Ceritasilat Novel Online

Raden Banyak Sumba 2

Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bagian 2


yang dapat melihat terowongan sempit itu. Orang yang hanya
sedikit menggesernya, tidak mungkin dapat melihat
terowongan yang berada di samping lemari itu. Pengetahuan
tentang adanya jalan rahasia itu menimbulkan kekaguman
Banyak Sumba terhadap Ayahanda.
"Sekarang, mulai angkut peti-peti itu," kata Kakek Misja kepada enam orang gulang-gulang kepercayaan itu. Mereka
pun pergi, kembali ke ruangan tengah kaputren.
"Mungkinkah mereka akan membocorkan rahasia tentang
adanya terowongan ini?" tanya Banyak Sumba kepada Kakek Misja.
"Tidak mungkin, mereka semua berutang budi secara
turun-temurun kepada keluarga Banyak Citra. Mereka telah
bersumpah dengan saksi Sang Hiang Tunggal," jawab Kakek Misja. Banyak Sumba tenteram oleh jawaban orang tua itu.
Kemudian, ia melihat lubang kelam yang berupa terowongan.
Selagi ia melihat-lihat, kembalilah para gulang-gulang itu.
mengangkat peti-peti barang keluarga Banyak Citra. Peti-peti itu dibawa masuk terowongan, kemudian mereka kembali.
Sekarang, tinggallah Kakek Misja dan Banyak Sumba.
"Di manakah berakhirnya terowongan ini?" tanya Banyak Sumba.
"Di tepi sungai," jawab Kakek Misja.
"Jauh?" "Lumayan jauhnya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sambil berkata demikian, Kakek Misja melangkah menuju
ruangan belakang kaputren, tempat Ibunda dan Ayunda serta
para emban berkumpul. Banyak Sumba duduk di sudut
ruangan dengan adik-adiknya yang masih kecil-kecil. Tampak
semua adiknya itu ketakutan. Sedangkan orang-orang tua,
laki-laki dan perempuan, semuanya membisu belaka,
mendengarkan suara-suara dari luar.
Kadang-kadang terdengar teriakan, walaupun ddak jelas,
yang memberi isyarat bahwa di luar istana sedang
berlangsung kejadian-kejadian yang tidak wajar. Kadangkadang terdengar bunyi kaki orang berlari di lorong-lorong
istana. Demikianlah, di kaputren orang berkumpul sambil
mendengarkan setiap suara dengan kecemasan. Akhirnya,
ketika malam sangat larut, datanglah gulang-gulang utusan
Ayahanda membawa perintah agar seluruh keluarga melarikan
diri. Berjalanlah Ibunda dan Ayunda Yuta Inten bersama Banyak
Sumba dan adik-adiknya, menuju ruangan tempat pintu
rahasia itu berada. Kakek Misja mengiringi mereka bersama
para emban yang tidak banyak jumlahnya. Sementara keenam
orang gulang-gulang menyalakan lampu-lampu minyak untuk
penerangan dalam terowongan itu. Tak berapa lama,
rombongan pun sudah di dalam terowongan, gua kelam yang
berudara lembap. Sukar ditetapkan untuk berapa lama rombongan kecil itu
berjalan di dalam terowongan yang sempit itu, tetapi tiba-tiba Kakek Misja yang berjalan paling dulu berhenti. Seluruh
rombongan pun berhenti. Banyak Sumba yang berjalan di
dekat Kakek Misja menyadari bahwa tempat mereka berhenti
itu buntu. Setelah mata Banyak Sumba terbiasa pada keremang-remangan itu, tampaklah olehnya bahwa sebenarnya
terowongan itu tidak buntu, tetapi batu yang sangat besar
menutupnya dengan rapat. Melihat itu, mula-mula Banyak
Sumba bingung. Kemudian, mengertilah dia, apa yang terjadi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Batu besar itu tidak mungkin dapat didorong, walaupun
misalnya seluruh rombongan melakukannya. Kakek Misja
kemudian menyerahkan obornya kepada seorang gulanggulang yang paling dekat dengannya. Orang tua itu
menggelundungkan sebuah batu yang ada tidak jauh dari
tempatnya berdiri, kira-kira sebesar kepala kerbau. Oleh Kakek Misja, batu itu diletakkan di depan batu besar yang menutupi lubang gua. Kemudian, Kakek Misja mengambil sebatang besi
panjang yang terletak dalam kegelapan. Salah satu ujungnya
diletakkan di antara batu kecil dan batu besar penutup mulut gua. Ternyata, di atas batu kecil itu sudah ada suatu lekuk yang tampak diperuntukkan bagi besi panjang itu. Mengertilah Banyak Sumba bahwa asas yang dipergunakan umrk
menggeser batu besar itu adalah asas pengungkit yang
pernah dipelajarinya dari Ayahanda. Mengerti pulalah Banyak Sumba, mengapa Ayahanda mengajarkan asas tersebut
kepadanya. Ayahanda telah menyiapkan dirinya kalau-kalau
pada suatu waktu Banyak Sumba harus memimpin
keluarganya melalui gua itu.
Setelah batang besi yang besar dan panjang itu terletak
miring di atas batu yang kecil, Kakek Misja memerintah enam orang gulang-gulang untuk membantunya mendorong batu
itu. Banyak Sumba yang mengerti asas pengungkit
mendahului para gulang-gulang yang kelihatan tidak mengerti.
Banyak Sumba memegang batang besi itu, tidak bergerak,
demikian juga batu besar itu.
"Engkau rupanya telah mengerti, Raden," kata Kakek Misja.
"Saya mengerti," kata Banyak Sumba. Hatinya bangga karena ia benar-banar merasa sebagai anggota wangsa
Banyak Citra, yang dengan sendirinya harus mengerti apa
yang harus diperbuat di hadapan mulut gua yang tertutup itu.
"Nah, Gulang-gulang, bantu Raden Banyak Sumba,"
perintah Kakek Misja, mengulang. Maka, para gulang-gulang
pun mulai membantu menarik batang besi itu ke bawah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mereka keheranan ketika batu besar itu mula-mula sedikit
bergerak, kemudian bergerak dengan mudah diiringi suara
gemuruh dan debu serta pasir yang berjatuhan deras dari atas atap gua.
"Pejam!" seru Banyak Sumba kepada adik-adiknya supaya mata mereka tidak kemasukan pasir. Ketika Banyak Sumba
berseru demikian, diliriknya adik-adik dan wanita-wanita.
Tampak olehnya, betapa Ibunda dan Ayunda bangga melihat
Banyak Sumba sudah dapat menggabungkan diri dan bekerja
dengan gulang-gulang. Sebagai anggota Banyak Citra, Banyak Sumba pun merasa
bangga. Hanya sedikit orang di seluruh Pajajaran yang
mengetahui cara menggerakkan benda besar. Dan, hanya
wangsa Banyak Citra yang sangat ahli dalam soal menggeser
benda-benda besar. Ilmu ini adalah salah satu rahasia para
bangsawan yang pada saat-saat darurat dapat dipergunakan,
seperti pada saat itu. Tak lama kemudian, masuklah cahaya dari luar gua itu.
Para gulang-gulang pun makin giat menarik batang besi itu.
Akhirnya, bergeserlah batu besar itu ke samping, sesuai
dengan arah yang dikehendaki oleh celah yang ada di atas
batu kecil. Kakek Misja pun berjalan melalui celah antara
dinding gua dan batu besar itu sambil mempersilakan Ibunda, Ayunda, dan adik-adik Banyak Sumba untuk mengikuti.
Banyak Sumba sendiri tidak segera keluar gua. Ia sudah
menjadi seorang laki-laki dewasa setelah ikut menggerakkan
batu besar itu. Baru setelah seluruh rombongan wanita keluar, ia melangkah diikuti para gulang-gulang yang mulai
memadamkan obor mereka. Begitu tiba di luar, terdengar Ibunda dan Ayunda
menangis. Demikian juga para emban. Banyak Sumba
terkejut. Kemudian, dia sadar bahwa cahaya yang masuk gua
bukanlah cahaya bintang-bintang, melainkan cahaya api
kebakaran besar yang datang dari kota. Kota terbakar, kalau
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak seluruhnya mungkin sebagian besar. Dan di antara
gemuruh api, dentum ledakan bambu, terdengar pula
teriakan-teriakan perang.
Teringatlah Banyak Sumba kepada Ayahanda. Apakah yang
terjadi pada beliau" Masih selamatkah beliau atau ..." Teringat akan hal itu, gemetarlah sendi Banyak Sumba. Akan tetapi, ia segera sadar bahwa ia anak laki-laki terbesar. Hadnya
diteguhkan, lalu berjalanlah ia ke depan, memegang tangan
Ibunda dan menuntunnya, mengikuti Kakek Misja. Ibunda
rupanya terhibur oleh sikap Banyak Sumba. Sambil beliau
mengusap rambut Banyak Sumba yang tergerai di kening,
beliau mengikuti tuntunan itu.
Mereka berjalan untuk beberapa lama di dalam semaksemak, kemudian sampailah mereka di tepi sungai. Ternyata,
di tepi sungai itu sudah menunggu dua orang gulang-gulang
dengan sebuah perahu besar. Seluruh rombongan wanita
masuk perahu, sementara para gulang-gulang diperintahkan
oleh Kakek Misja untuk kembali ke gua. Banyak Sumba mulamula ragu, apakah ia akan masuk perahu atau kembali. Kalau
ia segera masuk perahu, ia akan kembali menganggap dirinya
sebagai anak kecil. Kalau ia mengikuti para gulang-gulang
kembali ke mulut gua, ia harus melepaskan keluarga tanpa
pengawalannya. Untung Kakek Misja berkata, "Kita harus menutup pintu gua dulu, Raden."
Dengan tegas, Banyak Sumba melangkah, mendahului
yang lain ke mulut gua. Ternyata, di depan mulut gua pun
sudah terdapat batu kecil, tersembunyi di dalam semak. Batu kecil itu sama besar dan bentuknya dengan yang di dalam.
Demikian juga penggunaannya karena ternyata di luar pun
ada sebatang besi yang tersembunyi. Setelah pekerjaan yang
sama dilakukan kembali, dengan menggeser batu besar ke
arah gua, tertutuplah gua itu. Dalam remang-remang, yang
tampak hanyalah sebuah batu yang sangat besar. Sukar bagi
siapa pun untuk menduga bahwa di balik batu itu terdapat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terowongan besar menuju salah satu ruangan Istana Banyak
Citra. Dan, mereka yang mengetahui pun belum tentu dapat
menggeser batu besar itu, kecuali anggota keluarga Banyak
Citra atau gulang-gulang yang paling setia.
Setelah selesai, mereka kembali ke tepi sungai. Perahu itu
sudah tidak ada. Akan tetapi, tak lama kemudian, muncullah ia dari dalam gelap, dari tengah sungai. Para gulang-gulang dan Kakek Misja dengan didahului oleh Banyak Sumba masuk
perahu, lalu mereka menyeberang. Ternyata, di seberang
telah tersedia kereta, kuda, dan beberapa orang gulanggulang. Rombongan wanita masuk kereta. Banyak Sumba
menaiki salah seekor kuda. Gulang-gulang sebagian ikut di
atas kereta, sebagian naik kuda. Maka, rombongan pun
berangkat dalam lindungan gelap malam.
Sebelum berangkat, Banyak Sumba berpaling ke arah Kota
Medang. Air mata menitik. Ia melihat kota itu sebagai api
unggun yang menjulang tinggi. Ia pun teringat akan
Ayahanda. Perjalanan yang dipimpin oleh Kakek Misja itu dilakukan
melalui jalan-jalan yang tidak dikenal Banyak Sumba.
Walaupun gelap, Banyak Sumba menyadari bahwa jalan-jalan
yang dilewati bukanlah jalan-jalan biasa, tapi celah-celah di antara semak-semak atau jalan-jalan tua yang tidak biasa
dipergunakan lagi. Perjalanan itu dilakukan dalam jangka
waktu yang sangat lama. Banyak Sumba menyadari hal itu
karena selalu berpaling ke bintang-bintang, yang gerakannya ia ikuti sambil melihat Bintang Luku untuk mengetahui arah.
Ketika ia mulai lelah dan surai kuda basah, rombongan pun
berhenti. Kakek Misja turun dari kudanya dan berkata kepada Banyak
Sumba bahwa perjalanan harus dilanjutkan dengan jalan kaki.
Maka, turunlah Banyak Sumba. Bersama Kakek Misja, ia
berjalan ke arah kereta. Banyak Sumba menurunkan adikadiknya yang belum tidur atau membantu para emban yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
turun sambil menggendong adik-adik Banyak Sumba yang
masih kecil. Setelah barang-barang diturunkan dan gulanggulang siap mengangkatnya, Kakek Misja memberi aba-aba.
Maka, rombongan pun berjalan, kecuali kusir kereta dan
beberapa orang gulang-gulang yang harus kembali ke Kota
Medang. Rombongan berjalan di bawah bintang-bintang,
didahului oleh Kakek Misja yang membawa obor. Di kanan dan
di kiri rombongan, dikawal gulang-gulang yang berpakaian
perang dan bersenjata lengkap.
Paling depan berjalan dua orang gulang-gulang yang
pedangnya kadang-kadang harus dipakai menebas semaksemak yang menghalangi langkah rombongan. Di samping
Kakek Misja berjalanlah Banyak Sumba. Pikirannya melayang
ke sana kemari. Kadang-kadang, air matanya hendak keluar
kalau ingat kepada Ayahanda. Kadang-kadang, hatinya
menjadi panas kalau ingat kepada Jakasunu yang berkhianat
dan menyebabkan huru-hara dalam kota. Akan tetapi, sakit
hati dan kemarahan yang meluap-luap itu bergalau hebat
dalam hatinya ketika ia ingat kepada Pangeran Anggadipati.
Sungguh, tidak serambut pun ia menyangka bahwa
seorang yang sangat disenangi dan dimuliakan oleh seluruh
keluarga Ayahanda akan berkhianat demikian keji. Pangeran
Anggadipati telah membunuh Jante Jaluwuyung. Itu sudah
luar biasa kejam dan kejinya. Akan tetapi, akibat
perbuatannya tidak hanya sampai di sana. Segala kejadian
yang mengikuti dan menyebabkan Kota Medang terbakar,
keluarga Banyak Citra mengungsi, dan mungkin nasib
Ayahanda terancam, pada hakikatnya akibat perbuatan
Pangeran Anggadipati. Sambil berjalan, Banyak Sumba
meraba hulu badiknya. Ia berbisik tidak akan membiarkan
orang keji itu hidup tenteram di dunia. Kalau Sang Hiang
Tunggal berkenan, ia bertekad minta bayaran nyawa Kakanda
Jaluwuyung dan segala kesengsaraan yang diderita keluarga
Banyak Citra dengan nyawa Pangeran Anggadipati dan seluruh
keluarganya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara ia termenung demikian, mulai dirasakan betapa
penat kakinya. Tak lama kemudian, terdengarlah kokok ayam
hutan. Banyak Sumba melihat ke langit sebelah timur, tempat Bintang Kejora mulai pucat.
Subuh itu, tibalah rombongan di sebuah tempat, di tengahtengah hutan belantara. Rombongan mendaki dengan bantuan
seutas tambang ijuk yang besar. Alangkah sukarnya
pendakian itu, apalagi bagi kaum wanita. Anak-anak kecil
terpaksa digendong oleh para gulang-gulang. Karena sukarnya pendakian itu, lama sekali rombongan bisa berkumpul di
sekitar tebing pendakian. Ketika matahari terbit, tibalah
mereka semua di tepi tebing. Dan di bawah cahaya matahari
itu, jelaslah bagi Banyak Sumba bahwa mereka berada di
puncak gunung kecil yang bertebing curam dan berhutan
lebat. Dari puncak gunung dapat dilihat wilayah-wilayah
kekuasaan Kota Medang. Bahkan, Kota Medang walaupun
samar-samar dapat pula dikira-kira letaknya. Sadarlah Banyak Sumba bahwa gunung pengungsian itu tidaklah jauh benar
dari Kota Medang, tetapi akan sukar sekali dicari karena
letaknya tidak disangkasangka dan sukar dicapai. Sadar pula ia bahwa rombongannya telah melakukan perjalanan yang luar
biasa beratnya. SETELAH seluruh rombongan berhasil melewati tebing yang
curam, Kakek Misja menjadi petunjuk jalan kembali.
Rombongan menuju hutan yang sangat lebat yang berada di
puncak gunung kecil itu. Perjalanan yang singkat ini bukanlah perjalanan yang mudah karena tumbuh-tumbuhan di hutan itu
banyak sekali yang termasuk jenis tumbuh-tumbuhan berduri
dan merambat. Karena Kakek Misja telah hafal, perjalanan
yang sukar itu bukan siksaan bagi rombongan.
Suatu hal sangat berkesan pada hati Banyak Sumba dalam
perjalanan malam yang berat itu. Ternyata, adik-adiknya,
walaupun masih kecil, tidak ada yang menangis. Bahkan, yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
merengek pun tidak ada. Mereka diam. Ini sangat
mengharukan Banyak Sumba. Bersama keharuannya itu,
timbullah pula rasa hormat yang mendalam terhadap
Ayahanda Banyak Citra. Bagaimanapun, keluarga Banyak Citra
adalah keluarga bangsawan, dan sebagai keluarga
bangsawan, setiap anggotanya harus memiliki watak yang
lebih baik daripada orang kebanyakan. Anggota wangsa
Banyak Citra harus lebih cerdas, berilmu, be- " rani, tabah, dan kuat. Itulah yang biasa ditanamkan oleh Ayahanda
kepadanya dan kepada semua saudaranya Begitu pandai


Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ayahanda sebagai pendidik sehingga adik-adiknya yang masih
kecil-kecil pun sudah memiliki watak yang baik ini.
Sambil termenung demikian, Banyak Sumba terus
melangkah mengikuti Kakek Misja, sementara sisa rombongan
berjalan agak jauh di belakang. Para gulang-gulang
mengangkat peti-peti, para emban mengangkat benda-benda
kecil atau menggendong adik-adik Banyak Sumba. Ibunda dan
Ayunda Yuta Inten berjalan di tengah-tengah mereka.
Rombongan itu makin lama makin masuk hutan di puncak
gunung kecil itu. Pada suatu saat, Banyak Sumba melihat bagian hutan yang
pohon-pohonnya mulai jarang. Kemudian, tampak pula di
tengah-tengah hutan yangjarang itu sebuah lapangan. Dengan
terheran-heran, Banyak Sumba melihat bahwa yang mereka
tuju sebuah kampung kecil, demikian kecilnya sehingga sukar disebut kampung. Kampung yang terdiri dari empat atau lima
buah bangunan itu hanya cocok untuk padepokan, tempat
pertapa dengan beberapa orang cantriknya dapat
memperdalam ilmu dengan tenang. Akan tetapi, untuk
dikatakan padepokan pun tidak cocok pula karena selain
bangunan-bangunan yang terdapat di sana dibuat dari bahanbahan yang baik, pagar yang mengelilinginya pun lebih cocok sebagai pagar sebuah rumah bangsawan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita sampai, Raden," ujar Kakek Misja sambil berhenti, kemudian berpaling pada rombongan yang mendekat. Setelah
itu, dipersilakan Ibunda, Ayunda, serta para emban untuk
berjalan lebih dahulu memasuki halaman rumah-rumah itu.
Banyak Sumba berdiri di pinggir jalan setapak, tidak jauh
dari gerbang pagar yang mengelilingi kampung kecil itu. Ia
berdiri di samping Kakek Misja yang sedang menyampaikan
perintah-perintahnya kepada gulang-gulang yang membawa
barang-barang. Setelah Kakek Misja selesai memberikan
perintah-perintah, bertanyalah Banyak Sumba kepada orang
tua itu, "Kakek, sudah lamakah kampung ini didirikan?"
"Raden, kampung ini bernama Panyingkiran, didirikan
paling sedikit seratus tahun yang lalu oleh eyangmu," kata orang tua itu, kemudian ia termenung. Lalu, seperti bicara
kepada dirinya sendiri, Kakek Misja berkata, "Wangsa Banyak Citra sungguh-sungguh suatu wangsa yang banyak menderita.
Selalu, ya, selalu terjadi bentrokan-bentrokan dengan wangsa lain. Bahkan, eyangmu pernah berselisih dengan Prabu Sili-wangi karena salah pengertian." Kemudian, setelah tampak ia menyadari bahwa di sampingnya ada Banyak Sumba, salah
seorang dari wangsa Banyak Citra, berkatalah Kakek Misja,
"Dan keluargaku, Raden, turun-temurun menjadi hamba
wangsa Banyak Citra yang luar biasa ini. Engkau pun, dari
cahaya matamu, potongan badanmu, apa-apa yang telah
terjadi kepadamu selagi berumur begini muda, mungkin akan
mengalami nasib yang luar biasa pula. Mudah-mudahan
tidak," kata Kakek Misja seraya menarik napas panjang, lalu memberi isyarat agar Banyak Sumba mengikutinya masuk
halaman kampung yang dilingkungi pagar yang kuat itu.
-ooo00dw00ooo- Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bab 3 Meniup Bara Kampung Panyingkiran yang berada di tengah hutan lebat
di puncak gunung kecil itu terdiri dari lima buah rumah. Dua rumah berukuran kecil berdiri berhadapan, disekat oleh
halaman yang berupa lapangan kecil. Sedangkan bangunan
yang besar, yang menghadap ke utara dan diapit dari kirikanan oleh empat buah bangunan lain, memiliki pendapa
sebagai serambinya. Di rumah yang besar ini, Ibunda,
Ayunda, anak-anak, dan para emban tua, tinggal. Sedangkan
di rumah-rumah yang empat buah lagi, tinggal para emban
lain dengan suami masing-masing, yang ternyata kelompok
gulang-gulang yang mengangkut barang-barang istana ketika
mereka melarikan diri. Setiap rumah kecil itu diisi dua keluarga gulang-gulang, sementara Kakek Misja tinggal di rumah yang
besar dengan keluarga Banyak Sumba.
Hari pertama, para pengungsi menyibukkan diri dengan
jalan membersihkan dan mengatur letak perabotan. Kesibukan
ini bukan saja perlu, tetapi sangat penting bagi Ibunda,
Ayunda, dan Banyak Sumba. Kesibukan itu melipur pikiran
mereka dari kesedihan yang disebabkan oleh perisdwa
kemalangan yang bertubi-tubi dan kecemasan akan nasib
Ayahanda yang belum pasti. Akhirnya, pekerjaan itu selesai
juga dan tibalah waktunya bagi para pengungsi untuk
istirahat. Ketika beristirahat inilah, segala kesedihan dan kecemasan kembali menyerbu hati mereka. Kesedihan dan
kecemasan ini diperdalam pula oleh suasana yang berbeda
dengan suasana di Kota Medang. Kini, mereka berada di hutan belantara. Burung-burung bernyanyi di dahan-dahan. Monyet,
lutung, dan surili berlompatan sambil berteriak-teriak. Dari jauh, suara binatang yang asing sayup-sayup melengkingTiraikasih Website http://kangzusi.com/
lcngking sedih. Semuanya itu mendorong para pengungsi
untuk lebih menyadari nasib mereka.
Untuk memperingan beban yang memberati hatinya,
Banyak Sumba berjalan menjauhi keluarganya yang
berkumpul di ruangan tengah. Mula-mula, ia berjalan ke
belakang rumah besar, ke dapur tempat para emban
memasak dan menyediakan makan siang, kemudian ke arah
gulang-gulang yang sedang bekerja. Mereka sedang
memperbaiki pagar, memperkuat bagian-bagian gerbang, dan
membersihkan semak-semak yang mulai merambat ke
lapangan. Sambil berjalan mengikuti ibu jari kakinya, Banyak Sumba
mulai berkenalan dengan para gulang-gulang itu. Ia sering
melihat mereka di istana, tetapi karena banyaknya gulanggulang dan karena kesibukannya sebagai putra bangsawan
yang harus belajar berbagai ilmu, ia jarang mendapat
kesempatan bercakap-cakap dengan mereka. Ketika itulah, ia
baru dapat berdiri lama memerhatikan mereka bekerja.
"Yang manakah Aji, Iba, Arba, Mirta, Waski, ... lain-lain lagi?" tanya Banyak Sumba.
Gulang-gulang itu menyebut nama mereka masing-masing
dengan hormat. "Kalian sudah datang ke sini sebelumnya?" tanya Banyak Sumba pula.
"Belum Raden, tapi ayah-ayah kami sudah, dulu ketika
eyang Raden terpaksa mengungsi kemari."
Dari jawaban itu, tahulah Banyak Sumba bahwa para
gulang-gulang itu dipilih dengan sebaik-baiknya oleh
Ayahanda. Mereka orang-orang yang telah memperlihatkan
kesetiaan turun-temurun kepada wangsa Banyak Citra.
Kesadaran ini mengharukan hati Banyak Sumba dan
meluapkan rasa terima kasih dan rasa sayangnya kepada
mereka. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bekerjalah, jangan terganggu," kata Banyak Sumba, lalu ia melanjutkan,"... seandainya di masa yang akan datang
mendapat kemuliaan, saya tidak akan melupakan kebaikan
dan kesetiaan kalian."
"Kami tidak mengutangkan budi kepada keluarga Raden.
Sejak leluhur kami, hidup kami sudah tidak dapat dipisahkan dengan keluarga Raden. Ke bukit sama mendaki ke lembah
sama menurun, itulah gambaran kami dengan keluarga
Raden," kata yang tertua di antara mereka.
Banyak Sumba tersenyum memandang wajah mereka.
Pengertian yang mendalam, rasa persahabatan yang tulus,
berkembang dari hati mereka.
HARI makin sore juga dan akhirnya segala pekerjaan
selesai. Kampung kecil yang mula-mula tidak keruan itu,
akhirnya menjadi tempat yang menyenangkan untuk didiami
dan ketika seluruh pengungsi beristirahat sambil menikmati
buah-buahan yang sempat dikumpulkan dari hutan pada siang
hari, kembalilah kecemasan dalam hati Banyak Sumba.
Dari Kakek Misja didapat keterangan, kalau ddak ada aral
melintang, Ayahanda akan menyusul hari itu. Sekarang sudah
sore, kabar tentang nasib Ayahanda belum juga dba. Maka,
berjalanlah Banyak Sumba ke pintu gerbang, lalu naik ke atas kandang jaga yang merupakan menara kecil di atas pintu
gerbang itu. Ternyata, di sana sudah ada Kakek Misja ditemani Aji dan Iba yang masing-masing bersenjatakan panah.
"Sudahkah beliau tampak?" tanya Banyak Sumba kepada gulang-gulang itu.
"Belum," ujar Kakek Misja mengetahui siapa yang
ditanyakan Banyak Sumba. Banyak Sumba lalu duduk di atas
sebatang bambu melintang di dalam gubuk penjagaan itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak usah cemas benar, Raden," ujar Kakek Misja, lalu melanjutkan, "Kalau tidak datang, belum tentu nasib buruk menimpa beliau. Mungkin saja pasukan beliau berhasil
menghalau pasukan musuh ke luar kota dan beliau tidak
merasa perlu untuk mengungsi. Siapa tahu malah kita akan
dipanggil beliau pulang kembali ke kota."
"Tapi dengan memukul pasukan yang mengacau di kota,
belum berarti persoalan selesai, Kakek," kata Banyak Sumba.
"Ayahanda masih harus menyelesaikan persoalan dengan sang Prabu atau sekurang-kurangnya dengan utusan dari Pakuan
Pajajaran." "Ya, tapi segalanya jelas bahwa Ayahanda tidak bersalah.
Pihak pemerintah kerajaanlah yang harus menjelaskan kepada
beliau mengapa Kakanda Jante dibunuh," kata Kakek Misja.
Dari nada bicaranya, terdengar rasa gemas. Teringatlah
Banyak Sumba bahwa Kakek Misja sangat sayang kepada
Kakanda Jante Jaluwuyung.
"Soalnya tidak semudah itu, Kakek," kata Banyak Sumba.
Orang tua itu memandang Banyak Sumba seolah-olah
meminta penjelasan lebih lanjut. Sebenarnya, Banyak Sumba
tidak punya penjelasan yang lebih banyak, tetapi tidak sukar baginya untuk menduga bahwa masalah yang timbul tidak
saja melibatkan Ayahanda dengan pemerintah kerajaan.
Masalah itu melibatkan juga berbagai pihak yang menangguk
di air keruh. Di antaranya Raden Pembayun Jakasunu dengan
semua bangsawan pengikutnya. Mereka akan
mempergunakan kesempatan perselisihan Ayahanda dengan
pemerintah kerajaan dengan sebaik-baiknya untuk tujuantujuan yang sesuai dengan kepentingan mereka.
Bukankah Jakasunu sangat menginginkan kedudukan
Ayahanda sebagai penguasa Kota Medang" Dan bukankah
usaha pembunuhan terhadap Ayahanda pernah dicobanya,
walaupun gagal" Bukankah ia telah mencari muka dengan
menjemput utusan dari Pakuan Pajajaran dan menyarankan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hal-hal yang licik kepada para utusan itu" Ya, demikianlah
keterangan dari Ayahanda dan Ayahanda orang bijaksana
yang telah banyak makan garam kehidupan ini.
"Pendeknya, antara Ayahanda dengan sang Prabu terdapat bangsawan-bangsawan lain yang berkasak-kusuk untuk
kepentingan mereka sendiri. Bukankah tidak mustahil Raden
Pembayun Jakasunu bergerak, juga saudara-saudara
Anggadipati, pembunuh Kakanda Jante itu, untuk
menghindarkan diri dari hukum keadilan?" demikian ujar Banyak Sumba.
Kakek Misja termenung, lalu mengangguk. Demikian juga
Aji dan Iba, keduanya berpandangan. Tampak, di samping
mereka mengerti, mereka pun merasa hormat kepada Banyak
Sumba, walaupun muda sudah dapat menjelaskan hal-hal
yang sangat penting itu kepada mereka.
Banyak Sumba mendengar celoteh burung kutilang. Itu
berarti hari sudah senja. Awan pun lembayung. Angkasa
muram, bersamaan dengan makin memberatnya hati Banyak
Sumba. Pikirannya mulai kembali pada nasib Ayahanda.
"Lihat!" tiba-tiba Aji berseru. Suaranya terdengar gembira.
Mereka berpaling dan dengan mengikuti telunjuk Aji
memandang ke arah bagian hutan yang pohon-pohonnya agak
jarang. Samar-samar dalam keremangan itu tampaklah lima
orang berjalan. Yang paling depan jelas sekali Ayahanda.
Banyak Sumba mengucapkan syukur kepada Sang Hiang
Tunggal, lalu turun dan berlari ke pendapa. Di sana, Ibunda dan Ayunda duduk, sementara adik-adiknya bermain-main
dengan para emban. "Ayahanda tiba," katanya terengah-engah. Ibunda dan Ayunda berdiri, sedangkan anak-anak berlari ke gerbang.
Tak lama kemudian, muncullah Ayahanda. Semuanya
memandang ke wajah beliau karena dari wajahnya orang akan
membaca bagaimana nasib Kota Medang dan keluarga Banyak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Citra. Dan wajahnya itu kelam semata. Beliau berjalan,
mengusap adik-adik, lalu memangku si bungsu. Beliau
berjalan ke pendapa, diikuti para pengawalnya yang lima
orang, yang seorang di antaranya masih anak-anak dan
sebaya dengan Banyak Sumba. Sementara itu, penghuni
Panyingkiran pun berlari ke pendapa.
Setiba di pendapa, beliau duduk menghadap ke seluruh
penghuni Kampung Panyingkiran yang berdiri di lapangan
depan pendapa. Setelah semua menyembah, berkatalah
beliau, "Pembayun Jakasunu dengan bantuan pasukan pemerintah
kerajaan telah berhasil menduduki seluruh kota. Kita harus
tinggal di sini sambil menunggu keadilan Sang Hiang Tunggal yang pada suatu waktu akan terlaksana juga, lama atau
segera." Kemudian, Ayahanda diam sambil tangan beliau mengusapusap si bungsu. Hadirin menundukkan muka. Ayahanda
kemudian berkata, "Sekarang, sejak hari ini, marilah kita anggap kampung ini sebagai padepokan. Kita semua akan
berdoa di sini agar keadilan segera tiba. Sekarang,
beristirahatlah kalian."
Hadirin berjalan terpencar-pencar; mereka kembali ke
rumah-rumah di samping kiri-kanan, yang segera menjadi
terang oleh lampu-lampu minyak kelapa. Sementara itu, di
pendapa tinggallah Ayahanda, Kakek Misja, Ibunda, Ayunda,
Banyak Sumba, dan gulang-gulang Wasis dengan anak yang
sebaya Banyak Sumba itu. "Lakukanlah segala yang telah direncanakan, Misja," ujar Ayahanda.
"Baik, Gusti," ujar Kakek Misja.
"Dan engkau, Sumba, Paman Wasis membawa putranya
untuk menemanimu sehari-hari dan juga untuk menjadi
kawanmu berlatih. Siapa namamu, Nak?" tanya Ayahanda.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
'Jasik, Gusti," kata anak itu seraya memandang kepada
Banyak Sumba sambil tersenyum. Banyak Sumba
mengangguk. "Paman Wasis akan melatih kalian, hingga segala ilmunya diturunkan kepada kalian berdua."
"Baik, Gusti," Paman Wasis menjawab walaupun Ayahanda tidak menegurnya.
Banyak Sumba menyangka bahwa kedua orang tua itu
telah merundingkan dengan matang berbagai rencana
sebelumnya. Ternyata, Ayahanda orang yang biasa
memikirkan segala-galanya. Mula-mula pembuatan
terowongan untuk meloloskan diri, kemudian pembuatan
kampung yang sangat sukar dicari tetapi tidak jauh dari kota, dan akhirnya penyediaan tempat berlatih Banyak Sumba. Dari
kesimpulan itu, makin tumbuhlah kekaguman dan rasa hormat
Banyak Sumba terhadap Ayahanda Banyak Citra serta kepada
leluhurnya. KEESOKAN paginya, rencana baru Ayahanda bagi masa
depan Banyak Sumba mulai dijalankan.
"Lupakan segala ilmu kenegaraan yang pernah kaupelajari, Sumba. Pusatkan perhatianmu pada ilmu dan seni berkelahi,
yang sejak hari ini harus menjadi bagian utama hidupmu
sebagai putra tertua keturunan Banyak Citra."
Wejangan Ayahanda itu diucapkan di hadapan Paman
Wasis danjasik, anak Paman Wasis yang akan menjadi teman
berlatih Banyak Sumba. Mendengar wejangan itu, Banyak
Sumba tidak berkata apa-apa. Soalnya sudah jelas bahwa
hidupnya sudah ditetapkan tujuannya, yaitu untuk
membalaskan dendam keluarganya. Banyak Sumba bukan
saja menerima tujuan hidup itu, tetapi menyetujuinya dan
bahkan meng-hasratkannya sepenuh hati.


Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bukankah orang-orang tertentu telah menyebabkan
kemalangan terhadap keluarganya" Bukankah ada orangorang yang telah mengambil nyawa Kakanda Jaluwuyung dan
menyebabkan keluarganya harus hidup bersembunyi di
hutan"Jadi, Banyak Sumba diam saja sambil memandangi
pakaian latihannya, yaitu celana pangsi hitam yang terbuat
dari sutra tebal, licin, dan lembut, serta baju salontreng yang terbuat dari kain yang sama. Ia pun memerhatikan pakaian
Paman Wasis dan pakaian Jasik, yang potongannya sama
tetapi terbuat dari kain biasa berwarna nila. Selagi Banyak Sumba memerhatikan pakaian mereka, berkatalah Ayahanda,
"Wasis, mulailah, hari belum terlalu panas."
"Baiklah, Gusti. Raden, kukuhkan alas kakimu, kita akan berjalan di hutan," kata Paman Wasis. Setelah mereka
menyembah kepada Ayahanda, guru dan murid itu pun
berjalanlah ke lawang kori, setelah itu keluar dari lingkaran pagar dan masuk hutan.
"Kita akan ke lereng timur gunung ini, Raden," kata Paman Wasis.
"Mengapa kita ke barat?" tanya Banyak Sumba.
"Kita sedang latihan. Karena itu, yang penting bukan
sampai ke lereng timur, tetapi cara mencapainya," jawab Paman Wasis. Maka, guru dan murid itu pun berjalan. Paman
Wasis di muka, diikuti Banyak Sumba dan paling belakang
Jasik. Mereka berjalan biasa saja, seperti para petani yang akan
pergi ke huma. Akan tetapi, tak lama kemudian, Paman Wasis
membelok dari jalan setapak dan masuk ke semak-semak.
Kedua orang murid itu pun mengikutinya. Mereka masuk ke
semak-semak, melompati dahan-dahan, menyibakkan rantingranting dan daun-daun. Kemudian, Paman Wasis berjalan
cepat, melompat-lompat, menyelinap, kadang-kadang naik
pohon, lalu menuruni dahan besar, loncat ke bawah, berlari....
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kedua orang murid itu mengejarnya sekuat tenaga,
melompat, jatuh, tersesat, terluka oleh duri-duri dan ranting.
Tapi terus mengejar guru mereka karena kalau tidak, mereka
akan ketinggalan di hutan yang mulai lebat itu. Banyak Sumba berlari di belakang Jasik yang ternyata sudah sangat tangkas, hampir sama tangkas dengan ayahnya. Makin lama, Banyak
Sumba makin jauh tertinggal. Bukan saja karena kurang
tangkas, tetapi napasnya pun mulai memburu, keringat
membasahi seluruh tubuhnya, bahkan masuk ke matanya,
sedangkan pandangannya mulai berkunang-kunang, ulu
hatinya mual. Ia tidak mau berhenti, ia terus berlari walaupun dalam pandangan matanya, langit berputar-putar, bumi naik
turun di bawah telapak kakinya. Ia berlari terus karena tahu, ia salah seorang wangsa Banyak Citra, wangsa yang tidak
pernah menyerah. Ia berlari dan... sebuah dahan melintang di hadapannya. Matanya yang kemasukan keringat dan sudah
berkunang-kunang tidak melihatnya. Kakinya tersangkut...
blug! Tubuh Banyak Sumba terhempas antara ranting-ranting
dan daun-daunan. Ia segera bangun, tetapi pemandangannya tiba-tiba gelap.
Ia berpegang pada sebatang cabang yang dapat
dijangkaunya, lalu berusaha berdiri, tetapi ulu hatinya
menggeliat, dan muntahlah ia. Sementara ia masih tersuruksuruk dalam muntahnya itu, datanglah Paman Wasis danjasik.
Ketika Banyak Sumba sudah dapat bernapas kembali,
tampaklah olehnya bahwa kedua orang panakawannya itu
tidak memperlihatkan kelelahan seperti yang dialaminya.
"Bagus, Raden. Sekarang, jelas bahwa seni berkelahi tidak lebih mudah daripada ilmu kenegaraan, bukan?" ujar Paman Wasis. Perkataannya itu akan merupakan ejekan seandainya
Paman Wasis tidak mengeluarkan sehelai kain yang diusapkannya ke kening dan leher Banyak Sumba.
"Barangkali, Raden sekarang menyadari bahwa berlari itu tidak dapat dilakukan sembarangan. Berlari harus dilakukan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan tidak usah menyebabkan kita lelah, apalagi sampai
harus muntah." Banyak Sumba ingin sekali bertanya, bagaimana cara
berlari tanpa melelahkan. Akan tetapi, karena napasnya masih tersengal-sengal, ia tidak berkata apa-apa.
"Sudah dapat berdiri?" tanya Paman Wasis. Banyak Sumba mencoba berdiri, tetapi lututnya gemetar. Ia memaksakan diri dan dengan pandangan mata berkunang-kunang, tegaklah ia.
"Betul-betul Raden ini anggota keluarga Banyak Citra,"
katanya sambil menepuk bahu Banyak Sumba. "Barang siapa berani mengganggu keluarga Banyak Citra tidak akan dapat
tidur nyenyak," katanya pula sambil tersenyum.
Kemudian, guru dan murid berjalan di dalam hutan itu.
Setelah berjalan beberapa lama, ribalah mereka di bagian
hutan yang pohon-pohonnya sudah ditebang, hingga
merupakan lapangan kecil. Di lapangan kecil itu, berhentilah mereka, lalu duduk di atas batang kayu yang melintang.
"Tiap pagi, kita akan datang ke sini dengan berlari. Kita akan berlomba dan berusaha mendahului yang lain.
Kemudian, di tempat ini kita akan berlatih. Hari ini untuk
pertama kali kita akan mencoba melakukan jurus pertama.
Nah, berdirilah Raden. Jasik, kau pun ikut. Nah, Raden, coba bagaimana caranya kalau Raden meninju ulu hati orang," kata Paman Wasis.
Banyak Sumba meninju udara yang ada di hadapannya.
"Coba dengan tangan kiri."
Banyak Sumba mengulang dengan tangan kiri, kemudian
dengan tangan kanan lagi.
"Coba perlihatkan caranya, Jasik," kata Paman Wasis.
Jasik berdiri dengan tegak, kedua kakinya sejajar. Banyak
Sumba memerhatikan baik-baik. Ternyata, perbuatan meninju
yang sebelumnya dianggap sebagai perbuatan yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sederhana itu, setelah dilakukan merupakan perbuatan yang
tidak mudah. Banyak Sumba menyadari betapa kaku ototototnya. Ia pun yakin, seandainya harus menghadapi lawan,
tinju-tinju yang dihantamkannya tadi tidaklah akan banyak
artinya. "Mulai!" kata Paman Wasis kepada Jasik, anaknya. Jasik melangkahkan kaki kiri ke depan, disusul dengan gerakan
tangan kanannya ke muka, dengan tinju. Begitu wajar
gerakannya itu, begitu mudah tampaknya ketika dilakukan
oleh Jasik, dan begitu keras kepalan itu menghambur ke
depan. Makin sadar Banyak Sumba, betapa rendah
kemampuannya dalam melakukan pekerjaan yang sederhana
itu. Terbayang olehnya, betapa menggelikan perbuatannya
bagi kedua orang kawannya itu. Kalau mereka tidak
menertawakannya, hal itu disebabkan Banyak Sumba majikan
mereka. "Nah, Raden, marilah kita bicarakan jurus pertama ini,"
kata Paman Wasis. Lalu, Paman Wasis menjelaskan bahwa
sedap gerakan harus dilakukan dengan wajar.
"Bagaimana mengetahui bahwa suatu gerakan itu wajar
atau tidak, Paman?" tanya Banyak Sumba.
"Gerakan yang wajar itu kita lakukan dengan enak, tidak melelahkan atau menyebabkan pegal, tetapi membawa hasil
yang besar. Coba lihat kembali Jasik. Sik, coba perlihatkan lagi kepada Den Sumba," sambung Paman Wasis.
Jasik mengulangi gerakan itu, mula-mula mempergunakan
tangan kanan, lalu tangan kiri, sementara kakinya melangkah maju seirama dengan gerakan-gerakan tangannya. Banyak
Sumba memerhatikan gerakan-gerakan kawannya itu dengan
kening berkerut. Ia melihat bahwa gerakan-gerakan Jasik itu bukan saja dilakukan dengan enak, tetapi menyenangkan juga
untuk ditonton. Timbullah pertanyaan dalam hatinya,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Apakah yang menyebabkan gerakan-gerakan itu begitu
wajar dan indah untuk dilihat" Ia bertanya kepada Paman
Wasis, tetapi keterangan Paman Wasis tidak memuaskannya.
Oleh karena itu, ia mulai saja meniru gerakan Jasik. Mula-mula tidak menggunakan tenaga. Setelah gerakan-gerakannya
mulai enak, Banyak Sumba mulai mempergunakan tenaganya.
Paman Wasis memerhatikannya, memperbaikinya, dan
memberikan penjelasan-penjelasan. Ketika matahari mulai
hangat, ia menyuruh Jasik membuka perbekalan yang mereka
bawa dari Panyingkiran. Di tengah-tengah lapangan kecil itu, mereka duduk bersila mengelilingi santapan pagi yang
sederhana. Kemudian, mereka minum dari kulit buah labu
yang kering. Setelah beristirahat sambil memperbincangkan
hal-hal mengenai jurus pertama itu, latihan dimulai kembali.
Baru setelah hari panas sekali, ketika matahari tergelincir dari puncaknya ke barat, mereka pulang ke Panyingkiran.
SORE itu, ketika ia sedang beristirahat, Banyak Sumba
tidaklah bermalas-malasan. Walaupun ia duduk bersila
seorang diri dalam ruangan yang disediakan baginya,
pikirannya sangat giat merenungkan latihan yang baru saja
dilaksanakan pagi itu. Banyak Sumba menyadari bahwa
sebagai anak laki-laki yang mengemban tugas untuk
menegakkan kehormatan keluarga, ia belum memiliki syarat
yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas itu.
Untuk kehormatan keluarga Banyak Citra, ia harus
membalas dendam terhadap Pangeran Anggadipati, keluarga
Tumenggung Wiratanu, dan juga keluarga Pembayun
Jakasunu Kesadaran ini menyebabkan ia sangat prihatin.
Itulah sebab nya, waktu istirahatnya tidak dipergunakan untuk bermalas malasan. Ia terus-menerus merenungkan jurus
pertama yang didapatnya dari latihan pagi tadi.
Ia berdiri, lalu melakukan gerakan seperti yang dicontohkan Jasik kepadanya. Ia memerhatikan bagian-bagian gerakanTiraikasih Website http://kangzusi.com/
gerakannya. Mula-mula diperhatikan tangannya. Tinjunya
yang mula-mula telentang di pinggangnya, kemudian
digerakkan perlahan-lahan ke muka. Ia baru menyadari bahwa
dalam gerakan itu, batang lengannya berputar sehingga tinju yang awalnya telentang jadi telungkup di hadapannya.
Diperhatikannya pula hubungan gerakan tangannya itu
dengan gerakan seluruh tubuhnya. Menjadi jelas pula baginya bahwa gerakan tangannya hanya bertenaga kalau tubuhnya
berdiri kukuh. Maka, kembalilah ia berlatih seorang diri, terus-menerus, hingga keringatnya menitik-nitik dari keningnya.
Setelah lelah dan senja tiba, barulah ia berhenti.
Malam harinya ia tak dapat tidur. Seluruh tubuhnya sakit.
Dan ketika matahari terbit keesokan harinya, sesuai dengan
perjanjian, Banyak Sumba berangkat menuju tempat latihan.
Dalam perjanjian, ia harus mencoba agar tiba paling dulu.
Akan tetapi, jangankan berlari, berjalan pun ia tersiksa. Setiap ototnya sakit ketika digerakkan akibat latihan yang dilakukan kemarin. Itulah sebabnya, jalan memintas yang diambilnya
bukan mempercepat tetapi memperlambatnya.
Karena lewat jalan memintas itu, ia harus menyelinap di
antara semak-semak, melompati batang-batang dan cabangcabang pohon yang runtuh. Perbuatan macam itu sukar sekali
dilakukannya karena setiap ototnya menjadi siksaan baginya.
Ketika ia tiba di tempat itu, kawan-kawannya sudah lama
berada di sana, menunggunya. Mereka pun rupanya mengerti
segala yang dialaminya. Paman Wasis meliriknya lalu berkata,
"Sakit-sakit?" "Sakit sekali, Paman."
"Tidak apa, selanjutnya akan jadi biasa," ujarnya. Dan latihan pun dimulai kembali. Banyak Sumba harus melakukan
jurus pertama. Dengan susah payah, ia melakukannya. Jasik
bertindak sebagai pembantu yang sewaktu-waktu diharuskan
memberi contoh. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena badannya sakit-sakit, Banyak Sumba tidak dapat
melakukan jurus pertama itu dengan baik. Paman Wasis tidak
puas akan kemajuan muridnya. Karena itu, hari kedua
sebagian besar dipergunakan untuk menyempurnakan jurus
pertama ini. Kemudian, pada waktu istirahat, Paman Wasis
menerangkan bahwa kalau jurus pertama belum dikuasai,
pelajaran jurus selanjutnya tidak ada gunanya karena tidak
akan dapat dilakukan dengan sempurna. Maka, latihan jurus
pertama ini pun dilanjutkan hingga waktu pulang tiba.
Jurus pertama itu ternyata memakan waktu hampir satu
bulan untuk dapat dilakukan dengan sempurna. Paman Wasis
sukar sekali puas. Karena itu, Banyak Sumba terpaksa
mempergunakan waktu istirahatnya untuk merenungkan
segala penjelasannya, lalu melaksanakan dalam latihan
seorang diri. Jurus-jurus selanjutnya semakin sukar pula dilakukan. Akan
tetapi, kesadaran bahwa apa yang dilakukannya itu benarbenar diperlukan, Banyak Sumba mempelajarinya dengan
tekun dan tabah. Setelah hampir satu tahun latihan-latihan itu dilaksanakan, akhirnya Paman Wasis berkata, "Raden, yang terakhir Raden pelajari adalah jurus kedua puluh satu. Itu jurus penghabisan yang Paman miliki. Raden murid yang tekun, biasanya kedua
puluh satu jurus itu dikuasai paling sedikit dalam tiga tahun.
Sekarang, tibalah saatnya bagi kita untuk mencoba jurus-jurus itu satu per satu. Untuk itu, Jasik akan menjadi lawan Raden dalam mempergunakan jurus-jurus itu. Jasik, kemari. Raden
Sumba akan mempergunakan jurus pertama terhadapmu,
dengan jurus apa harus kaulawan?" "Jurus delapan," jawab Jasik. "Bagus," ujar Paman Wasis, "sekarang mulai!" Kedua anak yang sama-sama berumur empat belas tahun itu mulai
berhadapan, lalu Paman Wasis memberi aba-aba supaya
mereka mulai. Maka, berulang-ulang Banyak Sumba
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mempergunakan jurus pertama, sedangkan Jasik
menangkisnya dengan jurus kedelapan.
Latihan-latihan semacam ini terus-menerus dilakukan,
hingga akhirnya setiap jurus dipasang dengan lawannya.
Ketika latihan yang mempergunakan jurus kedua puluh satu
selesai, Banyak Sumba dan Jasik sudah hampir berumur lima
belas tahun. Akan tetapi, mereka tampak lebih tua, bukan saja karena badan mereka tumbuh tinggi dan besar, tetapi latihan-latihan yang berat itu menyebabkan cahaya mata mereka
memperlihatkan ketabahan seorang dewasa.
Setelah latihan jurus berpasangan, dimulailah latihan
bebas. Banyak Sumba dan Jasik berkelahi berhadapan dengan
mempergunakan berbagai jurus, sesuai dengan tuntutan
keadaan. Supaya perkelahian ini tidak membahayakan,
ditetapkan peraturan agar pukulan-pukulan atau tendangantendangan yang dilancarkan dikendalikan. Di samping itu,
Paman Wasis siap melakukan tindakan darurat kalau ada
kecelakaan. Paman Wasis ternyata orang yang mahir pula
dalam menolong kecelakaan, terutama bentuk-bentuk
kecelakaan seperti terpukul, terkilir, dan memar.
SETELAH jurus-jurus tangan kosong itu dapat dipergunakan
dengan baik, Paman Wasis mulai mengajarkan bagaimana
caranya mempergunakan senjata. Tidak banyak yang harus
dipelajari dalam bagian pelajaran ini karena senjata itu dapat dianggap sebagai perpanjangan tangan. Oleh karena itu, jika jurus sudah dikuasai, penggunaan senjata tidaklah sukar.
Dengan sedikit petunjuk dari Paman Wasis, Banyak Sumba
sudah dapat mempergunakan senjata itu.
Senjata itu ada beberapa macam, terbagi ke dalam tiga
kelompok, yaitu senjata panjang, pertengahan, dan pendek.
Senjata panjang terdiri dari tombak dan pedang, disusul
dengan golok sebagai senjata pertengahan, diakhiri dengan
badik dan kujang sebagai senjata pendek. Banyak Sumba,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebagai seorang bangsawan, memusatkan perhatiannya pada
senjata pendek karena senjata pendek itulah yang lazim
menjadi pegangan para bangsawan. Bukan karena senjata itu
lebih ringan, tetapi pendeknya senjata itu melambangkan
keberanian. Setelah latihan-latihan dengan senjata pendek selesai, pada suatu sore, Paman Wasis dan Banyak Sumba menghadap
Ayahanda. Dalam ruangan yang penuh dengan peti-peti
lontar, Ayahanda menerima Paman Wasis dan Banyak Sumba.
Beliau mempersilakan Paman Wasis. Setelah orafig tua itu
menyembah, ia pun berkata, "Gusti, segala ilmu yang hamba miliki telah dikuasai putra Gusti. Hamba mengembalikan
Raden Sumba kepada Gusti."
Ayahanda yang jarang sekali bertemu dengan Banyak
Sumba mengangkat mukanya, lalu memandang Banyak
Sumba. Walaupun tidak tersenyum, wajah Ayahanda cerah
ketika itu. Beliau tampaknya gembira karena menurut rencana beliau,
Banyak Sumba akan belajar lima tahun. Kini, baru tiga tahun, pelajaran itu telah selesai. Itulah sebabnya mengapa beliau berkenan hati. Akan tetapi, kegembiraan Ayahanda ini tidaklah menyebabkan Banyak Sumba bersenang hati. Ia tahu bahwa
mempelajari ilmu berkelahi itu hanyalah usaha permulaan dari usaha-usaha selanjutnya yang sangat berat. Ia harus terus
belajar hingga suatu saat, ia pantas menghadapi Pangeran
Anggadipati. Hanya jika orang itu telah tewaslah Banyak
Sumba akan gembira. Dan pada saat itu, ia akan merasa
cukup berharga sebagai anggota wangsa Banyak Citra. Selagi
Banyak Sumba termenung, Ayahanda mulai berkata lagi
kepada Paman Wasis, "Wasis, tapi kau harus membuktikannya dulu kepadaku."
Paman Wasis termenung sebentar, ia tengadah, lalu
berkata, "Gusti dapat membuktikannya, malam ini atau besok pagi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Malam ini, kautahu bahwa setiap hari sangat berharga
bagi suatu keluarga yang telah diperlakukan tidak adil. Aku sudah cukup bersabar menunggu Sumba belajar selama tiga
tahun. Aku ingin segera melihat, apakah ia sudah dapat
diandalkan untuk menegakkan kehormatan wangsa Banyak
Citra." "Baiklah Gusti, hamba akan meminta agar lima orang
gulang-gulang yang muda-muda bersiap-siap untuk
bertanding dengan Raden Sumba."
"Katakan kepada mereka bahwa mereka yang
memperlihatkan keperwiraan akan kuberi hadiah."
"Izinkan anak hamba,Jasik, ikut melawan Raden Sumba,
Gusti." "Ya. Tapi Jasik belajar lebih lama daripada Sumba," ujar Ayahanda agak ragu-ragu.
"Ya, Gusti, tapi anak hamba kurang mempergunakan
otaknya," jawab Paman Wasis.
"Baiklah, ia pun berhak mendapat hadiahku kalau
memperlihatkan keperwiraannya. Setiap orang yang gagah
berani serta tangkas, dihargai oleh keluarga Banyak Citra,"
demikian kata penutup Ayahanda.
MALAM itu, lain dari biasa, halaman padepokan terang
benderang oleh cahaya obor. Biasanya, Ayahanda melarang
orang menyalakan api di luar rumah. Akan tetapi, karena
pentingnya peristiwa malam itu, Ayahanda mengizinkan
penduduk Padepokan Panyingkiran bersenang-senang.
Seluruh penghuni Panyingkiran sudah hadir di sekeliling
lapangan kecil itu. Wanita duduk di bangku, laki-laki berdiri.
Mereka mengobrol dan bahkan mulai tertawa-tawa. Sejak
mereka datang ke Panyingkiran, baru malam itulah suasana
gembira mereka alami kembali. Bagaimanapun, tamatnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pelajaran Banyak Sumba merupakan peristiwa yang
menggembirakan bagi abdi-abdi setia Ayahanda. Selain itu,
mereka akan mendapatkan hiburan yang sangat menarik pula,
yaitu pertandingan antara Banyak Sumba dan lima gulanggulang dan Jasik. Ketika Ayahanda keluar pendapa, diiringi Ibunda dan
Ayunda Yuta Inten, heninglah suasana. Ayahanda duduk di
bangku besar, lalu berkata dengan nyaring, "Seperti Jante Jaluwuyung, Banyak Sumba harus menjadi laki-laki sejati. Ia harus berani, tabah, tangkas, dan pantang menyerah. Nah,
kalian yang selama ini menjadi abdi-abdi setia, bantulah
anakku menjadi laki-laki yang kuingini. Lawanlah dia dalam
pertandingan ini. Barang siapa mengalahkannya dengan cara yang baik, akan
kuberi hadiah tanda penghargaanku. Sekarang, mulailah!"
Paman Wasis memberikan isyarat, maka Banyak Sumba
dengan calon lawan-lawannya maju ke muka, mengelilingi
Paman Wasis. Paman Wasis memberikan penjelasan, "Saya
akan memerhatikan dan menilai perkelahian kalian. Saya akan menentukan kemenangan dan kekalahan kalian.
Bagaimanapun, dalam pertandingan ini tidak boleh ada orang
yang cedera karena itu serangan-serangan kalian harus
dibatasi dan dikendalikan. Gantilah pukulan dengan tepukan
dan dorongan. Demikian juga tendangan, janganlah dilakukan
hingga menyebabkan kesakitan, apalagi cedera. Kalian boleh
mengunci lawan, boleh juga melipat dalam usaha pura-pura
mematahkan. Hendaklah pihak yang dipatahkan, kalau tidak
dapat melepaskan diri dan merasa sakit, segera mengakui dan menerima kekalahan. Sekarang, kita mulai. Peserta kita bagi dua, satu kelompok terdiri dari tiga orang. Yang tiga orang ini akan berkelahi dan pemenangnya akan bertanding dengan
pemenang kelompok kedua. Kelompok pertama terdiri dari
Jasik, Iba, Misdi; kelompok kedua terdiri dari Raden Sumba,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Waksir, dan Saro. Kita mulai dengan kelompok pertama. Iba
akan melawan Misdi. Mari kita mulai!"
Para peserta meminggir, kecuali Iba dan Misdi. Sementara
itu, Paman Wasis memanggil dua orang gulang-gulang tua,
yaitu Kakek Misja dan Arda yang akan membantu memberikan
penilaian. Maka, setelah dua orang pembantu itu menempati
tempat masing-masing, Paman Wasis memberikan aba-aba
tanda pertandingan dimulai.
Iba dan Misdi berhadapan di tengah-tengah lapangan kecil
yang diterangi obor. Kawan-kawannya, para gulang-gulang,
mu- lai ramai memberi semangat kepada kedua orang prajurit
itu, tetapi mereka belum juga bergerak. Mereka diam seperti patung, dalam sikap siaga saling mengintai. Tiba-tiba, cepat seperti kilat, tangan Iba menyerang ke arah pundak Misdi.
Banyak Sumba mengerti bahwa serangan itu bukan serangan
sebenarnya, tipuan belaka. Ketika Misdi menangkap dan
mengibaskan tangan kanan Iba, Iba menyerang leher Misdi
dengan tangan kirinya. Iba maju dengan cepat sambil
mendorong dagu Misdi ke atas. Misdi berusaha melepaskan
tangan Iba, tetapi Paman Wasis berseru, "Heup!" tanda perkelahian harus dihentikan. Kedua orang peserta berhenti
bertanding, kemudian Paman Wasis berkata, "Iba menang. Ia berhasil memegang leher Misdi, itu dapat pula diartikan bahwa ia berhasil memukul leher Misdi. Kalau mereka berkelahi
benar-benar, Misdi akan cedera karena lehernya kena
pukulan. Leher merupakan bagian yang lemah dari. tubuh
kita. Itulah sebabnya, Iba kita anggap menang."
Kedua orang pembantu penilai yang terdiri dari Kakek Misja
dan Arda, setuju. Maka, Iba ditetapkan sebagai pemenang.
Pertandingan dilanjutkan oleh anggota kelompok kedua, yaitu Waksir melawan Saro. Mula-mula, Saro menyerang dengan
mencekik lawannya. Akan tetapi, Waksir sempat membanting
Saro ke samping kiri hingga tangan Saro lepas dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sempoyongan ke samping. Waksir menghambur menyerang
Saro yang belum kukuh berdiri dengan kaki ke arah perutnya.
Saro terpental dan jatuh di pangkuan seorang gulanggulang yang menonton sambil bersila. Orang-orang bersorak
dan tertawa melihat pertandingan yang lucu itu. Sementara
itu, Saro bangun sambil membersihkan celana pangsinya yang
penuh debu. "Waksir menang," kata Paman Wasis. Setiap orang setuju karena dalam perkelahian sebenarnya, tentu saja Saro yang
sudah jatuh karena serangan kaki Waksir akan terus diserang dan mungkin cedera.
Sebelum debu turun ke atas lapangan kecil itu, Banyak
Sumba melihat Jasik maju melawan Iba. Iba tinggi besar,
otot-otot tangan dan kakinya menonjol, demikian juga otot
perut dan otot dadanya, tampak dari balik baju salontrengnya. Sementara itu, Jasik tinggi lampai, otot-ototnya tidak kelihatan. Akan tetapi, Banyak Sumba tahu bahwa di balik
gerak-geriknya yang lembut itu, Jasik memiliki kegesitan yang tinggi. Sekarang, kedua orang lawan sudah berhadapan.
Karena Jasik kecil, tampak Iba bermaksud menangkapnya.
Jasik bergerak ke samping. Iba mencegatnya. Untuk beberapa
lama, tidak ada yang membuka serangan. Mereka saling
mengintai. Tiba-tiba Iba melompat, menubruk sambil
merangkul Jasik. Dengan cepat sekali Jasik menghindar sambil menyepak ke arah rusuk kanan Iba, tetapi sasaran tidak
dikenai dengan tepat karena Iba masih sempoyongan. Jelas
bagi Banyak Sumba betapa tangkasnya Jasik.
Sekarang, keduanya siap sedia kembali. Tiba-tiba, Iba
menyerang ke arah leher Jasik dengan tangan kirinya. Jasik
mundur dengan menggeser kaki kanannya ke belakang.
Dengan demikian, pundak kanannya maju ke muka, dan
pundak kanan ini ditangkap oleh Iba dengan sigap. Iba
merenggut Jasik ke depan dengan maksud menguncinya
dengan pitingan. Akan tetapi, secepat kilat Jasik
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mempergunakan sikutnya ke arah ulu hati Iba. Sambil
menghambur, lututnya pun diangkat ke arah perut Iba.
Karena Iba menarik Jasik dengan kuat, serangan Jasik pun
tidak dapat dihindarkan. Iba terpental dan berguling-guling kesakitan di atas debu.
Paman Wasis segera melonggarkan ikat pinggangnya untuk
memudahkan pernapasan Iba, yang lain membantu
menggerak-gerakkan tangan Iba sesuai dengan perintah
Paman Wasis. Tak lama kemudian, Iba pun berdiri, lalu minum air jernih yang telah disediakan para emban. Ia tertawa. Jasik mendekatinya, minta maaf. Iba yang jauh lebih tua
daripadanya menepuk-nepuk pundak Jasik, tanda tidak
mengandung dendam. Maka, pertandingan pun dilanjutkan.
Banyak Sumba berhadapan dengan Waksir. Sebelum
mereka memulai, Ayahanda berseru, "Waksir, kuberikan
kepadamu badik berhulu gading kalau kau mengalahkan
anakku." "Nyakseni!" kata hadirin, kemudian memberikan semangat kepada Waksir yang mulai bergerak ke samping. Banyak
Sumba bersiap-siap; ia tahu bahwa Waksir sangat lincah
kakinya. Oleh karena itu, ia tidak boleh diberi kesempatan.
Waksir menyodorkan tangannya begitu dekat sehingga dapat
saja ditangkap oleh Banyak Sumba. Banyak Sumba sadar
bahwa ia tidak boleh terpancing. Ia bergerak ke samping.
Ketika Waksir sempat merobohkan kuda-kudanya, ia segera
menyeruduknya. Waksir sempat menangkap tangan kiri
Banyak Sumba dan mulai membantingnya. Untung, Banyak
Sumba sempat menangkap ikat kepala dan menariknya ke
belakang. Waksir yang tidak sempat memperkukuh kembali
kuda-kudanya, jatuh telentang. Banyak Sumba mengangkat
kakinya di atas ulu hati Waksir, tanda ia dapat melakukan
serangan yang mematikan. Ayahanda berdiri, kemudian duduk
kembali. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Waksir, umur dan pengalamanmu tidak menolongmu,"
kata Paman Wasis sambil maju ke tengah lapangan.
"Pertandingan terakhir, antara Raden Sumba dan Jasik,"
serunya kepada hadirin yang betul-betul tercengkeram
tontonan itu. "Jasik, badik yang bergagang gading itu kuberikan
kepadamu kalau kaumenang," kata Ayahanda.
"Nyakseni' seru hadirin gembira, lalu memberi semangat kepada Jasik dan juga kepada Banyak Sumba.
Sekarang, kedua orang lawan telah berhadapan dan Paman
Wasis memberikan isyarat mulai. Keduanya tidak bergerak,
mereka saling mengintai. Keduanya juga sudah saling
mengenal kekuatan dan kelemahan masing-masing. Mereka
saling menunggu kesempatan.
Jasik membuka serangan dengan tendangan yang cepat
sekali ke arah dada Banyak Sumba. Banyak Sumba mundur.
Sebelum Jasik sempat memperbaiki kuda-kudanya, ia
melompat menyerang dengan dorongan. Akan tetapi, Jasik,
seperti sudah diramalkan, segera menghindar ke samping
kanan, lalu menyerang. Untung Banyak Sumba dapat
menangkisnya. Dengan tidak disangka-sangka, tangan yang
dipergunakan untuk menangkis itu ditangkap Jasik, lalu
diputar. Otot dan sendi tangan meregang, rasa sakit mulai
menyelinap hingga ke belikatnya. Tak ada pilihan bagi Banyak Sumba, menyerah atau menjatuhkan diri. Banyak Sumba
memilih menjatuhkan diri ke arah kiri sambil menyepak ke
depan. Terdengar suara gedebuk dan napas tersengal. Ketika
Banyak Sumba jatuh dengan tangan kiri menumpu di tanah, ia
melihat Jasik berdiri membungkuk sambil memegang ulu
hatinya. Banyak Sumba bangun bersamaan dengan Paman
Wasis mendekati Jasik. Jasik diantar ke pinggir, disuruh
duduk, lalu diberi minum.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Maaf, Sik," kata Banyak Sumba. Jasik tersenyum.
"Raden Sumba adalah pemenang," seru Paman Wasis.
"Nyakseni.!" seru para hadirin.
Demikianlah akhir pertandingan itu. Ketika Banyak Sumba
berpaling ke bangku, Ayahanda tampak diiringi Ibunda dan
Ayunda berjalan ke arah pendapa. Ayahanda tidak pernah
menyatakan apa-apa terhadap segala yang dicapai putraputranya karena bagi keluarga Banyak Citra, mencapai yang
terbaik sudah menjadi keharusan. Demikian pernah diucapkan
oleh Ayahanda. SETELAH pelajaran berkelahi selesai Banyak Sumba
mengharapkan perintah atau isyarat dari Ayahanda bahwa ia
harus melakukan sesuatu. Akan tetapi, Ayahanda tidak pernah berkata apa-apa ataupun memberikan isyarat bahwa ia harus
melakukan sesuatu untuk keluarganya. Bahkan, belakangan ini Ayahanda lebih banyak menyepikan diri di tengah-tengah
tumpukan lontar. Keadaan ini sangat tidak menyenangkan Banyak Sumba. Ia
bimbang, tidak tahu apa yang harus dikerjakannya. Haruskah
ia memohon diri untuk pergi dari Panyingkiran, untuk
membalaskan dendam keluarganya" Apakah kepandaiannya
sudah cukup untuk menunaikan tugas ini" Ataukah ia harus
menunggu beberapa waktu hingga Ayahanda berkenan
memerintahnya untuk pergi, untuk membalas dendam atau
belajar ilmu berkelahi yang lebih tinggi" Setiap hari, Banyak Sumba sering termenung, tak tahu apa yang harus
dikerjakannya. Yang lebih menekan perasaannya adalah Ayunda Yuta
Inten. Kalau anggota keluarga yang lain sudah mulai dapat
mengangkat beban dukacita, Ayunda Yuta Inten makin hari
tampaknya tidak makin berlega hati, malahan makin murung
juga. Badan Ayunda makin kurus. Hal itu karena ia terusTiraikasih Website http://kangzusi.com/
menerus berpuasa dan bersemedi. Padahal, kesibukan di
Panyingkiran tidak berkurang bagi Ayunda. Bekerja sambil
berpuasa dan dukacita yang berkepanjangan seolah-olah menggerogod
Ayunda yang makin hari makin pucat pula. Hingga suatu hari, ketika sedang menyulam, Ayunda jatuh pingsan di atas
tikarnya. Sudah barang tentu isi Panyingkiran cemas. Ibunda mulai
berderai air mata, demikian juga para emban. Hanya
Ayahanda yang tetap tenang dan dengan suara tetap
memerintah kepada Ibunda, "Larang ia berpuasa!" Setelah berkata demikian, beliau membebaskan Iba dan Misdi yang
sejak hari itu tidak lagi diberi tugas mengambil kayu bakar.
Mereka diberi tugas baru, yaitu mencari madu tawon dan telur burung atau ayam hutan untuk Ayunda. Kedua macam
makanan itu diharapkan segera mengembalikan kesehatan
Ayunda Yuta Inten. Dan setelah beberapa hari dilarang
berpuasa serta diharuskan minum madu tawon serta telur
unggas itu, sedikit demi sedikit kesegaran Ayunda pulih
kembali. Setelah sebulan lewat, Ayunda pun mulai kuat
walaupun masih tetap kurus.
Untuk mengembalikan kesehatannya ke keadaan semula,
tugas Iba dan Misdi untuk mencari madu tawon dan telur
unggas tidak dihentikan. Bukan hanya Ayunda yang
diharuskan makan santapan yang menyehatkan itu, tetapi
juga adik-.idik Banyak Sumba yang masih kecil. Sekarang,
mereka mulai < libiasakan menambah makanannya dengan
bahan makanan yang sehat itu sehingga menyebabkan
perubahan pula pada lugas Banyak Sumba.
Sebelumnya, Banyak Sumba diberi tugas untuk belajar
menjadi pemimpin para gulang-gulang yang menjaga sekitar
l'anyingkiran. Setelah Iba dan Misdi diharuskan mencari madu dan telur unggas, Ayahanda memberinya tugas lain. Ia harus
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menjadi pengawal para gulang-gulang yang mengambil perhrkalan di hutan. Karena Padepokan Panyingkiran terletak di puncak gunung
yang kecil dan ditumbuhi hutan lebat, berhuma suatu hal yang hampir tidak mungkin dilakukan. Di samping itu, berhuma
akan sangat menyulitkan penghuni Panyingkiran yang bukan
saja terlalu sedikit jumlahnya untuk membuka hutan lebat,
tetapi juga tidak akan mampu menjaga huma dari gangguangangguan binatang hama. Itulah sebabnya, Ayahanda,
sebagai seorang yang biasa memikirkan segala-segalanya,
bertindak mengatur cara penyediaan bahan makanan untuk


Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penghuni Padepokan Panyingkiran itu. Adapun caranya sangat
mengesankan Banyak Sumba.
Di tengah hutan, antara Padepokan Panyingkiran dan Kota
Medang, dipilih suatu tempat untuk mata-mata dan para
pembantu Ayahanda guna menyimpan barang-barang
keperiuan dan bahan makanan bagi para pengungsi.
Ayahanda menyimpan beberapa orang gulang-gulang yang
setia untuk terus tinggal di Kota Medang. Pada saat-saat yang tetap, mereka masuk hutan membawa persediaan makanan
dan berita dalam helai-helai lontar. Mereka tidak diberi tahu tempat persembunyian keluarga Banyak Citra. Mereka hanya
diberi tahu di mana mereka harus menyimpan barang-barang,
bahan makanan, serta berita.
Agar tidak mencurigakan, mereka mengangkut beras dan
helai-helai lontar dalam bumbung bambu besar yang biasa
dipergunakan pembuat gula enau. Bumbung-bumbung ini
mereka letakkan di tengah hutan yang banyak pohon
enaunya. Kemudian, bumbung itu akan diambil oleh gulanggulang dari Padepokan Panyingkiran. Iba dan Misdi termasuk
kelompok yang biasa mengambil bumbung-bumbung ini,
bukan saja karena mereka orang-orang muda yang kuat,
terutama karena mereka kelompok gulang-gulang yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memiliki kemahiran berkelahi. Mereka dapat diandalkan
seandainya terjadi sesuatu dalam menjalankan tugasnya.
Setelah Iba dan Misdi mendapat tugas mencari madu
tawon dan telur burung, tugas mereka mengawal gulanggulang yang mengambil kiriman-kiriman perbekalan itu
diserahkan kepada Banyak Sumba.
Empat belas hgri sekali, Banyak Sumba dengan rombongan
gulang-gulang melakukan perjalanan yangjauh menuju hutan
yang ditetapkan sebagai tempat menyimpan kiriman dari Kota
Medang. Biasanya, bumbung bambu besar berisi beras,
garam, dan gula tersandar di bawah pohon-pohon enau.
Sepintas lalu, orang akan menyangka bahwa bumbungbumbung yang sangat banyak itu milik pembuat gula.
Di samping bumbung-bumbung bambu, kotak-kotak lontar
biasanya disimpan di atas sebatang pohon, diletakkan di
antara suatu cabang yang tinggi. Dengan cara demikianlah
penghuni Padepokan Panyingkiran mendapat persediaan
makanan. Dengan cara itu pula, Ayahanda mendapat berita
tenung Kota Medang. Makin kagum saja Banyak Sumba pada
kecerdikan Ayahanda. PADA suatu hari, terjadi peristiwa yang menggemparkan
dan mencemaskan penghuni Padepokan Panyingkiran. Ketika
Banyak Sumba memimpin rombongan untuk mengambil
perbekalan, ternyata bumbung-bumbung bambu yang
seharusnya bersandaran di bawah pohon enau tidak
ditemukan. Kotak lontar yang berisi berita tidak diganggu
orang dan ada di tempatnya. Melihat kenyataan itu, Banyak
Sumba memerintahkan agar para gulang-gulang kembali ke
Padepokan Panyingkiraran.
Mereka pun segera kembali dengan tangan hampa. Setiba
di padepokan, Banyak Sumba segera melapor kepada
Ayahanda. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mungkin mereka ditangkap," kata Ayahanda. Dalam
suaranya, jelas sekali terdengar kecemasan beliau.
"Apakah itu berarti kita tidak akan mendapat perbekalan lagi, Ayahanda?" tanya Banyak Sumba, la tidak dapat
menahan kecemasannya. "Mungkin mereka mulai mengejar tlta, selain menutup urat nadi jalan perbekalan. Tapi jangan cemas, kita mungkin
terpaksa harus menggunakan cara penyediaan perbekalan
yang kedua atau memindahkan tempat persembunyian kita.
Akan tetapi, marilah kita selidiki dulu, mengapa perbekalan kita sampai hilang," lanjut Ayahanda sambil menekur. Setelah beberapa lama termenung, berkatalah beliau, "Kita masih memiliki perbekalan yang cukup. Kalau mereka harus datang
setiap minggu, itu bukan hanya untuk perbekalan, tetapi
untuk berita-berita. Kita harus menyelidiki, apakah mereka
tertangkap atau perbekalan itu dicuri orang. Nah, untuk
mengetahui hal itu, engkau Sumba, harus memimpin
beberapa orang pengintai. Pilihlah di antara kawan-kawanmu
yang kaupercayai." "Berapa banyakkah gulang-gulang yang dapat hamba
bawa, Ayahanda?" "Empat orang, karena yang lain harus bekerja di sini."
"Kurang dari empat orang pun tidak masalah, Ayahanda,"
kata Banyak Sumba yang mengetahui bahwa tenaga para
gulang-gulang sangat dibutuhkan di Panyingkiran.
"Empat orang tidak terlalu banyak, bahkan mungkin terlalu sedikit. Siapa tahu mereka akan mencoba menyergap kita,"
lanjut Ayahanda. Banyak Sumba barulah menyadari bahwa
bukan pihak mereka saja yang mungkin melakukan
pengintaian. Pihak lawan pun tidak mustahil melakukan hal itu dalam rangka mengikuti jejak Ayahanda dan rombongannya
yang sedang bersembunyi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kalau begitu, hamba akan membawa empat orang: Paman
Wasis, Jasik, Misdi, dan Iba."
"Baiklah," sahut Ayahanda, "tugas Misdi dan Iba akan Ayah serahkan kepada yang lain. Berhati-hatilah, semoga Sang
Hiang Tunggal bersama kalian."
"Hamba akan sangat berhati-hati, Ayahanda," ujar Banyak Sumba. Kemudian, mereka merundingkan dan menetapkan
kapan rombongan pengintai akan pergi. Dua hari sejak
pembicaraan itu, rombongan berangkat dengan senjata
seperlunya. Setelah satu hari dalam perjalanan, tibalah
mereka di tempat pohon-pohon enau. Mereka pun mengatur
dan menetapkan tempat yang baik untuk melakukan
pengintaian. Pada hari keempat, Misdi mendekati Banyak Sumba dengan
merangkak, lalu berbisik sambil memberikan isyarat bahwa
sesuatu sedang terjadi. Banyak Sumba berdiri dari tempat
duduknya, lalu memandang ke arah yang ditunjuk Misdi. Dari
jauh tampaklah rombongan yang terdiri dari lima orang. Setiap orang dari rombongan itu membawa sepuluh bumbung bambu
besar. Dari jauh, mereka seperti serombongan pembuat gula.
Akan tetapi, Banyak Sumba dan kawan-kawannya ddak tertipu
oleh penyamaran itu. Mereka yang datang itu adalah para
pengikut Ayahanda yang tinggal di kampung-kampung sekitar
Kota Medang. Setelah rombongan dekat, para pengintai tidak keluar dari
persembunyian. Mereka memerhatikan, bagaimana kelima
orang itu terkejut ketika melihat di bawah pohon-pohon enau itu tidak terdapat bumbung bambu kosong seperti biasa.
Melihat tak satu pun bumbung bambu tersandar di bawah
pohon enau, para anak buah Ayahanda yang baik itu tampak
ketakutan. Orang yang tertua di antara mereka segera berjalan ke
arah pohon tempat Banyak Sumba meletakkan kotak lontar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang berisi berita dari Ayahanda. Dengan kecemasan dan
sikap berjaga-jaga, para ponggawa itu mendengarkan
pemimpin mereka membaca lontar yang bertuliskan berita itu.
Kemudian, mereka mencabut senjata dan dengan selalu
waspada menghindar dari tempat itu. Para pengintai
memerhatikan kelima orang ponggawa yang baik itu dari jauh
karena Ayahanda memerintahkan agar mereka tidak mencoba
menemui para pembantu itu.
Setelah itu hutan sunyi kembali dan hari pun menuju senja.
Ketika itu, terpikirlah oleh Banyak Sumba bahwa mereka harus bermalam di hutan. Kalau tidak, mungkin pencuri perbekelan
itu tidak mereka pergoki. Oleh karena itu, berundinglah
mereka, lalu memutuskan bahwa mereka akan bermalam di
atas pohon-pohon yang tinggi untuk menghindari binatang
buas yang mencari mangsa di malam hari. Banyak Sumba
bersama kawan-kawannya pun memilih pohon-pohon yang
sekiranya tepat untuk tempat mereka bermalam. Mereka
bergerak dengan hati-hati dan selalu waspada, agar kehadiran mereka tidak diketahui oleh para pencuri perbekalan.
Akhirnya, pohon-pohon itu pun ditemukan, yaitu pohonpohon yang tidak terialu besar dan tidak terialu jauh letaknya dari tempat perbekalan ditinggalkan para ponggawa. Para
pengintai duduk atau berbaring-baring pada cabang-cabang
pohon. Agar tidak jatuh, Banyak Sumba mengikatkan
pinggangnya pada cabang pohon tempat ia bersandar. Maka,
tak berapa lama kemudian, malam pun turun dengan beribu
bintangnya. Karena berbaring di atas cabang pohon itu tidak
menyenangkan, dan karena tidur di bawah langit terbuka itu
baru pertama kali dialaminya, sampai larut malam Banyak
Sumba sukar sekali memejamkan matanya. Ia harus berjaga
sambil matanya tak henti-hentinya memerhatikan berjuta
bintang yang seolah berbisik-bisik satu sama lain dengan
cahaya mereka. Kadang-kadang, terpikir oleh Banyak Sumba,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
barangkali bintang-bintang itu menyanyikan lagu bersama,
bukan dengan suara tetapi dengan cahaya. Bagaimanapun,
cahaya yang kebiru-biruan, kekuning-kuningan, kehijauhijauan, dan kemerah-merahan membentuk pemandangan
indah di langit yang luas. itu. Keindahan itu tidak berbeda dengan keindahan lagu yang dinyanyikan bersama oleh
beribu-ribu, ya, berjuta-juta penyanyi. Demikian pikir Banyak Sumba sambil tengadah. Setelah larut malam sekali, baru
Banyak Sumba tertidur. KETIKA matahari terbit, mereka yang bermalam di atas
pohon itu bergeliatan. "Sakit-sakit seluruh tubuh saya," kata Misdi sambil menyeringai.
"Engkau bisa tidur?" tanya Iba kepada kawannya.
"Antara tidur dan jaga, celah tempat mimpi masuk."
"Saya pun mimpi tadi malam," kata Iba. "Bagus sekali,"
sambungnya, lalu ia termenung mengingat-ingat mimpinya.
Sebagai pemimpin rombongan, Banyak Sumba
memerintahkan agar kawan-kawan segera turun dan bersiapsiap kembali melakukan pengintaian. Mereka pun turun, lalu
bertindak dengan hati-hati ke bumbung-bumbung bambu yang
bersandaran di bawah batang-batang enau.
Sepanjang pagi, mereka mengintai di suatu tempat yang
tersembunyi. Akan tetapi, hingga hari mulai panas, tak ada
tanda-tanda bahwa seseorang atau serombongan orang tiba.
Kemudian, setelah matahari condong sedikit ke barat,
terdengar dari suatu arah suara-suara, seolah-olah ada orang datang. Dari arah suara itu muncullah serombongan babi
hutan yang bergerak ke utara, menuju perhumaan yang
terbentang di sebelah tempat itu. Para pengintai pun
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melepaskan napas yang selama itu mereka tahan, lalu mulai
lagi mengintai. Mereka mengintai sampai sore. Ketika Banyak Sumba
haripir memutuskan untuk menyuruh rombongannya bersiap
mer aiki pohon, terdengarlah suara beberapa orang tertawa
sayup-sayup. Seluruh rombongan tertegun dan menajamkan
telinga mereka. 'Mereka tiba," kata Jasik.
"Saya ragu-ragu. Mengapa mereka tertawa-tawa begitu
keras. Biasanya, pencuri sangat hati-hati," ujar Banyak Sumba.
Jasik tidak menjawab. Paman Wasis memindahkan
badiknya dari sebelah kanan ikat pinggang ke sebelah kiri.
Banyak Sumba melihat kawan-kawannya yang lain membenahi
senjata masing-masing. Ia sendiri tidak meniru mereka karena tidak senang mempergunakan senjata.
"Itu mereka," bisik Jasik. "Satu, dua, ... tujuh orang,"
lanjutnya. Banyak Sumba memerhatikan rombongan yang datang.
Mereka berbaju hitam dengan ikat kepala gaya barangbang
semplak. Beberapa orang mengenakan gelang akar bahar dan
tidak seorang pun di antara mereka yang tidak bergolok.
Orang yang paling besar, yang tampaknya kepala rombongan,
bergolok pendek. "Mereka orang-orang jahat," bisik Paman Wasis.
Banyak Sumba tidak usah diberi tahu tentang kenyataan
itu. Dari pakaian dan cara mereka berjalan serta bercakap,
jelas sekali bahwa orang-orang yang tiba itu adalah perampok.
Sementara orang-orang itu berjalan, jelas sekali mereka
menuju tempat penyimpanan persediaan untuk Panyingkiran.
Yang paling kecil di antara mereka berlari sambil berteriak
"Mari kita lihat harta karun, barangkali kita akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menemukannya kembali," ketika ia melihat ke bawah pohon-pohon enau, ia tertegun keheranan. "Weceiii! Lihat!" katanya.
"Ada lagi?" tanya kepala gerombolan yang tinggi besar.
"Lihat!" "Wah, kalau sering menerima kiriman ini, kita akan gemuk-gemuk seperti ubi!" kata yang lain.
Sementara itu, Banyak Sumba memberi isyarat kepada
kawan-kawannya untuk keluar dari tempat persembunyian
dan bergerak ke arah gerombolan yang tampaknya sangat
lengah. "Orang gila macam apakah yang menyimpan perbekalan
dalam hutan ini?" tanya yang seorang sambil mulai membuka lutup bumbung bambu.
"Kamilah orang gila itu," ujar Banyak Sumba seraya keluar dari semak. Orang-orang itu berpaling serentak kepadanya
dan kepada kawan-kawannya.
"Hah, Anak Tampan, mengapa main sembunyisembunyian?" tanya si Tinggi Besar kepada Banyak Sumba sambil mengawasi seluruh rombongannya.
"Kami mau tahu siapa yang berani mencuri simpanan kami ketika kami sedang tidak ada," kata Banyak Sumba sambil terus melangkah dengan gagah. Melihat keberanian Banyak
Sumba, gerombolan itu tertegun.
Kemudian, si Jangkung Besar berkata, "Kalaupun ada
kalian, kami akan tetap mengambil perbekalan ini. Ini milik kami, jatuh dari langit dihadiahkan oleh para Bujangga dan
Pohaci." "Kalau begitu, kalian pencuri," ujar Banyak Sumba menggeram.
"Kami perampok, kalau Yang Mulia ingin tahu," kata si Jangkung Besar, lalu dengan tiba-tiba menghambur
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyerang ke arah Banyak Sumba. Yang lain mengikuti
menyerang ke arah kawan-kawan Banyak Sumba. Banyak
Sumba yang waspada segera menghindar. Mereka
berhadapan, sama-sama waspada. Sementara itu, yang lain
kacau-balau berkelahi di dalam semak.
"Kautahu siapa aku?" tanya kepala perampok itu.
"Engkau sampah!" kata Banyak Sumba dan ia melihat salah seorang di antara gerombolan yang tidak mendapat lawan
mengepungnya dari samping.
"Kau mau tahu, sampah dapat membahayakan tempurung
kepalamu?" tanya kepala perampok itu seraya maju dari
samping kanan. Sementara kawannya maju dari samping kiri.
Dalam waktu yang singkat, terkilas siasat dalam hati
Banyak Sumba. Dan begitu siasat itu datang, begitu ia
melaksanakannya. Secepat kilat, ia menyerang si Besar yang
segera menghindar. Kawannya menghambur menyerang dari
samping kanan. Itulah yang ditunggu Banyak Sumba karena
ke arah lawan sebelah kiri, ia menghantamkan kaki kirinya.
Begitu kerasnya jejakan dan begitu kerasnya lawan
menyerang, hingga suara gedebuk terdengar, diikuti suara
jatuh yang berat. Banyak Sumba tidak sempat memerhatikan
lawan yang dijatuhkannya. Ia segera bersiap menghadapi si
Besar yang langsung menyerang dengan buas. Untung Banyak
Sumba sempat menghindan tetapi dari belakang diterimanya
pukulan yang tidak keras tetapi cukup mengejutkannya. Ia
melompat, ternyata lawan tambah seorang lagi, sementara
yang kena pukul duluan masih berdiri di dekatnya, walaupun
tampak tidak dapat menyerang.
Sekarang, Banyak Sumba menghadapi dua orang lagi. Tiba

Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiba, lawan baru menyerang dengan jari-jari yang mengarah
ke mata. Banyak Sumba menangkis tangan itu sambil
menjauh dari tempat berdiri si Besar yang menunggu
kesempatan. Ternyata, lawan tidak menotokkan jarinya.
Kakinyalah yang menghantam rusuk kiri Banyak Sumba.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tendangan yangberde-buk itu tidak menyakitkan, tetapi napas Banyak Sumba menjadi berat. Ketika si Besar menyerang, ia
sukar sekali dapat menghindarkan diri. Ia menghindar dan
dengan putus asa, menghentakkan kakinya ke arah lawan
yang telah mengenainya. Nasib baiklah yang membuat lawan
tidak sempat menghindar dan karena ulu hatinya yang kena,
lawan jatuh telentang dalam semak. Ia menggeliat-geliat, tapi tidak dapat bangun.
Waktu Banyak Sumba hendak bersiap menghadapi si Besar,
si Besar menghentak leher Banyak Sumba dengan pinggir
tangannya. Banyak Sumba sempoyongan dan sebelum dapat
berdiri, ulu hatinya disusul oleh tendangan. Ketika kaki lawan masuk ke ulu hatinya, bukan tubuhnya yang dirasakan
terguncang, tetapi langitlah yang gemetar, lalu berputar.
Sekarang, semak-semak seolah-olah naik, seperti ombak laut
yang tiba-tiba pasang ke arah langit. Pohon-pohonan, langit, dan semak-semak menjadi kuning. Lalu, segalanya jadi hitam
dan Banyak Sumba tidak ingat apa-apa lagi.
MULA-MULA perasaan dingin di wajah yang mengembalikan
kesadarannya, kemudian cahaya serasa menembus kelopak
matanya. Ketika Banyak Sumba membuka matanya,
tampaklah orang-orang mengelilinginya. Awalnya, wajah
mereka tidak jelas dan hanya merupakan sosok-sosok hitam
dengan latar belakang putih-biru. Kemudian, wajah-wajah
lebih jelas, Misdi, Iba, Paman Wasis, dan Jasik. Sementara
latar belakang putih dan biru adalah awan dan langit.
Ternyata, Banyak Sumba berbaring di atas rumput. Ia segera
bangun dan duduk. "Ada yang sakit?" tanya Paman Wasis. Banyak Sumba tidak segera menjawab karena napasnya berat, sedangkan rusuk
sebelah kirinya terasa sakit. Banyak Sumba meraba bagian
yang sakit itu, tetapi tangannya segera ditarik karena
sentuhannya terasa seperti sebuah tusukan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Di sini," katanya kepada Paman Wasis yang berlutut di depannya. Orang tua itu kemudian mempersilakan Banyak
Sumba membuka baju salontreng-nya. Ia meraba bagian
badan Banyak Sumba di sekitar rusuk.
"Tidak ada yang patah, syukurlah," kata orang tua itu, lalu memberi isyarat kepada Jasik.
Jasik menghilang di balik semak-semak, kemudian kembali
dengan beberapa macam daun muda. Paman Wasis
melumatkan daun-daun muda yang sudah dibasahi itu di
tangannya. Setelah itu, daun-daun itu ditempelkannya ke
bagian rusuk Banyak Sumba yang sakit, lalu tubuh Banyak
Sumba di-bebat dengan ikat pinggang panjang yang terbuat
dari kain. Banyak Sumba kemudian dipersilakan berdiri.
Walaupun masih lemah, Banyak Sumba memaksakan diri dan
berusaha memperlihatkan kepada badega-badeganya bahwa
ia tidak lemah. Ia menggeliat-geliatkan tangannya, lalu berdiri kukuh. "Terima kasih, saya tidak apa-apa."
"Syukurlah," ujar Paman Wasis. Kecemasan di mata para badega pun lenyap.
Ketika Banyak Sumba bergerak, terlihatlah olehnya tubuhtubuh lawan yang bergelimpangan. Ada yang berdarah, ada
pula yang tersembunyi dalam semak bagai kain tua. Dua
orang di antara mereka diikat dengan tambang dan duduk di
bawah pohon enau. "Apa yang akan kita lakukan kepada yang masih hidup ini?"
tanya Paman Wasis kepada Banyak Sumba.
"Kita bawa ke Panyingkiran."
"Apakah itu tidak berbahaya, Raden?"
"Kita tutup matanya sepanjang jalan," ujar Banyak Sumba.
"Paman mengerti," ujar Paman Wasis tersenyum, lalu memberi isyarat kepada Misdi agar melepaskan ikatan kepala
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lawanan itu dan mempergunakannya sebagai penutup mata
mereka. Kedua orang tawanan itu tidak berdaya. Tak lama
kemudian, mereka pun telah berjalan ke Panyingkiran,
sebagian membawa bumbung-bumbung bambu, lianyak
Sumba menuntun tawanannya dengan memegang ujung
tambang pengikat mereka. Makin lama, mereka makin masuk
hutan dan makin dekat juga ke Panyingkiran. Sepanjang jalan itu, Banyak Sumba termenung. Hatinya sungguh-sungguh
prihatin karena dialah satu-satunya yang dikalahkan oleh
lawan dalam perkelahian itu. Kawan-kawannya merobohkan
lawan mereka. Memang ia dikeroyok oleh tiga orang, letapi
sebagai pemimpin dan satu-satunya bangsawan di antara
pembantunya, kejadian itu sangat menyedihkannya. Sepan-lmgjalan, ia terus termenung.
la menyadari sekarang, kalau Ayahanda ddak memberinya
perintah untuk mulai membalaskan dendam keluarganya,
karena dalam hal ilmu berkelahi, Banyak Sumba belum dapat
diandalkan. Ini menyadarkannya bahwa ia masih harus banyak
belajar. Soal yang pertama-tama menyadarkan agar ia harus
banyak belajar adalah kenyataan bahwa dengan dikeroyok
oleh tiga orang, ia tidak berdaya sama sekali. Padahal ia tahu, seorang puragabaya biasanya menjatuhkan lima, enam,
bahkan sepuluh orang pengeroyoknya. Bagaimana ia dapat
membunuh Anggadipati kalau oleh tiga perampok saja ia
roboh dan pingsan" Bagaimana pula ia akan melawan anggota
wangsa Tumenggung Wiratanu kalau melawan tiga orang saja
tidak berdaya" Kesadaran itu membuat Banyak Sumba prihatin.
Keprihatinan ini menumbuhkan niatnya untuk mengembara
dan mencari guru-guru yang termasyhur untuk dijadikan
pendidiknya selama ia mempersiapkan diri guna menunaikan
tugas keluarga, yaitu membunuh Anggadipati, anggota
keluarga Wiratanu, dan Pembayun Jakasunu. Ya, untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membalas dendam terhadap semua yang menyebabkan
keluarganya harus mengungsi dan menderita di tengah-tengah
hutan belantara. Yang menyebabkan Ayahanda semakin
runduk dan Ayunda Yuta Inten hidup dalam dukacita berlarutlarut. Niat dan tekad itu menyebabkan detak jantungnya
bertambah cepat, dan karena udara hutan yang bersih,
kesegaran kembali seperti sediakala. Ia berseru kepada
kawan-kawannya yang berjalan tercecer agar lebih cepat.
"Ayahanda tentu sangat tak sabar menunggu kita," katanya kepada Paman Wasis.
AYAHANDA sangat bersenang hati dengan hasil kerja
kelompok gulang-gulang yang dipimpin Banyak Sumba. Kedua
orang tawanan segera dibuka tutup matanya, lalu dihadapkan
kepada Ayahanda di suatu tempat di dalam rumah besar.
Banyak Sumba, Paman Wasis, dan Jasik hadir dalam
pemeriksaan lawanan itu. "Engkau anak buah Jakasunu?" tanya Ayahanda.
"Kami anak buah Gimbal," kata salah seorang tawanan itu.
"Siapa Gimbal?"
"Kepala kami, ia mati oleh ini," kata lawanan itu sambil menunjuk dengan ibu jarinya ke arah Paman Wasis.
"Gimbal disuruh mencari aku oleh Jakasunu, ya?"
"Ka ... mi tidak ada yang menyuruh. Kami merampok para petani... dan tidak tahu nama 'Jakasunu.."
"Raden Pembayun Jakasunu dari Kota Medang!" seru
Ayahanda membentak. "Kami tidak pernah mendengar nama itu," ujar perampok itu. "Sayang, kepala perampok itu mati," kata Ayahanda
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sambil melirik ke Paman Wasis, "Siapa tahu ia
mempergunakan kawan-kawannya untuk tujuan yang tidak
diketahui oleh mereka agar mendapat hadiahnya sendiri dari
Jakasunu. Perampok adalah perampok, kawan-kawannya pun
tidak segan-segan dirampoknya."
"Hei, kamu," kata Ayahanda menunjuk perampok yang lain,
"mengapa kau curi bumbung bambu itu"!"
"Kami biasa mencuri atau merebut bumbung dari para
pembuat gula. Kami minum atau kami buat tuak di tempat
kami," jawab perampok itu.
"Jadi, kau tidak tahu siapa Jakasunu?"
"Tidak, Juragan."
"Betul?" "Betul, Juragan"
"Betul, juragan.."
"Jasik, panggil si Iba, suruh ke sini." Jasik keluar, tak lama kemudian kembali dengan Iba yang
berbadan tinggi besar. "Iba, suruh orang ini menjawab pertanyaan-pertanyaanku."
Iba dengan tidak disangka-sangka memegang tangan salah
seorang perampok itu, lalu menganyamkan jari-jarinya.
Setelah itu, Iba menekan jari-jari itu dengan meremasnya.
Perampok yang sial itu berteriak kesakitan.
"Katakan bahwa kalian disuruh Pembayun Jakasunu untuk
mencari aku!" "Kami tidak tahu siapa Jakasunu!" jerit perampok itu.
"Kau tahu siapa aku?"
"Aduuuh, tidak, tidaaak!" teriak perampok itu kesakitan.
Banyak Sumba menyaksikan kejadian yang tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyenangkan itu dengan mengeraskan hatinya. Ia harus
membiasakan dirinya menyaksikan kejadian yang tidak
menyenangkan itu karena ia harus menghadapi peristiwaperistiwa yang lebih tidak menyenangkan, bahkan mengerikan
di kemudian hari. Dan siapa tahu pula, Ayahanda memang
sedang melatihnya dengan penyiksaan terhadap perampok itu.
Banyak Sumba pun diam saja sambil menyaksikan apa yang
terjadi. Penyiksaan pun dilanjutkan oleh Iba untuk mendapatkan
pengakuan. Akan tetapi, perampok-perampok itu tidak
memberikan jawaban yang diingini Ayahanda. Akhirnya,
walaupun kecewa, Ayahanda menyuruh Iba membawa kedua
orang tawanan itu ke luar.
"Kita periksa lagi nanti," ujar Ayahanda.
Banyak Sumba mengeluh dalam hati, kasihan terhadap
perampok yang memberi kesan kepadanya bahwa mereka
benar-benar tidak ada sangkut pautnya dengan Raden
Pembayun Jakasunu. UNTUK beberapa lama, ruangan hening. Ayahanda, Banyak
Sumba, dan Paman Wasis tidak memulai percakapan,
walaupun ketiganya menyadari bahwa masih banyak hal yang
terkandung dalam hati masing-masing dalam hubungannya
dengan peristiwa yang terakhir itu. Maka, dalam keheningan
yang menekan itu, berkatalah Banyak Sumba, 'Ayahanda, ada
sesuatu yang ingin hamba sampaikan kepada Ayahanda."
"Ayah tahu apa yang kaupikirkan. Paman Wasis telah
melaporkan kepadaku tentang perkelahian itu. Aku sungguh
sedih," ujar Ayahanda. Perkataan terakhir Ayahanda begitu menusuk hati Banyak Sumba, hingga kepalanya seolah-olah
kena pukul. Ia menunduk dan hatinya menjadi kelam karena
kesedihan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Raden Sumba dikeroyok oleh tiga orang. Hamba pun tidak akan sanggup bertahan terhadap tiga orang itu, apalagi salah seorang di antaranya bertubuh tinggi besar, Gimbal namanya.
Gimbal inilah yang menjatuhkan Raden Sumba setelah yang
dua orang dirobohkan," kata Paman Wasis.
"Dirobohkan adalah dirobohkan, apakah oleh seorang, dua orang, atau tiga orang tidaklah jadi soal," sambut Ayahanda.
Walaupun Ayahanda tidak menambahkan kalimat itu,
Banyak Sumba dapat mendengar dengan telinga batinnya
bahawa Ayahanda mengatakan, "Anggota wangsa Banyak
Citra tidak boleh dirobohkan kalau ia telah bertekad jadi
pahlawan. Keluarga Banyak Citra hanya roboh kalau ia tewas."
Walaupun pembelaan Paman Wasis sedikit meringankan
hatinya, persoalan pokok belumlah terpecahkan.
Bagaimanapun, kepandaiannya dalam ilmu berkelahi belum
berarti. Oleh karena itu, Banyak Sumba berpendapat bahwa ia harus belajar lagi. Kesempatan untuk menyampaikan
maksudnya saat itu. Bukan saja ia dapat memenuhi niatnya
untuk belajar kembali, tetapi juga agar hatinya yang berat
menjadi ringan. Berkatalah Banyak Sumba, "Hamba bertekad untuk menjadi anggota wangsa Banyak Citra yang baik. Oleh
karena itu, izinkanlah hamba mengembara untuk menambah
ilmu." "Sebetulnya, niat untuk mengirimkan kau belajar lagi sudah ada pada Ayah sejak kau selesai belajar kepada Paman Wasis, tetapi umurmu belum dua puluh tahun. Oleh karena itu, kau
kutahan dulu. Di samping itu, keluarga kita akan sangat
kehilanganmu." Perkataan Ayahanda yang memperlihatkan kelemahan hati
itu merupakan suatu hal yang baru bagi Banyak Sumba.
Biasanya, Ayahanda tidak bersikap lemah, tidak pernah
memerhatikan perasaan Ibunda, Ayunda, atau kaum wanita
dalam istana. Akan tetapi, saat itu Ayahanda mengemukakan
perhatian terhadap Ibunda dan Ayunda lebih banyak daripada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
biasanya. Apakah penderitaan tiga tahun di pengungsian telah menyebabkan perubahan pada diri Ayahanda"
Kelemahan yang tiba-tiba tampak pada Ayahanda bukan
saja menyebabkan Banyak Sumba terkejut. Ia marah kepada
Anggadipati, Wiratanu, dan Pembayun Jakasunu yang telah
menyebabkan Ayahanda menjadi lemah. Ia marah terhadap
dirinya yang tidak dapat melindungi Ayahanda yang sudah
lanjut usia itu. Ia marah terhadap nasibnya. Untuk
mencurahkan kemarahannya itu, berkatalah Banyak Sumba,
"Ayahanda, dalam keadaan wajar memang hamba terlalu
muda untuk pergi. Juga dalam keadaan biasa kecemasan,
Ibunda dan Ayunda perlu mendapat perhatian yang
sewajarnya. Akan tetapi, sang nasib bertindak tidak wajar
terhadap keluarga Banyak Citra. Oleh karena itu, izinkanlah hamba pergi walaupun belum berusia dua puluh tahun."
Mendengar perkataan Banyak Sumba, Ayahanda
memalingkan pandangannya ke arah Banyak Sumba yang
duduk di atas lantai di hadapan beliau. Beliau tampak terharu oleh perkataan Banyak Sumba, lalu berkata dengan suara
gemetar yang tidak dapat beliau sembunyikan. "Engkau
anggota wangsa Banyak Citra, engkau selalu akan ditantang
nasib dan menjadi kuat karenanya. Pergilah walaupun belum
berumur dua puluh tahun karena engkau anggota Wangsa
Banyak Citra." Malam itu, suasana sedih meliputi seluruh penghuni
Padepokan Panyingkiran. Para wanita berurai air mata,
terutama Ibunda dan Ayunda. Mereka harus melepaskan putra
terbesar untuk mengusung tugas yang berat, yaitu
menegakkan kembali kehormatan wangsa Banyak Citra yang
belakangan pudar karena pergolakan peristiwa.
AYAHANDA telah mengatur segala yang berhubungan
dengan kepergian Banyak Sumba. Di suatu tempat dalam
hutan, dua orang gulang-gulang dari Kota Medang telah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menunggu pada pagi yang ditentukan. Mereka menunggu
dengan dua ekor kuda yang gagah, seekor untuk Banyak
Sumba dan seekor lagi untuk Jasik, yang akan bertindak
sebagai kawan Banyak Sumba.
"Raden Sumba!" kata kedua orang gulang-gulang itu sambil memburu dan merangkul Banyak Sumba. Kedua orang
gulang-gulang itu menangis sambil ddak melepaskan
pegangan mereka. Banyak Sumba kenal rupa kedua orang
gulang-gulang itu, tetapi nama-nama mereka tidak diingatnya lagi. Terlalu banyak gulang-gulang Ayahanda untuk dikenali
namanya. Walaupun begitu, wajah mereka tidak mudah untuk
dilupakan.

Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah kedua orang gulang-gulang itu reda, bertanyalah
Banyak Sumba kepada mereka tentang keadaan keluarga
mereka semenjak keluarganya mengungsi. Gulang-gulang itu
menjelaskan bahwa mereka pun meninggalkan Kota Medang
dan tinggal di kampung yang berada di luar benteng kota.
Umumnya, gulang-gulang yang setia kepada Ayahanda
meninggalkan Kota Medang, lalu hidup di kampung-kampung
atau membuka perhumaan baru di hutan.
"Apa kalian cukup aman?" tanya Banyak Sumba yang ingin mengetahui bagaimana nasib para pengikut Ayahanda. "Sang Hiang Tunggal melindungi kami, Raden." "Apakah ada tanda-tanda bahwa mereka giat melakukan pencarian?" tanya
Banyak Sumba pula. "Sejauh pengalaman kami, tidak banyak dilakukan usaha
pencarian secara terbuka. Akan tetapi, sering kali ada orang yang menyelidiki dan menanyakan, di mana keluarga
Ayahanda Raden bersembunyi. Tentu saja kami sangat curiga
terhadap orang-orang ini. Banyak pula di antara rakyat biasa yang sering bertanya-tanya tentang nasib keluarga Ayahanda, tapi mereka tidak berani mengemukakan pertanyaan itu
secara terbuka. Mereka hanya berbisik-bisik," kata gulang-gulang itu menjelaskan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah Pembayun Jakasunu sudah diangkat oleh peme
rintah kerajaan?" tanya Banyak Sumba pula.
"Kami tidak tahu, Raden. Kami tidak pernah pergi ke kota, kami takut. Bukan takut ditangkap atau dianiaya, tapi takut disuruh mencari jejak keluarga Ayahanda."
"Bagaimana keadaan kota menurut orang-orang yang
datang dari sana?" "Tenang-tenang saja, Raden, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Hanya tampak banyak perwira yang didatangkan dari ibu
kota Pakuan." "Apakah kalian kira cukup aman bagiku untuk datang ke
sana?" seraya bertanya demikian, teringadah Banyak Sumba kepada Teja Mayang, gadis yang menarik perhatiannya waktu
masih anak-anak. "Tidak, Raden, jangan!" sahut gulang-gulang itu hampir bersamaan. Nada ketakutan terdengar dalam kata-kata
mereka. "Tapi ... bukankah saya dapat datang ke sana dengan
menyamar" Di samping itu, bukankah mereka tidak akan
mengenal saya lagi?"
"Lebih baik tidak, Raden," kata kedua orang gulang-gulang itu makin cemas.
"Saya pun belum memutuskan untuk pergi ke sana. Tugas
saya bukan sebagai penyelidik, jadi janganlah cemas," kata Banyak Sumba. Akan tetapi, ingatan serta keinginannya untuk bertemu Teja Mayang makin keras juga. Ia pun heran oleh
keinginannya yang tiba-tiba muncul itu. Selama di Padepokan l'.myingkiran, kenangan kepada gadis itu jarang timbul.
Setelah beberapa lama tertegun, berkatalah Banyak Sumba
kepada fasik, "Sik, ikatkanlah barang-barang kita di pelana kuda, saatnya sudah tiba bagi kita untuk pergi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jasik melakukan pekerjaan yang diperintahkan oleh
tuannya. Sebuah kantong kulit besar yang berisi uang emas
diikatkan pada pelana kuda yang akan menjadi tunggangan
Banyak Sumba, sedangkan perlengkapan lain diikatkan pada
kuda yang akan menjadi tunggangannya. Kedua orang
gulang-gulang membantu pekerjaan Jasik. Setelah persiapan
selesai, berkatalah Banyak Sumba, "Paman, terima kasih atas segala bantuannya, kuda-kuda ini sangat gagah. Salam
kepada keluarga kalian dan janganlah cemas, tidak akan ada
yang terjadi kepadaku dan Jasik. Sang Hiang Tunggal akan
berpihak kepada yang benar. Ia akan mempertemukan kita
kembali di Kota Medang, dalam waktu lama ataupun dalam
waktu dekat." Kedua orang gulang-gulang memberi hormat. Banyak
Sumba menepuk pundak mereka sambil tersenyum, lalu
mohon diri. Dan ketika kedua pemuda seusia itu berada di
atas kuda masing-masing, gulang-gulang itu melambaikan
tangan mereka. -ooo00dw00ooo- Bab 4 Pengembara Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah beberapa lama melewati huma serta reuma, dan
setelah kuda mereka terpaksa melompati pagar yang terdiri
dari bambu atau tumbuh-tumbuhan berduri, kedua orang
pengembara muda itu tiba di atas sebuah bukit kecil. Dari atas bukit itu, tampaklah kepada mereka jalan besar. Di sana,
kelihatan beberapa orang penunggang kuda, pedati-pedati
yang ditarik kerbau, dan para pejalan. Jalan besar yang agak sibuk itu mengisyaratkan kepada mereka tentang tempat
mereka sendiri, yang tentu tidak jauh lagi dari Kota Medang.
Berkatalah Banyak Sumba kepada jasik, "Kita akan
mengunjungi Kota Medang dulu, Sik."
"Apakah tidak terlalu berbahaya?" tanya Jasik yang mengetahui bahwa Banyak Sumba tidak diperintahkan
Ayahanda Banyak Citra untuk pergi ke sana.
"Kalau malam turun, orang tidak akan mengenali saya. Di samping itu, waktu tiga tahun banyak sekali mengubah rupa
saya." Jasik melirik kepada Banyak Sumba, memerhatikannya.
Walaupun ia tidak berkata apa-apa, Banyak Sumba dapat
menduga isi hati Jasik yang cemas.
"Saya akan melepaskan pakaian saya dan menggantinya
dengan pakaian petani. Di samping itu, kita akan memasuki
kota setelah gelap."
"Kuda-kuda kita terlalu gagah, Raden. Mereka akan
bertambah curiga melihat petani berada di atas pelana kuda
yang segagah ini." Banyak Sumba termenung. Waktu ia hendak berangkat,
Ayahanda menyerahkan sehelai kulit. Di atas kulit itu,
Ayahanda menulis beberapa catatan: pertama, abu Jante
Jaluwuyung, kedua, Anggadipati, ketiga, Pembayun Jakasunu,
keempat, Tumenggung Wiratanu. Catatan yang tidak lengkap
itu tidak mudah dimengerti orang yang tidak erat
hubungannya dengan keluarga Banyak Citra. Akan tetapi, itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengandung arti begitu banyak bagi Banyak Sumba. Pada
sehelai kulit itulah tergambar seluruh tugas hidup yang
diembannya sebagai putra tertua keluarga Banyak Citra.
Sekarang, ia berdiri di atas bukit kecil, bimbang. Apakah ia akan memperturutkan hasratnya untuk berkunjung ke Kota
Medang, kota kelahirannya, tempat tinggal gadis yang sering menjadi penghuni hatinya di kala sepi" Ataukah ia langsung
melanjutkan perjalanan untuk mencari guru yang akan
mengajarkan ilmu kepahlawanan"
Jasik melihat kebimbangan Banyak Sumba. Sebagai
seorang panakawan yang berperasaan halus dan sayang
kepada tuannya, Jasik selalu ingin menyenangkan Banyak
Sumba. Setelah beberapa lama hening, berkatalah Jasik, "Kita cari jalan agar dapat berkunjung ke dalam kota, Raden."
"Bagaimana kalau kita meninggalkan kuda di kampung, lalu menumpang gerobak kerbau itu?"
"Tentu saja kita perlu menyamar, Raden," ujar Jasik sambil kembali melirik tuannya.
Bagaimanapun, sukar bagi orang seperti Banyak Sumba
untuk menyembunyikan jati dirinya. Tubuhnya yang
semampai, kulitnya yang kehitaman dan bersih, matanya yang
jernih, serta tutur kata dan gerak-geriknya yang halus, akan menyebabkan semua orang tahu bahwa ia seorang
bangsawan, bahkan bangsawan tinggi. Seandainya Banyak
Sumba berpakaian petani, orang-orang akan bertambah
curiga. Apalagi anak buah Pembayun Jakasunu, yang tentu
saja akan lebih bersikap curiga setelah mereka berhasil
merebut kedudukan Ayahanda Banyak Citra secara curang.
Semua itu disadari kedua orang pengembara itu. Akhirnya,
berkatalah Banyak Sumba, "Kita akan memasuki kota, tapi tidak lama tinggal di sana. Kita akan memasukinya di waktu
gelap dan keluar di waktu gelap. Saya ingin mengetahui
bagaimana keadaan kota dewasa ini, dan sejauh mana
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pembayun Jakasunu sudah berhasil dalam usahanya yang
tidak diridhai Sang Hiang Tunggal itu."
Ada sesuatu yang tidak diucapkannya, yaitu keinginannya
untuk mengetahui bagaimana keadaan Teja Mayang setelah
begitu lama ditinggalkannya.
"Kita dapat lebih lama berada di dalam kota, Raden. Kita dapat saja bersembunyi di rumah salah seorang yang setia
kepada Ayahanda." Banyak Sumba gembira sejenak mendengar pendapat Jasik
itu, tetapi hatinya segera kecil kembali. Ia tahu bahwa
Ayahanda tidak memberi tahu siapa pengikut setia yang
berada di Kota Medang. Mungkin saja Ayahanda akan
memberi tahu kepadanya tentang mereka itu, kalau saja
Banyak Sumba diberi tugas untuk berkunjung ke Kota
Medang. Akan tetapi, tugas pertama Banyak Sumba adalah
belajar ilmu kepahlawanan. Setelah cukup untuk menegakkan
kehormatan keluarga dengan ilmunya itu, ia harus berangkat
ke Pakuan Pajajaran terlebih dahulu. Ia harus mengambil abu jenazah Jantejaluwu-yung. Maka, ia pun berkata kepada Jasik,
"Tak seorang pun kukenal dan kuketahui siapa yang setia kepada Ayahanda di Kota Medang Ayahanda
merahasiakannya, bahkan kepadaku."
"Kalau begitu, kita laksanakan rencana pertama saja,
Raden," ujar Jasik. Mereka pun menaiki kuda masing-masing, lalu turun dari
bukit kecil itu. Setelah melompati beberapa pagar huma,
tibalah mereka dijalan besar. Di sana, Banyak Sumba bimbang kembali. Ke manakah mereka akan pergi, ke kampung yang
berdekatan dengan kota atau sebaliknya" Di kampung yang
berdekatan dengan kota, mungkin ia akan dikenal. Oleh
karena itu, ia berpaling kepada Jasik, "Sik, lebih baik kita ke barat dan menuju kota kalau senja hampir tiba."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebagai seorang panakawan yang cerdas, Jasik mengerti
maksud tuannya. Ia pun memalingkan kudanya, mengikuti
kuda Banyak Sumba. Kedua orang pengembara itu memacu
kuda masing-masing dijalan yang luas.
Beberapa kali, kedua orang pengembara berpapasan
dengan pedati yang ditarik kerbau dan beberapa kali pula
mereka berpapasan dengan rombongan jagabaya yang
menjaga keamanan di jalan-jalan lengang antara kampungkampung. Tampak kepada mereka bahwa jagabaya yang
melihat Banyak Sumba tertarik untuk memerhatikannya.
Bagaimanapun, mereka tunduk kepada tata krama bahwamereka harus menghormati para bangsawan. Banyak Sumba
memperlihatkan segala sifat kebangsawanan itu, walaupun ia
tidak memakai pakaian bangsawan. Itulah rupanya yang
menyebabkan para jagabaya bimbang ketika berpapasan
dengan Banyak Sumba. Mereka tidak menghormati, tetapi
mereka pun melambatkan kuda mereka. Sikap mereka itu
lebih meyakinkan Banyak Sumba bahwa keinginannya untuk
memasuki kota dapat membahayakannya. Oleh karena itu,
diputuskan dalam hatinya bahwa hanya setelah senja ia akan
memasuki Kota Medang. Setelah beberapa lama mereka memacu kuda masingmasing, tampaklah sebuah kampung kecil yang terletak di
pinggir sungai yang jernih airnya. Banyak Sumba menahan
kendali kudanya. Jasik pun mengikuti.
"Kita berhenti di sini, Sik."
"Baik, Raden," ujar Jasik.
Tak lama kemudian, mereka sudah berjalan menuntun
kuda masing-masing menuju sebuah rumah yang paling dekat
ke jalan. Seorang laki-laki tua dengan beberapa helai rotan yang sedang dianyamnya bangkit dari tempat duduknya, lalu
berjalan menyambut mereka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami sedang menuju Kutabarang, Paman, tetapi dijalan
tadi tiba-tiba timbul keinginan kami untuk mengetahui Kota
Medang. Kami bermaksud menitipkan kuda kami di sini dan
nanti malam kami akan berangkat ke kota."
"Baik, Raden. Kuda dapat dilepas di tepi sungai. Silakan masuk."
Jasik mengambil kendali dari tangan Banyak Sumba, lalu
membawa kedua ekor kuda mereka ke tepi sungai. Sementara
itu, Banyak Sumba berjalan mengikuti orang tua yang
membukakan wide serambi rumahnya. Banyak Sumba
dipersilakan duduk di atas sehelai kulit kambing yang bulunya mengilat. Tak berapa lama kemudian, berbagai macam
penganan dan teh disodorkan dalam baki kayu.
"Terima kasih, Paman. Jangan menyusahkan."
"Tak ada yang bersusah-susah di sini. Sudah biasa orang mampir di sini, Raden. Raden mau ke mana?"
"Ke Kutabarang, Paman."
'Jauh sekali. Waktu masih muda, Paman pernah beberapa
kali berkunjung ke Kutabarang. Kota yang sangat besar, tiga kali atau empat kali lebih besar daripada Kota Medang," kata orang tua itu.
"Paman sering ke Kota Medang?" tanya Banyak Sumba.
"Paman ke kota hampir sepuluh hari sekali, mengantarkan anyaman-anyaman rotan ini," kata orang tua itu.
"Tidakkah banyak perubahan setelah huru-hara tiga tahun, oh, empat tahun lalu?" tanya Banyak Sumba menyelidiki.
"Tidak banyak, kecuali bangunan-bangunan yang terbakar telah diganti dengan yang baru dan lebih baik. Menurut kabar, pemerintah kerajaan menyumbang kayu jati yang baik-baik. Di samping itu, tentu penguasa lama, yaitu Aria Banyak Citra
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang menghilang, harus ada gantinya dan kabarnya sudah
diganti. Paman kurang periksa."
"Siapakah pengganti penguasa lama itu, apakah penguasa baru bernama Pembayun Jakasunu?"
Lencana Pembunuh Naga 3 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 14

Cari Blog Ini