Tiga Dara Pendekar Siauw-lim Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
"Bagus" teriaknya memuji dan timbul keheranan besar dalam hatinya, karena sungguh tak pernah ia menyangka bahwa gadis ini memiliki ilmu silat yang demikian hebat. Karena tusukan ke arah matanya itu amat cepatnya, terpaksa untuk mengelak ia harus menarik kepalanya ke belakang dan berbareng dengan gerakan ini, kedua tangannya bergerak ke depan sehingga ujung lengan bajunya yang panjang itu menyambar ke arah pinggang Hwe Lan! Makin kagum dan terkejutlah hati Wai Ong Koksu melihat bagaimana gadis itu melepaskan diri dari serangannya ini. Dengan gin-kang yang luar biasa, tiba-tiba Hwe Lan melompat ke atas sehingga sambaran dua ujung lengan baju itu lewat di bawah kakinya, kemudian bagaikan seekor burung terbang, dara itu menukik dengan kepala ke bawah dan menyambar dari atas dengan pedang diputar-putar menyerang kepala yang gundul dari Wai Ong Koksu.
"Benar-benar lihai!" Kakek gundul itu berseru dan cepat ia melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serbuan dari atas ini. Ia benar-benar terkejut melihat betapa baiknya gerakan garuda menyambar ular yang dilakukan oleh gadis itu, dan tahulah ia bahwa untuk mengalahkan gadis ini, ia harus mempergunakan sebagian besar dari kepandaiannya. Maka Wai Ong Koksu lalu menggulung lengan bajunya yang panjang kemudian sambil berseru keras ia menyerang dengan kedua tangannya! Guru besar ini masih merasa sungkan dan malu untuk mempergunakan senjatanya, yakni tongkatnya yang tadi ia tancapkan di atas tanah, karena ia tidak mau ditertawakan orang-orang gagah. Masa seorang guru negara yang berkepandaian tinggi seperti dia harus mempergunakan senjatanya untuk menghadapi seorang dara muda yang lebih patut disebut anak-anak ini.
Kakek ini bergerak maju dengan langkah yang tetap dan cepat sedangkan kedua lengannya bergerak-gerak secara luar biasa sekali sehingga menimbulkan angin menyambar-nyambar. Hwe Lan terkejut juga melihat gerakan ini dan tahulah ia bahwa kakek yang lihai ini hendak melawannya dengan ilmu silat Kong-ciu-cip-ban-kiam (Dengan Tangan Kosong Memasuki Laksaan Padang)! Ia pernah melihat gurunya mendemonstrasikan ilmu silat yang lihai ini dan pernah pula mempelajarinya, akan tetapi karena sukarnya gerakan ilmu silat ini, maka kepandaiannya dalam ilmu silat ini masih jauh dari sempurna. Kini ia melihat betapa kakek ini menggerakkan tangannya sedemikian rupa sehingga menurut penglihatannya, tidak kalah oleh gurunya sendiri!
Akan tetapi, dalam kamus hati Hwe Lan tiada terdapat kata-kata gentar atau takut. Ia memutar pedangnya dan memainkan ilmu pedang Bidadari Menyebar Bunga, semacam ilmu pedang yang diciptakan oleh gurunya. Ilmu pedang ini berdasar ilmu pedang Tat Mo Kiam-hoat dan Lian Gi Kiam-hoat, maka gerakannya pun aneh dan sukar diduga perubahannya. Melihat gerakan pedangnya yang hampir sama dengan gerakan pedang cabang persilatannya sendiri ini, Wai Ong Koksu menjadi kaget, akan tetapi ia terheran-heran karena setelah diperhatikan, ternyata berlainan juga. Memang, Lian Gi Kiam-hoat adalah ilmu pedang dari Bu-tong-pai sehingga tentu saja ilmu pedang ini dimengerti baik oleh Wai Ong Koksu yang menjadi pentolan Bu-tong-pai. Maka heranlah kakek ini menyaksikan ilmu pedang yang aneh ini, aneh dan lihai sekali sehingga biarpun ia mempergunakan ilmu silat Kong-ciu-cip-kiam yang biasanya cukup kuat untuk menghadapi keroyokan belasan orang yang berpedang dengan hanya bertangan kosong saja, akan tetapi menghadapi ilmu pedang Hwe Lan, kakek gundul ini benar-benar merasa terdesak! Wai Ong Koksu sama sekali tidak takut akan pedang Hwe Lan, karena pedang ini adalah pedang biasa yang takkan dapat melukai tubuhnya yang kebal dan ia memiliki ilmu Pi-ki Hu-hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah) sehingga ia pun tidak takut terhadap totokan. Akan tetapi Hwe Lan yang amat cerdik dan tahu akan kelihaian lawan, selalu menunjukkan pedangnya pada bagian-bagian tubuh yang lemah. Pedangnya berkelebat menyambar ke arah mata, leher, pusar dan urat-urat besar yang tersembul di bawah kulit sehingga akan dapat terputus oleh pedangnya.
Biarpun Wai Ong Koksu tidak terdesak atau terancam oleh pedang Hwe Lan, akan tetapi kakek ini maklum bahwa dengan bertangan kosong saja, agaknya amat sukarlah baginya untuk mengalahkan gadis luar biasa ini. Kalau sampai ia tidak berhasil mengalahkan, apalagi kalau sampai ia terluka oleh gadis ini, alangkah akan malunya! Lebih baik ia mempergunakan senjatanya, Wai Ong Koksu berpikir. Tak perlu ia merasa malu mempergunakan senjata, karena biarpun masih muda, gadis ini benar-benar memiliki kepandaian tinggi dan hal ini disaksikan pula oleh dua orang kawannya.
Memang, kedua kawannya itu semenjak tadi menonton pertempuran ini dengan bengong. Gui Hok Houw memandang dengan penuh kekaguman, tidak saja untuk kelihaian gadis itu, akan tetapi terutama sekali karena kecantikan dan potongan tubuh Hwe Lan yang menggairahkan dan yang membuat semangatnya seakan-akan terbang meninggalkan tubuhnya! Gui Kok Houw terkenal sebagai seorang perwira gila perempuan, dan biarpun sudah banyak sekali ia berjumpa dengan wanita-wanita cantik, akan tetapi kali ini ia harus akui bahwa ia belum pernah melihat seorang gadis sejelita dara ini! apalagi yang memiliki ilmu silat seperti ini!
Orang ketiga, yakni Souw Cong Hwi pemuda yang tampan itu, semenjak tadi pun memandang dengan mata menyatakan kekagumannya melihat ilmu pedang Hwe Lan, akan tetapi bibirnya dikatupkan rapat-rapat karena hatinya mengandung kekhawatiran hebat sekali. Baru melihat sekali saja, timbul rasa suka dan simpati dalam hatinya terhadap dara ini. Wajahnya yang manis dan jelita itulah yang menimbulkan rasa suka dan sikapnya yang gagah perkasa mendatangkan simpati. Souw Cong Hwi maklum akan kelihaian Wai Ong Koksu, maka ia sangat gelisah menyaksikan pertempuran ini. Diputar-putarlah otaknya untuk mencari daya upaya bagaimana ia dapat menolong gadis yang amat menarik dan yang mendebarkan hatinya ini.
Ketika ia melihat Wai Ong Koksu berseru keras dan mencabut tongkatnya yang tadi ditancapkan di atas tanah, Souw Cong Hwi terkejut sekali dan ia melompat dengan gerakan ringan ke dekat kakek itu.
"Koksu yang baik, harap sabar dulu!" katanya.
Wai Ong Koksu memandang dengan heran. Biarpun, Souw Cong Hwi hanya seorang pemuda, akan tetapi ia tidak memandang rendah kepada pemuda ini. pertama karena pemuda ini adalah putera tunggal dari Pangeran Souw Bun Ong yang selain berpengaruh besar di dalam istana, juga sikapnya amat baik terhadap semua pembesar dan bahkan ketika dulu diadakan pemilihan Koksu, Pangeran Souw Bun Bong yang membujuk Kaisar agar supaya Wai Ong Hosiang menjadi guru negara. Kedua, pemuda yang masih muda ini adalah murid terkasih dari seorang tokoh persilatan yang dikenalnya baik dan yang telah terkenal pula serta disegani oleh para tokoh besar persilatan. Guru pemuda ini adalah Pat-jiu Sin-kai Pengemis Dewa Bertangan Delapan karena memang orang tua ini hidup sebagai seorang pengemis, mengandalkan makan sehari-hari dari pemberian orang-orang yang menaruh hati kasihan kepadanya, pakaiannya tambal-tambalan. Pat-jiu Sin-kai tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, mengembara ke seluruh penjuru dan namanya terkenal sekali karena di manapun ia berada, ia merupakan algojo bagi setiap penjahat dan merupakan pelindung bagi semua orang yang tertindas.
Wai Ong Koksu mendengar cegahan pemuda ini ketika ia memegang senjatanya, lalu berkata,
"Souw Kongcu, mengapa kau menyuruh aku bersabar?"
Souw Ceng Hwi menunjuk kepada Hwe Lan yang masih berdiri gagah dengan pedang di tangan dan tangan kirinya bertolak pinggang, sambil berkata,
"Koksu, kurasa bukanlah perbuatan yang bijaksana untuk membunuh seorang nona muda yang belum diketahui betul kesalahannya. Ketika kau tadi melawannya dengan tangan kosong dan berusaha menangkapnya, hal itu masih merupakan perkara kecil, akan tetapi melihat kau memegang senjata dan aku tahu bahwa sekali kau menggerakkan senjata maka jarang ada orang yang dapat keluar dengan nyawa masih di dalam tubuhnya, kurasa lebih baik Koksu bersabar dulu dan jangan sampai salah tangan. Menurut pendapatku yang bodoh, biarpun para perwira yang pengecut tadi menyatakan bahwa nona ini adalah pemberontak Siauw-lim-pai, akan tetapi, ketika tadi bertempur melawanmu, gerakan-gerakannya menunjukkan bahwa ia sama sekali bukanlah seorang ahli dari Shiauw-lim-pai, biarpun ada beberapa gerakannya yang berasal dari Siauw-lim! Soal kedua, apakah kesalahannya maka kau sampai berkeras hati hendak mengangkat senjata terhadap seorang nona muda seperti dia ini" Harap Koksu sudi mempertimbangkan dengan baik dan jangan sampai melakukan hal-hal yang akan menimbulkan aib bagi nama sendiri!"
Hwe Lan yang mendengarkan ucapan pemuda itu, memandang dengan kagum, heran, dan juga mendongkol. Ia kagum mendengar kata-kata yang amat lancar, teratur dan penuh cengli (aturan) ini. Ia heran karena pemuda yang nampak lemah ini ternyata dapat melihat bahwa gerakan silatnya, dan ia mendongkol karena pemuda itu seakan-akan hendak membelanya hendak menolongnya, seolah-olah ia berada dalam keadaan yang amat terancam.
Tiba-tiba perwira muka kuning itu pun berkata, "Kokcu, ucapan Souw-kongcu betul juga. Sayang nona secantik ini kalau sampai dibunuh!"
Makin dongkol dan marahlah hati Hwe Lan mendengar ucapan ini dan melihat pandang mata perwira muka kuning itu yang ditujukan kepadanya penuh gairah dan nafsu birahi. Ingin ia menusuk mampus perwira ini.
"Bangsat-bangsat rendah, apakah kau kira aku takut menghadapi kalian" Majulah kalian bertiga, tak usah banyak membuka mulut!"
Wai Ong Koksu yang tadi mendengar ucapan kedua orang kawannya, sudah mulai sabar kembali dan merasa juga bahwa tidak sepantasnya kalau dia, sebagai orang terpandai dan paling gagah dalam kerajaan, hendak mempergunakan senjata, membunuh seorang gadis demikian cantik lagi muda. Apalagi kalau ia teringat akan permainan silat gadis ini memang bukan seperti anak murid Siauw-lim. Akan tetapi, kini mendengar bentakan Hwe Lan yang galak, ia tersenyum memandang kepada mereka dan berkata,
"Coba kalian dengar, apakah anak perempuan jahat ini tak perlu dirobohkan. Kita harus tawan dia untuk dibawa ke pengadilan, karena setidaknya ia telah merobohkan perwira Kim-i-wi."
Tiba-tiba perwira yang tadi terluka oleh thi-lian-ci milik Hwe Lan, berkata lagi, "Bukan hanya merobohkan, bahkan ia telah membunuh beberapa orang kawan-kawan kami!"
Terkejut juga hati Souw Cong Hui, dan Gui Kok Houw mendengar ini, dan Wai Ong Koksu tanpa banyak cakap lagi lalu menggerakkan tongkatnya menyerang Hwe Lan! Gadis ini dengan tabah sekali menghadapi serangan Wai Ong Koksu dengan serangan balasan yang tak kalah hebatnya. Gui Kok Houw juga tidak mau tinggal diam dan begitu tangannya bergerak, tiga bolanya telah bergerak-gerak menyambar ke arah Hwe Lan. Akan tetapi, gadis itu sama sekali tidak merasa gentar dan memutar pedangnya dengan hebat, mengerahkan seluruh kepandaian dan mencurahkan seluruh perhatiannya.
Memang patut dikagumi kegagahan Hwe Lan. Seorang gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja turun dari tempat perguruan, ternyata dengan gigihnya dapat menghadapi Wai Ong Koksu dan Gui Kok Houw, dua orang jago paling pandai dari Kaisar! Akan tetapi, betapapun juga, dua orang kosen itu bukan lawannya dan Hwe Lan hanya dapat mempertahankan diri sampai dua puluh jurus, karena kini ia mulai terdesak hebat! Tongkat di tangan Wai Ong Koksu amat kuatnya dan sambaran tongkat itu membuat ia harus berloncat-loncatan ke sana kemari, karena untuk menangkis dengan pedang ia tidak berani, maklum akan kehebatan tenaga kakek itu. Sementara itu, tiga bola di tangan Gui Kok Houw juga berbahaya sekali, karena bola-bola yang diikat tali baja itu bergerak-gerak mengarah jalan darahnya sehingga Hwe Lan harus mempergunakan gin-kangnya untuk mengelak dan balas menyerang.
Akhirnya, tali baja dari bola Gui Busu itu berhasil melibat pedangnya, tongkat Wai Ong Koksu telah menyambar ke arah pergelangan tangannya! Terpaksa Hwe Lan harus melepaskan gagang pedangnya untuk mengelak dari sabetan ini karena kalau tidak, tulang lengannya pasti akan remuk! Pada saat itu, bayangan Souw Cong Hwi berkelebat cepat di belakang Hwe Lan dan tanpa dapat dicegah lagi, jari tangan Souw Cong Hwi menotok jalan darah di punggung gadis itu sehingga Hwe Lan merasa tubuhnya lemas tak berdaya dan tentu akan roboh kalau tidak cepat ditangkap oleh Souw Cong Hwi.
"Aku sudah dapat menangkapnya!" kata Souw Cong Hwi sehingga Wai Ong Koksu dan Gui Kok Houw menarik kembali senjata mereka dan memandang dengan senang. Hwe Lan benar-benar tak berdaya, tubuhnya lemas kehilangan tenaga dan hanya matanya saja yang masih memandang tajam penuh ketabahan, akan tetapi ia tidak kuasa membuka mulutnya.
"Souw-kongcu, biarkan aku yang memondong nona manis ini. Ha-ha-ha!" kata Gui Kok Houw sambil mengulurkan lengan hendak memegang lengan Hwe Lan.
Dengan muka sungguh-sungguh Souw Cong Hui berkata, "Gui-ciangkun! Patutkah kata-kata itu keluar dari mulutmu" Kau seharusnya malu!"
"Ha-ha-ha!" Gui Kok Houw masih saja tertawa sambil menudingkan jari tangannya kepada Souw Cong Hwi. "Kau sungguh pandai, Souw-kongcu! Pandai mencela orang, akan tetapi tidak melihat diri sendiri. Kau melarang aku memondong nona jelita ini agar supaya kau dapat memondongnya sendiri! Ha-ha-ha!"
"Cukup! Hatiku tidak secabul kau!" Souw Cong Hwi membentak marah dan karena marahnya ia melepaskan tubuh Hwe Lan yang terguling dan rebah miring di atas tanah.
"Hm, kalian orang-orang muda selalu ribut apabila menghadapi wanita cantik biarlah aku tua bangka yang membawa gadis ini. Mari kita bawa dia dan menyerahkannya ke dalam tangan Tan-tihu di Ki-pang karena kota itulah yang terdekat. Biarlah pengadilan di Ki-pang yang akan memeriksa perkaranya!" kata Wai Ong Koksu.
Pada saat itu, datang belasan orang perwira Kim-i-wi lain lagi yang datang untuk mengirim bala bantuan karena mereka telah mendengar tentang pertempuran itu. Mereka ini datang berkuda dan segera menolong para perwira yang telah mati dan terluka di dekat kuburan Nyo Hun Tiong itu.
Setelah Wai Ong Koksu dan yang lain-lain memeriksa kuburan dan memerintahkan anak buahnya untuk menggali dan mengambil rangka pemberontak Nyo Hung Tiong, mereka lalu pergi dari situ. Hwe Lan yang masih dalam keadaan tak berdaya itu dinaikkan kuda dan dipegang oleh Wai Ong Koksu. Rombongan perwira Kim-i-wi ini lalu pergi ke Ki-pang dan menemui jaksa di kota itu.
Melihat bahwa yang datang membawa seorang tangkapan adalah Wai Ong Koksu dari kota raja, maka jaksa di Ki-pang itu dengan tergopoh-gopoh lalu membuka persidangan pada waktu itu juga. Penduduk Ki-pang yang mendengar bahwa ada pemberontak wanita ditangkap dan hendak diadili, berduyun-duyun datang melihat.
Di ruang pengadilan telah lengkap hadir jaksa dan para pembantunya, tak ketinggalan tiga orang algojo yang pekerjaannya menyiksa pesakitan apabila ada pesakitan tidak mau mengakui dosa-dosa yang didakwakan kepadanya. Algojo-algojo ini tubuhnya tinggi besar dan nampak kejam.
Para perwira yang terluka oleh senjata tiga dara di depan makam Nyo Hun Tiong, telah hadir pula di situ, duduk di kursi rendah karena sungguhpun mereka itu perwira-perwira Kim-i-wi, akan tetapi di dalam persidangan, mereka harus memandang jaksa sebagai orang yang berkedudukan tinggi karena jaksa yang sedang memeriksa perkara adalah wakil Kaisar!
Tak lama kemudian para penonton memandang dengan mata terbuka lebar. Pesakitan digiring memasuki ruang pengadilan. Hwe Lan diiringkan Wai Ong Koksu, Gui Kok Houw dan Souw Cong Hwi. Dara ini telah dibebaskan dari totokan dan berjalan dengan dada terangkat tinggi dan sikap yang angkuh. Ia masih merasa lemah karena hampir sehari berada dalam keadaan setengah lumpuh. Hatinya mendongkol dan marah sekali, akan tetapi dia cukup cerdik untuk berlaku sabar pada saat kekuatannya belum kembali. Ia tahu bahwa tiga orang yang selalu menjaganya, yakni Wai Ong Koksu, Gui Kok Houw dan Souw Cong Hwi adalah orang-orang berkepandaian tinggi, dan akan percuma belaka apabila ia memberontak. Maka ia berlaku cerdik dan menurut saja ketika digiring ke pengadilan, akan tetapi dia dalam hatinya siap sedia untuk memberontak dan melepaskan diri, mencari kesempatan baik.
Hwe Lan tidak memperdulikan pandang mata para penonton yang ditujukan ke arahnya dengan sinar mata terheran, kagum dan juga kasihan. Mereka tak pernah mengira bahwa pemberontak wanita yang ditangkap itu adalah seorang dara muda yang demikian cantik jelita.
Dengan langkah tetap dan gagah Hwe Lan disuruh menghadap di depan meja hakim. Ia berdiri lurus dan tegak sedangkan Wai Ong Koksu, Gui Kok Houw dan Souw Cong Hwi mengambil tempat duduk di kursi-kursi yang telah disediakan untuk mereka. Untuk mereka ini yang berkedudukan tinggi dan tidak termasuk orang-orang yang diperiksa, disediakan kursi-kursi tinggi.
Melihat betapa gadis itu berdiri dengan angkuhnya di depan meja hakim, seorang algojo yang bermuka hitam melangkah maju dan menghardiknya. "Jangan tak tahu aturan! Berlutut!"
Hwe Lan menggerakkan kepalanya perlahan, menatap wajah algojo yang kasar dan buruk hitam itu, lalu tersenyum mengejek.
Semua orang yang berada di luar ruangan itu memandang dengan hati khawatir. Mereka maklum bahwa algojo yang bermuka hitam ini adalah seorang yang paling kejam di antara semua algojo yang berada di situ. Kini Si Muka Hitam ini menyeringai kejam dan ia lalu melakukan pekerjaannya yang biasa dilakukan apabila menghadapi seorang pesakitan yang bandel. Algojo ini berhati keras dan tidak dapat dilemahkan hatinya oleh wajah yang jelita maupun tubuh yang ramping dari seorang wanita. Ia mengangkat kedua tangannya yang besar dengan lengan berbulu itu untuk menekan kedua pundak Hwe Lan, dibarengi dengan tendangan ke arah lutut gadis itu! Semua penonton memandang ngeri karena gadis yang cantik itu tentu akan menjerit kesakitan dan terpaksa berlutut.
Akan tetapi, mereka segera membelalakkan mata dengan terheran-heran. Bukan gadis itu yang menjerit dan berlutut bahkan algojo muka hitam itu sendiri yang terdengar memekik kesakitan dan tubuhnya yang besar itu terpental ke belakang dan terguling-guling! Ternyata bahwa biarpun tubuhnya masih lemas namun Hwe Lan masih cukup lihai kalau hanya menghadapi seorang kasar seperti algojo itu saja. Sebelum kedua tangan dan kaki algojo itu menyentuh tubuhnya Hwe Lan telah mendahului dan dengan cepat jari tangan kanan gadis ini "memasuki" lambung Si Algojo yang tak ampun lagi lalu terpental. Ia merasa perutnya seperti diremas-remas dari dalam dan untuk beberapa lama hanya bergulingan sambil merintih-rintih! Kemudian ia dapat menahan sakitnya, lalu melompat berdiri dan kini bersama dua orang kawannya ia hendak turun tangan membereskan pesakitan bandel yang berani berlaku kurang ajar itu!
Akan tetapi, tiba-tiba Souw Cong Hwi pemuda putera pangeran itu, berdiri dari kursinya dan berkata sambil mengangkat tangan kanan ke atas. "Tahan! Jangan menggunakan kekerasan. Apakah kalian hendak mengacaukan pemeriksaan" Mundur!"
Para algojo melihat pemuda ini, segera mengundurkan diri. Mereka tahu siapa pemuda ini, maka mereka tidak berani melanggar perintahnya. Souw Cong Hwi lalu berpaling kepada hakim dan berkata,
"Harap Taijin suka melanjutkan pemeriksaan ini tanpa banyak upacara lagi."
Sebetulnya, hakim, jaksa dan lain-lain pembesar pengadilan merasa terhina sekali dengan sikap Hwe Lan ini. Pada masa itu, seorang yang berani menghina pengadilan dan tidak mau berlutut saja sudah cukup menjadi alasan untuk menjatuhkan hukuman pukul pinggul lima puluh kali! Akan tetapi, mereka tahu bahwa pada saat itu mereka tidak dapat memperlihatkan gigi, karena di situ hadir pula Souw Cong Hwi, putera pangeran yang amat berpengaruh, juga terdapat pula Wai Ong Koksu, Gui Kok Houw Busu dan lain-lain perwira berkedudukan tinggi.
Jaksa lalu memanggil para perwira yang terluka oleh Hwe Lan dan saudara-saudaranya, lalu minta keterangan dari mereka ini tentang terjadinya peristiwa di dalam hutan. Seorang perwira yang tersabet pedang pundaknya oleh Hwe Lan lalu menuturkan dengan suara lantang,
"Kami di bawah pimpinan Thio Kim Cai Ciangkun sedang bekerja untuk membongkar kuburan pemberontak Nyo Hun Tiong untuk dibawa ke kota raja dan dijadikan barang bukti bahwa pemberontakan itu telah mampus. Tiba-tiba perempuan liar ini bersama dua orang perempuan liar lainnya, datang dan menyerang kami dengan senjata rahasia. Mereka bertiga lalu menyerbu dan terjadi pertempuran dengan kami. Akan tetapi, mereka benar-benar liar dan lihai sehingga kami semua kena dirobohkan oleh mereka. Dua orang perempuan liar lain yang menjadi kawannya berlari pergi, mengejar Thio-ciangkun yang sampai sekarang tak dapat diketemukan di mana adanya. Mungkin sekali sudah dibunuh pula oleh pemberontak-pemberontak itu. Demikianlah sampai datang Wai Ong Koksu yang akhirnya berhasil menangkap perempuan liar ini."
Kini jaksa memandang kepada Hwe Lan, dan juga semua mata para hadirin di ruang itu memandang kepada Hwe Lan. Gadis ini semenjak tadi hanya berdiri tegak dan diam, akan tetapi diam-diam ia telah mengatur napas untuk memulihkan jalan darahnya sehingga kini ia tidak merasa lemas lagi.
"Perempuan muda, siapakah namamu dan mengapa kau berani mati menyerang, melukai dan membunuh para perwira Kim-i-wi!" tanya jaksa itu dengan suara angkuh, akan tetapi pandang matanya yang ditujukan ke arah Hwe Lan nampaknya nyata bahwa ia mengagumi kecantikan gadis itu!
Hwe Lan yang luar biasa tabah dan keras hatinya itu kembali tersenyum sinis dan menjawab,
"Aku she Yap dan tentang namaku tak perlu kuberitahukan kepada kalian karena tidak ada perlunya! Aku menyerang anjing-anjing kotor itu karena melihat mereka sedang menggali sebuah kuburan, mungkin hendak makan sisa-sisa tulang mayat yang dikubur di situ!"
Terdengar seruan-seruan heran dan terkejut di antara para penonton. Alangkah beraninya gadis ini, menyebut pasukan Kim-i-wi sebagai anjing-anjing kotor.
Juga jaksa yang tadinya tertarik oleh kecantikan Hwe Lan, merasa ngeri mendengar kata-katanya ini, maka ia menggebrak meja dan membentak, "Jangan membuka mulut lancang! Kau telah menyerang pasukan Kim-i-wi, itu berarti bahwa kau telah memberontak terhadap Hongte (Kaisar). Sebelum kami membuat keputusan, lebih dulu kau harus mengaku di mana adanya kedua kawanmu yang ikut menyerang itu!"
Tiba-tiba Hwe Lan tertawa nyaring dan sepasang matanya yang bagus itu memancarkan sinar mata tajam,
"Taijin (Pembesar), kau bukalah telingamu lebar-lebar dan dengarkan tiga macam pernyataanku ini! Pertama, aku adalah anak murid Siauw-lim-pai akan tetapi aku tidak memberontak terhadap Hongte. Kedua, kedua kawanku itu adalah enci dan adikku sendiri dan aku tidak tahu kemana mereka pergi dan di mana mereka berada. Ketiga, aku sudah bosan melihat mukamu dan muka semua orang yang berada di sini dan sekarang hendak pergi!"
Bukan main marahnya jaksa mendengar ucapan ini, bahkan semua penonton menjadi bengong tak dapat berkata-kata!
"Tangkap dia dan beri pukulan lima puluh kali!" dengan muka merah jaksa itu menuding dan memerintah kepada algojo. Gayanya ini baik sekali karena sudah amat biasa ia memberi perintah semacam ini.
Tiga orang algojo itu yang hendak membalas dendam segera melangkah maju. Hwe Lan berkata lagi sambil tertawa,
"Taijin, masih ada satu lagi pernyataanku, yakni, aku merasa jijik melihat tiga ekor anjingmu ini dan sudah gatal-gatal tanganku hendak menghajarnya!"
Ketiga algojo marah, mereka maju menubruk dengan hebat, Hwe Lan miringkan tubuh ke kiri dan kakinya melayang ke arah dada algojo muka hitam itu. "Bluk!" dan untuk kedua kalinya tubuh tinggi besar itu terjengkang sehingga kepalanya terbentur pada lantai! Kali ini agak sukar baginya untuk merayap bangun karena selain kepalanya menjadi pening setelah terbentur lantai yang keras, juga napasnya menjadi sesak setelah ulu hatinya dicium oleh ujung sepatu Hwe Lan. Dua orang kawannya maju dengan cambuk penyiksa di tangan, akan tetapi Hwe Lan lebih cepat lagi. Sebelum mereka bergerak, gadis itu mengulur kedua tangan dan sekali renggut saja ia dapat merampas dua batang cambuk itu. Kini ia mainkan cambuknya dan "plak! Plak! Plak!" hujan cambuk menghantam tubuh kedua algojo itu yang menutupi mukanya dengan sibuk karena cambuk itu dengan tepat menghantam muka mereka bertubi-tubi sehingga sebentar saja hidung mereka menjadi merah karena mengalirkan darah.
Hwe Lan tertawa nyaring ketika melihat algojo muka hitam bergerak dan hendak merayap bangun, ia cepat melompat ke dekatnya dan sekali ia menendang keras sambil berseru nyaring, tubuh Si Muka Hitam itu terlempar ke arah meja pengadilan dan tepat sekali jatuh menimpa jaksa dan pembantu-pembantunya sehingga mereka pun jatuh tunggang-langgang!
Para penonton menjadi panik dan segera mundur dan berlari keluar dari situ, karena mengira bahwa gadis pemberontak itu hendak mengamuk kepada semua orang!
Sebelum Hwe Lan dapat melarikan diri dari situ, Wai Ong Koksu dan Gui Kok Houw telah melompat dan menyerangnya. Tubuh Hwe Lan masih lemah dan biarpun ia melawan sedapatnya dan sekuatnya, namun sebentar saja ia telah tertawan lagi dan Gui Kok Houw lalu mengikat kedua tangannya dengan rantai besi yang dimintanya dari pengadilan itu.
Wai Ong Koksu lalu berkata kepada pembesar-pembesar pengadilan di Ki-pang bahwa tawanan ini akan ia bawa ke kota raja.
"Urusan ini bukanlah urusan kecil, katanya." Karena ternyata dari penuturan para perwira Kim-i-wi bahwa gadis ini benar-benar seorang yang ada hubungannya dengan mendiang Nyo Hun Tiong. Yang lebih penting lagi, dua orang saudaranya masih belum tertangkap, maka dengan ditawannya gadis ini di kota raja, kita dapat mengharapkan kedatangan mereka di kota raja pula untuk sekalian ditangkap!"
Pembesar-pembesar di kota itu tak dapat menghalangi kehendak ini dan mereka bahkan merasa lega telah terlepas dari seorang tawanan yang demikian liar dan berbahaya.
Dengan kaki tangan terikat erat-erat, Hwe Lan dibawa oleh Wai Ong Koksu dan kawan-kawannya ke kota raja. Souw Cong Hwi yang di dalam hatinya merasa kagum dan kasihan kepada gadis itu, tak berdaya sesuatu oleh karena ia melihat sendiri betapa gadis yang keras kepala itu melakukan hal-hal yang melanggar peraturan dan menghina orang. Ia hanya menjaga jangan sampai gadis ini diganggu oleh Gui Kok Houw, karena dari pandang mata perwira she Gui ini, ia maklum bahwa Gui Kok Houw mengandung maksud kurang bersih terhadap gadis jelita itu. Terhadap Wai Ong Koksu, ia percaya penuh karena tahu bahwa kakek tua yang kosen ini hanya mementingkan kedudukan dan jasa sama sekali tak ada tanda-tanda suka mengganggu seorang wanita.
Perjalanan menuju ke kota raja dilakukan cepat dan mengambil jalan lurus, maka tak sampai empat hari kemudian, tibalah mereka di kota raja. Selama dalam perjalanan itu, Hwe Lan kelihatan tabah saja, sama sekali tidak pernah kelihatan takut. Bahkan ia tidak kelihatan bersedih, dan selalu makan ransum yang diberikan oleh Souw Cong Hwi dengan muka gembira dan biasa saja. Kepada pemuda ini ia merasa berterima kasih sekali karena berbeda dengan yang lain-lain, pemuda ini berlaku amat baik, sopan terhadapnya dan selalu berpihak dan membelanya! Akan tetapi, Hwe Lan memang angkuh dan tidak mau melayaninya sungguhpun ia tahu dari sinar mata Souw Cong Hwi, bahwa pemuda tampan ini berhati jujur terhadapnya.
Atas permintaan dan tanggungan Souw Cong Hwi, Wai Ong Koksu tidak keberatan untuk melepaskan Hwe Lan seorang diri duduk di atas seekor kuda dengan kedua tangan masih terikat belenggu besi dan rantai yang diikatkan pada belenggu itu dipegang ujungnya oleh Wai Ong Koksu yang duduk di atas lain kuda. Hal ini merupakan pertolongan besar bagi Hwe Lan, karena ia merasa mendongkol dan marah sekali kalau harus duduk sekuda dengan Wai Ong Koksu, biarpun kakek ini tidak memperlihatkaan sikap kurang baik atau tidak sopan.
Ketika rombongan ini memasuki gerbang kota raja, semua orang memandang dengan penuh perhatian dan heran. Sebentar saja seluruh penduduk kota tahu belaka bahwa seorang gadis cantik jelita menjadi tawanan Koksu. Berita seperti ini cepat sekali menjalar dari mulut ke mulut.
Menurut usul Wai Ong Koksu, Hwe Lan dimasukkan dalam pernjara dan dijaga keras. Bahkan Gui Kok Houw sambil tersenyum berkata,
"Jangan khawatir, Koksu, aku sendiri yang akan mengepalai penjagaan ini agar jangan sampai ia lolos!" Sambil berkata demikian, ia melirik dengan senyum penuh arti kepada gadis itu, sehingga diam-diam Souw Cong Hwi menjadi gelisah dan juga mendongkol sekali. Ia dapat menduga bahwa Perwira Gui ini tentu mempunyai niat yang busuk sekali, maka diam-diam ia memutar otaknya.
Setelah Hwe Lan dimasukkan ke dalam kamar tahanan yang terbuat dari dinding tebal dan berpintu baja ang amat kuat serta tangannya masih dibelenggu pula, Wai Ong Koksu lalu pergi menuju ke istana untuk memberi laporan kepada Kaisar.
"Apakah kau juga mau menjaga terus di tempat ini, Kongcu?" tanya Gui-ciang-kun dengan bibir menyeringai penuh ejekan kepada Souw Cong Hwi. Wajah pemuda itu menjadi merah dan ia lalu berpamit pulang tanpa banyak cakap lagi.
Setibanya di rumah, Souw Cong Hwi lalu menceritakan dengan terus terang kepada ayah dan ibunya. Pangeran Souw Bun Ong adalah seorang terpelajar yang berhati mulia dan berbudi halus. Mendengar nasib gadis itu, ia pun merasa kasihan, akan tetapi ia hanya bisa menarik napas panjang dan berkata,
"Memang harus dikasihani nasib seorang dara muda yang telah tersesat sedemikain jauhnya. Akan tetapi apakah daya kita" Dia telah berlaku salah, biarpun andaikata dia bukan seorang pemberontak, akan tetapi setidaknya ia telah berlaku kasar dan menghina alat negara terutama sekali ia telah melakukan pembunuhan. Hal ini bukanlah soal ringan.
"Akan tetapi, ayah. Sebagai seonrang pendekar wanita, tentu saja ia harus membunuh lawan-lawannya yang hendak mencelakakannya, dan tentang penyerbuannya terhadap para perwira yang hendak menggali kuburan Nyo Hun Tiong itu, kuanggap sebagai tanda bahwa dia benar-benar memiliki jiwa yang gagah. Aku sendiri andaikata menjadi dia, melihat kuburan seorang saudara seperguruan dibongkar orang, tentu takkan membiarkannya begitu saja!"
Ayahnya memandang tajam lalu berkata, "Eh, Cong Hwi, agaknya kau telah jatuh hati kepada gadis itu!"
Pemuda itu terkejut, menatap wajah ayahnya. Untuk beberapa saat pandang mata mereka bertemmu dan akhirnya pemuda itu menundukkan mukanya yang berubah merah.
"Aku tidak tahu tentang hal itu, Ayah, hanya satu hal sudah pasti, yakni, betapapun juga, aku tidak rela melihat seorang gadis gagah seperti dia sampai mendapat bencana." Ia lalu menuturkan sikap Gui Kok Houw yang mencurigakan dan yang diduganya tentu mempunyai niat buruk. Akhirnya, Pangeran Souw Bun Ong yang amat memanjakan putera tunggalnya, menyetujui akal dan usaha pertolongan yang hendak dilakukan oleh pemuda itu.
Sebagai seorang putera pangeran yang berpengaruh, tentu saja banyak perwira yang tunduk dan setia terhadap Pangeran Souw Bun Ong, dan atas pertolongan perwira-perwira yang bekerja sama dengan Gui Kok Houw inilah Souw Cong Hwe menjalankan siasatnya. Ia diam-diam menghubungi mereka dan mereka menyanggupi untuk membantu usaha pemuda itu.
Malam hari itu, setelah mendengar dari pembantu-pembantunya bahwa Gui Kok Houw pulang ke gedungnya sebentar dengan cepat Souw Cong Hwi menuju ke penjara di mana Hwe Lan terkurung. Dengan mudah ia memasuki penjara menyamar sebagai penjaga dan dilindungi oleh para perwira yang telah menjadi pembantunya. Berkat bantuan para perwira itu pula, ia dapat masuk ke dalam kamar di mana Hwe Lan dikurung.
Pada saat itu Hwe Lan tengah duduk melamun dan ia mulai merasa gelisah juga. Ia tidak takut mati, akan tetapi ia bersedih kalau mengingat kepada kedua saudaranya. Di manakah mereka itu sekarang berada" Tugasnya membalas dendam kepada perwira Lee belum juga terlaksana dan ia sekarang telah tertimpa bencana. Apakah yang harus ia lakukan" Ia telah mengambil keputusan bahwa ia takkan terbunuh begitu saja tanpa melawan. Sebelum terbunuh ia akan berusaha melepaskan diri dan mengamuk lebih dahulu. Semenjak siang tadi ia telah mengerahkan seluruh tenaganya dan akhirnya ia dapat berhasil mematahkan belenggu tangannya! Hal ini tidak terjadi dengan mudah karena ia baru berhasil setelah kulit pergelangan tangannya menjadi biru tua dan berdarah. Akan tetapi, ia menghadapi pintu baja yang amat kuat. Percuma saja ia mencoba untuk membukanya, sampai habis tenaganya dalam usaha ini, akan tetapi sedikitpun pintu itu tidak dapat digerakkan. Pintu itu terbuat dari ruji-ruji baja sebesar lengan tangan yang bukan main kuatnya.
Menjelang tengah malam, ia melihat bayangan orang di luar pintu dan ketika ia memandang penuh perhatian, ia melihat bahwa bayangan orang itu bukan lain ialah Souw Cong Hwi, pemuda yang selama dalam perjalanan berlaku baik terhadapnya. Apakah maksud dan kehendak pemuda ini" Ia hendak membuka mulut akan tetapi Souw Cong Hwi memberi isyarat agar supaya gadis itu diam seja jangan mengeluarkan suara. Kemudian ia mengeluarkan anak kunci dan membuka pintu kamar itu dengan hati-hati sekali. Setelah terbuka, ia lalu menyelinap masuk dan berbisik dengan tergesa-gesa,
"Nona, jangan salah sangka. Aku datang hendak menolong kau keluar dari sini!" Sambil berkata demikian, pemmuda ini membuka buntalan kain yang tadi dibawanya dan ternyata kain itu berisi sebatang pedang dan sekantung uang perak. "Ini, terimalah, Nona dan lekas kau pergi dari sini. Jangan kau bunuh penjaga-penjaga di sini karena sebagian besar dari mereka itu bukanlah orang-orang jahat!"
Hwe Lan memandang dan matanya yang bagus itu terbelalak lebar. Ia benar-benar tercengang heran melihat tindakan pemuda ini yang demikian baiknya terhadap dia.
"Terimalah Nona, jangan ragu-ragu. Aku benar-benar tidak bermaksud jahat. Kalau kiranya Nona merasa sukar untuk keluar dari kota raja yang terjaga kuat, jangan Nona khawatir. Pergilah ke gedung Ayahku, yakni Pangeran Souw Bun Ong, gedungnya di ujung kota bagian utara, dikurung tembok merah. Nah, terimalah ini!" Souw Cong Hwi mendesak melihat nona itu agaknya merasa ragu-ragu.
"Akan tetapi...bagaimana kau sendiri..." Kalau diketahui oleh mereka, kau...kau..."
Aneh sekali, Cong Hwi merasa hatinya amat girang mendengar ucapan ini. Ia merasa bahagia sekali melihat nona itu menguatirkan keadaannya!
"Aku" Ah, mudah saja, Nona. Kau lihat!" Sambil berkata demikian, pemuda ini lalu menggerakkan pedang yang diberikan kepada Hwe Lan dan yang belum diterimanya itu ke arah pundaknya sendiri. "Cap!" mata pedang yang tajam itu menembus pakaiannya dan melukai pundaknya, darah mengalir membasahi bajunya. Cong Hwi masih tersenyum memandang dan berkata,
"Nah, kau telah merampas pedang dan melukai pundakku! Mudah saja bagiku bukan?"
Sambil berkata demikian, ia memaksa gadis itu menerima pedang dan kantung uang, dan berbisik, "Jangan lupa kalau tidak ada jalan keluar, datanglah ke gedung orang tuaku!" Kemudian, ia mendorong tubuh Hwe Lan supaya gadis ini berlari keluar, lalu ia berteriak-teriak keras,
"Aduh, celaka! Tawanan terlepas.....Tangkap....!"
Hwe Lan maklum akan maksud pemuda itu yang benar-benar telah menolongnya secara luar biasa sekali. Dengan hati terharu, ia lalu berlari keluar melalui lorong kecil di dalam rumah penjara itu. Ia mendengar suara orang berlari dari depan dan lima orang penjaga telah mencegatnya dengan senjata di tangan. Ia teringat akan pesan pemuda itu yang melarangnya membunuh para penjaga. Maka ketika mereka menyerbu, ia lalu memutar pedangnya dan beberapa kali gerakan saja senjata di tangan para penjaga itu telah terlepas semua! Hwe Lan mengayun kaki menendang roboh penjaga yang terdekat, lalu berlari cepat keluar. Beberapa orang penjaga datang lagi menyerbu, akan tetapi dengan mudah ia membuat mereka jatuh tunggang langgang tanpa mendatangkan luka parah, dan akhirnya ia tiba di luar penjara!
Suara teriakan para penjaga menggema dari rumah penjara itu.
"Pemberontak wanita telah lepas! Tangkap! Kejar!" Dan para penjaga itu dengan hati takut, akan tetapi khawatir kalau akan mendapat hukuman berat karena terlepasnya tawanan itu, segera mengejar keluar.
Dan pada saat itu, Gui Kok Houw dan beberapa orang Kim-i-wi datang untuk melakukan ronda malam di rumah penjara itu! Melihat Hwe Lan telah berdiri di depan rumah penjara dengan pedang di tangan, mereka cepat menyerbu, dikepalai oleh Gui Kok Houw yang telah mengeluarkan senjatanya yang lihai, yakni tiga bola yang diikat rantai baja itu.
Hwe Lan berlaku gesit. Ketika melihat datangnya tiga bola itu menyambar ke arah tiga bagian tubuhnya, ia cepat mengelak ke samping dan sambil membabatkan pedangnya ke arah pinggang Gui-ciangkun, kakinya diangkat menendang seorang perwira Kim-i-wi yang segera menjerit dan roboh. Dua orang perwira lain bersama Gui Kok Houw mengeroyok dengan hebatnya, akan tetapi sambil memutar-mutar pedangnya, Hwe Lan mengamuk dan mencari kesempatan untuk melarikan diri. Ia maklum bahwa kalau ia lebih lama melayani mereka, tentu akan datang pula perwira-perwira lain dan kalau Wai Ong Koksu ikut datang maka ia takkan dapat melarikan diri lagi. Sayang sekali bahwa ia tidak mempunyai thi-lian-ci lagi karena senjata-senjatanya telah dirampas. Akan tetapi, tiba-tiba, ia teringat akan kantung pemberian Cong Hwi tadi, maka cepat ia meroboh kantung yang telah digantungkan di pinggang itu dan mengeluarkan beberapa potong uang perak. Ia juga pernah mempelajari cara menyambit dengan chi-piauw (senjata rahasia uang logam), maka ketika ia menggerakkan tangan kirinya, tiga sinar putih dari uang perak itu menyambar ke arah Gui Kok Houw. Perwira ini terkejut sekali dan cepat melompat untuk menghindarkan senjata rahasia yang hebat dan cepat sekali menyambarnya itu, dan saat ini dipergunakan oleh Hwe Lan untuk melompat ke atas genteng dan berlari cepat.
Pada saat itu, Souw Cong Hwi berlari keluar dari rumah penjara dan berteriak-teriak, "Tangkap penjahat itu!" Pemuda ini dengan pundak berlumuran darah lalu menggerakkan tangannya dan tiga batang hiang-leng-piauw (senjata rahasia pakai kerincingan) yang mengeluarkan suara berisik melayang ke arah bayangan Hwe Lan di atas genteng. Gadis ini diam-diam memuji kecerdikan dan juga kepandaian pemuda ini dan cepat ia mengelak, lalu melanjutkan larinya. Gui Kok Houw berseru keras,
"Bangsat perempuan hendak lari ke mana?" Lalu ia mengejar, diikuti oleh beberapa orang perwira dan juga oleh Souw Cong Hwi! Dengan ringan Gui-ciangkun mengejar ke atas genteng dan berlari cepat sekali. Ketika melihat empat orang perwira ikut mengejar, ia berkata,
"Seorang di antara kalian turun dan memberi tahu kepada seluruh penjaga kota agar supaya menjaga keras. Jangan sampai penjahat itu kabur keluar kota!"
Seorang perwira lalu melompat turun lagi untuk melakukan perintah ini dan yang lain-lain melanjutkan pengejaran mereka. Biarpun Hwe Lan memiliki ilmu lari cepat yang cukup tinggi, akan tetapi oleh karena bangunan-bangunan di kota raja tinggi-tinggi dan juga ia belum kenal jalan, maka para pengejarnya tidak tertinggal jauh. Untung baginya bahwa malam itu agak gelap, hanya diterangi oleh bintang-bintang, maka tidak mudah juga bagi para pengejarnya untuk menangkapnya.
Pada saat itu, Hwe Lan melihat bayangan-bayangan hitam dari depan, disusul pula oleh bayangan para perwira Kim-i-wi dari kanan yang juga telah diberitahu dan mulai ikut mengejarnya! Ia merasa terkejut sekali dan maklum bahwa sukar baginya untuk meloloskan diri dari kota raja, maka teringatlah ia akan pesan Cong Hwi tadi untuk bersembunyi di gedung Pangeran Souw Bun Ong.
Hwe Lan adalah seorang gadis yang cerdik, maka melihat betapa musuh di atas genteng makin banyak dan dirinya telah terkurung, ia lalu melompat turun dan berlari cepat sambil bersembunyi di antara bangunan-bangunan rumah! Ia sengaja berlari di tempat-tempat yang gelap dan karena penuh dengan bayangan rumah-rumah, maka di bawah ia merasa lebih aman.
Memang tindakan ini tepat sekali. Para pengejarnya di atas genteng yang tiba-tiba kehilangan bayangannya, menjadi bingung. Gui Kok Houw menyumpah-nyumpah dan membagi-bagi perintah mencari ke sana ke mari, menyuruh para penjaga memperkuat penjagaan di pintu-pintu gerbang kota untuk mencegah gadis itu melarikan diri keluar kota. Akan tetapi pada saat itu, Hwe Lan telah berada di ujung utara kota dan berhasil menemukan bangunan besar yang bertembok merah. Ia lalu melihat ke kanan kiri dan ternyata para pengejarnya tidak ada yang mencari di bagian ini. Dengan gesit ia melompat ke atas pagar tembok dan langsung masuk ke dalam taman bangunan besar itu, terus menuju ke pintu belakang gedung.
Sesosok bayangan orang muncul dari pintu dan menegurnya,
"Apakah kau Nona Yap?" tanya bayangan itu yang muncul dan berdiri di bawah lampu penerangan yang dipasang di atas pintu belakang.
Hwe Lan melihat seorang laki-laki setengah tua yang bersikap agung dan wajahnya menunjukkan kehalusan budi. Wajah ini melenyapkan keraguannya dan ia dapat menduga bahwa orang ini tentulah Pangeran Souw Bun Ong, ayah pemuda baik hati yang telah menolongnya, maka ia lalu menjura dengan hormat.
"Benar, Taijin. Aku adalah Yap Hwe Lan yang bernasib buruk dan hanya akan mengganggumu saja."
"Ah, Nona, masuklah cepat!" kata pangeran itu yang telah sengaja menanti di situ, sesuai dengan petunjuk puteranya. Ketika Hwe Lan berjalan masuk melalui pintu itu, Pangeran Souw diam-diam mengagumi kecantikan gadis ini yang benar-benar luar biasa.
Tanpa diketahui oleh para pelayan yang telah tidur dan yang memang dilarang keluar pada waktu malam itu, Souw Bun Ong lalu mengajak Hwe Lan masuk ke ruangan dalam dan menemui isterinya. Nyonya Souw juga merasa kagum dan suka melihat Hwe Lan yang kecantikannya tidak kalah oleh puteri-puteri dari istana kaisar ini, dan segera mengajak gadis ini masuk ke dalam kamarnya.
Melihat keramahan dan kebaikan hati suami isteri bangsawan ini, Hwe Lan menjadi amat terharu dan tak dapat dicegah lagi ia lalu maju menjatuhkan diri berlutut. Souw-hujin (Nyonya Souw) memeluknya dan mengangkatnya bangun.
"Anak yang malang," katanya perlahan, "biarlah untuk sementara kau tingga di dalam gedung ini dan anggap kami seperti orang tua sendiri."
"Nona, sungguhpun kami belum tahu betul siapa adanya kau, akan tetapi kami telah mendengar dari Cong Hwi tentang pengalamanmu. Kau tak perlu merasa khawatir setelah berada di dalam gedung ini, karena takkan ada orang yang dapat mencarimu ke sini."
Tiga orang itu lalu berunding dan bercakap-cakap. Menurut pendapat mereka, agar jangan sampai menarik perhatian lain orang dan agar supaya persembunyian Hwe Lan sempurna, maka gadis akan menyamar sebagai orang pelayan dalam yang melayani Souw-hujin. Hwe Lan mengambil keputusan untuk bersembunyi di tempat aman ini sampai keadaan tenang kembali.
"Kurasa para perwira akan menjadi penasaran dan akan menjaga seluruh kota mencari-carimu sampai dapat. Dalam satu dua bulan ini, tak mungkin bagimu keluar dari gedung ini tanpa menimbulkan kecurigaan. Aku akan berdaya upaya agar bisa mendapatkan jalan bagimu keluar dari kota tanpa ketahuan," kata Pangeran Souw Bun Ong.
"Sebetulnya, mengapa pula harus pergi keluar kota?" kata isterinya sambil memandang wajah Hwe Lan yang manis. "Apa salahnya kalau Nona Yap tinggal di sini seterusnya?"
Hwe Lan benar-benar merasa terharu mendengar ucapan-ucapan kedua suami isteri yang amat memperhatikan nasibnya ini. Tak pernah disangkanya bahwa di kota raja ia akan bertemu dengan pemuda sebaik Cong Hwi dan bangsawan-bangsawan semulia Pangeran Souw dan isterinya ini. teringat akan pengorbanan Cong Hwi yang melukai pundaknya sendiri, ia menjadi amat terharu dan tiba-tiba ia menjadi khawatir sekali akan keselamatan pemuda itu, maka ia lalu berkata,
"Taijin, harap Taijin suka menengok keadaan puteramu, aku khawatir kalau-kalau terjadi hal yang kurang baik dengan dia." Ia lalu menceritakan betapa untuk menolongnya, Souw Cong Hwi telah datang melepaskannya dari kurungan dan melukai pundaknya sendiri.
Pangeran Souw menggeleng-gelengkan kepala. "Memang puteraku yang hanya seorang itu aneh sekali. Sebetulnya, dengan jalan halus mungkin aku pun akan dapat menolongmu, akan tetapi ia berkeras hati dan mengambil jalan menurut caranya sendiri. Dia benar-benar seorang petualang yang suka membikin onar!"
Mari kita melihat pengalaman Souw Cong Hwi, putera pangeran yang begitu berjumpa telah jatuh hati kepada Hwe Lan sedemikian rupa sehingga tak segan-segan untuk berkorban guna menolong gadis itu. Sebagaimana diceritakan di depan, pemuda itu melukai pundaknya sendiri dengan pedang, kemudian sambil berteriak-teriak ia mengejar pula keluar, pura-pura ikut mengejar Hwe Lan, bahkan di depan Gui Kok Hwa, ia telah menyambit Hwe Lan dengan senjata rahasianya, yakni hiang-leng-piauw.
Gui Kok Houw merasa heran dan terkejut melihat munculnya pemuda itu di situ, dan timbullah kecurigaan besar di dalam hatinya. Akan tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk bertanya dan melakukan penyelidikan. Yang terpenting pada saat itu ialah mengejar dan menangkap kembali tawanan yang melarikan diri itu. Ia memang semenjak ditangkapnya Hwe Lan, telah merasa curiga terhadap pemuda itu dan ia menganggap pemuda itu merupakan seorang penghalang besar bagi maksudnya yang jahat terhadap Hwe Lan. Ia telah tergila-gila terhadap kecantikan gadis tawanan itu dan kedatangannya di malam buta ini pun bukan sekedar hendak mencari kesempatan untuk mengganggu Hwe Lan, gadis jelita yang membuatnya tak dapat tidur nyenyak dalam beberapa malam ini.
Setelah ternyata bahwa gadis itu lenyap tak dapat tertangkap, barulah ia kembali ke rumah penjara untuk melakukan penyelidikan. Dan ia merasa makin heran melihat Souw Cong Hwi telah berada di situ pula, sedang bercerita dan didengarkan oleh beberapa orang perwira bahkan Wai Ong Koksu juga telah berada di situ pula!
"Souw-kongcu!" datang-datang Gui Kok Houw menegur dengan suara keras. "Apa perlunya kau malam-malam datang ke tempat penjara ini?"
Souw Cong Hwi memandang dan sedikit pun tidak merasa takut.
"Gui-ciangkun, semenjak kapankah aku harus melapor kepadamu lebih dulu sebelum aku pergi ke mana-mana?" ia balas bertanya dengan pandang mata menantang.
Gui Kok Houw marah sekali, akan tetapi ia tidak berani berlaku kasar terhadap putera pangeran itu, dan melihat kepala penjaga penjara berdiri dengan tubuh gemetar di situ, ia lalu maju dan menampar dengan tangan kanan sehingga tubuh penjaga itu terguling ke atas tanah.
"Babi bodoh!" ia memaki marah. "Bagaimana kau sampai berani melepaskan tawanan itu" Kau harus menggantinya dengan kepalamu!"
Kepala penjaga itu takut dengan tubuh menggigil karena takut lalu berkata, "Mohon ampun, Ciangkun. Sebetulnya bukan hamba yang salah. Souw-kongcu ini diserang oleh penjahat perempuan tadi.." dan ia lalu menuturkan betapa ia dan kawan-kawannya mendengar teriakan Souw Cong Hwi yang terluka pundaknya dan mengejar-ngejar tawanan itu yang tahu-tahu telah terlepas dari kurungan.
Gui Kok Houw memandang kepada Souw Cong Hwi dengan mata tajam dan mulut menyeringai lalu berkata, "Hm, agaknya hanya Souw-kongcu, sendirilah yang tahu bagaimana nona manis itu sampai dapat melepaskan diri!" Kata-katanya penuh mengandung sindiran.
Juga Wai Ong Koksu bertanya heran. "Bagaimanakah dia bisa meloloskan diri, Kongcu?"
Souw Cong Hwi menarik napas panjang dan menjawab, "Memang aku yang bodoh, mudah saja tertipu oleh nona itu. Aku yang merasa ikut bertanggung jawab dak aku ikut pula menangkap nona itu, sengaja datang hendak memeriksa karena khawatir kalau-kalau dua orang kawannya datang menolong, dan pula aku merasa khawatir juga kalau terjadi apa-apa yang tidak selayaknya dengan tawanan itu sampai di sini ia memandang kepada Gui Kok Houw dengan tajam penuh arti, maka aku datang menjenguk kurungan di mana nona itu berada. Ketika aku tiba di depan pintu kurungan, aku terkejut sekali melihat nona itu rebah telungkup dalam keadaan yang menunjukkan bahwa ia sedang pingsan, bahkan tadinya kusangkah ia telah mati. Aku lalu meminjam kunci dan membuka kurungan itu dengan pedang di tangan. Ketika aku membungkuk dan memeriksa, tiba-tiba nona yang kusangka pingsan itu menyerangku dengan tak tersangka-sangka sama sekali sehingga pedangku terampas dan ia melukai pundakku. Kemudian ia melarikan diri, aku berusaha mengejar, akan tetapi ia lebih cepat. Selanjutnya Cu-wi sekalian telah tahu apa yang terjadi."
"Aneh sekali," seru Gui Kok Houw, suaranya mengandung ketidak percayaan. "Bagaimana Souw-kongcu yang gagah perkasa sampai dapat tertipu sedemikian mudahnya seperti seorang anak kecil" Benar-benar aneh dan hampir tak mungkin!"
"Tidak percayakah Gui-ciangkun kepadaku?" kata Souw Cong Hwi sambil menatap wajah perwira itu.
"Penutusanmu tak masuk diakal dan amat meragukan," kata perwira itu terus terang.
Gui Kok Houw juga memandang dengan tajam dan dua orang itu saling pandang dengan marah, keadaan menjadi tegang karena mereka telah menjadi panas hati. Wai Ong Koksu lalu melangkah maju dan berkata,
"Sudahalah, hal ini tak perlu diperpanjang lagi. Lebih baik kita berusaha agar tawanan itu dapat ditangkap kembali. Gui-ciangkun, penjagaan di pintu gerbang kota harap diperkuat dan semua orang yang keluar dari kota harus diperiksa dengan teliti."
"Tapi, Souw-kongcu bertanggung-jawab atas lolosnya tawanan ini," kata Gui Kok Houw yang masih merasa penasaran.
Pada saat itu, malam telah berganti pagi dan tiba-tiba para penjaga menyambut kedatangan serombongan orang dengan penuh hormat. Rombongan ini ternyata adalah Pangeran Souw Bun Ong yang dikawal oleh pengawal pribadinya. Melihat kedatangan Pangeran Souw ini, Gui Kok Houw lalu memberi hormat, juga Wai Ong Koksu menjura dengan hormat. Pangeran Souw membalas penghormatan mereka dan langsung menghampiri Souw Cong Hwi.
"Benarkah kau terluka oleh pemberontak yang melarikan diri?" tanya pangeran ini sambil memandang kepada puteranya dengan muka khawatir.
"Hanya sedikit luka di pundak, ayah. Tidak apa-apa. Yang lebih hebat adalah tuduhan Gui-ciangkun yang seakan-akan menimpakan semua kesalahan kepadaku dan bahkan ia menyangka bahwa aku sengaja melepaskan tawanan itu."
Pangeran Souw Bun Ong memandang kepada Gui Kok Houw yang segera menundukkan kepalanya, memberi hormat kepada pangeran itu dan berkata, "Maaf, maaf, bukan hamba menuduh secara membabi buta, akan tetapi sudah menjadi kewajiban hamba untuk mendapatkan kembali tawanan itu." Setelah berkata demikian, perwira ini kembali memberi hormat dan mengundurkan diri dengan hati mendongkol sekali.
Pangeran Souw Bun Ong lalu mengajak puteranya pulang dan tak seorang pun yang berani melarangnya, sedangkan Wai Ong Koksu lalu menjumpai Gui Kok Houw untuk merundingkan hal itu. Wai Ong Koksu juga merasa curiga kepada Cong Hwi, maka ia menghibur Perwira Gui dan berkata,
"Menghadapi Pangeran Souw, kita tak boleh berlaku sembrono. Jangan sampai urusan tawanan kecil ini saja menjadikan kau bermusuhan dengan Pangeran Souw, itu berbahaya sekali. Kurasa gadis liar itu masih berada di kota raja dan kalau kita melakukan penjagaan keras dan mencari di dalam kota menyebar mata-mata, tentu kita akan dapat menangkapnya kembali."
Demikianlah, semenjak saat itu, pintu gerbang kota raja dijaga dengan keras, dan banyak mata-mata dan penyelidik disebar untuk mengetahui di mana bersembunyinya tawanan yang lolos itu.
Sementara itu, Souw Cong Hwi merasa girang sekali mendengar dari ayahnya bahwa Hwe Lan telah datang ke gedungnya dan bersembunyi di situ menyamar sebagai seorang pelayan.
"Kau cinta padanya?" tanya ayahnya.
Dengan muka merah Cong Hwi menjawab, "Entahlah ayah. Akan tetapi aku...aku suka kepadanya, aku bersimpati padanya dan aku ingin melihat dai selamat dan berbahagia."
Ayahnya menghela napas. "Hm, itu artinya bahwa kau mencinta padanya." Pangeran itu mengangguk-angguk dan meraba-raba jenggotnya yang panjang dan hitam. "Aku dan ibumu pun suka kepada gadis itu. Dia cukup cantik dan bersikap sopan. Akan tetapi...hm, kau tahu, Cong Hwi bagaimanapun juga, kita adalah bangsawan yang dihormati orang. Bukan kehendakku untuk berlaku kukuh dan memandang rendah orang lain, akan tetapi...kita harus ketahui dulu asal-usul gadis itu. Kalau memang ia keturunan baik-baik dan ada alasan yang kuat mengapa ia sampai menyerang pasukan Kim-i-wi, tentu aku dan ibumu akan memikirkan tentang perasaanmu terhadap dia itu."
Souw Cong Hwi maklum sepenuhnya maksud ayahnya ini. Akan tetapi, ternyata bahwa dirinya, dan jarang sekali ia bicara tentang riwayatnya. Harus diakui bahwa gadis itu rajin sekali, melakukan semua pekerjaan seperti seorang pelayan tulen. Pelayan-pelayan lain dalam gedung itu tentu saja merasa heran dengan adanya pelayan baru ini, akan tetapi dengan cerdik, Nyonya Souw menyatakan bahwa pelayan ini adalah puteri seorang kenalan di dusun dan datang pada malam hari, dan diangkat menjadi pelayan dalam, melayani keperluan Nyonya Souw sendiri.
Cong Hwi adalah seorang pemuda terpelajar dan sopan, juga ia merasa malu-malu kepada Hwe Lan, maka jarang sekali dua orang muda ini bercakap-cakap. Pertemuan mereka dalam gedung itu hanyalah sepintas lalu saja.
Sepekan kemudian, ketika Cong Hwi tengah duduk seorang diri di ruang dalam tiba-tiba Hwe Lan datang ke ruang itu dan bertanya tentang peristiwa pelariannya itu. Dengan terus terang Cong Hwi menceritakan pengalamannya dan kemudian berkata,
"Karena itu, Nona, lebih baik kau jangan keluar dari gedung ini. mereka tahu bahwa kau masih belum keluar dari kota raja dan setiap hari kulihat mata-mata berkeliaran di dalam kota mencari-carimu, sedangkan untuk keluar dari pintu gerbang, amat sukar sekali. Jangankan kau, sedangkan aku sendiri pun selalu diamat-amati oleh para penyelidik, karena Gui-ciangkun merasa curiga terus kepadaku."
"Ah, kalau begitu, aku telah menerima budi besar sekali darimu, Kongcu, dan aku hanya membikin susah kau saja."
"Jangan berkata demikian, Nona. Sudah selayaknya kalau manusia saling menolong. Aku...aku percaya bahwa kau adalah seorang pendekar yang berbudi dan kepercayaanku akan lebih mendalam kalau saja kau suka berterus terang menceritakan riwayat hidupmu, agar aku dan orang tuaku mengetahui siapakah sebetulnya kau ini dan mengapa pula kau memusuhi Kim-i-wi."
Hwe Lan menarik napas panjang. Ia memang merasa berhutang budi dan menganggap pemuda ini sebagai seorang yang amat baik dan patut dikagumi serta dipercaya, akan tetapi, untuk menceritakan riwayatnya kepada seorang pemuda yang bukan apa-apanya, ia masih merasa berat.
"Souw-kongcu, tidak ada apa-apanya yang menarik dalam riwayat hidupku, dan sukar bagiku untuk menceritakannya kepadamu. Hanya satu hal yang perlu kuceritakan, yakni bahwa aku mempunyai seorang enci dan seorang adik perempuan. Mereka berdua sewaktu-waktu akan memasuki kota raja dan mencariku. Maka, apabila kau melihat mereka tolonglah beritahu kepadaku. Kalau tidak ingin menanti mereka, agaknya aku pun takkan berani mengganggu rumahmu lebih lama lagi."
Souw Cong Hwi biarpun masih muda akan tetapi ia dapat mengetahui bahwa gadis ini adalah seorang gadis yang selalu tabah sekali, juga berhati keras. Maka ia tidak mau mendesak karena tahu bahwa biarpun didesak akan percuma saja. Ia hanya menyanggupi untuk melihat kalau-kalau kakak dan adik gadis itu sudah datang. Diam-diam ia merasa khawatir juga mendengar bahwa dua orang gadis lain akan datang ke kota raja, karena kalau sampai terlihat oleh Gui-ciangkun dan Wai Ong Koksu, bukanlah itu berarti bahwa dua orang gadis itu hanya akan menghadapi bencana"
Sementara itu, setelah tinggal di dalam gedung sampai hampir sebulan dan belum juga ia mendengar tentang keadaan Siang Lan dan Sui Lan, Hwe Lan mulai gelisah dan tak tenang. Sampai berapa lama ia harus menanti" Ia sudah tak sabar lagi, ingin lekas-lekas mencari dan membalas dendam kepada perwira she Lee yang membunuh Nyo Hun Tiong dan gurunya, yakni Yap Sian Houw yang sudah dianggap sebagai orang tua sendiri. Akan tetapi, kalau sendiri mencarinya, kemana ia harus mencari" Ia sendiri masih menjadi orang buruan, maka berbahaya sekali kalau ia berusaha mencari di kota raja. Lalu ia teringat kepada Cong Hwi. Pemuda ini ilmu silatnya tidak rendah mungkin setingkat dengan kepandaiannya. Kalau pemuda ini dapat berkorban menolongnya, mengapa ia tidak berterus terang saja dan menaruh kepercayaan kepada Cong Hwi"
Malam hari itu, Cong Hwi sedang duduk di dalam taman bunga. Hatinya kecewa dan berduka. Ia benar-benar jatuh cinta kepada Hwe Lan, akan tetapi gadis itu agaknya tidak mempedulikannya. Bahkan tidak mempercayainya, buktinya gadis itu tidak mau menuturkan riwayat hidupnya. Padahal ayah ibunya takkan mau mengambil menantu seorang gadis yang tidak diketahui riwayat hidupnya. Andaikata ayah ibunya mau, belum tentu pula Hwe Lan suka menerimanya! Memikirkan semua ini, Cong Hwi benar-benar menjadi patah hati dan ia duduk melamun memandang ke arah bulan purnama yang membuat taman itu nampak makin indah. Akan tetapi tidak indah dalam pandangan Cong Hwi, bahkan melihat bulan berjalan-jalan seorang diri di angkasa itu membuat ia merasa lebih kesunyian lagi!
Tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki di belakangnya dan ketika ia menengok, ia melompat dengan girang. Ternyata, Hwe Lan yang datang itu.
"AH, kau...Nona Hwe Lan?" katanya.
"Kongcu, aku datang sengaja mencarimu untuk menuturkan riwayat hidupku untuk menuturkan riwayat hidupku dan juga untuk minta tolong kepadamu."
Bukan main girang hati Cong Hwi mendengar ini, seakan-akan suara ini datang dari bulan yang kini tersenyum indah.
"Katakanlah, Nona. Pertolongan apakah yang kau kehendaki" Tentu akan kulakukan sedapat mungkin."
Hwe Lan lalu menceritakan riwayatnya secara singkat. Ia menuturkan betapa ia dan kedua saudaranya adalah anak pemberontak Yap Sian Houw, seorang tokoh Siauw-lim-pai yang dimusuhi oleh para perwira. Ia ceritakan pula bahwa Nyo Hun Tiong pernah menolong jiwa mereka bertiga ketika masih kecil, betapa kemudian mereka belajar silat di bawah pimpinan Yap Sian Houw, Thian Hwa Nikouw, dan akhirnya digembleng oleh Toat-beng Sian-kouw, kemudian ia menuturkan pula betapa Yap Sian Houw yang mereka anggap sebagai ayah sendiri itu telah dibunuh oleh seorang perwira she Lee yang pandai mempergunakan panah.
"Demikianlah," ia menutup penuturannya. "Kami bertiga telah bertekat untuk mencari perwira she Lee itu untuk membalas dendam ini. Dan itu pula yang membuat kami bertiga menyerbu pasukan Kim-i-wi yang membongkar kuburan Nyo Hun Tiong Tahiap. Kami sama sekali tidak bermaksud memberontak terhadap Kaisar, sakit hati karena terbunuhnya banyak orang yang kami anggap sebagai orang tua dan penolong."
Souw Cong Hwi mengangguk-angguk mendengar penuturan ini. Hatinya amat terharu dan kasihan terhadap gadis yang malang ini. terutama sekali karena gadis ini adalah murid Toat-beng Sian-kouw sedangkan pendeta wanita itu adalah kawan baik sekali dari gurunya sendiri, bahkan ia pernah bertemu muka satu kali dengan pendeta wanita yang sakti itu.
"Kalau begitu, sebenarnya kita adalah orang sendiri," katanya setelah penuturan gadis itu habis. "Aku kenal gurumu itu karena Toat-beng Sian-kouw adalah sahabat baik dari Suhu."
"Siapakah suhumu?" tanya Hwe Lan tertarik.
"Suhuku adalah Pat-jiu Sin-kai Kwee-Sin."
"Aku pernah mendengar guruku menyebut nama ini. pantas saja ilmu silatmu demikian lihai."
"Ah, jangan terlalu memuji, Nona. Sekarang, ceritakanlah, pertolongan apakah yang dapat kulakukan untukmu" Dan kalau kau tidak berkeberatan, katakanlah sebetulnya kau ini anak siapakah" Siapakah ayah ibumu" Kau belum menceritakan hal ini tadi. Hanya kuketahui bahwa mendiang Yap Sian Houw adalah ayah angkatmu."
Mendengar pertanyaan ini, tiba-tiba berubahlah wajah gadis itu, ia menjadi pucat dan hanya kekerasan hatinya yang dapat membuat ia kuat menahan jatuhnya air mata. Ia nampak terharu sekali.
Cong Hwi terkejut melihat hal ini. "Nona Hwe Lan, maafkan kalau pertanyaanku ini kau anggap kurang ajar."
Hwe Lan menggeleng kepalanya dan setelah ia dapat menetapkan kembali hatinya, ia menjawab, "Souw-kongcu, kau adalah seorang yang telah banyak melepas budi kepadaku, perlu apakah aku harus menyembunyikan sesuatu lagi" Baik, kau ketahuilah. Memang benar bahwa Yap Sian Houw hanyalah ayah angkatku, sedangkan ayah kandungku sendiri pun telah terbunuh oleh perwira she Lee itu. Ketika hal itu terjadi, kami bertiga masih kecil dan kami tertolong oleh Nyo-taihiap yang kuburannya dibongkar oleh perwira-perwira Kim-i-wi itu! Sekarang kau mengerti mengapa kami bertiga mengamuk melihat kuburan penolong itu dibongkar orang. Kami masih demikian kecil sehingga kami tidak ingat lagi siapakah orang tua kami yang sebenarnya, bahkan kami tidak tahu lagi siapakah she (nama keturunan) kami!" Sampai di sini, Hwe Lan tak dapat menahan lagi keluarnya dua titik air mata dari pelupuk matanya.
"Karena itu, Kongcu," akhirnya ia dapat melanjutkan kata-katanya, "Tolonglah beritahukan kepadaku, di mana tempat tinggal perwira bangsat she Lee itu, karena aku tidak sabar lagi menanti kedatangan enci dan adikku. Aku hendak membalas dendam sekarang juga!"
Cong Hwi terkejut mendengar ini. "Nona, kau tidak tahu! Perwira she Lee yang kau maksudkan itu tentulah Lee Song Kang yang bergelar Sin-to (Golok Sakti) dan yang berpangkat busu. Siapa lagi kalau bukan dia yang pandai mempergunakan anak panah" Dia memang gagah perkasa dan selain anak panahnya juga ilmu goloknya amat lihai. Akan tetapi, dia sekarang tidak tinggal di kota raja lagi dan telah pindah ke kota Siang-kan-bun di Propinsi Kiang-si untuk menjabat pangkat komandan barisan penjaga di sana. Kau...kau tidak bisa dan tidak boleh pergi ke sana seorang diri!"
Bukan main girang hati Hwe Lan setelah mengetahui tempat tinggal musuh besarnya itu, akan tetapi ia kecewa karena ternyata musuh besarnya itu tidak tinggal lagi di kota raja. Mendengar kalimat terakhir dari pemuda itu yang melarangnya pergi ke sana, kedua matanya terbelalak heran.
"Mengapa tidak bisa" Dan apa sebabnya tidak boleh" Sekarang juga aku mau pergi ke sana!"
"Jangan...! Jangan, Hwe Lan!" Mendengar sebutan namanya ini, tanpa panggilan Nona seperti biasanya, Hwe Lan memandang makin heran dan mukanya menjadi merah. "Kalau kau pergi, hal itu berbahaya sekali," kata Cong Hwi pula yang tidak sadar bahwa tanpa disengaja ia menyebut nama nona itu begitu saja, "Sebelum kau keluar kota raja, kau tentu telah tertangkap! Penjagaan masih dilakukan keras sekali."
"Aku tidak peduli. Kalau memang aku akan tertangkap, biarlah, aku tidak takut. Bagaimanapun juga besar bahayanya, aku harus berusaha membalas dendam guruku, dendam orang tuaku, dan aku harus mencari keparat she Lee itu!"
"Hwe Lan...kalau sampai kau terkena celaka...ah, tidak tahukah kau bahwa orang satu-satunya yang akan kehilangan dan akan merasa berduka, adalah aku sendiri...?" Bagaikan mimpi Cong Hwi membuka rahasia hatinya.
Hwe Lan melangkah mundur dengan muka merah. "Apa..." Apa maksudmu Kongcu...?"
Cong Hwi menundukkan mukanya dan berkata perlahan,
"Hwe Lan, aku....aku cinta kepadamu, telah kurundingkan dengan ayah ibuku untuk...meminangmu sebagai..isteriku!"
Bukan main terkejutnya hati Hwe Lan mendengar pengakuan ini. Ia melangkah mundur lagi dua tindak dengan mata terbelalak dan muka merah. "Tidak, Kongcu!" katanya dengan napas tersengal. "Aku tidak berharga! Kau seorang putera pangeran, seorang bangsawan yang mulia dan berkedudukan tinggi! Sedangkan aku...aku seorang yatim piatu yang hina dina. Pula, aku harus membalas dendam ini. hanya inilah satu-satunya cita-cita hidupku, yang lain itu aku belum pernah memikirkan!" Setelah berkata demikian, gadis itu lalu berlari menuju ke kamarnya meninggalkan Cong Hwi yang berdiri bengong.
Kemudian Cong Hwi teringat bahwa Hwe Lan akan pergi, maka ia cepat bangun berdiri. "Aku harus melarangna pergi, kalau ia sampai celaka...!" Ia tidak dapat melanjutkan jalan pikirannya yang membuatnya berduka dan ngeri ini. Ia lalu berlari ke dalam gedung menemui ayah ibunya dan menceritakan segala percakapannya yang dilakukan demi gadis itu. Pemuda ini dengan muka pucat minta kepada ayah ibunya supaya membujuk gadis itu jangan pergi menempuh bahaya.
Pangeran Souw Bun Ong beserta isterinya lalu pergi ke kamar Hwe Lan dan membujuknya.
"Nona Hwe Lan," kata Pangeran Souw, "Kami tahu tentang maksudmu membalas dendam dan tentu saja kami tak dapat menghalangi kehendakmu itu. Akan tetapi segala hal harus dilakukan dengan hati-hati dan sempurna. Apakah artinya usahamu membalas dendam kalau kau tertangkap sebelum dapat keluar dari kota" Apakah itu bukan berarti membuang jiwa secara murah" Mari kita bekerja sama kami akan membantumu keluar dari kota. Tunggulah beberapa hari lagi, kami akan mencari jalan yang baik bagimu."
Mendengar ucapan ini, terpaksa Hwe Lan menurut karena ia anggap bahwa usul ini memang tepat sekali. Pada keesokan harinya, Pangeran Souw lalu mempergunakan pengaruhnya dan ia berhasil mengatur sedemikian rupa sehingga tiga malam kemudian, penjaga pintu gerbang di sebelah utara terdiri dari orang-orang kepercayaannya sendiri yang telah dipesan bahwa malam hari itu ia hendak menyelundupkan seorang pemuda keluar dari kota raja, agar supaya jangan diganggu. Setelah beres, ia lalu memberitahu kepada Hwe Lan yang telah menanti-nanti tak sabar lagi.
"Malam ini kau boleh keluar kota, Nona," kata Pangeran Souw. "Akan tetapi kau harus menyamar sebagai seorang pemuda dan keluar dari pintu utara. Para penjaga takkan mengganggu lagi. Akan tetapi, berhati-hatilah kau dan semoga kau selamat serta tercapai cita-citamu."
Nyonya Souw yang telah menganggap gadis itu sebagai keluarga sendiri, sambil mencucurkan air mata berkata,
"Hwe Lan, mengapa kau berkeras hendak pergi" Kau harus kembali lagi, Nak. Kau harus berjanji akan kembali lagi, kalau tidak, aku tidak rela melepasmu pergi..."
Hwe Lan terharu juga melihat kecintaan nyonya ini kepadanya. Ia memeluk nyonya itu dan tidak dapat menahan air matanya sendiri yang mengalir membasahi pipinya. "Aku akan kembali..." bisiknya dan Cong Hwi yang mendengarkan semua itu sambil menundukkan kepalanya, ketika mendengar suara ini lalu mengangkat muka memandang. Pada saat mengucapkan kata-kata itu, Hwe Lan memang memandang kepada pemuda itu, maka untuk sekejab, dua pasang mata, bertemu, mengandung janji yang hanya dimengerti oleh pemiliknya. Kemudian, Hwe Lan lalu mengadakan persiapan, dan dibantu oleh Nyonya Souw, ia menyamar sebagai seorang pemuda yang tampan!
Tanpa diketahui atau diduga sedikitpun oleh Hwe Lan, pada malam hari itu, seorang gadis lain berada pula di dalam kota dan gadis ini bukan lain ialah Siang Lan! Bagaimanakah Siang Lan bisa berada di kota raja" Sebelum menceritakan tentang Siang Lan, marilah kita bersama mengikuti lebih dulu perjalanan Sui Lan, gadis lincah gembira yang termuda di antara tiga dara pendekar Siauw-lim itu agar jangan terlalu lama kita berpisah dari dia!
Sui Lan yang terpisah dari kedua encinya, setelah tak berhasil bertemu dengan Hwe Lan atau Siang Lan, dengan bingung lalu melanjutkan perjalanannya seorang diri. Betapapun juga, ia harus menurut petunjuk gurunya, dan melanjutkan perjalanannya sesuai dengan rencana yang telah diatur, yaitu melalui Propinsi Hu-pei, Ho-nan, Sian-tung, dan terus ke kota raja.
Ia menduga bahwa kedua saudaranya, entah lebih dulu atau belakangan, tentu juga mengambil jalan ini dan akhirnya ia mengharapkan untuk bertemu dengan kedua encinya itu di kota raja atau di tengah jalan. Yang agak membingungkan hatinya adalah bahwa uang bekalnya telah habis sama sekali, karena ia memang tidak membawa uang dan kantung uang dibawa oleh Hwe Lan.
Akan tetapi, dasar ia bernasib baik, ketika ia sedang berjalan dengan bingung melalui sebuah hutan besar dan liar, tiba-tiba dari belakang gerombolan pohon berlompatan keluar delapan orang tinggi besar yang bersikap kasar. Sekali lihat saja tahulah Sui Lan bahwa mereka itu adalah perampok-perampok kejam, akan tetapi Sui Lan pura-pura tak melihat mereka dan berjalan terus ke depan.
Seorang di antara mereka yang bermuka merah melompat di tengah jalan, menghadangnya, sedangkan kawannya lalu melangkah maju pula dan mengurung gadis itu sambil tertawa-tawa menyeringai. Terpaksa Sui Lan menghentikan tindakan kakinya dan sambil tersenyum ia berkata,
"Eh, eh, kalian ini orang-orang apakah" Agaknya kalian ini yang biasa disebut orang-orang hutan, betulkah?"
Biarpun dimaki orang hutan, akan tetapi oleh karena gadis itu luar biasa cantik jelita dan juga tersenyum-senyum dengan mata berseri gembira, para perampok itu tidak menjadi marah, bahkan mereka semua lalu tertawa gembira.
"Ha-ha-ha!" Kepala rampok yang bermuka merah itu tertawa sambil memegangi perutnya yang besar dengan kedua tangan. "Kau benar, Nona cantik! Kita memang orang-orang hutan dan aku adalah rajanya, raja hutan yang kuat dan gagah! Dan kau patut menjadi permaisuriku, ha-ha-ha!"
"Ah, perutmu mengingatkan aku akan perut kerbau! Siapa sudi menjadi permaisurimu?" kata Sui Lan yang masih saja bersikap jenaka.
Kata-katanya ini kembali disambut gelak tertawa.
"Kau pilih yang kecil perutnya" Lihat, perutku kecil sekali, Nona manis!" kata seorang anggota perampok yang melompat maju.
Sui Lan memandang perampok itu yang bertubuh kurus kering dan tinggi bagaikan batang bambu. Tentu saja perutnya kecil sekali seakan-akan sudah sebulan perutnya tidak kemasukan sesuatu. Sui Lan memicingkan matanya dan bibirnya cemberut.
"Hm, kau seperti cacing tana! Geli aku melihatnya!"
Berganti-ganti para perampok itu maju menawarkan dirinya, dan kesemuanya dicela oleh Sui Lan yang menyebutkan cacat-cacatnya. Akhirnya kepala rampok itu berkata,
"Gadis manis, kau hendak pergi kemanakah?"
"Aku sedang melancong. Mengapa kalian menghadang di jalan" Minggirlah dan beri jalan padaku."
"Ha-ha-ha! Enak sekali kau bicara. Kau sungguh sembrono sekali melakukan perjalanan seorang diri di dalam hutan ini. seorang gadis cilik yang cantik jelita seperti kau, sungguh aneh, sungguh aneh! Ayah ibumu benar-benar tega sekali membiarkan kau melakukan perjalanan seorang diri. Serahkanlah bungkusanmu itu dan kau harus ikut dengan ka mi, agar jangan hidup seorang diri seperti ini. Sungguh kasihan sekali!"
Sui Lan tersenyum. "Hm, tak salah lagi. Kalian tentu perampok-perampok orang-orang hutan yang berlagak seperti manusia. Aku mendengar bahwa perampok-perampok mengumpulkan harta kekayaan dari orang-orang yang lewat dan karena sekarang aku perlu sekali uang bekal, maka kalian harus membayar pajak padaku!"
Para perampok itu saling pandang dan tertawa mengejek. Baru kali ini mereka mendengar ada orang, seorang gadis cantik pula, minta pajak dari mereka! Biasanya merekalah yang minta "pajak jalan atau pajak hutan kepada para korban yang lewat di situ.
"Kau benar-benar mengagumkan begini tabah dan berani, sama sekali tidak takut! Alangkah baiknya kalau kau menjadi permaisuriku!" kata kepala perampok itu yang segera bergerak maju hendak memeluk.
Sui Lan memandang dengan lagak yang mengejek dan berkata, "Pernah ada orang bilang bahwa orang hutan pandai menari seperti monyet, hendak kulihat kebenaran ucapan itu!" Begitu ucapan ini habis, ia bergerak cepat dan kakinya menendang ke arah kaki seorang anggota perampok yang berdiri dekat. Perampok itu hendak mengelak, akan tetapi ia kalah cepat dan tulang kering pada kakinya telah berkenalan dengan ujung sepatu Sui Lan yang menendang keras.
"Plak!" dan orang itu meringis-ringis kesakitan, mengaduh-aduh dan tanpa dapat ditahan karena sakitnya, ia mengangkat kaki yang tertendang itu dan berloncat-loncatan dengan sebelah kaki seperti orang berjingkrak-jingkrak menari!
"Aduh...aduh...aduh...!" tiada hentinya ia mengeluh dan melompat-lompat dengan sebelah kakinya.
Sui Lan tertawa geli dan menuding dengan tingkah lucu.
"Ha, benar saja, orang hutan pandai menari. Terus, terus! Alangkah lucunya.
Kawanan perampok itu merasa geli juga melihat kawan mereka ini, akan tetapi mereka juga mendongkol karena kawan mereka itu dipermainkan sedemikian rupa oleh gadis ini. dua orang segera menyergap hendak memeluk gadis yang cantik dan lincah itu, akan tetapi Sui Lan telah mendahului mereka dan menggerakkan kakinya. Kembali dua orang itu kena ditendang tulang kakinya sehingga seperti orang pertama tadi, mereka pun berjingkrak-jingkrak karena kaki itu terasa sakit sekali dan tulangnya mungkin telah retak!
"Aduh, lucunya..." Sui Lan bertepuk-tepuk tangan dengan girang. "Sekarang ada tiga monyet yang menari-nari! Ayo monyet yang mana lagi ingin menari?"
Para perampok tadinya mengira bahwa perbuatan Sui Lan yang pertama tadi hanya kebetulan saja, akan tetapi kini mereka maklum bahwa hal ini bukanlah terjadi secara kebetulan, akan tetapi memang gadis ini memiliki kepandaian. Kepala rampok menjadi marah dan mencabut goloknya diturut oleh empat orang anak buahnya, sedangkan tiga orang yang telah tertendang kakinya itu hanya dapat menonton sambil duduk di atas tanah dan mengurut-ngurut kakinya y ang terasa sakit sekali.
"Eh, tidak tahunya kau dapat juga bersilat!" kata kepala rampok itu sambil menuding kepada Sui Lan dengan goloknya. "Pantas saja kau berani melakukan perjalanan seorang diri. Akan tetapi, jangan harap kau akan dapat keluar dari tempat ini sebelum menyerah kepada kami, baik menyerah hidup-hidup atau menyerah mati!"
Sui Lan tersenyum. "Siapa yang mau keluar lekas-lekas" Kalau kau belum memberi pajak yang kuminta, yakni seratus tai perak dengan kantungnya yang baik agar mudah dibawa, jangan harap aku mau keluar dari tempat ini!" Juga gadis ini menggunakan telunjuknya menuding dan meniru sikap kepala rampok itu.
Kepala rampok itu menjadi marah dan dengan seruan keras ia lalu mengayun goloknya menyabet ke arah leher Sui Lan diturut pula oleh kawan-kawannya yang menyerang dengan hebat.
Akan tetapi, tentu saja orang-orang kasar ini bukanlah lawan Sui Lan yang berkepandaian tinggi. Sekali tubuh gadis itu berkelebat, para perampok menjadi melongo karena gadis itu telah lenyap dari depan mereka dan tahu-tahu telah terdengar suara ketawanya di belakang tubuh mereka! Dengan cepat mereka berbalik dan menyerang lagi, akan tetapi mengandalkan gin-kangnya yang tinggi, Sui Lan bergerak cepat ke sana kemari dan mempermainkan mereka bagaikan seorang dewasa mempermainkan lima orang anak-anak kecil!
Sambil mengelak ke kiri, tangannya yang dibuka jari-jarinya merupakan golok menyambar ke arah lawan dan "ngek!" seorang perampok terguling roboh karena perutnya kena dimasuki tangan itu. Ia bergulingan di atas tanah karena perutnya tiba-tiba menjadi "mulas" dan sakit sekali. Sui Lan tertawa-tawa kemudian tubuhnya menyambar lagi dengan kaki diayun. "Buk!" tubuh seorang pengeroyok terpental sampai lima kaki lebih dan jatuhnya kebetulan sekali menimpa seorang di antara tiga orang perampok yang kakinya kena ditendang tadi sehingga keduanya bergulingan sambil mengaduh-aduh. Tenyata orang itu kena ditendang pantatnya dengan keras oleh kaki Sui Lan!
Kini pengeroyoknya tinggal tiga orang lagi. Kepala rampok muka merah itu merasa penasaran sekali, dan juga terkejut. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis ini demikian lihai sehingga dengan tangan kosong sanggup menghadapi keroyokan lima orang bersenjata, bahkan dengan amat mudahnya telah merobohkan dua orang pengeroyok. Ia memutar-mutar goloknya dengan cepat dan ingin sekali dengan bacokan goloknya ia membuat tubuh gadis yang kecil itu terpotong menjadi dua. Kini nafsunya untuk mendapatkan gadis cantik itu lenyap, terganti nafsu untuk membunuh karena marah dan mendongkol.
Akan tetapi, dengan enaknya dan sambil tersenyum-senyum, Sui Lan mempermainkan mereka bertiga dan pada saat dua orang anak buah perampok menyerang dari kanan kiri, Sui Lan mengelak cepat, lalu kedua tangannya bergerak ke kanan kiri. "Plok! Plok!" kedua telapak tangannya telah menyambar muka dua orang itu sehingga keduanya berteriak. "Aduh...!" lalu menutupi muka mereka yang kena ditampar, karena tamparan tadi mengenai mata mereka sehingga terasa pedas dan kepala mereka menjadi pening. Sebelum mereka tahu harus berbuat apa, tiba-tiba rambut kepala mereka ada yang menjambak dan tiba-tiba..."Duk!" kepala mereka diadu satu kepada yang lain sehingga seakan-akan pecahlah dunia ini bagi mereka. Pandangan mereka berkunang-kunang dan tubuh mereka berputar-putar terhuyung-huyung ke kanan kiri, kemudian mereka roboh terguling dalam keadaan pingsan!
Tinggallah Si Kepala Rampok seorang yang masih melawan dengan goloknya, akan tetapi diam-diam ia mengeluh. "Celaka! Kali ini aku bertemu dengan siluman!" Akan tetapi Sui Lan tidak mau membiarkan kepala rampok itu menduga-duga lebih lama lagi. Sekali tangannya digerakkan, ia telah berhasil menotok jalan darah tai-hwi-liat di punggung kepala rampok itu sehingga Si Muka Merah berdiri dengan tubuh kaku! Biarpun ia masih berdiri dengan kuda-kuda kuat, kaki kanan di belakang dan kaki kiri di depan, tangan kirinya dikepal dan didekatkan di pinggang, sedangkan tangan kanan memegang golok yang diangkatnya untuk membacok, akan tetapi ia tidak kuasa menggerakkan tubuhnya lagi!
Sui Lan tertawa bergelak dan berkata, "Bagus, kau seperti sebuah patung penjaga kelenteng!"
"Lihiap, ampunkan kami..." kepala rampok itu masih dapat bicara, walaupun suaranya terdengar perlahan sekali.
"Kau suruh dulu anak buahmu mengambil uang pajak seratus tail perak itu!" kata Sui Lan.
Akan tetapi, kepala rampok itu agaknya berat untuk melakukan perintah ini dan diam saja tak menjawab. Sui Lan menjadi tak sabar dan sekali ia ulur tangan, golok di tangan kanan rampok itu telah ia rampas. Dengan golok itu ia lalu menuding ke arah perut Si Kepala Rampok yang gendut itu sambil berkata,
"Kalau tidak lepas kau keluarkan pajak itu, akan kubelah perutmu dan hendak kulihat apakah sebenarnya isi perutmu yang besar ini!"
Kepala perampok itu diam saja sedangkan anak buahnya yang telah siuman kembali memandang dengan ketakutan dan muka pucat. Mereka benar-benar telah membentur karang yang luar biasa kerasnya kali ini!
"Kau tidak rela memberi pajak itu" Baik, mari kita sama-sama lihat isi perutmu!" Sui Lan menggerakkan goloknya ke arah perut itu dan sengaja menusuk sedikit kulit perut di balik pakaian itu. Kepala perampok itu berjengit lalu berkata ketakutan, "Baik, Lihiap, baik..." Ia lalu berkata kepada seorang anak buahnya yang masih dapat berjalan untuk mengambil uang yang diminta itu dari sarang mereka yang berada di dalam hutan.
Anggota perampok yang diperintah itu lalu berlari ke dalam hutan dan tak lama kemudian, betul saja ia datang membawa sekantung uang. Ia memberikan kantung uang itu kepada Sui Lan dengan sikap menghormat, dan Sui Lan menerimanya sambil menimbang-nimbang beratnya dengan tangan kiri. Setelah membuka kantung dan mendapatkan kenyataan bahwa isinya betul uang perak, ia lalu tersenyum dan menyimpan kantung uang ittu ke dalam bungkusan pakaiannya.
"Nah, biarlah sedikit pajak ini menjadi pelajaran bagi kalian, bahwa ada kalanya merampas juga ada waktunya dirampas! Lain kali janganlah suka mengganggu gadis-gadis muda lagi dan jangan merampok secara sembarangan saja!" Ia lalu mengangkat kakinya menendang ke arah punggung kepala rampok itu yang roboh terguling, akan tetapi sekaligus totokan yang membuatnya kaku tak dapat bergerak itu telah dapat disembuhkan! Ketika mereka memandang ternyata gadis yang luar biasa itu telah melompat jauh dan lenyap dalam sebuah tikungan jalan.
Senanglah hati Sui Lan setelah mendapatkan bekal ini karena ia tak usah merasa kuatir lagi dalam perjalanan. Beberapa hari kemudian, ia sampai di Propinsi Ho-nan dan ketika ia tiba di kota Kang-cu, ia berhenti dan bermalam di kota itu, karena ia amat tertarik dengan keindahan dan keramaian kota.
Ketika Sui Lan memasuki ruang sebuah hotel besar untuk mencari kamar, ia bertemu dengan tiga orang laki-laki yang sikapnya menunjukkan sebagai ahli-ahli silat, ia melihat tiga orang itu mengerlingkan dengan pandang tajam penuh kekaguman. Ia tidak melayani mereka dan pura-pura tidak melihatnya, akan tetapi memandangnya dengan penuh perhatian. Hatinya mendongkol bukan main karena biarpun ia tidak merasa heran melihat mata laki-laki mengikutinya dan hal ini sudah seringkali dialaminya di mana-mana, akan tetapi memandang orang di dalam hotel seperti itu, sungguh terlalu sekali!
Ia mendapatkan sebuah kamar di bagian belakang dan setelah memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa kamar itu cukup bagus, ia lalu memasuki kamar itu dan beristirahat.
Hari itu sudah mulai gelap, karena masih lelah, Sui Lan tidak mau keluar dari hotel dan mengambil keputusan untuk berjalan-jalan besok pagi saja. Setelah membersihkan tubuh dan makan malam, ia terus tinggal di dalam kamarnya, tidak keluar lagi. Akan tetapi, menjelang tengah malam, ia mendengar suara bisik-bisik di luar jendela kamarnya dan cepat ia melompat turun dengan hati-hati dan mengintai keluar. Ia melihat ada bayangan tiga orang berada di luar kamarnya dan mendengar percakapan mereka sambil berbisik,
"Jangan, Sute, jangan berlaku sembrono. Kalau diketahui oleh orang lain, nama kita akan rusak!"
"Aku tidak takut," jawab suara lain, "apa peduli orang lain dengan urusan kita" Bunga seindah itu sayang sekali kalau tidak dipetik!"
"Hush, jangan begitu, Sute. Kita sedang menghadapi urusan besar besok pagi, kalau sampai diketahui orang, apakah kita tidak malu terhadap anak-anak murid Go-bi" Jangan kita merendahkan nama sendiri. Soal bunga itu, mudah saja kita petik kalau sudah selesai urusan besok pagi, atau kita boleh mencegatnya di luar kota kalau ia pergi. Akan tetapi jangan sekarang, apalagi jangan di tempat ini!"
Bayangan itu pergi lagi dan Sui Lan merasa gemas dan mendongkol sekali. Ia maklum bahwa tiga bayangan itu adalah orang-orang yang siang tadi dilihatnya ketika ia memasuki hotel itu dan dari percakapan mereka, ia maklum pula bahwa mereka adalah bangsa jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang suka mengganggu anak bini orang. Hal ini pernah ia dengar dari gurunya dan menurut pesan gurunya, apabila ia dan enci-encinya bertemu dengan penjahat macam ini, boleh terus dibunuh jangan diberi ampun lagi! Memang dapat dimaklumi perasaan dan kebencian hati wanita menghadapi perusak-perusak wanita ini.
Tiga Dara Pendekar Siauw-lim Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sui Lan berjanji di dalam hati sendiri untuk menyelidiki keadaan tiga orang itu dan kalau betul-betul mereka adalah penjahat-penjahat pemetik bunga seperti yang ia duga, ia akan membasmi mereka. Juga ia tertarik mendengar percakapan mereka yang menyebut-nyebut nama Go-bi-pai. Terang bahwa mereka bukan anak murid Go-pi-pai, dan entah apa hubungan mereka dengan Go-bi-pai.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sui Lan telah bangun dan bersiap sedia melakukan pengintaian. Ia tahu bahwa tiga orang yang hendak diselidikinya itu juga bermalam di situ, maka ketika ia melihat mereka keluar dari hotel, ia lalu cepat menyusul dan mengikuti mereka dari belakang. Mereka menuju ke tengah kita, pusat keramaian kota itu dan dari jauh Sui Lan telah mendengar suara gembreng dan tambur.
Tiga orang yang diikutinya itu langsung menuju ke tempat yang ramai itu dan ternyata di tengah-tengah lapangan yang penuh orang, terdapat sebuah panggung lui-tai (panggung tempat bermain silat) yang tingginya hampir dua tombak. Dia tas panggung yang lebar itu, terdapat dua orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, dan mereka inilah yang memukul tambur dan gembreng. Sikap kedua orang ini menyatakan jelas bahwa mereka adalah orang-orang kuat yang mengerti ilmu silat dan mereka selalu memandang ke sana kemari seakan-akan menanti datangnya orang-orang lain.
Tiga orang dari hotel yang diikuti Sui Lan itu menghampiri lui-tai dan gerakan tangan mereka melompat ke atas panggung, disambut oleh dua orang itu yang melepaskan tetabuhan mereka dan segera mereka bercakap-cakap. Setelah itu, seorang di antara tiga orang yang diikuti oleh Sui Lan tadi, berdiri menghadapi penonton yang telah banyak berkumpul, mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata dengan suara lantang, "Cuwi sekalian yang terhormat! Kami dan Go-bi-pai, hari ini sengaja membuka panggung lui-tai ini untuk mendemonstrasikan ilmu silat dari kedua cabang kami dengan harapan agar khalayak ramai dapat menikmati keindahan ilmu silat cabang Bu-tong-pai dan Go-bi-pai. Telah lama kami mendengar bahwa di kota ini terdapat banyak orang pandai dari berbagai cabang, di antaranya dari cabang Siauw-lim, cabang yang telah memberontak dan telah ditumpas oleh kerajaan itu. Dari para ahli silat lain cabang, kami mengharapkan petunjuk-petunjuk apabila terdapat kekurangan dalam pertunjukan kami, sedangkan apabila di sini masih terdapat sisa anak murid Siauw-lim-pai, kami menantang mereka untuk naik ke panggung dan mengadu kepandaian!"
Setelah anak murid Bu-tong-pai ini mengangkat bicara maka tambur dan gembreng dipukul lagi sedangkan para penonton makin banyak datang menonton. Sui Lan merasa mendongkol sekali mendengar ucapan itu dan ia memperhatikan dengan mata tajam. Orang yang bicara tadi usianya kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan matanya mengandung sifat kejam. Orang kedua yang tadi diikutinya, adalah seorang yang berusia kira-kira tiga puluh tahun, berwajah tampan dan pakaiannya mewah, tanda bahwa ia seorang pesolek. Orang ketiga juga berusia kira-kira tiga puluh tahun dan bermuka hitam. Tiga orang ini kini mudah diduga bahwa mereka adalah anak murid Bu-tong-pai dan melihat cara mereka melompat ke atas panggung tadi, dapat diduga bahwa kepandaian mereka cukup lihai. Dua orang anak murid Go-bi-pai itu pun nampak gagah. Yang seorang bermuka kuning dan biarpun tubuhnya tinggi besar, akan tetapi kelihatan kurus dan gerak geriknya lambat, tanda bahwa dia adalah seorang ahli lwee-keh yang memiliki tenaga lwee-kang tingkat tinggi. Orang kedua mempunyai gerak gerik gesit dan matanya lebar dan bundar menakutkan.
Anak murid Go-bi-pai yang bermata bundar ini lalu maju ke tengah panggung dan menjura keempat penjuru kepada penonton sambil berkata dengan suaranya yang besar dan parau,
"Siauw-te Boan Swe memperlihatkan sedikit kebodohan!"
Setelah berkata demikian, ia lalu mencabut goloknya dan mulai bersilat. Ilmu goloknya dari cabang Go-bi-pai cukup indah dan cepat sehingga goloknya berkelebatan menyilaukan mata penonton. Semua orang menyambut permainan ini dengan tepuk tangan menyatakan kekaguman mereka, akan tetapi diam-diam Sui Lan mentertawakan karena permainan itu hanyalah di luarnya saja nampak indah dan menakutkan, akan tetapi sebenarnya kurang isi.
Setelah Boan Swe selesai bersilat, murid Bu-tong-pai yang tertua maju ke tengah panggung dan berkata kepada para penonton,
"Cuwi sekalian. Tadi seorang saudara dari Go-bi-pai telah mempertunjukkan ilmu goloknya. Apabila di antara saudara sekalian ada yang sudi naik ke panggung untuk bermain-main dengan dia, maka kami akan berterima kasih sekali. Terutama kami tujukan kepada anak murid Siauw-lim-pai, kalau kebetulan ada yang berada di antara para saudara penonton, harap naik dan boleh mencoba-coba kepandaian!"
Di dekat tempat Sui Lan berdiri, terdapat empat orang pemuda yang berpakaian seperti pelajar. Mereka ini bicara bisik-bisik satu kepada yang lain dan Sui Lan yang berpendengaran tajam dapat menangkap sedikit kata-kata mereka ketika seorang di antaranya berkata,
"Lo-heng, tak perlu kita melayani segala macam orang kasar seperti mereka."
"Akan tetapi hatiku amat panas, mendengar Siauw-lim-pai dipandang rendah seperti itu!!" kata seorang lain. "Biarlah aku mencobanya juga." Setelah berkata demikian, orang yang bicara ini lalu melompat ke atas panggung.
"AH, Twa-suheng terlalu gegabah," kata seorang lain.
Ketika pemuda yang berpakaian putih itu melompat ke atas panggung, semua penonton bersorak karena mereka merasa gembira dan mengharapkan menonton pertandingan yang hebat. Pemuda itu menjura kepada murid Bu-tong-pai tadi dan berkata,
"Siuw-te seorang she Bun ingin menerima pelajara,"
"Bagus!" seru orang Bu-tong-pai itu. "Aku bernama Gan Kong, tidak tahu saudara dari cabang persilatan manakah?"
"Siauw-te tidak termasuk anggota cabang persilatan yang manapun juga, akan tetapi siauw-te pernah mempelajari sedikit ilmu silat Siauw-lim."
Bersinarlah mata Gan Kong mendengar ini. "Hm, jadi kau adalah anak murid Siauw-lim-pai?" Juga kawan-kawannya yang empat orang itu memandang penuh perhatian.
"Sudah kukatakan bahwa aku bukan anggota cabang persilatan manapun juga, jadi bukan anggota Siauw-lim-pai, akan tetapi aku pernah mempelajari ilmu silat Siauw-lim. Apakah hal ini juga merupakan sesuatu yang harus dipandang rendah?"
Mendengar percakapan mereka yang telah mulai "panas" itu, para penonton menjadi makin gembira dan tegang.
Sementara itu, Gan Kong mengangguk-angguk dan tersenyum mengejek.
"Kalau saudara bukan anggota Siauw-lim-pai, itu bagus sekali. Lagi pula saudara tidak kelihatan seperti pemberontak, maka tentu saja saudara bukan anggota cabang persilatan penjahat itu! Dengan siapakah kau hendak bermain-main" Dengan saudara Boan dari Go-bi-pai tadi ataukah dengan aku atau sute-suteku dari cabang Bu-tong-pai?" Sikap dan bicara orang she Gan ini amat memandang rendah dan berkali-kali ia menyatakan kebenciannya kepada Siauw-lim-pai, maka Sui Lan yang mendengar ini hampir saja tak dapat menahan kesabarannya lagi.
Pemuda baju putih she Bun itu tersenyum dan menahan kemarahannya. "Dengan siapa saja pun boleh!"
"Kalau begitu, biarlah aku yang melayanimu. Mari, mari, ingin kulihat sampai di mana kau mempelajari ilmu silat busuk dari cabang persilatan Siauw-lim-pai yang jahat itu!" kata Gan Kong dengan sombongnya sambil membuka jubah luarnya dan tersenyum simpul. Melihat sikapnya ini, hampir sebagian besar para penonton segera menaruh simpati kepada pemuda baju putih itu dan diam-diam mengharapkan agar supaya pemuda itu akan berhasil mengalahkan Gan Kong yang sombong itu.
Sui Lan mendengar betapa Gan Kong mengeluarkan ucapan yang amat menghina Siauw-lim-pai, tentu saja menjadi panas perutnya dan sudah gatal-gatal tangannya hendak memberi hajaran keras kepada orang itu. Akan tetapi, oleh karena pemuda she Bun itu telah menghadapi Gan Kong, maka ia menahan sabar dan di dalam hatinya ia berjanji akan membantu pemuda she Bun yang pernah mempelajari ilmu silat Siauw-lim-pai.
Gan Kong tertawa mengejek ketika melihat pemuda itu memasang kuda-kuda sambil tertawa-tawa ia mulai menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah pelipis pemuda itu. Lawannya cepat merubah kedudukan kuda-kudanya dan merendahkan tubuh sambil mengangkat tangan menangkis lalu balas menyerang dengan sodokan ke arah perut Gan Kong yang cepat menarik tangannya dan mencengkeram ke arah tangan lawan yang memukul. Pemuda itu kaget melihat gerakan Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda) ini dan menarik tangannya lalu menyerang lagi dengan sambaran tangan kiri dari samping ke arah leher lawan.
Melihat gerakan pemuda ini, Sui Lan maklum bahwa pemuda itu telah mempelajari ilmu silat Lo-han Kun-hwat dari Siauw-lim-pai dan biarpun kepandaianya cukup baik serta kegesitannya juga lumayan, akan tetapi sebentar saja ia dapat mengetahui bahwa pemuda ini bukanlah lawan berat bagi Gan Kong yang memiliki kepandaian lebih tinggi dan tenaga yang lebih besar.
Dugaannya memang benar, karena pada saat pemuda she Bun itu melakukan serangan dengan pukulan keras ke arah dada Gan Kong, murid Bu-tong-pai itu sambil berseru keras lalu menangkis dari samping sehingga ketika kedua lengan tangan beradu, pemuda she Bun itu terhuyung mundur dan mukanya meringis kesakitan sedangkan tangannya nampak biru! Akan tetapi ia masih belum menerima kalah, juga tidak ada kesempatan untuk mengaku kalah, karena gan Kong sambil tertawa-tawa mengejek terus mendesak dengan pukulan-pukulan maut!
Sui Lan terkejut sekali karena kini Gan Kong akan mempergunakan ilmu Coat-meh-hoat, yakni ilmu tiam-hwat (totokan) dari Bu-tong-pai yang berbahaya. Coat-meh-hoat adalah ilmu totok yang dilakukan tanpa mencari urat-urat tertentu dan jari-jari tangan Gan Kong yang nampak hitam itu mempunyai kekuatan yang dapat menembus dinding bata dengan sekali tusuk! Tiga jari tangannya, yakni telunjuk jadi tengah dan jari manisnya, karena selalu dilatih, menjadi sama panjangnya dan celakalah kalau pemuda she Bun itu sampai terkena tusukan jari-jari ini yang biarpun tidak runcing, akan tetapi akan dapat menembus kulit dan dagingnya! Apalagi Gan Kong ternyata berhati kejam dan ganas sekali, terbukti dari serangan-serangannya yang selalu ditujukan ke tempat berbahaya dari lawannya! Ini bukanlah merupakan pibu (adu tenaga) lagi, bukan sekedar mengukur kepandaian, akan tetapi lebih tepat disebut usaha pembunuhan!
Dengan gerakan yang amat kuat, Gan Kong menusukkan jari tangan kanannya ke arah mata pemuda she Bun itu sambil berseru, "Shaaaat!" dan pemuda itu terkejut sekali cepat miringkan kepala dan menghindarkan diri dari tusukan itu, akan tetapi jari-jari tangan kiri Gan Kong menyusul cepat, ditusukkan ke arah lambungnya dengan cepat dibarengi bentakan, "Shiiii!"
Pemuda she Bun itu merasa betapa tusukan jari tangan itu mendatangkan angin sehingga ia cepat-cepat memutar tubuh dan merubah kedudukan kakinya. Sungguhpun ia berhasil menghindarkan diri dari serangan ini, akan tetapi tubuhnya menjadi suli kedudukannya dan Gan Kong tidak mau memberi ampun lagi kepadanya, terus melancarkan tusukan-tusukan dengan kedua tangannya yang dibuka jari-jarinya. Jari tangan yang kuat itu ditusukkan secara bertubi-tubi ke arah leher, lambung, perut, mata, pusar dan sambung menyambung sehingga pemuda she Bun itu menjadi sibuk sekali menangkis, mengelak, dan sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk membalas! Akhirnya ketika keadaan sudah terdesak sekali, Gan Kong menyerang terus sambil tertawa masam dan mengejek.
"Ha-ha! Begini saja ilmu silat Siauw-lim yang buruk dan busuk! Ha-ha! Berkelitlah, tangkislah, larilah...!" Dan kini setiap kali ia menusuk, ia barengi dengan ejekan-ejekan, "Awas lehermu, awas perut! Awas mata!" Dan ini pemuda she Bun itu hanya bisa mundur sambil melangkah berputar-putar di atas panggung dengan napas terengah-engah. Ketika tusukan ke arah matanya ia hindari, ia kurang cepat dan jari-jari tangan kiri Gan Kong yang kuat telah menyerempet pipinya sehingga robek kulitnya dan darah memenuhi bagian mukanyaini. Pemuda itu terhuyung-huyung, akan tetapi Gan Kong tidak mau berhenti dan terus maju menyerang dengan tusukan ke arah ulu hati yang tentu akan mendatangkan maut apabila terkena. Pemuda she Bun itu cepat menjatuhkan dirinya untuk mengelak dari serangan maut ini, akan tetapi pada saat itu, kaki tangan Gan Kong menyambar sehingga ia terguling-guling di atas panggung. Untung bahwa kaki itu hanya mengenai pahanya, akan tetapi Gan Kong benar-benar kejam. Sambil tertawa-tawa ia memburu dan kakinya yang bersepatu sol besi itu diangkat tinggi untuk diinjakkan keras-keras ke arah kepala pemuda she Bun!
Para penonton menahan napas, bahkan ada yang berseru ngeri dan pemuda she Bun yang maklum bahwa apabila kepalanya kena injak ia akan menderita luka hebat lalu berusaha sedapatnya untuk menghindarkan kepalanya dari serangan ini. Ia bergulingan dengan gerakan Naga Bermain-main Dengan Mustika. Tubuhnya bergulingan dengan cepat, akan tetapi sambil tertawa-tawa Gan Kong mengejar dengan injakan-injakan kedua kakinya. Benar-benar jiwa pemuda she Bun itu terancam hebat!
Pada saat itu, Sui Lan tak dapat menahan sabar lagi. Ia melihat betapa tiga orang kawan she Bun itu memandang pucat dan tak berdaya ke atas panggung, maka ia lalu mengeluarkan thi-lian-ci dan dua kali tangannya bergerak menyambit dengan thi-lian-ci berturut-turut ke arah Gan Kong.
Gan Kong yang sedang berusaha menginjak kepala lawannya, tiba-tiba mendengar sambaran angin dekat sekali dengan telinga kanannya. Ia terkejut dan maklum bahwa ada senjata rahasia yang menyambar, maka cepat ia miringkan kepala ke kiri. Tak terduga sama sekali pada saat itu senjata rahasia kedua menyambar ke arah telinga kirinya dan biarpun ia berusaha mengelak, akan tetapi sudah tak keburu lagi. Ia berteriak kesakitan dan pinggir daun telinganya sebelah kiri menjadi robek tertembus thi-lian-ci! Darah mengucur dari daun telinganya dan ia menggunakan tangan untuk menutupi daun telinga kiri itu. Sementara itu pemuda she Bun telah melompat berdiri lalu cepat-cepat melompat turun dari panggung.
Bukan main marahnya Gan Kong. Mukanya menjadi merah bagaikan kepiting direbus. Sambil memegangi telinganya ia memandang ke arah dari mana datangnya senjata rahasia tadi.
"Bangsat keji yang curang!" ia memaki. "Orang yang melepas senjata gelap, naiklah untuk terima binasa!"
Tak seorangpun melihat gerakan Sui Lan yang amat cepat itu, maka semua penonton terheran-heran melihat betapa tiba-tiba telinga orang kejam itu telah menjadi robek pinggirnya. Semua orang bersyukur melihat bahwa pemuda she Bun itu terhindar dari bahaya maut, akan tetapi sekarang mereka menjadi ketakutan ketika melihat Gan Kong menjadi demikian marah.
Sui Lan telah siap untuk melompat naik ke atas panggung, akan tetapi, tiba-tiba dari bawah panggung berkelebat bayangan putih dengan gerakan gesit sekali dan tahu-tahu di depan Gan Kong telah berdiri seorang pemuda yang tampan dan gagah, berpakaian putih bersih dan pinggangnya diikat sabuk sutera biru topinya juga berwarna biru dihias ronce-ronce benang emas. Sui Lan tercengang dan memandang dengan mata terbelalak heran karena ia mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang menunggang kuda putih yang pernah bertemu bahkan bertempur dengan dia pada waktu ia baru saja turun dari gunung! Entah mengapa, ia melihat pemuda ini, hatinya berdebar girang, seakan-akan merasa bertemu dengan seorang sahabat lama yang baik! Kalau sekiranya lain orang yang naik ke panggung, tentu ia takkan memperbolehkan dan akan melompat pula dan menggantikan orang itu. Akan tetapi, melihat pemuda itu yang melompat menghadapi Gan Kong ia bahkan merasa girang dan ingin sekali melihat sepak terjang pemuda itu, karena ia pun maklum bahwa ilmu kepandaian pemuda itu lihai sekali.
Dengan senyum lebar pemuda itu berdiri di depan Gan Kong yang memandangnya dengan mata bernyala.
"Kaukah yang melakukan serangan am-gi (senjata gelap) secara pengecut tadi?" bentak Gan Kong dengan tangan terkepal karena menahan marahnya.
Pemuda itu tersenyum lucu dan menjawab sambil miringkan kepala dan memandang penuh ejekan, "Bukan, bukan aku. Akan tetapi aku merasa girang bahwa telingamu yang tebal seperti telinga keledai itu diberi sedikit hajaran. Hanya sayang sekali, pelempar thi-lian-ci tadi terlalu seji (sungkan-sungkan), karena seharusnya bukan hanya telingamu yang dihajar, akan tetapi juga mulutmu karena terlalu kurang ajar dan sombong!"
Bukan main herannya hati semua penonton mendengar ucapan pemuda yang luar biasa beraninya ini, dan bukan main marahnya hati Gan Kong mendengar sindiran ini sehingga ia mengertakkan gigi menahan marah. Bahkan Sui Lan juga merasa mendongkol sekali karena dicela oleh pemuda yang lihai itu. Diam-diam ia merasa kagum karena pemuda itu telah tahu bahwa senjata rahasia yang melukai telinga Gan Kong adalah thi-lian-ci dan tiba-tiba Sui Lan merasa mukanya merah dan hatinya berdebar. Kalau pemuda itu telah tahu bahwa senjata rahasia tadi thi-lian-ci, tentu pemuda itu tahu pula bahwa dialah yang melepaskan am-gi itu, karena dulu ia pernah pula menyerang pemuda itu, bahkan encinya, Hwe Lan pernah menyerangnya dengan thi-lian-ci ke arah telinganya!
"Bangsat bernyali besar!" teriak Gan Kong dengan marah. "Aku tidak perlu dengan kau, yang kuminta naik adalah penyerang gelap tadi!"
Pemuda itu tersenyum pula penuh ejekan. "Bangsat bernyali kecil!" ia balas memaki. "Menurut aturan pibu, siapa yang maju lebih dulu, ia berhak ddilayani paling dulu pula! Tentang Si Penyerang dengan thi-lian-ci tadi, jangan khawatir, nanti dia juga tentu akan muncul untuk menambah dengan beberapa butir thi-lian-ci lagi pada mulut dan hidungmu sampai mukamu penuh dengan thi-lian-ci! Akan tetapi sekarang, akulah yang harus kau layani lebih dulu!"
Diam-diam Sui Lan tersenyum geli mendengar ucapan yang amat nakal dan jenaka itu, dan tanpa diketahuinya, sepasang matanya yang indah itu berseri gembira.
Gan Kong memandang tajam kepada pemuda itu dengan penuh perhatian. Ia melihat bahwa pemuda yang cakap ini usianya paling banyak dua puluh tahun, sikapnya lemah lembut dan cara ia menegakkan kepalanya seperti seorang bangsawan. Dari balik punggungnya nampak gagang pedang yang dironce benang merah.
"Kau siapakah" Apakah kau juga anak murid Siauw-lim-pai" Siapakah namamu?"
"Kau ingin mengetahui namaku" Baiklah, kau memang harus mengetahui namaku agar supaya kau tahu siapakah orangnya yang telah mengalahkan kesombonganmu. Aku bernama The Sin Liong, dan tentang cabang persilatanku, aku harus menyatakan bahwa aku tidak mempunyai cabang persilatan. Aku tidak mau membawa-bawa nama perguruan untuk dipakai menyombong dan menghina lain orang seperti kau dan kawan-kawanmu ini. Kalau kau memang mempunyai sedikit kepandaian, majulah dan kita boleh main-main sebentar. Sebaliknya kalau kau tidak becus apa-apa, lebih baik kau simpan kesombonganmu, pulang kembali ke tempat perguruanmu untuk belajar sedikitnya sepuluh tahun lagi!"
Orang-orang yang menonton mulai merasa gembira mendengar ucapan dan melihat sikap pemuda ini. Dengan sikapnya yang lucu dan sama sekali tidak mempedulikan kemarahan orang yang diganda tersenyum saja itu, pemuda yang bernama The Sin Liong ingin melenyapkan suasana tegang dan menimbulkan kegembiraan dalam hati para penonton.
Pada saat itu, orang Go-bi-pai yang bermuka kuning dan kurus itu berdiri dan berkata kepada Gan-kong,
"Gan-loheng, biarlah siauw-te yang menghadapi pemuda ini. Kau telah bertempur dan lebih baik beristirahat dulu sambil merawat luka di telingamu."
Gan Kong memang hendak menyiapkan tenaganya untuk menghadapi orang yang telah melukai telinganya, dan karena darah dari daun telinganya masih membasahi leher, ia pikir lebih baik mundur dulu dan memberi giliran kepada kawannya ini. maka ia mengangguk dan melompat mundur.
Murid Go-bi-pai ini yang bermuka kuning dan gerak-geriknya menunjukkan bahwa ia ahli lwee-keh yang pandai, lalu menghadapi pemuda itu dan berkata,
"Saudara muda yang gagah, sebenarnya datang dari perguruan manakah" Aku Boan Kin dari Go-bi-pai mohon penjelasan."
Melihat sikap anak murid Go-bi-pai ni tidak sesombong Gan Kong, pemuda ini lalu berkata sambil memandang tajam,
"Saudara Boan Kin, lupakah kau akan pelajaran dari perguruanmu bahwa anak murid Go-bi-pai tidak boleh bergaul dengan orang-orang jahat" Akan tetapi kau tidak saja berkawan dengan orang-orang kasar dan jahat, bahkan sambil bersekutu dengan mereka kau hendak menyombongkan nama perguruan dan kepandaianmu, menghina orang lain secara sewenang-wenang" Kalau Pek Bi Locianpwe (Pek Bi Tojin) masih hidup, bukankah kau akan mendapat hukuman berat karena pelanggaran ini?"
Boan Kin tercengang dan wajahnya pucat. Tentu saja sebagai murid Go-bi-pai ia mengerti tentang pelajaran itu dan mengerti pula bahwa Pek Bi Tojin ketika hidupnya amat keras terhadap anak muridnya yang melanggar larangan-larangan. Akan tetapi, tidak sembarangan orang dapat melihat cacat diri sendiri. Ia tidak merasa salah bergaul dengan anak murid Bu-tong-san, dan tidak merasa salah pula menghina orang-orang Siauw-lim yang pernah bermusuhan dengan cabang persilan Go-bi-pai.
"Anak muda!" katanya dengan suara mulai menyatakan kemarahannya. "Jangan mencoba untuk menjadi penasehatku. Urusan peraturan dan lain-lain dari Go-bi-pai adalah urusan perkumpulan kami, kau sebagai orang luar tak berhak ikut campur! Terus terang saja, aku amat benci pada murid-murid Siauw-lim-pai dan kalau kau seorang murid Siauw-lim-pai, kita boleh mengadu jiwa di atas panggung ini. sebaliknya kalau kau bukan murid Siauw-lim-pai dan tidak mempunyai permusuhan dengan kami, lebih baik kau turun saja atau boleh saja kita mengadakan pibu untuk perkenalan!"
"Aduh galaknya!" kata Sin Liong sambil tersenyum.
"Memang sukar melihat bisul di punggung sendiri!"
"Apa maksudmu?" tanya Boan Kin.
"Melihat bisul di punggung sendiri berarti insaf akan kekeliruan diri sendiri. Baiklah, kau anggap saja aku seorang lancang yang naik ke panggung ini untuk mencoba sampai di mana kelihaian anak-anak murid Go-pi-pai dan Bu-tong-pai yang sombong. Kulihat di sini terdapat dua orang murid Go-bi-pai, mengapa kau tidak maju dengan saudaramu itu?" Sambil berkata demikian, Sin Liong menuding ke arah anak murid Go-bi-pai yang lebih muda dan yang bermata lebar itu.
Para penonton makin terasa heran. Apakah pemuda ini sudah gila dan tidak terlalu gegabah"
Sementara itu murid Go-bi-pai yang bermata lebar itu sebetulnya adalah adik kandung Boan Kin dan bernama Boan Swe, watak Boan Swe tidak sesabar kakaknya dan ia terkenal berangasan sekali. Oleh karena itu, mendengar ejekan dan tantangan pemuda itu, ia melompat ke atas panggung dan sepasang matanya yang besar itu makin melebar dan bola matanya berputar-putar mengerikan.
"Bangsat pemuda yang sombong!" teriaknya gemas sambil menuding ke arah hidung pemuda itu. "Apakah kau sudah bosan hidup maka berani bertingkah sesombong ini?"
"Bangsat tua!" Tha Sin Liong balas memaki dan sengaja menyebut bangsat tua sebagai balasan, sungguhpun Boan Swe baru berusia tiga puluh tahun lebih. "Kalau aku sudah bosan hidup, nanti aku naik ke panggung ini. Jangan banyak membuka mulutmu yang besar dan jangan pula menakut-nakuti aku dengan sepasang matamu yang seperti mata kerbau itu, kau dan saudaramu ini majulah!"
Akan tetapi, Boan Kin masih merasa ragu-ragu dan malu untuk mengeroyok seorang pemuda seperti ini, karena hal ini akan menjatuhkan namanya, maka ia bertanya,
"Anak muda, benar-benarkah kau menghendaki kami berdua maju bersama" Jangan kau main-main!"
"Saudara yang baik," kata Sin Liong sambil tersenyum sabar, "aku pernah mendengar bahwa seorang tokoh besar dari Go-bi-pai pernah menciptakan ilmu golok pasangan yang disebut Im Yang Siang-to-hwat dan yang amat kuat apabila dimainkan oleh dua orang. Kau dan kawanmu ini menggendong golok telanjang di punggung, tentu kalian adalah ahli-ahli ilmu golok tersebut. Oleh karena itu, biarlah kalian maju bersama mainkan ilmu golok itu agar aku dapat mengenal kelihaiannya!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es 10 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pengejar Nyawa 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama