Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 41
tetap tak menderita kerusakan dan korban yang banyak. Pun lari
mereka seperti telah diatur, lari tercerai berai ke empat penjuru.
"Aneh," gumam raden Wijaya dalam hati "mereka lebih besar
jumlahnya tetapi mengapa mereka tak mau bertempur gigih"
Mengapa cepat-cepat mereka tinggalkan gelanggang pertempuran
?" Raden Wijaya segera mengeluarkan perintah, melarang
anakbuahnya mengejar "Mungkin mereka menggunakan siasat
untuk mencerai beraikan kekuatan kita. Kita harus waspada dan
tetap berpusat dalam suatu kesatuan."
Memang titah akuwu Jayakatwang kepada senopati Jaran
Guyang yaitu supaya menghisap kekuatan pasukan Singasari di
Mameling. Jika berhasil, boleh hancurkan pasukan Singasari yang
menuju ke Mameling. Tetapi apabila gagal, harus tetap memelihara
induk kekuatan pasukan dan mundur. Yang penting, demikian
amanat akuwu Daha, adalah untuk menyiasati pasukan Singasari
supaya memusatkan pasukan di Mameling. Dengan demikian
dapat memberi peluang bagi patih Kebo Mundarang untuk
menggempur pura Singasari dari sebelah selatan.
Senopati Jaran Guyang terkejut ketika pasukannya telah dijepit
dari empat jurusan oleh musuh. Ia mendapat laporan bahwa yang
memimpin patukan Singasari itu, calon menantu baginda
Kertanagara yang bernama raden Wijaya. Dan dia kenal raden
Wijaya itu seorang ksatrya yang pandai mengatur barisan dan sakti
mandraguna. Jaran Guyang berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan
induk kekuatan pasukannya. Ia menggunakan siasat lari tercerai
berai agar lawan mengejarnya untuk kemudian mudah dihancurkan. Tetapi ternyata raden Wijaya tak mudah terperangkap. Setelah memperhitungkan bahwa waktunya sudah cukup untuk
memberi kesempatan kepada patih Kebo Mundarang melancarkan
serangannya ke pura Singasari, maka Jaran Guyangpun
memutuskan untuk menarik mundur pasukannya.
"Raden, idinkan hamba membawa pasukan untuk mengejar
orang-orang Daha itu," kata Medang Dangdi.
"Hamba akan menyertai kakang Medang untuk menggempur
sampai ke Daha, raden," Kebo Kapetenganpun memohon idin
kepada raden Wijaya. "Apa alasan kalian berdua untuk mengejar mereka " Bukankah
lebih baik kita lekas-lekas kembali ke pura untuk mempertahankan
pura kerajaan dari serangan musuh lebih lanjut ?" kata raden
Wijaya. "Raden," kata Medang Dangdi "setiap kekalahan akan
menimbulkan patah memangat pada anak-pasukan. Kebalikannya
akan memancarkan daya semangat menyala dari anakbuah kita
yang menang. Kata pandai besi 'tempalah besi di kala masih
membara". Kita harus memanfaatkan semangat para anak pasukan
kita untuk menghancurkan musuh."
"Benar, raden," seru Kebo Kapetengan pula pertahanan yang
terbaik adalah menyerang. Dengan menyerang, musuh tak sempat
melakukan serangan kepada kita. Kita tak perlu bertahan."
Raden Wijaya terdiam. Ada percik-percik keraguan dalam
hatinya. "Jangan raden," tiba-tiba Lembu Sora berkata, "jangan kita turuti
hawa panas hati kita untuk menyerang musuh. Yang jelas, mereka
lebih besar jumlahnya. Dan kitapun harus berpaling pada falsafah
sifat setiap mahluk. Sekalipun kecil, kalau dipijak, semut tentu akan
menggigit juga. Apabila kita terlalu mendesak, mereka tentu akan
bangkit kemarahannya dan menyala lagi semangatnya untuk
bertempur." "Kurasa, kakang Sora," seru Medang Dangdi, "falsafah besi
panas yang kukatakan dan falsafah semut yang engkau
kemukakan, memang mempunyai nilai kebenaran sendiri-sendiri.
Tetapi mana yang benar, tergantung pada keadaan. Dalam hal itu,
kakang Sora, kurasa falsafah besi panas harus lekas ditempa itu,
lebih mendekati kebenaran. Karena apabila tidak sekarang kita
bergerak, di mana semangat musuh patah dan semangat kita
bangkit, tentu kita akan kehilangan peluang yang baik. Apabila besi
telah dingin, apabila semangat telah menurun, maka sukarlah
untuk merebut kemenangan yang gemilang."
"Tetapi ingat Medang Dangdi," tanggap Sora, "kita harus tahu
dan menyadari akan kelemahan pertahanan pura Singasari.
Bagaimana akan terjadi apabila di saat kita mengejar pasukan
Daha itu, tiba-tiba pasukan Daha yang lain menyerang pura "
Bukankah pertahanan pura akan berantakan?"
"Kakang Sora ....... "
Baru Medang Dangdi hendak melantangkan bantahan, tiba-tiba
seorang pengalasan datang menghadap raden Wijaya.
"Wah, sungguh malang, raden," serunya dengan wajah pucat
dan napas terengah "pura kerajaan telah .... bobol .... ".
Bagaikan mendengar petir berbunyi di tengah hari, Wijaya
serentak loncat mencengkeram baju pengalasan itu.
"Apa katamu," Pura Singasari telah dimasuki pasukan Daha ?"
serunya amat tegang. "Benar, raden," sahut pengalasan itu dengan gemetar.
"Ah, celaka," seru Lembu Sora pula "kita telah termakan siasat
orang Daha, raden." Merah wajah Wijaya karena malu dan marah.
"Apakah mereka sudah masuk ke pura ?" tanyanya pula kepada
pengalasan itu. "Pasukan Daha itu amat besar kekuatannya, dipimpin sendiri
oleh patih Kebo Mundarang. Mereka menyerang gapura selatan.
Dan pada saat hamba menyusul raden ke mari, pertempuran
sedang berkobar dahsyat."
Serentak raden Wijaya memberi perintah kepada para senopati
dan anak pasukannya agar lekas kembali ke pura Singasari.
Tetapi alangkah terkejut ksatrya muda itu ketika tiba di
perbatasan kota, ia mendengar sorak sorai yang bergemuruh dari
pasukan Daha yang telah berhasil menduduki pura Singasari.
"Serbu!" teriak Wijaya seraya bersiap-siap.
Tiba tiba Sora menghadang di hadapan raden itu.
"Raden, hamba hendak menghaturkan pendapat kepada raden."
"Katakanlah." "Menilik sorak-sorai mereka yang gegap gempita bagai gunung
rubuh itu, jelas pasukan Daha yang menduduki pura Singasari itu
berjumlah amat besar. Tentu lebih besar daripada pasukan Daha
yang menyerang Mameling. Apabila hamba tak salah tafsir, orang
Daha itu telah mengatur siasat. Kita dipancing supaya menuju ke
Mameling tetapi mereka sudah siapkan pasukan yang kuas untuk
menerkam pura selagi pura kosong."
"Hm," raden Wijaya mendesah.
"Kali ini kita harus menjaga jangan sampai terperangkap siasat
musuh untuk kedua kalinya," kata Sora lebih lanjut "sebaiknya, kita
berkemah di luar pura dulu. Nanti malam baru kita lakukan
serbuan." "Hm," kembali raden Wijaya mendesuh.
"Dengan serangan malam itu musuh tentu tak dapat mengetahui
betapa besar kekuatan kita. Bagaimana cara untuk mengatur
barisan penyerang, hamba hanya menurut saja apa yang tuan
perintahkan." Wijaya memang masih berdarah panas. Tetapi sepanas panas
darahnya, ia masih memiliki kesadaran yang tinggi dan
kebijaksanaan yang luas. Apa yang dikatakan Sora itu memang
benar. Apabila hari itu ia menyerang, bukan saja sukar untuk
merebut kemenangan, pun Daha tentu mengetahui akan kekuatan
barisannya. "Baik, Sora," akhirnya ia memberi perintah supaya berkemah di
luar pura. Diputuskannya pula, bahwa penyerangan ke dalam pura
pada malam nanti harus dilakukan secara berlapis dan dari
beberapa arah. Dengan demikian musuh pasti gelisah karena
mengira pasukan Singasari itu besar sekali jumlahnya.
"Kita akan membalas orang Daha dengan siasat yang mereka
gunakan terhadap kita," kata raden Wijaya. Kemudian ia mulai
mengatur barisan-barisan yang akan menyerbu.
"Barisan pertama merupakan barisan pelopor. Menyerang pintu
gapura. Barisan kedua bersembunyi di luar gapura. Barisan
pertama harus pura-pura kalah dan mundur. Pada saat itu barisan
kedua harus ke luar untuk memotong barisan musuh. Barisan
ketiga menyerang dari dinding pura sebelah timur, memancing
perhatian musuh dengan menimbulkan kebakaran-kebakaran.
Barisan keempat, memanjat tembok pura bagian barat dan terus
menyerbu," tata raden Wijaya.
Kemudian raden Wijayapun menentukan para senopati yang
memimpin barisan itu. Barisan pertama dipimpin oleh Gajah
Pagon, Medang Dangdi dan Mahesa Pawagal. Barisan kedua,
dipimpin Nambi, Banyak Kapuk, Kebo Kapetengan. Barisan ketiga
dipimpin Wirota, Wiragati dan Pamandana. Sedang barisan
keempat yang akan memanjat tembok pura dan menyerbu ke
dalam keraton dipimpin oleh raden Wijaya sendiri dengan dibantu
oleh Sora. Malampun tiba. Maka bergeraklah pasukan yang telah disusun
raden Wijaya itu menuju ke pura Singasari. Barisan ketiga
pimpinan Pamandana, Wirota dan Wiragati bergerak lebih dahulu
menghampiri ke dinding tembok sebelah timur dari pura Singasari.
Oleh karena mereka berasal dari Singasari maka merekapun faham
akan liku liku jalan yang mencapai tujuannya.
Pamandana memerintahkan untuk membuat tangga dari batang
pohon. Juga memintal kulit pohon untuk tali. Selekas mencapai
puncak tembok maka orang itu harus segera memasang tali agar
kawan-kawannya dapat merayap naik.
Demikian setelah peralatan tangga kayu dan tali kulit pohon
selesai dibuat, mulailah mereka bekerja. Pekerjaan itu berhasil dan
pasukan itu dapat turun ke dalam lingkungan pura.
Pamandana membawa anakpasukannya menuju ke asrama
prajurit. Tentulah tempat itu sekarang ditempati oleh prajurit-prajurit
Daha. Tetapi ternyata dugaannya keliru. Asrama itu dijadikan
tempat tawanan dari prajurit dan rakyat Singasari yang melawan
serangan Daha dan tertangkap. Demikian laporan dari seorang
prajurit yang dikirim Pamandana untuk menyelidiki tempat itu.
"Bagaimana penjagaan di situ ?" tanya Pamandana.
"Tidak banyak, kurang lebih hanya belasan penjaga."
Diam-diam Pamandana merasa heran mengapa asrama tawanan
hanya dijaga oleh beberapa orang saja.
"Kakang Pamandana, mari kita serbu asrama itu. Lepaskan
saudara-saudara kita dan bakar asrama itu," kata Wirota.
"Tetapi mencurigakan sekali keadaan asrama itu. Lebih baik kita
berhati-hati," kata Pamandana.
"Idinkanlah aku yang memimpin penyerbuan, kakang Pamandana siapkan bantuan apabila terjadi sesuatu," Wirota
mendesak. Dengan membawa sepuluh prajurit, Wirota menghampiri asrama.
Tampak penjaga-penjaga itu sedang bercakap-cakap santai.
Setelah memberi isyarat, Wirota, segera loncat menyerbu.
Para penjaga itu terkejut. Mereka tak sempat lagi untuk melawan
mereka karena dengan cepat anakbuah Wirota sudah menguasai
mereka. Yang masih melawan segera dihabisi jiwanya.
Tak lama kemudian, tibalah Pamandana dengan anakbuahnya.
Alangkah kejut Pamandana dan Wirota ketika mendapatkan
bahwa asrama itu telah kosong. Tiada seorang prajurit atau rakyat
yang tampak, "CeIaka, Wirota," seru Pamandana terkejut "kita terperangkap!"
Wirotapun pucat. Segera ia memburu keluar dan ternyata apa
yang dikatakan Pamandana memang benar. Beratus ratus prajurit
Daha telah mengepung asrama itu.
"Hai, menyerahlah kamu orang Singasari !" teriak kepala pasukan
Daha. "Bagaimana kakang Pamandana?" tanya Wirota.
"Jalankan siasat mengulur waktu dengan ajak mereka berbantah,
Wirota," kata Pamandana "aku akan melepaskan pertandaan
panah api agar Wiragati segera datang menyerang mereka."
Ternyata Pamandana cukup cerdik. Sejak semula ia memang
menaruh kecurigaan akan keadaan amrama tawanan itu. Maka ia
tinggalkan sebagian anakbuahnya bersama Wiragat dan ia sendiri
bersama sebagian prajurit menyusul Wirota.
Naluri Pamandana memang tajam. Ia telah masuk ke dalam
perangkap musuh. Tetapi diam-diam ia tertawa karena musuh tak
akan mengira bahwa masih ada sebagian anak pasukan Singasari
yang akan menerkam mereka dari belakang.
Setelah lepaskan panah api ke udara, Pamandana bergegas lari
menggabungkan diri ke luar halaman. Wirota masih bersitegang
leher memaki-maki prajurit Daha.
"Jangan banyak mulut, pemberontak Singasari. Lekas menyerah
atau mati!" teriak bekel yang memimpin pasukan Daha itu.
"Keparat !" balas Wirota "siapa yang memberontak, kamu orang
Daha atau kami rakyat Singasari?"
"Raja Singasari sudah meninggal, kerajaan Singasari sudah
menyerah pada Daha tetapi kamu masih berani memberontak !"
Mendengar itu kejut Pamandana dan Wirota bukan kepalang.
Mendidihlah darah kedua arya kepercayaan raden Wijaya itu.
"Wirota, mari kita bela pati kepada baginda!" kata Pamandana
dengan nada sarat. Wirota terkejut. Pamandana seorang yang tenang dan tak
mudah terangsang kemarahan. Bahwa saat itu dia sampai
melantangkan kata-kata itu, jelas tentu sudah bertekad untuk mati.
"Baik, kakang Pamandana. Memang kita harus menunaikan
sumpah kita kepada pertiwi Singasari," sambut Wirota yang
terkenal berani dan berangasan.
"Tunggu sebentar, Wirota," seru Pamandana ketika melihat
Wirota hendak ayunkan langkah "sesuai dengan perintah raden
Wijaya, kita harus menimbulkan kebakaran, untuk memancing
perhatian musuh."
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Prajurit," seru Pamandana kepada beberapa anakbuahnya
"bakarlah asrama ini lalu ikutlah kami menyerbu musuh di luar itu !"
"Hm, mereka membakar asrama," teriak prajurit-prajurit Daha
ketika melihat asrama mulai berkobar api.
"Bunuh pemberontak itu!" bekel prajurit Daha berteriak marah
dan terus menyerbu. Pertempuran segera berlangsung. Seru dan dahsyat. Pasukan
Daha menang jumlah tetapi pasukan Singasari menang pimpinan.
Pamandana, Wirota merupakan kadehan raden Wijaya. Apalagi
Pamandana dan Wirota telah bertekad untuk mati menuntut balas
akan mangkatnya baginda Kertanagara. Keduanya mengamuk
hebat. "Bekel Daha, akhirnya kita bertemu," seru Wirota setelah berhasil
merubuhkan beberapa prajurit. Ia langsung loncat ke hadapan
bekel prajurit Daha yang mengepalai pasukannya.
Bekel Daha, itu bertubuh perkasa, membekal senjata tombak
trisula. Tanpa banyak bicara, langsung ia membenamkan ujung
trisula ke dada Wirota. Tetapi hanya angin kosonglah yang
ditombaknya. Wirota sudah menyelinap ke samping dan menabas
kepala lawannya. Tring ..... Tangkas benar bekel prajurit Daha itu menarik trisula dan
menyongsongkan ke arah Wirota. Pada saat kedua senjata beradu,
bekel itupun segera memutar trisulanya dan terus menariknya.
"Uh . ..... " Wirota terkejut ketika pedangnya diputar sedemikian
kuat sehingga tangannya ikut terpelintir. Iapun terpaksa harus
melepaskan pedangnya ketika ditarik oleh lawan.
"Mampus engkau, pemberontak!" dengan geram bekel Daha itu
segera menusuk perut Wirota.
"Wirota ....... !" saat itu Pamandana sedang menghindar dari
tusukan pedang seorang prajurit Daha; Ketika mendengar suara
berdenting keras dan erang-kejut dari Wirota yang bertempur di
belakangnya. Cepat ia menyempatkan diri untuk berpaling. Tak
kuasa lagi Pamandana untuk menahan rasa kejutnya ketika
melihat pedang Wirota terlepas jatuh dan saat itu sedang terancam
tusukan tombak dari bekel lawannya. Pamandana menjerit dan
terus hendak menolong Wirota. Tetapi sebelum ia sempat
melaksanakan tindakannya, tiba-tiba telah terjadi satu perobahan
yang mengejutkan. Dengan menggeliatkan tubuh, Wirota berhasil menghindar dari
tombak maut. Lalu dengan gerak secepat kilat ia loncat menerjang
bekel itu. Sebuah pukulan keras yang tepat bersarang di dada,
telah membuat bekel itu menjerit dan rubuh. Masih Wirota
menyongsong dengan sebuah tendangan sehingga tubuh itu
terlempar sampai beberapa langkah dan tidak bangun lagi untuk
selama lamanya. Gemparlah pasukan Daha ketika melihat bekel pimpinan tewas.
Dan lebih hiruk pula ketika dari belakang barisan, sekelompok
barisan Singasari yang dipimpin Wiragati menyerang dahsyat. Jerit
lolong yang ngeri, darah dan tubuh yang susul menyusul
menggedebuk di tanah, menyebabkan pasukan Daha yang
ditugaskan untuk mengepung asrama itu, kocar kacir dan lari
tunggang langgang. "Hayo, kita serbu keraton!" seru Pamandana yang rupanya sudah
diamuk kemarahan. Sisa-sisa anak buah kecil itu, segera menuju ke keraton.
Sementara raden Wijaya dan anakbuahnya tidak mengalami
kesulitan apa-apa ketika berhasil memanjat tembok pura dan turun
ke bawah. "Kita cari suatu tempat yang gelap," kata raden Wijaya "untuk
menunggu gerakan dari pasukan Pamandana dan serbuan
pasukan Medang Dangdi yang akan menggempur gapura."
Raden Wijaya tidak memerlukan anakbuah yang besar. Dia
cukup membawa duapuluh orang. Mereka segera mencapai
tempat berlindung di balik pohon-pohon yang tumbuh di sepanjang
jalan yang menuju ke alun-alun.
"Sora" kata Wijaya "mengapa keadaan dalam pura tampak sepi
?" "Mungkin prajurit-prajurit Daha itu masih letih karena pertempuran," kata Sora.
"Hm," dengus Wijaya tetapi tidak seharusnya mereka
mengabaikan penjagaan dalam kota."
"Ada dua kemungkinan, raden," jawab Sora, "pertama mungkin
mereka belum mengetahui bahwa pasukan kita sudah tiba di
Singasari, Kemungkinan kedua, mereka terlalu percaya akan
kekuatan pasukam penjagaan di gapura itu."
"Tidakkah terdapat kemungkinan yang ketiga?" tanya Wijaya,
Sora terkesiap "Kemungkinan yang bagaimana raden maksudkan?" "Bahwa mereka sedang mengatur perangkap untuk kita."
"Ah." Sora mendesah agak kejut. Ia merenung beberapa jenak
lalu berkata pula "memang kemungkinan itu dapat terjadi."
"Hm, jika demikian kita terjerat dalam perangkap mereka," desuh
Wijaya. Memang setelah mendengar peringatan dari Wijaya, diam-diam
Sora harus mengakui bahwa kemungkinan itu memang bukan
sesuatu yang mustahil terjadi. Apa pula setelah teringat betapa
mudah tadi ia bersama anakbuahnya memanjat dan menuruni
tembok pura. "Ah, tak perlu kita gelisah, raden," katanya walaupun dalam hati
ia sendiri merasa agak gelisah, "baiklah kita nantikan bagaimana
perkembangan pasukan kita di sebelah timur dan yang menyerang
gapura selatan. Dan yang penting kita harus selalu waspada dan
siap." Malam makin kelam. "Sora, mengapa sampai sekian lama belum juga tampak tandatanda dari mereka ?" kata Wijaya yang mulai tidak sabar
menunggu. Masih Sora berusaha untuk menenangkan hati raden itu dengan
mengatakan bahwa mungkin kawan-kawan di sebelah timur dan
selatan itu menantikan saat yang tepat."
Wijaya hanya mendesuh. Beberapa saat kemudian ia
mendongak memandang ke cakrawala. Rembulan belum muncul.
Di langit hanya ditaburi bintang kemintang yang memancarkan
cahaya berkelip-kelip bagai intan bahaduri berhamburan di atas
permadani biru. Memandang keindahan malam beribu bintang itu, melayanglah
pikiran Wijaya dihanyut kenangan lampau. Betapa pada malammalam yang indah, ia sering bercengkerama di taman bunga
dalam keraton bersama puteri-puteri baginda Kertanagara yang
telah ditunangkan kepadanya. Ataupun ia sering mengajak Sora
dan Nambi berjalan-jalan berkeliling pura. Dan di kala seperti itu
banyaklah ia bersua dengan pemandangan yang menyedapkan.
Gadis-gadis mengintip dari balik jendela ataupun ke luar
berkerumun dengan kawan-kawannya. Mereka berkasak-kusuk
memuji kecakapan raden itu. Merekapun mengiri akan kebahagiaan puteri yang akan dipersunting raden keturunan Batara
Narasinga itu. Membayangkah peristiwa-peristiwa itu, tiba-tiba terlintas pada
benak Wijaya akan wajah ... ...puteri Candra Dewi atau Dara Petak
dan puteri Kembang Dadar atau Dara Jingga.
"Ah," serentak tersiraplah darah Wijaya "bagaimanakah gerangan
nasib puteri Candra Dewi dan adindanya ?"
Merenungkan nasib puteri Candra Dewi, mutiara jelita dari
kerajaan Dharmasraya yang hendak diboyong ke Singasari,
termangu-mangulah Wijaya dalam pesona asmara ....
"Raden," tiba-tiba ia terkejut mendengar Sora berkata di
belakangnya. Cepat ia berpaling dan menegur "Ya, mengapa" "
"Kudengar dari arah timur seperti berhamburan jerit teriakan
orang, raden," kata Sora "adakah raden tak mendengar sesuatu ?"
Wijaya tersipu-sipu malu. Ia sedang melamunkan puteri jelita
Candra Dewi, bagaimana mungkin ia mendengar lain-lain suara !
"Benarkah?" katanya seraya memasang telinga. "ya, benar
engkau Sora, memang sayup-sayup kudengar sorak-sorak dari
arah timur. Adakah Pamandana sudah bergerak?"
"Hamba mohon diidinkan untuk menyelidikinya.?"
Wijaya tak lekas menyahut melainkan merenung. "Tetapi cobalah
engkau dengarkan lebih seksama lagi, Sora. Suara itu seperti
berasal dari arah timur tetapipun seperti dari utara."
Sora mempertajam pendengarannya. Sesaat kemudian ia
mengangguk-angguk kepala "Ya, benar raden."
"Baiklah, Sora," kata Wijaya "engkau boleh menghampiri ke arah
timur dan aku hendak menyelidiki ke utara. Tetapi tak perlu jauhjauh dan selekasnya engkau harus kembali ke sini lagi."
Dengan langkah hati-hati, Wijaya segera melangkah ke utara,
berpindah-pindah menyelinap diantara satu ke lain pohon.
Ketika hampir mendekati alun alun, tiba-tiba terkejut karena
melihat sesosok bayangan hitam berjalan cepat melintas alun-alun.
"Mencurigakan," desuh Wijaya dalam hati "apakah bayangan
hitam itu" Mengapa seperti ke luar dari keraton ?" ia memandang
pula dengan tajam, katanya dalam hati pula "dia berselubung kain
hitam sehingga tak tampak wajahnya. Tubuhnya langsing macam
wanita. Tetapi ah, tak mungkin seorang wanita ke luar dari keraton
yang tentunya dijaga ketat oleh prajurit Daha."
"Ah, mungkin seorang prajurit atau pengalasan Daha yang habis
menyampaikan berita ke dalam keraton," katanya sesaat kemudian.
Tiba-tiba ia teringat akan pembicaraannya dengswa Sora tadi.
Bahwa fihak Daha telah memasang termasuk salah sebuah
kemungkinan di antara beberapa kemungkinan. Dalam kemungkinan itu, bukan mustahil apabila sosok hitam yang ke luar
dari arah keraton itu seorang mata-mata musuh yang habis
memberi laporan. "Apabila ia benar seorang mata-mata, tentu dia membawa
laporan-laporan yang penting," diam-diam Wijaya menimang dan
memutuska untuk menangkap orang itu.
Diperhatikannya bahwa orang itu berjalan dengan gppoh tetapi
langkahnya agak terhuyung. Sebentar-sebentar berpaling ke
belakang seperti seorang yang takut dikejar.
"Hm, dia hendak menuju ke selatan." Wijaya memperhatikan
arah langkah orang itu. Cepat tetapi hati-hati agar jangan
menimbulkan suara, Wijaya bersembunyi di balik sebatang pohon
di tepi jalan yang mengarah ke selatan.
Malam gelap sehingga walaupun orang itu sudah tiba pada jarak
duapuluhan langkah dari tempat persembunyiannya Wijaya tetap
belum dapat melihat jelas wajahnya. Dan memang sukar untuk
mengenali wajah itu karena terselubung kain hitam. Hanya bagian
mata saja yang tampak. "Ah, peduli dengan wajahnya, yang penting aku harus dapat
membekuknya," diam-diam Wijaya sudah membulatkan keputusannya. Pada saat orang itu lalu di muka tempat persembunyiannya,
dengan gerak harimau menerkam, Wijaya loncat seraya
mengancamkan pedangnya ke muka orang itu "Berhenti!"
Orang itu melengking kejut, terhuyung mundur dam rutuh.
Rupanya dia menderita rasa kejut yang besar atau entah karena
apa. Tetapi yang jelas, nada jeritan orang itu kecil seperti seorang
wanita. Wijaya loncat menghampiri, menjuntaikan ujung pedang ke dada
orang itu "Bangun ..,.!" hardiknya. Tetapi orang itu tak bergerak dan
tetap rebah di tanah. Karena heran Wijaya membungkukan tubuh. Dengan ujung
pedang masih melekat pada dada orang, ia gunakan tangan kiri
untuk membuka selubung muka orang itu.
"Hai ".. " seketika menjeritlah Wijaya ketika melihat orang itu
"adinda Tribuwana ...!"
Ternyata orang itu memang puteri Tribuwana yang telah
ditunangkan oleh baginda Kertanagara kepada raden Wijaya. Saat
itu dia pingsan. Wajahnya pusat lesi.
Wijaya cepat mengangkat tubuh puteri ke pangkuannya dan
sibuklah ia menolong menyadarkan sang puteri. Tak lama
kemudian puteri itu dapat menarik napas dan membuka mata,
"O, engkau kakang ...." puteri Tribuwana terbeliak kaget ketika
pandang matanya tertumbuk pada wajah raden Wijaya,
Wijaya merekah senyum "Benar, adinda, Adakah adinda
menderita luka" "
Puteri Tribuwana gelengkan kepala "Tidak, kakang, hanya
penderita kejut saja."
"O, maaf adinda," serta-merta Wijaya menghaturkan maaf
"karena tak tahu kalau adinda maka aku telah mengejutkan
adinda." Tiba-tiba terdengar derap langkah orang berlari dalam keraton.
Degup suara yang menggemuruh, menandakan bahwa yang
berlari itu tentu beberapa belas orang.
"Tentu belum berapa jauh, hayo kejar ! Jangan sampai lolos!",
kesunyian malam terpecah oleh suara seseorang yang tengah
memberi perintah. Nadanya cemas. dan gugup.
"Kakang, mereka tentu prajurit prajurit Daha yang hendak
mengejar aku," puteri Tribuwana tampak gelisah.
Wijaya terbeliak. Namun cepat ia menghibur puteri "Jangan
takut, adinda. Selama Wijaya masih hidup, tak mungkin mereka
dapat mengganggu adinda."
"Raden, baiklah kita menyelamatkan gusti puteri lebih dahulu."
Tiba-tiba terdengar seseorang berkata. Wijaya dan puteri
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tribuwana berpaling "Ah, Sora, engkau," seru Wijaya.
Pendatang itu memang Sora. Karena mendengar suara hingar
dari arah istana, Sora cepat-cepat kembali ke bawah pohon. Ia
terkejut katena raden Wijaya belum datang maka iapun segera
mencarinya. Ia makin menggegaskan langkah manakala melihat
raden Wijaya tengah berjongkok di tanah menghadapi sesosok
tubuh yang rebah. Ia mengira raden Wijaya tengah bergulat
dengan seorang musuh. Sora tiba tepat pada saat Wijaya menyatakan tekadnya untuk
melindungi jiwa puteri Tribuana. Ia girang sekali melihat puteri telah
bertemu dengan Wijaya, "Raden, harap bawa gusti puteri lolos dari pura Hambalah yang
akan menghadapi orang orang Daha itu," sahut Sora.
"Sora , . , . !" Wijaya berseru kejut ketika melihat Sora telah lari
menyongsong prajurit Daha. Sora tetap lanjutkah langkahnya.
"Kakang bantulah Sora, berbahaya apabila dia hanya seorang diri
menghadapi puluhan musuh," puteri Tribuana berseru.
"Tetapi ....." "Jangan kuatir, kakang. Aku dapat membawa diri."
"Empat penjuru pintu gapura telah dijaga prajurit-prajurit Daha.
Bagaimana mungkin adinda dapat lolos. Tidak, adinda, aku akan
melindungi di dampingmu."
Pada saat itu dari arah sebelah timur, terdengar derap orang
berlari dan beberapa sosok tubuh berbondong-bondong mendatangi ke tempat Wijaya. Wijaya makin cemas. Bukan karena
ia takut mati tetapi ia menguatirkan keselamatan puteri Tribuwana.
Baru saja berjumpa, apakah harus bercerai lagi.
Tetapi kecemasan itu cepat berganti rasa gembira manakala ia
tahu siapa orang-orang yang tengah berlari mendatangi itu.
"Pamandana !" serunya girang.
"Raden .... " balas orang orang yang berlari paling depan.
Ternyata rombongan pendatang itu adalah Pamandana, Wirota
dan Wiragati serta anakbuahnya.
"Pamandana, lindungilah puteri Tribuwana ini. Usahakan
membawa puteri lolos dari pura."
"Baik raden," sahut Pamandana tetapi serempak iapun bertanya
"lalu bagaimana dengan raden sendiri?"
"Aku hendak menyusul Sora."
"Berbahaya, raden," seru Pamandana, kemudian berpaling ke
arah Wirota "Wirota, bawalah anak pasukan kita mengiring raden
Wijaya. Dan Wiragati, ikutlah aku menyelamatkan gusti puteri."
Keadaan sangat mendesak. Tak sempat untuk berbincang lebih
lama. Raden Wijaya bersama Wirota dan anakbuahnya segera
bergerak menuju ke alun-alun. Mereka terkejut ketika melihat Sora
sedang dikepung oleh belasan prajurit Daha Sora dengan
bersenjata tombak berkelahi laksana banteng mengamuk.
Tetapi barisan prajurit Daha makin lama makin meluap
banyaknya. Dan ketika Wijaya bersama Wirota tiba, dilihatnya Sora
sudah amat sibuk sekali. Walaupun ia berhasil menewaskan
beberapa prajurit, tetapi lengan kirinya tertusuk. Darah campur
keringat, membasahi bajunya.
"Sora, mundurlah !" teriak raden Wijaya seraya mengayunkan
pedang, menerjang prajurit-prajurit yang mengepung Sora.
Wirotapun terjun ke dalam gelanggang. Sesaat pecahlah
pertempuran seru. Sora seperti mendapat semangat baru.
Tombaknya menyambar-nyambar laksana kilat. Dering senjata
beradu selalu diiring dengan pekik kejut dari mulut musuh. Dan
jerit kesakitan selalu disusul dengan sosok tubuh yang
menggedebuk rubuh ke tanah.
Walaupun anakpasukannya kalah jumlah, tetapi Wijaya, Sora
dan Wirota, merupakan senopati senopati yang pilih tanding dari
Singasari. Prajurit prajurit Daha porak poranda menghadapi ketiga
jago itu. Hampir Wijaya dapat membabat habis seluruh anak
pasukan musuh apabila saat itu dari keraton tak muncul beratusratus prajurit Daha lagi.
Pasukan Daha itu dipimpin oleh Mahesa Antaka dan Pangeles,
dua orang senopati yang menjadi tangan kanan patih Kebo
Mundarang, pimpinan pasukan Daha yang saat itu telah
menduduki keraton Singasari. Terkejut ketika Mahesa Antaka dan
Pangeles melihat tiga orang muda mengamuk prajurit-prajurit
Dana. Cepat kedua senopati Daha itu dapat melihat bahwa ketiga
orang itu tentu bukan ksatrya sembarang ksatria. Terutama mereka
agak terpesona melihat wajah yang berseri terang dari raden
Wijaya. "Hai, berhenti!" Mahesa Antaka berseru nyaring "siapa engkau!"
"Wijaya !" "Wijaya" " Mahesa Antaka terkesiap pula "apakah bukan raden
Wijaya calon menantu raja Kertanagara itu?"
"Aneh," sahut Wijaya "di Singasari jangankan mentri dan
senopati, bahkan kawula biasapun tahu siapa Wijaya itu, Tetapi di
Daha, sampai seorang senopati yang berkedudukan seperti
engkau, tak tahu siapa diriku."
"Rakyat Daha tabu untuk mengenal orang orang Singasari, baik
dia seorang mentri atau senopati. Yang dikenal hanyalah raja
Kertanagara !" "Mengapa?" "Karena seluruh kawula Daha benci akan raja Kertanagara.
Setiap orangtua diwajibkan memberi wejangan kepada anak-anak
dan cucu-cucunya bahwa Daha telah dirampas oleh raja Singasari.
Harus ditebus kembali."
Wijaya terkesiap. "Suatu ajaran yang luhur dan utama," serunya sesaat kemudian
"walaupun yang menitahkan itu, akuwu Jayakatwang, seorang
banci." Kali ini Mahesa Antaka yang terbeliak "Banci" " serunya.
"Ya," Wijaya "jika tidak banci, tidak selayaknya dia bersikap
demikian." "Aku tak mengerti ucapanmu, jelaskan!"
"Dia memerintahkan agar kawula Daha menanamkan pengertian
kepada anakcucunya bahwa baginda Kertanagara itu telah
merampas Daha maka harus dianggap sebagai musuh besar.
Tetapi kenyataannya, ia sendiri memberikan puteranya si Ardaraja
diambil menantu baginda Kertanagara. Salahkah kalau kukatakan
bahwa ia seorang akuwu banci?"
"Tutup mulutmu, keparat!" Mahesa Antaka marah sekali
sehingga ia terus mencabut pedang dan menyerang Wijaya.
Melihat itu senopati Pangeletpun segera menerjang Wirota,
sementara prajurit prajurit Daha menyerbu Sora. Seketika pecahlah
pertempuran seru. Mahesa Antaka terkejut ketika menyaksikan ilmu permainan
pedang Wijaya. Disertai dengan gerak langkah kaki yang
menerjang berputar-putar tangkas sekali, pedangyapun menderuderu menyambar lawan. "Mahesa Antaka sibuk sekali. Ia tak mempunyai kesempatan lagi
untuk balas menyerang. Bahkan untuk melindungi diri, terpaksa ia
baerloncatan menghindar kian ke mari. Tetapi Wijaya tidak,
memberi peluang lagi.. Didesaknya -senopati Daha dengan
serangan bertubi-tubi yang menyesakkan napas. Mahesa Antaka
harus mandi beringat di malam yang dingin.
"Wirota, awas!" tiba-tiba Sora berseru ketika melihat seorang
prajurit Daha menusukkan tombak dari belakang Wirota.
Saat itu Wirota sedang menyabung nyawa dengan Pangelet.
Keduanya sama-sama menggunakan pedang. Wirota terkejut
mendengar teriakan Sora, Ia hendak berpaling tetapi terlambat.
Cret , ..... ujung tombak prajurit Daha itu tepat mengenai
pinggang Wirata. Saat itu Pangelet sedang-mengangkat pedang
ke atas, siap hendak ditabaskan kepada lawan. Tusukan tombak
prajurit Daha pada punggung pinggang Wirota, menyebabkan
pemuda Singasari itu terdorong ke muka dengan deras sekali.
Wirota merasa sakit. Ketika tubuhnya terlempar ke muka, ia tak
sempat berbuat apa-apa kecuali pejamkn mata, menunggu ajal.
Duk ?"". Tiba-tiba Pangelet menjerit keras dan tubuhnya terlempar jatuh
terjerembab ke belakang. Wirota bahkan dapat berdiri tegak dan
terlongong-longong. Untung ia segera dapat menyadari apa yang
telah terjadi. Ternyata ia masihh hidup. Ujung tombak prajurit Daha
tadi mengenai belikatnya yang terbuat dari kulit yang keras sekali.
Dan prajurit Daha itu tak sempat menumpahkan meluruh
tenaganya karena segera bahunya tertusuk tombak Sora.
Namun tusukan tombak prajurit itu cukup keras sehingga
mendorong tubuh Wirota ke muka dan tepat kepalanya
menghantam dada Pangelet. Pangelet terlempar ke belakang.
Walaupun beberapa prajurit dapat menyambuti tubuhnya tetapi
senopati Daha itu sudah tak ingat diri lagi.
Hiruk pikuk yang timbul di kalangan prajurit yang tertimpa tubuh
Pangelet menyebabkan Mahesa Antaka terpecah perhatian. Ia tak
kuasa menahan keinginannya untuk mengetahui apa yang terjadi.
Dalam suatu kesempatan, ia meluangkan diri untuk berpaling dan
memandang ke arah prajurit-prajurit Daha yang hingar bingar itu.
Tetapi tindakan itu harus dibayar mahal. Suatu gerak yang luar
biasa cepatnya dari Wijaya, berhasil menabas pedang lawan
sehingga terlepas. Disusul dengan sebuah pukulan tangan kiri
yang tepat mengenal leher, Wijaya.dapat membuat senopati itu
menjerit dan rubuh. Wijaya hendak menyelesaikannya dengan sebuah tabasan tetapi
ia terpaksa batalkan maksudnya karena diserbu oleh belasan
prajurit musuh. Wijaya geram sekali. Ia melihat beberapa prajurit Daha telah
mengangkut Mahesa Antaka dan Pangelet menuju ke keraton. Ah,
mereka tentu akam melapor dan bala bantuan musuh tentu segera
datang, pikirnya. "Sora, Wirota dan saudara-saudara sekalian, mari kita habiskan
musuh," seru Wijaya.
Maka mengamuklah ketiga ksatrya Singasari itu. Prajurit-prajurit
anakbuah mereka, pun tambah bersemangat. Mereka menyerang
dan membunuh setiap lawan yang menghadang di hadapannya.
Mereka tidak menghiraukan luka bahkan kawan-kawan yang jatuh
berguguran karena kalah besar jumlahnya dengan prajurit-prajurit
Daha. Wijaya telah mengwajukkan suatu perbuatan yang satu dengan
ucapannya. Ia memerintahkan anakbuahnya berjuang mati-matian
dan ia sendiripun juga bertempur dengan semangat yang menyalanyala. Adalah karena melihat kewibawaan dan keperkasaan
pemimpinnya itu maka prajurit prajurit Singasari bertempur tanpa
menghiraukan suatu apa lagi.
Darah menggenangi alun-alun memerah bumi Singasari. Sosoksosok tubuh dari prajurit Daha maupun Singasari, bergelimpangan
menelungkupi tanah merah.
Karena sudah kehilangan senopati walaupun lebih besar
jumlahnya, tetapi pasukan Daha seperti anak ayam yang
kehilangan induknya. Semangat tempur mereka menurun dan
nyalipun pecah. Akibatnya mereka pontang panting kebingungan
seraya berusaha untuk melarikan diri.
Pada saat Wijaya hampir dapat memenangkan pertempuran itu,
sekonyong-konyong dan arah istana dengar sorak sorai
menggemuruh. Sebuah pasukan yang berjumlah lipat jauh
besarnya dari yang tadi serempak berhamburan menuju ke alunalun. Sora terkejut. Dilihatnya Wijaya, Wirota dan sisa anakbuah
Singasari yang tak berapa jumlahnya itu masih nekad mengamuk.
Memandang ke arah pasukan musuh yang sedang mendatangi itu,
Sora cemas. Akhirnya prajurit-prajurit Daha parah perlawanannya. Mereka
melarikan diri untuk bergabung dengan pasukan yang datang itu.
"Sora, Wirota, mari kita songsong mereka!" Wijaya, serentak
hendak ayunkan langkah maju ke muka. Sora bergegas
mencegah. "Raden." "Hah, Wijaya berpaling memandang Sora, "mengapa engkau ?"
"Raden, lebih baik kita mundur .... "
"Sora !" tukas Wijaya "engkau mengatakan begitu ?"
"Raden," tenang-tenang Sora menjawab pandang mata
kemarahan dari pimpinannya "marilah kita melihati kenyataan yang
kita hadapi. Pasukan Daha yang datang itu teramat besar
jumlahnya. Sedangkan kita, hanya tinggal beberapa orang saja.
Bukankah hanya seperti anai anai menyerbu api" apabila kita nekad
hendak menempur mereka?"
"Darah sudah terlanjur mengucur, saudara-saudara kitapun
sudah banyak yang gugur adakah masih sayang jiwamu, Sora?"
Sora menghela napas. "Jika Sora sayang jiwanya, takkan hamba berada di medan darah
sini, raden," sahutnya tenang "tetapi justeru karena hamba
bertekad hendak merebut kembali bumi Singasari, maka hamba
memberanikan diri untuk mencegah tindakan raden."
"Raden, sudilah menjenguk sejenak ke arah saudara-saudara
kita. Betapa mereka telah bergelimpangan di tanah, betapa
berlumuran darah mereka yang masih hidup, betapa sudah letih
sisanya yang berada dengan kita," kata Sora pula seraya menunjuk
pada mayat-mayat prajurit Singasari dan sisa-sisa prajurit yang
berada di sekelilingnya. Wijaya tertegun. "Raden, lebih baik kita undurkan diri dahulu. Kita harus
memikirkan kepentingan Mahesa Pawagal yang menyerbu pintu
gapura. Betapa nasib mereka. Dan yang penting raden, kita harus
menyelamatkan gusti puteri Tribuwana Mari kita mundur ke luar
pura untuk menyusun kekuatan lagi. Takkan lari gunung dikejar,
raden." "Ah, Sora .... "
"Kemenangan bukan harus ditentukan sehari dua. Selama bumi
Singasari masih diduduki orang Daha, selama pemuda dan ksatrya
Singasari masih memiliki rasa cinta kepada pertiwi, selama itu pula
orang Daha takkan dapat tidur nyenyak, kecuali mereka enyah dari
Singasari!" Saat itu sorak sorai pasukan Daha makin mendekat. Sora cepat
memimpin tangan Wijaya yang masih berdiri tertegun. Bagai
seorang yang kehilangan semangat, maka Sora segera menuntun
ksatrya muda itu dan mundur ke pintu gapura.
Tiba di gapura, mereka terkejut mendengar suara orang
bertempur. Pekik sorak, hardik makian dan deting gemerincing
senjata beradu, seolah meledakkan kesunyian malam.
Wijaya terbeliak. Serentak semangatnya bangkit kembali.
"Sora, Wirota, mari kita hancurkan mereka! Dengan diiring
beberapa prajurit, ketiga ksatrya gagah itu segera lari menyerbu.
Memang saat itu di luar pintu gapura sedang berlangsung
pertempuran besar. Kelompok barisan pertama yang dipimpin
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gajah Pagon, Medang Dangdi dan Mahesa Pawagal, menyerang
pertahanan gapura. Karena dirangsang kemarahan, Medang Dangdi hampir lupa
bahwa tugas kelompoknya hanyalah untuk memancing agar
musuh mengejarnya. Anakmuda itu mengamuk dan membasmi
setiap prajurit Daha sehingga mereka kocar-kacir. Pertahanan
gapura dapat dihancurkan.
"Dangdi, engkau gila !" seru Gajah Pagon demi melihat Medang
Dangdi hendak menyerbu masuk ke dalam pura "ingat, tugas kita
hanya memikat musuh ke luar dari pura."
Belum selesai Gajah Pagon berkata, tiba-tiba terdengar sorak
sorai yang gemuruh dari arah timur dan barat gapura luar. Dan
sesaat kemudian, berpuluh puluh obor menyala, menerangi
sekeliling anakbuah Gajah Pagon.
Dari barat dan timur, beratus-ratus prajurit Daha bersorak-sorak
menyerbu. "Celaka, musuh hendak menjepit kita," seru Gajah Pagon demi
menyadap apa yang di hadapinya "lekas mundur !"
Gajah Pagon gesit mencium jejak dan gesit pula memutuskan
perintah. Anakbuahnya pun dengan gesit berhamburan mundur.
Tetapi ternyata kedua sayap kanan dan kiri dari pasukan Daha
yang telah dipersiapkan di luar gapura itu, lebih gesit lagi.
Memang pihak pimpinan pasukan Daha telah mencium bau akan
gerakan raden Wijaya. Maka diaturlah sebuah siasat untuk
membiarkan mereka masuk gapura, kemudian akan "digunting' dari
kanan dan kiri. Kini Gajah Pagon dan anakbuah kelompok barisannya telah
dikepung dan diserang dari dua arah oleh pasukan musuh yang
jauh lebih besar jumlahnya. Gajah Pagon, Medang Dangdi dan
Mahesa Pawagal harus berjuang mati-matian untuk menyelamatkan anakbuahnya. Terutama Medang Dangdi. Ia
merasa telah melakukan kesalahan sehingga mengakibatkan
berpuluh puluh anak-buahnya menderita luka dan binasa. Ia
mengamuk. Ia tak menghiraukan bahwa bahu dan kakinya telah
berlumuran darah akibat tusukan senjata musuh. Ia akan menebus
dosa membalas dendam kematian anakbuahnya. Tetapi betapa
gagah beranipun ketiga senopati Singasari itu, namun jumlah
musuh jauh lebih besar dan lebih lengkap persenjataannya.
Kecuali Gajah Pagon, Medang Dangdi dan Mahesa Pawagal,
hanya beberapa anakbuahnya yang masih hidup. Sebagian besar
telah dibabat musuh. "Hai,, menyerahlah orang Singasari, nanti kami beri ampun. Jika
kalian membangkang, tentu akan kami hancurkan semua!" teriak
seorang prajurit pasukan Daha.
"Dengarkan pemberontak Daha, Kami hanya akan menyerah
apabila sudah menjadi bangkai!" teriak Medang Dangdi.
Tekanan pasukan Daha makin rapat dan berat, Tiada lain jalan
bagi ketiga pejuang Singasari itu kecuali mati atau menyerah.
"Medang Dangdi, Pawagal" seru Gajah Pagon "nista bagi ksatrya
Singasari kalau sampai tertawan orang Daha. Mari kita menyusul
arwah anakbuah kita yang telah gugur mendahului kita."
"Baik, kakang Pagon," serempak Medang, Dangdi dan Mahesa
Pawagal mengiakan seraya terus bersiap-siap melakukan bunuh
diri. Tetapi di kala ketiga ksatrya itu hendak melaksanakan
keputusannya, sekonyong konyong barisan belakang pasukan
Daha berteriak-teriak hiruk pikuk "Orang Singasari mengamuk ....!"
Kekacauan itu mengejutkan pimpinan pasukan Daha. Cepat ia
memberi perintah agar separo dari pasukan, yalah sayap kanan,
menggempur musuh yang datang itu. Sedang sayap kiri tetap
membasmi Gajah Pagon dan anakbuahnya.
Ternyata yang datang itu adalah kelompok barisan kedua yang
dipimpin Nambi, Banyak Kapuk dan Kebo Kapetengan Karena
menunggu sampai lama belum juga tampak kelompok barisan
pertama pimpinan Gajah Pagon muncul, Nambi segera mengirim
seorang prajurit untuk menyelidiki.
Prajurit itu bergegas pulang dengan membawa laporan bahwa
kelompok barisan pertama telah dikepung oleh dua buah pasukan
Daha. Nambi segera mengerahkan seluruh anakbuahnya untuk
memberi pertolongan. Serangan kelompok Nambi memang
mengurangkan tekanan musuh terhadap Gajah Pagon bertiga.
Pada saat pertempuran berlangsung seru itulah, raden Wijaya
dan anakbuahnya tiba di gapura. Melihat Gajah Pagon hanya
tinggal bertiga dengan Medang Dangdi dan Mahesa Pawagal,
meluaplah kemarahan Wijaya.
Kedatangan Wijaya, Sora dan Wirota, merupakan prahara yang
meniup dan menyapu sayap kiri barisan Daha yang tengah
mengepung Gajah Pagon; Walaupun hanya membawa beberapa
anakbuah, tetapi Wijaya, Sora dan Wirota merupakan ksatryaksatrya sakti yang tak dapat dilawan oleh berpuluh prajurit musuh.
Dalam beberapa waktu saja, keenam macan Singasari itu telah
menghabiskan berpuluh-puluh prajurit Daha. Girislah nyali prajurit
prajurit Daha melihat amukan keenam ksatrya itu. Mereka
berhamburan mundur. Demikian pula yang terjadi setelah keenam orang itu menyerbu
sayap kanan pasukan Daha yang menyerang Nambi, Hampir
separo dari anakpasukan musuh yang mati. Darah menggenang
merah, mayat bertumpuk menganak bukit. Dan patahlah nyali
pasukan Daha melihat korban yang menyayat hati mereka. Selama
berperang ke Singasari, baru pertama kali itu pula, mereka harus
lari meninggalkan gelanggang walaupun jumlah mereka masih jauh
lebih banyak dan senjatapun masih lengkap.
Berkat tekad yang bulat dan keberanian yang menyala, walaupun
menderita kehilangan banyak anakbuah, tetapi raden Wijaya
memperoleh kemenangan atas kedua sayap barisan Daha yang
berjumlah besar. Tetapi tiba-tiba dari arah pura, sebuah pasukan besar muncul
pula. Bahkan kali ini merupakan pasukan inti dan dipimpin sendiri
oleh patih Kebo Mundarang.
Karena mendapat laporan bahwa kedua sayap barisan yang
telah dipersiapkan untuk menghancurkan sisa-sisa pemberontak
Singasari ternyata menderita kekalahan, patih Mundarang segera
mengerahkan segenap anakpasukan tempur.
Hampir setengah malam bertempur, letih mulai mencengkam
tubuh dan nyeri sakit pada luka-luka pun mulai menusuk tulang
tulang. Keadaan raden Wijaya dan kadehan atau orang
kepercayaannya itu, sudah hampir tak dapat menuruti keinginan
semangat tempurnya lagi. Mereka pantang mundur. Mereka masih ingin bertempur lagi.
Mereka masih merasa belum puas dengan hasil kemenangan yang
diperolehnya selama prajurit Daha masih menduduki Singasari.
Namun tenaga mereka sudah lelah. Mereka tak gentar
menghadapi pasukan Daha yang baru muncul itu. Bahkan matipun
mereka sudah merelakan. Mereka iklas mati pabila sudah dapat
memporak-porandakan pasukan musuh. Tetapi dalam keadaan
selelah itu, dapatkah mereka memperoleh imbalan jiwa musuh atau
kematian mereka" Di tengah medan laga yang penuh dengan bunuh membunuh,
dimana tangan menanamkan senjata ke tubuh musuh, dimana
mata menyaksikan darah merah menyembur dari tubuh-tubuh
manusia dan dimana telinga pekak dengan jerit lolong ngeri dari
sosok-sosok tubuh yang rubuh menggelegar ke tanah. Rasa
kemanusiaanpun kabur, rasa kasihan membeku. Yang dirasakan
mencengkam pikiran, hanya rasa harus membunuh atau akan
dibunuh. Demikian perasaan raden Wijaya dan para kadehannya yang
setya. Walaupun tahu bahwa pasukan Daha yang muncul dari pura
itu lebih besar dan kuat, namun mereka tetap tegak menggagah,
siap menempur. Tiba-tiba dari arah barat dan timur terdengar pula sorak sorai
yang menggemuruh. Sayap kanan dan kiri dari barisan Daha yang
telah lari tadi, kembali menyerang lagi setelah mengetahui bahwa
induk pasukan yang dipimpin patih Kebo Mundarang telah
menyerang musuh. "Raden, mari kita undurkan diri," tiba-tiba seseorang berkata dari
arah samping. Ketika Wijaya berpaling ternyata Sora yang berkata itu "Sudah
dua kali engkau membujuk aku menjadi pengecut, Sora."
Sora geleng-geleng kepala.
"Setitikpun hamba tak bermaksud demikian, raden," sahutnya
"tetapi hamba menggunakan pikiran yang dingin untuk menilai
keadaan musuh dan kekuatan fihak kita. Dapatkah kita yang
berjumlah belasan orang ini menghadapi gelombang serangan dari
pasukan Daha yang sedemikian besarnya ?"
"Ya, hamba tahu bahwa raden bersedia mati. Demikian pula
hamba," cepat-cepat Sora mendahului Wijaya yang hendak
membuka mulut "tetapi kita harus menyadari, bahwa perjuangan
Singasari pada saat ini, hanya mengandalkan tenaga raden. Tugas
untuk membangun kerajaan Singasari, terletak pada bahu raden.
Adakah pengorbanan raden pada saat ini akan dapat menolong
Singasari dari kehancuran " Tidakkah pengorbanan raden itu
berarti mengecewakan harapan baginda Kertanagara dan seluruh
kawula Singasari " Tidakkah raden merasa berdosa apabila hal itu
sampai terjadi ?" Wijaya tertegun diam. Kata-kata Sora telah menikam hatinya dan
menyadarkan kegelapan pikirannya. Ia segera hendak memerintahkan anakbuahnya mundur. Tetapi terlambat. Pasukan
Daha yang dipimpin patih Kebo Mundarang telah menyerang bagai
air bah menumpah. "Kawan kawan, mari kita loloskan diri," seru Sora seraya loncat
memelopori membuka sebuah jalan berdarah pada prajurit-prajurit
Daha yang menghadang penjalanan.
Wijaya, Gajah Pagon, Medang Dangdi, Mahesa Pawagal;
Banyak Kapuk, Kapetengan, Wirota dam beberapa belas prajurit
anakbuahnya, segera mengamuk untuk meloloskan diri.
Tiada prajurit Daha yang mampu menahan amukan perwira
perwira muda dari Singasari itu. Setelah terlepas dari kepungan,
Wijaya dan pengikutnya segera lari ke selatan.
Karena macan-macan yang hendak dijaring dalam perangkap itu
berhasil meloloskan diri lagi, bahkan sempat pula mengoyak tubuh
berpuluh prajurit Daha pula, maka murkalah patih Kebo
Mundarang. "Kejar pemberontak itu !" perintah Kebo Mundarang "tangkaplah
mereka mati atau hidup !"
Bahkan untuk menumpahkan kemarahannya karena beberapa
kali pasukannya menderita kehilangan prajurit, patih Daha itu
memimpin sendiri pengejaran itu.
Patih itu naik seekor kuda tegar dan mengajak pasukan berkuda
berjumlah seratus orang untuk mengejar raden Wijaya.
Betapapun lari seseorang, apalagi habis bertempur setengah
malam dan menderita luka-luka, tentu tidak mungkin menang
cepat dengan kuda yang lari kencang. Tak berapa lama kemudian,
pasukan Daha itu tiba di sebuah hutan pegunungan. Dalam
kepekatan cuaca dinihari yang masih berselimut kabut malam,
samar-samar patih Mundarang melihat sosok-sosok tubuh manusia
menyusup ke dalam hutan. "Itulah mereka !" serunya seraya melarikan kudanya memburu ke
arah hutan. Memang patih Daha itu tajam sekali penglihatannya. Sosoksosok tubuh yang terseok-seok menyelinap ke dalam hutan adalah
raden Wijaya dan para pengikutnya. Mereka menyadari jika
melanjutkan perjalanan di jalan, tentu segera akan tertangkap.
Maka mereka pun memutuskan untuk masuk ke dalam hutan.
Serbuan seratus ekor kuda, benar-benar mengejutkan penghuni
hutan. Bahkan pohon dan daun-daun yang masih melentuk, ikut
hingar bingar. Tiba-tiba patih Mundarang melihat seorang anak-muda,
berpakaian bagus sedang melarikan diri hendak melintasi sebuah
tegal. Cepat patih Daha itu mencongklangkan kudanya.
"Wijaya!" seru patih itu dalam hati. Ia girang sekali karena dapat
menangkap dengan tangannya sendiri, macan Singasari yang
paling ditakuti prajurit-prajurit Daha.
"Hai, senopati Singasari, jangan engkau lari seperti seekor babi
hutan," teriak patih Kebo Mundarang seraya siapkan tombak,
menerjang ke arah Wijaya.
Wijaya saat itu benar-benar letih. Namun ia masih merasa
sanggup untuk menghadapi patih Daha itu. Apalagi mendengar
dirinya dihina sebagai seekor babi hutan. Hampir meledaklah
kemarahannya. Tetapi pada lain saat terngianglah kata-kata Sora tadi. Bahwa
harapan seluruh kawula Singasari terletak pada bahunya untuk
membangun kembali kerajaan dari cengkeraman Daha. Apabila ia
menuruti nafsu kemarahan dan bertempur dengan patih Daha itu,
tentulah anakbuah patih itu akan berhamburan mengepungnya.
Maka ia memutuskan untuk lolos saja.
Segera ia lari sehingga ia ke luar dari ujung hutan. Tetapi saat itu
ia berhadapan dengan sebuah tegal yang sedang dibajak tanahnya
dan masih digenangi air. Dan pada ujung tegal di sebelah muka,
merupakan sebuah gerumbul pohon. Adakah ia dapat melanjutkan
perjalanan apabila tiba di ujung tegal itu"
Tetapi ia tak dapat berpikir lebih lanjut karena saat kuda patih
Mundarang sudah muncul di belakangnya. Sekali memacu,
kudapun loncat ke tegal. Cret?"". Pada saat kaki kuda menginjak tegal, sebongkah tanah lumpur
muncat dan melayang tepat menghantam mukanya
"Uh".. " patih itu berteriak kaget dan cepat-cepat berusaha
untuk membersihkan mukanya. Tanah basah itu tepat menghantam gundu matanya sehingga untuk beberapa saat ia tak
dapat melihat apa-apa. Cukup lama juga waktu yang digunakan patih itu untuk
membersihkan lumpur yang masuk ke dalam kelopak matanya.
Setelah dapat melihat, ia segera memandang ke muka.
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hai, ke manakah gerangan si Wijaya tadi ?" serunya terkejut.
Memandang ke sekeliling penjuru, ia tak dapat melihat sesuatu
kecuali alam yang masih terbungkus kabut pagi.
Dengan meluapkan sumpah serapah kemarahan, terpaksa patih
Mundarang kembali pada pasukannya dan pulang ke pura lagi.
Memang suatu keajaiban telah terjadi. Pada saat Wijaya terkejut
karena melihat patih Mundarang meloncatkan kudanya dan
menjujukan tombak ke arahnya, Wijaya loncat menghindar ke
muka. Karena cuaca gelap, ia tak tahu bahwa yang dipijaknya itu
segunduk tanah dalam pematang tegal yang basah tergenang air.
Sebongkah tanah basah itu mencelat, melayang menimpa muka
patih Mundarang, masuk ke dalam mata sehingga patih itu tak
dapat melihat dan hentikan kudanya.
Berkat segumpal tanah tegal, maka terhindarlah Wijaya dari
kejaran tombak maut patih Kebo Mundarang. Setelah melintasi
ujung tegal, Wijaya menyeberang sebuah sungai kecil dan berhasil
bertemu pula dengan para kadehannya.
Mereka segera menuju ke pangkalan tempat mereka
berkubu. Ternyata Pamandana dan Wiragati pun sudah berada di situ. Mereka lebih dahulu tiba
dengan membawa puteri Tribuwana.
Amat beriba-iba suasana perterauan antara raden Wijaya dengan
para kadehan. Terutama dengan pu-teri Tribuwana. Wijaya seperti
disayat hatinya demi menyaksikan keadaan para kadehan.
Menderita luka-luka, compang-cam-ping pakaiannya, ber-lumuran
debu dan kotoran muka mereka. Diantaranya Gajah Pagon yang
menderita luka agak parah. Pahanya telah tertusuk tombak.
"Dinda Tribuwana," setelah memerikra keadaan para kadehan,
Wijaya pun masuk ke dalam kubu untuk menemui puteri
Tribuwana "bagaimana dengan dinda Gayatri" Dimanakah ia
sekarang?" Sesungguhnya pertanyaan itu sudah ia ajukan ketika bertemu
dengan puteri Tribuwana di alun alun tadi. Tetapi karena musuh
keburu menyerbu, terpaksa ia tunda sampai saat itu.
Bercucuran air mata putri itu ketika mendengar pertanyaan itu.
Dengan nada terisak, puteri menjawab "Telah kukatakan bahwa
aku dan dinda Gayatri telah ditempatkan secara terpisah, tentu ia
masih berada dalam keraton."
Wijaya tertegun. Pikiran resah- hati gundah gulana. Melihat
keadaan puteri Tribuwana saat itu hampir ia tak kuasa menahan
luap airmatanya. Puteri yang selalu hidup dalam kemewahan dan
kegelimangan kehidupan yang nikmat, dilayani berpuluh dayang
perwara. Saat itu sangat mengenaskan sekali keadaannya. Wajah
pucat, rambut kusut dan pakaian lusuh, tiada seorang dayang yang
mengiringkannya. "Benarkah ayahanda tuan puteri sudah .... "
Tiba-tiba puteri Tribuwana berbangkit, mengusap airmata dan
menukas dengan nada bersemangat "Benar, kakanda Wijaya,
rama baginda telah tewas dan keraton Singasari telah diduduki
orang Daha. Mengapa engkau berlinang -linang airmata, kakanda
" Kasihan melihat diriku" Ah, tidak, kakanda. Janganlah mengira
bahwa Tribuwana seorang puteri yang manja. Tidak kakanda,
sudah sejak hidup di keraton, aku biasa dengan laku keprihatinan.
Mengurangi makan, tidur, berpuasa dan setiap malam berdoa
kepada Hyang Batara Agung untuk keselamatan dan kejayaan
kerajaan Singasari."
Wijaya terkesiap dan mengangguk.
"Tetapi ternyata doaku tak terkabul. Hyang Batara Agung telah
menurunkan kemurkaan, menumpas kerajaan Singasari," kata
puteri Tribuwana pula. "Ah, Hyang Batara Agung itu maha murah maha pengasih,
dinda." "Benar kakanda," sahut puteri Tribuwana "Hyang Batara Agung
selalu mengabulkan permohonan setiap insan, apabila insan itu
mau berdaya." "Adinda Tribuwana ....... "
"Kakanda Wijaya," tukas puteri itu pula "saat ini bukanlah saat
untuk bcriba-iba. Lihatlah kakanda, keraton Singasari telah
membara api. Api kemarahan karena diinjak-injak kaki orang-orang
Daha. Tidakkah kakanda sanggup untuk menghalau mereka "
Marilah, kakanda, adinda akan menyertai kakanda untuk belapati
kepada rama baginda."
Wijaya terkejut ketika melihat puteri itu serentak hendak ke luar.
Ia mencegahnya tetapi puteri itu sudah mendahului melangkah ke
luar kubu, menghampiri para kadehan. Terpaksa Wijaya mengikuti.
Terkejut sekalian kadehan yang sedang beristirahat itu. Bergegas
mereka berbaugkit dan menghaturkan hormat kepada sang puteri.
"Paman sekalian," ujar puteri Tribuwana "kerajaan Singasari telah
dirampas orang Daha. Kita sudah kalah. Silakan paman sekalian
pulang ke rumah masing-masing."
Sudah tentu para kadehan itu terbeliak kaget.
"Apakah yang gusti puteri titahkan kepada hamba sekalian ?"
cepat Sora bertanya, "Pura Singasari sudah diduduki orang Daha. Kami sudah
kehilangan negara. Pulanglah paman sekalian ke rumah masingmasing agar jangan dikejaf musuh. Janganlah paman sekalian
mengiringkan aku seorang puteri pelarian. Aku tak sampai hati
membahayakan jiwa paman sekalian. Sudah banyak korban prajurit
dan rakyat Singasari yang jatuh."
"Tidak, gusti putri," sahut Lembu Sora "hamba sekalian dilahirkan
di bumi Singasari, dibesarkan dan dihidupkan oleh air dan bumi
Singasari. Hamba pun bersumpah akan mati demi Singasari dan
berkubur di bumi Singasari; Gusti puteri, bunuhlah hamba apabila
gusti menolak hamba iringkan."
Lembu Sora serentak mencabut keris dan serta merta
mempersembahkan ke hadapan puteri Tribuwana.
Gemetar tubuh sang puteri demi menyaksikan persembahan
Sora. Airmatanya berderai-derai membasahi bumi.
"Dalam jaya, semua tampak bersinar emas. Tetapi dalam duka,
barulah tampak mana yang emas mana yang loyang," ujar puteri
penuh haru "simpanlah kerismu, paman. Pergunakanlah keris itu
untuk menuntut hutang darah dari orang orang Daha."
"Terima kasih, gusti puteri. Apabila gusti menolak membunuh
Sora, Sora hendak mempersembahkan sumpah darah ke hadapan
gusti. " Gres, tiba-tiba Sora tusukkan ujung keris ke lengannya sehingga
darahpun mengucur ke tanah.
"Sora?"?" serempak puteri dan Wijaya berseru kejut,
"Darah telah mengucur, pertiwi Singasari menjadi saksi. Hamba
Sora dan kawan-kawan, akan tetap setya kepada gusti puteri dan
raden Wijaya, dalam suka dan duka," seru Sora.
Terdengar teriak bergemuruh dari para kadehan, mendukung
pernyataan Lembu Sora. "Terima kasih paman sekalian," sambut puteri dengan nada
keharuan "malam ini kami hendak menyerbu pura lagi.
Bersediakah paman sekalian untuk bertempur?"
Kembali terdengar sorak gempita menyatakan bersedia.
Kehadiran puteri Tribuwana, merupakan semelir angin sejuk yang
menyegarkan keletihan para kadehan itu. Dan ucapan-ucapan
puteri itu, benar-benar membangkitkan semangat juang mereka.
Sesungguhnya raden Wijaya tak sampai hati untuk mengajak
para kadehannya menyerbu ke pura lagi. Tetapi demi melihat
betapa segar dan meluap-luap semangat mereka pada saat itu,
tergeraklah hati Wijaya. Ia segera membagi-bagikan cihna atau
cawat geringsing kepada para kadehannya."
"Cawat adalah pakaian yang terakhir, yang ringkas. Artinya, kita
telah mengakhiri dan meringkasi semua pikiran kita akan hal-hal
yang lain," kata Wijaya selesai membagikan cawat kepada
kadehannya "dan geringsing adalah corak rambut yang diikal.
Maknanya, suatu penggelungan atau pengikalan tekad. Tekad
untuk menang dan panti menang !"
"Dhirgahayu Singasari !" sambut para kadehan dengan
semangat juang yang menyala-nyala.
"Berkemas-kemaslah kakang sekalian," kata Wijaya pula "malam
ini kita segera menyerbu pura."
Malam itu Wijaya mengumpulkan para kadehan dan prajurit yang
tinggal beberapa orang saja. Mereka bersiap hendak berangkat.
Wijaya meminta agar puteri Tribuwana jangan ikut serta karena
berbahaya bagi keselamatan puteri. Tetapi puteri menolak getas.
"Apa yang kuberatkan lagi, kakanda," ujar puteri "rama baginda
telah wafat, keraton dirampas dan bumi Singasari diinjak injak
musuh. Apabila kakanda sampai gugur pula, hamba akan
menyertai di sisi kakanda ....... "
Terpaksa Wijaya meluluskan. Namun ia memerintahkan
Pamandana menjaga dan melindungi puteri. Setelah itu
merekapun berangkat. Raden Wijaya dengan sepuluh kadehan:
Lembu Sora, Nambi, Gajah Pagon, Medang Dangdi, Mahesa
Pawagal, Banyak Kapuk, Kebo Kapetengan, Winota, Wiragati dan
Pamandana yang ditugaskan untuk melindungi puteri Tribuwana.
Hanya beberapa prajurit yang ikut serta.
~dewi.kz^ismo^mch~ III Untuk merayakan kemenangan atas Singasari dan untuk
menghibur para prajurit setelah menunaikan tugas di medan laga,
maka malam itu patih Kebo Mundarang senopati pasukan Daha,
meluluskan untuk mengadakan perjamuan besar.
Keraton Singasari tampak terang benderang. Penuh sesak
paseban keraton dengan para tumenggung, rangga, bekel dan
prajurit prajurit Daha yang tengah berpesta.
Gelak tawa berkumandang, hidangan lezat silih berganti
dihidangkan. Bau tuak berhamburan menusuk hidung. Dan tak
berapa lama, tingkah laku dan ucapan merckapun mulai binal.
Mulut serasa ringan, kata-kata meluncur bagai hujan mencurah.
Setelah itu, tangan mulai bergerak, kaki beringsut dan tubuh
bergoyang-goyang. Mereka menari dan menyanyi.
Di kala suasana pesta mencapai kemeriahan yang lepas bebas,
di kala semangat dan pikiran para prajurit itu dibuai dalam
pengaruh tuak, sekonyong-konyong mereka dikejutkan oleh suara
teriakan yang gempar. "Api".! Api?"! Keraton dibakar orang".!" demikian pekik
jeritan yang sambut menyambut dari luar paseban dan dalam
keraton. Serentak buyarlah pengaruh tuak dalam pikiran mereka. Mereka
gelagapan dam berhamburan lari ke luar. Tetapi tak kurang yang
rubuh karena dicengkam rasa pening kepala yang erat.
Wijaya telah berhasil menyergap prajurit-prajurit penjaga pintu
gapura. Kemudian ia memecah orangnya untuk menimbulkan
kebakaran di beberapa bagian puri keraton. Bagiam yang tak
mungkin dimasuki, supaya di bakar dengan anakpanah api.
Kegemparan bertambah menghebat ketika Wijaya melakukan
merangan ke dalam pesta. Bubarlah seketika pesta. Gelak tawa
bergamti pekik jeritan, hidangan berganti dengan kutungan
anggauta tubuh dari prajurit Daha yang dibabat oleh ksatryaksatrya Singasari. Tuakpun berganti dengan darah yang mengalir
ke lantai. Tetapi jumlah prajurit Daha yang berada dalam perjamuan itu
teramat banyaknya. Ratusan yang rubuh terluka dan mati tidak
berarti bagi pasukan yang berjumlah ribuan orang. Apalagi yang
rubuh itu kebanyakan hanya prajurit biasa. Paling-paling lurah
prajurit. Sedang perwira-perwira yang berpangkat rangga,
tumenggung dan demang masih utuh.
Perjamuan itu dibagi dalam dua lapis. Selapis bertempat di
paseban muka, dan untuk para prajurit dengan lurah-prajurit.
Selapis pula bertempat di paseban dalam, untuk para demang,
rangga dan tumemggung, termasuk pula patih Kebo Mundarang.
Kebo Mundarang terkejut. Cepat ia memerintahkan beberapa
pembantunya untuk memumpas kekacauan itu. Demikian prajuritprajurit yamg sempat melarikan diri dari amukan Wijaya yang
menggunakan tombak trisula, Sora dengan pedang kangkam,
Nambi dengan pedang dan kawan-kawannya yang menggunakan
berbagai senjata. "Hayo, prajurit Daha, panggillah senopatimu patih Mundrang!"
teriak Wijaya. "Pemberontak, tak perlu gusti patih, aku rangga Markara, cukup
untuk menumpasmu!" seorang lelaki gagah, dada bidang dan
bersenjata gada segera loncat ke tempat Wijaya.
"Kaupun tak layak bertanding dengan raden Wijaya. Akulah
musuhmu." Kebo Kapetengan cepat menyongsong rangga
Markara dengan sabatan pedang.
Krak .......rangga Markara terkejut ketika setiup angin melanda
punggungnya. Cepat ia berpaling dan hantamkan gada. Tetapi
alangkah kejutnya, ketika sesosok tubuh prajurit Daha menyongsongnya. Gada rangga Markara tak dapat dihentikan
lajunya dan tepat bersarang di kepala prajurit itu.
Ketika rangga Markara berpaling mengayunkan gada, saat itu
kebetulan Sora sedang menyambar bahu seorang prajurit Daha.
Cepat ia dorong tubuh prajurit itu ke arah rangga Markara. Rangga
itu terbeliak ketika yang dihantam gadanya itu kepala seorang
prajurit Daha. Pada saat ia tertegun, pedang Kebo Kapetenganpun
segera menyambar pinggangnya. Rangga itu menjerit dan rubuh
mandi darah. Ngeri prajurit-prajurit Daha menyaksikan pemandangan itu. Nyali
mereka yang sudah ciut karena menyaksikan tandang raden
Wijaya dengan para kadehan, saat itu makin berantakan ketika
Sora dan kawannya menyerang lebih gencar.
Paseban bergelimpangan mayat-mayat prajurit Daha, lantai
bergenangan darah anyir. Ksatrya-ksatrya Singasari itu seolah-olah
berpesta pora dengan hidangan tubuh dan tuak darah orang orang
Daha. Ternyata cawat geringsing yang diberikan Wijaya, benar-benar
merupakan senjata ampuh. Para kadehan bertempur seperti orang
yang kemasukan setan. Paseban keraton telah diporak porandakan oleh raden Wijaya
dan kesepuluh kadehannya. Lurah bawahan pembantu-pembantu
patih Kebo Mundarang yang diperintahkan untuk menumpas,
kebalikannya malah ditumpas. Pasukan Daha yang berjumlah
sekian banyak, tak kuasa membendung ksatrya Singasari. Dalam
pertempuran acak-acakan yang hingar, orang-orang Daha mengira
kalau musuh yang menyerang mereka itu berjumlah ratusan. Pada
hal sesungguhnya hanya sepuluh orang. Wijaya dan kadehannya
yang setya. Ketika melihat orang-orang Daha pontang-panting seperti beras
di tampi, semangat Wijaya dan para kadehannya itu semakin
menyala. Hampir saja mereka berhasil menyusul ke dalam keraton
apabila suatu peristiwa yang tak terduga-duga muncul pada saat
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu. Dalam rencana mengadakan pesta merayakan kemenangan
pasukan Daha dan sekalian untuk menghibur para prajurit,
sebenarnya patih Mundarangpun telah mengirim pengalasan untuk
mengundang senopati Jaran goyang dan pasukannya yang
bertugas menyerang Mimeling.
Jaran Goyangpun membawa para pembantunya, Bango Dolok,
Prutung, Pencok Sabang, Liking Kangkung, Kampinis dan seluruh
anakpasukannya memenuhi undangan patih Mundarang. Tetapi di
tengah jalan, mereka telah tertimpa hujan lebat sehingga terpaksa
meneduh. Kelambatan itu menyebabkan mereka baru tiba di pura
Singasari pada waktu malam.
Mereka mengira bahwa kegaduhan di paseban keraton itu
tentulah dari anakpasukan patih Mundarang yang tengah berpesta
bermabuk-mabukan. Pergegas-gegas mereka menghampiri untuk
ikut berpesta. Tetapi alangkah kejut mereka ketika menyaksikan
paseban menjadi sebuah medan pertempuran berdarah. Setelah
mendapat laporan tentang duduk perkaranya, Jaran Guyang
segera memerintahkan anakbuahnya untuk menumpas pemberontak-pemberontak itu.
"Raden, pasukan Daha yang datang itu, besar sekali jumlahnya.
Kita terkepung dari dalam dan luar keraton," cepat Sora mendekati
Wijaya dan membisiki kata-kata.
"Engkau hendak menganjurkan aku lari lagi?" dengus Wijaya.
"Raden," Sora tetap bicara "hamba ingin mengingatkan raden
akan tugas yang terletak di bahu raden. Seluruh rakyat Singasari
menumpahkan harapan mereka kepada raden untuk membangun
kerajaan Singasari lagi. Perjuangan itu memakan waktu panjang.
Demikian puls dengan perjalanan hidup, manusia, kerajaan dan
segala apa di arcapada ini. Penyelesaiannya tidak tentu harus pada
hari ini juga. Semisal orang menanam benih, tak mungkin hari itu
juga akan dapat tumbuh"."
"Raden," lanjut Sora pula "mati adalah kodrat setiap mahluk titah
dewata, tetapi mati dan mati ada dua. Daun karing yang gugur itu
layu atau mati. Tetapi keguguran yang tiada artinya dan
manfaatnya. Mati seorang ksatrya di medan bhakti, akan menjadi
tumbal kejayaan bumi tumpah darahnya. Akan menjadi perisai bagi
keselamatan bangsanya. Akan menjadi lambang keutamaan para
ksatrya. Akan menjadi petir yang akan menggetarkan nyali musuh
agar musuh sadar bahwa kalau mereka hendak melanjutkan
serangannya untuk menduduki bumi kita, mereka harus melalui
mayat dari putera putera utama ibu Pertiwi. Harus melalui barisan
pagar maut yang terdiri dari ksatrya-ksatrya yang tak kenal takut
dan rela merebahi bumi yang dicintainya dengan mayatnya
daripada melihat musuh menginjak-injak bumi mereka."
"Raden," seru Sora pula dengan berapi-api "kalau kita harus
mati, biarlah kita mati dengan penuh arti. Seluruh kawula Singasari
telah menumpahkan harapan, jiwa dan raga mereka ke bahu kita.
Beban kita bukanlah kecil. Kematian kitapuh harus dapat
menyelamatkan mereka, menunaikan harapan mereka dan
mengabdi kepada kepentingan mereka. Tetapi kalau kita mati dan
rakyat masih harus menderita, lahir dan batin, apa guna kematian
kita itu. Tidakkah hal itu, akan tiada artinya. Bahkan kalau
mempunyai arti, tak lain dan tak bukan, kita hendak
menghindarkan diri dari tanggung jawab besar terhadap para
kawula Singasari?" Bagaikan petir berbunyi maka terhentaklah benak raden Wijaya
mendengar rangkaian kata-kata Sora yang demikian tajam dan
menusuk itu. Seketika dia merasa gelagapan dari kegelapan
pikirannya. Untuk kesekian kalinya ucapan Sora itu telah
memancarkan kilatam sinar yang menerangi lubuk kegelapan
hatinya. Namun sesaat darah ksatrya mudanya bergolak. Melayang
pikirannya jauh ke alam yang lampau ketika dia masih mengecup
ilmu di pegunungan. Ketika itu gurunya menitahkan dia
bersumpah. Bahwa ilmu kesaktian yang diperolehnya itu, harus
diamalkan untuk kepentingan manusia, rakyat dan negara-negara.
Terkutuklah, angger, apabila angger melanggar sumpah itu. Bumi,
langit dan para dewa-dewa menjadi saksi. Demikian pesan sang
guru di kala mematerikan sumpah itu.
"Bukankah saat inilah aku harus mengamalkan ilmu kepandaian
yang kuperoleh itu ?" sepercik pertanyaan mengilas dalam hatinya
"bukankah saat ini rakyat Singasari sedang terancam bahaya
kemusnahan" Adakah dia harus lari dan membiarkan rakyat
sengsara?" Ia pejamkan mata merenung. Ia mulai membayangkan
kekuatannya. Sora, Nambi, Lembu Peteng, Gajah Pagon, Medang
Dangdi, Pamandana dan beberapa kadehannya semua hanya
sepuluh orang. Dengan begitu kekuatan fihaknya saat itu hanya
terdiri dari sebelas orang termasuk dirinya. Dia percaya bahwa para
kadehannya itu gagah perkasa, setya dan tak takut mati. Ya,
mengapa takut" Serentak semangatnyapun bangkit. Tetapi pada lain kejab, dia
membayangkan keadaan musuh. Pasukan Daha itu juga
mempunyai senopati yang gagah dan prajurit yang lengkap
persenjataannya. Dan yang cepat meresahkan pikirannya adalah
jumlahnya. Pasukan Daha berjumlah ribuan. Dapatkah sebelas
orang itu mampu mengalahkan ribuan orang"
"Ah," Wijaya serasa gelagapan bagai burung yang mengebaskan
kepala dari curahan hujan. Semangat keberanian bergetar ditempa
kesadaran pikirannya. Tekadnya untuk mengamuk bersumber
pada perasaan hati. Tetapi kenyataan akan apa yang bakal
dihadapinya melawan kekuatan musuh, berpancar pada pikirannya.
Dan alam pikiran itupun makin terang dan sadar di kala terngiang
ucapan Sofa tadi "Bagaikan anai-anai menyerbu api.. ?" sebuah
helaan hati mengendapkan darah mudanya yang meluap-luap tadi.
"Sora memang benar," kata hatinya "perjuangan itu tidak mesti
harus selesai pada satu saat, sehari, secandra dan sewarsa. Tetapi
ada kalanya berpuluh tahun. Bahkan ada kalanya sampai mati,
pejuang itu belum sempat mengenyam hasilnya. Tetapi semangat
juangnya tetap menyala, turun temurun dari angkatan yang satu ke
angkatan yang baru."
"Angger, keberanian itu bukan semata suatu sikap yang keras,
yang kaku. Berani untuk mengambil langkah yang penuh
kebijaksanaan, barulah keberanian yang benar-benar berani,"
teringat pula wejangan bapa gurunya ketika di pertapaan dahulu.
Ya. Aku harus menyelamatkan sisa kekuatan yang masih ada
sekarang. Kalau kuajak mereka bertempur, pasti hanya
kehancuran yang akan kita hadapi. Dan kehancuran itu berarti
kehancuran dari harapan seluruh rakyat Singasari. Akhirnya tibalah
Wijaya pada suatu kesimpulan.
"Baik, Sora, aku setuju dengan pendapatmu. Mari kita lolos dari
gapura timur," kata Wijaya memberi perintah.
Adalah seperti sudah digariskan kodrat, bahwa di saat-saat yang
gawat itu Sora telah berani mengeluarkan yang mungkin membawa
akibat dia akan dituduh sebagai seorang pengecut. Untung pula
Wijaya dapat menyadari dan menerima pendapat Sora itu. Karena
pada saat Wijaya dan para kadehannya turun ke halaman
paseban, pada saat itu pula pasukan Daha di bawah pimpinan
senopati Jaran Guyang, pun sudah tiba di alun-alun. Bagaikan
gelombang pasang, mereka segera menyerbu rombongan Wijaya.
Wijaya terkejut ketika mengetahui bahwa pasukan Daha yang
menyerang itu adalah pasukan yang pernah di tempurnya di
Mameling. "Bedebab," tiba-tiba dia mengumpat "mereka telah menyiasati
kita." Ia menyadari bahwa pasukan Daha di Mameling itu hanya suatu
siasat untuk memikat perhatian agar Singasari mengirim pasukan
ke sana untuk menggempurnya. Tetapi setelah Singasari kosong,
pasukan Daha yang lain akan menyerang dari selatan.
Ia geram sekali namun apa mau dikata. Bukan salah musuh
untuk menggunakan siasat itu. Yang salah adalah Singasari sendiri
yang lengah sehingga mudah sekali termakan siasat musuh.
Demikian jalan pikran Wijaya apabila menghadapi musuh yang
lebih sakti. Dia tak menyalahkan musuh tetapi meneliti
kekurangannya sendiri. Mengapa dia tak berlatih keras agar
mencapai tataran yang sempurna dalam ilmunya.
Namun dia tak sempat lagi untuk menyesali pimpinan pasukan
Singasari karena pada saat itu pasukam Daha yang dipimpin
senopati Jaran Guyang itu makin cepat mendekati ke arah
tempatnya. Wijaya hampir putus asa. Dalam keadaan yang
terdesak itu, tiada lain jalan baginya kecuali harus bertempur. Maka
diapun sudah mengemasi tekad dan- membulatkan keputusan
untuk mengadu jiwa. Kalau aku gugur aku harus gugur di medan
pertempuran sesuai dengan martabat seorang ksatrya.
Para kadehahpun merasakan apa yang dirasakan Wijaya.
Merekapun sudah bersiap-siap untuk memberikan apa yang
mereka dapat berikan kepada bumi pertiwi yang mereka cintai.
Dalam saat-saat yang meregangkan jiwa itu, sekonyong-konyong
terjadi suatu peristiwa yang tak terduga-duga. Pasukan Daha tibatiba berteriak-teriak kaget dan serempak hentikan pengejarannya.
Bahkan mereka tampak berdesak-desak mundur seperti menderita
serangan hebat. Apakah yang telah terjadi "
Wijaya dan para kadehannya heran. Lebih terkejut pula ketika
sekonyong-konyong muncul seorang lelaki tua, dalan busana
kepanditaan. Resi tua itu rambut dan janggutnya yang menjulai
sampai kedada, putih mengkilab, Dia mencekal sebatang tongkat.
"O, Dang Arcaya Ratnamsa" serentak Wijaya pun berseru ketika
mengetahui bahwa resi tua itu bukan lain adalah resi yang
bertugas menunggu candi makam raja-raja Singasari. Dang Acarya
Ratnamsa demikian namanya, juga bertugas sebagai penyimpan
catatan tentang silsilah raja-raja Singasari. Dia berpangkat
gotrasawala. "Benar, raden," sahut resi tua Dang Acaya Ratnamsa, "harap
raden tenang, tak perlu gopoh melarikan diri dari kejaran orang
orang Daha." "O," Wijaya terkejut. Ia merasa ada sesuatu dalam ucapan sang
resi tua itu "apakah resi ......... "
"Demi kuasa Batara Agung, demi restu yang dilimpahkan dewata
kepada raden beserta gusti puteri Tribuwana maka orang-orang
Daha itupun telah terkocar-kacir."
Wijaya makin heran "Bagaimana mungkin hal itu terjadi, resi ?"
"Berkat kekuasaan Hyang Iswara telah dapat kuundang Hyang
Bayu untuk memancarkan kekuasaannya. Orang Daha itu telah
tersapu berantakan oleh angin prahara."
"Ah, terima kasih Dang Acarya yang budiman," serta merta
Wijaya menghaturkan terima kasih.
"Aku hanya menjadi sarana belaka dari kehendak Hyang Widdhi,
raden. Persembahkan puji syukur raden kepada Yang Maha Agung
yang mengatur kehidupan seluruh alam semesta ini."
Wijaya dengan diikuti oleh para kadehan, segera duduk bersila
menjelangkan sembah syukur kepada Hyang Jagadnata yang telah
melindungi jiwa mereka dari serangan pasukan Daha.
"Dang Acarya yang budiman," sesaat kemudian Wijaya berkata
"keadaan hamba dan kawan-kawan bagaikan layang-layang putus
tali, tak tahu ke arah mana kami harus merana. Berilah petunjuk, o,
Dang Acarya yang budiman."
"Raden," kata resi tua itu dengan tenang "segala sesuatu dalam
arcapada ini sudah ditentukan oleh Hyang Murbeng Dumadi.
Keruntuhan kerajaan Singasari adalah untuk menetapi lingkaran
kodrat Prakitri. Karena setiap yang lahir dan tumbuh pasti akan
layu dan hancur." Wijaya termenung. "Namun," lanjut pula sang resi tua "kehancuran itu bukanlah
kehancuran yang sejati. Melainkan suatu kehancuran yang
bertumbuh. Artinya, apabila setiap kelahiran pasti terdapat
kematian maka setiap kematianpun akan menjadi awal daripada
kelahiran. Itulah sudah menjadi dharma daripada Cakrapanggilingan yang merupakan poros roda perputaran hidup."
"Kehancuran kerajaan Singasari merupakan pertanda akan
turunnya wahyu agung yang akan diturunkan oleh Hyang Purusa
....." Wijaya terkejut "Adakah kerajaan Daha itu bukan kerajaan yang
mendapat wahyu dewata, sang resi?"
"Daha sudah lebih dahulu menerima wahyu agung itu sebelum
kerajaan Singasari. Namun wahyu agung itu hanya sekali saja
datangnya... Kemudian Singasari. Kemenangan Daha atas
Singasari, bukan berarti bahwa wahyu agung itu tiba kembali pada
Daha. Melainkan hanya suatu alat atau sarana untuk mengantar
lenyapnya wahyu agung dari keraton Singasari. Tanda-tanda
daripada hilangnya wahyu agung dari suatu kerajaan, bilamana raja
sudah gelap pikiran, mabuk kesenangan. Mentri yang durna
tertawa, yang setya merintih. Yang benar dianggap salah, yang
salah dianggap benar. Peraturan negara, masyarakat, keluarga,
tidak diindahkan lagi. Kemunculan beberapa kegaiban alam?""
"Singasari mencerminkan suasana sedemikian. Dewata pasti
takkah ingkar. Kodrat takkan hindar. Dan apa yang menimpah
Singasari pada hari ini adalah hanya suatu letusan dari rangkaian
peristiwa yang merupakan pengejawantahan dari kodrat. Kumohon
janganlah raden bersedih hati."
"Tetapi puteri Gayatri masih berada dalam keraton, Dang
Acarya," tiba-tiba Wijaya berseru.
Dang Acarya Ratnamsa menggeleng "tidak, raden, gusti puteri
Gayatri telah dibawa orang ke Daha .... "
"Dang Acarya ....!" Wijaya berteriak.
"Sabarlah, raden," kata resi Ratnamsa "janganlah raden terikat
oleh sesuatu. Karena ikatan rasa kasih dan sayang itulah yang
akan membelenggu raden dalam lembah kesedihan."
Wijaya meregang. Dia teringat dahulupun pernah mendapat
wejangan dari gurunya tentang sumber daripada penderitaan
manusia itu. Sumber itu tak lain adalah rasa atau perasaan.
Barangsiapa terikat atau mengikat diri pada rasa kesenangan kasih
dan kesayangan, dia akan mengidap benih penderitaan yang
setiap saat akan meletus manakala benda atau orang yang kita
kasihi, sayangi itu akan meninggalkan kita.
Pada waktu itu Wijaya menganggap benar. Tetapi kini setelah
merasakan sendiri karena hilangnya puteri Gayatri maka lupalah
dia akan wejangan gurunya. Yang dirasakannya hanyalah bahwa
puteri Gayatri itu adalah calon isteri yang sangat dipuja dan
dikasihinya. Katanya, hidup akan terasa hampa apabila tiada
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gayatri di sampingnya. Peringatan resi Ratnamsa akan musabab dari rasa gelisah dan
kesedihannya, merentak membawa kembali ingatan Wijaya akan
wejangan gurunya dahulu. Tetapi dia tak kuasa membujuk
perasaan hatinya, tak kuasa pula menindas luap rasa
keresahannya. Bagaimana tindak" Bukankah puteri Gayatri itu
sudah merupakan bagian dari hidupnya "
"Tetapi Dang Acarya," serunya "bagaimanapun halnya, aku tetap
akan kembali ke keraton Singasari untuk mencari adinda Gayatri."
"Mengapa harus begitu, raden ?"
"Jika demikian aku akan mengamuk ke Daha," meru Wijaya
makin menggelora. Resi gelengkan kepala "Kurasa kurang perlu, raden. Memang
gusti puteri Gayatri telah dibawa ke Daha tetapi janganlah raden
risaukan hal itu. Serahkanlah segala perjalanan hidup raden
kepada Hyang Widdhi Agung."
"Maksud tuan, puteri Gayatri takkan tertimpah suatu melapetaka?" masih Wijaya menegas.
"Puteri Gayatri adalah puteri agung yang kelak akan menurunkan
raja besar. Kurasa tidak mungkin puteri akan menderita bahaya."
Legah hati Wijaya mendengar keterangan itu. Sekalipun belum
merasa puas sepenuhnya namun karena melihat kenyatan yang
dihadapi saat itu, terpaksa ia harus menerima keterangan resi tua
itu sebagai pegangan "Lalu bagaimana yang harus hamba lakukan
sekarang, resi?" tanyanya.
"Raden," kata Acarya Ratnamma "telah kukatakan tadi bahwa
kodrat Prakitri itu tak mungkin diubah. Kehancuran dan
kemunculan, kematian dan kelahiran. Kehancuran Singasari akan
menjadi titik tolak dari kelahiran sebuah kerajaan baru yang kelak
akan muncul di bumi sebelah utara. Kerajaan itu akan lebih besar
dan lebih jaya dari Singasari maupun Daha. Wahyu agung yang
diturunkan dewata sudah mulai memancar ke bumi. Raden harus
berusaha untuk mendapatkan wahyu agung itu karena raden
termasuk insan mangsakala yang mendapat restu Hyang
Jagadnata untuk mewujutkan timbulnya sebuah kerajaan baru di
bumi yang akan disinari surya gilang gemilang."
Wijaya terpukau... "Waktu amat mendesak sempit, raden. Tak lama lagi pasukan
Daha tentu akan datang mengejar raden. Putar arah dan loloslah
dari pintu gapura utara "
"Tetapi Arcarya sendiri ?" Wijaya meragu.
"Aku akan tetap berada di sini untuk menyesatkan pandangan
musuh. Semoga Hyang Batara Agung melindungi perjalanan
raden" kata resi Ratnamsa.
Wijaya terpaksa mengiakan. Ia menghaturkan terima kasih dan
minta diri. Dengan membawa puteri Tribuwana dan sepuluh
kadehannya yang setya, sesuai dengan petunjuk sang resi tua, dia
meloloskan diri dari gapura utara. Benar juga. Dia tak menemukan
suatu rintangan apapun juga.
Tiba di luar gapura, sejenak dia berhenti dan berpaling
memandang ke arah pura. Pura dari sebuah kerajaan besar yang
pernah memancarkan kejayaan di seluruh nusantara, yang pernah
menggemparkan maharaja Kubilai Khan dari kerajaan Tartar dan
raja-raja di Melayu. Kini masih menggunduk perkasa di tengah
kabut dan lautan api. Wijaya menghela napas penuh kenangan. Ia terbenam dalam
menung dan renung. Seolah hampir dia tak percaya bahwa yang
dilihatnya saat itu memang suatu kenyataan.
"Raden, mari kita lanjutkan perjalanan," tiba-tiba Lembu Sora
berseru penuh getar. Rupanya para kadehan itu juga merasakan
apa yang dirasakan Wijaya.
Tiba-tiba terdengar suara ayam berkokok. Wijaya tersadar dan
mengangguk "Baik, Sora "
Wijaya segera mengajak rombongannya melanjutkan perjalanan
ke utara. Ia mengharap fajar segera menyingsing.
Fajar yang memancarkan sinar harapan.
S E L E S A I . PENUTUP KATA. Dengan ditandai jatuhnya kerajaan Singasari dan tewasnya seri
baginda Kertanagara maka selesailah cerita EMPU BHARADA.
Ketika mahayogin Empu Bharada sedang menjalankan titah
baginda Airlangga, melayang di udara sembari mencurahkan air
kendi untuk membagi watek-bhumi kerajaan Panjalu menjadi dua,
jubahnya telah terkait pada dahan pohon kamal. Empu murka dan
mengeluarkan kutukan sehingga pohon kamal yang tinggi itu
serentak menjadi pandak. Namun kutukan sang mahayogin itupun memancarkan tulah
pada tugasnya. Panjalu benar-benar terbagi dua, tak mungkin
bersatu lagi. Dan terjadilah peperangan yang tak putus-putusnya
antara Singasari dan Daha.
Tetapi akhirnya kutuk Empu Bharada itupun akan berakhir
manakala terjadi keajiban alam:
HALILINTAR DI AMBANG FAJAR.
demikian judul baru sebagai kelanjutan dari Dendam Empu
Bharada. Halilintar di ambang fajar, menyongsong kelahiran sebuah
kerajaan baru. Kerajaan Majapahit yang besar, jaya dan gilang
gemilang. S. Djatilaksana. Document Outline Seri Dendam Empu Bharadha
Daftar Isi : Dendam Empu Bharada Prahara PRASASTI KERTANEGARA 1289
Jilid 1 I II Jilid 2 I II III Jilid 3 I II Jilid 4 I Jilid 5 I II Jilid 6 I II III Jilid 7 I II Jilid 8 I II Jilid 9 I II Jilid 10 I II Jilid 11 I II III Jilid 12 I II Jilid 13 I Jilid 14 I II Jilid 15 I II Jilid 16 I II III Jilid 17 I II Jilid 18 I II Jilid 19 I II Jilid 20 I Jilid 21 I II Jilid 22 I II Jilid 23 I II Jilid 24 I II III Jilid 25 I II Jilid 26 I II Jilid 27 I II III Jilid 28 I II Jilid 29 I II Jilid 30 I II Jilid 31 I II Jilid 32 I II Jilid 33 I II Jilid 34 I II III Jilid 35 I Jilid 36 Tamat I II III PENUTUP KATA. Golok Halilintar 6 Pedang 3 Dimensi Lanjutan Pendekar Rambut Emas Karya Batara Wanita Gagah Perkasa 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama