Ceritasilat Novel Online

Kisah Para Penggetar Langit 6

Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie Bagian 6


Tak ada jawaban. Tak perlu ada jawaban. Pandangan mata itu telah
menjawab semuanya. Mereka berpegangan tangan. Seperti merasa mereka tak akan bertemu
kembali. Di dunia ini, cerita apa yang lebih menyedihkan selain perpisahan dua orang kekasih"
Tapi sesedih apapun Cio San, ia kini lebih bersemangat. Kekasihnya
menunggu kepulangannya. Dunia menanti kedatangannya. Laki-laki cukup
mempunyai dua hal ini saja sudah membuat dirinya merasa sebagai
penguasa dunia. Ia tak tahu kemana ia akan pergi. Tapi ia tahu, perjalanannya tak akan sia-sia. Maka ia melangkah saja. Entah kemana. Kemudian ia teringat dengan Khu Hujin. Pastinya sekarang beliau telah kembali ke kediamannya di kota Wang An. Kota itu hanya berjarak sekitar 1-2 hari dari sini. Karena tak tahu hendak kemana, Cio San memutuskan pergi saja ke kota Wang An. Memang
pada awalnya ia ingin kembali ke desa kakeknya. Berhubung arah daerah itu sama dengan arah kota Wang An, maka Cio San memilih untuk ke kota
Wang An saja dulu. Dari tengah hari ia berjalan sampai gelap. Berhenti hanya untuk beristirahat dan makan. Ia membawa sedikit alat masak. Sedangkan bahan-bahan
memasaknya ia kumpulkan di sepanjang perjalanan. Kota Liu Ya yang ramai ini ternyata ramai sampai ke pelosok-pelosoknya. Tapi jika di pusat kota ramai karena orang berniaga, di bagian pelosok ramai oleh perkebunan dan pertanian.
Ia sangat menikmati perjalanan ini. Orang-orang yang ia temui di sepanjang jalan juga ramah-ramah. Jika kehidupan biasa bisa setenang ini, kenapa banyak orang ikut ramai ke dalam dunia Kang Ouw" Barangkali karena
tantangan. Manusia memang banyak menyukai tantangan. Bisa juga karena kemasyhuran. Bisa juga karena uang.
Hari sudah sangat gelap ketika Cio San memasuki hutan. Ia tidak
memerlukan penerangan karena matanya sudah sangat terlatih melihat di dalam gelap. Sayup sayup terdengar suara pedang. Sedang ada orang yang berkelahi rupanya.
Sekali lentingan saja Cio San sudah "terbang" jauh sekali.
Langkahnya terhenti ketika ia melihat ada pertempuran berpuluh-puluh
tombak di hadapannya. Sekali pandang ia sudah tahu kalau itu adalah
Butongpay Ngo Kiam (5 pedang Butongpay). Siapa lawan mereka ia tidak
kenal. Seorang tua yang berperawakan tinggi besar dengan rambut putih awut-awutan.
Cio San melompat dan hinggap di atas sebuah dahan yang amat tinggi. Ia memutuskan untuk "menjadi" Cio San yang asli. Topengnya dibuka. Bajunya pun telah berganti dengan baju ringkas andalannya. Tapi ia tidak melakukan apa-apa. Hanya menonton perkelahian itu saja.
Perkelahian itu bukan sembarang perkelahian. Kelima anggota Butongpay yang masih sangat muda itu amat sangat dahsyat ilmu pedangnya. Mau
tidak mau Cio San harus kagum. Serangan demi serangan mengalir hebat.
Sepertinya kelima orang ini sudah menjadi satu jiwa dan satu tubuh.
Seakan-akan mereka dilahirkan dengan tangan, kaki, pikiran, dan hati yang sama.
Cahaya pedang menyambar-nyambar. Inilah ilmu pedang Butongpay yang
menggetarkan dunia itu, Tarian Pedang Butongopay. Thio Sm Hong
menciptakannya sebelum ia menciptakan Thay Kek Kun. Namun dasar-dasar dan unsur Thay Kek Kun sudah terlihat di situ.
Gerakannya lembut namun cepat. Mengalir bagai air, tapi menghujam bagai ombak menghantam karang. Cahaya cahaya pedang ini sangat rapat
sehingga hujan pun belum tentu menembus cahaya itu.
Tapi yang lebih membuat Cio San kagum adalah lawan mereka. Orang yang bertubuh kekar itu dengan gagah menantang hujan pedang. Senjatanya
adalah sebuah tombak yang bermatakan golok. Tangkai tombaknya yang
berwarna emas menimbulkan suara mender-deru ketika ia memutarmutarkannya untuk menghalau serangan pedang.
Tubuh orang itu sudah terluka di sana-sini. Cio San memperkirakan
setidaknya mereka telah bertanding ratusan jurus. Tapi tenaga dan
kekuatan serangannya masih tetap dahsyat. Jika bertarung satu lawan satu, Butongpay Ngo Kiam pastilah bukan tandingannya. Tapi sejak awal,
Butongpay Ngo Kiam adalah Butongpay Ngo Kiam. Melawan satu orang atau melawan ribuan orang, mereka tetap berlima.
Bayangan pedang seperti hujan. Kibasan tombak golok seperti angin puyuh.
Siapa saja yang berdiri dekat-dekat pertempuran itu setidaknya akan lecet-lecet terkena anginnya saja.
Lima pedang Butongpay memang tidak malu menyandang nama itu.
Gerakan mereka yang lincah dan halus berganti-gantian bagai gelombang.
Satu pedang mengincar leher. Yang satu mengincar dada, yang satu
mengincar perut, yang satu mengincar paha, dan yang satu lagi mengincar betis.
Sang lawan dengan berani menerima serangan itu. Ia memutar tombaknya
di depan dada dengan kedua tangannya. Terdengar suara bagai angin
puyuh. Traaaannnnng! Serangan pedang buyar. Namun si pemilik tombak golok pun terjengkang ke belakang. Dengan satu kali gerakan memutar ia telah memunahkan
serangan 5 pedang Butongpay. Tapi tak urung gerakan itu menghabiskan
banyak tenaga. Ia memang memilih melakukan adu tenaga ketimbang
menghindari serangan-serangan dahsyat itu.
Itu karena ia sendiri yakin akan lwee-kang (tenaga dalam) nya. Hasil yang didapatkannya setelah latihan puluhan tahun, dan meminum berbagai
macam ramuan-ramuan. Tapi sudah jelas 5 pedang Butongpay ini bukan
pendekar sembarangan. Walaupun masih muda usianya, tenaga dalam
mereka adalah tenaga dalam pesilat kelas satu.
Melihat lawan mereka terjengkang ke belakang, serta merta tubuh mereka melenting juga ke depan. Kini mereka berbaris dalam satu barisan. Yang di belakang meletakkan tangan ke punggung yang di depannya. Begitu
seterusnya sampai yang paling depan merasa ada tambahan ribuan energy yang memasuki tubuhnya. Begitu merasa saluran dan dorongan tenaga yang dahsyat ini, Gak Siauw Hong yang merupakan orang paling depan di barisan itu langsung melesat ke depan bagai anak panah! Tidak ada tubuh yang
kelihatan. Hanya terlihat bayangan pedangnya saja. Itu pun bagaikan kilat.
Ujung pedang sudah terhunus. Tubuhnya bagai terbang dan kini telah
sejajar dengan tanah. Lawan di depannya sudah seperti kehabisan tenaga.
Tapi dengan sisa semangat dan tenaga dalamnya yang paling akhir, sang lawan ini melenting ke samping.
Baru sekali ini jurus Panah Pedang dari Butongpay luput. Dari beratus kali pertarungan, inilah kalinya yang pertama.
Tak urung mereka kagum juga. Dengan jarak yang sesempit itu, dan waktu yang singkat sepersekian detik, lawan mereka sanggup menghindari
serangan sedahsyat itu. Mereka memang hebat dan sakti. Tapi bicara
tentang pengalaman bertarung, lawan di depannya ini punya pengalaman
bertarung ratusan kali lebih banyak. Ia tahu, bahwa menghindari serangan
"hanyalah" masalah penempatan waktu. Jika lebih cepat, maka lawan akan mengetahui pergerakanmu. Jika lebih lambat nyawamu melayang.
"Bun Tek Thian!, ku akui kehebatanmu menghindari jurus panah pedang
kami. Inilah kali pertama ada lawan yang bisa menghindarinya. Tapi kali ini kami tidak akan melepaskanmu. Hari ini adalah hari kematianmu." Yang
berkata adalah Gak Siauw Hong
"Kekuatanku sudah habis. Tenaga sudah terkuras. Mengangkat tangan saja aku sudah tidak sanggup! Jika mau bunuh, bunuhlah! Kami anggota Ma
Kauw tak takut mati dan tak takut pada kalian anggota partai putih. Cuih!"
orang yang bernama Bun Tek Thian itu meludah ketika menyebut "partai
putih". Dengan geram Sengkoan Pit menusuk ke arah tenggorokan. Kali ini ia
berkonsentrasi penuh memusatkan tenaga dan kecepatannya. Ia tak ingin gagal seperti serangan sebelumnya tadi.
Pedang hanya tinggal sejengkal. Bun Tek Thian menutup mata sambil
tersenyum. Kematian dalam pertarungan adalah kematian terhormat
baginya. Tapi belum sampai pedang itu menyentuh tenggorokannya, pedang itu telah berbelok arah. Seseorang telah menangkisnya. Seseorang itu tak lain dan tak bukan adalah Cio San.
Tidak dapat dibayangkan perasaan kelima murid Butongpay itu. Tadi
serangan dahsyat mereka berhasil dihindari. Sekarang serangan pedang
mereka juga ada yang menangkisnya dengan tangan kosong. Mimpi pun,
tidak ada seorang murid Butongpay pun yang akan menyangka jurus
pedang mereka bisa ditangkis oleh tangan kosong.
Pemuda yang menangkis pedang itu berdiri sambil tersenyum. Tangan
kanannya mengelus helaian rambutnya yang "jatuh" di pundak. Tangan
kirinya dilipatnya ke belakang.
"Masih ingat padaku?" tanyanya masih sambil tersenyum.
"Cio San!" mereka berteriak berbarengan.
"Hai pengkhianat! Akhirnya kami menemukanmu. Berlututlah minta ampun
agar kami membawamu menemui Lau-Ciangbunjin. Atau tidak kami akan
memancung kepalamu dan akan kami bawa ke Butongsan"
"Aku akan berlutut minta ampun, jika kalian bisa mengalahkanku." Ia masih tetap saja tersenyum. Senyum semacam ini jika kau berikan kepada
musuhmu, malah akan membuatnya ingin menelanmu hidup-hidup.
"Baiklah!. Di Butongsan dulu kau cuma anak bawang. Coba kita lihat hasil pencurian dan pengkhiatanmu. Apakah sebanding."
"Tunggu dulu, jika aku menang bagaimana?" tanya Cio San lagi.
"Tidak mungkin. Tapi jika kau menang, kami akan tunduk apa katamu!"
"Baik. Kata-kata murid Butongpay adalah emas. Aku percaya"
Hanya sebentar mereka memasang kuda-kuda. Hanya sekian detik.
Detik yang penuh kesunyian.
Yang kemudian di penuhi oleh suara pertempuran lagi.
Cahaya dan bayangan pedang menghambur menjadi satu. Mereka
mengepung tubuh Cio San. Pedang datang dari segala penjuru arah. Bahkan yang menusuk ke kepala dari arah atas pun ada.
Menghadapi hal ini Cio San tidak panic. Ia malah melenting ke atas
menyongsong pedang yang menyerang menghujam kepalanya. Tinggal
menggelengkan kepalanya sedikit, pedang telah lewat dari kepalanya. Tapi pedang itu sekarang meluncur turun di depannya. Jika pemilik pedang
menggerakkan tangannya sedikit saja, tentulah robek isi dada dan
tenggorkan Cio San. Tapi memang Cio San telah siap. Tangan kirinya yang brgetar meniru ekor ular derik telah berada di depan dadanya. Dengan telapak menghadap ke luar. Dan dengan telapak yang berbunyi aneh itu, ia telah berhasil
menangkap pedang itu. Tangan kanannya yang membentuk moncong ular telah menyerang tangan
yang memegang pedang tadi. Dan entah bagaimana tahu-tahu pedang itu
telah berpindah ke tangan Cio San!
Seluruh gerakan ini perlu waktu lama untuk diceritakan. Tapi sesungguhnya hanya membutuhkan waktu sekejap mata!
Lalu bagaimana dengan bagian bawah tubunya yang juga terancam pedang"
Setelah melompat ke atas, kakinya melakukan tendangan berputar yang
meruntuhkan pedang keempat orang lainnya. Gerakan yang harus dilakukan dengan teliti karena salah sedikit saja, bukan pedang yang terhempas, melainkan kakinya yang menjadi buntung.
Kelima Pendekar pedang Butongpay itu terhenyak setengah mati. Bun tek thian pun tak kalah kagetnya. Cio San telah menaklukan Butongpay Ngo
Kiam hanya dalam satu jurus!
Pendekar pedang tanpa pedang, maka bukanlah pendekar namanya. Kelima
orang ini telah kehilangan pedang. Itu berarti mereka kalah.
Entah karena mengetahui isi hati kelima lawannya, atau melihat dari raut wajah mereka yang aneh karena bercampurnya perasaan heran, takut,
kagum, dan benci, maka Cio San pun berkata,
"Para kakak jangan bersedih. Aku bisa menaklukan jurus kalian, karena sebelumnya aku sudah tahu jurus itu. Sudah puluhan kali aku melihat kalian melatihnya saat kita masih di Butongsan dulu. Aku pun pernah ikut-ikutan melatihnya"
"Jangan panggil kami "kakak", karena kami bukan kakakmu!" ini adalah
suara Sengkoan Pit. "Kau menang, Cio San. Sesuai janji kami, kami semua menurut apa katamu.
Jika mau membunuh kami, maka bunuhlah" kata Gak Siauw Hong.
Mereka memang harus mengaku kalah. Jika dalam satu jurus saja, pedang mereka melayang, buat apa memaksa bertarung pada jurus-jurus
berikutnya" "Kitab sakti yang kau curi memang sangat hebat, sehingga kami bisa kau taklukan dalam satu jurus" kata Lau Han Po.
"Ketahuilah aku tidak mencuri kitab sakti apa-apa." Tukas Cio San
"Lalu darimana kau bisa mempelajari ilmu yang sedemikian hebat seperti itu" Lwee Kang (tenaga dalam) mu maju sangat pesat. Gin Kang (ilmu
meringankan tubuh)mu sungguh lihay." Tanya Ko Kam Sing.
"Aku mempelajarinya dari seekor ular saat aku terdampar di sebuah goa"
jawab Cio san jujur "Mengapa tidak kau bilang saja dewa dari langit turun ke bumi dan
mengajarkan jurus itu kepadamu!?" sahut Lau Han Po
Memang jika orang sudah tidak menyukaimu, kata-kata dan perbuatan apa saja yg kau lakukan selalu tidak akan pernah diterimanya.
Apalagi cerita belajar ilmu silat kepada seekor ular juga bukan sebuah cerita yang bisa masuk akal sehat.
Menyadari ini akhirnya Cio San hanya bisa berkata,
"Sudahlah jika kalian tidak mau percaya. Suatu hari nanti, aku akan naik ke butongsan dan menjelaskan semua kejadian yang ada. Aku akan
menjelaskan sendiri kepada Lau Ciangbunjin. Sekarang permintaanku
hanyalah satu, lepaskan saja Bun Tek Thian. Dia sudah tidak berdaya. Dan menyerang orang yang sudah tak berdaya bukanlah perbuatan para
enghiong" "Apa hubunganmu dengan dia?" tanya Gak Siauw Hong
"Tidak ada hubungan apa-apa" Cio San menjawab sambil mengelus lagi
helaian rambutnya. "Lalu kenapa kau menolongnya?" sahut Lau Han Po
"Tidak ada alasan. Aku cuma tidak suka melihat nama baik Butongsan rusak karena nanti di kalangan bu lim orang akan membicarakan bahwa
Butongpay mempunyai anak murid pengecut yang membunuh orang yang
sudah tidak bisa melawan". Melawan orang bermulut tajam seperti Lau Han Po memang juga harus menggunakan mulut yang tak kalah tajam.
"Alasan! Manusia hati pengkhianat seperti kau pastinya sudah menjadi
anggota Ma Kauw sejak dulu"
Karena memang kurang berbakat adu mulut, maka Cio San hanya berkata,
"Kalian pergilah! Sebelum kupotong urat nadi kalian sampai lumpuh seluruh badan"
Di dunia ini, yang paling ditakuti oleh orang Kang-ouw lebih dari kematian, memang hanyalah menjadi lumpuh.
"Kau"kau melepaskan kami?"
"Benar" ia menjawab pendek saja
"Pergilah. Ambil pedang kalian dan pergilah dari sini"
Tidak perlu menunggu perintah kedua, kelima orang itu sudah melesat jauh dan menghilang.
Sebenarnya Cio sn ingin bertanya apa masalah sampai mereka mengadu
nyawa dengan Bun Tek Thian. Tapi ia sudah terlanjur menyuruh pergi.
Memanggil mereka kembali dan bertanya tentu tidaklah lucu.
Ia lalu menuju ke Bun Tek Thian yang dari tadi duduk bersila
menyembuhkan luka dalamnya. Cio San membantu menyalurkan tenaga
dalamnya sendiri melalui punggung orang itu. Tak berapa lama, Bun Tek Thian membuka mata dan merasa tubuhnya sudah lumayan segar.
Begitu segaria segera berbalik menghadap Cio San yang sedang bersila di belakangnya. Ia tidak bersoja dan mengucapkan terima kasih.
Ia malah menyerang Cio San dengan sebuah totokan ke Hiat To.
Kini Cio San tertotok! Seluruh tubuhnya lumpuh! "Salam kenal Cio San! Perkenalkan aku Bun Tek Thian, Tiangloo (penasehat) dari partai Ma Kauw!"
Bab 26 Perjalanan Ke Markas Ma Kaw
"Salam kenal juga Bun-Tianglo (penasehat Bun)" jawab Cio San sambil
tersenyum "Kau masih tersenyum" Setelah apa yang kuperbuat kepadamu?" tanya Bun Tek Thian heran.
"Memangnya selain tersenyum, apa yang bisa kulakukan?" Cio San masih
tersenyum, "Kau menyelamatkan aku dan menyalurkan tenaga dalam untuk
menyembuhkan luka dalamku. Sebaliknya aku malah menotokmu. Apa kau
tidak marah" Bun Tek Thian masih keheranan.
"Memangnya jika aku marah kau tak akan menotok ku?" masih sambil
tersenyum. "Memangnya kau tidak takut aku akan membunuhmu?" Bun Tek Thian
masih tak habis pikir. "Jika kau ingin membunuhku, tentunya kau tak akan menotokku" jawab Cio San masih tetap tersenyum.
Bun Tek Thian tak tahu lagi harus berkata apa. Ia kemudian berkata,
"Kau tahu alasanku menotokmu?"
Sambil mengangguk Cio San menjawab,
"Tentu saja. Nama dan latar belakangku ini sudah menjadi incaran orang Kang Ouw. Mungkin Bun-tianglo ingin sekedar tanya-tanya di mana
gerangan kiranya kitab sakti yang ku bawa kabur?"
"Tepat." Sahut Bun Tek Thian dengan senang. "Cerdas juga kau"
"Aku akan membawamu ke markas besar kami. Untuk ku hadapkan kepada
kaucu (ketua) kami. Sejak beberapa tahun yang lalu ia telah memerintahkan kami semua untuk menyebar ke suluruh toing goan hanya untuk
mencarimu. Tentunya kau paham, mengapa bukannya mengucapkan terima
kasih, aku malah menotokmu"
Cio San tersenyum saja. Keadaan orang yang tertotok di titik Tok Hiat, memang membuat lumpuh seluruh tubuhnya. Kecuali bagian kepala. Cio
San masih bisa menoleh, berbicara, mengunyah, dan lain-lain.
Bun Tek Thian kemudian memeriksa buntalan yang dibawa Cio San. Ia
menemukan beberapa helai baju, banyak uang, peralatan masak sederhana, dan sebuah kitab!
"Kitab apa ini?"
Dengan semangat ia membuka dan mulai membacanya. Tapi tak sampai
berapa lama semangatnya hilang. "Ini bukan kitab silat!"
Ternyata itu adalah kitab yang diberikan Khu Hujin kepada Cio San.
"Aku memang tidak punya kitab silat apapun. Semua tuduhan yang
diarahkan kepadaku adalah fitnah." Jelas Cio San.
"Terserah kaulah. Jelaskan saja nanti kepada Kaucu (ketua).
Bun Tek Thian lalu masuk kedalam hutan sebentar. Begitu keluar ia telah membawa sebuah kereta kecil. Kereta ini sejenis kereta barang. Ada
tumpukan jerami yang kelihatan berat sekali diatas baknya. Lucunya kereta itu bukan ditarik kuda, melainkan seekor keledai.
"Punya Bun Tianglo?" tanya Cio San
Bun Tek Thian mengangguk.
"Kereta yang bagus. Keledainya juga lucu. Pertama kali melihat saja aku langsung jatuh hati" puji Cio San.
"Baguslah kalau kau suka. Karena perjalanan kita akan menggunakan kereta dan keledai ini selama 7 hari"
Habis berkata begitu Bun Tek Thian mengangkat tubuh Cio San dan
buntalannya, lalu diletakkan diatas bak bersama tumpukan jerami. Bun Tek Thian sedikit heran karena tubuh Cio San yang bobotnya seperti orang
kebanyakan. Pesilat kelas atas seperti Cio San searusnya memiliki tubuh yang sangat ringan.
Mereka kemudian berangkat. Jika sebelumnya Cio San menuju arah Selatan, sekarang perjalanan mereka menuju arah barat. Baru beberapa lama
perjalanan, Cio San sudah tertidur. Mungkin merasa nyaman di atas
tumpukan jerami, dan perjalanan kereta yang tenang di malam hari.
Bun Tek Thian geleng-geleng kepala. Melihat Cio San yang sudah
mendengkur! Walaupun suara dengkurannya sangat halus. Mendengkur tetaplah
mendengkur. "Ia sedang ditawan dalam keadaan tertotok. Bagaimana mungkin ada orang bisa tertidur pulas dalam keadaan sepert itu" pikirnya dalan hati.
Tapi Cio San tidur dengan nyenyak!
Memangnya, selain tidur nyenyak, apalagi yang bisa kau lakukan di saat seperti itu"
Cio San terbangun saat hari menjelang subuh. Sinar matahati mulai terlihat, dan jalanan di depan sudah mulai terang. Bun Tek Thian malah sudah
mematikan obor yang menerangi perjalanan mereka semalam.
"Ahaa..kau sudah bangun" Bagus lah. Setelah ini kita berhenti untuk
makan" Cio San hanya mengangguk saja. Ia memperhatikan keadaan sekeliling.
Rupanya mereka masih di hutan. Walaupun sudah tidak terlalu lebat seperti saat perjalanan semalam. Jalan yang diambil Bun Tek Thian rupanya bukan jalan umum yang biasa diambil orang.
Begitu melihat sebuah pohon yang rindang, Bun Tek Thian memutuskan
untuk berhenti disitu. Ia menambatkan keledai dan keretanya di sebuah pohon yang tak jauh dari situ juga. Setelah itu ia merogoh-rogoh ke dalam tumpukan jeremi.
Ternyata di dalam tumpukan jeremi yang tinggi itu banyak terdapat
perbekalan dan peralatan juga. Tianglo Ma Kauw lalu memasak. Sebuah
bebek yang besar. Ketika dipanggang baunya membangkitkan selera. Tak
berapa lama penggangan itu selesai dan Bun Tek Tian lalu menyuap Cio
San. Sambil tertawa Cio San berseloroh,
"Jika aku bercerita kepada orang-orang, pasti tidak ada satupun orang yang percaya bahwa aku makan disuap oleh seorang Ma Kaw Tianglo"
Bun Tek Thian ikut tertawa. Katanya, "Memangnya orang orang di seluruh dunia ini berfikir kami orang Ma Kauw bukan manusia" Tidak ada yang lebih membuatku sedih selain mendengarkan pendapat orang tentang aliran
partai kami". "Selama ini gambaran orang tentang Ma Kauw memang adalah sebuah


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

partai beragama sesat. Para anggota kami begitu ditakuti sampai-sampai tidak ada pihak manapun yang mau bergaul dengan kami. Bahkan mereka
yang berasal dari golongan hitam pun tidak ada yang mau berhubungan
dengan kami" "Orang awam memandang partai kami sebagai partai yang kejam. Yang
para anggotanya adalah golongan siaw jin (orang rendahan, hina, najis) yang harus dihindari. Semua ini adalah gara-gara kaisar Hongwu biadab itu"
Cio San sangat paham tentang kisah kaisar Hongwu. Bahkan keluarganya
sendiri punya jasa besar pada kaisar itu. Nama asli kaisar Hongwu adalah Chu Yauncheng. Ia adalah seorang petani biasa. Saat itu tionggoan dikuasai oleh Dinasti Goan, yang merupakan bangsa Mongolia, dan bukan merupakan bangsa Han, (orang asli China). Oleh karena itu muncul banyak perlawanan dari bangsa Han untuk mengusir dan meruntuhkan dinasti Goan itu.
Chu Yuancheng bergabung dengan salah satu kelompok pemberontak yang
ada saat itu. Dengan kecerdasan dan keberaniannya ia berhasil mencapai pangkat tinggi dalam kelompok itu. Pada saat itu seluruh bangsa Han
bersatu. Tak terkecuali kaum persilatan yang tidak kurang andilnya dalam meruntuhkan dinasti Goan.
Pemberontakan itu dipimpin oleh cucu murid Thio Sam Hong yang namanya sudah terlupakan itu. Ketika pemberontakan berhasil, ia malah
mengasingkan diri ke sebuah pulau terpencil bersama istrinya yang
merupakan seorang putri Mongol.
Ia menyerahkan kedudukan ketua kepada Chu Yuancheng. Pada awalnya
semua mendukung keputusan itu, karena Chu Yuancheng adalah pemuda
yang sangat berbakat, cerdas, dan pemberani. Hasil kerja kerasnya pun terlihat di kalangan rakyat jelata.
Ia pun diangkat sebagai kaisar pertama dinasti Beng. Nama Beng itu sendiri diambil dari nama Beng Kauw. Beng Kauw adalah nama partai persilatan
pimpinan cucu murid Thio Sam Hong itu. Dialah orang yang berhasil
menyatukan Butongpay, Bengkauw, dan berpuluh-puluh partai persilatan
lainnya sehingga kekuatan perlawanan rakyat sangat kuat saat itu.
Itulah mengapa Chu Yuancheng menggunakan nama Beng sebagai nama
dinastinya. Sebagai bentuk penghormatan kepada partai yang pernah
dimasukinya dulu itu. Saat menjadi menjabat, ia menerbitkan banyak
peraturan yang membahagiakan bagi rakyat jelata. Kebijakannya tentang pertanian, perdagangan, dan pendidikan membuat rakyat merasakan
kesejahteraan yang selama ini tidak pernah mereka rasakan.
Tapi sayangnya Chu Yuancheng berlaku kejam kepada pihak-pihak yang
menentang kebijakannya. Sepuluh jendral kepercayaannya yang dulu
membantunya pun ia singkirkan. Kakek Cio San adalah salah satu dari
kesepuluh jendral yang semuanya beragama Islam itu.
Beberapa jendral ada yang dibunuh, ada yang diracun, dan ada yang
difitnah. Untunglah kakek Cio San sudah mundur jauh sebelum Chu
Yuancheng menjadi kaisar. Ia pensiun dan memilih kehidupan sebagai
petani. Oleh karena itu Chu Yuancheng yang saat itu telah mengganti nama menjadi kaisar Hongwu tidak menganggapnya sebagai ancaman. Ia hanya
mengincar jendral-jendral yang masih menjabat.
Dan memang tidak hanya jendral-jendral, tapi juga para sastrawan, pejabat, dan semua orang yang menentang kebijaksanaannya semua disingkirkan.
Ada yang dibunuh, dipenjara, diasingkan, dan lain lain. Rakyat tionggoan saat itu hidup dalam kesejahteraan, tapi juga dalam ketakutan bahwa suatu saat kaisar Hongwu akan membinasakan mereka karena menentang
kebijakannya. Hal ini juga berlaku ke dalam dunia Kang Ouw. Karena takut puluhan ribu pesilat tangguh ini memberontak, ia akhirnya memecah belah mereka. Beng Kauw yang merupakan partainya sendiri ia nyatakan sebagai partai
terlarang. Mereka difitnah sebagai partai sesat, dikejar-kejar pasukan negara, anggota-anggotanya bercerai berai, sehingga akhirnya mereka
mendirikan partai baru bernama Ma Kauw.
Partai lain pun, walaupun tidak terlalu diutak atik oleh kaisar Hongwu, tetap juga merasakan kerepotan yang sama. Banyak kejadian adu domba yang
membuat antar partai berseteru dalam kalangan mereka sendiri. Hongwu
berhasil menciptakan berbagai masalah yang membuat kaum bu lim sibuk
dengan urusan mereka sendiri dan tidak lagi terlalu memperdulikan urusan negara.
Begitulah garis besar ceritanya. Sekarang, walaupun Hongwu telah
meninggal dan telah digantikan, keadaan masih tetap sama. Orang Beng
Kauw atau yang sekarang disebut Ma Kauw tetap dianggap sebagai biang
kerok kerusuhan. Anggotanya tidak disukai. Bahkan rakyat jelata pun tidak menyukai anggota Ma Kauw.
"Waktu aku kecil," kata Cio San "Aku juga sangat takut dengan orang Ma Kauw. Penampilan mereka seram-seram. Pakaiannya aneh aneh. Tidak
mengenal aturan dan adat istiadat. Sembarangan dan seenaknya"
"Hahaha"jangan tertipu penampilan kami. Walaupun seram dan aneh, hati kami baik sekali" tukas Bun Tek Thian sambil tertawa.
"Iya, sungguh baik. Sampai-sampai orang yang menolong pun tetap ditotok sampai lumpuh" Cio San berkata begitu sambil tersenyum.
"Yah, setidaknya aku tidak membunuhmu kan" Bahkan aku memberi makan
dengan menyuapimu. Seharusnya kau memanggilku sebagai kakekmu. Ayo
beri hormat kepada kakekmu yang baik! Hahaha!"
"Salam hormat kakekku yang baik!"
Mereka tertawa-tawa. Memang pada dasarnya sifat Cio San memang senang bergurau. Begitu juga sifat Bun Tek Thian. Maka cocoklah mereka berkelakar tentang apa saja.
"Eh kakek" Cio San kini memanggil Bun Tek Thian sebagai kakek, "Aku
punya cerita lucu yang tidak kalah lucu dengan cerita kakek tadi"
"Haha, coba ceritakan cucu yang baik!"
"Begini, ada seorang Siauw Jin (manusia rendahan, hina) yang suka judi.
Semua hartanya sudah ia pakai sebagai modal judi. Yang tersisa hanya
seekor burung peliharannya saja. Burung itu sudah bulukan. Penyakitan.
Seluruh bulunya sudah terkelupas seluruhnya. Karena sudah tidak ada lagi barang yang bisa dijual. Akhirnya dia memutuskan untuk menjual saja
burung itu. Saat di pasar burung, ia kebagian paling ujung karena bagian depan pasar sampai belakang sudah terisi penjual burung yang lain.
Tidak perlu menanti terlalu lama, datanglah seorang saudagar yang terkenal kaya dan royal. Ia punya kegemaran mengoleksi burung. Maka satu persatu burung diperhatikannya. Bahkan ia bertanya apa saja kelebihan burung-burung yang ada. Tapi nampaknya tidak ada satu pun yang menarik
hatinya. Ketika sampai diujung pasar, ia bertanya ke salah satu penjual burung yang berdiri tidak jauh dari Siauw Jin kita. Si saudagar bertanya,
"Berapa harga burung ini?"
"Tiga puluh tael emas, tidak lebih tidak kurang" jawab si penjual
"Eh, kenapa mahal sekali" Apa kelebihannya" tanya si saudagar
"Burung ini jika bernyanyi, suaranya merdu sekali" sambil berkata begitu ia membuat burungnya bernyanyi. Dan memang suaranya indah sekali. Ada
beberapa lagu kicauannya yang terdengar sangat indah. Seluruh orang yang ada di pasar mengagumi kicauannya.
Akhirnya si saudagar langsung membeli burung itu tanpa tawar menawar.
Setelah puas, ia pulang. Ketika sampai di pintu keluar, ia melihat burung dagangan Siauw Jin kita. Karena merasa lucu ada orang menjual burung
sejelek dan seburuk itu, si saudagar iseng-iseng bertanya,
"Eh, burung ini dijual juga?"
"Benar" jawab siauw jin kita mantap.
Sambil tertawa geli, si saudagar bertanya," Memangnya mau kau jual
berapa?" "Seratus tael emas! Tidak kurang tidak lebih!" jawabnya mantap.
Si saudagar hampir pingsan karena kaget, "Mahal sekali, emang apa
kelebihannya" Apakah suaranya merdu dan dia bisa menyanyi seperti
burung yang baru saja ku beli ini?"
"Burung saya ini malah sama sekali tidak bisa menyanyi"
"lalu, kenapa harganya mahal sekali?" tanya si saudagar
"Walaupun burung saya ini tidak bisa menyanyi, TAPI SEMUA LAGU YANG
DINYANYIKAN OLEH BURUNG YANG TUAN BELI TADI, ADALAH CIPTAAN
BURUNG SAYA INI" Hahahahahahhahaahahahahahahhaahhahahaahhahah!!!!
Suara tawa membahana. Belum pernah ada cerita yang ditawan bisa
menceritakan cerita lucu kepada yang menawan. Tapi begitulah adanya.
Kedua orang ini berjiwa bebas. Apa saja dilewati dengan tertawa.
Manusia jika sudah bisa tertawa saat sedang susah, mestinya boleh dibilang sebagai manusia yang bahagia.
"Eh cucu yang baik, perutku sakit. Lebih baik kita cepat berangkat agar cepat sampai pula. Maafkan kali ini aku harus menumpukmu dengan jerami.
Banyak orang mencarimu. Jika mereka melihat kau sedang tidur-tiduran
enak di gerobakku, maka aku akan repot. Selain itu aku pun harus menutup matamu. Supaya matamu tidak jelalatan. Maafkan perbuatan kakekmu ini
ya cucu" "Tidak masalah!"
Begitulah. Mereka akhirnya melanjutkan perjalanan. Karena mulai memasuki daerah yang ramai, mereka sering berpapasan dengan banyak orang. Kini pemandangan hutan sudah berganti pemadangan sawah dan ladang.
Mereka juga melewati perkampungan. Rumah-rumah yang ada di
perkampungan ini walaupun kecil dan bersahaja, tampik sangat rapi dan bersih. Cio San tak tahu mereka di mana sekarang. Tak berapa lama setelah memasuki sebuah desa, kereta berbelok ke sbuah gang kecil. Rupanya Bun Tek Thian menuju sebuah rumah.
Lebih tepatnya sebuah "perkampungan" rumah. Di tionggoan memang
banyak tempat seperti ini. Biasanya pemiliknya adalah bangsawan atau
seorang yang sangat kaya. Yang memiliki tanah yang luas. Diatas tanah itu berdirilah beberapa rumah yang masih merupakan rumahnya juga. Biasanya terdiri dari rumah utama yang besar, biasanya dihuni pemiliknya dan
keluarga utama. Lalu beberapa rumah-rumah kecil yang dihuni keluarga
jauh, pelayan, pegawai, dan lain-lain. Dalam dialek Hokkien disebut "Ceng"
Kini mereka telah masuk ke dalam "Ceng" itu. Luas rapi dan bersih. Mereka disambut seseorang yang berkata,
"Ya langsung saja kau bawa jerami-jerami itu ke kandang kuda di belakang, A Ma"
Ternyata Bun Tek Thian di sini dikenal dengan nama A Ma.
"Baik" jawab Bun Tek Thian atau A Ma.
Tak berapa lama kereta keledai itu sudah sampai ke kandang kuda. Di sana juga ada banyak orang, salah satunya berkata,
"Itu tumpukan jerami mau langsung kau taruh di kandang atau mau kau
taruh di gudang dulu?"
"Di gudang" jawab A Ma pendek.
"Baiklah, langsung saja"
Kereta masuk ke dalam gudang. Ada beberapa orang yang sedang bekerja
di dalam. Mereka pun menyapa,
"Ah datang juga kau. Sudah lama tidak mengirim jerami. Kemana saja?"
"Hahaha. Istriku sedang sakit. Aku terpaksa merawatnya dulu".
"Kalau istri sudah sakit-sakitan, harusnya kau mengganti istri baru"
Hahahahhaha! Terdengar suara tawa bergemuruh.
"Eh A Ma, langsung saja kau ambil bayarannya ke Sow cukong (tuan tanah Sow). Beliau sedang berada di taman belakang. Mengurus bunga-bunga
peliharannya" kata salah seorang
"Baiklah. Terima kasih". Kata A Ma. Ia turun dari keretanya, menambatkan keledainya, lalu pergi ke taman mencari Sow cukong.
Begitu A Ma keluar dari gudang itu, salah seorang dari pekerja gudang berkata,
"Mengapa tuan kita begitu menyukai A Ma ya" Setiap dia membawa jerami, pasti tuan kita menemuinya secara langsung. Padahal kalau ada urusan-urusan begitu, tak pernah tuan kita turun tangan sendiri"
Salah seorang menyahut, "Setahuku, si tua A Ma itu adalah kenalan tuan kita sejak masih kecil.
Makanya tuan menghormati dia"
"Oooh begitu rupanya"
Tak lama kemudian terdengar bunyi lonceng.
"Aha"sudah masuk waktu makan rupanya"
Para pekerja itu kemudian menghentikan pekerjaannya. Mungkin ke ruang makan. Beberapa ada yang masih menyelesaikan pekerjaannya.
Keadaan lumayan sunyi bagi Cio San. Tapi tak berapa lama ia mendengar bunyi langkah langkah kaki. Langkah yang sebenarnya "tidak" berbunyi, karena pemilik-pemiliknya adalah pesilat kelas atas. Cio San mengenal salah satu pemilik langkah itu, mestinya adalah Bun Tek Thian. Siapa pemilik kaki satunya lagi" Pastinya adalah Sow Cukong.
Terdengar suaranya, "Kenapa kalian masih bekerja" Ayo makan dulu saja. Biar nanti A Ma yang menurunkan jerami-jerami ini"
Suaranya sangat dalam dan berwibawa.
"Baik tuan" para pekerja yang masih tersisa segera bergegas pergi makan.
Begitu bayangan pekerja menghilang di balik pintu, pemilik suara itu lalu berkata,
"Ah, Tianglo lama tidak berkunjung kesini" Ada kabar atau urusan apa yang bisa teecu (murid) bantu?"
Suaranya sudah tidak berwibawa lagi, bahkan sekarang terkesan menjilat-jilat.
"Sow Tan Li, aku memerintahkan kau untuk segera mengirimkan kabar di
seluruh cabang bagian barat dan juga markas pusat. Aku membawa
"buntalan" penting. Setiap cabang harus bersiaga penuh. Jangan sampai bocor.Aku juga membutuhkan beberapa murid tingkat 2 atau 3 untuk
membayangiku sepanjang perjalanan. Jangan terlalu dekat dan jangan
terlalu jauh. Mereka harus sebisa mungkin tidak terlihat"
"Baik tianglo. Ada perintah lainnya?"
"Tidak ada. "Buntalan" ini adalah masakan kesukaan ketua. Jika tidak
sampai atau sampai dalam keadaan "dingin", maka ketua akan marah
sekali. Kita semua akan kena celaka"
"Teecu mengerti. Teecu akan turun tangan langsung menangani perintah
tianglo" "Bagus" kata Bun Tek Thian.
Cio San paham. "Buntalan" itu tentu dirinya. "Dingin" berarti sudah mati.
"Turunkan jerami-jerami ini, tapi sisakan sedikit untuk menutupi
"buntalannya?" perintah Bun Tek Thian.
"Baik tianglo". Mulutnya bicara tapi tubuhnya sudah bergerak cepat
menurunkan jerami jerami itu. Tangannya menyampluk, mengeluarkan
sejenis pukulan. Anginnya saja sudah menerbangkan jerami-jerami itu.
Hanya butuh 2 angin pukulan untuk memindahkan jerami-jerami itu.
Ia menyisakan beberapa tumpuk untuk menutupi tubuh Cio San.
"Siapakah pemuda ini, tianglo?" tanyanya
"Kau tidak perlu tahu. Kerjakan saja tugasmu"
"Maafkan teecu yang tidak sopan tianglo"
Begitu pekerjaannya selesai, Bun Tek Thian sudah bersiap untuk pergi. Sow cukong memberinya uang untuk perbekalan. Setelah memberi hormat, ia
pun segera ke luar gudang lewat pintu lain. Sedangkan Bun Tek Thian
melewati pintu yang sama saat dia masuk tadi.
Mereka pun keluar dari "ceng" itu.
Setelah agak berapa lama dalam perjalanan, dan suasana sudah agak sepi, Bun Tek Thian berkata kepada Cio San,
"Kau jangan kaget. Hanya dengan cara beginilah Ma Kauw kami bisa
bertahan. Harus ada beberapa orang yang menyusup menjadi orang biasa, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan biasa. Jika tidak bekerja secara rahasia begini, mustahil kami bisa bertahan sampai sekarang"
Cio San paham, dan kagum. Betapa rapinya partai ini bekerja. Secara
rahasia pula. Jika tidak mengalami sendiri, Cio San tak akan percaya bahwa anggota golongan Ma Kauw banyak yang merupakan saudagar dan orang-orang kaya.
Dan ini ia alami dalam beberapa hari perjalanannya. Bun Tek Thian singgah ke tempat-tempat yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ke rumah
makan, ke rumah bordil, ke rumah saudagar dan bangsawan-bangsawan.
Semua memperlakukannya dengan cara yang sama. Jika sedang ramai akan
menganggap Bun Tek Thian sebagai orang rendahan, tapi jika berduaan saja Bun Thian diperlakukan dengan sangat hormat. Bun Tek Thian mampir
untuk sekedar meminta bekal atau kadang juga memberi perintah-perintah.
Hebat sekali Ma Kauw ini!
Bab 27 Pertarungan Hidup dan Mati
Kini Cio San dan Bun Tek Thian berada di salah satu "cabang" rahasia Ma Kauw. Cio San tidak menyangka kalau Ma Kauw mempunyai cabang rahasia
di sebuah kantor pemerintahan!
Memang ini hanya sebuah kota kecil. Walikotanya adalah anak buah Ma
Kauw. Namanya Tong Sin Sat. Mereka sampai di kota kecil itu di sore hari, ketika kantor pemerintahan itu akan tutup. Setelah semua pegawai pulang semua, sang walikota masih tetap tinggal untuk "menyelesaikan" beberapa pekerjaan. Hanya pengawal pribadinya yang menunggu di ruang depan
dekat pintu. Pastinya mereka juga anak buah Ma Kauw.
Tong Sin Sat ini bertubuh tambun, dengan wajah kemerah-merahan.
Seragamnya agak keliatan sempit. Raut mukanya cerah, dan selalu
tersenyum. Mereka bertiga sedang menikmati arak dan beberapa makanan
kecil. Bun Tek Thian tidak memberikannya tugas apa-apa. Hanya sekedar mampir dan mengisi bekal.
Bun Tek Thian juga tidak membicarakan hal-hal yang penting-penting.
Hanya sekedar bertanya-tanya tentang keluarga, dan masalah pekerjaan
sebagai walikota. Setelah lama diam dan menyimak saja, Cio San lalu
berkata, "Bun tianglo, bukannya aku berlaku tidak hormat, tapi aku sudah menahan urusan buang air selama hampir 4 hari. Kira-kira engkau ada rencana untuk mengijinkan aku untuk menyelesaikan "urusan" ku ini?"
"Ah kupikir orang sesakti dan selihay engkau tidak butuh urusan macam begitu" sahut Bun Tek Thian yang disambut tawa oleh Tong Sing sat.
"Kau sendiri masih mempunyai urusan demikian, tidak?" tanya Cio San ke Bun Tek Thian
"Tentu saja, aku kan manusia normal" jawab Bun Tek Thian
"Nah, kau kan yang menotok dan menawanku. Tentunya kau lebih lihay dan sakti daripada aku. Harusnya sudah tidak mempunyai urusan demikian" kata Cio San sambil tersenyum.
Bun Tek thian dan Tong Sing Sat tertawa.
"Betul juga" kata Bun Tek Thian. Lanjutnya, "Aku sudah menggendong mu kesana kemari. Itu pun sudah ditambah menyuapimu. Masakan kau
memintaku mengurusi urusan "pintu depan" dan "pintu belakang"mu juga?"
"Bukankah setiap perkara harus ditangani dengan seksama" Jika aku
membuang hajat secara sembarangan di markas cabang kalian, atau di atas keretamu, bukankah akan menambah berbagai urusan" Jika di jalan orang-orang mencium ada bau tak karuan di keretamu, bukankah akan membuat
curiga?" kata Cio San
"Ah kau betul lagi"
Lama Bun Tek Thian berpikir, ia lalu berkata, "Kalau ku lepaskan totokanmu, maka dalam sekali gebrak saja maka kau bisa "menyelesaikan" aku. Urusan demikian, aku tidak berani ambil resiko"
"Begini saja" lanjutnya,
"Ku berikan kau sebuah pil racun. Racun ini akan menghancurkan syarafmu dalam waktu satu jam. Jika dalam satu jam kau tidak minum penawarnya, maka kau akan mati menggenaskan. Bagaimana jika kau kuminumkan pil
itu, lalu ku selesaikan urusan hajatmu. Setelah selesai, kau kembali lagi kepadaku, lalu ku totok. Setelah itu kuberikan obat penawar racunnya" Kau jangan coba-coba melumpuhkanku untuk mencari penawarnya. Karena dari
ratusan pil yang ada, hanya aku dan Tong Sing Sat yang tahu mana yang racun dan mana yang penawar. Jika kau maka salah-salah kau meminum
racun lain yang malah membuat keadaan lebih parah. Nah, bagaimana"
Setuju?" Tanpa pikir panjang Cio San menjawab "Setuju!"
Tong Sing Sat kagum juga melihat keberanian Cio San.
"Tidak perlu kagum, tuan walikota" kata Cio San sambil tersenyum
"Bagaimana kau tahu aku kagum" Apapula sebab aku harus kagum?" tanya
si walikota sambil tersenyum juga.
"Kelopak matamu membuka. Matamu bersinar. Cuping hidungmu sedikit
terangkat. Lehermu memanjang. Pundakmu menegak. Itu adalah ciri orang yang kagum akan sesuatu. Perubahan ini hanya sepersekian detik saja. Tapi aku bisa melihatnya dengan mudah. Mengenai alasan mengapa kau kagum,
juga jelas sekali. Kau pasti kagum karena tanpa pikir panjang, aku bersedia meminum racun penghancur syaraf. Bukan begitu, tuan walikota?"
Tong Sing Sat tambah kagum lagi, ia berkata "Hebat benar kau. Dari mana kau belajar kemampuan seperti ini" Seperti sudah bisa menebak isi
kepalaku" Bun Tek Thian menjawab, "Cio San punya sebuah kitab tentang mempelajari wajah dan gerak tubuh. Aku sempat membacanya sekilas, tapi begiku tidak menarik dan tidak ada gunanya. Hanya membuat orang kagum. Apa
gunanya" Cuma seperti pertunjukan sulap jalanan"
"Ah saya tertarik tianglo, di mana kitabnya?"
"Tuh di buntalan di sampingnya" jawan Bun Tek Thian.
Belum sempat Tong Sing Sat beranjak mengambil buntalan itu, Cio San
sudah berkata, "Kitab itu pemberian orang yang sangat kuhormati. Walaupun aku sudah
hafal luar kepala segala isinya dalam 2 hari, aku tetap akan menjaganya.
Jika kau berani menyentuh kitab itu, aku akan membunuhmu. Bun Tianglo sudah berjanji membuka totokannya jika aku mau minum pil penghancur
syaraf. Begitu totokanku dibuka, aku langsung akan membunuhmu"
Bun Tek Thian dan Tong Sing Sat terdiam. Mereka tahu Cio San tidak
sedang omong kosong. Maka mereka akhirnya tersenyum senyum saja saat
Cio San melanjutkan, "Karena itu maafkan segala kekurangajaranku. Bukankah lebih baik kita tidak saling mengganggu dan menjadi sahabat saja?"
"tentu saja"tentu saja" mereka tertawa-tawa dan minum arak. Sayangnya Cio San harus disuapi oleh Bun Tek Thian, jika tidak tentu ia akan ikut bersoja juga.
Selanjutnya, Bun Tek Thian memerintahkan untuk mengambil pil racunnya.
Tong Sing Sat pergi sebentar lalu kembali dengan membawa sebuah kotak besar. Isi kotak besar itu adalah bermacam-macam pil berawarna-warni.
Bun Tek Thian mengambil sebuah pil dengan hati-hati karena tak ingin Cio San melihat ia mengambil pil yang mana. Lalu dengan sigap ia
memasukkannya ke dalam mulut Cio San.
Begitu Cio San menelannya, Bun Tek Thian langsung membuka totokannya.
"Terima kasih, boleh ku tahu dimana jamban nya tuan walikota?" tanya Cio San
"Mari kuantarkan" tukas Tong Sing Sat.
Mereka berdua pergi dan kembali setelah beberapa lama.
"Sudah lega, Cio San?" tanya Bun Tek Thian sambil tertawa.
"Bebas merdeka" kata Cio San sambil mengelus-elus perutnya.


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia kembali duduk di tempat semula dan membiarkan Bun Tek Thian
menotoknya. Setelah itu Bun Tek Thian memasukan pil penawar ke dalam
mulut Cio San. Mereka ngobrol di sana sampai hari mulai gelap, lalu melanjutkan
perjalanan. Tentunya Bun Tek Thian mendapat tambahan bekal makanan
dan uang. Setelah keluar dari kota kecil itu, mereka memasuki desa dan hutan-hutan yang tidak terlalu lebat.
Di subuh hari, ketika memasuki hutan bamboo, Cio San yang terbaring di kereta dan ditimbun jerami tiba-tiba berkata, "Di depan ada beberapa orang yang menghadang jalan"
"Darimana kau tahu" Wah telingamu hebat sekali" Bun Tek Thian memang
sudah melihat ada beberapa orang di depan. Tapi jaraknya masih jauh
sekali. "Maaf aku harus menutuk syaraf suaramu" Bun Tek thian menjulurkan
tangan dan menutuk sebuah titik di tenggorkan Cio San.
Begitu kereta mendekat, terlihat ada 8 orang yang berdiri di depan. Mereka memakai seragam tentara kerajaan.
"Berhenti!" seseorang yang kelihatan sebagai pimpinan pasukan kecil itu.
Bun Tek Thian memberhentikan keledainya. Ia bertanya, "Ada apa tuan?"
"Biarkan kami memeriksa keretamu." Kata si pimpinan.
"Saya hanya membawa jerami untuk di jual ke kandang-kandang kuda tuan.
Tidak membawa apa-apa" kilah Bun Tek Thian.
Ia baru mau turun dari keledainya ketika sabetan pedang sudah diarahkan ke kepalanya. Kaget sekali Bun Tek Thian melihat serangan ini. Tapi ia bukan pesilat sembarangan. Ia sedikit saja menggerakkan kepala, sabetan pedang itu sudah lewat diatas kepalanya. Sabetan pedang itu bukan sabetan pedang biasa yang dilancarkan oleh seorang tentara biasa pula. Tentara rendahan tak mungkin memiliki ilmu setinggi itu.
Bun Tek Thian melepaskan pukulan ke arah salah seorang, tapi temantemannya yang lain sudah sigap menghalangi pukulan itu dengan sabetan pedang yang tak kalah dahsyat dengan sabetan yang tadi.
"ilmu pedang Kun Lun pay" " Bun Tek Thian berkata dalam hati
Satu sebetan lain mengincar kerongkongan.
"Ini jurusnya Hoa San pay" ia masih membatin lagi
Belum sempat berpikir, sebuah serangan mengincar ulu hatinya,
"Kalau yang ini adalah ilmu Tian shan pay" pikirnya
"Apa kalian partai-partai lurus sudah bersatu padu ingin menghancurkan kami?" sambil marah ia mengelurkan 8 pukulan sekaligus. Hawa panas yang dahsyat keluar dari kedua telapak tangannya. Tapi semua pukulan itu bisa dihindari oleh ke 8 lawannya.
"Itu langkah menggapai awan milik Butongpay!" Bun Tek Thian berseru
kaget. Para penyerangnya menyerangnya dengan berbagai macam juru dari
berbagai macam aliran. Bun Tek Thian tetap melayaninya dengan tenang.
Tapi ia tidak habis pikir bagaimana mungkin ke 8 penyerangnya ini
menguasai hampir segala macam jurus dari berbai aliran.
Pertempuran baru beberapa menit, tapi pohon-pohon dan tetumbuhan di
sekitar situ sudah porak poranda. Bisa dibayangkan betapa dahsyat
serangan pedang, dan juga pukulan yang mereka semua lancarkan.
"Mengapa murid-murid yang kuminta mendampingiku belum juga tiba?"
tanya Bun Tek thian dalam hati.
Seperti yang telah kita ketahui, Bun Tek thian memang telah
memerintahkan beberapa murid untuk mengawal dirinya secara
tersembunyi. Mereka memang selalu mengawalnya sejak ia memerintahkan
hal itu kepada Sow cukong. Entah mengapa sekarang malah tidak kelihatan batang hidung seorang pun.
Bun Tek Thian terdesak setelah puluhan jurus. Dibandingkan dengan
Butongpay Ngo Kiam, ke 8 orang ini ilmunya lebih tinggi, serangannya lebih dahsyat, jurus-jurus mereka pun berasal dari berbagai macam aliran!
Ia terdesak. Walaupun tombak goloknya kini sudah berada di tangannya, menghadapi ke 8 penyerang ini tetap bukanlah hal yang gampang. Teramat sulit malah. Hujan pedang mereka jauh lebih rapat daripada hujan pedang yang pernah dia alami sepanjang hidupnya!
Tenaganya terkuras habis, karena serangan yang ia hadapi bukan saja
serangan yang cepat dan ganas, melainkan juga berisi tenaga dalam yang tinggi. Setiap kali tombak goloknya beradu dengan pedang, setiap kali itu juga ia merasa getaran yang hebat. Tapi dengan gagah ia berusaha untuk terus melindungi keretanya. Jangan sampai ada seorang pun yang berhasil menembus kibasan angin puyuh tombak goloknya.
Cio San masih berbaring di dalam tumpukan jerami. Dari suara pertarungan yang dia dengar, tahulah ia bahwa Bun Tek Thian sudah terdesak. Langkah-langkahnya sudah mulai berat. Memang sejak memasuki jurus ke 108,
gerakannya sudah mulai melambat. Tapi Bun Tek thian masih dengan gagah mempertahankan posisinya untuk menjaga kereta.
Delapan buah pedang mengincar kepalanya. Bun Thek Thian mengangkat
tongkat goloknya untuk menangkis. Tahu tahu sebuah tendangan telah
menghantam tulang rusuknya. Ia sebenarnya sudah tahu serangan ini akan datang. Tapi gerakannya sudah kalah cepat. Dalam hati ia bergidik, berapa jauh ilmu silatnya tertinggal oleh orang-orang ini.
Menghadapi dua orang seperti ini ia masih bisa. Tapi delapan sekaligus" Bun Tek Thian telah siap menghadapi ajalnya. Karena tendangan di tulung rusuk itu menghempaskannya ke belakang. Ia jatuh terjungkal. Kedelapan pedang sudah mengincar seluruh tubuhnya!
Ia membuka mata lebar-lebar menghadapi kematiannya.
Bab 28 Di Markas Rahasia Ma Kauw
Pedang tinggal sejengkal dari tubuhnya.
Blaaaaarrrrrrr! Ombak dan gelombak pedang pun buyar. Kedelepan penyerang itu
terlempar beberapa tombak ke belakang. Di hadapan mereka kini berdiri beberapa orang.
Salah satunya adalah orang yang menangkis serangan mereka tadi.
Tubuhnya kurus, namun sangat jangkung. Usianya sudah tua. Bajunya
merah. Matanya yang tajam menusuk jantung manusia. Jika ada orang yang bisa membunuh hanya dengan pandanganseperti itu, mungkin dialah orang satu-satunya.
"Hormat buat Kaucu! Semoga panjang usia!" Bun Tek Thian sujud
menyembah. Inilah dia Ma-kauw Kaucu (Ketua Ma Kauw)!
"Ang Soat!" seru kedelapan orang itu berbarengan menyebuat nama sang
kaucu. Mereka lalu berbarengan menyerang sang Kaucu. Gerakan mereka
kali ini sungguh sukar ditangkap mata dan dibayangkan. Begitu cepat,
begitu lincah, begitu ganas. Masing-masing mengisi posisi yang menutupi gerak lawannya. Menghadapi serangan seperti ini, tidak ada satupun yang bisa kau perbuat selain mengharap dunia kiamat.
Tapi sang Kaucu bukan pesilat biasa. Namanya sudah masuk 3 besar orang paling sakti di dunia kangouw. Menghadapi serangan ini dia malah tidak menghindar. Tangannya menyampluk semua pedang yang ada, menangkap
seluruhnya dalam satu genggaman!
Siapun di seluruh dunia yang pernah belajar silat, jika melihat gerakan silat seperti ini, tentulah pasti berhenti belajar silat. Karena seumur hidup belajar pun tidak akan bisa melakukan hal mustahil seperti demikian.
Begitu pedang tertangkap, kedelapan orang itu berusaha menarik sekuat tenaga. Tapi tenaga mereka justru terkuras habis. Melepas pegangan
pedang juga tidak bisa. Serasa seluruh tubuh mereka lengket dengan
gagang pedang! "Ini"ini ilmu Menghisap Matahari" semua yang ada di sana terbelalak.
"Katakan siapa kalian" Dan apa tujuan kalian" Atau kuhisap terus tenaga murni kalian" kata sang kaucu. Ucapannya pelan dan penuh wibawa. Tapi matanya. Matanya jauh lebih menusuk daripada jurus pedang apapun.
Kedelapan orang ini tidak menjawab.
"Katakana tau kalian mati?"
Kedelapan orang ini tetap tidak menjawab
Tubuh mereka semakin menghitam dan mengeluarkan asap!
Sehingga kemudian kering. Bagai seonggok kayu bakar. Mereka semua mati hangus!
Begitu dahsyatnya ilmu Menghisap Matahari ini sampai semua orang yang berada di situ terperangah. Mereka yang ada di situ adalah anggota Ma Kauw juga, Mungkin pengiring sang Kaucu. Karena sudah pasti bukan
pengawal. Karena orang seperti dia jika membutuhkan pengawal, maka
akan merendahkan martabatnya sendiri.
"Kau baik-baik saja Tek thian?" tanyanya kepada Bun Tek Thian.
"Hamba baik-baik saja Kaucu. Terima kasih atas kedatangan dan
pertolongan kaucu" "Buntalan yang kau bawa apa masih baik-baik saja?"
"Hamba menjaganya dengan seluruh nyawa hamba, kaucu"
"Bagus, untuk jasamu ini akan dihargai sebaik-baiknya" sambil berkata begitu ia berjalan ke arah kereta. Menyingkirkan jerami dan memandang sang "buntalan" .
"Inikah yang bernama Cio San?"
"Benar kaucu" "Baiklah. Kutunggu kalian di markas besar. Jaga jangan sampai terjadi penghadangan lagi" Setelah berkata begitu ia pun pergi. Jalannya biasa dan melangkah dengan lambat. Tapi entah kenapa ia sudah kelihatan jauh
sekali. "Ilmu kaucu sudah semakin hebat saja!" beberapa orang yang berada di situ menggeleng-geleng kepala.
Sampailah rombongan itu di sebuah markas rahasia Ma Kauw. Ternyata
berada di dalam sebuah perut gunung. Memasukinya pun harus melewati
jalan rahasia. Sebuah air terjun yang sangat deras. Orang biasa yang
mencoba menembus air terjun sebesar ini pastilah kulit-kulitnya besat dan tulang-tulangnya remuk.
Setelah beristirahat sebentar, berkumpul lah mereka di balairung utama.
Semua telah memakai baju khusus. Berwarna kuning cerah. Hanya sang
kaucu yang memakai baju warna merah. Ia duduk di atas singgasannya.
Semua perabotan di ruangan itu terbuat dari batu pualam sejenis marmer yang indah sekali. Berwarna putih mengkilat. Sehingga membuat ruangan balairung semakin bercahaya.
Yang hadir di dalam balairung itu adalah beberapa puluh murid utama,
sepuluh pengurus utama, Tiangloo (penasehat) kiri dan kanan, serta sang Ma Kauw kaucu sendiri. Total ada sekitar 100 orang lebih. Tentu saja
mereka tidak saja cuma duduk melainkan menikmati arak, dan beberapa
hidangan mewah. Setiap ada acara berkumpul begini, memang selalu ada
arak dan hidangan mewah di markas Ma kauw.
Cio San diletakkan di hadapan sang kaucu. Duduk berlutut. Totokan di
tubuhnya belum dibuka. Tapi kini ia sudah bisa bicara.
"Apa betul kau yang bernama Cio San" Murid yang kabur dari Butongpay"
tanya sang kaucu "Benar kaucu, cayhe (saya) lah adanya"
"Apakah kau yang membawa lari cin keng (kitab sakti) yang berada dalam kuburan Kam Ki Hsiang?"
"Demi Tuhan, dan atas nama leluhur-leluhur saya, saya tidak pernah
mengambil atau mencuri kita apapun. Saya pun tidak membunuh guru saya"
jawab Cio San jujur. Lama sang Kaucu menatap Cio san. Lalu ia berkata, " Aku pecaya padamu!"
"Apakah tuan kaucu ingin bertanya kepada saya tentang Kam Ki Hsiang?"
tanya Cio San tiba-tiba. "Darimana kau tau?" matanya membesar.
"Saya kebetulan memiliki sedikit kemampuan membaca isi pikiran orang"
kata Cio San sambil tersenyum.
"Aku tidak suka orang yang suka pamer, darimana kau tahu aku ingin tahu tentang Kam Ki Hsiang?" tanyanya tegas.
"Dengan ilmu sehebat kaucu, tentunya tidak mungkin kaucu ikut-ikut
rebutan mencari kitab sakti segala. Di dunia ini, siapalah yang dapat menandingi ilmu kaucu. Jadi aku menduga tentunya ada hal lain yang ingin engkau cari"
"Ketika tersiar kabar bahwa kuburan Kam Ki Hsiang ternyata kosong, pasti banyak orang yang menyangka ia masih hidup. Dan karena banyak orang
yang punya dendam dengan dirinya, tentulah urusan dan dendam waktu
lampau dengan sendirinya muncul kembali. Ketika kaucu menyebut nama
Kam Ki Hsiang, saya tidak melihat kemerahan dan dendam di wajah kaucu.
Saya justru melihat ada kesedihan. Jadi saya menduga, urusan kaucu
kepada Kam Ki Hsiang bukanlah urusan dendam. Melainkan ada kenangan
lain yang tersimpan"
Tatapan mata Ma Kaucu berbinar, "Baru sekali ini aku bertemu orang
secerdas engkau, Cio San!"
"Tapi jika aku ingin mengetahui tentang Kam Ki Hsiang, kenapa aku tidak langsung saja ke Butongpay untuk bertanya" Atau mengirimkan mata-mata kesana?"
"Itu karena engkau tahu Kam Ki Hsiang tidak meninggal" jawab Cio San
Sekali lagi mata Ma Kaucu berbinar, "Dugaanmu sungguh tepat"
"Jika kaucu tahu beliau tidak meninggal, kaucu pun tahu bahwa beliau telah berganti nama menjadi A Liang. Maka begitu mendengar kabar aku kabur
dengan Liang-lopek, tentunya kaucu menjadi sangat penasaran" tukas Cio San, ia melanjutkan, "Di dunia ini, orang yang tahu tentang keadaan Liang-lopek sebenarnya hanya dua, yaitu kaucu dan Thay suhu (guru besar) Thio Sam Hong. Maka saya menduga hubungan kaucu dengan Liang-lopek
sungguh amatlah dekat. Kalau bukan saudara kandung, pastilah sahabat
dekat" Perubahan wajah sang kaucu sungguh terlihat jelas. Tapi tak seorang pun yang tahu apa arti perubahan itu, ada jejak kenangan, ada kekaguman, ada rasa heran, semua bercampur aduk.
"Orang secerdas engkau, tidak hanya menimbulkan kekaguman, tapi juga
menimbulkan rasa takut" kata sang Kaucu, lalu melanjutkan
"Lalu bagaimana kabar Kam Ki Hsiang sekarang?"
"Kam-suhu telah meninggal. Maukah kaucu mendengarkan cerita
sebenarnya?" "Tentu saja" Cio San lalu menceritakan semuanya.
Setelah mendengar penuturan Cio San, sang Kaucu termenung. "Kini
rasanya aku yang giliran menceritakan semuanya kepadamu dan kepada
kalian semua" Ia lalu berkisah. Sang kaucu ini sudah bersahabat dengan Kam Ki Hsiang sejak kecil. Kesukaan mereka terhadap ilmu silat membuat mereka semakin dekat. Suatu saat mereka memutuskan untuk berkelana sendiri sendiri.
Kam Ki Hsiang secara tidak sengaja menemukan sebuah gua yang berisi Cin Keng (kitab sakti). Sedangkan kaucu yang bernama Ang Soat itu bergabung dengan Beng Kauw. Karena saat itu Beng Kauw merupakan partai silat
terbesar dan termasyhur. Setelah Kam Ki Hsiang berhasil menguasai semua ilmu yang ada di cin keng itu, ia menantang semua ahli silat yang ada. Ketika akan menantang ketua Beng Kauw, Ang Soat lah yang meminta agar Kam Ki Hsiang mengurungkan
niatnya. Kam Ki Hsiang kemudian setuju, dan malah berniat menantang Thio Sam Hong.
Kabar yang terdengar berikutnya adalah Kam Ki Hsiang kalah dan mati di butongsan. Jenazahnya pun dimakamkan di sana. Ang Hoat pun tidak
mengihlaskan kematian sahabatnya itu. Lalu 10 tahun kemudian, secara
tidak sengaja Ang Hoat bertemu dengan Kam Ki Hsiang yang sudah berganti nama menjadi A Liang. Pada awalnya A Liang tidak mau mengaku bahwa
dirinya adalah Kam Ki Hsiang. Pertemuan itu terjadi secara tidak sengaja ketika A Liang turun ke Butongsan untuk membeli beberapa bahan
makanan. Saat itu Ang Soat memang juga tidak sengaja punya sebuah
urusan di sana. Lalu setelah dipaksa-paksa, akhirnya Kam Ki Hsiang mengaku juga. Ia
meminta Ang Soat merahasiakan keadaannya, karena jika orang Kang Ouw
mengetahui keadaannya itu bisa menimbulkan kehebohan dan membuka
dendam yang sudah terkubur. Kam Ki Hsiang juga meminta Ang Soat tidak menceritakannya kepada kekasihnya, Khu Ting Ai, atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama Khu Hujin.
Maka ketika mendengar A Liang kabur dengan Cio San, Ang Soat yang telah menjadi kaucu mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencari
mereka. Seluruh anak buahnya disebar ke seluruh penjuru Tionggoan hanya untuk mencari keberadaan A Liang. Bahkan hingga beberapa tahun telah
lewat, semua anggota Ma Kauw masih diwajibkan mencari A Liang dan Cio San ini.
Begitulah ceritanya hingga Cio San bisa dilumpuhkan Bun Tek Thian dan dibawa sampai ke markas Ma Kauw di dalam perut gunung ini.
Baru selesai sang kaucu bercerita, tiba-tiba terdengar teriakan. Banyak orang muntah darah, dan jatuh bergelimpangan. Pikiran Cio San segera
bergerak cepat, ia berteriak "Racun!"
Raut wajah sang Kaucu berubah, ia segera mengarahkan tenaga dalam
untuk menghalau racun. Wajahnya bahkan bertambah pucat, ia terbatukbatuk. "Jangan mengerahkan tenaga dalam!" teriak Cio San . "racunnya mungkin akan semakin menghebat jika kalian mengerahkan tenaga dalam"
Semua orang yang ada disitu terpana. Apa yang harus dilakukan jika tidak menggunakan tenaga dalam" Semua yang ada di sana jatuh terduduk di
lantai. Murid-murid yang ilmunya lebih rendah semua berkelojotan. Yang ilmunya tinggi masih berusaha bertahan.
"Hahahahahahahahha, akhirnya kalian mampus semua!"
Terdengar suara terbahak-bahak.
"Kau!" semua orang disitu tak menyangka siapa orangnya.
Cio San menoleh, ternyata ia adalah salah satu tianglo dari Ma Kauw Tianglo yang ada. Yang ini adalah Tianglo kanan, sedangkan Bun Tek Thian adalah tianglo kiri.
"Po Che King! Apa maksudmu" Tak kusangka" sang Kaucu berteriak marah.
"Aku sudah menunggu saat-saat kita berkumpul bersama seperti ini.
Awalnya aku menunggu bulan depan saat perayaan ulang tahunmu. Tapi
sekarang malah kesempatan itu tiba lebih cepat. Kalian semua telah terkena racun baru. Aku mendapatnya dari Keh-losiansing (tabib tua Keh). Ini racun dahsyat terbaru. Tidak ada bau, tidak ada rasa. Tidak akan membuat orang curiga. Racun ini menyerang syarafmu. Melumpuhkan tenagamu. Bahkan
jika kau mengerahkan tenaga dalammu, ia akan bekerja semakin baik.
Hahahahahah! Sudah merasakan kedahsyatannya kaucu yang mulia?" kata
orang yang bernama Po Che King itu.
"Jadi Keh losiansing juga menjadi antekmu" kata Bun Tek Thian.
"Ya bisa dibilang begitu" kata Po Che King sambil tertawa. Ia lalu menuding sang Kaucu, "Aku benar-benar ingin membunuhmu dengan pedangku
sendiri. Biarlah yang lain mati keracunan, kau harus mati dipenggal!" sambil begitu ia berjalan dengan santai, tangannya sudah mencabut pedang dari sarungnya.
"Apa salahku padamu" Bukankah aku selalu memperlakukanmu dengan
baik?" tanya sang Kaucu
"Ya, kau memang memperlakukanku dengan baik. Terlalu baik malah. Tapi kau menjadi ketua terlalu lama. Sudah saatnya gantian. Aku sudah
menghamba terlalu lama, kini saatnya menjadi "raja". Hahahahahahaha"
Kaucu tak bisa bergerak sedikitpun. Tubuhnya bagai lumpu. Bahkan di
bibirnya telah ada tetesan darah.
"Racun itu membuyarkan tenaga dalam dan tenaga sakti. Hasil latihanmu bertahun-tahun akan punah seluruhnya. Tapi kau harus mati dengan
pedang. Itu sebuah kehormatan. Seorang raja memang seharusnya mati
karena pedang" Ia telah berada di hadapan kaucu. Pedangnya sudah terangkat. Sabetan
sudah dilakukan. Pedang sudah meluncur ke tenggorokan sang Kaucu.
Tapi berhenti di tengah jalan!
Po Che King mengerahkan seluruh tenaganya pun tak akan bisa
menggerakkan pedang itu. Cio San telah berdiri di sana!
Dengan gagah memegang pedang itu. Senyum masih tersungging di
bibirnya. "Kau?" Kata "kau" hanyalah sebuah kata yang pendek. Tapi ketika belum selesai diucapkan, orang yang mengucapkan sudah terpelanting beberapa tombak
menghantam dinding batu. Siapa lagi yang menghajarnya kalau bukan Cio San"
"Aku paling benci dengan pengkhianat"
Cio San lalu menotok beberapa titik darah kaucu.
"Totokan ini untuk membantumu menghalau racun, kaucu. Tenang saja"
kata Cio San. Ketika ia berbalik untuk melihat keadaan Po Che King, Cio San kaget juga.
Po Che King sudah mati dengan mulut berbusa.
Dengan cepat ia "terbang" ke mayat Po Che King dan memeriksanya.
"Racun!" ia terpana.
Tapi Cio San tidak bisa berpikir lebih lama karena ia harus menotok seluruh orang yang ada di sana. Beberapa orang memang tidak sanggup ia
selamatkan. Tetapi ada sekitar 50 orang yang masih hidup. Cio san menotok mereka semua.
"Harap tenang dan jangan dulu bergerak atau bersuara. Pusatkan
konsentrasi. Jaga aliran darah agar bergerak normal. Jangan sekali-kali mengarahkan tenaga dalam. Atur pikiran agar tetap tenang. Agar jantung dan organ tubuh lainnya bergerak sempurna"
"Kaucu, dimana letak ruangan obat-obatan?" Cio San bertanya.
"Keluar lah lewat pintu di belakangmu. Jalan terus, sampai kau menemukan pintu berwana hijau"
Ketika kata "hijau" selesai diucap, Cio San sudah berada di depan pintu itu!
Dengan cermat ia membuka rak obat-obatan yang berada di dalam ruangan itu. Ada banyak bahan yang ia ambil. Di ruangan obat pun terdapat alat untuk meraciknya, sehingga Cio San meracik obatnya disana.
Setelah selesai, ia segera kembali ke balairung untuk memberikannya
kepada semua orang. Tak berapa lama semua orang sudah merasa baikan.
Kata pertama yang mereka ucapkan adalah "Terima kasih"
Lalu yang kedua adalah "Bukankah kau tertotok?"
"Sejak awal memang tidak tertotok" jawab Cio San santai
Bun Tek Thian membelalakkan mata, "Aku yakin sekali telah menotokmu!"
"Dulu waktu di puncak gunung Butongsan, aku sempat mempelajari jalan
darah dari sebuah kitab kuno. Lalu ketika berada di dalam goa bersama sebuah ular, aku belajar tentang aliran darah dan fungsi-fungsi tubuhnya.
Sejak menggabungkan pengetahuan itu, aku berlatih untuk memindahkan
jalan darah" Cio San tersenyum
"Jadi kau bisa ilmu memindahkan jalan darah" Hebat! Aku saja tidak bisa."
Kata sang Kaucu. "Lalu kenapa kau bergaya lumpuh seperti orang ditotok?" tanya Bun Tek Thian penasaran.
"Hanya ingin tahu saja apa yang ingin kau lakukan kepadaku. Akhir-akhir ini aku tidak tahu harus melakukan apa. Jadi jika ada orang melakukan apa-apa terhadapku, maka lebih baik menurut saja!"
Terbelalak mata Bun Tek Thian. Matanya lebih terbelalak lagi ketika Cio San melanjutkan,
"Apa lagi jika kemana-mana ada orang yang menggendongku dan
menyuapiku makan!" Bab 29 Persahabatan Baru

Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bun Tek Thian tidak habis pikir. Ada orang di dunia ini yang seperti Cio San.
"Jadi selama ini kau menikmati kugendong-gendong dan kusuapi?" tanyanya
"Kan sudah pernah kubilang, jika aku bercerita kepada orang-orang, pasti tak satu pun yang percaya aku digendong-gendong dan disuapi makan oleh salah seorang tianglo Ma Kauw" jawab Cio San, "Eh tapi kakek yang baik, jangan bergerak dan berbicara dulu. Keadaan tubuhmu masih berbahaya.
Obat yang kuberikan tadi hanya untuk membantu menahan serangan racun, sama sekali tidak menyembuhkan"
"Cio San, bukankah kau juga minum arak dan makan makanan yang sama,
kenapa kau tidak keracunan?" Tanya sang kaucu.
"Saya juga tidak mengerti kaucu. Justru itu yang membuat saya lambat
bergerak sehingga ada saudara-saudara Ma kauw ada yang tidak tertolong.
Saya harus mencoba mengerahkan tenaga dalam saya dulu. Dan setelah
yakin bahwa saya tidak apa-apa, baru saya bisa bergerak menyelamatkan yang lain"
Sang Kaucu lalu bertanya lagi,
"Kau memang hati-hati sekali Cio San, apakah kau tau kira-kira
penyebabnya apa?" "Saya hanya bisa menduga-duga, ada sesuatu yang pernah saya makan
yang membuat tubuh saya anti terhadap racun. Mungkin ketika di dalam goa saat saya hidup bersama Kim Coa (ular emas). Saya makan apa saja yang tumbuh di sana. Bisa saja itulah yang membuat tubuh saya berbeda dengan saudara-saudara yang lain"
"Hmmm..bisa saja" kata sang Kaucu. "Ah, seumur hidup pun aku tak
menyangka jika Po Che King akan mengkhianatiku."
"Selama ini keparat itu tidak pernah punya nafsu dan ambisi yang besar."
Kata salah seorang. "Apakah ada tindakan atau perintahku yang menyalahi dia?" Kaucu
termenung heran. "Tidak ada kaucu. Selama ini kaucu selalu baik dan adil terhadap kami"
semua menjawab kompak dan serentak.
"Saya menduga ini bukan hanya pemberontakan biasa kaucu. Ada rahasia di balik ini yang harus diselidki lebih dalam" tukas Cio San
"Kau adalah orang yang cerdas, apakah kau mempunyai pemikiran lain?"
"Jika kita perhatikan du dunia kang ouw yang terjadi belakangan ini, hampir semua partai besar mengalami ini. Lihat yang terjadi dengan Kun Lun Pay.
Ketua mereka hampir saja terbunuh. Tiga orang pengkhianatnya lari, dan akhirnya terbunuh oleh Ang Hoat Kiam Sian (dewa pedang rambut merah).
Jaman waktu saya menjadi buronan dulu, ciangbunjin butongpay juga
mengalami keracunan. Untunglah beliau selamat. Ada juga beberapa partai yang lebih kecil juga ketuanya mati terbunuh oleh para pembunuh rahasia yang bertopeng itu. Menurut saya, semua ini jelas ada hubungannya" jelas Cio San
"Betul juga. Apakah menurutmu Po Che King ada hubungannya dengan itu
semua?" tanya sang Kaucu.
"Mungkin saja ada. Ketika saya memukulnya, ia tidak mati. Tapi ia
kemudian mati karena racun. Saya telah memperhatikan tidak ada seorang pun yang meracuninya. Karena semua orang sedang sibuk menyembuhkan
dirinya sendiri oleh racun. Lagipula, jika ada yang bergerak meracuninya, saya pasti tahu. Oleh karena itu, kemungkinan besarnya adalah Po Che King meracuni dirinya sendiri. Ia mungkin takut kita periksa dan tanyai alasan pemberontakannya. Bisa juga ia takut kegagalannya itu akan membuatnya dihukum oleh orang yang memerintahnya melakukan pembenrontakan" kata
Cio San. "Jadi kau menganggap ia memiliki atasan?"
"Tentu saja. Jika semua pembunuhan ini berkaitan, pasti ada seorang
pemikir besar yang sangat cerdas yang mengatur semuanya. Orang itu pasti memiliki kekuasaan yang sangat besar. Orang-orangnya ada di mana-mana.
Para pembunuh bertopeng pastilah anak buahnya."
"Dan pasti juga kedelapan orang yang menghadang kita di hutan bambu
kemarin" sahut bun Tek Thian.
"Pastinya bukan" tukas Cio San
"Kenapa bukan?" tanya Bun Tek Thian
"Karena mereka tidak memakai topeng" jawab Cio San santai
"Memakai topeng kan bukan kewajiban. Membunuh orang kan bisa pakai
baju apa saja. Baju tentara pun boleh" sanggah Bun Tek Thian.
"Kalau biasa membunuh memakai topeng, kenapa sekarang membunuh
memakai baju tentara?" Cio san tersenyum. Ia melanjutkan,
"Aku yakin para tentara ini pasti dari kelompok yang berbeda. Karena jika mereka memang benar kelompok bertopeng, mereka tidak perlu repot-repot berdandan tentara"
"Tapi bukankah jika mereka memakai topeng, mereka bisa melimpahkan
kesalahan pada kelompok bertopeng jika seumpamanya ketahuan?" kali ini sang kaucu yang berkomentar.
"Pemikiran yang bagus, kaucu. Tapi menurut saya, justru jika mereka
memakai topeng dan ketahuan, maka jika kelompok mereka terbongkar
seluruhnya, maka posisi mereka akan terdesak. Segala pembunuhan yang
dilakukan kelompok bertopeng akan ditimpakan kepada mereka. Justru itu akan semakin menguntungkan kelompok bertopeng"
Cio san kemudian melanjutkan,
"Maka saya menduga, tentunya kelompok "tentara" dan kelompok pembunuh bertopeng ini adalah dua kelompok yang berbeda. Salah satu bisa saja lebih kuat dari yang lain. Ini perlu diselidiki lebih lanjut"
"Aku tahu darimana kita memulai menyelidiki hal ini. Segera temukan Keh losiansing!" kata sang Kaucu bersemangat.
"Siapa Keh losiansing?"
"Dia tabib ahli pengobatan yang dimiliki Ma kauw. Semua obat dan racun, dia yang buat."
"Apakah dia juga ahli silat?" tanya Cio San lagi
"Dia tidak bisa silat sama sekali" tukas Ang Soat-kaucu
"Berarti dia sudah mati, kaucu" kata Cio San sambil menggeleng-geleng kepala.
"Bagaimana kau tau?"
"Jika ada orang yang bisa menciptakan racun yang tanpa bau, tanpa rasa, dan bisa berakibat sehebat racun tadi, maka orang ini adalah orang yang sangat berbahaya. Begitu dia berhasil membuat racun itu, orang lain pasti akan berharap dia akan menyimpan rahasia itu rapat-rapat sehingga tak ada orang lain yang tahu. Dan hanya orang matilah yang bisa menyembunyikan rahasianya rapat-rapat. Tadi pun Po Che King menyebut nama Keh
Losiansing. Itu karena dia tahu, dia tak perlu takut Keh losiansing akan membuka rahasia. Karena Keh Losiansing sudah mati"
"Lalu menurutmu siapa yang membunuhnya?"
"Pastilah atasannya. Yang memesan racun seperti itu. Jika Keh losiansing sudah mati itu memang sudah seharusnya. Aku baru kaget jika ia belum
mati" Kaucu termenung. Segala perkataan Cio San masuk akal. Dia yang sudah
sangat berpengalaman dalam hidup pun belum tentu mampu mengambil
kesimpulan secepat dan secermat itu. Ia hanya bisa duduk dan memandang Cio san yang sambil berbicara, sibuk mengobati anak buahnya yang terluka.
"Kau memang orang yang liang sim (berhati mulya). Kami telah
menculikmu, tapi kau tidak membalas, malah menolong kami semua."
"Jika aku membalas, apa yang kudapatkan, kaucu?"
"lalu jika kau menolong kami, apa yang kau dapatkan?"
"Persahabatan!" sahut Cio San sambil tersenyum.
"Apa gunanya bersahabat dengan partai ma Kauw" Kami adalah orangorang terbuang dari dunia persilatan. Anggota kami adalah para siauw jin.
Orang hina dina. Di mana-mana kehadiran kami ditolak. Manfaat apa yang kau dapatkan jika bersahabat dengan kami?"
"Saya tidak pernah melihat sesuatu dari azas manfaat. Semua saya lakukan karena saya SUKA"
Di dunia ini memang tidak ada yang bisa mengalahkan kata "SUKA". Kenapa kau suka makanan A, dan bukan makanan B" Kenapa kau lebih suka musik
daripada memancing" Tiada yang bisa menemukan jawaban yang tepat.
Kalau sudah suka, ya suka. Tidak perlu ada alasan karena menyukai
sesuatu. Begitu pula dengan cinta. Kau tak perlu alasan apapun karena mencintai seseorang.
Dan Ma Kaucu yang berpandangan luas pun paham hal ini. Ia tersenyum,
"Kau memang mirip dengan gurumu Kam Ki Hsiang"
"Terima kasih, kaucu" Cio San tersenyum tulus.
Setelah beberapa lama ia membantu semua orang yang terkena racun, Cio San berkata,
"Kaucu, saya sendiri belum tahu obat apa yang bisa benar-benar
memunahkan racun ini secara sempurna. Tadi saya sudah mengarahkan
tenaga dalam kepada semua orang. Ini hanya sekedar upaya untuk
menjinakkan racunnya saja. Ia bisa kembali menyerang tubuh kapan saja jika tidak segera dipunahkan dengan sempurna. Saya mungkin butuh waktu untuk mencari dan meracik obatnya"
"Apa yang kau lakukan kepada kami ini tidak sanggup kami balas dengan kebaikan apapun Cio San. Lakukanlah apa yang kau bisa. Kami menurut apa katamu saja. Eh ngomong-ngomong, dimana kau belajar ilmu pengobatan?"
"Kam suhu memberi sebuah kitab masak, yang ternyata juga berisi
pelajaran tentang bahan-bahan yang berguna bagi tubuh manusia. Dari
situlah saya belajar sedikit tentang pengobatan. Tuan, kalau boleh saya tahu, apakah jumlah anggota yang ada di markas besar ini hanya ini saja atau ada orang lain?"
"Hanya ini saja. Anggota kami jumlahnya puluhan ribu, tapi menyebar di seluruh tionggoan. Hanya inilah anggota yang berada di markas utama.
Memangnya kenapa Cio San?"
"Jika perkiraan saya benar, mungkin tak lama lagi akan ada pasukan yang menyerang kesini. Mereka akan tetap kesini baik Po Che King berhasil atau tidak dalam usahanya meracuni kalian semua. melihat keadaan kita
sekarang, rasanya tidak mungkin kita bisa melawan mereka. maka saya
sarankan kita menyingkir dulu sementara untuk menyembuhkan diri dan
mengatur langkah" "Kalau begitu kita harus segera menyingkir. Cepat siapkan diri, aku
mempunyai sebuah jalan rahasia" kata Ma Kauw Kaucu.
Setelah mengumpulkan perbekalan dan obat-obatan, seluruh orang yang
berjumlah kurang lebih 50 itu bergegas mengikuti sang Kaucu. Jalan rahasia itu ternyata berada di bawah tempat tidurnya. Sebuah jalan kecil yang lebarnya hanya cukup dilalui dua orang.
"Sudah umum jika sebuah partai besar memiliki jalan rahasia" kata Kaucu
"Kau tak pernah tau apa yang akan terjadi, oleh karena itu harus bersiap-siap"
Cio San mengangguk dan tersenyum, "masuk akal juga" katanya.
Jalan rahasia itu berkilo-kilo panjangnya. Kadang mereka harus berhenti untuk beristirahat. Sekitar setengah jam, lalu kembali melanjutkan
perjalanan. Hampir 5 jam mereka melewati terowongan yang sempit itu,
untunglah tak lama kemudian terlihat cahaya di ujung sana.
Begitu keluar, ternyata mereka sudah berada di pinggiran sungai. Gunung kecil tempat markas Ma Kauw ternyata adalah sebuah bukit yang dekat
dengan sungai besar. Seseorang lalu datang menyambut mereka,
"Salam hormat, dan panjang umur kepada Kaucu!" kata orang itu sambil
berlutut. "Apakah kapal siap?" tanya Kaucu.
"Selalu siap. Kemana kita akan pergi, kaucu?"
"Ke Istana ular"
Bab 30 Perjalanan Di atas Kapal
Rombongan yang berjumlah 50 orang lebih itu lalu menaiki kapal. Dalam hati Cio San kagum juga melihat pengaturan partai yang rapi seperti ini.
Mereka selalu bersiap menghadapi segala macam persoalan. Ini sudah pasti karena kecerdasan dan kehati-hatian sang kaucu.
Kapal yang mereka naiki lumayan besar. Lebih dari cukup untuk
menampung 50 orang. Pintarnya, mereka menyamarkan kapal ini seperti
kapal nelayan biasa. Orang biasa akan mengira kapal ini sebuah kapal
nelayan besar yang biasa berlayar di sungai Tiang Kang (sungai Kuning).
Para "nelayan" yang ada di kapal ini pun ada. Mereka terlihat bekerja seperti biasa. Kotor, dan bau. Seperti kapal nelayan umumnya. Namun di bagian dalam kapal ini, rapi, wangi, dan mewah sekali. Bau amis dari bagian atas kapal sama sekali tidak tercium di dalam.
Di bagian dalam inilah, para anggota Mo Kauw yang terluka kini beristirahat.
Sang Kaucu menempati kamarnya sendiri. Beberapa petinggi Mo Kauw ada
yang satu kamar bersama sampai 4 atau 5 orang. Sisanya berkumpul dalam suatu bangsal yang luas di bagian dasar kapal. Walaupun Cio San diberikan sebuah kamar tersendiri, ia memilih bergabung dengan para anggota Mo
Kauw yang ada di bangsal ini. Bercengkerama dengan mereka, bercanda,
dan menikmati arak. Sudah lama Cio San memang tidak minum arak. Dia merasa kadang orang
Kang ouw terlalu mengunggulkan kemampuan minum arak. Tapi memang
benar. Kemampuan bertahan minum arak adalah salah satu bentuk
tingginya tenaga dalam seseorang juga. Oleh karena itu banyak pesilat tangguh yang gemar minum hanya untuk memperlihatkan kekuatan tenaga
dalamnya. Cara minum yang sekali tenggak langsung habis.
Cio San tidak. Baginya arak adalah seni. Dinikmatinya harus perlahan-lahan. Oleh sebab itu dia tidak pernah minum arak selama ini. Karena arak, haruslah dinikmati bukan untuk "ditelan". Jika tidak ada waktu yang tepat, maka ia tak akan minum arak. Dan waktu yang tepat bagi Cio San saat minum arak adalah
saat ia benar-benar sendiri. Bersama rembulan. Bersama awan kelabu.
Itulah saat terbaik untuk minum arak baginya. Ia menganggapnya sebagai sesuatu yang sakral. Karena itulah ia tidak pernah minum. Karena saat benar-benar sendirian tidak pernah ada selama ini.
Kini, saat berkumpul bersama anggota Mo Kauw, Cio San menyaksikan
banyak hal. Kesetiaan. Kesetiakawanan. Semua orang menolong
sesamanya. Bahkan saat ketika ia mengobati yang terluka, setiap orang meminta ia mengobati temannya yang lain dulu. Mereka mendahulukan
temannya untuk diobati daripada diri mereka sendiri. Kadang Cio San
bingung harus mengobati siapa, karena setiap orang mendahulukan yang
lain. Hal seperti ini tidak pernah ia temukan di Butong pay. Kebanyakan mereka memang orang-orang terpilih, yang cerdas, berbakat, dan datang dari
keluarga terhormat. Jika kau pintar, gagah, dan dari keluarga terhormat, maka tidak alasan bagimu untuk tidak sombong. Maka itulah yang terjadi pada murid Butongpay. Masing-masing merasa dirinya hebat. Masing-masing bersaing satu sama lain untuk menjadi yang terbaik. Memang ada beberapa murid baik yang berbeda dengan yang lain, seperti Beng Liong dan beberapa orang lainnya. Tapi jika dibandingkan dengan jumlah murid
Butongpay yang mencapai ribuan, semua itu percuma.
Anggota Mo Kauw yang berdandang aneh, yang anggota-anggotanya adalah
para Siauw Jin, yaitu orang-orang hina kelana, dari kalangan rendahan yang kotor, dan kumal. Tapi mereka bukan Kay Pang (partai Pengemis) yang suka minta-minta namun dianggap terhormat. Anggota partai Mo Kauw ini banyak juga yang bekerja. Sebagai kuli. Sebagai tukang sayur. Sebagai tukang roti atau tukang daging dan pasar.
Mereka bercampur baur dengan segala macam perampok, perompak,
maling, dan tukang copet. Oleh sebab itu sangat sukar membedakan mana anggota Mo Kauw mana yang penjahat betulan. Maka itulah ada sebagian
orang awam yang menyangkan semua orang Mo Kauw adalah penjahat.
Bahkan banyak dari mereka yang "mengaku" pendekar merasa bahwa
seluruh anggota Mo Kauw harus dilawan atau dimusnahkan.
Cio San pun awalnya berfikir seperti itu. Tapi begitu ia kenal dekat dan menghabiskan waktu bersama mereka, semakin sadarlah bahwa berita yang ia dengar tidak benar. Anggota Mo Kauw walaupun cara bicaranya tak tahu sopan santun, sering mengumpat, tidak pernah mandi dan membersihkan
diri, adalah orang-orang paling tulus yang pernah ia temui. Semua orang mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri.
Anggota Mo Kauw pun menerima kehadiran Cio San dengan tangan terbuka
dan ramah. Tidak ada sekalipun Cio San merasa diperlakukan sebagai orang luar. Bahkan saking tulusnya orang-orang Mo Kauw ini Cio San jadi tidak enak sendiri.
Seorang anggota yang tubuhnya penuh kudis dan nanah datang kepadanya,
"Ini aku hanya punya satu selimut yang kupakai setiap hari dan menamani malam-malam ku yang dingin. Kau pakailah biar tidak kedinginan"
Seorang anggota lainnya, yang tidak pernah mandi dan tidak pernah gosok gigi selama beberapa hari. Ada potongan cabe yang terselip di giginya selama beberapa hari. Datang kepadanya dan berkata, "Ini makanlah apel ini, maaf sudah ku gigit sedikit karena aku takut apelnya asam. Memberikan apel asam kepada sahabat sama saja dengan tidak menghormatinya"
Seorang anggota lain, yang rambutnya mengeras karena mungkin tidak
pernah dicuci selama beberapa bulan, yang dipenuhi kutu, yang selalu ia garuk sehingga kulit kepalanya yang setengah botak banyak luka di sana sini, berkata kepadanya "Bawalah bantalku, sekedar unutk menyandarkan kepala jika kau keletihan"
Menghadapi kebaikan seperti ini, apa yang bisa kau lakukan"
Cio San menerimanya dengan senang hati. Karena cara terbaik membalas
pemberian yang tulus, adalah dengan menerimanya dengan tulus juga.
Selimutnya dipakai, apelnya dimakan, dan bantalnya digunakan.
Ia tidak merasa jijik, karena ia merasa dirinya tidak lebih tinggi dari siapapun. Ia menyukai kebersihan dan kesehatan. Tapi ia lebih menyukai ketulusan. Karena orang yang tulus akan tetap tulus. Dan orang yang
bersih, kadang menyimpan kekotorannya tersendiri.
Siapa yang tidak tahu jika banyak wanita yang paling cantik dan pria paling tampan pun ternyata kotorannya bau, dan yang lebih menyedihkan adalah mereka menyimpan kebusukan di hatinya.
Dan siapa pula yang tidak tahu bahwa banyak orang yang paling bau pun ternyata hatinya bersih.
Karena itulah Cio San tidak merasa jijik. Baginya selimut yang dipakai orang najis namun diberikan secara tulus, jauh lebih bersih daripada selimut wangi yang diberikan wanita cantik yang licik.
Orang seperti Cio San ini akan mudah bersahabat dengan siapa pun. Tapi teman-teman terbaiknya selalu merupakan orang-orang rendah dan hina.
Orang-orang yang dianggap hina seperti ini selalu menganggumkan baginya.
Karena ia tahu, semakin miskin mereka, semakin sering mereka menjamu
sahabat-sahabatnya. Semakin miskin mereka, semakin mereka sering
membuat kebaikan kepada orang lain.
Selama ia tinggal di Lai Lai, sudah sering ia melihat dan mendengar
kemunafikan. Herannya semakin kaya dan terhormat seseorang, semakin
munafik juga lah dia. Semakin kaya, bajunya semakin jelek. Karena ia takut dianggap memboroskan uang. Semakin kaya ia semakin sering
mengeluarkan derma, karena ia khawatir dituduh kikir. Semua perbuatan yang dilakukan karena TAKUT dicap jelek orang lain. Bukan karena hatinya yang menyuruhnya berbuat kebaikan.
Cio San bukannya benci kepada orang kaya. Ia tahu kekayaan jauh lebih baik daripada kemiskinan. Tapi ia hanya takut, kekayaan akan merubahnya.
Merubah sahabat-sahabatnya. Merubah dunianya. Karena kekuasaan uang
bisa merubah manusia. Karena selain kekuasaan, uang dan cinta, apalagi yang bisa merubah manusia"
Oleh sebab itulah ia memilih hidup sederhana.
Dan biasanya justru orang-orang sederhanalah yang hidupnya benar-benar bahagia.
Hidup mereka tidak dipenuhi oleh keinginan-keinginan. Mereka diliputi oleh rasa syukur. Mereka tidak pernah berdoa untuk meminta sesuatu. Mereka berdoa agar orang lain diberikan kebahagian. Mereka tidak berdoa bagi diri mereka sendiri.
Manusia-manusia sederhana seperti ini, tidak pernah menjadi orang kaya.
Jika mereka menjadi kaya sekalipun, mereka akan berusaha sebaik-baiknya untuk membagi kekayaan itu sehabis-habisnya kepada orang lain.
Cio San lahir dari seorang ayah siucai (sastrawan). Seniman yang cara hidupnya berbeda dengan orang kebanyakan. Pola pikirnya menyelentang
dari kebiasaan umum. Kebahagiaan mereka berada pada cara hidup yang
bebas. Bebas dari keinginan, dari apapun. Mereka mengenal keindahan,
kecantikan, dan kebahgiaan karena jiwa merdeka. Itulah kenapa banyak
wanita mengagumi para siucai. Tertarik dengan hidup mereka yang bebas tanpa beban.
Dan itulah kenapa banyak wanita yang takut hidup bersama seniman.
Karena jiwa yang bebas, pastilah dekat dengan kemiskinan. Seseorang yang jiwanya bebas, tidak akan pernah terikat dengan uang, ketenaran, maupun kekuasaan. Itulah sebabnya amat banyak seniman di dunia ini, tapi amat sedikit yang kaya.
Ibu Cio San adalah pendekar Gobi Pay. Walaupun wanita, ia paham tentang hidup yang bebas. Wanita seperti ini adalah wanita yang gemar mengarungi alam. Menantang kehidupan. Mereka menikmati alam, bukan untuk sekedar menyegarkan diri, atau berpesiar. Mereka menikmati alam karena mereka tahu, betapa kecilnya mereka dengan alam. Betapa tak berdayanya mereka di hadapan alam. Wanita-wanita seperti ini pun akan jarang mampu
mengikatkan diri kepada apapun. Tapi jika ada lelaki tepat yang mampu memahami hatinya, maka wanita seperti ini akan mudah jatuh bagai anak kucing ke pelukan tuannya.
Dari keluarga seperti inilah Cio San berasal. Bukan dari kalangan terhormat.
Karena bagi mereka kehormatan tidak terletak pada seberapa megahnya
rumah yang dimiliki, seberapa banyak kuda dan hewan peliharaan. Seberapa bagus baju yang dipakai. Seberapa mewah makanan yang dinikmati.
Melainkan terletak kepada seberapa mampu mereka berguna bagi orang
lain. Seberapa mampu mereka menghormati orang lain yang tidak ada
seorang pun menghormatinya. Itulah kehormatan yang sejati!
Maka dari itu, Cio San menggunakan selimut kotor dan bantal berkutu itu dengan nyaman. Ia menikmati apel separuh busuk yang sudah digigit
dengan gigi yang kuning itu dengan nikmat. Karena kenikmatan tidak
terdapat pada seberapa mewah dan lezatnya sesuatu. Kenikmatan terdapat pada rasa syukur.
Siapa yang bilang buang air itu tidak bau" Tapi siapa juga yang berani bilang bahwa buang air itu tidak nikmat" Siapa yang bilang tidak nikmat, silahkan menahannya selama seminggu. Lalu lihatlah apa kau masih bisa hidup
dengan nyaman. Cio San selalu bersyukur atas apa yang dia miliki. Ia selalu menghargai apapun yang ada di dalam hidupnya. Oleh sebab itu ia hidup tanpa beban.
Tanpa prasangka. Tapi ia pun hidup dengan cerdas. Karena ia tahu dunia tidaklah seindah yang dibayangkan. Ada ketidakadilan. Ada penindasan.
Pengkhianatan. Kecurangan.
Oleh sebab itu, ia hidup tidak sebagai orang yang polos dan lugu. Ia hidup sebagai orang yang gagah yang berbuat sesuatu kepada sesama. Karena ia paham, hanya itulah cara satu-satunya agar dunia menjadi lebih baik.
Ayahnya pernah berkata, "Bangunlah rumah. Jangan merusaknya"
"Tapi ketahuilah, kadang untuk membangunnya, kau harus merusaknya
terlebih dahulu" Begitu banyak kita melihat hal ini dalam kehidupan kita.
Seperti sepasang kekasih yang bertengkar dan berpisah. Hanya untuk
kemudian sadar bahwa mereka tak pernah bisa hidup tanpa satu sama lain.
Seperti pohon kering yang mati, namun kemudian dari ampasnya lahirlah tunas tunas baru.
Itulah kehidupan! Terkadang kau harus menghancurkan sesuatu untuk menciptakan sesuatu.
Terkadang kau sendiri harus mengalami kehancuran, baru kemudian kau
mengalami pencerahan. Dalam seluruh kejadian yang pernah dialaminya, mulai dari kelahiran yang tidak normal. Pembunuhan keluarganya. Penghinaan, fitnah, pelarian dan pengusiran di Butongpay, Cio San percaya bahwa itu semua adalah
"penghancuran" untuk mencapai pencerahan.
Ia tahu dan paham, bukan berarti ia tidak sedih dan menderita.
Karena manusia memiliki hati. Karena Cio San adalah manusia biasa.
Kepahaman ini, hanya membuatnya sabar dan terus bertahan. Tidak
membuatnya mati hati dan tak berperasaan.
Kini ia duduk dan bercanda bersama mereka. Menceritakan cerita cerita lucu yang biasanya diceritakan ayahnya kepada ibunya. Jika seorang laki-laki bisa membuat wanita tertawa, maka ia telah berhasil menarik perhatiannya.
Maka kini, seorang wanita Mo Kauw sedang berjalan ke arahnya. Cio San sedang di puncak geladak. Menikmati angin malam yang dingin. Ia ingin melihat bintang-bintang. Banyak lelaki yang suak memandangi bintang.
Mereka merasa bintang mewakili cahaya mata kekasihnya. Cio San
termasuk salah satunya. "Sendirian?" kata wanita itu.
Sebua pertanyaan yang tidak perlu dijawab, tapi Cio San mengangguk
sambil tersenyum. "Aku punya arak. Maukan kau minum bersamaku?" wanita Mo Kauw adalah
wanita yang rata-rata berfikiran bebas. Adab sopan santun pun kadang tidak mereka perdulikan.
Cio San paham ini. Karena itu ia tidak kaget dan tidak menolak.
Jika seorang wanita mengajak laki-laki mabuk. Itu karena ia butuh teman bicara.
"Engkau pasti merindukan kekasihmu" Siapa namanya" tanya si wanita
"Namanya Mey Lan" jawab Cio San.
Mereka duduk saling berdampingan. Bersandar di pagar kapal.
"Lalu siapa nama kekasih yang kau pikirkan juga itu?" tanya Cio San balik.


Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil menuangkan arak. "Kau ingin tahu namanya" Kau tidak ingin tahu namaku?" tanya si wanita
"Aku sudah tahu namamu" jawab Cio San sambil tersenyum. Menyodorkan
secangkir arak. "Ooh" jawab si wanita pendek. Lalu meminum arak itu. Ia minum dengan
cepat. Orang yang minum arak dengan cepat, hanya ada dua kemungkinan.
Sedang bersedih, atau memang sudah ahli.
Sesudah minum ia lalu bertanya, "Siapa?"
"Kau sudah tahu namamu sendiri, kenapa tanya kepadaku?" Cio San
menggoda. Wanita manapun suka digoda.
"Dasar! Ayo sungguhan. Dari mana kau tahu namaku?"
"Semua orang di sini tahu namamu, kenapa aku tidak bisa tahu namamu?"
Jika ada orang yang tidak kau kenal, mengenalmu. Kau pasti senang.
Perempuan, jika ada orang laki-laki yang tahu namanya pasti juga senang.
"Sudahlah, mengaku saja kalau kau tidak tahu namaku!" ia tersenyum lalu menuangkan arak bagi dirinya sendiri. Lalu minum dengan cepat.
Minum arak memang paling nikmat dengan orang yang seperti ini. Pada
awalnya Cio San selalu merasa minum arak harus dengan cara yang pelan.
Tapi jika seorang lelaki sedang merindukan kekasihnya, maka ia tak akan mampu minum arak dengan pelan-pelan.
Akhirnya Cio San paham juga hal ini. Karena ia sendiri sedang merindukan Mey Lan. Dan ia sendiri menuangkan arak ke dalam mulutnya dengan cepat.
"Namaku Tio Sim Lin. Aku orang suku Miu"
Si wanita itu sendiri yang menjawab pertanyaannya. Memang jika seorang laki-laki bisa membuat wanita penasaran. Maka laki-laki itu menjadi lebih menarik di hadapan wanita.
"Aku tahu" jawab Cio San pendek.
"Kalau sudah tahu kenapa tadi tidak kau sebutkan namaku?"
"Kau sendiri sudah tahu namamu, mengapa harus kusebutkan lagi"
Mereka berdua tertawa. Cio San memang sudah tahu namanya. Ia tahu
nama semua orang di kapal itu. Tanpa berkenalan pun ia tahu. Karena
telinganya tidak pernah salah. Karena ia memperhatikan dan menyimak.
Orang yang suka menyimak dan memperhatikan memang biasanya tahu
lebih banyak. Ia pun tahu Tio Sim Lin adalah orang suku Mui. Suku Mui adalah suku yang mendiami bagian barat Tionggoan. Gaya hidup mereka bertualang dan dekat dengan alam. Kebanyakan mereka beragama Islam. Perempuannya jauh
lebih bebas dan terbuka dari pada orang Han umumnya.
"Awalnya aku hanya ingin berterima kasih kepadamu sudah menyelematkan kami tadi siang" kata Tan Sim Lin. "Tapi saat ku lihat kau duduk melamun di sini. Ku pikir lebih baik ku ajak kau minum arak. Supaya tidak kesepian. Kau nampaknya butuh teman"
"Haha. Sebenarnya aku yang kesepian atau engkau yang kesepian" Tapi itu tak penting. Ada sahabat dan ada arak, bukankah itu adalah hal paling nikmat di dunia ini?" sambil berkata begitu Cio San menuangkan lagi arak ke dalam mulutnya
"Kau benar. Ada sahabat dan ada arak. Apalagi yang perlu kau risaukan?"
Tio Sim Lan pun mengangkat cangkir ke mulutnya.
Agak lama mereka terdiam, sebelum kemudian Cio San berkata,
"Eh kau belum memberitahukan siapa namanya."
"Namanya siapa?" tanya Tio Sim Lin
"Nama kekasih hati yang kau rindukan itu" Cio San tersenyum. Untuk
pertanyaan seperti ini ia harus hati-hati. Karena perempuan jika ditanyakan pertanyaan seperti ini, biasanya cuma ada dua reaksi. Yang pertama adalah senyum berbunga-bunga. Atau marah tak karuan. Untunglah Tio Sim Lin
tersenyum, "Kau pasti mengenalnya" matanya berbinar-binar dan senyumnya semakin
manis. Cio San menatapnya baik-baik. Ia sudah sangat sering melihat wajah seperti ini,
"Jangan bilang kau sedang jatuh cinta dengan Butongpay Enghiong Beng
Liong?" kata Cio San
Tio Sim Lin kaget, "Bagaimana kau bisa menebak dengan tepat?"
Cio San sudah sering melihat raut muka wanita seperti itu jika mereka membicarakan Beng Liong. Cinta, kagum, namun juga sedih. Kenapa sedih"
Karena wanita-wanita itu tahu Beng Liong terlalu tinggi bagi mereka.
Bila mencintai atau menyukai seseorang itu kadang begitu menyakitkan, mengapa masih banyak orang yang melakukannya"
Melihat Cio San hanya tersinyum saja, ia kembali bertanya,
"Kau kekasihnya?"
"Bukan. Tapi cepat katakan, bagaimana kau bisa tahu?"
"Semua perempuan di muka bumi ini suka Beng Liong. Semua perempuan di kolong langit ini sudah pernah mendengarkan namanya. Bahkan jika itu
perempuan tuli pun, pasti sudah pernah mendengar namanya. Bukan hal
aneh, jika kau pun suka padanya"
Sebenarnya Cio San ingin menenangkannya, tidak tahunya malah ia tambah marah,
"Jadi kau bilang, seluruh wanita menyukainya, dan aku tidak ada
kesempatan" Begitu?"
"Siapa yang bilang begitu?" tanya Cio San heran.
"Kau tidak bilang. Tapi dari omonganmu sudah jelas tersirat seperti itu"
Cio San akhirnya diam. Ia sudah paham. Mengajak wanita berdebat, sama saja dengan mengajak harimau berkelahi.
"Kenapa kau diam saja?" tanyanya dengan pandangan mata yang tajam.
Tapi Cio San tidak tahu, jika wanita sudah mengajakmu bertengkar, maka segala cara yang kau lakukan untuk menghindarinya pun percuma.
Akhirnya ia tersenyum, "Kalau kau terus memarahiku, aku tidak akan menceritakan sebuah rahasia Beng Liong kepadamu"
Dengan Akhirnya ia paham, cara membuat tenang wanita yang sedang marah,
adalah memberikan apa yang disukainya.
"Rahasia apa?" tanya Tio Sim Lin tertarik.
"Banyak rahasia, terutama rahasia untuk menarik hatinya. Apakah kau lupa, aku adalah mantan murid Butongpay. Setiap hari aku bertemu dan
mengobrol dengannya. Bahkan ia adalah satu-satunya orang Butongpay
yang baik kepadaku" "Aku tahu kau mantan murid botongpay. Tapi aku tak tahu kau seakrab itu"
"Kami betulan akrab." Cio San mengangguk serius.
"Pasti kau menipuku supaya aku tidak jadi marah bukan?"
"Aku memang takut kau marahi, tapi betulan aku tidak bohong. Kami
memang akrab" "Coba ceritakan semua tentang dia" tukas Tio Sim Lin. Wajahnya kena
merona Di dunia ini memang tidak ada yang paling menarik bagi perempuan selain membahas laki-laki yang disukainya.
Cio San bercerita. Tentang kebaikan-kebaikan Beng Liong. Tentang bakat silatnya yang luar biasa. Tentang makanan kesukaannya. Tentang tubuhnya yang selalu harum. Tentang kesetiakawannya. Tentang kegagahannya.
Ia tidak menambah-nambah dan mengurangi. Semuanya persis seperti yang diingat dan dikenangnya. Tio Sim Lin memperhatikan dengan senang.
"Eh ngomong-ngomong, dimana kau bertemu dengannya" "
"Aku..aku bertemu dengannya pertama kali saat ia menyelamatkan aku.
Saat itu aku berkelahi dan terluka. Aku hampir mati terbunuh. Untunglah dia datang dan menolongku. Ia tetap sopan dan hormat padaku. Padahal ia tahu aku orang Mo Kauw."
Beng Liong memang orang yang seperti itu. Tidak pernah memilih-milih
kawan. Sedikit banyak ia memang mirip dengan Cio San.
"Lalu setelah itu?"
"Ia bahkan mengobatiku. Luka-lukaku cukup parah. Saat itu kami di hutan dan tak ada siapa-siapa yang mau menolongku. Ia akhirnya menemaniku
selama dua hari sampai aku sembuh betul"
"Dua hari bersama Beng Liong" Jika ada perempuan yang mendengar
ceritamu ini mereka akan tertawa terbahak-bahak karena tidak percaya, atau menangis meraung-raung karena iri"
"Sudah pasti" sahut Tio Sim Lin sambil tersenyum
"Dan sudah pasti setelah mendengar ceritamu, akan banyak perempuan
yang berkelahi dan pura-pura terluka agar ditolong Beng Liong"
"Hahaha. Mungkin saja"
"Lalu kenapa kau masih bersedih?" tanya Cio San.
Tio Sim Lin terdiam lama. Lalu berkata,
"Kau kan tahu, harapanku kecil sekali. Jika dia pernah menolongku, sudah pasti ada lebih banyak lagi perempuan yang sudah ditolongnya, atau akan ditolongnya. Bertanya nama dan alamat saja ia tidak melakukannya."
Cio San ikut bersimpati juga.
"Aku tidak menanyakan namamu, tapi aku tahu namamu. Bisa saja Beng
Liong seperti itu" "Tapi kau kan bisa tahu namaku, dari saudara-saudara yang lain. Kami
semua mengobrol dan saling menyebut nama. Kalau mau mendengarkan
sedikt, kau pasti tahu namaku. Tapi kalau dia" Kami sendirian di hutan. Ia menolongku, mengobati lukaku, bahkan menyuapiku makan. Dan ia sama
sekali tidak menanyakan namaku!"
Jika laki-laki tidak menyanyakan nama perempuan, itu pasti karena dua hal.
Ia tidak tertarik. Atau dia terlalu malu.
"Pastilah ia malu untuk menanyakannya. Beng Liong adalah orang yang
menjaga kehormatan. Dia tidak menanyakan namamu, karena ia takut kau
merasa sungkan menyebutkan namamu"
"Bagaimana ia tahu aku sungkan menyebut nama! Dia tidak mau bertanya!"
Tio Sim Lin sudah mulai marah lagi.
"Kau lupa akan satu hal, nona Tio"
"Apa?" "Ada sebagian lelaki, yang berterus terang kepada orang yang disukainya.
Tetapi ada juga sebagian lelaki, yang malu kepada orang yang disukainya.
Ia memilih seumur hidup menyimpan perasaannya"
"Kenapa juga harus menyimpan perasaan?"
"Karena lelaki itu tahu, jika ia mengungkapkannya, banyak hal-hal rumit yang akan terjadi."
"Seperti?" "Seperti permusuhan Butongpay dan Mo Kauw misalnya" jawab Cio San. Ia menenggak arak lagi. Sayangnya itu tetesan arak yang terakhir.
Tio Sim Lin terdiam. Cio San pun terdiam. Dalam hati ia menyayangkan. Mengapa arak habis
begitu cepat. Malam gelap dan dingin. Arak mungkin hanya akan menghangatkan tubuh
manusia. Tapi hanya cinta yang benar-benar bisa menghangatkan hati.
Sayangnya. Karena kedua-duanya sama-sama memabukkan, kau jarang
melihat kedua hal ini bersanding bersama. Biasanya orang minum arak,
karena kehilangan cinta. Dan orang yang jatuh cinta melupakan arak.
Cio San mau tidak mau merasa kasihan juga dengan Tio Sim Lin.
"Apapun yang terjadi, kau tidak boleh menyerah. Jika dua orang saling mencinta, bukankah selalu ada jalan?" katanya kepada Tio Sim Lin.
"Aku suka dia, tapi dia tidak suka aku. Dari mana bisa kau bilang kami saling mencinta?"
"Dari mana juga kau tahu ia tidak suka kau" Sebelum kau benar-benar
yakin atas perasaannya. Kau tidak boleh berpikiran yang tidak-tidak.
Bukankah jauh lebih mudah beranggapan dia juga suka padamu" Dengan
begitu hatimu terasa lebih ringan. Melakukan sesuatu pun tidak diliputi kesedihan."
"Lalu bagaimana jika ahirnya nanti aku tahu dia tidak suka aku?" tanya Tio Sim Lin
"Kalau nanti akhirnya seperti itu, yak au boleh bersedih setelah kau tahu.
Tapi jika kau bersedih sekarang, bukankah kau hanya akan menyakiti
hatimu setiap hari. Jika kau ingin menangis, bukankah kau masih bisa
menangis esok hari" Dan bukankah esok hari pun masih ada esoknya lagi"
Dan esoknya lagi" Hari esok tidak pernah selesai"
Tio Sim Lin berpikir lama.
"Kau benar. Tidak ada guna aku menangisi hal yang belum jelas benar"
"Nah. Lebih baik kita masuk ke dalam. Bertemu sahabat-sahabat. Bila kau memiliki sahabat-sahabat terbaik yang mencintaimu apa adanya, dan selalu ada saat kau butuhkan, untuk apa lagi berfikir tentang orang-orang yang mengkhianati cintamu" Orang-orang yang mneyakiti hatimu" Dan orang-orang yang tidak perduli denganmu?"
Saat mereka masuk kembali ke dalam geladak, kapal mereka berpapasan
dengan sebuah perahu kecil. Awalnya Cio San tidak memperdulikan, Tapi timbul sesuatu di hatinya yang membuat ia kembali keluar. Perahu kecil itu dinahkodai seorang tukang perahu. Tapi penumpangnya, amat sangat
menarik hatinya. Penumpangnya adalah si Dewa Pedang berambut merah!
"Apa yang dia lakukan di malam-malam seperti ini" Kemana tujuannya?"
Sang Dewa Pedang hanya duduk termenung memandang air. Tidak ada apaapa di wajahnya. Tidak ada kemurungan, tidak ada kesepian, tidak ada apa-apa. Kosong.
Ingin Cio San memanggilnya, tapi ia tahu seluruh penghuni kapal ini sedang berlayar dengan sembunyi-sembunyi. Hal itu hanya akan menambah dan
memperumit masalah, jika ternyata buruan si Dewa Pedang adalah beberapa anggota Mo Kauw.
Akhirnya si Dewa Pedang lewat begitu saja. Cio San hanya bisa memandang punggungnya yang tegap. Rambut belakangnya yang terurai ditiup angin.
Cio San masih berada di pinggiran kapal. Memandangi punggung sang Dewa Pedang sampai ia menghilang jauh, dan hanya menyisakan titik putih
bajunya di kaki langit. Cio San masih termenung berfikir, ketika telinganya mendengarkan sesuatu di air.
Telinganya tidak pernah mengkhianatinya.
Dengan seksama ia memandang ke perairan gelap gulita itu.
Mayat! Banyak mayat! Segera Cio San menemui beberapa "nelayan" yang bekerja di kapal untuk menjaring mayat-mayat itu. Ada 3 mayat. Tubuh mereka sudah mulai
menggelembung, tapi mereka masih bisa dikenali. Cio San memang tidak
mengenali mereka. Tapi hampir semua orang yang ada di kapal mengenali mereka.
Luk Hoan Tit, ketua Perkumpulan Golok Emas
Soe Sam Hong, ketua Perkumpulan Naga Lautan
Ban Lang Ma, murid terbaik Siau Lim Pay
Ada sebuah luka tusukan di dahi mereka!
Cio San memandang di kejauhan, tempat Dewa Pedang tadi menghilang.
Kali ini dunia Kangouw akan benar-benar heboh.
Tiga orang dari kalangan utama Kangouw!
"Luka ini, bukankah adalah perbuatan Dewa pedang rambut merah?" tanya Bun Tek Thian
"Iya benar" kata Cio San. Ia sedang duduk memeriksa mayat-mayat itu.
Luka di dahi mereka begitu rapi. Begitu dingin. Tanpa darah. Ia memeriksa bagian tubuh yang lain. Sampai akhirnya Cio San merasa cukup dan ia
hanya termenung. Dan berkata,
"Mereka bukan dibunuh si Dewa Pedang!!"
Bab 31 Kematian Yang Mencurigakan
"Bagaimana kau bisa tahu" Bukankah lukanya adalah luka yang khas?"
tanya sang kaucu "Dari saudara-saudara yang berada di sini, apakah ada yang pernah melihat jurus pedang Ang Hoat Kiam Sian (Dewa Pedang Rambut Merah)?" tanya Cio San
Mereka kebanyakan menggeleng, tapi ada satu orang yang menjawab,
"Saya pernah" Orang ini salah satu pemuka Mo Kauw. Namanya Lok Sim
"Aku pernah melihat pertempurannya. Sayangnya, melihat pertempurannya, sama saja dengan tidak melihat pertempurannya. Ia bergerak sangat cepat"
Kata Cio San, "Saya sendiri belum pernah melihatnya secara langsung, tapi dari luka musuh-musuhnya, saya bisa melihat bahwa inti jurus pedangnya adalah gerakan ayunan lengan dari bawah ke atas. Apakah begitu saudara Lok Sim?"
Kehidupan Para Pendekar 3 Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id Pendekar Satu Jurus 9

Cari Blog Ini