Ceritasilat Novel Online

Si Rajawali Sakti 2

Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


tentu didasari rasa kagum kepadanya, melainkan lebih banyak kemungkinan karena
didorong kepentingan pribadi. Tentu mereka mengharapkan kalau pemberontakan
ini berhasil, mereka akan mendapatkan bagian pahalanya!
"Aku mau menjadi kaisar baru akan tetapi kalian harus bersumpah dulu bahwa
kalian akan menaati semua perintahku sebagai kaisar!"
Para perwira itu serentak menyatakan sumpah mereka bahwa mereka akan
mematuhi semua perintah Chao Kuang Yin sebagai kaisar mereka! Demikianlah,
dengan mengenakan pakaian sebagai seorang kaisar, Chao Kuang Yin memimpin
balatentaranya kembali ke kota raja. Dan memerintahkan agar pasukannya tidak
melakukan kekerasaan, tidak mengganggu para pembesar dan rakyat.
Sang Permaisuri yang mewakili puteranya, kaisar yang masih kecil, tidak melihat
jalan lain kecuali menyerah. Apalagi ternyata bahwa Chao Kuang Yin m enggunakan
taktik lunak, seluruh keluarga istana tidak ada yang diganggu. Mereka dibiarkan
hidup seperti biasa, hanya mendapatkan tempat tinggal di luar istana. Bahkan hanya para pejabat yang benar-benar brengsek dan melakukan kejahatan saja yang
dihukum. Yang kesalahannya tidak amat besar diampuni dan yang kesalahannya
hanya sedikit masih diperbolehkan memegang jabatan yang dengan janji sumpah
bahwa mereka akan memperbaiki kelakuannya.
Setelah menjadi kaisar baru, Chao Kuang Yin mendirikan kerajaan baru, yaitu Dinasti Sung dan dia memakai nama Kaisar Sung Thai Cu (960 - 976). Bukan hanya Kaisar
Sung Thai Cu mengambil alih kekuasaan, mengganti Dinasti Chou dengan Dinasti
Sung tanpa kekerasan sehingga tidak mengorbankan perang dan tidak ada yang
terbunuh, juga dia menggunakan taktik akhirnya dengan gemilang. Dia maklum
bahwa pihak yang membahayakan adalah para perwira yang dulu mengangkatnya
menjadi kaisar dengan paksa. Mereka yang memiliki ambisius besar itu mungkin saja sewaktu-waktu mengulangi perbuatan mereka yang sama untuk memberontak dan
menjatuhkannya, menggantinya dengan seorang kaisar baru lagi! Maka dia
memanggil dua belas orang perwira itu, menjamu mereka dengan makan minum
dalam sebuah pesta diantara mereka sendiri Kemudian setelah mereka makan
minum sepuasnya, Kaisar Sung Thai Cu berkata.
"Para perwira yang berjasa! Setelah kini semua cita-cita kita terlaksana dan aku menjadi kaisar pertama dari Dinasti Sung yang kita dirikan, setiap malam aku tidur dengan gelisah kalau aku memikirkan dengan sangsi dan ragu, sampai dimanakah
kesetiaan kalian kepadaku?"
Para perwira itu terkejut dan saling pandang, lalu seorang dari mereka yang paling tua, usianya enam puluh tahun berkata.
"Sribaginda, mengapa Paduka berkata demikian" Tentu saja hamba semua setia
kepada Paduka. Bukankah selama ini hamba semua selalu menaati semua perintah
Paduka?" Kaisar Sung Thai Cu menghela napas sebelum menjawab. "Yang mengganjal dalam
hati kami adalah kalau kami terringat akan perbuatan kalian ketika memaksa aku
menjadi kaisar baru. Sekarang, seandainya kalian melakukan lagi hal itu pada
seseorang untuk menjadi kaisar baru menggantikan aku, apakah orang itu dapat
menolaknya?" Kembali para perwira itu saling pandang dan perwira tua yang mewakili mereka
segera berkata, "Sribaginda Kaisar Yang Mulia, percayalah kepada hamba sekalian.
Tidak sembarang orang dapat dipilih menjadi kaisar dan kalau dulu hamba sekalian
memilih Paduka, hal itu karena Padukalah satu-satunya calon yang memenuhi syarat
untuk menjad kaisar!"
"Dengarlah, para pembantuku yan baik Syak wasangka dan praduga merupakan hal yang amat berbahaya bagi kedua pihak. Untuk mengatasi hal ini di antara kita, aku telah mempunyai rencana yang amat baik. Kita semua sudah semakin tua dan
melihat jasa-jasa kalian, sudah sepatutnyalah kalau kalian kini hidup dalam keadaan sejahtera dan bahagia penuh kedamaian, tidak perlu memusingkan urusan negara.
Maka, sebabaiknya, kalian mengajukan permohonan mengundurkan diri dan kalian
semua akan kami berikan tanah, tempat tinggal yang memadai dan harta benda
yang cukup. Selain itu, kita dapat memperdekat hubungan dengan ikatan-ikatan
keluarga saling menjodohkan keturunan kita sehingga kita menjadi sebuah keluarg
besar di mana tidak akan ada lagi curiga-mencurigai dan syak wasangka yang buruk.
Bagaimana pendapat kalian?"
Dua belas orang perwira itu tentu saja merasa setuju dan merasa terhormat sekali.
Mereka lalu mengajukan permohonan berhenti dari kedudukan mereka dengan
berbagai alasan. Kemudian Kaisar Sung Thai Cun memenuhi janjinya. Mereka semua
diberi tanah dan gedung tempat tinggal, diberi harta secukupnya sehingga mereka
hidup dengan tenang. Mereka bagaikan harimau-harimau yang berbahaya akan
tetapi telah diberi makan lebih dari cukup sehingga kekenyangan dan tidak ada
semangat sama sekali untuk menyerang pemelihara mereka!
Taktik Kaisar Sung Thai Cun ini mendatangkan akibat yang amat baik, dan
merupakan awal yang baik sekali bagi kebesaran Kerajaan Sung sehingga dapat
mengakhiri jaman di mana perebutan kekuasaan terjadi tiada hentinya. Mendengar
akan kebijaksanaan Kaisar Sung Thai Cun, yang menjadi kaisar dari Dinasti Sung yang baru tanpa ada peperangan, tanpa pembunuhan, maka banyak daerah yang tadinya
memisahkan diri dan berdiri sendiri, menakluk kepada Kerajaan Sung. Pertama
daerah Nan Ping (Hupei) dan Shu (Secuan) yang menakluk. Mereka diterima dengan
baik oleh Kaisar Sung Thai Sun, bahkan para pemimpinnya diberi kedudukan dalam
pemerintahan Kerajaan Sung. Melihat kebijaksanaan ini banyak daerah yang
menakluk. Bahkan di daerah yang tadinya selalu memberontak yaitu Nan Han
(Katon) dan Nan Tang (daerah sepanjang Sungai Yangce) hanya mengadakan
perlawanan lemah saja sehingga mereka dapat mudah dikuasai pasukan Sung. Para
pemimpinnya juga diampuni dan diberi kedudukan yang layak.
Demikianlah, Kerajaan Sung merupakan kerajaan Pribumi Han yang mengembalikan
kebesaran kerajaan dari dinasti-dinasti terdahulu.
Nama besar Chao Kuang Yin yang menjadi pendiri Dinasti Sung dengan menjadi
kaisar pertama sebagai Kaisar Sung Thai Cui selalu dikenang dan dicatat dalam
sejarah sebagai tauladan.
ooOOoo Akan tetapi, setiap ada penguasa baru, betapa banyak pun pendukungnya, pasti ada
saja yang menentang. Pihak pendukung biasanya disebabkan karena munculnya
penguasa baru atau dinasti baru itu menguntungkan. Sebaliknya, mereka yang
menentang juga disebabkan arena adanya penguasa baru itu merugikan dirinya.
Di antara mereka yang merasa dirugikan tentu saja adalah para pembesar yang
tadinya dengan mudah dapat menumpuk harta kekayaan pada waktu Kerajaan Chou
belum dijatuhkan. Juga para hartawan yang kini menjadi berkurang penghasilan
mereka karena kerja sama mereka dengan para pejabat tinggi terputus, mereka
tidak senang kepada pemerintah Sung yang baru. Ada pula sanak keluarga para
pejabat tinggi yang dihukum penjara karena menyalahgunakan kekuasaannya di
dalam pemerintahan yang lalu, tentu saja merasa sakit hati dan mereka mudah
dibujuk dan dibakar oleh mereka yang merencanakan pemberontakan terhadap
kerajaan yang baru. Pemimpin golongan pemberontak itu adalah seorang pangeran Kerajaan Chou yang
telah runtuh. Dia seorang pangeran yang masih terhitung keponakan dari mendiang
Kaisar Chou Ong yang baru saja meninggal tidak lama setelah Kerajaan Chou jatuh
dan Kerajaan Sung belum diri. Dahulu dia menjadi seorang panglima yang bertugas
di Selatan. Namanya adalah Pangeran Chou Ban Heng, seorang laki-laki berusia
sekitar empat puluh tahun yang tinggi besar dan gagah per kasa. Dia memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, karena pangeran yang menjadi panglima ini adalah murid
Hong-san Sial su Kwee Cin Lok yang menjadi Hong san-pangcu (Ketua Perkumpulan
Horw san-pang). Sebetulnya, dialah yang dahulu didukung oleh Ceng In Hosiang,
Kwan Su, Im-yang Tosu, Kwee Cin Lok, dan kepala suku Khitan yang bernama Kailon
itu, yang mempunyai niat memberontak terhadap pamannya sendiri, yaitu Kaisar
Chou Ong. Pangeran Chou Ban Heng memang diam-diam mengadakan persekutu
dengan suku bangsa Khitan agar membantunya merebut kekuasaan. Akan tetapidia
belum berani bertindak karena Kerapian Chou mempunyai Panglima Chuo Kuang Yin
yang setia. Maka dia menunda-nunda niatnya dan hendak memperkuat dulu
kedudukannya dengan mencari dukungan orang-orang sakti. Untuk keperluan itulah
maka lima orang pendukungnya yang lihai itu membujuk para pendeta yang
mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Naga Kecil itu. Akan tetapi usaha mereka
membujuk itu gagal dan mereka bahkan meninggalkan puncak itu dan Kailon yang
mengerahkan anak buahnya bahkan terpaksa melarikan diri. Maka, ketika Panglima
Chao Kuang Yin mengambil alih kekuasaan dan mendirikan Kerajaan Sung, tentu saja
Pangeran Chou Ban Heng menjadi marah dan penasaran sekali. Dia yang bertugas di
Selatan dengan pasukannya lalu tidak mau kembali ke kotaraja melainkan
memperkuat kedudukannya di Lembah Sungai Yang-ce di seberang Selatan.
Akan tetapi, kebijaksanaan pemerintah baru Kerajaan Sung yang dipimpin Kaisar
Sung Thai Cu sudah tersiar sampai selatan Sungai Yangce. Banyak pimpinan
pemberontak menakluk tanpa perang, dan banyak pula para bekas perwira Kerajaan
Chou yang tadinya mendukung Pangeran Chou Ban Heng, mengundurkan diri dari
persatuan pemberontak itu. Para perajuritnya juga kurang bersemangat untuk
melawan ketika pasukan Sung datang mengadakan pembersihan ke selatan. Maka
setelah terjadi pertempuran berturut-turut selama tiga bulan, pasukan yang
dipimpin Pangeran Chou Ban Heng kalah dan banyak perajuritnya melarikan diri.
Usaha pemberontakan itu gagal sama sekali.
Akan tetapi, yang pecah dan menghilang hanyalah para perajuritnya. Adapun para
pemimpinnya, Pangeran Cho Ban Heng dan sekutunya, masih ada. Mereka berhasil
lolos dan melarikan diri.
Pada suatu malam, di dalam sebuah hutan yang sunyi terpencil di lembah Sungai
Yangce, beberapa orang mengadakan pertemuan di sebuah pondok kayu yang masih
baru. Pondok yang sederhana sekali dan dibangun dengan terburu-buru. Di tengah
ruangan pondok itu terdapat sebuah meja bundar yang cukup besar dan di sekeliling meja duduk bercakap-cakap beberapa orang dengan serius. Di atas tergantung dua
buah lampu yang besar sehingga ruangan itu cukup terang.
Yang duduk menghadap keluar adalah orang laki-laki yang berpakaian seperti
seorang bangsawan, tubuhnya tinggi besar, dengan kumis dan jenggot tebal pendek
dan rapi, wajahnya tampan gagah namun sinar matanya membayangkan kekerasan
hati. Inilah Pangeran Chou Ban Heng yang pasukannya telah dipukul cerai-berai oleh pasukan Sung yang mengadakan pembersihan. Dia ditinggalkan para perajurit dan
perwira pengikutnya, akan tetapi para datuk persilatan masih setia dan kini duduk dihadapannya. Mereka adalah Ceng In Hosiang, hwesio Sauw-lim-pai yang gemuk
pendek, Kang-Lam Sin-kiam Kwan In Su yang tampan, yang Tosu tokoh berasal dari
utara, dan Kwee Cin Lok yang berjuluk Hongsan Siansu atau Hongsan Pangcu (Ketua
Hongsan-pang). Hong-san Siansu ini adalah guru dari Pangeran Chou Ban Heng maka
dia paling dihormati di antara para tokoh persilatan itu.
Ketika terjadi pertempuran, empat orang datuk ini memang tidak mau terlibat
karena bagi para datuk itu, amat merendahkan diri kalau mereka ikut beramai-ramai bertempur dalam perang. Kin Pangeran Chou Ban Heng mengundang mereka untuk
mengeluh akan kegagalannya dan minta bantuan dan nasihat mereka. Empat orang
datuk itu mendengarkan laporan Pangeran Chou yang mengakhiri semua laporannya
dengan ucapannya dengan nada sedih dan penasaran. Ucapannya dia tujukan
terutama kepada gurunya, yaitu Hongsan Siansu.
"Suhu dan Sam-wi Lo-cian-pwe (Tiga Orang Tua Perkasa) yang terhormat tentu
memaklumi betapa sedih dan penasaran rasa hati saya. Kita yang susah payah
menyusun kekuatan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerinta Paman Chou
Ong yang brengsek dan korup, ternyata didahului oleh Si Jahanan Chao Kuang Yin
yang sekarang menjadi kaisar dan mendirikan Kerajaan Sung yang baru. Padahal,
sayalah orangnya yang berhak duduk di singgasana sebagai eorang pangeran, bukan
dia. Dia itu hanya seorang jenderal, tidak berhak sama sekali karena dia bukan
keluarga istana! Karena itu, sekarang saya mohon Suhu dan Sam-wi Lo-cian-pwe
sudi memberi nasihat, bagaimana selanjutnya saya harus berbuat untuk dapat
merampas tahta kerajaan dari tangan Chao Kuang Yin?"
"Saya kira tidak ada jalan lain kecuali diam-diam menyusun kekuatan baru,
pangeran. Saya kira di daerah Cekiang dan Shansi masih terdapat banyak orang yang belum takluk kepada Kerajaan Sung. Pangeran dapat menyusun kekuatan dan
bekerjasama dengan pihak mereka. Kalau sudah memiliki balatentara yang kuat,
baru kita bergerak menyerang." kata Kwan In Su.
"Siancai!" kata Im Yang Tosu. "Pinto (aku) setuju dengan usul Kanglam Sinkiam. "Dan jangan lupa untuk menghubungi Saudara Kailon. Dia dapat mengerahkan bangsa
Khitan untuk memperkuat barisan kita."
Pangeran Chou Ban Heng tampak gembira dan mendapat harapan baru.
"Bagaimana pendapat Suhu?" tanyanya kepada suhunya, Hong-san Siansu Kw Cin Lok.
Sejak tadi Hongsan Siansu mendengarkan dengan alis berkerut, lalu dia berkata.
"Pangeran,usul dari Kanglam Sim kiam dan Im Yang Tosu itu memang baik dan saya setuju. Akan tetapi kita harus berhati-hati dan tidak gegabah atau terburu-buru
sekali ini, agar jangan sampai gagal lagi. Sebaiknya, kita menggunak Hong-san-pang sebagai pusat pergerakan sehingga tidak mencolok dan tidak menimbulkan
kecurigaan. Dari sana kita menyusun kekuatan. Sementara Paduka menyusun
kekuatan, kita juga secara diam-diam harus memperdalam ilmu silat, terutama
sekali putera Paduka harus diberi gemblengan yang mendalam. Dengan demikian,
seandainya usaha Paduka Pribadi menemui kegagalan, kelak putera paduka akan
dapat melanjutkan cita-cita mulia membangun kembali Kerajaan Chou ini
menjatuhkan Kerajaan Sung."
Pangeran Chou Ban Heng mengangguk-an gguk setuju. Dia memandang kepada
Ceng In Hosiang yang sejak tadi hanya diam saja, lalu bertanya.
"Lo-suhu, bagaimana pendapatmu" sejak tadi Lo-suhu belum memberi saran, harap Lo-suhu suka memberi petunjuk."
Ceng In Hosiang yang bertubuh gendut itu tersenyum lebar akan tetapi dia
menggelengkan kepalanya yang bulat. "Omitohud, apa yang dapat pinceng (aku)
katakan" Cita-cita kita dahulu adalah untuk mengganti pimpinan kerajaan yang
kotor dan menyengsarakan rakyat, demi kesejahteraan rakyat. Akan tetapi Paduka
didahului Chao Kuang Yin yang berhasil mengambi alih kekuasaan. Cara yang
diambilnya demikian bijaksana sehingga mengambil-alihan kekuasaan itu tidak
menimbulkan perang. Kemudian, ternyata setelah dia mendirikan Kerajaan Sung dan
menjadi Kaisar Sung Thai Cu, dia juga bijaksana dan menaklukkan banyak
pemerintah daerah tanpa perang. Dia menghukum mereka yang dahulu menjadi
pembesar korup dan menjalani pemerintahan, dengan tertib dan bersih ini berarti
bahwa cita-cita kita sud tercapai. Mengapa kita harus memusuhi dan merebut
kekuasaan dari tangan orang yang bijaksana itu" Merebut kekuasaan berarti perang
dan hal itu hanya menyengsarakan rakyat. Tidak, Pangeran pinceng tidak setuju dan tidak mungkin dapat membantu usaha pemberontak ini. Sebaiknya sekarang juga
pinceng mohon pamit dan mengundurkan diri."
Setelah berkata demikian, Ceng in Hosiang bangkit berdiri dari kursinya dan setelah menjura dengan hormat kepada Pangeran Chou Ban Heng, dia lalu keluar dari
pondok itu. Melihat ini, Pangeran Chou memberi isarat dengan tangannya dan
Hongsan Siansu segera bangkit dan keluar, di kuti oleh Kanglam Si kiam dan Im Yang Tosu.
Ceng In Hosiang keluar dari pondok dan ketika dia tiba diluar, dimana terdapat
sebuah lampu gantung yang memberi penerangan remang-remang, tiba-tib
berkelebat tiga sosok bayangan dan di depannya telah berdiri tiga orang datuk yang tadi duduk di dalam pondok, pelihat mereka yang berdiri di depannya Ceng In
Hosiang tersenyum; "Omitohud, kalian bertiga juga mengambil keputusan seperti yang pinceng ambil"
Bagus, dengan begitu kita telah mengambil jalan benar dan mencegah terjadinya
perang dan bunuh membunuh antara bangsa sendiri." Akan tetapi Hongsan Siansu berkata dengan suara kaku. "Ceng In Hosiang, engkau telah lari dari kerja sama kita, berarti engkau telah menjadi pengkhianat. Kelak engkau tentu hanya akan menjadi
penghalang bagi perjuangan kami, karena itu, seorang pengkhianat seperti engkau
sudah sepatutnya dibinasakan!"
Setelah berkata demikian, tanpa memberi kesempatan lagi kepada hwesio itu untuk
menjawab, Hongsan Siansu sudah nenyerang dengan tamparan tangan kanan yang
dahsyat ke arah kepala Ceng In Hosiang yang gundul. Pukulan ini hebat bukan main.
Jangankan hanya kepala manusia, batu karang pun akan pecah berantakan terkena
Thai-lek-jiu ini. Akan tetapi Ceng In Hosiang adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai
yang lihai. Dia maklum akan hebatnya tamparan itu, maka sambil mengerahkan
tenaga sakti, dia menangkis dengan ilmu Thiat-ciang-kang (Tenaga Tangan Besi).
"Wuuuttt........... dukkkkk!!" Dua tenaga dahsyat bertemu melalui kedua lengan itu dan tubuh Ceng In Hosiang terdorong mundur tiga langkah. Diam-diam dia harus
mengakui bahwa tenaga sakti Hongsan Siansu amat kuat. Akan tetapi harus
waspada karena pada saat itu, angin dahsyat menyambar dari samping. Cepat dia
merendahkan tubuhnya untuk mengelak.
"Singgggg............ !" Sinar pedang seperti kilat menyambar lewat atas kepalanya.
Ternyata Kang-lam Sinkiam Kwan In yang menyerangnya dengan pedangnya yang
lihai! Ceng In Hosiang menjadi terkejut sekali. Akan tetapi dia tetap waspada. Ketika ada sinar hitam menyambar dari sebelah kanannya, dia sudah menggerakan tongkat
atau toyanya untuk menangkis.
"Tranggggg..........!" Toya itu menangkis sehelai sabuk kulit naga yang tadi digerakkan Im Yang Tosu untuk menyerangnya.
Ceng In Hosiang maklum bahwa dirinya berada dalam ancaman bahaya maut. Dia
dikeroyok tiga orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, yang tidak kalah lengan tingkatnya. Bahkan dia tahu bahwa tingkat kepandaian Hongsan Siansu lebih tinggi.
Baru tenaga sinkangnya tadi ketika dia menangkis, membuktikan bahwa Ketua
Hong-san-pai itu kuat sekali.
Kembali pedang dan sabuk kulit naga dari Kwan In Su dan Im Yang Tosu menyambar.
Ceng In Hosiang cepat memutar toyanya menangkis, akan tetapi karena dua orang
datuk itu menyerang berbareng, dia harus menghadapi dua tenaga kuat sehingga
tangkisannya itu biarpun dapat menghindarkan serangan lawan, tetap saja
membuat tubuhnya terhuyung kebelakang.
Pada saat itu, ada sinar kilat menyambar dari atas ke arah lehernya. Cepat sekali pedang itu menyambar dari atas dan itu adalah hui-kiam (pedang terbang) dari
Hongsan Siansu yang dapat terbang digerakkan dengan kekuatan gelombang pikiran.
Ceng In Hosiang cepat mengelak namun kurang cepat sehingga bukan lehernya yang
terbabat, melainkan pundak kirinya. Dia menahan keluhannya dan cepat melompat
untuk melarikan diri karena pundaknya telah terluka dan mengeluarkan darah.
"Bukkk!" Ketika dia menangkis pedang Kang-lam Sin-kiam Kwan In Su yang
menyambar, dia terkena pukulan sabuk kulit naga dari Im Yang Tosu, tepat pada
punggungnya sehingga dia merasa seolah isi dadanya berantakan! Rasa nyeri, panas
dan pedih membuat Ceng In Hosiang terjengkang roboh. Akan tetapi tokoh
Siauwlimpai ini memiliki tubuh yang terlatih dan kuat. Dia masih dapat bertahan lalu cepat bergulingan menjauhi lawan, dan setelah mendapat kesempatan, dia
menggunakan toyanya menekan tanah dan dia pun melompat dengan lompatan
Hui-niau-touw-lim (Burung Terbang Masuk Hutan) dan menghilang dalam kegelapan
nalam. Tiga orang itu tidak dapat melakukan pengejaran karena malam amat gelap dan
berbahayalah mengejar seorang selihai Ceng In Hosiang dalam kegelapan itu. Besar
kemungkinan yang mengejar akan mendapat serangan mendadak dan celaka.
Karena yakin bahwa hwesio itu telah menderita luka parah dan sulit untuk dapat
hidup, mereka lalu masuk kembali ke dalam pondok dan melanjutkan perundingan
mereka. Petunjuk Hongsan Siansu tadi disepakati. Mereka menggunakan Hong-san di mana
Hong-san-pang berada sebagai pusat pergerakan mereka. Setelah terjadi
kesepakatan ini, Pangeran Chou Ban Heng lalu menyuruh seorang anggota Hongsan-pang yang menjadi pengawal untuk memanggil puteranya.


Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak lama kemudian muncul ah seorang pemuda berusia sekitar lima belas tahun
memasuki pondok itu. Dia adalah Chou Kian K i, putera tunggal Pangeran Chou Ban
Heng. Chou Kian Ki yang berusia lima belas tahun ini bertubuh tegap da wajahnya
tampan. Sejak kecil dia tela digembleng oleh kakek gurunya sendiri yaitu Hong-san Sian-su sehingga dalam usia lima belas tahun dia telah memiliki tingkat ilmu silat yang cukup lihai. Juga dia menerima pelajaran bun (sastra) dari ayahnya. Kian Ki
memang cerdas sekal Dia bukan hanya tangkas dan lihai dala ilmu silat, akan tetapi jug menguasai kesusastraan. Gerak geriknya lembut seperti seorang sastrawan
muda sehingga orang yang tidak mengenalnya tentu tidak menyangka bahwa Chou
Kongcu Ki seorang ahli silat yang lihai.
Setelah duduk, Kian Ki menerima penjelasan ayahnya akan semua kesepakatan yang
dibicarakan di situ. "Mulai sekarang, engkau harus mempelajar i ilmu-ilmu dari Lo-cian-pwe Kwan ln Su dan Lo-cian-pwe Im Yang Tosu agar kelak engkau dapat melanjutkan cita-cita kami."
Pangeran Chou mengakhiri kata-katanya.
Karena dia memang suka sekali mempelajari ilmu silat, maka mendengar ini, Kian K i segera maju dan berlutut di depan kaki kedua orang datuk itu sambil menyebut
"Suhu". Demikianlah, mulai hari itu, di Hong-san diadakan usaha untuk membangun kembali
Kerajaan Chou untuk merampas tahta kerajaan dari tangan Kaisar Sung Thai Cu.
Semua kegiatan ini terselubung dengan adanya Hong-san-pang yang memang sudah
lama berdiri sehingga tidak ada yang menaruh curiga.
ooOOoo Ceng In Hosiang yang terluka parah itu mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk
melarikan diri. Malam itu gelap sekali sehingga dia lari tersaruk-saruk, beberapa kali terjatuh dan menubruk pohon. Akan tetapi karena maklum bahwa sekali terkejar
dan tertangkap, pasti tidak akan diampuni, dia berusaha berlari terus, terkadang
dengan merangkak. Dia dapat bertahan sampai pagi hari dan akhirnya dia roboh
terguling di sebuah dusun kecil dan pingsan!
Seorang anak laki-laki berusia sekitar sebelas tahun keluar dari dusun itu menggiring tiga ekor kerbau yang akan digembalakannya ke padang rumput tak jauh dari dusun.
Anak laki-laki yang bertubuh tinggi namun kurus itu terkejut melihat seorang kakek gundul berjubah lebar dan tangannya memegang tongkat atau toya, menggeletak
telentang di atas tanah. Tadinya anak itu mengira bahwa Ceng In Hosiang adalah
seorang pendeta yang sedang tidur, akan tetapi ketika melihat darah melumuri
pakaiannya yang berwarna kuning, anak itu lalu menghampir i dan berjongkok. Dia
melihat betapa jubah pendeta itu robek di bagian pundak kirinya dan dari robekan
tu darah berlepotan. Biarpun dia seorang bocah dusun, namun dia pernah melihat
seorang hwesio lewat di dusunnya, maka tahulah dia bahwa kakek gemuk pendek Ini
adalah seorang pendeta hwesio.
"Losuhu, Losuhu, bangunlah..........!" anak Itu menggoyang-goyang pundak kanan Ceng In Hosiang. Akan tetapi hwesio yang sedang pingsan itu tidak bergerak dan
tidak membuka matanya yang terpejam.
Akhirnya anak itu dapat menduga bahwa hwesio itu tentu pingsan. Tadinya dia
merasa ngeri karena mengira hwesio itu mati, akan tetapi karena dada yang bidang
itu masih bernapas, dia mengira bahwa tentu pendeta itu pingsan. Pernah dia
melihat orang pingsan di dusunnya dan dia pernah mendengar pula bahwa orang
pingsan dapat dibuat sadar dengan siraman air. Dia segera lari pergi untuk
mengambil air dengan sebuah ember yang memang selalu dia bawa untuk
memandikan kerbau-kerbaunya setelah kenyang membiarkan mereka makan di
padang rumput siang nanti. Kemudian setelah mengisi ember itu dengan air, dia
kembali ke situ dan tanpa ragu lagi dia lalu menyiramkan air pada muka dan kepala Ceng In Hosiang.
Hwesio itu gelagapan dan membuka! matanya, menggoyang kepalanya daan bangkit
duduk, lalu mengeluh karena; merasa betapa pundaknya panas pedih dan dadanya
terasa sesak. Ingatlah dia akan segala yang terjadi, maklum bahwa dia terluka.
Kemudian dia melihat anak yang berdiri di dekatnya, seorang anak laki-laki berusia sekitar sebelas tahun yang matanya bersinar terang akan tetapi pakaiannya butut,
kasar dan tambal-tambalan. Dia melihat pula betapa anak itu masih memegang
sebuah ember yang basah dan tahulah dia bahwa anak itu yang tadi
menyadarkannya dengan siraman air.
Ceng In Hosiang tersenyum, memandang anak itu. "Engkaukah yang menyiram muka dan kepalaku dengan air?"
Anak itu lalu menjatuhkan dirinya berlutut memberi hormat kepada hwesio itu.
"Losuhu, maafkan aku. Aku melihat Losuhu rebah telentang dan aku mendengar
bahwa orang pingsan dapat sadarkan dengan siraman air, maka aku menyiram muka
Losuhu dengan air." Melihat anak itu agaknya ketakutan, Ceng In Hosiang tertawa.
"Ha-ha, jangan takut. Pinceng berterima kasih kepadamu, anak baik. Siapakah
namamu?" "Namaku Liu Cin, Losuhu."
Ceng In Hosiang mengamati wajah anak itu. Wajah yang terang dan bentuknya
gagah, pikirnya. Sepasang mata yang bersinar tajam dan tampak jujur.
"Di mana tempat tinggalmu dan siapa Ayah Ibumu?"
"Orang tuaku............ mereka sudah tiada, Losuhu. Aku bekerja di rumah Kepala Dusun sebagai pembantu dan mengurus kerbau-kerbaunya "
Hemmm, anak yatim piatu. Ceng In Hosiang menyeringai karena merasa nyeri di
dalam dadanya. Agaknya pukulan sabuk kulit naga dari Im Yang Tosu telah
mendatangkan luka dalam di dadanya.
"Kenapa, Losuhu" Apakah Losuhu sakit.......?" Anak itu mendekat dengan khawatir.
Melihat perhatian anak itu, Ceng Hosiang tersenyum. Dia lalu duduk sila dan
berkata. "Liu Cin, engkau sudah menolongku. Maukah engkau menolong lagi?"
"Apa yang dapat kulakukan untukmu, Losuhu?" tanya Liu Cin penuh kesediaan untuk menolong.
"Aku hendak bersamadhi mengobat lukaku. Jagalah di sini dan jangan biar pun
siapapun mengganggu samadhiku. Maukah engkau melakukan hal itu?"
"Tentu saja, Losuhu. Aku akan mernjagamu dan melarang siapapun menganggumu
bersamadhi." kata Liu Cin.
Karena kalau tidak segera diobati, lukanya dalam dada dapat menjadi semakin
parah, Ceng In Hosiang lalu bersila dan memejamkan mata, lalu mengatur
pernapasan dan mempergunakan hawa murni untuk mendorong keluar hawa
beracun akibat pukulan sabuk kulit naga dan menyembuhkan luka dalam yang
dideritanya. Liu Cin duduk tak jauh dari hwesio itu untuk menjaganya. Tidak lama kemudian
datang seorang laki-laki tinggi kurus berpakaian mentereng, dikawal tiga orang laki-laki tinggi besar yang membawa Kolok. Melihat mereka, Liu Cin membelalakkan
matanya dan ketakutan akan tetapi dia tetap tidak mau meninggalkan
penjagaannya. Laki-laki kurus itu bukan lain adalah Kepala Dusun Kui-cun di situ dan tiga orang itu adalah para pengawal atau tukang pukulnya. Pada waktu itu, setiap
orang kepala dusun berlagak seolah-olah seorang raja kecil di desanya. Dia merasa sebagai orang yang paling berkuasa di dusun itu, segala kehendaknya merupakan
hukum bagi para penduduk. Memang banyak kepala dusun yang bijaksana dan
menjadi pelindung bagi rakyat di dusunnya, akan tetapi tidak kurang banyaknya
kepala dusun yang berlagak sebagai raja! Kepala Dusun Kui-cun ini pun merupakan
seorang di antaranya. Dengan adanya tiga orang, pengawal yang pandai ilmu silat
dan ber tubuh kuat, maka tidak ada seorang pun di dusun itu yang berani
menentang semua kehendaknya. Ketika kedua orang tua Liu Cin tewas dalam
kekacauan ketika terjadi perang dan Liu Cin menjadi yatim piatu, Lurah Dusun Kuicun itu berlagak baik budi dengan menampung nak itu dan diberi pekerjaan. Akan
tetapi sesungguhnya dia hanya memeras tenaga anak itu, disuruh menggemba
kerbau, mengurus semua ternaknya, membersihkan kandang dan hampir tidak
pernah menganggur. Dan semua itu hanya untuk memperoleh semangkok nasi.
Bahkan pakaian yang dipakai Liu Cin juga butut dan bertambal karena dia tidak
diberi pakaian pengganti lain.
Pada pagi hari itu, Lurah Ci yang dikawal tiga orang tukang pukulnya keluar dari
dusun untuk memeriksa tanaman sawahnya yang luas. Akan tetapi ketika tiba di luar dusun, dia melihat tiga ekor kerbaunya yang gemuk-gemuk itu berkeliaran seorang
diri dan dia tidak melihat adanya Liu Cin yang ditugaskan menggembala kerbaukerbau itu. Marahlah Lurah Ci dan dia lalu mencari anak itu. Ketika dilihatnya anak itu sedang duduk di bawah pohon, di dekat seorang wesio yang duduk bersila,
kemarahannya memuncak. "Bocah jahanam!" bentaknya sambil melangkah menghampiri, di kuti tiga orang tukang pukulnya. "Engkau gentong nasi tak mengenal budi! .Tiap hari makan akan tetapi disuruh menggembala kerbau malah bermain-main di sini!"
"Chung-cu (Lurah)........... Lo-ya (Tuan).......... saya tidak main-main, saya sedang menjaga Losuhu yang sedang bersamadhi ini. Kerbau-kerbau itu sedang makan
rumput, sebentar akan kumandikan di sungai."
"Cerewet! Siapa yang memberimu makan" Aku atau Hwesio Gundul ini?" bentak Sang Lurah dan dia lalu menggerakkan kakinya.
"Bukkk..........!" tubuh anak itu terguling-guling. Akan tetapi dia bangkit dan segera menghampiri lagi hwesio itu dan duduk di dekatnya, menahan rasa nyeri di pipinya
yang lecet karena terguling-guling tadi.
"Setan cilik!" Lurah Ci semakin marah, karena melihat Liu Cin kembali duduk dekat hwesio itu dan terutama sekali karena kakinya terasa nyeri ketika menendang anak
itu tadi. Kebetulan yan dia tendang adalah tulang lutut Liu Cin sehingga kakinya kini terasa berdenyut-denyut menendang tulang yang keras.
"Hwesio ini tentu telah mempengaruhi Liu Cin sehingga anak ini menjadi berani menentangku. Hwcsio ini mungkin orang jahat yang akan mengacau dusun kita. Heh,
hwesio gendut, cepat kau pergi! menyingkir dari sini!"
Akan tetapi hwesio itu tidak mempedulikannya dan tetap saja duduk melakukan siulian (meditasi). "Hei, hwesio tua! Apakah engkau tuli" Pergi cepat dari sini, engkau kularang berada di sini!" kembali Lurah Ci membentak. Dia tadi menendang Liu Cin akan tetapi betapa marah pun, dia tidak berani menendang hwesio gendut itu.
"Lo-ya, saya mohon, biarlah Losuhu ini bersamadhi sejenak di sini karena dia sedang berusaha mengobati luka-lukanya." kata Liu Cin.
"Apa" Engkau membela hwesio ini" Apamu sih hwesio ini" Bocah setan, cepat pergi sana urus kerbau-kerbaunya, kalau tidak aku akan mengusir kamu!" Ketika melihat Liu Cin tetap saja duduk, lurah itu dengan marah membentak ke-ada tiga orang
tukang pukulnya. "Cepat kalian seret hwesio ini, usir dia agar pergi dari sini. Biar aku yang nenyeret anak setan ini!"
Mendengar perintah ini, tiga orang laki-laki tinggi besar itu melangkah maju, sambil tersenyum mengejek mereka mendekati Ceng In Hosiang. Dengan kasar dua orang
di antara mereka memegang lengan Ceng In Hosiang, seorang memegang lengan
kanan dan orang kedua memegang lengan kiri.
"Hayo pergi, hwesio jembel!" mereka menghardik dan mulai menarik sekuat tenaga.
Akan tetapi tubuh hwesio itu sama sekali tidak bergerak! Dua orang tukang pukul itu merasa heran dan mereka mengerahkan seluruh tenaga untuk membetot dan
menarik, akan tetapi makin kuat mereka menarik, semakin kokoh tubuh hwesio itu,
seperti sebuah batu besar, sama. sekali tidak dapat digerakkan!
"Jangan! Jangan ganggu Losuhu ini........ Tiba-tiba Liu Cin lari dan memegai lengan seorang di antara dua tukang pukul itu dan ditarik-tariknya agar melepaskan hwesio itu.
Melihat ini, tukang pukul ketiga menjadi marah dan sekali tangannya menampar,
tubuh Liu Cin terpelanting keatas. Setelah menampar Liu Cin, tukang pukul itu yang marah melihat dua orang rekannya belum juga mampu menarik hwesio gendut itu,
cepat menghampiri dan berkata.
"Biar kutendang dia menggelinding dari sini!" Dari belakang tubuh hwesio itu, kakinya menendang.
"Bukkk!" Akan tetapi kakinya seperti menendang sebuah karung penuh beras Sama sekali tubuh itu tidak bergerak sedikit pun, apalagi menggelinding seperti yang
dikatakan tukang pukul itu. Dia merasa penasaran sekali dan kembali dia
menendangi punggung hwesio itu bertubi-tubi.
"Bukkk-bukkk-bukkk..........!"
Liu Cin yang sudah bangkit, melupakan rasa nyeri di pipinya dan dia lari
menghampiri tukang pukul yang menendangi punggung hwesio itu, lalu memegang
lengannya dan menarik-nariknya.
"Jangan! Jangan tendangi Losuhu ini! Kasihan, dia sudah terluka, dia sakit.........!!"
Tukang pukul yang menendang-nendangi punggung hwesio itu menjadi semakin
marah. Dia merasa heran, penasaran dan malu sekali bahwa tendangannya yang
bertubi-tubi seolah tak dirasakan sama sekali oleh hwesio itu, sebaliknya kaki-kirinya menjadi nyeri dan sepatunya pecah-pecah, kakinya bengkak-bengkak. Maka, melihat
anak itu menarik-nariknya, dia mengalihkan sasaran tendangannya.
"Bocah setan, kalau dia tidak boleh ditendang, engkau yang akan kutendang1" Dan dia mengayun kakinya, dengan seayalnya menendang ke arah perut Liu Cin! Kalau
tendangan itu mengenai perut anak itu, dapat menyebabkan kematiannya.
"Wuuuttt....... krekkkkk!!" Adouuww..........!" Si penendang itu terpelanting, mencoba bangkit, berloncat-loncatan dengan sila kaki, jatuh lagi dan menangis
mengaduh-aduh sambil memegangi kaki kanannya yang tadi menendang ke arah Lui
Cin. Kiranya sebelum kaki itu mengenai perut Liu Cin, ada toya menyambar dan
menyambut tulang kering kaki itu sehingga tulang kaki itu patah-patah!
Lurah Ci yang tidak tahu apa yang terjadi, mengira Liu Cin mengguna batu atau apa menyerang tukang pukulnya. Dia memaki dan menangkap lengan Liu Cin.
Pada saat itu, Ceng In Hosiang telah tadi menggunakan tangan kiri yang direnggut
lepas dari tukang pukul yang memeganginya dan menggerak toya untuk memukul
kaki tukang pukul yang menendang Liu Cin, kini setelah lengan kirinya ditangkap lagi, cepat menggerakan kedua lengannya sehingga dua orang tukang pukul yang
memegang kedua lengannya itu terbawa dan saling bertumbukan.
"Desssss.........!!" Dua orang itu berteriak lalu roboh pingsan setelah kepala mereka saling beradu sehingga agaknya mereka berdua menderita gegar otak! Sementara
itu, ketika Lurah Ci menagkap kedua lengan Liu Cin, anak itu ronta-ronta, akan tetapi tentu saja dia kalah kuat dan tidak mampu melepaskan keduua lengannya. Biasanya,
Liu Cin tidak berani bahkan takut sekali terhadap kepala dusun ini, karena tidak
pernah ada yang membelanya. Akan tetapi sekarang, melihat ada hwesio luar biasa
membelanya dan merobohkan tiga orang tukang pukul, rasa takutnya seketika
menghilang dan dia cepat mendekatkan mukanya dan menggigit tangan kanan
Lurah Ci yang memegangnya, menggigit sekuat tenaga.
"Waduhhhhh..........!" Lurah Ci berteriak kesakitan sehingga terpaksa dia melepaskan pegangannya. Melihat kulit tangannya bekas tergigit dan berdarah, dia semakin
marah. "Bocah setan...........!" Dia memaki dan menghampiri Liu Cin dengan muka beringas dan kedua lengan dikembangkan, kedua tangan seperti hendak mencekik anak itu.
Melihat ini Lui Cin lalu berlari memapaki dan menyeruduk ke arah perut Lurah Ci.
"Bukkk.............. bresss........!" Diseruduk perutnya, Lurah Ci yang sama sekali tidak pernah mengira anak yang biasanya menurut itu berani melakukan hal itu,
terjengkang roboh! Dia memaki-maki merangkak bangkit, lalu mencabut pedang
yang selalu tergantung di pinggangnya, pedang yang biasanya dia pamerkan bagai
pedang pusaka yang keramat! lalu menghampiri Liu Cin dengan penuh kemarahan,
dengan pedang terangkat. Tentu saja anak itu merasa tidak berdaya, akan tetapi dia tidak mau memperlihatkan rasa takut dan hanya berdiri memandang lurah itu
dengan sepasang mata bersinar.
Pada saat Lurah Ci membacokkan pedangnya, tiba-tiba ada dua benda kecil
menyambar dan tepat mengenai kedua kakinya, di bawah lutut.
"Tuk! Tuk!" Lurah Ci menjerit, pedangnya terlepas dari tangannya dan diapun roboh terguling, mengaduh-aduh dan kedua tangannya sibuk meraba kedua kakinya.
Ternyata tulang kering di bawah betisnya patah terkena sambaran dua buah batu
yang tadi dilontarkan Ceng Hosiang!
Lurah Ci dan tiga orang tukang pukulnya, setelah dua orang yang geger otak tadi
siuman, kini hanya mengaduh-aduh. Bahkan dua orang yang kepala diadu tadi
menangis seperti anak kecil agaknya gegar otak membuat mereka bersikap aneh.
Ceng In Hosiang masih duduk bersila dan kini dia saling pandang dengan Lui Cin.
Karena ingin mengetahui watak anak itu, Ceng In Hosiang berkata pada Liu Cin, "Lui Cin, orang-orang ia sudah banyak menyusahkanmu, sekaran engkau boleh
melakukan apa saja sesukamu terhadap mereka. Kini engkau mempunyai
kesempatan untuk membalas dendam. Lakukanlah sesukamu!"
Liu Cin memandang kepada empat orang itu satu demi satu, kemudian berkata.
"Loya, Lurah Kiu-cun dan kalian! bertiga Paman yang menjadi pengawalnya, sekali ini kalian mendapatkan pelajaran dari Losuhu ini. Dia masih bersikap, lunak dan
mengampuni kalian berempat, akan tetapi kalau lain kali kalian masih kejam dan
sewenang-wenang terhadap penduduk dusun, pasti Losuhu ini akan datang lagi dan
menghancurkan kepala kalian, bukan hanya kaki kalian!"
Melihat anak itu hanya mengeluarkan peringatan ini dan sama sekali tidak
membalas dendam, Ceng In Hosiang merasa kagum dan juga girang sekali.
"Liu Cin, sekarang engkau bebas dari ancaman mereka. Engkau sekarang boleh pergi sesuka hatimu." katanya.
Tiba-tiba Liu Cin berlari menghampiri hwesio itu dan menjatuhkan diri berlutut di depannya. "Losuhu, saya sudah tidak mempunyai keluarga, tidak mempunyai
rumah, ke mana saya harus pergi" Lo-suhu, perkenankanlah saya untuk ikut dengan
Losuhu saja, biar saya dapat membantu dan merawat Losuhu yang sedang sakit."
"Omitohud!" Ceng In Hosiang berseru akan tetapi di dalam hatinya dia merasa senang sekali. Dia telah berhasil mengobati luka dalam tubuhnya dan dia memang
ingin sekali mengangkat bocah ini menjadi muridnya. Selama ini dia belum pernah
mempunyai murid dan begitu bertemu dengan anak itu, timbul keinginannya untuk
mengambilnya sebagai murid, apalagi melihat sifat-sifat yang baik dipunyai Liu Cin.
Juga anak yatim piatu dan sekarang malah sudah mohon sendiri untuk menjadi
muridnya. "Anak baik, tahukah engkau bahwa menjadi muridku bukan merupakan kehidupan
yang enak bagimu" Selain pinceng miskin tidak memiliki apa-apa, juga engkau akan
melakukan perjalanan jauh yang amat sukar dan berat, selain itu engkau harus pula tekun berlatih dan hal ini pun amat berat dan tidak menyenangkan."
"Losuhu, betapa berat pun, saya akan melaksanakan dengan senang hati. Saya tidak mungkin dapat hidup seperti yang sudah-sudah menjadi sapi perahan di rumah
kepala dusun dan menerima penghinaan setiap hari dari semua orang. Kalau Losuhu
tidak sudi menerima saya sebagai murid atau pelayan, saya akan pergi ke mana
saya, asalkan tidak harus hidup di dusun ini."
Ceng In Hosiang masih ingin menguji watak anak itu. "Omitohud, agaknya lebih baik kalau engkau pergi ke mana pun engkau kehendaki, Liu Cin. Pinceng helum dapat
menerimamu sebagai murid."
Mendengar ini, wajah Liu Cin berubah pucat dan dia lalu bangkit berdiri dan lari
sambil menahan isak tangis karena kekecewaannya. Ceng In Hosiang mengikutinya
dengan pandang mata, kemudian menghela napas panjang dan dia pun bangkit
berdiri. Dia memandang kepada lurah Ci yang masih merintih-rintih tidak mampu
bangkit berdiri, lalu mengambil sebungkus obat dari saku jubahnya.
"Kalian ini orang-orang berhati kejamdan jahat. Ancaman Liu Cin tadi bukan gertak kosong belaka. Kalau engkau sebagai lurah dan tiga orang kaki tanganmu ini tidak
mengubah watak kalian dan masih bersikap kejam dan sewenang-wenang terhadap
rakyat dusun, pinceng pasti akan datang memberi hukuman seperti yang dikatakan
anak tadi. Pakai obat luar ini dan kembalilah ke jalan benar!" Dia melemparkan bungkusan obat itu kepada Lurah Ci, kemudian sekali berkelebat, tubuhnya lenyap
dari situ. Lurah Ci dan tiga orang tukang pukulnya terkejut dan maklum bahwa
mereka tadi berhadapan dengan seorang hwesio yan amat sakti. Mereka menjadi
ketakutan dan sejak hari itu, mereka benar-benar bertobat dan mulai mengubah
sikap dan watak mereka. Liu Cin berlari secepatnya meninggalkan tempat itu. Dia berlari terus sampai
napasnya terengah-engah dan akhirnya saking lelah dan kehabisan napas, tubuhnya
tidak kuat lagi bertahan dan di terguling roboh. Dia menelungkup di atas tanah
berumput. Tubuhnya berdenyut-denyut, lelah bercampur lapar dan haus ditambah
rasa nyeri bekas tendanga Lurah Ci dan tamparan tukang pukul tadi. Akan tetapi
perasaan campur aduk itu kini terasa nyaman setelah dia menelungkup di atas
tanah. Tubuhnya terasa sejuk terkena rumput-rumput yang gemuk dan basah bekas
embun, dan alangkah harumnya bau tanah dan rumput. Ah, dia tak ingin bangun
lagi, biarlah dialah dia rebah begini selamanya! Liu Cin memejamkan matanya, akan tetapi dia kini membayangkan wajah hwesio tua yang telah menolongnya,
membayangkan penolakan hwesio itu kepalanya. Tak terasa lagi kedua matanya
mencucurkan air mata karena kecewa dan kesal. Apa yang dapat dia lakukan" Ke
mana dia akan pergi" Apa yang akan dimakannya untuk menghentikan rontaan
dalam perutnya yang lapar" Apakah tidak lebih baik kalau dia mati saja menyusul
ayah ibunya" Tiba-tiba dia teringat beberapa tahun yang lalu ketika seorang
tetangga mati menggantung diri karena putus asa telah bertahun-tahun menderita
sakit berat. Ayahnya dahulu berkata bahwa bunuh diri merupakan perbuatan
seorang pengecut yang berdosa besar! Selagi hidup tidak boleh putus asa, harus
berdaya upaya, berikhtiar untuk mengatasi semua kesulitan dalam kehidupan!
Teringat akan ini, Liu Cin bangkit duduk, memaki diri sendiri yang tadi putus asa dan ingin mati saja. Dia menoleh ke kanan kiri dan melihat tumbuh-tumbuhan sayur
yang dapat dimakan. walaupun biasanya sayur itu dimasak dan diberi bumbu lebih
dulu. Dia bangkit dan memetik daun yang muda lalu memakannya. Tidak selezat
kalau dimasak dan dibumbui, akan tetapi setidaknya dapat dimakan dan mengurangi
rasa perih lambungnya. Dia berjalan lagi, tak pernah berhenti dan pada sore hari itu dia tiba di tepi sungai yang amat lebar. Sungai Ya ce! Dia pernah mendengar cerita ayah tentang sungai
yang amat luas ini sekarang baru dia berhadapan dengan sungai itu. Akan tetapi dia menjadi bingung. Perjalanannya terhalang sungai yang demikian lebarnya. Akan
tetapi, dia berkata kepada dirinya sendiri, andaika ada perahu penyeberangan, dia pun tidak mampu membayar biaya penyeberangan. Lagi pula, menyeberang pun dia
hendak pergi ke manakah"
Berpikir demikian, Liu Cin lalu menyusuri pantai sungai itu menuju ke kiri, ke arah Barat. Akan tetapi baru beberapa li (mil) dia berjalan, kakinya sudah tidak kuat


Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melangkah lagi dan dia pun menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon,
merebahkan badan di atas rumput tebal tian tertidur saking lelahnya.
Liu Cin tertidur setengah pingsan sampai lama dan ketika akhirnya dia terbangun,
dia melihat kegelapan menyelimutinya sehingga sejenak dia menjadi panik. Digosokgosoknya kedua matanya yang tidak dapat melihat apa-apa, dengan hati takut dia
mengira bahwa kedua matanya telah menjadi buta! Akan tetapi ketika dia
mengarahkan pandang matanya ke atas, dia melihat bintang-bintang bertaburan di
langit, maka tahulah dia bahwa hari telah menjadi malam. Hatinya merasa lega. Dia tidak buta, dan ternyata dia telah tertidur sampai malam.
Kesunyian malam yang di si musik lembut dari bunyi jengkerik dan belalang,
membuat suasana menjadi seram. Dia teringat akan dongeng tentang setan dan
hantu, maka Lui Cin mulai menggigil. Kemudian dia menyadari bahwa dia menggigil
bukan hanya karena rasa takut melainkan karena hawa malam yang amat dingin. Dia
pun teringat akan binatang binatang malam yang buas. Siapa tahu di tempat sunyi
ini terdapat binatang buas. Teringat akan ini, Liu Cin lalu memanjat pohon besar itu dan duduk di atas cabang, tinggi diatas pohon. Dia tidak boleh tidur, dia akan
bergadang semalam suntuk karena kalau dia tertidur, ada bahayanya dia akan
terjatuh. Dia duduk di antara ranting dan cabang, daun-daun pohon itu dan semakin larut malam hawanya semakin dingin. Rasa takut semakin mencengkeram hati Liu
Cin sehingga dia menggigil dan merangkul batang yang menjulang di depannya
seolah mencari perlindungan.
Teringat akan semua cerita yang pernah didengarnya tentang hantu-hantu
mendatangkan perasaan ngeri dan takut dan orang yang ketakutan selalu
membayangkan hal-hal menyeramkan yang belum terjadi. Pendengaran yang
terpengaruh rasa takut membuat apa pun yang didengarnya menjadi seram
bunyinya. Bunyi binatang malam yang tadinya terdengar merdu dan lembut, kini
berubah Menjadi seperti suara iblis menjerit-jerit. suara gemersik air terdengar
seperti para setan dan hantu sedang bercakap-cakap dan berbisik-bisik,
membicarakan dirinya! Juga pandang mata terpengaruh, bayangan-bayangan kini
membentuk gambaran-gambaran mengerikan, seperti gambaran, hantu-hantu,
apalagi karena bayangan itu bergerak-gerak oleh angin, bahaya yang datang dari
binatang-binatang hanya remang-remang sehingga segala sesuatu tampak
menakutkan, Bahkan erasaan badan juga terpengaruh rasa takut. Ketika ada
beberapa ekor semut merayap ke kakinya, Liu Cin hampir menjerit dan menepuknepuk kaki itu, sama sekali tidak ingat akan semut karena dia membayangkan bahwa
itu adalah jari-jari hantu yang menggerayangi kakinya.
"Losuhu........!" Dia mengeluh. Dahulu, kalau dia merasa sedih dan bingung, hati dan mulutnya selalu mengeluh dan menyebut nama ayah ibunya yang sudah tiada. Akan
tetapi sekarang tiba-tiba di teringat akan hwesio yang pernah menolongnya itu dan otomatis mulutny menyebut hwesio itu.
Tiba-tiba telinganya mendengar bunyi berdesir kuat dan matanya melihat bayangan
putih-putih melayang dari pohon di depan ke arah pohon di mana di berada!
Bayangan putih itu kemudian hinggap di atas ujung cabang, hanya sekitar dua
tombak jauhnya. Cabang itu bergoyang-goyang sehingga tubuhnya pun ikut
bergoyang. Liu Cin ketakutan setengah mati dan dia merangkul kuat kuat cabang di
depannya agar jangan jatuh karena pingsan. Kemudian terdengar suara dari arah
bayangan putih itu. "Liu Cin...........!" Suara itu memanggil dan suaranya terdengar demikian menyeramkan, bukan seperti suara manusiai demikian parau, dalam, dan
mendatangkan hawa dingin.
"Liu Cin, jadilah muridku dan engkau akan menjadi Hantu yang sakti, tidak adalagi yang mengganggumu, bahkan engkau boleh mencuri apa saja yang kau sukai, boleh
membunuh dan menyiksa siapa saja yang kau benci. Engkau akan hidup senang!
Hayo, katakan bahwa engkau mau menjadi muridku, ha-ha-ha !"
Setan, dia setan, pikir Liu Cin yang hampir pingsan saking takutnya. Dia Raja setan!
Akan tetapi dia tidak mau mencuri, apalagi membunuh. Dia tidak mau menjadi
hantu yang menakutkan orang. dia tidak berani menjawab, hanya mengelengkan
kepalanya kuat-kuat! Dengan mata terbelalak Liu Cin melihat betapa tiba-tiba bayangan putih itu
melayang dan terdengar suara tawanya yang menyeramkan. Bayangkan itu hinggap
di puncak pohon dan terdengar lagi uaranya
. "Liu Cin, besok pagi engkau turunlah dari sini, berlututlah di depan pohon ini sebagai muridku! Engkau akan kuberi banyak emas dan juga kesaktian. Kalau engkau tidak
mau melakukannya, kau akan kubunuh!" Kemudian terdengar lagi suara tawa dan
bayangan itu berkelebat lenyap.
Liu Cin semakin ketakutan. Apalagi mengingat bahwa kalau besok dia tidak mau
berlutut pada pohon ini mengaku murid, dia akan dibunuh! Berlutut pada pohon ini"
Kalau begitu, yang muncul tadi tentulah Hantu Pohon ini! Ingin sekali dia turun dari pohon dan melarikan diri, akan tetapi saking takutnya kedua kakinya terasa lumpuh dan tak dapat digerakkan.
"Losuhu............. Losuhu, tolonglah saya. ......... Liu Cin merintih perlahan. Setelah dia beberapa kali menyebut hwesio penolongnya itu, degup jantungnya agak tenang
dan dia dapat menggerakkan kaki tangannya. Dengan hati-hati dan perlan-lahan
seolah-olah takut kalau kalau Hantu Pohon terbangun dan melihat niatnya
melarikan diri, dia mulai menuruni pohon itu. Akhirnya dia dapat turun dan berdiri di atas tanah. Lalu, tanpa menoleh lagi dia segera lari sekuatnya.
Akan tetapi baru beberapa langkai dia lari, tiba-tiba berkelebat bayangar putih yang menghadang di depannya dan suara yang menyeramkan itu memanggil. "Liu
Cin........!" Saking kaget dan takutnya karena dia yakin bahwa itu tentulah Setan Penjaga Pohon yang menghadangnya, Liu Cin jatuh terjerembab di atas tanah, menelungkup,
menyembunyikan mukanya di antara rumput-rumput dan tubuhnya menggigil,
mulutnya tanpa disadarinya berseru, "Losuhu, tolooonggggg......!" Dan dia pun pingsan!
Ceng In Hosiang yang gemuk pendek itu tertawa senang. Dia menghampiri,
membungkuk lalu mengangkat tubuh Liu Cin yang pingsan, memanggulnya dan dia
lari dengan cepatnya. "Ha-ha-ha, anak baik! Muridku yang baik............!"
Sejak saat itu, Liu Cin menjadi murid Ceng In Hosiang yang semalam sengaja menguji anak itu. Ternyata Liu Cin tidak terpikat oleh harta dan kesaktian dari iblis yang harus dia gunakan untuk melakukan kejahatan. Pada dasarnya, anak itu memiliki
bakat dan watak yang baik.
ooOOoo Lima tahun cepat sekali lewat sejak Si Han Lin menjadi murid Thai Kek Siansu di
Puncak Cemara, sebuah di antara puncak-puncak di Pegunungan Cin-ling san. Waktu
memang akan melesat bagaikan tatit kalau tidak diperhatikan. Juga Sang Waktu
amat perkasa, segala sesu dilahapnya .sehingga akhirnya semua a' tunduk dan
menyerah kalah. Selama lima tahun, Si Han Lin y dulu berusia sepuluh tahun ketika diba Thai Kek
Siansu, telah menerima pendidikan yang dipelajari dan dilatih! dengan tekun. Anak ini memang cerdas dan tahu diri, rajin sekali sehingga gurunya merasa senang. Dia mendapat latihan dasar-dasar ilmu silat. Juga Thai Siansu mengajarkan ilmu sastra sehingga Han Lin bukan saja pandai membaca menulis, bahkan dia dapat membaca
kitab-kitab kuno, filsafat-filsafat para arif bijaksana di jaman dahulu, bahkan pandai pula menuliskan huruf indah dan merangkai kata-kata menjadi sajak.
Setelah kini hidup terbebas dari tekanan-tekanan, muncul ah watak aseli Han Lin,
yaitu watak yang gembira dan suka humor, lincah jenaka. Hal ini tidak dilarang oleh Thai Kek Siansu karena kakek itu selalu mengingatkan muridnya bahwa hidup ini
merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kasih. Anugerah itu haruslah dinikmati
dan disyukuri, bukan hanya di mulut dan dalam pikiran, namun kalau orang merasa
bersyukur dan bahagia, sudah tentu hal itu mendatangkan kegembiraan dan gairah
hidup. Kegembiraan dan gairah hidup inilah yang membuat seseorang, terutama
yang masih muda, menjadi lincah jenaka dan suka bercanda. Segala sesuatu atau
segala peristiwa diterima dengan hati yang selalu bersyukur dan memuji keagungan dan
kemurahan Tuhan, dipandang dari sudut yang selalu cerah.
Setelah kini berusia lima belas tahun, mulailah Thai Kek Siansu bicara tentang
kehidupan, membuka mata batin muridnya agar melihat kenyataan-kenyataan
dalam hidup. Han Lin juga mulai mengajukan banyak pertanyaan akan hal-hal yang
terjadi dalam kehidupan kepada gurunya. Karena dia sering turun gunung untuk
menjual hasil tanaman rempah-rempah bahan obat yang mereka tanam di puncak,
kemudian pendapatan penjualan itu dibelikan segala kebutuhan hiduf mereka,
bahan makanan dan pakaian maka Han Lin mendapat banyak kesempatan untuk
melihat kehidupan manusia di dusun-dusun yang terdapat di kaki Pegunungan Cinling-san. Pada suatu pagi, Han Lin berlatil silat tangan kosong di dalam taman di belakang
pondok. Setelah dia berada di puncak sebagai murid Thai Kek Siansu anak ini
membantu gurunya menanan sayur mayur dan rempah-rempah bahan obat, juga
dia membuat sebuah taman bunga. Dengan gerakan yang lembut dari indah Han Lin
berlatih silat. Dia hanys mengenakan celana tanpa baju. Tubuhnya yang tegap
walaupun kurus tampak berkilau oleh keringat karena dia telah berlatih silat sejak fajar menyingsing tadi.
Setiap kali berlatih silat, Han Lin selalu ingat akan ucapan gurunya tentang Ilmu silat.
"Ilmu silat adalah perpaduan antara keindahan dan kesehatan. Keindahan seni tari, keindahan gerak seni bela diri, kesehatan jasmani dan kesehatan rohani. Tanpa
adanya empat unsur itu, Ilmu silat akan menjadi buruk, kasar dan condong
mengarah perbuatan jahat dan sesat."
Han Lin selalu teringat akan ucapan mi, maka kalau dia berlatih ilmu silat, ke empat unsur itu seolah menyatu dalam dirinya. Dia selalu bergerak dengan lembut dan
indah namun di balik keindahan itu terdapat pertahanan atau perlindungan diri yang kuat. Tubuhnya terasa segar dan sehat, dan jiwanya tenang tenteram penuh damai
karena pikiran atau lengkapnya, hati akal pikirannya bagaikan air telaga yang dalam, diam tidak terdapat banyak keriput yang dapat menimbulkan gelombang.
Tiba-tiba terdengar bunyi pekik burung rajawali. Han Lin menghentikan latihannya
dan sambil menengadah memandang burung raksasa itu melayang turun, dia
berseru. "Tiauw-ko (Kakak Rajawali)! Turunlah, mari kita berlatih sebentar!"
Burung rajawali itu menukik tu dan hinggap di depan Han Lin. Han Lin telah menjadi seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun yang bertubuh tegap dan
berwajah tampan dan manis. Kulitnya agak gelap karena dia banyak bekerja di
ladang dan tempat terbuka setiap hari mandi cahaya matahari.
Burung rajawali itu adalah seekor burung yang langka, amat besar dan memiliki
kekuatan yang hebat. Seekor harimau pun tidak berdaya melawannya. Kedua
kakinya memiliki cakar yang tajam melengkung runcing seperti baja, juga paruhnya
amat kuat, mampu beradu dengan senjata terbuat dari baja yang ampuh tanpa
menjadi rusak. Kedua macam senjata ini masih ditambah denga kibasan kedua
sayapnya yang amat kuat dan mampu meremukkan batu gunung. Selain itu,
gerakannya juga amat cepat apalagi karena dia memiliki sayap yang kuat sehingga
dia mampu berkelebat seperti seekor burung kecil yang gesit.
Mendengar ajakan Han Lin, rajawali itu lalu mengembangkan sepasang sayapnya,
menegakkan kepalanya seolah-olah dia sudah siap memasang kuda-kuda untuk
melayani Han Lin berlatih dan bertanding!
Han Lin tertawa. "Ha-ha, Tiauw-ko, engkau sekarang menjadi sombong, ya" Aku
memang selalu kalah kalau latihan bertanding denganmu dan agaknya engkau mulai
sombong dan memandang ringan padaku! Akan tetapi hati-hati kau sekali ni, Tiauwko. Aku mungkin dapat mengalahkanmu!"
Rajawali itu menggelengkan kepalanya seolah tidak percaya dan dia mengeluarkan
suara lirih yang nadanya seperti mentertawakan Han Lin. Memang sejak kecil Han
Lin selalu bermain-main dengan rajawali itu, setelah dia mulai kuat, dia pun berlatih silat melawannya. Akan tetapi dia selalu kalah. Rajawali itu amat sayang kepadanya, maka belum pernah melukainya dan kalau mengalahkannya, hanya membuat Han
Lin jatuh bangun! Melihat sikap burung itu, kembali Han Lin tertawa. Dia sudah mulai dapat
mempelajari dan mengenal cara buru itu menyerang dan menjatuhkannya. Dan
mencatat semua itu dan makin lama-makin dapat memperpanjang waktu
pertandingan sebelum akhirnya dia dikalakan.
"Nah, awas sambut seranganku ini!" katanya dan dia mulai menyerang dengan
pukulan tangan kiri ke arah pangkal leher rajawali, disusul dorongan tangan kanan ke arah dada. Rajawali itu miringkan tubuhnya sehingga pukulan ke arah lehernya
luput dan sayap kirinya menangkis dorongan tangan kanan Han Lin.
"Bukkk!" Han Lin terpental akan tetapi dengan memutar tubuh dia mematahkan tenaga dorongan tangkisan sayap yang kuat itu dan tiba-tiba kakinya menendang,
susul menyusul dengan kedua kakinya. Kini rajawali itu menangkis dan mengelak
sambil mundur karena serangan Han Lin datang bertubi-tubi. Burung itu mencoba
untuk balas menyerang dengan totokan paruhnya dan kibasan kedua sayapnya.
Akan tetapi dengan amat gesit Han Lin melangkah berputar-putar dengan gerakan
langkah Jiauw-pouw-poai sin sehingga dia selalu dapat mengelelak dan membalas
dengan serangan gencar! Pertandingan berlangsung dengan hebatnya. Makin lama, gerakan mereka semakin
cepat dan kini hawa pukul atau serangan mereka mendatangkan angin yang
membuat pohon-pohon dekat situ seperti dilanda angin ribut.
"Ha-ha, Tiauw-ko, sekali ini engkau kalah!" Han Lin mendesak terus. Akan tetapi tiba-tiba burung itu mengeluarkan suara lalu tubuhnya melayang ke atas dan dari
atas dia mulai menyerang Han Lin!
Han Lin melawan sekuat kemampuannya. Akan tetapi sekarang keadaannya
berbalik. Han Lin mulai terdesak karena kalau dia hanya menggunakan empat
senjata, yaitu sepasang tangan dan sepasang kakinya, rajawali itu menggunakan lima senjata, yaitu, sepasang cakar, sepasang sayap, dan sebuah paruhnya! Repotlah Han Lin harus menghadapi serangan bertubi-tubi dari atas itu dan lebih payah lagi, kini dia sama sekali tidak dapat memanfaatkan kedua kakinya untuk menyerang karena
rajawali itu berada di atasnya. Terpaksa dia hanya mengelak dan menangkis saja dan akhirnya, sebuah kebutan sayap mengenai pundaknya, membuat dia terpelanting
dan ter guling-guling! "Ark! Ark! Rajawali itu bersuara di turun hinggap di dekat Han Lin, mengunakan kepalanya untuk membantu pemuda itu bangkit berdiri. Han Lin bermandikan
keringatnya, akan tetapi dtt tersenyum dan merangkul leher rajawali itu.
"Baiklah, aku mengaku kalah, Tiauw-ko, akan tetapi lain kali engkau berhati-hatilah terhadapku!"
Tiba-tiba rajawali itu mendekam dan mengangguk-anggukkan kepala ke suatu arah.
Maklumlah Han Lin bahwa itu pertanda bahwa gurunya sudah muncul. Memang
rajawali memiliki penglihatan dan pendengaran yang amat peka sehingg dapat
mengetahui lebih dulu akan kedatangan Thai Kek Siansu.
Han Lin membalikkan tubuhnya lalu memberi hormat dengan berlutut. "Suhu.........."
"Bangkitlah.dan mari duduk di bangku itu, Han Lin." kata Thai Kek Siansu. Han lin bangkit, lalu mengenakan bajunya dan mendahului suhunya menghampiri bangku
dan dibersihkannya bangku itu dengan sapu tangannya sebelum gurunya duduk.
Setelah mereka duduk di sebuah bangku panjang, Thai Kek Siansu mengamati
muridnya dan dia berkata lembut.
"Han Lin, apakah yang ingin kau tanyakan pagi ini?"
"Banyak, Suhu. Akan tetapi teecu (murid) mohon Suhu suka menjelaskan, mengapa sejak kecil teecu dibiasakan untuk mengajukan pertanyaan kepada Suhu setiap
seminggu sekali?" "Karena orang mempelajari kehidupan hanya dengan bertanya, Han Lin. Kita harus selalu waspada dan peka akan lingkungan kita, dan kita harus selalu
mempertanyakan dan menyelidiki segala hal yang belum kita mengerti benar. Hanya
dengan kewaspadaan dan pertanyaan, penyelidikan, kita akan menjadi mengerti
akan makna kehidupan ini. Siapa suka bertanya, dia akan bertambah pengertian.
Yang tidak mau bertanya hanya orang yang sombong dan merasa pintar sendiri yang
begitu sudah pasti tidak akan mendapatkan kemajuan dalam kewaspadaa nya. Nah,
sekarang, apa yang ingin kau tanyakan" Engkau sekarang sudah mulai dewasa, tentu
pertanyaanmu juga lebih dewasa lagi."
"Suhu, ketika teecu memperhatikan kehidupan orang-orang di dusun dan kota teecu melihat betapa banyaknya orang yang menderita kesengsaraan. Banyak wajah yang
tampak keruh, di mana-mana orang mengeluh tentang hidupnya yang tidak bahagia.
Kebanyakan orang diliputi perasaan hidupnya dan juga khawatir, bahkan ada yang
takut menghadapi kehidupan. Mengapa demikian, Suhu" Teecu sudah terbiasa
selalu merasa bahagia gembira seperti yang Suhu maksudkan bahwa hidup
merupakan anugerah Tuhan yang patut dinikmati dan disyukuri. Maka, melihat
keadaan para penduduk dusun, terutama yang di kota teecu merasa heran dan juga
kasihan." "Han Lin, segala macam perasaan itu sesungguhnya muncul dari pikiran manusia sendiri. Hati akal pikiran mencintakan aku yang sesungguhnya hanya mengaku-aku
dan permainan pikiran yang dikuasai nafsu, sehingga segala sesuatu berputar di
sekitar si-aku itu. Kalau pikiran mengenang apa yang telah terjadi, yang merugikan aku, muncul ah luka karena merasa iba diri, merasa betapa aku yang paling
sengsara. Kalau hati akal pikiran membayangkan masa depan, membayangkan
sesuatu yang belum terjadi, sesuatu yang tidak enak yang mungkin akan
menimpaku, maka muncul ah perasaan khawatir dan takut. Takut kalau-kalau aku
terganggu, dirugikan atau disakiti. Kalau orang dapat menerima apa pun yang terjadi seperti apa adanya, tanpa ada penilaian dari si-aku yang selalu menilai apakah hal itu menguntungkan atau merugikan diri sendiri, maka tidak akan ada perasaan yang
dipengaruhi kepentingan si-aku yang selalu ingin benar sendiri, menang sendiri,
enak sendiri." "Lalu, bagaimana sebaiknya, Suhu?" "
"Hidup adalah saat ini, saat demi saat, yang lalu tidak perlu di ngat ingat sehingga mengganggu perasaan, yang belum terjadi juga tidak ada gunanya dibayangkan.
Saat inilah hidup kita, yang penting saat ini harus benar, kalau sasuai demi saat kita tidak menyimpang dan kebenaran, maka akhirnya pun pasti benar. Seperti pernah
kubicarakan denganmu, Han Lin, kebenaran sejati hanya datang dengan sendirinya
sebagai buah Kasih yang telah menyelimuti diri. Memikiran hal lalu dan masa
mendatangi hanya memperkuat si-aku dan nafsu yang mengaku-aku itu akan
merupakan lawan yang dapat menutupi Sinar Kasih."
"Kalau kita hanya menerima apa adanya, hanya pasrah kepada Tuhan, berarti kita malas dan tidak melakukan apa-apa, Suhu?"
"Tentu saja kalau ada yang berpendapat demikian, itu merupakan suatu kebodohan.
Kemalasan merupakan dosa! Tuhan telah memberi semua perlengkapan, kaki
tangan akal budi dan semua sarana untuk hidup, tentu saja harus dikerjakan semua
itu! Tuhan telah megaruniakan tanah, air, hawa, sinar matahari, bibit padi, semua itu tidak dapat dibuat manusia dan sudah disediakan begitu saja, akan tetapi semua itu tidak akan menghasilkan makanan kalau tidak dipadukan dengan usaha kita untuk
mengerjakannya. Usaha atau ikhtiar itu merupakan kewajiban kita, untuk
menggunakan semua perlengkapan itu guna memenuhi kebutuhan hidup. Akan
tetapi ikhtiar tidak menjamin keberhasilan. Kita harus berikhtiar sekuat kemampuan kita, itu kewajiban hidup, namun harus pula dilandasi kepasrahan kepada Tuhan
karena hanya Kekuasaan Tuhan yang menentukan dan mengatur segala sesuatu di
alam maya pada ini."
Demikianlah, setelah menjadi seorang pemuda remaja, Han Lin yang oleh Thai Kek
Siansu setiap minggu diharuskan mengajukan pertanyaann tentang hidup dan isi
kehidupan, kini mulai mengajukan pertanyaan yang lebih berat dan berisi. Ketika
masih kanak-kanak dulu, pertanyaannya pun sudah menuju kearah hal hal yang
dilihatnya di dunia ini dan yang tidak dimengertinya. Misalnya tentang segala
tumbuh-tumbuhan dan binatang dari mana datangnya dan siapa pembuatnya.
Tentang angin, tentang awan, siapa yang mengatur semua itu. Hal-hal seperti ini
dulu sebelum dia bertemu dengan Thai Kek Siansu, tidak pernah dia pikirkan, apalagi dia bicarakan dengan orang lain. Sejak kecil itu, mulailah dia dituntun oleh Thai Kek Siansu untuk menyadari akan keagungan dan kebesaran Tuhan, akan kekuasaan-Nya
yang tidak terbatas. Juga akan kemampuan manusia yang amat terbatas, bahwa
tanpa anugerah Tuhan, manusia sesungguhnya tidak dapat melakukan apa pun.
Tiba-tiba rajawali yang masih mendekam tak jauh dari situ sejak tadi, seolah-olah mengerti apa yang sedang dibicarakan, bangkit berdiri dan mengeluarka suara
seperti berkokok. Agaknya kepekacapannya yang luar biasa membuat dia dapat
merasakan adanya sesuatu yang tidak wajar. Banyak binatang yang tidak mampu
mempergunakan hati akal pikiran memiliki indera lain yang dapat merasakan apabila ada hantu datang. Misalnya anjing yang melolong di malam hari tanpa sebab
tertentu, atau ayam-ayam yang ribut berkokok bersahut-sahutan tanpa sebab
tertentu. Mereka itu merasakan danya sesuatu yang tidak wajar, yang tidak dapat
dirasakan manusia biasa. Melihat sikap rajawali, Thai Kek Siansu terdiam dan memejamkan matanya. Dia
adalah seorang manusia yang jiwanya telah terbuka, tidak lagi tertutup nafsu daya rendah sehingga kepekaan yang bagi orang lain sudah tertutup hawa nafsu, telah
kembali dimilikinya. Setiap orang manusia, sejak dilahirkan telah disertai kepekaan seperti pada mahluk lain, dan ini dapat dibuktikan pada diri anak-anak kecil yang kepekaannya masih belum tertutup hawa nafsu. Anak-anak bayi dapat merasakan
apabila terjadi sesuatu yang tidak wajar, tidak sebagaimana mestinya, apalagi yang membahayakannya. Bahkan dia dapat merasakan kasih sayang atau pun kebencian
orang kepadanya. Akan tetapi makin besar, kepekaan itu semakin pudar dan
menghilang, yang sebenarnya bukan menghilang, melainkan tertutup oleh nafsunafsu daya rendah yang mulai mempengaruhi dan menguasai dirinya.
Tiba-tiba ada angin bertiup menggoyang pohon-pohon dan Han Lin melihat betapa
Thai Kek Siansu bangkit dari duduknya lalu berlutut menghadap ke timur sambil


Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberi hormat. "Susiok (Paman Guru), selamat datang!"
Han Lin yang selalu menganggap gurunya sebagai panutan, melihat gurunya
berlutut, cepat ikut berlutut pula di belakang gurunya. Dia tidak melihat adanya
orang akan tetapi mendengar ucapan gurunya dia tahu bahwa tentu gurunya
memberi hormat kepada seorang yang menjadi paman guru dari Thai Kek Siansu.
Angin datang bertiup semakin kuat dan tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan orang dan 'tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek yang tubuhnya dilibat-libat kain putih. Kakek itu bertubuh tinggi kurus, lebih tinggi daripada Thai Kek Siansu,
pakaiannya seperti yang dipakai Thai Kek Siansu. Melihat rambut, kumis dan jenggot panjangnya semua sudah putih, dapat diduga bahwa kakek itu tentu sudah tua
sekali, sedikitnya delapan puluh tahun usianya. Sinar matanya tajam, kulitnya putih halus akan tetapi pada saat itu, sinar mata itu mengandung kemarahan dan kulit di antara dua alisnya berkerut, menandakan bahwa kakek tua renta itu sedang marah.
Kakek itu memandang kepada Thai Kek Siansu, lalu kepada Han Lin.
"Thai Kek Siansu, siapakah pemuda remaja ini?" terdengar suaranya bertanya.
"Su-siok, dia adalah Si Han Lin, murid tunggal teecu." jawab Thai Kek Siansu dengan lembut dan tenang. Kemudian dia menoleh kepada Han Lin. "Han Lin, beri hormat kepada Susiok-couw (Paman Kakek Guru) Thian Beng Siansu."
Han Lin segera memberi hormat sambil berlutut. "Susiok-couw, teecu Si Han Lin menghaturkan hormat."
Akan tetapi dengan suara mengandung kemarahan kakek itu berkata. "Thai Kek,
engkau tahu bahwa aku tidak pernah mempunyai murid dan tidak pernah mengakui
cucu murid! Akan tetapi engkau telah melanggar sumpah mendiang Suheng (Kakak
Seperguruan) Thian Gi Siansu Engkau telah mengambil murid, larangan utama yang
telah kau langgar. Agaknya engkau mencontoh perbuatan mendiang gurumu yang
tidak benar. Maka, sekarang engkau harus mencontoh pula pertanggungan
jawabnya menebus kesalahan itu dengan membunuh diri! Aku hanya datang
menjadi saksi pelaksanaan peraturan yang menjadi wasiat Keluarga Kok. Nah,
lakukanlah penebusan dosa itu!"
Dengan sikap tenang Thai Kek Siansu berkata "Maafkan teecu. Susiok. terpaksa teecu tidak dapat melakukan perbuatan bunuh diri. Teecu tidak berani karena hal itu merupakan dosa besar."
"Siancai............!" Kakek tua renta itu berseru. "Engkau berani mengatakan bahwa bunuh diri itu dosa" Bukankah gurumu juga membunuh diri untuk menebus
kesalahannya itu?" "Suhu telah melakukan bunuh diri dan itu adalah suatu dosa besar, Susiok. Sayang ketika hal itu terjadi, teecu tidak berada di sana. Kalau teecu ada, sudah pasti teecu akan mencegahnya."
"Murid durhaka! Kau bilang memenuhi sumpah Keluarga Kok itu berdosa" Apakah
melanggar larangan menerima murid yang menjadi peraturan Keluarga Kok itu
bukan dosa yang lebih hebat lagi?"
"Maaf, Susiok. Menurut teecu, peraturan larangan menerima murid itu memang
tidak tepat, maka teecu juga tidak menyalahkan bahwa mendiang Suhu telah
menerima murid. Hanya teecu menyesal mengapa Suhu begitu patuh kepada
peraturan yang keliru itu sehingga melakukan dosa besar dengan membunuh diri."
"Murid murtad! Berani engkau mencela peraturan Keluarga Kok yang suci?" setelah membentak demikian, kakek tua renta itu mendorong dengan tangan kirinya. Dari
telapak tangannya itu mencuat sinar putih menghantam tubuh Thai Kek Siansu dan
tubuh Thai Kek Siansu terlempar dan jatuh terguling-guling!
Melihat ini, Han Lin meloncat menghadang karena kakek tua renta itu melangkah
dan mengejar Thai Kek Sians agaknya hendak menyerang lagi.
"Suslokcouw! Jangan pukul Suhu!!"
Melihat pemuda remaja itu menghadangnya, Thian Beng Siansu mengibaskan ujung
kain pembalut tubuhnya sambil berseru.
"Minggir kau.........!"
Angin yang amat kuat menyambar ka arah Han Lin ketika ujung kain itu di kebutkan
dan biarpun Han Lin sudah siap, mengerahkan tenaga dan bahkan mencoba untuk
mengelak dengan melompat ke samping, tetap saja tubuhnya disambar angin kuat
dan dia pun terlempar dan terbanting jatuh sejauh tiga tombak!
Terdengar bunyi melengking dan burung rajawali itu agaknya marah melihat Thai
Kek Siansu dan Han Lin diserang kakek tua renta. Dia sudah menggerakkan sepasang
sayapnya, terbang meluncur dan menyerang Thai Beng Siansu! Akan tetapi kakek
tua renta itu kembali menggerakkan ujung kain putih itu dan angin yang kuat
menyambar dari samping. "Wuuuttttt.......... bresssss........ !" Tubuh raawali yang besar itu pun terlempar dan terbanting jatuh!
Han Lin dan rajawali itu bangkit lagi dan siap menyerang kakek tua renta yang
agaknya akan menghampiri Thai Kek Siansu.
"Tiauw-cu! Han Lin! Jangan kurang ajar, hentikan gerakan kalian!" Thai Kek Siansu yang sudah bangkit duduk bersila itu berseru, kemudian dia berkata kepada Thian
Beng Siansu. "Susiok, maafkan mereka berdua yang hanya ingin membela teecu."
"Hemmm, aku tidak mau melukai siapa pun. Akan tetapi engkau harus menebus
dosa dan membunuh diri, Thai Kek!"
"Teecu tetap tidak berani melakukan itu, Susiok, karena hal itu merupakan dosa yang besar sekali terhadap Tuhan! Hidup mati teecu berada di tangan Tuhan,
siapapun tidak berhak mengakhiri! hidup setiap orang yang menjadi wewenang Dia
yang memberi hidup!"
"Murid murtad, kalau engkau tidak mau membunuh diri untuk menebus dosamu,
terpaksa aku akan membinasakanmu Untuk memenuhi sumpah Keluarga Kok yang
besar!" Setelah berkata demikian, dia melangkah menghampiri Thai Kek Siansu yang masih duduk bersila. Thai Kek Siansu yang duduk bersila itu meundukkan muka dan
memejamkan mata, pasrah sepenuhnya kepada Tuhan untuk menerima apa yang
akan terjadi dengan dirinya.
Setelah berdiri dekat Thai Kek Siansu, kakek tua renta itu menggerakkan tangan
kirinya, menampar ke arah kepala Thai Kek Siansu. Tangan kiri itu memancarkan
cahaya kilat yang menyambar ke arah kepala yang menunduk itu.
"Syuuuttt........... tarrr!" Kilat itu menyambar ke arah kepala Thai Kek Siansu yang menunduk, akan tetapi setelah tinggal kurang dari sejengkal sinar itu terpental!
Thai Kek Siansu masih tetap menundukkan muka dengan mata terpejam, seolah
tidak tahu bahwa dirinya diserang dengan pukulan maut tadi. Kakek tua renta itu
terkejut dan matan terbelalak heran, seolah tidak percaya. Dia lalu menyembah
dengan kedua tangan umtuk menghimpun tenaga dalan sepasang tangannya,
kemudian dia menghantamkan kedua tangan itu dari kanan kiri ke arah kepala Thai
Kek Siansu. "Wuuuuutttt ......... blarrrrr !" Kembali dua sinar kilat yang menyambar da kedua telapak tangan Thian Beng Siansu ke arah kepala Thai Kek Siansu, setelah dekat
sekali dengan kepala itu, terpental keras sehingga tubuh kakek tua renta itu ikut terdorong ke belakang. Dia terkejut bukan main akan tetapi sebagai seorang yang
memiliki tingkat ilmu yang sudah amat tinggi, dia tahu benar bahwa dia tidak akan mampu membinasakan keponakan muridnya ini. Dia tidak perlu mencoba lagi.
Mukanya menjadi pucat lalu berubah merah sekali.
"Thai Kek! Murid durhaka dan sesat! Ternyata engkau telah demikian jauh tersesat sehingga engkau telah mempelajari ilmu sesat dari Iblis!"
Thai Kek Siansu membuka kedua matanya dan dia bangkit berdiri, menjura dengan
membungkuk dan mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat
kepada Thian Beng Siansu, lalu menjawab dengan lembut. "Su-siok, ilmu sesat yang dari Iblis adalah ilmu yang digunakan untuk mencelakai orang lain. Ilmu yang bekerja untuk melindungi diri dan orang lain dari bencana dan kejahatan adalah ilmu dari
Tuhan Yang Maha Kuasa."
Han Lin yang sejak tadi merasa penasaran akan sikap dan tindakan kakek tua renta
yang dia anggap tidak pantas dan keterlaluan, juga kejam itu, tak dapat menahan
dirinya lagi. Apalagi melihat gurunya tadi diserang.
"Lo-cian-pwe, saya tidak mau menyebutmu Susiok-couw karena engkau melarang
adanya murid. Tidak ada murid berarti tidak ada guru dan tidak ada pula paman
kakek guru. Saya melihat hal yang aneh sekali dalam peraturan hukum yang
diadakan nenek moyang gurumu, yaitu Keluarga Kok seperti yang kau katakan tadi!
Lucu, aneh dan tidak masuk diakal, juga tidak adil dan diadakan seenak perutnya
sendiri!" Thai Kek Siansu mengangkat alis mendengar ucapan muridnya itu, akan tetapi dia
tahu benar bahwa Han Li bukan bicara sekedar untuk bersikap kurang ajar. Anak itu cerdik sekali, maka tentu dia mempunyai alasan yang kuat untuk berkata seperti itu.
Dan dia pun yakin bahwa seorang yang memiliki tingkat kepandaian setinggi
susioknya, yang melebihi tingkat para datuk, pasti malu dan tidak mau merendahkan martabat untuk membunuh seorang pemuda remaja. Maka dia pun hanya
tersenyum saja. "Huh, Thai Kek, engkau juga memungut seorang bocah jahat untuk menjadi
muridmu! Anak muda tak sopan, mengapa engkau mengatakan ucapan jahat itu?"
"Saya tidak bicara sembarangan atau hendak bersikap kurang ajar dan jahat, Locianpwe! Coba saja engkau renungkan. Keluarga Kok yang mulia dan terhormat itu
melarang dan menyalahkan Suhu yang menerima murid, bahkan katanya tadi Sukong (Kakek Guru) telah dipaksa bunuh diri ketika menerima Suhu sebagai murid.
Akan tetapi, kenapa mereka sendiri mempunyai murid" Buktinya, nah, sekarang ada
Locian-pwe dan ada Suhu, bukankah kalian berdua ini juga keturunan murid
Keluarga Kok" Kalau begitu, seharusnya Keluarga Kok itu membunuh diri sendiri. Ini baru adil! Karena kalau mereka tidak pernah menerima murid, tentu tidak ada pula
Suhu yang menerima saya sebagai murid. Coba Lo-cian-pwe pikir baik-baik, apakah
saya ini bicara ngawur dan tidak sopan?"
Mendengar ucapan pemuda remaja dengan suara lantang dan fasih itu, Thian Beng
Siansu tertegun dan tidak mampu menjawab. Sejak dulu, dia hanya menaati
peraturan hukum Keluarga Kok itu tanpa berpikir atau mempertimbangkan lagi,
percaya dengan membuta begitu saja.
"Han Lin, diamlah dan jangan bersikap seperti itu terhadap Susiok!" kata Thai Kek Siansu dan Han Lin cepat memberi hormat kepada suhunya.
"Baik, dan maafkan teecu, Suhu."
Thai Kek Siansu berkata kepada Thia Beng Siansu dengan sikap hormat dai suara
lembut. "Susiok, semula teecu memang tidak pernah mempunyai pikiran menerima murid walaupun kematian mendiang Suhu karena bunuh diri itu masih membuat
hati ini merasa penasaran. Kemudian mengingat bahwa teecu semakin tua, teecu
pikir akan sia-sia belaka selama puluhan tahun teecu mempelajari semua ilmu kalau tidak dipergunakan untuk membela kebenaran dan keadilan. Karena teecu sendiri
tidak ingin mencampuri urusan., manusia di dunia yang semakin kacau, maka teecu
pikir sebaiknya teecu wariskan semua yang telah teecu pelajari kepada seseorang
agar murid itu kelak dapat memanfaatkan semua ilmu itu. Dengan demikian maka
kelak nama Keluarga Kok juga akan terangkat karena ilmu dari mereka telah
bermanfaat bagi manusia di dunia. Itulah sebabnya teecu lalu mengambil Si Han Lin ini sebagai murid tunggal."
Thian Beng Siansu maklum bahwa kalau dia bersitegang, dia hanya akan membuat
dirinya mendapat malu. Menggunakan kekerasan tidak mampu melukai murid
keponakannya, dan berdebat kata-kata pun agaknya dia akan kalah oleh pemuda
remaja yang lincah itu. Maka dia mengebutkan ujung kain putih itu seperti orang
membersihkan debu dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap.
Sampai beberapa lamanya Thai Kek Siansu dan Si Han Lin berdiri diam, masih
terkesan mendalam akan kemunculan kakek tua renta itu. Bahkan rajawali itu juga
mendekam di atas tanah dan diam saja.
Kemudian Han Lin yang masih merasa penasaran bertanya kepada gurunya. "Suhu, apa artinya semua peristiwa tadi" Teecu tahu benar bahwa Suhu adalah seorang
yang bijaksana, maka sepantasnya kalau paman-guru lebih bijaksana lagi. Akan
tetapi mengapa Su-siok-couw bersikap demikian keras bahkan tega hendak
membunuh Suhu?" "Su-siok Thian Beng Siansu adalah orang yang terlalu kukuh menaati peraturan dari perguruan tanpa mempertimbangkan benar tidaknya peraturan kuno itu. Saking
taatnya, maka dia pun lupa bahwa ketaatannya itu dapat saja mendorongnya untuk
bertindak kejam, sebetulnya dia bukanlah seorang yang berwatak jahat, akan tetapi dia lebih tepat dikatakan lemah sehingga tidak mempunyai pendirian dan
pertimbangan sendiri, hanya mengukuhi peraturan yang ada."
"Akan tetapi mengapa Keluarga Kok yang menurunkan ilmu-ilmu yang juga diwarisi Suhu sampai teecu mengeluarkarkan peraturan yang demikian aneh" Kalau mereka
sendiri mempunyai murid, mengapa mereka melarang para muridnya mengajarkan
kepada orang lain dan menuntut mereka bersumpah untuk bunuh diri kalau
mengambil murid?" Thian Kek Siansu menghela napas panjang. "Peraturan itu diadakan sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi ketika aku masih belum menjadi murid Suhu Mungkin aku masih kecil. Ketika kepala keluarga dari Keluarga Kok yang mendapatkan ilmu-ilmu
itu mengajarkan ilmu-munya kepada seorang murid, setelah murid itu menjadi
pandai dan menguasai hampir seluruh ilmu Keluarga Kok, timbul niatnya yang jahat, yaitu hendak menjadi jago silat nomor satu di dunia. Dia menganggap bahwa dirinya hanya dapat ditandingi oleh gurunya, maka pada suatu hari dia menyerang Sang
guru untuk membunuhnya. Kalau gurunya mati berarti dialah yang menjadi jagoan
nomor satu! Akan tetapi dia tidak tahu bahwa gurunya masih menyimpan sebuah
ilmu yang belum diajarkan kepadanya, maka ketika berkelahi, Si murid itu kalah dan tewas. Nah, sejak itulah Keluarga Kok mengadakan peraturan, melarang para murid
lain untuk mengajarkan ilmu mereka kepada orang lain. Kakek gurumu tidak
menyetujui peraturan itu dan diam-diam dia mengambil aku sebagai murid. Akan
tetapi setelah aku tamat belajar, hal itu ketahuan sehingga Kakek Gurumu dihukum
dan disuruh membunuh diri. Sekarang, Susiok-couwmu mengetahui bahwa aku
mengambilmu sebagai murid, maka dia datang dengan niat untuk menghukum aku
dan karena aku tidak mau membunuh diri, dia yang akan membunuhku sebagai
ketaatannya kepada hukum Keluarga Kok."
"Akan tetapi tadi teecu melihat hal yang teecu tidak mengerti, Suhu. Susiok couw itu lihai bukan main sehingga bukan hanya Suhu yang tadi dibuatnya terlempar, juga
teecu dan Tiauw-ko terlempar tanpa menderita luka."
"Susiokcouw-mu tidak ingin membunuh engkau dan Tiauw-cu, kalau ingin
membunuh, kalian berdua tentu kini sudahi tewas."
"Akan tetapi, Suhu. Ketika dia menyerang Suhu dengan dahsyat, sehingga tangannya mengeluarkan kilat, mengapa serangannya tidak dapat mengenai tubuh Suhu dan
terpental" Apakah ini berart Suhu lebih sakti daripada Susiok-couw?"
"Tidak, Han Lin. Ilmu yang dikuasa Susiok itu sudah mencapai tingkat tinggi Kalau dia menghajarku tanpa niat mem bunuh, melawan pun kiranya aku akan kalah. Akan
tetapi begitu dia bermaksud" membunuhku, semua pukulannya tidak mengenai
tubuhku walaupun aku sama sekali tidak melawan. Aku hanya berserah diri kepada
Tuhan dan ternyata Kekuasaan Tuhan melindungiku. Kalau Kekuasaan Tuhan
melindungiku dan Tuhan tidak menghendaki aku mati, jangankan hanya serangan
dari Susiokcouw-mu, biarpun serangan dari seluruh alam semesta pasti tidak akan
mampu membunuhku. Yang menentukan mati hidupnya seseorang adalah Tuhan
sendiri." Mulai saat itu, sejak berusia lima belas tahun, mulailah Thai Kek Siansu membimbing Han Lin untuk berserah diri kepada Kekuasaan Tuhan. Dengan penyerahan yang
tulus ikhlas, lahir batin, meniadakan aku yang dibentuk oleh nafsu hati akal pikiran, maka Tuhan dengan kekuasaanNya yang tidak terbatas akan membuka semua hawa
nafsu yang menutupi jiwanya sehingga jiwa itu dapat menerima Sinar Terang dari
Tuhan yang membersihkan jiwa raga sehingga siap menerima kontak kembali
dengan Jiwa Agung yang dari Tuhan.
ooOOoo Si Han Lin kini telah menjadi seorang pemuda yang berusia dua puluh tahun. Selama sepuluh tahun dia tinggal di Puncak Cemara di Pegunungan Cin-ling-san bersama
Thai Kek Siansu. Selama sepuluh tahun itu dia telah menimba banyak ilmu dari
gurunya. Bukan hanya ilmu silat tinggi yang kini dikuasainya, melainkan juga sastra, seni musik, dan terutama sekali kewaspadaan dan penghayatannya tentang
kehidupan yang benar. Bahkan dia telah menjadi seorang manusia berbahagia yang
selalu menerima bimbingan Tuhan melalui jiwa raganya yang sudah peka.
Kebahagiaan ini terpancar dari wajahnya yang selalu riang, membuatnya menjadi
seorang pemuda yang jenaka, lincah dan tidak pernah dipengaruhi emosi perasaan.
Dalam keadaan bagaimanapun juga, dia selalu merasa berbahagia kar ena tak
pernah kehilangan pegangan, tak pernah lepas hubungannya dengan Yang Maha
Kuasa. Akan tetapi, bukan berarti bahwa dia menjadi seorang manusia istimewa.
Sama sekali tidak, karena sesuai dengan petunjuk gurunya, dia hidup normal dan
seperti manusia biasa dengan segala macam kelemahan dan persoalannya walaupun
persolan itu hanya mempengaruhi jasmaninya belaka, hanya kulit tidak menyentuh
isi. Rohaninya sama sekali tidak terpengaruh.
Han Lin yang berusia dua puluh tahun itu bertubuh tinggi tegap, tampak biasa saja walaupun di balik semua yang biasa itu terdapat sesuatu yang luar biasa. Kulit
tubuhnya agak gelap namun bercahaya dan bersih, membayangkan kesehatan.
Wajahnya bulat telur dengan dagu meruncing. Matanya tajam lembut namun
jenaka, mulutnya yang agak kecil itu selalu tersenyum manis. Sikapnya lincah jenaka dan dia memandang dunia dengan cerah. Pakaiannya bersih namun sederhana.
Pada pagi hari itu, Thai Kek Siansu yang kini berusia sekitar enam puluh tahun dan duduk bersila di atas batu di depan pondok, memanggilnya. Han Lin menghadap dan
berlutut di depan guru nya. Di antara guru dan murid ini terdapat hubungan batin
yang amat erat seperti ayah dan puteranya sendiri.
"Han Lin, aku memanggilmu karena ada sebuah tugas yang kuharap engka dapat
melakukannya." "Teecu siap melakukan semua perintah Suhu!" kata Han Lin dengan girang karena setiap perintah gurunya memberi semangat kepadanya karena itu berarti bahwa dia
dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Dia tahu bahwa kalau
gurunya memerintahkan sesuatu, pasti bukan untuk kepentingan gurunya,
melainkan untuk kepentingan! orang lain.
"Han Lin, di negara yang luas ini terdapat banyak sekali orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi. Seperti juga ilmu-ilmu lain di dunia ini, sesungguhnya ilmu diberikan Tuhan kepada manusia untuk dipakai sebagai alat menyejahterakan kehidupan di
bumi. Akan tetapi kebanyakan orang lupa diri dan bahkan banyak yang
menggunakan ilmu untuk mencapai tujuan guna kepentingan dan keuntungan diri
sendiri. Ada yang dipakai melakukan kejahatan, mengandalkan kekuatan ilmunya,
memaksakan kehendak memeras dan menindas orang lain, ada yang melakukan
perampokan, penganiayaan, bahkan pembunuhan. Ada yang mempergunakan ilmu
untuk mencari nama besar, untuk mengangkat diri sendiri sebagai yang terkuat atau terpandai sehingga terjadi persaingan dan permusuhan. Yang amat menyedihkan,
bahkan di antara para datuk dan guru besar ilmu silat, setiap tahun mereka
mengadakan pertemuan di Puncak Thaisan dan di sana mereka saling berlumba
mengadu ilmu silat untuk memilih seorang yang paling tangguh untuk diberi julukan Thian-he-te-it Bu-hiap (Pendekar Silat Nomor Satu di Kolong Langit)! Untuk
memperebutkan gelar atau julukan ini, orang-orang itu berlumba mengadu
kepandaian dan sering dalam pertandingan itu terdapat banyak yang terluka bahkan
ada yang sampai tewas. Biasanya, dulu setiap tahun akan mendatangi Puncak
Thaisan untuk menjadi pengamat dan mencegah terjadinya bunuh membunuh. Akan
tetapi karen mereka itu sulit disadarkan dan biarpun tidak lagi setahun sekali,
namun beberapa tahun sekali pasti terjadi perebutan seperti itu. Sekarang aku tidak mau lagi mencampuri, namun dalam hati aku selalu merasa menyesal mengapa
orang-orang pandai bersikap seperti itu. Nah, pertemuan seperti itu akan diadakan pada permulaan musim semi dan tahun ini terjatuh sekitar satu bulan lagi. Maka,
aku ingin engkau mewakili aku mengamati dan mencegah terjadinya bunuh
membunuh dan menyadarkan mereka akan kosong dan bodohnya kebiasaan
bersaing dan berebut gelar nomor satu itu."
"Wah, Suhu, jadi teecu harus pergi ke Puncak Thaisan sekarang, mewakili Suhu?"
seru Han Lin dengan girang. Dia seringkali disuruh turun gunung untuk menjual
rempah-rempah dan menukarkannya dengan bahan kebutuhan hidup mereka. Akan
tetapi belum pernah dia pergi demikian jauhnya. Baru membayangkannya saja dia
sudah merasa amat gembira!
"Han Lin, engkau belum pernah pergi jauh dan engkau belum tahu jalan ke Thaisan.
Oleh karena itu, biarlah Tiauw-cu yang mengantarmu. Engkau tentu masih ingat
akan nama para datuk besar dan ciri-ciri mereka seperti yang kugambarkan
kepadamu, bukan?" "Teecu masih ingat semua, Suhu."
"Bagus, sekarang berkemaslah. Bawa semua pakaianmu untuk bekal pengganti
dalam perjalanan dan sisa uang penjualan rempah-rempah dalam almari itu
bawalah. Engkau memerlukan uang dalam perjalananmu, untuk membeli makanan
dan kalau perlu membayar rumah penginapan."
"Baik, Suhu!" Dengan girang dan menari-nari pemuda itu memasuki pondok dan menaati perintah gurunya. Tak lama kemudian dia keluar lagi menggendong sebuah
buntalan berisi pakaian dan seKantung uang perak. Ketika dia tiba diluar, rajawali itu telah mendekam di depan Thai Kek Siansu yang bicara kepadanya.
"Tiauw-cu, engkau harus mengantar Han Lin ke Puncak Thai-san."
Rajawali itu mengeluarkan suara lirih dan mengangguk-anggukkan kepalanya.! Han
Lin berlutut di depan suhunya.
"Suhu, apakah teecu harus berangkat sekarang bersama Tiauw-ko?"
"Ya, berangkatlah, Han Lin, dan bawalah ini. Kuberikan ini padamu!" Thai Kek Siansu mengambil sebuah pedang dengan sarungnya dari balik lipatan kain yang melibat
tubuhnya. Han Lin memandang heran. Dia tidak pernah melihat gurunya mempunyai
pedang! Bahkan ketika dia mempelajari ilmu silat pedang, gurunya dan dia
menggunakan sebatang! ranting pohon. Dia memang tidak membutuhkan pedang
karena ilmu silat yang diajarkan gurunya, dapat dimainkan dengan benda apa pun.


Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka, kini tiba-tiba gurunya memberi sebatang pedang kepadanya. Tentu saja dia
menjadi heran sekali. "Suhu, Suhu memberi teecu sebatang pedang. Untuk apakah pedang ini, Suhu?" Dia bertanya sambil menerima pedang itu dengan kedua tangannya.
Thai Kek Siansu tersenyum. "Pedang ini bernama Pek-sim-kiam (Pedang Hati Putih), Han Lin. Pedang hanyalah alat, sebagai pembantu tangan. Tidak ada bedanya
dengan anggota badanmu. Apakah engkau juga bertanya untuk apakah tanganmu,
kakimu atau anggauta badanmu yang lain" Pedang ini bukan untuk mencelakai atau
membunuh orang, melainkan untuk perlengkapan melindungi dirimu. Jangan dikira
hanya senjata saja yang disebut jahat. Tangan pun dapat dipergunakan untuk
kejahatan. Jahat tidaknya sebuah benda tergantung dari dia yang menggunakannya.
Dan pedang ini masih bersih, belum pernah melukai orang. Bahkan namanya selalu
mengingatkan pemegangnya agar selalu berhati putih, bersih dari niat kotor."
Han Lin ingin melihat dan perlahan-lahan mencabut pedang itu dari sarungnya.
Ternyata pedang itu memang putih, putih seperti kapas, seperti kapur atau seperti salju! Bersih dan indah sekal sampai mengkilap, tidak ada cacat sedikit pun.
"Terima kasih, Suhu. Teecu akan menjaga baik-baik pedang ini."
Setelah memberi hormat dengan berlutut sekali lagi dan gurunya memberi isarat
dengan tangan agar dia berangkat Han Lin lalu naik ke punggung; rajawali dan
berkata. "Tiauw-ko, mari kita pergi!" Suaranya terdengar riang gembira. Rajawali itu juga mengeluarkan suara melengking panjang lalu mengembangkan sayapnya dan
terbang membubung tinggi.
ooOOoo Agaknya sudah menjadi kelemahan manusia sejak dahulu untuk selalu merasa paling
hebat. Karena itu, tiada hentinya manusia bersaing untuk saling mengungguli. Sejak anak-anak sekalipun manusia sudah mempunyai keinginan untuk menonjolkan diri
berupaya agar dirinya diperhatikan dan dikagumi. Setiap orang mencari sesuatu
untuk dapat membuat dirinya "lebih" daripada orang lain, baik Itu kelebihan dalam kepandaian, kekayaan, kekuasaan, keelokan rupa, bahkan kelebihan dalam apa yang
mereka namakan kebajikan! Bahkan untuk dapat memperoleh sebutan "yang
ter......" mereka tidak segan menggunakan cara apa pun.
Penyakit batin atau kelemahan ini pun agaknya merasuk ke dalam hati dan pikiran
para datuk persilatan. Karena itu, setiap tahun atau kalau yang datang tidak lengkap, diundur setiap dua atau tiga tahun sekali, para datuk persilatan dari empat penjuru datang berkumpul di Puncak Thai-san. Dahulu, pada permulaannya, pertemuan
antara para datuk persilatan itu hanya merupakan pertemuan untuk mempererat
persahabatan dan untuk saling menceritakan pengalaman masing-masing. Akan
tetapi sejalan dengan pergolakan dalam negeri di mana timbul perebutan
kekuasaan, maka hal ini menular kepada para datuk. Mereka itu masing-masing
berpihak sehingga terpecah belah. Kalau dulu merupakan pertemuan yang rukun,
kemudian berubah menjadi persaingan dan mulailah mereka saling
mempertandingkan ilmu silat masing-masing dan akhirnya ditentukan pemilihan
jagoan nomor satu dalam setiap pertemuan seperti itu di Puncak Thai-san.
Pertandingan yang didorong keinginan untuk menjadi yang terlihai ini terkadang
mengakibatkan jatuhnya korban yang terluka parah bahkan ada yang! tewas dalam
pibu (adu ilmu silat) itu.
Kemudian, belasan tahun yang lalu, muncul Thai Kek Siansu di dalam pertemuan itu.
Thai Kek Siansu melerai dan mencegah terjadinya pertandingan perebutan
kedudukan jagoan nomor satu ini. Dia menasihatkan mereka, bukan hanya dengan
kata-katanya yang mendalam dan mengandung kasunyatan, namun juga karena
semua yang merasa dirinya paling jagoan, ternyata tidak berdaya menghadapi Thai
Kek Siansu. Pengaruh Thai Kek Siansu yang disegani semua datuk ini berhasil
mengubah pertemuan yang biasanya berakhir dengan pibu yang buas, menjadi
pertemuan yang rukun seperti semula. Bahkan perkumpulan atau aliran silat
terbesar seperti Siauwlimpai, Bu-tongpai, Kunlunpai dan Gobipai mengirim wakil
mereka untuk hadir dalam pertemuan yang bersifat mempererat persahabatan dan
bertukar pikiran dengan rukun itu. Akan tetapi, setelah Thai Kek Siansu mengambil Han Lin sebagai murid sepuluh tahun yang lalu, dia tidak pernah lagi menghadiri
pertemuan itu. Maka, kembali terpengaruh perebutan kekuasaan di pemerintahan
dan pemberontakan-pemberontakan, penyakit itu kambuh pula dalam batin para
datuk dan pendekar persilatan. Terjadilah lagi persaingan dan melihat ini, para wakil atau utusan partai-partai persilatan besar mengundurkan diri dan tidak mau terlibat dalam perebutan itu.
Beberapa tahun kemudian, karena pada setiap pertemuan yang melakukan pibu
yang sifatnya saling memperebutkan kedudukan sebagai yang terlihai, hanyalah
para datuk tua yang itu-itu juga, maka mereka lalu mengambil keputusan untuk
menghentikan persaingan antara kaum tua itu. Mereka lalu mengubahi peraturan,
yaitu dalam setiap pertemuanl itu, yang memperebutkan sebutan Thian-te-he Te-it
Bu-hiap (Pendekar Silat Nomor Satu Di Dunia) bukan lagi para datuk tua, melainkan murid-murid mereka, yaitu para pendekar muda yang usianya dibatasi, paling tua
berusia empat puluh tahun. Semua sepakat dan tidak ada yang berani melanggar,
karena yang melanggar! tentu akan dikeroyok oleh semua pihak yang sudah
memutuskan hal itu. Kemudian, berkembang keadaan yang tidak bersih lagi. Yang melakukan pej rebutan
pendekar silat terlihai bukarj hanya terdiri dari para pendekar. Bahkan para tokoh sesat mulai ikut masuk. Penjahat jahat yang kejam dan ganas menganggap diri
mereka sebagai "pendekar silat" pula dan ikut memperebutkan julukan itu Akhirnya, pada tahun-tahun terakhir, yang diperebutkan bukanlah "pendekar silat nomor
satu" melainkan "orang lihai nomor satu" sehingga tidak ada pemisahan lagi antara para pendekar bersih dan golongan hitam atau golongan sesat. Peraturan perebutan
yang terlihai itu pun diadakan dan sudah berjalan selama beberapa tahun. Peraturan itu adalah siapa yang terpilih sebagai jagoan, pada pemilihan mendatang akan diadu dengan pemenang dari semua calon baru. Semua jago yang diadu, baik laki-laki
maupun perempuan, berusia tidak lebih dari empat puluh tahun, bahkan biasanya
yang jagoan masih lebih muda lagi. Yang usianya lebih tua, sampai empat puluh
tahun, kalau bukan kalah tenaga, juga yang merasa dirinya memiliki tingkat tinggi merasa malu kalau harus memperebutkan gelar jagoan dengan orang-orang muda.
Pada pagi hari pada tahun itu, seperti biasa banyak orang-orang dunia persilatan
yang mendaki Gunung Thai-san untuk menghadiri pertemuan perebutan kejuaraan
silat itu. Sudah dua tahun sang juara memegang gelarnya karena tahun kemarin
yang hadir hanya sedikit sehingga pemilihan dibatalkan. Tahun ini ternyata banyak yang datang sehingga sebelum hari menjadi siang, di Puncak Thaisa n sudah
berkumpul hampir seratus orang dari berbagai golongan.
Para datuk tua yang hadir hanya, sebagai "botoh" saja. Mereka tidak ikuj dalam pemilihan, melainkan mengajukan murid-murid pilihan mereka. Kalau murid mereka
menang, berarti nama mereka juga naik dan dihormati. Mereka yang membuka
perguruan, kalau muridnya menang berarti uang banyak masuk karena tentu banyak
yang ingin menjadi mul ridnya, biarpun harus membayar mahal.
Seperti biasa, dalam pertemuan seperti itu, yang seolah bertindak sebagai "tuan rumah", walaupun tanpa ada hidangan, adalah sang juara atau Thian-he Te-it Bu-hiap dengan para pendukungnya dan biasanya juga ditemani gurunya. Pihak tuan
rumah ini tentu datang lebih dulu dan mereka berkumpul di pinggir tanah datar
yang menonjol lebih tinggi dari sekelilingnya sehingga merupakan sebuah panggung.
Di atas tanah tinggi seperti panggung inilah pertandingan silat diadakan sedangkan tamu-tamu yang menonton berdiri di sekeliling tanah tinggi itu.
Yang akan mempertahankan diri sebagai sang juara yang merebut kedudukan atau
gelar juara itu dua tahun yang lalu, adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang bermuka hitam dan bertubuh tinggi besar dan kokoh. Dia sudah duduk di situ,
di sebelah seorang kakek yang menjadi gurunya. Semua orang tahu bahwa laki-laki
muka hitam itu juaranya, memandang kepada dua orang ini dengan penuh
perhatian, karena Si Muka Hitam itulah yang akan mempertahankan gelarnya,
menandingi penantangnya, yaitu yang terlihai di antara para penantang yang datang pada hari itu.
Guru sang juara itu adalah seorang kakek berusia sekitar enam puluh lima tahun.
Tubuhnya tinggi besar, kumis dan jenggotnya panjang, masih berwarna hitam,
demikian pula rambutnya yang panjang dan digelung ke atas. Mukanya yang
berbentuk persegi itu berwarna merah, sepasang mata lebar bersinar tajam
mencorong, hidungnya besar dan bibirnya tebal. Wajah itu tampak menyeramka
karena tampak garang dan angkuh. Pakaiannya mewah, dari sutera halus yang
mahal dan di punggungnya tergantung siang-kiam (sepasang pedang). Dia adalah
datuk yang amat terkenal di sepanjang pantai Laut Timur yang hanya dikenal dengan julukan Tung Hai tok (Racu Lautan Timur). Dia termasuk datuk kau sesat. Semua
penjahat, dari gerombolan perampok, bajak laut, semua maling dari tukang pukul,
mereka semua tunduk dari takut kepada Tung Hai-tok dan setiap bulan mereka yang
berpenghasilan besar mengirimkan semacam "upeti" kepadanya. Dengan demikian, mereka tidak akan mendapat teguran atau gangguandari datuk sesat itu. Bahkan
kalau mereka ada yang terganggu oleh para pendekar yang menentang kejahatan,
mereka dapat lapor dan minta tolong kepadanya. Tung Hai-tok tentu akan mengirim
beberapa orang muridnya untuk membela mereka menghadapi para pendekar yang
berani menentang golongan sesat itu. Tung Hai-tok memiliki beberapa puluh murid,
bahkan membentuk sebuah perkumpulan yang diberi nama Tung-hai-pang
(Perkumpulan Lautan Timur) di mana muridnya yang paling lihai menjadi ketuanya.
Dia sendiri hanya menjadi penasihat atau ketua kehormatan.
Ketua Tung-hai-pang itu adalah murid utamanya yang kini menjadi Thian-he Te-it
Bu-hiap! Murid datuk itu, yang juga menjadi Ketua Tung-hai-pang, bernama Boan Su
Kok, kini berusia tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh, mukanya hitam dan wajahnya lebih seram daripada wajah gurunya yang sudah tua. Wajah Boan Su
Kok itu membayangkan keganasan dan kekejaman. Sinar matanya yang mencorong
itu seperti sinar mata orang yang sedang marah. Dua tahun yang lalu, ketika dia
merebut gelar jagoan nomor satu, dia bertanding sebagai penantang melawan
juaranya pada waktu Itu dan dengan kejam dia telah membunuh lawannyal Semua
orang yang kini menghadiri pertemuan itu telah mendengar akan kelihaian dan
kekejaman Boan Su Kok yang agaknya hendak mempertahankan gelarnya dengan
mati-matian. Sebetulnya, bagi orang-orang yangj tingkat kepandaiannya sudah amat
tinggi sehingga patut menerima gelar Thian-te-he Te-it Bu-hiap, tentu saja dapat
mengatur gerakan sendiri dan dapat menahan pukulannya sehingga tidak sampai
membunuh lawan. Kalau orang dengan tingkat setinggi itu dalam pi-bu membunuh
lawan, hal itu memang disengaja atau ketika bertanding dia dipengaruhi nafsu
amarah yang mendorongnya untuk membunuh. Karena itu, ketika para hadirin itu
memandang ke arah Boan Su Kok yang duduk di atas panggung tanah di samping
gurunya, ada yang memandang dengan sinar mata jerih dan takut, akan tetapi ada
pula yang memandang dengan mata membenci dan marah.
Setelah matahari naik tinggi dan tidak ada lagi tamu yang datang, Tung Hai-tok yang duduk di atas bangku mengangkat tangan kanannya ke atas dan semua orang yang
tadinya ribut bicara sendiri-sendiri dengan teman atau rormbongan mereka terdiam
dan semua orang memandang ke arah kakek itu.
"Sobat-sobat sekalian, sekarang pertandingan dapat dimulai. Mereka yang ingin mengikuti pertandingan diharap maju dan naik ke depan kami!"
Biarpun semua ketika mendaki gunung banyak orang muda yang ingin ikut untuk
memperebutkan gelar juara tahun itu, akan tetapi setelah berada di puncak dan
melihat sikap Tung Hai-tok dan Si Juara, Boan Su Kok, banyak yang mengundurkan
diri karena gentar. Apalagi di bawah panggung tanah tinggi itu, di belakang guru dan murid itu, berkumpul belasan orang yang pakaiannya seragam biru, pakaian para
murid Tung-hai-pang. Banyak pula para tokoh kangouw melarang murid mereka
yang tadinya ingin ikut bertanding karena mereka mengenal betapa lihai dan
kejamnya datuk Si Racun Lautan Timur yang menjadi guru Si Juara itu.
Hanya ada empat orang muda yang berlompatan naik ke tanah tinggi itu dan berdiri
tegak di depan Si Juara dan gurunya. Ketika meloncat mereka mem perlihatkan gaya
masing-masing dan ternyata mereka memiliki gerakan yang cukup lincah dan ringan,
menunjukkan bahwa mereka berempat telah memiliki, tingkat gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) yang cukup tinggi.
Melihat yang maju hanya empat orang, padahal pada tahun-tahun yang lalu
sedikitnya ada sepuluh orang, Boan Su Kok bangkit berdiri dari tempat duduknya,
bertolak pinggang dan berseru lantang dengan suara yang mengandung
kesombongan. "Hanya empat orang ini" Mana para pendekar yang lain" Apakah sekarang tidak ada lagi orang gagah ataukah kalian merasa takut" Kalau begitu, untuk apa kalian datang ke sini?" Dia lalu menggapai dengan tangannya dan dua orang anak buah Tung-hai-pang melompat naik ke atas panggung. Boan Su Kok lalu memerintahkan mereka
untuk melakukan undian. Seperti biasa, mereka yang maju untuk ikut bertanding
akan bertanding satu lawan satu dan untuk itu pasangan bertanding mereka diundi.
Karena ada empat orang peserta, maka akan dilakukan pertandingan satu lawan
satu. Dua orang pemenangnya akan diadu dan pemenangnyalah yang berhak untuk
menjadi penantang, melawan sang juara.
Karena para partai persilatan besar tidak ada yang mau ikut, maka sebagian besar
yang hadir adalah perkumpulan-perkumpulan silat kecil, itu pun kebanyakan dari
golongan sesat. Para pendekar jarang mau ikut karena melihat betapa pemilihan itu kini kotor sifatnya dan menanamkan kebencian, dendam dan permusuhan. Orang
memperebutkan kedudukan juara dengan pamrih agar bukan hanya namanya
terkenal dan dikagumi, juga agar dia disegani dan memiliki pengaruh besar di dunia kangouw. Apalagi dalam pibu itu sudah tidak dipakai peraturan umum di dunia
kangouw. Biasanya di antara para pendekar terdapat peraturan tidak tertulis yang
merupakan semacam etika bahwa dalam pertandingan pi-bu (adu silat), baik dengan
tangan kosong maupun dengan senjata, harus menjaga serangan agar jangan sampai
membunuh lawan. Bahkan melukai pun kalau mungkin dihindarkan atau hanya luka
ringan saja. Akan tetapi dalam pertandingan di Puncak Thaisan itu, seolah-olah
pertandingan sampai mati atau pembantaian bagi yang kalah.
Empat orang peserta itu, yang dua orang adalah murid-murid tokoh kangouw yang
sesat, akan tetapi yang dua orang lagi adalah orang-orang golongan pendekar.
Ketika diadakan undian, kebetulan dua orang dari golongan sesat itu bertemu
dengan dua orang muda pendekar.
Pertandingan pertama dilaksanakan dan ternyata pemuda berusia dua puluh tiga
tahun yang berpakaian serba kuning, murid dari Hoa-san-pai yang datang sendiri
tanpa sepengetahuan para pimpinan Hoa-san-pai, dengan mudah mengalahkan
lawannya. Murid Hoa-san-pai ini tidak mau melanggar etika pibu di dunia persilatan dan dia hanya mengalahkan lawannya tanpa melukai berat apalagi membunuhnya.
Demikianlah pula pertandingan ke dua, pemuda berusia dua puluh lima tahun yang
datang bersama gurunya yang dikenal sebagai tokoh kangouw yang baik, setelah
bertanding selama tiga puluh jurus melawan pemuda dari golongan sesat, dia dapat
merobohkan lawan tanpa membunuhnya! Para penonton bersorak memuji karena
dua orang pemuda yang menang itu benar-benar memiliki gerakan silat yang indah
dan tangguh, dan terutama melihat mereka berdua menang tanpa membunuh atau
mencederai berat lawan yang mereka kalahkan.
Kini menurut peraturan pertandingan, dua orang pemenang itu berhadapan, dan
mereka akan memperebutkan'tempat sebagai penantang tunggal terhadap Boan Su
Kok, Sang Juara. Murid Hoa-san-pai yang berpakaian serba kuning itu mengangkat
kedua tangan depan dada sebagai salam dan dia memperkenalkan diri.
"Sobat, sebelum kita menguji kemampuan kita, perkenalkan, aku bernama The Lun,
seorang murid Hoa-san-pai yang mengikuti pertandingan ini untuk mencari
pengalaman." Lawannya juga membalas salam itu sambil tersenyum senang. Dia tadi juga melihat
betapa lawannya yang menang dalam pertandingan pertama, tidak bertindak kejam
terhadap lawannya. "Sobat The Lun yang gagah, aku bernama Lai Ceng Gun dan seperti jua engkau, aku menaati perintah guruku untuk menguji kemampuan sendiri dan mencari
pengalaman di sini." The Lun memandang kepada seorang laki-laki setengah tua, berusia sekitar lima puluh tahun yang tadi duduk bersama lawannya Laki-laki itu
adalah guru dari Lai Ceng Gun, di dunia kangouw terkenal sebagai Ciong Kauwsu
(Guru Silat Ciong) yang memiliki ilmu silat tinggi. Ciong Hoat, guru itu, tersenyum pula dan mengangguk anggukkan kepalanya ketika melihat calon lawan muridnya
memandang kepadanya. "Hei, kalian datang ke sini bukan untuk mengobrol, melainkan untuk pi-bu.. Hayo, mulailah bertanding!" tiba-tiba Boan Su Kok bangkit berdiri dan membentak dengan alis berkerut dan mata mencorong.
Mendengar ini, dua orang muda yang saling berhadapan itu menoleh dan
memandang kepada sang juara itu. Diam-diam mereka merasa tidak suka melihat
sikap Boan Su Kok yang demikian angkuh dan galak.
"Sobat Lai, mari kita mulai!" kata The Lun yang memasang kuda-kuda. Lai Ceng Gun mengangguk dan mereka lalu mulai saling serang dengan seru. Ternyata dua orang
pemuda ini memang lihai dan gerakan mereka gesit dan cepat sehingga sebentar
saja tubuh mereka sudah berubah menjadi bayangan yang berkelebatan. Ilmu silat
tangan kosong Hoasanpai memang indah dipandang dan mengandung tenaga yang
terselubung gerakan lembut. Sebaliknya, ilmu silat yang dimainkan Lai Ceng Gun
adalah ilmu silat keturunan keluarga Ciong yang merupakan ilmu silat yang
bersumber dari aliran campuran antara Siauwlimpai dan silat dari daerah Hunam
yang sifatnya keras. Maka terjadilah pertandingan yang amat seru. Namun setelah
lewat tiga puluh jurus, tampaklah bahwa ting kat kepandaian Lai Ceng Gun masih
lebih tinggi sedikit dibandingkan lawannya. The Lun mulai terdesak oleh serangan Lai Ceng Gun yang dilakukan dengan gencar. Dia sama sekali tidak mendapat
kesempatan untuk membalas Terutama serangan kedua kaki Lai Cen Gun yang amat
berbahaya karena tendangan seperti itu merupakan andalan Siauwlimpai Utara. The
Lun hanya mampu mengelak atau menangkis dan mengandalkan kelincahannya
untuk menghindarkan diri.
Akan tetapi, setelah tahu benar bahwa kalau dilanjutkan pun dia pasti akari kalah, The Lun lalu melompat jauh ke belakang, mengangkat tangan depan dada lalu
berkata. "Sobat Lai Ceng Gun, aku mengaku kalah!" Setelah berkata demikian murid!
Hoasanpai ini lalu melompat turun dari atas tanah tinggi.
Sementara itu, Lai Ceng Gun dengan ramah berkata, "Sobat The Lun, terima kasih, engkau telah mengalah." Dia pun turun dan menghampiri gurunya, ingin
melepaskan lelah lebih dulu karena dia sudah dua kali berturut-turut bertanding.
Akan tetapi Boan Su Kok sudah melompat dari bangkunya ke tengah panggung
tanah tinggi. Agaknya untuk memamerkan tubuhnya yang kokoh, dia
membusungkan dadanya, memandang ke arah Lai Ceng Gun dan berteriak.
"Orang she Lai! Engkau yang menjadi penantang tunggal dan harus bertanding
melawan aku untuk menentukan siapa yang pantas menjadi Thian-he Te-it-Bu-hiap
tahun ini. Hayo naiklah dan tandingi aku!"
Dari tempatnya di bawah, Ciong Kauwsu berseru dengan suaranya yang lantang
bergema. "Muridku Lai Ceng Gun baru saja bertanding berturut-turut dua kali, sudah sepantasnya kalau dia beristirahat sejenakl"
"Ho-ho, kalau sudah berani datang ke sini, kenapa takut lelah" Ataukah takut melawanku" Kalau takut, pergi saja dari.sini!" kata Boan Su Kok dengan nada
Pusaka Negeri Tayli 4 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Pendekar Jembel 13

Cari Blog Ini