Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung Bagian 1
" Seri 1 Pendekar Harum: Maling Romantis Khu Lung Bab 1: Giok-bi-jin Beberapa baris tulisan huruf-huruf indah yang masih basah tintanya itu
tertera di atas selembar kertas yang dibentangkan di atas sebuah meja
batu marmer. Sinar lilin menyorot dari sebuah lampion yang dibungkus
kainparis merah, membuat kertas berwarna biru muda itu terlihat
berwarna ungu muda tertimpa cahaya merah dari lampion, kelihatan aneh
dan janggal. Tulisan yang indah dan berseni itu jadi tampak lebih menarik
dan merasuk hati.Surat itu tidak dibubuhi tanda tangan pengirimnya,
namun mengandung bau dupa wangi, bau dupa yang mengandung seni, dari
tulisansurat bukansurat , syair bukan syair itu, siapa pun susah menduga
siapakah orang yang mengirimkansurat ini.
Yang menerimasurat ini adalah Kim Pian-hoa, anak seorang hartawan
terkenal di Pak-khia. Ia sedang duduk di pinggir meja. Raut mukanya yang
putih halus dan selalu terpelihara itu terlihat berkerut-kerut seakan
mendadak kesakitan lantaran terbacok senjata tajam. Kedua biji matanya
melotot mengawasisurat itu, seolah baru saja menerimasurat panggilan
dari Giam-lo-ong (Raja Akhirat).
Dalam ruang pendopo yang besar itu hadir tiga orang lagi. Seorang adalah
laki-laki tua berjubah sutera, berperawakan kekar dan bersikap gagah,
namun rambutnya sudah beruban. Ia sedang menggendong kedua tangannya
mondar-mandir di ruangan itu. Entah sudah berapa lama atau berapa kali ia
berjalan pulang-pergi, seperti tidak merasa letih. Umpama ia berjalan
lurus, mungkin jarak yang telah ditempuhnya tidak kurang dari jarak
antara Pak-khia dan Thio-kah-gou.
Seorang lagi adalah laki-laki berpakaian serba hitam dengan tulang pipi
yang menonjol, bermata elang dan bersikap dingin tenang, tapi terlihat
jelas wataknya yang keji dan culas. Ia duduk di samping Kim Pian-hoa.
Kedua tangannya sedang mengelus-elus sepasang potlot baja yang ditaruh
di atas meja. Jari-jari tangannya kurus kering dan panjang, sendi-sendi
tulangnya tampak menonjol seperti rangka besi.
Raut wajah kedua orang ini kaku serius, sepasang mata yang jeli selalu
berputar mengawasi sekelilingnya, dari pintu ke arah jendela, dari jendela
balik ke arah pintu, begitu tak putus-putusnya dengan perhatian penuh.
Selain kedua orang ini, masih ada seorang tua berkepala gundul
berpakaian sederhana, tubuhnya kecil pendek dan kurus, ia duduk di pojok
seakan bersemedi dengan memejamkan mata. Tiada tanda istimewa di
badan orang ini, tapi kedua daun kupingnya entah kenapa tidak tampak di
tempatnya, namun digantikan oleh kuping palsu berwarna putih, entah
terbuat dari apa. Laki-laki tua berjubah sutera menghampiri meja, dijemputnya kertas
bertulisan itu, katanya dingin: "Ini terhitung apa" Undangan" Tanda
hutang" Dengan mengandalkan secarik kertas tak berharga seperti ini,
dengan gampang dia hendak mengambil Giok-bi-jin, satu dari empat benda
mestika dikota raja".." Lalu ia menggebrak meja dengan keras, bentaknya:
"Coh Liu-hiang, oh Coh Liu-hiang. Jangan kau memandang remeh para
enghiong dikota raja."
Kim Pian-hoa bersungut-sungut, katanya dengan gemetar dan sangsi:
"Kenyataannya dengan hanya mengandalkan secarik kertas yang sama,
entah sudah berapa banyak benda mestika yang berhasil dicurinya. Kalau
dia mengatakan jam sekian hendak mengambil sesuatu barang, siapa pun
jangan harap bisa menggagalkan usahanya."
"Oh, apa ya?" sela laki-laki baju hitam dengan nada dingin.
Kim Pian-hoa menghela nafas, ujarnya: "Bulan lalu Khu Sian-ho dari Jalan
Gulung Tirai juga menerima secarik kertas yang sama, katanya hendak
menjemput Kim-liong-pwe milik Khu-ya warisan leluhurnya. Bukan saja
Sian-ho menyimpannya di sebuah kamar rahasia, malah mengundang dua
orang Si-wi dari istana raja pula, Siang-ciang-hoan-thian (Sepasang
Tangan Membalik Langit) Cui Cu-ho dan Bwe-hoa-kiam Pui Hoan untuk
berjaga di luar pintu rahasia. Penjagaan sedemikian rapat, seumpama lalat
pun tidak akan dapat lolos. Namun setelah lewat jam yang dijanjikan, saat
mereka membuka pintu kamar".. aaaiii, Kim-liong-pwe tetap saja hilang."
Laki-laki baju hitam tertawa dingin, jengeknya, "Ban-lo-piauthau bukanlah
Cui Cu-ho, aku Seng-si-poan bukan Pui Hoan, apalagi". " ia melirik laki-laki
tua gundul di pojok, lalu menyambung dengan perlahan, "Eng-locianpwe
yang paling ditakuti oleh kalangan maling dan pencuri di seluruh dunia pun
hadir di sini, kami bertiga kalau tidak mampu membekuk Coh Liu-hiang,
pasti tidak ada lagi orang yang mampu."
Baru sekarang laki-laki tua gundul itu membuka matanya, ujarnya, "Cuiheng
terlalu mengagulkan diriku. Sejak peristiwa Hun-tai dulu, Lo-si sudah
tidak berguna lagi. Orang yang hidupnya mencari nafkah dengan
mengandalkan sepasang telinganya, kini telah diprotoli orang,kan sama
seperti pengemis kehilangan ular untuk bermain sulap."
Bila orang pernah mengalami kekalahan yang begitu mengenaskan, apalagi
kedua kupingnya pun hilang, pasti ia tidak berani mengungkit-ungkit
peristiwa yang memalukan itu. Kalau orang berani mengolok-olok, tentu dia
akan menghunus senjata untuk ajak adu jiwa. Tapi laki-laki tua gundul itu
bicara sambil tertawa berseri tanpa malu, malah seakan merasa bangga
dan senang. Laki-laki tua berjubah sutera itu adalah Thi-ciang-gin-pian (Pukulan Besi
Ruyung Perak), Ban Bu-tik, Cong-piauthau Ban-seng Piaukiok dikota raja.
Sambil mengelus jenggotnya, ia tertawa gelak, ujarnya: "Kaum persilatan
siapa yang tidak tahu ketajaman telinga Toh Eng yang tiada bandingannya
di dunia" Memang saat peristiwa Hun-tai dulu mengalami kekalahan kecil,
tapi kekalahan itu malah membawa rezeki besar. Apalagi sejak kau
memasang dan menggunakan Pek-ih-sin-hi (Telinga Sakti Baju Putih),
ketajaman kupingmu jadi semakin lihai."
Toh Eng atau si Elang Gundul menggeleng kepalanya, ujarnya tersenyum
senang, "Aku sudah tua, sudah tak berguna lagi, kalau bukan karena ingin
berkenalan langsung dengan maling paling sakti di antara para pencuri,
laki-laki sejati di antara bajingan, tidak sudi aku muncul kembali di Bulim."
Tiba-tiba Kim Pian-hoa tertawa: "Kabar yang kudengar dari pembicaraan
orang di Bulim, katanya cukup asalkan Eng-locianpwe pernah mendengar
suara pernafasan seseorang, maka lantas dapat membedakan apakah orang
itu laki-laki atau perempuan, berapa usianya, bagaimana asal-usulnya.
Peduli siapa pun asalkan suara pernafasannya pernah didengar oleh Englocianpwe,
selama hidup ia tak akan bisa lolos, ke mana pun ia melarikan
diri, Eng-locianpwe pasti akan menemukan dan menangkapnya pula."
Toh Eng tertawa senang, dengan memicingkan mata ujarnya, "Kabar di
kalangan Kangouw seringkali dibumbui dan dibesar-besarkan."
Terdengar suara kentongan yang terbawa hembusan angin malam, tibaKoleksi
Kang Zusi tiba Seng-si-poan berjingkrak bangun, lalu katanya, "Jam satu tepat!"
Kim Pian-hoa segera berlari ke pojok tembok, dari belakang sebuah pigura
bergambar perempuan telanjang, ia menekan sebuah tombol untuk
membuka pintu rahasia, dilihatnya kotak kayu cendana berukir indah masih
menggeletak di situ, seketika ia menarik nafas dan menghembuskannya
dengan lega, katanya tertawa sambil berpaling, "Tak nyana ketenaran nama
kalian bertiga benar-benar cukup membuat Coh Liu-hiang jeri dan tidak
berani datang." Seng-si-poan menengadah, ujarnya sambil bergelak tertawa, "Coh Liuhiang,
Coh Liu-hiang, ternyata kau pun seorang....."
"Ssstt!" tiba-tiba didengarnya Toh Eng mendesis, segera Seng-si-poan
menghentikan tawanya, maka terdengar suara rendah serak yang
mengandung daya tarik sedang berkata, "Giok-bi-jin sudah kuambil, Coh
Liu-hiang mengucapkan terima kasih!"
Bergegas Ban Bu-tik memburu ke jendela dan memukulnya hingga terbuka,
dilihatnya di tempat gelap di kejauhan sana berdiri seseorang, tangannya
menggenggam sebuah benda sepanjang tiga kaki, di bawah sinar rembulan,
warnanya yang putih kehijauan berkilau memancarkan cahaya terang, mulut
orang itu sedang berkata: "Jam dua belas mencuri, jam satu ke mari untuk
mengucapkan terima kasih, tata tertib selalu kupatuhi, maaf, maaf!"
Pucat pias wajah Kim Pian-hoa, serunya gemetar: "Kejar, lekas kejar!"
Api lilin berkerlap-kerlip, angin menderu, bayangan orang berkelebatan.
Seng-si-poan dan Ban Bu-tik telah melesat keluar lebih dulu.
Toh Eng berkata dengan nada berat: "Apa benda itu betul Giok-bi-jin?"
Kim Pian-hoa membanting kaki: "Aku melihat jelas, tidak salah lagi!"
Berbareng dengan bantingan kakinya, badannya sudah meluncur keluar,
ternyata kongcu hartawan ini memiliki kepandaian silat yang tidak lemah.
Toh Eng sedikit menggelengkan kepala, ujarnya: "Orang lain gampang kau
tipu, tapi aku.... hm!" Dengan nanar ia menatap kotak kayu cendana itu dan
berjalan perlahan mendekatinya. Sekonyong-konyong sebuah suara "Breng"
yang keras terdengar di belakangnya, begitu keras bunyi suara itu sampai
badannya tergetar mencelat. Ternyata Pek-ih-sin-hi atau kuping palsu itu
terbuat dari logam campuran perak, daya salurnya teramat hebat, suara
yang memekakkan itu terasa menggetar-pecahkan selaput kupingnya.
Selamanya ia amat membanggakan sepasang kupingnya ini, sungguh mimpi
pun tak terfikir olehnya kalau kuping logamnya ini akan membawa akibat
yang amat fatal juga bagi dirinya. Saking terkejutnya, ia berjumpalitan ke
tengah udara, berbareng dengan itu sepasang telapak tangannya membalik
menghantam ke belakang, tapi bayangan orang tak kelihatan lagi di
belakangnya. Suara itu kembali terdengar di luar jendela, dengan sebat ia menjejakkan
kakinya, badannya pun melenting keluar jendela, tiba-tiba terdengar bunyi
yang ramai di bawah kakinya, waktu ia menunduk, ternyata kakinya
menginjak sepasang gembreng yang besar.
Berobah pucat roman muka Toh Eng, teriaknya: "Celaka!" Seperti orang
gila, lekas ia melesat masuk ke dalam pendopo. Dilihatnya kotak kayu
cendana itu masih tetap di tempatnya tanpa kurang suatu apa pun, tapi
sebuah daun jendela di sebelahsana tampak bergerak tak henti-hentinya.
Seperti patung kayu, Toh Eng menjublek di tempat, mimik mukanya aneh
dan lucu, entah sedang menangis atau lagi tertawa, cuma mulutnya
bergumam: "Coh Liu-hiang, Coh Liu-hiang, kau benar-benar lihai, tapi kau
jangan takabur, suaramu sudah kudengar, akan datang suatu ketika kau
akan kutemukan." Angin berdesir di belakangnya. Ban Bu-tik, Seng-si-poan dan Kim Pian-hoa
beruntun melesat masuk ke dalam pendopo. Dilihatnya tangan Ban Bu-tik
menjinjing sebuah patung wanita laksana bidadari yang terbuat dari batu
giok, katanya: "Ternyata hanya tipuan belaka, Giok-bi-jin ini ternyata
palsu." "Meski palsu, paling tidak juga berharga beberapa tahil perak. Itu yang
namanya tidak berhasil mencuri ayam malah kehilangan segenggam beras.
Begitu tenar dan besar namanya, malam ini toh terjungkal pula di tangan
kita." Dengan sorot mata pudar Toh Eng tetap mengawasi kotak kayu cendana
itu, katanya lirih: "Jika itu palsu, lalu yang tulen ada di mana?"
Berubah pucat wajah Kim Pian-hoa, serunya gemetar: "Sudah tentu....
ada... di dalam... kotak ini.."
Segera ia berlari memburu maju dan membuka kotak itu. Giok-bi-jin yang
tersimpan di dalam kotak itu ternyata telah lenyap. Kim Pian-hoa menjerit
pilu, lalu roboh pingsan.
Saat Ban Bu-tik memeriksa, di dalam kotak terdapat secarik kertas biru
muda berbau wangi, di atasnya ada tulisan indah dan tajam berbunyi: "Pianhoa
Kongcu kehilangan, maling sakti meninggalkan bau harum."
*** Kini ia tidur tengkurap di dek sebuah kapal. Cahaya matahari pagi
bulanlima dengan hangat menerpa tubuhnya yang separuh telanjang,
terutama punggungnya yang lebar, sehingga berwarna merah seperti
tembaga. Angin laut basah sejuk berhembus sepoi-sepoi menyingkap
rambutnya yang panjang halus terurai, kedua tangannya yang berotot
terjulur ke depan, jari-jarinya panjang terpelihara dan kuat, serta
memegang sebuah patung porselen yang mengkilap halus berkilauan, itulah
Pek-giok-bi-jin, patung perempuan cantik terbuat dari batu pualam.
Seolah-olah ia sedang terlelap di tengah samudera raya.
Sebuah kapal dengan tiga tiang layar besar dan tinggi, layar berwarna
putih, bentuk kapal panjang menyempit, terbuat dari bahan kayu yang
keras dan mengkilap. Siapa pun yang berada di atas kapal ini, pasti hatinya
tenang tenteram, merasa hidupnya penuh dengan kemewahan.
Waktu itu permulaan musim panas, sang surya memancarkan cahaya
terang benderang, burung camar terbang rendah berputar-putar di
sekeliling kapal, terasa semarak dan romantis, diliputi oleh kegembiraan
masa muda yang gemilang. Selayang pandang, samudera raya amat luas tak berujung pangkal, daratan
nun jauh disana terlihat seperti segunduk bayangan abu-abu yang sejajar
dengan garis langit dan air. Di sini adalah dunia tersendiri, tak pernah
kedatangan tamu-tamu yang membosankan.
Pintu yang menembus ruang bawah selalu terbuka, dari kamar bawah
berkumandang suara tawa nyaring merdu. Kemudian seorang gadis cantik
muncul dan berjalan di dek kapal. Ia mengenakan pakaian longgar berwarna
merah menyala yang sedap dipandang, rambutnya terurai mayang, setiap
kakinya melangkah, tampak betis dan telapak kakinya yang indah dan putih
halus menggiurkan, terus saja ia menghampiri, dengan perlahan ujung jari
kakinya menggelitik telapak kaki orang. Terbersit senyuman mekar di raut
mukanya yang elok seakan ratusan macam kembang serempak mekar
semerbak dalam waktu yang bersamaan.
Laki-laki itu mengerutkan kakinya, katanya sambil menghela nafas,
"Thiam-ji, apa kau tidak bisa diam?" Lagak lagu suaranya rendah,
mengandung daya tarik yang luar biasa.
Terdengar suara kikik tawa yang panjang nyaring, "Akhirnya salah juga
terkaanmu!" Dengan malas ia membalikkan badan, cahaya matahari menimpa mukanya,
kedua alis tebal memayang, diliputi kekasaran sikap laki-laki yang penuh
dengan kejantanan, namun biji matanya yang bening menunjukkan
kehalusan hatinya. Hidung yang tegak berdiri membayangkan ketegasan,
tegas dalam keputusan dan tindakan. Tapi sekali tertawa, ketegasan hati
yang keras itu seketika berubah menjadi halus mesra, sikap dingin itu
seketika berubah menjadi simpatik dan halus kasihan.
Ia mengangkat tangannya untuk menutupi cahaya matahari yang
menyilaukan matanya, wajahnya dihiasi senyum lebar sambil memicingkan
mata, sorot matanya memancarkan kenakalan, penuh humor dan
kecerdikan, katanya, "Li Ang-siu, jangan nakal ya, seorang Song Thiam-ji
saja sudah cukup membuatku tobat!"
Li Ang-siu tertawa terpingkal sambil memeluk pinggang, katanya menahan
tawa, "Kecuali Song Thiam-ji, memangnya orang lain tidak boleh nakal?"
Coh Liu-hiang menepuk papan dek di sebelahnya, katanya, "Baiklah kau
duduk di sini dan menemani aku berjemur. Karanglah sebuah cerita untuk
kudengar, cerita banyolan yang lucu, dengan akhir cerita yang
menggembirakan, tragedi menyedihkan di dunia ini sudah cukup banyak."
Li Ang-siu menggigit bibir, katanya, "Aku tidak mau duduk, tak mau
bercerita, aku pun tak mau berjemur... sungguh tak terfikir olehku, kenapa
kau suka berjemur.... " Lain di mulut lain di hati, katanya tidak mau
berjemur, justru dia berjongkok dengan perlahan dan duduk di pinggir
orang, malah kedua kakinya terjulur agar tersorot sinar matahari.
"Apa jeleknya berjemur" Seseorang asal bisa meniru sifat matahari, dia
pasti takkan melakukan perbuatan yang hina dan memalukan. Siapa pun bila
berada di bawah sorotan sinar matahari yang sejuk menyegarkan ini, dia
pasti takkan memikirkan sesuatu yang jahat."
"Aku justru sedang memikirkan hal jahat, "ujar Li Ang-siu sambil
mengerling penuh arti. "Tentu kau sedang mencari akal supaya aku merangkak bangun
mengerjakan sesuatu, betul tidak?"
"Kau ini memang setan, segala persoalan tak bisa mengelabuimu," lamatlamat
suara tawa cekikikannya pun berhenti, lalu katanya pula, "Tapi kau
memang harus mengerjakan persoalan ini, sejak pulang dari kotaraja, kau
selalu tiduran, bila terus-terusan begini maka kau tentu akan menjadi
bajingan."
Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Coh Liu-hiang menghela nafas, "Kau ini mirip dengan guru sekolahku waktu
kecil, kecuali kau tidak punya jenggot kambing seperti dia."
Seketika mata Li Ang-siu melotot, Coh Liu-hiang tertawa lebar, katanya
pula, "Di kotaraja aku sudah menghadapi tampang-tampang orang yang
mengagulkan diri sebagai Enghiong, kecuali si Elang Gundul tua bangka itu
yang punya sedikit kepandaian, yang lain gentong nasi belaka. Ban Bu-tik
katanya berkepandaian tinggi, sepasang potlotnya menurut kabar bisa
menotok dua ratus delapan belas Hiat-to di tubuh orang. Namun ketika aku
berkelebat di sampingnya, ia hanya berdiri seperti baru bangun dari
mimpi." Li Ang-siu membuka mulut, "Siapa yang tidak tahu ginkang Coh-toasiauya
tiada bandingannya... tetapi Coh-toasiauya, bualanmu sudah selesai belum?"
"Sudah habis, nona Li ada petunjuk apa?"
"Akan kuajukan beberapa persoalan padamu," kata Li Ang-siu sambil
mengeluarkan sejilid kitab tipis kecil dari lengan bajunya. "Barang yang kau
ambil di Kilam tempo hari terjual tiga puluh laksa tail. Untuk membantu
keluarga Ong-piauthau Liong-hou piaukiok selaksa tail, pembantu keluarga
Tio dan Thio masing-masing disokong lima ribu tail, untuk membantu Ongsiucay
melunasi ongkos penguburan seribu tail, membeli kado pernikahan
Tio Kok-bing seribu lima ratus tail, untuk menyumbang The......"
Coh Liu-hiang menghela nafas, tukasnya, "Memangnya aku tidak tahu
semua itu?" Li Ang-siu meliriknya, katanya, "Pendek kata, tiga puluh laksa tail itu telah
habis dibagikan,lima ribu tail yang kau sedot dari pengeluaranmu sendiri
pun telah aku gunakan empat ribu tail untuk keperluan kita."
Coh Liu-hiang tertawa getir, "Nona, memangnya kau tidak bisa sedikit
berhemat?" "Apa hidupmu belum cukup mewah" Orang-orang usil di kalangan Kangouw
mulai membicarakan kejelekanmu, orang tidak tahu, uang yang kau pakai
adalah milikmu sendiri, semua bilang kau pura-pura dermawan lantaran
memakai uang hasil curian."
"Persetan dengan omongan orang, perduli apa dengan kita" Hidup manusia
di dunia ini apa artinya kalau tidak berfoya-foya, mengapa kita harus hidup
menderita" Mengapa kau berubah menjadi sedemikian cupat?"
"Aku tidak menyuruhmu hidup menderita, aku cuma....."
"Kalian sedang mengobrol tentang apa" Apa tidak lapar?" tiba-tiba
berkumandang suara dari ruang bawah.
Li Ang-siu geli mendengar logat orang, katanya tertawa, "Terlalu,
memangnya dia tidak bisa bicara dengan logat yang enak didengar orang
lain?" "Kau tidak perlu mencelanya, dengan susah-payah dia memasak buat kita,
namun kau tidak mau makan, tak heran kalau dia marah-marah. Orang kalau
marah, logat kampung-nya pun akan dibawa serta, " demikian ujar Coh Liuhiang.
Tampaknya ia tidak bergerak, tahu-tahu sudah menarik tangan Li
Ang-siu sembari berbangkit.
Dengan sengaja Li Ang-siu merengek aleman, "Segala urusan selalu kau
membela Thiam-ji, maka dia.... " belum habis bicara, tiba-tiba raut
mukanya berubah, serunya tertahan, "Coba lihat, apa itu?"
*** Permukaan laut ditimpa cahaya sang surya, tampak sesosok bayangan
orang terapung mendatangi terbawa oleh arus, ternyata sesosok mayat
manusia. Hanya dengan memutar badan, Coh Liu-hiang sudah berada di pinggir dek,
sekali raih ia menarik segulung tali terus diikatnya, sekali ayun tali panjang
itu melesat seperti anak panah langsung mengarah pada mayat terapung
itu, seperti ular hidup saja, tali dengan tepat dan persis menjerat mayat
itu. Mayat ini masih mengenakan pakaian sutera halus yang mahal, pinggangnya
menyoren pipa cangklong terbuat dari batu pualam, raut mukanya hitam
legam melepuh besar. Dengan perlahan Coh Liu-hiang meletakkan mayat itu
di atas dek, katanya sambil menggeleng, "Tak tertolong lagi."
Sebaliknya Li Ang-siu mengamati kedua tangan mayat itu, tampak jari
tengah dan jari manis tangan kiri mayat itu masing-masing terpasang
cincin emas hitam mengkilap terbuat dari baja murni. Tangan kanannya
tidak mengenakan cincin, tapi ada bekas jalur putih yang menandakan
biasanya pada jari tengahnya itu pun mengenakan cincin.
Berkerut alis Li Ang-siu, katanya, "Chit-sing-hwi-hoan (Cincin Terbang
Tujuh Bintang), mungkinkah orang Thian-sing-pang?"
"Ya, dari Thian-siang-pang, malah pimpinan tertingginya Chit-sing-toh-hun
(Tujuh Bintang Perenggut Nyawa) Cou Yu-cin. Tetapi Thian-sing-pang
biasanya bercokol dan berkuasa di daerah Hoan-lam, mengapa dia bisa
mati di tempat ini?"
"Badannya tidak terluka, mungkinkah dia mati karam?"
Coh Liu-hiang menggelengkan kepala, perlahan ia menyingkap baju orang,
terlihat tulang rusuk ke-lima di dada sebelah kiri, antara Yu-kin-hiat dan
Ki-hun-hiat, bercap sebuah telapak tangan warna merah darah.
"Cu-soa-ciang!" seru Li Ang-siu menghela nafas.
"Akhir-akhir ini dari Cu-soa-bun telah muncul beberapa tokoh muda yang
lihai, jumlah anak murid kurang lebih tujuh puluhan, namun yang bisa
mengalahkan dan membunuh Chit-sing-toh-hun tidak lebih dari tiga orang."
"Ya, Pang, Nyo, Sebun..... ilmu silat ketiga orang ini mungkin lebih unggul
dari Cou Yu-cin." "Tapi ada permusuhan apa antara Cu-soa-bun dan Thian-sing-pang?"
Li Ang-siu berfikir, lalu menjawab, "Tiga puluh tujuh tahun yang lalu, Singtong
Hiangcu dari Thian-sing-pang mempersunting puteri kedua
Ciangbunjin Cu-soan-bun waktu itu, Pang Hong. Dua tahun kemudian, nona
Pang meninggal dunia. Pang Hong lalu meluruk ke markas Thian-sing-pang
untuk mengusut persoalan ini, akhirnya diketahui ternyata nona Pang
memang meninggal dunia lantaran sakit keras, tapi hubungan kedua
keluarga sejak itu terputus."
"Masih ada yang lain?"
"Dua puluh enam.... mungkin dua puluhlima tahun yang lalu, Thian-sing-pang
pernah merampas barang kawalan yang dilindungi oleh anak murid Cu-soabun.
Waktu itu kebetulan Pang Hong baru saja wafat setelah sakit tua,
fihak Cu-soa-bun sedang sibuk memilih calon Ciangbunjin penggantinya,
maka urusan itu tertunda setahun berikutnya. Meski murid Thian-singpang
yang merampas barang kawalan itu sudah mengaku salah dan meminta
maaf, namun barang-barang itu tidak pernah dikembalikan."
Peristiwa dua puluhlima tahun yang lalu ia tuturkan dengan hafal dan fasih
sekali, seolah-olah sedang menceritakan sejarah rumah tangga leluhur
sendiri. Coh Liu-hiang tertawa lebar, katanya, "Ingatanmu memang tidak pernah
mengecewakan orang lain..... tetapi semua peristiwa itu sudah berlalu, juga
tidak terhitung permusuhan dendam kesumat sedalam lautan, fihak Cusoabun tidak akan menguntit Cou Yu-cin sampai di sini lantaran peristiwa
lama itu, lalu turun tangan keji, pasti dalam peristiwa ini ada latar
belakang atau ada sebab-musabab yang belum kita ketahui."
Sekonyong-konyong seorang gadis lain muncul dari ruang bawah, serunya
dengan bersungut-sungut, "Kalian sedang mengobrol apa?" Dia pun
memakai pakaian lebar yang amat longgar, berwarna kuning seperti bulu
angsa, setiap langkah kakinya memperlihatkan pahanya yang halus, betis
kakinya yang indah dan kulit kakinya yang putih lembut.
Rambutnya yang panjang hitam legam diikal menjadi dua jalur kuncir,
waktu memburu keluar gerak-geriknya lincah, kedua kuncirnya bergoyanggontai,
raut mukanya yang bundar seperti kwaci berwarna abu-abu pudar,
dihiasi sepasang biji mata yang jelas perbedaan hitam putihnya, kelihatan
amat menawan, cantik dan nakal. Mukanya sedang bersungut mendongkol,
tetapi begitu melihat mayat itu, mendadak ia menjerit ketakutan, lalu
memutar badan terus lari terbirit-birit masuk kembali ke ruang bawah,
larinya malah lebih cepat daripada waktu datangnya tadi.
"Nyali Thiam-ji biasanya besar bila melakukan tugas berat apa pun, tapi
setiap kali melihat mayat, takutnya setengah mati, makanya sering
kukatakan, siapa yang bisa menundukkan dia, hanya orang mati yang bisa
mengekang dirinya." Dengan nanar Coh Liu-hiang mengawasi permukaan laut nan jauh disana ,
katanya kalem, "Coba tunggu saja, mayat yang terapung lewat di sini
kupastikan tidak hanya satu."
Sebelum Li Ang-siu sempat membuka suara, tiba-tiba dari ruang bawah di
balik pintu, terlihat tangan halus putih terjulur keluar mendorong sebuah
nampan besar. Nampan besar itu diletakkan di atas dek, di atasnya ada dua
ekor burung dara yang dipanggang matang, jeruk kuning teriris merekah,
beberapa kerat potongan daging kerbau, separoh ayam goreng, seekor ikan
gurame, di samping itu ada pula secawan air tomat kental, dua piring nasi
putih, sebotol anggur berwarna merah coklat, botol itu basah oleh butiranbutiran
air yang menguap, agaknya baru dikeluarkan dari rendaman es
batu. Bab 2: Mayat-mayat Terapung Di Lautan
Tatkala itu Coh Liu-hiang sudah menurunkan jangkar, sehingga perahu
mereka berlabuh di tengah lautan. Tanpa sungkan Coh Liu-hiang gegares
semua hidangan yang telah disiapkan untuk dirinya. Belum habis sepotong
burung dara panggang, betul juga terapung datang sesosok mayat.
Mayat ini mengenakan jubah pendek berwarna merah legam, panjangnya
sampai ke lutut, usianya baru empat puluhan, jenggot pendek terpelihara
di bawah dagunya, namun ujung matanya belum memperlihatkan kerutkerut
kulit muka. Telapak tangan kirinya halus, telapak tangan kanan
sebaliknya begitu kasar dan jelek sekali, otot-otot tulangnya menonjol
keluar, hampir satu kali lipat lebih besar daripada telapak tangan kirinya.
Waktu telapak tangannya dipentang, warnanya mirip dengan jubah yang
dipakai. Mata Li Ang-siu yang bening terbelalak membundar, katanya kaget,
"Orang ini adalah Sat-jiu-suseng (Pelajar Bertangan Pembunuh) Sebun
Jian." Coh Liu-hiang menghela nafas, "Sebun Jian membunuh Cou Yu-cin, namun
dia terbunuh pula oleh orang lain."
"Tapi siapa pula yang membunuhnya?" tanya Li Ang-siu seperti
menggumam. Habis bicara matanya menjelajahi keadaan tubuh orang,
terlihat luka berlubang di tenggorokan Sebun Jian, darah sudah tersapu
bersih oleh air laut, kulit dagingnya berwarna abu-abu merekah membesar.
Li Ang-siu menarik nafas, katanya, "Luka tusukan pedang."
Coh Liu-hiang mengiyakan sambil manggut-manggut.
"Lebar luka pedang ini cuma satu dim lebih, di dalam Bulim cuma Hay-lam
dan Lao-san dua aliran besar ilmu pedang yang biasa menggunakan pedang
setipis dan sesempit seperti ini."
"Tidak salah," kata Coh Liu-hiang mengiyakan.
"Hay-lam dan Lao-san, dua partai ini berjarak tidak jauh dari sini, tetapi
ilmu pedang Lao-san hanya diajarkan pada murid-murid tosu yang
beragama, mengutamakan welas asih dan berjiwa luhur, jadi Sebun Jian
mati tertembus pedang murid Hay-lam-kiam-khek yang ganas dan telengas,
benar-benar peristiwa yang aneh dan membingungkan."
"Aneh?" Coh Liu-hiang mengerutkan kening.
"Rasanya Hay-lam-pay tiada dendam dan tidak ada permusuhan dengan Cusoabun, malah boleh dibilang punya hubungan yang cukup erat. Delapan
tahun yang lalu, Cu-soa-bun diserbu dan dikepung oleh Bin-lam-chit-kiam,
dari tempat ribuan li Hay-lam mengirim anak buah memberi bantuan,
sekarang tokoh kosen Hay-lam-pay membunuh Tianglo Cu-soa-bun, sungguh
membingungkan dan tak bisa dimengerti."
Coh Liu-hiang menghela nafas, "Tanpa sebab Cou Yu-cin mampus di tangan
Sebun Jian, sebaliknya Sebun Jian terbunuh pula oleh murid Hay-lam-pay,
sebetulnya rahasia apa yang terselip dalam peristiwa ini?"
Li Ang-siu tertawa manis, katanya, "Memangnya kau hendak turut campur
urusan orang lain?" "Bukankah tadi kau bilang aku terlalu malas" Akan kuselesaikan persoalan
ini supaya kau bisa membuktikan apakah aku malas atau seorang cerdik
pandai." "Kukira peristiwa ini berlatar-belakang dan berbuntut luas dan panjang,
lagi pula amat berbahaya. Yong-cici sedang sakit, menurut hematku, lebih
baik kita tidak melibatkan diri dalam peristiwa ini."
"Segala persoalan yang berbahaya selalu mendorong hasratku untuk
menyelesaikannya. Semakin menyangkut rahasia yang lebih rahasia, pasti
nilai benda yang tersangkut-paut pun amat mahal, memangnya aku hanya
berpeluk tangan saja melihat peristiwa ini?"
"Aku tahu kalau kau tidak berhasil membongkar rahasia ini, pasti kau
tidak bisa tidur nyenyak, sejak dilahirkan kau memang sudah ditakdirkan
untuk menjadi tukang mengurus persoalan orang lain," Tiba-tiba tawanya
semakin lebar, katanya pula, "Tapi persoalan ini tiada berujung pangkal,
seumpama menggagap jarum di laut. Sampai detik ini, tidak ada satu pun
sumber penyelidikan, kau hendak mencampuri urusan ini, kurasa kau tak
akan bisa turun tangan."
"Coba kau tunggu saja, sumber penyelidikanku lambat-laun akan semakin
banyak," Setelah meneguk arak, Coh Liu-hiang mulai menggerogoti paha
ayam dan makan-minum dengan lahapnya di atas geladak.
"Aku kagum melihat seleramu. Dalam keadaan seperti ini kau masih bisa
makan dengan lahapnya."
Tanpa terasa kakinya bergeser ke pinggir, tangannya bersandar pada
pagar besi, pandangan matanya mengawasi permukaan laut di kejauhansana
. Dilihatnya sesosok mayat lain terapung di permukaan, seperti terbawa
oleh arus ke arah sini. Ternyata mayat ini adalah seorang Tosu berjubah
hijau dengan wajah yang dipenuhi jambang. Tangan-kakinya telah dingin
kaku, tetapi jari-jarinya masih menggenggam sepotong pedang buntung,
badan pedang yang sempit panjang masih memancarkan cahaya dingin,
rambut kepalanya awut-awutan menutupi separoh wajah, batok kepalanya
terbelah dua. Sungguh mengenaskan kematian orang ini, sampai Li Ang-siu
memalingkan muka tak tega melihat keadaannya yang mengerikan.
"Ternyata betul murid Hay-lam-pay."
"Kau.... kau kenal dia?"
"Ya, orang ini adalah Ling-ciu-cu, salah seorang dari Hay-lam-sam-kiam
(Tiga Pedang dari Hay-lam-pay), keganasan ilmu pedangnya di dalam Bulim
hanya ada beberapa orang saja yang bisa menandingi."
"Sekali tusuk melubangi tenggorokan orang, tidak nyana batok kepala
sendiri pun terbelah menjadi dua oleh bacokan orang," Sepintas ia
berpaling melihat sebentar, lalu katanya pula, "Dilihat dari keadaannya,
waktu bacokan orang itu meluncur tiba, dia tidak mampu berkelit lagi,
terpaksa ia mengangkat pedang menangkis, tidak dinyana, bukan saja orang
itu mampu membacok putus pedangnya, kekuatannya yang hebat masih
kuasa membelah batok kepalanya pula. Hay-lam-cui-kiam kabarnya terbuat
dari gemblengan besi dingin dari dasar lautan, orang itu mampu membacok
pedangnya hingga putus, ai..... pedang yang tajam! Pedang yang berat!"
"Dari mana kau tahu kalau lawannya itu menggunakan pedang?"
"Tokoh silat kenamaan yang menggunakan golok di Bulim zaman ini, siapa
yang mampu mendesak Ling-ciu-cu hingga tidak mampu mengegos lagi...
tiada jurus ilmu pedang Hay-lam-kiam-pay yang tidak menggunakan
kekerasan, kalau dia tidak terdesak dan terpaksa, mana mungkin ia
mengangkat pedang untuk menangkis bacokan golok musuh yang mengarah
batok kepalanya?" "Benar," Coh Liu-hiang manggut-manggut. "Perubahan ilmu golok memang
tak selincah dan serumit ilmu pedang umumnya. Bagi orang yang bergaman
golok, jika hendak mendesak lawan yang bersenjatakan pedang hingga
tidak mampu berkelit lagi, memang sesukar memanjat ke langit," ia
tertawa lebar, katanya lebih lanjut, "Tapi kau melupakan seseorang."
Biji mata Li Ang-siu bersinar, katanya tertawa, "Kalau yang kau maksud
Bu-ing-sin-to (Golok Sakti Tanpa Bayangan) Ca Bok-hap, dugaanmu salah
besar." "Mengapa salah?"
"Ca Bok-hap sebagai tokoh nomor satu dalam ilmu golok, kecepatan ilmu
goloknya tiada wujud, tidak kelihatan bayangannya. Waktu ia membacok,
mungkin Ling-ciu-cu belum sempat tahu dari arah mana sambaran golok itu
datang, terpaksa ia mengangkat pedangnya untuk menangkis, namun Toahongto merupakan salah satu senjata pusaka dari tiga belas senjata
sejati di kolong langit, rasanya cukup berlebihan untuk membacok Haylam
Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cui-kiam." "Nah, uraiankukan sudah cocok dengan keadaan?"
"Tapi kau jangan lupa, Ca Bok-hap malang-melintang tiga puluhan tahun
dipadang pasir, julukannya 'Soa-mu-ci-ong' (Raja Padang Pasir), untuk apa
dia jauh-jauh meluruk ke sini?"
"Kau bilang tidak mungkin, sebaliknya aku berpendapat kemungkinan besar
ya." "Kau ingin bertaruh denganku?"
"Aku tidak mau bertaruh denganmu, karena jelas kau akan kalah."
"Boleh kalian bertaruh, siapa kalah harus mencuci mangkuk-piring selama
setengah bulan," tiba-tiba terdengar suara menyeletuk dari ruang bawah.
"Setan cilik, memang kau biasa mengambil keuntungan dari kekalahan
orang lain," semprot Li Ang-siu.
Coh Liu-hiang terlongong sambil bertopang dagu di pinggir geladak,
seolah-olah ia tidak mendengar percakapan mereka.
"Apa yang sedang kau tunggu?" tanya Li Ang-siu mendekati. "Apa kau
sedang menunggu Ca Bok-hap?"
"Mungkin...." "Sia-sia saja, Raja Padang Pasir takkan datang, seumpama kemari, tiada
seorang pun yang mampu membunuh dia."
"Cou Yu-cin jarang bergaul dengan Sebun Jian, kenapa Cou Yu-cin
dibunuhnya" Ling-ciu-cu tiada dendam permusuhan dengan Sebun Jian,
mengapa Sebun Jian dibunuh" Ca Bok-hap dan Ling-ciu-cu, yang seorang
tinggal di ujung laut, yang lain tinggal di ujung langit, jelas tiada hubungan
antara satu dengan lainnya, kenapa pula Ling-ciu-cu sampai dibunuh
olehnya?" Coh Liu-hiang menghela nafas, katanya lebih lanjut, "Itu
menandakan banyak persoalan dalam peristiwa ini, semuanya belum bisa
ditentukan." Kini sudah lewat lohor, sejak pertama kali menemukan mayat, kira-kira
sudah dua jam berselang, di atas geladak terbaring tiga sosok mayat
manusia, ternyata mayat keempat sudah terapung mendatangi terbawa
arus. Kalau ketiga mayat terdahulu terapung dan naik-turun mengikuti alunan
gelombang, mayat yang ini justru seperti kantong kulit yang berisi hawa
padat, seluruh badannya terapung di permukaan air. Menghadapi tiga
mayat seram terdahulu, Li Ang-siu masih berani melirik dua tiga kali, tapi
begitu melihat mayat yang ini, meski hanya sekilas saja, seluruh badannya
terasa menggigil dan mengkirik bulu kuduknya, serta tak berani melihatnya
lagi. Awalnya badan mayat ini entah gemuk atau kurus, Coh Liu-hiang sendiri
tidak bisa membedakan, yang terang mayat ini sekarang sudah melembung
besar seperti diisi air, malah sebagian anggota badannya sudah mulai
membusuk. Berapa usia mayat ini, tua atau muda, Coh Liu-hiang juga sukar
menebak, karena rambut dan alis serta bulu badannya sudah sama rontok
dan mengelupas kulitnya. Demikian pula biji matanya mencotot keluar
hampir pecah, seluruh kulitnya sudah berubah warna abu-abu gelap,
sehingga membuat orang mual dan ngeri, menyentuh dengan jari pun Coh
Liu-hiang merasa enggan. "Racun yang hebat sekali," ujar Li Ang-siu. "Biar kuminta Yong-ci naik
memeriksanya, sebetulnya racun macam apakah ini?"
"Racun ini, Yong-yong pun tak akan mengenalnya," kata Coh Liu-hiang.
"Kau membual lagi, meski ilmu silatmu cukup hebat, namun dalam hal Amgi,
belum tentu kau lebih unggul dari Thiam-ji, bicara soal menyamar dan
merias serta kepandaian menggunakan racun, kau bukan apa-apa dibanding
Yong-ci." "Tapi orang ini mati bukan lantaran terkena racun saja."
"Bukan racun, memangnya gula?"
"Boleh juga dianggap gula.... air gula."
Li Ang-siu melengak, serunya heran, "Air gula?"
"Itulah hasil ramuan Sin-cui-kiong yang dibanggakan, di kalangan kangouw
dinamakan Thian-it-sin-cui, sementara murid-murid Sin-cui-kiong
menamakannya Jiong-cui."
"Memangnya Thian-it-sin-cui jauh lebih hebat dan lebih beracun daripada
segala macam racun yang ada di kolong langit ini?"
"Sudah tentu, kabarnya bobot setitik Thian-it-sin-cui sama dengan tiga
ratus gantang air biasa, orang biasa cukup minum setetes saja, kontan
jiwanya akan melayang karena seluruh badannya akan meledak," kata Coh
Liu-hiang menghela nafas, lalu menambahkan, "Thian-it-sin-cui tidak
berbau tidak berwarna, sukar dicoba dan sukar diketahui kelainannya,
maka si raja padang pasir pun tak terhindar dari bokongannya."
"Jadi... orang ini adalah Ca Bok-hap?"
"Ehm!" Coh Liu-hiang manggut-manggut.
"Badannya sudah berubah sedemikian rupa, dari mana kau bisa
mengenalinya?" "Pakaian yang dikenakannya meski baju biasa, namun kakinya mengenakan
sepatu kulit domba yang tinggi, terang dia adalah seorang penggembala.
Kulit badannya putih halus, sebaliknya kulit muka kasar, itu karena dia
biasa mondar-mandir di padang pasir, di pinggangnya tergantung gelang
baja peranti untuk menggantung golok, namun golok dan sarungnya sudah
hilang, menandakan bahwa senjata yang dia bawa adalah golok pusaka,
maka sudah diambil oleh orang yang mengincarnya."
"Dari beberapa petunjuk yang ada ini, aku yakin orang ini pasti si raja
padang pasir Bu-ing-sin-to Ca Bok-hap adanya," kata Coh Liu-hiang lebih
lanjut. "Kulihat kau memang cocok menjadi opas, setiap persoalan pembunuhan
yang kau usut tentu lebih sempurna dan lihai daripada si Elang Gundul yang
tersohor sebagai opas nomor wahid di seluruh jagad ini."
"Masih ada lagi," kata Coh Liu-hiang tertawa. "Di atas badannya
tergantung sebuah lencana perak, di atas lencana ini terukir seekor onta
bersayap. Kalau aku tidak bisa menebak bahwa orang ini adalah si raja
padang pasir, tentulah aku ini seorang yang sudah pikun."
Kembali Li Ang-siu cekikikan geli, katanya, "Kau memang seorang cerdik
yang hebat." Tetapi segera sirna seri tawanya, katanya pula dengan
mengerut kening, "Soal apa yang menggerakkan hati si raja padang pasir
dan murid-murid Sin-cui-kiong" Terang persoalan ini pasti tidak kecil
artinya, kini si raja padang pasir sudah ajal, jelas....."
Coh Liu-hiang segera menukas, "Kau hendak membujuk aku agar berpeluk
tangan saja, bukan?"
"Aku tidak ingin membujukmu, cuma kuharap kau jauh lebih berhati-hati."
Coh Liu-hiang menengadah mengawasi segumpal awan yang melintas,
katanya tertawa, "Kabarnya murid-murid Sin-cui-kiong adalah dara ayu
jelita yang jarang dicari bandingannya, entah bagaimana kalau
dibandingkan dengan ketiga nona kami?"
Li Ang-siu tertawa getir sambil menggeleng kepala, "Apa kau tidak bisa
bicara yang benar?" Satu jam sudah berlalu, suasana lautan tetap hening lelap, tiada pertanda
sesuatu gerakan apa pun. "Kurasa kau tidak perlu menanti pula," ujar Li Ang-siu.
"Kalau tidak ada mayat yang lain, maka persoalan ini berhenti pada utusan
dari Sin-cui-kiong. Kalau orang-orang ini memperebutkan benda mestika,
maka benda pusaka itu sudah pasti jatuh ke tangan utusan Sin-cui-kiong."
"Kalau ada mayat lainnya pula?"
"Perduli apa, berapa pun banyaknya mayat manusia, cukup kita perhatikan
dan sadari mayat terakhir terbunuh oleh siapa, maka sumber penyelidikan
sudah berada di tangan kita."
"Kau yakin tokoh-tokoh kosen ini mati karena memperebutkan benda
pusaka?" "Manusia mampus lantaran harta benda, setidaknya orang-orang ini tetap
manusia." Li Ang-siu melepaskan pandangan ke arah nan jauh, katanya perlahan,
"Benda pusaka yang menarik, sampai tokoh-tokoh kosen seperti mereka
pun ikut berebut, maka barang ini tentu amat berharga dan mengejutkan,"
Lama-kelamaan ia menjadi tertarik oleh persoalan ini, terbukti dari sorot
matanya yang bercahaya. Song Thiam-ji yang berada di ruang bawah mendadak bersuara pula,
"Kalian tidak tahu kalau Yong-yong punya seorang bibi misan yang berada
di Sin-cui-kiong?" "Oh, Yong-yong punya seorang bibi misan yang menjadi murid Sin-cuikiong"
Dua hari ini apakah kesehatannya sudah lebih baik" Apa masih
mengalirkan air liur?"
"Kau ingin dia naik ke atas?" tanya Li Ang-siu.
"Sudahlah, orang demam pilek lebih baik tiduran saja."
Terdengar seorang menyahut dengan suara lembut, "Tidak menjadi soal,
sakitku memang sudah sembuh, mendengar kata-katamu, aku...."
Terdengar Song Thiam-ji berseru pula, "Yong-ci jangan kena tipu, dia
sudah tahu kau datang, maka sengaja dia mengeluarkan kata-kata prihatin
padamu." Suara lembut itu menjawab, "Seumpama dia memang berkata begitu, asal
dia suka mengatakan, aku sudah senang." Sesosok bayangan semampai
dengan langkah kaki gemulai seenteng asap melenggok muncul dari tangga
kayu dari ruang bawah. Gadis ini mengenakan jubah panjang yang longgar dan lemas, kepanjangan
sampai terseret di atas geladak dan menutupi seluruh kakinya, cahaya
matahari yang benderang menyinari rambut panjangnya yang terurai
mayang, biji matanya bening, membayangkan senyum manisnya nan lembut,
selintas pandang seolah bidadari dari kahyangan.
"Yong-ci, " seru Li Ang-siu membanting kaki, "Angin begini besar, buat apa
kau naik ke sini" Awas nanti kau jatuh sakit lagi dan tidak bisa bangun,
kongcu kita yang romantis bisa marah pada kami."
"Di atas sini panas dan gerah, siapa yang tahan menyekap diri di ruang
bawah, lagipula aku pun ingin melihat apakah benar murid Sin-cui-kiong
bakal datang." Tangannya membawa seperangkat kimono yang lembut
halus, dengan perlahan ia melampirkannya ke atas badan Coh Liu-hiang, lalu
katanya lembut, "Cuaca mulai dingin, awas nanti kau pun terkena demam."
Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Kau selalu memperhatikan orang lain,
sebaliknya tidak prihatin terhadap dirimu sendiri.... asal kau
memperhatikan dirimu, masa kau bisa sakit."
Li Ang-siu mencibirkan bibir, lalu katanya, "Memangnya kami yang tidak
pernah sakit, tidak pernah memperhatikan kesehatanmu."
So Yong-yong menepuk kedua pipinya, katanya tertawa, "Terlalu banyak
bermakan hati, kau bisa cepat bertambah tua."
Li Ang-siu memeluknya, katanya cekikikan, "Aku ini memang kutu busuk
yang suka cemburu dan makan hati, Yong-ci, mengapa kau tetap baik pada
diriku?" Tubuh So Yong-yong yang semampai dan lemah dipeluknya dan
diangkat ke atas. Pada saat itulah mayat kelima terapung tiba.
*** Kalau dinilai secara keseluruhan, mayat ini sudah bukan mayat yang
lengkap lagi, karena anggota badan sebelah kiri terbelah dari pundak,
seluruh lengan kirinya sudah hilang. Untung mukanya masih dalam bentuk
lengkap, jadi masih jelas kelihatan wajahnya yang jelita, pembunuh yang
telengas itu agaknya tak tega merusak raut wajahnya yang cantik.
Badannya mengenakan pakaian dari kain sari panjang, pakaian tanpa
potongan dan model, karena begitu saja dari atas ke bawah sari halus itu
membelit badannya, di tengah pinggangnya mengenakan sabuk tali sutera
warna perak, kedua kakinya yang indah mengenakan sepatu dari bahan yang
sama seperti sabuk peraknya.
Pakaian sari yang tinggal separoh itu berlepotan darah, jika tidak
mengenakan sabuk tali perak, tentu kain sari halus yang melilit tubuh itu
sudah hanyut terbawa gelombang laut, meski demikian badannya sudah
hampir telanjang. Lekas So Yong-yong memalingkan muka, matanya yang elok sudah
berlinang air mata. Li Ang-siu pun memejamkan mata, katanya, "Yong-ci, menurutmu apakah
dia murid Sin-cui-kiong?"
So Yong-yong manggut-manggut tanpa bersuara.
"Perempuan secantik ini siapa tega membunuhnya?" ujar Coh Liu-hiang
gegetun. "Orang yang bertangan keji ini pun sudah ajal," kata Li Ang-siu.
"Maksudmu Ca Bok-hap?"
"Sudah tentu Ca Bok-hap, kecuali dia, siapa pula yang mampu melancarkan
serangan golok sedemikian cepat?"
"Ehm!" kembali Coh Liu-hiang memanggut.
"Setelah tahu dirinya terkena racun, menggunakan sisa tenaga yang masih
ada, dia membacok lawan, hatinya dirundung kebencian yang meluap, maka
bacokannya itu menghasilkan akibat yang mengerikan, keji dan berat."
"Semua uraianmu itu memang masuk akal," ujar Coh Liu-hiang.
"Kini sumber penyelidikan yang kita tunggu sudah putus, kita pun tak perlu
bersusah-payah lagi."
"Memang tiada perkara lagi?"
"Semua orang yang bersangkutan sudah mati, masih ada perkara lain?"
"Kau yakin dia mati di tangan Ca Bok-hap?"
"Memangnya bukan?"
"Jangan kau lupa, setelah Ca Bok-hap mati, Toa-hong-to mungkin jatuh ke
tangan orang lain. Dengan menggunakan Toa-hong-to, orang itu bisa
membunuh dia supaya orang lain menyangka persoalan ini sudah tamat
sampai di sini." "Ah, benar juga fikiranmu."
"Kalau dia ingin orang berpendapat demikian, maka peristiwa ini sudah
tentu belum berakhir. Menurut pendapatku, persoalan ini justru baru
dimulai." "Kalau begitu, mengapa dia tak melenyapkan saja mayat-mayat ini, supaya
orang tak mampu membedakan dan mengenali mayat-mayat ini, mana
mungkin mengusut persoalan ini pula?"
"Orang-orang ini adalah tokon kosen ternama di kangouw, boleh dikata
adalah pimpinan tertinggi cabang persilatan. Jika mereka mendadak
menghilang bersama, anak murid atau anggota perguruan mereka masa
tidak menyelidiki dan mencari jejak mereka?"
"Oleh karena itu.... " So Yong-yong mengerut kening.
"Oleh karena itu dia harus bertindak sesuai rencana, supaya orang lain
menyangka kelima orang ini saling bunuh, sehingga anak murid dan anggota
perguruan sendiri pun kehilangan sasaran untuk menuntut balas, apa pula
yang harus mereka selidiki?"
Li Ang-siu menghela nafas, katanya, "Tapi pasti tak terfikir olehnya di
dunia ini masih ada orang yang senang mencampuri urusan orang lain."
Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Kukira dia memang tak pernah
memikirkan hal itu."
"Tapi siapakah si dia itu" Kemungkinan setiap orang adalah si dia itu...
sekarang sumber yang ada pun sudah terputus, kau hendak menyelidiki,
bukankah berarti menggagap jarum di lautan?"
"Tidak salah," ujar Coh Liu-hiang. Tiba-tiba badannya mencelat tinggi
terus terjun ke laut. "Apa yang hendak kau lakukan?" teriak Li Ang-siu.
"Mengambil jarum," sahut Coh Liu-hiang sebelum badannya masuk ke air,
seperti seekor ikan raksasa, tahu-tahu badannya sudah hilang ditelan air
laut. Permukaan laut ditimpa sinar matahari keemasan, sama sekali tidak
menimbulkan percikan sedikit pun.
"Yong-ci, kau...," seru Li Ang-siu sambil membanting kaki. "Mengapa kau
membiarkannya?" "Di dunia ini siapa yang mampu mencegah setiap kehendaknya?" sahut So
Yong-yong. Bab 3: Thian-it-sin-cui So Yong-yong berdua mengeluarkan kain layar yang lebar untuk menutupi
kelima mayat manusia tersebut. Baru sekarang Song Thiam-ji berani
menongolkan kepala. Tangan kanannya tampak menjinjing sebuah lampion
berbentuk bagus, sementara tangan kirinya membawa sekeranjang buahbuahan.
Sinar bintang mulai pasang aksi berkerlap-kerlip di tengah angkasa raya,
air laut kelihatan mengeluarkan cahaya gemerlapan seperti lembaran kain
sutera yang mengkilap. Dengan nyaman dan segar mereka duduk berjajar
menikmati hembusan angin sepoi-sepoi, namun dalam sanubari mereka
Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedikit pun tidak merasa nyaman dan tenteram, siapa pun tidak akan
merasa segar dan nyaman bila di sampingnya rebahlima sosok mayat
manusia. Lama sudah Coh Liu-hiang pergi. Jauh di permukaan lautsana , tampak
setitik sinar kerlap-kerlip laksana bintang di tengah lautan, segera Li Angsiu
berseri tawa dan berkata, "Aku hanya berharap jangan sampai dia
dijala orang karena dianggap ikan raksasa!"
Song Thiam-ji cekikikan, ujarnya: "Kalau ada orang anggap manusia
sebagai ikan, tentu orang itu termasuk saudara tuamu." Belum habis ia
bicara, tiba-tiba ia berjingkrak bangun seraya menjerit-jerit, kaki
mencak-mencak berlompatan sedang kedua tangan mencakarsana garuk
sini, tahu-tahu sebuah benda meluncur jatuh dari lengan bajunya, kiranya
itulah seekor ikan. Li Ang-siu seketika bertepuk tangan dan tertawa besar, serunya: "Bagus,
bagus sekali, akhirnya ada orang yang melampiaskan kedongkolanku!"
Entah kapan ternyata Coh Liu-hiang tahu-tahu sudah berdiri disana ,
tangannya menjinjing eekor ikan, sebetulnya tangan kanan pun menjepit
seekor ikan yang lain namun tahu-tahu sudah masuk ke dalam baju Song
Thiam-ji. Saking kaget dan ketakutan, selebar muka Song Thiam-ji sampai
pucat pias, sambil banting-banting kaki segera ia memburu hendak
mencubitnya. Coh Liu-hiang tertawa tergelak-gelak, katanya: "Barusan aku melihat
seorang yang selalu ingin kau temui, kalau sampai sakit kau mencubit aku,
aku tidak akan omong lagi."
Song Thiam-ji mencubit lengannya lalu memeluk lehernya, tanyanya:
"Siapa dia, lekas katakan."
Coh Liu-hiang mengedipkan matanya, sorot matanya laksana bintangbintang
berkelap-kelip. Katanya tertawa: "Siapa orang yang paling ingin kau temui" Dalam kolong
langit ini petikan harpa siapa paling bagus" Seni lukis siapa paling baik"
Syair siapa yang dapat membuat orang kehilangan semangat" Masakan
siapa pula yang lezat dan tiada bandingannya di seluruh dunia?"
Belum habis ia berkata, Li Ang-siu sudah menyeletuk seraya bertepuk:
"Aku tahu sudah yang kau maksudkan adalah Biau-ceng Bu-hoa itulah."
Song Thiam-ji tarik tangan Coh Liu-hiang, katanya: "Apa benar kau
melihatanya" Di mana dia sekarang?"
"Seorang diri dia duduk di atas sebuah sampan, seperti membaca mantera
seperti sedang membaca syair, waktu mendadak aku menongol keluar dari
dalam air, air mukanya itu sayang kalian tidak akan pernah melihatnya!"
"Kau kenal dia?" tanya Song Thiam-ji.
"Aku hanya tiga kali bertemu dengan dia, pertama kali, tiga hari tiga
malam dia menemani aku minum arak, kedua kali bermain catur lima hari
lima malam, dan terakhirnya dia berdebat tentang ajaran Buddha selama
tujuh hari tujuh malam dengan aku." Setelah meneguk air tomat, lalu ia
menambahkan. "Tentang ajaran Budha sudah tentu aku tidak ungkulan
melawan dia, tapi minum arak dia bukan tandinganku."
"Bagaimana permainan catur kalian?" tak tahan Li Ang-siu bertanya.
"Bisa kukatakan seri alias sama kuat. Tapi hwesio itu justru tidak
mengakui keputusan ini!"
"Kecuali minum arak dan berkelahi, mungkin apa pun kau tidak akan
ungkulan melawan orang," olok Li Ang-siu.
"Omong kosong, paling tidak soal makan aku jauh lebih kuat dari dia," kata
Coh Liu-hiang sungguh-sungguh.
Saking gelinya, Li Ang-siu terloroh-loroh sambil memeluk pinggang.
Sebaliknya Song Thiam-ji menarik-narik lengan bajunya, tanyanya
mendesak: "Kenapa tidak kau undang dia untuk mampir ke mari?"
"Semula dia mau, tapi baru saja kukatakan ada beberapa gadis cantik yang
ingin bertemu dengan dia, tiba-tiba berubah sikapnya seperti kelinci yang
mendadak kena panah, lari terbirit-birit."
"Dia kan sudah menjadi Hwesio, kenapa pula harus takut terhadap
perempuan?" kata Thiam-ji gemas sambil memonyongkan mulut.
"Justru karena dia seorang Hwesio baru dia takut, kalau bukan Hwesio
tentu dia tidak takut." Coh Liu-hiang menjelaskan.
"Kalau dia bukan Hwesio," sela Li Ang-siu. "Kutanggung dia akan lari
datang lebih cepat dari lari seekor kelinci."
So Yong-yong tertawa lembut, timbrungnya: "Kabarnya orang itu adalah
Hwesio kenamaan dalam kalangan Buddha, bukan saja syair, tulis, gambar
seni sastra serba pandai, malah silatnya pun termasuk golongan tokoh
kosen." "Memangnya tokoh kosen belaka," sela Coh Liu-hiang. "Malah boleh dikata
merupakan salah satu murid dari Siau-lim yang paling menonjol dan paling
pintar, sayang dia" sungguh dia terlalu pintar, keahliannya terlalu luas dan
banyak, namanya pun amat besar dan harum. Maka Thian-ouw taysu dari
Siau-lim-si dalam mencantumkan nama-nama calon pengganti Ciangbunjin
mendatang, ternyata memilih Bu-siang yang segalanya tidak ungkulan
melawan dia." Demikian tutur Coh Liu-hiang.
Tiba-tiba Coh Liu-hiang bertepuk tangan dan berkata: "Sungguh tak
nyana, Li Ang-siu ternyata kenalan intim Bu-hoa yang tahu segala seluk
beluk." "Sudah tentu dia tidak akan punya sangkut paut dengan peristiwa ini."
Demikian sela So Yong-yong. "Adakah kau melihat orang lain pula?"
"Mayat-mayat ini terbawa arus dari arah timur, setiap perahu di sebelah
timur sana sudah kuperiksa semua. Kecuali Bu-hoa, hanya sebuah perahu
lain termasuk milik kaum persilatan."
"Siapa dia?" tanya So Yong-yong.
"Di atas perahu itu terdapat Su-toa_hu-hoat dari Kay-pang, Su-toa
tianglo dan Pangcu mereka yang baru. Tahukah kau Jin-lo-pangcu tahun
yang lalu sudah meninggal" Coba kau terka siapakah pejabat Pangcu yang
baru?" "Siapa?" balas tanya So Yong-yong.
"Coba kau terka dulu. Dia adalah teman baikku, takaran araknya hampir
sama dengan aku, demikian pula takaran nasinya setanding, suatu ketika,
malah pernah dia menggambar lukisan untuk kau!"
"Ah, mungkinkah Lamkiong Ling?"
"Benar dia!" "Kalau dia terpilih menjadi Kaypang Pangcu, maka suasana dan kehidupan
kaum persilatan tentu berubah, tidak melulu memupuk kebijaksanaan dan
kesetiaan, tidak pula mengutamakan perbedaan tua muda, kini sudah mulai
mementingkan pambek dan kecerdikan dan watak, sungguh suatu hal yang
harus dibuat girang."
Li Ang-siu tiba-tiba menyeletuk: "Sudah tentu Lamkiong Ling tidak akan
punya sangkut paut dengan peristiwa ini, maka...."
"Maka aku sudah kehabisan akal" tukas Coh Liu-hiang tertawa getir.
"Lebih baik lagi kalau kau kehabisan akal" ujar So Yong-yong. "Aku sendiri
pun tidak ingin merepotkan diri."
Coh Liu-hiang melotot ke arah layar terbentang itu, katanya: "Coba kalian
pikir, adakah persamaan di antara kelima orang ini, umpamanya...."
"Umpamanya mereka semua adalah manusia...." tukas Li Ang-siu.
Coh Liu-hiang tertawa getir pula, ujarnya: "Kecuali persamaan ini
memangnya tidak ada persamaan yang lain" Coba kau pikir sedikit cermat."
So Yong-yong bangkit sembari berseri tawa: "Kalian ingin berpikir,
marilah dipikir di ruang bawah saja, aku hendak menyeduh air teh kental,
semalam suntuk kalian berpikir pun tak menjadi soal. Tapi siapa pun
kularang duduk di sini makan angin."
Kamar-kamar di bagian ruang bawah dibangun serba mewah dan serasi,
tiada sejengkal pun tempat kosong yang percuma, tiada sesuatu benda
yang menyolok pandangan, segalanya serba cocok serasi dan semarak,
barang-barang di sini serba antik.
Tepat di bawah tangga adalah sebuah kamar tidur yang dipajang serba
mewah dan sedap dipandang, pelan-pelan sinar lampu menyoroti segala
pelosok kamar, kamar bawah yang semula gelap lambat laun menjadi
terang. Coh Liu-hiang yang berjalan paling depan mendadak menghentikan
langkahnya, seolah-olah kakinya mendadak terpaku di atas lantai tak
bergeming lagi. Di dalam ruang bawah ini ternyata sudah ada seseorang,
seorang perempuan. Tampak orang itu membelakangi pintu, duduk di atas kursi yang biasa
senang diduduki Coh Liu-hiang. Dilihat dari bayangan orang dari arah
belakang, tampak sanggul kepalanya serta sebuah tangan, tangan yang
putih halus dan indah sekali.
Tatkala itu tangannya memegang sebuah cangkir, isi cangkir adalah arak
yang biasanya suka diminum Coh Liu-hiang. Agaknya sedikit pun orang itu
tidak merasa sungkan. Coh Liu-hiang, So Yong-yong, Li Ang-siu dan Song Thiam-ji berempat sama
berdiri melongo di atas lantai papan, mulut terbuka, suara tertelan dalam
tenggorokan. Kapan perempuan ini masuk, sedikit pun mereka tidak tahu.
Mungkin dia masuk di saat Coh Liu-hiang terjun ke laut tadi, namun gerakgeriknya
dapat mengelabui So Yong-yong, Li Ang-siu dan Song Thiam-ji,
mungkin tidak rendah kepandaiannya!
Terdengar suara nan merdu dingin berkata pelan-pelan: "Apakah maling
sakti Coh Liu-hiang yang masuk?"
"Benar, apakah Cayhe salah memasuki rumah orang?" sahut Coh Liu-hiang.
"Kau tidak salah jalan, memang ini tempatmu." kata perempuan itu dingin.
"Kalau toh ini tempatku sendiri, kenapa nona duduk di tempatku itu?"
"Karena aku senang duduk di sini."
"Tepat benar alasanmu, sungguh tepat."
"Selain itu kudengar Coh Liu-hiang selamanya tidak pernah menampik
kehadiran perempuan." Tiba-tiba ia menggeser kursi dan berputar balik
menghadap ke arah Coh Liu-hiang, sinar lilin tepat menyinari wajahnya.
Kalau dalam dunia ini ada wajah perempuan yang bisa membuat laki-laki
menghentikan napasnya, itulah wajah perempuan ini, demikian pula bila
kerlingan perempuan dalam dunia ini mendebarkan jantung laki-laki, tak
lain kerlingan perempuan ini juga, kini kedua biji mata yang pandai
mengerling itu sedang menatap muka Coh Liu-hiang, katanya aleman:
"Sekarang sudah cukup belum alasanku itu?"
"Ya, alasan itu mendadak berubah menjadi cukup dan baik," ujar Coh Liuhiang
tersendat. Sorot matanya perlahan berkisar dari raut muka nan cantik menurun ke
bawah, kini ia mendapati orang mengenakan jubah panjang dari sari putih,
dia pun melihat orang mengenakan sabuk tali lembut warna perak.
"Sekarang kau sudah tahu aku datang dari mana?" ujar perempuan itu
dengan kalem. "Lebih baik kalau aku tidak tahu."
"Mengapa?" "Di dunia ini anak perempuan yang tidak sudi kukenal hanya anak murid
Sin-cui-kiong." Mendadak perempuan itu berdiri, memutar badan dan mengangkat poci
perak dari atas rak serta menuangkan secawan penuh. Coh Liu-hiang
menghela nafas dengan rasa rawan, katanya, "Ingin kutahu maksud
kedatanganmu, kecuali minum arak, adakah urusan lain lagi?" Sembari
bicara ia maju mendekat serta menarik kursi lalu duduk.
Perempuan itu berpaling, katanya sepatah demi sepatah sambil menatap
mukanya, "Angkuh, tidak sopan, dingin kaku, tapi ada satu dua titik terang
yang membuat nona kecil kepincut padamu.... ternyata sesuai benar
keadaanmu dengan berita yang kudengar."
"Terima kasih... entah ada tidak kabar di Kangouw mengenai kepribadianku
yang lain?" "Tentang apa?" "Kalau ada perempuan asing yang menyelundup masuk ke kamarku, duduk
di kursiku, minum arakku lagi, sering kulempar dia ke dalam laut. Terutama
bila perempuan itu menganggap dirinya amat cantik, padahal dia tidak
cantik." Dengan nyaman ia menggeliat menjulurkan kaki dan tangan seolah
sudah siap untuk menikmati sikap galak perempuan ini yang marah-marah.
Seketika memutih selebar muka perempuan itu saking marahnya, tangan
yang memegang cawan pun gemetar. Lekas Li Ang-siu memburu maju dan
merampas cawan emas itu dari tangannya, katanya sambil tertawa manis,
"Kalau nona hendak membanting cawan, biar kuganti dulu dengan cawan
besi." Rona wajah perempuan itu berubah dari putih menghijau lalu merah
padam, tiba-tiba ia malah mengunjuk tawa lebar bak bunga mekar, katanya,
"Bagus sekali, kalian memang amat lucu dan menyenangkan, tetapi suasana
berkelakar sudah berlalu."
"O, jadi kau sudah siap menangis?" olok Coh Liu-hiang pula.
"Kalau tidak kau kembalikan barang itu, mungkin hendak menangis pun kau
tidak bisa," jengek perempuan itu.
"Kembalikan barang itu" Memangnya aku pernah meminjam sesuatu
kepadamu?" "Sudah tentu kau tidak meminjam. Siapa yang tidak tahu di kolong langit
ini, Coh Liu-hiang tidak pernah meminjam sesuatu barang dari orang lain,"
ejek perempuan itu dingin. "Kau mencurinya!"
"Mencuri?" seru Coh Liu-hiang mengerutkan kening. "Barang apa yang
kucuri darimu?" "Thian-it-sin-cui!" sahut perempuan itu lantang.
Mendadak biji mata Coh Liu-hiang melotot besar, teriaknya, "Apa
katamu?" Kembali perempuan itu berseru perlahan, "Thian-it-sin-cui!"
"Memangnya Thian-it-sin-cui istana kalian dicuri orang?"
"Dari tempat ribuan li kususul ke mari, memangnya aku menipu dan mainmain
denganmu?" Seketika terpancar rasa senang dari sorot mata Coh Liu-hiang, gumamnya,
"Bagus, bagus sekali, persoalan ini menjadi menarik sekali. Entah berapa
banyak Thian-it-sin-cui yang dicuri orang?"
"Tidak banyak, hanya beberapa tetes saja, tapi cukup membuat tiga
puluhan jago kosen mampus secara konyol tanpa diketahui sebabmusababnya.
Tepatnya bisa tiga puluh tujuh."
So Yong-yong menghembuskan nafas, katanya, "Jadi kau anggap barang
kalian yang hilang itu dicuri olehnya?"
"Selain maling sakti Coh Liu-hiang, siapa yang mampu mengusik sebatang
rumput atau seonggok kayu di Sin-cui-kiong?"
"Terima kasih atas pujianmu! Kutegaskan bahwa aku tidak pernah
melakukan hal itu, pasti kau tak akan percaya."
"Bisakah kau membuatku percaya?"
"Mungkin... mungkin bisa!" mendadak ia mencelat bangun terus menarik
tangan si nona, katanya, "Paling baik kubawa kau melihat sesuatu,
kutanggung beberapa benda itu cukup untuk menarik perhatianmu....
menarik sekali." Perempuan yang dingin dan kaku itu, entah mengapa, membiarkan saja
tangannya digenggam dan ditarik.
Kata So Yong-yong sambil menghela nafas, "Kalau dia ingin menarik tangan
seorang nona, mungkin tidak ada yang mampu menolaknya."
Song Thiam-ji berkedip-kedip, katanya, "Kalau murid Sin-cui-kiong terdiri
dari kaum pria, tentunya akan lebih baik."
"Perempuan pun tidak menjadi soal," sela Li Ang-siu. "kalau wajah mereka
rada jelek." "Lebih baik pula kalau muka mereka sepeti setan," kelakar Song Thiam-ji.
*** Waktu kain layar tersingkap, mayat-mayat itu di bawah sorot bintangbintang
di langit kelihatan seram dan mengerikan.
"Kau periksa mereka lebih dulu, tentu mereka sudah kau kenal?" ujar Coh
Liu-hiang. Dengan nanar gadis itu mengawasi pundak kiri yang terbelah, sekian lama
ia menjublek seperti patung kayu, sedikit pun tidak memperlihatkan
perubahan pada mimik wajahnya, katanya, "Dia bukan anak murid Sin-cuiKoleksi
Kang Zusi kiong." Kembali Coh Liu-hiang terkejut, katanya keras, "Bukan?"
"Selama hidup belum pernah kulihat dirinya."
Bertaut alis Coh Liu-hiang, sejenak dia berfikir, lalu katanya perlahan,
"Semula kukira anak murid Sin-cui-kiong kalian yang mencurinya,
prasangkaku adalah dia, tapi sekarang...."
"Sekarang kau masih merasa amat lucu?"
Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau dia bukan murid Sin-cui-kiong, mengapa dia berdandan seperti itu"
Tentu dia melakukannya bukan atas kemauan sendiri, tapi si 'dia' yang
menyuruhnya menyamar, dia ingin memancing orang agar salah menerka."
"Salah terka apa?" tanya si gadis.
"Dia ingin supaya orang menyangka bahwa Ca Bok-hap mati di tangan
perempuan ini, dan perempuan ini pun mampus di tangan Ca Bok-hap, maka
segalanya tamat sampai di sini, dia tidak ingin orang menyelidiki peristiwa
ini lebih lanjut........... namun perempuan ini yang menjadi kambing
hitamnya." "Kau bisa berkata begitu jelas, tentu kau sudah tahu siapa si 'dia' yang
kau maksud," kata perempuan itu dingin.
Coh Liu-hiang menghela nafas, katanya, "Semoga aku bisa mengetahuinya."
Bab 4 Terkulum senyuman sinis dan jahat di ujung mulut gadis itu, namun Coh
Liu-hiang tidak memberi kesempatan orang untuk bicara, dia menggenggam
tangannya dan menariknya, lalu katanya, "Nona Leng, bila kau ingin mencari
jawaban atas teka-teki ini, kau harus percaya padaku," kedengaran
suaranya lemah lembut penuh kasih sayang dan jujur pula, namun sorot
matanya jauh lebih berdaya tarik daripada nada suaranya yang mampu
menundukkan kekerasan hati orang.
Akhirnya gadis itu tertawa lebar, ujarnya, "Aku bukan she Leng."
"Kalau begitu aku memanggil kau siapa?" bersinar sorot mata Coh Liuhiang.
Tiba-tiba gadis itu menarik muka, katanya dingin, "Kau boleh memanggilku
nona Leng saja." "Lebih dulu aku hendak menyelidiki Thian-it-sin-cui itu, barang itu tidak
bisa mendatangkan kekayaan, juga tidak bisa menambah kepandaian ilmu
silat berlipat ganda, mengapa harus mencurinya?"
"Pertanyaan ini seharusnya ditujukan padamu lebih dulu."
"Hanya satu kegunaan Thian-it-sin-cui, yaitu untuk mencelakai jiwa orang,
malah membunuh tanpa disadari dan tanpa diketahui oleh si korban.
Sedemikian rupa dia berdaya upaya, mencurahkan segala tenaga,
mengerahkan segala daya fikir dan akal untuk mencuri Thian-it-sin-cui,
jelas punya satu tujuan."
"Satu pun sudah cukup."
"Nah, dapat kita simpulkan bahwa orang yang hendak dicelakai oleh si
'dia' adalah orang yang tidak gampang dibunuh hanya dengan menggunakan
racun, dengan kata lain orang yang hendak dibunuh oleh si 'dia' adalah
orang yang tidak mampu dibunuhnya dengan menggunakan kepandaian atau
kekuatan sendiri." Perempuan itu manggut-manggut, katanya, "Benar, kalau tidak, dia tak
akan berani menyerempet bahaya mencuri Thian-it-sin-cui."
"Tetapi kalau benar dia berhasil mencuri Sin-cui dari Sin-cui-kiong, masih
ada berapa orang yang tidak mampu dibunuhnya" Untuk bisa berhasil
mencuri 'air sakti' dari Sin-cui-kiong, si 'dia' harus mempunyai kepandaian
setingkat aku," Coh Liu-hiang tersenyum, lalu ia berkata pula, "Karena itu
dapat disimpulkan bahwa si 'dia' berhasil mencuri 'air sakti' dari Sin-cuikiong
karena ada orang yang telah membantunya secara diam-diam."
"Siapa orang yang kau maksud?" jengek si gadis dingin.
Coh Liu-hiang menatapnya bulat-bulat, katanya,"Setelah 'air sakti' itu
hilang, adakah orang hilang dari istana kalian?"
"Jadi kau maksud anak murid istana kami yang membantunya mencuri air
sakti tersebut, setelah air itu tercuri, ia sendiri pun harus segera
menyelamatkan diri, begitu?"
"Memangnya tidak mungkin terjadi hal seperti itu?"
"Sudah tentu mungkin, sayang sekali selama puluhan tahun ini tidak ada
seorang pun anak murid Sin-cui-kiong kami yang hilang atau melarikan diri."
"Sejak kehilangan 'air sakti' itu, apakah tidak terjadi suatu peristiwa di
istana kalian" Umpamanya ada yang bunuh diri...."
Seketika berubah sikap gadis itu, serunya, "Bagaimana kau bisa tahu?"
Bersinar sorot mata Coh Liu-hiang, katanya keras, "Jadi ada yang bunuh
diri, benar tidak" Mengapa dia harus bunuh diri?"
"Persoalan istana kami, mengapa perlu kau tahu?" bentak perempuan itu
dengan beringas. Coh Liu-hiang menggenggam tangan perempuan itu, katanya perlahan,
"Nona Leng, tolong kau ceritakan secara jujur tentang peristiwa itu,
peristiwa itu adalah kunci persoalan ini, maukah... maukah kau percaya
padaku?" Gadis itu menarik tangannya serta pelan-pelan memalingkan mukanya,
sekian lama dia menepekur diam, akhirnya dia berkata dengan perlahan,
"Dia adalah gadis yang rupawan dan cantik jelita, serta romantis pula,
usianya pun paling muda, sekarang.... sekarang dia sudah meninggal, aku tak
bisa singgung dirinya lagi."
"Mengapa dia bunuh diri" Apakah karena hamil dan dia merasa malu?"
Gadis itu tidak menjawab, tapi tangannya menggenggam kencang bajunya,
terang hatinya bergolak diliputi rasa haru dan pedih serta penasaran.
"Jelas sudah kalau begitu," ujar Coh Liu-hiang. "Terang si 'dia' sudah
melanggar kesuciannya, di bawah ancaman dan bujuk rayu akhirnya dia
berhasil mencuri Thian-it-sin-cui, namun si 'dia' tidak menepati janji
membawanya pergi untuk dijadikan isteri, maka dia memilih jalan pendek."
"Tutup mulutmu!" bentak si gadis dengan badan gemetar.
"Sejak dahulu kala, gadis yang romantis senantiasa mengalami nasib yang
mengenaskan......... daripada kau bersedih, lebih baik kau berusaha
menemukan si 'dia', membalas dendam bagi si korban."
Sigap sekali gadis itu membalikkan tubuh, tanyanya, "Cara bagaimana
mencari si 'dia'?" "Sebelum ajal, apakah ada pesan darinya?"
Berlinang air mata perempuan itu, katanya dengan haru, "Dia hanya
berkata.... dia berdosa terhadap orok dalam kandungannya."
"Sampai keadaan demikian, dia masih tidak sudi menyebut nama si 'dia',
seolah-olah dia khawatir kalau orang lain mencelakai si 'dia'. Ilmu iblis
apakah yang dimiliki orang itu, sehingga seorang gadis muda bisa kepincut
mati-matian kepadanya?"
"Selama ini tidak pernah dia menyinggung si 'dia', hakikatnya dia tidak
pernah menyebut-nyebut tentang seorang laki-laki, sungguh mimpi pun
tidak pernah kami duga bisa terjadi peristiwa seperti ini."
"Apakah dia tidak mempunyai teman laki-laki?"
"Sejak dilahirkan, sepanjang hidupnya dia tidak pernah kenal dengan lakilaki."
"Aneh... mengapa hari ini terjadi beberapa peristiwa aneh. Empat orang
yang satu dengan lainnya tidak saling kenal meninggal dalam waktu
bersamaan di satu tempat pula! Air sakti Sin-cui-kiong secara misterius
dicuri orang. Seorang gadis suci pingitan yang selama hidupnya tidak
pernah bicara dengan lelaki, tiba-tiba diketahui hamil. Selintas pandang,
ketiga peristiwa aneh ini satu dengan yang lainnya tiada berhubungan sama
sekali, namun justru saling berkaitan erat." Coh Liu-hiang mengangkat
kepalanya, gumamnya, "Siapa yang bisa menjelaskan persoalan aneh seperti
ini?" "Kau sendiri!" seru gadis itu.
Coh Liu-hiang tertawa getir, katanya, "Aku...."
Gadis itu menatapnya dengan tajam, katanya bengis, "Demi kau sendiri,
kau harus berusaha membongkar rahasia ini."
"Tapi dari mana aku harus bertindak" Boleh dikata aku tidak mempunyai
sumber penyelidikan sama sekali."
"Sumbernya pasti ada, dan kau sendiri pula yang harus menemukannya."
kata si gadis, kembali ia membalikkan badan membelakangi Coh Liu-hiang,
lanjutnya dengan tandas, "Kuberi kau tempo satu bulan, bila kau tidak
berhasil menemukannya, Sin-cui-kiong akan mencarimu."
"Mengapa kau membalikkan badan" Memangnya bila kau berhadapan
denganku, tidak mampu mengucapkan kata-kata yang tidak tahu aturan
ini?" Gadis itu tidak menghiraukan kata-katanya, dia beranjak mendekati
buritan kapal. Di bagian belakang kapal yang gelap, tampak ada sebuah
sampan kecil yang bisa bergerak cepat dan laju. Dengan enteng dia
melayang turun, sekejap mata sampan kecil itu sudah meluncur pergi
ditelan kegelapan malam. Coh Liu-hiang bertopang dagu di dek kapal, dengan berdiam diri ia
mengawasi bayangan orang pergi. Sinar bintang tampak redup, sampan
kecil itu terombang-ambing digoyang alunan ombak, sari panjang di atas
tubuhnya tertiup angin melambai-lambai, seolah-olah dewi kahyangan yang
sedang menari di tengah lautan. Tiba-tiba ia memalingkan muka dengan
mengunjuk tawa berseri yang manis, serunya, "Aku bernama Kiong Lamyan!"
*** Coh Liu-hiang menjulurkan kedua kakinya, dengan nyaman ia rebah di atas
kursi malasnya, matanya memandang pusaran arak yang berada di dalam
cawannya, lalu ia menggumam, "Memang dia amat cantik, terutama senyum
tawanya, lebih cemerlang dari sinar bintang yang berkerlap-kerlip di
angkasa, dan akhirnya lenyap ditelan kegelapan."
"Sebulan lagi kau tidak akan merasa dia cantik, terutama bila ujung
pedangnya mengancam tenggorokanmu," demikian goda Li Ang-siu dengan
tawar. "Dia tidak menggunakan pedang," ujar Coh Liu-hiang.
Berkedip-kedip mata Li Ang-siu, "Memangnya dia menggunakan pisau
sayur?" Tak tahan lagi Coh Liu-hiang tertawa geli, katanya sungguh-sungguh,
"Yang dia gunakan adalah mangkuk sayur."
"Mangkuk sayur?"
"Kalau tidak pakai mangkuk, bagaimana dia bisa menadahi cukamu yang
tumpah dari gucimu yang terbalik?"
Song Thiam-ji cekikikan, katanya, "Jangan kau menyalahi dia, bahwasanya
dia jauh lebih lihai daripada Kiong Lam-yan!"
"Oh!" Coh Liu-hiang berseru heran.
Song Thiam-ji menekuk pinggang, katanya dengan geli, "Kiong Lam-yan
paling hanya murid Sin-cui-kiong, tetapi nona Li Ang-siu kita ini sebaliknya
adalah Ciangbunjin Sin-cui-kiong."
Li Ang-siu memburu maju, dampratnya sambil mengertak gigi, "Setan cilik,
kau ingin mampus!" Sambil terkekeh geli, Song Thiam-ji berlari, terus saja
ia berkaok-kaok, "Yong-ci, tolong! Lihai benar Ciangbunjin dari Sin-cuikiong!"
Begitulah mereka kejar-mengejar dengan bersenda-gurau.
Sambil tersenyum simpul So Yong-yong mengawasi Coh Liu-hiang, katanya
lembut, "Sekarang apa yang akan kau lakukan?"
"Sampai detik ini tidak ada sumber penyelidikan yang dapat kutemukan.
Tetapi aku tahu bahwa si 'dia' pasti adalah seorang laki-laki tampan, kalau
tidak mana mungkin gadis pingitan itu bisa kepincut padanya?"
"Belum tentu semua gadis menyukai laki-laki tampan."
"Menurut pandanganmu, orang macam apakah sebenarnya si 'dia' itu?"
"Pasti dia adalah laki-laki yang pandai bicara, sangat pintar, pandai
menarik perhatian seorang gadis serta romantis. Gadis remaja yang
beranjak dewasa, selamanya takkan kuasa melawan laki-laki seperti ini."
"Laki-laki semacam ini memangnya bisa masuk ke Sin-cui-kiong?"
"Laki-laki seperti ini bila sudah masuk ke Sin-cui-kiong, mungkin tidak bisa
keluar dengan hidup. Di dunia ini, laki-laki yang bisa keluar dari Sin-cuikiong
dengan hidup mungkin hanya ada beberapa orang saja."
"Oleh karena itu terpaksa aku memohon bantuanmu untuk melakukan
sesuatu." "Maksudmu hendak mengutus aku ke Sin-cui-kiong?"
"Aku... aku hanya menguatirkan kesehatanmu."
"Jadi kau anggap aku sedemikian lemah, tak tahan dihembus angin?"
"Entah bisa tidak kau menemukan bibi misanmu, tanyakan biasanya lakilaki
macam apa yang diperbolehkan keluar-masuk di Sin-cui-kiong.
Tanyakan juga gadis macam apa pula yang bunuh diri itu. Lebih baik kalau
bisa menemukan barang-barang peninggalan gadis itu. Kalau dia ada
meninggalkan buku atau surat, itu lebih baik."
"Begitu terang tanah, segera aku berangkat."
"Cuma kau...." Dengan aleman So Yong-yong mendekap mulut orang dengan jari-jarinya
yang runcing halus, katanya tertawa, "Apa yang ingin kau kemukakan, aku
sudah tahu. Setelah aku pergi, bagaimana dengan dirimu?"
"Tujuh hari kemudian akan kutunggu kau di Hong-ih-ting di pesisir Taybingouw di Kilam." "Kilam" Bukankah di sana pusat Cu-soa-bun?"
"Hay-lam-pay dan Chit-sing-pang terlalu jauh dari sini, sebaliknya Ca Bokhap
datang dari daerah luar perbatasan yang jauh di ujung langit. Aku
mengharap dari anak murid Cu-soa-bun aku bisa memperoleh kabar yang
kuperlukan." "Tapi kau harus hati-hati, kalau mereka tahu....."
"Walau mereka membenciku, mereka tidak akan bisa berbuat apa-apa
terhadap diriku," Tiba-tiba Coh Liu-hiang membentangkan telapak
tangannya, entah sejak kapan tahu-tahu tangannya sudah menggenggam
sebotol porselen kecil. Begitu sumbat dibuka, segera terendus semacam
bau wangi yang terasa aneh memenuhi ruangan besar itu.
Segera Coh Liu-hiang tarik suara dan bersenandung, "Malam hari maling
sakti meninggalkan bau wangi, entah di manakah sukmamu gentayangan..."
"Jadi kau ingin supaya aku meninggalkan bau wangi ini di mana-mana?"
"Betul! Sepanjang jalan kau tinggalkan sedikit bau ini, supaya orang susah
meraba jejakku ada di mana, takkan terduga pula oleh mereka, aku
sebenarnya sudah berada di Kilam."
"Tapi kau... kali ini kau akan muncul sebagai duplikat siapa?"
"Anggota Cu-soa-bun kebanyakan adalah hartawan besar. Jika aku ingin
mendapat kepercayaan dari mereka, maka aku harus menyamar sebagai
orang perlente yang lebih royal membuang uang daripada mereka." Sambil
menggeliat malas ia pun bangkit, lalu mendorong lemari yang penuh padat
untuk menyimpan botol-botol arak ke samping, ternyata di belakang lemari
minuman itu terdapat sebuah pintu kecil yang sempit.
*** Di belakang pintu sempit rahasia itu terdapat sebuah ruang segi enam
yang berbentuk aneh. Enam dinding sekelilingnya terpasang kaca yang
terang, cukup dengan menyalakan sebuah lentera saja sudah dapat
menerangi sepuluh kali lipat keadaan kamar kecil itu.
Sepanjang dinding kaca itu dikelilingi pula oleh lemari-lemari pendek yang
terbuat dari kayu, di sana terdapat ratusan laci kecil, di setiap laci
tercantum nomor yang berbeda, tak ubahnya dengan laci di toko obat.
So Yong-yong menggelendot di pinggir pintu, katanya tertawa, "Yang kau
inginkan mungkin nomor enam puluh tiga atau nomor seratus tiga belas."
Coh Liu-hiang menarik laci nomor enam puluh tiga, di dalamnya tersimpan
seperangkat jubah dan celana ketat yang terbuat dari sutera halus warna
biru tua, kelihatannya setengah baru, di samping itu terdapat pula
sepasang sandal kain, sebuah kantong kecil warna hitam terbuat dari kulit
ikan cucut, serta sejilid buku tipis.
Coh Liu-hiang mengerutkan keningnya, tanyanya, "Apakah benar
nomornya?" "Mungkin tidak salah."
"Tapi dinilai dari pakaian ini, bukan baju yang sering dipakai orang kaya."
"Pedagang besar yang bermukim di Kilam hanya ada dua orang saja. Yang
seorang adalah cukong besar pemilik bank di Sansay, cukong yang memakai
pakaian seperti ini, boleh dianggap cukup berlebihan."
"Oh, iya, aku lupa, barang perak milik orang Sansay kebanyakan digodok
dulu dalam obat, ada kalanya aku merasa heran, mereka menyimpan uang
sebanyak itu, entah apa tujuannya."
Lalu ia pun membalik lembaran buku tipis itu, di halaman pertama
bertuliskan: Nama: Ma Pek-ban Pekerjaan: Direktur bank Su-khong Sansay
Usia: Empat puluh Kesukaan: Tidak ada Ciri-ciri: Setiap kali melewati tempat berair pasti akan melepaskan
sandal, waktu hujan selalu berusaha menggunakan payung milik orang lain,
badannya membawa bau seperti sudah lama tak pernah mandi
Belum selesai membaca, lekas Coh Liu-hiang menutup buku itu terus
dikembalikan ke dalam laci, katanya sambil menghela nafas, "Kalau kau
ingin aku menyamar sebagai orang ini, lebih baik aku mati saja."
"Kau sendiri yang menyuruhku menulis dan mencatat bahan-bahan itu di
Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam buku, pengemis jorok pun kau pernah menyamarnya, mengapa
sekarang kau tidak mau....."
"Lebih baik menjadi pengemis daripada menjadi cukong macam dia itu."
"Kalau begitu, coba kau buka laci nomor seratus tiga belas."
Coh Liu-hiang membuka laci nomor seratus tiga belas, di dalamnya
tersimpan seperangkat pakaian indah dan mentereng terbuat dari bahan
yang mahal, sepasang sepatu kulit yang mengkilap, kecuali itu terdapat pula
dua butir bola besi yang mengeluarkan suara gemerincing bila ditimangtimang
di telapak tangan, sebuah golok melengkung yang dihiasi batu
jamrud, sebuah kantong kecil yang terbuat dari kulit ikan cucut hitam
serta sejilid buku tipis pula.
Setelah itu So Yong-yong berkata, "Yang sering pulang pergi ke Kilam,
selain cukong besar pemilik bank, orang yang paling royal adalah pemilik
perkebunan di daerah luar perbatasan Tiang-pek-san, yaitu ketua Jaysampang yang berdagang kolesom."
"Kedengarannya dia jauh lebih menarik."
Kembali Coh Liu-hiang membalik halaman buku tipis itu, tertulis di situ:
Nama: Thio Siau-lim Pekerjaan: Pedagang obat kolesom Koan-gwa
Usia: Tiga puluh enam Kesukaan: Arak, berjudi dan main perempuan
Belum selesai membaca, Coh Liu-hiang sudah menutup buku itu, katanya
sambil tersenyum, "Menarik, sungguh amat menarik sekali."
"Aku tahu, tentu cukup memenuhi seleramu. Tapi kau tetap harus
membawa pula peti itu, aku sudah menyiapkan nomor tiga, tujuh, dua puluh
delapan dan empat puluh di dalam peti itu."
"Kalau begitu, sejak hari ini aku akan menyamar sebagai Thio Siau-lim
selama beberapa hari." Di tengah gelak tawanya, ia pun membuka kantong
kulit itu, lalu mengeluarkan sebuah kedok muka yang halus dan tipis.
*** 'Kwi-gi-tong', tiga huruf emas bergaya tandas seperti naga melingkar
atau burung hong menari, tampak berkilauan di bawah penerangan sinar
pelita. Di sanalah pusat perjudian terbesar di seluruh kota Kilam.
Tatkala itu pelita baru saja dipasang, suasana Kwi-gi-tong amat ramai dan
hiruk-pikuk. Sebuah ruangan besar penuh sesak, diliputi oleh bau arak dan
asap tembakau yang mengepul menyesakkan nafas, terendus pula bau
pupur dan gincu di atas tubuh para perempuan, bau keringat busuk di atas
badan para lelaki.... kepala setiap hadirin pun hampir semuanya basah oleh
butiran keringat yang kemilau tersorot oleh sinar pelita.
Ada yang berseri tertawa riang, namun ada pula yang lesu dan patah
semangat, ada yang bersikap tenang, ada pula yang tegang mengepal tinju
dan gemetar seluruh badannya.
Di ruangan paling depan terdapat dua meja Paykiu, dua meja judi dadu,
dua meja Capjiki. Tingkatan orang yang bertaruh di sini pun paling acakacakan,
kaya miskin tiada perbedaan, asal ada uang boleh bertaruh. Suara
hiruk-pikuk di sini pun paling ramai. Di setiap meja berdiri seorang laki-laki
berseragam hitam dan berikat pinggang kain merah, setiap yang menarik
taruhan, dia harus menyetor sepuluh persen padanya.
Ruangan tengah rada sepi dan tenang, di sini hanya terdapat tiga meja,
orangnya pun lebih sedikit, tiga meja penuh dengan orang-orang gemuk
bertubuh gendut, terang mereka adalah hartawan-hartawan besar yang
getol berjudi. Uang perak bertumpuk-tumpuk di atas meja di hadapan
setiap orang, di pinggir meja tersedia hidangan dan makanan, tak
ketinggalan pula rokok. Puluhan gadis ayu yang berpakaian mewah dengan
perhiasan memenuhi seluruh badan tampak mondar-mandir sambil jual
senyuman manis, seperti kupu-kupu yang mengelilingi sekuntum bunga, di
sana melorot uang perak, di sini menjumput dua keping uang emas.
Para penjudi itu tidak menghiraukan perbuatan mereka, maklum apa
artinya uang kecil itu, maka yang kalah semakin cepat kantong uangnya
kosong, yang menang sebaliknya kantong uangnya tidak terlihat padat.
Uang perak atau emas sama mengalir ke kantong baju gadis-gadis itu
melalui jari-jari mereka mereka yang penuh dihiasi cincin berkilauan,
akhirnya bertumpuk di kas sang majikan pemilik rumah judi itu. Perjudian
di sana memang dibuka dan diusahakan oleh fihak Cu-soa-bun.
Rumah di bagian belakang, pintunya tertutup kerai lebar, di dalam rumah
itu terdapat tujuh atau delapan penjudi, namun gadis-gadis yang melayani
di sini pun paling banyak, ada yang menghidangkan makanan, ada yang
menuangkan arak, namun ada pula yang menggelendot dalam pelukan orang.
Sebutir demi sebutir mereka mengupaskan kwaci terus dijejalkan ke mulut
penjudi-penjudi yang dermawan itu, jari-jari mereka laksana duri mawar,
kerlingan matanya tajam semanis madu.
Seorang pemuda bermuka pucat mengenakan jubah panjang hijau pupus
tampak berdiri di pinggir meja sambil tersenyum simpul, tak hentihentinya
ia menepuk pundak salah seorang tamu, katanya, "Hari ini nasibmu
kurang mujur, pergi bawalah Cu-ji ke kamar untuk bermalas-malasan saja."
Namun yang diajak bicara selalu menjawab sambil tertawa lebar, "Buat
apa terburu-buru, belum lagi lima laksa tail!"
Maka tangan si pemuda pun ditarik, sambil tersenyum senang ia mengeluselus
jenggotnya yang baru tumbuh, tangan yang ia gunakan selalu tangan
kiri, tangan kanan selalu disembunyikan di balik lengan baju.
Pemuda ini bukan lain adalah pengurus tertinggi Kwi-gi-tong, tak lain
adalah murid Ciangbunjin Cu-soa-bun, Sat-jin-giok-lan Han-bin-beng-siang
(Membunuh tanpa mimik wajah berubah) Leng Chiu-hun.
Bab 5 Tiba-tiba seorang laki-laki kurus tepos bermata juling dengan kepala
seperti keledai berpakaian perlente menyelinap masuk, dari jauh ia sudah
menjura dan berkata dengan hormat sambil tertawa, "Selamat siang,
Cheng-cu baik-baik saja?"
Leng Chiu-hun menarik muka, segera ia menghampiri dengan menggendong
tangan, makinya dengan mengerut kening, "Thia Sam, berani kau main
terobosan ke tempat ini?"
Tersipu-sipu Thia Sam membungkukkan badan, katanya sambil tertawa,
"Mana Siaujin berani main terobos di sini, cuma...." Sambil melotot, lalu
katanya lagi, "Semalam kedatangan seorang tamu yang royal, dalam
sekejap saja dia sudah menghamburkan uang sebanyak tiga laksa tail di
tempat Siau-cui sana, waktu aku mencari tahu, ternyata tangannya masih
gatal, maka Siaujin memberanikan diri untuk membawa orang itu ke mari."
"O, orang macam apakah dia?"
"Dia she Thio, bernama Siau-lim."
"Thio Siau-lim?" Leng Chiu-hun terpekur. "Amat asing nama ini bagiku."
"Kabarnya dia jarang masuk perbatasan, maka....."
"Orang-orang macam apa yang berjudi di tempat ini, tentunya kau sudah
tahu. Orang yang tiada punya asal-usul seumpama hendak menghamburkan
uangnya, orang-orang ini pun takkan memberi peluang kepadanya."
"Siauya tak usah kuatir, orang yang tidak punya asal-usul mana Siaujin
berani membawanya ke mari.... tamu she Thio itu adalah pedagang kolesom
terbesar di Tiang-pek-san, kini datang ke Kilam hendak membuang sedikit
uang mencari hiburan."
"Hm, pedagang kolesom ya, biar kulihat dulu," kata Leng Chiu-hun, lalu ia
menyingkap kerai dan melongok keluar. Tampak seorang laki-laki
bercambang pendek, muka merah, sedang berdiri dengan gagah di luar
pintu sambil menggendong tangan. Tangannya menggenggam dua butir bola
besi yang mengeluarkan suara gemerincing. Walau dia berdiri tanpa
bergerak, tindak-tanduknya kelihatan angker dan berwibawa. Semua
hadirin di rumah itu tiada yang sebanding dengannya, seolah-olah burung
bangau di tengah ayam babon.
Bergegas Leng Chiu-hun menyingkap kerai dan melangkah maju memapak,
katanya sambil soja, "Thio-heng datang dari tempat jauh, Siaute tidak
melayani dengan semestinya, harap suka dimaafkan." Sembari tertawa
lebar, ia menarik tangan Thio Siau-lim, seakan-akan teman lama.
Ternyata Thio Siau-lim adalah orang jujur yang selalu menepati
omongannya, orang kaya yang keluar uang tanpa berubah air mukanya,
kebetulan meja di rumah itu sedang berjudi paykiu, segera ia merogoh
saku dan ikut pasang, beberapa kali putaran saja dia sudah kalah lima laksa
tail. Para gadis ayu itu segera merubung maju, beramai mereka berebut
menuangkan teh, berebut melihat isi kartu pula. Thio Siau-lim bergelak
tertawa, tangan kiri menarik, tangan kanan memeluk, mendadak dari dalam
kantong bajunya ia mengeluarkan setumpuk uang kertas, katanya, "Nah, m
ari dimulai lagi, bagaimana kalau aku yang menjadi bandarnya?"
Waktu Leng Chiu-hun melirik, dilihatnya lembaran uang kertas yang paling
atas adalah lembaran sepuluh laksa tail, seketika mukanya berseri tawa
senang, katanya, "Kalau Thio-heng yang menjadi bandar, biarlah Siaute
ikut bertaruh." Yang menjadi bandar saat itu adalah ketua dari empat puluh perusahaan
beras di seluruh kota Kilam, dia sudah meraih puluhan laksa tail,
memangnya sudah ingin mengundurkan diri, maka tawaran Thio Siau-lim itu
menjadi kebetulan malah, segera ia mendorong kartunya ke tengah meja
sambil berkata, "Silakan Thio-heng menjadi bandar, Siaute pasang Thianbun."
Thio Siau-lim menindihkan kedua bola besinya ke atas lembaran uang,
katanya tertawa, "Mestikaku, tindih mereka baik-baik, jangan sampai
seorang pun lari." Babak perjudian selanjutnya menjadi amat menyenangkan, masing-masing
berlomba mempertaruhkan uang dan keahliannya, namun jantung pun
berdebar dan hati ikut merasa tegang, keringat pun bercucuran di jidat
masing-masing penjudi. Separoh kemenangan cukong beras tadi akhirnya
hanyut, namun ia bisa melihat gelagat, segera ia berhenti dan tinggal ke
belakang dengan menarik gadis kesayangannya. Dua orang yang lain
kabarnya terkenal takut bini, meski hendak menarik balik modal semula,
namun terpaksa harus mundur dan pulang.
Setelah tengah malam, yang masih berjudi dalam rumah itu tinggal limaenam
orang saja. Thio Siau-lim menghisap pipa cangklongnya yang diangsurkan seorang
gadis yang duduk di pinggirnya, tangannya mengocok kartu, sedang
matanya menatap Leng Chiu-hun, katanya dengan tertawa lebar, "Laute,
keluarkan uangmu dan pasanglah."
Leng Chiu-hun tersenyum, sahutnya, "Ya, Siaute memang sudah siap
pasang." Kembali ia merogoh keluar setumpuk uang kertas, sepasang
matanya jelilatan seperti mata anjing yang mencari sasaran, mendadak ia
mendorong semua uangnya dan dipasangkan ke Thian-bun pula, katanya,
"Tiga puluh laksa tail, perduli kalah atau menang, kali ini yang bakal
menentukan." Sekali pasang tiga puluh laksa tail, meski yang hadir di perjudian itu
adalah hartawan-hartawan yang kaya raya, semua kaget dan ikut berubah
mukanya, tiada seorang pun yang berani ikut pasang. Thio Siau-lim tetap
tertawa riang, katanya, "Baik, mari kita berjudi sendiri." Segera ia
melemparkan dadunya, tujuh angka. Leng Chiu-hun segera mengambil kartu
teratas, sementara Thio Siau-lim mengambil yang nomor tiga, tanpa dilihat
lagi Leng Chiu-hun terus membalik kartunya perlahan-lahan.
Selembar Thian dan selembar Jin, itulah Thian-kah. Serempak para
hadirin mengeluarkan suara kagum dan iri, bahkan para gadis pun
berteriak-teriak sambil bertepuk tangan.
Tampak Thio Siau-lim merangkap tangan, ditepuk dan didorong, hanya
sekilas dilihatnya lalu, "Plak!", ia membanting kedua kartunya di pinggir
meja. Semua penonton menunggu dengan rasa tegang dan mata melotot,
tak tahan lantas bertanya berbareng, "Bagaimana?"
Sedikit pun tak berubah air muka Thio Siau-lim. Segera ia menghitung
tiga puluh laksa tail dan didorongkan ke depan Leng Chiu-hun, katanya
tertawa, "Nah, terimalah, aku mengaku kalah!"
Berputar biji mata Leng Chiu-hun, katanya, "Hari ini tentu kalian sudah
puas, biarlah dilanjutkan lain hari saja!"
Perjudian pun bubar, masing-masing orang melangkah ke belakang sambil
menggandeng gadis pujaannya, terlelap dalam buaian mimpi sambil
berpelukan. Thio Siau-lim menggeliat, katanya tertawa, "Laute, kau memang jempol,
pandanganmu amat tepat, menyikat dengan telak!"
Leng Chiu-hun berkata tawar, "Apa ya...." mendadak secepat kilat tangan
kirinya terulur mencabut golok yang tergantung di pinggang Thio Siau-lim,
ujung golok yang kemilau tahu-tahu sudah mengancam pelipisnya,
jengeknya dingin, "Siapa kau sebenarnya" Apa kerjamu di sini?"
Sikap Thio Siau-lim tidak berubah sedikit pun, katanya tertawa, "Apa
Laute sedang berkelakar denganku" Aku tidak mengerti."
"Betulkah kau tidak tahu?" jengek Leng Chiu-hun dingin. Tangan kirinya
tiba-tiba menggaplok meja, kedua kartu yang disisihkan Thio Siau-lim di
pinggir meja tadi mendadak mencelat naik dan jatuh terbalik tercecer di
atas meja. Kedua kartu itu berbentuk nomor yang sama.
Mata Leng Chiu-hun setajam pisau, desisnya bengis, "Terang barusan kau
yang menang, mengapa pura-pura kalah?"
"Mataku sudah lamur, mungkin aku salah lihat," sahut Thio Siau-lim
tertawa. "Seorang laki-laki sejati berani berterus-terang, saudara ada keperluan
apa datang ke mari?" bentak Leng Chiu-hun. "Lebih baik bicara terus
terang saja.... apa kau sengaja hendak menarik hatiku" Apa maksud
tujuanmu?" Sirna sudah senyum tawa Thio Siau-lim, katanya dengan nada berat,
"Mata Leng-heng memang tajam.... ya, Cayhe ke mari memang ada
keperluan. Tapi persoalan ini bukan saja bisa membawa keuntungan bagi
diriku, Pang kalian pun..... " sengaja ia mengunjuk tawa penuh arti, secara
lihai ia menghentikan kata-katanya.
Tanpa berkedip Leng Chiu-hun menatapnya, sorot matanya semakin kalem
dan tangan pun ditarik sambil melemparkan golok itu ke atas terus
ditangkapnya pula. "Sret!", ia memasukkan kembali golok itu ke dalam
sarungnya, katanya, "Kalau begitu, mengapa kau tidak berterus terang saja
minta bertemu denganku?"
Thio Siau-lim tersenyum, ujarnya, "Kalau akan mengerjakan suatu
persoalan yang luar biasa, harus melalui jalan yang tidak biasa pula. Kalau
tidak berbuat sesuatu untuk menarik kesan dan perhatian Leng-heng
padaku, apa yang Cayhe katakan, apa Leng-heng mau percaya?"
Leng Chiu-hun berkata tawar, "Dengan tiga puluh laksa tail untuk memberi
kesan, apa tidak terlalu mahal?"
"Bila urusan bisa sukses, tiga puluh laksa tail itu cuma beberapa persen
saja dari seluruh keuntungan yang bisa kita capai."
Muka pucat Leng Chiu-hun seketika memancarkan cahaya terang, katanya,
"Pekerjaan yang melanggar hukum, selamanya Pang kami tidak mau
melakukannya." "Walau Cayhe miskin, kalau hanya ribuan laksa tail kukira masih ada.
Pekerjaan yang melanggar hukum dan berbahaya, sekali-kali tidak nanti
Cayhe sudi melakukannya."
Tiba-tiba Leng Chiu-hun menepuk meja pula, bentaknya beringas, "Urusan
yang tidak melanggar hukum dan tidak menyerempet bahaya, mana bisa
keuntungan sedemikian besar" Mengapa kau tidak mencari orang lain,
justru mencari Pang kita?"
"Karena pekerjaan ini harus diselesaikan oleh salah seorang Tianglo Pang
kalian, kalau tidak, bukan saja tak terhitung kesulitan yang harus kita
hadapi, bahkan boleh dikata mustahil bisa berhasil."
"Siapa yang kau maksud?"
"Sat-jiu-su-seng Sebun Jian."
Leng Chiu-hun perlahan-lahan membalikkan badan, melangkah dua tindak
dengan kalem serta duduk dengan perlahan.
"Kalau Sebun-cianpwe sudi menampilkan diri, pekerjaan ini seratus persen
pasti berhasil. Oleh karena itu Leng-heng harus berusaha supaya Sebuncianpwe
mau keluar untuk merundingkan persoalan ini. Setelah
mendengarkan penjelasan Cayhe, Sebun-cianpwe pasti tidak akan
menampik." "Guruku tidak gampang mau menemui tamu, katakan saja padaku, kan sama
saja." "Untuk persoalan ini, aku harus bicara langsung dengan Sebun-cianpwe."
Leng Chiu-hun memutar badan, bentaknya gusar, "Tampaknya kau sengaja
hendak mempermainkan aku."
Maling Romantis Seri 1 Pendekar Harum Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Thio Siau-lim tertawa gelak, serunya, "Orang yang main-main dengan tiga
puluh laksa tail, mungkin belum pernah terjadi."
Dengan nanar Leng Chiu-hun menatap muka orang sekian lama, akhirnya ia
berkata dengan nada berat, "Kedatanganmu sangat tidak kebetulan,
guruku sekarang tidak berada di Kilam."
"Apa benar?" "Selamanya aku tidak pernah berbohong."
Lama sekali Thio Siau-lim terpekur, lambat laun sikapnya kelihatan amat
kecewa, lalu katanya dengan menghela nafas seraya menengadah, "Sayang!
Sungguh sayang! Keuntungan tiga ratus laksa tail sudah di depan mata,
agaknya segala rencana bakal gagal total." Segera ia bersoja terus angkat
langkah keluar dengan lesu.
Lekas Leng Chiu-hun memburu maju serta menariknya, katanya,
"Maksudmu tiga ratus laksa tail?"
"Aku ini seorang pedagang, kalau tidak mendapat keuntungan sepuluh kali
lipat, mana aku sudi menghamburkan uang tiga puluh laksa tail?"
Tergerak hati Leng Chiu-hun, tanyanya, "Sudikah kau menunggu sampai
guruku pulang?" "Urusan penting dan segenting ini mana bisa diulur-ulur, kecuali....."
"Kecuali apa?" cepat Leng Chiu-hun menegas.
"Kecuali sebelum pergi Sebun-cianpwe ada meninggalkan pesan ke mana
beliau pergi, lalu secepatnya kita menyusul ke sana, mungkin waktunya
masih keburu." Mau tak mau Leng Chiu-hun semakin tertarik, katanya dengan membanting
kaki, "Selama ini kalau Suhu pergi, tidak pernah meninggalkan pesan, cuma
kali ini... Setelah beliau menerima sepucuk surat, pada hari kedua pagi-pagi
sekali beliau sudah lantas berangkat."
Bersinar mata Thio Siau-lim, tanyanya, "Sepucuk surat" Di mana?"
Leng Chiu-hun menarik tangannya, katanya tergesa-gesa, "Mari ikut aku."
"Ke mana?" "Liap-te-cui-hun-jin Nyo Siong, tentu kau pernah mendengar namanya,
bukan?" "Jadi surat itu sekarang berada di tangan Nyo-cianpwe?"
"Benar, kuingat sebelum pergi Suhu memasukkan surat itu ke dalam
sampulnya dan diserahkan pada Nyo-susiok untuk disimpan. Jikalau bisa
melihat surat itu, pasti tahu ke mana guruku pergi."
"Tapi... tapi apakah Nyo-cianpwe sudi memperlihatkan surat itu kepada
kita?" "Tiga ratus laksa tail, siapa pun asalkan manusia, jumlah ini bukanlah
jumlah yang kecil." *** Mereka tidak menumpang kereta. Dengan berjalan cepat, setelah
menikung dua jalanan, mereka pun tiba di tempat tujuan.
Pada sebuah jalan berbatu yang bersih dan tidak begitu pendek, di sini
hanya terdapat enam bangunan gedung besar. Rumah kediaman Nyo Siong
adalah bangunan nomor dua dari sebelah kiri.
Tak perlu Thio Siau-lim memperhatikan keadaan sekitarnya, ia pun cukup
tahu bahwa bangunan gedung besar di sekitar sini adalah tempat kediaman
hartawan-hartawan kaya raya dari seluruh kota Kilam. Malah celah-celah
papan batu yang menjadi jalan itu pun tersapu bersih. Namun seorang yang
berkedudukan seperti Nyo Siong ini seharusnya berdiam di sebuah
bangunan tunggal yang menyendiri di luar kota.
Agaknya Leng Chiu-hun dapat meraba jalan fikiran orang, segera ia
menjelaskan dengan tertawa, "Guruku memang rada aneh dan suka
menyendiri, tapi entah mengapa justru berkukuh tinggal di dalam kota.
Memang beliau tidak suka bicara dengan orang lain, tapi menyukai suara
percakapan orang." "Gurumu... bukankah rumah ini tempat tinggal Nyo....."
"Suhu dan Nyo-susiok tinggal bersama di satu gedung."
Pintu hitam pekarangan bagian luar ternyata hanya dirapatkan saja. Leng
Chiu-hun langsung mendorong pintu terus beranjak masuk, pekarangan itu
tampak sepi dan tidak kedengaran suara orang. Pelita di dalam ruang
pendopo seharusnya ditambahi minyak, ruangan sebesar itu hanya disinari
oleh lampu dian yang remang-remang, menjadikan suasana terasa seram
dan mendebarkan jantung. "Biasanya Nyo-susiok suka tidur pagi-pagi," demikian kata Leng Chiu-hun.
"Begitu beliau tidur, para pembantunya segera mengeluyur keluar secara
diam-diam. Terutama kalau guruku tidak di rumah, mereka semakin
bertingkah." "Pelayan wanita atau genduk, masakah juga mengeluyur di luar malammalam
begini?" "Tiada genduk atau babu di dalam rumah ini."
Mereka lalu berputar melewati ruang pendopo, langsung menuju ke
halaman belakang. Keadaan di sini lebih lelap, deretan kamar di sebelah
kiri sana lapat-lapat terlihat cahaya api yang menyorot keluar. Leng Chiupun
pun berujar, "Aneh, apakah Nyo-susiok malam ini belum tidur?"
Baru saja ia melangkah hendak melewati deretan pohon mangga di tengah
pekarangan, setetes air tiba-tiba jatuh menetes di atas pundaknya, tanpa
sadar segera ia mengusap dengan tangannya. Cahaya api yang menyorot
keluar dari jendela kebetulan menerangi tangannya. Darah segar! Punggung
tangannya ternyata berlepotan darah.
Dengan kaget Leng Chiu-hun mengangkat kepala, di atas sebatang dahan
pohon mangga lapat-lapat seperti terlihat seseorang menggapai padanya.
Sebat sekali ia menggenjot kakinya terus melesat naik, secepat kilat ia
mencengkeram pergelangan tangan orang, tapi hanya sebelah tangan orang
yang terpegang. Tangan yang berlepotan darah.
Tak tertahan Leng Chiu-hun pun menjerit kaget, "Susiok! Nyo-susiok! Tapi
tiada jawaban dari dalam kamar.
Seperti orang kesetanan, segera ia melompat turun dan menerjang daun
pintu terus menerobos masuk ke dalam. Dilihatnya Nyo Siong rebah di atas
ranjang, seolah-olah sedang tidur lelap, hanya rambut dan kepalanya yang
ubanan berada di luar selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Tapi
keadaan di dalam kamar tampak morat-marit, setiap benda sudah berkisar
dari tempatnya, tiga peti kayu yang berada di pinggir ranjang pun sudah
terjungkir balik dan terbuka.
Tanpa banyak fikir lagi segera ia memburu ke dekat tempat tidur dan
tangannya menyingkap selimut tebal yang terbuat dari kain kapas itu.
Darah! Badan berlepotan darah tanpa terlihat kaki dan tangannya!
Gemetar seluruh tubuh Leng Chiu-hun seperti orang kedinginan, teriaknya
gemetar, "Ngo-kui-hun-si! Beginikah Ngo-kui-hun-si itu......"
Bergegas ia membalikkan badan dan menerjang keluar pula, sebuah tangan
yang lain tergantung di bawah teras, darahnya masih menetes, kematian
Nyo Siong dengan tubuh terpotong-potong itu terang berlangsung tidak
melebihi setengah jam yang lalu.
Agaknya Thio Siau-lim pun amat kaget dan berdiri terlongong di
tempatnya. "Cu-soa-bun tiada dendam permusuhan dengan Ngo-kui, mengapa Hiatsatngo-kui menurunkan tangan jahatnya?"
"Kau... dari mana kau tahu kalau Hiat-sat-ngo-kui yang turun tangan keji?"
"Ngo-kui-hun-si (Lima Setan Membagi Mayat) merupakan lambang
mereka," desis Leng Chiu-hun dengan penuh dendam dan kebencian.
"Tapi lambang itu juga bisa dipinjam orang lain untuk melakukan
kejahatan." Namun Leng Chiu-hun seperti tidak memperhatikan ucapan Thio Siau-lim,
kini ia mulai memeriksa dan membongkar setiap barang yang masih ada di
dalam kamar itu. "Apa pula yang kau cari, surat itu terang sudah hilang," ujar Thio Siau-lim.
Surat itu memang sudah tiada di tempatnya, hilang tanpa bekas.
Semakin pucat raut muka Leng Chiu-hun, kelihatannya begitu menakutkan,
mendadak orang menubruk tiba menjambak baju Thio Siau-lim, teriaknya
beringas: "Sebetulnya apa sangkut-pautmu dengan peristiwa ini?"
"Kalau ada sangkut-pautnya, memangnya aku bisa berada di sini?"
Dengan melotot sekian saat, Leng Chiu-hun mendeliki orang, pegangan
tangannya semakin kendor dan akhirnya terlepas, katanya dengan suara serak berat:
"Tapi bagaimana kedatanganmu bisa begini kebetulan?"
"Karena beberapa hari ini aku memang sedang sebal," sahut Thio Siau-lim
tertawa getir, tiba-tiba sorot matanya berputar, katanya, "Kenapa kau tidak lihat
ke kamar gurumu, mungkin sesuatu dapat kau temukan di sana."
Leng Chiu-hun berpikir sebentar, pelita diangkatnya terus menuju ke bilik
sebelah timur. Pintunya pun tidak terkunci. Tianglo Cu-soa-bun yang suka
menyendiri ini ternyata mempunyai sebuah kamar yang serba sederhana.
Di atas dinding cuma terdapat selembar gambar lukisan, bukan gambar
pemandangan atau hasil seni lukis dari karya pelukis kenamaan, namun hanya selembar
gambar seorang perempuan setengah badan, demikian hidup dan
menakjubkan lukisan gambar ini. Jaman itu sulit dicari gambar orang
setengah badan. Tak terasa Thio Siau-lim melirik dua tiga kali ke arah
gambar ini. Semakin dipandang semakin terasa perempuan di dalam gambar
sedemikian cantik jelita, sulit dilukiskan dengan kata-kata. Meskipun hanya
selembar gambar lukisan belaka, namun seolah-olah mempunyai daya tarik
yang tak bisa dilawan. Tak tahan Thio Siau-lim memuji sambil menghela napas gegetun: "Tak
nyana Subomu ini ternyata seorang perempuan yang cantik luar biasa."
"Sampai sekarang guru masih jejaka," sahut Leng Chiu-hun dingin.
Thio Siau-lim tertegun, "O, kalau begitu tak heran kalau dia suka tinggal
bersama Nyo-cianpwe, tidak heran pula di sini tidak pakai pelayan perempuan."
Mulutnya bicara sementara dalam hati ia membatin: "Sampai sekarang
Sebun Jian masih jejaka" Kenapa pula dia menggantung gambar perempuan
cantik ini di dalam kamarnya" Siapa dan pernah apa perempuan ini dengan
dia?" Mungkin gambar ini hanyalah lukisan biasa saja. Tapi lukisan biasa, kenapa
pula bisa digambar setengah badan"
*** Kini Thio Siau-lim sudah berada dalam kamar sebuah hotel, di luar jendela
tampak tujuh-delapan laki-laki tinggi besar yang berikat pinggang kain
merah tua sedang mondar-mandir berjaga di sekeliling kamar.
Laki-laki ini sama merubung dan membimbingnya kembali ke dalam
kamarnya seolah-olah pengawal pribadinya saja. Yang benar, mereka adalah anak buah yang
diutus Leng Chiu-hun untuk mengawasi gerak-geriknya.
Leng Chiu-hun sih tidak bertujuan jahat terhadapnya, cuma saja tidak
rela dan penasaran bila tiga ratus laksa tail perak itu terjatuh ke tangan
orang lain. Tentunya Thio Siau-lim sendiri pun paham akan seluk-beluk ini.
Tak tertahan ia tertawa geli, tawa riang yang mengandung arti.
Kalau dia benar-benar ingin melakukan sesuatu, dalam pandangannya
kedelapan laki-laki ini bolehlah dianggap delapan patung kayu belaka!
Ia padamkan pelita lalu melojoti seluruh pakaian sampai telanjang bulat,
terus rebah di atas ranjang, sedapat mungkin ia kendorkan kakitangannya,
kemul kapas yang bersih terasa empuk dan kasar menggesek
badan, rasanya sungguh nyaman dan nikmat sekali. Lama-kelamaan seluruh
badan sudah berhenti bergerak dan dalam keadaan tenang, cuma otaknya
saja yang masih bekerja. Mendadak genteng di atas kamar berkeresek dan bergerak perlahan,
cahaya rembulan yang remang-remang menyorot masuk menerangi kamar
yang gelap ini. Beberapa buah genteng sudah tergeser dan dipindah dari
tempatnya, namun sedikit pun tidak mengeluarkan suara yang
mengejutkan, agaknya penyatron ini adalah seorang ahli dalam perjalanan
malam, gerak-geriknya cekatan dan berhati-hati.
Kejap lain tampak sesosok bayangan orang selicin ikan menerobos masuk,
kedua tangan bergelantungan di atap rumah, menunggu sebentar setelah
tidak mendengar sesuatu suara, lalu seenteng daun ia melompat turun ke
atas lantai. Thio Siau-lim tetap rebah tanpa bergerak, mata dipicingkan mengawasi
gerak-gerik orang. Dalam hati ia tertawa geli, kalau orang ini maling kecil,
kalau dia berani datang ke mari, terang bahwa kakek moyangnya dulu memang
berhutang jiwa kepada dirinya.
Di bawah penerangan sinar rembulan yang redup, tampak orang ini
mengenakan kedok hitam mengenakan pakaian hitam legam yang ketat
membungkus potongan badannya yang padat dan montok serta ramping,
ternyata seorang gadis yang berpotongan menggiurkan.
Tangannya menggenggam sebilah Liu-yap-to yang pendek dan ringan, sinar
golok kemilau ditimpa sinar rembulan yang remang-remang, sepasang
matanya yang jeli dan menyolok antara hitam dan putihnya sedang menatap
orang yang rebah di atas ranjang tanpa berkesip.
Thio Siau-lim merasa amat lucu dan menarik. Memang amat
menyenangkan. Gadis montok yang menggiurkan, ternyata seorang
pembunuh gelap pula. Tidak sedikit kejadian aneh yang pernah dialami Thio
Siau-lim, tapi belum pernah ada gadis menggiurkan yang coba membunuh
dirinya, baru pertama kali ini.
Kuatir membuat kaget dan takut pembunuh gelap ini, ia menggeres
semakin keras, pura-pura tidur nyenyak. Namun perempuan pembunuh ini
agaknya tak ingin membunuh dia.
Dengan berjinjit-jinjit ia maju mendekat, pakaian Thio Siau-lim yang
bertumpuk di lantai dijumputnya lalu dirogohnya kantong dan diperiksa
isinya, ditimang-timangnya tumpukan lembaran uang besar itu, lalu ia
jejalkan kembali ke dalam sakunya.
Jadi perempuan pembunuh ini pun tidak bermaksud mencuri, kalau toh
tidak ingin membunuh tidak mencuri pula, memangnya apa maksud
kedatangannya" Matanya celingukan kian ke mari, dilihatnya peti kayu bercat hitam di
bawah ranjang, segesit kucing ia melompat kesana , sebelah tangannya
dengan cekatan membuka tutup peti kayu.
Bab 6 Thio Siau-lim bergerak seperti tiba-tiba terjaga dari impiannya,
gumamnya: "Eh, ada orang ya" Siapa itu?"
Perempuan pembunuh itu amat kaget seperti kuatir mengejutkan orang di
luar jendela itu. Namun ia tidak bersuara, waktu berpaling kelihatan ia
mengulum senyum geli, ternyata kedoknya sudah hilang, sinar rembulan
menyoroti mukanya, ternyata memang cantik mempesona.
Thio Siau-lim sengaja pentang lebar-lebar kedua matanya, dia pun tak
Pusaka Negeri Tayli 13 Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung Tiga Mutiara Mustika 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama