Ceritasilat Novel Online

Anak Pendekar 26

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 26


senjata disertai pekik sorak dan jeritan meregang jiwa. Mendadak
terdengar sebuah bentakan sekeras guntur menggelegar, padahal
gemuruh pertempuran begitu keras, tapi banyak orang mendengar
bentakan keras ini dengan jelas.
"Hoa-tit," seru Utti Keng, "orang itu pasti ayahmu, lekas kemari,
ikut aku, dia berada di sana."
Berkobar semangat Beng Hoa, dia mengeprak kudanya memburu
ke depan. Lekas sekali dia sudah melihat tiga orang penunggang
kuda di depan sana sedang bertarung sengit. Orang yang di tengah
bersenjata golok, jelas memang ayahnya.
Lawan Beng G.oan-cau adalah Thio Hwe-seng dan Sun To-hing.
Kedua orang ini adalah jagq Cui Po-san yang terpercaya, jago kelas
tinggi dalam pasukan besar musuh. Dengan satu lawan dua, mereka
bertempur sengit dengan Beng Goan-cau.
Utti Keng bergelak tawa, katanya, "Beng-hengte, coba kau lihat
siapa yang datang" Inilah puteramu, boleh kalian ayah beranak
bertempur secara berdampingan."
Meski dua melawan satu, tapi keadaan Thio Hwe-seng dan Sun
To-hing boleh dikata semakin payah, kalau tidak mau dikata
terdesak di bawah angin. Kini melihat Beng Hoa memburu datang,
karuan terkejut dan jeri mereka.
Kala itu yang unggul berkobar semangat tempurnya, pihak yang
terdesak justru semakin kalut dan takut, sudah tentu Sun To-hing
dan Thio Hwe-seng tidak kuat menghadapi rangsakan golok kilat
Beng Goan-cau. Di tengah bentakan Beng Goan-cau, dengan jurus Teng-li-ciong- '
cing, dia menghindari tusukan Thio Hwe-seng, sementara goloknya
terayun membacok Sun To-hing. Sun to-hing adalah jago Silat Kera
yang paling kosen. Gerak-geriknya enteng dan lincah, ginkang-nya
boleh diandalkan. Tapi bertempur di punggung kuda justru bukan
kemahirannya. Senjata yang dia pegang adalah sebatang tombak
ular, panjang setombak lebih, senjata untuk menyerang jarak jauh,
untuk bertempur jarak dekat jelas tidak leluasa. Mendadak Beng
Goan-cau mendesak maju ke depannya, di tengah hardikan yang
memekakkan telinga, golok kilatnya sudah membacok tiba "Krak"
tombak ularnya patah jadi dua, untung dengan ketangkasan
tubuhnya dia bersalto balik laksana kera di tengah sambaran sinar
golok, dia sempat menyelamatkan diri. Sigap sekali Beng Goan-cau
sudah menarik tali kendali untuk membalikkan kudanya, begitu
membalik goloknya membacok. Buru-buru Thio Hwe-seng
mengeprak kuda melarikan diri, meski cepat dia menyingkir, baju
pelindung tubuh yang terbuat dari baja terbelah oleh bacokan golok
Beng Goan-cau, hampir saja tulang pundaknya terbacok patah.
Saat itulah Beng Hoa memburu tiba, segera Beng Goan-cau
melintangkan golok berduduk tegak di punggung kuda, serunya
bergelak tawa, "Hoa-ji, sudah kau saksikan, ayahmu belum tua
bukan?" Ayah beranak bergabung, bersama Utti Keng mereka pimpin tigaratus
pasukan berkuda langsung menyerbu ke markas besar musuh.
Tampak markas musuh mulai terbuka, panji besar yang di
tengahnya bersulam huruf Cui berkibar di tengah pasukan, tampak
Wi To-ping, Yap Kok-wi, Lau Ting-ci masing-masing memimpin pasukan
menerjang ke luar, sudah duabelas jam mereka pulas, kadar obat
bius di tubuh mereka sudah hilang maka mereka sudah siuman dan
segar kembali. Tapi bayangan Cui Po-san tetap tidak kelihatan.
"Beng Goan-cau," bentak Wi To-ping, "besar amat nyalimu,
berani kau menyerbu dan melawan pasukan kerajaan. Berapa
banyak orang yang kalian kerahkan, buktikan saja kalau tidak
seluruhnya kami tumpas habis."
"Boleh buktikan," jengek Beng Goan-cau, "Kalau berani majulah
dan lawan aku berduel."
Wi To-ping tertawa besar, serunya, "Seorang jenderal mengadu
kepintaran dan strategi bukan adu otot, sekarang kalian umpama
kura-kura dalam tempurung, kenapa aku harus berduel dengan
kau?" Wi To-ping memimpin pasukan tengah, laksaan kuda berderap
dengan laju kencang laksana amukan gelombang badai menyerbu
datang, ratusan orang yang dipimpin Beng Goan-cau terkepung di
tengah musuh. Beng Goan-cau dan Utti Keng menerjang kian kemari, di sebelah
mana orang mereka terdesak, ke situ mereka melabrak musuh,
siapa mencegah dia binasa. Tapi jumlah pasukan kerajaan memang
teramat banyak; satu kelompok dilabrak kelompok lain segera
merubung lagi. Lebih gawat lagi bala bantuan musuh dalam jumlah
lebih besar mulai bergerak pula. Dalam keadaan terkepung di
tengah lapisan manusia seperti semut, bukan kerja gampang untuk
membobol kepungan. Ki Seng-in mengayun tangan menaburkan senjata rahasia, maka
terdengarlah jeritan orang banyak, dalam sekejap hampir ratusan
tentara musuh telah disambit binasa oleh senjata rahasianya.
Ki Seng-in mengeprak kudanya mendekat ke arah suaminya, lalu
berteriak, "Toako, hayo kita serbu markas musuh, tangkap Cui Posan
hidup-hidup." "Bagus," sambut Utti Keng, "hayolah." Lalu dia menerjang ke
depan sambil memutar golok melindungi sang istri.
Beng Goan-cau tak sempat mencegah niat mereka.
Supaya dirinya tidak terlalu me-nyolok dan menjadi perhatian
musuh, Cui Po-san sudah bertukar seragam sebagai tentara biasa,
saat itu berada di pinggir Wi To-ping. Melihat Utti Keng suami istri
menyerbu datang, kagetnya bukan main, katanya, "Wah,
perempuan itu begitu lihay?" Ternyata yang mencegat Ki Seng-in
tadi adalah pasukan pribadinya yang berbaju baja. Tombak, golok
dan pedang pun tak dapat melukai mereka.
Sebelum habis dia bicara, seorang tentara yang berbaju besi baja
tengah berlari dengan sempoyongan dengan kedua tangan
mendekap mata yang berdarah, hampir saja menubruk Cui Po-san,
karuan Cui Po-san membentak gusar, "He, keparat, matamu buta?"
Seorang teman yang memapah tentara yang terluka itu berkata,
"Lapor toa-say, matanya memang buta terbidik senjata rahasia
perempuan itu." Ternyata timpukan senjata rahasia Ki Seng-in khusus membidik
mata pasukan baju baja ini. Demikian pula tentara yang satu ini,
matanya buta tersambit Bwe-hoa-ciam.
Lau Ting-ci berkata, "Lapor toa-say, perempuan ganas itu adalah
istri Utti Keng, dalam kalangan Kangouw terkenal dengan julukan
Jian-jiu-koan-im." Kepandaian silat Cui Po-san rendah, namun dia berpandangan
tajam, pasukan kuda berlapis baja yang dia banggakan jatuh korban
sekian banyaknya hanya oleh jarum-jarum lembut, karuan kaget
dan jeri hatinya, pikirnya, "Malam gelap meski ada sinar api,
betapapun tidak seterang siang hari. Pasukan bajaku bertempur di
atas kuda, tapi perempuan keparat itu dapat membidik buta mata
mereka dengan jarum-jarum kecil lembut, nama julukan Jian jiukoanim memang tidak kosong."
Wi To-ping segera mengajukan usul, "Bwe-hoa-ciam tidak dapat
mencapai jarak jauh, kita tetap mempertahankan barisan serta
membidiknya dengan hujan panah. Tentu dia tak bisa mengganas
lagi." Betapapun banyak amgi yang dibawa Ki Seng-in, karena musuh
terlalu banyak, akhirnya habis juga. Terpaksa dia mengembangkan
keahliannya sebagai Jian-jiu-koan-im dengan menyambut bidikan
panah musuh serta ditimpuk balik ke arah musuh pula, pasukan
kerajaan menjadi jeri dan mundur makin jauh. Tapi karena kuat dan
berlapis barisan yang diperkuat oleh barisan kuda berlapis baja ini,
Utti Keng dan istrinya tak mampu menerjang maju lebih jauh.
Sementara Santala dan lain-lain yang berada di belakang mereka
juga terjaring dalam kepungan musuh.
Di saat keadaan semakin genting, mendadak terdengar bunyi
sangkakala dari empat penjuru. Pasukan kerajaan seketika goyah
dan porak poranda. Santala sedang bahu membahu dengan Beng Hoa melabrak
musuh, mendadak dia berteriak, "Hore, bala bantuan kita sudah
datang." Betul juga terdengar gemuruh derap kuda yang tak
terhitung jumlahnya, ternyata pahlawan suku Uigior telah menyerbu
tiba. Lohay memimpin barisan berkuda langsung menerjang ke markas
besar musuh, dalam jarak ratusan langkah dia menarik busur
membidikkan panah "Ser" panji besar di dalam markas yang
bertuliskan "Say" atau jenderal dipanahnya patah dan ambruk.
Pahlawan-pahlawan suku Uigior segera bersorak memuji, paduan
suara mereka seperti mengguncang bumi. Sudah tentu pasukan
kerajaan semakin patah semangat.
Di tengah pertempuran kalut itu, Beng Goan-cau mendengar
seseorang tengah berteriak, "Kiam-ceng, Kiam-ceng", tergerak
hatinya, pikirnya, "Bukankah Kiam-ceng keponakan Toan Siu-si?"
Menyusul dia dengar seseorang berteriak "Toan-sute sudah
ditemukan, suhu, marilah kita pulang saja." Sekilas tampak oleh
Beng Goan-cau orang yang memanggil nama Toan Kiam-ceng
adalah seorang paderi asing berkasa merah, yang mengikuti di
belakangnya adalah pemuda bermantel bulu.
Beng Goan-cau segera berseru, "Hoa-ji, kemarilah!"
Pemuda bermantel bulu itu adalah pangeran suku Jia-kek, yaitu
Ulise. Sejak dia diselamatkan dan dibuat sadar oleh Beng Hoa, dia
betul-betul sudah bertobat dan menyesal, tidak seperti semula
gampang ditipu oleh harta dan pangkat. Semula dia berpendirian,
gabungan suku minoritas di seluruh Sinkiang seumpama telur
menumbuk batu bila menghadapi pasukan besar kerajaan Ceng. Tak
nyana belum seluruh gabungan suku bangsa yang ada di Sinkiang
mengerahkan tentaranya, cukup kerja sama Lohay dengan Beng
Goan-cau sudah cukup mengobrak-abrik sepuluh laksa pasukan Cui
Po-san. Perubahan situasi yang drastis seperti ini memang belum
pernah terbayang dalam benaknya.
Kini menyaksikan keadaan Cui Po-san seumpama patung tanah
liat yang tak mungkin bisa menyeberang sungai, jiwa sendiri sukar
dilindungi, karuan hatinya amat gugup dan makin menyesal. Maka
terngiang nasihat Lohay.dulu, batinnya, "Betul, dengan suku Uigior
kami adalah segolongan, kenapa justru aku menjual jiwa bagi
kepentingan kerajaan penjahat?" Tapi kalau harus bertolak belakang
secara langsung dia masih belum berani, maka dia berusaha lari
secepatnya meninggalkan medan laga ini, selamat pulang ke rumah
dan tetap menjadi pangeran di tengah suku bangsanya sendiri.
Akan tetapi gurunya, Ka-bit Hoatsu, sebelum menemukan Toan
Kiam-ceng yang akan diangkat menjadi murid pewarisnya, belum
mau pulang. Cepat sekali Beng Hoa ayah beranak sudah menyerbu datang.
Beng Goan-cau membentak, "Ingin aku buktikan betapa tinggi
kepandaianmu. Lihat golok!" Dengan cara yang sama waktu dia
menempur Beng Hoa, Ka-bit Hoatsu mengerahkan tenaga di tongkatnya,
dengan daya hisap hendak menuntun gerakan golok lawan. Di luar
tahunya bahwa golok kilat Beng Goan-cau bergerak lebih cepat dari
sambaran kilat, di tengah kilatan sinar berkelebat mendadak
berubah di tengah jalan, golok membelah dari arah yang tak
terduga sebelumnya. Tapi kepandaian Ka-bit Hoatsu memang cukup
lihay juga sigap, sigap sekali dia melintangkan tongkat menangkis
golok pusaka lawan, namun daya hisap jelas tak mampu digunakan
lagi, terpaksa dia harus melawan dengan adu kekuatan.
"Trang" kembang api berpijar, telapak tangan Ka-bit Hoatsu
kesemutan, terkejutnya bukan main. "Entah dari mana datang jagojago
kosen sebanyak ini, satu lebih unggul dari yang lain. Bila Beng
Hoa bocah itu ikut mengeroyok, mungkin menyingkir dari sini pun
aku tidak mampu lagi." Karena jeri dia tidak ingin bertempur lebih
lama, segera dia mengeprak kuda terus lari.
Saat mana kebetulan Beng Hoa mencegat di depan Ulise. Dengan
muka pucat Ulise berkata, "Beng-toako, aku menyesal kenapa tidak
mendengar nasihatmu, kini tiada muka aku mohon ampun
kepadamu, mau bunuh atau akan disembelih boleh terserah
kepadamu." Lekas Beng Hoa berkata, "Kenapa kau berkata demikian, bukankah kau ingin pulang?"
Ulise melengak, sahutnya, "Iya."
"Syukurlah, berarti kau sudah kembali ke jalan lurus, kenapa aku
harus mempersulit dirimu" Lekaslah kau pulang saja."
Saking girang Ulise mencucurkan airmata, katanya, "Beng-toako,
aku... aku sungguh tidak tahu bagaimana harus berterima kasih
kepadamu, apa kau memerlukan tenaga dan bantuanku?"
Tergerak hati Beng Hoa, katanya, "Aku hanya ingin bertanya satu
hal kepadamu, tentang Toan-sute-mu itu, sejak kami pergi kemarin,
apakah dia tidak pemah muncul?"
"Ya, tak pemah aku melihatnya."
"Bagaimana dengan istri jenderal musuh?"
"Juga lenyap bersama dia sampai sekarang belum juga
ditemukan jejaknya" Tengah bicara, Utti Keng dan istrinya telah menerjang tiba. Utti
Keng keheranan, tanyanya "Hoa-tit, siapa yang berbicara dengan
kau ini?" "Seorang kawan yang sudah insyaf akan kekeliruannya."
"Mana paderi asing itu?"
Susah Beng Hoa memberi penjelasan. Beng Goan-cau di sebelah
depan, dia menoleh dan berkata, "Hwesio ini mengaku sebagai guru
Toan Kiam-ceng." Seketika Utti Keng mendelik gusar dan mengeprak kudanya
memburu maju, golok pun terayun.
Golok kilat Utti Keng terhitung nomor, dua di bawah Beng Goancau,
tapi tenaga dalamnya lebih tinggi dari Beng Goan-cau. Tadi
Beng Goan-cau menggunakan Sian-tian-to-hoat (Ilmu golok kilat
menyambar) yang lincah mematahkan kungfu Ka-bit Hoatsu dari
Thian-tiok yang khusus untuk mengalahkan kekerasan dengan
tenaga lunak, sebaliknya Utti Keng merangsak dengan tenaga keras.
Dalam sekejap, beruntun Utti Keng membacok tujuh kali, lengan
kanan Ka-bit Hoatsu terasa linu dan kesemutan, hampir saja
tongkatnya tak kuat dipegang lagi. Tapi golok pusaka Utti Keng juga
tidak mampu membacok putus tongkat orang, hatinya heran dan
kagum. Beng Hoa tahu paderi asing ini meski galak tapi bukan.musuh
utama maka dia berteriak, "Hwesio ini memang guru Toan Kiamceng,
tapi dia pun suhu pangeran ini."
"Baiklah," ujar Utti Keng, "biar dia pergi. Dia mampu melawan
tujuh kali bacokan golokku, kepandaiannya memang boleh'dipuji."
Sementara itu, pasukan kerajaan yang tercecer di berbagai
penjuru tengah mundur dan memusatkan diri ke markas besar,
tambur peperangan yang ditabuh Yap Kok-wi juga makin gencar,
makin keras. Barisan tengah yang tetap di dalam markas merupakan
kekuatan inti pasukan kerajaan, saat itu bertahan secara kokoh dan
tak tertembus. Lohay memimpin pahlawan-pahlawan suku
bangsanya menggempur dengan gencar, meski kedudukan musuh
agak goyah, tapi mereka tetap tak mampu menggempur masuk.
Utti Keng bertanya pada istrinya, "Apaka'h kau masih membawa


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

amgi?" Ki Sengrin menjawab, "Masih ada tiga batang pisau terbang."
"Bagus, coba berikan padaku," ujar Utti Keng. Begitu menerima
tiga batang pisau terbang, tangan lantas terayun, melesatlah tiga
larik sinar berkilauan melewati ribuan kepala pasukan musuh
meluncur ke tengah barisan.
Yap Kok-wi sedang bernafsu menabuh tambur menambah
semangat tempur pasukannya, mendadak dilihatnya tiga larik sinar
meluncur ke arahnya, tiga batang pisau terbang membidik dirinya
laksana sambaran kilat. Sigap sekali dia menganggukkan kepala,
pisau terbang pertama meluncur lewat menyerempet rambut
kepalanya, berbareng dia mengangkat palu tambur yang terbuat
dari besi, "trang" palu besi itu patah, namun pisau terbang kedua
juga tertangkis jatuh. Tapi pisau terbang ketiga menembus tambur
besar itu hingga sobek dan berlubang, karuan tambur perangnya
bungkam dan tak bisa ditabuh lagi. Untuk menyelamatkan jiwa Yap
Kok-wi harus menjatuhkan diri menggelinding jauh ke pinggir.
Pasukan yang dipimpin Lohay bersorak-sorai. Lohay berkata
senang, "Bagus sekali, hayo kita serbu ke dalam membekuk Cui Posan."
Kebetulan Beng Goan-cau tak jauh di pinggirnya, mendadak dia
berseru, "Jangan!"
Lohay melenggong, katanya, "Kenapa jangan?"
"Kita hanya boleh menggempur sekali, pasukan harus lekas
ditarik mundur, tidak boleh bertempur membabi buta."
Lohay mengerut kening, katanya, "Mumpung kita menang,
kenapa tidak mengganyang musuh lebih banyak supaya
kemenangan lebih gemilang, kenapa harus menarik mundur
pasukan?" Beng Goan-cau berkata, "Makan nasi harus sesendok demi
sesendok, mana bisa semangkok sekaligus kau telan. Sergapan kita
sudah berhasil mengobrak-abrik musuh, tujuan sudah tercapai, tak
perlu mengadu jiwa dengan musuh."
Walau tidak paham strategi perang, namun setelah kepala dingin,
berpikir lebih cermat, dia merasa ucapan Beng Goan-cau memang
benar. Maklum seluruh pahlawan suku Uigior yang dia bawa, ditambah
pasukan gerilya pimpinan Beng Goan-cau seluruhnya belum genap
dua laksa. Dibanding dengan sepuluh laksa pasukan musuh berarti
satu banding lima. Markas pasukan kerajaan berdiri sepanjang
belasan li. Barisan tengah yang berada di markas pusat di mana Cui
Po-san bercokol merupakan barisan yang memiliki daya tempur
paling kuat, bila sekuat tenaga mereka menggempurnya, menurut
perhitungan Cui Po-san kuat bertahan tiga jam lamanya. Bilahan
terang tanah, pasukan kerajaan dari berbagai markas yang lain akan
datang, kalau hal ini sampai terjadi, berarti situasi akan berubah
seratus delapanpuluh derajat. Maka dia berkata, "Pendapatmu
benar. Sepuluh laksa pasukan musuh tak mungkin dihabiskan
sekaligus, kita sekarang sudah makan cukup kenyang, biarlah
setelah makanan dalam perut kita dicerna baru kita berusaha makan
sisa yang lain." Untuk beberapa kejap lagi mereka terus menggempur musuh
hingga didesak ke dalam sebuah sudut di lembah gunung, karena
menduduki tempat strategis serta dijaga ketat, Lohay lantas
membidikkan tiga batang panah bersuara, itulah tanda pasukan
harus segera mengundurkan diri. Pasukan Lohay memang
berdisiplin tinggi, mereka segera mengundurkan diri, meninggalkan
medan pertempuran memasuki daerah pertahanan yang sudah
mereka duduki sebelumnya Lohay menghentikan pasukannya di atas sebuah bukit,
mendirikan kemah dan memerintahkan pasukannya beristirahat.
Setelah diperiksa yang luka dan yang gugur, termasuk pasukan
gerilya, kerugian mereka hanya seribu lebih, tapi kerugian pihak
musuh diperkirakan di atas sepuluh ribu. Perang memang harus
jatuh korban, walau mereka amat berduka, namun semangat
tempur mereka ternyata malah menyala karena mereka
memperoleh kemenangan besar.
Akan tetapi Tan Khu-seng dan Boh Le-cu tidak kunjung pulang.
Orang banyak tahu Tan Khu-seng memiliki kungfu tinggi, Boh Le-cu
adalah pendekar perempuan, dapat diduga bahwa kedua orang ini
tidak akan mengalami musibah, tapi sampai sekarang jejak mereka
tidak diketahui, betapapun patut dikhawatirkan.
Tengah mereka bingung dan khawatir, seorang thaubak dari
pasukan gerilya menggusur seorang tawanan, tawanan ini bernama
Cui It-un, kepala barisan kepercayaan Cui Po-san.
"Waktu kita membobol kepungan, Tan Khu-seng tayhiap dengan
Boh lihiap berada dalam pasukan kita Tan Khu-seng tayhiap-lah
yang menawan perwira musuh ini."
"Lalu di mana Tan tayhiap dan Boh lihiap sekarang?" tanya Utti
Keng. Thaubak itu menjelaskan, "Setelah menyerahkan tawanannya kepada kami, beliau bilang
hendak membekuk seorang yang lain lagi, lalu meninggalkan
barisan kita. Waktu itu dia tidak keburu menjelaskan, hanya minta
supaya kalian minta penjelasan kepada tawanan ini."
Maka Beng Goan-cau sendiri yang mengepalai sidang.
Dengan beringas Cui It-lun berkata, "Aku jatuhMi tangan kalian,
mau bunuh atau disembelih boleh segera lakukan. Hanya satu yang
membuatku menyesal, belum ter-lampias dendamku kalau belum
menjagal perempuan siluman itu."
Beng Goan-cau melenggong, tanyanya, "Perempuan siluman
yang mana?" Beng Hoa menjelaskan, "Perempuan siluman yang dia maksud
adalah istri Cui Po-san yang bemama Han Ji-yan."
"Hm, kalau jenderal kami tidak kemaruk paras ayu mengawini
perempuan sundal itu, di saat genting malah kami ribut sendiri di
dalam lantaran dia, aku yakin kami takkan mudah kalian kalahkan.
Sekarang aku hanya mengharap Tan Khu-seng mampu membekuk
siluman perempuan itu untuk menuntut balas penasaran jendral
kami pula." Beng Goan-cau tertawa, katanya, "Agaknya kau belum kalah lahir
batin, tapi kami juga tidak ingin memaksa kau tunduk lahir batin.
Perbuatan jelek apa yang dilakukan perempuan siluman itu, cara
bagaimana pula membuat celaka jenderal kalian, kalau kau mau
bicara, kami ingin mendengarkan."
Dari pengakuan Cui It-lun baru Beng Hoa dapat memperkirakan
peristiwa apa yang terjadi di tengah markas besar pasukan
kerajaan. Seperti diketahui, Cui Po-san juga tidak luput terkena obat bius
istrinya, karena lwekang lemah, terkena racun paling berat pula,
walau dia mendapat pertolongan, bersamaan Wi To-ping dan lainlain
oleh budak kepercayaan Han Ji-yan, tapi dia bangun paling
lambat. Waktu itu Beng Goan-cau sudah memimpin laskar gerilya,
laksana sebilah badik menghunjam langsung ke tengah " jantung
mereka. Setelah Cui Po-san sadar baru dia tahu asal-usul istrinya,
ternyata bukan dari keluarga besar bangsawan yang ternama tapi
adalah jago kosen ahli racun nomor satu di seluruh jagat.
Membayangkan dirinya puluhan tahun seranjang dengan istri yang
lihay menggunakan racun, dia bergidik ngeri, setelah sadar baru dia
faham kenapa komandan Gi-lim-kun yaitu Hay Lan-ja dulu begitu
simpatik memperkenalkan Han Ji-yan kepadanya kiranya
untuk.memata-matai dirinya. Di samping bergidik ngeri, dalam
hatinya amat penasaran dan marah, batinnya, "Aku menjual jiwa
untuk kepentingan kerajaan, berapa tahun aku berperang, ternyata
kerajaan tetap mencurigai kesetiaanku." Lebih menjengkelkan lagi
adalah Han Ji-yan ternyata minggat bersama Toan Kiam-ceng.
Setelah menyadari liku-liku persoalannya, perasaan Cui Po-san
amat kalut dan tidak tenteram. Setelah kehilangan seseorang yang
selalu menjadi pengawas gerak-geriknya, dia memang merasa lega
dan longgar. Tapi sebagai seorang jenderal, panglima besar yang
memimpin pasukan besar, istrinya main serong dan minggat dengan
pemuda lain, dia amat malu sekali.
Makin dipikir Cui Po-san makin berang, akhirnya dia memberi
perintah kepada kepala barisan pengawal pribadinya yang
dipercaya, Cui It-lun, untukmencari jejak Toan Kiam-ceng dan Han
Ji-yan, harus diusahakan untuk membekuk kedua orang itu.
Cui It-lun amat setia kepada Cui Po-san, meski beberapa kali
bentrokan telah terjadi dengan pihak musuh, tapi dia tetap
menyebar anak buahnya mengadakan penyelidikan. Menjelang
terang tanah, usahanya berhasil. Ternyata Han Ji-yan bersama Toan
Kiam-ceng secara diam-diam telah lari keluar dari markas besar,
jejak mereka terlihat oleh seorang petugas jaga yang berada di
garis paling depan. Menurut dugaan, mereka melarikan diri ke
gunung salju di sebelah timur.
Maka Cui It-lun memimpin ratusan anak buahnya mengejar, tak
nyana di tengah jalan bersua dengan Tan Khu-seng dan Boh Le-cu.
Kedua orang ini tahu bahwa dirinya adalah orang kepercayaan Cui
Po-san, sudah tentu Cui It-lun tidak diberi kesempatan melarikan
diri. Demikian pula Cui It-lun juga tahu bahwa kedua orang ini akan
menuntut balas kepada Han Ji-yan, maka sebelum Tan Khu-seng
bertanya, dia sudah menceritakan rahasia Han Ji-yan serta
menjelaskan persoalannya.
Setelah tahu duduk persoalannya, Beng Goan-cau menghela
napas lega, katanya dengan tertawa, "Sesuai dugaan, mereka
memang menyelusuri jejak perempuan siluman itu. Kalau
perempuan siluman itu tidak di tengah pasukan besar, meski dia ahli
racun nomor satu, mereka masih mampu mengalahkan dia, kita tak
usah mengkhawatirkan mereka."
Lohay berkata, "Walau demikian, berada di pegunungan salju
paling gampang tersesat, kurasa bukan soal gampang menemukan
jejak dua orang di hutan pegunungan salju. Maka aku usul, kita
harus mengutus beberapa orang menyusulnya ke sana."
"Sudah tentu, tapi soal ini nanti harus kita rundingkan," ujar
Beng Goan-cau. "Betul, sekarang kita bereskan dulu keparat ini," seru Lohay.
Cui It-lun yakin dirinya pasti mati, maka dia tetap
membusungkan dada. Beng Goan-cau berkata sambil tersenyum, "Konon kau adalah
ahli panah di antara pasukan kerajaan, terhitung seorang laki-laki
sejati, tak heran kalau kau merasa penasaran." Agaknya Beng Goancau
tahu kejadian Cui It-lun bertanding panah dengan Santala, tapi
mendengar orang memuji dirinya sebagai ahli panah, seketika
merah jengah selembar mukanya
Tapi dia belum mau mengaku kalah, katanya, "Beng tayhiap, tak
usah kau menyindir aku. Memang dalam hal main panah aku bukan
tandingan Santala, apalagi dibanding Lohay kelo. Tapi berperang
bukan hanya mengandal kekuatan tenaga dan kungfu yang tinggi."
Beng Goan-cau manggut, katanya, "Betul, aku setuju
pendapatmu, perang harus mengerahkan banyak orang. Agaknya
kau berpendapat bahwa pahlawan-pahlawan kami tetap bukan
tandingan kalian yang banyak itu."
"Pahlawan kalian memang pemberani, juga pandai berperang,
tapi kami tak mau mengaku kalah begitu saja."
"Kenapa?" "Pasukan kami ada seratus ribu, merupakan tentara yang terlatih
baik. Kalau kedua pihak berhadapan dan bertempur kurasa pihak
kami takkan mudah dikalahkan."
Beng Goan-cau bergelak tawa, katanya, "Berperang
mengutamakan menang dengan cara yang aneh, cara apa pun
boleh asal dapat mengalahkan musuh, mana ada berperang seperti
bertanding silat, pakai aturan segala. Kurasa Cui Po-san cukup ahli
berperang, kau adalah kepala barisan kepercayaannya, kenapa
bicara seperti anak kecil yang tidak tahu apa arti sesungguhnya dari
perang itu." Cui It-lun mendebat, "Jikalau panglima kami tidak terbius oleh
perempuan sundal itu, sergapan kalian kurasa takkan berhasil
segampang itu." Beng Goan-cau menggelengkan kepala, katanya kalem, "Kau
keliru, kejadian di luar dugaan bukan kunci utama, apakah
berperang itu akan kalah atau menang, apa kau ingin tahu kenapa
kalian kalah?" "Baiklah, ingin aku mendengar pendapatmu," ujar Cui It-lun. Dia
tidak mengira bahwa Beng Goan-cau mengajaknya bicara dan
memancing pendapatnya, maka sikapnya terhadap Beng Goan-cau
menjadi agak sungkan. "Kenapa kalian kalah berperang?" demikian Beng Goan-cau mulai
bicara. "Faktor yang terpenting adalah, kalian berperang tanpa
mendapat dukungan rakyat. Kalian berperang untuk kerajaan
penjajah, untuk kepentingan bangsa lain, bukan demi kepentingan
rakyat. Coba kau pikir, kalian menyerang jauh ke Sinkiang ini,
pernahkah dan berapa banyak rakyat sepanjang perjalanan yang
mau membantu secara suka rela?"
Cui It-lun menunduk diam.
Beng Goan-cau melanjutkan, "Tentara kalian sembilan di antara
sepuluh orang adalah bangsa Han kita, betul tidak?"
"Ya, betul," sahut Cui It-lun.
"Oleh karena itu dalam perang ini kalian tidak mendapat
dukungan rakyat, perang ini juga tidak berkenan di hati pasukan
kalian sendiri. Itu berarti tentara kalian juga tidak akan berperang
secara suka rela, berperang dengan tekad untuk menang. Kerajaan
Ceng menduduki tanah bangsa Han kita, menindas dan memeras
rakyat bangsa Han, sekarang kalian digiring ke Sinkiang, ke daerah
yang jauh dari kampung halaman untuk menjual jiwa, jikalau kau
hanya seorang tentara biasa, coba jawab apa kau mau berperang?"
Cui It-lun berpikir, sejak pasukan mereka bergerak hingga
memasuki wilayah Sinkiang tidak sedikit anak buahnya yang
mengeluh penasaran, maka dia tidak menyangkal apa yang
diuraikan Beng Goan-cau, karena semua itu adalah kenyataan.
Beng Goan-cau meneruskan, "Memang tidak sedikit orang-orang
seperti dirimu di antara pasukan itu, berjuang dan berperang untuk
kepentingan raja penjajah. Tapi dibanding mereka yang tidak mau
berperang, jumlah orang-orang seperti dirimu teramat kecil. Dan
aku yakin lambat laun kesan orang-orang yang tidak seberapa
jumlahnya ini akan berubah. Hehehe, umpama ada sepuluh perwira,
ada satu seperti dirimu, paling banyak jumlahnya hanya selaksa
saja. Oleh karena itu kalau kau berpendapat jumlah besar
merupakan penentu kalah dan menang, perhitunganmu hanya di
atas kertas belaka."
Sampai di sini Beng Goan-cau diam, dengan tajam dia menatap
Cui It-lun, katanya perlahan, "Boleh kau pikir dengan seksama,
sebagai bangsa Han, kau berperang dan menjual jiwa untuk raja
penjajah, apa setimpal pengorbananmu?"
Cui It-lun menunduk, cukup lama kemudian dia baru berkata,
"Semula aku hanya tahu makan gaji junjungan." Walau dia masih
berusaha memperlihatkan dirinya sebagai laki-laki pemberani,
namun nada suaranya sudah tidak segarang tadi.
"Jangan kata hanya kau, umpama Cui Po-san yang berjiiang
mati-matian, setia kepada raja junjungannya, aku yakin raja lalim
itu tetap takkan menganggapnya sebagai orang yang dapat
dipercaya. Tapi aku yakin sekarang kau belum mau percaya


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ucapanku ini, aku juga tidak akan memaksa kau percaya, sekarang
apa keinginanmu, boleh kau berterus terang." .
Cui It-lun tertawa getir, katanya, "Beng tayhiap, jangan kau
menggoda dan mempermainkan aku. Aku sudah menjadi tawanan
kalian, kau bunuh atau siksa, jelas aku takkan bisa melawan lagi."
Beng Goan-cau bergelak tawa, katanya, "Baiklah, aku akan
melepaskan dirimu, kau boleh pulang ke tengah pasukanmu."
Cui It-lun berjingkrak, sekian lama dia terlongong seperti tidak
percaya pendengaran telinganya, katanya tergagap, "Beng tayhiap,
kau... apa betul demikian?"
"Apa yang kami ucapkan selamanya boleh dipercaya," ujar Beng
Goan-cau tertawa. Cui It-lun masih curiga, tanyanya, "Kau membebaskan aku?"
"Bukankah kau belum menyerah" Kau boleh pulang, kalau kau
senang, boleh kau pimpin lagi pasukanmu berperang dengan kami."
Lalu Beng Goan-cau menyuruh orang menuntun seekor kuda dan
diserahkan kepadanya. Cui It-lun terdiam, mimiknya lucu, seperti
orang pikun, bibirnya bergerak seperti ingin bicara tapi suaranya
tidak keluar, tapi akhirnya dia melompat ke punggung kuda lalu
mengeprak-nya pergi. "Beng tayhiap," seru Santala, "orang menjual jiwanya untuk raja
penjajah, kenapa kau melepasnya pulang?"
"Aku ingin dia menyerah lahir batin," ujar Beng Goan-cau
tertawa. "Membunuh dia seorang apa gunanya" Kalau melepas dia
pulang, umpama dia masih mengangkat senjata berperang dengan
kita, tapi orang yang lain akan patah semangat, manfaatnya jelas
jauh lebih besar." "Betul," sela Lohay. "Pernah aku mendengar cerita bangsa Han
kalian. Tujuh kali Cukat Liang pernah melepas Beng Hek, tujuh kali
menangkapnya pula, ternyata setelah dilepas lagi Beng Hek tidak
mau pergi, dia menyerah lahir batin. Kali ini kita hanya melepasnya
sekali, bukan apa-apa dibandingkan kejadian jaman dulu. Soal ini
tak perlu kita perbincangkan lagi, mari kita rundingkan cara
bagaimana kita harus membantu guru Beng-siauhiap."
Beng Hoa berkata, "Biar aku menyusulnya bersama Bik-ki."
Kepandaiannya tinggi, punya pengalaman di gunung bersalju,
apalagi sebagai murid Tan Khu-seng, adalah wajib kalau membantu
atau menyambut gurunya. Lohay berkata, "Beng-siauhiap, memang tepat kalau kau dan
nona Kim yang menyusul ke sana. Tapi kalian ayah dan anak baru
saja berkumpul, belum banyak bicara harus berpisah lagi, rasanya
kurang masuk akal." "Tujuan kami tidak jauh, paling lama tiga hari juga sudah
pulang," demikian kata Beng Hoa.
"Baiklah," timbrung Song Theng-siau, "ada omongan apa yang
ingin kau sampaikan kepada ayahmu, lekas kau katakan."
Persoalan memang banyak, Beng Hoa menjadi bingung, soal
mana yang harus dia bicarakan lebih dulu. Terpaksa dia ceritakan
dulu persoalan yang paling diperhatikan ayahnya, katanya, "Aku
sudah bertemu dengan adik, adik baik-baik saja. Demikian pula
paman Kim." Beng Goan-cau tertawa, katanya, "Persoalanmu aku sudah tahu
dari cerita Kwi-hwe-thio. Aku tahu Kim tayhiap sudah setuju
memungut kau bocah bodoh ini sebagai calon menantunya, aku
amat gembira." Saking malu Kim Bik-ki menundukkan kepala
Beng Hoa seperti ingat sesuatu, katanya "Oh, ya paman Thio ke
mana" Bukankah dia datang bersama kalian?"
"Kemarin dia datang secara tergesa-gesa. Setelah menyampaikan
berita, segera berlalu. Dia bilang harus cepat-cepat menyelesaikan
persoalan lain, waktu itu tak sempat dia menjelaskan aku pun tak
sempat tanya kepadanya"
Setelah Beng Hoa bicara ala kadarnya dengan sang ayah,
bersama Kim Bik-ki mereka meninggalkan orang banyak, langsung
menuju ke gunung salju yang dikatakan Cui Itlun di sebelah timur.
Mencari jejak manusia di tengah lautan salju memang bukan
kerja gampang. Tengah mereka mengayun langkah, kebetulan datang hembusan
angin dingin dari lekuk gunung di sebelah depan. Begitu menghirup
angin dingin ini ", seketika Kim Bik-ki bersuara heran. .
Beng Hoa melengak, tanyanya, "Kenapa kau adik Ki?"
"Coba kau cium, di tengah hembusan angin seperti mengandung
bau harum. Tapi jelas bukan bau kembang."
"Betul, memang ada bau harum yang aneh," ujar Beng Hoa.
"Mungkin datang dari tempat jauh yang terbawa oleh angin,
harumnya susah dirasakan." Di saat mereka bicara, bau harum
sudah lenyap terbawa angin.
"Di atas gunung salju memang ada kembang liar yang tahan
hawa dingin, tapi kembang liar di gunung salju biasanya berwarna
indah tanpa bau, umpama berbau wangi juga takkan bertahan
selama ini." "Ya bau tadi mirip obat bius perempuan siluman itu, tapi rasanya
seperti tercampur dengari bau wangi lainnya"
"Bait harum itu pasti adalah dupa bius perempuan siluman itu.
Toako, syukurlah kita tak usah membuang banyak tenaga, ikuti saja
arah datangnya bau harum itu, pasti dapat menemukan jejak
perempuan siluman itu."
Beng Hoa manggut, katanya, "Betul, kita harus bersiaga
sebelumnya." Lalu dia mengeluarkan Bik-ling-tan, dibagi dua,
masing-masing mengulum setengah butir.
Maju lagi beberapa ratus langkah, bau harum yang terbawa
angin terasa lebih tebal. Beng Hoa menghentikan langkah- lalu
berkata perlahan, "Di depan seperti ada percakapan orang, mari kita
dengarkan dengan seksama"
Mereka mendekam di tanah, lalu pasang telinga, terdengar
seorang yang sudah dikenal suaranya sedang berkata, "Supek tak
usah khawatir, aku adalah sutit-mu, masa aku berani mencelakai
kau orang tua?" Mendengar suara ini, hampir saja Beng Hoa berjingkrak girang,
untung Kim Bik-ki menekannya, katanya, "Apakah Toan Kiamceng?"
"Betul, memang dia. Mendengar suaranya, dia seperti sudah
meninggalkan perempuan siluman itu. Orang yang berbicara dengan
dia adalah supek-nya, jelas supek-nya ini bermusuhan dengan Han
Ji-yan." "Betul, terhadap Toan Kiam-ceng aku tidak percaya, coba kita
dengarkan lagi." Kini mereka mendengar orang yang dipanggil supek oleh Toan
Kiam-ceng, berbicara dengan perlahan, nada dan logatnya aneh
seperti bukan orang Han. Beng Hoa berpikir, "Supek Toan Kiam-ceng ini mungkin adalah
suheng Ka-bit Hoatsu, paderi dari Thian-tiok itu."
"Bukan aku tidak percaya kepada kau, tapi perempuan siluman
itu amat sayang kepadamu, apa kau tega meninggalkan dia" Cara
bagaimana kau akan membebaskan dirimu dari cengkeramannya?"
Lekas Toan Kiam-ceng menjelaskan, "Supek, jangan kau banyak
bicara, perempuan siluman itu kan hanya ingin memperalat diriku,
mana mungkin aku membantu dia mencelakai kau malah" Ketika
tadi dia tidak siaga diam-diam aku lari kemari. Supek, aku pun
berhasil mencuri obat pemunahnya."
"Oh, obat pemunah apa?" tanya logat ganjil itu.
"Obat penawar dupa bius perempuan siluman itu. Aku tahu
lwekang supek amat tangguh, tidak takut keracunan, tapi dengan
obat penawar ini kau tak usah repot mengerahkan tenaga. Supek,
bila kau sudah menelannya, kita bisa menerjang masuk bersama
membekuk perempuan siluman itu, kita tak perlu khawatir dia
berbuat licik." Diam-diam Beng Hoa merasa senang, batinnya, "Supek-nya itu
belum tentu orang baik, betapapun lebih baik dibanding perempuan
siluman itu. Peduli lantaran apa dia bermusuhan dengan perempuan
siluman itu, langkah Toan Kiam-ceng menandakan dia sudah
bertobat." Tak nyana belum habis dia membatin mendadak terdengar orang
itu menggerung murka, bentaknya, "Bagus ya, kau bocah keparat
ini berhati kejam, berani kau membantu perempuan siluman itu
mencelakai aku. Hm, sayang muslihat kalian terlalu pagi untuk
mencelakai aku, umpama aku tak mampu mengganyang perempuan
siluman itu, tapi masih cukup mampu mengganyang kau keparat
ini." Lebih dulu orang itu sudah terbius oleh dupa beracun Han Ji-yan,
namun karena lwekang-nya tinggi, di waktu Toan Kiam-ceng datang
menemuinya, dia sedang semadi mengusir racun keluar dari
badannya. Setelah dia ditipu oleh Toan Kiam-ceng dan menelan apa
yang dinamakan obat penawar, lalu semadi mengerahkan hawa
murni tiga putaran, seketika dia rasakan perutnya sakit bukan main,
seperti ususnya dipelintir, baru dia sadar apa yang dinamakan obat
penawar oleh Toan Kiam-ceng sebetulnya adalah racun.
Yang digunakan Toan Kiam-ceng adalah sejenis racun yang
paling lihay dari Han Ji-yan, untuk orang biasa, begitu bibir
menyentuh racun jiwa lantas melayang, apalagi setelah menelan
racun orang ini mengerahkan hawa mumi dengan maksud supaya
khasiat obat lekas menjalar ke tubuh. Maka Toan Kiam-ceng
mengira orang ini pasti mampus seketika, tak terduga mendadak dia
menggerung murka sambil melompat menubruk, telapak tangannya
yang sebesar kipas hampir saja mencengkeram mukanya.
Toan Kiam-ceng kaget bukan kepalang, lekas dia berlari menjauh
sambil menjerit minta tolong. Mendengar jeritannya ini Beng Hoa
amat kaget, tanpa pikir segera dia lari ke sana.
Jeritan minta tolong Toan Kiam-ceng dilakukan secara spontan
karena jiwanya terancam, padahal dia tahu Han Ji-yan sudah tidak
mungkin menolong jiwanya, juga tidak terpikir olehnya bahwa ada
orang lain yang bakal menolong jiwanya. Kini mendadak melihat
Beng Hoa muncul, terkejut dan girangnya seperti orang yang
tercebur ke air dan hampir mati tenggelam mendadak menangkap
sebatang jerami, lekas dia berteriak, "Beng-toako, tolong kau
pandang muka pamanku, lekas tolong jiwaku."
Waktu Beng Hoa mengangkat kepala, tampak supek! Toan Kiamceng
dari negeri Thian-tiok ini ternyata bertubuh kurus, paderi asing
yang berkulit hitam berhidung bengkok. Saat itu dia sedang
mengejar ke atas gunung, jelas sebentar lagi Toan Kiam-ceng akan
didesaknya jatuh ke jurang. Dalam detik yang berbahaya ini sudah
tentu Beng Hoa tidak sempat berpikir, jiwa Toan Kiam-ceng jelas
harus segera dia tolong Laksana burung elang menerobos hutan, Beng Hoa melambung
ke udara meluncur melampaui paderi asing itu. "Sret" pedangnya
bergerak ke belakang dengan tusukan berbahaya. Walau tujuannya
menolong jiwa Toan Kiam-ceng, namun Beng Hoa tidak bermaksud
membunuh paderi asing ini, jurus pedang yang dia gunakan adalah
pedang kilat menotok jalan darah. Secepat kilat menyambar dia
mengincar tujuh hiatto di tubuh orang.
Tak nyana lwekang paderi Thian-tiok ini memang luar biasa,
dengan sepasang telapak tangan dia maju hendak menangkap
batang pedang, kedua telapak tangannya bergerak seperti
permainan gelang, didorong ke kanan dipelintir ke kiri, serangan
pedang Beng Hoa ternyata disam-puk minggir seluruhnya.
Melihat Beng Hoa hanya bergoyang sedikit dan tidak terjungkal
roboh oleh getaran tenaga dalamnya, paderi asing ini juga heran
dan kaget, bentaknya, "Anak muda yang tidak tahu diuntung, kau
sudah tahu kelihayan hudya bukan" Lekas menyingkir, kalau bandel
biar kuganyang kau sekalian."
"Siancay, siancay," Beng Hoa bersabda, "seorang beribadat
sepantasnya mengutamakan cinta kasih dan bijaksana. Mohon taysu
suka mengampuni temanku ini, kita bicarakan persoalan ini."
Mendadak paderi kurus itu berjingkrak murka, bentaknya sekeras
guntur, "Kau ajak aku bicara bijaksana, lalu kepada siapa aku harus
bicara tentang cinta kasih" Kau bocah keparat tidak bisa
membedakan baik buruk, biar kubunuh kau lebih dulu." Mulut
bicara, kedua telapak tangannya beruntun melontarkan tiga jurus
serangan. Gerak kedua telapak tangannya ternyata menimbulkan dua jenis
tenaga yang berbeda. Jenis pertama lunak menuntun kekuatan
lawan, jenis yang lain justru tenaga keras yang menindih berat ke
arah lawan, dua jenis tenaga yang berlawanan. Karena terbelenggu
oleh dua jenis tenaga yang berlawanan Beng Hoa laksana sebuah
perahu kecil yang terseret ke dalam arus sungai yang berpusar
kencang. Untunglah pada detik yang berbahaya itu, Kim Bik-ki menyusul
tiba. Dengan gabungan permainan pedang mereka, sinar pedang
mendadak berkembang, paderi itu kembali berteriak laksana guntur,
kini kedua tangannya menggerakkan tenaga keras. Telinga Kim Bikki
pekak dan mendengung, demikian pula dadanya sesak seperti
ditindih benda ribuan kati, tapi pedangnya tetap menusuk ke depan,
kerja sama dengan Beng Hoa tetap serasi. Keadaan paderi Thiantiok
ini memang seumpama pelita yang sudah kehabisan minyak,
beruntun dia mundur tiga langkah. Kim Bik-ki sendiri juga pusing,
kembali dia menusuk dengan pedangnya.
Lekas Beng Hoa menariknya, teriaknya, "Adik Ki, jangan kau
membunuhnya." Lekas Kim Bik-ki menarik pedang, paderi kurus itu melompat
mundur beberapa langkah terus jatuh terduduk di atas salju.
Lega hati Beng Hoa, perlahan dia lepaskan pegangannya di
tangan Kim Bik-ki. Tapi Kim Bik-ki mendadak tersaruk maju hampir
roboh malah, untung Beng Hoa lekas memapahnya, kalau tidak
tentu terjungkal ke bawah jurang.
Beng Hoa kaget, tanyanya, "Kenapa kau adik Ki?"
Kim Bik-ki menarik napas, katanya kemudian, "Sungguh lihay,
untunglah aku tidak terluka."
Paderi itu seperti orang semadi duduk diam tidak berani maju
lagi. Ketika itu Toan Kiam-ceng sudah lari ke seberang bukit sana, dari
kejauhan dia berteriak, "Perempuan siluman itu berada dalam
lubang batu tak jauh di sekitar situ, Beng-heng, setelah kau bunuh
hwesio liar itu, lekas kau bekuk perempuan siluman itu. Supaya dia
tidak bergabung dengan keparat itu mencelakai kalian."
Paderi Thian-tiok itu tetap duduk di atas salju tak bergerak,
teriakan Toan Kiam-ceng dianggap tidak dengar, namun ujung mulutnya
menyunggingkan senyum sinis.
Melihat Kim Bik-ki tidak terluka, lega hati Beng Hoa, tapi
mendengar teriakan Toan Kiam-ceng dia mengerutkan kening. Maju
beberapa langkah dengan setulus hati dia berkata kepada paderi
Thian-tiok itu, "Taysu, temanku itu mencelakai kau, biar aku yang
menebus kesalahannya. Aku punya Bik-ling-tan yang dibuat dari
Thian-san-soat-lian, mungkin berguna untuk menawarkan racun
dalam tubuhmu." Belum habis Beng Hoa bicara, mendadak paderi asing itu
berteriak murka. Suaranya sekeras geledek. Beng Hoa masih kuat
bertahan, tapi Kim Bik-ki langsung lemas dan terjatuh. Tadi dia
tergetar oleh pukulan keras paderi asing, tubuhnya hanya terhuyung
dan belum jatuh, maka dapat dibayangkan teriakan paderi asing kali
ini sungguh jauh lebih lihay dari tenaga pukulan yang dia lontarkan


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tadi. Beng Hoa tahu-orang mengerahkan Say-cu-hong-kang, lekas dia
berteriak, "Taysu, kau keracunan, jangan membuang barfyak
tenaga." Tak nyana paderi asing ini seperti tidak peduli atau tak mau
dengar nasihatnya, kembali dia berteriak sekali lagi. Maklum tadi dia
sudah tertipu oleh Toan Kiam-ceng, racun dikatakan obat penawar,
sudah tentu setelah tertipu sekali mana mau tertipu dua kali.
Dia juga tahu racun sudah meresap ke tulang sumsumnya, meski
ada Bik-ling-tan, dia tidak percaya jiwanya dapat diselamatkan.
Bencinya terhadap Toan Kiam-ceng merasuk tulang, sudah tentu dia
pun dendam kepada Beng Hoa, yang mengaku sebagai teman Toan
Kiam-ceng. Maka dia mengerahkan sisa kekuatannya, dengan satu
harapan semoga sebelum ajal dengan Say-cu-hong-kang dia dapat
menggetar mampus Beng Hoa.
Lekas Kim Bik-ki duduk bersimpuh mengerahkan lwekang untuk
menahan getaran Say-cu-hong orang. Sayang Iwekang-nya sendiri
lebih lemah, waktu paderi Thian-tiok mengerahkan Say-cu-hong
ketiga kalinya, tubuh Kim Bik-ki sudah basah kuyup oleh keringat.
Terdesak oleh keadaan, apa boleh buat, Beng Hoa bersiul
nyaring untuk melawan Say-cu-hong lawan. Lwekang yang dia
yakinkan sesumber dengan lwekang latihan Kim Bik-ki, siulannya
amat berguna membantu Kim Bik-ki melawan tekanan luar, maka
keadaannya tidak tertekan seperti semula.
Yang celaka adalah paderi Thian-tiok itu, begitu Bng Hoa bersiul,
teriakannya lantas melemah dan akhirnya berhenti, perlahan
tubuhnya roboh menggelinding ke dalam jurang. Jurang itu tak
kelihatan dasarnya. Lekas Beng Hoa menghentikan siulannya, waktu dia melongok ke
bawah, mega mengembang menutupi pemandangan, paderi asing
yang terjerumus ke jurang itu pasti terbanting hancur lebur, mau
ditolong juga tak mampu lagi. Tak terasa hatinya menjadi sedih.
Kim Bik-ki berkata gemas, "Toako, apa kau masih membantu
Toan Kiam-ceng keparat itu" Coba lihat, lantaran dia kau mencelakai
jiwa orang lain, betapapun paderi asing itu adalah supek-nya."
Beng Hoa amat sedih, katanya kemudian, "Aku tak sangka kej
adian bisa setragis ini, tapi sekarang dia sudah lari kalau kita kejar
juga belum tentu terkejar."
"Perlu aku peringatkan kepadamu selanjutnya jangan kau
menaruh belas kasihan lagi kepadanya, kalau tidak kau sendiri yang
akan menanggung akibatnya. Sekarang paling penting kita bekuk
dulu perempuan siluman itu."
Mereka kembali ke arah semula, dengan daya cium mereka tidak
sukar menemukan arah datangnya bau harum itu, tak lama
kemudian mereka menemukan lubang batu. Lubang batu ini terletak
di belakang batu raksasa yang bentuknya seperti pintu angin, kalau
tidak mencium bau harum itu, bukan kerja gampang untuk
menemukan lubang batu ini.
Beng Hoa menanggalkan pakaian luarnya, dengan pedang dia
menggali beberapa keping salju laiu dibungkus dengan pakaian
luarnya. Lubang balu itu sempit, tapi cukup untuk seseorang masuk,
Beng Hoa berkata, "Biar aku masuk dulu, setelah kubekuk
perempuan siluman itu, baru kau menyusul ke dalam."
"Awas dan hati-hati, waspada terhadap amgi-nya," pesan Kim
Bik-ki. Beng Hoa memegang pedang pusaka, dengan gaya Burung Seriti
Menerobos Kerai dia menyusup ke dalam lubang. Sebelum kakinya
menyentuh tanah, pedang di tangannya sudah diputar kencang. Di
luar dugaan, tiada amgi memberondong ke arahnya, Han Ji-yan
juga tidak menubruk ke arah dirinya.
Han Ji-yan rebah di tanah seperti orang tidur. Tapi baju bagian
pundak kirinya robek seperti tercomot orang sehingga sebagian
dadanya yang putih kelihatan.
Lekas Beng Hoa melengos, pandangan dia tujukan ke tempat
lain. Mulut lubang memang sempit, tapi di dalamnya ternyata lebar. Di
dalam terdapat sebuah patung Budha, di bawah kaki Budha
terdapat tempat perapian untuk membakar dupa, saat itu sisa
abunya masih menyala dan hampir padam. Lekasv Beng Hoa
mencomot segenggam salju, dengan lwekang-nya dia mencairkan
salju itu sehingga sisa dupa yang masih menyala dalam perapian
padam, setelah bau dupa tidak tercium baru dia memanggil Kim Bikki
masuk. Kim Bik-ki keheranan melihat keadaan di dalam gua ini, katanya,
"Kelihatannya perempuan siluman ini terbokong orang. Selama
hidupnya betapa banyak jiwa yang menjadi korban kekejiannya,
entah kenapa dia sendiri sekarang jadi korban tangan orang lain."
"Dia terkena amgi apa?" tanya Beng Hoa.
"Sudah kulihat, tapi aku yakin dia tidak mungkin terbunuh oleh
dupa wanginya sendiri."
"Coba kau mendekat dan periksa lebih teliti, tapi harus hati-hati."
Dengan sarung pedangnya Kim Bik-ki menyentuh tubuh orang,
ternyata orang diam saja tak bergerak seperti orang tidur pulas,
maka dengan rasa lega dia berjongkok, setelah diperiksa dia
bersuara kaget dan heran.
"Apa yang kau temukan di tubuhnya?" tanya Beng Hoa.
"Kelihatannya dia terkena jarum berbisanya sendiri," sahut Kim
Bik-ki. Ternyata untuk menyingkir dari kejaran paderi Thian-tiok itu
maka Han Ji-yan lari dan masuk ke gua batu ini. Dia menyulut dupa
wangi di perapian, di mulut gua juga memendam beberapa batang
amgi. Paderi Thian-tiok itu memang terkena perangkapnya, kakinya
menginjak sebatang duri beracun.
Tapi Iwckang-nya tangguh, racun duri itu belum dapat
menamatkan riwayatnya- Akan tetapi dia merasa khawatir dan
harus menyelamatkan jiwa lebih dulu. Padahal dia pun sedikit mahir
menggunakan racun, namun tidak seahli Han Ji-yan. Begitu bau
harum dupa berbisa itu teruar ke luar gua, setelah menciumnya
sedikit, dada seketika terasa sesak, semangat^ukar berkobar. Dia
tahu harum dupa dengan asapnya yang tebal pasti memenuhi
seluruh gua, umpama dirinya berlaku hati-hati hingga tidak
terperangkap oleh senjata rahasia musuh, bila masuk ke gua juga
pasti keracunan. Maka dia menyingkir ke tempat yang membelakangi arah angin,
di tempat yang tinggi dia.duduk bersimpuh mengerahkan lwekang
mengusir racun dalam tubuh sambil mengawasi gerak-gerik Han Jiyan.
Dari luar beberapa kali dia mengumandangkan tawa dingin,
katanya, "Boleh buktikan berapa lama kau siluman perempuan ini
dapat bersembunyi dalam gua" Sepuluh hari kau sembunyi sepuluh
hari juga kujaga kau di luar gua."
Hal ini sudah tentu membuat Han Ji-yan gelisah dan ngeri. Dupa
harum yang dibawa terbatas, paling lama bisa dibakar sehari
semalam, akhirnya pasti habis. Dalam gua ini tiada ransum atau
makanan, kalau betul paderi Thian-tiok ini menunggu sepuluh hari
di luar gua, orang tak usah masuk, dia bersama Toan Kiam-ceng
akan mati kelaparan lebih dulu. Apalagi dalam sepuluh hari ini,
bukan mustahil Tan Khu-seng dan Boh Le-cu bisa datang kemari.
Bagaimana baiknya" Di saat dia kehabisan akal, Toan Kiam-ceng
mengajukan rencananya. Dia akan membantu Han Ji-yan
membunuh supek-nya sendiri. Sudah tentu Toan Kiam-ceng punya
perhitungan sendiri, dia mengajukan syarat, yaitu Han Ji-yan harus
mewariskan Tok-kang-pit-kip kepadanya, mengajarkan juga cara
menggunakan racun. Karena kehabisan akal, apa boleh buat Han Ji-yan menerima
syaratnya, secara untung-untungan dia mengajarkan cara
bagaimana menggunakan racun kepada Toan Kiam-ceng, tapi dia
juga berjanji akan menyerahkan Tok-kang-pit-kip itu setelah Toan
Kiam-ceng berhasil membunuh paderi Thian-tiok itu.
Setelah Toan Kiam-ceng berhasil menjalankan perannya,
mendadak dia memukul Han Ji-yan hingga pingsan, amgi dan Tokkangpit-kip serta racun yang dibawa Han Ji-yan dia kuras
seluruhnya. Sebelum keluar gua, khawatir Han Ji-yan masih hidup
dan kelak menuntut balas terhadap dirinya, Kiam-ceng taburkan
segenggam Bwe-hoa-ciam ke tubuhnya.
Saat mana setelah diurut dan dipijit oleh Kim Bik-ki, Han Ji-yan
mulai mengeluh dan siuman, namun keadaannya teramat lemah,
pikirannya masih buram. Dia amat benci dan dendam kepada Toan
Kiam-ceng, pandangannya masih nanar, Beng Hoa yang berdiri di
depannya tampak seperti Toan Kiam-ceng yang dibencinya.
Beng Hoa sudah menjelaskan bahwa dirinya bukan Toan Kiamceng,
tapi dalam pandangan Han Ji-yan hanya terbayang wajah
Toan Kiam-ceng, dia amat dendam dan tak mau melepas musuh
yang mengganti air susu dengan air tuba, ditolong malah berusaha
membunuh dirinya. Hampir saja Beng Hoa tercakar oleh kuku jarinya yang panjang,
apa boleh buat dia kebaskan lengan baju, padahal keadaan Han Jiyan
sudah teramat payah dan parah, hanya rasa dendam dan
berang saja yang mempertahankan sedikit kesadarannya, sudah
tentu tak kuat dia menahan kebasan lengan baju Beng Hoa, sambil
menjerit tubuhnya terguling lalu meronta dan berkelo-jotan.
Maklum setelah terkena jarum sekian banyaknya, pantasnya jiwa
sudah melayang sejak tadi, untung sejak muda dia sudah biasa
bermain racun, sehingga ketahanan tubuhnya cukup kuat bila
terkena racun, maka setelah dia dipukul pingsan oleh Toan Kiamceng,
dia masih kuat bertahan sekian lama hingga sekarang.
Tapi racun jahat kambuhnya lambat, bila kambuh lihaynya luar
biasa. Kini setelah dia sadar dan pikiran jernih, maka rasa sakit
sungguh tak tertahankan. Tampak darah sudah meleleh dari tujuh lubang indranya,
tubuhnya terus berguling-guling seperti orang yang sakit ingatan,
menjerit, memekik sambil mencakar dan menggaruk tubuh sendiri
hingga lecet dan luka. Keadaannya sungguh amat mengerikan.
Kim Bik-ki menjadi takut, katanya, "Hoa-ko, mari kita keluar saja,
tak usah menyaksikan keadaannya."
"Baiklah, kita keluar mencari suhu," ucap Beng Hoa.
Mendadak didengarnya siulan panjang bagai pekik naga yang
mengalun di udara. Beng Hoa berjingkrak girang, serunya, "Kedengarannya siulan
sam-suhu." Memang beberapa kejap kemudian, dia mendengar
suara Tan Khu-seng berkata, "Hoa-ji, tak usah kau mencari aku.Vku
bersama Boh lihiap sudah datang."
Saat itu merupakan d'etik-detik di mana racun dalam tubuh'Han
Ji-yan bekerja makin keras, tubuhnya seperti digerogoti ribuan ular,
selain sakit juga gatal dan geli, celakanya makin sakit otaknya justru
makin jernih, meski penderitaannya cukup parah dia justru tidak
pingsan. Melihat penderitaan orang, Boh
Lc-cu tidak tega, dengan ujung serangka pedangnya dia totok
dua hiatto di dekat ulu hati orang supaya berkurang
penderitaannya. "Perempuan siluman, pentang lebar matamu, beginilah nasib dan
ganjaran perbuatanmu, angkat kepalamu, siapa aku ini?" demikian
bentak Boh Le-cu Han Ji-yan bernapas ngos-ngosan, perlahan dia mengangkat
kepala dan berkata serak, "Toa-siocia, aku mohon bantuanmu."
"Bantuan soal apa?"
"Hari ini aku mendapat ganjaran setimpal dari perbuatanku dulu,
aku tahu takkan hidup lebih lama lagi. Tapi ganjaran ini tidak pantas
kuterima dari Toan Kiam-ceng bocah keparat itu, dia merebut segala
milikku termasuk Tok-kang-pit-kip, kelak dia pasti mengganas,
mungkin lebih kejam dari perbuatanku dulu, semoga kalian cepat
membekuk dan membunuhnya, mati pun aku meram."
"Ganjaran ini memang setimpal. Tentang Toan Kiam-ceng, kami
akan bekerja sesuai pendapat kami, tak usah kau...."
Belum habis dia bicara, Han Ji-yan sudah terkulai roboh, jiwanya
melayang. Sedetik sebelum ajal, mendengar janji Boh Le-cu hatinya
lega dan puas, maka dia mangkat lebih cepat.
Bahwa dendam sudah terbalas, di samping merasa senang dan
lega, perasaan Boh Le-cu juga sedih dan hambar. Delapanbelas
tahun dia hidup merana, pahit getir kehidupan sudah kenyang dia
rasakan, kalau tiada dua cita-cita itu yang menopang tekad
hidupnya, mungkin dia takkan kuat hidup sampai sekarang. Satu di
antaranya yaitu menuntut balas kepada Han Ji-yan, pembunuh
ayahnya, kini cita-cita yang satu ini sudah terlaksana, namun masa
remajanya sudah hanyut terbawa masa, pergi takkan kembaK lagi.
Sesaat kemudian baru dia berkata rawan, "Mengingat dia pernah
menjadi ibu tiriku, marilah kita ke-bumikan jenazahnya." Mereka
menggotong jenazah Han Ji-yan ke luar gua, Beng Hoa dan Kim Bikki
membantu menggali liang lahat.
Saat menguruk tanah terakhir ke dalam liang lahat, tak tertahan
air-mata Boh Le-cu menetes.
Han Ji-yan pernah menjadi ibu tirinya dan musuh besarnya.
Dahulu hampir saja merusak masa remajanya, ayahnya
menjodohkan dirinya dengan Ho Lok, jelas hal ini adalah karena
dorongan Han Ji-yan. Kalau dia tidak membongkar muslihat Han Jiyan
yang bersekongkol dengan ayah Ho Lok, sungguh tak berani dia
membayangkan akibatnya Tapi lantaran kasus pernikahan yang gagal itulah sehingga dia
berkenalan dengan Tan Khu-seng, malah sejak mereka berkenalan,
nasib mereka seperti sengaja digandeng dan diseret, mereka samasama
menjadi korban gosip, sementara kasus itu sendiri belum
tersingkap, mereka harus berjuang mencuci bersih nama mereka.
Walau dalam delapanbelas tahun ini mereka jarang berkumpul, tapi
setiap pagi dan malam mereka sama-sama merasakan pujaan
hatinya selalu berada di sampingnya.
Cita-cita kedua yang menopang dia bertahan hidup adalah dia
harus hidup berdampingan bersama Tan Khu-seng sebagai suami
istri. Kini dendam kesumat sudah tuntas, habis hujan terbitlah
terang, maka cita-cita terakhir bukankah bakal terkabul juga"
Airmata masih berlinang, tapi sinar matanya bercahaya,
wajahnya pun sudah terang, wajahnya yang pucat tampak bersemu
merah. Itulah pertanda rasa lega dan senang. Katanya setelah
menghela napas, "Delapanbelas tahun sudah lewat, berat juga
hidup selama delapanbelas tahun ini."
Tanpa sadar Tan Khu-seng juga berkata, "Betul, syukurlah
kehidupan yang menyedihkan sudah lewat. Le-cu, masihkah kau
ingat waktu terakhir kali kita berpisah dulu, apa yang pernah kau
ucapkan waktu itu?" Beng Hoa beradu pandang dengan Kim Bik-ki, mereka menekap
mulut sambil menyingkir. Pada saat itulah seseorang bergelak tawa sambil berkata, "Kionghi,
kionghi. Agaknya kedatanganku tepat waktunya."
Beng Hoa berjingkrak girang, teriaknya, "Paman Thio, kau juga
datang." Yang datang adalah maling sakti nomor satu Kwi-hwe-thio.
"Apa maksud perkataanmu?" tegur Tan Khu-seng.
Kwi-hwe-thio tertawa, katanya, "Kebetulan masih sempat aku
mengucapkan selamat bagi kalian yang kejatuhan rejeki rangkap."
"Omong kosong," seru Tan Khu-seng, "kejatuhan rejeki rangkap
apa?"

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau dan Boh lihiap sudah saling tunggu delapanbelas tahun, kini
sakit hati sudah terbalas, bukankah ini terhitung rejeki besar" Rejeki
kedua sudah tentu tentang hubungan kalian berdua."
"Kenapa datang-datang kau lantas menggodaku?" semprot Tan
Khu-seng. "Laki-laki kawin perempuan menikah adalah kejadian lumrah,
peristiwa yang harus dibuat girang dalam setiap hidup manusia.
Kalian sudah menderita delapanbelas tahun, kenapa masih malumalu
kucing segala" Baiklah, Tan-heng agaknya kau tidak berani
bicara terus terang pada Boh lihiap, biar aku saja yang mewakilimu.
Bukankah kau ingin melamar Boh lihiap" Boh lihiap kau tentu
menerima lamarannya bukan" Hahaha, kalau kalian sudah tahu
sama tahu, aku yang menjadi comblang ini lebih leluasa bekerja."
Merah muka Boh Le-cu, menunduk tak berani buka suara. Dalam
hati Tan Khu-seng bersyukur ada comblang macam Kwi-hwe-thio
yang jenaka ini. Tapi di hadapan murid, betapapun dia merasa malu
dan kikuk. Supaya orang tidak terlalu melantur lekas' Tan Khu-seng
berkata, "Sudah, sudah, lekas katakan persoalan lain yang hendak
kau sampaikan kepadaku."
"Aku mendapat sebuah berita. Cui Po-san mengutus tiga jago
kosen istana pulang ke Sujwan untuk minta kiriman perbekalan
perang dan ransum. Hari itu aku membakar gudang ransum
mereka, walau tidak seluruhnya terbakar habis, tapi sisa ransum
yang masih ada hanya cukup sampai akhir bulan ini."
"Oh, jadi kau ingin minta ban-tuanku untuk mencegat tiga jago
kosen istana itu?" "Betul, kau memang pintar, sekali tebak kena sasaran. Kau kan
tahu, tidak sulit aku mengejar ketiga jago istana itu, tapi kalau
dikeroyok tiga jelas aku bukan tandingan mereka."
Setelah mengebumikan Han Ji-yan, lima orang ini turun gunung.
Kwi-hwe-thio bicara lebih lanjut, "Sudah setengah hari ketiga
jago istana itu berangkat,- tapi aku tahu jalan tembus yang lebih
pendek, dalam tiga sampai lima hari pasti dapat menyusul mereka.
Sekarang tak perlu terburu-buru menempuh perjalanan. Aku ingin
tahu mengapa nasib Han Ji-yan berakhir demikian mengenaskan,
tolong ceritakan kepadaku?"
Beng Hoa yang bercerita tentang kejadian tadi. Kwi-hwe-thio
menggelengkan kepala, katanya menghela napas, "Siapa nyana
Toan Kiam-ceng anak keparat itu ternyata lebih lihay lagi, padahal
hanya berapa hari dia bergaul dengan perempuan siluman itu,
tindak tanduknya ternyata lebih kejam dibanding perempuan
siluman itu." Lalu dia menyambung, "Kematian Han Ji-yan tidak
perlu disayangkan, paderi Thian-tiok itu adalah supek-nya,
kungfunya tinggi, tak nyana juga celaka di tangannya. Menurut apa
yang kutahu, paderi Thian-tiok ini bergelar Ka-siang, kungfunya
memang bersumber dari Lan-to-si, walau kepandaiannya belum
setaraf dengan Yu-tan Hoatsu yang menjadi hongtiang Lan-to-si,
tapi dibanding paderi sakti Thian-tiok yang lain yaitu Si-lo Hoatsu
kira-kira seurat lebih tinggi."
"Perempuan siluman itu bilang, Tok-kang-pit-kip miliknya sudah
direbut oleh Toan Kiam-ceng," demikian Kim Bik-ki menambahkan.
Tan Khu-seng menghela napas, katanya, "Golok dan pedang bila
di tangan kaum pendekar dapat menolong orang, kalau di tangan
kawanan rampok untuk membunuh orang, ilmu menggunakan racun
bukan tidak boleh dipelajari, tapi tergantung bagaimana dia
memanfaatkah kepandaiannya."
Kwi-hwe-thio tahu orang masih menyimpan setitik harapan
kepada Toan Kiam-ceng, semoga bocah itu kembali ke jalan lurus,
maka dia tidak banyak bicara lagi.
Sebelum turun gunung, sengaja mereka melewati jurang di mana
paderi Thian-tiok itu jatuh, cukup lama mereka mencari, anehnya
mayat paderi asing itu tidak mereka temukan, demikian pula Toan
Kiam-ceng entah sudah kabur ke mana.
Di saat mereka melanjutkan perjalanan, mendadak terdengar
derap lari kuda yang dibedal kencang. Tan Khu-seng berkata, "Yang
datang dua ekor kuda. He, agaknya masih ada seorang lagi yang lari
di sebelah depan." Derap lari kuda jaraknya masih ada beberapa li
jauhnya. Setelah makin dekat, mereka mendengar seorang yang sudah
dikenal suaranya membentak, "Tiong-locianpwee, lari ke mana pun
kau takkan bisa lolos, marilah ikut pulang saja. Kita kan sudah
termasuk orang sendiri, kalau bergebrak kan tidak enak dipandang
mata." Mendadak derap kuda berhenti, agaknya dua pengejar itu sudah
menyusul buronan yang mereka kejar. Terdengar buronan itu
berkata murka, "Masih bicara hubungan segala. Kalian memaksa
aku kembali bukankah hendak mencabut nyawaku yang sudah tua
ini?" Seorang lain berkata dingin, "Kau sudah hidup setua ini, kenapa
bertambah bodoh. Siapa suruh kau membawa serigala ke dalam
rumah, berbuat salah terhadap panglima kami" Atas perintah
jenderal, kami harus membekuk engkau. Kuharap kau ikut kami
pulang saja, kalau bentrok memang kurang enak, mungkin kau akan
lebih menderita." Beng Hoa bersuara heran, katanya, "Kedua orang itu adalah Thio
Hwe-seng dan Sun To-hing. Aneh, kenapa mereka mengejar dan
mau menangkap Tiong Bok-jong malah?"
Seperti diketahui, Cui Po-san kehilangan istri, tak berhasil
membekuk Toan Kiam-ceng, maka amarah dan penasarannya dia
jatuhkan ke Tiong Bok-jong, karena pengemis tua inilah yang
membawa Toan Kiam-ceng. Saking murka dia memerintahkan
menangkap Tiong Bok-jong dan menyuruh penggal kepalanya.
Syukur Tiong Bok-jong sudah mendapat kisikan !dari orang lain,
sebelum tertangkap, malam itu juga dia melarikan diri, namun dia
dicegat pasukan berkuda, badannya terluka di beberapa tempat.
Kini dia dikejar oleh Thio Hwe-seng dan Sun To-hing, dia tahu
betapa tinggi kepandaian kedua orang ini, umpama dirinya belum
terluka juga bukan tandingan kedua orang ini. Maka dia mengertak
gigi, serunya, "Jangan terlalu mendesak orang, jelek-jelek aku ini
punya nama juga, aku tak sudi mati di tangan anak buah Cui Posan,
biarlah aku menghabisi jiwaku sendiri."
Tan Khu-seng kaget, katanya, "Pandanglah muka kedua suhengnya,
Lo-thio lek^as kau menolongnya."
Sayang sekali, meski Kwi-hwe-thio adalah pelari cepat nomor
satu di seluruh dunia tapi tak sempat menolong Tiong Bok-jong dari
jarak yang begitu jauh. Setelah bilang "menghabisi jiwaku sendiri", Tiong Bok-jong lantas
terjun dari atas ngarai ke dalam jurang. Saat itu kebetulan Kwi-hwethio
baru tiba di mulut lembah.
Syukurlah terjadi peristiwa di luar dugaan, dari bawah jurang
mendadak melompat keluar seorang pengemis tua.
Tiong Bok-jong yakin dirinya pasti terbanting mampus dengan
badan remuk, tapi waktu dia membuka mata ternyata dirinya
berada dalam pelukan seorang pengemis tua yang wajahnya masih
amat dikenalnya. Pengemis tua ini sedang merebahkan dirinya
sambil membungkukkan tubuh memeriksa keadaannya, wajah yang
welas asih tampak berkeringat, sikapnya tampak gugup dan
khawatir, sikapnya seperti seseorang yang mengunjungi familinya
yang sakit parah, maka terunjuk betapa besar perhatiannya.
Tergetar perasaan Tiong Bok-jong, dia masih kenal pengemis tua
ini. Dia bukan lain adalah toa-suheng-nya Siau Ih-can yang sudah
berpisah hampir empatpuluh tahun lamanya.
Sungguh mimpi pun tak pernah terbayang olehnya dalam
keadaan begini dirinya akan bertemu dengan sang toa-suheng,
malah toa-suheng itu pula yang menolong jiwanya. Sesaat dia
melongo, baru sekarang dia betul-betul meresapi perasaan sesal
kemudian tak berguna. Jiwa memang selamat, namun bila ada
lubang angin ingin rasanya dia menyembunyikan diri.
Thio Hwe-seng dan Sun To-hing juga sudah melompat turun dan
memburu datang. Sun To-hing adalah jago kosen dariToa-seng-bun, memanjat
lereng gunung adalah kemahirannya, maka dia melompat turun
lebih dulu. "Sute," kata Siau Ih-can, "kau istirahatlah. Kedua cakar alap-alap
ini biar aku yang membereskan." Dengan langkah enteng dia maju.
Mendengar pengemis tua ini memanggil "Sute", Sun To-hing
amat kaget, katanya, "Kau ini Koan-pang-cu dari Kaypang atau Siau
tianglo?" "Losiu Siau Ih-can," ujar Siau Ih-can kalem. "Komohon kalian
membebaskan sute-ku."
"Sejak lama dia bukan murid Kaypang lagi, untuk apa kau
melindunginya?" bentak Sun To-hing gusar.
"Jelek-jelek dia tetap sute-ku, aku sudah mendapat ijin dari
pangcu untuk menyambutnya pulang," demikian kata Siau Ih-can.
"Bagus, kau boleh membawanya pulang asal kau mampu," Sun
To-hing bicara dengan ramah, tapi waktu mengucap "asal kau
mampu" perkataannya dipercepat dan keras. Semula dia bicara
ramah supaya Siau Ih-can tidak siaga karena menyangka dia tidak
menarik panjang urusan. Mendadak dia menubruk sambil
melayangkan tinjunya memukul muka tiga kali. Tiga jurus tinjunya
membarengi tiga patah katanya yang terakhir. Tiga jurus serangan
tinju ini merupakan jurus dari Ilmu Kera-nya yang lincah dan
tangkas, latihannya sudah sempurna, hingga susah diraba sasaran
yang diincar. Dia yakin satu dari tiga serangan tinjunya pasti dapat memukul
roboh Siau Ih-can. Tak nyana dua pukulan luput, pukulan ketiga
baru dilontarkan seketika dia merasakan pergelangan tangannya
kesemutan. Ternyata tinjunya tertangkap oleh Siau Ih-can.
Siau Ih-can menjengek dingin, "Kepandaian khusus yang lain
pengemis tua ini tidak mahir, tapi kepandaian menangkap ular
membekuk anjing adalah kcahlianku."
Ternyata gaya tangkapannya adalah gerakan menangkap ular
yang khusus menangkap leher ular.
Pada saat itulah, diam-diam Thio Hwe-seng sudah menyelinap ke
belakangnya Mendadak dia melompat keluar dari belakang batu
terus menusuk punggung orang dengan pedang.
Tiong Bok-jong menjadi gugup, bentaknya "Awas suheng,
sergapan belakang." Siau Ih-can menggentak lengan melempar tubuh Sun To-hing,
sigap sekali membalikkan tubuh menggenjot ke belakang.
Thio Hwe-seng adalah ahli waris Sam-jay-kiam, jurus Sam-hoakikting adalah jurus perguruannya yang paling ganas, satu jurus
tiga gerakan, masing-masing menusuk tiga sasaran atas, tengah
dan bawah punggung Siau Ih-can.
Tak nyana genjotan Siau Ih-can ternyata amat dahsyat. Delapan
dim sebelum mengenai tubuh lawan ujung pedangnya sudah
terbendung oleh tenaga dahsyat hingga serong ke pinggir, tanpa
Kuasa tubuhnya pun terlempar.
Tiong Bok-jong yang menonton di atas tanah sungguh terkejut
dan girang, juga menyesal. Tanpa sadar dia berseru memuji,
"Suheng, hebat benar pukulan Gun-goan-it-ou-kang." Seperti
diketahui, Gun-goan-it-ou-kang adalah salah satu ilmu sakti dari
Kaypang. Ayah Tiong Bok-jong yaitu Tiong Tiang-jong yang dahulu
menjabat Kaypang pangcu, semasa hidupnya menggetarkan Bulim
dengan Gun-goan-it-ou-kang. Sejak meninggalkan Kaypang, selama
empatpuluh tahun ini, diam-diam Tiong Bok-jong juga
memperdalam ilmu yang satu ini. Dia mengira dirinya sudah
mewarisi ilmu keluarganya, dalam dunia ini mungkin hanya^ dirinya
saja yang paling mahir dan tinggi kemampuannya. Siapa tahu
setelah menyaksikan permainan sang suheng, baru dia menyadari
kekerdilan pandangan dan pendapat sendiri, jelas dirinya masih
terpaut jauh dibanding kemampuan suheng-nya tadi.
Pada saat itulah, berkumandang derap kuda yang dibedal
kencang. Seorang penunggang kuda muncul dari mulut lembah
yang lain. Waktu itu Thio Hwe-seng sedang melayang jatuh.
Penunggang kuda ini adalah seorang perwira berusia setengah
umur, kebetulan dia menyongsong badan Thio Hwe-seng yang
melayang ke arahnya serta menyambut tubuhnya. Tapi bukan
disambut lalu diturunkan, tapi dia menjotos punggung orang malah.
Di tengah udara tubuh Thio Hwe-seng berputar arah, setelah
berputar setengah lingkaran, melesat miring ke sana Tapi tubuhnya
seperti dijinjing orang lalu diturunkan perlahan, waktu kedua
kakinya menyentuh tanah sedikit pun dia tidak terluka, tubuh pun
berdiri tegak. Ternyata orang itu memukul dengan tenaga
memunahkan tenaga, pukulannya dilontarkan dalam arah yang
berlawanan, memunahkan pukulan Siau Ih-can yang dahsyat itu.
Kungfunya menggunakan tenaga memunahkan tenaga memang
luar biasa, mau tidak mau Siau Ih-can tercekat hatinya, pikirnya, "Di
dalam pasukan kerajaan ternyata juga ada jago sekosen ini."
Sun To-hing dan Thio Hwe-seng sama-sama terluka, meski tidak
membahayakan jiwa tapi luka mereka tidak ringan. Setelah lolos
dari lubang jarum, mereka tidak berani bertempur lagi, seperti
berlomba saja mereka naik kuda terus melarikan diri.
Perwira yang baru datang melompat turun dari punggung kuda
serta maju mendekat. Dengan melirik angkuh dia memandang Siau
Ih-can, katanya, "Bagus, biar aku mencoba Gun-goan-it-ou-kang
Kaypang, apa betul-betul hebat."
"Biang" begitu sepasang tangan beradu, perwira itu hanya
tergeliat saja, sebaliknya Siau Ih-can menyurut mundur tiga langkah
baru berdiri tegak. Siau Ih-can menghela napas, "Aku memang
sudah lanjut usia, pukulanku tidak sedahsyat waktu muda dulu."
Siau Ih-can menyesali dirinya yang sudah lanjut usia, padahal
perwira ini juga amat kaget, batinnya, "Usianya sudah lanjut, aku
hanya mampu memunahkan tiga bagian pukulannya saja, kalau
pertempuran dilanjutkan belum tentu aku dapat mengalahkan dia."
Kungfu dengan tenaga memunahkan tenaga perwira ini diperoleh
dari seorang aneh yang tak diketahui asal-usulnya. Selama hidup dia
amat membanggakan kepandaiannya ini, dia beranggapan
latihannya dalam kungfu yang satu ini sudah mencapai taraf
tertinggi, sudah sempurna. Tak nyana hari ini bentrok dengan Gungoanit-ou-kang Siang Ih-can tubuhnya masih tergeliat, baru dia
sadar bahwa ilmu yang diyakinkan sebetulnya belum dapat
dibanggakan, pandangannya cupat seperti katak dalam tempurung.
Pada saat itulah Kwi-hwe-thio dan Tan Khu-seng sudah memburu
datang. Tan Khu-seng berteriak, "Siau-locianpwe, kau sudah
membereskan dua cakar alap-alap, yang satu ini serahkan
kepadaku." Sembari bicara dia meraih sebutir batu sebesar
kelereng, dengan dua jarinya dia menjentik batu itu. Dalam jarak
seratusan langkah batu itu meluncur dengan desing suaranya yang
keras ke arah perwira setengah umur itu.
Perwira itu amat kaget, batinnya, "Siapa orang ini, lwekang-nya
setangguh ini?" Baru kecil itu meluncur laksana meteor terbang,
hanya sekejap sudah tiba. Kepandaian perwira ini tinggi, namun dia
tak sempat berkelit lagi, untuk menyelamatkan diri terpaksa dia
menyambut batu kecil itu. Begitu dia menggerakkan telapak tangan,
ilmu menggunakan tenaga memunahkan tenaga sudah dia
praktekkan, namun lengan kanannya terasa pegal kesemutan,
padahal yang dia sambut hanya batu kecil sebesar kelereng.
"Hebat sekali Tam-ci-sin-thong-mu Tan tayhiap," seru Siau Ih-can


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memuji. "Kau ingin membekuk cakar alap-alap ini, biarlah
kuserahkan kepadamu."
Perwira ini baru tahu orang yang datang adalah ciangbunjin baru
Kong-tong-pay, pikirnya, "Tan Khu-seng memang tidak bernama
kosong, jauh lebih tangguh dari pengemis tua ini. Tak heran Hay
Lan-ja pun bukan tandingan muridnya." Dia yakin dirinya bukan
tandingan Tan Khu-seng, terpaksa dia melarikan diri.
Tan Khu-seng \ertawa, serunya, "Mengingat kau mampu
menangkap batu jentikanku, kali ini kubiarkan kau pergi."
Berempat mereka maju bersama memberi hormat kepada Siau
Ih-can. Kwi-hwe-thio bertanya, "Pengemis tua, bagaimana kau bisa
datang begini kebetulan" Agaknya kau sudah tahu mereka akan
mencelakai sute-mu di sini."
Siau Ih-can tertawa, katanya, "Memangnya aku dewa, mana
mampu meramal kejadian yang akan datang" Bukan kebetulan, tapi
berkat berita yang disampaikan Tan Khu-seng ke pihak kami."
"Tan-heng, bagaimana kau bisa tahu kejadian-hari ini?" tanya
Kwi-hwe-thio heran. "Sebelum aku ke luar perbatasan, aku titip kabar kepada seorang
murid Kaypang, kuberi tahu berita tentang sute-nya supaya
disampaikan kepadanya. Begitu saja," ujar Tan Khu-seng.
Kwi-hwe-thio manggut paham, katanya, "Betul, kenapa aku lupa.
Kaypang punya burung dara untuk mengirim berita. Pengemis tua,
mungkin setelah tahu jejak sute-mu maka kau menyusul kemari?"
"Betul, setelah aku tahu sute berada di tengah pasukan Cut Posan,
aku lantas memburu ke sini. Tapi aku tidak bisa masuk ke
markas, terpaksa aku keluyuran di sekitar sini. Agaknya Yang Maha
Kuasa memang memberi berkah kepada umatnya, syukur aku
akhirnya dapat menemukan dia. Aku pun sudah menguntitnya dari
jauh." "Pantas kedua keparat itu tak berhasil menunaikan tugasnya."
Malu dan menyesal merasuk hati Tiong Bok-jong, tak tertahan
dia mencucurkan airmata sedih, katanya, 'Toa-suheng, untuk aku
kau telah bersusah payah, aku tak tahu bagaimana aku harus bicara
dengan kau. Dahulu aku... aku... aku memang berdosa kepadamu."
Siang Ih-can menggoyang tangan, katanya, "Urusan masa lalu
tak perlu dibicarakan lagi. Hari ini kita bisa berkumpul lagi
pantasnya kita rayakan dengan riang gembira."
'Toa-suheng," kata Tiong Bok-jong, "aku mohon sesuatu
kepadamu." "Katakan saja, persoalan pelik apa pun aku akan membantu kau
menyelesaikannya." "Aku tahu dosaku berat dan tak terampunkan lagi, tak berani aku
memohon untuk diterima kembali ke dalam perguruan. Aku hanya
mohon bantuan toa-suheng untuk melaporkan kepada ji-suheng,
setelah aku mati ijinkan aku dikebumikan di pinggir pusara ayah
almarhum, berilah kesempatan padaku setelah mati biar bertobat di
alam baka." Siau Ih-can tertawa, katanya, "Jangan bicara yang tidak-tidak,
aku ingin memberi tahu kepada kau, ciangbun sute sudah
membicarakan hal ini kepadaku, asal kau pulang kau tetap adalah
Kaypang tianglo." Saking senang Tiong Bok-jong melelehkan airmata, katanya
sesaat -kemudian, 'Tan-heng, kaum pendekar seperti kalian, apakah
sudi mengampuni kesalahanku?"
"Manusia mana yang tak pernah salah, tahu salah lalu bertobat
adalah perbuatan terpuji. Asal kau bertobat setulus hati, kami tetap
menganggap kau sebagai orang sendiri."
"Mendengar jaminanmu, mati pun aku meram, satu hal aku pun
ingin mohon kepadamu."
"Soal apa, katakan saja," sahut Tan Khu-seng.
"Waktu berada di markas besar musuh, aku mendapat dengar
tentang rencana perang Cui Po-san. Tolong kau sampaikan berita
yang kudengar ini kepada Lohay."
"Bagus sekali," seru Tan Khu-seng girang. "Aku akan menyuruh
Beng Hoa segera pulang menyampaikan berita ini.'"
Tiong Bok-jong menarik napas, katanya, "Rencana perang Cui
Po-san sudah tentu takkan dibicarakan langsung kepadaku. Aku
hanya menduga-duga saja dari perintah yang dia keluarkan waktu
menggerakkan pasukan, kuduga dalam perang kali ini dia
menggunakan tipu bersuara di timur menggempur barat."
"Betul, boleh kau jelaskan apa yang kau dengar dan kau
saksikan. Di tempat Lohay ada Beng Goan-cau Beng tayhiap yang
mahir strategi perang. Dibantu Song Theng-siau tayhiap, kedua
orang ini pasti dapat meraba akal dan muslihat musuh."
"Kudengar karena perbekalan tidak mencukupi, Cui Po-san akan
mengakhiri peperangan ini secara cepat, dengan sedikit kekuatan
pasukannya dia akan menggertak dari depan, sementara kekuatan
inti pasukannya berputar dari Lo-wan-ciok lewat daerah yang
berbahaya langsung akan menyergap kalian dari belakang. Selama
beberapa hari ini kusaksikan beberapa kelompok barisan berangkat
di malam hari, semuanya menuju ke arah itu. Sesuai yang
kusaksikan, kurasa dugaanku tidak meleset."
Bergairah semangat Tan Khu-seng, katanya, 'Tahu kekuatan
sendiri tahu kekuatan lawan, setiap kali perang pasti menang.
Tiong-locian-pwe, beritamu ini tepat pada waktunya, aku yakin pasti
dapat membantu pasukan gerilya mengalahkan pasukan besar
musuh." Siau Ih-can pun tak kalah senangnya, katanya, "Sute, syukurlah
kau sudah memutuskan untuk menebus kesalahan dengan
menghancurkan musuh. Pahalamu kali ini sungguh besar."
"Aku hanya ingin menebus dosa-dosaku di masa lalu. Suheng,
terima kasih kau menerima permintaanku. Urusan penguburanku
selanjutnya tolong kau selesaikan."
Mendengar "penguburanku", Siang Ih-can berjingkat, teriaknya,
"Sute, kau jangan berbuat bodoh...." Bergegas dia memapah Tiong
Bok-jong, tapi sudah terlambat. Belum habis dia bicara, Tiong Bokjong
sudah roboh lunglai. Waktu dipapah napasnya sudah putus.
Sebetulnya luka-luka Tiong Bok-jong memang tidak ringan, bila
pulang dia pun malu bertemu dengan sesama saudara perguruan.
Maka setelah ditolong, dia sudah bertekad menebus dosa dengan
kematian. Siau Ih-can berkata rawan, "Sute, kau memang gegabah, susah
payah aku mencari dan menemukan kau, kau malah tega
meninggalkan kami semua."
"Siau-locianpwe," ucap Tan Khu-seng, "kau keliru. Selama
hidupnya sute-mu memang terlalu gegabah, tapi tidak untuk kali ini.
Meski kematiannya bukan cara penyelesaian yang paling baik, tapi
tekadnya perlu dipuji juga."
Siau Ih-can menatap Tan Khu-seng, sesaat dia masih bingung
belum paham apa arti perkataannya.
"Menyesali dosa dan perbuatan adalah kesadaran. Manusia mana
yang tidak akan mati, mati tanpa dosa tanpa penyesalan patut
disyukuri. Siau-locianpwe, tolong tanya, apa tujuanmu mencari sutemu
sekian puluh tahun" Kini harapanmu sudah tercapai, kenapa kau
harus berduka?" Siau Ih-can seperti dikemplang kepalanya, seketika dia sadar,
batinnya, "Betul, jerih payahku dengan satu harapan supaya sute
insyaf dan bertobat, kembali ke jalan benar, kini yang kuperoleh
sudah melampaui keinginanku semula. Sute juga sudah berusia
lanjut, berapa tahun aku bisa berkumpul lagi dengan dia atau
segera berpisah, apa pula bedanya?" Dari berduka dia menjadi lega
dan gembira, meski mengalirkan airmata tapi dia bergolak tawa.
Kata Siau Ih-can, "Betul, sadar akan kesalahan adalah perbuatan
bijaksana Sute meski terlambat kau bertobat, namun kau
memperoleh ketenteraman batin. Kita tak perlu malu berhadapan
dengan arwah guru di alam baka kelak. Sute-ku yang baik, biarlah
aku membawamu pulang." Di situ juga dia memper-abukan Tiong
Bok-jong. Setelah abu dibungkus rapi, Siau Ih-can berkata, "Tan-heng,
apakah kau sudah mendapat berita?"
Tan Khu-seng melenggong, tanyanya, "Berita apa?"
"Kami sudah mendapat kabar, setelah Hay Lan-ja mati, jabatan
komandan Gi-lim-kun sudah ada gantinya Konon untuk menuntut
balas kematian Hay Lan-ja, Gi-lim-kun bertekad menuntut balas
kepada Kong-tong-pay kalian. Saat ini karena peperangan sedang
genting, sementara mereka tunda. Tapi kalian harus waspada,
kuanjurkan kau lekas pulang saja."
"Berita ini belum kudengar, tapi hal ini sudah kuduga sejak mula
Sementara ini aku belum ada niat pulang ke Kong-tong-san."
Siau Ih-can heran, katanya, "Kau suruh muridmu pulang
memberi kabar kepada Lohay, kukira kau sudah mendengar kabar
ini, maka kau akan segera pulang ke Kong-tong-san."
"Memang aku akan pulang ke gunung, tapi sebelum pulang,
bersama Lo-thio aku akan membekuk tiga cakar alap-alap lebih
dulu." Lalu dia menuturkan tugas Wi To-ping bertiga yang menerima
perintah Cui Po-san pulang ke Sujwan untuk minta ransum.
Siau Ih-can bertepuk, serunya, "Bagus, biaraku ikut membantu
kalian. Kelak bila Kong-tong-pay kalian memerlukan bantuan, murid
Kaypang pasti berada di pihak kalian."
Tan Khu-seng amat senang mendapat janji Siau Ih-can, katanya,
"Syukurlah, melegakan sekali, banyak terima kasih."
"Kali ini kau banyak membantu kesulitan kami, aku belum sempat
mengucapkan terima kasih. Eh, kenapa sungkan." Sambil bicara
mereka turun gunung. Saat itu mereka sudah berada di kaki
gunung, Beng Hoa pamit kepada gurunya dan orang banyak lalu
berangkat bersama Kim Bik-ki.
Di jalan Kim Bik-ki berkata, "Bagaimana kalau kita pulang lewat
selat gunung yang dikatakan Tiong Bok-jong tadi?"
Beng Hoa tahu maksud orang, sekaligus menyelidik gerak-gerik
pasukan musuh, katanya tertawa,
"Boleh saja, meski tahu di atas gunung ada harimau, justru kita
sengaja lewat gunung itu."
Malam-malam mereka menempuh perjalanan. Sepanjang jalan
yang mereka lewati memang menemukan banyak tentara kerajaan
yang dipendam di sana, tapi dengan gin-kang mereka yang tinggi,
sama sekali tentara kerajaan tiada yang melihat mereka.
Menjelang fajar, mereka sudah tiba di luar markas Lohay semula,
tapi setelah laskar gerilya bergabung dengan pasukan Lohay,
mereka pindah tempat Setelah menemukan orang sebagai penunjuk
jalan, hampir menjelang lohor baru mereka bertemu dengan Lohay.
Setelah mendapat laporan, Beng Goan-cau dan Song Theng-siau
lantas berkumpul. Sementara itu Beng Hoa dan Kim Bik-ki juga baru
saja memasuki kemah, sebelum duduk Beng Goan-cau sudah
bertanya heran, "Hoa-ji, maha gurumu?"
"Suhu dan Bob^ lihiap tidak apa-apa. Han Ji-yan sudah mati.
Sekarang perlu kusampaikan dulu berita penting kepada kelo
sekalian." Lalu dia menceritakan .berita yang diucapkan Tiong Bokjong
di hadapan orang banyak. Terkejut dan girang Lohay bukan main, katanya, "Muslihat
mereka memang keji. Entah siapakah orangnya yang melarikan diri
dari markas musuh itu" Dapat dipercaya tidak?"
"Pembawa berita ini adalah pengemis tua yang pernah kemari
bersama Toan Kiam-ceng."
Beng Goan-cau heran, katanya, "Maksudmu Tiong Bok-jong?"
"Betul." "Bukankah dia murid murtad Kaypang" Bagaimana mungkin dia
berbalik membantu kita?"
"Dia terpaksa harus menyelamatkan diri. Menjelang ajalnya dia
sudah mendapat ampun dan dimaafkan oleh toa-suheng-nya yaitu
Siau tianglo dan menerimanya kembali sebagai anggota Kaypang.
Menjelang ajalnya itulah dia menyampaikan berita ini." Selanjutnya
Beng Hoa menceritakan pengalamannya bagaimana selama dua hari
ini dia mencari gurunya dan pertemuannya dengan Tiong Bok-jong
yang melarikan diri dalam keadaan luka parah.
Orang banyak menghela napas. Beng Goan-cau berkata,
"Perkataan seseorang yang menjelang ajal pasti dapat dipercaya,
kalau demikian berita ini pasti betul."
Beng Hoa berkata, "Kami pulang lewat selat yang mengitari Lowan-".
ciok itu, sepanjang perjalanan memang tidak sedikit kami
memergoki tentara kerajaan di sana."
"Baiklah," ucap Lohay. "Biar tipu kita balas dengan tipu, besok
kita harus bertindak lebih dulu, memendam kekuatan di puncak
gunung itu." Beng Goan-cau berkata, "Selama dua hari ini aku sudah meneliti
medan perang. Kudapatkan lembah gunung yang terletak di sebelah
barat sana berbentuk seperti terompet merupakan lembah buntu.
Kita bisa mengatur dan merencanakan sesuatu dengan baik lalu
memancing musuh masuk ke lembah buntu itu." Setelah mendengar
penjelasan Beng Goan-cau, Lohay bertepuk sambil memuji.
Maka rencana mulai diatur, pasukan dikerahkan, namun sejauh
itu Santala tidak diberi tugas, juga tidak menyinggung nama Beng
Hoa dan Kim Bik-ki. Beng Hoa menduga dirinya akan selalu
mendampingi sang ayah, maka dia tidak merasa resah. Beda
dengan Santala, berulang kali dia mohon petunjuk kepada Lohay.
Lohay tertawa,.katanya, "Kenapa kau gugup, nanti boleh kau
dengarkan perintah Beng tayhiap."
Setelah semua mendapat tugas, baru Beng Goan-cau berkata,
"Ho-ji, kau dan Kim Bik-ki tetap tinggal di sini, membantu Santala
mempertahankan pangkalan ini."
Santala rewel, serunya, "Semua saudara mendapat tugas perang,
kenapa aku ditugaskan menjaga rumah malah?"
"Limaratus pembidik yang paling terlatih kuserahkan kepadamu,"
demikian kata Lohay. "Aku lebih senang berperang di medan laga, aku tidak mau
berjaga di garis belakang."
Lohay berkata serius, "Jangan kau meremehkan tugasmu ini. Kau
harus tahu kekuatan kita terpaut jauh dibandingkan musuh. Seluruh
kekuatan kita boleh dikata dikerahkan untuk menyergap musuh, kau
hanya mendapat limaratus pemanah, coba kau pikir, betapa berat
tanggung jawab yang kau pikul" Kalau Beng tayhiap tidak
menghargai dirimu, putera dan menantunya tidak akan ditinggal di
sini untuk membantu engkau."
Lebih lanjut Beng Goan-cau menjelaskan pula, "Musuh mengira
kita masih dikelabui oleh rencana keji mereka, maka mereka pasti
mengira kekuatan inti kita akan bertahan saja, sisa kekuatan
mereka cukup untuk menahan serbuan kita. Tidak boleh
memastikan begitulah perhitungan musuh, juga sukar diduga bahwa
musuh pasti menyerbu."
"Betul," Lohay ikut bicara. "Prajurit kita keluar berperang, anakanak
dan kaum perempuan juga perlu dilindungi. Kita sudah
mengatur mereka bersembunyi di bukit-bukit sekitar timur sana. Bila
musuh menyerbu dari arah depan, kau harus bertahan mati-matian
sampai titik darah terakhir supaya mereka mendapat kesempatan
untuk mengundurkan diri."
Sekarang Santala insaf akan tanggung jawabnya yang berat,
katanya, "Kelo tak usah khawatir, biar batok kepalaku terpenggal,
musuh takkan kubiarkan membunuh anak-anak dan kaum lemah


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita." Dengan perasaan tegang mereka menunggu hingga tabir malam
menyelimuti jagat. Santala, Beng Hoa dan Kim Bik-ki menduduki
sebuah puncak bukit yang tak jauh letaknya dari pangkalan mereka
semula. Bukit tinggi ini cukup strategis letaknya. Kalau cuaca baik, dari
kejauhan mereka bisa mengawasi puncak di mana Lo-wan-ciok
berada, demikian pula lembah di mana pasukan gerilya dipendam,
jaraknya juga tidak terlalu jauh. Markas kerajaan yang tepat di
depan merekajuga tak jauh di depan gunung, jadi tiga arah dapat
mereka awasi. Mereka terus menunggu di tengah kesunyian. Kentongan ketiga
sudah berselang, mulai terdengar tambur bertalu-talu di arah
depan. Kejap lain suara tambur bersahutan di empat penjuru
pegunungan, menimbulkan gema suara di tengah malam gelap.
"Nah, musuh kiulai menyerbu," demikian teriak Beng Hoa dengan
berjingkrak girang. Beberapa kejap lagi, derap lari ribuan kuda mulai terdengar
laksana datangnya gempa, bumi terasa bergetar. Dalam lembah
sempit yang menjurus ke barat dari arah Lo-wan-ciok, sinar obor
yang memanjang tampak berliku-liku merambat maju. Satu hal
dapat diduga, peperangan sudah berlangsung dengan sengit.
Telapak tangan Beng Hoa sampai berkeringat, katanya, "Sayang kita
tidak melihat jelas, entah bagiamana keadaan di sana."
Santala penuh keyakinan, katanya tertawa, "Perhitungan ayahmu
tepat dan lihay, memangnya kau takut kita takkan menang?"
Kim Bik-ki juga berkata, "Betul, coba kau lihat, bukankah sesuai
dugaan, pasukan kerajaan berhasil dipancing ke dalam lembah di
sebelah barat itu?" Mendadak suara gembreng dan kentongan ditabuh bersama. Kali
ini tambur yang ditabuh seperti lebih besar, berpadu dengan
gembreng dan kentongan lagi. Jarak mereka ada duapuluhan li, tapi
paduan suara ini masih memekakkan telinga mereka.
Santala memaki, "Tentara kerajaan seperti ikan dalam jaring,
masih menabuh tambur segala, memangnya bisa menggertak kita"
Tapi Beng Hoa justru meleng-gong, mendadak dia berteriak,
"Wah, celaka!" Santala kaget, tanyanya, "Apa yang celaka?"
"Itulah tambur dan gembreng tanda menarik pasukan. Jelas
bukan tambur untuk mendorong semangat tentara menyerbu
musuh." "Menarik pasukan" Maksudmu pasukan kerajaan ditarik mundur?"
"Betul, panglima besar pasukan kerajaan entah bagaimana
mengubah siasat, maka dia menabuh tambur dan gembreng di
puncak depan itu supaya pasukan di depan mundur dengan
kecepatan paling tinggi."
"Lha, kan menguntungkan?" seru Santala. "Mereka tahu terjebak
dan bukan tandingan lalu mencawat ekor melarikan diri."
"Justru tidak menguntungkan. Dari situasi yang kita lihat, dapat
dipastikan pasukan musuh yang masuk jebakan dalam lembah itu
kukira belum ada separuh. Bila mereka mundur rencana
mengganyang habis musuh takkan terlaksana lagi."
Kim Bik-ki berkata, "Agaknya, mereka sadar kena tipu dan
terjebak." "Dengan kekuatan yang berlipat ganda, mereka menggerakkan
pasukan di malam hari, barisan terdepan baru bentrok dengan
musuh, umpama mereka segera sadar terjebak juga tak mungkin
secepat itu bisa menarik pasukan. Apalagi cara menarik pasukan
dengan tabuhan tambur dan gembreng itu seperti sudah disiapkan
sebelumnya, jelas atas perintah Cui Po-san sendiri. Kemungkinan
dia sudah tahu rencana kita, maka tambur dan gembreng yang
sudah disiapkan dibunyikan untuk menarik pasukan."
"Konon Cui Po-san pandai memimpin pasukan, begitu merasa
gelagat tidak menguntungkan lantas membunyikan tanda menarik
mundur pasukan, kurasa hal ini tak perlu dibuat heran."
'Tapi aku merasa khawatir," ujar Beng Hoa.
"Apa yang kau khawatirkan?" tanya Kim Bik-ki.
Mendadak suara tambur makin gencar, suara gembreng tidak
terdengar lagi, demikian pula suara kentongan di tengah suara
tambur yang gegap gempita. Terdengar pula gemuruh lari kuda
yang laksaan jumlahnya, bumi sampai bergetar.
Kali ini bukan lagi tanda menarik pasukan tapi tanda menyerbu.
Anehnya, suara tambur yang ini ternyata terdengar dari tempat
dekat. Dari tempat tinggi Beng Hoa dapat menyaksikan pintu besar
markas musuh di bawah gunung mendadak terpentang, cahaya
obor menyala benderang seperti siang hari. Bagai air bah, pasukan
kerajaan menyerbu ke arah pertahanan mereka di bawah gunung.
Menurut perhitungan Beng Goan-cau, musuh hanya
meninggalkan sedikit pasukan menjaga markas di saat pasukan inti
mereka menyerbu ke atas gunung, pasukan mereka takkan berani
menyerbu dari arah depan. Ternyata perhitungan ini meleset.
Santala mengangkat kedua lengannya sambil berteriak, "Bagus,
saat kita mengadu jiwa telah tiba."
"Tenangkan pikiran, jangan terlalu emosi. Mau adu jiwa juga
harus memakai perhitungan supaya musuh menderita korban lebih
besar, gugur satu ganti sepuluh."
"Betul, gugur satu ganti seratus. Beng-heng, hayolah kau yang
memimpin." Dengan penuh keyakinan dan ketabahan, Beng Hoa mengambil
alih pimpinan. Dia menyiapkan balok dan batu di pinggir gunung, di
bawah komandonya dia memerintahkan untuk menjatuhkan balok
dan batu-batu besar itu untuk memukul mundur pasukan musuh.
Tapi jumlah musuh terlalu besar, meski tidak sedikit pasukan
kerajaan yang binasa tapi mereka tetap menyerbu seperti semut.
Malah barisan dipecah, ada yang diperintahkan naik ke puncak
untuk menumpas gerakan mereka di atas gunung.
Di bawah kobaran api obor, tampak Cui Po-san bercokol di atas
seekor kuda besar berbulu coklat, seorang berseragam Gi-lim-kun
tampak mendampinginya. Perwira Gi-lim-kun ini pernyata bukan lain
adalah orang yang bergebrak dengan Siau Ih-can dan menolong
Thio Hwe-seng, akhirnya lari ketakutan setelah menyambut
sambitan batu Tan Khu-seng.
Perwira itu tampak membentak, "Muslihat kalian sudah kami
gagalkan, pertahanan kalian dengan jumlah yang tidak seberapa ini
seumpama belalang menghadang kereta, apa yang dapat kalian
lakukan. Hayo lekas menyerah saja."
Balok dan batu yang tersedia di atas puncak sudah hampir habis
dijatuhkan ke bawah. Batu-batu yang mereka kumpulkan seadanya
juga tak mampu membendung serbuan tentara kerajaan ke atas.
Pasukan kerajaan sudah merayap makin dekat.
Santala membentak, "Kentutmu busuk, pahlawan Uigior akan
gugur dengan berdiri di medan laga, mati pun takkan menyerah."
Bila pasukan kerajaan sudah tinggal ratusan langkah, mendadak dia
memberi aba-aba. Limaratus anak panah lepas dari busurnya,
limaratus pasukan berkuda musuh terjungkal roboh dari punggung
kuda, manusia dan kuda roboh saling tindih.
Cui Po-san gusar, lalu memberi perintah, "Tangkap semua orang
yang ada di atas gunung, peduli laki perempuan tua muda
seluruhnya harus diringkus kemari."
Perwira itu bergelak tawa, katanya, "Betul, sejak tadi seharusnya
ciangkun sudah mengeluarkan perintah ini, peduli tua muda besar
kecil seluruhnya diringkus, itulah cara paling manjur untuk
mengalahkan musuh." Sebetulnya perintah " ini memang
anjurannya. Santala amat murka, segera dia membidikkan panahnya ke leher
perwira in. Di tengah gelak tawanya, dia menjentik sekali, panah itu
. dijentik balik Perwira ini bernama Co Ceng-gay yaitu wakil komandan Gi-limkun
yang baru saja menjabat pangkat. Begitu menduduki
jabatannya, langsung dia mendapat perintah ke luar kota raja
dengan utusan pribadi sri baginda. Dia diutus menjadi penasihat
militer mendampingi Cui Po-san.
Dugaan Beng Hoa hanya betul separuh. Perubahan taktik perang
pasukan kerajaan bukan lantaran Cui Po-san membongkar rencana
mereka, tapi lantaran kedatangan Co Ceng-gay ini yang memberi
keterangan serta merancang taktik mengelabui musuh.
Waktu mengejar Tiong Bok-jong, Thio Hwe-seng dan Sun Tohing
terluka, tapi Co Ceng-gay tidak cedera sedikit pun. Waktu dia
tiba di markas besar Cui Po-san, saat itulah pasukan kerajaan di Lowanciok mulai melancarkan serbuannya. Tapi pasukan penyergap
ini diserahkan kepada wakil Cui Po-san untuk memimpin. Sebagai
panglima perang mana berani dia menempuh bahaya terjun ke
dalam kancah pepe^ rangan, maka dia tetap berada di markas
memegang tampuk pimpinan.
Mendengar laporan Co Ceng-gay, bahwa Tiong Bok-jong jatuh di
tangan musuh, sudah tentu dia menduga bahwa Tiong Bok-jong
membocorkan rencana militernya kepada musuh.
Perhitungan Beng Goan-cau memang tidak meleset, kekuatan
pasukan Cui Po-san yang tetap bercokol di markas pusat memang
hanya sepuluh ribu banyaknya, dibanding kekuatan laskar gerilya
malah kalah banyak. Sebetulnya Cui Po-san tidak berani menyerbu
secara gegabah, tapi Co Ceng-gay yakin bahwa pasukan gerilya
akan memasang perangkap, kemungkinan mengerahkan seluruh
kekuatannya untuk menyergap pasukan kerajaan. Maka dia
mengusulkan kepada Cui Po-san untuk membalas tipu musuh,
ketika pertahanan markas musuh kosong balas menyerangnya.
Cui Po-san paham taktik perang, ada Co Ceng-gay sebagai
pendukungnya lagi, sehingga hatinya lebih tabah. Karena itu dengan
mudah dia mengubah situasi, di samping memerintahkan pasukan
penyergapnya mundur, sementara pasukan yang dipimpin sendiri
menyerbu ke markas musuh. Co Ceng-gay mengusulkan pula untuk
menangkap rakyat jelata sebagai sandera, bila perlu untuk
mengancam Lohay supaya menarik mundur pasukannya atau
menyerah. Akhirnya Cui Po-san menurut.
Sepuluh ribu pasukan kerajaan kalau dibanding seluruh kekuatan
laskar gerilya memang jauh lebih sedikit, tapi dibanding limaratus
pemanah yang bertahan di markas mereka jelas berlebihan, berarti
satu lawan duapuluh, sudah tentu dia tidak perlu merasa takut lagi.
Tapi kalah atau menang terletak di tangan kelimaratus orang itu.
Meski pasukan penyergap kerajaan tidak seluruhnya masuk
perangkap, separuh di antaranya jelas tak tertolong lagi, sementara
sisa penyergap yang tak terjebak dalam waktu singkat juga susah
dikerahkan untuk menyerbu kemari. Tapi kalau pasukan Cui Po-san
yang sepuluh ribu itu berhasil menggempur pertahanan musuh
berarti situasi akan berubah seratus delapanpuluh derajat. Bila
pasukan kerajaan menggencet dari dua arah, apalagi keluarga suku
Uigior jatuh-ke tangan musuh, betapapun mereka takkan berani
sembarang bertindak. Berapa lama limaratus orang ini kuat bertahan, merupakan kunci
utama dari perubahan seluruh situasi peperangan ini.
Santala memang tidak malu di-agulkan sebagai pemanah sakti
dari suku Uigior. Anak buah seorang jenderal gagah takkan lemah,
limaratus anak buah yang dididiknya ini tiada satu pun yang lemah,
setiap bidikan panah mereka tiada yang meleset, satu panah satu
korban, entah manusia atau kuda pasti roboh binasa Dengan gagah
berani mereka mempertahankan benteng di atas puncak, tentara
kerajaan roboh saling tindih di kaki gunung.
Co Ceng-gay mengerutkan kening, katanya "Cui-ciangkun,
kudengar kepala pengawal pribadimu seorang ahli panah, kenapa
kita biarkan mereka bertindak sewenang-wenang?"
Cui Po-san menepuk jidat, katanya sadar, "Betul, biar kusuruh
Cui It-lun menghadapi mereka." Lalu dia memanggil Cui It-lun serta
memberi pesan kepadanya, "Lun-tit, hari ini adalah saatnya
menuntut balas, bawalah senbupemanah dan carilah posisi yang
menguntungkan, adu kekuatan memanah kalian dengan mereka.
Jumlah mereka hanya limaratusan orang, jumlah kalian dua kali
lipat, tentu kau dapat mengganyang habis mereka."
Waktu menjadi tawanan pasukan gerilya tempo hari, Cui It-lun
yakin dirinya pasti mati, tak nyana Beng Goan-cau bersikap ramah
dan melayaninya sebagai seorang yang punya kedudukan lalu
membebaskan dirinya, walau di hadapan Cui Po-san dia tidak berani
terus terang " dia bilang dirinya berhasil meloloskan diri " namun
dalam hati sudah timbul rasa simpati kepada laskar rakyat.
"Kita adalah bangsa Han, kenapa harus mempertaruhkan jiwa
raga untuk kepentingan raja penjajah" Suku Uigior hidup bebas,
menggembala ternak mereka di padang rumput, kapan mereka
melanggar hukum" Kalian justru menyerbu menduduki tanah
mereka serta menindas rakyat yang tidak berdosa, rakyat tak diberi
kehidupan aman dan tenteram, siapa yang salah" Dari ribuan li
kalian datang, menduduki tanah orang menguras harta benda
rakyat. Kalau menang perang, kalian yang punya kedudukan naik
pangkat mendapat hadiah, namun hanya tulang-tulang sisa
makanan atasan belaka. Kasihan prajurit biasa, mereka berkorban
jiwa dan raga, kapan mereka pernah hidup senang dan sejahtera,
berkumpul dengan keluarga" Celaka kalau kalah perang, mayat
mereka pun tak terkubur di tanah kelahiran, setimpalkah kalian
berperang?" pidato Beng Goan-cau hari itu masih mendengung
dalam benaknya. "Tak boleh aku membalas air susu dengan air tuba," demikian
batin Cui It-lun. "Goanswe tunduk pada petunjuk Co-tayjin, rakyat
jelata yang lemah harus ditawan dijadikan sandera. Perbuatan
durhaka melanggar hukum Yang Kuasa betapapun tak berani
kulakukan. Walau aku tak mampu mencegah atau menggagalkan
usaha gila ini, tapi syukur kalau aku dapat, mengulur waktu supaya
mereka memperoleh kesempatan melarikan diri."
Di samping kiri di mana bukit yang diduduki Santala terdapat
bukit juga, tingginya kira-kira sama, di sanalah letak yang
menguntungkan untuk balas membidik musuh. Pasukan
menggunakan busur panah buatan khusus, jarak yang dicapai lebih
jauh. Bila Cui It-lun berhasil menduduki bukit sebelah kiri itu, kedua
pihak saling bidik, limaratus anak buah Santala jelas akan
kewalahan, dan korban jelas akan jauh lebih besar.
Sudah tentu Cui It-lun tidak berani melawan perintah secara
terang-terangan, tapi otaknya yang encer mendapat akal bagus.
Sebelum dia mencapai puncak yang dituju dia sudah membentak,
"Siapa berani tampillah ke depan adu panah dengan aku, satu lawan
satu." Tanpa menunggu reaksi musuh, beruntun dia bidikkan tiga
batang panah ke puncak seberang.
Cui Po-san yang mengerutkan kening, "Kenapa Cui It-lun
bertindak seceroboh ini?"
Kalau di sini Cui Po-san mengerutkan kening, di atas bukit
Santala juga merasa heran.
Semula dia naik pitam, "Tempo hari aku mengampuni jiwamu,
masih berani kau menantang duel dengan aku."
Tapi tiga batang panah bidikan Cui It-lun ternyata melenceng
jauh. Begitu melihat luncuran panah orang, Santala lantas tahu
bahwa orang mengandung maksud tertentu, jelas, orang tidak
sejahat yang dia perkirakan.
Santala melenggong karena " panah orang melesat tinggi di atas
kepala mereka, katanya perlahan, "Bidikan panah Cui It-lun tak


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin melenceng sejauh ini."
Beng Hoa tertawa, katanya, "Masa kau masih tidak paham, dia
tidak berani melawan perintah tapi tidak sudi bertempur dengan
kita." Santala sadar, katanya, "Baiklah aku perlu membantu dia
mengelabui pimpinannya" Segera dia melompat ke atas batu besar,
bentaknya, "Naiklah keparat she Cui, kalau berani unjukkan dirimu,
kita duel panah satu lawan satu."
"Ser" sebatang panah dibidik-kan.
Seperti cara lawan, bidikan panahnya ini pun paling
menyerempet di atas pundak Cui It-lun, maksudnya tidak membidik
lawan roboh. Tak nyana begitu busurnya menjepret, kejap lain Cui
It-lun menjerit ngeri dan terjungkal roboh dari puncak bukit itu,
tubuhnya terguling ke bawah lereng. Bidikan panah Santala ternyata
telak mengenai musuh. Ternyata Cui It-lun sengaja menyerahkan pundaknya untuk
dimakan bidikan panah Santala. Sebagai ahli panah, begiti? melihat
luncuran panah, dia pun tahu maksud orang. Apa susahnya untuk
tnengelabui mata orang dengan mehgorbankan dirinya dari bidikan
panah yang semestinya tidak mengenai dirinya" Cukup dia keprak
kuda ke pinggir sambil menegakkan tubuh, panah itu lantas
menancap di pundak kirinya tapi juga sudah diperhitungkan tidak
akan mematahkan tulang pundaknya.
Sebagai kepala barisan ahli panah nomor satu dalam pasukan
kerajaan lagi, kini dia yang pertama terbidik panah musuh, sudah
tentu anak buahnya pecah nyalinya, siapa berani mendahului naik
ke puncak, beramai-ramai mereka menggotong pimpinannya" itu
turun gunung. Santala kaget juga girang, "Biar kudemonstrasikan kemahiranku
membantu Cui It-lun, supaya tidak ketahuan."
Separuh barisan panah pimpinan Cui It-lun sudah putar balik,
sebagian besar yang separuh juga tak berani maju lagi, tapi
sebarisan kecil yang berada paling depan belum lagi mengundurkan
diri. Santala meloloskan tiga batang panah, bentaknya, "Awas tiga
batang panahku ini akan memanah jatuh topi baja tiga orang yang
berdiri di tengah paling depan."
Topi baja mereka diikat dengan sabuk kulit supaya tidak jatuh di
kala bertempur, mana mungkin topi baja dibidik jatuh tanpa melukai
pemakainya" Tampak busur terpentang panah mendesing bagai kilat
menyambar. Begitu tiga batang panah Santala dibidikkan, tiga topi
baja di atas kepala penunggang kuda terdepan betul-betul jatuh
menggelinding di tanah. Pasukan kerajaan diam mematung,
suasana hening, hanya suara topi baja itu yang berkerontang
membentur batu. Bidikan panah Santala memang diperhitungkan dengan tepat,
ujung panahnya hanya membidik putus sabuk kulit tanpa melukai
pemakainya. Karena terkejut ketiga orang itu berjingkrak sehingga
topi baja mereka terpental jatuh.
Santala membentak lantang,. "Siapa berani naik akan kubidik
batok kepalanya." Kepala barisan mereka terluka, seribu pemanah itu sudah patah
semangat. Di bawah hardikan Santala, mereka berlomba lari turun
gunung. Semula Cui Po-san agak curiga melihat Cui It-lun terluka
lebih dulu, kalau mau disalahkan karena dia terlalu gegabah, namun
rasa curiganya menjadi berkurang.
Co Ceng-gay murka, bentaknya, "Pasukan panah tidak becus,
hayolah kita serbu beramai. Kerahkan seluruh pasukan yang ada,
injak rata bukit itu."
Cui Po-san terburu nafsu hendak menyerbu dari belakang musuh,
agar bisa menolong pasukannya yang terjebak, mengubah situasi
pihaknya yang terdesak. Dalam keadaan terpojok seperti ini,
terpaksa dia tidak memikirkan berapa korban bakal jatuh, dia
perintahkan seluruh kekuatannya menggempur. ' Meski limaratus
pembidik panah itu semua lihay, seratus kali bidik seratus kali kena,
akhirnya kewalahan juga diserbu selaksa pasukan musuh yang
merayap naik seperti semut. Barisan demi barisan pasukan kerajaan
ambruk, barisan demi barisan menerjang maju pula, patah tumbuh
hilang berganti, jelas sebentar lagi pasukan musuh akan mencapai
puncak. "Beng-toako," seru Santala, "pulanglah kau bersama nona Kim
Bik-ki memberi laporan."
"Tidak," sahut Beng Hoa, *!biar kita gugur bersama di sini."
Di saat genting itu, mendadak pekik sorak dan teriakan-teriakan
pertempuran menggelegar laksana guntur mengguncang bumi,
debu tampak mengepul tinggi di bawah gunung, hanya sekejap
mata, barisan tentara kerajaan tampak porak po-randa. Lekas Cui
Po-san mengeluarkan perintah, barisan depan menjadi barisan
belakang, barisan belakang menjadi barisan depan menyambut
serbuan musuh yang menyerbu dari bawah gunung.
Santala, girang setengah mati, serunya sambil berjingkrak,
"Hore, bala bantuan kita telah datang. He, aneh, dari mana
datangnya bala bantuan ini?"
Beng Hoa juga berdiri melongo, dengan seksama dia
memandang jauh ke bawah, katanya, "Ada seorang pimpinan
barisan berjubah putih, kelihatannya mirip pangeran Ulise dari suku
Jia-kek." Santala juga memperhatikan dengan seksama, dari pekik
perjuangan mereka dia dapat membedakan suaranya, katanya,
"Betul, yang datang memang orang-orang suku Jia-kek, bergabung
dengan suku Tay-hi."
Ternyata setelah ditolong Beng Hoa dua kali, akhirnya
menyaksikan sendiri dengan jumlah yang sedikit pasukan gerilya
berhasil mengalahkan pasukan besar kerajaan, kelihatannya saja
jumlah pasukan kerajaan besar tapi jumlah besar, bukan jaminan
Pendekar Lembah Naga 15 Duri Bunga Ju Karya Gu Long Tujuh Pedang Tiga Ruyung 1

Cari Blog Ini