Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
berhak membebaskan mereka. Kenapa kau lancang hendak mem-bebaskan mereka" Kau
berani meman-dang rendah Siauw-bin Lo-mo?" Kakek kurus itu sudah bangkit berdiri sambil tertawa-tawa mengejek.
Talibu marah sekali, akan tetapi ia tidak mempedulikan Siauw-bin Lo-mo, sebaliknya ia menghadapi Bouw Lek Couwsu dan berkata lagi suaranya keras dan marah. "Bouw Lek
Couwsu, engkau-lah tuan rumah di sini, maka aku tidak sudi melayani yang lain. Kau mau membebaskan lima orang wanita ini ataukah tidak?"
Bouw Lek Couwsu tertawa dan sekali tangannya meraih, tiga orang wanita muda yang lain sudah ia tarik keras-keras ke arahnya. Tiga orang gadis itu menjerit lirih dan ketika dua tangan Bouw Lek Couwsu bergerak, seorang telah jatuh di atas pangkuannya, yang dua orang lagi ia peluk pinggang mereka dan ia dudukkan di kanan kirinya!
"Pangeran Talibu, sebagai seorang tamu agung, engkau tak tahu sopan me-nolak hidanganku untuk menikmati wa-nita-wanita ini. Sebagai seorang tawanan, engkau sombong dan berani menjual la-gak. Ha-ha-ha, apa kaukira pinceng tidak tahu isi hatimu" Engkau pura-pura ber-sikap baik dan bersahabat, padahal di dalam hatimu engkau benci kepada kami. Ujian dengan dara-dara ini membuka rahasiamu. Coba katakan, maukah engkau menulis surat kepada ibumu Ratu Khi-tan" Engkau belum memperlihatkan jasa sedikitpun juga, sudah hendak bersikap sebagai raja di sini. Ha-ha-ha! Coba jawab, maukah engkau menulis surat itu sekarang juga?"
"Hi-hi-hik, Bouw Lek Couwsu seperti anak-anak saja. Tentu saja dia tidak mau! Ketika tadi aku menyebut nama Pak-sin-ong, apakah Couwsu tidak me-lihat perubahan mukanya" Sudah kuduga, Pangeran cilik ini takkan menurut kalau tidak dipaksa." kata Bu-tek Siu-lam sam-bil membelai-belai tubuh dua orang dara yang dirangkulnya secara tak tahu malu.
"Couwsu, serahkan saja bocah ini ke-padaku. Mau dia mati" Atau setengah mati" Atau menangkapnya saja" Tanggung dalam berapa jurus ia akan bertekuk lutut di depanmu." kata pula Siauw-bin Lo-mo yang rupa-rupanya amat bernafsu untuk mencari muka terhadap pimpinan bangsa Hsi-hsia ini dan untuk menebus kesalahannya telah bentrok dengan para hwesio jubah merah.
Bouw Lek Couwsu hanya tersenyum lebar, matanya memandang tajam ke arah wajah
Pangeran Talibu. Melihat betapa Talibu memandang Bu-tek Siu-lam yang membelai-belai dan meremas-remas tubuh dua orang gadis yang meng-gigil pucat dengan pandang mata penuh kebencian, tiba-tiba ia mendorong tiga orang gadis yang dirangkulnya sambil membentak,
"Hayo kalian bertiga buka pakaian!"
Tiga orang gadis itu terkejut lalu menjatuhkan diri berlutut. Seorang di antara mereka berkata dengan suara gemetar, "Ampunkan kami.... ampunkan kami...." sedangkan yang dua orang lain-nya menangis.
" Masih belum memenuhi perintah?" Bouw Lek Couwsu membentak lalu me-ngerling ke arah Talibu yang memandang ke arah tiga orang wanita itu dengan wajah berubah merah,
kemudian ia ter-tawa, kedua lengannya yang besar ber-bulu menyambar ke depan, sepuluh jari tangannya mencengkeram dan merenggut. Terdengar suara "brett, brett, brett....!" di antara jerit lirih dan seluruh pakaian tiga orang gadis itu robek semua sehing-ga dalam sekejap mata mereka bertiga telah telanjang bulat. Mereka hanya da-pat menangis dan berlutut, berusaha menutupi dada dengan kedua lengan.
Bouw Lek Couwsu tertawa bergelak, memandang wajah Talibu yang menjadi pucat,
kemudian dengan sengaja ia me-raih dan merenggut tubuh tiga orang gadis yang sudah tak berpakaian lagi itu ke arahnya, dipangku dan dirangkul se-perti tadi! Bu-tek Siu-lam tertawa ha-ha-hi-hi, dan terdengar pula suara pakai-an cabik-cabik diseling jerit tangis dua orang gadis dalam pelukannya yang da-lam waktu beberapa detik sudah telan-jang pula seperti teman-teman senasib mereka.
"Ha-ha-ha, bagaimana Pangeran Tali-bu" Maukah kau sekarang juga menulis surat itu" Kalau Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 327
kau mau, biarlah pin-ceng mengalah dan rela memberikan tiga dara jelita ini kepadamu!"
Bouw Lek Couwsu berkata penuh ejekan.
Pangeran Talibu maklum bahwa dia diuji secara hebat. Bouw Lek Couwsu sengaja melakukan semua itu untuk mengujinya, untuk melihat apakah dia dapat diajak bersekutu dan apakah dia dapat dipercaya. Akan tetapi darahnya bergolak mendidih saking marahnya. Ia maklum juga bahwa apa pun yang ter-jadi, sampai mati tak mungkin ia mau bersekutu dengan manusia-manusia ma-cam ini, dan bahwa ibunya pun tak mungkin sudi bersekutu dengan bangsa Hsi-hsia untuk memusuhi Kerajaan Sung. Maka dengan kemarahan meluap ia lalu mencabut pedangnya dan membentak nyaring.
"Jahanam berkedok pendeta! Siapa sudi mendengar omonganmu" Orang-orang macam kalian patut dibasmi!" Ia menyer-bu ke depan untuk menyerang Bouw Lek Couwsu. Akan tetapi tiba-tiba sebuah lengan kurus menyelonong dari samping, menyambar ke arah pergelangan tangan-nya yang memegang pedang. Sambaran tangan itu cepat sekali dan mendatang-kan angin pukulan yang kuat. Talibu kaget, cepat menarik kembali pedangnya dan melompat ke samping sambil mem-balikkan tubuhnya. Kiranya Siauw-bin Lo-mo sudah berdiri di
depannya, tertawa--tawa dan berkata.
"Couwsu, apakah kau ingin dia mam-pus?"
"Jangan, cukup asal kautangkap dia Lo-mo."
"Kaulihat aku menangkap tikus ini!" Siauw-bin Lo-mo terkekeh dan tubuhnya menubruk maju. Pangeran Talibu tidak gentar biarpun ia dapat menduga akan kelihaian lawannya.
Pedangnya berkele-bat, memapaki datangnya tubuh lawan dengan tusukan kilat. Namun tubuh lawan yang kurus kering itu tiba-tiba meliuk ke kanan dan tangan yang berkuku panjang menyambar tangan kanannya, Talibu ka-get dan cepat menarik pedang memutar pergelangan tangannya sehingga pedang-nya berkelebat ke kanan menyambar leher Siauw-bin Lo-mo. Kakek ini tertawa menyembunyikan kekagetannya dan menundukkan kepala
miringkan tubuh membiarkan pedang lewat di dekat leher. Diam-diam ia harus mengakui kelihaian Pangeran Khitan ini dan karena ia mak-lum bahwa Ratu Khitan memiliki
kepan-daian tinggi, apalagi setelah menyaksikan gerakan Talibu, kakek ini tidak berani main-main lagi.
Kini tubuh Siauw-bin Lo-mo bergerak cepat dan aneh. Suara ketawanya tak pernah berhenti sehingga Talibu menjadi bingung. Ia melihat tubuh kakek itu berubah menjadi bayangan yang berkelebat-an, seolah-olah ia dikeroyok empat lima orang lawan yang kesemuanya tertawa terkekeh-kekeh. Namun ia tidak menjadi gentar, bahkan segera memutar pedangnya,
menyambarkan pedang ke arah bayangan yang berkelebatan. Pedangnya mengeluarkan suara berdesingan dan berubah menjadi sinar merah yang bergulung-gulung menyilaukan mata.
Lima orang gadis yang tak berpakaian lagi itu kini agak terbebas dari siksaan karena Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam menonton pertandingan sehingga untuk sementara seperti melupakan mereka. Mereka tak berani berkutik, bahkan ikut pula menonton dengan jantung berdebar-debar, mengharap kemenangan bagi Si Pemuda Tampan yang mereka tahu
bertanding karena membela mereka.
Namun Siauw-bin Lo-mo adalah seorang lawan yang jauh terlalu lihai bagi Talibu yang belum berpengalaman. Memang harus diakui bahwa ilmu pedang Talibu amat cepat dan tangkas dan bahwa jarang dapat ditemui seorang pemuda, apalagi pemuda Khitan, sepandai dia mainkan pedang. Namun menghadapi Siauw-bin Lo-mo, ia hanya mampu bertahan selama dua puluh jurus saja. Ketika sebuah bacokannya dapat terelakkan lawan tiba-tiba pada saat pedangnya kembali menusuk bayangan yang berada di depannya, bayangan itu lenyap dan dari sebelah kanannya, bayangan yang lain telah berhasil mengetuk pergelangan tangan kanannya. Tangannya seketika menjadi lumpuh saking nyerinya dan pedangnya terlepas, jatuh berkerontangan di atas lantai. Talibu cepat membuang diri bergulingan di lantai menjauhi lawan.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 328
Lima orang gadis itu seperti diko-mando saja menjerit. Jeritan ini mence-lakakan mereka karena seolah-olah me-nyadarkan Bouw Lek Couwsu dan Bu--tek Siu-lam bahwa mereka berdua tadi melupakan korban-korban mereka. Kini mereka sambil tertawa-tawa membelai dan menciumi mereka sehingga lima orang gadis itu kembali merintih-rintih penuh kengerian.
Mendengar jeritan dan rintihan me-reka, semangat Talibu bangkit kembali. Ia lupa akan urusan lain.
Satu-satunya yang memenuhi perasaannya hanya ber-usaha membasmi orang-orang jahat ini dan membebaskan lima orang gadis yang bernasib malang dan terancam mala petaka itu. Ia berseru keras sekali dan tiba-tiba tubuhnya menerjang maju de-ngan tangan kosong. Mula-mula kaki tangan Talibu bergerak lambat sambil maju karena tadi ia menggulingkan tubuh sampai jauh. Dengan geseran-geseran kaki lambat ia maju menghampiri Siauw-bin Lo-mo yang tertawa terkekeh-kekeh. Gerakan pemuda itu aneh sekali dan belum pernah ia melihat gerakan macam ini. Siauw-bin Lo-mo yang dengan mudah dapat menangkap pemuda ini
ketika tadi mainkan pedang, tentu saja sekarang memandang rendah, apalagi gerakan pemuda itu sama sekali tidak memba-yangkan kelihaian dan garis pertahanan-nya lemah sekali. Ia yakin dalam se-gebrakan akan dapat merobohkan dan menangkap pemuda ini.
Makin dekat, gerakan Talibu makin cepat dan kini gerakannya luar biasa sekali karena kakinya bergerak membawa tubuhnya maju sambil berputaran! Siauw-bin Lo-mo yang tadi terkekeh, kini mulai menyangsikan kewarasan otak Pangeran Mahkota Khitan ini. Mana ada ilmu silat berputar-putar seperti itu" Menghadapi pengeroyokan banyak orang sambil me-mainkan pedang, memang ada gerakan memutar-mutar tubuh ini, akan tetapi kalau hanya berhadapan dengan seorang lawan, apalagi bertangan kosong, apa gunanya berputaran" Yang pasti membuat kepala menjadi pening sendiri! Ia makin memandang rendah dan setelah tubuh yang berputaran itu datang dekat, ia ce-pat menerjang maju dan dalam sekali gerak ia telah menotok tiga jalan darah di tubuh lawan, disusul cengkeraman untuk menangkap! Hebat bukan main serangan ini dan agaknya sukarlah bagi seorang muda seperti Talibu untuk dapat menghindarkan diri.
Akan tetapi, hal yang amat aneh terjadi. Semua totokan Siauw-bin Lo-mo meleset, juga cengkeramannya, bah-kan dari dalam putaran itu datang me-nyambar pukulan tangan kanan Talibu yang mengenai dadanya, membuat tubuh Siauw-bin Lo-mo terguling roboh!
Lima orang gadis itu sejenak melupa-kan kesengsaraan tubuh mereka yang dipermainkan Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam ketika melihat bahwa pemu-da pujaan dan penolong mereka dapat merobohkan Siauw-bin Lo-mo. Akan te-tapi alangkah kecewa hati mereka ketika melihat kakek itu meloncat bangun lagi sambil berseru marah, namun mulutnya masih terkekeh ketawa. Kembali mereka berlima harus menderita di bawah peng-hinaan jari-jari tangan yang kurang ajar.
Siauw-bin Lo-mo kini berhati-hati sekali. Kembali ia teringat bahwa Ratu Khitan memiliki ilmu kesaktian yang tinggi. Maka ia dapat menduga bahwa ilmu silat tangan kosong Pangeran ini lihai bukan main, malah jauh lebih lihai daripada ilmu pedangnya. Tanpa pedang pemuda ini malah merupakan lawan yang lebih tangguh! Dugaannya memang tepat. Setelah
kehilangan pedangnya, tanpa ia sadari sendiri, Talibu menjadi lebih berbahaya. Ia kini mainkan Ilmu Cap-sha- sin-kun (Tiga Belas Pukulan Sakti) yang biarpun belum dapat ia mainkan dengan sempurna, namun kesaktian ilmu ini ternyata dapat merobohkan Siauw-bin Lo-mo. Ketika berputaran tadi, Talibu telah mainkan jurus dari Cap-sha-sin-kun yang disebut Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Menyambarkan Kilat). Dalam berputaran, semua geraknya mengandung daya ta-han yang kokoh kuat, dengan gerakan yang selalu dapat mengelak setiap pukul-an dan serangan lawan. Tidak menghe-rankan apabila totokan-totokan dan
ceng-keraman tangan Siauw-bin Lo-mo meleset semua. Kemudian, sesuai dengan nama jurus itu, dari dalam pusaran tubuh yang seperti gasing itu menyambar pukulan kilat yang tak Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 329
tersangka-sangka muncul-nya sehingga seorang tokoh besar seperti Siauw-bin Lo-mo sampai kena dirobohkan.
Karena Siauw-bin Lo-mo bersikap hati-hati dan terutama sekali karena latihan Talibu belum masak benar, maka kini setelah Siauw-bin Lo-mo maju lagi, jurus Soan-hong-ci-tian yang dipergunakan Talibu tidak berhasil. Ketika Talibu me-lancarkan beberapa pukulan, tangannya hampir saja dapat ditangkap lawan. Mu-lailah pemuda ini terdesak. Tubuhnya masih berputaran, namun kini gerakannya berputar itu sambil mundur untuk menghindarkan pukulan-pukulan Siauw-bin Lo-mo yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang sehingga membobolkan daya pertahanan jurusnya yang ampuh. Ia maklum bahwa sekali kena pukul, ia tentu akan roboh.
Siauw-bin Lo-mo mulai tertawa-tawa lagi melihat pemuda lawannya mundur-mundur dan ia terus mendesak dengan pukulan-pukulan yang kuat untuk meng-hancurkan jurus pertahanan lawan dan mencari lowongan merobohkan Pangeran itu. Talibu sudah mulai lelah dan pening.
Jurus Soan-hong-ci-tian sesungguhnya tidak boleh dimainkan terlalu lama ka-rena hal ini akan melelahkan diri sendiri. Biasanya, dimainkan sebentar saja sudah dapat merobohkan lawan. Akan tetapi kali ini tidak ada hasilnya. Kakek kurus itu makin mendesak dan pada saat per-putaran tubuh Talibu berkurang kecepatannya, sambil tertawa-tawa Siauw--bin Lo-mo mencengkeram kedua pundak Talibu!
Pangeran Khitan itu menggigit bibir, membiarkan pundaknya dicengkeram jari-jari kurus yang kuat seperti baja, akan tetapi cepat sekali kedua kakinya ber-gerak menendang bergantian, pertama ke arah anggauta rahasia lawan kemudian disusul tendangan ke lutut kanan.
"Aihhhh....!" Siauw-bin Lo-mo sampai berseru keras saking kagetnya. Kembali ia hampir menjadi korban kelihaian ilmu silat aneh dari Pangeran ini. Tendangan pertama dapat ia elakkan sehingga hanya menyerempet paha kirinya, akan tetapi tendangan susulan biarpun ia elakkan masih mengenai tulang kering kakinya, membuat ia mengaduh dan meloncat mundur terpincang-pincang!
"Hi-hi-hik, Lo-mo dapat dipermainkan anak kecil. Sungguh lucu!" Bu-tek Siu-lam tertawa mengejek.
Mulut Siauw-bin Lo-mo masih tertawa ha-ha-he-he, akan tetapi pandang mata-nya yang ditujukan ke arah Talibu me-nyinarkan pandangan maut. "Kaulihat saja, Siu-lam, kaulihat kuhancurkan Pangeran cilik ini. Ditambah seorang engkau lagi, aku tetap akan dapat menghancurkannya!"
Melihat sinar mata dari mata kakek itu, Bouw Lek Couwsu cepat berkata. "Ingat, Lo-mo. Aku tidak menghendaki dia mati!"
Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk. Tentu ia ingat akan hal itu. Kini ia me-langkah maju, perlahan-lahan seperti seekor singa menghampiri calon mangsa-nya. Talibu yang merasa betapa kedua pundaknya berdenyut-denyut dan mem-buat kedua lengannya hampir lumpuh menahan nyeri, sudah siap menanti pe-nyerbuannya. Ia maklum bahwa dia bu-kanlah lawan kakek kurus itu dan bahwa ia harus nekat dan melawan mati-matian untuk mempertaruhkan namanya sebagai putera Ratu Khitan yang terkenal. Apa-lagi setelah teringat bahwa dia adalah putera kandung Ratu Khitan dan pende-kar sakti Suling Emas, keangkuhannya timbul dan ia akan melawan terus sam-pai titik darah terakhir! Maka begitu lawannya sudah dekat, Talibu menggigit gigi menghilangkan semua rasa nyeri dan melompat maju, menerjang dengan ketangkasannya yang mengagumkan.
Kini Talibu menekuk sebelah lututnya, tangan kiri dikepal menghantam pusar, tangan kanan menghantam disusul ceng-keraman ke arah anggauta rahasia lawan. Serangan hebat ini tak mungkin dielakkan lagi, karena pada saat itu tubuh Siauw-bin Lo-mo sudah meloncat maju.
Kakek itu tidak gentar melihat serangan aneh ini. Ia cepat menggerakkan tangannya, Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 330
menangkis tangan kanan Talibu dan me-nangkap pergelangan tangan kiri lawan. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba kedua tangan pemuda itu ter-buka jari-jarinya dan memapaki tangkis-annya dengan totokan-totokan ke arah pergelangan tangan dan ke arah telapak tangannya yang hendak menangkap. Inilah hebat dan berbahaya! Kakek itu secara tergesa-gesa merobah gerakannya, mem-batalkan niatnya menangkis dan menang-kap, akan tetapi agaknya pemuda itu pun sudah menduga akan hal ini, atau me-mang jurus ilmu silatnya ini sudah diatur sedemikian rupa sehingga semua perhi-tungannya tidak meleset. Kiranya totok-an-totokan itu pun tidak dilanjutkan, di tengah jalan membalik dan menotok ke-dua lutut Siauw-bin Lo-mo. Untuk ke-perluan inilah agaknya maka pemuda itu memasang kuda-kuda sambil berlutut sebelah kaki!
"Haya....!" Siauw-bin Lo-mo berteriak kaget. Ia dapat menyelamatkan kaki kanannya akan tetapi kaki kirinya tetap saja kena ditotok lututnya sehingga lumpuh seketika. Baiknya ia amat lihai se-hingga dengan sebelah kaki ia dapat meloncat mundur sampai tiga meter jauhnya. Di dalam hati ia harus meng-akui bahwa selama hidupnya baru sekali ini ia bertemu jurus-jurus ilmu silat yang amat luar biasa. Tiga kali pemuda itu menggunakan jurus-jurus itu, dan tiga kali pula ia "termakan." Kalau pemuda ini lebih mahir dan menyempurnakan ilmu itu selama lima sampai sepuluh tahun saja, tentu ia akan terpukul roboh. Kekagetannya mendatangkan kemarahan yang berkobar.
Talibu yang melihat bahwa jurusnya berhasil melukai kaki kiri lawan, menjadi besar hati dan menyerbu dengan hati girang. Dengan sebelah kaki tertotok lumpuh, kelihaian Siauw-bin Lo-mo tidak banyak berkurang. Inilah kesalahan Talibu yang mengira bahwa lawannya sudah tak berdaya lalu maju menyerbu dengan ter-jangan ganas, tidak lagi menggunakan jurus-jurus Cap-sha-sin-kun yang sama sekali belum dikenal lawan. Kini ia me-nerjang dengan pukulan-pukulan keras susul-menyusul. Akan tetapi tiba-tiba Siauw-bin Lo-mo tertawa, tubuhnya me-rendah dan sebelum Talibu dapat men-cegahnya, sebuah tamparan mengenai
"Plakk....! Aduuuuuhhh....!" Tubuh Talibu terguling, lambungnya sakit sekali rasanya, seakan-akan isi perutnya diba-kar. Ia berusaha meloncat bangun akan tetapi kembali tangan Siauw-bin Lo-mo menampar yang tepat mengenai sebelah kanan lehernya. Seketika pandang mata-nya berkunang-kunang, kepalanya pening, kemudian pandang matanya menjadi me-rah gelap. Telinganya masih dapat me-nangkap suara Bouw Lek Couwsu.
"Lo-mo, jangan bunuh dia....!"
" Jangan khawatir, Couwsu!" jawab Siauw-bin Lo-mo yang kembali menam-par, kali ini mengenai tengkuk Talibu. Pangeran ini masih mendengar suara ketawa lawannya yang amat menusuk perasaan sebelum tamparan itu datang dan dunia menjadi hitam di sekelilingnya.
*** Kota raja Kerajaan Sung kelihatan aman tenteram. Para pedagang dan pe-lancong dari luar kota memenuhi kota raja. Rumah-rumah para pembesar dan bangsawan selalu kelihatan gembira dan megah. Pesta-pesta diramaikan berma-cam kesenian silih berganti diadakan di halaman gedung-gedung yang luas. Di setiap taman bunga yang terawat indah selalu dihias arca-arca batu dengan ukir-ukiran yang amat indah dan semua ru-angan tamu dalam gedung-gedung itu penuh lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan hias melukiskan sajak-sajak indah.
Banyak pemuda-pemuda dengan pakaian pelajar berjalan hilir-mudik memenuhi jalan-jalan raya. Pendeknya sepintas lalu melihat keadaan kota raja ini orang akan men-dapat kesan bahwa penduduknya menik-mati hidup aman tenteram dan bersuka ria, berlumba dalam keindahan dan ke-majuan seni budaya.
Memang demikianlah yang dikehendaki Kaisar. Pada waktu itu, Kaisar Kerajaan Sung lebih mengutamakan kesenangan untuk diri pribadi dan untuk semua rakyatnya, lebih condong untuk memajukan kebudayaan, sedapat mungkin menjauhi perang karena Kaisar pribadi tidak suka akan kekerasan. Memang niatnya baik sekali, akan tetapi sayangnya Sang Kai-sar lupa bahwa untuk menjamin semua keamanan dan ketenteraman ini amatlah diperlukan penjagaan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 331
dan untuk menjamin penjagaan yang dapat diandalkan mutlak diperlukan bala tentara yang kuat! Apa-lagi kalau diingat bahwa Kerajaan Sung dikelilingi bangsa lain yang selalu meng-incar untuk mencaploknya.
Para bangsawan yang kaya raya itu seakan berlumba mengadakan pesta ter-buka di mana siapa saja boleh datang menikmati hidangan dan menonton per-tunjukan kesenian. Mereka berlumba me-lakukan derma dan perbuatan baik, kare-na Kaisar menganjurkan perbuatan amal dan kebaikan. Hanya mereka sendirilah yang tahu bahwa amal ini bukan keluar dari lubuk hati sendiri, melainkan merupakan siasat untuk membedaki muka mereka yang hitam, oleh korupsi agar menjadi putih bersih. Dan memang siasat seperti ini banyak berhasil. Bukan saja atasan dan Kaisar senang dengan keder-mawanan mereka, juga rakyat kecil yang diberi kesempatan ikut berpesta dan makan serta menonton gratis itu banyak yang merasa bersyukur atas kedermawan-an pembesar-pembesar dan bangsawan--bangsawan kota raja. Bahkan
pandang mata orang-orang kang-ouw yang biasa-nya tajam dapat pula dikelabuhi karena terlampau sering mereka ini minum arak wangi dan hidangan-hidangan lezat.
Pagi hari itu, pagi hari yang cerah, sebuah pesta diadakan di sebuah taman bunga gedung Pangeran Kiang. Gedung besar dengan taman bunga yang luas dan indah ini adalah sebuah di antara ge-dung-gedung besar yang paling terkenal di kota raja. Siapakah yang tidak menge-nal keluarga Kiang ini" Bukan Pangeran Kiang yang kaya raya ini yang banyak dikenal orang, melainkan puteranya, yaitu Kiang-kongcu (Tuan Muda Kiang), sebutan untuk Kiang Liong. Semua orang menge-nal Kiang-kongcu. Orang-orang gagah di dunia kang-ouw mengenalnya karena se-pak terjangnya yang gagah dan lihai, apalagi karena dia adalah murid pendekar sakti Suling Emas! Penjahat-penjahat mengenalnya karena takut. Penjilat-penji-lat mengenalnya karena tangannya selalu terbuka. Pemuda-pemuda mengenalnya karena ia ramah dan pandai bergaul. Bahkan wanita-wanita mengenalnya kare-na ketampanannya dan sifatnya yang romantis sehingga banyak yang jatuh hati kepadanya!
Dan pagi hari itu, pesta meriah di-adakan di taman bunga rumah keluarga Pangeran Kiang ini!
Untuk keperluan apa" Kiang-kongcu tidak tampak berada di rumah. Juga Pangeran Kiang dan iste-rinya yang sudah berusia lanjut dan tidak bernafsu lagi untuk main pesta-pestaan, tidak hadir. Sebagai wakil tuan rumah adalah seorang pemuda yang pakaiannya mewah dan indah dan memang pesta ini diadakan untuk menyambut kedatangan-nya di gedung itu. Dia
bernama Suma Kiat dan kepada para tamu ia diperkenalkan oleh Pangeran Kiang sebagai anak keponakan Nyonya Kiang yang baru da-tang berkunjung setelah berpisah belasan tahun.
Padahal sesungguhnya baru per-tama kali itu selama hidupnya pemuda ini muncul dan mengaku sebagai putera tunggal mendiang Suma Hoan, kakak dari Nyonya Kiang. Muncul begitu saja, akan tetapi isterinya, yaitu Nyonya Kiang, tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda yang mengaku bernama Suma Kiat ini benar-benar putera mendiang kakaknya, karena
mempunyai persamaan wajah yang tidak dapat diragukan lagi.
"Engkau benar, keponakanku...., engkau tentu putera mendiang Kakakku...., ah, melihatmu seperti melihat dia dahulu....!" Demikianlah Suma Ceng, isteri Pangeran Kiang, merangkul dan menangis. Dan demikianlah, pesta meriah di taman bunga diadakan untuk menghormat ke-datangan pemuda ini dan untuk memperkenalkannya kepada semua orang. Seperti
biasanya, jika ada kesempatan baik se-perti ini, banyak pula para anggauta kai--pang (perkumpulan pengemis) yang datang dan mereka duduk berkelompok menyen-diri,
menikmati hidangan lezat dan arak wangi. Banyak di antara para tokoh kai--pang ini adalah kenalan baik Kiang-kong-cu karena mereka ini sesungguhnya bu-kanlah orang-orang jembel biasa, melain-kan ahli-ahli silat yang berkeliaran di dunia kang-ouw sebagai pengemis.
Bahkan dalam pesta di kebun kembang Pangeran Kiang ini, banyak orang-orang aneh
sa-habat Kiang-kongcu muncul sehingga tidak mengherankan apabila tempat pesta itu didatangi orang-orang yang tidak se-mestinya ikut berpesta, yaitu beberapa orang hwesio gundul dan tosu-tosu per-tapa! Semua orang aneh ini datang hanya karena pesta diadakan di Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 332
kebun Kiang-kongcu. Dan bukan hal yang aneh lagi kalau ada pula beberapa orang wanita cantik muncul dalam pesta! Bukan wanita-wa-nita cantik sembarangan, melainkan ahli--ahli silat pula yang menjadi sahabat Kiang-kongcu. Dua orang enci adik Chi, dan tiga orang murid perguruan Ang-lian (Teratai Merah) yang amat terkenal di kota raja. Lima orang wanita ini ber-usia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, berpakaian ringkas, tampak gagah namun tidak melenyapkan kecantikan mereka. Semua sahabat wanita Kiang-kongcu sudah dapat
dipastikan cantik-cantik! Tentu saja mereka berlima me-milih sebuah meja dan menjadi sekelom-pok, akan tetapi alangkah kecewa hati mereka ketika mendapat kenyataan bah-wa Kiang-kongcu tidak hadir! Sebetulnya mereka hendak mempergunakan kesem-patan ini untuk bertemu dan bercakap--cakap dengan orang yang selama ini menjadi buah mimpi, ingin melepaskan rindu. Kekecewaan mereka hanya seben-tar karena sebagai pengganti Kiang-kong-cu, di situ terdapat Suma-kongcu atau Suma Kiat yang ternyata dalam hal ke-ramahan dan kepandaian bermanis muka dan memikat hati wanita tidak kalah lihai daripada Kiang-kongcu! Suma-kong-cu ini segera duduk di meja kelompok gadis-gadis ini dan terjadilah percakapan yang asyik dan gembira. Apalagi ketika lima orang gadis itu mendengar bahwa Kongcu ini juga seorang ahli silat yang pandai sekali. Ternganga mulut mereka menyaksikan ketika Suma Kiat meng-genggam cawan arak, mengerahkan sin-kang dan membuat arak di dalam cawan itu panas beruap dan mendidih! Biarpun wajah Suma Kiat tidak setampan Kiang-kongcu, namun harus diakui bahwa dia termasuk seorang pemuda yang berlagak dan tidak berwajah buruk.
Adapun delapan orang pengemis yang menduduki sekitar meja di sudut adalah para pengemis yang tergolong gagah perkasa. Pengemis golongan sesat tidak berniat mendekati Kiang-kongcu yang mereka anggap sebagai seorang musuh. Bukankah Kiang-kongcu murid Suling Emas yang menjadi musuh besar pengemis golongan sesat" Delapan orang pe-ngemis yang kini berkumpul di situ ada-lah pengemis-pengemis golongan baju butut, bahkan di antara mereka terdapat seorang pengemis muda yang memegang sebuah topi butut berhias kembang.
Pengemis muda belia yang tampan dan gagah. Dia ini bukan lain adalah Yu Siang Ki, atau Yu-pangcu (Ketua Yu) yang dihormati tu juh orang pengemis lainnya karena dikenal sebagai ketua baru perkumpulan Khong-sim Kai-pang. Yu Siang Ki yang datang bersama Kwi Lan di kota raja segera berpisah dari dara yang dianggap sebagai adik angkatnya ini, kemudian ia menemui tokoh-tokoh pengemis di kota raja. Ketika mendengar bahwa Ketua Khong-skn Kaipang ini berniat mencari Suling Emas, para tokoh pengemis segera berunding.
"Yu-pangcu, pendekar sakti Suling Emas adalah seorang sahabat dan semen-jak dahulu kami menghormat dan men-cintanya. Akan tetapi sayang sekali, tak seorang pun dapat mengatakan di mana dapat bertemu dengan pendekar itu. Dia datang dan pergi seperti dewa, tak per-nah meninggalkan jejak. Bahkan sudah bertahun-tahun tidak pernah orang me-lihatnya. Akan tetapi, yang sudah nyata di kota raja ini terdapat seorang murid-nya yang lihai." kata Pek-tung Lo-kai (Pengemis Tongkat Putih).
"Apakah Lo-kai maksudkan Kiang--kongcu?"
"Ha-ha, nama besar Kiang-kongcu sudah terkenal sampai jauh."
"Bukan hanya mengenal namanya, Lo-kai malah secara kebetulan sekali saya sudah mendapat kehormatan berjumpa dengan Kiang-kongcu."
"Ah, begitukah" Kebetulan sekali. Kami mendengar bahwa di taman bunga Pangeran Kiang akan mengadakan pesta umum. Marilah Yu-pangcu ikut bersama kami hadir di pesta itu.
Kalau ada jodoh bertemu Kiang-kongcu, agaknya dia akan dapat menerangkan di mana Pangcu da-pat bertemu dengan Suling Emas."
Demikianlah, pagi hari itu, Yu Siang Ki hadir bersama tujuh orang tokoh pe-ngemis kota raja.
Akan tetapi alangkah kecewa hatinya ketika ia tidak melihat Kiang Liong dan mendengar bahwa pesta itu sengaja diadakan oleh keluarga Pangeran Kiang untuk menyambut
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 333
keda-tangan seorang keponakan mereka yang bersama Suma Kiat. Makin besar rasa kecewa dan ketidaksenangan hati Yu Siang Ki ketika ia menyaksikan lagak Suma-kongcu itu, yang duduk menjamu kelompok wanita-wanita cantik yang genit-genit dan mendemonstrasikan ke-pandaiannya, seperti main sulap membuat arak dalam cawan bergolak, melihat pemuda berpakaian indah itu petantang-petenteng dengan sombongnya ketika dipuji-puji tamu.
"Hemmm, dia amat sombong. Akan tetapi harus diakui bahwa lwee-kangnya hebat sekali."
bisik pengemis di sebelah kiri Siang Ki. Melihat kepandaiannya, ia memang pantas menjadi saudara misan Kiang-kongcu, akan tetapi melihat ke-sombongannya, sungguh jauh
bedanya...." Siang Ki mengangguk-angguk. "Kepan-daiannya hebat, dan mungkin kesombong-annya itu karena ia masih muda dan karena berhadapan dengan wanita-wa-nita."
Pek-tung Lo-kai yang duduk di sebe-lah kanan Siang Ki, setelah melirik ke kanan kiri, berbisik. "Hemmm.... sungguh mengherankan sekali. Begini sedikit orang-orang gagah yang sepatutnya hadir mengingat bahwa semua orang gagah menjadi sahabat Kiang-kongcu, sebaliknya banyak hadir orang-orang tergolong busuk dan banyak pembesar-pembesar penjilat dan perwira-perwira penting. Heran se-kali, orang macam apakah Suma Kong-cu ini?"
"Lo-kai, bukan urusan kita, tidak per-lu kita ambil pusing. Kalau sampai nanti Kiang-kongcu tidak muncul, sebaiknya kita mohon diri dan meninggalkan tempat ini saja." Berkata demikian Siang Ki mengangkat cawan arak dan hendak di-minumnya.
Akan tetapi dia menunda niatnya minum arak ketika pada saat itu terdengar suara nyaring suara Kwi Lan! Gadis itu berseru dengan nyaring.
"Suheng....! Mengapa kau berada di sini....?"
Hanya sebentar Siang Ki menunda minumnya. Ia tersenyum, menenggak araknya dan berbisik kepada Pek-tung Lo-kai di sebelah kanannya. "Wah, tentu akan terjadi keributan...."
Bagaimanakah tahu-tahu Kwi Lan Si Mutiara Hitam muncul di tempat pesta ini" Telah kita ketahui bahwa dara per-kasa ini melakukan perjalanan bersama Yu Siang Ki setelah pemuda Ketua Khong-sim Kai-pang ini berjanji akan menganggapnya sebagai seorang adik angkat.
Biarpun sikap Kwi Lan tidak berubah dan masih gembira dan jenaka seperti biasa, namun sikap Siang Ki ter-hadapnya sudah berubah. Pemuda ini menekan hatinya dan memaksa perasaan-nya untuk memandang gadis ini sebagai adik angkat, namun ia tak pernah ber-hasil sehingga sepanjang perjalanan Siang Ki nampak murung dan berduka. Akhir-nya mereka tiba di kota raja dan di sini mereka berpisah. Siang Ki hendak menemui tokoh-tokoh pengemis untuk mencari keterangan tentang Suling Emas, sedangkan Kwi Lan mencari keterangan tentang Suma Kiat seperti yang dipesan-kan gurunya. Diam-diam ia menjadi jeng-kel sekali.
Di dalam kota besar seperti ini, di mana terdapat puluhan orang, bagaimana ia dapat menemukan seorang Suma Kiat"
Selagi ia termenung di sore hari itu, duduk di bangku dalam ruangan depan kamarnya, ia mendengar suara ke-tawa cekikikan dan dua orang, gadis yang berpakaian ringkas berwajah cantik mema-suki ruangan itu dari depan. Melihat cara mereka berpakaian, pedang yang tergan-tung di pinggang, dan langkah kaki me-reka yang ringan, Kwi Lan dapat mendu-ga bahwa mereka adalah dua orang gadis ahli silat. Ia tertarik dan dari sudut matanya ia mengerling. Hatinya sudah tidak senang melihat sikap kedua orang gadis itu yang genit, akan tetapi karena mereka itu tidak ada hubungan dengan dirinya, ia pun diam saja dan hanya memperhatikan ucapan-ucapan mereka ketika mereka lewat di ruangan itu me-nuju ke kamar sebelah belakang.
"Wah.... sayang sekali kalau dia tidak ada, Cici. Kalau dia tidak ada, untuk apa kita datang menghadiri pesta itu?" kata yang bertubuh ramping dengan sanggul rambut tinggi sambil menghela napas kecewa.
"Ihh, yang kaupikirkan dia saja, Moi--moi! Jangan khawatir, biarpun dia tidak ada, namun ada Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 334
penggantinya. Aku men-dengar bahwa keponakan Pangeran Kiang itu pun lihai dan tampan, hi-hik!"
"Hemm, aku sangsi apakah ada yang lebih hebat daripada dia. Siapakah nama-nya, Cici?"
"Entah, hanya aku mendengar bahwa dia disebut Suma-kongcu begitu...."
Suara percakapan mereka lenyap di balik pintu kamar mereka di sebelah belakang. Akan tetapi Kwi Lan sudah mendengar cukup banyak. Nama Suma--kongcu membangkitkan
perhatiannya. Bukan tidak boleh jadi bahwa Suma-kongcu yang dibicarakan dua orang gadis genit ini, adalah Suma Kiat, suhengnya yang sedang ia cari-cari. Demikianlah, pada keesokan harinya, ketika pagi-pagi dua orang gadis itu pergi meninggalkan losmen, diam-diam ia membayangi me-reka. Mula-mula ia meragu ketika dua orang gadis itu memasuki pekarangan gedung besar Pangeran Kiang. Akan tetapi ketika melihat bahwa di dalam ta-man di sebelah kiri rumah gedung itu terdapat banyak tamu bermacam-macam, bahkan ada yang berpakaian pengemis, setelah meragu sampai sejam lebih di luar, akhirnya ia berjalan masuk pula.
"Suheng....! Mengapa kau berada di sini....?" tegurnya ketika ia melihat Suma Kiat duduk menghadapi lima orang wanita cantik, dan di antaranya adalah gadis-gadis yang ia lihat di losmen. Ada rasa girang terkandung dalam seruan Kwi Lan karena hatinya lega bahwa akhirnya ia dapat menemukan suhengnya seperti yang diperintahkan gurunya.
Seruan yang nyaring ini membuat banyak tamu menoleh dan memandang. Kecuali Yu Siang Ki, tak seorang pun di antara tamu itu mengenal gadis jelita yang bersikap lincah ini. Suma Kiat juga menengok dan ia meloncat bangun, menghampiri dan memegang tangan Kwi Lan.
"Aha, Sumoi....! Alangkah girang hati-ku melihatmu! Betapa rinduku kepadamu selama ini....!" Suma Kiat yang meme-gang tangan gadis itu menarik dan ia hendak memeluk Kwi Lan dengan pan-dang mata penuh nafsu.
"Suheng, kau menjadi makin gila!" bentak Kwi Lan sambil merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan pemuda itu, mulutnya cemberut dan matanya mengeluarkan sinar berapi.
Ketika Suma Kiat yang masih tertawa ha-ha-he-he itu hendak memegang tangannya lagi, Kwi Lan menampar tangan pemuda itu dalam tangkisan yang dilakukan dengan keras. Suma Kiat terkejut, tangannya terasa sakit dan agaknya ia baru tahu bahwa sumoinya marah benar-benar.
"Eh.... eh...., Sumoi...., mengapa marah" Tidak bolehkah aku melepas rinduku ke-padamu"
Sudah amat lama kita tidak saling berjumpa...."
"Bodoh! Tak malukah engkau?" bentak Kwi Lan, mukanya kini menjadi merah ketika melihat betapa semua orang memandang ke arah mereka sambil terse-nyum-senyum dan menahan ketawa.
Suma Kiat tersenyum masam, sadar akan keadaan ini. Tadinya ia dipengaruhi rasa gembira melihat sumoinya yang me-mang amat dirindukannya ini. Ketika ia masih tinggal bersama Kwi Lan di istana bawah tanah, ia tidak merasakan sesuatu terhadap sumoinya kecuali ingin menggo-danya dan ia suka sekali melihat sumoinya ini marah-marah. Setelah berpisah jauh dan lama, barulah ia merasa betapa tersiksa hatinya, betapa rindunya terhadap Kwi Lan, dan baru ia sadar betapa besar rasa cintanya terhadap gadis itu. Kini, melihat munculnya Kwi Lan secara tiba-tiba dalam pesta, ia menjadi demikian girang sehingga tidak ingat bahwa sikap-nya itu ditonton oleh semua tamu. Ia kini sadar lalu cepat berkata.
"Ah, maaf, Sumoi. Silakan duduk. Mari duduklah di sini dan ceritakan se-mua
pengalamanmu. Oya, biarlah kuper-kenalkan kau kepada para tamu." Tanpa mempedulikan sikap Kwi Lan yang mem-protes, pemuda ini memandang ke semua penjuru dan berkata dengan suara lan-tang.
"Para tamu yang terhormat! Perke-nankanlah saya memperkenalkan Sumoiku yang cantik jelita dan perkasa ini, Kam Kwi Lan!" Dan sambil tersenyum-senyum ia membalas para tamu yang terpaksa menunda percakapan, makan dan minum untuk berdiri dan menjura kepada mere-ka. Dengan tersipu-sipu Kwi Lan terpak-sa pula mengangkat kedua tangan ke dada Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 335
membalas penghormatan mereka, kemudian karena takut kalau-kalau su-hengnya yang otak-otakan ini melakukan hal-hal lain yang memalukan, ia cepat-cepat duduk di bangku menghadapi meja berhadapan dengan lima orang wanita yang memandangnya dengan mata terbe-lalak dan mulut jelas membayangkan iri hati dan kebencian.
Suma Kiat sebaliknya gembira sekali. Setelah Kwi Lan duduk, ia bertepuk ta-ngan
memanggil pelayan, berseru. "Lekas, hidangan terlezat dan arak terbaik untuk Kam-siocia!"
Bahkan para pelayan diam--diam mencibirkan bibirnya melihat sikap congkak melebihi pemilik rumah sendiri. Kiang-kongcu saja tidak pernah bersikap seperti itu. Diam-diam mereka membenci tamu ini, pemuda yang tinggi hati dan kasar.
Namun Suma Kiat yang pada saat itu merasa menjadi peran utama karena pesta itu diadakan untuk menghormatinya, apalagi kini melihat sumoinya da-tang, tidak tahu akan
ketidaksenangan mereka ini. Sambil tersenyum-senyum ia duduk di sebelah kanan Kwi Lan, kemudian berkata.
"Oya, belum kuperkenalkan. Sumoi, dua orang nona ini adalah Chi Ci-moi (Enci Adik she Chi), dan tiga orang Nona ini adalah murid-murid kepala dari per-guruan Ang-lian Bu-koan.
Mereka ini merupakan harimau-harimau betina kota raja, kepandaian mereka amat lihai."
Senang hati lima orang gadis itu mendengar pujian ini. Mereka mengangkat kedua tangan dan menghormat Kwi Lan. Akan tetapi Kwi Lan bersikap dingin, bahkan terdengar berkata ketus.
"Sudah, kalian beriima pergilah!"
Suma Kiat melongo dan lima orang gadis itu menjadi pucat mukanya. Seorang di antara Chi Ci-moi itu, yang tertua, kini menjadi merah mukanya dan bertanya, suaranya ketus. "Apa makaud-mu....?"
"Maksudku sudah cukup jelas. Meng-gelindinglah kalian beriima pergi dari sini, aku hendak bicara berdua lengan Suhengku!"
Lima orang wanita itu tak dapat me-nahan kemarahan hati mereka. Dengan muka merah padam mereka melotot kepada Kwi Lan dan seorang di antara murid kepala Ang-lian Bu-koan memben-tak. "Orang tidak boleh menghina kami begini saja!"
Kwi Lan yang sejak tadi memang sudah gemas karena sikap suhengnya, kini pun marah.
"Aku suruh kalian pergi, kalian anggap menghina" Hemmm, kalau menghina, kalian ini perempuan-perem-puan genit dan cabul tak tahu malu mau apa" Pergilah!" Berkata demikian Kwi Lan menggerakkan kakinya dan meja di depannya terbang ke arah lima orang gadis itu!
Kedua Chi Ci-moi dan tiga orang murid kepala Ang-lian Bu-koan bukanlah gadis-gadis sembarangan. Diserang begini biarpun tak secara tersangka-sangka dan dari jarak dekat, mereka masih sempat berjungkir balik ke belakang, kemudian secara berbareng mereka menggerakkan lengan ke depan menahan meja yang menyambar. Mereka terhindar dari
han-taman meja, namun tak dapat menghin-darkan diri dari serangan arak dan kuah daging sayur yang menyambar ke arah muka dan pakaian mereka dari mangkok-mangkok di atas meja. Muka dan pakaian mereka beriepotan kuah dan arak, dan celaka bagi mereka, kuah-kuah itu baru saja dihidangkan oleh pelayan dalam ke-adaan masih panas-panas! Tentu saja mereka menyumpah-nyumpah dan men-cak-mencak.
"Ah, Sumoi jangan bikin ribut. Mari kita bicara....!" Suma Kiat sudah menyambar lengan adik seperguruannya dan menarik pergi dari taman, memasuki ruangan samping rumah itu. Kwi Lan ingin membangkang, namun ia masih ingat akan pesan gurunya dan tidak menghendaki pertempuran melawan su-hengnya sendiri di tempat umum itu, maka ia menurut. Mulutnya cemberut dan matanya menyinarkan kemarahan.
Setelah mereka berdua duduk di ruangan samping. Suma Kiat segera ber-kata suaranya perlahan setengah berbisik, akan tetapi penuh kesungguhan, matanya memancarkan
kecerdikan yang mengaget-kan hati Kwi Lan.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 336
"Ah, Sumoi, kau tidak tahu. Ibu yang mengatur, semua ini. Tahulah engkau bahwa kakakmu ini menjadi calon kaisar?"
Kwi Lan memandang, matanya ter-belalak. Celaka, kiranya sinar kecerdikan di mata suhengnya itu hanya penonjolan dari kegilaannya yang makin menjadi!
"Suheng, tak sudi aku mendengar ocehanmu yang tidak karuan ini!"
"Huh, anak bodoh. Kau tidak percaya" Bukankah Ibu yang menyuruh kau datang ke sini mencariku" Bantuanmu amat kubutuhkan. Kaulihatlah lima orang wa-nita itu, dan para tamu itu, sebagian besar adalah sekutu kami."
"Sekutu apa?" Kwi Lan mulai tidak sabar.
"Sekutu untuk menjatuhkan Kaisar, bekerja sama dengan bangsa Hsi-hsia yang sudah siap bergerak...."
"Ahhh....!" Bukan main kagetnya hati Kwi Lan. Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya.
Jadi gurunya yang gila, juga suhengnya yang berotak miring ini, mem-punyai rencana yang demikian gila" Ia cerdik maka kini ia menahan kemarahan-nya dan berbisik. "Suheng aku belum diberi tahu Bibi Sian tentang rencana ini. Apakah rencana itu dan bagaimana?" Ia pura-pura bersungguh-sungguh.
Suma Kiat tersenyum, menengok ke sekelilingnya. "Ketahuilah, Ibu membawa aku ke sini.
Ini adalah gedung Pangeran Kiang dan engkau tahu, Isteri Pangeran Kiang bernama Suma Ceng menurut Ibu, dia adalah Bibiku, adik mendiang Ayahku yang masih putera Pangeran bernama Suma Boan." Sampai di sini Suma Kiat membusungkan dadanya. "Aku cucu
Pa-ngeran! Karenanya aku berhak menjadi kaisar! Dan engkau menjadi puteri, ha--ha-ha, kalau aku menjadi kaisar, kelak engkau menjadi permaisuri, dan menjadi ibu suri.... ha-ha-ha!"
"Hushh.... Suheng, bicaralah yang be-nar. Bagaimana rencana itu" Apa yang telah terjadi?"
"Heh-heh, banyak yang terjadi, Adikku sayang! Bangsa Hsi-hsia telah mengada-kan
hubungan rahasia dengan banyak pembesar di sini, dan yang hadir di taman itu sebagian besar adalah pembesar-pembesar yang telah sepakat untuk me-ngadakan persekutuan. Kaulihat hwesio yang duduk di sudut tadi" Dia adalah Cheng Kong Hosiang, dia yang mewakili bangsa Hsi-hsia. Dan Ibu menunjuk aku untuk memimpin pergolakan dari dalam apabila saatnya tiba."
"Hemm, kaukira begitu mudah" Di sini banyak terdapat orang gagah yang tentu akan menentang pengkhianatan ini, Suheng. Kenapa Bibi Sian melakukan hal berbahaya ini?"
"Siapa bilang tidak mudah" Kerajaan Sung amat lemah, kaisarnya seperti pe-rempuan! Dan menurut kabar yang baru kuperoleh, bangsa Khitan juga siap mem-bantu bangsa Hsi-hsia...."
"Bohong....!" Kwi Lan sendiri menjadi kaget men-dengar suaranya yang spontan dan me-ngandung
kemarahan itu. Tanpa disadari-nya, ia kini telah menjadi pembela bang-sa Khitan! Teringat ini, dan melihat pan-dang mata Suma Kiat penuh selidik, ia cepat menyambung. "Aku mendengar bangsa Khitan bersahabat dengan Keraja-an Sung. Tak mungkin mereka sudi ber-sekutu dengan bangsa Hsi-hsia yang bia-dab, yang menyerang dan menghancurkan Beng-kauw secara menggelap, yang di-pimpin oleh hwesio-hwesio gila, manusia-manusia biadab berkedok pendeta!"
"Aihh.... kiranya pengetahuanmu cukup luas, Sumoi. Agaknya selama dalam pe-rantauan ini engkau sudah menjumpai banyak pengalaman. Akan tetapi kau tentu belum tahu apa yang baru saja kudengar. Bouw Lek Couwsu pimpinan bangsa Hsi-hsia kini mendapat jalan un-tuk memaksa pemerintah Kerajaan Khi-tan untuk bekerja sama dengan bangsa Hsi-hsia."
"Hemm, aku tidak percaya. Bangsa Hsi-hsia hanyalah bangsa biadab yang kecil jumlahnya, sedangkan Khitan adalah negara besar...."
"Ha-ha-ha, mereka terpaksa harus memenuhi permintaan bangsa Hsi-hsia setelah Pangeran Mahkota mereka ter-jatuh ke dalam tangan Bouw Lek Couw-.
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 337
"Apa....?" Kwi Lan menekan perasa-annya sehingga kekagetan hebat tidak terlalu menonjol pada wajahnya.
Suma Kiat tertawa puas. "Benar" Pangeran Mahkota yang bernama Talibu, Pangeran Khitan itu kini menjadi tawan-an Bouw Lek Couwsu dan dia itulah yang akan menjamin bahwa Kerajaan Khitan pasti akan suka membantu."
Kwi Lan tersenyum dingin untuk menutupi hatinya yang panas. Ia sudah mendengar dari Siang Ki bahwa Ratu Khitan yang menurut gurunya adalah ibu kandungnya itu memang mempunyai se-orang putera angkat bernama Pangeran Talibu yang tampan dan gagah
perkasa. Biarpun ia mengandung perasaan iri dan tidak senang kepada anak angkat ibunya itu, namun kini mendengar betapa putera mahkota itu ditawan Bouw Lek Couwsu, ia terkejut sekali. Urusan ini ternyata bukan urusan kecil dan sama sekali bu-kan urusan main-main.
Kalau yang dika-takan pemuda gila ini benar, ia harus berusaha sedapat mungkin menolong pu-tera angkat ibunya! Maka dengan cerdik ia lalu tertawa, tertawa dingin yang se-penuhnya menonjolkan sikap tidak per-caya.
"Ah, Suheng. Setelah lama merantau, engkau masih tetap seperti kanak-kanak, mudah saja diakali orang. Sudah jelas kau dibohongi orang, akan tetapi kau menerima dan menelannya begitu saja tanpa mau memeriksa lagi. Siapa mau percaya Pangeran Mahkota Khitan dita-wan orang-orang Hsi-hsia?" Kwi Lan sengaja mengeluarkan suara ketawa nyaring yang dia tahu menyakitkan hati pemuda ini. Dahulu kalau bertengkar, ia selalu tertawa seperti ini.
Merah wajah Suma Kiat. "Sumoi, kaulah yang bodoh dan tolol! Kau masih tidak percaya kepada aku, calon Kaisar! Pangeran Talibu benar telah ditawan oleh Bouw Lek Couwsu yang bermarkas di sebelah barat Lok-yang, di lembah Sungai Kuning di kaki Gunung Fu-niyu-san...." Tiba-tiba Suma Kiat menghentikan kata--katanya dan memandang ke kanan kiri dengan sikap kaget, seakan-akan ia baru ingat bahwa ia telah membuka rahasia besar yang tidak seharusnya ia katakan kepada siapapun juga. "eh, Sumoi...., ja-ngan bilang kepada siapapun juga...."
Akan tetapi pada saat itu, perhatian mereka tertarik oleh suara ribut-ribut di luar ruangan itu, di taman. Mereka ber-gegas keluar, terutama Suma Kiat, men-dahului sumoinya melompat keluar dan menghampiri para tamu yang tampak ribut.
Di tengah taman itu berdiri seorang pengemis muda yang jangkung tampan, memakai sebuah topi lebar yang butut, akan tetapi dihias bunga memegang se-batang tongkat, berdiri dengan tegak, berhadapan dengan dua orang wanita enci adik she Chi. Dua orang gadis inilah yang ribut-ribut dan memaki-maki.
"Jembel busuk! Jembel kelaparan! Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan, ya" Kami bukanlah gadis-gadis macam iblis tadi yang boleh kaupermainkan...." bentak gadis muda she Chi, sedangkan encinya sudah meraba gagang pedangnya.
Pengemis muda itu bukan lain adalah Yu Siang Ki. Dia tadi melihat munculnya Kwi Lan dan sudah ia duga bahwa gadis itu tentu menimbulkan keributan sesuai dengan wataknya. Ketika ia melihat Kwi Lan mempermainkan lima orang wanita cantik yang duduk semeja dengan Suma Kiat, diam-diam ia tertawa. Memang lima orang wanita itu patut diberi se-dikit hajaran.
Dia sudah mendengar siapa adanya lima orang wanita itu. Akan te-tetapi ketika ia melihat Kwi Lan pergi ke dalam gedung bersama Suma Kiat yang disebut suheng oleh Kwi Lan, tim-bullah kekhawatirannya dan hatinya menjadi jengkel sekali. Jengkel melihat kenyataan bahwa temannya yang dianggap adik angkat, wanita yang pernah merebut cinta kasihnya itu ternyata adik seper-guruan pemuda bangsawan memuakkan ini. Jengkel pula karena Kwi Lan tidak mempedulikannya, bahkan kini masih bersama pemuda itu. Ia khawatir sekali. Pada saat itulah ia mendengar betapa lima orang wanita yang merasa terhina oleh Kwi Lan,
mengeluarkan kata-kata memaki-maki Kwi Lan secara kasar se-kali.
Yu Siang Ki tentu tidak begitu mudah mencari keributan, apalagi mengingat bahwa di situ adalah tempat tinggal Kiang-kongcu murid Suling Emas! Akan tetapi karena ia merasa Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 338
khawatir akan keadaan Kwi Lan yang masuk ke dalam gedung bersama pemuda sombong
tadi, kini melihat adanya kesempatan untuk menarik perhatian Kwi Lan keluar dari gedung.
Tanpa ragu lagi ia lalu bangkit berdiri dari tempat duduknya setelah berbisik kepada para pengemis lainnya. "Jangan heran akan sikapku....!"
Sambil memandang lima orang gadis itu, ia membentak, suaranya nyaring.
"Kuharap kalian berlima tahu diri dan tidak membuka mulut sembarangan me-ngeluarkan kata-kata kotor menghina Kam-lihiap. Tidak sadarkah bahwa tadi Kam-lihiap telah
mengampuni jiwa anjing kalian?"
Ucapan ini sungguh hebat dan pedas. Biarpun mereka berlima itu wanita, na-mun tokoh-tokoh kota raja tahu belaka bahwa ilmu kepandaian mereka tidak boleh dipandang rendah. Apalagi tiga orang murid kepala Ang-lian Bu-koan yang amat berpengaruh karena perguruan mereka.
Dan kini seorang pengemis muda yang tidak terkenal berani mengeluarkan ucapan yang demikian pedas! Juga lima orang itu terkejut, wajah mereka berubah merah dan tak dapat ditahan lagi kema-rahan orang termuda dari Chi Ci-moi yang bernama Chi Bwee, meloncat ba-ngun menghadapi Yu Siang Ki dan me-maki-makinya seperti tadi.
Siang Ki tersenyum mendengar maki-makian ini, kemudian menambah panas-nya api yang ia kobarkan. "Kam Kwi Lan bukanlah iblis betina, melainkan seorang wanita gagah perkasa, seorang pendekar, tidak seperti kalian ini lima ekor tikus betina yang genit...."
"Jembel busuk mau mampus!" bentak Chi Leng, enci Chi Bwee yang sudah mencabut pedang dan dengan gerakan kilat pedangnya menyambar dengan se-buah tusukan ke dada Siang Ki.
"Wuuuuttt....!" Tusukan itu mengenai angin karena tubuh Siang Ki doyong ke belakang.
Pemuda ini tanpa merobah kedudukan kakinya telah mampu menge-lak dengan amat
mudahnya. Ia tertawa mengejek.
"Gadis galak dan canggung macam engkau ini berani menghina Kam-lihiap" Sungguh
menjemukan!" "Enci, mari kita bunuh jembel ini!" Chi Bwee juga sudah mencabut pedang-nya dan
membacok. Namun kembali bacokannya mengenai angin.
"Hayo, kalian yang tiga orang lagi tidak ikut maju" Maju dan keroyoklah, perempuan-perempuan macam kalian mana ada kepandaian?" Siang Ki meng-ejek terus. Marahlah tiga orang murid kepala Ang-lian Bu-koan. Mereka pun dapat menduga bahwa dari gerakan pe-muda jembel ini, dua orang enci adik Chi sama sekali bukan tandingannya. Mereka mencabut pedang dan bergeraklah lima orang gadis ini menyerang kalang-kabut! Biarpun dibandingkan dengan Siang Ki, tingkat ilmu silat mereka masih jauh, namun karena mereka maju bersama dan mengeroyok dengan nafsu membunuh, Siang Ki tidak berani memandang rendah. Tangan kirinya menyambar topinya, sam-bil bergerak dengan lincah ia mengayun topi dan tangan kanan.
"Siuut-siuut-bret-bret....!" Terdengar lima orang itu menjerit kaget dan di lain saat rambut mereka yang digelung rapi itu sudah terlepas semua ikatannya, ce-rai-berai dan awut-awutan karena pita rambutnya telah putus oleh renggutan jari tangan Yu Siang Ki. Mereka hanya merasa betapa pandang mata mereka gelap karena muka mereka tiba-tiba tertutup topi lebar yang baunya apek oleh keringat, kemudian merasa rambut mereka terlepas ikatannya. Ketika me-reka memandang, pita-pita rambut mereka telah berada di tangan Siang Ki yang tertawa-tawa.
Bukan main kaget dan marah hati mereka. Kaget karena tidak mengira bahwa jembel muda ini benar-benar luar biasa lihainya dan marah karena peris-tiwa yang terjadi di depan banyak tokoh kang-ouw itu merupakan penghinaan bagi mereka. Kemarahan inilah yang mem-buat mereka lupa diri, lupa akan pesan guru-guru mereka bahwa menghadapi seorang yang jauh lebih lihai, tiada gu-nanya berlaku nekat karena takkan dapat menang. Dengan gerakan ganas mereka sudah menyerbu lagi mengeroyok Siang Ki. Pemuda ini menjadi girang karena usahanya memancing Kwi Lan keluar berhasil. Ia sudah melihat gadis itu mun-cul keluar di Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 339
belakang Suma-kongcu, maka hatinya menjadi lega dan ia ber-niat mengakhiri perkelahian dan mening-galkan tempat itu.
Akan tetapi pada saat itu, Suma Kiat sudah datang berlari seperti terbang cepatnya. Pemuda ini marah sekali. Ia tidak mengenal Si Pemuda Jembel, se-baliknya ia sudah beramah-tamah dan menerima janji-janji senyum dan kerling manis lima orang wanita cantik itu, ten-tu saja tanpa pikir-pikir panjang lagi ia sudah memihak lima orang wanita itu. Gerakannya aneh dan luar biasa sekali cepatnya, tahu-tahu ia sudah terjun ke dalam pertandingan dan mengirim pukul-an hebat ke arah Yu Siang Ki.
"Suheng.... jangan....!" Kwi Lan me-lompat dan mengejar kakak seperguruan-nya.
Akan tetapi Suma Kiat tidak mempe-dulikannya dan sudah menghantam ke arah dada Yu Siang Ki. Ketua pengemis yang muda ini sedang sibuk mengelak dan menangkis keroyokan lima batang pedang dengan kebutan topinya, ketika secara mendadak ada angin menyambar keras sekali dari arah depan. Belum tiba pukulannya, anginnya sudah datang meng-hantam dengan hawa amat panas! Kaget-lah ia mengenal pukulan ampuh ini. Ce-pat ia menangkis dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan yang memegang topi juga digerakkan menampar atau mengebut ke arah tiga batang pedang yang menyambar ke arahnya.
"Wuuuuttt.... plakkk....!" Karena Yu Siang Ki membagi tenaga sin-kangnya untuk mengebut pedang dan menangkis, maka tangkisannya itu tidak dilakukan dengan sepenuh tenaganya. Ia tidak men-duga bahwa pemuda bangsawan itu dapat melakukan pukulan yang demikian ganas dan kuat, maka ketika kedua lengan ber-temu Yu Siang Ki merasa betapa serang-kum hawa panas menembus sampai ke dadanya dan ia terhuyung-huyung dengan wajah pucat!
Suma Kiat tertawa mengejek dan sudah menyambar lagi ke depan, me-ngirim pukulan lebih ganas kepada Siang Ki yang sedang terhuyung-huyung ke belakang.
"Suheng.... mundur kau....!"
Suma Kiat melihat sinar hijau berke-lebat dan tahulah ia bahwa Siang-bhok--kiam di tangan sumoinya telah mengancam pundaknya. Namun ia tidak per-caya bahwa sumoinya akan
berani atau mau melukainya, maka ia tidak ambil peduli dan melanjutkan pukulannya ke arah Siang Ki.
"Brettt....! Aduhhh....! Heeee, Sumoi, gilakah engkau" Berani kau melukai aku?" bentak Suma Kiat. Pundak kirinya mengucurkan darah karena tepi pundak telah tertusuk pedang merobek baju dan kulit dagingnya. Ia menutupi luka di pundak kiri dengan tangan kanan, memandang sumoinya dengan mata terbela-lak heran. Sungguh di luar dugaannya bahwa sumoinya benar-benar berani melukai pundaknya, dan hal ini dilakukan hanya untuk membela seorang.... penge-mis!
Dengan pedang di tangan dan muka merah saking marahnya, Kwi Lan men-jawab dan
menentang pandang mata suhengnya. "Suheng! Perempuan-perempuan itu telah menghinaku dan Yu Pangcu ini telah membelaku karena di antara kami ada tali persahabatan yang erat.
Akan tetapi engkau malah membela perem-puan-perempuan tak tahu malu ini dan hendak mencelakainya. Aku sudah minta kau mundur, tapi kau memaksa maju se-hingga terluka pedangku. Pendeknya, sia-papun juga tidak boleh mencelakakannya!" Sikap Kwi Lan garang sekali, pedangnya melintang di depan dada.
"Ha-ha-ha, sungguh lucu! Sumoi jadi kau sekarang telah menjadi Inang penga-suh jembel cilik ini" Menjadi pelindung pengemis kelaparan ini?"
Siang Ki telah menyambar tongkatnya yang tadi ia sandarkan di meja. Gerak-annya cepat sekali dan kini ia sudah berdiri di depan Kwi Lan, memandang Suma Kiat dengan pandang mata penuh wibawa, suaranya nyaring ketika berkata.
"Sungguh omongan yang tidak patut keluar dari mulut seorang gagah. Lebih tidak patut lagi keluar dari mulut Suheng dari Kam-lihiap! Aku Yu Siang Ki tidak pernah minta dilindungi Kam-lihiap dan jangan kira bahwa aku takut menghadapi engkau, Suma-kongcu."
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 340
Suma Kiat marah sekali, akan tetapi melihat sumoinya masih berdiri dengan pedang di tangan, ia ragu-ragu untuk bergerak maju. Ia sudah cukup mengenal watak sumoinya yang ganas dan diam-diam ia pun maklum bahwa sekali sumoi-nya marah dan melawannya, belum tentu ia mampu mengalahkan sumoinya itu. Dan kini jelas tampak sikap sumoinya itu membela Si Pengemis ini!
Pada saat yang menegangkan itu, di mana kedua pihak agaknya siap untuk bertanding dan selagi semua tamu memandang penuh perhatian dan ketegang-an, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun nyaring berwibawa.
"Hemm, apakah yang terjadi di sini?" Semua orang menengok dan dari dalam gedung itu muncul seorang pemuda tinggi tegap yang berpakaian putih dan di punggungnya tampak sebuah yang-kim yang bentuknya seperti kepala naga. Pemuda ini bukan lain adalah Kiang Liong! Dan di samping pemuda itu ber-jalan seorang gadis cantik jelita berpa-kaian indah dan gadis ini adalah Puteri Mimi!
Bagaimanakah Kiang Liong bisa mun-cul pada saat itu dan mengapa pula ber-sama Puteri Mimi" Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita mengikuti perja-lanan Kiang Liong agar jalannya cerita menjadi lancar.
Seperti telah kita ketahui, pemuda murid Suling Emas ini telah berhasil diobati dan diselamatkan oleh Song Goat yang cantik manis. Setelah tubuh Kiang Liong di "rebus" dalam air yang dimasuki obat, air dalam tahang berubah hitam dan tubuh bagian bawah berubah putih dan normal kembali.
Untung bahwa pengobatan ini telah selesai dan berhasil dengan baik ketika Song Goat mendengar suara hiruk-pikuk di luar kedai. Melihat betapa pemilik kedai dan penduduk dusun itu hendak menyerbu masuk dan mendengar betapa ia disangka siluman, Song Goat tertawa lalu berkata.
"Kongcu, sebaiknya kita segera pergi dari tempat ini. Kasihan mereka itu yang bodoh.", Kiang Liong membelakangi gadis itu dan mengenakan pakaiannya, kemudian baru ia
menghadapi Song Goat dan men-jura sampai dalam. "Nona Song, kau telah menyelamatkan nyawaku. Aku Kiang Liong selama hidupku takkan melupakanmu dan amat berterima kasih kepadamu. Orang-orang itu benar kurang ajar, berani menganggap Nona sebagai siluman.
Terlalu! Biar kuhajar mereka agar kapok!"
"Ah, mengapa kau berpemandangan sepicik itu, Kongcu. Mereka adalah orang-orang yang jalan pikirannya amat sederhana dan bodoh percaya akan tah-yul. Kita tidak semestinya marah kepada mereka, sebaliknya aku kasihan kepada mereka. Kongcu, hanya orang-orang yang berpikiran sederhana dan bodoh sajalah yang masih dapat diharapkan kebaikannya di dunia yang penuh orang pintar ini. Orang yang sederhana memang bodoh, akan tetapi jujur dan setia, tidak seperti orang-orang pintar yang terlalu pintar sampai lupa akan kejujuran dan kesetia-an! Marilah kita pergi!" Suara gadis itu terdengar penuh kedukaan dan ia sudah berkelebat keluar melalui jendela.
Sejenak Kiang Liong tertegun. Ia banyak mempelajari filsafat dan pelajar-an keagamaan, maka mendengar ucapan gadis itu ia tertegun. Gadis yang cantik manis, gadis yang berbudi, gadis yang patah hati! Tanpa berkata sesuatu, sete-lah menyambar sepasang pit dan yang-kimnya, ia pun melompat keluar jendela menyusul Song Goat.
Mereka berdua berlari cepat tanpa bicara. Berapa kali Kiang Liong melirik ke arah gadis itu dan melihat betapa wajah yang cantik itu terselubung keke-ruhan tanda bahwa hati gadis itu ber-duka. Ia merasa heran sekali dan setelah mereka berlari jauh dari dusun, mendaki sebuah bukit dan melalui padang rumput yang luas. Kiang Liong tak dapat mena-han kesunyian di antara mereka.
"Nona Song, harap berhenti dulu."
Song Goat mengerling kepadanya lalu berhenti. Mereka, tanpa bicara mengham-piri sebuah Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 341
pohon besar di tepi jalan. Tempat itu teduh dan amat sejuk hawa-nya. Enak duduk di bawah pohon teduh ini setelah berlari di bawah sinar mata-hari yang sudah naik tinggi.
Mereka duduk berhadapan, di atas akar-akar pohon yang menonjol keluar dari permukaan tanah. Masih tidak bica-ra. Song Goat menyapu dengan pandang matanya ke depan, melihat pemuda itu memandangnya penuh selidik, kedua pipi-nya menjadi kemerahan dan menunduk.
Kemudian tanpa mengangkat mukanya ia bertanya.
"Kongcu, mengapa kau menyuruh aku berhenti?"
Kiang Liong tersenyum. Makin terta-rik hatinya ketika ia menatap wajah yang tunduk itu.
Dara cantik manis, memiliki hati yang baik akan tetapi pa-tah-patah dan...., pemalu! Berdebar jan-tungnya, timbul rasa kasih dan suka di hatinya.
"Nona Song, aku hanya ingin berca-kap-cakap denganmu."
Kini Song Goat mengangkat mukanya dan cepat-cepat ia menundukkan pandang matanya ke tanah ketika melihat sinar mata tajam yang seolah-olah hendak menjenguk isi hatinya. "Bicara tentang apakah, Kongcu" Engkau sudah sembuh, dan engkau dapat melanjutkan
perjalan-anmu. Jalan kita bersimpangan...."
"Ah, Song-kouwnio, apakah kau meng-anggap aku seorang yang demikian ren-dah dan tidak ingat budi" Kau sudah merenggut nyawaku dari cengkeraman maut. Engkau telah
menyelamatkan aku dan sampai mati sekalipun, budimu yang be-sar tidak akan dapat kulupakan, Betapa mungkin setelah kini kau menyelamatkan aku, akan kutinggalkan saja kau" Tidak, aku tidak serendah itu, Nona. Pohon-pohon yang disiram, dipupuk dan dirawat akan membalas dengan bunga-bunga indah dan buah-buah lezat. Kuda dan anjing yang dipelihara akan membalas dengan kesetiaan. Mana aku Kiang Liong kalah oleh pohon atau binatang?"
Mau tidak mau Song Goat tersenyum kecil. Benar-benar pemuda yang pandai merayu hati pikirnya. Hati siapa tidak merasa nikmat mendengar ucapan seperti itu" Pemuda yang berkepandaian amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada dia sendiri, bahkan lebih tinggi daripada tingkat ayahnya maupun semua tokoh yang pernah dijumpainya. Makin keras debar jantung Song Goat ketika ia meng-angkat muka. Mereka bertemu pandang. Pandang mata pemuda itu amat tajam, halus, dan mesra. Bagaikan sinar mataha-ri, hangat-hangat menembus jantung ga-dis itu.
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kiang-kongcu, kalau engkau mau berterima kasih, harus kepada Ayah, ka-rena sedikit kepandaian pengobatan ini kudapat dari Ayah...."
"Ah, benar! Betapa kurang hormat aku kepada Song-locianpwe. Di manakah ada-nya
ayahmu, Nona" Bawalah aku kepadanya agar aku dapat menghaturkan te-rima kasihku."
Tiba-tiba Song Goat yang duduk ber-sandar pohon itu membungkukkan pung-gung,
menyembunyikan muka di kedua tangan dan menangis tersedu-sedu. Sikap pemuda ini yang amat halus dan mengenal budi, pertanyaannya yang mengingatkan ia kepada ayahnya, menyeretnya kembali kepada peristiwa yang amat menyakitkan hatinya, bergema kembali ditelinganya suara Yu Siang Ki tunangannya yang secara berterang menyatakan pembelaan dan cinta kasihnya kepada Kwi Lan. Rasa sakit hati yang ditahan-tahan, ditekan-tekan dan dibendungnya selama ini sekarang pecah oleh pertanyaan dan si-kap Kiang Liong, pecah dan membanjir sebagai tangis yang membuat air mata-nya berderai melalui celah-celah jari tangannya yang menutupi muka.
Sebuah lengan yang kuat melingkar punggungnya dengan halus penuh hiburan. Bisikan suara yang halus terdengar dekat telinganya. "Kouwnio, mengapa berduka" Mengapa menangis"
Hanya manusia ke-jam berhati iblis saja yang tega mem-buatmu berduka. Ceritakanlah kepadaku, Nona, dewi penolongku, dan aku sudah siap dengan jiwa ragaku untuk
memban-tumu." Sentuhan jari tangan yang halus menghibur, bisikan yang mengandung ucapan manis ini Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 342
seakan-akan menjebol-kan bendungan terakhir sehingga mem-banjirlah air mata dari sepasang mata yang sayu itu. Terisak-isak Song Goat menangis dan tanpa ia sadari lagi kini menyandarkan kepala di dada Kiang Liong, dan baju pemuda itu sampai basah semua oleh air matanya!
Kiang Liong yang banyak mengenal watak wanita, tidak mengganggunya dan membiarkan gadis itu menangis tersedu-sedu. Tangis adalah obat terbaik untuk menguras semua duka dan dendam yang meracuni hati. Dengan penuh kasih sa-yang ia mengelus-elus rambut yang halus itu, bahkan perlahan-lahan ia menunduk-kan muka dan mencium ubun-ubun kepala dengan rambut halus dan harum itu sambil memejamkan matanya. Gadis yang luar biasa dan pantas dicinta sepenuh hati, pikirnya akan tetapi ia berlaku hati-hati agar gadis itu tidak merasa terhina. Kiang Liong seorang pemuda romantis, mudah terjaring cinta, namun ia bukan seorang kasar.
Akhirnya reda juga banjir kedukaan yang menggelora di hati Song Goat. Se-perti seorang terbangun dari mimpi, gadis itu baru sadar bahwa ia merebah-kan diri di atas dada yang bidang itu, baru sadar bahwa ia berada di dalam pelukan Kiang Liong bahkan membatas pelukannya, dan baru tampak olehnya betapa baju yang menutupi dada pemuda itu sudah basah semua oleh air matanya.
"Aiiihhh...." Ia merenggut tubuhnya terlepas dari pelukan, lalu duduk men-jatuhkan diri.
"Aiiihhh...." "Kenapa, Nona?" Kiang Liong berta-nya, tersenyum ramah. Dua pasang mata bertemu
pandang, kasih sayang dan ke-mesraan dalam pandang mata Kiang Liong itu mendatangkan rasa jengah yang mendalam sehingga akhirnya Song Goat menundukkan mukanya yang
menjadi merah sekali. "Ahh, Kiang-kongcu, maafkan.... maaf-kan aku.... yang lupa diri...."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan Nona. Aku akan merasa bahagia sekali kalau dapat menolongmu. Ceritakanlah, apa yang membuat kau begini berduka dan sakit hati?"
Song Goat merenungi tanah di depan kakinya menarik napas panjang kemudian hanya
menggeleng kepala tanpa jawaban.
Kiang Liong meraih maju dan meme-gang tangan yang dingin dan halus itu. Dikepalnya jari-jari tangan Song Goat dan diguncangnya sambil berkata. "Nona Song, aku berterima kasih kepadamu, aku kagum dan suka kepadamu. Apakah kau masih tidak percaya padaku?"
Song Goat mengangkat mukanya yang berlinang air mata dan kembali dua pa-sang mata bertemu pandang. Melihat betapa wajah yang tampan itu dengan penuh kejujuran dan kemesraan memandangnya. Song Goat berdebar jantungnya. Tanpa ia sadari jari-jari tangannya ber-gerak dan membalas tekanan Kiang Liong. Alangkah mudahnya menjatuhkan hati kepada pemuda seperti ini. Alangkah mudahnya menyerahkan jiwa raga kepada pemuda seperti ini, kalau saja.... kalau saja.... Song Goat cepat mengusir perasa-an ini dan rasa malu membuat leher dan mukanya menjadi merah dan panas, ke-mudian ia menarik tangannya perlahan--lahan. Kiang Liong melepaskan tangan itu, tidak mau memaksanya sungguhpun ia tahu betapa tangan kecil itu tadi membalas remasannya sebagai jawaban suara hati.
"Nona Song, siapa yang menyakitkan hatimu" Dan di mana adanya ayahmu, Songlocianpwe?" Dengan muka tunduk Song Goat men-jawab lirih. "Aku.... meninggalkan Ayah-ku....!"
"Kenapa" Di mana dia?"
Kembali Song Goat menghela napas dan kini ia mengangkat muka. Mereka berpandangan dan Song Goat berkata. "Kiang-kongcu, urusan ini sebenarnya merupakan rahasia pribadi, akan tetapi.... biarlah kau menjadi satu-satunya orang yang akan mendengarnya. Aku percaya kepadamu.... dan biarlah kau seorang yang menjadi penumpahan rasa duka hatiku, karena kalau hal ini tidak kutumpahkan, tentu akan meracuni hatiku, Kiang-kong-cu, aku.... aku telah dihina dan dikhia-nati.... tunanganku sendiri."
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 343
Kiang Liong mengerutkan alisnya yang hitam tebal. "Hemm" Apakah dia seorang yang buta"
Kalau tidak buta matanya, tentu buta hatinya sehingga ia tega ber-buat keji terhadapmu. Siapa dia, Nona?"
Dengan suara lirih Song Goat lalu menceritakan betapa sejak kecil ia te-lah dijodohkan oleh ayah dan sahabat ayahnya, dijodohkan dengan putera saha-bat ayahnya itu. Belasan tahun ia ikut merantau, mencari tunangannya, kemudi-an menceritakan betapa ia dan ayahnya berhasil menolong tunangannya, kemudian betapa tunangannya itu di depannya menyatakan cinta kasihnya kepada se-orang gadis lain sehingga ia menjadi malu dan kecewa lalu melarikan diri.
Kiang Liong mendengarkan dengan sabar dan tidak pernah mengganggunya, akan tetapi setelah selesai cerita gadis itu, ia bertanya, suaranya mengandung ketegangan. "Nona Song, kau bilang nama tunanganmu itu Yu Siang Ki, Pangcu dari Khong-sim Kai-pang" Apakah dia seorang pengemis muda yang bertopi lebar ter-hias bunga, dan memegang tongkat.
Wa-jahnya tampan tubuhnya tinggi?"
Song Goat mengangguk. "Apakah Kongcu sudah mengenal dia?"
"Hemm, kenal baik sih tidak, akan tetapi aku pernah mendengar namanya. Dia seorang pemuda yang gagah perkasa dan baik, mengapa tega melakukan ke-kejian kepadamu" Dan siapakah wanita yang dicintanya?"
"Seorang gadis yang hebat, julukannya Mutiara Hitam, namanya Kam Kwi Lan...."
"Ahhhh....! Dia....?" Terbayang di depan mata Kiang Liong seorang gadis yang cantik jelita, lincah dan ganas, dan ia kini tidak merasa heran bahwa tu-nangan gadis ini telah jatuh cinta kepada Mutiara Hitam. Memang gadis itu terlalu hebat untuk dijadikan sahabat biasa. Pemuda jenaka bernama Tang Hauw Lam yang ia jumpai bersama Mutiara Hitam dahulu itu pun sudah tergila-gila kepada Mutiara Hitam!
"Eh, kau sudah mengenal pula Adik Kwi Lan, Kongcu?"
"Hemm, kenal sih tidak, dia gadis aneh dan binal. Akan tetapi pernah aku bertemu dengannya. Memang dia cantik dan lihai, akan tetapi tunanganmu itu sungguh tak tahu diri, tidak mengenal budi dan tidak bijaksana kalau dia melu-kai hatimu dengan pernyataan cintanya kepada wanita lain di depanmu."
Song Goat menarik napas panjang. "Tak dapat kupersalahkan dia, Kongcu. Dia menyatakan cinta kasih kepada Adik Kwi Lan tanpa ia ketahui bahwa ia telah ditunangkan dengan aku.
Dan dia menya-takan cinta kasih itu dalam keadaan terdesak untuk menolong keselamatan Adik Kwi Lan." Song Goat lalu menceri-takan tentang munculnya seorang wanita aneh berkerudung yang ternyata adalah guru Mutiara Hitam dan betapa Yu Siang Ki mengaku cinta kepada Kwi Lan dalam pembelaannya ketika melihat Kwi Lan terancam maut di tangan gurunya sen-diri.
Mendengar semua ini, Kiang Liong mengangguk-angguk.
"Setelah mendengarkan pengakuan itu, bagaimana aku mempunyai muka untuk bertemu
kembali dengan dia, Kongcu" Apalagi harus bicara tentang jodoh! Jalan satu-satunya untuk menghindarkan diri dari rasa terhina dan malu hanyalah me-larikan diri seperti yang kulakukan se-karang."
Kiang Liong maklum akan keadaan gadis ini yang ruwet dan ia merasa ka-sihan sekali. Tiba-tiba ia memegang tangan yang kecil itu. Sejenak tangan itu gemetar seperti seekor anak ayam dalam genggaman, akan tetapi tidak ditarik lepas.
"Nona, apakah kau mencinta Yu Siang Ki?"
Dua pasang mata bertemu. Song Goat meragu, lalu menggeleng kepala, menun-duk dan menarik tangannya. "Aku.... aku tidak tahu.... dia memang gagah dan baik, akan tetapi aku baru saja bertemu de-ngannya...., dan.... mendengar pengakuan-nya terhadap Kwi Lan, rasanya.... rasanya aku tidak mencintanya...."
Kembali tangan kanan Song Goat dipegang dan diremas tangan Kiang Liong yang menggeser dekat. "Dewiku, kalau begitu mengapa berduka" Kalau pengemis bodoh itu tidak dapat Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 344
menghargaimu dan kau pun tidak mencintanya, mengapa harus berduka" Engkau sebaliknya harus bersyukur telah terbebas daripadanya. Terus terang saja, aku bersedia sepenuh hati, sepenuh jiwa ragaku untuk mencin-tamu, dan cinta kasihku akan jauh me-lampaui cinta kasih pengemis bodoh itu!"
Song Goat mendengar ucapan ini me-mejamkan matanya dan air matanya berlinang di atas pipi. Ia seperti mabok dan mandah saja ketika Kiang Liong menariknya, memeluknya erat-erat, bah-kan ia hanya meramkan mata ketika pemuda itu mengecupi air mata dari kedua pipinya. Ia merasa seolah-olah diterbangkan ke angkasa dan terayun-ayun nikmat, merasa aman sentosa dalam pelukan sepasang lengan yang kuat itu, bisikan-bisikan merdu merayu dari mulut Kiang Liong bagaikan nyanyian dewata. Sejenak ia hampir lupa diri, hampir ma-bok madu asmara. Akan tetapi ketika merasa betapa bibir pemuda itu dengan penuh kasih sayang dan mesra mendekati dan menyentuh bibirnya, ia terhenyak kaget dan menggerakkan kedua lengan-nya yang tadi merangkul leher pemuda itu untuk mendorong dada Kiang Liong, merenggutkan dirinya terlepas dan meloncat berdiri. Mukanya pucat sekali dan kedua kakinya menggigil.
"Tidak....! Tidak....!" keluhnya berka-li-kali.
Kiang Liong juga meloncat berdiri di depan gadis itu, memandang penuh per-tanyaan. Akan tetapi ia tidak mau me-maksa dan hanya memandang penuh se-lidik. Melihat pandang mata ini, Song Goat merasa bersalah. Dia tadi seperti hendak menyerahkan diri, kini merenggut lepas, seolah-olah ia mempermainkan cinta kasih orang!
"Kiang-kongcu, kaumaafkan aku. Sesungguhnya, akan merupakan kehormat-an dan
kebahagiaan besar sekali bagi seorang dara bodoh dan buruk lagi miskin seperti aku ini untuk mendapatkan cinta kasih seorang Kongcu sepertimu. Ah, betapa aku akan dapat menolak cinta kasihmu, Kongcu" Aku akan bahagia sekali!"
Kiang Liong tersenyum dan hendak meraih dan memeluk gadis itu lagi, akan tetapi Song Goat mengelak dan cepat-cepat menyambung kata-katanya. "Akan tetapi.... jelek-jelek aku bukanlah seorang yang tidak memiliki kesetiaan seperti Yu Siang Ki. Aku tidak mau menjadi seorang anak murtad dan tidak berbakti. Aku tidak mau memutuskan tali perjodohan yang sudah dipastikan oleh orang tuaku semenjak aku kecil. Sejak dahulu aku sudah menganggap diriku menjadi isteri Yu Siang Ki dan kalau dia sekarang me-mutuskan tali perjodohan, tiada lain jalan bagiku kecuali masuk menjadi nikouw (pendeta wanita)!"
"Moi-moi....!" "Tidak, jangan sentuh aku lagi, Kong-cu! Ingat, aku isteri orang lain! Engkau seorang pendekar muda yang sudah ter-kenal dan aku yakin seorang pendekar akan menjunjung tinggi kesusilaan dan menjaga peraturan. Engkau budiman, lebih baik tunjukkan kepadaku kelenteng yang baik untuk aku mengabdi kepada agama." Song Goat menghapus air mata-nya yang kembali berderai itu dengan ujung bajunya.
Kiang Liong menghela napas panjang, hatinya terharu. Bukan wataknya untuk memaksakan cintanya terhadap wanita, maka ia lalu berkata. "Nona Song, aku mengerti akan pendirianmu.
Baiklah, Kuil Pek-lian-si di lereng Bukit Cin-ling-san diketuai oleh Fang-nikouw yang menjadi sahabat baikku. Kau dapat datang ke sana dan menjadi murid Fang-nikouw
mempelajari keagamaan, akan tetapi kau berjanjilah bahwa sebelum satu tahun, engkau tidak akan menjadi nikouw. Aku akan menemui Yu Siang Ki dan kalau dalam satu tahun dia tidak mencarimu, anggap saja usahaku gagal dan sesukamu-lah kalau kau hendak menjadi nikouw.
Kauserahkan suratku kepada Fang-ni-kouw."
Pemuda itu lalu mengeluarkan pena bulunya, mengambil sehelai saputangan putih dan menggunakan getah pohon sebagai tinta, mencorat-coret beberapa belas huruf di atas saputangan lalu memberikannya kepada Song Goat.
"Terima kasih, Kongcu. Engkau baik sekali. Selama hidupku, aku tidak akan melupakan budimu."
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 345
"Aihhh, Song-moi, engkau benar-benar membikin hatiku terasa perih. Akan te-tapi apa boleh buat, urusanmu memang ruwet. Kau berjanjilah akan menanti sampai satu tahun."
"Baiklah, Kongcu, dan selamat berpi-sah. Semoga Thian memberkahimu."
Dengan pandang mata sayu Kiang Liong melihat gadis itu pergi. Banyak sudah ia mengenal gadis cantik, akan tetapi baru Song Goat ini yang menda-tangkan rasa iba besar di hatinya.
Ke-mudian, setelah bayangan gadis itu le-nyap, ia pun melanjutkan perjalanan. Tentu saja ia menuju pulang ke kota raja karena ia menghadapi urusan besar. Ia harus melapor sendiri kepada Kaisar agar Kerajaan Sung dapat bersiap-siap menghadapi ancaman bangsa Hsi-hsia yang makin mengganas. Di sepanjang perjalan-an, hanya dua wajah yang selalu terba-yang di depan matanya. Wajah Po Leng In dan wajah Song Goat. Dua orang gadis yang amat berbeda wataknya, akan te-tapi yang kedua-duanya telah melepas budi kepadanya.
"Baiklah, Kongcu, dan selamat berpi-sah. Semoga Thian memberkahimu."
Ketika ia tiba di lembah Sungai Ku-ning, di kaki Bukit Fu-niu-san di sebelah selatan kota raja, senja telah mendatang. Ia mempercepat larinya karena tidak ingin kemalaman di jalan, ingin bermalam di sebuah dusun yang ia tahu berada di depan, kurang lebih dua puluh li lagi jauhnya.
Akan tetapi perhatiannya tertarik oleh keributan yang terjadi di pinggir hutan di sebelah depan. Dari jauh sudah kelihatan bahwa di pinggir hutan itu ter-jadi perang kecil yang dilakukan oleh empat lima puluh orang. Hatinya ber-debar keras. Dari jauh tampak bahwa yang bertanding adalah orang-orang Hsi-hsia, hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa hwesio jubah merah yang ber-gerak cepat dan tangkas. Sedangkan pihak lawan adalah orang-orang bersera-gam, seperti pasukan yang pada saat itu keadaannya terdesak karena selain kalah banyak, juga kelihatan para hwesio jubah merah itu membuat mereka repot
mempertahankan diri. Kiang Liong menjadi cemas sekali. Adakah pasukan Hsi-hsia sudah mulai menyerbu dan berada begini dekat dari kota raja" Adakah pasukan yang terancam itu pasukan pengawal dari kota raja" Dari jauh tidak tampak jelas, maka ia segera mempercepat larinya menuju ke tempat pertempuran.
Setelah dekat, ia terheran-heran. Kira-nya pasukan yang terdiri dari belasan orang itu adalah orang-orang Khitan! Beberapa orang Khitan sudah menggeletak mandi darah dan belasan orang sisanya melaku-kan perlawanan mati-matian. Orang-orang Khitan ini tidak pandai silat, akan tetapi mereka biasa bertempur dan memiliki keberanian serta kenekatan yang amat besar. Namun orang-orang Hsi-hsia di bawah pimpinan lima orang hwesio jubah merah itu terlampau kuat bagi orang-orang Khitan ini. Dan yang mengagumkan hati Kiang Liong adalah ketika ia melihat seorang gadis remaja mengamuk melawan dua orang hwesio jubah merah.
Bukan main gadis remaja ini. Cantik je-lita, memiliki kecantikan khas Khitan yang berbedadengan kecantikan orang-orang daerah, memakai pakaian serba indah dan hebatnya, permainan pedang gadis itu jelas merupakan ilmu pedang yang bertingkat tinggi! Sayangnya gadis itu agaknya belum banyak pengalaman bertanding, karena kalau ia lebih
berpe-ngalaman, Kiang Liong yakin bahwa dua orang hwesio jubah merah ini tentu tak-kan dapat bertahan lama.
Apalagi ia telah mengenal bahwa pasukan itu adalah pasukan Khitan yang pada waktu itu merupakan bangsa sahabat, andaikata pasukan tak terkenal se-kalipun, tentu Kiang Liong tidak ragu-ragu untuk membantunya melawan orang-orang Hsi-hsia dan hwesio-hwesio anak buah Bouw Lek Couwsu ini. Terutama sekali melihat gadis cantik jelita itu, hatinya kagum dan ingin berkenalan. Amatlah baik kesempatan itu. Kalau dia membantunya merobohkan musuh-musuh gadis itu, tentu mereka akan dapat ber-kenalan dengan baik! Akan tetapi gadis itu tidak membutuhkan bantuan pada saat itu karena permainan pedangnya da-pat mengatasi dua orang pengeroyoknya. Yang amat membutuhkan bantuan adalah pasukan Khitan itu, maka tanpa banyak cakap lagi ia melompat maju, menyerbu dengan cepat. Bagaikan seekor burung rajawali menyerbu serombongan tikus saja, begitu kaki tangannya bergerak, empat Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 346
orang Hsi-hsia memekik dan roboh terguling.
Seketika berubah keadaan perang kecil itu. Apalagi ketika hwesio-hwesio jubah merah itu memandang dan mengenal Kiang Liong, mereka menjadi gentar sekali. Kiang Liong terus menerjang dan dalam waktu singkat saja, belasan orang Hsi-hsia sudah roboh terguling. Para perajurit pengawal bangsa Khitan timbul semangat mereka melihat bala bantuan yang lihai ini. Mereka mengeluarkan pekik kemenangan lalu menyerbu makin hebat. Orang-orang Hsi-hsia mawut, se-bagian roboh binasa, yang lain melarikan diri. Lima orang pendeta jubah merah yang memimpin mereka, termasuk yang mengeroyok dara jelita tadi, sudah lebih dulu melarikan diri masuk ke dalam hutan dan berlindung kepada kegelapan malam yang mulai timbul.
"Cianbu (Kapten), syukur kau dan pa-sukanmu tiba tepat pada saatnya, kalau tidak tentu aku sudah mereka tawan!" Dara remaja itu berkata sambil menya-rungkan pedangnya, wajahnya sedikit pun tidak membayangkan kecemasan atau kekagetan sungguhpun ia baru saja ter-lepas daripada bahaya besar.
Kapten yang memimpln pasukan pe-ngawal itu memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam di depan dara itu dan meletakkan tangan kanan di de-pan dada, kemudian berkata.
"Rasa syu-kur dan terima kasih sepatutnya diberikan kepada Kiang-kongcu ini, karena kalau Kiang-kongcu tidak datang tepat pada saatnya, bukan hanya hamba sepa-sukan akan terbasmi, juga Paduka Puteri tidak akan tertolong." Berkata demikian, kepala pengawal itu menunjuk ke arah Kiang Liong.
Hal ini tidak mengherankan hati Kiang Liong. Ia tahu bahwa Kerajaan Khitan mempunyai banyak mata-mata dan tentu saja namanya sudah dikenal baik oleh para perwira Khitan, bahkan wakil-wakil Kerajaan Khitan yang berada di kota raja merupakan seorang di antara sahabat-sahabatnya. Ia hanya kaget men-dengar betapa dara itu disebut Paduka Puteri oleh Si Kapten, maka ia menduga-duga siapa gerangan puteri jelita ini.
"Cianbu terlalu memuji...." Ia berkata sambil menjura di depan dara itu yang memandangnya dengan sepasang mata bintang.
"Ah, kiranya engkau ialah Kiang-kongcu yang dikatakan murid.... Suling Emas.....?"
Di dalam hatinya Kiang Liong merasa bangga. Kenyataan bahwa dia murid Su-ling Emas, tidak membanggakan hatinya kalau yang memujinya orang biasa, akan tetapi keluar dari sepasang bibir yang indah ini....!
"Saya orang She Kiang hanya seorang bodoh dan hanya dapat sedikit mempelajari ilmu Guru saya yang mulia." katanya merendah.
Dara itu tersenyum, pandang matanya melamun. "Sudah sering aku mendengar dari Ayahku tentang kesaktian Paman Suling Emas. Aku pun pernah mendengar penuturan Pangeran Mahkota tentang dirimu, juga Ayah mengenal namamu."
Kiang Liong memandang wajah ayu itu, mengingat-ingat. Kemudian ia ter-ingat akan cerita bahwa Panglima Besar Kerajaan Khitan yang ia kenal, yaitu Panglima Kayabu yang gagah perkasa dan pandai mengatur barisan, mempunyai seorang puteri yang cantik jelita dan pandai ilmu silat.
"Ah, kiranya saya berhadapan dengan Puteri Mimi, puteri dari Panglima Kaya-bu yang terhormat?"
Puteri Mimi tersenyum, giginya ber-kilat putih dan indah seperti mutiara disusun dan senyumnya seakan-akan me-nerangi cuaca yang sudah mulai gelap itu. "Dugaanmu benar, Kongcu. Dan hal ini membuktikan ketajaman matamu dan kecerdikanmu, belum pernah
jumpa dapat menduga tepat." Kemudian puteri jelita itu memandang kepala pengawal dan ber-kata.
"Cianbu, bagaimana kau dan pasukanmu dapat muncul secara kebetulan" Ataukah memang kau sengaja mengikuti perjalananku?" Pertanyaan terakhir ini mengandung penasaran dan Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 347
kemarahan. Kepala pengawal itu kembali memberi hormat seperti tadi, menjura dalam-da-lam, baru menjawab. Jawabannya singkat sekali dan tegas seperti kalau ia mem-buat laporan kepada atasannya.
"Hamba mendapat pelaporan rahasia dari para penyelidik bahwa Pangeran Mahkota telah ditawan pimpinan Hsi-hsia. Hamba memimpin pasukan mengejar Paduka karena khawatir akan terjadi hal serupa."
"Apa...." Pangeran Talibu tertawan....?" Puteri Mimi menjadi kaget sekali. "Me-ngapa orang-orang Hsi-hsia menawan Pangeran" Dan dibawa ke mana?" Wajah puteri ini sekarang
menjadi pucat dan ia cemas sekali.
Kepala pengawal itu menggeleng ke-pala. "Mengapa Pangeran ditawan belum dapat hamba ketahui, hal itu sedang diselidiki. Dan hamba hanya tahu bahwa Pangeran ditawan di luar kota Lok-yang, juga belum diketahui dibawa ke mana.
Orang-orang kita sedang sibuk mencari dan menyelidik, dan tentu saja kita amat
mengharapkan bantuan Kerajaan Sung...." Ia menoleh ke arah Kiang Liong.
"Hemm, aku agaknya tahu mengapa Pangeran Talibu ditawan orang-orang Hsi-hsia dan tentu saja kami akan mem-bantu sekuat tenaga untuk membebaskan-nya karena kejadian itu terjadi di wila-yah Kerajaan Sung." kata Kiang Liong. "Harap Puteri beristirahat saja di rumah-ku agar terjaga keamanannya, adapun Cianbu kuharap membantu teman-teman melakukan
penyelidikan. Hanya pesanku, orang-orang Hsi-hsia dipimpin oleh Bouw Lek Couwsu dan hwesio-hwesio jubah merah, di antara mereka banyak terdapat orang-orang pandai, maka harap jangan tergesa-gesa turun tangan. Aku yakin bahwa orang-orang Hsi-hsia tidak akan membunuh Pangeran Talibu."
"Kiang-kongcu, agaknya kau banyak mengerti akan urusan ini. Sebetulnya mengapakah mereka menawan Pangeran?" tanya Puteri Mimi.
Kiang Liong tersenyum. "Tidak banyak waktu untuk bicara, Puteri. Marilah kita berangkat dan kelak kuceritakan kepada-mu."
Puteri Mimi lalu memberi perintah kepada kepala pengawal untuk memenuhi permintaan Kiang Liong tadi. Berangkat-lah pasukan itu pergi, juga Sang Puteri lalu bersama Kiang Liong meloncat ke atas punggung dua ekor kuda yang di-sediakan oleh kepala pasukan.
Karena dapat menduga bahwa Bouw Lek Couwsu pada saat itu tentu telah mempunyai
banyak kaki tangan yang disebar sebagai mata-mata di kota raja, maka Kiang Liong membawa Puteri Mimi memasuki kota raja lewat tengah malam. Ia sudah dikenal oleh semua penjaga pintu gerbang, maka dapat masuk tanpa kesukaran. Kemudian menjelang pagi ia memasuki gedung tempat tinggal ayahnya melalui sebuah pintu rahasia yang hanya diketahui olehnya dari belakang rumah.
Ketika pagi itu, sudah agak siang, ia bangun, ia melihat bahwa di taman sam-ping diadakan pesta. Ia membawa Puteri Mimi yang bermalam di sebuah kamar tamu kepada ayah bundanya dan dengan singkat menceritakan pengalamannya, memperkenalkan Puteri Mimi kepada orang tuanya. Sebagai seorang pangeran, tentu saja Pangeran Kiang menerima puteri Panglima Khitan itu dengan hor-mat dan ramah, juga ibunya amat suka kepada gadis yang cantik jelita ini. Kemudian, dari ibunya ia mendengar tentang kunjungan Suma Kiat yang mengaku putera tunggal mendiang kakak ibunya, Suma Boan.
"Bagaimana ini, Ibu" Mengapa secara mendadak muncul seorang keponakan Ibu" Kenapa Ibu tidak pernah bercerita bahwa mendiang Paman Suma Boan meninggal-kan seorang putera?"
Kiang Liong berta-nya. "Hemm, aku pun heran sekali melihat Ibumu, Liong-ji (Anak Liong)." kata Pa-ngeran Kiang dengan muka cemberut. "Aku pun baru sekarang mendengar akan hal itu, padahal setahuku, Pamanmu Su-ma Boan tidak pernah menikah dan tidak pernah punya putera. Kalau saja kau Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 348
melihat ibu pemuda itu.... hiihh, mengeri-kan sekali, seperti iblis betina."
"Ah, terlalu sekali. Tidak sepatutnya kau mengeluarkan kata-kata seperti itu!" Suma Ceng, ibu Kiang Liong memandang suaminya dengan pandang mata penuh teguran. "Kau sendiri dahulu menjadi sahabat baik kakakku Suma Boan, apakah kau tidak melihat betapa Suma Kiat ini mirip sekali dengan Kakakku dahulu" Pula, kita pernah mendengar tentang urusannya dengan Kam Sian Eng. Me-mang Kam Sian Eng mengerikan, akan tetapi.... ah, dia seorang yang berilmu tinggi, dan tidak waras, apalagi dia ma-sih adik tiri Suling Emas, apakah kau masih bersangsi?"
Makin keruh wajah Pangeran Kiang. "Huh, segala yang menyangkut nama Suling Emass selalu benar dan baik, sebaliknya pendapatku tidak pernah ada yang benar. Sialan!"
"Eh, bukan begitu. Aku hanya bicara sebenarnya dan...."
"Sudahlah!" Pangeran Kiang memban-ting kaki dan meninggalkan kamar. Kiang Liong
menjadi sedih dan juga malu kare-na ayah bundanya bertengkar di depan Puteri Mimi.
Sungguh memalukan dan menyedihkan. Sudah seringkali ia men-dengar ayah dan ibunya bertengkar dan selalu dalam pertengkarannya ini dibawa-bawa nama gurunya, Suling Emas.
Dahulu ketika dia diambil murid Suling Emas pun menjadi bahan percekcokan antara ayah dan ibunya. Ia menghela napas panjang dan berkata.
"Sesungguhnya, bagaimanakah ia da-tang dan mau apa" Sekarang, eh, wa-nita yang menjadi ibunya itu ke mana, apakah berada di sini pula?"
Suma Ceng yang biarpun usianya su-dah mendekati lima puluh masih tampak cantik dan halus itu, menarik napas pan-jang, memegang dan menarik tangan Puteri Mimi menundukkan gadis itu di dekatnya sambil berkata. "Puteri harap kaumaafkan kami yang tidak tahu sopan-santun. Tentu membikin kau merasa tidak enak sekali."
Mimi biarpun masih gadis remaja, namun ia terdidik sejak kecil dan hidup di kalangan orang-orang besar, maka ia pandai membawa diri. Ia mengelus-elus tangan nona yang halus itu, kagum akan kecantikannya, lalu tersenyum dan berkata.
"Bibi yang baik, panggil saja aku Mimi, dan sungguh mati apa yang terjadi dan terucapkan tadi, sekarang pun aku sudah lupa lagi."
Suma Ceng memandang wajah yang jelita itu dengan pandang mata kagum dan senang.
Kemudian berkata, suaranya halus dan matanya sayu terme-nung. "Aahhh, kau tentu dekat dengan Ratu Khitan, Mimi. Mendengar pun tidak mengapa, karena wanita yang dibicarakan tadi, Kam Sian Eng, adalah enci angkat ratumu di Khitan." Kemudian ia meman-dang putera sulungnya, "Liong-ji, ketika pamanmu Suma Boan dahulu meninggal dunia, di luar tahu siapapun juga ia me-ninggalkan Kam Sian Eng dalam keadaan mengandung. Semenjak itu Kam Sian Eng menghilang dan beberapa hari yang lalu di waktu malam dia muncul secara tiba-tiba di sini bersama puteranya, Suma Kiat. Ia minta supaya aku menerima Suma Kiat tinggal untuk sementara di sini dan memperkenalkannya kepada para pembesar di kota raja.
Tentu saja aku tidak dapat menolak permintaannya dan pagi hari ini kami memperkenalkan Suma Kiat melalui pesta umum kepada para tamu. Ayahmu tidak setuju, maka ter-paksa Suma Kiat sendiri yang menjadi wakil dalam pesta."
Kiang Liong menghela napas panjang. Sudah lama ia tahu bahwa tentu ada rahasia aneh terselip dalam rumah tang-ga ibunya, dan di dalam rahasia ini, gurunya memegang peran yang tidak kecil. Gurunya sendiri belum pernah mau bertemu dengan ayah ibunya. Dan ibunya amat sayang kepadanya, melebihi sayang-nya kepada dua orang adiknya, Kiang Sun dan Kiang Hoat. Akan tetapi ayahnya jauh lebih sayang kepada dua orang adik-nya. Rahasia apakah" Dia tidak tahu dan tidak pernah ibunya mau bicara tentang itu. Kini adiknya Kiang Sun yang sudah berusia dua puluh tiga tahun, sudah me-nikah dan bahkan tinggal jauh di selatan, di Socouw. Adapun Kiang Hoat adiknya yang bungsu, menjadi siucai
(sastrawan)yang pandai, akan tetapi pekerjaannya sehari-hari hanya mengejar wanita-wanita Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 349
cantik dan menghambur-hamburkan uang saja.
"Kalau begitu.... Bibi Kam Sian Eng itu tidak tinggal di sini?"
"Tidak, bahkan ia datang, bicara sing-kat lalu pergi lagi menghilang seperti.... seperti setan.
Tidak terlalu menyalahkan Ayahmu kalau mengatakan dia iblis be-tina. Memang mengerikan sekali, Liong-ji. Tentang kepandaiannya, aku tidak heran karena sudah banyak kumelihat orang-orang sakti seperti Suling.... eh, Gurumu sehingga melihat orang berkele-bat lalu lenyap bukan hal baru bagiku. Akan tetapi ia menyembunyikan mukanya dalam kerudung hitam, pakaiannya serba putih, dan sikapnya.... hih, menyeramkan!"
Kiang Liong tidak merasa heran kalau adik tiri gurunya seperti itu lihai dan anehnya, hal itu tidak mengherankan. Hemm, pemuda yang kini mewakili tuan rumah berpesta di taman, adalah saudara misan dengannya. Dan melihat ibu pe-muda itu sakti, tentu pemuda yang bernama Suma Kiat itu lihai pula. Hal ini menggembirakan hatinya, karena biarpun ia mempunyai dua orang adik namun mereka itu sama sekali tidak mengerti Ilmu silat. Ayahnya lebih senang anak-anaknya belajar ilmu surat daripada ilmu silat. Teringat akan adiknya, ia lalu ber-tanya.
"Adik Hong ke mana, Ibu" Apakah ikut berpesta di samping?"
Ibunya cemberut. "Ah, bocah nakal itu, hatiku susah sekali memikirkan dia! Seorang siucai pemogoran! Kini tergila-gila kepada anak pemilik rumah makan di barat kota! Merengek minta dikawin-kan dengan anak itu. Anak pemilik res-toran! Wah benar-benar anak itu membikin malu orang tua!"
Kiang Liong tertawa, dan ibunya memandang marah. "Kenapa tertawa?"
"Ha-ha, Ibu benar aneh. Kalau anak pemilik restoran, mengapa sih" Kan dia juga perempuan tulen" Kalau memang Adik Hoat mencintanya...."
"Cinta" Ah, cinta hanya awal bencana dan duka! Aku akan merasa bahagia se-kali kalau dia mencinta seorang gadis seperti.... Mimi ini...."
"Ihhh.... Bibi membikin aku malu saja!" Puteri Mimi menjauhkan diri dan tersenyum jengah.
"Ha-ha-ha! Ibu tidak usah marah-ma-rah, maafkan kalau pendapat saya, keli-ru." Kiang Liong berlutut dan memeluk kedua kaki ibunya dengan sikap manja. Ibunya menundukkan muka dan mengelus kepala puteranya. Puteranya ini menjadi buah hatinya, putera inilah keturunan dari pria yang dicintanya, putera Suling Emas!
"Sudahlah, kau sendiri terlalu nakal, sudah begini tua tidak juga mau meni-kah."
"Sabar dulu, Ibu. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan. Apalagi seka-rang, aku harus cepat-cepat menghadap Kaisar untuk menyampaikan hasil penyelidikanku, bahkan harus cepat-cepat ber-tindak untuk menyelamatkan kerajaan, juga untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan yang kini tertawan orang-orang Hsi-hsia."
Seketika wanita itu menjadi serius. "Aihhh, ada urusan begini besar mengapa kau tadi bicara tentang urusan pribadi saja" Liong-ji, cukuplah tentang urusan kita sendiri, kau harus lekas menghadap kaisar dan selesaikan urusan penting itu."
Pada saat itulah terdengar suara ri-but-ribut di samping gedung, dari arah taman di mana sedang berlangsung pesta. mendengar ini, Kiang Liong lalu melom-pat dan melangkah keluar, diikuti Puteri Mimi yang juga ingin mengetahui apa yang terjadi di sana.
Demikianlah, seperti telah kita keta-hui di bagian depan cerita ini, ketika Kiang Liong tiba di taman dan menyak-sikan keributan yang terjadi, ia menegur dengan suara penuh wibawa.
"Hemmm, apakah yang terjadi di sini?"
"Kiang-kongcu datang....!" Seruan ini keluar dari mulut beberapa orang sekali-gus dan semua mata kini memandang ke arah Kiang Liong. Dengan pandang mata-nya yang tajam Kiang Liong menyapu wajah orang-orang yang kelihatan me-nimbulkan keributan. Tertegun hatinya ketika ia mengenal Mutiara Hitam, juga ia dapat menduga bahwa pengemis muda bertopi itu tentulah ketua baru Khong-sim Kai-pang yang sudah banyak dide-ngarnya. Melihat pemuda itu, teringatlah ia akan Song Goat dan timbul rasa tidak senang di hatinya, apalagi melihat Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 350
mun-culnya pengemis muda itu bersama Mu-tiara Hitam! Hatinya makin sebal me-lihat seorang pemuda berpakaian serba mewah yang ia dapat menduga tentulah saudara misannya, akan tetapi ia tidak berkata apa-apa, hanya memandang penuh perhatian.
Suma Kiat adalah seorang yang wa-taknya aneh, namun harus diakui bahwa di balik
keanehannya, ia memiliki kecer-dikan luar biasa. Mendengar seruan orang-orang itu, ia segera menghadapi Kiang Liong dan menarik muka semanis--manisnya, menjura dengan penuh
hormat sambil berkata. "Kiang-piauw-heng (Kakak Misan Kiang), aku adikmu Suma Kiat mohon maaf sebesarnya bahwa aku tidak dapat mencegah kekacauan dalam pesta ini yang ditimbulkan oleh jembel busuk ini!" Setelah berkata demikian, ia kembali menggunakan tangan kanan menutupi luka di pundak kirinya.
Kiang Liong hanya mengangguk kepa-da Suma Kiat sebagai balasan, lalu ber-tanya, suaranya tetap tenang. "Siapakah yang mengacau dan apa sebabnya?"
Dengan muka seperti hendak menangis Suma Kiat lalu menunjuk Yu Siang Ki dan berkata.
"Jembel busuk inilah yang mengacau. Dia berani menghina tamu-tamu kita, tamu wanita lagi.
Aku tentu sudah dapat memukul mampus padanya kalau saja Sumoiku ini tidak mencampuri dan melukai pundakku!"
Kiang Liong tertegun dan merasa amat heran, akan tetapi hanya di dalam hatinya saja.
Sungguh tak disangka-sang-kanya. Mutiara Hitam ini sumoi dari Suma Kiat" Murid wanita aneh bernama Kam Sian Eng yang menurut ibunya tadi masih adik tiri gurunya sendiri" Jadi kalau begitu Mutiara Hitam ini bukan orang lain, masih terhitung adik seper-guruan dengannya. Ia menjadi bingung dan sejenak kesima tak dapat berkata. Kemudian ia
memandang Yu Siang Ki, pandang matanya penuh selidik dan ia harus mengaku bahwa
pemuda tampan yang berpakaian penuh tambalan ini memiliki wibawa besar dan sinar mata tajam juga. Pemuda bertopi lebar itu amat tenang, membayangkan keagungan seorang ketua.
Ia lalu teringat bahwa ia sebagai tuan rumah, maka ia segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat. Gerakan ini membuat wajah Yu Siang Ki berseri sedikit, ke-mudian ia pun balas menghormat.
"Pesta kecil ini diadakan untuk me-nyambut kedatangan Adik misanku ini, dan siapa pun yang suka boleh datang. Saya rasa para pelayan kami sudah cukup terlatih untuk menyambut setiap orang tamu sebagaimana mestinya. Akan tetapi, belum pernah terjadi ada tamu menghina tamu lain, apalagi tamu-tamu wanita. Sungguh hal yang amat tidak patut dan mengecewakan. Harap saja sobat sudi memberi penjelasan."
Sebelum Yu Siang Ki sempat men-jawab, lima orang wanita yang tadi di-kalahkan Siang Ki sudah berebut maju dan seorang di antara mereka berkata, "Mula-mula adalah Si Bocah Iblis ini yang menghina kami, Kiang-kongcu. Tan-pa sebab ia membalikkan meja dan menyiram kami dengan kuwah panas. Kemudian setelah kami dapat menahan diri karena ternyata dia sumoi dari Su-ma-kongcu, Si Jembel busuk ini bikin gara-gara dan menyerang kami!"
Kiang Liong menoleh kepada mereka dan tersenyum masam. Ia tentu saja mengenal mereka, gadis yang cantik dan dan genit ini yang selalu mengejar-nge-jarnya, dan tahu pula bahwa orang-orang seperti mereka ini hanya tepat dijadikan teman bersenang-senang, namun tidak boleh didengar omongannya dalam urusan besar.
"Harap kalian pergilah agar tidak menambah keruh suasana. Aku akan membereskan urusan ini. Pergilah!" Suara dan pandang mata Kiang Liong membuat lima orang wanita itu mundur dan de-ngan bersungut-sungut mereka lalu pergi dari dalam taman itu, bersumpah untuk membalas dendam kepada Kwi Lan dan Siang Ki.
Kiang Liong kembali menghadapi Siang Ki. "Nah, sobat, bagaimana penje-lasanmu"
Kuulangi lagi bahwa sebagai seorang tamu, adalah amat tidak pantas melakukan pengacauan dan menghina tamu-tamu lain."
Mutiara Hitam >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com 351
"Kiang-kongcu, sudah amat lama saya mendengar nama besar Kiang-kongcu sebagai seorang Enghiong (pendekar) yang gagah. Akan tetapi keadaan dalam pesta ini benar-benar membuat hati saya ke-cewa. Terus terang saja, lima orang wanita itu bukanlah manusia-manusia yang patut menjadi tamu Kiang-kongcu. Saya telah turun tangan menghajar me-reka, kalau hal ini dianggap salah, saya bersedia menerima pertanggungan-jawab-nya."
Diam-diam Kiang Liong kagum men-dengar jawaban itu. Jawaban yang seder-hana namun sekaligus menonjolkan sifat gagah pemuda itu yang tidak suka men-ceritakan peristiwa itu untuk membela diri sendiri dengan jalan menyalahkan orang lain. Juga membayangkan keang-kuhan seorang ketua perkumpulan penge-mis yang mengaku telah menghajar orang dan kalau dianggap salah, suka menerima pertanggunganjawabnya! Namun jawaban ini pun mengandung tantangan terhadap dirinya sebagai tuan rumah. Kiang Liong seorang laki-laki sejati, betapapun juga Suma Kiat adalah adik misannya dan kini adiknya itu terluka, Si Pembuat Onar berdiri di depannya menantang!
"Hemm, sombong sekali! Sobat, kau hendak mempertanggungjawabkan per-buatanmu berarti kau menantang aku sebagai tuan rumah. Marilah kita selesaikan urusan ini secara laki-laki!"
Pandang mata Kiang Liong tajam menusuk.
Yu Siang Ki berdiri tegak, keningnya berkerut dan ia menjawab dengan lantang dan gagah.
"Aku Yu Siang Ki sebagai seorang gagah mengenal kegagahan, men-junjung tinggi persahabatan dan tahu mana baik mana buruk. Sebagai Ketua Khong-sim Kai-pang harus mempertahan-kan nama. Sudah lama mendengar akan kegagahan Kiang-kongcu sebagai
murid pendekar sakti Kim-siauw-eng (Suling Emas), maka kalau Kongcu menantangku untuk mengadu kepandaian aku orang she Yu tentu saja tidak berani berlaku ku-rang ajar dan ceroboh, membentur Gu-nung Thai-san. Akan tetapi, kalau Kiang-kongcu bertindak sebagai pembela lima orang wanita tadi, berarti Kongcu mem-bela yang sesat dan aku siap untuk me-nerima pelajaran dari Kiang-kongcu!"
Misteri Bayangan Setan 10 Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung Dendam Empu Bharada 33
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama