Sukrasana, yang dapat meraup Taman Sriwedari milik Bathara
Wisnu di Sorgaloka untuk kemudian dipindahkan ke kerajaan
Prabu Arjuna Sasrabahu di bumi. Bukan! Mereka tidak hidup
dalam alam wayang purwa. Tapi Jayabhaya menghendaki,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keindahan taman itu menyamai keindahan Taman Sriwedari
milik Mahadewa Wisnu, karena ia bergelar Madhusudanawata. Direncanakan dalam taman itu akan ada sebuah pemandian
bagi Prabarini, sehingga wanita itu dapat berenang atau mandi di pancuran dengan sesuka hati tanpa harus mencari ke luar
taman. Taman tersebut akan dikelilingi delapan menara di
delapan penjuru mata angin. Dan di tengah-tengah juga ada
satu menara, yaitu yang paling tinggi di antara semua menara.
Jadi jumlah menaranya akan ada sembilan. Delapan menara
itu berukuran setidak-tidaknya tiga depa menjulang ke atas.
Dasar menara empat depa lebih kelilingnya. Menara induknya
lebih tinggi. Dasar menara induk dikelilingi batu berhias dan berpeli-pit emas, lengkap dengan ukiran kepala garuda yang
dari mulutnya memuncratkan air sebagai pancuran yang
mengisi kolam renang. Kolam itu sendiri panjangnya hampir
enam depa, dan lebarnya tak kurang dari empat depa lebih.
Juga di sudut kolam ada jalawara (pancuran air, yang
memuncrat dari tangan patung Wisnu) yang terselubung oleh
patung Bathara Wisnu yang tangannya memberikan air
kehidupan pada tiap insan. Saluran air pembuangan
ditempatkan pada empat sisi kolam itu. Selain itu tepat di
samping kolam renang itu akan dibangun pesanggrahan
istimewa bagi Sri Prabu dan paramesywari.
Namun semarak kota Daha itu tidak dialami oleh Prabarini.
Dalam biliknya ia menangis tak putus-putus. Dayang dan selir mendapat perintah menjaga dan menemaninya. Sebahagian
para selir itu ada yang menjadi iba, tapi sebahagian lagi
tenggelam dalam lautan iri hati. Melihat wajah Prabarini yang sedemikian, tentulah Raja nanti tidak akan berpaling lagi pada mereka. Maka tak heran jika kadang mereka berbisik satu
dengan lainnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Itu bukan menangis sedih. Pura-pura saja! Mana ada
orang diperistri Raja malah sedih. Jadi Peramesywari lagi.
Huh! Gadis desa!" salah seorang menyatakan kekesalannya.
"Di desa paling-paling ia jadi istri seorang bekel. Atau akan jadi piala bergilir dari satu lelaki direbut oleh..." Mereka terkikik-kikik.
"Hus... kalian iri, ya?" Yang lain bertanya.
"Paling-paling nama aslinya bukan Prabarini. Berani
taruhan. Dan paling-paling anak seorang penjual sayur. Bukan seperti kita, anak-anak mantri bupati atau pamong praja."
"Belum tentu. Aku dengar ia seorang brahmani. Itu
sebabnya ia menolak menjadi istri raja. Lihat! Masa ada
seorang sudra punya inang pengasuh?" ?,
Prabarini sama sekali tidak tahu bahwa di luar biliknya
terjadi pergunjingan seru. Untung masih ada Nyi Rumbi.
Dialah satu-satunya yang menghibur dan dapat mencegahnya
dari niat membenturkan kepalanya pada dinding bata.
"Kita tanpa daya, Yang Suci. Mati berarti kita putus asa."
"Aku takut pada dewata, karena sumpahku pada Sedah."
"Jika Yang Suci diizinkan oleh Hyang Maha Dewa menjadi jodoh Yang Suci Sedah, maka tak akan terjadi hal seperti ini.
Berpikirlah sebagai seorang brahmani. Walau mungkin saja
gelar brahmani itu sebentar lagi akan lepas. Tapi
kebrahmanian harus tetap tinggal pada diri Yang Suci."
"Hyang Dewa Ratu!" Prabarini terkejut. Seorang sudra mampu bertimbang seperti itu. Atau karena dia sudra
sehingga tak kehilangan apa pun jika harus kawin dengan
seorang satria. Tapi aku" Ya! Siapa kau Prabarini" Dinar"
Siapa" Pertanyaan pantul-memantul dalam hatinya. Benarkah
kau berdarah brahmana" Bukankah kau anak Palagan-tara
yang tak tentu rimbanya" Apakah kau pikir nama Palagantara
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
itu nama brahmana" Bukan. Itu nama berarti: seorang yang
selalu berada dalam pertempuran. Hem, kau...
Prabarini terhenyak. Ia hapus air matanya. Ya, aku anak
pungut Mpu Dewaprana.
"Tidakkah l^ita harus menerima kenyataan ini sebagaimana adanya" Seperti Yang Suci sendiri telah ajarkan pada hamba
dan perawan-perawan di Adiluwih dulu?"
"Iya... iya____" Prabarini mengangguk-angguk, dalam keputusasaan. "Oh, Kanda... Sedah...," tangisnya lagi.
"Sayangilah air mata itu. Pantang brahmani menangis
seperti ini."
Kembali Prabarini tersentak. Nyi Rumbi membelai
rambutnya, seperti membelai anaknya sendiri. Dan kala pintu diketuk oleh seseorang, Prabarini memeluk Nyi Rumbi.
Tubuhnya gemetar.
"Jangan takut! Tentu Yang Suci akan mampu mengatasi
rasa takut dengan cara Yang Suci sendiri. Jika sudah teratasi maka dalam hati akan muncul kedamaian."
"Baik... Baik... Buka pintu!" Prabarini menghapus air matanya. Cepat-cepat. Ia ingin menunjukkan bahwa ia benar-benar seorang brahmani.
"Selamat pagi, Yang Mulia..." Mpu Panuluh yang berdiri di ambang pintu. Prabarini amat kaget. Ia tidak bercakap dalam Jawa, tapi Sansekerta, hingga dua pengawal dan dua selir
yang bertugas menemaninya tidak mengerti. Prabarini juga
membalas dengan Sansekerta yang amat bagus.
"Apakah bisa tidur enak?" Panuluh yang memang menerima tugas khusus dari Sri Prabu itu tersenyum.
"Tentu ini pertanyaan basa-basi seorang negarawan, bukan cuma sekadar brahmana," potong Prabarini agak sengit sambil mengerutkan dahi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mpu Panuluh terbahak. Semua orang memandangnya
heran. Para selir tertarik untuk mendengar percakapan
mereka. Tapi tak mengerti.
"Luar biasa brahmani dari Widya Trisnapala. Bukan cuma berani, tapi amat cerdas," katanya sambil menunduk dan mengelus jenggotnya.
"Yang Tersuci memuji terlalu tinggi. Tak ada seorang
cerdas membiarkan diri terjebak dalam ketidakberdayaan.
Juga tidak ada seorang pemberani membiarkan diri
dipermalukan."
"Jagad Dewa Bathara, ya, Jagad Prarnudita!" Panuluh menyebut sambil memandang wajah Prabarini tajam-tajam.
"Tak ada seorang pun berani mempermalukan Yang Mulia di sini."
"Hyang Dewa Ratu!" Prabarini bergerak maju dua langkah.
"Dari panggilan Yang Suci menjadi Yang Mulia, apakah ini bukan kehinaan" Yang Suci milik brahmana. Milik Dewa-Dewa!
Tapi kemuliaan milik satria. Untuk mencapai kesucian orang
harus meninggalkan kemuliaan. Karena kemuliaan bisa diraih
dengan menindas dan menipu, bahkan menakut-nakuti orang
banyak. Membunuh atau segala cara agar bisa jadi pemenang
dan dimuliakan oleh semua orang. Tapi kesucian tidak!
Kesucian dicapai dengan tapa brata yang tekun dan ulet. Juga membutuhkan pengetahuan tinggi untuk memecahkan rahasia
alam." Prabarini menempatkan diri di beranda. Kini semua selir dapat melihatnya. Memang harus mereka akui, Prabarini
mempunyai banyak kelebihan dibanding diri mereka. Apalagi
mereka dengar nyata-nyata wanita muda itu bercakap dalam
Sansekerta. "Yang Mulia benar. Tapi pada kenyataannya, seorang raja tidak pernah dapat dibatasi. Dengan kekuasaan, kekayaan,
dan dengan semua hukum serta peraturan, raja telah
menjadikan diri sebagai dewa. Dan harus diperdewakan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Barangsiapa menentangnya, tidak mendapat hak hidup di
negeri ini."
"Hyang Dewa Ratu!" Prabarini langsung teringat pada cerita dua pengawal wanita tentang buasnya budak-budak di
tambang emas. "Yang Maha Mulia Jayabhaya berhak mengawini Yang
Mulia." "Menurut Yama dan Gama tidak!" Prabarini masih
mencoba. "Dia adalah Madhusudana..."
"Karena dia berkuasa maka ia berhak mengatakan bahwa ia ketitisan Hyang Maha Wisnu, dan karena itu ia bisa berbuat
semau-mau."
"Tak ada pilihan lain bagi kita. Berhamba-hamba. Karena itu bersiaplah, besok upacara pernikahan Yang Mulia. Hamba
diperintahkan untuk bertanya, siapa ayah Yang Mulia, supaya bisa menyaksikan upacara pernikahan tersebut."
"Dewa Ratu!" Prabarini menahan marahnya. Tapi ia
mengerti benar bahwa Mpu Panuluh pun tidak berdaya,
karena ia makan gaji dari Sri Prabu. Sebenarnyalah, brahmana yang bersedia makan gaji telah menjadikan dirinya boneka
tanpa makna. Dan kini ia sendiri sedang diambang
kemusnahan makna diri.
"Hamba adalah anak burung yang telah pergi dari
sarangnya. Dan kini terperangkap oleh jerat anak manusia.
Maka tak ada artinya lagi bertanya siapa induk dan di mana.
Relakah Yang Tersuci jika induk burung itu terperangkap
juga?" "Ampunkan hamba, Yang Mulia. Jika demikian hamba akan
sampaikan pada Yang Maha Mulia. Memang anak burung yang
lepas sarang telah siap menghadapi kemungkinan yang
memenuhi kehidupan ini. Baiklah! Tapi jangan terlalu risau,
Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
karena sangkar yang disediakan bagi Yang Mulia adalah
sangkar emas. Terima kasih."
"Terima kasih kembali! Tapi jangan lupa, sekalipun emas tetaplah sangkar namanya."
Prabarini membalikkan tubuh. Lunglai. Tapi ia ingat akan
perkataannya sendiri. Ia burung yang dibiarkan pergi oleh
induknya dari sarang. Induknya tak pernah merasa
kehilangan. Tidak. Tentu yang kehilangan sekarang adalah
Sedah. Sedah! Sedah akan merana! Atau sebaliknya Sedah
menjadi jijik jika mengetahui bahwa kenyataannya ia bukan
seorang brahmani. Maka jadilah ia seperti laiknya perempuan sudra.
Ia tak bisa membayangkan. Jika menjadi seorang
paramesywari, bagaimana akan berhadapan dengan putra
mahkota yang usianya lebih tua darinya sendiri" Dan ia harus memanggil: anakku! Ia juga tak tajiu bagaimana nanti jika
harus berhadapan dengan para menantu suaminya" Sampai
saat ini ia belum pernah melihat wajah Jayabhaya.
Tampankah dia" Atau sudah penuh kerut-kemerut sehingga
pipinya berlipat-lipat" Ia juga tak tahu, bagaimana
perasaannya nanti berhadapan dengan sorot mata para selir
yang akan iri dan dengki karena mendadak saja ia diangkat
sebagai pendamping utama dalam hidup
Raja. Tidak! Ia tidak sanggup memikirkan semua itu. Dan ia
kemudian masuk ke dalam semadi untuk mencapai suatu
darana, karena di alam darana ia bisa mendapat kedamaian.
Tanpa memperhatikan sekeliling, dan dalam pengawasan Nyi
Rumbi, ia mulai mengadakan pranayana (pengaturan nafas
dalam yoga semadi). Sebab memang pranayana adalah awal
dari sebuah semadi. Jika pranayana gagal, maka gagallah
sebuah yoga semadi.
Langkah kedua maka ia memusatkan pikiran dan
pandangan untuk mencapai ekagrata (mengkonsentrasikan
pandangan sehingga tinggal satu titik saja yang nampak).
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam ekagrata barulah manusia bisa menyatukan cipta dan
karsa. Untuk mencapai ke sana tentu para yogis harus mampu
menutup telinga rapat-rapat, sehingga tidak mendengar suara apa pun, mampu mengesampingkan perasaan apa pun,
mampu meluluhkan kekuatan hawa nafsu apa pun.
Sampai-sampai kala senja hari Sri Jayabhaya berkunjung
untuk melihat dan berbincang barang sepatah dua, Prabarini
masih belum bangun dari semadinya. Jayabhaya kembali
tanpa berkata-kata. Dalam hati ia makin kagum pada calon
Paramesywari. Tentu ia seorang yang bijak, sebab seorang
yang berhasil dalam yoga tentulah mampu mengendalikan
dirinya sendiri. Maka tidaklah salah ia menumpahkan kasih
sayangnya pada istri mudanya itu. Ia berharap bahwa dengan
beristrikan seorang brahmani, negaranya akan menjadi suatu
negeri yang adiluhung dan terkenal di mana-mana. Tak apalah bersabar sampai esok. Pada Nyi Rumbi ia berpesah agar besok Prabarini dirias secantik mungkin. Banyak tamu-tamu yang
terdiri dari para pembesar negeri maupun pembenar manca
negara. Malam yang penuh pergumulan harus dilewati oleh
Prabarini dengan bersemadi. Ia tidak perlu mendengar semua
petuah dan nasihat dayang-dayang tua yang bertugas
memandikannya dengan air kembang serta mengolesi
tubuhnya dengan segala macam wewangian. Juga rambutnya
yang lebat dan panjang sampai di bawah lutut itu tak luput
dari wewangian. Menyerah adalah lebih baik dari pada harus
menjadi umpan para budak. Siapa tahu umur Jayabhaya tidak
terlalu panjang, sehingga ia akan terbebas jika Sri Prabu mati"
Hyang Maha Dewa tentu akan menolong siapa saja yang
dengan bersungguh hati memintanya.
Kini ia sedang menghadapi orang yang mem-perdewakan
diri. Orang yang menguasai hukum di atas bumi Penjalu. Lebih dari semua itu, merasa menguasai semua dan segala yang
hidup di bumi Penjalu. Termasuk manusia, tidak peduli kasta
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
apa saja, semua harus tunduk pada kehendak raja. Apalagi
sang Madhusudanawata. Luar biasa. Manusia yang dianggap
dewa! Semua pergumulan terlewati dengan kekalahan bagi
Prabarini. Ia harus merelakan nama yang disandangnya sejak
kecil, harus dilepaskannya. Nama Dinar, yang berarti emas
putih, kini diganti dengan Prabarini, yang berarti wanita yang bersinar-sinar. Jauh di lubuk hati yang terdalam, ia ingin
menyatakan penolakan, sebab ia tidak ingin menjadi wanita
yang bersinar-sinar. Tapi, ia bercita-cita menjadi sinar kaum wanita. Itu sebabnya ia menjadi brahmani. Jadi wanita
semacam Yang Tersuci Kilisuci. Namun ia bukan putra seorang penguasa seperti Kilisuci, sehingga dapat bertahan pada
pendirian. Dan apa yang dirasakan oleh Prabarini ialah, bahwa mulai saat ini musnahlah sudah yang bernama jatidiri.
Ia tidak tahu bahwa saat ini ribuan orang menunggu di
alun-alun. Semua ponggawa kerajaan hadir dengan
mengenakan pakaian kebesaran. Tidak! Ia saat ini sedang
dirias oleh beberapa dayang kepala yang sudah terpercaya
untuk merias semua istri Raja. Rambutnya yang panjang
disanggul tepat di atas kepala, hingga berbentuk seperti
sebuah mahkota hitam, apalagi dihias dengan untaian mutiara putih yang dilingkarkan dan dilekatkan. Gelang melingkar di kedua lengannya. Demikian juga pada pergelangan tangan.
Yang lebih menyakitkan hatinya adalah binggal emas yang
bergiring-giring, sehingga jika ia melangkah meninggalkan
bunyi. Mungkin saja bagi wanita lain merupakan kebanggaan,
mengenakan binggal emas bergiring-giring yang begitu mahal
harganya. Tapi tidak bagi Prabarini. Malah merupakan aniaya.
Bukan saja terasa berat, karena memang ia tak pernah
memakainya, tapi lebih dari _itu, dia mengerti bahwa dulunya binggal adalah suatu tanda bahwa wanita yang
mengenakannya adalah budak belian. Bukan di Penjalu
memang, tapi di seberang lautan sebelah barat, di negeri yang amat jauh. Tentunya dulu bukan giring-giring, tapi rantai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
panjang yang menghubungkan satu kaki dengan kaki lainnya,
sehingga sang budak tidak dapat pergi dengan bebas. Pada
perkembangannya, para suami yang punya istri cantik
memberikan binggal bergiring-giring pada istrinya, agar tak bebas pergi dengan orang lain. Jadi setiap gerak si istri akan selalu terdengar oleh suaminya. .
"Ah, ada-ada saja, Yang Mulia," sela salah seorang dayang yang mendengar cerita Prabarini tentang binggal.
"Betul. Hamba tidak membual. Kebanggaan bagi wanita
lain," Prabarini berhenti sebentar karena kakinya dicubit oleh Nyi Rumbi sebagai suatu peringatan agar berhati-hati
mengucapkan kata-kata, tapi ia tidak peduli, sambil melucu ia teruskan, "aniaya bagi hamba."
"Ah..." Dayang kepala mengernyitkan dahi sambil terus memasang kutang yang berbentuk rantai untuk menyangga
susu Prabarini. Putiknya tertutup hiasan emas berbentuk
kembang teratai. Putik susu yang masih belum bercampur
warna coklat kehitam-hitaman, menandakan bahwa ia masih
perawan. Apalagi masih menghadap tegak lurus. Setelah itu
pending emas juga terpasang di bawah pusarnya. Begitu halus kulit Prabarini yang tidak pernah bersolek itu, tak beda dengan pualam, membuat para dayang iri. Wajar mampu
merontokkan hati Sri Prabu yang sebenarnya sudah tua itu.
"Coba saja, pikir! Ada orang yang demi keenakan diri
sendiri sengaja memamerkan keperempuanannya untuk
merampas hati lelaki yang menjadi suami orang lain.
Perempuan itu bahagia bila bisa merampas suami orang. Tapi
si istri tentu teraniaya. Jadi dalam hidup ini, selalu ada dua sisi yang bertolak-belakang. Kebahagiaan bagi yang satu, aniaya
bagi lainnya."
"Walau mengalami hal yang sama?" tanya salah seorang dayang yang tertarik pada kata-kata Prabarini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya. Walau menerima hal yang sama. Andai saja kau
menerima anugerah seperti halnya aku, jadi seorang
paramesywari, tapi kau sudah pernah berjanji pada seorang
pemuda di hadapan Hyang Maha Dewa, bahkan telah
mengucapkan sumpah, apakah anugerah itu bukan malah
merupakan aniaya bagimu" Sementara orang lain mungkin
malah mengharapkan anugerah yang sama."
Mereka berdecak kagum. Para selir yang pernah mereka
rias belum satu pun yang pernah berkata seperti ini. Kalung mutiara dan emas sudah bergantungan di leher Prabarini.
Juga anting emas berseling jamrut sewarna dengan cincin
yang terpasang di jari manisnya yang runcing seperti duri
salak sudah bergantung di telinganya. Kemudian Prabarini
dipersilakan minum sebuah ramuan jamu yang tidak diketahui
apa nama -dan apa saja yang diramukan. Lalu dipersilakan'
berki-nang. Akibatnya seperti biasa, bibirnya seolah diberi pewarna. Dan...
"Sungguh wanita nareswari (wanita yang mempunyai
wahyu kerajaan)" bisik dayang kepala pada anak buahnya sambil bersujud tepat di depan telapak kaki Prabarini.
"Hyang Dewa Ratu... Mengapa tiba-tiba kalian berubah?"
"Sungguh. Kami belum pernah melihat istri raja seperti Yang Mulia. Ah, apakah kami sedang berhadapan dengan Sri
Lakhsmi (isteri bathara Wisnu, sang Pencipta dan Pemelihara Kehidupan)?"
"Aku seorang brahmani, bukan dewa-dewi dari Indraloka
(tempat para dewa)."
Beberapa saat kemudian dayang kepala surut untuk
memberi laporan pada prajangkara (protokol Istana) bahwa
paramesywari sudah siap. Dan kembali lagi untuk kemudian
menggiring Prabarini memasuki pendapa agung. Dayang
kepala selalu memberi petunjuk, apa yang harus dikerjakan
Prabarini. Dan dengan selalu ingat akan nasib wanita-wanita
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang terlempar ke tengah para budak, Prabarini mengiakan
semua kata-kata dayang kepala. Bahkan menangis pun tidak
berani, walau hati ingin meraung-raung menyatakan
kesebalannya terhadap semua dan segala.
Para selir mengiringkannya sambil berbisik-bisik satu
dengan lainnya. Ada yang memuji. Tapi tak sedikit yang
melecehkan. Para tamu sudah tak sabar menantikan kehadiran sang
putri. Lebih lagi Sri Jayabhaya. Berulang ia melongokkan
kepala ke arah puri di mana Prabarini seharusnya muncul.
Keringat dingin mulai membasahi telapak tangan dan kakinya.
Bahkan kepalanya mulai berdenyut-denyut. Bukan karena
terlalu berat menyangga mahkota emas. Ingin rasanya ia
sendiri pergi ke puri rias Paramesywari itu, dan memarahi para dayang yang lambat kerjanya.
Ia tidak tahu bahwa langkah Prabarini benar-benar seperti
sebuah siput. Barulah hatinya lega kala Mpu Panuluh
membunyikan giring-giring, tanda upacara siap dimulai. Suara gamelan berkumandang menyambut langkah Prabarini meniti
pendapa agung. Betapa pun hati wanita itu tersibak oleh
keterkejutan. Sama sekali tak pernah mimpi bahwa akan
menerima kemegahan yang sedemikian. Berbagai macam
bendera dan umbul-umbul menunjukkan kehadiran semua
pembesar laskar laut dan darat Penjalu. Bahkan di pendapa
agung itu berkumpul para menteri, para akuwu, para raja
bawahan. Dalam hati ia mencari, siapakah yang bernama
Hemabhupati dari jenggala itu"
"Para hadirin dipersilakan mempersembahkan
penghormatan pada Yang Mulia Paramesywari Prabarini
Uttungga Dewi..." Prajangkara memberikan aba-aba.
Dan semua orang mengangkat sembah, walau tidak
beranjak dari tempat duduk masing-masing. Hamparan
permadani merah melambari kaki wanita ini. Gemerincing
bunyi giring-giring menarik, semua orang untuk melirik ke
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
arah sang maha putri. Dan... semua hati menjadi ikut
berdebar. Berjuta pujian dan sanjungan bergema di setiap hati lelaki maupun wanita yang melihat wajah Prabarini. Tiada
segaris pun cela di kulitnya. Sampai-sampai tidak sedikit yang ternganga dalam kekaguman.
Bukan cuma mereka. Sri Jayabhaya sendiri tidak pernah
membayangkan akan bersua dengan seorang yang berparas
seperti ini. Anugerah yang tak berbanding. Bukankah ini Sri Lakhsmi sendiri" Ia buru-buru berdiri sebelum prajangkara
mempersilakannya. Jayabhaya menggosok matanya. Ah,
andaikan ia adalah Prabhu Arjuna Sasrabahu, tentu ia akan
menyuruh patihnya yang bernama Suwandha itu untuk
memindahkan Ta-man Sriwedari demi Prabarini. Tentu dalam
sekejap taman itu sudah berpindah ke Daha.
"Om awighnam astu namas siddam____" Panuluh mulai berdoa.
Dan semua orang mendengar. Atau ada yang dengan
khikmad menutup mata dan ikut berdoa, tapi ada yang
setengah-setengah menutup atau membuka mata sambil
mencuri pandang untuk memperhatikan wajah Sri Ratu yang
baru. Semua brahmana istana yang berjumlah dua puluh tiga
orang itu ikut berdoa bersama-sama. Kemudian membaca
mantera Lokananta (mantera pelebur dosa) sebagai awal dari
semua langkah yang akan dikerjakan atau memasuki jenjang
kehidupan baru. Setelah beberapa lama, Panuluh mengangkat
tongkat yang bergiring-giring dan ia menutup semua
rangkaian doa yang panjang.
"Sri Maha Raja dipersilakan menjemput paramesywari."
Prajangkara kembali mempersilakan.
Sementara semua orang mengangkat sembah sampai
tertunduk ke lembaran permadani, dan Prabarini masih berdiri tegak, Raja melintas permadani merah bergambar kalacakra
hitam dan berpelipit kuning, pada ujung-ujungnya runcing di keempat mata penjuru angin: simbul kebesaran raja-raja
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wisnu. Sebab, cakra adalah senjata Wisnu dalam
menghancurkan keangkaramurkaan.
"Bersujudlah!" bisik dayang kepala yang ada di sebelah dan memegang lengan kanan Prabarini. Sedang sebelah kirinya
adalah Nyi Rumbi. Dayang itu menarik lengan Prabarini ke
bawah sambil menekuk kakinya. Dengan hati berat Prabarini
melakukan apa yang bertentangan dengan hukum yang ia
pelajari. Seorang brahmani menyembah satria.
"Bersembahlah!" bisik dayang itu lagi setelah Jayabhaya tepat berdiri di hadapannya.
"Oh ampunkan hamba, Hyang Maha Dewa. Ini menyalahi
kodrat," keluh Prabarini dalam hati. Tapi kembali dayang sialan itu berbisik supaya ia menyembah. Dan dengan tangan
gemetar Prabarini menyembah. Air matanya, tersembul di
sudut kelopak matanya. Tapi ia cepat menghapus dan
kemudian melindas kepahitan hatinya.
"Cucilah kaki Sri Prabu!" bisik dayang itu lagi.
Setelah itu beberapa dayang menyediakan bokor emas di
tengah jarak antara Sri Prabu dengan paramesywari baru.
Sambil masih terus berlutut, Prabarini melakukan
keharusan yang ditentangnya itu. Kaki yang berwarna sawo
matang dengan kuku yang berwarna kuning bercampur coklat.
Setiap orang yang menyaksikan pasti bisa melihat, tangan
Prabarini gemetar ketakutan. Tapi harus ia kerjakan sebagai persyaratan bahwa ia resmi menjadi seorang istri. Rambut
lebat masih belum rontok dari pangkal jari-jari kaki Jayabhaya.
Selesai itu giring-giring berbunyi. Dan Mpu Panuluh segera
berteriak dengan keras.
"Sejak saat ini Penjalu mempunyai Permaisuri baru. Kiranya damai sejahtera melingkupi negeri ini."
Gamelan juga segera berbunyi keras-keras.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dirgahayu!" Kembali Panuluh berkata. "Dirgahayulah Sri Prabu! Dirgahayu Paramesywari! Dirgahayu semua kawula
Penjalu!" "Dirgahayu!" Teriak semua hadirin.
"Dirgahayu!"
Mendengar itu, yang di alun-alun, walau tidak tahu persis
apa yang sedang terjadi, ikut berteriak keras-keras,
"Dirgahayu! Dirgahayu Sri Prabu! Dirgahayu
Paramesywari!"
Jayabhaya tersenyum. Sambil mengangkat alis sebelah
kanan tapi itu membuat mata kirinya menyipit sedikit, ia
mendekati istri mudanya yang masih berlutut dengan
gemetar. "Istrinda...," sapanya.
Prabarini masih menunduk. Tidak tahu apa yang harus
dikerjakannya. Sampai dayang kepala berbisik lagi,
"Bersembahlah!"
Dan dengan amat gugup Prabarini menyembah. Dan ia
Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serasa melayang-layang tanpa tahu apa yang harus diperbuat
tatkala tangan Jayabhaya yang besar dengan jari-jemari yang sebesar-besar pisang emas itu menarik lengannya untuk
berdiri. "Mari, Adinda! Istrinda!"
Jayabhaya kini yang membimbingnya. Para biti perwara,
selir, dan dayang kini mengiring di belakang keduanya.
Melintas permadani kalacakra. Berhenti tepat di tengah-tengah kalacakra, Mpu Panuluh berdoa untuk mereka.
"Aum santih, santih santih____" Mpu Panuluh mengakhiri doanya yang panjang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelahnya kedua mempelai itu menuju panggung yang
sudah disediakan di depan pendapa agung, menghadap alunalun. Pelahan sekali jalan mereka, seolah takut bumi yang
mereka injak itu akan terkuak dan menganga lebar, membuat
mereka terperosok ke dalam perut bumi. Jayabhaya
tersenyum tak putus-putus. Bukan hanya karena bahagia, tapi juga karena merasa menang. Seorang satria memperistrikan
brahmani. Merupakan kebanggaan yang tiada duanya. Apalagi
bukan sembarang brahmani. Lihat, siapa yang tidak menelan
ludahnya memandanag Istrinda"
Gegap-gempita sorai kawula Daha. Prabarini tidak berani
memandang ke arah mereka. Takut kalau-kalau di antara
mereka hadir Sedah atau salah seorang dari Widya Trisnapala.
Dan... tiba-tiba ia teringat, Mpu Brahma Dewa akan datang
menghadap Jayabhaya untuk memohon kemurahannya agar
menghentikan pembantaian di daerah Jenggala oleh laskar
Penjalu yang menang.
Jayabhaya melambaikan tangan pada kawulanya, tapi
Prabarini diam saja. Melihat itu Jayabhaya segera mengangkat lengan istrinya tinggi-tinggi. Makin dalam Prabarini tertunduk.
Kebanggaan di hati Jayabhaya makin merupakan kehinaan di
hati Prabarini. Jayabhaya tak mengerti itu. Setelah
prajangkara mempersilakan, karena prajangkara telah
menyampaikan rasa terima kasih pada kawula Penjalu atas
nama Jayabhaya, maka kedua mempelai itu turun. Kembali ke
pendapa agung. Kini Jayabhaya memperkenalkan semua pejabat tinggi pada
istrinya. Yang pertama dikenalkan adalah putra mahkota.
"Dia adalah Putra Mahkota Kerajaan, Sri Rakai Sirikan..."
Putra Mahkota tersenyum sambil menyembah. Prabarini tak
tahu perasaan apa yan? berkecamuk dalam hatinya.
Tampaknya Putra Mahkota pun lebih tua dari dirinya. Dan
memang juga sudah beristri, sebab di sebelahnya berdiri
seorang wanita muda yang ayu dan ikut menyembah waktu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rakai Sirikan menyembah. Namun senyum wanita ayu itu bagi
Prabarini seolah mengandung ejekan: Kau masih muda jadi
istri seorang tua. Apa yang kau harap" Anak darimu akan
menggantikan suamiku jadi Putra Mahkota" Huh!
Kuatkan hatimu, Prabarini! Pandang mereka! Pandang!
Tatap! Tatap kehidupan dengan berani! Berani! Beranikanlah
dirimu! Sekali lagi! Suara-suara itu muncul dari hatinya sendiri.
Maka dengan mendadak sinar matanya berubah. Entah dari
mana datangnya kekuatan, ia pandang semua yang hadir
dengan mata berkilat dan wajah yang tidak tertunduk lagi.
Tentu itu membuat semua makin kagum. Luar biasa indah
mata itu, puji mereka.
"Ini Rakai Hino Dyah Pawasi!"
Orang itu menyembah. Prabarini kini memperhatikan.
Orang ini yang memboyongnya pada waktu ia pingsan malam
itu. Lebih muda sedikit dari Jayabhaya. Tinggi badannya
melebihi suaminya. Tapi kurus. Rambutnya juga sudah dua
warna. Juga kumisnya yang jarang-jarang itu. Meski begitu
istrinya juga seorang prajurit.
"Rakai Hino juga Patih Amangkubhumi Penjalu," Jayabhaya melanjutkan.
Prabarini cuma menatapnya tajam. Tanpa -senyum. Masih
mahal senyumnya, bisik Dyah Pawasi pada istrinya.
"Ini Singhadhahana... Menteri Mukha (Menteri Pertahanan) Penjalu."
Sama seperti terdahulu: menyembah. Orang ini pun sudah
amat tua. Semua rambutnya putih-Mungkin masa mudanya
gagah. Dadanya berbulu. Juga pori-pori tangannya. Tapi
sekarang nampak gemuk. Napasnya sudah terengah-engah.
Orang ini tidak disertai istrinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ini Jaladria Manggaladipa! Samodraksa (Kepala staf
Angkatan Laut) dengan pangkat Laksamana. Istrinya seorang
Laksamani. Ya, Laksamani Ringgani."
Orang ini pun sudah berambut putih, dengan kumis tebal.
Matanya tajam. Juga istrinya. Setengah umur wanita itu, tapi nampak perkasa dan bermata tajam. Cantik! Heran Prabarini,
sekalipun sudah setengah umur tapi susunya nampak masih
padat. Suaminya tidak terlalu gemuk. Hidungnya mancung.
"Ini Mpu Sumarakana Dewa!" Seorang brahmana. Belum begitu tua. Tapi alisnya tebal. Hidungnya sedikit melebar.
Tidak terlalu tinggi. Juga tidak terlalu pendek. "Dia adalah menteri cadangan negeri."
Masih ada lima orang brahmana lagi yang bergabung
menjadi Menteri Ri Pakira-kiran ((Dewan Pertimbangan Agung, yang memberi nasehat dan membantu raja untuk
mempertimbangkan undang-undang) . Mereka semua
menyembah dengan sikap amat hormat. Prabarini melihat
mereka dengan sebal. Brahmana yang memperhambakan diri
pada seorang satria.
Tapi mendadak ia teringat kembali akan dirinya.
Bukankah kamu juga brahmana"
"Bukan! Bantah sudut hati yang lain. Aku anak Palagantara!
Seorang yang tak tentu rimbanya. Siapa ibuku" Juga tidak
tahu! Pergumulannya berhenti sementara ketika ia diperkenalkan
dengan tamu-tamu perwakilan negeri sahabat. Jambudwipa,
Swarnadwipa, China, Jenggala, Wora-wari, Kelingga, Malaka,
Bali, Brunei, dan beberapa lagi. Setelannya undangan, yang
terdiri dari para saudagar terkemuka dari Jawa, China, dan
Jambudwipa. Ada yang pedagang beras, ada yang pengusaha
kain sutera, ada yang berdagang palawija, lada, serta cengkih.
Lama acara perkenalan itu. Membosankan. Setelah itu masuk
ke ruang bojana andrawina (Ruangan makan bersama) Di sini
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ada upacara yang mengejutkan Prabarini. Ia harus menyuapi
Raja. Sebaliknya Raja juga harus menyuapinya, di bawah
gambar simbol kerajaan, garudha mukha! Selesai itu baru
semua ikut makan hidangan yang telah disediakan.
Prabarini tak dapat menghitung, berapa saja uang yang
dikeluarkan untuk upacara ini. Ia mulai memperhatikan isi
ruangan. Tiang-tiang terbuat dari kayu hitam berukir. Juga
tempat duduk yang disediakan untuk Raja dan dia, namun
berlapis emas, dengan ukiran yang bergambar- garudha
bertaring. Prabarini agak kurang suka dengan gambar-gambar
begitu. Baginya, itu melambangkan keserakahan.
"Berbicaralah, Istrinda! Kenapa diam saja?" tanya Raja dalam bisik.
Prabarini gugup, tak tahu apa yang harus dikatakan.
Matanya mencari-cari di mana dayang kepala dan Nyi Rumbi,
ingin minta pertimbangan.
"Kau istri raja sekarang! Mengapa bersikap kaku seperti itu"
Tidak selayaknya seorang brahmani bijak seperti sudra yang
baru terangkat derajatnya."
"Hyang Dewa Ratu!" Dada Prabarini naik turun karena hatinya tersinggung. Tapi ia menahan diri. Tanpa menoleh ia menjawab, "Ampun-kan hamba, Yang Maha Mulia...." Gemetar suaranya.
"Baiklah! Memang kita harus melewati satu upacara wadad suci (selama empat puluh hari empat puluh malam keduanya
tidak boleh bersua sebelum masuk ke pelaminan pertama.
Dimaksudkan untuk persiapan fisik dan mental bagi keduanya) lebih dahulu untuk dapat saling mendekatkan diri. Aku akan
sabar menunggu sampai upacara wadad suci itu selesai."
Prabarini tidak berkata-kata lagi. Sampai kemudian
rombongan Raja dengan semua kerabat mengiringkan
Prabarini masuk ke puri wadad suci (tempat mengurung diri
selama melakukan wadad suci). Di sini Prabarini hanya boleh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ditemani dayang-dayang kepercayaan. Puri tersebut dijaga
ketat oleh laskar wanita yang bersenjatakan panah dan
tombak. Tak seorang pria pun boleh memasukinya. Nyi Rumbi
diperkenankan menemani Prabarini atas permohonan
Prabarini. Puri ini terletak di antara taman para selir dan keraton.
Sebelum Prabarini masuk, di ambang pintu, Mpu Panuluh
memberikan petuahnya lagi,
"Dirgahayulah Maha Raja! Dirgahayulah Paramesywari yang memasuki upacara suci. Tapi sebelumnya tentu kita bertanya
kenapa harus melalui upacara wadad suci ini, padahal
Paramesywari baru adalah orang yang kedua. Ini dibenarkan
oleh hukum, karena Sri Mapanji Jayabhaya berjanji bahwa
beliau akan melakukan trisna brahmacarya (melakukan
perkawinan lebih dari satu kali berdasyarkan kepentingan
masyarakat, rumah tangga, serta kerukunan dalam
membangunkesucian agar agar mendapatkan kebahagian lahir
batin, Juga untuk perubahan keturunan). Karena itu, mohon
Paramesywari memaklumi akan ini. Negara membutuhkan
Paramesywari. Maka semua ini kami mohon dikerjakan demi
kepentingan negara. Segala keraguan akan lenyap jika
semuapoengabdian kita kerjakan demi negara. Termasuk
merelakan diri menjadi Paramesywari. Nah, aum santih santih santih."
Semua rombongan termasuk Sri Jayabhaya membalikkan
tubuh. Ia pun harus masuk puri. Bersama Nyi Rumbi, dayang
terpilih, dan dayang kepala yang berusia setengah tua,
mereka kemudian melepasi semua perhiasan yang telah
memberikan aniaya beberapa waktu lamanya.
"Silakan istirahat dulu, Yang Mulia...," ujar dayang kepala setelah memandikan Prabarini dengan air kembang melati.
Prabarini memaksakan tersenyum. Menghilangkan semua
kejengkelan. Toh semua akan sia-sia. Kenapa aku tidak
menatap hidup dengan senyuman"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hamba masih melihat Yang Mulia tadi ber-mendung. Andai tidak begitu, mungkin semua lelaki yang hadir tadi akan jatuh pingsan...," dayang kepala terkekeh-kekeh tulus.
"Ada-ada saja. Dan ah, ampunkan aku, Bibi, barangkali
mengecewakanmu."
"Hamba memaklumi, Yang Mulia. Hamba sudah diberi tahu
oleh Nyi Rumbi..."
"Simpanlah untukmu sendiri, sebab akan membahayakan
diriku, bukan" Aku sudah kalah. Jangan aku dilempar ke
tengah para budak seperti cerita para prajurit wanita..."
"Betul, Yang Mulia. Itu betul. Para Srikandi itu justru petugas untuk melempar wanita ke sana."
"Hyang Dewa Ratu!"
"Dan..." dayang itu mendekatkan mulutnya pada telinga Prabarini untuk melanjutkan berbisik lirih, "hati-hatilah bicara dengan para selir, sebab mereka bersaing. Saling bersaing
untuk merebut hati Raja.' Dan, dalam persaingan itu mereka
licik." "Licik bagaimana?" tanya Prabarini dalam bisik.
"Kadang menfitnah yang lain. Akibatnya, bila Sri Prabu termakan, terusirlah selir itu. Untung jika cuma terusir."
"Oh, chkk... cekh... cekh...." Prabarini makin ngeri.
"Ingat! Dinding ini bertelinga. Tak ada satu suara pun yang tidak sampai ke telinga Sri Prabu."
"Jadi..."
"Ya, Yang Mulia harap mengerti sendiri."
Dayang itu pergi. Prabarini memperhatikan ruangan besar
untuknya. Sejuk ruangan itu. Beratap ijuk. Halaman di seputar puri itu dikelilingi taman dengan beraneka bunga. Tapi di
sebelah luarnya ada pagar bata keliling dengan tinggi tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kurang dari tiga depa. Ada tempat tidur yang terbuat dari kayu hitam berpelipit emas. Cangkir keramik dan barang tembikar
lainnya yang dipasang sebagai hiasan juga tersedia dalam
ruangan besar itu. Bokor dan tempat kinangan emas ternyata
juga telah disediakan untuknya. Bahkan pangidon (tempat
menampung ludah, terutama sesudah berkinang, supaya
ludahnya tidak terbuang di sembarang tempat) pun terbuat
dari emas. Piring untuk makan juga terbuat dari efnas. Rasa hati melambung begini tinggi, seolah terbang di awan-awan.
Ia tahu, berapa tahun ia butuhkan waktu untuk
mengumpulkan barang-barang semacam itu sebagai seorang
brahmani" Mungkin sampai tua seperti ayah angkatnya, Mpu
Dewaprana, takkan terlaksana. Tapi kini semua ada" seperti
mimpi. Alas tempat tidur permadani termahal, buatan Mesir
atau barangkali dari negeri lain yang ia tidak tahu. Alas itu akan membuatnya tidak resah dalam tidur. Sampai lantai pun
beralaskan permadani. Tak ada kutu busuk di sini. Ada dayang yang punya tugas cuma membunuh kutu busuk. Berapa
jumlah dayang di istana ini"
"Tidak kurang dari empat ratus orang, Yang Mulia," salah seorang dayang menjawab saat ia mencoba bertanya.
"Empat ratus?"
"Belum terhitung juru masak dan tukang membersihkan
halaman taman sari," tambah orang itu lagi.
Empat ratus belum termasuk juru masak" Lalu berapa gaji
mereka. Kalau semua digaji, tentu bukan main-main kekayaan
Jayabhaya. Entah jamu apa saja yang harus diminumnya.
Prabarini sama sekali sudah tidak menggubris. Andai disuruh minum racun pun Prabarini tidak akan peduli. Tapi tidak akan ada yang berani melakukannya, sebab selalu ada tabib
perempuan yang mendapat perintah istimewa untuk merawat
dan memeriksa kesehatan Prabarini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Nyi Lembini, demikian nama tabib perempuan itu. Ia adalah
seorang brahmani, maka pandai bercakap Sansekerta. Pernah
belajar di Widya Trisnapala.
"Hamba pernah melihat Yang Suci," bisik Praoarini hati-hati dalam Sansekerta. Nyi Lembini tampak terkejut.
"Di mana?" Ia menjawab dalam Sansekerta pula.
"Widya Trisnapala."
"Adiluwih?"
"Ya. Adiluwih," Prabarini menjawab sambil memberi isyarat pada Nyi Rumbi agar memeriksa keadaan.
"Oh, Yang Mulia... Siapa sebenarnya Yang Mulia ini?"
Lembini menyembah. Ia makin hati-hati.
"Baik hamba ceritakan, tapi jangan ceritakan pada siapa pun!" ujar Prabarini setelah menerima isyarat balasan bahwa keadaan aman.
"Hamba berjanji...." Perempuan setengah tua itu memang iba melihat Prabarini. Sejak semula ia heran, Jayabhaya bisa mendapatkan perempuan cantik yang sedemikian mudanya.
Dan hatinya semakin teriris-iris setelah mendengar pengakuan Prabarini.
"Hyang Dewa Ratu! Jadi Yang..."
"Biarkan hamba tetap dipanggil Yang Mulia. Bukan Yang
Suci. Sebab, dengan memasuki Upacara perkawinan itu pun
kesucian hamba sudah dilanggar." Prabarini menitikkan air mata sedikit, tapi cepat menghapusnya.
"Baiklah, Yang Mulia. Apa yang bisa hamba kerjakan
buat...?" "Sekarang tidak ada. Yang Suci. Tapi kelak -akan ada.
Sebab apa pun daya kita sekarang, tak akan dapat
melepaskan hamba dari tangan Sri Mapanji Jayabhaya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jadi akan menyerahkah, Yang Mulia?"
"Jika Hyang Maha Dewa merelakan hamba dipermalukan
oleh seorang satria, kesucian hamba dilanggar, apalah daya
kita" Brahmana cuma bersenjatakan kata-kata. Tapi
berhadapan dengan raja yang memperdewakan diri, semua itu
tidak akan berarti."
"Baiklah. Hamba akan selalu berdoa demi keselamatan
Yang Mulia."
"Terima kasih."
Hari keempat puluh makin mendekat. Malam terasa kian
pekat. Dan bayangan wajah Sedah kian menggoda. Doa makin
tak putus-putus dari mulut Prabarini. Kemudian ia meminta
Nyi Rumbi mencarikan lontar. Ia ingin menulis. Menulis. Agar suatu ketika kelak, ya, kelak, Sedah tahu bahwa apa yang ia lakukan sekarang bukan karena ia sengaja mencederai
janjinya. Bukan juga karena pengabdian pada negara seperti
yang dianjurkan Mpu Panuluh. Bukan! Tapi karena ia kalah!
Kalah! Berulang terpaksa dibuang lontar itu,
Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tapi terus ia mencoba,
Roda kehidupan bergulir terus
Melintas waktu dan kehidupan
Meninggalkan kenangan
Tapi berhadapan dengan mimpi
Ah, ternyata dalam gemerlap ada gelap
Dalam senyum ada tangis.
Bumi juga menggelinding terus
Kadang meninggalkah siang menyongsong malam
Kekasih, aku tak kuasa menahannya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gelombang telah menghempaskanku
Menjauhkan aku dari cintaku
Kering air mataku, habis suaraku, punah tenagaku
Dan, kau berlalu sendiri
Menuju angkasa biru.
Berulangkah mimpi-mimpi"
Semua telah punah dilanda tirani
Bukit-bukit digenangi air
Hai, Rajawali, di mana kau akan mampir"
Lidah kelu bukan karena bisu
Tapi belenggu dalam permata biru.
Bilakah kau tiba"
Membangunkan aku dari mimpi-mimpi
Mengembuskan suaramu dalam gema
Menegakkan buluh yang terkulai
Dalam genggaman tirani abadi!
Selesai membaca ia segera menggulung lontar kecil itu.
Cepat-cepat ia menyimpannya, untuk kemudian
menitipkannya pada Nyi Lembini saat orang itu mengadakan
pemeriksaan terakhir pada kesehatan Prabarini.
"Hamba harus menyimpannya?"
"Betul, Yang Suci. Tapi... suatu ketika jika ada seorang...
brahmana muda, bernama..."
"Siapa?" desak Nyi Lembini lirih.
"Yang Suci sudah pernah mengenalnya. Dia Maha Rsi
Sedah." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jagad Dewa Bathara! Diakah kekasih Yang Mulia" Kasihan, mengapa nasibnya kurang beruntung?"
"Ya. Hati-hatilah, Yang Suci!"
"Ya. Tapi... beberapa hari lalu ada seorang brahmana akan menghadap. Tapi cuma ditemui oleh Mpu Panuluh, karena
selama empat puluh hari ini Raja dilarang keluar."
"Tentu Mpu Brahma Dewa."
"Apa dang hyang itu tahu Yang Mulia di sini?"
"Tidak. Ia datang untuk urusan lain. Memohon penghentian pembantaian dan penjarahan atas kawula Jenggala."
"Jagad Dewa! Itu tindakan terlalu berani."
"Demi kemanusiaan."
"Widya Trisnapala bisa ditutup."
"Jika itu terjadi, maka hamba yang akan mencoba."
"Hati-hatilah!"
"Demi kemanusiaan. Demi Hyang Maha Dewa. Demi kasih
dan kebebasan semua umat di muka bumi."
"Hati-hatilah!"
"Gineng pratidina (membuat diri selalu berguna) walaupun sudah menjadi seorang yang kalah."
Prabarini mencium Nyi Lembini, yang memi-numinya
dengan air pala saat akan pergi. Betul, siang itu Prabarini tidur pulas. Sore sehabis dimandikan pun ia tidur lagi dengan pulas.
Tepat hari keempat puluh Prabarini, diiringi oleh para
dayang yang bertugas, memasuki ge-dong tengen atau
gedung yang terletak di sebelah kanan keraton. Ruangannya
ternyata jauh lebih besar dari ruangan yang digunakan wadad selama empat puluh hari itu. Lantai berbabut permadani hijau.
Warna coklat menguasai dinding yang tinggi, dan dilengkapi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan jendela berkeranda kain mori dari Jambudwipa. Bau
rangkaian bunga yang diletakkan di sudut ruangan berbaur
dengan bau melati yang bertabur di atas permadani sampai
tempat tidur berukuran lebar yang beralaskan sutera putih
buatan China. Hati Prabarini berdebur seperti gelombang laut, kala sampai di dekat tempat tidur. Dayang kepala melepas sanggulnya,
perhiasannya, bahkan kainnya. Dan meletakkan semua
busananya di sudut ruangan. Kemudian memasang hamparan
kapas, dan di atas tumpukan kapas dihamparkan mori selebar
setengah depa berbentuk bujur sangkar. Kain inilah yang akan menjadi bukti, apakah Prabarini masih gadis ataukah tidak
lagi. Dan kain itu akan disimpan di pura pemujaan. Jika
ternyata ia masih gadis, kain itu untuk memohon kesuburan
tanah negeri Penjalu. Cuma paramesywari yang masih gadis
sucilah yang dapat memberikan kesuburan atas negeri
Penjalu. Itulah kepercayaan kaum Wisnu. Pelahan Prabarini
dibaringkan. Beberapa saat kemudian Nyi Rumbi dan dayang kepala
meninggalkan tempat. Kembali ketakutan merajai hatinya.
Ternyata Hyang Maha Dewa tak menolongnya. Sedah! Kau
akan kehilangan kini... teriaknya dalam hati. Seperti anak kecil melihat hantu laiknya, kala ia mendengar pintu dibuka.
Menyusul suara langkah berat mendekati tempat tidur. Ia
mengatupkan kelopak matanya. Keringat dingin merembes
dari tiap lobang halus porinya.
Di luar tentu orang tak pernah membayangkan hal itu. Para
dayang ada yang bergurau sampai sedikit keterlaluan,
"Enaknya jadi raja. Sudah bangka dapat yang gadis.
Perawan." "Belum tentu perawan. Siapa tahu di desanya sudah..."
Yang lain menjawab.
Yang lain lagi membumbui,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya. Wajah seperti itu, mana tak jadi rebutan di desa."
"Ah, tapi mori itu?"
"Darah kutu busuk atau nyamuk atau mungkin juga air
ludah mereka waktu berkinang... siapa tahu?"
"Has... kau, apa semalaman mereka akan mencari nyamuk
untuk memperoleh darah sebanyak itu".Seperti tidak
berpengalaman saja."
Mereka makin menjauh sambil cekikikan. Toh mereka tidak
akan melihat hasil upacara hari keempat puluh ini. Yang
berhak adalah pandita istana. Andai Prabarini sudah tidak
perawan, pandita istana akan dibayar dan mengatakan pada
umum bahwa Prabarini masih perawan tulen, begitu antara
lain tuduhan orang yang iri.
Suara pending diletakkan di atas meja dan, mahkota dan
kalung serta gelang, membuat Prabarini makin putus asa.
"Istrinda..." Suara yang sedikit sukar mengucapkan bunyi er menguak senyap.
Prabarini tak menjawab. Tergolek seperti boneka pualam.
Tangan Jayabhaya mengelus perut dan pusar yang tanpa cela
itu. Napasnya memburu. Makin memburu. Ia dekatkan mulut
ke telinga Prabarini. Tapi Paramesywari tetap diam dengan
wajah pucat. Tubuh makin gemetar. Jayabhaya tidak kurang
akal. Meraba terus.
"Istrinda..."
Warna Jingga di ufuk barat makin meredup. Bergeser
menjadi lembayung. Dan makin lama makin gelap. Tiba-tiba
gerimis tipis merenda senja. Angin mengempaskan kegerahan.
Kesejukan merambah ke mana-mana. Di pantai gelombanggelombang kecil menerpa karang. Camar menarik diri surut.
Sebagai gantinya, kelelawar dan kalong merajai angkasa.
Purnama mulai mengintip di balik cakrawala, menyumbangkan
warna tersendiri pada riak air di pantai pasir.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun perahu nelayan telah mengangkat sauh. Menguak
air laut yang masih takut akan datangnya malam. Takut
terpisah dari terang. Tapi sang biduk tak peduli. Melaju terus, ke tengah... ke tengah... dan terus merobek batas cakrawala.
Dan... suara jala tercebur ke air, merobek keheningan.
Merobek perut laut. Dan ikan pun terangkat naik...
Dan... Prabarini merintih menahan sakit...
0ooo0dw0ooo0 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
BAB III HARIWANGSA Seluruh kawula Daha dilarang berangkat ke sawah atau ke
tempat-tempat pekerjaan masing-masing pada harini. Bukan
cuma sekadar desas-desus, bahwa Paramesywari akan dikirap
keliling kota Daha. Maka sejak pagi-pagi semua lelakiperempuan, tua-muda, anak kecil maupun dewasa berjejal
memadati pinggir-pinggir jalan. Tak peduli apakah mereka
belum sarapan, atau sudah. Untung mendung sering menutupi
mentari yang merambat naik, hingga sinarnya tidak terlalu
keras membakar kulit.
Berbagai macam kembang telah mereka siapkan di pinggir
jalan dan siap ditaburkan bila sang Paramesywari
melewatinya. Menurut desas-desus yang dibawa oleh para
bakul atau penjaja keliling, wajah Paramesywari baru ini luar biasa cantiknya. Ada-ada saja cerita perempuan-perempuan
bakul sayur-mayur, atau para penjaja makanan keliling kota
.itu. Tentu banyak yang ditambah-tambahi. 'Sudah biasa,
sepanjang-panjang jalan masih panjang lidah.
"Aduh... ada wanita kok seperti itu..." Kata mereka yang jualan di sudut pasar pada seorang pembeli.
"Kenapa" Jahat barangkali?"
"Oh, tidak. Wajahnya masih seperti bayi. Tapi matanya
bercahaya, persis bintang timur."
"Ah, masa, Bu..."
"Diberi tahu, kok."
Pedagang sebelahnya lagi tak mau kalah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Giginya, seperti deretan mutiara berbaris rapi. Sungguh jika tersenyum... hemh! Itulah yang membuat Sri Prabu
terbirit-birit." Cekikikan.
"Hush! Jangan menghina Sri Maha Prabu, lho!"
"Rambutnya! Tahu" Jika diurai, cekh, cekiu cekh..."
"Kenapa, Mbok?"
"Bukan cuma tebal dan hitam, tapi panjangnya itu, sampai menyentuh tanah.?"
"Wah, wah, wah..." Pendengarnya kagum luar biasa.
"Kulitnya, tahu" Wuu... lebih halus dari sutera buatan China sekalipun. Jangan sutera buatan Penjalu. China! Dan
warnanya kuning tapi lebih banyak condong ke putih. Tidak
seperti kulitku ini. Coklat masam..."
"Hi... hi... hi... hi..." Pendengarnya terkikik.
"Apa si Embok sudah pernah bersua" Kok bisa bercerita
begitu jelas dan bersemangat?" tanya salah seorang pembeli.
"Ah, kapan bisa bersua dengan bidadari seperti itu" Cuma kata ibu-ibu, itu lho istri-istri ponggawa yang pernah
berbelanja."
"Oh, katanya?"
"Iya, katanya." Tersenyum.
Dan semuanya jadi tersenyum.
Yang lain lagi juga cerita tentang bibirnya yang mungil dan tipis, serta selalu tampak basah menawan. Ada yang
menceritakan keindahan susunya yang tegak seperti dua buah
pepaya kembar, ada juga yang menceritakan kakinya yang
seperti padi bunting. Ujung jarinya yang runcing, lenggangnya yang seperti macan kelaparan, pendek kata sejuta sanjungan
buat Prabarini. Tapi kala menerima pertanyaan yang sama,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
apa sudah pernah bersua" Jawabnya satu, seragam:
katanya.... Tapi harini tidak! Mereka akan membuktikan sendiri.
Melihat sendiri. Tak lagi katanya. Sejak pagi Prabarini memang sudah disiapkan. Dayang juru rias telah bekerja dengan baik, lengkap dengan semua perhiasan. Prabarini masih membaca
lontar Bhagawad Gita waktu Jayabhaya menjemputnya.
Jayabhaya tidak pernah mampu membacanya, tapi ia tidak
ingin mengusik istrinya, karena memang kebiasaan brahmana
membaca sebelum melakukan segala sesuatu. Dia sama sekali
tidak mengerti bahwa sebenarnya Prabarini mencari kekuatan
bathin dan lahir dengan membaca kitab Bhagawad Gita itu.
Secara kebetulan Prabarini membaca percakapan kedua
belas sloka ketujuh:
tesham aham samuddharta
mrityu samadra sagarat
bhavami nachirat partha
mayy avesita chetasam
Artinya: Yang pikiran mereka tertuju padaKu
Dengan cepat Aku langsung,
Partha, membebaskan mereka itu
Dari lautan sengsara hidup lahir dan mati
Dan Prabarini berdoa dalam semadinya: Hyang Maha Dewa
biarlah... Engkau saja yang menjadi pusat hidupku. Aku
pasrah atas semua ini.
Kemudian membaca lagi. Sloka berikutnya:
Mayy eva mana dadhatsya
mayi buddhim nivesaya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
nivasishyasi mayy eva
ata urdhvam samsayah
Artinya: Pusatkan pikiranmu hanya padaKu
Biarkan kebrahmanaanmu, pekertimu berdiam padaKu
Hanya di dalam Aku engkau hidup nanti
Dan jangan sangsi lagi.
Prabarini menarik napas panjang. Terbebaslah ia dari
semua-mua. Hyang Maha Dewa sendiri telah mengatur.
Biarlah kebrahmanaan ini diinjak, tapi semua seizin Hyang
Maha Dewa. Sebab bukan pada manusia aku akan
memusatkan hidupku, tapi padaMu ya, Hyang Pencipta!
"Istrinda...," sapa Jayabhaya.
"Sembah untuk Yang Maha Mulia..." Itulah pertama kali Prabarini membalas Sri Prabu.
Kendati masih belum lazim sapaan begitu untuk seorang
suami, namun bagi Jayabhaya sudah memberikan kedamaian
tersendiri. Hatinya, seolah tersiram air yang tersimpan dalam guci selama sewindu.
"Akan kuberitahukan padamu semua ponggawa dan kawula
kita. Supaya jika Kanda berhalangan, kau dapat mewakiliku."
"Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia! Bukankah sudah ada
Yang mulia Rakai Sirikan sebagai Putra Mahkota" Bukankah
beliau lebih berhak dari pada hamba?"
"Sungguh berhati mutiara, Adinda! Tapi selama ada daku, maka kau berhak tampil jika aku berhalangan. Maka kau harus melihat sendiri semua naraprajaku.
. "Hamba, Yang Maha Mulia." Prabarini melangkah dalam bimbingan Jayabhaya, walau masih belum hilang rasa sakit
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan nyeri yang meradang di perut bahagian bawah dan
pangkal pahanya, karena ulah Jayabhaya. Lebih sakit lagi
hatinya. Namun demi kembali teringat akan Bhagawad Gita
percakapan kedua belas sloka kedelapan itu, hatinya tenang
kembali. Mengapa harus sakit" Semua-mua sudah menjadi
takdir yang tak terbantahkan.
Maka mulai ia berani menatap wajah suaminya: gemuk,
tinggi, tak mengherankan jika ia teraniaya luar biasa selama dua hari kemarin. Memang ada sisa kegagahannya. Juga sisa
ketampanannya. Tapi semua tinggal sisa, karena sudut mata
orang di sampingnya itu mulai dihiasi garis-garis seperti serat daun sirih. Jenggotnya tinggal dua helai. Apalagi jika
tertunduk. Cara tersenyumnya agak aneh menurut Prabarini.
Tentu bukan senyum tulus. Walau tampaknya mudah senyum,
namun tiap senyumnya seolah mengandung makna. Sekalipun
begitu, orang ini tidak kempong. Giginya pun belum ada yang rontok. Mungkin karena banyak bersirih.
Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiga orang putra yang duduk dalam Panca Ri Pakira-kiran,
atau lima orang yang ditunjuk untuk membantu Raja dalam
bertimbang, termasuk Putra Mahkota. Itulah yang pertama
dikunjungi oleh Jayabhaya dan Prabarini.
"Setiap bulan mereka menerima gaji dari kerajaan. Tetapi sesekali mereka juga memperoleh hasil bumi atau hasil lain
dari tanah yang dihadiahkan kepada mereka."
Prabarini membalas penghormatan mereka dengan
memamerkan lesung pipit di pipinya serta seleret mutiara
yang gemerlap di sela bibir yang sedikit terkuak itu. Berbeda dengan penampilan pertamanya di muka umum sebelum
wadad suci. Dan itu saja membuat kesan tersendiri. Jantung
mereka seolah copot jika senyum Prabarini berakhir.
"Juga seluruh menteri, Istrinda!" Jayabhaya melanjutkan sambil membimbing istrinya meninggalkan ruangan Rakyan
(panggilan untuk seorang menteri) Ri Pakira-kiran. "Mereka menerima gaji sepuluh tail emas sebulan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Prabarini mengulang dalam hati.
Sepuluh tail emas" Pantas jika tingkat hidup mereka jauh
melebihi semua kawula. Mpu Brahma Dewa, dang hyang di
Widya Trisnapala itu barangkali dua tahun baru bisa
mengumpulkan uang sebanyak itu. Karena memang uang
emas jarang beredar di kalangan "bawah, hanya uang perak yang beredar di kalangan kawula.
Di sebelah kanan keraton ada gedung besar yang dipakai
untuk tempat para panglima di bawah Menteri Mukha. Cuma
berbatasan pagar bata saja dengan keraton milik Sri Maha
Prabu. Sengaja memang, agar memudahkan jika sewaktuwaktu Sri Pabu perlu memanggil mereka.
Di alun-alun telah berjongkok tiga ratus orang pembantu
menteri. Mereka semua bertugas mencatat dan melaporkan
hasil kerajaan. Mereka juga digaji dengan uang emas, tapi
hanya dua setengah tail.
"Di bawah mereka masih ada seribu orang yang disebar ke seluruh negeri. Mereka digaji sepuluh tail setiap satu tahun, sesuai dengan pangkat masing-masing."
"Satu tahun?" Prabarini sedikit terkejut.
"Ya. Sesuai dengan pangkat mereka."
Yang bekerja berat mendapat lebih sedikit, pikir Prabarini.
Pintar juga suaminya mengatur kekayaan negara. Tapi lebih
pintar lagi bagaimana mengaturnya demi kekayaan diri sendiri.
Setelah membalas penghormatan orang-orang yang
berjongkok di alun-alun sambil meneriakkan "Dirgahayu!", Prabarini dibimbing ke perbentengan sebelah kanan istana.
"Para panglima digaji tiap setengah bulan sekali, sepuluh tail emas."
"Sepuluh tail emas setiap setengah bulan" Berarti dua kali gaji para menteri?" Suaranya makin merdu berkicau.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya, sebab merekalah yang menyebabkan Penjalu menjadi
kaya. Mereka yang siap mengorbankan jiwa demi negara dan
raja." "Bagaimana dengan para prajurit" Bukankah mereka yang
bergelimangan darah di garis depan?"
"Tiga ribu perwira tempur Penjalu, darat maupun laut,
mendapat gaji sama dengan para panglima. Tapi enam bulan
sekali. Yang lain digaji sesuai dengan pangkat masingmasing." Prabarini tidak bertanya lagi. Para perwira tinggi
menyambut mereka. Satu di antara mereka ada yang sudah
amat dikenalnya! Kuda Amiraga! Dia yang membunuh
keponakannya sendiri. Wajar jika ia rela melakukan seperti itu.
Wajar jika ia setia seperti itu. Sepuluh tail emas setiap
setengah bulan. Apalagi dengan jasanya yang baru,
mempersembahkan Prabarini kepada Sri Ma?>anji, kini
pangkatnya dinaikkan secara istimewa. Lebih dari itu, ia juga diangkat menjadi Wakil Menteri Mukha. Jabatan yang selama
ini lowong. Tidak lama di perbentengan itu. Prabarini dibimbing lagi ke tempat upacara pemberangkatan kirap. Sebuah kereta yang
ditarik sepasang kerbau telah tersedia di depan pendapa
agung. Kereta itu berbentuk perahu, dengan empat roda.
Tempat duduk kusir ada di depan lambang garudha mukha.
Sedang di belakangnya bergambar narasingha sebagai simbol
pribadi Sang Ma-panji Sri Jayabhaya. Berat tentunya kereta
yang lebarnya satu depa dan panjangnya dua depa itu, maka
ditarik oleh dua ekor kerbau yang perkasa. Apalagi terbuat
dari kayu hitam berukir-ukir. Tempat duduk raja serta
paramesywari beralaskan permadani. Tidak kurang dari lima
ratus orang prajurit yang akan mengawal kirap itu.
Prabarini geleng kepala. Perjalanan keliling ibukota saja
harus dikawal sekian banyak orang. Di depan sendiri Menteri Mukha serta putra mahkota duduk di atas seekor gajah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lengkap dengan perisai dan peralatan perang. Luar biasa.
Ternyata seorang raja jaya yang namanya terkenal sampai ke
belahan bumi utara ini seorang yang takut mati. Pengawalan
demikian ketat di seputar kereta. Hiasan beraneka macam
terpancang di pinggir-pinggir jalan. Prabarini tersenyum.
Bukan membalas penghormatan kawula yang semua
berjongkok di pinggir jalan itu, tapi sebenarnya lebih
menyenyumi diri sendiri. Yang tanpa semaunya telah
memasuki alam yang sama sekali dibencinya.
Alam yang selalu mengambil keberuntungan dari milik
manusia lainnya. Lihat itu, Kuda Amiraga! Ia telah mengambil keberuntungan darji kecantikanku! Sedangkan aku mendapat
kemuliaan dari kewibawaan Jayabhaya. Sebaliknya Jayabhaya
merampas kenikmatan keperempuananku yang seharusnya
milik Sedah. Baik! Aku dirampas! Bukankah hidup ini timbalbalik" Taburan bunga dibalasnya dengan lambaian tangan.
Jayabhaya sengaja mengajak istrinya itu berdiri. Kendati di mana-mana banyak pohon murbei yang menghasilkan bukan
saja buah? murbei, tapi juga ulat sutera, namun semua
kawula Daha laki-perempuan umumnya telanjang dada.
Telanjang kaki. Sementara Sri Prabu tidak saja mengenakan
kain sutera pada bahagian bawah tubuhnya seperti dia, tapi
juga mengenakan selendang sutera kuning yang
diselempangkan menyilang di dadanya. Untuk apa"
Sebenarnyalah untuk menutup perisai yang terpasang di dada
dan' punggung Sri Mapanji. Maka tak heran jika ada anak
panah yang diluncurkan secara gelap dan tepat mengenai
dada raja, maka panah itu tak akan mempan. Nah, ini rupanya rahasia kekebalan raja yang diceritakan dari bibir ke bibir di kalangan kawula Penjalu itu. Sebagai titisan Wisnu, Sri Prabu bukan cuma bijak tapi juga kebal dan sakti.
Perjalanan sampai di gerbang kota Daha. Di sini berdiri
sebuah candi kecil. Mereka turun. Rombongan berhenti karena
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jayabhaya mengajak istrinya berdoa di depan patung Wisnu.
Berbeda dengan yang di puri kerajaan, yaitu Wisnu duduk di
atas seekor ular atau shesa yang melambangkan bahwa raja
yang berkuasa adalah pemuja Wisnu yang Maha Kuasa, kini
patung Wisnu berdiri.
Prabarini memperhatikan mahkota Wisnu yang bersusun
tiga, sedang di sebelah kiri ada pahatan bunga teratai yang bertangkai bunga panjang, sedang di atas teratai itu ada
sebilah pedang. Wisnu memiliki empat tangan yang
menunjukkan betapa saktinya sang Maha Pencipta, Maha
Pemelihara dan Maha Perusak itu. Satu tangan kiri bahagian
belakang memegang pelita yang menggambarkan bahwa
Wisnu berkuasa memberikan terang dan gelap. Berkuasa atas
susah dan senang.
Keduanya selesai berdoa. Tiba-tiba Jayabhaya bertanya
pada istrinya, "Sebagai brahmani, tentulah Istrinda dapat menerangkan arti semua perlengkapan Hyang Maha Dewa ini."
"Jagad Dewa Bathara, kenapa baru sekarang hamba diuji"
Bukankah tak ada niat hamba untuk memasuki sayembara
sebagai paramesywari" Mengapa harus diuji?" Prabarini pura-pura terkejut. Namun ia memaksudkan semua itu sekadar
untuk menjajagi hati Baginda.
"Bukan maksudku menguji Istrinda. Tapi bukankah baik jika aku mengetahui pendalaman istriku." Jayabhaya tidak kurang bijak.
Prabarini pun mengartikan semuanya.
"Penggada di sebelah kiri depan ini, adalah penggambaran bahwa Wisnu-lah pemegang hari penghakiman akhir! Tak
seorang pun berhak menghakimi lainnya, karena kuasa
penghakiman di tangan Hyang Maha Wisnu. Dialah penegak
kebenaran. Karena memang manusia di muka bumi ini tiada
satu pun yang benar."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jagad Dewa Bathara! Aku belum pernah menerima
penjelasan seperti ini. Lalu?"
"Cakra di tangan kanan bahagian belakang, artinya, cakra adalah lambang ketajaman. Cakra juga senjata di atas segala senjata. Sebenarnyalah di atas muka bumi ini tak ada
pemenang seperti Sang Wisnu. Jika manusia ingin menjadi
pemenang abadi, ia harus manunggal dan menyerahkan
segala segi hidupnya pada Maha Wisnu. Cakra juga lambang
ketajaman otak. Cuma Wisnu-lah yang memiliki ketajaman
otak itu. Karenanya kita harus memohon padaNya untuk
mendapat anugerah ketajaman otak, agar dapat memecahkan
rahasia alam. Sebab, memang Hyang Maha Wisnu-lah sumber
segala pengetahuan. Juga sumber segala yang tahu!"
"Sepantasnyalah kau mengajari semua putra raja, Istrinda."
"Di Penjalu ada banyak brahmana pandai, Yang Maha
Mulia." "Baik. Aku makin tertarik pada uraianmu. Lanjutkan!" Pinta Jayabhaya.
"Tangan kanan depan menyilang di hadapan perutnya,
dengan telapak tangan terlentang, ini mengartikan bahwa
Hyang Maha Kuasa sanggup menampung semua masalah dan
persoalan yang diadukan oleh semua umat di muka bumi.
Karena itu, jika manusia menerima beban, pencobaan dan
kesulitan hidup, seharusnyalah menyerahkan segala yang
dikuatirkan itu pada Hyang Maha Wisnu, karena hanya Wisnu
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 13 Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id Panji Sakti 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama