Ceritasilat Novel Online

Walet Besi 6

Walet Besi Karya Cu Yi Bagian 6


kebelakang dengan suara berdebam lalu tidak bergerak lagi.
tusukan Cu Siau-thian sungguh sangat akurat.
"Kie-hong!" Cu Siau-thian berkata penuh penyesalan, "aku
sebenarnya tidak ingin mem-bunuhnya, aku belum bertanya
dengan jelas tentang keberadaan ayah kandungmu. Aku
belum mendapat....Aih ! aku tidak menyangka dia akan
berbuat seperti ini"
"Cu Taiya" Tu Liong juga terdengar sangat menyesal, "aku
tidak tahu harus bagaimana menunjukkan apa yang sedang
kurasakan. Aku hanya merasa bahwa hubungan antara
manusia dengan manusia yang lain sangat mudah terjadi
kesalah-pahaman. Sebenarnya mendengarkan kenyataan yang
sebenarnya bukanlah suatu hal yang sulit diterima. Contohnya
sekarang...." "Sekarang!" tiba-tiba terdengar suara seseorang memotong
pembicaraannya dari luar, "sekarang aku sudah berhasil
menangkap orang yang memiliki ekor rubah, aku akan
memperlihatkan pada semua orang"
Berbarengan dengan selesainya kata-kata itu, orang yang
mengatakan segera masuk ke dalam ruangan.
Orang itu adalah Thiat-yan.
Ketiga orang didalam ruangan itu semuanya melihat pada
dirinya. Mungkin mereka bertiga memiliki pemikiran masingmasing
yang pasti tidak sama. Semua orang pasti sedang
menebak apa arti kata-kata yang baru diucapkannya.
"Thiat-yan!" akhirnya Tu Liong membuka mulutnya, "apa
artinya kata katamu itu?"
"Wie Siauya!" Thiat-yan berkata dengan dingin, "mengapa
kau tidak meminta penjelasan dari Cu Siau-thian?"
Wie Kie-hong segera mengalihkan pandangan matanya
pada Cu Siau-thian. Dia melihat kalau sekarang Cu Siau-thian
terpaku disana seperti mem-beku. Sepertinya Wie Kie-hong
belum pernah melihat Cu Siau-thian seperti ini. dia sangat
tidak enak dilihat. "Adik Yan!" Tu Liong berkata dengan tenang padanya,
"tampaknya semua misteri sudah ter-pecahkan. Untuk apa kau
ikut campur lagi?" "Cu Taiya! Aku harus mengakui kalau kau adalah orang
yang sungguh cerdik. Tu Liong, Aku hanya perlu berkata satu
kata ini saja kau seharusnya sudah mengerti. Aku sudah lebih
dulu datang kemari sebelum kalian. Karena itu aku tahu lebih
banyak hal dari pada apa yang sudah kalian dengar. Apakah
kalian mengerti?" "Teruskan" Sekarang raut muka Tu Liong pun ikut berubah.
"Kalian berdua pasti mengetahui rahasia "tipuan
pengembara jembatan langit" yang disukai banyak orang.
Tipuan bergandanya sudah membuat orang bingung. Namun
kalau mengetahui rahasia yang digunakannya, semua orang
pasti tertawa. Hanya saja tipuan ganda berganda yang sudah
diperagakan Cu Siau-thian tadi dipentaskan dengan jauh lebih
baik." Tipuan ganda berganda" Apakah mungkin tadi Cu Siauthian
sedang berbicara sendiri" tidak mungkin! Tidak mungkin
seseorang bisa meniru suara orang lain sebaik itu. tapi kalau
memang Bu Tiat-cui dipaksa membuat pengakuan, rasanya
hal ini juga tidak mungkin dilakukan.
Cu Siau-thian sama sekali tidak berkata apa apa.
Thiat-yan meneruskan kata katanya, "Sungguh tidak
disangka di dunia ini ada orang yang secerdik Cu Siau-thian,
dan ada orang yang sebodoh Bu Tiat-cui. Kedua orang ini bisa
bekerja sama adalah hal yang jarang ditemui"
"Thiat-yan!" Akhirnya Cu Siau-thian membuka mulutnya. Kata-katanya
diucapkan perlahan-lahan.
"Siasat apapun yang sedang kau rencanakan untukku, aku
sudah tidak perduli. Hanya saja kau tidak dapat
membengkokkan kenyataan. Setidaknya kau jangan membuat
dua orang muda ini melihat dunia sebagai tempat yang sangat
jahat...." "Cu Taiya, dunia ini sebenarnya tidak jahat. Yang jahat
adalah karakter manusia yang tinggal didalamnya..... aku
sangat mengagumi dirimu. Kau sudah menggunakan taktik
dengan sangat baik. dari awal sampai akhir, semua yang
sudah kau rencanakan tidak meleset sama sekali. Pertamatama
kau menyekap mereka berdua, setelah itu kau sengaja
melepaskan mereka dari sekapan. Dengan sangat cerdik kau
sudah melibatkan Bu Tiat-cui. Karena itu mereka berdua
datang kemari mencari tahu. Setelah mereka sampai, kau
mulai mementaskan 'sandiwara kecil'. Sehingga mereka
berdua akan menjadi pendengar yang setia.
"Kau mengatakan bahwa kata-kata Bu Tiat-cui tadi semua
sudah kukarang dan aku memaksanya untuk
mengatakannya?" "Tidak salah" "Mengapa dia mau mendengarkan perintah-ku?"
"Pertama: dia ingin hidup. Kedua: kau sudah menjanjikan
uang yang besar padanya. Setelah itu kau akan membuatnya
menghilang dari peredaran untuk menghilangkan jejak. Kalau
dia tahu pada akhirnya dia tetap akan sulit menghindari
kematian, situasi pasti akan segera berubah."
"Kau jangan membuang-buang waktu omong kosong
padaku" "Apakah kau ingin bukti?"
"Tidak salah" "Baiklah!" selanjutnya Thiat-yan mengatakan patah demi
patah kata. "Aku akan menunjukkan bukti kata-kata ku agar kalian
semua bisa melihatnya sendiri! Tu Siauya, silahkan anda
melihat pergelangan tangan Bu Tiat-cui."
Tu Liong melakukan perintahnya dengan sangat patuh. Dia
menemukan tangan Bu Tiat-cui ada bekas ikatan tali.
"Cu Taiya! Apakah kedua pergelangan tangan Bu Tiat-cui
pernah kau ikat?" "Betul" "Tolong balikkan mayat Bu Tiat-cui"
Saat ini mayat Bu Tiat-cui sedang berbaring terlentang.
Pisau Cu Siau-thian masih menancap erat di jantungnya.
Dengan susah payah Tu Liong mencabut pisau dari jantung
Bu Tiat-cui. Segera darah segar muncrat keluar. Setelah itu
dia membalikkan mayat sehingga sekarang mukanya
menghadap ke lantai. "Tu Siauya! Coba kau perhatikan dengan teliti. Apakah
pada mayat itu tertancap sebuah jarum besi?"
"Mendengar kata 'jarum perak' mendadak Tu Liong
tersentak. Beberapa tahun terakhir ini Cu Siau-thian ....
ternyata memang benar di punggung mayat ini tersembul
sebatang jarum besi. Jarum ini sudah bengkok karena
tertimpa berat tubuhnya ketika jatuh terlentang tadi.
"Tu Siauya! Sekarang seharusnya kau sudah mengerti!
Pertama-tama Cu Taiya sudah mengancam membunuh
dengan cara menusukkan jarum besi pada titik darah penting
Bu Tiat-cui. Mana mungkin dia tidak menuruti apa yang
diperintahkan olehnya?"
Sekarang semuanya menjadi jelas, semua percakapan
panjang yang didengarnya diluar adalah dialog palsu yang
dilakukan hanya untuk merubah cara pandang Tu Liong dan
Wie Kie-hong terhadap dirinya.
Cu Siau-thian tidak berbicara apa-apa. Tu Liong dan Wie
Kie-hong pun hanya menatap Cu Siau-thian tanpa kata-kata.
"Kie-hong, Tu Liong, apakah kalian percaya kata-katanya?"
Cu Siau-thian bertanya masih terdengar sangat tenang.
"Kami sedang menunggu penjelasanmu"
"Aku mengakui aku sudah mengancam Bu Tiat-cui dengan
jarum besi, tapi semua kata-kata itu sudah diucapkan sendiri
oleh Bu Tiat-cui. Aku tidak mengarangnya, aku tidak memaksa
untuk mengatakan semua itu. jawabannya mengalir lancar
bagaikan air. Kalau memang aku yang sudah menyuruhnya
bicara seperti itu, mana mungkin dia bisa selancar itu
mengatakan semuanya?"
"Cu Taiya!" Tu Liong berusaha mendamaikan semua pihak,
"mungkin juga perbuatanmu sudah membuat kecurigaan
Thiat-yan. Mengapa kau tidak mencoba menjelaskan semua
hal dengan lebih teliti lagi?"
"Pada waktu itu, Leng Souw-hiang memiliki kekuasaan
yang sangat besar di kota Pakhia ini. siapapun pasti akan
mendengarkan kata-katanya. Tapi dia takut skandal yang
tersebar luas akan membuat kesalahpahaman di dalam
kalangan pemerintahan, karena itu dia menyuruhku keluar
mewakilinya. Tadi aku memang menjebak kalian dalam
sebuah rumah. Orang tua yang melepaskan kalian pun
sebenarnya adalah orang suruhanku. "rumput dewi tidur" pun
aku yang sudah memberikannya. Aku mengakui aku sudah
membuat siasat ini, ini karena aku ingin kalian mendengarkan
sendiri penjelasan yang sebenarnya dari mulut Bu Tiat-cui.
Karena kalau kalian mendengar penjelasan ini dari mulutku,
kalian pasti tidak akan percaya."
"Teruskan kata-katamu," Thiat-yan menyuruh.
"Pada waktu itu setelah Leng Souw-hiang berjanji jika
berhasil mencelakai Tiat Liong-san, dia akan memberikan
masing-masing orang sejumlah uang yang lumayan besar.
Tapi setelah itu dia malah mengatakan kalau permata merah
darah itu sudah diberikan pada raja. Dan dia tidak jadi
membayarkan uang jumlah besar itu. karena itu dalam hati
kita semua ada sebuah dendam."
"Ketika dynasti Ceng jatuh, pemerintahan baru berdiri.
Leng Souw-hiang pun kehilangan semua pengaruhnya. Tapi
kalian semua masih menjalin hubungan baik dengannya.
Mengapa kalian melakukan hal ini?" Thiat-yan terus mendesak
"Karena dynasti Ceng dikatakan akan bangkit kembali.
Kalau memang dynasti sungguh kembali berjaya, Leng Souwhiang
akan memiliki kekuasaan yang sangat besar, siapa yang
berani melawannya" "Kalau begini berarti kau sama sekali tidak ikut ambil
bagian dalam masalah ini?"
"Tidak! Aku juga harus ikut bertanggung jawab"
"Tanggung jawab apa?" Thiat-yan masih terus
mendesaknya. "Aku seharusnya menjelaskan semua kejadian itu pada
kedua anak muda ini. aku seharusnya membantu mereka
membuat sebuah kesimpulan yang baik. sehingga mereka bisa
berjalan di jalan yang benar. Tapi aku tidak berani
mengatakan semua kejadian yang sebenarnya. Karena pada
waktu itu Leng Taiya belum mati, aku takut padanya"
"Mungkin juga karena Leng Taiya sudah mati, maka kau
melemparkan semua kesalahan pada dirinya"
"Tidak! Bukan seperti ini"
"Cu Taiya! Kau sudah membuat sebuah kesalahan besar"
"Kesalahan besar?"
"Bu Tiat-cui adalah tokoh yang memegang kunci
pemecahan misteri ini. seharusnya kau membiar-kannya
hidup, seharusnya kau tidak membunuhnya"
"Situasi SUCI c* h sangat mendesak. Aku tidak bisa
menimbang-nimbang terlalu banyak"
"Apa maksudmu situasi sudah mendesak?"
"Apakah kau tidak melihat pedang yang dipegang oleh Bu
Tiat-cui?" "Aku melihatnya"
"Dia tiba-tiba membalikkan badan dan berusaha
membunuhku. Apa yang harus aku lakukan?"
"Cu Taiya! Apakah Bu Tiat-cui yang menyerangmu pertama
kali?" "Betul" "Dia pertama ingin membunuhmu, setelah itu kau berusaha
membela diri dan membunuhnya. Ini membuktikan kalau ilmu
silat dan ilmu pisaumu lebih hebat dibanding dirinya. Kalau
anda tidak bermaksud membunuhnya, anda tidak perlu
menancapkan pisau itu di tubuhnya. Lagipula jalan darah
pentingnya sudah menempel sebatang jarum besi. Cu Taiya!
Bukankah ini adalah sebuah kesalahan besar?"
"Aih...! ini hanyalah sebuah kebetulan... Thiat- yan....ini
sungguh sebuah kesalah pahaman..."
"Cu Taiya, aku tidak ingin mendengarkan kata-kata
bohongmu lagi. aku sekarang ingin menanyakan tentang
sebuah barang. Tentang berlian merah darah itu..."
"Ini....mana mungkin aku tahu dimana berlian itu berada?"
Thiat-yan berkata dengan dingin:
"Cu Taiya, kesabaran ku ada batasnya. Aku harap kau bisa
berpikir dengan baik baik..."
Wie Kie-hong menarik tangan Tu Liong agar mereka berdua
pergi ke ruang tengah. Wie Kie-hong terlihat sangat emosi ketika mengatakan
kata-kata ini. "Tu toako! Lihatlah... sebenarnya mengapa bisa terjadi
seperti ini?" Tu Liong tampak larut dalam pemikiran. Dia berkata:
"Kie-hong, argumentasi Thiat-yan bukan tidak masuk akal.
Cu Taiya sudah menggunakan jarum besi menusuk jalan
darahnya lalu memaksa dia mengatakan semua hal tersebut.
Setelah itu dia membunuh Bu Tiat-cui untuk menutup mulut.
Ini adalah sebuah kemungkinan yang masuk akal."
"Tu toako! Tadi Cu Taiya sudah menanyakan begitu banyak
pertanyaan, namun ada satu pertanyaan yang tidak
ditanyakannya..." "Pertanyaan apa?"
"Beberapa hari sebelumnya, didalam kamar Bu Tiat-cui ini
juga terdapat mayat seorang pria. Dia juga mati karena jarum
besi yang sama. Apakah Cu Taiya tahu tentang hal ini"
mengapa dia tidak menanyakan tentang hal itu?"
"Kie-hong, dari hal ini kau membuat kesimpulan kalau Cu
Taiya sedang berbohong?"
"MMmm.." "Wie Kie-hong! kalau seperti ini kau belum cukup mengerti
Cu Taiya" "Apa maksud kata-katamu?"
"Cu Taiya adalah seorang pendekar tua yang terkenal di
kalangan dunia persilatan. Terlebih lagi dia pintar membuat
siasat. Kalau dia memang ingin membuat sebuah alibi, dia
tidak mungkin membuat kesalahan.... aku merasa kalau dia


Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sengaja meninggalkan banyak kesalahan seperti ini"
"Oh...?" "Ide untuk melukai Tiat Liong-san juga dia yang
memikirkannya. Ini aku sudah yakin. Tapi dia masih belum
mendapatkan hasil yang dia inginkan"
"Oh...?" sekali lagi Wie Kie-hong merasa kaget
"Juga bisa dikatakan, demi mendapatkan berlian merah
darah itu dia sudah membunuh Tiat Liong-san. Tapi sampai
sekarang dia belum mendapat-kan berlian merah darahnya"
"Tu toako! Apakah kau hanya menebak hal ini?"
"Dengarkan dulu semua kata kataku....Tiat
Liong-san juga seorang pendekar kalangan dunia
persilatan. Kali pertama datang ke kota untuk menilai berlian
tidak berhasil dilakukannya. Kali kedua datang ke kota, dia
seharusnya waspada terhadap mata-mata yang mengintainya,
berlian merah darah itu tidak mungkin disimpan didalam kopor
kulit. Apalagi disimpan dalam gudang sitaan. Itu adalah
tempat umum, semua orang bisa mengambilnya setiap saat."
"Mm.." "Wie Kie-hong, apakah kau memperhatikan keadaan
disekeliling kita?" Mendadak Wie Kie-hong tampak terkejut, tapi dia tidak
melihat apa-apa. karena itu dia bertanya:
"Memangnya ada apa dengan tempat ini?"
"Gang San-poa sudah menjadi kuburan massal"
"Oh?" Wie Kie-hong merinding.
"Aku menduga, Cu Taiya sudah memper-siapkan sebuah
jebakan untuk kita disini. Membunuh Bu Tiat-cui hanyalah
sebuah permulaan" "Menurut Tu Toako siapa yang sekarang memegang berlian
merah darah itu?" "Sepertinya ini adalah masalah terakhir dari misteri yang
sedang kita pecahkan"
"Tu toako... ini bukanlah tebak-tebakan biasa. Ini adalah
perkara hidup dan mati. Menurutmu apa yang sebaiknya kita
lakukan sekarang?" "Mencari kesempatan bertindak"
"Tu toako! Kalimat ini sangat tidak jelas"
"Kau harus melatih kemampuanmu membuat tebakan. Tiap
orang pasti memiliki kesempatan untuk berhasil, dan bisa juga
kalah ........baiklah sebaiknya sekarang kita berdua kembali
masuk kedalam" Maka kedua orang ini kembali masuk ke dalam kamar
samping. Ternyata Cu Siau-thian dan Thiat-yan masih saling
mempertahankan pembelaan masing masing. Jelas terlihat
kalau mereka berdua sedang menyaksikan semua yang
dikerjakan oleh Tu Liong dan Wie Kie-hong.
"Nona" tampaknya Cu Siau-thian harus menunggu Tu Liong
dan Wie Kie-hong ada dihadapannya barulah dia mau
melanjutkan kata katanya, "Dugaan yang sudah kau buat
tidak masuk akal. Kalau ayahmu membawa berlian merah
darah itu kemanapun dia pergi, saat ini kalau berlian itu tidak
berada dalam tangan Oey Souw, pastilah ada di dalam tangan
Leng Souw-hiang. Bagaimanapun tidak mungkin berlian itu
ada didalam tanganku. Berkata seperti apapun aku tidak
mungkin terlibat dalamnya. Kalau ayahmu sudah
menyembunyikan berlian merah darah itu disuatu tempat
rahasia, maka dengan begitu aku lebih tidak ada hubungannya
lagi. kau sudah salah besar mencariku untuk mendapatkan
berlian itu" "Adik Yan...." sekarang Tu Liong ikut campur mulut,
"apakah kau berpikir kalau berlian merah darah milik ayahmu
ada ditangan Cu Siau-thian?"
"Betul" "Alasannya?" "Dari lima orang yang membantu mencelakai ayahku,
empat orang sudah meninggal. Yang tersisa tinggal dia
seorang. Karena itu kecurigaan pada dirinya adalah yang
palingbesar" "Apa tujuan utamamu datang ke kota Pakhia ini?"
"Tentu saja mencari berlian merah darah itu"
"Jika demikian, bagimu berlian ini adalah kunci utama
alasan kedatanganmu kemari"
"Sebenarnya memang begitu"
"Kalau begitu coba kau pikirkan dengan seksama. Menurut
pandanganku berlian merah darah itu tidak mungkin ada
didalam tangan Cu Siau-thian"
"Mengapa demikian?"
"Kalau pada waktu itu dia sudah berhasil mendapatkan
berlian merah darahnya, dia tidak perlu membunuh Hui Taiya
dan Leng Taiya. Hui Taiya tidak dapat melihat, Leng Taiya
kehilangan tangannya, menghadapi Cu Taiya, mereka tidak
bisa berbuat apa-apa. untuk apa Cu Taiya membunuh
mereka?" Thiat-yan terdiam tidak berkata apa-apa. sepertinya dia
mengerti apa yang ingin dikatakan Tu Liong.
Cu Taiya" Tu Liong berkata perlahan lahan, "pertama tama
aku ingin mengaku salah. Siasat permainan yang sudah kau
mainkan sudah terlalu banyak. Tidak aneh Thiat-yan merasa
curiga.... bagaimana situasi kejadian yang sebenarnya hanya
dirimulah yang paling mengerti. Kalau kau tidak menjelaskan
hal yang sebenarnya pada kami semua, mungkin kesalah
pahaman ini akan semakin berlarut larut."
"Tu Liong, penjelasan apa yang ingin kamu dengar dariku?"
"Aku ingin menanyakan dua hal padamu"
"Silahkan" "Siapa yang membunuh Hiong-ki?"
"Tidak tahu" "Dimana ayah Kie-hong saat ini?"
"Tidak tahu" Mendadak tampang Tu Liong menjadi sangat dingin., dia
lalu berkata, "Cu Taiya, sebenarnya kedua pertanyaan ini bisa
kau jawab, mengapa kau pura-pura tidak tahu?"
Tiba-tiba saja Cu Siau-thian tertawa dingin. Dia lalu berkata
pada Tu Liong dengan sikap dingin: "Tu Liong! Aku sudah
membawamu dari luar kota dan memeliharamu sampai
menjadi orang. Sekarang kau berani berkata seperti ini padaku. Tidakkah
kau merasa kalau kau sudah kelewatan?"
"Cu Taiya ! aku pasti mengingat budi mu yang memelihara
diriku sampai mati. Tapi...."
"Tapi apa" masalah ini tidak ada urusannya sama sekali
dengan dirimu. Tidak ada budi baik, tidak ada dendam. Ketika
orang lain sudah menodongkan senjata padaku, tidak
menolongku tidak apa-apalah. Mengapa kau malah berbalik
membantu orang lain melawan diriku" Apakah perbuatanmu
dapat dimaafkan?" "Cu Taiya! Seharusnya kau sudah tahu bagaimana
akrabnya aku dengan Wie Kie-hong. Urusan ini sangat besar
kaitannya dengan dirinya"
"Memang apa kaitannya dengan dirinya?"
"Kaitannya adalah mengenai keberadaan ayahnya saat ini.
apakah dia masih hidup atau sudah mati....
Cu Taiya ! aku masih ingin menanyakan dua pertanyaan
lagi" "Tanyakanlah" "Aku sungguh berharap kali ini kau bisa memberikan
jawaban yang memuaskan"
"Aku akan berusaha"
"Dimana ayah Kie-hong sekarang?"
"Tidak tahu" "Kalau begitu dimana adik angkatmu Boh Tan-ping
sekarang?" "Tidak tahu" Tu Liong sudah menanyakan empat perta-nyaan.
Semuanya dijawab tidak tahu.
Thiat-yan berkata dingin:
"Tu Siauya, kau sudah membuang-buang tenaga.
Walaupun kau menanyakan seratus pertanyaan lagi,
semuanya akan sia-sia saja. Cu Taiya si tua bangka ini,
mulutnya sangat keras. Sedikitpun tidak akan membocorkan
rahasia apa-apa" "Tu Liong" Cu Siau-thian berkata sedikit tergesa-gesa, "aku
ada sedikit salah paham dengan Thiat-yan. Aku percaya aku
bisa meluruskan kesalah-pahaman ini dengan cepat. Bisakah
kalian berdua meninggalkan kami berdua sebentar saja?"
Selama ini Wie Kie-hong tidak berkata apa apa. hanya
karena dia sangat menghargai Tu Liong, dan juga
mempercayainya, mendadak dia berkata:
"Tu toako, sebaiknya kita pergi sekarang"
Tu Liong sangat mengerti Wie Kie-hong. Kalau dia sudah
berkata pergi, pastilah ada alasan yang istimewa. Karena itu
dia tidak berkata apa-apa lagi. dia mengikuti Wie Kie-hong
pergi keluar ruangan. Setelah melangkah keluar pintu masuk, dia baru bertanya
pada Wie Kie-hong. "Ada apa?" "Bukankah tadi kau mengatakan kalau gang San-poa ini
sudah menjadi perangkap" Mengapa kita tidak
membuktikannya sendiri?"
"Perangkap ini bukan untuk menjebak kita"
"Kalau begitu perangkap ini untuk siapa?"
"Menjebak Thiat-yan"
"Tu toako! aku rasa kau tidak perlu mengkhawatirkan
dirinya. Kalau dia tidak mempunyai rasa percaya diri yang
penuh, dia mana mungkin berani masuk perangkap dengan
gamblang seperti ini?"
"Oh?" "Tu toako! kalau tidak percaya kita berdua berpencar untuk
memeriksa keadaan disekitar rumah ini. mungkin Cu Taiya
menyembunyikan sesuatu. Mungkin juga Thiat-yan tidak
datang kemari sendirian."
"Baiklah, aku akan pergi memeriksa kesana ... kau pergi
kesana...." Tu Liong menunjuk nunjuk. "Nanti kita akan
bertemu lagi didepan pintu kamar samping"
"Baik" Gerakan Tu Liong sangat cepat. Sebentar saja dia sudah
masuk ke dalam bayang-bayang rumah.
Wie Kie-hong juga segera membalikkan tuLuh. Didepannya
sudah terbentang lorong yang gelap. Dia baru akan memulai
penjelajahan rumah ini ketika tiba-tiba saja dia menyadari
kalau seseorang sudah berdiri dihadapannya. dia berdiri
ditengah keremangan ruangan. Raut mukanya sama sekali
tidak terlihat. "Siapa kau?" Wie Kie-hong bertanya kaget, pada waktu
yang bersamaan, dia sudah memasang pose siap untuk
bertarung. "Apakah kau Wie Kie-hong?" lawan bicaranya tidak
menjawab pertanyaan. Suaranya terdengar serak.
"Tidak salah. Kau siapa" Apakah kau orang yang pada
waktu itu memberitahuku untuk tidak menyerahkan payung
pada nona Thiat-yan ?"
"Jangan tanyakan siapa diriku....aku hanya ingin kau
mendengarkan kata-kataku. Cepatlah pergi dari sini. Semakin
jauh kau pergi semakin baik. semakin cepat kau pergi juga
semakin baik." "Kemana aku harus pergi?"
"Terserah dirimu"
"Apakah kau adalah kaki tangan Cu Siau-thian?"
"Bukan" "Kalau begitu berapa banyak orang yang sudah
disembunyikan Cu Siau-thian disini?"
"Tidak sedikit"
"Apakah kau takut aku disini mendapatkan bahaya?"
"Betul" "Masih ada temanku disini. Aku harus memberitahu dia dan
pergi bersama-sama...."
"Apakah temanmu itu bernama Tu Liong?"
"Betul" "Tenanglah. Cu Siau-thian sangat menyukai dirinya. Dia
tidak mungkin mendapat celaka"
"Aku tidak dapat meninggalkan dirinya begitu saja disini"
Orang itu segera berjalan mendekat. Sekarang Wie Kiehong
bisa melihat mukanya dengan lebih jelas. Wie Kie-hong
sempat tersentak kaget. Orang ini tampak aneh. Alisnya
berwarna putih dan matanya berwarna merah. Dengan suara
rendah dia berkata: "Cepat pergi!! kalau lebih lama lagi kau pasti tidak akan
bisa melarikan diri"
"Maaf!" Wie Kie-hong berkata dingin:
"Kau tidak menjelaskan asal-usulmu. Bagai mana aku tahu
apakah kau bermaksud baik atau jahat?"
"Wie Siauya! kalau kau mau mendengarkan kata-kataku,
kau bisa pergi dengan cepat dari tempat yang berbahaya ini.
aku bersedia menceritakan apa yang ingin kau ketahui."
"Tentang apa?" "Contohnya siapa yang sekarang sedang memegang berlian
berwarna merah darah itu. siapa yang memiliki ide untuk
mencelakai Tiat Liong-san pada waktu itu. bagaimana Hui
Taiya dan Leng Taiya mati. Masih ada lagi....masih ada lagi
tentang keberadaan ayahmu dan lain sebagainya"
Tawaran ini terdengar sangat menjanjikan. Wie Kie-hong
merasa sedikit ragu-ragu.
"Apakah kau bisa menepati kata-katamu?"
"Wie Siauya, seharusnya kau sudah bisa menebaknya dari
kata-kataku. Aku adalah orang yang jujur"
"Baiklah..." "Kie-hong!" mendadak dari tengah kegelapan ruangan, Tu
Liong berteriak padanya "jangan dengar kata-katanya. Dia
sedang berbohong!" Wie Kie-hong tertegun. Tampaknya orang yang beralis
putih pun sama-sama tertegun
"Kie-hong! tadi kau sudah bertanya padanya apakah disini
ada kaki tangan Cu Siau-thian. Dia menjawab 'tidak sedikit'.
Aku sudah menggeledah seisi rumah. Jangankan anak buah
Cu Siau-thian. Aku bahkan tidak menemui bayangan hantu
apapun disini. Asalkan dia sudah berkata satu kebohongan
saja, semua yang dikatakannya tidak bisa diandalkan."
Orang itu berkata perlahan-lahan:


Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tuan pastilah Tu Siauya..."
"Betul sekali" Tu Liong mulai berjalan mendekat.
Orang itu mundur dua langkah. Seperitnya dia tidak ingin
berada terlalu dekat dengannya. Dia tampak seperti tidak
ingin dilihat oleh Tu Liong.
"Biarkan aku melihat siapa dirimu" Tu Liong terus berjalan
mendekat. "Tu Siauya harap jangan berjalan lebih dekat. Jangan
memaksa seperti ini."
"Kenapa" Apakah kau takut aku mengenali-mu?"
"Tu Siauya, dengarkan peringatanku. Anak muda seperti
kau dan Wie Kie-hong tidak akan mampu melihat betapa
liciknya Cu Taiya. Dia memang menyembunyikan kaki
tangannya didekat sini, hanya kau tidak mampu melihatnya.
Jangan bertarung dengan mereka, kalian yang akan rugi"
"Siapa namamu?"
"Jangan tanyakan siapa namaku. Suatu saat nanti kalian
pasti akan mengetahuinya"
"Mengapa tidak memberitahu kami sekarang?"
"Aku memiliki masalah sendiri"
"Kau melakukan hal ini, apakah kau tidak takut Cu Taiya
membalas perbuatanmu?"
"Aku tidak takut. Nyawaku ini dari awal sudah tidak
berharga lagi" "Tu toako, mendengar kata-katanya, sepertinya dia orang
yang jujur" Tu Liong hanya terdiam, dia tidak segera membuat
keputusan." "Tu Siauya, apa yang sedang kau pikirkan?" orang itu terus
bertanya. "Aku ingin bertanya satu hal padamu"
"Baiklah. Cepat tanyakan"
"Dimana Thiat-yan sekarang?"
"Jujur saja sekarang dia sedang berada dalam situasi yang
tidak menguntungkan, tapi anak itu sangat pintar, dan dia
mampu berimprovisasi mengikuti keadaan. Karena itu dia tidak
mungkin berada dalam bahaya yang tidak dapat
ditanganinya." "Kie-hong!" sekarang Tu Liong segera mem-buat
keputusan, "Kita pergi"
Wie Kie-hong masih merasa keheranan. Dia kembali
berpaling pada orang itu hanya untuk melihatnya melangkah
mundur masuk lebih jauh dalam kegelapan rumah.
Setelah orang itu tidak terlihat, mereka berdua bergegas
pergi. "Mengapa kau tiba-tiba mempercayai kata-katanya?" tanya
Wie Kie-hong sambil berusaha mengejar Tu Liong sambil terus
berlari keluar rumah. "Karena orang itu sudah memanggil Thiat-yan dengan
panggilan 'anak itu', orang jahat tidak mungkin menggunakan
panggilan semacam itu ketika berbicara"
"Tu toako, kemana kita pergi sekarang?"
"Sekarang kita pergi ke rumah paman Tan Po-hai melihat
keadaan" "Oh?" Wie Kie-hong merasa kaget, "apakah kau pikir
paman Tan Po-hai sudah mendapat masalah?"
"Kalau Cu Taiya memang adalah orang jahat seperti yang
sudah kita pikir selama ini, dia tidak mungkin meninggalkan
paman Tan Po-hai begitu saja. Dia adalah saksi hidup satusatunya
yang tersisa" 0-0-0 Walaupun hari menjelang subuh, mereka tidak berhenti,
mereka terus berlari segera menuju ke kediaman Tan Po-hai.
Ternyata dia sedang memainkan alat musiknya seperti biasa,
seolah olah tidak terjadi masalah apapun.
Tan Po-hai melihat kedua pemuda ini datang tergesa-gesa,
dia merasa heran. Dia bertanya:
"Tuan muda sekalian! apakah ada masalah darurat?"
"PamanTan!" Tu Liong merasa aneh, tapi dia tidak ingin
membuat Paman Tan menjadi terkejut, "kami datang kemari
ingin menanyakan sesuatu padamu"
"Oh?" Tan Po-hai berhenti bermain dan lalu menurunkan
alat musiknya. Tu Liong tidak membuang waktu. Dia segera menanyakan
pertanyaan yang sudah mengganjal dihatinya selama ini.
"Saat itu siapa yang menjadi dalang dan memikirkan semua
siasat mencelakai Tiat Liong-san?"
"Leng Taiya" "Jadi dari awal sampai akhir kau bekerja membantunya T'
"Kalau tidak aku harus berbuat apa" semuanya sudah
diatur oleh Cu Taiya. Dengan status sosialku waktu itu, aku
tidak punya hak untuk melakukan apapun tanpa persetujuan
Leng Taiya." "Kalau begitu Cu Taiya sudah diperalat ?"
Raut wajah Tan Po-hai berubah. Dengan dingin dia
bertanya: "Tu Siauya! mengapa kau berpikir seperti ini?"
"Yang paman maksudkan adalah Cu Taiya sudah
memelihara dan merawatku sampai aku menjadi dewasa, aku
tidak seharusnya tidak berpikir tidak hormat seperti ini,
bukan?" "Betul" "Manusia harus mempunyai pemikiran yang tidak egois,
tidak benar mendahulukan kepentingan pribadi diatas
kepentingan bersama. Betul?"
"Sebenarnya kalian kemari untuk apa?"
"Kami ingin mendapatkan jawaban yang benar." Kata-kata
Tu Liong masih terdengar terus mendesak.
"Tu Siauya! saat itu Cu Taiya sangat kaya, dan agar bisa
tinggal didalam kota, dia terpaksa menjadi egois dan
menggunakan nama besar Leng Taiya. Mengenai bagaimana
situasi sebenarnya ketika Tiat Liong-san dicelakai, tentang hal
itu aku tidak begitu jelas."
"Paman Tan, aku menebak kalau Hui Taiya dan Leng Taiya
sudah dibunuh oleh Cu Taiya. Oleh karena itu kau pun harus
berhati-hati" Ternyata paman Tan Po-hai tidak menunjukan reaksi apaapa.
dia tidak tampak terkejut. Dengan sangat tenang dia
berkata: "Apakah kau pikir Cu Taiya akan membunuhku?"
"Mungkin juga" "Aku rasa tidak mungkin"
"Jangan terlalu yakin"
"Aku tidak menghalangi jalannya sama sekali. Apakah dia
ada alasan untuk melukaiku?" Wie Kie-hong ikut campur
mulut: "Paman Tan, banyak banyaklah menjaga diri. kami masih
ada urusan lain, tidak dapat tinggal disini berlama-lama"
Wie Kie-hong tampak terburu-buru pergi, ini membuat Tu
Liong merasa curiga. Tanpa disadari dia melirik ke arah Wie
Kie-hong. Sebaliknya Wie Kie-hong mendelik pada Tu Liong
berusaha memberikan isyarat padanya.
Karena itu Tu Liong tidak berkata apa-apa lagi. dia hanya
mengikuti Wie Kie-hong berjalan keluar.
Setelah keluar dari kediaman paman Tan Po-hai, Wie Kiehong
berputar menuju taman belakang rumah itu.
Tu Liong sungguh merasa heran. Dia bertanya:
"Ada apa?" Wie Kie-hong tidak berkata apa-apa. Gerak-geriknya sudah
mencerminkan jawabannya. Dia hanya menarik Tu Liong, dari
taman belakang mereka mengendap-endap masuk kedalam
rumah Tan Po-hai. Sepertinya Tu Liong mengerti apa tujuan Wie Kie-hong
melakukan hal ini. tapi dia tetap bertanya juga pada Wie Kiehong:
"Kau pikir kalau Paman Tan pasti akan dibunuh malam ini?"
"MMmm..." Wie Kie-hong menggangguk-anggukkan kepala.
Dia terus mengendap-endap masuk.
Tu Liong terus menempel dibelakangnya bagaikan ekor
Dari dalam kamar tempat mereka tadi berbicara tidak
terdengar suara permainan alat musik Paman Tan, namun dari
jendela kertas terlihat bayang-bayang manusia. Tidak hanya
satu, tapi ada dua orang.
Suara percakapan mereka sayup-sayup ter-dengar "Tuan
Boh, semua kata-kataku tadi tidak ada yang salah ucapkan?"
"MMmm.." "Tuan Boh! seumur hidupku ini aku tidak menginginkan
ketenaran ataupun harta kekayaan. Aku hanya ingin hidup
tenang. Dari awal aku tidak ingin terlibat dalam masalah ini.
sekarang aku bisa membuktikan diri dan menolong Cu Taiya.
Tolong anda katakan hal yang bagus didepan Cu Taiya, kalau
dia mengijinkan, aku akan segera pergi"
"Mm...." Orang yang bermarga Boh itu tampaknya tidak banyak
bicara. Dia tampak ingin segera mengakhiri percakapan.
"Apakah kau masih ada perintah lainnya?"
"Ada satu urusan lagi. aku harap kau bisa maklum"
"Oh...?" "Aku juga hanya menjalankan perintah"
"Aku mengerti. Aku sungguh mengerti"
"Kalau begitu harap anda jangan marah padaku"
"Ini....apa maksudnya ini?"
"Cu Taiya sudah berpesan padaku kalau dia sudah
kehilangan semua teman baiknya. Yang tersisa tinggal anda
sendiri, anda pasti merasa kesepian"
"Cu Taiya ingin aku mati?"
"Cu Taiya mengutusku kemari untuk mengantarmu ke
surga" "Tuan Boh........selama bertahun-tahun,
dihadapannya aku sudah berlaku seperti pesuruh
mengerjakan semua yang diperintahkan dan mencari dengar
berita. Apakah dia masih tidak puas denganku?"
"Kalau kau bersedia menyusul Hui Ci-hong, Leng Souwhiang
dan beberapa teman-teman lamamu pergi ke neraka, Cu
Taiya pasti akan lebih senang lagi"
Tan Po-hai mulai gemetaran...:
"Kalau aku hidup, dia tidak akan dirugikan"
"Aku tahu, Cu Taiya juga tahu. Tapi kalau kau tidak mati,
terhadap Hui Ci-hong dan Leng Souw-hiang sepertinya tidak
adil kan?" "Cu Taiya kejam sekali....tuan Boh, anda bisa dibilang
seorang pria jantan, kau membantunya seperti ini,
mengetahui rahasia miliknya sebanyak itu, apakah kau pikir
dia bisa tenang sebelum membunuhmu?"
"Kau memang teman yang baik. bahkan sekarang setelah
kau nyaris mati, kau masih memikirkan diriku."
"Nanti kau pasti tidak akan bisa terus hidup dengan baik"
"Tenanglah, aku punya hubungan khusus dengan Cu Siauthian"
"Tidak ada gunanya. Kau bukan anak yang dilahirkan
sendiri olehnya. Dia pasti akan membunuhmu juga. Hanya
saja waktunya belum sampai"
"Kau memang orang yang baik. aku tidak tega
membunuhmu secara kejam. Sekarang berbaringlah di lantai,
pejamkan matamu. Aku pasti akan membunuhmu dengan
cepat dan tanpa rasa sakit...."
Tiba-tiba Wie Kie-hong menyerbu masuk ke dalam
ruangan, dia segera mencabut pedangnya dan menerobos
masuk dari jendela kamar. Jendela kamar hancur berkepingkeping,
pecahannya terbang ke empat penjuru. Suasana
tengah malam yang sepi menjadi riuh karena bunyi keras
jendela yang hancur dan teriakan Wie Kie-hong.
Pedang gigi gergaji Boh Tan-ping sudah keluar dari
sarungnya. Ketika jendela didobrak, dia sedang bersiap-siap
memancung kepala Tan Po-hai. Tiba-tiba dia menyadari kalau
situasi mendadak sudah berubah. Dia segera merubah arah
serangan dan menebas ke arah jendela.
Wie Kie-hong masih berada ditengah udara ketika sabetan
pedang gigi gergajinya datang. Dia tidak bisa menghindari
serangan senjata mematikan ini. terpaksa dia menggunakan
pedangnya untuk menangkis serangan Boh Tan-ping.
Tu Liong pernah merasakan kehebatan pedang gigi gergaji
Boh Tan-ping. dia segera berteriak memberi peringatan:
"Kie-hong! hati hati!"
Teriakannya ini hanya menggambarkan apa yang ada
didalam hatinya, tapi jeritan itu sama sekali tidak menolong.
Sepertinya Wie Kie-hong pasti akan terluka.
Pedang bertemu pedang, sekarang terdengar dentingan
keras besi yang saling beradu.
"TANGLANG!" Setelah Wie Kie-hong menjejakkan kedua kakinya di lantai,
dia segera memburu kedepan menyabetkan pedangnya ke
arah Boh Tan-ping. kali ini Boh Tan-ping yang terpaksa
menggunakan pedangnya untuk menangkis serangan
beruntun ini. "TANGLANG!" Tu Liong pun tidak ketinggalan, dia ikut menyerbu masuk
kedalam. Karena tidak membawa senjata, Tu Liong tidak
dapat berbuat banyak. Dia hanya bisa melihat Wie Kie-hong
yang terus menyerang Boh Tan-ping.
Pedang Wie Kie-hong terus menyambar nyambar dengan
hebat. Boh Tan-ping pun tampaknya bisa menangkis semua
serangannya dengan mudah. Setelah melangkah mundur
cukup jauh, Boh Tan-ping mulai terdesak, tidak jauh
dibelakangnya sudah ada tembok. Kalau dia hanya menangkis
serangan seperti ini, dia pasti akan terjepit.
Ketika sedang berpikir seperti ini, Wie Kie-hong sudah
menyabetkan pedangnya sekuat tenaga ke arah leher Boh
Tan-ping. Boh Tan-ping tersentak kaget. Segera dia
menunduk. Pedang Wie Kie-hong menebas udara kosong
dengan suara tebasan yang sangat keras.
Boh Tan-ping memanfaatkan kesempatan ini. dia segera
berguling-guling di lantai menjauh dari Wie Kie-hong.
Malang baginya, ketika berguling menjauh dia berguling
menuju sebuah meja kayu bundar. Wie Kie-hong sudah
kembali menyerang ke arahnya.
Masih berguling di lantai, Boh Tan-ping segera
menggebrakkan tangan kirinya ke lantai. Dia segera meluncur
ke atas dan mendarat dengan lembut di atas meja. Namun
setelah ini dia kembali meloncat menjauh. Dia meloncat pada
waktu yang tepat, karena beberapa detik kemudian pedang
Wie Kie-hong sudah membelah meja kayu menjadi dua


Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagian. Boh Tan-ping mendarat dengan lembut dekat paman Tan
Po-hai... Tidak terduga, Paman Tan yang lemah lembut berhasil
mengumpulkan keberanian untuk membantu Wie Kie-hong
melawan Boh Tan-ping. Sebenarnya Paman Tan juga tidak tahu dari mana
datangnya keberanian ini. dia mengangkat sebuah kursi dan
segera menghempaskannya ke kepala Boh Tan-ping.
Untunglah Boh Tan-ping masih siaga. Walau-pun
konsentrasinya terhadap Wie Kie-hong buyar, tapi dia masih
sempat menebaskan pedangnya untuk menghancurkan kursi
yang melayang ke arah kepalanya. Sekali lagi terdengar suara
keras "BRAAAKKK"
Pertarungan segera terhenti.
Pada awalnya Wie Kie-hong masih berniat untuk terus
menyerangnya, namun setelah mendarat, Tu Liong
memegang bahunya dengan tegas. Dia mengerti apa maksud
Tu Liong. Pedang gigi gergaji Boh Tan-ping terkulai lemas di sisi
badannya. Dia tidak menggerak gerakkan pedangnya lagi.
Tu Liong sudah berpengalaman melawannya. Dia tahu
kalau Boh Tan-ping sedang menunggu kesempatan baik untuk
kembali menyerangnya lagi.
"Boh Tan-ping! kita bertemu lagi" seru Tu Liong dengan
suara dingin. Boh Tan-ping tidak menjawab.
"Apakah Cu Taiya sudah mengutusmu kemari membunuh
Paman Tan untuk menutup mulut?"
Boh Tan-ping tetap tidak bersuara. Dia terus mendelik
dingin ke arah kedua pemuda ini.
"Tu toako, dari gelagatnya jawaban pertanya anmu sudah
sangat jelas, untuk apa kau bertanya lagi?"
"Karena aku ingin memberinya saru kesempat-an lagi"
"Kau ingin memberiku kesempatan apa?"
Akhirnya Boh Tan-ping membuka mulut, namun sifatnya
masih bermusuhan seperti sebelumnya.
"Aku ingin memberimu kesempatan untuk membuka
lembaran hidup yang baru"
"Hidup baru" MMMmmm?"" Boh Tan-ping tetap terdengar
angkuh. Didalam pikirannya, dia belum kalah.
"Boh Tan-ping, semua kartu Cu Taiya sudah terbuka. Untuk
apa kau masih mematuhi semua perintahnya" Jatuhkanlah
pedangmu, kita rundingkan baik-baik. Satu kalimat saja bisa
menyelamatkan jiwamu"
"Tu Liong, apakah kau pikir kata-katamu mempunyai kuasa
yang lebih besar dari pada kata kata Cu Taiya" Anak kecil!
tidak tahu diri! cepat pergi! kemarin ini aku masih
mengampuni jiwamu, jangan menyia-nyiakannya"
Tu Liong tidak menghiraukan kata katanya. Dia langsung
bertanya.. "Boh Tan-ping, pedang gigi gergajimu itu sudah membunuh
berapa banyak orang?"
"Tidak sedikit"
"Apakah ini termasuk Hiong-ki?"
"Hiong-ki" Apakah dia orang yang sudah menolongmu
tempo hari?" "Tidak salah" "Dia adalah satu-satunya orang yang berhasil lolos dari
pedangku hidup-hidup"
"Kalau begitu berarti Hiong-ki bukan dibunuh olehmu?"
"Bukan" "Kalau begitu siapa yang sudah mem-bunuhnya?"
"Apakah kau hanya ingin tahu tentang masalah ini?"
"Ya" "Kalau aku mengatakannya, kau belum tentu percaya"
"Boh Tan-ping, tidak perlu membuang waktu, yang kita
miliki sekarang ini hanyalah waktu. Kau juga tidak perlu
memusingkan apakah aku akan mempercayai kata-katamu
atau tidak. Kalau kau bisa menjawab pertanyaan ini, tolong
segera jawab" "Apa manfaatnya bagiku kalau aku menjawab?"
"Kami mungkin akan melepaskanmu"
"HUH! Berani sekali kau berkata begitu"
"Kami berdua bisa membunuhmu sekarang juga. Ini bukan
sedang menggertak" Boh Tan-ping menunduk, sepertinya dia mengerti keadaan
tidak menguntungkan baginya. Dia menyapu tatapan ke muka
kedua pemuda ini lalu dengan baik_baik berkata:
"Aku yakin kalian berdua memiliki kemam-puan untuk
membunuhku, tapi setelah membunuhku, bagaimana kalian
akan menghadapi Cu Taiya?"
Tu Liong tertawa dingin. "Boh Tan-ping! kau sungguh tidak mengerti situasi. Kau
pikir aku masih berada dibawah sayap Cu Siau-thian" Asalkan
kejahatannya sudah terbukti, dia tidak bisa melarikan diri"
"Tu Liong, jangan terlalu percaya diri"
"Kalau Cu Siau-thian memang sudah mencerita kan aku
dihadapanmu, seharusnya kau tahu kalau aku
bukanlah orang yang percaya diri secara buta....Boh Tanping
! kau tidak usah membuang waktu lagi. siapa yang sudah
membunuh Hiong-ki?" "Wie Ceng" "Kau bohong!" Wie Kie-hong yang dari tadi diam sekarang
berteriak keras. "Aku tadi sudah bilang, kalau aku jawab kalian pasti tidak
percaya. Tapi kalian berkeras bertanya juga"
"Aku tidak percaya ayahku tega membunuh orang"
"Wie Kie-hong, kau sudah melihat sendiri pedang ayahmu
mendongkel jendela kamar tidur ayah tirimu Leng Souw-hiang.
Pada malam itu dia bermaksud membunuh Leng Souw-hiang
tapi diketahui olehmu, sehingga niatnya tidak ter-capai."
Wie Kie-hong kemudian berteriak teriak seperti orang gila:
"Kau bohong! Kau bohong!"
"Kie-hong! tenanglah!"
"Tu toako! Apa kau percaya kata-katanya?"
"Kamu tenanglah sedikit! biarkan aku bertanya padanya...."
Tu Liong berusaha menenangkan Wie Kie-hong, setelah itu
dia kembali bertanya pada Boh Tan-ping.
"Mengapa Wie Ceng ingin membunuh Hiong-ki?"
"Karena Hiong-ki sudah jadi rintangan"
"Rintangan bagi siapa?"
"Tentu saja rintangan bagi Wie Ceng"
"Memangnya apa yang diinginkannya?"
"Tentu saja berlian merah darah yang selama ini jadi
gunjingan semua orang"
"BOHONG!!!" sekali lagi Wie Kie-hong berteriak.
"Kie-hong, biarkan dia terus menjelaskan..."
Sekali lagi Tu Liong berpaling pada Boh Tan-ping.
"Sekarang dimana berlian merah darah itu?"
"Tentu saja ada pada Leng Souw-hiang"
"Boh Tan-ping, ada satu hal yang harus kau mengerti. Wie
Ceng adalah abdi setia Leng Souw-hiang"
"Kata setia suatu saat mungkin bisa berubah"
"Berubah karena apa?"
"Berubah karena hubungan untung rugi"
"Untung rugi" Sepertinya Wie Ceng tidak tahu-menahu
mengenai urusan berlian ini"
"Pada awalnya dia memang tidak tahu. Belakangan dia
mengenal Thiat-yan. Dan Thiat-yan menjanjikan akan membeli
berlian merah darah itu dengan harga tinggi. Karena itu Wie
Ceng berubah" "Boh Tan-ping! kau bohong! Hiong-ki diam-diam selalu
membantu Thiat-yan. Bisa dikatakan Dia dan Wie Ceng berdiri
pada jalan yang sama. Mana mungkin dia merintangi usaha
Wie Ceng?" "Sebenarnya anggapanmu kalau Hiong-ki sedang
membantu Thiat-yan juga salah. Sebenarnya dia juga sedang
mengincar berlian merah darah itu"
"Dimana Wie Ceng sekarang?"
"Dia sedang menunggu sebuah kesempatan"
"Kesempatan apa?"
"Kesempatan membunuh Cu Siau-thian"
"Apa motivasinya membunuh Cu Siau-thian?"
"Mungkin Cu Siau-thian adalah saingan terakhirnya dalam
mendapatkan berlian itu."
"Mengapa kau memakai kata mungkin"
Boh Tan-ping berkata perlahan lahan:
"Karena ini adalah pemikiran Wie Ceng. Aku tidak tahu
apakah ini benar atau tidak. Tapi satu hal yang pasti. Cu Taiya
sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah ini."
Wie Ceng sudah menjadi orang yang sangat misterius.
Semua urusan sudah dilemparkan pada dirinya. Hanya kalau
Wie Ceng sendiri muncul menerangkan pada semua orang,
semua urusan pasti akan menjadi jelas, masalahnya dimana
Wie Ceng sekarang" Mengapa dia tidak mau menampakkan
dirinya" Boh Tan-ping selalu membela Cu Taiya. Sepertinya dia
sudah membuat kesepakatan dengan Cu Siau-thian. Ini sudah
jelas. Tu Liong kembali memikirkan semuanya dari awal sampai
akhir. Setelah itu dia berkata perlahan lahan:
"Boh Tan-ping, selama ini kau selalu membela Cu Siauthian...."
"Kata-kataku itu semuanya kenyataan"
"Apakah yang kita lihat selama ini tidak terhitung
kenyataan" Cu Siau-thian sudah meng-utusmu kemari untuk
membunuh Paman Tan, hanya karena dia adalah saksi satusatunya
yang masih hidup. Tadi kita berdua sudah mendengar
semuanya dengan jelas dari luar jendela"
"Tu Liong" Boh Tan-ping tertawa dingin dan berkata,
"kepintaranmu sudah menjadi bumerang bagimu"
"Apa artinya kata-katamu itu?"
"Dari awal sampai akhir, Cu Taiya sudah menjadi kambing
hitam dan menanggung semua fitnah. Sekarang ini dia hanya
berusaha membela diri"
"Hahaha...." Tu Liong tidak kuasa menahan tawa,
"Bagaimana sebenarnya hubunganmu dengan Cu Taiya"
Mengapa kau membelanya mati-matian seperti ini?"
"Tidak ada hubungan apa-apa"
"Tidak ada hubungan apa-apa" apakah kau bahkan tidak
mengenalnya?" "Kau bisa mengatakan kalau aku adalah pendekar yang
tidak senang melihat ketidak adilan."
"Seorang pendekar baik yang tidak menyukai ketidak adilan
yang bernama Boh Tan-ping. kalau kau mengira hanya karena
umur kami yang masih sangat muda, sehingga kami tidak
mengerti kejadian waktu itu" kau sudah mebuat kesalahan
besar, kau adalah adik angkat Cu Siau-thian, benar?"
Boh Tan-ping tertegun Tu Liong meneruskan kata-katanya, "Setelah itu kau
berselisih paham dengan Cu Siau-thian dan lalu pindah
membela Tiat Liong-san, ini pun adalah sebuah siasat agar
kau bisa menjadi mata-matanya?"
Boh Tan-ping tampak ingin membela diri, tapi dia tidak
mengatakan apa apa. Kata-kata Tu Liong menyembur bagaikan bendungan yang
jebol. Sekali meluncur tidak dapat dihentikan.
Dia meneruskan kata-katanya, "Dari dulu kebanyakan
pendekar muncul dari kalangan persilatan. Orang yang
sungguh jahat ataupun pemimpin besar pun banyak yang
datang dari dunia persilatan. Menurut dugaanku, masalah
berlian merah darah ini adalah sebuah siasat agar orang lain
tidak ikut campur. Mungkin di baliknya masih ada alasan lain"
"Alasan lain apa?" Boh Tan-ping akhirnya membuka mulut
"Aku sebenarnya berharap kau bisa mem-beritahu padaku"
"Maaf, aku tidak tahu apa-apa"
"Boh Tan-ping, ada satu hal yang tidak bisa kau sangkal"
"Tentang apa?" "Kau selalu berada di sisi Thiat-yan, tapi kau selalu
mengabdi pada Cu Siau-thian."
"Tu Liong! aku ingin mengatakan sesuatu yang belum kau
ketahui" "Tentang apa?" "Thiat-yan tidak bermusuhan dengan Cu Siau-thian"
"Oh...?" Tu Liong diam-diam terkejut
"Setelah datang ke kota Pakhia, Thiat-yan sudah melukai
beberapa orang, tapi dia tidak melukai Cu Siau-thian sama
sekali. Kemarin ini di tengah hutan di Sie-san, kalian pasti
sudah berhasil melukai Cu Siau-thian, tapi kalian dihentikan
oleh Thiat-yan. Sebenar-nya apa cerita dibaliknya, seharusnya
kalian sudah bisa memikirkannya"
Tu Liong baru saja mengerti tentang satu hal, namun
sekarang dia kembali terperangkap dalam sebuah misteri yang
lain. Kata-kata Boh Tan-ping ada benarnya juga. Apa cerita
dibalik masalah ini"
"Tu Liong" Boh Tan-ping menggunakan kesempatan ini
untuk melanjutkan kata-katanya, "kau masih muda, emosimu
sangat meledak-ledak. Kau belum tentu dapat membuat
sebuah kesimpulan yang tepat. Kau jangan terburu-buru,
sebaiknya dengar-kanlah kata-kata Cu Siau-thian"
"Dia sudah menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan
masalah. Paman Tan Po-hai adalah orang yang baik. semua
orang di Pakhia juga menge-tahuinya. Mengapa dia ingin
membunuhnya?" Boh Tan-ping menjawab dengan dingin:
"aku yakin pasti ada alasan yang tepat bagi Cu Siau-thian
membunuh Tan Po-hai. Kalau tidak...."
"Kata-kata mu sangat sulit diterima"
"Tu Liong, saat ini Cu Siau-thian sedang bersama- sama
Thiat-yan di kediaman Bu Tiat-cui. Mengapa kau tidak segera
pergi bertanya pada mereka berdua. Mungkin juga...."
"Tidak perlu. Aku hanya ingin bertanya beberapa hal lagi
padamu" "Tu Liong, mungkin aku tidak dapat menjawabnya." Boh
Tan-ping tampak sedang berusaha menghindari masalah,
"bagaimana kalau sekarang kita bersama-sama pergi kesana
untuk berbicara?" Setelah berkata demikian, Boh Tan-ping membalikkan
tubuh dan segera berjalan keluar rumah. Tidak kalah cepat,
Wie Kie-hong merintangi jalan.


Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Berhenti!" "Ada apa?" dengan dingin Boh Tan-ping bertanya "Dimana
ayahku sekarang?" "Aku tidak tahu...."
Sepertinya Wie Kie-hong sudah kehabisan kesabaran.
Selama ini dia selalu mendapat jawaban "tidak tahu". Setelah
Boh Tan-ping berkata seperti itu, Wie Kie-hong segera
mencabut kembali pedangnya. Dia segera menyerang Boh
Tan-ping. gerakannya sangat cepat. Tidak di sangka ternyata
Boh Tan-ping juga sudah bersiap sedia. Dia segera
menghindari serangan. Pertarung an kedua kembali terjadi.
Wie Kie-hong segera menghujamkan pisaunya ke arah Boh
Tan-ping. Boh Tan-ping menghindari tusukan pisau dengan gesit.
Namun dia menyadari kalau sekarang dia sudah terpojok.
Dia berdiri di sudut ruangan. "Apa-apaan ini?"
"Tu toako, sebaiknya kau bawa Paman Tan pergi dari sini"
Wie Kie-hong berkata pada Tu Liong.
Tu Liong hanya mengangguk, dan menarik tangan Paman
Tan dan bergegas pergi dari rumahnya.
Wie Kie-hong membalikkan kepala kembali menatap Boh
Tan-ping. "Aku tanya sekali lagi. dimana ayahku?"
"Aku tidak tahu"
Mendadak Wie Kie-hong memburu kedepan. Boh Tan-ping
terpojok. Dia sudah tidak dapat lari kemana-mana lagi.
Pisau Wie Kie-hong segera meluncur mengarah muka Boh
Tan-ping. Boh Tan-ping mengelak serangan dengan mencondongkan
kepalanya ke kanan. Wie Kie-hong menyabetkan pisaunya ke arah kanan,
bermaksud terus memburu Boh Tan-ping.
Boh Tan-ping menunduk dan segera berguling-guling
menjauh. Sekali lagi Boh Tan-ping terpojok. Dia berdiri membelakangi
dinding. Dia bergumam tidak jelas, tampaknya dia dongkol dan
mengumpat mengapa ruangan tempat tinggal Paman Tan
sangat sempit. Wie Kie-hong menendang tembok dan melun-cur menuju
Boh Tan-ping. Boh Tan-ping segera mengayunkan pedang gigi gergajinya
ke arah Wie Kie-hong. Untung Wie Kie-hong masih dapat menahan Lajunya.
Pedang gigi gergaji menancap lemari.
Wie Kie-hong segera menyabetkan pisaunya ke pegangan
pedang. Dia bermaksud menebas tangan Boh Tan-ping.
Segera Boh Tan-ping melepaskan pedangnya.
Wie Kie-hong memanfaatkan kesempatan ini untuk
menekan Boh Tan-ping. Sekali lagi Boh Tan-ping terdesak di pojok ruangan.
Kali ini Wie Kie-hong sungguh sudah membuatnya tidak
berdaya. "Katakan! dimana ayahku berada?"
"Aku tidak tahu"
Wie Kie-hong menatap matanya dalam-dalam.
Boh Tan-ping tahu kalau tidak bicara, Wie Kie-hong
sungguh akan melukainya. Wie Kie-hong menarik nafas dalam-dalam
Dia segera mengayunkan pisaunya ke arah leher Boh Tanping.
"Tunggu!!" Pisau Wie Kie-hong berhenti tepat ketika ujung pisau yang
tajam menyentuh lehernya.
Wie Kie-hong menunggu Boh Tan-ping meneruskan katakatanya.
Boh Tan-ping menelan ludah.
Setelah beberapa saat, dia melanjutkan kata-katanya, "Wie
Kie-hong, apakah kau ingin menjumpai ayahmu?"
"Tentu saja" "Pergilah ke gang San-poa"
"Apakah saat ini dia ada di gang San-poa?"
"Ya. Dia ada di dalam rumah kediaman Bu Tiat-cui"
"Untuk apa ayahku ada disana" bukankah tadi kau bilang
Thiat-yan dan Cu Siau-thian juga ada disana?"
"Tidak salah. Ketika aku meninggalkan rumah Bu Tiat-cui
sebelum kemari, ayahmu sedang berbaring. Dia terluka parah,
dia terus menerus mengeluarkan darah segar. Kalau kau cepat
kesana, mungkin kau masih sempat mengantar kepergiannya"
"Siapa yang sudah membunuhnya?"
"Thiat-yan" Mendadak emosi Wie Kie-hong meledak. Dia mengamuk
seperti orang gila. Tanpa memperdulikan apa-apa lagi, Wie
Kie-hong segera melepaskan Boh Tan-ping. dia lalu berlari
keluar. Boh Tan-ping tidak berkata apa-apa. Dia hanya melihat
kepergian Wie Kie-hong dalam diam.
0-0-0 Tu Liong terus berlari menyusuri gelapnya malam. Tan Pohai
mencoba mengimbangi kecepatan larinya tanpa banyak
hasil. Nafasnya sudah memburu hebat bagaikan seekor kerbau
Tan Po-hai berusaha memanggilnya "Saudara Tu Liong,
tolong jangan terlalu cepat"
Akhirnya Tu Liong mengurangi kecepatan larinya, tidak
jauh berlari akhirnya mereka berhenti.
Tan Po-hai hanya bisa berdiri membungkuk mengejar
nafasnya. Setelah nafasnya mulai teratur, Tan Po-hai bertanya:
"Saudara Tu Liong, kau hendak pergi kemana?"
"Aku bermaksud pergi menemui Cu Siau-thian di kediaman
Bu Tiat-cui" "Aku tidak yakin aku kuat mengikutimu lari kesana"
Tu Liong menimbang-nimbang keadaan ini. setelah
beberapa lama, Tu Liong berkata padanya, "Paman Tan,
sebaiknya kau pergi mencari kereta kuda untuk
mengantarkanmu ke kediaman Leng Taiya dan menunggu Wie
Kie-hong. Setidaknya paman aman berada disana. nanti kita
akan bertemu lagi. aku hanya khawatir Cu Siau-thian diamdiam
sudah mengutus seseorang mengikuti anda. Kalau
demikian, rasanya anda malah lebih celaka"
Tan Po-hai memang orang yang sungguh besar hati. dia
hanya berkata singkat "Hidup mati sudah ada jodohnya. Kaya miskin juga sudah
diatur langit. Kalau memang aku sudah ditakdirkan mati,
bgaimanapun juga aku tidak dapat melarikan diri, aku
khawatir masalah di dalam rumah Bu Tiat-cui bisa menjadi
runyam. Kalau aku berada disisimu, aku khawatir aku hanya
akan menyusahkan kalian."
"Paman Tan, kau harus berhati-hati. setelah nanti sampai
ke kediaman Leng Taiya, jangan pergi kemana-mana lagi."
Akhirnya mereka berdua menghentikan sebuah kereta kuda
yang lewat, Tu Liong mengantar Tan Po-hai naik kereta, dan
memandang kereta pergi menjauh.
Setelah kereta hilang dari pandangan, Tu Liong
melanjutkan larinya ke gang San-poa.
Angin malam berdesir lembut, cahaya rembulan yang
tertutup awan perlahan-lahan kembali menyinari jalan yang
sedang ditempuhnya. Mendadak dari kejauhan dia melihat bayangan berwarna
putih. Pertama dia pikir dia sudah salah melihat. Apakah dia
sedang melihat hantu"
Tu Liong menegadah melihat langit.
Memang bulan sedang purnama.
Dia pernah mendengar, katanya ketika sedang bulan
purnama atau bulan sedang gelap, banyak kejadian kejadian
mistis yang sering terjadi.
Tapi dia yakin dia tidak sedang salah lihat, dia terus berlari
mendekati bayangan putih itu.
Dalam hatinya dia merasa sedikit seram juga, namun
setelah sangat dekat, hatinya kembali merasa tenang.
Ternyata memang bukan sosok hantu.
Itu adalah seorang calon nikoh berkepala gundul.
Memang Hai Ceng yang biasa dikenakan para calon nikoh
selalu berwarna putih atau hitam.
Tu Liong bersyukur nikoh ini tidak mengena-kan yang
berwarna hitam. Melihat Tu Liong berlari mendekat, dia menempelkan kedua
telapak tangan dan membungkuk menyapa dengan ramah.
"Omitohud..." Tu Liong merasa kikuk juga. Namun dia tahu tata krama
untuk menyapa para nikoh seperti ini.
Dia mengikuti apa yang dikerjakan nikoh itu.
"Omitohud... nikoh datang jauh-jauh ketempat seperti ini
ditengah malam begini ada urusan apa?"
"Apakah Tuan muda tahu dimana aku bisa menjumpai Cu
Siau-thian?" 0-0-0 Dalam gelap malam, Wie Kie-hong terus berlari bagaikan
orang kesurupan. Didalam kepalanya berseliweran berbagai
macam pikiran, dugaan dan pertanyaan.
Air mata terus berderai turun.
Dia sudah jenuh merasa bingung dengan semua
pertanyaan dan tipuan. Tampaknya tidak ada satupun urusan
yang sungguh masuk logikanya.
Mendadak dia mendapat satu ingatan.
Orang yang ditemui di dalam kediaman Bu Tiat-cui, yang
bersuara serak dan beralis putih... apakah orang itu adalah
ayahnya" Rasanya dia sudah beberapa kali mendengar suara
seraknya. Rasanya dia adalah orang yang berbisik pada dirinya
didalam kamarnya ketika jendela kamar tidur mendiang ayah
tirinya didongkel orang. Suara yang sama yang sudah menyapanya didalam
perjalanannya menyerahkan payung kertas pada nona Thiatyan.
Mengapa dia tidak memikirkan hal ini ketika dia sedang
berhadapan dengannya"
"Mana mungkin aku bisa terpikirkan kalau ayahnya
mendadak muncul dihadapannya?" katanya pada diri sendiri.
UGH! Kalau memang demikian, dia sudah melewatkan
sebuah kesempatan besar. Kesempatan besar yang menjadi sebuah tragedi besar.
Memikirkan bahwa ayahnya sekarang mungkin sudah tiada
karena kebodohannya, Wie Kie-hong semakin menggila. Dia
mempercepat larinya sampai pinggangnya terasa linu.
Dia tidak memperdulikan nafasnya yang memburu. Tujuan
larinya tidak lain adalah kediaman Bu Tiat-cui.
Malam semakin larut, suasana pun sangat sunyi. Suasana
dalam gang San-poa juga sama heningnya dengan tempattempat
lainnya. Tidak terasa hawa pembunuhan sama sekali.
Pintu masuk depan taman Bu Tiat-cui setengah terbuka.
Tapi didalamnya tidak terdengar suara apa-apa. Wie Kie-hong
menunggu sampai nafasnya kembali normal. Barulah dia
berani melangkahkan kaki masuk kedalam.
Lampu-lampu didalam rumah sudah dinya-lakan, namun
dia tidak menjumpai seorang pun.
Tirai yang menutup pintu masuk ruang samping separuh
tersibak membuka. Mayat Bu Tiat-cui masih terbujur kaku di
tempat dia meninggalkannya tadi.
Ternyata selain mayat itu masih ada orang lain yang
sedang duduk di bangku yang biasa diduduki oleh Bu Tiat-cui.
Dia duduk bersandar, kepalanya tertegadah kebelakang.
Tangan kanannya memegang dada. Darah segar belepotan
membasahi tangannya. Wie Kie-hong berusaha melihatnya dengan lebih teliti.
Ternyata orang ini masih bernafas walau sangat perlahanlahan.
Wie Kie-hong ingin segera masuk. Namun dia tiba-tiba
teringat Tu toako. Dia selalu berhati hati. kalau misalnya dia
sedang ada bersamanya, dia pasti akan menarik bahunya. Dia
akan memperingatkannya agar lebih waspada. Karena itu Wie
Kie-hong meneliti ke empat penjuru ruangan sampai jelas,
setelah itu dia segera berjalan mendekati orang yang terluka
ini. Kepala Wie Kie-hong sudah terasa sangat panas. Dia
bagaikan semut didalam kuali. Dia mempelajari raut muka
orang yang terluka ini. Alisnya berwarna putih, namun
matanya tertutup rapat, ternyata dia adalah orang yang tadi
sudah menyuruhnya untuk segera pergi.
Tiba-tiba suara Boh Tan-ping teriang nyaring didalam
telinganya: "Kalau kau cepat pergi kesana, kau mungkin masih sempat
mengantar kepergiannya"
Dia pasti Wie Ceng ayah kandungnya.
Segera Wie Kie-hong menjulurkan tangan untuk memeriksa
luka yang dideritanya. Mendadak orang ini meloncat berdiri dan menyanderanya
seperti ketika dia menyandera Bu Tiat-cui.
Orang itu ternyata sama sekali tidak terluka, berpura-pura
sekarat dan menggunakan kesempatan untuk menangkapnya
adalah tindakan yang sangat picik.
Ini jelas adalah tipuan Cu Siau-thian yang lain.
Wie Kie-hong kembali merasa bimbang. Apakah orang ini
sungguh adalah ayahnya" Kalau memang benar, untuk apa
dia berbohong pura-pura sekarat" Bagaimana kalau
seandainya dugaannya salah"
Gerakannya sangat cepat, kekuatannya pun luar biasa.
Namun orang itu tidak tampak meng-gunakan tenaga apaapa.
hanya saja setelah bahunya dicengkram, betapapun Wie
Kie-hong berusaha melepaskan diri, dia tidak bisa.
"Mengapa kau kembali kesini?" orang itu bertanya.
"Aku mendengar kalau anda terluka, karena itu aku segera
berlari kemari" "Kalau kau berbaik hati pada orang lain, kau sudah
menjahati dirimu sendiri"
Ternyata orang ini masih sempat memberikan petuah
padanya. "Kau yang sudah datang sendiri kemari mengantar nyawa.
Jangan menyalahkanku"
Entah bagaimana caranya, namun hati Wie Kie-hong
mendadak menjadi dingin. Dia berbicara dengan tenang:


Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku punya satu pertanyaan untukmu"
"Katakanlah" "Siapa namamu?"
"Memang ada urusan apa denganmu?"
"Ada urusan yang sangat besar, aku segera datang kemari
karena seorang keluarga sedang terluka disini"
"Seorang keluarga" Keluarga siapa?"
"Aku" Wie Kie-hong menjawab dengan suara keras
"Apa hubunganmu dengannya?"
"Dia adalah ayahku"
"Coba kamu lihat sendiri, apakah aku mirip ayahmu?"
Hati Wie Kie-hong sungguh terasa dingin. Katakanlah
ayahnya tidak ingin mengakuinya, dia tidak mungkin
memperlakukannya seperti ini, dan berkata seperti ini
padanya. "Tadi Boh Tan-ping sudah memberitahuku kalau ayahku
sedang terluka disini. Karena itu aku segera pergi kemari.
Kalau tidak demikian, untuk apa aku datang kembali masuk
kedalam bahaya setelah kau menyuruh aku pergi menjauh?"
"Ternyata kau sudah ditipu"
"Ini adalah balas budi seorang anak"
"Siapa nama ayahmu?"
"Wie Ceng" "Wie Ceng" Siapa yang memberitahumu kalau ayahmu
masih hidup?" "Sudah banyak orang yang memberitahuku. Bahkan Thiatyan
pun mengatakan padaku"
"Aku beritahu. Ayahmu sudah meninggal dari dulu"
"Betulkah" Dimana dia meninggal?"
"Seperti kabar yang beredar. Dia meninggal ketika pergi
keluar kota menunaikan tugas"
"Bagaimana dia meninggal?"
"Tentu saja dibunuh orang"
"Siapa yang sudah membunuh ayahku?"
"Sebenarnya ini adalah sebuah rahasia besar, namun
sekarang sepertinya sudah tidak penting lagi.... orang yang
membunuh ayahmu adalah Cu Siau-thian"
"Mengapa" Mengapa dia membunuh ayah-ku?"
"Menurut dugaanku, Leng Taiya sudah mengutusnya pergi
keluar kota untuk menyelidiki satu hal. Kalau hal ini memang
diketahuinya, pasti akan merugikan Cu Siau-thian."
"Kalau begitu siapa dirimu?"
"Aku adalah orang kepercayaan Cu Siau-thian. Aku juga
pembunuh bayarannya"
"Tapi tadi kau sudah melepaskan aku dan kakak...
"Itu karena aku masih memiliki hati nurani. Aku pasti
menolong pemuda yang berjiwa luhur..."
"Ada pepatah yang mengatakan, kalau membantu
seseorang, bantulah sampai selesai. Kalau mengantarkan
seorang Buddha, antarlah sampai ke barat."
"Sayang aku memiliki prinsip. Kalau mencoba membunuh
orang, aku tidak akan mencoba membunuhnya untuk kedua
kali. kalau menolong orang, aku pun tidak akan menolong
kedua kalinya. Lagipula tadi Cu Taiya tidak tahu kalau aku
ada kesempatan untuk membunuhmu. Sekarang jebakan ini
sudah dipersiapkan olehnya. Kalau aku tidak membunuhmu,
dia pasti tidak akan mengampuni diriku"
"Aku masih ingin bertanya padamu, jawab dengan jujur
sebagai permintaan terakhirku"
"Silahkan" "Akhir-akhir ini kau sudah membunuh berapa banyak
orang?" "Tidak sedikit"
"Siapa saja?" "Kebanyakan yang mati sudah dibunuh olehku"
"Hui Taiya, Leng Taiya, masih ada Hiong-ki?"
"Tidak salah" "Mengapa harus membunuh mereka?"
"Aku hanya membunuh berdasarkan perintah, kalau kau
mau tahu alasannya, sebaiknya kau bertanya pada Cu Siauthian."
"Apakah sekarang kau mendapat perintah untuk
membunuh aku dan Tu toako?"
"Betul. Sebentar lagi Tu Liong pasti akan menyusul kemari"
"Kemana perginya Thiat-yan?"
"Thiat-yan?" orang beralis putih ini tertawa dingin "HUH!
Seharusnya dia sekarang sedang ada di sebuah kuil dan
menjadi seorang nikoh"
Wie Kie-hong mengernyitkan kening.
"Apa maksud kata-katamu" Tadi dia masih ada disini
berdebat dengan Cu Siau-thian"
"Perempuan itu bukan Thiat-yan yang sesungguhnya"
"Kalaubegitu siapa dia?"
"Dia adalah anak kandung Cu Siau-thian. Hanya saja
rahasia itu tidak pernah diberitahukan pada siapapun"
Sekarang semuanya tiba-tiba menjadi jelas bagi Wie Kiehong.
ternyata dia dan Tu Liong sudah ditipu dari awal. Hanya
saja mereka tidak menyadarinya.
"Aku tidak mengerti. Semua orang sudah membuat
masalah ini menjadi pelik dan berputar-putar. Untuk apa
melakukannya?""
"Baiklah. Aku tidak ingin kau terlahir lagi sebagai hantu
penasaran. Sebaiknya aku sekaligus menjelaskannya padamu.
Pada waktu itu orang orang mencelakai Tiat Liong-san
memang demi merebut harta yang dimilikinya. Sebuah berlian
raksasa berwarna merah darah, hanya saja setelah kejadian
itu, tidak seorangpun menemukan berlian tersebut. Cu Siauthian
selalu menduga kalau berlian itu sudah jatuh di tangan
Leng Souw-hiang. Hanya karena waktu itu kedudukan Leng
Souw-hiang sangat tinggi, Cu Siau-thian hanya bisa menelan
ludah dan memendam dendam. Dia tidak berani berbuat apaapa.
tidak lama pemerintahan berdiri. Semua kuasa yang
dimiliki oleh Leng Souw-hiang jadi hilang. Barulah Cu Siauthian
kembali mengusut masalah ini. Tiba-tiba dia menyadari
kalau Tiat Liong-san tidak pernah memiliki berlian merah
darah raksasa sama sekali...."
Wie Kie-hong mendengarkan penjelasan ini dengan penuh
konsentrasi. Sepertinya dia mendadak lupa kalau nyawanya
sedang berada di ujung tanduk.
Orang itu melanjutkan kata-katanya:
"setelah Cu Siau-thian mengerti tentang hal ini, dia
berpura-pura berkata kalau berlian merah darah itu ada
didalam tangannya, berdasarkan janji yang sudah dibuat
sebelumnya, seharusnya hasil penjualan berlian itu dibagi
berlima. Seorang seharusnya mendapat sekitar lima puluh ribu
uang orang luar negeri. Namun dia tidak bersedia
membayarkan uang sebanyak itu. dia lalu mencoba
melemparkan kesalahan pada Leng Souw-hiang"
"Dan Leng Souw-hiang setuju pada keinginannya begitu
saja?" "Leng Souw-hiang sangat menyukai berlian dan permata.
Tentu saja dia menyetujuinya.?""
Dia lalu membuat siasat. Dia menyuruh anak
perempuannya berpura-pura menjadi nona Thiat-yan dan
keluar membereskan masalah. Dia ingin membuat Leng Souwhiang
yang penasaran tidak lagi mengejar-ngejar masalah
berlian ini. pada awalnya, Cu Siau-thian hanya ingin
membereskan orang-orang ini. dia tidak menyangka kalian
berdua terus mengejar masalah ini dan tidak sedikitpun
melepaskannya. Akhirnya Cu Siau-thian terpaksa membunuh
kalian juga" Wie Kie-hong merasa ingin menangis keras-keras, namun
kesempatan untuk menangis pun sudah meninggalkannya.
Orang itu tidak berhenti menjelaskan:
"Hiong-ki juga terus mencoba menyelidiki tentang kematian
Tiat Liong-san. Tidak disangka pendekar tua itu juga sudah
berhasil ditipu Cu Siau-thian. Dia salah menyangka nona walet
yang palsu sebagai Thiat-yan anak kandung Tiat Liong-san
yang asli. Terakhir dia harus mati terbunuh..."
Hening beberapa saat. Sepertinya semua penjelasan sudah
dikatakan oleh orang ini.
"Sekarang sudah tiba waktunya...." tiba tiba dia berkata
sambil mencabut sebuah pisau dari sarung yang terikat di
pinggangnya. Pisau yang dipegang tangan kanannya bersinar kebiruan
dibawah sinar lampu kamar.
Pisau ini memiliki ornamen yang unik.
Mendadak mata Wie Kie-hong bersinar sinar. Dia segera
bertanya: "Darimana kau mendapat pisau itu?"
"Ini adalah barang jarahan kemenangan pertarungan"
"Barang jarahan?"
"Kejadiannya sudah sangat lama. bertahun tahun yang lalu,
Cu Siau-thian sudah menyuruhku membunuh seseorang. Aku
menemukan pisau unik ini padanya. Karena itu aku
mengambilnya dan menggunakannya sampai sekarang."
"HUH!! Ternyata kau yang sudah membunuh ayahku!"
mendadak emosi Wie Kie-hong meledak. Dia tidak
menghiraukan kalau dia bisa mati setiap saat, "sekarang aku
akan membuat perhitungan denganmu"
"Wie Kie-hong, sebenarnya karena aku sudah membunuh
ayahmu, aku tidak ingin membunuhmu lagi. Karena itu tadi
aku sudah menolongmu sekali. Namun tidak diduga jalan
langit yang aman tidak kau pilih, kau malah menyusuri jalan
neraka yang menuju kematian. Ini tidak bisa menyalahkanku"
Orang yang beralis putih menempelkan pisau Wie Ceng ke
leher Wie Kie-hong. Air mata Wie Kie-hong meleleh, tidak disangka dia akan
menyusul ayahnya, bahkan mati dibunuh oleh pisau milik
ayahnya sendiri, dia memendam dendam yang mendalam. Dia
tidak rela semua ini berakhir begitu saja, namun dia tidak bisa
berbuat apa-apa. Wie Kie-hong hanya bisa menutup mata dan
menarik nafas dalam dalam.
"TAHAN!!" Mendadak terdengar teriakan keras dari luar kamar. Suara
itu adalah suara Tu Liong.
"Pembunuh beralis putih! lepaskan dia!"
Wie Kie-hong terbengong-bengong melihat Tu toako yang
dipujanya selama ini. "Untuk apa aku mematuhimu?"
"Ingatkah kau pernah berkata kalau kau masih mengabdi
padaku sampai batas waktu kontrak?"
"Tapi kau yang mengatakan kalau kau tidak butuh
bantuanku lagi" ketika mereka berdua sedang berdebat, konsentrasi
pembunuh beralis putih sudah teralihkan. Wie Kie-hong tibatiba
teringat pada Bu Tiat-cui. Dia memanfaatkan kesempatan
ini untuk melepaskan diri. seperti Bu Tiat-cui waktu itu, segera
dia mengayunkan tangannya ke arah selangkangan pembunuh
beralis putih. "BUUUKK!!!" Pembunuh beralis putih sama sekali tidak menyangka Wie
Kie-hong akan berlaku seperti itu. dia langsung merasa
kesakitan yang teramat sangat sampai dia nyaris tidak bisa
bernafas. Cengkraman tangannya pada bahu Wie Kie-hong
segera melonggar, dan dia menunduk kesakitan.
Wie Kie-hong segera bergeser ke sisi Tu toakonya.
Mendadak dua buah bayangan melesat masuk ke dalam
ruangan, sebentar saja Cu Siau-thian dan Thiat-yan sudah
berdiri dihadapan mereka. Tidak... bukan nona Thiat-yan. Dia
seharusnya bermarga Cu.. jadi namanya adalah Cu Yan
Cu Siau-thian tertawa dingin dan berkata:
"Tu Liong, Wie Kie-hong, kalian berdua sungguh dua anak
kecil yang tidak tahu diuntung. Aku sudah berulang kali
mencoba melarang kalian ikut campur dalam urusan ini,
namun kalian tidak pernah mau mendengarkan, sekarang
mengapa kalian tidak memejamkan mata kalian dan mati baikbaik"
ini kesempatan terakhir mema tuhi permintaanku"
Tu Liong memohon Cu Siau-thian dengan suara memelas:
"Cu Taiya, saat itu kau sudah membunuh ayah kandung
Wie Kie-hong, apakah kau masih tega membunuhnya lagi"
Lepaskanlah Kie-hong, aku rela mati untuknya. Kalau aku mati
semua akan baik-baik saja. Anggaplah ini sebagai cara untuk
membalas semua hutang budiku"
"HUH! Kalau membasmi rumput liar tidak sampai
keakarnya, musim semi nanti pasti akan tumbuh tunas baru"
Ketika semua orang sedang lengah seperti ini, tiba-tiba Wie
Kie-hong mengeluarkan sebuah pisau kecil yang
disembunyikannya. Dia segera melempar-kan pisau ini ke arah
Cu Siau-thian. Pisau ini melesat bagaikan panah yang terlepas dari
busurnya. Tidak ada seorang pun kecuali Wie Kie-hong yang menduga
pisau ini datang meluncur.
Namun pisau ini tidak berhasil mencapai sasaran.
"TRAAANGG" Tiba-tiba terdengar suara besi beradu dengan besi.
Pedang gigi gergaji Boh Tan-ping sudah menepis pisau
sesaat sebelum mengenai Cu Siau-thian.
Entah kapan atau dari mana dia masuk, namun
kenyataannya dia ada didalam bersama mereka.
Situasi sangat tidak menguntungkan, kalau mereka harus
bertarung sekarang posisinya empat orang melawan dua.
"Kie-hong, ayo cepat lari" Tu Liong tiba-tiba menjerit.
"Tidak...." Wie Kie-hong menjawab dengan
suara menyayat hati, "Tu toako, kita mati bersama-sama.
Biarkan orang-orang jahat ini melihat kematian kita dan
menyesali perbuatannya"
"Hahahahahaha..." Cu Siau-thian tertawa keras-keras
bagaikan orang gila. Ditengah tawanya yang menggelegar, tiba-tiba terdengar
suara nyaring seorang perempuan yang terdengar lembut
"Omitohud" "Siapa disana?" segera Cu Siau-thian bertanya Seorang
perempuan berpakaian serba putih dan berkepala botak
memasuki ruangan, perempuan ini masih berusia sangat
muda, namun kedua matanya bersinar terang bagaikan api
yang berkobar. Tampaknya kecuali Tu Liong dan pembunuh beralis putih,
semua orang memandang ke arah nikoh perempuan itu
dengan tatapan kebingungan.


Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tu Liong memperkenalkan dirinya dengan singkat:
"Beliau adalah anak perempuan asli Tiat Liong-san yang
bernama Thiat-yan. dia bercerita semenjak kecil, sudah
tertarik dengan ajaran agama Buddha. dan sangat mencintai
ayahnya Tiat Liong-san. Ketika ayahnya dicelakai, dia
mendapat pukulan batin yang sangat keras. Namun dia juga
sadar kalau peristiwa itu dapat dipandang dari sudut pandang
yang lain. Itu adalah kesempatan baginya untuk mencapai apa
yang diinginkannya. Pada akhirnya dia memutuskan untuk
pergi ke kuil dan menjadi Nikoh sesisa hidupnya."
Rupanya semua orang sudah mendengarkan ceritanya
dengan sungguh-sungguh. Nikoh ini hanya membungkuk dalam-dalam sebagai tanda
salam. Sekarang semuanya sudah berakhir.
Semua kartu sudah terbuka, dan semua orang sudah
terkumpul di dalam kamar tempat semua orang dibunuh.
Ke empat orang, Cu Siau-thian, Thiat-yan gadungan, Boh
Tan-ping dan pembunuh beralis putih, berdiri bersebelahan
dan menatap Tu Liong, Wie Kie-hong dan Nikoh yang berdiri
sebelah menyebelah disebrang mereka.
Yang tersisa hanyalah pertarungan terakhir.
Wie Kie-hong menatap pembunuh beralis putih dengan
tatapan tajam. Dia menyimpan dendam yang besar padanya.
Dia sudah menipunya selama ini dan dia pula yang sudah
membunuh ayah kandungnya Wie Ceng. Sekarang dia harus
membalaskan dendam dan merebut kembali pedang
pusakanya. Tu Liong juga menatap Boh Tan-ping dengan tatapan
tajam. Boh Tan-ping tampak menghindari tatapannya. Bahu
kanannya masih terasa nyeri. Daging yang sudah lepas tidak
bisa dipasang kembali dengan mudah. Namun tetap suatu
saat bisa pulih. Hanya saja rasa kesal yang ada didalam hati
tidak akan hilang kalau tidak terlampiaskan. Tu Liong tidak
sungguh ingin membunuhnya. Dia berharap Boh Tan-ping bisa
merubah jalan hidupnya dan berbuat baik di kemudian hari.
Nikoh tidak berambut, berpakaian serba putih hanya
menatap lantai. Dia tidak melihat mata siapa-siapa. Sebaliknya
nona Thiat-yan gadungan yang menatap dirinya dengan
tajam. Dia tidak suka Nikoh ini muncul ditengah acara dan
membongkar jati diri aslinya. Dia tahu kalau menyerang
seorang nikoh adalah dosa, namun dia tidak
mengindahkannya. Dia tahu nikoh juga manusia, dan manusia
yang satu ini adalah manusia yang sedang dipalsukan dirinya.
Mereka semua sudah memilih lawannya masing-masing
bahkan sebelum mereka memasuki ruangan tempat
pertarungan terakhir ini. Sepertinya semuanya sudah diatur
oleh takdir. Cu Siau-thian melihat kiri dan kanan, menyadari kalau
ketiga anak buahnya akan melawan ketiga orang pemuda
yang pernah dekat dengan dirinya. Dia hanya tertawa dingin.
Tawanya sangat panjang dan tanpa berhenti. Untuk saat ini
dia tidak memiliki siapapun untuk dilawan.
Ketika tawa Cu Siau-thian masih membahana, semua orang
bersiap-siap untuk menghadapi lawannya masing-masing.
Suasana menjadi tegang. Tawa Cu Siau-thian menjadi aba-aba
dimulainya pertarungan terakhir. Setelah tawa Cu Siau-thian
terhenti, pertarungan terakhir pun dimulai.
0-0-0 Nikoh tidak berambut masih menatap lantai ketika tawa Cu
Siau-thian berhenti. Sementara itu Thiat-yan gadungan sudah
meluncur ke arahnya dengan teriakan lengking tinggi khas
perempuan, pisau kecil yang tajam sudah terhunus ke depan.
Mendadak nikoh menutup matanya dan mengangkat
kepala. Dia kembali mengucap "Omitohud" dan mendadak
membuka matanya. Matanya berkilau terang. Mata ini
menatap mata Thiat-yan palsu dengan tajam.
Nikoh sudah disumpah untuk meninggalkan hidup
keduniawian dan berlatih diri. Tampaknya nikoh ini sudah
melatih diri dengan baik. dia memiliki kekuatan batin untuk
mengelabui lawan yang memandang matanya.
Setelah Thiat-yan palsu memandang matanya, dia tampak
seperti orang yang kebingungan. Dia berhenti dan
memandang ke sekeliling, nikoh ini tidak membuang waktu.
Setelah Thiat-yan palsu terkena hipnotisnya, dia kembali
menunduk memandang lantai dan berjalan menuju Cu Siauthian.
Pertama-tama Cu Siau-thian tampak kebingung an melihat
tingkah anak perempuannya, dan sekarang dia tampak mulai
gemetar ketakutan. Setelah nikoh itu sampai ke hadapannya, dia kembali
menutup mata dan menegadahkan mukanya pada Cu Siauthian.
Kembali dia berkata "Omitohud" dan mem-buka mata,
matanya kembali berkilau.
Cu Siau-thian tampak terhuyung-huyung.
Nikoh ini hanya menutup mata dan berjalan kembali ke
tempatnya semula. Dari sampingnya terdengar suara jeritan kesakitan Tu
Liong. Setelah itu jeritan panjang pembunuh beralis putih
yang memilukan. Tidak lama kemudian, suara jeritan lengking
Thiat-yan palsu. Nikoh ini menghembuskan nafas yang panjang dan
berkata: "Omitohud... jaring takdir memang tidak rapat, namun
tidak seorang pun yang bisa menembusnya."
0-0-0 Apa yang telah terjadi"
Saat itu Thiat-yan palsu memegang pegangan pisau dibalik
bajunya ketika Cu Siau-thian ayah kandungnya tertawa
panjang. Dia mendelik garang ke arah Nikoh tidak berambut.
"Dasar botak sialan" umpatnya dalam hati, 'Aku akan
membuat bajumu menjadi merah hari ini.'
Dia sudah memasang kuda-kuda bersiap untuk menerjang
cepat ke arahnya. Ketika tawa Cu Siau-thian terhenti, dia tidak
memperhatikan apa-apa lagi.
Yang ada dalam matanya hanyalah bayangan tubuh nikoh.
Dia segera meneriakkan jerit peperangan, dan
menghentakkan kaki belakangnya dengan kuat dan segera
meluncur kedepan. Dia berharap dia bisa melihat rasa takut yang mendalam
pada mata nikoh itu Oleh karena itu dia tidak lepas-lepasnya memandang
kepala nikoh itu, berharap dia menegadahkan kepala dan
melihat matanya. Harapannya terkabul Tidak berapa lama, nikoh itu mengucapkan "Omitohud" dan
menegadahkan kepala. Namun ternyata dia masih
memejamkan matanya. Thiat-yan palsu sempat bingung, 'Apa apaan ini"' umpatnya
dalam hati. Namun tiba-tiba saja dia membuka matanya.
Thiat-yan palsu sempat merasa kaget.
Mata nikoh itu tampak bersinar terang bagaikan cahaya
matahari. Mendadak nikoh ini menghilang dari pandangannya.
Thiat-yan palsu terpaksa menghentikan langkahnya.
Dia memandang berkeliling kebingungan berusaha mencari
kemana nikoh ini pergi. Dia sempat melihat ayah kandungnya untuk membantunya
menunjuk dimana nikoh ini.
Tapi ternyata ayahnya pun sama-sama tampak
kebingungan. Belum lagi Thiat-yan palsu memaklumkan rasa bingungnya,
dia bertambah gugup. Entah mengapa ayahnya tiba-tiba gemetar ketakutan dan
lalu tampak terhuyung-huyung tanpa sebab.
Dia bermaksud berjalan mendekati ayahnya untuk
memeriksa apa yang salah dengan dirinya.
Mendadak nikoh itu muncul dihadapannya.
Thiat-yan palsu sedikit merinding.
Dia tidak menyangka nikoh memiliki kekuatan batin untuk
menghilang dan muncul begitu saja.
Tapi dia merasa nikoh itu tetap saja manusia biasa yang
tidak bisa ilmu silat. Karena itu dia kembali melaju menyerang nikoh dengan
menghunuskan pisau tajam yang masih dipegangnya.
Namun belum sempat pisau ini menembus dada musuhnya,
tiba-tiba saja dia merasa ngilu yang dahsyat di bagian
tubuhnya. Sebuah jeritan yang memilukan terlepas dari mulutnya.
Ternyata Cu Siau-thian ayahnya sendiri sudah berada
didekatnya dan menancapkan sebatang jarum besi yang
panjang ke dalam jalan darah mematikan di tubuhnya.
Tangan dan kakinya segera terkulai lemas, tidak memiliki
tenaga untuk terus berdiri.
Dia segera ambruk ke tanah bagaikan seonggok daging
tanpa tulang. Mendadak Cu Siau-thian tampak sadar dari perbuatannya.
Dia lalu jatuh tersungkur dihadapannya dan menangis
keras. Tidak lama terdengar suara jeritan Tu Liong d isusul
dengan suara jeritan pembunuh beralis putih.
Setelah itu terdengar nikoh berkata-kata.
0-0-0 Sedang kejadian yang dialami Cu Siau-thian adalah, dia
sendiri merasa sekarang dia tidak mungkin kalah. Semua
orang sudah mempunyai lawannya masing-masing. Dia hanya
perlu menyak sikan pertarungan terakhir ini dan membantu
bila dibutuh-kan. Dia tertawa panjang. Setelah tawanya berakhir, dia melihat ke tiga anak buahnya
menyerang. Dia melihat pertarungan seru antara Tu Liong dengan Boh
Tan-ping, dan anaknya yang dijuluki Thiat-yan yang melawan
nikoh. Boh Tan-ping tampak kewalahan, sebelumnya dia memang
sudah terkuras tenaganya ketika melawan Wie Kie-hong di
tempatTan Po-hai. Namun Cu Siau-thian kaget ketika melihat anak
kandungnya tiba-tiba kelimpungan ditengah lajunya
menyerang nikoh. Boh Tan-ping sempat menoleh padanya meminta
pertolongan. Namun dia tidak menghiraukannya.
Dia ingin menolong anak kandungnya dulu menyerang
nikoh. Dia melihat nikoh berjalan mendekat.
Rasa takut yang mencekam mulai menggerogoti rasa
percaya dirinya. Rasa takutnya membuatnya terpaku dan tidak bisa
bergerak kemana-mana. Walaupun nikoh ini sampai dihadapannya, dia tetap tidak
bisa bergerak. Dia hanya terus memandang padanya.
"Omitohud" Nikoh menegadahkan kepalanya.
Tatapan matanya bertemu dengan tatapan mata nikoh.
Tiba-tiba saja mata nikoh bersinar terang.
Dia langsung merasa pusing, mendadak semuanya menjadi
gelap. "GAWAT!" pikirnya dalam hati.
Ketika kesadarannya kembali pulih, dia melihat Thiat-yan
sedang dalam bahaya. Nikoh sudah melesat menyerangnya dengan sebuah pisau
tajam. Segera dia melesat mencoba menyelamatkan putri
kandungnya. Dia mengeluarkan jarum besi yang selalu
disembunyikannya, dan segera menusukkan ke jalan darah
penting nikoh. Dia sengaja memilih jalan darah yang tidak mematikan, tapi
hanya membuat cacat dan melumpuhkan.
Dia tidak ingin menanggung dosa membunuh seorang
nikoh. Nikoh itu langsung terjatuh dengan jeritan yang tajam,
namun tiba-tiba dia berubah menjadi Thiat-yan.
Cu Siau-thian tertegun. Pada awalnya dia tidak mengerti apa yang sudah terjadi.
Dia sangat menyayangi anak perempuan satu satunya ini.
Dia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mendadak
dia sadar Nikoh itu sudah menghipnotisnya agar dia menyangka
bahwa Thiat-yan yang diserangnya adalah nikoh.
Dapat dikatakan dia sudah membuat cacat anaknya dengan
tangannya sendiri. Kepala Cu Siau-thian serasa pecah.
Dia membelalakkan matanya sangat lebar dan jatuh lemas
terduduk dilantai. Hal terakhir yang didengarnya dengan sadar adalah kata
kata nikoh. Walaupun belum mulai bertarung, namun Boh Tan-ping
tampak sudah kehabisan tenaga.
Mukanya tampak sedikit pucat, dan sepertinya dia tidak
terlalu berkonsentrasi menghadapi pertarung-an
Dia sedang mempertimbangkan sesuatu berulang-ulang.
Pikirannya itu tampak memberatkan hatinya.
Ini sangat jelas tergambarkan pada mukanya. Tu Liong
segera melaju menyerang Boh Tan-ping. Pisau kecil yang
tajam segera melesat menuju dadanya.
Boh Tan-ping sepertinya sedikit melamun. Teriakan Tu
Liong yang mendadak mem-buatnya kembali sadar.
Dia berusaha menebaskan pedang gigi gergaji untuk
menghindari serangan "TRAAANG"
Seorang pendekar tangguh tetap bisa ber-tarung dengan
baik walaupun sedang banyak pikiran.
Setelah pisau Tu Liong terhempas ke sisi, dia segera
menebaskan pedang gigi gergajinya ke arah Tu Liong.
Namun dia sudah sangat letih. Gerakannya tidak lagi lincah.
Tu Liong bisa menghindari serangannya dengan sangat
mudah.

Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selagi Boh Tan-ping berusaha mengangkat pedang gigi
gergajinya yang berat, Tu Liong sudah melangkah mendekat
dan menekankan telapak tangannya ke dada lawannya.
Rasa linu yang dahsyat segera menghantam dadanya.
Boh Tan-ping mundur beberapa langkah.
Dia tahu dia tidak bisa terus bertarung seperti ini.
Dia segera memalingkan muka melihat Cu Siau-thian
memohon bantuan. Tapi tampaknya Cu Siau-thian tidak menghirau kan dirinya.
Dia sedang memalingkan muka dan melihat putri
kandungnya, padahal dia sama sekali tidak diserang oleh
nikoh. Boh Tan-ping merasa kecewa. Saking kecewanya, dia tidak
memperhatikan Tu Liong kembali menghajarnya dengan
telapaknya. Dia terlempar ke belakang sampai menabrak dinding.
Tu Liong tidak melepaskannya begitu saja, sebentar saja
dia sudah menempel lagi padanya dan berkata dengan jelas
ke dalam telinganya. "Untuk apa kau terus membela Cu Siau-thian" Dia tidak
memperdulikanmu lagi, kau tidak dilahirkan olehnya."
Setelah itu Tu Liong sudah mengayunkan pisau yang
dipegangnya ke arah leher Boh Tan-ping.
Pisau itu menancap di tembok hanya meleset satu
centimeter dari kulit lehernya.
Tindakan ini disengaja olehTu Liong.
Dia hanya memandang mata Boh Tan-ping dalam-dalam.
Boh Tan-ping terkulai lemas.
Tu Liong segera memalingkan muka, membalikkan tubuh
dan berjalan menuju pembunuh beralis putih.
Pikiran mulai berkecamuk didalam kepala Boh Tan-ping.
Dia hanya setengah sadar ketika melihat tangan Tu Liong
yang terputus. Dia bingung ketika Cu Siau-thian malah menusuk anaknya
sendiri, tidak percaya kepala pembunuh beralis putih sudah
tertancap sebuah pedang panjang.
Sayang dia melihat semua hal ini dengan mata kepalanya.
Dia tidak mungkin percaya.
Mendadak dia merasa jenuh dengan semua hal ini. Setelah
semua jeritan yang memilukan hati, dia mendengar sang
nikoh berkata-kata. Tawa Cu Siau-thian menggelegar keras, namun Tu Liong
tidak banyak memperhatikannya.
Rasa ngilu pada luka sayat di bahu kanannya masih terasa,
namun dia sudah tidak menyimpan banyak dendam pada Boh
Tan-ping. Dia tahu sebenarnya Boh Tan-ping adalah orang yang baik.
dia sudah membuktikan kesetia-annya. Selama itu dia selalu
setia pada Cu Siau-thian mantan majikannya.
"Sayang dia tidak bisa merubah pandangannya seperti ku"
katanya dalam hati. Walau demikian Tu Liong masih berniat untuk mengalahkan
Boh Tan-ping dan membuatnya sadar.
Akhirnya tawa Cu Siau-thian berhenti.
Semua orang melesat menyerang.
Tu Liong juga tidak tinggal diam. Dia pun segera melesat
menuju Boh Tan-ping. Namun alangkah terkejutnya dia, Boh Tan-ping hanya
berdiri diam ditempat. Sepertinya dia sedang melamun memikirkan sesuatu.
Bahkan sampai pisau Tu Liong nyaris menusuk dadanya, dia
tampak masih termenung. Tu Liong segera berteriak keras untuk menyadarkannya.
Setelah kembali sadar, Boh Tan-ping tampak sangat kaget
melihat Tu Liong sudah sangat dekat.
Dia segera mengayunkan pedang gigi gergaji dan menepis
pisau yang melesat menuju dadanya.
"TRAAANG" Tu Liong bersyukur dia segera sadar sebelum terlambat.
Pedang gigi gergaji kembali berputar dan mengayun ke
arahnya. Dari pertarungan sengitnya dengan Boh Tan-ping, Tu Liong
tahu sebenarnya ilmu silat Boh Tan-ping sangat hebat.
Namun kali ini ayunan tebasan pedang gigi gergaji tampak
serampangan. Tu Liong dapat menghindarinya dengan mudah.
Dia berkelit ke sebelah kiri dan menghen-takkan kakinya
serta melayangkan telapak tangan ke arah dadanya.
Boh Tan-ping jelas sekali tidak siap meng-hadapi
pertarungan kali ini. Dia terpukul mundur beberapa langkah.
Dia menoleh pada Cu Siau-thian meminta pertolongan.
Ternyata Cu Siau-thian tidak menghiraukan nya.
Tu Liong tahu ini adalah kesempatan emas baginya untuk
menyadarkan Boh Tan-ping.
Dia kembali melaju cepat ke arahnya.
Sekali lagi telapaknya menghantam keras dadanya.
Boh Tan-ping terpelanting keras dan menghantam tembok.
Kalau Tu Liong sungguh ingin membunuhnya, sekarang dia
sudah pasti mati. "Ini saatnya" kata Tu Liong dalam hati.
Dia segera melesat menuju Boh Tan-ping, mendesaknya ke
dinding sampai tidak bisa bergerak.
Tu Liong berkata dengan jelas ke dalam telinganya.
"Untuk apa kau terus membela Cu Siau-thian" Dia tidak
memperdulikanmu lagi, kau tidak dilahirkan olehnya."
Setelah itu Tu Liong mengayunkan pisau yang dipegangnya
ke arah leher Boh Tan-ping.
Pisau itu menancap di tembok hanya meleset satu
centimeter dari kulit lehernya.
Tu Liong memandang mata Boh Tan-ping dalam dalam.
Boh Tan-ping terkulai lemas.
Tu Liong berpikir bahwa dia sudah cukup melakukan apa
yang dia bisa lakukan. Apakah dia akan membuka lembaran
hidup baru atau tetap mengabdi pada tuan yang salah,
semuanya terserah pada Boh Tan-ping.
Dia segera memalingkan muka, membalikkan badan dan
berjalan menuju Pembunuh beralis putih.
Wie Kie-hong masih sangat muda. Tu Liong tidak yakin dia
bisa menghadapi pembunuh beralis putih dengan baik. Tu
Liong tidak bisa tinggal diam. Dia harus menolongnya.
Pembunuh beralis putih sedang membelakanginya. Dia
tampak sedang bertarung sengit dengan Wie Kie-hong.
Wie Kie-hong tampaknya kewalahan menghadapinya.
Hingga suatu saat, Wie Kie-hong membuat kesalahan fatal.
Dia tidak berhasil memulihkan pertahanannya setelah gagal
menyerang Pembunuh beralis putih.
Tu Liong melihat Pembunuh beralis putih mengayunkan
pedang menyerang pertahanan yang lemah.
Tu Liong tahu, kalau dia tidak segera menolong, Wie Kiehong
pasti kehilangan nyawanya.
Tu Liong tidak berpikir panjang. Dia segera melesat menuju
Pembunuh beralis putih, segera menjulurkan tangan kiri dan
mencengkeram bahu nya. Dia berseru keras: "Kie-hong!! hati hati!!!"
Pembunuh beralis putih tampak kaget.
Dia tidak menyangka ada orang dibelakang-nya.
Konsentrasi pembunuh beralis putih menjadi buyar sesaat.
Berkat bantuan Tu Liong, Wie Kie-hong berhasil
menghindar serangan. Namun mendadak Pembunuh beralis putih memutarkan
tubuhnya dan langsung menebas bahu kiri Tu Liong sampai
putus. Rasa sakit yang sangat tajam menyengat bahu Tu Liong.
Dia berteriak keras dan berjalan terhuyung-huyung
kebelakang. Darah segar bermuncratan kemana-mana.
Dia mendengar Wie Kie-hong berteriak pada nya..
"Tu Toako...!!!"
Setelah itu Pembunuh beralis putih pun ikut berteriak
dengan suara sangat memilukan.
Sebelum tidak sadarkan diri, dia masih sempat mendengar
sang nikoh berkata: "Amitaba... jaring takdir memang tidak rapat, namun tidak
seorang pun yang bisa menembusnya."
Tubuh Wie Kie-hong masih terasa pegal
Staminanya belum pulih setelah bertarung dengan Boh
Tan-ping di kediaman Paman Tan.
Namun saat ini hal itu tidak diperhatikannya. Hatinya yang
panas dan emosinya yang meledak-ledak membuatnya ingin
membalaskan dendam pada pembunuh beralis putih
secepatnya. Cu Siau-thian tertawa panjang.
Wie Kie-hong sudah memasang ancang ancang menyerang
Pembunuh beralis putih. Dia tidak memperdulikan apa-apa lagi.
Matanya terus tertuju pada pedang milik ayahnya yang
sekarang bersinar biru terang.
Ketika tawanya berhenti, Wie Kie-hong segera menjerit
keras dan melesat cepat berusaha menebas Pembunuh beralis
putih sampai terbelah menjadi dua.
"HIAAAAAHHH!!!!"
Tampaknya Pembunuh beralis putih juga sama
bersemangatnya dengan dirinya.
Kedua pedang bentrok. Sabetan sabetan pedang berulang kali terjadi.
TRANG!!! TRANG!!! TRANG!!! TRANG!!!
Pertama-tama, Pembunuh beralis putih tampak terdesak
mundur. Wie Kie-hong merasa bahwa ilmu silat Pembunuh beralis
putih tidak sehebat yang dikatakan orang orang.
Dia tidak mengerti mengapa ayahnya bisa terbunuh
dibawah tangan orang yang seperti ini.
Dia lalu teringat semua orang yang sudah dibunuhnya.
Hiong-ki yang dia kagumi, Hui Taiya dan ayah angkatnya Leng
Souw-hiang. Semua membuat emosinya semakin berkobar,
namun pikirannya semakin kalut.
Serangannya makin membabi buta. Lama kelamaan,
tangan Wie Kie-hong mulai terasa pegal.
Wie Kie-hong sadar kalau dia belum siap menghadapi
Pembunuh beralis putih. Dia harus beristirahat dulu beberapa saat untuk
memulihkan tenaga. Tapi dia tidak bisa mundur.
Mundur hanya berarti kematian baginya.
Setelah beberapa jurus, Pembunuh beralis putih tampak
menyeringai kejam. Rupanya dia sedang memancing Wie Kie-hong untuk
mengeluarkan sisa tenaga yang dimilikinya.
Sekarang Wie Kie-hong sudah kehabisan tenaga, Saat
itulah dia mulai menyerang maju.
TRANG!!! TRANG!!! TRANG!!! TRANG!!!
Semakin lama Wie Kie-hong semakin terdesak mundur.
Tidak sedikit serangan Pembunuh beralis putih yang
melukai berbagai tempat pada tubuhnya.
Wie Kie-hong mulai merasa kewalahan.Dia tahu dia harus
membalikkan situasi. Dia berusaha memanfaatkan
kesempatan yang ada untuk balas menyerang.
Matanya seolah olah dibutakan oleh sinar biru pedang milik
ayahnya. Ketika berpikir seperti ini, sekilas sinar biru melesat ke
arahnya. Wie Kie-hong segera melemparkan tubuhnya kepinggir
menghindari serangan, setelah itu dia mengayunkan pedang
sekuatnya ke arah Pembunuh beralis putih.
Tidak disangka, pembunuh beralis putih menghindari
serangannya dengan mudah.
Sekarang Wie Kie-hong berada dalam posisi yang tidak
menguntungkan. Dia tidak sempat mengangkat pedang
menutupi pertahanannya yang terbuka.
Pembunuh beralis putih segera mengambil kesempatan dan
menebaskan pedang biru sekuatnya ke arahnya.
Wie Kie-hong tahu ini adalah akhir baginya.
Namun hal yang tidak disangka-sangka terjadi. Saat itu Tu
Liong berteriak padanya. Akibat teriakan Tu Long konsentrasi Pembunuh beralis
putih buyar. Wie Kie-hong mendapat kesempatan untuk menghindari
serangan maut. Dia sempat melihat Pembunuh beralis putih memutarkan
tubuh dan menebas tangan Tu Liong sampai putus.
Hatinya mendadak seperti ditusuk pedang yang tidak
terlihat. Hingga dia segera berteriak
Emosi yang tadi sudah nyaris padam karena letih,
mendadak meledak dengan kuat.
Ketika Pembunuh beralis putih yang sedang
membelakanginya. Tanpa berpikir, dia segera menusuk kan
pedangnya pada kepala Pembunuh beralis putih, pedang itu
langsung masuk dari belakang kepala dan tembus sampai ke
depan. Pembunuh beralis putih menjerit keras dengan suara yang
sangat memilukan. Sekarang semuanya sudah berakhir.
Dendam semua orang sudah terbalaskan, dia pun sudah
tidak ada tenaga terus berdiri.
Dia langsung jatuh berlutut dan terbaring di lantai seiring
dengan suara sang nikoh yang berkata-kata.
0-0-0 Langit pagi berwarna biru cerah. Tidak sedikitpun awan
yang terlihat, angin pagi berhembus sepoi sepoi membawa
bau rumpu t yang menyegarkan.
Tidak terasa satu bulan sudah berlalu sejak kejadian yang
mem ilukan di rumah Bu Tiat-cui.
Saat ini Wie Kie-hong sedang berlutut didepan pedang
ayahnya yang tertancap di tanah.
Di belakangnya berdiri batu pusara yang bertuliskan
"Kuburan Wie Ceng", di depannya menancap tiga batang dupa
yang terbakar dan menyebarkan bau harum. Disekelilingnya
banyak buah-buahan yang sudah tertata rapi.
Suara kicau burung terdengar samar-samar disela-sela


Walet Besi Karya Cu Yi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pembacaan mantra oleh dua orang ber-pakaian putih yang
juga berlutut disebelah kiri dan kanannya.
Kedua orang ini adalah Boh Tan-ping dan nikoh anak
kandung Tiat Liong-san. Sekarang Boh Tan-ping tampak agak
lucu karena dia telah kehilangan semua rambutnya.
Setelah terjadi pertarungan di kediaman Bu Tiat-cui, Boh
Tan-ping menyadari kalau dia sudah mengabdi pada orang
yang salah. Itu yang sudah membuatnya risau pada
pertarungan terakhir. Untunglah Tu Liong tidak membunuhnya
sewaktu mendapat kesempatan. Dia menyesali semua
perbuatan nya. Setelah terkulai lemas, dia sempat ingin menggunakan
pedang gigi gergajinya untuk mencabut nyawanya sendiri,
untunglah nikoh itu datang dan berlutut disisinya,
membujuknya dengan lembut untuk ikut dengannya pergi
meninggalkan kehidupan duniawi.
Setelah beberapa lama, semua mantra pemberkatan
kematian selesai dibacakan. Wie Kie-hong segera berdiri.
Seseorang menepuk bahunya dari belakang. Dia memalingkan
kepala dan melihat Tu Liong. Dia mengenakan baju sutra
tangan panjang, lengan baju kirinya dibiarkan menggantung
kosong. Paman Tan Po-hai, pengurus Eng, dan banyak kerabat
kenalan Wie Kie-hong ikut menghadiri upacara pemakanam
ini. mereka semua berdiri dengan rapi dibelakang. Wie Kiehong
melihat mereka semua dan tersenyum.
Setelah upacara selesai dilakukan, Tu Liong dan Wie Kiehong
tampak berjalan berdua menyusuri tepian padang
pemakaman. "Tu toako, bagaimana luka bahumu?"
"Sepertinya memang sudah takdirku kehi-langan bahu
kananku. Walau Boh Tan-ping tidak berhasil memutuskannya,
ternyata Pembunuh beralis putih yang melakukannya. Tapi
tenang saja. Walaupun masih belum terbiasa, namun luka ini
sudah tidak begitu sakit."
Mereka berdua terdiam beberapa lama sambil meneruskan
perjalanan menuruni bukit.
"Bagaimana kabar Cu Taiya?"
"Sepertinya dia sudah tidak bisa dipanggil Tuan besar lagi.
entah apa yang sudah dilakukan nikoh Thiat-yan, Cu Siauthian
tampak kehilangan akal sehatnya. Setelah dia
mengetahui anak kandungnya menjadi cacat karena
perbuatannya sendiri, dia menjadi gila. Sampai sekarang
nasibnya belum jelas, aku pernah menawarkan untuk
merawatnya, namun dia berkeras pergi seorang diri. katanya
seseorang pernah melihat-nya tinggal dalam sebuah rumah
penampungan di luar kota."
Diam lagi. Tidak lama Tu Liong melanjutkan ceritanya "Kau pingsan
sangat lama. Tidak aneh kau tidak mengetahui apa-apa.
setelah kejadian itu, rumah Bu Tiat-cui sempat disegel polisi.
Untunglah Boh Tan-ping menjelaskan pada mereka tentang
duduk perkara yang sebenarnya. Kalau tidak mungkin
sekarang kita berdua sedang berada di sel tahanan."
"Padahal aku belum sempat melaksanakan permintaan
ayah angkatku untuk pergi kesana mencari informasi"
"Tampaknya sekarang sudah tidak penting lagi."
Mereka berdua terus berjalan menuruni bukit. Semua tamu
yang menghadiri upacara pemakaman sudah pulang kerumah
masing masing. Tu Long dan
Wie Kie-hong menghabiskan sisa perjalanan mereka turun
bukit dengan diam. Di kaki bukit, kedua orang calon pendeta terlihat sedang
berdiri menunggu mereka, pakaian mereka yang berwarna
putih tampak berkibar menangkap angin sepoi yang bertiup.
Mereka tampak begitu suci ditengah keruhnya hidup di
kalangan dunia persilatan. Wajah mereka berdua tampak
berseri dan bercahaya. Sepertinya hidup biarawati sudah
memberi-kan dampak yang positif bagi Boh Tan-ping.
Sebelumnya Tu Liong dan Wie Kie-hong tidak pernah
melihatnya begitu tenang dan damai.
Setelah dekat, Boh Tan-ping segera membuka
pembicaraan. "Tu Siauya, Wie Siauya, aku mohon pamit sekali lagi.
mohon maaf atas semua masalah yang sudah pernah aku
lakukan pada kalian."
"Paman Boh, anda tidak usah sungkan. Yang sudah lewat
biarkanlah berlalu" kata Tu Liong dengan ramah.
"Yang penting adalah apa yang akan kita lakukan sekarang
demi masa depan yang lebih baik" kata Wie Kie-hong sambil
tersenyum. Mereka meneruskan pembicaraan singkat.
Setelah beberapa lama, akhirnya ke empat orang ini
berpisah. Tu Liong dan Wie Kie-hong mengantar kepergian mereka
sambil melambaikan tangan.
Setelah bayangan tubuh mereka berdua hilang ditelan
bukit, Tu Liong dan Wie Kie-hong kembali berjalan pulang.
"Kie-hong, apa rencanamu sekarang?"
"Sepertinya beberapa bulan kedepan aku akan sibuk
mengurus persiapan pernikahanku."
"Aku tidak akan mengucapkan selamat dulu, jangan lupa
nanti memberikan undangan pernikah-anmu padaku"
"Tentu saja Tu toako, aku tidak akan lupa" Tu Liong
tersenyum "Ngomong-ngomong, bagaimana kabar pak tua yang
menyuguhkan teh bagi kita" Rasanya kau masih berhutang
banyak uang padanya"
Tu Liong menepuk dahinya dengan tangan kanannya yang
masih sehat. Mereka berdua langsung tertawa. Bersama-sama mereka
berjalan menyusuri jalan setapak menjauh dari bukit
pemakaman. Langit berwarna biru cerah, matahari bersinar terang, ini
adalah pemandangan yang bagus untuk memulai hidup
yangbaru. -TAMATBandung, 17 Nopember 2007 Salam Hormat
(See Yan Tjin Djin) Pendekar Kidal 6 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Sepasang Pedang Iblis 7

Cari Blog Ini