Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong Bagian 1
" HINA KELANA Cerita silat karya Jin Yong, dengan judul asli: Siau-go-kangouw, atau dalam Bahasa Inggris:
Smiling Proud Wanderers. Disadur ke Bahasa Indonesia oleh Gan KL, dengan judul: Hina
Kelana, cetakan tahun 1967, terdiri dari 144 bab
Bab 1. Si Gadis Penjual Arak
Di depan sebuah gedung megah yang dibangun di jalan raya pintu gerbang barat kota Hokciu di provinsi Hokkian terdapat dua altar batu di kanan-kiri, di atas altar-altar batu itu masing-masing menjulang tinggi sebuah tiang bendera, dua helai bendera hijau tampak berkibar-kibar tertiup angin. Bendera sebelah kiri bersulamkan seekor singa jantan yang garang, bendera yang lain bersulamkan empat huruf yang berbunyi "Hok-wi-piaukiok", huruf-huruf yang indah dan kuat itu terang ditulis oleh kaum ahli yang ternama.
Pintu gerbang gedung itu bercat merah dengan hiasan paku-paku tembaga yang besar dan digosok mengilat. Di atas pintu terdapat sebuah papan merek berdasar hitam dan berhuruf kuning emas yang tertulis "Hok-wi-piaukiok" (perusahaan pengawalan Hok-wi), di bawah huruf-huruf besar itu terlintang pula dua huruf lebih kecil yang berbunyi "Kantor Pusat".
Di dalam pintu terdapat dua baris bangku panjang di sebelah kanan dan kiri, tampak berduduk di situ delapan laki-laki yang berdandan kencang ringkas, semuanya gagah-gagah dan sedang mengobrol dan bersenda gurau.
Sekonyong-konyong dari pekarangan belakang terdengar suara derapan kuda, kedelapan laki-laki itu serentak berbangkit terus lari keluar. Dari pintu samping sebelah barat gedung itu tertampak menerjang keluar lima penunggang kuda untuk kemudian berhenti di depan pintu gerbang tadi.
Kuda yang paling depan ternyata putih mulus, tepian pelana kuda itu seluruhnya terbuat dari sepuhan perak. Penunggangnya adalah seorang pemuda berpakaian perlente berusia antara 18-19 tahun. Di atas pundak pemuda itu tampak hinggap seekor burung elang pemburu, pedang bergantungan di pinggangnya, gendewa dan panah juga terbawa di punggungnya, sedangkan tangan kirinya memegang pecut kuda.
Keempat penunggang kuda yang mengikut dari belakang itu semuanya berbaju warna kuning cekak. Dari gaya tunggangan mereka jelas sekali kepandaian menunggang kuda mereka teramat tinggi.
Setiba kelima orang itu di depan pintu besar Piaukiok, tiga di antara kedelapan laki-laki tadi lantas berseru, "Siaupiauthau (pemimpin muda) hendak pergi berburu lagi!"
Pemuda perlente itu hanya mengakak tawa saja, "Tarrrr", pecutnya dibunyikan di udara, kuda putih tunggangannya mendadak berdiri sambil meringkik, habis itu terus membedal ke depan secepat terbang.
Seorang laki-laki lantas berseru pula, "Su-piauthau, hendaklah nanti membawa pulang seekor babi hutan lagi supaya kita bisa menggayangnya dengan sepuas-puasnya."
"Sudah tentu, paling sedikit kau akan kebagian ekornya!" jawab seorang laki-laki setengah umur yang mengikut di belakang pemuda perlente tadi.
Maka di tengah gelak tertawa orang-orang itu kelima penunggang kuda itu pun sudah pergi jauh.
Perusahaan pengawalan "Hok-wi" (rezeki dan wibawa) itu adalah suatu Piaukiok terbesar di daerah Kanglam (selatan sungai Tiangkang), Congpiauthau (pemimpin umum, pemilik) she Lim bernama Cin-lam. Piaukiok itu adalah perusahaan warisan leluhur keluarga Lim, sampai di tangan Lin Cin-lam sudah turun-temurun tiga angkatan.
Kakek Lim Cin-lam bernama Lim Wan-tho dan terkenal karena ilmu pedang "Pi-sia-kiam-hoat" yang meliputi 72 gerakan, ilmu pukulan "Hoan-thian-ciang" yang meliputi pula 108 gerakan, serta 18 batang panah "Gin-ih-cian", sejak kakeknya itu membuka Piaukiok di kampung halamannya sendiri, yakni kota Hokciu, hanya dalam waktu 10 tahun saja nama Hok-wi-piaukiok sudah termasyhur dan berkembang dengan subur.
Semula ada juga kawanan bandit yang mengganggu barang kawalannya, tapi menghadapi ilmu pedang, ilmu pukulan dan senjata rahasia panah Lim Wan-tho yang lihai itu, kalau tidak binasa tentu juga akan terluka parah dan cacat. Maka sejak itu perjalanan antara Hokkian, menuju ke Hangciu, terus ke Kangsoh, Soatang, Hopak sampai di Kwantang, beberapa provinsi di pantai timur itu boleh dikata merupakan wilayah pengaruhnya. Asalkan di atas kereta barang terpancang panji pertandaan "Hok-wi-piaukiok", asalkan petugas pengawal berteriak "Hok-wi-peng-an" (selamat Hok-wi), maka kawanan penjahat sekali-kali tidak berani lagi mengincar barang-barang kawalannya biar pentolan bandit betapa pun lihainya.
Sampai hari ulang tahun 70 barulah Lim Wan-tho mencuci tangan dan mewariskan perusahaan pengawalannya kepada putranya yang kedua, Lim Tiong-hiong. Putra sulungnya bernama Lim Pek-hun dan menjadi Buciang (perwira setingkat kolonel). Karena hubungan itulah, maka usaha Piaukiok mereka tambah maju, terutama langganan-langganan dari kalangan pembesar negeri.
Lim Tiong-hiong itu suka bergaul dan bersahabat, maka siang malam di rumahnya selalu penuh dengan handai taulan sehingga makan minum melampaui batas. Akhirnya dia meninggal dalam usia yang masih muda. Lantaran itu Hok-wi-piaukiok lantas di bawah pimpinan putranya, Lim Cin-lam.
Ilmu silat Lim Cin-lam adalah ajaran langsung dari sang kakek. Pada waktu ulang tahun 70, di tengah perjamuan yang ramai itu Lim Wan-tho telah menyuruh cucunya itu berdemonstrasi di depan orang banyak.
Waktu itu usia Cin-lam baru 16 tahun, tapi kepandaiannya seperti pukulan sebelah tangan memadamkan api lilin, mengincar Hiat-to dengan sambitan panah, semuanya ini sangat mengagumkan para jago silat yang hadir. Semuanya memuji rezeki Lim-loenghiong sangat besar sehingga mempunyai keturunan jago muda sehebat itu, untuk selanjutnya Hok-wi-piaukiok pasti akan berkembang lebih pesat dan lebih jaya.
Dan benar juga. Lim Cin-lam memang tidak mengecewakan harapan orang banyak.
Setelah menggantikan ayahnya, bukan saja Hok-wi-piaukiok telah membuka kantor cabang di provinsi-provinsi pantai timur sebagaimana tersebut di atas, sampai-sampai provinsi Kwitang, Kangsay, Oulam, Oupak, Kwisay juga terdapat kantor cabangnya. Bila mendengar nama Hok-wi-piaukiok, setiap orang Kangouw tentu akan mengacungkan jari jempolnya dan berkata, "Ya, Hok-wi-piaukiok memang punya rezeki dan berwibawa pula!"
Selain kantor pusat di kota Hokciu, ditambah pula sebelas kantor cabang di berbagai daerah, modal kerja Hok-wi-piaukiok menjadi sangat besar, pengaruhnya juga tidak kecil, maka tidak sedikit tokoh-tokoh persilatan yang bekerja padanya. Selama 20-an tahun perusahaan berjalan lancar, walaupun pernah juga menghadapi beberapa persoalan sulit, tapi bila jago-jago dari ke-12 kantor pengawalan itu serentak keluar semua, urusan betapa pun sulitnya juga lantas terpecahkan.
Istri Lim Cin-lam she Ong, juga berasal dari keluarga persilatan. Walaupun ilmu silat nyonya Lim sendiri tidak terlalu tinggi, tapi ayahnya Ong Goan-pa berjuluk Kim-to-bu-tek (si golok emas tanpa tanding) adalah ketua Kim-to-bun di kota Lokyang dan sangat banyak anak muridnya. Dengan hubungan keluarga dan saling membantu itu, maka Hok-wi-piaukiok menjadi lebih kuat.
Lim Cin-lam hanya mempunyai seorang putra tunggal bernama Peng-ci. Sejak kecil Lim Peng-ci sudah mendapat didikan yang keras dan ikut belajar ketiga macam kepandaian tunggal sang kakek. Terkadang ia suka mengusik sang ibu agar mengajarkan ilmu golok dari Kim-to-bun pula. Selain itu Cin-lam juga mengundang seorang sastrawan untuk mengajarkan ilmu sastra kepada putranya itu.
Sebaliknya Lim Peng-ci ternyata kurang menaruh minat untuk belajar ilmu sastra, dalam tiga hari sering kali ada dua hari suka membolos. Tahun ini dia sudah berusia 18, tapi sejilid kitab Su-si saja belum selesai dipelajari. Untungnya Lim Cin-lam juga tidak menaruh harapan agar putranya mengikuti ujian kenegaraan untuk memperoleh pangkat segala, asalkan Peng-ci tekun belajar silat, maka bolehlah.
Hari ini Peng-ci membawa serta dua orang Piauthau (pemimpin pengawal) she Su dan The, serta dua pengiring bernama Pek Ji dan Tan Jit, beramai-ramai mereka pergi memburu ke hutan di barat kota.
Kuda putih tunggangannya itu adalah hadiah nenek luarnya ketika Peng-ci berulang tahun ke-17. Kuda putih itu adalah kuda pilihan yang dibeli sang nenek dari daerah Se-ek (negeri-negeri wilayah barat), maka Peng-ci sangat sayang kepada binatang itu.
Begitulah mereka berlima dalam sekejap saja sudah keluar pintu gerbang kota, segera Peng-ci mengempit kencang kedua kakinya, kuda putih itu terus membedal ke depan secepat terbang. Hanya dalam waktu singkat saja keempat pengiringnya sudah jauh tertinggal di belakang.
Setiba di atas tanjakan bukit, elang pemburunya lantas dilepaskan. Tak lama kemudian sepasang kelinci telah digebah keluar dari dalam hutan oleh elang pemburu itu. Cepat Peng-ci menyiapkan panah di atas gendewa, "serrr", kontan seekor kelinci yang sedang berlari-lari itu roboh terkena panah. Waktu dia hendak mengincar pula, kelinci yang lain ternyata sudah menghilang ke dalam semak-semak rumput-rumput.
Waktu The-piauthau menyusul tiba dan melihat hasil buruan itu, dengan tertawa ia memuji, "Kepandaian panah yang hebat, Siaupiauthau!"
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Pek Ji sedang berseru di dalam hutan sebelah kiri sana, "Siaupiauthau, lekas kemari! Di sini ada ayam hutan!"
Segera Peng-ci mengeprak kudanya ke sana. Baru saja tiba, sekonyong-konyong dari dalam hutan melayang keluar seekor ayam hutan berbulu indah dan berekor panjang. "Sret," kontan Peng-ci melepaskan panahnya, tapi ayam hutan itu justru melayang ke atas kepalanya sehingga panah mengenai tempat kosong. Peng-ci tidak kekurangan akal, cepat pecutnya menyabat ke atas. "Plok," tanpa ampun lagi ayam hutan itu tersabat jatuh ke bawah, bulunya yang berwarna-warni bertebaran di udara.
Kelima orang sama-sama bergelak tertawa puas. "Sabatan pecut Siaupiauthau ini jangankan cuma seekor ayam hutan, sekalipun burung rajawali yang besar juga akan jatuh terpukul," ujar Su-piauthau.
Mereka berlima lantas menyusur kian kemari di tengah hutan. Karena ingin menyenangkan hati Lim Peng-ci, maka kedua Piauthau dan kedua pengiring itu selalu menggebah binatang yang mereka temukan ke jurusan Peng-ci agar tuan muda mereka yang membinasakan sasaran buruan itu.
Satu jam lebih lamanya kembali Peng-ci memperoleh dua ekor kelinci, dua ekor ayam hutan, cuma belum mendapatkan babi hutan atau rusa dan binatang lain yang agak besaran. Rupanya Peng-ci masih belum puas, segera katanya, "Marilah kita mencari pula ke depan sana."
Diam-diam Su-piauthau pikir kalau menuruti hasrat majikan muda mereka itu, boleh jadi sampai hari gelap juga belum tentu mau pulang dan tentu para pengiring mereka inilah akan diomeli lagi oleh nyonya majikan. Maka ia menjawab, "Hari sudah hampir gelap, jalan pegunungan banyak batunya dan sukar dilalui, jangan-jangan kuda putih akan terpeleset. Mumpung hari masih terang, lebih baik kita pulang saja, besok kita dapat berangkat lebih siangan dan tentu akan mendapatkan binatang yang lebih besaran."
Ia tahu dengan alasan apa pun susah mencegah kemauan sang majikan muda yang keras itu kecuali mengatakan kemungkinan kuda putih kesayangannya itu akan jatuh terluka atau pincang.
Benar juga, Peng-ci lantas tepuk-tepuk leher kudanya sambil berkata, "Naga putih ini sih sangat cerdik dan pintar, tidak nanti dia kesandung atau terpeleset. Justru kuda-kuda tunggangan kalian yang mungkin tidak tahan. Baiklah, marilah kita pulang saja, jangan-jangan pantat si Tan Jit nanti akan terbanting pecah."
Begitulah di tengah gelak tawa kelima orang itu, mereka lantas putar kuda ke arah semula. Tapi sampai di tengah jalan mendadak Peng-ci membelokkan kudanya ke jurusan utara. Sesudah melarikan kudanya sekian lamanya dan merasa puas, kemudian ia lambatkan kudanya dengan berjalan perlahan-lahan. Maka tertampaklah di tepi jalan di depan sana terpancang sehelai panji penjual arak.
"Siaupiauthau," seru The-piauthau, "marilah kita minum secawan dahulu! Daging kelinci dan ayam hutan kebetulan cocok sekali untuk digoreng sebagai teman arak."
Peng-ci menyahut dengan tertawa, "Sebenarnya kau cuma pura-pura mengikut berburu padaku, tapi sesungguhnya kau ingin keluar minum arak. Kalau sekarang tidak kutraktir kau minum arak, besok tentu kau akan malas ikut keluar lagi."
Habis berkata ia congklang kudanya pula ke depan, setiba di depan warung arak ia lantas melompat turun dan memasuki warung arak itu.
Biasanya bilamana warung arak itu kedatangan Lim Peng-ci, maka sebelum pemuda itu masuk warungnya, si Lo Coa, pemilik warung arak, tentu sudah lantas memapak keluar untuk menambatkan kudanya sambil mengucapkan kata-kata sanjung hormat.
Tapi hari ini ternyata tidak sama, Lo Coa tidak tampak muncul, keadaan warung itu pun sepi. Hanya di samping anglo ada seorang gadis muda berbaju hijau dan berkonde dua sedang asyik memasak arak.
"Hai, Lo Coa, mengapa tidak lekas keluar menuntun kuda Siaupiauthau!" seru The-piauthau.
Pek Ji dan Tan Jit lantas menarik bangku panjang di samping meja, ia kebut debu di atas bangku itu dan silakan Peng-ci duduk dengan diiringi Su dan The-piauthau, sedangkan Pek Ji dan Tan Jit sendiri mengambil tempat duduk pada meja yang lain.
Maka terdengarlah suara orang terbatuk-batuk, dari dalam warung arak itu muncul seorang tua beruban, katanya, "Silakan duduk, tuan-tuan! Apakah mau minum arak?"
Dari logatnya teranglah dia bukan orang setempat.
"Masuk warung arak tidak minum arak, habis apakah minum teh?" sahut The-piauthau. "Bawakan dahulu tiga kati Tiok-yap-jing (nama arak tersohor). Pergi ke manakah si Lo Coa" Apakah barangkali warung arak ini sudah berganti juragan?"
"Baik, baik! Wan-ji, lekas bawakan tiga kati Tiok-yap-jing," demikian orang tua itu menjawab. "Untuk bicara terus terang saja, orang tua she Sat, asalnya memang penduduk setempat, cuma sejak kecil telah berkelana ke daerah lain untuk berdagang. Putra dan anak menantuku sudah meninggal semua, orang tua pikir manusia akhirnya toh mesti pulang ke asalnya. Maka dari itu bersama cucu perempuanku ini kami telah pulang kampung halaman. Siapa duga selama 50-an tahun meninggalkan kampung, seluruh sanak kadang sudah tak tertinggal seorang pun. Untunglah si Lo Coa pemilik warung arak ini merasa bosan meneruskan usahanya, maka dengan harga 30 tahil perak warung ini telah dioperkan padaku. Ai, akhirnya dapatlah pulang di kampung leluhur, alangkah nikmatnya dapat mendengarkan logat bahasa kampung halamannya sendiri."
Dalam pada itu si gadis baju hijau tadi telah datang membawakan sebuah nampan kayu dengan kepala menunduk. Ia menaruh cawan dan sumpit di depan Peng-ci bertiga dengan tiga poci arak pula. Habis itu dengan tunduk kepala, ia menyingkir pergi, selama itu tak sekejap pun dia memandang tetamunya.
Peng-ci dapat melihat perawakan nona itu langsing menggiurkan, tapi kulit badannya sangat kasap dan hitam, mukanya juga berpenyakit cacar. Mungkin karena baru melakukan pekerjaan menjual arak, maka gerak-geriknya masih kaku, hal ini pun tidak diperhatikan oleh Peng-ci.
Sedangkan Su-piauthau telah menyerahkan seekor ayam hutan dan seekor kelinci kepada si kakek Sat, katanya, "Boleh disembelih dan gorenglah menjadi dua piring!"
"Baik, baik!" sahut si kakek Sat dengan hormat. "Untuk teman arak silakan tuan-tuan menikmati dahulu sedikit daging rebus dan kacang goreng."
Mendengar itu, tanpa menunggu perintah sang kakek, si gadis yang dipanggil Wan-ji tadi segera membawakan potongan daging rebus dan kacang goreng yang dimaksud.
"Tuan muda ini adalah Lim-kongcu, Lim-siaupiauthau dari Hok-wi-piaukiok, seorang kesatria muda yang budiman dan murah hati," kata The-piauthau. "Asalkan kedua piring gorenganmu nanti mencocoki seleranya, maka ke-30 tahil perak modal yang telah kau keluarkan itu rasanya takkan seberapa hari tentu akan dapat dipulihkan kembali."
"Ya, ya! Terima kasih, terima kasih!" sahut si kakek Sat dengan rendah hati sambil berjalan pergi dengan membawa ayam hutan dan kelinci.
Segera The-piauthau menuangkan arak bagi Peng-ci, Su-piauthau dan dirinya sendiri, sekali tenggak ia menghabiskan isi cawan, sambil berkecap-kecap ia berkata, "Warung ini sudah ganti juragan, tapi rasa araknya tidaklah berubah."
Lalu ia menuang secawan lagi dan baru saja hendak ditenggak pula, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda yang riuh, dua penunggang kuda sedang mendatangi dari jalan raya sebelah utara sana.
Cepat sekali datangnya kuda-kuda itu, hanya sekejap saja sudah sampai di luar warung arak. Terdengar seorang di antaranya telah berseru, "Di sini ada warung arak, marilah kita minum satu cawan dahulu!"
Su-piauthau sudah berpengalaman, dari logat suara orang itu ia menduga mereka adalah orang Sucwan barat. Ia coba berpaling ke luar, tertampaklah dua laki-laki memakai topi berpinggiran lebar seperti caping, berjubah hijau. Setelah menambat kuda di bawah pohon karet di depan warung arak, mereka menanggalkan topi, lalu masuk ke dalam warung arak. Sekilas mereka memandang ke arah Peng-ci bertiga, habis itu lantas berduduk dengan lagak tuan besar.
Selain berjubah hijau, kedua orang itu memakai ubel-ubel kain putih pula, tampaknya dandanan mereka agak halus, tapi kedua kaki mereka ternyata telanjang, tanpa kaus, hanya memakai sandal tali rami bertali.
Su-piauthau tahu orang Sucwan kebanyakan berdandan demikian. Sebabnya memakai ikat kain putih di atas kepala adalah kebiasaan mereka. Karena wafatnya Cukat Liang atau Khong Beng di zaman Sam Kok, orang Sucwan telah ikut berkabung untuk memperingati jasa negarawan yang sangat mereka cintai itu. Sebab itulah maka ikat kain putih turun-temurun masih melekat pada diri orang-orang Sucwan.
Sebaliknya Lim Peng-ci merasa heran, pikirnya, "Dandanan kedua orang ini halus tidak kasar pun tidak, potongan mereka benar-benar agak aneh."
"Araknya mana" Hayo, bawakan arak ke sini!" demikian seorang di antaranya yang lebih muda lantas berseru. "Persetan, pegunungan di wilayah Hokkian ini benar-benar sangat banyak, sampai kuda pun kepayahan."
Dengan kepala menunduk Wan-ji si gadis penjual arak mendekati kedua tamunya yang baru itu, tanyanya dengan suara lirih, "Minta arak apa?"
Walaupun suaranya sangat perlahan, tapi terdengar sangat nyaring dan merdu. Lelaki muda tadi melengak, sekonyong-konyong ia terbahak-bahak sambil menjulurkan tangan kanan untuk menyanggah dagu Wan-ji agar muka si nona mendongak ke atas. Lalu serunya dengan tertawa, "Wah, sayang, sayang!"
Keruan Wan-ji terkejut dan cepat melangkah mundur.
Segera laki-laki yang lain juga lantas berkata dengan tertawa, "Buset! Potongan badan nona belang ini sih boleh juga, cuma sayang mukanya demikian kasap seperti kertas amril!"
Begitulah mereka menggoda dan mengolok-olok si nona penjual arak itu dalam logat bahasa daerah mereka, habis itu kedua orang lantas terbahak-bahak pula.
Peng-ci menjadi naik darah. Ia gebrak meja sambil berteriak, "Huh, macam apa! Dua ekor anjing buta berani main gila ke kota Hokciu kita ini!"
"He, Keh-loji, ada orang sedang mencaci maki, kau kira anak kelinci ini lagi memaki siapa!" demikian lelaki muda she Ih tadi berkata pula dengan tertawa kepada kawannya.
Dasar roman Lim Peng-ci memang mirip ibunya, putih cakap seperti wanita. Biasanya kalau ada orang berani main gila padanya kontan tentu ditempeleng olehnya. Sekarang mendengar orang menyebutnya sebagai "anak kelinci" (putih bagus maksudnya), keruan ia tidak tahan lagi. Sebuah poci arak buatan timah yang terletak di atas meja terus disambarnya dan ditimpukkan ke sana.
Namun orang she Ih itu sempat berkelit sehingga poci timah itu terbanting keluar warung, arak pun berceceran.
Serentak Su-piauthau dan The-piauthau lantas berbangkit dan menyerobot maju ke samping kedua orang itu.
Tapi orang she Ih itu masih tertawa dan berkata, "Kalau bocah ini naik panggung untuk berjoget mungkin lebih menarik, suruh dia berkelahi teranglah tidak jadi!"
"Ini adalah Lim-siaupiauthau dari Hok-wi-piaukiok, besar amat nyalimu, berani tepuk lalat di atas kepala harimau?" bentak Su-piauthau segera, berbareng kepalan kiri terus menonjok ke muka orang.
Namun sekali bergerak, tahu-tahu tangan The-piauthau malah kena dipegang orang she Ih itu, sekali ditarik pula, tubuh The-piauthau lantas menyelonong ke depan dan menumbuk meja. "Brakkk," kaki meja itu sampai patah. Badan The-piauthau juga lantas menungging karena pergelangan tangannya masih tergenggam. Waktu sikut si orang she Ih bekerja, dengan tepat kuduk The-piauthau kena disikut sehingga jatuh terduduk dan tak sanggup berdiri lagi untuk sekian lamanya.
Meski The-piauthau itu bukan jago pilihan di antara orang Hok-wi-piaukiok, tapi juga bukan kaum lemah. Tapi sekarang hanya sekali gebrak saja sudah keok, hal ini menandakan pihak lawan itu pastilah bukan tokoh sembarangan. Segera Su-piauthau bertanya, "Siapakah saudara ini" Kalau sesama kaum persilatan, apakah benar-benar tidak memandang sebelah mata kepada Hok-wi-piaukiok?"
"Hok-wi-piaukiok" Hehe, selamanya tak pernah dengar! Apa kerjanya?" jengek laki-laki she Ih itu.
"Kerjanya tukang menghajar anjing!" bentak Lim Peng-ci sambil melompat maju, tangan kiri terus menghantam, sampai di tengah jalan tangan kanan lantas menyusul memukul dari bawah. Ini adalah jurus "In-li-kian-kun" (jagat di balik mega) yang merupakan ilmu pukulan lihai warisan leluhur.
"Hah, boleh juga anak kelinci ini!" orang she Ih itu mengolok-olok pula sambil menangkis serangan Peng-ci, bahkan tangan kanan terus meraih maju buat mencengkeram pundak pemuda itu.
Cepat Peng-ci mendak ke bawah, berbareng telapak tangan kiri menghantam pula. Tapi orang she Ih itu pun sempat miringkan kepala untuk berkelit. Tak terduga ilmu pukulan "Hoan-thian-ciang" yang meliputi 108 gaya itu memang sangat aneh perubahannya, tampaknya orang she Ih memang seperti sudah dapat menghindarkan pukulan Peng-ci tadi, siapa tahu mendadak tangan pemuda itu lantas menampar balik dengan jurus "Bu-li-gan-hoa" (memandang bunga dari balik kabut), "plok," dengan tepat orang she Ih kena ditempeleng satu kali.
Keruan orang she Ih menjadi murka, kakinya lantas menendang. Namun Peng-ci sempat mengegos ke samping, menyusul ia pun balas mendepak ....
Dalam pada itu Su-piauthau juga sudah bergebrak dengan orang she Keh. Sedangkan Pek Ji telah membangunkan The-piauthau yang masih meringis kesakitan itu. Sambil mencaci maki The-piauthau lantas menerjang maju pula untuk mengerubut si orang she Ih.
"Kau boleh membantu Su-piauthau saja, keparat ini biar kubereskan sendiri," kata Peng-ci.
The-piauthau tahu Peng-ci suka unggul dan tidak mau dibantu orang lain, maka ia lantas jemput sebatang kaki meja yang patah, dengan senjata itu ia terus pentung ke atas kepala si orang she Keh.
Tan Jit dan Pek Ji lantas lari keluar, seorang mengambilkan pedang Peng-ci, yang lain membawa tombak pemburu, mereka masuk kembali dan mencaci maki kepada orang she Ih. Dalam hal ilmu silat kedua pegawai Piaukiok itu sih rendah saja, tapi dalam hal mulut, mereka sudah biasa berteriak dan menggembor di waktu mengawal barang, maka caci maki mereka menjadi sangat lantang. Apalagi yang mereka lontarkan adalah makian bahasa daerah Hokciu, dengan sendirinya kedua orang Sucwan sama sekali tidak paham, yang pasti ucapan mereka itu tentu bukan kata-kata baik.
Dalam pada itu si kakek Sat juga sudah berlari keluar dari dapur, sambil bersandar pada bahu kakeknya, Wan-ji tampak sangat takut.
Semakin lama Peng-ci menjadi makin bersemangat, ia telah depak meja kursi warung arak itu ke pinggir, ia keluarkan 108 jurus "Hoan-thian-ciang" ajaran ayahnya untuk melabrak musuh.
Sejak berumur enam Peng-ci sudah berlatih silat, sampai sekarang sudah ada 12 tahun lamanya, Hoan-thian-ciang itu pun dilatihnya setiap hari sehingga sedikitnya telah ribuan kali diulanginya, dengan sendirinya ilmu pukulan itu sudah sangat hafal baginya.
Biasanya kalau dia berlatih melawan para Piauthau dalam perusahaan, tiada seorang pun yang dapat menandinginya, hal ini dapat dimengerti, pertama karena ilmu pukulannya itu memang hebat, kedua, para Piauthau dengan sendirinya lebih suka mengalah daripada bergebrak sungguh-sungguh. Sebab itulah walaupun pengalaman di tengah gelanggang sudah banyak, tapi pertarungan yang sungguh-sungguh jarang dialami oleh Peng-ci.
Sekali ini dia telah ketemukan lawan orang she Ih dari Sucwan, hanya belasan gebrak saja segera rasa congkak Peng-ci mulai lenyap. Ternyata orang she Ih itu sambil bertempur masih sempat membuka mulut untuk mengolok-oloknya. "Eh, saudara cilik, kulihat kau lebih mirip seorang nona cantik dalam penyamaran sebagai lelaki, mukamu putih lagi cantik. Ehmm, bolehkah kucium sekali saja, marilah kita berkawan dan pesiar ke sana."
Mendengar ucapan yang tidak senonoh itu dan tingkahnya yang mempermainkan, keruan Peng-ci sangat gusar. Ia coba melirik Su dan The-piauthau, ternyata kedua orang yang mengeroyok orang she Keh itu toh tidak lebih unggul dari lawannya, bahkan hidung The-piauthau tampak matang biru terkena bogem orang she Keh dan keluar kecapnya.
Pada suatu kesempatan, dengan gerakan kilat sekonyong-konyong orang she Ih kena ditempeleng sekali lagi oleh Peng-ci. Tamparan yang lebih keras ini membuat orang she Ih menjadi murka, bentaknya, "Anak kelinci yang tidak kenal selatan, karena kulihat mukamu manis, maka aku ingin memeluk kau, sebaliknya kau malah menghajar kekasihmu ini ya?"
Mendadak ilmu pukulannya lantas berubah, ia balas menyerang dengan gencar, kepalan bekerja naik turun menghantam.
Pertarungan kedua orang yang berlangsung dengan seru itu akhirnya sampai berpindah ke luar warung arak itu.
Ketika orang she Ih mendadak memukul ke depan, tiba-tiba Peng-ci teringat kepada ajaran ayahnya, dengan gaya dorong, ia tangkis dan mendorong tenaga pukulan lawan ke samping.
Tak terduga tenaga orang she Ih itu ternyata sangat kuat, dorongan itu ternyata tidak mempan, "bluk," malah dada Peng-ci kena terhantam. Dalam keadaan sempoyongan tahu-tahu Peng-ci merasa baju lehernya telah kena dicengkeram tangan kiri lawan. Ketika orang itu menekan sekuatnya ke bawah, setengah badan Peng-ci sampai membungkuk ke bawah. Menyusul dengan gaya "Tiat-bun-kam" (palang pintu besi), dengan melintangkan telapak tangan, orang itu mengancam di atas kuduk Peng-ci sambil mengejek, "Hahaha! Anak kura-kura, sekarang kau boleh menjura tiga kali dan panggil tiga kali paman yang baik padaku barulah akan kulepaskan kau."
Melihat majikan muda mereka kena dibekuk musuh, keruan Su dan The-piauthau terperanjat, serentak mereka meninggalkan lawan yang sedang dihadapi untuk menolong Peng-ci. Akan tetapi orang she Keh itu segera menghantam dan menendang sehingga mereka sukar menyingkir.
Pek Ji lekas-lekas angkat tombaknya dan menusuk ke punggung orang she Ih sambil berteriak, "Kau mau lepas tangan tidak" Apakah kau ingin mampus ...."
Belum habis ucapannya, tanpa menoleh mendadak orang she Ih menyepak ke belakang dengan kaki kiri sehingga tombak itu mencelat beberapa meter jauhnya, bahkan kaki kanan juga lantas mendepak sehingga Pek Ji terguling-guling beberapa kali dan meringis kesakitan tak sanggup berdiri untuk sekian lamanya.
"Anak jadah, bangsat keparat! Terkutuklah kakek moyangmu tujuh belas turunan!" demikian Tan Jit ikut mencaci maki, tapi bukannya menerjang maju, sebaliknya ia mundur-mundur ketakutan.
"Nah, nona manis, kau mau menjura padaku atau tidak?" tanya pula si orang she Ih dengan tertawa. Ketika ia tambahi tenaga pada tangan yang melintang di atas kuduk sehingga kepala Peng-ci ikut tertahan ke bawah, makin tahan makin rendah sampai batok kepalanya hampir-hampir menyentuh tanah.
Peng-ci mengayun kepalan dengan maksud hendak menggenjot perut lawan, tapi selalu kurang beberapa senti dan tak dapat mencapai sasarannya. Sebaliknya tulang tengkuk terasa kesakitan seakan-akan patah, mata pun berkunang-kunang dan telinga mendenging.
Dalam keadaan kepepet, kedua tangan Peng-ci menghantam dan mencakar serabutan, sekonyong-konyong tangannya tersentuh sesuatu benda yang terselip di betisnya, tanpa pikir lagi benda itu terus disambarnya dan segera ditubleskan ke depan sehingga menancap di perut orang she Ih.
Kontan orang she Ih itu menjerit dan mengendurkan kedua tangannya sambil mundur dua-tiga langkah, air mukanya tampak menampilkan rasa takut dan ngeri. Ternyata di atas perutnya telah menancap sebilah belati warna emas, mulut orang she Ih kelihatan terpentang, seperti ingin menjerit atau bicara, tapi tak keluar suaranya. Tangan tampak hendak mencabut belati yang menancap di perutnya sendiri itu, tapi juga tidak berani.
Walaupun berhasil melukai lawannya, namun Peng-ci juga berdebar-debar ketakutan, ia pun melangkah mundur beberapa tindak.
Sementara itu orang she Keh dan kedua Piauthau juga sudah berhenti bertempur, mereka ternganga kaget memandangi orang she Ih. Tertampaklah orang she Ih itu mulai terhuyung-huyung, tiba-tiba tangan kanan memegang gagang belati terus dicabut sekuatnya, seketika darah segar memuncrat keluar sampai dua-tiga meter jauhnya. Beberapa orang yang menyaksikan itu sampai menjerit kaget.
"Keh ... Keh-loji ... ka ... katakanlah ke ... kepada ayah supaya balaskan sakit hatiku," seru orang she Ih dengan terputus-putus sambil melemparkan belati warna kuning gemerlapan itu ke depan.
Cepat orang she Keh sambar belati yang melayang ke arahnya itu sambil berseru, "Ih-hiante, Ih-hiante!" Berbareng ia terus memburu maju.
Namun si orang she Ih sudah lantas roboh tersungkur, setelah berkelojotan beberapa kali lalu tidak bergerak lagi.
"Ambil senjata!" seru Su-piauthau dengan suara tertahan kepada kawannya. Segera ia mendahului berlari ke samping kudanya dan menyiapkan senjatanya. Sebagai seorang Kangouw kawakan ia tahu sesudah terjadinya korban jiwa, tentu orang she Keh itu akan melabrak mereka dengan mati-matian.
Tapi orang she Keh itu ternyata tidak menerjang maju lagi, ia sadar dalam keadaan sendirian tentu sukar mengalahkan jumlah lawan yang lebih banyak, jangan-jangan dia akan ikut terbinasa sehingga sakit hati mereka tentu takkan terbalas lagi. Ia pikir jalan paling selamat ialah kabur saja.
Begitulah, mendadak ia lompat ke samping kudanya, sekali cemplak ia sudah berada di atas pelana, "sret," ia potong tali kendali kuda yang tertambat itu terus melarikan kudanya secepat terbang ke arah utara.
Bab 2. Kematian Para Piauthau Secara Ganjil
Tan Jit coba mendekati mayat orang she Ih itu dan menendangnya sekali sehingga mayat itu terbalik ke atas. Darah tampak masih mengucur keluar dari luka di bagian perut. "Inilah ganjaranmu, mungkin kau memang sudah bosan hidup, maka kau berani mengusik Siaupiauthau kami"!"
Baru pertama kali inilah Peng-ci membunuh orang, keruan air mukanya pucat saking takutnya. Katanya dengan gemetar, "Su ... Su-piauthau ... bagai ... bagaimana baiknya ini! Sesungguhnya aku ... aku tidak bermaksud membunuh dia!"
Su-piauthau mengerut kening, katanya kemudian, "Lekas kita menyeret mayat itu ke dalam warung, di sini dekat jalan raya, jangan-jangan nanti dilihat orang?"
Untunglah waktu itu sudah dekat magrib, jalanan sudah sepi. Cepat Pek Ji dan Tan Jit lantas menggotong jenazah itu ke dalam warung.
"Siaupiauthau, apakah engkau membawa uang?" bisik Su-piauthau kepada majikan muda itu.
"Ada, ada!" cepat Peng-ci menjawab sambil mengeluarkan seluruh isi kantongnya yang berjumlah 20-an tahil perak.
Sesudah menerima uang perak itu, Su-piauthau lantas masuk ke dalam warung, ia taruh semua uang itu di atas meja, lalu berkata kepada si kakek, "Sat-lothau, kau sendiri telah menyaksikan, orang dari daerah lain ini tadi telah menggoda cucu perempuanmu, karena membela kebenaran, Siaupiauthau kami terpaksa telah membunuhnya. Urusan ini timbul dari diri kalian, kalau sampai meluas tentu kalian pun takkan terlepas dari persoalan ini. Beberapa tahil uang perak ini boleh kau gunakan dahulu, marilah kita kubur jenazah ini, kemudian kita dapat berunding cara bagaimana untuk menutupi peristiwa ini."
"Ya, ya, ya!" cepat si kakek Sat menyetujui.
"Hok-wi-piaukiok kami sudah biasa berkelana di luaran, kalau cuma membunuh beberapa orang penjahat saja adalah soal terlalu kecil," The-piauthau ikut bicara. "Kedua tikus Sucwan ini datang-datang lantas celingukan seperti maling, kalau bukan kaum bandit tentu juga penjahat yang biasa merusak kaum wanita, besar kemungkinan kedatangan mereka ke Hokciu sini adalah untuk melakukan kejahatan, keamanan kota Hokciu tentu akan terganggu, jasa Siaupiauthau kami ini sebenarnya cukup besar. Cuma beliau tidak suka banyak urusan, lebih baik persoalan ini dianggap tidak ada saja. Maka hendaklah engkau tutup mulut yang rapat, kalau urusan ini sampai bocor, tentu kalian akan celaka sendiri. Masakan kalian baru saja membuka warung arak ini lantas kedatangan kedua bandit dari luar daerah, terang kalian telah bersekongkol dengan mereka, kalau tidak, masakah sedemikian kebetulan?"
Terpaksa Sat-lothau hanya mengiakan saja dan menyatakan akan tutup mulut.
Lalu Su-piauthau memimpin Pek Ji dan Tan Jit mengubur jenazah itu di kebun sayur di belakang warung arak. Noda darah di depan warung lantas dipaculi pula sehingga lenyap.
Kemudian Su-piauthau berkata lagi kepada Sat-lothau, "Dalam sepuluh hari kalau tidak terjadi apa-apa, tentu kami akan mengantar 50 tahil perak lagi kepadamu. Tapi kalau kau sembarangan mengoceh di luaran, hm-hm, biasanya Hok-wi-piaukiok juga sudah banyak membinasakan kawanan bangsat, kalau tidak ada seribu juga sudah ada delapan ratus, jika ditambah lagi kalian berdua tua dan muda ini paling-paling kebun sayurmu itu yang akan bertambah dengan dua kerangka tengkorak saja."
"Terima kasih, terima kasih! Pasti takkan kukatakan kepada siapa pun juga," sahut Sat-lothau dengan takut-takut.
Selesai mengatur seperlunya, sementara itu hari pun sudah gelap. Perasaan Peng-ci menjadi rada lega. Kemudian pulanglah dia dengan hati kurang tenteram.
Waktu memasuki ruangan depan, dilihatnya sang ayah duduk di atas kursi malas dan sedang memejamkan mata, entah apa yang sedang direnungkan.
"Ayah!" dengan sikap agak kaku Peng-ci menyapa.
Padahal Hok-wi-piaukiok sudah tiga turunan menjalankan pekerjaan pengawalan, dalam hal berkelahi dan membunuh orang sudah tentu sukar dihindarkan, cuma yang dibunuh semuanya adalah orang-orang dari golongan jahat, apalagi peristiwa demikian itu biasanya terjadi di pegunungan atau rimba yang sepi, bila jatuh korban lantas dikubur saja di situ dan habis perkara.
Tapi orang yang dibunuhnya sekali ini terang bukan kaum garong atau sebangsanya, tempat kejadian berdekatan pula dengan kota, perkara jiwa bukanlah soal kecil, jangankan cuma putra pengusaha Piaukiok, sekalipun putra gubernur atau menteri, jika membunuh orang juga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Karena itulah sepanjang jalan benak Peng-ci terus bekerja, ia ragu apakah kejadian itu harus dilaporkan kepada ayahnya atau tidak" Siapa duga begitu masuk rumah lantas kepergok sang ayah dan terpaksa ia menyapa.
Tak tersangka air muka Lim Cin-lam ternyata sangat riang, ia malah bertanya, "Apa pulang dari berburu" Apa hasilnya" Mendapatkan babi hutan atau tidak?"
"Tidak," jawab Peng-ci.
Sekonyong-konyong Cin-lam mengangkat Honcoe (pipa cangklong, pipa tembakau yang panjang) terus menghantam ke pundak Peng-ci sambil membentak dengan tertawa, "Awas!"
Jika dalam keadaan biasa, karena tahu sang ayah sering kali secara mendadak menjajal kepandaiannya, maka begitu melihat ayahnya mengeluarkan jurus ke-26 dari "Pi-sia-kiam-hoat" yang disebut "Lin-sing-hui-tui" (cirit bintang jatuh melayang), tentu secara spontan dia akan menangkis dengan gerakan "Hoa-khay-kian-hud" (bunga mekar menghadapi Buddha).
Tapi sekarang karena perasaannya tidak tenteram, disangkanya kejadian di warung arak itu telah diketahui sehingga sang ayah hendak menghajarnya dengan pipa cangklong itu, maka ia tidak berani berkelit dan hanya berseru saja, "Ayah!"
"He, ada apakah?" tegur Cin-lam sambil menahan cangklongnya ketika hampir mengetok pundak putranya, hanya tinggal beberapa senti saja jaraknya. "Sedemikian lamban gerakanmu, kalau ketemukan musuh tangguh tentu sebelah bahumu ini sudah berpisah dengan badanmu."
Walaupun nadanya mengomel, tapi wajahnya tetap tersenyum simpul.
Peng-ci mengiakan dan segera mendak ke bawah, dengan cepat ia memutar ke belakang sang ayah, sekalian ia sambar kemoceng (bulu ayam) yang terletak di atas meja teh dan segera ia tusukkan punggung ayahnya. Gerakan ini tepat adalah jurus Hoa-khay-kian-hud.
"Cara beginilah baru betul," ujar Cin-lam dengan tertawa. Berbareng cangklongnya lantas menangkis, menyusul ia balas menyerang lagi dalam jurus "Kang-siang-long-tek" (meniup seruling di tengah sungai).
Dengan semangat Peng-ci juga lantas patahkan serangan sang ayah dengan jurus "Ci-gi-tong-lay" (pelangi melintang dari timur).
Setelah 50-an jurus mereka bergebrak, mendadak cangklong Cin-lam menutuk cepat ke depan, dengan perlahan dada kiri Peng-ci tertutuk sekali, karena tak sempat menangkis, seketika pemuda itu merasakan lengan kanan kaku kesemutan sehingga kemoceng yang dipegangnya terlepas dari cekalan.
"Bagus, bagus! Selama sebulan ini sudah ada kemajuanmu, hari ini kau lebih banyak menangkis empat jurus seranganku!" kata Cin-lam dengan tersenyum sambil bersandar kembali pada kursi malasnya. Sesudah mengisi tembakau pada pipanya, lalu katanya pula, "Anak Peng, akan kuberi tahukan bahwa hari ini kita telah menerima suatu berita baik."
Cepat Peng-ci mengambil batu api dan mengetik api untuk menyalakan tembakau di pipa ayahnya, lalu bertanya, "Barangkali ayah telah menerima suatu partai barang kawalan yang besar?"
"Bukan soal perusahaan," sahut Cin-lam. "Asalkan kekuatan kita cukup, masakan khawatir tiada barang kawalan yang datang sendiri. Yang kita khawatirkan justru ada barang kawalan yang disodorkan kepada kita, tapi kita tidak sanggup menerimanya."
Setelah mengembuskan asap tembakaunya, lalu sambungnya pula, "Yang kumaksudkan berita baik adalah pulangnya Li-piauthau dari Kangsay, ia telah bawa kembali berita tentang barang-barang sumbangan yang kita kirim telah diterima dengan baik oleh Ih-koancu di Siong-hong-koan, itu tokoh utama Jing-sia-pay di Sucwan Barat."
Mendengar kata-kata "Ih-koancu" di "Sucwan Barat" itu, hati Peng-ci lantas berdebur keras. Cepat ia menegas, "Barang-barang sumbangan kita itu telah diterima?"
"Ya," sahut Cin-lam. "Tentang urusan perusahaan memang jarang kubicarakan padamu sehingga kau pun kurang jelas. Cuma kau sudah mulai dewasa, lambat laun beban yang kupikul selama ini harus kupindahkan juga ke atas bahumu, maka selanjutnya kau harus lebih banyak ikut memerhatikan dan mempelajari pekerjaan perusahaan kita. Nak, sudah tiga turunan kita melakukan pekerjaan mengawal, adanya kemajuan-kemajuan yang diperoleh perusahaan kita selama ini adalah pertama, berkat nama kebesaran kakek-besarmu dahulu, kedua, memang kepandaian yang diturunkan leluhur kita pun bukan dari golongan lemah sehingga dapat mencapai kejayaan seperti sekarang ini. Akan tetapi urusan dunia Kangouw tidaklah begitu sederhana, nama memang juga penting, tapi hanya mengambil dua bagian saja, kepandaian orangnya juga mengambil tempat dua bagian, keenam bagian sisanya sesungguhnya adalah berkat kerja sama di antara kawan-kawan baik dari kalangan Pek-to (kaum kesatria yang baik) maupun Hek-to (golongan penjahat). Coba kau pikir sendiri, kereta barang Hok-wi-piaukiok kita sudah menjelajahi 12 provinsi, jika setiap kali perjalanan harus bertempur dan bertanding dengan orang, dari mana kita mempunyai nyawa sedemikian banyak untuk bertempur" Padahal biarpun menang, pihak kita sendiri juga tidak terhindar dari korban, dan untuk ganti kerugian dan uang pensiun para petugas kita yang gugur itu pun diperlukan biaya-biaya yang tidak sedikit, bukan mustahil kita harus tambal dari kas sendiri karena honorarium pengawalan yang kita terima tidak mencukupi."
Peng-ci hanya mengiakan saja. Dalam benaknya sudah terbayang-bayang kata-kata "Ih-koancu" dari "Sucwan Barat" tadi sehingga apa yang diuraikan ayahnya tiada separuh yang masuk ke dalam telinganya.
Dalam pada itu, Cin-lam telah menyambung, "Maka dari itu, kita yang hidup dari usaha pengawalan ini harus mengutamakan persahabatan, tangan juga harus terbuka. Hal-hal ini jauh lebih penting daripada main senjata ataupun mengandalkan kepandaian sejati."
Kalau di hari-hari biasa, bilamana Peng-ci mendengar sang ayah bicara tentang usaha Hok-wi-piaukiok yang lambat laun akan dibebankan ke atas bahunya, tentulah Peng-ci akan terbangkit semangat dan mengadakan pembicaraan lebih mendalam dengan ayahnya. Tapi sekarang hatinya berdebur-debur keras sehingga ucapan ayahnya tidak menimbulkan hasratnya untuk bicara.
Cin-lam ketok-ketok pipa cangklongnya di atas lantai untuk mengeluarkan abu tembakau, lalu berkata pula, "Ilmu silat ayah sudah tentu tak bisa melebihi kakek-besarmu, juga belum dapat memadai eyangmu. Akan tetapi kemajuan perusahaan pengawalan ini dapat kubanggakan telah berkembang lebih banyak daripada leluhurmu itu. Apa rahasia sukses ayahmu ini" Haha, tidak lain adalah 'banyak bersahabat sedikit bermusuhan', hanya ini saja. Haha, haha!"
Peng-ci ikut tertawa beberapa kali, tapi sedikit pun tiada mengandung rasa gembira yang sesungguhnya.
Rupanya Cin-lam tidak mengetahui sikap putranya yang gelisah itu, katanya pula, "Usaha Piaukiok kita telah mencapai provinsi Oupak, lalu berhenti. Maka aku pikir mengapa kita tidak meneruskannya sehingga ke wilayah Sucwan. Provinsi Sucwan adalah daerah yang paling subur dan makmur, jika kita dapat menembus daerah ini sehingga ke utara akan sampai di Siamsay, ke selatan akan mencapai Hunlam dan Kuiciu, dengan demikian perusahaan kita sedikitnya akan tambah besar tiga bagian. Cuma daerah Sucwan adalah tempat yang terkenal banyak orang-orang kosen, kalau kereta barang Hok-wi-piaukiok ingin melalui Sucwan, sedikitnya harus berhubungan baik dengan Jing-sia dan Go-bi-pay.
"Sejak tiga tahun yang lalu, tiap-tiap tahun baru selalu aku mengirimkan hadiah-hadiah berharga dan khusus mengutus orang mengantarkan ke Siong-hong-koan dari Jing-sia-pay dan Kim-teng-si di Go-bi-san. Akan tetapi kedua Ciangbunjin Jing-sia-pay dan Go-bi-pay itu belum pernah menerima hadiah-hadiah kita. Kim-kong Siangjin dari Go-bi-pay masih mendingan, dia masih mau menemui dan mengucapkan terima kasih serta menjamunya, habis itu hadiah yang kita kirim itu diretur kembali tanpa disentuh sedikit pun.
"Sedangkan Ih-koancu Siong-hong-koan dari Jing-sia-pay itu benar-benar sangat aneh, baru saja utusan kita sampai di lamping gunungnya sudah lantas dicegah, katanya Ih-koancu sedang tirakat dan semadi, sementara ini tidak menerima tamu. Segala barang di dalam kuil mereka cukup tersedia, maka tidak mau terima hadiah dari luar. Dalam keadaan begitu jangankan menemui Ih-koancu mereka, sampai-sampai menghadap ke arah mana pintu kuil mereka juga tidak tahu. Sepulangnya para Piauthau yang kita kirim setiap tahun itu tentu maki-maki, katanya kalau tidak mengingat pesanku yang melarang mereka umbar kemarahan biarpun pihak sana memperlakukan apa pun kepada mereka, mungkin mereka sudah lantas ajak berkelahi pada orang-orang yang tak kenal kebaikan itu."
Sampai di sini Cin-lam lantas berbangkit, dengan gembira ia menyambung pula, "Dan sekali ini ternyata Ih-koancu mau terima hadiah yang kukirim, bahkan mengatakan telah mengirim empat orang anak muridnya balas berkunjung ke Hokkian sini ...."
"Empat orang" Bukan dua orang?" mendadak Peng-ci menyela.
"Benar, empat orang muridnya," sahut Cin-lam. "Coba pikir, sedemikian Ih-koancu memandang penting urusan ini, bukankah ini suatu penghargaan bagi Hok-wi-piaukiok kita" Sebab itulah sore tadi aku sudah mengirim orang secara kilat pergi memberi tahu pada kantor-kantor cabang di Kangsay, Oulam dan Oupak agar sepanjang jalan memberi sambutan sebaik-baiknya kepada keempat tamu agung dari Jing-sia-pay itu."
"Ayah, apakah orang Sucwan kalau bicara suka menyebut orang lain sebagai 'anak kura-kura' dan 'anak kelinci' segala?" tanya Peng-ci tiba-tiba.
"Ah, itu kan ucapan orang kasar," ujar Cin-lam dengan tertawa. "Orang kasar di mana-mana pun ada dan ucapan mereka sudah tentu kasar pula. Seperti pegawai-pegawai kita sebangsa tukang kawal, tukang kereta, di kala berjudi dan minum arak bukankah mereka pun suka mengumpat maki yang bahkan jauh lebih kasar dan kotor daripada orang Sucwan. Ada apa sih kau menanyakan hal demikian?"
"Tidak apa-apa," sahut Peng-ci.
Maka Cin-lam memberi pesan pula, "Nanti kalau keempat murid Jing-sia-pay itu sudah datang, kau harus lebih berdekatan dengan mereka, belajarlah sedikit gaya murid dari golongan ternama. Rasanya akan sangat berfaedah bagimu bilamana dapat bersahabat dengan kawan-kawan seperti itu ...."
Baru berkata sampai di sini, tiba-tiba terdengar suara orang ribut di luar, menyusul beberapa orang tampak berlari masuk dengan gugup.
Cin-lam mengerut kening dan anggap orang-orang itu benar-benar tidak tahu aturan. Kiranya yang datang itu adalah tiga tukang kawal, satu di antaranya segera berkata dengan suara tergagap-gagap karena napasnya tersengal-sengal, "Cong ... Congpiauthau ...."
"Ada urusan apa, koh ribut-ribut begini?" potong Cin-lam.
"Pek ... Pek Ji sudah mati," sambung seorang tukang kawal yang lain.
Baru sekarang Cin-lam terkejut. Tanyanya cepat, "Siapa yang membunuh dia" Kalian berjudi dan berkelahi bukan?"
Diam-diam ia mendongkol terhadap anak buahnya yang kasar itu, sedikit-sedikit lantas berkelahi, sekarang telah terjadi perkara jiwa, tentu akan banyak mendatangkan kesukaran.
"Bukan, bukan! Tadi waktu Siau Li pergi ke kakus, mendadak dilihatnya Pek Ji sudah menggeletak di kebun sayur di samping kakus," demikian timbrung Tan Jit yang entah sejak kapan sudah masuk juga. "Anehnya tiada terdapat tanda-tanda luka di atas badan Pek Ji, entah apa yang menyebabkan kematiannya. Mungkin ... mungkin terkena penyakit maut sehingga mati mendadak."
"Coba kupergi melihatnya," kata Cin-lam. Segera ia menuju ke kebun sayur dengan diikuti Peng-ci dari belakang.
Sampai di tengah kebun sayur, tertampak beberapa orang berkerumun di situ. Melihat pemimpin mereka sudah datang, segera mereka memberi jalan.
Cin-lam melihat pakaian Pek Ji sudah dibuka orang, tapi di atas badannya tiada noda darah sedikit pun. Segera ia tanya Ciok-piauthau yang berdiri di sebelahnya, "Apakah tiada tanda-tanda terluka?"
"Sudah kuperiksa dengan teliti dan ternyata sekujur badannya tiada tanda luka sedikit pun, tampaknya juga bukan keracunan," sahut Ciok-piausu.
Muka Pek Ji ternyata biasa saja, sedikit pun tiada tanda-tanda matang biru keracunan, ujung mulutnya malah mengulum senyum.
Tiada jalan lain Cin-lam hanya mengangguk saja dan berkata, "Beri tahukan kepada Tang-siansing, suruh dia mengurus penguburan Pek Ji dan kirimkan 100 tahil perak kepada keluarganya."
Kiranya sejak Lim Wan-tho mendirikan Hok-wi-piaukiok sudah ada peraturan tentang jaminan sosial bagi para petugas yang gugur atau cacat dalam melakukan tugas, juga sakit dan kematian mendapat pensiun dalam jumlah uang tertentu. Ketika Lim Cin-lam memimpin Piaukiok, jaminan sosial itu sudah diperbaiki pula dan ditambah dua kali.
Bahwasanya cuma kematian seorang tukang kawal saja sudah tentu tidak terlalu dipikirkan oleh Cin-lam. Setelah memberi perintah seperlunya lalu ia kembali ke ruangan tengah. Katanya kepada putranya, "Apakah tadi Pek Ji tidak ikut pergi berburu?"
"Ikut," sahut Peng-ci. "Waktu pulang tadi masih segar bugar, siapa duga mendadak diserang penyakit dan meninggal."
"Ya, semua ini benar-benar terlalu mendadak," ujar Cin-lam. "Sudah lama aku ingin buka jalan ke daerah Sucwan dan selalu gagal, siapa duga Ih-koancu mendadak terbuka pikirannya dan mau menerima hadiahku, bahkan mengirimkan empat orang muridnya untuk mengadakan kunjungan balasan padaku."
Tiba-Peng-ci berkata, "Ayah, meski Jing-sia-pay adalah golongan terkemuka di dunia persilatan, tetapi nama ayah dan Hok-wi-piaukiok kita toh tidak lemah di mata orang-orang Kangouw. Kita sudah mengirimkan oleh-oleh setiap tahunnya, kalau sekarang Ih-koancu mengirim orangnya kemari, bukankah ini pun merupakan kehormatan timbal balik saja?"
"Kau tahu apa?" sahut Cin-lam dengan tertawa. "Jing-sia dan Go-bi-pay di daerah Sucwan itu sama-sama terkenal seperti Siau-lim dan Bu-tong-pay. Sejarah mereka pun sudah beberapa ratus tahun lamanya, tidak sedikit terdapat bibit-bibit baru di antara anak muridnya, mereka benar-benar sangat hebat. Sebaliknya ilmu silat keluarga Lim kita walaupun tidak lemah, namun sama sekali kita tidak membuka pintu dan menerima murid, pada angkatanku ini hanya melulu aku seorang, pada angkatanmu juga cuma kau sendirian, dari mana kita dapat dibandingkan dengan mereka?"
Peng-ci merasa penasaran, katanya pula, "Tapi kepandaian Tiok-sioksiok, Ciu-pepek, Pang-sioksiok, Ciang-taysiansing dan lain-lain juga terhitung jago-jago pilihan di dunia persilatan, masakah para kesatria dan orang-orang gagah dari Piaukiok kita kalau dikumpulkan semua masih kalah kepada mereka?"
Cin-lam tertawa, jawabnya, "Nak, ucapanmu tidak menjadi soal bila cuma didengar oleh ayahmu, tapi kalau kau bicara di luaran cara demikian dan didengar orang lain, tentu akan lantas mendatangkan kesukaran-kesukaran. Dari 94 orang jago kawal dalam 12 kantor pengawalan kita memang masing-masing mempunyai kepandaian sendiri-sendiri, kalau digabung menjadi satu sudah tentu takkan kalah terhadap golongan mana pun juga. Akan tetapi apa sih gunanya andaikan dapat mengalahkan mereka" Sebagai perusahaan pengawalan kita harus mencari sahabat dan bukannya mencari musuh, bahkan sedapat mungkin kita harus mengalah."
Waktu mudanya Cin-lam juga seperti Peng-ci sekarang, sehingga banyak telan pil pahit, tapi sesudah puluhan tahun berkecimpung di Kangouw, setelah tua, sikap garang dan rasa tinggi hatinya sudah tergembleng lenyap, sekarang pikirannya sangat sabar dan dapat mengalah kepada orang.
Peng-ci masih kurang puas, katanya pula, "Ayah ...."
Belum lanjut ucapannya, tiba-tiba terdengar orang berteriak di luar, "Wah, celaka! The-piauthau juga mati!"
Cin-lam dan Peng-ci sama-sama terperanjat. Bahkan Peng-ci sampai melonjak dari kursinya. Katanya dengan suara gemetar, "Tentu merekalah yang da ... datang menuntut ba ...."
Tidak sampai diucapkan seluruhnya kata-kata "menuntut balas" itu, dengan cepat Peng-ci lantas menahan mulutnya. Syukurlah waktu itu Cin-lam sudah memapak keluar sehingga tidak memerhatikan apa yang dikatakan putranya itu.
Dalam pada itu kelihatan Tan Jit berlari datang dengan napas terengah-engah, serunya, "Wah, ce ... celaka, Cong ... Congpiauthau! The ... The-piauthau telah di ... ditagih jiwa oleh ... oleh setan jahat Sucwan itu."
"Setan jahat Sucwan apa segala, ngaco-belo!" bentak Cin-lam dengan menarik muka.
"Be ... benar, Congpiauthau," sahut Tan Jit. "To ... tolonglah, Siaupiauthau, selanjutnya setan itu tentu ... tentu akan mencari diriku. Rezekimu besar dan dilindungi malaikat dewata, se ... setan jahat itu tidak berani mencari padamu. Tapi ham ... hambalah yang akan celaka, lekas ... lekas kita berdaya, kita harus memanggil Hwesio atau Tosu untuk mengadakan selamatan dan membaca kitab suci. Siau ... Siaupiauthau sendiri perlu juga bersembahyang untuk menghindarkan diri dari godaan arwah jahat itu ...."
Begitulah Tan Jit mengoceh tak keruan sehingga Cin-lam merasa bingung. Segera ia membentak, "Tutup mulutmu! Kau sembarangan mengoceh apa?"
"Ya, ya! Setan Sucwan itu di ... di waktu hidupnya sangat ganas, sesudah ... sesudah mati tentu ... tentu lebih-lebih jahat lagi ...." demikian Tan Jit mengoceh pula. Tapi ketika kebentrok dengan sorot mata Cin-lam yang melotot kereng itu, seketika ia tidak berani meneruskan lagi. Ia hanya pandang ke arah Peng-ci dengan rasa takut-takut dan minta dikasihani.
Maka Cin-lam lantas tanya, "Kau bilang The-piauthau telah meninggal" Di manakah jenazahnya dan cara bagaimana matinya?"
Saat itu beberapa orang tukang kawal yang lain juga sudah berlari datang. Seorang di antaranya lantas menjawab, "Congpiauthau, kematian The-piauthau itu sama halnya seperti Pek Ji, badannya juga tiada terdapat tanda luka apa-apa, muka juga tidak berdarah atau matang biru. Jangan-jangan dia ter ... terkena tulah waktu dia ikut Siaupiauthau pergi berburu siang tadi."
Cin-lam mendengus, katanya, "Selama berkecimpung di dunia Kangouw, belum pernah aku ketemukan setan iblis segala. Hayolah kita pergi melihatnya."
Habis itu ia lantas mendahului berjalan keluar. Dari belakang Tan Jit masih mengoceh tak keruan seperti tadi, namun Cin-lam tidak menggubrisnya lagi. Dengan diantar para tukang kawal itu, sampailah mereka di kandang kuda. Ternyata The-piauthau menggeletak di depan istal itu, kedua tangannya masih memegang pelana kuda, terang tadi dia lagi melepaskan pelana dan mendadak lantas roboh binasa, sama sekali tiada tanda-tanda telah bertempur dengan orang lain.
Sementara hari sudah gelap, Cin-lam suruh orang membawakan lampu kerudung, lalu ia sendiri membuka pakaian The-piauthau, diperiksanya secara teliti sekujur badan korban itu, sampai-sampai ruas tulang seluruh badan juga dipegang dan diremasnya, tapi memang tiada sedikit pun tanda terluka, sampai tulang jari pun tidak ada yang patah.
Cin-lam adalah seorang laki-laki yang berpikiran luas, biasanya ia tidak takhayul, tidak percaya kepada setan segala. Ia tidak heran ketika Pek Ji mati secara mendadak, tapi sekarang kematian The-piauthau juga serupa, di dalam hal ini benar-benar ada sesuatu yang ganjil. Bila mati karena penyakit pes atau penyakit menular lain, mengapa di atas tubuh sang korban tiada sesuatu bintik apa-apa atau tanda-tanda lain"
Akhirnya teringat olehnya besar kemungkinan ada sangkut pautnya dengan pengalaman berburu putranya pada siang hari tadi. Segera ia berpaling dan tanya Peng-ci, "Selain The-piauthau dan Pek Ji, siapa lagi yang ikut kau pergi berburu siang tadi?"
"Ada pula Su-piauthau dan dia," sahut Peng-ci sambil menuding Tan Jit.
"Baiklah, kalian berdua ikut padaku," kata Cin-lam. Lalu katanya pula kepada seorang tukang kawal, "Coba panggil Su-piauthau agar datang ke kamarku untuk bicara."
Setelah berada di dalam kamar serambi timur, untuk sejenak Cin-lam hanya duduk saja tanpa bicara. Ia tahu putranya tidak punya pengalaman, pengetahuannya juga terbatas. Tan Jit hanya pandai mengoceh tak keruan dan membingungkan orang saja. Hanya dari Su-piauthau yang sudah banyak merasakan asam garam dapatlah diharapkan keterangan-keterangan yang diperlukan.
Beberapa kali Tan Jit bermaksud membuka suara, tapi setiap kali urung bila tertatap oleh sinar mata pemimpinnya yang tajam dan kereng itu.
Tunggu punya tunggu, ternyata sampai sekian lamanya Su-piauthau masih belum tampak muncul. Akhirnya Cin-lam menjadi tidak sabar, katanya kepada Tan Jit, "Coba kau pergi mendesak Su-piauthau supaya lekas datang ke sini."
Tan Jit mengiakan sambil berjalan ke arah pintu sambil menggumam, "Kukira sebentar juga Su-piauthau akan datang, kukira ti ... tidak perlu pergi mendesaknya lagi."
Cin-lam menjadi gusar, semprotnya, "Kuperintahkan pergi, kau berani membantah" Hayo lekas berangkat!"
"Ya, ya! Segera juga hamba berangkat," jawab Tan-Jit dengan gemetar. Sebelah kakinya yang sudah melangkahi ambang pintu mendadak ditarik kembali. Sekonyong-konyong ia putar balik terus berlutut ke hadapan Cin-lam sambil memohon, "O, Congpiauthau, ampunilah jiwa hamba ini. Asalkan hamba melangkah keluar dari sini, tentu jiwa hamba akan melayang!"
Melihat muka Tan Jit pucat sebagai mayat, badannya gemetaran, takutnya tidak alang kepalang, hal ini benar-benar jarang terjadi. Mau tak mau Cin-lam yang biasanya tidak percaya setan iblis ikut merinding juga menyaksikan sikap Tan Jit itu.
"Sudahlah, lekas ... lekas bangun! Apakah sudah ... sudah gila?" hardik Cin-lam dengan rasa tak enak.
Tapi Tan Jit masih mengoceh lagi, "Siaupiauthau, urusan ini sesungguhnya tiada sangkut pautnya dengan hamba, engkau ... engkau harus mencari suatu jalan yang baik."
Cin-lam menjadi curiga. Katanya lagi, "Lekas kau bangun dan berdirilah di situ saja."
Seperti orang yang mendapat pengampunan dari hukuman mati, cepat sekali Tan Jit merangkak bangun, menyusul pintu kamar terus ditutupnya seakan-akan setan gentayangan orang Sucwan itu benar-benar akan datang mencabut nyawanya.
Segera Cin-lam berpaling dan tanya Peng-ci, "Sebenarnya apakah yang sudah terjadi?"
Tahu tidak dapat menutupi lagi peristiwa itu, terpaksa Peng-ci menceritakan pengalamannya waktu pulang dari memburu tadi dan tentang perkelahiannya dengan dua orang Sucwan lantaran membela si gadis penjual arak yang digoda itu. Dalam keadaan kuduknya dibekuk lawan dan dipaksa menyembah, saking gugup dan gusarnya dirinya lantas mencabut belati dan membunuh orang Sucwan itu. Akhirnya mayat korban itu ditanam di kebun sayur si penjual arak serta memberikan uang kepada kakek penjual arak supaya tutup mulut atas kejadian itu.
Makin mendengarkan cerita itu, perasaan Cin-lam semakin tak enak. Namun sebagai seorang Kangouw berpengalaman, dia pun merasa bukanlah sesuatu soal yang terlalu sulit untuk diselesaikan jika putranya telah berkelahi dan akhirnya menewaskan orang.
Dengan tenang ia mengikuti cerita putranya itu, habis itu ia merenung sejenak, kemudian ia bertanya, "Apakah kedua orang itu tidak mengatakan mereka berasal dari aliran dan golongan mana atau anggota sesuatu organisasi apa?"
"Tidak," sahut Peng-ci.
"Adakah di antara ucapan dan tingkah laku mereka memperlihatkan sesuatu tanda-tanda yang luar biasa?" tanya Cin-lam lebih lanjut.
"Juga tiada sesuatu yang aneh, hanya orang she Ih itu mengatakan ...."
"Apa" Kau maksudkan orang yang telah kau bunuh itu she Ih?" Cin-lam menegas sebelum selesai ucapan Peng-ci.
"Ya, kudengar seorang di antaranya menyebut dia sebagai Ih-hiante, cuma entah betul-betul Ih atau bukan. Mereka adalah orang dari daerah lain, boleh jadi logat mereka berbeda dengan kita," kata Peng-ci pula.
Mendadak Cin-lam menggoyang kepala dan menggumam sendiri, "Tidak, tidak mungkin begini kebetulan. Ih-koancu menyatakan akan mengirim orang kemari, masakah sedemikian cepat mereka sudah sampai di wilayah Hokciu, mereka toh tidak bersayap?"
Hati Peng-ci terkesiap mendengar gumaman sang ayah. Cepat ia tanya, "Apakah ayah sangsikan kedua orang itu berasal dari Jing-sia-pay?"
Cin-lam tidak menjawab. Selang sejenak sambil menggerakkan tangannya ia berkata, "Waktu kau menyerang dia dengan gaya "Hoan-thian-ciang" kita ini, cara bagaimana dia menangkis pukulanmu?"
"Dia tidak dapat menangkis sehingga kena kutempeleng," sahut Peng-ci.
"Ehm, bagus, bagus, bagus!" kata Cin-lam sambil tertawa.
Suasana di dalam kamar yang diliputi rasa khawatir dan cemas itu menjadi agak mereda dengan tiga kali "bagus" yang diucapkan Cin-lam itu. Peng-ci sendiri pun ikut tersenyum, perasaan yang tertekan tadi menjadi longgar juga.
"Dan waktu kau menyerang lagi dengan gerakan ini, cara bagaimana pula dia balas menyerang?" kembali Cin-lam bertanya sambil memberi contoh suatu gerak serangan.
Peng-ci menjawab, "Waktu itu anak sudah murka sehingga tidak jelas bagaimana sikapnya, yang terang serangan anak itu seperti mengenai dadanya pula."
Air muka Cin-lam menjadi lebih tenang pula, katanya, "Ehm, bagus! Serangan kita memang harus demikian, tapi sama sekali ia tidak mampu menangkis, rasanya tidak mungkin adalah anak murid Ih-koancu dari Jing-sia-pay yang namanya termasyhur itu."
Kiranya ucapan "bagus-bagus" tadi bukanlah dimaksudkan sebagai pujian kepada kemenangan perkelahian putranya itu, tapi adalah perasaan lega karena lawannya itu ternyata bukan orang Jing-sia-pay. Ia pikir orang Sucwan terlalu banyak yang mahir ilmu silat, jika orang she Ih itu kena dibunuh oleh putranya, tentulah ilmu silatnya tidak tinggi dan tidaklah mungkin adalah anak murid Jing-sia-pay.
Sambil mengetok-ketok muka meja dengan jari tangan kanannya, lalu Cin-lam tanya lebih lanjut, "Dan cara bagaimana dia membekuk kudukmu?"
Peng-ci lantas menggerakkan tangan dan memberikan contoh cara bagaimana tadi dirinya dibekuk lawan sehingga tak bisa berkutik.
Rupanya Tan Jit sudah mulai hilang rasa takutnya, segera ia menimbrung, "Ya, waktu Pek Ji menikam punggungnya dengan tombak, tahu-tahu dia mendepak ke belakang sehingga tombak mencelat, bahkan Pek Ji sendiri sampai terguling-guling tak bisa bangun."
Perasaan Cin-lam tergetar. Cepat ia tanya sambil berbangkit, "Dia mendepak ke belakang sehingga tombak mencelat dan Pek Ji terjungkal" Cara ... cara bagaimana mendepaknya itu?"
"Kalau tidak salah ... seperti begini," tutur Tan Jit sambil memberi contoh gerakan, tangannya memegang sandaran kursi, lalu kedua kakinya susul-menyusul mendepak ke belakang.
Dasar ilmu silat Tan Jit memang rendah sehingga kedua kali depakan yang dia pertunjukkan itu sangat kaku dan lebih mirip pemain kuda lumping.
Melihat permainan yang lucu itu, hampir-hampir saja Peng-ci tertawa geli. Katanya segera, "Ayah, coba caranya ...."
Hina Kelana Balada Kaum Kelana Siau-go-kangouw Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi mendadak tertampak air muka sang ayah menampilkan rasa terkejut, maka ucapannya tidak jadi diteruskan.
"Kedua kali depakan ke belakang itu memang mirip 'Pek-pian-yu-tui' (tendangan seratus gaya) yang menjadi kebanggaan kaum Jing-sia-pay," ucap Cin-lam. "Nak, sebenarnya cara bagaimana dia melontarkan kedua kali depakan itu?"
"Waktu itu tengkuk anak dibekuk olehnya dan ditekan ke bawah sehingga tidak jelas cara bagaimana dia mendepak ke belakang," sahut Peng-ci.
"Ya, hanya Su-piauthau saja yang bisa memberi keterangan," ujar Cin-lam. Segera ia keluar kamar dan menggembor, "He, mana orangnya" Sudah sekian lamanya mengapa Su-piauthau belum tampak?"
Buru-buru dua orang tukang kawal mendekati dan menjawab, "Sudah dicari ke mana-mana, tapi Su-piauthau tidak dapat diketemukan, boleh jadi lagi melancong ke pasar."
Cin-lam menggeleng-geleng kepala, katanya, "Lekas pergi mencarinya lagi, besar kemungkinan ia mengeram di rumah janda penjual tahu di gang belakang sana. Ai, sudah terjadi urusan segawat ini masih sempat berpelesiran segala."
"Ya, sudah, sudah ada orang mencarinya ke sana," sahut tukang kawal itu.
Kedua tukang kawal saling pandang dengan tersenyum. Mereka sama-sama pikir, "Para kawan sama menyangka Congpiauthau tidak tahu apa-apa, siapa nyana perbuatan Su-piauthau yang bergendakan dengan janda penjual tahu itu pun diketahui olehnya, rupanya segala apa Congpiauthau hanya pura-pura tidak tahu saja, tetapi sebenarnya tiada sesuatu yang dapat mengelabui beliau."
Hendaklah maklum bahwa setiap Piausu atau jago kawal yang dipekerjakan oleh Lim Cin-lam pada semua kantor pengawalannya, sebelum masuk kerja sudah diselidiki dahulu asal usul dan tingkah lakunya. Setelah bekerja, setiap gerak-gerik para Piausu itu pun tidak terlepas dari perhatian Cin-lam, hanya lahirnya saja seakan-akan ia tidak mengambil pusing kepada urusan pribadi anak buahnya itu. Sering kali bila ada salah seorang Piausu kalah judi atau terjadi permusuhan di antara beberapa Piausu, maka sebisa mungkin Cin-lam lantas berdaya untuk menyelesaikan persoalan mereka.
Seperti halnya di kalangan militer dan di waktu perang, jika bagian dalam tidak akur, sering kali memberi kesempatan kepada musuh untuk menerobos masuk. Dahulu ayahnya sering bercerita dan memberi contoh kepada Cin-lam tentang Piaukiok-piaukiok besar di daerah lain yang tadinya maju pesat dan berkembang dengan jaya, akhirnya kena juga dirunduk musuh dengan memasukkan mata-mata ke dalam perusahaan sehingga terjadilah perpecahan dari bagian dalam, dan pada saat gawat itu musuh juga lantas menyerang dari luar, dengan demikian kehancuran total sukar lagi dihindarkan.
Bab 3. Keajaiban di Kebun Sayur
Cerita-cerita dan contoh yang dikemukakan ayahnya itu selalu dijadikan pedoman dan senantiasa berlaku waspada. Sebab itulah Cin-lam telah mengadakan pengawasan yang sangat ketat terhadap gerak-gerik dan tingkah laku para Piausu yang dia terima.
Begitulah, sesudah agak lama kemudian, dua tukang kawal tampak masuk dengan tergesa-gesa, mereka lantas melapor, "Congpiauthau, Su-piauthau juga ti ... tidak diketemukan di tempat ... di tempat yang sering dikunjunginya."
Begitulah Cin-lam menjadi curiga, "Jangan-jangan Su-piauthau adalah mata-mata musuh yang sengaja diselundupkan ke sini, karena urusan sudah mulai menjalar, dia lantas meloloskan diri" Atau mungkin juga dia yang telah membunuh Pek Ji dan The-piauthau" Kalau tidak, buat apa mendadak dia menghilang?"
Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar Tan-jit lagi berteriak, "Celaka! Wah, celaka! Su-piauthau tentu juga telah direnggut nyawanya oleh setan Sucwan yang jahat itu! Ai, sel ... selanjutnya tentu akan menjadi giliranku! O, Congpiauthau, mohon ... mohon engkau berdaya menyelamatkan jiwa hamba ini!"
Dengan muka pucat dan mewek-mewek, segera Tan Jit mendekati Cin-lam dan kembali akan berlutut lagi ke hadapan sang majikan.
Memangnya Cin-lam lagi kesal, ia menjadi dongkol melihat kelakuan Tan Jit, ia dorong orang yang menyebalkan itu, rupanya dorongannya agak keras sehingga Tan Jit menjerit kaget sampai sempoyongan ke belakang, "bluk", akhirnya ia jatuh terduduk.
"Tan Jit, jangan ngaco-belo lagi sehingga membikin marah ayah saja," bentak Peng-ci.
Dalam pada itu Cin-lam sendiri lagi jalan mondar-mandir di tengah ruangan sambil berunding pada dirinya sendiri, "Jikalau depakan ke belakang itu memang Pek-pian-yu-tui adanya, maka ... maka naga-naganya orang itu sekalipun bukan anak murid Ih-koancu, tentu juga ada hubungannya dengan Jing-sia-pay."
Setelah berpikir sejenak, diam-diam ia ambil keputusan. Katanya segera, "Coba panggil Cui-piausu dan Ki-piausu kemari!"
Kedua Piausu yang disebut itu adalah orang kepercayaan Cin-lam, pengalaman mereka luas, cara bekerjanya rajin. Ketika mengetahui Su-piauthau menghilang dan The-piauthau tewas mendadak, diam-diam mereka sudah tahu telah terjadi sesuatu, maka sebelumnya sudah siap di luar ruangan. Ketika mendengar panggilan Cin-lam, dengan segera mereka masuk ke dalam.
Kata Cui-piauthau, "Congpiauthau, mungkin ada sesuatu yang tak beres tentang menghilangnya Su-piauthau secara mendadak. Siokhe sudah pergi memeriksa kamarnya, dia tidak membawa sesuatu barang, bahkan di bawah bantalnya juga masih terdapat 29 tahil perak. Hal ini benar-benar rada aneh. Bukanlah aku sengaja mengusik urusan orang, tapi biasanya aku sudah menaruh perhatian pada tingkah laku Su-piauthau yang suka main sembunyi-sembunyi, hanya saja Siokhe belum mendapatkan sesuatu kesalahannya."
"Cui-piausu, coba silakan memanggil Tio-piauthau, Ciu-piauthau dan Ciang-piauthau, suruh mereka sekarang juga lekas menuju ke pintu utara untuk mengejar Su-piauthau, jika ketemu hendaklah menasihatkan dia supaya pulang saja, katakanlah betapa pun besar adanya urusan tentu akan kubereskan baginya."
"Dan kalau dia berkeras tak mau pulang, apakah harus menggunakan kekerasan?" tanya Cui-piauthau.
"Su-piauthau adalah orang cerdik dan bisa melihat gelagat, jika dia melihat kita telah mengutus empat orang untuk mengejar dia, sepasang tangannya susah melawan delapan lengan, biarpun tidak suka, mau tak mau terpaksa ia akan ikut pulang dan dengan sendirinya tidak perlu menggunakan kekerasan lagi," ujar Cin-lam. "Sebaliknya kalau kalian tidak menemukan dia, bolehlah kalian terus mampir di kantor-kantor cabang di Ciatkang, Kangsay dan lain-lain untuk menyampaikan pesanku agar mereka bantu mencegatnya di tengah jalan. Suruh mereka masing-masing mengambil persekot 100 tahil perak kepada kasir untuk biaya perjalanan."
Cui-piauthau mengiakan dan segera pergi melaksanakan tugasnya. Biasanya dia tidak cocok dengan Su-piauthau, sudah tentu ia sangat senang melihat sang pemimpin sedemikian keras menguber Su-piauthau.
Cin-lam sendiri lantas menimbang-nimbang, "Orang Sucwan yang terbunuh ini sebenarnya siapa" Rasanya aku harus pergi memeriksanya sendiri."
Ia tunggu setelah Cui-piauthau sudah kembali, lalu berkata, "Marilah kita pergi mengerjakan sesuatu. Cui dan Ki-piauthau, anak Peng dan Tan Jit boleh ikut sekalian."
Mereka berlima lantas keluar pintu utara dengan berkuda, untung pintu gerbang kota itu belum ditutup.
"Warung arak yang mana, coba anak Peng menunjukkan jalannya di depan," kata Cin-lam kemudian.
Segera Peng-ci mengeprak kudanya mendahului ke depan. Sebaliknya kaget Tan Jit tak terlukiskan, hampir-hampir ia terperosot jatuh dari atas kuda. Serunya, "He, kita hendak ke warung arak itu" Wah, Cong ... Congpiauthau, betapa pun tempat setan itu jangan didatangi lagi. Setan ... setan Sucwan itu tentu sudah menunggu di sana, lebih baik kita jangan ... jangan mengantarkan nyawa!"
Cin-lam sangat mendongkol. Katanya, "Ki-piauthau, jika Tan Jit berani menyebut 'setan' lagi, kontan kau boleh mencambuk dia satu kali biar otaknya sedikit terang!"
Dengan tersenyum, Ki-piausu mengiakan. Ia angkat pecutnya dan menoleh ke arah Tan Jit, Katanya, "Nah, kau dengar tidak, Tan Jit?"
Tidak lama kemudian, sampailah mereka di depan warung arak kecil itu. Tapi pintu warung ternyata tertutup rapat. Segera Peng-ci melangkah maju untuk mengetok pintu sambil berseru, "Sat-lothau! Sat-lothau! Lekas buka pintu!"
Meski sudah diketok sampai sekian lamanya, tenyata tidak ada suara jawaban sedikit pun dari dalam warung.
"Wah, kakek sial dan nona belang itu tentu ... tentu juga sudah direnggut oleh setan ...." baru saja Tan Jit mengucapkan kata-kata terakhir itu, "tarr", kontan cambuk Ki-piauthau sudah mampir di atas pundaknya.
"Biarpun kau menghajar aku juga tiada gunanya, aku ... aku akan pulang duluan saja," kata Tan Jit. "Lebih baik aku tidak bekerja daripada mengantarkan nyawa."
Nyata dia lebih suka dipecat dari pekerjaan Piaukiok daripada merasa ketakutan dan ada kemungkinan akan terbinasa pula setiap saat.
Akan tetapi Ki-piauthau sudah lantas berkata padanya dengan suara tertahan, "Kau boleh pulang sendiri saja jika tidak takut setan gentayangan itu mencegat kau di tengah jalan."
Keruan Tan Jit menjadi takut dan gusar pula, omelnya, "Dalam urusan begini juga kau masih bergurau padaku?"
Namun demikian ia menjadi tidak berani lagi pulang sendiri.
Karena pintu warung itu masih belum dibuka juga, Cui-piauthau memandang ke arah Lim Cin-lam sambil memberikan gerakan tangan mendobrak pintu.
Cin-lam mengangguk-angguk. Maka kedua tangan Cui-piauthau lantas menolak ke depan. "Krak", palang pintu patah seketika, kedua daun pintu lantas terpentang ke belakang, tapi segera merapat kembali dengan cepat, kemudian terbuka lagi dan begitu seterusnya, membuka dan menutup sampai beberapa kali dengan mengeluarkan suara keriang-keriut yang menyeramkan di malam nan sunyi.
Begitu pintu terpentang, Cui-piauthau lantas menarik Peng-ci menyingkir ke samping. Sesudah tiada sesuatu yang mencurigakan, barulah mereka melangkah masuk mengetik api untuk menyulut pelita minyak yang berada di atas meja.
Luar-dalam warung itu mereka periksa semua, tapi tidak tampak seorang pun, segala perabotan di dalam rumah masih lengkap, tiada yang diboyong pergi.
"Mungkin kakek itu khawatir tersangkut perkara jiwa ini, apalagi mayat dikubur di kebun sayurnya, maka lekas-lekas ia telah kabur pergi," kata Cin-lam. "Coba ambil cangkul, Tan Jit! Galilah mayat itu, ingin kuperiksanya."
Coba kalau Tan Jit tidak menghormat dan segan kepada sang Congpiauthau, tentu dia sudah mengacir saja daripada tinggal di situ dan disuruh menggali mayat. Namun tidak urung ia ambilkan cangkul yang diminta setelah ragu-ragu sejenak.
"Cui-piauthau, Ki-piauthau, harap kalian bermurah hati, berdirilah di sisiku sini lebih dekat, semoga Buddha memberkahi istri-istri kalian melahirkan seorang anak laki-laki yang putih lagi gemuk," demikian pinta Tan Jit.
"Kurang ajar!" semprot Cui-piauthau dengan tertawa. "Kau ini benar-benar sontoloyo, ucapanmu itu bukankah menganggap istri kami bergendak dengan orang lain" Sudah tiga tahun aku dan Ki-piausu tidak pernah pulang rumah, dari mana istriku dapat melahirkan anak laki-laki yang gemuk?"
"Ya, tapi ... tapi ...." jika pada hari-hari biasa, tentu Tan Jit akan bicara panjang lebar lagi. Tapi sekarang karena hatinya berkebat-kebit, terpaksa ia angkat cangkul dan mulai menggali tempat yang siangnya baru saja dibuat mengubur mayat itu.
Lantaran merasa takut, maka belum berapa kali dia mencangkul, kaki dan tangannya sudah terasa lemas tak bertenaga seakan-akan terkulai lumpuh.
"Tak berguna!" omel Ki-piausu. "Begini saja ingin makan nasi pengawalan."
Segera ia ambil cangkul itu dari tangan Tan Jit dan menyodorkan lampu kerudung padanya. Segera ia menggantikan mencangkul.
Tenaga Ki-piausu memang lebih kuat daripada Tan Jit, pula bekerja dengan sungguh-sungguh, maka tidak antara lama liang itu sudah dicangkul cukup dalam sehingga mulai kelihatan baju jenazah di dalam liang itu. Setelah mencangkul beberapa kali lagi, akhirnya ia gunakan cangkulnya untuk mencungkil mayat itu sehingga terangkat ke atas.
Cepat Tan Jit menoleh ke jurusan lain, ia tidak berani memandang mayat itu. Tapi lantas terdengar seruan kaget keempat orang. Saking takutnya, lampu kerudung di tangannya itu sampai jatuh sehingga kebun sayur itu seketika gelap gulita.
"Yang ditanam di sini sudah terang adalah orang Sucwan itu, mengapa ... mengapa ...." demikian terdengar Peng-ci berkata dengan terputus-putus.
"Rupanya aku telah keliru menyalahkan dia!" kata Cin-lam. "Lekas sulut kembali lampu itu."
Setelah Cui-piauthau mengetik api pula dan menyalakan lampu kerudung itu, lalu Cin-lam berjongkok untuk memeriksa jenazah. Selang sejenak berkatalah dia, "Badannya tiada terdapat tanda-tanda luka, kematiannya ternyata serupa."
Tan Jit coba beranikan diri memandang ke arah mayat, tapi mendadak ia menjerit kaget, "Su-piauthau! Su-piauthau!"
Kiranya yang tergali itu adalah mayatnya Su-piauthau, sedangkan mayat orang Sucwan itu sudah menghilang entah ke mana.
"Kakek she Sat itu tentu ada sesuatu yang tidak beres," kata Cin-lam. Segera ia sambar lampu kerudung terus lari ke dalam rumah untuk memeriksa pula. Dari guci arak di dapur sampai panci, mangkuk, piring, meja kursi, semuanya tidak terkecuali dijungkirbalikkan untuk diperiksa dengan teliti. Tapi tetap tiada menemukan sesuatu yang mencurigakan.
Sementara itu Cui dan Ki-piauthau bersama Peng-ci juga ikut memeriksa tempat lain. Sekonyong-konyong Peng-ci berseru, "He, ayah, coba lihat ini!"
Waktu Cin-lam menuju ke tempat arah suara, ternyata putranya berada di dalam kamar si gadis penjual arak, tangannya memegang sehelai saputangan warna hijau.
"Yah, hanya seorang nona dari keluarga miskin dari mana bisa memiliki benda begini?" kata Peng-ci.
Cin-lam coba mengambil saputangan itu, sayup-sayup terendus olehnya bau harum dari saputangan yang sangat halus dan terasa agak antap pula bobotnya. Nyata saputangan itu terbuat dari bahan sutera pilihan. Ketika diperiksa lebih cermat, tertampak tepi saputangan itu berlingkaran tiga garis benang hijau, pada suatu ujungnya tersulam setangkai bunga mawar kuning, rajin dan indah sekali sulaman itu.
"Dari mana datangnya saputangan ini?" tanya Cin-lam.
"Diketemukan di pojok kolong ranjang," sahut Peng-ci. "Besar kemungkinan mereka pergi dengan tergesa-gesa dan waktu berbenah tidak melihat saputangan yang jatuh ini."
Dengan membawa lampu kerudung Cin-lam lantas berjongkok untuk memeriksa kolong ranjang kalau-kalau ada barang lain lagi. Dan baru saja ia hendak berdiri kembali, sekilas tertampak dekat di pojok dinding sana ada sesuatu benda yang sangat kecil dan bersinar.
"Itu seperti ada sebutir mutiara, coba kau menjemputnya," katanya kepada Peng-ci.
Segera Peng-ci merangkak ke bawah ranjang dan menjemput benda itu. "Ya, memang sebutir mutiara," katanya sambil meletakkan benda kecil itu di tangan sang ayah.
Mutiara itu hanya sebesar kacang hijau saja, tapi bentuknya bulat licin dan mengeluarkan sinar yang mengilap. Sebagai seorang pengusaha Piaukiok yang telah sering mengawal benda-benda berharga, begitu lihat Cin-lam lantas tahu mutiara kecil ini tentu terlepas dari perhiasan sebangsa anting-anting atau kalung. Kalau melulu sebutir mutiara demikian sih tidak terlalu berharga, tapi kalau sebentuk perhiasan yang dirangkai dengan mutiara-mutiara berkualitas tinggi sebagai ini, maka nilainya tentu sukar diukur.
Sambil menggerakkan tangannya perlahan sehingga mutiara itu bergelindingan di telapak tangannya, Cin-lam merenung sejenak lalu berkata, "Kau bilang nona penjual arak itu mukanya sangat jelek, maka pakaiannya tentu juga tidak begitu bagus. Tapi dandanannya apakah sangat rajin dan bersih?"
"Waktu itu aku pun tidak memerhatikan dia," sahut Peng-ci. "Tapi rasanya tidaklah buruk, sebab kalau sangat kotor tentu aku akan merasakannya waktu dia menuangkan arak bagiku."
"Bagaimana pendapatmu, Lau Cui?" tanya Cin-lam kepada Cui-piauthau.
"Kukira kematian Su-piauthau dan The-piauthau tentu ada sangkut pautnya dengan kedua orang tua dan muda ini, besar kemungkinan merekalah yang mengganas," sahut Cui-piauthau.
"Dan kedua orang Sucwan itu boleh jadi sekomplotan dengan mereka," demikian Ki-piauthau ikut bicara. "Kalau tidak, buat apa mereka memindahkan mayat?"
"Tapi orang she Ih sudah terang main gila dan menggoda nona itu, kalau tidak, tentu aku pun takkan bertengkar dengan dia," ujar Peng-ci. "Maka kukira mereka tidak mungkin adalah sekomplotan."
"Dalam hal ini Siaupiauthau memang kurang berpengalaman, hati orang Kangouw kebanyakan palsu dan jahat, mereka sering pasang perangkap untuk menjerat lawannya," demikian kata Cui-piauthau. "Misalnya dua orang sering pura-pura berkelahi agar pihak ketiga melerai mereka, tapi mendadak kedua orang yang berkelahi itu bisa berbalik mengerubut orang yang melerai mereka. Tapi biarlah kita tanya lebih jelas lagi kepada Tan Jit. He, Tan Jit! Ke mana kau" Lekas ke sini!"
Meski Ki-piauthau mengulangi lagi teriakannya, namun Tan Jit tetap tidak menjawab dan juga tidak muncul. "Kurang ajar! Sontoloyo Tan Jit ini, besar kemungkinan telah kelengar saking ketakutan."
Ia coba menuju ke ruangan depan, bayangan Tan Jit tidak kelihatan, ia mencari lagi ke dapur, tetap tidak kelihatan batang hidung Tan Jit. Mau tak mau Cin-lam dan Peng-ci menjadi curiga juga, segera mereka pun keluar mencarinya.
"Mungkin dia takut setan, maka sudah pulang lebih dahulu," kata Peng-ci.
"Jika demikian, besok juga kita suruh dia gulung tikar dan lekas enyah saja," kata Cui-piauthau. "He, Tan Jit! Keparat, di mana kau" Tan Jit!"
Begitulah sambil berteriak dan memaki ia terus mencari ke kebun sayur. Sekonyong-konyong ia berteriak terlebih keras, "He, di ... di manakah Su-piauthau?"
Cepat Cin-lam berlari ke kebun sayur sambil menjinjing lampu. Ternyata mayat Su-piauthau yang menggeletak di tepi liang kubur tadi sekarang sudah lenyap. Keruan kagetnya tak terkatakan, waktu ia menerangi sekitar situ, namun tiada tampak sesuatu jejak apa-apa.
"He, ayah, coba li ... lihat itu!" tiba-tiba Peng-ci berteriak.
Waktu Cin-lam memandang ke arah yang ditunjuk, yaitu liang yang baru saja digali keluar mayat Su-piauthau, sekarang liang itu sudah teruruk rata lagi.
"Ya, ini benar-benar sangat aneh, apa barangkali si Tan Jit telah mengubur lagi mayat Su-piauthau ke dalam liang ini?" ujar Cin-lam dengan ragu-ragu.
Ia taruh lampu kerudung itu di samping, lalu ia pegang cangkul terus menggali dengan cepat. Tidak lama kemudian cangkulnya lantas menyentuh sesosok tubuh manusia yang masih lemas. Cepat ia mengeluarkan tanahnya sehingga tertampaklah baju mayat itu. Tapi ia lantas terkesiap. Ia ingat betul baju yang dipakai Su-piauthau berwarna biru, mengapa baju yang kelihatan ini berwarna hitam"
Lekas-lekas ia membersihkan tanah yang masih menutupi muka mayat itu. Tapi serentak keempat orang lantas menjerit kaget semua sambil melompat mundur.
Kiranya yang menggeletak di dalam liang kubur itu bukannya mayat Su-piauthau, tetapi adalah Tan Jit!
Sesudah tenangkan diri, segera Cin-lam menjambret baju dada Tan Jit terus diangkat ke atas. Ia coba meraba pipinya, terasa masih sedikit hangat. Waktu periksa napasnya, ternyata sudah putus. Dipegang nadinya, denyut jantungnya juga sudah berhenti.
Tanpa bicara lagi Cin-lam terus lolos pedang dari pinggangnya, sekali lompat ia lantas melayang lewat pagar kebun sayur yang tidak tinggi itu.
Walaupun sudah cukup lama Cui dan Ki-piausu bekerja pada Hok-wi-piaukiok, tapi belum pernah mereka menyaksikan Cin-lam menggunakan senjata. Sekali melihat gerakan Congpiauthau mereka yang gesit laksana kucing itu, diam-diam mereka terkejut dan kagum sekali.
Segera Cui-piauthau mengeluarkan juga senjatanya yang berbentuk tombak pendek berantai dan berkata kepada Peng-ci, "Siaupiauthau, musuh berada di sekitar sini saja, lekas siapkan pedangmu."
Peng-ci mengangguk dan segera melolos pedang terus menerobos keluar melalui pintu depan. Di bawah cahaya bintang kelap-kelip yang remang-remang tertampak di atas kuda putihnya yang tertambat di patok kayu di depan warung itu seperti ada satu orang sedang menunggang binatang itu.
Cepat ia memburu maju sambil membentak, "Siapa kau?" berbareng dengan jurus "Liu-siang-kan-goat" (bintang meluncur memburu rembulan), pedangnya terus menusuk ke arah orang itu. Tapi aneh, orang itu ternyata tidak bergerak sedikit pun.
Sementara itu ujung pedang Peng-ci sudah hampir mengenai dada orang itu, lekas ia mengerem senjatanya itu dan dengan batang pedang ia terus menyampuk saja, "plok", kontan orang itu tersampuk jatuh dan terguling ke bawah kuda. Remang-remang kelihatan wajah orang itu kekuning-kuningan dan berkumis tikus, ternyata bukan lain dari mayat Su-piauthau.
Keruan Peng-ci terkejut dan cepat berseru, "Ayah, lekas kemari, ayah!"
Mendengar suaranya, cepat sekali Cin-lam dan kedua Piausu lantas memburu ke situ. "Sungguh kurang ajar sekali kaum pengecut itu!" jengek Cin-lam dengan tertawa dingin. Lalu ia berseru dengan suara lantang, "Orang kosen dari manakah yang berkunjung ke kota Hokciu ini" Jika seorang kesatria sejati, hayolah tampil ke muka, kenapa mesti main sembunyi-sembunyi dan berkelakar seperti ini?"
Berulang-ulang Cin-lam berseru dua-tiga kali, tapi tiada sesuatu jawaban apa-apa.
"Gerakan orang ini cepat sekali, kita hanya tinggal sebentar saja di dalam dan dia sudah sempat melakukan hal-hal sebanyak ini," ujar Cui-piauthau dengan suara bisik-bisik.
"Mungkin lebih dari satu orang," kata Cin-lam.
Tiba-tiba hatinya tergerak, segera ia jinjing lampu ke rumah dan memeriksa kembali kebun sayur tadi. Namun tanah di sekitar liang tadi sudah digali dan diuruk berulang kali, juga sudah kian kemari dibuat jalan orang, maka sukar untuk membedakan tapak kaki.
"Bagaimana pandangan Congpiauthau atas urusan ini?" tanya Cui-piauthau kemudian dengan suara tertahan.
"Sasaran yang dituju atas kedatangan si kakek dan si nona penjual arak ini tentulah diri kita," sahut Cin-lam. "Cuma tidak tahu apakah mereka berdua pun sekomplotan dengan kedua orang Sucwan itu atau bukan?"
Tiba-tiba Peng-ci menimbrung, "Ayah, katamu Ih-koancu dari Siang-hong-koan telah mengirim empat muridnya berkunjung kemari, sekarang mereka ... mereka kan juga empat orang?"
Ucapan ini menyadarkan Lim Cin-lam. Untuk sejenak ia terkesima dan termenung, kemudian berkata, "Hok-wi-piaukiok selamanya sangat menghormati Jing-sia-pay dan belum pernah berbuat sesuatu yang tidak baik pada mereka. Lalu sebab apakah Ih-koancu sengaja mengirim orang-orangnya ke sini untuk mencari perkara padaku?"
Begitulah mereka berempat hanya saling pandang dengan bingung dan tidak dapat bersuara. Sampai agak lama barulah Cin-lam berkata pula, "Coba pindahkan dahulu jenazah Su-piauthau ke dalam rumah. Tentang kejadian ini hendaklah jangan disiarkan kalau pulang di rumah supaya tidak diketahui pihak yang berwajib dan menimbulkan kesukaran lain lagi."
"Prak", dengan suara keras Cin-lam masukkan pedangnya ke sarungnya, lalu berkata, "Orang she Lim biasanya terlalu sungkan-sungkan kepada orang, tapi juga bukan kaum pengecut yang terima dihina dan dipukul sebelah kanan segera diberikan pula sebelah kiri."
Cui dan Ki-piauthau saling pandang saja, mereka pikir peristiwa ini benar-benar telah menimbulkan kemarahan sang Congpiauthau. Segera Ki-piauthau berkata, "Harap Congpiauthau maklum, sekalipun musuh cukup lihai, namun Hok-wi-piaukiok kita juga bukan kaum lemah yang dapat diperlakukan secara sewenang-wenang. Kami sudah cukup menerima budi kebaikan Congpiauthau, bila ada kesukaran biarlah kita menghadapi bersama-sama, masakah kita dapat membiarkan nama baik Hok-wi-piaukiok kita dihancurkan orang dengan cara begini?"
"Ya, terima kasih pada maksud baikmu," sahut Cin-lam sambil mengangguk.
Mereka lantas pulang ke dalam kota. Ketika sudah dekat dengan gedung perusahaan, dari jauh tertampaklah cahaya obor terang benderang, di depan pintu gedung itu berkerumun sejumlah orang.
Hati Cin-lam tergetar, cepat ia keprak kudanya ke depan. Didengarnya beberapa orang lantas berseru, "Itu dia, Congpiauthau sudah pulang!"
Dengan gesit Cin-lam melompat turun dari kudanya, dilihatnya sang istri dengan muka merah padam lantas memapak kedatangannya sambil berkata, "Coba kau lihat! Hm, sedemikian kurang ajar orang telah menghina kita!"
Ternyata di atas tanah melintang dua batang tiang bendera dengan dua helai bendera bersulam, terang adalah panji tanda perusahaan yang terpancang di depan Piaukiok itu, sekarang berikut setengah potong tiang benderanya telah dipatahkan orang.
Dari tempat patahnya tiang bendera yang tidak rajin itu Cin-lam yakin tentu bukan ditebas dengan senjata tajam, tetapi telah dipukul patah oleh tenaga pukulan. Padahal bulat tengah tiang bendera itu ada belasan senti besarnya, sekarang pihak musuh mampu mematahkannya dengan getaran tenaga pukulan, maka ilmu silatnya dapatlah dibayangkan dan benar-benar sangat mengejutkan.
Ia lihat sisa tiang bendera yang masih menegak di tempatnya itu masih dua-tiga meter tingginya, ia menduga untuk mematahkan tiang bendera itu orangnya harus memanjat ke atas. Dalam keadaan demikian sesungguhnya tidaklah mudah untuk mengerahkan tenaga.
Ong-hujin, istri Cin-lam itu tidak membawa senjata, segera ia melolos pedang dari pinggang sang suami, "sret-sret", dua kali, ia potong kedua helai bendera itu dari tiangnya, digulung terus dibawa masuk ke dalam rumah.
"Cui-piauthau," Cin-lam memberi perintah, "sisa kedua potong tiang bendera yang patah itu boleh dipenggal saja sekalian. Hm, tidaklah gampang jika ingin meruntuhkan Hok-wi-piaukiok!"
Cui-piauthau mengiakan dan pergi melakukan tugasnya.
Sedangkan Ki-piauthau lantas memaki, "Keparat! Kawanan bangsat itu adalah pengecut semua, di kala Congpiauthau tidak di rumah barulah mereka berani melakukan perbuatan yang rendah ini."
Cin-lam lantas menggapai putranya, kedua orang sama-sama masuk ke dalam rumah. Di luar masih terdengar caci maki Ki-piauthau yang tak berhenti-henti.
Sampai di kamar sebelah timur, tertampak Ong-hujin telah membentang kedua helai panji bersulam itu di atas meja. Seketika Cin-lam menjadi murka demi melihat keadaan panji-panji itu. Ternyata lukisan singa pada sehelai panji itu kedua matanya telah dicungkil orang sehingga tinggal dua lubang kosong saja. Panji lain yang bertuliskan Hok-wi-piaukiok, huruf "Wi" juga telah dihapus oleh orang.
Melihat itu, betapa pun sabarnya Cin-lam juga tidak tahan lagi, mendadak ia menggebrak meja, "krak", sebelah kaki meja itu sampai patah.
Selamanya Peng-ci tidak pernah menyaksikan ayahnya mengumbar marah, ia menjadi takut, katanya dengan suara gemetar, "Semuanya ga ... gara-garaku, ayah! Akulah yang telah menimbulkan onar ini!"
Dengan suara keras Cin-lam menjawab, "Orang she Lim biarpun membunuh orang, habis mau apa" Manusia rendah macam itu andaikan kebentur di tangan ayahmu juga pasti sudah kubunuh juga!"
"Macam apa orang yang terbunuh?" tanya Ong-hujin.
"Coba ceritakan pada ibumu, anak Peng," kata Cin-lam.
Maka Peng-ci lantas menguraikan apa yang sudah terjadi, tentang terbunuhnya orang Sucwan, menyusul Su-piauthau dan Tan Jit berturut-turut juga binasa secara aneh.
Tentang matinya The-piauthau dan Pek Ji secara mendadak itu sudah diketahui Ong-hujin, sekarang mendengar orang Piaukiok mati lagi dua orang, tidak kaget berbalik Ong-hujin malah gusar, ia gebrak meja sambil berbangkit, katanya, "Toako, masakah Hok-wi-piaukiok boleh sembarangan dihina orang" Marilah kita kumpulkan orang, besok juga kita lantas berangkat ke Sucwan untuk menuntut keadilan dan kebenaran pada pihak Jing-sia-pay. Sekalian kita nanti mengajak pula ayahku, para paman dan kakek untuk ikut serta."
Kiranya watak Ong-hujin itu sejak kecil memang berangasan. Pada waktu gadisnya sedikit-sedikit ia pun suka berkelahi. Lantaran ilmu silat Kim-to-bun mereka memang terkenal, pengaruhnya juga besar, maka semua orang segan kepada ayahnya, yaitu Kim-to-bu-tek Ong Goan-pa, dan suka mengalah padanya. Sekarang usianya sudah lanjut, putranya juga sudah dewasa, tapi sifat berangasannya ternyata masih belum hilang.
"Siapakah pihak lawan kita sementara ini masih belum pasti, juga belum tentu adalah Jing-sia-pay," ujar Cin-lam. "Kukira mereka takkan berhenti sampai di sini saja dengan cuma mematahkan dua batang tiang bendera dan membunuh dua orang Piausu dan habis perkara ...."
"Memangnya mereka mau apa lagi?" sela Ong-hujin.
Cin-lam tidak menjawab lebih jauh, ia hanya memandang sekejap ke arah Peng-ci. Ong-hujin lantas paham maksud sang suami, seketika hatinya berdebar-debar, mukanya menjadi pucat pasi.
"Urusan ini adalah gara-gara perbuatan anak, seorang laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab, anak se ... sedikit pun tidak gentar," demikian Peng-ci ikut bicara.
Walaupun mulutnya bilang tidak gentar, tapi usianya masih terlalu muda, pula tidak berpengalaman apa-apa, mau tak mau hatinya merasa takut juga sehingga suaranya menjadi agak gemetar.
"Hm, boleh coba mereka mengganggu seujung rambutmu, kecuali mereka membunuh dahulu ibumu ini," kata Ong-hujin. "Sudah tiga keturunan Hok-wi-piaukiok berdiri dan selamanya belum pernah tunduk pada siapa pun."
Sampai di sini ia lantas berpaling kepada Lim Cin-lam dan berkata pula, "Jika dendam ini tidak dibalas, untuk seterusnya kita pun tidak dapat menjadi manusia lagi."
Cin-lam mengangguk, jawabnya, "Ya, aku akan kirim orang untuk menyelidiki keluar dan di dalam kota apakah terdapat orang Kangouw yang tak dikenal, akan kutambahi pula penjagaan di sekitar perusahaan. Sementara ini kau dan anak Peng boleh tunggu di sini saja, jangan membiarkan dia sembarangan keluar."
"Ya, aku tahu," sahut Ong-hujin.
Mereka suami istri cukup paham bahwa langkah musuh selanjutnya adalah putra mereka yang akan dijadikan sasaran. Sekarang musuh dalam keadaan gelap dan pihak sendiri di tempat yang terang, asal Peng-ci melangkah keluar Hok-wi-piaukiok setindak saja pasti akan mendatangkan malapetaka baginya.
Begitulah Cin-lam lantas mengumpulkan para Piausu di ruangan tengah, ia membagi tugas kepada mereka untuk menyelidiki dan menjaga tempat-tempat yang penting.
Sementara itu para Piausu sudah mendapat berita, bahwasanya tiang bendera Hok-wi-piaukiok telah dipatahkan orang, ini benar-benar merupakan suatu tamparan keras bagi mereka. Karena rasa tanggung jawab menghadapi musuh bersama itulah, maka sejak tadi-tadi mereka sudah berdandan ringkas dan siapkan senjata, asalkan mendapat perintah sang pemimpin serentak mereka akan bergerak semua.
Hati Cin-lam rada lega melihat persatuan di antara para anak buahnya untuk menghadapi musuh bersama. Setelah masuk ke ruangan dalam, katanya kepada putranya, "Anak Peng, badan ibumu beberapa hari terakhir ini kurang sehat, sekarang sedang menghadapi musuh pula, maka boleh kau tidur pada dipan di luar kamarku ini untuk melindungi ibumu."
"Hah, masakah aku perlu ...." baru sekian Ong-hujin bicara, mendadak ia sadar maksud sang suami itu sebenarnya cuma pura-pura saja, yang betul justru mereka suami istri dapat melindungi putranya setiap saat. Sebab watak putranya itu diketahui angkuh dan tinggi hati, kalau terang-terangan suruh dia bernaung di bawah perlindungan ayah-bundanya, bukan mustahil dia malah merasa penasaran dan keluar untuk menantang pihak musuh, dan hal ini tentu akan sangat berbahaya. Dari itu cepat Ong-hujin lantas ganti suara, "Ya, betul juga. Anak Peng, kesehatan ibu beberapa hari terakhir ini memang terganggu, kaki dan tangan terasa lemas, mungkin penyakit encok kambuh lagi. Ayahmu sendiri perlu memimpin keadaan di luar dan tidak dapat mendampingi aku senantiasa, jika ada musuh menerobos ke dalam sini mungkin ibu tidak sanggup melawannya."
"Baiklah, aku akan mengawani ibu di sini," kata Peng-ci.
Begitulah malamnya Peng-ci lantas tidur di luar kamar ayah-bundanya. Cin-lam sengaja membuka pintu kamar dan menaruh senjata di samping bantal, sampai baju pun tidak dilepas, begitu pula sepatunya. Asalkan ada sesuatu tanda bahaya, segera juga dia akan melompat bangun untuk melabrak musuh.
Tapi malam itu ternyata lalu dengan aman tenteram tanpa terjadi sesuatu.
Besoknya pagi-pagi sekali sudah ada orang memanggil-manggil di luar jendela dengan suara tertahan, "Siaupiauthau! Siaupiauthau!"
Rupanya semalaman Peng-ci tak bisa tidur nyenyak, sewaktu fajar menyingsing dia baru saja pulas sehingga suara orang itu tidak dapat membangunkan dia.
Segera Cin-lam menanya, "Ada urusan apa itu?"
"Kuda ... kuda putih Siaupiauthau itu sudah ... sudah mati," sahut orang yang di luar.
Sebenarnya kalau cuma kematian seekor kuda saja bagi perusahaan Piaukiok mereka adalah soal kecil. Tapi kuda putih itu adalah binatang tunggangan kesayangan Peng-ci. Maka begitu melihat bangkai kuda itu, cepat-cepat tukang piara kuda yang biasanya merawat kuda putih itu lantas datang melapor.
Dalam keadaan sadar tak sadar dan mata sepat, saat itu Peng-ci juga sudah mendusin, segera ia bangun sambil kucek-kucek matanya dan berseru, "Biar kupergi melihatnya."
Cin-lam merasa kejadian ini pun agak ganjil, segera ia pun menyusul ke kandang kuda. Maka tertampaklah kuda putih itu sudah menggeletak tak bernyawa lagi di situ. Di atas badan binatang itu pun tiada terdapat sesuatu tanda luka apa-apa.
"Apakah semalam ada yang mendengar suara ringkikan kuda atau suara lain?" tanya Cin-lam.
"Tidak, tidak ada," sahut si tukang kuda.
Cin-lam pegang tangan putranya dan berkata, "Tak perlu menyesal, biarlah ayah nanti suruh orang membelikan seekor kuda bagus yang lain bagimu."
Sambil meraba-raba bangkai kuda, Peng-ci termangu-mangu sekian lamanya sambil meneteskan air mata.
Sekonyong-konyong seorang tukang kawal berlari masuk dengan napas terengah-engah, serunya terputus-putus, "Wah, celaka, Cong ... Congpiauthau! Para ... para Piauthau yang pergi itu ji ... jiwanya telah direnggut semua oleh ... oleh setan maut."
"Apa katamu"!" tanya Cin-lam dan Peng-ci berbarengan dengan terkejut.
"Mati, mati semua!" demikian tukang kawal itu berteriak-teriak.
"Mati semua apa?" bentak Peng-ci dengan gusar, berbareng ia jambret baju leher orang itu sambil dientak-entakkan.
"Ya, Siaupiauthau, sudah mati!" kata pula si tukang kawal.
Mendengar ucapan "Siaupiauthau sudah mati" itu, Cin-lam merasa kata-kata itu membawa alamat tidak baik dan menyebalkan. Tapi kalau dia mendampratnya lantaran kata-kata itu saja rasanya terlalu dicari-cari.
Dalam pada itu terdengar suara riuh ramai pula di luar, ada yang sedang berseru, "Di manakah Congpiauthau" Lekas melaporkan kepada beliau!"
Dan ada juga yang berkata, "Wah, arwah jahat ini benar-benar sangat lihai, apa ... apa daya kita sekarang?"
"Aku berada di sini! Ada urusan apa?" teriak Cin-lam.
Segera ada dua orang Piauthau dan tiga tukang kawal berlari masuk. Seorang di antara Piauthau itu lantas berkata, "Congpiauthau, kawan kita yang dikirim pergi itu tiada seorang pun yang pulang kembali."
Bab 4. Keluar Pintu Lebih Dari Sepuluh Langkah: Mati
Semula Cin-lam menduga ada orang mendadak binasa lagi, tetapi semalam orang-orang yang dikirim keluar untuk menyelidiki dan meronda itu seluruhnya ada 23 orang, masakah mungkin seluruhnya amblas"
Maka cepat ia tanya, "Apakah ada orang mati lagi" Besar kemungkinan mereka masih melakukan tugas penyelidikan dan belum sempat pulang lapor."
Namun Piauthau itu menggeleng kepala dan menjawab, "Sudah ... sudah diketemukan 17 sosok jenazah ...."
"Haaaah! 17 sosok jenazah?" Cin-lam dan Peng-ci menegas berbareng.
"Ya, 17 sosok," sahut Piauthau itu dengan roman penuh rasa cemas dan khawatir. "Di antaranya terdapat Thio-piauthau, Go-piauthau dan lain-lain, jenazah-jenazah itu sekarang berada di ruangan tengah."
Tanpa bicara lagi, Cin-lam lantas menuju ke ruang tengah dengan langkah lebar. Tertampaklah meja kursi di ruang besar itu sudah disingkirkan, sebagai gantinya 17 sosok jenazah telah membujur di situ secara berjajar-jajar.
Biarpun selama hidup Lim Cin-lam sudah banyak mengalami damparan gelombang badai, tetapi sekonyong-konyong menyaksikan adegan yang demikian ini, mau tak mau kedua tangannya rada gemetar juga, kedua kaki pun terasa lemas dan hampir-hampir tak sanggup berdiri tegak. "Seb ... sebab ...." demikian ia ingin tanya, tapi tenggorokan serasa kering dan sukar mengeluarkan suara.
Tiba-tiba terdengar pula di luar ada orang berkata, "Ai, Ko-piauthau biasanya sangat jujur dan baik hati, siapa nyana jiwanya juga kena direnggut setan jahat."
Maka tertampaklah beberapa orang penduduk tetangga telah menggotong masuk sesosok jenazah dengan daun pintu, seorang setengah umur di antaranya lantas berkata, "Waktu membuka pintu tadi mendadak hamba melihat sesosok tubuh menggeletak di tengah jalan, kemudian dapat dikenali sebagai Ko-piauthau dari perusahaan kalian. Mungkin dia terkena penyakit menular atau kemasukan setan, maka sengaja kami antar pulang ke sini."
"Terima kasih, terima kasih!" sahut Cin-lam sambil memberi hormat. Lalu katanya kepada seorang pegawainya, "Para tetangga yang baik hati ini masing-masing boleh dipersen tiga tahil perak, lekas, pergi mengambil pada kasir."
Namun sebelum menerima hadiah, demi tampak di tengah ruangan situ sudah penuh mayat, lekas-lekas saja para tetangga itu sudah mohon diri lebih dahulu.
Tidak lama kemudian, kembali ada orang mengantar pulang tiga-empat sosok jenazah para Piausu yang lain. Cin-lam coba menghitung jumlah korban itu, semalam dia telah mengirim keluar 23 orang, sekarang sudah ada 22 sosok jenazah, hanya ketinggalan mayat Ci-piausu saja yang belum diketemukan. Namun hal ini terang hanya soal waktu saja.
Ia kembali ke kamarnya, diminumnya secangkir teh panas, tapi perasaannya kusut dan sukar ditenangkan.
Tiba-tiba Peng-ci datang memberi tahu, "Ayah, ada seorang Ang-suya dan seorang Pi-lothau dari kantor kabupaten ingin bertemu padamu."
Sebenarnya Cin-lam tidak ingin terima tamu, tapi mengingat tempatnya telah jatuh korban jiwa sebanyak ini, kalau dari kantor pemerintah ada petugas yang datang, mau tak mau mereka harus ditemui juga.
Begitulah, terpaksa ia keluar untuk melayani tamu-tamu itu, tapi sama sekali ia tidak menyinggung tentang ada orang datang menuntut balas sehingga terjadi urusan, ia hanya mengatakan besar kemungkinan berjangkit penyakit pes atau penyakit menular yang lain sehingga banyak di antara pegawainya telah ikut menjadi korban.
Tapi orang she Pi yang bertugas sebagai opas itu lantas berkata, "Congpiauthau, maafkan jika aku dianggap usil mulut, namun kukira sebaiknya engkau lekas pergi mengundang seorang ahli nujum dan coba tanya dia sebab apakah tempat kediamanmu ini tidak selamat, apakah karena arahnya tidak betul atau waktunya tidak cocok atau sebab lainnya."
Sedangkan Ang-suya, juru tulis kabupaten, lantas menanggapi, "Ya, apa yang dikatakan Pi-loji memang tidak salah. Selamanya Congpiauthau mengusahakan pengawalan tentu tidak terhindar dari menimbulkan korban jiwa. Nasib orang sering kali susah diduga, boleh jadi tahun ini Congpiauthau lagi apes sehingga setan iblis pun datang menggoda. Sebaiknya panggil saja serombongan Hwesio atau Tosu untuk mengadakan kenduri dan melenyapkan sial, kerja demikian tentu tidaklah sukar untuk dilaksanakan."
Cin-lam merasa sebal melayani mereka, sambil mengiakan secara tak acuh ia lantas suruh orang pergi mengambil 100 tahil perak untuk dibagikan kepada kedua petugas pemerintah itu.
Akan tetapi opas Pi itu menolak, katanya dengan tertawa, "Congpiauthau adalah kawan sendiri, kedatangan kami hanya main-main saja, toh bukan menyelidiki perkara, mana boleh kami minta uang" Pula perkara jiwa sebanyak ini, andaikan kami diharuskan menanggung perkara ini rasanya juga tidak mau terima uang yang sedikit ini. Betul tidak" Hahahaha!"
Sungguh dalam hati Cin-lam gusar tak terkatakan, pikirnya, "Kurang ajar! Hanya seorang opas keroco saja berani menggunakan kesempatan ini untuk memeras padaku" Hm, aku Lim Cin-lam kalau mau membunuh seorang opas kecil sebagai kau adalah seperti memites mati seekor semut saja."
"Ah, ucapan adik Pi terlalu sembrono, hendaklah Lim-congpiauthau jangan marah," demikian Ang-suya lantas mengipasi dengan tertawa. "Perkara ini dibilang besar memang tidak besar, dikatakan kecil sesungguhnya juga tidak kecil, tentu pihak atasan akan tetap mengusut. Cuma Congpiauthau boleh jangan khawatir, dalam urusan dinas paling tidak hamba masih dapat memberi bantuan, asalkan sehelai laporan singkat menyatakan di sini telah terjadi penyakit menular, maka segala apa akan menjadi beres dan habis perkara."
Payung Sengkala 9 Pedang Bunga Bwee Karya Tjan I D Kisah Bangsa Petualang 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama