Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long Bagian 14
Orang di belakang wuwungan tertawa, tampak seorang bangun berduduk dengan tersenyum,
sahutnya, "Benar, memang akulah."
"Kenapa kau pun kemari?"
"Sebetulnya aku tidak ingin datang, sayang sekali aku terpaksa harus kemari."
"untuk apa kau kemari?"
"Kecuali membunuh orang, apa pula yang bisa kulakukan?"
"Siapa yang hendak kau bunuh?"
"Kecuali kau, siapa lagi?"
Yap Kay tertawa.
"Kau tidak mengira?"
"Sejak pertama kali aku melihatmu dulu, aku tahu cepat atau lambat kau pasti akan
membunuhku."
"Tak nyana kau ternyata pandai juga meramal."
"Dan lagi aku sudah meramalkan kau pasti tak bisa membunuhku."
"Kukira kali ini ramalanmu meleset."
"Aku pun tahu, apa pun yang terjadi, kau harus mencobanya lebih dulu."
"Entah sekarang juga kau ingin turun tangan atau ingin melihat sepasang pedang dua
bersaudara Ting dulu yang akan memecah golok sakti?"
"Apa" Sepasang pedang memecah golok sakti?"
"Perpaduan sepasang pedang, sembilan kali sembilan delapan puluh satu jurus, setiap jurus
setiap gerakan sambung menyambung, umpama air pun takkan tembus, itulah sepasang pedang
perpaduan yang hebat, khusus dilatih oleh dua bersaudara keluarga Ting untuk menghadapi ilmu
golok keluarga Pek, tentunya kau belum pernah melihatnya."
"Memang belum pernah."
"Ilmu pedang yang jarang terlihat di Bu-lim, dengan susah payah baru sekarang kau punya
kesempatan untuk menyaksikan, kalau kau sia-siakan kesempatan ini bukankah teramat sayang."
"Ya, memang sayang," sahut Yap Kay sambil berpaling, muka Pho Ang-soat tampak pucat
bening. Pada saat itulah terdengar "Sreng", laksana naga mengaum, dua sinar pedang laksana kilat
berpadu saling silang menukik turun dari atap rumah di seberang sana.
Di tengah pancaran sinar pedang yang cemerlang, tampak dua orang berdiri di sana, seorang
berperawakan tinggi tegap, luka-luka di mukanya belum sembuh, dia bukan lain adalah Tingsamkongcu
yang gagah dan romantis.
Seorang lagi berpakaian ala Tosu dengan rambut digelung di atas kepala ditusuk konde,
mukanya dingin, pedang di tangannya memancarkan cahaya kemilau, dia bukan lain adalah Ting
Ling-ho, putra sulung keluarga Ting yang jarang mencampuri urusan Bu-lim.
Baru saja kaki mereka menyentuh bumi, pedang di tangannya serempak sudah menusuk tiga
jurus, dua pedang bekerja sama dan campur-baur seperti air dan susu, rapat tiada lubang, benar
juga setiap jurus sambung berantai, hujan badai pun takkan tembus.
Ting Hun-pin membelalakkan mata, berdiri di bawah emperan rumah, dia terkesima di
tempatnya, hanya dia seorang sampai detik ini yang masih dikelabui dan tidak tahu liku-liku
persoalannya, jadi dia belum tahu apa sebenarnya yang telah terjadi.
Sekonyong-konyong dua pedang berubah menjadi puluhan batang, puluhan jalur sinar pedang
sudah mengurung sekujur badan Pho Ang-soat sampai bentuk badannya sudah tidak kelihatan
lagi. Yap Kay menghela napas, katanya, "Agaknya titik terlihai dari delapan puluh satu jurus
perpaduan pedang ini, bahwasanya tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk mencabut
goloknya."
"Kau memang punya pandangan yang lumayan," ujar Lok Siau-ka.
"Agaknya ilmu pedang perpaduan ini memang khusus diciptakan untuk menghadapi ilmu golok
sakti keluarga Pek"
Lok Siau-ka tertawa, katanya, "Untuk menghadapi ilmu golok sakti keluarga Pek, cara yang
terbaik memang tidak memberi kesempatan supaya dia mencabut golok balas menyerang."
"Orang yang menciptakan ilmu pedang ini, bukan saja seorang berbakat, yang terang dia sudah
memeras keringat dan merupakan semua tumpuan jerih-payahnya."
"Karena dia tahu orang-orang keluarga Pek membenci dia, demikian pula dia amat membenci
orang-orang keluarga Pek."
"Dan di sinilah persoalan yang belum bisa kumengerti," kata Yap Kay. "Pertikaian mereka yang
berkepanjangan, apakah sebab-musababnya?"
"Cepat atau lambat kau pasti akan mengerti."
Mendadak Yap Kay tertawa, katanya, "Sembilan kali sembilan delapan puluh satu jurus,
bukankah akhirnya bakal dilancarkan habis juga?"
"Ilmu pedang perpaduan ini punya keunggulan yang luar biasa, yaitu setelah jurus-jurus
permainannya habis, secara langsung bisa diulangi pula dari permulaan."
Tatkala itu dua bersaudara Ting itu memang sudah habis melancarkan delapan puluh satu
jurus, sekonyong-konyong keduanya bersiul nyaring panjang, kedua pedangnya berputar-putar
balik mulai bergerak pula dari jurus pertama, agaknya antara kepala dan buntut ilmu pedang ini
bergandeng dan serasi pula.
Langkah-langkah kaki Pho Ang-soat menunjukkan gerak perubahan yang luar biasa, kini
sekaligus dia pertunjukan dengan hebat, sinar kilat pedang yang sambar menyambar selulup
timbul saling silang serapat itu ternyata tidak mampu menyentuh seujung rambutnya. Tapi gerak
serangan balasannya seakan-akan menjadi buntu dan tertutup rapat, jadi selama ini dia belum
punya kesempatan untuk melolos keluar goloknya.
Tiba-tiba Yap Kay berkata pula, "Orang yang menciptakan ilmu pedang berpadu ini, pasti bukan
para saudara keluarga Ting."
"Darimana kau tahu?" tanya Lok Siau-ka.
"Dulu orang ini pasti melihat Pek-tayhiap memainkan golok saktinya, maka dia bisa
menciptakan ilmu pedang yang khusus menutup buntu jalan keluarnya yang mungkin memberi
peluang untuknya mencabut golok."
"Benar, analisamu masuk akal."
"Dan penonton di luar gelanggang takkan bisa menyelami sedalamnya, kukira dia pasti pernah
bentrok atau bergebrak langsung dengan Pek-tayhiap."
"Ya, kemungkinan besar."
"Mungkin dia adalah salah satu pembunuh yang mengeroyok Pek-tayhiap di luar Bwe hoa am
itu." "Oh, lalu siapa dia?"
Yap Kay menatap Lok Siu-ka, katanya pelan-pelan, "Mungkin dia adalah Ting Jun-hong."
Ting Jun-hong adalah ayah para persaudaraan keluarga Ting. Dari samping Ting Hun-pin
mendengar percakapan ini, seketika berubah pucat selebar mukanya, seolah-olah dia menjadi
paham seluruh persoalan rumit ini. Tapi dia lebih rela selamanya tidak tahu persoalan ini saja.
Tatkala itu dua bersaudara Ting sudah melancarkan serangan ulangan sampai jurus ketujuh
puluhan, deru napas Pho Ang-soat sudah terdengar jelas. Agaknya dia sudah tak lagi kuat
bertahan, perpaduan berantai ilmu pedang keluarga Ting, laksana air sungai bergulung-gulung
dengan gelombang pasang yang tinggi, seolah-olah selamanya takkan pernah berhenti.
Tak tahan Yap Kay menghela napas.
Lok Siau-ka menatapnya, katanya, "Apa kau ingin membantunya?"
"Tidak."
"Benar tidak ada pikiran ingin membantu?"
"Betul, tapi dia tidak memerlukan bantuanku," sahut Yap Kay tersenyum.
Lok Siau-ka mengerut kening, waktu dia berpaling melihat ke arah gelanggang pertempuran,
air mukanya seketika berubah Saat itu ilmu pedang perpaduan dari keluarga Ting sudah
dilancarkan habis untuk kedua kalinya. Di saat kedua pedang mereka berputar dari jurus
permulaan itu. Dalam waktu yang sekejap itulah, mendadak terdengar hardikan keras laksana guntur
menggelegar dari tengah gelanggang. Di tengah hardikan keras itu, sinar golok yang lebih
cemerlang dari cahaya kilat tahu-tahu sudah memecah udara menggaris keluar. Ternyata golok
Pho Ang-soat sudah mulai bekerja.
BAB 45. BUDI DAN DENDAM
Begitu golok berkelebat, badan Ting Ling-ho mendadak mencelat terbang ke belakang, di
tengah udara berjumpalitan dua kali, "Blang", badannya menumbuk tiang rumah waktu badannya
terbanting ke tanah, mukanya tidak berdarah, tapi dadanya sudah dihiasi sejalur luka-luka
berdarah. Darah bagai air mancur dari luka-lukanya yang panjang. Ting Hun-pin menjerit histeris serta
menubruk maju. Di sana Lok Siau-ka menghela napas, katanya, "Tak nyana delapan puluh satu jurus ilmu
pedang perpaduan ciptaan keluarga Ting tetap bukan tandingan sejurus ilmu golok keluarga Pek."
Sementara itu Ting Ling-tiong memainkan pedangnya dengan gencar, seorang diri dia berusaha
bertahan, namun sorot matanya sudah mengunjuk rasa ketakutan.
Maka dimana sinar golok berkelebat. Terdengar "Trang", pedang di tangannya terpukul jatuh,
kembali sinar golok berkelebat balik, kali ini menyambar ke tenggorokannya. Sekonyong-konyong
Lok Siau-ka menghardik keras, serentak badannya melambung tinggi ke atas, "Trang", dari tengah
udara pedangnya berhasil menangkis golok Pho Ang-soat. Pedang dan golok sama-sama cepat
dan dahsyat. Begitu bentrok, pedang dan golok menerbitkan percikan kembang api, sorot mata
Pho Ang-soat seolah-olah membara.
Lok Siau-ka berkata lantang, "Bagaimana pun kau tidak boleh membunuhnya."
"Kenapa?" bentak Pho Ang-soat beringas.
"Karena... karena jika kau membunuhnya, kau pasti akan menyesal."
Pho Ang-soat menyeringai dingin, "Aku akan lebih menyesal bila tidak membunuhnya."
Kelihatannya Lok Siau-ka ragu-ragu, akhirnya dia berkeputusan, katanya, "Tapi tahukah kau
siapa dia sebenarnya?"
"Memangnya dia masih punya hubungan apa-apa dengan aku?" tanya Pho Ang-soat.
"Sudah tentu ada, karena dia pun putra Pek Thian-ih, dia adalah saudara tunggal ayah lain ibu
dengan kau."
Sudah tentu semua orang yang mendengar ucapan Lok Siau-ka jadi kaget, sampai pun Ting
Ling-tiong sendiri pun tidak terkecuali.
Pho Ang-soat sebaliknya terlongong.
"Jika kau tidak percaya." ujar Lok Siau-ka lebih lanjut, "boleh kau pergi dan tanya kepada
ibunya." "Dia... siapakah ibunya?"
"Ibunya adalah adik Ting Jun-hong, Ting-locengcu, Pek-hun, Ting Pek-hun."
Tiada angin tiada suara, seolah-olah deru napas pun berhenti, alam semesta seakan-akan
sudah mati seluruhnya. Entah berapa lama kemudian terdengar Lok Siau-ka menarik napas
panjang, maka mulailah dia membuka tabir rahasia ini, "Pek Thian-ih dikenal oleh Ting-toakoh di
waktu beliau berkelana sampai di luar perbatasan di tengah padang rumput, walaupun sebagai
gadis suci laksana dewi, tinggi hati dan berpandangan luas, namun begitu dia berhadapan dengan
Pek Thian-ih, dia lantas jatuh hati dan tanpa mempedulikan segala akibatnya, dia pasrah nasib dan
masa depan hidupnya kepada Pek Thian-ih.
"Hal ini merupakan suatu pengorbanan besar yang akan selalu terukir di dalam sanubarinya
selama hayat masih di kandung badan, hubungan mereka sudah tentu pernah bersumpah
terhadap bumi dan langit, umpama laut kering dan batu membusuk, cinta mereka tidak akan
luntur, malah dia yakin Pek Thian-ih rela membuang dan mengorbankan segala miliknya, untuk
hidup berdampingan dengan dia sampai hari tua.
"Tak tahunya Pek Thian-ih memang punya pembawaan romantis, wataknya memang demikian,
dimana dia berada di situ menanam bibit cinta, soal permainan cinta asmara bagi dirinya tak
ubahnya sebagai kegemaran dan permainan belaka. Setelah dia pulang, baru Ting Pek-hun
menyadari bahwa dia sudah bunting, namun Pek Thian-ih sejak itu sudah melupakan dirinya.
Dalam undang-undang keluarga Pek, sudah tentu tidak memperbolehkan seorang gadis remaja
yang belum menikah menjadi seorang ibu.
"Kebetulan waktu itu istri Ting-locengcu juga sedang bunting, maka digunakan akal memindah
kembang menyambung kayu, anak yang dilahirkan Ting-toakoh diakui sebagai putranya, sedang
putranya sendiri dia serahkan kepada orang lain. Karena anak ini adalah putranya yang ketiga, dua
putranya yang lebih besar masih berada dalam asuhannya.
"Apalagi hubungan persaudaraan Ting-locengcu dengan adiknya amat erat, demi adiknya Tingtoakoh
dapat selalu berdampingan dengan putranya, maka dia rela berbuat demikian. Rahasia ini
terus berlangsung puluhan tahun tanpa diketahui orang, sampai pun Ting Ling tiong sendiri pun
tidak tahu...."
Pelan dan penuh perasaan Lok Siau-ka mengisahkan cerita rahasia ini, sorot matanya
menampilkan rasa pilu dan penuh derita. Siapa pun dapat merasakan apa yang dia kisahkan pasti
bukan cerita bohong karangannya sendiri.
Yap Kay tiba-tiba bertanya, "Rahasia ini sudah tersembunyi puluhan tahun, lalu darimana kau
bisa mengetahuinya."
"Karena aku...." suara Lok Siau-ka rawan dan tiba-tiba tersendat di tenggorokan selebar
mukanya mengerut kejang berubah bentuk, pelan-pelan dia memutar badan dan mengawasi Ting
Ling-tiong dengan mimik kaget luar biasa.
Tahu-tahu di bawah ketiaknya sudah bertambah sebilah golok pendek ujung golok sudah
amblas ke dalam sela-sela tulang iganya.
Ting Ling-tiong mendelik gusar kepadanya, selebar mukanya diliputi rasa dengki dan benci,
teriaknya serak dengan berjingkak, "Kalau toh tiada orang tahu akan rahasia ini, kenapa kau bisa
bercerita sedemikian jelas?"
Saking kesakitan, keringat dingin bercucuran membasahi kepala dan muka Lok Siau-ka,
agaknya berdiri pun tak kuat lagi, katanya meronta, "Aku tahu setelah rahasia ini kubongkar di
hadapan kalian, pasti akan melukai hati dan gengsimu, tapi... tapi urusan sudah selarut ini,
terpaksa aku harus membeberkannya, aku...."
"Kenapa kau tidak bisa mengatakannya?" bentak Ting Ling-tiong beringas.
Tak tahan Yap Kay menghela napas, sahutnya, "Karena jika dia tidak membeberkan rahasia ini,
Pho Ang-soat pasti akan membunuhmu."
Ting Ling-tiong tertawa dingin "Kenapa dia harus membunuhku" Apakah karena aku
membunuh putri Be Khong-cun, maka dia lantas hendak membunuh aku?"
"Apa yang kau lakukan, memangnya kau sangka orang lain tidak mengetahui?" jengek Yap Kay.
"Aku berbuat apa?" tanya Ting Ling-tiong pura-pura pikun.
Pho Ang-soat mengertak gigi, desisnya, "Kau... kau paksa aku untuk membeberkannya?"
"Katakan," tantang Ting Ling-tiong.
"Kau menaruh racun di dalam arak, kau meracun mati Si Bu."
"Darimana kau tahu kalau aku yang menaruh racun?" desak Ting Ling-tiong.
"Sebetulnya aku memang tidak tahu. setelah aku saksikan sendiri pedang beracun yang
membunuh Cui long, yang digunakan adalah racun sejenis, setelah kau sendiri mengaku bahwa
kaulah biang keladi yang membunuhnya."
Air muka Ting Ling-tiong berubah pucat, mulutnya bergetar tak dapat bersuara.
Berkata Pho Ang-soat lebih lanjut, "Kau menyogok penjaga gudang arak Ho han ceng, kuatir
perbuatanmu terlalu menyolok, maka semua budak dan dan kacung serta pembantu Ho han ceng
kau undang dan kau jadikan pembantu ke Ting keh-ceng."
"Di samping itu sengaja kau menggunakan akal licik hendak mengadu domba aku dengan Yap
Kay, tapi Yap Kay selalu dikuntit oleh adikmu, Ting Hun-pin, kuatir dia menjadi saksi bagi Yap Kay,
sengaja kau minta bantuan Ting Ling-ka untuk menotok Hiat-tonya dan membawanya pergi."
Yap Kay menghela napas, katanya, "Kau timpakan bencana atas diriku, aku tidak menyalahkan
kau, tapi tidak seharusnya kau bunuh bocah cilik yang tak berdosa itu."
Pho Ang-soat menatap Ting Ling-tiong, jengeknya dingin, "Kutanya kau, semua kejadian itu
bukankah kau yang melakukan."
Tertunduk kepala Ting Ling-tiong, keringat dingin bercucuran semakin deras.
Yap Kay berkata, "Aku tahu kau berbuat demikian bukan untukmu sendiri, aku harap kau suka
berterus terang, siapakah orang yang menyuruh kau bertindak demikian."
"Aku... aku tak bisa mengatakan," sahut Ting Ling-tiong tergagap.
"Sebetulnya tidak kau katakan aku pun sudah tahu,"
"Kau tahu?" tanya Ting Ling-tiong mengangkat kepala.
"Sembilan tahun yang lalu, ada seorang di luar Bwe hoa am mengatakan sepatah kata yang
tidak seharusnya dia ucapkan, kuatir orang lain mengenali logat bicaranya, maka dia suruh kau
membunuh habis semua orang yang pernah mendengar ucapannya itu untuk menutup mulutnya."
Ting Ling-tiong menunduk pula.
Pho Ang-soat menatapnya lekat-lekat, katanya tandas, "Sekarang aku ingin tanya kau, apakah
orang itu adalah Ting Jun-hong?"
Ting Ling-tiong mengertak gigi, selebar mukanya diliputi rasa derita, namun sepatah kata pun
dia tidak mau bicara. Apakah dengan diam dia sudah mengakui"
Kasih sayang Ting Jun-hong amat besar terhadap adiknya, melihat adiknya ternoda dan
dipermainkan orang lain, menderita seumur hidup, adalah jamak kalau dia menuntut balas. Bahwa
dia ingin membunuh Pek Thian-ih adalah punya alasan yang meyakinkan.
Lok Siau-ka menggelendot di batang pohon, serunya lantang, "Apa pun yang terjadi, aku yakin
dan tidak percaya bahwa Ting-locengcu adalah biang keladi pembunuhan itu."
Bersinar mata Yay Kay, tanyanya, "Masakah kau lebih mengenalnya dari orang lain?"
"Sudah tentu aku lebih mengenalnya dari orang lain."
"Kenapa?"
Tiba-tiba Lok Siau-ka tertawa, tawanya rawan dan aneh, katanya pelan-pelan, "Karena aku
adalah putranya yang diberikan kepada orang lain itu namaku sebetulnya adalah Ting Ling-tiong."
Suatu hal di luar dugaan pula. Semua orang kembali terlongong. Ting Ling-tiong mengawasinya
dengan mata terbelalak kaget, teriaknya, "Kau... kau adalah... adalah...."
Lok Siau-ka tersenyum, ujarnya, "Aku adalah Ting Ling-tiong, dan kau pun Ting Ling-tiong pula.
Hari ini Ting Ling-tiong ternyata membunuh Ting Ling-tiong, coba kalian katakan apakah peristiwa
ini tidak lucu, terlalu menggelikan?" Dengan tersenyum kembali dia membuka kacang terus
dilempar ke atas, amat tinggi. Tapi sebelum kacangnya melayang turun dia sendiri sudah
tersungkur roboh. Waktu roboh tersungkur, ujung mulutnya masih mengulum senyuman. Tapi
orang lain menjadi kaku dan tak bisa tertawa.
Hanya Ting Hun-pin yang bercucuran air mata, mulutmya menggumam sendiri, "Apakah benar
dia adalah Samkoku" Apakah dia benar-benar...."
Air muka Ting Ling-ho membayangkan rasa duka yang tak bisa mengelabui mata orang lain,
katanya dingin, "Peduli salah atau benar, bahwa kau punya seorang Samko yang demikian,
pendeknya bukan suatu hal yang memalukan."
Tiba-tiba Ting Hun-pin memburu ke hadapan Ting Ling-tiong, katanya dengan mengembeng air
mata, "Lalu kau siapa"... sebetulnya siapa yang menyuruh kau melakukan perbuatan tercela itu"
Kenapa tidak kau bicara?"
"Aku... aku...." suara Ting Ling-tiong tersendat rawan.
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekonyong-konyong derap lari kuda yang kencang mendatangi memutus pembicaraan orang
banyak, seekor kuda gagah tinggi kekar membedal mendatangi. Laki-laki yang menunggang kuda
mengenakan seragam hijau ketat, badannya basah kuyup oleh keringat dan kotor kena debu,
begitu masuk pekarangan terus melompat turun serta menjatuhkan diri berlutut, serunya, "Siaujin
Ting Hiong, mendapat perintah dari Ting-locengcu mengundang Pho Ang-soat Pho-kongcu, Yap
Kay Yap-kongcu berkunjung ke Ting-keh-ceng, Locengcu telah menyajikan semeja perjamuan
menanti di Thian-sim-lau, menunggu kedatangan Kongcu berdua."
Berubah muka Pho Ang-soat, jengeknya dingin, "Umpama dia tidak mengundangku, aku tetap
akan menemui dia, tapi meja perjamuannya itu, boleh dia nikmati sendiri."
"Apakah tuan adalah Pho-kongcu?" tanya Ting Hiong.
"Benar, akulah," sahut Pho Ang-soat.
"Locengcu menyuruh hamba memberi tahu sepatah kata kepada Pho-kongcu."
"Silakan berkata."
"Locengcu harap Kongcu harus memberi muka kepadanya, karena dia sudah menyediakan
sesuatu untuk dikembalikan kepada Pho-kongcu "
"Apa pula yang ingin dia kembalikan kepadaku," tanya Pho Ang-soat.
"Mengembalikan keadilan."
"Keadilan?" Pho Ang-soat mengerut kening.
"Ya, yang Locengcu ingin kembalikan kepada Pho-kongcu adalah keadilan."
"Keadilan memangnya sesuatu yang serba aneh. Walau kau tidak bisa melihatnya, tak berhasil
merabanya, tapi tiada orang yang berani menyangkal akan kehadirannya di dalam kehidupan kita.
Di kala kau mengira dia sudah melupakan dirimu, kadang kala mendadak dia muncul di
hadapanmu. Thian-sim-lau bukan terletak di jantung angkasa, namun terletak ditengah danau. Danau tidak
begitu besar, kembang teratai pun sudah layu, namun daunnya yang lebar menghijau tetap segar.
Air nan jernih laksana kaca membayangkan bangunan loteng dengan pagar-pagarnya yang
menguning, di bawah pagar ditambat beberapa perahu.
Jendela yang tertutup kain kerai dari sutra putih sudah tersingkap, seorang laki-laki tua yang
sudah ubanan sedang mondar-mandir menyusuri pagar dengan sikap serius dan prihatin,
pandangannya jauh ke permukaan danau yang tenang. Sikapnya yang lemas dan kuyu seperti
kembang teratai yang sudah layu, namun sepasang matanya masih tetap bersinar terang, gagah
dan tegas. Karena dia sudah berkeputusan. Dia bertekad hendak memberikan keadilan kepada orang.
Malam semakin kelam, bintang-bintang sudah jarang dan bersembunyi ke angkasa raya.
Di tengah malam kelam nan sunyi ini terdengar suara air beriak terkayuh, sebuah sampan
pelan-pelan terkayuh dari seberang sana, di haluan sampan berdiri seorang pemuda berpakaian
hitam dengan muka pucat-pias, tangannya menggenggam sebatang golok. Tangan yang putih,
golok nan hitam.
Pelan-pelan dengan langkah mantap Pho Ang-soat beranjak naik ke atas loteng.
Mendadak dia merasa amat letih, seperti seseorang yang sudah menempuh perjalanan jauh
memanjat gunung menyeberangi lautan, akhirnya tiba di tempat tujuan, namun hatinya justru
tidak dibuai rasa senang dan riang serta haru.
"Apakah semua orang sudah hadir?". Sekarang terhitung dia sudah menemukan seluruh
musuh-musuhnya, dia percaya Be Khong-cun pasti juga bersembunyi di sini. Karena orang tua ini
sudah menghadapi jalan buntu.
Dendam kesumat, jelas perhitungan darah lama ini bakal impas dan dia tuntut di depan mata,
kenapa sedikit pun dia tidak mempunyai rasa haru, senang dan bergelora sanubarinya"
Sungguh dia sendiri pun tidak habis mengerti. Yang terasa hanya hatinya teramat kalut.
Kematian Cui long, kematian Lok Siau-ka, kematian bocah tak ber dosa itu... semua orang ini
seharusnya tidak setimpal mati, umpama sekuntum kembang yang baru saja mekar, tahu-tahu
mendadak sudah layu dan kuyu.
Kenapa mereka harus mati" Lalu mati di tangan siapa" Cui long pujaan hatinya, namun dia
adalah putri musuh besarnya. Ting ling liong adalah orang yang paling dibenci, namun dia orang
adalah saudaranya sendiri. Dapatkah dia menuntut balas dan membunuh saudaranya sendili
lantaran kematian Cui long" Jelas tidak mungkin. Tapi dapatkah dia berpeluk tangan setelah
kematian Cui long dan menganggap pembunuhnya sebagai saudaranya malah.
Dia berkelana hanya dengan satu tekad dan tujuan, yaitu menuntut balas, dendam yang
membakar hatinya sudah teramat mendalam, namun murni dan jernih. Dendam, memangnya
suatu yang liar, perasaan tunggal yang murni pula. Sungguh belum pernah terpikir dalam
benaknya, asmara dan dendam bakal bergolak dalam rongga dadanya, dan semua ini serba rumit
dan sukar diatasi serta tak bisa diputuskan. Sungguh hampir dia tidak punya keberanian untuk
menghadapi kenyataan ini.
Karena dia tahu, umpama dia berhasil memberantas seluruh musuh-musuhnya, derita dan siksa
batinnya takkan mungkin tercuci bersih. Tapi meski sekarang dia tahu secangkir arak pahit
disuguhkan di hadapannya, dia tetap akan meminumnya juga. Dia sudah tidak kuasa ragu-ragu
atau mundur. Tiba-tiba dia insyaf dan menyadari, akhirnya dirinya berhadapan langsung dengan Ting Junhong,
tiba-tiba pula disadarinya bahwa Ting Jun-hong jauh lebih tenang dan dingin dari dia
sendiri. Sinar lampu benderang menyinari muka orang tua ubanan ini, menyinari mukanya yang dingin
dan serius. Setiap kerut-keriput dan pori-pori di mukanya, Pho Ang-soat dapat melihatnya dengan
jelas. Sorot matanya yang teguh sedang mengawasi muka Pho Ang-soat yang pucat, tiba-tiba dia
bersuara, "Silakan duduk."
Pho Ang-soat tidak duduk, dia pun tidak bersuara, pada saat seperti ini, mendadak dia jadi
bingung entah apa yang harus dia lakukan"
Pelan-pelan Ting Jun-hong sendiri malah duduk pelan-pelan, katanya kalem, "Aku tahu kau
pasti takkan sudi duduk bersama dengan musuh besarmu di dalam satu rumah serta minum arak
bersama." Pho Ang-soat mengakui hal ini.
"Sekarang tentunya kau pun sudah tahu, aku adalah biang keladi peristiwa yang terjadi di luar
Bwe hoa am sembilan belas tahun yang lalu itu. Aku pula yang menyuruh Ting Ling-tiong
membunuh orang-orang itu."
Badan Pho Ang-soat mulai bergetar.
Ting Jun-hong berkata pula, "Aku bunuh Pek Thian-ih, aku punya alasanku sendiri, kau hendak
menuntut balas, kau pun punya alasanmu, persoalan ini peduli siapa benar siapa salah, aku sudah
siap memberikan keadilan kepada kau." Mukanya tetap kaku dingin, Pho Ang-soat ditatapnya
lekat-lekat, katanya dingin lebih lanjut, "Aku hanya ingin tahu, keadilan macam apa yang kau
inginkan?"
Pho Ang-soat menggenggam erat tangannya, mendadak dia bersuara, "Keadilan hanya ada
satu." "Benar," ujar Ting Jun-hong manggut-manggut, "Keadilan sejati hanya semacam, sayang sekali
keadilan itu sendiri kadang disalah-artikan dan diperalat melulu oleh manusia."
"Oh, ya," Pho Ang-soat membenarkan.
"Keadilan yang terpikir di dalam benakmu, justru jauh berlainan dengan keadilan yang
kupikirkan."
Pho Ang-soat menyeringai dingin.
"Aku sudah membunuh ayahmu, kau hendak membunuhku, sudah tentu kau merasa hal ini
cukup adil, tapi jika kau punya saudara kandung dirusak orang, bukankah kau akan bertindak
seperti aku, membunuh orang itu."
Berkerut-kerut kulit muka Pho Ang-soat.
"Sekarang putra sulungku sudah terluka, putra kedua menjadi cacad seumur hidup, putraku
ketiga meski bukan kau yang membunuh, tapi dia gugur lantaran peristiwa ini." Mukanya yang
dingin dan tenang menampilkan kepedihan yang tak terhingga, katanya lebih lanjut, "Yang
membunuhnya, meski keturunan keluarga Pek kalian, tapi dia justru aku yang mendidik dan
mengasuhnya sejak kecil sampai dewasa, lalu kemana aku harus menuntut keadilan ini?"
Pho Ang-soat menurunkan sorot matanya, mengawasi golok di tangannya. Sungguh dia tidak
tahu cara bagaimana dia harus memberi jawaban, hampir saja dia enggan berhadapan dengan
orang tua yang dirundung kesedihan ini.
Setelah menghela napas Ting Jun-hong berkata pula, "Tapi aku sekarang sudah tua bangka,
sudah banyak persoalan yang dapat kuketahui, jika kau menuntut keadilanku, dan aku pun ingin
mempertahankan keadilanku sendiri, maka dendam kesumat ini takkan pernah ada akhirnya."
Dengan suara tawar Ting Jun-hong menambahkan, "Hari ini kau bunuh aku untuk menuntut
balas kematian ayahmu, memang cukup setimpal dan adil, kelak putra dan cucuku bila mereka
hendak membunuhmu untuk menuntut balas kematianku, bukankah sama saja cukup adil juga?"
Dilihat oleh Pho Ang-soat tangan Yap Kay sedang gemetar. Yap Kay berdiri di sampingnya,
sorot mata kedukaannya jauh lebih besar dan tandas dari dirinya.
Ting Jun-hong berkata lebih jauh, "Peduli keadilan siapa benar-benar keadilan sejati, dendam
sakit hati ini tak boleh berlarut lebih lanjut, sudah banyak orang yang menjadi korban karena
dendam kesumat ini, maka...." Sorot matanya semakin terang mengawasi Pho Ang-soat, katanya,
"Aku sudah berkeputusan mengembalikan keadilan yang kau inginkan."
Tak tahan Pho Ang-soat mengangkat kepala, mengawasinya lekat-lekat. "Apakah tua bangka ini
seorang pembunuh yang kejam dan telengas" Ataukah seorang Kuncu yang benar-benar
berpegang teguh akan keadilan dan kebijaksanaan?" Sulit Pho Ang-soat membedakan lagi.
"Tapi aku pun berharap kau bisa melulusi sebuah permintaanku," kata Ting Jun-hong lebih
lanjut. Pho Ang-soat sedang mendengarkan.
"Setelah aku mati, dendam ini sudah harus berakhir, jika sampai ada orang mati karena sakit
hati ini, peduli siapa mati di tangan siapa, di alam baka, aku pasti tidak akan mengampuni dia."
Dalam suaranya tiba-tiba terasa mengandung kekuatan yang bengis dan marah, siapa pun yang
mendengarnya pasti bergidik seram dibuatnya.
Pho Ang-soat mengertak gigi, suaranya serak, "Tapi Be Khong-cun tetap takkan aku biarkan
hidup." Tiba-tiba terbayang senyuman aneh pada rona muka Ting Jun-hong, katanya tawar, "Sudah
tentu aku pun tahu kau pasti tidak akan mengampuni jiwanya, sayang sekali dengan cara apa pun
kau menghadapinya, dia tidak akan ambil persoalan ini dalam hatinya."
Berubah air muka Pho Ang-soat, tanyanya, "Apa maksudmu?"
Kembali Ting Jun-hong tertawa, tawanya amat aneh, sorot matanya justru membayangkan
kedukaan dan kepiluan yang mendalam. Tanpa menjawab pertanyaan Pho Ang-soat, pelan-pelan
dia membalik badan mengangkat arak di meja, lalu diangsurkan ke arah Pho Ang-soat tinggitinggi.
"Pengharapanku terakhir kau harus selalu ingat, dendam kesumat seperti pula hutang uang
yang bertumpuk-tumpuk, di kala kau membenci orang, berarti kau berhutang terhadap seseorang,
semakin banyak dendam dan kebencian yang mengeram dalam sanubarimu, maka hidupmu di
dunia fana ini selamanya takkan pernah mengecap hidup senang dan gembira lagi." Habis katakatanya
segera dia tarik cangkir arak itu ke dekat mulutnya hendak ditenggaknya habis.
Tapi pada saat itulah, mendadak tampak selarik sinar berkelebat, sebatang pisau melesat
terbang. Bagai sinar kilat, disusul suara "Tring", tahu-tahu cangkir di tangan Ting Jun-hong
hancur, sebilah pisau kecil bersama dengan pecahan cangkir jatuh di lantai.
Sebilah pisau terbang. Panjang tiga dim tujuh mili
Mendadak Pho Ang-soat berpaling, dengan kaget dia mengawasi Yap Kay. Muka Yap Kay
ternyata berubah pucat pula seperti mukanya, namun sepasang tangannya tetap tenang dan
wajar. Lama dia menatap Ting Jun-hong, Ting Jun-hong pun dengan kaget sedang mendelik
kepadanya, tanyanya, "Kenapa" Kenapa kau lakukan ini?"
Suara Yap Kay tegas dan mantap, "Karena aku tahu arak di dalam cangkir itu beracun, aku pun
tahu arak beracun ini seharusnya bukan kau yang minum."
"Kau ... apa maksudmu sebenarnya?" terkesiap Ting Jun-hong.
"Masakah kau tidak mengerti maksudku?" Yap Kay menghela napas.
Mengawasi muka orang, lama-lama muka Ting Jun-hong mengunjuk rasa keheranan,
mendadak berubah pilu dan amat tersiksa, katanya rawan, "Kalau demikian kenapa kau sendiri
tidak memahami maksudku?"
"Aku mengerti, kau ingin menggunakan darahmu sendiri, untuk mencuci bersih permusuhan ini,
sayang sekali, darah ini juga bukan semestinya kau yang harus mengalirkannya."
Bergetar sanubari Ting Jun-hong, katanya, "Aku mengalirkan darahku sendiri, memangnya apa
sangkut-pautnya dengan kau?"
"Sudah tentu erat sangkut-pautnya "
"Siapakah kau sebenarnya?" bentak Ting Jun-hong beringas.
"Seorang yang tak suka melihat orang yang tak berdosa jadi korban."
Kini Pho Ang-soat sendiri pun ikut tergugah, selanya, "Kau katakan orang ini tidak berdosa?"
"Benar. Dia tidak bersalah, dia pun tidak berdosa dalam peristiwa ini."
"Jadi pembunuh yang berseru, "Apakah orangnya sudah lengkap"' di luar Bwe hoa am sembilan
belas tahun yang lalu itu bukan dia?"
"Pasti bukan."
"Darimana kau tahu" Dengan alasan apa kau begini yakin?"
"Karena siapa pun bila dia kedinginan di tengah hujan salju selama satu jam, ketika
mengatakan 'Orang', suaranya pasti berubah karena lidahnya kaku. Dari sini dapat dibuktikan
bahwa tidak perlu lantaran sebab ini dia membunuh orang untuk menutup mulutnya."
"Darimana kau tahu di dalam keadaan seperti itu, suara orang bisa berubah?" tanya Pho Angsoat.
"Karena aku sendiri pernah mencobanya." Tanpa memberi kesempatan Pho Ang-soat buka
suara, dia melanjutkan, "Apalagi sembilan belas tahun yang lalu, malam dimana peristiwa
pembunuhan itu terjadi di luar Bwe hoa am, bahwasanya setindak pun dia tidak pernah
meninggalkan Ting keh ceng."
"Kau yakin benar akan keterangan ini?" desak Pho Ang-soat.
"Sudah tentu aku yakin dan punya bukti."
"Kenapa?"
"Karena hari itu kaki kanannya terluka, bahwasanya melangkah pun tak bisa berjalan, sejak hari
itu sampai sekarang dia tidak pernah meninggalkan Ting keh ceng. Karena sampai detik ini, lukaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
luka di kakinya itu masih belum sembuh seluruhnya, seperti pula keadaanmu, dia bergerak pun
tidak leluasa."
Ting Jun-hong tiba-tiba berjingkrak berdiri melotot kepadanya, namun kilas lain dia menghela
napas, pelan-pelan dia duduk kembali, mukanya yang tadi tenang dan kaku, kini sudah berubah
mencerminkan ketuaan jiwanya.
Yap Kay berkata lebih lanjut, "Dan lagi aku pun tahu, orang yang melukai kaki kanannya adalah
salah satu tokoh besar dari Kim ci pang yang kenamaan akan ilmu pedangnya yang cepat dan
ganas, seorang Bu-lim Cianpwe yang sekarang sejajar dan tenar seperti Hwi kiam khek A Fei...."
"Ki Bu bing?" teriak Pho Ang-soat tertahan.
Yap Kay manggut-manggut, ujarnya, "Benar, memang Ki Bu bing, sampai sekarang baru aku
tahu, kenapa Ki Bu bing menurunkan ilmu pedang cepatnya yang tunggal itu kepada Lok Siau-ka "
Setelah menghela napas, dia meneruskan, "Mungkin lantaran mereka bertanding pedang, dan
setelah itu masing-masing merasa kagum dan saling menghargai, maka dia sudi membawa dan
mengasuh seorang anak dari keluarga Ting yang dirahasiakan. Sayang sekali ilmu pedangnya yang
cepat dan tunggal itu meski secara langsung meninggikan derajat dan wibawa Lok Siau-ka ke
jenjang tokoh pedang yang tiada taranya di dunia, namun dengan ketenarannya yang malang
melintang di dunia tanpa tandingan itu, merubah pula jiwanya menjadi eksentrik, keeksentrikan ini
pula yang menjerumuskan kehidupan Lok Siau-ka menjadi tidak lurus."
Ting Jun-hong diam dan tertunduk, tak tertahan air mata bercucuran. Pho Ang-soat mendelik
kepada Yap Kay, bentaknya bengis, "Darimana kau tahu semua ini, siapa kau sebenarnya?"
Yap Kay ragu-ragu, sorot matanya menampilkan gejolak hati yang tersiksa dan pilu, agaknya
dia sulit berkeputusan, tidak tahu apakah patut dia menjawab pertanyaan ini.
Tak tahan Pho Ang-soat bertanya pula, "Jika pembunuhnya bukan dia, lalu Ting Ling-tiong
membunuh orang untuk menutup mulut, untuk siapa pula perbuatannya itu?"
Yap Kay tidak menjawab pertanyaan ini, mendadak dia berpaling ke arah anak tangga loteng.
Terdengar dari ujung loteng jawaban suara dingin, "Untuk aku." Suaranya serak dan rendah,
siapa pun yang mendengarnya, hatinya pasti merasa tidak enak. Tapi seiring dengan suara serak
ini orangnya pun beranjak turun dari atas loteng, dia bukan lain adalah seorang perempuan yang
berpotongan semampai, montok dan menggiurkan.
Perempuan ini mengenakan potongan jubah panjang yang ringan dan halus, mukanya ditutupi
cadar hitam, sehingga tampang kecantikannya lebih kelihatan misterius dan menggiurkan, begitu
indah dan eloknya potongan badannya sampai orang tidak berani mengawasinya langsung.
Gaya dan gerak-geriknya lebih mempesonakan lagi, seumpama dia hanya berdiri saja, sudah
membawa daya sedot yang takkan mungkin dilawan. Melihat perempuan ini turun, rona muka
Ting Jun-hong seketika berubah, teriaknya, "Kau tidak pantas kemari."
"Aku harus kemari," sahut perempuan jelita ini dengan tegas. Suaranya jauh berbeda dengan
perawakan dan potongan badannya, siapa pun takkan menyangka perempuan yang punya
potongan badan seelok ini, ternyata punya suara yang begitu jelek menggiriskan.
Tak tahan Pho Ang-soat bertanya, "Maksudmu perbuatan Ting Ling-tiong membunuh orang
untuk menutup mulut adalah demi kau?"
"Tidak salah "
"Kenapa?"
"Karena akulah musuh besarmu yang tulen, Pek Thian-ih mati di tanganku." Suaranya diliputi
dendam sakit hati dan kebencian, katanya lebih lanjut, "Karena aku inilah ibunda Ting Ling-tiong."
Hati Pho Ang-soat merasa tertekan, demikian pula hati Ting Jun-hong seolah-olah tenggelam ke
dalam air dingin. Bagaimana dengan Yap Kay" Bagaimana pula perasaan hatinya" Tiada yang
tahu" Sorot mata Ting Pek-hun menembus cadar mengawasi dirinya, katanya dingin, "Orang macam
apa sebenarnya Ting Jun-hong ini, tentunya kau sudah mengetahui, demi adiknya yang tidak
genah ini, dia rela mengorbankan jiwa raga sendiri, tak tahunya bahwa dia berbuat demikian
hakikatnya tiada sebab dan tiada paksaan." Sampai di sini dia menghela napas, lalu meneruskan,
"Jika kau yang turun tangan, bagaimana akibat semua kejadian ini sungguh tak berani
kubayangkan, oleh karena itu apa pun yang telah terjadi, aku tetap berterima kasih kepadamu."
Yap Kay tertawa getir, seolah-olah kecuali tertawa getir, dia tidak tahu apa yang harus dia
katakan. "Tapi aku sendiri pun tengah heran, siapakah kau sebenarnya" Cara bagaimana kau bisa tahu
sedemikian banyak?"
"Aku...."
Ting Pek-hun lekas menukas, "Tak perlu kau beritahu kepadaku, aku tidak ingin tahu siapa kau
sebenarnya." Mendadak dia berpaling, sorot matanya setajam golok menembus cadarnya
mengawasi Pho Ang-soat katanya, "Aku hanya ingin supaya kau tahu siapa aku sebenarnya."
Terkepal kedua tangan Pho Ang-soat, katanya, "Aku... aku sudah tahu siapa kau."
Mendadak Ting Pek-hun terkial-kial, serunya, "Kau tahu" Apa benar kau tahu" Berapa banyak
yang kau ketahui?"
Pho Ang-soat tak bisa menjawab. Mendadak disadarinya bahwa terhadap siapa pun tidak
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
banyak yang dia ketahui, karena selamanya dia tidak ingin mengerti dan mencari tahu seluk-beluk
orang lain, dia pun pernah berusaha dalam bidang ini.
Ting Pek-hun tak henti-hentinya tertawa dingin. Suara tawanya seperti edan dan bengis,
mendadak tangannya terangkat merenggut kain cadar yang menutup mukanya.
Seketika Pho Ang-soat terbelalak, demikian pula semua hadirin terkesima. Ternyata raut muka
yang diselubungi cadar itu memang amat cantik, namun kelihatannya kaku beku seperti dilapisi
malam. Bahwa mulutnya sedang terkial-kial, namun kulit mukanya sedikit pun tidak membawakan
perasaan hatinya. Terang itu bukan raut muka manusia hidup, tak ubahnya mirip sebuah kedok,
sekonyong-konyong Pho Ang-soat merasa sekujur badannya kaku dingin. Apa begitukah raut
mukanya yang asli" Pho Ang-soat tidak berani percaya, tak tega untuk mempercayainya.
Selamanya belum pernah dia saksikan raut muka manusia sedemikian buruk seperti ini, sampai
membuat hatinya tergoncang, karena muka ini tidak selayaknya sebagai wajah seorang manusia.
Pada muka orang ini, hakikatnya tak bisa dibedakan lagi panca indranya, yang kelihatan hanya
malang melintang bekas codet dari irisan pisau, entah berapa banyak, kelihatannya mirip benar
dengan sebuah kedok muka yang hancur terbuat dari tanah liat.
Ting Pek-hun masih terloroh-loroh, katanya, "Tahukah kau kenapa mukaku ini bisa berubah
demikian buruk?"
Pho Ang-soat terbungkam. Yang dia tahu bahwa Pek-hun Siancu dahulu kala adalah perempuan
tercantik kenamaan di Bu-lim.
Kata Ting Pek-hun, "Aku sendirilah yang mengirisnya dengan pisau, seluruhnya aku sudah
mengiris tujuh puluh tujuh kali, karena aku bergaul dengan laki-laki bergajul itu selama tujuh
puluh tujuh hari, setiap kali teringat kejadian sehari, aku lantas mengiris mukaku dengan pisau,
akan tetapi semua kejadian di masa lalu itu jauh lebih menyiksa batinku, lebih sakit daripada irisan
pisau di mukaku ini."
Suaranya lebih serak dan sumbang, katanya lebih lanjut, "Aku amat membenci mukaku sendiri,
kalau bukan lantaran mukaku yang cantik ini, dia tidak akan kepincut kepadaku, maka aku pun
takkan hidup merana selama hayatku?"
Ujung jari Pho Ang-soat pun terasa dingin. Dia dapat menyelami perasaan getir ini, karena dia
sendiri pun pernah mengalami derita seperti itu, sampai sekarang setiap kali dia teringat akan
kehidupannya di kala mabuk-mabukan, terlalu banyak menenggak air kata-kata, jantung dan
hatinya seolah-olah disayat dan ditusuk sembilu.
Ting Pek-hun berkata lebih lanjut, "Aku tidak rela orang lain melihat wajahku lagi, aku tidak
sudi ditertawakan, tapi aku tahu kau pasti takkan menertawakan aku, karena keadaan ibumu
sekarang pasti tidak akan lebih baik dari aku."
Pho Ang-soat tidak bisa menyangkal. Maka terbayang olehnya akan rumah petak itu, dalam
rumah tiada warna lain, kecuali hitam legam. Sejak dia bisa berpikir, ibunya selama itu hidup
menderita seorang diri di dalam suasana kegelapan.
Ting Pek-hun berkata, "Tahukah kau kenapa suaraku bisa berubah begini" Karena di luar Bwe
hoa am aku mengatakan sepatah kata yang tidak seharusnya kuucapkan, aku tidak ingin orang
lain mendengar suaraku lagi, maka aku merusak suaraku sendiri."
Suaranya sebenarnya secantik mukanya. "Semua orang sudah hadir seluruhnya?", waktu dia
mengatakan ini, suaranya masih terdengar merdu, tak ubahnya kicau burung kenari di lembah
Thian-san. Baru sekarang Pho Ang-soat mengerti apa yang dikatakan Yap Kay tadi. Kuatir orang mengenali
suaranya, jadi bukan lantaran perbedaan antara 'orang dan olang', soalnya dia tahu jarang ada
manusia di dunia ini yang memiliki suara semerdu dan seindah suaranya.
Kata Ting Pek-hun, "Akulah yang menyuruh Ting Ling-tiong pergi membunuh orang, jadi dia
sendiri tidak punya tanggung jawab, walau dia tidak tahu bahwa aku adalah ibu kandungnya,
namun selama ini dia amat patuh akan ucapanku, dia... selamanya memang putra yang patuh."
Suaranya berubah lembut dan kedengarannya welas-asih, "Sekarang akhirnya aku tahu bahwa
dia masih hidup, tentunya kau pun takkan berusaha membunuhnya... maka aku boleh lega
meninggalkan dia, mungkin aku sebetulnya tidak perlu hidup berkepanjangan beberapa tahun ini."
Ting Jun-hong mendadak membentak beringas, "Kau pun tak boleh mati. Asal kau masih hidup,
tiada seorang pun di dunia ini yang bisa membunuhmu di hadapanku."
"Ada saja... mungkin hanya ada seorang saja," ujar Ting Pek-hun.
"Siapa?" tanya Ting Jun-hong.
"Aku sendiri," sahut Ting Pek-hun dengan suara tenang. "Sekarang siapa pun takkan bisa
merintangi aku, karena waktu aku kemari, aku pun sudah tak ingin hidup lagi."
Tiba-tiba Ting Jun-hong berjingkrak berdiri, teriaknya tertahan, "Apakah kau sudah... sudah
minum racun?"
Ting Pek-hun manggut-manggut ujarnya, "Kau kan sudah tahu, racun yang kucari, takkan ada
obat untuk menolongnya."
Luluh hati Ting Jun-hong, mengawasi muka orang, pelan-pelan dia duduk pula di kursinya, tak
tertahan air mata pun bercucuran.
"Sebetulnya kau tidak perlu bersedih bagi kematianku, sejak malam itu, dengan tanganku
sendiri aku memenggal batok kepala laki-laki yang ingkar janji itu, mati pun aku takkan menyesal
lagi, apalagi aku sudah membakar batok kepalanya dan kusedu dalam arak, kutenggak habis
seluruhnya, sekarang siapa pun takkan kuasa memisah kita, aku bisa mati dengan cara ini.
Seharusnya kau merasa lega dan terhibur." Perkataannya masih kedengaran tenang, seolah-olah
seorang yang sedang menceritakan kisah yang dialaminya.
Tapi semua orang yang mendengarkan berdiri bulu kuduknya. Baru sekarang pula Yap Kay
tahu, bahwa batok kepala Pek Thian-ih, bukan dipenggal dan dicuri oleh Tho hoa niocu seperti
yang disangkanya semula. Tapi dia sendiri masih belum mengerti apa sebenarnya tujuan
perbuatan Ting Pek-hun. Demi cinta atau karena benci" Tapi entah demi cinta atau karena benci,
betapa pun kejadian amat gila dan menakutkan.
Mengawasi Pho Ang-soat, berkata Ting Pek-hun, "Boleh kau pulang dan beritahu kepada
ibumu, orang yang membunuh Pek Thian-ih sekarang sudah mati juga, akan tetapi Pek Thian-ih
sudah bersatu padu dengan seseorang, sejak kini peduli di atas langit atau di dalam bumi,
selamanya dia akan menemani aku." Tak memberi kesempatan Pho Ang-soat bersuara, dia
menambahkan, "Sekarang aku hanya ingin supaya kau melihat seseorang lagi."
"Siapa?" tanya Pho Ang-soat tak sabar lagi.
"Be Khong-cun," sahut Ting Pek-hun.
Mendadak dia berpaling, lalu melambaikan tangan ke bawah loteng, maka seorang segera
beranjak naik pelan-pelan dengan mengulum senyum. Kelihatannya hatinya amat senang, di dunia
ini seolah-olah sudah tiada sesuatu yang bisa membuatnya risau, takut dan gelisah. Waktu dia
melihat Yap Kay dan Pho Ang-soat, raut mukanya masih mengulum senyum lebar. Orang ini jelas
Be Khong-cun. Muka Pho Ang-soat yang pucat seketika membara, tangan kanannya sudah memegang gagang
golok di tangan kirinya.
Tiba-tiba Ting Pek-hun berkata keras, "Be Khong-cun, orang ini hendak membunuhmu, kenapa
kau tidak lari?"
Be Khong-cun masih tersenyum berdiri di tempat, bergerak pun tidak.
Ting Pek-hun tertawa juga, tertawanya membuat ketujuh puluh tujuh codet buruk dimukanya
kelihatan beikerut-kerut, kelihatannya begitu seram dan menakutkan, katanya dengan kalem,
"Sudah tentu dia takkan lari. bahwasanya dia tidak takut mati lagi... bahwasanya dia tidak
mengenal takut lagi, soal dendam sakit hati dan kerisauan, masgul dan lain sudah terlupakan
seluruhnya olehnya, karena dia sudah minum arak obat yang kubuat dari rumput ganja yang
sengaja kusiapkan untuk dia, sekarang sampai siapa dia pun tidak tahu, sudah lupa."
Memang Be khong-cun seperti orang linglung, seorang yang sudah melupakan segalanya,
melupakan siapa dirinya, lupa akan segalanya.
Tapi Pho Ang-soat tidak lupa, dia takkan bisa melupakan. Sejak dia bisa bicara, perkataan
pertama yang dia dengar adalah, "Pergilah kau bunuh Be Khong cun, balaskan sakit hati ayahmu."
Pernah juga dia bersumpah pada dirinya. "Asal aku berhadapan dengan be Khong-cun, pasti
takkan kubiarkan dia hidup, tiada seorang pun di dunia ini yang bisa merintangi aku." Dalam
suasana seperti itu, hanya dendam yang membara di dalam sanubarinya, dendam itu sendiri
laksana rumput beracun yang bersemi dan hidup subur di dalam sanubarinya Bahwasanya dia
sampai tidak mendengar apa yang diucapkan Ting Pek-hun, dendam kesumat seolah-olah sudah
menceburkan dirinya ke dalam tungku yang berkobar.
"... pergilah penggal batok kepala musuh besarmu, kalau tidak, jangan kau pulang menemui
aku...." itulah kutukan ibunya. Dalam rumah tiada warna lain, kecuali gelap. Demikian pula dalam
pandangannya sekarang, tolah-olah rumah berloteng ini sudah tiada setitik pun cahaya, seluruh
jagat semesta seakan-akan sudah menjadi gelap-gulita, hanya Be Khong-cun seorang saja yang
terpandang dalam matanya.
Namun Be Khong-cun tetap cengar-cengir tanpa bergerak, seperti tersenyum mengawasi Pho
Ang-soat. Sorot mata Pho Ang-soat penuh diliputi dendam membara, sebaliknya sorot mata Be
Khong-cun menampilkan rasa hambar, kosong dan senyuman tawar. Sungguh merupakan
perbandingan yang menyolok, kalau tidak mau dikatakan sebagai sindiran tajam. Jari-jari Pho Angsoat
yang menggenggam golok sudah memutih kencang, otot hijau merongkol keluar.
Be Khong-cun tiba-tiba berkata dengan tertawa, "Kenapa tanganmu selalu memegang barang
kotor dan hitam seperti itu" Barang itu kau berikan kepadaku, aku pun tidak mau, memangnya
kau takut aku merebutnya?"
Golok iblis ini entah sudah membunuh berapa jiwa manusia, kini di dalam pandangan Be
Khong-cun tidak lebih hanya sebuah benda kotor hitam yang tidak berguna sama sekali. Golok iblis
yang pernah diagungkan sebagai senjata nomor satu dan golok tiada bandingannya di seluruh
jagat, sekarang sepeser pun tak berharga di dalam pandangannya. Apakah di situlah letak nilai
kemurnian golok itu sendiri" Sesuatu yang dipandang seorang pikun, bukankah kenyataan dan
keasliannya"
Tiba-tiba badan Pho Ang-soat mulai gemetar pula, mendadak dia mencabut goloknya, secepat
kilat goloknya menyambar menabas leher Be Khong-cun.
Pada saat gawat itu pula, tampak sinar pisau berkelebat, "Tring", golok di tangan Pho Ang-soat
mendadak putus menjadi dua. Bekas kutungan golok berkerontangan jatuh ke lantai bersama
pisau terbang itu. Pisau pendek sepanjang tiga dim tujuh mili.
Sigap sekali Pho Ang-soat membalik badan, melotot kepada Yap Kay, tanyanya serak gemetar,
"Kaukah?"
"Ya, aku," sahut Yap Kay manggut.
"Kenapa kau rintangi aku membunuhnya?" tanya Pho Ang-soat
"Karena sebetulnya kau tidak perlu membunuhnya, hakikatnya kau tiada alasan membunuh
dia," ujar Yap Kay, terpancar rasa duka dan seperti tertekan perasaannya.
Pho Ang-soat semakin melotot, seolah-olah bara berkobar di dalam matanya, tanyanya,
"Katamu aku tiada alasan membunuhnya?"
"Ya, kau tak punya alasan untuk membunuhnya."
Semakin beringas Pho Ang-soat dibuatnya, dampratnya, "Seluruh keluargaku terbunuh di
tangannya, sudah dua puluh tahun hutang darah ini belum lunas, jika dia punya sepuluh jiwa, aku
harus membunuhnya sepuluh kali."
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Kau salah."
"Dimana aku salah?"
"Sasaran bencimu belum tepat."
"Apa benar aku tidak pantas membunuhnya?"
"Tidak."
"Kenapa?"
"Karena orang-orang yang dia bunuh bukan ayah bunda atau familimu, di antara kau dan dia
hakikatnya tiada sakit hati apa-apa"
Sudah tentu ucapan Yap Kay ini seumpama gunung meletus. Sudah pasti takkan ada perkataan
dari siapa pun di dunia ini yang begitu mengejutkan dari apa yang diucapkan Yap Kay ini.
Dengan nanar Yap Kay mengawasi Pho Ang-soat, katanya kalem "Kau membencinya, lantaran
ada orang yang mendesakmu untuk membenci dia."
Bergetar sekujur badan Pho Ang-soat. Kalau orang lain yang bicara dengan dirinya, dia takkan
mau percaya. Tapi yang bicara sekarang adalah Yap Kay, dia tahu Yap Kay pasti bukan seorang
yang suka mengoceh dan membual.
"Dendam bak sebatang rumput beracun, jika ada orang menanamnya di dalam sanubarimu, dia
akan berakar mendalam di dalam hatimu, jadi bukan sejak lahir dia sudah pembawaan
bersemayam di dalam sanubarimu" demikian kata Yap Kay.
Pho Ang-soat mengepal kencang kedua tinjunya, akhirnya dengan paksa dia bersuara, "Aku
tidak mengerti."
"Dendam adalah soal belakangan, oleh karena itu setiap orang boleh saja salah sasaran
membenci orang, hanya cinta yang selamanya takkan salah."
Karena haru dan emosi, muka Ting Jun-hong sampai merah membara, mendadak dia berseru,
"Bagus, ucapan bagus, terlalu bagus ucapanmu."
Sebaliknya raut muka Ting Pek-hun semakin pucat, katanya, "Tapi apa yang dia ucapkan, aku
sepatah pun tetap tidak mengerti."
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Seharusnya kau sudah mengerti."
"Kenapa?" tanya Ting Pek-hun.
"Karena hanya kau saja yang tahu, bahwa Ting Ling-tiong bukan putra kandung Tinglocengcu."
Kembali berubah air muka Ting Pek-hun, teriaknya, "Apakah Pho Ang-soat bukan keturunan
keluarga Pek?"
"Pasti bukan." Jawaban ini bagai guntur menggelegar di siang hari bolong. Semua orang
terbelalak mengawasi Yap Kay, Ting Pek-hun tergagap, "Kau... kau bohong."
Yap Kay mandah tertawa saja, tawa yang pahit dan sedih. Dia tidak menyangkal, karena dia
tidak perlu menyangkal, siapa pun akan tahu dan yakin bahwa dia tidak membual.
"Darimana kau bisa tahu akan rahasia ini?" tanya Ting Pek-hun.
"Ini bukan rahasia," ujar Yap Kay rawan, "hanya sebuah tragedi yang mengharukan, jika kau
sendiri adalah salah seorang yang tersangkut di dalam tragedi ini, cara bagaimana tidak tahu
persoalan ini?"
"Kau...." teriak Ting Pek-hun tertahan. "Apakah kaulah putra Pek Thian-ih yang tulen?"
"Aku memang...."
Pho Ang-soat tiba-tiba menerjang maju ke depan dada Yap Kay, gerungnya gusar, "Kau
bohong." Tawa Yap Kay semakin memilukan. Dia tetap tidak menyangkal, sudah tentu Pho Ang-soat juga
tahu bahwa orang tidak membual.
Ting Pek-hun bertanya pula, "Apakah Im Pek-hong sendiri juga tidak tahu akan rahasia ini?"
Yap Kay manggut-manggut, sahutnya, "Dia pun tidak tahu."
"Karena hal ini memang sengaja harus mengelabui dia."
"Sebetulnya apakah yang telah terjadi?" tanya Ting Pek-hun.
BAB 46. CINTA ABADI
Sesaat Yap Kay ragu-ragu, kelihatan hatinya amat tertekan dan berduka. Sebetulnya dia tidak
ingin membeberkan peristiwa ini, tapi sekarang dia dipaksa untuk mengungkapnya secara terbuka.
Ternyata di kala Im Pek-hong bunting, hal ini sudah diketahui oleh Pek-hujin.
Tak lain karena Pek-hujin seorang perempuan yang cerdik pandai dan banyak akal serta tabah,
meski dia tahu bahwa suaminya di luar suka main serong, punya gundik, dirinya dimadu, namun
lahirnya dia tetap berlaku tenang dan pura-pura tidak tahu.
Karena dia sudah memikirkan suatu cara untuk memutuskan hubungan suaminya dengan
perempuan ini, cuma bagaimana juga, anak yang bakal dilahirkan Im Pek-hong tetap adalah
keturunan atau darah daging keluarga Pek mereka.
Maka dia tidak akan merelakan darah daging keluarga Pek berada di tangan orang lain, karena
jika anak itu tetap berada di samping Im Pek-hong, maka hubungannya dengan Pek Thian-ih
selamanya takkan bisa dia putus, cepat atau lambat Pek Thian-ih akhirnya toh harus menilik dan
menengok anaknya sendiri.
Oleh karena itu Pek-hujin lantas menyogok dukun bayi yang membantu Im Pek-hong
melahirkan. Dengan seorang anak lain, dia lantas menukar bayi yang baru lahir itu. Waktu itu Im
Pek-hong sendiri sedang dalam keadaan pingsan karena kesakitan di kala melahirkan, sudah tentu
tidak pernah disadarinya bahwa oroknya yang baru lahir itu sudah ditukar dan bayi yang dia susui
bukan putranya sendiri. Setelah dia siuman, sudah lama Pek-hujin membawa oroknya itu pulang.
Sebelum Pek-hujin menikah dia punya seorang saudara kandung yang baik sekali, akhirnya
adiknya ini menikah dengan seorang Piausu she Yap. Bernama Yap Ping, sesuai dengan namanya
Piausu ini amat jujur dan bersahaja, dalam Bu-lim tidak punya nama tenar, namun dia murid Siaulimpay lurus dari kalangan preman.
Murid dari perguruan silat yang lurus dan murni, biasanya lebih gampang bercokol mencari
kehidupan di dalam masyarakat. Kebetulan Yap Ping tidak punya anak. Oleh karena itu, Pek hujin
lantas menyerahkan putra Im Pek-hong kepadanya untuk diasuh dan dididik, untuk sementara dia
tetap tidak ingin memberitahu hal ini kepada Pek Thian-ih. Pada waktu itu hanya Pek-hujin dan
adik Yap-hujin saja berdua yang tahu akan rahasia ini, sampai pun Yap Ping sendiri pun tidak tahu
menahu akan asal-usul putra pungutnya ini.
Orang ketiga yang tahu akan rahasia ini adalah Siau-li Tham-hoa. yaitu Li Sun-hoan yang sudah
terkenal dan dipandang sakti mandra-guna bagaikan dewata pada waktu itu.
Soalnya meski Pek-hujin seorang perempuan yang cerdik banyak akalnya, namun dia bukan
perempuan jahat yang punya pikiran sesat. Di saat dia tahu suaminya memelihara gundik di
luaran, setiap perempuan pasti berubah menjadi tabah, pendiam dan banyak pikiran.
Setelah Pek-hujin melaksanakan muslihatnya itu, dalam sanubari nya yang paling dalam merasa
menyesal dan berdosa terhadap orok kecil itu. Dia tahu dengan ilmu silat yang dibekal Yap Ping,
meski dia murid didik langsung dari perguruan Siau-lim-pay lurus, jelas takkan bisa mendidik anak
itu menjadi seorang tokoh besar yang benar-benar terpandang di dalam Bu-lim. Besar harapannya
setiap warga keluarga Pek seluruhnya bisa menonjolkan diri dan menjagoi dunia persilatan.
Oleh karena itu dia memberitahu rahasia ini kepada Li Sun-hoan, karena Li Sun-hoan pernah
berjanji hendak menurunkan kepandaian ilmu timpukan pisau terbangnya kepada seorang putra
dari keluarga Pek, Pek-hujin tahu Li Sun-hoan pasti akan menepati janjinya itu. Dia pun percaya
kepada Li Sun-hoan, pasti takkan membocorkan rahasia ini.
Di dunia ini siapa pun takkan ada orang yang tidak percaya kepada Li Sun-hoan, sampai pun
musuh besarnya pun tetap percaya akan setiap patah katanya. Benar juga Li Sun-hoan menepati
janjinya, sampai sekarang dia tidak pernah membocorkan rahasia ini.
Tapi dia toh tahu juga, di dunia ini tiada sesuatu rahasia yang bisa selalu mengelabui orang
lain, pada suatu ketika kelak anak ini pasti akan tahu asal-usulnya sendiri. Oleh karena itu sejak
bocah itu masih kecil dia sudah memberitahu kepadanya, bahwa dendam kesumat hanya akan
membawa sengsara dan kehancuran bagi setiap insan. Hanya cinta itulah abadi.
Dia mengajarkan kepada bocah itu, cara bagaimana dia harus belajar untuk bisa mencintai
sesamanya, jelas pelajaran ini jauh lebih penting dan sukar dari ajaran bagaimana kau harus
membunuh orang. Hanya orang yang betul-betul mengerti akan makna ajarannya ini baru dia
setimpal mempelajari Siau-li si pisau terbang punya kepandaian. Dan hanya orang yang benarbenar
bisa meresapi makna yang murni dari ajaran ini, baru dia bisa berhasil dengan gemilang.
Setelah pupuk dasar ini dia pelihara dan bina betul di sanubari anak itu, baru dia benar-benar
menurunkan kepandaian mujizat dari pisau terbangnya kepada Yap Kay.
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sungguh merupakan suatu kisah yang mengenaskan.
Selama ini Yap Kay tidak mau menceritakan kisah ini, karena dia tahu latar belakang peristiwa
ini yang sesungguhnya, dan cerita itu pula secara langsung akan melukai lahir batin orang lain.
Sudah tentu orang yang terkena langsung pukulan lahir batin ini adalah Pho Ang-soat.
Pho Ang-soat sudah melepaskan kedua cengkraman tangannya, selangkah demi selangkah dia
menyurut mundur, seakan-akan berdiri pun tak kuat lagi.
Bahwasanya dia lahir tumbuh dan dewasa hanya karena dendam kesumat, sekarang
keadaannya mirip benar dengan seorang yang berdiri di atas tali terentang tinggi tergantung di
tengah udara, tiba-tiba kehilangan keseimbangan badan dan terjerumus jatuh serta terbanting
keras di tanah.
Dendam kesumat memang membuat dia menderita, tapi derita itu teramat serius, agung dan
suci. Sekarang dia merasa bahwa dirinya terlalu menggelikan. Terlalu kasihan sehingga
menggelikan. Belum pernah dia merasa kasihan akan pribadinya sendiri, karena betapa pun
sengsara dan derita yang dia alami, paling tidak dia tetap bangga akan keluarganya Namun
sampai detik ini, siapa sebetulnya ayah-bunda kandungnya toh dia tetap tidak mengetahui.
Waktu Cui long mangkat, dia kira dirinya mengalami suatu peristiwa yang paling mengenaskan
di seluruh jagat ini. Baru sekarang pula dia sadari ternyata masih ada tragedi lain yang lebih
mengenaskan, nasib yang jelek serta takdir yang buruk.
Yap Kay mengawasinya, sorot matanya menampilkan rasa sesal dan menderita pula.
Sebetulnya rahasia baru dia ketahui di waktu Yap-hujin sudah dekat ajalnya, karena Yap-hujin
berpendapat setiap manusia mempunyai hak untuk mengetahui asal-usul riwayat hidupnya sendui
demikian pula Yap Kay, dia harus dan punya hak untuk tahu.
Pho Ang-soat pun seorang manusia, dia pun harus dan punya hal untuk tahu akan hal ini.
"Sebetulnya sudah lama aku harus memberitahu kepadamu," ujar Yap Kay masgul. "Beberapa
kali sudah hampir kukatakan, namun selalu.... Sungguh dia bingung tak tahu cara bagaimana dia
harus melimpahkan isi hatinya, namun Pho Ang-soat tidak memberi kesempatan kepadanya.
Sorot mata Pho Ang-soat beralih ke arah lain, sengaja menghindari bentrokan pandangan
dengan Yap Kay, namun cepat sekali dia mengucapkan dua patah kalimat, "Aku tidak akan
menyalahkan kau, karena kau toh tidak salah...." Sejenak dia ragu-ragu, akhirnya dia mengatakan
pula kalimat yang takkan pernah bisa dilupakan oleh Yap Kay, "Aku pun tidak akan membencimu,
aku pun takkan membenci siapa lagi." Sebelum ucapannya berakhir, dia sudah putar tubuh,
beranjak turun ke bawah loteng, gaya jalannya kelihatan tetap aneh dan lucu, gerak-geriknya
lamban dan seperti kebodohan-bodohan, seolah-olah dia memang dilahirkan untuk mengalami
tragedi yang memilukan ini.
Yap Kay mengawasinya, dia tidak berusaha menahannya, setelah dia berada di bawah loteng,
baru dia bersuara keras, "Kau pun tidak salah, hanya dendamlah yang salah, dendam kesumat itu
memangnya sudah salah sejak permulaan."
Pho Ang-soat tidak berpaling, seakan-akan malah dia seperti tidak mendengar seruan Yap Kay.
Tapi setelah dia tiba di bawah loteng, badannya ternyata sudah tegak kembali. Walau langkah
kakinya lamban lucu dan kebodohan-bodohan, namun dia terus beranjak ke depan, tidak pernah
berhenti dan berpaling ke belakang. Dia pun tidak roboh karenanya.
Beberapa kali sampai Pho Ang-soat sendiri sudah menduga dirinya bakal tersungkur roboh, tapi
kenyataan dia tetap beranjak tegak tak tergoyahkan.
Mendadak Yap Kay menghela napas, mulutnya menggumam sendiri, "Dia akan sembuh dan
baik pula."
Ting Jun-hong sebaliknya mengawasi dia, sorot matanya membayangnya kekalutan pikiran dan
amat prihatin. Yap Kay berkata pula, "Sekarang dia tak ubahnya seperti orang yang terluka parah, tapi asal
dia masih bertahan hidup, betapa pun parah dan dalam luka-lukanya, akan datang suatu hari dia
akan sembuh dan sehat kembali." Tiba-tiba dia tertawa, serta menambahkan, "Manusia ada
kalanya mirip dengan cecak, umpama kau memutus ekornya, cepat sekali ekornya itu akan
tumbuh seperti sedia kala."
Ting Jun-hong ikut tertawa, ujarnya tersenyum, "Perumpamaanmu ini baik sekali, sungguh
sangat baik."
Mereka berpandangan, tiba-tiba terasa dalam sanubari masing-masing akan pengertian yang
mendalam akan pribadi orang. Seolah-olah bagai kawan yang sudah karib beberapa tahun
lamanya. Ting Jun-hong berkata, "Sebetulnya kau tidak ingin membeberkan peristiwa ini?"
"Sebetulnya aku selalu dibayangi perasaan, setelah aku membeberkan rahasia ini, bagi siapa
pun tidak akan membawa manfaat."
"Tapi sekarang jalan pikiranmu itu sudah berubah."
Yap Kay manggut-manggut, ujarnya, "Karena sekarang aku sudah menyadari, pengorbanan
yang kita pertaruhkan untuk peristiwa ini sudah terlalu besar."
"Oleh karena itu kau ingin mengakhiri persoalan ini?"
Kembali Yap Kay manggut-manggut.
Tiba-tiba Ting Jun-hong berpaling dan mengawasi Ting Pek-hun, "Jika kau tidak mati, apakah
persoalan inipun boleh berakhir sampai di sini?"
"Sebetulnya dia memang tidak perlu mati," sahut Yap Kay.
"Lho, kenapa?"
"Umpama dia sudah melakukan kesalahan, sejak lama dia sudah membayar kesalahannya itu."
Ting Jun-hong diam saja. Dia setuju akan jawaban ini. Hanya dia saja yang tahu betapa
pengorbanan yang sudah dipertaruhkan oleh adiknya, Ting Pek-hun, adalah sedemikian
mengenaskan. Yap Kay mengawasinya, tiba-tiba dia tertawa, ujarnya, "Tentunya kau pun tahu bahwa dia
takkan mati, benar tidak?"
Sekilas Ting Jun-hong melengak bimbang, akhirnya dia manggut-manggut, katanya, "Benar, dia
takkan mati, dan tidak perlu mati...."
Melotot kaget Ting Pek-hun mengawasi Engkohnya ini, teriaknya tertahan, "Kau... apakah...."
Ting Jun-hong menghelas napas, ujarnya, "Sejak pertama aku sudah tahu bahwa kau sudah
menyiapkan arak beracun untuk dirimu sendiri, maka...."
"Maka kau menukar botol berisi arak beracun itu?" desak Ting Pek hun dengan mendelik haru.
"Seluruh bahan obat-obatan dan arak beracunmu kuganti seluruhnya, umpama kau habiskan
seluruh poci arak itu, paling kau akan jatuh mabuk dua hari." Dengan tersenyum dia lantas
meneruskan, "Seorang kolot seperti aku ini ada kalanya bisa juga melakukan tindakan lucu dan
menggelikan."
Lama sekali Ting Pek-hun mematung dengan mata terbelalak tiba-tiba dia terkial-kial.
Ting Jun-hong tertegun, tanyanya, "Apa yang kau tertawakan?"
"Aku sedang menertawakan aku sendiri."
"Menertawakan kau sendiri?" Ting Jun-hong keheranan.
"Kalau toh Im Pek-hong tidak mampus, kenapa aku harus mencari jalan pendek?" tawanya
kedengaran nyaring dan sendu, sampai sukar dibedakan tertawa atau menangis, "Baru sekarang
aku tahu, dia harus lebih dikasihani daripadaku, sampai pun putranya sendiri siapa pun dia tidak
tahu, kalau dia boleh bertahan hidup, kenapa aku tidak mau hidup?"
"Kau memang harus bertahan hidup," kata Ting Jun-hong. "Setiap orang harus
mempertahankan hidupnya."
Ting Pek-hun tiba-tiba menuding Be Khong-cun, "Lalu bagaimana dia?"
"Dia kenapa?"
"Kalau arak yang kuminum bukan arak beracun, lalu arak yang dia minum bukankah...."
"Arak yang kau biarkan dia minum, tak lain hanya arak anggur yang sudah tersimpan tujuh
tahun belaka."
Mendadak rona muka Be Khong-cun berubah hebat.
"Mungkin dia sudah tahu bahwa kau hendak menghadapinya," kata Ting Jun-hong.
"Oleh karena itu melihat di atas mejaku ada arak, dia lantas menenggaknya habis," ujar Ting
Pek-hun. Ting Jun-hong manggut-manggut, katanya, "Tentunya kau pun harus tahu, sebetulnya dia tidak
sembarangan mau minum arak begitu saja."
"Maka selanjutnya dia lantas pura-pura pikun seperti orang benar-benar keracunan, menunggu
cara bagaimana aku hendak menghadapinya."
"Cara bagaimana kau hendak menghadapinya?"
Ting Pek-hun tertawa getir, sahutnya, "Kalau toh sudah kuberitahu kepadanya, bahwa arak itu
kuracik dengan daun ganja."
"Tentunya dia pun tahu seseorang yang sudah makan rumput ganja, bagaimana pula
reaksinya."
"Maka dia sengaja pura-pura berlaku pikun seperti orang gila, bukan saja dia menipu dan
mengelabui aku, sekaligus dia pun sudah menipu dan mengelabui orang-orang yang ingin
membunuhnya."
Kembali raut muka Be Khong-cun diliputi gelisah, kaget dan ketakutan, tiba-tiba dia mencabut
sebatang pisau dari dalam sepatu panjangnya terus membalik tangan menusuk ke dada sendiri.
Pada saat itu juga, tampak sinar kilat berkelebat. Pisau di tangannya itu tiba-tiba terpental
jatuh, tentunya terpukul jatuh oleh pisau terbang sepanjang tiga dim tujuh mili.
Bergegas Be Khong-cun berpaling, dia mendelik kepada Yap Kay, suaranya serak, "Kau... apa
kau tidak memberi kesempatan kepadaku untuk mati saja?"
Yap Kay berkata tawar, "Aku hanya ingin tanya, kenapa pula mendadak kau ingin mati?"
Terkepal jari-jari Be Khong-cun, serunya, "Apakah mati pun aku tidak bisa?"
"Jika kau minum arak beracun, apakah jiwamu sekarang masih hidup?"
Be Khong-cun terkatup mulutnya, dia tak berani menyangkal.
"Justru karena arak itu tidak beracun, sekarang kau malah ingin mati, bukankah perbuatanmu
ini teramat lucu dan menggelikan?"
Be Khong-cun tidak mampu menjawab. Mendadak dia pun menyadari kejadian ini memang lucu
dan menggelikan, begitu jenaka sampai ingin rasanya dia menangis tergerung-gerung sepuasnya.
Yap Kay berkata pula, "Kau kira rumput ganja itu bisa membikin kau melupakan segala derita
dan dendam sakit hati, apakah orang lain juga bakal melupakan dendam dan sakit hatinya
terhadap kau?"
Be Khong-cun mengakui akan kebenaran arti ucapan Yap Kay, memang dia berpikir demikian.
Setelah menghela napas Yap Kay berpidato lagi, "Sebetulnya kecuali rumput ganja itu, masih
ada sebuah benda di dunia ini sama saja dia pun bisa membuat kau lupa akan derita dendam
kesumat." Tak tahan Be Khong-cun bertanya, "Apakah itu?"
"Itulah 'pengampunan'."
"Pengampunan?"
"Kalau toh kau sendiri tidak kuasa mengampuni dirimu, orang lain mana bisa mengampuni
kau?" Yap Kay mengoceh terus, "Tapi seseorang bilamana dia sudah dapat benar-benar
mengampuni orang lain, baru dia bisa mengampuni pribadinya sendiri, oleh karena itu jika benarbenar
sudah mengampuni orang lain, orang lain pun akan mengampunimu."
Tertunduk kepala Be Khong-cun. Tidak sukar untuk meresapi kebenaran ajaran filsafat ini.
Di dunia kehidupannya, selamanya dia berpendapat bahwa membalas dendam jauh lebih tepat
dari pengampunan, itu lebih memperlihatkan kebesaran jiwa laki-laki.
Tapi mereka lupa untuk benar-benar bisa melaksanakan 'Pengampunan' ini, bukan saja harus
memiliki sanubari yang bajik dilembari cinta kasih nan suci, dia pun harus punya keberanian pula,
keberanian yang lebih besar daripada membalas dendam.
Sungguh hal ini jauh lebih sulit tercapai daripada membalas dendam itu sendiri.
Untuk selamanya Be Khong-cun tidak akan mengerti akan Tripusaka ajaran Nabi Khong-cu ini.
Oleh karena itu, meski orang lain sudah mengampuni dia, dia toh tetap tidak bisa mengampuni
dirinya sendiri.
Dia menderita, menyesal, mungkin bukan lantaran kesalahan dosa dan perbuatan jahatnya,
adalah karena seluruh dosa dan kesalahannya sudah terbeber dan diketahui orang banyak.
"Seharusnya rahasia ini selamanya pun takkan mungkin diketahui orang lain, seharusnya aku bisa
bekerja lebih baik...." Jari-jarinya terkepal kencang, keringat dingin bercucuran membasahi sekujur
badannya. Penyesalan macam apa pun, sama saja bisa membikin orang menderita dan sengsara.
Mendadak dia menubruk ke depan, direnggutnya guci arak di atas meja kecil sana, dengan
lahapnya dia habiskan sisa arak yang masih di ada dalamnya. Lalu pelan-pelan dia rebah
telentang, mabuk tak sadarkan diri.
Mengawasi keadaan orang, tiba-tiba timbul rasa simpatik dan kasihan yang tak terlukiskan
dalam sanubari Yap Kay. Dia tahu orang ini selanjutnya takkan pernah mengalami hidup bahagia
dan gembira meski hanya sehari saja.
Orang seperti dia, sudah tidak perlu orang lain berusaha menghukumnya, karena dia sudah
menghukum dirinya sendiri
Sunyi tenteram dalam rumah itu
Segala pertarungan dan derita sudah berselang. Bisa melihat dan menghadapi suatu tragedi
yang dimulai dari permusuhan, terakhir karena adanya pengampunan, sungguh tak usah
diragukan betapa riang dan gembira hati setiap orang.
Mengawasi Yap Kay, muka keriput Ting Jun-hong menjadi cerah, sorot matanya pun
cemerlang. Penuh diliputi perasaan yang tak kuasa diutarakan dengan kata-kata. Jelas itu bukan
rasa terima kasih saja, namun semacam perasaan agung yang lebih tinggi daripada terima kasih
dan hormat. Baru saja dia hendak membuka suara, dilihatnya putri bungsunya berlari naik ke atas loteng.
Muka Ting Hun-pin yang pucat kelihatan gugup, katanya dengan napas tersengal-sengal.
"Samko sudah pergi." Tiba-tiba teringat olehnya bahwa Lok Siau-ka pun adalah Samkonya, maka
cepat sekali dia menambahkan, "Kedua Samko sama-sama pergi."
"Dua Samko?" tanya Ting Jun-hong mengerut kening.
"Ting Ling-tiong pergi sendiri, kita berusaha menahannya, tapi dia bertekad mau pergi."
Yap Kay dapat memahami perasaan hati Ting Ling-tiong. Dia merasa dirinya tak ada muka
untuk tinggal lebih lama di sini, dia harus melakukan darma bakti untuk menebus dosa-dosanya.
Memangnya Ting Ling-tiong adalah pemuda bajik dan bijaksana. Asal dia diberi kesempatan
untuk memulai dengan baik, kelak dia pasti akan bertindak dengan baik pula. Untuk ini Yap Kay
cukup yakin dan mengerti, dia pun percaya kepadanya. Karena mereka memangnya satu
keturunan dari tunggal ayah lain ibu.
Ting Hun-pin berkata pula, "Lok Siau-ka pun pergi, dibawa pergi seseorang."
"Dia tidak mati?" tanya Yap Kay.
"Kita semula mengira luka-lukanya takkan tertolong lagi," demikian tutur Ting Hun-pin, "tapi
orang itu bilang dia masih punya cara untuk mempertahankan hidupnya."
"Siapakah orang itu?" tanya Yap Kay pula.
"Aku tidak mengenalnya, sebetulnya kita pun tidak mengizinkan dia membawa Lok... Loksamko
pergi, tapi kita tak mampu berbuat apa-apa untuk merintangi dia." Terunjuk rasa kaget dan
takut pada mimik mukanya, tuturnya lebih lanjut, "Selamanya belum pernah aku melihat ada
orang yang memiliki kepandaian silat setinggi itu, cukup hanya mengebas tangan perlahan saja,
kita semua tak mampu mendekati badannya."
"Orang macam apakah dia?" desak Yap Kay
"Seorang laki-laki berlengan satu, mengenakan jubah panjang warna kuning dari kain yang
aneh, sepanjang matanya seperti abu-abu yang kaku mati, belum pernah kulihat mata semacam
itu." Ting Jun-hong berjingkat dari kursinya, teriaknya, "Ki Bu bing."
Ki Bu-bing. Nama ini seolah-olah juga membawa kekuatan iblis yang menyedot pikiran orang, berkata Ting
Jun-hong, "Dia tidak punya sanak tiada kadang, dia pun tak punya teman, Lok Siau-ka selamanya
akan dia pandang sebagai anak sendiri, jika dia mau membawa Siau-ka pergi, Siau-ka pasti takkan
mati." Agaknya orang tua ini sedang menghibur hatinya sendiri. Tiba-tiba disadari oleh Yap Kay bahwa
orang tua ini bahwasanya tidak mirip dengan laki-laki tua dingin kejam seperti yang sering dia
dengar di luaran.
Mukanya yang semula kaku dingin lambat-laun menampilkan gejolak hatinya, mulutnya komatkamit
menggumam, "Kalau dia sudah kemari, seharusnya dia menemui aku."
Yap Kay tertawa dingin, ujarnya, "Dia takkan kemari, karena dia tahu ada seorang murid Siau-li
Tham-hoa berada di sini."
"Apakah kau kira dia tetap belum melupakan sakit hatinya terhadap Siau-li Tham hoa?"
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Ada sementara persoalan yang selamanya takkan bisa
dilupakan, karena...."
Karena Ki Bu bing adalah manusia sejenis Be Khong-cun, selamanya dia takkan bisa meresapi
arti suci dari "pengampunan", demikianlah batin Yap Kay, tidak dia utarakan, karena dia tidak
mengharap setiap orang yang hadir di sini bisa berbuat seperti dirinya, mengutamakan cinta kasih
kepada sesama manusia.
Pada saat itulah, daun jendela yang semula tertutup tiba-tiba terbuka oleh hembusan segulung
angin kencang yang aneh. Lalu dia mendengar seorang berkata di luar jendela, "Sejak tadi aku
sudah berada di sini, sayang sekali kau tidak melihatku." Suaranya dingin dan congkak, setiap
patah katanya diucapkan pelan-pelan, seakan-akan dia tidak biasa melimpahkan isi hatinya
dengan tutur kata yang semestinya.
Untuk menunjukkan jalan pikirannya, biasanya dia menggunakan cara lain yang lebih langsung.
Jalan pikirannya selamanya tidak perlu dimengerti orang lain.
Ki Bu bing. Hanya mendengar suara perkataan orang, Yap Kay lantas tahu bahwa Ki Bu bing berada di
luar. Pelan-pelan dia membalik badan, maka dilihatnya seorang laki-laki berpakaian serba kuning
seperti batang tombak tegapnya berdiri di bawah pohon Liu di pinggir empang. Raut muka orang
tidak dilihatnya, hanya tampak sepasang matanya yang aneh, sepasang mata yang mencorong
dingin berkilat seperti sinar mata binatang buas.
Sepasang mata itupun sedang mengawasi Yap Kay, tanyanya, "Kau inikah Yap Kay?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Kau tahu aku ini siapa?" tanya Ki Bu bing.
Yap Kay manggut-manggut pula. Agaknya dia tidak rela bila Ki Bu-bing mengira dirinya pemuda
ceriwis oleh karena itu bila tidak perlu bersuara selamanya dia tidak buka mulut.
Lama sekali Ki Bu bing menatapnya, mendadak dia menghela napas panjang. Yap Kay amat
kaget, sungguh tak pernah terbayang olehnya bahwa laki-laki inipun punya saat untuk menghela
napas panjang. Berkata Ki Bu bing pelan-pelan "Sudah beberapa tahun aku tidak berjumpa dengan Li Sun
hoan, selama ini aku selalu mencarinya." Mendadak dia tarik suara dan berkata lantang, "karena
aku ingin mencarinya untuk bertanding mengadu kepandaian apakah pisau terbangnya yang cepat
atau pedangku yang lebih cepat."
Yap Kay diam, dia hanya mendengarkan saja.
Ternyata Ki Bu bing menghela napas pula, ujarnya "Tapi sekarang aku sudah merubah niatku,
tahukah kau kenapa?"
Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sudah tentu Yap Kay tidak tahu.
"Karena kau?" jawab Ki Bu bing sendiri.
"Karena aku?" Yap Kay melengak keheranan.
"Setelah melihat kau, baru aku insaf bahwasanya aku memang tidak bisa mengungguli Li Sunhoan."
Sorot matanya yang dingin dan suaranya yang kaku tiba-tiba berubah amat mendelu dan
rawan, lama sekali baru dia melanjutkan, "Lok Siau-ka hanya tahu membunuh orang, tapi
kau....tiga kali turun tangan, ketiganya berusaha menolong jiwa orang."
Pisau memangnya alat peranti membunuh orang. Tahu cara bagaimana menggunakan
pisau membunuh orang, tidak sulit, tapi untuk bisa mengerti cara bagaimana menggunakan pisau
menolong jiwa orang, sungguh suatu hal yang sukar dilakukan.
Sungguh Yap Kay tidak nyana bahwa Ki Bu bing tahu juga akan makna ini. Kehidupan
sebatangkara nan sunyi, agaknya sudah menggugah kesadaran laki-laki yang tak berperi cinta
kasih dan membunuh manusia sebagai kegemarannya.
Mendadak Ki Bu bing bertanya pula, "Tahukah kau akan Pek siau seng?"
Yap Kay manggut-manggut.
Daftar alat senjata adalah merupakan koleksi buku karya Pek-siau-seng, di dalam lembaran
sejarah buku karyanya itu sudah meninggalkan lembaran yang tak mungkin dihapus lagi.
Berkata pula Ki Bu bing, "Walaupun dia bukan seorang lurus, namun buku karyanya itu cukup
obyektif dan adil."
Yap Kay percaya. Sesuatu yang tidak adil, takkan lama bisa bertahan. Tapi buku karya Pek siau
seng tentang senjata-senjata itu tetap bertahan dan masih menjadi bahan pembicaraan serta
diakui segala lapisan dunia persilatan sampai sekarang.
"Siangkoan Kim-hong memang mati di tangan Li Sun-hoan, tapi ilmu silatnya, memang
kenyataan lebih unggul dari Li Sun-hoan."
Yap Kay pasang kuping mendengarkan.
Pertempuran Siangkoan Kim-hong melawan Li Sun-hoan sudah menjadi lembaran legenda
bagai cerita dewata saja di kalangan Kangouw. Dongeng memang cerita yang paling
mengasyikkan, tapi sering-sering tidak sesuai dan lepas dari kenyataan.
Ki Bu bing berkata, "Li Sun-hoan dapat membunuh Siangkoan Kim-hong, bukan lantaran ilmu
silatnya, adalah karena keyakinannya."
Selamanya Li Sun-hoan percaya dan yakin benar, bahwa setia dan keadilan lurus pasti bisa
mengalahkan sesat dan kejahatan, kebenaran dan keadilan selalu akan hidup di dalam sanubari
kehidupan manusia umumnya. Oleh karena itu dia menang.
Ki Bu bing berkata pula, "Waktu mereka bergebrak, hanya aku seorang saja yang menyaksikan
dengan mata kepalaku sendiri, aku bisa menilai betapa ilmu silatnya, kenyataan memang tidak
setinggi kepandaian Siangkoan Kim-hong, selama itu aku tetap tidak mengerti, cara bagaimana dia
bisa menang. Tapi sekarang aku sudah mengerti, nilai sejati dari sesuatu senjata sebetulnya tidak
terletak pada senjata itu sendiri, namun terletak pada apa yang dilakukan olehnya"
Yap Kay mengakui akan kebenaran komentar ini.
"Bahwa Li Sun-hoan bisa membunuh Siangkoan Kun liong adalah bukan lantaran dia ingin
membunuh orang sehingga dia dipaksa turun tangan, apa yang dia lakukan terhadap Thian, dia
tidak berdosa terhadap sesama manusia dia tidak bertindak jahat, oleh karena itu dia takkan bisa
dikalahkan."
Seorang bila dia bertempur, berjuang demi keadilan dan kebenaran maka dia takkan bisa
dikalahkan. Ki Bu bing berkata lebih lanjut, "Jika Pek siau seng juga tahu akan teori ini, maka dia harus
mencantumkan nama Li Sun-hoan di tempat paling atas, pisau terbangnya nomor satu di seluruh
jagat." Yap Kay mengawasinya, tiba-tiba timbul rasa hormat dan segannya terhadap seorang yang
sukar diselami dan dijajaki harkat dan jiwanya. Siapa pun dia bila sudah mengetahui akan
pengertian yang mendalam ini, dia patut dihormati.
Ki Bu bing tetap mengawasinya, katanya pula, "Oleh karena itu bila sekarang ada orang mau
membuat daftar urutan senjata, maka dia harus mencantumkan pisaumu sebagai nomor satu dan
tiada tandingan di seluruh jagat. Karena apa yang kau lakukan barusan, siapa pun takkan mampu
melakukannya, maka nilai dari pisaumu itu jelas dan pasti takkan ada senjata lain yang bisa
mengunggulinya.
Hembusan angin berlalu, meniup daun pohon melambai, bayangan Ki Bu bing seolah-olah ikut
lenyap tertiup hembusan angin ini. Memangnya dia orang yang susah diraba, mirip dengan angin
yang tidak bisa dipegang.
Yap Kay tegak berdiri menyongsong hembusan angin, terasa dadanya bergolak dan mendidih,
lama sekali sukar diredakan.
Ting Hun-pin berdiri di samping mengawasinya terlongong, sorot matanya pun menunjukkan
rasa cinta dan hormat. Perasaan perempuan memang aneh, jika kau tidak mendapat
penghormatan mereka, maka kau pun takkan memperoleh cinta kasihnya.
Mereka, kaum perempuan, jauh berbeda dengan laki-laki.
Laki-laki bisa jatuh hati dan bercinta kasih terhadap sesamanya karena mereka kasihan dan
simpatik, perempuan hanya cinta terhadap laki-laki yang dihormatinya saja.
Jika kau melihat perempuan mencintai seorang laki-laki karena rasa kasihan, maka kau boleh
berkepastian, cintanya itu tidak akan murni, jelas takkan bertahan lama.
Sudah tentu Ting Jun-hong dapat meraba isi hati putrinya, dia sendiri pun merasa bangga akan
sepak terjang anak muda yang satu ini Pemuda seperti ini, siapa pun yang menghadapinya pasti
akan merasa bangga.
Ting Jun-hong menghampiri ke sampingnya, katanya, "Sekarang tentunya kau tidak perlu
menyembunyikan riwayat hidupmu."
Yap Kay manggut-manggut, sahutnya, "Tapi aku pun tidak bisa melupakan budi luhur keluarga
Yap yang mengasuh dan mendidikku sampai sebesar ini."
"Kecuali kau," kata Ting Jun-hong. "Mereka tidak punya putra yang lain?"
"Mereka tidak punya anak."
"Oleh karena itu kau tetap she Yap."
"Ya, tetap she Yap."
"Yap berarti daun dan Kay terbuka?"
"Benar, Yap Kay."
"Tentunya kau heran kenapa aku menanyakan semua ini kepadamu, tapi tidak bisa tidak aku
harus bertanya, karena...." dia berpaling kepada putrinya serta mengawasinya dengan tersenyum,
katanya lebih lanjut kalem, "Karena aku tinggal punya putri bungsu ini, jika aku harus
menyerahkan dia kepada orang lain, paling tidak aku harus tahu siapa orang yang kupasrahi, siapa
she dan namanya."
SEKARANG dia sudah tahu pemuda ini bernama Yap Kay.
Dia yakin seluruh umat persilatan di kolong langit ini, cepat sekali pasti akan tahu akan
kebesaran namanya.
T A M A T Jodoh Rajawali 8 Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung Naga Kemala Putih 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama