Ceritasilat Novel Online

Medali Wasiat 2

Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong Bagian 2


menyatakan tidak tahu, maka pastilah tidak tahu. Maka Banciong
lantas berkata pula: "Oh, karena Ciok-cengcu sama sekali
tidak mengetahui...................."
"Jadi Giok-ji (anak Giok) sekarang tidak berada di Leng-siausia?"
sela Bin Ju yang sangat memperhatikan keselamatan
puteranya itu. Ban-ciong mengangguk, Sedangkan Ban-jim lantas berkata:
"Kalau bocah itu saat ini berada di Leng-siau-sia, biarpun dia
punya seratus lembar jiwa juga sudah amblas semua!"
Diam-diam Ciok Jing mendongkol. Pikirknya: "Sebabnya aku
mengirim anak Giok belajar silat keperguruan kalian adalah
lantaran aku menghargai ilmu silat Swat-san-pay kalian.
Seumpama karena usianya masih muda dan sifatnya nakal
sehingga telah melanggar sesuatu larangan perguruan, untuk
mana paling tidak kalian juga mengingat kehormatan suamiisteri
kami dan tidak boleh sembarangan membunuhnya."
Walaupun demikian pikirnya, tapi lahirnya dia tetap tenangKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
tenang saja. Sahutnya dengan tawar: "Peraturan-peraturan
perguruan kalian yang keras itu memang cukup kuketahui.
Justru kamipun ingin Giok-ji dapat belajar sedikit peraturanperaturan
yang baik itu, makanya kami kirim anak itu ke Lengsiausia kalian." Mendadak wajah Khong Ban-ciong agak masam dan berkata:
"Ucapan Ciok-cengcu ini terlalu memuji. Akan tetapi akhlak si
Ciok Tiong-giok yang bejat dan perbuatannya yang durhaka
dan jahat itu sekali-kali bukanlah ajaran Swat-san-pay!"
Bab 4. Ciok Tiong-Giok, Anak Bejat & Durhaka
"Akhlak bejat dan perbuatan durhaka" Darimanakah dapat
dikatakan demikian?" tanya Ciok Jing dengan kurang senang.
"Hoa-sumoay," tiba-tiba Ban-ciong berkata kepada Ban-ci,
"harap kau periksa kesana, coba awasi kalau-kalau ada orang
datang." Hoa Ban-ci mengiakan dan segera menyingkir dengan
menjinjing pedang. Ciok Jing saling pandang sekejap dengan isterinya. Mereka
tahu sebabnya Kheng Ban-ciong menyuruh Hoa Ban-ci
menyingkir adalah karena ada ucapan-ucapan yang tidak
pantas didengar oleh kaum wanita muda.
Dan sesudah menghela napas, lalu Kheng Ban-ciong bicara
pula. "Ciong-cengcu, bahwasannya Pek-suheng kami tiada
mempunyai putera, melainkan cuma mempunyai seorang
puteri, hal ini tentu kaupun tahu. Sutitli (murid keponakan
perempuan) kami itu usianya baru 12 tahun, pintar dan cerdik,
lincah menyenangkan, selain Pek-suheng suami-isteri, bahkan
Suhu dan Subo kami juga menganggapnya sebagai mutiara
jantung hati mereka. Sebab itulah Sutitli kami itu menjadi mirip
Tuan Puteri dari Leng-sian-sia di Tay-swat-san, dengan
sendirinya seluruh saudara perguruan kami juga
menyanjungnya sebagai dewi."
Ciok Jing mengangguk, katanya: "Oh, apa barangkali puteraku
yang kurang ajar itu telah berbuat salah kepada puteri cilik
itu?" "Berbuat salah, kata-kata ini terlalu ringan baginya," ujar Banciong.
"Dia....... dia.......... justru sembrono dan telah
meringkus Sutitli kami itu, kaki-tangannya diikat kencang,
pakaiannya dibelejeti hingga telanjang bulat, lalu bermaksud
memperkosanya!" "Haaaaaaa!" Ciok Jing dan Bin Ju sampai berseru kaget terus
berbangkit. Air muka Bin-ju sampai pucat pasi.
"Ma........... mana boleh jadi?" kata Ciok Jing. "Usia Tiong-giok
baru 15 tahun, kukira didalam hal ini tentu ada kesalahpahaman."
"Memangnya semula kamipun mengira kejadian itu terlalu
janggal," sahut Ban-ciong. "Tapi hal ini memang benar-benar
terjadi. Dua pelayan pribadi Sutitli kami itu ketika mendengar
suara percekcokan yang ribut, mereka lantas memburu
kedalam kamar dan segera mereka berteriak-teriak minta
tolong demi nampak adegan didalam kamar itu. Akibatnya
seorang pelayan itu lengannya terkutung sebelah dan seorang
lagi sebelah kakinya juga buntung, semuanya jatuh pingsan.
Untuk juga karena datangnya pelayan-pelayan itu telah
membikin anak durhaka itu menjadi takut dan lantas melarikan
diri dan tidak berani melanjutkan perbuatannya yang terkutuk
itu." Perlu diketahui bahwa didunia persilatan selamanya
memandang soal pelanggaran kehormatan wanita sebagai
suatu larangan paling keras. Kaum bandit dan sebagainya dari
kalangan Hek-to boleh merampok, membegal, membunuh
orang dan membakar rumah, semuanya itu boleh dikata jamak
bagi mereka, tetapi bila sampai melanggar larangan
"perjinahan", betapapun hal ini tak dapat diampuni oleh
sesama kaum mereka. Karena itulah Bin Ju menjati kuatir dan bingung, sambil
menarik-narik lengan baju Ciok Jing ia bertanya "Siangkong,
lan........... lantas bagaimana baiknya?"
Ciok Jing sendiripun bingung demi mendengar berita yang luar
biasa itu. Dia paling mengutamakan keluhuran budi sesama
orang Kang-ouw, kalau dia mendengar puteranya cuma
membunuh orang atau berbuat sesuatu kesalahan lain,
betapapun besar malapetaka itu tentu juga akan diambil oper
olehnya. Tapi sekarang persoalannya sungguh luar biasa dan
entah cara bagaimana harus diselesaikan. Andaikan sekarang
puteranya berada disisinya juga bukan mustahil akan
dibunuhnya sendiri. Sesudah tenangkan diri sejenak, Ciok Jing bertanya: "Jika
demikian, berkat Tuhan yang maha pengasih, jadi nona Pek
masih suci bersih dan tidak sampai dinodai oleh puteraku yang
celaka itu, bukan?" "Ya, tidak," sahut Ban-ciong. "Walaupun demikian toh juga
tidak banyak bedanya. Kau sendiri cukup kenal tabiat Suhu
kami. Beliau seketika memerintahkan orang mencari Cionggiok
dengan pesan siapa saja yang melihat anak itu boleh
seketika dibunuh saja dan tidak perlu diberi ampun."
"Suhu mengatakan bahwa beliau mempunyai hubungan baik
dengan kau, bila Tiong-giok ditangkap kembali, mengingat
dirimu tentu beliau tidak enak mencabut nyawanya, maka lebih
baik dibunuhnya saja diluar supaya lekas beres," demikian
Ban-jim menyambung. Ban-ciong melotot sekali kepada sang Sute, agaknya kurang
senang karena Ban-jim ikut menimbrung.
Tapi Ban-jim lantas menambahkan: "Memang demikian pesan
Suhu, masakan aku salah omong?"
Ban-ciong tidak gubris lagi padanya dan menyambung:
"Sebenarnya kalau cuma dua pelayan saja yang dilukai adalah
bukan sesuatu yang hebat. Namun Sutitli kami itu biarpun
usianya masih kecil, tapi tabiatnya ternyata sangat keras. Dia
merasa dirinya telah mengalami hinaan dan tercemar, ia
merasa malu dan tidak mau menemui siapapun, sesudah
menderita dua hari, pada malam hari ketiga mendadak ia
melompat keluar melalui jendela terus menerjang kedalam
jurang yang tak terkirakan dalamnya untuk membunuh diri!"
Kembali Ciok Jing dan Bin Ju berteriak kaget. "Dan
apakah........... apakah dapat diselamatkan?" tanya Ciok Jing.
"Jurang di Leng-siau-sia kami itu tentu diketahui juga oleh
Ciok-cengcu, jangankan manusia, sekalipun sepotong batu juga
akan hancur bila dijatuhkan kedalam jurang itu," sahut Banciong.
"Apalagi seorang nona cilik yang lembut, sekali terjun
kebawah jurang mustahil tidak lantas hancur lebur?"
"Yang paling penasaran boleh dikata adalah Toasuko kami,"
demikian seorang murid Swat-san-pay berusia antara 27-28
tahun dan bernama Kwa Ban-kin, telah menyeletuk. "Tanpa
sebab apa-apa sebelah lengannya telah ditabas kutung oleh
Suhu kami." "Ha" Hong-hwe-sin-liong?" seru Ciok Jing kaget.
"Ya, siapa lagi?" sahut Kwa Ban-kin. "Saking sayangnya
kepada cucu perempuannya, sedangkan puteramu belum juga
tertangkap. Suhu menjadi marah-marah dan menialahkan
Hong-suheng tidak benar mendidik muridnya, dalam gusarnya
beliau lantas melolos pedang yang dibawa Hong-suheng dan
menabas sebelah lengannya. Sungguh kasihan, Hong-suheng
yang berkepandaian sedemikian tingginya sejak itu lantas
menjadi cacat untuk selamanya. Berhubung dengan itu Subo
lantas menegur Suhu mengapa sembarangan menghukum
muridnya yang tak berdosa. Tapi Suhu tambah marah sehingga
suami-isteri bercekcok sendiri didepan para muridnya, makin
cekcok makin tegang dan entah kejadian lama apa yang telah
disinggung-singgung Subo, akhirnya Suhu telah menampar
muka Subo. Dalam gusarnya Subo terus angkat kaki dan
minggat serta menyatakan takkan menginjak kembali ke Lengsiausia!" Sungguh malu Ciok Jing tak terhingga atas peristiwa itu.
Karena dirinya sangat kagum atas ilmu silat Hong-hwe-sinliong
Hong Ban-li, sinaga sakti api dan angin, itu murid tertua
kaum Swat-san-pay, makanya dirinya telah mengirimkan
puteranya, yaitu Tiong-giok, untuk belajar padanya. Siapa
duga gara-gara perbuatan sang putera yang durhaka itu
sehingga mengakibatkan Hong Ban-li ikut-ikut menjadi cacat
seumur hidup. Padahal Hong Ban-li terkenal karena ilmu
pedangnya yang cepat dan keras sebagai angin dan api
sehingga memperoleh julukan sebagai Hong-hwe-sin-liong.
Sekarang tiba-tiba telah terkutung sebelah lengannya,
sedangkan musuhnya sangat banyak, maka untuk selanjutnya
mungkin dia tidak berani berkelana lagi didunia Kang-ouw. Ai,
sungguh tidak enak sekali terhadap sahabat yang baik itu.
Demikian pikir Ciok Jing.
Dalam pada itu terdengar Ong Ban-jim telah berkata: "Kwasute,
kau bilang Toasuheng kita sangat penasaran,
memangnya Pek-suheng lantas tidak penasaran" Puterinya
sudah mati, isterinya menjadi gila lagi."
"Ha" Meng....... mengapa Pek-hujin menjadi gila pula?" tanya
Ciok Jing dan Bin Ju berbareng. Sungguh malu mereka tak
terhingga, mereka menjadi lebih kuatir entah apalagi yang
terjadi di Leng-siau-sia karena gara-gara perbuatan putera
mereka yang tak genah itu.
"Apalagi kalau bukan lantaran perbuatan putera kalian yang
baik itu?" jengek Ong Ban-jim. "Karena kematian keponakan
puteri kami itu, Pek-suko lantas mengomeli Pek-suso, katanya
dia kurang baik menjaga puteri mereka itu sehingga dapat lari
keluar rumah dan membunuh diri. Memangnya Pek-suso tidak
kepalang sedihnya atas meninggalnya sang puteri, sekarang
diomeli pula oleh sang suami, dia menjadi tambah berduka dan
berteriak-teriak memanggil nama puterinya, seketika itu juga
pikirannya menjadi kurang waras dan terpaksa dijaga keras
oleh dua orang Suci kami, agar tidak sampai terjadi apa-apa
lagi atas diri Pek-suso. Coba katakanlah Ciok-cengcu, jika Peksuso
kami lantas mendatangi tempat kalian dan membakar
Hian-so-ceng, kau bilang pantas atau tidak?"
"Ya, pantas, harus dibakar!" sahut Ciok Jing. "Sungguh kami
suami-isteri merasa sangat malu, biarpun menjelajahi setiap
pelosok jagat raya inipun anak durhaka itu harus kami tangkap
kembali dan akan kami bawa ke Leng-siau-sia untuk dihukum
mati didepan perabuan nona Pek................."
Mendengar sampai disini, mendadak Bin Ju menjerit sekali dan
lantas jatuh pingsan didalam pelukan sang suami. Cepat Ciok
Jing memijat-mijat Jin-tong-hiat dibagian bibir atas sang isteri
dan lambat laun barulah Bin Ju siuman kembali.
"Ciok-cengcu," kata Ban-jim pula. "Bahkan ada dua jiwa Swatsanpay kami mungkin harus pula diperhitungkan atas utang
Hian-so-ceng kalian."
"Mengapa masih ada dua jiwa lain lagi?" tanya Ciok Jing kaget.
Selama hidup Ciok Jing sebenarnya sudah kenyang dengan
pukulan-pukulan yang bagaimanapun hebatnya, tapi tiada yang
lebih menyedihkan seperti apa yang dialaminya sekarang ini.
Dahulu waktu puteranya yang kedua bernama Ciok Tiong-kian
dibunuh oleh musuhnya, walaupun dia juga berduka dan murka
sekali, tapi tidaklah seperti sekarang, sudah malu merasa
kuatir pula, dan lantaran itu suaranya menjadi agak parau.
Dalam pada itu Ong Ban-jim telah berkata pula: "Karena
peristiwa yang hebat ini, maka Suhu telah mengirim 18 orang
muridnya turun gunung dengan dipimpin oleh Pek-suheng
dengan tujuan untuk membakar Hian-so-ceng kalian. Bahkan
beliau mengatakan.......... mengatakan............" " Sampai
disini ia menjadi tergagap-gagap dan ragu-ragu untuk
menerangkan. Tertampak juga Kheng Ban-ciong berulangulang
mengedipi sang Sute itu. Maka tahulah Ciok Jing kata-kata apa yang tidak diterangkan
oleh Ong Ban-jim itu. Segera ia menyambungnya: "Tentunya
beliau mengatakan kami suami-isteri akan ditawan ke Tayswatsan untuk menggantikan jiwanya nona Pek?"
"Ah, Ciok-cengcu janganlah berkata demikian," cepat Banciong
menyela. "Jangankan kami tidak berani, sekalipun berani,
apakah dengan sedikit kepandaian kami yang kasar ini, mampu
mengundang Ciok-cengcu" Suhu hanya mengatakan bahwa
putera kalian itu betapapun harus diketemukan. Cuma saja
usianya meski masih muda, tapi orangnya sangatlah cerdik,
kalau tidak demikian masakah dia mampu lolos tanpa bekas
dari pengawasan orang-orang Leng-siau-sia yang berjumlah
sebanyak ini?" "Giok-ji tentu sudah mati, tentu juga terjerumus kedalam
jurang," ujar Bin Ju dengan mencucurkan air mata.
"Tidak," ujar Ban-ciong sambil menggoyang kepala. "Tapak
kakinya jelas kelihatan ditanah salju yang menandakan dia lari
terus kebawah gunung. Sungguh memalukan untuk
dibicarakan, kami orang dewasa sebanyak ini ternyata tidak
mampu menangkap seorang anak muda yang baru berumur 15
tahun. Sesungguhnya Suhu kami hanya ingin mengundang
Ciok-cengcu berdua ke Leng-siau-sia untuk berunding
seperlunya atas kejadian ini."
"Bicara kesana-kesini akhirnya ternyata juga inginkan
pertanggung-jawabanku atas kematian nona Pek," kata Ciok
Jing. "Dan Ong-suheng tadi bilang ada dua jiwa lagi,
sebenarnya bagaimana jadinya?"
"Tadi aku mengatakan kami ber-18 orang diperintahkan turun
gunung oleh Suhu," jawab Ban-jim. "Ditengah jalan kami
membagi diri pula menjadi dua rombongan. Rombongan
pertama dipimpin Pek-suheng menuju ke Kanglam, sedangkan
rombongan lain dipimpin Kheng-suheng dan menuju ke
Tionggoan sini untuk mencari jejaknya puteramu. Tapi sungguh


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sial........." "Sudahlah, Ong-sute, tak perlu diteruskan lagi, kejadian itu
toh tidak ada sangkut-pautnya dengan Ciok-cengcu," sela Banciong.
"Mengapa tiada sangkut-pautnya?" bantah Ban-jim. "Coba
kalau bukan gara-gara anak durhaka itu, tentu jiwa Sun-suko
dan Cu-sute tidak sampai melayang secara aneh. Pula,
sebenarnya siapa pembunuh mereka juga tak diketahui, kalau
kelak kita ditanyai Suhu, lantas cara bagaimana kita harus
menjawab" Dan kalau Suhu sampai murka lagi, mungkin
lenganmu juga akan ditabas olehnya. Sekarang kita isengiseng
mencari keterangan kepada Ciok-cengcu suami-isteri
yang luas pengalamannya toh tiada jeleknya?"
Kheng Ban-ciong menjadi ngeri juga bila membayangkan
betapa celakanya kalau sebelah lengannya juga ditabas seperti
Hong-suhengnya. Memang tiada jeleknya untuk mencari
keterangan pada Ciok Jing berdua daripada menghadapi jalan
buntu dan susah memberi pertanggungan-jawab kepada sang
guru. Terpaksa ia berkata: "Ya, terserahlah, jika kau suka
boleh kau ceritakan."
Maka Ban Jim lantas melanjutkan: "Ciok-cengcu, tiga hari
yang lalu kami telah mendapat berita katanya ada seorang she
Go telah memperoleh Hian-tiat-leng dan sekarang sembunyi
disuatu kota kecil dengan menyamar sebagai penjual siopiasiopia.
Diam-diam kami lantas berunding. Kami merasa dalam
usaha mencari Tiong-giok kami hanya bisa secara untunguntungan
saja, habis dunia seluas ini kemana kami harus pergi
mencari dia" Kalau sepuluh tahun tidak ketemu, itu berarti
selama sepuluh tahun kami tidak dapat pulang ke Leng-siausia.
Tetapi kalau kami dapat merebut Hian-tiat-leng itu,
andaikan tetap tidak dapat menemukan puteramu, paling tidak
kami akan dapat memberi pertanggungan-jawab kepada Suhu
dengan medali wasiat itu. Ditengan perundingan itu, mau tak
mau ada juga diantara kami lantas mencaci-maki puteramu itu,
dimakinya puteramu yang masih kecil itu sudah berani mati
melakukan perbuatan yang durhaka dan merusak, sungguh
harus dihukum mati. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara
tertawa seorang tua sambil berkata: "Hahaha! Bagus, bagus
sekali! Pemuda seperti itu benar-benar jarang terdapat didunia
ini! Benar-benar berbakat bagus dan berkwalitet tinggi dan
susah dicari bandingannya!"
Ciok Jing lantas pandang sekejap dengan sang isteri. Mereka
tidak merasa senang atas pujian-pujian setinggi itu terhadap
putera mereka, sebaliknya mereka merasa tertusuk.
Dalam pada itu Ban-jim telah melanjutkan: "Pembicaraan kami
waktu itu dilakukan dikamar hotel yang dikelilingi dinding
tembok yang rapat, akan tetapi suara orang itu dapat
menembus tembok dan terdengar dengan jelas seperti orang
bicara berhadapan saja. Sebaliknya suara pembicaraan kami
dilakukan dengan sangat perlahan dan entah cara bagaimana
dapat didengar olehnya."
Hati Ciok Jing dan Bin Ju tergetar. Pikir mereka: "Dapat
mendengar suara pembicaraan orang dari balik dinding, boleh
jadi karena dinding itu ada sesuatu lubang atau celah-celah,
atau mungkin orang itu mencuri dengar diluar jendela kamar.
Tapi mungkin juga pembicaraan orang-orang ini dilakukan
dengan suara keras, sebaliknya mereka sendiri mengira
berbicara dengan pelan. Hal-hal ini pun tidak terlalu
mengherankan. Tapi dia bicara dibalik tembok sana dan dapat
didengar dengan jelas oleh orang lain, hal inilah yang sulit dan
harus memiliki lweekang yang sempurna. Maka jelas orangorang
Swat-san-pay ini telah bertemu dengan orang kosen
ditengah jalan. Ya, mereka benar-benar sial, suatu perkara
belum selesai sudah timbul pula perkara yang lain."
"Kami menjadi kaget demi mendengar suara orang itu,"
demikian Kwa Ban-kin menggantikan cerita sang Suheng.
"Segera Ong-suko membentak: "Siapa itu" Apa sudah bosan
hidup, maka berani mendengarkan pembicaraan kami?" "
Karena bentakan Ong-suko tadi, suara disebelah lantas diam.
Akan tetapi sejenak kemudian kembali terdengar bangsat tua
itu berkata lagi: "A Tong, mereka itu adalah orang-orang Swatsanpay. Guru mereka itu biasanya paling dibenci kakek.
Seorang anak muda ternyata dapat mengkocar-kacirkan
keluarga setan tua dari Swat-san-pay itu, hal ini sungguh
sangat menarik. Hehe, sungguh menarik!" " Mendengar itu,
seketika kami menjadi murka dan hendak bertindak, tapi
Kheng-suko telah memberi tanda agar kami jangan bersuara
lagi. "Benar juga, segera terdengar suara tertawa seorang anak
perempuan sambil berkata: "Ya, sungguh menarik". " Lalu
terdengar bangsat tua semula batuk-batuk beberapa kali dan
menjawab, "Kalau setan tua itu mati konyol karena gusarnya
juga tidak terlalu menarik. Kapan-kapan kalau kakek ada
tempo senggang, biarlah nanti kakek membawa kau ke Tayswatsan untuk membikin setan tua itu marah-marah dan mati
konyol, dengan demikian barulah menarik."
"Sungguh kurang ajar orang itu," ujar Ciok Jing. "Apa yang dia
andalkan sehingga dia berani kurang hormat kepada Peksupek"
Sekali-kali kita tak boleh tinggal diam atas ucapanucapannya
itu!" "Memang," sahut Ban-jim. "Sedemikian takaburnya bangsat
tua itu, biarpun mengadu jiwa juga kami akan melabrak dia.
Tapi pada waktu kami merasa murka itulah, tiba-tiba kami
mendengar suara berkeriutnya pintu dibuka, dari sebuah
kamar tamu telah keluar dua orang dan menuju kepelataran.
Serentak kami melolos senjata dan hendak menerjang keluar
untuk melabraknya. Tapi Kheng-suko telah mencegah pula dan
suruh kami bersabar. Dalam pada itu terdengar bangsat tua itu
sedang berkata kepada anak perempuan tadi: "A Tong, hari ini
kita telah membunuh berapa orang?" " "Baru satu orang,
kakek," demikian sahut setan cilik itu. Lalu sibangsat tua
menyatakan: "Jika begitu kita boleh membunuh lagi dua
orang!?" "Haa! Satu hari tidak lebih tiga!" seru Ciok Jing mendadak
dengan nada yang mengandung rasa takut.
Sejak tadi Kheng Ban-ciong hanya diam saja, sekarang
mendadak ia bertanya: "Ciok-cengcu, apakah kau kenal
bangsat tua itu?" Ciok Jing menggoyang kepala. "Aku tidak kenal dia," sahutnya.
"Cuma aku pernah mendengar cerita mendiang ayahku,
katanya didunia persilatan ada seorang tokoh yang berjuluk
"Ce-jit-put-ko-sam" (satu hari tidak lebih dari tiga), yaitu bahwa
dalam satu hari paling banyak dia membunuh tiga orang saja.
Sesudah membunuh tiga orang perasaannya menjadi lemas
dan tidak tega membunuh orang keempat lagi."
"Maknya disontek! Satu hari membunuh tiga orang masakah
kurang?" demikian Ban-jim memaki. "Manusia jahat dan kejam
sebagai itu ternyata diberi hidup sampai sekarang ini."
Ciok Jing diam saja dan tidak menanggapi. Tapi dalam hatinya
memikir: "Konon Locianpwe itu she Ting, tindak-tanduknya
susah diraba, baik tidak dan jahatpun tidak. Walaupun
wataknya kejam dan suka membunuh, tapi orang yang
terbunuh olehnya selalu adalah manusia berdosa yang setimpal
menerima ganjarannya dan jarang terdengar Locianpwe itu
membunuh orang yang baik." " Walaupun demikian pikirnya,
tapi ia tidak enak menerangkan karena kuatir menyinggung
perasaan orang-orang Swat-san-pay itu.
Sebaliknya Kheng Ban-ciong lantas bertanya: "Entah bangsat
tua itu bernama siapa dan berasal dari golongan atau aliran
mana?" "Kabarnya dia she Ting, nama aslinya entah siapa, hanya
terkenal dengan julukannya "Ce-jit-put-ko-sam", maka orangorang
dari angkatan tua sama memanggil dia dengan nama
Ting Put-sam (Ting tidak lebih dari tiga)," tutur Ciok Jing.
"Ya, kelakuan bangsat tua itu memang tidak tiga dan tidak
empat," ujar Kwa Ban-kin dengan marah-marah.
"Sebenarnya nama orang ini juga cukup terkenal didalam Bulim,
mungkin Pek-supek ada sedikit permusuhan dengan dia
dan tidak mau menyebut namanya, makanya saudara-saudara
tidak diberitahu," ujar Ciok Jing. "Kemudian lantas
bagaimana?" "Kemudian bangsat tua itu lantas berseru: "Diantara kalian ada
seorang yang bernama Sun Ban-lian dan seorang bernama Cu
Ban-jun atau tidak" Nah, kedua orang itu lekas maju kesini.
Yang lain-lain karena tiada banyak berbuat jahat, biarpun ingin
mampus juga kakek tak sudi membunuhnya!" " Sudah tentu
kami tidak dapat tahan lagi dan beramai-ramai kami
bersembilan lantas menerjang keluar. Akan tetapi, aneh juga,
ditengah pelataran tiada tertampak seorangpun. Segera kami
mencari disekitar situ, aku malah melompat keatas rumah dan
juga tidak terdapat orang. Kwa-sute lantas menerobos kedalam
kamar tamu yang daun pintunya setengah tertutup
itu............... "Ternyata didalam kamar itu hanya tersulut sebatang lilin dan
juga tiada nampak bayangan seorang pun. Selagi kami merasa
heran, tiba-tiba didalam kamar kami sendiri ada suara orang
berseru, itulah suara sibangsat tua, katanya: "Sun Ban-lian,
kau telah berbuat apa dikota Lanciu, dan kau Cu Ban-jun, apa
yang telah kau lakukan di Kengciu" Tuduhan2 ini tentunya
bukan fitnah toh" Nah, lekas kalian masuk kesini!" " Sun-suko
dan Cu-sute menjadi murka, dengan senjata terhunus
keduanya lantas menerjang kedalam kamar. Cepat Khengsuheng
memperingatkan mereka agar ber-hati-hati dan kami
lantas menyusul dibelakang mereka, tapi mendadak pelita
didalam kamar sudah padam dan keadaan menjadi sunyi.
"Aku berteriak-teriak memanggil Sun-suko dan Cu-sute, tapi
tiada jawaban mereka, bahkan didalam kamar juga tidak
terdengar suara beradunya senjata. Seketika kami merinding,
cepat kami menyalakan api, tiba-tiba tertampak kedua kawan
kami itu berlutut kaku disitu, pedang mereka tertaruh
disamping. Waktu kami hendak menarik bangun mereka, tapi
mereka lantas roboh, ternyata keduanya sudah tak bernyawa
lagi. Badan mereka terasa masih hangat dan tiada terdapat
suatu tanda luka, entah dengan cara apa sibangsat tua itu
telah membunuh mereka. Sungguh memalukan kalau
diceritakan, sejak mula sampai akhir tiada seorangpun diantara
kami yang melihat bayangan bangsat tua dan setan perempuan
cilik itu." Selesai Ban-jim menutur, semua orang menjadi terdiam
sampai sekian lamanya. Akhirnya Ciok Jing membuka suara: "Kheng-suheng, bilakah
anakku yang durhaka itu melakukan perbuatan2nya yang tidak
senonoh itu?" "Pada tanggal 9 bulan 12 tahun yang lalu," sahut Ban-ciong.
"Oh, dan hari ini tanggal 12 bulan tiga, jadi Pek-suheng dan
kalian sudah tiga bulan berangkat dari Leng-siau-sia, jika
demikian saat ini Hian-so-ceng tentu sudah dibakar olehnya,"
ujar Ciok Jing. "Begini, Kheng-suheng, pertama kami suamiisteri
toh harus mencari jejak anak durhaka itu, kalau dapat
menangkapnya kembali tentu akan kami bawa ke Leng-siau-sia
untuk minta ampun pada Pek-supek dan Hong-suheng. Kedua,
sekalian kami dapat mencari kabar tentang diri Ting Put-sam
yang berjuluk sehari tidak lebih dari tiga itu, walaupun kami
suami-isteri tidak berani meng-apa-apakan dia, paling tidak
kami juga dapat memberi berita kepada Pek-supek supaya
beliau membereskan sendiri peristiwa kalian itu. Nah, sampai
berjumpa pula!" " Habis berkata ia lantas memberi salam
hormat. "Apa hanya bicara sekian saja lantas kalian hendak.......
hendak tinggal pergi?" tiba-tiba Kwa Ban-kin menyeletuk.
"Habis bagaimana menurut pendapat Kwa-suheng?" tanya
Ciok Jing. "Kami tidak dapat menemukan puteramu, terpaksa minta
kalian suami-isteri ikut kami ke Leng-siau-sia untuk menemui
Suhu kami," sahut Kwa Ban-kin.
"Sudah tentu kami akan pergi ke Leng-siau-sia, cuma harus
tunggu dulu sampai segala urusan menjadi lebih terang," kata
Ciok Jing. Ban-kin memandang kearah Kheng Ban-ciong dan
memandang pula kepada Ong Ban-jim, lalu katanya dengan
kurang senang: "Bila Suhu mengetahui kami sudah bertemu
dengan Ciok-cengcu suami-isteri dan tidak dapat mengundang
kalian kesana, bukankah..... bukankah......."
Sedari tadi Ciok Jing sudah tahu maksudnya hendak main
keroyok untuk memaksa suami-isteri mereka pergi ke Tayswatsan. Tegasnya kalau puteranya tak dapat ditangkap,
maka sang ayah-ibu yang akan dimintai pertanggungan-jawab.
Terpaksa Ciok Jing berkata: "Pek-supek adalah seorang yang
berbudi luhur dan berwibawa agung diwilayah barat, selamanya
Cayhe sangat menghormati beliau sebagai gurunya sendiri.
Apabila Pek-suko berada disini dan atas perintah Pek-supek
mengharuskan Cayhe ikut ke Leng-siau-sia, terpaksa Cayhe
menurut saja. Tapi sekarang, ehm, lebih baik begini saja!" " Ia
lantas menanggalkan pedangnya sendiri bersama sarungnya
yang tergantung diikat pinggang itu, lalu katanya kepada Bin
Ju: "Niocu, silakan kaupun melepaskan pedangmu."
Bin Ju menurut dan melepaskan pedangnya.
Dengan memondong kedua batang pedang yang melintang
diatas kedua tangan itu lalu Ciok Jing menyodorkan kehadapan
Kheng Ban-ciong dan berkata: "Nah, Kheng-suheng, silakan
kau tahan saja senjata kami suami-isteri ini."
Kheng Ban-ciong cukup kenal sepasang pedang hitam-putih ini
adalah senjata mestika yang jarang terdapat didunia persilatan
dan sangat disayangi Ciok Jing suami-isteri, tapi sekarang
mereka telah menanggalkan pedang dan menyerahkan sebagai
sandera, hal ini boleh dikata telah memberi muka besar kepada
Swat-san-pay dan demi sepasang pedang ini kelak suami-isteri
itu terpaksa harus datang ke Leng-siau-sia.
Tapi baru saja Ban-ciong hendak mengucapkan kata-kata
ramah-tamah dan menerima pedang-pedang itu, mendadak
Kwa Ban-kin sudah mendahului berseru: "Jiwa murid
keponakan kami dan sebelah lengan Hong-suheng, bahkan
Pek-suso telah menjadi gila dan Subo meninggalkan Suhu,
ditambah lagi kematian Sun-suko dan Cu-suko yang tidak jelas
perkaranyaa, semua ini apakah cukup diganti oleh sepasang
pedang kalian ini" Kheng-suko mempunyai hubungan baik
dengan kau, tapi aku si orang she Kwa tidak pernah kenal kau!
Nah, orang she Ciok, pendek kata hari ini betapa pun kau harus
pergi ke Leng-siau-sia!"
Ciok Jing tetap tenang-tenang saja, sahutnya dengan
tersenyum: "Dosa puteraku sudah terlalu besar kepada


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

golongan kalian, selain merasa menyesal dan minta maaf apa
yang dapat kukatakan lagi. Kwa-suheng adalah jago muda dari
Swat-san-pay dan berkepandaian tinggi, meski Cayhe belum
pernah kenal, tapi juga sudah lama kagum akan namamu." "
Sambil berkata kedua tangannya tetap memondong sepasang
pedangnya dan menunggu diterima oleh Kheng Ban-ciong.
Diam-diam Kwa Ban-kin menaksir kalau menggunakan
kekerasan untuk memaksa Ciok Jing berdua ikut ke Tay-swatsan,
tentu suatu pertarungan sengit susah dihindarkan.
Sekarang mereka menyerahkan senjata secara sukarela, apa
jeleknya kalau diterima saja dan urusan diselesaikan
belakangan. Karena itu ia menjadi kuatir kalau-kalau mendadak Ciok Jing
membalik pikiran dan menarik kembali pedangnya, segera ia
melangkah maju, kedua tangannya bekerja sekaligus, dengan
Kim-na-jiu-hoat yang lihay segera ia pegang kuat-kuat kedua
barang pedang itu sambil berkata: "Baiklah, untuk sementara
senjata kalian dilucuti dahulu."
Segera ia mengulur tangan hendak mengambil pedang-pedang
itu. Tapi mendadak terasa telapak tangan Ciok Jing seperti
mengeluarkan tenaga lengketan yang kuat sehingga kedua
batang pedang itu susah diangkat. Kwa Ban-kin terkejut, ia
kerahkan segenap tenaga kelengannya dan segera membetot
sekuatnya sambil membentak: "Lepas!"
Tak terduga tenaga lengketan ditangan Ciok Jing mendadak
lenyap sehingga kekuatan membetot Ban-kin yang keras itu
tidak ketemu lawannya, sebaliknya menjadi beban kedua
pergelangan tangan sendiri, maka terdengarlah suara "krak"
sekali, kedua pergelangan tangan keseleo semua, ia menjerit
dan terpaksa membuka tangan sehingga kedua pedang itu
jatuh kembali kedalam tangan Ciok Jing.
Orang lain cukup jelas melihat Ciok Jing sama sekali tidak
menggerakkan jari tangannya, jadi Kwa Ban-kin sendiri yang
terlalu bernapsu membetot sehingga pergelangan tangan
sendiri terkilir. Sakit gusar dan karenakesakitan pula, tanpa
pikir lagi Ban-kin terus ayun sebelah kakinya hendak
menendang keperut Ciok Jing.
"Jangan kurang sopan!" seru Ban-ciong cepat dan menarik
Ban-kin kebelakang sehingga tendangannya mengenai tempat
kosong. Ban-ciong tahu tenaga dalam Ciok Jing sangat lihay, kalau
tendangan Ban-kin itu mengenai sasarannya tentu kakinya
akan patah pula. Sebagai Suheng, kepandaian dan pengetahuan Ban-ciong
dengan sendirinya lebih tinggi daripada Ban-kin. Ia menarik
napas panjang-panjang dan mengerahkan tenaga dalamnya
kesepuluh jarinya, lalu perlahan-lahan digunakan untuk
mengambil kedua batang pedang.
Tapi baru saja ujung jarinya menyentuh pedang, seluruh
badannya lantas tergetar seperti kena aliran listrik. Nyata
tenaga dalam Ciok Jing telah disalurkan melalui batang pedang
untuk menyerangnya. Diam-diam Ban Ciong mengeluh, ia menyangka Ciok Jing
sengaja memasang perangkap untuk mengadu tenaga dalam
dengan dia. Biasanya kalau jago silat sudah mulai tenaga
dalam, maka susahlah untuk mengelakkan diri dan mungkin
baru akan berakhir, bila salah satu pihak sudah tak bisa
berkutik. Karena itu, begitu terasa tenaga dalam lawan menerjang tiba,
cepat Ban-ciong melawan sekuat tenaga. Tak terduga baru saja
tenaga dalam kedua pihak kebentur, seketika tenaga Ban-ciong
terpental balik. Tiba-tiba Ciok Jing menaruh perlahan kedua
batang pedang itu ketangan Ban-ciong, katanya dengan
tertawa: "Kita adalah sahabat baik, mana boleh terjadi selisih
paham?" Sekilas itu Ban-ciong sudah mandi keringat dingin. Ia insaf
tenaga dalam sendiri terlalu jauh dibandingkan tenaga dalam
Ciok Jing. Tadi begitu tenaga dalam kedua pihak kebentur dan
tenaga sendiri kontan terbentur balik, hal ini jelas menandakan
dirinya sekali-kali bukan tandingannya. Untuk sejenak Banciong
tertegun ditempatnya sambil memondong kedua batang
pedang, air mukanya merah jengan dan entah apa yang harus
dikatakan. "Niocu, marilah kita berangkat ke Khayhong saja," segera Ciok
Jing berpaling kepada sang isteri.
Bin Ju tampak masih muram, katanya: "Siangkong, anak
itu............" "Sudahlah, lebih baik dia dibunuh orang seperti anak Kian dan
habis perkara," ujar Ciok Jing.
Air mata Bin Ju lantas berlinang-linang, katanya dengan
senggugukan: "Siangkong, kau.................."
Tapi Ciok Jing lantas menggandeng tangannya dan
membantunya naik keatas kuda.
Melihat wanita yang lemah hati itu, anak-anak murid Swatsanpay itu merasa heran dan susah untuk mempercayai
bahwa dia inilah "Pek-siang-sin-kiam" yang mengguncangkan
Kang-ouw. Melihat Hian-so-siang-kiam (sepasang pedang dari Hian-soceng)
sudah pergi dengan menunggang kuda, segera Hoa Banci
berlari kembali. Dilihatnya Ong Ban-jim sudah membetulkan
tangan Ban-kin yang keseleo itu, sebaliknya Ban-kin masih
mencaci-maki. Sesudah menanyakan apa yang sudah terjadi, Ban-ci
tertampak mengerut kening, katanya: "Kheng-suko, urusan ini
agaknya tidak menguntungkan."
"Mengapa?" tanya Ban-ciong. "Ilmu silat mereka terlalu kuat,
biarpun kita bertujuh mengerubutnya juga belum tentu dapat
menang. Sekarang kita menahan senjata mereka, paling tidak
akan dapat dibuat bukti bila kita ditanyai Suhu." " Sambil
berkata ia coba melolos pedang-pedang itu, tertampaklah
pedang putih berkilau sebagai es dan pedang hitam mengkilap
tajam, nyata dua pedang mestika yang jarang ada
bandingannya. Maka ia lantas menambahkan: "Pedang-pedang
ini bukanlah palsu."
"Sudah tentu pedang-pedang itu tulen," ujar Hoa Ban-ci.
"Soalnya kita tidak mampu menahan orangnya, sekarang
apakah kita mampu menjaga kedua pedang pusaka ini dengan
baik?" Hati Ban-ciong terkesiap. "Apa barangkali Hoa-sumoay telah
melihat sesuatu yang meragukan?" tanyanya.
"Aku menjadi teringat pada tahun yang lalu," demikian tutur
Ban-ci, "pada suatu hari aku telah omong iseng bersama Peksuso
dan membicarakan tentang golok mestika dan pedang
pusaka didunia ini. Tiba-tiba bangsat cilik Ciong Tiong-giok itu
menimbrung, katanya pedang hitam-putih milik ayah-ibunya
adalah senjata maha tajam didunia ini, katanya ayah-ibunya
tega mengirim dia ke Tay-swat-san dan tidak bertemu
bertahun-tahun, tapi tidak tega meninggalkan senjata mereka
itu biarpun satu hari saja. Sekarang Ciok-cengcu sengaja
menyerahkan senjata mereka kepada kita, jangan-jangan
beberapa hari lagi kalau ia menggunakan sedikit akal licik dan
mencuri kembali pedang mereka, kemudian mereka datang lagi
ke Leng-siau-sia untuk meminta kembali senjatanya, cara
demikian tentu akan membikin susah kita sendiri."
"Masakah kita bertujuh menyaksikan pedang mereka ini
diambil kembali begitu saja atau senjata mereka ini dapat
terbang sendiri?" ujar Ban-kin.
"Tapi apa yang dikatakan Hoa-sumoay juga bukannya tidak
beralasan," kata Ban-ciong sesudah memikir sejenak."Ciok Jing
memang bukan tokoh sembarangan, kita harus ber-jaga2 lebih
rapat dan jangan sampai terjungkal lagi ditangannya."
"Ya, apa salahnya kalau kita berlaku lebih hati-hati," sambung
Ban-jim. "Mulai hari ini juga kita enam orang lelaki setiap
malam harus bergilir menjaga sepasang pedang ini. Khengsuheng,
saat ini suami-isteri she Ciok itu sedang berada dikota
Khay-hong, kita akan menuju kesana atau tidak?"
Ban-ciong menjadi ragu-ragu. Khay-hong adalah kota
tersohor, sudah datang di Tionggoan masakah tidak
mengunjungi kota yang terkenal itu, bukankah hal ini terlalu
kentara akan takut kepada musuh. Sebaliknya kalau pergi ke
kota itu dan terang-terangan diketahui Ciok Jing suami-isteri
ada disana, bukankah ini berarti menyerempet bahaya"
Tengah ragu-ragu dan susah mengambil putusa, tiba-tiba
terdengar suara bentakan orang yang keras. Dari depan sana
telah datang serombongan alat-alat negara. Empat tukang
panggul tampak menggotong sebuah joli besar berwarna hijau.
Kiranya pembesar negeri yang telah datang.
Karena disamping mereka menggeletak serangka mayat,
daripada ikut-ikut terseret dalam perkara pembunuhan, lebih
baik tinggal pergi saja. Maka Ban-ciong lantas memberi tanda
kepada kawan-kawannya untuk berangkat.
Tapi baru saja mereka hendak melangkah pergi dengan cepat,
sekonyong-konyong salah seorang petugas negeri didalam
rombongan pendatang itu lantas berteriak-teriak: "Itu dia
kawanan bandit yang telah membunuh orang, jangan dibiarkan
mereka kabur!" Namun Ban-ciong tidak menggubrisnya dan mendesak kawankawannya
lekas angkat kaki saja. Tiba-tiba terdengar petugas itu berteriak pula: "Itu dia,
pembunuhnya bernama Pek Cu-cay, adalah situa bangka yang
belum mampus yang mengetuai Swat-san-pay. Wahai, Pek Cucay
yang tidak berwibawa dan tak berbudi, kau telah
membunuh dan merampok harta orang, kau kenal malu tidak?"
Mendengar itu, sungguh kaget dan gusar murid-murid Swatsanpay itu tidak kepalang. Hendaklah maklum bahwa Pek Cu-cay itu adalah nama guru
mereka, yaitu Ciangbunjin atau ketua Swat-san-pay yang
sekarang. Dikalangan Kang-ouw orang tua itu terkenal dengan
julukan "Wi-tek Siansing" atau tuan yang berwibawa dan
berbudi. Tapi sekarang petugas negeri itu berani meng-olokolok
bahkan mencaci-maki namanya guru mereka, sudah tentu
mereka menjadi murka. Siapakah biang keladi yang memperalat petugas-petugas
negeri itu untuk meng-olok-olok orang-orang Swat-san-pay"
Dapatkah jago-jago Swat-san-pay itu mempertahankan
sepasang pedang mestika"
Kemana perginya sijembel cilik berikut Cia Yan-khek"
Bab 5. Pengemis Yang Tidak Pernah Mengemis
"Sret", seketika Ban-jim melolos pedang dan
balas membentak: "Pembesar anjing yang kurang ajar, biar
kupotong dulu lidahmu dan urusan belakang!"
"Nanti dulu, Ong-sute," buru-buru Ban-ciong mencegahnya.
"Masakah kaum pembesar negeri disini mengenal nama dan
julukan Suhu kita" Kukira dibelakangnya tentu ada biang
keladinya." Habis berkata, segera ia memapak maju, ia memberi salam
hormat dan menegur: "Paduka Tuan siapakah yang tiba ini?"
Tapi sebagai jawaban, sekonyong-konyong dari dalam joli
telah menyambar keluar sebutir Am-gi atau senjata gelap, dan
tepat mengenai "Hok-tho-hiat" dipahanya. Am-gi itu sangat
kecil, tapi daya sambarnya sangat kuat. Kontan kaki Ban-ciong
terasa lemas dan terjungkal. Namun demikian ia adalah murid
terkemuka Swat-san-pay, betapapun tidak boleh terjadi hanya
dalam sejurus saja sudah dirobohkan lawan tanpa balas
menyerang. Karena itu pedang yang dia pegang itu terus
ditimpukkan kearah joli. Walaupun orangnya terjungkal, tapi timpukan pedang dalam
jurus "Ho-hui-kiu-thian" atau burung bangau terbang kelangit
itupun cukup jitu dan lihay, pedang itu dengan tepat telah
menembus kedalam joli dan tampaknya dengan telak
mengenai orang yang menyambitkan Am-gi tadi.
Sudah tentu Ban-ciong sangat girang. Tapi dilihatnya keempat
tukang panggul masuk terus melarikan joli itu kedepan,
sesudah dekat, sekonyong-konyong seutas cambuk panjang
menjulur keluar dari dalam joli dan melilit kekaki Ong Ban-jim
yang saat itu memegang bak-kiam atau pedang hitam milik
Ciok Jing itu, ketika cambuk itu ditarik dan diayunkan, kontak
tubuh Ban-jim terlempar pergi, tahu-tahu pedang hitam yang
dipegangnya itu sudah terampas oleh cambuk panjang.
"Apakah disitu Ciok-cengcu?" teriak Hoa Ban-ci terkejut,
berbareng pedang putih yang dibawanya segera dilolos terus
menabas kecambuk panjang itu.
Tapi mendadak terdengar "cret" sekali, kembali dari dalam joli
menyambar keluar pula sebutir Am-gi dan tepat menyambit
dipergelangan tangan Ban-ci sehingga pedang putih itu
terlepas dari cekalannya.
Cepat salah seorang Suhengnya melompat maju terus
menginjak pedang putih itu dengan sebelah kakinya agar
senjata itu tidak dirampas oleh cambuk. Diluar dugaan tiba-tiba
dari dalam joli lantas menyambar keluar pula sesuatu benda
dan tepat menutup diatas kepalanya. Keruan murid Swat-sanpay
itu kaget setengah mati karena pandangannya menjadi
gelap gulita, cepat ia melompat mundur, lalu membuang
sekuatnya benda yang mengerudungi kepalanya itu. Waktu
dilihat, kiranya adalah sebuah kopiah pembesar yang besar.
Dalam pada itu tertampak cambuk panjang tadi sudah berhasil
melilit pedang putih yang jatuh ketanah itu dan sedang ditarik
kedalam joli. Sudah tentu orang-orang Swat-san-pay tidak rela pedangpedang
itu direbut, beramai-ramai mereka lantas memburu
maju sambil membentak. Tapi dari dalam joli lantas
menghambur keluar macam-macam senjata gelap, ada yang
terkena mukanya, ada yang tersambit pinggangnya, tiada
seorang pun murid Swat-san-pay itu terluput dari serangan itu.
Cuma tempat yang diarah Am-gi itu bukan tempat yang
berbahaya hanya sakitnya tidak kepalang. Waktu orang-orang
Swat-san-pay memeriksa Am-gi yang mengenai itu, seketika
mereka tercengang, kiranya Am-gi itu hanya sebutir kancing
tembaga saja yang baru ditanggalkan dari baju. Maka insaflah
murid-murid Swat-san-pay itu bahwa kepandaian orang
didalam joli itu selisih terlalu jauh dengan mereka, kalau
mereka mengejar lagi dan sampai bergebrak, tentu mereka
sendiri yang akan celaka.
"Orang she Ciok itu tiada seorang pun yang baik, yang muda
durhaka dan bejat moralnya, yang tua juga tak bisa dipercaya,
sudah bilang senjatanya ditinggalkan kepada kita, sekarang
direbutnya kembali lagi!" demikian Kwa Ban-kin berteriakteriak.
Begitu pula Ong Ban-jim juga marah-marah dan mencaci-maki
habis-habisan. Tapi Ban-ciong lantas berkata: "Bila kejadian ini sampai tersiar


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentu tidak menguntungkan nama baik golongan kita.
Sebaiknya kita tutup mulut saja dan pulang untuk melaporkan
kepada Suhu." Dalam pada itu joli besar tadi bersama rombonganna sudah
pergi jauh. Sesudah beberapa li lagi rombongan itu lantas
membelok kesuatu jalanan kecil. Ketika tukang gotong joli itu
sedikit lambat larinya, kontan cambuk panjang melayang
keluar dari dalam joli, dan menyabat beberapa kali dipunggung
tukang panggul bagian depan itu sehingga babak belur.
Terpaksa tukang-tukang panggul itu berlari lebih cepat dan
terpaksa pula tukang panggul bagian belakang juga ikut berlari
lagi walaupun napas mereka sudah ngos-ngosan senin-kemis.
Sesudah beberapa li pula, akhirnya terdengar suara orang
didalam joli berkata: "Baiklah, sekarang boleh berhenti!"
Sungguh keempat tukang panggul itu seperti pesakitan
yang diberi pengampunan, cepat mereka berhenti dan
meletakkan joli besar itu diatas tanah, napas mereka tampak
megap-megap. Waktu tirai joli tersingkap, keluarlah seorang tua dengan
tangan kiri menarik seorang pengemis kecil. Kiranya orang tua
ini adalah Cia Yan-khek, pemilik medali wasiat. Dia lantas
membentak kepada beberapa petugas tadi: "Nah, kalian boleh
enyah sekarang! Pulanglah dan laporkan kepada pembesar
anjing kalian, katakan bahwa apa yang terjadi tidak boleh
sekali-kali disiarkan. Asal aku mendengar sedikit kabar yang
kurang menyenangkan, seketika juga buah kepala kalian akan
kupotol semua, begitu tidak terkecuali pembesar anjing kalian
itu!" "Ya, ya, sekali-kali kami tak berani usil mulut. Selamat jalan
tuanbesar! Selamat jalan tuan muda!" demikian beberapa
petugas itu menjawab dengan memberi hormat.
"Dan apa yang kusuruh kalian katakan kepada pembesar
anjing itu, kalian ingat tidak?" tiba-tiba Cia Yan-khek berseru
pula selagi para petugas itu hendak melangkah pergi.
"Oh, ya, hamba ingat dengan baik," sahut seorang petugas.
"Hamba akan berkata telah menyaksikan sendiri bahwa si
bungkuk penjual siopia-siopia di Hau-kam-cip itu telah dibunuh
oleh seorang tua bangka yang bernama Pek Cu-cay. Senjata
yang digunakan adalah sebatang golok yang berlumuran darah.
Bukti dan saksi sudah nyata dan lengkap, betapapun tua
bangka pembunuh itu tidak dapat menyangkal."
Tentang bukti dan saksi itu sengaja ditambahkan oleh petugas
itu untuk membikin senang Cia Yan-khek, sebab tadi dia telah
kenyang dihajar, ia menjadi ketakutan.
Tapi Cia Yan-khek lantas berkata: "Tua bangka she Pek itu
tidak biasa menggunakan golok, tapi pedang."
"Oh, ya, hamba keliru, dia menggunakan pedang dan sekali
tusuk sibungkuk telah dibunuh olehnya, setiap penduduk Haukamcip juga ikut menyaksikan kejadian itu," demikian petugas
itu menambahkan. Diam-diam Yan-khek merasa geli sendiri. Padahal untuk
membunuh Go To-it adalah terlalu mudah bagi Wi-tek Siansing
Pek Cu-cay dan tidak perlu pakai senjata apa segala. Tapi
iapun tidak perduli lagi kepada kawanan petugas itu, segera ia
gandeng tangan sijembel cilik dan tangan lain membawa
pedang hitam-putih milik Ciok Jing, segera ia tinggal pergi
dengan hati senang. Maklum, sebelumnya dia masih menyangsikan Ciok Jing
suami-isteri sengaja berkomplot dengan orang-orang Swatsanpay untuk menjebaknya dengan menggunakan sipengemis
cilik itu sebagai umpan. Sebab itulah sesudah beberapa li dia
membawa pergi sijembel itu, lalu ia tusuk bocah itu dan
dilemparkan kedalam semak-semak, kemudian ia merunduk
kembali ke Hau-kam-cip untuk menyelidiki apa yang sudah
terjadi. Karena kepandaiannya memang jauh lebih tinggi
daripada Ciok Jing dan lain-lain, maka kedatangannya kembali
itu sama sekali tak konangan oleh siapapun.
Ketika dilihatnya Ciok Jing menyerahkan senjata-senjatanya
kepada Kheng Ban-ciong, segera timbul maksud Cia Yan-khek
untuk merebutnya. Kebetulan ditengah jalan ia bertemu
dengan bupati yang hendak memeriksa perkara di Hau-kam-cip
itu, segera ia menyergap pembesar itu dan dilempar keluar joli,
lalu menggertak dan memaksa para petugas negara itu agar
menggotong dia bersama sipengemis kecil itu dan memapak
kearah orang-orang Swat-san-pay untuk merebut kedua
pedang pusaka. Karena Kheng Ban-ciong tidak melihat muka
sipelaku didalam joli itu, dengan sendirinya mereka menyangka
keras adalah perbuatan Ciok Jing suami-isteri.
Begitulah, Cia Yan-khek meneruskan perjalanannya dengan
membawa sijembel cilik itu, yang dituju selalu adalah tempat
yang sepi. Setiba ditepi sebuah sungai kecil, tampaknya
disekitar situ tiada orang lain lagi, lalu ia melepaskan tangan
bocah itu, ia lolos pedang putih milik Bin Ju serta
mengacungkan mata pedang ketengkuk sijembel itu sambil
membentak dengan suara bengis: "Sebenarnya kau disuruh
oleh siapa" Hayo, lekas mengaku, kalau berani berdusta segera
kupenggal kepalamu!"
Habis menggertak, "sret", pedangnya menyabat kesamping
sehingga sebatang pohon kecil tertabas kutung, batang pohon
yang kutung itu jatuh kedalam sungai dan hanyut terbawa oleh
arus air. Keruan pengemis cilik itu ketakutan, dia menjawab dengan
gelagapan: "Aku........... aku......... tidak.......... tidak
suruh................"
Cia Yan-khek memperlihatkan medali wasiatnya dan
membentak pula: "Siapa yang memberikan benda ini padamu?"
"Aku............ aku makan sio........... siopia-siopia dan............
dan terdapat barang itu," sahut sipengemis kecil dengan
gemetar. Cia Yan-khek menjadi gusar karena jawaban yang tidak jelas
itu. Telapak tangannya terus menggampar kepipi bocah itu.
Tapi sebelum kena sasarannya, mendadak teringat oleh
sumpahnya sendiri dahulu bahwa sekali-kali dia takkan
mengganggu orang yang menyerahkan medali wasiat itu
kepadanya. Karena itu tamparannya dihentikan mentahmentah
sambil membentak lagi: "Ngaco-belo, peduli siopiasiopia
apa segala" Aku hanya tanya siapakah yang memberikan
barang ini kepadamu?"
"Aku.......... aku menemukan sepotong siopia-siopia, lalu aku
memakannya. Dan......... dan waktu aku menggigit,
ham.......... hampir saja gigiku rompang......."
Dasar pikiran Yan-khek memang sangat tajam, walaupun
penuturan pengemis kecil itu terputus-putus dan tak jelas, tapi
segera terpikir olehnya: "Jangan-jangan Go To-it itu telah
menyembunyikan medali ini didalam siopia-siopia?"
Tapi segera ia menyangsikan hal itu. Siapa saja yang
mendapatkan medali ini tentu akan menjaganya melebihi
jiwanya sendiri, maka mungkin benda sepenting ini ditaruh
begitu saja didalam siopia-siopia"
Nyata ia tidak dapat membayangkan betapa kepepetnya
suasana waktu itu. Karena datangnya berandal Kim-to-ce itu
terlalu mendadak dan sekaligus sudah mengepung Hau-kamcip
dengan rapat sehingga sedikitpun Go To-it tidak sempat
mencari suatu tempat penyimpanan yang baik untuk
menyembunyikan medali wasiat itu selain dipencet kedalam
siopia-siopia yang akan dipanggangnya dan akhirnya terbuang
ditepi selokan, hal ini sebenarnya jauh lebih selamat daripada
disimpannya dimanapun juga. Sebab itu meski kawanan
berandal Kim-to-ce sudah mengobrak-abrik seluruh kedai
siopia-siopia itu, dengan sendirinya tidak terpikir oleh mereka
untuk memeriksa isi siopia-siopia yang berserakan diatas tanah
itu. Begitulah dengan sorot mata berkilat, Cia Yan-khek
memandang sipengemis kecil, lalu bertanya pula: "Siapa
namamu?" "Aku........... aku bernama Kau-cap-ceng," sahut jembel cilik
itu. "Apa" Kau bernama Kau-cap-ceng" Hahahaha! Masakah
didunia ini ada orang memakai nama demikian?" demikian Cia
Yan-khek menegas dan terbahak-bahak, ia geli setengah mati,
masakah ada orang bernama Kau-cap-ceng atau anak anjing.
Tapi sipengemis kecil lantas menjawab: "Ya, betul, ibu
memanggil aku Kau-cap-ceng."
Watak Cia Yan-khek adalah pendiam, tapi keji dan culas.
Tertawa baginya boleh dikata adalah sesuatu yang mahal,
berapa kali dia tertawa dalam setahun dapatlah dihitung
dengan jari. Tapi sekarang dia benar-benar geli oleh karena
keterangan sipengemis cilik itu, ia tertawa terpingkal-pingkal.
Pikirnya: "Dikampung memang banyak orang memberi nama
kecil yang aneh-aneh kepada anak-anak mereka dengan
maksud agar sianak lekas besar dan selamat, misalnya nama
sianjing, sibabi, sikucing, dan lain sebagainya, tapi tiada orang
yang sengaja memanggil anaknya sendiri sebagai "anak anjing",
memangnya apa ibunya kawin dengan anjing" Hahahaha!"
Begitulah dia terbahak-bahak geli. Dan karena melihat dia
tertawa, sipengemis kecil menjadi ikut-ikut tertawa.
"Dan siapa nama ayahmu?" tanya Yan-khek pula dengan
menahan tertawanya. "Ayah" Aku........ aku tidak punya," sahut sijembel sambil
menggeleng. "Habis dirumahmu ada siapa lagi?"
"Aku, ibuku, dan.... dan masih ada si Kuning."
"Siapa si Kuning itu?"
"Si kuning adalah anjing, seekor anjing," sijembel
menerangkan, "Karena ibuku hilang, aku lantas mencarinya, si
Kuning selalu mengintil dibelakangku, tapi kemudian dia telah
pergi mencari makan, lalu menghilang juga. Aku telah
mencarinya kesana kemari dan tidak ketemu."
"Kiranya bocah ini seorang tolol, tampaknya diketemukannya
medali ini hanya secara kebetulan saja. Biarlah kusuruh dia
memohon sesuatu padaku untuk memenuhi sumpahku dahulu
dan habis perkara," demikian pikir Yan-khek.
Maka ia lantas bertanya: "Coba, apa yang ingin kau
mohon........." baru sekian ucapannya, mendadak ia tahan
kata-kata yang belum tercetus dari mulutnya itu. Pikirnya:
"Kalau anak tolol ini mohon padaku untuk mencarikan ibunya,
bahkan minta aku mencarikan anjingnya si Kuning itu, lantas
kemana aku harus mencarikan" Ibunya tentu sudah minggat
bersama lelaki lain dan si Kuning itu besar kemungkinan sudah
disembelih orang, kalau soal-soal sulit ini dikemukakannya
kepadaku kan bisa berabe" Jika aku diminta membunuh
sepuluh atau dua puluh jago silat tentu akan jauh lebih mudah
daripada disuruh mencari dia punya anjing si Kuning itu."
Begitulah, sesudah merenung sejenak, akhirnya ia sudah
mendapat akal, segera katanya pula: "Nah, begini, coba
dengarkan. Tak peduli siapa yang menyuruh kau
membicarakan sesuatu padaku, maka sekali-kali jangan kau
katakan, kalau kau tidak berani berkata, seketika juga
kupenggal kepalamu! Nah, tahu tidak?"
Hendaklah maklum bahwa tentang kejadian Cia Yan-khek
mengambil kembali medali wasiat dari tangan sipengemis cilik
itu, tentu dalam waktu singkat berita itu akan tersiar juga
didunia persilatan. Sebab itulah Cia Yan-khek kuatir kalau
sijembel cilik diakali orang serta menyuruhnya mengajukan
sesuatu permohonan pada dirinya, dan karena terikat oleh
sumpahnya dahulu terpaksa ia tidak dapat menolak.
Tapi Yan-khek masi belum lega, ia menegas lagi: "Apa kau
sudah ingat betul-betul pesanku tadi" Apa, coba katakan!"
"Kau bilang, tak peduli siapapun yang suruh aku mengatakan
apa-apa padamu, maka sekali-kali aku tak boleh bicara, bila
aku mengatakan, segera kau akan memenggal kepalaku,"
ulang sijembel. "Ya, betul," ujar Yan-khek. "Anak tolol ternyata tidak terlalu
tolol. Nah, sekarang ikutlah padaku."
Dari tempat yang sepi itu mereka kembali kejalan raya. Tidak
lama kemudian sampailah mereka disebuah kedai penganan
ditepi jalan. Cia Yan-khek membeli dua buah bakpau dan segera
dimakannya sendiri. Ia coba melirik sijembel cilik itu dengan
harapan bocah itu akan bersuara memohon makan padanya.
Untuk mengiming-iming, Yan-khek sengaja makan bakpau itu
dengan lahap, lidahnya berkecak2 keras dan sambil tiada
hentinya memuji akan kelezatan bakpau itu. Sedang bakpau
satunya yang masih dipegang disebelah tangan lain sengaja
diiming-iming pula didepan hidung sijembel. Pikirnya:
"Pengemis cilik ini sudah bisa mengemis makan pada orang,
mustahil sekarang dia tidak mengiler kepada bakpau yang
kumakan ini" Asal dia membuka mulut mengemis padaku dan
aku memberikan bakpau ini padanya, maka ini berarti
sumpahku atas medali wasiat itu sudah terpenuhi, dan untuk
selanjutnya aku akan dapat hidup senang dan bebas tanpa
ikatan sesuatu apapun."
Memangnya perut sipengemis cilik juga sudah lapar, sekarng
diiming-iming sepotong bakpau yang enak itu, tentu saja dia
mengiler dan ingin memakannya. Cuma, aneh juga, biarpun
hatinya kepingin setengah mati, biji lehernya sampai naikturun
dan menelah ludah berulang-ulang, namun sebegitu jauh
ia tetap tidak membuka mulut untuk mengemis.
Sampai akhirnya Cia Yan-khek sendiri merasa tidak sabar
menunggu, sedangkan bakpau yang dimakannya sudah habis,
segera bakpau kedua itu dijejalkan lagi kedalam mulut dan
tangannya lantas mengambil lagi bakpau yang masih hangathangat
dinampan sipenjualnya. "Akupun ingin dua potong bakpau," tiba-tiba sipengemis cilik,
berkata kepada penjual bakpau dan tanpa menunggu jawabah
tangannya lantas mencomot bakpau yang sangat diinginkan
itu. Pemilik kedai itu memandang kepada Cia Yan-khek,
maksudnya ingin tahu apakah Cia Yan-khek mau mengakui
bakpau yang dimakan jembel cilik itu atau tidak. Yan-khek
lantas mengangguk. Diam-diam ia bergirang: "Bagus, sebentar
bila penjualnya minta pembayaran padamu, ingin kulihat kau
terpaksa akan minta bantuanku atau tidak?"
Tertampak sijembel telah makan bakpau satu demi satu
dengan lahapnya, seluruhnya telah dimakannya empat biji.
Akhirnya dia berkata: "Kenyang sudah, tidak makan lagi!"
Cia Yan-khek sendiri hanya makan dua biji bakpau dan tidak
makan lagi. Katanya kepada sipenjual: "Berapa duitnya?"
"Dua picis satu biji, enam biji bakpau seluruhnya 12 picis,"
sahut sipenjual.

Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, masing-masing membayar sendiri-sendiri. aku makan
dua biji, aku hanya bayar empat picis saja," kata Yan-khek
sembari memasukkan tangan kedalam saku untuk mengambil
uang. Tapi sekali merogoh saku dia lantas melongo. Rupanya dia
sendiri "tong-pes" alias kantong kempes karena siangnya dia
habis makan-minum dikota Khay-hong dan sangunya sudah
terpakai habis. Keruan ia meringis dan serba susah.
Tengah ia merasa bingung, tiba-tiba sijembel cilik
mengeluarkan serenceng uang perak dan diserahkan kepada
penjual bakpau, katanya: "Seluruhnya 12 picis, aku yang
membayar semua." Cia Yan-khek menjadi tercengang. "Apa" Kau mentraktir aku?"
tanyanya. "Ya, kau tidak punya uang dan aku banyak uang, apa
halangannya mentraktir kau beberapa biji bakpau saja?" sahut
sijembel sambil tertawa. Sipenjual bakpau juga terheran-heran, cepat ia memberikan
beberapa potong uang receh tembaga sebagai kembalinya.
Segera sijembel cilik memasukkan uang receh itu kedalam
saku. Ia pandang Cia Yan-khek dan menantikan perintahnya.
Mau tak mau, Cia Yan-khek menyengir. Pikirnya: "Watakku
biasanya sangat kukuh, biarpun cuma makan minum juga tidak
sudi menerima pemberian orang lain. Siapa duga hari ini malah
ditraktir makan bakpau oleh jembel cilik ini."
Segera ia mengajaknya berangkat. Sambil berjalan iapun
bertanya: "Darimana kau tahu aku tidak punya uang?"
Sipengemis cilik menjawab dengan tertawa: "Dirumah-rumah
makan aku sering melihat orang merogoh saku hendak
mengambil uang, tapi tangan yang sudah masuk didalam
kantong itu sampai lama sekali tidak keluar-keluar lagi,
sebaliknya air mukanya berubah sangat aneh, seperti
menyengir dan seperti meringis. Jika demikian wajahnya, maka
dapat dipastikan orang itu tentu tidak punya uang. Setiap
tukang gegares percuma dirumah makan selalu demikian
keadaannya." Kembali Cia Yan-khek menyengir ewa. Pikirnya: "Kurang ajar,
jadi kaupun anggap aku sebagai tukang gegares yang tidak
mau bayar?" " Segera ia bertanya lagi: "Dan darimana kau
mencuri uang sebanyak itu?"
"Kenapa mesti mencuri?" sahut sijembel cilik. "Ini adalah
pemberian sinyonya baik hati yang berbaju putih tadi."
"Sinyonya baik hati berbaju putih?" Yan-khek menegas. Tapi ia
lantas paham, tentu Bin Ju yang dimaksudkan.
Tidak terlalu jauh mereka berjalan, tiba-tiba Yan-khek
mengangkat pedang putih milik Bin Ju itu dan berkata:
"Pedang ini sangat tajam, tadi hanya sekali tabas saja
sebatang pohon telah kutumbangkan. Kau menyukai pedang ini
tidak" Kalau kau minta, tentu akan kuberikan padamu."
Sesungguhnya dia merasa sebal berkumpul terlalu lama
dengan pengemis kecil yang kotor dan bodoh itu, maka
diharapnya bocah itu mau mengajukan sesuatu permohonan
padanya dan terpenuhilah sumpahnya dahulu.
Tak terduga sijembel cilik itu telah menggeleng kepada dan
menjawab: "Tidak, aku tidak mau. Pedang ini adalah milik
nyonya berbaju putih yang baik hati itu. Dia adalah orang baik,
aku tidak mau mengambil barangnya."
Yan-khek lantas perlihatkan pedang hitam, ia ayun kesamping
sekenanya dan kontan sebatang pohon ditepi jalan lantas
tertabas kutung. Lalu katanya: "Apa kau minta pedang hitam
ini saja?" "Tidak, pedang hitam ini adalah milik tuan berbaju hitam tadi,"
kembali sijembel cilik menggeleng kepala. "Tuan dan nyonya
itu adalah serombongan, aku tak boleh mengambil barang
mereka." "Eh, Kau-cap-ceng, kau suka bicara tentang setia kawan juga,"
jengek Cia Yan-khek. "Apa artinya setia kawan?" tanya sijembel dengan bingung.
Yan-khek hanya mendengus sekali saja dan tak gubris lagi
padanya. Pikirnya: "Jika kau tak paham, tiada gunanya
kuterangkan padamu."
"Oh, barangkali kau tidak suka orang yang setia kawan,
ja........... jadi engkau tidak setia kawan."
Yan-khek menjadi murka, seketika kepala sipengemis cilik itu
hendak ditaboknya. Tapi demi melihat sikap bocah yang masih
ke-kanak-anakan dan polos itu, tangannya yang sudah
terangkat itu lantas ditarik kembali. Pikirnya: "Jika dia memang
tidak paham apa artinya setia kawan, maka diapun tidak
sengaja hendak mengejek padaku." " Lalu iapun menjawab:
"Masakan aku tidak setia kawan" Tentu saja aku suka setia
kawan." "Setia kawan itu baik atau tidak?" tanya sipengemis cilik/
"Baik, sudah tentu baik," sahut Yan-khek.
"Ah, tahulah aku sekarang. Yang berbuat baik adalah orang
baik, yang berbuat jahat adalah orang jahat. Engkau berbuat
baik maka engkau adalah seorang yang sangat baik."
Kalau kata-kata ini diucapkan oleh seorang lain, Cia Yan-khek
akan menganggapnya sebagai suatu sindiran dan tanpa pikir
tentu orang itu dibinasakannya. Hendaklah maklum selama
hidupnya ini tak pernah seorangpun yang mengatakan dia
adalah "orang baik". Walaupun terkadang iapun berbuat satudua
kebaikan, tapi itu hanya karena hatinya sedang senang
dan melakukannya menurut seleranya pada saat itu, kalau
dibandingkan kejahatannya yang diperbuatnya selama hidup
boleh dikata tiada artinya.
Tapi sekarang didengarnya ucapan sipengemis cilik itu sangat
tulus dan sungguh-sungguh, mau tak mau ia meringis dan
serba runyam. Pikirnya: "Kata-kata bocah ini setengah sinting,
sebentar bilang aku tidak setia kawan, sekarang aku dianggap
orang baik. Kalau kata-kata demikian didengar oleh musuhku
bukankah akan menjadi buah tertawaan orang-orang Bu-lim"
Rasanya aku harus lekas menyelesaikan urusan ini dan tidak
perlu omong-kosong lagi dengan dia."
Karena bocah itu tidak mau pedang-pedang hitam-putih itu,
Yan-khek lantas mengeluarkan sepotong kain hijau dan
membungkusnya, lalu digendongnya dipunggung. Diam-diam ia
memikir: "Cara bagaimana aku harus memancing dia supaya
memohon sesuatu padaku?"
Tengah memikir, tiba-tiba dilihatnya ditepi jalan ada tiga
batang pohon kurma dengan buahnya yang merah segar dan
besar-besar. segera ia menunjuk buah kurma itu dan berkata:
"Sungguh enak sekali buah kurma itu."
Menurut rekaannya, karena pohon kurma itu tinggi-tinggi
semua, asal sijembel cilik itu memohon dia memetikkan buah
kurma, maka itu sudah terhitung sumpahnya terpenuhi, yaitu
melaksanakan sesuatu permintaan orang yang menyerahkan
kembali medali wasiat padanya itu.
Tak terduga sijembel cilik malah bertanya padanya: "Eh, orang
sangat baik, apakah kau kepingin makan kurma?"
"Orang sangat baik apa?" tanya Yan-khek.
"Karena engkau ada orang baik sekali, maka aku memanggil
engkau orang sangat baik."
"Siapa yang mengatakan aku orang baik?" mendadak Yankhek
menarik muka masam. "Kalau bukan orang baik tentu adalah orang jahat, jika begitu
biarlah kupanggil engkau orang jahat saja."
"Akupun bukan orang jahat."
"Kan aneh" Bukan orang baik, bukan orang jahat pula, lalu
orang apa......." Ah, tahulah aku, kiranya engkau bukan
orang!" "Apa katamu?" bentak Yan-khek dengan gusar.
Sijembel cilik menjulur lidah sekali dan mendadak terus berlari
kebawah pohon kurma, tiba-tiba ia peluk batang pohon itu dan
kakinya lantas memancal, segera ia panjat keatas pohon.
Nyata, meski bocah itu tidak bisa ilmu silat, tapi caranya
memanjat pohon benar-benar sangat cepat dan segesit kera.
Hanya dalam sekejap saja jembel cilik itu sudah memetik
kurma merah itu sekantong penuh sehingga bajunya yang
rombeng itu hampir-hampir jebol dibebani kurma sebanyak itu.
Lalu ia memberosot turun, dengan kedua tangan ia mencakup
kurma merah yang dipetiknya itu dan diberikan kepada Cia
Yan-khek. Katanya: "Silakan makan kurma! Engkau bukan
orang, juga bukan setan, apa barangkali malaikat dewata" Tapi
kulihat juga bukan!"
Yan-khek tak menggubrisnya. Ia coba makan beberapa biji
kurma itu, rasanya manis dan segar, ternyata kurma itu
berkwalitas tinggi. Pikirnya: "Buset, bukannya dia minta apaapa
padaku, jadinya aku yang minta padanya malah."
Sejenak kemudian, ia coba memancing lagi, katanya: "Apakah
kau tidak ingin mengetahui aku ini siapa" Asal kau bertanya:
"Harap engkau suka menerangkan siapakah kau sebenarnya?"
Apakah engkau ini malaikat dewata" " maka aku akan lantas
menerangkan padamu."
"Tidak, aku tidak mau memohon apa-apa kepada orang lain,"
sahut sijembel cilik sambil menggeleng.
Yan-khek terkesiap. "Mengapa tidak mau?" tanyanya cepat.
"Ibuku sering berkata kepadaku: "Wahai, Kau-cap-ceng,
selama hidupmu ini janganlah kau meminta apa-apa kepada
orang lain. Kalau orang mau memberikan padamu, tanpa
diminta juga orang akan memberi. Sebaliknya kalau orang
tidak mau memberi, biarpun kau meminta dan memohon
dengan sangat juga percuma, bahkan akan membikin jemu
orang." " Sebab itulah, maka selamanya akupun tidak pernah
minta apa-apa kepada ibu. Terkadang ibu makan barangbarang
yang harum dan enak, beliau sengaja mengiming-iming
padaku, apabila aku membuka mulut dan minta padanya,
bukan aku diberi, sebaliknya aku lantas dihajarnya hingga
babak-belur. Lantaran itulah sekali-kali aku tidak mau meminta
apa-apa kepada orang lain."
Sungguh heran Yan-khek tidak terkatakan, iapun merasa
kecewa pula. Pikirnya: "Jika bocah ini benar-benar tidak mau
meminta apa-apa padaku, lantas cara bagaimana aku bisa
membayar kaul yang tersirat didalam sumpahku itu" Ibunya
mungkin adalah seorang gila, masakah anaknya minta makan
padanya malah dipukuli."
Kemudian ia tanya pula: "Habis, kau adalah seorang pengemis
kecil, apakah kau tidak meminta uang dan mengemis makan
kepada orang lain?" "Tidak, selamanya aku tidak pernah mengemis," sahut
sijembel cilik sambil menggeleng. "Kalau orang memberi, tapi
kalau dia lengah, segera aku mengambilnya terus mengeluyur
pergi." Yan-khek tertawa. Katanya: "Jika begini kau bukan pengemis
kecil, tapi adalah maling kecil."
"Apa artinya maling kecil?"
"Kau benar-benar tidak tahu atau cuma berlagak bodoh?"
"Sudah tentu karena aku memang tidak tahu, makanya tanya
padamu. Dan apakah artinya berlagak bodoh itu?"
Yan-khek coba mengamat-amati bocah itu, tertampak
mukanya kotor, tapi sepasang matanya hitam bening dan
bersinar, sedikit pun tidak ada tanda-tanda goblok. Maka
katanya pula: "Kau toh bukan anak umur tiga, usiamu sudah
belasan tahun, mengapa segala apa tidak paham?"
"Ya, karena ibuku tidak suka bicara dengan aku, beliau
menyatakan asal melihat aku lantas jemu, seringkali sepuluh
hari atau dua puluh hari aku tidak pernah digubrisnya.
Terpaksa aku hanya bicara dengan si Kuning saja. Tapi si
Kuning hanya bisa mendengarkan dan tak dapat bicara dengan
aku tentang maling kecil dan berlagak bodoh apa segala."
Melihat sorot mata bocah itu sama sekali tidak
memperlihatkan sikap nakal dan licin, diam-diam Yan-khek
membatin: "Agaknya bocah ini memang tidak pandai purapura"
" Maka ia lantas tanya: "Mengapa kau tidak bicara saja
dengan tetanggamu?" "Apakah artinya tetangga?"
"Yang tinggal disekitar rumahmu, itulah tetangga namanya,"
sahut Yan-khek dengan aseran. Lama-lama ia menjadi jemu
juga. "Oh, yang tinggal disekitarku" Ya, banyak juga, dibelakang
rumahku ada belasan pohon besar, diatas pohon banyak
terdapat bajing, ditengah semak-semak banyak pula ayam
alas, kelinci liar. Apakah mereka itu yang dinamakan tetangga"
Tapi mereka hanya bisa berbunyi dan tak bisa bicara."
"Apa sampai sekian besarnya kau tidak pernah bicara dengan
orang lain kecuali ibumu?" tanya Yan-khek dengan
mendongkol. "Selamanya aku tinggal diatas gunung dan tidak pernah turun.
Maka selain Ibu, tak pernah ada orang bicara dengan aku.
Beberapa hari yang lalu ibu telah hilang, waktu aku
mencarinya, aku tergelincir jatuh kebawah gunung. Kemudian
si Kuning juga menghilang. Waktu kutanya orang lain
kemanakah perginya ibu dan si Kuning, tapi orang bilang tidak
tahu. Apakah itu terhitung berbicara?"
Diam-diam Yan-khek gegetun. Kiranya bocah ini selamanya
tinggal diatas gunung dan ibunya juga tidak suka
menggubrisnya, makanya ini tidak paham dan itupun tidak
tahu. Maka ia lantas menjawab: "Ya, itupun dapat dianggap
berbicara. Dan darimana kau tahu bahwa uang dapat dibelikan
bakpau?" "Kemarin aku melihat orang membeli secara demikian," sahut
sijembel. "Kau tidak punya uang dan aku masih punya, kau
ingin uang ini, bukan" Biarlah kuberikan padamu." " Lalu ia
mengeluarkan uang receh kembalian sipenjual bakpau tadi dan
disodorkan kepada Cia Yan-khek. Diam-diam iapun membatin:
"Biar bocah ini kelihatan ketolol-tololan, tapi ternyata bukan
anak yang pelit." Begitulah perasaan Cia Yan-khek menjadi semakin lega,
sekarang ia percaya penuh sijembel cilik itu bukanlah
perangkap yang sengaja dipasang oleh orang lain untuk
menjebaknya. Yan-khek tersenyum, sahutnya: "Jika kau minta makan, minta
uang kepada orang dan orang mau memberikan padamu
secara sukarela, maka kau disebut sebagai pengemis kecil.
Tetapi kalau kau minta-minta dan orang lain tidak mau
memberi, diam-diam kau lantas menyambarnya dan membawa
lari, itu namanya maling kecil."
Sijembel tampak merenung sejenak, lalu berkata pula:
"Selamanya aku tidak pernah minta-minta kepada orang, tak
peduli orang suka memberi atau tidak, aku lantas
mengambilnya untuk dimakan. Jika begitu aku adalah maling


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecil.................. Eh, dan kau adalah maling tua."
Keruan Yan-khek terperanjat. "Apa" Kau menganggap aku ini
apa?" "Bukankah kau memang maling tua?" sahut sijembel cilik.
"Sudah terang pemilik kedua batang pedang itu tidak
memberikannya padamu, tapi kau sengaja merebutnya, kau
bukan anak kecil, dengan sendirinya adalah maling tua."
Bab 6. Kalah Kuat Pakailah Akal
"Ngaco-belo!" omel Yan-Khek, "Kau tidak boleh memanggil aku
sebagi maling tua." " Baik, dan kaupun dilarang memanggil aku
maling kecil." Tidak gusar, sebaliknya Yan-khek tertawa malah.
Katanya: Maling kecil adalah sebutan untuk memaki orang,
maling tua yuga kata-kata makian, maka kau tidak boleh
memaki aku." "Jika begitu, mengapa kau memaki aku?" bantah
si jembel. "Baiklah, akupun takkan memaki kau", sahut Yankhek
dengan tertawa. "Kau sekarang bukan maling kecil pula.
Aku akan panggil kau sebagai anak kecil dan kau boleh panggil
aku sebagai paman tua".
"Tidak, namaku bukan anak kecil, tapi aku bernama Kau-capceng,"
kata si jembel sambil menggeleng. "Nama Kau-cap-ceng
itu tidak baik, ibumu boleh panggil kau dimikian, tapi orang lain
tidak boleh. Ibumu juga aneh, mengapa memanggil anaknya
sendiri sebagai Kau-cap-ceng?"
"Kau-cap-ceng apakah jelek" Bukankah si Kuning kawanku
itupun seekor anjing. Kalau dia mengawani aku, aku lantas
senang. Sama seperti kau mengawani aku sekarang. Cuma si
Kuning tidak bisa bicara, dia hanya pandai menggonggong,
sebaliknya kau pandai bicara". " Sambil berkata sembari
tangannya mengelus-elus punggung Cia Yan-khek dengan
penuh kasih sayang seperti halnya kalau dia mengelus-elus
anjing piaraannya. Keruan Cia Yan-khek sangat mendongkol, masakah dia
disamakan dengan si Kuning. Segera ia mengerahkan tenaga
dalamnya kebagian punggung sehingga tangan si jembel cilik
tergetar, seakan-akan tangannya memegang arang yang
membara, cepat ia menarik kembali tangannya dengan kaget.
"Huh, biar kau tahu rasa sekarang", demikian pikir Cia Yankhek
sambil memandangi bocah itu dengan tersenyumsenyum.
Di luar dugaan si jembel cilik malah berkata: "Wah, paman tua,
agaknya kau sakit panas, lekas mengaso dulu dibawah pohon
sana, biar aku mencari sedikit air untuk kau minum, badanmu
tentu sangat payah, panasnya bukan main, mungkin sakitmu
ini tidaklah ringan". " Dari nadanya itu tampak sekali rasa
perhatiannya yang penuh, segera ia pegang lengan Cia Yankhek
dan hendak mengajaknya mengaso kebawah pohon.
Sampai disini, biar betapapun aneh sifatnya Cia Yan-khek juga
tidak enak menyakiti pula bocah itu dengan tenaga dalamnya.
Maka katanya: "Aku sehat walafiat, kau bilang aku sakit apa"
Coba lihat, bukankah panasnya sudah lenyap?" ~ Sambil
berkata ia terus pegang tangan si jembel dan dirabakan ke
dahinya sendiri. Ketika merasa dahi Yan-khek itu dingin-dingin
segar saja, mendadak jembel cilik itu berseru kuatir: "Wah,
celaka! Paman tua, kau sudah hampir mati!"
"Ngaco belo, mengapa aku hampir mati?" bentak Yan-khek
dengan gusar. "Ibuku pernah jatuh sakit, seperti kau barusan,
sebentar panas dan sebentar dingin, berulang-ulang ibu
berteriak: Matilah aku, matilah aku! Orang yang tak punya
liangsim (hati baik), lebih baik aku mati saja!" ~ Kemudian ibu
benar-benar hampir mati, sesudah tiduran lebih dua bulan
barulah sembuh." "Tapi aku takkan mati," ujar Yan-khek dengan tersenyum. Si
jembel cilik menggeleng perlahan seperti kurang percaya.
Mereka melanjutkan perjalanan, tidak seberapa jauh, ketika
melihat sinar matahari yang amat terik, tiba-tiba si jembel cilik
itu menjemput beberapa helai daun yang jatuh ditepi jalan.
Semula Yan-khek menyangka sifat si jembel cilik itu masih kekanakanakan dan suka mainan, maka tak digubrisnya. Siapa
duga bocah itu telah memilin daun-daun itu menjadi sebuah
topi, lalu diberikan kepada Cia Yan-khek, katanya: "Matahari
panas terik, engkau sedang sakit pula, harap pakailah topi ini."
Yan-khek benar-benar serba runyam menghadapi tingkah laku
si jembel itu. Tapi ia tidak ingin mengecewakan maksud
baiknya maka topi itu diterimanya juga dan dipakainya diatas
kepala. Karena sinar matahari memang amat terik, dengan
memakai topi itu rasanya menjadi lebih segar. Tidak lama
kemudian sampailah mereka di suatu kota kecil. Tiba-tiba si
jembel berkata: "Engkau tidak punya uang, boleh jadi sakitmu
itu adalah lantaran kelaparan. Marilah sekarang kita pergi
kerumah makan untuk makan sekenyang-kenyangnya." ~
Segera ia tarik tangan Cia Yan-khek dan masuk ke sebuah
rumah makan. Selama hidup pengemis kecil itu tidak pernah masuk restoran.
Karena itulah iapun tidak tahu cara bagaimana harus pesan
makanan. Begitu masuk rumah makan itu segera ia keluarkan
semua uang yang dimilikinya dan ditaruh diatas meja, lalu
katanya kepada pelayan: "Aku dan paman tua ini ingin makan
nasi makan ikan dan daging, sediakanlah selengkapnya dan
ambil semua uangku ini." Sisa uangnya itu sedikitnya ada tiga
tahil perak dan lebih dari cukup untuk membayar makanan
semeja penuh. Keruan si pelayan sangat girang, cepat ia
memesan koki agar menyediakan daharan yang enak-enak,
ada ayam panggang, ada Ko-lo-bak, ada bebek tim dan ada
Ang-sio-hi, pendek kata serba komplit. Bahkan disertai dua kati
arak. Sesudah daharan itu siap diatas meja. Segera Yan-khek
menuangkan arak. Tapi baru saja si jembel cilik minum
seteguk, kontan ia semburkan kembali, serunya: "Hah, pedas,
tidak enak." ~ Maka yang digasak hanya makanan-makanan
yang enak saja. Diam-diam Yan-khek berpikir: "Meski bocah ini
tidak paham apa-apa, tapi pembawaannya ternyata sangat
juyur, tampaknya juga tidak boleh, kalau dididik dengan baikbaik
tentu akan menjadi jago pilihan di dunia persilatan."
Tapi lantas terpikir pula olehnya: "Ah, di dunia ini banyak sekali
manusia yang durhaka dan tak berbudi, masakah aku belum
cukup dibikin susah oleh muridku yang celaka itu" Kenapa
sekarang timbul pula pikiranku untuk mengambil murid baru?"
Demi teringat kepada muridnya yang durhaka itu, seketika ia
naik darah. Cepat ia habiskan dua kati arak itu, lalu berkata :
"Hayolah, berangkat!"
"Apakah kau sudah baik, paman tua?" tanya si jembel.
"Sudah!" sahut Yan-khek sambil berpikir: "Sekarang uangmu
sudah habis, nanti kalau masuk restoran lagi kau tentu akan
terpaksa minta tolong padaku."
Segera mereka meninggalkan kota itu dan melanjutkan
perjalanan ke timur. "Anak kecil, siapakah she ibumu, dia pernah katakan padamu
tidak?" tanya Yan-khek.
"Ibu ya ibu, apakah ibu juga ada she segala?" sahut si jembel
cilik. "Sudah tentu, setiap orang tentu mempunyai she," kata Yankhek.
"Justeru aku tidak tahu, makanya aku tanya she ibumu. Nama
Kau-cap-ceng itu terlalu jelek, apa kau ingin minta aku
mencarikan suatu nama yang baik bagimu?" demikian tanya
Cia Yan-khek. Ia pikir kalau si jembel mengajukan permintaan
itu, maka terpenuhilah sumpahnya atas medali wasiat dan ia
dapat sembarangan memberi suatu nama padanya.
Tak terduga si jembel lantas menjawab: "Jika kau suka
memberikan nama padaku, kukira boleh juga. Cuma kuatirnya
ibu tidak tahu. Padahal beliau sudah biasa memanggil aku Kaucapceng, sekarang aku ganti nama baru, mungkin beliau akan
marah. Mengapa kau anggap nama Kau-cap-ceng kurang baik
?" Yan-khek mengerut kening. "Kau-cap-ceng" artinya anak
turunan anjing, ia menjadi bingung cara bagaimana harus
menerangkan nama yang kotor dan tak baik itu.
Pada saat itulah tiba-tiba ditengah hutan disebelah kiri depan
sana terdengar ada suara nyaring beradunya senjata. Sebagai
seorang tokoh besar dunia persilatan, sekali dengar saja hati
Yan-khek lantas terkesiap. Terang disana ada orang sedang
bertempur dan dari suara beradunya senjata mereka yang
sangat cepat itu pastilah ilmu silat mereka bukan jago silat
rendahan. Segera ia membisiki si jembel cilik : "Coba kita melihatnya ke
sana, kau jangan sekali-kali bersuara." ~ Sebelah tangannya
lantas menolak dipunggung bocah itu, ia keluarkan Ginkang
(ilmu entengkan tubuh atau kepandaian lari) yang tinggi dan
berlari kearah suara pertempuran itu. Hanya beberapa kali
lompatan saja sampailah dia dibelakang sebatang pohon besar.
Karena dibawa lari secepat terbang dan seperti terapung
diudara, si jembel cilik menjadi senang dan merasa geli,
hampir ia tertawa. Tapi lantas teringat oleh pesan Cia Yan-khek
agar dia jangan bersuara, maka cepat ia mmualap mulut
sendiri. Waktu mereka mengintip dari balik pohon, tertampaklah di
tengah hutan itu ada empat orang sedang melompat dan
menubruk kian kemari, pertarungan sedang berlangsung
dengan sengitnya. Kiranya ada tiga orang sedang mengeroyok
satu orang. Yang dikeroyok adalah seorang tua bermuka
merah, rambutnya panjang memutih perak, tangannya sudah
tidak bersenjata lagi. Sedangkan ketiga orang pengeroyok itu, yang satu bertubuh
tinggi kurus, seorang lagi adalah Tojin bermuka kuning dan
yang ketiga mukanya sangat aneh, mukanya disilang oleh dua
jalur bekas luka yang panjang. Sikurus memakai senjata
pedang, sedangkan Tojin itu menggunakan gandin berantai dan
simuka jelek bersenjata Kui-thau-to, golok berpunggung tebal
yang melukiskan kepala setan.
Yan-khek melihat orang tua yang dikeroyok itu sudah terluka
tapi kedua telapak tangannya masih terus naik turun dan balas
menyerang dengan sangat tangkas. Ia menghindarkan
serangan-serangan lawan dengan mengitari sebatang pohon
dan kadang-kadang diselingi dengan pukulan atau tutukan
yang lihay, nyata sekali ilmu silatnya sangat hebat.
Hanya mengikuti beberapa jurus saja Cia Yan-khek lantas
mengenali orang tua itu. Tiba-tiba timbullah rasa syukurnya :
"Bagus, kukira siapa, tak tahunya adalah Tay-pi Lojin dari Pekkengto. Hari ini kau mirip harimau yang kesasar dan dikerubut
kawanan anjing, tampaknya sekali ini kau pasti akan celaka."
Tapi ketiga pengeroyok itu tak dikenal Cia Yan-khek.
Tampaknya ilmu silat ketiga orang itupun tidak rendah, lebihlebih
si tinggi kurus, ilmu pedangnya boleh dikata sudah
mencapai kelas tertinggi.
Sedang permainan gandin berantai si Tojin yuga sangat aneh,
terkadang gandinnya dapat mengitari pohon untuk
menghantam bagian samping Tay-pi Lojin. Adapun silelaki
bermuka jelek itu memiliki tenaga yang sangat kuat, goloknya
yang tebal itu diputar sedemikian kencangnya sehingga
menerbitkan suara menderu2 yang memekakkan telinga.
Diam-diam Yan-khek terkejut. Pikirnya: "Sudah lama aku tidak
menjelajahi Kangouw, ternyata didunia persilatan sudah timbul
tokoh-tokoh silat sehebat ini. Mengapa satupun aku tidak kenal
gaya permainan silat ketiga orang ini" Coba kalau lawannya
bukan tiga jago pilihan selihay ini tentu Tay-pi Lojin takkan
terdesak seperti ini. Kalau ketiga orang ini mengeroyok diriku,
rasanya aku sendiripun susah untuk mengalahkan mereka."
Dalam pada itu terdengar Tojin atau imam itu telah berseru
dengan suaranya yang serak: "Pek-keng Tocu (penguasa pulau
paus putih), selamanya Tiang-lok-pang kami tiada permusuhan
apa-apa dengan kau. Jika sekarang kau mau mengaku kalah
dan bersedia mengadakan perserikatan dengan Pang kami,
maka segera kita akan menjadi sahabat baik dan tidak perlu
bertarung mati-matian seperti ini yang mungkin akan
melayangkan jiwa percuma."
Tapi Tay-pi Lojin menjawab dengan gusar: "Seorang laki-laki
sejati masakah sudi menjadi begundal manusia-sia tidak punya
malu seperti kalian" Tidak, tidak bisa." ~ Habis berkata tangan
kirinya mendadak mencakar kepundak lelaki bermuka jelek
itu." "Liong-jiau-jiu (cengkeraman cakar naga) yang hebat!" diamdiam
Yan-khek memuji serangan Tay-pi Lojin.
Serangan itu tampak lambat, tapi sebenarya sangat cepat.
Meski si lelaki muka jelek sudah mendakkan tubuh untuk
menghindar, tapi toh agak terlambat juga. Pundaknya sudah
dicengkeram oleh jari Tay-pi Lojin.
Keruan sitinggi kurus terkejut, cepat pedangya menusuk muka
Tay-pi Lojin. Dengan serangan selihay ini Tay-pi Lojin hendak
dipaksa menarik kembali cengkeramannya kepada sang kawan.
Maka terdengarlah suara "bret" sekali, baju bagian pundak
silelaki jelek telah tersobek sepotong, bahkan pundaknya
lantas berlumuran darah, nyata telah dilukai oleh cakaran Taypi
Lojin. Ketiga orang itu menjadi gusar, mereka mengerubut dengan
lebih gencar lagi. Diam-diam Yan-khek menjadi heran: "Macam perkumpulan
apakah Tiang-lok-pang itu" Kalau didalam Pang mereka
terdapat tokoh selihay ini, mengapa selama ini aku tidak
pernah dengar nama mereka?"
Tertampak pertarungan keempat orang itu makin lama makin
sengit. Mendadak silelaki jelek menggereng keras sekali dan
goloknya terus membabat. Tapi Tay-pi Lojin sempat mengegos
berbareng ia balas menjotos kearah si Tojin. "Crat", golok
silelaki muka jelek telah menabas dibatang pohon, saking
kuatnya tabasan itu sehingga seketika golok susah dicabut
kembali. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Tay-pi Lojin,
cepat sikutnya menyodok kepinggang lelaki muka jelek.
Rupanya Tay-pi Lojin telah bertahan sekuatnya dari
pengeroyokan ketiga jago lihay itu, ia insaf susah
menyelamatkan diri. Apalagi dalam pertarungan sengit itu,
pancainderanya yang tajam lapat-lapat telah melihat dibalik
pohon tersembunyi dua orang lagi, ia menduga pasti musuh.
Padahal untuk melawan tiga orang saja kewalahan, apalagi
musuh mendapat bala bantuan pula"
Karena itulah terpaksa ia mesti mengambil langkah berbahaya.
Ia lihat simuka jelek itu adalah paling lemah diantara ketiga
pengeroyok, maka pada kesempatan yang ada itu segera ia
menyikutnya. Maka terdengarlah "bluk" sekali, dengan tepat
pinggang simuka jelek tersikut.
Tay-pi Lojin bergirang karena serangannya tepat kena
sasarannya, segera ia memutar pula kebalik pohon. Pada saat
itu juga gandin berantai si Tojin telah menyambar datang dari


Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

balik pohon. Tanpa pikir telapak tangan kiri Tay-pi Lojin
memotong keatas rantai gandin musuh. Tapi mendadak sinar
pedang berkelebat, cepat Tay-pi menggeser dan berkelit
kekanan. Tak terduga, karena usianya sudah lanjut, setelah bertempur
sengit sekian lamanya, tenaganya sudah tidak sekuat seperti
waktu mudanya, mestinya geserannya itu dapat mencapai
sejauh dua meter, tapi sekarang hanya sejauh satu meter
lebih, maka terdengarlah "cret" yang perlahan, pedang sikurus
telah menembus bahu kirinya, tanpa ampun lagi ia terpaku
kencang dibatang pohon. Karena perubahan yang luar biasa itu, sijembel cilik sampai
menjerit kaget. Tadi waktu menyaksikan seorang tua dikeroyok
tiga orang, memangnya dia sudah merasa tidak adil. Sekarang
dilihatnya pula siorang tua sudah dikalahkan, tentu saja ia
lebih-lebih kuatir dan tambah penasaran.
Sementara itu terdengar sikurus sedang berkata dengan
dingin: "Pek-keng Tocu, dasar kau, diminta dengan baik-baik
tidak mau dan maunya dipaksa. Sekarang kau mau menyerah
kepada Tiang-lok-pang kami atau tidak?"
"Hm, jika kau kenal aku sebagai Tocu dari Pek-keng-to, apakan
diantara penghuni Pek-keng-to kami ada pengecut yang pernah
tekuk lutut kepada orang lain?" bentak Tay-pi Lojin dengan
mata melotot. Mendadak ia meronta sekuatnya, nyata ia lebih
suka mengorbankan sebelah bahunya untuk melepaskan diri.
Namun gandin berantai si Tojin sudah bekerja juga, rantai
senjata itu telah melibat beberapa kali sehingga badan Tay-pi
Lojin terikat dibatang pohon, akhirnya terdengar suara "bluk"
sekali, ujung gandin telah menghantam didada Tay-pi Lojin.
Tanpa ampun lagi darah segar lantas menyembur keluar dari
mulut orang tua itu. Sipengemis cilik tidak tahan lagi, mendadak ia berlari maju dan
berteriak-teriak : "Hai, kalian tiga orang yang jahat
mengeroyok seorang baik, ini tidak boleh jadi!"
Diam-diam Cia Yan-khek mengerut kening. Pikirnya :"Bocah ini
ternyata suka cari penyakit. Tapi biarkan saja, ada baiknya
juga membiarkan ketiga orang itu membunuhnya. Andaikan
bocah itu nanti minta tolong padaku, diantara ketiga lawan
sudah ada satu yang terluka, sisa dua orang itu tentu mudah
dilayani." Dalam pada itu tertampak sijembel cilik itu telah berlari sampai
dibawah pohon sana dan mengadang didepan Tay-pi Lojin
sambil berseru: "Kalian tidak boleh membikin susah lagi
kepada paman tua ini."
Sebenarnya sitinggi kurus juga sudah mengetahui bahwa di
balik pohon itu tersembunyi orang. Tapi dilihatnya pemuda ini
toh tidak mahir ilmu silat, mengapa sedemikian berani
merintangi mereka, tentu dibelakangnya ada yang menjagoi.
Maka diam-diam ia merancang: "Biar aku menakut-nakuti
setan cilik ini, tentu orang yang menjagoi itu akan terpaksa
muncul sendiri." Segera ia cabut Kui-thau-to, golok berukiran kepala setan,
yaitu milik kawannya yang menancap dibatang pohon tadi, lalu
ia menggertak: "Setan alas, siapakah yang suruh kau
mengacaukan urusan Locu (bapakmu, kata olok-olok) ini" Hayo
lekas enyah, biar kumampuskan tua bangka itu!"
Habis berkata, ia sengaja mengangkat goloknya dengan lagak
hendak membacok, nyata seakan-akan pengemis kecil yang
mengadang didepannya itu juga akan dibacoknya sekalian
bersama Tay-pi Lojin. "Tidak, tidak nanti aku mau pergi," demikian jawab sijembel
malah tanpa gentar. "Paman tua ini adalah orang baik dan
kalian adalah orang jahat. Aku harus membantu orang baik dan
tak mau enyah." Kiranya dalam hidupnya sehari-hari, bila perasaan ibunya
kebetulan lagi senang, maka pengemis kecil itu terkadang juga
didongengi tentang orang jahat dan orang baik segala. Maka
dalam hati kecil bocah itu telah timbul kesan bahwa adalah
seharusnya dan maha adil bila membantu orang baik untuk
melawan orang jahat. Maka terdengar sikurus telah membentak dengan gusar:
"Apakah kau kenal dia" Darimana kau tahu dia adalah orang
baik?" "Paman tua ini tadi mengatakan Pang apa kalian itu adalah
perkumpulan orang jahat dan tidak sudi bergabung dengan
kalian, maka sudahlah terang kalian adalah orang jahat,"
demikian jawab sijembel cilik. Segera ia membalik tubuh dan
hendak melepaskan rantai gandin si Tojin.
Tapi si Tojin sudah lantas memberi persen sekali tamparan
sehingga mata sijembel cilik berkunang-kunang dan pusing
tujuh keliling, pipi kirinya seketika merah bengkak.
Dasar pengemis cilik itu memang tidak kenal tingginya langit
dan tebalnya bumi. Kemarin dia telah menyaksikan Go To-it
dikerubut oleh orang-orang Kim-to-the, soalnya dia tidak tahu
Go To-it itu orang baik atau jahat, pula mereka bertempur
diatas rumah dan akhirnya Go To-it terjungkal kebawah dan
segera perutnya ditikam oleh kedua kaitan Li Tay-goan, kalau
tidak, tentu saat itu juga dia akan tampil kemuka untuk
membelanya tanpa memikirkan mati-hidupnya sendiri.
Begitulah demi melihat sikap sijembel cilik yang tak gentar,
diam-diam sikurus menjadi sangsi malah, pikirnya: "Macam
apakah tokoh yang menjagoi kau itu sehingga kau berani main
gila dengan para Hiangcu (pemimpin bagian, hulubalang) dari
Tiang-liok-pang?" Ia coba melirik kebalik pohon sana, sekilas tertampak olehnya
muka Cia Yan-khek yang aneh itu, seketika ia ingat kepada
seorang: "Muka orang ini mirip dengan pemilik medali wasiat
Mo-thian-kisu Cia Yan-khek, jangan-jangan memang dia
inilah?" Segera ia coba menggertak lagi dengan mengacungkan
goloknya sambil membentak: "Aku tidak kenal asal-usulmu dan
siapa perguruanmu, pendek kata kau berani mengacau, segera
kubacok mampus pengemis kecil macam kau ini ?" ~ Dan
menyusul goloknya terus menyambar keleher sijembel cilik.
Tak terduga jembel cilik itu ternyata sangat bandel, sama
sekali ia tidak gentar dan tidak bergerak sedikitpun. Ketika
golok sikurus sudah hampir mengenai leher bocah itu barulah
mendadak sikurus tahan senjatanya, pujinya: "Anak setan,
besar juga nyalimu, ya?"
Sebaliknya watak si Tojin sangat berangasan, ia menjadi
aseran melihat kebandelan sijembel cilik, "plak", kembali ia
menampar lagi dengan lebih keras.
Betapapun usia pengemis cilik itu masih sangat muda, karena
berulang-ulang digampar, maka menangislah dia.
"Jika kau tidak ingin dihajar lagi, lebih baik kau menyingkir
saja!" ujar sikurus.
"Asal kalian pergi dulu dan takkan membikin susah paman tua
ini, maka tanpa disuruh juga aku akan segera pergi", sahut
sijembel cilik sambil bersengut.
Sikurus menjadi tertawa malah. Sebaliknya si Tojin tambah
murka, kontan kakinya mendepak sehingga sijembel cilik jatuh
terguling. Tapi biarpun babak-belur dan didepak terguling,
tetap sijembel pantang mundur, begitu merangkak bangun,
kembali dia mengadang didepan Tay-pi Lojin pula.
Sifat Tay-pi Lojin itu sebenarnya sangat aneh dan menyendiri,
selama hidupnya jarang berkawan. Sekarang dilihatnya anak
muda yang selamanya tidak pernah dikenalnya itu telah
membela dengan mati-matian, mau-tak-mau timbul juga rasa
terima kasihnya. Maka katanya: "Adik cilik, percumalah kau
bertengkar dengan mereka, bukan mustahil jiwamu akan
melayang percuma pula. Dihari tua orang she Thia ternyata
dapat mengikat seorang sahabat kecil sebagai kau, sungguh
hidupku ini boleh dikata tidak sia-sia. Sekarang lekaslah kau
pergi saja." Apa yang dikatakan "dihari tua" dan "hidup tidak sia-sia" segala
dengan sendirinya sijembel cilik tidak paham sama sekali, ia
hanya tahu orang tua itu telah menyuruhnya lekas pergi saja.
Maka ia lantas menjawab: "Tidak, engkau adalah orang baik,
betapapun kau tidak boleh dicelakai oleh mereka."
Sikurus adalah seorang cerdik dan bisa berpikir panjang. Diamdiam
ia memikir: "Datangnya bocah ini sangat mendadak dan
aneh, orang yang sembunyi dibalik pohon itu entah betul Cia
Yan-khek atau bukan, rasanya kita tidak perlu banyak
mengikat permusuhan. Namun melulu beberapa patah-kata
sibocah ini dan kami lantas pergi, hal ini bukankah
menunjukkan Tiang-lok-pay taku kepada orang lain."
Tiba-tiba ia mendapat akal, ia angkat golok Kui-thau-to dan
berkata: "Baiklah, anak kecil, aku ingin menjajal kau sekali
lagi. Berturut-turut aku akan membacok dan menabas 36 kali
padamu, jika kau sama sekali tidak bergerak, maka aku akan
menyerah padamu. Nah, kau takut tidak ?"
"Berulang-ulang dibacok 36 kali, sudah tentu aku takut," sahut
sijembel. "Jika takut, nah, lebih baik kau menyingkir pergi saja," ujar
sikurus. "Tidak, hanya didalam hati aku takut, tapi aku justeru tidak
mau pergi," sahut sijembel cilik.
Sikurus mengacungkan jempolnya dan memuji: "Bagus! Anak
yang gagah. Nah, awas serangan!" ~ "Sret", segera goloknya
menabas lewat diatas kepala jembel cilik itu.
Dari balik pohon Cia Yan-khek dapat melihat dengan jelas
bahwa tabasan sikurus itu sangat cepat dan gesit, tenaga yang
digunakan adalah tenaga pergelangan tangan, walaupun tak
diketahui apa namanya jurus itu, tapi golok yang antap itu
ternyata dapat dimainkan dengan enteng dan cepat sekali.
Tabasan itu menyerempet lewat diatas ubun-ubun kepala
sijembel sehingga secomot rambutnya terkupas.
Namun demikian, benar juga sijembel cilik tetap sangat tabah,
ia tetap berdiri tegak dan tidak bergerak sedikitpun.
Menyusul sinar golok tampak berkelebat dan menyambar kian
kemari diatas kepala sijembel, rambut bertebaran pula. Setelah
32 kali menabas, mendadak sikurus membentak sekali, golok
membacok dari atas kebawah, "bret", lengan baju kanan
sijembel telah terkupas sepotong, menyusul lengan baju kiri
dikupas pula dengan cara yang sama, bahkan celananya juga
terpotong sebagian dikanan-kirinya. Dengan demikian menjadi
genaplah 36 kali bacokan dan tabasan. Diwaktu menarik
kembali goloknya, tahu-tahu sikurus menggunakan gagang
goloknya untuk menyodok di "Tan-tiong-hiat" didada Tay-pi
Lojin, lalu ia tertawa terbahak-bahak dan berkata: "Anak cilik,
sungguh hebat kau, ketabahanmu memang luar biasa!"
Cia Yan-khek telah mengikuti dengan baik apa yang dilakukan
sikurus itu. Ia lihat sikurus telah memainkan goloknya dengan
36 jurus serangan yang susul-menyusul dan ternyata
sedikitpun tiada lubang kelemahan, maka diam-diam Yan-khek
memuji akan kepandaian orang. Waktu dilihatnya pula sikurus
menutuk Hiat-to mematikan didada Tay-pi Lojin pada saat dia
menarik kembali goloknya, diam-diam iapun menganggap
tindakan sikurus itu terlalu keji.
Dalam pada itu rambut sijembel cilik yang tadinya gombyok
kusut itu, setelah kena 32 kali tabasan kini telah berubah
menjadi seroang Hwesio kecil.
Tadi ia ditabas 32 kali dan setiap kali tabasan itu selalu
menyerempet diatas kepalanya, hal ini sebagian adalah karena
ketekadannya ingin membela Tay-pi Lojin, tapi sebagian juga
lantaran kesimanya sehingga tidak dapat bergerak. Sesudah
sikurus habis menabas, ia coba meraba kepalanya sendiri dan
terasa masih baik-baik tanpa kurang apa-apa, maka barulah
dia menghela napas lega. Sebaliknya si Tojin dan simuka jelek lantas bersorak memuji:
"Bi-hiangcu, ilmu pedang yang hebat !"
"Ha, permainan kasaran saja!" sahut sikurus dengan
tersenyum. "Mengingat ketabahan sobat kecil ini, biarlah hari ini kita
mengalah sedikit padanya. Sekarang marilah kita pergi saja
saudara-saudara." Melihat Tay-pi Lojin sudah tinggal napas yang terakhir saja
karena sodokan gagang golok sikurus tadi, maka si Tojin dan
simuka jelek juga tidak rewel-rewel lagi, mereka jemput
senjata masing-masing lalu melangkah pergi.
Sikurus mendadak menabok sekali diatas batang pohon, tahutahu
pedangnya yang menancap dibatang pohon dengan
memantek tubuh Tay-pi Lojin itu lantas mencelat keluar
dengan membawa darah segar orang tua itu. Segera sikurus
sambar sambar pedangnya dan bertindak pergi dengan
tertawa, sama sekali ia tidak berpaling lagi ketempat
sembunyinya Cia Yan-khek.
Diam-diam Yan-khek membatin: "Kiranya sikurus itu she Bi
dan adalah Hiangcu dari tiang-lok-pang. Dia sengaja
memperlihatkan dua jurus kepandaiannya padaku, terutama
tabokan yang menggetarkan batang pohon untuk
mengeluarkan pedang itu betul-betul sangat lihay."
Dalam pada itu sipengemis cilik sedang berkata kepada Tay-pi
Lojin: "Paman tua, biar kubalut lukamu itu." ~ Lalu ia ambil
sobekan kain bajunya sendiri yang ditabas sikurus tadi dan
hendak membalut luka dibahunya Tay-pi Lojin.
Namun orang tua itu lantas berkata: "Ti?"?"tidak perlu lagi!
Di?"?".didalam kantongku ada?""..ada beberapa boneka
kecil?"".ku?""..kuberikan semua itu
pa?"?"?"".padamu?"?"?"" ~ belum selesai ucapannya,
matanya terpejam dan kepalanya miring kesamping, tubuhnya
yang besar itu perlahan-lahan merosot kebawah pangkal
pohon. "Paman tua! Paman tua!" seru sijembel cilik dan bermaksud
memayang orang tua itu. Tapi dilihatnya Tay-pi Lojin sudah
meringkuk ditanah dan tak bisa berkutik lagi.
Segera Cia Yan-khek mendekatinya dan bertanya: "Apa yang
dia katakan sebelum mati?"
"Dia bilang?"".dia bilang didalam kantongnya ada beberapa
boneka kecil dan diberikan padaku semua", sahut sijembel cilik.
Cia Yan-khek kenal Tay-pi Lojin adalah seorang tokoh besar
didunia persilatan, dalam hal ilmu silat sekali-kali tidak dibawah
dirinya, maka bukan mustahil pada tubuh orang tua itu tentu
dapat diketemukan benda-benda yang penting. Namun sebagai
seorang tokoh pula Cia Yan-khek juga bertinggi hati dan sekalikali
tidak sudi mencuri apa-apa milik orang mati. Andaikan
tahu betul Tay-pi Lojin membawa benda-benda mestika juga
dia tidak mau mengambilnya. Karena itulah ia lantas berkata :
"Jika dia telah memberikannya padamu, maka bolehlah kau
ambil saja."

Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia sendiri yang memberi, kalau aku mengambilnya terhitung
maling kecil atau bukan ?" tanya sijembel cilik.
"Bukan", sahut Yan-khek dengan tertawa.
Segera sijembel menggagapi saku bajunya Tay-pi Lojin dan
mengeluarkan isinya, diantaranya terdapat sebuah kotak kayu
kecil, beberapa uang perak dan beberapa buah senjata rahasia
berduri. Selain itu pula beberapa pucuk surat dan seperti ada
pula sehelai peta. Sebenarnya didalam hati Cia Yan-khek sangat ingin tahu apa
yang tertulis didalam surat-surat itu dan apa yang terlukis
didalam peta. Tapi ia merasa, asal tangannya menyentuh
barang-barang itu, maka nama baiknya sebagai seorang tokoh
pujaan dunia persilatan tentu akan tercemar.
Dalam pada itu tertampak sijembel cilik sudah membuka kotak
kecil itu, didalam diganjel dengan kapas dan terdapat tiga baris
boneka buatan tanah liat. Setiap barisnya ada enam boneka
sehingga seluruhnya ada 18 buah. Buatan boneka-boneka itu
sangat indah, semuanya berbentuk laki-laki dan telanjang,
ditubuh boneka yang berwarna putih itu penuh terlukis garisgaris
merah. Sekali pandang saja Cia Yan-khek lantas tahu bahwa garisgaris
merah yang terlukis diatas tubuh boneka-boneka itu
adalah model-model untuk melatih sejenis Lweekang yang
tinggi, besar kemungkinan adalah rahasia inti dari ilmu
Lweekang golongan Pek-keng-to. Rupanya Tay-pi Lojin merasa
berterima kasih kepada jiwa kesatria sijembel cilik yang telah
membelanya mati-matian, maka telah menghadiahkan bendabenda
mestika itu. Tapi lantas terpikir oleh Cia Yan-khek:
"Percuma juga maksud Tay-pi Lojin itu, andaikan tidak
diberikan, toh kalau bocah ini menemukan boneka-boneka itu
didalam kantongmu juga tentu akan diambilnya untuk barang
mainan." Padahal dugaan Cia Yan-khek ini pasti meleset. Pengemis kecil
itu sekarang sudah paham bahwa mengambil barang orang lain
secara diam-diam adalah maling kecil serta orang jahat, maka
tidaklah mungkin dia berani menggerayangi milik Tay-pi Lojin
jika orang tua itu tidak memberitahukan tentang barang apa
yang berada disakunya itu.
Selamanya jembel cilik itu hidup diatas gunung yang terpencil,
untuk pertama kalinya sekarang dia melihat boneka-boneka
sebanyak itu, keruan ia sangat senang dan berulang-ulang
menyatakan : "Sungguh menarik sekali. Tapi mengapa tidak
pakai baju" Apa tidak dingin."
Diam-diam Cia Yan-khek membatin: "Meski Tay-pi biasanya
tidak cocok dengan aku, tapi dia terhitung juga seorang tokoh
terkemuka, betapapun jenazahnya tidak boleh ditelatarkan
begini saja." Segera ia berkata kepada sijembel cilik yang lagi asyik dan
senang memandangi boneka-boneka kecil itu: "Kawanmu itu
sudah mati, apa kau tidak menanamkan mayatnya ?"
"Ya, tapi cara bagaimana menanamnya ?" sahut sijembel.
"Kalau kau kuat, boleh kau menggali sebuah liang, kalau tidak
kuat, boleh menguruki dia dengan tanah, batu dan daun-daun
kering. "Disini juga tiada cangkul dan susah untuk menggali liang",
ujar sijembel. Maka ia lantas mengusung batu dan tanah, dan
uruk pula dengan daun-daun kering sehingga jenazah Tay-pi
Lojin tertutup rapat. Karena usianya masih terlalu muda, setelah selesai menguruk
jenazah Tay-pi itu ia sendiri sudah mandi keringat dan sangat
lelah. Cia Yan-khek tetap berdiri menonton saja disamping dan tidak
membantunya. Ia tunggu sijembel cilik selesai bekerja bakti,
lalu ia mengajaknya berangkat.
"Kemana lagi" Aku sudah terlalu lelah dan takkan ikut
padamu!" sahut sijembel.
"Kenapa" Kau tidak ikut pergi padaku?" tanya Yan-khek.
"Tidak, aku akan mencari ibu dan si Kuning," kata sijembel
cilik. Diam-diam Yan-khek menjadi kuatir: "Bocah ini belum lagi
meminta sesuatu padaku, jika dia tidak mau ikut pergi padaku,
hal ini menjadi sulit bagiku. Sedangkan akupun takdapat
mengajak dia secara paksa. Ah, sumpahku dahulu itu hanya
mengatakan tidak boleh main paksa kepada orang yang
mengembalikan medali wasiat padaku dan tidak menyatakan
tak boleh mendustai dia. Maka sekarang terpaksa aku harus
mendustai dia saja."
Maka ia lantas berkata: "Kau boleh ikut padaku saja, nanti aku
bantu mencarikan ibumu dan si Kuning."
"Baik sekali. Kepandaianmu sangat tinggi, tentu kau akan
dapat menemukan ibuku dan si Kuning," sahut sijembel dengan
girang. Yan-khek pikir tiada gunanya banyak bicara dengan bocah itu,
untung bocah itu tidak pernah memohon secara resmi
padanya, kalau tidak tentu akan sulit untuk mencarikan ibunya
dan anjing piaraannya itu. Segera ia pegang tangan kanan
sijembel dan berkata: "Marilah kita berjalan cepatan sedikit !"
Dan baru saja sijembel cilik mengiakan, tahu-tahu ia merasa
tubuhnya terseret dan seakan-akan terapung dan berlari
secepat terbang. Bukannya takut, sebaliknya ia menjadi
senang, serunya: "Ha, enak sekali, enak sekali!"
Kiranya Cia Yan-khek telah menggunakan Ginkang yang tinggi
dan mengerahkan sedikit tenaga dalam untuk membawanya
berlari. Keruan sijembel cilik merasa seperti dibawa terbang
dan tertawa-tawa senang sambil memuji kepandaian Cia Yankhek.
Sampai hari sudah gelap, entah sudah berapa jauhnya mereka
berlari, akhirnya mereka sampai ditengah-tengah gunung yang
sepi. Disitulah Yan-khek berhenti dan melepaskan tangan
sijembel cilik. Sesudah berhenti barulah sijembel cilik itu merasakan kakinya
lemas dan tidak kuat berdiri lagi, seketika ia jatuh terduduk.
Hanya sebentar saja ia berduduk, segera ia merasa kedua
telapak kakinya kesakitan, ternyata sudah merah dan bengkak.
Ia berteriak kaget: "Ha, paman tua, kakiku bengkak!"
"Jika kau minta aku mengobati kau, tentu segera kakimu
takkan bengkak dan sakit", sahut Cia Yan-khek.
"Kalau kau mau menyembuhkan aku, dengan sendirinya aku
akan berterima kasih padamu", sahut sijembel cilik.
Mau-tak-mau Cia Yan-khek mengerut kening, katanya pula:
"Apa benar-benar selamanya kau tidak pernah memohon apaapa
kepada orang lain?" "Jika engkau suka menyembuhkan aku, tentunya tidak perlu
aku memohon, sebaliknya kalau engkau memang tidak mau,
biarpun aku memohon juga percuma", ujar sijembel.
"Kenapa percuma ?" Yan-khek menegas.
"Habis, kalau engkau tidak mau menyembuhkan aku, tentunya
aku akan sedih, boleh jadi akan menangis. Sebaliknya kalau
tidak dapat mengobati aku, tentunya engkau yang akan
merasa susah." "Hm, hatiku selamanya tidak pernah susah. Nah, kita tidur saja
disini!" jengek Yan-khek.
Agar sesuai dengan kenyataannya karena anak muda itu tidak
sudi memohon sesuatu apapun kepada orang lain, dengan
sendirinya istilah "sijembel cilik" atau "sipengemis cilik" adalah
tidak tepat baginya, maka untuk selanjutnya kita akan
menyebutnya sebagai anak muda saja.
Begitulah anak muda itu telah bersandar pada sebatang pohon,
meski kedua kakinya melepuh sakit, tapi saking lelahnya,
hanya sebentar saja ia sudah terpulas, sampai perutnya yang
sudah lapar juga terlupakan.
Cia Yan-khek sendiri lantas melompat keatas pohon dan tidur
disitu. Ia berharap tengah malam nanti akan datang seekor
binatang buas dan anak muda itu akan digigit mati dan
dimakan sehingga akan mengakhiri kesulitan atas diri anak
muda itu. Tak terduga, sepanjang malam itu seekor kelincipun tidak lalu
disitu jangankan lagi seekor binatang buas. Diam-diam Yankhek
membatin : "Terpaksa aku mesti membawa pulang dia ke
Mo-thian-kay. Kalau nanti dia membuka mulut memohon
sesuatu yang mudah dikerjakan olehku, maka hal itu terhitung
dia yang mujur, kalau tidak, betapapun aku harus berdaya
upaya untuk membinasakan dia. Sungguh celaka, kalau
terhadap seorang bocah cilik saja takbisa membereskannya,
lalu macam apakah manusia Mo-thian-kisu yang tersohor ini?"
Esok paginya Cia Yan-khek menggandeng tangan anak muda
itu dan diajaknya berangkat pula. Tapi baru melangkah
beberapa tindak, anak muda itu lantas menjerit kesakitan
karena telapak kakinya serasa ditusuk oleh beratus-ratus
jarum. "Kenapa?" tanya Yan-khek. Ia menyangka anak muda itu tentu
akan mengajukan permintaan berhenti dahulu atau permintaan
lain sebagainya. Tak terduga anak muda itu hanya menjawab: "Tidak apa-apa,
kakiku sedikit sakit. Marilah kita jalan terus."
Karen takbisa meng-apa-apakan anak muda itu, lama-lama Cia
Yan-khek menjadi naik darah, segera ia seret anak muda itu
dan berlari lebih kencang lagi.
Mereka berlari terus tanpa berhenti. Bila lalu dikota, seadanya
Cia Yan-khek membeli sedikit penganan, lalau berangkat lagi,
sambil lari sambil makan. Kalau dia membagi makanan itu
kepada sianak muda barulah anak muda itu memakannya,
kalau tak membaginya, anak muda itu juga tidak minta.
Dengan demikian beberapa hari telah lalu dengan cepat.
Sampai hari keenam, tempat mereka berlari-lari itu adalah
ditengah lereng gunung yang terjal. Sungguh aneh juga, meski
anak muda itu tidak paham ilmu silat, tapi dengan digandeng
oleh Cia Yan-khek, semakin lama berlari, semakin bersemangat
malah. Sampai akhirnya bahkan kedua kakinya tidak terasa
sakit lagi. Bab 7. Ada Ubi Ada Talas, Utang Budi Harus Membalas
Sesudah berlari satu hari pula, jalanan pegunungan itu makin
lama tambah berbahaya. Akhirnya anak muda itu tidak
sanggup mendaki lagi, terpaksa Cia Yan-khek
menggendongnya dan berlompatan dari suatu tebing ketebing
yang lain dan dari suatu lereng ke lereng yang lain.
Anak muda itu sampai kebat-kebit melihat lereng-lereng
gunung yang curam disekitarnya itu. Terkadang kalau ketmu
tempat-tempat yang curam dan mengerikan, terpaka ia
pejamkan mata dan tidak berani melihat.
Pendekar Pemetik Harpa 16 Si Pemanah Gadis Karya Gilang Pusaka Negeri Tayli 12

Cari Blog Ini