Ceritasilat Novel Online

Kisah Para Penggetar Langit 5

Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie Bagian 5


Ia berkali-kali melihat kematian. Tapi itu tidak mampu mengeraskan
hatinya. Ia tetap menangis.
Mey Lan datang dengan membawa bahan-bahan yang sudah disiapkannya.
Ia segera tahu apa yang sudah terjadi. Ia hanya bisa menyentuh pundak Cio San, "Sabarlah koko,,,sabarlah?"
Di saat seperti ini, memang tiada kata lain yang paling pas selain kata
"sabar". Semua orang tahu itu. Tapi jika mengalami sendiri, tak urung justru kata "sabar" yang paling terlupa.
Untungya Cio Sa memang bisa bersabar. Ia memang terlatih menahan diri dan perasaan.
Sebuah pelajaran baru baginya:
Jika dua orang perempuan berkelahi, secepatnya kau pisahkan.
Perempuan yang lemah lembut, justru kadang lebih ganas dari lelaki jika sedang marah atau mengamuk. Laki-laki yang terlihat ganas, justru
mungkin akan jadi lemah lembut jika melihat perempuan yang lemah lembut mengamuk.
Kenyataan ini sedikit banyak tidak bisa kau pungkiri.
"Meymey, lekas kau cari tahu siapa keluarga perempuan ini, lewat pintu belakang saja. Biar aku yang mengurus keramaian di depan"
Kwee Mey Lan mengangguk dan bergegas ke luar.
Cio San memandang wajah gadis yang baru saja meninggal itu. Entah
kenapa malah terlihat seperti tersenyum. Mungkin dia sedang bertemu
bayinya disana. Cio San malah tersenyum juga,
"semoga engkau damai di sana, cici" katanya dalam hati.
Ia lalu bergegas ke ruang depan lagi. Kini pertempuran sudah semakin
dahsyat. Meja kursi sudah berjumpalitan. Ruang itu sudah bukan seperti ruang makan restoran, karena lebih mirip kapal karam.
Kwee Lay hanya geleng-geleng kepala. Pelayan yang lain tidak bisa berbuat apa-apa. Pengunjung yang tidak bisa silat berlarian ke luar, dan hanya berani menonton dari luar. Pengunjung yang bisa silat malah bertepuk
tangan dan memuji-muji tontonan seru ini.
Pertarungan ini sudah bukan perkelahaian dua orang perempuan. Ini sudah menjadi pertempuran hidup dan mati dua ahli silat. Si merah jambu telah menggunakan pedangnya. Si wanita sudah menggunakan sebuah cambuk
berwarna emas Sinar perak yang ditimbulkan pedang, dan sinar emas yang ditimbulkan
cambuk membentuk cahaya-cahaya yang indah sekali. Seperti lukisan
lukisan pepohonan yang daunnya berguguran di musim gugur. Sinar pedang bagai hujan menghujam dari segala arah. Sinar cambuk meliuk-liuk bagai angin puting beliung.
Cio San baru sekali ini menyaksikan pertarungan sedahsayat itu. Walaupun matanya bisa melihat segala gerakan yang ada, tak urung ia kagum juga.
"Betapa dalam ilmu silat, betapa indah karya yang menciptakannya" Ia
hanya bisa berucap itu dalam hati. Masih belum tahu apa yang harus
dilakukannya. Tiba-tiba sebuah pikiran timbul di hatinya.
Segera dengan sangat cepat ia berlari ke kamarnya. Ia bergerak sangat cepat masuk kembali ke kamarnya. Ia mencopot topengnya, dalam
mengganti bajunya. Beberapa saat yang lalu ia memang membeli beberapa baju yang baik. Ia memilih sebuah baju yang polos dan warna yang tidak mencolok.
Semua di lakukannya dalam waktu beberapa detik saja.
Kini Cio San berganti rupa menjadi seorang pemuda tampan, dengan baju putih polos yang ringkas, serta rambut menjuntai tidak di ikat. Gagah sekali.
Cio San Secepatnya ia terbang keluar dari kamarnya
Menuju pertarungan hidup mati dua orang wanita sakti.
Dalam sekejap mata, Cio San telah berada di tengah pusaran pedang dan cambuk. Tidak ada seorang ahli silat pun yang berani melakukan hal gila semacam itu. Tapi Cio San melakukannya. Dengan menggunakan ilmu yang
dipelajarinya dari gerakan ular sakti di dalam goa, tubuh Cio San kini meliuk dengan indah. Bayangan pedang seperti ada ratusan. Bayangan cambuk
seperti ombak yang menghempas. Tapi tidak ada satu pun yang mampu
menyentuh tubuhnya. Dengan tangan kiri yang bergetar hebat mengikuti derik ekor ular, Cio San menghantam pedang. Dengan kelincahan dan ketepatan matanya, ia bisa
memukul badan pedang yang perak berkilau, tanpa terpotong mata
pedangnya. Dengan tangan kiri yang meniru moncong ular, ia berhasil menangkap ujung cambuk.
Gerakan ketiga orang yang bagai badai berputar0-putar menghancurkan apa saja itu, terhenti dalam sekejap. Tangan dan cambuk telah berada dalam genggaman kedua tangan Cio San.
Semua ini ditulis dengan memerlukan waktu beberapa saat, tapi kejadian aslinya berlangsung hanya sekejap mata.
Kedua wanita yang bertarung itu membelalakkan mata. Tidak menyangka di muka bumi ini ada orang yang mampu menangkap senjata mereka dengan
tangan kosong dalam sekali gerakan.
Memang pada hakekatnya di kolong langit ini cuma Cio San yang bisa!
Semua mata terpana pada lelaki tampan yang berdiri gagah
memegang ujung pedang dan cambuk. Rambutnya terurai tidak di ikat.
Padangan matanya tajam namun hangat. Mulutnya mengulum senyum.
Dadanya tegap. Tubuhnya tinggi.
Saking kagetnya tidak ada orang mengeluarkan suara apapun. Bahkan
kedua wanita yang bertarung seperti hampir lupa bahwa beberapa detik
yang lalu mereka sedang mengadu nyawa.
Pikiran semua orang yang ada disitu hanya satu,
"Apakah orang ini malaikat?"
"Sudahlah ji-wi siocia (kedua nona) nona jangan berkelahi lagi. Kasihan pemilik restoran seluruh isinya hancur porak poranda"
Suaranya dalam. Semua orang tahu lelaki di depan ini masih muda belia. Tapi entah kenapa wibawanya justru seperti pendekar unggulan yang banyak memakan asam
garam kehidupan. Si wanita cambuk emas yang pertama kali mengeluarkan suara,
"Siapa kau?" "Cayhe bukan siapa-siapa. Hanya pengunjung yang sekedar lewat. Mohon ji-wi siocia (kedua nona) berhenti bertarung. Kasihan para pengunjung yang lain"
Kedua wanita yang bertarung ini jelas mengerti kalau ilmu mereka masih dibawah pria tampan yang aneh dihadapan mereka ini.
"Baiklah" herannya mereka menjawab bersamaan.
"Jika ada permasalahan harap diselesaikan di luar. Jangan mengacau di tempat usaha orang"
Maka Cio San kini terbang ke luar. Tangannya masih menggenggam cambuk dan pedang. Tentu saja kedua wanita itu juga menggenggam senjatanya
masing-masing. Herannya mereka mau saja di tarik Cio San.
Memang ada sebagian perempuan, jika kau meminta baik-baik, mereka
malah tidak mau mendengar. Tapi jika kau paksa, mereka malah menurut
dengan aleman. Perempuan mana saja kalau ditarik tangannya oleh Cio San, mungkin yang menolak bisa dihitung dengan jari.
Kini mereka bertiga telah berada di luar Lai Lai.
Cio San telah melepas pegangannya.
Lalu berkata kepada wanita cambuk emas,
"Tendanganmu telah membunuh seorang gadis. Kau harus bertanggung
jawab atas perbuatanmu" kata Cio San dengan tajam.
"Aku memang selalu bertanggung jawab atas perbuatanku. Lalu kau mau
apa" Urusan bunuh membunuh bukan hal yang terlalu luar biasa dalam kang ouw" si wanita menjawab tidak kalah tajamnya.
"Tapi yang kau bunuh adalah wanita biasa bukan golongan kang ouw" Cio San marah sekali. Matanya malah berkaca-kaca.
Biasanya orang kang ouw bisa menyimpan perasaan. Tapi Cio San tidak,
Belum. Ia belum pernah terlibat langsung dalam kang ouw.
"Siapa suruh dia menyerang suamiku. Aku kan hanya membela diri dan
kehormatan suamiku" sambil berkata begitu si wanita mengerling kepada suaminya yang berada di dalam. Herannya si suami masih tetap duduk
sambil minum arak, masih di tempat yang sama.
"Kau"kau"tidak cemburu suamimu main gila dengan wanita lain?" Tanya si merah jambu.
"Oh tentu tidak. Semakin dia main gila, aku semakin suka"
Gemparlah semua "penonton" yang ada di sana. Mereka tidak menyangka
akan mendengar jawaban seperti ini.
Kali ini Cio San bertanya,
"Kau senang di main gila, karena dengan demikian kau pun bisa main gila juga, bukan?"
"Tidak ada yang lebih menyenangkan bertemu dengan laki-laki muda yang tampan, dan cemerlang otaknya" sambil bicara itu si wanita cambuk emas matanya menjadi sayu, pipinya memerah, dan ia menjilati bibirnya.
Cio San bergidik. Di dunia ini, ada juga pasangan kekasih seperti ini"
"Ah aku tau, siapa kau, sejak tadi aku sudah curiga!" tiba-tiba si merah jambu berkata
"Kau dan suamimu, bukankah Sepasang Iblis Pemabuk Cinta?"
Mendengar nama itu disebut, si wanita itu tersenyum. Dagunya terangkat, dadanya membusung.
"Nama itu selalu menggelitikku kalau diucapkan orang" katanya.
Cio San belum pernah dengar nama ini. Tapi dari namanya saja, ia tahu kedua pasangan suami istri ini pasti bukan orang baik-baik.
"Kau tidak takut, tampan?" Tanya si wanita cambuk emas kepada Cio San.
"Takut" Tidak. Aku malah tertarik sekali. Sangat tertarik" ia menjawab sambil tersenyum. Ia sudah mampu mengusai perasaannya. Kini ia malah
terlihat tenang. Kenapa Cio San menjawab seperti ini tidaklah mengherankan. Ayahnya,
adalah seorang lelaki yang tampan sekali. Dan juga seorang yang romantis.
Sang ayah suka membuatkan syair cinta dan lagu-lagu cinta kepada ibunya.
Cara bersikap ayahnya yang mesra, dan suka merayu ibunya itu sangat
membekas dalam diri Cio San. Walaupun kadang-kadang ibunya suka
mendidiknya dengan sangat keras dalam hal adat istiadat dan kesopanan, tak urung sikap ayahnya yang romantis ini juga menurun kepadanya.
Maka Cio San menirunya. Mencoba bersikap tenang. Setenang ayahnya
dalam menghadapi ibunya yang marah-marah atau merajuk.
Maka kalimat-kalimat ayahnya yang menggoda ibunya, yang merayu, yang
menenangkan hati, pasti membengkas dalam diri Cio San. Mengalir dengan alami dan tidak dibuat-buat.
Cio San tidak tahu, bahwa semakin lelaki bisa membuat seorang wanita
penasaran, maka semakin menariklah lelaki itu di mata perempuan.
Semakin misterius seorang lelaki, maka daya tariknya pun semakin
meningkat. Maka bisa dibayangkan betapa daya tarik Cio San yang tampan dan
misterius ini membuat perempuan cabul semacam wanita cambuk emas
tergoda hatinya. "Jika kau menemaniku berduaan saja selama satu malam saja, aku akan
memberikan apa yang kau mau" goda si wanita cambuk emas.
"Benarkah?" "Kau ini".." si wanita cambuk emas tambah bernafsu
"Kalau aku menemanimu semalaman, kira-kira apa yang akan kita lakukan?"
Tanya Cio San. Pertanyaan ini jika diucapkan orang lain akan terdengar mesum. Tapi mungkin karena keluguan dan kepolosan Cio San, ucapan ini terdengar hangat dan menggoda sekali.
Si wanita tidak menjawab, hanya matanya yang membesar, dan ia
menggigit bibirnya. Kemudian berkata,
"Apa yang kau minta semalaman itu, pasti ku beri semua. Kau minta diriku, kau minta jiwaku, semuanya kuberi"
Cio San tidak menjawab, hanya tersenyum. Di mata orang, pastilah dia
pemuda yang sangat berpengalaman dalam wanita. Tapi sesungguhnya dia
hanya meniru tingkah pola ayahnya saja dalam menggoda ibunya.
Senyum ini, adalah senyuman seorang lelaki matang, yang paham seluk
beluk perempuan. Yang tahu cara tarik ulur dengan perempuan. Karena
perempuan, semakin gampang kau beri hatimu, semakin cepat juga ia
merasa kau membosankan. Tapi semakin susah kau dikuasainya, semakin menarik juga kau bagi
hatinya. Cio San sebenarnya belum paham hal ini semua. Dengan tidak sengaja, ia telah membuat wanita-wanita terpesona. Karena wanita yang menonton
kejadian ini bukan cuma si wanita cambuk emas. Masih banyak wanita yang menonton, termasuk si merah jambu.
"Sudah jangan berlama-lama lagi, peluk dia erat-erat, cari kamar, dan telan ia bulat-bulat" teriakan itu terdengar dari dalam. Sudah pasti itu suara suami si wanita cambuk emas.
Orang-orang yang mendengar banyak yang jengah dan malu. Tapi banyak
juga yang tertawa-tawa. Ucapan seperti itu memang tidak pantas di muka umum. Lebih tidak pantas lagi jika itu ucapan suami kepada istrinya.
"Jika kau dapat mengalahkan aku dalam 10 jurus, sudah pasti aku ikut
padamu" kata Cio San.
"Kalian lelaki maunya curang saja. Sudah jelas ilmu silatku kalah jauh denganmu. Masih kau tantang silat juga. Bertempur silat aku pasti kalah, tapi kalau bertempur lain, belum tentu" si wanita tersenyum genit.
Si merah jambu tidak tahu lagi harus berkata dan bersikap apa. Ucapan mesum seperti ini jelas membuatnya mati sikap. Dengan malu dan wajah
bersemu merah, dia beranjak dari situ, "Kita selesaikan urusan kita lain kali, wanita iblis. Kau silahkan berursan dengan kekasih barumu"
Ia lalu menyarungkan pedang, dan masuk ke dalam untuk mengambil
buntelan tasnya yang tadi ia letakkan saat akan bertempur.
Cio San, tidak tahu harus berkata apa hanya tersenyum saja. Memang
ayahnya jika menghadapi ibunya yang sedang merajuk, pasti hanya
tersenyum saja. Di dunia ini memang hal terbaik yang bisa dilakukan laki-laki terhadap perempuan yang merajuk, hanyalah tersenyum. Jika kau buka mulut maka semua urusan jadi lebih berbahaya.
Lalu Cio san berkata kepada si wanita cambuk emas,
"Begini saja, bagaimana jika kau dan suamimu bergabung bersama
menempur aku. Jika aku kalah, aku turut apa kalian. Jika kalian kalah, ku serahkan kalian kepada petugas kota untuk mempertanggungjawabkan
perbuatan kalian" Seumur hidup pasangan iblis ini merajalela, baru kali ini mereka mendengar ada ucapan seberani ini. Semua orang di dunia kangouw tahu, jika ilmu
"Pengantin Neraka" mereka mainkan, maka lawan yang mampu menghadapi
mereka ini dunia ini bisa dihitung dengan jari. Memang jika mereka
bertarung sendirian, ilmu mereka cukup tinggi. Malah masuk dalam 50 besar tokoh Liok Lim (dunia hitam) terhebat. Tapi jika mereka bertarung bersama memainkan ilmu "Pengantin Neraka", maka nama mereka langsung masuk
jajaran 20 besar tokoh sesat terhebat.
Karena itulah mereka tertawa mendengar tantangan Cio San.
Karena itu jugalah si merah jambu tidak jadi pergi. Ia kagum sekali
mendengar keberanian Cio San. Ia lalu berkata,
"Kau ini sangat hebat atau sangat bodoh?"
Cio San tersenyum lagi. Sambil memegang rambut yang terurai melewati
belakang telinganya. Kebiasaan ayahnya yang kini secara tidak sengaja menurun juga kepadanya. Ini pertama kali ia mengelus elus rambutnya
terurai itu. Cio San sadar itu. Tapi rasanya menyenangkan!. Pantas ayahnya sering melakukannya.
Si suami lalu terbang keluar. Setelah di lihat lebih dekat, memang ia sebenarnya sudah cukup umur. Tapi dandanannya serta gerak geriknya
seperti seorang pemuda bau kencur.
Si suami ini juga penasaran dengan ilmu silat Cio San. Apa yang terjadi semua disaksikannya. Kehebatan Cio San yang mampu menangkap senjata
tadi bukan kepandaian sembarangan. Maka itu dia bertanya,
"Apakah anda Butong-enghiong (satria Bu Tong) Beng Liong?"
"Bukan, punya bapak seorang naga pun, cayhe tidak berani mengaku
sebagai Butong-enghiong (satria Butong) Beng Liong"
Liong memang artinya naga.
"Di dunia persilatan ini, orang muda gagah setampan engkau hanya Beng Liong dan Kay Pang-Pangcu (ketua perkempulan pengemis) Ji Hau Leng.
Kau sudah jelas bukan Ji Hau Leng." sahut si suami.
"Cayhe tidak seberuntung itu punya nama besar dan kehebatan seperti
mereka" jawab Cio San.
"Lalu boleh ku tahu nama enghiong yang terhormat?" Tanya si suami lagi.
"Nama siauw ceng (panggilan untuk merendahkan diri) tidak penting"
"Hmmmm,,seorang satria yang menyembunyikan nama. Jangan salahkan
aku jika nanti kamu mati tidak ada orang yang menguburkanmu, karena
tidak ada yang tau asal-usulmu"
Sambil berkata begitu ia langsung menyerang. Ia telah melolos sebuah
pedang lemas dari pinggangnya.
Begitu cepat begitu lihay. Si istri pun ikut menyerang. Mereka ini golongan hitam yang tidak suka tata aturan bertarung. Tentu saja mencari jalan agar cepat menang dan cepat selesai.
Menghadapi ini Cio San sudah gentar. Ia sudah faham gerakan silat si istri, alias wanita cambuk emas. Namun saat keduanya menyerang bersama-sama, baru terasa benar dahsyatnya ilmu mereka.
Tubuh Cio San bergerak sangat lincah. Tubuhnya meliuk-liuk. Ilmu
gabungan antara gerak langkah sakti Bu Tong pay, digabung dengan
kelincahan tubuh ular sakti. Menjadi sebuh ilmu baru yang licin, gesit, namun lembut dan bertenaga.
Semua penonton yang paham ilmu silat matanya melongo melihat gerakan
Cio San. Belum pernah dari mereka ada yang melihat atau mendengar
tentang ilmu ini. Cio San bergerak dengan bebas dan lincah mengikuti aliran serangan cambuk emas dan sebuah pedang lemas milik si suami,
Gerakan serang Pangenatin Neraka ini sangat genas. Keduanya bergerak
saling mengisi, saling menutupi kekurangan. Yang satu menyerang, yang satu menjaga. Yang satu menendang yang satu menangkis.
Pada awalnya Cio San kelimpungan juga. Tapi ia segera paham.
Teringat dia dengan latihannya di dalam goa, Saat air banjir dengan
menyerangnya bertubi-tubi. Seperti inilah pola serangan ilmu Pengantin Neraka. Mengalir dan saling mengisi tempat kosong. Pedang dan cambuk
bergantian menyambar. Cio San seperti dikelilingi banjir bandang!
Tapi tidak percuma ia latihan di dalam goa. Semua di hadapinya dengan gerakan berputar seperti gasing yang amat cepat. Ia tidak mungkin
menangkap cambuk dan pedang saat seperti pertama kali tadi memisahkan si merah jambu dan wanita cambuk emas.
Karena saat bertarung tadi, serangan mereka tujukan kepada lawan. Dan mereka tidak menyangka ada orang lain yang kana masuk memotong
gerakan mereka. Oleh karena itulah Cio San bisa mengambil posisi dan
sudut yang pas untuk menangkap senjata.
Sekarang Cio San lah yang berada di posisi bertarung. Sehingga inti gerakan serangan ditujukan kepadanya. Dia tidak punya posisi yang pas untuk
menangkap senjata. Karena setiap posisi kosong, pasti sudah berisi
serangan juga. Tidak ada lagi posisi kosong yang bisa dipakai untuk
menyerang! Semua posisi sudah terisi pedang dan cambuk!
Puluhan jurus telah lewat.
Cio San betarung dengan ringan dan santai. Tenaganya penuh. Walaupun ia terdesak dengan serangan-serangan hebat, tak sedikit pun ia panik. Ia bergerak sekenanya. Mengikuti aliran serangan lawan. Ia membiarkan
tubuhnya dibawa "ombak" serangan ini. Karena semua serangan akan
didahului oleh "angin", maka Cio San tahu kemana dan dari mana saja arah serangan.
Ia kini sudah bisa membaca serangan lawan. Tak terasa ia kini bersilat sambil menutup mata. Dengan menutup mata "pandangan" nya jauh lebih
terang. Karena sekarang yang melihat adalah mata batin.
Begitu Cio San paham arah serangan dan jurus-jurusnya, maka seketika itu juga ia paham cara memecahkannya.
Pedang lemas sedang mengarah lurus menusuk kerongkongannya. Ujung
cambuk sedang meliuk menuju pinggangnya. Cio San melompat dan
menekuk tubunya ke belakang.
Kau ingat bagaimana gerakan mencium lutut" Cio San melakukan yang
sebaliknya! Tubuhnya bagai terlipat menekuk ke belakang!
Pedang lewat diatas wajahnya yang menegadah. Cambuk lewat dibawah
kakinya yang membujur lurus belakang. Bersamaan dengan itu kedua
tangannya menotok tubuh kedua orang lawannya. Titik dimana jika ditotok, membuat orang yang ditotok tak mampu bergerak sama sekali.
Dan pertempuran pun selesai.
Beruntunglah mereka yang hadir di situ.
Bagi hadirin yang mampu menyaksikannya, pertempuran seperti ini tak
akan dilupakan seumur hidup.
Bagi hadirin yang tidak mampu menyaksikannya, pertempuran ini juga tidak akan terlupakan seumur hidup. Karena baru kali ini mereka percaya ada manusia-manusia yang bisa berubah menjadi bayangan.
"Siocia (nona), ku serahkan mereka kepadamu. Serahkan saja kepada
petugas kota. Atau siapa saja yang kau anggap pantas" kata Cio San kepada si merah jambu, ia melanjutkan lagi.
"Nama cayhe (saya) adalah Cio San. Boleh cayhe tahu nama siocia yang
terhormat?" tanyanya sambil tersenyum dan membentuk salam hormat di
depan dada "Eh..aku she (marga) Khu, namaku Ling Ling"
Mata Cio San berbinar, ia teringat obrolan di warung kecil saat ia pertama kali tiba di kota itu.
"Sampai berjumpa lagi nona Khu Ling Ling"
Kata-katanya baru terdengar seluruhnya, orangnya sudah tidak ada.
Di sepanjang hayatnya, pemuda yang bergerak secepat itu belum pernah
ditemuinya. Khu Ling Ling hanya termenung. Ia seperti pernah mengingat nama itu.
Khu Ling Ling Bab 19 Sang Nyonya Besar

Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cio San tidak menghilang.
Dengan satu kali loncatan. Ia telah tiba di atas atap Lai Lai. Lalu kemudian turun ke bagian belakang restoran itu. Lalu masuk ke kamarnya. Semua
orang sedang sibuk di bagian depan, sehingga tak seorang pun yang tau jika ia telah masuk ke kamarnya. Berganti pakaian dan memasang topengnya
kembali. Tubuhnya kini tidak lagi tegap seperti tadi. Melainkan sedikit bungkuk.
Rambutnya sudah diikat pula. Kini ia duduk saja di samping mayat gadis yang tadi meninggal diatas tempat tidurnya. Menunggu Mey Lan datang.
Dan tak berapa lama Mey Lan memang sudah datang. Tidak datang
sendirian melainkan bersama beberapa orang. Rupanya orang-orang ini
mungkin keluarganya. Cio San mempersilahkan mereka masuk. Tak berapa lama terdengarlah
tangisan. Nampaknya memang benar gadis itu bagian keluarga mereka. Cio San tak tega berada di situ, ia segera ke halaman belakang. Dalam
kepalanya berkecamuk berbagai macam pikiran.
Apakah yang dilakukannya ini sudah benar"
Mengapa ia tadi tidak sigap menolong gadis itu"
Apa yang terjadi beberapa saat yang lalu memang membawa tantangan
sendiri baginya. Ia menikmati "peran" nya sebagai Cio San. Ia menikmati bersikap gagah. Tapi saat semua sudah usai, kini yang ada hanya tangisan keluarga yang ditinggalkan. Mengingat ini, memang rasa-rasanya ia ingin membunuh saja sepasang iblis suami istri itu.
Tapi Cio San memang tidak suka membunuh orang. Ia selalu teringat pesan ayahnya. Melakukan kekerasan terhadap orang lain saja ia tidak tega.
Apalagi membunuh. Mengapa orang tidak bisa duduk dan membicarakan
segala permasalahan baik-baik" Mengapa semua masalah harus diselesaikan dengan air mata dan pertumpahan darah"
Pertanyaan ini sejak jaman dahulu kala, tidak pernah bisa terjawab.
Cio San masih terlalu hijau. Walaupun ilmu silat, dan otaknya cemerlang.
Tetap saja tidak bisa menemukan jawabannya.
Hari ini begitu banyak pelajaran yang ditemuinya. Bahwa waspada saja tidak cukup. Sikap siaga dan bersikap harus dilatihnya. Ia harus selalu
menggunakan akal dan tenaganya untuk mencegah hal hal ini terulang lagi.
Jika ia bisa menggunakan akalnya agar dapat membaca keadaan lebih jelas.
Tentunya ia bisa mencegah agar gadis itu tidak meninggal.
Mulai pahamlah ia bahwa manusia tidak seperti kelihatannya. Ada orang yang terlihat lemah lembut, ada orang yang kelihatan acuh tak acuh,
ternyata menyimpan banyak rahasia. Sepasang iblis tadi terlihat seperti pasangan suami istri biasa. Siapa tahu mereka ternyata penjelmaan iblis.
Cio San terus mengingatkan dirinya sendiri untuk selalu waspada dan sigap dengan segala situasi. Hari ini adalah pelajaran berharga baginya. Maka ia bangkit dan berdiri. Walaupun beban dalam dadanya tidak bisa terangkat seluruhnya. Setidaknya semangat baru untuk mencegah kejadian seperti ini terulang lagi, membuatnya jauh lebih kuat.
Ia lalu membantu keluarga yang berduka itu sebisa mungkin. Sampai
mereka pulang membawa jenazah gadis yang malang itu. Kwee Lai, Mey
Lan, dan pegawai yang lain juga ikut membantu keluarga itu. Padahal
mereka juga dipusingkan dengan keadaan Lai Lai yang hancur berantakan.
Terkadang membantu orang lain yang sedang tertimpa masalah, membuat
masalahmu sendiri terasa ringan.
Lai Lai tutup lebih siang pada hari itu. Kwee Lai dan seluruh penghuni mendapat kunjungan dari petugas kota. Mereka diberi pertanyaan macam-macam seputar kejadian tadi. Sepasang suami istri iblis tadi sudah
dimasukkan ke dalam penjara. Adipati akan menurunkan hukuman beberapa hari lagi di pengadilan. Legalah hati mereka semua yang ada di situ.
Malamnya seluruh penghuni Lai Lai merapatkan apa yang harus dilakukan.
Kwee Lai mengatakan bahwa dana untuk perbaikan memang ada, tapi jelas mereka menderita banyak kerugian. Walaupun kejadian ini tidak terlalu memukul keuangan Lai Lai, setidaknya cukup menggoncangkan hatinya
juga. Mereka memutuskan untuk menutup Lai Lai selama beberapa hari,
untuk memperbaiki segala kerusakan.
Tepat ketika rapat ditutup, seseorang mengetuk pintu depan.
"Siapa?" Tanya Kwee Lai
"Selamat malam. Salam hormat. Saya utusan dari perusahaan dagang Kim
Hai (Lautan Emas). Mohan ijin untuk bertemu Kwee Loya (Tuan Kwee)"
sahur suara dari luar. Cio San bergegas membukakan pintu.
Orang yang datang tadi punya penampilan rapi. Wajahnya tampan walaupun sudah cukup umur.
"Perkenalkan nama saya Huan Biau. Saya membawa pesan dari Khu-Hujin
(nyonya besar Khu) kepada Kwee Loya (Tuan Kwee)" kata si orang tadi.
"Mari silahkan masuk, saya Kwee Lai" kata Kwee Lai sambil tersenyum
ramah. Semua orang di situ tahu apa itu perusahaan dagang Kim Hai, dan siapa itu Khu Hujin.
"Ada pesan apa dari Khu Hujin?" Tanya Kwee Lai.
"Hujin berpesan bahwa semua kerugian yang ada di restoran anda akan
kami ganti. Mulai besok, kami akan mengirimkan beberapa pekerja dan
bahan-bahan bangunan. Hujin juga mengucapkan permintaan maaf sebesarbesarnya, karena perbuatan cucunya yang berbuat onar di sini, Kwee Loya"
"Ah pertengkaran kecil begini saja, Khu Hujin sampai turun tangan
langsung" Aku si tua begini terlalu diberi muka oleh Khu-Hujin. Sudah tidak perlu diganti. Jangan sampai membuat repot Khu Hujin"
"Tidak apa-apa Loya. Khu Hujin memaksa Loya harus menerima permintaan maafnya. Jika ada waktu Hujin sendiri yang akan datang berkunjung"
"Waah, sebuah kehormatan besar jika beliau berkunjung. Harap beri kabar sebelum beliau datang, agar kami bisa menyiapkan masakan terbaik bagi beliau" kata Kwee Lai, lanjutnya,
"Iya, kebetulan beliau memang ada rencana ke kota ini. Ada urusan dagang yang harus beliau selesaikan sendiri. Sekarang beliau masih di kediamannya di kota Tho Hoa.
"Tuan Huan silahkan istirahat sebentar dulu. Kami siapkan arak, dan
beberapa pengisi perut"
"Terima kasih Loya, tapi saya harus segera pulang untuk mempersiapkan pekerjaan besok. Sebenarnya sukar sekali saya menolak tawaran ini,
mengingat masakan disini sudah terkenal sampai ke luar kota. Tapi apa daya, banyak pekerjaan menumpuk" kata Huan Bian menolak dengan halus
"Ehh..kalau begitu mau kah tuan Huan membawa beberapa guci arak"
Sekedar sebagai teman istrirahat saat bekerja. Mungkin bisa diminum
bersama-sama saudara-saudara disana" kata Kwee Lai
Belum sempat Huan Bian menolak, Mey Lan sudah muncul dengan beberapa
guci arak. Ia tak dapat menolak. Akhirnya setelah memberi salam, segera ia mohon diri.
Setelah orang itu pulang, Cio San bertanya kepada Kwee Lai,
"Loya, berapa jarak antara kota ini dengan kota Tho Hoa?"
"Perjalanan memakai kuda sekitar sehari semalam, ada apa?"
"Ah tidak apa-apa" jawab Cio San sambil tersenyum.
Dalam hati ia berkata, "Orang suruhannya saja punya langkah kaki yang demikian ringan. Aku baru tahu kehadirannya saat ia sudah 10 langkah di pintu depan. Kejadian di kota lain yang jaraknya jauh saja pun, ia tahu begitu cepat. Bahkan sudah mengirim orang untuk mengurusi urusannya.
Bisa dibayangkan betapa berpengaruhnya Khu Hujin ini"
Malam itu Cio San tidur dengan berbagai macam pikiran. Tapi entah kenapa ia tidak menutup jendela kamarnya.
Pagi-pagi sekali orang-orang dari Kim Hai sudah tiba. Mereka datang sekitar sepuluh orang. Dengan berbagai macam peralatan dan perkakas. Orang-orang ini memang nampaknya pekerja bangunan yang pekerjaan sehariharinya mengurusi bangunan. Maka tak heran jika sampai tengah hari saja, Lai Lai sudah terlihat begitu rapid an bersih seperti semula.
Meja dan kursi yang rusak sudah diganti baru. Tembok yang pecah sudah diperbaiki. Goresan-goresan karena pertempuran kemarin sudah terhapus semuanya. Cio San tidak membantu. Ia memang tidak diperbolehkan
membantu oleh orang-orang ini. Ia juga paham, justru kalau membantu
bisa-bisa pekerjaannya jadi molor lebih lama.
Maka tengah hari, ketika jam makan siang, seluruh pekerjaan sudah selesai.
Pihak Lai Lai menyiapkan makanan yang enak bagi pihak Kim Hai. Hian Bian yang datang semalam, juga hadir memenuhi janjinya mencicipi masakan di Lai Lai.
Mereka makan dan mengobrol dengan santai, Cio San iseng-iseng bertanya,
"Tuan Huan, kemana nona Khu setelah kejadian kemarin?"
"Setelah menyerahkan dua iblis itu, Khu Siocia (nona Khu) langsung pulang ke Tho Hoa." Jawan Huan Bian.
"Oh, pantas saya tidak melihatnya lagi setelah itu. Nona Khu gagah sekali kemarin. Dengan berani ia melawan si wanita iblis"
"Nona kami memang begitu perangainya. Sejak kecil sudah suka ilmu silat.
Dia bahakn sudah dua tahun ini berkelana sendirian. Eh, saudara A San, apakah kau tahu siapa pendekar gagah yang bernama Cio San itu" Ia
muncul tiba-tiba dan menghilang tiba-tiba. Menurut cerita Khu siocia, ilmu silatnya sungguh hebat"
Cio San tersenyum dan menjawab,
"Saya hanya melihatnya saat dia berbicara saja. Kalau sudah bergerak, saya cuma melihat bayangan saja. Pertarungan dahsyat kata orang-orang bagi saya cuma bayangan-bayangan berkelebatan saja"
Huan Bian mengangguk-anggukan kepala. "Memang menurut nona kami,
pemuda bernama Cio San itu sakti sekali. Sayang asal usulnya tidak
diketahui orang. Kalau tidak, kami pasti akan menemuinya dan
mengucapkan terima kasih yang amat dalam"
Mereka mengobrol cukup lama lalu kemudian Huan Bian dan anak buahnya
meminta diri. Tak berapa lama, orang orang Hai Liong Pang (Perkumpulan Naga Lautan) yang menguasai daerah dermaga kota Lau Ya datang berkunjung.
"Kami dengar ada keributan di sini kemarin ya?" Tanya salah satu dari mereka
"Iya. Tapi semua urusan sudah dibereskan Khu Hujin dari perusahan dagang Kim Hai" jawab Cio San. Ia sengaja menggunakan nama Khu Hujin untuk
melihat reaksi orang-orang Hai Liong Pang.
Benar saja. Mendengar nama Khu Hujin disebut, wajah mereka berubah.
"Apa hubungan Khu Hujin dengan keramaian kemarin?" Tanya salah seorang
"Kebetulan yang bertempur dengan sepasang iblis kemarin adalah cucu Khu Hujin, namanya nona Khu Ling Ling" jawab Cio San.
"Kudengar ada pendekar muda lain yang turun tangan juga. Siapa
namanya?" "Sejauh yang hamba tau, namanya Cio San" jawab Cio San pelan
"Siapa dia" Apakah ada hubungan dengan restoran ini?"
"Kami semua di Lai Lai tidak kenal dengannya dan baru sekali itu
melihatnya. Tampaknya dia kebetulan sedang mau makan di sini. Lalu
terjadi keributan itu"
"Baiklah. Kalau begitu. Jika ada apa-apa, segera kalian lapor kepada kami.
Mungkin Hai Liong Pang bisa membantu" kata salah seorang.
"Terima kasih sekali, tuan tuan dari Hai Liong Pang, sudah sudi untuk memberi muka kepada kami. Tanpa perkumpulan tuan-tuan, kota ini tentu tidak aman" Cio San berkata sambil bungkuk-bungkuk memberi hormat.
Orang-orang itu tertawa senang lalu pergi.
Cio San menduga, akan banyak orang yang akan datang menanyakan
permasalahan kemarin. Mereka tentu saja tidak tertarik dengan
pertempuran kemarin. Nama Cio San lah yang menarik perhatian mereka.
Dan betul saja, berturut-turut orang dari berbagai macam perkumpulan dan partai semua datang. Dengan alasan memesan makan dan minum. Mereka
mulai bertanya hal-hal yang sama. Tentu saja dijawab yang sama pula oleh Cio San dan penghuni Lai Lai.
Rupanya orang Kang Ouw sudah mulai mendengar kabar kemunculan
pemuda sakti bernama Cio San. Dari umurnya, ciri-cirinya, dan
kesaktiannya, bisa jadi inilah Cio San murid pelarian BuTong pay yang buron sambil membawa lari kitab sakti.
Di dunia ini, tidak ada yang menarik perhatian kalangan bu lim (persilatan) selain kitab sakti. Selain harta karun, dan senjata pusaka tentunya.
Sejak awal, Cio San memang telah memikirkan segala keputusan yang
diambilnya. Ia telah memilih menggunakan nama aslinya, saat pertempuran kemarin. Pikiran yang timbul sekejap saja, namun telah ia pikirkan baik-baik. Tidak mudah untuk memikirkan segala sesuatu dengan matang dalam waktu singkat, tapi otak Cio San memang sejak dulu cemerlang.
Ia sengaja menggunakan nama itu untung memancing reaksi orang-orang
kang ouw. Apakah mereka masih mengingat kejadian beberapa tahun yang
lalu itu" Apakah mereka masih mengincar kitab sakti itu"
Dari sedikit keramaian itu, Cio San bisa mengambil peluang. Ia bisa mulai menyelidiki rahasia segala kejadian ini.
Karena itu Cio San merasa bersemangat. Begitu banyak kejadian aneh yang terjadi seputar dirinya, entah kenapa ia merasa semua saling berkaitan.
Dan memang sesuai dugaannya. Semakin banyak orang yang datang ke Lai
Lai pada hari hari berikutnya. Pihak lai Lai bahkan harus mempekerjakan tenaga koki dan pelayan tambahan. Saking ramainya sampai ada yang
bersedia duduk dan makan di halaman depan dan belakang.
Rupanya nama Cio San ini sangat menarik bagi orang. Entah Cio San harus tertawa gembira atau menangis sedih.
Rombongan yang ditunggu-tunggunya datang juga. Yaitu rombongan dari
Bu Tong pay. Ada 5 orang yang datang, Cio San mengenal mereka semua.
Kelima orang ini adalah anggota 15 naga muda. Ia sempat mengobrol
dengan mereka. Tentu saja obrolannya seputar pendekar muda misterius
bernama Cio San. Mereka bertanya tentang ciri-ciri "pendekar muda" ini.
Semua ini dijawab dengan jujur oleh Cio San.
Lima hari setelah kejadian pertempuran itu, datanglah juga tamu yang
dinanti-nanti. Siapa lagi kalau bukan Khu Hujin. Beliau bersama rombongan datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Untung saja datangnya di sore hari ketika Lai Lai tidak begitu ramai. Tetap saja penghuni Lai Lai
kelimpungan juga. Khu Hujin datang bersama beberapa pendampingnya.
Ada yang laki-laki, ada yang perempuan. Dari langkah kakinya saja, Cio San tahu ilmu silat mereka tidak bisa dubuat main-main.
Cio San ketika pertama kali melihat Khu Hujin teramat kaget, Nyonya tua yang merupakan salah satu orang paling kaya di Tionggoan ini tidak terlihat tua sama sekali. Kata orang umurnya sekitar 70 sampai 80an. Tapi nyonya yang duduk makan dengan tenang di hadapannya sekarang ini terlihat baru berumur 40 sampai 50 tahunan. Jika tidak melihat sendiri, Cio San tidak akan mau percaya.
"Ah, engkau kah koki muda yang hebat itu" Kabar yang kudengar selama ini memang benar rupanya. Seorang koki muda berbakat yang masakannya
terkenal sampai ke kota-kota sebelah" puji Khu Hujin.
"Hujin terlalu memuji. Siauw jin (sebutan untuk merendahkan diri sendiri) hanya memasak sekenanya saja. Amat beruntung jika Khu Hujin berkenan
mencicipinya" kata Cio San terbungkuk bungkuk.
"Kau belajar masak di mana?" Tanya Khu Hujin
"Leluhur siaw jin sejak dahulu memang tukang masak. Ada yang sempat
buka restoran juga."
"Oh bagus. Makananmu enak sekali. Sekali waktu bolehkah aku
mengundangmu memasak di rumahku" Tapi untuk itu aku harus minta ijin
dulu kepada Kwee Loya"
Kwee Loya yang berdiri di samping Cio San menyahut,
"Tentu saja boleh hujin. Mana mungkin siau ceng menolak permintaan hujin"
rupanya ia ketularan Cio San, berbicara sambil menunduk-nunduk.
Khu hujin mengangguk-angguk senang, lalu bertanya
"Siapa namanu tadi, anak muda" Maafkan aku yang sudah tua, susah sekali mengingat nama orang" Tanya Khu Hujin kepada Cio San
"Nama siau jin, A San, she (marga) Tan" jawab Cio San.
Ia memilih marga Tan, karena marga itulah marga yang paling umum di
tionggoan. Ada jutaan orang bermarga Tan.
Mereka masih mengobrol sebentar. Cio San dan Kwee Lai sambil berdiri. Khu hujin sambil duduk menikmati sajian makanan dan minuman. Makanan dan
minuman ini adalah sajian terbaik buatan Cio San. Untuk orang seperti Khu Hujin, semua memang harus yang terbaik. Bahkan posisi duduknya saja,
adalah posisi terbaik di bangunan restoran Lai Lai ini. Tepat ditengah-tengah ruangan.
Ketika selesai menikmati hidangan, Khu Hujin berkata,
"Terus terang, sudah lama sekali aku tidak pernah makanan se enak ini sejak aku masih muda sekali. Dulu sekali aku pernah punya kenalan yang pintar sekali masaknya. Sayang dia sudah meninggal. Terakhir ku dengar ia dikuburkan di Butong san"
Khu hujin terdiam sebentar, pandangan matanya menerawang.
"Ah sudahlah. Cerita lama tidak boleh dikenang-kenang" katanya sambil tersenyum. "Entahlah kenapa masakan ini mengingatkan aku kepada
sahabatku itu" Tak berapa lama kemudian, rombongan Khu Hujin meminta diri untuk
pulang karena hari sudah mulai gelap. Pengunjung pun sudah mulai ramai.
Cio San sebenarnya terhenyak dari tadi. Dia tahu bahwa yang dimaksud Khu Hujin adalah A Liang. Guru sekaligus sahabatnya. Di dunia ini tidak ada orang lain yang pintar masak, dan dikuburkan di Butongsan selain Kam Ki Hsiang, alias A Liang.
Sampai malam, Cio San tidak dapat bekerja dengan tenang. Pikirannya
masih menerawang memikirkan cerita Khu Hujin tadi. Apa yang harus
dilakukannya" Akhirnya dia memutuskan untuk melakukan sesuatu.
Bab 20 Syair Tentang Cinta
Khu Hujin Cio San pergi pagi-pagi sekali. Memang ada kalanya dia pergi berbelanja bahan-bahan untuk Lai Lai setiap fajar menjelang. Tapi kali ini, dia telah menyiapkan pakaian yang ringkas. Di jalan, disebuah gang kecil dan sepi, dia telah berubah dari A San, menjadi Cio San.
Saat mengobrol kemarin, ia telah tau di mana Khu Hujin menginap.
Tentunya di sebuah rumah miliknya sendiri di kota itu. Kesanalah Cio San pergi.
Begitu sampai di depan gerbang, beberapa orang sudah menghadangnya,
"Saudara ada keperluan apa pagi-pagi kemari?" tanya salah seorang
"Saya punya pesan yang harus disampaikan kepada Khu Hujin" kata Cio San
"Khu Hujin tidak menerima tamu sepagi ini. Apa pesanmu", biar nanti
kusampaikan kepada Hujin"
"Seseorang bernama Kam Ki Hsiang mengirim pesan. Jika beliau berkenan, saya akan datang kembali nanti malam. Jika nanti malam beliau tidak mau menemui, maka biarlah. Saya akan pulang saja"
"Baik. Pesanmu akan ku sampaikan kepada beliau. Siapa namamu, anak
muda?" "Nama siauw jin adalah Cio San"
Belum sempat orang itu kaget, Cio San sekejap mata sudah menghilang dari hadapannya.
Malamnya, sesuai janji Cio San datang lagi. Kali ini para penjaga di depan sudah bersiap-siap menunggu kedatangannya,
"Hujin sudah menunggumu" kata salah seorang
Cio San menjawabnya dengan tersenyum. Ia lalu diantar memasuki halaman rumah yang luas. Begitu luasnya sampai-sampai Cio San merasa sedang
berada di sebuah hutan. Halaman itu memang banyak ditumbuhi pohonpohon besar. Rerumputan terpotong rapi. Bahkan kolam kolamnya pun
terlihat seperti sungai. Begitu masuk sampai ke rumah utama, Cio San lebih kagum lagi. Semua isi perabotannya terlihat sederhana namun sangat indah. Lukisan-lukisan
tergantung di dinding. Bicara tentang lukisan. Cio San bukan seorang yang asing. Sejak kecil ayahnya sudah merngenalkannya dengan karya-karya
pelukis terkenal. Maka tentu saja, Cio San kagum sekali melihat koleksi lukisan di dalam rumah ini. Senadainya beberapa koleksi lukisan ini di jual, mungkin bisa saja dipakai untuk membeli rumah semacam ini lagi.
Rumah ini pun walaupun terasa hening, sebenarnya ramai dengan banyak
orang. Ada pelayan-pelayan, para penjaga, dan mungkin pegawai-pegawai.
Cio San diantar ke dalam sebuah ruangan. Kelihatannya seperti sebuah
ruang belajar pribadi. Si pengantar mengetuk pintu dan memohon ijin untuk masuk. Setelah
mengantar Cio San, ia sendiri pergi. Meninggalkan Cio San dan Khu Hujin sendirian di kamar belajar.
Khu Hujin memang sudah menanti. Beliau sedang duduk bermain khim
(sejenis alat musik berdawai). Melihat kedatangan Cio San, beliau
tersenyum. Di hadapan Khu Hujin, berdiri seorang pemuda muda belia. Tampan.
Pembawaannya gagah dan tenang. Bajunya ringkas dan sederhana, tapi
justru menambah kegagahannya. Ramburnya tidak diikat rapi. Tapi justru menambah daya tariknya. Sekali pandang saja, Khu Hujin tau kalau Cio San bukan pemuda sembarangan.
"Selamat malam, Hujin" Cio San memberi salam
"Kau kah yang bernama Cio San?"
"Benar, Hujin" "Kau mengenal Kam Ki Hsiang" Pesan apa yang kau bawa darinya?"
Cio San tersenyum, ia memberi hormat, dan berkata,
"Saya tidak tahu, apakah Kam Ki Hsiang yang saya maksud, adalah orang yang sama dengan yang Hujin kenal. Tapi saya harus mengambil resiko ini.
Siapa tau dugaan saya memang benar adanya"
Khu Hujin tersenyum pula, lalu dengan lantang ia berkata,
"Kam Ki Hsiang yang kukenal, adalah seorang pria gagah, yang mati di
tangan Thio Sam Hong di Butongpay"
Kata-kata itu diutarakan dengan lugas dan lantang. Tapi Cio San bisa
melihat, walau hanya sekejap saja, bibir Khu Hujin sedikit bergetar ketika mengucapkannya.
"Maafkan, saya lancang menggunakan namanya untuk bisa bertemu Hujin.
Saya datang tidak membawakan pesan. Melainkan hanya memainkan
sebuah lagu" "Sebuah lagu?" sinar mata Khu Hujin mulai bersinar terang
"Bolehkah saya?" tanya Cio San sambil menunjuk Khim di depan Khu Hujin
"Silahkan" sahut Khu Hujin, ia lalu berdiri. Mempersilahkan Cio San
memainkan khim. Lagu yang ia mainkan adalah sebuah lagu yang dipelajarinya dari A Liang.
Sebuah lagu sedih tentang perpisahan sepasang kekasih.
Jika musim berganti, Rembulan menanti, Untuk bersama kekasih yang di hati,
Siapa kah dia yang menanti di ujung malam"
Siapakah dia yang menangis di tepi telaga"
Jika kekasih pergi, Kata perpisahan pun tak terucap,
Karena itulah yang paling menyakitkan jiwa,
Seandainya nanti kita tak bertemu,
Rembulan tau siapa kekasih sejati,


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lagu ini mengalun dengan tenang, dan lembut. Permainan khim Cio San
indah dan sendu. Di luar langit menghitam. Bintang-bintang tak berani bersinar. Karena kilaunya kalah bercahaya, dengan butiran-butiran air yang menetas di pipi Khu Hujin.
Angin berhenti mendesah. Air kolam berhenti berdecik. Lagu ini sekali saja diperdengarkan, membuat dunia sepi dalam sekejap.
Cio San sendiri seperti enggan berhenti. Lagu seperti ini jika dinyanyikan bisa membuat jiwa merintih mengiba-iba. Tapi jika dihentikan, akan
membuat langit bergetar merindukan suara.
Tapi Cio San berhenti. Segala sesuatu yang indah, ada saat menghilang.
Seperti cinta. Ia telah berhenti bernyanyi dan memainkan dawai. Tapi entah kenapa,
lagunya masih terdengar di dalam hati.
Lama sekali mereka terdiam. Seperti masih menikmati lagu yang tadi. Di dalam kesunyian.
Terkadang kesunyian terdengar lebih indah dari lagu apa pun.
Khu Hujin lalu membuka mata. Sejak tadi jiwanya memang tidak berada di situ. Ia selama beberapa saat kembali ke sebuha masa. Masa yang indah puluhan tahun yang lalu.
Ia tersenyum. Walaupun air mata mengalir di pipinya. Jatuh membasahi
ujung-ujung bibirnya. Seketika Cio San merasa wanita di hadapannya ini jauh lebih muda. Serasa seorang gadis yang tersenyum bahagia dengan
pipinya yang kemerah-merahan. Dengan senyumnya yang indah.
Cio San seperti ingin berkata sesuatu, tapi ia memilih diam. Karena
perempuan dihadapannya juga sedang diam. Kadang diam itu memang lebih bermakan daripada untaian kata-kata yang paling manis sekalipun.
Kadang tidak berkata apa-apa sama dengan mengungkapkan banyak hal.
Dan kadang, di hadapan perempuan yang sedang meneteskan air mata,
diam adalah hal yang paling baik.
Khu Hujin, akhirnya berkata,
"Itu lagu terakhir yang kudengar darinya. Diakah yang mengajarkan lagu itu padamu?" tanyanya
"Benar" Cio San mengiakan.
"Apakah dia masih hidup" Bagaimana kabarnya sekarang?"
"Sayangnya Kam-suhu (guru Kam) telah meninggal nyonya"
"Ahhhhhhh,,,,," Sang Hujin terlihat terpukul sekali.
"Padahal sejak kudengar bahwa kuburan Kam K Hsiang yang dibongkar
ternyata kosong, aku berharap dia masih hidup" katanya sedih
"Pada waktu itu beliau memang masih hidup, Hujin" kata Cio San
"Apakah dia pernah bercerita tentang aku?" tanya sang Hujin
"Sayangnya tidak pernah Hujin. Saya baru tahu nyonya mengenalnya ketika nyonya menyinggung sahabat nyonya yang pintar masak yang meninggal di Butongsan"
"Maukah kau menceritakan apa yang terjadi sesungguhnya pada dirinya?"
tanya Khu Hujin. Cio San lalu bercerita. Bagaimana orang yang bernama Kam Ki Hsiang kala bertarung dengan Thio Sam Hong. Lalu merubah nama menjadi A Liang.
Dan mengabdi di Butongpay. Cio San juga menceritakan hukumannya di
puncak gunung. Tapi ia tidak bercerita tentang buku masak A Liang. Ia hanya bercerita bahwa A Liang lah yang mengajarinya silat, dan juga
bermain musik. Juga tentang tragedi kematian Tan Hoat, dan juga A Liang.
Dan bagaimana ia hidup di dalam goa selama beberapa tahun.
Cerita sepanjang itu diikuti Khu Hujin dengan seksama. Ia lalu bertanya,
"Apakah Kam Ki Hsiang yang mengajarimu memasak juga?"
"Benar Hujin. Tentunya Hujin sudah bisa menduga siapa sebenarnya saya?"
"Kau adalah A San, tukang masak di Lai Lai, bukan?"
"Pandangan mata, keluasan pengetahuan, dan pemikiran hujin memang
sukar dicari tandingannya" kata Cio San kagum.
"Sejak pertama Cio San muncul di Lai Lai, aku sudah curiga. Mengapa
selama ini ciri-ciri orang seperti Cio San ini tidak ada anak buahku yang melaporkan sebelumnya."
"Padahal anak buah hujin ada dimana-mana" sambung Cio San
Khu Hujin hanya mengangguk, ia lalu melanjutkan
"Apa yang terjadi di setiap kota, mestinya kami tahu. Siapa orang baru yang datang, apa tujuan mereka ke kota itu, kami pasti tahu. Kau pasti paham bahwa banyak orang yang iri dengan usaha dagang kami, maka kami harus melakukan banyak hal supaya bisa mempertahankannya"
Beliau melanjutkan lagi, "Jika tidak ada yang pernah melihat Cio San sebelumnya, tentu ia datang di kota itu dengan menyamar. Kemudian dari kabar yang ku dengar dari Ling Ling, orang yang bernama Cio San ini menggunakan jurus dasar-dasar silat Bu Tong Pay, tapi kemudian dicampur dengan ilmu silat aneh yang belum pernah dilihatnya."
"Menurut pemikiranku, mungkin saja orang ini adalah anak murid Butongpay yang buron itu. Karena tidak mungkin murid Butongpay mau merusak
kemurnian ilmu silatnya dengan mencampurnya dengan yang lain."
"Ditambah lagi namanya juga Cio San. Diukur dari usianya sudah cocok. Jadi kesimpulanku, pastilah pendekar muda ini adalah Cio San murid Butongpay yang buron dan akhirnya menyamar."
"Yang paling penting kemudian adalah aku harus mencari tahu dia
menyamar sebagai apa. Menurut laporan ia tiba-tiba menghilang di Lai-Lai.
Tidak mungkin ada orang yang menghilang begitu saja di kota ini."
Cio San kemudian memotong,
"Lalu Hujin mengirimkan orang untuk memperbaiki Lai lai, tujuannya untuk mencari tahu keadaan Lai-Lai yang sebenarnya bukan?"
"Benar. Hebat juga kau bisa menebaknya. Dari mereka, aku tidak
menemukan berita apa-apa. Akhirnya aku memutuskan untuk datang sendiri memeriksa"
"Lalu ketika aku bertemu A San si tukang masak. Tutur katanya sopan dan halus. Tidak seperti koki pada umumnya. Aku curiga dengan raut wajahnya yang pucat, namun memiliki sinar mata yang mencorong. Sadarlah aku
bahwa A San pastilah menggunakan topeng. Kecurigaanku semakin terbukti, ketika dengan sengaja aku menyinggung Butongpay dan sahabatku yang
meninggal, sinar matamu berubah sendu. Apalagi, rasa masakanmu
memang mengingatkanku kepada Kam ki Hsiang. Dia telah mengajarimu
dengan bagus sekali" Kalimat terakhir itu diucapkan Khu Hujin dengan sinar mata bersinar. Entah kenapa Cio San merasa sinar mata itu seperti sinar mata seorang mertua yang berbicara tentang menantu yang
dibanggakannya "Lalu bagaimana dengan kau, bagaimana cara kau menebak bahwa aku
telah tau penyamaranmu?" tanya sang Hujin.
"Ketika saya berbicara dengan Hujin, dan hujin menyinggung tentang
Butongpay dan sahabat hujin yang meninggal disana. Saya tahu bahwa
sinar mata saya berubah. Masih banyak kenangan yang tidak bisa terlupa, sehingga saya tidak bisa menyembunyikan perasaan. Ketika saya merasa
bahwa sinar mata saya berubah sendu, secepatnya saya tersadar, dan juga saya memperhatikan sinar mata hujin sendiri. Dan yang saya lihat, sinat mata hujin juga berubah. Mungkin lega, mungkin puas. Saya kurang tahu.
Tapi saya waktu kecil kadang-kadang suka main tebak-tebakan. Sinar mata hujin, seperti sinar mata orang yang senang karena tebakannya benar" jelas Cio San panjang lebar.
"Jadi kau tahu bahwa aku telah membongkar penyamaranmu, hanya dari
sinar mataku yang berubah karena melihat perubahan sinar matamu
sendiri?" Khu Hujin bertanya, matanya memancarkan kekaguman.
"Benar sekali hujin."
"Hanya dengan perubahan mata, berani sekali engkau mengambil
kesimpulan, Cio San"
"Kadang beberapa hal memang harus dilakukan dengan nekat." Katanya
tersenyum "Bagaimana jika kau salah?" tanya Hujin.
"Jika saya salah, paling-paling saya akan jadi buronan lagi. Itu bisa saya hadapi dengan mudah. Tinggal menggunakan topeng, dan lari ke kota lain."
Katanya tersenyum. Dalam masalah lari, memang hanya sedikit orang di dunia ini yang bisa mengejarnya
Lalu ia menyambung, "Jika saya benar, maka setidaknya saya telah melakukan hal yang baik.
Yaitu menceritakan kisah yang sebenarnya terjadi di ButongPay. Ini untuk membersihkan nama Kam-suhu (guru Kam), dari tuduhan fitnah. Dengan
pengaruh dan kekuasaan Hujin. Rasa-rasanya hal ini bukan hal yang tidak mungkin."
"Bagus sekali Cio San. Aku kagum kepadamu yang masih muda tapi sudah
memiliki pikiran yang cemerlang. Eh, masih ada lagi yang ingin kutanyakan.
Jika ia tidak pernah bercerita kepadamu tentang aku, dank au bilang kau baru tahu tentang itu, bisakah kau tebak bagaimana hubunganku
dengannya" Cio San terdiam sebentar. Lalu menjelaskan,
"Pada awalnya saya pikir mungkin hubungan saudara. Tapi sudah jelas tidak mungkin karena she (marga) berbeda. Lalu saya pikir mungkin hubungan
saudara seperguruan, tapi itu juga tidak mungkin karena nyonya tidak bisa silat. Kemudian saya sampai kepada kesimpulan akhir bahwa kalian, maaf sebesar-besarnya, adalah sepasang kekasih?"
Hujin tersenyum, "Kau memang cerdas Cio San"
Ia melanjutkan, "Maukah kau mendengar kisah kami dahulu?"
Cio San mengangguk. "Beberapa puluh tahun yang lalu, kami merencanakan untuk menikah. Tapi kecintaannya terhadap petualangan dan juga ilmu silat, membuat rencana itu tertunda terus menerus. Suatu hari ia pulang setelah berkelana lama.
Tubuhnya kurus sekali. Tapi wajahnya cerah dan terlihat sangat sehat. Ia bercerita kepadaku bahwa ia menemukan sebuah kitab sakti yang akan
membuatnya menjadi ahli silat paling hebat di seluruh tionggoan."
"Ia berlatih siang malam, dan dalam setahun saja, ia menjadi sangat hebat.
Ia kemudian berkelana lagi untuk menantang jago-jago silat ternama.
Semua dikalahkannya. Setahun kemudian dia pulang lagi ke desa kami, dan bilang jika kali ini ia mungkin tidak akan kembali lagi.
"Ia bilang jika ia akan menantang pendekar terhebat sepanjang masa
Tionggoan, yaitu Thio Sam Hong. Aku menangis memintanya untuk
mengurungkan niatnya. Tapi niatnya sudah bulat. Sebelum pergi, ia
menciptakan aku sebuah lagu. Lagu itulah yang kau mainkan kepadaku tadi"
"Kemudian kudengar ia telah tewas di Butongsan sana. Berulang kali aku berusaha meminta jenazahnya untuk dipindahkan, namun pihak Butongpay
selalu menolaknya. Aku heran kenapa jasadnya tidak diperabukan saja. Tapi beberapa tahun yang lalu kudengar jasad Thio San, setelah diperabukan, juga dikubur di dekat kuburannya?"
Cio San mengangguk Hujin lalu melanjutkan, "Lalu kudengar ada kejadian besar di Butongpay. Seorang murid membunuh gurunya, membawa kabur kitab sakti, dan kabur dengan temannya seorang juru masak yang sudah tua. Ditambah lagi bahwa ada kabar kalau ternyata kuburan Kam Ki Hsiang ternyata kosong. Semakin membuatku ada banyak
rahasia yang tersembunyi"
"Ketika kau datang pagi tadi dan bilang bahwa kamu membawa pesan dari Kam Ki Hsiang, sukamku bagai melayang. Aku benar-benar berharap dia
masih hidup" Cio San merasa tidak enak dengan ini, tapi kemudian dia teringat sesuatu.
"Maafkan kesalahanku itu Khu Hujin, itu adalah kesalahan yang tidak bisa saya perbaiki. Tapi saya ingin memberitahu Hujin, Kam-suhu menciptakan lagi sebuah lagu tentang Hujin saat kami berada di puncak Butongsan"
"Benarkah" Mainkanlah!"
Di bawah mentari Di bawah langit biru Di temani rumput-rumput dan angina barat
Aku memandangimu dari puncak bukit,
Dari menara tertinggi, ku sebut namamu
Tahukah kau aku lebih terluka daripada engkau"
Tahukah perpisahan denganmu jauh lebih tajam dari mata pedang"
Tapi aku justru bahagia di dalam kesedihan,
Karena ku tahu ciintamu takkan berubah
Karena setiap detik jantung mendetakkan namamu,
Setiap saat angina menghembuskan bisikanmu
Setiap malam bintang meminjam cahaya matamu
Setiap pagi mentari meminjam kecerahan wajamu
Jika orang berkata, maut kan memisahkan,
Bahagialah, karena bagiku maut kan mempertemukan,
Sampai nanti, ku tunggu kau di ujung jalan
Tempat telaga kesukaanmu Tempat dimana kau suka memetik bunga Tho
Dan berlari mengejar kupu-kupu
Sampai nanti kita bertemu kembali
Mata Khu Hujin berbinar-binar. Ia menangis terharu, lalu tersenyum simpul ketika Cio San menyanyikan lirik "tempat telaga kesukaanmu, tempat
dimana kau suka memetik bunga Tho, dan berlari mengejar kupu-kupu"
Saat ini memang hanya mata yang berbicara. Cio San bisa menangkap sinar yang begitu bahagia di mata yang teduh dan berbinar itu. Seperti sinar mata anak gadis sedang kasmaran!
"Apakah kau tau judulnya, Cio San?"
"Tentu saja Hujin, judulnya "Salam Untuk Ting Ai"
Khu Hujin tersenyum, "Tahukah kau siapa Ting Ai?"
"Tentunya itu adalah nama gadis hujin, Khu Ting Ai"
Hujin tersenyum sambil berkata,
"Lagu itu menceritakan bahwa ia tidak lupa padaku. Bahwa ia masih
mencintaiku dan berharap bertemu denganku suatu saat ini. Ahhhhhh,,,Cio San mendengar ini saja betapa gembira hatiku"
"Aku yakin benar itu lagu ciptaannya. Karena nada-nadanya khas sekali. Ia juga bercerita tentang telaga tempat biasa kami bertemu. Dan juga
kesukaanku memetik bunga Tho dan mengejar kupu-kupu"
Wajah Khu hujin ketika bercerita tentang ini memang seperti anak perawan sedang kasmaran.
"Kau telah memberiku kebahagiaan yang sangat besar, Cio San. Untuk itu aku harus memberimu hadiah. Mintalah apa yang kau mau, jika mampu
niscaya ku beri" kata Khu Hujin serius.
"Saya datang tidak dengan maksud apa-apa Hujin. Saya hanya berharap
Hujin mampu membersihkan nama Kam suhu dan saya. Itu saja."
"Kalau itu sudah pasti akan kulakukan Cio San. Aku mohon padamu,
mintalah padaku apa saja. Jangan sampai kau menolak. Bagiku kau sudah seperti cucu sendiri"
Cio San berpikir sejenak, lalu berkata
"Baiklah hujin. Maafkan saya yang lancang, bolehkah saya meminta sebuah kitab" Kitab apa saja. Saya suka membaca, tapi di Lai Lai tidak ada yang bisa saya baca"
Khu Hujin tertawa terbahak-bahak sambil menutup mulut dengan
tangannya. Anggun sekali.
"Kau hanya minta itu saja" Baiklah. Kuberikan kau sebuah kitab bagus.
Bahkan mungkin kitab terbaik yang pernah kubaca. Kulihat kau memiliki bakat yang besar dalam bidang ini juga, selain bermain musik, silat, dan memasak"
Khu Hujin beranjak dan memilih-milih buku yang tersusun rapi di rak buku.
Jika mau menghitung memang ada ratusan buku di dalam kamar belajar
pribadi ini. "Nah ini dia" Bab 21 Pelajaran Yang Berharga
"Kitab ini, tidak hanya cocok untuk kau pelajari, bahkan mungkin harus kau pelajari. Dalam perjalanan hidupmu, akan sangat berguna sekali" ujar Khu Hujin sambil menyodorkan kitab itu.
Cio San menerima dengan penuh hormat.
"Kitab Wajah dan Gerak Tubuh"
"Judul yang aneh bukan" Tapi manfaatnya banyak. Kau aka bisa membaca
pikiran orang hanya dari bahasa wajah dan tubuhnya. Saat orang
berbohong, ada bagian-bagian wajah dan tubuhnya yang bergerak. Jika kau pelajari, kau bisa membedakan orang yang jujur dengan tidak. Kau bisa membaca perasaan dan isi hati mereka cukup dengan melihat raut wajah
atau bahasa tubuh mereka. Menarik bukan?"
"Menarik sekali Hujin. Tentu saja Hujin sudah mempelajarinya dan
mendapat manfaat yang amat sangat bukan". Bahkan mungkin banyak
sekali urusan dagang yang Hujin selesaikan dengan buku ini"
"Tepat sekali" Hujin kemudian berkata, "Dalam perjalananmu, kau akan menemukan banyak rintangan. Banyak
kesulitan dan kesusahan. Engkau adalah orang yang cerdas dan berbakat.
Jangan hanya mengandalkan ilmu silat, karena ilmu silat akan kalah dengan tipu daya yang licik. Jangan pernah percaya kepada seorang pun walaupun ia teman dekatmu. Tapi jika kau sudah memutuskan untuk percaya, maka
percayalah ia dengan segenap hatimu. Hatimu dan akalmu akan
membisakanmu kepada siapa kau letakkan kepercayaanmu"
"Selalu gunakan ketenangan dan kematangan berfikir. Karena apa yang kau lihat belum tentu berarti seperti yang kau lihat. Selalu berusaha mencari makna di balik segala kejadian. Karena tidak ada yang kebetulan. Tidak ada yang tidak diatur. Maka dari itu, apapun yangdilakukan orang lain, harus selalu kau selediki dengan teliti. Hal sekecil apapun!"
"Karena manusia jauh lebih kejam dari makhluk manapun. Oleh sebab itu, ku ulangi lagi: hal sekecil apapun, tidak boleh lewat dari perhatianmu.
Latihlah dirimu untuk memperhatikan hal sekecil-kecilnya. Posisi sendok di meja. Posisi cangkir saat kau tinggalkan. Letak kursi ketika sebelum kau masuk ruangan. Semuanya harus kau perhatikan. Untuk itu, jangan pernah bosan untuk selalu melatih dirimu dengan hal ini. Jika kau berlatih silat seratus kali, maka hal ini harus kalu latih seribu kali"
"Selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik, bukan untuk dirimu, tetapi untuk orang lain. Menjadi yang terbaik bukan berarti menjadi yang paling hebat dalam ilmu. Tapi menjadi hebat berarti bahwa kau mampu
menundukkan dirimu sendiri. Menundukkan hawa nafsumu. Karena perang
dan pertempuran paling dahsyat, bukanlah saat melawan musuh yang paling sakti ilmunya. Melainkan melawan dorongan nafsumu, pada saat kau
mampu melakukan nafsumu itu"
"Janganlah malu menjadi cibiran orang, jika kau yakin bahwa perbuatanmu tidak bertentangan dengan moral dan akal sehatmu. Janganlah ragu dan
menunda-nunda dalam berbuat yang terbaik. Perluaslah pengetahuanmu.
Cari teman dan kenalan sebanyak mungkin. Tapi jadikanlah orang yang
benar-benar kau yakini kebaikannya sebagai sahabat sejatimu. Orang
seperti ini hanya bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Tapi jika kau sudah menemukannya, bersiaplah untuk mengorbankan jiwa dan ragamu
kepadanya, karena dia sendiripun akan mengorbankan jiwa raganya
kepadamu" "Jika kau gagal dalam melakukan tugasmu, malulah kepada diri sendiri. Tapi maafkanlah juga dirimu, karena manusia memiliki keterbatasan. Dalam
kegagalanmu, terdapat cermin untuk memperbaiki diri. Dalam
keputusasaanmu, terdapat obat pahit untuk bangkit kembali. Didalam sakit hatimu terdapat kekuatan untuk membuktikan kepada dunia bahwa kau
sanggup melakukannya. Ambil waktu sebanyak mungkin untuk melihat
kekurangan sendiri, karena kebanyakan manusia menghabiskan waktu
untuk membicarakan kekurangan orang lain."
"Apabila ada orang yang membicarakan kekuranganmu, terimalah mereka
dengan senyum ketulusan karena merekalah yang menunjukkan
kelemahanmu. Jika ada orang yang membicarakan kehebatanmu, terimalah mereka dengan wajah menunduk karena kau paling tahu terhadap
kekuranganmu sendiri."
"Jagalah kepercayaan orang lain terhadapmu, karena itu lebih berharga dari seluruh isi bumi. Jika kepercayaan itu hilang, maka hilanglah harga dirimu.
Karena harga dirimu berada pada kepercayaan orang terhadapmu. Engkau
akan banyak tersakiti oleh ucapan dan perbuatan orang, dan pembalasan terbaik dari semua itu adalah memaafkan. Memaafkan bukan berarti
kelemahan, karena keadilan harus ditegakkan."
"Kuatkanlah dirimu untuk terus melakukan keadilan, karena dunia baru akan damai ketika keadilan dan aturan ditegakkan. Ingatlah bahwa aturan kadang membatasi. Maka biasakanlah dirimu untuk terus mempertanyakan
peraturan. Biasakanlah dirimu untuk tersiksa, karena keadilan sungguh jauh dari kebahagiaan. Karena kebahagiaan mengutamakan kesenangan.
Sedangkan kesenangan kebanyakan menipumu. Kebahagian terbaik adalah
kemampuan untuk membuat orang lain bahagia"
"Saat ini, tak akan pernah terulang lagi. Oleh sebab itu selalu hargai setiap detik dalam hidupmu. Hargai kebersamaan bersama orang-orang yang ada
di sekelilingmu. Karena mereka mungkin mengorbankan banyak hal hanya
untuk bisa bertemu denganmu. Maka itu, hargailah waktu seperti engkau menghargai nyawa. Yang terjauh adalah masa lalu, dan yang terdekat
adalah kematian. Yang paling menyesal adalah tidak melakukan sesuatu.
Yang paling merugi adalah menyianyiakan cinta. Maka jadikanlah dirimu sebagai orang yang menghargai cinta. Karena cinta adalah pengorbanan diri.
Waspadalah kepada kepalsuan cinta. Engkau akan mampu membedakan
kepalsuan dan keaslian cinta, saat engkau mampu mengorbankan jiwa bagi apa-apa yang engkau cinta. Saat engkau mampu mengorbankan
kebahagiaan diri sendiri demi kebahagiaan orang lain"
"Sebagai laki-laki yang menantang kehidupan, kau mungkin akan dikagumi wanita, dan banyak orang. Tapi wanita-wanita ini akan berpikir seribu kali untuk mencintai laki-laki yang kehidupannya seperti dirimu. Yang hidup bebas menantang hari esok dangan tangan kosong dan hati yang terbuka.
Wanita-wanita ini akan menganggap engkau menarik, tapi pada akhirnya
mereka akan memilih lelaki lain yang bisa memberi mereka rasa aman, dan kehidupan yang tenang. Sedangkan lelaki lain itu justru tidak mereka
kagumi." "Engkau mungkin akan terluka dan jatuh dalam perangkap cinta, dan juga wanita. Maka berhati-hatilah terhadap wanita yang cantik. semakin cantik dia, semakin besar kekuatannya untuk melukaimu. Oleh karena itu cintailah wanita yang membuatmu tenang, jangan kau mencari wanita yang
membuat orang lain kagum."
"Ingatlah selalu untuk menjadi dirimu sendiri. Hargailah dirimu, dan hidupmu. Jangan ingin berubah karena perkataan orang. Tapi berubahlah karena kau memang merasa kekurangan dirimu harus diperbaiki"
"Maka, dalam pesanku yang terakhir ini, Cio San, jadilah manusia terbaik.
Jangan menjadi pesilat terbaik, pemikir terbaik, atau tukang masak terbaik.
Jadilah manusia terbaik,,,,"
Bab 22 Sang Dewa Kematian
Cio San memandang Khu Hujin dengan penuh kekaguman. Belum pernah
dia mendengar orang memberi wejangan padanya seperti itu. Begitu dalam.
Begitu ringkas. Tetapi sangat membekas.
Angin bertiup menghembus sampai masuk ke dalam ruangan itu. Cio San
pun tak tahu lagi, apakah sejuk di dadanya ini adalah karena angina,
ataukah karena kata-kata Khu Hujin.
Itulah mengapa Khu Hujin menjadi begitu berhasil di dalam hidupnya.
Menjadi wanita "terkuat", tidaklah butuh ilmu silat yang hebat. Justru karena ia tidak mengandalkan ilmu silat maka Khu Hujin menjadi seperti itu.
Seluruh perempuan di muka bumi ini, seharusnya paham. Bahwa mereka
tercipta sebagai "makhluk terkuat". Sudah terlalu banyak kisah yang
menceritakan betapa wanita mampu menundukkan laki-laki terhebat


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekalipun. "Cio San".." sapaan lembut Khu Hujin membuyarkan lamunannya
"Apakah kau tahu apa-apa saja yang telah terjadi di dunia ini sejak engkau kabur dari Butongpay dahulu, sampai saat ini?" tanya Khu Hujin
"Eh, saya hanya mendengar beberapa kabar dari cerita-cerita orang bu lim (kaum persilatan) yang mampir ke Lai Lai. Tapi semua belum begitu jelas, karena mungkin hanya berupa kabar burung" jawab Cio San
"Ceritakan kepadaku"
"Beberapa tahun belakangan ini sering terjadi pembunuhan misterius.
Pelakunya adalah beberapa orang bertopeng yang memiliki ilmu silat sangat tinggi. Mereka membunuh dengan sangat kejam. Dan banyak korban
mereka yang merupakan terkemuka seperti ketua partai persilatan, pejabat Negara, dan masih banyak lagi"
Lanjut Cio San, "Kelompok pembunuh ini sangat rahasia. Tidak ada seorang pun yang tahu dari mana mereka. Asal usul ilmu silat mereka. Dan juga tujuan mereka. Saya sendiri berkesimpulan, pembunuhan keluarga besar
saya, guru saya, dan juga peracunan ciangbunjin Butongpay juga ada
hubungannya dengan kelompok pembunuh rahasia ini"
"Pada awalnya saya berfikir, mungkin pembunuhan-pembunuhan ini ada
hubungannya dengan kitab-kitab sakti yang banyak dibicarakan orang.
Tetapi jika dilihat dari banyaknya korban yang bukan hanya berasal dari kaum bulim. Saya mengambil kesimpulan bahwa tujuan kelompok
pembunuhan ini bukan hanya sekedar mengesai ilmu-ilmu silat tertinggi.
Melainkan juga mungkin hal yang lebih besar daripada itu"
"Seperti?" tanya Khu Hujin
"Mungkin mereka bertujuan untuk mengacaukan dunia kangouw, dan malah
berusaha untuk menguasainya."
"Kesimpulan yang bagus", sahut Khu Hujin. "Tetapi karena belum ada
perkembangan dan kabar yang jelas, maka kau jangan terlebih dahulu
mengambil kesimpulan apapun. Karena kesimpulan yang terlalu cepat
diambil, akan menjauhkanmu daripada kebenaran yang sebenarnya"
"Saya mengerti hujin. Terima kasih"
"Selain kabar ini, apalagi kabar yang kau dengar?" tanya Khu Hujin lagi.
"Saya mendengar kabar bahwa Butongpay masih tetap mencari saya.
Bahkan orang-orang bu lim masih terus mencari keberadaan saya. Apalagi sejak kemunculan saya di Lai Lai tempo hari. Saya juga sudah tahu, bahwa Butongpay telah mengirimkan surat pengumaman ke berbagai kalangan
yang memberitahukan bahwa saya sudah dipecat dari Butongpay, dan
segala tingkah laku dan perbuatan saya, tidak ada hubungannya lagi dengan butongpay."
"Apakah kau sedih, Cio San?"
"Sangat sedih hujin, tapi saya bisa mengerti keadaannya. Memang sudah seharusnya."
Khu Hujin mengangguk sambil tersenyum, "Baiklah, malam sudah larut dan aku pun butuh beristirahat. Kau pulanglah. Dan lakukanlah hal yang harus kau lakukan. Aku sangat berterima kasih atas apa yang kau lakukan hari ini.
Ingat-ingatlah dengan kata-kataku tadi. Jadilah manusia terbaik, Cio San"
"Terima kasih Hujin. Apa yang sudah Hujin berikan kepada juga sangat tak ternilai. Segala perkataan, djuga hadiah dari hujin, amatlah sangat berharga bagi saya. Terima kasih Hujin sudah meluangkan waktu. Terima kasih
banyak Hujin" sambil berkata begitu, Cio San memberi salam hormat.
Ia lalu pulang. Ia pulang dengan hati yang lapang. Karena beban di hatinya sedikit lebih ringan. Karena perkataan Khu Hujin yang sangat membekas di hatinya.
Cio San kini berjalan dengan tenang. Rembulan bersinar dengan terang.
Jalanan kota walaupun sudah mulai sepi, masih terasa hiruk pikuknya. Cio San saat ini, bukanlah Cio San beberapa jam yang lalu. Sepertinya ia telah menemukan semangat tambahan, bagi perjalanan hidupnya yang masih
panjang. Perjalanan hidup manusia, adakah mahkluk apapun di dunia ini yang bisa mengerti"
Langkahnya lebih ringan. Hatinya lebih mantap. Pandangan matanya lebih bersinar. Rembulan, jika dibandingkan dengan sinar mata Cio San saat ini, seharusnya merasa malu menjadi rembulan.
Dan karena matanya ini jugalah, Cio San segera sadar.
Ada sesuatu yang sedang terjadi. Memang telinganya dari tadi sudah paham bahwa ada suatu keramaian di depan sana. Ia masih belum tahu keramaian apa. Ternyata banyak orang sedang menonton "pertunjukan".
Di malam seperti ini, memangnya ada pertunjukan"
Jika ada, itu pasti hanya satu.
Pertunjukan "manusia membinasakan manusia".
Dan ia benar. Sedang ada pertarungan di depan sana.
Namun ini pertarungan yang aneh. Banyak mayat bergelimpangan. Dan
hanya satu orang yang berdiri tegak. Yang membuat aneh adalah, mayatmayat yang bergelimpangan itu. Tak satupun dari mayat itu yang
mengeluarkan darah. Yang mati sudah pasti kalah. Yang menang sudah pasti yang masih hidup.
Dan yang masih hidup ini berdiri dengan tenang. Ia tegak bagai karang.
Orang-orang yang menontonnya pun sepertinya ikut tersihir dengan
ketenangannya. Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara saat ini.
Dia berdiri gagah. Bajunya putih. Di malam yang gelap seperti ini, bajunya seperti
memantulkan cahaya rembulan. Rambutnya merah menguning. Wajahnya
sangat tampan. Saking tampannya sampai-sampai orang-orang mengira ia
bukan manusia. Matanya. Berwarna biru. Walaupun terkesan asing, garis-garis wajah orang Han (orang china asli) masih terlihat jelas dalam raut mukanya yang tampan.
Jika ada orang setampan ini, kalau bukan manusia yang sangat baik.
Pastilah manusia yang sangat jahat.
Ia tidak berkata apa-apa. Hanya berdiri di sana. Tidak mengeluarkan suara apapun. Tidak berkata apapun. Bahkan raut wajahnya pun tidak
mengatakan apa-apa. Kosong. Seperti padang pasir di tengah sunyinya malam. Sepi dan dingin.
Cio San seumur hidupnya baru pertama kali melihat pemandangan seperti ini. Ia tertarik sekali. Sekali pandang ia tahu, semua mayat ini mati karena sebuah tusukan pedang di dahi mereka. Tapi tidak ada darah setetes pun yang mengalir dari luka itu.
Sebuah tusukan pedang. Tidak ada darah. Dan nyawa pun melayang.
Penulis yang paling pandai pun mungkin tidak bisa menggambarkan betapa hebatnya ilmu pedang ini.
Cio San akhirnya memberanikan diri untuk bersuara,
"Tayhiap (pendekar besar) yang terhormat, apakah salah belasan orang ini sampai mereka harus mati?" sambil bicara ia memberi hormat ala kaum
bulim. Orang tampan berbaju putih itu menoleh ke asal suara,
Ia memandangi Cio San. Tatapan mata biasa. Tidak ada yang bisa membaca arti pandangan itu. Memandangi wajah orang itu, seperti memandang
lukisan kosong berupa kertas putih.
Lama baru ia menjawab, "Lima orang yang di sebelah sana, adalah Tionggoan Ngo Koay (5 orang
aneh tionggoan). Mereka pantas mati karena banyak memperkosa
perempuan." Cio San terhenyak. Bukankah mereka itu yang dulu membunuh Kim Coa
(ular emas), sahabatnya. Si Baju putih melanjutkan lagi,
"Yang di dekat kakimu adalah Sie Kow Lam. Yang berjulukan Beruang dari Barat. Pantas mati karena membunuh pejabat Kho An Gan."
Sie Kow Lam, Cio San tidak pernah dengar. Tapi siapa yang tidak kenal Kho An Gan" Pejabat Negara yang dikenal sangat jujur dalam pekerjaannya.
"Enam orang yang mati di sebelah sana, adalah Enam Bersaudara Berbau
Darah. Siapapun tahu mereka pantas mati"
Memang Cio San tahu 6 Bersaudara Berbau Darah sudah sangat dikenal
perbuatan sesatnya. "Dan 3 sisanya adalah 3 orang mantan anggota perguruan Kun Lun Pay
yang kedapatan merencanakan pembunuhan ketua mereka sendiri."
Si Baju putih selesai bicara. Ia tetap menatap Cio San. Tetap tanpa apapun dalam raut wajahnya. Tidak ada kebanggan bahwa ia baru saja membunuh
orang-orang berilmu tinggi yang namanya lumayan ditakuti dalam kalangan Bu Lim.
Membunuh belasan orang-orang hebat ini dengan sebuah tusukan pedang.
Bahkan cerita kuda masuk lubang jarum pun rasa-rasanya jauh lebih masuk akal ketimbang mempercayai ada orang sehebat itu ilmu pedangnya.
"Kau tidak terima?" Ia bertanya. Masih dengan pandangan yang sama.
Cio San tersenyum, lalu berkata, "Semua orang tahu mereka memang
pantas dihukum. Tayhiap beruntung sekali menemukan mereka semua
sekaligus disini. Tapi memang untuk mencari bajingan-bajingan seperti mereka, rumah bordil macam Teng Teng ini adalah tempat yang cocok"
Ada sedikit perubahan di wajah si Baju Putih. Matanya bersinar sekilas. Dan bibirnya sedikit tersenyum. Hanya sedikit. Senyum itu pun hilang secepat datangnya. Tapi Cio San bisa melihat itu dengan jelas.
Wajah si baju putih sudah kembali seperti sedia kala, saat ia berkata,
"Pikiran tuan cukup cerdas. Memang tidak salah dugaan tuan. Aku mengejar Sie Kow Lam sampai ke rumah bordil ini. Tak tahunya secara tidak sengaja bertemu dengan bajingan lain."
"Perkenalkan nama cayhe (saya) Cio San. Bolehkah cayhe mengetahui nama tayhiap yang terhormat?" tanya Cio San sopan sambil memberi hormat.
"Aku tidak suka bersahabat dengan manusia." Jawaban itu datang dengan dingin dan menusuk. Ia berbalik dan berjalan dengan tenang.
Cio San tetap tersenyum, lalu berkata,
"Cayhe mengerti, memang pedang jauh lebih berharga untuk dijadikan
sahabat. Tidak mengenal nama pun tak mengapa. Toh manusia dikenal
karena perbuatannya. Terima kasih untuk kehormatan ini. Cayhe sungguh kagum"
Si baju putih tetap melangkah pergi. Sekali meloncat ia sudah berada diatas rumah Teng Teng. Cio San dan para hadirin yang berada di sana hanya
menatap punggungnya saja. Seumur hidupnya, baru pertama kali ini ia
bertemu orang sehebat ini. Bahkan sikapnya saja sudah setajam pedang, bagaimana pula dengan permainan pedangnya"
Cio San bergidik. Alangkah sialnya orang-orang yang dimusuhi oleh si baju putih ini!
Bab 23 Sebuah Teka Teki Yang Terkuak
Keramaian sudah usai. Menarik sekali ketika sepi kembali datang. Seperti tidak ada satu pun yang terjadi.
Benak Cio San tak henti berpikir. Siapakah pendekar berbaju putih tadi"
Apakah dia yang disebut Pendekar Kelana Hu Liu Hoa" Tapi di lihat dari umurnya, tidak mungkin si Baju Putih itu adalah sang pendekar Hu Liu Hoa.
Si pendekar besar itu menurut kabar sudah cukup sepuh.
Lalu siapa dia" Cio San memutuskan berjalan santai sambil berpikir. Kadang memang
otaknya bekerja lebih baik kalau sedang berjalan-jalan. Lama ia berjalan dan berputar-putar tak tentu arah. Pikirannya tenggelam dalam banyak hal.
Ketika sampai di sebuah gang yang sunyi. Dengan serta merta ia melompat ke atas atap. Gerakannya ini sedemikan cepat, jauh lebih cepat jika kau mengedipkan matamu.
Ia telah berada di atas atap. Dan ia tidak sendirian. Seseorang pun sedang berdiri di hadapannya. Orang yang berdiri di hadapannya ini menggunakan baju hitam-hitam. Wajahnya bertopeng. Tapi dari sinar matanya, ia
sepertinya kaget bahwa Cio San kini berdiri di hadapannya.
"Selamat malam, Yap-heng (kakak Yap)" Cio San memberi hormat.
Orang bertopeng di hadapannya itu lebih kaget lagi.
"Da"dari mana kau tahu namaku?"
"Cayhe banyak berpikir akhir-akhir ini, Yap-heng" jawab Cio San sambil tersenyum. Lanjutnya, "Kau pasti kaget aku tahu rahasiamu bukan?"
Orang yang disebut Yap-Heng itu tidak mampu berkata apa-apa.
Cio San lalu berkata, "Aku tahu sejak beberapa bulan ini ada orang yang terus menguntitku. Pada awalnya aku tak tahu siapa itu. Jadi ku biarkan saja kau mengikutiku sampai saat ini. Setelah kejadian kematian Tionggoan Ngo Koay beberapa saat tadi, aku baru yakin bahwa kaulah yang menguntitku selama ini"
"Ba..ba..bagaimana bisa?" tanya si orang bertopeng.
"Sejak kejadian penghancuran goa dan pembunuhan sahabatku, Kim Coa
(ular emas), kau sebenarnya sudah tertarik kepadaku. Kau tahu aku tidak mati, makanya kau sangat kaget. Bahwa aku mampu menahan pukulan
kalian. Ketika kau tahu aku tidak mati, timbul pikiran dalam otakmu untuk menyelidiki aku lebih lanjut. Maka kau membiarkan aku pingsan.
Selanjutnya kau memberikan aku baju dan uang. Kau melakukan itu bukan untuk menolongku, melainkan karena penasaran terhadap rahasia siapa
sebenarnya aku." "Setelah itu kau menguntitku sampai ke kota ini. Ketika ada 2 orang asing yang menguntitku, kau khawatir bahwa keberadaanku yang penuh rahasia
ini akan bocor ke pihak lain, maka kau membunuh mereka dengan am gi
(senjata rahasia)." "Pada awalnya kupikir mereka adalah anak buahmu, dan kau membunuh
mereka karena takut rahasia mereka bocor. Tapi setelah kupikir-pikir, sebenarnya tidak ada alasan bagimu untuk membunuh mereka jika mereka
memang betul-betul anak buahmu. Justru karena mereka bukan anak
buahmu maka kau membunuh mereka. Karena kau khawatir ada pihak lain
juga yang penasaran dengan keberadaanku."
"Jadi kesimpulanku adalah, ada dua pihak yang mengikutiku. Yang pertama adalah kau. Dan yang kedua adalah pihak petani tua yang memberikanku
sepatu. Mungkin saja ia mengirimkan kabar kepada anak buahnya untuk
menguntitku. Lalu karena khawatir saingan, kau lalu membunuh mereka"
Si orang bertopeng lalu mencopot topengnya. Dan berkata,
"Memang sungguh aku kagum kepada kecerdasanmu, Cio San. Di dunia ini
belum pernah ketemui orang secerdas kau. Tak ada guna lagi aku memakai topeng ini".
Ia lalu bertanya, "Lalu bagaimana kau sampai tahu bahwa aku Yap-heng
yang kau duga tadi?"
"Awalnya aku tidak tahu. Aku selama ini membiarkan jendela kamarku
terbuka pada saat tidur, sebenarnya untuk memancingmu untuk melakukan sesuatu. Tapi kau tidak melakukan apapun. Berarti mungkin selama ini, kau masih penasaran siapa sebenarnya aku. Lalu sejak kejadian pertarunganku dengan pasangan suami-istri iblis itu, kau lalu tahu siapa aku. Dari namaku saja, kau tahu bahwa aku adalah buronan yang dituduh membawa kabur
kitab silat sakti." "Aku sebenarnya menunggu-nunggu tindakan apa yang kau lakukan. Tapi
kau tidak bertindak. Bisa kau jelaskan kenapa?" tanya Cio San
"Bagaimana mungkin aku bertindak saat banyak mata-mata Khu Hujin yang tersebar di sana" Tidak hanya orang-orang Khu Hujin yang berada di sana, tapi juga banyak dari pihak-pihak lain juga. Melakukan sesuatu malah akan membocorkan identitasmu. Itu malah akan merupakan suatu kerugian
bagiku, jika ada orang lain yang tahu identitasmu yang sebenarnya. Oleh karena itu aku menunggu saat yang tepat. Cio San, sebenarnya aku masih bingung bagaimana kau bisa tahu identitasku?" tanya Yap-heng.
"Ketika orang yang berbaju putih tadi membunuh Tioanggoan Ngo Koay.
Aku baru tersadar bahwa mereka sebenarnya 6 orang, bukan 5. Jika mereka dalam bahaya, kau seharusnya turun tangan membokong musuh mereka.
Tapi tadi kulihat tidak ada mayatmu. Jika kau bersembunyi pun, aku tahu si baju putih tadi pasti akan tahu dan menemukanmu. Jadi ku pikir, pasti kau berada di suatu tempat. Sedang melakukan sesuatu yang jauh lebih penting ketimbang menjadi bayangan Ngo Koay. Jika dihubungkan dengan kejadian saat peledakan goa, maka masuk akal lah, bahwa selama ini kau lah
yang menguntitku." "Selama ini aku pun selalu mengawasimu. Mengingat-ingat gerakanmu.
Menghafalkan dengan benar langkah kakimu. Walaupun harus ku akui
langkah kakimu sangat ringan dan tak terdengar. Untunglah kupingku masih bekerja dengan baik."
"Kau,,,bisa membedakan langkah kaki orang?" Yap heng bertanya dengan
terbata-bata "Sekali tahu, tidak pernah lupa" jawab Cio San sambil tersenyum. Lalu ia menambahkan,
"Aku pun bisa tahu, bahwa begitu kau tahu bahwa Tionggoan Ngo Koay
sudah mati, konsentrasimu sedikit terganggu. Langkah mu menjadi sedikit berat. Desahan nafasmu pun mulai berbeda. Kau tahu saat aku berjalan-jalan tadi, aku memperhatikan bahwa kau tidak bisa memusatkan
perhatianmu kepadaku, sehingga jarak antara kita menjadi sangat dekat.
Aku bisa "mendengar" apa yang terjadi denganmu. Mungkin kau bingung
antara mengurusi jenazah kawanmu 5 orang itu, atau terus mengikutiku.
Karena aku yakin, kau sebenarnya ingin melakukan sesuatu malam ini
terhadapku " Kata Yap-Heng, "Di dunia ini belum pernah kutemui orang yang lebih
menakutkan daripada engkau, Cio San. Sekarang, apa yang akan kau
lakukan kepadaku" Lari pun aku tak mampu, apalagi melawanmu" katanya
pasrah "Kau boleh pergi" kata Cio San dengan ringan
"Apa?" Yap heng sudah mulai tidak percaya dengan telinganya
"Ya. Kau boleh pergi. Ketahuilah aku tidak membawa lari kitab apapun.
Semua ilmu yang kupunyai, kebanyakan kupelajari dari Kim Coa (ular
emas). Oleh karena itu, tidak ada satupun yang bisa kau ambil atau minta dariku. Aku pun tak akan membalaskan dendam kematian Kim Coa, karena
bagiku kematian seseorang sudah ditakdirkan. Keadilan sudah datang
dengan matinya kelima sahabatmu itu."
"Maka pergilah, aku tidak mempersoalkan apa-apa. Tapi jika kau
menggangguku, atau mengganggu orang-orang di Lai-Lai. Aku mempunyai
kemampuan yang sangat menakutkan. Aku akan mencarimu."
"Baiklah" kata Yap-Heng. "Kemurahan hatimu akan kuingat terus.
Ampunanmu ini tidak akan terlupakan. Selamat tinggal Cio San" Yap-heng bersoja (memberi hormat ala kaum Bu Lim) lalu ia pun menghilang dari
hadapan Cio San. Entahlah apa yang ada di benak Yap-heng. Mungkin saja ia berfikir,
"Alangkah sialnya orang yang dimusuhi oleh Cio San!"
Bab 24 Lima Pedang Butongpay
Keesokan paginya, Lai Lai ramai oleh orang-orang yang membicarakan
kejadian di rumah Teng Teng semalam. Kalangan Bu Lim tidak ada satu pun yang pernah mendengar nama, atau mengetahui asal usul si Baju Putih itu.
Ilmu silatnya asing. Gerakannya aneh. Tindak tanduknya pun tidak kalah aneh. Mereka yang beruntung menyaksikan kejadian semalam, seperti
menjadi orang terkenal karena banyak orang yang mencari mereka untuk
meminta cerita yang jelas.
Sejak pagi itu munculah julukan baru: Dewa Pedang Berambut Merah, Ang Hoat Kiam Sian
Ang Hoat Kiam Sian. Nama yang indah, tapi terasa menakutkan.
Cio San tersenyum-senyum sendiri mendengar tamu-tamu di Lai Lai mulai membicarakan si Dewa Pedang ini. Banyak dari cerita itu yang dilebih-lebihkan. Malah semakin menambah rasa penasaran orang yang
mendengarkan. Kwee Mey Lan tak urung juga penasaran mencuri-curi dengar cerita ini.
Memang kehadiran si Dewa Pedang yang amat sangat tampan, tidak hanya
membuat kaum bu lim heboh. Bahkan orang paham yang tidak mengerti
silat pun ikut tertarik membicarakannya.
Kebanyakan membanding-bandingkan si Dewa Pedang ini dengan Beng
Liong, Ji Hau Leng sang ketua Kay Pang, dan pendekar yang baru muncul juga belakangan ini, Cio San!
Cio San tertawa dalam hati. Kini namanya sudah disejajarkan dengan orang-orang itu" Tidak dapat dipercaya.
"Beng Liong lebih tampan" kata salah seorang
"Ang Hoat Kiam Sian lebih tampan!" kata yang salah seorang lagi
"Kay Pang Pang cu (ketua Kay Pang) Ji Hau Leng lebih gagah!"
"Kira-kira apa julukan orang kepadaku ya?" batin Cio San dalam hati. Ia tidak berani berfikir aneh-aneh khwatir dianggap sinting karena tertawa sendirian.
"Eh meymey (adik) apakah kau dengar cerita-cerita para tamu?"
"Iya aku dengar San-ko (kakak San), menarik sekali orang yang berjulukan Ang Hoat Kiam Sian itu ya" sahut Mey Lan
"Sebenarnya semalam aku menyaksikan juga. Cuma tidak sampai melihat
saat ia bertarung. Saat aku datang, semua musuhnya sudah mati." Kisah Cio San
"Benarkah dia sehebat itu?"
"Hebat sih aku tidak tau meymey, tapi kalau tampan sekali, memang benar.
Seumur hidup aku setahuku yang paling tampan adalah pendekar Butong
Beng Liong, yang beberapa hari lalu ke sini itu, meymey. Tapi ketampanan si Dewa pedang ini agak aneh. Mungkin dia bukan keturunan Han (orang
china) asli." "Jadi menurut San-ko, lebih tampan si Dewa Pedang itu daripada Butong enghiong Beng Liong?" tanya Mey Lan lagi.
"Menurutku mereka sama tampannya. Cuma masing-masing punya ciri khas
yang berbeda. Kalo Butong enghiong Beng Liong tampannya itu tampan
yang membuat hati tentram. Melihat wajahnya orang pasti langsung kagum dan merasa nyaman. Tapi melihat wajah si Dewa Pedang, orang
malah kagum dan takut"
"Kalau dibandingkan dengan enghiong Cio San yang juga sempat bikin
kehebohan di sini itu?"
"Ah kalau dia, tidak setampan mereka lah. Kau tidak pernah bertemu dia ya" Bukankah pada saat dia beraksi di Lai Lai, meymey sedang pergi
mencari keluarga wanita yang meninggal itu?"
"Iya San-ko. Tapi dari yang kudengar dari orang-orang, pendekar Cio San ini pun tidak kalah tampan dengan Butong enghiong Beng Liong"
"Kalau tampan sih masih jauh dari Beng Liong, hahahaha. Tapi entahlah Meymey. Aku tidak pernah memperhatikan ketampanan seorang lelaki. Apa kau pikir aku ini penyuka sesame jenis" Hahahaha"
Mereka berdua bercanda dan tertawa sambil bekerja.
Jika dua orang saling mencinta, dan juga melakukan pekerjaan yang sama, bukankah sungguh menyenangkan"
Lai Lai hari itu sangat ramai. Semua tamu membahas kemunculan si Dewa Pedang yang menghebohkan. Beberapa pendekar ternama bahkan ada yang
sempat mampir ke Lai Lai hanya untuk mendengarkan cerita tentang si
Dewa Pedang ini. Lai lai memang kini sudah menjadi "tempat berkumpul
tidak resmi" bagi kalangan Bu-Lim.
Cio San tidak mengenal beberapa orang ini. Tapi dari langkah mereka yang sangat ringan, dari wibawa yang terpancar di wajah mereka, serta sikap orang-orang Bu Lim yang sangat menghormati mereka, bisa disimpulkan
mereka ini memang pesilat dan tokoh tersohor.
Ketika masuk tengah hari, datanglah 5 orang berpakaian putih dengan jubah hitam tipis. Di punggung mereka tersandang pedang. Karena Lai lai ramai sekali, mereka terpaksa berdiri menunggu. Cio San yang kala itu sedang membantu pelayan membereskan piring bekas makan di atas meja tamu,
langsung mengenal mereka.
Mereka adalah bagian dari 15 Naga Muda Butongpay. Kelima orang ini,
seingat Cio San, adalah bagian 15 Naga Muda yang mempunyai kekhususan belajar ilmu Pedang Butong. Bakat mereka memang berada di situ. Entah karena tertarik dengan kejadian Ang Hoat Kiam Sian (Dewa Pedang


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berambut Merah), ataukah hanya karena kebetulan mereka berada di kota ini.
Ingin Cio San menyapa mereka. Karena walau bagaimanapun, mereka
pernah bersama-sama hidup di Butongsan. Bahkan pernah menjadi saudara seperguruan. Walaupun dulu perlakuan mereka kepada Cio San kurang
mengenakkan. Tidak ada dendam sedikit pun di hati Cio San.
Cio San bahkan masih ingat nama-nama mereka. Yang pertama adalah Gak
Siauw Hong. Orangnya berperawakan sedikit kecil. Namun lincah. Cocok
sekali dengan namanya, Siauw Hong yang artinya burung phoenix kecil.
Seingat Cio San, Gak Siauw Hong berkelakukan baik terhadapnya. Walaupun tidak terlalu akrab, setidaknya Siauw Hong dulu tidak pernah
mengganggunya. Yang kedua adalah Sengkoan Pit. Orang ini sudah bertubuh besar sejak
dulu. Sikapnya garang, berangasan, dan tidak sabaran. Dulu waktu di
Butongsan, Sengkoan Pit ini termasuk salah seorang yang suka
meremehkan Cio San. Kadang-kadang ia menantang Pi-Bu (latih tanding)
Cio San hanya untuk menghajar Cio San saja. Dalam hati Cio San penasaran sekali apakah kelakuan Sengkoan Pit ini masih seperti dulu, ataukah sudah berubah"
Pendekar Butong ketiga adalah Lau Han Po. Walaupun sama-sama bermarga Lau, Han Po ini tidak ada hubungan dengan Lau-Ciangbunjin, sang ketua Butongpay. Lau Han Po juga berbadan tegap seperti Sengkoan Pit. Tapi jauh lebih pendiam. Cuma saja, sekali buka mulut pasti ucapannya tidak
mengenakkan. Cio San sering dicercanya sebagai anggota naga muda yang
"tidak becus". Saat di Butongsan dulu, memang setahu Cio San dia ini salah satu yang paling berbakat dalam ilmu pedang.
Kho Kam Sing adalah yang keempat. Dia ini berkulit kecoklatan. Lahir dari keluarga nelayan, sejak kecil sudah ikut ayahnya melaut. Sinat matanya mencorong, tapi terlihat tulus. Kadang-kadang dia suka menyapa Cio San juga dulu. Tapi mereka tidak pernah akrab karena Kam Sing ini sibuk
berlatih sendiri. Memang terkadang Cio San merasa kehidupan di Butongsan itu lumayan berat juga bagi 15 Naga Muda. Harapan terhadap mereka
terlalu besar, sehingga tekanan untuk menjadi yang terbaik, membuat
kadang mereka saling bersaing sendiri-sendiri.
Yang kelima, adalah salah satu yang paling muda dalam 15 Naga Muda.
Biarpun termasuk yang muda, tubuhnya tinggi dan kurus. Orang-orang di Butongsan memanggilnya si Pohon Bambu. Dia senang-senang saja.
Pemuda yang bernama Lu Ting Peng memang bersifat riang gembira. Ia
hampir selalu tersenyum. Tapi biarpun riang gembira, Ting Peng ini selalu serius dalam belajar silat juga. Cio San ingat mereka memang tidak terlalu akrab juga. Ting Peng ini selalu berkumpul dengan sekelompok murid-murid tertentu. Sehingga jarang bertegur sapa dengan Cio San. Apalagi
sekelompok murid itu memang tidak suka padanya.
Kelima orang ini menunggu lumayan lama sampai ada pelanggan yang
selesai makan dan pergi dari Lai Lai. Pelayan kemudian membersihkan meja dan mempersilahkan mereka duduk. Setelah memesan makanan dan
minuman, mereka duduk diam saja dan tidak mengobrolkan apa-apa.
Cio San memutuskan untuk memasak sendiri pesanan mereka. Karena
sudah sejak lama Cio San tidak turun tangan langsung memasak jika tidak benar-benar diperlukan. Sudah ada banyak tukang masak di Lai Lai dan Cio San memang berencana untuk mendidik mereka sampai mahir.
Pesanan makanan 15 Naga Muda Butongpay ini adalah masakan yang sering mereka makan di Butongsan. Mengetahui apa pesanan mereka membuat Cio
San tersenyum. Dalam hati ia memutuskan untuk membuat masakan ini
seenak mungkin. Memang butuh waktu sedikit lebih lama. Tapi hasilnya
pasti mencengangkan. Dan benar saja. Suapan pertama membuat mata kelima orang itu berbinar binar.
"Benar kata Liong-ko. Masakan disini enak sekali." Kata Lu Ting Peng.
Yang lain mengangguk-angguk.
Benar dugaan Cio San. Pasti Beng Liong yang menceritakan restoran ini kepada orang-orang di Butongsan. Ia lalu ke ruang depan, dan
memberanikan diri menyapa mereka,
"Selamat siang tuan-tuan, nama saya A San, saya adalah koki disini. Boleh saya tahu pendapat tuan-tuan tentang masakan kami?"
"Hmmm"enak sekali A San. Masakanmu sungguh hebat" Gak Siauw Hong
memuji. Yang lain ikut manggut-manggut.
"Ah baiklah kalau begitu. Terima kasih banyak tuan-tuan. Eh kalau boleh tahu tuan tuan ini berasal dari mana?" tanya Cio San lagi.
"Kami adalah Butongpay Ngo Kiam (5 Pedang Butongpay)" kali ini Lu Ting Peng yang menjawab.
"Butongpay" Wah jadi tuan-tuan ini adalah para enghiong dari Butongpay"
Sebuah kehormatan bagi Lai lai bahwa para enghiong sudi mampir
kemari" Ia lalu bersoja, sambil melanjutkan, "Beberapa waktu yang lalu Butong enghiong Beng Liong juga mampir kemari. Serta ada beberapa murid Butongpay yang datang juga, sayang saya tidak sempat berkenalan dengan mereka"
"Iya kami tahu. Bahkan Beng Liong-ko sendiri yang menceritakan tentang restoran ini kepada kami. Dan ceritanya memang tidak salah. Tempat ini nyaman. Masakannya sangat enak. Dan tentunya ramai"
Yang dimaksud dengan ramai tentunya, ramai oleh orang Kang-ouw. Dari
sini berkembang berbagai cerita dan kabar yang berkembang di dunia Kangouw. Itulah kenapa banyak orang Bu Lim rajin kesini. Mereka tidak ingin tertinggal berita.
Cio San meminta diri. Dari obrolan singkat dia bisa melihat bahwa kelima orang ini sifatnya masih belum begitu berubah. Ia hanya ingin tahu saja. Tidak ada maksud sedikit pun untuk membalas perlakuan mereka. Bahkan jika bisa, ia malah ingin memperkenalkan siapa ia sebenarnya. Memeluk hangat mereka dan
bertanya tentang kabar perguruan.
Kadang-kadang kerinduan bisa membuat orang lupa akan sakit hatinya.
Mengalami berbagai hal semacam ini kadang membuat Cio San berfikir
harus ia mulai dari mana langkah-langkahnya. Apakah dia harus tetap diam di Lai Lai, ataukah memulai petualangan menyelediki segala kejadian.
Meninggalkan Lai lai sungguh berat, karena terus terang dia berat
meninggalkan Mey Lan. Tapi ada banyak pertanyaan yang harus segera
dicari jawabannya, dan tak mungkin bisa ditemukan dengan hanya duduk
menunggu di Lai-Lai. Ia harus melakukan sesuatu.
Laki-laki memang jika sudah menemukan tambatan hati, terkadang susah
untuk melakukan banyak hal. Bahkan impiannya sendiri ia lupakan jika
sudah bertemu dengan wanita yang disukainya. Ini berbeda dengan
perempuan. Mereka lebih suka meninggalkan cintanya demi impiannya.
Cerita begini siapapun mengalami tapi jarang ada yang menyadari.
Menyadari pun sudah terlambat.
Cio San memang tidak menyadari ini. Tapi ia sendiri berfikir menggunakan otaknya. Tidak mengikuti dorongan hatinya belaka. Oleh sebab itu ia
memutuskan untuk mengambil pilihan kedua. Pergi dari Lai Lai. Entah
bagaimana ia menjelaskan ini kepada Mey Lan dan ayahnya. Tapi sejak awal dia memang tidak berniat untuk menetap di sana. Sebab itulah mengapa ia
"menularkan" semua ilmu masaknya kepada koki-koki yang lain.
Ia merasa semua tugasnya telah selesai di Lai lai. Ia telah membuat Lai lai mampu berdiri tegak. Bahkan juga mendapatkan sedikit nama. Di sana ia telah mendapat banyak kabar perkembangan dunia Kang Ouw. Sekarang
yang perlu ia lakukan adalah bertindak.
Entah dari mana memulai. Harus ada langkah yang diambil.
Maka malam itu, Cio San sudah membereskan beberapa barang-barangnya.
Beberapa helai baju. Dan juga baju yang dipakainya saat menjadi "Cio San"
yang sebenarnya. Baju itu ia simpan baik-baik di tempat tersembunyi. Kini semua miliknya telah rapih tersimpan di dalam buntalan kecilnya. Uang tabungan hasil bekerjanya selama ini pun telah ia masukkan ke dalam
kantong khusus. Sebagian ia sisakan untuk ia berikan kepada Mey Lan, dan beberapa pelayan.
Kwee Lai, si pemilik restoran sedang menghitung-hitung pemasukan di meja kerjanya. Walaupun restoran sudah tutup dari tadi. Pekerjaan memang tidak serta merta selesai. Begitu melihat Cio San datang, segera Kwee Lai
tersenyum dan berkata, "Hey, A San, pemasukan hari ini sungguh bagus. Ini sampai sekarang belum selesai ku hitung"
Sambil tersenyum Cio San berkata, "Syukurlah tuan. Koki-koki yang
sekarang masakannya sudah sangat lezat. Saya saja yang mengajarai
mereka malah terkagum-kagum"
"Eh,..duduklah. Kenapa kau masih seperti dulu" Terlalu sopan dan terlalu sungkan. Kalau dipikir-pikir seharusnya aku yang sopan dan sungkan
terhadapmu. Ayo duduklah"
Cio San kemudian duduk dengan sopan. Ia memang orang yang sopan.
Kepada siapa saja ia sopan. Melihat Cio San duduk saja dan lama tak
berkata apa-apa, akhirnya Kwee Lai bertanya, "Ada apa A San" Ada yang ingin kau sampaikan?"
Meskipun agak ragu, Cio San akhirnya berani berkata,
"Tuan Kwee, sebenarnya saya sungkan mengatakan ini, tapi saya masih ada beberapa urusan yang harus saya selesaikan. Sehingga dengan berat hati saya harus meninggalkan Lai Lai"
Kwee Lai biarpun tidak kaget, setidaknya ya berubah juga raut wajahnya.
"Sebenarnya aku sudah paham sejak awal bahwa suatu hari kau akan pergi.
Tapi, apakah keputusanmu itu sudah kau bicarakan dengan Mey Lan?" tanya Kwee Lai
Belum sempat Cio San bilang "belum", Mey Lan sudah menghambur dari
belakang, "Koko, apa maksudmu bilang begitu?"
Cio San tersenyum. Sejak dulu dia sudah tahu. Cara menghadapi wanita
yang sedang marah adalah dengan diam. Mey Lan memang sedang marah.
Tidak ada perempuan yang bahagia jika akan ditinggal pergi lelakinya.
"Koko mau pergi kemana?" Dahi dan alis matanya merengut. Jika ada
perempuan memandangmu seperti itu, lebih baik segera lari atau minta
ampun. Tapi Cio San tidak melakukannya.
"Meymey duduk dululah. Mari kita bicarakan" katanya.
"Kalau aku tadi tidak kebetulan mendengar percakapan kau dan ayah,
apakah kau akan mengajakku duduk dan bicara baik-baik" tanya Mey Lan
masih dengan raut muka yang sama. Tapi dia sudah duduk.
Selain tersenyum, cara apa lagi yang bisa kau lakukan menghadapi
perempuan yang sedang marah"
"Meymey, aku memang ingin membicarakannya dengan dirimu. Tapi
bukankah aku disini bekerja sebagai pegawai tuan Kwee" Bukankah sudah seharusnya aku membicarakan dulu dengan beliau" Kata orang bijak
seharusnya kita mengutamakan urusan pekerjaan dulu baru urusan pribadi.
Meymey bisa mengerti?"
Meminta perempuan mengerti sesuatu, rasanya seperti minta harimau
menjadi domba. "Tapi bukankah kepergianmu ini karena urusan pribadi, San-ko" Jangan
menggunakan alasan pekerjaan. Jika kau memang mau meninggalkan kami.
Ya pergi saja. Tidak usah pakai alasan macam-macam" kata Mey Lan ketus sambil membanting kaki.
Melihat Cio San tidak berkata apa-apa, Mey lan malah tambah merajuk,
"Ya sudah kalau mau pergi ya pergi saja"
Ia lalu berdiri dari duduknya dan menuju kamarnya. Terdengar suara
bantingan pintu. Cio San dan Kwee Lai hanya bisa saling bertatapan. Lalu Kwee Lai berkata,
"Biarkan dulu saja. Ia mungkin sedang marah karena mendengar kau akan pergi. Jika marahnya sudah reda, ajak dia bicara baik-baik. Eh kapan kau akan pergi A San?"
"Paling lambat besok siang tuan. Saya mungkin akan membantu dulu
pekerjaan besok. Jika sudah selesai, baru saya akan berangkat" jawabnya
"Ah tidak perlulah kau mengerjakan tetek bengek dapur. Cukup perhatikan saja segala keperluanmu, A San. Eh apakah sangu mu sudah cukup?"
Sambil berkata begitu ia merogoh uang dari laci.
"Tabungan saya cukup banyak tuan"
"Ah sudahlah ambil ini sebagai tambahan. Dan jangan membantah. Haha, ku tau kau pasti menolak A San. Terimalah. Sekedar rasa terima kasihku atas segala yang kau lakukan di sini selama ini."
Jika orang sudah memaksa, maka tak enak rasanya menolak. Cio San
menerima uang itu. Jumlahnya sangat banyak. Entah mau dia apakan uang itu.
Dengan sopan ia lalu meminta diri. Cio San sebenarnya ingin berbicara dengan Mey Lan saat itu, tapi akhirnya memutuskan untuk menemui Mey
Lan besok paginya saja. Bab 25 Perpisahan dan Perjalanan
Keesokan paginya, seperti dugaan Cio San, Mey Lan tidak mau berbicara padanya. Menoleh saja segan. Saat Cio San menyapa atau berkata sesuatu padanya, Mey Lan hanya menjawab dengan "Ehm", "Tidak tahu", atau
"Mungkin". Sampai tengah hari susananya pun masih seperti itu. Karena telah tiba waktunya, Cio San akhirnya berpamitan dengan seluruh "penghuni" Lai Lai, kecuali Mey Lan tentunya. Ia lebih memilih berdiam di kamar.
Koki dan pelayan-pelayan merasa sedih sekali saat Cio San berpamitan.
Selama ini Cio San selalu bersikap baik dan sopan pada mereka. Padahal kalau dihitung-hitung, ia adalah orang "kedua" di Lai Lai setelah Kwee Lai.
Bahkan saat Cio San memberikan mereka uang pun mereka beramai-ramai
menolaknya dan mengatakan Cio San lebih memerlukannya. Dengan berat
hati Cio San akhirnya menyimpan kembali uang yang sudah disiapkannya
itu. Setelah berpamitan dengan Kwee Lai, Cio San akhirnya menuju ke kamar
Mey Lan. Pintu kamarnya tertutup. Cio San mengetuknya.
"Meymey"meymey?" panggilnya halus sambil mengetuk
Tidak ada jawaban. Tapi dari pendengarannya yang tajam, Cio San tahu Mey Lan sedang menangis.
"Meymey bukakan pintunya" masih dengan nada yang halus.
Lama sekali Cio San mengetuk, sampai akhirnya ia menyerah dan berkata.
"Meymey, maafkan aku harus pergi ya. Aku akan kembali lagi untukmu.
Semoga pada saat itu, aku tidak akan pergi lagi" Ia menghela nafas dan akhirnya pergi.
Laki laki kebanyakan menghela nafas. Perempuan kebanyakan meneteskan
air mata. Jika pihak lelaki dan perempuan bisa saling mengerti, tentunya tidak akan banyak lelaki yang menghela nafas, dan perempuan yang
menangis. Laki-laki yang menghela nafas seperti ini, sebenarnya juga menangis dalam hati. Jika kau ingin menangis sedangkan engkau tidak bisa, bukankah itu sebuah penderitaan yang besar". Sayangnya banyak perempuan yang tidak tahu. Mereka pikir lelaki berhati kejam dan tak berperasaan. Padahal
sesungguhnya lelaki lebih sering menangis daripada perempuan. Hanya saja yang menangis adalah hati mereka, dan bukan mata mereka.
Dan tak jarang juga perempuan menangis hanya di mata mereka dan bukan di hati mereka. Jika ada perempuan yang menangisi laki-laki dari hatinya, maka laki-laki itu adalah laki-laki yang beruntung. Karena jarang sekali perempuan menangis untuk lelaki. Biasanya mereka menangis untuk diri
mereka sendiri. Hujan turun. Masih rerintikan. Angin dingin menyapa kalbu.
Duhai siapa gerangan yang mampu menenangkan hati yang tersayat cinta"
Seandainya hujan bukanlah air, melainkan pedang
Tentulah tidak banyak kesedihan di muka bumi ini.
Seandainya yang bersinar bukanlah matahari, melainkan mata hati
Tentulah hanya kebahagiaan yang merona di seluruh penjuru langit.
Tapi langit berwarna biru bukan"
Itu menandakan kesedihannya
Langit tak pernah bening,
Seperti air yang tulus Seperti kaca yang tanpa rahasia
Langit selalu sedih, Memandang begitu banyak luka hati manusia
Dan Cio San pun melangkah. Langkah kakinya ringan. Tapi hatinya berat.
Meninggalkan orang yang dikasihinya.
"Jika perpisahan seberat ini, tentulah banyak orang yang tak ingin ada pertemuan. Bukankah akhir dari pertemuan selalu adalah perpisahan?"
Ia baru beberapa langkah dari pintu depan Lai lai. Ketika sebuah suara memanggil,
"San-ko, San-ko".."
Tanpa menoleh pun ia sudah tahu itu adalah suara Mey Lan.
Mey Lan berlari. Hujan yang mengguyurnya seperti memberi limpahan
airmata baru padanya. "Benarkah kau berjanji untuk kembali kepadaku" Suatu saat nanti?"
tanyanya. Pandangan matanya. Laki-laki mana yang sanggup menatap
pandangan seperti itu. "Aku berjanji Kwee Mey Lan. Aku akan kembali untukmu. Entah kapan. Tapi demi Tuhan aku berjanji untuk kembali. Mau kah kau menungguku?"
Pendekar Elang Salju 11 Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja Pusaka Negeri Tayli 7

Cari Blog Ini