Ceritasilat Novel Online

Raja Pedang 13

Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 13


Wajah Kwee Sin menjadi pucat. Akan tetapi dia berdiri tegak dan matanya bersinar penuh semangat. "Sekali penyesalan yang layak kutebus dengan nyawa. Demi keutuhan perhubungan antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, biarlah pada saat ini aku Kwee Sin, bekas murid Kun-lun-pai....." sampai di sini suaranya menggetar karena terharu, "..... aku akan berterus terang. Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong, biarlah aku menjawab dan menerangkan pertanyaan-pertanyaan yang kauajukan itu satu demi satu. Pertanyaan pertama tentang kematian Liem Lo-enghiong, seperti juga dulu pernah kunyatakan, kematiannya sama sekali bukan sebab perbuatanku. Aku tidak membunuhnya, bahkan tidak pernah bertemu dengannya. Hal ini berani kunyatakan dengan sumpah sebagai bekas murid Kun-lun....."
"Jangan sebut-sebut nama Kun-lun-pai," kata Pek Gan Siansu, tenang namun berwibawa.
"Maafkan teecu....." Kwee Sin cepat berkata, suaranya parau, kemudian dia menghadapi Kwa Tin Siong lagi. "Aku berani bersumpah sebagai seorang laki-laki, demi kehormatan dan namaku, aku tidak membunuh Liem Lo-enghiong."
Kwa Tin Siong dan yang lain-lain pernah mendengar dari Beng San tentang hal ini, akan tetapi karena memurut anggapan mereka tetap saja Kwee Sin yang menjadi biang keladinya, Kwa Tin Siong mendesak terus, "Kalau kau begitu yakin bahwa kau bukan pembunuhnya, sudah tentu kau tahu siapa pembunuhnya yang menggunakan pukulan Pek-lek-jiu" Liem-sumoi menuduh bahwa ayahnya kaubunuh karena ada tanda luka bekas pukulan Pek-lek-jiu, diperkuat dugaan bahwa tentu kau malu dan marah terlihat oleh ayahnya ketika kau berpesiar bersama ketua-Ngo-lian-kauw."
Wajah Kwee Sin yang tadinya pucat berubah merah sebentar, lalu pucat lagi.
"Tadinya aku tidak tahu siapa pembunuhnya, baru kemudian ini aku mengetahui semua bahwa memang orang menggunakan namaku dengan maksud mengadu domba antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai."
"Siapa orang itu?"
Kwee Sin tampak ragu-ragu namun kemudian berkata, "Pembunuh ayah nona Liem adalah Kim-thouw Thian-li ketua Ngo-lian-kauw bersama anak buahnya yang menyamar sebagai anggota-anggota Pek-lian-pai!"
Sunyi seketika, terdengar isak tangis Liem Sian Hwa disusul bisikannya.
"Aku, harus membasmi Ngo-lian kauw...."
Akan tetapi kesunyian itu segera dipecahkan oleh suara Kwee Sin yang melanjutkan keterangannya dan kini semua orang mendengarkannya penuh perhatian.
"Keterangan untuk menjawab tuduhan ke dua dapat kujelaskan dengan sumpah pula bahwa ketika aku datang ke sini diantar oleh kedua suhengku, aku benar-benar bermaksud hendak memberi keterangan seperti yang kulakukan pada ini hari. Akan tetapi, Cuwi sekalian di sini telah mengetahui betapa aku yang hendak mengakhiri hidupku untuk menebus dosa, tidak berdaya ketika disambar pergi oleh Hek-Hwa Kui-bo. Terhadap kepandaian nenek itu aku yang bodoh bisa berbuat apakah" Dan memang aku mengakui bahwa sejak itu aku bekerja di kota raja sebagai perwira, adapun hal ini adalah rahasia pribadiku dan tak perlu kuterangkan kepada siapa pun juga."
Pek Gan Siansu mengeluarkan suara mendengus dengan hidungnya. Kakek itu merasa terpukul mendengar betapa bekas muridnya tanpa malu-malu mengaku telah bekerja sebagai perwira di kota raja, berarti bekerja sebagai anjing penjajah. Pada hal dahulu dia tahu betul betapa besar semangat Kwee Sin untuk menentang penjajah dan membantu perjuangan kaum patriot.
"Tentang pertanyaan ketiga, terang aku mengakui bahwa memang ada niat di hatiku untuk melakukan pembalasan dendam atas kematian dua orang suhengku di tempat ini. Pada waktu itu kupikir bahwa dua orang suhengku itu sama sekali tidak bersalah, mereka datang hanya untuk mengantar aku dan memaksa aku menjelaskan duduknya perkara. Siapa kira..... dua orang suhengku itu, orang-orang gagah perkasa yang berbudi, menemui kematian di sini secara menyedihkan. Karena itulah aku datang melakukan pembalasan, dibantu oleh pihak Ngo-lian-kauw. Sebagai pengganti nyawa dua orang suhengku aku berhasil merenggut nyawa dua orang murid Hoa-san-pai, bukankah itu sudah pantas?" Sampai di sini Kwee Sin tersenyum pahit, jelas dia memperlihatkan sikap menyesal bukan main.
"Sekarang pertanyaan ke empat, memang aku menjadi pembesar di kota raja.
Terhadap permusuhan antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, aku tak dapat berbuat apa-apa karena kedudukanku sebagai perwira. Dan untuk hal ini pun aku memiliki rahasia pribadi yang belum dapat kujelaskan sekarang, maupun kelak karena rahasia itu akan kubawa mati. Nah, para orang gagah dari Hoa-san-pai, aku Kwee Sin sudah menjelaskan semua."
Kwa Tin Siong berbisik-bisik dengan Lian Bu Tojin, kemudian dia maju pula berkata, suaranya nyaring jelas, "Kwee Sin, kami rasa pengakuan-pengakuapnmu itu cukup jujur, kecuali tentang rahasia pribadi yang kausembunyikan. Kami kira kau akan cukup jujur pula untuk mengakui bahwa perbuatanmulah yang menjadi biang keladi semua permusuhan antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai. Selamanya dua partai ini menjadi sahabat-sahabat baik, malah sudah ada ikatan kekeluargaan antara kedua partai melalui sumoi dan engkau. Akan tetapi, dengan tak kenal malu kau telah melakukan perhubungan gelap yang amat hina dengan siluman betina Kim-thouw Thian-li dari Ngo-lian-kauw sehingga terlihat oleh ayah sumoi dan menyebabkan ayah sumoi dibunuh oleh Kim-thouw Thian-li. Kemudian kau bukannya insyaf malah melanjutkan perhubungan itu dengan pihak Ngo-lian-kauw, ditambah lagi menduduki jabatan perwira di kota raja. Sekarang hendak kami tanya, bagaimana pertanggungan jawabmu terhadap semua ini" Ingat, bahwa karena perbuatanmu yang rendah itu, telah banyak jatuh korban, baik di pihak Hoa-san-pai maupun pihak Kun-lun-pai. Dan tanpa ada pertanggungan jawabmu, kiranya kedua pihak akan terus turun tangan."
Dengan sikap gagah Kwee Sin mengangkat dada dan berkata nyaring, "Semenjak kecil aku dididik oleh Kun-iun-pai untuk menjadi seorang laki-laki yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran." Sampai di sini suaranya menggetar terharu dan dia mengerling ke arah Pek Gan Siansu yang duduk tak bergerak seperti patung. "Sudah tentu saja aku mengakui semua kesalahanku, yaitu bahwa karena perhubunganku dengan Kim-thouw Thian-li maka terjadi keributan dan permusuhan antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai. Para orang gagah Hoa-san-pai, aku Kwee Sin mengaku berdosa dan terserah hukuman apa yang hendak kalian jatuhkan kepadaku."
Kembali Kwa Tin Siong berbisik-bisik kepada gurunya, kemudian menerima sebatang pedang dari tangan Lian Bu Tojin, pedang pusaka Hoa-san-pai! Dengan tenang dan suara tegas Kwa Tin Siong berkata, "Kesalahanmu terhadap Hoa-san-pai menimbulkan banyak korban nyawa anak murid Hoa-san-pai, karena itu seperti keharusan hukum kang-ouw, hutang nyawa bayar nyawa. Kwee Sin, mengingat akan hubungan antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, Suhu memberi keringanan kepadamu dan mempersilakan kau menjatuhkan hukuman bayar hutang nyawa dengan tanganmu sendiri."
Kwee Sin memandang ke arah pedang itu, lalu menerimanya dan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan Pek Gan Siansu. "Suhu, perkenankanlah teecu mohon kemurahan hati Suhu untuk terakhir. Teecu yang banyak berdosa terhadap Suhu, mohon supaya Suhu yang menjalankan hukuman ihi sebagai penebus dosa teecu."
Wajah Pek Gan Siansu agak pucat. Sebetulnya di lubuk hatinya, kakek ini amat sayang kepada Kwee Sin, akan tetapi karena kenyataan membuktikan bahwa Kwee Sin telah melakukan penyelewengan, dia pun tak dapat berbuat apa-apa kecuali menyesal. "Kau bukan muridku lagi, aku tidak berhak mencampuri urusan hukuman."
Mendengar ini, Kwee Sin bangkit berdiri dengan air mata berlinang, lalu berkata perlahan, "Kwee Sin memang sudah terlalu berdosa, patut mengakhiri hidupnya....."
Pedang berkelebat ke arah lehernya
"Kwee-enghiong.....!" Jerit melengking ini terdengar dibarengi berkelebatnya bayangan kuning yang ternyata adalah seorang gadis cantik berbaju kuning. Namun terlambat datangnya, pedang di tangan Kwee Sin sudah membabat lehernya. Jeritan tadi hanya mengagetkan Kwee Sin sehingga gerakan pedangnya tertahan dan batang lehernya tidak putus. Akan tetapi luka di leher cukup hebat, membuat dia roboh terguling bermandi darah. Gadis itu menangis dan menubruknya, memeluk dan mengangkat tubuh bagian atas yang dipangkunya.
"Kwee-enghiong..... kau..... kau..... ah, kenapa kau menuruti kemauan orang-orang yang mau enak sendiri" Kwee-enghiong..... kaudengarkan aku, kau dengarkan aku...,.
aku Lee Giok, aku cinta padamu, ah jangan kautinggalkan aku....." Nona baju kuning ini bukan lain adalah Lee Giok yang sudah kita kenal suka menyamar sebagai nyonya Liong, mendekap kepala yang berlumuran darah itu sambil menangis. Kemudian ia kelihatan beringas dan marah, diletakkan kembali Kwee Sin ke atas tanah lalu ia meloncat berdiri menghadapi orang-orang Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai yang bengong menyaksikan itu semua.
"Kalian orang-orang kejam! Kalian orang-orang buta tak mengenal orang! Kalianlah yang memaksa Kwee-enghiong membunuh diri!"
Liem Sian Hwa makin sakit hatinya melihat betapa sekarang, di samping Kim-thouw Thian-li, ada lagi seorang gadis cantik yang mencinta Kwee Sin dan datang-datang memaki-maki, maka ia membentak, "Siluman dari mana datang-datang hendak mencampuri urusan kami?" la melangkah maju dan mencabut pedangnya.
Lee Giok dengan mata berapi memandang Sian Hwa. "Hemmm, kau tentulah Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa yang dulu menjadi tunangan Kwee-enghiong, bukan" Orang yang mabuk akan dendam, yang memikirkan diri sendiri, yang sempit pandangan.
Orang seperti kau ini mana patut disandingkan Kwee-enghiong yang gagah perkasa?"
"Cih, asal buka mulut saja" Sian Hwa balas memaki. "Dia begitu hina untuk berhubungan dengan ketua Ngo-lian-kauw, dan merendahkan diri dengan menjadi kaki tangan penjajah, menjadi pengkhianat bangsa. Dan kau masih memuji-mujinya.
Kiranya kau pun takkan jauh sifatnya dengan orang-orang macam dia dan Kim-thouw Thian-li!"
"Bodoh! Goblok orang-orang macam kalian!" Lee Giok memaki, air matanya bercucuran. "Ahhh..... buta kalian! Dia ini, adalah Si-enghiong....."
Tiba-tiba Pek Gan Siansu yang merasa curiga, akan semua adegan itu, bertanya.
"Siapa itu Si-enghiong (Pendekar keempat)?"
"Nona Lee..... eh, Siok-moi..... aku...." Mendengar suara ini Lee Giok tidak pedulikan semua orang dan cepat berlutut, kau hati-hatilah..... mereka sudah tahu..... sudah mulai curiga..... kita sudah mereka ketahui..... awas..... lekas peringatkan dia....."
"Siapa?" Lee Giok bertanya, suaranyaa tergetar, air matanya mengucur deras.
"Ji-enghiong...,."
"Siapa dia" Siapakah Ji-enghiong" Kau lekas katakan, aku sendiri sampai sekarang belum tahu siapa Ji-enghiong. Lekas katakan....."
"Dia..... dia..... ahhhhh...." Kwee Sin tak dapat melanjutkan kata-katanya karena sudah kehilangan nyawanya. Lee Giok memeluk dan menangis tersedu-sedu, tak peduli bahwa darah dari ieher Kwee Sin membasahi muka dan pakaiannya. Semua orang terharu juga melihat ini dan tak terasa air mata Sian Hwa juga menjadi basah.
Pek Gan Siansu tidak tega hatinya. "Lim Kwi, kaurawatlah baik-baik jenazah Kwee Sin. Biarpun dia bukan muridku lagi tapi....." Lim Kwi yang pada dasarnya berwatak penuh welas asih dan dia memang suka kepada Kwee Sin, segera, melangkah maju hendak mengangkat jenazah Kwee Sin. Akan tetapi Lee Giok membentak.
"Jangan sentuh dia!" la lalu bangkit berdiri, dadanya turun naik", napasnya memburu, matanya berkilat-kilat, wajahnya pucat dan menjadi mengerikan karena berlepotan darah Kwee Sin.
"Kalian tak berharga untuk menyentuhnya! Kalian ini pengecut-pengecut tak tahu malu. Bermata dua tapi buta tak melihat, tak dapat membedakan mana yang palsu mana yang tulen, tidak tahu mana yang baik mana yang buruk. Kalian tidak tahu siapa dia yang kalian paksa bunuh diri ini" Dia adalah orang ke dua di kota raja yang memimpin para pejuang melakukan gerakan di bawah tanah. Dia adalah orang kepercayaan Ciu-taihiap. Kalian tahu mengapa dia melakukan hubungan dengan Kim-thouw Thian-li" Hal itu disengaja, karena merupakan rencana dari atasan. Kalau dia tidak mendekati Kim-thouw Thian-li, mana dia bisa memasuki kotaraja, dapat kepercayaan orang-orang yang berkuasa di kota raja" Dia sengaja mengorbankan perasaannya, sengaja menghubungi Kim-thouw Thian-li sehingga para pembesar di kota raja percaya kepadanya, sehingga dengan aman dan mudah dia dapat mengorek rahasia-rahasia ketentaraan dan dapat membantu dan memberi petunjuk kepada saudara-saudara seperjuangan yang bergerak di luar kota raja! Jasa-jasanya untuk perjuangan sudah banyak sekali, dia seorang patriot sejati yang tidak segan-segan mengorbankan perasaan, mengorbankan kekasih, mengorbankan segalanya untuk tanah air dan bangsa. Dan kalian ini..... orang-orang yang hanya ingat akan kepentingan diri sendiri, tidak peduli akan perjuangan bangsa malah ribut saling gontok-gontokan antara saudara sendiri, orang-orang ma-cam kalian ini sekarang memaksa dia membunuh diri" Celaka..... celaka..... semoga Thian mengutuk kalian semua!" Lee Giok menangis lagi dan semua orang yang berada di situ terpaku dengan muka pucat dan sinar mata bingung. Tak terkecuali Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin yang saling pandang dengan muka pucat dan sedih. Mereka masih ragu-ragu akan kebenaran semua keterangan nona yang tidak mereka kenal itu. Keterangan ini terlalu aneh, terlalu asing sehingga kelihatan agak mustahil. Kwee Sin menjadi pemimpin pejuang di kota raja" Dan semua kelakuannya yang dipandang rendah itu adalah siasat untuk perjuangan"
Akan tetapi keterangan mereka itu lenyap seketika setelah terjadi hal berikutnya.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan-teriakan, "Tangkap pemberontak! Tangkap mata-mata pemberontak!" Dan muncullah rombongan pasukan tentara pemerintah yang bersenjata lengkap, jumlahnya seratus orang lebih! Bukan main kaget hati Pek Gan Sjansu dan Lian Bu Tojin ketika melihat bahwa di antara pasukan itu terdapat seorang wanita yang cantik berusia empat puluh tahun lebih, membawa saputangan sutera beraneka warna dan seorang kakek berbaju kuning. Betapa tidak akan kaget hati mereka karena wanita yang sebenarnya sudah berusia enam puluh tahun itu adalah Hek-hwa Kui-bo, sedangkan kakek itu adalah tokoh utara yang paling terkenal, yaitu Siauw-ong-kwi Si Raja Setan Cilik, guru dari Giam Kin pemuda pemelihara ular.
Pemuda itu sendiri juga tampak tersenyum-senyum, matanya liar menyambar-nyambar ke arah Kwa Hong dan Thio Bwee. Di sampingnya terlihat seorang wanita cantik yang bersikap genit, berpakaian indah dan pesolek. Kim-thouw Thian-li!
Begitu melihat tubuh Kwee Sin yang menggeletak mandi darah di atas tanah, Kim-thouw Thian-li melompat mendekati. Tadinya orang mengira bahwa ia tentu akan menangis menggerung-gerung menyedihi kematian kekasihnya itu, akan tetapi siapa kira, setelah melihat bahwa Kwee Sin betul-betul sudah mati, ia lalu meludah ke arah tubuh itu sambil berkata.
"Cih, keparat keji! Bertahun-tahun kau menipuku, kusangka betul-betul setia, kiranya kau pemimpin mata-mata anjing pemberontak!" Kakinya diangkat dan menendang muka mayat itu.
"Kim-thouw Thian-li situman betina, langan kauhina dia!" Lee Giok marah sekali, melompat dan memukul kepada ketua Ngo-lian-kauw itu. Kim-thouw Thian-li menangkis. "Plak!" Dua lengan halus bertemu dan keduanya terhuyung mundur.
Diam-diam Kim-thouw Thian-li kaget, sama sekali tidak menyangka bahwa nona yang bisa menjadi pembantu Pangeran Souw Kian Bi ini ternyata memiliki kepandaian yang tinggi juga, Pantas Ia menjadi pemimpin mata-mata seperti yang disangka oleh Pangeran Souw Kian Bi, pikirnya.
"Hemmm, kau inikah yang selama ini diam-diam menjadi Ji-enghiong?" ejek Kim-thouw Thian-li dengan suara dingin.
Lee Giok nampak terkejut sekali.
"Apa kau bilang ba..... bagaimana kiaubisa tahu tentang Ji-enghiong?"
"Hi..hi..hi, mata-mata hina! Kami sudah tahu bahwa Kwee Sin si keparat itu adalah Si-enghiong, dan kau adalah Ji-enghiong" Kalian memimpin mata-mata pemberontak di kota raja."
Tiba-tiba Lee Giok tertawa girang. "Bagus, bagus! Jadi kau sudah tahu sekarang"
Memang betul, Kim-thouw Thian-li, Kwee-enghiong ini adalah permimpin mata-mata pejuang yang memang bernama Si-enghiong. Jadi selama ini dia bekerja untuk kepentingan para pejuang. Pembesar-pembesar di kota raja dipermainkan termasuk kau. Kaukira dia betul-betul cinta kepada siluman macammu" Cih, tak tahu malu. Dan aku..... aku memang Ji-enghiong. Nah, kau mau apa?"
Bukan main marahnya hati Kim-thouw Thian-li mendengar ejekan-ejekan ini.
Dengan gerak mata cerdik Kim-thouw Thian-li memandang kepada pihak Hoa-sanpai dan Kun-lun-pai. "Cuwi sekalian dari Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai, perempuan ini adalah seorang pemimpin pemberontak, terpaksa aku dan teman-teman hendak menangkapnya hidup-hidup untuk kubawa ke kota raja."
Akan tetapi sementara itu Liem Sian Hwa sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Inilah Kim-thouw Thian-li, perempuan yang tidak saja merenggut nyawa ayahnya, akan tetapi bahkan yang merampas tunangannya. Sekarang mendengar wanita ini hendak membujuk gurunya dan Pek Gan Siansu.
Ia menerjang dan memaki. "Siluman keji, kau telah membunuh ayahku. Rasakan pembalasanku!" Pedangnya berkelebat menusuk. Kim-thouw Thian-li tertawa dan mengelak, cepat mengeluarkan golok dan membalas serangan Sian Hwa.
Sementara itu, Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin terbangun semangat mereka setelah mendengar dan melihat sendiri kenyataan bahwa Kwee Sin benar-benar seorang pemimpin pejuang, ditambah oleh sikap Lee Giok yang gagah perkasa dan patriotik. Dua orang kakek ini begitu bertukar pandang sudah nengambil keputusan yang sama, yaitu membela Lee Giok demi penghargaan mereka terhadap perjuangan Kwee Sin. Sekarang melihat bahwa Sian Hwa telah bertempur melawan Kim-thouw Thian-li dan hal ini tak mungkin mereka hentikan atau cegah mengingat bahwa Sian Hwa tentu akan nekat membalas dendam, melihat pula bahwa bentrokan antara mereka dan pihak pemerintah tak dapat dicegah lagi, lalu keduanya melangkah maju, siap menghadapi segala kemungkinan. Thio Ki dan Kui Lok juga meloncat maju membantu bibi guru mereka.
"Siluman Ngo-lian-kauw, kau pembunuh ayah kami!" teriak mereka sambil menerjang maju. Kim-thouw Thian-li masih tertawa-tawa dan menghadapi tiga orang itu dengan mainkan goloknya.
"Lian Bu Totiang, apa kau membiarkan saja anak-anak muridmu memberontak?"
Hek-hwa Kui-bo meloncat maju ke depan ketua Hoa-san-pai. Loncatannya luar biasa sekali, seperti tidak bergerak kedua kakinya tapi tahu-tahu tubuhnya sudah berkelebat ke depan kakek Hoa-san-pai itu. Semua orang yang melihat ini menjadi kagum dan juga keder. Akan tetapi Lian Bu Tojin dengan sikapnya yang keren dan pedang pusaka yang tadi dipergunakan Kwee Sin membunuh diri di tangan kanannya, memandang nenek yang kelihatannya muda itu sambil berkata.
"Hek-hwa Kui-bo, enak saja kau memutarbalikkan fakta. Adalah kau yang membiarkan muridmu Kim-thouw Thian-li itu untuk melakukan perbuatan fitnah dan mengadu domba antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, membiarkan muridmu membunuh murid-murid Hoa-san-pai dan kau selalu malah membantunya. Sekarang kau datang pura-pura mencela kepada pinto. Heh, biarpun kau lihai, namun kejahatanmu pasti takkan membawa kau kepada kebahagiaan dan keselamatan."
"Hi..hi..hi, tosu bau. Kaulah yang akan" mampus, masih banyak tingkah lagi. Dengan mengeluarkan suara melengking aneh, Hek-hwa Kui-bo menggerakkan tangan. Tahutahu sebatang pedang telah berada di tangannya dan cepat ia menyerang ketua Hoasan-pai itu. Lian Bu Tojin maklum akan kelihaian wanita ini, maka dia tidak berani berayal, cepat-cepat menangkis dan balas menyerang. Seperti juga ketika ketua Hoasan-pai ini mengejar Hek-hwa Kui-bo pada waktu nenek ini menculik Kwee Sin, sekarang Lian Bun Tojin mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang dari nenek ini hebat bukan main, kelihatan tidak mengandung tenaga besar akan tetapi hawa pedangnya dingin dan cepat. Inilah Ilmu Pedang Im-sin-kiam yang dipelajari nenek ini dari kitab yang ia curi atau rampas dari Phoa Ti. Biarpun Lian Bu Tojin sudah mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya, namun tetap saja semua kekuatan Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-sut seakan-akan ditelan oleh hawa dingin ilmu pedang Hekhwa Kui-bo. Betapapun juga, Lian Bu Tojin adalah seorang pendeta yang mengutamakan kehidupan suci dan bersih, maka daya tahan dalam tubuhnya amat kuat dan tidak mudah bagi Hek-hwa Kui-bo untuk merobohkannya secara cepat.
"Heh..heh..heh, nona-nona manis, mari kita main-main sebentar!" Giam Kin ternyata sudah melompat maju dan dengan sikap ceriwis sekali mengulur kedua tangannya untuk menangkap Kwa Hong dan Thio Bwee. Dua orang gadis ini membentak dan memaki, sambil mengelak dan mencabut pedang lalu dengan gemas mereka mengeroyok Giam Kin.
Sementara itu, Bun Lim Kwi sejak tadi memandang ke arah Giam Kin, maka ketika mendengar Kwa Hong dan Thio Bwee memaki-maki dan menyebut nama pemuda muka pucat itu, darahnya segera naik. Jadi inikah orang yang bernama Giam Kin, yang secara pengecut pernah menyerang dan merobohkannya ketika dia bertempur melawan Thio Eng dahulu itu" Hampir saja nyawanya melayang karena pemuda muka pucat yang jahat itu.
"Suhu, dialah orangnya yang hampir saja menewaskan teecu dengan penyerangannya yang curang. Teecu hendak membalas," bisiknya kepada Pek Gan Siansu Ketua Kun-lun-pai ini mengangguk, berkata perlahan.
"Sudah sepatutnya sekarang kita membantu Hoa-san-pai menghadapi orang-orang jahat itu."
Dengan girang Bun Lim Kwi mencabut pedangnya dan menerjang Giam Kin yang sedang melayani dua orang gadis Hoa-san-pai dengan enak sambil menggoda mereka dengan omongan kasar dan kotor itu.
"Nona berdua harap mundur, biarkan aku memberi hajaran kepada manusia bermulut kotor ini!" bentak Bun Lim Kwi sambil memutar pedangnya. Akan tetapi karena amat marah kepada Giam Kin, Kwa Hong dan Thio Bwee mana mau meninggalkannya"
Dengan demikian Giam Kin segera terkepung dan dikeroyok tiga. Giam Kin sibuk sekali. Biarpun dia amat lihai namun dikeroyok oleh tiga orang ini, apalagi ilmu silat Bun Lim Kwi memang hebat, segera dia terdesak dan sibuk menangkis ke sana kemari.
"Hemmm, curang..... curang.....! Kulihat ilmu pedang Kun-lun-pai ikut membela Hoa-san-pai?" Suara ini keluar dari mulut Siauw-ong-kwi yang melangkah maju hendak menolong muridnya. Akan tetapi tiba-tiba bayangan putih berkelebat dan Pek Gan Siansu sudah berdiri di depannya dengan pedang pusaka Kun-lun-pai di tangan.
"Perlahan dulu, Siauw-ong-kwi. Biarkan bocah sama bocah, tua bangka seperti kau lawannya juga tua bangka seperti aku!"
Siauw-ong-kwi membelalakkan matanya dan tertawa. "Ha..ha..ha, sejak kapan Kun-lun-pai menjadi pembantu para pemberontak?"
"Sejak orang-orang seperti engkau membantu penjajah menindas rakyat," jawab ketua Kun-lun-pai tenang.
"O..ho, Pek Gan Siansu, artinya kau menantang Siauw-ong-kwi?"
"Pinto tidak menantang siapapun suga. Akan tetapi, Siauw-ong-kwi, sejak dulu pinto mengenal nama Siauw-ong-kwi sebagai seorang aneh yang tidak suka melanggar kepantasan, seorang tokoh utama di utara yang tidak berlepotan lumpur, kejahatan.
Kiranya sekarang kau terseret ke dalam perangkap penjajah, malah kau membiarkan muridmu berlaku keji dan jahat tanpa menghukumnya. Muridmu secara curang pernah berusaha membunuh muridku, sekarang kau hendak membantunya pula. Mana pinto dapat diamkan saja?"
"Bagus Pek Gan Siansu, antara kita terdapat perbedaan paham, kau sebagai antek pemberontak dan aku sebagai antek pemerintah. Mari, mari..... kita bermain-main sebentar, sudah lama tanganku gatal-gatal untuk merasai lihainya pedang Kun-lun-pai!" Dua orang ini segera bergerak dan bertandinglah keduanya. Pedang Pek Gan Siansu tak usah disangsikan lagi amat hebat gerakannya, kuat dan biarpun digerakkan secara lambat, namun sinar pedangnya saja cukup untuk merobohkan lawan yang kuat. Di lain pihak, Siauw-ong-kwi adalah seorang tokoh paling lihai dari utara. Ilmu silatnya aneh, berinti ilmu tangkap yang, menjadi dasar ilmu gulat Mongol, sekarang dia mainkan dengan kedua ujung tangan bajunya yang panjang sehingga sekelebatan tampaknya seolah-olah Siauw-ong-kwi mainkan sepasang pedang. Jangan dipandang rendah sepasang ujung lengan baju ini. Biarpun terbuat dari kain lemas biasa, namun mengandung tenaga Iweekang yang hebat, kuat untuk menangkis pedang, kadang-kadang lemas mengancam lawan dengan jeratan maut, kadang-kadang kaku seperti pedang baja atau seperti toya besi!
Kim-thouw Thian-li yang melihat betapa kedua pihak sudah saling gempur segera bersuit keras dan pasukan pemerintah itu serentak bergerak menyerbu keatas sambil berteriak-teriak hiruk-pikuk. Para tosu Hoa-san-pai melihat hal ini tanpa menanti perintah lagi segera memapaki dan terjadilah perang kecil yang cukup hebat di puncak Hoa-san-pai itu. Akan tetapi ternyata keadaan amat tidak menguntungkan pihak Hoasan-pai. jumlah pasukan pemerintah tidak saja lebih besar, juga mereka ini memang pasukan pilihan yang sengaja dikirim oleh Pangeran Souw Kian Bi, pasukan yang terjadi dari serdadu-serdadu yang kosen dan ahli golok, lebih terkenal disebut Barisan Golok Maut. Sebentar saja belasan orang tosu Hoa-san-pai roboh terbacok golok dan keadaannya amat terdesak.
Keadaan pertempuran yang dihadapi para jago Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai itu juga amat buruk. Menghadapi Sian Hwa yang dibantu dua orang murid keponakannya, Thio Ki dan Kui Lok, ketua Ngo-lian-kauw, Kim-thouw Thian-Ii ternyata jauh lebih lihai. Permainan goloknya biarpun lihai dan aneh, masih belum mampu menindih ilmu pedang tiga orang murid Hoa-san-pai ini, akan tetapi setelah Kim-thouw Thian-li mengeluarkan selendang merahnya yang mengandung hawa beracun, pada saat yang amat tak terduga-duga ia mengebutkan selendang merah. Bau harum semerbak menyambar. Thio Ki dan Kui Lok yang masih kurang pengalaman, kurang cepat menghindar dan robohlah mereka bergulingan dalam keadaan pingsan. Liem Sian Hwa yang menjadi marah sekali inempergunakan kesempatan itu, selagi Kim-thouw Thian-li tertawa-tawa kegirangan dan memerintahkan beberapa serdadu untuk menawan dua orang pemuda ini, cepat melompat tinggi setelah tadi berhasil menggulingkan tubuh menghindarkan hawa beracun, kemudian dari atas ia menggunakan, gerak tipu Hui-liong-jip-hai (Naga Terbang Memasuki Lautan), pedangnya bergerak cepat menyerang lawannya. Tidak percuma nona ini dijuluki Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang), gerakannya cepat sekali, sehingga bayangan tubuhnya dan sinar pedang menjadi satu. Kim-thouw Thian-li kaget bukan main, cepat menangkis dengan golok dan miringkan tubuh berusaha menyelamatkan diri.
Akan tetapi tetap saja ujung pedang Sian Hwa secara kilat sudah menyerempet pundaknya sehingga baju di bagian pundak terbabat robek berikut kulitnya yang putih halus" dan darah bercucuran keluar.
"Keparat, rasakan pembalasanku! Kim-thouw Thian-li berseru keras, cepat memberi bubuk obat kepada pundaknya yang terluka, kemudian dengan kemarahan yang meluap-luap ia menerjang Liem Sian Hwa dengan nafsu membunuh. Sian Hwa memutar pedang mempertahankan, diri, namun maklum bahwa ia kalah tenaga dan bingung menghadapi ilmu golok yang aneh dan ganas itu. Betapapun juga, dengan mengertakkan giginya nona pendekar ini melakukan perlawanan nekat. Hatinya gelisah sekali melihat betapa dua orang murid keponakannya, Thio Ki dan Kui Lok, sudah menjadi orang-orang tawanan, diikat kaki tangan mereka dan dibawa mundur oleh beberapa orang serdadu musuh.
Kwa Tin Siong juga melihat betapa dua orang murid keponakannya ini tertawan.
Akan tetapi dia pun hanya dapat bergelisah saja karena semenjak pertempuran hebat itu dimulai, Hoa-san It-kiam Kwa tin Siong ini sudah menerjang maju dan dikeroyok oleh lima orang perwira pasukan musuh secara berganti-ganti. Sudah banyak lawan roboh oleh pedangnya yang lihai, namun dikeroyok begitu banyak lawan tangguh, dia menjadi terdesak juga dan tidak berdaya menolong dua orang keponakan yang tertawan itu.
Kini melihat betapa sumoinya didesak hebat oleh Kim-thouw Thian-li yang ganas, dia berkhawatir sekali. Sambil berseru keras pedangnya diputar seperti ombak menggelora, dua orang pengeroyoknya roboh dan yang lain terpaksa mundur dengan gentar. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kwa Tin Siong untuk melompat dan menerjang Kim-thouw Thian-li.
"Sumoi, jangan khawatir, mari kita bunuh siluman betina ini!" serunya dan pedangnya yang masih berlepotan darah itu menerjang kuat.
"Hi..hi..hi, seorang sumoi dan suhengnya yang tak bermalu!" Sambil menangkis Kim-thouw Thian-li mentertawakan mereka. "Di luar mengaku sumoi dan suheng, di mulut memaki-maki Kwee Sin yang serong, tapi ini bagaimana" Ha..ha..hi..hi..hi, tak bermalu, muka tebal" Siapa tidak tahu bahwa kalian sudah bertahun-tahun main gila"
Di depan guru bersikap alim, katanya saudara seperguruan, tapi di belakang guru"
Hi..hi..hi, hanya kamar kosong menjadi saksi percintaan kotor sumoi dan suheng!"
Kata-kata yang dikeluarkan Kim-thouw Thian-li ini keras dan nyaring sehingga terdengar oleh semua orang di situ. Wajah Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa menjadi pucat saking marah mereka. Liem Sian Hwa hampir pingsan saking marahnya sehingga gerakan pedangnya malah menjadi lambat dan akhirnya ia terhuyung-huyung dan roboh pingsan, Kwa Tin Siong membentak, "Siluman betina, mampuslah!" Pedangnya menyambar, akan tetapi dengan enak Kim-thouw Thian-li dapat menangkisnya.
"Ha..ha..ha, malu kan" Kalian saling cinta, siapa tidak tahu akan hal ini" Haiii.....!
Lian Bu Tojin, kau tosu tua bangka sudah buta, tidak tahu dua orang muridmu main gila di belakangmu?" Tapi ia terpaksa menghentikan kata-katanya karena serangan hebat yang dilakukan Kwa Tin Siong.
Ucapan Kim-thouw Thian-li yang nyaring ini hebat akibatnya. Lian Bu Tojin yang ketika itu sedang bertanding mati-matian melawan Hek-hwa Kui-bo, seketika tergetar tubuhnya dan ketika dia menengok ke arah Kwa Tin Siong, dia kurang keras menangkis serangan kebutan saputangan sutera yang digerakkan oleh Hek-hwa Kui-bo. "Plakkk!" Ujung saputangan menghantam dadanya dan Lian Bu Tojin terhuyung mundur dengan muka pucat, akan tetapi sambil menahan napas kakek ini masih dapat terus melompat ke dekat Kim-thouw Thian-li yang masih mendesak Kwa Tin Siong dengan golok dan dengan mulut yang melontarkan kata-kata menghina tentang dia dan sumoinya.
Lian Bu Tojin menggerakkan tangan kirinya memukul ke depan. Kim-thouw Thian-li berusaha mengelak, namun terlambat "Dukkk!" Punggungnya kena digempur, tubuhnya mencelat terguling-guling dan roboh tak bergerak. Darah merah mengalir dari mulut perempuan ini. Lian Bu Tojin dengan mata mendelik menghadapi Kwa Tin Siong.
"Tin Siong, betulkah kau..... kau..... betulkah apa yang diucapkan siluman tadi" Betul kau..... kau mencinta Sian Hwa?" tanyanya, suaranya yang biasanya lemah lembut itu kini kaku parau dan kemarahannya memuncak.
Kwa Tin Siong selama hidupnya tak pernah membohong kepada suhunya. Dengan kepala tunduk dia menjawab, "Teecu memang cinta kepada Sumoi, Suhu. Akan tetapi cinta yang bersih..... tidak seperti yang dimaksud oleh siluman itu....."
Tiba-tiba terdengar suara ketawa mengejek. "Ha..ha..ha, cinta kasih antara laki-laki gagah dan perempuan cantik, mana bisa bersih-bersihan" Ha..ha..ha..ha..ha, pintar juga Kwa Tin Siong! Dari pada sumoinya tidak laku menjadi perawan tua.....
ha..ha..ha..ha..ha duda dan perawan tua, sudah cocok!" Bukan main hebatnya penghinaan ini yang keluar dari mulut Giam Kin. "Blukkk!" Dalam kemarahannya, Bun Lim Kwi mempergunakan kesempatan Giam Kin memecah perhatiannya untuk melontarkan penghinaan ini, berhasil memukul pundak Giam Kin dengan tangan kirinya. Inilah pukulan Pek-lek-jiu dan andaikata orang lain yang terpukul pasti akan roboh bina-sa. Akan tetapi Giam Kin adalah orang yang sudah memiliki kepandaian tinggi. Pukulan ini benar merobohkannya, akan tetapi sambil roboh dia sempat menyambitkan segenggam jarum-jarum halus ke arah Bun Lim Kwi. Jago muda Kun-lun-pai ini dahulu ketika bertempur melawan Thio Eng pernah roboh dan hampir tewas oleh jarum-jarum berbisa ini, maka dengan kaget dia melompat jauh untuk menghindar sambil berseru kepada Thio Bwee dan Kwa Hong.
"Jiwi Lihiap, awas!" Baiknya jarum-jarum itu memang tidak disambitkan ke arah dua orang nona yang ikut mengeroyok Giam Kin ini maka mereka tidak terancam oleh senjata rahasia yang jahat itu. Sementara itu Kwa Hong yang juga mendengar ucapan-ucapan keji dari Kim thouw Thian-li tadi, sekarang berdiri dengan muka pucat dan memandang ke arah ayahnya yang ditegur oleh Lian Bu Tojin dan ke arah bibi gurunya yang masih rebah pingsan,
Adapun Lian Bu Tojin ketika dengar pengakuan dari Kwa Tin Siong dan kemudian mendengar ucapan Giam Kin, tubuhnya menjadi limbung. "Huaaak" Dari mulutnya tersembur darah segar, inilah akibat pukulan selendang sutera Hek-hwa Kui-bo tadi.
Kemudian orang tua ini menggerakkan pedang pusaka Hoa-san-pai lalu dibacokkan ke arah tubuh Liem Sian Hwa yang menggeletak di atas tanah.
"Suhu..,..! Ampunkan Sumoi...." Kwa tin Siong menubruk maju, menghalangi tubuh sumoinya. Lian Bu Tojin kaget dan menahan pedangnya, namun karena dia sudah terluka gerakannya kurang kuat dan pedang itu tetap masih membacok ke arah lehernya. Terpaksa Kwa Tin Siong menangkis dengan tangan kirinya. "Crakkk!"
Pedang pusaka Hoa-san-pai yang amat tajam dan ampuh itu tanpa ampun lagi membabat putus lengan kiri Kwa Tin Siong sebatas pergelangan tangan! Kwa Tin Siong masih terus berjongkok, memondong tubuh Liem Sian Hwa dengan tangan kanannya, berdiri lalu berjalan pergi terhuyung-huyung dengan langkah limbung.
Tapi cepat sekali dia sudah lari turun gunung.
"Ayah.....!" Kwa Hong menjerit dan hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia pun roboh terguling. Ternyata dalam keadaan kacau itu, selagi semua orang mencurahkan perhatian ke arah peristiwa itu, Giam Kin sudah meloncat maju dan menotoknya roboh. Kejadian ini seperti, menjadi tanda bahwa pertempuran di mulai lagi. Bun Lim Kwi menggerakkan pedang menyerang Giam Kin, dibantu Thio Bwee dan kembali mereka bertempur.
"Berani kau melukai muridku!" Hek-hwa Kui-bo yang tadi maju menolong Kim-thouw Thian-li yang terluka oleh pukulan Lian Bu Tojin, sekarang melayang maju menyerang ketua Hoa-san-pai itu. Akan tetapi Lian Bu Tojin sudah menderita luka batin yang hebat, sekarang kakek ini malah duduk bersila dan meramkan matanya.
Agaknya kakek Hoa-san-pai ini sudah menderita kesedihan terlalu besar karena persoalan murid-muridnya sehingga kini dia sengaja menanti pukulan maut lawannya tanpa mau membela diri.
Pada saat itu, terdengar sorak-sorak gemuruh di sekeliling tempat pertempuran dan tiba-tiba muncullah ratusan orang gagah perkasa yang dipimpin oleh seorang tinggi besar. Semua orang menjadi kaget sekali bahkan Hek-hwa Kui-bo sendiri sampai menahan pukulannya. Akan tetapi setelah menengok dan melihat bahwa yang datang adalah orang-orang yang biasanya disebut pejuang atau yang oleh pemerintah dianggap pemberontak, Hek-hwa Kui-bo mengeluarkan dengus menghina dan ia melanjutkan pukulannya.
"Lian Bu Tojin, bersiaplah untuk mampus!" Pedangnya menusuk ke arah dada sedangkan ujung selendang sutera menotok ke arah ubun-ubun kepala Lian Bu Tojin.
Dua serangan mematikan yang agaknya akan menamatkan nyawa ketua Hoa-san-pai.
Akan tetapi pada saat itu dua sinar hitam menyambar. "Trang!" Pedang di tangan Hek-hwa Kui-bo terpukul ke samping sedangkan sinar hitam kedua menyambar kearah siku kirinya, membuat tangan kirinya menjadi lemas dan hawa Iweekang yang tersalur ke arah selendang itu lenyap dan selendangnya berubah lemas seperti kain biasa. Sekaligus sambaran dua benda hitam yang ternyata hanya dua buah kerikil itu telah melumpuhkan serangan maut Hek-hwa Kui-bo dan menolong nyawa Lian Bu Tojin!
Hek-hwa Kui-bo kaget dan marah sekali, cepat memutar tubuh dan ia berhadapan dengan seorang pemuda yang bukan lain adalah Beng San. Pemuda ini tersenyum kepadanya.
"Apakah selama ini kau baik-baik saja, Hek-hwa Kui-bo?"
Hek-hwa Kui-bo tertegun dan meragu. Serasa ia mengenal muka pemuda ini, akan tetapi kalau diingat akan kepandaian pemuda ini yang luar biasa tadi ia ragu-ragu dan merasa tidak pernah mengenal seorang pemuda dengan kepandaian demikian hebatnya.
"Kau siapakah?"
"Hek-hwa Kui-bo, lupakah kau kepadaku" Ingatlah akan pelajaran Thai-hwee, Siu-hwee dan Ci-hwee....."
"Ah, kau Beng San siluman cilik....." dengan marah Hek-hwa Kui-bo teringat akan kitab Im-yang Sin-kiam. "Bagus, kauserahkan Yang-sin Kiam-sut kepadaku!"
Berbareng dengan bentakan ini ia lalu menyerang dengan pedangnya. Beng San mengelak dan melihat bahwa nenek itu menyerangnya dengan Ilmu Pedang Im-sin-kiam, tentu saja dengan mudah dia dapat menghindarkan diri. Akah tetapi karena dia sendiri tidak bersenjata, sukar juga baginya untuk balas menyerang nenek yang hebat kepandaiannya itu sehingga dia hanya main mundur, mengelak ke kanan kiri, meloncat ke sana kemari.
Sementara itu, rombongan orang gagah yang ternyata dipimpin oleh Tan Hok itu sudah menggempur pasukan pemerintah sehingga perang tanding menjadi makin ramai. Akan tetapi keadaannya sekarang berubah sama sekali. Kalau tadi para tosu Hoa-san-pai melakukan perlawanan sia-sia dan banyak di antara mereka roboh binasa, sekarang keadaannya berbalik. Tidak saja para anggota Pek-lian-pai yang datang ini rata-rata memiliki kegagahan dan kepandaian, juga jumlah mereka jauh lebih besar dan pasukan pemerintah ditekan hebat dan terdesak betul-betul. Sebentar saja banyak serdadu Mongol roboh dan yang lainnya mulai lemah semangat.
Pertempuran yang hebat dan seru adalah pertempuran antara Pek Gan Sian-su dan Siauw-ong-kwi. Dua orang tokoh besar ini benar-benar memiliki kepandaian hebat.
Mereka tidak mempunyai permusuhan pribadi, akan tetapi seperti sudah sering kali terjadi, apabila dua orang tokoh besar bertempur dan saling mengeluarkan kepandaian, mereka tidak mau saling mengalah. Mereka bertempur sejak permulaan tadi sampai sekarang, tak pernah berhenti dan sudah mengeluarkan kepandaian masing-masing sampai dua ratus jurus lebih. Betapapun juga, ilmu kepandaian Pek Gan Siansu adalah ilmu yang bersumber pada ilmu bersih dan asli keturunan Kun-lun-pai, maka dasar-ya amat kuat. Sebaliknya, Siauw-ong-kwi mendapatkan kepandaiannya dari kumpulan bermacam ilmu silat dan baginya tidak ada pilihan apakah ilmu silat itu kotor maupun bersih sifatnya, semua dipelajari sejak muda dan dari kumpulan ilmu-ilmu silat inilah dia menciptakan ilmu silatnya sendiri yang ganas dan lihai, yaitu dengan senjata kedua ujung lengan bajunya yang panjang. Mungkin karena kalah murni sumber ilmu kepandaiannya, maka setelah lewat dua ratus jurus, perlahan-lahan Siauw-ong-kwi mulai terdesak oleh sinar pedang Pek Gan Sian-su yang hebat itu. Terpaksa dia diam-diam harus mengakui bahwa Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut benar lihai sekali.
"Ha..ha..ha, Pek Gan Siansu, ilmu pedang Kun-lun benar-benar bukan omong kosong saja. Kulihat barisan pemberontak sudah menyerbu, terpaksa aku tidak suka melayanimu lebih lama lagi. Nanti saja di pertemuan mendatang kita lanjutkan untuk menentukan siapa sebenarnya Raja Pedang!"
"Siauw-ong-kwi, kau terlalu memuji. Kepandaianmu juga pinto lihat banyak lebih lihai daripada dulu. Dalam pertemuan di Thai-san nanti kiranya pinto takkan kuat menghadapimu." Ucapan kakek Kun-lun-pai ini memang dengan sejujurnya. Tadi dia dapat menindih lawannya dengan ilmu pedangnya yang lebih murni dan lebih kuat, akan tetapi dalam hal tenaga dan keuletan, kalau pertempuran dilanjutkan, dia pasti akan kalah oleh Siauw-ong-kwi yang belasan tahun Jebih muda itu.
Siauw-ong-kwi lalu melesat ke arah muridnya. Giam Kin yang pada saat itu sudah terdesak hebat oleh Bun Lim Kwi yang dibantu oleh Thio Bwee. Sekali kebutkan ujung lengan bajunya, Siauw-ong-kwi telah membuat pedang Lim Kwi dan Thio Bwee terpental ke belakang, malah Thio Bwee terhuyung beberapa tindak sedangkan Lim Kwi yang lebih tinggi ilmunya hanya tergetar tangannya. Namun sudah cukup untuk memberi kesempatan kepada Giam Kin untuk meloncat ke belakang dan menyusul gurunya lari pergi.
Hek-hwa Kui-bo masih mengejar-ngejar Beng San dengan Ilmu Pedang Im sin-kiam.
Makin penasaran hatinya karena belum juga ia dapat merobohkan pemuda" ini.
Sebetulnya, jangankan merobohkan, ujung pedangnya malah belum pernah mencium ujung baju pemuda itu yang dengan gesit melompat ke sana ke mari dengan gerakan tidak karuan seperti orang ketakutan, namun setiap lompatannya merupakan kelitan yang amat sempurna dan tepat untuk menghindari serangan-serangan jurus Im-sin Kiam hoat. Orang-orang yang berada di situ tadinya sedang sibuk menghadapi lawan masing-masing, maka tidak ada yang menarik perhatian akan kedatangannya Beng San. Sekarang mereka mendapat kesempatan menonton, mereka heran dan juga khawatir menyaksikan pemuda itu dikejar-kejar Hek-hwa Kui-bo.
Pek Gan Siansu adalah seorang tokoh besar yang tajam penglihatannya. Melihat keadaan Beng San, sama sekali dia tidak ragu-ragu lagi bahwa tentu pemuda aneh ini memiliki kepandaian hebat, akan tetapi karena dia pun maklum akan keganasan Hekhwa Kui-bo, maka dia segera berkata, "Ha..ha..ha, sungguh lucu sekali. Hek-hwa Kui-bo dengan pedangnya mengejar-ngejar seorang pemuda. Memalukan betul!"
Karena Hek-hwa Kui-bo sendiri maklum bahwa pemuda itu adalah seorang ahli waris Im-yang Sin-kiam, sekarang melihat pertempuran sudah berhenti dan para serdadu sudah lari cerai-berai, apa-lagi Siauw-ong-kwi sudah pergi juga, ia merasa tidak ada harapan kalau harus mengamuk seorang diri. "Bocah, kalau memang kau ada kepandaian, kelak di Thai-san kita bertemu pula!" katanya gemas dan sekali berkelebat, nenek itu sudah pergi menyusul muridnya dan yang lain-lain, yang sudah lari lebih dahulu.
Hebat sekali akibat pertempuran itu. Banyak sekali, lebih dari empat puluh orang tosu Hoa-san-pai, menggeletak mati atau terluka. Juga ada beberapa belas orang Pek-lian-pai terluka dan serdadu-serdadu itu meninggalkan mayat dan teman-teman terluka sebanyak tujuh puluh orang lebih. Di tempat itu penuh dengan mayat dan orang-orang terluka, darah mewarnai rumput dan tanah, mengerikan sekali. Lian Bu Tojin masih duduk bersila meramkan mata, terluka hebat dan juga mendapat guncangan batin yang berat. Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa tidak kelihatan, sudah lari turun gunung. Kwa Hong, Thio Ki, dan Kui Lok telah tertawan, dibawa lari oleh musuh. Tinggal Thio Bwee yang sekarang berlutut di depan kakek Hoa-san-pai ini sambil menangis. Hari itu benar-benar mengalami pukulan hebat, pukulan dari luar dan dari dalam. Bun Lim Kwi berdiri di dekat gurunya, menundukkan muka ikut berduka. Pek Gan Siansu mengelus-elus jenggot dan memandang kepada Beng San yang juga berdiri bingung karena tidak tahu ke mana perginya para murid Hoa-san-pai yang lain.
"Adik Beng San.....!" Seruan ini adalah suara Tan Hok yang datang berlari-lari. Beng San juga girang dan dua orang ini saling berpelukan.
"Syukur kau dan teman-temanmu keburu datang, Tan-twako, kalau tidak....."
Tan Hok memandang ke arah tubuh-tubuh yang malang melintang di tanah itu, menarik napas panjang."Anjing-anjing Mongol itu benar-benar keji dan sayang sekali tidak dari dulu-dulu Hoa-san-pai ikut berjuang. Lebih sayang lagi semua ini gara-gara murid Kun-lun-pai yang roboh di bawah pengaruh kecantikan wanita....." la menuding ke arah mayat Kwee Sin.
"Jangan "kau bicara sembarangari!" Thio Bwee tiba-tiba meioncat dan memandang Tan Hok dengan marah. "Apa kaukira kau dan orang-orang Pek-lian-pai saja yang patriotik dan gagah" Paman Kwee Sin biarpun kelihatan bersalah, akan tetapi sebetulnya semua itu dia lakukan demi menjalankan tugasnya sebagai seorang pejuang. Dia adalah pe-mimpin di kota raja, terkenal dengan sebutan Si-enghiong....."
"Apa.....?"" Tan Hok membelalakkan matanya. "Dia..... dia itu Si-enghiong" Si-enghiong dan Ji-enghiong adalah orang-orang yang memimpin gerakan kami di sana..... orang-orang kepercayaan Ciu-taihiap! Betulkah ini.....?"
Pek Gan Siansu berkata, "Siancai..... siancai....." ia menarik napas panjang. "Sungguh bangga hati tua ini mendengar bahwa Kwee Sin ternyata adalah seorang pejuang besar. Bangga dan sedih serta malu bahwa dia telah begitu buta sehingga tidak dapat mengenal murid sendiri! Ah, Kwee Sin..... Kwee Sin..... tidak berharga pinto menjadi gurumu....."
Tiba-tiba Thio Bwee berseru "Eh, mana dia" Mana dia Ji-enghiong.....?"
Tan Hok makin kaget. "Apa" Ji-enghiong juga di sini" Mana dia?" Semua orang mencari-cari dan mengingat-ingat, akan tetapi mereka tadi tidak melihat lagi adanya nona Lee Giok atau yang disebut Ji-enghiong oleh Kim-thouw Thian-li.
"Betulkah Ji-enghiong tadi di sini" Siapakah dia?" tanya lagi Tan Hok terheran-heran, sedangkan Beng San juga tertegun mendengar terbukanya rahasia ini, ingin benar dia mendengar keterangannya pula.
Lian Bu Tojin berdiri perlahan, lalu memandang Tan Hok dan teman-temannya yang berdiri di belakangnya. Melihat tadi Beng San berpelukan dengan Tan Hok, ketua Hoa-san-pai ini bertanya, "Beng San, siapakah tuan ini?"
Beng San menjura. "Totiang, dia ini adalah teman teecu yang gagah perkasa.
Namanya Tan Hok dan dialah pemimpin pasukan gerilya Pek-lian-pai yang patriotik."
Lian Bu Tojin mengangguk-angguk, "Ah, kiranya. Tan-enghiong. Terima kasih atas bantuanmu. Agaknya Tan-enghiong mengenal dua orang pemimpin di kota raja yang disebut Ji-enghiong dan Si enghiong."
"Tentu saja mengenal, Totiang. Hanya" mengenal nama, akan tetapi dua orang tokoh itu adalah termasuk atasan saya, Kiranya Si-enghiong adalah murid Kun lun-pai, sungguh menggembirakan sekali dan sekaligus pandangan kami berubah terhadap Kun-lun-pai. Akan tetapi.... siapakah yang mengatakan bahwa dia adalah Si-enghiong?"
"Tak dapat diragukan lagi, pasukan pemerintah tadi menyerbu ke sini justru untuk menangkap Ji-enghiong dan Si-enghiong. Si-enghiong adalah.... murid Pek Gan Siansu, Kwee Sin. Adapun Ji-enghiong, menurut pengakuan tadi adalah seorang nona muda bernama Lee Giok yang sekarang entah pergi ke mana karena agaknya tadi menghilang ketika terjadi pertempuran.
Mendengar ini, Tan Hok segera bersama teman-temannya dengan penuh penghormatan mengangkat jenazah Kwee Sin lalu merawat dan mengurusnya penuh penghormatan sebagaimana layaknya seorang pemimpin. Juga para tosu Hoa-San-pai mengurus mayat-mayat dan orang-orang yang terluka. Dalam hal ini, Lian Bu Tojin membuktikan keluhuran pribudinya dengan memerintahkan anak muridnya untuk mengurus juga mayat-mayat serdadu Mongol, bahkan mengobati mereka yang luka dan membiarkan mereka pergi dengan aman.
Beng San yang tidak melihat murid-murid Hoa-san-pai, mengajukan pertanyaan kepada Thio Bwee, "Adik Bwee, kenapa aku tidak melihat Hong-moi dan dua orang saudaramu Thio Ki dan Kui Lok" Dan ke mana pula perginya Kwa-lo-enghiong dan bibi gurumu?" Ditanya begini, tiba-tiba Thio Bwee menangis lagi dan tidak dapat menjawab.
Lian Bu Tojin yang menjawab, "Beng San, hari ini Hoa-san-pai mengalami kehancuran. Kwa Hong, Thio Ki, dan Kui Lok tertawan musuh dan ditangkap.
Adapun Kwa Sin Tiong dan Sian Hwa, eh, mereka juga lari dalam kekacauan tadi."
Mendengar ini, berubah muka Beng San. "Hong-moi tertawan musuh" Juga saudara Thio Ki dan Kui Lok" Ah, celaka biar kuusahakan pertolongan....." Beng San lari turun dari puncak.
"Lim Kwi, kaubantulah dia!" bisik Pek Gan Siansu.
"Saudara Beng San, tunggu! Tubuh Lim Kwi melesat mengejar Beng San. Juga Tan Hok meloncat dan mengejar. "Adik Beng San, tunggu dulu.....!"
Akan tetapi aneh sekali, biarpun Beng San kelihatannya hanya lari biasa saja sedangkan dua orang yang mengejarnya ini meloncat dan menggunakan ilmu lari cepat, sebentar saja tubuh Beng San sudah lenyap dan tidak mereka ketahui ke mana arah larinya. Terpaksa Tan Hok dan Lim Kwi kembali ke puncak.
"Lian Bu totiang," kata Tan Hok dengan suara menghibur orang tua yang kelihatan berduka itu. "Harap Totiang jangan khawatir. Adik Beng San bukanlah orang biasa, tentu dia akan berusaha sekuat tenaga untuk menolong murid-murid Hoa-san-pai yang tertawan itu.
Andaikata dia tak berhasil, percayalah, saya akan mengerahkan teman-teman untuk pergi menolong mereka. Sekarang sudah jelas bahwa murid Kun-lun-pai telah menjadi pemimpin pejuang, yaitu mendiang Kwee-enghiong. Dan sekarang Hoa-sanpai telah dimusuhi penjajah, maka tidak ada jalan lain kecuali melanjutkan cita-cita Kwee-enghiong. Alangkah baiknya kalau mulai sekarang Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai membantu perjuangan rakyat."
Mendengar ucapan pemimpin gerilya Pek-lian-pai yang gagah bersemangat ini, Lian Bu Tojin dan Pek Gan Siansu sa-Jing pandang. Lian Bu Tojin menarik napas panjang dan berkata.
"Sebetulnya, semenjak rakyat memberontak terhadap penindasan pemerintah penjajah, kami semua anggota Hoa-san-pai sudah merasa simpati dan bahkan pinto sendiri sudah memberi perintah kepada para anak murid supaya membantu perjuangan. Siapa kira pinto kena diakali oleh Pangeran Souw Kian Bi yang secara pengecut dahulu telah menculik dua orang cucu muridku. Akan tetapi, dengan adanya penyerbuan hari ini, jelas bahwa mereka memusuhi kami dan kami sekarang akan mengerahkan semua tenaga untuk membantu perjuangan mengusir penjajah-penjajah Mongol dari tanah air."
"Bagus, Lian Bu toyu!" seru Pek Gan Siansu girang. "Aku sendiri harus menebus kesalahan dan kebodohanku karena tidak dapat mengenal Kwee Sin, mulai sekarang Kun-lun-pai juga akan menggabungkan diri dengan para pejuang.
Bukan main girangnya hati Tan Hok mendengar ini. Segera dia menjura dengan hormat lalu menceritakan keadaan perjuangan, sampai di mana kemajuan gerakan barisan rakyat dan bagian mana yang kiranya membutuhkan bantuan dari dua partai persilatan itu.
* * * Dengan melakukan perjalanan cepat dan tak mengenal lelah Beng San mengejar barisan pemerintah yang telah menawan Kwa Hong, Thio Ki dan Kui Lok. Akan tetapi biarpun dia sudah berhasil menyusul barisan yang sisanya tinggal beberapa puluh orang saja itu, dia tidak melihat adanya tiga orang muda murid Hoa-san-pai yang tertawan. Ia menjadi heran dan juga curiga di samping merasa gelisah sekali kalau mengingat akan nasib mereka, apalagi kalau dia memikirkan Kwa Hong.
Malam hari itu dia terus berlari cepat, akan tetapi belum juga dia dapat menyusul mereka yang membawa tawanan-tawanan itu. la menduga bahwa tentu Hek-hwa Kui-bo dan muridnya yang melarikan tawanan-tawanan itu, maka dapat demikian cepat larinya. Untuk melenyapkan keraguannya, dia menangkap seorang serdadu yang sedang berjaian bertiga dengan temannya sambil menggotong seorang teman yang luka. Serdadu-serdadu itu terheran-heran dan ketakutan ketika dalam keadaan gelap itu berkelebat bayangan hitam dan tahutahu seorang telah lenyap tak berbekas dan tak meninggalkan suara apa-apa!
"Am..... ampunkan hamba....." Serdadu itu meratap-ratap ketika dia merasa betapa tubuhnya dibawa melompat tinggi dan diletakkan di atas ranting-ranting pohon yang tingginya bukan main dan bergoyang-goyang hampir tak kuat menahan tubuhnya. la mengira bahwa tentu dia diculik oleh iblis karena semenjak tadi penculiknya tidak bicara, juga tidak kelihatan mukanya karena selain gelap, juga dia sudah tidak mampu menggerakkan kepala untuk menengok dan melihat wajah orang yang mengempitnya.
"Hemmm, kau masih ingin hidup" Kau sudah membantu orang-orang berdosa, menculik tiga orang muda dari Hoa-san-pai, sekarang kau hendak kutinggalkan di sini biar jatuh dan mampus! Ha..ha..ha!" Beng San mengerahkan Iweekangnya membuat suaranya terdengar besar menyeramkan dan menusuk telinga.
"Ampunkan hamba..... hamba hanyalah tentara biasa, hanya mentaati perintah.
"Hayo katakan, siapa yang membawa pergi tiga orang muda itu" Cepat mengaku, kalau tidak akan kucabut nyawamu sedikit demi sedikit!"
Orang itu makin percaya bahwa yang mengganggunya ini tentu iblis, karena sekarang suara itu terdengar tinggi melengking, jauh bedanya dari tadi, dan terdengar suara tidak kelihatan orangnya pula.
"Mereka..... mereka dibawa oleh Giam kongcu dan rombongannya....."
"Ke mana?" "Ke markas besar di Tiang-bun-kwi...,".
"Di mana letaknya Tiang-bun-kwi?"
Saking takutnya serdadu itu sampai tidak dapat memikirkan bahwa kalau yang bertanya iblis kiranya akan tahu pula ke mana tawanan-tawanan itu dibawa pergi.
Akan tetapi dia sudah terlampau takut sehingga tak dapat mempergunakan pikiran sehat pula.
"Di sebelah barat kota raja...." la menahan jeritnya karena merasa tubuhnya terjatuh ke bawah. la tidak tahu bahwa Beng San menariknya dan membawanya turun. Tahutahu dia pada keesokan harinya siuman dari pingsannya dan berada di bawah sebatang pohon besar lagi tinggi. Tentu saja dia makin percaya bahwa semalam dia diganggu setan maka dia lari secepat mungkin dari tempat itu!
Sementara itu, Beng San menjadi girang setelah mendengar bahwa tiga orang tawanan itu dibawa oleh rombong-n Giam Kin ke Tiang-bun-kwi. Segera dia melakukan pengejaran di malam hari itu juga. Perjalanan jauh itu tak membuat dia lemah semangat, dia hanya berhenti mengaso kalau lapar perutnya tak dapat dipertahankan lagi dan hanya berhenti mengaso sejenak untuk melemaskan urat-urat kakinya. Pada keesokan harinya, menjelang malam tibalah dia di Tiang-bun-kwi.
Beng San kaget dan khawatir sekah ketika melihat keadaan Tiang-bun-kwi. Dusun di luar kota raja ini ternyata merupakan markas besar yang amat kuat, menjadi pusat penjagaan kota raja sebetah barat. Dalam penyelidikannya dia mendengar bahwa di situ berkumpul sedikitnya sepuluh ribu orang serdadu pemerintah yang setiap hari berpatroli melakukan penjagaan untuk mencegah penyerbuan lawan dari sebelah barat. Dan Kwa Hong bersama dua orang suhengnya dibawa ke markas yang kuat ini!
Betapapun hebatnya berita yang dia dengar tentang Tiang-bun-kwi, Beng San tidak takut. Untuk menolong tiga orang itu, terutama sekali Kwa Hong, dia rela berkorban nyawa. Setelah hari menjadi gelap, dia berhasil menyusup ke dalam benteng besar dan bersembunyi di balik wuwungan yang tinggi dan gelap. la mendengar ribut-ribut dan melihat banyak tentara hilir-mudik dan sibuk sekali, seperti terjadi sesuatu yang penting. Lalu disusul suara terompet dan tambur. Lapat-lapat terdengar oleh Beng San suara mereka menyatakan bahwa ada tamu agung datang mengunjungi benteng itu.
Terdengar kaki kuda dari luar dan..... berdebar jantung Beng San ketika melihat bahwa yang datang adalah Tan Beng Kui bersama Pangeran Souw Kian Bi, didahului pengawal membawa bendera kebesaran dan diiringkan pengawal bersenjata lengkap.
Beberapa orang perwira yang dipimpin komandan benteng itu sendiri menyambut kedatangan Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui. Melihat cara mereka memberi hormat kepada dua orang pendatang ini dapat diketahui bahwa di samping Souw Kian Bi yang kedudukannya sebagai Pangeran Mongol, juga Tan Beng Kui mempunyai kedudukan tinggs dan penting. Sakit hati Beng San melihat kakak kandungnya itu dihormati sebagai seorang pembesar pemerintah Mongol yang dalam pandangan matanya malah sebaliknya, yaitu sebagai antek atau anjing pemerintah penjajah.
Melihat betapa rombongan itu memasuki ruangan setelah turun dari kuda, Beng San dengan hati-hati lalu melompat ke atas genteng di depan. Setelah mencari-cari dengan teliti dari atas, akhirnya dia tahu bahwa rombongan itu duduk dalam sebuah ruangan yang lebar dan amat terang. la membongkar genteng dan akhirnya, dapat juga pemuda itu mengintai ke bawah dengan hati-hati. Dilihatnya banyak orang di ruangan yang luas itu dan kaget juga dia melihat bahwa Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-ong-kwi juga berada di ruangan yang luas itu. Tidak ketinggalan Kim-thouw Thian-li dan Giam Kin yang agaknya sekarang rapat hubungannya dengan ketua Ngo-lian-kauw itu, buktinya mereka duduk berdekatan dan Giam Kin sering kali tersenyum-senyum kepada ketua Ngo-lian-kauw yang masih cantik itu. Beberapa orang perwira duduk pula di situ dan sekeliling ruangan terjaga oleh tentara yang memegang tombak.
"Saya menghaturkan banyak terima kasih kepada Ji-wi Locianpwe yanglah membantu penumpasan para pemberontak sehingga berhasil dengan terbunuhnya Kwee Sin yang ternyata adalah Si-enghiong pemimpin pemberontak. Jasa Ji-wi dan para saudara tentu akan saya catat untuk diberi pahala," kata Pangeran Souw Kian Bi.
"Sayang sekali, Ji-enghiong yang ternyata adalah nona Lee Giok itu tak dapat tertangkap atau terbunuh," kata Beng Kui mencela.
"Perempuan hina itu diam-diam telah lari tanpa diketahui orang selagi pertempuran hebat terjadi. Kalau tidak demikian, mana dia mampu terlepas dari tanganku?" Hekhwa Kui-bo mendengus.
Siauw-ong-kwi tertawa bergelak. Kui bo, kau sendiri ketika itu repot menghadapi seorang pemuda sastrawan gila, mana kau ada kesempatan menangkap gadis yang diam-diam menjadi pemimpin pemberontak itu" Ha..ha..ha!"
"Iblis tua bangka, jangan sombong kau. Menghadapi seorang pemuda gila, mana aku sudi turun tangan" Sebaliknya, kau hampir tak sempat bernapas menahan pedang ketua Kun-lun-pai!" balas Hek-hwa Kui-bo marah.
"Sudahlah, hal yang sudah terjadi tak perlu diributkan pula," kata Tan Beng Kui, suaranya tegas. "Biarpun dia sebagai Ji-enghiong amat merugikan kita, setelah dia lari pergi, apa artinya seorang musuh seperti nona muda itu" Pula, kita dapat sekarang mengerahkan pasukan pergi menangkap orang tuanya. Dengan menahan orang tuanya, apakah nona itu akhirnya takkan menyerahkan diri?"
Pangeran Souw Kian Bi menggebrak meja dengan marah, mengagetkan semua orang.
"Keparat betul! Siapa kira di kota raja sudah berkeliaran mata-mata pemberontak demikian banyaknya. Tan-ciang-kun, aku belum memberitahukan kepadamu. Setelah timbul dugaanku bahwa Lee Giok adalah Ji-enghiong, aku segera menyuruh orang-orangku pergi menangkap orang tua she Lee itu, akan tetapi ternyata rumahnya telah kosong. Dia sekeluarga telah lari minggat dari kota raja pada malam hari itu juga."
Tan Beng Kui mengeluarkan seruan kaget. "Aihhh, kiranya begitu" Celaka betul, kalau begitu tentu ada kaki tangan pemberontak di kota raja yang telah memberitahukan lebih dahulu kepada mereka.
"Segala usaha kita digagalkan!" Pangeran Souw Kian Bi mengerutkan kening dan suaranya penuh penyesalan. "Penyerbuan ke Hoa-san-pai mengorbankan banyak serdadu dan mengakibatkan permusuhan baru dengan pihak Hoa-san dan Kun-lun. Ini benar-benar tak baik sekali, Apalagi kalau dilihat hasilnya hanya dapat menawan tiga orang anak murid Hoa-san-pai yang tidak berarti."
"Selain tiga orang muda itu, kami masih menawan dua orang anggota Pek-lian-pai,"
kata komandan yang memimpin pasukan Mongol tadi, nada suaranya mengandung penonjolan jasa.
"Huh! Apa artinya dua orang anjihg Pek-lian-pai" Hayo gusur mereka semua ke sini!
Adili mereka sekarang juga, aku sendiri hendak memeriksanya!" seru Pangeran Mongol yang mengepalai usaha pembasmian para pemberontak itu dengar suara marah. Semua orang yang berada disitu, kecuali Hek-hwa Kui-bo dan Siauw ong-kwi bersama murid-murid mereka yang tinggal tenang-tenang saja, menjadi gugup juga melihat kemarahan pangeran yang berpengaruh tni. Aba-aba dikeluarkan dan beberapa orang serdadu pergi dari situ dengan sigapnya untuk menggusur para tawanan.
Yang mula-mula sekali diseret ke ruangan itu adalah seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh kurus kecil bermata tajam. Wajahnya yang terluka parah. Kedua lengannya dibelenggu di belakang tubuhnya dan dia didorong-dorong masuk oleh empat orang serdadu.
"Berlutut kau!" Seorang serdadu mendorongnya sambil menekan tengkuknya untuk memaksa dia berlutut di depan Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui beserta para perwira yang duduk di situ. Orang itu terhuyung-huyung hampir roboh, akan tetapi dia dapat menguasai dirinya sehingga tidak sampai jatuh, lalu berdiri tegak menghadapi pangeran itu dan teman-temannya. Matanya terbuka lebar memandang penuh kebencian, tubuhnya yang kecil kurus tegak lurus, dadanya terangkat dibusungkan, sedikit pun tidak kelihatan takut-takut atau menghormat.
"Paksa jahanam ini supaya berlutut!" Tan Beng Kui membentak. Dua orang tentara melangkah maju dan mulailah mereka memukul dan menekan untuk memaksa orang itu berlutut. Akan tetapi semua usaha mereka sia-sia belaka. Sampai orang itu roboh karena tidak tahan akan pukulan-pukulan, tetap saja dia tidak mau berlutut!
"Ha..ha..ha, biarkan dia begitu," Pangeran Souw Kian Bi tertawa kagum. "Kau benar-benar gagah perkasa. Siapa kah namamu?"
Sambil menggigit bibir menahan sakit, orang itu yang sudah dapat bangkit dan kini duduk di atas lantai karena tidak kuat berdiri lagi, menjawab dengan suara kasar dan tegas.
"Aku Gouw Bun anggota pimpinan regu Pek-lian-pai. Sekarang sudah tertawan, mau bunuh boleh bunuh!"
Kembali Pangeran Souw Kian Bu tertawa. "Orang she Gouw, kau benar-benar gagah dan patut menjadi prajurit. Usiamu paling banyak empat puluh tahun tentu kau meninggalkan keluargamu. Apakah. kau tidak ingin hidup dan mendapat kedudukan mulia dan mewah" Ingat aku, dapat mengampunimu dan malah mengangkatmu menjadi perwira kalau suka memberi keterangan tentang dua orang yang kalian sebut Si-enghiong dan J1-enghiong."
"Huh, kaukira kami orang-orang Pek-lian-pai dapat disamakan dengan orang-orang Han yang sudah suka menjadi anjing-anjing penjilat pantat penjajah Mongol" Kami adalah laki-laki sejati, sudah berani berjuang demi tanah air dan bangsa tidak takut mati, Kau tentu Pangeran Souw Kian Bi, Pangeran Mongol yang sudah tersohor menentang perjuangan kami. Sekarang aku Gouw Bun sudah kautawan, boleh bunuh.
Ingat saja, dan antek-antek serta anjing-anjingmu, perjuangan rakyat akhirnya pasti menang dan manusia-manusia macam kalian akhirnya tentu akan terbasmi!"
Bukan main marahnya Souw Kian Bi. wajahnya yang tampan menjadi merah.
"Bawa dia keluar, robek jadi empat dengan empat ekor kuda!" perintahnya kepada para penjaga. Beng San yang mendengarkan di atas genteng merasa ngeri dan timbul keinginan hatinya untuk menolong. la sudah mendengar tentang cara-cara menghukum yang amat keji dari pangeran ini, di antaranya hukuman robek menjadi empat potong.
Hukuman ini dilakukan dengan cara mengikat dua lengan dan dua kaki orang itu pada empat ekor kuda yang kemudian dicambuk supaya lari ke arah empat jurusan.
Dengan cara seperti ini, tubuh orang akan robek menjadi empat potong yang ditarik ke empat jurusan oleh kuda-kuda kuat itu. Bagaimana dia dapat membiarkan hal ini terjadi pada diri seorang patriot yang gagah perkasa" Harus kutolong dia, pikir Beng San dengan hati berdebar. la maklum bahwa untuk menolong orang itu. sama sekali tidak sukar, akan tetapi untuk berhasil meloloskan diri dari tempat berbahaya itu masih amat menyangsikan, apalagi kalau orang-orang sakti di dalam itu keluar semua dan menghalanginya.
Tiba-tiba dia melihat cahaya berkelebat dalam ruangan itu. Tubuh Gouw Bun yang tadinya diseret-seret oleh para penjaga itu roboh tak berkutik lagi dengan dada kiri tertembus pedang, sedangkan Tan Beng Kui nampak memasukan lagi pedangnya yang sedikit pun tidak bernoda darah, lalu dia duduk kembali dengan tenang. Beng San bengong. Bukan main hebatnya gerakan kakak kandungnya itu. Mencabut pedang langsung menyerang dan tepat menusuk ke arah jantung dilakukan demikian cepat dan tepatnya sehingga dia sendiri sampai silau matanya memandang, apalagi melihat betapa pedang itu sama sekali tidak bernoda darah, benar-benar merupakan gerakan ilmu pedang yang luar biasa lihainya.
"Hebat..... hebat..... itulah ilmu pedang yang hebat!" terdengar Siauw-ong-kwi memuji.
"Mirip gerak tipu ilmu pedangku! Hem..... Tan-ciangkun, siapa yang mengajarkan gerakan itu kepadamu?" kata Hek-hwa Kui-bo. Diam-diam Beng San juga merasa heran oleh karena dia tadi pun merasa betapa gerakan ilmu pedang tadi mempunyai persamaan, setidaknya sama dasarnya dengan ilmu pedangnya, Im-yang Sin-kiam-Sut.
"Ah, ilmu pedang pungutan dari jalanan, mana ada harganya mendapat perhatian Locianpwe?" jawab Tan Beng Kui merendah kepada Hek-hwa Kui-bo. Nenek ini masih penasaran dan hendak bertanya lagi akan tetapi ia didahului Pangeran Souw Kian Bi yang bertanya dengan suara tak senang.
"Tan-ciangkun, kenapa kau membunuhnya" Apa kau tidak suka mendengar dia kujatuhi hukuman tadi?"
Tan Beng Kui tersenyum dan menjuru kepada Souw Kian Bi. "Harap Taijin maafkan kepadaku. Aku tadi tak kuat menahan kemarahan menyaksikan kesombongan sikap setan pemberontak itu, maka telah berani turun tangan sendiri untuk melampiaskan kemarahan. Baru puas hatiku kalau sudah membunuhnya dengan tangan sendiri."
Souw Kian Bi tersenyum juga. "Kau agaknya luar biasa bencimu kepada orang Pek-lian-pai. Ha..ha..ha....." Lalu kepada para penjaga pangeran ini memberi perintah supaya membawa pergi mayat itu dan menyeret masuk orang kedua.
Hati Beng San panas dan perih. Ia merasa kecewa sekali melihat kenyataan betapa kakak kandungnya memusuhi para pejuang yang dianggapnya pemberontak, Melihat kakak kandungnya sendiri dengar ganas membunuh seorang Pek-lian-pai yang demikian gagah perkasa dan patriotik, sungguh membuat Beng San merasa penasaran, kecewa dan marah. Kalau kau tak dapat mengubah pendirian, agaknya aku sendiri akan memusuhimu, pikirnya sambil memandang kepada kakak kandungnya yang sudah duduk di sebelah Souw Kian Bi melihat orang kedua yang sudah diseret masuk.
Orang ini masih muda, belum tiga puluh tahun usianya, tubuhnya besar dan kuat, mukanya gagah. Dilihat tubuh dan mukanya, benar-benar jauh bedanya dengan orang pertama tadi. Akan tetapi alangkah jauh pula bedanya sikap orang ini dengan yang tadi. Begitu diseret masuk, orang ini sudah mengeluh dan tanpa diperintah lagi dia menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Souw Kian Bi. Melihat sikap ini saja sudah muak perut Beng San.
"Siapa namamu dan apa yang hendak kaukatakan setelah kau tertawan?" tanya Pangeran Souw Kian Bi, agaknya gembira melihat sikap tawanan ini.
"Hamba Bhe Ti Gi, hamba..... hamba mohon pengampunan Taijin..... hamba adalah seorang bekas pedagang di Kwi-bin, hamba..... hamba hanya ikut-ikutan saja di Pek-lian-pai, bukan apa-apa..... hamba mohon ampun....." Orang itu lalu menangis ketakutan.
"Pengecut hina!" Beng San memaki dalam hatinya dan ingin sekali dia menampar muka orang itu. Akan tetapi Souw Kian Bi tertawa bergelak lalu bertanya, suaranya halus.
"Bhe Ti Gi, gampang memberi ampun. Akan tetapi kau harus memberi keterangan tentang dua orang pemimpinmu di kota raja, yaitu Ji-enghiong dan Si-enghiong. Apa yang kauketahui tentang mereka"
Dengan muka berseri penuh harapan orang itu mengangkat muka dan berkata.
"Tentu saja hamba tahu tentang diri mereka itu, Taijin! Akan tetapi, sesudah hamba memberi keterangan, betulkah hamba akan diampuni dan dibebaskan?"
"Sraaattt!" Sinar pedang menyilaukan mata ketika Beng Kui mencabut pedangnya dan membentak, "Bedebah kau! Keparat berlidah ular! Tak usah kau memutar-mutar omongan, kalau tahu tentang mereka berdua, lekas ceritakan. Soal pengampunan tak perlu disebut-sebut!" Pedangnya tergetar di tangannya membuat tawanan itu menjadi pucat sekali.
Hemmm, Benar-benar dia benci kepada para pejuang, pikir Beng San. Akan tetapi kali ini tidak panas hatinya karena memang dia pun benci kepada Bhe Ti Gi yang berwatak khianat dan pengecut itu.
"Am..... ampun....." Bhe Ti Gi gemetar seluruh tubuhnya, "hamba..... hamba tahu tentang Ji-enghiong dan Si-enghiong ..... memang semenjak bertahun-tahun nnereka itu terkenal sebagai pemimpin-pemimpin rahasia di kota raja. Banyak mereka memberi tahu kepada kami tentang keadaan pertahanan pasukan pemerintah. Tapi tak seorang pun di antara kami semua tahu bahwa Si-enghiong adalah Kwee Sin murid Kun-lun-pai sedangkan i-enghiong adalah nona yang bernama Lee Giok itu....."
"Nah, berterus terang lebih baik," kata Tan Beng Kui sambil menyimpan pedangnya lagi.
"Katakan sekarang kemana larinya nona Lee Giok atau Ji-enghiong itu, jawab dan jangan membohong!"
"Hamba..... hamba mana tahu.....?" Hamba hanya anggota biasa..... hamba tidak tahu dan mohon ampun....."
"Hemmm, tikus macam ini untuk apa dilayani lagi, Taijin" Tak patut diberi ampun, lebih baik dihukum mampus agar semua anggota Pek-lian-pai yang mendengar menjadi ketakutan," kata pula Tan Beng Kui dengan suara kejam.
Souw Kian Bi tertawa lalu memberi perintah kepada para penjaga.
"Beri hadiah seratus kali rangketan!"
Bhe Ti Gi mengeluh dan memohon ampun, akan tetapi dengan kasar para penjaga lalu memaksa dia menelungkup, kemudian terdengar suara gebukan berkali-kali diseling Jerit kesakitan tawanan itu.
"Goblok! Kenapa memukul seperti orang kelaparan tak bertenaga lagi" Pukul yang keras, pada punggungnya!" bentak Tan Beng Kui.
Kasihan juga Bhe Ti Gi. Pukulan tadi saja kalau dilanjutkan sampai seratus kali, tentu dia takkan tahan. Sekarang karena teguran Tan Beng Kui, algojo yang melakukan hukuman ini memperkeras pukulannya sehingga dia menjerit-jerit seperti babi disembelih diiringi suara ketawa para perwira dan serdaduu. Baru empat puluh kali saja tulang punggungnya sudah patah-patah dan dia berkelojotan lalu tak berkutik lagi. Souw Kian Bi memberi perintah supaya mayat kedua ini pun disingkirkan dari situ, kemudian menyuruh para penjaga dengan suara keras.
"Bawa masuk tiga orang murid Hoa-san-pai1"
Berdebar jantung Beng San mendengar perintah ini. Tadi melihat. penyiksaan terhadap diri Bhe Ti Gi, timbul juga perasaan kasihan dihatinya, namun ditahan-tahankannya karena dia maklum bahwa menolong Bhe Ti Gi berarti mendatangkan bahaya besar bagi dirinya sendiri. Sedangkan tujuan kedatangannya ke tempat itu adalah untuk menolong murid-murid Hoa-san-pai terutama Kwa Hong, maka dia menahan sabar memalingkan muka tidak mau memandang penyiksaan itu. Sekarang mendengar bahwa murid-murid Hoa-san-pai hendak dibawa masuk, dia memandang penuh perhatian dan bersiap-siap menolong. la telah memperhitungkan bahwa kiranya di tempat seperti ini tak mungkin baginya untuk menolong tiga orang itu sekaligus, maka dia mengambil keputusan untuk menolong Kwa Hong seorang lebih dahulu, baru kemudian merencanakan pertolongan Thio Ki dan Kui Lok.
Tiga orang muda itu, Kwa Hong, Thio Ki dan Kui Lok, digiring masuk ruangan.
Seperti juga yang lain-lain, mereka dibelenggu kedua tengan mereka ke belakang.
Akan tetapi tiga orang ini bersikap gagah, melangkah maju dengan kepala dikedikkan dan dada dibusungkan sedangkan sepasang mata mereka memandang tajam ke depan, penuh sikap menantang. Diam-diam Beng San kagum sekali melihat sikap tiga orang murid Hoa-san-pai ini. Dan jantungnya berdebar ketika dia melihat wajah Kwa Hong yang cantik jelita itu agak pucat, sepasang mata yang biasanya berseri dan bening itu kini berkilat-kilat penuh kemarahan. Kwa Hong, kau gagah dan cantik sekali, bisik hatinya dan keinginannya untuk menolong gadis ini makin menggelora, kalan perlu akan dia pertaruhkan nyawanya.
Agaknya karena maklum bahwa tiga orang muda ini bukanlah tergolong pemberontak dan terdiri dari orang-orang gagah perkasa, para penjaga tidak berlaku kasar seperti terhadap yang lain tadi. Mereka bertiga berdiri tegak di depan Souw Kian Bi dengan sikap angkuh dan berani.
"Ha..ha..ha, murid-murid Hoa-san-pai benar-benar sombong! Hemmm, hendak kulihat nanti kalau kalian sudah menggeletak tak berkepala tagi, apakah masih dapat bersikap sombong seperti sekararig ini," kata Pangeran Souw Kian Bi dengan suara mengejek untuk menyembunyikan perasaannya yang tersinggung oieh sikap tiga orang muda ini. "Dan hendak kulihat juga apakah tua bangka Lian Bu Tojin yang melanggar janjinya itu dapat menolong kalian. Ha..ha..ha!"
"Manusia berbatin rendah!" terdengar suara Kwa Hong memaki, suaranya nyaring sekali. "Siapakah yang takut akan mati" Anak murid Hoa-san-pai tidak takut matt dan kalau kau si hina hendak membunuh kami, silakan, silakan. Tak perlu kau menyebut-nyebut nama besar guru kami. Adalah kau yang berbuat hina, dahulu kau telah menculik aku dan suciku dan kaupergunakan itu untuk memaksa suhu berjanji untuk tidak membantu kaum pejuang. Akan tetapi, kiranya kau yang melanggar janji, kau datang membawa anjing-anjingmu menyerbu Hoa-san. Hemmm, mati sebagai orang gagah seribu kali lebih baik daripada hidup sebagai manusia rendah macam engkau!
Hampir saja Beng San bertepuk tangan memuji mendengar ucapan dan melihat sikap Kwa Hong yang gagah perkasa ini. Souw Kian Bi memukul meja di depannya sehingga terdengar suara Keras.
"Perempuan liar. Di sini kau masih hendak bersikap gagah-gagahan" Hermm, hukuman mati masih terlampau ringan bagimu setelah kau berani mengeluarkan ucapan kurang ajar tadi. Lihat nanti, aku akan membikin kau menjadi lebih hina daripada yang paling hina. Aku akan memberikan kau sebagai barang permainan sepasukan tentaraku yang paling rendah pangkatnya. Ha..ha..ha!" Suara ketawa Pangeran Souw Kian Bi menyeramkan sekali dan Beng San melihat betapa wajah Kwa Hong menjadi makin pucat dan tubuh gadis itu menggigil, akan tetapi tetap saja gadis itu rmemandang kepada pangeran ini dengan mata mendelik.
Beng San bergidik ketika mendengar ucapan pangeran itu dan melihat betapa serdadu-serdadu yang berdiri di barisan belakang tertawa-tawa dan saling berbisik dengan sikap kurang ajar sekali. Juga dia melihat Kui Lok dan Thio Ki menjadi pucat.


Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thio Ki menoleh ke arah Kwa Hong, lalu berkata.
"Sumoi, berkatalah sedikit halus, ingat bahwa kita telah berada di tangan musuh.
Biarlah aku menyerahkan nyawaku untuk keselamatanmu." Kemudian pemuda ini berkata kepada Souw Kian Bi, "Taijin, kami tiga orang murid Hoa-san-pai tidak gentar menghadapi hukuman mati. Akan tetapi, demi prikemanusiaan, jangan menjatuhkan hukuman yang demikian hina dan rendah kepada sumoiku. Kalian boleh menghukum aku, boleh mencincang hancur tubuhku, akan tetapi, bebaskanlah sumoiku ini. Biarlah badanku menjadi penggantinya."
Kui Lok cepat berkata, "Tidak! Akulah yang bersedia menggantikan hukuman Hong-moi. Taijin, aku cinta kepada Hong-moi, jangan ganggu dia, biarlah kaujatuhkan hukuman yang sehebat-hebatnya kepada diriku saja asal kaubebaskan Hong-moi!"
"Lok-te, tutup mulutmu! Hong-moi adalah tunanganku, calon isteriku. Kwa-supek sudah merencanakan untuk menjodohkan dia dengan aku. Maka sebagai tunangannya, akulah yang patut membelanya dengan pengorbanan jiwa
"Siapa bilang bertunangan" Hal itu belum resmi dan Hong-moi sendiri pun belum menerimanya. Dia tidak mencinta padamu, dan aku..... cintaku kepadanya lebih besar dan suci!"
Beng San menggeleng-geleng kepalanya. Tolol mereka berdua, pikirnya. Masa di dalam keadaan seperti itu mereka masih memperebutkan cinta kasih Kwa Hong" Juga Kwa Hong menjadi gemas sekali. "Ji-wi Suheng mengapa meributkan urusan itu"
Apa pun hukumannya, akhirnya orang mesti mati, Siapa takut mati?"
Sementara itu, kelihatan Tan Beng Kui berbisik-bisik kepada Pangeran Souw Kian Bi dan pangeran itu mengangguk-angguk dan tersenyum seperti iblis. Diam-diam Beng San mendongkol sekali. Celaka, pikirnya. Kakak kandungnya itu ternyata jahat dan berbisa melebihi ular, tentu sudah mengajukan usul yang amat keji untuk menghukum tiga orang murid Hoa-san-pai ini. Akan tetapi dia merasa belum waktunya turun tangan, hendak melihat perkembangannya terlebih jauh.
Souw Kian Bi sudah tertawa lagi, suara ketawanya licik, lalu dia berkata, "Seorang di antara kalian berani rela berkorban" tanyanya jelas ditujukan kepada Thio Ki dan Kui Lok.
"Aku rela berkorban nyawa untuk sumoi!" kata Thio Ki.
"Tidak, lebih baik aku saja. Aku akan mati seribu kali untuk menolong Hong-moi yang tercinta," kata Kui Lok.
Pangeran itu tertawa lagi. "Bagus, kalian ini orang-orang muda mabuk cinta. Kalau seorang di antara kalian mati, yang lain akan bebas dan pergi bersama nona ini menjadi suaminya. Nah, sekali lagi, siapa di antara katian mau mati dan mermberikan nona ini kepada yang lain?"
Wajah dua orang saudara itu seketika menjadi pucat, mulut mereka terbuka tapi tidak ada suara keluar. Sampai lama mereka diam saja dan hanya suara ketawa Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui yang terdengar. Diam-diam Beng San gemas sekali kepada dua orang muda murid Hoa-san-pai itu. Benar-benar tolol dan mau saja dijadikan bahan kelakar.
"Sekarang keputusanku begini," kata pula Souw Kian Bi setelah berkedip main mata kepada Tan Beng Kui. "Kalian berdua boleh bertanding dan nona ini akan kuberikan keoada pemenang pertandingan." Setelah berkata demikian, pangeran ini mencabut pedangnya dan dua kali tabas terbebaslah belenggu yang mengikat tangan kedua orang muda itu. "Ambilkan dua batang pedang," katanya lagi. Dua orang penjaga maju menyerahkan dua batang pedang kepada Thio Ki dan Kui Lok. Seperti orang dalam mimpi tanpa disadari lagi dua orang muda itu menerima pedang di tangan, sinar mata mereka penuh dendam dan nafsu membunuh!
"Thio-suheng dan Kui-suheng, apakah kalian telah gila?" teriak Kwa Hong dengan gemas sekali. "Setelah bersenjata tidak segera menghancurkan musuh, malah saling gempur sendiri. Mana kegagahan kalian?"
Dua orang muda itu nampak ragu-ragu mendengar ucapan gadis yang mereka cinta ini. Akan tetapi mereka jerih untuk menyerang musuh yang begitu banyaknya, pula, mereka dapat berbuat apakah dengan adanya lawan yang selain banyak juga sakti-sakti itu" Setelah Pangeran Mongol ini sekarang menjanjikan kebebasan dan diri Kwa Hong kepada pemenang, bukankah ini jalan satu-satunya untuk dapat bebas bagi mereka, setidak-tidaknya bagi dua orang di antara mereka"
"Sumoi, urusan dirimu di antara kami memang tak pernah akan beres tanpa ada keputusan terakhir. Salah seorang di antara kami harus mati lebih dulu agar yang hidup dapat memperoleh dirimu," kata Thio Ki dengan suara tegas. "Kui Lok, kau mulailah!"
Kui Lok meragu sejenak, akan tetapi segera dia memandang kepada Kwa Hong dan berkata, "Adik Hong, kalau aku yang kaJah dan mati, biarlah kau hidup bahagia dengan Suheng." Setelah berkata demikian pedangnya menyambar dan dia sudah mulai membuka serangan. Thio Ki cepat menangkis dan segera dua orang pemuda murid Hoa-san-pai ini sudah saling serang dengan hebat dan seru.
Dengan air mata berlinang Kwa Hong melihat pertempuran ini. la merasa amat menyesal dan kecewa akan kebodohan tiga orang suhengnya itu yang begitu tolol sehingga mau dipermainkan oleh Pangeran Mongol, kecewa melihat suheng-suhengnya itu di dalam tahanan musuh masih meributkan soal cinta dan masih saling memperebutkan dirinya. Dahulu, ketika masih berada di Hoa-san, ia kadang-kadang merasa bangga dan senang melihat dua orang pemuda ini bersaing untuk merebut hatinya, akan tetapi sekarang ia merasa malu sekali akan sikap mereka. la anggap mereka itu berwatak rendah. Air matanya makin deras mengalir keluar dan terbayanglah wajah Beng San. Alangkah jauh bedanya dua orang suhengnya ini dengan Beng San. Kalau saja ia tertawan musuh bersama Beng San, kiranya takkan begini jadinya. Takkan begini sikap Beng San yang tak pernah meninggalkan lubuk hatinya. Teringat akan Beng San air matanya makin deras mengucur. Alangkah rindu hatinya untuk bertemu sekali lagi dengan pemuda itu sebelum ia tewas di tangan musuh, sebentar saja untuk menyatakan perasaan cinta kasihnya.
Pertempuran antara Thio Ki dan Kui Lok berjalan makin seru dan ramai. Memang kedua orang muda ini setingkat kepandaiannya, apalagi mereka memang terdidik semenjak kecil dalam satu perguruan, tentu saja sudah saling mengenal gerakan masing-masing. Bagi orang yang mengenal ilmu pedang Hoa-san-pai, tentu menyangka mereka itu main-main saja atau sedang berlatih, akan tetapi bagi orang luar mereka kelihatan sedang bertempur dengan hebat, karena memang ilmu pedang Hoa-san-pai kelihatan amat cepat dan bergaya indah. Sesungguhnya mereka ini sama sekali tidak main-main, melainkan saling serang dengan mengeluarkan gerakan-gerakan mematikan. Tiada lagi pilihan bagi Thio Ki dan Kui Lok. Mereka harus memilih satu antara dua, membunuh lawan untuk bebas bersama Kwa Hong, atau terbunuh. Sudah tentu saja tak seorang diantara mereka sudi mengalah, bukan persoalan matl hidup yang penting bagi mereka, melainkan persoalan mendapatkan atau kehilangan diri Kwa Hong, yang mereka cinta!
"Thio-suheng! Kui-suheng! Dengarkan aku baik-baik!" tiba-tiba Kwa Hong berseru nyaring dengan suara terisak. "Dengar sumpahku ini, siapapun juga di antara kalian yang menang dalam pertandingan ini, aku tidak sudi menjadi isterimu! Nah, dengar!
Siapa pun juga yang menang, takkan menjadi suamiku malah akan menjadi musuh besarku selama hidup karena telah membunuh seorang saudara seperguruan!"
Seketika wajah dua orang pemuda Hoa-san itu menjadi pucat dan pedang mereka tertahan. Peluh memenuhi leher dan muka, mata mereka memandang ke arah Kwa Hong dengan sedih, kaget dan bingung.
"Sumoi..... kalau begitu..... siapakah yang kau..... kaucinta?" tanya Thio Ki dengan suara serak.
"Ya, katakan siapa orangnya yang kaucinta, Hong-moi, agar kami tidak penasaran dan tidak menganggap kau membohong untuk mencegah kami saling bertempur,"
kata Kui Lok dengan wajah pucat.
Kwa Hong bingung mendengar kata-kata mereka itu. la maklum bahwa kalau ia tidak bisa menjawab, keduanya tentu akan bertanding lagi karena menganggap bahwa dia hanya membohong untuk mencegah mereka saling serang. Kalau ia mengaku,ah, bukankah hal itu amat memalukan" Akan tetapi, keadaan sudah mendesak, daripada kedua suhengnya mati saling serang, lebih baik mereka itu tewas sebagai orang-orang gagah. Pula, dia sendiri sudah tidak mempunyai harapan untuk hidup lebih lama lagi atau keluar dari tempat ini dengan selamat, maka apa salahnya kalau ia mengeluarkan isi hatinya" Dengan muka merah, air mata mengalir di kedua pipinya, tapi sambil mengangkat dada dan dengan suara yang nyaring ia berkata.
"Aku mencintai kanda Beng San"
Pada saat itu terdengar suara ketawa keras. "Ha..ha..ha..ha..ha! Kiranya nona manis ini tidak suka menjadi isteri seorang di antara suhengnya." Dan cepal sekali seperti terbang saja tahu-tahu tubuh Giam Kin sudah berada di tengah ruangan itu. la menoleh ke arah Souw Kian Bi dan menjura sambil berkata.
"Taijin tadi menyatakan bahwa siapa yang menang akan mendapatkan diri nona Kwa Hong yang manis ini. Sekarang dua orang Hoa-san ini tidak mau lagi saling serang agaknya, biarlah hamba merobohkan mereka berdua dan hadiahnya tentu saja diri nona manis ini. Mengharapkan perkenan Taijin."
"Giam Kin, bukankah nona yang satu lagi dari Hoa-san-pai yang kau cinta?" tanya Souw Kian Bi sambil tersenyum. Giam Kin tertawa lagi memandang ke arah Kwa Hong sambil menyeringai.
"Yang itu juga cinta, yang ini juga suka. Kalau bisa kedua-duanya pun boleh.
Ha..ha..ha!" "Dasar mata keranjang. Nah, kauhadapi dua orang itu, kalau kau menang, boleh kauambil nona ini," kata Souw Kian Bi pula sambil tertawa geli.
Sementara itu, pengakuan Kwa Hong bahwa dia mencinta Beng San tadi memang sudah dapat diduga lebih dulu oleh Thio Ki dan Kui Lok. Dahulu, di puncak Hoa-san, ketika Kwa Tin Siong hendak memaksa Kwa Hong nnenikah dengari Thio Ki, gadis ini pun memberontak dan menolak, malah berani mengaku di depan ayahnya bahwa dia suka kepada Beng San. Akan tetapi dahulu itu mereka semua mengira bahwa Kwa Hong yang terkenal keras hati, keras kepala itu mengaku demikian hanya untuk mencari alasan penolakannya belaka. Pada waktu itu, siapa bisa percaya bahwa Kwa Hong mencinta seorang pemuda tolol seperti Beng San" Tapi pengakuan sekarang ini lain lagi, tak mungkin Kwa Hong main-main di depan jurang kematian. Dua orang saudara seperguruan ini saling pandang dan mata mereka menjadi basah. Sungguh mereka senasib sependeritaan. Keduanya kehilangan ayah, dan keduanya sekarang kehilangan kekasih. Dalam pertemuan pandang mata ini sekaligus lenyap semua kebencian, lenyap semua persaingan, dan timbullah kasih sayang antara saudara seperguruan yang mesra. Timbul kasih sayang dan kesetiakawanan. Baru terbuka mata hati mereka betapa mereka tadi bersikap pengecut dan amat mementingkan diri sendiri saja. Baru teringat bahwa sebagai murid-murid Hoa-san-pai seharusnya mereka bersikap gagah perkasa, menghadapi kematian di tangan musuh dengan pedang di tangan, siap mati demi membela kebenaran, apalagi dalam hal ini membela tanah air dan bangsa.
"Lok-te, mari kita basmi anjing-anjing penjajah" bisik Thio Ki.
"Ki-suheng, aku sehidup semati denganmu!" Keduanya melangkah maju, saling peluk dengan air mata bercucuran. Kemudian keduanya membalik menghadapi Giam Kin dengan pedang di tangan. Kini pedang itu tetap dan kokoh dalam genggaman tangan orang-orang yang sudah siap mempertahankan diri sampai titik darah terakhir!
Sambil tertawa-tawa Giam Kin mencabut pedang di tangan kanan dan suling di tangan kiri, kemudian membentak keras dan tubuhnya berkelebat ke depan. Dengan gerakan cepat sekali dia telah mengirim serangan bertubi-tubi ke arah Thio Ki dan Kui Lok. Tentu saja dua orang pemuda Hoa-san ihi segera menangkis dan balas menyerang. Namun segera dapat diketahui bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh di bawah Giam Kin karena biarpun mengeroyok dua, segera sinar pedang Giam Kin mendesak dan menindih kedua pedang mereka. Betapapun juga, karena dua orang pemuda ini sekarang bertempur dengan semangat menyala-nyala dan nekat, tidak mudah bagi Giam Kin untuk merobohkan mereka dalam waktu singkat.
Tadinya ketika melihat dua orang murid Hoa-san-pai itu saling serang untuk memperebutkan diri Kwa Hong, Beng San merasa amat kecewa dan muak sekali sehingga dia tidak ambil peduli. Bahkan kiranya dia akan mendiamkan saja andaikata melihat dua orang pemuda itu tewas di tangan musuh. Akan tetapi sekarang, melihat perubahan sikap mereka, dia menjadi terharu dan girang serta kasihan juga. Melihat betapa mereka berdua sekarang mati-matian mempertahankan diri dari serangan Giam Kin yang ganas dan keji serta maklum bahwa tak lama lagi mereka tentu akan roboh, Beng San lalu mengambil keputusan untuk turun tangan sekarang juga. Betapapun juga akhirnya dia harus turun menolong Kwa Hong.
"Saudara Thio Ki dan Kui Lok, berikan iblis ular ini kepadaku!" Sambil mengeluarkan seruan nyaring ini Beng San sudah melayang turun dan tahu-tahu dua orang seperguruan dari Hoa-san-pai itu tertolak mundur sampai beberapa tindak ke belakang sedangkan Giam Kin yang mendesak maju merasa tangannya sakit sekali.
Alangkah kagetnya ketika dia melihat betapa pedangnya di tangan kanan sudah pindah tangan, sekarang dipegang oleh pemuda yang bukan lain adalah Tan Beng San si pemuda sastrawan yang lemah dan tolol! Giam Kin yang mukanya kepucat-pucatan itu menjadi makin pucat, sejenak dia berdiri terlongong. Geger di tempat itu ketika tahu-tahu muncul Beng San. Bukan saja para penjaga yang kaget, juga orang-orang sakti seperti Siauw-ong-kwi dan Hek-hwa Kui-bo terkejut bukan main, juga malu karena mereka sebagai orang-orang sakti sampai tidak tahu bahwa di atas genteng bersembunyi seorang muda yang agaknya telah mengintai semenjak tadi.
Adapun Thio Ki dan Kui Lok yang melihat munculnya Beng San dan menyaksikan kehebatan pemuda ini yangg sekaligus dapat merampas pedang Giam Kin, menjadi girang dan kagum bukan main. Mereka memutar pedang dan berteriaklah Thio Ki.
"Saudara Beng San lekas kau selamatkan Sumoi!"
"Betul! Kau larikan Hong-moi, biar kami berdua menahan mati-matian!" teriak pula Kui Lok sambil siap-siap menahan penyerbuan para musuh yang amat banyak itu.
Yang paling girang adalah Kwa Hong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, gadis ini sudah maklum akan kelihaian Beng San, malah sudah secara berterang mengaku cinta, akan tetapi Ia kecewa mendengar pengakuan Beng San yang ternyata hanya suka kepadanya sebagai seorang kakak, membuat, ia patah hati dan lari pergi.
Tadinya ia sudah merasa kecewa dan benci kepada Beng San, akan tetapi sekarang melihat munculnya pemuda yang sudah berhasil menguasai cinta kasihnya itu, timbul pula perasaan mesra dan dia berseru girang. "San-ko, akhirnya kau datang juga menolongku!"
Akan tetapi Beng San tak dapat atau tak sempat menjawab semua seruan ini karena pada saat itu melayang beberapa orang yang segera menyerangnya dengan hebat.
Mereka ini adalah Siauw-ong-kwi, Hek-hwa Kui-bo dan Giam Kin yang tidak malu-malu lagi lalu mengeroyoknya. Beng San memutar pedang rampas-nnya dan melayani mereka mainkan Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam-sut yang sekaligus merupakan gundukan sinar pedang yang amat hebat bagaikan nyala api berkobar-kobar dahsyat menghantam tiga orang lawannya. Hek-hwa Kui-bo sudah tahu bahwa pemuda ini memiliki Im-yang Sin-kiam-sut maka dia tidak amat heran, yang amat kaget dan heran adalah Siauw-ong-kwi dan Giam Kin.
Sementara itu, Thio Ki dan Kui Lok maju menyerbu Pangeran Souw Kian Bi yang mereka anggap adalah pemimpin pihak musuh. Akan tetapi sebelum senjata mereka dapat mendekati pangeran itu, beberapa orang perwira telah meloncat maju dan menghadapi mereka. Sebentar saja Thio Ki dan Kui Lok telah dikeroyok oleh empat orang perwira yang berilmu tinggi dan mereka berdua kembali terdesak hebat. Kwa Hong yang masih terbelenggu tangannya dapat menonton dengan hati berdebar, akan tetapi pandang matanya selalu diarahkan kepada Beng San. Hatinya gelisah akan tetapi juga lega, tidak penasaran seperti tadi. Sekarang ia mempunyai keyakinan bahwa andaikata ia mati, Beng San juga tewas di tangan musuh, kalau Beng San berhasil, tentu ia akan diselamatkan pemuda pujaan hatinya itu. Mati hidup bersama Beng San, dan ia takkan penasaran lagi Wajah yang tadinya pucat menjadi agak kemerahan, air matanya berhenti menitiK dan pandang matanya berseri-seri.
Kalau dua orang murid Hoa-san-pai itu sudah nekat dan tidak mengenal takut lagi sedangkan Kwa Hong juga dalam kegembiraannya melihat Beng San tidak gentar menghadapi kematian adalah Beng San yang diam-diam merasa khawatir sekali.
Memang, dengan ilmu pedangnya dia masih dapat mempertahankan diri kalau hanya dikeroyok oleh Hek-hwa Kui-bo, Siauw-ong-kwi dan Giam Kin saja. Apalagi penyerangan Hek-hwa Kui-bo mempergunakan Ilmu Pedang Im-sin Kiam-sut yang sudah dihafalkan benar. Dengan ilmu pedangnya dia tidak hanya dapat mempertahankan diri, bahkan dapat menyerang dengan gerakan-gerakan dahsyat sehingga setelah berlangsung dua puluh jurus, ujung pedangnya dengan sinarnya yang gemilang berhasil melukai pundak Giam Kin, membuat pemuda itu terhuyung mundur dengan ketakutan dan tidak berani maju lagi. Akan tetapi melihat keadaan Thio Ki dan Kui Lok, yang sudah terdesak hebat, apalagi melihat Kwa Hong yang terbelenggu dan tak berdaya sama sekali, hatinya gelisah bukan main.
Kekhawatirannya terbukti ketika terdengar seruan mengaduh dan Kui Lok terhuyung-huyung, paha kirinya terluka golok lawan. Thio Ki memutar pedang dengan marah, akan tetapi dia pun hampir roboh ketika pundak kirinya kena dikemplang toya seorang perwira. Dua orang muda ini mengamuk hebat, sudah merobohkan empat orang lawan, akan tetapi karena jumlah lawan lebih besar dan selalu yang roboh ada penggantinya, akhirnya mereka terluka. Namun, patut dikagumi semangat Thio Ki dan Kui Lok, biarpun sudah terluka mereka masih memutar pedang dan Ilmu Pedang Hoa-san-pai yang cepat itu membuat para pengeroyok mereka belum dapat mendekati dua orang pemuda itu.
"Souw Kian Bi! Tan Beng Kui! apakah kalian tidak malu" Lepaskan tiga orang anak murid Hoa-san-pai. Bukankah dahulu kalian sudah berjanji dengan Lian Bu Tojin takkan memusuhi Hoa-san-pai?" Beng San berteriak-teriak. Tanpa ragu-ragu dia menyebut nama kakaknya begitu saja karena sudah timbul kebencian dalam hatinya terhadap kakak kandungnya jitu yang dianggapnya terlalu keji.
Kelihatan Tan Beng Kui berbisik-bisik kepada Souw Kian Bi. Bukan main lihainya Beng San, biarpun sedang menghadapi pengeroyokan orang-orang sakti, dia masih dapat mendengar percakapan mereka.
"Taijin, kalau kita ampunkan mereka, banyak keuntungan yang akan kita dapat bisik Tan Beng Kui.
Pangeran itu mengerutkan keningnya. "Hemmm, Tan-ciangkun, apakah kau kasihan melihat adik kandungmu?"
Tan Beng Kui tertawa. "Ha, kiranya Pangeran sudah tahu akan hal itu. Memang, dia itu adik kandungku yang dulu lenyap ditelan air bah. Akan tetapi setelah dia menjadi pembantu pemberontak, mana ada hubungan darah lagi antara dia dan aku" Usulku hanya untuk kebaikan kita, bukan untuk aku pribadi. Pertama, dengan mengampunkan murid-murid Hoa-san-pai, tentu Lian Bu Tojin akan berterima kasih dan akan melupakan permusuhan dengan kita, takkan suka membantu para pemberontak.
Kedua kalinya, kulihat bocah itu lihai sekali ilmu silatnya. Kalau dia mau berjanji takkan memusuhi kita, apalagi kalau mau membantu, bukankah dia akan merupakan tenaga bantuan yang malah lebih hebat daripada para locianpwe itu" Dan lebih baik lagi kalau dapat mengikatkan dia dengan Hoa-san-pai, misalnya dengan...., mengawinkan dia dengan gadis Hoa-san-pai ini, sehingga mau tak mau dia tentu takkan mengingkari perjanjian Hoa-san-pai dengan kita. Lalu diatur begini....." Suara Tan Beng Kui menjadi bisik-bisik dan Beng San yang didesak hebat oleh Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-ong-kwi, tak dapat menangkap lagi apa yang diucapkan kakak kandungnya itu. Diam-diam dia mendongkol sekali dan lebih hati-hati terhadap kelicikan orang.
Tiba-tiba Pangeran Souw Kian Bi berdiri dari kursinya dan berseru menyuruh orang-orangnya berhenti menyerang. Thio Ki dan Kui Lok yang ditinggalkan para pengeroyoknya menjadi lemas dan setelah berhenti bersilat mereka mereka pening dan roboh tak bertenaga lagi. Beng San juga melompat ke belakang ketika Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-ong-kwi menunda penyerangan mereka. Dengan tenang dan penuh tantangan Beng San berpaling kepada Souw Kian Bi.
"Hemmm, permainan apalagi yang hendak kaukeluarkan, Pangeran?" tanyanya.
"Orang muda, kau hebat sekali. Sayang kalau orang seperti kau dan teman-temanmu ini sampai tewas di sini."
"Hemmm, mudah saja kau bicara. Siapa bilang kami akan tewas" Mungkin kau yang akan mati lebih dulu!" jawab Beng San.
"Ha, orang muda, selain hebat kau pun sombong dan berani sekali! Tidak perlu lagi kau membuka mulut besar di sini karena kau pun tentu maklum bahwa andaikata kepandaianmu berlipat sepuluh kali, belum tentu kau dan teman-temanmu akan dapat lolos dari tempat ini. Apa kau hendak berkukuh bahwa kau dapat melawan ribuan orang tentara kami" Masukmu ke sini mungkin dapat kaulakukan karena kurang telitinya penjagaan, akan tetapi bagaimana kau akan dapat lari pergi" Lihat!" Telunjuk pangeran ini menuding ke sekelilingnya dan Beng San dengan lirikan matanya mendapat kenyataan bahwa tempat itu sudah terkurung rapat oleh ribuan orang tentara. Bahkan di atas genteng sekarang telah siap menanti banyak sekali tentara dengan anak panah terpasang di busur. Jangankan seorang manusia, seekor burung yang pandai terbang sekalipun kiranya takkan mungkin meloloskan diri dari tempat itu. Akan tetapi dia masih bersikap tenang-tenang saja, malah sekali meloncat dia telah berada di dekat Kwa Hong, sekali renggut dan sekali tepuk dia telah berhasil memutuskan tali belenggu lengan gadis itu dan membebaskannya dari totokan.
"San-ko, biarlah kita mati bersama....." Kwa Hong berkata mesra dan tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi ia merangkul lengan tangan Beng San. Melihat ini, Thio Ki dan Kui Lok yang sudah lemas itu menjadi pucat dan mengeluh dalam hati. Mereka berebut mati-matian, kiranya gadis itu memilih orang lain!
"Pangeran Souw Kian Bi, sekarang apa yang menjadi maksud kehendakmu?" dengan tenang Beng San bertanya. Jangan kaukira bahwa kami berempat takut akan kematian. Orang-orang gagah rela berkorban nyawa demi kebenaran dan keadilan."
"Bagus, kau benar-benar gagah perkasa, Beng San. Dan kami amat suka melihat orang-orang gagah seperti kalian itu, sayang kalau sampai tewas. Kalian masih muda, berkepandaian tinggi."
"Apa maksudmu" Berterusteranglah!" kata Beng San tak sabar lagi mendengar musuh memuji-muji itu.
Souw Kian Bi tertawa. "Beng San, sebetulnya Hoa-san-pai bukanlah musuh kami selama Hoa-san-pai tidak membantu kaum pemberontak. Permusuhan kecil ini hanya terjadi karena salah paham. Sekarang, melihat bahwa tidak ada kaum pemberontak berusaha menolong murid-murid Hoa-san-pai yang tertawan, kami anggap tiada perlunya permusuhan diteruskan. Kami bebaskan kalian berempat dan sebagai tanda persahabatan, marilah kita makan minum bersama.
Bukan main girangnya hati Thio Ki dan Kui Lok mendengar ini. Juga Kwa Hong girang sekali, dipeluknya lengan Beng San lebih erat lagi sambil berbisik, "San-ko, semenjak sekarang, jangan kautinggalkan aku lagi....."
"Tenanglah, Hong-moi, tenanglah kau....." Beng San berkata sambil mengelus-elus pundak gadis itu, dalam hatinya bingung sekali menyaksikan sikap Kwa Hong seperti ini. Tentu saja di tempat itu, disaksikan oleh banyak orang, dia merasa amat malu melihat sikap Kwa Hong, akan tetapi juga tidak berani menegurnya karena khawatir akan menyinggung perasaan orang. Pikirannya masih penuh oleh ucapan Tan Beng Kui kepada Pangeran Souw Kian Bi tadi dan otaknya diputar untuk mencari jalan keluar dari tempat itu. Terang bahwa kalau dia nekat mengamuk, tiga orang murid Hoa-san-pai ini akan celaka. Bahkan dia sendiri sedikit sekali ada harapan untuk dapat lolos dari kepungan ribuan orang tentara itu. Lebih baik sekarang menerima uluran tangan pangeran itu untuk menjauhi pertempuran, apa salahnya" Ini hanya siasat untuk menyelamatkan murid-murid Hoa-san-pai, terutama Kwa Hong. Maka dia tidak membantah lagi dan dengan tenang dia mengajak Kwa Hong menerima tawaran Pangeran Souw Kian Bi.
Atas perintah pangeran itu, ruangan yang tadinya menjadi medan pertempuran, sekarang cepat dibersihkan dan diatur menjadi ruang pesta. Seperti sulapan saja, sebentar meja-meja diatur dan hidangan yang mewah dikeluarkan. Biarpun lemas, Thio Ki dan Kui Lok yang sudah mendapat pengobatan, dapat pula duduk menghadapi meja hidangan. Arak wangi menyegarkan tubuh mereka dan membangkitkan semangat lagi, biarpun mereka tidak mau bicara dan muka mereka masih membayangkan penderitaan batin karena melihat sikap Kwa Hong yang demikian mesra terhadap Beng San.
Tan Beng Kui juga berubah sikapnya. Sambil berdiri dia mengangkat cawan arak dan berkata kepada Beng San, "Setelah bertemu dalam keadaan dewasa, aku mengucapkan selamat kepadamu, adik Beng San. Kau telah memperoleh kepandaian tinggi dan memperoleh..... hemmmmm.,..." ia melirik ke arah Kwa Hong, "seorang calon isteri yang gagah dan cantik. Kionghi-kionghi (selamat-selamat)!"
Girang juga hati Beng San. la menahan air matanya yang hendak menitik turun.
Betapapun juga, Beng Kui adalah orang yang selama ini dia rindu dan kenangkan.
Kakak kandungnya yang dahulu amat menyayangnya, akhirnya sekarang mau mengakuinya. Akan tetapi di balik keharuan dan kegirangan hatinya ini terkandung kepahitan dan kenyataan bahwa sikap kakak kandungnya ini hanya siasat belaka.
Siasat untuk menarik dia, mempergunakan tenaganya untuk mengabdi kepada pemerintah penjajah.
la pun berdiri dan mengangkat cawannya pula. "Kakak Beng Kui, alangkah bahagianya hatiku karena kau mau mengaku adikmu ini. Sayang seribu kali sayang, jalan kehidupan kita bersimpang. Betapapun juga, adikmu selalu memujikan agar kau selamat dan akhirnya dapat memilih jalan baik. Adapun tentang nona Kwa Hong ini, harap jangan salah sangka. Tak berani aku menganggap dia sebagai..... sebagai calon isteri....."
Pangeran Souw Kian Bi dan Tan Beng Kui tertawa bergelak-gelak sehingga dalam suasana riuh rendah itu orang tidak memperhatikan betapa dua titik air mata mengalir turun dari sepasang mata Kwa Hong, namun cepat diusapnya.
Peristiwa Merah Salju 14 Pendekar Guntur Lanjutan Seruling Naga Karya Sin Liong Bara Naga 5

Cari Blog Ini