Ceritasilat Novel Online

Wanita Iblis 13

Wanita Iblis Karya S D Liong Bagian 13


Sambil membungkuk, Siu-lam mempersilahkan orang aneh itu keluar.
"Lekas menyingkir!" tiba-tiba Lam-koay Shin Ki memberi isyarat tangan kepadanya.
Memang Siu-lam selalu waspada. Melihat wajah orang aneh dari selatan (Lam-koay),
tahulah Siu-lam tentu terjadi sesuatu. Buru-buru ia loncat ke sudut.
Baru ia berdiri tegak, tahu-tahu orang aneh dari utara (Pak-koay) Ui Lian sudah keluar
dari pintu penjara itu. "Shin lokoay, entah selama beberapa puluh tahun ini, sampai di manakah tenaga sakti
Kian-goan-khi-kang dan pukulan Cek-yan-ciang itu," seru Pak-koay Ui Lian.
"Jika kau ingin tahu, boleh cobalah!" sahut Lam-koay Shin Ki dengan dingin.
"Bagus, bagus!" seru Pak-koay Ui Lian seraya mengangkat tangan dan mendorong ke
muka. Saat itu Siu-lam rasakan serangkum hawa dingin membaur dari gerak pukulan orang
aneh itu, diam-diam ia terkejut.
"Ui-heng, pukulanmu Hian-ping-ciang, entah bertambah hebat berapa kali lipat dari
dulu?" Lam-koay Shin Ki tertawa dingin seraya menyongsong dengan tangan kanan.
Dan serangkum hawa panas segera menghambur dari pukulan orang aneh itu.
Angin berhawa dingin dan angin berhawa panas segera saling melanda. Ruangan batu
seperti diamuk oleh deru angin keras.
Tiba-tiba Pak-koay Ui Lian tertawa mengakak: "Huh, Shin-heng, pukulanmu juga jauh
lebih dahsyat dari dahulu."
"Harap lo-cianpwe hentikan adu tenaga. Wanpwe hendak berkata!" sambil berseru Siulam
terus loncat ke tengah-tengah kedua orang aneh itu.
"Lo-cianpwe berdua sudah menyanggupi wanpwe untuk membantu Siau-lim-si. Saat ini
musuh mungkin sudah berada dalam gereja. Jika lo-cianpwe berdua hendak menguji
kemajuan pukulan lo-cianpwe, tiada sasaran yang lebih tepat daripada musuh yang datang
menyerang itu!" seru Siu-lam pula.
Lam-koay Shin Ki mendengus: "Ui-heng, jika engkau menganggap bahwa pukulanmu
Hian-ping-ciang itu merupakan penakluk dari pukulanku Cek-yan-ciang, kita tentuka saja
di suatu tempat yang sepi di mana kita dapat mengadu kesaktian dengan tenang!"
Pak-koay Ui Lian tertawa: "Agaknya kita berdua ini seperti minyak dengan air. Sukar
untuk hidup bersama dalam dunia persilatan. Cepat atau lambat, kita tentu akan
berhadapan dalam suatu pertempuran adu jiwa"."
Ia berhenti sejenak lalu berkata pula: "Tetapi aku hendak mengatakan sepatah kata.
Dan ini memang perlu kukatakan di muka!"
"Silahkan," kata Lam-koay Shin Ki, "apapun yang Ui-heng kehendaki, aku tentu
bersedia melayani!" "Sebenarnya bukan suatu hal yang sulit. Ialah sebelum kita bertempur, lebih dulu kita
harus mencari Kak Seng taysu untuk menuntut balas tindakannya yang telah
memenjarakan kita selama berpuluh-puluh tahun ini. Walaupun selama dalam penjara itu
kita juga memperoleh kemajuan tetapi tentu kalah pesat dengan kemajuan yang dicapai
Kak Seng taysu. Dengan tanganku seorang, kurasa sukar untuk mengalahkannya. Kalau
kita berdua menempurnya, tentu harapan besar dapat membalas sakit hati kita itu.
Setelah itu baru kita cari suatu tempat untuk menentukan siapa yang berhak di dunia ini!"
kata Pak-koay Ui Lian. "Lo-cianpwe berdua sudah berjanji sanggup membantu wanpwe untuk mengusir musuh
yang menyerang Siau-lim-si. Tentang budi dan dendam di antara lo-cianpwe berdua,
hendaknya dirunding lagi setelah urusan saat ini selesai!" buru-buru Siu-lam mendesak.
Berkata Pak-koay Ui Lian dengan tandas: "Aku tak perduli lawan atau kawan, pokoknya
akan menghantam setiap orang yang engkau perintahkan!"
"Terima kasih, lo-cianpwe. Itulah yang tepat!" sahut Siu-lam dengan gembira lalu
mendahului lari keluar. Dengan cepat ketiga orang itu sudah tiba di persimpangan lorong. Setelah meneliti
sejenak, Siu-lam segera mengambil jalan yang mencapai Ciang-keng-kwat atau ruang
perpustakaan gereja Siau-lim-si.
Lorong di bawah tanah itu memang suatu lorong yang dicipta alam. Kemudian
diperbaiki oleh ketua Siau-lim-si menjadi semacam titian tangga yang mendaki ke atas.
Dalam pada berjalan mendaki itu, Siu-lam tak lepas dari suatu rasa cemas. Kedua
orang aneh itu seperti air dengan minyak. Watak mereka pun aneh sekali. Apabila tibatiba
mereka kumat penyakitnya, tentu keadaan akan menjadi runyam. Tetapi demi
kepentingan menyelamatkan Siau-lim-si, Siu-lam mengesampingkan kesemuanya itu.
Pikirannya hanya tertuju satu".
"Huh?" tiba-tiba ia berteriak tertahan ketika kakinya menginjak tempat kosong
sehingga hampir saja ia terjerumus jatuh. Ah, kiranya ia sudah tiba di ujung titian. Di
hadapannya kini terbentang sebuah tanah datar seluas satu tombak.
"Harap lo-cianpwe suka menunggu sebentar. Wanpwe hendak minta pintu!" kata Siulam
kepada kedua orang aneh itu.
Dengan teliti ia memandang ke sekeliling. Akhirnya ia melihat sebuah batu yang
menonjol. Cepat ia menghampiri dan menarik batu itu. Sebuah lubang pintu segera
terbuka. Tapi serentak dengan terbukanya pintu itu, hidungnya tersambar hawa anyir dari
darah orang. Ah, seorang paderi jubah biru tampak menggeletak menjadi mayat.
Kedua tangan paderi itu memegang erat-erat pada pintu batu. Darah pada
punggungnya sudah membeku hitam. Lantaipun penuh dengan noda darah. Tentulah dia
menderita luka berat lalu hendak meloloskan diri dari pintu terowongan itu. Tetapi dikejar
musuh dan dihantam mati. Pemandangan itu menyebabkan Siu-lam bergidik. Tiba-tiba ia teringat akan kematian
suhunya yang mengenaskan dahulu. Kemudian ia teringat akan luka kedua paderi tua
yang telah menyuruhnya melepaskan kedua Lam-koay dan Pak-koay itu. Ah, apakah Siaulimsi sudah hancur" Apakah ia datang terlambat"
Dengan langkah berat, ia ayunkan langkah. Ia merasa seperti orang yang memanggul
suatu beban yang maha berat. Kesanggupannya untuk melaksanakan pesan kedua paderi
tua Kak Bong dan Kak Hui merupakan suatu perintah maut. Karena terang gerombolan
Beng-gak amat tangguh sekali.
Tidak demikian dengan Lam-koay dan Pak-koay. Mereka tidak mengacuhkan suatu
apa. Mereka berseri gembira karena bebas dari penjara di bawah tanah. Siapa
gerombolan Beng-gak dan bagaimana keganasan mereka, setitikpun tak dihiraukan.
Mereka tiba di sebuah ruang yang luas. Penuh dengan lemari dan rak buku.
Siu-lam menghela napas panjang. Untuk melonggarkan rasa cemas yang menghimpit
dadanya. Kemudian ia melangkah keluar.
Timbul setitik harapan dalam hatinya. Mudah-mudahan kejadian ngeri dalam ruang
perpustakaan itu, dikarenakan serangan mendadak dari pihak Beng-gak.
Dia teringat akan barisan Lo-han-tin gereja Siau-lim-si yang termasyhur. Kiranya
barisan itu tentu tak sampai hancur.
Semangat Siu-lam bangkit pula. Segera ia lari keluar.
Walaupun kedua orang aneh itu mempunyai watak yang aneh, tetapi mereka adalah
tokoh-tokoh yang ternama. Dalam soal janji, mereka sangat mengindahkan. Mereka pun
mengikuti Siu-lam. Sekeluarnya dari ruangan perpustakaan, Siu-lam hanya menjumpai bangunanbangunan
yang sudah menjadi tumpukan puing. Gereja sunyi-senyap seperti sebuah
kuburan. Memandang ke sekeliling, ia tak melihat seorang paderipun jua.
"Tempat ini merupakan pusat kesibukan para paderi. Jika di sini tiada tampak seorang
paderipun juga, apakah gereja ini benar-benar telah ditumpas gerombolan Beng-gak?"
diam-diam Siu-lam terkejut.
Tetapi anehnya, ia tak melihat sesosok mayatpun juga. Segera ia menuju ke muka.
Merupakan ruang besar kedua dari gereja Siau-lim-si. Ia tertegun ketika mendengar suara
orang berdoa dengan nada berat. Ketika memandang ke muka, kejutnya bukan kepalang.
Di halaman luas dari ruang besar kedua itu, tujuh delapan ratus paderi tengah duduk
bersila. Mereka merangkap kedua tangan dan masing-masing pejamkan mata. Wajah
mereka mengerut kedukaan dalam.
Dari alis mereka yang mengerut naik, mengunjukkan mereka seperti tawanan yang
penasaran karena tak dapat melawan perintah yang sewenang-wenang"..
Siu-lam menghela napas panjang. Segera ia melintasi sebuah pintu bundar dan
menghampiri ke halaman. Lam-koay dan Pak-koay saling bertukar pandang lalu mengikuti jejak Siu-lam.
Kawanan paderi yang duduk pada deretan muka, segera membuka dan memandang
Siu-lam. Begitu mereka melihat kedua orang aneh di belakang Siu-lam, mereka terbelalak.
Tetapi pada lain kilas, wajah mereka kembali menampilkan kedukaan lagi.
Dalam keheranannya melihat kawanan paderi itu, Siu-lam berpaling ke arah ruang
besar. Di tengah ruangan tampak ketua gereja Siau-lim-si yang sekarang yakni Tay Hong
siansu. Di sebelah kanan kirinya, tegak rombongan paderi tingkat tinggi. Antara lain
terdapat Tay Ih, Tay Goan, Tay To dan lain-lain.
Yang membuat Siu-lam terkejut sekali ialah tiga sosok mayat yang menggeletak di
tengah ruangan. Ia kenal salah seorang korban itu ialah Tay Hui siansu, pejabat ketua
Siau-lim-si ketika Tay Hong siansu hilang di gunung Beng-gak. Sedang mayat yang
lainnya, ia tak kenal. Yang jelas mereka berdua ialah paderi-paderi Siau-lim-si yang
berusia tua. Diduga tentu paderi angkatan gelar Tay.
Melihat Siu-lam, Tay Hong siansu segera menegur keras: "Ruang ini merupakan ruang
permusyawarahan gereja Siau-lim-si. Kecuali anak murid gereja, orang luar tak
diperkenankan hadir. Pui sicu belum mendapat undangan, ini berarti menyalahi peraturan
gereja. Tapi mengingat usiamu masih muda dan juga pernah menolong loni maka kali ini
kuberi kelonggaran. Harap segera keluar dari ruang ini!"
Siu-lam tertegun. Memandang ke arah Tay Ih siansu dan Tay To siansu, tampak wajah
mereka pun menampilkan kedukaan dan penasaran yang dalam. Tak ubah seperti
rombongan paderi yang berkumpul di halaman itu.
"Walaupun yang dua itu tak kuketahui siapa orangnya, tapi mayat yang satu jelas
adalah Tay Hui siansu. Tay Hui berkedudukan tinggi dalam gereja Siau-lim-si. Bahkan dia
menjabat sebagai ketua gereja ketika Tay Hong siansu tak ada. Tapi kenapa jenazahnya
dibiarkan terkapar di lantai" Dan kenapa wajah semua paderi bermuram durja" Mereka
seperti tak puas dengan keadaan yang dihadapinya namun tak kuasa membantah. Ah,
tentu terjadi sesuatu yang tak wajar!" diam-diam Siu-lam menimang dalam hati.
Siu-lam berotak tajam. Keadaan yang tak wajar itu cepat menarik perhatiannya. Ia tak
menjawab teguran Tay Hong tadi, juga tak menuruti perintahnya. Dipandangnya ketua
Siau-lim-si itu dengan tak berkesiap.
Wajah Tay Hong berubah gelap, serunya: "Apa maksudmu memandang begitu rupa
kepadaku" Sudah kuberi kelonggaran tak kukenakan hukuman atas tindakanmu
memasuki tempat terlarang ini. Mengapa kau tak mau lekas pergi dan bahkan
memandang aku begitu rupa?"
Setelah mengawasi wajah Tay Hong siansu dengan seksama, Siu-lam tak melihat
sesuatu yang mencurigakan. Tay Hong siansu tetap serupa dengan Tay Hong siansu yang
tempo hari memimpin rombongan orang gagah menggempur Beng-gak.
Tiba-tiba Siu-lam teringat akan kelihayan orang Beng-gak. Bukan suatu mustahil Benggak
telah mengirim seorang yang wajahnya mirip sekali dengan Tay Hong siansu, untuk
mengobrak-abrik gereja Siau-lim-si. Pihak Beng-gak tahu bahwa kawanan paderi Siau-limsi
patuh sekali kepada ketuanya.
"Ah, tetapi dugaan itu belum bertandakan bukti-bukti. Sukar untuk menjatuhkan
tuduhan seperti itu," akhirnya Siu-lam menarik kesimpulan.
Karena terjepit oleh perasaan dan kenyataan tentang diri Tay Hong, maka Siu-lam
tegak tertegun. "Jika benar orang itu Tay Hong siansu, memang sebagai orang luar aku tak berhak
mencampuri urusan rumah tangga gereja. Tetapi menilik keadaan gereja sudah tak
karuan, sungguh tak sampai hatiku meninggalkan ruang ini," Siu-lam masih tetap
menimang. Melirik ke arah Tay To siansu, ia dapatkan wajah paderi menunjukkan kedukaan hebat.
Sepasang mata paderi itu berkilat-kilat dan berulang kali memandang kepadanya dengan
sorot mata mengharap bantuan.
Isyarat pancaran mata Tay To siansu itu menyadarkan Siu-lam. Sesuai dengan
dugaannya, memang keadaan saat itu tak wajar. Suasana ruang besar diliputi oleh
semacam hawa pembunuhan. "Jika wanpwe tak mau pergi?" akhirnya ia menjawab perintah Tay Hong siansu tadi.
Marahlah ketua Siau-lim-si itu, serunya: "Gereja Siau-lim-si masakan membiarkan kau
bertindak liar. Jika kau membangkang, jangan salahkan loni bertindak keras kepadamu!"
Siu-lam tertawa: "Sejak berpisah dengan taysu di Beng-gak dulu, tak sedetikpun
pikiranku lepas dari peristiwa Beng-gak itu. Wanpwe selalu memikirkan keselamatan
kaum persilatan dan ingin sekali menuturkan peristiwa yang wanpwe alami kepada
taysu"." "Loni sedang mengadakan pembersihan dalam gereja, tak sempat mendengar
ocehanmu"!" bentak ketua Siau-lim-si itu.
Ia segera suruh dua orang paderi jubah kuning yang berada di belakang untuk
mengusir Siu-lam. Sekali melesat kedua paderi itu tiba di hadapan Siu-lam.
Kedua paderi itu paderi dari golongan Tay. Tetapi anehnya walaupun mereka
perintahkan mengusir, tetapi ketika berhadapan dengan Siu-lam, mereka menundukkan
kepala. Setitikpun mereka tak mengunjukkan kemarahan kepada pemuda itu.
Melihat itu Siu-lam segera memberi hormat kepada Tay Hong siansu. Serunya sambil
tertawa: "Lo-cianpwe seorang angkatan tua yang diindahkan kaum persilatan. Wanpwe
bukan murid Siau-lim-si. Terhadap lo-cianpwe, wanpwe memang menaruh pengindahan
tetapi bukannya takut!"
Tay Hong siansu gerakkan tangan memberi perintah kepada kedua paderi jubah kuning
itu: "Lekas tindaklah dia"."
Seperti patung bernyawa, kedua paderi itu mengiyakan dan serempak menghantam
Siu-lam. Siu-lam menghindar pukulan kedua paderi it uterus melesat ke tengah ruangan.
Diangkatnya mayat Tay Hui siansu. Ternyata dada pejabat ketua itu terdapat luka
tusukan senjata tajam yang menembus sampai ke punggung. Sedang badik yang
mencabut nyawa paderi itu masih tetap menancap di dadanya.
Kedua paderi jubah kuning yang gagal memukul itu, segera berputar tubuh dan loncat
menerjang Siu-lam lagi. "Berhenti!" tiba-tiba Lam-koay Shin Ki yang berdiri di samping kiri pintu, membentak
seraya lepaskan pukulan dari jauh.
Salah seorang paderi jubah kuning yang baru loncat ke tempat Siu-lam, tiba-tiba
rasakan punggungnya dilanda oleh serangkum angin kuat. Buru-buru ia mengempos
semangat dan cepat-cepat turun ke tanah kemudian menghantam.
Cepat sekali paderi itu mengadakan reaksi. Tetapi betapapun ia tetap kalah cepat
dengan angin pukulan Lam-koay Shin Ki. Begitu tiba di lantai, tubuhnya terhuyunghuyung
mundur dua langkah dan, huak" mulutnya menguak darah segar lalu jatuhlah ia
terduduk di lantai. Melihat Lam-koay mendahului turun tangan dan berhasil merubuhkan seorang paderi,
Pak-koay Ui Lian pun tak mau ketinggalan. Sambil tertawa meringkik, ia menampar
dengan lengan bajunya. Paderi jubah kuning satunya yang menyerang Siu-lam dari samping kiri, seketika
rasakan dirinya dilanda oleh serangkum hawa dingin. Ia menggigil dan rubuh ke tanah".
Melihat itu berserulah Tay Hong siansu dengan marah: "Hai, siapa yang berani melukai
paderi Siau-lim-si?"
"Pernah apa engkau dengan si paderi tua Kak Seng?" Pak-koay Ui Lian balas bertanya.
Mendengar orang menyebut tentang diri mendiang suhunya, Tay Hong siansu
terkesiap: "Kak Seng taysu adalah mendiang guru loni!"
Lam-koay Shin Ki tertawa nyaring: "Jika betul begitu, engkau termasuk musuh kami!"
Tay Hong siansu memang belum pernah diberi tahu suhunya tentang kedua orang aneh
Lam-koay dan Pak-koay itu. Maka ia tak kenal siapa kedua tokoh aneh tersebut.
Tiba-tiba Siu-lam yang masih memeriksa mayat Tay Hui siansu berkata: "Harap
locianpwe berdua jangan tergesa turun tangan dulu. Ijinkanlah wanpwe menyelidiki
peristiwa ini sampai jelas!"
Kedua tokoh aneh itu hanya bertukar pandang dan tak mengucap apa-apa.
"Apakah lo-siansu ini meninggal karena bunuh diri?" tanya Siu-lam kepada Tay Hong
siansu. Sahut Tay Hong dengan dingin: "Urusan rumah tangga gereja, mana boleh orang lain
ikut turut campur. Tay Goan sute, lekas usir orang-orang itu!"
Tay Goan siansu itu mengangkat muka, sejenak memandang kepada Siu-lam lalu
perlahan-lahan menghampirinya.
Melihat sikap siansu itu, tahulah Siu-lam bahwa orang sesungguhnya tak bermaksud
hendak turun tangan. Hanya karena tunduk pada perintah terpaksa Tay Goan siansu
bertindak. "Apakah yang sesungguhnya terjadi dalam ruang permusyawarahan ini" Sunyi tapi
suasananya tegang sekali. Dan tampaknya segenap paderi yang hadir di sini, memendam
rasa tidak puas terhadap Tay Hong siansu?" diam-diam Siu-lam membatin.
Saat itu Tay Goan siansu sudah tiba di hadapan Siu-lam. Paderi itu memberi hormat
dan berkata: "Pui sicu, maafkan loni bertindak kurang ajar terhadap sicu!"
Singkat kata-katanya, tapi nadanya penuh rasa kedukaan yang dalam.
"Harap jangan tergesa-gesa turun tangan, lo-siansu. Harap lo-siansu suka
memperkenankan wanpwe bicara!" kata Siu-lam.
Tay Goan siansu tertawa getir: "Jika Pui sicu hendak mengatakan sesuatu, silahkan
berhadapan dengan ketua gereja ini. Peraturan Siau-lim-si keras sekali. Semua paderi
harus tunduk pada perintah ketua gereja. Ini sudah turun-temurun sejak dulu kala.
Percuma sicu hendak mengatakannya kepada loni karena toh, loni tak dapat mengambil
keputusan apa-apa!" Mendengar itu, tertawalah Tay Hong siansu dengan sinis. Kemudian ia mengacungkan
tongkat kepemimpinan gereja yang disebut tongkat Liok-giok-hud-ciang (tongkat batu
kemala hijau), serunya nyaring: ?"Kepala bagian Kian-wan Tay Goan siansu, sengaja
hendak membantah perintah. Berarti menyalahi peraturan. Hukumannya harus segera


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membunuh diri." Tay Goan tertawa hambar. Cepat ia berputar diri menghadap Tay Hong. Serunya:
"Entah Ciang-bun-jin suheng berdasarkan pasal berapa dari peraturan hukuman bunuh
diri itu!" Tay Hong siansu agak terkesiap, bentaknya:
"Berani membangkang kepada ketua, sudah termasuk salah satu pasal yang dapat
dijatuhi hukuman mati. Maka dalam kedudukan sebagai ketua Siau-lim-si, sekarang
kujatuhi engkau hukuman supaya menghantam ubun-ubun kepalamu sendiri"."
Tiba-tiba seorang paderi tua yang berada di samping, serentak berbangkit, serunya:
"Dalam kedudukan sebagai ketua bagian hokum, loni hendak membela kesalahan Tay
Goan sute. Ciang-bun sute telah menjatuhkan hukuman secara tidak adil. Sebagai salah
seorang kepala bagian yang tergolong dalam kelima tianglo, walaupun berani membantah
perintah ketua, tetapi Tay Goan sute tak dapat dijatuhi hukuman mati!"
Ketika Siu-lam berpaling mengawasi, ternyata yang bicara itu adalah Tay Ih siansu.
Mata Tay Hong siansu berkilat memandang kepada Tay Ih, serunya: "Atas nama
tongkat Liok-giok-hud-leng, loni memutuskan supaya Tay Goan sute segera menghabisi
jiwanya sendiri dengan menghantam ubun-ubun kepalanya!"
Tay Hong menyertai ucapannya dengan menggerak-gerakkan tongkat kumala hijau itu.
Sekalian paderi yang melihat tongkat kumala itu serempak menundukkan kepala dan
pejamkan mata. Tay Ih siansu pun mendekap tangan lalu mundur tiga tindak ke
belakang. Tay Goan siansu dengan lantang menjawab: "Omitohud! Suheng dengan gunakan
kekuasaan Liok-giok-hud-ciang memerintahkan loni supaya bunuh diri" Ah, sudah tentu
loni tidak berani melanggar perintah itu". Para suheng sekalian, sute mohon maaf!"
Ucapan itu dibarengi dengan suatu gerakan menghantam batok kepalanya sendiri. Prak"
Tay Goan siansu rubuh mandi darah di tanah.
Siu-lam terkejut sekali. Ia tak menyangka Tay Goan akan mengambil keputusan begitu
pendek. Karena ia tengah menyanggah mayat Tay Hui siansu, maka ia tak keburu
mencegah perbuatan Tay Goan. Ia menjerit tertahan".
Sebaliknya wajah Tay Hong siansu tidak berubah, seolah-olah tak terjadi sesuatu.
Kemudian ia mengangkat tongkat Liok-giok-hud-ciang dan berseru nyaring: "Tay Ih
suheng, harap menerima amanat Liok-giok-hud-ciang!"
Tay Ih siansu seorang paderi tua yang penuh dengan toleransi besar. Selain ilmu silat,
ia pun mempunyai pengetahuan ilmu kebatinan yang tinggi. Tetapi demi melihat suasana
bunuh-membunuh antara sesama suheng dan sute, ia tak dapat menahan getaran hatinya
lagi. Dua titik air mata menetes turun.
"Apakah Ciang-bun-hong-tiang hendak perintahkan kepadaku?" tanyanya.
"Suheng adalah ko-chiu utama dari paderi Siau-lim-si angkatan ketiga. Terimalah
amanat tongkat Liok-giok-hud-ciang ini. Dalam lima puluh jurus harus dapat membunuh
orang yang berani menyelundup ke tempat terlarang sini"."
"Jika dalam lima puluh jurus siau-heng gagal mengalahkan mereka?""
"Jika gagal, harap menebus dosa dengan kematian!" tukas Tay Hong siansu.
Tay Ih siansu pejamkan mata. Wajahnya mengerut gelap. "Jika siau-heng menolak
amanat Liok-giok-hud-ciang itu, bagaimanakah hukumannya?"
"Duduk menghadap ke utara, mencabut golok dan bunuh diri!"
"Itulah," sahut Tay Ih tak gentar, "paling-paling hanya mati. Siau-heng memberanikan
diri sekali ini untuk menolak amanat Liok-giok-hud-ciang!"
Habis berkata ia terus berputar tubuh. Duduk menghadap ke arah utara.
Tay Hong marah. Ia menghampiri perlahan-lahan. "Suheng berani menolak amanat
Liok-giok-hud-ciang" Sungguh suatu perbuatan yang memalukan para sucou gereja Siaulimsi!" Sahut Tay Ih: "Ciangbun sute, hendaknya jangan menyebut-nyebut tentang para
leluhur guru"."
Ia menghela napas panjang, kemudian berkata lagi: "Tak perlu menyebut para leluhur
kita. Cukup terhadap suhu kita saja. Beliau telah melimpahkan kepadamu budi yang
besar dan menumpahkan seluruh harapannya. Toa-suheng kita, pun demi kepentinganmu
telah meninggalkan gereja ini sehingga sampai sekarang sudah berpuluh tahun tiada
beritanya lagi"."
Rupanya Tay Hong tersentuh hatinya mendengar kata-kata suhengnya itu. Ia
termenung diam. Tiba-tiba Tay Ih siansu berbangkit bangun, ujarnya: "Adalah karena kepercayaan suhu,
maka peraturan Siau-lim-si yang turun-temurun telah dilanggar. Pengangkatan sute
sebagai ciangbunjin adalah melanggar peraturan itu. Berat nian kewajiban yang sute
harus lakukan. Jika sute tak dapat mengembangluaskan nama Siau-lim-si, itu sudah
berarti melanggar kepercayaan insu (guru yang berbudi). Apalagi jika sute sampai
bertindak menumpas gereja ini, entah bagaimana sute kelak akan
mempertanggungjawabkan apabila sute besok menghadap insu di alam baka!"
Wajah Tay Hong mengerut dalam. Tetapi dari pancaran seri wajahnya, agaknya ia
sadar tak sadar akan ucapan suhengnya itu. Dipandangnya Tay Ih siansu dengan tajam.
Sekonyong-konyong ketua Siau-lim-si itu mengangkat tongkat Liok-giok-hud-ciang terus
diayunkan ke kepala Tay Ih siansu.
Sesungguhnya Tay Ih siansu sudah mengetahui sikap sutenya itu. Akan tetapi karena
ia kuatir akan merusakkan tongkat pusaka gereja, maka ia tak berani melawan dan hanya
tundukkan kepala menanti kematian.
Tetapi Siu-lam sudah siap. Tak mau ia melihat seorang paderi berilmu harus
mengorbankan jiwanya secara sia-sia. Cepat ia melesat maju. Tangan kanan
menghantam Tay Hong, tangan kiri menyambar tongkat Liok-giok-hud-ciang.
Tay Hong menghindar ke samping. Ia turunkan tongkat untuk menutuk perut Siu-lam.
Tetapi anak muda itupun tak kurang gesitnya. Ia miringkan tubuh seraya menerjang
maju. Setelah terhindar dari ujung tongkat, ia segera lepaskan dua buah pukulan.
Untuk yang kedua kalinya Tay Hong terpaksa harus menghindari serangan kilat dari
pemuda itu. Siu-lam tak mau lanjutkan serangannya. Ia memandang ke arah sekalian paderi yang
hadir di ruang itu. Tampak wajah mereka menampilkan kemuraman dan kegelisahan.
Jelas mereka tak tahu apa yang harus dilakukan saat itu.
Tay Hong siansu memutar tongkat kumala dan berseru nyaring: "Tay Ih suheng, lekas
usir budak ini keluar!"
Tay Ih merenung sejenak. Akhirnya ia melangkah pelahan-lahan dan menghardik Siulam:
"Segenap murid Siau-lim-si, selalu taat kepada amanat tongkat Liok-giok-hud-ciang.
Begitu tongkat itu muncul berarti sama dengan para leluhur cousu Siau-lim-si
menampakkan diri. Perbawa kekuasaannya mutlak sekali"."
Siu-lam tertawa hambar: "Tetapi aku bukan murid Siau-lim-si. Rasanya aku tak perlu
harus mentaati amanat tongkat pusaka itu"."
"Tetapi sebagai murid Siau-lim-si, loni tak boleh tidak harus taat akan amanat tongkat
Liok-giok-hud-ciang itu!" tukas Tay Ih.
"Apakah maksud lo-cianpwe hendak mengusir wanpwe dari ruang ini?" Siu-lam
menegas. "Loni sukar membantah amanat Liok-giok-hud-ciang. Harap Pui-sicu suka memaklumi!"
Memandang ke arah Tay Hong siansu, Siu-lam melihat mata ketua Siau-lim-si berkilatkilat
bengis sekali. Jelas ketua Siau-lim-si itu bergerak hendak mengenyahkannya dari
ruang itu. Namun jika ia keluar dari situ, jelas tentu berpuluh korban akan jatuh. Bukan
saja paderi golongan angkatan Tay, pun beratus-ratus paderi yang berada di halaman,
akan tumpas binasa karena mentaati amanat Liok-giok-hud-ciang yang gila-gilaan.
Apabila dugaan Siu-lam tak meleset, Siau-lim-si pasti akan lenyap dari dunia persilatan.
Sebuah partai persilatan yang telah harum namanya selama beratus-ratus tahun, dalam
sekejap mata saja akan habis ludas.
Siu-lam berdiri bulu romanya ketika membayangkan peristiwa ngeri semacam itu.
"Ah, biarlah aku menyalahi Siau-li-si dan tak mau keluar dari ruangan ini daripada harus
melihat Siau-lim-si hancur lebur!" akhirnya ia mengambil keputusan.
"Jika wanpwe tak bersedia meninggalkan ruang ini?" tanyanya kepada Tay Ih siansu.
Tay Ih menghela napas panjang, ujarnya:
"Karena loni tak dapat membantah amanat dan sicu tak mau meninggalkan ruang ini,
terpaksa loni akan menyalahi sicu!"
Siu-lam berpaling ke arah Lam-koay dan Pak-koay lalu berkata dengan sungguhsungguh:
"Ratusan tahun yang lalu, gereja Siau-lim-si termasyhur sebagai pembasmi
kejahatan. Baik golongan putih maupun hitam, semua mengindahkan Siau-lim-si. Tetapi
keadaan saat ini ternyata berlainan. Jika aku pergi dari ruang ini dikuatirkan Siau-lim-si ini
akan hancur. Mungkin sejak saat ini nama Siau-lim-si itu akan terhapus dalam dunia
persilatan!" Siu-lam mengucapkan kata-katanya dengan lantang sekali. Setiap patah kata bagai
pisau tajam menusuk ulu hati sekalian paderi Siau-lim-si. Tay Ih siansu berubah
wajahnya. Dia tundukkan kepala, rangkapkan kedua tangan dan mengucap Omitohud!
Melihat sekalian paderi tergerak hatinya, Siu-lam melanjutkan kata-katanya lagi: "Siaulimsi termasyhur karena peraturannya yang keras. Tetapi masalah dunia ini, tidak abadi
sifatnya. Saat ini keadaannya berbahaya sekali. Menyangkut kelangsungan hidup atau
kehancuran Siau-lim-si. Dalam keadaan segmenting itu, rasanya sekalian leluhur Siau-limsi
yang bersemayam di alam baka tentu takkan menyalahkan, apabila para cianpwe suhu
melanggar peraturan itu!"
Dari ucapan itu, Siu-lam hendak memberi bisikan kepada sekalian paderi bahwa dalam
keadaan genting seperti saat itu, tak perlulah kiranya harus mengikat diri pada peraturanperaturan
tongkat Liok-giok-hud-ciang atau kedudukan Ciang-bun-jin (ketua)".
Diam-diam Tay Ih siansu membatin: "Tujuan Tay Hong sute sudah jelas. Dengan
mengandalkan kekuasaan tongkat Liok-giok-hud-ciang dan kedudukan sebagai Ciang-bunjin,
ia hendak menghancurkan Siau-lim-si. Dan tampaknya pribadi Tay Hong sute jauh
berbeda dengan yang lalu. Tentu terjadi sesuatu pada dirinya. Dalam keadaan seperti
saat ini hanya aku dalam kedudukanku sebagai suheng, dapat melawannya. Jika hal itu
memang dianggap melanggar peraturan gereja, biarlah kelak kutebus dengan kematian.
Dengan begitu Siau-lim-si takkan kehilangan gengsinya!"
Benih perlawanan mulai tumbuh, tetapi serempak dengan itu naluri kepatuhan akan
peraturan gereja, pun mencengkeram hatinya. Dua macam perasaan yang saling
bertentangan, bergolak hebat dalam batinnya.
Keadaan dalam ruang musyawarah itupun sunyi senyap".
Tiba-tiba terdengar suara tertawa semacam burung hantu mengukuk. Itulah suara
tertawa seram dari Pak-koay Ui Lian.
"Buyung, perlu apa kau ribut-ribut?"
Cepat Siu-lam berpaling ke arah tokoh aneh itu: "Bukankah lo-cianpwe berdua sudah
memahami arti kata-kata bahwa janji seorang ksatria itu sungguh teguh, seperti tegak
gunung Thaysan. Karena lo-cianpwe sudah sungguh membantuku, kuharap lo-cianpwe
menepati janji itu!"
Pak-koay Ui Lian mendengus: "Hm, setelah selesai menunaikan janjiku itu, tentu akan
kuberimu hajaran." Sekonyong-konyong terdengar suara musik mengalun. Dan serentak dengan itu
berubahlah Tay Hong siansu. Sambil memutar tongkat Liok-giok-hud-ciang ia segera
menerjang Siu-lam sambil berseru memerintahkan sekalian paderi: "Lekas bunuh orang
ini!" Di bawah perintah dari tongkat pusaka gereja, sekalian paderi yang hadir di situ
serempak hendak bergerak.
Tetapi Tay Ih siansu cepat mencegahnya: "Harap sekalian sute jangan tergesa-gesa
turun tangan dulu. Biarlah dosa melawan amanat tongkat Liok-giok-hud-ciang suheng
yang memikulnya. Jelaslah sudah bahwa perangai Tay Hong sute telah berubah.
Rupanya seperti telah dikuasai orang. Demi kepentingan Siau-lim-si, kita harus
menyelidiki hal itu sejelas-jelasnya. Setelah hal itu jelas, barulah nanti suheng akan
menebus dosa di hadapan arwah semua leluhur Siau-lim-si!"
Yang hadir dalam ruangan, kebanyakan adalah paderi golongan gelar Tay. Jika bukan
ketua bagian tentulah berkedudukan sebagai tianglo atau penilik gereja.
Dalam hati mereka sudah marah sekali menyaksikan perbuatan Tay Hong yang dengan
mengandalkan kekuasaan tongkat pusaka dan kedudukannya sebagai ketua telah
membunuh Tay Hui, Tay Goan, Tay Seng dan Tay Hi. Tetapi karena kepatuhannya akan
peraturan gereja, mereka hanya dapat marah tapi tak berani menyatakan apa-apa. Maka
seruan Tay Ih yang bersedia mempelopori perlawanan terhadap tongkat Liok-giok-hudciang
itu, ternyata mendapat sambutan yang baik. Merekapun hentikan langkah.
Tay Ih mempunyai kedudukan yang tinggi dalam kalangan paderi golongan gelar Tay.
Bahkan ketua Siau-lim-si yang sekarang, yakni Tay Hong, adalah sutenya. Sekalian murid
Siau-lim-si menaruh perindahan tinggi kepadanya. Anjuran Tay Ih itu cepat mendapat
sambutan menyetujui. Suara alunan musik itu makin lama makin dekat. Dan beberapa saat kemudian sudah
berada di luar ruangan besar.
Saat itupun pertempuran antara Tay Hong lawan Siu-lam, pun sudah mencapai babak
genting. Selain menggempur dengan tongkat kumala pun Tay Hong menyerempaki
dengan gerakan jari dan pukulan untuk menyerang lawan.
Siu-lam lebih banyak bertahan daripada menyerang. Dia menyadari bahwa sekalipun
para paderi itu tak puas dengan tindakan Tay Hong, tetapi jika ia sampai melukai ketua
Siau-lim-si itu, tentu akan menimbulkan kemarahan sekalian paderi.
Tay Ih dan sekalian paderi yang hadir di situ, hanya diam melihati pertempuran itu
saja. Mereka tak membantu Tay Hong, pun tidak mau menghentikan pertempuran itu.
Duapuluh jurus serangan telah dilancarkan Tay Hong namun kesemuanya itu dapat
dihindari Siu-lam. Selama dalam pertempuran itu, sekalian paderi mendapat kesan bahwa ilmu
kepandaian Tay Hong siansu jauh sekali bedanya dengan dahulu. Walaupun serangannya
tetap menggunakan ilmu ajaran Siau-lim-si, tetapi gerakannya lambat dan tidak
bertenaga. Maka dapatlah serangan-serangan itu dipatahkan Siu-lam.
Siu-lam sendiripun mempunyai kesan demikian. Ia heran mengapa Tay Hong sekarang
tidak lagi sesakti seperti di kala paderi itu memimpin serangan ke Beng-gak.
Saat itu benar-benar suara alunan musik sudah berada di luar ruangan. Nadanya
makin mengalun cepat dan nyaring. Dan seperti mengikuti irama musik itu, gerakan Tay
Hong pun makin gencar dan saru. Jelas bahwa ketua Siau-lim-si itu telah dipengaruhi oleh
suara musik di luar. Setelah mendengar dengan seksama, tiba-tiba Siu-lam merasa seperti pernah
mendengar bunyi musik itu. Dan serentak dengan itu teringatlah ia aka nasal-usul musik
itu. Seketika tergetarlah hatinya.
Wut, wut, ia lancarkan dua buah pukulan dahsyat. Setelah mengundurkan Tay Hong,
segera ia berseru kepada kawanan paderi: "Ketua Siau-lim-si telah dikuasai orang Benggak.
Musik yang melengking tajam itu, berasal dari gerombolan Beng-gak. Jika sekalian
toa-suhu tetap mengikat pada peraturan Siau-lim-si, rela mematuhi amanat Liok-giok-hudciang,
kehancuran gereja Siau-lim-si pasti segera tiba!"
Dalam pada berkata itu, Siu-lam pun sudah menetapkan rencana. Ia gunakan jurus
ajaran dari kakek Hian-song. Dan mulailah ia melakukan serangan balasan yang gencar.
Tay Hong seketika terdesak mundur.
"Pui sicu, harap suka memberi kelonggaran!" seru Tay Ih siansu.
"Jangan kuatir taysu, tak nanti ciangbunjin Siau-lim-si akan kucelakai!" Siu-lam
memberi penegasan. Cepat ia mengganti serangannya dengan jurus hud-hwat-bu-pian. Tangan kiri
mengancam mencengkeram dada Tay Hong. Tangan kanan nyelonong dari samping
menyambar siku lengan lawan. Sekali menekan sekuat-kuatnya, tongkat Liok-giok-hudciang
sudah berpindah ke tangannya dan cepat-cepat ia melesat mundur.
Sekalian paderi terkesiap kaget. Melihat tongkat pusaka Siau-lim-si direbut orang,
mereka serempak hendak menyerbu. Bahkan Tay Ih siansu yang tadi jelas menentang
Tay Hong, saat itupun mendahului menyerang Siu-lam dengan jurus Hud-hun-te-sing.
Jilid 25 JURUS itu merupakan ilmu tangan kosong yang istimewa dari Siau-lim-si. Sudah tentu
Siu-lam sukar menghindari serangan tak terduga-duga itu. Tongkat pusaka dapat
dicengkeram Tay Ih. Siu-lam kerutkan dan membentak keras-keras: "Jika lo-siansu tak mau melepaskan
tongkat ini sehingga pusaka gereja Siau-lim-si sampai rusak, jangan persalahkan pada
wanpwe!" Dengan sekuat tenaga ia menariknya ke belakang. Karena takut tongkat pusaka itu
rusak terpaksa Tay Ih lepaskan cekalannya.
Siu-lam ayunkan tongkat itu untuk menghalau tiga orang paderi yang hendak
menyerbunya. Karena takut tongkat pusaka itu rusak, ketiga paderi itupun terpaksa tak
berani menangkis dan hanya loncat menghindar saja.
Setelah mengundurkan kawanan paderi, berserulah Siu-lam dengan lantang: "Bagi
wanpwe, tongkat pusaka ini tiada berguna. Harap sekalian suhu jangan menduga jelek
kepadaku, sama sekali wanpwe tak mempunyai pikiran untuk memiliki tongkat ini"."
Tiba-tiba kata-katanya terputus oleh sebuah tertawa dingin yang menghambur dari luar
ruang. Serempak dengan itu terdengar suara seruan melengking: "Tetapi dengan
jatuhnya tongkat pusaka Siau-lim-si ke tangan orang lain, berarti suatu hinaan yang
memalukan!" Siu-lam berpaling. Di luar ruangan tampak delapan lelaki berpakaian ringkas sedang
mengawal sebuah tandu, tegak dua orang gadis. Yang seorang berpakaian biru dan yang
seorang berpakaian warna merah.
Agaknya Lam-koay dan Pak-koay tertarik perhatiannya kepada tandu itu. Keduanya
memandang tandu itu dengan tajam.
Melihat tandu itu, segera Siu-lam berseru kepada sekalian paderi Siau-lim-si: "Itulah
rombongan Beng-gak. Menilik cara kedatangannya, kemungkinan ketua Beng-gak datang
sendiri!" Tay Ih menghela napas perlahan dan berpaling kepada sekalian paderi: "Ini suatu bukti
yang nyata bahwa ciang-bun sute telah dikuasai oleh orang Beng-gak. Demi melindungi
gereja Siau-lim-si yang telah dibangun sejak beratus tahun, terpaksa kita harus
melepaskan diri dari segala ikatan peraturan. Apapun yang akan terjadi, semua adalah
tanggung jawab loni seorang. Sekarang harap sekalian sute mendengar petunjukku."


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang berada dalam ruang permusyawarahan situ, kecuali Tay Ih dan Tay Hong serta
keempat sute mereka yang sudah menjadi mayat di tengah ruangan, kini hanya tinggal
empat orang paderi golongan gelar TAY.
Sejak berdirinya Siau-lim-si ratusan tahun yang lalu, baru pertama kali itu mengalami
peristiwa yang sedemikian tragis.
"Baik, kami siap menunggu perintah suheng," keempat paderi gelar Tay itu serempak
mengatakan ketaatannya. Tay Ih siansu tersenyum getir, serunya: "Tay To sute, lindungilah ciang-bun-jin!"
Tay To siansu mengiyakan dan segera menghampiri Tay Hong siansu. Tampak
sepasang mata ketua Siau-lim-si itu merentang lebar memandang ke arah tandu di luar
ruang. Napasnya masih terengah-engah karena habis bertempur dengan Siu-lam tadi.
Siu-lam segera mengangsurkan tongkat Liok-giok-hud-ciang kepada Tay Ih: "Tongkat
pusaka ini merupakan lambing kekuasaan tertinggi dari gereja Siau-lim-si. Harap lo-siansu
menggunakan tongkat ini untuk memberi perintah!"
Dengan khidmat, Tay Ih menyambuti tongkat itu lalu berpaling kepada dua orang
paderi yang berada di sebelah kiri: "Harap sute berdua memimpin barisan Lo-han-tin"."
Tiba-tiba Pak-koay Ui Lian meraung keras. Ia ayunkan tangannya menghantam tandu.
Lwekang orang aneh itu tinggi sekali, apalagi dia meyakinkan ilmu pukulan Hian-pingciang.
Pukulan yang disertai kemarahan itu, menimbulkan tenaga yang luar biasa
kedahsyatannya. Siu-lam terkejut. Ia heran mengapa tahu-tahu Pak-koay marah-marah. Jika yang
berada dalam tandu itu benar-benar ketua Beng-gak, serangan Pak-koay itu tentu akan
menimbulkan kemarahan. Dan pertempuran dahsyat pasti akan terjadi.
Belum Siu-lam hilang kejutnya, tiba-tiba Lam-koay Shin Ki pun mendengus geram:
"Hm, budak kurang ajar, engkau berani kurang ajar di hadapanku!" mengangkat tangan ia
pun segera lepaskan pukulan ke arah tandu.
Dua penjaga berbaju hitam yang menjaga di muka tandu, rupanya tak kenal siapa Pakkoay.
Dengan garang mereka menangkis. Mereka baru terkejut sekali ketika tubuh
mereka dilanda oleh serangkun gelombang hawa yang amat dingin sekali. Tubuh mereka
menggigil dan terhuyung-huyung ke belakang terus rubuh ke tanah.
Beberapa pengawal baju hitam yang menjaga di sekeliling tandu, serempak
menjulurkan tangan mereka ke muka dada. Mereka bersatu untuk menangkis pukulan
Hian-ping-ciang. Benar pukulan Pak-koay dapat ditahan, tetapi tak urung wajah pengawal tandu itu
berubah pucat. Tubuh mereka menggigil seperti dibenam air es.
Pada saat pengaruh pukulan dingin itu masih belum lenyap, tiba-tiba pukulan Cek-yanciang
atau pukulan bara merah dari Lam-koay Shin Ki menyusul tiba.
Pukulan ganas Cek-yan-ciang tak kalah dahsyatnya dengan pukulan dingin Hian-pingciang.
Hanya sifatnya yang berbeda. Kalau Hian-ping-ciang menghambur hawa sedingin
es, Cek-yan-ciang menguap bara api yang sepanas lahar gunung berapi.
Melihat gelagat jelek, kedua gadis baju biru dan merah tadi segera lompat lari ke luar
halaman. Melihat itu, dengan gugup Siu-lam segera berseru kepada Lam-koay dan Pak-koay:
"Harap lo-cianpwe berdua mengejar kedua gadis itu. Sebaiknya dapat ditangkap hiduphidup
agar wanpwe dapat menjatuhkan hukuman!"
Lam-koay dan Pak-koay merupakan tokoh yang termasyhur di dunia persilatan. Sejak
malang melintang di dunia persilatan, kecuali dikalahkan oleh Kak Seng taysu, mereka
belum pernah mendapat tanding. Bahwa saat itu Siu-lam seolah-olah memberi perintah,
mereka marah sekali. "Huh, bayi yang belum hilang bau tetek ibunya, berani memerintah padaku?" seru Pakkoay
Ui Lian. Tetapi ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saat itu terdengar
beberapa suara erang tertahan disusul dengan jatuhnya beberapa sosok tubuh ke tanah.
Ternyata beberapa pengawal tandu tadi, sudah remuk perkakas dalam tubuhnya ketika
menerima pukulan Hian-ping-ciang dari Pak-koay Ui Lian. Mereka sudah tak dapat
bertahan lagi. Saat itu Tay Ih siansupun tiba. Ketika melihat keadaan Tay Hong, dia terkesiap dan
membisiki Tay To: "Tay To sute, bawalah dia ke ruang Kwat-si-wan untuk beristirahat."
"Tay Hong suheng sudah kehilangan kesadaran pikirannya. Dikuatirkan dia tak dapat
tenang!" kata Tay To.
"Jika perlu, tutuklah jalan darahnya!" kata Tay Ih.
Tay To mengiyakan. Segera ia menutuk jalan darah Tay Hong lalu dibawanya ke ruang
Kwat-si-wan. Suasana ruang kedua dari gereja Siau-lim-si kembali tenang. Tiba-tiba Tay Ih bertanya
kepada Siu-lam tentang isi tandu itu.
"Entahlah, bermula tampaknya seperti terisi tokoh Beng-gak yang penting. Tetapi
sekarang rupanya bukan"."
"Biarlah loni yang membuka selubung tandu itu!" kata Tay Ih seraya terus hendak
menarik kain selubung tandu itu.
"Tunggu dulu, siansu!" cegah Siu-lam.
"Kenapa?" "Gerombolan Beng-gak banyak akal muslihat. Kedua gadis baju merah dan biru tadi
adalah murid kesayangan ketua Beng-gak. Kepandaian mereka cukup sakti. Beberapa
hari yang lalu, taysu sendiri pernah bertempur dengan mereka di dalam"."
"Benar," sahut Tay Ih.
"Jika dalam tandu berisi pemimpin Beng-gak tak mungkin kedua gadis itu meninggalkan
begitu saja. Tetapi apabila tandu itu tidak terisi tokoh penting, tentu terisi suatu
perangkap yang berbahaya"."
Siu-lam berhenti sejenak. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada beberapa pengawal
tandu yang terkapar di tanah. Semuanya mati kecuali hanya seorang yang masih
bernapas. Siu-lam menghampiri orang itu dan menarik tubuhnya lalu dibuka jalan darahnya.
Pengawal tandu itu menghela napas panjang dan membuka mata.
"Apa isi tandu itu" Lekas kau bilang jika kau ingin hidup!" hardik Siu-lam.
Mulut pengawal itu bergerak, tangannya bergoyang-goyang dan kepalanya
menggeleng. Tapi sepatah pun ia tak mengatakan apa-apa.
"Apa kau benar-benar tak mau mengatakan?" bentak Siu-lam. Dengan geram ia
mendorong tubuh orang itu. Karena sudah terluka parah, dorongan itu membuatnya
muntah darah dan putuslah jiwanya.
Siu-lam tertegun. Ia berbangkit dan berkata pada Tay Ih: "Harap lo-cianpwe suka
memberi perintah agar semua paderi yang duduk di halaman itu segera kembali ke posnya
masing-masing. Suasana tenang saat ini, hanya sementara saja. Merupakan permulaan
dari gelombang badai yang segera akan melanda. Menilik telaganya pertempuran dahsyat
segera akan terjadi!"
Tay Ih menghaturkan terima kasih atas bantuan anak muda itu.
"Ah, wanpwe hanya sekedar melaksanakan perintah dari seorang lo-cianpwe saja," kata
Siu-lam. "Siapa?" Tay Ih heran.
"Maaf, kelak siansu tentu mengetahui sendiri," kata Siu-lam. Kemudian ia pinjam
pedang kepada Tay Ih. Tay Ih merogoh jubahnya dan menyerahkan sebuh gin-pay yang berbentuk panjang.
"Benda ini kuterima dari Tay Hui sute ketika hendak menutup mata. Tay Hui sute
mengatakan benda ini milik sicu dan supaya diserahkan kepada sicu."
Gin-pay atau lencana perak itu dahulu ditemukan Siu-lam di bawah tulang tengkorak
wanita Giok-kut-yau-ki Ih Ing-hoa dalam goa di perut gunung Po-to-san.
Siu-lam segera menyimpan benda itu.
Tay Ih siansu memanggul tongkat Liok-giok-hud-ciang menuju ke depan tangga hitam.
Sambil mengacungkan tongkat pusaka itu, ia berseru nyaring:
"Ciang-bun-jin Siau-lim-si Tay Hong sute saat ini berada dalam kekuasaan pengaruh
orang Beng-gak. Entah diberi racun apa. Yang jelas kesadaran pikirannya hilang. Demi
menyelamatkan gereja Siau-lim-si, terpaksa loni memberanikan diri untuk mengambil alih
pimpinan gereja. Setelah ancaman bahaya musuh berlalu, loni segera menyerahkan diri di
hadapan arwah leluhur cou-su Siau-lim-si, untuk menerima keputusan hukuman yang
dijatuhkan para tianglo"."
Sekalian paderi yang berada di halaman itu serempak memberi hormat kepada tongkat
pusaka. Berkata pula Tay Ih: "Saat ini musuh sedang mengerahkan anak buahnya untuk
menyerang gereja ini. Tetapi berkata bantuan Pui sicu, rencana mereka telah gagal.
Untuk sementara waktu, harap kalian kembali ke tempat masing-masing dulu. Yang
tinggal di sini hanya anggota-anggota barisan Lo-han-tin untuk berjaga-jaga."
Para paderi yang duduk di halaman itu serempak berbangkit dan bubaran. Yang masih
tinggal hanya lebih kurang seratus paderi.
Siu-lam mengambil tongkat salah seorang paderi yang meninggal lalu digunakan untuk
menyingkap kain selubung tandu.
Begitu kain selubung tersingkap, segumpal asap putih berhamburan keluar. Ternyata
dalam tandu itu terisi sebuah Giok-ting atau tempat pendupaan dari kumala. Dari Giokting
itulah asap gumpalan membubung keluar.
Seketika Siu-lam teringat akan pengalalamannya ketika di Beng-gak dahulu. Serentak
ia terkejut dan berteriak sekeras-kerasnya: "Awas, asap dari Giok-ting itu mengandung
racun! Harap sekalian suhu jangan mendekatinya"."
Sekalian paderi Siau-lim-si mempunyai kesan baik terhadap Siu-lam. Sekarang mereka
menaruh perindahan kepada anak muda itu. Mendengar peringatan Siu-lam, buru-buru
para paderi itu menutup pernapasan dan menyingkir ke samping.
Siu-lari menuju ke dataran rumput. Menjemput segenggam pasir ia segera menimpa
Giok-ting. Diam-diam ia mengagumi ketajaman panca indera kedua tokoh Lam-koay dan Pakkoay.
Begitu tandu tiba, kedua tokoh itu segera sudah mencium bau, maka dengan cepat,
kedua tokoh aneh itu segera menghantam mati pengawal-pengawal tandu. Jika tidak
dibinasakan, tentulah kawanan pemikul tandu itu sempat membuka selubung tandu dan
celakalah semua orang apabila asap sampai berhamburan kemana-mana.
Para paderi segera membantu Siu-lam untuk memadamkan Giok-ting dengan timbunan
pasir. Siu-lam minta agar Tay Ih siansu memerintahkan rombongan paderi meninggalkan
halaman itu. "Sebaiknya barisan Lo-han-tin itu disiapkan untuk menjaga tempat-tempat yang
penting. Halaman terlanjur dibaur asap beracun. Di dalam beberapa waktu asap itu tentu
belum lenyap pengaruhnya. Wanpwe sendiri hendak menjenguk kedua tokoh aneh yang
mengejar musuh tadi!" katanya lebih lanjut.
Tay Ih siansu mempersilahkan pemuda itu supaya meninggalkan ruangan, tetapi Siulam
mengajak berjalan keluar bersama-sama. Para paderi pun mengiringkan kedua orang
itu. Setelah melintasi beberapa tikungan dan lorong bersimpang, di situlah para paderi
segera membentuk barisan Lo-han-tin.
Tay Ih siansu menghela napas: "Hari ini jika tidak mendapat bantuan Pui sicu mungkin
angkatan gelar TAY yang hanya tinggal empat orang ini, tentu sudah binasa di ruang
permusyawarahan tadi. Murid angkatan ketiga, walaupun terdapat beberapa orang yang
berpangkat bagus, tetapi mereka setingkat lebih rendah dari golongan TAY. Mereka tentu
tak berani menentang amanat tongkat Liok-giok-hud-ciang. Tanpa mengeluarkan seorang
anak buahnya, Beng-gak dapat menghancurkan gereja ini. Ya, tujuh-delapan ratus anak
murid Siau-lim-si pasti akan hancur binasa seluruhnya"."
Siu-lam menghibur paderi itu. Yang penting saat itu harus disiapkan rencana untuk
menghadapi serangan musuh.
"Saat ini bencana kehancuran total sudah lampau. Betapapun saktinya musuh tetapi
untuk menghancurkan Siau-lim-si, tidaklah mudah. Delapan ratus murid Siau-lim-si akan
bersatu-padu untuk mengadu jiwa demi membela gereja ini. Kami bertekad untuk
melawan sampai titik darah yang penghabisan. Musuh tentu akan membayar mahal jika
berani menyerang kemari," kata Tay Ih siansu.
Tak berapa lama datanglah dua orang paderi kecil dengan membawa sepasang pedang
pusaka. Tay Ih siansu menyerahkan sepasang pedang itu kepada Siu-lam.
"Sepasang pedang ini, walaupun bukan tergolong pusaka Siau-lim-si, tetapi sudah
ratusan tahun berada dalam gereja ini. Jika dipisah, sepasang pedang ini menjadi
sebatang. Tetapi jika disatukan menjadi satu. Yang satu hijau yang satu putih.
Tajamnya bukan buatan. Karena anak murid Siau-lim-si tak pernah menggunakan
pedang, maka loni hendak menyerahkan sepasang pedang itu kepada Pui sicu sebagai
tanda penghargaan gereja Siau-lim-si terhadap bantuan sicu kepada Siau-lim-si."
Siu-lam menyambuti pemberian itu dengan mengucap terima kasih. Begitu
menghunusnya, pedang itu memancarkan hawa dingin. Yang satu bercahaya hijau, yang
satu putih. Sepintas pandang, pedang itu terang bukan sembarang pedang.
"Ah, bagaimana wanpwe berani menerima pemberian begini hebat. Harap siansu suka
menukar dengan pedang biasa saja," katanya.
Tay Ih menghela napas: "Memang sepasang pedang itu, bukan pedang biasa.
Berpuluh tahun berselang pernah keluar dan menggemparkan dunia persilatan. Pedang
itu disebut Liong-kau-song-kiam. Yang hijau disebut Liong-kiam, yang putih Kau-kiam."
"Ah, wanpwe benar-benar tak berani menerimanya!" seru Siu-lam.
"Pui sicu telah banyak membantu Siau-lim-si. Sepasang pedang itu hanya sekedar
sebagai tanda terima kasih Siau-lim-si kepada sicu. Jika sicu menolak, berarti sicu
memandang rendah kepada loni."
Diam-diam Siu-lam merenung. Ia memastikan pihak Beng-gak tentu akan menyerang
Siau-lim-si lagi. Dengan memiliki senjata sepasang pedang pusaka itu, tentu akan
berguna sekali dalam menghadapi orang Beng-gak nanti. Lebih baik untuk sementara, ia
menerima pemberian itu. Setelah bahaya selesai, ia masih dapat mengembalikan lagi
pedang itu kepada Siau-lim-si.
"Baiklah, untuk sementara ini wanpwe hendak meminjamnya, apabila sudah selesai
tentu wanpwe kembalikan lagi"."
"Tidak, sejak saat ini, sepasang pedang itu sudah menjadi milik sicu!" kata Tay Ih.
Siu-lam tak mau tarik urat. Ia minta Tay Ih segera perintahkan para paderi bersiapsiap
menghadapi musuh, sedang ia sendiri segera menyusul kedua tokoh Lam-koay dan
Pak-koay. "Tapi sicu tak kenal jalanan di sini. Maksud loni hendak minta Tay Hi sute bersama
empat orang anak murid mengikuti sicu sebagai penunjuk jalan," kata Tay Ih.
Tapi Siu-lam tak perlu karena kedua Lam-koay dan Pak-koay itu beradat aneh.
Dikuatirkan nanti timbul salah paham. Kemudian ia segera lari keluar gereja. Paderi yang
tersebar di segenap penjuru gereja, setiap kali berjumpa dengan Siu-lam tentu memberi
hormat. Sampai di luar gereja, Siu-lam tetap belum melihat kedua tokoh aneh itu. Dia heran
dan gelisah. Ia kenal siapa gerombolan Beng-gak yang banyak tipu muslihatnya itu.
Diam-diam ia menyesal mengapa tak mau menerima tawaran Tay Ih supaya diantar oleh
Tay Hi yang lebih kenal jalanan di situ.
Tiba-tiba ia merasa seperti dilanda oleh suatu tenaga kuat yang tak bersuara. Untung
ia sudah waspada. Cepat-cepat ia kerahkan tenaga dalam untuk bertahan. Kemudian
dengan tibanya angin pukulan itu ia segera loncat ke udara dan melayang turun setombak
jauhnya. Sekalipun dengan meminjam tenaga orang itu ia berhasil terhindar dari bencana
kehancuran, namun tak urung darah dalam dadanya bergolak.
"Hei, siapakah yang memiliki tenaga dalam sedahsyat ini" Pada dalam lingkaran dua
tombak di sekeliling sini, tiada tempat untuk orang bersembunyi. Jelas bahwa penyerang
itu tentu berada paling sedikit pada jarak dua tombak jauhnya. Dan pukulan itu sama
sekali tak mengeluarkan suara apa-apa, jauh berbeda dengan pukulan Biat-gong-ciang?"
diam-diam ia menimang. "Hai, itulah Bu-ing-sin-kun"!" mendadak ia teringat. Dan serempak dengan itu ia
mendengar suara orang tertawa macam dering kelinting. Datangnya dari arah barat di
balik sebuah batu karang. Dan pada lain saat, muncullah seorang gadis berbaju merah".
Siu-lam terbeliak kaget. Nona baju merah salah satu murid dari Beng-gak. Diam-diam
ia heran mengapa kedua tokoh aneh tidak mampu meringkus nona itu.
Nona baju merah itu mencekal pedang dan kebut Hud-tim. Walaupun wajahnya agak
kaget namun mulutnya masih menyungging senyum, serunya: "Eh, bagaimana" Apakah
kau masih hidup dan tak jadi mati terlempar di jurang?"
Siu-lam berkerut dahi, serunya: "Kau mampu lolos dari tangan kedua lo-cianpwe itu,
benar-benar besar peruntunganmu!"
Nona baju merah itu agak tertegun: "Aku dapat berubah seratus macam rupa,
bagaimana engkau mampu mengenali aku?"
"Itulah! Yang dikejar oleh kedua lo-cianpwe itu tentulah lain orang yang menyamar
jadi dirimu," diam-diam Siu-lam tersadar. Kemudian ia mendengus: "Hm, orang Beng-gak
memang banyak akal muslihatnya"."
Nona baju merah itu tertawa mengejek:
"Gereja Siau-lim-si sudah masuk ke perangkap kami. Tunggu apabila nanti malam
suhuku datang tentu segera akan diadakan penyembelihan besar-besaran"."
"Ah, mungkin tidak seperti yang kalian harapkan?" sahut Siu-lam. Tetapi ia tak dapat
melanjutkan kata-katanya karena saat itu dadanya seperti terlanda oleh pukulan yang
tidak kelihatan. Siu-lam tadi sudah menderita serangan gelap semacam itu. Sudah tentu ia sudah
berjaga-jaga. Sekalipun pukulan itu tidak mengeluarkan suara, tetapi dalam suasana dan
tempat seperti di situ, asal orang memperhatikan dengan cermat, tentu akan merasa
adanya semacam gelombang arus hawa dingin. Buru-buru ia ayunkan tangan kanan
menampar. Ia sudah menginsyafi bahwa tenaga dalamnya tidak dapat mengimbangi serangan
pukulan tak bersuara itu. Sehabis memukul, ia cepat-cepat loncat ke samping dan
memaki. "Hai, Pek Co-gi, kalau memang ksatria, jangan main melempar batu sembunyi tangan
begitu! Jika berani hayo keluarlah! Aku mau coba sampai di mana ilmu kepandaian orang
Beng-gak. Selain pukulan Bu-ing-sin-kun, hayo keluarkanlah semua kebisaanmu!"
Siu-lam memperhitungkan. Kalau seorang tokoh sakti semacam Tay Hong siansu saja


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat ditundukkan Beng-gak, apalagi Bu-ing-sin-kun Pek Co-gi jago dari Tibet itu. Dan
dugaan itu didasarkan bahwa kecuali Pek Co-gi, rasanya tiada lain tokoh yang memiliki
ilmu pukulan tanpa suara.
Serempak dengan tantangan itu, dari balik sebuah pohon siong besar, muncullah
seorang lelaki bertubuh gemuk pendek. Di belakangnya diiringi empat-lima orang.
Setelah mengetahui jelas orang-orang yang muncul itu, Siu-lam tercengang-cengang.
Si gemuk pendek memang Bu-ing-sin-kun Pek Co-gi. Sedang pengiringnya itu ialah Sin-to
Lo Kun, Kiu-sing-tui-hun Kau Cin-hong, Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat dan Tui-hong-tiau
Ngo Cong-gi. Tokoh ternama itupun ternyata telah jatuh ke tangan Beng-gak. Dan dikuatirkan pula
bahwa Su Boh-tun dan Siau Yau-cu pun telah ditunjuk dan menjadi alat orang Beng-gak.
Tokoh-tokoh itu berilmu sakti, apabila Beng-gak sampai dapat menggunakan tenaga
mereka, tentu mengerikan sekali. Beng-gak tentu benar-benar akan dapat berhasil
melaksanakan cita-citanya untuk menguasai dunia persilatan".
Siu-lam teringat akan pengalamannya ketika menyerbu Beng-gak. Kawanan anak buah
Beng-gak yang mukanya dicontrengi warna-warni dan berpakaian aneh itu, kemungkinan
tentulah tokoh-tokoh berilmu yang telah jatuh dalam kekuasaan Beng-gak.
Terdengar nona baju merah itu tertawa melengking: "Kenalkah engkau pada mereka?"
Siu-lam cepat tenangkan perasaannya dan menyahut: "Benar, aku kenal mereka!"
Tertawalah nona baju merah itu dengan perasaan tawar: "Dan masih ada lagi Su Botun
dan tokoh Bu-tong-pay Siau Yau-cu itu, kenalkah engkau juga?"
"Hm, kalau kenal lalu bagaimana?"
"Mereka dahulu tentulah sahabat-sahabatmu, tetapi sekarang menjadi musuhmu?"
nona itu berhenti lalu memandang Pek Co-gi, serunya: "Apakah engkau yakin
kepandaianmu dapat mengalahkan kelima tokoh yang menyerangmu dengan serempak?"
Siu-lam terkejut. Diam-diam ia memang mengakui kebenaran ucapan nona itu.
Jangankan maju berbareng, sedang satu lawan satu saja, ia merasa belum tentu dapat
menang. Belum sempat ia menjawab, nona baju merah itu mengangkat tangan memberi isyarat.
Kiu-sing-tui-hun Kau Cing-hong, Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat dan Sin-to Lo Kun
serentak mencabut senjatanya dan maju ke muka.
Siu-lam pun cepat mencabut Ceng-liong-kiam dan Pak-kau-kiam sepasang pedang
pusaka pemberian Tay Ih siansu. Sepasang pedang itu memancar berkilat-kilat dingin.
"Pedang yang bagus sekali! Jangan harap kami dapat melepaskan engkau sebelum
sepasang pedang pusaka itu jatuh ke tanganku!" seru si nona baju merah seraya loncat ke
muka seraya kebutkan hud-tim dan memberi perintah kepada ketiga tokoh itu supaya
segera maju menyerang. Dengan golok kim-pwo-to, Lo Kun segera mempelopori menyerang lebih dahulu dengan
sebuah jurus Lat-biat-hoa-san. Ia hendak membelah kepala Siu-lam.
Melihat golok Lo Kun itu begitu dahsyat, karena kuatir akan merusakkan sepasang
pedangnya, Siu-lam terpaksa loncat menghindar ke samping.
Tetapi serentak ia disambut oleh Kau Cin-hong yang menutukkan ujung ruyungnya
Kau-kin-koa-thau (Ruyung urat naga kepala ular).
Siu-lam memutar pedang Ceng-liong-kiam yang dicekal di tangan kiri, untuk menjaga
ruyung. Melihat pedang itu mengeluarkan sinar yang berkilat-kilat dingin, Kau Cin-hong tidak
berani mengadu dengan ruyungnya. Cepat ia menarik kembali senjatanya.
Melihat sepasang pedang itu memancarkan sinar kehijau-hijauan, tak beranilah Kuisingtui-hun Kau Cin-hong untuk menangkis dengan ruyungnya. Buru-buru ia menarik
pulang ruyungnya. Tetapi pada saat itu thiat-pit dari Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat sudah menutuk dada
Siu-lam. Terpaksa Siu-lam menangkis dengan pedang di tangan kanan.
Tio Hong-kwat cepat menarik pit dan secepat kilat kibaskan tiga batang pedang yang
terikat pada tangan kanannya. Tiga batang pedang yang lebih banyak menyerupai bentuk
belati itu diikat dengan rantai halus pada siku lengannya. Dapat digunakan sebagai
senjata biasa pun sebagai senjata rahasia yang ditaburkan ke musuh.
Siu-lam menggembor keras. Ceng-liong-kiam dia terus dibabatkan dengan jurus Thiatsohlan-cou. Dalam beberapa bulan setelah mendapat pelajaran dari kakek Hian-song dan kedua
tokoh Siau-lim-si, Kak Bong dan Kak Hui, Siu-lam memperoleh kemajuan pesat sekali.
Ditambah pula dengan kecerdasan otaknya, dapatlah ia menggunakan apa yang telah
dipelajarinya itu dengan tepat dan cepat.
Cara mengendapkan pedang dan membalikkannya untuk menyerang, memang banyak
menghemat waktu tak sedikit. Dan gerakan yang singkat itu mengandung arti besar sekali
dalam menentukan kalah menang.
Tring" tepat sekali pedang Ceng-liong-kiam berhasil memapas belati yang dikibaskan
Tio Hong-kwat. Dan kutunglah belati itu menjadi dua dengan menimbulkan dering
gemerincing lengking suara.
Sama sekali Siu-lam tak mengira bahwa pedang pusaka pemberian ketua Siau-lim-si
ternyata sedemikian tajamnya. Ia sendiri tertegun.
Justru ia tengah tertegun, tiba-tiba Lo Kun membacok pinggangnya dan ruyung Kau
Cin-hong pun menutuk dada Siu-lam.
Sekalipun sebatang belatinya sudah terpapas tetapi Tio Hong-kwat masih mempunyai
dua batang belati. Dan tangan kanannya masih mencekal sebatang thiat-pit. Setelah
terkesiap sejenak, Tio Hong-kwat segera menyerang lagi.
Siu-lam memutar sepasang pedangnya melawan ketiga tokoh penyerangnya. Cengliongkiam dan Pek-kau-kiam diputar sederas hujan mencurah.
Beberapa bulan yang lalu, salah seorang dari ketiga tokoh itu tentu dapat mengalahkan
Siu-lam. Tetapi saat itu, keadaan jauh sekali bedanya.
Siu-lam telah mengembangkan ilmu pedang Tan lo-cianpwe (kakek dari Hian-song)
sedemikian hebat. Dalam setiap lima enam jurus tentu terdapat jurus yang sukar diduga
perubahannya sehingga musuh mau tak mau dipaksa mundur menghindar.
Tambahan pula Siu-lam mencekal sepasang pedang pusaka. Ibarat harimau tumbuh
sayap, ia dapat melayani ketiga tokoh itu dengan baik dan lancar.
Melihat itu, si nona baju merah kerutkan dahi. Jelas diketahui ketika masih di gunung
Kiu-kiong-san dahulu, pemuda itu masih lemah sekali kepandaiannya. Tapi mengapa
dalam waktu yang tak lama saja, dia sudah berubah menjadi seorang tokoh yang begitu
sakti. Betapapun cerdas otaknya, namun tak mungkin pemuda itu dapat mencapai
kemajuan yang sedemikian pesatnya. Jika dibiarkan, kelak pemuda itu tentu akan
merupakan bahaya besar. Seketika timbullah keganasan nona itu. Ia membisiki Pek Co-gi: "Dia mempunyai
sepasang pedang pusaka. Bantulah kawan-kawan kita dan segera bunuh pemuda itu.
Berikan pedang itu kepadaku!"
Pek Co-gi, jago Pukulan Tanpa Bayangan yang termasyhur di wilayah Tibet, ternyata
patuh sekali pada nona itu. Dengan menggembor keras ia loncat ke muka seraya
gerakkan kedua tangannya. Seketika menderalah angin badai dari pukulannya yang
dahsyat itu. Di dalam menghadapi pengeroyoknya, bermula Siu-lam berlaku hati-hati, hanya
bertahan diri tak mau membalas. Tapi sesudah lewat belasan jurus, nyali timbul.
Serangan ketiga tokoh itu ternyata hanya begitu saja. Pada saat ia memutuskan hendak
balas menyerang, tiba-tiba didengarnya Pek Co-gi menggembor keras dan menyerbu.
Seketika Siu-lam rasakan tubuhnya diserang oleh angin yang bertenaga kuat sekali
sehingga ia tersurut mundur tiga langkah dan sepasang pedangnyapun hampir lepas
jatuh. Memang Pek Co-gi telah membuka serangannya dengan ilmu Bu-ing-sin-kun, lalu ia
susul sekaligus dengan empat buah serangan.
Untung sebelumnya Siu-lam sudah kenal akan kelihayan ilmu pukulan Bu-ing-sin-kun.
Ia sudah berjaga-jaga. Maka begitu merasa angin pukulan itu menyambar, buru-buru ia
mundur. Tapi sekalipun begitu tak urung darahnya bergolak keras dan ia menderita luka dalam.
Buru-buru ia salurka lwekangnya untuk menyembuhkan luka itu. Ia tak mau mengunjuk
terluka dalam. Ia bersikap tenang seperti tak terjadi sesuatu. Ia sadar, kalau musuh
mengetahui ia terluka, mereka tentu akan menyerang sehebat-hebatnya.
Tapi lain bencana datang menyusul. Ialah dari si nona baju merah yang sudah melesat
ke hadapannya. Dan secepat ia pula kebutkan hud-tim ke tangan Siu-lam. Ia hendak
merebut sepasang pedang pusaka pemuda itu.
Tapi Siu-lam tak mau mudah begitu saja.
Pedang di tangan kiri digerakkan dengan jurus Pek-hun-jut-yu, menangkis kebutan si
nona. Nona baju merah itu ketawa melengking: "Ih, kau sudah terluka dalam. Jika tak lekas
menyalurkan tenaga, luka itu pasti mengembang dan jiwamu pasti takkan tertolong!
Sekalipun kau pura-pura memaksa diri menghadapi aku, tapi keadaanmu sudah payah.
Dalam tiga puluh jurus saja kau pasti sudah dapat kurubuhkan!"
Si nona menutup bicara dengan menghujani serangan-serangan. Siu-lam terkejut
karena nona itu sudah melihat keadaannya. Diam-diam ia memutuskan untuk
menurunkan tangan ganas. Ia sadar apabila sampai jatuh ke tangan musuh, nona itu
pasti takkan mengampuni jiwanya.
Sehabis menghindar dari tiga buah serangan pedang si nona, Siu-lam berkata: "Karena
aku pernah bertemu dengan orang tuamu, maka aku tak sampai hati melukaimu. Tetapi
mengapa engkau terus-menerus mengejar aku saja" Apa engkau kira aku benar-benar
takut kepadamu?" Yang dimaksud dengan orang tua si nona baju merah itu ialah orang tua she Hui yang
pernah menolong jiwanya ketika ia terhambur keluar dari perut gunung tempo hari.
Nona baju merah itu tertawa melengking: "Jangan ngaco belo tak keruan! Ayah
bundaku sudah meninggal dan aku dirawat oleh suhu. Jika engkau mau ketemu ayah
bundaku, pergilah ke akhirat!" ia menutup kata-katanya dengan tiga buah serangan
pedang. Dengan pedang Pek-kau-kiam, Siu-lam gunakan jurus Yap-hwe-soh-thian atau api
membakar langit untuk menahan ketiga serangan itu sedang Ceng-liong-kiam di tangan
kiri balas menyerang dengan jurus Se-lay-co-im. Ilmu pedang Se-lay-co-im ini ajaran dari
Kak Bong taysu. Ganas tapi mengandung welas asih.
Nona baju merah itu terkejut. Walaupun dalam taburan sinar pedang yang
berhamburan dari delapan penjuru itu masih terdapat beberapa lubang kelemahan, tetapi
ia tak tahu cara memecahkannya. Terpaksa ia mundur".
Tiba-tiba Sin-to Lo Kun menggembor keras dan menabas dengan golok kim-pwe-tonya.
Ilmu pedang Tat-mo-kiam dari Siau-lim-si, sekalipun merupakan ilmu pedang istimewa,
tetapi apabila akan menggunakan harus disertai dengan pengerahan tenaga dalam.
Dalam hal ini yang merupakan halangan bagi Siu-lam. Karena dadanya habis terkena
pukulan tanpa bayangan dari Pek Co-gi tadi, ia masih belum dapat menekan darahnya
yang bergolak-golak. Maka sewaktu menggunakan ilmu pedang Tat-mo-kiam, napasnya
terengah-engah. Terhadap tabasan golok Lo Kun, ia tidak berani menangkis tetapi loncat
menghindar. "Sekalipun aku memakai sepasang pedang pusaka dan mengerti ilmu pedang Tat-mokiam,
tetapi karena dadaku terluka pukulan Bu-ing-sin-kun, perlulah aku harus beristirahat
dulu. Apalagi kalau Pek Co-gi ikut menyerang lagi, tentu repot melayani," akhirnya ia
mengambil keputusan. Maka begitu melesat ke samping, tanpa memberi kesempatan musuh menyerangnya
lagi, ia terus lari ke dalam gereja.
"Kejar, dia sudah terluka dalam"!" teriak si nona baju merah.
Kawanan orang gagah itu rupanya taat sekali kepada si nona baju merah. Segera
mereka mengejar. Dengan paksakan diri, Siu-lam lari ke arah gereja. Untung dalam beberapa kejap ia
dapat mencapai pintu gereja. Empat orang paderi berjubah putih segera keluar
menyambut. "Hadanglah orang-orang yang mengejarku," kata Siu-lam seraya terus menerobos ke
dalam. Karena sudah kenal akan anak muda itu, keempat paderi itupun memberi jalan.
Kemudian mereka bersiap menyambut kawanan pengejar itu.
Baru beberapa langkah jauhnya, tiba-tiba Siu-lam teringat bahwa Pek Co-gi dengan Buingsin-kunnya itu merupakan bahaya besar. Dikuatirkan keempat paderi itu tak kuat
menghadapinya. Segera ia berhenti dan berpaling: "Harap siansu berempat berhati-hati
menjaga pukulan Bu-ing-sin-kun?" tiba-tiba ia teringat bahwa Pek Co-gi itu berasal dari
daerah Tibet, kemungkinan keempat paderi itu tersebut belum kenal ilmu pukulan
istimewa dari jago Tibet itu. Maka segera ia memberi penjelasan lagi: "Bu-ing-sin-kun
adalah ilmu pukulan istimewa. Pukulan itu tiada mengeluarkan suara. Baru ketahuan
setelah mengenai sang korban. Dia seorang gemuk pendek, harap hati-hati dan awasi
gerakan tangannya"."
Belum selesai ia memberi penjelasan tiba-tiba seorang paderi yang berada di sebelah
kiri terdengar mendesah tertahan dan terhuyung tiga langkah ke belakang".
Ternyata sewaktu Siu-lam memberi penjelasan, paderi itu sudah terkena pukulan Buingsin-kun dari Pek Co-gi. Siu-lam tergetar hatinya: "Jika aku memikirkan kepentingan diriku sendiri, keempat
paderi ini tentu hancur di tangan mereka. Sudah tentu aku malu terhadap Tay Ih siansu!"
Dengan pertimbangan itu, ia tak jadi masuk ke dalam tetapi melangkah keluar lagi. Ia
diam-diam kerahkan tenaga dalam menanti kedatangan musuh.
Saat itu pertempuran sudah pecah. Kecuali paderi yang belum-belum sudah terkena
pukulan Bu-ing-sin-kun tadi, yang tiga orang segera mengadakan perlawanan.
Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat, Kiu-sing-tui-hun Kau Cin-hong dan Sin-to Lo Kun,
walaupun menyerang hebat tetapi ketiga paderi dengan senjata hong-pian-jan dan thiatsiangciang itu telah memberi perlawanan yang gigih.
Melihat itu si nona baju merah memperhitungkan bahwa sekalipun bertempur sampai
seratus jurus, tetap takkan ada kesudahannya. Ia mulai gelisah menyaksikan
pertempuran seru. Begitu seru sehingga sukar dibedakan mana lawan mana kawan.
Dalam keadaan begitu Pek Co-gi pun tak sempat melancarkan pukulan sakti Bu-ing-sinkun
lagi. Tak dapat lagi si nona baju merah itu menahan diri. Segera ia melesat menyerbu ke
tengah pertempuran. Dengan pedang ia menusuk dada seorang paderi dan hud-tim di
tangan kiri mengebut lengan seorang paderi di sebelah kiri.
Desakan nona itu memaksa kedua paderi Siau-lim-si tadi mundur selangkah.
Memang ilmu silat dari Beng-gak mempunyai aliran tersendiri. Selain jurus-jurusnya
yang aneh, pun sangat ganas. Jauh bedanya dengan ilmu silat yang kebanyakan. Begitu
nona baju merah itu terjun dalam pertempuran, situasinya segera berubah. Ketiga paderi
itu bingung tak keruan menghadapi serangan si nona yang menggunakan jurus-jurus
serba aneh dan ganas. Saat itu Siu-lam sudah sempat menyalurkan lwekangnya. Melihat ketiga paderi
terdesak, ia segera loncat membantu.
Memang sejak makan kuwih Cwan-hiong-kau dari paderi Kak Bong dan disaluri tenaga
sakti dari paderi itu, ia merasa terdapat perubahan dalam tubuhnya. Maka dalam waktu
yang singkat saja, ia sudah pulih tenaganya.
Tiba-tiba terdengar suara doa yang nyaring. Tay Hi siansu dengan diiringi dua belas
ko-chiu Siau-lim-si berlari-lari mendatangi.
Diam-diam Siu-lam menimang. Dalam keadaan berbahaya seperti saat itu, tak perlulah
kiranya harus memegang tata susila kaum persilatan lagi. Apalagi menghadapi
gerombolan Beng-gak yang ganas. Biarlah rombongan paderi Siau-lim-si itu segera maju
serempak menghantam musuh.
Dalam pada menimang itu, Siu-lampun sudah lancarkan tusukan dengan pedang Cengliongkiam ke arah si nona. Setiap kali beradu senjata dengan Siu-lam, nona itu merasa bahwa pemuda itu
sekarang bertambah pesat sekali lwekangnya. Diam-diam nona itu tak berani memandang
ringan. Sedapat mungkin ia menghindari benturan senjata. Tetapi Siu-lam agaknya
sengaja mencari kesempatan untuk adu kekerasan dengan nona itu.
Tring, tring, tring, dengan sebuah gerak yang secepat kilat menyambar, Siu-lam
sekaligus menangkis tiga buah tusukan si nona yag dilancarkan kepada ketiga paderi.
Tiba-tiba Pek Co-gi menggembor keras dan serentak menerjang Siu-lam. Dengan jurus
Tio-to-ni-liong atau Menjolok naga kuning, tinjunya menghujam ke dada Siu-lam.
Jago gendut dari Tibet itu memiliki tenaga yang kuat sekali. Setiap pukulannya tentu
menimbulkan deru angin yang menyeramkan.
Yang paling dikuatirkan Siu-lam hanyalah pukulan Bu-ing-sin-kun. Karena pukulan
yang tak bersuara itu sukar untuk dijaga. Maka ia harus cepat-cepat menundukkan jago
Tibet itu lebih dulu. Begitu menghindar, sambil berputar ia menyerang sekuat-kuatnya.
Setelah terlepas dari serangan Siu-lam, kegagahan nona baju merah itu mulai tampak
lagi. Sekaligus ia lancarkan tiga buah serangan pedang kepada ketiga paderi sehingga
paderi-paderi itu kelabakan dibuatnya.
Untunglah pada saat itu Tay Hi siansu dan rombongannya sudah tiba. Mereka segera
menyerbut nona baju merah itu.
Tay Hi siansu merupakan salah seorang paderi Siau-lim-si yang tinggi kedudukannya.
Ilmu kesaktiannya pun amat disegani. Ia memutar tongkat sian-cian laksana hujan
mencurah. Beberapa jurus kemudian, nona baju merah itu merasa tertekan. Buru-buru ia
curahkan perhatiannya untuk melayani Tay Hi.
Karena terlepas dari tekanan si nona, kini barisan paderi Siau-lim-si mulai tersusun lagi.
Pertempuran antara Siu-lam dan Pek Co-gi berlangsung seru sekali. Dengan sepasang
pedang pusaka dan ilmu permainan pedang yang beraneka coraknya, Siu-lam dapat
memaksa jago Tibet kelabakan setengah mati.
Dalam beberapa kejap saja, kedua jago itu sudah melangsungkan pertempuran sampai
lebih dari duapuluh jurus. Tiba-tiba Siu-lam merasa bahwa tenaga dalamnya sekarang
jauh lebih maju dari dulu. Setelah sempat mengawasi bahwa situasi pertempuran tidak
lagi membahayakan kedudukan Siau-lim-si, mulailah ia lancarkan ilmu pedang ajaran
kakek dari Hian-song, ialah ilmu sakti Jiuw-toh-co-hua. Pedang Ceng-liong-kiam
berhamburan laksana hujan mencurah dari langit.
Pek Co-gi tergetar dan loncat mundur. Ilmu pedang yang belum lengkap itu, tetap


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiada tandingannya. Siu-lam memburu terus. Dia tak memberi kesempatan pada Pek Co-gi lagi. Begitu
loncat terus menyerangnya gencar.
Dalam keadaan terdesak, Pek Co-gi menghantam sekuat-kuatnya dan tangan kiri
gunakan ilmu Kim-na-chiu untuk mencengkeram lengan Siu-lam.
Ceng-lion-kiam dimainkan Siu-lam dalam jurus It-chiu-gin-hoa. Dan untuk menghindari
cengkeraman musuh, ia miringkan tubuh ke samping. Kemudian Pek-kau-kiam ditaburkan
dalam jurus Sin-liong-sam-sian.
Gerakan yang hebat dari anak muda itu kembali memaksa jago Tibet itu mundur dua
langkah. Siu-lam tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Pedang ditaburkan dalam jurus Jiu-tohcohua dan mundurlah Pek Co-gi beberapa langkah.
Hanya dalam beberapa kejap saja, Siu-lam telah memaksa Pek Co-gi mundur sampai
tiga tombak jauhnya. Dalam kesempatan yang luang, ia berkata dengan perlahan kepada
jago Tibet itu: "Harap lo-cianpwe mundur ke balik gunung itu, wanpwe hendak bicara sedikit!"
Sambil lancarkan dua buah pukulan, Pek Co-gi berseru: "Mau bilang apa, lekas
katakanlah sekarang saja!"
Kuatir jago Tibet itu akan mendapat kesempatan untuk melancarkan pukulan Bu-ingsinkun, Siu-lam mendesaknya lagi dengan hamburan pedang dan bicara lagi: "Maaf, Buingsin-kun memang sukar dijaga, maka wanpwe terpaksa mendesak begini" Tapi di sini
bukan tempat yang cocok untuk berbicara," katanya setelah berhenti sejenak: "Jika locianpwe
percaya, harap lo-cianpwe suka mundur beberapa tombak lagi."
Dalam pada berbicara Siu-lam tak hentinya mempergencar serangan pedangnya untuk
mendesak jago Tibet itu supaya mundur.
Rupanya Pek Co-gi mau mendengar permintaan Siu-lam mundur beberapa langkah.
Tiba-tiba Siu-lam kendorkan serangan pedangnya dan sambil tersenyum ia berkata:
"Lo-cianpwe, jika lo-cianpwe merasa sulit meluluskan permintaan wanpwe, baiklah kita
bicara saja sambil bertempur, setuju?"
"Bicaralah!" sahut Pek Co-gi.
Siu-lam menghela napas dan berkata dengan rawan: "Lo-cianpwe seorang yang berilmu
sakti dan harum namanya. Tapi mengapa lo-cianpwe rela menjadi kaki tangan
gerombolan Beng-gak" Wanpwe benar-benar tak mengerti!"
Jago Tibet menatap Siu-lam. Tiba-tiba ia menyerang dengan kedua tangannya.
Sekaligus ia lancarkan lima jurus serangan: "Itu urusanku pribadi, orang lain tak berhak
mencampuri!" Siu-lam taburkan tiga jurus taburan pedang, sahutnya: "Sudah tentu orang lain tak
berhak mencampuri urusan lo-cianpwe. Tapi jelas bahwa gerombolan Beng-gak itu
memusuhi dunia persilatan. Dengan membantu Beng-gak berarti memusuhi segenap
kaum persilatan di Tiong-goan!"
Agaknya Pek Co-gi tertarik oleh ucapan itu. Kedua tangannya mulai kendor.
Anak muda itu kembali menghela napas. Katanya pula: "Dari daerah Tibet yang jauh,
lo-cianpwe memerlukan menghadiri pertemuan orang gagah di gunung Thay-san. Dengan
pukulan Bu-ing-sin-kun, lo-cianpwe telah menggemparkan para orang gagah. Pendirian
dan sikap lo-cianpwe yang bersedia mencampuri pergolakan dunia persilatan di Tionggoan
itu, benar-benar suatu tindakan yang luhur perwira. Betapa keji dan ganas
gerombolan Beng-gak mengalahkan rombongan orang gagah dengan siasat licik, kiranya
lo-cianpwe tentu sudah mengetahui sendiri."
Dalam pada berbicara, Siu-lam pun mengimbangi gerakan Pek Co-gi dengan
mengendorkan serangan pedangnya.
"Walaupun dari daerah Tibet, tapi lo-cianpwe sudah kenal semua kaum persilatan di
Tiong-goan. Tujuan kaum persilatan di manapun pasti sama, yakni membela keadilan dan
kebenaran serta membasmi kejahatan dan kelaliman. Membantu gerombolan jahat,
walaupun dapat menguasai dunia persilatan, tapi hal itu bertentangan dengan hati nurani
kita"." "Dengan kepandaian yang lo-cianpwe miliki, lo-cianpwe tentu mendapat sambutan dan
perindahan tinggi dari kaum persilatan Tiong-goan. Lo-cianpwe dapat membentuk sebuah
partai di sini untuk bersama-sama lain partai, menentramkan dunia persilatan. Dan dalam
kesempatan, lo-cianpwe tentu dapat memperebutkan kedudukan pemimpin partai
persilatan Tiong-goan. Bukankah itu suatu cita-cita luhur" Perlu apa lo-cianpwe
berhamba kepada orang lain" Bukankah lo-cianpwe sendiri sudah cukup untuk menjadi
pendiri dari sebuah partai persilatan" Ucapan wanpwe ini keluar dari hati nurani wanpwe,
mohon lo-cianpwe suka mempertimbangkan"."
Tiba-tiba Pek Co-gi hentikan serangannya.
"Benar," sahutnya, "siapa tak tahu diriku ini, masakan mau menjadi kaki tangan
orang"." "Benar, benar," seru Siu-lam, "apabila lo-cianpwe menyadari kesalahan langkah itu,
wanpwe bersedia membawa"."
Belum Siu-lam selesai berkata, tiba-tiba Pek Co-gi teringat sesuatu yang mengerikan.
Tubuhnya agak gemetar. Serentak menggembor keras, ia ayunkan pukulan lagi.
Siu-lam heran mengapa pada saat jago Tibet hampir menyadari kesalahannya, tiba-tiba
dia merubah haluan dan memukulnya lagi. Terpaksa Siu-lam lompat mundur dan berseru:
"Lo-cianpwe"."
Tetapi Pek Co-gi seperti orang limbung. Dia malah gunakan sepasang tangannya untuk
memukul. Karena Siu-lam tak menduga dan tak bersiap dulu, walau mempunyai sepasang
pedang mustika, tapi ia benar-benar terdesak dan tak mampu menggunakannya.
Hanya beberapa kejap saja, Siu-lam sudah terdesak mundur sampai di tempat semula
mereka bertempur tadi. Tetapi si nona baju merah rupanya curiga. Berpaling ke arah Pek Co-gi, ia berseru:
"Hm" kalian bicara asyik sekali."
Pek Co-gi terkesiap. Dan pukulannyapun agak kendor. Kesempatan itu digunakan
sebaik-baiknya oleh Siu-lam untuk menyerang dengan pedangnya.
Kali ini Siu-lam tidak mau mengalah lagi. Sepasang pedangnya dikembangkan benarbenar.
Oleh karena dia memiliki berbagai ilmu pedang yang berbeda sumbernya, maka
serangannyapun penuh dengan variasi yang aneh-aneh sehingga Pek Co-gi dipaksa
mundur lagi. Sambil menangkis, diam-diam Pek Co-gi heran atas permainan ilmu pedang lawan.
Tanpa suatu urut-urutan jurus ilmu pedang tertentu dan sepasang pedangnya
menerbitkan hawa dingin yang menegakkan bulu roma. Jika terus menerus bertempur
melawannya, ia kuatir tentu akan menderita kerugian.
"Ah, jika tidak aku dahului menurunkan pukulan maut, aku sendirilah yang akan
celaka," diam-diam jago Tibet itu telah mengambil keputusan.
Untuk melaksanakan keputusan itu, ia kerahkan tenaga dalam sambil loncat ke
samping. Tetapi Siu-lam sudah mempunyai rencana juga. Ia tak mau memberi
kesempatan jago Tibet itu dapat melepaskan pukulan Bu-ing-sin-kunnya. Ia loncat
membayangi Pek Co-gi. Tiba-tiba Pek Co-gi berbalik tubuh dan ayunkan tangan kanannya. Karena sudah
berulang kali menderita pukulan Bu-ing-sin-kun, Siu-lam sangat berhati-hati sekali. Begitu
melihat orang mengangkat tangannya, diapun cepat-cepat menyelinap ke samping.
Tapi ternyata jago Tibet itu menggunakan siasat. Tamparannya itu hanyalah gerakan
hampa. Begitu Siu-lam berdiri di samping, barulah ia lepaskan pukulan yang
sesungguhnya. Bu-ing-sin-kun merupakan pukulan istimewa yang sama sekali tak mengeluarkan suara.
Pukulan itu mengandung gelombang halus dari tenaga lwekang lunak.
Betapapun Siu-lam sudah berlaku hati-hati sekali, tetapi dia tak menyangka sama sekali
kalau Pek Co-gi akan menyiasatinya. Begitu melihat Pek Co-gi menghampiri, segera ia
julurkan Ceng-liong-kiam untuk menahan lawan. Tetapi sekonyong-konyong ia rasakan
dirinya terlanda oleh arus tenaga yang lembut. Bukan main terkejutnya dia. Buru-buru ia
loncat ke belakang. Pukulan Bu-ing-sin-kun yang dilancarkan Pek Co-gi itu menggunakan delapan bagian
tenaga lwekangnya. Hebatnya bukan kepalang. Sekalipun Siu-lam sudah mempunyai
pengalaman untuk menghindari pukulan itu, tetapi tak urung darah dalam tubuh bergolak
keras, mata berkunang-kunang.
Secepat kilat Pek Co-gi kibaskan tangan kanannya dan tahu-tahu sudah mencengkeram
siku lengan anak muda itu. Tring"! Siu-lam rasakan tangan kirinya kesemutan dan
terlepaslah pedang Ceng-liong-kiam dari cekalannya.
Pedang Ceng-liong-kiam berpindah tangan ke tangan Pek Co-gi.
Siu-lam telah menderita luka dalam yang parah. Tetapi kesadaran pikirannya masih
terang. Pedang Pek-kau-kiam yang dicekal di tangan kanannya itu segera ditaburkan di
dalam jurus Se-lay-co-im, yakni salah satu jurus istimewa dari ilmu pedang Tat-mo-kiam.
Seketika Pek Co-gi terkurung dalam lingkaran sinar pedang. Karena ia maju merebut
pedang Ceng-liong-kiam tadi, maka jaraknya dekat sekali dengan Siu-lam. Dengan begitu
ia tak mampu keluar lagi dari kurungan sinar pedang si anak muda.
Dalam keadaan itu Pek Co-gi menjadi kalap. Dia hendak mati-matian membobolkan
sinar pedang yang mengepungna. Dengan sekuat tenaga ia ayunkan pedang
rampasannya untuk menghantamkan sinar pedang yang mengurung di atas kepalanya.
Tat-mo-kiam sekalipun luar biasa dahsyatnya, tetapi permainan pedang itu masih
mengandung gerak yang memberi kelonggaran kepada musuh. Memang ketika Tat Mocou,
cikal bakal pendiri Siua-lim-si menciptakan ilmu pedang tersebut, dia telah
memperhitungkan tentang kemungkinan yang akan dialami musuh dalam menghadapi
taburan Tat-mo-kiam itu. Sengaja ia menyelipkan suatu gerak yang kendor dalam setiap
jurus perubahan ilmu pedang itu. Maksudnya tak lain supaya orang sempat
mengundurkan diri. Tetapi ternyata Pek Co-gi memilih adu kekerasan. Ia tahu anak muda itu tentu sudah
terluka dalam sehingga tenaganya tentu berkurang. Tetapi apa yang terjadi benar-benar
tak diduganya. Ketika sepasang pedang itu saling beradu keras, Pek Co-gi terhuyung-huyung mundur
dengan tubuh berlumuran darah. Itulah akibatnya dia berani mengadu kekerasan. TatTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
mo-kiam memberi kelonggaran tetapi dia malah membentur. Hasilnya, tubuhnya telah
berhias tiga buah tusukan pedang.
Tetapi keadaan Siu-lam sendiripun tak kurang menyedihkan. Sesungguhnya akibat
pukulan Bu-ing-sin-kun tadi ia sudah terluka dalam dan tenaganya berkurang sekali.
Adalah karena dirangsang kemarahan pedangnya direbut itu, maka ia menyerang Pek Cogi
dengan sisa tenaganya yang masih. Setelah berhasil melukai orang darahnya meluap
keluar dari mulutnya. Si nona baju merah yang tengah bertempur melawan Tay Hi siansu, terkejut ketika
mendengar gemboran Siu-lam. Cepat ia berpaling. Ketika menampak Pek Co-gi sudah
berhasil merebut pedang Ceng-liong-kiam, girangnya bukan kepalang.
"Lekas, berikan pedang itu kepadaku!" serunya.
Karena perhatiannya tertuju pada pedang yang direbut Pek Co-gi, ia agak lambat. Dan
keayalan itu cukup memberi kesempatan Tay Hi siansu untuk melancarkan serangan
tongkat yang dahsyat. Nona itu kelabakan sekali.
Sedang Pek Co-gi pun sudah mencekal pedang Ceng-liong-kiam tapi karena tiga
tusukan dari pedang Siu-lam itu cukup parah, darah banyak keluar, ia harus lekas-lekas
menyalurkan lwekang untuk menghentikannya. Dengan begitu ia tak dapat melancarkan
pukulan Bu-ing-sin-kun lagi. Jika saja saat itu ia masih punya kemampuan untuk
menyusulkan sebuah pukulan Bu-ing-sin-kun lagi, dapat dipastikan Siu-lam sudah habis
riwayatnya. Pertempuran kedua jago itu benar-benar merupakan pertempuran yang berakibat
keduanya menderita luka parah.
Melihat Siu-lam luka parah, empat paderi Siau-lim-si segera lari menghampiri dan
menggotongnya ke dalam gereja. Siu-lam dipanggul oleh salah seorang paderi, yang
seorang lagi melindunginya. Sedang yang dua, segera menyerbu Pek Co-gi untuk merebut
pedang Ceng-liong-kiam. Si nona baju merah sekalipun terdesak dalam taburan tongkat Tay Hi siansu, tapi setitik
pun ia tak mau melepaskan keinginannya untuk menguasai pedang Ceng-liong-kiam.
Ketika melihat dua orang paderi lari menghampiri ke tempat Pek Co-gi yang tak
berkutik, nona itu menjadi gugup. Tiba-tiba ia lancarkan jurus Cu-pit Tiam-hun. Ujung
pedangnya berubah menjadi tiga bintik sinar perak yang memagut sikut lengan Tay Hi
siansu. Jurus itu sangat ganas sekali dan Tay Hi pun terpaksa mundur.
Begitu Tay Hi mundur, secepat kilat nona itu loncat ke samping dan kebutkan hudtimnya
ke arah paderi yang menerjang dari samping kiri Pek Co-gi. Sedang dengan
pedang ia menusuk paderi yang menyerang dari samping kanan. Pedang dan hud-tim
bergerak luar biasa cepatnya, tepat pada saat kedua paderi itu hantamkan tongkatnya ke
arah Pek Co-gi. Jika kedua paderi itu tak menarik tongkatnya, Pek Co-gi tentu terluka. Tetapi kedua
paderi itupun pasti terluka juga oleh si nona baju merah. Kedua paderi itu terpaksa
mundur. Si nona membuat suatu gerakan yang luar biasa. Ia timpukkan pedangnya ke arah
paderi di sebelah kanan, sedang hud-tim dikebutkan untuk menangkis serangan paderi di
sebelah kiri. Dan tangan kanan yang sudah tak mencekal pedang itu cepat menyambar
pedang Ceng-liong-kiam di tangan Pek Co-gi.
Meskipun jago Tibet itu sedang menyalurkan tenaga untuk menghentikan
pendarahannya, tetapi ilmu kepandaiannya masih belum punah. Begitu tangan si nona
menyentuh tangannya, serentak jago Tibet itu kibaskan pedangnya menusuk!
Si nona terkejut sekali. Buru-buru ia loncat ke samping dan menjerit: "Pek Co-gi,
engkau gila. Akulah!"
Betapapun cepatnya ia menghindar tetapi tak urung betisnya termakan pedang
sehingga mengucurkan darah".
Teriakan itu telah menyadarkan Pek Co-gi. Ia terkesiap karena kekeliruannya itu.
Tring, terdengar senjata beradu keras. Timpukan pedang si nona baju merah tadi,
ditangkis oleh tongkat si paderi. Kemudian paderi itu menyerbunya.
"Lekas berikan pedang itu!" teriak si nona.
Pek Co-gi agak berubah wajahnya tetapi iapun segera menyerahkan pedang pusaka itu.
Sesaat nona itu menerima pedang Ceng-liong-kiam, diapun sudah diserang oleh Tay Hi
siansu dan kedua paderi. Tay Hi telah menyerangnya dengan jurus Ngo-ting-biat-san,
membelah kepala si nona. Paderi tua yang sabar itu, agaknya telah dirangsang kemarahan karena melihat
keadaan gereja Siau-lim-si yang kacau balau. Pukulannya itu dilancarkan dengan sepenuh
tenaga. Melihat itu Pek Co-gi menggembor keras. Dua kali ia lancarkan pukulan Bu-ing-sin-kun.
Kedua paderi yang menyerang dari samping itu segera rasakan dadanya tergetar, macam
orang yang dihantam palu besi. Darah bergolak keras dan orangnyapun segera terhuyung
mundur tiga langkah. Tongkat mereka pun terlepas jatuh.
Nona baju merah itu memang memiliki kepandaian silat yang amat tinggi. Sekonyongkonyong
ia berputar tubuh mengisar dua langkah ke samping, lalu menabas tongkat Tay
Hi. Sesungguhnya ia sayang sekali akan pedang pusaka itu. Tetapi dalam detik-detik
berbahaya ia tak menghiraukan suatu apa lagi.
Tring, terdengar dering melengking nyaring. Tongkat Tay Hi terkisar ke samping, ia
loncat mundur dan nona itupun mengisar ke samping.
Ketika memeriksa, ternyata tongkat Tay Hi kutung separuh. Demikian nona itu. Ia
juga memeriksa pedangnya. Tetapi ternyata pedang itu tak kurang suatu apa. Girangnya
bukan kepalang sehingga luka pada betisnya tadi tak dirasakan sama sekali. Dengan
memekik nyaring, ia menyerang Tay Hi lagi.
Sehabis melepaskan dua buah pukulan Bu-ing-sin-kun, memang Pek Co-gi telah dapat
melukai kedua paderi Siau-lim-si. Tetapi dia sendiri pun makin payah keadaannya.
Pendarahannya yang sudah hampir berhenti kembali merekah dan mengucur darah lagi".
Sementara itu karena melihat kedua kawannya terluka, beberapa paderi yang menjaga
pintu gereja segera menyerbu. Empat orang paderi dengan senjata masing-masing segera
menyerbu. Tetapi setelah memiliki pedang pusaka, nona baju merah itu ibarat harimau tumbuh
sayap. Serangannya tambah sadis. Sedang Tay Hi harus berhati-hati jangan sampai
tongkatnya terpapas lagi.
Sesungguhnya kepandaian kedua orang itu berimbang. Hanya karena si nona lebih
unggul dalam senjata, Tay Hi agak terpancang gerakannya. Serangan si nona membuat
kelabakan. Apalagi jurus-jurus permainan pedang si nona itu memang aneh maka dengan
cepat ia dapat menang angin. Dalam lima jurus saja, paderi Siau-lim-si itu sudah
kelabakan setengah mati. Kiu-sing-tui-hun Kau Cin-hong, Sam-kiam-it-pit Tio Hong-kwat, Sin-to Lo Kun dan Tuihongtiau Ngo Cong-gi tengah bertempur seru dengan rombongan paderi Siau-lim-si.
Walaupun tahu keadaan Pek Co-gi yang payah itu, tapi mereka tak dapat menolong.
Sekonyong-konyong terdengar lengking yang nyaring. Sesosok tubuh melayang tiba.
Empat paderi yang menyerang Pek Co-gi telah mencelat senjatanya.
Kawanan paderi itu terpaksa mundur. Ketika mengamati ternyata yang muncul itu
seorang dara baju biru. Tangan kirinya mencekal sebatang pedang, tangan kanan sebuah
senjata aneh semacam tanduk rusa. Nona itu tegak berdiri di samping Pek Co-gi.
"Berhenti!" teriaknya. Dan si nona baju merahlah yang pertama-tama menarik
senjatanya terus loncat mundur.
Kau Cin-hong, Tio Hong-kwat, Ngo Cong-gi dan Lo Kun, setelah melancarkan dua kali
serangan dahsyat, pun lalu loncat mundur.
Nona baju biru itu sejenak sapukan matanya memandang ke sekeliling. Serunya
dengan nada dingin: "Siapakah yang menjadi pimpinan rombongan paderi itu?"
Suaranya garang, sikapnya angkuh sekali.
Tay Hi mendengus dingin: "Anak wanita masih begitu muda. Jika ada urusan apa-apa,
silahkan bicara pada loni!"
Tay Hi, paderi yang penuh toleransi dan kesabaran, karena menyaksikan keadaan
gereja diobrak-abrik orang Beng-gak, membenci sekali kepada setiap anak buah Beng-gak.
Nona baju biru itu tersenyum, serunya: "Di antara sekian banyak paderi yang berada di


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sini, memang engkaulah yang paling tua. Sebenarnya hal itu sudah kuketahui dan tak
perlu kutanyakan lagi!"
Tay Hi menukas: "Sebaiknya li-sicu jangan bicara yang tiada berguna"."
WANITA IBLIS 25 Saduran: S.D. Liong JURUS itu merupakan ilmu tangan kosong yang istimewa dari Siau-lim-si. Sudah tentu
Siu-lam sukar menghindari serangan tak terduga-duga itu. Tongkat pusaka dapat
dicengkeram Tay Ih. Siu-lam kerutkan dan membentak keras-keras: "Jika lo-siansu tak mau melepaskan
tongkat ini sehingga pusaka gereja Siau-lim-si sampai rusak, jangan persalahkan pada
wanpwe!" Dengan sekuat tenaga ia menariknya ke belakang. Karena takut tongkat pusaka itu
rusak terpaksa Tay Ih lepaskan cekalannya.
Siu-lam ayunkan tongkat itu untuk menghalau tiga orang paderi yang hendak
menyerbunya. Karena takut tongkat pusaka itu rusak, ketiga paderi itupun terpaksa tak
berani menangkis dan hanya loncat menghindar saja.
Setelah mengundurkan kawanan paderi, berserulah Siu-lam dengan lantang: "Bagi
wanpwe, tongkat pusaka ini tiada berguna. Harap sekalian suhu jangan menduga jelek
kepadaku, sama sekali wanpwe tak mempunyai pikiran untuk memiliki tongkat ini"."
Tiba-tiba kata-katanya terputus oleh sebuah tertawa dingin yang menghambur dari luar
ruang. Serempak dengan itu terdengar suara seruan melengking: "Tetapi dengan
jatuhnya tongkat pusaka Siau-lim-si ke tangan orang lain, berarti suatu hinaan yang
memalukan!" Siu-lam berpaling. Di luar ruangan tampak delapan lelaki berpakaian ringkas sedang
mengawal sebuah tandu, tegak dua orang gadis. Yang seorang berpakaian biru dan yang
seorang berpakaian warna merah.
Agaknya Lam-koay dan Pak-koay tertarik perhatiannya kepada tandu itu. Keduanya
memandang tandu itu dengan tajam.
Melihat tandu itu, segera Siu-lam berseru kepada sekalian paderi Siau-lim-si: "Itulah
rombongan Beng-gak. Menilik cara kedatangannya, kemungkinan ketua Beng-gak datang
sendiri!" Tay Ih menghela napas perlahan dan berpaling kepada sekalian paderi: "Ini suatu bukti
yang nyata bahwa ciang-bun sute telah dikuasai oleh orang Beng-gak. Demi melindungi
gereja Siau-lim-si yang telah dibangun sejak beratus tahun, terpaksa kita harus
melepaskan diri dari segala ikatan peraturan. Apapun yang akan terjadi, semua adalah
tanggung jawab loni seorang. Sekarang harap sekalian sute mendengar petunjukku."
Yang berada dalam ruang permusyawarahan situ, kecuali Tay Ih dan Tay Hong serta
keempat sute mereka yang sudah menjadi mayat di tengah ruangan, kini hanya tinggal
empat orang paderi golongan gelar TAY.
Sejak berdirinya Siau-lim-si ratusan tahun yang lalu, baru pertama kali itu mengalami
peristiwa yang sedemikian tragis.
"Baik, kami siap menunggu perintah suheng," keempat paderi gelar Tay itu serempak
mengatakan ketaatannya. Tay Ih siansu tersenyum getir, serunya: "Tay To sute, lindungilah ciang-bun-jin!"
Tay To siansu mengiyakan dan segera menghampiri Tay Hong siansu. Tampak
sepasang mata ketua Siau-lim-si itu merentang lebar memandang ke arah tandu di luar
ruang. Napasnya masih terengah-engah karena habis bertempur dengan Siu-lam tadi.
Siu-lam segera mengangsurkan tongkat Liok-giok-hud-ciang kepada Tay Ih: "Tongkat
pusaka ini merupakan lambing kekuasaan tertinggi dari gereja Siau-lim-si. Harap lo-siansu
menggunakan tongkat ini untuk memberi perintah!"
Dengan khidmat, Tay Ih menyambuti tongkat itu lalu berpaling kepada dua orang
paderi yang berada di sebelah kiri: "Harap sute berdua memimpin barisan Lo-han-tin"."
Tiba-tiba Pak-koay Ui Lian meraung keras. Ia ayunkan tangannya menghantam tandu.
Lwekang orang aneh itu tinggi sekali, apalagi dia meyakinkan ilmu pukulan Hian-pingciang.
Pukulan yang disertai kemarahan itu, menimbulkan tenaga yang luar biasa
kedahsyatannya. Siu-lam terkejut. Ia heran mengapa tahu-tahu Pak-koay marah-marah. Jika yang
berada dalam tandu itu benar-benar ketua Beng-gak, serangan Pak-koay itu tentu akan
menimbulkan kemarahan. Dan pertempuran dahsyat pasti akan terjadi.
Belum Siu-lam hilang kejutnya, tiba-tiba Lam-koay Shin Ki pun mendengus geram:
"Hm, budak kurang ajar, engkau berani kurang ajar di hadapanku!" mengangkat tangan ia
pun segera lepaskan pukulan ke arah tandu.
Dua penjaga berbaju hitam yang menjaga di muka tandu, rupanya tak kenal siapa Pakkoay.
Dengan garang mereka menangkis. Mereka baru terkejut sekali ketika tubuh
mereka dilanda oleh serangkun gelombang hawa yang amat dingin sekali. Tubuh mereka
menggigil dan terhuyung-huyung ke belakang terus rubuh ke tanah.
Beberapa pengawal baju hitam yang menjaga di sekeliling tandu, serempak
menjulurkan tangan mereka ke muka dada. Mereka bersatu untuk menangkis pukulan
Hian-ping-ciang. Benar pukulan Pak-koay dapat ditahan, tetapi tak urung wajah pengawal tandu itu
berubah pucat. Tubuh mereka menggigil seperti dibenam air es.
Pada saat pengaruh pukulan dingin itu masih belum lenyap, tiba-tiba pukulan Cek-yanciang
atau pukulan bara merah dari Lam-koay Shin Ki menyusul tiba.
Pukulan ganas Cek-yan-ciang tak kalah dahsyatnya dengan pukulan dingin Hian-pingciang.
Hanya sifatnya yang berbeda. Kalau Hian-ping-ciang menghambur hawa sedingin
es, Cek-yan-ciang menguap bara api yang sepanas lahar gunung berapi.
Melihat gelagat jelek, kedua gadis baju biru dan merah tadi segera lompat lari ke luar
halaman. Melihat itu, dengan gugup Siu-lam segera berseru kepada Lam-koay dan Pak-koay:
"Harap lo-cianpwe berdua mengejar kedua gadis itu. Sebaiknya dapat ditangkap hiduphidup
agar wanpwe dapat menjatuhkan hukuman!"
Lam-koay dan Pak-koay merupakan tokoh yang termasyhur di dunia persilatan. Sejak
malang melintang di dunia persilatan, kecuali dikalahkan oleh Kak Seng taysu, mereka
belum pernah mendapat tanding. Bahwa saat itu Siu-lam seolah-olah memberi perintah,
mereka marah sekali. "Huh, bayi yang belum hilang bau tetek ibunya, berani memerintah padaku?" seru Pakkoay
Ui Lian. Tetapi ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saat itu terdengar
beberapa suara erang tertahan disusul dengan jatuhnya beberapa sosok tubuh ke tanah.
Ternyata beberapa pengawal tandu tadi, sudah remuk perkakas dalam tubuhnya ketika
menerima pukulan Hian-ping-ciang dari Pak-koay Ui Lian. Mereka sudah tak dapat
bertahan lagi. Saat itu Tay Ih siansupun tiba. Ketika melihat keadaan Tay Hong, dia terkesiap dan
membisiki Tay To: "Tay To sute, bawalah dia ke ruang Kwat-si-wan untuk beristirahat."
"Tay Hong suheng sudah kehilangan kesadaran pikirannya. Dikuatirkan dia tak dapat
tenang!" kata Tay To.
"Jika perlu, tutuklah jalan darahnya!" kata Tay Ih.
Tay To mengiyakan. Segera ia menutuk jalan darah Tay Hong lalu dibawanya ke ruang
Kwat-si-wan. Suasana ruang kedua dari gereja Siau-lim-si kembali tenang. Tiba-tiba Tay Ih bertanya
kepada Siu-lam tentang isi tandu itu.
"Entahlah, bermula tampaknya seperti terisi tokoh Beng-gak yang penting. Tetapi
sekarang rupanya bukan"."
"Biarlah loni yang membuka selubung tandu itu!" kata Tay Ih seraya terus hendak
menarik kain selubung tandu itu.
"Tunggu dulu, siansu!" cegah Siu-lam.
"Kenapa?" "Gerombolan Beng-gak banyak akal muslihat. Kedua gadis baju merah dan biru tadi
adalah murid kesayangan ketua Beng-gak. Kepandaian mereka cukup sakti. Beberapa
hari yang lalu, taysu sendiri pernah bertempur dengan mereka di dalam"."
"Benar," sahut Tay Ih.
"Jika dalam tandu berisi pemimpin Beng-gak tak mungkin kedua gadis itu meninggalkan
begitu saja. Tetapi apabila tandu itu tidak terisi tokoh penting, tentu terisi suatu
perangkap yang berbahaya"."
Siu-lam berhenti sejenak. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada beberapa pengawal
tandu yang terkapar di tanah. Semuanya mati kecuali hanya seorang yang masih
bernapas. Siu-lam menghampiri orang itu dan menarik tubuhnya lalu dibuka jalan darahnya.
Pengawal tandu itu menghela napas panjang dan membuka mata.
"Apa isi tandu itu" Lekas kau bilang jika kau ingin hidup!" hardik Siu-lam.
Mulut pengawal itu bergerak, tangannya bergoyang-goyang dan kepalanya
menggeleng. Tapi sepatah pun ia tak mengatakan apa-apa.
"Apa kau benar-benar tak mau mengatakan?" bentak Siu-lam. Dengan geram ia
mendorong tubuh orang itu. Karena sudah terluka parah, dorongan itu membuatnya
muntah darah dan putuslah jiwanya.
Siu-lam tertegun. Ia berbangkit dan berkata pada Tay Ih: "Harap lo-cianpwe suka
memberi perintah agar semua paderi yang duduk di halaman itu segera kembali ke posnya
masing-masing. Suasana tenang saat ini, hanya sementara saja. Merupakan permulaan
dari gelombang badai yang segera akan melanda. Menilik telaganya pertempuran dahsyat
segera akan terjadi!"
Tay Ih menghaturkan terima kasih atas bantuan anak muda itu.
"Ah, wanpwe hanya sekedar melaksanakan perintah dari seorang lo-cianpwe saja," kata
Siu-lam. "Siapa?" Tay Ih heran.
"Maaf, kelak siansu tentu mengetahui sendiri," kata Siu-lam. Kemudian ia pinjam
pedang kepada Tay Ih. Tay Ih merogoh jubahnya dan menyerahkan sebuh gin-pay yang berbentuk panjang.
"Benda ini kuterima dari Tay Hui sute ketika hendak menutup mata. Tay Hui sute
mengatakan benda ini milik sicu dan supaya diserahkan kepada sicu."
Gin-pay atau lencana perak itu dahulu ditemukan Siu-lam di bawah tulang tengkorak
wanita Giok-kut-yau-ki Ih Ing-hoa dalam goa di perut gunung Po-to-san.
Siu-lam segera menyimpan benda itu.
Tay Ih siansu memanggul tongkat Liok-giok-hud-ciang menuju ke depan tangga hitam.
Sambil mengacungkan tongkat pusaka itu, ia berseru nyaring:
"Ciang-bun-jin Siau-lim-si Tay Hong sute saat ini berada dalam kekuasaan pengaruh
orang Beng-gak. Entah diberi racun apa. Yang jelas kesadaran pikirannya hilang. Demi
menyelamatkan gereja Siau-lim-si, terpaksa loni memberanikan diri untuk mengambil alih
pimpinan gereja. Setelah ancaman bahaya musuh berlalu, loni segera menyerahkan diri di
hadapan arwah leluhur cou-su Siau-lim-si, untuk menerima keputusan hukuman yang
dijatuhkan para tianglo"."
Sekalian paderi yang berada di halaman itu serempak memberi hormat kepada tongkat
pusaka. Berkata pula Tay Ih: "Saat ini musuh sedang mengerahkan anak buahnya untuk
menyerang gereja ini. Tetapi berkata bantuan Pui sicu, rencana mereka telah gagal.
Untuk sementara waktu, harap kalian kembali ke tempat masing-masing dulu. Yang
tinggal di sini hanya anggota-anggota barisan Lo-han-tin untuk berjaga-jaga."
Para paderi yang duduk di halaman itu serempak berbangkit dan bubaran. Yang masih
tinggal hanya lebih kurang seratus paderi.
Siu-lam mengambil tongkat salah seorang paderi yang meninggal lalu digunakan untuk
menyingkap kain selubung tandu.
Begitu kain selubung tersingkap, segumpal asap putih berhamburan keluar. Ternyata
dalam tandu itu terisi sebuah Giok-ting atau tempat pendupaan dari kumala. Dari Giokting
itulah asap gumpalan membubung keluar.
Seketika Siu-lam teringat akan pengalalamannya ketika di Beng-gak dahulu. Serentak
ia terkejut dan berteriak sekeras-kerasnya: "Awas, asap dari Giok-ting itu mengandung
racun! Harap sekalian suhu jangan mendekatinya"."
Sekalian paderi Siau-lim-si mempunyai kesan baik terhadap Siu-lam. Sekarang mereka
menaruh perindahan kepada anak muda itu. Mendengar peringatan Siu-lam, buru-buru
para paderi itu menutup pernapasan dan menyingkir ke samping.
Siu-lari menuju ke dataran rumput. Menjemput segenggam pasir ia segera menimpa
Giok-ting. Diam-diam ia mengagumi ketajaman panca indera kedua tokoh Lam-koay dan Pakkoay.
Begitu tandu tiba, kedua tokoh itu segera sudah mencium bau, maka dengan cepat,
kedua tokoh aneh itu segera menghantam mati pengawal-pengawal tandu. Jika tidak
dibinasakan, tentulah kawanan pemikul tandu itu sempat membuka selubung tandu dan
celakalah semua orang apabila asap sampai berhamburan kemana-mana.
Para paderi segera membantu Siu-lam untuk memadamkan Giok-ting dengan timbunan
pasir. Siu-lam minta agar Tay Ih siansu memerintahkan rombongan paderi meninggalkan
halaman itu. "Sebaiknya barisan Lo-han-tin itu disiapkan untuk menjaga tempat-tempat yang
penting. Halaman terlanjur dibaur asap beracun. Di dalam beberapa waktu asap itu tentu
belum lenyap pengaruhnya. Wanpwe sendiri hendak menjenguk kedua tokoh aneh yang
mengejar musuh tadi!" katanya lebih lanjut.
Tay Ih siansu mempersilahkan pemuda itu supaya meninggalkan ruangan, tetapi Siulam
mengajak berjalan keluar bersama-sama. Para paderi pun mengiringkan kedua orang
itu. Setelah melintasi beberapa tikungan dan lorong bersimpang, di situlah para paderi
segera membentuk barisan Lo-han-tin.
Tay Ih siansu menghela napas: "Hari ini jika tidak mendapat bantuan Pui sicu mungkin
angkatan gelar TAY yang hanya tinggal empat orang ini, tentu sudah binasa di ruang
permusyawarahan tadi. Murid angkatan ketiga, walaupun terdapat beberapa orang yang
berpangkat bagus, tetapi mereka setingkat lebih rendah dari golongan TAY. Mereka tentu
tak berani menentang amanat tongkat Liok-giok-hud-ciang. Tanpa mengeluarkan seorang
anak buahnya, Beng-gak dapat menghancurkan gereja ini. Ya, tujuh-delapan ratus anak
murid Siau-lim-si pasti akan hancur binasa seluruhnya"."
Siu-lam menghibur paderi itu. Yang penting saat itu harus disiapkan rencana untuk
menghadapi serangan musuh.
"Saat ini bencana kehancuran total sudah lampau. Betapapun saktinya musuh tetapi
untuk menghancurkan Siau-lim-si, tidaklah mudah. Delapan ratus murid Siau-lim-si akan
bersatu-padu untuk mengadu jiwa demi membela gereja ini. Kami bertekad untuk
melawan sampai titik darah yang penghabisan. Musuh tentu akan membayar mahal jika
berani menyerang kemari," kata Tay Ih siansu.
Tak berapa lama datanglah dua orang paderi kecil dengan membawa sepasang pedang
pusaka. Tay Ih siansu menyerahkan sepasang pedang itu kepada Siu-lam.
"Sepasang pedang ini, walaupun bukan tergolong pusaka Siau-lim-si, tetapi sudah
ratusan tahun berada dalam gereja ini. Jika dipisah, sepasang pedang ini menjadi
sebatang. Tetapi jika disatukan menjadi satu. Yang satu hijau yang satu putih.
Tajamnya bukan buatan. Karena anak murid Siau-lim-si tak pernah menggunakan
pedang, maka loni hendak menyerahkan sepasang pedang itu kepada Pui sicu sebagai
tanda penghargaan gereja Siau-lim-si terhadap bantuan sicu kepada Siau-lim-si."
Siu-lam menyambuti pemberian itu dengan mengucap terima kasih. Begitu
menghunusnya, pedang itu memancarkan hawa dingin. Yang satu bercahaya hijau, yang
satu putih. Sepintas pandang, pedang itu terang bukan sembarang pedang.
"Ah, bagaimana wanpwe berani menerima pemberian begini hebat. Harap siansu suka
menukar dengan pedang biasa saja," katanya.
Tay Ih menghela napas: "Memang sepasang pedang itu, bukan pedang biasa.
Berpuluh tahun berselang pernah keluar dan menggemparkan dunia persilatan. Pedang
itu disebut Liong-kau-song-kiam. Yang hijau disebut Liong-kiam, yang putih Kau-kiam."
"Ah, wanpwe benar-benar tak berani menerimanya!" seru Siu-lam.
"Pui sicu telah banyak membantu Siau-lim-si. Sepasang pedang itu hanya sekedar
sebagai tanda terima kasih Siau-lim-si kepada sicu. Jika sicu menolak, berarti sicu
memandang rendah kepada loni."
Diam-diam Siu-lam merenung. Ia memastikan pihak Beng-gak tentu akan menyerang
Siau-lim-si lagi. Dengan memiliki senjata sepasang pedang pusaka itu, tentu akan
berguna sekali dalam menghadapi orang Beng-gak nanti. Lebih baik untuk sementara, ia
menerima pemberian itu. Setelah bahaya selesai, ia masih dapat mengembalikan lagi
pedang itu kepada Siau-lim-si.
"Baiklah, untuk sementara ini wanpwe hendak meminjamnya, apabila sudah selesai
tentu wanpwe kembalikan lagi"."
"Tidak, sejak saat ini, sepasang pedang itu sudah menjadi milik sicu!" kata Tay Ih.
Siu-lam tak mau tarik urat. Ia minta Tay Ih segera perintahkan para paderi bersiapsiap
menghadapi musuh, sedang ia sendiri segera menyusul kedua tokoh Lam-koay dan
Pak-koay. "Tapi sicu tak kenal jalanan di sini. Maksud loni hendak minta Tay Hi sute bersama
empat orang anak murid mengikuti sicu sebagai penunjuk jalan," kata Tay Ih.
Tapi Siu-lam tak perlu karena kedua Lam-koay dan Pak-koay itu beradat aneh.
Dikuatirkan nanti timbul salah paham. Kemudian ia segera lari keluar gereja. Paderi yang
tersebar di segenap penjuru gereja, setiap kali berjumpa dengan Siu-lam tentu memberi
hormat. Sampai di luar gereja, Siu-lam tetap belum melihat kedua tokoh aneh itu. Dia heran
dan gelisah. Ia kenal siapa gerombolan Beng-gak yang banyak tipu muslihatnya itu.
Diam-diam ia menyesal mengapa tak mau menerima tawaran Tay Ih supaya diantar oleh
Tay Hi yang lebih kenal jalanan di situ.
Tiba-tiba ia merasa seperti dilanda oleh suatu tenaga kuat yang tak bersuara. Untung
ia sudah waspada. Cepat-cepat ia kerahkan tenaga dalam untuk bertahan. Kemudian
dengan tibanya angin pukulan itu ia segera loncat ke udara dan melayang turun setombak
jauhnya. Sekalipun dengan meminjam tenaga orang itu ia berhasil terhindar dari bencana
kehancuran, namun tak urung darah dalam dadanya bergolak.
"Hei, siapakah yang memiliki tenaga dalam sedahsyat ini" Pada dalam lingkaran dua
tombak di sekeliling sini, tiada tempat untuk orang bersembunyi. Jelas bahwa penyerang


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu tentu berada paling sedikit pada jarak dua tombak jauhnya. Dan pukulan itu sama
sekali tak mengeluarkan suara apa-apa, jauh berbeda dengan pukulan Biat-gong-ciang?"
diam-diam ia menimang. "Hai, itulah Bu-ing-sin-kun"!" mendadak ia teringat. Dan serempak dengan itu ia
mendengar suara orang tertawa macam dering kelinting. Datangnya dari arah barat di
balik sebuah batu karang. Dan pada lain saat, muncullah seorang gadis berbaju merah".
Siu-lam terbeliak kaget. Nona baju merah salah satu murid dari Beng-gak. Diam-diam
ia heran mengapa kedua tokoh aneh tidak mampu meringkus nona itu.
Nona baju merah itu mencekal pedang dan kebut Hud-tim. Walaupun wajahnya agak
kaget namun mulutnya masih menyungging senyum, serunya: "Eh, bagaimana" Apakah
kau masih hidup dan tak jadi mati terlempar di jurang?"
Siu-lam berkerut dahi, serunya: "Kau mampu lolos dari tangan kedua lo-cianpwe itu,
Kesatria Baju Putih 8 Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Senopati Pamungkas I 5

Cari Blog Ini