Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung Bagian 4
mengelabui orang yang berpandangan taiam," kata Coh Liu-hiang
pula. "Hm, apakah kau ini orang berpandangan tajam" Kukira
pandanganmu tidak tajam, bahkan rada lamur, seperti kawanku si
kelinci,'' jengek Sih Po-po.
"Rumah ini mirip kamar seorang pelajar, tampaknya segala
sesuatunya kacau balau, tapi sesungguhnya sengaja diatur, bahkan
semua serba resik dan apik," kata Coh Liu-hiang pula. Mendadak ia
tertawa dan menyambung, "Selanjutnya jika kau masih ingin purapura
gila, paling tidak kau harus menaburi rumahmu ini dengan
sedikit kotoran sapi atau tahi anjing, pupur yang kau gunakan juga
jangan begitu tinggi kwalitasnya, gunakan saja kapur labur, kan lebih
masuk akal." "Haha, pantas mukamu putih bersih, kiranya kau suka pakai
pupur labur sebagai bedak," seru Sih Po-po sambil berkeplok
tertawa. "Dan yang paling penting, tidak seharusnya kau meninggalkan
bajumu di atas loteng," kata Coh Liu-hiang pula.
Sih Po-po berkedip-kedip, tanyanya kemudan, "Baju, baju apa?"
"Baju yang kau pakai pada waktu kau hendak membunuh
orang,"jawab Coh Liu-hiang.
Mendadak Sih po-po tertawa terkekeh-kekeh, tapi sorot matanya
tiada sedikitpun menampilkan rasa tertawa.
Dengan tajam Coh Liu-hiang menatapnya dan berkata, "Kau tahu
semua ini sudah kutemukan, kau tahu segala rahasiamu lambat atau
cepat pasti akan terbongkar olehku, makanya kau ingin mengeluyur
pergi, tapi sekali ini tak dapat lagi kulepaskan kau."
162 Tertawa Sih Po-po semakin keras, makin terpingkal-pingkal
hingga dia beguling-guling di lantai, akan tetapi Coh Liu-hiang selalu
menatapnya dengan tajam, kemana pun dia berguling selalu diawasi
dengan ketat oleh Coh Liu-hiang.
"Waktu mula-mula bertemu dengan kau, sudah timbul rasa
heranku," kata Coh Liu-hiang pula. "Tapi sama sekali tak terpikir
olehku bahwa kau inilah si pembunuh berdarah dingin itu. Apabila
kau tidak terburu nafsu ingin lekas-lekas membunuhku, bisa jadi
takkan kusangka akan dirimu untuk selamanya."
Sambil berguling-guling di lantai, Sih Po-po berkata pula, "Orang
lain semua sudah bilang aku gila, hanya kau saja yang bilang aku
tidak gila. Hahaha, engkau benar-benar orang yang baik hati."
Mendadak ia berguling pula ke depan Coh Liu-hiang, tapi dengan
cepat Coh Liu-hiang menjauhinya, katanya dengan tersenyum,
"Kemudian kau pun tahu untuk membunuh diriku bukan pekerjaan
yang mudah, maka kau lantas ganti siasat dan bermaksud
memfitnah diriku, kau ingin meminjam kecepatan pedang kakakmu
untuk mencabut nyawaku."
Meski Sih Po-po masih terus tertawa, tetapi tertawanya sudah
tak bersuara lagi, jadi lebih tepat dikatakan menyengir.
Dalam pada itu Coh Liu-hiang sedang berkata pula, "Untuk
maksud tujuanmu itu maka lebih baik dulu kau mencuri pedang
pusaka kakakmu, lalu hendak melakukan pembunuhan gelap.
Karena setiap jengkal Sih-keh-ceng sudah kau kenal, dengan
sendirinya kau dapat pergi datang sesukamu dan tiada seorangpun
yang mampu menangkapmu," ia tertawa lalu menyambung pula,
"Lebih-lebih daun pintu perbatasan halaman itu, bilamana orang
hendak menangkap si pembunuh, segera kau menyelinap masuk
lewat pintu itu dan pulang ke rumah sendiri, kalau orang sudah tidak
menaruh perhatian lagi, lalu kau pasang lagi gemboknya.
Seumpama perbuatanmu kepergok orang juga tidak jadi soal, sebab
tiada seorang pun yang memperhatikan dan mencurigaimu, bagi
pandangan orang lain, kau tidak lebih cuma seorang gila, dan justru
inilah ilmu 'menghilang' yang ampuh bagimu."
163 Mendadak Sih Po-po berdiri dan menatap Coh Liu-hiang tajamtajam.
Dengan hambar Coh Liu-hiang berkata pula, "Kau memang
seorang cerdik, setiap pekerjaanmu selalu kau atur sedemikian
rapinya sehingga tiada seorang pun yang menerka akan dirimu.
Bahwa Sih-jisiauya dari Sih-keh-ceng, adik kandung Sih Ih-jin bisa
menjadi pembunuh bayaran, membunuh orang untuk mendapatkan
uang, cerita ini betapapun sukar dipercaya oleh siapa pun juga."
Mendadak Sih Po-po bergelak tertawa, katanya, "Memang aneh,
Sih-jicengcu dari Sih-keh-ceng bisa membunuh orang demi
mendapatkan duit, ini benar-benar kejadian yang ganjil dan tidak
masuk diakal dan sukar untuk dipercaya."
"Padahal persoalan ini sama sekali tidak ganjil," kata Coh Liuhiang.
"Sebab kau membunuh orang bukanlah demi mendapatkan
uang, tapi demi nama, demi kehormatan, sebagai kompensasi dari
derita batinmu." "Derita batin" Memangnya batinku menderita apa?" kata Sih Popo,
air mukanya seperti menampilkan sesuatu yang sukar untuk
dikatakan, kulit mukanya berkerut-kerut. Mendadak ia tertawa
terkekeh-kekeh dan menambahkan lagi, "Hahaha, siapakah yang
tidak tahu kakakku adalah pendekar pedang nomor satu di dunia"
Siapa yang berani membikin susah padaku?"
Coh Liu-hiang menghela napas pelahan, katanya, "Justru
lantaran kakakmu adalah jago pedang nomor satu di dunia, maka
kau terperosok sedemikian rupa. Sebenarnya kau pun sangat pintar
dan berbakat, tinggi ilmu silatmu boleh dikatakan jarang ada
bandingannya di dunia persilatan, dengan bakat dan ilmu silatmu,
sebenarnya kau dapat memperoleh nama besar di Kangouw, cuma
sayang....... " Dia menghela napas panjang, lalu menyambung lagi
dengan pelahan, "Cuma sayang, kau adalah adik Sih Ih-jin."
Sekonyong-konyong ujung mulut Sih Po-po gemetar seperti
mendadak dicambuk orang. "Sebab semua keberhasilanmu itu tenggelam oleh kebesaran si
jago pedang nomor satu di dunia, apapun yang kau lakukan, orang
lain takkan memuji dirimu, tapi yang dipuji adalah 'adik si jago
164 pedang nomor satu di dunia'. Apabila kau memperoleh sesuatu
sukses, semua itu adalah layak, wajar, sebab kau adalah adik si
pendekar pedang nomor satu di dunia. Tapi jika kau berbuat sesuatu
kesalahan, maka kau adalah seorang yang berdosa besar, sebab
semua orang pasti akan menganggap kau telah membikin malu pada
kakakmu." Sekujur badan Sih Po-po menjadi gemetar dan tak dapat
bersuara lagi. "Jika orang lain," demikian Coh Liu-hiang menyambung. "Bisa
jadi dia akan menyerah pada nasib, malah mungkin terus runtuh dan
tenggelam, tapi kau bukanlah manusia yang mudah menyerah dan
suka mengaku kalah, tapi apa mau dikata jika kau pun tahu
kesuksesanmu selamanya takkan melebihi kakakmu."
Ia menghela napas panjang, lalu berkata pula sambil
menggeleng, "Cuma sayang, jalan yang kau tempuh telah salah......."
Bibir Sih Po-po bergerak-gerak, seperti mau bicara apa-apa, tapi
urung. Coh Liu-hiang lantas berkata pula. "Semua itu sudah tentu
lantaran harapan kakakmu kepadamu teramat tinggi, caranya
mendidikmu terlalu keras, karena sayangnya padamu sehingga
pengawasannya juga sangat ketat. Sebab itulah lantas timbul pikiran
berontak dalam benakmu, tapi kau pun tahu di bawah pengawasan
kakakmu, pada hakikatnya kau tidak dapat sembarangan bertindak,
makanya lantas timbul akalmu untuk 'pura-pura gila' agar orang lain
tidak menaruh perhatian lagi padamu, agar orang lain kecewa
padamu, dengan demikian dapatlah kau bebas bergerak dan dapat
berbuat apapun sesuai kehendakmu."
Dia pandang lekat-lekat Sih Po-po dengan penuh rasa menyesal.
Mendadak Sih Po-po bergelak tertawa pula, tertawa latah
katanya sambil menuding hidung Coh Liu-hiang, "Hahaha, sungguh
aneh jalan pikiranmu. Cuma sayang, semua ini hanya ocehanmu
sendiri, jika kau anggap diriku adalah biang keladi organisasi
pembunuh bayaran itu, paling tidak kau harus punya bukti nyata."
"Kau ingin bukti?" tanya Coh Liu-hiang.
165 "Ya, jika tak dapat kau buktikan, itu berarti kau memfitnah orang
baik-baik," teriak Sih Po-po dengan bengis.
Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Baik, kau minta bukti, biar
kuperlihatkan bukti nyata padamu," Pelahan-lahan ia mengeluarkan
gembok berkarat itu dan diperlihatkan kepada Sih Po-po, katanya,
"Inilah buktinya,"
"Ini terhitung bukti macam apa?" jengek Sih Po-po.
"Gembok ini kuambil dari pintu sana, gembok ini sudah sangat
lama tidak pernah disentuh orang, hanya kemarin dulu si pembunuh
gelap itu pernah membuka gembok ini, betul tidak?" kata Coh Liuhiang.
Sih Po-po tidak menjawab, sorot matanya penuh rasa kejut dan
heran, nyata dia tak dapat menerka permainan apa yang hendak
dibawakan Coh Liu-hiang, ia bertekad takkan tertipu lagi.
Maka Coh Liu-hiang berkata pula, "Orang yang membuka
gembok ini pasti meninggalkan sidik jari, jika gembok ini baru saja
dipegang oleh pembunuh gelap itu, maka diatas inipun terdapat sidik
jari pembunuh itu, betul tidak?"
Mulut Sih Po-po terkancing lebih rapat lagi.
"Dan sekarang kudapati di atas gembok ini hanya ada sidik
jarimu," kata Coh Liu-hiang pula.
"Sidik jari" Sidik jari apa maksudmu?"akhirnya Sih Po-po ingin
tahu. "Manusia adalah makhluk paling cerdik dari segala makhluk
hidup di dunia ini, memang sangat ajaib cara Tuhan menciptakan
manusia, meski kau dan aku sama-sama manusia, tapi wajah kita
tidak sama, perawakan kita juga berbeda, di dunia ini hakikatnya
juga tiada dua manusia yang berwajah sama persis."
Sih Po-po tampak melongo, ia belum tahu sesungguhnya apa
yang dimaksudkan Coh Liu-hiang.
166 Mendadak Coh Liu-hiang mengulurkan tangannya dan berkata
pula, "Coba lihat pada telapak tangan setiap orang pasti ada garis
tangan, pada setiap jarinya juga ada sidik jarinya. Namun garis
tangan dan sidik jari setiap orang tiada yang sama, di dunia ini tidak
ada dua orang yang mempunyai sidik jari yang sama. Apabila kau
mau mempelajarinya secara cermat tentu kau akan tertarik oleh hal
yang aneh ini, cuma sayang, sejauh ini tiada seorang pun yang
memperhatikan keajaiban alam ini."
Makin bingung Sih Po-po mendengarkan uraian Coh Liu-hiang
itu, menghadapi sesuatu yang tidak dipahaminya, biasanya orang itu
pasti akan bersikap tak acuh dan meremehkan, segera Sih Po-po
menjengek. "Hm, obrolanmu ini paling-paling hanya dapat menipu
anak kecil umur tiga, dan jangan harap dapat menipu diriku."
Walaupun demikian ucapannya, tidak urung kedua tangannya lantas
disembunyikannya di belakang punggung.
Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Sudah tiada gunanya meski
sekarang kau menyembunyikan tanganmu, sebab sudah kuselidiki
dan kuperiksa benda-benda di meja riasmu, sidik jari yang terdapat
pada benda-benda itu memang persis sama dengan sidik jari di atas
gembok ini. Asalkan keduanya diperlihatkan, seketika kesalahanmu
akan terbukti dengan jelas dan tak mungkin dapat disangkal."
Sungguh kejut dan sangsi Sih Po-po, tanpa terasa air mukanya
menjadi pucat, mendadak tangannya menyapu sehingga semua
barang yang berada di meja rias tersapu jatuh berantakan ke lantai.
"Coba, itukan tandanya orang berdosa dan kuatir tertangkap?"
seru Coh Liu-hiang dengan bergelak tertawa. "Melulu kejadian ini
sudah cukup membuktikan semua dosamu."
Tiba-tiba Sih Po-po meraung murka, "Kau setan iblis, kau bukan
manusia, mestinya sejak dulu-dulu kubinasakan kau." Berbareng itu
ia terus menubruk maju. "Berhenti!" mendadak terdengar seorang membentak. Keruan
Sih Po-po terkejut, cepat ia menoleh, ternyata Sih Ih-jin sudah berdiri
di ambang pintu. Air muka Sih lh-jin juga kelihatan pucat menakutkan, dia
menghela napas panjang, katanya dengan sedih "Jite, akhirnva kau
167 tetap tertipu olehnya."
Jidat Sih Po-po tampak penuh berkeringat, tapi sama sekali tidak
berani bergerak. Maklumlah sejak kecil mereka sudah kehilangan
orang tua, selama ini berada di bawah asuhan sang kakak sehingga
kakak ini sangat diseganinya seperti ayahnya.
Dengan menyesal Sih Ih-jin berkata pula. "Apa yang dikatakan
Coh Hiang-swe memang betul, setiap orang mempunyai sidik jari
yang berbeda, tangan orang menyentuh setiap benda juga akan
meninggalkan sidik jarinya. Ini hanya teori saja, sama halnya orang
suka bilang bumi ini bundar, namun sebegitu jauh tiada yang dapat
membuktikannya." Dia memandang lekat-lekat Coh Liu-hiang, lalu menegas pula,
"Hiang-swe, bukankah selamanya kau pun tak dapat membuktikan
teorimu itu?" Coh Liu-hiang meraba hidung, jawabnya sambil menyengir, "Ya,
teori ini bisa jadi akan dibuktikan orang setelah beratus tahun lagi,
sekarang memang belum dapat dibuktikan."
Baru sekarang Sih Po-po tahu dirinya memang betul telah masuk
perangkap Coh Liu-hiang, ia memelototi seterunya itu entah sedih
entah gusar, entah bagaimana pula perasaannya.
Tiba-tiba Sih Ih jin tertawa, katanya. "Tapi, Hiang-swe kau pun
telah tertipu olehku."
"Aku tertipu olehmu?" Coh Liu-hiang menegas.
"Ya, " jawab Sih Ih-jin pelahan. "Biang keladi organisasi
pembunuh gelap itu sebenarnya bukan Siau-jin tapi diriku."
Sekali ini Coh Liu-hiang benar-benar terkejut, "Kau?"
"Betul, aku," jawab Sih Ih-jin tegas.
Untuk sejenak Coh Liu-hiang melenggong, ia menghela napas
panjang, katanya kemudian, "Kutahu kasih sayang antara kalian
bersaudara, makanya kau rela memikul tanggung jawab bagi
adikmu." 168 Sih lh-jin menggeleng, katanya, "Tidak, justru sebaliknya, aku
tidak tega membiarkan dia menanggung dosaku," Ia menghela
napas panjang, lalu menyambung pula, "Coba kau lihat, betapa luas
dan megah perkampungan ini, betapa besar biaya perawatannya
pula. Padahal sudah berpuluh tahun aku pensiun, apabila aku sudah
tidak mempunyai penghasilan ekstra, cara bagaimana aku dapat
memelihara kediamanku yang besar ini?"
"Ini....... ini......." Coh Liu-hiang menjadi ragu.
"Kau tahu, aku tidak mahir berdagang dan juga tidak pintar
berusaha, aku pun tidak suka magang menjadi pembesar dan
mencari kekayaan, lebih-lebih aku tidak sudi mencuri dan
mencopet," kata Sih Ih-jin. "Maka jalan satu-satunya bagiku adalah
apa yang menjadi kemahiranku, yakni memainkan pedang dan
memenggal kepala orang."
Dia tersenyum pedih, lalu menyambung, "Demi untuk
mempertahankan perkampungan warisan leluhur kami ini, demi
hidup berkecukupan sehari-hari anak muridku, terpaksa kugunakan
jiwa orang lain sebagai sumber penghasilanku, masa teori ini masih
Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belum kau pahami, Hiang-swe?"
Selama hidup Coh Liu-hiang belum pernah terkesiap dan sedih
seperti sekarang ini. Dia berdiri melenggong, satu kata saja tidak
sanggup bersuara pula. Dengan rawan Sih Ih-jin berkata lagi, "Tapi adikku ini, demi
kejayaan keluarga dan demi nama baik kakaknya, dia tidak sayang
menanggung dosaku, kalau tidak, sungguh aku......."
Mendadak Sih Po-po meraung, "Sudahlah, jangan kau katakan
lagi, jangan kau katakan lagi!"
"Urusan ini sudah tiada sangkut pautnya lagi dengan kau,"
bentak Sih Ih-jin bengis. "Aku sendiri akan menyelesaikannya
dengan Coh Hiang-swe, sekarang kau enyah dari sini!"
Sih Po-po menggreget, jengeknya, "Hm, enyah" Sejak kecil aku
selalu tunduk padamu, apapun yang kau perintahkan selalu kuturuti,
tapi sekali ini, sekali ini aku tidak mau tunduk lagi padamu."
169 "Kau berani?" bentak Sih Ih-jin gusar.
Sih Po-po tidak mengacuhkannya, ia berkata pula, "Waktu aku
berumur empat, kau mulai mengajarku membaca, waktu berumur
enam, kau mengajarku main pedang, segala apa kau lah yang
mengajariku. Selama hidupku ini selalu tertekan olehmu sehingga
tidak dapat bernapas. Untuk semua itu aku harus berterima kasih
padamu dan sekarang kau akan menanggung pula dosaku, jadi
engkau selalu adalah kakakku yang berbudi, sebaliknya aku ini adik
yang tidak tahu diri......."
Omong-omong, akhirnya ia menangis tergerung-gerung,
teriaknya pula dengan parau, "Tapi cara bagaimana kau tahu pula
bahwa aku masih tetap akan menerima budi kebaikanmu" Aku yang
berbuat, biarlah aku sendiri pula yang bertanggung jawab, tidak perlu
kau menjadi orang baik, tidak perlu!"
Air muka Sih Ih-jin berubah pucat, ucapnya, "Kau....... kau......."
Mendadak Sih Po-po berteriak pula sambil menengadah,
"Pembunuh gelap itu ialah diriku, pembunuh bayaran itupun diriku.
Orang yang kubunuh sudah tak terhitung jumlahnya, matipun aku
tidak rugi lagi....... Nah, Coh Liu-hiang mengapa tidak lekas turun
tangan?" Air mata Sih Ih-jin juga bercucuran, katanya dengan suara parau,
" Ya, semua ini salahku, aku memang keterlaluan padamu, aku
terlalu keras mengekangmu. Hiang-swe biang keladi sebenarnya
dari semua kesalahan ini ialah diriku, silakan kau bunuh aku saja."
Pedih rasa hati Coh L.u-hiang, hampir saja ia ikut meneteskan air
mata. Dengan suara bengis Sih Po-po lantas berteriak pula, "Coh Liuhiang,
tidak perlu kau berlagak welas asih....... Baik, kau tidak mau
turun tangan, biar aku yang melakukannya sendiri......" Sampai di
sini, mendadak ia melolos sebuah belati terus menikam ke
tenggorokan sendiri, seketika suaranya berhenti.i
Sih Ih-jin menjerit kaget dan memburu maju, namun sudah kasip.
Darah menyemprot seperti air mancur, sekali lagi mem buat bajunya
170 menjadi merah pula. Tapi sekali ini adalah darah adiknya. Apakah bajunya ini akan
disimpannya pula seperti yang dulu-dulu"
Hiat-ij-jin. si manusia berbaju darah. O, Sih Ih-jin.
Pelahan-lahan Coh Liu-hiang mengundurkan diri.
Demi melacak dan menemukan pemimpin organisasi pembunuh
bayaran ini, entah telah banyak menguras tenaga dan pikirannya,
entah berapa lama pula dia menyelidik dan mengikuti jejaknya, dan
sekarang cita-citanya itu telah terlaksana.
Akan tetapi apakah hati Coh Liu-hiang benar-benar sangat
gembira" Siang hari di musim rontok lebih singkat, senja hampir tiba. Angin
meniup, daun kering berguguran, Coh Liu-hiang menjumput sehelai
daun rontok itu dan memandangnya dengan termangu-mangu sekian
lamanya, lalu daun kering itu dibuangnya dan kabur terbawa angin.
Dengan membusungkan dada, Coh Liu-hiang lantas melangkah
keluar Sih-keh-ceng. Begitu keluar pintu gerbang perkampungan Sih,
segera Coh Liu-hiang mengetahui ada orang bersembunyi jauh di
balik pohon sana dan sedang mengintai ke sini.
Meski orang itu hanya mengintip dan cuma kelihatan sebelah
matanya, tapi sudah mengenal siapa dia..... Kecuali Siau-tut-cu atau
si gundul jelas tiada orang lain yang berkepala kelimis begitu.
Pengintai itu memang betul si gundul adanya. Begitu melihat Coh
Liu-hiang keluar dari Sih keh-ceng, seketika mata si jembel kecil ini
mencorong terang. Namun Coh Liu-hiang seperti tidak melihatnya, tentu saja si
gundul menjadi cemas, berulang-ulang ia menggapai dan Coh Liuhiang
tetap tidak menggubrisnya, sebaliknya malah berjalan menuju
ke arah yang berlawanan. Cepat si gundul berlari menyusulnya, tapi ia cuma mengintil di
belakang saja dan tidak berani menyapa.
171 Orang yang baru habis membakar rumah tentu tidak tentram
perasaannya. Ia tunggu setelah jauh meninggalkan Sih-keh-ceng,
barulah dia berani mendekati Coh Liu-hiang serta menegur dengan
tertawa. "Engkau orang tua jika tidak keluar, sungguh kami cemas
setengah mati." Coh Liu-hiang menepuk-nepuk pipinya dan berkata, "Aku belum
lagi tua, kalian pun tidak perlu cemas?"'
Si gundul melengak mendengar jawaban yang ketus itu. Cepat ia
bicara dengan mengiring tawa, "Jangan-jangan Hiang-swe lagi
marah kepada kami" Apakah lantaran kami tidak menyerbu ke
dalam untuk membantumu?"
"Mana berani kuharapkan bantuan kalian?" jengek Coh Liuhiang,
"Yang kuharap agar selanjutnya kalian jangan lagi mengaku
diriku ini sebagai sahabat kalian."
Sebenarnya si gundul lagi tertawa demi mendengar ucapan itu
seketika tertawanya berubah menyengir. Selang sejenak barulah dia
bertanya dengan gelagapan, "Seb....... sebab apa?"
"Sebabnya, banyak dan macam-macam sahabatku, tapi sababat
yang suka membunuh dan membakar belum pernah punya" jawab
Coh Liu-hiang. "Hm, masih muda belia sudah main bunuh dan bakar,
jika sudah dewasa kan lebih-lebih tak keruan."
"Tapi aku tidak pernah membunuh orang," kata si gundul dengan
gelisah. "Dan membakar?" tanya Coh Liu-hiang.
"Juga ti.....tidak pernah," jawab si gundul menyengir. "Cuma.....
cuma" "Cuma demi diriku, makanya kau main bakar begitu?"
Keringat memenuhi muka si gundul, ia menjadi bingung apakah
harus mengangguk atau menggeleng.
"Kau membakar rumah demi diriku dan aku harus berterima
172 kasih, begitu bukan?" kata Coh Liu-hiang . "Jika demikian bila kelak
kau membunuh orang demi diriku, kan lebih-lebih aku harus
berterima kasih padamu."
Si gundul menjadi kelabakan dan tidak dapat menjawab, hampir
saja ia menangis. Coh Liu-hiang menghela napas, katanya pula, "Jika yang kau
bakar adalah rumah orang jahat, meski tidak pantas, tapi masih
dapat dimengerti juga alasanmu. Sebaliknya bila rumah yang kau
bakar adalah rumah orang baik-baik dan orang yang kau bunuh juga
orang baik-baik, maka apapun alasanmu dan demi siapa pun, jelas
tak dapat diterima. Nah, paham kau?"
Berulang-ulang si gundul mengangguk, air matanya pun mulai
menetes. Air muka Coh Liu-hiang tampak berubah ramah, katanya pula,
"Usiamu sekarang masih muda belia, maka kuharap agar kau selalu
ingat bahwa seorang lelaki sejati juga ada hal-hal yang pantang
dilakukannya. Artinya, ada sementara urusan, biar pun dengan
alasan apapun, sekali-kali tidak boleh kau lakukan."
Seketika Siau-tut-cu atau si gundul berlutut dan menyembah,
dengan lengan baju ia mengusap mukanya yang penuh air mata dan
juga ingus. Katanya dengan suara terguguk, "Ya, ya, aku paham, lain
kali aku tidak berani lagi. Tak peduli demi siapa pun juga aku takkan
berbuat sesuatu kebusukan lagi, takkan membunuh dan juga
membakar." Coh Liu-hiang tertawa senang setelah mendengar janji ini,
katanya, "Bagus, harus selalu kau ingat perkataanmu ini. Kau tidak
cuma sahabatku, bahkan saudaraku yang baik."
Dia tarik bangun si gundul, katanya pula dengan tertawa. "Kau
mesti ingat pula, air mata lelaki harus mengalir ke dalam perut,
sedangkan ingus tidak boleh ditelan."
Si gundul tertawa. Masih mendingan kalau tidak tertawa, sekali
tertawa hampir saja ingusnya lari dalam perut. Cepat ia menyedot
sekerasnya, sehingga ingus yang memanjang melewati bibir itu
mengkeret pula masuk hidung.
173 Coh Liu-hiang tertawa geli, katanya, " Tak tersangka kau
mempunyai Lwekang yang istimewa ini."
Si gundul menjadi malu, jawabnva dengan kikuk, "Si buruk juga
ingin belajar kepandaianku ini, tapi selalu gagal, sebaliknya ingus
malah memenuhi mukanya."
"Ehm, , dimana dia?" tanya Coh Liu-hiang,
"Dia mengawasi seseorang di sana, kini sedang menunggu
Hiang-swe, mungkin dia sudah tidak sabar menunggu lagi," tutur si
gundul. ******* Si burik memang sangat cemas karena Coh Liu-hiang yang
ditunggu-tunggu belum lagi muncul, tapi orang yang bersama dia itu
lebih gelisah. Sama sekali tak terduga oleh Coh Liu-hiang bahwa
orang ini ialah lh-kiam, kacung Sih Bun.
Begitu melihat Coh Liu-hiang, segera Ih-kiam hendak memberi
hormat. Cepat Coh Liu-hiang mencegahnya dan bertanya dengan
tertawa, "Kalian memang sudah kenal bukan?"
"Kenal sih tidak sebelum ini." tutur si burik. "Untung ada dia, jika
bukan bantuannya, mungkin kami sukar meloloskan diri dari Sih kehceng......."
Mendengar si burik hendak menyinggung urusan membakar
rumah tadi, cepat si gundul menariknya ke samping.
Dengan hormat lh-kiam lantas berkata kepada Coh Liu-hiang.
"Pesan Hiang-swe sudah hamba sampaikan kepada Ji-kongcu."
"Dan bagaimana pendapatnya?" tanya Coh Liu-hiang.
"Ji-kongcu sudah lama kagum atas keharuman nama Hiang-swe,
saat ini beliau mungkin sudah menunggu di rumah kecil sana," kata
Ih-kiam. "Bagus," kata Coh Liu-hiang tertawa. "Sekarang kuharap kau ke
174 sana dulu dan beritahukan kepada Sih-jikongcu agar dia suka
menunggu sebentar, katakan segera aku akan ke sana."
Sesudah Ih-kiam pergi. Coh Liu-hiang berpikir sejenak lalu
berkata kepada kedua jembel cilik itu, "Ada suatu urusan lagi,
terpaksa harus minta bantuan kalian."
Si burik kuatir diomeli berhubung soal membakar rumah di Sihkehceng itu, maka dia cuma menunduk dan tak berani mendekat
Sedangkan si gundul sudah mendapat persen omelan tadi, ia
mendahului menjawab, "Jangankan cuma suatu urusan, seratus
urusan juga akan kami jalankan
Kemudian Coh Liu-hiang menepuk-nepuk pundak si gundul,
katanya dengan tertawa, "Suami isteri yang kucari kemarin malam
itu, apakah kau masih ingat dan kenal?"
"Sudah tentu ingat dan kenal," jawab si gundul.
"Baik, sekarang juga pergilah kau mencari mereka, bawa lah
mereka ke rumah kecil milik keluarga Sih itu, katakan aku yang
mengundang mereka ke sana."
"Tanggung beres!" seru si gundul.
"Tapi ingat," Coh Liu-hiang menambahkan lagi. "Setiba di sana,
tunggu saja di luar, sebaiknya jangan sampai terlihat orang lain. Bila
kupanggil, barulah kalian boleh muncul."
Sambil mengiakan segera si gundul berlari pergi dengan
menyeret si burik. Coh Liu-hiang menguap mengantuk dan menggeliat, gumamnya,
"Syukurlah segala sesuatunya berjalan dengan lancar, akhirnya akan
tersingkap semuanya......"
****** Tanpa banyak kesukaran, dapatlah Coh Liu-hiang membujuk Cu
Kin-hou, lalu dibawanya si nona 'Cu Beng-cu' yang entah tulen atau
palsu ini meninggalkan Ceng pwe-san-ceng.
175 Muka nona Cu ini masih pucat pasi, namun matanya mencorong
terang. Agaknya selama dua hari sudah cukup baginya untuk
memulihkan semangat dan tenaganya, namun cara berjalannya
tetap 'alon-alon asal kelakon', cukup lama dia ikut di belakang Coh
Liu-hiang, katanya kemudian dengan pelahan, "Batas waktu tiga hari
sudah hampir tiba." "Ya, kutahu," sahut Coh Liu-hiang tertawa.
"Kau sudah berjanji, setelah tiga hari aku boleh pulang?"
"Betul," kata Coh Liu-hiang pula.
"Jika demikian, apakah sekarang..... sekarang juga aku boleh
pergi?" "Sudah tentu aku tidak keberatan, cuma setelah pulang apakah
ayah ibumu masih mengenalmu" Jika aku, tidak nanti aku mengakui
seorang anak perempuan yang tak kukenal sebagai anaknya
sendiri." "Namun....... namun kau sudah berjanji, kau harus menjelaskan
kepada mereka," ujar si nona.
"Masa Kim-kiong Hujin mau percaya pada omonganku?" kata
Coh Liu-hiang. "Siapa di dunia Kangouw yang tidak kenal ucapan Coh Hiangswe
adalah kata-kata emas?" ujar si nona. "Asalkan Coh Hiang-swe
mau bicara, sekalipun musuh juga akan percaya."
Coh Liu-hiang berpikir sejenak, tiba-tiba ia menoleh dan berkata,
"Jangan kuatir, keinginanmu pasti terlaksana, cuma untuk ini harus
bersabar, tidak boleh terburu napsu. Kalau terburu-buru, semua
usahaku bisa kacau-balau."
Nona Cu menunduk, setelah berjalan sejenak pula, tibalah di
hutan kecil sana, dipandang dari jauh rumah kecil itu sudah
kelihatan, mendadak ia berhenti dan berkata, "Kau....... kau tidak
mengantar aku pulang, tapi hendak membawaku kemana?"
"Kau melihat rumah kecil di sana itu bukan?" tanya Coh LiuKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
176 hiang. Muka nona Cu semakin pucat, sedapatnya ia mengangguk "Nah,
sudah lelah kita berjalan, marilah kita istirahat sebentar di rumah itu,"
kata Coh Liu-hiang. "Tidak..... tidak aku tidak mau ke sana," kata nona Cu. Meski dia
berusaha menahan perasaannya, tak urung tampak rada gemetar.
"Di rumah itu kan tiada setannya, apa yang kau takuti?" ujar Coh
Liu-hiang dengan tertawa. "Apalagi kau sudah mati satu kali,
seumpama ada setan juga tidak perlu kau takuti."
Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kabarnya rumah itu..... rumah itu milik keluarga Sih," kata si
nona. "Jika kau Cu Beng-cu, dengan sendirinya kau tak dapat ke
rumah she Sih. Tapi kau kan bukan Cu Beng-cu asli, Cu Beng-cu
sudah mati, kau cuma meminjam jasadnya untuk hidup kembali,
kenapa kau tidak boleh pergi ke sana"! Apalagi kau adalah bakal
isteri Sih-jikongcu, lambat atau cepat kau pasti juga akan masuk ke
rumah keluarga Sih."
"Akan.....akan tetapi....."
"Jangan menguatirkan diriku, aku adalah kawan baik Sih Ih-jin,"
kata Coh Liu-hiang. Si nona melenggong pula hingga lama, akhirnya dia ikut juga ke
sana, dengan kepala tertunduk, kakinya serasa diganduli rantai yang
berat. Tapi Coh Liu-hiang berjalan dengan cepat, begitu sampai di
depan pintu rumah kecil itu, segera pintu terbuka, seorang pemuda
cakap dengan baju perlente menyambut keluar.
Sebenarnya wajah pemuda itu mengulum senyum, jelas dia
bergembira akan kedatangan Coh Liu-hiang, tapi begitu melihat
'nona Cu' ini, seketika senyumnya berubah menjadi beku sehingga
lebih tepat dikatakan menyengir.
Meski sejak tadi nona Cu hanya menunduk saja, kini air
177 mukanya jelas juga berubah pucat.
Coh Liu-hiang menyapu pandang sekejap wajah kedua mudamudi
ini, lalu katanya dengan tertawa, "Kiranya kalian berdua sudah
kenal sebelum ini." Pemuda itu dan nona Cu segera menjawab berbareng, "Tidak
kenal......." "Tidak kenal?" kata Coh Liu-hiang dengan tertawa "Ya tidak
menjadi soal, toh lambat atau cepat, kalian pasti akan kenal." Lalu ia
memberi hormat kepada pemuda cakap itu dan berkata pula,
"Saudara ini tentunya Sih-kongcu adanya."
Pemuda itu memang Sih Bun, putera Sih Ih-jin yang telah
mengikat jodoh dengan Si In, puteri Kim-kiong Hujin. Cepat ia
membalas hormat dan berkata, "Ya sudah lama kudengar nama
kebesaran Coh Hiang-swe, sekali ini entah Hiang-swe hendak
memberi petunjuk apa?"
"Petunjuk sih tidak ada," kata Coh Liu-hiang, "Silakan masuk ke
dalam saja dan bicara dan bicaralah nanti." Dia bicara seperti tuan
rumah, terpaksa Sih Bun dan 'nona Cu' menunduk dan masuk ke
dalam rumah, seketika mereka tidak banyak bicara lagi mirip
pesakitan yang sedang menunggu vonis hakim.
Ih-kiam tampak berada di dalam rumah, segera ia
mengundurkan diri keluar. Sebelum dia keluar, Coh Liu-hiang
sempat membisikinya, "Sebentar bila Siau-tut-cu datang, suruhlah
dia masuk sendirian."
Dalam pada itu 'nona Cu' dan Sih Bun ternyata berdiri terpisah,
yang satu berdiri di pojok kiri sana, yang lain di sudut kanan,
keduanya berdiri tegak tak bergerak.
Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Tempat ini sangat baik,
seumpama dijadikan kamar pengantin baru juga cocok..... eh, Sihkongcu,
betul tidak?" Sih Bun menjawab dengan tergagap, "O, ti..... ya, betul....."
Lalu Coh Liu-hiang mengitar satu kali ruangan rumah kecil ini
178 sambil bernyanyi-nyanyi kecil, setiba di pintu, mendadak ia
membuka daun pintu dan Siau-tut-cu atau si gundul kebetulan
muncul. "Bagus, kedatanganmu sangat kebetulan," seru Coh Liu-hiang.
"Apakah kau kenal kedua orang ini?"
Siau-tut-cu mengerling, seketika ia tertawa senang, jawabnya,
"Tentu saja kenal, Kongcuya dan Siocia ini sungguh orang yang baik
hati, pertama kali bertemu saja lantas memberi persen satu tahil
perak padaku." Belum habis ucapannya, muka nona Cu dan Sih Bun tampak
berubah hebat Keduanya cepat menyanggah, "Ti....... tidak, aku tidak
kenal dia....... anak ini salah mengenali orang."
Siau-tut-cu berkedip-kedip, katanya pula dengan tertawa, "Tidak
mungkin salah, masa aku pangling, pengemis yang pernah
mendapatkan sedekah dari orang baik selamanya takkan
melupakannya." "Jika demikian, jadi Sih-jikongcu dan nona Cu memang sudah
kenal sebelum ini," seru Coh Liu-hiang dengan tertawa.
Sekonyong-konyong nona Cu berteriak, "Tidak, aku tidak.......
aku tidak she Cu, kalian salah lihat, aku ini Si In....... aku tidak kenal
dia" Sembari meraung ia bermaksud menerjang keluar.
Akan tetapi baru saja dia berlari beberapa langkah, segera
dilihatnya 'Si ln' yang tulen telah berdiri di ambang pintu.
"Kau kenal dia bukan?" tanya Coh Liu-hiang dengan tersenyum
sambil menuding Si In asli.
Gemetar sekujur tubuh Cu Beng-cu, setindak demi setindak ia
menyurut mundur, ucapnya dengan gemetar, "Aku...... aku......."
"Jika kau mengaku Si In, lah siapa lagi dia?" tanya Coh Liu-hiang
pula. Mendadak Cu Beng-cu mengeluh tertahan, lalu jatuh pingsan.
179 ******* Yap Seng-lan, Si In dan Liang-ma, sama duduk di sebelah sana,
air muka menampilkan perasaan yang aneh, entah cemas, entah
cemas, entah kuatir, entah tegang dan entah pula bergirang.
Ih-kiam, Siau-tut-cu dan Siau-moa-cu (si burik) juga berdiam
melenggong di sisi lain, jelas mereka pun tidak habis mengerti duduk
perkaranya, mereka merasa ragu dan juga heran.
Cu-Beng-cu mendekap dalam pelukan Sih Bun seakan tak
sanggup berdiri lagi. Tadi mereka mengaku tidak saling kenal, tapi begitu Cu Beng-cu
jatuh pmgsan, tanpa pikir Sih Bun lantas memondongnya bangun
dan tidak pernah dilepaskan lagi.
Meski perasaan setiap orang tidak sama, namun pandangan
semua orang sama tertuju pada Coh l.iu-hiang, semuanya
menunggu penjelasannya. Lebih dulu Coh Liu-hiang membesarkan sumbu lampu, habis itu
barulah dia bertutur dengan pelahan, "Sudah banyak kudengar cerita
tentang 'setan', tapi orang yang benar-benar pernah melihat setan
tiada terdapat seorang pun. aku juga pernah mendengar cerita
tentang 'mayat kesurupan roh'.........." Sampai di sini ia tertawa, lalu
menyambung, "Kejadian demikian sebenarnya sulit untuk dipercaya,
sebab aku menyaksikannya sendiri kematian nona Cu, aku pun
menyaksikan dia hidup kembali....... Malah aku pun memeriksa
sendiri jenazah nona Si, sampai-sampai baju yang dipakainya waktu
meninggal juga kubuktikan memang serupa dengan baju yang
dipakai nona Cu waktu dia hidup kembali Semua ini terbukti memang
betul 'mayat telah kesurupan roh' dan mau tak mau orang harus
percaya." Siau-tut-cu merasa bingung, ia coba bertanya. "Tapi sekarang
nona Si kan tidak meninggal, nona Cu mengapa bisa bicara sebagai
nona Si" Kalau nona Si tidak meninggal, lalu darimana datangnya
jenazah dalam peti itu?"
"Hal ini memang membingungkan dan aneh, semula aku pun
tidak habis mengerti," kata Coh Liu-hiang. "Baru kemudian ketika
180 tanpa sengaja kudapatkan rumah ini, kutemukan kotak berisi pupur
dan gincu di dalam tungku."
"Ada sangkut apa antara sebuah kotak barang rias dengan
'mayat kesurupan roh?"' tanya Siau-tut-cu.
"Jika kau ingin tahu rahasia ini, lekas kau pergi mencari kan
seorang ke sini, sebab orang itu sangat besar sangkut pautnya
dengan peristiwa ini, dia pasti jugi sangat ingin tahu," kata Coh Liuhiang.
Belum lagi si gundul menjawab, tiba-tiba Liang-ma
berkata,"Apakah orang yang Hiang-swe maksud ialah nona Ciok?"
"Betul, kau pun kenal dia?" tanya Coh Liu-hiang.
Wajah Liang-ma yang sudah keriput itu bisa juga merah,
katanya, "Nona Ciok sudah kuundang kemari, cuma dia berkeras
akan pulang dulu untuk tukar pakaian, baru mau bertemu dengan
Hiang-swe." Coh Liu-hiang menghela napas dan tidak bicara lagi,
memangnya apa yang dapat dia katakan pula.
Untunglah usia Ciok Siu-hun masih muda. Pada umumnya
perempuan muda kalau berdandan akan jauh lebih cepat dari pada
perempuan lanjut usia. Lamanya berdandan orang perempuan
memang selalu berbanding dengan umurnya.
Ketika Ciok Siu-hun muncul dan melihat sekian banyak yang
hadir di rumah kecil ini, dengan sendirinya ia pun tercengang.
Si gundul tidak sabar lagi, segera ia membuka suara pula.
"Sesungguhnya apa sangkut-pautnya kotak rias itu dengan semua
persoalan ini?" Coh Liu-hiang tertawa, tuturnya, "Bahwa di dalam tungku yang
telantar itu ada sebuah kotak berisi barang-barang rias orang
perempuan, ini menandakan di sini pasti sering ada pertemuan
rahasia antara sepasang laki-perempuan. Semula aku menduga
pada dua orang lagi, tapi bau harum yang pernah kuendus dari tubuh
mereka ternyata tidak sama dengan bau pupur yang terdapat di
181 kotak ini." Dia tidak menyebut nama Hoa Kim-kiong dan Sih Hong-hong,
sebab selamanya dia tidak suka merusak nama baik orang lain.
Namun wajah Cu Beng-cu segera berubah merah
Si gundul melirik sekejap, ia menyela pula, "Ketika kau
mendengar dariku....... "
"Ya, begitu begitu mendengar pengalamanmu, segera aku
menerka seorang di antaranya pasti Sih-jikongcu ini," tukas Coh Liuhiang
"Akan tetapi siapa pula 'teman' Sih jikongcu itu" Sejauh ini aku
tak dapat menerkanya."
Istilah 'teman' yang digunakan Coh Liu-hiang ini sangat kena
sehingga wajah Sih Bun berubah merah juga.
Coh Liu-hiang lantas menyambung, "Semula kukira Cioktoakohnio
(nona Ciok pertama, maksudnya kakak Ciok Siu-hun) tapi
setelah kupergoki saudara cilik Ih-kiam ini di makam toakohnio,
barulah kutahu dugaanku itu salah besar."
lh-kiam tampak menunduk dan hampir mencucurkan air mata.
"Sebab itulah aku tambah heran," demikian Coh Liu-hiang
melanjutkan. "Jika Ciok-toakohnio tiada sangkut pautnya dengan
Sih-kongcu, mengapa Sih-kongcu sedemikian memperhatikan
sakitnya" Mengapa pula dia sedemikian baik kepada paman nona
Ciok" Bahkan dia disalah-pahami oleh nona Siu-hun pun tidak
menyanggahnya, sebaliknya kesalahan itu di biarkan tetap salah.
Maka aku lantas sangsi, di balik persoalan ini pasti ada sesuatu yang
tidak beres, kalau tidak, masakah Sih-kongcu mau menerima
tuduhan yang tidak benar itu?"
Dengan gemas Ciok Siu-hun melotot sekejap kepada Sih Bun,
tapi wajah sendiri lantas berubah merah.
"Kupikir rahasia ini pasti ada hubungannya dengan kematian
Ciok toakohnio," demikian Coh Liu-hiang melanjutkan. "Maka aku
berusaha membongkar kuburan Ciok-toakohnio agar persoalannya
menjadi jelas. Siapa tahu......."
182 "Siapa tahu Ciok-toakohnio ternyata juga tidak meninggal, peti
matinya cuma berisi beberapa potong batu saja," si gundul
mendahului. "Tidak, Ciok-toakohnio justru betul-betul telah meninggal." ucap
Coh Liu-hiang sambil menghela napas gegetun.
Si gundul jadi melongo, katanya kemudian, "Jika..... jika begitu,
mengapa jenazahnya bisa berubah menjadi batu?"
"Sebab jenazahnya telah dipinjam pakai oleh oleh orang lain,"
kata Coh Liu-hiang, dia tidak memberi kesempatan lagi kepada si
gundul untuk menyela, segera ia menyambung pula, "Dan lantaran
Sih-jikongcu hendak meminjam pakai jenazah nona Ciok, maka dia
sangat memperhatikan sakitnya, dan lantaran orang yang menutup
peti mati adalah paman nona Ciok, maka Sih kongcu sangat baik
kepada sang paman.' "Tapi..... tapi untuk apakah Sih-kongcu meminjam pakai jenazah
nona Ciok?" sela si gundul pula, rupanya dia semakin bingung.
"Sebab Sih-kongcu hendak menggunakan jenazah nona Ciok
untuk menyaru sebagai jenazah nona Si In agar orang lain
menyangka nona Si benar-benar sudah meninggal," tutur Coh Liuhiang.
"Bisa jadi wajah dan perawakan nona Ciok rada mirip nona Si,
apalagi wajah orang mati tentu juga agak berubah, setiap orang pasti
takkan menaruh perhatian terhadap jenazah, andaikan kurang persis
penyamarannya juga tidak menjadi soal, lagi pula Liang-ma juga
telah ikut dalam tindakan rahasia ini."
Seketika Liang-ma juga menunduk kikuk. Siau-tut-cu menggaruk
garuk kepalanya yang gundul, katanya, "Akan..... akan tetapi untuk
apa nona Si sengaja pura-pura meninggal?"
"Jika nona Si tidak meninggal, cara bagaimana pula sandiwara
'mayat kesurupan roh' yang dibawakan nona Cu Beng-cu itu bisa
dilakonkan"*' kata Coh Liu-hiang dengan tertawa.
"Wah, aku menjadi semakin bingung," si gundul menyengir
heran. "Kan baik-baik saja, mengapa nona Cu mesti....."
"Persoalan ini tampaknya memang sangat rumit," sela Coh LiuKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
183 hiang. "Padahal urusannya sangat sederhana, kunci yang terpenting
dalam hal ini hanya satu huruf saja, yakni 'cinta'. Sorot matanya
menyapu wajah Cu Beng-cu lalu berhenti pada Sih Bun, katanya
pula dengan tersenyum. "Soalnya sejak kecil Cu Beng-cu telah
dijodohkan dengan putera keluarga Ting, perjodohan ini sebenarnya
sangat setimpal, cuma sayang nona Cu justru bertemu dengan Sihjikongcu,
keduanya jatuh cinta."
"Bukankah keluarga Cu dan keluarga Sih adalah musuh
bebuyutan?" tanya si gundul.
"Betul, setelah berkenalan dengan Sih-kongcu, mungkin nona Cu
lantas menyadari tidak seharusnya jatuh cinta kepada Sih-kongcu.
Akan tetapi cinta memang aneh, sekali sudah jatuh cinta, orang lain
tidak dapat memaksanya, bahkan ia sendiri pun tidak mampu
mengekang diri pula. Walaupun tahu dirinya tidak seharusnya jatuh
cinta kepada orang itu, akan tetapi tanpa kuasa dirinya justru jatuh
cinta." Ciok-Siu-hun menghela napas, katanya,"Makanya orang sering
bilang, cinta itu buta, apakah memang demikian adanya?"
"Ada sementara orang memang rela menjadi buta," ucap Coh
Liu-hiang sambil mengerling sekejap pada si nona. "Tapi di dunia ini
masih tetap banyak orang yang ingin membuat mata mereka
terbuka. Sorot matanya beralih kembali ke arah Beng-cu dan Sih
Bun, katanya pula, "Meski cinta nona Cu dan Sih-kongcu sangat
mendalam, tapi mereka pun tahu jodoh mereka sukar dirangkap, bila
orang lain yang menjadi mereka, dalam keadaan kepepet begini bisa
jadi mereka akan bunuh diri bersama......"
Sambil menatap lekat-kkat pada cahaya lampu, Ciok Siu-hun
bergumam, "Cara demikian kan terlalu bodoh."
Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, sudah tentu hal ini hanya dapat dilakukan orang lemah."
kata Coh Liu-hiang. "Jika aku," mendadak Ciok Siu-hun mengangkat kepalanya,
"Mungkin aku akan......akan...... minggat bersama."
Dengan segala keberaniannya ia mencetuskan kata-kata ini,
habis itu mukanya menjadi merah.
184 Coh Liu-hiang menggeleng, ucapnya lembut "Minggat juga
bukan cara yang baik, sebab mereka tahu jelas antara keluarga Cu
dan Sih adalah musuh bebuyutan, jika mereka minggat bersama,
bisa jadi permusuhan antar keluarga akan bertambah mendalam......"
Ia tersenyum, lalu menyambung pula, "Apalagi duel maut antawa
Sih-tayhiap dengan Cu-cengcu sudah dekat waktunya, bila mereka
minggat bersama dan mengetahui salah seorang ayahnya telah
dibunuh oleh pihak lain, apakah hati mereka tidak akan berduka?"
Ciok Siu-hun mengangguk, ucapnya dengan pelahan, "Ya, betul
juga, minggat memang bukan cara yang baik dan tak dapat
menyelesaikan persoalan......"
"Padahal nona Cu dan Sih-kongcu bukanlah kaum lemah,
mereka pun bukan orang bodoh," kata Coh Liu-hiang pula. "Dalam
keadaan terpaksa, akhirnya timbul jalan pikiran mereka yang aneh
dan sukar dibayangkan, yaitu......."
"Mayat kesurupan roh," kata Coh Liu-hiang sambil mengangguk.
Dengan sorot mata memuji, ia pandang sekejap Cu Beng-cu, lalu
melanjutkan, "Jika nona Cu benar-benar telah hidup kembali dengan
meminjam jazad nona Si In, maka nona Cu lantas berubah menjadi
nona Si, sedangkan nona Si memang tunangan Sih-kongcu, dengan
sendirinya nanti juga akan menjadi isteri Sih-kongcu, maka jelas Cujiya
tidak dapat membantah, sebaliknya Sih-tayhiap juga tak dapat
menolak "Lantas bagaimana dengan Si-loya dan Si-hujin?"
"Maksud tujuan Hoa Kim-kiong memang ingin lebih mempererat
hubungan keluarga Si dan Sih, kini melihat puterinya yang jelas-jelas
sudah mati bisa hidup kembali, tentu saja dia bersyukur dan
kegirangan, dia pasti setuju."
"Ya, betul juga, dengan demikian semuanya menjadi gembira
dan bahagia." seru si gundul dengan tertawa.
"Yang paling ajaib nona Si telah 'meminjam" jazad nona Cu,
sebaliknya nona Cu juga telah 'meminjam' roh nona Si. Jadi dalam
kenyataannya, CuBeng-cu dan Si In telah berubah menjadi isteri Sih
Bun, maka Cu-jiya juga akan berubah menjadi mertua Sih Bun, dan
185 dengan sendirinya pula adalah besan Sih-tayhiap......."
"Betul, apapun juga anak menantu Sih-tayhiap kan juga ada
setengahnya terhitung puteri Cu-cengcu, sekalipun kedua orangtua
tetap tidak suka, mau tak mau mereka pun harus mengakui
kenyataan." "Memang betul begitu," sambung Coh-Liu-hiang pula dengan
tertawa "Tatkala mana hasrat duel mereka tentu juga akan mereda,
betapapun dendam kesumat antar kedua keluarga akan luntur juga."
"Betul, akal ini sungguh sangat bagus," si gundul berkeplok
memuji. "Tetapi juga terlalu berlebihan," sambung si burik., "Jika aku,
pasti tidak akan percaya."
"Betul juga, makanya rencana harus dibuat sedemikian rapinya,
pelaksanaannya juga harus sempurna, dengan demikian mau tak
mau orang lain pun akan percaya," kau Coh Liu-hiang. "Dan untuk
melaksanakan rencana mereka ini, pertama, dengan sendirinya
harus mendapat persetujuan Si In, nona ini harus mau pura-pura
mati." "Dengan sendirinya nona Si takkan menolak.'' tukas si gundul
pula. "Sebab, dia juga punya kekasih lain, dasarnya memang dia
tidak suka diperisteri oleh Sih-kongcu"
"Justru begitulah." kata Coh Liu-hiang dengan tertawa. "Ketika
kudengar bedak yang biasa dipakai nona Si berasal dari seorang
Yap-kongcu yang datang dari kotaraja, segera timbal rasa curigaku.
Waktu itu juga sudah kupikirkan, jangan-jangan nona Si cuma purapura
mati untuk melepaskan diri dari keharusan kawin dengan Sihkongcu."
"Makanya kau menyuruh kami berdua menyelidiki Yap Senglan."
kata si gundul. "Betul, ketika kutemukan mereka berdua, maka persoalan inipun
menjadi jelas dan tersingkap seluruhnya," kata Coh-Liu-hiang.
"Sekarang biarlah kujelaskan sekali lagi mulai dari awal hingga akhir
peristiwa ini. Lebih dulu Cu Beng-cu dan Si In sudah berjnaji untuk
186 'mati' pada saat yang sama. Sebab itulah, begitu Si In 'mati', di
tempat lain Cu-Beng-cu juga lantas hidup kembali. Dengan
sendirinya lebih dahulu Si In sudah memberitahukan kepada Cu
Beng-cu pakaian apa yang akan di pakainya waktu mati serta semua
alat perabot di kamarnya,sebab itulah setelah Ciu-Beng-cu 'hidup'
kembali, ia dapat menjelaskan keadaan Si In tanpa selisih
sedikitpun. "Dan karena Si In cuma pura-pura mati. untuk ini diperlukan
pinjaman jenazah orang lain. Kebetulan waktu itu Ciok-toakohnio lagi
sakit keras, maka pilihan Sih-kongcu lantas jatuh padanya. Sihkongcu
telah bersekongkol dengan paman nona Ciok, jenazah nona
Ciok telah dibawa pergi waktu mau masuk peti mati dan diganti
dengan batu. Setiba jenazah di kamar nona Si, terjadilah pertukaran
tempat, nona Si In yang hidup lantas diselundupkan keluar."
"Lantaran Liang-ma sangat sayang kepada Si In seperti anak
kandung sendiri, yang diharapkan adalah kebahagiaan anak dara itu,
maka ia pun membantu sepenuhnya. Tanpa bantuan Liang-ma,
hakikatnya peristiwa ini tidak mungkin berlangsung dengan baik,"
sampai di sini Coh l.iu-hiang menghela napas panjang, lalu
menyambung pula, "Yang paling sulit dalam persoalan ini ialah
'timing'nya harus diatur dengan tepat tanpa selisih sedetikpun, maka
segalanya berjalan dengan beres tanpa kesulitan apapun."
Siau-moa-cu juga mengembuskan napas panjang, katanya
dengan tertawa, "Jika menurut cerita Hiang-swe ini, peristiwa ini
rasanya sangat sederhana, tapi kalau kau tidak bercerita, selama
hidup juga sukar memecahkannya."
"Dan sekarang sudah kau pahami seluruhnya, bukan?" kata Coh
Liu-hiang dengan tertawa.
"Masih ada satu hal yang belum kupahami," kata Siau-moa-cu
atau si burik. "O, apalagi?" tanya Coh Liu-hiang.
"Jika nona Cu hakikatnya tidak meninggal, mengapa Cu-jiya
percaya penuh anak perempuannya telah mati?" tanya si burik.
"Sudah tentu karena sebelumnya nona Cu sudah bersekongkol
187 denagn para tabib ternama itu, coba pikir, kalau ada belasan tabib
terkemuka menyatakan penyakitmu sudah tiada obatnya, tak dapat
disembuhkan lagi, bisa jadi kau sendiripun akan yakin dirimu pasti
akan mati. Apalagi....." sampai di sini mendadak Coh Liu-hiang
memandang keluar jendela dan tertawa, lalu menyambung, "Apalagi
di antara tabib-tabib ternama itupun terdapat Thi Kan-cay losiansing,
hasil pemeriksaan Thio losiansing masa perlu disangsikan lagi dan
siapa yang tidak percaya" Bila Thio-losiansing, menyatakan seorang
sudah mati, siapa yang berani, bilang orang itu masih hidup?"
Mendadak terdengar suara orang berseru dengan tertawa,
"Makian tepat, umpatan bagus, lantaran tabib tua bangka seperti aku
ini termasyhur dapat menyembuhkan segala macam penyakit, tapi
selama ini toh tidak mampu menyembuhkan sakit rindu orang. Maka
sekali ini terpaksa aku menebalkan mukaku untuk melakukan
penipuan." Di tengah gelak tertawanya, tertampak Thio Kan-cay melangkah
masuk. Serentak Cu Beng-cu, Sih Bun, Si In dan Yap Seng-lan
berbangkit dan menyembah kepada tabib sakti itu.
Coh Liu-hiang juga memberi hormat, katanya, "Losiansing tidak
cuma mahir menyembuhkan segala macam penyakit luar dalam,
caramu menyembuhkan sakit rindu orang ternyata juga lebih tinggi
setingkat daripada tabib lain."
"Jika betul demikian, kelak bila Coh Hiang-swe juga sakit rindu,
hendaklah jangan lupa mencariku" kau Thio Kan-cay dengan
tertawa. . "Tentu, tentu, pasti aku tidak lupa." sahut Coh Liu-hiang dengan
tertawa. Dengan tertawa pula Thio Kan-cay berkata. "Cuma harus
disayangkan, bila ada anak-gadis yang rindu pada Coh Hiang-swe,
mungkin aku tidak mampu menyembuhkannya, sebaliknya jika
dikatakan Hiang-swe bakal sakit rindu terhadap anak gadis orang,
kukira tiada seorang pun di dunia ini yang mau percaya."
Coh Liu-hiang hanya tertawa saja dan tidak menanggapi sebab
diketahuinya Ciok Siu-hun sedang menatapnya.
188 Thio Kan-cay lantas membangunkan Cu Beng-cu, katanya
dengan tersenyum, "Bahwa sekali ini aku mau membantu, selain
terharu pada cinta kalian yang murni, sesungguhnya juga karena
tertarik oleh perencanaan kalian yang serba baru dan aneh ini Cuma
sayang, mengapa mesti melaksanakan rencana kalian tepat pada
waktu kedatangan Coh Hiang-swe, itu berarti kalian mencari
kesukaran sendiri." Muka Cu Beng-cu menjadi merah dan tak dapat menjawab.
Dengan tertawa Coh Liu-hiang berkata, "Sebabnya sekarang telah
kuketahui." "O" Kau tahu?" tanya Thio Kan-cay.
"Mereka justru sengaja menunggu kedatanganku agar aku bisa
menjadi penghubung bagi mereka," tutur Coh Liu-hiang dengan
tertawa. "Sebab kalau aku sudah menyaksikan sendiri persoalan ini,
mau tak mau aku mesti ikut campur, kan setiap orang tahu aku ini
paling suka ikut campur urusan orang lain?" Setelah terbahak, lalu ia
menyambung lagi sambil menggeleng, "Rupanya mereka tahu
bilamana aku menjadi juru bicara, mau tak mau Sih-tayhiap dan Si
Hau-liam pasti akan percaya penuh, sebab........"
"Sebab setiap orang Kangouw tahu kata-kata Coh Hiang-twe
adalah kata-kata emas, apa yang kau ucapkan tidak mungkin dusta,"
tukas Thio Kan-cay dengan tertawa.
Mendadak ia berpaling kepada Cu Beng-cu dan menam bahkan,
"Swipoa yang kalian ketik memang sangat rapi, cuma sayang,
akhirnya kalian tetap melupakan sesuatu."
Cu Beng-cu menunduk, katanya lirih. "Mohon penjelasan
Cianpwe." "Kalian telah melupakan bahwa Coh Hiang-swe tidak nanti dapat
ditipu oleh siapa pun juga." kata Thio Kan-cay pula. "Sekarang
rahasia kalian telah kena dibongkar olehnya. Apakah kalian masih
ingin minta dia menjadi juru bicara untuk membujuk orang tua
kalian?" Serentak Cu Beng-cu berempat berlutut dan menyembah pula
kepada Coh Liu-hiang. kata mereka. "Mohon Hiang-swe sudi
189 membantu, sungguh kami sangat berterima kasih. "
"Untuk apa kalian memohon," jawab Coh Liu-hiang, "Kan sudah
kukatakan tadi, aku ini orang yang paling suka ikut campur urusan
orang lain, pula tidak suka mengecewakan orang, kalau aku bisa
melihat setiap pasang kekasih di dunia ini menjadi suami-isteri
bahagia, kenapa tidak kubantu melaksanakannya.''
Thio Kan-cay berkeplok tertawa, katanya, "Coh Hiang-swe
memang tidak malu sebagai Pendekar Harum. Sesungguhnya harus
kuingat juga sebelum ini, bahwa Hiang-swe sengaja membongkar
rahasia kalian ini, soalnya dia tidak mau orang memandangnya
sebagai pendekar bodoh."
Lalu ia berkata pula kepada Cu Beng-cu berempat, "Sekarang
kalian pun mendapatkan suatu pengalaman, yaitu selanjutnya
apapun yang kalian harapkan dari Hiang-swe paling baik jika kalian
menjelaskan dulu segala persoalannya, apabila ada yang ingin
menipu Hiang-swe, akhirnya yang tertipu pasti kau sendiri."
***** Siau-tut-cu dan Siau-moa-cu tidak terhitung anak kecil lagi,
terkadang mereka pun serupa orang dewasa, paling tidak mereka
dapat berlagak sudah dewasa,
Tapi sekarang gerak-gerik mereka jelas hanya dua anak kecil
saja, bahkan anak kecil yang merasa penasaran, mulut mereka yang
menjengkit itu mungkin bisa dibuat gantungan botol.
Tadi Si In dan Liang-ma berkeras mengundang semua orang ke
rumah mereka untuk minum arak. Dengan sendirinya Thio Kan-cay
tidak mau pergi, sebab dia sudah cukup tua, pula seorang 'tabib
sakti'. Minum arak baginya seperti bertaruh dengan jiwanya sendiri.
Cu Beng-cu dan Sih Bun juga tidak terima undangan Si In itu,
sebab mereka harus pulang untuk menyambung sandiwara mereka.
Dan Liang-ma juga tidak berkeras meminta kehadiran mereka.
Yang tidak adil ialah Siau-tut-cu dan Siau-moa-cu ingin hadir,
tapi Liang-ma dan Si In justru tidak menyampaikan undangan pada
mereka. Keruan mereka sangat mendongkol, seterusnya si gundul
190 dan si burik lantas tidak sudi menyinggung lag| urusan itu, malahan
si gundul tidak sudi memikirkannya lagi.
Sedapatnya si gundul memikirkan urusan lain, gumamnya,
"Beberapa orang ini benar-benar sialan, ya pura-pura sakit, ya purapura
mati juga pura-pura menjadi setan, sudah banyak membuang
tenaga dan pikiran, juga mengalirkan air mata pula, dan semua itu
hanya karena satu kata saja, yaitu 'cinta' he....he....he." Dia terkekehkekeh
beberapa kali, lalu berseru, "Sungguh tak kupahami 'cinta'
yang sialan itu mempunyai daya tarik yang se besar itu sehingga
dapat membuat orang sebanyak ini menjadi gila semua."
"Ya, aku pun tidak paham, kuharap selama hidup ini jangan
terjadi hubungan dengan satu kata ini," tukas si burik.
Dengan keras dia tendang sepotong batu, seperti sekali tendang
dia hendak mengenyahkan 'cinta' itu. Ia tidak tahu bahwa "cinta' tidak
sama dengan batu, betapapun besar tenaga yang digunakan tetap
tak dapat mengenyahkannya. Jika dikira sekali tendang telah
mengenyahkannya, tahu-tahu dia mental balik, se makin keras
tenaga tendangan, semakin cepat pula dia mental kembali lagi. Bila
dipikir dapat menginjaknya hingga hancur, maka injakan ini pasti
akan menyakitkan hati sendiri.
Siau-tut-cu termenung hingga lama, tiba-tiba ia berkata pula,
"He, kaukira Cu-jiya akan membiarkan puterinya diperisteri oleh Sihjisiauya?"
"Mau tak mau dia harus setuju, sebab 'roh' anaknya kan roh
orang lain," kata Siau-moa-cu. Ia merasa ucapan sendiri yang
bermakna ganda ini sangat lucu, maka ia terkikik geli sendiri, rasa
dongkolnya tadi lantas lenyap sebagian.
Tapi Siau-tut-cu lantas mendelik, katanya, "Tapi bagaimana
dengan Sih-tayhiap, apakah dia dapat menerima anak menantunya
ini?" "Jika orang lain membicarakan dengannya, mungkin akan ditolak
oleh Sih-tayhiap," kata Siau-moa-cu. "Tapi sekarang Coh Hiang-swe
yang bicara dengan dia, mau tak mau dia pasti menerimanya."
Si gundul mengangguk katanya, "Betul, dia hutang budi kepada
191 Hiang-swe, setiap orang seakan-akan hutang budi kepada Coh
Hiang-swe."
Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si burik mencibir, katanya, "Pantas si nenek sialan itu berkeras
mengundang Coh Hiang-swe ke tempatnya untuk minum arak."
"Plok", mendadak si gundul menampar si burik katanya, "Kau
burik sialan, memangnya kau kira dia benar-benar mengundang
minum arak pada Coh Hiang-swe?"
Si burik melotot, jawabnya. "Habis untuk apa kalau tidak minum
arak?" "Ai, dasar burik," omel si gundul. "Masa tidak dapat melihat
gelagat, mereka hendak menjadi perantara bagi Coh Hiang-swe."
"Menjadi perantara" Perantara apa?" tanya si burik dengan
melenggong. "Sudah tentu menjadi perantara bagi Coh Hiang-swe dan nona
Ciok Siu-hun itu," tutur si gundul, "Mereka merasa berhutang budi
kepada Coh Hiang-swe, maka mereka ingin membalasnya dengan
mengumpulkan Coh-toako dan nona Ciok itu."
Si burik berkeplok tertawa, katanya, "Betul aku memang heran,
seorang perawan seperti nona Ciok itu mengapa tengah malam buta
mau pergi ke rumah orang untuk minum arak, kiranya dia telah
penujui Coh-toako kita."
"Orang baik seperti Coh-toako kita, ya cakap, ya pintar, adalah
aneh kalau anak perempuan tidak suka padanya," kata si gundul
pula. "Akan....... akan tetapi, apakah Coh-toako juga suka pada nona
Ciok itu?" tanya si burik.
"Wah, untuk ini, sukar untuk di jelaskan......." si gundul garukgaruk
kepalanya yang kelimis itu. "Tapi nona Ciok itupun terhitung
cantik dan cocok bagi Coh-toako, aku suka minum arak bahagia
mereka," "Jika demikian, akhir dari peristiwa ini adalah semuanya
192 bergembira," ujar si burik. "Tertinggal kita berdua saja tengah malam
buta masih keluyuran kian kemari seperti setan gentayangan, perut
terasa lapar lagi." "Plok", kembali si gundul memberi gamparan lagi sambil
mengomel. "Kau ini memang burik sialan, orang tidak mengundang
makan minum pada kita, memangnya kita tak dapat makan minum
sendiri" Di sana juga masih ada penjual makanan, malahan aku
sudah mencium bau arak."
Benar juga, di ujung jalan sana memang masih ada sebuah
lampu gantung. Di bawah sinar lampu, di tempat penjual bakmi itu,
nampak seorang laki-laki kekar menongkrong di atas bangku
panjang sedang minum arak dengan bebas, di depannva nampak
semangkuk besar penuh berisi arak.
Si penjual yang sudah lanjut usia itu sebenarnya berulang-ulang
sudah menguap mengantuk, sebenarnya ia ingin lekas kukut dan
pulang tidur, tapi tidak berani mengusir tamunya. Soalnya tamunya
inipun jarang dilihatnya selama dia berjualan, tamu peminum yang
aneh. Padahal musim rontok sudah hampir lalu, musim dingin sudah
hampir tiba, hawa sudah mulai dingin. Tetapi lelaki kekar ini masih
telanjang setengah badan sehingga kelihatan tubuhnya yang hitam
dan keras laksana baja. Tong tua, si penjual bakmi sudah beberapa kali menuang kan
arak pada mangkuk besar itu dan lelaki kekar itupun me nenggaknya
habis begitu saja, cara menuang arak Tong tua se olah-olah tidak
secepat cara minum lelaki itu.
Stau-tut-cu dan Siau-moa-cu sama kesima menyaksikan
kehebatan minum arak lelaki hitam ini. Si burik melelet lidah dam
membisiki si gundul, ?"Wah, luar biasa, orang ini benar-benar
gentong arak." Si gundul berkedip-kedip, katanya kemudian, " Meski kekuatan
minumnya sangat hebat, tapi juga belum tentu dapat melebihi Cohtoako
kita." "Tentu saja," sambung si burik dengan tertawa, "Memangnya
193 orang Kangouw mana yang tidak tahu Ginkang Coh-toako kita tiada
bandingannya, juga kekuatan minum araknya sukar tandingkan
orang lain." Suara bicara mereka sebenarnya tidak keras, si Tong tua sama
sekali tidak mendengarnya, tetapi telinga lelaki hitam seperti radar
tajamnya, apa yang dipercakapkan kedua jembel cilik itu agaknya
dapat didengar seluruhnya. Mendadak ia menggebrak meja dan
berbangkit, teriaknya. "Siapa itu Coh-toako kalian?"
Orang ini ternyata bermata besar dan beralis tebal, tampangnya
cukup cakap, lebih-lebih sepasang matanya yang mencorong terang
laksana bintang di langit.
Tapi lantaran cara bicaranya yang garang itu si gundul yang
pertama-tama tidak terima, dengan mendelik ia menjawab, "Siapa
Coh-toako itu buka urusanmu dan tidak perlu kau urus." Belum habis
ucapannya, tahu-tahu lelaki itu sudah berada di depan mereka,
entah cara bagaimana, sekali raih segera si gundul dan si burik kena
dicengkeramnya. Sebenarnya si gundul dan si burik juga bukan lawan empuk, tapi
aneh, berhadapan dengan orang ini mereka telah berubah menjadi
seperti dua ekor anak ayam, sama sekali tak bisa berkutik, apalagi
melawan. Dibandingkan dengan lelaki kekar ini, memang kedua
jembel kecil ini tiada ubahnya seperti dua ekor anak ayam.
Kedua anak itu diangkatnya ke atas sehingga tangan dan kaki
mereka meronta-ronta, orang itu memandang mereka dengan sorot
mata yang terang, tetapi seperti mengandung tertawa.
Namun suarnya tetap garang, bentaknya pula, "Dengarkan,
kalian berdua setan cilik ini, apabila Coh-toako yang kalian bicarakan
itu ialah si kutu busuk tua Coh Liu-hiang, maka kalian harus lekas
membawaku mencarinya....."
Kontan Siau-tut-cu mendampratnya, "Kau ini kutu macam apa"
Kau berani memaki Coh-toako sebagai kutu busuk tua" Kau
sendirilah kutu busuk tua, kutu busuk hitam."
Siau-moa-cu juga ikut memaki, "Hm, bagi Coh-toako cukup
dengan satu jari saja akan dapat memites mampus kau kutu busuk
194 hitam ini, maka janganlah kau berlagak garang di sini, lekas kau lari
saja mencawat ekor."
"Salah kau," tukas si gundul. "Kutu busuk tak punya ekor, tapi
perutnya gede, sekali dipites Coh-toako pasti mampus."
Meski tidak besar tenaga kedua anak muda itu, tapi nyalinya
tidaklah kecil, cara mereka memaki orang pun tergolong tingkat
tinggi. Sekarang mereka sudah nekat, mereka lantas memaki
sepuasnya tanpa memikirkan keselamatan sendiri lagi.
Di luar dugaan, lelaki hitam berewok itu tidak marah, sebaliknya
malah bergelak tertawa, katanya, "Bagus, hahaha, bagus! Kalian
berdua setan cilik ini memang boleh juga. Tetapi orang lain takut
kepada si kutu busuk tua itu, aku sendiri tidak takut padanya. Bila
berlomba minum arak, dia juga akan keetinggalan jauh di
belakangku, jika kalian tidak percaya, hayolah bawa aku menemui
dia dan kalian nanti boleh tanya langsung padanya."
*********** Di atas meja sudah siap beberapa macam hidangan lezat seperti
Ang-sio-bak, bebek tim, Kay-lan cah-hwe-kiu dan lain-lain,
semuanya terpilih, mungkin sudah seharian Liang ma
menyiapkannya. Akan tetapi sekarang hidangan itu masih utuh berada diatas
meja, sama sekali belum tersentuh. Sebab yang duduk di situ
sekarang cuma tinggal dua orang saja dan tampaknya kedua orang
itu sama sekali tiada napsu makan.
Memang, sebagian hadirin sudah pergi. Tapi yang pergi itu
bukanlah tamunya melainkan tuan rumahnya. Malahan ketika pergi
mereka sama memberi alasan yang masuk di akal. Walaupun setiap
orang dapat mengetahui alasan mereka itu cuma dibuat-buat saja.
Maksud tujuan kepergian mereka hanya ingin memberi
kesempatan pada Coh Liu-hiang untuk berada berduaan dengan
Ciok Siu-hun, maksud mereka ini dipahami Coh Liu-hiang juga
dimengerti Ciok Siu-hun. Lucunya Ciok Siu-hun juga tidak menahan tuan rumah yang
195 sengaja tinggal pergi dan ia sendiri pun tiada maksud pergi. Dengan
kikuk ia memegang sumpit dan pelahan-lahan mengetuk cawan arak
sehingga menimbulkan suara "tring-tring' yang nyaring pelahan, dia
seperti ingin memecahkan kesunyian di dalam rumah ini, seperti juga
tangannya terlalu menganggur sehingga perlu dicarikan pekerjaan.
Wajah Ciok Siu-hun tampak bersemu merah, dipandang di
bawah cahaya lampu kelihatan sangat molek dan menggiurkan. Dia
memandang ke bawah sehingga bulu matanya yang panjang
menutupi kelopak matanya, giginya yang putih menggigit pelahan
bibirnya yang tipis merah sepeti delima merekah.
Di halaman luar daun pohon berkresekan tertiup angin. Arak
yang bersemu kehijau-hijauan mengeluarkan bau sedap.
Malam seindah ini, wanita secantik ini, arak seharum ini,
andaikan tidak diminum juga sudah mabuk.
Terhadap arak dan anak perempuan cantik, pengalaman Coh
Liu-hiang mungkin jauh lebih luas daripada kebanyakan orang. Tapi
entah mengapa, hatinya sekarang berdebar, jarang dia mendengar
debar jantung sendiri seperti sekarang ini.
Tiba-tiba Ciok Siu-hun mengangkat kepalanya, pandangannya
meluncur dari muka Coh Liu-hiang beralih ke tangannya, lesung
pipinya menambah senyumnya yang manis.
"Kau tidak mengajak minum padaku?" tiba-tiba si nona bertanya
dengan pelahan. "Kau suka minum arak?" tanya Coh Liu-hiang, "Baik, ku suguh
kau satu cawan." "Pelit," omel Ciok Siu-hun. "Mau menyuguh harus tiga cawan,
memangnya kau kuatir aku menjadi mabuk?"
Dengan cepat tiga cawan arak benar-benar telah dihabiskan si
nona. Apakah seseorang dapat minum arak atau tidak, cukup dilihat
dari gayanya memegang cawan. Maka dari cara si nona memegang
cawan dapatlah Coh Liu-hiang menilai sedikitnya dia sudah pernah
196 minum arak. Coh Liu-hiang juga mengiringi menghabiskan tiga cawan.
Katanya kemudian dengan tertawa, "Terus terang, tak tersangka
olehku bahwa kau dapat minum arak, bahkan cukup kuat."
Siu-hun juga melirik sekejap, katanya, "O, kau kira aku ini
kampungan, bukan" Padahal orang kampungan juga mahir minum
arak." Dia menuang arak pula dan menyambung dengan pelahan.
"Supaya kau tahu, waktu malam tahun baru, aku sendiri telah
menghabiskan setengah guci arak, kau percaya tidak?"
"Wah, jika demikian, mestinya kucari Siau Oh untuk minum
bersama," seru Coh Liu-hiang dengan tertawa.
"Siapa itu Siau Oh?" tanya Ciok Siu-hun.
"Namanya Oh Thi-hoa, sahabat lamaku, juga sahabat karibku,
kekuatan minumnya jauh di atasku."
"Baik, lain kali boleh kau ajak dia kemari, akan kucekoki dia
hingga mabuk." kata Ciok Siu-hun dengan tertawa. "Akan tapi
sekarang....... sekarang aku cuma mau minum bersamamu."
Ia lantas angkat cawan dan berkata pula, "Marilah, kuhormati
kau........ sudah tiga cawan kau suguh aku, sekarang kubalas suguh
kau enam cawan, aku lebih royal dari padamu."
"Enam cawan?" Coh Liu-hiang menegas sambil meraba hidung.
"Enam cawan apakah tidak terlalu banyak?"
Siu-hun mendelik, omelnya, "Kenapa" Kau kuatir aku mabuk
bukan" Asalkan kau sendiri tidak mabuk dan tidak perlu kau urus
diriku." Dengan cepat enam cawan arak telah dihabiskan si nona.
mukanya menjadi lebih merah.
"Setelah kuminum enam cawan ini, maukah kuantar kau
pulang?" tanya Coh Liu-hiang.
Si nona mengerling penuh arti, jawabnya, "Silakan minum dulu.?"
197 Sudah tentu enam cawan arak bukan apa-apa bagi Coh Liuhiang,
maka setelah habis diminumnya, ia lantas bertanya pula,
"Sekarang marilah kuantar kau pulang."
Sambil menggigit bibirnya yang tipis, Ciok Siu-hun menunduk,
pelahan-lahan ia menanggalkan sepatu sulamnya yang masih baru
itu lalu melipat kedua kakinya yang putih mulus itu ke atas kursi,
kemudian ia mengangkat kepalanya pelahan-lahan dan memandang
lekat-lekat pada Coh Liu-hiang. katanya, "Aku tidak mau pulang.......
" Ia mengerling genit, lalu menambahkan pula dengan senyuman
menggiurkan, "Marilah sekarang giliranmu lagi menyuguh arak
padaku." Kembali Coh Liu-hiang meraba hidung sendiri pula. Kalau orang
lain biasa garuk-garuk kepala, tapi kebiasaan Coh Liu-hiang adalah
meraba hidung. Siu-hun menunduk lagi, ucapnya dengan rawan, "Hatiku kesal
dan ingin minum arak, masa engkau tidak suka mengjringi aku
minum arak?" Coh-Liu-hiang menghela napas gegetun, katanya, "Asalkan kau
tidak mabuk, biarpun mengiringi kau minum selama tiga hari juga
tidak soal bagiku." "Kuatir aku mabuk?" tanya Ciok Siu-hun.
"Aku tidak takut pada siapa pun, aku cuma takut kepada orang
yang mabuk arak," ujar Coh Liu-hiang sambil menyengir.
Siu- hun tertawa, katanya, "Baiklah, kujamin takkan minum
sampai mabuk, nah boleh?"
Terpaksa Coh Liu-hiang mengangkat cawan dan menjawab.
"Baiklah, marilah minum" Sebenarnya Coh Liu-hiang juga tahu tiada
seorang pun yang berani menjamin dirinya pasti tak bisa mabuk,
satu-satunya jalan yang tidak dapat mabuk ialah sama sekali tidak
minum. 198 Meski caranya ini tidak bagus, tapi justru paling tepat dan
mujarab. Cuma sayang, kebanyakan orang tidak suka memakai cara
ini, sebab itu pula orang yang mabuk setiap harinya di dunia ini sukar
dihitung jumlahnya. Coh Liu-hiang juga tidak menyuruh orang minum bukan lah
sesuatu yang baik, tapi menasehati orang tidak minum juga bukan
cara yang baik, sebab semakin kau membujuk dia agar ja ngan
minum, dia justru akan minum terlebih banyak. Dalam hal ini yang
dia harapkan adalah semoga kesanggupan minum Ciok Siu-hun
memang kuat Dan nyatanya si nona memang kuat mi num, cuma
tidak sekuat sebagaimana diduganya sendiri
Memang, tiada seorang pun yang dapat menakar kekuatan
minumnya sendiri. Maka sorot mata Ciok Siu-hun mulai buram, dia
pandang Coh Liu-hiang dengan lekat, ia tuding hidung Coh Liu-hiang
dengan sumpit, katanya dengan tertawa,
"Kutahu kau bukan orang baik-baik, memang sudah kutahu kau
bukan orang baik-baik....... Untuk pertama kalinya kulihat kau,
segera kutahu diriku pasti runyam."
"Memangnya dalam hal apa aku tidak baik?" tanya Coh Liu-hiang
sambil menyengir.
Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau....... kau telah mencekoki aku hingga mabuk," kata si nona
sambil nyekikik. Mendongkol dan geli pula Coh Liu-hiang, katanya, "Bukankah
kau sendiri bilang dirimu tak dapat mabuk?"
Ciok Siu-hun mengernyitkan hidungnya yang mungil itu dan
mencibir, kakinya diselonjorkan lagi lalu bergumam, "Hawa terasa
gerah, membuat hati kesal, maukah kau mengiringi aku berjalanjalan
keluar?" Segera Coh Liu-hiang berdiri dan mengiakan.
Si nona berjongkok sehingga kepalanya hampir menerobos ke
kolong meja, katanya, "Mana sepatuku.......sepatuku?" Rupanya
sepatunya telah terlempar ke sebelah sana.
199 Terpaksa Coh Liu-hiang menjemputkan sepatunya. Tak terduga,
Ciok Siu-hun lantas mengangkat kakinya ke atas dan berkata
dengan nyekikik , "Masukkan pada kakiku....... masukkan, kalau
tidak, aku tak dapat berjalan."
Hati Coh Liu-hiang kembali berdebar melihat kaki yang putih
mulus itu. Tindakan budak cilik ini sesungguhnya keterlaluan
baginya, seakan-akan sedang menghinanya, seolah hendak
membuktikan Coh Liu-hiang pasti tak berani menolak.
Biasanya Coh Liu-hiang pasti akan memberi hajaran setimpal
kepada perempuan yang tidak tahu adat begini. Tapi kali ini dia tidak
bertindak demikian, ia benar-benar memasukkan sepatu itu kepada
kaki si nona dan memayangnya keluar.
Kedua tangan si nona merangkul pundak Coh Liu-hiang, seluruh
badannya seolah-olah menggelendot di bahunya.
Malam sunyi senyap, bintang-bintang berkedip memenuhi
cakrawala menerangi jalanan berbatu itu. Angin meniup sepoi-sepoi
laksana hembusan napas sang kekasih. Sama sekali ia tak tahu
bahwa dalam kegelapan ada sepasang mata yang sedang
mengintainya. ******* Di dalam rumah papan kecil itu tidak terlalu gelap, sebab cahaya
bintang samar-samar juga menembus ke dalam.
Coh Liu-hiang tak tahu mengapa dirinya menuruti kehendak Ciok
Siu-hun dan mengapa membawanya ke sini pula........ Mungkin dia
memang benar sudah rada mabuk, mabuk dan mabuk memang
macam-macam dan tidak sama.
Dengan langkah cepat dan gesit Ciok Siu-hun membalik tubuh
dan berkata, 'Tahukah kau mengapa aku ingin datang ke sini?"
Coh Liu-hiang hanya terbeliak saja tanpa bersuara.
"Sebab di sinilah untuk pertama kalinya kulihat kau." kata Ciok
Siu-hun. 200 "Hayolah pergi." kata Coh Liu-hiang, sungguh aneh ucapannya
ini. "Pergi" Mengapa pergi?" tanya si nona.
"Jika kau tidak pergi, tahukah apa yang akan kulakukan?"
Siu-hun tertawa genit sambil menggeleng. Sedapatnya Coh Liuhiang
bersikap garang dan buas, katanya dengan suara berat "Jika
kau tahu aku bukan orang baik-baik, seharusnya kau dapat menerka
apa yang hendak kulakukan. Jika kau pergi selekasnya akan mujur.
Kalau tidak, segera akan kurobek bajumu, lalu........"
Belum habis ucapannya, mendadak Ciok Siu-hun berkeluh
tertahan, terus menjatuhkan diri dalam pelukan Coh Liu-hiang,
katanya sambil merangkul lehernya, "Kau sungguh busuk, kutahu
pada suatu ketika kau pasti akan memperlakukan diriku cara begini."
Coh Liu-hiang jadi melengak. Sebenarnya cuma di mulut saja ia
ingin menakut-nakuti dia, siapa tahu ia sendiri mendahului bertindak,
ia ingin mendorongnya....... tapi justru tempat yang tidak pantas
didorongnya yang terpegang oleh tangannya.
Suara tertawa Siu-hun nyaring seperti bunyi keleningan, dia
pegang tangan Coh Liu-hiang dan bahkan dimasukkan ke sela-sela
bajunya sambil berbisik "Coba kau pegang, jantungku berdebardebar
dan badanku panas bukan?"
Badan si nona memang betul panas. Meski merasa berat, namun
cepat juga Coh Liu-hiang menarik kembali tangannya.
Tidak terduga si nona lantas memegang tangannya dan
menggigitnya sekali dengan gregetan. "Kau memang busuk," omel si
nona sambil menggigit jari Coh Liu-hiang.
"Kau selalu memancing diriku, dari awal hingga akhir, terus
memelet diriku memangnya kau kira aku tidak tahu" Dan sekarang
kau ingin la ri, jika kau berani lari, segera kugigit putus jarimu."
Betapapun Coh Liu-hiang adalah seorang lelaki, lelaki jantan,
lelaki tulen, lelaki sehat, lelaki tanpa cacat dan tanpa penyakit,
bagaimana seorang lelaki sehat berada sendirian dengan seorang
201 nona cantik, selanjutnya kiranya tidak perlu di ceritakan lagi
********* Sang surya sudah menyingsing dan memancarkan cahayanya
yang keemasan, menyinari kaki Ciok Siu-hun yang panjang dan putih
mulus itu. Lelaki manapun betapapun kukuh cara berpikirnya, mau
tak mau temu juga akan mengaku keindahan paha Ciok Siu-hun
yang menggiurkan ini. Sorot mata Coh Liu-hiang bergeser mulai dari betis hingga paha
untuk kemudian berpindah ke wajah si nona. Mukanya masih
kelihatan bersemu kemerah-merahan, napasnya tampak sedemikian
tenang dan pelahan, nyenyak sekali tidurnya seperti anak bayi.
Memandangi wajah yang polos ini, tiba-tiba penyesalan yang tak
terkatakan dalam hati Coh Liu-hiang.
Dia bukan seorang yang 'lemah', akan tetapi, sekali ini sungguh
dia berharap semalam dia adalah seorang yang 'lemah'. Akan tetapi
jelas ia tidak 'lemah', soalnya dia memang lelaki sehat, tiada cacat,
tiada kelainan lahir maupun batin, mental maupun fisik.
Dan semuanya itupun sudah terjadi. Ia pun pernah berpacaran
dengan anak perempuan lain, tapi semuanya itu berbeda.
Kebanyakan anak perempuan itu sangat keras tekadnya, sangat
teguh imannya. Ia tahu sekalipun anak-anak perempuan itu masih
merindukan dia tapi jelas takkan menderita baginya.
Namun sekarang, anak perempuan yang meringkuk dalam
pelukannya ini, sedemikian polos, sedemikian murni, sedemikian
lemah..... sungguh ia tidak berani membayangkan bagaimana
akibatnya sesudah dirinya meninggalkan dia"
"Apakah dia akan bunuh diri," teringat demikian, sungguh Coh
Liu-hiang ingin menggampar muka sendiri beberapa kali.
Kaki Ciok Siu-hun tampak bergerak dan mengkeret, pelahanlahan
terlihat pula dekik pipinya. Lalu ia pun membuka mata, ia telah
mendusin. Hampir-hampir tidak berani Coh Liu-hiang mengadu pandang
202 dengan si nona. Siu-hun membalik tubuh sambil menggeliat, tiba-tiba
ia berkeluh pelahan, katanya dengan senyuman manis, "O, sakit
sekali kepalaku." "Makanya lain kali jangan terlalu banyak minum arak," ucap Coh
Liu-hiang dengan suara lembut.
Siu-hun terkikik-kikik, katanya, "Konon orang yang suka minum
arak, kebanyakan kurang daya ingatannya, selang dua-tiga hari
kemudian tentu akan melupakan semua penderitaannya setelah
mabuk arak." Tertawa juga Coh Liu-hiang, katanya, "Memang betul, setahuku,
paling sedikit Siau Oh sudah ribuan kali menyatakan pantang minum
lagi, setiap kali sakit kepala, dia tentu berteriak tidak mau minum.
Akan tetapi belum lewat satu hari, tahu-tahu pantangannya sudah
dilanggarnya." Siu-hun bangkit berduduk sambil kucek-kucek mata yang masih
sepat, katanya dengan tertawa, "O, kiranya sang surya sudah
setinggi ini." "Ya, hari sudah siang," kata Coh Liu-hiang. "Rasanya
aku.......aku tidak mau pergi......." Sebenarnya ia hendak berkata,
"mau tak mau aku harus pergi" Akan tetapi kata-kata ini sukar
diucapkannya. Tak terduga Ciok Siu-hun lantas berkata malah, "Kau tidak mau
pergi, akulah yang akan pergi."
Coh Liu-hiang melengak."Kau........"
"Kutahu kau pun harus pergi," kata Siu-hun.
"Lantas........ lantas selanjutnya kita........"
"Selanjutnya" Tlada selanjutnya buat kita, sebab selanjutnya kau
pun pasti tak dapat bertemu lagi denganku."
Coh Liu-hiang melenggong.
Dengan tertawa Ciok Siu-hun lantas berkata pula, "Mengapa kau
203 terkejut" Memangnya kau kira aku akan mengikat dirimu dan takkan
melapaskan kau pergi?"
Mendadak ia mencium pipi Coh Liu-hiang, lalu berdiri, ia mulai
mengenakan pakaiannya, lalu berkata pula dengan sungguhsungguh,
"Kau dan aku hakikatnya mempunyai dunia sendiri-sendiri,
seumpama aku dapat menahan dirimu dengan paksa atau aku
berkeras ingin ikut denganmu, namun selanjutnya aku pasti juga
takkan bahagia." Coh Liu-hiang jadi melengong pula dan tidak dapat bersuara.
Siu-hun tersenyum lembut, katanya, "Aku adalah seorang biasa,
kehidupanku sehari-hari juga sangat biasa, hari-hari selanjutnya juga
akan kulalui secara biasa. Dalam hidupku ternyata bisa bergaul
denganmu secara luar biasa begini, meski cuma satu hari saja,
namun sudah puas bagiku. Kelak bilamana sudah lanjut usiaku,
paling tidak dapatlah kukenangkan hari bahagia yang berkesan ini."
Dia pandang lekat-lekat wajah Coh Liu-hiang, lalu menyambung
pula dengan halus, "Sebab itulah, betapapun juga aku tetap
berterima kasih padamu."
Coh Liu-hiang tak dapat bersuara, dia duduk terkesima, entah
bagaimana perasaannya. Siu-hun menciumnya lagi beberapa kali, habis itu mendadak ia
membalik tubuh terus melangkah pergi dengan cepat, tanpa
menoleh lagi?".. Coh Liu-hiang memang berharap anak perempuan itu dapat
pergi dengan baik, dan sekarang ia benar-benar pergi dengan baik
tanpa menimbulkan persoalan, tapi di dalam hati Coh Liu-hiang
berbalik timbul rasa pedih dan kecut.
Sebenarnya dia berharap si nona lekas pergi, tapi sekarang ia
malah berharap perginya jangan terlalu cepat. Orang sering bilang
hati perempuan sukar diraba, padahal hati lelaki bukankah juga
sama begitu" Sampai sekian lama Coh Liu-hiang memandangi daun pintu yang
tertutup itu, rasanya seperti berharap si nona tiba-tiba mendorong
204 pintu dan masuk lagi. Mendadak, daun pintu benar-benar terbuka dan seorang tampak
melangkah masuk...... Namun yang masuk ini bukanlah Ciok Siu-hun yang manis itu
melainkan seorang lelaki kekar berewok dengan bau arak yang
menusuk hidung. "He, Siau Oh, mengapa kau datang ke sini?" seru Coh Liu-hiang.
Si berewok peminum ini memang betul Oh Thi-hoa adanya,
kawan karib Coh Liu-hiang, kawan sehidup semati. Oh Thi-hoa tidak
menjawab pertanyaan itu, dia menggeleng dan berkata dengan
tertawa, "Kutu busuk tua, kau benar-benar lihai....... Dengan cara
bagaimana kau memikat anak perempuan itu" Harus kau ajarkan
resepmu ini kepadaku."
Coh Liu-hiang menyengir, sukar baginya untuk mengutarakan
perasaannya, katanya, "Untuk apa kuajari kau, tiada gunanya, sebab
setiap anak perempuan pasti akan lari terbirit-birit bila melihatmu."
Meski maksud Coh Liu-hiang sengaja hendak membikin marah
Oh Thi-hoa, tapi ia pun tahu Oh Thi-hoa tidak nanti marah, ia pun
tahu Oh Thi-hoa tidak nanti sedih atau kesal, memang sulit untuk
membuat kesal Oh Thi-hoa.
Di luar dugaan, setelah mendengar cemooh Coh Liu-hiang tadi,
seketika wajah Oh Thi-hoa berubah murung dan tidak dapat tertawa
lagi, sampai lama ia berdiri melenggong, habis itu mendadak ia
menampar muka sendiri satu kali sambil berteriak, "Betul, ucapanmu
memang betul. Aku ini setan arak, miskin pula, orang malas, kotor,
bermuka buruk. Jika anak perempuan tidak lari melihat diriku barulah
aneh." Coh Liu-hiang jadi melengak juga. Ia tahu Oh Thi-hoa bukan
kawan yang tidak boleh diajak berkelakar, sudah lebih dari 20 tahun
ia kenal Oh Thi-hoa, ia kenal watak kawannya ini seperti kenal
dirinya sendiri. Selamanya Oh Thi-hoa bergembira ria dan tidak
kenal apa artinya kesal apalagi susah
Tapi mengapa sekarang berubah menjadi begini"
205 Apakah dia sakit" Dilihatnya mata Oh Thi-hoa menjadi merah
dan basah, ternyata hampir meneteskan air mata
Coh Liu-hiang tertawa geli, katanya, "Siapa bilang kau bermuka
buruk" Orang yang berkata begitu tentu buta matanya. Coba lihat,
hidungmu, alismu, matamu.....ya lebih-lebih sepasang matamu ini, di
antara seratus ribu orang juga sukar dicari seorang yang mempunyai
mata sejeli matamu ini."
Tanpa terasa Oh Thi-hoa meraba-raba matanya sendiri,
tampaknya ia menjadi senang, tapi tiba-tiba ia menggeleng pula,
katanya dengan bersungut, "Tapi seumpama benar mataku ini
sangat bagus, kan juga tiada gunanya jika aku seorang miskin."
"Seorang lelaki, seorang jantan sejati, apa salahnya jika cuma
miskin sedikit?" ujar Coh Liu-hiang. "Asalkan jiwamu teguh, tulangmu
keras....... Kan tidak semua anak perempun di dunia ini mata duitan,
hanya mengutamakan uang melulu?"
Tanpa terasa Oh Thi-hoa membusungkan dada, tapi segera
mengkeret lagi, katanya pula sambil menggeleng, "Cuma sayang,
aku pun seorang setan arak, pemabuk."
"Apa jeleknya orang minum arak?" kata Coh Liu-hiang dengan
tertawa. "Justru minum arak barulah dapat menonjolkan sifat
kejantananmu. Sejak dahulu kala hingga kini, setiap orang besar,
orang ternama, hampir semuanya pasti suka minum arak. Bilamana
anak perempuan melihat caramu minum yang gagah, tentu dia akan
jatuh hati padamu," Oh Thi-hoa tetap menggeleng, katanya, "Kata-katamu tiada
gunanva, anak perempuan tetap akan lari melihatku."
"Anak prempuan mana yang akan lari melihatmu?" tanya Coh
Liu-hiang, "Kuyakin dia justru malah akan mengejarmu Masakah
sudah kau lupakan Ko A-lam (bekas pacar Oh Ti-hoa), itu murid
kenamaan Hoa-san-pay, lantaran dia ingin jadi isterimu, maka dia
telah mengubermu selama dua-tiga tahun."
Apa yang dikatakan Coh Liu-hiang memang betul.
206 Dahulu, pada suatu siang di musim panas, ketika mereka asyik
minum arak di danau Bok-jiu-oh, di situ Oh Thi-hoa telah mabuk
dalam keadaan sadar tak sadar ia telah berjanji akan kawin dengan
Ko A-lam yang tergila-gila padanya itu.
Akan tetapi esoknya ia telah melupakan semua kejadian itu dan
dengan sendirinya juga janjinya. Namun Ko A-lam sendiri tidaklah
lupa dan mendesak Oh Thi-hoa harus kawin dengannya sesuai
Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
janjinya. Nona itu mengancam, apabila Oh Thi-hoa ingkar janji, maka
dia akan kehilangan muka dan akan bunuh diri.
Tentu saja Oh Thi-hoa menjadi kelabakan, larilah dia terbirit-birit
dan dikejar-kejar oleh Ko A-lam. Menurut cerita Oh Thi-hoa sendiri,
sesudah dua tiga tahun si nona menguber dan minta kawin padanya.
Peristiwa ini boleh dikatakan kejadian menyenangkan bagi Oh
Tld-hoa, Coh Liu-hiang mengira kawannya itu akan gembira bila
diingatkan kejadian ini. Siapa duga, begitu mendengar nama Ko A-lam, seketika wajah
Oh Thi-hoa berubah murung seperti orang yang habis kalah judi.
Coh Liu-hiang merasa heran, ia coba bertanya, "Jangan-jangan
kau bertemu lagi dengan Ko A-lam?"
"Ehm," Oh Thi-hoa mengangguk.
"Masa dia tetap tak gubris padamu?" tanya Coh Liu-hiang
dengan tercengang. "Ya, dia......dia tidak menggubris diriku, seperti tidak mau kenal
lagi," sehabis berucap begitu, ia lantas lemas dan lesu seperti anak
kecil yang habis dimarahi sang ibu.
Coh Liu hiang tambah heran, ia tarik Oh Thi-hoa dan
menyuruhnya duduk, tanyanya kemudian, "Sebenarnya apa yang
terjadi, coba ceritakan?"
"Begini," tutur Oh Thi-hoa, "Suatu hari kudapatkan dua guci arak
simpanan lama,kucari si jaring kilat Thio Sam, sebab ikan
panggangnya terkenal paling lezat, kuingat kaupun sangat suka
makan ikan panggangnya."
207 "Betul," jawab Coh Liu-hiang, "Hanya ikan panggangnya yang
cocok dengan seleraku, tidak amis, tidak hangus, tetapi tetap terasa
segarnya ikan." "Begitulah waktu kami sedang duduk di haluan kapal sambil
makan ikan panggang dan minum arak, tiba-tiba sebuah perahu
meluncur lewat dengan cepat, tiga penumpang itu, satu di antaranya
sudah kukenal." "Ko A-lam bukan?" tukas Coh Liu-hiang.
Oh Thi-hoa mengangguk, katanya dengan menyesal, "Betul
memang dia. Aku pun terkejut waktu itu, segera kususul dan
bermaksud menyapa dia, siapa tahu dia sama sekali tidak mau
menggubris diriku, dengan segala cara kugapai dia, tapi dia seperti
tidak melihatku." "Bisa....... bisa jadi dia memang tak melihatmu," kata Coh Liuhiang.
"Siapa bilang?" ujar Oh Thi-hoa. "Dia duduk di dekat jendela,
malahan melototi aku sekian lama, tapi mendelik seperti patung.
Waktu kususul, dia masih tetap berduduk di dekat jen dela kabin
perahu, tidak mau menggubris padaku pula."
"Kenapa tidak kau lompat ke atas perahunya dan langsung
menanyai dia?" "Aku tidak berani?" jawab Oh Thi-hoa dengan bersungut.
"Kau tak berani" Hahaha, mengapa" Paling-paling di depak
jatuh ke sungai," kata Coh Liu-hiang dengan tertawa.
"Kau tidak tahu, di antara tiga penumpang perahunya itu terdapat
juga gurunya, yaitu si Nikoh tua dari Hoa-san-pay. Aku menjadi rada
takut....... Aku tidak takut pada orangnya, hanya takut pada wajahnya
itu." Ciangbunjn Hoa-san-pay sekarang, yaitu Koh-bwe Taysu si
Nikoh tua guru Ko A-lam yang dimaksud Oh Thi-hoa, adalah seorang
tokoh beribadat tinggi, konon sudah ada 30 tahun Nikoh itu tidak
208 pernah memperlihatkan wajah tersenyum, karena itu setiap orang
Kangouw sama ketakutan bila melihat mukanya yang kaku dan
dingin itu. Tergerak hati Coh Liu-hiang mendengar guru Ko A-lam itu juga
berada di perahu itu, katanya, "Koh-bwe Taysu kan sudah lebih 20
tahun tidak pernah menginjak dunia ramai, sekali ini mengapa dia
turun gunung lagi?" Tiba-tiba ia sangat tertarik oleh kejadian ini, ia yakin, bila tiada
urusan penting, tidak nanti Koh-bwe Taysu turun gunung lagi. Dan
kalau Nikoh (biksuni) tua itu sampai turun gunung, maka pasti telah
terjadi sesuatu luar biasa.
Mendadak Coh Liu-hiang tepuk pundak Oh Thi-hoa dan berkata,
"Jangan kau kesal, tunggu setelah urusan di sini sudah kubereskan,
segera kutemani kau mencari Ko A-lam untuk tanya padanya, apa
sebabnya dia tidak menggubris dirimu lagi?"
Ujung mulut Oh Thi-hoa bergerak-gerak, tiba-tiba ia ber kata,
"Jika kau melihat Koh-bwe Taysu. tentu kau pun terkejut."
"Memangnya kenapa?" tanya Coh Liu-hiang.
"Sebab dia sudah Hoan-siok (piara rambut dan kembali pada
kehidupan orang biasa lagi)," kata Oh Thi-hoa.
"Apa" Koh-bwe Taysu telah Hoan-siok" Ah, persetan kau!" omel
Coh Liu-hiang. Setiap orang Kangouw tahu Koh-bwe Taysu sudah cukur rambut
dan manjadi Nikoh selama lebih 40 tahun, tinggi ibadat nya,
hidupnya prihatin, kalau dibilang dia juga bisa Hoan-siok, maka hal
itu bisa lebih mengejutkan daripada orang bilang Coh Liu-hiang telah
menjadi Hwesio. Dengan menyengir Oh Thi-boa berkata pula, "Aku sendiri tahu
bilamana kukatakan hal ini pasti takkan dipercaya oleh siapa pun
juga. Akan tetapi kenyataannya memang begitu Koh-bwe Taysu
benar-benar telah Hoan-siok."
"Mungkin kau pangling dan salah lihat," ujar Coh Liu-hiang.
209 "Tidak, tak mungkin salah lihat," jawab Oh Thi-hoa. "Wajah Kohbwe
Taysu tak nanti dilupakan oleh siapa pun juga yang pernah
melihatnya, apalagi aku."
"Akan tetapi......."
"Waktu kulihat dia, rambutnya sudah tumbuh panjang, beruban
dan jarang," tutur Oh Thi-hoa. "Dia berjubah sulaman bunga merah,
tangan memegang tongkat, mirip benar seorang nenek keluarga
bangsawan yang anggun."
Coh Liu-hiang melongo dan tidak sanggup berkata lagi.
Bahwa Koh-bwe Taysu turun gunung, sudah cukup membuatnya
terkejut, bahwa Koh-bwe Taysu telah Hoan-siok, lebih-lebih sukar
untuk dipercaya. Di balik persoalan ini, pasti menyangkut suatu
urusan yang aneh dan misterius. Maka semakin tertarik pula Coh
Liu-hiang oleh peristiwa aneh ini.
Mendadak ia melompat bangun dan berlari keluar secepat
terbang sambil berseru, "Kau tunggu di sini, sekitar lohor pasti aku
kembali dan kita dapat pergi bersama."
********** Rekaan Coh liu-hiang memang tidak meleset Di dunia Kangouw
memang telah terjadi suatu peristiwa besar, siapapun yang ikut
campur urusan ini pasti akan mendatangkan bencana kematian
baginya. Kalau Coh Liu-hiang pintar, seharusnya dia menghindarinya
jauh-jauh. Cuma sayang, orang pintar terkadang juga bisa berbuat
kebodohan. TAMAT Kisah Para Pendekar Pulau Es 16 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Laron Pengisap Darah 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama