Ceritasilat Novel Online

Mayat Kesurupan Roh 3

Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung Bagian 3


"Lalu apakah kaukira maling pencuri pedang ini ialah dia?"
"Dengan sendirinya hal ini sangatlah mungkin."
"Tapi darimana pula dia tahu kau pernah berkunjung ke ruangan
pedangku dan dari mana diketahuinya tempat penyimpanan
pedangku?" tanya Sih Ih-jin dengan bengis.
"Inilah yang tak dapat kupahami," jawab Coh Liu-hiang. "Tapi
asalkan aku diberi tempo beberapa hari, kujamin pasti dapat
menyelidiki duduk perkaranya hingga jelas."
"Kau terluka, untung bagimu........ " Habis berkata, mendadak ia
mencemplak ke atas kuda, terus dilarikan secepat terbang.
Coh Liu-hiang terdiam sejenak, lalu gumamnya, "Apabila Li
Beng-seng betul samaran Yap Seng-lan, barulah aku benar-benar
beruntung." ******* Hotel Hok-seng menurut laporan si gundul itu adalah sebuah
hotel tua, kamarnya juga ketinggalan zaman, suami isteri Li Bengseng
yang dimaksudkan itu tinggal di sebuah kamar terpisah di
bagian belakang. Waktu Coh Liu-hiang tiba di sana, dilihatnya kamar mereka itu
tertutup rapat, bahkan daun jendela juga tidak dibuka, meski di siang
hari mereka ternyata lebih suka sembunyi di dalam kamar.
"Mereka tidak keluar?" tanya Coh Liu-hiang kepada si gundul.
"Tidak, pasti berada di dalam kamar," tutur si gundul. "Sejak
kemarin selalu ada kawan kita yang mengawasinya."
Coh Liu-hiang lantas menghadap ke sana dan mendadak
berseru, "Aha, mengapa Li-heng juga datang ke sini" Apakah tinggal
di sini?" Sembari bicara ia terus mendekati pintu dan menggedornya
109 sambil berseru pula, "Buka pintu!"
Segera terdengar suara kresek-kresek di dalam kamar, suara
orang mengenakan baju dengan terburu-buru, selang agak lama
baru terdengar seorang menjawab dengan kemalas-malasan, "Siapa
itu" Kau salah alamat?"
"Aku, Thio-losam" jawab Coh Liu-hiang dengan nama palsu.
"Masa Li-heng tidak kenal lagi suaraku?"
Selang sejenak pula barulah pintu itu terbuka sedikit, seraut
wajah pucat dengan rambut kusut menongol keluar, itulah seorang
pemuda, dia pandang Coh Liu-hiang dengan heran, lalu berkata,
"Kau siapa" Aku tidak kenal kau."
"Kau tidak kenal padaku, tapi aku kenal padamu," jawab Coh Liuhiang
tertawa sembari melangkah maju.
Air muka pemuda itu menjadi lebih pucat, cepat ia menarik
tubuhnya ke dalam, tetapi sebelum pintu sempat ditutupnya, sebelah
kaki Coh Liu-hiang sudah keburu melangkah masuk. ia mendorong
pelahan dan pintu itupun terpentang.
Pemuda itu terdorong hinga terhuyung-huyung ke belakang,
dengan gusar ia berseru, "He, apakah kau gila" Mau apa kau?"
"Aku mau apa, masa kau tak tahur?" jawab Coh Liu-hiang
denagn tersenyum Di dalam kamar terdapat pula sebuah kamar samping yang
pintunya tidak tertutup. Sekilas pandang Coh Liu-hiang melihat
tempat tidur terbaring satu orang dan tertutup rapat oleh selimut,
hanya tampak sebagian kepalanya saja dan sedang mengintip. Di
depan tempat tidur ada sepasang sepatu perempuan dan di atas
kursi di ujung sana tertaruh beberapa potong baju dan gaun warna
jambon. Muka si pemuda tadi pucat pasi, segera ia bermaksud
merapatkan pintu kamar samping sana, namun Coh Liu-hiang
keburu menyelinap maju mengadang di depannya, katanya dengan
tertawa, "Kalian sudah kutemukan, untuk apa pula berdusta
padaku?" 110 Si pemuda tampak ketakutan, tanyanya dengan suara gemetar,
"Apakah keluarga Lim yang mengutusmu kemari?"
"Keluarga Lim?" Coh Liu-hiang jadi melengak malah.
Mendadak pemuda itu berlutut di depan Coh Liu-hiang dan
memohon dengan sangat, "O, hamba memang pantas mampus,
mohon Toaya suka memberi jalan hidup bagi kami...."
Mendadak perempuan di tempat tidur tadi melompat turun,
memang masih muda dan tampaknya sangat genit, tapi juga judas,
hanya sehelai baju tipis menutupi tubuhnya sehingga hampir tembus
pandang, sampai bagian paha juga remang-remang kelihatan.
Namun sama sekali ia tidak ambil pusing, ia menerjang ke depan
Coh Liu-hiang, dengan bertolak pinggang ia berteriak, "Jika kau ini
utusan keluarga Lim, urusannya jadi lebih mudah lagi. Boleh kau
pulang dan bentahukan si tua Lim, katakan aku sudah pasti akan ikut
Cia cilik dan takkan pulang lagi ke sana. Meski aku membawa
sekotak perhiasan, tapi semua ini adalah pemberiannya Boleh kau
pikir, anak gadis seperti diriku rela hidup bersama dia selama
beberapa tahun, kalau kuambil sedikit hartanya yang bau ini apakah
tidak pantas" Hayo coba katakan ........... pantas tidak?"
Dasar perempuan bawel, cara bicaranya juga seperti
berondongan mercon. Seketika Coh Liu-hiang jadi melengak dan
serba runyam. Sekarang jelas diketahuinya dia telah salah sasaran. Pemuda ini
bukanlah Yap Seng-lan melainkan 'si Cia cilik' dan nona ini pun
sama sekali bukan nona yang diperkirakannya itu. Tampaknya
perempuan ini adalah gundik orang she Lim yang minggat bersama
gendaknya si Cia cilik ini. Mungkin mereka kuatir ditemukan orang
suruhan si tua she Lim, dengan sendirinya mereka tak berani keluar.
Sambil meraba hidung, Coh Liu-hiang bergumam. "Urusan
pribadi memang sukar dicampuri orang luar. Tapi kalau kalian ingin
hidup dengan baik, kalian harus mencari pekerjaan yang pantas,
mana boleh tidur melulu sepanjang hari?"
Muka si Cia cilik menjadi merah, berulang-ulang dia menyatakan
111 terima kasih atas petuah itu.
Coh Liu-hiang melangkah keluar kamar, mendadak seperti ingat
sesuatu, ia berpaling dan bertanya pula., "Jika kalian datang dari
kotaraja, apakah kalian tahu seorang yang bernama Yap Seng-lan?"
"Yap Seng-lan?" tukas si Cia cilik. "Apakah maksud Toaya si Yap
cilik yang suka pegang peran utama di panggung sandiwara Hu-kuipan
itu?" Jantung Coh Liu-hiang berdebar, tapi ia tetap tenang saja dan
menjawab, "Ya, betul, memang dia yang kumaksudkan."
"Dua hari yang lalu baru saja aku melihat dia." tutur si Cia cilik.
"Dimana?" tanya Coh Liiu-hiang cepat.
"Dia seperti tinggal di gang depan sana, nomor berapa hamba
tidak jelas, sebab gerak-geriknya kelihatan mencurigakan, seakanakan
kuatir dilihat orang," tutur si Cia cilik.
Dia hanya bercerita mengenai orang lain, tapi lupa pada dirinya
sendiri yang juga main sembunyi dan takut dilihat orang.. Habis
bicara, waktu dia menengadah, tahu-tahu orang di depannya sudah
menghilang. ******* Keterangan si Cia cilik itu membuat Coh Liu-hiang gembira dan
juga geli. Tanpa terduga telah diperolehnya informasi yang
menyenangkan. Dugaannya juga tidak keliru, Yap Seng-lan ternyata
betul sudah sembunyi di kota Siong-kang ini, yang tak tersangka
olehnya ialah Yap Seng-lan itu seorang pemain sandiwara.
Gang yang ditunjuk si Cia cilik itu cukup panjang, lalu rumah
yang manakah Yap Seng-lan bertempat tinggal" Selagi Coh Liuhiang
merasa bingung, tiba-tiba si gundul menepuk dada dan
menyatakan dalam waktu dua jam pasti dapat diperoleh keterangan
yang positif. 112 Sementara itu hari sudah hampir gelap. Coh Liu-hiang masuk ke
sebuah rumah makan, habis mengisi perut barulah pergi mencari
Ciok Siu-hun. Rumah nona Ciok adalah sebuah rumah kecil yang habis dikapur
putih bersih, bahkan daun pintunya juga baru saja dicat. Saat itu
Ciok Siu-hun sedang menggiring ayam kembali ke kandang, dia
memakai baju kasar, rambut juga tidak tersisir rapi, pakai bakiak,
meski tak bersolek, namun cukup menggiurkan.
Coh Liu-hiang tidak lantas menegurnya, dia berdiri di luar pagar
rumah dan mengamat-amatinya sejenak, habis itu barulah menyapa,
"Nona Ciok, nona Siu-hun!"
Si nona terkejut, cepat ia menoleh, seketika mukanya mejadi
merah, tanpa bicara ia terus berlari masuk rumah, setiba di depan
pintu baru dia memberi tanda agar Coh Liu-hiang menunggunya di
situ. Tidak lama kemudian barulah Ciok Siu-hun keluar, kini
rambutnya sudah tersisir rapi, bajunya juga sudah ganti, sepatu baru
bersulam warna merah itu pun dipakainya lagi.
Dengan tertawa Coh Liu-hiang memuji, "Sepatumu ini sangat
indah." Tiba-tiba muka Ciok Siu-hun merah pula, sambil menggigit bibir
ia mengomel, "Mau datang kemari, mengapa tak memberi tahu
sebelumnya?" "Sebenarnya aku akan datang besok, tapi terpaksa malam ini
juga aku harus kemari." tutur Coh Liu-hiang.
"Sebab apa?" tanya Ciok Siu-hun.
"Dimana bibimu?" tanya Coh Liu-hiang
Si nona meliriknya sekejap, lalu menjawab. "Bibi suka bangun
pagi-pagi, maka sore-sore ia pun sudah tidur."
"Dapatkah kau keluar?"
113 "Sudah malam, untuk apa keluar?" walau demikian ucapnya,
namun napasnya lantas memburu dan suara rada gemetar.
Terguncang juga perasaan Coh Liu-hiang, tangan si nona lantas
dipegangnya. Panas amat tangan yang halus itu.
"Lepaskan," seru Ciok Siu-hun tertahan. "Bila dilihat bibi, bisa
jadi kakimu akan diserampang patah olehnya."
"Kenapa takut" Dia kan sudah tidur?" ujar Coh Liu-hiang sambil
tertawa. "Kau..... kau bukan orang baik-baik, aku tidak mau keluar, mau
apa lagi kau?" tanya si nona.
"Jika kau tidak keluar, aku pun tidak mau pergi," ujar Coh Liuhiang.
Siu-hun meliriknya pula, katanya menghela napas menyesal, "Ai,
kau benar-benar penggoda kehidupanku, aku......."
Pada saat itulah mendadak dari dalam rumah ada seorang
berseru, "Siu-hun, apakah ada tamu" Kau bicara dengan siapa?"
"O, tidak, dengan anjing." jawab si nona tegang, ia melirik pula
sekejap dan tertawa geli sendiri, dicubitnya tangan Coh Liu-hiang,
lalu berbisik, " Bila berhadapan denganmu, kutahu pasti konyol!"
Mendadak ia berlari keluar. Memandangi wajah si nona yang
manis dengan rambutnya yang terurai, terasa sedap hati Coh Liuhiang,
terkenang olehnya masa remajanya dahulu, ketika diam-diam
mengadakan pertemuan dengan anak perempuan tetangga di waktu
bulan purnama. Sementara itu Ciok Siu-hun sudah keluar, tapi hanya berdiri di
ambang pintu dan tidak mau mendekat. Coh Liu-hiang lantas
mendekatinya dan merangkulnya serta menggigitnya pelahan.
"Ap..... apa yang kau lakukan?" omel si nona,
"Barusan bukankah kau bilang aku ini seekor anjing, kan biasa
anjing menggigit orang" ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.
114 "Ya, kau bahkan anjing liar," ujar Ciok Siu-hun sambil menggigit
bibir. Mendadak Coh Liu-hiang menggonggong menirukan anjing
menyalak, Ciok Siu-hun mengikik tawa terus berlari ke sana serta
dikejar oleh Coh Liu-hiang.
Bintang-bintang bertaburan di langit di antara langit dan bumi,
penuh diliputi rasa hangat, angin malam meniup sepoi-sepoi, siapa
bilang kehidupan ini menderita"
Ciok Siu-hun berlari sambil tertawa, lari dan berlari, akhirnya ia
menjatuhkan diri di atas onggokan jerami di samping gudang sana,
dengan napas terengah-engah ia menjerit tertawa, "Tolong! Ada
anjing gila hendak menggigit orang!"
Coh Liu-hiang sengaja menggonggong satu kali, lalu menubruk
maju dan merangkul si nona, katanya dengan tertawa "Hayo,
berteriaklah sesukamu. Tidak mungkin ada orang menolong kau.
Biar kugigit putus dulu hidungmu, habis itu kupingmu, kemudian
kugigit pecah bibirmu....." Siok-hun berkeluh tertahan dan bermaksud
mendorong, namun badan terasa lemas, terpaksa ia membenamkan
kepala ke pangkuan Coh Liu-hiang sambil berkata, "Ampunilah daku!
Aku tidak berani lagi lain kali....." Ia tidak dapat melanjutkan
ucapannya karena bibirnya telah tergigit oleh Coh-liu-hiang.
Sekejap itu sekujur badan Siu-hun serasa cair dan tenggelam ke
bawah, bumi raya ini seperti telah berubah menjadi danau dan dia
tenggelam ke dasar danau.............
Bintang-bintang seolah sedang berkedip kepada mereka, angin
malam seperti lagi tersenyum, sampai padi yang mengu ning di
sawah itu pun menunduk seakan-akan rikuh menyaksikan cumbu
rayu mereka. Kehidupan ternyata seindah ini......
Entah sudah berapa lama, tiba-tiba Coh Liu-hiang berdiri,
katanya dengan suara lembut, "Sudah jauh malam, marilah kita
berangkat." 115 Dengan lemas Ciok Siu-hun berbaring di onggokan jerami
dengan pandangan yang sayu, tanyanya, "Hendak pergi kemana
lagi?" "Akan kubawa kau pergi melihat sesuatu, setelah kau lihat tentu
kau akan sangat heran dan terkejut," kata Coh Liu-hiang.
Sudah tentu si nona tidak menolak. Maka dibawalah si nona itu
oleh Coh Liu-hiang dengan menggendongnya. Siu-hun seperti
melayang di awang-awang saja, deretan rumah dan pepohonan
seakan-akan terbang lewat begitu saja di sampingnya.
Untuk pertama kalinya ia merasakan permainan yang aneh ini, ia
merasa asalkan berada bersama Coh Liu-hiang maka kapan saja
dan dimana pun pasti dapat terjadi hal-hal baru dan menarik.
Tidak lama kemudian mereka sudah berada di tengah sebuah
taman yang luas, diam-diam mereka menyusuri hutan bambu dan
tiba di suatu halaman kecil, tampak sebuah rumah mungil dengan
pelita yang berkedip-kedip.
Di dalam rumah tiada orang, hanya ada sebuah peti mati. Lilin
sudah lumer terbakar, hanya tersisa setitik api yang bersinar
remang-remang sehinggga menambah suasana menjadi lebih sunyi
dan seram. Pada meja sembahyang ada sebuah papan yang tertulis nama
yang meninggal, yaitu 'Si In'.
"Apakah tempat ini Si-keh-ceng?" tanya Siu-hun dengna suara
rada gemetar. "Ya," sahut Coh Liu-hiang.
"Untuk apa kau bawa aku ke sini?" tanya si nona.
Coh Liu-hiang tidak menjawab, tapi dia mendorong pintu dan
menariknya masuk ke situ. Seketika Siu-hun merasa tubuhnya


Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedinginan, katanya "Kau ini memang orang aneh, untuk apa kau
bawa aku kesini?" Coh Liu-hiang tertawa, tertawa yang aneh dan penuh tanda
116 tanya, jawabnya, "Supaya kau dapat melihat nona Si."
Keruan Ciok Siu-hun merinding, ucapnya dengan parau, "Ti.......
tidak, aku tidak mau melihatnya. Lekas kita pergi....pergi saja."
Tapi bukannya membiarkan si nona pergi, sebaliknya Coh Liuhiang
malah menariknya ke samping peti mati. Saking takutnya,
hampir saja Siu-hun menjerit, namun suaranya sukar keluar dari
kerongkongan, saking takutnya, sungguh tak terpikir olehnya
mengapa Coh Liu-hiang memperlakukannya secara begini.
Dalam pada itu Coh Liu-hiang telah mulai membuka tutup peti
mati. Lantaran seluruh perhatiannya sedang tercurah ke dalam peti
mati, sehingga Coh Liu-hiang tidak mengetahui ada seorang sedang
mengintainya di luar jendela dengan sorot mata penuh rasa benci.
Mendadak Coh Liu-hiang memasukkan tangannya ke dalam peti
mati untuk meraba muka mayat. Gigi Ciok Siu-hun sampai
gemerutuk saking takutnya, hampir saja ia jatuh pingsan. Baru
sekarang ia tahu Coh Liu-hiang benar-benar telah gila.
Tangan Coh Liu-hiang seperti mengusap muka mayat dan
mengelotok selapis kulit tipis, habis itu ia berpaling dan berkata
kepada si nona, "Coba kemari, apakah kau kenal dia?"
Sudah tentu Ciok Siu-hun tidak mau, ia menggeleng keras-keras
dan berucap, "Ti....... tidak....... jangan......."
Namun Coh Liu-hiang membujuknya dengan suara lembut
"Jangan takut, cukup kau melihatnya sekejap saja dan segera kau
akan tahu untuk apa kuajak kau ke sini."
Sebenarnya masih diliputi rasa takut, tapi rasa ingin tahu
mendorongnya melangkah maju. Akhirnya Ciok Siu-hun melongok
juga ke dalam peti mati. Tapi hanya sekali pandang saja, mendadak
si nona seperti kesurupan setan, ia menjerit keras-keras.
Ternyata mayat di dalam peti itu adalah Cici atau kakaknya yang
telah meninggal beberapa hari yang lalu dan menghilang dari peti
matinya, ketika kuburannya dibongkar Coh Liu-hiang kemarin.
Tapi sebelum suara jeritan Ciok Siu-hun tercetus, Coh Liu-hiang
117 sempat mendekap mulutnya. Pelahan ia mengelus punggung si
nona, sesudah rasa kejutnya tenang kembali barulah ia berkata
dengan suara halus, "Jangan bersuara, agar tidak mengagetkan
orang di sini, tahu?"
Siu-hun mengangguk, setelah Coh Liu-hiang melepaskan
tangannya, air mata si nona lantas bercucuran, katanya dengan
terguguk, "Mengapa mayat Ciciku bisa lari ke sini?"
Mencorong sinar mata Coh Liu-hiang. ucapnya pelahan.
"Soalnya diperlukan mayat seorang untuk mewakili Si In, kebetulan
Cicimu sedang sakit keras, maka pilihannya lantas jatuh atas diri
Cicimu." "Apakah orang....... orang ini telah bersekongkol dengan
pamanku?" tanya Siu-hun.
"Jelas," ujar Coh Liu-hiang dengan gegetun. "Tapi maklumlah,
siapa di dunia ini yang tidak kemaruk harta" Maka pamanmu juga
tak dapat disalahkan."
Seketika Ciok Siu-hun hanya melongo, sungguh sukar di
bayangkannya bahwa di dunia ini bisa terjadi hal-hal demikian.
Selang sejenak ia coba bertanya pula, "Jika isi peti mati ini
adalah Ciciku, lalu kemana perginya Si In?"
Sekata demi sekata Coh Liu-hiang menjawab, "Bila tidak meleset
perkiraanku, selekasnya kau akan bertemu dengannya."
********** Sesudah Coh Liu-hiang dan Ciok Siu- hun pergi, orang yang
mengintip di luar jendela itupun berlarian pergi dengan cepat. Di
bawah cahaya bintang yang remang-remang kelihatan rambutnya
yang beruban, kiranya orang ini adalah Liang-ma.
Apakah, orang tua ini memang sudah tahu mayat di dalam peti
mati itu bukan Si In" Lantas untuk apa dia berlagak berduka cita"
Apakah mungkin nenek yang baik hati inipun mempunyai maksud
tujuan tertentu" 118 ********** Sementara itu Coh Liu-hiang sedang berlarian keluar taman
dengan menggandeng Ciok Siu-hun, mereka berharap selekasnya
meninggalkan tempat seram ini.
Akan tetapi sebelum mereka sampai di pintu keluar, sekonyongkonyong
seorang menegurnya, "Nah, kau lagi, paman, kau telah
menipuku. Orang tua mana boleh menipu anak kecil!"
Belum lenyap suaranya, tahu-tahu seorang telah mengadang di
depan. Orang ini berwajah kemerah-merahan, rambutnya sudah
ubanan, tapi memakai baju merah bersulam bunga, baju anak-anak.
Siapa lagi dia kalau bukan si sinting. Sih Po-po Ciok Siu-hun
terkesima saking kagetnya, hendak lari pun tidak sanggup lagi.
Untung Sih Po-po tak memperhatikan dia, yang di pelototi hanya
Coh Liu-hiang, katanya pula "Hayo, paman bintang di langit itu
ternyata tidak berjumlah dua puluh sembilan ribu sekian."
Dalam pada itu Coh Liu-hiang telah membisiki Ciok Siu-hun agar
lekas pergi dulu dan menunggunya di rumah saja.
Habis itu barulah dia menanggapi teguran Sih Po-po, "Apakah
betul begitu" Ya, mungkin aku yang salah hitung." "Orang tua
mestinya tak boleh menipu anak kecil, tapi kau telah menipuku. Ehm,
aku emoh..... aku..... hu..... uuh......" Mendadak Sih Po-po mewekmewek,
lalu duduk mengesot di tanah dan menangis seperti anak
kecil. Kelakuan ini sungguh di luar dugaan Coh Liu-hiang, terpaksa ia
menjawab dengan tertawa, "Diamlah, jangan menangis, biar nanti
malam kuhitung lagi bagimu dan besok akan kuka takan padamu
jumlahnya yang tepat"
"Tidak, tidak mau," seru Sih Po-po. "Sekarang juga kau harus
menemaniku menghitung bersama. Kecuali...... kecuali izinkan
kuraba hidungmu, kalau tidak, takkan kulepaskan kau."
Coh Liu-hiang jadi melengak, tanyanya, "Untuk apa kau ingin
meraba hidungku?" 119 "Sebab hidungmu pasti sangat bagus dibuat main-main," kata
Sih Po-po. "Masa hidungku sangat bagus dibuat mainan." ujar Coh Liuhiang
dengan tertawa. "Darimana kau tahu hidungku bagus untuk
mainan?" "Habis, kalau hidungmu tidak bagus buat mainan, mengapa kau
sendiri selalu merabanya?" kata Sih Po-po, mendadak ia melompat
maju dan berseru dengan manja, "Hayo, aku pun ingin meraba
hidungmu, lekas, coba kurabanya, kalau..... kalau tidak, kau harus
menghitungkan bintang untukku."
Meski tidak enak juga hidungnya diraba orang, tapi apapun juga
lebih baik daripada disuruh menghitung bintang. Pula Coh Liu-hiang
tidak ingin terhalang lebih lama oleh si sinting itu, terpaksa ia
menjawab dengan menyengir, "Jika hidungku sudah kau raba, lalu
kau tidak merecoki aku lagi?"
Seketika Sih Po-po menjadi girang dan berhenti menangis,
jawabnya, "Ya, asalkan hidungmu sudah kuraba, segera kau boleh
pergi." "Baiklah, silakan meraba," kata Coh Liu-hiang.
Sambil melonjak-lonjak girang, pelahan Sih Po-po menjulurkan
tangannya ke hidung Coh Liu-hiang sambil tertawa-tawa,
sebenarnya gerak tangan Sih Po-po sangat lambat, tapi sesudah
dekat, mendadak ia tekan Gin-hiang-hiat di samping hidung Coh Liuhiang,
seketika Coh Liu-hiang merasa tubuhnya kesemutan dan tak
bisa berkutik lagi. Segera Sih Po-po angkat tubuh Coh Liu-hiang sambil terkekehkekeh,
katanya, "Kau telah mengacaukan hitunganku, maka
kepalamu akan kubenturkan hingga pecah."
Mendadak ia luruskan tubuh Coh Liu-hiang, terus dilemparkan ke
gunung-gunungan sana. Tampaknya kepala Coh Liu-hiang pasti
akan remuk tertumbuk gunung-gunungan batu itu.
***** 120 Sementara itu Ciok Siu-hun sudah berlari sampai di pintu taman,
napasnya sudah senin-kamis, tadi dia digendong oleh Coh Liu hiang,
untuk keluar sekarang dia harus membuka pintu. Pintu taman tidak
digembok, tapi terhalang oleh lonjoran besi itu, palang itu sudah
karatan dan lengket, semakin gelisah semakin susah membukanya.
Tentu saja ia tambah kelabakan dan bingung sedangkan Coh
Liu-hiang entah akan menyusulnya atau tidak.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seorang tertawa terkekehkekeh
dan berkata, "Kau sudah datang ke sini, maka boleh tinggal
beberapa hari di sini, kenapa terburu-buru hendak pergi lagi?"
Tidak kepalang kejut Ciok Siu-hun, tanpa menoleh lagi ia lantas
berlari pula. Akan tetapi baru dua tiga langkah, tahu-tahu sebuah
tangan seperti cakar setan telah mencekik lehernya. Belum lagi
sempat menjerit, pingsanlah dia.
***** Sementara itu Coh Liu-hiang juga tak berkutik menghadapi Sih
Po-po yang sinting, lebih-lebih tak terbayangkan dirinya bisa mati di
tangan orang sinting ini.
Ketika Sih Po-po mengayun tangannya, meluncurlah tubuh Coh
Liu-hiang ke arah gunung-gunungan. Meski dia lantas bisa bergerak
kembali, namun untuk mengubah arah jelas tidak ke buru lagi.
Terpaksa ia dekap kepalanya dengan kedua tangan, dengan
harapan akan dapat menahan benda yang akan ditumbuknya.
Namun ia cukup menyadari tumbukan ini andaikan tak membuatnya
mampus, paling tidak juga akan mendelik dan sekarat, habis itu, si
sinting tentu tidak akan tinggal diam pula.
Maka terdengar suara gemuruh yang keras, batu kerikil muncrat
kemana-mana, ternyata kepala Coh Liu-hiang tidak pecah terbentur,
sebaliknya gunung-gunungan itu malahan tertumbuk ambrol dan
terbuka sebuah lubang besar.
Sungguh aneh bin ajaib, masakah kepalanya jauh lebih keras
daripada batu" 121 Semula Sih Po-po sedang berkeplok tertawa gembira, kini
mendadak ia pun melenggong, teriaknya, "Wah celaka, kepala orang
ini terbuat dari besi?" Sembari berteriak ia terus berlari pergi secepat
terbang. Sekujur badan Coh Liu-hiang terasa sakit semua, kepala pun
pening, ia sendiri tidak jelas apa yang terjadi sebenarnya, sayupsayup
didengarnya di dalam gunung-gunungan itu ada jerit kaget
orang. Namun karena matanya berkunang-kunang, maka ia tidak
dapat melihat jelas dimanakah orang itu.
Tiba-tiba didengarnya seorang menjerit kaget, "He, bukankah ini
Coh Liu-hiang......?" Tajam melengking suara itu, jelas itulah suara
Hoa Kim-kiong. Coh Liu-hiang meronta bangun sambil kucek-kucek mata.
kemudian baru dapat melihat jelas sekitarnya. Kiranya dia jatuh di
atas buah ranjang ,di tepi ranjang ada seorang dengan tangan
menutupi dadanya yang telanjang , siapa lagi dia kalau bukan Hoakiong.
Di sebelah ada pula seorang lelaki yang tampak meringkik
ketakutan dan sedang memakai celana dengan gemetar.
Kiranya gunung-gunungan ini hanya kelihatan kukuh di bagian
luarnya, di dalam ternyata kosong, lapisan gunung-gunungan inipun
sangat tipis, bukan buatan dari batu, melainkan dibuat dengan
adukan semen yang tipis dan dibangun jadi gunung-gunungan, lalu
bagian luar ditimbun rerumputan.
Rupanya di dalam gunung-gunung inilah tempat pertemuan
gelap Hoa Kim-kiong dengan gendaknya. Coh Liu-hiang merasa geli,
ia merasa dirinya masih mujur juga. Dalam pada itu si lelaki tadi telah
mengeluyur pergi. Coh Liu-hiang lantas berdiri juga, katanya sambil memberi
hormat, "Maaf, maaf, lain kali bilamana kubentur batu lagi,
sebelumnya pasti akan kuketuk pintu dulu."
Tapi Hoa Kim-kiong meraihnya dan meliriknya dengan senyum
tak senyum, katanya, "Masa kau akan pergi sekarang juga"
Memangnya kedatanganmu bukan untuk mencariku?"
122 Sunggguh Coh Liu-hiang merasa risi untuk memandangi
senyuman orang, lebih-lebih tak berani memandang tubuh orang
yang telanjang itu. Tentu saja ia kelabakan karena tidak tahu arah
mana ia harus memandang, terpaksa ia menyengir dan berkata, "O,
aku memang datang untuk mencarimu....."
Belum habis ucapannya, Hoa Kim-kiong sudah lantas menubruk
maju sambil tertawa nyekikik, katanya, "Adik yang bagus, memang
sudah kuduga, akhirnya kau pasti tidak tahan dan akan datang
mencariku. Memang sudah kuketahui kau ini bukan manusia baikbaik.
Mengingat pandanganmu yang bisa membikin semaput ini,
baiklah kakak akan meluluskan kehendakmu sekali saja."
Tubuh yang telanjang itu tampak basah dan likat oleh keringat,
meski hampir seluruh tubuhnya seakan-akan diguyur minyak wangi,
namun tetap tak dapat menutupi bau keteknya yang sengak itu.
Untuk pertama kalinya Coh Liu-hiang merasa hidung yang ciri
juga ada gunanya, paling tidak bau ketek Hoa Kim-kiong yang
memuakkan, sekarang tak begitu terasa olehnya. Walaupun begitu,
ia pun merasa risi, cepat ia hendak mendorong perempuan tak tahu
diri ini, tapi karena salah alamat, tahu-tahu tangannya menolak pada
segumpal daging yang lunak.
Hoa kim-kiong tertawa terkikik, ucapnya, "Hihihi, tanganmu juga
tidak jujur......" Coh Liu-hiang jadi mati kutu dan tidak berani bergerak lagi,
katanya dengan menyengir, "Sebenarnya aku hendak mencarimu,
tapi sekarang mau tak mau aku harus lekas pergi lagi."
"Memangnya kenapa?" tanya Hoa Kim-kiong, jelas dia sangat
kecewa. "Masa kau tidak tahu bahwa Sih Po-po yang melemparkan diriku
ke sini?" tutur Coh Liu-hiang. "Sekarang dia sudah tahu aku berada
di sini, tempat inipun sudah berlubang besar, apabila dilihat orang
lain......." "Aku tidak takut," tukas Kim-kiong. Memang perempuan kalau
sudah berhasrat, maka malu atau takut sudah tidak dikenalnya lagi.
123 "Akan tetapi kalau Sih Po-po datang mengacau lagi, kan
runyam," ujar Coh Liu-hiang. "Tentunya kau kenal wataknya, orang
seperti dia kan dapat berbuat apapun juga."
Dipikir memang juga benar, terpaksa Hoa Kim-kiong melepaskan
pegangannya, katanya dengan gemas, "Si gila ini, pasti takkan
kuampuni dia." Maka legalah hati Coh Liu-hiang, ia coba bertanya pula, "Apakah
dia benar-benar gila" Orang gila mana bisa memiliki kepandaian
setinggi itu?" "Sejak kecil dia merasa tersiksa oleh pengawasan kakaknya."
tutur Hoa Kim-kiong. "Sih Ih-jin selalu memaki dia tak becus. Orang
lain menganggap gilanya karena keranjingan berlatih pedang, tapi
kukira lebih benar gilanya karena tekanan batin."
Sekian lama Coh LSu-htang termenung, ucapnya dengan


Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyesal, "Jika sang kakak terlalu terkenal, yang menjadi adik
memang lebih banyak ruginya."
Tiba-tiba Hoa Kim-kiong menarik tangannya lagi, keruan Coh
Liu-hiang terkejut hingga berkeringat dingin, jika si nenek
memaksakan kehendaknya lagi, sekali ini pasti sukar melepaskan
diri. Syukur Hoa Kim-kiong tidak melanjutkan gerak aksi lainnya, dia
cuma menatap tajam Coh Liu-hiang dan bertanya, "Kau akan datang
lagi atau tidak?" Coh Liu-hiang berdehem beberapa kali, lalu menjawab,
"Su.......sudah tentu."
"Kapan?" "Be........ besok atau lusa, pasti........ pasti kudatang lagi........."
Mendadak ia melonjak bangun dan berseru, "Wah ada orang, aku
harus lekas pergi......." Belum habis ucapannya, lantas menerobos
keluar seperti dikejar setan.
Untung juga dia angkat kaki pada waktu yang tepat, kalau tidak
124 tentu akan timbul kesukaran lagi. Baru saja dia pergi, segera terlihat
belasan oraog berlari datang secepat terbang. Ada yang membawa
tenglong, ada yang bersenjata, yang berjalan paling depan adalah
seorang gemuk tinggi besar, ia cuma memakai kaus kutang dan
bercelana pendek, tangannya juga memegang golok, saking
marahnya, mukanya tampak merah padam.
"Tangkap maling cabul itu!" teriak si kakek gemuk, "Barang siapa
yang berhasil menangkapnya, hadiah kontan seratus tahil emas.
Tangkap, jangan sampai lolos!"
Diam-diam Coh Liu-hiang meraba hidung pila. Tapi ia pun tidak
marah meski dirinya didakwa sebagai maling segala.
Ia malah menaruh kasihan kepada kakek gemuk ini, sebab dia
telah salah mencari menantu, malahan juga keliru ambil isteri.
Bahwa dia belum mati kaku menyaksikan tingkah dua perempuan
bejat di rumahnya itu sudah harus dipuji.
Akan tetapi darimanakah Si Hau-liam mengetahui rumahnya
kedatangan 'maling cabul' segala"
Apakah si sinting Sih Po-po yang menyampaikan info itu"
Makin lama Coh Liu-hiang merasakan si sinting itu benar-benar
berbahaya, tapi juga semakin menarik........
****** Sebenarnya sudah berapa kali Coh Liu-hiang berkunjung ke
Siong-kang-hu, namun jalannya sebegitu jauh belum lagi hapal. Dia
harus berputar kayun dahulu kian kemari untuk akhirnya baru dapat
menemukan gang tempat tinggal Yap Seng-lan yang akan dicarinya
itu. Dilihatnya si gundul sedang berjongkok di pojok emper rumah
sana dan sedang makan Siopia (panganan sebangsa roti bakar),
sepasang matanya yang besar hitam itu sedang mengerling dalam
kegelapan. Sekali pandang saja Coh Liu-hiang lantas melihat si
gundul. Akan tetapi si gundul baru melihat Coh Liu-hiang setelah
125 pendekar pujaannya ini berada di sampingnya. Ia kaget sehingga
Siopia yang masih sisa setengah potong itu terjatuh.
Tapi Coh Liu-hiang sempat meraih Siopia yang hampir terjatuh
itu, dengan tersenyum Siopia itu dikembalikan kepada si gundul,
katanya, "Hari ini kau tentunya tidak sempat makan nasi, lain hari
pasti akan kutraktir kau makan enak, eh, kau suka makan apa?"
Si gundul memandangnya penuh rasa hormat dan kagum,
jawabnya, "Aku tidak ingin makan apa-apa, yang kuharapkan ialah
dapat belajar kungfu setinggi engkau dan puaslah hatiku."
Coh Liu-hiang menepuk pundaknya dan berkata dengan tertawa,
"Kungfu harus dipelajari, tapi nasi juga harus dimakan. Betapa tinggi
kungtu seorang, tetap harus makan nasi." Ia mengerling ke sana, lalu
bertanya, "Apakah sudah kautemukan?"
Si gundul menepuk dada dan menjawab "Sudah tentu ketemu,
itulah tempatnya, rumah yang di depan pintunya ada sebuah
tenglong kecil." Dia jejalkan sisa Siopia ke dalam mulut dan ditelan,
habis itu bicaranya baru bisa lebih jelas, katanya kemudian,
"Penghuni gang ini cuma mereka saja yang baru pindah kemari,
bahkan cuma terdiri dari suami isteri berdua, tiada jongos dan tanpa
babu. Sang isteri seperti penduduk setempat, yang lelaki berlogat
utara." "Apakah mereka berada di rumah?" tanya Coh Liu-hiang
"Konon kedua suami isteri inipun selalu bersembunyi di rumah
sepanjang hari, tidak pernah keluar berbelanja, apalagi bergaul
dengan tetangga, tapi baru saja ada seorang datang mencari
mereka." "O, orang macam apa?" tanya Coh Liu-hiang.
"Seorang nenek, rambut sudah ubanan, tapi masih cekatan,
hanya kelihatan rada gugup, sambil berjalan seringkali menoleh ke
belakang, seakan-akan kuatir dikuntit setan."
Terbeliak mata Coh Liu-hiang, cepat ia bertanya pula, "Bilakah
nenek itu datang?" 126 "Baru saja," jawab si gundul. "Dia datang waktu aku mulai makan
Siopia sampai sekarang, lima biji Siopia belum habis kumakan."
"Dia masih di dalam?" tanya Coh Liu-hiang.
"Ya, belum keluar lagi," kata si gundul.
Baru habis ucapan si gundul, tahu-tahu Coh Liu-hiang sudah
melayang masuk ke rumah yang dimaksud. Si gundul melelet lidah,
gumamnya, "Jika tidak kulihat siapa dia sebelumnya, tentu akan
kusangka seekor burung raksasa......"
***** Rumah itu tidak besar, di halaman depan ada dua pohon sedap
malam yang sedang mekar semerbak.
Di dalam rumah ada cahaya lampu, pintu dan jendela tertutup
rapat. Dari bayangan yang kelihatan dari balik jendela itu tampak
bayangan seorang perempuan tua berduduk di samping meja
dengan kepala tertunduk, seperti lagi menulis, seperti juga sedang
menyulam. Kini Coh Liu-hiang tidak berpikir tentang adat kesopanan lagi,
sekuatnya ia menolak pintu hingga terbuka, kiranya orang yang
berduduk di dalam itu sedang makan hubur. Karena terkejut,
mangkuk terjatuh dan pecah berantakan.
Orang tua itu berbaju hijau, rambut sudah beruban, kiranya
Liang-ma adanya. Coh Liu-hiang tertawa dan menyapa, "Hah, benar juga kau
berada di sini." Liang-ma menepuk-nepuk dada dengan napas terengah-engah
katanya, "Wah, hampir mati terkejut aku, kukira garong, tak
tersangka Kongcu adanya. Mengapa Kongcu bisa datang ke sini?"
"Justru akulah yang ingin bertanya padamu, mengapa kau
datang ke sini?" jawab Coh Liu-hiang, ia pandang sekeliling ruangan,
yang menarik perhatiannya ialah di atas meja ada tiga pasang
127 sumpit dan mangkuk. Dengan tertawa Liang-ma menjawab, "Sebenarnya aku tidak
sempat, tapi lantaran sudah lama tidak melihat mereka, aku ingin
menjenguknya." Gemerlap sinar mata Coh Liu-hiang, "Mereka?" Ia menegas,
"Siapa mereka?"
"Anak perempuanku," jawab Liang-ma. "Dan menantuku...."
"Apa betul?" jawab Coh Liu-hiang. "Aku pun ingin melihat
mereka." Liang-ma tak menolak, segera ia berteriak. "Toa-gu, Siau-cu,
lekas keluar, ada tamu!"
Benar juga, segera muncul dua muda mudi, dengan air muka
bersungut, malahan kedengarannya mereka menggerutu, "Sudah
jauh malam, orang tidur diganggu."
Kedua muda-mudi ini tampaknya belum lama menikah, yang
perempuan tinggi besar seperti seekor kerbau, yang lelaki kurus
kecil ketolol-tololan, mana ada tanda-tanda sebagai pemain
sandiwara segala" Jika pengamen jalanan mungkin benar."
"Kongcu ini ingin melihat kalian," demikian kata Liang-ma dengan
tertawa. "Mungkin beliau tahu kalian terlalu melarat, maka ingin
memberi sedekah pada kalian. Hayolah lekas kalian menyembah."
Cepat juga kedua orang itu berlutut dan menvembah, yang lelaki
malah terus menyodorkan tangannya.
Keruan Coh Liu-hiang serba runyam dan terpaksa merogoh saku
sambil bergumam, entah omong apa. Habis itu lantas dia
mengeluyur pergi. Cepat Liang-ma merapatkan pintu. Habis itu lantas ia tertawa
terkekeh kekeh, katanya, "Sekali ini Coh Liu-hiang benar-benar
terjungkal habis-habisan."
Sembari menghitung uang persen Coh Liu-hiang, anak
128 perempuan tadi berkata sambil tertawa, "Wah, setiap biji satu tahil
seluruhnya ada dua belas biji perak, hihihi, tak tersangka sang
maling budiman kita semudah ini dikibuli, mencuri ayam tidak
berhasil malah kehilangan segenggam beras."
Dalam pada itu Liang-ma telah merangkak ke atas meja, lalu
mengetuk-ngetuk langit-langit rumah, serunya, "Siauya dan Siocia,
silakan turun, ia sudah pergi."
Selang sejenak, papan langit-langit rumah mendadak tersingkap,
dua muda-mudi berturut-turut melompat turun. Yang lelaki juga
sangat tampan, juga lemah lembut seperti anak perempuan.
Setelah melompat turun, lelaki tampan itu lantas berkata dengan
tertawa, "Kami benar-benar harus berterima kasih kepada Liang-ma,
entah cara bagaimana harus membalas kebaikanmu ini."
"Asalkan Siauya selalu baik kepada Siocia, maka cukuplah
bagiku atas segala yang telah kulakukan ini," kata Liang-ma dengan
tertawa. Dengan mesra pemuda itu memandang anak perempuan di
sebelahnya, ucap dengan lembut, "Sekalipun Liang-ma menyuruhku
berbuat buruk padanya, sukar juga bagiku melakukannya.
Muka si anak perempuan menjadi merah, omelnya dengan
tertawa, "Coba, betapa manisnya mulutmu ini."
Lelaki yang ketolol-tololan tadi mendadak menimbrung dengan
tertawa, "Jika mulut Siauya tidak manis, mana bisa Siocia bertekad
menikah dengannya." Liang-ma melototnya sekejap, tapi ia sendiri pun tertawa geli.
Si pemuda tampan berdehem dan berkata, "Meski rintangan ini
sudah kita lalui dengan baik, namun rumah ini bukan lagi tempat
yang aman." "Betul, Pendekar Harum tak bernama kosong," ujar anak
perempuan tadi, "Pantas orang Kangouw sama bilang urusan
apapun tak dapat mengelabui dia "
129 "Terima kasih atas pujian nona," demikian tiba-tiba seseorang
menanggapi dengan tertawa
Seketika air muka semua orang berubah pucat, "Sia......siapa
itu?" jengek Liang-ma.
Padahal tanpa bertanya juga sudah diketahuinya siapa
pendatang ini. Pintu segera terbuka didorong orang, tampak
seseorang muncul di ambang pintu dengan tertawa, siapa lagi dia
kalau bukan Coh Liu-hiang"
Mendadak pemuda tampan tadi menubruk maju, sekaligus ia
menendang dengan kedua kakinya ke dada Coh Liu-hiang.
"Hebat juga tendanganmu!" kata Coh Liu-hiang sambil
mengegos. Kungfu dalam hal tendangan mengutamakan kekuatan kudakuda.
harus kukuh dan mantap, tapi dalam hal kegesitan dan
kelincahan dengan sendirinya kurang, sebab itulah tendangan
berantai dengan dua kaki beruntun yang disebut 'Lian-hoan-wanyangtui' ini sangat sukar dilatih.
Jika ditilik dari cara menendang anak muda itu, jelas
tendangannya ini sudah cukup lihai. Cuma sayang, lawan yang di
hadapinya sekarang ialah Coh Liu-hiang.
Baru saja kedua kakinya menendang dan lawan mengelak tahutahu
dengkulnya terasa kaku kesemutan, tubuhnya terus anjlok ke
bawah, sama sekali tak diketahuinya cara bagaimana Coh Liu-hiang
balas menutuknya. Cepat si anak perempuan memburu maju untuk memapahnya
sehingga pemuda itu tidak sampai terjatuh. "Ap.... apakah kau
terluka?" tanyanya kuatir.
Anak muda itu menggeleng, katanya kemudian dengan geram,
"Jika dia sudah kemari, jangan lagi membiarkannya pergi."
Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Sudah cukup lama kucari
kalian, umpama kalian menyuruhku pergi juga tak dapat kuterima."
130 "Kami tidak kenal kau, untuk apa kau cari kami?" tanya anak
perempuan itu. "Kalian tidak tahu, tapi sudah lama kutahu nama kalian, lebihlebih
tuan muda Yap ini, siapa gerangan anak muda di kotaraja yang
tidak kenal tuan Yap Seng-lan kita yang serba mahir dan serba
genit." Dia sengaja menambahi kata-kata "genit" yang lebih pantas
digunakan atas diri orang perempuan. Keruan seketika muka anak
muda itu berubah merah. Dengan gusar si anak perempuan lantas mendesis, "Ya,
memang betul dia seorang pemain panggung, tapi orang panggung
kan juga manusia. Apalagi menjadi aktor kan lebih baik daripada
menjadi maling " Coh Liu-hiang menghela napas gegetun, katanya, "Anak
perempuan kalau sudah jatuh cinta, maka segala apapun baik
baginya. Hanya saja, coba jawab, nona yang baik, mengapa kau
tidak suka menjadi manusia, tapi ingin menjadi setan?"
Berubah air muka anak perempuan itu, katanya, "Apa katamu"
Aku tidak paham?" "Urusan sudah lanjut begini, biarpun nona Si tidak paham juga
percuma," kata Coh Liu-hiang.
Bergetar tubuh si anak perempuan itu, tanpa terasa ia mundur
dua-tiga tindak, tanyanya dengan terputus-putus, "Ap......apa
katamu" Siapa itu nona Si" Aku tidak kenal dia?"
"Nona Si ialah puteri kesayangan Si Hau-liam, she Si bernama
In," ucap Coh Liu-hiang sekata demi sekata. "Rupanya dia telah
jatuh cinta pada seorang muda bernama Yap Seng-lan, cuma
sayang, ayah ibunya tak memahami isi hati sang puteri dan akan
menjodohkannya kepada Sih-jikongcu dari Sih-keh-ceng. Lantaran
cinta nona Si kepada pemuda she Yap sudah kadung bersemi,
terpaksa dia pura-pura mati untuk menghindari perkawinannya
dengan Sih-jikongcu. Tapi orang mati harus ada mayatnya, maka
lantas dia menggunakan mayat nona Ciok sebagai gantinya."
131 Coh Liu-hiang berhenti sejenak, kemudian dengan tertawa ia
menyambung, "Nah, nona Si, apa yang kukatakan sudah cukup
gamblang bukan?" Sejak tadi Liang-ma melototi Coh Liu-hiang dengan gemas, kini
mendadak ia berteriak, "Betul, apa yang kau katakan memang betul
seluruhnya. Dia memang nona In, lalu kau mau apa?"


Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si in menggenggam erat-erat tangan Yap Seng-lan, ucapnya
dengan tegas, "Jika kau bermaksud menyuruhku pulang, kau harus
bunuh dulu diriku." "Tidak, kau harus membunuhku dulu!" seru si pemuda alias Yap
Seng-lan. "Ai, cinta memang buta, cinta seorang memang tak dapat
dipaksakan oleh siapapun juga......" Coh Liu-hiang menghela napas
gegetun. "Jika demikian, mengapa kau ikut campur urusan kami?" seru Si
ln. Dengan beringas Liang-ma lantas menambahkan "Sejak bayi
nona In sudah kuasuh, hubungan kami jauh lebih rapat daripada
anak dan ibu kandung, maka tidak dapat kubiartan dia dijodohkan
kepada pemuda yang tak disukainya. Apa artinya hidup ini jika harus
tersiksa, maka aku tak dapat tinggal diam dalam urusan perjodohan
nona In." Dia menatap tajam Coh Liu-hiang, lalu menyambung
dengan bengis, "Sebab itulah kuharap engkau pun jangan ikut
campur urusan ini, kalau......."
"Aku kan tidak menghendaki dia pulang?" sela Coh Liu-hiang
dengan tersenyum. "Aku pun tidak termaksud membuyarkan tekad
kalian, maksudku mencarinya adalah untuk membuktikan bahwa dia
tidaklah mati." "Masa kau tidak......... tidak ada maksud lain?" Liang-ma
menegas. "Selain itu aku cuma ingin minta secawan arak bahagia mereka."
ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.
132 Liang-ma melenggong hingga sekian lama, sikapnya rada kikuk,
seperti mau omong apa-apa, tapi urung, entah apa yang hendak
diutarakannya. Dalam pada itu Yap Seng-lan dan Si In telah berlutut di depan
Coh Liu-hiang, setelah mereka menyembah dan menengadah,
ternyata sang pendekar sudah tidak kelihatan lagi, hanya terdengar
suaranya berkumandang dari jauh, "Tengah malam besok harap
kalian menunggu di sini..........." Ketika kata terakhir itu terdengar,
sementara itu suaranya sudah sayup-sayup jauh sekali.
Liang-ma menghela napas lega, gumamnya, "Bilamana diketahui
Coh Hiang-swe sedemikian bijaksana jalan pikirannya, tentu aku
tidak perlu lagi menahan nona Ciok itu sebagai sandera."
Kiranya orang yang menyergap Ciok Siu-hun di taman keluarga
Si itu ialah Liang-ma. Mendadak bati Yap Seng-lan tergerak, katanya dengan tertawa,
"Kalau urusan sudah kadung begini, kenapa kita tidak bekerja lebih
lanjut sekalian." "Lebih lanjut bagaimana?" tanya Liang-ma.
"Kenapa engkau tidak memindahkan nona Ciok itu ke sini saja,"
kala Yap Seng-lan dengan tertawa "kan Coh Hiang-swe akan kemari
lagi besok malam. Dia sudah membantu kita, kan layak jika kita pun
membantu mereka." Tapi Si In menghela napas, ucapnya, "Dia telah membantu kita,
semoga dia juga dapat membantu orang lain lagi."
******* Bagi Coh Liu-hiang sekarang tinggal satu soal lagi. Bahwa Si In
jelas tidak mati, lalu cara bagaimana Cu Beng-cu dapat hidup
kembali dengan roh Si In"
Tentang kematian Cu Beng-cu sebenarnya tidak mungkin
dipalsukan, jadi sudah mati sungguh-sungguh, ini sudah dinyatakan
sendiri oleh tabib sakti Thio Kan-cay.
133 Sebagai tabib termasyhur, tentunya tidak perlu disangsikan lagi
kepastiannya tentang mati-hidup seseorang. Jika dia sudah
menyatakan Cu Beng-cu telah mati, maka tidak mungkin terjadi nona
itu hidup kembali. Jadi persoalan ini sebenarnya sangat sulit untuk dijelaskan,
namun sedikitpun Coh Liu-hiang tidak merasa cemas, tampak nya
dia sudah mempunyai keyakinan sendiri.
Karena si gundul mengundangnya minum kembang tahu dan
makan Siopia serta Yuciakwe, maka hadirlah dia ke tempat yang
disebut. 'Menjamu tamu' adalah urusan yang sangat menyenang kan,
bisa menjamu tamu tentu jauh lebih menyenangkan daripada di jamu
orang. Yang lucu ialah semakin miskin orangnya semakin suka pula
menjamu tamu. Si gundul merasa bangga dan kegirangan, kalau bisa ia ingin
mengeluarkan segenap persediaan santapan rumah makan kecil itu,
berulang-ulang ia membujuk Coh Liu-hiang agar makan lebih
banyak. Sementara itu hari belum lagi terang, baru mulai remang-remang
di ufuk timur. Selagi Coh Liu-hiang menghabiskan semangkuk kembang tahu,
tiba-tiba muncul si burik dan Siau-hwe-sin. Kedua orang ini sangat
gelisah dan tegang. Berulang-ulang si burik malahan menoleh ke
belakang, seperti takut dikuntit orang,
Setelah berduduk, segera Siau-hwe-sin berkata dengan suara
tertahan. "Wah, semalam telah terjadi lagi dua peristiwa besar."
"O, kejadian apa?" tanya Coh Liu-hiang
"Kedua peristiwa itu seluruhnya terjadi di Sih-keh-ceng," tutur
Siau-hwe-sin. "Konon beberapa pedang pusaka simpanan Sih Ih-jin telah
lenyap." sambung si burik. Padahal setiap orang di Sih-keh-ceng,
baik tukang sapu maupun tukang masak, semuanya mahir ilmu
134 pedang," demikian Siau-hwe-sin bercerita lebih lanjut,
"Tapi pencuri pedang ini dapat keluar masuk leluasa di Sih-kehceng,
bahkan berhasil membawa lari pedang simpanan Sih Ih-jin.
Tidak usah bicara lain, melulu Ginkangnya serta keberaniannya
sudah boleh dikatakan luar biasa."
Meski dia bercerita mengenai pencuri pedang., tapi
pandangaunya tak pernah meninggalkan perubahan air muka Coh
Liu- hiang. Namun Coh Liu-hiang tidak mengacuhkannya, ia tertawa dan
berkata, "Memang betul, sesungguhnya memang tidak banyak yang
memiliki Ginkang setinggi itu, cuma peristiwa ini sudah kuketahui
sejak dulu." Siau-hwe-sin melengak mendengar jawaban ini, seketika ia
merasa tegang sehingga napas terasa sesak. Dengan tergagapgagap
si burik lantas bertanya, "Dar...... darimanakah Hiang-swe
mengetahui peristiwa itu?"
"Orang pertama yang mengetahui peristiwa pencurian pedang itu
dengan sendirinya ialah si pencurinya....... Coh Liu-hiang sengaja
menghentikan ucapannya, dilihatnya wajah Siau hwe-sin dan si burik
berubah pucat, bahkan kedua orang saling berkedip, jelas mereka
merasa yakin si pencuri pedang pasti Coh Liu-hiang adanya.
Maka tersenyumlah Coh Liu-hiang dan melanjutkan ucapannya,
"Tapi peristiwa yang kuketahui ini kudengar langsung dari Sih Ih-jin
sendiri."' "O, pantas Hiang-swe mengetahui lebih dulu daripada kami?"
kata si burik. "Dan apa peristiwa yang lain"*' tanya Coh Liu-hiang.
Dengan menahan suaranya Siau-hwe-sin berbisik. "Semalam
Sih-keh-ceng kedatangan pembunuh gelap."
Mau tak mau Coh Liu-hiang juga melengak, tanyanya sambil
mengerut kening, "Pembunuh gelap" Memangnya siapa yang
hendak dibunuhnya?" 135 "Sih Ih-jin," Jawab Siau-hwe-sin.
Pelahan-lahan Coh Liu-hiang mengangkat tangannya untuk
meraba hidung pula. "Sih Ih-jin terkenal sebagai jago pedang nomor satu di dunia, tapi
ada orang yang berani mencari perkara padanya, nyali orang itu
sungguh terlebih besar daripada harimau," kata Siau-hwe-sin,
sembari bicara ia terus mengawasi perubahan air muka Coh Liuhiang.
Sudah tentu Coh Liu-hiang dapat meraba jalan pikiran orang,
katanya dengan tertawa, "Jika kau mengira aku inilah penyatron Sih
keh-ceng itu, kenapa tidak kau katakan terus terang saja?"
Muka Siau-hwe-sin menjadi merah, katanya dengan tergagap,
"Menurut cerita orang Sih-keh-ceng, sedikitnya mereka
mengerahkan empat atau lima puluh orang, tapi si penyatron tak
dapat ditangkap, bahkan wajah dan perawakan orang inipun tidak
terlihat jelas, hanya sayup-sayup tercium bau harum yang sedap,
sebab itulah kukira....... kukira....... " .
"Kau kira apa?" tanya Coh Liu-hiang dengan tersenyum. "Selain
Coh Hiang-swe, rasanya sukar bagiku untuk menemukan orang lain
yang memiliki Ginkang setingg itu serta nyali sebesar itu," ujar Siauhwesin sambil rnenyengir. Coh Liu-hiang menghela napas gegetun, katanya, "Jangankan
kau, bahkan aku sendiri pun tak dapat mengemukakannya"
"Tapi sekarang Sih Ih-jin merasa pasti Hiang-swe yang
melakukan kedua peristiwa itu, maka sejak tengah malam tadi Sih Ihjin
mengirim orang-orangnya mencari Hiang-swe, mereka telah
memasang perangkap pula di sekitar Ceng-pwe-san-ceng," tutur si
burik. "Ya, padahal kota sekecil ini, bila Hiang-swe tidak lekas-lekas
mencari akal, mungkin sebentar lagi akan dipergoki mereka," kata
Siau-hwe-sin. "Mencari akal" Mencari akal apa" Memangnya Hiang-swe harus
136 sembunyi, harus lari ketakutan?" mendadak si gundul berteriak
penasaran sambil menggebrak meja.
Siau-hwe-sin menarik muka dan mendampratnya, "Tutup
mulut......" Coh Liu-hiang tersenyum dan berucap. "Ya, kutahu maksud
baikmu, cuma sayang, urusan sudah telanjur begini, seumpama aku
ingin lari juga tak dapat lagi."
Pada saat itulah sekonyong-konyong seseorang mendengus,
"Hm, pintar juga kau. Dalam keadaan demikian, adalah aneh
bilamana kau dapat lari."
Tempat penjual kembang tahu ini terletak di ujung jalan dengan
memasang sebuah gedek sebagai atap, lalu sebuah meja panjang
dengan beberapa bangku. Begitu lenyap ucapan orang tadi, serentak terdengarlah suara
gemuruh, gedek bambu itu telah disingkapkan orang, belasan orang
berbaju hitam ringkas serentak menerjang tiba dengan pedang
terhunus, jelas semuanya jago silat pilihan.
Seketika pucat air muka Siau-hwe-sin, kontan ia meraih sebuah
bangku terus dilemparkan ke sana. Meski bangku itu tidak terlalu
berat, tapi daya lemparannya cukup keras.
Tak terduga seorang berbaju hitam yang menjadi pemimpin
cuma mencukit pelahan dengan ujung pedangnya, seketika bangku
panjang itu tersengkelit balik, bahkan jauh lebih keras daripada
meluncurnya tadi dan hampir saja menyodok tubuh Siau-hwe-sin.
Maka mangkuk di atas meja seketika hancur berrantakan.
"Siau-hwe-sin," dengan gusar si baju hitam mendamprat. "Kami
menganggap kau sebagai kawan dan mencari kabar Coh Liu-hiang
padamu, tak apalah jika kau tidak mau menerangkan nya, tapi
sekarang kau sengaja mengkhianati kami dan malah membela orang
she Coh ini." Di tengah bentakan gusar, serentak tiga empat pedang
menusuk ke arah Siau-hwe-sin.
Mendadak Coh Liu-hiang berbangkit karena terkejut, seketika
para penyerang itu menyurut mundur. Tak tahunya Coh Liu-hiang
137 hanya menepuk-nepuk pundak si gundul dan berkata padanya
dengan tersenyum, "Sedap juga kembang tahu ini, sebelum
kupulang nanti pasti akan kumakan lagi satu kali "
Meski si gundul sudah pucat ketakutan, tapi dia tetap tertawa
dan menjawab. "Baik, nanti tetap aku yang menjamu engkau."
"Tidak, lain kali harus giliranku." kata Coh Liu-hiang.
"Jangan, jangan," seru si gundul "Aku cuma mampu menjamu
engkau dengan kembang tahu dan Yuciakue, bila engkau mau
menjamu diriku, engkau harus menjamu minum arak,"
Mereka bicara dengan bebas, seolah-olah kawanan jago pedang
seragam hitam ini tak digubrisnya. Tentu saja si baju hitam yang
menjadi pemimpin mendongkol, ia membentak gusar, secepat kilat
pedangnya menusuk. Serentak kawanan baju hitam yang lain juga ikut menyerang,
gerak pedang mereka ini sangat cepat, arah yang di incar juga jitu,
cara kerja-sama sangat rapat, biasanya sukar bagi lawan untuk
menghindarkan sekali tusuk saia.
Di luar dugaan mendadak terdengar suara gemerantang
beradunya pedang dengan pedang, Coh Liu-hiang yang sudah
terkurung di tengah sinar pedang itu entah dengan cara bagaimana
tahu-tahu sudah menghilang.
Keruan si baju hitam terkejut, cepat ia menyurut mundur sambil
memutar pedangnya. Terdengar suara tertawa di atap gedek, entah
sejak kapan Coh Liu-hiang sudah melayang ke atas payon dan
sedang memandang mereka dengan tertawa
"Kalian bukan tandinganku, lebih baik bawalah aku untuk
menemui Sih-toacengcu kalian," kata Coh Liu-hiang.
Kawanan baju hitam segera hendak menerjang maju lagi, tapi di
cegah oleh orang yang menjadi pemimpin, dengan pandangan tajam
orang ini menatap Coh Liu-hiang dan bertanya, "Jadi kau berani
menemui Cengcu kami?"
"Kenapa tidak berani?" jawah Coh Liu-hiang dengan tertawa.
138 "Memangnya dia suka makan manusia dan harus di takuti?"
********* Tanpa banyak bicara lagi Coh Liu-hiang mengikuti kawanan baju
hitam itu ke Sih-keh-ceng. Sementara itu hari sudah terang
benderang. Coh Liu-hiang berjalan di depan dengan muka
bercahaya dan penuh semangat, melihat keadaannya itu, siapa pun
takkan percaya bahwa dia tidak tidur semalam suntuk, lebih-lebih tak
terpikir bahwa orang-orang yang mengikut di belakangnya itu setiap
saat dapat menusuk dan membuat punggungnya berlubang.
Yang mengintil di belakang Coh Liu-hiang makin banyak,
beberapa kelompok kawanan baju hitam kini telah bergabung
menjadi satu, semuanya berbisik-bisik membicarakan orang she Coh
yang sedemikian besar nyalinya dan berani ikut mereka ke Sih-kehceng,
ada sementara diantara mereka mengira otak Coh Liu-hiang
mungkin kurang waras seperti halnya Sih-jicengcu mereka ^*
Siau-hwe-sin, si gundul dan si burik menaruh perhatian besar
atas keselamatan Coh Liu-hiang, mereka tidak berani bertindak,
terpaksa menguntit juga dari kejauhan.
Mereka heran melihat ketenangan Coh Liu-hiang, mereka tidak
tahu apa maksud tujuan kepergian Coh Liu-hiang ke Sih-keh-ceng,
diam-diam mereka kuatir. Sih-keh-ceng tiada ubahnya seperti sarang
harimau dan kubangan naga, pedang Sih Ih-Jin bahkan lebih
menakutkan daripada harimau maupun naga. Kepergian Coh Liuhiang
ke sana apakah dapat keluar lagi dengan hidup.
Sembari menguntit, berbareng Siau-hwe-sin juga memberi
isyarat di sepanjang jalan yang dilalui, maka dari berbagai penjuru,


Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawanan pengemis berbondong-bondong juga berkumpul, barisan
kaum jembel yang berada di belakang juga semakin panjang.
Seorang gagah dan tampan berjalan paling depan, di
belakangnya mengikut satu rombongan jago pedang dengan sikap
bengis, di belakangnya lagi satu barisan pengemis.
Barisan panjang ini sungguh mirip pawai yang menarik, untung
hari masih pagi, orang yang berlalu lalang di jalan tidak banyak, tokotoko
di tepi jalan juga belum buka pintu.
139 Setiba di Sih-keh-ceng, Sih lh-jin tidak melakukan penyambutan,
ia malah membawa sebuah kursi malas ke belakang taman dan
duduk mencari angin di sana.
Jago pedang nomor satu di dunia ini memang tidak sia-sia
terkenal sebagai seorang Kangouw ulung, dia tahu kapan harus
bertindak dan cara bagaimana harus bertindak. Baginya cerita
tentang Coh Liu-hiang sudah tidak asing lagi, masing-masing kisah
di dunia Kangouw mengenai Coh Liu-hiang telah membuat Pendekar
Harum itu seperti tokoh dalam dongeng.
Meski dia tidak percaya penuh seluruh cerita itu, tapi memang
terbukti banyak tokoh Kangouw kelas wahid yang telah dikalahkan
Coh Liu-hiang, ini kejadian nyata bukan dongeng.
Sih lh-jin sendiri juga tidak pernah meremehkan Coh Liu-hiang,
kini ia sedang menantikan kedatangannya, rada bersemngat dan
juga rada tegang. Perasaan demikian sudah timbul sejak beberapa
tahun, maka sekarang dia harus dapat menahan perasaan, harus
bisa bersabar menanti kedatangan Coh Liu-hiang.
Dan akhirnya Coh Liu-hiang muncul juga. sedang
rnemandangnya dengan tersenyum. '
"Kau sudah datang," sapa Sih lh-jin tak acuh sambil membuka
matanya dengan kemalas-malasan.
"Ya, aku sudah datang," jawab Coh Liu-hiang
"Apakah lukamu sudah sembuh?" tanya Sih lh-jin.
"Terima kasih, sudah banyak lebih baik."
"Ehm, bagus," Sih lh-jin tidak tanya lebih banyak lagi, segera ia
berbangkit, ia memberi tanda, segera seseorang membawakan
pedang. Pedang ini sangat panjang, belasan inci lebih panjang dari pada
pedang umumnya, pedang sudah terlolos dari sarungnya tanpa
hiasan, memang pedang Sih lh-jin bukanlah pedang untuk
dipamerkan, pedangnya hanya untuk membunuh.
140 Pedang yang berwarna kehijau-hijauan itu, rnemancarkan
cahaya kebiru-biruan, meski berdiri dalam jarak beberapa langkah
jauhnya, namun Coh Liu-hiang dapat merasakan hawa dingin yang
terpancar dari pedang itu.
''Pedang bagus! Inilah benar-benar senjata hebat," puji Coh Liuhiang.
Sih lh-jin memandang pedangnya sekejap, lalu berkata de ngan
hambar, "Kau memakai senjata apa?"
Coh Liu-hiang tak menjawab pertanyaan ini, sebaliknya ia
menyapu pandang sekelilingnya. Sementara itu kawanan orang
berseragam hitam telah mengepung rapat sekitar taman.
"Apakah kau tidak merasa tempat ini terlalu sempit?" tanya Coh
Liu-hiang kemudian. "Hm, selama hidupku menghadapi siapapun juga tak pernah
kuminta bantuan seseorang." jengek Sih Ih-jin.
"Aku pun tahu mereka pasti tidak berani ikut turun tangan, tapi
mereka adalah anak buahmu, beradanya mereka di sekitar sini,
betapapun aku merasa terancam sekalipun mereka tidak turun
tangan," ujar Coh Liu-hiang dengan tersenyum.
Lalu sambungnya pula, "Semalam suntuk aku tidak tidur, jika
kutempur kau sekarang, dalam hal kondisi badan aku sudah kalah
satu langkah. Sedangkan taman ini adalah tempatmu, setiap pohon
dan setiap benda di sini sudah sangat hapal bagimu, jika kutempur
kau di sini dalam kondisi tempat, aku pun sudah kalah satu langkah.
Kalau saja harus ditambah lagi kalah pengaruh oleh keadaan, maka
pertempuran ini tanpa berlangsung juga jelas aku sudah kalah
seluruhnya." Sih Ih-jin memandangnya dengan tajam, meski dingin sorot
matanya, namun sudah menampilkan setitik rasa menghormat, inilah
rasa hormat yang khas antara seorang ahli terhadap ahli yang lain.
Begitu sorot mata kedua orang saling tatap, begitu pula dalam hati
masing-masing sudah saling memahami.
141 Mendadak Sih Ih-jin memberi tanda kepada anak buahnya dan
berseru, "Mundur keluar, tanpa perintahku, siapa pun dilarang masuk
kemari!" "Terima kasih," ucap Coh Liu-hiang. Meski sikapnya sangat
prihatin, tapi ucapan "terima kasih" ini tercetus dari lubuk hatinya
yang dalam, tiada sedikitpun mengandung nada menyindir. Selama
hidupnya sudah banyak mengucapkan "terima kasih", tapi belum
pernah satu kali pun berucap setulus sekarang. Sebab ia tahu
perintah Sih Ih-jin mengundurkan anak buahnya itu tiada lain juga
suatu tanda penghormatan padanya.
Sekalipun pertempuran ini akan segera menentukan mati dan
hidup, tapi rasa hormat inipun pantas mendapatkan terima kasih.
Terima kasih yang diperoleh dari pihak lawan selalu jauh lebih
berharga daripada diperoleh dari kawan sendiri, tentu juga jauh lebih
mengharukan. Sih Ih-jin mengangkat pedangnya, ditatapnya pedangnya lekattekat
hingga sekian lama, kemudian mengangkat kepalanya dan
berkata, "Keluarkan senjatamu!"
"Belum lama berselang aku pernah hadapi Swe It-hoan, Swelocianpwe,
senjata yang kugunakan waktu itu tidak lebih hanya
sebatang ranting kayu lemas saja," tutur Coh Liu-hiang dengan
tenang. Sih Ih-jin tidak menanggapi, ia memandangnya dengan dingin
dan ingin mendengarkannya lebih lanjut.
"Takkala itu kukatakan pada Swe-locianpwe bahwa pertarungan
antara tokoh kelas tinggi, faktor mencapai kemenangan tidak terletak
pada senjatanya yang tajam," demikian Coh Liu-hiang berkata pula.
"Jika kutempur lawanku dengan kayu lemas, bagiku tidaklah rugi,
bahkan lebih menguntungkan."
Sih Ih-jin mengernyit dahi, seperti tak paham logika yang
dikemukakan Coh Liu-hiang itu, mana mungkin setangkai kayu
lemas menghadapi pedang yang tajam bisa lebih menguntungkan
malah" Walaupun tidak sependapat, tapi dia tidak mengutarakan
jalan pikirannya sendiri. Apalagi Swe lt-hoan (Baca dalam
PERISTIWA BURUNG KENARI, oleh Gan KH. sudah terbit) juga
142 terkenal sebagai jago pedang nomor wahid. masa Coh Liu-hiang
dapat mengalahkannya dengan setangkai kayu saja.
Dalam pada itu Coh Liu-hiang telah menyambung, "Sebab kalau
kugunakan setangkai kayu untuk menghadapi pedang yang tajam,
tentu hal ini akan mempengaruhi pikiran Swe-licianpwe, dengan
kedudukannya yang terhormat itu tentunya dia tidak mau menarik
keuntungan atas diriku dalam hal senjata, sebab itu pula pada saat
melancarkan serangan, dia tentu akan selaki was-was."
Mendengar sampai di sini. tanpa terasa Sih Ih-jin manggutmanggut
juga. Sedang Coh Liu-hiang telah melanjutkan ucapannya, "Dan kalau
tidak menarik keuntungan berarti menderita rugi. Umpamanya
menggunakan jurus 'Hong-hong-tian-ih' (burung Hong pentang
sayap) untuk menyerang mukanya, seharusnya pedangnya akan
menangkis ke atas untuk menyampuk senjataku, tapi lantaran dia
pikir senjataku cuma setangkai kayu, tentu dia tidak merasa perlu
menyampuk seranganku itu, dan pada saat dia belum menggunakan
jurus pengganti itulah aku lantas mendahului menyerangnya pula.
"Padahal," demikian Coh Liu-hiang menyambung pula dengan
tersenyum. "Seperti halnya peperangan antara dua negara, setiap
jengkal tanah yang harus direbut, bila ada rasa waswas dan sungkan
maka pertempuran itu pasti akan gagal."
Sorot mata Sih Ih-jin menampilkan rasa memuji pula, ucapnya
tawar, "Tapi aku bukan Swe It-hoan."
"Memang,' kata Coh Liu-hiang. "Ilmu pedang Swe It-hoan terlalu
kolot, setiap jurus mengikuti peraturan, sedangkan ilmu pedang
Cianpwe mengutamakan 'mendahului' mencapai kemenangan. Di
antara keduanya jelas ada perbedaan yang menyolok."
Sih Ih-jin menggut-manggut pula sebagai tanda sependapat,
katanya, "Ya, uraian yang tepat."
"Sebab itulah, sekarang takkan kugunakan tangkai kayu untuk
melawan Cianpwe," kata Coh Liu-hiang.
"Kau ingin menggunakan apa?" kata Sih Ih-jin.
143 "Hanya dengan kedua tanganku ini"
"Kau akan melawan pedangku dengan bertangan kosong?"
tanya Sih Ih-jin sambil mengerut kening.
"Pedang Cianpwe jelas tajam tiada bandingannya, ilmu pedang
Cianpwe juga tiada tandingannya, senjata apapun yang kugunakan
rasanya sukar untuk melawannya, apalagi kecepatan Cianpwe juga
tiada taranya di dunia ini, seumpama aku dapat memperoleh pedang
yang sama tajamnya dengan Cianpwe juga sukar untuk menahan
sekali serangan Cianpwe."
Tanpa terasa timbul juga rasa senang pada sorot mata Sih Ih-jin.
Maklum setiap manusia di dunia ini pasti suka di sanjung puji, tidak
terkecuali pula Sih Ih-jin, apalagi kata-kata itu dari mulut Coh Liuhiang.
Waktu bicara, Coh Liu-hiang selalu mengawasi perubahan air
muka Sih Ih-jin, maka pelahan-lahan ia menyambung pula, "Sebab
itulah bila sudah mulai bergebrak, sama sekali aku tak kan
menangkis atau balas balas menyerang, hanya akan kuhindari
dengan cara gesit dan enteng, untuk itu bila tak bersenjata tentu
gerak-gerikku akan lebih ringan dan juga bisa lebih cepat."
Ia tertawa, lalu menambahkan, "Terus terang, jika tidak sungkan
dan kuatir dianggap kurang sopan, sebenarnya ingin kutanggalkan
baju luar sekalian agar dapat bergerak lebih leluasa."
Sih Ih-jin termenung sejenak, katanya kemudian. "Jika demikian,
bukankah kau sendiri telah mengikat dirimu dalam keadaan 'takkan
menang'?" "Tapi 'tidak kalah' kan sama juga dengan 'menang', jadi
harapanku hanya memperoleh kemenangan dalam keadaan 'tidak
kalah." "Kau yakin pasti tidak akan kalah?" tanya Sih Ih-jin dengan sinar
mata gemerlap. "Ketika menghadapi beberapa lawan yang lihai dulu, mana
Cayhe berani yakin pasti akan menang?" jawab Coh Liu-hiang
144 dengan tersenyum. Sih Ih-jin tertawa terbahak-bahak, begitu berhenti tertawa,
dengan suara bengis ia lantas membentak, "Baik, silakan bersiap
untuk menghindar!" Tidak perlu disuruh lagi, dengan sendirinya Coh Liu-hiang sudah
bersiap sejak tadi, sebab sejak ia mulai bicara, sejak itu pula dia
sudah mulai dalam keadaan 'darurat perang', dan apa yang
diucapkannya itu setiap katanya juga mempunyai tujuan, cara
bicaranya itupun semacam siasat perang.
Ia pun tahu bilamana pedang Sih Ih-jin sudah mulai menyerang ,
maka cepatnya pasti laksana kilat menyambar dan sukar dielak.
Maka sebelum pedang Sih Ih-jin bergerak, lebih dulu tubuh Coh Liuhiang
mulai bergeser. Pada saat itulah sinar pedang menyambar secepat kilat, hanya
dalam sekejap saja bagian pundak, dada dan pinggang Coh Liuhiang
sudah ditusuk enam kali. Gerakan pedang Sih lh-jin tampaknya tiada sesuatu yang
istimewa, tapi cepatnya sukar dibayangkan, enam kali tusukan itu
seolah-olah dilakukan oleh enam pedang sekaligus. Untung
sebelumnya Coh Liu-hiang sudah bergerak lebih dahulu, dengan
demikian dapatlah serangan-serangan itu terhindarkan.
Akan tetapi serangan Sih Ih-jin mirip gelombang samudra
bergulung-gulung, baru habis serangan tadi, menyusul enam kali
tusukan dilontarkan pula, sama sekali tidak memberi kesempatan
bernapas bagi lawannya. Meski Ginkang Coh Liu-hiang tiada bandingannya, tetapi
menghadapi serangan kilat Sih Ih-jin yang sambung-menyambung
itu, sudah beberapa kali ia menghadapi bahaya maut. setiap kali
pedang lawan seolah-olah menyerempet lewat, namun tajam pedang
orang dapat dirasakannya, bilamana terlambat sedetik sa ja, maka
akibatnya sukar dibayangkan.
Tanpa berkedip Coh Liu-hiang terus mengikuti gerakan pedang
Sih Ih-jin, agaknya dia ingin menyelami gerak perubahan dan cara
serangan Sih Ih-jin. 145 Waktu untuk belasan kalinya Sih Ih-jin melontarkan serangan
berantai, sekonyong-konyong Coh Liu-hiang bersuit panjang terus
meloncat ke atas, waktu tusukan pedang Sih lh-jin tiba, lebih dulu dia
sudah melayang jauh ke sana.
Ketika Sih Ih-jin memburu maju dan melancarkan serangan lagi,
namun Coh Liu-hiang sudah melayang ke atas jembatan kecil, sekali
kakinya menutul, segera ia melayang lagi ke atas gunung-gunungan.
Untung pekarangan taman ini sangat luas, begitu Coh Liu-hiang
mulai mengeluarkan Ginkangnya, seperti burung terbang saja ia
melayang kian kemari dari satu tempat ke tempat lain.
Hanya sekejap saja tak terlihat lagi, yang tertampak cuma
sesosok bayangan berlompatan naik turun di depan sana, di
belakangnya menyusul selarik cahaya mengkilat terus
membayanginya. Berbareng itu terdengar pula suara gemerisik yang
ramai, daun pohon sama rontok seperti hujan.
Baru sekarang Sih Ih-jin tahu Ginkang Coh Liu-hiang memang
sukar ditandingi siapa pun juga. Sih lh-jin sendiri selain terkenal ilmu
pedangnya yang nomor satu, juga Ginkangnya tidak kurang
hebatnya, tapi sekarang ia merasakan agak payah, terutama
matanya. Maklumlah, kalau usia sudah lanjut, mau tak mau ketajaman
mata akan mundur juga. Betapapun Sih Ih-jin juga manusia, kini
dirasakannya setiap benda di tengah taman itu seolah-olah sedang
bergerak menari-nari tiada hentinya.
Seorang kalau melarikan kudanya dengan cepat menyusur
hutan, tentu akan terasa pepohonan di kedua sisinya seakan-akan
menyambar dari depan. Sekarang gerak tubuh Sih Ih-jin secepat
terbang, dengan sendirinya timbul juga perasaan serupa itu. Cuma ia
pun yakin Coh Liu-hiang pasti juga mempunyai perasaan sama
seperti dia, bukankah Coh Liu-hiang juga manusia, tentu tidak
terkecuali. Cara bertempur Coh Liu-hiang ini tak menurut aturan yang layak,
namun sebelumnya sudah dikatakannya bahwa dia hanya main
menghindar saja, maka Sih Ih-jin juga tak dapat menyalahkan dia.
146 Dalam pada itu terlihat Coh Liu-hiang sedang menyelinap masuk
ke tengah-tengah apitan dua pohon. Di luar dugaan, antara dua
pohon itu masih ada lagi satu batang, jadi tiga pohon berdiri dalam
bentuk segitiga, bayangan gelap kedua pohon yang di depan telah
menutupi pohon yang ketiga sehingga tidak kelihatan sebelum


Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendekat. Jika dalam keadaan biasa tentu Coh Liu-hiang dapat melihatnya,
tapi sekarang gerak tubuhnya teramat cepat, waktu mengetahui di
depan mengalang sebatang pohon lagi, tahu-tahu ia sudah
menerjang ke batang pohon itu. Ingin menahan diri sudah tidak
keburu lagi. Keruan Sih Ih-jin kegirangan, cepat pedangnya menusuk. Bila
tubuh Coh I iu-hiang tertumbuk batang pohon, jelas sukar baginya
untuk menghindarkan serangan Sih lh-jin itu, apa lagi seumpama dia
sempat menahan diri dan menyurut mundur, tentunya punggungnya
akan tertembus oleh pedang lawan.
Rupanya Sih Ih-jin juga yakin serangan pasti akan berhasil. Jika
pertarungan ini berlangsung dalam keadaan biasa, bisa jadi akan
timbul rasa sayangnya terhadap bakat Coh Liu-hiang sehingga cara
turun tangannya mungkin akan lebih ringan. Tapi sekarang segala
sesuatu terjadi dengan sangat cepat hakikatnya tiada waktu baginya
untuk berpikir, tahu-tahu pedangnya sudah menusuk ke depan. Dan
kalau pedangnya sudah berjalan, maka sukarlah untuk ditarik
kembali. "Cret", pedang telah menembus...... tapi bukan punggung Coh
Liu-hiang yang tertembus melainkan batang pohon..
Kiranya gerakan Coh Liu-hiang itu hanya pancingan belaka.
Betapa cepat gerak tubuhnya sungguh sukar untuk dibayangkan
oleh siapa pun juga. Waktu tubuhnya sudah hampir menumbuk
pohon, pada detik terakhir itulah mendadak tubuhnya menyurut,
kakinya memancal batang pohon, ia terguling ke sana.
Ia pun mendengar suara "cret" tadi, ia tahu pedang lawan sudah
menusuk batang pohon. Itulah pohon cemara yang sangat keras,
bilamana pedang menancap di batang pohon, jelas tak dapat dicabut
kembali begitu saja, pasti akan membuang tenaga dan makan waktu
147 pula. Apabila pada saat demikian Coh Liu-hiang menubruk maju lagi
dan turun tangan, pasti Sih Ih-jin tak dapat mengelak, sebab dia pasti
belum sempat mencabut kembali pedangnya. Dan Sih Ih-jin tanpa
pedang tentu tidak menakutkan lagi.
Namun Coh Liu-hiang tidak berbuat demikian, ia hanya berdiri
diam saja disamping sambil memandang Sih Ih jin.
Ternyata Sih Ih-jin tidak lantas mencabut pedangnya dan tidak
menyerang pula. Yang dipandangnya adalah pedang yang tergigit
oleh batang pohon, sampai lama ia memandang, akhirnya ia berkata
dengan tertawa. "Nyata kau memang mempunyai jalan untuk
mencapai kemenangan, kau benar-benar tidak terkalahkan".
Bahwasanya Sih Ih-jin mengakui Coh Liu-hiang tidak kalah ini
sama halnya dia mengakui Coh Liu-hiang telah menang
Sih Ih-jin termasyhur sebagai jago pedang nomor satu di dunia,
selama hidup belum pernah ketemu tandingan. Tapi sekarang kalah
menang hanya diterimanya dengan tertawa saja, kebesaran jiwa dan
kelapangan dadanya sungguh harus dipuji.
Mau tak mau Coh Liu-hiang merasa kagum juga di dalam hati,
ucapnya kemudian dengan hormat, "Meski Cayhe belum
terkalahkan, tapi Cianpwe juga tidak kalah."
"Kau tak kalah kan boleh dikatakan sudah menang, sebaliknya
kalau aku tidak menang akan berarti sudah kalah, sebab cara yang
kita gunakan memang berbeda kata," Sih Ih-jin.
"Sekali-kali Cayhe tidak berani bilang 'sudah menang', sebab
Cayhe telah menarik keuntungan atas diri Cianpwe."
"Sebenarnya aku sendiri pun tahu, betapapun aku tetap tertipu
olehmu," ujar Sih Ih-jin dengan tertawa, lalu ia menyambung pula.
"Sebelumnya aku telah siap siaga menghadapimu di sini, takkala
mana baik tenaga maupun pikiranku telah berada di dalam
puncaknya, laksana busur sudah terpentang dan siap dibidikkan."
"Maka Cayhe sama sekali tidak berani bergebrak dengan
148 Cianpwe pada saat itu," kata Coh Liu-hiang.
"Tapi kau sengaja mengajak bicara dulu padaku untuk
memencarkan semangat dan perhatianku, lalu memakai kata-kata
sanjungan untuk membikin senang hatiku, setelah timbul kesan
baikku padamu, dengan sendirinya semangat tempurku sudab mulai
buyar," setelah tersenyum, lalu Sih lh-jin melanjutkan,
"Yang kau gunakan adalah akal bagus dalam ajaran siasat
militer buah pikiran Sun-cu, bahwa sebelum pertempuran terjadi
harus berusahalah agar semangat tempur prajurit lawan patah dan
runtuh. Kemudian kau telah menguras tenagaku dengan Ginkang
andalanmu, paling akhir kau gunakan juga akal memancing musuh
masuk ke dalam perangkap. Padahal ilmu pedang adalah
pertarungan satu lawan satu, siasat perang total, pantas kau tidak
pernah kalah dalam pertempuran, sampai-sampai tokoh kelas wahid
seperti Swe lt-hoan, Ciok Koan-im, Sin-cui Kiongcu dan lain-lain juga
bukan tandinganmu." Coh Liu-hiang meraba hidungnya dengan likat, ucapnya dengan
tersenyum. "Cayhe sungguh merasa malu......."
"Apa yang menjadikan kau malu" Pertarungan antara dua jagoan
top adalah seperti peperangan dua negara, jika dapat mengalahkan
lawan dengan tipu akal yang bagus, itulah baru cara seorang
panglima sejati, kenapa kau bilang malu" Apalagi betapa tinggi
Ginkangmu juga kukagumi lahir batin."
"Kelapangan dada dan kebesaran jiwa Cianpwe sungguh
membuat Cayhe tunduk benar-benar, sesungguhnya sama sekali
tiada maksud Cayhe hendak menantang Cianpwe, pertempuran ini
hanya karena terpaksa saja."
"Sebenarnya akulah yang salah menuduhmu," ujar Sih Ih-jin
dengan menghela napas gegetun. "Sekarang aku harus pahami
bahwa kau sama sekali bukan si pencuri pedang dan penyergap itu,
sebab kalau tidak, waktu serangan ku meleset dan pedangku
menancap di pohon, tentu kesempatan mana takkan kau sia-siakan."
"Kedatanganku ini bukan saja ingin memberi penjelasan kepada
Cianpwe, tetapi juga sekaligus ingin melihat kehebatan ilmu pedang
Cianpwe, sebab sebegitu jauh kurasa ilmu pedang si pembunuh
149 gelap itu mempunyai gaya dan cara yang sama dengan Cianpwe "
"O, ya?" tergerak juga Sih Ih-jin.
"Cepat atau lambat rasanya tak terhindar lagi harus kutempur
pembunuh gelap itu, pertempuran mana akan sangat besar artinya
dan menentukan segalanya, sama sekali aku tak boleh kalah,
makanya ingin ku belajar kenal dulu dengan ilmu pedang Cianpwe
untuk kugunakan sebagai cermin."
"Ehm, aku menjadi ingin tahu wajah asli orang itu......."
"Tapi kukira orang itu takkan berani memperlihatkan diri di
hadapan Cianpwe," kata Coh Liu-hiang. "Sebab apa?" tanya Sih lhjin.
"Memangnya kau kira orang itu ada sesuatu sangkut-pautnya
dengan diriku?" Air mukanya menampilkan rasa sangsi dan kualir,
namun Coh Liu-hiang tetap tidak mau memberi jawaban pasti atas
pertanyaannva, ia malah menengadah memandang sekelilingnya,
seakan-akan merasa tertarik oleh suasana sekitar ini.
Tempat ini adalah sebuah taman yang sunyi dengan pepohonan
yang rindang, kebanyakan adalah pohon-pohon tua yang sudah
berumur ratusan tahun, dahannya tinggi, juga rumah dan pagar
tembok dibangun lebih tinggi daripada rumah umumnya, juga bukan
tempat sembunyi yang baik, sekalipun jagoan yang memiliki Ginkang
tinggi juga tak dapat pergi datang sesukanya, apalagi di sini adalah
tempat tinggal Sih lh-jin, si jago pedang nomor satu di dunia.
Setelah berpikir sejenak, kemudian Coh Liu-hiang berkata pula,
"Jika aku, jelas aku tak berani melakukan tindakan kekerasan di sini
kecuali sebelumnya sudah kuatur jalan untuk kabur."
Diketahuinya di pojok pagar taman sana ada sebuah pintu kecil,
pagar tembok penuh dirambati akar-akaran yang sudah setengah
kering, sebab itulah pintu kecil ini sebagian besar tertutup oleh akarakaran
itu, kalau tidak diperhatikan, sukar untuk mengetahui pintu
ini. Segera Coh Liu-hiang mendekati pintu itu, gumamnya, "Apakah
ini pintu yang digunakannya untuk kabur?"
"Pintu ini selalu tergembok, malah sudah beberapa tahun tak
150 pernah dibuka," kata Sih lh-jin.
Memang benar, palang pintu yang terbuat dari besi itu tampak
sudah karatan, itulah tandanya sudah lama sekali tak pernah dibuka.
Tapi kalau diteliti secara cermat tentu akan diketahui sebagian karat
pada palang besi telah terkelupas dan rontok di tanah, dari bekasnya
jelas kelupasan baru, Coh Liu-hiang memungut secuil rontokan karat
besi itu, katanya setelah berpikir sejenak, "Apakah tempat ini sering
dibersihkan?" "Setiap hari tentu disapu." kata Sih Ih-jin. "Cuma.....cuma selama
dua hari ini karena....."
"Karena selama dua hari ini selalu disibukkan menangkap
penyatron, dengan sendirinya lupa membersihkan halaman sehingga
karat besi inipun tidak tersapu, begitu bukan?" tukas Coh Liu-hiang
dengan tertawa. "Karat besi apa maksudmu?" tanya Sih Ih-jin.
"Daun pintu ini jelas baru saja dibuka orang, makanya karat besi
pada gembok dan palang pintu ini terkelupas dan jatuh di tanah,"
kata Coh Liu-hiang. "Tapi pagi kemarin dulu, halaman ini jelas telah disapu oleh si
Lau Li yang biasanya bekerja sangat teliti, tempat yang sudah
disapu, tidak mungkin meninggalkan kotoran apapun," kata Sih Ih-jin.
"Sebab itulah daun pintu ini pasti dibuka orang setelah halaman
ini dibersihkan Lau Li, mungkin hal ini terjadi pada malam harinya,"
ujar Coh Liu-hiang. Tergerak hati Sih Ih-jin. katanya, "Jadi maksudmu......."
"Maksudku, si pembunuh gelap itu mungkin menyelinap masuk
dari pintu ini, lalu kabur lagi melalui pintu ini pula."
Air muka Sih Ih-jin tambah prihatin, ia mondar-mandir pelahan
sambil menggendong tangan, katanya kemudian, "Padahal pintu ini
sudah lama tak terpakai, orang yang kenal pintu inipun tidak
banyak......" 151 Coh Liu-hiang meraba hidung pula, entah apa yang dipikirnya.
Sesudah berdiam agak lama baru Sih Ih-jin menyambung pula,
"Jelas Ginkang orang itu sangat tinggi, dia dapat pergi datang tanpa
diketahui orang lain, untuk apa dia mesti melalui pintu ini?"
"Justru tiada seorang pun yang menyangka dia akan keluar
masuk melalui pintu ini, makanya dia sengaja memakai pintu ini
untuk masuk secara diam-diam dan keluar lagi dengan aman."
"Dan sekarang pintu ini sudah tergembok lagi."
"Ya, di sinilah letak keanehannya."
"Sesudah kabur, masakah dia berani kembali ke sini untuk
menggembok pintu?" Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Bisa jadi dia merasa yakin
dapat menghindari mata telinga orang lain."
"Memangnya dia anggap orang-orang yang berada di sini orang
buta semua." "Mungkin dia mempunyai cara yang khas."
"Cara apa" Memangnya dia memiliki ilmu menghilang?" ujar Sih
Ih-jin. Coh Liu-hiang tidak menanggapi lagi, dia sedang memperhatikan
gembok pintu. Tiba-tiba ia mengeluarkan seutas kawat yang agak
panjang, kawat itu dimasukkan ke lubang gembok, lalu diputarnya
pelahan, "klik", tahu-tahu gembok itu dapat dibukanya.
"Aku pun tahu gembok ini tak dapat merintangi penyatron malam
yang berpengalaman, yang kuharapkan cukup menjaga keamanan
saja," kata Sih Ih-jin sambil mendorong daun pintu itu, lalu
menyambung pula, "Apakah Hiang-swe bermaksud melongok
halaman di sebelah?"
"Ya, maksudku juga demikian, harap Cianpwe sudi mengantar,"
kata Coh Liu-hiang. Agaknya dia sangat berminat terhadap gembok
yang sudah karatan itu, pada saat Sih Ih-jin melangkah masuk ke
152 halaman sebelah, di luar tahu tuan rumah itu, dia terus masukkan
gembok itu ke dalam bajunya.
Dilihatnya halaman sebelah juga sangat sunyi, bangunan yang
ada juga tidak banyak, namun daun kering tampak memenuhi
halaman, debu juga menumpuk di kusen jendela, semua itu
menambah beningnya suasana.
Setelah memandang debu dan daun yang memenuhi halaman,
air muka Sih Ih-jin tampak mengunjuk rasa marah. Maklumlah,
melihat keadaan yang kotor ini, siapa pun dapat menduga sedikitnya
sudah dua-tiga bulan halaman ini tidak pernah di sapu.
Diam-diam Coh I iu-hiang merasa geli, pikirnya, "Rupanya kaum
budak Sih-keb-ceng juga sama dengan hamba keluarga lain, cara
kerjanya hanya giat di depan sang majikan saja."
Waktu ini ada angin meniup santer sehingga daun kering
bertebaran dan menerbitkan suara gemerisik.
"Apakah halaman ini memang kosong?" tanya Coh Liu-hiang.
"Di sini sebenarnya adalah tempat tinggal saudaraku Siau-jin,"
tutur Sih Ih-jin. "Dan sekarang?" tanya Coh Liu-hiang pula.
"Sekarang...... ai memang saudaraku itu kurang rapi dalam soalsoal
kecil begini, makanya kaum hamba juga berani teledor."
Ucapan Sih Ih-jin ini cukup taktis, tapi juga menerangkan tiga hal.
Yakni, pertama membuktikan Sih Siau-jin masih bertempat tinggal di
sini. Kedua, kaum hambanya tidak mengindahkan 'Sih-jiya' yang
sinting ini, maka tempat tinggalnya tidak mendapat perhatian kaum
budaknya. Ketiga, secara tidak langsung Sih Ih-jin seakan-akan
menjelaskan hubungan renggang antara mereka bersaudara, sebab
kalau dia sering berkunjung ke sini, mustahil kaum budak itu berani
meremehkan tempat ini" Pula daun pintu itu tidak mungkin
tergembok serapat itu. "Mungkin akhir-akhir ini Sih-jiya jarang berdiam di sini?" kata Coh
Liu-hiang dengan sorot mata tajam.
153 Sih Ih-jin tidak menjawab, dia hanya menghela napas menyesal
saja. Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara ribut di
luar, ada orang berteriak kaget. "Ha, api,,,,,, istal kuda terbakar....... "
Meski Sih Ih-jin seorang yang sabar, tidak urung naik pitam juga
sekarang, Jengeknya, "Hm, bagus, bagus sekali. Kemarin dulu ada
pencuri pedang, kemarin ada pembunuh gelap, sekarang ada orang
membakar lagi. Apa barangkali aku Sih Ih-jin benar-benar sudah tua
dan loyo?" Cepat Coh Liu-hiang menghiburnya, "Ah, di musim kering,
kurang hati-hati sedikit tentu mudah menimbulkan kebakaran,
apalagi istal kuda biasanya banyak tertimbun jerami dan rumput
kering......." Meski begitu ucapannya, tapi diam-diam Coh Liu-hiang sudah
tahu siapa yang berbuat. Jelas itulah buah tangan Siau-hwe-sin.
Mungkin pemimpin Kay-pang kelompok Siong-kang-hu itu
merasa kuatir atas diri Coh Liu-hiang yang sudah sekian lama masuk
ke rumah Sih Ih-jin dan belum nampak keluar, tentu saja ia tidak
dapat tinggal diam lagi dan terpaksa mulai bertindak.
Sih Ih-jin tersenyum hambar tanpa menanggapi ucapan Coh Liuhiang
tadi.

Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saat itu kembali ada suara jeritan kaget orang ramai. "He,
dapur juga terbakar, lekas dipadamkan........ Hm, itulah dia keparat
yang membakar halaman belakang sana, lekas kejar!"
Rupanya tehnik membakar Siau-hwe-sin tidak terlalu tinggi
sehingga jejaknya ketahuan musuh. Diam-diam Coh Liu-hiang
menghela napas gegetun, dilihatnya air muka Sih Ih-jin pucat-pasi,
mungkin karena geramnya. Agaknya dia ingin mengejar si penyatron
itu, tapi tidak enak meninggalkan Coh Liu-hiang di sini sendirian.
Waktu mereka memandang ke balik pagar tembok sana,
tertampak api sudah mulai berkobar. Tiba-tiba terkilas sesuatu
pikiran dalam benak Coh Liu-hiang, katanya. "Silakan Cianpwe
memadamkan kebakaran itu, biarlah Cayhe tunggu di sini, bisa jadi
sebentar Sih-jihiap akan pulang dan dapat kuajak mengobrol dia."
154 "Jika begitu, maaf, aku tidak menemanimu lagi." kata Sih Ih-jin,
cepat ia melangkah keluar, tapi baru dua-tiga tindak, mendadak ia
berpaling dan berkata pula, "Apabila terjadi saudaraku kurang adat,
Hiang-swe tidak perlu sungkan-sungkan padanya, silakan engkau
memberi hajaran saja."
Coh Liu-hiang tidak menjawabnya, ia hanya tersenyum saja,
senyuman yang sangat misterius.
******* Tempat tinggal Sih Siau-jin ini serupa benar dengan sang kakak,
bedanya cuma dimana-mana penuh debu dan tidak pernah
dibersihkan. Pintu rumah juga tertutup rapat, bahkan pada gelang
pintu diikat dengan sepotong tali.
Padahal jika ada orang ingin masuk ke situ, biarpun diikat
sepuluh tali juga tiada gunanya. Ikatan tali itu tidak lebih hanya
sebagai petunjuk saja, apakah ada orang masuk secara diam-diam
atau tidak. Dengan sendirinya Coh Liu-hiang tahu arti pemberian tali
itu. Untuk sejenak ia berdiri diam sambil mengawasi tali pengikat
pintu, akhirnya ia membukanya. Tapi dia tidak segera melangkah
masuk. Daun pintu berkeriat-keriut tertiup angin, di dalam rumah
sangat gelap, cahaya matahari tak dapat menyorot ke dalam rumah
karena terhalang oleh tembok yang tinggi dan ke teduhan
pepohonan. Coh Liu-hiang menunggu setelah matanya dapat menyesu aikan
keadaan yang gelap itu, barulah mulai melangkah masuk ke dalam,
langkahnya sangat lambat dan hati-hati.
Mungkinkah dia anggap rumah ini sangat berbahaya" Memang
betul, terkadang 'orang gila' memang sangat berbahaya, tapi tempat
tinggal orang gila masakah juga berbahaya"
Akhirnya Coh Liu-hiang terbelalak melihat keadaan di dalam
rumah itu. Siapa pun, apabila sudah masuk ke rumah ini dan bermaksud
155 mentari Sih Po-po, tentu akan mendadak mengira dirinya kesasar.
Sebab dari keadaan di dalam rumah ini hakikatnya tidak mirip tempat
tinggal orang lelaki. Di pojok sana ada sebuah meja rias yang sangat besar, di atas
meja rias tertaruh bermacam-macam benda dan hampir semuanya
adalah barang keperluan bersolek orang perempuan. Di atas
ranjang, di atas kursi, juga tertaruh macam-macam pakaian yang
beraneka warna, semuanya bermotif bunga yang berwana-warni,
mungkin anak perempuan saja jarang ada yang berani memakai kain
baju macam begini. Apabila yang bertempat tinggal di sini adalah orang perempuan,
maka perempuan ini pun pasti ada sesuatu yang tidak beres, apalagi
yang tinggal di sini adalah seorang lelaki, lelaki yang sudah berumur
empat puluh tahun lebih. Dengan sendirinya lelaki ini adalah seorang gila dan tidak perlu
disangsikan lagi. Seketika sorot mata Coh Liu-hiang menjadi guram
pula. Ia coba mengitari ruangan rumah dan meneliti setiap benda.
Tiba-tiba ia menemukan bahwa Sih Po-po adalah seorang yang
rajin, semua barang yang dipakainya di sini adalah barang pilihan
yang mahal, kwalitas bajunya juga tergolong yang paling baik,
bahkan semuanya serba bersih. Meski hampir semua barang di
dalam rumah ini tertaruh begitu saja seperti tidak teratur, tapi
semuanya resik, apik dan bagus.
Lantas siapakah yang membersihkan tempat ini" Jika ada orang
membersihkan rumahnya, mengapa tiada orang membersihkan
halaman rumah" Mendadak sorot mata Coh Liu-hiang mencorong terang. Pada
saat itulah mendadak terdengar suara gemerasak di atap rumah,
Coh Liu-hiang terkejut, tanpa pikir ia mengayun tangannya, sebatang
tusuk kundai segera menyambar ke atas.
Tusuk kundai itu tadinya berada di atas meja rias, Coh Liu-hiang
sedang mengamat-amatinya, sekarang mendadak disambitkannya,
"cret", tusuk kundai menancap di langit-langit rumah.
Anehnya mendadak terdengar suara mencicit yang mengerikan
156 di atas langit-langit rumah itu, langit-langit rumah itu terbuat dari
papan sehingga mirip loteng, cuma tiada tangga dan sesuatu lubang.
Tusuk kundai yang menancap di papan langit langit itu nampak
gemerdap. Dengan enteng Coh Liu-hiang melayang ke atas, dan menempel
di langit-langit, menempel rata seperti lengket di situ, dengan
pelahan ia cabut tusuk kundai itu, maka dilihatnya setitik darah ikut
menetes keluar melalui lubang kecil itu, darah itu ke hitam-hitaman
seperti tinta, bahkan membawa semacam bau busuk yang sukar
dilukiskan. "Ah, kiranya seekor tikus," gumamnya dengan tertawa. Akan
tetapi tikus ini telah banyak membantunya. Ia bersihkan darah yang
merembes keluar itu, lalu ia mengetuk pelahan langit-langit rumah
dengan tusuk kundai itu. Dengan sendirinya langit-langit rumah itu
kosong bagian atasnya. Seperti seekor cecak saja Coh Liu-hiang menggeser ke pinggir
sana, mendadak sebelah tangannya menolak langit-langit atap itu,
sepotong papan lantas terangkat ke atas dan tertampaklah sebuah
lubang masuk yang gelap, dengan gesit Coh Liu-hiang lantas
menyusup ke atas loteng itu.
Suara gempar di luar sana sementara itu sudah mulai reda. Tapi
Coh Liu-hiang rada kecewa melihat keadaan di atas loteng itu,
ternyata tiada sesuatu rahasia yang ditemukannya, yang ada di situ
hanya sebuah bangku dan sebuah peti baju. Peti yang su dah amat
tua, seperti barang yang sudah lama disingkirkan oleh pemiliknya.
Tapi waktu Coh Liu-hiang merabanya, peti itu ternyata sangat bersih,
tiada berdebu sedikitpun. Inilah penemuan yang menarik.
Cepat ia membuka peti itu, ternyata isinya cuma beberapa
potong baju yang sangat umum, tiada sedikitpun tanda-tanda yang
aneh pada baju-baju ini, siapa pun pasti tidak heran melihat baju
demikian. Akan tetapi Coh Liu-hiang harus dikecualikan mungkin karena
baju-baju ini terlalu biasa, terlalu umum makanya membuat Coh Liuhiang
terheran-heran. Mengapa di atas loteng tempat tinggal
seorang gila bisa tersimpan baju yang biasanya dipakai. Dan kalau
baju-baju ini sudah biasa dipakai, mengapa disimpan di atas loteng,
157 padahal peti baju ini tiada berdebu sedikitpun.
Coh Liu-hiang manaruh kembali baju-baju itu ke dalam peti dan
ditutupnya lagi, lalu ia memberosot keluar melalui lubang loteng tadi
dan merapatkan papannya, ia coba memandangnya dari bawah,
jelas tiada tanda-tanda pernah disentuh orang.
Lalu ia menaruh kembali tusuk kundai tadi di meja rias, kemudian
keluar dan merapatkan pintu, diikatnya kembali daun pintu dengan
tali. Sementara itu cahaya api di luar sana sudah berubah menjadi
kepulan asap, agaknya api sudah berhasil dipadamkan. Di luar
halaman sana terdengar suara orang berseru memanggil, ada orang
datang mencari Coh liu-hiang.
Cepat Coh Liu-hiang melompat ke atas, dengan enteng dia
melayang ke wuwungan dan mendekam di situ.
Didengarnya ada dua orang berlari datang, seorang sedang
memanggil, "Coh-tayhiap, Cengcu mengundang engkau minum teh
di ruangan depan." Tapi seorang lagi menanggapi, "Jelas orang sudah pergi apa
gunanya kau berkaok-kaok di sini?"
Orang pertama tadi agaknya menjadi ragu, omelnya kemudian,
"Masa dia pergi tanpa pamit, jangan-jangan Sih-jiya kita yang
menyeretnya pergi." Orang kedua lantas menanggapi dengan tertawa, "Kedatangan
orang she Coh ini hanya menimbulkan gara-gara saja, sehingga dua
hari kita tak dapat tidur nyenyak, jika dia kena dikerjai Jiya, barulah
tahu rasa." Coh Liu-hiang mendengarkan percakapan mereka dengan
mendongkol. Sesudah kedua orang itu pergi, cepat ia membuka
beberapa genteng, dari situ ia menyusup masuk lagi ke atas loteng
tadi. Ia menemukan bangkai tikus tadi dan disingkirkannya ke pojok
sana, ia robek ujung bajunya untuk mengusap lantai loteng hingga
bersih. 158 Maka tertampaklah lubang kecil yang ditembus tusuk kundai tadi,
ia mendekam di situ dan mengintip ke bawah melalui lubang kecil
tadi, kemudian ia gunakan kawat pembuka gembok tadi untuk
memperbesar lubang itu. Selesai bekerja, dengan rileks ia berbaring
di situ, ia meraba hidungnya dengan tersenyum agaknya ia merasa
sangat puas terhadap segala apa yang telah dikerjakannya itu.
Entah sudah berapa lama pula, pintu di bawah mendadak
berbunyi, cepat Coh Liu-hiang terjaga, ia membalik tubuh pelahan
dan mengintip ke bawah melalui lubang kecil itu. Sebelumnya ia
sudah memperhitungkan letaknya sehingga lubang yang kecil ini
cukup digunakan untuk mengintip segala gerak-gerik orang yang
masuk ke dalam rumah. Ia lihat yang masuk itu memang betul Sih Po-po adanya. Mulamula
si sinting itu menguap ngantuk, lalu menggeliat seperti orang
sakit pinggang, kemudian punggung diketuk-ketuk dengan kepalan
sambil mondar-mandir di dalam rumah seperti mengendurkan otot.
Kecuali bajunya yang tidak layak itu, kalau melihat gerakgeriknya
sekarang jelas tiada sesuatu tanda orang gila. Apakah
orang gila kalau sudah berada di tempat tinggalnya lantas berubah
menjadi normal kembali" Apakah kebanyakan orang gila di dunia ini
baru akan kumat penyakit gilanya bilamana bertemu dengan orang
lain" Coh Li-hiang sangat tertarik oleh semua ini, maklum meski
banyak pengetahuannya dan luas pengalamannya, tapi belum di
ketahuinya apa yang dilakukan seorang gila bilamana berada
sendirian. Dilihatnya Sih Po-po sedang mengitar kian kemari, kemudian ia
duduk di depan meja rias dan termangu mangu memandang cermin
perunggu, lalu tusuk kundai tadi diambilnya dan diendus-endus, ia
mencibir terhadap cermin sambil bergumam. "Hm, pencuri sialan,
memangnya apa yang ingin kaucuri?"
Nyata dia telah mengetahui ada orang masuk ke rumahnya.
Diam-diam Coh L.u-hiang merasa senang seperti anak sekolah
dasar yang berhasil memecahkan soal berhitung yang sulit. Di luar
dugaan baru saja ia mengedip, tahu-tahu Sih Po-po sudah
menghilang. 159 Entah sengaja atau tidak, mendadak Sih Po-po telah menyelinap
ke pojok, yang sukar dipandang Coh Liu-hiang. Walaupun begitu
Coh Liu-hiang dapat mendengar suara berkeriut pada lantai di
bawah. Apa yang sedang dilakukan Sih Po-po" Bila orang lain tentu
akan menunggu lagi, tapi Coh Liu-hiang tidak sabar lagi, ia sudah
lama menunggu dan kesempatan sekarang tidak boleh disia-siakan.
Sekali menarik papan lubang loteng, secepat angin ia terus
melompat turun. Jika terlambat satu langkah saja, mungkin sukar lagi bagi Coh
Liu-hiang untuk menemukan Sih Po-po. Kiranya di belakang meja
rias itu ada sebuah jalan rahasia bawah tanah dan Sih Po-po sudah
hampir menerobos ke situ.
"Eh, ada tamu masa tuan rumahnya malah tinggal pergi begitu
saja?" demikian Coh Liu-hiang menegur dengan tertawa.
Sih Po-po menoleh, melihat Coh Liu-hiang, seketika ia
berjingkrak gusar dan mengomel, "Tamu" Kau terhitung tamu apa"
Kau penipu, pencuri....... " Sebenarnya ia memegang sesuatu benda
gepeng entah apa, pada saat menoleh itulah dengan cepat benda itu
lantas disimpannya di dalam baju.
Coh Liu-hiang pura-pura tidak melihat, ia tetap tersenyum dan
berkata, "Apapun juga, yang jelas aku tidak berbuat sesuatu
kesalahan dan berdosa, maka juga tidak perlu masuk ke lorong
bawah tanah." Mendengar itu, kemudian Sih Po-po berjingkrak gusar, teriaknya.
"Aku menerobos ke lorong bawah tanah untuk mencari kawan,
peduli apa dengan kau?"
"O, menyusup ke terowongan situ untuk mencari kawan" Kiranya
kawanmu tinggal di bawah tanah?"
"Ya, memang, kau mau apa?" jawab Sih Po-po. "Hanya kelinci
saja yang tinggal di terowongan bawah tanah semacam ini, apakah
kawanmu itu kelinci?"
160 "Memang betul, kelinci jauh lebih menyenangkan daripada
manusia, mengapa aku tidak boleh berkawan dengan mereka?" kata
Sih Po-po dengan melotot.
"Betul juga," ujar Coh Liu-hiang sambil menghela napas gegetun.
"Berkawan dengan kelinci paling tidak takkan berbahaya, cara
bagaimana kita akan berpura-pura gila pasti takkan diperdulikan oleh
kelinci." Sih Po-po tidak marah, sebaliknya ia terus bergelak tertawa dan
berkata, "Bagus, bagus, kiranya kau pun suka berkawan dengan
kelinci, hayo, marilah lekas ikut bersamaku." Berbareng ia terus
melompat maju hendak menarik tangan Coh Liu-hiang.
Sudah tentu Coh Liu-hiang tak dapat diakali untuk kedua kalinya,
dengan enteng ia mengegos ke samping Sih Po-po katanya dengan
tertawa, "Aku tidak membunuh orang dan juga tidak pura-pura gila,
untuk apa harus berkawan dengan kelinci?"
"Apa katamu" Aku tidak paham?" tanya Sih Po-po sambil
tertawa. Coh Liu-hiang memandangnya tajam-tajam, katanya tegas, "Kau
tidak perlu pura-pura gila lagi, aku sudah tahu siapakah engkau."
"Sudah tentu kau tahu siapa diriku!" seru Sih Po-po sambil
bergelak tertawa. "Aku ini Sih-Jiya dari Sih-keh-ceng, adik kandung
si jago pedang nomor satu di dunia, si anak ajaib, anak jenius."
"Ya, kecuali itu, kau pun si pembunuh berdarah dingin nomor
satu di dunia," tukas Coh Liu-hiang.
"Pembunuh?" Sih Po-po menegas, "Pembunuh apa" Memang
barusan aku telah membunuh seekor ayam."
Coh Liu-hiang tidak pedulikan dia meski orang berlagak pilon, ia
berkata pula dengan pelahan, "Begitu masuk ke rumah segera kau


Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu, ada orang masuk ke sini, sebab meski barang-barang ini
tampaknya tertaruh secara semrawut, tapi sebenarnya sudah kau
atur sedemikian rupa sehingga sedikit digeser orang saja segera
akan ketahuan. Kau pun yakin kecuali diriku, tiada orang lain yang
menaruh curiga padamu, sebab itulah, begitu diketahui ada orang
161 masuk ke sini dengan segera kau teringat padaku."
"Ya, sebabnya lantaran sudah kuketahui kau ini bukan cuma
penipu saja, bahkan juga pencuri," kata Sih Po-po.
"Rumah ini meski tampaknya seperti tempat tinggal seorang gila,
padahal banyak lubang-lubang kelemahannya dan tidak nanti dapat
Pendekar Bayangan Setan 14 Amanat Marga Karya Khu Lung Han Bu Kong 7

Cari Blog Ini