Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung Bagian 7
Kiam Meng ".." "Harap Adik Hui berlega hati!" sambung Pek Giok Liong cepat.
"Dia tidak apa-apa, besok Tu Cu Yen pasti mengeluarkannya."
"Oooh!" Siauw Hui Ceh manggut-manggut.
"Siau Liong memberi hormat pada cung cu!" ucap Pek Giok Liong
sambil menjura pada cung cu Siauw Thian Lin.
"Nak Liong, engkau tidak usah banyak peradaban!" sahut cung
cu Siauw Thian Lin sambil tersenyum. "Ketika aku mendengar bahwa
engkau sudah kembali, hatiku sungguh gembira sekali. Namun juga
merasa heran, kenapa engkau begitu cepat kembali. Apakah engkau
telah pergi ".."
Berkata sampai di sini, nafas cung cu Siauw Thian Lin mulai
sesak. Kening Pek Giok Liong berkerut. "Cung cu jangan banyak bicara,
izinkanlah Siau Liong memeriksa nadi cung cu!" ujarnya.
Tentang Pek Giok Liong ingin memeriksa nadinya, Siauw Hui Ceh
pun sudah memberitahukan, maka ia segera menjulurkan lengannya
yang kurus itu. Padahal cung cu Siauw Thian Lin baru berusia lima puluhan,
bahkan memiliki kepandaian tinggi, maka seharusnya berbadan
sehat. Akan tetapi ".., Pek Giok Liong tersentak hatinya dan
membatin ketika melihat lengan cung cu Siauw Thian Lin. Nafas
sesak apa itu" Tidak sampai setahun tubuh cung cu Siauw Thian Lin
sudah begitu kurus. Itu tidak mungkin. Penyakit tersebut tidak akan
membuat orang jadi begitu kurus, lagi pula cung cu Siauw Thian Lin
memiliki tenaga dalam yang tinggi, maka tidak seharusnya "..
Meskipun sedang berpikir, tiga jari Pek Giok Liong pun
memegang nadi di pergelangan lengan cung cu Siauw Thian Lin.
Diperiksanya nadi cung cu itu dengan cara Ceng Khi Siu Hoat (Hawa
murni menembus jalan darah).
333 Itu sungguh mengejutkan cung cu Siauw Thian Lin, sebab orang
yang mampu memeriksa nadi dengan cara tersebut, harus memiliki
tenaga dalam tingkat tinggi.
Padahal usia Pek Giok Liong masih muda. Mungkinkah ia telah
memiliki tenaga dalam yang begitu tinggi" Siauw Hui Ceh telah
memberitahukan pada cung cu Siauw Thian Lin, bahwa Hek Siau
Liong memiliki ilmu yang amat tinggi. Tapi cung cu Siauw Thian Lin
tidak begitu percaya, karena dipikirnya baru berpisah satu tahun,
bagaimana mungkin Hek Siau Liong belajar ilmu silat yang begitu
tinggi" Setelah melihat dengan mata kepala sendiri cara Pek Giok Liong
memeriksa nadinya, maka ia pun percaya, bahkan merasa tenaga
dalam Pek Giok Liong jauh di atas tenaga dalamnya sendiri.
Betapa gembiranya cung cu Siauw Thian Lin, sehinga sepasang
matanya tampak berbinar-binar.
Berselang beberapa saat kemudian, Pek Giok Liong melepaskan
jari tangannya dari pergelangan lengan cung cu Siauw Thian Lin, lalu
menarik nafas. "Bagaimana, Kakak Liong?" tanya Siauw Hui Ceh.
"Ternyata dugaanku tidak meleset," jawab Pek Giok Liong serius.
Seketika juga sepasang mata Siauw Hui Ceh yang indah itu
menyorotkan sinar yang penuh mengandung kebencian.
"Sungguh tak berbudi dan berhati srigala!" caci Siauw Hui Ceh
sengit. "Eh" Adik Hui!" Pek Giok Liong menatapnya. "Engkau mencaci
siapa?" "Tentu Tu Cu Yen!" sahut Siauw Hui Ceh dengan wajah bengis.
"Adik Hui!" Pek Giok Liong tercengang. "Berdasarkan apa engkau
mencarinya demikian?"
"Dia meracuni ayahku, apakah aku tidak harus mencarinya?"
Pek Giok Liong tersenyum.
"Engkau berani memastikan dia yang meracuni ayahmu?"
"Tentu berani. Di rumah ini selain dia, siapa yang berani berbuat
begitu?" "Adik Hui, apakah engkau punya bukti?" Siauw Hui Ceh tertegun
sehingga tergagapgagap. "Itu ".. itu ".."
"Adik Hui!" Pek Giok Liong menatapnya. "Apakah engkau sudah
lupa akan apa yang kukatakan tadi" Urusan apa pun, sebelum ada
334 bukti, jangan menuduh sembarangan! Harus tenang dan berpikir
lebih cermat." "Kakak Liong ".." Siauw Hui Ceh menundukkan kepala.
"Walau itu perbuatan Tu Cu Yen, namun engkau tidak punya
bukti, lalu bisa bertindak apa terhadapnya" Bertanya padanya, tentu
dia tidak akan mengaku, sebaliknya dia malah akan menuntut bukti.
Nah, bagaimana engkau pada waktu itu" Lagi pula engkau
mencacinya di sini, dia tidak akan mendengar. Itu sama juga
bohong, maka apa gunanya engkau mencacinya begitu?"
"Kakak Liong ".." Wajah Siauw Hui Ceh kemerah-merahan.
"Ha ha!" Cung cu Siauw Thian Lin tertawa. "Nak Hui, apa yang
dikatakan Kakak Liongmu memang tidak salah. Oleh karena itu,
engkau harus ingat selalu!"
Siauw Hui Ceh diam, dan wajahnya tampak agak cemberut.
"Adik Liong!" Siauw Peng Yang menatapnya seraya bertanya.
"Sebetulnya paman terkena racun apa" Bisakah dipunahkan?"
Pek Giok Liong mengangguk.
"Bisa. Tapi ".."
"Kenapa, Adik Liong?" tanya Siauw Peng Yang agak cemas.
"Kita harus segera meninggalkan tempat ini, agar bisa
memunahkan racun di dalam tubuh Cung cu."
"Apa?" Siauw Hui Ceh tertegun. "Meninggalkan tempat ini?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Sebelum hari terang kita
sudah harus berada di tempat lain."
"Mengapa?" Siauw Hui Ceh tidak mengerti.
"Adik Hui, itu demi keselamatan ayahmu dan saudara Peng
Yang." Pek Giok Liong memberitahukan.
"Nak Hui!" sambung cung cu Siauw Thian Lin. "Apa yang
dikatakan Siau Liong memang benar. Demi keselamatan, kita harus
meninggalkan rumah ini sebelum hari terang."
"Tapi ".." Kening Siauw Hui Ceh berkerut. "Kita akan pergi ke
mana?" "Adik Hui!" Pek Giok Liong tersenyum. "Tentang itu engkau tidak
perlu cemas. Tentunya aku bisa mengatur suatu tempat yang aman
untuk kalian." "Tapi ".." Siauw Peng Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak gampang bagi kita berjalan ke luar dari sini."
335 "Aku sudah memikirkan hal itu. Aku akan memapah cung cu,
kalian berdua ikut di belakangku," ujar Pek Giok Liong. "Kita lewat
pintu halaman belakang."
Usai berkata begitu, Pek Giok Liong lalu memapah cung cu Siauw
Thian Lin. Siauw Peng Yang dan Siauw Hui Ceh mengikuti dari
belakang. Baru saja sampai di halaman belakang, mendadak
terdengar bentakan dari tempat gelap.
"Siapa" Mau ke mana?"
Pek Giok Liong sama sekali tidak menghiraukan suara bentakan
itu. Ia terus melangkah menuju pintu belakang halaman.
Tiba-tiba dari tempat gelap berkelebat ke luar tiga sosok
bayangan, ternyata tiga orang berbaju hitam. Mereka berdiri
menghadang di hadapan Pek Giok Liong.
"Jangan bergerak!" bentak salah seorang. Pek Giok Liong
berhenti. "Kalian mau apa?" tanyanya dingin.
Ketiga, orang berbaju hitam tertegun, lalu menjura dengan
hormat. "Oh, ternyata Nona Hoa Giok, maaf kami tidak melihat jelas dari
tempat gelap!" Pek Giok Liong mengenakan pakaian Hoa Giok, maka ketiga
orang berbaju hitam itu mengiranya Hoa Giok, sehingga bersikap
hormat padanya. Kesempatan ini tidak di sia-siakan Pek Giok Liong. Ia mendengus
dengan dingin. "Hm! Kalian bertiga kenal aku, kenapa masih menghadang di
depan" Cepat minggir!"
Walau ketiga orang berbaju hitam berlaku hormat, tapi mereka
tetap tak bergeming dari tempat.
"Nona Hoa Giok mau ke mana?" tanya salah seorang dari
mereka sambil tertawa. "Kalian berani mencampuri urusanku?" sahut Pek Giok Liong
dingin. Orang berbaju hitam itu masih tertawa, kemudian ujarnya sambil
tersenyum. "Nona Hoa Giok, kedudukanmu memang istimewa, tentunya
kami bertiga tidak berani mencampuri urusanmu, tapi ".."
"Jangan banyak omong! Kalian mau minggir atau tidak?" bentak
Pek Giok Liong dengan suara dalam.
336 "Mohon Nona Hoa Giok memaafkan!" ucap orang berbaju hitam
yang merupakan pemimpin. "Kami bertiga tidak berani melalaikan
tugas." Pek Giok Liong tertawa dingin. Ditatapnya mereka dengan sorot
mata. "Apakah kalian bertiga mampu menghalangiku?" ujarnya.
"Nona Hoa Giok engkau harus mengerti! Mungkin kami bertiga
tidak dapat menghalangimu, tapi masih banyak orang lain yang
mampu menghalangimu."
"Jadi kalian bertiga tidak mau minggir?"
"Maaf, kami sungguh tidak bisa menuruti kehendakmu!"
"Kalau begitu ".." Kening Pek Giok Liong berkerut. "Kalian
bertiga jangan menyalahkan diriku!"
Air muka ketiga orang berbaju hitam itu langsung berubah,
bahkan sekaligus mundur selangkah.
Sekonyong-konyong terdengar tawa yang dingin, tampak sosok
bayangan berkelebat ke samping tiga orang berbaju hitam itu.
Sosok bayangan itu orang berjubah hijau, berusia lima puluhan,
bertampang licik dan sepasang matanya bersinar tajam.
"Tidak lemah, tenaga dalam orang itu, entah siapa dia?" Pek
Giok Liong membatin sambil menatap orang itu.
"Bocah! Siapakah kau?" tanya orang berbaju hijau.
Sungguh tajam mata orang berbaju hijau itu. Begitu melihat
sudah tahu bahwa Pek Giok Liong menyamar wanita.
"Engkau tidak bisa melihat?" Pek Giok Liong balik bertanya
dengan nada dingin pula. "He he!" Orang berjubah hijau tertawa terkekeh. "Aku sudah
melihat dengan jelas, engkau bukan Hoa Giok!"
"Kalau begitu, engkau kira aku siapa?"
"Lebih baik sebutkan namamu!"
Pek Giok Liong tertawa dingin.
"Engkau belum berderajat mendengar namaku."
"Oh?" Orang berjubah hijau tampak gusar sekali.
"Lebih baik engkau minggir!"
"He he he!" Orang berjubah hijau tertawa terkekeh-kekeh. "Kau
pikir bisa ke luar dari sini?"
"Engkau mau menghalangiku?"
"Tidak salah!" sahut orang berjubah hijau jumawa. "Bahkan akan
menangkapmu!" 337 "Oh?" Pek Giok Liong tertawa gelak. "Apakah engkau yakin dapat
menangkapku?" "He he he!" Orang berjubah hijau tertawa melengking-lengking.
"Sungguh besar nyalimu! Aku ingin mencoba kepandaianmu, karena
engkau berani omong besar di hadapanku!"
"Oh, ya!" Pek Giok Liong tertawa gelak.
"Sambut seranganku ini!" bentak orang berjubah hijau lalu
secepat kilat mendorongkan telapak tangannya ke arah dada Pek
Giok Liong. Pek Giok Liong tertawa dingin, dan sekaligus mengibaskan
tangannya. Kibasan yang begitu sederhana, namun justru penuh
mengandung lwee kang yang amat dahsyat. Itu adalah Bu Siang
Kang Khi (Tenaga Dalam Tanpa Wujud).
Orang jubah hijau itu telah dua puluh tahun lebih berkecimpung
dalam kang ouw. Pengalamannya pun lebih dari cukup. Melihat usia
Pek Giok Liong masih begitu muda, maka ia meremehkannya, sama
sekali tidak menyangka bahwa Pek Giok Liong memiliki lwee kang
yang begitu tinggi. Namun sudah terlambat baginya, sebab kedua
lwee kang itu telah saling beradu.
"Baam!" terdengar suara yang memekakkan telinga.
Pek Giok Liong berdiri tak bergeming dari tempat, sedangkan
orang jubah hijau itu telah terpental beberapa meter.
"Uaaakh!" Orang jubah hijau memuntahkan darah segar.
Wajahnya pun berubah amat menakutkan.
Ketiga orang berbaju hitam terkejut bukan main. Mereka bertiga
segera menghampiri orang berjubah hijau.
"Bagaimana lukamu, saudara Chi!" tanyanya. Orang baju jubah
hijau itu bernama Chi Yong Kuang, julukannya Thiat Ciang Khay Pik
(Telapak Besi Pembelah Batu). Dari julukannya dapat diketahui
bahwa pukulannya sangat dahsyat dan telah menggetarkan dunia bu
lim. Namun hari ini ia terjungkal di tangan pemuda yang begitu
muda, bahkan hanya dalam satu jurus dan sekaligus membuatnya
memuntahkan darah segar. Sungguh menyedihkan kekalahannya
itu. Karena gengsi, maka ketika ditanya ia masih berusaha tertawa.
"Tidak apa-apa, lukaku tidak begitu parah," ujarnya.
Sementara Pek Giok Liong berbisik pada Siauw Hui Ceh dan
Siauw Peng Yang dengan suara serius.
338 "Kalian berdua cepat pergi, melompat tembok pun boleh. Aku
akan segera menyusul."
Pada waktu bersamaan, salah seorang berbaju hitam
menyalakan sebuah kembang api. Ternyata ia memberi isyarat pada
teman-temannya. Siauw Peng Yang dan Siauw Hui Ceh segera mengerahkan
ginkangnya namun tiba-tiba melayang turun tiga sosok bayangan,
sekaligus menyerang mereka berdua dengan telapak tangan yang
mengadung lwee kang tinggi. Seketika juga Siauw Peng Yang dan
Siauw Hui Ceh terdesak, sehingga terpaksa melompat mundur.
Menyusul muncul lagi belasan bayangan melayang turun di
tempat itu dengan posisi mengurung Pek Giok Liong berempat.
Mata Pek Giok Liong menyapu mereka semua, tujuh belas orang
yang rata-rata memiliki ilmu tinggi.
Pek Giok Liong terkejut juga. Keningnya pun berkerut-kerut.
Sebetulnya ia tidak merasa gentar menghadapi mereka semua.
Kalau ia mau pergi, tentunya gampang sekali, tiada seorang pun
mampu menghalanginya. Akan tetapi, ia harus memikirkan Cung cu Siauw Thian Lin, Peng
Yang dan Hui Ceh. Ia harus melindungi mereka, itulah yang
menyulitkan Pek Giok Liong. Menyadari akan situasi itu, Pek Giok
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Liong segera berbicara pada Siauw Hui Ceh dan Siauw Peng Yang
dengan ilmu menyampaikan suara.
"Kini kita telah terkepung, tanpa melukai orang tentunya kita
sulit meninggalkan tempat ini. Maka kalian berdua harus bersiap-siap
mengikutiku menerjang ke luar."
Usai berbicara itu, Pek Giok Liong langsung memandang para
pengepung itu dengan sorot mata dingin dan membentak.
"Siapa sebagai pemimpin harap ke luar bicara denganku!"
Salah seorang berjubah kuning maju selangkah, wajahnya
tampak dingin tak berperasaan. "Aku pemimpin mereka. Engkau
mau bicara apa?" "Siapa engkau?" Pek Giok Liong menatapnya tajam.
"Aku sudah bilang barusan, aku pemimpin mereka! Engkau tuli?"
sahut orang berjubah kuning itu dengan nada sinis.
"Aku bertanya namamu!"
"Engkau belum berderajat mengetahui namaku."
339 "Oh?" Pek Giok Liong tertawa dingin. "Kalau aku tidak berderajat
mengetahui namamu, berarti tiada orang lain dalam rimba persilatan
yang berderajat mengetahui namamu!"
Benar. Sebab kedudukan Pek Giok Liong sebagai ketua Panji Hati
Suci Matahari Bulan. Kalau ia tidak berderajat mengetahui nama
orang berjubah kuning itu, lalu siapa yang berderajat"
"Bocah!" Orang berjubah kuning tertawa terkekeh. "Kau sungguh
jumawa! Siapa namamu?"
"Engkau lebih-lebih tidak berderajat mengetahui namaku, apa
lagi engkau tidak berani bertemu orang dengan wajah asli!"
Orang berjubah kuning terkejut. Ia menatap Pek Giok Liong
dengan tajam sekali seraya berkata.
"Kau anggap aku pakai kedok atau merias wajah?"
"Ilmu merias wajahmu itu tidak dapat mengelabui mataku!"
"Bocah!" Orang berjubah kuning tertawa. "Sungguh tajam
matamu! Jangan banyak bicara! Engkau mau menyerah atau aku
harus turun tangan?"
Pek Giok Liong tertawa hambar, kemudian tanyanya dengan
acuh tak acuh. "Bagaimana menurutmu?"
"Menurut aku, lebih baik engkau menyerah!"
"Seandainya aku tidak setuju?"
"He he!" Orang berjubah kuning tertawa dingin. "Engkau sudah
di kepung! Kecuali engkau punya sayap, baru bisa terbang pergi dari
sini! Kalau tidak, engkau pasti mampus di tempat ini!"
"Kalian berjumlah belasan orang, kalau kita bertarung, aku
memang sulit meninggalkan tempat ini ".."
"Oleh karena itu, lebih baik engkau menyerah!" tandas orang
berjubah kuning itu sambil tertawa dingin.
"Kalau engkau menghendaki aku menyerah, itu tidak masalah.
Namun engkau harus menjawab beberapa pertanyaanku dulu! Kalau
jawabanmu beralasan, aku pun bersedia menyerah! Kalau tidak,
lebih baik aku bertarung mati-matian!"
"Bocah!" Orang berjubah kuning menatapnya dingin. "Saat ini
engkau masih membicarakan syarat denganku?"
"Sebelum bertarung dan belum tahu siapa kalah dan menang,
tentunya aku masih berhak membicarakan syarat!" sahut Pek Giok
Liong. 340 "Oh, ya?" Orang jubah kuning, lalu tertawa gelak. "Kematianmu
sudah berada di depan mata, tapi masih berani banyak omong!"
"Itu belum tentu!" sahut Pek Giok Liong dan menambahkan,
"Kalau aku mati, kalian pun harus menyertaiku!"
"Engkau yakin itu" He he! Kepandaianmu lebih tinggi dariku?"
"Kalau aku katakan lebih tinggi, tentunya engkau tidak akan
percaya!" Pek Giok Liong tertawa jumawa, itu memang sengaja.
"Oh?" Orang berjubah kuning melotot.
"Nah, aku akan memperlihatkan satu jurus, setelah
menyaksikannya, engkau pasti mengerti!"
Usai berkata begitu, Pek Giok Liong pun mengangkat tangan
kirinya, kemudian didorongkan ke depan ke arah sebuah pohon yang
berjarak tujuh meteran. Pohon itu sama sekali tidak bergoyang. Menyaksikan itu, orang
jubah kuning pun segera tertawa menghina.
"Pukulan apa itu" Aku tidak mengerti, lebih baik engkau
pertontonkan ".."
Kraaaak! Terdengar suara gemuruh, ternyata pohon itu telah
roboh. "Haah "..?" Orang berjubah kuning terperanjat dan matanya
pun terbelalak. "Ling Khong Huan In Cam (Pukulan Tanpa
Bayangan)!" "Betul." Pek Giok Liong mengangguk. "Tajam juga matamu,
dapat mengenali pukulanku ini!"
Orang jubah berkuning terdiam, sedangkan Pek Giok Liong
tersenyum seraya bertanya dengan suara dalam.
"Bagaimana pukulanku tadi" Engkau bisa?" Orang berbaju
kuning itu sudah tenang kembali, sepasang matanya menyorot
tajam. "Setiap ilmu silat punya kelebihan dan kekurangan. Meskipun
aku tidak memiliki pukulan seperti itu, belum tentu lwee kangmu
lebih tinggi dari lwee kangku."
"Oh?" "Kalau engkau ingin menakuti aku dengan pukulan itu, terus
terang, engkau telah keliru!"
Pek Giok Liong tertawa hambar. "Engkau berdiri cuma satu
setengah meter di hadapanku, kalau aku ingin mencabut nyawamu
dengan pukulan itu, engkau pasti sudah tergeletak tak bernyawa di
sini!" 341 Pek Giok Liong mengangkat sebelah tangannya, seketika juga
orang berjubah kuning melompat mundur dengan wajah pucat.
Pukulan tanpa bayangan merupakan pukulan tingkat tinggi dalam bu
lim. Orang jubah kuning tahu akan kelihayan pukulan itu, maka ia
segera melompat mundur. "Pukulanku mencapai jarak tujuh meter, kini engkau berdiri
cuma jarak lima meter, itu berarti engkau masih dalam jangkauan
pukulanku!" ujar Pek Giok Liong sambil tertawa.
Mendengar ucapan itu, orang berjubah kuning langsung
melompat mundur lagi sejauh delapan meteran sehingga membuat
Pek Giok Liong tertawa gelak.
"Ha ha ha! Kenapa engkau begitu ketakutan" Kalau aku ingin
mencabut nyawamu, mungkinkah aku menjelaskan tentang itu"
Tidak mungkin aku akan membiarkanmu melompat mundur dua kali,
kan?" Tidak salah apa yang dikatakan Pek Giok Liong. Kalau ia ingin
mencabut nyawa orang berjubah kuning itu, sudah dari tadi orang
berjubah kuning itu tergeletak tak bernyawa.
Kini orang berjubah kuning baru menyadari, bahwa Pek Giok
Liong cuma mempermainkan dirinya. Tentunya ia sangat gusar,
sehingga sepasang matanya melotot berapi-api.
"Kau kira aku takut?" bentaknya.
"Aku tidak bilang engkau takut, tapi ".." Pek Giok Liong
tersenyum. "Takut atau tidak, engkau tahu sendiri dalam hati! Maka
tidak perlu dicetuskan, itu pertanda engkau sudah ketakutan!"
"Bocah "..!" Betapa gusarnya orang berjubah kuning itu.
"Tenang!" Pek Giok Liong tersenyum. "Sekarang aku ingin
mengajukan beberapa pertanyaan!"
"Engkau ingin bertanya apa?"
"Kalau begitu, engkau pasti bersedia menjawab, kan?"
"Seandaianya aku menjawab dengan beralasan, apakah engkau
akan menepati janji?"
"Tentu." Pek Giok Liong mengangguk. "Aku tidak ingkar janji dan
menyesal!" "Bagus. Kalau begitu, engkau boleh bertanya sekarang."
Pek Giok Liong tersenyum, lalu mulai mengajukan pertanyaan.
"Apakah engkau orang keluarga Siauw?"
"Betul. Aku memang orang keluarga Siauw."
"Apa kedudukanmu dalam keluarga Siauw?"
342 "Kepala penjaga halaman."
"Bagaimana kedudukanmu dibandingkan dengan Ho cong koan?"
tanya Pek Giok Liong mendadak.
Orang jubah kuning tampak tertegun. "Engkau kenal dia?"
"Jangan bertanya, jawab saja pertanyaanku!"
"Jadi ".." Mendadak hati orang berjubah kuning tersentak.
"Engkau Seng Sin Khi?"
"Sudah kukatakan, jawab pertanyaanku tadi!"
"Kedudukan kami memang tidak sama. Dia kepala pengurus
dalam rumah, sedangkan aku kepala penjaga halaman. Tapi, aku
memang mengenalnya."
"Kalau begitu, engkau kenal siapa yang kupapah ini?" tanya Pek
Giok Liong sambil tersenyum.
"Dia cung cu Siauw Thian Lin."
"Siapa yang berdiri di belakangku itu?"
"Nona Hui Ceh dan majikan muda Kiam Meng!"
Ternyata orang jubah kuning itu tidak melihat jelas Kiam Meng,
yang tidak lain adalah Peng Yang.
"Kalau begitu, kenapa kalian mengepung kami" Apakah cung cu
Siauw Thian Lin tidak bebas bergerak, harus dikekang olehmu yang
kedudukanmu cuma sebagai kepala penjaga halaman?"
Orang berjubah kuning tertegun.
"Tentunya aku punya alasan!" jawabnya kemudian.
"Apa alasanmu?"
Orang jubah kuning tertawa dingin.
"Aku tidak mengenalmu. Lagi pula kenapa engkau memapah
cung cu Siauw Thian Lin" Aku adalah kepala penjaga halaman,
tentunya berhak melarangmu membawa pergi cung cu."
"Oh?" Pek Giok Liong tersenyum. "Cukup masuk akal alasanmu
itu, tapi engkau justru telah keliru."
"Keliru mengenai apa?" Orang berjubah kuning mengerutkan
kening. "Karena bersama Nona Hui Ceh dan majikan muda kedua, maka
alasanmu itu tidak bisa dipakai lagi! Engkau mengerti?"
"Aku mengerti, namun aku pun harus menjelaskan!"
"Jelaskanlah!" "Cung cu berada di tanganmu, maka Nona Hui Ceh dan majikan
muda kedua terkendalikan. Demi keselamatan cung cu, tentunya
mereka berdua harus menurut padamu!"
343 "Kalau begitu, kau kira aku memaksa mereka berdua
bersamaku?" "Memang begitu."
"Kenapa engkau tidak bertanya pada mereka berdua?"
"Itu tidak perlu. Karena mereka berdua dibawah kendalimu,
tentunya mereka tidak akan menjawab dengan jujur."
"Hei! Penjaga halaman!" bentak Siauw Hui Ceh mendadak.
"Siapa yang mengangkatmu sebagai kepala penjaga halaman di
sini?" Orang berjubah kuning tertegun, namun cepat pula menjawah.
"Telah disetujui cung cu."
"Ayah!" Siauw Hui Ceh memandang cung cu Siauw Thian Lin.
"Apakah ayah menyetujuinya menjadi kepala penjaga halaman?"
"Nak Hui! Percuma engkau bertanya. Aku setuju atau tidak sama
saja," sahut cung cu Siauw Thian Lin.
Secara tidak langsung jawaban itu telah menjelaskan, bahwa
meskipun ia tidak setuju, juga harus setuju karena terpaksa.
Siapa yang berani memaksa cung cu Siauw Thian Lin, ini tidak
perlu diberitahukan sudah bisa tahu, pasti tiada orang kedua lagi.
"Nona!" ujar orang berjubah kuning. "Cung cu telah mengaku,
itu pertanda aku tidak bohong."
Siauw Hui Ceh menatapnya dingin, kemudian dengusnya seraya
membentak dengan suara keras.
"Hei! Kepala penjaga halaman! Kini aku perintahkan engkau
harus minggir! Kami mau pergi, engkau menurut perintahku?"
"Maaf, aku tidak bisa menurut perintah Nona," sahut orang
berjubah kuning. Siauw Hui Ceh tertawa dingin. "Aku mau tanya, di dalam rumah
kami ini, engkau menurut pada perintah siapa?"
"Siapa yang mengundangku ke mari, itulah yang kuturut
perintahnya." "Siapa orang itu" Kenapa engkau tidak berani menyebut
namanya?" tanya Siauw Hui Ceh bernada menegurnya.
"Kenapa Nona harus bertanya tentang itu?"
"Hm!" dengus Siauw Hui Ceh dingin. "Kalau kau tidak berani
bilang, biar aku yang bilang!"
"Nona ".." orang berjubah kuning mengerutkan kening.
"Dia orang yang tak kenal budi, berhati licik dan busuk!" Caci
Siauw Hui Ceh. "Orang itu adalah Tu Cu Yen, kan?"
344 Orang jubah kuning tampak salah tingkah.
"Tidak Nona seharusnya Nona mencetuskan cacian itu. Kalau
Nona bukan ".." Orang berjubah kuning tidak melanjutkan
ucapannya. "Kenapa tidak kau lanjutkan ucapanmu?" tanya Siauw Hui Ceh
sambil menatapnya dengan tajam sekali.
"Sudahlah! Aku tidak mau berbuat salah terhadapmu, Nona!"
sahut orang berjubah kuning sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Oh?" Siauw Hui Ceh tersenyum dingin. "Engkau tidak mau
berbuat salah padaku, sebaliknya aku malah ingin berbuat salah
padamu! Aku ingin tahu, Tu Cu Yen berani bertindak apa terhadap
diriku!" Setelah berkata begitu, Siauw Hui Ceh pun menghunus pedang,
dan sekaligus menghampiri orang berjubah kuning.
"Harus bagaimana nih?" Orang jubah kuning membatin dengan
cemas, namun kemudian sepasang matanya bersinar tajam seakan
telah menemukan suatu jalan. Benar, ia telah menemukan suatu
jalan yang sangat menguntungkan dirinya, yakni ingin menangkap
Siauw Hui Ceh, lalu memaksa Pek Giok Liong melepaskan cung cu
Siauw Thian Lin. Pada waktu bersamaan, Siauw Hui Ceh telah menyerangnya
dengan pedang. Orang jubah kuning terkejut, dan secepat kilat
mengelak serangan itu. Dengan kesempatan ini, ia pun menjulurkan
tangannya untuk menangkap Siauw Hui Ceh.
Akan tetapi, mendadak ia mendengar tawa yang dingin. Tampak
sosok bayangan berkelebat, dan seketika juga ia merasa ada tenaga
dalam yang amat dahsyat mengarah padanya, sehingga
membuatnya termundur beberapa langkah.
Ternyata Pek Giok Liong telah berdiri di hadapannya. Tidak usah
dikatakan lagi, yang menyerangnya tentu Pek Giok Liong.
Itu membuat orang berjubah kuning semakin terkejut. Berapa
tinggi ilmu Pek Giok Liong, ia pun tidak jelas lagi.
"Adik Hui!" Pek Giok Liong menegurnya. "Engkau terlampau
menempuh bahaya!"
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siauw Hui Ceh cemberut dengan kening berkerut.
"Aku sangat gusar padanya!"
Pek Giok Liong tersenyum.
"Apa gunanya engkau gusar" Mampukah engkau melukainya?"
345 "Walau aku tidak mampu melukainya, aku akan membacoknya
beberapa kali, agar aku merasa puas!"
Pek Giok Liong tersenyum lagi, lalu mengarah pada orang
berjubah kuning seraya berkata.
"Aku telah bersabar dari tadi, sebab aku sama sekali tidak punya
niat melukai siapa pun. Lagi pula kita bukan musuh yang harus
saling membunuh. Aku mengulur waktu hanya menunggu
kemunculan Tu Cu Yen. Namun hingga saat ini dia belum muncul
juga. Kini sudah hampir subuh, aku masih punya urusan lain, tidak
bisa lama-lama di sini lagi."
"Oh?" Orang berjubah kuning itu mengerutkan kening.
"Sekarang aku memperingatkan kalian, pada saat aku
melangkah pergi, janganlah kalian menghadang! Sebab aku sudah
mulai mau turun tangan pada siapa yang berani menghadang
diriku!" Orang berjubah kuning diam saja.
Pek Giok Liong menoleh memandang Siauw Hui Ceh dan Siauw
Peng Yang seraya berpesan.
"Kalian berdua ikut di belakangku dalam jarak tiga langkah!" Usai
berpesan, Pek Giok Liong pun mulai mengayunkan kakinya sambil
memapah cung cu Siauw Thian Lin.
Orang berjubah kuning atau kepala penjaga halaman sudah tahu
betapa tingginya kepandaian Pek Giok Liong. Namun bagaimana
mungkin ia membiarkan mereka pergi begitu saja" Kalau Tu Cu Yen
pulang dan bertanya tentang hal ini, ia harus bagaimana
menjawabnya" Oleh karena itu, ia terpaksa berseru.
"Kita maju semua!"
Seketika juga berkelebat bayangan-bayangan mengarah pada
Pek Giok Liong. Kening Pek Giok Liong berkerut-kerut. "Minggir!" bentaknya
mengguntur. Ketika membentak, Pek Giok Liong pun mengerahkan tenaga
saktinya untuk menyapu sekelilingnya. Tampak beberapa orang
terpental beberapa meter. Padahal ia cuma menggunakan lima
bagian tenaga saktinya. Kalau ditambah dua bagian lagi, para
penyerang itu pasti sudah tergeletak tak bernyawa.
Kelima orang penyerangnya berdiri dengan wajah pucat pias,
karena telah menyaksikan satu hal yang amat mengejutkan.
346 Ternyata yang lain pun berdiri seperti patung di tempat, sama sekali
tidak bisa bergerak. Kejadian itu juga membuat Siauw Hui Ceh dan Siauw Peng Yang
terbeliak. Mereka berdua sama sekali tidak tahu apa yang telah
terjadi. Memang tiada seorang pun yang tahu apa gerangan yang telah
terjadi, hanya Pek Giok Liong sendiri yang tahu. Ia menatap kelima
orang itu sambil tersenyum-senyum, kemudian ujarnya.
"Kalian berlima cukup mujur, hanya terkejut. Namun belasan
orang itu tidak sama seperti kalian berlima. Mereka semua telah
kutotok jalan darahnya, sehingga tidak bisa bergerak sama sekali.
Setelah hari terang, jalan darah masing-masing itu akan terbuka
sendiri. Akan tetapi, ilmu totokku itu sangat istimewa, secara tidak
langsung telah merusak hawa murni mereka. Oleh karena itu,
mereka harus beristirahat beberapa hari, barulah bisa pulih seperti
semula." Kelima orang itu diam, hanya saling memandang seakan tidak
percaya akan kejadian itu. Akan tetapi, kenyataannya memang telah
terjadi. "Sekarang aku mau pergi, harap kalian berlima jangan
menghalangiku! Kalau masih berani menghalangiku, kalian pasti
kutotok seperti mereka! Nah, selamat tinggal!"
Pek Giok Liong memapah Cung cu Siauw Thian Lin sambil
melangkah pergi, Siauw Peng Yang dan Siauw Hui Ceh mengikutinya
dari belakang. Kelima orang itu sama sekali tidak berani menghalanginya.
Mereka tahu betapa tinggi kepandaian Pek Giok Liong. Mereka
berlima cuma berdiri diam ditempat sambil memandang kepergian
Pek Giok Liong yang memapah cung cu Siauw Thian Lin. Mereka pun
tidak berani menghalangi Siauw Peng Yang dan Siauw Hui Ceh.
Setelah Pek Giok Liong mereka berempat meninggalkan halaman
belakang itu, mendadak di halaman belakang itu berkelebat lima
sosok bayangan secepat kilat menuju ke arah Pek Giok Liong.
Itu tidak terlepas dari mata kelima orang yang tadi menyerang
Pek Giok Liong. Dapat dibayangkan, bagaimana terkejutnya mereka.
"Siapa kelima orang itu?" tanya salah seseorang pada temannya.
"Ginkang mereka begitu tinggi ".."
347 "Heran!" sahut temannya yang bersuara serak. "Kenapa tadi
mereka tidak muncul, setelah orang-orang itu pergi, baru mengejar"
Itu sama juga pengecut!"
"Ei! Kau kira mereka berlima itu orang kita?" ujar orang yang
bersuara dingin. "Kalau bukan orang kita, apakah musuh kita?"
"Aku berani memastikan, mereka berlima bukan cuma musuh
kita, bahkan teman pemuda tadi itu."
"Kenapa engkau berani memastikan begitu?"
"Karena ginkang mereka sangat tinggi. Di rumah ini tiada
seorang pun memiliki ginkang yang begitu tinggi. Lagi pula pemuda
itu bukan malaikat. Walau dia memiliki kepandaian yang amat tinggi,
tidak mungkin dia mendorong mundur kita, dan sekaligus menotok
jalan darah belasan orang itu. Menurut aku, itu pasti perbuatan
kelima orang itu." Teman-temannya mengangguk. Apa yang diuraikan orang itu
memang masuk akal, maka teman-temannya jadi diam.
Bagian ke 41: Membongkar Kuburan Membuka Peti Mati
Malam semakin larut, di sebuah perkuburan yang terletak di luar
perkampungan Siauw, muncul enam sosok bayangan. Ternyata Pek
Giok Liong, Siauw Hui Ceh dan Si Kim Kong (Empat Arhat) yang
berusia lanjut. Keempat Arhat itu membawa pacul dan perkakas lainnya.
Mereka mengikuti Pek Giok Liong dan Siauw Hui Ceh dari belakang.
Tak seberapa lama kemudian, Siauw Hui Ceh berhenti di depan
sebuah kuburan. "Kakak Liong, di sini!" ujar Siauw Hui Ceh, kini gadis itu telah
tahu nama asli Siau Liong dan asal-usulnya.
Pek Giok Liong memandang batu nisan kuburan. Pada batu nisan
itu terdapat tulisan berbunyi:
Kuburan Siauw Seng, yang mendirikan batu nisan Siauw Thian
Lin "Apakah ayahmu yang menyuruh orang membuat nisan itu?"
tanya Pek Giok Liong sambil memandang kuburan tersebut.
Siauw Hui Ceh menggelengkan kepala. "Setelah menderita sakit,
ayah sama sekali tidak mencampuri urusan apa pun." Siauw Hui Ceh
memberitahukan. "Tiga hari kemudian, ayah baru tahu tentang
348 kematian orang tua pincang itu, namun jasad orang tua pincang
telah di kubur." "Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut.
"Bahkan nisan ini pun sudah dibikin." tambah Siauw Hui Ceh.
"Justru membuat ayah jadi bingung."
"Kalau begitu, mungkin Tu Cu Yen yang membikin nisan ini atas
nama ayahmu." ujar Pek Giok Liong menduga.
"Mungkin." Siauw Hui Ceh mengangguk.
Pek Giok Liong tidak bicara lagi. Ia berdiri dengan sikap hormat
di hadapan kuburan tersebut.
"Orang tua, aku sudah kembali. Hanya berpisah satu tahun, tapi
engkau malah telah meninggal. Akan tetapi, aku mencurigai
kematianmu, maka harus membuktikan sesuatu, sehingga Siau Liong
terpaksa membongkar kuburanmu, aku mohon ampun sebelumnya!"
ucap Pek Giok Liong, kemudian mengarah pada keempat orang tua
yang berdiri di sampingnya. "Kalian berempat boleh mulai menggali
kuburan itu." "Ya," sahut keempat orang itu serentak, lalu mulai menggali.
Berselang beberapa saat kemudian, sudah tampak peti mati di
dalam kuburan itu. Pek Giok Liong memberi isyarat agar keempat
orang tua itu berhenti menggali.
Setelah itu, Pek Giok Liong mengangkat kedua tangannya ke
arah peti mati tersebut, sekaligus mengerahkan tenaga dalamnya
pada kedua telapak tangannya.
"Naik!" teriak Pek Giok Liong.
Seketika juga tutup peti mati itu terangkat, lalu jatuh ke bawah.
Pada waktu bersamaan, terbelalaklah enam pasang mata yang
mengarah ke dalam peti mati itu.
Peti mati itu ternyata kosong, hanya terdapat kertas
sembahyang, tidak tampak mayat orang tua pincang itu.
"Adik Hui!" Pek Giok Liong memandang Siauw Hui Ceh dengan
wajah penuh keheranan. "Apa gerangan ini?"
Wajah Siauw Hui Ceh tampak bingung, ia menggelenggelengkan
kepala. "Kakak Liong, aku pun tidak tahu!"
"Heran!" gumam Pek Giok Liong. "Ke mana mayat orang tua
pincang itu" Apakah ".."
Mendadak Pek Giok Liong teringat sesuatu, ia segera menatap
Siauw Hui Ceh dalam-dalam.
349 "Adik Hui! Bukankah engkau bilang setelah membongkar
kuburan ini akan mengetahuinya?"
"Benar." Siauw Hui Ceh mengangguk. "Tapi yang bilang begitu
adalah orang tua pincang itu sendiri ketika masih hidup."
"Oh" Orang tua pincang itu bilang apa padamu" Bolehkah
engkau memberitahukan lebih jelas?"
Siauw Hui Ceh mengangguk, kemudian mencoba mengingat
ucapan orang tua pincang padanya.
"Tiga bulan yang lalu, pada suatu sore, orang tua pincang itu
berkata padaku, bahwa dia sudah tua dan kapan waktu ajal pasti
datang menjemputnya. Kalau dia sudah mati dan engkau kembali,
dia menyuruhku agar memberitahukan padamu. Seandaianya ingin
tahu kematiannya engkau harus menggali kuburannya untuk melihat
peti matinya. Dengan demikian engkau akan mengetahuinya.
Sepuluh hari kemudian, tibalah ajalnya.
"Oh?" Pek Giok Liong mengerutkan kening, kemudian tanyanya
setelah berpikir sejenak. "Dia berpesan apa lagi?"
"Dia bilang, engkau pernah berjanji kelak akan kembali, dan
pasti singgah di. Siauw Keh Cung untuk menengoknya. Oleh karena
itu dia menyuruhku bersabar terhadap urusan apa pun, dan baikbaik
menjaga diri menunggu engkau kembali."
"Tiada pesan lain lagi?"
Siauw Hui Ceh menggelengkan kepala. "Tidak ada."
Pek Giok Liong tampak berpikir keras, sehingga keningnya
berkerut-kerut. Sesaat kemudian sepasang matanya bersinar dan
langsung melayang ke dalam peti mati itu. Setelah itu ia pun
meraba-raba kertas sembahyang yang ada di dalam peti mati, dan
seketika juga ia berseru girang.
"Dugaanku tidak meleset!" serunya girang. Ternyata tangannya
telah memegang sebuah kotak besi kecil, lalu melompat ke atas.
"Kakak Liong!" Mata Siauw Hui Ceh berbinar. "Kok engkau bisa
menduga di dalam tumpukan kertas sembahyang terdapat kotak
besi?" "Itu cuma sekedar dugaan!" sahut Pek Giok Liong sambil
tersenyum. "Kalau begitu, cepatlah engkau buka, di dalam kotak besi itu
berisi apa?" Siauw Hui Ceh tampak tidak sabaran.
Pek Giok Liong mengangguk, namun kemudian mengerutkan
kening. 350 "Kenapa, Kakak Liong" Apakah kotak besi itu tidak bisa dibuka?"
tanya Siauw Hui Ceh sambil memandangnya.
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Kotak besi ini dikunci secara
rahasia, kalau tidak ada kuncinya, maka sulit membukanya."
"Oh?" Siauw Hui Ceh kebingungan.
"Adik Hui ".." Pek Giok Liong menyerahkan kotak besi itu
padanya. "Coba kau pikir, apakah punya akal untuk membukanya?"
Siauw Hui Ceh menerima kotak besi itu. Kemudian ia terbelalak
seraya berkata. "Sungguh berat kotak besi ini!" ujar Siauw Hui Ceh.
"Kotak itu terbuat dari besi, sudah pasti amat berat." Pek Giok
Liong tertawa. Sementara Siauw Hui Ceh sudah mulai memperhatikan kotak
besi itu, bahkan membolak-balikkannya.
"Kakak Liong! Coba lihat lubang kunci ini berbentuk apa?" tanya
Siauw Hui Ceh sambil tertawa.
Pek Giok Liong memperhatikan lubang kunci itu, lalu menjawab.
"Mirip kepala burung cenderawasih."
Siauw Hui Ceh manggut-manggut sambil tertawa lagi seraya
berkata. "Benar, memang mirip kepala burung cendrawasih." Siauw Hui
Ceh melanjutkan." Kakak Liong, orang tua pincang itu sangat teliti
dan berhati-hati. Semua ini pasti sudah diaturnya, bahkan juga
dalam perhitungannya."
"Adik Hui!" Hati Pek Giok Liong tergerak. "Apakah dia telah
menyerahkan kunci padamu?"
Siauw Hui Ceh tersenyum. "Sebulan setelah engkau pergi, dia menghadiahkan padaku
sebuah tusuk konde burung cenderawasih. Katanya tusuk konde itu
tidak berharga, tapi justru menyangkut suatu urusan yang amat
penting. Maka dia menyuruhku agar baik-baik menyimpannya. Dia
pun berpesan padaku, jangan memberitahukan pada orang lain,
termasuk ayahku sendiri."
Seketika juga wajah Pek Giok Liong berseri. "Kalau begitu, tusuk
konde itu pasti kunci kotak besi ini." ujarnya gembira.
Siauw Hui Ceh manggut-manggut, kemudian mengeluarkan
tusuk konde itu dari dalam bajunya dan dimasukkannya ke dalam
lubang kunci kotak besi itu.
Krak! Kotak besi itu terbuka.
351 Pek Giok Liong dan Siauw Hui Ceh melongo ketika memandang
ke dalam kotak besi, karena di dalam kotak besi itu cuma terdapat
sebuah kunci. Kunci apa itu dan apa gunanya" Pek Giok Liong dan Siauw Hui
Ceh tidak habis berpikir. Namun mereka tahu bahwa kunci itu pasti
amat penting. Kalau tidak, bagaimana mungkin orang tua pincang
itu menyimpannya di dalam kotak besi tersebut"
Pek Giok Liong dan Siauw Hui Ceh saling memandang, kemudian
Pek Giok Liong menjulurkan tangannya mengambil kunci tersebut.
Sungguh di luar dugaan, ternyata di bawah kunci itu terdapat
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selembar kertas yang merupakan sebuah lukisan pemandangan. Di
sisi lukisan itu terdapat beberapa baris tulisan.
Giok Liong, akhirnya engkau kembali juga! Apakah, engkau
sudah ke Pulau Pelangi itu" Apakah engkau sudah belajar ilmu silat
tingkat tinggi" Syukur kalau sudah, kalau belum, engkau jangan
putus asa. Kecurigaanmu memang tidak salah. Aku dibunuh orang, mayatku
dimasukkan ke dalam peti mati. Akan tetapi, sesungguhnya aku
belum mati, cuma terkena racun. Aku telah menduga akan terjadi
itu, maka aku pun sudah punya rencana.
Kunci yang di dalam kotak besi, kegunaannya untuk membuka
sebuah goa yang terdapat dalam lukisan ini. Di dalam goa itu
tersimpan suatu barang yang diluar dugaanmu dan suatu rahasia
yang amat penting. Baiklah. Engkau tidak perlu mencariku, kelak kita pasti bertemu.
Setelah membaca surat itu, Pek Giok Liong tampak termangu. Ia
tidak habis berpikir, kenapa orang tua pincang itu harus berlaku
begitu misterius, meninggalkan suatu teka-teki padanya, dan masih
harus diselidiki. "Kakak Liong, bagaimana bunyi tulisan itu?" tanya Siauw Hui
Ceh, sebab ia melihat Pek Giok Liong diam saja.
"Adik Hui!" Pek Giok Liong menyerahkan lukisan itu. "Bacalah
sendiri, teka-teki bertambah banyak."
Setelah memberikan lukisan itu pada Siauw Hui Ceh, Pek Giok
Liong pun menyimpan kunci tersebut ke dalam bajunya. Kemudian ia
membawa kotak besi itu, dan melayang turun ke dalam peti mati.
Ditaruhnya kembali kotak besi itu ke bawah tumpukan kertas
sembahyang lalu melompat ke atas.
352 Pek Giok Liong berdiri di pinggir lubang kuburan. Ia
mengerahkan tenaga dalamnya dan sepasang tangannya
diarahkannya pada tutup peti mati yang ada di sisi peti mati itu.
"Naik!" teriak Pek Giok Liong.
Tutupan peti mati itu terangkat naik, lalu menutup peti mati
tersebut. "Harap kalian urug kembali seperti semula!" ujar Pek Giok Liong
pada keempat orang tua. "Ya," sahut keempat orang tua itu serentak sambil menjura.
Di ruang belakang vihara Si Hui, duduk berhadapan Pek Giok
Liong dan Se Pit Han. Sepasang pengawal Giok Cing Giok Liong dan
Se Khi berdiri disamping mereka dengan sikap hormat.
"Adik Liong!" Se Pit Han menatapnya. "Bagaimana setelah
membongkar kuburan dan membuka peti mati?"
"Memperoleh sebuah lukisan dan sebuah kunci." Pek Giok Liong
memberitahukan. "Oh?" Se Pit Han tercengang.
"Engkau akan mengerti setelah melihat lukisan ini." Pek Giok
Liong memperlihatkan lukisan itu pada Se Pit Han.
Se Pit Han memandang lukisan itu dengan penuh perhatian,
kemudian ujarnya dengan suara rendah.
"Rupanya orang tua pincang itu bersembunyi di suatu tempat
rahasia untuk mengobati dirinya yang terkena racun itu."
"Benar." Pek Giok Liong manggut-manggut. "Aku pun berpikir
begitu." "Adik Liong." Se Pit Han menatapnya sambil tersenyum.
"Bagaimana rencanamu membereskan masalah-masalah itu" Harus
membereskan yang mana dulu?"
Pek Giok Liong tidak segera menjawab. Ia tampak berpikir keras,
sesaat kemudian baru menjawab.
"Pertama, aku harus mencari Cit Ciat Sin Kun untuk membalas
dendam guruku. Setelah itu, aku akan menyelidiki jejak Pat Hiong."
Se Pit Han manggut-manggut setuju.
"Adik Liong, urusan itu memang sangat penting, namun masih
ada urusan lain yang tak kalah penting."
"Oh" Urusan apa itu?"
"Membangun kembali tempat tinggalmu."
"Tempat tinggalku yang lama itu?"
353 "Betul." "Itu memang penting sekali."
"Justru karena penting sekali, maka tidak boleh membuang
waktu lagi, harus segera melaksanakannya," ujar Se Pit Han. "Adik
Liong, aku tidak pernah datang di tempatmu itu, ada berapa luas
tanah itu?" "Hampir lima hektar." Pek Giok Liong memberitahukan. "Rumah
hampir dua puluh buah. Kenapa engkau menanyakan itu?"
Se Pit Han tersenyum. "Adik Liong, rumah harus ditambah seratusan buah lagi."
"Apa?" Pek Giok Liong tertegun. "Kok harus ditambah begitu
banyak?" "Adik Liong!" Se Pit Han tersenyum lembut. "Tentunya engkau
tahu apa kedudukanmu sekarang, kan?"
Pek Giok Liong tercengang. "Apakah ada kaitannya membangun
rumah lama dengan kedudukanku?"
"Engkau sebagai ketua Panji Hati Suci Matahari Bulan, maka
harus memperhatikan tempat tinggal para anak buah."
"Jadi ".." Pek Giok Liong menatapnya dalam-dalam. "Kelak tidak
usah kembali ke Lam Hai lagi?"
"Itu urusan kelak, sekarang ini bagaimana?" Se Pit Han
tersenyum lagi. "Kapan kembali ke Lam Hai, itu tidak bisa dipastikan.
Sementara ini apakah engkau akan membiarkan para anak buah
terus tinggal di vihara ini" Bukankah akan mengganggu ketua vihara
dan para hweshio?" "Benar katamu, Kak Han." Pek Giok Liong manggut-manggut.
"Tapi ada kesulitan untuk membangun rumah lama itu."
"Kesulitan apa?"
"Biayanya sangat besar. Bukankah itu merupakan kesulitan?"
"Adik Liong, tentang itu engkau tidak perlu cemas! Pulau Pelangi
masih mampu membantu dalam hal itu. Lagi pula ".." lanjut Se Pit
Han serius. "Sebelum meninggalkan pulau itu, aku telah memikirkan
hal tersebut dan sudah siap."
"Oh?" Pek Giok Liong girang bukan main. "Kak Han, engkau
sungguh baik terhadapku."
"Adik Liong, kenapa harus berkata begitu?" Se Pit Han
tersenyum manis. "Jangankan kita masih punya hubungan famili,
dengan kedudukanmu sekarang, Cai Hong To pun boleh dikatakan
milikmu." 354 Pek Giok Liong tidak menyahut, cuma tersenyum-senyum
dengan mata berbinar-binar.
Menyaksikan itu, hati Se Pit Han pun berbunga-bunga dan
tersenyum lembut penuh mengandung cinta kasih yang amat dalam,
sehingga membuat wajahnya tampak kemerah-merahan.
Itu membuat Pek Giok Liong tertegun dan membatin. Sungguh
tampan Kakak Han "..
"Adik Liong, apakah engkau tidak memikirkan lukisan dan kunci
pembuka goa itu?" tanya Se Pit Han mendadak, itu agar
menghilangkan rasa jengahnya.
"Urusan itu tidak begitu penting, nanti saja akan kupikirkan."
"Bukankah urusan itu sangat penting?"
"Oh?" Pek Giok Liong tertegun. "Bagaimana menurut pandangan
Kak Han?" "Orang tua pincang itu meninggalkan kedua macam barang
tersebut tentunya berkaitan dengan urusan yang amat penting. Oleh
karena itu, aku ingin menyuruh seseorang untuk menyelidiki tempat
yang ada di dalam lukisan itu."
"Kalau begitu, urusan itu kuserahkan padamu." Pek Giok Liong
segera menyerahkan lukisan berikut kunci itu pada Se Pit Han.
Akan tetapi, Se Pit Han cuma menerima lukisan itu, tidak
menerima kunci tersebut. "Engkau simpan kunci ini, setelah mengetahui tempat dalam
lukisan ini, barulah kita bicarakan kembali," ujar Se Pit Han sambil
tersenyum. "Emmh!" Pek Giok Liong manggut-manggut.
Se Pit Han memberikan lukisan itu pada Giok Cing, lalu berpesan
padanya. "Serahkan lukisan ini pada Bu Sian Seng, suruh dia melukis lima
buah lagi!" "Ya." Giok Cing menerima lukisan itu lalu melangkah pergi.
"Kak Han!" Pek Giok Liong tertawa. "Maksudmu menyuruh
beberapa orang menyelidiki tempat yang ada dalam lukisan itu?"
"Ya." Se Pit Han mengangguk. "Kalau tidak, bagaimana mungkin
bisa cepat menyelesaikan urusan itu?"
"Engkau memang pintar!" Pek Giok Liong menatapnya. "Oh ya,
bagaimana keadaan cung cu Siauw Thian Lin" Sudahkah engkau
menyuruh orang membuat obat?" tanyanya.
"Belum." Se Pit Han menggeleng kepala.
355 "Kok belum?" Pek Giok Liong tercengang. "Apakah resep dariku
itu terdapat kekeliruan?"
"Resep obatmu memang tepat untuk mengobati penyakitnya,
tapi ".." "Kenapa?" "Sudah lama cung cu Siauw Thian Lin terkena racun. Meskipun
obatmu itu dapat memunahkan racun tersebut, namun harus
memakan waktu tiga bulanan. Itu terlampau lama."
"Itu apa boleh buat." Pek Giok Liong menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku justru punya jalan lain yang lebih praktis dan jitu," ujar Se
Pit Han sambil tersenyum.
"Oh?" Pek Giok Liong girang sekali. "Bagaimana jalan itu?"
"Aku sudah menyuruhnya menelan sebutir Kim tan (pil emas)! Se
Pit Han memberitahukan. "Oooh!" Pek Giok Liong manggut-manggut dengan wajah
berseri. "Setelah cung cu menelan pil itu, aku pun menyuruh Si Bun
Kauw dan Liok Tay Coan menyalurkan tenaga dalam masing-masing
pada badan cung cu. Itu agar pil tersebut cepat lumer. Mungkin
besok sore cung cu akan pulih kesehatannya."
"Bagus." Pek Giok Liong tersenyum, lalu mengarah pada Se Khi.
"Saudara tua, engkau sudah berhasil mencari paman pengemis?"
"Belum," jawab Se Khi hormat. "Aku sudah bertanya pada para
murid Kay Pang, namun mereka semua bilang tidak tahu jejaknya."
"Itu sungguh mengherankan." Pek Giok Liong mengerutkan
kening. "Tetua partai pengemis itu hilang ke mana?"
"Adik Liong!" Sela Se Pit Han. "Engkau tidak usah khawatir,
Paman pengemis, sangat cerdik, tentunya tidak akan terjadi sesuatu
yang di luar dugaan atas dirinya."
"Aku justru mengkhawatirkannya." Pek Giok Liong menarik
nafas. "Karena paman pengemis itu sering ugal-ugalan, sehingga
terjebak oleh Siang Hiong (Sepasang Orang Buas) itu."
"Itu tidak mungkin," ujar Se Pit Han. "Sudah puluhan tahun
orang tua itu berkecimpung dalam rimba persilatan, maka tidak
gampang terjebak oleh siapa pun. Engkau berlega hati saja, orang
tua itu tidak akan terjadi apa-apa."
"Mudah-mudahan begitu!" Pek Giok Liong menarik nafas dalamdalam.
356 "Se Khi!" Se Pit Han mengarah pada orang tua itu. "Engkau
pernah ke Ciok Lau San Cung?"
"Budak pernah ke sana sekali!"
"Kalau begitu, mengenai pembangunan Ciok Lau San Cung
kuserahkan padamu." "Budak terima perintah," sahut Se Khi dengan hormat.
Bagian ke 42: Mulai Bertindak
Pada suatu malam, ketika Pek Giok Liong sedang bercakapcakap
dengan Se Pit Han, di bangunan kecil di halaman belakang
ekspedisi Yang Wie, tampak beberapa orang sedang merundingkan
sesuatu. Siapa mereka" Ternyata Cit Ciat Sin Kun dan Kim Gin Siang Tie.
Ternyata mereka itu berunding karena kemunculan Pek Giok
Liong yang telah memiliki kepandaian yang amat tinggi, bahkan
menolong cung cu Siauw Thian Lin, Siauw Hui Ceh dan Siauw Peng
Yang. Itu merupakan kejadian yang sangat mengejutkan.
Ditambah lagi Se Pit Han memimpin belasan orang menuju
utara, maka Cit Ciat Sin Kun tahu keadaan sudah mulai gawat.
Oleh karena itu, Cit Ciat Sin Kun segera berunding dengan Kim
Gin Siang Tie, sekaligus memerintahkan mereka bertindak.
Dengan adanya perintah itu, mulai bertindak. Tindakan apa yang
akan mereka lakukan"
Tiga hari kemudian, pada suatu malam, Tu Cu Yen, si raja perak
memimpin dua pelindung pribadi, enam pengawal khusus, tiga
pemimpin aula dan belasan orang yang berkepandaian tinggi menuju
ke Hwa San. Ketua partai Hwa San, Bwee Hoa Sin Kiam (Pedang Sakti Bunga
Bwee) Hua Hun, sama sekali tidak tahu maksud tujuan kunjungan
orang-orang yang memakai kain penutup muka itu.
Namun kunjungan Tu Cu Yen dengan cara bu lim. Maka Bwe
Hoa Sin Kiam harus menyambut kedatangan mereka sebagai mana
mestinya. Mereka dipersilahkan duduk di ruang tamu.
Bwe Hoa Sim Kiam dan Tu Cu Yen duduk berhadapan,
sedangkan dua pengawal pribadi, enam pengawal khusus, tiga
pemimpin aula dan sepuluh orang yang berkepandaian tinggi itu
berdiri di belakang Tu Cu Yen.
357 Di belakang Bwe Hoa Sin Kiam berdiri Hwa San Ngo Kiam (Lima
Pedang Hwa San), Siang Hiap (Sepasang pendekar) dan Kiu Eng
(Empat pemuda gagah). Setelah meneguk teh, Bwe Hoa Sin Kiam, lalu menjura pada Tu
Cu Yen seraya bertanya. "Bolehkah aku tahu nama Anda?"
"Aku Kim Tie, bawahan Bu Lim Cih Seng Tay Tie," sahut Tu Cu
Yen dingin. Bwe Hoa Sin Kiam mengerutkan kening, is menatap Tu Cu Yen
dan ujarnya dengan suara dalam.
"Alangkah baiknya Anda menyebut nama saja. Aku ketua Partai
Hwa San, tentunya berhak mengetahui nama Anda."
"Untuk sementara ini, engkau belum harus mengetahui
namaku," sahut Tu Cu Yen dingin.
"Kenapa?" "Nanti engkau akan mengetahuinya."
"Kalau begitu, apa tujuan Anda berkunjung ke mari?"
"Khususnya mengunjungi ketua Hwa San."
"Aku adalah ".."
Tu Cu Yen mengibaskan tangan agar Bwe Hoa Sim Kiam tidak
melanjutkan ucapannya. "Ucapanku belum selesai," ujarnya kemudian.
"Silakan lanjutkan, aku siap mendengarnya!"
Tu Cu Yen tertawa ringan, kemudian ujarnya serius.
"Aku berkunjung ke mari melaksanakan perintah."
"Oh?" Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tertegun. "Anda
melaksanakan perintah siapa?"
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Atas perintah ayah angkatku, Cih Seng Tay Tie untuk mengajak
Ketua Hwa San pergi menemui beliau."
Wajah Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tampak berubah.
"Siapa ayah angkatmu?" tanyanya heran.
"Cih Seng Tay Tie."
"Aku tanya nama dan julukannya."
"Engkau ikut aku pergi menemuinya, tentunya akan tahu siapa
ayah angkatku itu." "Berdasarkan apa ayahmu mengharuskan aku menemuinya?"
tanya Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun bernada tidak senang.
"Engkau boleh bertanya langsung pada ayah angkatku," sahut
Tu Cu Yen sambil tertawa ringan.
"Itu ".." Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun mengerutkan kening.
358 "Ketua Hwa San Pay dengan julukan Bwe Hoa Sin Kiam telah
menggetarkan bu lim, bagaimana mungkin tidak berani ikut aku
pergi menemui ayah angkatku" Tapi ".."
"Kenapa" Kok tidak kau lanjutkan ucapanmu?"
"Berani atau tidak, itu urusanmu. Ketua Hwa San, aku tidak
melanjutkan, engkau pun pasti mengerti."
Bwe Hoa Sin Kiam tertawa dingin. "Sungguh tajam mulutmu!"
"Terimakasih atas pujianmu!" Tu Cu Yen tertawa ringan.
Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun berpikir sesaat, lalu tanyanya.
"Ayah angkatmu berada di mana sekarang?"
"Berada di tempat tinggalnya."
"Di mana tempat tinggalnya?"
"Setelah berada di sana, engkau pasti tahu. Kenapa harus tanya
sekarang?" Kening Bwe Hoa Sin Kiam berkerut-kerut, namun masih tampak
tenang sekali. "Apakah masih ada maksud lain dengan kunjunganmu ini?"
tanya Bwe Hoa Sin Kiam sambil menatapnya tajam.
"Ada atau tidak harus bagaimana?" Tu Cu Yen balik bertanya
dengan dingin. "Kalau ada, beritahukanlah cepat! Tidak ada, engkau dan lainnya
harus segera meninggalkan tempat ini!"
"Oh?" Tu Cu Yen tertawa dingin. "Engkau mau mengusir kami?"
"Ha ha!" Bwe Hoa Sin Kiam tertawa gelak. "Kira-kira begitulah!"
"Hmm!" dengus Tu Cu Yen dingin. "Kalau begitu, kita tidak perlu
melanjutkan pembicaraan lagi?"
"Betul!" "Baiklah!" Tu Cu Yen manggut-manggut! "Sekarang aku justru
ingin mengajukan satu pertanyaan!"
"Pertanyaan apa?"
"Bersedia atau tidakkah engkau ikut aku pergi menemui ayah
angkatku?" "Aku tidak punya waktu senggang untuk menemui ayah
angkatmu!" sahut Bwe Hoa Sin Kiam dan berseru lima pedang yang
berdiri di belakangnya, "Antar tamu!"
Meskipun Bwe Hoa Sin Kiam sudah berseru begitu, Tu Cu Yen
masih duduk di tempat sambil tertawa dingin.
"Engkau tidak dengar?" tanya Bwe Hoa Sin Kiam.
"Aku sudah dengar."
359 "Kalau sudah dengar, kenapa masih duduk di tempat?"
"Karena aku sedang mempertimbangkan satu hal."
Bwe Hoa Sin Kiam menatapnya. "Itu urusanmu. Setelah
meninggalkan tempat ini, engkau masih punya waktu untuk
mempertimbangkannya!"
Tu Cu Yen menggelengkan kepala, kemudian ujarnya dingin.
"Aku tidak bisa mempertimbangkannya setelah meninggalkan
tempat ini." "Kenapa?" "Sebab hal tersebut menyangkut partai kalian, maka aku harus
mempertimbangkannya di sini."
Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tersentak, karena dalam ucapan itu
mengandung suatu maksud tertentu.
"Hal yang menyangkut partai kami?"
"Kalau tidak, tentunya aku tidak akan mempertimbangkannya di
sini." "Hal apa itu?" Mendadak sepasang mata Tu Cu Yen menyorot tajam, dan terus
menerus menatap ketua Hwa San itu.
Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun terkejut, sebab sepasang mata Tu
Cu Yen sangat tajam, berarti memiliki tenaga dalam yang tinggi.
"Engkau ingin tahu hal itu?" tanya Tu Cu Yen dingin.
"Karena hal itu menyangkut partai Hwa San, maka aku ingin
mengetahuinya." Tu Cu Yen tertawa gelak, lalu ujarnya lantang.
"Untuk terakhir kalinya aku bertanya lagi. Bersediakah engkau
ikut aku pergi menemui ayah angkatku?"
"Apa yang telah kukatakan tadi, tidak akan berubah."
"Engkau tidak menyesal?"
"Menyesal?" Bwe Hoa Sin Kiam tertawa gelak. "Aku tidak kenal
menyesal!" "He he he!" Tu Cu Yen tertawa terkekeh-kekeh. "Orang-orang bu
lim mengatakan, bahwa ketua partai Hwa San, yakni Bwe Hoa Sin
Kiam Hua Hun sangat keras kepala, itu memang tidak salah!"
"Orang-orang bu lim yang mengatakan begitu, tentunya tidak
akan salah." Ketua Hwa San itu tertawa hambar!
"Akan tetapi, kini aku ingin menasihatimu!" ujar Tu Cu Yen
dingin. 360 "Oh" Terimakasih!" ucap Bwe Hoa Sin Kiam dan menambahkan,
"Segala omong kosong cukup sampai di sini saja! Lebih baik
membicarakan hal yang sebenarnya!"
"Betul." Tu Cu Yen mengangguk. "Kini memang sudah saatnya
untuk membicarakan hal yang sebenarnya!"
"Silakan bicara!"
"Sebelum aku ke mari, ayah angkatku telah berpesan, kalau
ketua Hwa San tidak mau menurut, maka aku boleh bertindak!"
"Bertindak bagaimana?" tanya Bwe Hoa Sin Kiam dingin.
"Akan terjadi banjir darah di Hwa San ini." sahut Tu Cu Yen
sepatah demi sepatah. Begitu ucapan ini dicetuskan, Bwe Hoa Sin Kiam, Siang Hiap, Kiu
Eng dan Ngo Kiam. Mereka memandang Tu Cu Yen dengan air muka
berubah dan penuh kegusaran.
"Bagaimana?" tanya Tu Cu Yen sambil tertawa. "Engkau terkejut
kan?" "Ha ha ha!" Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tertawa gelak. "Apa
yang kau katakan barusan memang mengejutkan, tapi ".. apakah
kalian mampu bertindak begitu?"
"Kalau tidak mampu, aku pun tidak akan ke mari. Oleh karena
itu, aku pun tidak akan mempertimbangkannya tadi di sini!"
"Jadi yang kau pertimbangkan tadi tentang ini?"
"Betul!" Tu Cu Yen manggut-manggut. "Aku mempertimbangkan,
perlukah banjir darah di sini?"
"Engkau sudah selesai mempertimbangkannya?"
"Sudah!" "Lalu apa keputusanmu?"
"Hanya ada dua jalan!"
"Beritahukan!" "Pertama engkau harus ikut aku pergi menemui ayah angkatku
itu!" ujar Tu Cu Yen melanjutkan. "Kalau tidak ".."
"Akan banjir darah di sini kan?" sambung Bwe Hoa Sin Kiam Hua
Hun. "Apa boleh buat!" Tu Cu Yen tertawa. "Aku tidak mau dicela oleh
ayah angkatku, dan tidak mau ditertawakan ketidak mampuanku
memberesi urusan ini!"
"Sudahlah! Jangan banyak omong kosong di sini!" tandas Bwe
Hoa Sin Kiam. "Sebaiknya kalian cepat meninggalkan tempat ini,
kalau tidak ".."
361 "Kalau tidak ".." sambung Tu Cu Yen sambil tertawa hambar.
"Tentunya engkau akan menurunkan perintah untuk mengusir kami,
kan?" "Bagus engkau mengerti!"
"Engkau sudah menghitung ada berapa banyak orang yang
berdiri di belakangku ini" Kalau belum, engkau boleh hitung
sekarang." "Aku telah hitung dari tadi, termasuk engkau berjumlah dua
puluh dua orang, tidak kurang dan tidak lebih."
"Apakah kalian turun tangan mengusir kami?" Tu Cu Yen
tertawa. "Kalian cuma berjumlah enam betas orang."
"Meskipun cuma enam belas orang, kami mampu mengusir
kalian!" sahut Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun.
Mata Tu Cu Yen langsung menyorot tajam. "Apakah engkau
tidak percaya akan kekuatan kami?"
"Tidak salah, aku memang tidak percaya!"
"Kalau begitu, engkau ingin turun tangan mencobanya?"
"Aku memang ingin turun tangan mencobanya, tapi saat ini aku
justru masih mempertimbangkannya!"
"Tidak perlu dipertimbangkan lagi! Pokoknya kami tidak akan
meninggalkan tempat ini!"
"Kalau begitu, engkau menginginkan aku menurunkan perintah
untuk usir kalian?" "Itu terserah engkau!"
"Tahukah engkau bahwa aku sedang mempertimbangkan apa?"
tanya Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun.
"Silakan beritahukan!"
"Aku sedang mempertimbangkan, bagaimana agar ruang tamu
ini tidak ternoda darah!"
Tu Cu Yen tertawa gelak. "Menurut aku, engkau tidak perlu
mempertimhangkan itu lagi!"
"Mengapa?" "Karena yang jelas, yang akan tercecer darah para murid Hwa
San!" "Engkau yakin bukan darah orang-orangmu?" tanya Bwe Hoa Sin
Kiam dengan wajah berubah.
"Kalau kukatakan, engkau pun tidak akan percaya! Setelah
bertarung, engkau akan mengetahuinya!"
362 Memang benar apa yang dikatakan Tu Cu Yen, namun
bagaimana mungkin Bwe Hoa Sin Kiam akan mempercayainya. Lagi
pula Tu Cu Yen dan orang-orangnya, semua memakai kain penutup
muka, maka Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tidak kenal siapa mereka.
Kalau ketua partai Hwa San itu tahu, pasti terkejut dan betulbetul
akan mempertimbangkannya. Akan tetapi, ia justru tidak tahu.
"Engkau yakin bahwa kepandaian orang-orangmu lebih tinggi
dari pada murid-murid Hwa San ini?" tanya Bwe Hoa Sin Kiam Hua
Hun dingin. "Kalau aku tidak yakin, bagaimana mungkin kami berani ke
mari?" sahut Tu Cu Yen, kemudian tertawa terkekeh-kekeh. "He he
he!" "Engkau tahu siapa yang berdiri di belakangku?" tanya Bwe Hoa
Sin Kiam Hua Hun. "Meskipun aku tidak kenal mereka aku tahu siapa mereka, yang
tidak lain lima pedang, sepasang pendekar dan empat pemuda
gagah. Mereka merupakan tenaga inti partai Hwa San!"
"Betul!" Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tertawa. "Bagus engkau
tahu!" "Jadi kau kira orang-orangku tidak mampu melawan kalian?" Tu
Cu Yen tertawa hambar. "Tidak perlu bertanya padaku, engkau tahu dalam hati!" sahut
Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun dingin.
"Kalau begitu, engkau betul-betul ingin bertarung dengan kami?"
tanya Tu Cu Yen dingin. "Itu kalau terpaksa!" sahut Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun.
Partai Hwa San termasuk salah satu partai besar dan terkemuka
dalam bu lim. Tentunya ketua Hwa san itu memiliki kepandaian tinggi, begitu
pula Lima Pedang Sepasang Pendekar dan Empat Pemuda Gagah.
Maka ketika ketua Hwa San, yaitu Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun
menyahut begitu, suasana di ruang tamu itu pun mulai tegang
mencekam, suatu pertarungan dahsyat pasti tak terelakan lagi.
Bagian ke 43: Muncul Penolong
Sementara Tu Cu Yen menatap Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun
dengan sorot mata tajam. "Apakah engkau sama sekali tidak akan menyesal?"
363 "Sama sekali tidak!" sahut Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun tegas.
"Baiklah!" Tu Cu Yen manggut-manggut, kemudian bentaknya
dengan suara ringan. "Pelindung pribadi kanan dengar perintah!"
Seketika juga sosok bayangan merah berkelebatan ke hadapan
Tu Cu Yen. Ia adalah Thian Suan Sin Kun (Malaikat Pemutar Langit).
"Hamba siap menerima perintah," ucapnya sambil memberi
hormat pada Tu Cu Yen. "Sin Kun harus memperlihatkan sejurus dua jurus pada ketua
Hwa San, itu agar dia tahu!" ujar Tu Cu Yen.
"Ya," sahut Thian Suan Sin Kun.
Setelah itu, ia membalikan badannya, lalu mendorongkan telapak
tangannya ke arah dinding.
"Ketua Hwa San!" Thian Suan Sin Kun tertawa. "Aku telah
memperlihatkan sejurus pukulan!"
Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun segera menoleh ke arah dinding itu.
Betapa terkejut hatinya, karena pada dinding itu tampak sebuah
bekas telapak tangan warna hitam yang amat dalam.
"Hek Sin Ciang (Pukulan telapak hitam)!" serunya dengan air
muka berubah. "Tidak salah!" Tu Cu Yen tertawa. "Itu memang Hek Sin Ciang"
Cukup tajam matamu, bisa mengenali pukulan itu!"
"Hm!" dengus Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun.
"Jangan mendengus!" ejek Tu Cu Yen dan melanjutkan. "Ketua
Hwa San! Engkau boleh berdiri di sini memperlihatkan pukulanmu!
Kalau engkau mampu membuat dinding itu berbekas telapak
tanganmu, aku pasti segera meninggalkan tempat ini dan
selanjutnya tidak akan ke mari lagi!"
Dapatkah ketua Hwa San melakukannya" Tentunya tidak, sebab
ia belum memiliki tenaga dalam yang begitu tinggi.
Tu Cu Yen memang licik. Ia tahu akan hal itu, maka sengaja
berkata begitu pada ketua Hwa San itu.
"Aku memang tidak mampu melakukan itu, karena tenaga
dalamku belum begitu tinggi! Tapi aku tidak akan ".."
"Tidak akan menyerah?" sambung Tu Cu Yen dingin.
"Seharusnya engkau tahu diri!"
"Aku harus tahu diri" Ha ha!" Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun
tertawa gelak. "Selagi aku masih bernafas, aku pantang menyerah!"
"Bagus!" Tu Cu Yen manggut-manggut. "Engkau cukup gagah,
namun saying ".."
364
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa sayang?"
"Aku sama sekali tidak berniat melukai siapa pun, tapi engkau
begitu keras kepala!" Tu Cu Yen menarik nafas panjang. "Maka lebih
baik aku menangkapmu dulu, baru membicarakan yang lain!"
Usai berkata begitu, Tu Cu Yen tampak agak bermalas-malasan
bangkit berdiri. Kelihatannya ia ingin turun tangan terhadap ketua
partai Hwa San itu. Mendadak berkelebat sosok bayangan masuk ke dalam ruangan.
Bayangan itu ternyata seorang bertopi rumput lebar yang menutupi
sebagian mukanya. Dia adalah murid bungsu kesayangan ketua
partai Hwa San bernama Sih Ma Bun Cing.
Setelah memasuki ruang tamu itu, dia pun segera memberi
hormat pada Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun, ketua Hwa San itu.
Setelah itu, dia segera menghampiri Tu Cu Yen yang telah bangkit
berdiri. Tu Cu Yen tidak mengenal orang itu, namun ketika melihat dia
mendekatinya, Tu Cu Yen tersentak sambil membentak.
"Berhenti!" Sungguh mengherankan, bentakan itu tidak membuat Sih Ma
Bun Cing berhenti, bahkan terus mengayunkan kakinya ke arah Tu
Cu Yen, tidak memperlihatkan rasa takut.
Yang merasa takut justru Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun, ketua
Hwa San itu. Karena ia telah menyaksikan pukulan telapak Hitam
tadi. Ia tahu jelas keadaan saat ini. Kalau kurang berhati-hati,
mungkin selanjutnya nama partai Hwa San akan terhapus dari rimba
persilatan. Orang yang menyebut dirinya Gin Tie merupakan
pemimpin rombongan itu, tentunya memiliki kepandaian yang amat
tinggi. Kini murid bungsu kesayangannya mendekati Gin Tie.
Bukankah murid itu akan cari mati"
"Nak Cing!" bentaknya. "Mau apa engkau" Cepat kembali!"
Akan tetapi, entah kenapa Sih Ma Bun Cing hari ini, ia sama
sekali tidak menggubris bentakan gurunya dan terus melangkah
mendekati Tu Cu Yen. Ketika Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun membentak, Sih Ma Bun Cing
pun telah berada dalam jarak lima meteran dari Tu Cu Yen.
Setelah mengetahui orang itu murid Hwa San, rasa kejut dalam
hati Tu Cu Yen pun langsung sirna.
Pada saat Sih Ma Bun Cing berada dalam jarak itu, sepasang
mata Tu Cu Yen pun menyorot dingin ke arahnya.
365 "Setan kecil! Engkau mau cari mati ya?" bentak Tu Cu Yen.
Di saat membentak, Tu Cu Yen pun mengerahkan tenaga
dalamnya menyerang Sih Ma Bun Cing.
Ketika melihat serangan itu, Bwe Hoa Sin Kiam terkejut bukan
main dan langsung berteriak. "Nak Hui! Cepat mundur!"
Usai berteriak, ketua Hwa San itu pun tampak siap melompat ke
arah murid bungsunya untuk menolongnya.
Justru pada saat itu, tiba-tiba Sih Ma Bun Cing membalikkan
telapak tangannya ke arah ketua Hwa San itu. Seketika juga ketua
Hwa San merasa ada tenaga yang amat lunak menahan dirinya, agar
tidak melompat. Itu membuatnya terheran-heran dan membatin.
Apa gerangan ini ".."
Pada saat ia membatin, urusan aneh pun terjadi. Kalau tidak
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mungkin ia tidak akan
percaya bahwa itu merupakan hal yang nyata.
Ternyata ketika Tu Cu Yen menyerangnya dengan tenaga dalam,
Sih Ma Bun Cing sama sekali tidak terpental, sebaliknya malah terus
melangkah maju, dan sekonyong-konyong tangannya bergerak
secepat kilat ke arah muka Tu Cu Yen yang ditutup dengan kain.
Gerakan tangannya tampak begitu sederhana, tapi
sesungguhnya itu adalah Ceng In Ci (Jari Seribu Bayangan).
"Hah?" Tu Cu Yen terkejut bukan main, namun tidak gugup dan
segera menggerakkan sepasang kakinya menghindari serangan Sih
Ma Bun Cing. Gerakan itu bukan sembarangan gerak, ternyata jurus Ti Cuan
Pou (Bumi berputar) yang berhasil mengelak Jari Seribu Bayangan
Sih Ma Bun Cing itu. Memang sungguh di luar dugaan Sih Ma Bun Cing. Ia pun kagum
akan kepandaian Tu Cu Yen. Sebaliknya Tu Cu Yen yang terperanjat
bukan main, sebab ia tidak menyangka murid Hwa San itu memiliki
kepandaian yang begitu tinggi.
"Bocah!" bentak Tu Cu Yen. "Siapa kau?"
"Aku adalah aku, kau anggap siapapun boleh!" sahut Sih Ma Bun
Cing dingin. Suara Sih Ma Bun Cing membuat Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun
tercengang, karena suara itu bukan suara murid bungsunya. Namun
justru memakai baju Sih Ma Bun Cing. Itu membuatnya terbengangbengong.
366 "Siapa pemuda itu?" tanyanya dalam hati. "Kenapa dia memakai
baju anak Cing dan menyamar dirinya?"
Walau terbengang-bengong, ketua Hwa San dapat berlega hati,
karena kemunculan pemuda itu tidak berniat jahat terhadap partai
Hwa San. Sebetulnya ia ingin membuka mulut untuk bertanya, namun
mendadak hatinya bergerak sehingga merasa bukan waktunya untuk
bertanya tentang itu, lebih baik berdiam diri menyaksikan
perkembangan selanjutnya.
Oleh karena itu, ia pun mulai memandang pemuda itu dengan
penuh perhatian".. Siapa yang menyamar sebagai murid Hwa San" Tidak lain Pek
Giok Liong, generasi kelima pemegang panji Jit Goat Seng Sim Ki
atau dipanggil sebagai ketua panji.
"Bocah!" Tu Cu Yen tertawa dingin. "Engkau tidak punya marga
dan nama?" "Tentu ada!" sahut Pek Giok Liong dan ikut tertawa dingin.
"Hanya saja aku tidak mau memberitahukan padamu!"
"Engkau tidak berani sebut namamu?"
"Omong kosong, siapa tidak berani?"
"Kalau berani, sebutkanlah marga dan namamu!"
"Engkau belum berderajat tahu namaku!"
"Kalau begitu, siapa yang berderajat tahu namamu?"
"Hanya ada dua orang!"
"Dua orang" Siapa mereka itu?"
"Yang satu adalah Cit Ciat Sian Kun, yang satu lagi Tu Cu Yen!"
Tergetar hati Tu Cu Yen, namun mendadak suaranya berubah
lunak. "Mengapa harus mereka berdua yang tahu namamu?" tanyanya.
"Engkau tidak perlu menanyakan itu!" sahut Pek Giok Liong
dingin. "Sekarang engkau mau bilang apa lagi?"
Pertanyaan Pek Giok Liong itu tiada ujung pangkalnya, maka
membuat Tu Cu Yen menjadi bingung.
"Memangnya harus bilang apa?"
"Engkau ingin bertarung denganku atau mau menurut padaku?"
"Harus bagaimana menurut padamu?"
"Engkau harus membawa orang-orangmu pergi dari Hwa San
ini?" 367 "Oh?" Tu Cu Yen tertawa gelak. "Ucapanmu itu seperti anak
gadis sedang bernyanyi, namun aku justru tidak mau
mendengarnya!" "Kalau begitu, engkau ingin bertarung denganku?" tanya Pek
Giok Liong dingin. "Tidak salah!" sahut Tu Cu Yen. "Aku sudah mengambil
keputusan untuk mencuci Hwa San ini dengan darah!"
"Terlampau pagi engkau mengatakan demikian!" Pek Giok Liong
tertawa hambar dan melanjutkan, "Ayoh, mari kita bertarung di
luar!" Pek Giok Liong melangkah ke luar. Tu Cu Yen tertawa dingin
sambil mengikuti Pek Giok Liong dari belakang, menyusul sepasang
pengawal pribadi dan lainnya.
Di luar terdapat sebidang tanah kosong yang sangat luas, Pek
Giok Liong berdiri tegar di situ. Tu Cu Yen berdiri jarak dua meteran
di hadapannya, dan sepasang pengawal pribadi berdiri di
belakangnya. Sedangkan ketua Hwa San, Ngo Kiam, Siang Hiap dan Kiu Eng
yang sudah ikut ke luar itu berdiri agak jauh di belakang Pek Giok
Liong. Sementara Pek Giok Liong dan Tu Cu Yen saling memandang
dengan dingin, berselang sesaat, Pek Giok Liong berkata.
"Engkau sudah boleh turun tangan!"
Tu Cu Yen tertawa. "Bocah! Engkau perlu meninggalkan pesan
dulu?" ujarnya. "Tidak perlu banyak bicara!" tandas Pek Giok Liong. "Lebih baik
engkau segera turun tangan!"
"Apakah engkau ingin buru-buru mati" Baiklah, aku akan
mengantarmu!" ujar Tu Cu Yen, lalu memberi perintah pada salah
seorang pelindung pribadinya. "Pelindung pribadi kiri, cepat turun
tangan habiskan dia."
"Baik," Pelindung pribadi kiri, Ti Kie Sin Kun (Malaikat Penggetar
Bumi) langsung menghampiri Pek Giok Liong.
"Berhenti!" bentak Pek Giok Liong.
"Engkau mau bicara apa?" tanya Ti Kie Sin Kun.
Pek Giok Liong tidak menghiraukan pertanyaan Ti Kie Sin Kun,
cuma memandang Tu Cu Yen.
"Kenapa engkau tidak berani bertarung denganku?" tanyanya
sambil menatapnya. 368 "Aku belum perlu turun tangan sendiri," sahut Tu Cu Yen
jumawa. "Apakah aku tidak berderajat bertarung denganmu?"
"Kenapa sudah tahu masih bertanya?"
"Benarkah aku tidak berderajat?"
"Kau kira masih ada alasan lain?"
Pek Giok Liong tertawa nyaring, kemudian ujarnya sepatah demi
sepatah, "Kau kira aku tidak tahu maksud hatimu?"
Tu Cu Yen tersentak. Ia pun bertanya cepat. "Aku punya maksud
apa?" "Hm!" dengus Pek Giok Liong dingin. "Berdasarkan lwee kangmu
tadi, engkau pasti sudah mengerti dalam hati, maka engkau suruh
orang lain untuk mencoba kepandaianku! Begitu kan?"
"He he he!" Tu Cu Yen tertawa terkekeh-kekeh, namun terkejut
bukan main, karena Pek Giok Liong dapat membaca pikirannya.
"Engkau tidak perlu sok pintar! Kalau menghendaki aku turun tangan
sendiri memang tidak sulit, asal ".."
"Asal mampu mengalahkan kedua pelindung pribadi itu kan?"
sambung Pek Giok Liong. "Betul! Kalau tidak, engkau sama sekali tidak berderajat
bertarung dengan diriku." Usai berkata begitu, Tu Cu Yen pun
terperanjat seraya bertanya, "Eh" Kok engkau tahu dua pelindung
pribadi itu?" "Bukan cuma tahu itu, bahkan aku pun tahu enam pengawal
khusus!" sahut Pek Giok Liong sambil tertawa hambar.
"Bagaimana engkau bisa tahu?" Tu Cu Yen terperanjat sekali. Ia
menatap Pek Giok Liong dengan tajam.
"Tentang ini, engkau tidak perlu tanya!" tandas Pek Giok Liong
dan menambahkan, "Thian Suan Sin Kun dan Ti Kie Sin Kun
memang merupakan orang berkepandaian tinggi dalam bu lim masa
kini. Namun mereka berdua tidak akan mampu menyambut tiga
jurus seranganku, maka aku menasihatimu ".."
Apa yang dicetuskan Pek Giok Liong sangat jumawa, itu
membuat kedua pelindung prihadi menjadi gusar sekali. Sepasang
matanya pun langsung menyorot dingin ke arah Pek Giok Liong.
"Diam, bocah!" bentak Ti Kie Sin Kun.
"Ti Kie Sin Kun!" sahut Pek Giok Liong hambar. "Tidak
percayakah kau akan apa yang kukatakan barusan?"
369 "He he!" Ti Kie Sin Kun tertawa terkekeh. "Bocah! Betapa tinggi
kepandaianmu, sehinga berani begitu jumawa dan omong besar?"
"Ti Kie Sin Kun! Aku tidak jumawa dan tidak omong besar! Nanti
engkau akan mengetahuinya, maka jangan banyak bicara!"
"Oh?" Ti Kie Sin Kun tertawa dingin. "Aku tidak begitu sabar
untuk menunggu! Sekarang juga aku ingin mencoba
kepandaianmu!" Ti Kie Sin Kun mulai mengangkat sebelah tangannya,
kelihatannya ia sudah siap menyerang Pek Giok Liong.
Pek Giok Liong mengerutkan kening, lalu membentak dengan
suara dalam. "Tunggu!" "Engkau mau bicara apa" Bocah!" tanya Ti Kie Sin Kun.
"Ti Kie Sin Kun!" Pek Giok Liong menatapnya tajam. "Lebih baik
engkau jangan memaksa diri untuk mencoba kepandaianku!"
"Kenapa?" tanya Ti Kie Sin Kun berang.
"Sebab engkau akan celaka!"
"Apa?" Ti Kie Sin Kun tertawa gelak. "Aku akan celaka?"
"Ya." Pek Giok Liong mengangguk. "Sebab aku akan
memutuskan sebelah tanganmu!"
Ti Kie Sin Kun terkejut, tapi kemudian tertawa terbahak-bahak
sambil menuding Pek Giok Liong.
"Bocah! Kejumawaanmu memang sungguh di luar dugaan,
namun aku justru tidak percaya. Sebaliknya akulah yang akan
menghancurkan sebelah tanganmu!"
"Kalau begitu, engkau jangan menyalahkan aku!" ujar Pek Giok
Liong lalu menyerangnya dengan tenaga dalam.
Ti Kie Sin Kun segera menangkis dengan tenaga dalam pula, dua
macam tenaga dalam saling beradu, sehingga menimbulkan suara
benturan yang amat dahsyat. Ti Kie Sin Kun terpental lima meteran
ke belakang, sehingga terkejut bukan main. Sedangkan Pek Giok
Liong sama sekali tidak bergeming dari tempat, dan cuma tertawa
dingin. "Ti Kie Sin Kun! Itu boleh dihitung satu jurus! Aku akan
membiarkanmu mencoba sampai tiga jurus, namun pada jurus
ketiga engkau harus berhati-hati, sebab aku menginginkan sebelah
tanganmu!" Pek Giok Liong menghampiri Ti Kie Sin Kun selangkah demi
selangkah, itu membuat Tu Cu Yen, Thian Suan Sin Kun. Tiga
370 pemimpin aula dan enam pengawal khusus langsung menjadi
tegang. Tu Cu Yen sudah tahu pihak lawan memiliki kepandaian tinggi,
tapi sama sekali tidak menyangka, Ti Kie Sin Kun akan terpental oleh
serangan tenaga dalam itu. Kalau tidak menyaksikan dengan mata
kepala sendiri, Tu Cu Yen pasti tidak akan percaya.
Bwe Hoa Sin Kiam, Ngo Kiam, Siang Hiap dan Kiu Eng terbelalak
menyaksikan kejadian itu, wajah mereka tampak berseri-seri.
Meskipun dirinya sampai terpental, Tie Kie Sin Kun belum juga
percaya bahwa lawannya mampu memutuskan lengannya pada jurus
ketiga. Oleh karena itu, ketika Pek Giok Liong mendekatinya, ia pun
segera tertawa terkekeh. "Bocah! Tenaga dalammu memang cukup tinggi, tapi aku tidak
takut!" Setelah berkata begitu, Ti Kie Sin Kun langsung menyerang
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pek Giok Liong. Pek Giok Liong tertawa dingin, dan mendadak tubuhnya
melayang ke atas mengelak dari serangan lawan kemudian balas
menyerang dengan dua jari tangannya mengarah pada nadi di
tangan Ti Kie Sin Kun. Betapa cepatnya serangan itu, sehingga sulit dilukiskan.
Tentunya membuat lawannya terkejut dan cepat-cepat berjungkir
balik menghindari serangan itu.
"Ti Kie Sin Kun!" bentak Pek Giok Liong dingin. "Hati-hati lengan
kirimu!" Sekonyong-konyong Pek Giok Liong berputar bagaikan angin
puyuh, sekaligus menyerang lengan kiri Ti Kie Sin Kun.
Ti Kie Sin Kun ingin mengelak dari serangan itu, namun sudah
terlambat. Pada saat yang krisis itu, tiba-tiba terdengar suara
seruan. "Mohon ketua berbelas kasihan padanya!"
Begitu mendengar suara seruan itu, Pek Giok Liong pun cepatcepat
menarik kembali serangannya, dan sekaligus melompat
mundur. Pada waktu bersamaan, tampak sosok bayangan berkelebat
cepat, lalu melayang turun di hadapan Ti Kie Sin Kun. Siapa orang
itu, tidak lain adalah satu dari empat Arhat, yakni Arhat pembasmi
siluman Ban Kian Tong. Ketika melihat orang tersebut, Ti Kie Sin Kun berseru girang.
Ternyata ia kenal Ban Kian Tong. "Saudara Ban ".."
371 Arhat pembasmi siluman tidak menghiraukannya, melainkan
memberi hormat pada Pek Giok Liong.
"Mohon menghadap Ketua, terimakasih atas kemurahan hati
Ketua!" ucap Arhat pembasmi siluman, Ban Kian Tong.
"Saudara Ban, engkau tidak usah banyak beradaban!" sahut Pek
Giok Liong sambil membalas memberi hormat.
"Terimakasih, Ketua!" Ban Kian Tong memberi hormat lagi.
Tak lama kemudian, tampak lima orang tua dan seorang pemuda
berjalan ke tempat itu. Mereka adalah Thian Koh Sing Ma Hun, Thian
Kang Sing Wie Kauw, Arhat penakluk iblis, Arhat penangkap setan,
Arhat pembunuh jin dan pemuda itu adalah Sih Ma Bun Cing, murid
bungsu Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun, ketua Hwa San.
"Nak Cing!" seru ketua Hwa San.
Sih Ma Bun Cing segera memberi hormat pada ketua Hwa San,
Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun.
"Teecu memberi hormat pada Guru!"
"Nak Cing!" Ketua Hwa San memegang tangan Sih Ma Bun Cing
seraya bertanya dengan suara rendah, "Siapa pemuda itu?"
"Guru, nanti murid akan beritahukan sejelas-jelasnya," jawab Sih
Ma Bun Cing. "Ng!" Ketua Hwa San mengangguk.
Sementara itu, Thian Koh Sing, Thian Kang Sing dan tiga Arhat
memberi hormat pada Pek Giok Liong, kemudian berdiri di
sampingnya. Sedangkan Ti Kie Sin Kun terus memandang Arhat pembasmi
siluman, lalu tanyanya perlahan.
"Saudara Ban, sudah dua puluh tahun kita tidak bertemu,
apakah engkau baik-baik saja?"
"Saudara Phang!" Ban Kian Tong tersenyum. "Aku baik-baik saja,
bahkan melewati hari-hari yang amat tenang dan damai."
"Oh! Selama itu Saudara berada di mana?" tanya Ti Kie Sin Kun
yang bernama Phang Kuang Yen. "Aku setengah mati mencarimu."
"Aku ke Lam Hai."
"Saudara Ban tinggal di Lam Hai di tempat mana?"
"Aku tinggal di ".." Ban Kian Tong melirik Pek Giok Liong,
seakan bertanya bolehkah berterus terang. Pek Giok Liong tahu
maksudnya, maka manggut-manggut.
"Saudara Ban tinggal di mana?" tanya Phang Kuang Yen, si
Malaikat Penggetar Bumi. 372 "Aku tinggal di Pulau Pelangi."
"Apa"!" Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen terbelalak.
"Sungguhkah di Lam Hai terdapat pulau itu?"
"Engkau tidak percaya?"
"Saudara Ban yang bilang, tentunya aku percaya," ujar Ti Kie Sin
Kun Phang Kuang Yen sambil menatapnya. "Sudah dua puluh tahun
Saudara Ban tinggal di Pulau Pelangi, maka aku yakin engkau telah
berhasil menambah kepandaianmu."
"Cuma menambah sedikit-sedikit saja," sahut Ban Kian Tong
sambil tersenyum-senyum. "Saudara Ban ".." Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen mengarah
pada Pek Giok Liong seraya bertanya, "Apakah pemuda itu majikan
Pulau Pelangi?" "Bukan." Ban Kian Tong memberitahukan. "Tapi kedudukannya
jauh lebih tinggi dari majikan Pulau Pelangi."
"Kalau begitu, mohon tanya apa kedudukannya?"
"Ketua kami." "Ketua kalian" Ketua Pulau Pelangi?"
"Saudara Phang, apakah engkau pernah dengar partai Pulau
Pelangi?" "Tidak pernah!"
"Nah!" Ban Kian Tong tersenyum. "Kalau begitu, kenapa engkau
menduga itu?" "Aku ".. aku memang cuma menduga."
"Justru dugaanmu itu salah." ujar Ban Kian Tong sungguhsungguh.
"Partai kami tidak disebut partai Pulau Pelangi!"
"Oh" Lalu partai apa?" tanya Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen.
"Saudara Phang, kelak engkau akan mengetahuinya."
"Bolehkah aku bertanya sesuatu?" Ti Kie Sin Kun Phang Kuang
Yen menatapnya dalam-dalam.
"Tentu boleh, tanyalah!"
"Apa kedudukan Saudara Ban dalam partai itu?"
"Cuma bawahan saja."
"Yang kutanyakan kedudukanmu."
"Salah satu Arhat," jawab Ban Kian Tong. "Oh ya, apa
kedudukanmu itu?" "Aku bawahan Cih Seng Tay Tie," jawab Ti Kie Sin Kun Phang
Kuang Yen jujur. "Salah seorang pelindung pribadi."
373 "Kalau tidak salah, Cih Seng Tay Tie itu adalah Cit Ciat Sin Kun.
Benarkah?" "Benar." Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen mengangguk. "Oh ya,
saudara Ban, bagaimana hubunganmu dengan aku?"
"Ha ha!" Ban Kian Tong tertawa. "Hubungan kita sudah seperti
saudara kandung." "Betul." Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yer tertawa gembira. "Oleh
karena itu, aku ingin mohon bantuanmu."
"Apa yang bisa kubantu?"
"Kalau begitu, sebelumnya aku mengucapkan terimakasih
padamu." ucap Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen.
"Tidak usah sungkan-sungkan, Saudara Phang!" ucap Ban Kian
Tong dan balas menjura. "Saudara Ban, aku mohon pihakmu jangan turut campur urusan
kami dengan partai Hwa San. Sudikah saudara Ban mengabulkan
permohonanku ini?" "Saudara Phang!" Ban Kian Tong tersenyum. "Maukah engkau
mendengar nasihatku?"
"Silakan Saudara Ban berikan nasihat padaku!"
"Saudara Phang, kita sama-sama sudah berusia tujuh puluhan.
Maka sudah waktunya bertobat."
"Maksud Saudara Ban?"
"Letakkan golok pembunuh, lalu jadilah orang baik-baik!"
Phang Kuang Yen tertawa ringan, ia memandang Ban Kian Tong
seraya bertanya dengan suara rendah.
"Saudara Ban menghendaki aku melepaskan kedudukanku ini?"
"Benar." Ban Kian Tong mengangguk.
"Ha ha!" Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen tertawa terbahakbahak.
"Berapa lama kita hidup di dunia, kalau kita tidak
mengerjakan sesuatu yang menggemparkan, itu berarti hidup kita
akan sia-sia." "Oh?" Arhat pembasmi siluman Ban Kian Tong menatapnya
tajam. "Cih Seng Tay Tie memiliki kepandaian setinggi langit, begitu
pula Kim Gin Siong Tie. Kalau Saudara Ban mau bergabung dengan
kami, aku berani menjamin engkau pasti hidup senang."
Ucapan Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen, membuat kening Ban
Kian Tong berkerut-kerut.
374 "Engkau harus tahu, bahwa aku sama sekali tidak akan tergiur
oleh kesenangan hidup, mungkin aku tidak punya rejeki itu."
"Saudara Ban!" Ti Kie Sin Kun tertawa. "Berhubung kita kawan
lama, maka aku berterus terang padamu, itu demi kebaikanmu."
"Aku tahu maksud baikmu, namun aku tidak bisa menerimanya."
"Saudara Ban, aku harap engkau mau mempertimbangkannya!"
"Aku telah mempertimbangkannya, aku sama sekali tidak bisa
menerima maksud baikmu itu."
"Saudara Ban ".." Phang Kuang Yen, Malaikat Penggetar Bumi
menarik nafas panjang. "Kelihatannya hubungan baik kita puluhan
tahun akan berakhir sampai di sini."
"Itu belum tentu," ujar Ban Kian Tong. "Karena hubungan kita
tidak terkait dengan urusan ini."
"Saudara Ban!" Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen menggelenggelengkan
kepala. "Engkau harus mengerti, bahwa kita berada di
tempat yang berlawanan, maka kita akan menjadi musuh."
"Namun menurut aku, kita masih bisa menghindari permusuhan
ini." "Apakah mungkin?"
"Tentu mungkin." Ban Kian Tong tersenyum. "Seperti halnya
keadaan sekarang ini, asal kita cari lawan yang setimpal, bukankah
kita tidak jadi musuh?"
"Apa yang engkau katakan itu memang masuk akal, tapi
bagaimana kalau ketuamu menyuruhmu agar mencabut nyawaku?"
"Itu tidak mungkin."
"Aku bilang kalau."
"Tidak mungkin ada kalau."
"Saudara Ban kok begitu yakin?"
"Engkau harus tahu, ketua kami berhati bajik dan berbudi luhur.
Bagaimana mungkin ".."
Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen maju selangkah, kemudian
ujarnya merendahkan suaranya.
"Saudara Ban, tadi Raja Emas menyampaikan padaku suatu
urusan yang amat menggelikan, apakah saudara Ban mau dengar?"
"Urusan apa?" tanya Arhat pembasmi siluman, Ban Kian Tong
heran. "Saudara Ban, Raja Emas bilang ".." Ti Kie Sin Kun Phang
Kuang Yen maju selangkah lagi, lalu mendadak secepat kilat Ti Kie
375 Sin Kun Phang Kuang Yen mencengkeram urat nadi ditangan Ban
Kian Tong. Begitu cepat dan di luar dugaan, lagi pula mereka berdua berada
jarak yang sangat dekat. Walau kepandaian Ban Kian Tong lebih
tinggi, sudah tidak keburu berkelit. Urat nadi di tangannya telah
dicengkeram Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen.
Betapa terkejutnya Thian Koh Sing Ma Hun, Thian Kang Sing
Whe Kauw dan ketiga Arhat lainnya. Ketika mereka baru mau
melompat ke arah Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen, justru Pek Giok
Liong berseru mencegah mereka.
Sementara Ban Kian Tong gusar bukan main. Ia menatap Phang
Kuang Yen dengan sorotan tajam.
"Saudara Phang! Apa maksudmu ini" Cepat lepaskan
cengkeramanmu!" bentak Ban Kian Tong.
"He he!" Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen. "Maaf Saudara Ban,
aku cuma diperintah!"
"Betulkah atasanmu perintahkan begitu?"
"Betul." Phang Kuang Yen mengangguk. "Kalau tidak, bagaimana
mungkin aku berani bertindak demikian terhadapmu?"
"Saudara Phang, lepaskan tanganku!"
Ti Kie Sin Kun Phang Kuang Yen menggelengkan kepala,
kemudian ujarnya perlahan-lahan.
"Aku mohon saudara Ban memaafkan aku Kalau tiada perintah
dari atasanku, bagaiman mungkin aku melepaskanmu?"
"Hm!" dengus Ban Kian Tong.
Pek Giok Liong maju selangkah ke hadapan Ti Kie Sin Kun Phang
Kuang Yen, ia menatapnya seraya bertanya.
"Harus bagaimana engkau baru mau melepaskannya"
Beritahukanlah!" "Aku cuma menerima perintah dari atasanku, maka tidak
seharusnya engkau bertanya padaku."
"Maksudmu aku harus bertanya pada atasanmu?"
"Betul. Hanya atasanku yang dapat menjawab pertanyaanmu."
Pek Giok Liong mengarah pada Tu Cu Yen dan ujarnya.
"Katakanlah!" "Engkau harus menjawab pertanyaanku!" sahut Tu Cu Yen
sambil tertawa hambar. "Juga harus menjawab dengan jujur!"
"Hanya pertanyaan saja?"
"Tentu tidak begitu sederhana!"
376 "Maksudmu?" "Setelah aku bertanya, menyusul syarat!"
"Apa syaratmu?"
"Akan kuberitahukan setelah engkau menjawab semua
pertanyaanku." "Haruskah begitu?"
"Memang harus."
"Kalau begitu, silakan tanya!"
Tu Cu Yen tertawa gelak, ia menatap Pek Giok Liong tajam dan
mulai bertanya. "Siapa kau sebenarnya?"
"Pertanyaan ini harus diajukan paling betakang!"
"Tidak bisa! Engkau harus menjawab pertanyaanku ini dulu!"
"Oh?" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Jadi engkau ingin
tahu siapa diriku?" "Betul!" "Lebih baik aku menyinggung sedikit kesadaranmu."
"Maksudmu?" "Kita sudah kenal."
"Apa"!" Tu Cu Yen melongo. "Kite sudah kenal?"
"Ya." Pek, Giok Liong mengangguk.
"Kita pernah bertemu di mana?"
"Di suatu tempat, bahkan aku pernah menerima satu pukulanmu
yang nyaris membuat nyawaku melayang."
"Hah "..?" Tu Cu Yen tersentak. "Engkau ".. engkau Pek Giok
Liong?" "Tidak salah, aku memang Pek Giok Liong." Usai berkata, Pek
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Giok Liong pun melepaskan topi rumputnya, lalu menatap Tu Cu Yen
dengan sorotan yang dingin sekali. "Nah, kini engkau pun tidak bisa
menyangkal lagi siapa dirimu kan?"
"Ha ha ha!" Tu Cu Yen tertawa gelak. "Benar! Aku Tu Cu Yeng,
lalu engkau mau apa" Ingin membalas pukulanku?"
"Mengenai pukulan itu, aku boleh balas dan tidak. Tapi ".."
"Kenapa?" "Aku ingin bertanya padamu, harap engkau menjawab secara
jelas!" "Engkau ingin bertanya tentang keluarga Siauw."
"Tidak salah. Beranikah engkau menjawab secara jujur?"
377 "Bukan masalah berani atau tidak, melainkan ".." Tu Cu Yen
menatapnya. "Itu urusan keluarga Siauw, kenapa engkau ingin
bertanya?" "Karena aku mewakili seseorang."
"Oh?" Tu Cu Yen tersenyum sinis. "Mewakili Hui Ceh atau
mewakili Siauw Thian Lin?"
"Aku tidak mewakili mereka."
"Lalu mewakili siapa?"
"Dia orang tua pincang!"
"Oh" Orang tua pincang itu meninggalkan pesan untukmu?"
"Setahun yang lalu, orang tua pincang itu telah mengetahui
engkau adalah orang yang licik dan berhati busuk. Pada waktu itu,
dia telah berpesan padaku."
"Oh, ya?" Tu Cu Yen tertawa. "Kau anggap dirimu punya
kemampuan untuk turut campur urusan keluarga Siauw?"
"Tidak salah, aku memang menganggap begitu."
"Pek Giok Liong!" bentak Tu Cu Yen mendadak. "Kau bawa ke
mana Hui Ceh dan ayahnya?"
"Engkau telah salah bertanya!" ujar Pek Giok Liong sungguhsungguh.
Seharusnya engkau bertanya, aku menolong mereka ke
tempat mana?" "Sungguhkah engkau menolong mereka?"
"Perlukah aku berbohong?"
"Tiada tujuan lain?"
"Tujuan lain" Kau anggap aku punya suatu tujuan lain?"
"Apakah bukan karena Hui Ceh, maka engkau menolong
mereka?" "Tu Cu Yen! Aku tidak seperti engkau yang begitu kotor dan tak
tahu malu!" ujar Pek Giok Liong dengan wajah berubah dingin.
"Sudahlah!" Tu Cu Yen tertawa. "Jangan pura-pura jadi ksatria,
lelaki mana yang tidak suka pada gadis cantik?"
"Hm!" dengus Pek Giok Liong dingin.
"Kalau ingin bertanya tentang keluarga Siauw, sekarang juga
engkau boleh mulai bertanya, jangan buang waktu!"
"Tu Cu Yen, bagaimana keluarga Siauw terhadapmu?"
"Baik dan tidak baik."
"Kenapa engkau katakan begitu?"
"Keluarga Siauw memang sangat baik terhadapku, tapi dibalik
baik itu terdapat pula ketidak baikan."
378 "Jelaskan!" "Ketidak baikan itu yakni Siauw Thian Lin tidak mempercayai
diriku." "Kenapa dia tidak mempercayai dirimu?"
"Dia menyimpan suatu rahasia."
"Rahasia apa?" .
"Kalau aku tahu, aku pun tidak akan mengatakannya menyimpan
suatu rahasia." "Oleh karena itu ".." Pek Giok Liong tertawa dingin. ?".. Secara
diam-diam engkau meracuninya dengan maksud membunuhnya?"
"Tidak salah." Tu Cu Yen mengangguk. "Dia membuatku
membencinya dan tidak bisa bersabar lagi."
"Dia memeliharamu dari kecil, bahkan juga mengangkatmu
sebagai anak dan mengajarmu berbagai kepandaian, namun karena
dia menyimpan suatu rahasia, maka engkau tega meracuninya"
Engkau begitu tak kenal budi kebaikan orang?"
"Dia telah mengangkat aku sebagai anak, justru harus
mempercayaiku, tidak boleh menyimpan suatu rahasia ".." lanjut Tu
Cu Yen. "Dia tetap menganggapku sebagai orang luar, maka aku
pun tidak perlu ingat budi kebaikannya lagi."
"Tu Cu Yen!" Pek Giok Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"Engkau sungguh berhati sempit!"
"Pek Giok Liong! Ini urusanku, engkau tidak perlu turut campur!
Kalau engkau masih punya pertanyaan lagi, cepatlah bertanya!"
"Baik." Pek Giok Liong tertawa. "Apa kesalahan Siauw Peng
Yang, sehingga engkau pun ingin membunuhnya?"
"Dia tidak mau menurut perintahku, maka aku ingin
membunuhnya." "Lalu bagaimana dengan orang tua pincang itu" Dia tidak
bermusuhan denganmu, tapi mengapa engkau membunuhnya?"
"Dia sama sekali tidak menghormati aku, sudah bagus aku tidak
segera membunuhnya."
"Kalau begitu, mereka semua memang harus mati?"
"Memang begitu." Tu Cu Yen menatapnya. "Pek Giok Liong,
sudah selesaikah engkau bertanya?"
"Sudah." "Pek Giok Liong!" Tu Cu Yen tertawa terkekeh. "Kini giliranku
bertanya padamu!" "Silakan engkau bertanya!"
379 "Sudahkah engkau pergi ke Pulau Pelangi itu?"
"Betul." Pek Giok Liong mengangguk dan memberitahukan.
"Bahkan aku pun berhasil belajar kepandaian tingkat tinggi di sana."
"Kalau begitu, engkau kenal Mei Kuei Ling Cu?"
"Bukan cuma kenal, bahkan kami pun punya hubungan erat!"
"Oh" Siapa Mei Kuei Ling Cu itu?"
"Dia marga Se, namanya Pit Han." Pek Giok Liong
memberitahukan. "Juga majikan muda Pulau Pelangi itu!"
"Orang-orang itu memanggilmu ketua, sebetulnya engkau ketua
dari partai apa?" "Ketua Panji Hati Suci Matahari Bulan."
Tu Cu Yen tampak terkejut. "Kedudukanmu itu lebih tinggi dari
majikan Pulau Pelangi?"
"Betul, Majikan Pulau itu bawahan Jit Goat Seng Sim Ki."
"Emmh!" Tu Cu Yen manggut-manggut. Sekarang engkau harus
dengar syaratku!" "Beritahukanlah!"
"Pek Giok Liong!" Tu Cu Yen tertawa licik. "Engkau harus segera
mengajak orang-orangmu meninggalkan Hwa San!"
"Oh, ya?" Pek Giok Liong tertawa dingin.
"Dan juga ".. engkau pun harus perintahkan Mei Kuei Ling Cu,
kembali ke Pulau Pelangi bersamamu!"
"Tu Cu Yen!" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Engkau
sedang bermimpi?" "Aku dalam keadaan sadar!"
"Jadi itu syaratmu?"
"Tidak salah!" "Kau pikir aku akan setuju?"
"Tidak setuju pun harus setuju?"
"Kalau engkau tidak setuju ".." Tu Cu Yen tertawa licik. "Ban
Kian Tong akan segera mati di Hwa San ini!"
"Kau kira dengan nyawanya dapat menekan diriku?" tanya Pek
Giok Liong dengan alis terangkat.
"He he!" Tu Cu Yen tertawa terkekeh. "Dia salah seorang dari
empat Arhat, apakah kedudukannya itu kurang tinggi?"
"Memang tinggi, lagi pula aku pun harus memikirkan
keselamatannya! Akan tetapi, di Hwa San ini terdapat ratusan
nyawa. Demi keadilan bu lim, nyawanya yang cuma satu itu
terhitung apa?" ujar Pek Giok Liong, kemudian menatap Tu Cu Yen
380 tajam dan dingin seraya melanjutkan, "Kalau engkau berani
menyentuhnya, aku pun tidak akan segan-segan membunuh! Aku
akan mengerahkan ilmu Ceng Thian Sin Ci (Telunjuk Sakti Penggetar
Langit, Tui Hun Ciang (Pukulan Pengejar Roh) dan Ling Khong Tiam
Hoat (Menotok Jalan Darah Jarak Jauh) untuk membunuh kalian
semua! Engkau tidak percaya, boleh coba!"
Mendengar itu, Tu Cu Yen, Thian Suan Sin Kin, Ti Kie Sin Kun,
tiga pemimpin aula dan lainnya menjadi terperanjat bukan main.
Sebab ketiga ilmu yang dikatakan Pek Giok Liong itu, merupakan
ilmu tingkat tinggi yang tiada tanding di kolong langit.
Akan tetapi, Tu Cu Yen masih berusaha tenang, bahkan tertawa
terbahak-bahak. "Pek Giok Liong, kalau aku tidak yakin, tentunya tidak akan
mengajukan syarat itu!"
"Oh" Kenapa engkau begitu yakin?"
"Sebab aku masih memegang sesuatu yang amat penting!"
"Apa itu?" "Sesuatu itu cukup membuatku harus tunduk!"
"Oh?" Pek Giok Liong mengerutkan kening. "Itu merupakan
barang atau orang?" "Orang!" "Siapa dia?" "Kedudukan orang itu jauh lebih tinggi dari pada kedudukan Ban
Kian Tong ini!" sahut Tu Cu Yen sambil tertawa puas.
"Hm!" dengus Pek Giok Liong. "Kau kira aku akan percaya?"
"Engkau mau tahu siapa orang itu?"
"Kalau engkau mau bilang, bilanglah!"
"He he he!" Tu Cu Yen tertawa terkekeh- kekeh. "Nah, engkau
dengar baik-baik! Orang itu adalah gurumu Kian Kun Ie Siu!"
Betapa terkejutnya hati Pek Giok Liong.
"Di mana guruku itu?" tanyanya.
"Di sebuah goa yang amat rahasia."
"Di mana goa itu?"
"Di Gunung Seh Lian!"
Mendadak Pek Giok Liong tampak begitu tenang, kemudian ia
pun tertawa terbahak-bahak.
"Tu Cu Yen, masih ada omong kosong yang lain?"
"Engkau tidak percaya?"
"Aku bukan anak kecil!"
381 "Engkau harus percaya! Kalau tidak ".."
"Tu Cu Yen!" bentak Pek Giok Liong. "Aku peringatkan, cepat
lepaskan Ban Kian Tong! Lalu bawa orang-orangmu meninggalkan
Hwa San! Engkau harus tahu, aku sudah mulai tidak sabaran!"
"Oh?" Tu Cu Yen tertawa dingin.
"Tu Cu Yen, aku akan hitung sampai sepuluh! Kalau kalian belum
juga pergi, aku pun pasti membunuh kalian semua di sini!"
"He he he!" Tu Cu Yen tertawa terkekeh.
"Satu ".. dua ".. tiga ".. empat ".." Pek Giok Liong mulai
menghitung. Tu Cu Yen menatapnya tajam, dan tanyanya dengan suara
dalam. "Pek Giok Liong! Engkau tidak akan menyesal?"
Pek Giok Liong sama sekali tidak menghiraukannya, ia terus
menghitung. "Lima ".. enam ".. tujuh ".. delapan ".. Sembilan ".." Ketika
menghitung sampai sembilan, mendadak Pek Giok Liong
menyentilkan telunjuknya.
Seketika juga terdengar suara jeritan, ternyata Ti Kie Sin Kun,
yang menjerit. Lengan kirinya telah putus dan darahnya pun
mengucur. Otomatis tenaga cengkeramnya di tangan kanannya
berkurang. Kesempatan itu tidak disia-siakan Ban Kian Tong, ia
bergerak-gerak mencengkeram bahu Ti Kie Sin Kun.
Kejadian yang mendadak itu membuat Tu Cu Yen, Thian Sua Sin
Kun dan lainnya menjadi ciut nyalinya.
Sedangkan Pek Giok Liong sudah mengangkat sebelah
tangannya, siap menyerang mereka dengan Tui Hun Ciang.
Menyaksikan itu, Tu Cu Yen segera berseru.
"Pek Giok Liong, tunggu!"
"Engkau tidak perlu banyak bicara lagi, cepatlah bawa orangorangmu
meninggalkan Hwa San!"
"Pek Giok Liong!" bentak Tu Cu Yen gusar. "Engkau berbuat
demikian, pasti menyesal nanti!"
"Aku tidak akan menyesal!" sahut Pek Giok Liong. "Kalau engkau
dan lainnya tidak segera meninggalkan Hwa San, aku pasti segera
menyerang kalian dengan ilmu (Pukulan Pengejar Roh)!"
"Pek Giok Liong, engkau cukup bengis!" teriak Tu Cu Yen,
kemudian mengibaskan tangannya seraya berkata pada Thian Sua
Sin Kun. "Cepat papah Ti Kie Sin Kun, mari kita pergi!"
382 Thian Sua Sin Kun segera memapah Ti Kie Sin Kun. Dalam
sekejap mereka telah meninggalkan Hwa San.
Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun, sudah tahu kedudukan Pek Giok
Liong, maka segera menghampirinya sambil menjura memberi
hormat. "Terimakasih atas pertolongan Ketua! Budi pertolongan ini tak
terlupakan selamanya. Aku mohon Ketua sudi ke dalam untuk
duduk-duduk sebentar!"
"Ketua Hua, engkau tidak perlu berlaku begitu sungkan dan
hormat!" Pek Giok Liong balas menjura pada ketua Hwa San,
kemudian melanjutkan, "Tu Cu Yen dan orang-orangnya pergi
dengan penasaran, mungkin mereka akan kembali ke mari lagi.
Harap ketua Hua bersiap-siap!"
"Ya." Ketua Hwa San, Hua Hun manggutmanggut. "Tentang ini,
aku akan berunding dengan para murid."
"Menurut pendapatku, demi menghindari serangan Tu Cu Yen,
lebih baik ketua Hua dan para murid pindah ke tempat yang aman
untuk sementara waktu. Bagaimana menurut ketua Hua?"
"Terimakasih!" ucap ketua Hwa San. "Mengenai ini akan kami
rundingkan bersama!"
Pek Giok Liong tahu, bahwa tidak mungkin ketua Hwa San akan
mengajak para muridnya pindah ke tempat lain, sebab perbuatan itu
akan merendahkan nama partai Hwa San, maka Pek Giok Liong pun
berkata sambil tersenyum.
"Selama masih ada hutan, jangan khawatir tiada kayu bakar!
Ketua Hua, pertimbangkanlah apa yang kusarankan tadi!"
"Baiklah." Ketua Hwa San mengangguk. "Aku pasti
pertimbangkannya." "Maaf Ketua Hua, aku mau mohon diri!" ucap Pek Giok Liong dan
segera mengerahkan ginkangnya. Dalam sekejap ia telah hilang dari
tempat itu. "Bukan main!" Bwe Hoa Sin Kiam Hua Hun, ketua Hwa San itu
menarik nafas panjang. "Sungguh tinggi ilmu meringankan
tubuhnya!" Bagian ke 44: Goa Rahasia
Di gunung Seh Lian, terdapat sebuah goa. Di dalam goa itu
duduk berhadapan dua orang.
383
Panji Sakti Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Salah seorang berdandan pelajar, usianya sekitar empat
puluhan, yang seorang lagi merupakan pemuda yang amat tampan.
Siapa pemuda itu" Tidak lain Pek Giok Liong.
Di luar goa itu, berdiri puluhan orang yang berkepandaian tinggi.
Sementara Pek Giok Liong dan orang itu terus saling memandang
dengan wajah serius. Suasana pun amat tegang dan mencekam.
"Bagaimana?" tanya Pek Giok Liong. "Engkau sudah siap belum?"
Orang itu tertawa ringan dan jawabnya singkat.
"Sudah." "Bagus." Pek Giok Liong manggut-manggut. "Kawan-kawanmu
itu telah datang semua?"
"Sudah, mereka menjaga di luar!"
"Bagaimana keputusanmu sekarang?"
"Asal engkau menyerahkan Jit Goat Seng Sim Ki, semua urusan
pasti beres!" Pek Giok Liong menatap orang itu dengan tajam, lalu tersenyum
seraya bertanya. "Kenapa tidak berani menyebut nama dan asal-usulmu?"
"Itu tidak perlu."
"Takut kelak aku akan membalas dendam?"
"Tidak." "Kalau begitu, kenapa engkau tidak berani menyebut nama dan
asal-usulmu?" Orang itu tertawa gelak, ia menatap Pek Giok Liong dalam-dalam
seraya berkata. "Engkau masih punya kesempatan untuk membalas dendam?"
"Kenapa tidak?"
"Pertama, engkau tidak bisa hidup lewat tiga hari."
"Kedua?" "Kedua, meskipun engkau mampu memunahkan racun yang ada
di dalam tubuhmu, engkau pasti cacat seumur hidup."
"Oh?" Pek Giok Liong tersenyum. "Aku terkena racun apa?"
"Engkau mau tahu?"
"Sebetulnya aku tidak mau tahu, namun engkau mengatakan
racun itu begitu lihay, maka aku pun ingin mengetahuinya."
Orang itu diam saja, rupanya ia sedang mempertimbangkan,
boleh atau tidak memberitahukan pada Pek Giok Liong. Karena
cukup lama orang itu tidak membuka mulut, maka Pek Giok Liong
yang bertanya dengan nada menyindir.
384 "Engkau tidak berani memberitahukan padaku kan?"
"Bukan masalah tidak berani, melainkan engkau akan bertambah
cemas mendengarnya, maka aku merasa tidak tega
memberitahukan." "Kalau engkau tidak beritahukan, hatiku malah semakin cemas."
"Karena engkau mendesak, seandainya aku tidak
memberitahukan, itu akan membuat hatiku merasa tidak enak."
"Nah!" Pek Giok Liong tersenyum. "Kalau begitu, cepatlah
beritahukan padaku, agar hatimu merasa enak!"
"Pek Giok Liong!" Orang itu tertawa licik. "Bagaimana kalau kita
membicarakan syarat saja?"
"Aku tidak bisa hidup lebih dari tiga hari, masih ada syarat apa
yang harus dibicarakan" Lebih baik engkau katakan saja!"
"Berada di mana Jit Goat Seng Sim Ki itu sekarang?"
"Bagaimana menurutmu?"
"Kalau aku tahu, bagaimana mungkin aku bertanya padamu?"
"Benar." Pek Giok Liong manggut-manggut. "Kalau engkau tahu,
tentunya tidak akan bertanya padaku."
"Engkau memang cerdik!"
"Ha ha ha!" Mendadak Pek Giok Liong tertawa keras, sehingga
goa itu tergetar-getar. "Kenapa engkau tertawa?" tanya orang itu heran.
"Engkau telah terjebak," jawab Pek Giok Liong, kemudian
tertawa keras lagi. "Eh?" Orang itu menatap Pek Giok Liong dengan curiga. "Engkau
sama sekali tidak?""
"Tentu tidak." Pek Giok Liong menatapnya dingin. "Maka aku
masih bisa tertawa keras."
Tidak salah, seharusnya saat ini Pek Giok Liong sudah tidak
bertenaga sekujur badannya akan tetapi?"
Orang itu tersentak, tanpa sadar ia melompat mundur. Ia tahu
kepandaiannya masih di bawah kepandaiannya Pek Giok Liong.
"Terkejut ya?" Pek Giok Liong tersenyum dan berkata, "Walau
engkau tidak menyebut namamu, aku sudah tahu siapa dirimu."
Hati orang itu tersentak lagi, kemudian tanyanya seakan tidak
percaya apa yang dikatakan Pek Giok Liong.
"Engkau tahu aku siapa?"
"Engkau tidak percaya?"
"Aku memang tidak percaya."
385 "Aku justru tahu siapa dirimu." Pek Giok Liong menatapnya dan
melanjutkan ucapannya "Engkau adalah Cian Tok Suseng (Pelajar
Seribu Racun)." "Bukan," jawab orang itu cepat. "Aku bukan Cian Tok Suseng."
"Engkau tidak mengaku juga tidak apa-apa sebab aku sudah
tahu siapa dirimu." "Engkau ngawur. Cian Tok Suseng itu telah lama menghilang.
Kalau masih ada orangnya, usianya pun sudah mendekat seratus."
"Kenapa Cian Tok Suseng itu menghilang dari bu lim, orang lain
tidak tahu, tapi aku tahu."
"Engkau tahu sebabnya?"
"Tentunya engkau lebih jelas dari pada aku. Kenapa harus
bertanya lagi?" Pek Giok Liong tersenyum. "Baiklah, kuberitahukan.
Dia sangat beruntung mendapat semacam rumput obat. Setelah
makan rumput obat itu, dia pun tampak muda seperti berusia empat
puluhan, bahkan panjang umur."
"Kok engkau tahu itu?"
"Sudah pasti ada orang memberitahukan padaku."
"Siapa orang itu?"
"Engkau bilang dirimu bukan Cian Tok Suseng, kenapa harus
bertanya begitu jelas" Percuma kan?"
"Aku sungguh merasa heran."
"Cian Tok Suseng Ouw Beng Hui. Engkau masih tidak mengaku?"
bentak Pek Giok Liong mendadak.
"Aku bukan Cian Tok Suseng, kenapa harus mengaku?"
"Ouw Beng Hui!" Pek Giok Liong tersenyum. "Sepasang matamu
telah memberitahukan padaku, kenapa kau masih tidak mau
mengaku?" "Aku?"" "Ouw Beng Hui, lebih baik engkau mengaku. Itu ada kebaikan
bagimu." "Ada kebaikan apa?"
"Kalau begitu, engkau telah mengaku?"
"Karena engkau bilang ada kebaikannya, maka apa salahnya aku
mengaku." "Engkau jangan omong begitu! Mau mengaku silakan, tidak mau
mengaku juga tidak apa-apa. Namun?" alangkah baiknya kalau
engkau mau mempertimbangkan."
Orang itu berpikir lama sekali, akhirnya mengangguk.
386 "Aku mengaku." "Sungguhkah engkau mengaku?"
"Ya." Orang itu mengangguk lagi. "Aku sungguh-sungguh
mengaku." "Tapi harus ada buktinya."
"Apa"! Bukti?" Tertegun orang itu.
"Tentu harus ada bukti. Kalau tidak, bagaimana nanti kalau
engkau tidak mengaku lagi?"
"Engkau boleh?"" Orang itu diam mendadak, sama sekali tidak
berani melanjutkan ucapannya.
"Maksudmu aku boleh membunuhmu?"
"Be?" benar. Aku memang bermaksud begitu."
Justru Pek Giok Liong malah tertawa, sehingga membuat orang
itu terheran-heran. "Relakah engkau mati?" tanya Pek Giok Liong mendadak.
"Aku?" aku memang tidak rela untuk mati. Namun?""
"Kalau keadaan memaksa, itu apa boleh buat kan?"
"Benar." Orang itu mengangguk. "Semua orang harus mati,
begitu pula aku dan engkau."
"Bagus." Pek Giok Liong tertawa gelak. "Kini pikiranmu telah
terbuka." "Itu karena aku kewalahan menghadapimu, maka apa boleh
buat." Orang itu menarik nafas panjang. "Aku terpaksa harus
begini." "Kenapa engkau kewalahan menghadapiku?" tanya Pek Giok
Liong sambil tersenyum. "Engkau sangat cerdik dan berkepandaian tinggi. Oleh karena
itu, aku pun jadi kewalahan menghadapimu."
"Tapi ada satu yang aku tidak bisa menyamaimu."
Pendekar Remaja 4 Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro Manusia Harimau Jatuh Cinta 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama