Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
bagian 27 Di sepanjang jalan rakyat dusun menyambut Kaisar baru itu dengan meriah.
Agaknya rakyat amat mengagumi Kaisar yang telah berhasil membebaskan negara dari penjajahan bangsa Mongol itu. Orang-orang bersorak dan memberi hormat, di mana-mana rombongan Kaisar disambut tari-tarian daerah. Malah setiap dusun tentu mengutus orang-orang muda yang gagah perkasa untuk mengiring rombongan ini sampai di dusun lain, lalu diganti oleh para muda dusun ini, demikian seterusnya.
Kaisar amat gembira dengan ini semua. Disangkanya bahwa hal itu memang sudah semestinya karena rakyat merasa gembira dapat terbebas daripada penjajahan. Sama sekali Kaisar ini tidak tahu bahwa biarpun sudah terbebas daripada penjajahan Mongol, sesungguhnya rakyat kecil apalagi para petani masih sama sekali belum bebas daripada belenggu penjajahan para tuan tanah yang kadang-kadang malah lebih keras dan kejam daripada penjajah Mongol sendiri! Juga Kaisar ini tidak tahu bahwa sebagian sebagian besar dari para pengiring ini, yang sebagai orang-orang kampung, adalah orang-orang gagah dari Pek-lian-pai dan para bekas pejuang yang setia kepadanya. Mereka ini anak buah dari Tan Hok yang sudah mengatur sedemikian rupa sehingga rombongan Kaisar selalu terkawal anak buahnya. Malah yang mengawal secara sembunyi masih banyak lagi, ada yang mendahului rombongan ada yang mengiring dari jauh di belakangnya.
Tan Hok memang hebat. Raksasa ini semenjak berkecimpung dalam perjuangan ternyata telah makin matang sebagai seorang pemimpin dan pengatur siasat yang ulung. Secara cepat sekali ia mendengar penjelasan dari Beng San tentang persekongkoian antara Beng Kui dan Ho-hai Sam-ong, ia pergi ke kota raja dan bersama para panglima pasukan yang setia kepada Kaisar itu lalu berunding dan membuat rencana.
Cepat pula ia menyiapkan pasukan Pek-lian-pai dan teman-teman seperjuangan
yang terpilih, yaitu orang-orang yang memiliki kepandaian cukup, untuk secara diam-diam mengiringi, mengawal atau melindungi rombongan Kaisar yang hendak pergi ke utara. Juga Beng San sendiri ia serahi tugas yang paling berat, yaitu mengawal Kaisar secara sembunyi. Tan Hok maklum akan kelihaian Beng San, maka tugas penting ini ia serahkan kepada Beng San, sedangkan ia sendiri perlu mengatur pasukan gabungan di kota raja untuk menindas dan mengempur pemberontakan dari dalam yang hendak dilakukan oleh Raja Muda Lu Siauw Ong.
Ketika Kaisar menggunakan perahu naga menyeberangi Sungai Huang-ho, keadaan di sungai juga ramai bukan main.
Para nelayan seakan-akan datang segenap penjuru untuk mengelu-elukan kaisar baru ini. Juga di sini Kaisar tidak tahu bahwa para nelayan ini sebagian besar adalah anggauta-anggauta Pek-lian-pai, malah ada pula beberapa orang anak buah Ho-hai Sam-ong menyelinap, dan ada beberapa orang pembunuh datang untuk mencari kesempatan baik menghabiskan nyawa Kaisar Thai Cu!
Maka, amat kagetlah Kaisar dan para pengiringnya ketika perahu sampai di tengah sungai di kanan kiri perahu tiba-tiba timbul enam mayat di permukaan air. Mayat-mayat ini adalah mayat orang-orang yang tadinya berusaha melubangi perahu dengan jalan menyelam di bawahnya. Namun anak buah Tan Hok yang waspada dan memang sudah dipilih ahli-ahli dalam air, telah mengetahui akan hal ini dan cepat mereka itu pun menyelam. Terjadi pertandingan di bawah perahu, di dalam air yang amat hebat tanpa diketahui oleh mereka yang berada di permukaan air. Tahu-tahu mayat para penjahat itu timbul di permukaan air mengagetkan semua orang. Kaisar buru-buru memerintahkan agar perahu dipercepat penyeberangannya.
Setelah tiba di seberang Sungai Huang-ho sebelah utara dan rombongan memasuki sebuah hutan yang lebat, mulailah terjadi penyerangan yang dilakukan oleh Ho-hai Sam-ong dan pasukannya yang sudah beberapa hari menghadang di tempat ini. Mendadak terdengar sorak-sorai bergemuruh dan pasukan bajak dibantu oleh pasukan mereka yang tidak puas melihat Cu Goan Ciang menjadi Kaisar, berserabutan keluar dari tempat persembunyian dengan senjata di tangan.
"Bunuh Ciu Goan Ciang!"
"Seret Kaisar lalim!"
Demikianlah ucapan-ucapan yang ditujukan kepada Kaisar dan mulailah terjadi pertempuran hebat antara para penyerbu dan para pengawal Kaisar. Makin lama makin banyaklah penyerbu. Kaisar sendiri agaknya tenang-tenang saja karena semenjak penyeberangan tadi tidak memperlihatkan diri, bersembunyi saja di dalam tandunya yang sekarang terpaksa diturunkan dan dilindungi oleh beberapa orang pengawal pribadi.
Tiba-tiba Ho-hai Sam-ong sendiri, tiga orang kepala bajak yang lihai itu, meloncat ke dekat tandu Kaisar ini. Mereka memang sengaja mencari Kaisar dan hendak turun tangan sendiri. Melihat tandu dengan tanda pangkat Kaisar, dan bendera berkibar di atasnya, Ho-hai Sam-ong girang sekali. Mereka mengeluarkan tanda suitan. Bermunculan Hek-hwa Kui-bo, Kim-thouw Thian-li, dan banyak lagi kepala rampok dan orang-orang dari golongan hek-to (jalan hitam) datang menyerbu ke tempat itu.
Para pengawal pribadi dengan gigih menyambut serbuan orang-orang ini, namun dalam beberapa gebrakan saja robohlah belasan orang pengawal dan Lui Cai Si Bajul Besi sendiri dengan sebuah loncatan meninggalkan kawan-kawannya yang sedang menandingi para pengawal pribadi itu, langsung mendekati tandu. Senjatanya berupa dayung baja yang besar berat itu sudah diayunnya, mulutnya berseru,
"Ha-ha-ha, Ciu Goan Ciang! Lihat baik-baik, ini Lui Cai datang menghancurkan kepalamu!"
Tiba-tiba kain tenda dari joli itu terbuka dan keluarlah seorang laki-laki tua dengan tubuh menggigll dan muka pucat. Tangan Lui Cai yang memegang dayung gemetar, ia berteriak sambll melangkah mundur. Kiranya orang yang berada di dalam joli bukanlah Kaisar, melainkan seorang yang menyamar sebagai Kaisar dan memakai pakaian kaisar!
"Celaka....!" serunya dengan muka pucat. "Kita telah terjebak... dia bukan Kaisar!"
Sementara itu, para pengawai pribadi Kaisar amat repot menghadapi amukan kepala-kepala bajak itu yang dibantu oleh Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li yang ganas. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan marah berkelebat cepat didahului sinar pedang yang gemilang. Robohlah beberapa orang penjahat bagaikan alang-alang dibabat dan dalam waktu singkat saja pengamuk ini sudah berhadapan dengan Ho-hai Sam-ong dan dua orang pembantunya yang paling dahsyat bersama sepuluh orang lagi kepala rampok.
"Ho-hai Sam-ong, kalian benar-benar ingin mampus!" teriakan yang nyaring tapi merdu terdengar lantang. Kiranya yang muncul ini bukan lain adalah Cia Li Cu yang sebetulnya sudah sejak tadi mengamuk di sebelah luar hutan untuk menerjang masuk. Seperti diceritakan di bagian depan, Li Cu juga mendengar semua rencana busuk yang diatur oleh Beng Kui dan Ho-hai Sam-ong, maka cepat-cepat gadis ini pulang menemui ayahnya dan menceritakan semua yang ia alami, kecuali pengalamannya dengan Beng San! Sebagai seorang patriot berjiwa besar, Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan marah bukan main mendengar bahwa muridnya yang pertama, murid yang dicintanya dan malah yang akan menjadi mantunya, telah menyia-nyiakan Li Cu. Hal ini masih belum berapa hebat seperti ketika ia mendengar bahwa Beng Kui hendak berkhianat.
Wajahnya menjadi merah, matanya berkilat-kilat lalu ia menyuruh Li Cu berangkat lagi untuk diam-diam melindungi Kaisar sementara dia sendiri menuju ke kota raja untuk berhadapan dengan Beng Kui, muridnya.
Demikianlah, Li Cu segera melakukan perjalanan cepat dan kedatangannya tepat sekali pada saat para pemberontak itu menyerbu ke dalam peperangan dan mengamuk dengan pedang pendek Liong-cu-kiam yang tajam dan ampuh.
Ketika Ho-hai Sam-ong melihat Li Cu mereka menjadi marah sekali. Lui Cai melompat maju dan memaki, "Siluman cilik! Tentu kau yang telah membuka rahasia dan Kaisar sengaja bersembunyi. Kaulah yang bosan hidup, sekarang kami takkan mau mengampunimu lagi!" Dayungnya menyambar dahsyat, akan tetapi segera ia tarik kembali ketika pedang Liong-cu-kiam sengaja dibabatkan oleh Li Cu sambil tersenyum. Lui Cai sudah mengenal ketajaman pedang itu dan kelihaian gadis ini, maka untuk bertempur seorang melawan seorang kiranya dia takkan dapat menang.
"Ji-te, Sam-te, hayo kita binasakan bocah ini dulu!" teriaknya sambil memutar dayung. Kiang Hun dan Thio Ek Sui yang juga merasa amat kecewa melihat bahwa yang duduk di dalam joli itu bukan Kaisar segera memutar senjata dan mengeroyok Li Cu. Sebentar saja Li Cu sudah sibuk dikeroyok tiga oleh Ho-hai Sam-ong, seperti ketika ia dikeroyok di atas perahu dahulu itu. Akan tetapi ia tidak gentar dan pedangnya diputar cepat untuk melayani tiga orang musuhnya yang benar-benar tangguh itu.
Sementara itu, Hek-hwa Kui-bo dan muridnya, juga para kepala rampok yang tadinya menyerbu ke situ untuk bersama-sama membinasakan Kaisar, sekarang sudah mulai bertempur kembali menghadapi para pengawal yang kini dibantu oleh orang-orang Pek-lian-pai yang tadinya menyamar sebagai petani dan nelayan. Makin banyaklah anggauta-anggauta Pek-lian-pai berdatangan, malah yang mendahului rombongan Kaisar sudah pula diberi tahu dan sekarang mereka datang menyerbu dari utara. Hal ini membuat para pemberontak terdesak hebat, apalagi karena di pihak Pek-lian-pai terdapat banyak orang-orang gagah yang tinggi kepandaiannya.
Melihat pihaknya terdesak hebat, Ho-hai Sam-ong menjadi gelisah. Bagaimana dapat muncul demikian banyaknya yang membantu Kaisar" Tak salah lagi, ini tentu jebakan yang sengaja diatur oleh Kaisar yang dulunya juga seorang panglima perang yang pandai. Dan tentu karena rahasia mereka sudah dibocorkan oleh gadis puteri Bu-tek Kiam-ong ini. Kemarahan Ho-hai Sam-ong terhadap Li Cu makin menjadi.
"Hek-hwa Kui-bo, harap bantu kami menangkap gadis liar ini!" seru Lui Cai.
Mendengar ini, Hek-hwa Kui-bo yang tadinya sibuk menghadapi pengeroyokan banyak orang Pek-lian-pai, bersuit keras. Inilah tanda bagi para anggauta perampok untuk menahan penyerbuan musuh agar dia dan Ho-hai Sam-ong tidak terganggu dalam usaha mereka menangkap Li Cu. Sebentar saja Li Cu terdesak makin hebat setelah Hek-hwa Kui-bo datang mengeroyoknya. Gadis ini dengan gigih mempertahankan dirinya.
"Ho-hai Sam-ong dan Hek-hwa Kui-bo jangan banyak bertingkah!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan tahu-tahu di situ sudah muncul Beng San dengan tangan kosong!
Diam-diam Li Cu girang bukan main, akan tetapi melirik pun ia tidak mau ke arah Beng San. Adapun Ho-hai Sam-ong ketika melihat kedatangan pemuda yang amat lihai itu, seketika menjadi pucat. Serentak mereka menyerang pemuda yang bertangan kosong itu. Yang paling cepat menyambar tubuh Beng San adalah tambang di tangan Kiang Hun. Beng San menggerakkan tangan menangkap ujung tambang dan sekali membetot tambang itu putus menjadi dua, tepat di tengah-tengah sehingga separoh tambang itu berada di tangan Beng San dan menjadi senjatanya! Ketika Beng San menggerak-kan tambang itu, kiranya ia tidak kalah hebat memainkan senjata aneh ini dari pada Kiang Hun!
Li Cu mendapat angin. Pedangnya bergerak cepat dan robohlah Thio Ek Sui sambil menjerit keras. Dadanya tertembus Liong-cu-kiam, Kiang Hun menjadi gugup sehingga kembali pedang Liong-cu-kiam menyerempet pundaknya. Ia memekik dan meloncat hendak lari, tetapi dari belakangnya menyambar dua batang tombak anggauta Pek-lian-pai sehingga Kiang Hun juga roboh binasa.
Dengan tambangnya Beng San menghadapi Lui Cai yang mengamuk mati-matian, dibantu oleh Hek-hwa Kui-bo. Sedikit saja Lui Cai terlambat bergerak, jalan darahnya di dada telah disentuh oleh ujung tambang itu. Ia roboh lemas dan kembali pedang Liong-cu-kiam di tangan Li Cu bekerja, menamatkan riwayat kepala Ho-hai Sam-ong ini.
"Nona Cia, awas....!" Beng San cepat meniup dengan mulutnya ke depan, malah mengebut-ngebutkan kedua tangan untuk mengusir asap beracun berwarna merah. Namun terlambat, Hek-hwa Kui-bo tadi dengan cepatnya mengebutkan saputangannya dan asap kemerahan menyambar ke depan, ke arah Li Cu. Gadis ini baru saja menewaskan Lui Cai dan kurang waspada.
Biarpun ia sudah mengelak karena seruan Beng San, namun masih ada asap yang memasuki hidungnya. Ia mengeluh, terhuyung-huyung dan pedangnya terlepas dari pegangan. Beng San cepat memeluk dan memondongnya sambil menyambar Liong-cu-kiam. Ia masih melihat Hek-hwa Kui-bo menyambar tangan muridnya melarikan dirl di antara banyak orang yang bertempur. Ia tidak peduli lagi. Yang paling perlu Li Cu harus dibawa pergi dari tempat berbahaya itu. Sekali meloncat ia sudah lolos dari kepungan musuh, lalu mengerjakan kakinya untuk merobohkan setiap orang penghalang, langsung ia membawa Li Cu ke tempat sunyi di lain bagian dari hutan itu.
Di bawah sebatang pohon besar yang amat sunyi di dalam hutan itu, Beng San cepat menurunkan Li Cu dan memeriksanya. Sedikit banyak dia telah mempelajari ilmu pengobatan dari mertuanya, Song-bun-kwi Kwee Lun, terutama mengenai akibat senjata beracun. Ketika ia menurunkan tubuh Li Cu dan melihat muka gadis itu, ia kaget bukan main. Wajah Li Cu sepucat salju dan napasnya sesak hampir berhenti. Dari mulut yang terengah-engah itu tercium bau wangi yang memuakkan, yaitu bau racun asap kemerahan yang tadi kena tersedot oleh gadis ini.
Beng San memutar otak. Menurut keterangan dari mertuanya, mengobati akibat dari keracunan hanya dua macam, pertama memasukkan racun yang berlawanan atau obat penawar ke dalam tubuh si sakit untuk memerangi racun itu. Ke dua, mengeluarkan racun dari tubuh si sakit. Kalau Li Cu terluka oleh senjata beracun, ia dapat mengeluarkan racun itu dengan menyedot lukanya sehingga racun yang sudah bercampur dengan darah itu dapat tersedot keluar. Adapun Li Cu terserang racun bukan melalui luka, melainkan racun itu langsung memasuki paru-parunya melalui mulut, bagaimana ia akan dapat mengeluarkan racun dari dalam paru-paru"
Dalam bingungnya karena baru pertama kali ini menghadapi orang keracunan oleh racun asap, Beng San dapat mengambil keputusan. Ia merasa yakin bahwa satu-satunya jalan untuk menolong gadis itu adalah mengeluarkan asap yang masuk ke dalam paru-parunya. Ia maklum pula atau dapat menduga bahwa cara pertolongan ini amat berbahaya bagi dirinya sendiri. Akan tetapi pada saat itu ia tidak mempedulikan keselamatan diri sendiri. Untuk menolong orang, terutama orang seperti Li Cu ini, ia tidak perlu takut-takut mengorbankan diri sendiri!
Ketika ia sudah mengambii keputusan ini dan hendak mulai dengan usaha pertolongannya, tiba-tiba mukanya menjadi kehijauan karena ia merasa jengah dan malu. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya. Pada saat nyawa Li Cu terancam bahaya seperti itu, ia tidak perlu ingat lagi akan tata susila kosong dan akan hukum adat yang berlaku mengenai kesopanan antara pria dan wanita.
Cepat ia mengangkat kepala Li Cu, lalu tanpa ragu-ragu ia membuka mulut gadis itu dengan jari tangannya. Kemudian ia menunduk dan menempelkan mulutnya sendiri pada mulut Li Cu lalu ia menyedot dengan pengerahan tenaga khi-kang sekuatnya! ia merasa betapa hawa yang dingin seperti es memasuki rongga dadanya. Tubuhnya menggigil dan cepat ia melepaskan mulutnya, perlahan-lahan menurunkan kepala gadis itu dan ia lalu duduk bersila, mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya, menyalurkan Iwee-kang nya untuk melawan hawa dingin di rongga dada itu. Hawa Thai-yang di dalam tubuhnya segera bekerja. Dari pusarnya naik hawa panas seperti api membara, terus hawa panas ini ia desak ke atas, menyerbu ke rongga dada dan menghan-tam hawa dingin yang tadi memasuki dadanya melalui mulut Li Cu. Terjadinya perang tanding antara kedua hawa ini, akan tetapi tenaga dalam dan hawa Thai-yang di tubuh Beng San memang mujijat sekali. Dengan hati lega orang muda itu merasa betapa perlahan-lahan tapi tentu hawa dingin itu buyar dan lenyap.
Setelah hawa dingin di dalam rongga dadanya itu lenyap, ia membuka mata. Li Cu masih belum sadar dan napasnya masih terengah-engah biarpun tidak seberat tadi. Ia kembali menempelkan mulutnya pada mulut Li Cu dan menyedot lagi. Seperti tadi, hawa dingin memasuki dadanya, tapi sebentar saja buyar dihantam tenaga Thai-yang. Girang hati Beng San. Tubuh gadis yang tadinya sudah dingin itu sekarang agak hangat dan ketika ia menyedot untuk ke empat kalinya, ia merasa betapa tubuh Li Gu ber-gerak sedikit.
Kalau saja Beng San tahu bahwa pada saat itu Li Cu sudah setengah sadar, sudah pasti ia akan cepat-cepat melepaskan mulutnya yang menyedot! Di lain pihak, Li Cu yang mulai sadar, seolah-olah dalam mimpi. Hampir ia tak dapat percaya akan pandangan mata dan perasaan tubuhnya sendiri. Benarkah orang itu Beng San" Dan benarkah Beng San melakukan perbuatan seperti ini terhadap dirinya" Saking kaget, malu, ngeri dan marah, Li Cu pingsan kembali, bukan pingsan karena pengaruh racun asap, melainkan pingsan karena hantaman perasaannya melihat perbuatan Beng San terhadap dirinya!
Ketika Li Cu siuman kembali, ia membelalakkan kedua matanya. Ia melihat betapa muka Beng San sudah mendekati mukanya dan dalam anggapannya, Beng San sedang berbuat kurang ajar dan hendak "menciumnya" lagi. Di samping pemandangan yang mengagetkan ini, ia melihat hal lain yang membuat ia cepat menjerit sambil mendorong tubuh Beng San sekuat tenaga.
Tubuh Beng San terpental dan Li Cu merasa betapa tenaga dorongannya tadi mendatangkan rasa dingin yang menyakitkan di dadanya. Dan pada saat itu juga, ia mencoba untuk mengelak dengan menggulingkan tubuhnya, namun tetap saja pukulan yang datang itu mengenai pundaknya, membuat tubuhnya terpental lebih jauh daripada Beng San! Terdengar suara orang menggereng seperti binatang buas, gerengan orang yang tadi memukul. Pukulan itu sebetulnya ditujukan ke arah punggung Beng San. Baiknya pada saat itu Li Cu siuman dan pukulan orang inilah yang membuat ia menjerit dan mendorong tubuh Beng San, malah pukulan itu setelah tidak mengenai tubuh Beng San, malah mengenai dirinya sendiri.
bagian 28 Beng San melompat bangun dengan kaget sekali. Tadi seluruh perhatiannya ia tujukan untuk mengobati Li Cu sehingga kesadaran gadis itu pun tidak diketahuinya. Maka kedatangan orang yang menyerangnya secara diam-diam itu pun sama sekali tidak ia ketahui. Kini ia merasa kaget sekali setelah tadi tubuhnya didorong ke pinggir oleh Li Cu, kaget bukan main karena ia melihat ayah mertuanya, Song-bun-kwi Kwee Lun sudah berdiri di depannya seperti seorang iblis mengerikan. Pakaian ayah mertuanya yang semenjak ia ikut ke Min-san dahulu sudah menjadi biasa seperti seorang kakek petani, sekarang ia lihat kembali seperti dulu lagi, yaitu pakaian putih, pakaian berkabung!
Anehnya lagi di dada kakek ini tergantung seorang bayi dalam gendongannya, bayi yang nampaknya tidur nyenyak.
"Gak-hu (Ayah Mertua)...."
"Bangsat! Laki-laki mata keranjang, kau meninggalkan isteri untuk main gila dengan perempuan lain?" bentak Song-bun-kwi Kwee Lun dengan kemarahan meluap-luap.
"Tidak... tidak demikian.... Gak-hu, harap jangan salah sangka....! Dia telah menyedot racun Ngo-hwa dari Hek-hwa Kui-bo... aku berusaha menyedot keluar racun itu dan...."
Song-bun-kwi menggereng lagi. "Apapun juga alasanmu, anakku tak dapat hidup lagi!" Mendadak ia menyerang dengan hebatnya, menghantam kepala mantunya itu.
Semenjak dahulu Beng San memang tidak suka kepada Song-bun-kwi yang memang pernah hidup sebagai seorang yang keji. Malah beberapa kali sudah Beng San hampir dibunuhnya di waktu pemuda ini masih kecil (baca Raja Pedang). Sekarang pun ia menjadi marah karena disangka yang bukan-bukan oleh mertuanya ini dan malah sekarang ia diserang dengan pukulan maut.
Akan tetapi ketika ia mendengar kalimat terakhir "anakku tak dapat hidup lagi", ia merasa matanya gelap dan serasa jantungnya berhenti berdetik.
"Apa katamu?" bentaknya dan tangannya menangkis tangkisan ini hebat, membuat tubuh Song-bun-kwi seketika terpental ke belakang dan hampir roboh! Teringat kepandalan Beng San memang sudah hebat sekali dan Sons-bun-kwi maklum bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan mantunya. Maka ia menyeringai keji dan berkata penuh geram
"Kau pembunuh anakku, lain kali aku pasti akan mencarimu mengadu nyawa!"
setelah berkata demikian kakek ini menggereng dan lari cepat sekali membawa bayi dalam gendongannya.
Untuk sesaat Beng San berdiri dengan muka berubah hijau karena hatinya gelisah bukan main. Kemudian ia teringat akan bayi di gendongan mertuanya itu. Ia menghitung-hitung dalam benaknya dan teringat bahwa sudah lewat beberapa bulan sejak waktu kandungan isterinya tiba saatnya dilahirkan. Anak itu tadi....." Apa yang terjadi" Tiba-tiba seperti orang gila Beng San memekik.
"Bi Goat....!" Dan tubuhnya melesat seperti seekor burung terbang, pergi dari tempat itu.
Sementara itu, terjadi keanehan pada diri Li Cu. Seperti dituturkan di atas tadi, setelah mendorong tubuh Beng San ke samping, pukulan yang dilakukan oleh Song-bun-kwi mengenai pundak Li Cu yang membuat tubuh Li Cu terlempar. Pukulan itu bukan pukulan biasa, karena tadi Song-bun-kwi sengaja melakukan pukulan dari Ilmu Yang-sin-hoat untuk membunuh Beng San.
Pukulan itu mengandung hawa Yang-kang yang amat kuat. Dan biarpun sudah dielakkan oleh Li Cu, pukulan itu mengenai pundaknya dan terasalah hawa yang luar biasa panasnya menjalari tubuhnya. Dan hawa panas ini lalu bertemu dengan sisa hawa dingin yang masih mengeram di tubuhnya, yang masih belum disedot keluar oleh Beng San. Dua hawa dahsyat ini bertemu dan... buyarlah keduanya. Pukulan maut dari Song-bun-kwi tadi malah menyembuhkan sama sekali penderitaan Li Cu akibat racun asap Hek-hwa Kui-bo!
Tadinya hati Li Cu penuh dengan kemarahan dan ia menganggap bahwa Beng San sudah berlaku jahat dan kurang ajar kepadanya, sudah menciuminya di waktu ia pingsan! Bukan main sakit hatinya pada saat itu. Akan tetapi setelah ia mendengar pengakuan Beng San kepada Song-bun-kwi tadi bahwa perbuatannya itu adalah usaha menolongnya dari bahaya maut, tak terasa pula air matanya jatuh berderai dan ia terisak-isak. Hatinya terharu bukan main. Sudah terlalu sering ia menyangka Beng San sebagai orang jahat, sebagai laki-laki kurang ajar, laki-laki mata keranjang. Dan ternyata ia telah menuduh yang bukan-bukan, telah memasukkan fitnah terhadap diri Beng San ke dalam pikirannya. Padahal sudah berkali-kali Beng San menolongnya, menolong keselamatan nyawanya dengan hati tulus iklas. Apalagi ketika ia melihat keadaan Beng San hatinya ikut hancur.
Li Cu menyambar pedangnya yang ditinggalkan Beng San di dekatnya, lalu melompat dan lari mengejar Beng San yang sudah lari jauh dengan kecepatan laksana terbang itu. Tak dapat ia menyusul Beng San, akan tetapi ia dapat menduga bahwa orang muda itu tentulah pergi ke Min-san. Sebetulnya ia boleh tak usah pedulikan Beng San. Akan tetapi ada sesuatu yang terjadi di dalam hatinya. Ia setengah dapat menduga bahwa telah terjadi sesuatu yang mengerikan pada diri isteri Beng San. Ia seperti melihat awan gelap di atas mengancam Beng San. Di samping ini, ia merasa bahwai ia harus selalu berdekatan dengan orang itu. Tak dapat lagi ia ditinggalkan, tak dapat lagi ia berpisah. Ia merasa kasihan kepada Beng San, juga kasihan kepda... diri sendiri karena ia pasti akan merana dan sunyi hidupnya kalau berjauhan dengan Beng San.
"Beng San...." rintihnya sambil mengusap air matanya yang berderai turun membasahi pipinya. "Ya Tuhan... mengapa aku menjadi begini....?" ia mengeluh bingung. Tidak semestinya ia mengejar Beng San. Ia seharusnya kembali, seharusnya malah meninggalkan Beng San jauh-jauh. Setanlah yang menggodanya ini, setan yang membisikkan hal-hal yang tak boleh ia lakukan.
Tapi... ah, mengapa hatinya bulat-bulat menyerah" Mengapa kakinya seperti tidak mau disuruh pergi ke lain jurusan" Ia teringat ayahnya, lalu bersambat lirih,
"Ayah... anakmu telah gila... telah gila...." Dan sementara itu kedua kakinya terus berlari cepat, menuju Min-san! Di dunia ini, apakah yang lebih berkuasa dan aneh daripada cinta" Apakah yang lebih gila daripada orang muda yang sudah mabok madu asmara" Cinta kasih atau asmara telah banyak sekali menimbulkan cerita dan peristiwa yang lebih aneh daripada dongengan!
Dengan muka pucat kurus dan mata merah rambut awut-awutan pakaian compang-camping, setelah melakukan perjalanan terus-menerus, akhirnya Beng San sampai juga di puncak Min-san. Ketika ia memasuki halaman rumahnya, dua orang pelayan wanita yang masih tinggal di situ hampir-hampir tidak mengenalnya. Sampai lama mereka memandang dengan bengong dan curiga, karena laki-laki muda yang berdiri di depan mereka itu lebih patut menjadi seorang pengemis yang liar daripada tuan muda mereka yang tampan.
"Bi Goat... mana Bi Goat....?" Suara Beng San serak, entah sudah berapa ribu kali kalimat pertanyaan ini keluar dari mulutnya di sepanjang perjalanan pulang. "Mana nyonya muda....?"
Setelah mendengar pertanyaan ini barulah dua orang pelayan tua itu merasa yakin bahwa yang berdiri di depan mereka sekarang ini adaiah "tuan muda"
mereka. "Siauw-ya (Tuan Muda)....!" keduanya lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis bersaing keras,
"Apa yang terjadi" Mana nyonya muda. Dia kenapa?" Akan tetapi dua orang pelayan itu menangis makin keras. Beng San tak sabar lagi. Sekali melompat ia telah memasuki rumah dan berlari-lari di dalam semua ruangan dan kamar, membuka dan menutup pintu seperti orang mengejar sesuatu. Seluruh bagian rumah, sampai ke kamar mandi, ia masuki namun sunyi sepi, tidak ada seorang pun manusia lagi kecuali dua orang pelayan wanita yang sedang menangis tersedu-sedu itu. Akhirnya terpaksa Beng San kembali ke ruangan depan di mana dua orang pelayan itu menangis. Tubuh Beng San menggigil, matanya berputaran, jantungnya serasa berhenti berdetik.
"Mana dia" Mana Bi Goat" Katakanlah, mana Bi Goat" Ahh... kuhancurkan kepalamu kalau tidak bicara!" ia mengguncang-guncang pundak seorang pelayan yang menjadi ketakutan. Dengan muka pucat keduanya berhenti menangis, lalu dengan suara terputus-putus mereka bercerita,
"Mula-mula datang seorang nyonya bernama Kwa Hong... dia naik burung menakutkan... dia melahirkan anak di sini ditolong oleh Nyonya Muda...
setelah dia dan anaknya pergi, Nyonya Muda jatuh sakit... tak pernah sehat lagi, lalu minta minta kepada Lo-ya (Tuan Tua) pergi menyusul Siauw-ya...
tapi pulang tanpa Siauw-ya. Nyonya Muda makin sedih... lalu melahirkan dan... dan... tidak kuat... Nyonya Muda meninggal dunia...." Tak dapat tertahan lagi dua orang pelayan itu menangis terisak-isak.
Beng San meramkan mata, meringis kesakitan. Dadanya sebelah kiri serasa tertusuk, ubun-ubun kepalanya berdenyut-denyut. Ia tidak bisa menangis lagi, lehernya seperti dicekik dan bibirnya yang putih seperti kertas itu bergerak-gerak perlahan, lalu berhenti bergerak, ternganga dan pandang matanya jauh ke depan tak bersinar, seakan-akan ia sudah menjadi tubuh tak bernyawa, kehilangan semangatnya.
"Siauw-ya... Siauw-ya...." Pelayan yang tertua menubruk kaki Beng San tak tahan melihat majikannya berhal demkian itu, Beng San bergerak perlahan lalu terdengar suara dari mulutnya, suara yang terdengar seperti suara dari jauh.
"Di mana makamnya... di mana dikuburnya....?"
"Maafkan hamba, Siau-ya... karena Lo-ya membawa anak bayi itu, hamba sekalian terpaksa mengajak saudara-saudara dari kaki. gunung untuk mengubur jenazah Nyonya Muda di pekarangan belakang rumah secara sederhana...."
Beng San lalu melangkah perlahan dan lemas, menuju ke pekarangan belakang, diikuti dua orang pelayan yang masih menangis terisak-isak.
Akhirnya ia berdiri tegak di depan sebuah kuburan yang masih baru, kuburan sederhana yang tidak diberi batu nisan, hanya ditanami bunga mawar gunung kesukaan Bi Goat dan pohon kembang itu sudah mulai berbunga.
"Bi Goat... ampun... isteriku... ampun..." Beng San roboh ke depan, mukanya terbanting dan terbenam pada gundukan tanah kuburan.
Dua orang pelayan itu cepat menolong Beng San yang sudah pingsan sambil turut menangis. Akan tetapi setelah siuman kembali Beng San menyuruh dua orang pelayan itu pergi meninggalkannya seorang diri di kuburan isterinya.
Malam itu hujan turun deras, namun Beng San tidak beralih dari tempatnya, tidak bergerak dan terus-menerus terdengar suaranya memanggil-manggil nama Bi Goat dan minta ampun. Semenjak saat ia roboh pingsan di kuburan isterinya, sampai berhari-hari ia tidak pernah pergi meninggalkan tempat itu, tak pernah makan tak pernah tidur! Beberapa kali dua orang pelayan yang setia itu datang menangis dan membujuk-bujuknya, namun Beng San malah marah-marah dan mengusir mereka pergi dari depannya.
Sepuluh hari kemudian tubuh Beng San telah menjadi kurus dan wajahnya pucat kehijauan, matanya makin liar. Hanya karena tubuhnya yang terlatih dan mengandung tenaga luar biasa itu saja yang membuat ia masih dapat menahan. Dua orang pelayan itu sudah tak berdaya lagi, tidak berani mendekati Beng San karena tuan muda ini marah-marah kalau di "ganggu".
Mereka menjadi putus asa dan merasa ngeri kalau membayangkan betapa pada suatu pagi mereka akan melihat tuan muda itu menggeletak dalam keadaan tak bernyawa karena kelaparan di kuburan itu.
Akan tetapi, seperti juga kelahiran takkan ada, kematian takkan menimpa diri seorang manusia kalau Tuhan belum menghendakinya. Demikian pula dengan Beng San. Orang muda ini bukannya sengaja bermaksud membunuh diri, akan tetapi ia sudah tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya, ingatannya sudah berubah karena tekanan batin yang amat hebat. Kedukaan yang hebat, penyesalan yang bertubi-tubi menghantam batinnya, tak kuat ia menahannya sehingga ia seperti orang yang sudah tidak waras lagi otaknya. Namun agaknya Tuhan Maha Pengasih suka mengampunkan dosanya.
Malam hari itu hujan turun rintik-rintik. Dinginnya bukan main di Puncak Min-san. Di kuburan Bi Goat, Beng San duduk bersila menghadap kembang mawar yang sudah rontok dari tangkainya, mengeluh dan bersambat dengan suara lirih,
"Bi Goat, isteriku. Kau begitu mulia, begitu suci cintamu kepadaku... dahulu kau sampai rela Hendak mengorbankan nyawamu untukku...., ah, Bi Goat, tidak kelirukah kau memilih aku" Aku tidak berharga mendapatkan cintamu...
aku seorang yang rendah. Aku telah mengadakan hubungan dengan Hong-moi... menjadi ayah dari anak Hong-moi, tapi aku tidak berterus terang kepadamu... Bi Goat... aku laki-laki mata keranjang, laki-laki berhati lemah, mudah runtuh menghadapi wanita cantik. Ia berhenti sebentar dan terdengar isaknya tertahan.
"Bi Goat, kenapa kau belum juga datang" Marahkah kau kepadaku" Sudah sepatutnya kau marah... aku minta ampun, Goat-moi... aku berdosa kepadamu. Sekarang kuakui semua dosaku... betul, aku telah berlaku serong... aku merusak hidup Hong-moi, malah sebelum itu... aku pernah mencinta Thio Eng. Ah, aku laki-laki mata keranjang, dan aku hampir runtuh pula ketika bertemu dengan Nona Cia Li Cu... hatiku mencinta mereka semua itu, ah... padahal kau begitu suci cintamu... aku berdosa, ampunkan aku...."
Sesosok bayangan muncul di belakang kuburan itu. Bayangan seorang wanita cantik berbaju merah! Perlahan-lahan bayangan ini melangkah maju dan terdengar suaranya lirih menggetar ditimpa suara hujan gerimis di malam gelap
"Beng San...." Beng San mengangkat kepala perlahan. Matanya yang pedas dan merah itu ia gosok-gosok, kemudian ia menubruk maju, berlutut dan merangkul kaki wanita itu.
"Ah, Bi Goat... akhirnya kau datang juga...." Bi Goat, ampunkan aku...
ampunkan aku....." Wanita itu mengucurkan air mata sehingga air mata itu bercampur dengan air hujan gerimis yang menimpanya, mengalir di sepanjang pipinya. Jari tangannya mengelus-elus rambut kepala Beng San dan ia berkata terharu.
"Bi Goat sejak dulu mengampunimu... Beng San...."
"... ah, betulkah" Betulkah kau sudi mengampuni dosaku" Aku telah gila... aku telah gila... aku... aku menyakiti hatimu... sudikah kau mengampuniku?"
bagian 29 "Aku mengampuni semua kesalahanmu...." jawab wanita itu, "... asal saja...
asal saja kau suka menurut segala kata-kataku."
"Aku akan taat, akan kuturut semua, demi Tuhan. Aku bersumpah akan mentaati segala perintahmu, biar kausuruh masuk ke lautan api sekalipun!"
"Kalau begitu, bangunlah dan mari kita masuk ke rumah, tak baik berhujan-hujan di sini, hayo kauikuti aku, Beng San!"
Beng San bangun berdiri, tersenyum-senyum dan wanita itu makin terharu ketika melihat betapa wajah laki-laki itu berubah seperti wajah seorang anak kecil yang diampuni orang tuanya karena kenakalannya.
"Aku ikut... aku ikut...." kata Beng San yang berjalan terhuyung-huyung saking lemas badannya di belakang wanita itu. Wanita baju merah itu segera memegang lengannya dan membantunya berjalan menuju ke rumah itu.
Dua orang pelayan sudah menyambut di pintu belakang, wajah mereka tampak
lega. "Ah, syukur, Nona. Syukur kau berhasil...." kata mereka.
"Sttt...." Wanita itu mencegah mereka bicara. "Lekas sediakan air panas dan pakaian Siauw-ya, kemudian sediakan makanan yang lunak... jangan lupa hangatkan arak...."
Dengan tersenyum gembira dua orang pelayan itu pergi mempersiapkan permintaan wanita itu. Beng San benar-benar menurut sekali terhadap wanita yang dianggapnya Bi Goat itu. Disuruh membersihkan tubuh dan menukar pakaian, ia menurut seperti anak kecil, disuruh makan bubur panas ia pun menurut saja. Kemudian ia pun tidak membantah ketika disuruh tidur di kamarnya sendiri, diselimuti oleh wanita itu yang duduk di pinggir ranjang dan yang melayaninya dengan penuh perhatian.
Siapakah wanita baju merah itu" Benarkah dia Bi Goat" Tidak mungkin, Bi Goat sudah mati, sudah dikubur. Ia bukan lain adalah Li Cu! Seperti dituturkan di bagian depan, Li Cu tak dapat menahan hati dan kakinya sendiri menyusul Beng San di Min-san. Ia kalah cepat oleh Beng San, maka baru sepuluh hari kemudian ia tiba di puncak Min-san. Bukah main sedih dan terharu hatinya ketika ia mendengar penuturan dua orang pelayan itu tentang keadaan Beng San. Ia mengaku menjadi sahabat baik Beng San dan Bi Goat. Setelah ia mendengar penuturan dua orang pelayan itu, serta-merta pada hari itu juga ia menyusul Beng San ke kuburan dan akhirnya ia berhasil membujuk Beng San pulang, sungguhpun perih hatinya karena Beng San mau menuruti permintaannya setelah mengira bahwa dia adalah Bi Goat!
Bulan-bulan mendatang merupakan masa yang amat sulit bagi Li Cu. Beng San benar-benar telah berubah ingatannya, atau telah kehilangan ingatannya sehingga ia menjadi seperti anak kecil saja, anak kecil yang amat manja. Akan tetapi kemanjaan ini tertuju kepada......
isterinya, kepada Bi Goat! Dia telah lupa segalanya, keinginannya hanya berdekatan dengan Bi Goat, tak boleh ditinggalkan sebentar juga. Lebih hebat lagi, dia agaknya telah lupa akan semua kepandaiannya. Beberapa kali Li Cu mencobanya, namun benar-benar Beng San tidak ingat lagi bagaimana untuk bersilat sungguhpun tenaga murni dalam tubuhnya masih tetap kuat dan tidak ikut lenyap.
Cia Li Cu adalah keturunan orang-orang yang terkenal keras hati. Agaknya watak ini diwariskan oleh nenek moyangnya, yaitu Ang I Niocu, pendekar wanita sakti yang terkenal keras hati. Sekali mengambil keputusan takkan dapat diubah lagi, sekali menjatuhkan hati takkan dapat pula diubah. Setelah hatinya dikecewakan Beng Kui dan membuat ia benci sekali kepada suhengnya itu, barulah ia sadar bahwa semenjak dahulu sebetulnya ia tidak pernah mencinta Beng Kui. Perasaannya dahulu terhadap Beng Kui hanyalah kagum saja karena semenjak kecil suhengnya itu selalu lebih tinggi segala-galanya daripada dirinya sendiri, juga dalam ilmu silat. Maka begitu ia melihat watak yang buruk dalam diri Beng Kui, apalagi karena ia dikesampingkan dan suhengnya itu menikah dengan wanita lain, kekagumannya sekaligus buyar dan otomatis ia pun tidak ada rasa suka kepada kakak seperguruan itu.
Terhadap Beng San lain lagi perasaannya. Sebetulnya lebih banyak perasaan terharu dan iba akan nasib orang muda itu daripada kekaguman. Malah sering kali ia merasa gemas kepada Beng San, anehnya, bukan gemas karena perlakuan pemuda itu kepadanya melainkan gemas karena Beng San begitu banyak kekasihnya! Memang cinta itu aneh sekali. Mendatangkan cemburu, kadang-kadang mendatangkan benci! Semua ini hanya dapat terasa oleh mereka yang menjadi korban panah asmara. Demikian hebat kekerasan asmara sehingga mampu menundukkan seorang gadis seperti Li Cu yang terkenal keras hati, berubah menjadi demikian jinak, demikian telaten dan sabar dalam merawat orang yang dicintanya.
Benar-benar bukan ringan pekerjaan Li Cu ini. Terutama sekali tekanan batin yang dideritanya. Bayangkan betapa beratnya bagi perasaan seorang gadis yang jatuh cinta untuk merawat orang yang dicintanya itu dan mendengarkan kekasihnya itu setiap saat memuji-muji dan menyatakan cinta kasihnya kepada seorang wanita lain. Lebih hebat lagi bagi Li Cu, Beng San menyatakan cinta kasih kepadanya karena menganggap dia Bi Goat! Seringkali ia harus menahan-nahan air matanya karena hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya.
Kadang-kadang terbayang pula senyum di bibirnya yang manis dan cahaya harapan di matanya yang indah itu manakala Beng San dalam ketidaksadarannya "mengaku" kepada Bi Goat bahwa dia tertarik kepada Li Cu! Sungguhpun hanya sedikit sekali pengakuan cinta ini, namun sudah merupakan setetes embun menyegari bunga yang kekeringan di dalam hati Li Cu.
Betapapun juga, Li Cu adalah seorang gadis yang patut dipuji kebersihan dan kekuatan batinnya. Biarpun ia jatuh cinta kepada Beng San dan berbulan-bulan tinggal serumah dengan pemuda itu, namun gadis itu tetap dapat mempertahankan garis pemisah, tetap ia dapat mencegah terjadinya pelanggaran susila yang terdorong oleh iblis nafsu yang memabokkan. Bagi Li Cu, cintanya murni dan timbul dari hati nurani yang bersih. Ia hanya mempunyai sebuah keinginan, yaitu merawat orang yang dicintanya, melihatnya sembuh dan harapan terakhir adalah harapan semua wanita yang mencintanya, yaitu, berhasil merebut hati kekasihnya, berhasil membuat dirinya dicinta kembali berlipat ganda dan akhirnya dapat menjadi seorang isteri yang terkasih. Hal ini mudah saja ia pertahankan oleh karena kini Beng San benar-benar amat penurut dan mentaati segala kehendaknya.
Dua orang pelayan setia itu masih merasa bersyukur dan berterima kasih sekali kepada Li Cu yang sekarang mereka anggap sebagai pengganti nyonya muda, sungguhpun diam-diam mereka terheran mengapa seorang nona cantik dan muda suka bersikap demikian baiknya terhadap Beng San. Namun sebagai orang-orang yang sudah berpengalaman akhirnya mereka dapat menarik kesimpulan bahwa semua itu adalah akibat daripada asmara yang mendalam dan suci. Maka tanpa ragu-ragu lagi mereka pun lalu bercerita kepada Li Cu akan segala yang mereka ketahui tentang diri Beng San dan Bi Goat. Malah mereka memperingatkan nona itu agar hati-hati karena mereka berdua itu takut sekaii kalau-kalau lo-ya-cu, yaitu Song-bun-kwi Kwee Lun kembali dan mengamuk lagi.
"Entah bagaimana nasib bayi puteri Siauw-ya yang belum diberi nama itu,"
pelayan tertua menutup kisahnya. "Semoga saja ia tidak menjadi korban keganasan Lo-ya yang sudah demikian kalap. Hamba benar-benar kuatir, ah...
kalau Lo-ya pulang... apa yang terjadi?"
"Tenangiah, tak perlu kuatir. Kematian Bi Goat bukanlah karena kesalahan Beng San. Pula andaikata dia datang dan mau menang sendiri, ada aku di sini untuk melindungi Beng San," kata Li Cu dengan suara yang gagah. Akan tetapi sesungguhnya hatinya kecut-kecut kalau ia memikirkan kakek itu. Ia maklum bahwa kata-katanya di depan para pelayan itu hanya omong besar saja, karena kalau disuruh sungguh-sungguh menghadapi kakek Song-bun-kwi yang sakti itu, sedikit sekali harapan dia akan menang.
Oleh karena inilah pedang Liong-cu-kiam tak pernah terpisah dari tubuhnya, selalu terpasang di belakang punggung untuk menjaga segala kemungkinan.
Sampai tiga bulan lebih Li Cu dengan tekun dan sabar merawat Beng San.
Kesehatan Beng San sebetulnya sudah pulih, akan tetapi hanya kesehatan jasmani saja, Ingatannya masih belum sembuh sama sekali.
Pagi hari itu, seperti biasa Li Cu mengajak Beng San duduk di taman bunga di sebelah kiri rumah. Setiap pagi gadis ini mengajak Beng San berjemur matahari pagi di tempat itu. Dan seperti biasa, dengan sikap manja sekali Beng San merebahkan diri di atas bangku panjang dan kepalanya telentang di atas pangkuan Li Cu! Gadis ini dengan kasih mesra mengusap-usap rambut Beng San sambil memandangi wajah yang nampak bodoh itu.
"Beng San, masih belum ingatkah kau" Masih belum ingat benarkah bahwa aku adliah Li Cu?" perlahan Li Cu bertanya dengan suara lirih dan hati-hati sekali.
Beng San tersenyum, "Bi Goat, jangan kau menggoda aku. Kau tahu bahwa aku suka kepada Nona Cia Li Cu, bahwa aku tertarik dan kagum sekali kepadanya, lalu kau sekarang meggodaku, ya?"
Seperti biasa kalau mendengar kata-kata ini, Li Cu merasa tertusuk jantungnya. Ia menggigit bibir, matanya menjadi sayu, tapi ia menguatkan hatinya dan berkata lemah-lembut.
"Beng San, aku sungguh bukan Bi Goat. Aku Cia Li Cu, Beng San, aku pun suka kepadamu, tapi... tapi jangan kau menyangka aku Bi Goat. Bi Goat sudah... sudah mati...." hati-hati sekali ia mengucapkan ini sambil menatap tajam-tajam muka orang di atas pangkuannya itu dan tangannya membelai dengan halus.
Beng San serentak bangkit dan duduk, kedua tangan Li Cu dipegangnya lalu ia berlutut di atas tanah. "Bi Goat, isteriku, jangan kau mempermainkan aku.
Kalau Bi Goat sudah mati bagaimana kau bisa berada di sini" Bi Goat, aku memang berdosa kepadamu, ampunkanlah aku... aku menurut segala kehendakmu, tapi... tapi jangan kau marah, jangan tinggalkan aku...."
Li Cu menarik napas panjang dan menggoyang-goyang kepalanya. Tidak ada kemajuan sama sekali. Kalau sudah merengek-rengek minta ampun begini Beng San tidak mau sudah kalau belum ia ampunkan. Terpaksa berkata,
"Sudahlah, aku ampunkan kau."
Dengan girang Beng San rebah lagi dengan kepala di atas pangkuan Li Cu. Ia tersenyum-senyum dengan wajah berseri girang. Li Cu makin terharu melihat ini. Selama berbulan-bulan ini Beng San memasuki kamarnya yang terpisah, dan hal ini pun selalu diturut oleh Beng San biarpun dengan wajah kelihatan berduka sekali! Li Cu sendiri mulai merasa ragu-ragu akan kekuatan pertahanan hatinya sendiri. Ia makin kasihan kepada Beng San. Selama berbulan-bulan menggantikan kedudukan Bi Goat ini, tampaklah jelas olehnya bahwa Beng San sama sekali bukanlah laki-laki mata keranjang perusak wanita seperti yang telah ia dengar dari suhengnya. Buktinya, terhadap isteri sendiri saja Beng San begini lemah lembut, menaruh hormat dan tidak mau bersikap menang sendiri. Apalagi terhadap wanita lain" Peristiwa yang terjadi antara Beng San dan Kwa Hong tentu terdorong oleh sesuatu, tidak sewajarnya. Beng San pernah bercerita kepadanya tentang itu, dikatakannya bahwa Beng San dan Kwa-Hong lupa karena pengaruh racun yang sengaja ditaruh dalam makanan oleh musuh dalam ketentaraan Mongol. Tapi Beng San hanya menyebut nama Pangeran Souw Kian Bu. Adapun tentang pengalaman Beng San dalam asmara dengan Thio Eng, dengan dia sendiri, ah, ia tidak percaya bahwa Beng San sengaja berlaku sebagai seorang pemuda mata keranjang. Ia sama sekali tidak mau percaya bahwa Beng San berwatak kotor, rendah atau cabul.
"Beng San, cobalah kauingat-ingat, apakah kau benar-benar lupa akan kepan daian ilmu silatmu?"
Beng San tertawa, matanya berseri jenaka. "Bi Goat, jangan kaugoda aku seperti itu! Kau tahu bahwa aku adalah seorang kutu buku, seorang yang sejak kecil hanya mempelajari kitab-kitab filsafat. Kitab To-tik-keng aku hafal di luar kepala. Kau boleh tanya tentang Su-si Ngo-keng, tentang filsafat hidup dan pelajaran agama. Akan tetapi ilmu silat" Huh, untuk apa ilmu silat itu"
Hanya untuk menakut-nakuti orang, menyombongkan diri dan paling banyak hanya menjadi kepandaian tukang-tukang pukul dan buaya-buaya darat, tukang-tukang berkelahi saja!"
Sekali lagi Li Cu menarik napas kecewa. Ia tadinya tidak percaya dan pernah ia menyerang Beng San dan ternyata menghadapi sebuah pukulan biasa saja Beng San tidak mampu menghindarkan diri. Akan tetapi Iwee-kang di tubuhnya masih tetap ada dan kuat sungguhpun agaknya Beng San lupa pula bagaimana untuk menyalurkan hawa murni di tubuhnya itu. Tadinya ada pikiran padanya untuk melatih Beng San, akan tetapi pikiran ini ia buang lagi ketika ia teringat betapa tingkat kepandaian Beng San sebetulnya sudah jauh melampauinya sehingga kalau sekarang Beng San menerima pendidikan mulai pertama daripadanya, apakah akan jadinya" Jangan-jangan malah pelajaran itu menyeleweng dan tidak cocok dengan hawa murni di tubuh Beng San.
Ia menunduk dan memandang wajah yang tampan itu. Ah, kalau ia teringat betapa dahulu Beng San dengan berani mati menyerbu ke sarang Ho-hai Sam-ong, mati-matian datang untuk menolongnya! Kalau ia teringat akhir-akhir ini betapa Beng San tanpa mempedulikan diri sendiri telah menyedot asap beracun yang berada di dadanya, menyedot begitu saja dari mulut ke mulut!
Ah, ia tidak saja berhutang budi, juga berhutang nyawa. Hanya dapat ia balas dengan cinta kasih. Kalau sudah mengenangkan itu semua, ingin ia mendekap kepala itu, ingin membelainya dan menunjukkan kasih sayangnya. Akan tetapi Li Cu menahan hatinya, hanya memandang dengan wajah sayu dan mata redup setengah dikatupkan.
Gadis ini sama sekali tidak tahu bahwa sudah semenjak ia keluar bersama Beng San dari dalam rumah tadi, sepasang mata menyaksikan semua yang terjadi antara dia dan Beng San. Sepasang mata yang tajam, dilindungi alis tebal yang kadang-kadang mengerut, kadang bergerak-gerak. Sepasang mata itu kadang-kadang menjadi redup terharu, kadang-kadang menyorotkan api kemarahan. Sepasang mata milik seorang laki-laki tua yang tampan dan gagah perkasa, seorang pendekar yang bukan lain adalah Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tanpa Tandingan) Cia Hui Gan, ayah dari Cia Li Cu!
Dan baru saja, dari lain jurusan, datang pula seorang tokoh lain yang gerakannya demikian ringan sehingga tidak terdengar oleh Si Raja Pedang sekalipun. Orang ini pun mengintai dan matanya yang liar menjadi makin berputaran marah ketika ia melihat adegan mesra itu, yaitu Beng San rebah telentang di bangku dengan kepala di atas pangkuan seorang dara cantik jelita yang mengelus-elus rambutnya! Orang ini bukan lain adalah Song-bun-kwi Kwee Lun Si Setan Berkabung! Song-bun-kwi Kwee Lun masih dapat mendengar tanya jawab antara Li Cu dan Beng San tentang ilmu silat tadi dan kegirangan hatinya bukan main ketika ia mendengar bahwa Beng San telah hilang ingatannya dan telah hilang atau terlupa pula ilmu silatnya.
"Si keparat Beng San! Kau telah kehilangan kepandaianmu, sekarang kau akan kehilangan nyawamu yang harus menghadap Bi Goat untuk menebus dosa,"
demikian katanya dalam hati. Tiba-tiba ia melompat keluar sambil tertawa bergelak. Tanpa berkata apa-apa serentak maju menubruk dan menghantam dada Beng San yang rebah telentang di atas bangku.
Li Cu berseru panjang. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi tubuhnya otomatis bergerak dan ia mendorong tubuh Beng San sekuat tenaga sambil ia sendiri melompat ke belakang dan mencabut pedangnya. Biarpun tubuhnya sudah terdorong dan terlempar dari bangku, tetap saja punggung Beng San keserempet pukulan Song-bun-kwi. Beng San terpelanting dan terguling-guling sambil muntahkan darah segar dari mulutnya. Baiknya Iwee-kang di tubuhnya masih ada dan otomatis tenaga dalam ini bekerja untuk menahan atau melindungi tempat yang terpukul, maka Beng San hanya, mengalami luka ringan di sebelah dalam saja dan nyawanya selamat. Di dalam tubuh Beng San terkandung dua hawa yang amat besar, hawa Im dan Yang, dua hawa yang bertentangan akan tetapi telah teratur kedudukannya. Berbeda dengan orang lain apabila terpukul dan menderita luka dalam, muntah darah berarti membahayakan. Sebaliknya Beng San dengan muntah darah ini malah menyatakan bahwa tenaga di dalam tubuhnya bekerja dan darah yang dimuntahkan itu sajalah yang menjadi akibat pukulan tadi.
Melihat Beng San muntah darah, Li Cu kaget setengah mati dan mengira bahwa Beng San pasti terluka parah. Ia marah bukan main dan pedangnya lalu diputar ke depan.
"Song-bun-kwi manusia iblis! Kau keji dan curang. Kalau memang ada kepandaian, mengapa menyerang orang sakit" Majulah, aku musuhmu!"
Pedangnya menyambar-nyambar ke depan dan sekejap mata saja gulungan sinar pedang mengurung Song-bun-kwi dengan hebatnya.
Song-bun-kwi tertawa bergelak, pedangnya cepat menangkis dari samping lalu ia berkata,
"Perempuan tak tahu malu! Aku hendak membunuh mantuku sendiri yang telah menyebabkan kematian anakku, yang telah meninggalkan anakku untuk bermain gila dengan segala perempuan busuk, kau menghalangi ada hubungan apakah" Apakah kau kekasihnya yang baru?"
Kemarahan Li Cu membuat ia hampir menangis mendengar caci-maki kotor ini. Akan tetapi ia harus membela Beng San, membela nyawanya juga membela nama baiknya.
"Song-bun-kwi, kau seorang kakek tua bangka yang sudah mau mati tapi ucapanmu seperti orang gila atau seperti anak kecil saja! Beng San bukan menjadi sebab kematian Bi Goat. Selama ini dia pergi karena dia membantu Kaisar untuk membasmi orang-orang jahat yang hendak memberontak. Dia dimintai bantuan oleh Pek-lian-pai dalam tugas yang mulia. Yang menyebabkan kematian anakmu adalah ibiis wanita Kwa Hong. Kalau kau memang mendendam, mengapa kau tidak mencari dan membalas kepada Kwa Hong" Andaikata kau hendak membalas kepada Beng San, sebagai orang gagah kau pun harus menanti sampai dia sembuh agar dia dapat melayanimu.
Apakah kau sudah berubah menjadi pengecut?"
Song-bun-kwi mengeluarkan suara menggereng hebat, matanya liar. "Kwa Hong akan kubunuh, Beng San akan kubunuh, dan kau yang membelanya akan kubunuh lebih dulu!" Setelah berkata demikian ia menubruk maju dan menyerang dengan pedangnya. Pedangnya ber gerak menusuk kemudian ditarik ke bawah. Kalau serangan ini berhasil tentu korbannya akan terbelah dada dan perutnya, Namun dengan gerakan lincah dan indah sekali Li Cu sudah mengelak ke kanan, tubuhnya berputar seperti orang menari kemudian membabat dengan pedangnya ke arah pedang lawan. Ia hendak mengandalkan ketajaman Liong-cu-kiam untuk mematahkan senjata lawannya.
Akan tetapi Song-bun-kwi bukanlah seorang tokoh yang masih hijau. Ia cukup mengenal Liong-cu-kiam. Biarpun yang ia pegang juga sebatang pedang yang baik dan kuat, namun ia tidak berani mengadukan pedangnya secara langsung dengan Liong-cu-kiam. Ia hanya menyampok pedang lawan yang ampuh bukan main itu dari samping dengan pedangnya sehingga terhindar peraduan.
kedua pe-dang pada bagian tajamnya.
Serang-menyerang terjadi dengan amat serunya, dan mati-matian. Ilmu kepandaian Song-bun-kwi hebat bukan main, dia adalah tokoh besar dalam dunia persilatan. Biarpun Li Cu juga telah mewarisi ilmu pedang yang sakti, namun ia kalah pengalaman bertempur biarpun di tangannya ada pedang pusaka Liong-cu-kiam. Song-bun-kwi tidak mengenal ampun, mendesak terus sambil mengeluarkan jurus-jurus yang paling hebat karena ia maklum bahwa lawannya biarpun hanya merupakan seorang gadis muda namun cukup lihai dan berbahaya. Malah kakek ini di samping pedangnya yang dimainkan dengan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut dicampur ilmu pedangnya Sendiri, juga mulai melancarkan pukulan-pukulan maut dengan tangan kirinya, menggunakan pukulan jarak jauh yang bukan main dahsyatnya. Tiap kali pukulan ini datang, Li Cu merasa sambaran angin yang hebat ke arahnya. Ia kaget sekali dan maklum bahwa biarpun kepadaian lawan tidak mengenai tubuhnya, hawa pukulan itu kalau tepat mengenai bagian berbahaya, bisa mendatangkan celaka. Maka ia selalu mengelak kalau diserang pukulan ini.
Kali ini membuat keadaannya terhimpit.
"Heeei, jangan serang isteriku. Eh, kakek yang baik, orang setua engkau seharusnya memberi contoh baik kepada yang muda, mengapa malah suka berkelahi" Heee! Hati-hati, jangan main-main dengan pedang yang begitu tajam, jangan-jangan kau nanti mencelakai isteriku!" Beng San berteriak-teriak penuh kekuatiran. Tadi ia agak nanar maka ia setengah pingsan oleh pukulan yang membuat ia muntah darah. Akan tetapi setelah ia dapat bangun, ia segera berteriak-teriak melarang Song-bun-kwi menyerang "isterinya".
Mana Song-bun-kwi mau pedulikan dia" Makin hebat Song-bun-kwi mendesak sehingga pada suatu saat Li Cu terhuyung-huyung ke belakang, hampir saja menjadi korban pukulan mautnya. Beng San tak dapat menahan kesabarannya lagi, ia melangkah maju dan menudingkan telunjuknya.
"Orang tua, kenapa kau begini nekat" Isteriku pandai main pedang, kalau sampai dia marah... hemmm, apakah kau sudah bosan hidup?"
Song-bun-kwi kaget juga menyaksikan sikap Beng San ini. Dilihat sikapnya yang begitu berani, agaknya pemuda ini masih memiliki kepandaiannya sejenak ia tertegun dan ini membuat gerakannya agak kalut dan terlambat sehingga Li Cu dapat memperbaiki kedudukannya dan berbalik gadis yang tadinya terdesak itu sekarang dapat balas menyerang.
"Bagus, Beng San. Kau majulah, pukul dia mampus dengan ilmu saktimu!" Li Cu berseru keras. Song-bun-kwi makin bingung dan kaget, dikiranya betul-betul Beng San hendak menyerangnya. Kembali kesempatan ini dipergunakan oleh Li Cu untuk mainkan pedangnya dan... "brett" ujung baju kakek itu terbabat putus! Song-bun-kwi kaget sekali dan cepat ia melompat ke arah Beng San sambil mengayun pedangnya.
Girang hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa sama sekali Beng San tidak dapat mengelak, malah Li Cu yang menangkisnya serangan ini.
"Aha, kalian mau menipu aku" Ha-ha-ha, kalian harus mampus sekarang juga!" Dengan ucapan ini Song-bun-kwi mendesak makin, hebat sehingga Li Cu menjadi sibuk menangkis dan mengelak. Sekali pundaknya terkenal pukulan tangan kiri Song-bun-kwi sehingga gadis itu terpaksa menggulingkan diri dan bergulingan menjauhkan diri dari Song-bun-kwi. Namun sambii tertawa-tawa kakek ini mengejar terus dengan pedang diangkat, siap untuk membacok.
"Tranggg!" Pedang Song-bun-kwi terpental dan biarpun pedang itu tidak terlepas dari pegangannya dan ia cepat dapat melompat mundur, namun lengannya agak di atas pergelangan telah tergores pedang di tangan Bu-tek Kiam-ong. Cia Hui Gan yang sudah berdiri dengan gagah di situ. Pendekar pedang inilah yang tadi menangkis bacokan Song-bun-kwi untuk menolong nyawa puterinya.
Melihat datangnya Raja Pedang ini, Song-bun-kwi mendengus marah, "Huh, kau juga ikut-ikut urusanku?"
"Song-bun-kwi iblis tua! Seorang ayah melihat puterinya hendak dibunuh orang bagaimana bisa diam saja?"
Sejenak Song-bun-kwi tertegun. Ia maklum akan kehebatan ilmu pedang Cia Hui Gan, maka tidak berani berlaku sembrono. Kemudian ia menoleh ke arah Beng San yang berdiri bengong di pinggiran.
"Bagus, kau betul sekali, Kiam-ong. Anakku dibunuh orang, mana aku bisa diam saja?" Sambil berkata demikian ia menubruk ke depan dan menyerang Beng San dengan pedangnya.
Melihat itu Li Cu kembali menggerakkan senjatanya menangkis serangan kakek itu. Kali ini Song-bun-kwi terlalu bernafsu dalam penyerangannya maka pedangnya bertemu dengan telak sekali dengan pedang di tangan Li Cu.
Dengan mengeluarkan bunyi nyaring, pedang di tangan Song-bun-kwi terbabat putus menjadi dua potong oleh Liong-cu-kiam!
"Li Cu, jangan mencampuri urusan mereka!" Cia Hui Gan membentak anaknya, mukanya menjadi merah dan malu melihat sikap puterinya itu.
Akan tetapi, Li Cu dengan pedang di tangan berdiri memandang ayahnya dengan mata bersinar. "Ayah, Beng San tidak pernah membunuh anak Song-bun-kwi yang mati karena melahirkan. Beng San bahkan amat mencintanya.
Mana bisa aku membiarkan orang membunuhnya" Kalau Song-bun-kwi menantang Beng San dalam keadaan seperti biasa, aku pun tidak peduli. Akan tetapi Beng San sedang sakit, sama sekali tidak dapat melawan!"
bagian 30 SONG-BUN-KWI marah sekali akan tetapi juga gentar. Menghadapi gadis itu saja sudah payah untuk mencapai kemenangan, apalagi sekarang muncul ayahnya yang tentu saja tidak membiarkan ia mengganggu Li Cu. Pada saat itu terdengar tangis seorang anak tak jauh dari situ. Mendengar ini Song-bun-kwi mengeluarkan gerengan-gerengan marah lalu ia melompat pergi ke arah suara tangisan anak kecil itu. Dari jauh terdengar suaranya, "Bu-tek Kiam-ong, kau mengandalkan nama besarmu bersikap sewenang-wenang. Tunggulah, kelak aku mencarimu di Thai-san!"
Sejenak hening. Ayah dan anak itu saling berpandangan. Si ayah dengan sinar mata penuh kemarahan, Si anak tenang-tenang saja namun tarikan mukanya jelas membayangkan keteguhan hatinya.
"Li Cu, apa artinya semua ini?" akhirnya suara si ayah terdengar memecah kesunyian.
"Artinya, Ayah, bahwa aku cinta kepada Beng San dan sisa hidupku akan kuhabiskan di sampingnya," jawab gadis itu dengan suara penuh ketetapan hati.
Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan mengerutkan keningnya. "Tapi... tapi ia seorang gila...."
"Dia tidak gila, Ayah. Hanya kehancuran hati membuat ia demikian. Ia kematian isterinya yang tercinta dan ia merasa berdosa besar terhadap isterinya sehingga kesedihan membuat ia kehilangan ingatan. Akan tetapi...
dia seorang berbatin mulia, Ayah, telah beberapa kali menyelamatkan nyawaku tanpa mempedulikan keselamatan diri sendiri. Aku ingin membalas budinya dan...."
"Tapi dia tidak menganggapmu sebagai Cia Li Cu...."
"Memang dia menganggap aku sebagai isterinya yang sudah meninggal dunia.
Dan ini lebih mempertebal keyakinanku betapa setia hatinya, penuh cinta kasih murni. Aku tak dapat meninggalkannya, Ayah karena hal itu berarti dia akan celaka."
"Li Cu, apa kau juga sudah menjadi gila" Anakku hendak mengorbankan sisa hidupnya untuk seorang gila" Tak mungkin! Kakak kandungnya seorang berwatak durhaka dan busuk, adiknya takkan jauh bedanya. Dia harus mampus saja daripada merusak hidupmu!" Tiba-tiba sinar terang berkelebat dan tahu-tahu kakek ini sudah menerjang ke arah Beng San yang berdiri melongo melihat perdebatan antara ayah dan anak itu.
"Ayah....!!" Li Cu bergerak dan "trangg!" bunga api berpijar, pedang Liong-cu-kiam di tangan Li Cu terlepas menancap di atas tanah, akan tetapi pedang di tangan Cia Hui Gan sudah patah menjadi dua potong!
Kembali ayah dan anak berpandangan, bertentangan mengadu kekuatan kemauan yang sama kerasnya. "Aku mendengar ejekan si bangsat Beng Kui...." kata Cia Hui Gan, suaranya perlahan penuh penyesalan, "bahwa anakku tergila-gila kepada seorang laki-laki pengrusak wanita! Bahwa Beng San ini sudah merusak penghidupan seorang gadis murid Hoa-san-pai yang ditinggalkannya untuk menikah dengan anak Song-bun-kwi. Sekarang agaknya ia menjadi sebab kematian isterinya itu dan dia sekarang menempel engkau!"
"Ayah....! Semua itu bohong belaka! Semua itu terjadi bukan karena kesalahan Beng San. Tentang aku..., bukan dia yang menempel, melainkan aku sendiri yang tidak dapat berpisah lagi daripadanya."
Bergerak-gerak alis mata Cia Hui Gan. "Hemm, pendapat seorang bocah masih hijau! Cintamu mudah berubah dan berganti-ganti. Orang ini lebih baik mati daripada merusak hidupmu!" Dengan pedang yang tinggal sepotong itu Cia Hui Gan melompat ke depan dan menyerang Beng San lagi.
"Ayah, kalau kau hendak membunuhnya, kau boleh melihat anakmu menggeletak tanpa nyawa lebih dulu!" Li Cu berseru keras dan cepat ia menyambar" Liong-cu-kiam dari atas tanah, langsung ia bacokkan ke lehernya sendiri!
"Anak gila....!" Pedang buntung di tangan Cia Hui Gan terlepas meluncur ke arah Li Cu dan menghantam Liong-cu-kiam di tangan gadis itu. Hebat sekali sambitan ini yang merupakan kepandaian istimewa dari Si Raja Pedang, sehingga Li Cu sendiri tidak sanggup mempertahankan pedangnya yang runtuh terlepas dari tangannya. Gadis ini menangis dan menutupi mukanya.
"Ayah..., kau boleh bunuh dia... tapi aku pun tidak sudi lagi hidup di dunia ini...." tangisnya.
Cia Hui Gan menarik napas panjang. Ia amat sayang kepada puteri tunggalnya ini. Ia hidup hanya berdua dengan puterinya karena ibu Li Cu sudah sejak dahulu meninggal dunia. Bagaimana ia dapat merelakan anaknya mati" Tadi pun ia hanya ingin menyelami hati Li Cu sampai di mana perasaan yang dianggapnya cinta kasih oleh anaknya itu terhadap Beng San. Kakek ini maklum betapa sakit dan hancurnya hati Li Cu karena sikap dan perlakuan Beng Kui kepadanya. Dan kakek ini maklum pula bahwa biarpun di mulutnya tidak pernah menyatakan sesuatu, namun di dalam hatinya gadisnya itu tentu menaruh penyesalan kepada ayahnya sendiri, karena sesungguhnya dialah yang dahulu menjodohkan anaknya itu dengan Beng Kui. Beng Kui adalah pemuda pilihan Cia Hui Gan untuk anaknya yang hanya mentaati kehendak ayah. Setelah pilihan itu ternyata keliru, sekarang anaknya mencari pilihan hatinya sendiri, bagaimana dia tega untuk menghalanginya" Sebetulnya, sejak dahulu ketika untuk pertama kali bertemu dengan Beng San (baca Raja Pedang), memang Cia Hui Gan menaruh rasa simpati yang besar terhadap pemuda ini dan diam-diam ia mengakui bahwa Beng San sebetulnya lebih cocok untuk menjadi jodoh puterinya. Akan tetapi sekarang pemuda itu selain sudah menjadi duda yang ditinggali anak, juga keadaannya tidak normal lagi, kehilangan ingatan dan lupa akan kepandaiannya sama sekali!
"Kau memang bandel...." akhirnya ia berkata. "Baiklah kalau kau memang sudah yakin akan cinta kasihmu kepada Beng San, akan tetapi kelak jangan kau salahkan ayahmu kalau kau kecewa."
"Ayah... terima kasih, Ayah...." Li Cu menubruk dan merangkul ayahnya sambil menangis.
"Sudahlah, kita harus segera pergi dari sini, tak boleh mengacau di tempat orang lain. Hemm, bocah itu hanya akan memancing datangnya banyak musuh ke Thai-san...."
Li Cu tidak memberi komentar apa-apa atas ucapan ayahnya ini, melainkan dengan girang ia lalu menggandeng tangan Beng San sambil menariknya dan berkata,
"Beng San, hayo kau ikut aku ke Thai-san."
"Bi Goat, kenapa kita ke Thai-san?" Beng San bertanya seperti orang bingung.
"Mulai sekarang kita akan tinggal di sana, kau ikutlah saja dengan aku dan jangan banyak bertanya."
Beng San mengangguk-angguk. "Baiklah...baiklah, kita ke Thai-san...aku menurut dan takkan membantah asal selalu berada di dekatmu."
Melihat dan mendengar ini Cia Hui Gan menggeleng kepalanya dan diam-diam ia berdoa kepada Tuhan semoga keputusan yang diambil oleh anaknya itu tidak keliru dan tidak akan merusak penghidupan anaknya dikelak kemudian hari.
Dalam perjalanan menuju ke Thai-san itu, atas pertanyaan Li Cu, Cia Hui Gan menceritakan apa yang telah terjadi di kota raja. Seperti telah diceritakan di bagian depan, orang-orang gagah berusaha untuk menggagalkan rencana jahat yang diatur oleh Pangeran Lu Siauw-Ong dan Ho-hai Sam-ong. Di antara mereka itu terdapat Cia Hui Gan dan anaknyai Li Cu sendiri pergi menyusul rombongan Kaisar untuk melindunginya, adapun Cia Hui Gan pergi ke kota raja untuk hukum muridnya yang murtad dan durhaka. Telah dituturkan di bagian depan betapa Kaisar telah terhindar dari malapetaka pencegatan Ho-hai Sam-ong dan anak buahnya dan teman-temannya. Sebagian besar adalah jasa Beng San yang lebih dahulu secara sembunyi telah menjumpai Kaisar di tengah perjalanan dan mengajukan usul agar supaya Kaisar diam-diam kembali ke kota Raja, dan menyuruh orang lain menggantikan Kaisar di dalam joli, Seperti telah kita ketahui, Ho-Hai Sam-ong tertipu dan usaha mereka tidak saja hancur berantakan, malah mereka tewas.
Adapun Cia Hui Gan yang mencari muridnya, Tan Beng Kui di kota saja, datang dalam saat yang kebetulan pula. Pemberontakan telah pecah, terjadi penyerbuan para pemberontak ke dalam istana. Akan tetapi, alangkah kaget hati mereka ketika tiba-tiba, tidak saja muncul para pengawal yang serba lengkap dan kuat, juga muncul banyak sekali anggota Pek-lian-pai di bawah pimpinan Tan-Hok yang gagah perkasa. Lebih hebat lagi kekagetan para pemberontak ketika tiba-tiba muncul pula Kaisar sendiri yang memimpin tentaranya untuk menghancurkan barisan pemberontak yang menyerbu.
Sudah terang bahwa Kaisar pergi ke utara dengan rombongannya, mengapa tiba-tiba bisa berada di situ" Keadaan menjadi kacau-balau dan para pemberontak itu berkurang semangatnya. Apalagi di pihak Kaisar terdapat orang-orang gagah, terutama sekali Cia Hui Gan yang mengamuk seperti seekor naga terbang dan masih ada lagi raksasa muda Tan Hok yang mengamuk dengan anak buahnya yang gagah.
Cia Hui Gan yang sengaja mencari muridnya, akhirnya dapat berhadapan muka dengan Beng Kui yang berpakaian seperti seorang jenderal besar dan mengamuk dengan pedangnya, Liong-cu-kiam. Alangkah kagetnya ketika tiba-tiba ia melihat gurunya. Akan tetapi Beng Kui malah menegur,
"Suhu, mengapa Suhu menghalangi cita-cita teecu yang tinggi?"
"Keparat, kau membikin malu gurumu saja dengan perbuatanmu yang hina.
Mulai saat ini aku bukan gurumu lagi!"
"Aha, jadi Suhu juga berpandangan picik seperti Li Cu dan merasa sakit hati karena teecu menjadi mantu Lu Siauw Ong" Apakah Suhu tidak melihat bahwa kalau teecu kelak menjadi mantu Kaisar dan calon kaisar, masih belum terlambat menikah dengan sumoi dan Suhu sendiri tentu memperoleh kedudukan tinggi?"
"Bangsat, tutup mulutmu!" dengan amarah meluap-luap Cia Hui Gan menyerang.
Beng Kui menangkis dan melakukan perlawanan. Namun, betapapun juga, pedang pusaka Liong-cu-kiam di tangannya tak dapat membantu banyak terhadap serangan-serangan gurunya yang lihai bukan main itu. Apalagi ketika ia melihat betapa barisan yang dipimpinnya itu mulai berantakan dan cerai-berai karena memang kalah kuat, hatinya menjadi risau dan permainan pedangnya kacau-balau. Kesempatan, ini dipergunakan oleh Cia Hui Gan untuk mendesaknya dan pada saat yang baik pundak kiri Beng Kui tertusuk oleh pedang gurunya. Ia menjerit dan melompat ke belakang, menghilang di antara anak buahnya yang mulai berlarian ke sana ke mari mencari jalan keluar. Cia Hui Gan mengejar karena ia bermaksud membunuh bekas muridnya itu, namun Beng Kui sudah mendapatkan seekor kuda dan sudah lari jauh.
Demikianlah pengalaman Cia Hui Gan di kota raja. Kaisar sendiri menyatakan terima kasih kepadanya, akan tetapi Cia Hui Gan tidak lama berdiam di kota raja, melainkan terus menyusul puterinya. Ia mendengar bahwa pencegatan rombongan Kaisar dapat digagalkan dan dihancurkan pula, akan tetapi dengan hati kecut ia mendengar bahwa puterinya telah terluka dan ditolong oleh Beng San. Hal ini ia dengar daripada anggota Pek-lian-pai yang masih tertinggal di tempat itu karena terluka.
Cia Hui Gan tidak percaya lagi kepada Beng San setelah kekecewaannya pada Beng Kui. Kalau kakaknya seperti itu, mana bisa adiknya baik pula" Dengan hati kuatir ia lalu cepat-cepat melakukan perjalanan menyusal ke Min-san dan akhirnya ia menyaksikan semua kejadian yang membuat hatinya menjadi penuh kegelisahan akan hari depan puterinya.
Setahun lebih Li Cu merawat Beng San dengan penuh kesabaran dan penuh cinta kasih. Melihat keadaan puterinya itu yang rela mengorbankan segala untuk Beng San yang masih saja belum kemball ingatannya, Cia Hui Gan merasa terharu dan kasihan sekali. Karena keadaan Beng San yang boleh dibilang telah berubah menjadi seorang yang lemah, maka Raja Pedang ini lalu menggembleng puterinya dengan ilmu yang lebih tinggi agar kelak sepeninggalannya Li Cu dapat mempertahankan diri dari segala bahaya yang menimpanya.
Memang Cia Li Cu seorang gadis yang hebat, jarang bandingannya di dunia ini.
Cintanya terhadap Beng San benar-benar cinta yang murni dan suci, cinta yang tidak dikotori nafsu, tidak tercemar oleh keinginan menyenangkan diri sendiri. Oleh karena sifat cintanya yang mulus inilah maka ia tahan menderita segala tekanan batin. Beng San masih saja menganggap dia sebagai Bi Goat dan masih saja belum mendapatkan kembali ilmu-ilmu silatnya.
Seringkali Cia Hui Gan menyatakan kekuatirannya kepada puterinya itu dengan kata-kata nasihat,
"Li Cu, keputusan hatimu untuk mengorbankan diri demi cintamu kepada Beng San, aku orang tua tidak akan mengganggu-gugat lagi. Akan tetapi kau harus mengerti bahwa keputusan ini memancing datangnya banyak musuh. Sudah pasti Song-bun-kwi akan membalaskan anaknya yang ia anggap mati karena kesalahan Beng San. Juga wanita yang bernama Kwa Hong, murid Hoa-san-pai itu... hemm, kiraku dia juga merupakan ancaman bahaya dalam hidupmu.
Belum kalau kita ingat kepada musuh-musuh Beng San yang amat banyak dan yang semuanya terdiri dari orang-orang sakti."
"Aku tidak takut, Ayah," jawab Li Cu gagah. "Biarkan mereka datang, orang-orang jahat itu. Aku akan membeia Beng San mati-matian. Pula, Ayah berada di sini, aku takut apa lagi?" Ucapan terakhir ini bernada manja.
Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah mulai penuh rambut putih. "Tentu saja aku akan melindungimu selama aku masih hidup, Li Cu. Akan tetapi, kau harus mengerti bahwa usia manusia ada batasnya, demikian pula kepandaian. Menghadapi musuh-musuh Beng San itu, kiranya biar aku sendiri maju masih belum cukup kuat. Oleh karena itu, mari bantulah aku dalam pembuatan rencanaku yang sudah lama kupikir dan kuciptakan."
"Rencana apakah, Ayah?"
"Kita harus dapat membuat tempat kita ini menjadi tempat yang tidak mudah dikunjungi orang luar. Aku sudah mempunyai rencananya lengkap. Kita minta bantuan penduduk di kaki gunung dan kurasa dalam waktu setahun tempat kita ini akan menjadi tempat persembunyian yang takkan gampang-gampang dimasuki orang luar, biarpun mereka memiliki kepandaian tinggi."
Semenjak terjadi percakapan ini, Cia Hui Gan lalu mencari bantuan tenaga para penduduk di kaki gunung dan mulailah rencananya itu dibuat. Ia memilih sebuah puncak yang amat indah pemandangannya dan nyaman pula hawa udaranya, pula puncak ini dikelilingi jurang yang terjal dan tak mungkin dilalui manusia. Bagian-bagian yang dapat dipergunakan orang untuk mendaki puncak, sengaja digugurkan sehingga bagi orang luar tampaknya tempat itu tak mungkin didatangi. Menurut rencana kakek ini mereka akan membuat jalan rahasia ke puncak, melalui terowongan buatan dibawah tanah.
Terowongan ini selain tak tampak dari luar, juga di dalamnya penuh alat-alat rahasia sehingga bagi orang-orang luar, amat berbahayalah untuk melaluinya, andaikata dia dapat menemukan pintu terowongan juga. Selain alat-alat rahasia juga terowongan ini dibuat berliku-liku, banyak cabangnya dan mudah sekali menyesatkan orang.
Akan tetapi untuk membuat semua ini membutuhkan tenaga dan waktu. Dan kekhawatiran Cia Hui Gan tentang musuh-musuh besar Beng San ternyata terbukti ketika pembuatan jalan terowongan itu baru mulai dibuat!
bagian 31 Pada waktu itu matahari baru saja terbit dan penduduk kaki gunung sudah berkumpul dan mulai bekerja mengangkuti batu-batu yang dibutuhkan untuk pembuatan terowongan. Cia Hui Gan dan Cia Li Cu sedang mengatur pekerjaan dan berada di puncak, di tempat terbuka yang akan dibangun menjadi tempat tinggal mereka. Beng San juga berada di situ, duduk di bawah sebatang pohon besar. Orang muda ini sekarang nampak sehat, wajahnya segar dan agak gemuk malah, akan tetapi sepasaing matanya kehilangan cahaya yang biasanya bersinar tajam dan aneh. Sekarang malah kelihatan seperti orang bodoh. Pakaiannya bersih dan ia nampak tersenyum-senyum gembira memandang ke arah Li Cu. Ia merasa heran sekali mengapa orang-orang itu sibuk hendak membuat rumah, akan tetapi seperti biasa ia tidak mengganggu "isterinya".
Di pagi hari yang sejuk ini timbul bermacam-macam pertanyaan di dalam otaknya yang tidak sehat. Kenapa isterinya menyebut "ayah" kepada orang tua yang katanya seorang ahli pedang berjuluk Bu-tek Kiam-ong bernama Cia Hui Gan" Ia sekarang sudah ingat bahwa ayah dari isterinya adalah Song-bun-kwi! Tapi kenapa Song-bun-kwi malah tidak kelihatan" Memang aneh isterinya sekarang! kelihatannya begitu mencinta padanya, akan tetapi kenapa amat berubah sehingga tidur pun mereka berpisah" Diam-diam ia merasa kecewa dan berduka, akan tetapi ia tidak berani membantah. Kalau isterinya marah dan meninggalkan dia, celaka!
Tiba-tiba terdengar kegaduhan hebat. Orang-orang berteriak-teriak dan ada yang memekik kesakitan, disusul gerengan seperti binatang buas mengamuk.
Ada pula yang menjerit-jerit ketakutan disusul ketawa melengking. Cia Hui Gan dan Li Cu kaget sekali dan cepat mereka memandang. Apa yang mereka lihat membuat keduanya berubah mukanya. Para pekerja lari cerai-berai dan malah ada yang sudah roboh karena amukan dua orang yang bukan lain adalah Song-bun-kwi Kwee Lun dan Kwa Hong! Dengan gerakan-gerakannya yang luar biasa, kakek tua berpakaian putih ini menggereng-gereng dan kadang-kadang melengking seperti orang menangis sambil menghantam ke kanan kiri merobohkan para pekerja yang tidak sempat lari menjatukan diri.
Lebih hebat mengerikan lagi adalah sepak terjang Kwa Hong yang duduk di atas rajawali emasnya dan menyambar-nyambar dari atas menyebar maut kepada para pekerja. Kasihan sekali para penduduk kampung yang tidak memiliki ilmu kepandaian silat itu. Mereka berusaha lari menyelamatkan diri, namun hanya sedikit saja yang berhasil. Sebagiaan besar tak mampu lagi menyelamatkan diri dan terpaksa menjadi korban keganasan dua orang itu.
Apalagi mereka hanyalah petani-petani yang tidak berkepandaian, andaikata mereka memiliki ilmu silat sekalipun belum tentu mereka akan dapat menghindarkan diri dari dua orang yang memiliki kepandaian dahsyat dan keganasan seperti iblis itu.
Melihat kejadian ini, tentu saja Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan seperti dibakar dadanya. Kemarahannya tak dapat ia tahan lagi dan serentak ia lalu mencabut pedang dari belakang punggung, meloncat ke depan dari membentak keras,
"Iblis jahat Song-bun-kwi dan kau tentu siluman betina she Kwa murid Hoa-san-pai! Hari ini kalian berani datang ke Thai-san membunuhi orang-orang tak berdosa, aku Cia Hui Gan bersumpah akan membasmi kalian!" Pedangnya lalu digerakkan dan secepat kilat ia menerjang kepada Song-bun-kwi. Kakek ini pun sudah siap sedia cepat mengelak daripada sambaran sinar pedang yang luar biasa itu sambil memutar pedangnya sendiri untuk balas menyerang.
Sementara itu Li Cu juga sudah melompat maju dan menggerakkan Liong-cu-kiam membantu ayahnya.
Akan tetapi dari atas terdengar suara ketawa mengikik dan menyambarlah sinar kehijauan lima buah banyaknya ke arah ayah dan anak itu. Cia Hui Gan dan Li Cu melompat ke samping sambil menggerakkan pedang menangkis.
Terdengar suara keras dan bunga api muncrat menyilaukan mata. Li Cu merasa betapa telapak tangannya tergetar maka diam-diam ia kaget bukan main. Alangkah kuatnya wanita yang naik burung rajawaii itu! Sambil tertawa-tawa Kwa Hong juga sudah meloncat turun dari atas punggung rajawali yang segera terbang dan hinggap di atas puncak pohon besar sambil mengeluarkan bunyi melengking nyaring. Empat orang musuh besar itu kini saling berhadapan, masih belum bergerak lagi setelah gebrakan pertama tadi.
Bagaimanakah Kwa Hong bisa datang bersama Song-bun-kwi di Puncak Thai-san" Hanya kebetulan saja. Ternyata bahwa Song-bun-kwi yang merasa sakit hati terhadap bekas mantunya itu tidak jauh meninggalkan Thai-san. Ia selalu menanti saat baik untuk menculik dan membunuh Beng San. Akhirnya pada pagi hari itu ia melihat Kwa Hong menunggang burung rajawali naik ke Thai-san, Giranglah hatinya karena ia dapat menduga bahwa kedatangan tokoh baru yang menggemparkan ini pasti akan memusuhi Beng San, maka ia segera menyusul naik dan melihat Kwa Hong menghajar para pekerja, ia pun lalu turun tangan menyerbu. Yang amat berat dihadapi bagi Song-bun-kwi hanya Bu-tek Kiam-ong, maka kalau ia mendapat kawan yang kosen, ia tidak takut. Sementara itu Kwa Hong sengaja datang ke Thai-san karena ia sudah mendengar tentang keadaan Beng San yang kehilangan kepandaiannya. Ia ingin sekali menyaksikan dan kalau betul demikian berarti ia akan dapat membalas sakit hatinya. Ketika, ia melihat Song-bun-kwi membantunya, ia tidak berkata apa-apa, malah tidak peduli sama sekali.
"Cia Hui Gan, kenapa kau begini tak tahu malu" Anak perempuanmu yang bermuka tebal itu telah melindunginya" Hemm, apakah begini saja orang yang berjuluk Kiam-ong" Ternyata hanya orang rendah...!" Kwa Hong memaki kalang-kabut.
Wajah Cia Hui Gan menjadi merah sekali, matanya bersinar-sinar memancarkan api kemarahan, "Iblis wanita kau sebenarnya siapa dan apa maksudmu ke sini?" bentaknya.
"He, perempuan muda, jangan kau sembarangan bicara!" Song-bun-kwi juga kaget mendengar ucapan Kwa Hong dan cepat memaki. "Beng San suami anakku, sekarang dirampas oleh anak orang she Cia, Kenapa kau berani mengakunya sebagai suami" Apakah kau orang yang dulu melahirkan anak di tempatku, ditolong oleh Bi Goat?"
Kwa Hong mengeluarkan suara ketawa mengejek. "Kalian orang-orang tua tahu apa" Dengarlah baik-baik. Manusia bernama Tan Beng San itu, yang sekarang duduk di sana seperti patung hidup, sebelum dia menikah dengah Kwee Bi Goat, dia sudah lebih dahulu menjadi ayah dari anakku. Akulah orang yang paling berhak atas dirinya, siapa pun hendak menghalangi akan kubunuh mampus. Hee, Beng San! Hayo kau ikut denganku. Apakah kau tidak ingin menengok anakmu?"
Beng San hanya melongo, sama sekali ia tidak ingat lagi siapa adanya wanita yang bicara tidak karuan itu. Suara dan wajahnya serasa ia kenal baik, akan tetapi ia sudah lupa lagi kapan dan di mana. Beng San memijit-mijit keningnya, mengingat-ingat.
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ho-ho, nanti dulu!" Song-bun-kwi berseru sambil tertawa mengejek.
"Bukankah kau yang bernama Kwa Hong, anak murid Hoa-san-pai" Aku banyak mendengar tentang kau! Orang bilang bahwa kau telah menjadi isteri Koai Atong Si Bocah Tua gila. Kalau kau punya anak, tentulah anakmu dengan Koai Atong itulah! Kau murid Hoa-san-pai jangan banyak membohong di sini."
"Tutup mulutmu, tua bangka gila!" Kwa Hong membentak sambil mencabut pedang pusaka Hoa-san-pai. "Buka matamu dan lihat ini. Aku Ketua Hoa-sanpai, bukan murid lagi, tahu" Inilah pusaka Hoa-san-pai, berada di tangan Ketua Hoa-san-pai. Pedang pusaka ini kelak akan memenggal batang lehermu karena kau sudah berani berkurang ajar kepadaku. Sekarang hendak kupakai membasmi orang-orang yang berani merampas Beng San."
"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Keluarga Cia memang patut dibasmi. Mari kubantu kau!" kata Song-bun-kwi yang cerdik dan licin.
Semenjak tadi Cia Hui Gan hanya berdiri dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Ia merasa susah dan malu sekali. Sebagai seorang tokoh kang-ouw yang kenamaan tentu saja ia tahu akan peraturan kang-ouw. Dua orang yang datang ini memang berhak atas diri Beng San, yang seorang bekas kekasih Beng San, yang seorang lagi mertuanya malah. Memang dia dan puterinya berada di pihak yang salah. Akan tetapi mana bisa ia tidak membela Li Cu"
Tentu saja Li Cu maklum pula apa yang dipikirkan ayahnya, maka dengan gagah ia melangkah maju dan berkata lantang,
"Kalian bicara mau menang sendiri saja! Song-bun-kwi, sudah jelas bahwa kematian puterimu bukan karena kesalahan Beng San, melainkan karena Kwa-Hong yang merupakan kenyataan yang menghancurkan hatinya. Malah Beng San demikian mencinta puterimu itu sehingga kematiannya membuat Beng San kehilangan ingatannya. Dan kau, Kwa Hong, kau sungguh tak tahu malu, perbuatanmu dengan Beng San itu sudah menunjukkan betapa rendah watakmu. Hubunganmu dengan Beng San terjadi karena pengaruh racun, akan tetapi kau begitu tak bermalu untuk menyatakan Beng San adaiah suamimu!"
"Setan betina tutup mulutmu!" Kwa-Hong menjadi marah, mukanya menjadi merah dan matanya liar. "Suami atau bukan dia adalah ayah anakku.
Sebaliknya engkau ini bukan apa-apanya mengapa membela mati-matian"
Bukankah kau yang tergila-gila kepada Beng San?"
"Memang, aku mencinta Beng San! jawab Li Cu dengan suara tegas dan sikap gagah sambil mengedikkan kepala. "Aku mencinta Beng San dan aku berhutang budi kepadanya. Sebaliknya, dia menganggap bahwa aku adalah isterinya yang sudab meninggal. Demi cintaku, dan demi untuk membalas budi, aku hendak melindunginya dengan taruhan nyawa dan ragaku. Kalau kalian berdua manusia-manusia berhati iblis bermaksud membunuh atau menculiknya, kalian harus lebih dulu dapat membunuh aku!"
"Bagus, memang aku hendak membunuhmu!" Kwa Hong menjerit dan anak panah-anak panah pada ujung cambuknya menyambar.
"Trang-trang-trang!" Li Cu menangkis dengan Liong-cu-kiam. Ujung tiga batang anak panah itu patah semua sedangkan yang duah buah tidak mengenai pedang pusaka sehingga terhindar daripada kerusakan. Bukan main marahnya Kwa Hong melihat betapa dalam segebrakan saja senjatanya telah rusak oleh pedang lawan yang ternyata amat kuat itu. Ia mencabut Hoa-san Po-kiam dan menerjang lagi. Li Cu menangkis lagi dan kali ini ia terhuyung mundur dengan tangan sakit-sakit. Pedang di tangan Kwa Hong sama sekali tidak rusak! Hal ini tidak aneh karena Hoa-san Po-kiam juga, sebatang pedang pusaka yang ampuh.
Sementara itu Kwa Hong sudah menyerang lagi. Gerakannya dalam penyerangan amat aneh, menyambar-nyambar seperti gerakan seekor burung.
Pedang Hoa-san Po-kiam meluncur ke arah tenggorokan Li Cu. Baru saja gadis ini hendak mengelak, ujung pedang itu sudah menyambar ke bawah membelah dada! Li Cu kaget dan cepat menggunakan Liong-cu-kiam menangkis, akan tetapi lagi-lagi ujung pedang lawan tidak melanjutkan serangannya dan tahu-tahu tangan kiri Kwa Hong yang memukul dengan gerakan pukulan Jing-tok-ciang! Li Cu benar-benar kaget sekali ketika tiba-tiba ada angin dingin, menyambar dari sebelah kanannya. Cepat ia mengelak namun karena serangan ini memang tidak tersangka-sangka olehnya, ia terdorong hawa pukulan Jing-tok-ciang dan kembali ia terhuyung-huyung.
Pada saat itu pedang Kwa Hong sudah mengejar pula dengan tusukan-tusukan dan bacokan-bacokan maut yang amat sukar diketahui perubahannya.
"Li Cu, mundurlah!" kata Cia Hui Gan sambil meloncat maju. Pedangnya menyambar mengeluarkan sinar kilat dan sekaligus ia telah berhasil mengancam pergelangan tangan Kwa Hong dengan gulungan sinar pedangnya yang hebat.
"Ayaaaa....!" Kwa Hong berjengit sambil menarik tangannya ke belakang, juga melangkah mundur setindak, tidak melanjutkan desakannya kepada Li Cu.
"Ha-ha-ha, Raja Pedang tak tahu malu, mengeroyok seorang perempuan muda!" kata Song-bun-kwi sambil terjun ke dalam kalangan pertempuran.
Dengan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut ia segera menerjang Cia Hui Gan.
Sementara itu, karena tadi kaget ketika pergelangan tangannya hampir putus oleh pedang Cia Hui Gan, Kwa Hong marah bukan main. Sambil mengeluarkan pekik melengking ia kini menerjang orang tua dari Thai-san itu sehingga dalam sekejap mata saja Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan sudah dikeroyok dua oleb Kwa Hong dan Song-bun-kwi.
Cia- Hui Gan berjuluk Bu-tek Kiam-Ong (Raja Pedang Tanpa Tanding), ilmu pedang Sian-li Kiam-sut adalah ilmu pedang keturunan yang aseli dari pendekar sakti Ang I Niocu ratusan tahun yang lalu. Semenjak ratusan tahun itu, Sian-li Kiam-sut boleh dibilang menjagoi diantara segala ilmu pedang.
Sebetulnya, ilmu pedang ini masih bersumber dengan Im-yang Sin-kiam-sut atau boleh dikatakan cabangnya. Karena memiliki ilmu pedang ini yang sudah dilatihnya secara sempurna maka tidak heran apabila Cia Hui Gan merupakan jago pedang yang sukar dilawan.
Akan tetapi sekarang ia dikeroyok dua oleh dua orang lawan yang bukan orang sembarangan. Song-bun-kwi Kwee Lun adalah seorang tokoh kenamaan, malah tokoh nomor satu dari barat yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi dan sakti, juga telah mendapatkan ilmu silat pedang Yang-sin Kiam-sut. Di dunia kang-ouw jarang ada yang dapat menandinginya. Adapun orang ke dua biarpun tidak ternama dan hanya merupakan murid Hoa-san-pai, akan tetapi Kwa Hong sekarang sama sekali tidak boleh disamakan dengan Kwa Hong dahulu ketika menjadi murid Hoa-san-pai. Kwa Hong telah mempelajari ilmu dari Koai Atong, terutama Jing-tok-ciang dan di samping ini, yang membuat ia sekarang sekaligus berubah menjadi seorang yang luar biasa adalah ilmu silat yang ia petik bersama Koai Atong dari gerakan-gerakan rajawali emas yang sekarang menjadi teman dan binatang tunggangannya.
Li Cu maklum bahwa kepandaian dua orang ini hebat sekali. Ketika ia ingat bahwa pedang di tangan Kwa Hong ternyata sebatang pedang pusaka yang ampuh, ia kuatir kalau-kalau ayahnya akan terdesak dan rusak pedangnya.
Maka ia segera berseru, "Ayah, kaupergunakan Liong-cu-kiam ini!"
Karena Cia Hui Gan juga seorang yang bermata awas dan tadi dapat melihat betapa pedang Kwa Hong dapat menandingi Liong-cu-kiam, ia tidak mau banyak sungkan lagi. Diterimanya pedang Liong-cu-kiam pendek itu dengan tangan kirinya, lalu ia berseru,
"Li Cu, bawa Beng San pergi dari sini. Biar aku menandingi dua iblis jahat ini!"
Akan tetapi Li Cu sendiri adalah seorang pendekar yang berhati baja, mana dia sudi meninggalkan ayahnya terancam bahaya dan melarikan diri"
"Tidak, Ayah. Mati hidup aku harus bersamamu, aku harus membantumu.
Berikan pedangmu kepadaku!"
"Jangan, Li Cu. Untuk menghadapi dua ekor manusia binatang ini aku sendirian sanggup. Kaubawa pergi Beng San, selamatkan dia lebih dulu!"
Li Cu ragu-ragu dan sejenak ia berdiri memandang betul saja, biarpun dikeroyok dua, sepasang pedang di tangan ayahnya itu benar-benar hebat, merupakan dua gulung sinar pedang yang berlainan warna, menyambar-nyambar laksana naga di angkasa raya. Ilmu pedang ayahnya benar-benar sudah sampai di puncaknya. Hebat bukan main sampai Li Cu dalam suasana tegang itu menjadi kagum akan keindahan Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang dimainkan ayahnya.
Andaikata Song-bun-kwi dan Kwa Hong mengeroyoknya tidak menggunakan pedang, kiranya takkan mungkin Cia Hui Gan kuat mempertahankan diri.
Tingkat kepandaian Song-bun-kwi tidak lebih bawah daripada tingkatnya sendiri, adapun wanita muda itu benar-benar memiliki ilmu silat yang aneh dan mujijat sekali. Baiknya kedua orang itu pun bermain pedang, sedangkan senjata pedang adalah permainan Cia Hui Gan semenjak kecil, yang menjadi keahliannya sehingga ia dijuluki Raja Pedang, maka menghadapi permainan pedang kedua lawannya, Hui Gan merasa lebih mudah untuk tidak saja mempertahankan diri, malah mendesak dengan jurus-jurus yang lihai.
Selagi Li Cu berdiam bimbang, tiba-tiba terdengar suara bentakan orang,
"Li Cu, kau benar-benar membikin malu aku yang menjadi kekasihmu!"
Li Cu kaget sekali karena tiba-tiba muncul Tan Beng Kui bersama Hek-hwa Kui-bo! Hek-hwa Kui-bo segera menghunus pedang dan menyerbu ke dalam pertempuran sambil berseru kepada Song-bun-kwi, "Hi-hi-hi, tua bangka keparat, jangan kauperlihatkan sendiri kelihaian Yang-sin-kiam. Mana lebih hebat dengan Im-sin-kiam ilmuku?" Seperti kita ketahui dalam cerita Raja Pedang, kalau Song-bun-kwi dapat merampas kitab pelajaran Ilmu Pedang Yang-sin-kiam, adalah Hek-hwa Kui-bo ini berhasil merarnpas kitab pasangannya, yaitu yang mengandung pelajaran Ilmu Pedang Im-sin-kiam!
Dengan munculnya ahli Im-sin-kiam ini, boleh dibilang Cia Hui Gan menghadapi pasangan ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam-Sut yang hebat bukan main. Tentu saja ilmu pedang ini tidak sehebat kalau dimainkan oleh satu orang seperti Beng San sebelum ia kehilangan ingatannya. Betapapun juga, dalam gebrakan-gebrakan pertama saja sudah terlihat betapa Cia Hui Gan menjadi sibuk menghadapi serangan-serangan pasangan dari dua orang tokoh ilmu silat kelas tinggi itu!
Li Cu kaget bukan main melihat kedatangan bekas suheng dan tunangannya beserta Hek-hwa Kui-bo itu. Ini berarti bertambahnya pihak lawan yang amat tangguh. Juga di samping kekuatirannya, ia menjadi marah sekali kepada Beng Kui. Tanpa banyak cakap lagi ia segera menerjang bekas tunangannya itu dengan pukulan-pukulan maut. Ia merasa menyesal sekali bahwa ia masih belum sempat mengambil pedang lain setelah Liong-cu-kiam dipinjamkan kepada ayahnya.
"Ha-ha, Li Cu. Kau tak tahu malu, melarikan laki-laki. Hah, perbuatan rendah dan hina,"
"Tutup mulut dan jangan mencampuri urusanku!" bentak Li Cu makin marah dan memperhebat serangannya. Akan tetapi dengan mudah Beng Kui dapat mengelak. Memang tingkat kepandaian Beng Kui lebih tinggi daripada kepandaian Li Cu, apalagi memang dahulu seringkali ia melatih ilmu silat kepada bekas sumoinya ini, maka gerakan-gerakan Li Cu ia sudah hafal benar.
bagian 32 Tiba-tiba Beng San datang berlari-lari dengan maksud hendak melerai mereka berdua yang sedang bertanding. Sejak tadi ia mendengarkan semua percekcokan dengan pikiran bingung dan hati berdebar. Ia menganggap mereka semua itu juga "isterinya", bicara tidak karuan. Selagi ia mengerahkan pikirannya untuk menyelami maksud semua percakapan yang ganjil itu, tiba-tiba muncul Tan Beng Kui dan di dalam kebingungannya ternyata ia masih dapat ingat dan kenal kepada kakak kandungnya ini. Sekarang kakak kandungnya itu bertempur melawan isterinya, tentu saja ia menjadi makin bingung dan cepat lari menghampiri untuk mencegah.
"Kui-ko... jangan berkelahi dengan dia. Dia itu isteriku!" tegurnya sambil menggerakkan kedua tangan ke atas untuk mencegah.
"Aha, sudah menjadi isterinya, ya" Sejak kapan?" Beng Kui mengejek sambil memandang kepada Li Cu, gadis ini menjadi merah mukanya, akan tetapi ia mengedikkan kepala dan menjawab lantang,
"Kalau betul kau mau apa" Bukan urusanmu!"
"Bi Goat, dia ini adalah kakak kandungku, jangan kau bertengkar kepadanya,"
kata pula Beng San, suaranya penuh permohonan."
"Ha-ha-ha-ha, menjadi isteri seorang gila Beng Kui tertawa dan mengejek lagi, kemudian tiba-tiba tangannya menghantam ke depan, tepat mengeriai dada Beng San, "Blukk!" Tubuh Beng San terlempar sampai beberapa meter jauhnya dan jatuh terguling. Akah tetapi ia segera bangun kembali dan bertanya dengan mata terbelalak heran.
"Kui-ko, kenapa kau memukulku?" tanyanya berulang-ulang sambil melangkah maju lagi.
Beng Kui tadinya girang karena kini mendapat kenyataan bahwa adik kandungnya yang dahulu lihai itu sekarang benar-benar telah kehilangan kepandaiannya. Tadinya ketika mendengar berita ini ia masih ragu-ragu.
Ketika tadi ia mendengar Beng San mengaku Li Cu sebagai isteri dan menyebutnya "Bi Goat", ia tahu bahwa adiknya benar-benar telah kehilangan ingatan. Akan tetapi hal ini belum berarti kehilangan kepandaian, maka untuk mencobanya ia cepat memukul. Pukulan ini cepat dan tak terduga-duga sehingga Li Cu sendiri tidak sempat mencegah. Giranglah hati Beng Kui melihat pukulannya tepat dan membuat adik yang ditakuti itu terlempar dan bergulingan, akan tetapi ia kaget bukan main melihat Beng San bangun lagi dan tidak apa-apa. Padahal pukulannya tadi ia lakukan dengan pengerahan tenaga Iwee-kang. Ia tidak tahu bahwa tenaga Iwee-kang dan hawa murni di tubuh Beng San masih ada dan secara otomatis bergerak melindungi bagian yang terpukul. Ia mengira bahwa Beng San masih lihai seperti dulu. Akan tetapi melihat sikap Beng San dan mendengar pertanyaan yang berkali-kali itu ia dapat menduga bahwa Beng San masih dilindungi oleh hawa murni di tubuhnya, tapi takkan dapat mempergunakan hawa dan tenaganya untuk menyerang karena semua ilmu telah dilupakannya.
Sementara itu Li Cu marah bukan main melihat Beng San dipukul tadi. Juga ia merasa kuatir kalau-kalau Beng San terluka parah, biarpun ia melihat Beng San sudah bangkit kembali dan malah mendekati Beng Kui. Karena kuatir kalau Beng Kui memukul lagi, Li Cu mendahuluinya dan menyerang hebat.
Beng Kui tertawa-tawa dan segera melayaninya. Adapun Beng San berteriak-teriak mencegah mereka bertempur.
Hati Li Cu gelisah bukan main. Biar pun ia sedang berhantam dengan Beng Kui, namun ia dapat menangkap dengan pendengaran telinganya yang tajam bahwa keadaan ayahnya mulai terdesak hebat. Hal ini mengguncangkan hatinya dan mengacaukan gerakan kaki tangannya.
"Beng Kui anak durhaka! Lepaskan Li Cu!" tiba-tiba Gia Hui Gan berteriak keras. "Li Cu, bawa Beng San pergi jauh-jauh!"
Akan tetapi kata-katanya itu disambut dengan ketawa mengejek oleh Beng Kui, Cia Hui Gan tidak berdaya menolong puterinya karena tiga orang lawannya makin hebat mendesaknya. Rupanya karena maklum bahwa mereka menghadapi lawan yang amat tangguh, Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi dapat bekerja sama dan mempergunakan Yang-sin Kiam-sut dan Im-sin Kiam-sut untuk mengeroyok jago pedang itu. Sedangkan Kwa Hong dengan ilmu silatnya yang tidak karuan namun dahsyat sekali, terus melancarkan serangan-serangan maut.
Li Cu makin gelisah dan kesempatan ini dipergunakan dengan baik oleh Beng Kui. Sebuah tendangan pada sambungan lutut membuat Li Cu roboh dan susulan totokah membuat gadis itu 'tidak dapat bergerak pula,
"Jangan pukul isteriku....!" Beng San berseru dan menubruk Li Cu, akan tetapi ia pun segera lemas tak dapat bergerak karena ditotok oieh Beng Kui pada dua jalan darahnya yang penting. Kemudian sambil tertawa-tawa Beng Kui mengempit tubuh Li Cu dan Beng San, lalu di bawa pergi lari cepat dari tempat itu.
"Beng Kui... keparat....! Lepaskan Li Cu....!" Cia Hui Gan membentak dan pedang di tangan kanannya meluncur cepat mengejar bayangan Beng Kui.
Orang muda ini maklum akan kehebatan ilmu melempar pedang dari gururnya, ia menjadi pucat dan kaget sekali. Cepat ia mengelak dan merendahkan tubuh, namun tetap saja pundaknya tertusuk pedang dari belakang dan Beng Kui sambil menjerit kesaktian mempercepat larinya. Tubuh Li Cu dan Beng San masih dikempitnya dan pedang itu pun masih menancap di pundaknya.
Masih untung bagi Beng Kui bahwa pada saat itu Kwa Hong, Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi mendesak Cia Hui Gan sehingga Raja Pedang ini tidak sempat lagi untuk mengejarnya. Malah kini keadaan Cia Hui Gan terdesak hebat karena di tangannya hanya terdapat sebatang pedang pendek, yaitu pedang Liong-cu-kiam karena pedangnya sendiri tadi telah disambitkan ke arah Beng Kui dalam usaha mencegah bekas murid itu menculik puterinya. Hai ini ditambah lagi oleh hatinya yang risau memikirkan puterinya, maka permainan pedang Cia Hui Gan menjadi agak kalut dan kurang kuat bagian pertahanannya. Kesempatan yang baik ini dipergunakan oleh tiga orang pengeroyoknya untuk menghujankan serangan pedang. Raja Pedang itu kurang cepat dan kulit lambungnya tergores pedang di tangan Kwa Hong.
Darah mengucur dan membasahi bajunya.
Rasa perih menimbulkan kemarahan hebat dan mengobarkan semangat perlawanan Cia Hui Gan. Kakek yang gagah perkasa ini mengeluarkan seruan panjang dan pedangnya yang hanya pendek saja itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung, dahsyat sekali. Bunyi nyaring beradunya pedang-pedang pusaka makin sering dibarengi berpijarnya bunga-bunga api. Namun tiga orang pengeroyoknya juga makin memperhebat tekanan karena mereka merasa penasaran sekali. Sambil mengerahkan tenaganya yang mujijat Kwa Hong memutar pedang tiga kali, lalu membalikkan arah pedang menusuk ke arah perut Raja Pedang itu. Pada saat yang sama Hek-hwa Kui-bo dengan gerakan lemas membabat kakinya. Dua penyerangan sekaligus dari dua jurusan ini benar-benar berbahaya dan hebat. Cia Hui Gan membentak nyaring, pedangnya berkelebat ketika menangkis tusukan Kwa Hong dan pada saat itu ia harus pula meloncat tinggi-tinggi untuk menghindarkan diri dari babatan pedang Hek-hwa Kui-bo. Detik berikutnya pedang di tangan Song-bun-kwi sudah menyambar datang, menusuk punggung. Cepat ia menurunkan lagi kakinya setelah babatan lewat, tubuhnya agak miring karena pedangnya masih tergetar dalam menangkis tusukan Kwa Hong, ia tidak sempat lagi mengelak atau menangkis. Namun dengan gerakan tiba-tiba, lengan kirinya yang ditekuk itu digerakkan sedemikian rupa sehingga sikunya membentur pinggir pedang Song-bun-kwi. Tepat dan cepat sekali gerakan ini dan pedang Song-bun-kwi meluncur lewat pinggir tubuhnya, merobek pakaian dan melukai kulit, tapi ia selamat!
"Bagus!" Song-bun-kwi memuji dan kagum sekali melihat betapa dalam cengkeraman maut itu lawannya masih mampu menyelamatkan diri.
Selanjutnya dengan penuh penasaran hati ia mendesak terus, mainkan Yang-sin Kiam-sut yang bersifat keras itu.
Tekanan makin hebat, Cia Hui Gan sudah mengerahkan seluruh tenaga, kegesitan dan mengeluarkan seluruh kemahiran bermain pedang. Namun tetap saja ia didesak terus dan tidak ada jalan keluar lagi baginya kecuali melawan mati-matian. Ia sudah menderita beberapa luka ringan. Darah membasahi seluruh pakaiannya. Ia sudah terluka di pundak, di pangkal lengan, di kedua paha, malah sebuah tusukan yang agak dalam di punggung membuat gerakannya makin lemah dan lambat. Namun semangatnya tak kunjung padam, sambil mengeluarkan bentakan-bentakan hebat kakek ini mengamuk terus seperti banteng terluka.
Tiba-tiba Kwa Hong mengeluarkan suara melengking yang aneh dan ternyata kemudian bahwa suara ini adalah suara panggilan untuk burung rajawali emas yang sejak tadi bertengger di cabang pohon besar yang tak jauh dari situ.
Segulung sinar kuning emas meluncur turun dibarengi lengking yang seperti tadi keluar dari mulut Kwa Hong.
"Tiauw-heng (Kakak Rajawali), bantulah aku!" seru Kwa Hong sambil memperhebat desakannya kepada Cia Hui Gan.
Burung itu agaknya sudah hafal akan suara dan perintah Kwa Hong. Melihat bahwa nonanya itu bertempur melawan Gia Hui Gan, ia cepat menukik ke bawah menerjang Raja Pedang itu.Tiba-tiba burung itu terbang membalik, berputaran di atas sambii memekik-mekik nyaring. Agaknya ia ragu-ragu dan bingung, kemudian ia menukik lagi dengan kedua kakinya bergerak-gerak menyerang. Cia Hui Gan memang sudah terdesak dan terkurung hebat, sekarang mendadak ia melihat gerakan kedua kaki burung itu. Ia tidak dapat menangkis lagi dan... secara aneh sekali tahu-tahu pedang di tangannya sudah dicengkeram oleh burung itu dan dibetot terlepas dari tangannya. Cia Hui Gan ia kenal, kemudian teringatlah ia bahwa gerakan itu mirip, bahkan tidak ada bedanya dengan gerakan Sian-li-teng-liong (Bidadari Menunggang Naga), sebuah gerakan yang terahasia dari ilmu silatnya Sian-li Kiam-sut.
"Kau... kau...." serunya terheran-heran, akan tetapi ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu tiga batang pedang sudah ambles memasuki tubuhnya. Cia Hui Gan tidak me-ngeluarkan suara lagi, roboh dan tewas di saat itu juga! Sungguh patut disesalkan nasib seorang Raja Pedang yang namanya sudah puluhan tahun gemilang dikagumi orang, ternyata sekarang harus mengorbankan nyawa gara-gara asmara yang telah menguasai hati puterinya!
"Berikan Liong-cu-kiam itu kepadaku!" bentak Song-bun-kwi sambil melotot kepada Kwa Hong yang sudah menerima pedang pusaka itu dari burung rajawalinya.
Pendekar Riang 5 Rahasia Kitab Tujuh Tujuh Manusia Harimau (5) Karya Motinggo Busye Jodoh Rajawali 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama