Ceritasilat Novel Online

Pedang Tetesan Air Mata 6

Pedang Tetesan Air Mata Ying Xiong Wu Lei A Hero Without Tears Karya Khu Lung Bagian 6


Menyusul kemudian cahaya pedang berkelebat lewat dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat. Kilauan cahaya pedang menyelinap lewat. Inilah jurus Toa-pek-lek (Geledek dahsyat) dari Pek- lek-kiu-si, yang merupakan kepandaian andalan Suma Cau-kun dan membuatnya menjadi tenar dalam dunia persilatan selama ini. Sudah beratus-ratus orang jago lihay dari dunia persilatan yang roboh di ujung pedangnya tersebut. Sekarang walaupun senjata yang dipergunakan olehnya bukan pedang baja andalannya, dan serangan yang dilancarkan olehnya sekarang meski selisih sedikit daripada keampuhannya di hari-hari biasa, namun ketajaman pedang tersebut boleh dibilang luar biasa, kelincahan maupun perubahannya jauh lebih dahsyat daripada dugaan semula. Sayang sekali, Suma Cau-kun telah salah sasaran, tidak seharusnya dia pergunakan jurus serangan macam begitu di dalam keadaan dan suasana begini. Sebab begitu serangan telah dilepaskan, maka tenagapun akan turut sirna, bila gagal mencapai serangan, dia sendiri yang bakal terluka di tangan lawan. Menghadapi manusia seperti Cho Tang-lay, mengapa ia justru mempergunakan jurus serangan tersebut" Apakah hal ini dikarenakan dia menilai Cho Tang-lay kelewat rendah" Ataukah disebabkan dia sudah merasa amat yakin" Dalam suatu pertarungan menghadapi musuh tangguh, entah dikarenakan memandang musuh kelewat rendah ataupun menilai musuhnya terlalu tinggi, kedua-duanya merupakan suatu kesalahan yang tak dapat dimaafkan. Seharusnya Suma Cau-ku bisa memahami keadaan tersebut. Dia tak akan memandang rendah kemampuan Cho Tang-lay, diapun tak akan memandang tinggi kemampuan sendiri, dia bukan seorang manusia yang suka membuat kesalahan. Ia sengaja mempergunakan jurus serangan tersebut, hal ini disebabkan dia sudah amat memahami keadaan dari Cho Tang-lay. Cho Tang-lay adalah seorang manusia yang amat teliti dan seksama, entah dalam keadaan bagaimanapun juga, bila dia tidak merasa yakin dapat mengungguli lawannya, dia tak akan turun tangan secara gegabah, jurus serangan yang digunakan juga tak akan sembarangan. Selama pihak lawan masih mempunyai setitik kesempatan pun untuk melukainya, dia tak akan mempergunakan jurus serangan tersebut. Suma Cau-kun merupakan jagoan tak terkalahkan yang diciptakan olehnya, dengan mata kepala sendiri dia telah menyaksikan beberapa ratus jago lihay yang dipenggal dan dilukai oleh jurus serangannya tersebut. Suma Cau-kun serta jurus serangan Toa-pek-lek ini tak ayal lagi sudah menciptakan semacam daya tekanan yang amat besar di dalam hatinya. Di sinilah letak titik kelemahan yang dimilikinya. Kelemahannya adalah berani memberi kesempatan yang terbaik bagi Suma Cau-kun.
Sudah barang tentu Suma Cau-kun harus memegang kesempatan tersebut dengan sebaik- baiknya. Asal Cho Tang-lay memperlihatkan sedikit keraguan saja, di bawah tekanannya, pedang tersebut sudah pasti akan menembusi ulu hatinya. Cahaya pedang berkelebat lewat dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat. Cho Tang-lay sama sekali tidak ragu, diapun tidak ketakutan, bahkan sepasang matanya sama sekali tidak terpengaruh oleh kilauan cahaya pedang yang melintas lewat. Dari antara kilauan cahaya tajam tersebut, dia telah berhasil menemukan ujung pedang tersebut. Ujung dari pedang merupakan hati dari pedang. Gerakan pedang berubah mengikuti gerakan ujung pedang, itu berarti perubahan tersebut merupakan jiwa dari serangan tersebut. Sebuah ayunan golok tiba-tiba saja membelah jiwa dari pedang tersebut, menyusul kemudian cahaya pedang lenyap tak berbekas, tahu-tahu mata golok Cho Tang-lay telah menempel di leher sebelah kiri Suma Cau-kun. Mimpipun Suma Cau-kun tidak menyangka kalau gerak serangan musuh bisa muncul secara begitu cepat dan sama sekali di luar dugaannya. Menanti dia sadar akan bahaya, keadaan sudah tak mengijinkan lagi baginya untuk menghindar ataupun berkelit, mata golok yang tajam segera akan memenggal batok kepalanya itu. Ia sama sekali tidak memejamkan matanya untuk menantikan datangnya ayunan golok itu. Dari balik sorot matanya juga tidak memancarkan cahaya sedih ataupun dendam dan sakit hati. Dalam detik-detik seperti ini, Suma Cau-kun justru menunjukkan sikap yang sangat tenang, jauh lebih tenang daripada keadaan tadi. Bila ujung pedangnya tadi berhasil membunuh Cho Tang-lay, mungkin sikapnya malah tak akan setenang sikapnya sekarang ini. Cho Tang-lay memandang ke arahnya dengan pandangan dingin, sorot matanya masih tidak memancarkan sedikit perasaanpun. "Kau keliru, maka kau harus menderita kekalahan," ucap Cho Tang-lay kemudian. "Benar! Aku telah kalah." "Bukankah kau selalu ingin tahu, seandainya kita berdua saling bertarung, bagaimanakah akibatnya?" "Benar!" "Tapi aku justru tak ingin tahu, aku tak pernah ingin tahu!" Tiba-tiba di balik suaranya terpancar perasaan sedih yang tak terlukiskan dengan kata-kata, namun mata goloknya masih melanjutkan bacokannya ke atas tengkuk Suma Cau-kun. Hanya cahaya golok berkelebat lewat, tiada pancuran darah yang memercik ke mana-mana.
Ayunan golok tersebut dilancarkan bukan dengan mata golok, sebaliknya dengan punggungnya. Kemudian Cho Tang-lay membalikkan badan dan beranjak pergi. Dia pergi tanpa berpaling lagi, sekejap matapun tidak memandang lagi ke arah Suma Cau-kun. "Mengapa kau tidak membunuhku?" tak tahan Suma Cau-kun berseru. Cho Tang-lay tetap tidak berpaling, hanya ujarnya dengan hambar: "Sebab saat ini kau sudah menjadi mayat." ooo)O(ooo Kentongan ketiga berkumandang dari kejauhan sana. Cho Tang-lay duduk seorang diri di kursi beralas kulit binatangnya sambil menikmati arak wangi. Di tengah malam buta yang sunyi ini, seharusnya dia terhitung manusia yang paling gembira dan bahagia di seluruh kota Tiang-an ini. Segenap musuhnya telah dirobohkan, semua tugas dan pekerjaan yang harus dilakukan juga telah selesai, siapa lagi manusia di dunia ini yang dapat bertanding melawannya" Tapi siapa pula yang mengetahui benarkah hatinya segembira dan sebahagia seperti apa yang orang lain bayangkan" Sekarang, dia sedang bertanya pula kepada diri sendiri. Kalau toh ia tak berniat membunuh Suma Cau-kun, mengapa harus mengalahkan dia" Mengapa dia harus mengalahkan seorang lambang enghiong yang dipupuk dan dibinanya dengan susah payah" Apakah diapun merasa kecewa seperti juga para enghiong di kolong langit" Ia tak mampu menjawab pertanyaan tersebut. Kalau toh dia tak bermaksud membunuh Suma Cau-kun, mengapa tidak berusaha untuk menyempurnakan dia" Mengapa dia malah pergi dengan begitu saja" Cho Tang-lay pun tak sanggup menjawab. Dia hanya tahu, ayunan golok tersebut tak boleh dibacokkan dengan mempergunakan mata golok, ia tak boleh membiarkan Suma Cau-kun tewas di tangannya. Seperti juga dia tak dapat menghabisi nyawa sendiri. Dalam suatu keadaan orang ini sudah terdapat sebagian dari dirinya yang melebur dalam tubuh Suma Cau-kun, sebagian dari tubuh sendiripun sudah digunakan oleh Suma Cau-kun. Tapi ia percaya, biarpun tiada Suma Cau-kun pun ia masih tetap bisa hidup terus, Toa Piau- kiok juga masih tetap akan utuh di dunia persilatan. Ketika cawan arak yang ke empat sudah dihabiskan, perasaan Cho Tang-lay benar-benar merasa sangat gembira, dia sudah bersiap-siap untuk naik ke pembaringan untuk tidur.
Tapi......mendadak saja hatinya bagaikan tenggelam, kelopak matanya berkerut kencang. Mendadak ia menyaksikan peti yang semula diletakkan di bawah lampu, tahu-tahu sudah lenyap tak berbekas. Sekeliling tempat itu selalu dijaga oleh para pengawal, baik siang atau malam, tiada orang yang tahu kalau peti yang sederhana itu sesungguhnya merupakan senjata rahasia yang sangat menakutkan. Siapakah yang telah menyerempet bahaya dengan melarikan peti tersebut" "Praang.....!" Cawan kristal yang berada di tangan Cho Tang-lay hancur berantakan, tiba-tiba dia merasa kalau besar kemungkinan ia telah melakukan sebuah kesalahan, tiba-tiba ia teringat kembali dengan mimik wajah Cho Kim sebelum binasa. Kemudian ia mendengar suara orang mengetuk pintu. "Masuk!" serunya kemudian. Seorang pemuda kekar berwajah lebar, bermata lebar berjalan masuk dengan langkah tegap. Toa Piau-kiok adalah sebuah organisasi yang amat besar dengan peraturan yang ketat, setiap tingkat pekerjaan selalu dilakukan oleh sekelompok manusia tertentu. Dengan demikian tidak banyak jumlah manusia yang bisa menerima perintah secara langsung dari Cho Tang-lay, tak heran kalau orang bawahan teramat jarang bisa bertemu muka dengannya. Dahulu Cho Tang-lay tidak begitu memperhatikan pemuda ini, tapi sekarang ia dapat segera menduga siapa gerangan orang ini. "The Seng," tegur Cho Tang-lay kemudian dengan wajah berkerut, "aku tahu, belakangan ini kau pernah membuat pahala untuk Cho Kim, tapi kaupun harus tahu, bukan sembarangan orang dapat memasuki tempat ini........" "Tecu tahu, tapi mau tak mau tecu harus kemari," ujar The Seng dengan hormat dan serius. "Mengapa?" "Lima bulan berselang, Cho Kim telah menarik tecu menjadi anak buahnya dan langsung mendapat perintah darinya, oleh sebab itu apa saja yang dia suruh tecu lakukan, tecu tak pernah berani membangkang perintahnya." "Jadi Cho Kim yang suruh kau datang kemari?" "Benar, aku disuruh datang untuk menyampaikan sesuatu pesan." "Menyampaikan sesuatu pesan?" hardik Cho Tang-lay, "mengapa harus kau yang menyampaikan pesannya?" "Sebab dia sudah mati." "Jadi kalau dia belum mati, kaupun tak akan kemari?" "Benar!" sahut The Seng tenang, "bila ia masih hidup, sekalipun tecu dilemparkan ke dalam kuali berisi minyak mendidihpun tak akan kubocorkan rahasianya itu."
"Jadi ia suruh kau datang menghadap bila ia sudah mati?" "Benar! Ia menitahkan kepada tecu, bila ia mati, maka dalam dua jam kemudian harus datang menjumpai Cho sianseng serta menyampaikan semua pesannya." Cho Tang-lay memandang ke arahnya dengan pandangan dingin, mendadak ia menjumpai sikap maupun nada suara orang ini sewaktu berbicara hampir sama seperti Cho Kim sedang berbicara dengannya. "Sekarang dia sudah mati," kata The Seng, "maka mau tak mau tecu harus datang, tecu pun tak berani tidak datang." Hancuran kristal yang tersebar di lantai dan terpantul cahaya lampu seolah-olah berubah menjadi sorot mata dari Cho Kim sebelum ajalnya. Tanpa terasa Cho Tang-lay terbayang kembali sikap Cho Kim sebelum ajal. Lewat lama sekali baru dia bertanya kepada The Seng: "Kapan dia memberi pesannya kepadamu?" "Mungkin di sekitar fajar!" "Sekitar fajar?" sekali lagi kelopak mata Cho Tang-lay berkerut kencang, "ya, memang seharusnya sekitar fajar." Waktu itu Suma Cau-kun dan Cho Tang-lay telah berada dalam ruangan yang menyeramkan bagaikan kuburan itu. Memang di saat itulah Cho Kim mendapat peluang untuk pergi menyisir rambut dan berganti pakaian. Rupanya dia tidak melakukan pekerjaan sehari-hari tersebut, waktu itu yang dilakukan olehnya hanya menyampaikan pesan yang harus disampaikan kepada Cho Tang-lay setelah ajalnya tiba. Dengan cepat Cho Tang-lay menatap tajam wajah The Seng, kemudian ujarnya lagi: "Jadi ia sudah tahu bakal mati pada waktu itu?" "Mungkin saja sudah tahu," jawab The Seng, "dia sendiri yang memberitahukan kepadaku, mungkin ia tak bisa hidup sampai fajar esok menyingsing." "Bukankah dia hidup segar bugar" Mengapa bisa mengetahui bakal mati?" "Sebab dia sudah tahu bakal ada orang yang menyuruhnya mati." "Siapakah orang itu?" "Dia bilang orang itu adalah kau!" jawab The Seng lagi sambil menatap wajah Cho Tang-lay lekat-lekat. "Mengapa aku harus menyuruhnya mati?" "Sebab pekerjaan yang telah dia lakukan bagimu sudah kelewat banyak, persoalan yang diketahui olehnya juga sudah terlalu banyak, kau pasti tak akan meninggalkan dirinya untuk Suma
Cau-kun, dia sudah melihat bahwa saat perpecahanmu dengan Suma Cau-kun telah tiba, entah demi Suma Cau-kun ataukah demi dirimu sendiri, dia sudah pasti akan mati di tanganmu." "Kalau toh ia telah memperhitungkan segala sesuatunya secara demikian jitu, mengapa tidak berusaha untuk melarikan diri?" "Karena dia sudah tak punya waktu lagi, dia tidak menyangka kalau peristiwanya akan berlangsung sedemikian cepatnya, pada hakekatnya dia tak sempat lagi untuk membuat persiapan, tapi yang pasti sebelum kau bertarung melawan Suma Cau-kun, sudah pasti dia dulu yang akan kau cari, andaikata kau menemukan dia sudah kabur, sudah pasti semua urusan lain akan kau tunda dulu, kemudian mengerahkan segenap kekuatan yang ada untuk mengejarnya, dengan kemampuanmu sekarang, dia tak akan berhasil lolos dari cengkeraman mautmu." "Paling tidak sampai saatnya juga akan mampus, mengapa dia tidak berusaha untuk mencobanya lebih dahulu?" "Sebab sampai waktunya, kesedihan dan kemarahan Suma Cau-kun tentu sudah mereda, keputusannya bisa jadi turut goyah, padahal dia sendiri toh akan mati juga akhirnya, dengan kejadian itu bisa jadi kau malah akan rukun kembali dengan Suma Cau-kun." Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali dia melanjutkan: "Kau seharusnya sudah tahu, siapakah dirinya, persoalan seperti ini tak mungkin akan dia lakukan." Cho Tang-lay mengepal sepasang tinjunya tanpa terasa, katanya kemudian menahan emosi: "Oleh sebab itu dia lebih suka mati saja daripada memberi kesempatan semacam ini kepadaku" Lebih rela mati daripada menyaksikan aku rukun kembali dengan Suma Cau-kun?" "Betul! Sebab bila kalian rukun berarti kalian akan berjaya, sebaliknya bila berpisah berarti kalian akan runtuh, padahal dia ingin membalas dendam kepadamu, kesempatan semacam ini boleh dibilang merupakan satu-satunya kesempatan yang dimiliki olehnya." "Dia sendiri toh sudah mampus, apakah ia bisa membalas dendam bagi dirinya sendiri?" jengek Cho Tang-lay sambil tertawa dingin. "Benar! Diapun hendak memberitahukan kepadamu, bila kau membunuhnya, maka dia pasti akan membuat kau sangat menyesal, sebab sebelum ajalnya tiba, ia telah menggali liang kubur bagimu, cepat atau lambat, kau pasti akan berbaring juga di dalam liang kubur yang digalinya itu......." Lalu sesudah berhenti sejenak, dia menambahkan: "Diapun suruh aku menyampaikan kepadamu, hari seperti itu pasti akan datang dengan cepat." Cho Tang-lay menatapnya lekat-lekat, kemudian sepatah demi sepatah dia berkata: "Tapi yang jelas aku belum mati pada saat ini, bahkan dalam sekali ayunan tangan pun dapat menghabisi nyawamu, aku dapat membuat kau mati tanpa liang kubur." "Aku tahu!" "Lantas, mengapa kau begitu berani mengutarakan kata-kata semacam ini di hadapanku?" "Sebab semua perkataan itu bukan ucapanku sendiri, tapi pesan dari Cho Kim," jawab The Seng tanpa berubah paras mukanya, "dia memerintahkan aku untuk menyampaikan semua ucapannya tanpa ada yang ketinggalan, bila sepatah kata saja yang berkurang, bukan saja berarti tidak setia kepadamu, juga tidak setia kawan kepadanya."
Kemudian dengan sikap yang serius dan bersungguh-sungguh, dia menambahkan: "Sekarang aku masih belum cukup pantas untuk menjadi seorang manusia yang tidak setia dan setia kawan." "Belum cukup pantas?" tak tahan Cho Tang-lay bertanya, "untuk menjadi seorang manusia yang tidak setia dan setia kawanpun harus dilihat pantas atau tidak?" "Benar!" "Bagaimanakah baru pantas untuk menjadi seorang manusia yang tidak setia dan setia kawan?" "Harus bisa membuat orang meski tahu kalau dia tidak setia dan setia kawan, namun hanya dapat menyimpan perasaan tersebut di hati. Setiap kali bertemu dengannya masih tetap harus bersikap hormat kepadanya dan tak berani bersikap kurang ajar. Bila tanpa memiliki kemampuan semacam ini untuk menjadi seorang manusia yang tidak setia dan setia kawan, berarti dia benar- benar menginginkan suatu kematian tanpa liang kubur." Sekali lagi Cho Tang-lay menatapnya lekat-lekat, lama kemudian sepatah demi sepatah dia baru berkata: "Apakah aku sudah pantas untuk disebut demikian?" "Benar!" Tiba-tiba Cho Tang-lay tertawa. Padahal dia tidak seharusnya tertawa, karena apa yang diucapkan The Seng bukan lelucon, setiap kata-katanya bukan lelucon yang lucu dan siapa saja yang mendengarkan perkataan itu pasti tak bakal tertawa. Tapi Cho Tang-lay justru tertawa. "Perkataanmu sangat baik, ucapanmu memang baik sekali," kata Cho Tang-lay sambil tertawa, "bila seseorang sudah pantas untuk menjadi seorang manusia yang tidak setia dan setia kawan, masih ada masalah apa lagi di dunia ini yang bisa membuatnya murung dan pusing kepala?" "Mungkin sudah tak ada lagi," kata The Seng dengan bersungguh-sungguh hati, "bila suatu ketika akupun bisa berbuat sampai ke taraf ini, pasti tiada lagi persoalan yang akan merisaukan diriku lagi." "Kalau begitu laksanakan saja dengan baik-baik, akupun berharap kau dapat mencapainya." Kemudian setelah tertawa, katanya lebih jauh: "Aku percaya Cho Kim tentu sudah memperhitungkan pula secara baik-baik bahwa aku tak akan membunuhmu, sekarang aku sedang amat membutuhkan bantuan dari seorang manusia seperti kau." The Seng memandang ke arahnya, sorot mata itu penuh dengan rasa hormat, persis seperti sorot mata Cho Kim di masa lampau. "Masih ada seseorang lagi," kata The Seng, "masih ada seseorang lagi yang besar kemungkinannya jauh lebih berguna daripada aku." "Siapa?" "Ko Cian-hui."
Setelah berhenti sejenak, The Seng menyambung lebih jauh: "Dia bersikeras hendak bertemu denganmu, aku menyuruhnya pergi tapi dia justru tetap tinggal di sini untuk menunggu, bahkan dikatakan biar menunggu cukup lamapun tak menjadi soal, karena tak urung dia toh tak akan pergi kemana-mana lagi." "Kalau begitu, biarkan saja dia menunggu terus," ucap Cho Tang-lay, "tapi yang jelas saat-saat menantikan kedatangan seseorang merupakan saat-saat paling menderita. Oleh sebab itu kita bersikap lebih baik kepadanya, apa saja yang dia inginkan lebih baik kita turuti saja." "Baik!" Pelan-pelan The Seng mengundurkan diri, seakan-akan masih menunggu sesuatu pesan dari Cho Tang-lay. Tapi Cho Tang-lay tidak berkata apa-apa lagi bahkan dia memejamkan matanya rapat-rapat seperti tertidur. Di bawah sorot cahaya lampu, paras mukanya memang nampak lelah sekali, pucat pias, lemah dan lelah. Namun The Seng yang memandang ke arahnya justru memancarkan sinar hormat, hormat dan rasa segan yang benar-benar timbul dari hati sanubarinya. Karena orang ini memang benar-benar berbeda dengan orang lain, pandangan serta reaksinya terhadap setiap masalah sama sekali berbeda dengan orang lain. The Seng mundur keluar, menutup pintu rapat-rapat dan membalikkan badannya, sampai angin dingin berhembus di atas tubuhnya, ia baru menjumpai celananya sudah basah oleh peluh dingin. Cho Tang-lay memang tidak sama dengan manusia manapun juga. Di saat orang lain pasti akan sedih dan gusar karena sesuatu persoalan, ia justru malahan tertawa, di saat orang lain merasa terkejut dan gembira karena sesuatu, reaksinya justru dingin dan sangat hambar, bahkan mendekati tiada reaksi apapun. Dia tahu Ko Cian-hui telah datang bahkan bagaikan seorang pemuda yang sedang dimabuk cinta, menantikan kedatangan kekasihnya. Dia juga tahu akan pedang tetesan air mata milik Ko Cian-hui, tetesan air mata yang setiap saat bisa berubah menjadi tetesan darah, mungkin darahnya, mungkin juga darah musuh lainnya. Tapi ia seolah-olah tidak memberikan reaksi sedikitpun. Peti yang berada di meja mendadak hilang, bisa jadi pemilik peti yang berada dalam halaman kecil itupun sudah lenyap tak berbekas. Cho Kim pun sudah bertekad akan membalas dendam. Bila dia ingin mencarikan musuh yang paling menakutkan untuk Cho Tang-lay, tak disangkal lagi Siau Lay-hiat adalah satu-satunya yang paling cocok. Kun-cu-hiang bukan termasuk sejenis obat pemabuk yang tak bisa dipunahkan untuk selamanya, bila tidak dipergunakan secara beruntun, dalam dua tiga hari saja tenaga dalam Siau Lay-hiat telah dapat dipulihkan kembali seperti sedia kala.
Waktu itu, besar kemungkinan saat kematian dari Cho Tang-lay akan tiba. Selain daripada itu, Cho Kim masih bisa memberikan pekerjaan yang lebih banyak lagi baginya, membuatkan banyak masalah yang akan membuatnya menyesal. Harta kekayaannya, surat-surat rahasianya, hampir setiap jenis persoalan bisa jadi sudah dijual Cho Kim, orang-orang yang kurang cocok dengan pendiriannya juga bisa jadi telah diperalat oleh Cho Kim. Sesungguhnya berapa dalamkah kuburan yang telah digali oleh Cho Kim baginya menjelang kematiannya" Andaikata persoalan seperti ini terjadi pada tubuh orang lain, dia pasti akan berusaha dengan segala cara untuk bisa menyelidikinya di dalam waktu singkat. Tapi sekarang Cho Tang-lay tidak melakukan pekerjaan apapun. Cho Tang-lay sudah tertidur, benar-benar tertidur. Ia tadi masuk ke dalam kamar tidurnya, menutup rapat pintu dan jendelanya, kemudian menekan sebuah tombol rahasia di sebuah sudut pembaringannya yang amat rahasia. Kemudian dari sudut ruangan muncul sebuah almari rahasia. Dari dalam almari tadi ia mengeluarkan sebuah kotak kecil yang berisi sebutir pil berwarna hijau. Pil itu segera ditelannya. Pil hijau ini termasuk sejenis obat penenang yang bisa membuatnya tertidur walaupun berada di dalam keadaan dan situasi macam apapun. Ia memang kelewat lelah. Setelah memperoleh suatu kemenangan yang gemilang, setiap orang memang akan merasakan ekstra lelah yang luar biasa. Dalam keadaan begini, satu-satunya yang dapat dilakukan untuk memulihkan kembali kekuatannya adalah tidur. Sewaktu hendak tertidur, dia hanya sempat memikirkan seseorang. Yang terpikirkan olehnya bukan Cho Kim yang tewas secara mengerikan diujung goloknya, juga bukan Siau Lay-hiat yang setiap saat bisa datang untuk mencabut nyawanya. Yang terpikir olehnya adalah saudara kandungnya, saudara kandung yang sudah mati semenjak dilahirkan, saudara yang selama sepuluh bulan berada bersama di dalam rahim ibunya. Ia belum pernah bertemu dengan saudaranya itu, dalam hati kecilnya, saudara kandungnya itu selalu hanya berupa suatu bayangan yang samar. Tapi menjelang saat tidurnya, bayangan yang semua itu tiba-tiba berubah menjadi manusia, sesosok manusia yang amat jelas. Orang itu seperti Suma Cau-kun. ooo)O(ooo Dari kejauhan sana, terdengar suara kentongan dibunyikan, kentongan ketiga. Suma Cau-ku masih ingat, baru saja ia mendengar suara kentongan baru dibunyikan, baru kentongan kedua.
Biarpun waktu itu dia sudah minum arak, paling banter baru tujuh delapan kati yang diteguknya, rasa mabuk betul sudah menguasainya, namun dia bersumpah tak bakal salah mendengar. Diapun masih teringat, waktu itu dia sedang minum arak di sebuah kedai arak, selain dia, di meja lain masih terdapat serombongan tamu, semuanya terdiri dari pemuda berumur delapan sembilan belas tahunan. Sambil merangkul lima enam orang perempuan yang usianya satu kali lipat lebih tua dari usia mereka, orang-orang itu sedang mengibul dengan kerasnya. Yang mereka kibulkan adalah Suma Cau-kun. Setiap orang menyanjung Suma Cau-kun sebagai seorang jagoan yang tiada taranya di dunia ini, bahkan semuanya mengaku pernah berhubungan dengannya. Yang sedang mengibul senang, yang mendengarpun turut senang. Tapi hanya seorang yang merasa tak senang ataupun gembira, orang itu tak lain adalah Suma Cau-kun sendiri. Oleh sebab itu diapun minum arak dengan sekuat tenaga. Diapun masih teringat dengan jelas, di saat orang lain sedang mengibul dengan penuh kegembiraan, mendadak dia bangkit berdiri sambil menggebrak meja, kemudian mencaci maki kalang-kabut. "Suma Cau-kun itu manusia macam apa" Pada hakekatnya dia bukan manusia, sesenpun tak lalu, dengan kentut pun lebih bau!" Makin mengumpat, dia makin gembira, tapi yang mendengarkan justru semakin tak senang. Kemudian ada orang yang membalikkan meja, belasan pemuda itupun menyerbu bersama. Dia seperti teringat seorang di antara mereka kena dijotos olehnya sampai hancur tulang hidungnya. Semua kejadian ini dapat diingat oleh Suma Cau-kun dengan jelas, lebih jelas daripada seorang bocah yang menghapalkan pelajaran. Bahkan diapun masih ingat ada seorang perempuan bergincu yang bertampang mirip sekali dengan binatang yang bisa memanjat pohon, segera melepaskan sepatu kayunya dan diketukkan ke atas kepalanya. Tapi kejadian selanjutnya sudah tidak teringat lagi olehnya. Waktu itu dia jelas mendengar baru kentongan ke dua, tapi sekarang sudah kentongan ke tiga. Kalau waktu itu dia masih duduk minum arak di kedai arak, maka sekarang dia berbaring di tepi pohon Yang-liu dengan beratapkan langit. Kepalanya terasa pusing tujuh keliling, kerongkongannya seperti cerobong asap dan sekujur badannya semua linu, sakitnya bukan kepalang, seperti baru saja dipermak habis-habisan. Apakah sepatu kayu si perempuan gemuk itu sudah dihantamkan ke atas kepalanya" Bagaimana ceritanya sehingga ia sampai di sini"
Selama ia tak sadarkan diri, apa gerangan yang telah terjadi" Suma Cau-kun sama sekali tak dapat mengingatnya kembali. Dalam saat-saat tersebut, benaknya seolah-olah berubah menjadi kosong melompong, bagikan buku yang dirobek-robek orang. Tatkala Suma Cau-kun berusaha untuk meronta bangun, dia baru sadar bahwa disampingnya masih berdiri seseorang yang lain. Orang itu sedang memandang aneh ke arahnya, seolah-olah sedang bertanya kepadanya. "Benarkah kau adalah Suma Cau-kun yang tiada tandingannya di kolong langit" Mengapa tampangmu berubah menjadi begini rupa?" Suma Cau-kun segera bertekad untuk tidak menggubrisnya, bertekad untuk berlagak seolah- olah tidak melihat orang ini. Sayangnya orang itu justru bertekad hendak memperlihatkan diri kepadanya, bukan hanya segera menghampirinya, bahkan merangkul pula lengannya. Kalau tadinya ia sudah berusaha dengan sepenuh tenagapun belum dapat berdiri, maka sekarang ia dapat berdiri dengan segera, lagi pula berdiri tegak. Orang itu tidak melepaskannya dengan begitu saja, dengan sorot mata kasihan dan iba kembali katanya: "Lo-cong, kau mabuk, biar aku membimbingmu." Kemudian ia memperkenalkan diri. "Aku adalah A-keng. Lo-cong, masa kau sudah tidak mengenal A-keng lagi?" "A-keng?" Sebuah nama yang amat dikenalnya. Hanya orang yang mendampinginya semasa dia baru terjun ke dunia persilatan baru memanggilnya sebagai 'Lo-cong'. Mendadak Suma Cau-kun menepuk bahu orang itu keras-keras dan menggenggam lengannya kencang-kencang sambil tertawa tergelak. "Bagus sekali! Hei anak muda, kemana kau bersembunyi selama ini" Sudah mendapat bini" Tidak kau gadaikan binimu, bukan?" A-keng turut tertawa, dari balik matanya seolah-olah tampak air matanya jatuh bercucuran. "Sungguh tak disangka Lo-cong masih teringat dengan aku si setan judi. Masih teringat dengan manusia yang tak becus macam diriku ini." "Kau adalah setan judi, aku adalah setan arak, keduanya sama-sama tak berguna," ia menarik A-keng lalu meneruskan, "ayo jalan, kita mencari tempat untuk minum arak." "Lo-cong kau tak boleh minum lagi," cegah A-keng, "seandainya kau tidak menghabiskan setengah guci arak yang terakhir tadi, kawanan cecunguk itu tak akan bisa mengusik seujung rambutmu." Nada suaranya tiba-tiba berubah menjadi sedih dan murung, terusnya: "Lo-cong, seandainya kau tidak menjadi lemas lantaran kebanyakan minum, bagaimana mungkin kau dapat dipermak
oleh kawanan cecunguk itu" Sampai-sampai kepalamu bocor oleh pukulan kayu si anjing betina gemuk itu?" Lalu setelah berhenti sejenak, dia baru meneruskan: "Padahal kalau berada di hari-hari biasa, kawanan cecunguk itu pasti akan terkencing-kencing saking takutnya lantaran mendengar nama besar Lo-cong." :Jadi aku benar-benar dipermak orang?" Suma Cau-kun merasa sedikit tak percaya, tapi setelah meraba kepala dan tulang sendiri, mau tak mau dia baru percaya. "Tampaknya aku benar-benar telah dipermak," mendadak ia tertawa tergelak, "haha, permakan yang sangat bagus, permakan yang memuaskan, sungguh tak nyana kalau aku bakal dipermak orang sampai sepuas ini. Haaaahhh....... haaaaahhhh..... haaaaaahhh, sudah puluhan tahun lamanya aku tak pernah merasa sepuas ini." "Tapi Lo-cong juga tidak membuat mereka memperoleh keuntungan apa-apa, kaupun menghajar kawanan cecunguk itu sampai merangkak-rangkak bagaikan anjing budukan." "Wah, bukan main jadinya," Suma Cau-kun menghela napas, "aku tidak seharusnya menghajar mereka." "Mengapa?" "Tahukah kau apa sebabnya mereka menghajar diriku?" kata Suma Cau-kun, "sebab aku telah mengumpat habis-habisan Suma Cau-kun, jagoan mereka yang paling disanjung dan dihormati." Kemudian sesudah tertawa terbahak-bahak, dia melanjutkan: "Suma Cau-kun kena dipermak orang gara-gara mencaci maki diri sendiri. Bila kejadian tersebut sampai diketahui oleh setiap enghiong di kolong langit, niscaya mereka akan mentertawakan kawanan cecunguk itu hingga copot giginya." A-keng tidak tertawa, dia malah bergumam seorang diri. "Andaikata Cho sianseng berada di sini, Lo-cong tak akan minum arak sampai mabuk." Mendadak dia merendahkan suaranya sambil bertanya: "Mana Cho sianseng" Mengapa kali ini tidak mendampingi Lo-cong?" "Mengapa dia harus berada bersamaku?" Suma Cau-kun tertawa tergelak-gelak tiada hentinya, "dia adalah dia, sedang aku adalah aku, dialah baru seorang toa enghiong sejati, sedangkan aku tak lebih hanya seekor anjing budukan. Dia tidak memenggal batok kepalaku sebagai cawan arak sudah terhitung lumayan kepadaku." A-keng memandangnya dengan terkejut, lewat lama kemudian dia baru bertanya agak tergagap: "Apakah Cho sianseng telah memberontak?" "Memberontak" Mengapa dia harus memberontak?" Suma Cau-kun tertawa tergelak, "pada hakekatnya Toa Piau-kiok adalah miliknya, aku ini terhitung manusia macam apa?" A-keng memandang ke arahnya, air mata akhirnya jatuh bercucuran. Mendadak dia berlutut dan menyembah tiga kali.
"A-keng memang pantas mati, A-keng memang berbuat salah terhadap Lo-cong." "Kau tidak bersalah kepadaku. Di kolong langit, dewasa ini hanya seorang yang berbuat kesalahan kepadaku, orang itu adalah aku sendiri......" "Tapi ada sementara persoalan yang tidak diketahui oleh Lo-cong. A-keng lebih suka mati di bunuh oleh Lo-cong daripada mengutarakannya keluar." "Coba katakan!" "Selama beberapa tahun, A-keng tidak mendampingi Lo-cong, hal ini disebabkan Cho sianseng telah mengutusku menyelinap ke Hiong-say-tong, lagi pula tugas tersebut harus kulakukan di luar pengetahuan Lo-cong. Cho sianseng tahu, Lo-cong selalu orangnya jujur dan terbuka, selamanya masalah ini tidak boleh diketahui oleh Lo-cong." "Kebetulan sekali, akupun tidak ingin mengetahui akan persoalan ini," Suma Cau-kun menghela napas panjang, "Cu Bong si keparat itupun mungkin tak akan tahu berapa orang yang telah dikirim Cho Tang-lay ke situ, mungkin dia tak ubahnya seperti aku, seorang telur busuk asli." A-keng menatapnya sampai setengah harian, mendadak dari balik matanya, mencorong sorot mata yang sangat aneh, tiba-tiba ia bertanya kepada Suma Cau-kun: "Inginkah Lo-cong bertemu dengan telur busuk itu?" "Telur busuk manakah yang kau maksudkan?" mencorong sinar tajam dari balik mata Suma Cau-kun, kemudian sambil memperkeras suaranya, ia bertanya lagi, "apakah Cu Bong si telur busuk itu?" "Benar!" "Kau tahu dia berada dimana?" kembali Suma Cau-kun bertanya, "darimana kau bisa tahu?" Kemudian sambil menatap A-keng lekat-lekat, dia berkata lebih lanjut: "Apakah kaupun termasuk salah seorang di antara ke delapan puluh enam orang yang datang untuk menghantar kematian?" Sekali lagi A-keng jatuhkan diri berlutut seraya berkata: "A-keng memang pantas mati. A-keng bersalah kepada Lo-cong, tapi sesungguhnya Cu Bong tidak jauh berbeda seperti Lo-cong, diapun seorang enghiong hohan yang berdarah panas, A-keng merasa tak tega untuk mengkhianatinya di dalam keadaan seperti ini, maka kali ini A-keng turut satang untuk bersiap-siap mendampinginya mati di kota Tiang-an." Kemudian sambil membentur-benturkan kepalanya dengan lantai sehingga berdarah, ia berkata kembali: "A-keng memang pantas mati, biarpun A-keng telah berkhianat kepada Toa Piau- kiok, namun tak pernah menaruh perasaan jahat terhadap Lo-cong, kalau tidak A-keng rela setelah mati menjadi binatang." Suma Cau-kun seperti tertegun oleh perkataan itu, mendadak ia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Cu Bong memang hebat. Ternyata dia bisa membuat mata-mata yang dikirm Cho Tang-lay setia mati-matian kepadanya, dia memang patut disebut seorang Ho-han." Kemudian setelah tertawa terbahak-bahak, dia melanjutkan: "Si Sepatu Paku maupun A-keng adalah seorang Ho-han. Dibandingkan kalian, aku Suma Cau-kun benar-benar lebih busuk daripada kentut anjing."
Suara tertawanya menjadi parau dan sedih, tapi tiada air mata lagi yang jatuh bercucuran. Setetespun tak ada. ooo)O(ooo Cu Bong juga tidak melelehkan air mata. Menyaksikan si Sepatu Paku mati dalam pertarungan dan memeluknya dalam rangkulan, ia sama sekali tidak mengucurkan air mata. Yang mengalir keluar pada saat itu adalah darah. Walaupun mengalir keluar dari mata, namun yang bercucuran adalah darah. Darah masih mengalir keluar tiada hentinya dari tubuh Tiap-wu, tiada orang yang bisa menghentikan lagi aliran darahnya di dunia saat ini. Sebab yang mengalir keluar dari mulut lukanya bukan lagi darah, melainkan sukma dari si penari. Dan sukma dari si penari telah berubah menjadi kupu-kupu. Siapakah yang pernah menyaksikan kupu-kupu mengeluarkan darah" Siapa pula yang pernah melihat darah kupu-kupu berwarna apa" Darah bercucuran, mengapa manusia masih terus bercucuran darah" Mengapa mereka seolah-olah tak sadar kalau perbuatan-perbuatan seperti itu merupakan perbuatan yang buruk. Tapi Tiap-wu tahu. Sebab nyawanya teramat indah, teramat pendek sehingga tiada orang yang bisa melihat lagi segi kejelekannya. "Tolong selimuti badanku, tutuplah kakiku, aku tak ingin orang lain menyaksikan kakiku lagi." Inilah kata-kata terakhir yang diucapkan Tiap-wu ketika untuk ke empat kalinya jatuh tak sadarkan diri. Di dalam kenyataannya, dia memang sudah tak berkaki lagi. Justru karena ia sudah tak berkaki, maka dia tak ingin terlihat orang. Bila ada orang masih tega untuk mengatakan bahwa hal semacam ini merupakan sindiran, juga merupakan salah satu dari titik kelemahan manusia, maka hati orang ini pasti lebih keras dari baja. Selimut yang tebal sekali menutupi badan Tiap-wu, seperti selapis awan mendung yang tebal menutupi cahaya matahari. Di atas wajah Tiap-wu sudah tidak nampak setitik cahayapun, seperti lentera dalam kamar yang kehabisan minyak.
Cu Bong selalu berjaga di sisinya, tanpa bergerak, tanpa berbicara, tak setetes airpun yang diteguk, juga tiada setitik air matapun yang bercucuran. Suasana dalam ruangan itu lembab dan dingin. Tiga belas orang sisa anak buahnya masih tetap berjaga di sisi Tiap-wu seperti Cu Bong saja. Perasaan merekapun diliputi kesedihan dan putus asa, namun mereka masih tetap hidup. Hingga kini, A-keng yang keluar rumah mencari berita sambil membelikan rangsum bagi mereka, mengapa belum juga kembali" Ketika A-keng pulang, Suma Cau-kun turut datang pula. Setiap orang dapat melihat A-keng pulang dengan membawa seseorang, seorang asing yang tinggi besar, rambutnya kusut, pakaiannya compang-camping dan membawa luka di badan, namun sama sekali tidak membawa senjata. Tapi, biar bagaimanapun juga, di dalam keadaan seperti ini tidak seharusnya A-keng pulang dengan membawa seorang asing seperti ini. Karena si manusia asing ini meski nampak seperti binatang buas yang sudah terjepit oleh kejaran pemburu, bagaimanapun juga masih tetap merupakan binatang buas, ia masih berbahaya dan mampu melukai orang. Walaupun orang ini tidak membawa senjata, namun membawa hawa yang lebih tajam daripada sembilu. Tangan setiap orang segera menggenggam golok besar yang telah mereka tekadkan untuk tak berpisah dari sisi tubuhnya hingga mati. Setiap golok sudah bersiap sedia diloloskan dari sarungnya. Hanya Cu Bong seorang yang masih tetap duduk tak berkutik di sana, bahkan menurunkan perintah yang sama sekali tidak dipahami oleh bawahannya. Mendadak ia menurunkan perintah: "Pasang lentera, sulut semua benda yang bisa dipergunakan sebagai alat penerangan." Tiada orang yang memahami maksud Cu Bong, tapi Suma Cau-kun mengerti. Ia belum pernah berjumpa dengan Cu Bong. Tapi begitu dia melangkah masuk ke dalam rumah kecil yang lembab dan bobrok itu, begitu melihat Cu Bong yang duduk di atas pembaringan batu, ia segera tahu kalau orang itu adalah orang yang selama hidup ingin dijumpainya. Sebenarnya di dalam rumah hanya terdapat setitik cahaya lentera. Cahaya lentera hanya menandakan kegembiraan, dalam suasana duka begini, cahaya lentera sudah tiada berguna lagi. Tapi Cu Bong tetap memerintah. "Pasang seluruh lentera yang ada, biar kusaksikan tamu agung kita ini."
Semua lentera segera dipasang. Apa yang diucapkan Cu Bong biasanya sudah merupakan perintah yang sangat manjur. Tiga buah lentera, tujuh batang lilin dan lima batang obor sudah cukup untuk merubah suasana dalam ruangan itu menjadi terang benderang. Dan cukup pula membuat setiap kerutan di wajah orang-orang itu terlihat jelas. Itulah kerutan dahi karena penderitaan dan amarah, kerutan yang lebih dalam daripada sayatan golok. Akhirnya Cu Bong bangkit pelan-pelan, membalikkan tubuhnya dan saling berhadapan muka dengan Suma Cau-kun. Mereka berdua saling berhadapan tanpa berbicara, saling berpandangan dengan mulut membungkam, seakan-akan dalam jagad tinggal suara percikan api. Seakan-akan pula di dalam dunia saat ini tinggal mereka berdua saja. Dua orang manusia yang penuh luka dan penderitaan, dua manusia yang menderita kegagalan. "Kau adalah Suma Cau-kun?" akhirnya Cu Bong menegur. "Coba tengoklah. Benarkah ini aku?" "Aku rasa kau tidak mirip, Suma Cau-kun yang tak terkalahkan di dunia ini tidak seharusnya bertampang seperti kau, tapi aku tahu, kau adalah Suma Cau-kun, kau sudah pasti dia." "Mengapa?" "Sebab kecuali Suma Cau-kun, di kolong langit sudah tiada orang kedua yang mirip dirimu itu. Tampangmu itu mirip sekali dengan orang yang baru saja menjumpai delapan ratus delapan puluh delapan sosok setan gentayangan." Ternyata Suma Cau-kun sangat setuju dengan ucapan tersebut. "Memang tidak banyak orang yang dapat sekaligus menyaksikan delapan ratus delapan puluh delapan sukma gentayangan, tapi juga bukan hanya satu orang." "Kecuali kau, masih ada siapa lagi?" tanya Cu Bong, "apakah masih ada seorang manusia yang bernama Cu Bong?" "Agaknya memang begitu." Cu Bong tertawa terbahak-bahak. Ia benar-benar tertawa tergelak-gelak, setiap kali mendengar perkataan semacam ini, dia pasti tertawa, ada kalanya suara tertawanya itu bisa terdengar sampai jarak sejauh sepuluh li. Sekarang dia sedang tertawa, hanya paras mukanya tidak memperlihatkan tertawa, suara tertawanya pun tidak kedengaran oleh siapapun termasuk orang yang berada di sisinya. Sebab pada hakekatnya dia memang tidak memperdengarkan sedikitpun suara tertawanya.
Tiada suara tertawa, tiada pula suara isak tangis, bukan saja orang lain tak dapat tertawa, mau menangispun tak dapat. Namun air mata nampak jatuh bercucuran membasahi kelopak mata mereka semua. Mereka bukan Cu Bong, juga bukan Suma Cau-kun, oleh sebab itu mereka boleh bercucuran air mata. Cu Bong memandang sekejap kawanan lelaki sejati yang hingga matipun enggan meninggalkan dirinya, sementara sepasang matanya yang besar dan merah membara seolah-olah hendak memuntahkan darah segar. "Kali ini kami kalah total," serunya parau, "tapi kami kalah dengan tak puas, sampai matipun tak akan puas." "Aku tahu!" jawab Suma Cau-kun sedih, "semua persoalan kalian telah kuketahui." "Tapi ketika kami datang kemari, kau tidak berada di Tiang-an?" "Ya, waktu itu aku memang tak ada," Suma Cau-kun menghela napas panjang, "aku tidak tahu kau bisa datang sedemikian cepat." "Maka kau seorang diri pergi ke Lok-yang?" "Sebenarnya aku ingin pergi seorang diri, menjumpaimu dan menyelesaikan perselisihan di antara kita sampai tuntas, kita berdualah yang membereskan sendiri persoalan ini." "Benarkah kau berpikir demikian?" "Benar!" Tiba-tiba Cu Bong menghela napas panjang pula. "Aku tidak salah menilaimu, aku tahu seandainya waktu itu kau berada di Tiang-an, paling tidak kau akan memberi sebuah kesempatan kepada kami untuk berduel secara sungguh-sungguh dan jujur." Jilid ke-11 Suara Cu Bong penuh mengandung nada sedih dan gusar, terusnya: "Kami memang datang menghantar kematian, tapi kami tak puas diharuskan mati dalam siasat busuk yang rendah dan munafik seperti ini." "Aku tahu!" "Akupun tidak menyalahkanmu, seandainya kau berada di Tiang-an waktu itu, tak nanti akan kau lakukan perbuatan biadab yang memalukan seperti ini." "Kau keliru!" kata Suma Cau-kun serius, "terlepas aku hadir atau tidak, perbuatan tersebut adalah perbuatanku." "Mengapa?"
"Sebab ketika itu aku masih terhitung Cong-piau-pacu dari Toa Piau-kiok, jadi setiap perbuatan yang dilakukan orang-orang Toa Piau-kiok masih merupakan tanggung jawabku. Setiap dendam ada pemiliknya, kau sudah sepantasnya menuntut balas kepadaku." "Jadi kedatanganmu hari ini untuk membayar hutang?" "Benar!" "Mampukah kau lunasi hutang tersebut?" tanya Cu Bong keras-keras, "dengan cara apa kau hendak melunasi semua hutang tersebut?" "Biar tak bisa dilunasipun harus kubayar," ucap Suma Cau-kun, "bagaimana harus kubayar, dengan cara itu pula akan kubayar. Kalau tidak buat apa aku kemari?" Cu Bong menatapnya lekat-lekat, diapun balas menatap Cu Bong, hanya anehnya dibalik sorot mata mereka berdua sama sekali tiada sorot mata dendam ataupun sakit hati, malah yang nampak adalah sinar mata penuh kekaguman dan hormat. "Kau mengatakan waktu itu kau masih menjabat Cong-piau-pacu dari Toa Piau-kiok, dan sekarang?" tiba-tiba Cu Bong bertanya lagi. "Entah apa jabatanku sekarang, yang jelas hal mana tiada sangkut pautnya dengan persoalan ini." "Mengapa?" "Sebab kau masih tetap bernama Cu Bong dan akupun masih bernama Suma Cau-kun." Dari balik sorot mata yang dalam pandangan orang lain sudah merupakan seseorang yang gagal total, tiba-tiba memancar kembali sinar kewibawaan yang cukup menggetarkan perasaan orang. "Hari ini aku datang untuk membayar hutang, hal ini disebabkan kau masih bernama Cu Bong dan aku bernama Suma Cau-kun. Dalam soal ini, tak mungkin akan terjadi perubahan apapun dalam situasi dan kondisi apapun." Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya: "Sekalipun kepala sudah kutung, darah sudah mengalir, rumah tangga sudah hancur dan orang telah binasa, dalam soal ini tak mungkin akan terjadi perubahan, biar sedikitpun." Ya, memang begitulah keadaan yang sebenarnya. Kepala boleh kutung, darah boleh mengalir, tapi semangat tak akan pernah tunduk, selamanya tak pernah akan punah. Memang demikianlah semangat sejati seorang anggota persilatan, semangat jantan seorang lelaki kesatria. Cu Bong menatap Suma Cau-kun lekat-lekat, dari wajahnya memancar pula sinar kewibawaan yang menggetarkan perasaan siapa saja. "Kau adalah satu-satunya musuh besarku selama hidup, dendam kesumat di antara kita sudah terikat amat dalam. Entah berapa banyak manusia yang tewas akibat persoalan kita ini, "kata Cu Bong, "demi arwah-arwah penasaran tersebut, tak mungkin kita bisa hidup berdampingan lagi."
"Aku mengerti!" "Walaupun aku Cu Bong menghabiskan seluruh masa hidupku dalam dunia persilatan, banyak orang telah kubunuh dan banyak dendam sakit hati kubuat, namun belum pernah kupandang sebelah matapun terhadap orang lain," kata Cu Bong lebih jauh, "hanya kau, kau Suma Cau-kun, seorang yang selalu kupandang tinggi." Nada suaranya menjadi gemetar karena dorongan emosi. "Hari ini, terimalah sebuah hormat dari aku Cu Bong, untuk orang yang kupandang tinggi." Cu Bong benar-benar jatuhkan diri berlutut sambil menyembah, lelaki jantan yang tak pernah bertekuk lutut kepada siapapun ini betul-betul berlutut dan menyembah kepada Suma Cau-kun. Dengan cepat Suma Cau-kun menjatuhkan diri pula berlutut sambil menyembah. "Aku memberi hormat kepadamu, sebab kau benar-benar seorang enghiong sejati, seorang lelaki jantan yang betul-betul tulen," Cu Bong melanjutkan dengan suara parau, "setelah penyembahanku ini, mungkin kita akan berpisah untuk selamanya." Sepatah demi sepatah kata dia menambahkan. "Sebab aku masih tetap akan membunuhmu, aku sudah tidak mempunyai pilihan lain." "Ya, memang beginilah kehidupan seseorang dalam dunia persilatan," kata Suma Cau-kun serius, "di antara kita berdua memang sudah tiada pilihan lain." "Asal kau mengerti, ini lebih baik," suara Cu Bong semakin parau, "asal kau mengerti, ini memang lebih baik." Cu Bong beranjak berdiri. Sekali lagi ia mengamati anak buahnya satu persatu dengan pandangan tajam. "Orang inilah yang bernama Suma Cau-kun, orang yang telah menghancurkan Hiong-say-tong kita," perkataan Cu Bong rendah lagi melamban, "untuk mewujudkan ambisi dan cita-cita yang diidamkan orang ini, entah berapa sudah saudara-saudara kita yang tewas di tengah jalan, sehingga jenasah mereka tak dapat disemayamkan dengan sewajarnya. Entah berapa banyak pula kakak adik kita yang menjadi janda, bahkan banyak di antara mereka yang terpaksa jadi lonte demi mencari sesuap nasi." Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian, di antara lelehan air mata terselip cairan darah, sementara otot-otot hijau menonjol keluar pada kepalan masing-masing. "Dalam hati kecil kita semua pernah bersumpah berat, sebelum memenggal batok kepalanya, kita tak pernah akan pulang ke kampung halaman, sekalipun kita tewas semua dalam medan pertempuran, kita tetap akan menjadi setan untuk merenggut nyawanya." Kemudian setelah menuding ke arah Suma Cau-kun, dia melanjutkan kata-katanya: "Sekarang dia telah datang, apa yang dia ucapkan tentu sudah kalian dengar semua dengan jelas....... Ia datang untuk membayar hutang. Hutang darah harus dibayar pula dengan darah." Sorot mata Cu Bong yang tajam bagaikan sembilu menyapu sekejap wajah anak buahnya, kemudian meneruskan: "Dia cuma seorang diri, diapun seperti kita semua, telah dikhianati anak
buahnya dan dijauhi keluarganya, rumah tangganya telah hancur lebur, anggota keluarganya telah punah, tapi paling tidak kita masih mempunyai saudara, maka bila kita hendak membalas dendam, sekaranglah kesempatan yang paling baik. Dia seorang diri tak mungkin bisa menandingi kerubutan kita orang banyak." Setelah berhenti sejenak, Cu Bong melanjutkan dengan suara keras dan lantang. "Di tangan kalian semua telah menggenggam golok, sekarang kalian boleh meloloskan golok dan mencincangnya di sini." Suasana tetap hening, tak seorangpun yang meloloskan goloknya. Semua orang hanya mendengarkan dengan mulut membungkam, bahkan memandang ke arah Suma Cau-kun barang sekejappun tidak. "Mengapa kalian belum juga turun tangan?" bentak Cu Bong keras-keras, "apakah tangan kalian sudah melunak" Apakah kalian sudah lupa bagaimana caranya membunuh orang?" Tiba-tiba A-keng menyerbu ke depan, lalu menyembah di hadapan Suma Cau-kun dan Cu Bong dengan sepenuh hati. "Lo-cong, aku tahu kesertaanmu bersama kami ke sini adalah untuk bersiap-siap mencari mati," ucap A-keng terharu, "Lo-cong, kau menghendaki kebajikan, matipun tak menyesal, setelah kematianmu nanti, A-keng pasti akan selesaikan persoalanmu lebih dulu sebelum menyusul kau." Suma Cau-kun tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba serunya: "Bagus, saudara yang amat setia. Haaahhh.... haaahhhh.... haaahhh.... menghendaki kebajikan memperoleh kebajikan, matipun tak menyesal... sungguh merupakan ucapan yang amat tepat." "Traang...!" Mendadak sebilah golok terjatuh ke tanah dari genggaman seseorang. Terhadap orang itu, Cu Bong segera membentak: "Mang-gou, selama ini kau adalah seorang lelaki sejati, membunuh orang tak pernah berhati lemah. Sekarang, mengapa memegang golokpun kau tak mampu?" Mang-gou menundukkan kepalanya rendah-rendah, air mata darah turut bercucuran keluar. "Tong-cu, sesungguhnya dalam mimpipun aku ingin sekali memenggal batok kepala orang ini, tapi sekarang......." "Bagaimana sekarang?" suara Cu Bong semakin keras, "apakah kau tak ingin membunuhnya sekarang?" "Aku masih ingin, tapi kalau aku disuruh membunuhnya dengan cara begini, aku benar-benar tak mampu untuk melaksanakannya?" "Mengapa?" "Akupun tak tahu karena apa?" Mang-gou menjauhkan diri berlutut, kemudian menempeleng wajah sendiri dengan sepenuh tenaga, mukanya menjadi babak belur, memar penuh berlepotan darah. Setelah itu terusnya: "Aku memang pantas mati, aku memang orang bodoh yang pantas mati, meskipun dihati aku mengerti, tapi bila Tongcu menyuruhku mengatakannya ke luar, aku tak mampu untuk mengucapkannya."
"Kau goblok! Bila kau tak mampu, biar aku yang berbicara," Cu Bong berteriak keras, "kau tak mampu membunuhnya, karena sekarang kau telah mengetahui, orang yang saban hari ingin kita bunuh ternyata juga seorang lelaki sejati, dia bernyali menghadapi kita seorang diri, sudah seharusnya kitapun menghadapinya secara jantan, bila kita harus membunuhnya dengan cara begini, sekalipun dendam sakit hati dapat terlampiaskan, namun kita tak akan punya muka untuk bertemu lagi dengan jago-jago di kolong langit....." Kepada Mang-gou kembali dia bertanya: "Sekarang katakan, bukankah kau berpikir demikian dalam hati kecilmu?" Mang-gou tidak menjawab, dia hanya membenturkan kepalanya ke atas tanah, wajahnya telah basah oleh air mata bercampur darah. Sekali lagi Cu Bong mengalihkan sorot matanya yang lebih tajam dari sembilu itu ke wajah anak buahnya. "Bagaimana dengan kalian?" ia bertanya kepada anak buahnya yang mati hidup bersamanya dan kini tinggal selembar nyawa yang masih dimiliki itu, "bagaimana jalan pemikiran kalian?" Tak seorang manusiapun yang menjawab. Tapi tangan mereka yang menggenggam golok kini sudah terluka, luka yang besar. Walaupun mereka telah kehilangan segala sesuatunya, namun tidak pernah kehilangan semangat jantan, kebesaran jiwa serta kemurnian jiwa mereka. Cu Bong memandang mereka, menatapnya satu-persatu, sepasang mata yang bulat besar dan lelah, tiba-tiba saja bersinar kembali. Mendadak dia mengangkat kepalanya dan berkata: "Bagus, hanya beginilah baru terhitung saudaraku yang baik, hanya manusia macam begini yang pantas menjadi saudaranya Cu Bong. Aku Cu Bong bisa bersahabat dengan kalian, biar matipun tak bakal menyesal." Ia berpaling kembali ke arah Suma Cau-kun, lalu suaranya: "Sudah kau saksikan semuanya ini" Saudara macam apakah yang dimiliki oleh Cu Bong" Adakah di antara mereka yang terhitung anak jadah....?" Sepasang mata Suma Cau-kun telah memerah, memerah semenjak tadi, namun ia tak melelehkan air mata. Dia masih berdiri tegak, setegak tembok di situ sampai lama sekali. Sepatah demi sepatah ia baru berkata: "Cu Bong, aku tak mampu melebihi dirimu, untuk membersihkan pantatmu pun tak pantas, sebab aku tidak memiliki saudara-saudara sebaik saudara-saudaramu itu." Perkataan itu bukan diucapkan orang lain, perkataan tersebut diucapkan sendiri oleh Suma Cau-kun. Suma Cau-kun, si jagoan yang tiada keduanya di kolong langit. Tiada sinar kebanggaan di balik sorot mata Cu Bong, malah sebaliknya yang nampak hanya kepedihan, dia seolah-olah sedang bertanya kepada diri sendiri. 'Mengapa kita bukan teman, tapi harus berhadapan sebagai musuh bebuyutan"'
Tentu saja perkataan semacam ini tak pernah akan diutarakan Cu Bong, ia hanya berkata begini: "Entah bagaimanapun juga, kau bersikap baik kepada kami, kami pun tak akan melakukan hal-hal jahat kepadamu." Kemudian setelah berhenti sejenak, dia menambahkan: "Cuma sayang, ada hal yang tak mungkin dapat berubah untuk selamanya......" Ia mengepal tinjunya kencang-kencang: "Aku masih tetap bernama Cu Bong dan kau tetap bernama Suma Cau-kun, oleh karena itu aku masih tetap akan membunuhmu." Hal inipun terhitung suatu semangat dan tekad, seperti cinta kasih yang sejati, biar laut mengering, biar batu melapuk, semangat dan tekad tersebut tak pernah akan luntur. Justru karena mereka memiliki semangat dan tekad seperti ini, maka mereka masih selalu dapat hidup di hati kaum lelaki berjiwa kesatria, kendatipun mereka sendiri hakekatnya cuma orang-orang persilatan yang tak berakar. Kembali Cu Bong berkata: "Barusan kaupun pernah berkata, persoalan ini sebenarnya merupakan urusan pribadi kita berdua, sudah sepantasnya bila kita juga yang menyelesaikannya." Kepada Suma Cau-kun ia bertanya: "Sekarang, apakah sudah tiba pada saatnya?" "Benar!" Sekali lagi Cu Bong mengawasi wajahnya sampai lama sekali, tiba-tiba dia berkata: "Beri sebilah golok untuk Suma Tayhiap." Mang-gou segera memungut goloknya dan dipersembahkan dengan sepasang tangannya. Golok itu merupakan sebilah golok besar yang terbuat dari baja murni, sekalipun di sana-sini sudah muncul beberapa buah gumpilan. "Golok itu bukan golok bagus," demikian Cu Bong berkata lagi, "namun dalam genggaman Suma Cau-kun, golok macam apapun bisa dipakai semua untuk membunuh orang." "Benar!" Suma Cau-kun membelai mata golok yang gumpil, "golok ini memang sebilah golok pembunuh manusia." "Itulah sebabnya aku hanya berharap kau bersedia menyanggupi sebuah permintaanku." "Soal apa?" "Bila kau mampu membunuhku, harap jangan berbelas kasihan dengan ayunan golokmu," nada suara Cu Bong berubah makin keras, "kalau tidak, sekalipun aku dapat membunuhmu, pasti akan kubawa rasa sesal ini sampai dalam liang kubur." Kepada Suma Cau-kun segera tegurnya nyaring: "Inginkah kau saksikan aku, Cu Bong menderita karena harus memikul rasa sesal sampai di liang kubur?" Jawaban Suma Cau-kun ternyata lebih tegas lagi. "Bila aku dapat membunuhmu dalam satu ayunan golok, kau pasti tak akan melihat ayunan golokku yang kedua." "Bagus, bagus sekali!"
ooo)O(ooo Cahaya golok berkilauan. Cu Bong telah meloloskan goloknya. Semua orang yang berada dalam ruang kecil telah menyingkir. Orang-orang itu semuanya adalah saudara sehidup semati Cu Bong. Tapi sekarang, mereka telah menyingkir ke samping. Siapakah manusia di dunia ini yang bisa lolos dari kematian" Ya, apa sih yang menakutkan dengan suatu kematian" Tapi harga diri, martabat serta kesetiaan kawan seorang lelaki sejati tak mungkin boleh dilukai atau dicacati oleh siapapun juga. Setelah melintangkan goloknya di depan dada, Cu Bong berkata pula: "Bila aku tewas di ujung golokmu, saudara-saudaraku tak akan pergi mencarimu lagi." Kemudian ia menambahkan: "Bila Cu Bong bisa tewas di ujung golok Suma Cau-kun, matipun tak akan menyesal." Tapi dia toh tak urung berpaling serta memandang sekejap lagi ke arah Tiap-wu, pandangan itu mungkin sekali merupakan pandangannya yang terakhir. "Seandainya aku tewas di ujung golokmu, aku hanya berharap kau bisa mewakiliku untuk merawatnya." Perkataan seperti inipun tentu saja tak diutarakan ke luar dari mulutnya. Cu Bong hanya berkata begini: "Bila kau tewas di ujung golokku, aku pasti akan baik-baik merawat anak binimu." "Anak biniku?" Suma Cau-kun tertawa pedih, "mungkin anak biniku sedang menanti ayunan golokmu untuk mengirim aku menjumpai mereka dan memelihara mereka di sana." Cu Bong segera merasakan hatinya menjadi tenggelam. Sekarang dia baru merasa, mungkin kepedihan serta penderitaan yang dialami Suma Cau-kun masih beberapa kali lipat lebih berat dan dalam daripadanya. Tapi dia telah mencabut goloknya, golok itu sudah disilangkan di depan dada. Hatinya juga sudah tekad dan nekad. Soal mati dan hidup sudah perkara kejadian sedetik, mungkin tiada kekuatan lain di dunia ini yang sanggup melerai atau membatalkan duel mati hidup di antara mereka lagi. Tapi pada saat itulah......pada detik yang terakhir itulah...... "Cu Bong......" Mendadak Cu Bong mendengar suara orang memanggil, suara tersebut seolah-olah datang dari tempat yang sangat jauh, begitu jauh........
Tapi orang yang memanggil namanya justru berada di sisinya. Seseorang yang setiap saat dapat menyuruh dia mati demi dirinya. Seseorang yang selama dalam alam impianpun tak akan pernah bisa dilupakan. ooo)O(ooo Cu Bong tidak berpaling. Kini goloknya sudah berada dalam genggaman, musuh bebuyutannya sudah berada di depan mata goloknya. Semua saudara-saudaranya sedang memandang ke arahnya. Ia tak boleh berpaling, dia harus mengutamakan soal kesetiaan kawan daripada perasaan pribadi. "Cu Bong......." panggilan itu kembali bergema, "Cu Bong......." Suara panggilan yang terasa begitu jauh, seakan-akan pula begitu dekat. Panggilan dari tempat yang dekat, tapi seolah-olah begitu jauh, sejauh dalam gelombang impian. Tapi gelombang impian itu justru melekat dalam-dalam di hati kecilnya yang penuh luka. Akhirnya Cu Bong berpaling. "Traaaang" sekali lagi bergema suara dentingan nyaring. Akhirnya Cu Bong berpaling, sewaktu berpaling goloknya sudah terkulai ke bawah, sewaktu berpaling Tiap-wu sedang memandang wajahnya. Yang dia lihat hanya dirinya seorang dan apa yang dirinya lihat sekarangpun hanya dirinya seorang. Dalam detik yang singkat itu, semua orang seolah-olah lenyap, semua masalah seolah-olah tersapu hilang. Semua dendam kesumat, semua rasa benci, marah, duka dan pedih seolah-olah berubah menjadi kupu-kupu. Kupu-kupu yang terbang pergi ke mana-mana. Kupu-kupu terbang pergi, lalu terbang kembali, tapi siapa yang pergi" Siapa yang kembali" Manusiakah" Atau kupu-kupu" "Cu Bong, Cu Bong, kau berada di mana?" "Aku di sini, aku di sini, aku selalu berada di sini." Dia memang berada di situ. Tapi goloknya tidak berada di situ. Hiong-say-tong tidak di situ. Nama besar yang dipupuk dan dibina selama inipun tidak lagi berada di situ. Namun orangnya berada di situ. Selama di situ ada Tiap-wu, di situ pula Cu Bong hadir. "Ooohhh.... Cu Bong aku salah, kaupun salah."
"Ya, memang aku salah." "Cu Bong mengapa aku tak pernah mengerti bagaimanakah sebenarnya perasaanmu terhadapku" Mengapa kau tak pernah membiarkan aku tahu?" Tiap-wu berbisik, "mengapa kau tak pernah memberi kesempatan kepadaku untuk mengetahui, betapa besarnya rasa cintamu kepadaku" Mengapa akupun tak pernah memberi kesempatan kepadamu untuk mengetahui, berapa besarnya kebutuhanku atas kau yang begitu mencintaiku?" Tiada jawaban, suasana tetap hening dan sepi. Memang, ada sementara pertanyaan memang tak perlu jawaban, sebab pada hakekatnya memang tak pernah ada jawabannya. "Cu Bong, aku akan mati, kau tak boleh mati," Tiap-wu kembali berbisik, "aku boleh mati, tapi kau tak boleh mati." Suaranya bagaikan alunan angin di tengah kabut yang tipis. "Aku tak mungkin bisa menari bagimu lagi, tapi aku masih bisa bernyanyi untukmu, aku menyanyi, kau mendengarkan. Aku harus menyanyi untukmu dan kau harus mendengarkan nyanyianku." "Baik, nyanyilah dan aku akan mendengarkan." Semuanya telah tiada. Tiada manusia, tiada keresahan, tiada dendam kesumat, kecuali suara nyanyian yang ingin dia nyanyikan, tiada sesuatu apa-apa. Maka dia pun menyanyi. Iramanya suaranya makin lama semakin jauh, semakin berhenti-henti. Dia menyanyi.... Dia pun akhirnya menyanyi...... Kemudian, dia pun berhenti. Semua kehidupan yang ada di dunia ini seluruhnya terhenti, paling tidak terhenti semuanya pada detik itu. Tiada tarian lagi di dunia ini, juga tiada nyanyian. Di dunia ini seakan-akan tiada sesuatu apapun, bahkan air matapun tiada........ Yang kini ada tinggal darah. Cu Bong berdiri termangu-mangu di situ, memandang wajah Tiap-wu dengan tertegun...... Tiba-tiba wajahnya berubah, berubah menjadi amat pucat bagaikan mayat, sepasang matanya mendelong besar, sayu, tak bersinar...... segala sesuatunya seolah-olah menjadi gelap gulita, lebih gelap dari malam yang tak berbintang.... Ia merasa segalanya punah, lenyap dan hilang tak tahu kemana perginya. Lalu dia memuntahkan darah segar. ooo)O(ooo
Bab-15. Kilatan Cahaya Pedang Kota Tiang-an. Siau-ko masih menanti dengan sabar di ruang tunggu. Padahal The Seng telah berkata demikian kepadanya: "Untuk sementara waktu, Cho sianseng masih belum dapat bertemu dengan kau, tapi dia bilang kau boleh berada di sini." "Aku dapat menunggu dengan sabar," Siau-ko tersenyum, senyumannya ramah dan tenang, "akupun berani menjamin kepadamu, kau pasti belum pernah bertemu dengan seorang manusia yang bisa menunggu terus seperti aku." "Oya?" "Sebab aku lebih penyabar dibandingkan dengan siapapun, mungkin jauh lebih sabar daripada seorang kakek yang telah berusia delapan puluh tahun," kata Siau-ko, "sejak kecil aku sudah tinggal di gunung yang terpencil. Suatu hari untuk menunggu mekarnya sekuntum bunga liar, coba tebak berapa hari aku mesti menunggu?" "Kau telah menunggu selama berapa hari?" "Aku telah menunggu selama tiga hari." "Kemudian kau petik bunga itu dan kau sisipkan di atas bajumu?" "Tidak! Begitu bunga tadi mekar, akupun beranjak pergi." "Jadi kau menunggu selama tiga hari hanya dikarenakan ingin melihat bagaimanakah keadaan di saat bunga itu akan mekar?" The Seng sendiripun termasuk seseorang yang amat sabar, lagi pula tampaknya dia dapat memahami maksud hati Siau-ko. "terlepas apapun yang sedang kau nantikan, biasanya tak mungkin tanpa sesuatu tujuan, bukan?" ia berkata kepada Siau-ko, "sekalipun kau tidak memetik bunga itu, tapi tujuanmu pasti telah tercapai, lagi pula tujuanmu sudah pasti bukan cuma untuk melihat mekarnya sekuntum bunga liar belaka?" "Menurut pendapatmu, aku mempunyai tujuan apa?" "Sekuntum bunga ibaratnya sebuah kehidupan, di saat bunga itu sedang mekar, berarti suatu kehidupan baru pun mulai lahir," The Seng berkata, "di saat-saat lahirnya suatu kehidupan baru di alam semesta ini, seringkali dapat timbul berbagai perubahan yang luar biasa, yang tak mungkin bisa dibandingkan dengan kejadian apapun di dunia ini." Ia menatap Siau-ko lekat-lekat, kemudian menambahkan: "Oleh sebab itu aku berpendapat, tiga hari yang kau buang itu tidak terbuang dengan begitu saja, melalui pengamatan kali itu, ilmu pedangmu semakin bertambah pesat kemajuannya." Siau-ko memandang ke arahnya dengan kaget, ia tak mengira pemuda berwajah segi empat yang sederhana ini ternyata jauh lebih pintar daripada potongan wajahnya.
"Apalagi kalau menunggu seseorang, sudah jelas tak mungkin tiada tujuan, tentu saja kaupun tak akan pergi dengan begitu saja setelah kemunculan Cho sianseng." The Seng kembali berkata dengan hambar, "apakah tujuanmu kali ini?" Tidak sampai Siau-ko buka suara, dia telah berkata lebih jauh: "Pertanyaan inipun tak perlu kau jawab kepadaku, aku sendiri juga tidak ingin tahu." "Pertanyaan inipun tak perlu kau jawab kepadaku, aku sendiri juga tidak ingin tahu." "Pertanyaan ini toh kau sendiri yang ajukan kepadaku. Mengapa pula tak perlu kujawab" Mengapa pula kau tak ingin tahu?" "Sebab semakin sedikit persoalan yang diketahui seseorang, hal inipun semakin baik." "Kalau toh kau sendiripun tak ingin tahu, mengapa pula harus bertanya?" "Aku tak lebih hanya ingin memperingatkan dirimu, aku saja dapat berkata demikian, Cho sianseng tentu dapat berpikir demikian pula." Setelah berhenti sejenak, dia meneruskan: "Bila menanti sampai Cho sianseng yang mengajukan pertanyaan ini kepadamu, paling baik kaupun mempunyai sebuah alasan yang sangat baik untuk menjawab pertanyaannya, lagi pula harus dapat membuatnya merasa puas, kalau tidak, lebih baik kau tak usah menunggu lebih jauh." Lalu dengan wajah serius dan bersungguh hati dia menambahkan: "Tidak banyak orang yang memberi jawaban kurang memuaskan bagi Cho sianseng bisa hidup hingga kini." Selesai mengucapkan perkataan tersebut, diapun beranjak pergi, dia seperti tak ingin menunggu bagaimanakah reaksi dari Siau-ko sesudah mendengar perkataan itu. Tapi setibanya di depan pintu, ia toh berpaling juga sambil berkata: "Ada satu hal, hampir lupa memberitahukan kepadamu." "Soal apa?" "Cho sianseng sempat berpesan kepadaku, apapun yang kau kehendaki, aku harus memenuhinya, entah apa saja yang kau kehendaki." "Ia benar-benar berkata begitu?" "Ya, sungguh!" Siau-ko tertawa, tertawa amat riang. "Kalau begitu bagus sekali. Sungguh bagus sekali!" ooo)O(ooo Sewaktu Cho Tang-lay memanggil The Seng agar menghadap, waktu sudah mendekati tengah hari. The Seng sama sekali tidak menemukan sesuatu yang berbeda pada dirinya dengan keadaan di hari-hari biasa, seakan-akan peristiwa menakutkan dan memedihkan yang terjadi kemarin, sama sekali tiada hubungan atau sangkut pautnya dengan dia.
Apa saja yang telah dikerjakan Cho Kim untuk membalas dendam kepadanya" Soal itupun sama sekali tidak dinyatakan olehnya. Dia hanya bertanya begini: "Apakah Ko Cian-hui masih menunggu?" "Ya, dia masih menunggu," jawab The Seng, "tapi barang yang dia inginkan justru tak sanggup kucarikan semua bagi dia." "Apa yang dikehendaki olehnya sehingga kaupun tak sanggup untuk mencarikan baginya?" "Dia minta aku menyiapkan dua puluh meja sayur dan arak yang terbaik di dalam satu jam, bahkan meminta aku untuk menyiapkan hidangan tersebut atas hasil karya koki Tiang-an-kit dan Beng-oh-cun, di samping itu diapun minta aku mengundang semua nona yang paling top di kota ini dalam satu jam untuk menemaninya minum arak." "Berapa banyak yang dapat kau carikan baginya?" "Aku hanya bisa menemukan tujuh puluh tiga orang, malah sebagian besar diantaranya kuseret keluar dari bawah tindihan lelaki lain....." Cho Tang-lay tertawa tergelak setelah mendengar perkataan itu. "Dalam keadaan seperti ini, nona yang tidak berada dalam tindihan pria lain, tentu saja tak bisa dianggap nona yang top," ia menerangkan, "cara kerjamu kali ini memang bagus sekali, kalau begitu suasana di tempat kita pagi tadi pasti ramai dan meriah sekali....." "Ya, ramai sekali, bahkan saudara-saudara dalam piau-kiok yang pandai minum arak pun sempat ditarik olehnya untuk menemani minum arak," The Seng menerangkan, "dia memaksa setiap orang untuk baik-baik memeriahkan suasana ini baginya." "Memeriahkan" Memeriahkan apa?" tanya Cho Tang-lay, "persoalan apakah yang patut dia meriahkan pada hari ini?" "Tidak ia terangkan," kata The Seng, "tapi dulu aku pernah mendengar, ada banyak orang yang melakukan hal begini bila ia tahu dirinya sudah hampir mati." Cho Tang-lay termenung, mendadak kelopak matanya mulai berkerut kencang, lewat lama sekali baru ia berkata: "Sayang aku tahu, untuk sementara waktu ini, dia masih belum akan mati." ooo)O(ooo Arak telah habis, tamupun telah bubar. Dalam halaman ruang depan dan serambi tinggal kutungan tusuk konde, tali ikat pinggang serta kotak-kotak gincu yang berserakan, selain itu masih ada pula barang-barang yang tak mungkin bisa dibayangkan orang lain, seakan-akan mereka hendak membuktikan kepada si tuan rumah, mereka benar-benar sudah mabuk. Bagaimana dengan tuan rumah" Tuan rumah tidak mabuk, bagaimana mungkin tamunya pada bubar dengan riang gembira" Siau-ko tidak ubahnya seperti orang mati, dia berbaring di atas selembar pembaringan.
Tapi sewaktu Cho Tang-lay muncul di hadapannya, mendadak orang yang tergeletak seperti orang mati itu segera mendusin bahkan menghela napas panjang. "Mengapa sih engkau selalu bersedia menampakkan diri bila semuanya sudah mulai berakhir" Apakah sepanjang hidup kau tak pernah senang melihat orang lain bergembira?" Cho Tang-lay memandangnya dengan dingin, kemudian menjawab dengan hambar: "Aku memang benar-benar tak suka melihat orang mabuk kepayang.......hmmm...sungguh suatu adegan yang sangat tidak menarik hati....." Ditatapnya sepasang mata Siau-ko lekat-lekat, kemudian ia melanjutkan: "Untung sekali kau belum mabuk, orang lain yang mabuk hebat, bukan kau!" Dari balik sorot mata Siau-ko memang sama sekali tidak diketemukan wajah seorang mabuk. "Aku dapat melihat, kau masih tetap segar, pikiranmu tetap jernih, jauh lebih jernih daripada kelinci di bulan ketiga." Mendengar ucapan itu Siau-ko tertawa, tentu saja tertawa terbahak-bahak. "Haaaahhhh.... haaahhhh.... haaaahhhh..... kau memang tidak salah melihat, sedikitpun tidak salah melihat," kembali ia tertawa tergelak, "pada hakekatnya sepasang matamu itu memang lebih tajam daripada mata rase di bulan ke sembilan." "Kau menghendaki orang lain mabuk, mengapa kau sendiri sama sekali tidak mabuk?" "Sebab aku tahu, cepat atau lambat, si rase pasti akan muncul, selama si rase ada kemungkinan menampakkan diri, sang kelinci tentu saja harus mempertahankan kejernihan otaknya." "Bila si rase sudah datang, biar sang kelinci dalam keadaan sadarpun tak ada gunanya." "Oya?" "Bila tahu rase yang mau datang seharusnya si kelinci cepat-cepat menyelamatkan diri," Cho Tang-lay tertawa, "kecuali kalau si kelinci tersebut pada hakekatnya memang tidak takut dengan si rase." "Aaaah....mana mungkin kelinci berani dengan rase?" "Karena di belakang sang kelinci sudah bersiap-siap sebuah tombak, dan tombak itu sudah di arahkan persis ke ulu hati sang rase, setiap saat dapat ditusukkan ke dalam dadanya." "Tombak" Darimana datangnya tombak?" Siau-ko mengerdipkan matanya berulang kali. Kembali Cho Tang-lay tertawa. "Tentu saja datangnya dari dalam peti, sebuah peti yang telah hilang dan kini muncul kembali." Siau-ko tidak tertawa lagi, sepasang matanyapun tidak berkedip lagi, bahkan ia segera menampilkan perasaan yang sangat kagum, perasaan kagum yang benar-benar muncul dari lubuk hatinya. "Kau sudah tahu?" ia bertanya kepada Cho Tang-lay, "darimana kau bisa tahu?"
"Kau kira aku telah mengetahui soal apa?", ucap Cho Tang-lay, "aku tak lebih hanya tahu kalau di dunia ini terdapat semacam orang, bila ia sudah pernah menderita kerugian di tangan orang lain, maka dia pasti akan berusaha keras untuk menagih kembali kerugian tersebut sepuluh kali lipat, aku tak lebih hanya tahu kalau secara kebetulan Siau Lay-hiat termasuk manusia macam begini, lagi pula secara kebetulan aku berhasil menemukan kau." Sesudah tertawa, ia kembali menambahkan: "Apa yang kuketahui tak lebih hanya soal ini." Siau-ko kembali menatap wajahnya sampai setengah harian, kemudian menghela napas. "Apa yang kau ketahui bukan cuma itu saja, kau sudah mengetahui terlalu banyak," setelah menghela napas, terusnya: "tak heran kalau Siau Lay-hiat pernah memberitahukan kepadaku, bisa berbincang-bincang soal transaksi dengan Cho sianseng memang merupakan suatu kejadian yang sangat menggembirakan, sebab ada sementara persoalan yang pada hakekatnya tak usah kau terangkan, karena ia sudah mengetahui dengan sendirinya." Senyuman yang menghiasi wajah Cho Tang-lay pun seakan-akan ikut berubah menjadi senyum getir. "Sayang sekali aku sendiri masih belum tahu sesungguhnya sudah berapa banyakkah yang telah kuketahui." "Tahukah kau bahwa kedatanganku kali ini adalah atas suruhan dari Siau Lay-hiat?" Siau-ko segera menjawab sendiri pertanyaan tersebut," tentu saja kau sudah tahu, bahkan kau pasti sudah tahu pula bahwa persoalan yang ia suruh aku bicarakan denganmu bukan suatu persoalan yang enak dibicarakan?" "Banyak ragamnya persoalan yang tak enak dibicarakan, lalu ragam manakah yang kau pilih untuk dibicarakan sekarang?" tanya Cho Tang-lay kemudian. "Mungkin termasuk macam yang paling tidak baik," kembali Siau-ko menghela napas, "bila aku tidak pernah berhutang budi kepadanya, aku benar-benar tak ingin datang kemari untuk membicarakan persoalan tersebut denganmu." "Kau keliru!", ternyata Cho Tang-lay tersenyum lagi, "dalam hal ini kau sudah keliru besar." "Dalam hal mana?" "Dalam suatu sudut pandangan tertentu, seringkali persoalan yang paling enak dibicarakan dapat berubah menjadi masalah yang paling tak enak dibicarakan, oleh sebab itu dalam suatu sudut pandangan tertentu, persoalan yang tak sedap dibicarakan akan menjadi masalah yang tak enak dibicarakan. Seringkali masalah di dunia ini memang berlangsung kebalikan." Kemudian Cho Tang-lay menjelaskan lebih jauh. "Bila Siau-sianseng tak sudi mengirim orang untuk membicarakan masalah ini denganku, melainkan di tengah malam buta yang sepi, muncul mencari aku sambil membawa petinya, kejadian seperti inilah baru merupakan kejadian yang paling tak sedap." "Jadi terlepas persoalan apakah yang hendak ia bicarakan denganmu, kau tak akan merasa tak senang hati?" "Ya, begitulah!"
"Kalau begitu bagus sekali." Namun mimik muka Siau-ko segera berubah menjadi sangat serius, hampir mendekati nada suara Cho Tang-lay, sepatah demi sepatah kata dia berkata: "Ia suruh aku datang kemari untuk meneruskan kedudukan Suma Cau-kun, memegang pucuk pimpinan dalam Toa Piau-kiok serta menjadi pemilik Toa Piau-kiok." Sesudah mendengar perkataan seperti ini, siapa saja tentu akan beranggapan Cho Tang-lay bakal melompat saking marahnya. Tapi dalam kenyataan ia tidak beranjak, malah berkedip matapun tidak, ia Cuma bertanya kepada Siau-ko dengan hambar: "Betulkah hal ini merupakan keinginan Siau sianseng?" "Benar!" Siau-ko mengangguk, kemudian ia berbalik bertanya kepada Cho Tang-lay, "bagaimana menurut pendapatmu?" Tanpa berpikir ataupun mempertimbangkannya sama sekali, Cho Tang-lay segera menjawab dan jawabannya singkat lagi sederhana. "Bagus sekali!" "Bagus sekali?" Siau-ko malah merasa terkejut bercampur keheranan, "apa maksudmu dengan perkataan bagus sekali ini?" Cho Tang-lay tersenyum dan memberi hormat kepada Siau-ko. "Bagus sekali berarti saat ini kau telah menjadi pentolan nomor satu dari Toa Piau-kiok sejak sekarang, kau telah menempati bangku pertama dari Toa Piau-kiok." Siau-ko melongo kemudian termangu-mangu. Sikap Cho Tang-lay terhadapnya juga mulai berubah menjadi munduk-munduk serta sangat menaruh hormat. "Sejak hari ini tiga puluh enam aliran ho-han di bawah kekuasaan Toa Piau-kiok sudah berada dalam kekuasaanmu secara mutlak, bila ada yang tak mau tunduk di bawah kekuasaanmu, Cho Tang-lay yang pertama-tama akan membabatnya di ujung golokku." Dengan mempergunakan sorot matanya yang kelabu, ia menatap Siau-ko serta melanjutkan. "Tapi mulai hari ini, kaupun terhitung sebagai anggota Toa Piau-kiok, seluruh Toa Piau-kiok tunduk di bawah perintahmu, tapi kau sendiripun harus setia dan berjuang demi Toa Piau-kiok menghadapi kesulitan, itulah kesulitanmu, bila Toa Piau-kiok punya musuh besar, diapun merupakan musuh besarmu juga." Akhirnya Siau-ko menghembuskan napas panjang. "Aku bisa memahami maksudmu itu." ia berkata. Setelah tertawa getir, terusnya: "Sebetulnya aku masih belum mengerti kenapa secepat itu kau sanggupi permintaanku ini, tapi sekarang...... akhirnya aku bisa memahami maksudmu ini." "Pada dasarnya persoalan tersebut memang hanya begini, seperti juga sebilah pedang dengan dua mata pedang," nada suara Cho Tang-lay serius tapi senang, "bila seseorang menghendaki suatu hasil, maka dia wajib untuk mengorbankan diri."
Tiba-tiba saja suaranya kedengaran agak parau. "Aku pikir, kau tentu sudah mengetahui bukan" Pengorbanan seperti apakah yang telah dilakukan Suma Cau-kun?" "Bagaimana dengan kau sendiri?" tiba-tiba Siau-ko bertanya, "apa yang pernah kau korbankan?" Cho Tang-lay tertawa. "Apa yang pernah ku korbankan" Dan apa pula yang pernah kuperoleh....?" dibalik senyuman penuh terkandung nada duka nestapa. "mungkin persoalan ini tak bisa kujawab, sebab aku sendiripun tidak tahu." Perkataan ini memang tidak bohong, lagi pula benar-benar diutarakan dengan nada pedih, sehingga Siau-ko mulai menaruh sedikit perasaan simpatik kepadanya. Untung saja Cho Tang-lay segera dapat memulihkan kembali sikapnya yang dingin dan tenang seperti batu karang. Bahkan segera mengajukan pula sebuah persoalan yang jauh lebih tajam daripada mata golok. "Aku bersedia menyanjungmu sebagai pemilik dari Toa Piau-kiok, akupun bersedia berbakti dan berjuang untukmu. Aku percaya kita masing-masing sudah cukup memahami keadaan lawan, dengan berbuat demikian kitapun sama-sama memperoleh kebaikan." Tiba-tiba ia bertanya kepada Siau-ko. "Tapi bagaimana dengan orang lain?" "Orang lain?" "Tiga puluh enam anggota Toa Piau-kiok rata-rata adalah manusia yang hebat dan tak gampang disinggung, bila kita mengharapkan mereka mau menyanjung dan menghormati dirimu sebagai cong-piau-pacu nya, jelas hal ini bukan suatu pekerjaan yang mudah." Sekali lagi ia bertanya kepada Siau-ko. "Apa yang siap kau lakukan?" "Menurut pendapatmu, apa yang harus kulakukan?" "Pertama-tama kau harus berwibawa sebelum tumbuh percaya orang lain kepadamu, bila sudah berwibawa dan dipercaya, kau baru dapat memberi komando kepada segenap jago, orang lain baru akan tunduk kepadamu. Bila kau menghendaki jabatan tersebut, tentu saja pertama-tama harus memupuk soal kewibawaan lebih dulu." "Memupuk kewibawaan?" tanya Siau-ko, "bagaimana caranya memupuk kewibawaan?" "Sekarang Suma Cau-kun dan aku sedang retak, dia sudah kabur entah kemana karena marah." "Aku tahu tentang soal ini."
"Bukan hanya kau saja yang tahu, aku percaya masih banyak orang lain yang tahu juga tentang persoalan ini," kata Cho Tang-lay, "sebelum menemui ajalnya Cho Kim tentu tak akan lupa untuk mengirim orang dan menyebar luaskan berita ini kemana-mana." "Asal ia bisa membalas dendam kepadamu, lagi pula dia bisa mengerjakannya, aku percaya tak satupun yang dapat dilupakan olehnya......" Kemudian setelah berhenti sejenak, Siau-ko melanjutkan: "Akupun percaya yang sanggup ia lakukan pasti tak sedikit jumlahnya." "Benar! Memang tak sedikit jumlahnya." "Maka dari itu ketika kau dengar Siau-sianseng suruh aku datang menjabat kedudukan pemimpin perusahaan, kau sama sekali tidak bermaksud untuk menolak." Siau-ko tertawa getir, "sebab kaupun sangat berharap aku bisa datang membantumu untuk menyelesaikan sisa-sisa permainan catur ini." Ternyata di dalam hal ini Cho Tang-lay tidak bermaksud untuk menyangkal. "Keadaan situasi yang kita hadapi sekarang memang kurang stabil, aku percaya Siau- sianseng tentu memahami pula situasi demikian ini, itulah sebabnya dia minta kau datang kemari." "Siau sianseng memang amat memahami situasi dan kondisiku, agaknya diapun telah memperhitungkan secara tepat bahwa aku tak bakal menolak tawaran itu." Cho Tang-lay menatap Siau-ko lekat-lekat, lalu sepatah demi sepatah kata dia berkata: "Bila kau ingin memupuk wibawa dalam situasi dan kondisi seperti ini, tentu saja harus kau gunakan cara yang langsung menghasilkan manfaatnya." Siau-ko menatap pula ke arah lawannya lekat-lekat, lewat lama kemudian dia baru bertanya dengan sepatah demi sepatah kata: "Apakah kau minta aku membunuh Cu Bong untuk memupuk kewibawaanku?" "Benar!" "Inikah syarat yang kau ajukan?" "Bukan syarat, melainkan suatu situasi yang dibutuhkan." Cho Tang-lay berkata dingin, "keadaan situasi sudah begini dan kau memang tidak memiliki pilihan yang lain." Tiba-tiba Siau-ko bangkit berdiri lalu berjalan menuju ke mulut jendela. ooo)O(ooo Tumpukan salju di luar jendela belum melumer, tapi langit sangat cerah. Seluruh permukaan tanah berwarna putih keperak-perakan, sedang langit berwarna biru segar. Dikejauhan sana tiba-tiba muncul selapis awan putih yang melayang datang, tiba-tiba berhenti, kemudian tiba-tiba terbang kembali. Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Cho Tang-lay menghela napas panjang.
"Aku cukup memahami kalian, baik engkau maupun Cu Bong, sama-sama termasuk orang persilatan yang lebih mementingkan soal janji daripada keselamatan jiwa, sebab soal mati atau hidup sesungguhnya hanya masalah sesentilan jari," ia berkata dengan nada sungguh-sungguh, "itulah sebabnya pertemuan yang tak disengaja menghasilkan hubungan yang erat melebihi saudara sendiri." Dibalik helaan napasnya memang kedengaran sedikit keresahan dan rasa iba. Didalam pandangan sementara manusia yang pada hakekatnya tidak mengetahui apakah makna yang sesungguhnya dari kata 'sahabat', mungkin kalian tak bisa dianggap sebagai sahabat sejati, tapi aku cukup memahami keadaan kalian." Setelah berhenti sebentar ia meneruskan: "Oleh sebab itu akupun dapat memahami bila kau disuruh membunuh Cu Bong, jelas hal ini merupakan pekerjaan yang amat memedihkan hatimu, bukan cuma kepedihan bagimu, juga bagi dirinya, dan kita semua akan sama-sama merasakan kepedihan tersebut." Siau-ko tidak menjawab, dia hanya membungkam diri dalam seribu bahasa. "Oleh sebab itu akupun berharap kau bisa memahami pula suatu persoalan," Cho Tang-lay berbicara lebih jauh, "sekalipun kau tidak membunuh Cu Bong, toh masih ada orang lain yang akan pergi membunuhnya. Biarpun dia tidak tewas di tanganmu, sama saja akhirnya dia akan tewas di tangan orang lain." "Mengapa?" "Suma Cau-kun telah kehilangan pamor dan kedudukannya, keadaan mereka persis satu sama lainnya, maka batok kepala dari Cu Bong sekarang telah menjadi sasaran dari ke tiga puluh enam orang manusia gagah dari Toa Piau-kiok untuk menaikkan pamor serta martabat mereka di mata orang." Kemudian ia menjelaskan lebih jauh. "Sebab Cu Bong juga seorang jagoan yang hebat, lagi pula terhitung musuh bebuyutan Toa Piau-kiok. Barang siapa dapat memenggal batok kepalanya, maka mereka akan menggunakan kesempatan tersebut untuk meninggikan pamor dan kedudukan sendiri, bila mungkin sekalian menggantikan kedudukan Suma Cau-kun." Setelah berhenti sejenak, terusnya: "Di antara mereka, paling tidak masih ada tiga orang lainnya yang paling berpengharapan." "Kau takut dengan mereka?" "Yang kutakuti bukan mereka." "Lantas mengapa kau sendiri tidak meneruskan jabatan tersebut?" "Karena kau!" ucap Cho Tang-lay, "akupun tidak takut dirimu, tapi bila ditambah dengan Siau sianseng, maka di kolong langit menjadi tiada tandingannya lagi." Kali ini dia berbicara secara jujur. "Dulu, aku tidak membunuh Cu Bong karena dia kusisihkan untuk Suma Cau-kun, dan kali ini akupun tidak membunuh Cu Bong karena sengaja kusisihkan untuk dirimu. Daripada membiarkan
ia tewas terbunuh di tangan orang lain, toh lebih baik membiarkan ia tewas di tanganmu, sebab bagaimanapun juga, cepat atau lambat, akhirnya dia tentu akan tewas." Mendadak Siau-ko membalikkan badan dan menatap Cho Tang-lay lekat-lekat, dibalik sorot matanya penuh dengan jalur-jalur berdarah, tapi mukanya pucat pias tanpa warna darah. "Apakah ketiga orang yang barusan kau maksudkan itu kini sudah berada di Tiang-an?" "Kemungkinan besar." "Siapakah mereka?" "Mereka adalah sebuah pedang yang tak berperasaan, sebuah tombak perenggut nyawa dan sekantung senjata rahasia mencabut nyawa." Cho Tang-lay menerangkan, "setiap jenis cukup berhak untuk mencantumkan namanya dalam deretan tujuh puluh macam senjata yang paling menakutkan di kolong langit." "Yang kutanyakan adalah orangnya, bukan senjata andalan mereka....." "Mereka adalah orang-orang pembunuh manusia, di Tiang-an mereka mempunyai mata-mata di mana-mana, bisa jadi hanya dalam satu dua jam saja mereka telah menemukan Cu Bong, asal kau mengetahui kesemuanya ini, aku rasa hal tersebut sudah lebih dari cukup." "Mengapa kau tak bersedia menyebut nama-nama mereka?" "Sebab bila kau sudah mengetahui nama-nama mereka, bisa jadi akan mempengaruhi semangat juang serta perasaan hatimu." "Dapatkah kita temukan Cu Bong sebelum mereka?" "Kau tak mungkin bisa, tapi aku dapat." "Apakah saat ini Cu Bong berada di sini?" "Dia berada dalam cengkeramanku," kata Cho Tang-lay cepat, "selama ini dia memang selalu berada di dalam cengkeramanku." ooo)O(ooo Senja menyelimuti empat penjuru, di tengah remang-remangnya suasana di tanah perbukitan, tampak Cu Bong berdiri di muka sebuah gundukan tanah baru. Gundukan tanah itu masih amat baru, belum ada rerumputan yang tumbuh, tiada pula batu nisan yang didirikan, sebab orang dalam kuburan mungkin sudah berubah menjadi kupu-kupu dan terbang pergi. Yang terkubur dalam gundukan tanah itu mungkin cuma nama besar yang telah kedaluwarsa serta cinta kasih lelaki perempuan yang tak pernah akan punah. Tapi Cu Bong tetap hidup, Suma Cau-kun pun tetap hidup. Oleh karena itu perselisihan dan dendam kesumat di antara merekapun tetap utuh, karena perselisihan di antara mereka berdua memang tak pernah bisa diselesaikan orang lain.
Senja semakin kelam. Cu Bong berdiri termangu-mangu di sana, entah sudah berapa lama ia berdiri, sementara belasan saudaranya mengawasi dia dengan termangu. Siapapun tak tahu bagaimanakah perasaan hatinya sekarang" Siapapun tidak tahu pula bagaimanakah perasaan saudara-saudaranya kini" Namun dalam hati kecil mereka sendiri cukup mengerti, bila kehidupan manusia benar-benar bagaikan sandiwara, bila kehidupannya selama inipun tak lebih hanya sebuah sandiwara, maka tak ayal lagi sandiwara ini sudah mendekati akhir. Betapapun memedihkan hatinya, sandiwara ini sekarang sudah mencapai saat-saat untuk berakhir. Tiap-wu tak lebih hanya melangkah setindak lebih dahulu, sedangkan mereka masih harus menyelesaikan perjalanan yang terakhir. Betapapun susah dan menderitanya, perjalanan itu harus diselesaikan, mereka cuma berharap bisa mencecerkan darah musuhnya untuk mengiringi keberangkatan. Akhirnya Cu Bong membalikkan badan, mengawasi saudara-saudara sehidup sematinya dan memandang mereka dengan sepasang mata besar yang berwarna merah membara. Ia memandang wajah mereka satu persatu, memandang cukup lama di wajah setiap orang, seakan-akan setelah pandangan itu lewat, mereka akan berpisah untuk selamanya. Kemudian ia baru berbicara dengan mempergunakan suara yang parau: "Kehidupan manusia, ibaratnya suatu perjamuan yang tak mungkin berakhir, sekalipun anak mengikuti bapak, toh akhirnya akan tiba juga saat untuk berpisah. Nah, sekarang, kitapun sudah mencapai saat-saat untuk berpisah." Paras muka semua saudara-saudaranya berubah, namun Cu Bong berlagak seolah-olah tidak melihat. "Oleh sebab itu sekarang kuminta kalian agar pergi, paling baik pergi dalam beberapa rombongan, tiap rombongan jangan lebih dari dua orang," kata Cu Bong, "sebab aku minta kalian harus tetap hidup, selama masih ada di antara kalian yang tetap hidup, berarti Hiong-say-tong masih punya harapan untuk bangkit kembali." Tiada orang yang beranjak pergi, tiada orang yang menggerakkan tubuhnya dari posisi semula. Cu Bong menjadi mencak-mencak kegusaran, dia berteriak dengan suara bagaikan geledek: "Kakek moyang, apakah kalian tidak mendengar apa yang locu katakan" Apakah kalian berharap segenap anggota Hiong-say-tong mampus dan ludas?" Belum ada yang bergerak, juga belum ada yang buka suara, semuanya tetap membungkam dalam seribu bahasa. Dengan sekuat tenaga Cu Bong meloloskan ikat pinggang kulitnya yang tebal, kemudian menerjang ke arah mereka. "Kalian tak mau pergi" Kalian pingin mampus semua" Baik! Locu akan lecuti kalian semua sampai mampus daripada bikin khekinya Locu saja."
Ikat pinggang diayunkan berulang kali, satu persatu dicambuki secara kalap, bekas cambukan, lelehan darah segera menghiasi tubuh orang-orang itu. Tapi saudara-saudaranya yang tak kenal mati hidup ini tetap tutup mulut sambil mengertak gigi, bergerak sedikitpun tidak. Suma Cau-kun berdiri di kejauhan sana, memandang dari kejauhan, seakan-akan sama sekali tak berperasaan. Tapi dari ujung bibirnya sudah mulai nampak cairan darah bercucuran keluar. Darah itu mengalir keluar lewat bibirnya yang digigit kelewat keras sehingga menimbulkan luka. Angin mulai berhembus, entah sejak kapan tiba-tiba saja angin puyuh berhembus lewat, menghembusi tubuh setiap orang sehingga terasa sakit bagaikan disayat-sayat dengan pisau. Akhirnya Cu Bong menurunkan kembali tangannya. "Baik!" dia berkata lantang, "kalau toh kalian ingin tetap tinggal di sini menemani aku mati, aku akan membiarkan kalian tetap tinggal di sini, tapi kalianpun harus ingat baik-baik, entah siapa yang menang dalam pertarunganku melawan Suma Cau-kun nanti, hasil pertarungan itu sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan kalian. Kalian tak boleh mengusiknya!" Tiba-tiba Suma Cau-kun tertawa dingin. "Percuma!" dia mengejek, "dengan cara apapun kau ingin memancing rasa haruku, hal tersebut sama sekali tak ada gunanya." "Apa kau bilang?" Cu Bong berteriak parau, "apa yang barusan kau katakan?" "Aku tak lebih hanya berharap kau mengerti, meskipun rumah tanggaku telah berantakan sekarang, aku tak akan secara sengaja memenuhi keinginanmu, sengaja membiarkan aku terbunuh di tanganmu, agar kau bisa menggunakan batok kepalaku untuk menegakkan kembali pamormu dan membangun kembali Hiong-say-tong." Nada suara Suma Cau-kun telah berubah menjadi amat parau. "Bila kau menghendaki batok kepalaku yang menempel di atas tengkukku ini, kau mesti keluarkan dulu semua kepandaian silat yang kau miliki." "Kentut anjing ibumu yang bau!" Cu Bong berteriak marah, "siapa yang sudi menerima kebaikanmu untuk melepaskan aku" Sebetulnya locu masih menganggap kau sebagai manusia, siapa tahu yang kau lepaskan semua justru hanya kentut, kentut anjing bau!" "Bagus, umpatan yang amat bagus!" Suma Cau-kun mendongakkan kepalanya sambil tertawa tergelak, "bila kau memang bernyali, ayo majulah kemari!" Sebetulnya Cu Bong telah bersiap-siap akan menerkam ke muka, tiba-tiba saja dia menghentikan langkahnya, amarah yang semula meledak-ledak, tiba-tiba saja mereda kembali, kemudian dengan suatu mimik muka yang aneh, dia mengawasi Suma Cau-kun, seakan-akan baru pertama kali ini dia melihat manusia seperti itu.
"Hei, mengapa kau tak berani kemari?" kembali Suma Cau-kun menantang, "apakah kau hanya bernyali bila sedang menghadapi saudara-saudaramu sendiri" Apakah si Singa Jantan Cu Bong tak lebih cuma manusia jadah seperti ini?" Tiba-tiba Cu Bong ikut tertawa, ia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. "Bagus, suatu umpatan yang amat bagus, umpatan yang maknanya bagus!" gelak tertawanya makin menjadi-jadi, "hanya sayang sekali, perbuatanmu seperti itu sesungguhnya tidak berguna sama sekali." "Apa yang kau katakan?" Suma Cau-kun masih saja tertawa dingin, "kentut busuk macam apa yang sedang kau lepaskan sekarang?" Kali ini bukan saja Cu Bong tidak mengumbar amarahnya, dia malahan menghela napas panjang. "Suma Cau-kun, kau memang seorang Ho-han, seorang lelaki sejati. Dalam sejarah hidupku, aku Cu Bong belum pernah tunduk kepada orang lain, tapi sekarang aku sudah mulai agak kagum kepadamu, tapi bila kau beranggapan aku Cu Bong tak lebih cuma manusia kasar yang tak tahu diri, anggapan tersebut jelas keliru besar, maksud hatimu sudah cukup kupahami." "Apa yang telah kau pahami?" "Kau tak perlu memanasi hatiku untuk membunuhmu, kaupun tak usah mempergunakan cara seperti ini untuk mengobarkan hawa amarahku," ucap Cu Bong, "walaupun aku sudah runtuh bahkan gara-gara seorang wanita menjadi kehilangan sukma dan semangat, seperti baru kehilangan ibu......" Mendadak ia menepuk dada keras-keras, kemudian melanjutkan. "Tapi asal aku Cu Bong masih bisa bernapas, aku pasti akan berjuang sampai titik darah penghabisan, kau tak perlu memanasi hatiku, sebab tanpa cara tersebut pun aku tetap akan bertarung sampai titik darah penghabisan......" "Oya?" "Batok kepala yang menempel di atas leher, aku Cu Bong pun tak bakal kuserahkan dengan begitu saja kepada orang lain, akupun tak bakal membantu untuk memenuhi keinginanmu," suara Cu Bong bertambah keras dan lantang, "tapi aku pun tak sudi menerima kemurahan hatimu yang berusaha memenuhi keinginanku." Dengan sepasang matanya yang melotot besar, dia awasi Suma Cau-kun lekat-lekat, kemudian lanjutnya. "Dalam pertarungan yang berlangsung hari ini, soal mati hidup, menang kalah sudah bukan suatu persoalan yang berpengaruh besar bagi kita, pada hakekatnya, persoalan semacam itu tak pernah kupikirkan dalam hati, tapi bila kau bermaksud untuk memenuhi keinginanku itu...." Tiba-tiba suara Cu Bong berubah semakin garang dan mengerikan hati. "Asal kau mempunyai setitik keinginan seperti ini saja, maka kau Suma Cau-kun bukan manusia yang dilahirkan oleh bapak ibumu, kau adalah anak jadah yang dilahirkan seekor anjing budukan. Asal kau mengalah satu jurus saja, aku segera akan mampus di hadapanmu, biar jadi setanpun tak bakal mengampunimu."
Suma Cau-kun memandangnya lekat-lekat, memandang sepasang matanya yang bulat besar penuh garis-garis darah, memandang manusia yang meskipun menjadi kurus tinggal kulit pembungkus tulang namun masih tetap memiliki semangat jantan bagaikan singa. Lewat lama, lama kemudian baru dia berkata: "Baik, kukabulkan permintaanmu itu. Bagaimanapun juga, hari ini kita boleh melangsungkan duel secara jantan, secara bebas dengan sepenuh tenaga." Cu Bong juga sedang memandang ke arahnya, memandang seorang lambang pendekar besar yang dulu pernah dipuja-puja dan disanjung-sanjung, tapi kini terperosok dalam lumpur kenistaan. Tiba-tiba saja ia mendongakkan kepalanya dan menghela napas panjang. "Di dalam kehidupan kita kali ini, kita sudah ditakdirkan menjadi musuh bebuyutan, moga- moga saja dalam penitisan mendatang, kita bisa ditakdirkan menjadi sahabat karib, terlepas siapa yang menang siapa yang kalah, siapa yang hidup siapa yang mati di dalam pertarungan hari ini." ooo)O(ooo Angin berhembus makin kencang, udara semakin terasa dingin. Bukit nun jauh di sana telah dingin, pusara di atas bumi telah dingin, manusiapun berada di tengah hembusan angin dingin, tapi dalam dada mereka, justru membara darah yang panas mendidih. Darah panas yang selalu mendidih ini, selamanya dan selalu tak pernah menjadi dingin. Karena dalam dunia ini masih terdapat sementara orang yang di dalam dadanya justru mengalir darah panas yang selamanya tak pernah dingin, oleh sebab itu hati merekapun selalu tak pernah gentar, karena kita harus tahu, selama dalam dada manusia masih mengalir darah yang mendidih, keadilan dan kebenaran selalu dipertahankan. Hal ini perlu ditegaskan, karena inilah semangat dari suatu kesetiaan kawan. ooo)O(ooo Senja sudah semakin kelam. Dalam remang-remangnya suasana, Suma Cau-kun dan Cu Bong berdua telah berubah menjadi dua sosok bayangan manusia yang samar-samar. Namun dalam pandangan mata kaum lelaki perkasa yang mengalir darah panas dalam dadanya, ke dua sosok bayangan manusia yang samar itu justru jauh lebih tegas dan agung daripada bentuk badan manusia manapun di dunia ini. Sebab yang mereka perebutkan kini bukan mati hidup, kalah menang atau kehormatan dan kenistaan. Mereka telah mengesampingkan soal mati hidup, soal kehormatan ataupun kenistaan, mereka tak lebih hanya ingin melakukan suatu pekerjaan yang mereka anggap harus dilakukan oleh mereka. Sebab memang demikianlah prinsip hidup mereka sebagai manusia di dunia ini.
Kepala boleh putus, darah boleh mengalir, kebahagiaan hidup, kebesaran nama boleh hancur lebur, tapi prinsip hidup harus tetap dipegang teguh. Jilid ke-12 Dengan perbuatan mereka ini, adakah manusia yang menganggap mereka itu kelewat tolol" Kalau ada orang yang menganggap mereka kelewat tolol, lalu termasuk manusia macam apakah mereka itu" Cu Bong masih berdiri dengan wajah serius, Suma Cau-kun juga berdiri dihadapannya dengan wajah serius, mati hidup mereka akan segera ditentukan dalam detik itu. Anehnya, perasaan yang berkobar di dalam dada mereka berdua sekarang bukan dendam kesumat lagi, melainkan dorongan hawa darah yang membara. Tiba-tiba Cu Bong bertanya: "Dalam dasa warsa terakhir ini, tiada pertarungan yang tidak kau menangkan, selama hidup belum pernah bertemu dengan lawan tandingan, apakah selama ini kau hanya mengandalkan sebilah pedang baja yang besar?" "Benar!" "Mana pedangmu sekarang?" "Biarpun pedangnya tak ada, tapi aku, orangnya ada di sini," jawab Suma Cau-kun, "yang kau ajak bertarung toh bukan pedangku, melainkan orangnya, oleh sebab itu asal orangnya ada di sini, hal ini sudah lebih dari cukup." "Bukankah kau datang kemari hendak berduel denganku serta menentukan mati hidup, menang kalah denganku" Mengapa tidak kau bawa serta pedangmu?" "Sebab dengan tangan kosongpun aku sama saja, mampu membunuh singa jantan." Pelan-pelan Cu Bong mengenakkan kembali ikat pinggangnya, dan kini diapun hanya bertangan telanjang saja. "Sekalipun sepanjang hidupku aku Cu Bong malang melintang dalam dunia persilatan, budi dan dendam kupisahkan secara tegas dan entah berapa banyak manusia yang tak bisa dipercaya, tidak setia kawan, tidak berperasaan dan tidak tahu malu yang sudah tewas di ujung golokku, biasanya aku selalu membunuh orang dengan mempergunakan sebilah golok biasa." "Mana golokmu?" "Golokku ada di sini." Dia mengulurkan tangannya ke muka, segera muncul seseorang yang menyodorkan sebilah golok besar ke tangannya. "Golok bagus!" Suma Cau-kun berteriak keras, "hanya golok semacam ini yang cocok untuk membunuh manusia."
"Ya, golok ini memang sebilah golok bagus yang cocok untuk membunuh orang," kata Cu Bong sambil membelai mata goloknya, "tapi orang yang kubunuh dengan golok ini selamanya cuma manusia-manusia rendah bangsa kurcaci, bukan enghiong atau orang gagah." Sekarang golok itu masih berada di tangannya. Dengan tangan kiri menggenggam gagang golok, tangan kanan memegang mata golok, tiba- tiba saja....... 'Kraaakkk......' golok itu meski masih berada dalam genggamannya, namun telah patah menjadi dua bagian. Kutungan golok berubah menjadi pelangi terbang, terbang menuju kegelapan senja yang kian lama kian bertambah gelap, terbang lenyap dari pemandangan. Biarpun suara dari Cu Bong bertambah parau, pada hakekatnya hampir tak menjadi suara, namun semangat serta kegagahannya masih tetap utuh seperti sediakala. Ia berkata: "Jika Suma Cau-kun sanggup bertarung melawan seekor singa jantan dengan tangan kosong, mengapa tidak dengan aku, Cu Bong?" Ia mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, tinju itu sekeras baja, sebaliknya sepasang kepalan Suma Cau-kun jauh lebih tajam daripada golok. "Kau datang dari jauh, kau adalah tamu," kata Suma Cau-kun, "aku tidak bermaksud mengalah kepadamu, tapi kau sudah sepantasnya turun tangan lebih dulu." "Baik!" ooo)O(ooo Ketika mendengar Cu Bong mengucapkan kata 'baik', Mang-gou tahu dirinya sudah hampir berakhir. 'Mang-gou' si Kerbau Baja adalah manusia, dia adalah seorang lelaki sejati. Tapi ada kalanya dia memang mirip seekor kerbau, watak seperti kerbau, keras kepala seperti kerbau, bahkan jauh lebih liar daripada kerbau liar, lebih buas daripada kerbau buas. Tubuhnya yang kekar dan sekeras baja, pada hakekatnya menyerupai seekor kerbau baja. Sayangnya hati atau perasaan si Kerbau Baja ini justeru terbuat dari kaca yang tipis, tak dapat disentuh barang sedikitpun jua, karena begitu disentuh, dia akan hancur dan pecah. Oleh sebab itu, selama ini dia duduk paling jauh dari arena. Orang lain telah berdiri semua, tapi ia masih tetap duduk, sebab ia kuatir dirinya tak tahan. Ada banyak persoalan yang memang tak sanggup ditahan olehnya. Yang paling tak bisa ditahan olehnya adalah menjumpai manusia-manusia kurcaci yang suka menjual teman, bila bertemu dengan manusia seperti ini, setiap saat ia bersedia mempertaruhkan selembar jiwanya untuk beradu jiwa dengannya. Diapun paling tak tahan bila bertemu dengan orang yang kelewat setia kawan, sebab bila bertemu dengan manusia seperti ini, diapun setiap saat bersedia mengorbankan selembar jiwanya untuk dijual kepadanya, dijual tanpa syarat dan tak pernah akan disesalkan.
Amanat Marga 7 Pendekar Asmara Tangan Iblis Karya Lovely Dear Bende Mataram 36

Cari Blog Ini