Ceritasilat Novel Online

Wanita Iblis 12

Wanita Iblis Karya S D Liong Bagian 12


Si Merah masih tertawa mengikik: "Aih, apakah engkau tidak takut hidup seorang diri"
Dengan kepandaian yang engkau punyai sekarang ini, apakah engkau berani berkata
sebesar itu?" Berkata Tay Ih siansu dengan nada seram: "Jika kedua li-sicu hendak pergi, mudahlah.
Sebelumnya harus membuat loni menjadi sesosok mayat!" ia loncat terus menerjang si
nona baju biru. Sejak muda, ia sudah mencukur rambut, masuk menjadi paderi. Selama berpuluhpuluh
tahun ia hanya hidup dalam lingkungan kesucian dan ketenangan. Belum pernah ia
mengalami kesedihan seperti saat itu. Berita kematian kedua paman gurunya merupakan
kedukaan yang pertama kali dideritanya sepanjang hidup. Luapan kedukaan,
dihamburkan dalam serangan tongkatnya yang dahsyat.
Mau tak mau si baju biru gentar juga. Ia bergeliat mundur lima langkah. Tetapi paderi
Siau-lim-si yang sudah dirundung kedukaan dan kemarahan itu, tidak mau memberi
ampun lagi. Dengan menggembor keras ia merangsek maju dengan jurus Gong-hong-hosiu
atau Badai menderu-deru. Nona baju biru itu mundur pula beberapa langkah sehingga saat itu ia berada di tepi
jurang. Tay Ih memburu. Bagaikan bayangan melekat, tongkatnya telah menghambur dalam
jurus Pat-hong-hong-oe atau Hujan angin delapan penjuru. Jika nona itu tak mau
menangkis lagi, tentu ia akan terdesak jatuh ke dalam jurang.
Akhirnya karena tak dapat mundur lagi, nona itu putar pedangnya dalam jurus Yaphwatsoh-thian atau Api liar membakar langit. Pedang berhamburan menyambut tongkat.
Sedang badik di tangan kiri, menusuk mengarah ke dada.
Serangan tongkat yang dilambari oleh hawa kemarahan dari paderi Siau-lim-si itu,
hebatnya bukan alang kepalang. Sekalipun lwekangnya tinggi, tetap ia tak dapat
menahan amukan paderi itu. Hanya ilmu yang dimilikinya itu luar biasa. Dapat
dikendalikan menurut kehendak hatinya. Ia salurkan lwekang, pedang digelincirkan ke
samping terus dilemparkan.
Tay Ih terkejut. Ia tak menyangka bahwa nona itu masih mampu menimpukkan
pedang. Lontaran itu membuat tongkatnya menghajar angin.
Nona baju biru itu mengeluarkan permainan tingkat tinggi. Begitu dapat menahan
tongkat, badik di tangan kiri terus berkelebat menabas tangan si paderi dan menghambur
jubahnya. Serangan badik itu cepatnya bagaikan kilat, sehingga Tay Ih tak sempat menghindar
maupun menangkis. Terpaksa ia kendorkan serangan tongkatnya, gunakan tangan kiri
untuk menyambar pergelangan tangan si nona.
Gerakan Tay Ih itu agak dapat meringankan tekanan si nona. Jika nona itu tetap
memapas dengan badiknya, memang lengan kanan Tay Ih terancam kutung. Tetapi
tangan kiri nona itu pun terancam cengkeraman si paderi. Sudah tentu bukan
sembarangan cengkeraman, tapi cengkeraman yang akan menghancurkan urat nadi.
Rupanya nona baju biru itu masih sayang akan kehilangan lengannya yang putih,
cepat-cepat ia endapkan tangannya ke bawah. Tapi dengan berbuat begitu, tusukan
badiknyapun luput. Cepat-cepat ia menyelinap ke samping.
Kini kedua saling berhadapan lagi. Pertempuran selanjutnya berlangsung sangat seru.
Keduanya tak berani ayal. Karena siapa lambat pasti akan terkurung dan dikuasai lawan.
Keduanya sama menginsyafi bahwa masing-masing telah bertemu dengan lawa yang
benar-benar setanding kepandaiannya.
Sepeminum teh lamanya, tiba-tiba Tay Ih berseru: "Harap li-sicu berhati-hati!" paderi
itu menutup kata-katanya dengan sebuah pukulan dari jarak jauh.
Meniup angin dahsyat segera melanda nona itu. Tetapi rupanya nona itu sudah siap
siaga. Ia gerakkan tangan kanannya. Serangkum tenaga lunak, melancar menyongsong
angin pukulan si paderi. Tiba-tiba ia menjerit dan membalikkan tangan kanannya ke
samping. Seketika itu Tay Ih seperti tersedot sehingga tubuhnya condong ke muka. Buru-buru ia
hendak menarik pulang pancaran lwekangnya. Tetapi serempak dengan itu, sinar putih
bergemerlapan berhamburan menusuk dadanya".
Begitu dapat menghapus tenaga pukulan si paderi, segera nona baju biru itu
melancarkan serangan kilat. Beberapa jalan maut dari tubuh si paderi seketika terancam.
Dalam keadaan terdesak, tiba-tiba Tay Ih menggembor keras dan lepaskan tendangan
Koan-im-ciok atau kaki dewi Koan-im. Yakni sebuah tendangan yang tergolong salah satu
ilmu dari ketujuhpuluh dua ilmu pusaka gereja Siau-lim-si.
Nona baju biru mendengus dingin. Tiba-tiba ia menggeliat ke samping tetapi badiknya
tetap mengarah ke dada lawan.
Cres,,, duk" terdengar dua macam suara. Yang satu berasal dari badik si nona yang
berhasil menggurat pecah baju paderi terus membelah bahunya hingga tulangnya
kelihatan. Tetapi serempak dengan itu, kaki Tay Ih yang mendahului gerak penghindaran
si nona tadi, telah berhasil menendang tubuh nona itu. Tubuh nona baju biru itu terpental
melayang ke udara, membentur dinding karang di sebelah kanan lalu jatuh ke tanah".
Si nona berhasil menusuk bahu Tay Ih, tetapi Tay Ih pun berhasil menendang tubuh si
nona. Adalah karena tendangan itu maka tusukan si nona menjadi berkurang dahsyatnya.
Kalau tidak, tusukan itu tentu dalam dan membinasakan Tay Ih. Pun adalah karena
tusukan itu maka tendangan Tay Ih menjadi berkurang kekuatannya. Coba tidak, tubuh
nona itu tentu sudah hancur berkeping-keping.
Kedua-duanya sama-sama terluka.
Nona baju biru itu terbanting ke tanah dan hampir pingsan, tetapi badiknya masih
tergenggam di tangan. Sambil memegang dinding karang ia berbangkit bangun.
Wajahnya pucat pasi. "Paderi tua, kepandaianmu hebat benar! Ilmu tendanganmu tadi benar-benar luar
biasa!" serunya. Tay Ih menundukkan kepala. Dilihatnya jubahnya berlumuran darah. Dengan sikap
serius berseru: "Ilmu kepandaian Beng-gak memang luar biasa. Tak heran kalau Tay
Hong sute dan ketigapuluh enam paderi houw-hwat, binasa semua di Beng-gak!"
Tiba-tiba terdengar Tay Teng berseru Omitohud. Ia melangkah menghampiri Tay Ih
siansu: "Suheng harap beristirahat. Biarlah siaute yang meminta pelajaran dari orang
Beng-gak!" Nona baju biru itu tertawa dingin: "Bagus, majulah engkau!" Sambil picingkan mata,
tangannya menjamah karang. Wajahnya pucat sekali.
Tay Teng benar-benar marah karena suhengnya telah mendapat luka. Dia hendak
menuntut pembalasan pada nona baju biru itu. Tetapi ketika ia hanya terpisah beberapa
meter dari nona itu, ternyata si nona tetap tegak berdiri sambil pejamkan mata.
Tay Teng mengangkat senjat hong-pian-jan dan terus hendak diayunkan, tetapi tibatiba
terkilas sesuatu: "Ah, rupanya dia benar-benar luka parah dan kehabisan tenaga. Jika
selagi dalam keadaan tak berdaya, dia kuhajar mati, apabila peristiwa ini sampai tersiar di
luar, bukan saja aku dihina orang, pun nama gereja Siau-lim-si tentu akan dicemooh
orang", tetapi, iapun secara keji telah menyerang kedua susiok yang sedang bertapa.
Terhadap orang seperti itu apa guna memakai segala macam susila"."
Dua pertentangan yang timul dalam batinnya menyebabkan paderi Tay Teng tak segera
bertindak. Untuk sesaat tak tahu ia bagaimana harus berbuat"
Tiba-tiba nona baju biru itu membuka mata dan tertawa: "Eh, mengapa kau tak turun
tangan?" Belum Tay Teng menyahut, kembali si nona baju biru itu sudah tertawa mengikik
seraya berkata pula: "Uh, karena kau tak mau bertindak, akupun tak mau sungkan lagi!"
tiba-tiba tubuhnya bergetar dan tahu-tahu orangnya sudah maju merapat terus menusuk
dada si paderi! Sama sekali Tay Teng tak menyangka bahwa nona itu membuktikan kata-katanya
dengan perbuatan yang tangkas. Karena ia pakai senjata hong-pian-jan yang panjang
maka begitu nona itu merapat mendekatinya, Tay Teng tak dapat menggerakkan
senjatanya. Jalan satu-satunya, terpaksa ia buang tubuhnya berjumpalitan ke belakang.
"O, kau hendak lari?" seru si nona baju biru seraya melesat membayangi lawan. Badik
berlincahan menusuk kian kemari. Sekaligus ia telah lancarkan tujuh jurus serangan
hebat. Ketujuh jurus serangan itu mengarah dada sehingga Tay Teng kelabakan. Begitu cepat
dan gencar si nona menyerang secara merapat sehingga Tay Teng tak punya kesempatan
lagi untuk memainkan hong-pian-jan. Senjata panjang yang berat itu malah merupakan
suatu beban menghalangi gerakannya.
Saat itu Tay Ih sudah membuka mata. Setelah melakukan penyaluran darah, ia
berhasil mengurangi rasa sakit pada luka di bahunya. Begitu melihat sutenya terancam
bahaya maut, ia jadi gelisah. Dilihatnya Siu-lam masih bertempur seru dengan si nona
baju merah dan Tay To yang disuruhnya mengantar surat tadi, belum muncul kembali.
Selagi ia ragu-ragu apakah ia harus turun tangan mengerubuti si nona yang hebatnya
dapat merosotkan gengsi gereja Siau-lim-si, tiba-tiba terdengar suara si nona baju biru itu
melengking dan hamburkan badiknya menabur tubuh Tay Teng. Karena tak keburu
menghindar, dada Tay Teng termakan sebuah tusukan. Darah bertetesan membasahi
jubahnya. Tay Ih siansu telah memperhatikan kesemuanya itu. Jika ia tak lekas bertindak, dalam
tiga empat jurus lagi tentulah sutenya, Tay Teng, akan binasa di bawah taburan badik si
nona baju biru. Didahului dengan sebuah gemboran keras mulailah Tay Ih menyalurkan seluruh
tenaganya ke tangan dan dada, lain saat, sebuah pukulan dahsyat telah dilontarkan".
Paderi Siau-lim-si itu memang memiliki tenaga lwekang yang tinggi. Sekalipun terluka,
namun tak mengurangi kedahsyatan tenaganya.
Memang si nona baju biru saat itu sudah mengetahui keadaan lawan. Dalam dua tiga
jurus saja dia pasti dapat merubuhkannya. Tak mau ia memberi kesempatan lagi.
Didesaknya Tay Teng dengan serangan yang gencar sekali.
Tengah asyik mengakhiri pertempuran, tiba-tiba ia merasa dilanda oleh setiup angin
kuat. Dadanya terasa sesak dan tubuhpun terpaksa mundur dua langkah.
Tetapi karena menggunakan tenaga penuh, luka di bagian lengan kiri Tay Ih siansupun
membengkak lagi dan mengucurkan darah.
Tetapi pertolongan itu tak sia-sia. Karena si nona baju biru menyurut mundur, Tay
Teng pun mendapat kesempatan untuk bergerak. Secepat kilat ia kembangkan hong-pianjan
untuk melakukan serangan balasan,
Hantaman Tay Ih tadi benar-benar membuat tubuh si nona gemetar. Luka dalam yang
dideritanya tadi mulai terasa lagi. Tenaganya makin habis dan tubuhnya lemas. Sudah
tentu ia tak mampu menghadapi serangan dahsyat dari Tay Teng.
Dalam sekejap saja, kedudukan mereka berubah. Yang diserang menjadi penyerang.
Nona baju biru itu hanya andalkan kelincahannya untuk bergerak kian kemari,
menghindari serangan bertubi-tubi dari Tay Teng.
Tetapi betapapun juga akhirnya dalam lima jurus saja, tubuhnya terasa makin kaku dan
tak leluasa bergerak. "Sute, jangan sampai binasakan jiwanya. Pentalkan pedangnya dan tangkaplah ia
hidup-hidup!" berkata Tay Ih dengan berat.
Dengan pakaian berlumuran darah, Tay Teng tiba-tiba berseru membentak nona itu
agar lepaskan senjatanya. Dan saat itu, hong-pian-jan telah menindih di atas batang
pedang lawan. Nona baju biru itu benar-benar sudah tak bertenaga lagi. Tindihan hong-pain-jan itu
memaksa si nona harus lepaskan pedangnya. Tay Teng maju selangkah dan menyusuli
sebuah tendangan ke lutut. Tetapi nona itu masih dapat menggeliat dan balas
menggempur dari sebelah kiri.
Sebenarnya gerakan nona itu tangkas sekali. Tetapi karena tenaganya sudah habis dan
luka dalamnya kumat, gerakannya agak lamban dan sekalipun lututnya selamat tetapi
pahanya termakan kaki si paderi. Nona itu berputar-putar lalu rubuh".
Tay Teng cepat memburu dan menutuk jalan darahnya. Ia menghela napas. Tiba-tiba
ia sempoyongan ke belakang dan bluk". Jatuhlah paderi itu ke tanah. Hong-pian-jannya
menghantam karang. Ternyata diapun terluka parah. Darahnya banyak keluar. Sekalipun tenaganya sudah
habis tetapi ia masih mengerahkan sisa tenaganya yang terakhir untuk mengirim
tendangan. Maka setelah menutuk jalan darah nona itu, ia sendiri tidak dapat bertahan
lagi! Dalam pertempuran yang dahsyat itu, tiga jago sakti telah menderita luka parah.
Walaupun tahu sutenya terluka, namun karena dirinya sendiri sedang mengatasi darahnya
yang bergolak akibat lukanya, Tay Ih tidak sempat menolong Tay Teng.
Kini yang masih bertempur mati-matian hanya tinggal Siu-lam dengan si nona baju
merah. Saat itu mentari pagi mulai mengintip dari celah dinding langit timur. Tay Teng
dan si nona baju merah rebah di tanah. Tay Ih duduk bersandar pada dinding karang,
menyalurkan pernapasan. Siu-lam dan nona baju merah sudah bertempur hampir seratusan jurus. Namun masih
belum ada yang kalah atau menang.
Siu-lam mainkan golok kwat-to dalam ilmu pedang ajaran si kakek (kakek dari Hiansong).
Walaupun ia belum mencapai kesempurnaan dalam latihannya, tetapi dapat
menghadapi serangan-serangan maut dari lawan.
Memang selama pertempuran itu berlangsung, si nona selalu unggul. Tetapi pada saat
Siu-lam terdesak dan tidak berdaya, ia segera mengeluarkan jurus istimewa ajaran si
kakek. Setiap kali jurus aneh itu keluar, si nona pasti terhalau mundur.
Di luar kesadaran, Siu-lam seperti mendapat pasangan untuk berlatih. Kini ia makin
mengerti keindahan ilmu pedang ajaran kakek Tan itu. Di samping itu, ia pun mulai
merasa heran karena ilmu permainan nona itu ternyata sealiran dengan ilmu ajaran si
kakek Tan. Berulang kali terjadi adegan di mana kedua senjata mereka saling berkelebat
ke tempat kosong atau saling berbenturan secara tepat dan serasi sekali. Sudah tentu
nona baju merah itu terkejut juga.
Siu-lam menginsyafi bahwa dengan bertempur seperti itu, tak aka nada yang kalah.
Jelas sudah, bahwa sumber kepandaian mereka berdua, berasal dari satu rumpun.
Memang dalam hal tenaga dan kemahiran, si nona baju merah lebih unggul. Tetapi
dalam variasi permainan, Siu-lam lebih menang. Terutama jurus Jiau-toh-cu-hua itu. Tiap
kali dimainkan lawan tentu terhalau mundur. Sayang Siu-lam hanya dapat mainkan dua
jurus saja, seperti yang dapat diingatnya.
Maka pemuda itu berusaha untuk mengenang kembali jurus-jurus selanjutnya dari
ajaran kakek Tan itu. Asal ia dapat memainkan barang satu jurus lagi saja, nona itu tentu
dapat dikalahkan. Tetapi akibatnya karena pikirannya ditumpahkan untuk menggali ingatannya,
konsentrasinya menjadi terganggu. Dua kali ujung pedang si nona hampir menusuk ke
dada. Untung hanya baju bagian luar saja yang robek!
"Berhenti!" tiba-tiba nona itu berseru seraya menyurut mundur.
Siu-lam pun hentikan pedang dan tegak berdiri dan berseru: "Mengapa?"
Sejenak nona itu mengerlingkan mata ke arah si nona baju biru yang rebah di tanah,
kemudian berkata: "Ilmu pedangku dan ilmu golokmu, setali tiga uang"."
"Hanya begitu?" tukas Siu-lam seraya maju menabas dengan jurus Hian-to-tui-yang.
Si nona menangis sambil melanjutkan bicaranya: "Dari mana engkau mempelajari ilmu
permainan golok itu?"
"Ilmu silat, beratus jenis tetapi satu sumber. Wajar kalau ada beberapa gerak yang
bersamaan. Perlu apa engkau heran tak keruan?"
Wut, wut, kembali ia menabas dua kali.
Si nona baju merah tebarkan pedangnya. Terdengar dering gemerincing dari senjata
saling beradu. Setelah dapat menahan golok Siu-lam, kembali nona itu berseru lagi:
"Apakah sumoayku Hong-swat yang mengajarkan kepadamu?"
"Jangan memfitnah orang!" bentak Siu-lam.
Nona itu tertawa mengikik: "Toh orangnya sudah tidur dalam genangan lahar gunung.
Sekalipun engkau mengakui, juga tak apa!"
Mendengar itu seketika meluaplah kesedihan hati Siu-lam. Bayangan Hong-swat yang
gemar mengenakan pakaian serba putih dengan wajahnya yang sayu, kemudian melintas
dalam kenangannya. Ia menghela napas: "Apakah ia sudah mati sungguh-sungguh"."
Si nona baju merah tertawa: "Lahar gunung berapi dapat menghancurkan baja.
Sekalipun tubuhnya terbuat dari besi dan baja, tentu akan hancur luluh juga"."
Seketika terkenanglah Siu-lam akan peristiwa-peristiwa yang dialaminya selama ini.
Banyak nian hal-hal sedih yang menimpa dirinya. Ciu Hui-ing hilang di Po-ta-kang. Tan
Hian-song beberapa bulan yang lalu, merasa seperti hidup dalam impian. Hilangnya Cui
Hui-ing di karang Po-to-kang, lenyapnya Hian-song dihambur angin puyuh. Dan kini
muncul berita buruk lagi tentang kematian si putih Bwe Hong-swat di dalam lembah
gunung berapi. Kesemuanya itu merupakan derita hidup yang menghancurkan perasaan.
Dua butir air mata menitik keluar".
Tengah ia melamun tiba-tiba ia dikejutkan oleh berkelebatnya sinar pedang si nona
baju merah yang menusuk ke dadanya.
Serangan itu cepat sekali datangnya sehingga Siu-lam tak sempat menangkis.
Terpaksa ia loncat mundur. Tetapi nona baju merah itu tak mau memberi hati. Ia
mendahului menyerang lagi dengan cepat. Dalam sekejap saja, lima jurus serangan telah
dilancarkan. Siu-lam benar-benar kelabakan. Betapapun ia berusaha untuk menghindar, namun
akhirnya lengan kanannya termakan sebuah tusukan. Sakitnya bukan kepalang sehingga
goloknya terlepas. Dalam gugup ia menghantam dengan jurus Hud-hwat-bu-pian".
Ilmu pukulan Hud-hwat-bu-pian itu memang luar biasa. Penuh perubahan yang sukar
diduga. Walaupun tahu, tetapi nona baju merah itu tak mampu lepaskan diri. Terpaksa ia
loncat mundur. Tetapi Siu-lampun tak mau memberi kesempatan juga. Tangan kirinya menghantam
pundak sehingga nona itu terpental dua langkah dan kemudian menyusul sebuah
tendangan. Seketika nona itu rasakan pundaknya kesemutan sehingga pedangnyapun hampir
terlepas. Belum hilang kejutnya, tendangan Siu-lam sudah datang. Tak kuasa lagi ia
mempertahankan keseimbangan tubuhnya dan terlemparlah ia beberapa belas langkah
jauhnya". Di belakang nona itu terbentang sebuah jurang yang dalam sekali. Apabila mundur


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi, nona itu pasti akan terjerumus ke jurang.
Siu-lam memungut goloknya, terus maju menyerang lagi. Sekalipun ia percaya bahwa
tak mudahlah untuk mendesak nona itu kecebur ke dalam jurang namun ia tetap
mencobanya. Tetapi alangkah kagetnya ketika melihat nona itu benar-benar terpelanting ke dalam
jurang. Tengah ia terpukau, tiba-tiba tubuh nona yang meluncur ke bawah itu
membubung ke atas lagi. Menusuk dinding karang jurang, tubuh nona itu melenting ke
permukaan jurang dan melayang ke daratan lagi.
Melihat itu Siu-lam cepat memburu. Belum kaki nona itu menginjak tanah, Siu-lam
sudah menyapukan golok dengan jurus Ping-sat-lah-gan atau burung belibis melayang
datar. "Apakah kau sungguh hendak membunuh aku?" lengking nona itu.
Siu-lam tertegun. Hanya sedetik ia berhenti, tetapi cukuplah sudah bagi si nona untuk
gerakkan pedangnya menangkis golok Siu-lam. Dan secepat kilat ia balas menyerang.
Begitu Siu-lam mundur, si nonapun dapat menginjak tanah.
"Ai, sekarang kepandaianmu maju sekali?" serunya dengan tertawa.
Melihat nona itu sudah tegak di tanah, Siu-lam tersadar dari kesalahannya. Ia tertipu.
Kini kesempatannya untuk mengalahkan nona itu lenyap. Dan pertempuran dahsyat tentu
akan dialaminya lagi. "Hm, jangan harap kalian dapat lolos dari tempat ini!" dengusnya.
Si nona mengangkat kepala dan memandang ke arah sucinya yang masih menggeletak
di tanah. Ia tersenyum: "Kedua paderi tua itu lebih parah dari toa-suciku. Siapa yang
dapat bangun lebih dahulu dan menyalurkan napas, dialah yang akan menang. Mereka
tengah berjuang untuk bangun. Siapa yang akan menang, sekarang belum ketahuan!"
Diam-diam Siu-lam membenarkan kata-kata nona itu. Apabila dua jago sakti
bertempur, tentu dua-duanya akan menderita luka berat. Tanpa tersadar, ia berpaling
melihatnya". Wut, ia kaget sekali ketika tiba-tiba tersambar oleh serangkum angin
dingin. Buru-buru ia menyurut mundur. Ah, ternyata nona itu telah menyerangnya ketika
ia sedang berpaling tadi. Untung hanya ikat kepala saja yang terpapas!
Memang nona itu menyadari bahwa tak mungkin ia dapat mengalahkan Siu-lam. Maka
ia gunakan siasat memikat perhatian orang lalu menyerangnya dengan tiba-tiba. Dan
sebenarnya serangannya itu pasti dapat melenyapkan jiwa si anak muda. Sayang karena
pahanya yang tertendang tadi masih belum pulih, gerakannyapun kurang lincah. Baru
bergerak, Siu-lam sudah mengetahui dan dapat menyurut mundur.
Setelah menenangkan hatinya, Siu-lam menghardiknya: "Hm. Orang Beng-gak benarbenar
licik dan keji. Segala akal jahat tak sungkan digunakan!"
Nona itu tertawa datar, seolah-olah tidak tersinggung mendengar dampratan itu:
"Dalam bertempur, kepandaian dan akal harus sama-sama digunakan. Biarlah engkau
mendapat pelajaran dari pengalaman-pengalaman tadi!"
"Apakah begitu yang disebut akal" Hm, tak malu engkau mengatakan begitu!" Siu-lam
menutup kata-katanya dengan sebuah pukulan dalam jurus Ping-ho-tang-gui.
Menyadari bahwa sebelah kakinya masih belum pulih, si nona segera gerakkan
pedangnya untuk menangkis serangan. Ketika senjata mereka saling beradu, terdengarlah
lengking suara yang memuakkan telinga.
Kini keduanya bertempur dengan hati-hati dan tak berani memandang rendah lawan.
Siu-lam lancarkan serangannya tetapi nona itu tak mau bergerak dan hanya bertahan
diri saja. Ia kuatir sekali dari gerakannya, pemuda itu akan mengetahui tentang pahanya
yang terluka karena tendangan tadi.
Dengan begitu pertempuran itu merupakan pertempuran adu kekerasan. Suara senjata
beradu bordering-dering memecah kesunyian lembah.
Duapuluh jurus Siu-lam telah lancarkan serangannya. Karena melihat nona itu tetap
tak mau berkisar dari tempatnya, ia curiga dan hentikan serangannya.
Nona itu tersenyum, tegurnya: "Ai, mengapa engkau tak menyerang?"
Siu-lampun balas bertanya: "Dan mengapa engkau diam tak bergerak" Hm, aku tak
percaya kalau engkau memang sengaja hendak adu kekerasan dengan aku"."
"Lenganmu terluka tidak ringan. Darah banyak keluar. Sepuluh jurus lagi, engkau
tentu tak kuat." Siu-lam tertawa gelak-gelak: "Jangan harap engkau dapat mengelabuhi aku lagi!"
Tangan kiri diluruskan ke muka dada, serunya: "Cobalah engkau terima pukulanku ini!" ia
menutup kata-katanya dengan sebuah hantaman.
Melihat pemuda itu gunakan ilmu pukulan yang sakti seperti beberapa kali tadi,
terkejutlah nona itu. Sebab setiap kali pemuda itu mengeluarkan ilmu pukulan tersebut,
tentu ia tak mampu menangkis. Namun sebelum ajal berpantang maut, tak mau ia mati
konyol. Pedang segera ditaburkan dalam sebuah lingkaran sinar yang melindungi dirinya.
Siu-lam yakin bahwa pukulan sakti ajaran kakek Tan (Kakek dari Hian-song) itu
mempunyai perubahan yang luar biasa. Ia tak takut lawan menggunakan pedang.
Setelah memusatkan ingatannya untuk mengingat, tiba-tiba ia rubah pukulannya menjadi
tamparan. Memang jurus Hud-hwat-bu-pian (ajaran Buddha tiada batasnya) sekalipun hanya satu
jurus tetapi mengandung perubahan yang tiada batasnya. Apabila sudah menguasainya,
musuh tentu tak berdaya. Karena sebelum orang bergerak tentu sudah ditindas oleh
gerakan Hud-hwat-bu-pian yang penuh dengan segala perubahan. Disebut mengandung
perubahan, bukan sembarang gerak perubahan tetapi diambil dari sari terjadinya Langit,
Bumi, dan Manusia. Sekali bergerak, musuh tentu tertindas gerak-geriknya.
Sebenarnya perubahan memukul menjadi menampar yang dilakukan Siu-lam itu terjadi
secara mendadak karena melihat nona itu memutar pedang. Tetapi ternyata hal itu
benar-benar mengejutkan si nona. Tahu-tahu siku lengannya terasa kesemutan,
pedangnya terlepas jatuh. Dan secepat kilat tangan Siu-lam segera mencengkeram
pergelangan tangan lawan.
Siu-lam sendiri pun terkesiap. Ia tak menyangka kalau ilmu Hud-hwat-bu-pian ternyata
begitu sakti. "Ah, kalau tahu begini, tak perlu tadi aku membuang banyak waktu dan
tenaga," pikirnya. Ia termenung-menung, sehingga lengah untuk segera mengerahkan tenaga menguasai
lawan. Adalah karena kelengahan itu, ia harus menderita.
Sebenarnya nona itupun terpukau karena tercengkeram itu. Dalam hati ia sudah
mengeluh pasti habis riwayatnya. Tetapi ketika merasa Siu-lam hanya memegang saja,
seketika timbullah reaksinya. Dengan cepat ia gunakan tangan kiri mencengkeram siku
lengan kanan pemuda itu juga.
Siu-lam terkejut tapi sudah terlambat, pergelangan tangannya yang kanan sudah
dicengkeram si nona. Goloknyapun terlepas juga.
Kini keduanya saling mencengkeram dan sama-sama kesemutan. Siu-lam mengeluh.
Sebenarnya ia sudah menang tetapi karena melamun, kini keadaannya malah berbalik
sama-sama luka. Makin lama mereka sama-sama merasakan separuh tubuhnya seperti kaku dan
tenaganya pun makin lenyap".
"Rupanya hari ini kita akan mati bersama. Apakah kau benar-benar tak mau
melepaskan cengkeramanmu" Hm, kau pun tak nanti mampu lepas dari
cengkeramanku?" tiba-tiba nona itu membuka suara.
"Apa yang kau maksudkan dengan mati bersama?" sahut Siu-lam dingin: "Hm, benarbenar
tak punya malu!" Nona itu malah tertawa mengikik: "Seorang pria dan seorang gadis, saling bercekalan
tangan. Orang lain mengira kita sedang bercumbu rayu. Siapa tahu sebenarnya kita
sedang bergandengan tangan menuju ke akhirat!"
Diam-diam Siu-lam mengakui kebenarannya. Memang saat itu benar-benar merupakan
detik-detik kematian. Barang siapa lengah, pasti hancur.
Kembali nona itu tertawa: "Apakah kau mendengarkan tentang kematian samsumoayku
itu?" "Tak perlu!" jawab Siu-lam dengan dingin, "Aku tak mau percaya padamu lagi."
Tiba-tiba nona itu berubah wajahnya. Kaki kiri diangkat terus digempurkan ke perut
Siu-lam. Tetapi Siu-lam sudah siap siaga. Ia sudah berulang kali menderita tipu muslihat
nona itu. Begitu didengkul, ia cepat mendorong seraya menyingkir ke samping.
Oleh karena mereka masing-masing saling mencengkeram, gerakan itu menimbulkan
akibat yang hebat. Gempuran kakinya luput, menyebabkan nona itu terjerembab. Dan
karena terjerembab, Siu-lam pun ikut tertarik sehingga ia tak dapat menguasai
keseimbangan tubuhnya lagi dan ikut jatuh. Keduanya berguling-guling menghampiri tepi
jurang". Untung Siu-lam dapat mengaitkan kakinya pada segunduk batu sehingga tubuhnya
dapat tertahan. Ketika berpaling ke belakang, bulu kuduknya berdiri. Sebuah jurang
curam yang sama sekali tak tampak dasarnya terbentang di bawah kakinya.
Tetapi si nona baju merah yang sudah bertekad untuk mati bersama, malah berusaha
sekuat-kuatnya untuk bergeliatan ke bawah.
Saat itu terjadi adegan yang tegang. Keduanya saling mencengkeram. Yang satu
bertahan, yang satu berusaha supaya tergelincir ke dalam jurang!
Tiba-tiba terdengar suara lemah: "Pui sicu harap bertahan beberapa saat lagi."
Cepat Siu-lam mengenal suara itu sebagai suara Tay Ih siansu. Kalau ia merasa
longgar perasaannya adalah tidak demikian dengan si nona. Nona itu tentu sudah
memperhitungkan kemungkinan paderi itu sadar dan memberi bantuan pada Siu-lam.
Maka ia mengambil keputusan nekad. Lebih baik bersama-sama mati tercemplung ke
dalam jurang! Sekonyong-konyong nona itu mengangkat muka dan benturkan bibirnya ke muka Siulam.
Sudah tentu Siu-lam kaget dan miringkan kepala, menghindari. Begitu ia miringkan
kepala, si nona menyerempaki dengan mendorong tubuh pemuda itu!
Terdengar suara bergemuruh dahsyat. Batu yang dibuat pertahanan kaki Siu-lam tadi,
telah jebol dan menggelinding ke dalam jurang! Dan tubuh kedua orang itu meluncur
maju lagi beberapa langkah. Siu-lam tak sempat berpaling. Kakinya bergeliatan untuk
mencari panjatan. Tetapi ah, hanya tanah yang datar semua.
Saat itu separuh tubuhnya sudah merosot ke dalam mulut jurang. Asal nona itu
mendorongnya lagi, mereka tentu akan meluncur ke bawah".
Tiba-tiba ia melihat siku lengan kanan nona itu seperti ada tanda tembong (kulitnya
merah) sebesar mangkuk. Seketika ia teringat akan ucapan kedua suami isteri tua yang
pernah menolongnya ketika keluar dari Beng-gak. Serentak ia berteriak kaget.
Jilid 23 "HAI, mengapa engkau berteriak" Apakah engkau takut mati?" nona itu tertawa
mengejek. "Apakah engkau bernama nona Hun?" seru Siu-lam.
Bermula nona itu tertegun ketika orang menanyakan she-nya. Kemudian ia tertawa:
"Setengah meter di belakangmu, jurang yang curam sekali. Sekalipun paderi tua itu
bangun, tak mungkin dia dapat menolongmu!"
"Kecebur jurang belum tentu pasti mati. Apalagi kalau hancur lebur, bukan hanya aku
seorang?" sahut Siu-lam dengan marah. Kemudian ia mengulangi pertanyaannya lagi:
"Apakah engkau bernama Hun Bong-lian?"
Sepasang mata bundar dari nona itu membelalak. Sejenak ia termenung mengingat
nama itu. "Apakah engkau bukan Pui Siu-lam!" tiba-tiba nona itu tertawa dan serentak
mendorong lagi sehingga tubuh Siu-lam meluncur sejengkal pula.
Saat itu Siu-lam sudah menggelantung di tepi jurang. Separuh tubuhnya tercebur
dalam mulut jurang. Asal si nona mendorong lagi, tentu mereka tergelincir!
Tiba-tiba nona itu tertawa tawar: "Di dasar jurang penuh dengan batu-batu yang
runcing. Asal jatuh ke dalam, biarpun bertulang besi, tetap tak mungkin bisa hidup!" ia
menutup kata-katanya dengan mengangakan mulut dan sekonyong-konyong menggigit
tangan Siu-lam yang mencengkeram pergelangan tangannya.
Siu-lam terkejut sekali. Ia tak menduga akan mendapat serangan begitu macam.
Karena tak dapat menghindar lagi, tangannya tergigit sehingga berlumuran darah.
Sakitnya bukan kepalang. Siu-lam memperhitungkan kemungkinan yang akan dihadapinya. Nona itu dapat
melepaskan cengkeramannya dan memukulnya. Daripada menerima pukulan lebih baik ia
mendahului lepaskan cengkeramannya pada tangan nona itu dan loncat ke dalam jurang.
Memang perhitungan Siu-lam itu tepat. Nona itu benar-benar telah lepaskan
cengkeramannya dan menghantam. Tetapi karena Siu-lam sudah mendahului loncat ke
bawah, maka hantaman nona itupun hanya menemui angin kosong.
Cepat nona itu loncat bangun dan melongok ke bawah jurang. Ketika melihat tubuh
Siu-lam sedang meluncur ke bawah, ia tersenyum dan berseru nyaring: "Sam-sumoay,
maaf aku tak dapat mengantarkan jenasahnya,,,,"
"Hm, orang Beng-gak benar-benar tak kenal perikemanusiaan. Akupun takkan
memegang peraturan dunia persilatan lagi!" tiba-tiba terdengar suara seseorang dan tahutahu
punggung nona itu telah dicengkeram.
Nona itu tengah berdiri di tepi jurang. Asal orang itu mendorongnya, pasti ia terlempar
ke dalam jurang. Nona itu terkejut. Namun ia berusaha untuk berlaku setenang mungkin. Ia menunggu
timbulnya suatu kesempatan.
Kembali suara orang yang bernada serat itu berseru pula: "Seumur hidup, loni tak
pernah mencelakai orang dan jarang berkelahi dengan orang. Tetapi saat ini loni tak
dapat mengampunimu. Sebenarnya sekali gerak loni dapat menghancurkan urat-urat
jantungmu sehingga engkau mati seketika. Tetapi aku masih berlaku murah. Biarlah
kudorongmu masuk ke dalam jurang. Mati hidup terserah pada nasibmu"."
Tiba-tiba terdengar suara orang melantangkan doa Omitohud: "Apakah itu bukan Tay
Ih suheng" Harap berhenti dulu!"
Suara itu cukup dikenal tetapi mau tak mau Tay Ih siansu terkejut juga.
"Tay Ih suheng, silahkan mundur dan lepaskan nona itu!" kembali suara itu terdengar
dari belakang. Tapi nadanya kini rada bengis.
Tay Ih siansu bergeliat berpaling ke belakang dan lepaskan cengkeramannya pada
punggung si nona. Lalu cepat-cepat mundur tiga langkah. Tak salah lagi dugaannya.
Yang datang itu adalah Tay Hong siansu, ketua Siau-lim-si yang dikabarkan hilang di
gunung Beng-gak. Si nona baju merahpun cepat berputar tubuh. Begitu memandang Tay Hong siansu, ia
melangkah maju dua tindak dan berdiri tegak.
Tay Ih siansu tertegun beberapa saat. Perasaannya benar-benar meluap ketika
mengetahui bahwa sutenya yang dikabarkan hilang itu ternyata muncul kembali.
"Sute, kau datang" Ah, kini gereja sudah kembali pada pimpinannya. Siau-heng
menderita luka berat?" belum selesai mengucap Tay Ih siansu jatuh ke tanah.
Luka yang diderita dari pertempuran dengan si nona baju biru tadi, masih belum pulih
betul. Demi menolong Tay Teng siansu, ia terpaksa lepaskan pukulan dahsyat. Walaupun
Tay Teng tertolong, tetapi hawa murni dalam tubuh Tay Ih menjadi buyar dan lukanyapun
membengkak lagi. Adalah karena mempunyai keyakinan berpuluh tahun dalam hal tenaga
dalam, maka ia masih dapat bertahan diri.
Saat itu, begitu berhadapan dengan Tay Hong, perasaan Tay Ih meluap-luap lagi.
Darah melancar liar. Habis bicara, ia terus rubuh pingsan.
Tetapi anehnya Tay Hong hanya dingin-dingin saja melihat suhengnya itu pingsan.
Malah ia menghampiri si nona baju merah dan berkata: "Telah kucegah bala bantuan Siaulimsi datang ke lembah ini. Tapi jika nona tetap tinggal di sini, tentu berbahaya. Harap
sembunyi di lain tempat dulu. Dalam tiga hari, seluruh Siau-lim-si tentu sudah dapat
dibubarkan!" Sejenak nona itu memandang sekelilingnya lalu berkata: "Tempat ini selain jalanan
masuk tadi, tiada jalan keluar lainnya. Suciku terluka berat. Kemanakah engkau hendak
suruh kami pergi?" Tay Hong kerutkan alisnya: "Apakah lukanya berat?"
"Kalau orang pingsan, masakan tidak luka berat?" sahut si nona baju merah.
"Mari kita periksa. Aku mempunyai pil mujizat yang mungkin dapat
menyembuhkannya," kata Tay Hong.
Sebelum menyusul langkah Tay Hong, lebih dulu nona baju merah itu memberi sebuah
tendangan kepada Tay Ih siansu.
Tay Hong segera memeriksa tubuh si nona baju biru yang pucat wajahnya dan meram.
Kemudian ia berkata kepada si nona baju merah: "Toa-siocia ini telah menderita luka
berat. Tetapi tak apalah. Dia telah terkena pukulan Kim-kong-ciang dari Siau-lim-si
sehingga perkakas dalam tubuhnya terluka. Asal minum dua butir pil ini dan beristirahat
beberapa waktu, tentu akan sembuh."
Tiba-tiba Tay Teng siansu yang rubuh di tanah tadi, bangun dan berseru: "Tay Hong
suheng, kapan engkau datang"."
Tay Hong berpaling. Tampak Tay Teng berseri wajahnya dan bersyukur karena Tay
Hong yang menjadi suheng dan pimpinan gereja Siau-lim-si sudah kembali dengan
selamat. Tetapi tiba-tiba mata Tay Teng tertumbuk akan si nona baju merah yang berada
di samping suhengnya. Buru-buru ia berseru dengan gelisah: "Suheng, hati-hatilah di
belakangmu!" "Hm, orang itu sudah pulih kesadaran pikirannya. Jika dibiarkan hidup, kelak tentu
berbahaya. Lebih baik segera dilenyapkan saja!" pikir si nona baju merah seraya
melangkah ke samping Tay Teng dan plak, plak, ia memberi dua kali tamparan ke muka
paderi itu. Tay Teng yang baru tersadar dari pingsannya, menjadi gelagapan menerima tamparan
itu. Mulutnya mengucur darah dan kepalanya pusing tujuh keliling. Tetapi pada lain saat,
tiba-tiba ia loncat dan mencabut senjatanya.
Melihat itu si nona baju merah cepat-cepat menendang lengannya. Tetapi Tay Teng
dapat menghindar dan berguling-guling sampai beberapa langkah jauhnya. Kini ia berdiri
dengan menghunus senjata hong-pian-jan. Cepat-cepat ia sapukan senjatanya dalam
jurus Hong-jui-lok-yap untuk menahan serangan nona baju merah.
Karena sudah mengetahui kelihayan paderi-paderi Siau-lim-si, si nona baju merah tak
berani mengabaikan. Ia terpaksa loncat menghindar. Kemudian ia memandang Tay Hong
dengan pandang penuh kecemasan.
Tay Hong letakkan tubuh si nona baju biru lalu berbangkit dan membentak sutenya:
"Tay Teng, kemarilah!"
Tay Teng siansu terkesiap heran dan tak berani lanjutkan serangannya.


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenalkah engkau siapa aku ini?" tanya Tay Hong.
"Suheng adalah ketua gereja Siau-lim-si!"
Tay Hong membentaknya: "Tidak menurut perintah pimpinan, harus mendapat
hukuman bagaimana. Lepaskan senjata dan kemarilah!"
Sejenak Tay Teng tertegun. Kemudian ia lepaskan senjatanya dan pelahan-lahan maju
menghampiri. Rupanya ia sudah mendapat firasat bagaimana nasibnya. Wajah mengerut
gelap, mata berkunang-kunang.
Si nona baju merah segera mundur dua langkah untuk memberi jalan. Begitu tiba di
hadapan Tay Hong, Tay Teng segera rangkapkan kedua tangannya ke dada dan pejamkan
mata, berkata: "Apakah perintah yang ciang-bun suheng hendak berikan?"
Tiba-tiba sepasang mata Tay Hong memancarkan hawa pembunuhan. Ia pelahanlahan
mengangkat tangan kanannya.
Sesungguhnya Tay Teng hanya pejamkan mata tetapi tidak menutupnya sama sekali.
Ia tahu akan tindakan suhengnya yang hendak melakukan hukuman itu. Walaupun Tay
Teng seorang paderi yang sudah tinggi kebatinannya tetapi dalam menghadapi maut saat
itu, tak urung hatinya goncang, keringat dingin membasahi tubuh".
Tiba-tiba timbullah rasa kasihan dalam hati Tay Hong. Tangannya yang sudah
diacungkan tinggi itu pelahan-lahan diturunkan pula.
Pada saat tangan ketua Siau-lim-si itu turun, tiba-tiba terdengar Tay Teng mengerang
tertahan dan tahu-tahu tubuhnya terlempar ke dalam jurang!
"Hi, karena kulihat engkau ragu-ragu, terpaksa kuwakili untuk menyelesaikannya!"
menyusul terdengar lengkingan suara si nona baju merah. Ternyata dialah yang
menurunkan tangan telengas untuk menghantam Tay Teng dari jauh.
Tay Hong tersenyum: "Bunuhlah! Entah bagaimana aku masih mengingat kepada
hubungan lama!" ia segera berjongkok, menyusupkan dua butir pil ke mulut si nona baju
biru lalu berkata kepada si nona baju merah: "Ji-kounio, harap mengurut jalan darahnya.
Setengah jam saja dia tentu sadar. Lalu harap nona berdua mencari tempat bersembunyi
di sekitar daerah sini dan beristirahatlah sehari. Besok malam, loni akan menjemput nona
berdua kemari. Nah, supaya jangan menimbulkan kecurigaan mereka, aku hendak pergi
lebih dulu!" "Baik, engkau harus menjemput kami!" sahut si nona baju merah.
Tay Hong memberi hormat. Ia mengangkat Tay Ih siansu lalu dibawanya pergi.
Siu-lam yang kecebur ke dalam jurang, pikirannya masih sadar. Buru-buru ia kerahkan
semangat sambil menampar-namparkan tangannya untuk mencari benda yang dapat
dijadikan pegangan. Tetapi ternyata dinding jurang itu licin sekali dan tiada tumbuhtumbuhan
sama sekali. Akhirnya ia putus asa dan menghela napas. Entah berapakah
dalamnya dasar jurang itu. Ia tak tahu bagaimana nasibnya nanti.
Tubuhnya makin lama makin cepat meluncur ke bawah. Dan ia merasa ajalnya segera
tiba. Ia pejamkan mata pasrah nasib".
Dalam menghadapi datangnya malaikat elmaut saat itu, ia terkenang akan tiga bulan
kenangan yang indah. Pertama kepada sumoaynya, Ciu Hui-ing yang masih bersifat
kekanak-kanakan. Kedua kepada Tan Hian-song yang mudah merangsang emosi dan
ketiga kepada Bwe Hong-swat yang dingin laksana es".
Tiba-tiba ia rasakan luncur tubuhnya itu agak sendat. Seperti ada sesuatu tenaga yang
menahan luncuran tubuhnya itu.
Sebelum ia sempat mengetahui siapa yang melakukan itu, tahu-tahu ia sudah
menginjak tanah. Aneh, bukan batu-batu tajam seperti yang dibayangkan tetapi ternyata
semacam permadani yang empuk sekali.
Setelah menenangkan perasaannya, ia memandang ke sekeliling tempat itu. Hai"
kejutnya bukan kepalang. Ternyata ia bukan di atas permadani melainkan di dalam dua
belah tangan dari seorang tua yang tubuhnya berlumuran darah.
Serempak orang tua itu membisikinya dengan nada yang ramah: "Nah, engkau
beruntung telah tertolong. Tiada seorangpun yang dapat terhindar dari nasib yang telah
tersurat. Surat pesan mendiang toa-suheng, memang tepat sekali?" kembali ia menghela
napas. Siu-lam segera loncat turun dari tangan orang tua itu. Tampak tak jauh dari tempat
orang tua itu, menggeletak seorang tua gundul yang berjenggot hitam. Jubahnya yang
pendek, penuh berlumuran darah. Lambungnya terdapat luka sebesar dua dim. Dia
menggeletak tak berkutik.
Siu-lam ingat lupa akan kedua orang tua itu. Entah di mana, rasanya ia pernah melihat
mereka. Orang tua yang rambutnya putih yang menyanggapi tubuh Siu-lam tadi tersenyum:
"Bagaimana, apakah engkau sudah mengenali kami"."
"Apakah lo-cianpwe berdua bukan kedua tianglo dari Siau-lim-si?"
"Siau sicu?" baru orang tua berambut putih itu hendak berkata, tiba-tiba terdengar
suara dahsyat dan disusul dengan darah mencurah dari atas, sehingga tubuh Siu-lam
tercurah merah. Orang tua itu sapukan mata dan menghela napas, serunya: "Apakah bukan Tay Teng
sutit?" Siu-lam memandang ke sebuah tubuh yang jatuh dari atas. Badannya hancur
berlamuran darah tetapi dari pakaiannya dapatlah Siu-lam mengenalinya sebagai Tay Teng
siansu. Oleh karena orang tua berambut putih itu sudah berpuluh tahun bertapa,
sehingga ia tak dapat mengenal sutit (murid keponakan) dengan jelas. Untung kemarin
malam ia sempat mengenal wajah beberapa sutitnya itu dan tahulah kalau yang jatuh itu
Tay Teng siansu. Rupanya orang tua berambut putih itu dapat membaca keraguan hati Siu-lam. Maka
tertawalah ia tawar: "Anak muda jangan banyak keraguan. Sebenarnya ketika jatuh tadi,
loni sudah mengenalnya, sayang karena tubuh loni sedang menderita tusukan pedang
gerakan loni tak leluasa sehingga tak dapat menolonginya. Ah, Tay Teng sutitpun telah
menemui ajalnya"."
Tersipu-sipu Siu-lam menyadari keselamatan. Segera ia berlutut memberi hormat di
hadapan orang tua itu: "Jika tiada lo-cianpwe menolong, wanpwepun tentu sudah mati!"
Orang tua berambut putih mengawasi Siu-lam, ujarnya: "Di dalam kelicikan masih
punya kepribadian, di dalam keganasan masih punya welas asih. Siapa yang dapat
menguasai hal itu barulah dapat menandingi gerombolan iblis yang sedang merajalela di
dunia persilatan"."
Siu-lam tak begitu jelas apa yang dimaksudkan, tapi ia sungkan bertanya. Setelah beri
hormat, iapun bangun. Tampak orang tua itu pejamkan mata. Siu-lam yang masih hendak bicara, terpaksa tak
jadi. Ia tahu tentu orang tua itu menderita luka berat dan perlu bersemedhi.
Kemudian ia keluar menuju ke sebuah batu besar. Di situ merupakan dasar jurang
yang tak pernah diinjak manusia. Penuh dengan tumbuh-tumbuhan pakis yang lembab
dan berair. Tetapi entah dari mana sumber airnya. Tiba-tiba ia terkejut ketika melihat air
berwarna merah. Ah, ternyata bercampur darah. Dan memang tak jauh dari situ terdapat
tubuh Tay Teng yang sudah tak bernyawa".
Diam-diam ia menghela napas. Sama-sama jatuh ke dalam jurang tetapi lain nasibnya.
Akhirnya ia berniat untuk membuat lubang gnna mengubur mayat si paderi. Setengah
jam kemudian barulah ia berhasil membuat sebuah lubang dan lalu menguburnya.
Setelah itu ia mendekati ke tempat si jenggot hitam yang masih menggeletak di tanah.
Lukanya masih berdarah, pinggangnya agak gemetar tapi masih belum mati.
Siu-lam berjongkok, mengeluarkan sapu tangan, dicelupkan dalam air lalu hendak
membersihkan luka paderi itu.
Tiba-tiba si paderi yang berambut putih menyusupkan suara kepadanya: "Nak, jangan
mengganggunya. Dia takkan mati, hanya lukanya memang berat. Dia kehabisan tenaga
karena melakukan perjalanan jauh. Maka untuk beberapa waktu dia tentu belum dapat
tersadar. Siu-lam kagum melihat orang tua berambut putih itu. Walaupun menderita luka berat,
tetapi masih tenang dan pikirannya masih terang. Suatu tanda bahwa ia memang seorang
sakti. Terdengar orang tua berambut putih itu berkata pula: "Loni pun menderita luka berat.
Punggung tertusuk tiga kali sehingga sampai masuk ke tulang. Harus perlu beristirahat
beberapa waktu. Enam jam lagi, barulah loni dapat bicara dengan leluasa"."
Siu-lam memperhitungkan, enam jam kemudian tentu hari sudah malam. Iapun perlu
bersemedhi juga untuk memulihkan semangat tenaganya.
Entah lewat beberapa lama, Siu-lam dikejutkan oleh dengusan napas yang keras.
Ketika matanya dibuka, terkejutnya bukan kepalang. Seekor binatang yang menyerupai
orang hutan, dengan menyeringaikan gigi, tengah berdiri di samping orang tua jenggot
hitam yang menggeletak di tanah itu. Setelah mengawasi luka si orang tua, orang hutan
itu membungkuk hendak mengisap darah pada luka si orang tua berjenggot hitam.
Kejut Siu-lam bukan kepalang. Buru-buru ia menjemput sebuah batu dan bersiap-siap.
Berpaling ke sebelah lain, tampak orang tua berjenggot hitam itu tengah mencapai titik
yang tegang. Ubun-ubun kepalanya mengeluarkan uap, jenggotnya bergoncang-goncang.
Tetapi rupanya dia tak mengetahui tentang kemunculan binatang aneh itu.
Siu-lam cepat teringat bahwa kemungkinan besar, makhluk itu yang disebut Jim-hiong
atau Beruang orang. Siu-lam agak cemas karena ia tak membekal senjata. Pedangnya
telah jatuh ke dalam jurang.
Tengah menimang, mulut beruang yang besar sudah menempel pada luka orang tua
yang menggeletak itu. Siu-lam tak mau berayal lagi. Cepat ia timpukkan batu dengan seluruh sisa tenaganya.
Gheeerr" hidung beruang itu tepat terhantam dan meraunglah ia sekeras-kerasnya.
Mendapat hasil, Siu-lam susul lagi dengan dua buah timpukan. Tetapi binatang itu
sudah siap. Dengan meraung kera, ia menampar batu yang mengarah hidung. Tetapi
batu yang tertuju ke perut tetap mengenai. Bluk, batu itu seperti membentur batu yang
keras dan terpental balik.
Melihat itu Siu-lam tertegun. Cepat ia melesat dan menghajarnya dengan jurus Hui-pacongciong. Jim-hiong itu bertubuh berat maka gerakannyapun kaku. Dadanya kena terpukul.
Tubuhnya pun bergoyang-goyang. Dengan menggerung keras, ia menyambar. Siu-lam
dapat menghindari lalu menendang perutnya. Duk" ia hampir menjerit sendiri karena
terasa menendang batu. Kini ia menyadari bahwa tiada gunanya menggunakan kekerasan. Segera ia berganti
cara. Ia gnnakan siasat berlincahan kian kemari. Begitu dapat kesempatan, barulah ia
beri pukulan. Benar juga. Jim-hiong itu menjadi pusing diajak berputar-putar. Karena marah
binatang itu seperti orang gila yang loncat-loncatan tak keruan. Beberapa dinding karang
yang menonjol atau runcing, berhamburan hancur karena terlanda gerakan beruang itu.
Tiba-tiba binatang itu berputar tubuh dan terhuyung-huyung menghampiri ke tempat
orang tua gundul. Kejut Siu-lam bukan kepalang. Dengan gunakan seluruh tenaganya, ia
menghajar punggung binatang itu dengan pukulan Ngo-ting-hiat-san.
Binatang itu hampir terjerumus jatuh. Dengan menggerung keras ia berputar tubuh,
rentangkan kedua tangannya untuk memeluk si anak muda.
Dalam keadaan seperti itu, Siu-lam nekad. Bukannya menghindar mundur, ia malah
maju menyeruduk kepalanya ke perut lawan. Kedua tangannya mencengkeram siku
lengan si binatang. Binatang itu menggerung keras dan mendorong si anak muda mundur
sampai tiga langkah. Detik-detik ketegangan segera berlangsung. Asal cengkeraman Siu-lam kendor, dia
tentu akan dicekik atau digigit binatang itu. Atau terus didorong, ia tentu akan terpojok
pada dinding karang. Ternyata ia kalah kuat. Pelahan tapi tentu ia makin terdorong ke belakang dan
akhirnya dipepetkan pada karang. Kini satu-satunya harapan ialah ia harus bertahan diri
agar tangan binatang itu jangan sampai terlepas sehingga dapat mencekiknya.
Duel adu tenaga antara manusia dan binatang itu berlangsung dengan hebat dan lama.
Namun akhirnya detik-detik maut itu telah mencapai titik yang memuncak. Ia kerahkan
tenaga dan tak lama kemudian ia rasakan tenaga binatang itu makin berkurang dan
akhirnya lenyap. Tetapi begitu ia terlepas dari tekanan, karena kehabisan tenaga, ia
sendiri pun rubuh tak ingat diri.
Entah berapa lamanya, ketika ia siuman ternyata hari sudah malam. Di sisi tempat ia
berbaring terdapat setumpuk unggun api dan bau daging bakar yang wangi. Buru-buru ia
duduk dan menyambar sekerat daging yang berada di dekat unggun api. Setelah
menggerogoti dua tiga kali, laparnyapun hilang dan kesadaran pikirannyapun makin
terang. Ternyata daging bakar yang dimakannya itu belum pernah ia lihat. Lain dengan
daging kebanyakan. Begitu diperiksa ke dekat api, ternyata daging itu sebesar tahu dan
berwarna merah darah. Baunya agak anyir. Buru-buru ia hendak melemparnya.
"Jangan anak muda. Makanlah sampai habis. Loni memang sengaja telah
mengambilkan limpa beruang untukmu. Walaupun mungkin baunya agak anyir, tetapi
khasiatnya baik sekali untuk tubuh?" tiba-tiba terdengar seorang tua berseru dengan
suara parau. Kembali orang tua itu menghela napas panjang: "Engkau sudah tidur hampir duapuluh
empat jam lamanya. Selama engkau tidur tadi, loni telah membuka beberapa jalan darah
di tubuhmu. Ah, berpuluh-puluh tahun loni pantang untuk membunuh jiwa, sekalipun
seekor semut. Tetapi demi untukmu, loni telah melanggar pantangan itu dan membunuh
jim-hiong. Habiskanlah makanan itu, nanti loni masih perlu bicara denganmu!"
Siu-lam mengenali suara itu adalah suara si orang tua berambut putih. Dengan
pejamkan mata segera ia menghabiskan sate bakar limpa Jin-hiong. Setelahnya ia
melangkah keluar. Tetapi orang tua berambut putih tadi memanggilnya supaya masuk.
Tampak orang tua berambut putih duduk bersila sedang orang tua gundul yang
berjenggot hitam menyandar ke dinding karang sambil pejamkan mata.
Siu-lam menghaturkan terima kasih atas pertolongan orang tua itu yang telah
menyelamatkan jiwanya dari Jin-hiong.
"Engkau bukan anak murid Hud, tak perlu memberi hormat begitu rupa. Silahkan
duduk," kata si orang tua berambut putih.
Siu-lam terpaksa menurut kemudian menanyakan petunjuk-petunjuk apa yang hendak
diberikan orang tua itu. "Usiamu masih muda, tetapi engkau memiliki kepandaian yang luar biasa. Sayang
sumbernya tak jelas maka sekalipun kepandaianmu itu sakti, tetapi bukan tergolong yang
paling tinggi. Benarkah ucapan loni ini?" kata si orang tua berambut putih.
Siu-lam terkejut dan mengakui memang ia telah mendapatkan suatu rejeki besar
sehingga memperoleh suatu ilmu kesaktian yang aneh.
Orang tua berambut putih mengelus-elus jenggotnya lalu berkata: "Ilmu silat itu
sumbernya satu, dalamnya tiada terbatas. Memang panjang sekali kalau mau
diterangkan. Tetapi pada pokoknya hanya terbagi menjadi dua aliran, yakni aliran Cengcong
dan Pian-ci. Aliran Ceng-cong mengutamakan pada dasar dan ketekunan latihan.
Kemajuannya memang lambat, tetapi merupakan pengokohan jasmani yang utama"."
Ia menghela napas sejenak, lalu berkata pula: "Dan yang disebut Pianci itu adalah
memang mengutamakan jurus-jurus yang aneh untuk merebut kemenangan. Dan
walaupun terhitung menjaga diri dan melindngi jiwa tetapi ilmu itu cenderung ke aliran
nyeleweng. Misalnya menggunakan obat-obatan Im dan Yang, meminjam tenaga orang
dan lain-lain. Tetapi ah, ilmu itupun mempunyai sifat-sifat kebaikannya juga."
"Bagaimana sifat kebaikannya itu?"
"Bagus, pertanyaan yang bagus," seru orang tua itu perlahan.
Siu-lam heran. Buru-buru ia bertanya: "Apakah wanpwe salah omong" Mohon locianpwe
suka memberi maaf!" "Bila engkau anak murid perguruan kami, atau seseorang yang berhati luhur, sekalipun
dalam hati mau mendengarkan kelanjutannya, tetapi tentu tak berani bertanya kepada
loni," kata orang tua itu.
"Jadi lo-cianpwe menganggap wanpwe ini seorang yang rendah budi?"
Sahut paderi tua itu: "Menilik tulangmu, engkau seorang berbakat bagus. Tetapi
kecerdasan otak terbatas, keluhuran jiwa kurang. Syukur masih mempunyai hati yang
perwira dan iman yang baik!"
"Tiap patah kata yang lo-cianpwe ucapkan merupakan kata-kata emas. Terus terang
tanpa tedeng aling-aling. Wanpwe makin tersengsam."
Orang tua berambut putih itu mengelus-elus jenggotnya tertawa: "Menilik keadaan
dunia persilatan dewasa ini, memang perlu seorang yang seperti engkau. Ialah orang
yanda dapat menyesuaikan diri dan menghadapi setiap perubahan. Tegas dan berani
bertindak! Dengan demikian barulah suasana kejahatan dalam dunia persilatan selama ini
dapat tersapu bersih."
Siu-lam tersipu-sipu mengucapkan kata-kata merendahkan diri.
"Tetapi loni mengatakan suatu kenyataan, bukan bermaksud hendak menyanjungmu!"
"Ah, wanpwe merasa telah kelepasan omong, mohon lo-cianpwe suka memaafkan,"
kembali Siu-lam meminta maaf.
"Tadi engkau hendak menanyakan, apakah sifat kebaikan dari aliran Piau-ki itu.
Apakah sekarang engkau masih ingin mengetahuinya?" tanya orang tua berambut putih
itu. "Disebut Pian-ki tentulah menjurus ke jalan sesat. Pinjam barang merugikan orang,
termasuk perbuatan yang jelek. Sudah tentu kesemuanya itu akan mendapat hasil secara
cepat. Ah, wanpwe memang tolol, mohon lo-cianpwe suka memberi petunjuk."
Tiba-tiba orang tua berambut putih itu pendelikkan mata dan menatap Siu-lam dengan
tajam. Sesaat kemudian Siu-lam rasakan sinar mata orang tua itu seperti menembus ke
dadanya. Tiba-tiba saja ia merasa gelisah.
Tiba-tiba orang tua itu menghela napas, ujarnya: "Kau benar-benar. Ternyata kau
cerdik sekali. Ah, rupanya sudah suratan takdir. Pertumpahan darah tak dapat dihindari
lagi. Budha bersifat welas asih. Mungkin juga tak dapat menolong keadaan dunia
persilatan dewasa ini. Daripada membiarkan kejahatan merajalela, lebih baik menjalankan
tindakan membunuh untuk mencegah pembunuhan. Agar dunia persilatan lekas bersih
dari segala pengaruh iblis!"
Siu-lam terpukau. Tak jelas ia yang dimaksudkan orang tua berambut putih itu.
Kembali orang tua itu berkata pula: "Ilmu di luar sumber yang murni itu, sekalipun
sebelumnya memang sudah terdapat, tetapi Lo Hian-lah yang paling berani sendiri. Ilmu
kesaktian Lo Hian itu telah menggetarkan dunia persilatan sehingga dianggap lebih unggul
dari semua ajaran partai-partai persilatan"."


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang tua itu berhenti sejenak. Ia menghela napas pula lalu melanjutkan: "Sebelum
bertapa, loni memang mengagumi juga akan kesaktian dan kepribadian Lo Hian itu.
Karena itu dengan susah payah loni telah berusaha mencarinya. Kedua, loni ingin
mengadakan pembicaraan mengenai berbagai masalah di dunia persilatan. Jika dia suka
kerja sama dengan Siau-lim-pay, tentu mudah untuk membersihkan dunia persilatan dari
segala kejahatan. Tetapi ternyata dia terlalu tinggi hati dan tak mau campur urusan dunia
persilatan. Diapun tak mau menemui loni dan akhirnya dia harus menelan akibat dari
sikapnya itu sendiri"."
"Bagaimana lo-cianpwe mengetahui hal itu?" tanya Siu-lam.
Orang tua itu menghela napas pelahan, ujarnya: "Sekalipun waktu itu tak dapat
berjumpa, tetapi loni telah menyelidiki jejaknya. Hasil penyelidikan itu loni kumpulkan dan
menyimpulkan bahwa meskipun Lo Hian telah terluka oleh musuhnya tetapi dia belum
meninggal. Di dalam peristiwa itu memang penuh dengan liku-liku dendam dan kasih.
Beberapa puluh tahun berselang, di dunia persilatan telah muncul sepasang muda-mudi.
Dan loni pun menyelidiki mereka. Memang benar mereka berdua adalah anak murid Lo
Hian. Kemunculan mereka di dunia persilatan itu sebenarnya sudah menyalahi pesan
gurunya. Tetapi entah apakah Lo Hian mengetahui hal itu. Atau memang disengaja
olehnya. Karena lebih dahulu ia telah membuat sebuah peta Giok-ti-tho. Menurut desasdesus,
barang siapa menemukan peta itu, akan memperoleh semua ilmu ajaran Lo Hian.
Tetapi mengenai hal itu, loni masih ragu-ragu."
"Apakah lo-cianpwe tak percaya tentang desas-desus peta Giok-ti-tho itu?" tanya Siulam.
"Walaupun pernah mendengar ceritanya, tetapi loni belum pernah melihat benda itu.
Mungkin peta itu memang ada. Tetapi loni tak percaya bahwa peta itu benar-benar berisi
ilmu ajaran Lo Hian."
"Mengapa lo-cianpwe mempunyai pandangan yang berbeda dengan anggapan dunia
persilatan?" Kembali orang tua berambut putih itu menghela napas: "Ah, rupanya kau hendak
mengorek keterangan dari loni?" ia berhenti sejenak lalu berkata pula: "Menurut cengli
(logika), tak mungkin Lo Hian akan menulis semua ilmu kesaktiannya dalam buku itu dan
disembunyikan dalam Telaga Darah. Apalagi nama Hia-ti (Telaga Darah) itu merupakan
nama buatan. Agaknya bukan nama sebuah tempat. Menilik kecerdikan Lo Hian, tentulah
dia tak mau begitu mudah mencantumkan nama tempat persembunyian kitab itu.
Kemungkinan tentu mempunyai maksud lain."
"Tetapi wanpwe pernah melihat peta itu!" tiba-tiba Siu-lam berkata.
Orang tua berambut putih itu menatap Siu-lam: "Di mana peta itu sekarang?"
"Benda itu berada pada seorang sumoayku. Sayang dia jatuh ke dalam perangkap
orang Beng-gak dan nasibnya belum ketahuan bagaimana."
"Apakah engkau masih ingat akan lukisan pada peta itu?"
"Peta itu penuh dengan gurat-gurat merah yang menyeramkan. Tetapi tiada
keterangan suatu apa sehingga sukar dimengerti orang."
Paderi angkatan tua dari Siau-lim-si itu mendesak Siu-lam: "Cobalah engkau ingatingat.
Apakah dalam peta itu masih ada lain-lain cirinya?"
Siu-lam merenung beberapa jenak. Lalu katanya: "Ah, benarlah. Memang beberapa
huruf yang mirip dengan syair tapi bukan syair!"
Masih paderi tua berambut putih itu mendesak agar Siu-lam mengingat-ingat lagi.
Siapa tahu peta itu terdapat ciri-ciri yang disembunyikan Lo Hian.
Siu-lam pejamkan mata. Ia menggali lubuk ingatannya. Berselang beberapa waktu,
barulah ia membuka mulut: "Ai, aku ingat sekarang!"
Tiba-tiba orang berjenggot hitam yang menyandar pada dinding karang itu, matanya
dibuka dan menukas: "Apakah yang ditulisnya."
Siu-lam tertegun. Dia heran mengapa orang tua yang terluka parah itu dapat sembuh
dalam waktu yang cepat. Segera ia beri hormat: "Lo-cianpwe sungguh hebat sekali. Luka
yang begitu parah dalam waktu sehari saja sudah sembuh."
Orang tua berjenggot hitam itu tersenyum dan tidak menyahut melainkan berkata pada
si orang tua berambut putih: "Pandangan suhengnya memang tajam sekali. Bocah ini
memang boleh juga." "Kecerdasan terbatas, keluhurannya tidak cukup?" sahut si paderi berambut putih.
Sahut orang tua gundul berjenggot hitam itu: "Jika semua orang seperti kami berdua,
ah, dunia persilatan sukar dicari orang jahat?" lalu dengan helaan napas berat, ia berkata
pula: "Suasana dunia sudah begitu rupa. Penuh dengan kejahatan dan pembunuhan. Jika
kita tak mampu berbuat apa-apa, ya, apa boleh buat. Tetapi sebenarnya kita dapat
berbuat dan bertindak. Jika kita membiarkan saja kesemuanya itu berlangsung, apakah
itu bisa dianggap sebagai suatu sikap welas asih."
Orang tua berambut putih itu menghela napas: "Luka sute masih belum sembuh benar.
Janganlah banyak bicara. Lekas bersemedhi lagi!"
Sebenarnya orang tua gundul berjenggot hitam itu berwatak berangasan. Tapi
terhadap suhengnya dia tak berani membantah.
Setelah sutenya bersemedhi lagi, barulah orang tua berambut putih itu alihkan
pandangannya ke Siu-lam: "Apakah kau ingat akan kata-kata dalam peta itu?"
Siu-lam mengiyakan. "Cobalah kau katakana!"
Kata Siu-lam: "Dalam peta yang berwarna merah darah itu terdapat sebuah jalur putih
yang bertuliskan beberapa huruf kecil, berbunyi:
Tiga puncak melindungi pusaka, lima racun menjaga pil. Angin jahat, api berkobar.
Penuh dengan perubahan aneh. Rahasia ajaib jaman kuno. Mana boleh diambil
sembarangan. Masuk ke Telaga Darah. Mati jangan penasaran.
"Sungguh bermulut besar!" tiba-tiba orang tua gundul berjenggot hitam tadi
melengking lagi. Tapi orang tua berambut putih tenang-tenang saja bertanya pada Siu-lam: "Cobalah
ingat-ingat lagi, apakah masih ada tulisan lain?"
Siu-lam menandakan bahwa hanya itulah yang terdapat dalam peta tersebut.
"Bagaimana kepandaianmu?" tiba-tiba orang tua berambut putih bertanya.
Sudah tentu Siu-lam terbeliak dan sukar menjawab. Berselang beberapa saat baru ia
berkata: "Sesungguhnya kepandaian wanpwe ini hanya tergolong jago kelas dua atau tiga
saja. Terhadap ko-jin dari angkatan lo-cianpwe yang tadi, wanpwe tak mampu
menandingi. Tapi terhadap jago silat kebanyakan, mereka bukanlah tandingan wanpwe."
Tiba-tiba orang tua itu ulurkan tangannya lalu berkata: "Cobalah kau sambut pukulan
loni ini untuk mengetahui sampai di mana kepandaianmu!"
Dan habis berkata terus dorongkan tangan kanannya ke wajah.
Siu-lam menghindar ke samping dan berseru: "Bagaimana wanpwe mampu menerima
pukulan lo-cianpwe?"
Orang tua itu tertawa: "Masakan untuk menguji kepandaianmu sendiri kau tak berani?"
Siu-lam terkesiap. Tiba-tiba ia rasakan serangkum tenaga menyerang dadanya
sehingga jantungnya berdebar keras. Kini ia merasakan tak dapat menghindari lagi.
Terpaksa ia empos tenaganya untuk bertahan.
Walaupun tekanan tenaga itu cukup dahsyat tapi begitu Siu-lam gerakkan tangannya
menangkis, tenaga itupun berhenti.
Tiba-tiba orang tua berambut putih tersenyum: "A, tenaga dalammu cukup tangguh!
Hati-hati loni hendak menambahi tekanan!"
Seketika Siu-lam rasakan tenaga tekanan yang dideritanya makin lebih dahsyat lagi.
Terpaksa ia kerahkan seluruh tenaganya untuk menghadapi.
Tapi tekanan orang tua berambut putih makin menghebat. Pada saat Siu-lam sudah
habis tenaganya, orang tua itu malah menambah tenaga tekanannya lagi. Huh" Siu-lam
rubuh terjerembab ke belakang. Namun ia masih dapat menyangga tubuh dengan tangan
kiri, sedang tangan kanan tetap menahan gempuran si orang tua.
Berselang beberapa jenak lagi, Siu-lam merasa letih sekali. Tulang-tulangnya seolaholah
seperti tercerai berai sehingga ia tak dapat membuka mulut lagi.
Orang tua berambut putih itu tersenyum, serunya: "Hati-hatilah, loni hendak
menambahi tenaga tekanan lagi!"
Ah, benar-benar ia lakukan apa yang dikata itu. Seketika Siu-lam rasakan darah dalam
tubuhnya bergolak ke atas. Ruas-ruas tulang dan jalan darahnya, sakit bukan kepalang.
Siku lengannya melentuk dan pingsanlah ia".
Ketika ia membuka mata, ternyata ia rebah di hadapan orang tua berambut putih itu.
Buru-buru ia hendak bangun tetapi tubuhnya terasa nyeri sekali. Ruas-ruas tulangnya
seperti terpisah-pisah. Ia mengeluh: "Mati aku sekarang. Karena tadi terlalu banyak
menggunakan tenaga, urat nadi dan tulangku tentu hancur. Ah, aku tentu menjadi
seorang cacad seumur hidup."
"Engkau sudah bangun?" tiba-tiba terdengar paderi tua berambut putih itu menegur
dengan nada ramah. "Ya, jika aku tak tersadar lagi, itu lebih baik!" sahut Siu-lam.
Paderi tua itu tertawa: "Orang masih muda mengapa tak mempunyai cita-cita. Dewasa
ini dunia persilatan sedang dilanda kejahatan. Tenagamu dibutuhkan sekali. Mengapa
enak saja mengucapkan kematian?"
"Lo-cianpwe telah menghancurkan urat-urat nadi ruas tulangku. Kini aku sudah tidak
dapat berkutik, mengapa masih disebut-sebut dalam dunia persilatan, hem"."
Paderi berambut putih itu tertawa: "Dunia persilatan akan meletakkan tugas berat di
bahumu. Suruh engkau merasakan sedikit penderitaan saja, apa sudah dingin hatimu?"
Siu-lam hendak berkata tetapi tak jadi.
Paderi tua berambut putih itu menghela napas: "Ah, budak yang licik. Kau mempunyai
rahasia dalam hati mengapa tak mau mengatakan" Ai" cerdik dan banyak akal memang
tepat untuk melaksanakan beban besar. Hanya dikuatirkan dlam melakukan tugas itu,
menggunakan keganasan tanpa kenal sedikit belas kasihanpun."
Diam-diam Siu-lam terkejut karena paderi tua itu rupanya mengenal jelas perangainya.
Tiba-tiba paderi tua yang berjenggot hitam nyeletuk: "Engkau telah memakan kue
Cwan-leng-kau yang dibuat oleh suhengku dari ramuan tangan, hati dan empedu beruang.
Karena tiada api, suheng telah gunakan waktu dua belas jam untuk membuat kue itu.
Tadi dia mendesakmu untuk adu tenaga agar kau benar-benar kerahkan seluruh tenaga
dalam. Kemudian ia sambut dengan tenaga murni hasil peyakinannya selama berpuluh
tahun. Lalu dikerahkan untuk menembus jalan darah dalam tubuhmu. Suheng tak sayang
mengorbankan hawa murni yang tidak kalah nilainya dengan jiwa karena hendak
menciptakan suatu keajaiban yakni dalam waktu singkat akan menyusupkan tenaga dalam
istimewa dari Siau-lim-si ke dalam tubuhmu. Hm, budak hina, tak perlu engkau harus
berterima kasih, tetapi pun jangan lancang mengucap kata-kata kurang ajar!"
Serentak Siu-lam hendak menghaturkan terima kasih. Tetapi pada lain saat itu
menimang. Adanya paderi angkatan tua dari gereja Siau-lim-si itu rela mengorbankan
tenaga murni kepadanya, tentulah karena mempunyai maksud tertentu. Jika ia buru-buru
menghaturkan terima kasih, ia kuatir paderi tua itu malah akan memandangnya rendah.
Maka ia tak jadi mengucapkan terima kasih.
Tampak paderi tua berambut putih itu setengah pejamkan mata. Jenggotnyapun
tampak bergoncang-goncang. Rupanya dia tengah mempertimbangkan suatu masalah
yang berat. Sepeminum teh lamanya, paderi itu membuka mata dan menatap Siu-lam, ujarnya:
"Dewasa ini dunia persilatan sudah mulai keruh. Keganasan makin merajalela. Walaupun
loni mengutamakan welas asih, tapi sukar rasanya untuk melawan takdir."
Ia berhenti sejenak lalu berkata pula: "Loni mempertimbangkan untuk menyerahkan
ilmu kesaktian yang loni peroleh selama bertapa tigapuluh tahun itu, padamu,.." tiba-tiba
wajahnya berubah serius dan nadanyapun makin tegas: "Tapi kau harus bersedia
memenuhi tiga syarat."
Siu-lam tertawa: "Mohon lo-cianpwe sudi mengatakan tiga syarat itu lebih dulu agar
wanpwe dapat mempertimbangkannya."
Paderi tua itu merenung sejenak lalu berkata: "Pertama, setelah memahamkan ilmu
sakti itu, kau harus melindungi Siau-lim-si agar partai gereja itu tetap hidup di tengah
dunia persilatan." "Sudah menjadi kewajiban, setelah menerima budi lo-cianpwe, wanpwe harus
melakukan tugas itu. Lalu yang kedua?"
"Yang kedua, harus menegakkan kepercayaan dan kebajikan dalam dunia persilatan.
Dan kau sendiripun harus benar-benar melaksanakan kedua hal itu, sekalipun harus
ditebus dengan pengorbanan jiwa raga."
Siu-lam menyahut: "Kepercayaan dan kebajikan, memang meliputi luas sekali. Penuh
dengan dalih-dalih yang berliku-liku. Tapi demi balas budi locianpwe, wanpwe berjanji
akan melakukan kedua hal itu dengan sepenuh hati. Dan bagaimana syara yang ketiga?"
"Yang ketiga ini, mungkin kau tak mau meluluskan."
"Tak apalah. Karena lo-cianpwe belum menurunkan ilmu itu, apabila wanpwe tak
sanggup menerima, toh lo-cianpwe pun tak perlu berikan ilmu itu."
Diam-diam paderi tua itu menghela napas, batinnya: "Benar-benar seorang bocah lihay.
Rupanya ia sudah perhitungkan bahwa aku mau tak mau harus mengajarkan ilmu itu
kepadanya." Kemudian ia menyahut tegas: "Apa yang hendak loni ajarkan kepadamu, kebanyakan
adalah ilmu pusaka dari Siau-lim-si. Ilmu itu merupakan ilmu simpanan Siau-lim-si selama
seratus tahun. Yang dipahaminya, memang sedikit sekali. Bahwa loni terpaksa
mengajarkan ilmu itu bukan kepada anak murid Siau-lim-si, sebenarnya sudah melanggar
pantangan gereja. Tetapi karena keadaan memaksa, terpaksa loni bertindak menyimpang.
Hanya pantangannya, jangan sekali-kali kau mengajarkan ilmu itu pada lain orang lagi.
Sekalipun isteri dan anak, juga tak boleh!"
Siu-lam kerutkan dahi, ujarnya: "Tapi andaikata orang perhatikan dan pelajari gerakgerak
wanpwe pada saat bertempur, bukankah hal itu tak dapat diartikan wanpwe telah
mengajar pada orang lain?"
Paderi tua berjenggot hitam tiba-tiba menyeletuk: "Benar-benar seorang bocah yang
licin. Asal tak disengaja, biarlah lain orang mencuri sedikitpun tak mengapa!"
"Karena lo-cianpwe bermaksud sungguh-sungguh hendak menyelamatkan dunia, maka
wanpwe pun akan melaksanakan dengan sepenuh hati," kata Siu-lam.
"Sebenarnya suhengku masih mempunyai harapan pribadi. Tetapi dalam saat ini, dia
tak mau mengatakan padamu"."
"Sute, jangan?" cepat-cepat paderi tua berambut putih berseru.
"Silahkan lo-cianpwe mengatakan. Asal wanpwe mampu saja, pasti akan melakukan
dengan sungguh-sungguh!" seru Siu-lam tegas.
Paderi jenggot hitam tertawa: "Bagus, akulah yang akan memberitahukan. Kelak
apabila sudah berhasil mempelajari ilmu kesaktian dari suheng dan keluar ke dunia
persilatan, carilah Lo Hian dan tempurlah dia. Jika menang, bilang kepadanya bahwa
Bong taysu mencarinya akan diajak adu kesaktian!"
"Kalau wanpwe kalah?"
"Bilang kepadanya bahwa Kak Hui menunggu kedatangannya untuk menetapkan siapa
yang lebih unggul!" Siu-lam menyatakan kesanggupannya.
Paderi tua berambut putih itu ternyata bergelar Kak Bong taysu. Sedang paderi tua
berjenggot hitam Kak Hui taysu.
"Engkau bukan anak murid Siau-lim-si," kata Kak Bong taysu, "bagaimana watak
perangaimu, sukar diketahui jelas. Adanya loni dan sute menurunkan ilmu kesaktian itu
kepadamu adalah karena hendak meminjam tanganmu untuk menyelamatkan dunia
persilatan dari kehancuran"."
Serentak wajah Siu-lam mengerut serius dan dengan khidmatnya menjura di hadapan
Kak Bong taysu: "Atas kepercayaan yang lo-cianpwe limpahkan kepada wanpwe, Pui Siulam
bersumpah, akan melaksanakan tugas dengan sepenuh jiwa raga. Apabila lo-cianpwe
menganggap diri wanpwe masih kotor dan sukar diterima sebagai murid gereja,
wanpwepun tak berani memaksa. Hanya masih ada sebuah hal yang wanpwe kurang jelas
dan hendak mohon penjelasan."
"Berdasarkan pada tanda-tanda di wajah, maka loni dapat menilai watak seseorang.
Sama sekali loni tak dapat meramal. Jika mempunyai persoalan, silahkan engkau
mengatakan. Sedapat mungkin, loni akan bantu menjelaskan!"
"Dalam ucapan lo-cianpwe tadi, samar-samar lo-cianpwe menunjuk bahwa wanpwe
seorang yang berwatak licin tak jujur. Berpegang pada itulah maka timbul pertanyaan
dalam hati wanpwe. Apakah dalam gereja Siau-lim-si tiada seorangpun yang memenuhi
syarat untuk menerima warisan ilmu dari lo-cianpwe berdua. Bukannya wanpwe hendak
menolak kepercayaan lo-cianpwe tadi. Tetapipun tak mengharapkan lo-cianpwe berdua
sampai melanggar peraturan gereja. Apabila lo-cianpwe sudi menunjukkan, wanpwe
sanggup untuk mengajak orang yang lo-cianpwe penuju, datang kemari menerima ajaran
lo-cianpwe!" Kak Bong taysu mengusap janggut tersenyum: "Bagus sekali pertanyaanmu itu.
Mencari orang yang berbakat bagus dan berbudi luhur, tidaklah semudah seperti yang
diucapkan. Di kalangan Siau-lim-si walaupun banyak anak murid yang berbudi luhur tetapi
jarang yang mempunyai bakat baik"."
Paderi tua itu menghela napas, kemudian lanjutkan kata-katanya: "Ilmu silat memang
setiap orang dapat mempelajari. Tetapi yang dapat mencapai tingkat kesempurnaan,
hanyalah mereka yang mempunyai tulang dan bakat bagus. Orang yang begitu, sukarnya
seperti mencari jarum di lautan. Ratusan tahun yang lalu, tokoh-tokoh saktipun pusing
untuk mencari ahli warisnya. Terpaksa harus menjelajah ke segenap penjuru dunia untuk
mencarinya. Tetapi itupun belum tentu ketemu. Maka itulah sebabnya banyak sekali ilmu
kesaktian yang lenyap. Andaikata ketemu dengan orang yang dicita-citakan, demi untuk
mengembangkan ilmu dan menyelamatkan dunia persilatan dari bencana, tokoh-tokoh itu
tak ragu-ragu untuk mengangkat orang di luar perguruannya menjadi ahli waris. Dengan
keterangan ini, harap sicu dapat mengerti!"
Siu-lam mengiyakan. "Misalnya dalam kalangan Siau-lim-si," Kak Bong taysu lebih lanjut, "sejak Tat Mo cousu
mendirikan gereja Siau-lim-si, dengan kecerdasan yang gemilang dan bakatnya yang luar
biasa, cousu telah delapan tahun bersemedhi dan akhirnya dapat menciptakan kitab Tatmoih-kin-cin-keng. Walaupun di kemudian hari jumlah anak murid Siau-lim-si makin
tambah besar, tetapi tiada seorangpun yang dapat memahami warisan ilmu Tat Mo Cousu
itu. Siau-lim-si memiliki tujuhpuluh dua ilmu kesaktian. Tetapi hingga saat ini, loni belum
mendengar bahwa di antara angkatan Siau-lim-si yang terdahulu, mampu memahami
benar-benar seluruh ilmu itu. Telah diatur cara latihan yang berlapis. Setelah diberi


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ajaran oleh sucou (guru) maka murid-murid itupun mengadakan latihan bersama. Tetapi
itu pun tak berhasil menciptakan seorang tokoh yang benar-benar mencapai
kesempurnaan"."
Paderi tua itu menghela napas.
"Bukan maksud loni hendak menonjolkan keadaan Siau-lim-si tetapi hanya sekedar
menceritakan yang sebenarnya. Di dalam memilih anak murid, Siau-lim-si memang keras.
Dititikberatkan pada kecerdasan dan peribudinya, barulah diberikan ilmu sakti. Tetapi
kehidupan di dalam gereja yang keras itu, memang jarang orang yang dapat tahan.
Banyak para angkatan tua, telah mencurahkan hidupnya untuk mempelajari ilmu silat,
sehingga mereka tak pernah keluar ke masyarakat ramai. Maksudnya agar mereka tidak
terganggu pikirannya oleh urusan dunia. Tetapi hasilnya pun kurang memadai. Yang
mampu menguasai duapuluh satu macam ilmu sakti gereja Siau-lim-si, dapat dihitung
dengan jari"." Berkata sampai di sini, paderi tua itu merenung diam. Berselang berapa jenak
kemudian baru ia menghela napas, ujarnya: "Menurut apa yang loni ketahui, sampai
sekarang, Siau-lim-si telah turun-temurun berpuluh angkatan. Muridnya tak terhitung
jumlahnya. Di antara mereka yang tergolong paling tinggi kepandaiannya, hanya dapat
menguasai limapuluh empat macam ilmu kepandaian saja"."
Kak Hui taysu nyeletuk: "Di dalam kalangan Siau-lim-si, suhenglah satu-satunya yang
dapat mencapai pertapaan selama tigapuluh tahun. Dengan demikian dapatlah kiranya
suheng dianggap sebagai satu-satunya murid yang mampu mencapai tingkat tertinggi."
Kak Bong taysu gelengkan kepala: "Setelah bertapa selama tigapuluh tahun itu, barulah
loni mengetahui kesusahan Lo Hian. Sekalipun tak rela menurunkan ilmu kepandaiannya
pada orang yang tak sesuai dengan cita-citanya, tapi dia tidak menghendaki ilmu itu
sampai turut lenyap bersamanya ke alam baka"." Ia menatap Siu-lam, ujarnya:
"Begitulah susahnya mencari tunas berbakat!"
Serentak Siu-lam tersadar dan tersipu-sipu berlutut memberi hormat: "Banyak terima
kasih atas petunjuk lo-cianpwe yang berharga itu."
Wajah Kak Bong siansu berseri-seri: "Walaupun aku melanggar peraturan perguruan,
tapi aku telah menurunkan hasil pertapaanku selama tigapuluh tahun kepada dunia. Asal
kelak kau mempergunakan ilmu itu demi kejayaan Siau-lim-si, loni tentu mati dengan
tenteram di alam baka!"
Siu-lam mengangkat muka dan berkata dengan tandas: "Petunjuk lo-cianpwe itu, bagai
lonceng pagi di hati wanpwe. Mengapa wanpwe tidak mati terlempar ke dalam jurang ini.
Mengapa wanpwe pun tidak mati dimakan beruang tadi. Beberapa bulan ini, wanpwe
telah mengalami bahaya maut dan peristiwa-peristiwa yang tegang. Kesemuanya itu
makin menambah kesadaran hati wanpwe. Maka sekiranya diri wanpwe sebagai murid
gereja Siau-lim-si. Agar wanpwe dalam mengabdikan hidup wanpwe pada gereja"."
Sampai beberapa jenak Kak Bong taysu menatap wajah pemuda itu. Ia bergeleng
kepala: "Engkau bukan selayaknya menjadi murid gereja."
"Tetapi tekad wanpwe sudah bulat. Harap lo-cianpwe jangan mensia-siakan
permohonan wanpwe ini!"
"Semua sudah tersurat dalam takdir. Tak dapat manusia menolaknya!" kata Kak Bong
taysu. Masih Siu-lam mendesak: "Hidup wanpwe penuh kehampaan, jika lo-cianpwe sudi"."
"Obat takkan mematikan orang. Pengabdian agama Hud (Budha) hanya bagi orang
yang berjodoh. Jangan mengulangi permintaan itu lagi!" tukas Kak Bong taysu.
Kak Hui taysu pun menambah keterangan: "Adanya suheng tak berani menerima
permintaan karena mempunyai maksud lain. Jika engkau mencukur rambut masuk ke
dalam biara, siapakah yang akan mengangkat senjata untuk menumpas iblis-iblis di dunia
persilatan?" "Tetapi mohon lo-cianpwe suka menerima dulu wanpwe menjadi murid Siau-lim-si.
Setelah tugas menyelamatkan dunia persilatan itu selesai barulah wanpwe melakukan
upacara cukur rambut dan tinggalkan dunia keramaian."
"Sedang seorang tokoh berbakat cemerlang seperti Lo Hian tetap tak berani melanggar
kodrat. Apalagi aku yang kalah tinggi dengan Lo Hian. Sudahlah, percuma saja engkau
memohon. Lekas mulai bersemedhi, kosongkan pikiran. Loni segera hendak menurunkan
pelajaran kepadamu."
Siu-lam menghela napas. Terpaksa melakukan perintah paderi tua itu. Ia mulai
bersemedhi. Dalam pada itu Kak Hui taysu gunakan ilmu menyusup suara Coan-bi-jib-bi, bertanya
kepada Kak Bong: "Suheng, apakah benar-benar bocah itu tak berjodoh dengan Siau-limsi?"
Jawab Kak Bong taysu: "Alisnya mempunyai tiga kerut guratan. Pertanda jalan
hidupnya penuh berlumuran budi dan dendam, cinta dan kebencian. Tak mungkin untuk
melawan suratan takdir!"
"Kalau begitu dia kelak akan terjerumus dalam pergolakan soal wanita?" kata Kak Hui
dengan nada kurang senang. Ia memang benci kepada orang yang gila paras cantik.
"Yang dikatakan budi dan dendam, cinta dan kebencian, belum tentu dapat
digolongkan sebagai orang yang gemar paras cantik. Tetapi memang dalam perjalanan
hidupnya, bocah ini selalu terlibat dengan wanita. Dia tak bersalah karena dialah yang
selalu dilibat"."
Kak Bong taysu menghela napas pula, ujarnya: "Memang karena kurang kemantapan
dia tak dapat menjalankan tugas-tugas agama kita. Tetapi dia benar-benar memiliki
tulang dan bakat yang bagus sekali. Ya, benar-benar seorang tunas pilihan."
"Setelah mendapat ilmu kesaktian, apakah kelak dia dapat menjalankan amal perbuatan
yang baik, ataukah dia akan mengikuti jejak Lo Hian yang melangkah ke jalan sesat.
Maka meskipun kita dapat melahirkan seorang bintang cemerlang dalam dunia persilatan,
tetapi kita pun telah menimbulkan sebuah bencana di dunia persilatan," kata Kak Hui
taysu. "Ah, rasanya takkan sampai menjurus ke tingkat begitu," kata Kak Bong, "yang nyata
dia mempunyai perbawa angkuh sekali. Dikuatirkan selama melakukan tugas membasmi
kejahatan itu, dia akan melakukan pembunuhan tidak kenal kasihan."
Kata Kak Hui pula: "Dewasa ini dunia persilatan tercengkeram oleh iblis-iblis jahat. Jika
ada seorang gagah yang mampu memberantas kejahatan itu, sudah tentu dunia persilatan
akan menyambut girang. Maka tak perlu suheng cemas"."
"Ai, memang suasana dewasa ini, memerlukan seseorang yang seperti dia. Cerdik dan
banyak akal serta dapat melakukan siasat dengan racun mengobati racun. Ketika kita
terluka dan lolos dari sanggar pertapaan kemudian jatuh ke dalam jurang ini, secara
kebetulan diapun jatuh tepat di atas kepalaku. Andaikata jatuhnya pada jarak setombak
dari tempatku, tak mungkin aku dapat menyanggapi tubuhnya. Jelas bahwa peristiwa
kebetulan itu, sebenarnya tersurat dalam takdir. Ini tepat sekali seperti yang diramalkan
toa-suheng." Karena kedua paderi itu bicara dengan gunakan ilmu menyusup suara Coan-im-jip-bi,
maka Siu-lam tak dapat mendengarkan sama sekali.
Tiba-tiba Kak Hui teringat akan sebuah hal yang sangat penting. Ia gelengkan kepala
dan menghela napas lalu berkata: "Tetapi dewasa ini di dunia persilatan sudah mulai
terjadi pembunuhan ganas. Mengajar ilmu kesaktian, pun tentu tak dapat selesai dalam
waktu yang singkat. Sampai seluruh kepandaian kita turunkan semua kepadanya,
dikuatirkan keadaan sudah terlambat dan sukar menolongnya lagi."
"Tetapi dia sudah memiliki kepandaian yang hebat. Aku hendak menggunakan cara
perguruan kita Ih-goan-coan-sin untuk memberinya pelajaran secara cepat. Dalam waktu
tiga bulan saja, kiranya sudah dapat selesai."
Kak Hui terkesiap: "Apakah cara itu takkan membuat suheng menderita?"
"Keadaan sudah memaksa. Tiada lain pilihan lagi. Tay Teng sutit dilempar ke dalam
jurang dan tubuhnya hancur lebur"."
"Mengapa aku tak tahu?" Kak Hui terkejut.
"Jenazahnya sudah dikubur anak muda itu," kata Kak Bong.
Wajah Kak Hui berubah tegang: "Kalau begitu gereja Siau-lim-si sudah diserang
musuh!" Kak Bong tertawa dan segera suruh anak muda itu segera mempertunjukkan
permainan ilmu pedangnya.
Kedua paderi tua itu mengikuti dengan penuh perhatian ketika Siu-lam memainkan ilmu
pedang ajaran kakek dari Hian-song.
Siu-lam mainkan ilmu pedang Jiau-toh-co-hoa dengan pelahan. Tiga jurus kemudian ia
berhenti: "Sebenarnya ilmu pedang itu terdiri dari delapan jurus tetapi wanpwe hanya
ingat tiga jurus saja!"
Sambil mengangguk, berserulah Kak Bong taysu: "Walaupun hanya tiga jurus, tetapi
cukup hebat. Jika engkau dapat mengingat keseluruhannya, keganasannya memang luar
biasa. Sebelum mengetahui keseluruhannya, sukar loni memberi penilaian. Hendak
merenungkan dahulu baru dapat memberi keterangan!"
Siu-lam mengiyakan. Ia menandaskan lagi bahwa ilmu pedang Jiau-toh-co-hoa itu
termasuk keras dan ganas. Tidak segemilang dan sejujur ilmu pedang Tat-mo-kiam.
Kak Bong taysu merenung sejenak. Tiba-tiba ia kerutkan wajahnya: "Dahulu, empat
partai besar telah mengepung wanita siluman yang bersenjata Chit-jiau-soh. Tetapi
wanita itu tetap berhasil meloloskan diri, setelah melukai beberapa orang. Tay Ti sutit,
salah seorang murid cemerlang dari Siau-lim-si pun terluka dan binasa"."
Berhenti sejenak, Kak Bong taysu menghela napas: "Jika Tay Ti sutit masih ada, tentu
takkan kuajarkan hasil pertapaanku kepadamu."
Kak Hui yang dapat menangkap kemana arah jatuhnya ucapan Kak Bong, cepat
menyeletuk: "Apakah suheng teringat bahwa ilmu Jiau-toh-co-hoa itu ciptaan Lo Hian?"
"Benar," sahut Kak Bong, "Jurus itu memang sangat ganas sekali. Mirip dengan watak
penciptanya, Lo Hian. Seorang yang sombong, memandang rendah pada semua orang di
dunia. Jika siluman wanita dari Beng-gak itu benar-benar anak murid dari perguruan Lo
Hian, ya, cukup hanya dengan jurus tadi saja, Siau-lim-si pasti tak akan tertolong"."
Tiba-tiba Kak Bong berpaling pada Siu-lam: "Sekalipun tiada ikatan guru dan murid,
tetapi terdapat budi memberi pelajaran. Aku dan sute telah menderita luka parah. Luka
itu menembuh pada jalan darah yang penting. Jika tak ada kesempurnaan hasil bertapa,
mungkin saat ini kami berdua tentu sudah binasa. Apakah nanti kami berhasil
memulihkan urat-urat yang putus itu dan mendapat kembali tenaga sakti, belumlah berani
kami pastikan. Tapi yang nyata, Siau-lim-si sedang di ambang kehancuran. Maka dalam
menurunkan pelajaran sakti itu, aku hanya minta tukar supaya kau menyelamatkan gereja
Siau-lim-si." Serentak Siu-lam berbangkit dan ia berjanji: "Ah, janganlah lo-cianpwe terlalu sungkan.
Sekalipun lo-cianpwe tidak memberi pelajaran, tapi wanpwe tetap akan membalas budi
pertolongan lo-cianpwe yang telah menyelamatkan jiwa wanpwe!"
Bergegas Kak Hui berseru: "Dia hanya pelajari Tat-mo-sam-kiam dan belum sempurna.
Apakah hanya dengan tangannya seorang, dapat mengatasi masalah gawat itu?"
"Dalam keadaan begini tiada lain jalan kecuali harus berani mengambil resiko,
melepaskan kedua Lam-pak-ji-koay itu. Mudah-mudahan dengan bantuan tenaga kedua
orang itu, Siau-lim-si akan tertolong dari kehancuran!" kata Kak Bong taysu.
"Lebih baik mencoba daripada diam saja!" Kak Hui menyetujui. "Harap suheng segera
memberi pesan kepadanya."
Siu-lam pun mendesak agar paderi tua itu segera memberi petunjuk apa yang harus
dilakukan. Ia berjanji akan melaksanakan dengan sekuat tenaga.
Kak Bong menghela napas pelahan, ujarnya: "Di dalam menghadapi dua pilihan, kita
harus mengambil salah satu. Walaupun kedua Lam-pak-ji-koay itu luar biasa ganasnya,
tapi kepandaian mereka memang jarang terdapat di dunia persilatan. Tiba-tiba ia
berbangkit dan berkata pula: "Mari, kutunjukkan tempat penjara mereka itu!"
Ketika mengikuti keluar, Siu-lam memperhatikan bahwa kedua bahu paderi tua itu yang
satu lebih rendah dari lainnya. Begitu pula jalannya agak terhuyung-huyung. Siu-lam
terkejut. Ia tahu paderi itu benar-benar parah sekali lukanya.
Tiba-tiba Kak Bong cepatkan langkahnya. Tangannya tak mau memegang dinding
karang lagi, ia bagaimana yang kita bayangkan, janganlah membebaskan kedua ji-koay
itu." Tiba-tiba Siu-lam menyatakan keheranannya: "Waktu lo-cianpwe berdua bertapa,
jarang diketahui orang. Bahkan sebagian besar anak murid Siau-lim-si sendiri banyak
yang tidak tahu. Tapi mengapa orang Beng-gak dapat langsung mencari lo-cianpwe.
Kalau hal itu hanya secara kebetulan saja, rasanya kurang dapat diterima. Terus terang
wanpwe curiga, jangan-jangan di dalam gereja terdapat cumi-cumi yang membocorkan
rahasia pertapaan lo-cianpwe itu. Menurut pendapat wanpwe, saat ini Siau-lim-si benarbenar
terancam bahaya kemusnahan. Jika lo-cianpwe tetap berpegang pada welas asih,
dikuatirkan Siau-lim-si tak mungkin bangun lagi. Maaf, wanpwe tak mengerti soal ramalan
atau perbintangan, tetapi hanya melihat pada kenyataan saja."
Siu-lam berhenti sejenak, kemudian berkata pula: "Wanpwe mohon diri. Berhasil atau
gagal, wanpwe tentu segera akan cepat-cepat kembali!"
Kak Bong memandang bayangan pemuda yang bergerak gesit itu dengan helaan napas
panjang. Kemudian ia masuk ke dalam lembah lagi.
Jilid 24 MENURUTKAN petunjuk Kak Bong, setelah mencapai tiga ratus langkah tibalah dia pada
sebatang pohon siong kate. Dan benarlah di bawah pohon siong itu terdapat sebuah pintu
yang dipahat dengan lukisan.
Setelah kerapkan tenaga, Siu-lam segera mendorong batu itu. Tetapi batu itu kuatnya
bukan main sehingga tak dapat bergerak.
Siu-lam percaya bahwa tak mungkin Kak Bong taysu akan menipunya. Maka sekali lagi
ia kerahkan tenaga mendorongnya. Tetapi walaupun sudah dicobanya beberapa kali,
tetap gagal. Namun ia tak putus asa. Ia tak henti-hentinya mendorongnya ke kanan kiri
dan akhirnya alat rahasia itupun bergerak. Serentak dengan bunyi berderak-derak keras,
pintu batu itupun terbuka.
Siu-lam cepat loncat menyusup ke dalam pintu batu dan menyusur lorong. Tiga
tombak jauhnya, tiba-tiba cuaca gelap. Ah, pintu batu itu tertutup kembali.
Kira-kira seratus tombak jauhnya, lorong itu terpecah menjadi dua persimpangan, ke
kanan dan ke kiri. Siu-lam memilih simpang kanan. Kira-kira tiga empat puluh tombak
jauhnya, lorong makin sempit dan terdengarlah suara helaan napas orang yang berat.
Siu-lam tahu bahwa dia kini sudah dekat pada penjara tempat Ji-koay. Diam-diam ia
kerahkan tenaga siap sedia dan sengaja berjalan dengan langkah berat.
Setelah membelok dua langkah tikungan, tiba-tiba suasana terang dan tampaklah
sebuah pintu batu yang tertutup rapat. Di atas pintu batu itu terdapat sebuah jendela.
Napas orang itu memancar keluar dari jendela tersebut.
Dengan perlahan-lahan Siu-lam menghampiri dan menengok ke dalam pintu. Seorang
lelaki tengah duduk bersandar pada dinding dan tidur mendengkur. Rambutnya terurai
panjang menutup mukanya. Pakaiannya compang-camping. Punggungnya menyanggul
sebuah borgol sebesar roda kereta. Di sebelah kanan-kiri ruang terdapat dua buah lubang
hawa dan penerangan. Siu-lam segera mengetuk pintu: "Aku yang rendah Siu-lam, hendak berkunjng kepada
tuan." Tiba-tiba orang aneh itu berbangkit. Sepasang matanya berkilat-kilat memancarkan
api: "Engkau paderi Siau-lim-si?"
"Bukan?" sahut Siu-lam. Diputusnya rantai pintu dan mendorongnya lalu melangkah
masuk. Orang aneh itu tertawa gelak-gelak. Ia duduk kembali bersandar pada dinding ruang.
"Beberapa puluh tahun yang lalu, orang persilatan tentu rontok nyalinya kalau
mendengar namaku. Aku gemar minum hati orang dengan arak. Engkau sungguh
seorang budak yang bernyali besar berani datang ke kamarku sini!"
Siu-lam tersenyum. Diam-diam kerahkan tenaga dalam berjaga-jaga. Kemudian purapura
seperti tidak terjadi apa-apa, ia duduk tenang berhadapan dengan orang aneh itu.
"Berapa lamakah lo-cianpwe berada di dalam ruang ini?" tanyanya diiringi tertawa.
Dari celah-celah rambutnya yang kusut masai, terpancarlah sinar dingin dari sepasang
mata orang aneh itu. Rupanya dia mengawasi Siu-lam tajam-tajam. Kemudian berkata:
"Lebih lama sedikit dari umurnya!"
"Ah, tentu kesepian sekali," kata Siu-lam.
Orang aneh itu mendengus dingin dan mendamprat: "Paderi bangsat itu telah
menjebloskan aku di sini sampai belasan tahun. Hm, jika aku bebas, kelak tentu akan
kucarinya untuk membayar hutan ini!"
Siu-lam tersenyum: "Sudah berpuluh tahun lo-cianpwe tak berdaya untuk keluar dari
sini. Dikuatirkan seumur hiduppun sukar untuk meninggalkan tempat ini."
Orang aneh itu tertawa nyaring: "Ah, tak lama lagi! Tiga tahun kemudian aku tentu
mampu menghancurkan tali pengikat ulat sutera ini dan tinggalkan neraka sini!"
"Wanpwe pernah mendengar kata orang. Tali dari ulat sutera itu kerasnya bukan main.
Senjata tajampun tak mampu memutuskannya. Bagaimana lo-cianpwe hendak
memutuskannya?" Orang aneh itu tiba-tiba tertawa dingin: "Sudah berpuluh tahun aku berada di sini.
Tiap hari yang kupikirkan hanyalah cara untuk memutus tali ini. Masakan selama itu tak
berhasil menemukannya!"
Dengan kata-kata itu dia hendak menyatakan bahwa ia sudah mempunyai rencana
untuk melepaskan sepasang tangannya yang kurus tinggal tulang itu dari ikatan tali ulat
sutera. Siu-lam mencuri lihat ke arah tali pengikat orang aneh itu. Ah, benarlah. Tali pengikat
tangannya sudah tiga perempat bagian putus. Yang seperempat bagian ia sanggup
melakukan dalam waktu tiga tahun lagi. Hal itu memang bukan mustahil.
Siu-lam seorang pemuda yang berotak cerdas. Ia baru mencari jalan supaya orang
aneh itu marah padanya. Ia berganti memandang ke arah kaki orang aneh. Ternyata kaki
orang itupun masih terikat dengan tali urat sutera. Tiba-tiba ia tertawa nyaring.
Orang aneh itu rupanya marah karena ditertawakan. Dengan mata berapi-api ia
membentak: "Apa yang kau tertawakan?" Bentakan itu dibarengi dengan gerakan kedua
tangannya yang berjari kuku panjang, menyerang Siu-lam.
Siu-lam memang sudah bersedia. Pada waktunya hendak masuk, diam-diam ia telah
mematahkan sebatang dahan pohon siong yang disembunyikan dalam bajunya. Sambil
menghindar ia sudah mengeluarkan dahan pohon itu. "Harap lo-cianpwe jangan marah
dulu. Dengarkanlah wanpwe hendak bicara. Habis itu boleh berkelahi kalau memang locianpwe


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghendaki begitu!"
Orang aneh itu ternyata mau hentikan serangannya. Katanya dingin: "Jika kau tak
dapat menerangkan kenapa kau tertawa, kau harus tinggal di sini selama tiga tahun
menemani aku!" "Maaf, wanpwe terpaksa tak dapat meluluskan," kata Siu-lam, "Tiga tahun hanya
sekejap mata. Untuk menemani lo-cianpwe di sini sebetulnya tak mengapa. Tetapi jika
lo-cianpwe tetap tak dapat tinggalkan tempat ini, apakah wanpwe juga harus menemani
selamanya." Orang aneh itu mendengus dingin. Seketika tampak dia hendak angot perangainya.
Siu-lam segera mendahului: "Jangan keburu mengumbar amarah dulu. Cobalah pikirkan.
Kalau tali pengikat tangan saja memerlukan waktu beberapa puluh tahun, bukankah harus
menggunakan waktu berpuluh tahun lagi untuk memutuskan tali pengikat kaki?"
Orang aneh itu tertegun dan jatuhkan diri duduk di tanah. Dengan suara rawan ia
berkata: "Benar, ah" kenapa dalam berpuluh tahun ini aku tak sampai pada pemikiran
begitu?" "Rasanya sia-sialah jerih payah lo-cianpwe selama ini. Lo-cianpwe hanya memikirkan
bagian tangan tetapi lupa akan pengikat kaki!"
Tiba-tiba terdengar suara melengking yang nyaring sekali: "Benar, seumur hidup kita
takkan mampu keluar dari neraka ini!"
Siu-lam terkejut. Tetapi ia segera menyadari bahwa di sebelah ruang itu memang
masih terdapat seorang tahanan lagi. Jelas bahwa dinding ruang penjara itu kerasnya
seperti baja, tetapi ternyata orang di ruang sebelah masih dapat melantangkan suara yang
menggetarkan. Dapat dibayangkan betapa dahsyat tenaga dalam yang dimilikinya.
Siu-lam terkejut. Diam-diam ia mengagumi tenaga dalam orang itu, dan makin
keraslah nafsunya untuk menggunakan tenaga kedua orang itu.
"Wanpwe tahu cara melepaskan tali ikatan. Tetapi entah apakah lo-cianpwe berdua
bermaksud hendak tinggalkan tempat penjara ini?" serunya nyaring.
Sahut orang aneh yang mukanya tertutup rambut itu dengan dingin: "Sudah tentu ingin
sekali"." Siu-lam sengaja menghela napas: "Tak sukar wanpwe untuk melepaskan tali pengikat
itu. Tetapi yang sukar adalah lo-cianpwe untuk meluluskan permintaan wanpwe"."
Orang aneh itu tertawa dingin: "Apa kau hendak melepaskan tali pengikatku, karena
hendak menggunakan tenagaku?"
"Ah, wanpwe tak berani mengatakan karena kuatir lo-cianpwe salah paham. Ditilik dari
nama dan kedudukan lo-cianpwe yang termasyhur dalam dunia persilatan, tentulah locianpwe
sukar untuk meluluskan permintaan wanpwe itu. Ah, tak perlu kita bicarakan lagi
urusan ini. Selamat tinggal! Siu-lam memberi hormat dan lalu melangkah pergi.
"Berhenti!" tiba-tiba orang aneh itu berteriak dan loncat menerkam Siu-lam.
Siu-lam sudah siap menghadapi kemungkinan itu. Berputar diri ia mainkan dahan
cemara dengan jurus Jiau-toh-co-hoa. Selingkar sinar hijau, merintangi terjangan orang
aneh itu. Jiau-toh-ci-hua ajaran kakek Hian-song memang luar biasa saktinya. Gerakan yang
aneh luar biasa telah memaksa si orang aneh menarik lagi tangannya. Ia berjumpalitan di
udara dan melayang balik ke tempat semula.
Siu-lam terkejut dan kagum sekali. Sekalipun punggungnya menyanggul borgol yang
beratnya ratusan kati, tapi gerakan orang aneh itu tetap lincah sekali.
"Hanya ginkang yang beginilah yang layak menggemparkan dunia!" diam-diam Siu-lam
memuji. Setelah tegak di tanah, berserulah orang aneh itu lantang: "Jangan pergi kau, budak.
Katakanlah apa permintaanmu!"
Diam-diam Siu-lam girang dalam hati. Orang aneh itu mulai masuk ke dalam
perangkapnya. Sengaja ia bersikap jual mahal, katanya: "Ah, tak ada gunanya. Toh
engkau nanti tak mau meluluskan!"
"Katakanlah!" teriak orang aneh itu makin bernafsu, "Jika tidak menyulitkan saja, aku
tentu bersedia meluluskan!"
Siu-lam menimang. Karena dipenjara selama berpuluh tahun, orang aneh itu sudah
agak berkurang sifat-sifat keliarannya.
"Wanpwe bukan murid Siau-lim-si tetapi wanpwe pernah menerima budi dari seorang
lo-cianpwe Siau-lim-si. Setelah menolong jiwa wanpwe, lo-siansu itu mengajarkan cara
melepaskan tali pengikat lo-cianpwe di sini. Dan wanpwe disuruh datang kemari untuk
melepaskan lo-cianpwe berdua"."
Siu-lam sengaja berhenti sebentar lalu melanjutkan lagi: "Ah, untuk apa menanyakan
nama lo-cianpwe apakah dugaan ini Lam-koay atau Pak-koay?"
"Aku Lam-koay Shin Ki!"
"Ah, kiranya Shin lo-cianpwe!"
Rupanya orang aneh Lam-koay Shin Ki itu gembira sekali karena dipanggil dengan
sebutan hormat oleh Siu-lam. Tertawalah ia gelak-gelak: "Lekas bilang, kemungkinan
besar aku tentu meluluskan!"
Siu-lam tertawa. "Tiba di gereja ini, ternyata Siau-lim-si tengah diserang musuh yang kuat. Para paderi
dan anak murid Siau-lim-si tak mampu menghadapi mereka. Wanpwe bermula hendak
membantu, tetapi wanpwe segera teringat akan pesan lo-cianpwe di sini. Maka wanpwe
bergegas-gegas datang kemari untuk melepaskan tali pengikat lo-cianpwe. Apabila nanti
lo-cianpwe masih mendendam dan menyerang murid-murid Siau-lim-si, wanpwelah yang
paling bertanggung jawab. Selain dianggap sebagai orang yang tak tahu membalas budi
pun seorang yang berdosa terhadap Siau-lim-si!"
Lam-koay Shin Ki merenung sejenak lalu berkata: "Jika benar-benar engkau mampu
melepaskan tali pengikat tangan dan kakiku ini, aku sanggup membantu untuk
mengalahkan musuh Siau-lim-si. Tetapi setelah itu, aku tetap hendak mencari paderi Kak
Seng untuk menyelesaikan perhitungan selama berpuluh tahun ini!"
Diam-diam Siu-lam membatin: Yang dimaksud Kak Seng taysu tentu toa-suheng dari
Kak Bong dan Kak Hui taysu. Ah, biarlah. Tak perlu kuberitahukan bahwa Kak Seng
siansu sudah meninggal. Ia segera menjawab: "Terserah kalau lo-cianpwe hendak mencari Kak Seng siansu.
Wanpwe tak dapat mencegah. Tetapi bagi kaum persilatan, budi dan dendam harus
dibedakan yang jelas. Baik, mari kita tetapkan janji kita. Karena lo-cianpwe sudah setuju
membantu wanpwe untuk menghancurkan musuh-musuh Siau-lim-si, mari wanpwe segera
lepaskan tali pengikat tangan dan kaki lo-cianpwe."
Siu-lam menghampiri, berjongkok dan mulai melepaskan tali pengikat dari urat sutera
yang terpasang pada tangan dan kaki Lam-koay. Walaupun sudah diajari oleh Kak Bong
siansu tetapi karena tali itu lembut sekali maka setengah jam kemudian baru ia berhasil
mengurainya. Sambil menghapus keringat di dahi, Siu-lam tertawa: "Harap lo-cianpwe bersabar.
Wanpwe akan membuka tali pengikat pada kaki lo-cianpwe."
Lam-koay Shin Ki diam saja. Ia memandang anak muda itu dengan pandang berterima
kasih. Setelah bebas, Lam-koay Shin Ki menghamburkan tertawa yang nyaring sekali. Dinding
tembok tergetar dan telinga serasa pekak. Lama sekali ia lepaskan kesesakan dadanya
selama berpuluh tahun itu, dalam sebuah tertawa panjang yang memakan waktu hampir
seperempat jam lamanya. Siu-lam mengikuti gerak-gerik orang aneh itu dengan penuh kewaspadaan. Ia kuatir
apabila penderitaan selama berpuluh tahun itu akan lebih menjadikan dia seorang manusia
yang lebih ganas. Tetapi ternyata setelah puas tertawa, Shin Ki lalu duduk bersemedhi. Kedua matanya
dipejamkan dan mulailah ia melakukan penyaluran darah. Tak berselang berapa lama,
ubun-ubun kepalanya menguap hawa panas.
Siu-lam terkejut: "Ah, bukan main lwekang orang ini!"
Tiba-tiba Lam-koay Shin Ki membuka mata dan memanggil: "Engkoh kecil, harap
menyingkir ke samping!"
Siu-lam segera mundur ke ambang pintu. Tiba-tiba Lam-koay merang sekuat-kuatnya.
Sekali kedua bahunya bergerak, besi borgolan yang menelikung punggungnya putus
menjadi dua dan jatuh berkerontangan di lantai. Kemudian ia menghampiri Siu-lam.
Karena berpuluh tahun disekap dalam penjara yang kurang sinar matahari, wajah orang
aneh itupun pucat seperti mayat. Dan rambutnya yang tak terawatt memanjang itu,
menambah keseraman. "Dia seorang ganas. Hatinya sukar diduga. Lebih baik kujaga," diam-diam Siu-lam
bersiap-siap. Begitu tiba di samping Siu-lam, Lam-koay Shin Ki segera ulurkan tangannya yang kurus
mencengkeram tangan Siu-lam.
"Aku Shin Ki, belum pernah menerima budi orang. Budi pertolonganmu melepaskan tali
pengikat tanganku itu, merupakan budi yang takkan kulupakan seumur hidup!" kata Shin
Ki. Siu-lam terkesiap, serunya: "Apakah maksud lo-cianpwe?"
Lam-koay Shin Ki tertawa lebar: "Maksudku, setelah kucari Kak Seng dan
menempurnya, kita angkat saudara."
Siu-lam menghela napas longgar: "Ah, kiranya begitu. Tetapi mana wanpwe sembabat
menjadi saudara angkat lo-cianpwe?"
Lam-koay Shin Ki marah. "Seumur hidup aku belum pernah menerima budi orang. Engkau telah menolong aku,
apakah itu bukan berarti melepas budi" Jika engkau menolak maksudku, terpaksa engkau
harus kubunuh!" Siu-lam merenung sejenak, ujarnya: "Baiklah kita basmi dulu musuh-musuh Siau-lim-si
itu barulah nanti kita bicarakan lagi!"
Ternyata dalam hati kecilnya, Siu-lam enggan menerima tawaran Lam-koay. Ia tahu
nama orang aneh itu termasyhur sekali. Apabila dia mengangkat saudara dengan orang
itu ia pasti dipandang rendah oleh dunia persilatan golongan putih. Maka ia sengaja
menunda persoalan itu. Tetapi tiba-tiba Shin Ki mencengkeram lebih keras. Siu-lam terkejut. Ia rasakan
tangannya seperti dijepit kait besi. Ia hendak mengerahkan tenaga perlawanan, tetapi
kalah dulu. Shin Ki sudah menguasainya.
"Engkau hanya mempunyai pilihan, menerima permintaanku atau mati!" dengus orang
aneh itu. Siu-lam menimang. Manusia Lam-koay itu ganas dan telengas. Apa yang dikatakan
tentu dilakukan. Namun meluluskan permintaan karena di bawah ancaman, Siu-lam
merasa kehilangan kegagahannya sebagai seorang lelaki. Tetapi ah, jika menolak, ia pasti
mati". Sebelum ia dapat mengambil keputusan, tiba-tiba Lam-koay Shin Ki kendorkan
cengkeramannya. "Hm, tenaga dalammu terpaut jauh sekali dengan aku. Jika kubunuh dengan cara
begini, engkau pasti menjadi setan penasaran. Hayo, kita cari tempat yang lapang untuk
adu kepandaian. Biarlah engkau mati dengan puas!" kata Lam-koay seraya hendak
melangkah pergi. Belum Siu-lam menyahut, tiba-tiba terdengar suara orang berseru dengan nada dingin:
"Ha, buyung. Jika engkau ingin hidup, kemarilah dan bukalah tali pengikatku. Di kolong
jagad ini, kecuali aku Pak-koay Ui Lian, tiada seorang manusia yang mampu melawan
kesaktian Lam-koay dengan ilmu lwekangnya Kiang-goan-gi-kang dan pukulan Cek-yangciang!"
Siu-lam kerutkan dahi. Ia merasa, melepas seorang Lam-koay sudah cukup berbahaya
apalagi melepaskan seorang Pak-koay lagi".
Lam-koay Shin Ki tertawa nyaring: "Hei, Ui lokoay, tunggulah duapuluh tahun lagi, nanti
kudatang melepaskanmu!"
Tiba-tiba terlintas dalam benak Siu-lam. Ia telah berjanji untuk melaksanakan
permintaannya kedua paderi Kak Bong dan Kak Hui siansu. Demi menghadapi keganasan
gerombolan Beng-gak yang hendak menghancurkan Siau-lim-si, ia harus
mengesampingkan segala perasaan pribadi. Kak Bong siansu telah menyuruhnya
melepaskan Lam-koay dan Pak-koay.
"Shin lokoay, kalau engkau takut nanti ada manusia yang dapat mengalahkan engkau,
rintangilah anak muda itu supaya jangan dapat melepaskan aku?" tiba-tiba Pak-koay Ui
Lian berseru mengejek. "Huh, apa kau kira kau takut kepadamu?"
Lam-koay Shin Ki menggeram: "Terserah kalau dia mau melepaskan engkau. Aku
takkan menghalanginya!"
Pak-koay Ui Lian tertawa dan berseru kepada Siu-lam: "Buyung, jika engkau benarbenar
mau melepaskan aku, jangan kuatir Lam-koay dapat mencelakai dirimu"."
Nada tertawanya macam burung hantu memanggil-manggil mayat dalam kuburan.
Ucapannya nyaring, setiap patah kata melengking tajam memekakkan telinga. Jelas
bahwa dia hendak memamerkan kesaktiannya kepada Siu-lam melalui hamburan tertawa.
Belum sempat Siu-lam menyahut, suara Pak-koay sudah melengking lagi: "Ketahuilah,
buyung. Di dalam dunia, hanya aku seorang yang mampu menandingi Lam-koay Shin Ki.
Tak perduli saat ini dia bersumpah apa saja kepadamu tetapi pada saat dia ingat bahwa
ada kemungkinan engkau datang kemari melepaskan aku, dia tentu segera membunuhmu.
Tetapi apabila sekarang engkau melepaskan aku, kelak pikiran Lam-koay untuk
membunuhmu, tentu tak ada lagi. Percayalah, sekalipun dia seorang maha ganas, tetapi
dia merasa berhutang budi kepadamu. Asal jangan bertindak hal yang kelewat
membuatnya marah, dia tentu takkan mencelakakan dirimu!"
Hanya berhenti sejenak, Pak-koay Ui Lian terus melanjutkan kata-katanya lagi: "Apalagi
engkau mempunyai rencana untuk membantu Siau-lim-si. Meskipun Lam-koay Shin Ki
sakti, tenaga satu orang itu terbatas. Jika engkau lepaskan aku, ho, sekali Lam-koay dan
Pak-koay bersatu padu, siapakah manusia di dunia yang sanggup melawannya"."
Siu-lam anggap pernyataan Pak-koay itu benar. Melepaskan keduanya, akan
merupakan dua keseimbangan yang menindas diri mereka satu sama lain.
"Shin lo-cianpwe, bagaimana dengan pribadi Pak-koay Ui Lian itu?" ia bertanya kepada
Lam-koay Shin Ki. Sengaja Siu-lam berseru dengan nyaring agar terdengar Pak-koay Ui Lian. Dengan
begitu tentulah Lam-koay Shin Ki sungkan melarangnya.
Sahut Lam-koay dengan dingin: "Jika paderi tua itu menyuruh engkau lepaskan kami
berdua, lepaskanlah dia!"
Kesempatan itu tak disia-siakan Siu-lam. Segera ia loncat ke ruang sebelah. Tapi tak
dapat melihat pintunya. Rupanya Pak-koay tahu kesukaran pemuda itu. Maka berserulah ia: "Kamar tempatku
tadi, ada sebuah pintu batu. Doronglah pintu itu dan masuklah sepuluh langkah ke kiri.
Di situlah tempat penjara Pak-koay Ui Lian!"
Setelah menurutkan petunjuk Lam-koay, benar juga, Siu-lam telah tiba di sebuah
ruangan. Seorang manusia aneh yang rambutnya terurai panjang tengah duduk bersila
dengan tangan dan kaki terikat.
"Adakah lo-cianpwe ini Pak-koay Ui Lian?" seru Siu-lam sambil beri hormat.
Orang berambut putih itu mengangkat wajahnya. Sepasang matanya yang berkilatkilat
tajam, menatap Siu-lam. Dan menyahutlah ia pelahan-lahan: "Benar, aku Ui Lian."
Siu-lam tak berani beradu pandang dengan orang itu. Cepat ia menghampiri, tali ulat
sutera yang mengikat tangannya lalu kakinya.
Pekerjaan itu memakan waktu lebih kurang setengah jam. Selama itu ia tak mau
berkata lagi. Setelah bebas, Pak-koay Ui Lian tertawa sekeras-kerasnya: "Ho, kukira seumur hidup
aku harus tinggal dalam neraka ini. Benar-benar aku tak mengira akan bebas pada hari
ini!" Ia melangkah keluar tapi tiba-tiba ia berhenti. Ia teringat akan Siu-lam.
"Buyung, atas pertolonganmu melepaskan tali pengikat tangan dan kakiku, aku takkan
melupakan. Aku bersedia meluluskan tiga buah permintaanmu. Setelah itu, kita sudah
tidak punya ikatan budi lagi. Adakah kita nanti menjadi kawan atau lawan, tergantung
bagaimana anggapanku terhadapmu!"
Siu-lam tertawa, sahutnya: "Pertama, ingin aku mengetahui bagaimana ruang yang
berdinding setebal ini, lo-cianpwe dapat mengetahui gerak-gerikku dengan Shin Ki locianpwe?"
Pak-koay Ui Lian tertawa keras: "Jika pertanyaan itu kujawab, berarti aku sudah
meluluskan sebuah permintaanmu. Dan kau hanya berhak mengajukan dua buah
permintaan saja!" "Sudah tentu," sahut Siu-lam, "apa yang kutanyakan ini takkan membuang percuma
saja bantuan lo-cianpwe."
Pak-koay Ui Lian tertawa lagi, serunya: "Bagus buyung kau pintar bicara! Tetapi
benarkah kau takkan menyesal menggunakan kesempatan pertama hanya dengan
bertanya soal itu?" "Seumur hidup wanpwe tak pernah menyesali apa yang telah wanpwe ucapkan!"
Pak-koay Ui Lian geleng-geleng kepala tertawa: "Sebenarnya soal semudah itu tak kau
tanyakan lagi. Asal kau mau perhatikan ruang ini dengan teliti, kau tentu akan mendapat
jawabannya!" Siu-lam terkejut. Ia memandang ke segenap sudut dan ah" kira-kira satu tombak di
atas dinding ruang, ia melihat sebuah lubang sebesar jempok tangan.
"Tolol"!" diam-diam Siu-lam memaki dirinya sendiri mengapa mengajukan pertanyaan
tadi. Kini ia mendapat pelajaran, bahwa dalam menghadapi sesuatu tak boleh pikirannya
terpengaruh oleh rasa kekaguman yang berlebih-lebihan sehingga mengabaikan semua
perhatiannya. Namun sudah terlanjur, iapun berseru dengan garang: "Oh, kiranya begitu. Kukira locianpwe
gunakan ilmu Thian-thong-gan!"
Sambil mengurut jenggotnya yang putih panjang, berkatalah Pak-koay Ui Lian dengan
girang: "Pelajaran pertama ini, kau untung separuh rugi separuh. Rugi, karena suatu apa,
aku telah memenuhi salah sebuah dari tiga permintaanmu. Tetapi untung, karena
kesalahan itu akan merupakan pelajaran pahit bagimu untuk selanjutnya
mempertimbangkan semasak-masaknya sebelum mengajukan permintaan!"
Siu-lam hanya tersenyum. Ia mendahului jalan keluar. Sedang Pak-koay Ui Lian masih
tegak bersandar pada dinding ruangan. Wajahnya tegang dan matanya berkilat-kilat
memandang ke depan pintu.


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pecut Sakti Bajrakirana 8 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Kisah Sepasang Bayangan Dewa 6

Cari Blog Ini