Ceritasilat Novel Online

Mutiara Hitam 15

Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 15


Dua orang muda yang sama tinggi, sama tampan dan gagah itu kini berdiri saling berhadapan, wajah mereka serius, pandang mata berkilat, siap untuk ber-tanding seperti dua ekor ayam jantan berlagak. Semua tamu menjadi tegang, apalagi setelah mendengar bahwa jembel muda itu adalah Ketua Khong-sim Kai--pang yang baru! Mereka mengharapkan untuk menonton sebuah pertandingan yang hebat antara dua orang jago muda yang berilmu tinggi.
"Piauw-heng, untuk memukul seekor anjing kotor, perlu apa menggunakan tongkat besar"
Harap Piauw-heng jangan mencapaikan diri, untuk membikin mam-pus anjing ini, adikmu ini masih cukup kuat. Tadi pun kalau tidak dihalangi Sumoi, anjing ini sudah kuhajar sampai mampus!" kata Suma Kiat berlagak sam-bil memegangi pundaknya yang masih mengucurkan darah.
"Kiang-kongcu, maafkan kalau aku mencampuri urusan yang tidak ada sang-kut-pautnya dengan aku, tiba-tiba Puteri Mimi menghampiri Kiang Liong dan me-nyentuh pundaknya.
Sejak tadi puteri ini mendengar dan melihat dengan penuh perhatian, ia amat kagum menyaksikan sikap Yu Siang Ki, juga amat heran dan kagum melihat Kwi Lan yang cantik jelita dan gagah. Mendengar ucapan Siang Ki tadi, puteri ini pun kagum dan dapat menghargai kegagahan orang muda yang ia anggap menyamar dalam pakaian jembel itu.
Melihat majunya Puteri Mimi, terpak-sa Kiang Liong mengalihkan perhatiannya dan
menoleh. Ia melihat betapa dua pipi yang halus itu kemerahan mata yang jeli itu bersinar-sinar dan diam-diam ia men-jadi kagum. "Ada petunjuk apakah, Pu-teri?" Kini semua orang memperhatikan Mimi karena dandannya, kecantikannya, dan suaranya yang asing namun sedap didengar.
"Kiang-kongcu, mereka yang ribut--ribut semua adalah tamu. Keributan yang terjadi di antara tamu tentu ada sebab-nya. Tanpa menyelidiki sebabnya lalu berpihak, amat tidak bijaksana.
Sebagai tuan rumah, sebaiknya bersikap adil dan menyelidiki lebih dulu apa sebab keribut-an, baru mengambil keputusan yang bijaksana dan adil. Menurutkan hati panas melupakan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 352
pertimbangan pikiran akan menimbulkan penyesalan yang sudah ter-lambat. Harap Kiang-kongcu mendahulu-kan kesadaran."
Tidak hanya Kiang-liong dan Yu Siang Ki yang menjadi heran dan kagum sekali, juga semua orang yang mendengar ini tercengang. Amat sukar diharapkan ucap-an seperti itu keluar dari sepasang bibir mungil dari seorang dara remaja seperti Puteri Mimi.
Kalau semua mata memandang kagum kepada Putera Mimi, sebaiknya Kwi Lan yang sejak tadi sudah amat marah, kini tak dapat menahan kegemasan hatinya. Ia melangkah maju, pedang di tangan kanan, berdiri di depan Yu Siang Ki membelakangi pemuda ini, menghadapi Kiang Liong, sikap dan pandang matanya penuh tantangan! Suaranya nyaring tinggi
menyambar telinga semua orang, lang-sung menusuk jantung mereka dengan kata-kata yang tajam.
"Orang she Kiang! Apakah karena engkau menjadi murid Suling Emas eng-kau lalu boleh berlagak sombong seperti seorang pangeran dari langit" Kalau se-gala macam urusan kecil hendak diberes-kan secara begini sukar olehmu, apalagi urusan besar! Ketahuilah dan dengar baik-baik. Yang menghina lima orang pelacur tadi adalah aku, Mutiara Hitam! Yang melukai adik misanmu ini adalah aku pula, Mutiara Hitam! Yu Siang Ki ini hanya turun tangan karena perempuan--perempuan rendah tadi menghinaku. Akan tetapi yang menjadi biang keladi adalah aku. Kalau kau mau berlagak seperti hakim dan memberi hukuman, hayo hu-kumlah aku. Mutiara Hitam berani ber-buat berani bertanggung jawab! Orang she Kiang, aku mendengar bahwa Suling Emas seorang pendekar besar dan pa-triot, akan tetapi muridnya mengapa mengumpulkan kaum pemberontak" Hayo majulah kau boleh mengandalkan
kedu-dukan dan nama Gurumu, akan tetapi jangan kira aku takut!"
Wajah semua orang menjadi pucat. Mereka yang memang mempunyai per-sekutuan untuk membantu gerakan bang-sa Hsi-hsia, menjadi pucat karena khawa-tir, sebaliknya yang tidak tahu apa-apa, menjadi pucat karena ucapan yang keluar dari mulut gadis ini benar-benar merupa-kan penghinaan hebat!
"Kwi Lan, apakah kau sudah menjadi gila" Mengapa kau mengeluarkan ucapan-ucapan tidak karuan?" Yu Siang Ki menegurnya, wajah pemuda ini pun men-jadi pucat. Ia maklum bahwa kali ini gadis liar ini telah membuat onar dan kekacauan hebat sekali. Akan tetapi yang ditegur sama sekali tidak mempedulikan-nya, bahkan sinar matanya seakan-akan mengejek dan berkata. "Jangan turut campur!"
Wajah Kiang Liong sebentar merah sebentar pucat. Hebat penghinaan ini! Kalau diucapkan tidak di tempat umum, masih belum hebat dan mungkin ia dapat menerimanya sambil
tersenyum. Akan tetapi ucapan yang amat menghinanya itu diucapkan di depan banyak tamu.
Suaranya agak gemetar karena menahan amarah ketika ia bertanya.
"Mutiara Hitam, sungguh lancang mulutmu!" Kalau engkau masih Sumoi dari adik misanku Suma Kiat berarti kau bukan orang lain, akan tetapi mengapa kau berani bersikap begini kurang ajar" Kau menuduh dan memfitnah yang bu-kan-bukan. Siapa mengumpulkan kaum pemberontak" Apa maksudmu?"
Kwi Lan, tersenyum mengejek. Cuping hidungnya yang tipis berkembang-kempis. "Masih berpura-pura lagi" Apa kau menghendaki aku menelanjangi kedokmu dan menunjuk tokoh pemberontak?"
Sepasang mata Kiang Liong menge-luarkan sinar berkilat. Sudah gatal-gatal tangannya untuk menerjang maju, meng-hajar gadis yang liar ini. Akan tetapi ia masih dapat menekan hatinya dan mem-bentak, "Boleh! Coba hendak kulihat siapa orangnya!"
"Kaulihat baik-baik!" Kwi Lan yang masih memegang pedang itu menyapu taman dengan pandang matanya kemudian melangkah dan menghampiri meja di mana duduk tiga orang hwesio.
"Sumoi.... jangan....!" Suma Kiat ber-seru.
Akan tetapi dengan langkah lebar, Kwi Lan sudah tiba di depan meja tiga orang hwesio itu Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 353
dan sekali tendang, meja itu mencelat dan menimpa tiga orang hwesio tadi.
"Brakkk....!" Hwesio kurus berjubah kuning itu dengan tangan kirinya me-nyampok dan meja itu pecah. Sambil menghantam hwesio itu meloncat dan berdiri tegak memandang Kwi Lan.
"Omitohud, apakah Nona ini menjadi gila?"
Kwi Lan tertawa, menuding dengan pedangnya. "Apakah engkau yang berna-ma Cheng Kong Hosiang?"
"Sumoi, jangan....!" Kembali Suma Kiat berseru.
Cheng Kong Hosiang menjadi be-ringas pandang matanya. Kakek ini men-cium bahaya, akan tetapi ia memandang rendah gadis ini. Ia seorang yang memi-liki ilmu silat tinggi, tentu saja tidak takut menghadapi seorang gadis remaja.
"Pinceng benar Cheng Kong Hosiang, Nona mau apa dan...."
Belum habis ucapannya, tubuh Kwi Lan menerjang maju. Dua orang hwesio tinggi besar yang duduk di kanan kiri Cheng Kong Hosiang adalah murid-murid hwesio tua ini, mereka pun pandai ilmu silat dan, melihat gadis itu sudah mener-jang maju, mereka segera menyambut dari kanan kiri bersenjatakan tongkat. "Trang-trang.... wuuut-wuuut, aduhhh....!"
Cepat luar biasa gerakan Kwi Lan. Dengan pedang Siang-bhok-kiam di ta-ngan kanan, ia menangkis dan menempel dua tongkat itu sehingga tak dapat ditarik kembali, kemudian dengan gerakan memutar amat kuat, ia membuat dua batang tongkat ikut berputaran sampai terlepas dari tangan pemegangnya, kemu-dian secara mendadak tangan Kwi Lan bergerak, dua kali memukul dan robohlah dua orang hwesio itu dengan tulang pun-dak patah-patah!
Cheng Kong Hosiang sudah menyam-bar tongkatnya yang panjang dan berat, namun gerakan Kwi Lan lebih cepat daripadanya. Tubuh gadis ini seperti le-nyap, berubah menjadi bayangan yang didahului sinar pedang kehijauan.
"Sumoi, tahan....!" Kembali terdengar suara Suma Kiat yang sudah dekat di belakangnya.
Melihat sumoinya nekat dan hendak membuka rahasia hwesio itu, Suma Kiat marah sekali dan mengirim pukulan maut dari belakang. Pukulan ini adalah pukulan jarak jauh yang mengan-dung hawa beracun dan betapa pun lihai-nya Kwi Lan, kaarena ia menujukan
per-hatiannya kepada hwesio di depannya, agaknya sukar baginya untuk menghindar-kan diri dari pukulan maut suhengnya.
Dan kalau pukulan itu sampai mengenai lambungnya, sukar pula nyawanya dapat ditolong!
"Dukk....!" Suma Kiat terhuyung ke belakang, mulutnya menyeringai menahan nyeri, seluruh lengan kanannya terasa lumpuh dan dadanya sesak. Bukan karena tang-kisan Kiang Liong,
melainkan karena hawa pukulannya sendiri membalik ketika pukulannya tadi tertahan oleh lengan Kiang Liong. Melihat betapa adik misan-nya mengirim pukulan dari belakang se-ganas dan sekeji itu, Kiang Liong sudah cepat bergerak menangkis. Diam-diam pemuda ini menjadi makin tidak senang kepada adik misannya. Terhadap seorang sumoi saja sudah dapat bersikap sekeji dan securang itu. Andaikata Mutiara Hitam ini benar bersalah dalam hal ke-ributan ini sekalipun, ia tetap tidak akan membiarkan adik misannya atau orang lain merobohkannya secara curang. Sinar matanya yang amat tajam membuat Suma Kiat tak berani membuka mulut, kemudian mereka berdua, seperti juga semua orang, kembali
menonton pertan-dingan antara Mutiara Hitam dan Cheng Kong Hosiang.
Yu Siang Ki juga menyaksikan peris-tiwa yang terjadi amat cepatnya itu dan ia makin tidak mengerti akan sikap Kiang Liong. Tadi memperlihatkan sikap bermusuhan, akan tetapi sekarang melin-dungi Mutiara Hitam. Dan Kwi Lan me-ngapa bersikap seperti itu" Ia merasa dihadapkan sebuah teka-teki. Benarkah apa yang dituduhkan gadis itu" Bahwa Kiang Liong bersekongkol dengan para pemberontak" Ah, rasanya tidak mungkin. Dan siapakah hwesio bernama Cheng Kong Hosiang yang diserang Kwi Lan" Ia memandang penuh perhatian, siap untuk membantu Kwi Lan apabila gadis itu terancam bahaya.
Hwesio kurus itu memang lihai sekali. Tongkatnya terbuat daripada baja kebiru-an yang kuat Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 354
dan berat, sedangkan ilmu tongkatnya juga luar biasa kuatnya. Tongkat di tangannya diputar cepat se-hingga lenyap bentuknya, berubah men-jadi gulungan sinar biru yang menyilaukan mata. Kwi Lan sendiri sudah lenyap bayangannya, tergulung oleh sinar pe-dangnya yang kehijauan. Namun perta-hanan hwesio tua itu benar amat tangguh. Ke manapun juga sinar pedangnya me-nyerang, selalu dapat ditangkisnya dengan tongkat sehingga pertandingan itu men-jadi makin seru dan sengit. Belasan se-rangan hwesio itu juga tak pernah ber-hasil karena gerakan Kwi Lan amat gesit.
"Trang! Trang....!" Dua kali tongkat dan pedang bertemu dan kedua orang yang bertanding seru itu mencelat mun-dur sampai tiga meter lebih.
Tahan!" seru Cheng Kong Hosiang, menghapus peluh di dahinya dengan ujung baju lengan kiri, sikapnya bengis. "Nona, pinceng adalah tamu Kiang-kongcu dan pinceng cukup menghormat tuan rumah, tidak sudi mengacau di dalam taman ini. Kalau kau tidak
memandang mata kepada Kiang-kongcu dan tetap hendak menan-tang pinceng, bukan di sini tempatnya!"
Kwi Lan tersenyum mengejek. "Wah, kau tua bangka gundul benar pandai mencari muka kepada tuan rumah yang menjadi sekutumu! Eh, Cheng Kong Ho-siang, apa kaukira aku tidak mengerti akan rahasia busukmu" Engkau adalah utusan Bouw Lek Couwsu pemimpin bangsa Hsi-hsia. Engkau bertugas mengadakan persekutuan busuk dengan kaum pengkhianat dan pemberontak di kota raja. Sebagian besar bangsawan dan pem-besar yang hadir di sini...."
"Trang-trang....!" Tongkat itu me-nyambar hebat dan Kwi Lan yang me-nangkis dua buah serangan itu sampai merasa tergetar pundaknya. Ia menjadi marah dan menggerakkan pedangnya membalas serangan lawan. Kedua orang itu kembali sudah bertanding secara he-bat.
Berubah wajah Siang Ki mendengar ucapan Kwi Lan tadi. Ah, kiranya gadis itu sudah bertindak dengan dasar yang demikian penting. Betulkah apa yang diucapkan gadis itu" Ia melirik ke-pada para tokoh pengemis dan mereka bersiap-siap. Sementara itu, para pem-besar yang mendengar ucapan Kwi Lan, menjadi pucat wajahnya dan bangkitlah mereka, kemudian secara tergesa-gesa dan diam-diam mereka bergerak hendak pergi meninggalkan tempat berbahaya ini.
"Berhenti! Semua tidak boleh, mening-galkan tempat ini!" bentak Kiang Liong yang cepat memberi isyarat kepada pen-jaga, kemudian membisikkan perintah agar Si Penjaga cepat pergi mengundang komandan pengawal istana dan pasukan-nya. Ia sendiri menjaga di pintu dan menonton pertempuran dengan hati tegang. Sejak tadi ia sudah merasa heran melihat betapa hwesio tua itu amat lihai serta memiliki ilmu silat yang didasari gerakan kaki pat-kwa, persis seperti ilmu silat Bouw Lek Couwsu yang lihai. Kini men-dengar ucapan Kwi Lan, kecurigaannya makin hebat. Tuduhan gadis itu bukan hal yang tidak boleh jadi, mengingat betapa Bouw Lek Couwsu berniat keras untuk menghubungi para pembesar khia-nat.
Kwi Lan maklum bahwa ia telah membongkar rahasia besar dan tentu saja hwesio ini akan berusaha keras untuk membunuhnya. Bahkan mungkin kaki tangan hwesio ini termasuk suhengnya akan mencelakakannya. Akan tetapi hati-nya agak lega melihat betapa tadi pukul-an suhengnya digagalkan oleh Kiang Liong. Kalau sampai terjadi pertempuran besar, yang ia khawatirkan hanya Kiang Liong yang ia tahu memiliki ilmu kepan-daian yang jauh lebih tinggi daripadanya. Maka melihat sikap Kiang Liong tadi, hatinya lega, pula dugaannya bahwa Kiang Liong ikut pula berkhianat, kini menipis. Ia harus dapat menghalau hwe-sio ini lebih dulu, pikirnya. Akan tetapi tidaklah mudah mengalahkan hwesio ini yang sesungguhnya adalah murid kepala Bouw Lek Couwsu sendiri.
Kwi Lan menjadi penasaran. Perta-hanan hwesio itu benar amat kuat, sukar ditembusi pedangnya. Ia harus mengguna-kan akal. Dalam satu dua detik saja ia sudah mendapatkan akal ini. Kalau la-wannya yang merupakan seorang berilmu dan sudah memiliki pengalaman matang dalam pertandingan-pertandingan itu di-biarkan terus mempertahankan diri agak-nya Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 355
dalam waktu selama seratus jurus belum tentu ia akan bisa mendapatkan kemenangan. Jalan satu-satunya hanya memancing agar kakek itu menyerang, karena pertahanan seseorang sudah pasti akan menjadi lebih lemah jika diperguna-kan untuk menyerang. Artinya setiap serangan membuka lowongan atau ke-lemahan dalam pertahanan.
Tiba-tiba Kwi Lan menusukkan pe-dangnya ke arah dada lawan. Sengaja ia membuat
gerakannya itu agak miring dengan kedudukan kaki yang tidak cukup kuat. Tongkat lawan menangkis dan Kwi Lan berseru keras dan kaget, pedangnya terlepas dari pegangan! Yu Siang Ki mengeluarkan seruan kaget pula, bahkan Suma Kiat juga mengeluarkan seruan, akan tetapi seruan girang. Ia maklum bahwa betapa pun lihainya, Cheng Kong Hosiang akhirnya tidak akan dapat me-nandingi kehebatan sumoinya dan tentu akan roboh. Kini melihat berobahnya jalannya pertandingan, diam-diam ia me-rasa girang. Ia mencinta sumoinya, akan tetapi kalau sumoinya menghalang jalan menuju tercapainya cita-citanya, ia tidak segan-segan bergembira melihat sumoinya terancam bahaya maut! Hanya Kiang Liong yang tetap tenang, berdiri tegak matanya tak pernah berkedip memandang jalannya pertandingan. Pemuda ini sudah terlalu hebat digembleng oleh Suling Emas untuk tidak melihat dasar gerakan Kwi Lan itu.
Akan tetapi Cheng Kong Hosiang yang melihat pedang lawannya terlepas, tidak memikirkan lagi kemungkinan lain. Dalam detik itu, kemenangan sudah ter-bayang olehnya. Gadis ini harus dibunuh karena terlalu berbahaya. Tongkatnya berkelebat dalam serangannya, menghan-tam ke arah kepala Kwi Lan. Gadis ini miringkan tubuh menundukkan kepala, sengaja membiarkan ujung tongkat me-nyerempet pundaknya!
Di dalam hatinya, Kiang Liong terte-gun. Memang siasat ini hebat, akan teta-pi terlalu berbahaya. Gadis ini bukan main, memiliki ketabahan yang sukar dicari tandingnya. Meleset sedikit saja perhitungannya, terlambat seperempat detik saja gerakannya, kepalanya akan hancur dipukul tongkat. Namun, Kwi Lan selain tabah juga tenang dan cerdik,
per-hitungannya takkan meleset. Pada saat ia merasa pundak kanannya nyeri diserem-pet ujung tongkat, tangan kirinya sudah menghantam ke depan. Itulah pukulan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi).
"Auuuggghhh....!" Pukulan itu agaknya tidak terlalu keras, akan tetapi tubuh Cheng Kong Hosiang terpelanting ke belakang, dan kakek ini bergulingan dan menggeliat-geliat kesakitan karena selu-ruh isi perutnya seperti ditusuk-tusuk.
"Sumoi, kau terlalu....!" Suma Kiat lari menghampiri Kwi Lan yang sudah siap sedia melawan suhengnya, akan te-tapi pemuda itu sama sekali tidak menyerangnya, melainkan berlutut di dekat tubuh Cheng Kong Hosiang yang masih menggeliat-geliat. "Lo-suhu, bagian mana yang terasa sakit" Coba kuperiksanya....!" Pemuda ini meraba dada, meraba perut dan pendeta tua itu tidak merintih lagi, bahkan tidak bergerak lagi.
"Piauw-te (Adik Misan), minggirlah!" Kiang Liong membentak Suma Kiat.
Pemuda ini hendak memeriksa dan me-maksa hwesio itu membuka rahasia, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia me-meriksa, Cheng Kong Hosiang ternyata sudah tak bernyawa lagi. Ia bangkit ber-diri, dan menatap wajah adik misannya dengan pandang mata tajam menusuk akan tetapi Suma Kiat hanya menyeri-ngai saja.
Pada saat itu, terdengar hiruk-pikuk di luar taman dan masuklah seorang ko-mandan berpakaian gagah memimpin se-pasukan pengawal sendiri dari tiga losin orang. Komandan itu segera melangkah lebar menghampiri Kiang Liong, sedang-kan para anak buahnya dengan rapi men-jaga di pintu keluar.
"Hemm, tidak ada perlunya kita ber-ada di sini lebih lama lagi. Siang Ki, mari kita pergi!"
kata Kwi Lan yang sudah menyimpan pedangnya.
Yu Siang Ki mengangguk. Memang ia ingin sekali bicara dengan Kwi Lan me-ngenai
tuduhan yang dilontarkan oleh gadis tadi. Para tokoh kai-pang yang ber-ada di sini ikut bergerak. Komandan pengawal menghadang dan memandang kepada Kiang Liong dengan
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 356
pandang ma-ta bertanya, menanti perintah. Akan tetapi Kiang Liong berkata halus, "Biar-kan mereka pergi!"
Yu Siang Ki merasa sungkan juga mendengar ucapan Kiang Liong ini. Ia merangkap kedua tangan di depan dada lalu menjura kepada Kiang Liong sambil berkata.
"Kiang-kongcu, maafkan kelakuan saya tadi."
"Hemm, tidak ada yang perlu dimaaf-kan. Kalau kau ingin minta maaf, pergi-lah ke lereng Bukit Cin-lin-san, di Kuil Pek-lian-si. Di sana ada seorang calon nikouw yang akan mempertimbangkan apakah kau dapat dimaafkan atau tidak." Setelah berkata demikian, Kiang Liong membalikkan tubuh, tidak mempedulikan lagi kepada Ketua Khong-sim Kai-pang ini.
Yu Siang Ki tercengang, tidak me-ngerti, akan tetapi karena Kiang Liong sudah
membelakanginya dan bercakap-cakap dengan komandan pengawal, dan karena Kwi Lan
sudah menarik tangan-nya, terpaksa ia mengikuti gadis itu keluar dari taman bersama para tokoh pengemis.
"Kwi Lan, apakah artinya semua ucapanmu tentang persekutuan...."
"Ssst, diam dan mari kita keluar kota raja. Ada pekerjaan penting untuk kita. Kita harus pergi menolong Pangeran Mahkota Khitan yang tertawan oleh Bouw Lek Couwsu!"
"Apa...." Bagaimana" Di mana?"
"Sstt, mari ikut saja, nanti kujelas-kan."
"Mengapa kau tergesa-gesa seperti orang ketakutan?"
"Hemm, kau benar cerewet. Aku memang takut!"
"Takut siapa?" "Bodoh, Guruku tentu. Kalau dia da-tang aku takkan terlepas dari kematian dan Pangeran Mahkota Khitan takkan tertolong."
"Ah, Gurumu marah karena kau mem-bunuh hwesio itu?"
Kwi Lan menghentikan larinya me-mandang pemuda itu dan membanting kaki. "Siang Ki, kau benar cerewet! Dan bodoh. Hwesio itu dibunuh Suheng, apa kau tidak tahu" Suheng bersekutu dengan hwesio itu dan para pembesar Sung yang khianat. Ini bukan urusanku, yang penting aku harus menyelamatkan Putera Mahko-ta Khitan. Kau mau membantuku" Baik, sekarang lebih baik kaukumpulkan rekan-rekanmu yang memiliki kepandaian, ke-mudian menyusulku pergi ke lembah Su-ngai Kuning di sebelah barat Lok-yang, di kaki Gunung Fu-niu-san. Di sana-lah markas Bouw Lek Couwsu dan baris-an mata-matanya, dan di sana Pangeran Mahkota ditawan. Nah, sampai jumpa di sarang musuh!" Kwi Lan lalu melompat dan lari meninggalkan Siang Ki dan kawan-kawannya yang berdiri melongo saking kaget dan herannya. Mendengar penuturan Kwi Lan ini, ia teringat akan pesan Kiang-kongcu dan tiba-tiba wajah-nya berobah. Seorang calon nikouw" Yang akan mempertimbangkan perminta-an maafnya" Ah, tentu saja. Siapa lagi kalau bukan Nona Song Goat yang dimaksudkan oleh Kiang-kongcu. Tunangan-nya itu, dalam keadaan sakit hati dan merasa terhina, tentu mengambil kepu-tusan untuk menjadi seorang nikouw! Dan agaknya Kiang-kongcu pernah berjumpa dengan Song Goat maka memberi pesan seperti itu. Akan tetapi, urusan yang.
dikemukakan Kwi Lan amat besar. Biar-pun ia tidak peduli tentang nasib Pange-ran Khitan, akan tetapi kalau Kwi Lan seorang diri menyerbu ke sana, hal ini amat berbahaya bagi gadis itu. Dia ha-rus menyusul dan membawa pasukan pengemis yang cukup kuat.
"Mari kita kumpulkan teman-teman!" katanya dan barangkatlah mereka mem-persiapkan pasukan pengemis yang kuat. Mereka mengumpulkan teman-teman ini dari kota raja dan Lok-yang. Setelah lengkap, Siang Ki memimpin tiga puluh orang tokoh kai-pang, dengan berpencar agar tidak menarik perhatian, berangkat menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Kwi Lan.
*** Semua tamu yang hadir dalam pesta penyambutan Suma Kiat, digiring oleh pasukan
pengawal istana. Setelah diperik-sa, ditanya seorang demi seorang, me-reka itu tidak ada yang Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 357
mengaku kenal dengan Cheng Kong Hosiang. Bahkan semua menyatakan tidak mengenal
Suma Kiat, dan hanya datang hadir karena mengingat Pangeran Kiang dan terutama sekali mengingat nama Kiang-kongcu!
Diam-diam Kiang Liong berunding dengan pembesar yang berwenang, lalu membebaskan mereka semua, akan tetapi semenjak saat itu, gerak-gerik semua pembesar ini selalu diawasi.
Kemudian Kiang Liong menghadap Kaisar dan men-ceritakan pengalamannya dalam
penyelidikan gerakan orang-orang Hsi-hsia. Kai-sar menerima laporan ini dengan sabar, kemudian menjatuhkan perintah kepada semua panglimanya agar berusaha keras mencegah pecahnya perang.
"Betapa pun kecilnya, perang tetap merupakan malapetaka bagi rakyat. Oleh karena itu, sedapat mungkin harus dihin-darkan. Hubungilah bangsa Hsi-hsia dan selidiki apa kehendak mereka. Kalau hanya harta benda yang mereka kehen-daki, kami lebih suka mengorbankan se-bagian harta benda daripada mendatang-kan malapetaka bagi rakyat!"
Perintah kaisar inilah yang kelak mencelakakan Kerajaan Sung sendiri. Ka-rena perintah semacam ini yang sering kali dikeluarkan oleh Kaisar yang suka damai dan anti perang ini, kedudukan Kerajaan Sung menjadi makin lemah sehingga akhirnya tidak kuat bertahan ketika malapetaka tiba. Perintah ini pula yang membuat bangsa Hsi-hsia yang ti-dak berapa besar itu menjadi makin kuat dan kelak merupakan ancaman yang sama besarnya dengan bangsa
Khitan! Kiang Liong kecewa sekali mendengar perintah ini. Namun tentu saja tak se-orang di antara para panglima berani membangkang. Dengan hati gelisah Kiang Liong kembali ke rumah orang tuanya. Bagaimana caranya untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan kalau kaisar melarang dipergunakannya kekerasan ter-hadap orang-orang Hsi-hsia" Dan dima-nakah adanya Pangeran Khitan yang tertawan itu" Ia teringat akan peristiwa di dalam taman.
Melihat betapa Suma Kiat diam-diam membunuh Cheng Kong Ho-siang dan melihat pula sikap Suma Kiat ketika Mutiara Hitam menghamburkan dakwaan-dakwaan yang hebat itu.
Malam itu ia mengajak Suma Kiat ke kamarnya, mengunci pintu kamarnya dan dengan wajah bengis ia berkata, "Nah, sekarang kau harus menceritakan semua rahasiamu, Piauw-te!"
Suma Kiat memandang kakak misan ini, menyeringai dan duduk di atas kursi, tanpa berkata sesuatu ia menuangkan arak yang tersedia di meja ke dalam sebuah cawan dan minum dengan mata mengerling penuh ejekan. Setelah cawan itu kering, ia meletakkannya di atas meja, perlahan-lahan dan tidak tergesa-gesa, barulah ia menoleh dan menjawab.
"Piauw-heng, aku tidak punya rahasia apa-apa."
"Suma Kiat! Orang lain boleh kau-bohongi akan tetapi aku tidak! Kaukira aku tidak tahu akan kebingunganmu ke-tika kau melihat Mutiara Hitam hendak membuka rahasia di dalam
taman" Dan.... kau membunuh Cheng Kong Hosiang, tentu hendak menutup mulutnya,
bukan?" "Ha-ha-ha, Piauw-heng. Kau benar--benar tidak adil. Mengapa kau membela Sumoi, membela pengemis itu dan orang-orang lain, sebaliknya menekan adik mi-san sendiri" Sungguh engkau seorang kakak tak patut dibanggakan. Sekarang kau malah membentak dan menuduh yang bukan-bukan kepadaku. Hemm, agaknya kau tidak suka dan iri karena aku datang di sini, ya"
Kau tidak suka melihat ke-nyataan bahwa aku putera Pamanmu" Akan kulihat apa kata Bibi kalau ku-ceritakan hal ini kepadanya!" Suma Kiat bangkit dari tempat duduknya, hendak pergi ke pintu.
Akan tetapi dengan sebuah loncatan kilat, tubuh Kiang Liong berkelebat dan sudah berada di ambang pintu. Wajahnya bengis, mulutnya tersenyum dingin, menyembunyikan hati yang panas oleh ma-rah. Suaranya mendesis perlahan, "Suma Kiat, jangan kau mempermainkan aku! Engkau telah membunuh Cheng Kong Hosiang yang agaknya benar seorang penghubung dan pembantu Bouw Lek Couwsu. Engkau bersekongkol dengan pemberontak dan musuh,
mempergunakan tempat kami, mengotorkan dan mence-markan nama baik keluarga kami.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 358
Hayo ceritakan, sampai berapa jauhnya kau melakukan kesesatan ini" Tahukah kau tentang penawanan Putera Mahkota Khi-tan" Jawab sejujurnya kalau kau tidak ingin aku
menggunakan kekerasan terha-dapmu!"
Tiba-tiba berubah sikap Suma Kiat. Ia berdiri tegak, bertolak pinggang dan mukanya membayangkan kemarahan yang membuat wajah yang tampan itu menjadi ganas. Bibirnya tersenyum mengejek, setengah menyeringai dan matanya disi-pitkan, dari mana menyambar keluar sinar mata yang tajam dan aneh. Kemu-dian ia tertawa, kepalanya didongakkan dan perutnya bergerak-gerak, suara ke-tawa yang panjang bergelak, akan tetapi yang tersentak berhenti secara tiba-tiba dan wajahnya sama sekali tidak ikut tertawa. Ketawa iblis, atau ketawanya seorang yang tidak waras otaknya!
"Kiang Liong! Engkau terlalu! Apa kaukira aku ini orang bawahanmu sehing-ga boleh kauperintah begitu saja" Kau lupa agaknya bahwa aku ini seorang tamu, bahwa aku ini keponakan Ibumu. Semua orang boleh jadi gentar terhadap namamu, akan tetapi aku, Suma Kiat, selama hidupku belum pernah takut ke-pada siapapun juga. Kau tidak perlu menggertak dengan omong kosong, boleh gunakan kekerasan, aku tidak takut!"
Setelah berkata demikian, dengan membusungkan dada Suma Kiat meleng-gang terus hendak keluar, tidak mempedulikan Kiang Liong yang menghadang di pintu. Kiang Liong
membentak, "Bocah setan, jangan harap dapat keluar dari kamar ini sebelum kau mengaku!"
Sambil membentak tangan kanan Kiang Liong mendorong kembali tubuh Suma Kiat ke
dalam kamar. Suma Kiat tertawa, cepat miringkan tubuh dan secara tiba-tiba kepalan ta-ngan kirinya menyambar dengan pukulan keras ke leher Kiang Liong, sedangkan seperempat detik
berikutnya, tangan kanannya menyusul dengan pukulan jari-jari terbuka ke arah lambung.
Pukulan ke dua inilah pukulan maut, pukulan Siang-tok-ciang yang beracun dan amat ganas!
"Plak-plak....!" Tangkisan Kiang Liong cepat sekali dan bertenaga besar karena pemuda ini sudah tahu akan kelihaian adik misannya sehingga melihat pukulan maut itu ia menjadi marah dan menang-kis dengan pengerahan sin-kang disalur-kan ke tangannya. Tubuh Suma Kiat terlempar dan menabrak dinding sedang-kan dengan kaget Kiang Liong merasa betapa lengannya yang menangkis men-jadi panas sekali.
Hanya beberapa detik saja Suma Kiat menjadi nanar karena terbanting ke din-ding. Ia sudah meloncat bangun lagi, mukanya merah sekali, mulutnya terse-nyum menyeringai. "Piauw-heng, kau benar-benar mengajak berkelahi?"
"Huh, bukan aku yang mengajak ber-kelahi, melainkan engkau yang meman-cing keributan.
Tinggal kaupilih, mengaku terus terang ataukah harus kuberi hajaran lebih dulu!" jawab Kiang Liong, suaranya bengis pandang matanya tajam.
Suma Kiat tersenyum dan menjura. "Ah, Kakak Misanku yang baik, mana Adikmu berani kurang ajar kepada-mu" Harap kau suka maafkan dan marilah kita bicara secara baik-baik."
Sambil berkata demikian Suma Kiat mendekati Kiang Liong. Pemuda ini pada hakekatnya juga tidak suka bertentangan dengan keponakan ibunya, karena hal ini tentu akan
menyusahkan hati ibunya. Maka ia bersikap sabar, menekan kema-rahannya dan berkata,
"Begitulah yang kukehendaki, Piauw-te. Sekarang kauceritakan baik-baik ten-tang...."
"Wuuuutt.... dukkkk....!" Tubuh Kiang Liong terjengkang ke belakang dan ber-gulingan di lantai. Pukulan Suma Kiat datangnya terlalu tiba-tiba dan terlalu cepat sehingga dia yang tidak menyang-ka-nyangka tidak sempat menangkis, bahkan mengelak pun terlambat. Masih untung bahwa pukulan yang menghantam ulu hatinya itu menjadi meleset karena Kiang Liong melempar diri ke belakang, namun tetap saja dada kanannya terkena pukulan. Hanya karena sin-kang pemuda ini sudah mendekati tingkat tertinggi saja yang menyelamatkan nyawanya.
Isi dadanya seperti dibakar, napasnya sesak dan sambil mengguling-gulingkan tubuh-nya ia menahan napas mengerahkan sin-kang yang ia desakkan dari pusar ke dada. Ia tahu bahwa ia terluka, sungguh-pun tidak berat dan berbahaya. Ia me-nahan kemarahannya dan terus Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 359
berguling-an, karena ia tahu kalau kemarahan menguasai hati dan menyesak di dada, lukanya akan menjadi berbahaya.
"Heh-heh, kau mencari celaka sendiri, Kiang Liong!" Terdengar suara Suma Kiat mengejek dan angin pukulan yang keras secara bertubi-tubi menyambar ke arah Kiang Liong, menutup jalan keluar dari empat jurusan.
Kiang Liong yang sedang bergulingan itu berhasil menyambar kaki sebuah kursi dan cepat ia melempar kursi itu ke atas sambil menyusul dengan lompatan yang disebut gaya Kim-eng-hoan-sin (Garuda Emas Membalikkan Tubuh), cepat sekali menyusul di belakang bayangan kursi yang dilontarkannya.
"Kraakkk.... bruukk!" Kursi yang ter-buat dari kayu yang tebal dan berat itu hancur berkeping-keping karena terhimpit hawa pukulan Suma Kiat yang menyam-bar dari kanan kiri.
"Aihhh....!" Suma Kiat terkejut, tidak mengira bahwa lawannya yang sudah hampir kalah itu dapat menyelamatkan diri dengan pertolongan sebuah kursi. Namun ia tidak dapat terlalu lama ber-heran, karena Kiang Liong kini sudah menyambar ke depan dan menggunakan kedua tangannya, yang kanan menimpa dari atas, yang kiri mendorong dari ba-wah. Inilah pukulan tangan kosong yang diambil dari gerakan Ilmu Silat Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Mengacau Lautan), sebuah ilmu silat Suling Emas yang luar biasa ampuhnya. Tangan kanan menimpa dengan kekuatan berdasarkan tenaga gwa-kang (tenaga keras/luar) sedangkan tangan kiri mendorong dari bawah dengan tenaga lwee-kang (tenaga dalam).
Suma Kiat memang telah mempelajari pelbagai ilmu silat yang aneh-aneh, na-mun dalam hal tenaga dalam dan penga-laman, ia masih ketinggalan jauh oleh Kiang Liong. Ia terkejut dan mengguna-kan kedua tangannya untuk menahan dan menangkis dua pukulan itu. Inilah kesalahannya. Tangan kanan Kiang Liong tiba lebih dulu dan melihat sambarannya. Suma Kiat juga menangkis dengan tenaga gwa-kang, akan tetapi setengah detik berikutnya, pukulan tangan kiri Kiang Liong yang ditangkisnya itu ternyata menggunakan tenaga yang
berlawanan, yakni tenaga dalam. Suma Kiat terkejut, namun terlambat. Lengannya seperti ditempel, lekat dan tahu-tahu tangan Kiang Liong sudah menangkap pergelangan tangannya dan sekali Kiang Liong membuat gerakan, menyendal, tubuh Suma Kiat terlempar ke atas menabrak langit-langit kemudian terbanting jatuh ke atas lantai!
Suma Kiat mengeluh, kepalanya yang terbentur pada langit-langit membuatnya pening.
Ketika ia membuka mata, lantai terasa berputaran. Ia meramkan matanya lagi, mengaduh,, merintih dan menarik napas dalam-dalam. Ia sudah pasrah ka-rena kalau saat itu lawannya menyusul dengan serangan baru, ia tentu takkan dapat mengelak atau menangkis. Ia me-nanti maut. Namun pukulan itu tidak kunjung tiba. Ketika ia membuka mata-nya perlahan-lahan, ia melihat Kiang Liong masih berdiri tegak, bertolak ping-gang, kedua kaki terpentang lebar, sikap-nya menyeramkan dan menakutkan hati Suma Kiat.
Tiba-tiba Suma Kiat menangis! Me-nangis sesenggukan, terisak-isak dan ber-gulingan di atas lantai, seperti seorang anak, kecil menangis rewel.
"Uhuuk-hu-huuukk.... Piauw-heng, kau benar kejam sekali.... u-hu-huuk.... kalau memang kau tega kepada adik misan, kaubunuhlah aku sekarang juga.... u-hu-huuukk....!"
Kiang Liong mengerutkan keningnya. Ia teringat akan ucapan ayah bundanya tentang Kam Sian Eng, ibu pemuda ini.
Menurut penuturan ibunya, mungkin se-kali Kam Sian Eng itu seorang wanita yang selain aneh, juga tidak waras otak-nnya. Dan bukan aneh kalau puteranya ini juga agak miring, tidak waras. Atau-kah berpura-pura" Ia menghela napas dan duduk di atas sebuah kursi.
"Sudahlah, tidak perlu banyak tingkah. Bangkit dan lekas kauceritakan semua rahasia itu."
katanya dengan hati sebal.
Suma Kiat menghapus air matanya, kemudian meringis kesakitan. Untung bahwa Kiang Liong tadi tidak bermaksud mencelakakannya, dan hanya mengguna-kan kekuatan sin-kang Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 360
untuk melontar-kannya. Rasa nyeri yang dideritanya kini hanya akibat terbanting, hanya merupakan luka lecet dan benjol belaka. Dengan terpincang-pincang buatan Suma Kiat menghampiri kakak misannya, mengge-rakan pinggul sehingga pedangnya terputar agak dekat ke pinggang.
"Piauw-heng, kau benar-benar terlalu kejam. Apakah kesalahanku maka kau memukulku begini rupa" Memang aku bunuh Cheng Kong Hosiang, hwesio jahat dan beracun mulutnya itu. Coba saja kaupikir, Piauw-heng. Siapa yang tidak menjadi marah. Dia berani membujuk-bujuk aku untuk bersekongkol dengan-nya. Katanya.... kelak kalau bangsa Hsi-hsia menyerbu ke kota raja, aku supaya membantu gerakan itu. Nah, apa ini tidak menjengkelkan" Aku tidak tahu apa-apa tentang pemberontakan, tentang persekongkolan gelap. Aku hanya suka kepada.... eh, sahabat-sahabatmu yang cantik itu. Apalagi enci adik Chi itu. Kaubagi mereka untukku, ya, Piauw-heng?"
Kiang Liong mendongkol bukan main. Ia tahu bahwa adik misannya ini mem-bohong. Ia sudah mendongkol oleh sikap Kaisar yang tidak berniat membasmi ancaman bangsa Hsi-hsia, kini setelah ada harapan memperoleh keterangan ten-gang ditawannya Pangeran Mahkota Khi-tan, Suma Kiat mempermainkannya. Ka-lau tidak ingat ibunya, ingin ia sekali pukul merobohkan adik misan yang tidak patut ini!
"Suma Kiat!" bentaknya marah. "Tak perlu kau berpura-pura lagi. Aku bukan anak kecil yang dapat kaubodohi dengan sandiwaramu. Hayo katakan, di mana adanya Pangeran Mahkota Khitan yang ditawan oleh Bouw Lek Couwsu, di mana markas orang-orang Hsi-hsia, kalau tidak mengaku.... hemm.... engkau tentu akan kuhajar!" Kiang Liong melangkah maju, mengamangkan tinjunya, mengancam.
"Eh.... eh.... ohh.... Piauw-heng kaubu-nuhlah saja aku...." Kembali Suma Kiat menangis menggerung-gerung! Kiang Liong menjadi gemas dan makin marah. Celaka, pikirnya, kalau anak edan ini makin keras menangis, tentu akan ter-dengar oleh ibunya. Lebih baik kutotok dia agar tidak dapat banyak tingkah. Ia melangkah maju dan.... sinar putih yang menyilaukan mata menyambarnya ketika tahu-tahu Suma Kiat sudah mencabut pedang dan menyerangnya secepat kilat!
Kiang Liong terkejut bukan main. Serangan pedang ini amat cepat dan dilakukan dari jarak dekat secara tak ter-sangka-sangka. Untuk mencabut senjata pensilnya sudah tidak keburu lagi, maka tiada lain jalan bagi Kiang Liong kecuali mengerahkan tenaga gin-kang dan tubuh-nya mencelat ke belakang. Akan tetapi sinar pedang putih itu terus menyambar diikuti bunyi dengus Suma Kiat yang agaknya mentertawakan.
"Crak-crak....!" Sebuah meja besar pecah menjadi beberapa potong kena sambar sinar pedang Suma Kiat ketika tubuh Kiang Liong menyelinap ke bela-kang meja.
Beberapa detik ini sudah cukup bagi Kiang Liong. Ketika pedang Suma Kiat bertemu dengan meja yang mewakili dirinya, ia sudah mencabut sepasang pensilnya dan kini ia meloncat melam-paui meja sambil menyerang! Suma Kiat tidak gentar melihat bahwa kakak misan-nya hanya memegang sepasang senjata pensil yang hanya satu kaki lebih pan-jangnya itu. Ia tertawa dan pedangnya diputar cepat, membentuk gulungan sinar putih
"Cring-cring.... trang-trang-trang....!" Berkali-kali pedang yang bersinar putih itu bertemu denpan sepasang pensil dikedua tangan Kiang Liong. Barulah Suma Kiat menjadi terkejut ketika tangan kanannya terasa hampir lumpuh setiap kali pedangnya bertemu dengan kedua pensil kakak misannya. Ia jauh kalah kuat tenaganya dan ia menjadi bingung karena dua pensil itu mengandung tenaga yang berlawanan dan lebih membingungkan lagi, berubah-ubah. Kalau dalam bentrokan pertama pensil kiri mengan-dung tenaga kasar, dalam bentrokan ke dua mengandung tenaga lemas, dan demikian sebaliknya dengan pensil kanan. Orang yang sudah dapat mengatur tenaga berubah-ubah seperti itu, benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh.
Betapa pun Suma Kiat mengeluarkan semua ilmu pedangnya yang aneh, tetap saja ia
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 361
terkurung dan terhimpit oleh sinar sepasang pensil. Ia terdesak mundur dan hanya mampu memutar pedang me-lindungi tubuhnya. Andaikata Suma Kiat bukan adik misan Kiang Liong melainkan seorang musuh yang boleh dibunuh, tentu saja ia sudah roboh binasa karena dengan kelebihan ilmunya, dengan mudah Kiang Liong dapat membunuh Suma Kiat. Akan tetapi Kiang Liong tidak ingin membunuh-nya, hanya ingin merobohkan dan
menak-lukkannya, maka hal ini memakan waktu agak lama dan tidaklah mudah, sama dengan orang hendak menangkap hidup-hidup seekor harimau ganas. Kiang Liong sedang menanti kesempatan untuk meno-tok adik misannya.
Tiba-tiba terdengar suara lengking nyaring menyeramkan. Mendengar ini Kiang Liong terkejut, akan tetapi Suma Kiat dengan suara girang berseru. "Ibu, tolonglah!" Angin yang keras menyambar masuk dari jendela dan.... lampu dinding dalam kamar itu seketika menjadi pa-dam! Kiang Liong kaget, tidak melanjut-kan serangannya dan meloncat mundur. Akan tetapi dari depan, pedang Suma Kiat menerjangnya dengan hebat. Kaget-lah Kiang Liong dan ia menangkis. Per-temuan pedang dengan pensil di tangannya menciptakan bunga api yang tampak jelas di dalam kamar gelap ini. Kembali Suma Kiat menyerangnya. Kiang Liong me-nangkis kembali hanya mengandalkan ketajaman pendengarannya. Ia sama se-kali tidak menduga bahwa lawannya jauh lebih tajam pandangan matanya di dalam gelap daripada dia.
Suma Kiat semenjak kecil hidup di dalam istana bawah tanah, sudah biasa dengan kegelapan.
Matanya amat tajam di dalam gelap, inilah sebab-nya mengapa setelah kamar menjadi gelap ia dapat menyerang bertubi-tubi sehingga mengejutkan Kiang Liong.
Karena tidak ingin "salah tangan" dalam gelap itu sehingga ia membunuh atau mendatangkan luka berat pada adik misannya, pada saat pedang Suma Kiat menyambar dari depan, ia cepat
"me-nangkap" pedang itu dengan ?epasang pensilnya dengan cara menjepit pedang itu dengan dua pensil yang disilangkan. Suma Kiat terengah-engah berusaha me-narik kembali
pedangnya, namun sia-sia belaka. Pedang itu seperti lekat pada sepasang pensil.
"Suma Kiat, lepaskan pedangmu!" Dengan suara tegas Kiang Liong berkata.
Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut bu-kan main. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu ada hawa pukulan menyambar ke arah tengkuknya. Ia menjadi serba susah. Melepaskan jepitan pedang Suma Kiat berarti memberi kesempatan kepada adik misan yang gila itu untuk menyerangnya lagi. Tidak melepaskannya, ia terancam pukulan hebat yang kini sudah tiba. Kiang Liong mengerahkan tenaga, memutar sepasang pensil dan terdengar suara seruan kaget Suma Kiat karena pedangnya sudah terampas, secara paksa direnggut lepas dari tangannya oleh tenaga putaran yang hebat. Pada saat itu, Kiang Liong terpaksa menerima tamparan dari belakang yang mengenai pundaknya karena ia sudah miringkan tubuh dan mengerahkan sin-kang ke arah pundak. Ia percaya bahwa tenaga sin-kangnya dapat melindungi pundak yang terpukul oleh lawan yang tidak kelihatan.
"Plakk....!" Pukulan yang merupakan tamparan telapak tangan halus itu tidak keras, akan tetapi ternyata tubuh Kiang Liong terguling roboh, sepasang pensil yang masih menjepit pedang Suma Kiat ter-lepas dari kedua tangan, jatuh berkeron-tangan di atas lantai kamar.
Suma Kiat menyalakan lampu dinding, menyeringai kepada wanita berkerudung hitam sambil berkata. "Untung kau da-tang, Ibu."
"Goblok! Menghadapi senjata sepasang pensil jangan mau bertempur dekat!" gumam wanita itu yang bukan lain ada-lah Kam Sian Eng. Melihat wanita ini, Kiang Liong dapat menduga siapa adanya dan ia merasa serem juga. Di dalam hati ia mentertawai ucapan wanita itu.
Me-mang kata-katanya mengandung kebe-naran, yaitu bahwa keampuhan senjata pit adalah untuk pertempuran jarak de-kat, akan tetapi mengingat akan tingkat Suma Kiat, tetap saja ia akan dapat mengalahkan adik misan itu biarpun menggunakan siasat pertempuran jarak jauh.
Akan tetapi ia tidak dapat berpikir lebih panjang lagi karena rasa nyeri di pundaknya membuat ia terpaksa menge-rahkan tenaga melawannya. Baru saja ia memejamkan mata Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 362
mengatur pernapasan, tiba-tiba belakang lehernya ditotok. Ka-gum juga hatinya karena wanita itu da-pat menotoknya tanpa ia ketahui sama sekali, tanda bahwa gerakannya amat ringan. Ia kini tidak dapat bergerak pula menjadi lemas karena yang tertotok ada-lah jalan darah yang berpusat di pung-gung. Maka ia hanya dapat rebah telen-tang sambil memandang ibu dan putera yang gila itu.
"Bagus, Ibu. Kita bawa Kiang Liong kepada Couwsu, tentu dia akan girang sekali. Kiang Liong ini menggagalkan pertemuan dan persekutuan bahkan membahayakan kedudukan para pembantu di kota raja."
Sian Eng mengangguk. Sepasang sinar mata yang amat tajam menembus ke-rudung hitam, membuat Kiang Liong tertegun dan ngeri. Mata itu bukan mata orang biasa! Mata itu kehilangan perasa-an, kehilangan ketenangan dan kesadaran. Mata orang yang sudah gila atau mata iblis!
"Kaubawa dia dan mari kita pergi!" katanya lirih.
"Heh-heh-heh, nanti dulu, Ibu. Masih ada lagi yang harus kubawa bersama kita. Aku tanggung Bouw Lek Couwsu akan lebih senang hatinya dan yang akan ku-bawa ini
merupakan tanggungan akan bala bantuan Khitan, Heh-heh!"
"Siapa?" "Puteri Panglima Besar Khitan. Kau tunggu sebentar, Ibu." Suma Kiat menya-rungkan pedangnya yang tadi terampas Kiang Liong, mengebut-ngebutkan bajunya dan meloncat keluar dari dalam kamar.
Di ruangan tengah Suma Kiat ber-temu dengan Suma Ceng yang berjalan tergesa-gesa bersama Puteri Mimi. "Kiat--ji (Anak Kiat), apakah yang terjadi" Aku mendengar suara ribut-ribut. Apakah.... kau bertengkar lagi" Mana Liong-ji?"
"Heh-heh-heh, anakmu sudah mam-pus!" Suma Kiat terkekeh kurang ajar dan matanya melahap Puteri Mimi yang jelita.
"Apa...." Di mana dia....?" Suma Ceng menjerit.
Akan tetapi dengan lebih kurang ajar lagi Suma Kiat mendorong dengan tangan kanannya ke arah dada bibinya sambil membentak. "Pergilah kau!"
Nyonya Kiang itu cukup mengenal ilmu silat sehingga ia cepat miringkan tubuh mengelak dari dorongan kurang ajar itu. Akan tetapi tidak cukup menge-nal kecurangan dan kelihaian keponakan-nya. Dengan sabetan kaki yang amat cepat, Suma Kiat menyerang. Kedua kaki nyonya itu tersabet, terangkat dan tu-buhnya terbanting ke lantai. Kepala-nya membentur lantai dan nyonya ini pingsan!
"Kau jahat!" Mimi membentak marah, sepasang matanya yang indah lebar itu terbelalak.
"Heh-heh, tidak kepadamu, manis." Suma Kiat terkekeh, tangannya menjang-kau hendak menangkap.
Akan tetapi Puteri Mimi bukan se-orang wanita lemah. Cepat ia mengelak dan tangan kirinya yang dikepal keras menghantam dada Suma Kiat, disusul tendangan kaki kanannya.
"Heh-heh, kau gesit juga, manis!" Suma Kiat dengan gerakan seenaknya mengelak dan berusaha menangkap lagi.
Namun Mimi dengan nekat melakukan perlawanan, mengirim pukulan-pukulan dan
tendangan-tendangan mengarah ba-gian berbahaya dan lemah dari tubuh lawan.
Terdengar suara ribut-ribut, tanda para penghuni rumah sudah terbangun semua oleh suara hiruk-pikuk ini. Suma Kiat cukup cerdik, tidak mau melayani gadis itu lebih lama lagi. Tiba-tiba ia berseru dan tangan nya menyelonong, mengirim pukulan yang amat kuat ke arah muka Mimi. Gadis ini terkejut dan cepat berusaha menangkis, akan tetapi ternyata pukulan ini hanya gertakan be-laka dan di lain saat tubuh Mimi sudah menjadi lemas karena tertotok oleh ta-ngan kiri Suma Kiat. Mimi mengeluh dan tubuhnya yang akan roboh itu disambar oleh Suma Kiat dan dipanggulnya, dibawa lari ke arah kamar Kiang Liong.
Melihat Suma Kiat kembali membawa tubuh seorang gadis Khitan yang cantik, Sian Eng Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 363
tidak berkata apa-apa. Wanita ini lalu menyambar tubuh Kiang Liong, dikempit dengan lengan kirinya, kemudian berkata singkat. "Hayo pergi, ikuti aku!"
Bagaikan bayangan dua setan, ibu dan anak ini menghilang melalui jendela dan terus melompat ke atas genteng, berlari-lari dan lenyap ditelan kegelapan malam. Di dalam gedung menjadi gempar. Pa-ngeran Kiang dan para pelayan serta pengawal menjadi kaget dan gelisah me-lihat Nyonya Kiang pingsan di ruangan tengah. Lebih kaget lagi mereka melihat bahwa Puteri Mimi telah lenyap, demi-kian pula Kiang Liong lenyap dari dalam kamarnya yang kacau-balau keadaannya. Setelah Nyonya Kiang siuman, barulah Pangeran Kiang mendengar akan perbuat-an Suma Kiat. Ia menghela napas pan-jang dan mengomel.
"Ah, tidak disangkanya dia menurun ayahnya....!" Tentu saja Pangeran Kiang ini kenal akan Suma Boan yang memang amat jahat. Mendengar ucapan suaminya, Nyonya Kian atau Suma Ceng bangkit dan berkata ketus.
"Perlu apa memburuk-burukkan nama Kakakku yang sudah mati" Lebih baik kau cepat-cepat berusaha, mengerahkan pengawal untuk mencari Liong-ji dan Puteri Mimi!"
Pangeran Kiang menggerakkan pundak, akan tetapi ia keluar dari kamar isteri-nya untuk mengerahkan pasukan penga-wal. Lenyapnya Kiang Liong tidaklah amat menggelisahkan hatinya. Pertama karena ia tahu akan kelihaian Kiang Liong se-hingga lenyapnya tidak perlu dikhawatir-kan. Ke dua karena ia memang kurang peduli akan pemuda itu yang menurut hukum adalah putera sulungnya akan tetapi yang ia ketahui dengan yakin di dalam hati bukanlah keturunannya. Ia maklum akan permainan asmara antara isterinya dan Suling Emas, maka melihat sikap dan wajah Kiang Liong, melihat pula betapa Suling Emas amat mencinta pemuda itu, ia merasa yakin bahwa pe-muda itu adalah keturunan Suling Emas. Akan tetapi ia terlampau mencinta is-teri, maka ia tidak pernah membicarakan hal ini.
Sementara itu, Kiang Liong dan Mimi dibawa lari Kam Sian Eng dan Suma Kiat. Semalam suntuk mereka berlari seperti terbang cepatnya menuju ke ba-rat. Mereka melewati kota Lok-yang, terus ke barat sampai mereka tiba di luar sebuah hutan besar di kaki Bukit Fu-niu-san di lembah Sungai Kuning.
Malam telah terganti pagi dan mata-hari telah bersinar cemerlang. Mereka berhenti di luar hutan dan Kiang Liong yang sudah tertotok lemas kembali di-lempar oleh wanita berkerudung itu se-hingga rebah telentang di atas tanah.
Suma Kiat duduk di bawah pohon, tubuh Mimi dipangkunya.
"Ibu, kenapa berhenti?"
"Kita menanti penjemputan. Tempat ini penuh rahasia, amat berbahaya." Kata ibunya. Puteri Mirni mengeluh dan bergerak perlahan, berusaha melepaskan diri dari atas pangkuan dan dari lengan Suma Kiat yang memeluknya. Melihat bahwa puteri ini sudah bebas dari totokan, Suma Kiat, tertawa. "Ha-ha-ha, manis.
Tenanglah, karena aku tidak akan menyusahkanmu. Sebaliknya, engkau akan menikmati ba-nyak kesenangan dengan aku, ha-ha!"
Suma Kiat memeluk erat dan men-dekatkan mukanya hendak mencium. Pu-teri Mimi
meronta-ronta, namun tenaga pemuda itu jauh lebih kuat.
Kam Sian Eng duduk bersila, me-mejamkan mata, sama sekali tidak mengacuhkan perbuatan anaknya itu. Hanya Kiang Liong yang menatap dengan sepasang mata mengeluarkan cahaya ber-api. Pemuda ini mengerahkan tenaga, namun totokan wanita berkerudung hitam itu benar hebat, membuat kaki tangannya lumpuh dan ia hanya dapat membentak keras.
"Suma Kiat! Demi Tuhan, kalau kau mengganggu puteri itu, aku pasti akan membunuhmu!"
Suma Kiat mengangkat muka meman-dang sambil menyeringai. Melihat sinar mata Kiang Liong, ia tertawa. "Ha-ha, Piauw-heng, apakah kau cemburu dan iri?" Ia mengejek, akan tetapi agaknya sinar mata Kiang Liong yang menyeram-kan itu membuat ia keder juga. Ia tahu betapa lihainya kakak misannya itu maka lenyaplah untuk sementara gelora nafsu-nya. Ia Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 364
mendorong tubuh Mimi dari atas pangkuan. Gadis ini terjungkal dan jatuh ke atas tanah, rebah miring. Biar-pun ia sudah dapat bergerak, namun ia pura-pura tak berdaya dan terus rebah miring, di dalam hati merasa lega bahwa untuk sementara ia terbebas dari-pada penghinaan. Akan tetapi tentu saja ia amat cemas, apalagi mengingat bahwa Pangeran Mahkota Khitan tertawan mu-suh, dan kini dia sendiri, bahkan Kiang Liong, satu-satunya orang yang dapat ia harapkan juga tertawan!
Mereka tidak lama menanti. Dari dalam hutan terdengar suara seperti lolong srigala susul-menyusul, makin lama makin dekat dan tak lama kemudian muncullah dua belas orang hwesio jubah merah yang segera memberi hormat kepada Kam Sian Eng. Seorang di antara mereka, yang bermuka hitam, segera berkata.
"Maafkan pinceng sekalian yang agak lambat menyambut, Couwsu memerintah-kan pinceng untuk menyambut Toanio dan mempersilakan Toanio menjumpai Couwsu."
Kam Sian Eng bangkit, tak menjawab hanya menggerakkan tangan kepada Suma Kiat,
memberi tanda agar puteranya mengikutinya. Kemudian ia menyambar dan mengempit tubuh Kiang Liong. Suma Kiat memondong Puteri Mimi lalu meng-ikuti ibunya, diiringkan dua belas orang hwesio jubah merah, memasuki hutan yang besar dan gelap. Hwesio muka hi-tam sebagai penunjuk jalan membawa mereka berjalan melalui pohon-pohon besar menerjang alang-alang dan berputar--putaranan. Sungguh jalan yang amat sulit bagi orang luar dan hanya jalan inilah yang dapat dilalui dengan aman. Mengambil jalan lain berarti harus menghadapi bahaya jebakan-jebakan rahasia, pasukan-pasukan terpendam dan hujan anak panah!
*** Setelah berpisah dari Yu Siang Ki yang akan mengumpulkan teman-teman para tokoh Kaipang, Kwi Lan melanjutkan perjalanan melanjut- perjalanan seorang diri menuju ke barat. Ia melakukan perjalanan cepat sekali dan ia tiba di kaki bukit Fu-niu-san pada sore hari menjelang senja. Jantungnya berdebar keras. Ia belum pernah melihat Putera Mahkota Khitan, akan tetapi karena Pangeran Mahkota itu adalah putera angkat ibu kandungnya, maka berarti saudara angkatnya pula. Ia hanya tahu bahwa putera angkat ibunya itu bernama Pangeran Talibu. Biasanya Ia tak senang dan iri kalau teringat akan pangeran ini, akan tetapi mendengar Pangeran ini tertawan oleh Bouw Lek Couwsu, ia menjadi gelisah sekali. Ia sendiri menjadi heran mengapa ia menjadi begini" Jantungnya terasa bergetar penuh kecemasan dan hasrat satu-satunya yang memenuhi hatinya hanya pergi me-nolong dan membebaskan Pangeran itu daripada ancaman orang-orang Hsi-hsia! Ibu kandungnya, Ratu Khitan, tentu susah sekali hatinya kalau sampai Pangeran Mahkota ini tertimpa bencana. Kini, ia dapat menggambarkan betapa keadaan ibu kandungnya itu. Melihat watak guru-nya, sudah pasti ia dahulu dipisahkan secara paksa oleh gurunya dari Ibu kan-dungnya. Dan tentu saja ibu kandungnya mengangkat seorang putera yang menjadi penggantinya. Ibu kehilangan dia, anak kandung, kalau sekarang harus kehilangan lagi putera angkat, alangkah akan hancur hatinya.
Hutan yang lebar dan gelap itu tidak menjadikannya gentar. Kwi Lan seorang gadis yang tak pernah mengenal takut. Pula ia sudah terbiasa di dalam gelap. Tidak percuma ia sejak kecil dahulu tinggal di dalam istana bawah tanah. Dengan hati tabah, Kwi Lan mencabut
pedangnya kemudian memasuki hutan. Ada sebuah lorong kecil di dalam hutan itu dan jalan inilah yang ia ambil. Sunyi sekali keadaan dalam hutan, sunyi dan gelap, bahkan angin sedikit pun tak ada bertiup.
Jalan kecil itu penuh daun kering. Baru kurang lebih seratus langkah ia berjalan dengan hati-hati, tiba-tiba ka-kinya menginjak alat rahasia yang tersembunyi di bawah tumpukan daun kering. Terdengar bunyi berciutan dari kanan kiri dan puluhan batang anak panah menyambar ke arahnya dari pohon-pohon dan di kanan kiri, anak panah yang meluncur dari busur digerakkan oleh alat-alat rahasia secara otomatis! Kwi Lan tidak mau ber-tindak sembrono. Ia berdiri tegak dan te-tap di tempatnya, hanya memutar pe-dangnya menjadi segulung sinar melin-dungi tubuhnya. Semua anak panah terpu-kul runtuh dan akhirnya hujan anak panah itu Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 365
pun berhenti. Kwi Lan amat cerdik. Ia dapat men-duga bahwa kiranya bukan hanya ini tempat yang mengandung rahasia serang-an atau jebakan gelap. Ia memandang ke sekeliling. Kalau ia mengambil jalan liar, besar sekali bahayanya ia akan tersesat di dalam hutan ini, apalagi malam ham-pir tiba. Kalau melalui jalan kecil ini ia akan menghadapi bahaya jebakan-jebakan rahasia yang lebih berbahaya lagi. Ia memandang ke atas dan matanya yang indah berseri-seri. Itulah jalan yang pa-ling tepat, pikirnya dan sekali ia mengenjotkan kaki pada tanah dan menga-yun tubuh, tubuhnya yang ramping itu melayang ke arah pohon. Kemudian mu-lailah ia melanjutkan perjalanan melalul "jalan atas" yaitu berloncatan dari pohon ke pohon! Hal ini tidak terlalu sukar ia lakukan karena pohon-pohon di situ amat lebat, sambung-menyambung di kanan kiri jalan kecil yang dari atas nampak putih. Dengan enaknya Kwi Lan terus berloncatan sehingga dalam waktu sing-kat ia sudah masuk ke dalam hutan, melampaui lebih seratus batang pohon besar.
Tiba-tiba ketika ia meloncat ke se-buah pohon besar, ada bayangan hitam lebar seperti layar menyambar ke arah-nya. Cepat ia menggerakkan pedangnya ke depan, diputar sambil
mengerahkan tenaga. "Cring-cring.... brettt....!"
Ketika ia memandang, kiranya yang menyambarnya adalah sehelai jala yang dalamnya dilengkapi dengan kaitan-kaitan baja! Ia bergidik dan marah sekali, apa-lagi ketika melihat lima ekor monyet sebesar manusia, berlompatan dan me-nyerangnya dari lima penjuru.
Gerakan binatang-binatang ini tentu saja amat tangkas. Sambil cecowetan mereka me-nyerbu, menggerakkan kedua lengan yang panjang berbulu.
Kwi Lan boleh jadi pandai ilmu silat dan andaikata ia dikeroyok di atas tanah, jangankan hanya oleh lima ekor monyet, biar oleh lima puluh ekor monyet sekalipun ia tidak akan gentar. Kini ia ber-ada di atas dahan-dahan pohon yang tentu saja merupakan "daerah"
monyet. Binatang-binatang itu tentu saja dapat bergerak lebih leluasa dan gesit. Betapa-pun juga, Kwi Lan tidak kehilangan akal. Tangan kirinya sudah merogoh saku dan sekali tangan kirinya bergerak, sinar hijau menyambar. Itulah jarum-jarum hijau! Lima ekor monyet itu tak dapat mengelak dan dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati Kwi Lan ketika
mendengar betapa "monyet-monyet" itu mengeluarkan suara mengaduh seperti manusia!
Kiranya mereka adalah manu-sia-manusia yang menyamar sebagai mo-nyet, agaknya untuk mengawasi daerah itu sekalian menjadi penjaga. Setelah mendapat kenyataan bahwa mereka itu manusia, Kwi Lan menjadi makin tabah. Lima orang Itu masih berusaha bergan-tung pada dahan-dahan pohon. Kwi Lan menerjang maju, lima kali Siang-bhok-kiam berkelebat dan lima orang itu terpelanting ke bawah tanpa dapat menge-luh lagi karena mereka semua telah te-was!
Akan tetapi pada saat itu, terdengar ledakan keras dan.... pohon besar di mana Kwi Lan berada itu tiba-tiba roboh! Kwi Lan tentu saja menjadi kaget dan panik. Hendak meloncat turun, takut tertimpa dahan-dahan pohon raksasa ini. Kalau tidak, juga terdapat bahaya terbanting bersama pohon. Biarpun terancam bahaya maut, gadis ini masih tidak kehilangan akal. Ia mempergunakan pandang mata-nya yang tajam dan terbiasa di tempat gelap, mengikuti robohnya pohon itu sambil berpegang kuat-kuat pada dahan. Setelah tahu arah pohon roboh, ia cepat menyelinap dan berpindah pada dahan sebelah atas sehingga ia berada di dahan yang akan menjadi bagian teratas apabila pohon itu sudah rebah di tanah. Kemudian, sambil mengerahkan seluruh gin-kangnya, sebelum pohon itu menimpa tanah, ia sudah mengenjot tubuhnya ke depan, melampaui pohon itu dan mela-yang turun ke atas tanah sambil menyambar ujung dahan terpanjang.
Untung sekali bahwa dalam seperem-pat detik terakhir ia ingat untuk me-nyambar ujung ranting dari dahan terpan-jang pohon itu, karena begitu kedua ka-kinya turun menginjak tanah yang tertu-tup daun-daun kering, tiba-tiba tanah itu bergoyang dan tubuhnya terjeblos ke Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 366
dalam lubang sumur yang amat lebar dan dalam! Kwi Lan menahan napas, menge-rahkan tenaga menarik tubuhnya ke atas dengan bantuan ujung ranting pohon. Tubuhnya mencelat keluar dari sumur dan ia tidak berani lagi turun ke atas tanah yang banyak jebakannya melainkan memeluk dahan terendah sebatang pohon terdekat!
Kini ia "nongkrong" di atas dahan mengeluarkan saputangan dan menghapus dahi dan leher yang penuh dengan ke-ringat dingin. Tangan yang dipergunakan untuk menghapus keringat itu agak ge-metar, jantungnya berdebar-debar. Bukan main, pikirnya. Kini terdengar suara hiruk pikuk yang datangnya dari tengah hutan. Bahaya baru lagi mengancam pi-kir Kwi Lan.
Ia berada terlalu dekat dengan mayat lima orang itu, dan hal ini berbahaya. Para penjaga tentu akan me-meriksa sekeliling tempat ini. Ia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi ia gentar juga mengingat akan banyaknya alat rahasia yang demikian berbahaya. Di samping ini, ia tidak ingin bertempur dengan mereka sebelum dapat menemu-kan dan menolong Pangeran Mahkota. Lebih baik ia bersembunyi. Akan tetapi soalnya yang repot, di mana tempat sembunyi"
Kwi Lan memandang ke sekeliling. Ia tidak mempercayai jalan kecil itu. Tentu banyak jebakan. Bersembunyi di pohon juga tidak aman. Buktinya tadi ia ber-temu lima orang yang menyamar sebagai monyet. Dari atas pohon ia melihat tak jauh dari situ terdapat sebuah jurang. Ia lalu berloncatan mendekati jurang ini melalui pohon-pohon menjauhi jalan kecil.
Kemudian dengan hati-hati sekali ia tu-run dari pohon, tidak berani meloncat. Ia masih berpegang kepada batang pohon ketika kakinya turun ke tanah, kemudian ia melangkah maju perlahan-lahan meng-gunakan sebatang ranting sebagal tong-kat. Ia menekan tanah di depan tongkat lebih dulu sebelum kakinya menginjak. Akan tetapi ternyata bagian yang liar ini tidak ada jebakannya. Suara manusia ter-dengar makin mendekat dan akhirnya tampaklah obor yang cukup banyak. Malam telah tiba. Kwi Lan menelungkup di pingir jurang. Jurang yang kecil, lebih mirip sebuah sumur besar yang dindingnya batu karang. Perlahan-lahan ia merayap turun, berpegang kepada akar-akar pohon dan batu-batu menonjol." Akhirnya ia berhenti dan bersembunyi di bawah sebuah batu yang menonjol, terlindung dari atas oleh batu itu. Tempat ia bersembunyi itu tidak berapa jauh dari tempat pohon roboh tadi dan ia mulai mendengar jejak kaki banyak orang dan suara mereka, ada yang berbahasa daerah yang ia mengerti.
"Siapa yang terjebak" Di mana dia?" terdengar suara yang parau,
"Tidak ada bayangan seorang setan pun!" seru suara yang lain, suara tinggi.
"Wah, mereka ini tewas....!"
"Bawa obor, biarkan pinceng meme-riksanya!"
Kwi Lan tersenyum. Girang hatinya bahwa ia memasuki tempat yang benar. Itulah suara orang Hsi-hsia dan yang ter-akhir tentulah seorang hwesio jubah me-rah, anak buah Bouw Lek Couwsu. Tak salah lagi, di sini markas baru Bouw Lek Couwsu, dan menurut suhengnya, di sinilah Pangeran Mahkota tertawan. Ia me-mutar otaknya. Agaknya penjagaan di daerah ini pasti amat kuat, jauh lebih kuat daripada markas Bouw Lek Couwsu di Bukit Kao-likung-san di lembah Nu-kiang dahulu, karena selain markas ini dekat kota raja Kerajaan Sung, juga pengalaman di Kao-likung-san yang di-basmi orang-orang Beng-kauw tentu membuat Bouw Lek Couwsu kini berhati-hati. Apa akal untuk dapat menemukan Pangeran Mahkota yang ditawan"


Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara orang-orang di sebelah atas makin ribut. Benar saja, mereka kini mencari-carinya.
Mereka sudah tahu bahwa lima orang anak buah yang me-nyamar sebagai monyet itu tewas oleh tangan manusia, terluka jarum dan te-was oleh bacokan pedang. Makin jeias suara mereka ketika mendekat dan tak lama kemudian Kwi Lan mendengar me-nyambarnya
puluhan senjata rahasia dan anak panah ke dalam jurang atas sumur di mana ia bersembunyi.
Kalau ia ber-sembunyi di dasar jurang itu, tentu tu-buhnya dihujani senjata rahasia. Akan tetapi di bawah batu besar yang menon-jol ini, ia terlindung dan aman!
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 367
"Kalau dia bersembunyi di bawah tentu mampus!" terdengar seorang berkata. Kemudian suara mereka makin menjauh. Kwi Lan maklum bahwa bahaya telah lewat, maka ia cepat merayap naik. Dari tepi jurang ia mengintai. Lima buah mayat itu telah mereka angkut dan masih ada beberapa orang berkeliaran men-cari-cari di sekitar tempat itu, dengan obor di tangan, Kwi Lan menyelinap dan berindap-indap membayangi seorang tinggi besar, bangsa Hsi-hsia yang mencari sen-dirian ke jurusan barat. Orang Hsi-hsia ini memandang ke kanan kiri, sebuah obor di tangan kiri dan sebuah golok di tangan kanan. Ia membabati alang-alang dengan goloknya, mencari-cari. Tiba-tiba dua batang jari yang kecil namun kuatnya laksana baja menotok lehernya dan seketika orang Hsi-hsia itu lumpuh dan ping-san. Bagaikan iblis sendiri bayangan Kwi Lan berkelebat dekat, menerima obor dan golok yang terlepas dari tangan orang Hsi-hsia itu, membuang golok dan menangkap dengan korbannya, lalu
mema-damkan obor, mengempit tubuh yang gemas itu dan membawanya naik ke atas pohon.
Ia merasa yakin bahwa kini pohon merupakan tempat sembunyi yang aman setelah orang-orang itu tadi mencari dengan teliti. Makin dekat tempat pohon tumbang makin baik karena kini mereka berpencar mencari ke tempat yang agak jauh.
"Jawab saja dengan angguk." bisik Kwi Lan dekat orang Hsi-hsia yang dita-wannya setelah ia menotok urat gagu orang itu. "Kau tahu di mana Pangeran Mahkota Khitan ditawan?"
Orang itu menggeleng kepalanya.
"Jangan kau bohong. Kalau kau mau mengantarku ke tempat tawanan itu, kau takkan
kubunuh." Kembali orang itu menggeleng kepala, kini dengan keras. Ketika Kwi Lan me-mandang di bawah sinar bulan yang ber-sinar melalui celah-celah daun pohon, ia melihat betapa orang itu memandang kepadanya dengan mata melotot penuh kebencian. Sebuah muka yang
membayangkan keras hati dan keras kepala, se-dikit pun tidak takut atau tunduk. Ia menjadi gemas dan sadar akan kekeliru-annya. Mengapa ia menawan seorang Hsi--hsia" Tentu saja, orang Hsi-hsia akan membela pemimpinnya dengan taruhan nyawa, menganggap diri sendiri seorang patriot, seorang pahlawan! Ia melihat, banyak tadi orang sebangsanya, bukan orang Hsi-hsia. Kalau orang Han su-dah membantu Hsi-hsia menentang kerajaan sendiri, dia adalah seorang peng-khianat. Dan biasanya, seorang pengkhia-nat adalah seorang pengecut, hanya ber-juang untuk uang dan kedudukan. Orang yang berjuang untuk cita-cita bangsa, bangsa apapun, juga, adalah seorang patriot yang tentu tidak takut mati. Sebaliknya seorang yang berjuang untuk harta dan kedudukan sehingga rela menjadi pengkhianat bangsa, tentu seorang pengecut besar. Orang seperti itu tentu takut mati. Sadar akan kekeliruannya ini Kwi Lan lalu menotok tubuh tawanannya sehingga menjadi lumpuh, dan Ia men-jepitkan tubuh itu di antara dua dahan bercabang, kemudian dengan gerakan tangan ia merayap turun dari pohon. ia berlaku hati-hati, tidak berani semba-rangan meloncat.
Setelah mencari dengan hati-hati, menyelinap di antara alang-alang dan pohon-pohon, akhirnya ia melihat seorang laki-laki tinggi kurus, berpakaian seperti pengemis penuh tambalan, membawa obor dan pedang mencari-cari seperti orang Hsi-hsia tadi. Kwi Lan merunduk sampai dekat, kemudian bergerak cepat seperti tadi, membikin orang itu tidak berdaya dan pingsan dengan sebuah totokan di belakang telinga. Kembali ia membawa orang itu naik ke atas pohon.
Tepat dugaannya, pengemis baju ber-sih yang berjiwa khianat ini menjadi ketakutan, apalagi ketika ia mengenal bahwa yang menawannya adalah Mutiara Hitam yang sudah amat terkenal di an-tara kaum sesat dunia pengemis. Wajah-nya pucat, tubuhnya menggigil, akan tetapi ia tidak berani berteriak minta tolong karena tak dapat bersuara akibat totokan pada urat gagunya.
"Bawa aku ke tempat tahanan Pange-ran Mahkota Khitan, dan kau tidak akan kubunuh." desis Kwi Lan sambil menem-pelkan pedangnya di leher orang itu. Si Pengemis terbelalak, mengangguk-angguk.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 368
"Akan kubebaskan totokanmu dan kau boleh berteriak minta tolong, akan tetapi pedangku akan menembus lehermu sebe-lum ada kawanmu yang datang untuk menolongmu!" Kembali orang itu meng-geleng-geleng kepala dan dengan sebuah totokan Kwi Lan membebaskannya.
"Ampunkan aku, Li-hiap...."
"Sst, jangan banyak cerewet," bisik Kwi Lan. "Hayo bawa aku ke tempat itu."
Mereka turun dari pohon, Kwi Lan terus mengikuti orang ini dengan ujung pedang
ditodongkan di punggung. Penge-mis itu lalu mengambil jalan simpangan, melalui alang-alang dan kumpulan pohon yang besar dan liar, jauh dari jalan kecil yang penuh jebakan.
Sampai lima kali orang itu menyuruh Kwi Lan berhenti di tempat-tempat ter-tentu, berbisik bahwa tempat itu terjaga oleh seorang dua orang penjaga. Kwi Lan menotoknya lumpuh, kemudian merayap ke tempat penjagaan. Pedangnya bekerja cepat dan di setiap tempat penjagaan rahasia ini dua atau tiga orang penjaga-nya roboh binasa semua sebelum mereka sempat bergerak. Akhirnya, lima tempat penjagaan rahasia dapat dilalui dan me-reka kini menuju ke tepi Sungai Huang-ho, sebuah daerah yang berbatu-batu be-sar. Kwi Lan biarpun melakukan perjalanan malam gelap, hanya diterangi bulan sepotong, namun ia mencatat jalan liar ini di dalam ingatannya. Kalau sudah berhasil membebaskan Pangeran Mahkota, jalan ini akan membawa mereka keluar dari sarang Bouw Lek Couwsu.
"Di sanalah tempat tahanan itu, Li-hiap. Di dalam guha, yang tampak dari sini itu." pengemis yang ditawan itu ber-bisik, suaranya gemetar dan dengan ujung bajunya ia menghapus peluh.
Mereka telah melakukan perjalanan yang amat sukar dan amat lambat sehingga malam telah menjelang pagi ketika mereka tiba di tempat ini. Kwi Lan menggerakkan jari tangannya menotok tawanannya. Orang itu mengeluarkan suara keluhan dan roboh tak mampu bergerak lagi, hanya sepasang matanya saja yang ber-gerak-gerak memandang penuh rasa ta-kut.
Nyawanya berada di ujung rambut. Andaikata ia terbebas dari kematian di tangan gadis ini, kalau hwesio jubah merah tahu akan perbuatannya membawa Mutiara Hitam ke sini, ia pasti akan mengalami kematian yang lebih hebat lagi.
Dengan amat hati-hati Kwi Lan me-rayap di bawah rumput tinggi, mendekati bukit-bukit batu yang berbaris di sepan-jang tepi sungai. Setelah tiba di barisan batu itu, ia meloncat dan menyelinap di belakang batu, lalu perlahan-lahan ia bergerak mendekati guha batu yang tadi ditunjukkan dari jauh oleh tawanannya. Tiba-tiba ia berhenti dan menyelinap di belakang batu, mengintai. Jantungnya berdebar keras karena tegang. Kiranya di depan guha yang cukup besar itu ter-dapat lima orang penjaga! Dan melihat keadaan mereka, ia dapat menduga bah-wa lima orang yang bertugas menjaga tempat tahanan Ini tentulah bukan orang-orang biasa. Tiga orang hwesio jubah merah yang bersenjata pedang, seorang bangsa Hsi-hsia yang tinggi besar dan memegang sebuah penggada yang me-ngerikan karena selain besar dan berat juga dihias duri-duri runcing, sedangkan orang ke lima adalah seorang kecil pen-dek yang memegang toya. Melihat tam-bal-tambalan pada pakaian orang ini jelas bahwa dia seorang tokoh kai-pang yang sesat.
Kwi Lan mengintai, hatinya bergun-cang. Tentu saja ia tidak gentar. Akan tetapi tampaknya lima orang itu cukup tangguh. Kalau ia melompat keluar dan dikeroyok lima, tentu tidak dapat men-capai kemenangan secara cepat dan kalau ia tidak bekerja cepat dan keburu datang bala bantuan atau Bouw Lek Couwsu muncul sendiri, usahanya ten-tu akan gagal. Ia mulai menyesal mengapa tidak datang bersama Yu Siang Ki. Kalau ada pemuda itu di sampingnya tentu akan lebih kuat keadaannya dan lebih banyak harapan akan berhasil. Apalagi kalau Kiang Liong ikut membantu. Pemuda hebat! Pemuda lihai luar biasa. Tiba-tiba Kwi Lan mencubit telinganya sendiri. Hatinya gemas. Mengapa tiada hujan tiada angin ia teringat dan me-ngenang pemuda itu" Ih, pemuda som-bong. Tidak memandang mata kepadanya! Padahal semua pemuda, yang tampan-tam-pan dan gagah-gagah, seorang demi se-rang jatuh cinta kepadanya! Mula-mula Tang Hauw Lam Si Berandal! Hampir ia tertawa ketika teringat Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 369
kepada Hauw Lam. Kemudian Siang Koan Li, dan Yu Siang Ki. Akan tetapi Kiang Liong ini tidak memandang sebelah mata kepada-nya! Si Sombong, mentang-mentang men-jadi murid Suling Emas lalu besar kepala!
Kwi Lan makin gemas. Menghadapi tugas berat, mengapa ia masih melamun yang bukan-bukan" Salahnya orang she Kiang itu! Ia mengusir semua kenangan, kemudian menjemput batu kecil, dilemparkan ke sebelah kanannya, kurang lebih dua puluh meter jauhnya dari mulut guha.
"Eh, apa itu?" Seorang di antara me-reka bangkit berdiri, yakni hwesio jubah merah yang kepalanya besar sekali. Ia mencabut pedang lalu menggerutu. "Biar pinceng periksa, siapa tahu ada musuh."
"Benar, mari kita periksa, Suheng." kata hwesio kedua yang kurus kering seperti cecak mati sambil mencabut pedangnya pula.
Kwi Lan siap dengan jarum-jarumnya, mendekam di belakang sebuah batu be-sar. Ketika ia mendengar jejak kaki dua orang hwesio ini sudah datang dekat, lewat di depan batu besar, ia membiar-kan mereka lewat beberapa langkah, kemudian tiba-tiba ia menyerang dengan jarum-jarum hijau dari belakang!
Hebat bukan main serangan ini. Ja-rum-jarum hijau itu adalah senjata-sen-jata rahasia yang halus sekali, dilontar-kan dengan tenaga sin-kang sehingga hampir tak mengeluarkan suara, saking cepatnya hanya tampak sinar kehijauan. Apalagi dilontarkan dari jarak dekat dan dari belakang Si Korban, benar-benar amat berbahaya. Dua orang hwesio itu adalah murid-murid pilihan Bouw Lek Couwsu, akan tetapi menghadapi serang-an gelap seperti ini mereka tidak dapat menyelamatkan diri. Biarpun mereka yang telah memiliki gerak reflek lumayan, namun ketika mengelak masih kurang cepat sehingga dua tiga batang jarum telah menyusup ke dalam kulit memasuki daging meracuni darah. Dua orang hwesio ini menjerit, terhuyung-huyung dan sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam dua kali bergerak, menamat-kan riwayat dua orang hwesio ini. Se-telah membunuh dua orang lawannya, Kwi Lan cepat menyelinap kembali ke belakang batu besar.
Tiga orang penjaga yang lain terkejut sekali, dengan lompatan-lompatan jauh mereka menyerbu. Kwi Lan mempergu-nakan kesempatan ini untuk memutar batu besar, lalu cepat ia lari memasuki guha. Ia melihat seorang pemuda yang tampan, tubuh dari pinggang ke atas telanjang, berdiri dengan terbelenggu. Pemuda ini setengah pingsan, bersandar pada dinding batu, tubuhnya yang kuat dan berkulit putih bersih itu penuh de-ngan luka-luka bekas cambukan. Namun wajah yang tampan itu masih memba-yangkan kegagahan dan keagungan, se-dikit pun tidak kelihatan takut atau khawatir.
Kwi Lan memegang pundaknya, meng-guncangnya perlahan. "Eh, sadarlah!"
Pemuda itu membuka matanya, me-mandang heran, seakan-akan tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Sinar matanya yang tajam itu seperti bertanya apakah ia dalam mimpi.
"Jawablah, apakah engkau ini Pange-ran Mahkota Khitan yang bernama Pa-ngeran Talibu?"
Pemuda itu sejenak memandang ta-jam, lalu balas bertanya. "Engkau siapa-kah, Nona"
Bagaimana kau bisa...."
"Tidak penting aku siapa, yang pen-ting, apa kau benar Pangeran Mahkota Talibu?" Suaranya gemas dan tidak sa-baran.
Pemuda itu menahan senyum yang mengembang di bibirnya, lalu mengang-guk. "Aku
mengenalmu! Ya.... Aku me-ngenalmu. Kau tidak, asing bagiku.... tapi di mana dan kapankah" Nona, kau sia-pakah?"
"Wah, kau cerewet benar, apakah pa-ngeran-pangeran memang cerewet" Aku datang untuk menolongmu."
Pemuda itu tiba-tiba membelalakkan matanya dan berseru. "Nona, awas....!"
Kwi Lan yang sudah lega hatinya karena yakin bahwa pemuda inilah Pa-ngeran Mahkota Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 370
Khitan yang harus ditolongnya, cepat membalikkan tubuh dan pedang Siang-bhok-kiam sudah berada ditangan kanannya. Kiranya tiga orang itu, sisa para penjaga sudah kembali ke situ dan berdiri di depan guha dengan senjata di tangan dan sikap mengancam. Melihat ini, Pangeran Talibu mengeluh, meme-jamkan mata dan berkata lirih.
"Nona, kenapa kau mengorbankan diri untukku" Kenapa....?" Ia tidak berani menoleh, tidak tega menyaksikan nona ini dikeroyok para penjaga yang ia tahu amat lihai. Di samping kekhawatirannya, ia pun masih mengingat-ingat di mana dan kapan ia pernah melihat nona ini.
Wajah yang jelita itu bukan asing baginya, wajah yang amat dikenalnya, akan tetapi ia tidak ingat kapan dan di mana.
Pangeran Talibu makin merapatkan matanya, keningnya berkerut ketika ia mendengar suara
"cring-cring-trang--trang!" bertemunya senjata tajam, dise-ling bentakan marah tiga orang penjaga yang mengeroyok nona itu. Ia tahu betapa lihai para penjaga itu, terutama sekali hwesio-hwesio jubah merah. Seorang gadis remaja seperti tadi mana akan mampu bertahan melawan pengeroyokan mereka" Melawan seorang di antara mereka saja sudah cukup berat.
Kecuali kalau dara itu memiliki ilmu kehebatan sehebat ibunya. Ibunya. Teringatlah ia sekarang. Gadis itu mirip benar dengan ibunya! Hanya bedanya tua dan muda. Mata itu, bibir itu! Ia menjadi makin heran dan makin khawatir. Sepuluh menit sudah lewat. Suara pertempuran sudah berhenti. Ah, tentu gadis yang mirip ibunya itu sudah menggeletak menjadi mayat. Atau tertawan. Ih, kalau ia ter-ingat akan nasib lima orang gadis yang jatuh ke tangan Bouw Lek Couwsu, Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo, ia menjadi ngeri. Lebih baik dara ini mati saja daripada tertawan hidup-hidup!
Talibu membuka matanya dan.... ia terbelalak heran dan juga kagum. Tiga orang penjaga sudah menggeletak di de-pan guha, tak bernyawa lagi! Adapun dara itu sejenak memandang ke sekeliling depan guha, kemudian meloncat masuk ke dalam guha, gerakannya seperti se-ekor burung, demikian ringan dan lincah. Wajahnya tetap tenang dan napasnya biasa saja seakan-akan bukan seperti orang yang baru saja dikeroyok tiga lawan berat!
"Tahanlah, aku akan melepaskan be-lenggu!" bisik Kwi Lan dan sinar hijau berkelebat ketika ia menggerakkan pe-dangnya. Terdengar suara nyaring empat kali. Pangeran Talibu
menggigit bibir karena setiap kali pedang membabat belenggu, ia merasa kulit tangan atau kakinya panas dan sakit. Akan tetapi kini ia telah bebas, belenggu yang mengikat kaki tangannya sudah putus semua. Ia menjadi makin kagum, memandang Kwi Ian dengan
sepasang mata bersinar-sinar.
"Nona, kau...."
"Sstt, mari kita lari!" Kwi Lan me-nyambar tangan Pangeran itu dan di-tariknya keluar dari guha, diajak lari cepat meninggalkan guha. Tak jauh dari guha Talibu melihat mayat dua orang hwesio jubah merah, maka mengertilah ia mengapa hanya ada tiga orang penjaga yang tadi mengeroyok gadis perkasa ini. Kiranya yang dua orang sudah dipancing keluar dan dibunuh pula. Talibu lalu mengambil sebatang pedang milik hwesio itu, barulah ia mengikuti Kwi Lan sambil berkata.
"Nona, kau benar hebat! Aku kagum dan berterima kasih...."
?"Sssttt, jangan cerewet! Kita belum bebas!" bisik Kwi Lan galak.
Talibu yang berjalan berindap-indap di belakang gadis ini mau tak mau terse-nyum. Gadis ini hebat, memiliki ilmu silat tinggi dan ketabahan yang luar biasa. Juga galaknya tidak kepalang.
Baru sekali ini selama hidupnya ia di-maki-maki cerewet beberapa kali oleh seorang gadis remaja. Dia, putera Ratu Khitan, Pangeran Mahkota yang disem-bah-sembah rakyatnya, kini dicerewet-cerewetkan oleh seorang gadis jelita yang galak!
Akan tetapi belum lama mereka per-gi, baru tiba di daerah hutan, terdengar bunyi terompet dan dari empat penjuru muncullah pasukan Hsi-hsia yang me-ngurung mereka. Pangeran Talibu ter-tawa, membuat Kwi Lan terheran dan gadis ini menoleh, memandang Pangeran itu, Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 371
khawatir kalau-kalau dalam keadaan terancam pangeran itu menjadi gila karena takut. Akan tetapi Pangeran yang tak berbaju, tubuhnya luka-luka itu ber-diri tegak dengan sikap gagah, pedang yang dipungutnya tadi melintang di depan dada, matanya bersinar-sinar, wajahnya amat tampan. Pangeran itu mem-balas pandang mata Kwi Lan dan ber-kata.
"Bagus! Seperti inilah selayaknya se-orang pangeran tewas! Tidak mati konyol dalam guha sebagai tawanan. Mati dalam medan perang adalah mati nikmat, mati terhormat. Namun, kalau Tuhan meng-hendaki dan aku akan dapat terbebas daripada ancaman ini sehingga dapat melanjutkan hidup, percayalah, aku Talibu selama hidupku tidak akan pernah melu-pakan engkau! Sekarang aku tidak peduli lagi. Andaikata kita berdua takkan dapat lolos, bagi aku, mati dalam bertanding di sampingmu merupakan kehormatan besar. Ha-ha-ha!"
Kwi Lan memandang dengan mata berseri. Sungguh patut menjadi seorang pangeran. Patut menjadi putera angkat ibu kandungnya. Patut menjadi kakak angkatnya. Pemuda ini memiliki sema-ngat pendekar, jiwa satria, dan amat tampan! Ia pun tersenyum dan berkata lirih.
"Pangeran Talibu, selama nyawa saya belum meninggalkan badan, selalu masih ada harapan untuk hidup. Mari kita menghajar anjing-anjing Hsi-hsia itu!"
"Bagus! Kau hebat sekali, Nona. Ma-rilah kita mati bersama atau bebas!" Pangeran Talibu berseru penuh semangat sambil menerjang maju, memutar pedang-nya. Melihat gerakan pedang Pangeran itu, Kwi Lan maklum bahwa orang-orang Hsi-hsia untuk sementara tidak mungkin dapat merobohkannya, maka ia pun lalu meloncat maju memutar pedangnya, tidak jauh dari Sang Pangeran karena ia harus memasang mata melindungi Pangeran itu dari marabahaya. Begitu enam orang memapaki pedangnya, Kwi Lan membuat gerakan
menyilang dengan pedang agak ke bawah dan robohlah tiga orang lawan dengan perut terobek pedang!
Tiba-tiba terdengar suara bergelak ketawa dan Kwi Lan cepat-cepat melon-cat mundur ketika ada angin hebat me-nyambar dari kanan kiri. Kiranya Siauw-bin Lo-mo telah berdiri di depannya dan tadi mengirim pukulan dengan tangan kirinya.
"Kakek busuk! Mari kita mengadu nyawa!" bentak Kwi Lan yang menjadi marah sekali melihat musuh besarnya Ini.
"Heh-heh-heh, kau masih belum ka-pok?" Siauw-bin Lo-mo mengejek dan cepat menubruk maju. Kwi Lan menyambar dengan tusukan pedang, akan tetapi sambil membuang diri ke kiri, kakek itu maju terus, tangannya menjangkau dan hampir saja pundak Kwi Lan kena dicengkeram! Hebat bukan main dan aneh gerakan kakek lihai ini. Kwi Lan berlaku hati-hati, tidak memberi kesempatan kepada kakek bertangan kosong itu untuk mendekati dirinya dengan jalan memutar pedang ke mana pun bayangan kaki itu berkelebat. Dengan gerakannya yang lincah dan ilmu pedang yang ganas, un-tuk sementara Kwi Lan dapat, bertahan terhadap desakan kakek ini, akan tetapi hatinya gelisah karena ia kini sama se-kali tidak dapat membagi perhatiannya untuk melindungi Pangeran Talibu.
"Pangeran, kau larilah!" bentak Kwi Lan nyaring sambil menubruk dengan pe-dangnya yang diputar membentuk ling-karan panjang. Namun Siauw-bin Lo-mo sambil terkekeh-kekeh dapat menghindar-kan diri dan membalas dengan sebuah tendangan kuat yang dipapaki sabetan pedang dengan gemas oleh Kwi Lan. Kem-bali kakek itu dapat menghindarkan diri.
Serang-menyerang terjadi dan Kwi Lan terpaksa harus mencurahkan seluruh per-hatiannya terhadap kakek ini.
Siauw-bin Lo-mo diam-diam menjadi gemas sekali. Ia ingin menangkap hidup-hidup nona ini, untuk dipersembahkan kepada Bouw Lek Couwsu sebagai tebus-an tempo hari ketika ia kehilangan gadis yang sudah menjadi tawanannya. Se-telah melayani Kwi Lan selama lima puluh jurus dan melihat betapa Pangeran Talibu juga belum dapat tertawan kem-bali, ia mendapatkan akal baik. Ia tahu bahwa orang-orang Hsi-hsia dan para hwesio anak buah Bouw Lek Couwsu tidak berani membunuh Pangeran Talibu yang merupakan tawanan penting, dan untuk menangkap hidup-hidup Pangeran yang nekat itu pun bukan hal mudah bagi mereka.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 372
"Kalian kepung gadis ini!" Tiba-tiba ia berseru dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali melewati kepala hwesio-hwesio jubah merah yang sudah datang
menerjang Kwi Lan, ke-mudian turun di depan Pangeran Talibu sambil terkekeh
menyeramkan. Pangeran Talibu terkejut, cepat me-nusukkan pedangnya ke dada kakek itu, Siauw-bin Lo-mo hanya miringkan tubuh kemudian secepat kilat ia sudah menangkap pergelangan tangan Pangeran itu, merampas, pedangnya, kemudian sekali kakinya menendang lutut, Pangeran Ta-libu roboh. Siauw-bin Lo-mo menempelkan ujung pedang di dada Pangeran Tali-bu sambil berseru.
"Mundur semua! Lepaskan bocah itu!"
Namun sebelum para pengeroyok mundur, Kwi Lan sudah berhasil merobohkan empat orang hwesio jubah merah dengan pedangnya yang ganas. Kini ia membalik memandang ke arah suara Siauw-bin Lo-mo dan pucatlah wajahnya ketika melihat Pangeran Talibu sudah roboh dan ditodong pedang.
"Heh-heh-heh, bocah nakal. Lekas kaulepaskan pedang dan menyerah. Kalau tidak, sebelum aku mengambil nyawamu, Pangeran ini akan kutusuk sampai tembus jantungnya!"
Kwi Lan ragu-ragu. Ia maklum akan kelihaian kakek itu dan harus ia akui bahwa dia sendiri belum tentu dapat mengatasinya. Dan ia tahu pula betapa kejam hati Si Kakek yang tentu tidak akan ragu-ragu untuk membunuh Pange-ran Talibu. Hatinya menjadi lemas dan ia berdiri dengan tubuh lemas.
"Nona, kau larilah! Jangan mende-ngarkan ocehan kakek ini. Kematian bagi Talibu bukan apa-apa! Lari dan lawanlah, Jangan menyerah!" Talibu berteriak-teriak akan tetapi sebuah tendangan pada dagu-nya membuat ia pingsan!
"Heh-heh-heh, Nona, kau menghendaki aku menusuk jantungnya?" Siauw-bin Lo-mo
mengguratkan ujung pedang pada dada yang telanjang itu dan.... kulit Pangeran Talibu di dada robek sedikit, memperlihatkan garis merah memanjang. Kwi Lan merasa pusing, terpaksa melepaskan pedangnya dan berkata lemah, "Siauw-bin Lo-mo, kau jahanam tua bangka, lepaskan dia!"
"Heh-heh-heh, aku tidak akan membu-nuhnya kalau kau menyerah. Hayo be-lenggu dia!"
Empat orang hwesio jubah merah menghampiri Kwi Lan dan membelenggu kedua tangan
gadis itu. Kwi Lan tidak melawan. Ia harus berani menyerah untuk menyelamatkan nyawa Pangeran Talibu. Seorang Hsi-hsia tinggi besar yang me-rasa benci dan marah kepada gadis yang telah membunuh banyak kawannya ini, menyeringai dan datang mendekati Kwi Lan, tangannya menjangkau untuk meraba dada gadis itu. Sudah biasa bagi orang--orang
peperangan ini apabila pasukan mereka menawan seorang wanita, siapa saja di antara anggauta pasukan boleh mempermainkan si tawanan. Orang Hsi-hsia tinggi besar ini pun tidak terkecuali. Melihat kecantikan Kwi Lan dan mengingat betapa gadis ini sudah menjatuhkan korban banyak di antara temannya, ia hendak menjadi orang pertama menghina dan mempermainkan gadis jelita yang lihai ini.
"Heh, mundur....!" Namun seruan Siauw-bin Lo-mo ini terlambat. Kalau kakek ini mau tentu saja ia akan dapat menyelamatkan orang Hsi-hsia itu, akan tetapi tentu saja ia tidak sudi merendah-kan diri menolong seorang perajurit Hsi-hsia biasa yang baginya tidak lebih se-ekor kucing atau anjing.
Pada saat jari tangan kurang ajar itu menyentuh dada, kaki Kwi Lan bergerak dengan kecepatan yang sukar diduga, tepat menghantam pusar orang Hsi-hsia itu yang hanya sempat mengeluarkan suara "Hekkk!" lalu tubuhnya terlempar dan roboh tak dapat bergerak lagi. Isi perutnya berantakan karena tendangan Kwi Lan tadi mengandung tenaga sin-kang yang hebat! Setelah menendang, gadis itu tetap tenang hanya menyapu semua orang dengan pandang mata dingin, yang agaknya bertanya atau me-nantang siapa lagi berani kurang ajar Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 373
terhadap dirinya. Keadaan tegang dipe-cahkan suara ketawa Siauw-bin Lo-mo.
"Heh-heh-heh, orang goblok macam dia sudah sepatutnya mampus! Hayo ba-wa tawanan menghadap Couwsu!" Ia sen-diri lalu memegang dengan dan menarik Kwi Lan, sedangkan Pangeran Talibu yang pingsan dipanggul oleh seorang hwe-sio jubah merah.
"Ha-ha, Bouw Lek Couwsu, memang sudah takdirnya engkau bernasib baik. Lihat siapa yang kutawan untukmu ini. Si Mutiara Hitam! Ha-ha-ha, kutanggung selama hidupmu belum pernah kau me-nikmati bunga liar sehebat ini!" kata Siauw-bin Lo-mo kepada Bouw-Lek Couwsu yang sedang duduk bercakap-cakap ditemani Bu-tek Siu-lam dan Thai-lek Kauw-ong serta Jin-cam Khoa-ong. Memang Bouw Lek Couwsu selain lihai ilmunya juga amat cerdik.
Dalam usahanya memperluas daerah kekuasaan dan menggerakkan bangsa Hsi-hsia menyerbu Kerajaan Sung, ia telah dapat pula me-nempel kelima orang Bu-tek Ngo-sian. Tentu saja lima orang sakti ini suka sekali bersekutu dengan Bouw Lek Couw-su, oleh karena, kecuali Thai-lek Kauw-ong seorang, mereka semua pun bercita-cita untuk mengangkat diri sendiri men-jadi seorang yang berkedudukan tinggi. Dengan bersekutu dengan Bouw Lek Couwsu mereka mendapatkan sekutu yang kuat dengan barisan orang-orang tangguh.
Sian Eng sendiri tidak bersekongkol dengan pe-mimpin Hsi-hsia ini karena wanita ini mempunyai cita-cita yang lebih tinggi lagi, yaitu apabila bala tentara Hsi-hsia berhasil mengalahkan Kerajaan Sung, ia akan mengangkat puteranya, Suma Kiat, menjadi kaisar baru.
Betapa tidak" Suma Kiat adalah putera Suma Boan yang ma-sih keturunan Pangeran! Inilah sebabnya mengapa Kam Sian Eng menempatkan puteranya di kota raja di rumah Pange-ran Kiang, kemudian mengusahakan per-sekutuan di antara pembesar-pembesar Kerajaan Sung.
Adapun Bu-tek Siu-lam, tokoh sakti banci itu, adalah seorang dari dunia ba-rat yang sengaja bertualang untuk men-cari kesempatan baik guna menempatkan dirinya dalam kedudukan yang tinggi. Tadinya ia hanya ingin menguasai para pengemis dan ingin menjadi raja pengemis, akan tetapi kini melihat kesempatan terbuka untuk memperoleh kedudukan ynng lebih tinggi lagi, ia segera meneri-ma penawaran Bouw Lek Couwsu untuk bersekutu dan mengerahkan barisan pe-ngemis baju bersih untuk membantu Hsi--hsia apabila saat
penyerbuan tiba. Ia yakin bahwa kalau gerakan ini berhasil, kelak ia sedikitnya tentu akan menjadi seorang pangeran!
Siauw-bin Lo-mo adalah seorang pe-rampok sejak kecil, kini pun ia telah menjadi datuk para perampok dan bajak. Setelah terbuka kesempatan untuk memi-liki jabatan atau kedudukan tinggi, tentu saja ia pun senang membantu Bouw Lek Couwsu. ia sudah tua dan sudah waktunya hidup bergelimang kesenangan dan kemewahan, hidup dimuliakan orang sam-pai matinya. Ia pun mengerahkan anak buahnya, para perampok dan bajak, juga orang-orang Thian-liong-pang, untuk membantu usaha Bouw Lek Couwsu bah-kan berjanji kelak akan bergerak dari dalam bersama para pengemis anak buah Bu-tek Siu-lam.
Jin-cam Khoa-ong sudah tentu saja mendukung usaha Bouw Lek Couwsu se-penuh hati.
Seperti diketahui, Algojo Ma-nusia ini juga disebut Pak-sin-ong (Raja Sakti dari Utara), menjadi musuh Keraja-an Khitan dan dianggap sebagai seorang pengkhianat bangsa Khitan.
Ia pun menyatakan ingin membantu Hsi-hsia dengan janji bahwa kalau usaha Hsi-hsia ini ber-hasil, kelak ia akan diberi pinjam tentara dan perlengkapan untuk menyerbu Khitan dan merampas singgasana Ratu Khitan yang menjadi musuh besarnya.
Hanya Thai-lek Kauw-ong seorang yang tidak mempunyai cita-cita. Ia da-tang ke markas Bouw Lek Couwsu kare-na terbujuk teman-temannya dan teruta-ma sekali karena tidak mau kalah dengan empat orang temannya yang katanya sedang mengusahakan pekerjaan penting dan besar. Ia sendiri tidak peduli siapa yang akan menjadi kaisar, akan tetapi kalau empat orang kawannya yang ter-gabung dalam Bu-tek Ngo-sian semua berjasa, dan ia sendiri berpeluk tangan tentu namanya akan kalah dan ia tidak patut menjadi orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian. Inilah sebabnya mengapa ia suka datang menjadi tamu Bouw Lek Couwsu.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 374
Akan tetapi ia tidak pernah ikut bicara tentang urusan pemberontak-an, hanya menikmati hidangan yang serba lezat. Bouw Lek Couwsu sendiri yang cerdik juga tidak mau mengajak kakek raja monyet ini untuk merundingkan soal politik, karena ia hanya mengharapkan bantuan tenaga kakek sakti itu apabila menghadapi musuh-musuh tangguh kelak. Apa lagi kalau diingat bahwa Thsi-lek Kauw-ong tidak mempunyai seorang pun pengikut atau anak buah. Kini kelima Bu-tek Ngo-sian sudah lengkap sendiri di belakangnya, bahkan sudah berkumpul di markas Sian-toanio yang lebih aktip bersama puteranya untuk mengumpulkan dan memperkuat persekutuannya dengan pembesar-pembesar kota raja.
Ketika Siauw-bin Lo-mo datang mem-bawa tawanan Mutiara Hitam, ia menjadi girang dan juga terkejut mendengar la-poran tentang usaha Mutiara Hitam un-tuk membebaskan
Pangeran Talibu. Ah, ia terlalu sembrono, terlalu percaya ke-pada alat-alat rahasia dan penjagaan anak buahnya. Ternyata masih ada yang menyelundup dan hampir saja
membebas-kan tawanan penting itu. Ia telah meng-gunakan pelbagai usaha untuk memaksa Pangeran Talibu menulis surat kepada Ratu Khitan, bahkan sudah menyiksanya, namun pangeran yang keras hati itu te-tap tidak mau menuruti permintaannya. Pangeran itu ditahan dalam guha juga dalam rangka penyiksaan agar Pangeran itu tunduk. Siapa kira malah hampir dibebaskan Mutiara Hitam.
Bouw Lek Couwsu adalah seorang laki-laki tua, seorang pendeta yang di-waktu mudanya terlalu banyak mengejar ilmu, mengekang nafsu dan karena pada dasarnya ia memang seorang hamba naf-su, setelah tua pengekangannya jebol dan jadilah ia seorang sakti yang gila nafsu, gila perempuan. Melihat Mutiara Hitam yang selain muda remaja dan cantik jelita, juga lihai ilmu silatnya, ia sudah mengeluarkan air liur. Akan tetapi di samping sifatnya yang mata keranjang, ia amat cerdik dan ambisinya besar sekali untuk kedudukan yang tertinggi.
Ambisi ini agaknya lebih besar daripada nafsu-nya, sehingga begitu melihat Mutiara Hitam yang jelita dan melihat Pangeran Talibu yang masih pingsan, timbul sebuah akalnya untuk menundukkan. Pangeran Talibu.
"Bagus!" jawabnya kepada Siauw-bin Lo-mo sambil tertawa bergelak. "Sekali ini pinceng benar-benar berterima kasih kepadamu, Lo-mo." Kemudian ia berkata kepada muridnya,
"Masukkan mereka ber-dua dalam kamar tahanan di belakang, jaga yang kuat jangan sampai ada ke-mungkinan didatangi orang luar!"
Setelah Kwi Lan dan Pangeran Talibu dibawa pergi, Bouw Lek Couwsu mem-bicarakan
rencananya terhadap Kwi Lan dan Talibu kepada empat orang kakek sakti dan tertawalah mereka. Bahkan Thai-lek Kauw-ong mengangguk-angguk-kan kepalanya yang gundul sambil ber-kata.
"Demi Iblis! Engkau benar-benar pin-tar sekali, Couwsu!"
Bouw Lek Couwsu tertawa. "Memang, sesungguhnya sayang sekali melepaskan bunga ini kepada seorang Hsi-hsia, sama dengan melemparkan daging pilihan untuk seekor anjing buduk. Akan tetapi, makin buruk si anjing, makin sakit hati Talibu dan makin besar kemungkinan ia menye-rah! Ha-ha-ha!"
"Heh-heh-heh, Couwsu. Rencanamu ini baik sekali, akan tetapi harus cepat-ce-pat
kaulaksanakan. Karena kalau sampai Sian-toanio keburu datang, tak mungkin hal itu dilaksanakan lagi, bahkan kiraku, Mutiara Hitam harus dibebaskan."
"Mengapa?" Bouw Lek Couwsu berta-nya heran.
"Heh-heh, Mutiara Hitam itu adalah murid Sian-toanio."
Semua orang terkejut mendengar ini. Keadaan menjadi sunyi. Bouw Lek Couw-su
mengerutkan kening lalu memandang Siauw-bin Lo-mo. "Eh, Lo-mo. Apa arti-nya ini" Kalau kau sudah tahu dia murid Sian-toanio, mengapa kau sengaja me-nawannya dan
memberikannya kepadaku" Apakah kau sengaja hendak mengadu aku dengan Sian-toanio?"
Siauw-bin Lo-mo terkekeh, "Couwsu, kau benar-benar pelupa sekali. Berapa kali Mutiara Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 375
Hitam menentangmu" Be-rapa kali menentangku" Bahkan sekarang dia datang untuk
membebaskan Talibu. Bukankah dia termasuk musuh yang ber-bahaya" Kalau muridnya
seperti itu, kita harus berhati-hati terhadap gurunya. Siapa tahu hati macam apa yang ada di balik kedok kerudung hitam mengerikan itu" Kau harus hati-hati, Couwsu"
Bouw Lek Couwsu masih mengerutkan kening, meraba-raba dagunya, berpikir lalu
mengangguk-angguk. "Hemmm, me-mang diam-diam aku sudah menaruh curiga kepada
wanita itu. Kalau dapat menariknya sebagai kawan, baik, kalau sebagal lawan, amat berbahaya. Memang kita harus berhati-hati dan rencana ini harus cepat-cepat dikerjakan, sekarang juga!"
Kalau Kwi Lan dan Talibu mendengar apa yang mereka rencanakan tentu hati kedua orang muda ini menjadi cemas sekali. Akan tetapi mereka tidak men-dengar apa-apa ketika mereka digusur dan dimasukkan kedalam sebuah kamar ta-hanan yang luas. Kamar ini merupakan ruangan yang lebarnya sepuluh meter, kosong tidak ada perabot sebuah pun. Lantainya dari batu putih yang bersih dingin, dindingnya dari tembok tebal, atapnya pun dilapisi jeruji besi yang amat kuat. Sebuah jendela di samping dilindungi jeruji besi sebesar lengan manusia, pintunya juga besi dan bagian atasnya ada jeruji pula. Setelah Kwi Lan yang dibelenggu kedua tangannya dan Talibu yang masih pingsan itu didorong masuk, pintu ditutup kembali dan dikunci dari luar. Dua pasang mata penjaga un-tuk beberapa lama memandang ke arah Kwi Lan dengan pandang mata kurang ajar, mulut mereka menyeringai kemudian mereka bicara dalam bahasa Hsi-hsia, tertawa-tawa dan lenyap dari balik jeruji pintu.
Kwi Lan duduk di atas lantai, me-mandang Pangeran Talibu yang rebah telentang di dekatnya. Kembali jantung-nya berdebar. Wajah Pangeran ini telah menggetarkan
perasaannya, membuat darahnya berdenyut lebih cepat daripada biasa. Ia telah rela menyerah, rela di-tawan untuk menyelamatkan nyawa pe-muda yang baru sekarang ia jumpai ini.
Alangkah anehnya ini. Biasanya ia tidak peduli akan keadaan orang lain. Mengapa ia menjadi takut dan ngeri melihat nyawa pemuda ini diancam maut dan tidak ragu-ragu untuk
mengorbankan dirinya" Jantungnya berdebar aneh dan teringatlah ia akan pernyataan Hauw Lam,. Siangkoan Li, dan Yu Siang Ki ter-hadap dirinya. Mereka itu menyatakan cinta kepadanya. Adakah perasaan hati-nya terhadap Pangeran Talibu ini yang dinamakan cinta"
Adakah dia mencinta pemuda ini" Kakak angkatnya, putera angkat ibunya"
Kwi Lan mengguncang-guncang kepalanya, seakan hendak mengusir semua lamunan yang membuat ia bingung dan jantungnya berdebar-debar itu. Bagaimana ia harus meloloskan diri bersama Pa-ngeran Talibu" Kakinya bebas. Tangannya biarpun terbelenggu, namun kalau ia ber-usaha, kiranya akan dapat ia bebaskan pula. Ia masih mempunyai tenaga sim-panan untuk mematahkan belenggu baja ini. Akan tetapi apa gunanya" Dinding itu amat kuat. Pintu dan jendelanya pun kokoh kuat. Belum lagi para penjaga, dan di sana berkumpul orang-orang sakti seperti Bouw Lek Couwsu, Bu-tek Siu-lam, Siauw-bin Lo-mo, dan dua orang kakek lain yang ia duga tentu juga amat sakti. Ataukah mereka itu Bu-tek Ngo-sian yang pernah ia dengar" Harapan untuk dapat lolos dari tangan mereka amat tipis. Seorang di antara mereka saja sudah merupakan lawan yang amat berat. Apalagi kini pedangnya terampas oleh Siauw-bin Lo-mo. Dan ada Pangeran Talibu lagi yang masih harus ia lindungi. Kwi Lan duduk menekur dengan kening berkerut. Satu-satunya harapannya adalah Yu Siang Ki. Kalau saja pemuda itu da-tang membawa banyak tokoh kai-pang yang sakti!
Ia tidak kaget ketika mendengar pintu dibuka dan Bouw Lek Couwsu seorang diri masuk. Ia sudah siap menghadapi segala macam kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Tanpa bangkit, ia meng-angkat muka memandang.
"Bouw Lek Couwsu, apakah kau akan membunuh kami" Siiakan! Memang orang macam
engkau ini pengecut, mana berani menghadapi lawan secara jantan?"
Bouw Lek Couwsu tersenyum lebar dan sabar. "Bagaimana kalau menghadapi secara jantan?"
"Berikan pedangku dan mari kita ber-tanding sampai selaksa jurus, sampai seorang di antara Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 376
kita menggeletak tak bernyawa lagi! Baruiah jantan namanya!"
Kembali pendeta itu memperlebar senyumnya. "Nona, kau ganas benar. Kalau kau sayang kepada Pangeran ini, kau harus bersikap sabar dan tenang. Aku berjanji sebagai pimpinan bangsa Hsi-hsia, kalau Pangeran Talibu suka me-nulis surat membujuk ibunya untuk mem-bantu pergerakan Hsi-hsia, akan kubebas-kan engkau dan dia juga! Berlakulah sabar dan tenang, dan untuk menjaga agar kau tidak menimbulkan keributan, terpaksa kau harus dibuat tidak berdaya." Setelah berkata demikian, Bouw Lek Couwsu bergerak maju dan menotok de-ngan jari telunjuknya ke arah tengkuk-nya. Kwi Lan yang kedua tangannya terbelenggu, tidak dapat menangkis dan berusaha mengelak, akan tetapi gerakan tangan Bouw Lek Couwsu amat cepat, dan sudah meluncur turun menotok pun-daknya. Kwi Lan roboh lemas dan hanya dapat memandang dengan mata terbelalak penuh kemarahan ketika Bouw Lek Couwsu mengeluarkan sebuah bungkusan. Ia melihat betapa bungkusan itu ditabur-kan di atas mukanya, ia mencium bau wangi dan keras, kemudian tak ingat apa-apa lagi, pingsan.
Baik Kwi Lan maupun Pangeran Talibu dalam keadaan pingsan dan tidak tahu betapa Bouw Lek Couwsu memberi mereka minum anggur yang dicampuri obat, memaksa mereka minum dengan menuangkan anggur ke dalam mulut yang dipaksa membuka. Setelah membuka
belenggu Kwi Lan, Bouw Lek Couwsu meninggalkan kamar sambil tersenyum dan
meninggalkan pe-san kepada para penjaga.
Menjelang senja, Kwi Lan siuman dari pingsannya. Tubuhnya terasa panas bukan main, rasa panas yang menyesak dada. Ia bangkit dan duduk, tubuhnya basah oleh keringat. Ia menghapus peluh dari dahi dan leher. Kemudian berseru heran ka-rena baru ia ingat bahwa kedua tangan-nya kini tidak terbelenggu lagi. Ia sudah bebas dari belenggu. Aneh sekali!
Anak Berandalan 4 Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen Sepasang Pedang Iblis 1

Cari Blog Ini