Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
"Orang muda, bukankah kau yang bernama Tan Beng San" Ha-ha-ha, kiranya begini saja. Dan kau adalah adik kandung Tan Beng Kui-ciangkun" Alangkah anehnya dunia ini. Ha-ha-ha!"
Ucapan ini sekaligus menyinggung perasaan Beng Kui, maka orang muda ini dengan marah lalu melompat maju menghadapi adik kandungnya. Telunjuknya ditudingkan dan suaranya gemas menegur,
"Beng San! Lagi-lagi kau hanya memalukan aku. Orang gila, setelah kau melakukan perbuatan yang tidak patut tempo hari, masihkah kau ada muka untuk muncul lagi di sini" Jangan mencampuri urusan sumoiku, hayo kau pergi kalau tidak ingin mendengar aku bicara terus!"
Wajah yang tadinya hitam itu tiba-tiba berubah menjadi putih lalu hijau, kemudian hitam kembali, sementara matanya tidak pernah lepas memandang orang yang bicara di depannya. Beng Kui sampai merasa ngeri dan meremang bulu tengkuknya dipandang sedemikian rupa oleh Beng San. Beng San cukup mengerti bahwa kakak kandungnya itu memaksudkan perbuatannya dengan Kwa Hong tempo hari di markas tentara Mongol.
Tentu saja karena luka di hatinya oleh pengakuan Kwa Hong yang telah mengandung itu masih parah, ucapan ini seperti cuka disiramkan pada luka, perih sakit rasanya. Saking perihnya membuat Beng San tidak peduli lagi.
"Tan Beng Kui, kau boleh bicara sesuka hatimu. Kau boleh mengingkari sumoi sendiri dan tidak menolongnya. Tapi aku tetap akan menolong seorang yang terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat. Nona Cia Li Cu adalah seorang gagah, kalau aku tidak melihat dia, sedikitnya aku mengingat akan ayahnya.
Mundurlah, aku tidak berurusan dengan engkau."
"Bangsat keparat! Beng San, kaukira aku tidak tahu apa maksudmu menolong Li Cu" Kau penjahat pemetik bunga, engkau mata keranjang, pelanggar susila, perusak wanita! Kau sudah menodai Nona Kwa Hong, lalu kautinggalkan begitu saja untuk menikah dengan puteri Song-bun-kwi. Dan sekarang agaknya engkau sudah bosan dengan isterimu itu dan hendak mengganggu Li Cu dengan dalih menolongnya. Hemm...., keparat besar....!"
bagian 22 Beng San mengeluarkan suara gerengan sedemikian hebatnya sehingga bangunan di ruangan itu seakan-akan bergoyang. Matanya mendelik berapi-api sehingga saking kaget dan gentarnya Beng Kui sampai melangkah mundur tiga tindak.
Sekali lagi Beng San menggereng dan muka yang sudah hitam hangus saking marah hatinya itu kini perlahan-lahan menjadi agak putih. Ternyata ia sudah berhasil mengekang kemarahannya dan tidak menjatuhkan tangan maut kepada kakak kandungnya sendiri. la menoleh ke arah Lui Cai dan membentak,
"Ho-hai Sam-ong, di mana kalian" Hayo jawab, maukah kalian membebaskan Nona Cia Li Cu" Kalau tidak mau, mari kita mengadu kepandaian. Kalau aku kalah biarlah aku mampus di sini, akan tetapi kalau kalian kalah, kalian harus membebaskan dia. Ataukah kalian takut" Kalau kalian takut, boleh minta bantuan Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li atau siapapun juga!"
Tiga orang bajak laut itu memang sudah siap sedia. Lui Cai Si Bajul Besi sudah mengeluarkan senjatanya berupa dayung besar yang berat itu. Kiang Hun Si Naga Sungai sudah mengeluarkan senjatanya yang hebat, yaitu tambang besar dan panjang, sedangkan Thio Ek Sui juga sudah mengeluarkan ruyungnya yang runcing berduri. Tapi mereka tidak menyerang dan Lui Cai yang melihat Beng San datang tanpa membekal senjata apa-apa itu berkata, rasa kasihan sekali kepada Beng San, akan tetapi ketika ia mendengar ucapan Beng Kui tentang perbuatan Beng San itu, ia kaget bukan main. Benarkah Beng San seorang yang demikian rendah martabatnya" Makin dipandang makin mengerikan muka pemuda yang menghitam itu, dan matanya lebih-lebih mengerikan dan menyeramkan lagi. Kalau tidak betul apa yang diucapkan oleh Beng Kui, mengapa Beng San tidak membantah" Karena kebimbangan inilah maka niatnya untuk memperingatkan Beng San tentang perangkap di sekitar itu ia urungkan. Ia hanya memandang dengan matanya yang indah bening itu terbelalak lebar ketika Beng San dengan langkah sembrono menghampiri kursinya untuk membebaskannya daripada belenggu.
Tiba-tiba, seperti tadi, terdengar suara keras berderit, lantai berlubang dan belasan batang anak panah menyambar ke arah Beng San, sedangkan kursi yang diduduki Li Cu bergerak sendiri ke pinggir. Beng San memang sudah siap sedia menghadapi ini. Andaikata tadi ia tidak melihat bekerjanya pesawat itu sekalipun, belum tentu ia akan mudah menjadi korban. Apalagi ia sudah tahu akan datangnya bahaya itu. Dengan kipas pinjamannya, ia menggerakkan tangan dan sekali mengibas, belasan batang anak panah itu runtuh dan menyambar kembali ke dalam lubang di lantai. Terdengar pekik kesakitan di bawah lantai yang segera tertutup kembali. Kiranya anak-anak panah yang di
"retour" kembali itu tepat mengenai orang yang menjaga bekerjanya pesawat di bawah lantai! Ketika Beng San menoleh ke arah Li Cu, ternyata kursi yang diduduki nona ini sudah berpindah lagi sampai di belakang tiga orang kepala bajak itu yang ternyata sudah menghadang didepannya. Malah pedang Liong-cu-kiam yang tadi menggeletak di dekat Li Cu juga sudah lenyap dan ternyata telah dipegang oleh Beng Kui.
Beng San menghadapi para lawannya dengan sikap tenang, bibirnya mengejek dan pandang matanya yang bersinar-sinar itu penuh teguran.
"Nona Cia sudah berada di sini, tinggal membebaskan saja. Kalau kau mau membebaskan, silakan, boleh kaulakukan sendiri." Lui Cai tersenyum mengejek.
Beng San maklum bahwa tuan rumah hendak menjebaknya dengan perangkap seperti yang ia lihat hampir mencelakai Beng Kui tadi, akan tetapi ia tidak gentar dan dengan langkah tetap ia menghampiri Li Cu. Pada saat itu, Kiang Bi Hwa puteri Kiang Hun berjalan menghampiri Beng San dan bertanya dengan suaranya yang masih seperti suara anak kecil.
"Kaukah tadi yang menangis" Mengapa kau menangis begitu sedih?"
Beng San terkejut dan heran, lalu ia memaksa diri tersenyum namun senyumnya ini malah mendatangkan tarikan muka yang amat menyedihkan.
"Nona cilik, agaknya kau masih belum kehilangan perikemanusiaan seperti keadaan orang-orang di sekelilingmu. Nona, bolehkah kau memberi pinjam kipasmu Ini sebentar kepadaku?" Sambll berkata demikian Beng San menggerakkan tangan dan dengan halus sekali tahu-tahu kipas itu sudah berpindah tangan. Kiang Bi Hwa kaget tapi ia tersenyum dan berkata,
"Boleh, boleh, kauambillah kipas itu."
"Bi Hwa, mundur kaul" Ayahnya, Kiang Hun, membentak.
"Baik, Ayah. Tapi, jangan membunuh dia, ya" Kasihan sekali orang ini...."
Setelah berkata demikian, setengah berlari Kiang Bi Hwa mengundurkan diri.
Sikap gadis ini berkesan dalam di hati Beng San dan ia mencatat di hatinya bahwa gadis ini adalah puteri Kiang Hun yang agaknya amat berbakti dan menyayang orang tuanya.
Kemudian ia melanjutkan langkahnya menghampiri tempat Li Cu dengan kipas indah itu di tangan. Li Cu memandang dengan mata terbelalak. Tadinya ia me"Eh, Ho-hai Sam-ong yang masyhur nama besarnya itu kiranya hanya penjahat-penjahat kecil yang curang. Hayo kalian bebaskan Nona Cia dan kembalikan pedangnya, baru aku suka memandang muka nona cilik yang baik hati itu untuk menghabiskan urusan ini sampai di sini saja. Sebaliknya kalau kalian berkeras, jangan kata bahwa aku orang muda tidak menghormati orang-orang tua yang menjadi tuan rumah.
Kiang Hun tak dapat menahan kemarahannya lagi. Tambang yang panjang dan besar dtangannya itu digerakkan dan seperti seekor ular, tambang itu menyambar ke arah tubuh Beng San. Pemuda ini dengan tenangnya melompat ke atas sehingga tambang itu lewat di bawah kakinya. Tapi tambang itu terayun terus datang kembali menyapu dan demikianlah berulang-ulang tambang itu terayun-ayun berputaran di sekeliling tubuh Beng San. Pemuda ini masih enak saja berloncatan sehingga kelihatan indah dan lucu, seperti anak bermain "loncat tali" (uding), Kalau tambang itu terlalu tinggi lewatnya, ia tidak meloncat melainkan merendahkan diri sehingga tambang itu lewat di atas kepala, akan tetapi kalau menyambar agak rendah, ia meloncat dengan tenang dan enak. Benar-benar seperti anak main-main.
Melihat adiknya sudah turun tangan, Lui Cai lalu berseru keras dan dayung bajanya juga menyambar-nyambar, diikuti oleh Thio Ek Sui yang tidak mau ketinggalan dan menggerakkan ruyungnya yang dahsyat. Kini sekaligus Beng San menghadapi Ho-hai Sam-ong, dikeroyok tiga.
Cia Li Cu tadi sudah merasai kelihaian tiga orang kepala bajak ini, maka sekarang melihat Beng San yang bertangan kosong, hanya memegang kipas itu dlkeroyok tiga, diam-diam ia merasa ngeri juga. Namun Beng san tetap enak saja, malah menyindir,
"Waduh, Ho-hai Sam-ong hebat benar. Senjatanya dahsyat dan sekaligus maju mengeroyok bertiga!"
Panas juga hati Lui Cai mendengar ini. Ho-hai Sam-ong terkenal sebagai tokoh-tokoh besar di dunia selatan, malah kalau dibandingkan dengan nama besar Hek-hwa Kui-bo, kiranya tidak kalah terkenal. Bagaimana boleh dipandang ringan begitu saja oleh seorang pemuda yang masih hijau"
"Keparat sombong! Kalau memang berkepandaian, keluarkan senjatamu dan cobalah kaulawan kami!" bentaknya.
Inilah maksud Beng San. Membakar-bakar agar hati lawannya panas. Ia menambahkan, "Senjata" Untuk melawan kalian mengapa ribut mencari senjata" Nona cilik yang baik hati sudah meminjamkan senjata untukku!" Ia mengangkat kipas itu tinggi sambil meloncat dan menghindarkan diri dari sabetan tambang dan sambaran ruyung.
Tentu saja makin panas perut tiga orang itu. Mereka hendak dilawan dengan senjata sebuah kipas permainan belaka" Benar-benar keterlaluan bocah ini.
"Sombong kau! Jie-sute dan Sam-sute, kita bunuh tikus sombong ini!" bentak Lui Cai. Dua orang adiknya juga sudah marah, terutama sekali Kiang Hun karena senjata tambangnya yang hebat dan setiap kali bergerak biasanya tentu mengalahkan lawan itu sekarang hanya dianggap sebagai tali permainan loncat-loncatan saja oleh pemuda itu!
"Mampus kau, keparat!" Thio Ek Si Cucut Mata Merah membentak, ruyungnya menyambar hebat sekali dan sekaligus melakukan empat kali serangan ke arah empat jalan darah yang membinasakan di tubuh Beng San.
"Tak-tak-tak-tak!" Dan empat kali ruyungnya ditangkis oleh kipas! Terbelalak mata yang sipit merah itu. Bagaimana mungkin ini" Ruyungnya yang sedikitnya ada lima puluh kati beratnya, ditangkis dengan kipas" Biarpun gagangnya dari gading, kipas tetap kipas alat permainan yang kecil saja. Tapi benar-benar ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri, kipas itu sama sekali tidak robek dan patah, malah tangan kanannya terasa sakit-sakit tulangnya seakan-akan ia tadi telah menghantam benda baja dengan ruyungnya.
Pertempuran itu hebat bukan main. Tiga orang kepala bajak itu benar-benar memiliki kepandaian tinggi dan hal ini harus diakui oleh Beng San. Pantas saja Li Cu tidak berdaya menghadapi tiga orang ini. Ternyata masing-masing memiliki kepandaian istimewa dan amat tinggi. Baiknya di dalam dirinya terdapat dua aliran tenaga Im dan Yang, dan tenaga-tenaga ini sudah mendarah daging di tubuhnya maka ia dapat menghadapi tenaga lawan yang bagaimanapun juga. Mengenai tenaga, boleh dibilang ia berada di tingkat yang jauh lebih tinggi daripada tiga orang lawannya. Tapi ilmu serangan tiga orang itu benar-benar dahsyat sekali sehingga hanya dengan ilmu silatnya Im-yang-sin-kun saja ia mampu melindungi dirinya. Dan kipas kecil itu ternyata banyak sekali kegunaannya, karena kadang-kadang untuk membalas lawannya, ia dapat mempergunakannya sebagai senjata pedang dengan gerakan Ilmu Silat Im-yang Sin-kiam-sut yang belum ada bandingnya di kolong langit ini.
Tiga orang itu mengeroyok dengan gerakan cepat dan tenaga dahsyat sehingga ruangan itu penuh dengan suara bersiutan dan angin pukulan menyambar ganas. Tubuh tiga orang itu sampai lenyap terbungkus gulungan senjata masing-masing. Akan tetapi anehnya, tubuh Beng San masih kelihatan, malah gerakannya kelihatan amat lambat dan seenaknya. Dilihat oleh mata bukan ahli silat, pemuda ini seperti sedang bertari kipas dihias gulungan sinar yang tiga macam di sekeliling tubuhnya!
Cia Li Cu yang menonton pertandingan itu sampai terbelalak dan ternganga saking heran dan kagumnya. Ia memang pernah menyaksikan kelihaian Beng San, akan tetapi baru sekarang ia betul-betul tunduk dan harus mengakui bahwa apa yang dikatakan ayahnya dahulu itu betul adanya, yaitu bahwa pemuda ini benar-benar hebat dan dalam hal kepandaian masih melebihi ayahnya sendiri. Juga dua orang teman Beng Kui, Koai-sin-kiam Oh Tojin dan Lu Khek Jin, memandang dengan penuh kekaguman dan gatal-gatal tangan mereka hendak menguji kepandaian sendiri dengan pemuda yang lihai itu.
Hek-kwa Kui-bo dan muridnya yang sudah merasai kelihaian Beng San, duduk saja tidak berani turun tangan, hanya mengharapkan supaya pemuda itu roboh di tangan Ho-hai Sam-ong. Di lain pihak, Beng Kui memandang dengan mata tajam. Ia mendongkol bukan main terhadap Beng San yang dianggapnya selalu merintangi perjuangannya dan merusak suasana. Yang paling lucu sikapnya adalah Kiang Bi Hwa, puteri dari Kiang Hun. Gadis cilik ini semenjak kecil memang tidak boleh belajar silat oleh ayahnya, maka sekarang menyaksikan pertempuran itu ia bertepuk-tepuk tangan gembira.
"Bagus benar....! Lucu dan bagus tarianmu itu, kakak yang baik! Kau harus ajarkan aku tari kipas itu!"'
Mau tidak mau Beng San tersenyum mendengar ini. Dikeroyok sedemikian hebatnya ia masih sempat. tersenyum-senyum, malah menoleh ke arah Kiang Bi Hwa sambil berkata,
"Nona cilik, kau benar-benar seperti bunga teratai di antara lumpur kotor!"
Memang Beng San kagum bukan main. Nona itu begitu polos, begitu jujur dan bersih seperti bunga teratai, namun terpaksa hidup di antara orang-orang jahat seperti lumpur itu.
Pertempuran berjalan makin lama makin seru dan akhirnya setelah lewat seratus jurus lebih, saking sering bertemu dengan tenaga Beng San yang dahsyat, makin lama tiga orang itu makin lelah. Permainan mereka makin kendor sehingga kini mulailah mereka kelihatan bayangannya dan pada muka masing-masing telah penuh dengan keringat. Di lain pihak, Beng San masih enak-enak dan tenang-tenang saja mainkan kipasnya menangkis sambil meloncat ke sana ke mari dan kadang-kadang membuat lawan repot dengan serangan-serangan balasannya dengan jurus Im-yang Sin-kiam-sut. Kalau dia sudah menyerang begini, ujung gagang kipas dari gading itu bisa tahu-tahu sudah berada di depan tenggorokan, mata, pusar, ulu hati atau lambung seorang lawan yang tentu saja setelah berhasil menyelamatkan diri mengeluarkan keringat dingin saking ngerinya. Serangan pemuda itu tidak dapat diketahui lebih dulu, benar-benar berbahaya sekali.
"Kupikir, kalau tidak sekarang kita memperlihatkan setia kawan kepada mereka, tunggu kapan lagi" Urusan dengan orang gila itu hanyalah urusan pribadi, sedangkan hubungan kita dengan mereka adalah urusan negara. Mana lebih penting" Bagaimanakah pendapat Ji-wi?"
Koai-sin-kiam Oh Tojin dan Lu Khek Jin memang sudah "gatal tangan" sejak tadi melihat kehebatan Beng San mempermainkan tiga orang pengeroyoknya itu. Akan tetapi mereka masih ragu-ragu untuk membantu karena bukankah pemuda lihai itu adik kandung Beng Kui sendiri" Sekarang Beng Kui telah mengeluarkan pernyataan demikian, lenyaplah keraguan mereka. Bayangan yang gesit berkelebat didahului sinar terang, inilah gerakan Koai-sin-kiam Oh Tojin dengan memutar pedang yang entah kapan telah dicabutnyau Lu Khek Jin dengan tenang juga mencabut pedang dan menghampiri pertempuran.
"Orang muda, kau sombong sekali mengacaukan tempat tinggal Ho-hai Sam-ong. Terimalah serangan Koai-sin-kiam!" bentak Oh Tojin dan sekaligus pedangnya telah melakukan lima kali serangan bertubi-tubi dengan gerakan yang aneh. Tapi dengan heran dan penasaran sekali Oh Tojin hanya menusuk angin belaka, seolah-olah Beng San sudah tahu lebih dahulu akan perubahan-perubahan dari jurus-jurus yang dimainkannya. Sebaliknya Lu Khek Jin seorang bekas jenderal perang, mainkan pedangnya dengan gerakan-gerakan mematikan dan bertenaga, disertai bentakan-bentakan. Diam-diam Beng San kagum akan sifat ilmu pedang yang dimainkan oleh Lu Khek Jin, karena biarpun tidak sangat tinggi, tapi gerakan-gerakannya jujur tanpa berisi gerak tipu, melainkan secara langsung menyerang mengandalkan tenaga dan kecepatan. Gerakan orang seperti ini berbahaya, maka cepat ia mengelak dengan penggeseran kaki yang sekaligus merubah kedudukannya. Dalam detik-detik selanjutnya Beng San sudah dikeroyok lima orang!
Sungguh pun tingkat ilmu silat dua orang pengeroyok baru ini tidak berada di atas Ho-hai Sam-ong, namun mereka ini sudah merupakan tambahan tenaga yang lumayan. Betapapun juga, benar-benar Beng San kali ini memperlihatkan dirinya yang sesungguhnya dan sekaligus memperlihatkan bahwa ilmu Silat Im-yang Sin-kiam-sut yang menjadi ciptaan mendiang Pendekar Sakti Bu Pun Su benar-benar adalah ilmu yang luar biasa di dunia ini. Ilmu silat ini mendasarkan gerakan-gerakannya kepada dua puluh tujuh puw (gerak kaki) yang diiihami oleh kedudukan ji-cit-seng (dua puluh tujuh bintang), luar biasa banyaknya dan setelah memiliki ilmu silat ini, dengan mudah orang akan menghadapi serangan lawan yang bagaimana lihai pun, karena mengandalkan pergerakan langkah kaki tentu akan dapat menyelamatkan diri.
Selain memiliki ilmu yang amat tinggi, juga Beng San adalah seorang yang pada dasarnya memang cerdik luar biasa dan sekali melihat saja ia sudah dapat mencatat apa yang dilihatnya di dalam otak. Biarpun ilmu silat pedang yang dimainkan oleh Koai-sin-kiam Oh Tojin adalah ilmu pedang selatan yang tak dikenalnya, apalagi ilmu pedang yang dimainkan Lu Khek Jin juga ilmu pedang peperangan yang asing baginya, namun sekali melihat ia sudah dapat menangkap intisari pergerakannya sehingga selanjutnya, biarpun dikeroyok lima, Beng San masih sempat membalas dengan serangan-serangan yang luar biasa menggunakan kipasnya!
Setelah mendapat kesempatan baik, ia . mendesak Ho-hai Sam-ong yang sudah berkunang-kunang pandangan matanya itu dan secepat kilat kipasnya mengebut disusul menotok dengan ujung gagang gading itu dua kali. Sekali tepat mengenai tulang lengan kanan Lui Cai Si Bajul Besi sehingga orang tertua dari Ho-hai Sam-ong ini memekik kesakitan, dayungnya terlepas dari pegangan lalu sambil menyumpah-nyumpah karena kesakitan ia terputar-putar menggunakan tangan kiri menggosok-gosok tempat yang tadi tertotok gagang kipas. Sakitnya bukan kepalang, kiut-miut rasanya seperti ribuan jarum menusuk-nusuk tulangnya. Gerakan Beng San yang ke dua tepat menyerempet ruyung Thio Ek Sui Si Cucut Mata Merah, lalu melejit dan menotok tulang kering di kaki kiri Si Cucut ini.
bagian 23 "Aduh... aduh... kakiku....!" Thio Ek Sui adalah scorang yang sudah biasa bertempur dan terluka baginya bukan apa-apa. Akan tetapi rasa nyeri yang sekarang menyerangnya membuat ia berkaok-kaok kesakitan, berjingkrak-jingkrak seperti monyet belajar menari sambil memegangi kaki kirinya yang diangkat ke atas.
Pada saat itu, tambang di tangan Kiang Hun meluncur dan tahu-tahu sudah melibat tubuh Beng San! Terdengar jerit tertahan. Yang menjerit ini adalah Li Cu karena merasa ngeri melihat betapa pemuda yang hendak menolongnya itu akhirnya tertawan oleh tambang yang lihai dari Kiang Hun Si Naga Sungai Seperti juga yang telah ia alami ketika ia dikeroyok Ho-hai Sam-ong ini. Kiang Hun nampak girang, mengedut tambang nya dengan maksud mempererat libatan. Tapi mendadak Beng San mengeluarkan suara aneh dan... makin ditarik tambang itu makin terlepas dan akhirnya terlihat oleh pemiliknya bahwa tambang itu sudah terputus-putus menjadi beberapa potong! Agaknya karena mengingat akan kebaikan gadis yang mukanya sama dengan Kiang Hun ini maka Beng San mengampuni Kiang Hun dan tidak melukainya. Ia dapat menduga bahwa antara gadis cilik pemilik kipas itu dengan Kiang Hun pasti ada hubungan keluarga.
"Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li, kalau kalian tidak membantu sekarang, tunggu kapan lagi?" tiba-tiba Beng Kui berseru kepada dua orang wanita itu. "Bukankah kalian menjadi pembantu-pembantu Ho-hai Sam-ong?"
Sebetulnya Hek-hwa Kui-bo, apalagi Kim-thouw Thian-li, merasa enggan untuk bertempur melawan Beng San yang begitu lihai. Akan tetapi seruan ini mendesak mereka ke pojok. Tentu Ho-hai Sam-ong akan mendapat kesan buruk kalau mereka tinggal diam saja. Sambil melotot ke arah Beng Kui kedua orang ini mencabut senjata masing-masing dan meloncat ke gelanggang pertempuran, mengeroyok Beng San, yang disambut oleh orang muda ini dengan tenang saja.
"Kau hanya bisa menyuruh orang lain saja maju, apakah kau sendiri takut terhadap adikmu ini?" Hek-hwa Kui-bo sambil menyerang Beng San berseru kepada Beng Kui dengan suara keras dengan maksud agar semua orang mendengarnya.
Memang Beng Kui sudah bertekad bulat untuk membunuh saja adik kandungnya yang ia anggap selalu membikin malu dan membikin kacau rencana. Adiknya itu telah merusak kehidupan seorang gadis, yaitu Kwa Hong.
Sekarang setelah mengacau Thai-san dan menikah dengan puteri seorang penjahat seperti Song-bun-kwi, tahu-tahu muncul dan mencampuri urusannya, malah hendak membela Li Cu. Tentu dengan maksud rendah pula. Daripada mempunyai adik kandung seperti ini, bukankah lebih aman dan baik kalau dibinasakan saja" Setelah ber pikir demikian, Beng Kui lalu mencabut pedang Liong-cu-kiam yang panjang dengan tangan kanan, sedangkan Liong-cu-kiam pendek milik Li Cu memang sudah ia pegang di tangan kiri. Dengan sepasang pedang ampuh ini ia lalu menyerbu sambil berseru nyaring,
"Beng San, kau tidak mentaati perintahku untuk pergi, agaknya memang sudah bosan hidup!"
Serbuannya hebat sekali, apalagi ia segera mainkan Sian-li Kiam-sut yang lihai dan lebih-lebih hebat lagi karena yang ia pergunakan adalah sepasang Liong-cu-kiam. Sepasang pedang itu berubah rnenjadi dua gulung sinar yang berkeredepan menyambar-nyambar ke arah Beng San dan menyerang dari segala jurusan!
Beng San terkejut dan diam-diam mengakui kelihaian kakak kandungnya ini, akan tetapi berbareng hatinya perih dan juga marah. Ia dahulu amat merindukan kakak kandungnya, lalu setelah bertemu ia merasa kagum sekali melihat kakak kandungnya sebagai seorang patriot yang gagah. Tapi....
sekarang kakaknya itu dengan sepasang pedang pusaka menerjang untuk membunuhnya! Dari perih hati ia menjadi marah dan cepat ia menghadapi serbuan ini. Sekarang Beng San dikeroyok lima orang lagi setelah Ho-hai Sam-ong mengundurkan diri untuk mengatur napas dan memulihkan tenaga, Akan tetapi, di antara lima orang itu, yang paling hebat serangannya adalah Beng Kui. Andaikata hanya menghadapi Beng Kui seorang, biarpun pemuda ini menggunakan sepasang Liong-cu-kiam dan dia sendiri hanya bersenjata kipas, kiranya Beng San takkan dapat terdesak. Akan tetapi sekarang di situ ada Hek-hwa Kui-bo yang mainkan Im-sin Kiam-sut bersama muridnya yang juga cukup lihai, ditambah pula dengan Koai-sin-kiam Oh Tojin dan Lu Khek Jin maka penyerbuan Beng Kui benar-benar telah mendesak Beng San dan membuat ia meloncat ke sana ke mari dan menggerakkan kipas untuk melindungi dirinya.
Pedang pendek di tangan kiri Beng Kui bergerak setengah lingkaran ke arah leher, lalu disusul dengan tusukan pedang panjang dari bawah ke atas.
Gerakan ini selain aneh juga tidak terduga, cepat bukan main mengejutkan Beng San. Cepat pemuda ini menangkis dengan kipasnya dan... "brettt" kipas itu terobek oleh ujung pedang panjang. Baiknya Beng San cepat melompat sambil berjungkir balik, tangan kirinya dari jauh memukul ke arah dada kakaknya itu. Beng Kui merasai adanya sambaran angin yang mengandung hawa panas sekali, membuat ia kaget dan menarik kembali pedangnya sambil mundur dua langkah, Kesempatan ini dipergunakan oleh Beng San untuk melompat turun lagi dan mainkan kipasnya yang sudah robek untuk melindungi tubuh dari datangnya banyak senjata yang menyerangnya. Akan tetapi sekarang ia mulai tampak terdesak. Sayangnya bahwa yang berada di tangannya bukanlah pedang, melainkan sebuah kipas mainan yang kecil, maka ilmu pedangnya Im-yang Sin-kiam-sut tidak dapat dimainkan sehebat-hebatnya.
Hal terdesaknya Beng San ini memang tidak aneh. Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut adalah ilmu pedang ajaib yang dahulu menjadi milik pendekar wanita Ang I Niocu, hebatnya bukan kepalang dan tidak dapat diketahui rahasianya oleh orang luar. Adapun Beng San sendiri, biarpun dia telah memiliki tenaga ajaib dan mempunyai ilmu pedang yang lebih tinggi tingkatnya, namun ia masih muda dan kurang pengalaman. Sekarang menghadapi Beng Kui yang dibantu oleh empat orang lain yang semuanya adalah ahli-ahli tingkat tinggi, tentu saja ia merasa repot juga.
"Brettt!" kembali kipasnya pecah, kali ini terkena tusukan pedang pendek di tangan kiri Beng Kui. Beng San marah bukan main, cepat ia menggerakkan kipas dengan tangan kanannya, diputar setengah lingkaran sedangkan tangan kirinya menyelonong ke belakang, tepat menghantam pundak kiri Koai-sin-kiam Oh Tojin yang sedang lengah.
"Aduh....!!" Oh Tojin menjerit kesakitan, tulang pundak kirinya terlepas sambungannya. Akan tetapi dengan marah ia malah makin maju menerjang ganas dengan pedangnya.
Sementara itu, ketika Beng San memusatkan perhatian menyerang Oh Tojin dengan maksud merobohkan lawannya seorang, tiba-tiba sinar pedang di tangan Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li meluncur, satu ke arah kepala dan yang ke dua ke arah perutnya. Baiknya pemuda ini sudah mahir sekali akan gerakan-gerakan Im-sin Kiam-sut, maka cepat ia menggeser kaki ke kiri sekali dua kali sehingga terhindarlah ia dari ancaman ini. Tidak disangkanya sama sekali bahwa pada saat ia terdesak itu, Beng Kui sudah menerjangnya lagi dengan sepasang pedangnya yang dahsyat dan pada saat yang hampir berbareng, dari kanan kiri Oh Tojin dan Lu Khek Jin menerjang pula!
"Digunting" oleh empat buah pedang yang hebat ini benar-benar keadaan Beng San kepepet sekali. Gerakan pedang Oh Tojin dan Lu Khek Jin ia ikuti dan dapat ia duga ke mana arahnya, maka dengan mudah ia segera dapat mengambil keputusan bagaimana harus mengelak, akan tetapi serangan sepasang pedang Beng Kui yang belum ia kenal betul gerakan-gerakannya, ia benar-benar menjadi bingung. Dua kali menggerakkan pundak dan kaki ia menghindarkan diri dari serangan Oh Tojin dan Lu Khek Jin, akan tetapi penerjangan Beng Kui sukar ia hindarkan karena tidak tahu bagaimana perkembangannya. Ia hanya menggunakan kipasnya menangkis.
"Brettt!" Kini bajunya, di pundak terbabat, berikut sedikit kulit dan dagingnya.
Darah mengucur banyak sekali membasahi bajunya. Baiknya ia tadi masih berlaku cepat dan menggerakkan pundak, kalau tidak tentu sebelah pundak berikut lengan kirinya akan terbabat putus! Keringat dingin keluar dari jidat pemuda ini, bukan karena sakitnya, melainkan saking kaget melihat kehebatan ilmu pedang lawannya ini. Sementara itu, saking gembiranya melihat hasil serangan tadi, Beng Kui menyerang makin hebat, dibantu oleh empat orang kawannya. Malah sekarang Ho-hai Sam-ong juga sudah siap untuk mengeroyok pula. Sayangnya senjata mereka adalah senjata-senjata panjang dan berat, sehingga untuk pengeroyokan begitu banyak orang kurang praktis dan mereka hanya melihat-lihat untuk mencari lowongan baik. Sepasang pedang Beng Kui menyambar-nyambar, berkilauan dan amat ganasnya.
Sedangkan Beng San masih terus terdesak sambil mulai menaruh perhatian untuk memecahkan gerakan penyerangan kakak kandungnya yang menghendaki kematiannya ini.
"Awas Beng San! Pedang pendek dari kiri berbalik ke kanan, pedang panjang menyerang ke atas. Kemudian yang pendek mengancam lambung kanan, yang panjang berbalik ke bawah membabat kaki!" Suara ini mengagetkan Beng Kui, tapi menggirangkan hati Beng San. Itulah suara Li Cu yang masih terbelenggu di kursi, akan tetapi gadis ini yang tentu saja mengenal baik pergerakan ilmu pedang yang dimainkan Beng Kui, sekarang memberi petunjuk kepada Beng San! Tadinya Li Cu memang tidak pedulikan Beng San karena pengaruh ucapan Beng Kui yang menjelek-jelekkan Beng San sebagai pengrusak wanita.
Akan tetapi melihat kagagahan Beng San yang dikeroyok terus-menerus oleh sekian banyaknya musuh tangguh, kemudian melihat Beng San terluka oleh pedang Beng Kui tanpa bersambat, timbul perasaan kasihan dalam dada Li Cu.
Betapapun juga, sudah pasti bahwa Beng San datang untuk menolongnya.
Sedangkan berita tentang "kebusukan" Beng San masih belum terbukti. Mana bisa ia membiarkan Beng San tewas" Lagipula, kalau Beng San tewas, nasibnya sendiri sudah pasti akan celaka di tangan kakak seperguruan atau bekas tunangannya itu. Kalau Beng San dapat menolongnya keluar dari situ, kiranya belum tentu ia celaka di tangan Beng San.
"Li Cu, tutup mulutmu!" Beng Kui membentak marah dan tentu saja ia segera merubah gerakan penyerangannya yang sudah. "didahului": oleh teriakan Li Cu tadi. Kembali Beng San bingung menghadapi perkembangan jurus-jurus penyerangan baru ini sementara dia sedang sibuk menghadapi pengeroyokan empat orang yang lain. Yang pendek hanya pura-pura mengancam kepala, yang bergerak yang panjang. Awas ujung siku kiri yang hendak dibabat pedang panjang. Kemudian pendek dan panjang akan menyerang dari atas bawah bergantian, itu pun jebakan saja, yang harus dijaga babatan pedang pendek ke leher dibarengi babatan pedang panjang ke pinggang!"
"Li Cu, kau hendak mengkhianati suhengmu sendiri?" Beng Kui membentak marah sekali.
"Aku tidak punya suheng macammu!" Li Cu berteriak kembali sambil terus memberi petunjuk-petunjuk.
Sekarang Beng San tidak terdesak lagi. Ia tidak begitu menguatirkan penyerangan Beng Kui setelah mendapat penjelasan dari Li Cu, malah sebelum penyerangan datang ia sudah tahu lebih dulu ke mana serangan musuh akan dilancarkan. Oleh karena ini, perhatiannya lebih banyak ditujukan kepada empat orang lawannya yang lain. Begitu mendapat kesempatan, gagang kipasnya berhasil menotok roboh Kim-thouw Thian-li yang tepat tertotok jalan darah di pundaknya, kemudian sebuah tendangan kilat berhasil merobohkan Oh Tojin yang terlempar sampai tiga meter dan tidak mampu bangun kembali karena tulang lututnya patah! Tosu yang terlepas sambungan tulang pundak dan patah tulang lututnya itu hanya mengeluh dan menangis seperti anak kecil.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan ini, Ho-hai Sam-ong segera menyerbu lagi. Beng San juga sudah lelah, terutama sekali darah yang mengucur dari pundaknya mulai mengering dan mendatangkan rasa nyeri dan perih. Akan tetapi ia mengamuk terus dengan nekat karena robohnya dua orang itu malah mendatangkan tambahan tiga tenaga lagi, yaitu Ho-hai Sam-ong yang malah lebih lihai.
Sementara itu, melihat keadaan yang tidak menguntungkan bagi pihaknya, padahal tadinya sudah berhasil baik sekali, Beng Kui menjadi marah. Semua gara-gara Li Cu yang sengaja memecahkan jurus-jurusnya dan membantu Beng San. Beng Kui adalah seorang pemuda yang mempunyai ambisi (cita-cita) besar sekali. Dahulu di masa perjuangan, Ia rela berkorban apa saja untuk mencapai cita-citanya, yaitu menduduki tempat yang tinggal dalam pemerintahan baru. Siapa kira, kedudukan tinggi itu tidak bisa ia dapatkan karena ia kurang mendapat penghargaan dari Ciu Goan Ciang. Oleh karena ini ia terpaksa bersekutu dengan Raja Muda Lu, menjadi mantunya dan hendak mengadakan pemberontakan. Ini pun dldasari ambisinya yang besar. Dan yang paling ia benci adalah orang yang hendak menghalang-halangi ambisinya ini, atau yang hendak mempersukar perjalanan ke arah tercapainya cita-citanya. Ia menganggap Beng San seorang yang demikian itu, maka ia tidak ragu-ragu untuk mencoba membinasakannya. Sekarang melihat sikap Li Cu, timbul marahnya. Sekali meloncat ketika mendapat kesempatan, Ia sudah berada di dekat kursi yang diduduki Li Cu. Pedangnya berkelebat dan Li Cu sudah meramkan mata menerima kematian. Akan tetapi melihat wajah Li Cu yang cantik jelita, agaknya timbul kembali cinta dan nafsunya. Beng Kui tidak jadi membunuh Li Cu, melainkan gadis ini malah ia lepaskan dari kursi, kemudian ia pondong dan ia bawa lari keluar dari tempat itu!
Bukan main kagetnya hati Li Cu. Tadi ketika ia melihat Beng Kui menghampirinya dengan pedang diangkat, ia hanya meramkan mata menanti maut tanpa mengeluarkan suara, sedikit pun tidak gentar. Akan tetapi sekarang merasa dirinya dipondong pergi dalam keadaan masih terbelenggu, wajahnya berubah pucat sekali dan jantungnya berdebar-debar ketakutan.
"Beng San... tolong....!!" teriaknya berulang-ulang dengan sekuat tenaga jeritnya.
Beng San bukanlah seorang pemuda yang suka berkelahi atau suka menang.
Ia pun tidak suka menaruh hati dendam. Maka begitu mendengar jerit suara Li Cu, ia cepat menengok. Alangkah kaget dan marahnya ketika ia melihat Li Cu dipondong oleh Beng Kui dan dibawa lari. Kedatangannya di tempat itu sama sekali bukan untuk bertanding dengan Ho-hai Sam-ong dengan Hek-hwa Kui-bo atau dengan yang lain-lain. Kedatangannya khusus untuk menolong Li Cu.
Sekarang Li Cu dibawa lari oleh Beng Kui dan hal ini terang sekali terjadi di luar kehendak Li Cu yang menjerit-jerit minta tolong kepadanya. Bagaimana ia bisa tinggal diam saja" Sekali ia menggerakkan tangan dan kaki, ia telah memukul runtuh pedang dari tangan Hek-hwa Kui-bo, kemudian tubuhnya berkelebat dan ia sudah meloncat untuk mengejar Beng Kui.
Matanya terasa sakit ketika dari ruangan yang terang itu ia kini tiba di luar rumah yang amat gelap. Tidak kelihatan bayangan Beng Kui, tapi ia melihat beberapa orang penjaga dengan tombak di tangan menjaga ternpat itu.
Bagaikan seekor burung saja ia melayang dan setelah dekat, sekaligus ia menotok roboh dua orang penjaga dan mengempit seorang di antaranya dibawa pergi ke tempat gelap. Gegerlah para penjaga ketika melihat seorang kawan roboh dan yang seorang lagi lenyap tak berbekas.
"Katakan ke mana perginya Tan Beng Kui ciangkun yang membawa wanita tawanan tadi!" Dengan suara ditekan Beng San memaksa tawanannya sambil meraba jalan darah yang menimbulkan rasa nyeri tak tertahankan. Penjaga itu meringis-ringis, lalu dengan suara terputus-putus memberitahukan bahwa orang yang dimaksudkan itu telah pergi menunggang seekor kuda menuju ke arah selatan.
Beng San melepaskan korbannya dan cepat ia berlari-lari dalam gelap mengejar ke selatan. Ia maklum bahwa kakak kandungnya itu tentulah bertempat tinggal di Nan King, di kota raja yang baru bersama ayah mertuanya, raja muda she Lu itu. Maka ia mengambil jalan ini dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian ginkangnya untuk berlari cepat, tanpa mempedulikan tubuhnya yang amat lelah dan darah segar yang mengucur keluar lagi dari luka di pundaknya karena gerakah-gerakannya ini.
Usahanya mati-matian ini ternyata tidak sia-sia. Menjelang pagi ia sudah mendengar suara kaki kuda di sebelah depan, mulai memasuki hutan terakhir dalam perjalanan jauh ke kota raja itu. Hatinya masih ragu-ragu. Betulkah suara kaki kuda itu adalah kuda yang ditung-gangi oleh Beng Kui" Tiba-tiba semangat nya bangkit ketika lapat-lapat ia mendengar jeritan. "Beng San....!l"
Dipercepatnya larinya dan tak lama kemudian benar saja ia melihat Beng Kui membalapkan kudanya sambil memangku Li Cu yang masih tak berdaya karena terbelenggu kaki tangannya. Sambil meringankan kakinya sehingga tidak terdengar suara larinya, Beng San makin mendekati dan akhirnya ia mendengar suara Beng Kui mentertawakan, bahkan menghina.
"Li Cu, kau sekarang tergila-gila kepada Beng San" Heh-heh, benar-benar lucu. Tadinya kau marah-marah melihat aku kawin dengan puteri Raja Muda Lu dengan dasar politik, karena aku ingin merebut kedudukan tinggi kelak.
Tapi cintaku masih kepada dirimu, Li Cu. Kalau kelak aku menjadi kaisar, atau setidaknya menjadi raja muda, apa salahnya kalau aku beristeri dua" Kau tetap akan menjadi isteriku yang tercinta. Kenapa kau tidak sabar dan tidak mau mengerti, lalu marah-marah" Kenapa kau sekarang malah kelihatan lebih mencinta adikku yang gila itu?"
"Dia seribu kali lebih baik dari padamu, kau laki-laki palsu, kau pengkhianat, awas kau Ayah pasti akan membalaskan sakit hatiku!" Li Cu berteriak-teriak Beng Kui tertawa mengejek, "Kau bilang Beng San lebih baik daripadaku" Ha-ha, Li Cu, kau tidak mengerti. Dia itu seorang iblis pengrusak wanita. Tak tahukah kau betapa murid Hoa-san-pai yang bernama Kwa Hong itu telah dirusaknya, kemudian ditinggalkannya pergi, malah dia menikah dengan anak seorang penjahat yang terkenal Song-bun-kwi" Tentang ayahmu... hemm, suhu tentu akan memaklumi pendirianku...."
Tiba-tiba suaranya berhenti karena pada saat itu kuda yang ditungganginya terjungkal sehingga dua orang itu terlempar dari atas punggung kuda! Beng Kui terkejut sekali dan cepat melompat bangun sambil mencabut sepasang pedangnya, membalikkan tubuh dan berhadapan dengan Beng San!
"Kau... lagi....?" Seperti iblis saja kau, kenapa selalu mengikuti aku?" teriak Beng Kui marah.
Beng San tersenyum mengejek. "Bukan aku yang mengikuti kau, tapi kejahatanmu yang memaksa aku datang. Tidak boleh kau menculik seorang gadis, biarpun dia itu sumoimu sendiri." Sambil berkata demikian, Beng San lalu melangkahkan kaki menghampiri Li Cu yang rebah di atas tanah. Ketika terjatuh dari punggung kuda tadi, gadis ini masih dalam keadaan terbelenggu, maka jatuhnya lebih parah dan pakaiannya sampai robek-robek. Ia benar-benar dalam keadaan setengah pingsan, akan tetapi cukup sadar untuk dapat menangkap percakapan antara kakak beradik itu.
Selagi Beng San melangkah menghampiri Li Cu, Beng Kui yang sudah tak kuat menahan kemarahannya itu serentak menerjang dari belakang, menggerakkan sepasang pedang Liong-cu-kiam secepat kilat.
"Awas... Beng San... belakang....!" Li Cu yang melihat ini menjerit. Akan tetapi gerakan Beng San malah mendahului jeritannya, karena pemuda ini sudah membalik, kedua tangannya bergerak, kakinya bergeser dengah langkah-langkah aneh. Secara otomatis tubuhnya menyelinap di antara sambaran dua pedang, tahu-tahu kedua tangannya sudah "memasuki" celah-celah. pedang dan mendorong ke arah sepasang pundak lawan. Terdengar Beng Kui mengeluh sebelum tangan Beng San menyentuh pundaknya, sepasang pedangnya hampir terlepas dan di lain saat kedua pedang itu sudah berpindah ke tangan Beng San! Hebat sekali gerakan ini dan dari kedua tangan Beng San itu samar-samar tampak mengebulnya uap putih. Inilah sebuah gerakan dari ilmu silat mujijat yang dahulu di jaman-nya Pendekar Sakti Bu Pun Su disebut Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih)! Karena kemahirannya dalam Im-yang-sin-kun, otomatis Beng San dapat mewarisi sebuah gerakan dari ilmu itu dan ternyata hasilnya hebat luar biasa.
Beng Kui memandang dengan muka pucat dan mata melotot. Beng San untuk sesaat juga memandang dengan muka marah dan mata berkilat, tapi ia lalu menyerahkan pedang yang panjang itu kembali sambil berkata,
"Aku sudah berjanji meminjamkan Liong-cu-kiam sepasang ini kepada kau dan Nona Cia Li Cu selama tiga tahun. Janji itu tetap berlaku. Tiga tahun setelah janjiku aku pasti akan mengambil kembali Liong-cu-kiam jantan ini dari tanganmu."
Masih, tertegun oleh kehebatan adik kandungnya yang secara mujijat dapat merampas sepasang pedangnya, Beng Kui mengeluarkan tangan menerima pedangnya kembali, kemudian setelah memandang, dengan mata melotot beberapa saat lamanya, ia menoleh ke arah Li Cu sejenak lalu membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Beng San menarik napas panjang, menghampiri Li Cu, dan sekali pedang Liong-cu-kiam pendek itu bergerak di tangannya, kilat menyambar dan sekaligus belenggu yang mengikat kaki dan tangan Li Cu putus semua tanpa terasa sedikit pun oleh gadis itu, Li Cu meloncat bangun, mengeluh dan terhuyung-huyung ke belakang. Baiknya Beng San cepat mengejarnya dan menyambar pundaknya. Alangkah kagetnya ketika pemuda ini melihat Li Cu sudah meramkan mata, tak ingat orang lagi, pingsan dalam pelukannya.
Beng San bingung. Ia meraba pergelangan lengan gadis itu dan maklumlah ia bahwa gadis ini tidak apa-apa. Hanya karena banyak mengalami ketegangan, kemarahan dan kekuatiran, ditambah lagi terlalu lama tadinya ia tertotok dan terbelenggu, maka begitu ia dibebaskan, dalam batin dan pikirannya terjadi pukulan yang tak kuat ia menahannya sehingga membuatnya pingsan.
Terpaksa Beng San memondongnya dan membawanya berlari keluar dari hutan itu. Ia merasa kuatir kalau-kalau Beng Kui akan datang bersama kawan-kawannya. Akan payah juga kalau ia dikeroyok lagi orang-orang pandai sementara Li Cu masih pingsan. Lebih baik cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Belum juga ia berlari, ia melihat kuda yang tadi ditunggangi Beng Kui, sekarang sudah sembuh dan sedang makan rumput. Memang tadi ketika merobohkan kuda itu, Beng San tidak mempergunakan serangan mematikan, melainkan menotok dengan lemparan kerikil ke arah lutut kuda sehingga kuda itu terjungkal saja. Dengan girang kini Beng San menghampiri kuda yang masih lengkap dengan pelana dan kendali itu, lalu ia melompat ke atasnya sambil merangkul Li Cu. Dengan perlahan ia lalu menjalankan kudanya ke arah utara.
Matahari telah naik tinggi ketika kuda yang ditunggangi Beng San sampai di tepi Sungai Huang-ho sebelah barat, Beng San membelokkan kudanya ke barat, menyusur sepanjang pantai sungai memasuki sebuah hutan yang segar kehijauan dan teduh. Hari itu panasnya bukan kepalang. Kudanya biarpun tidak dibalapkan telah berpeluh dan napasnya terengah-engah. Beng San merasa kasihan dan menghentikan kuda itu di bawah sebatang pohon besar di mana air Sungai Huang-ho tampak kehijauan indah.
Li Cu baru saja siuman dari pingsan Gadis ini merasa pening sekali, matanya berputar-putar. Mulai membuka sedikit kedua matanya, kembali karena sinar matahan yang menerobos, dari celah-celah daun memasuki matanya. Lalu ia teringat betapa indahnya daun-daun pohon di atas tadi, maka dibukanya kembah matanya. Memang indah! Daun-daun pohon yang kecil dengan bentuk sempurna ditimpa matahari, bersusun-susun rnenimbulkan warna hijau yang dihias sinar kuning emas dan kehitaman bayangan. Bagaikan benang-benang sutera kuning emas sinar matahari meluncur turun di antara celah-celah daun, kadang-kadang berubah kedudukan karena daun-daun itu bergerak oleh angin.
bagian 24 Sampai lama Li Cu terpesona oleh keindahan pemandangan yang belum pernah diperhatikan sebelumnya itu. Kemudian terasa olehnya pergerakan napas dan bunyi berdetik di pinggir telinganya. Makin lebar matanya dibuka dan yang mula-mula tampak adalah sebuah hidung dan sebuah mulut dari muka yang putih. Yang paling jelas adalah bentuk dagu yang keras. Ia makin mengerahkan perhatian, memandang kepada muka itu. Tahulah sekarang ia bahwa yang berdetik-detik itu adalah bunyi jantung dalam dada di mana ia bersandar. Ia dipangku orang, di atas sebuah pelana kuda! Dan muka itu...
muka Beng Kui! "Bedebah kurang ajar kau!" Li Cu seketika timbul tenaganya, kedua tangannya meraih ke atas lalu dipukulkan dua kali ke muka itu, muka yang dibencinya, muka yang dahulu pernah dicintainya Muka Beng Kui!
Potongan tubuhnya yang terlatih semenjak kecil. Li Cu sudah berhasil memukul sambil terus meloncat menjatuhkan diri ke pinggir, lalu berjungkir-balik dan di lain saat ia sudah berdiri tegak di depan kuda, siap untuk menyerang lagi. Ia melihat orang yang dipukul mukanya tadi meloncat turun terus duduk di atas akar pohon sambil menutupi mukanya.
Beng San tak dapat mengelak ketika tadi. Memang dia pun seperti Li Cu terpesona oleh cahaya matahari yang secara indah menghias hutan itu dengan sinar benang emas, akan tetapi warna kuning emas itu mengingatkan ia akan burung rajawali emas dan sekaligus mengingatkan ia kembali kepada Kwa Hong. Terngiang di telinganya kata-kata tuduhan Beng Kui bahwa ia telah merusak kehidupan Kwa Hong. Beng Kui tidak tahu keadaan yang sebenarnya, akan tetapi memang tuduhannya itu tak dapat disangkal pula. Memang ia telah merusak kehidupan Kwa Hong. la telah berdosa besar, besar sekali. Pada saat itulah Li Cu memaki dan memukul mukanya dua kali, yang pertama mengenai pinggir jidatnya dan yang ke dua mengenai pinggir mulutnya. Darah mengucur dari kedua tempat itu, sakit rasanya. Akan tetapi hati Beng San lebih sakit oleh makian tadi. Ia dapat menahan pukulan itu, lalu meloncat turun dan menjatuhkan diri duduk di atas akar pohon, menutupi mukanya dengan kedua tangan untuk menyembunyikan dua butir air mata yang berloncatan keluar.
Akan tetapi tanpa disengaja kedua tangannya itu pun menyembunyikan jidat dan bibir yang mengucurkan darah.
Setelah kini agak reda peningnya, pandang mata Li Cu makin terang. Ia memandang terbelalak kepada orang yang duduk menutupi muka di bawah pohon itu. Sejenak Li Cu bingung. Ia teringat betul bahwa yang dipukulnya tadi adalah Beng Kui. Tapi orang itu... pakaian itu dan... dan pundak yang terluka itu....!
"Beng San....! Li Cu menahan jeritnya, tangan kirinya menutupi mulut, lalu ia melangkah maju tiga tindak mendekat.
Beng San menurunkan kedua tangannya yang menutupi muka. Darah mengucur deras dari luka di jidatnya. Memang bagian tubuh yang teratas ini paling banyak rnengeluarkan darah kalau terluka. Pandang mata Beng San kabur dan ia melihat seakan-akan Kwa Hong yang berdiri di depannya sekarang ini.
"Kau... kau boleh pukul aku lagi kalau kau suka... bunuh pun boleh...."
katanya perlahan. Meremang bulu tengkuk Li Cu melihat muka yang berlumuran darah dan mendengar suara yang tak berirama ini, seperti suara dari balik kubur. Ia menyesal bukan main. Kenapa ia malah memukul Beng San yang telah menolongnya dari bahaya yang lebih ngeri dari pada maut" Timbul penyesalan dan kasihannya.
"Ah, jadi kaukah yang kupukul tadi?" tanyanya dengan penuh sesal sambil cepat maju menghampiri. Setelah dekat barulah Beng San ingat kembali bahwa gadis ini sama sekali bukan Kwa Hong biarpun pakaiannya serba merah, melainkan Cia Li Cu.
"Nona Cia, ini pedangmu... ambil... ambil... ambillah sendiri...." katanya lemah. Pedang Liong-cu-kiam pendek itu telah ia selipkan di belakang punggung.
"Siapa bicara tentang pedang" Mukamu itu... harus diurus dulu," kata Li Cu dan dengan cepat gadis ini sudah berlutut di depan Beng San, lalu dengan cekatan ia membersihkan darah dari luka di bibir dan jidat itu.Tanpa ragu-ragu lagi dan sama sekali tidak jijik Li Cu mempergunakan saputangannya dari sutera yang harum untuk mengusap darah. Saputangan itu sudah penuh darah, dan luka di kening masih terus mengucurkan darah.
"Tunggu sebentar kumencari air," kata Li Cu dan cepat gadis ini lari ke tepi sungai dan mengambil air dengan mempergunakan daun yang lebar.
Kemudian ia datang lagi dan dicucinya luka-luka itu. Cekatan sekali ia bekerja tanpa ragu-ragu dan jari-jari tangannya dengan mesra membersihkan luka yang diakibat kan pukulannya sendiri tadi.
"Wah, darahnya mengucur terus. Jidatmu harus dibungkus," bisik Li Cu perlahan dan agak bingung karena tidak ada obat penghenti darah di situ. Ia mencuci saputangannya dan mempergunakannya untuk membalut jidat Beng San.
Tentu saja untuk pekerjaan ini ia harus mengangkat kedua lengannya dan seakan-akan memeluk kepala Beng San.
Selama itu, jantung Beng San berdebar tidak karuan. Lenyaplah bayangan Kwa Hong yang selama ini mengikutinya dan membuat ia merasa berdosa hebat. Malah bayangan isterinya, Kwee Bi Goat, isterinya yang tercinta yang selama ini dirindukannya, tidak tak tampak pada saat itu. Bukan main cantik jelitanya gadis ini, demikian ia mendengar bisikan-bisikan di belakang telinganya, seakan-akan batang pohon yang ia sandari itulah yang berbisik-bisik. Cantik bagai bidadari. Mata yang bening redup itu, mulut kecil mungil dengan hidung yang mancung. Rambut yang panjang hitam awut-awutan.
Kadang-kadang memperlihatkan kulit leher yang putih kuning. Ketika gadis itu membalutkan saputangan ke belakang lehernya ia merasa seakan-akan dipeluk dan Beng San meramkan matanya. Ganda sedap mengharum membuat ia seperti mabok dan ketika ia membuka matanya, ternyata pekerjaan gadis itu sudah selesai.
Li Cu masih berlutut di depannya, mukanya amat dekat, terlalu dekat seakan-akan ia dapat merasai tiupan napas gadis itu. Dua pasang mata bertemu, saling pandang, saling terkam dan sukar terlepas lagi. Mulut Li Cu agak terbuka, matanya redup dan bulu mata yang panjang itu bergerak-gerak.
Bisikan di belakang telinga Beng San makin mendesak. Dia cantik bukan main.
Dan agaknya suka kepadamu.Hemm... tunggu apa lagi"
Li Cu menierit kecil sambil melompat mundur. Hampir berbareng di saat itu juga Beng San sambil duduk membalikkan tubuhnya dan tangan kanannya yang terkepal memukul batang pohon besar di belakangnya. Blukk! Saking kerasnya ia menghantam, kepalan tangan itu melesak ke dalam batang pohon sampai ke pergelangan tangannya!
"Eh... ah... kenapa...." Kenapa kau memukul pohon....?"" Li Cu yang kini sudah berdiri, memandang dengan mata terbelalak terheran-heran.
Beng San perlahan-lahan bangkit berdiri, menarik napas berkali-kali. Ia masih sempat mendengar suara yang berbisik-bisik tadi seperti mentertawakannya dari jauh. Setelah ia dengarkan betul-betul, itu sebenarnya adalah suara daun-daun pohon tertiup angin. Ia bergidik. Alangkah bahayanya bisikan-bisikan tadi. Bisikan iblis yang setiap saat menggoda manusia. Untung ia dapat mengalahkannya tadi dan biarpun kepalan tangannya terasa sakit, ia merasa lega hatinya. Kini tanpa ragu-ragu ia dapat mengangkat muka memandang wajah Li Cu.
"Beng San... kenapa kau memukul pohon....?" tanyanya sekali lagi.
"Ah, tidak... tidak apa-apa, Nona." "Mukamu tadi menakutkan sekali...."
"Bukan salahku. Mukaku memang bu-ruk...."
"Sekarang tidak lagi," buru-buru Li Cu memotong. "Tadi, sedetik sebelum kau memukul pohon. Aku sampai kaget dan menjerit. Beng San, kenapa mukamu bisa berubah-ubah?"
"Sudah nasibku, Nona. Ketika kecil aku dipaksa makan racun. Apakah sekarang mukaku masih menakutkanmu?"
Li Cu memaksa senyum, matanya bersinar-sinar lagi. "Tidak lagi. Sekarang tidak. Hanya tadi sebentar... ah, membikin aku teringat akan kata-kata Beng Kui tadi. Kau disebut iblis pengrusak wanita."
"Memang aku iblis... bukan hanya iblis malah kau tadi pun menyebutku bedebah dan kurang ajar... memang demikianlah aku...." Beng San menunduk dan menarik napas, merasa betapa memang ia tepat sekali disebut demikian setelah apa yang ia akibatkan pada diri Kwa Hong. Ia berdosa kepada Kwa Hong dan lebih-lebih lagi kepada Bi Goat.
"Aku tadi mengira kau Beng Kui, maka aku memaki demikian."
Kembali Beng San menarik napas panjang. "Memang tidak banyak selisihnya, Nona Cia. Kami berdua... ahh, kami bukan orang baik...."
Li Cu memandang dan menjadi terharu. Muka itu kurus benar, tapi kulitnya sekarang putih dan... hemm, tampan sekali. Apalagi alis yang berbentuk golok itu, dan sepasang mata yang tajam luar biasa. Rambutnya tidak terpelihara, pakaiannya pun hampir menyerupai pakaian jembel. Memang jauh bedanya telihat lahirnya saja dengan Beng Kui yang mentereng dan rapi. Tapi jauh nian bedanya.
"Beng San...." katanya setelah mereka berdua tercekam oleh suasana hening.
"Malam tadi di atas genteng, kenapa kau menangis?"
"Apakah aku menangis" Aku sudah lupa...
"Sebelum kau muncul untuk menolongku, kau menangis. Tangismu memilukan sekali biarpun hanya terdengar sebentar."
"Boleh jadi. Aku menangisi keadaanku, keadaan dia yang dulu kuagungkan, kukagumi sebagai kakakku yang mulia dan perkasa. Kiranya ia sama dengan aku...." "Kau kenapa" Kau... kau baik sekali, Beng San." Ucapan ini terdengar lantang dan terus terang. Ketika Beng San mengangkat muka memandang, kembali dua pasang mata bertemu dan Beng San melihat pandang mata yang jujur dan tahu bahwa pernyataan nona ini keluar dari hatinya. Ia menarik napas.
"Bukan, sayang sekali. Benar seperti yang dikatakan olehnya, aku seorang jahat, perusak hati wanita, aku seorang penuh dosa...."
"Tak-percaya! Aku tidak percaya!" Suara Li Cu makin keras penuh kesungguhan. Gadis ini diam-diam merasa aneh. Sesuatu yang aneh terjadi dalam dirinya. Biarpun sudah lama sekali ia bertunangan secara resmi dengan Beng Kui, namun hubungannya sama saja dengan hubungan kakak beradik, seorang suheng dan sumoi. Belum pernah jantungnya menggetar, seperti tadi ketika ia membalut kepala Beng San. Malah belum pernah berdekatan seperti tadi dengan Beng San. Apakah artinya semua ini" Dan ia sama sekali tidak mau percaya kalau Beng San seorang jahat, seorang perusak wanita.
Beng San memandang dengan melongo dan tiba-tiba ia merasa jantungnya berdebar keras. Penuh keharuan dan kengerian ia memandang kepada wajah jelita itu. Sudah terlalu sering ia melihat wajah gadis-gadis yang mencintanya, terutama sekali wajah Kwa Hong dan isterinya Kwee Bi Goat. Sinar mata dan wajah mereka itu seperti wajah Li Cu sekarang ini, demikian mesra, demikian jelas cinta kasih terbayang pada sepasang mata yang bening itu. Tak boleh ini!
Sekali-kali tidak boleh! Ia tidak mau berlaku sembrono seperti dulu. Tak mau melukai hati gadis, apalagi gadis seperti Li Cu. Dulu sudah banyak gadis-gadis terluka hatinya olehnya.
"Nona Cia, aku harus berterus terang kepadamu. Memang aku seorang laki-laki penuh dosa dan apa yang dikatakan suhengmu tadi semua betul belaka."
Kemudian dengan suara tegas jelas, sama sekali tidak ragu-ragu dengan pengakuannya itu ia hendak meringankan dosanya yang menindih isi dada, ia menceritakan, kepada Li Cu telah melakukan perhubungan dengan Kwa Hong kemudian meninggalkannya karena ia sudah jatuh cinta dengan Kwee Bi Goat dan kemudian ia ikut bersama Bi Goat ke Min-san dan menjadi suami isteri di sana. Diceritakannya pula betapa Kwa Hong menjadi rusak hatinya dan seperti gila, apalagi setelah ternyata bahwa perhubungan mereka itu telah mengakibatkan Kwa Hong mengandung.
"Aku telah berdosa besar kepada Kwa Hong, aku telah merusak hidupnya. Dan aku lebih berdosa lagi kepada isteriku yang belum tahu akan hal itu.
Seharusnya dahulu aku mengaku di depan Bi Goat, tapi aku pengecut... aku takut kehilangan dia, jadi aku seakan-akan menipunya. Ah, dosaku bertumpuk-tumpuk, Nona Cia. Sudah sepatutnya kalau orang semulia engkau membenciku, menganggap rendah kepadaku seperti dikatakan oleh suhengmu itu...." Demikian Beng San menutup ceritanya.
Li Cu sejak tadi mendengarkan dengan mata terbelalak dan muka sebentar pucat sebentar merah. Entah mengapa dia sendiri tidak tahu, mendengar akan penuturan Beng San tentang pengalaman dengan beberapa orang gadis cantik ini, dadanya terasa panas dan ingin sekali ia marah-marah! Ingin sekali ia menampar muka Beng San. Tapi juga ingin sekali ia menangis!
"Kau... kau... laki-laki mata keranjang!" makinya dengan suara serak sambil berdiri dan berlari pergi dari tempat itu.
"Nona Cia....! Ini pedangmu, bawalah....! Beng San juga berdiri dan sekali ia meloncat, ia telah berada di depan Li Cu, pedang pendek Liong-cu-kiam telah ia cabut dan ia angsurkan kepada gadis itu. Herannya bukan main ketika ia melihat muka yang jelita itu basah oleh air mata yang bercucuran.
Li Cu menggunakan tangan kiri mengusapi air matanya, tanpa mengeluarkan kata-kata dan tanpa memandangi muka Beng San ia menyambar pedang itu lalu berlari pergi lagi. Isaknya terdengar memilukan ketika tubuhnya berkelebat di depan Beng San. Pemuda ini berdiri bengong memandang ke arah tubuh berpakaian merah yang berlari cepat itu. Berkali-kali ia menarik napas panjang dan seperti patung ia memandang ke depan sampai bayangan merah itu lenyap ditelan kejauhan.
"Ha-ha-ha-ha, puteri Bu-tek Kiam-ong itu cinta kepadamu, Adikku! tiba-tiba suara itu terdengar di belakang. Beng San kaget sekali, cepat berputar dan...
ia berhadapan dengan seorang laki-laki bertubuh raksasa yang gagah sekali dan yang berdiri sambil tersenyum lebar dan bertolak pinggang.
"Twako....!" Beng San berseru girang dan maju merangkul laki-laki gagah perkasa itu.
"Ha-ha-ha, Beng San adikku. Di mana-mana kau selalu menghadapi keruwetan dengan wanita. Ah, kau bikin aku mengiri saja." "Tan-twako, jangan menggoda aku. Bagaimana keadaanmu" Ke mana saja selama ini kau pergi?"
Beng San menjadi gembira kembali setelah bertemu dengan laki-laki tinggi besar itu. Siapakah dia" Bukan seorang biasa, melainkan seorang bekas pejuang yang sudah terkenal namanya sebagai pemimpin dari perkumpulan Pek-lian-pai yang banyak jasanya dalam perjuangan menumbangkan kekuasaan pemerintah Mongol. Namanya adalah Tan Hok dan semenjak dahulu menjadi sahabat baik Beng San, malah Tan Hok menganggap Beng San sebagai adik angkatnya sendiri (baca kisah Raja Pedang). Tan Hok juga seorang gagah yang memiliki ilmu silat tinggi. Sebetulnya yang membuat ia amat dikagumi Beng San bukanlah ilmu silatnya, melainkan jiwa kepatriotannya yang luar biasa besarnya. Dalam hal perjuangan, Tan Hok tak dapat disamakan dengan orang seperti Beng Kui yang berjuang karena ada pamrih memetik buah dari hasil perjuangannya itu untuk keperluan dan kesenangan diri pribadi. Perjuangan yang dilakukan Tan Hok dengap perkumpulan rahasianya adalah perjuangan suci tanpa pamrih. Kalaupun ada pamrih, maka pamrih itu hanya ingin melihat rakyatnya terbebas daripada belenggu penjajahan. Jadi pamrihnya bukan untuk kepentingan diri pribadi, melainkan demi kesejahteraan rakyat. Oleh karena inilah setelah pemerintah Mongol tumbang, Tan Hok dan teman-temannya tidak termasuk bekas-bekas pejuang yang ikut gontok-gontokan untuk memperebutkan kedudukan dan kemuliaan di kota raja!
"Tan-twako, kau hendak pergi ke manakah?" Kembali Beng San bertanya, untuk sejenak ia lupa akan penderitaan batin yang sedang mengamuk di hatinya ketika bertemu dengan orang yang amat disayangnya ini.
"San-te (Adik San), sebetulnya tidak sengaja aku dapat bertemu dengan kau di sini. Pagi tadi aku melihat kau naik kuda sambil memangku seorang nona yang tampaknya sakit atau pingsan. Tadinya aku curiga melihat keadaan Nona itu maka aku tidak menegurmu dan diam-diam mengikutimu. Maafkan kecurigaanku ini. Kemudian aku melihat bahwa dia adalah Nona Cia Li Cu puteri Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan." Tan Hok ber henti sebentar, kemudian dengan muka sungguh-sungguh ia berkata lagi, "San-te, sebetuinya pertemuan ini amat menggembirakan hatiku dan kebetulan sekali. Andaikata kita tidak bertemu di sini, agaknya aku pun akan mencarimu di Min-san untuk minta bantuanmu."
bagian 25 Girang hati Beng San bahwa teman baiknya ini tidak melanjutkan bicaranya tentang Li Cu. Ia sudah merasa malu sekali kalau orang bicara tentang gadis-gadis yang pernah membuat hidupnya kacau-balau. Dengan penuh gairah ia lalu berkata,
"Katakanlah, Twako. Apakah urusan yang mengganggumu" Tentu adikmu ini dengan hati lapang siap sedia membantumu."
"Kalau hanya menghadapi urusan pribadi, mana aku berani mengganggumu, Adik Beng San" Hanya ada satu macam urusan yang memaksaku minta bantuan siapapun juga."
"Urusan negara?" Beng San menduga, tahu akan watak laki-laki raksasa itu.
Tan Hok mengangguk. "Patriot-patriot palsu itu benar-benar menjemukan.
Mereka kini mengacau dan berusaha merampas kedudukan Kaisar Thai Cu, merasa bahwa mereka lebih berhak daripada bekas pahlawan Giu Goan Ciang.
Hemm, benar-benar tidak ubahnya dengan anjing-anjing yang memperebutkan bangkai srigala yang tadinya mereka keroyok!"
"Aku sudah mendengar juga tentang itu, Twako. Malah sudah bertemu dengan Ho-hai Sam-ong yang bersekongkol dengan Raja Muda Lu Siauw Ong. Aku mendengar tentang rencana mereka yang akan bergerak dari luar dan dari dalam."
"Bagus!" Tan Hok melompat bangun, lalu duduk kembali di atas akar pohon.
"Jadi mereka sudah bersekongkol pula" Lebih mudah kalau begitu untuk sekaligus menghancurkan mereka. Adikku, karena inilah maka aku minta bantuanmu. Aku dan teman-temanku dari Pek-lian-pai sudah siap dan malah Kaisar telah memberi pula bantuan pasukan untuk merampas para pemberontak tak tahu malu itu. Sin-te, dengan kau di sampingku, aku akan merasa kuat untuk menghadapi mereka yang tak boleh dipandang ringan itu.
Dan...perlu kuberitahukan kepadamu, yang kausebut Lu Siauw Ong tadi, dia itu adalah mertua dari kakak kandungmu Tang Beng Kui. Jadi... kalau kau membantuku, kau tentu akan berhadapan dengan Tan Beng Kui sebagai musuh!"
Beng San mengangguk. "Hal itu pun aku sudah tahu, Twako." Kemudian secara singkat Beng San menuturkan pertemuannya dengan kakak kandungnya itu di rumah Ho-hai Sam-ong. Hanya soai Li Cu tidak ia ceritakan.
Tan Hok senang mendengar ini. "Kalau begitu, mari kau ikut denganku. Kita akan bergerak dari utara, membersihkan pemberontak-pemberontak yang datang dari sana. Ho-hai Sam-ong takkan berani sembarangan bergerak kalau komplotan-komplotannya dari utara belum kuat benar membantunya."
"Aku bersedia membantumu, Twako. Hanya saja... aku masih belum tahu pasti, belum yakin akan tujuan pergerakanmu sekarang ini. Orang-orang itu saling memperebutkan kedudukan dan semua yang kudengar menyatakan bahwa Kaisar sekarang ini, bekas pemimpin pejuang Ciu Goan Ciang adalah seorang yang tidak adil. Sekarang ternyata kau membantu Kaisar, Apakah menurut pendapatmu Kaisar Thai Cu yang betul dan mereka yang tidak puas itu salah?"
"Adikku Beng San, kau tidak mengerti tentang keadaan negara, memang hal ini tidak aneh karena kau tidak mempedulikannya. Akan tetapi aku yang selalu mengikuti perkembangannya, dapat melihat dengan nyata. Dengarlah kata-kataku ini, Adikku. Sudah jelas bahwa dalam perjuangan menumbangkan kekuasaan Mongol, pemimpin besar Ciu Goan Ciang membuktikan bahwa dialah seorang pemimpin yang pandai dan hanya dia yang akan dapat memimpin rakyat dan memajukan negara yang baru saja terbebas dari belenggu penjajahan. Andaikata bukan Ciu Goan Ciang yang dalam perjuangan dapat menyatukan semua unsur kekuatan rakyat, mana perjuangan melawan Mongol bisa tercapai?"
Tan Hok berhenti sebentar untuk meredakan gelora dalam dadanya, lalu disambungnya perlahan dan tenang,
"Bahaya yang mengancam keadaan negara masih belum lenyap. Bangsa Mongol yang melarikan diri ke utara setiap waktu tentu hendak mencoba merampas kembali tanah jajahannya. Belum lagi bangsa-bangsa lain yang hendak mengambil keuntungan dari keadaan kacau-balau sehabis perang. Kita semua membutuhkan bimbingan seorang yang kuat lahir batin, sedangkan perjuangan membuktikan bahwa hanya Ciu Goan Ciang yang mempunyai kemampuan untuk tugas berat itu. Pengangkatan dirinya sebagai Kaisar sudah disetujui oleh semua pemimpin para pejuang." Kembali ia berhenti.
Akan tetapi Beng San mengemukakan pendapatnya. "Mengapa kalau begitu, masih banyak orang merasa kurang puas dan menganggap dia kurang adil karena tidak memberi kedudukan kepada para bekas pejuang?"
"Memang kalau menurutkan pendapat setiap orang yang selalu mementingkan dirinya sendiri, di dunia ini tidak akan pernah ada keadilan. Mana bisa timbul keadilan kalau semua orang menghendaki bahwa yang enak-enak dan yang baik-baik itu seyogianya diberikan kepadanya saja" Soal kedudukan bukanlah hal semudah orang bicarakan. Tentu saja Kaisar harus memilih orang dengan hati-hati untuk didudukkan atas suatu pangkat, disesuaikan dengan kecakapan orang itu. Bagaimana nanti jadinya kalau seorang bekas kepala perampok diangkat menjadi menteri yang mengurus kekayaan negara" Bagaimana akan jadinya kalau seorang yang hampir tak pandai menulis diangkat menjadi menteri kebudayaan" Seorang yang buta akan urusan pemerintah diangkat menjadi menteri urusan negara" Tentu akan menjadi makin kacau kalau hal-hal semacam itu dilakukan hanya untuk memenuhi pamrih bekas-bekas pejuang yang menganggap diri sendiri paling berjasa itu." Kembali Tan Hok bicara penuh semangat.
"Kalau begitu, menurut anggapan Twako, Kaisar Thai Cu atau bekas pejuang Ciu Goan Ciang itu adalah seorang yang sempurna dan semua rakyat harus saja mentaati apa yang ia kehendaki?"
Tan Hok tertawa. "Adikku. Tidak ada seorang manusia yang sempurna sama sekali di dunia ini! Para dewa sekalipun masih belum sempurna karena masih tak luput dari kesalahan. Tentu saja Kaisar tidak terkecuali. Aku takkan membantah kalau ada orang yang dapat mengemukakan kesalahan-kesalahan, cacad-cacad atau kekurangan-kekurangan Kaisar. Setiap manusia sudah pasti mempunyai kekurangan-kekurangan dan cacad-cacadnya, Akan tetapi dalam hal kenegaraan, adalah keliru kalau menilai kedudukan seseorang dari tabiat pribadinya. Seharusnya dilihat pelaksanaan dari tugasnya, hasil dari pekerjaannya, dan kemampuan dari dirinya. Kiraku tidak ada orang yang lebih pandai dan lebih bijaksana dan lebih tepat untuk menduduki singgasana daripada Kaisar yang sekarang ini. Oleh karena mengingat bahwa dia adaiah pusat dari kekuatan kerajaan yang baru, pusat dari pemerintahan sesudah kaum penjajah jatuh, maka sudah seharusnyalah kalau kita mendukung dan membantunya. Bukan semata-mata membela pribadi Ciu Goan Ciang yang sekarang sudah menjadi Kaisar Thai Cu, melainkan mendukung dan membela pemimpin dari bangsa kita. Kalau tidak kita bela, lalu pimpinan terjatuh ke dalam tangan orang yang tidak bijaksana, tidak mampu, apalagi yang jahat seperti bekas-bekas kepala rampok macam Ho-hai Sam-ong, ah, akan bagaimanakah jadinya dengan negara kita?"
Setelah mendengarkan penjelasan dan penuturan Tan Hok secara panjang lebar, akhirnya Tan Beng San menyatakan suka ikut dan membantu Tan Hok untuk menggempur dan menghalau para pemberontak yang hendak mendatangkan kekacauan itu. Hal ini bukan semata-mata karena bangkitnya semangat oleh uraian Tan Hok, melainkan untuk melupakan atau menghibur kehancuran hatinya. Ia merasa malu untuk pulang ke Min-san, untuk berhadapan muka dengan Bi Goat, isterinya yang tercinta itu. Memang kadang-kadang hatinya penuh rindu, perasaannya hancur kalau ia teringat betapa Bi Goat sudah mengandung ketika ia tinggalkan ke Hoa-san. Sudah mengandung beberapa bulan. Inilah sebabnya mengapa ia melarang ketika Bi Goat menyatakan keinginan hatinya hendak ikut pergi dengan suaminya itu ke Hoa-san.
Di puncak sebuah bukit kecil yang ditumbuhi beberapa batang pohon raksasa terdapat sebuah rumah papan yang kecil menyendiri. Tak ada rumah lain dari puncak sampai ke kaki bukit kecuali pondok kecil itu. Sunyi sepi Sekelilingnya, namun harus diakui bahwa hawa udara amat sejuk dan pemandangan alam amat indahnya dari puncak itu. Di lereng dan kaki bukit tampak pohon-pohon kecil menghijau. Hanya di puncak itulah adanya beberapa pohon raksasa yang sudah tua dan amat besar lagi tinggi.
Seperti biasanya setiap hari, pada pagi hari itu pun sunyi, seakan-akan tidak ada penghuninya. Akan tetapi kesunyian pagi itu tidak lama karena segera terdengar lapat-lapat suara tangisan seorang wanita, tangisan yang amat memilukan. Terisak-isak wanita itu menangis, kemudian terdengar keluhannya.
"Kaubunuhlah aku... bunuhlah aku... ah, alangkah keji hatimu, kau melebihi segala iblis... kaubunuhlah aku....!"
Lalu disusul suara laki-laki, suaranya halus tapi penuh ejekan.
"Kau selalu minta mati saja, sudah sebulan lebih permintaanmu tak lain hanya itu saja. Bosan aku mendengarnya. Bukankah sudah jelas bahwa aku amat sayang kepadamu, bahwa aku cinta kepadamu" Manis, apakah kau bosan tinggal di tempat sunyi ini" Apakah kau ingin ikut denganku merantau ke utara" Di sana indah sekali. Pernah kau menyaksikan gurun pasir?"
"Aku tidak inginkan apa-apa kecuali mati. Kaubunuh sajalah aku! lagi-lagi suara wanita itu memohon.
"Sudahlah, mari kau ikut ke utara. Tentu kau senang dan kau akan melihat betapa besar cintaku kepadamu." Laki-laki itu tertawa dan tak lama kemudian tampaklah seorang laki-laki muda yang tampan keluar dari pondok itu, memondong seorang wanita muda cantik yang lemas tak berdaya, agaknya telah tertotok jalan darahnya.
Laki-laki muda itu bukan lain adalah Siauw-coa-ong Giam Kin, pemuda raja ular yang jahat itu. Adapun wanita yang bukan lain adalah Lee Giok atau Nyonya Thio Ki yang telah ditawan dan dilarikannya sebulan yang lalu, Lee Giok kelihatan pucat dan berduka sekali, akan tetapi ia tidak berdaya karena memang kalah kuat dan kalah tinggi kepandaiannya.
Setelah tiba di luar pondok, Lee Giok berkata sambil menarik napas panjang,
"Giam Kin, agaknya Thian sudah menakdirkan aku menjadi teman hidupmu.
Sudahlah aku tidak akan membantah lagi dan aku mau ikut denganmu ke utara. Asal selama hidupku aku tidak akan bertemu dengan, suamiku dan kau membawa ku ke tempat yang jauh, aku menurut."
Giam Kin girang sekali dan memeluknya. "Betulkah kata-katamu ini" Aha, bagus sekali, adikku yang tercinta. Mari kubawa kau ke sorga di utara dan kita hidup bahagia. Ha-ha-ha!" Seperti orang gila Giam Kin memeluk nyonya muda itu sambil menari-nari.
"Hush, gila kau! Tak usah aku kau gendong-gendong terus seperti orang lumpuh, hayo lepaskan totokan pada tubuhku dan aku akan jalan sendiri di sisimu selama hidupku."
Giam Kin sambil tersenyum-senyum dan menggoda-goda dengan ceriwis sekali lalu menurunkan Lee Giok dan menotok beberapa jalan darahnya lalu mengurut punggung nyonya muda yang cantik itu. Ia tidak takut membebaskan Lee Giok karena kalau Lee Giok melawan, dengan mudah ia akan dapat mengatasinya kembali.
Setelah terbebas dari totokan Lee Giok terhuyung-huyung lemas. Memang tubuhnya lemas sekali, terbawa oleh perihnya perasaannya yang ditahan-tahan. Ketika Giam Kim maju memeluknya untuk mencegahnya jatuh, ia berkata, suaranya halus mesra,
"Biarkan aku mengaso di bawah pohon ini dulu, aku... aku pening dan lesu sekali."
Sambil memeluknya Giam Kin membawa Lee Giok ke bawah pohon raksasa dan mendudukkannya di atas akar pohon itu yang keluar dari dalam tanah seperti tubuh ular besar, Lee Giok menjatuhkan diri duduk di situ, ia lalu meramkan matanya mengumpulkan tenaga. Ketika ia meramkan mata, terbayanglah wajah suaminya dan terbayang pula pengalamannya, ketika ia tertawan oleh Giam Kin. Hatinya seperti ditusuk-tusuk pisau rasanya dan tak tertahankan lagi kembali air matanya be bercucuran turun.
"Ah, kekasihku, lagi-lagi kau menangis...." Giam Kin mendekat dan hendak merangkul leher Lee Giok.
Tiba-tiba Lee Giok menggerakkan kedua tangannya memukul ke depan sekuat tenaganya. Giam Kin memang sudah siap sedia karena orang yang cerdik ini mana mau percaya begitu saja akan sikap menyerah dari nyonya muda yang selalu berkeras membencinya ini" Cepat ia melompat mundur untuk menghindarkan diri dari penyerangan tiba-tiba ini. Lee Giok juga melompat berdiri dan memandang kepada Giam Kin penuh kebencian.
"Manusia iblis! Aku Lee Giok bersumpah takkan mau hidup sebelum menghancurkan kepalamu, membelah dadamu dan mencabut keluar isi dadamu!" teriaknya penuh kemarahan yang meluap-luap.
"Heh-heh, galaknya tapi malah lebih manis!" Giam Kim mengejek. "Kau perempuan tak tahu disayang orang! Aku ingin membikin kau bahagia dan ingin mencintamu selamanya. Kiranya kau seorang yang tidak punya jantung.
Baiklah, aku akan menjadikan kau barang permainanku, kalau sudah bosan akan kulempar ke jurang biar menjadi makanan serigala!"
Lee Giok tidak sudi mendengarkan lagi, terus saja ia menerjang dengan kaki tangannya, mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk membunuh manusia yang dibencinya ini, yang telah merusak hidupnya.
Namun, seperti beberapa kali yang sudah-sudah, kali ini pun ia tidak berhasil mengalahkan Giam Kin yang memang amat lihai itu. Ia malah dipermainkan oleh Giam Kin yang mengelak ke sana ke mari, berloncatan sambil mengejek dan menggoda. Ia ingin membuat Lee Giok kelelahan lebih dulu untuk kemudian ditawan lagi dan dipermainkan. Memang pada dasarnya hati Giam Kin memiliki kekejaman yang luar biasa, sudah bukan seperti manusia lagi. Hal ini tidak aneh kalau dipikir bahwa dia adalah murid tunggal dari manusia iblis Siauw-ong-kwi dan semenjak kecil sudah banyak melakukan kekejaman-kekejaman.
Tubuh Lee Giok masih amat lesu, maka dipermainkan oleh Giam Kin ia menjadi makin payah dan lemas. Namun dengan nekat nyonya muda ini menyerang terus mati-matian dengan tekad membunuh atau mati dalam pertempuran ini.
Tiba-tiba terdengar suara aneh di atas, suara melengking yang amat nyaring menggetarkan jantung. Kemudian dari puncak pohon raksasa di bawah mana dua orang itu sedang bertempur, melayang turun seekor burung raksasa yang
.... berbulu kuning emas. Di punggung burung itu duduk seorang wanita muda cantik yang sinar matanya tajam dan liar. Sebelah tangannya memegang sebuah cambuk berekor lima di mana terikat lima batang anak panah hijau. Di punggungnya tergantung sebuah pedang pusaka. Inilah Kwa Hong yang menunggang burung rajawali emas yang sakti itu.
"Hi-hi-hik, Giam Kin, kebetulan sekali! Tak usah aku mencarimu kau sekarang mengantar nyawa kepadaku!" kata Kwa Hong ketika ia mengenal isteri dari suhengnya, Thio Ki. Akan tetapi ia tidak menegur Lee Giok yang tadi amat terdesak hebat oleh Giam Kin itu. Sinar kuning emas menyambar turun dan burung itu telah menerkam ke arah kepala Giam Kin.
Bukan main kagetnya Giam Kin melihat penyerangan ini. Cepat ia melompat mundur dan membentak, "Siapa kau?"
Bergidik juga ia melihat wanita cantik menunggang burung rajawali yang bermata liar itu, sementara itu Lee Giok segera mengenal Kwa Hong. Ia girang mendapat bala bantuan, akan tetapi juga heran dan kaget sekali menyaksikan keadaan Kwa Hong yang tidak wajar ini.
"Adik Hong....!" serunya.
Burung itu masih beterbangan berputar-putar di atas mereka. Kwa Hong berkata dengan suara mengejek,
"Lee Giok, tidak lekas lari menanti apalagi" Apa kau mengharapkan tertawan oleh lawanmu yang tampan ini" Heh-heh-heh, kau mau main gila di belakang suamimu, ya?"
Kalau ada halilintar menyambar kepalanya, kiranya Lee Giok takkan begitu kaget seperti ketika ia mendengar ejekan ini. Sejenak ia memandang dengan mata terbelalak kepada Kwa Hong yang duduk di punggung burung. Lalu terlihat olehnya, sepasang mata yang mengerikan itu. Lee Giok tertusuk hatinya, sambil terisak-isak ia lalu lari pergi dari situ, diikuti suara ketawa yang mengerikan dari Kwa Hong. Dasar watak Giam Kin mata keranjang dan keji. Melihat nona cantik jelita di punggung burung itu, ia segera tertarik sekali hatinya. Ia sudah mengenal sekarang wanita muda yang duduk di punggung burung itu. Kwa Hong murid Hoa-san-pai yang cantik itu, yang dulu pernah membuat ia tergila-gila juga (baca Raja Pedang). Karena dia sendiri seorang berwatak keji, maka sinar ganas dan liar pada sepasang mata Kwa Hong itu baginya malah mendatangkan perasaan menyenangkan, malah menjadikan Kwa Hong makin manis dalam pandang matanya. Pula ia memandang rendah kepada Kwa Hong, karena murid Hoa-san-pai saja sampai di mana sih kelihaiannya"
"Aha, kukira tadi siapa. Tidak tahunya adik manis dari Hoa-san-pai. Turunlah Nona manis dan mari bersenang-senang dengan aku. Boleh aku membonceng di punggung burungmu yang indah itu?"
Tiba-tiba sinar hijau menyambar, sebagai jawaban. Giam Kin tertawa mengejek akan tetapi segera ketawanya berubah seruan kaget ketika lima batang anak panah itu menyambar kepadanya dengan kecepatan yang amat luar biasa, seperti kilat menyambar, Ia menjatuhkan diri di atas tanah dan hanya dengan cara begini ia dapat menyelamatkan dirinya.
Celaka baginya, wanita yang duduk di punggung rajawali emas itu lihai bukan main. Burungnya menyambar-nyambar rendah dan anak panah-anak panah di ujung cambuk itu terus menyambar-nyambar dengan pukulan dahsyat sekali.
Giam Kin mencabut suling ularnya dan berusaha menangkis, akan tetapi baru dua kali menangkis saja sulingnya itu terlepas dari tangannya dan mencelat entah ke mana. Demikian hebatnya tenaga pukulan Kwa Hong sampai-sampai dia sendiri tidak mampu menangkisnya. Mulailah pengejaran yang mengerikan.
Giam Kin lari ke sana ke mari, namun burung itu terus mengejar dan sinar hijau bersuitan di atas kepalanya. Giam Kin menjadi pucat sekali, keringat dingin bercucuran keluar. Ia menjatuhkan diri, bergulingan, tapi ke manapun juga ia selalu dikejar sinar hijau itu yang diikuti suara ketawa. Baru sekarang telinga Giam Kin mendengar suara ketawa yang mengerikan sekali, tidak semerdu tadi.
"Mampus kau..... hi-hi-hik, mampus kau...!"
Akibatnya Giam Kin yang belum sekali juga terkena anak panah itu, menjadi lemas saking lelah dan ketakutan. Gerakannya lambat dan tiba-tiba sepasang cakar burung yang kuat sekali mencengkeram tubuhnya bagian dada dan kepala. Terdengar suara daging dan kulit dirobek-robek diiringi suara ketawa melengking tinggi dari Kwa Hong. Beberapa kali Giam Kin mengeluarkan pekik kesakitan dan ketakutan, kemudian hening kembali di situ.
Ketika burung rajawali yang ditunggangi Kwa Hong itu terbang lagi ke atas, di bawah pohon raksasa itu tertinggal tubuh Giam Kin yang tak bergerak dan dalam keadaan mengerikan sekali. Pakaiannya robek-robek, dan penuh darah yang bercucuran dari dada dan mukanya yang juga sudah terobek-robek oleh cakar cakar tajam tadi. Matanya sebelah kiri hancur, telinga kirinya juga lenyap, mulutnya robek lebar, dadanya terbeset kulitnya dan lengan kirinya dicengkeram sedemikian rupa oleh cakar rajawali sehingga semua urat-urat besarnya terputus dan lengan itu kiri kaku dengan jari-jari mencengkeram saking menahan sakit. Matikah Giam Kin" Pada saat itu masih belum, karena terdengar rintihan perlahan dari dadanya. Tapi kalau orang menyaksikan keadaannya, tentu takkan dapat mengharapkan dia dapat hidup lagi.
Sementara itu, Lee Giok terus berlari cepat sambil menangis terisak-isak. Ia telah terlepas dari cengkeraman tangan Giam Kin. Akan tetapi apa gunanya"
Lebih baik ia mati saja. Mana mungkin ia dapat menentang wajah suaminya lagi. Lebih baik dia mati daripada menanggung aib yang hebat. Lebih baik ia terjun ke dalam jurang yang curam. Akan tetapi, apa pula artinya kalau ia mati tanpa ada yang mengetahuinya kelak" Tetap saja ia akan mati dalam keadaan menanggung malu. Lebih baik dia ke Hoa-san dan mati di sana agar suaminya kelak tahu bahwa ia telah menebus aib itu dengan nyawanya. Di Hoa-san ia harus mati, agar suaminya tahu bahwa sampai detik terakhir ia masih teringat kepada suaminya, masih ingin mendekatinya biarpun hanya dengan maksud mendekatkan arwahnya dengan Hoa-san! Selain itu, alangkah akan besar dosanya kalau ia mati membawa anak dalam kandungannya. Bukankah jtu berarti ia akan membunuh anak itu", Anaknya" Anak suaminya" Tidak, ia harus menanti, biarpun hatinya akan remuk-redarm Harus menanti sampai anak dalam kandungannya yang sudah tiga bulan itu lahir.
Lee Giok berlari terus sampai akhirnya tubuhnya terguling menggeletak di tengah hutan saking tidak kuat lagi, saking lelahnya. Sambil merintih-rintih ia merangkak ke bawah pohon yang bersih, lalu membaringkan tubuh dan pikirannya melayang-layang. Hidupnya rusak oleh Giam Kin.Yang menjadi biang keladi adalah Kim-thouw Thian-li dan Hek-hwa Kui-bo. Semangatnya sebagai seorang gagah dalam diri Lee Giok bangkit ketika ia mengingat akan tiga orang ini. Akan sia-sia belaka kalau ia mati sebelum ia mampu membalas, sebelum ia mampu melenyapkan tiga manusia iblis itu dari permukaan bumi.
Kepandaiannya memang masih belum begitu tinggi untuk mengalahkan mereka, akan tetapi ia dapat memperdalam kepandaiannya.
Setelah tidur semalam di hutan itu, pada keesokan harinya Lee Giok melanjutkan perjalanannya dengan hati yang sudah mengambil dua buah keputusan, yaitu sebelum ia membunuh diri untuk mencuci noda pada dirinya, ia harus lebih dulu melahirkan anak dalam kandungannya, kemudian tugasnya yang kedua ialah membunuh tiga orang musuh besarnya itu! Ia tidak boleh mati sekarang, ia malah harus kuat dan harus dapat memperdalam ilmunya.
Pikiran inilah yang menyelamatkan nyawa Lee Giok dan dengan hati teguh nyonya muda ini melanjutkan perjalanannya menuju Hoa-san.
bagian 26 Gunung Min-san berada di tapal batas antara Propinsi Se-cuan, Cing-hai, dan Kan-su. Gunung ini amat indah pemandangannya dan merupakan pegunungan yang subur. Sungai-sungai besar yang amat terkenal seperti Sungai Kuning dan Sungai Yang-ce-kiang, boleh dibilang mendapatkan sumber mata airnya dari Pegunungan Min-san ini, sungguhpun masih banyak pegunungan lain yang menjadi sumbernya pula.
Di antara puncak-puncak Pegunungan Min-san inilah menjadi tempat tinggal Song-bun-kwi Kwee Lun yang dahulunya amat terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Song-bun-kwi. Ia dijuluki Song-bun-kwi (Setan Berkabung) karena selalu memakai pakaian putih berkabung semenjak isterinya meninggal dan ia hidup merantau dengan puteri tunggalnya, Kwee Bi Goat.
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah sekarang Kwee Bi Goat menikah dengan Tan Beng San dan hidup bahagia di Min-san, Kwee Lun ini tidak patut lagi dijuluki Song-bun-kwi karena ia tidak lagi berpakaian berkabung, juga tidak lagi hidup seperti yang sudah-sudah, yaitu seperti manusia iblis yang ditakuti orang. Kakek ini sekarang hidup tenang dan tenteram di Pegunungan Min-san ini, malah setiap hari bertani atau samadhi memperdalam ilmu batinnya.
Adapun Kwee Bi Goat yang dahulunya gagu (baca cerita Raja Pedang), tapi sekarang telah sembuh, menjadi isteri yang cantik jelita dan penuh kasih sayang bagi Beng San. Suami isteri ini bersama Kakek Kwee hidup aman dan damai di Min-san. Namun, nasib manusia memang tidak menentu seperti air laut, kadang-kadang surut. Baru beberapa bulan saja mereka hidup penuh madu kasih dan kebahagiaan di Min-san, datanglah seorang tosu dari Hoa-San-pai yang minta bantuan Beng San untuk menolong Hoa-san-pai yang sedang ditimpa malapetaka karena pengamukan Kwa Hong. Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Beng San yang mengingat akan hubungannya dengan Hoa-san-pai dahulu, terpaksa pergi meninggalkan isterinya yang tercinta yang diakhiri dengan kehancuran hatinya se hingga membuat ia tidak berani pulang dan tidak berani bertemu muka dengan isterinya!
Berbulan-bulan Bi Goat menanti kembalinya suaminya dengan hati penuh rindu dan kekuatiran. Akhirnya ia tidak dapat menahan lagi hatinya yang penuh rasa kegelisahan. Ia takut kalau-kalau suaminya tertimpa bencana karena sudah terlalu lama meninggalkan rumah tanpa ada kabar beritanya dan juga tidak kelihatan pulang. Bi Goat lalu minta pertolongah ayahnya untuk pergi menyusul Beng San ke Hoa-san dan mencarinya sampai dapat.
"Hemmm, baru ditinggal beberapa bulan saja kau sudah rewel!" Kwee Lun mengomel. "Sudah lama aku tidak meninggalkan gunung, kalau turun gunung kutakut akan kumat penyakitku yang lama!" Kakek yang dulu dijuluki setan berkabung itu mula-mula menolak permintaan puterinya. Ia sudah mulai senang dengan hidup bersunyi di puncak yang indah itu, menikmati ketenteraman hidup di hari tua.
"Ayah, jangan salah mengerti. Bukan sekali-kali karena aku terlalu manja dan tidak bisa ditinggalkan suami yang pergi menjalankan tugas sebagai orang gagah. Tetapi, harap Ayah ketahui bahwa sekarang kandunganku sudah lima bulan. Bagaimana kalau sampai tiba saatnya melahirkan tidak ada ayahnya di sini" Ayah, apa kau tidak kasihan kepadaku?" Suara Bi Goat menggetar dan hati kakek yang dulu dianggap manusia iblis itu mencair.
"Baiklah... baiklah... dasar bocah yang jadi mantuku itu tidak tahu diri! Akan kucari dia dan kuseret pulang!" Sambil mengomel panjang pendek, kakek yang pernah menjadi tokoh nomor satu di dunia kang-ouw sebelah barat itu akhirnya turun gunung meninggalkan Min-san untuk menyusul dan mencari anak mantunya, Tang Beng San.
Sebulan sudah Song-bun-kwi Kwee Lun meninggalkan Min-san. Pada suatu sore Bi Goat duduk seorang diri di pekarangan depan rumahnya. Dengan penuh harapan, seperti setiap sore yang lalu, ia duduk menanti kalau-kalau ayah dan suaminya pulang. Para pelayan yang tidak kurang enam orang banyaknya, sudah selesai bekerja dan sedang asyik mengobrol di belakang rumah. Bi Goat duduk seorang diri menghadapi cangkir teh dan makanan yang mengandung daya penguat badan. Ayahnya banyak memberikan makanan seperti ini untuknya.
Mendadak ia.mendengar suara aneh di udara. Ketika ia mengangkat muka, Bi Goat terheran-heran melihat seekor burung yang besar dan indah sekali terbang berputaran di atas puncak itu. Cahaya matahari senja yang merah membuat bulu burung itu kelihatan kuning kemerahan, amat indahnya seperti emas.
"Ah, burung rajawali kalau aku tidak salah...." kata Bi Goat kagum sekali.
Mendadak wajahnya berubah dan nyonya muda ini cepat barigkit berdiri dari kursinya. Ia melihat sesuatu yang aneh, sesuatu yang ajaib. Ada seorang wanita menunggang burung rajawali itu!
"Mimpikah aku?" gumamnya seorang diri sambil menggosok-gosok matanya.
Tidak, ia tidak mimpi. Malah kini burung itu menukik turun dan tak lama kemudian burung itu sudah sampai di atas tanah, hanya belasan meter jauhnya dari tempat Bi Goat berdiri. Wanita muda dan cantik itu melompat turun dari punggung rajawali dan dengan hati berdebar Bi Goat mendapat kenyataan bahwa wanita itu sedang mengandung. Malah perutnya lebih besar daripada perutnya sendiri. Kandungannya sudah tua. Wanita itu melangkah maju, agak terhuyung-Huyung.
Bi Goat adalah seorang yang pada dasarnya memiliki budi yang halus. Melihat wanita yang mengandung tua ini terhuyung-huyung dan nampak letih, mukanya pucat, ia cepat lari menghampiri dan merangkul pundaknya.
"Hati-hatilah, Cici...." katanya halus.
Wanita itu bukan lain adalah Kwa Hong! Kemarahannya ketika tadi turun dan menduga bahwa wanita cantik yang juga sudah mengandung di depannya itu tentulah isteri Beng San, agak mereda oleh sikap halus Bi Goat. Pernah ia melihat Bi Goat, akan tetapi hanya seben tar maka ia sudah lupa lagi (baca cerita Raja Pedang). Demlkian pula Bi Goat, biarpun pernah bertemu dengan Kwa Hong, tapi karena baru sekali dan hanya sebentar, ia pun sudah lupa lagi.
"Di mana Beng San" Aku ingin bicara padanya," kata Kwa Hong menahan marah, suaranya agak ketus dan sama sekali ia tidak menyambut baik sikap halus dari Bi Goat tadi.
Bi Goat terkejut, tapi ia menjawab juga. "Suamiku sudah beberapa bulan turun gunung, sampai sekarang belum pulang," jawabnya masih halus dan hati-hati ia bertanya, "Tidak tahu siapakah Cici ini dan ada keperluan apalah mencari suamiku?"
"Hemm, jadi kau ini Bi Goat, dara baju merah yang dulu gagu itu?" tanya Kwa Hong, suaranya mengejek dan pandang matanya menyapu Bi Goat dari atas ke bawah.
Kini Bi Goat mulai curiga. Pandang matanya tajam menyelidik. "Kau siapakah dan apa keperluanmu datang ke Puncak Min-san ini?"
"Heh, kau sudah lupa kepadaku. Aku Kwa Hong...."
"Ohhh, murid Hoa-san-pai?"
"Bodoh! Ketua Hoa-san-pai, bukan murid! Aku datang mencari Beng San.
Mana dia?" "Sudah kukatakan tadi, dia sedang pergi." Bi Goat mulai tak senang hatinya.
"Aku mencari Beng San, bukan suamimu."
"Ben-San adalah suamiku!" jawabnya Bi Goat sekarang agak ketus.
Kwa Hong tersenyum mengejek, lalu melirik ke arah perut Bi Goat. Tanyanya penuh ejekan, "Berapa bulan kau mengandung?"
"Heee?" Kenapa....?"" Wajah Bi Goat menjadi merah sekaii. Kalau ia tidak ingat bahwa yang mengajukan pertanyaan ini pun sedang mengandung, tentu ia akan menjadi marah. "Sudah enam bulan mengapa?"
Kembali Kwa Hong tersenyum mengejek. "Seharusnya kau bilang baru enam bulan, bukannya sudah enam bulan. Jadi baru enam bulan, kan" Lihat kandunganku ini sudah sembilan bulan! Mana lebih dulu" Sebelum menjadi suamimu, Beng San sudah menjadi ayah anak yang kukandung ini, tahu?""
Seketika wajah Bi Goat menjadi pucat sekali. Ucapan Kwa Hong itu betul-betul merupakan pedang yang menusuk tembus jantungnya. Gemetar seluruh tubuhnya dan suaranya menggigil ketika ia berseru, "Kau... kau bohong....!!"
Kwa Hong memperlebar senyumnya. "Kalau tidak percaya kautanyakan saja kepada Beng San. Hayo, mana dia" Panggil dia keluar, dia harus menyaksikan kelahiran anaknya...." Tiba-tiba Kwa Hong mengeluh sambil memegangi perutnya.
"Dia sedang pergi... hee, bagaimana ini?" Kau kenapa, Cici....?" Bingung juga Bi Goat melihat Kwa Hong tiba-tiba terhuyung dan tentu sudah roboh kalau tidak cepat ia tangkap lengannya. Ia melihat wajah Kwa Hong pucat sekali, mulutnya merintih-rintih dan keadaannya hampir pingsan.
Memang pada dasarnya Bi Goat seorang yang berhati mulia. Biarpun ia tadi marah sekali dan perasaannya seperti ditusuk-tusuk mendengar ucapan Kwa Hong, namun melihat keadaan nyonya muda yang akan melahirkan itu ia menjadi tidak tega dan cepat-cepat menolong.
"Biarlah... aku... aku harus melahirkan... di tempat tinggal... Beng San...."
demikian Kwa Hong mengeluh perlahan ketika siuman. Sementara itu, Bi Goat sudah berseru memanggil para pelayannya dan Kwa Hong lalu digotong masuk ke dalam rumah. Karena dia sendiri sedang mengandung, maka Bi Goat memang sudah mengundang seorang wanita tua yang ahli menolong orang beranak dan yang disuruh tinggal di rumahnya. Maka Kwa Hong dapat menerima pertolongan yang cepat.
Dalam keadaan setengah sadar saking menahan sakit, Kwa Hong mengigau dan bercerita Bi Goat tentang perhubungannya dengan Beng San dahulu, juga tentang pertemuannya yang terakhir. Semua diceritakan oleh Kwa Hong sehingga Bi Goat yang mendengarkan ini hanya dapat menangis dengan hati hancur. Dia amat mencinta Beng San, sejak dahulu ia mencinta Beng San dengan seluruh jiwa raganya. Ia tidak rela kalau Beng San membagi cintanya dengan wanita lain, maka dapat dibayangkan betapa hebat dan parah luka yang ditimbulkan oleh penuturan Kwa Hong ini di dalam hatinya.
Pada tengah malam hari itu, dari dalam rumah Bi Goat terdengarlah suara pertama dari seorang bayi yang terlahir. Tangisnnya memecahkan kesunyian malam, nyaring melengking. Tangis seorang bayi laki-laki yang montok dan sehat. Tak lama kemudian terdengar lengking lain susul-menyusul menjawab tangis bayi ini, suara lengking tinggi yang datangnya dari atas rumah. Itulah suara lengking rajawali emas yang menanti munculnya Kwa Hong sambil mendekam dl atas wuwungan genteng rumah itu. Entah mengapa binatang itu melengking, mungkin karena tangis bayi itu hampir sama dengan suaranya sendiri.
Biarpun hatinya hancur, Bi Goat siang malam menunggu Kwa Hong dan merawatnya dengan baik. Sepekan kemudian Kwa Hong sudah sembuh, Ia menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, lalu ia keluar dari rumah itu memanggil rajawali emas. Burung itu yang mulai tak sabar dan setiap hari berkaok-kaok di depan rumah, menjadi girang sekali dan menyambar turun, Bi Goat yang berwajah pucat sekali mengikuti Kwa Hong dari belakang.
"Cici Hong, kau baru sepekan melahirkan, jangan pergi dulu...." katanya menahan.
Akan tetapi Kwa Hong tidak peduli, membawa anaknya melompat ke arah punggung rajawaii, lalu berkata,
"Katakan kepada Beng San kalau dia pulang, bahwa aku tidak bisa membunuhnya karena kalah kuat, dan aku tidak bisa membunuhmu karena kau telah menolongku ketika aku melahirkan. Akan tetapi kelak anak inilah yang akan membunuh Beng San, kau dan semua anak anak dan keluargamu!"
Setelah berkata demikian, Kwa Hong menepuk leher rajawali emas yang segera melengking tinggi dan melesat, terbang ke atas dengan cepat sekali.
Untuk beberapa lama Bi Goat berdiri bengong kemudian ia mengeluh dan tubuhnya menjadi lemas. Ia roboh pingsan di depan pintu rumahnya! Para pelayan segera mengejar keluar dan sibuk menolong nyonya muda yang menderita kehancuran hati ini. Bie Goat jatuh sakit dan semenjak hari itu ia tidak kuat lagi bangun dari tempat tidurnya. Badannya panas dan setiap kali panasnya naik, ia mengigau menyebut-nyebut nama suaminya dan Kwa Hong.
Setiap kali ia berusaha untuk tidak mempercayai semua omongan Kwa Hong, namun hal itu amat sukar baginya. Diharap-harapkan kedatangan suaminya agar dapat ia bertanya tentang Kwa Hong. Pengharapan bahwa suaminya akan menyangkal semua itu merupakan sinar kecil yang masih menerangi hatinya, penuh harapan. Akan tetapi, suaminya tak kunjung pulang, malah ayahnya juga yang mencari dan menyusul suaminya itu, belum juga pulang.
Dua bulan ia jatuh sakit itu, sementara kandungannya makin besar, sudah delapan bulan ia mengandung. Pada suatu sore, datanglah Song-bun-kwi Kwee Lun, Bi Goat yang sudah agak kuat segera turun dari tempat tidurnya dan keluar meyambut.
"Ayah, mana dia" Mana Beng San....?" tanyanya dengan nada suara penuh harapan.
Kwee Lun kaget sekali melihat puterinya menjadi begini kurus dan wajahnya begini pucat. "Bi Goat, kau kenapakah" Sakitkah kau" tanyanya gugup sambil melangkah maju. "Ayah, mana suamiku" Mana Beng San?" Bi Goat tidak mempedulikan pertanyaan ayahnya, tapi mendesak menanyakan suaminya.
Terpaksa Kwee Lun menjawab, "Aku tidak dapat menjumpai dia. Kabarnya dia ke utara, mungkin terlibat lagi dalam urusan pemberontakan terhadap kaisar baru. Ah, anak itu memang tak tahu diri!"
Kekecewaan hebat merupakan palu godam yang menghantam pertahanan terakhir di hati Bi Goat. Matanya terbelalak, lalu tertutup dan tubuhnya limbung. Cepat Kwee Lun merangkul dan ayah yang gelisah dan keheranan ini segera memondong tubuh puterinya, dibawa masuk ke dalam kamar Bi Goat.
Dengan suara parau Kwee Lun memanggil pelayan-pelayan yang segera berlari mendatangi, memaki-maki mereka yang dikatakan tidak melayani Bi Goat sebaiknya.
Setelah siuman kembali Bi Goat menangis terus, tidak mau menjawab pertanyaan ayahnya. Dan pada malam itu juga Bi Goat melahirkan kandungannya yang belum penuh sembilan bulan itu. Kelahiran yang sukar sekali, membuat nenek yang membantunya bermandi peluh, para pelayan kebingungan dan semua ini membuat Kwee Lun yang menjaga di luar kamar menjadi makin gelisah.
Beberapa kali Bi Goat pingsan dan kalau sudah siuman ia memanggil-manggil nama Beng San, mengeluh tak kuat lagi. Akhirnya menjelang pagi lahirlah bayi dalam kandungannya. Tangisnya keras sekali membuat Kwee Lun melonjak kaget dari tempat duduknya. Bagaikan gila kakek ini lalu mendorong pintu kamar untuk segera melihat wajah cucunya. Apa yang ia lihat"
Ia berdiri tegak seperti patung raksasa, mukanya pucat, matanya melotot bukan memandang kepada bayi laki-laki yang bergerak-gerak dan menangis hebat itu, melainkan ke atas ranjang, memandang kepada Bi Goat yang telentang tak bergerak, dengan mata setengah terbuka dan mulut menyeringai kesakitan, wajah yang putih dan mata yang tak bersinar lagi karena berbareng dengan lahirnya bayinya ibu muda yang malang ini telah ditinggalkan nyawanya.
Untuk beberapa lama Song-bun-kwi Kwee Lun berdiri tegak dengan muka pucat, telinga seperti tuli tidak mendengar suara tangis bayi yang bercampur dengan tangis para pelayan, tidak melihat betapa nenek pembantu kelahiran itu sibuk membersihkan bayi kemudian membungkusnya dengan kain putih bersih.
Akhirnya tampak air mata berkumpul di pelupuk mata tua itu, kemudian setetes demi setetes air mata mengalir turun. Bibir kakek itu bergerak-gerak, lalu terdengar suaranya parau, "Bi Goat... kenapa kau mati...." Habis aku bagaimana...." Berulang-ulang kalimat ini keluar dari mulutnya, kemudian ia menubruk maju dan kakek ini menangis menggerung-gerung sambil memeluki mayat Bi Goat.
Sampai lama ia menangis seperti anak kecil. Ketika ia mengangkat kembali mukanya yang menjadi basah air mata, matanya merah dan mengerikan. Ia sudah berhenti menangis secara tiba-tiba, lalu ia memandang ke sana ke mari, menyapu ruangan itu dengan sinar matanya yang beringas. Ketika ia melihat nenek pembantu kelahiran yang duduk di pojok dengan ketakutan, ia melompat maju dan sekali terkam nenek itu sudah diangkatnya lalu dibantingnya ke lantai. Sekali banting saja nenek itu tidak berkutik lagi, kepalanya pecah dan nenek yang malang itu tewas tanpa dapat bersambat lagi, Song-bun-kwi Kwee Lun makin beringas, matanya liar.
"Ampun, Lo-ya (Tuan Tua)... ampun hamba semua tidak berdosa. Nyonya muda jatuh sakit setelah kedatangan seorang nyonya yang mengaku bernama Kwa Hong dan yang melahirkan anak di rumah ini. Menurut pengakuannya, Nyonya Kwa Hong itu adalah isteri pertama Siauw-ya (Tuan Muda)... eh, bukan isteri... hubungan di luar nikah... datangnya menunggang rajawali emas, mengerikan sekali, Lo-ya... semenjak itulah Nyonya Muda lalu jatuh sakit...."
Mendengar ini, Kwee Lun mengeluarkan suara/ menggereng seperti seekor binatang buas, lalu terdengar suaranya, "Beng San, keparat kau... mampus kau olehku....!" Dan tubuhnya yang tinggi besar itu bergerak lagi, kini sekali sambar ia telah mencengkeram buntalan kain yang terisi bayi yang masih menangis nyaring itu. Bukan main tangis bayi itu, seakan-akan dalam kelahirannya ia me nangisi kematian ibunya. Begitu lahir anak ini sudah harus menghadapi kematian ibunya. Betapa memilukan.
"Mampus kau....!" Kwee Lun mengangkat buntalan itu tinggi-tinggi seperti hendak membantingnya!
"Lo-ya..., ampunkan anak itu yang tidak berdosa...."
"Lo-yaaaa, ampun....!"
"Jangan, Lo-ya, jangan....!" Para pelayan itu menjerit-jerit.
Jerit tangis pelayan ini seakan-akan menyadarkan Kwee Lun, matanya tidak lagi menatap buntalan, melainkan liar menyapu ke kanan kiri, kemudian terdengar ia menggereng dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. Kakek itu lari keluar dan turun gunung membawa buntalan bayi, cucunya yang baru saja lahir!
Tak ada jalan lain bagi para pelayan itu kecuali mengurus jenazah Bi Goat dan nenek bidan itu. Dengan bantuan penduduk kampung di kaki bukit yang mereka mintai bantuan, dua jenazah itu dikuburkan di belakang rumah dengan upacara sederhana. Para pelayan itu hanya dua yang tinggal untuk mengurus rumah dan menanti kembalinya Beng San.
Rencana yang masih dirundingkan oleh utusan Raja Muda Lu Siauw Ong dan Ho-hai Sam-ong, benar-benar dilaksanakan oleh dua golongan yang haus akan kedudukan dan berusaha menggulingkan kekuasaan kaisar baru, Thai Cu.
Mereka ini benar-benar terlalu percaya kepada kekuatan sendiri sehingga biarpun rahasia mereka itu telah diketahui oleh Li Cu dan Beng San yang sudah berhasil meloloskan diri, namun tetap saja mereka melanjutkan rencana itu. Mereka berhasil mengumpulkan banyak sekali pasukan bajak dan perampok, juga pihak Raja Muda Lu Siauw Ong yang bertugas merampas tahta selagi Kaisar pergi, berhasil menghasut pasukan besar tentara.
Pada hari yang sudah ditentukan, rombongan Kaisar Thai Cu berangkat dari kota raja menuju ke utara, yaitu ke kota raja lama di Peking. Rombongan ini dikawal oleh sepasukan tentara pilihan, yaitu para pengawal pribadi kaisar.
Sebagai seorang bekas panglima perang, Kaisar Thai Cu tidak gentar melakukan perjalanan jauh ini walaupun ia sudah tahu akan adanya banyak golongan yang tidak suka kepadanya karena tidak diberi kedudukan tinggi seperti yang mereka inginkan. Akan tetapi sama sekali Kaisar ini belum tahu akan siasat busuk yang direncanakan Ho-hai Sam-ong dan Raja Muda Lu Siauw Ong yang sudah bersekongkol itu.
Pedang Kiri Pedang Kanan 3 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Patung Emas Kaki Tunggal 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama