Ceritasilat Novel Online

Pedang Kiri 25

Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok Bagian 25


gundiknya, takpernah keluar bila tidakamat penting.
Sudah tentu Ling Kun-gi tidak masuk lewat serambi, iapun tidak
mengusik orang2 di Tang-sun-can., Tapi dikala dia hinggap di atas tembok pagar lapis ketujuh, dua bayangan orang laksana dua ekor elang menubruk kearahnya, salah seorang diantaranya menghardik
galak: "Siapa kau?"
Kepandaian orang2 ini kalau dinilai dari kaum Busu yang biasa
bekerja mengawal para Cukong, boleh dikatakan terhitung kelas
satu, sayang mereka berhadapan dengan Pendekar Kidal Ling Kungi. Dengan tertawa Kun-gi berkata: "Inilah aku!" Hanya dua patah katayangdiaucapkan, tapikedua bayanganyangmenubruk tiba itu
seketika jatuh gedebukan terbanting ke tanah.
Tanpa membuang waktu Kun-gi melambung tinggi dan
meluncur jauh ke depan ke atas loteng tengah sana. Waktu itu
kentongan ketiga sudah lewat, waktu sudah amat mendesak, sekilas matanya
menyapu pandang keadaan sekelilingnya, tampak di atas loteng
yang tujuh tingkat ini hanya ada sebuah jendela di sebelah kanan tingkat ketiga yang memancarkan cahaya. Tanpa ayal Kun-gi
meluncur ke sana. Kiranya itulah kamar agak kecil, tanpa permisi Kun-gi langsung
menerobos masuk lewat jendela, dalam kamar seorang gadis
remaja lagi mencopot pakaian hendak tidur, begitu merasakan
angin berkesiur, sinar pelitapun menjadi guram, tahu2
dihadapannya berdiri seorang pemuda cakap, jantungnya seketika
berdebar, dengan menjerit kaget dia menyurut mundur.
Kun-gi tersenyumramah padanya, katanya: "Nona jangan
takut." Rasa takut agaknya merangsang benak si gadis.. mukanya
merah malu, katanya gemetar: "Kau .... .... apa keinginanmu?"
"Cayhemau mencari Kian-lopan, diatinggaldi mana?"
Mengawasi Kun-gi, berubah air muka si gadis, mimiknya
menunjukkan rasa kecewa, sambil menggigit bibir dia menggeleng, akhirnya menjawab: "Aku . . . . . . aku tidak tahu."
Kun-gi maju selangkah, katanya: "Cayhe takkan menyakiti nona, tapi kalau nona tidak mau menerangkan, terpaksa aku
menggunakan kekerasan."
"Sreet". dia melolos pedang yang kemilau terus menuding ke dada si gadis.
Wajah si gadis yang semula merah seketika berubah pucat,
serunya gemetar: "Kau . . . . . mau membunuhku?"
Tenang suara Kun-gi: "Aku tidak akan membunuhmu, asal kau
tunjukkan tempat tinggal Kian-lopan, jiwamu akan kuampuni."
"Dia . . . . . . dia tidur di kamar Sam-ih-thay."
"Di mana letakkamar Sam-ih-thay?"
"Kamar ketiga bagian belakang."
"Kautidak mendustaiaku?"
"Aku menjawab sejujurnya."
"Baik," ujung pedang Kun-gi tiba2 menutul dari balik pakaian dia tutuk Hiat-to penidur orang, lewat jendela dia melompat ke
wuwungan terus melejit ke belakang, di sini merupakan
pekarangan yang teramat indah, di sebelah depan ada deretan
kamar bertingkat pula. Untuk mengejar waktu Kun-gi terus berlompatan beberapa kali,
dikala kakinya menginjak payon seberang rumah sana, tiba2 ia
dengar suara hardikan disusul samberan angin senjata tajam yang me-nyerang dari belakang. Dua sosok bayangan orang menubruk
tiba dari kanan-kiri dengan cukup ganas.
Dari gerak serangan yang keji ini dapatlah dinilai bahwa kedua
penyerang ini memiliki kepandaian yang cukup tangguh. Tapi
Kun-gi terang tidak gentar, tanpa membalik badan, tangan kanan
terayun ke belakang, terdengar suara erangan tertahan disusul
suara "bruk" orang jatuh di atas genteng, penyerang di sebelah kiri terguling ke bawah rumah.
Tangan kanan yang terayun ke belakang itu sekalian meraih dan
menggentak, golok tebal dari penyerang sebelah kanan berhasil
dipegangnya lalu disodok balik dan mengenai dada tuannya, tanpa bersuara orang inipun terjungkal ke bawah.
Dengan jatuhnya kedua orang yang gedebukan keras ini pasti
mengejutkan banyak orang, tapi Ling Kun gi tidak peduli lagi, cepat ia memukul jendela kamar ketiga di depannya terus menerobos
masuk. Itulah sebuah kamar yang dipajang mewah, sayang keadaan
kamar gelap gulita, tapi jelas kelihatan di atas ranjang tidur dua orang, mereka terkejut bangun mendengar suara gaduh di luar,
tapi saking ketakutankeduanya
meringkukberpelukandidalamselimut.
Kun-gi sulut lampu sehingga kamar itu menjadi terang, lalu dia
membentak ke arah ranjang: "Kian-lopan, keluarlah kau."
Ranjang tampak bergoyang keras, sebuah tangan yang gemetar
tampak menyingkap kelambu, seraut muka kurus tirus menongol
keluar, kulit muka si tua bangka ini tampak pucat, dengan takut dia melorot turun mengenakan sepatu. Usia laki2 ini sekitar lima
puluhan, rambut sudah beruban, kumisnya jarang2 jenggotpun
hanya secomot, matanya yang sipit membentuk segi tiga
memancarkan rasa takut. Setelah dia melihat orang yang bertolak pinggang di dalam
kamarnya ternyata hanya seorang pemuda yang bertangan
kosong, rasa kedernya lantas lenyap sebagian besar, lekas dia
tenangkan diri lalu unjuk tawa kecut, katanya munduk2: "Congsu ini malam buta berkunjung kemari, entah ada keperluan apa?"
Dalam pada itu suara ribut telah terjadi di bawah loteng banyak orang berteriak2 menangkap maling cahaya oborpun kelihatan
terang. Kun gi tidak hiraukan kegaduhan di bawah, tanyanya dengan
suara kereng: "Kau inikah Kian-lopan, pemilik Tang-sun-can?"
Mendengar orang bicara dengan nada ramah, apa lagi
orang2nya sudah ribut di bawah loteng timbul nyali si tua kurus, katanya mengangguk: "Lo-siu memang orang she Kian, silakan Congsu utarakan maksud kedatanganmu, asal Losiu mampu ....."
Mendengar orang bicara dengan nada ramah, apa lagi
orang2nya sudah ribut di bawah loteng timbul nyali si tua kurus, katanya mengangguk: "Lo-siu memang orang she Kian, silakan Congsu utarakan maksud kedatanganmu, asal Losiu mampu ....."
"Tutup mulutmu!" hardik Kun-gi bengis, sorot matanya tiba2
memancarberapi"Akutidakingin memerashartamu."
Kian-lopan menelan air liur, tanyanya: "Lalu Congsu . . . . ?"
"Jawab pertanyaanku, apakah asalmu she Ci?"
Bergidik si tua tirus, sahutnya tergagap: "Bukan, bukan, Losiu she Kian. Kian artinya ....." mungkin dia tidak melihat bahwa Ling Kun-gi menyelipkan pedang pendeknya di pinggang, mendadak dia
berteriakkeras:"Tolong!Ada maling di sini."
"Sret", selarik sinar terang terayun dari tangan Kun-gi, ujung pedangnya yang tajam kemilau mengancam di depan hidung Kian-lopan, jengeknya: "Orang she Kian, berani kau mungkir akan kuiris duluhidungmu. Lekas katakan, bukankah kau iniCi Kun jin?"
Saking ketakutau Kian-lopan manggut2, sahutnya: "Ya, ya, aku .
. . . . akumemang Ci. . . . . . CiKunjin."
Beringas muka Kun gi, tanyanya: "Baik, jawab pula
pertanyaanku, dulu kau pernah menjadi sekretaris Kok thay yang
menjabat Gubernur Shoatang?"
"Congsu," kata Ci Kun jin dengan muka kecut, "hal itu sudah lama berselang."
Batang pedang Ling Kun-gi yang mengancam hidung orang
tampak gemetar saking menahan emosi. serunya bengis: "Bagus sekali, tentunya kau masih ingat kejadian dua puluh tahun yang
lalu, pernah kau mengusulkan muslihat keji kepada si bangsat tua Kok-thay itu untuk menghancurkan Hek-liong hwe di Kun-lun-san,
ratusan patriot bangsa telah gugur karena muslihatmu, Ki Sengjiangsudahku-penggalkepalanya,kini menjadigiliranmu."
Pucat bagai kertas muka Ci Kun-jin, tiba2 dia menjatuhkan diri
menyembah berulang2 seraya berseru: "Ampun Congsu, Losiu
dipaksa untuk melakukan itu."
"Tiada ampun bagimu, aku datang ke Jiat-ho ini untuk menuntut balas kematian para pahlawan Hek-liong-hwe, menuntut balas
sakit hati kematian ayahku, siapapun yang menjadi pengkhianat
bangsa dan sudi menjadi antek penjajah akan menemui ajalnya
sesuai dengan ganjaran perbuatannya, dan lagi supaya kau
mengerti aku inilah Ling Kun-gi, putera Ling Tiang-hong, Hwecu
Hek-liong-hwe dulu, kau sudah dengar jelas?"
Habis bicara, "crat", begitu sinar pedang berkelebat, batok kepala Ci Kun-jin mencelat dari batang lehernya. Sekali tendang Kun-gi lempar jasad Ci Kun jin, dengan kalem dia masukkan batok kepala orang ke dalam kantong kertas minyak terus melompat
keluar jendela, dalam sekejap bayangannya sudah lenyap.
Besoknya kota Jiat-ho jadi geger, komandan tertinggi pasukan
bayangkari yang paling berkuasa di istana raja ternyata
menghilang tanpa jejak, Tu Hong-seng yang tinggal di losmen
Liong-kip juga mati, cukong atau pemilik Tang-sun-can
"Kian-lopan" juga mati terbunuh dengan kepala terpenggal, lebih celaka lagi adalah kelompok barisan pertama pasukan bayangkari
telah dihajar habis2an oleh kelompok ketiga dari pasukan yang
sama, kedua pihak jatuh korban cukup banyak. .
Menurut dugaan kejadian ini adalah berkat kerja dan rencana
keji kaum pemberontak yang mau menuntut balas. Maka keempat
pintu kota kini ditutup rapat, rakyat tidak diperbolehkan keluar masuk, kota dirazia, digeledah untuk menangkap kaum
pemberontak. Pada persimpangan jalan sebelah barat kota Jiat-ho, di bawah
sebuah pohon besar diparkir sebuah kereta ,yang di tarik seekor kuda, kusir keretanya adalah seorang laki2 tua bermuka kuning.
Dalam kereta duduk empat orang perempuan, ibu beranak,
menantu dan seorang pelayannya. Sang mertua kelihatan berusia
enam puluhan, menantunya adalah perempuan muda yang cantik
jelita, puterinya adalah gadis remaja yang baru berusia delapan belas, pakaian mereka sederhana, jelas mereka dari keluarga
menengah. Tak jauh di sebelah sana ada dua orang penjual kain kelilingan, seorang berusia lima puluhan, tingkah lakunya lucu seperti orang sinting, seorang tahu laki2 lima puluhan, mukanya merah,
tubuhnya kurus. Dalam jarak satu panahan maju ke depan lagi, masih ada
kelompok orang, keadaannya jauh lebih mentereng, mereka adalah
ayah beranak lima orang, ada laki2 ada perempuan, sang ayah
berwajah putih bersih, jenggot hitam menjuntai di dada,
mengenakan jubah biru bersulam kembang, sepatunya tinggi
terbuat dari kulit, seorang lagi adalah pemuda bersama tiga orang adik perempuannya. Si pemuda berperawakan kekar gagah,
demikian pula ketiga nona itu sama cantik dan segar bak bunga
baru mekar. Masih ada lagi dua kacung yang merawat kuda. Dilihat dari dandanan mereka, kemungkinan adalah keluarga berpangkat
yang sedang lewat dan istirahat. paling tidak kaum bangsawan
entah dari mana. Tiga kelompok orang ini meski sama istirahat di tempat yang berlainan, tapi kelihatan mereka seperti sedang
menunggu orang, entah siapa" Karena mereka sering berpaling ke
arah kota di mana jalan raya itu menjurus,
Tentunya para pembaca maklum orang2 ini ialah Thi hujin, Boktan, Pui Ji-ping bersama pelayan Ing-jun, kakek yang jadi kusir adalah Ting Kiau.
Kedua penjual kelilingan adalah Un It hong, sementara lima
orang di bawah pohon sana adalah Ciam-liong Cu Bun-hoa, Cu Yakhim, Tong Siau-khing, Tong Bun-khing dan Un Hoan-kun, kedua
kacung adalah Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa.
Mereka sudah berjanji dengan Ling Kun-gi untuk menunggu
kedatangannya di sini. Mereka sudah menunggu sekian lamanya,
selagi hati tidak sa-bar dan gelisah tertampak dari ujung jalan raya sana muncul setitik bayangan orang meluncur sepesat kuda
membedal. "Nah itu Toako sudah datang" Pui Ji ping mendahului berteriak sambil berjingkrakgirang.
Yang datang memang Ling Kun-gi, ia membawa sebuah
buntalan kertas minyak, jelas isi kantong adalah batok kepala Im si boankoan Ci Kun -jin.
Kun-gi langsung menuju kereta, setelah dekat dia lempar
buntalan kertas minyak itu terus menjatuhkan diri berlutut, air matanya bercucuran, serunya: "Bu, syukurlah anak berhasil
menuntut balas sakit hati ayah, menebus dendam kesumat
kematian para pahlawan Hek-liong hwe."
Sambil berlinang air mata Thi hujin manggut2, katanya: "Anak baik, bangunlah, ibu sudah tahu jelas memang tidak malu kau
sebagai putera Ling Tiang hong, sebagai cucu yang baik dan
berbaktiterhadapkakak luarmu, hayolahkitalekas berangkat."
Bok-tan mengeser tempat duduknya, dengan suara merdu
mesra dia berkata: "Marilah kau naik ke kereta."
Tanpa bicara Kun gi lompat ke atas kereta. Tanpa diperintah
lagi Ting Kiau menurunkan kerai terus lari ke depan sambil
mengayun cambuk: "Tar", kuda segera mencongklang kedepan, menyusul Un It-hong, Un It kiau dan lain2 mencemplak kuda
masing2 dan menyusul dari kejauhan.
Jalan raya ini menjurus ke Pak-kau, tiga kelompok berangkat
sendiri2, sudah tentu tidak menarik perhatian orang. Tapi baru
kira2 tiga li jauhnya mereka menempuh perjalanan, tampak di
kejauhan di tengah jalan raya berduduk tersimpuh lima orang
Lama berkasa merah yang berusia lanjut.
Mereka bersemadi tak bergeming, meski kereta semakin dekat
tapi mereka anggap tidak melihat dan tak mendengar. Cepat sekali keretapun berlari, tiba di depan mereka. . Dari kejauhan Ting Kiau sudah ber siap2, kira2 tiga tombak jaraknya dia tarik tali kendali menghentikan lari kudanya, tapi kereta masih terseret maju
setombak lebih. "Ting lotoa,"kataThi hujin, "adakejadianapadidepan?"
Ting Kiau menyahut: "Lapor Lothay, ada beberapa Lama
mengadang di tengah jalan." Lalu dia menambahkan dengan suara lirih: "Agaknya mereka bermaksud kurang baik."
Maka terdengar salah seorang Lama yang tertua paling tengah
angkat kepala dan bersuara kalem: "Maksud kami bukan jahat, Lolapberlima hanyaingin menemuisatuorang."
Bok-tan segera berbangkit, katanya sambil menyingkap kerai:
"Losuhu, kami kaum perempuan ingin lekas masuk kota, jangan kalian salah alamat."
"Mana mungkin Lolap salah mencari orang?" ucap Lama tertua,
"bukankah dalam kereta kalian ada Siau-sicu she Ling?" -Jelas mereka ingin membuat perhitungan dengan Ling Kun gi.
Thi-hujin mengerut kening, katanya lirih: "Kelima orang ini sepertikaum Lama."
"Siancay. Siancay," ucap Lama tertua, "rekaan Hujin memang betul."
"Bu, kalau mereka menunjuk diriku, biarlah anak turun bicara dengan mereka," kata Kun gi.
"Kedatangan mereka bermaksud tidak baik, kau harus hati2,"
demikian pesan Bok-tan. "Biar aku juga turun," seru Ji-ping.
Lekas Thi-hujin menariknya, katanya: "Anak Gi boleh turun dan tanyaimereka, kautak usahturutcampur."
Kun-gi lantas melangkah turun, tampak kelima Lama ini
masing2 menduduki satu posisi tertentu, semuanya duduk semadi
memejamkan mata hingga berbentuk sebuah lingkaran, cepat dia
menjura, sapanya: "Para Suhu hendak mencari Cayhe, entah ada petunjuk apa?"
Lama tertua yang menjadi pemimpin membuka kelopak
matanya, kedua tangan terkatup di depan dada, katanya:
"Omitohud! Apakah Siausicu inilah Ling Kun-gi?"
Kun-gi mengangguk, sahutnya: "Betul, Cayhe memang Ling
Kungi." "Adasuatusoalingin kutanyakepadaSiausicu," kataLamatua.
"Soalapa, silakanbicara."
"Lolap punya seorang murid, bernama Pat-toh, apakah dia mati terbunuh oleh Siau-sicu?"
Bergetar hati Kun-gi, seperti diketahui Lama kasa merah yang
bernama Pat-toh mati ditangan bibinya sebagai Maha Pangcu Pekhoa-pang, tapi sang bibi sekarang sudah wafat, biarlah dirinya
yang memikul tanggung jawabnya. Maka dia mengangguk,
katanya. "Betul, muridmu itu adalah Hek-liong-hwe Houhoat, Cayhe menuntut balas pada Han Jan-to atas kematian ayah
almarhum, tapi muridmu menampilkandiri,terpaksadiagugurdibawahpedangku."
Sikap Lama tua tetap tenang tanpa marah sedikitpun, katanya
mengangguk: "Lolap dengar Siau-sicu ini murid didik
Hoan-jiu-ji-lay, sudah lama Lolap dengar nama besar
Hoan-jiu-ji-lay, sayang selama puluhan tahun belum pernah
bertemu, bahwa Siau-sicu mampu membunuh muridku, itu
tandanya Kungfumu sudah tinggi, ilmu pedangmu pasti juga amat
lihay, Lolap dan para Sute ingin menjajal dan menyaksikan ilmu
pedang Siausicu, bagaimana menurut pendapat Siausicu?"
Diam2 tersirap darah Kun-gi, sungguh tak nyana bahwa kelima
Lama tua ini adalah guru dan paman guru Pat-toh yang lihay itu.
Kungfu Pat-toh pernah dia saksikan sendiri, tarapnya jelas tidak lebih rendah daripada Thay-siang, bahwa kelima Lama tua ini
adalah guru dan paman gurunya, mereka terang memiliki
kepandaian yang lebih tinggi dari-pada Pat-toh.
Sebelum Kun-gi memberi tanggapan, Lama tua sudah berkata
lebih lanjut: "Lolap juga dengar bahwa Siausicu mahir mainkan Hwiliong-sam-kiam, dengan gaya jungkir balik dan terapung di
udara sambil menyerang musuh, Lolap lima bersaudara akan
duduk bersimpuh di tempat masing2 dan takkan bergerak dari
tempat duduk ini, asalkan Siau-sicu dapat mencelat keluar dari
tengah lingkarankami makakamiberlima akan menyerah kalah."
Agaknya dia sudah tahu jelas bahwa Hwi-liong-sam-kiam harus
dikembangkan dengan badan terapung dam jumpalitan di udara,
dikatakan pula bahwa mereka berlima takkan bergerak dari
duduknya, lalu cara bagaimana mereka akan turun tangan" Bila
Kun-gi betul2 mengembangkan Sin-liong-jut-hun, dengan mudah
dia dapat melambung dan jumpalitan keluar dari dalam lingkaran, kenapa Lama tua ini berani bertaruh begitu. Tak tahan Bok-tan
lantas melompat turun dan berdiri di samping Kun-gi, katanya:
"Maksud Lo-suhu akan bertempur dengan tenaga kalian berlima, kalau demikian biarlah kami berdua menghadani kalian,kan boleh?"
Sekilas Lama tua meliriknya, katanya hambar:
"Li-sicu ini lebih baik mundur saja."
Diam2 Kun-gi sudah perhatikan kelima Lama tua ini memang
luar biasa, mereka duduk dengan posisi Ngo hing (lima unsur),
kemungkinan akan membentuk semacam barisan pedang yang
lihay, dirinya telah mempelajari Hwi-liong-kiu sek, bisa jadi mampu mengatasi keroyokan lima lawan. Tapi Bok-tan hanya membekal
tiga jurus ilmu pedang, mungkin takkan kuat bertahan, maka dia
berkata:

Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Losuhu ini hanya ingin menjajal ilmu pedang yang pernah
kupelajari, memang lebih baik kau undurkan diri saja." -Lalu dengan menggunakan ilmu gelombang suara diam2 ia membisiki:
"Aku sudah berhasil mempelajari sembilan jurus ilmu pedang peninggalan Tiongyang Cinjin, umpama tidak menang juga aku
masih mampu mempertahankan diri, bila kau berada di sampingku,
mungkin malah menghambat gerak-gerikku."
Sementara itu derap kaki kuda ramai mendatangi, kiranya
rombongan Cu Bun-hoa telah tiba. Melihat Kun-gi berdampingan
dengan Bok-tan menghadapi lima Lama yang bersimpuh di tengah
jalan raya. Tong Bun-khing dan Un Hoan kun segera, melejit dari punggung kuda mereka terus hinggap di kiri kanan Ling Kun-gi.
Dengan suara merdu Un Hoan-kun bertanya. "Apa yang terjadi, mereka mencegatmu" Ini soal mudah, biar aku yang bereskan
mereka." Cepat Kun-gi goyang tangan mencegah, katanya: "Hoan-moay
jangan semberono, lekas kalian mundur ke belakang."
Di dalam kereta Thi hujin hanya tenang2 saja, katanya: "Anak Gi betul, kalian mundur saja, biar anak Gi menghadani para Losuhu ini"
Terpaksa Bok-tan, Un Hoan-kun, Tong Bun-khing turuti nasehat
Thi-hujin. Lama tua tertawa tawar, katanya: "Siausicu sudah siap?"
Sudah tentu Kun-gi tak berani gegabah, segera dia keluarkan
Seng ka-kiam. Sementara kelima Lama itupun mengeluarkan
senjata yang bentuknya seperti pedang tapi bukan pedang,
panjang dua kaki, bentuknya rada aneh, belum pernah ada senjata semacam ini. Maklum, senjata ini memang khas kaum Lama,
namanya Hiapciang-hiap. Bentuknya seperti pedang, pada
gagangnya digubat benang mas dan bertatahkan mutu manikam,
batang pedang hanya sepanjang satu kaki dan berkemilauan
tajam, ujungnya berbentuk gurdiyangruncing bulat, bentuknyalebih mirip kepalaular.
Setelah mengeluarkan senjata masing2, para Lama tetap
bersimpuh, mata terpejam kepala sedikit menunduk, sikapnya tidak seperti jago yang siap tempur. Tapi Kun-gi yang sudah berdiri di tengah mereka merasakan secara langsung bahwa kelima Lama ini
tengah mengerahkan Lwekang pada batang senjata ampuh
mereka, meski belum lagi bergerak, tapi senjata itu sendiri sudah menimbulkan perbawa yang tidak kecil.
Kun-gi tahu pertempuran ini merupakan adu kekuatan yang
besar artinya, apakah dirinya mampu menandingi kekuatan
gabungan kelima Lama sakti ini masih merupakan tanda tanya
besar. Maklumlah, dia tidak kenal senjata apa yang digunakan
lawan" Belum diketahui pula dengan cara bagaimana musuh akan
mulai menyerang" Orang kuno sering bilang: harus tahu kekuatan sendiri dan
dapat mengukur kekuatan lawan, setiap kali bertempur tentu
menang. Kini hakikatnya Kun-gi tidak kenal musuh2nya,
bagaimana mungkin dia bisa mempersiapkan diri. Terpaksa dia
berdiri diam menanti gerakan lawan lebih dulu.
Cukup lama mereka bertahan, kedua pihak tetap diam saja
tanpa bergeming, akhirnya Lama tertua itu membuka suara:
"Siau-sicu berhati2lah." -Berbareng Hiap-ciang-hiap yang tegak di depan dadanya bergetar, segulung hawa getaran senjatanya yang
kemilau itu terus menyambar ke depan laksana anak
panah menerjang ke tengah alis Ling Kun gi.
"Inilah hawa pedang," diam2 tersirap darah Ling Kun-gi, tanpa ayal dia ayun pedang pendek untuk balas menyerang. Ayunan
pedangnya menimbulkan cahaya benderang dingin laksana kilat
dan telak sekali membendung samberan hawa pedang yang
diluncurkan Lama tua itu.
Tatkala Lama ini menyerang, empat Lama yang lainpun
serentak menggetar senjata masing2 ikut me-nyerang,
terdengarlah deru angin kencang memberondong ke tengah
kalangan tertuju kepada Ling Kun-gi. Tiada cahaya yang
menyilaukan, tak terlihat bayangan pedang, hanya hawa pedang
yang terasa dingin sehingga hawa sekitar gelanggang seakan2
beku. Sekuatnya Kun-gi mengerahkan segala kemampuannya baru
kelima jalur hawa pedang lawan terbendung di luar lingkup cahaya pedangnya, tapi orang yang menonton tidak mengerti sama
bertanya2 dalam hati bahwa kelima Lama itu cuma duduk tak
bergerak, kenapa Kun-gi bermain pedang sekencang dan sehebat
itu. Hanya Thi-hujin, Un It hong, Cu Bun-hoa dan Bok-tan yang
sedikit banyak dapat merasakan, walau kelihatan kelima Lama ini duduk diam, tapi kemungkinan mereka sudah mulai melancarkan
serangan entah dengan cara apa kepada Ling Kun-gi. Kalau tidak
tak mungkin anak muda itu memutar pedang dengan mengerahkan
Lwekang sehebat itu. Lima jalur hawa pedang terus bertambah kuat, gempurannya
semakin dahsyat, makin lama makin tebal dan menjadikan serupa
jaring hawa pedang di sekeliling tubuh Ling Kun-gi, tapi semua ini tidak kelihatan bentuknya, hanya Kun gi merasakan langsung
akibat dari kehebatan ilmu yang tiada taranya ini.
Di dasar Hek-liong tam Kun-gi telah berhasil mempelajari
sembilan jurus ilmu pedang peninggalan Tiongyang Cinjin, dalam
permainan ilmu pedangnya boleh dikatakan dia sudah mampu
mengembangkan segenap perubahan ilmu pedang itu.
Akan tetapi kelima jalur hawa pedang itu secara bergiliran
menggempurnya dengan tekanan yang dahsyat, setiap jalur hawa
pedang se-olah2 mengandung kekuatan yang mampu
menggugurkan gunung. pada hal Hwi-liong-kiam-hoat harus dimainkan dengan cara
mengapung di udara, di bawah tekanan hawa pedang musuh yang
ketat ini jelas dirinya takkan mampu melompat terbang ke atas.
Apa yang dikatakan Lama tertua itu memang tidak salah, asal
dapat keluar dari lingkaran mereka, maka anggaplah mereka yang
kalah. Meski hebat ilmu pedang Ling Kun-gi, karena tiada
kesempatan dikembangkan, apalagi tekanan hawa pedang terasa
tambah berat, kelima jalur hawa pedang seakan2 telah menutup
rapat di atas kepalanya, malah seberat gunung menindihnya
sehingga lama kelamaan dia hampir tak kuasa berdiri lagi.
Terpaksa Kun-gi pusatkan segala perhatian dan bertahan
mati2an, dalam hati dia sudah mulai gelisah, pikirnya: "Agaknya hari ini aku bakal gugurdibawah hawapedangpara Lama ini."
Seorang kalau menghadapi jalan buntu, walau tahu mungkin
tiada harapan, tapi dalam sanubarinya tetap akan timbul secercah pikiran untuk mengejar hidup meski itu hanya merupakan harapan
kosong. Apalagi teringat bahwa ibunda dan para kekasihnya
tengah menonton di luar gelanggang, sekali2 dirinya tak boleh mati begitu saja. Dikala dia menghadapi jalan buntu inilah, tiba2 dia teringat akan ajaran semadi yang terdiri tiga gambar peninggalan Tiongyang Cinjing di dinding gua itu, ketiga gambar semadi ini
merupakan rangkaian pula dari kesembilan jurus ilmu pedang.
Entah dari mana datangnya ilham, tiba2 terpikir olehnya kalau ke lima Lama sama duduk bersimpuh, senjata berdiri tegak di depan
dada, dengan kekuatan Lwekang mereka menyalurkan hawa
pedang untuk menggempur dirinya, kenapa dirinya tidak meniru
cara mereka saja" Karena itu segera dia pusatkan pikiran, pedang yang semula dia
putar naik-turun tiba2 diam tegak di depan dada, begitu semangat terhimpun dia pusatkan tenaga pada batang pedangnya, pelahan2
dia mulai lakukan gaya sesuai dengan gambar pertama pelajaran
semadi itu. Sungguh aneh, hawa pedang kelima Lama yang semula terasa
semakin gencar dan berat itu, begitu dia mulai dengan gaya
semadinya, tekanan yang berat itu seketika menjadi enteng.
Padahal kelima Lama itu tak pernah kendur mengerahkan
Lwekangnya untuk menggempurnya, malah terasa keadaan sudah
mencapai puncaknya, kelihatan sebentar lagi mereka akan berhasil membunuh lawan, se-konyong2 terasa kekuatan hawa murni Ling
Kun-gi melindungi badan melalui saluran pedangnya bertambah
hebat gempuran hawa pedang mereka hanya mampu mencapai
tiga kaki di luar lingkaran badan musuh, sedikitpun tak mampu
mendesak maju lagi. Perlu diketahui mereka berlima sudah memusatkan pikiran,
tenaga dan kekuatan lahir hatin untuk mengerahkan hawa pedang
dan menggempur lawan, pandangan matanya hanya tertuju ke
pucuk senjata sedikitpun tidak boleh terpecah perhatiannya. maka mereka tidak tahu bahwa kini Ling Kun-gi tengah duduk semadi di tengah lingkaran.
Sembilan jurus ilmu pedang peninggalan Tiongyang Cinjin sudah
diapalkan benar oleh Ling Kun-gi, tiga jurus yang terakhir dari rangkaian kedua belas jurus ilmu pedang itu meski hanya bergaya duduk semadi, tapi satu sama lain merupakan ikatan yang erat,
cuma selama ini belum berhasil diselaminya dengan baik. Kini
setelah dia mengulang dalam praktek pada saat menghadapi
musuh tangguh, terasa pikiran menjadi terang, seperti memperoleh ilham sehingga segala kesukaran yang dihadapinya selama ini
mendadak menjadi terang seluruhnya. tekanan musuhpun lambat
lain terasa semakin ringan, baru kini betul2 dia sadari meski ketiga gaya duduk ini mirip orang bersemadi, hakikatnya merupakan
ajaran ilmu pedang tingkat tinggi yang tiada taranya.
Maka dengan pedang pendek dipegangnya lebih kuat dan
mantap, hati bersih pikiranpun jernih, mulailah dia melakukan gaya selanjutnya dari gambar kedua. Seketika terasa benar
perubahannya, bukan saja pikiran tenang hatipun seperti kosong
tanpa disadarinya semangat telah bersatu padu dengan pedang
secara langsung dia berlanjut ke gaya ketiga, sehingga dengus
napasnya seolah menderu kencang mengandung kekuatan yang
mampu memboboldinding. Tekanan hebat dari kelima jalur hawa pedang lawan tiba2
terasa sirna tak berbekas lagi. Lapat2 didengarnya Pui Ji-ping
berteriak kaget dan heran: "He, kenapa kelima Lama itu?"
Ling Kun-gi tertarik dan merasa heran, pelan2 dia kendurkan
kekuatannya, setelah menarik napas panjang mulai dia membuka
mata, maka dilihatnya kelima Lama tua itu sudah sama
menggeletak di tanah tanpa mengeluarkan suara, sejak tadi sudah melayang jiwanya.
Tong Bun-khing, Bok-tan dan Un Hoan-kun tampak mengunjuk
rasa kejut dan heran, tanpa berjanji mereka sama berlompatan
maju, dengan penuh perhatian dan kuatir serempak mereka
bertanya: "Kau tidak apa2?"
Kun-gi melompat bangun, pedang disimpan serta berkata:
"Terima kasih atas perhatian kalian, syukurlah aku lolos dari ujian berat ini berkat doa kalian, kelima Lama ini tadi sama
menggunakan Ngo heng-kiam-khi."
Pui Ji-ping tidak mau ketinggalan, dia melompat turun dari
kereta, tanyanya sambil mendekat: "Toako, apa yang dinamakan Ngo-hing-kiam-khi?" Belum Kun gi menjawab mendadak dia
menoleh ke arah timur, wajahnya sedikit berubah, katanya: "Ada orang datang."
"Di mana?"tanyaPuiJipingikutberpaling.
Maka terdengar derap kuda yang dilarikan kencang semakin
mendekat dan sekejap saja sudah tiba, penunggangnya kiranya
mahir benar mengendalikan kuda, begitu kendali ditarik dan kuda berhenti, langsung dia melompat turun seraya merogoh keluar
sampul surat, dengan sikap hormat langsung dia mendekati Kun-gi, katanya: "Hamba mendapat perintah Pho kongcu untuk mengantar surat ini, harap Kongcu terima.."
Kun-gi terima surat itu, terasa olehnya laki2 pengirim surat ini seperti pernah dikenalnya, tanpa menunggu jawaban Kun-gi orang
itu menjura sekali terus mencemplak kudanya dan dikaburkan lagi.
Mengawasi punggung orang mendadak Kun-gi ingat, orang ini
adalah orang yang semalam mengantar surat padanya. Lekas dia
periksa sampul surat yang terdapat sebaris tulisan indah berbunyi:
"Disampaikan kepada Ling-kongcu, pribadi."
Dia keluarkan secarik kertas yang berbau harum, surat ini
berbunyi: Yang terhormat Ling-kongcu Ling Kun gi,
Kami dari keluar bangsawan, belajar kepandaian di Swat-san,
sejak kecil menyendiri dan tinggi hati, semua laki-laki di jagat ini tiada yang pernah menjadi perhatianku, tapi sejak berkenalan
dengan tuan di tepi Hek-liong-tam, setelah pertarungan naga
terbang (Hwi-liong-kiam-hoat) lawan Burung Hong menari (Hwihong-kiam-hoat), dengan kekalahan itu baru kami sadar bahwa di
jagat ini kiranya ada laki2 sehebat tuan, hati yang beku selama ini seketika mencair dan bergelora.
Sayang kami bermusuhan dengan tuan, terpaksa mengundurkan
diri dengan hati hampa. Kali ini kuketahui tuan akan melakukan
perjalanan ke Jiat-ho, maka dengan menyamar sebagai Pho
Kek-pui kita telah bersahabat, makan minum riang gembira
bersama, terhiburlah hati nan merana ini, dua kali surat kirimanku rasanya cukup melimpahkan perhatianku, hanya itu pula yang
dapat kupersembahkan kepada tuan, hal inipun telah mengingkari
keluarga dan mendurhakai leluhur, sungguh harus disesalkan.
Waktu tuan terima suratku ini, kami sudah berangkat ke barat,
kembali ke atas gunung, selamanya akan berbakti untuk ajaran
agama. Teriring salam hangat dan bahagia.
Cui Kin-in Sampai sekian lama Ling Kun-gi terlongong memegangi surat
itu. Kiranya Cui Kin-in adalah Pho Kek-pui puteri pangeran istana Hok. Dia pula yang menyaru jadi pelajar baju putih waktu
menolong dirinya di istana. Cui Kin-in adalah gadis aneh dan hebat pula, seorang gadis romantis juga.
Melihat Kun-gi terlongong sehabis membaca surat, maka
beramai orang banyak merubung maju ikut membaca surat itu.
Habis membaca merekapun sama menghela napas sambil
menggeleng. TAMAT Semarang, Januari 1977 Tusuk Kondai Pusaka 13 Tokoh Besar Karya Khu Lung Bende Mataram 31

Cari Blog Ini