Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 11
"Aku sendiripun tidak merasa Piauko ku baik segala-galanya, dia
sering enggan menemani aku bermain disaat sedang latihan silat,
waktu itu aku selalu merasa jengkel dan tidak senang. Eeh.... iya,
ceritaku tadi belum selesai, adikku ini bukan hanya siang hari saja
selalu memuji siau susioknya, di saat malam, waktu tidur pun
seringkali dia memikirkan siau susioknya!"
"Orang lain sedang tidur nyenyak dan bermimpi, darimana kau
bisa tahu apa mimpinya?" sela Seebun-hujin sambil tertawa.
"Selama ini aku toh tidur bersamanya, seringkali dia mengigau
sambil memanggil nama siau susioknya, masa aku tidak tahu?"
Lan Sui-leng yang polos dan tidak punya pengalaman sama sekali
tidak sadar kalau gadis itu sedang bergurau, dengan nada setengah
percaya setengah tidak ujarnya, "Aaah, masa sungguh begitu"
Ibuku seringkali berkata, adikku terkadang suka mengigau, tapi aku
tidak pernah mengigau, biar hanya satu kali pun."
Seebun Yan tertawa terpingkal-pingkal saking gelinya.
"Mungkin saja sewaktu masih kecil dulu kau tidak pernah
mengigau, tapi di saat dewa asmara mulai bersemi dihati, tidak
aneh kalau mulai mengigau. Tapi sumpah, aku bicara sebenarnya,
sama sekali tidak membohongimu!"
Sekarang Lan Sui-leng baru sadar kalau sedang dibohongi,
kontan teriaknya, "Oooh.... rupanya kau sengaja mengarang cerita
untuk meledek aku" Ogah, ogah.... aku tidak mau dengar lagi!"
"Sudah, jangan ribut lagi," tukas Seebun-hujin sambil tertawa,
"anak Leng, aku masih ingin bertanya satu hal lagi, siau susiokmu
itu wajahnya mirip siapa" Apakah mirip bapaknya?"
Seebun Yan tidak kuasa menahan rasa gelinya, sambil tertawa
cekikikan tegurnya, "Ibu, kau ini ada-ada saja, masa sampai bentuk
wajahnya pun kau perhatikan. Memangnya ingin mencari menantu"
Tapi Bouw It-yu masih terhitung paman gurunya, jadi soal tingkatan
kurang sesuai gitu."
"Sudah, jangan berisik lagi, aku mau dengar cerita adikmu dulu."
Kalau dilihat dari tampang Seebun-hujin, tampaknya dia bukan
sedang bergurau tapi benar-benar ingin mengetahui segala sesuatu
tentang Bouw It-yu, termasuk juga bentuk wajahnya.
Kebanyakan putra mempunyai wajah yang mirip ayahnya, tapi
Seebun-hujin masih secara khusus mengajukan pertanyaan itu,
bertanya apakah Bouw It-yu wajahnya mirip ayahnya. Pertanyaan
yang diajukan begitu teliti dan seksama, coba kalau berganti orang
lain pastilah hal ini akan menimbulkan keanehan.
Tapi Lan Sui-leng masih polos dan jujur, hati kecilnya sama sekali
tidak diliputi kecurigaan atau praduga lain, hanya pikirnya, "Seebunhujin
adalah sobat lama Bouw Ciong-long, sudah belasan tahun
tidak pernah bersua dan kini setelah mengetahui putra sobat
lamanya sangat menonjol dalam dunia persilatan, tidak aneh bila dia
menaruh perhatian khusus. Ehmm.... sudah pasti semasa muda dulu
Bouw Ciong-long berwajah tampan, karena itu dia banyak
bertanya." Berpikir sampai disitu, diapun menyahut, "Aku sendiri tidak bisa
membedakan. Tapi rasanya agak mirip, seperti juga kurang mirip."
Kontan Seebun-hujin berkerut kening. "Kenapa di depan kata
mirip kau tambahkan perkataan rasanya" Coba terangkan lebih
jelas, dibagian mana dia mirip dan bagian mana pula yang tidak
mirip?" "Aku tidak seberapa menaruh perhatian, tapi perasaanku
sepasang mata Bouw-susiok agak mirip dengan mata ayahnya.
Sewaktu mereka sedang mengawasi seseorang, sorot matanya
seolah mempunyai daya tarik yang bisa membuat orang jadi
terpesona. Tentu saja aku belum pernah dipandang seperti ini oleh
Bouw-susiok maupuh ayahnya, Tonghong Toako yang mengatakan
hal ini kepadaku. Dia bilang, sewaktu bertarung melawan Bouw
Ciong-long, dia merasakan akan hal itu."
"Tapi kau bilang tadi kalau ayah beranak itu mempunyai sorot
mata yang sama, berarti siau susiok pun tentu pernah menatapmu
dengan cara begitu bukan," sela Seebun Yan sambil senyum tidak
senyum. Seebun-hujin ikut tersenyum, katanya pula, "Ehmm,
pengamatanmu memang sangat teliti. Masih ada yang lain?"
Sementara dalam hati pikirnya, "Apa yang dikatakan bocah
perempuan ini memang tepat sekali, ketika pertama kali saling
bersentuhan dengan sorot mata Bouw Ciong-long, aku pun
merasakan daya pesona itu, membuat aku nyaris merinding dan
bergidik...." Sementara itu Lan Sui-leng telah berkata lebih jauh, "Selain
matanya, bentuk hidung maupun wajahnya kurang mirip dengan
ayahnya, menurut aku, dia malah lebih mirip dengan seseorang...."
Tampaknya perkataan yang terakhir itu timbul setelah satu
ingatan tiba-tiba melintas dalam benaknya, tapi dia segera
merandek dan tidak dilanjutkan, sementara mimik muka aneh
menyelimuti wajahnya. "Mirip seseorang" Siapa?" desak Seebun-hujin.
"Rada-rada mirip dengan enci Yan," kata Lan Sui-leng sambil
tertawa. "Omong kosong!" teriak Seebun Yan jengkel, "mana mungkin
bisa mirip aku?" "Sungguh, aku tidak berbohong, semakin dipandang aku merasa
semakin mirip." "Waah, kalau dia lebih mirip ke wajahku, kesannya malah makin
tidak mantap. Kalau seorang lelaki punya raut muka mirip wanita,
bagaimana mungkin bisa dibilang kalau tampangnya gagah dan
penuh kelaki-lakian?" seru Seebun Yan sambil tertawa.
"Gagah dan jiwa kelaki-lakian toh tidak bisa dinilai dari tampang
muka seseorang." "Benar juga perkataanmu, Thio Liang, salah satu dari tiga orang
ksatria jaman dinasti Han punya paras muka mirip wanita, tapi dia
toh tetap berani melaksanakan tugasnya membunuh kaisar Chin.
Ehmm, mungkin ini yang dinamakan dari balik pandangan kekasih
muncul See-si (see-si adalah wanita cantik yang tersohor di china
daratan jaman kuno). Aaah.... bukan.... bukan.... mungkin lebih
pantas disebut dari balik pandangan kekasih muncul PhoaAn!"
"Lebih baik kau simpan kata-kata dari balik pandangan kekasih
muncul Phoa An untuk Piauko mu nanti."
Mendadak Seebun-hujin terbungkam dalam seribu bahasa,
terhadap gurauan ke dua orang gadis itu dia seakan tidak melihat
maupun mendengar. Dalam pandangan matanya seakan telah muncul bayangan tubuh
Bouw Ciong-long, tentu saja bayangan Bouw Ciong-long semasa
masih muda dulu. Waktu itu semua orang mengatakan kalau mereka adalah
sepasang muda mudi ciptaan Thian yang paling sempurna.
Bouw Ciong-long telah tergila gila oleh kecantikan wajahnya,
sementara diapun tidak kuasa melawan daya pengaruh yang tampil
dari sepasang mata Bouw Ciong-long.
Dia bahkan masih ingat, suatu ketika Bouw Ciong-long pernah
mengucapkan kata-kata demikian kepadanya, dia berharap bisa
memiliki seorang putri yang wajahnya sangat mirip dengan dirinya.
Dia paham dengan maksud perkataan itu yakni berniat
melamarnya untuk kawin, tapi dia pura-pura berlagak bodoh,
katanya saat itu, "Kaupun seorang pria tampan, memangnya
khawatir tidak bisa mempunyai seorang putri yang cantik?"
Waktu itu di rumah keluarga Bouw Ciong-long sedang bersiapsiap
untuk melakukan lamaran, yang dilamar adalah seorang gadis
dari keluarga kenamaan, selain berparas cantik bahkan tersohor
sebagai gadis tercantik di tempat itu.
Oleh karena itulah dia sengaja tidak mengatakan "kau adalah
pria tampan, memangnya khawatir tidak bisa mendapat jodoh
wanita cantik". Bouw Ciong-long tahu kalau dia telah menampik cintanya, sambil
menghela napas diapun berkata, "Jika dibandingkan orang lain,
mungkin aku tidak terhitung jelek, tapi berada dihadapanmu, aku
hanya merasa rendah diri. Eehmm, aku aku kalau diriku tidak pantas
mendampingimu, tapi keinginan dan hasratku ini tidak pernah akan
kulepaskan untuk selamanya. Kau....
kalau kau bersedia memberi kemurahan hati...."
Paras mukanya waktu itu kontan berubah jadi merah padam,
belum selesai mendengar perkataannya, dia sudah kabur dari situ.
"Sayang Siau-Yan bukan putrinya, tapi jika wajah Bouw It-yu
benar-benar mirip aku, sudah pasti dia akan merasa terhibur
hatinya," pikir Seebun-hujin selesai mendengar perkataan dari Lan
Sui-leng tadi. Seebun Yan mulai memperhatikan perubahan mimik wajah
ibunya, dia segera menegur, "Ibu, apa yang sedang kau pikirkan?"
"Aku tidak memikirkan apa apa!" jawab Seebun-hujin dengan
perasaan terperanjat. "Ibu, kau sedang membohongi aku," kembali Seebun Yan berkata
sambil tertawa, "sejak tadi kau hanya mengawasi adik dengan
termangu-mangu, aku tahu kau pasti sedang memikirkan...."
Seebun-hujin tersenyum, mengikuti nada pembicaraan putrinya
cepat dia menyambung, "Dasar setan pintar, lagi-lagi jalan pikiranku
berhasil kau tebak, benar, ibu memang sedang memikirkan
sesuatu." Sambil berpaling, tanyanya lagi kepada Lan Sui-leng, "Tahun ini
berapa usia Bouw It-yu?"
"Aku tidak tahu, mungkin sekitar dua puluh tahunan."
Padahal tidak usah ditanya pun Seebun-hujin sudah tahu dengan
jelas berapa usia Bouw It-yu tahun ini.
Ujarnya kemudian kepada Lan Sui-leng sambil senyum tidak
senyum, "Tahukah kau, apakah dia pernah tunangan?"
"Aku tidak tahu," sambil menjawab Lan Sui-leng menundukkan
kepalanya makin rendah. "Ibu, masa dengan cara begini kau bisa mendapat keterangan?"
sela Seebun Yan sambil tertawa.
"Siapa bilang tidak bisa," jawab Seebun-hujin sambil tertawa
pula, "kalau dia mengatakan tidak tahu, berarti Bouw It-yu belum
bertunangan." Kelihatannya Seebun Yan sedang bermain sandiwara dengan
ibunya, dia berlagak tidak paham, tanyanya, "Kenapa begitu?"
"Coba bayangkan saja, Bouw It-yu masih muda dan gagah,
diapun putra tunggal Ciangbunjin baru Bu-tong-pay, kehadirannya
diatas Bu-tong sudah pasti sangat menonjol dan menarik perhatian
orang, masa tidak ada orang yang diam-diam membicarakan
tentang dia?" "Adikku, benarkah begitu?" Seebun Yan segera bertanya.
"Aku tidak begitu tahu apa yang dibicarakan saudara-saudara
seperguruan laki, tapi beberapa Suci yang kukenal memang hampir
setiap hari membicarakan tentang dirinya."
"Apa saja yang mereka bicarakan?"
"Bicara tentang ilmu silatnya, wajahnya, kejadian-kejadian yang
telah dilakukannya dalam dunia persilatan dan lain sebagainya.
Hanya saja, mereka memang belum pernah menyinggung soal
apakah dia telah bertunangan atau belum."
"Apakah berapa para Suci mu itu memang biasanya suka
mencampuri urusan orang lain?"
"Betul," sahut Lan Sui-leng sambil tertawa, "malah salah seorang
diantaranya tersohor karena mulutnya yang cepat."
"Ibu, ternyata dugaanmu tepat sekali!" seru Seebun Yan
kemudian sambil tertawa. "Aku juga tahu kalau kau tidak kelewat bodoh."
Lan Sui-leng boleh dibilang masih polos, meski agak malu malu
namun tanyanya juga, "Beberapa orang suci itu belum pernah
menyinggung soal pertunangannya, lalu darimana kalian bisa tahu
kalau dia memang belum bertunangan?"
Seebun Yan segera tertawa cekikikan.
"Beberapa orang Suci mu paling suka mencampuri urusan orang
lain, bila Bouw It-yu sudah bertunangan, masa mereka tidak akan
mengangkatnya sebagai bahan pembicaraan?"
"Mungkin saja mereka masih belum tahu?"
"Tiong-ciu Tayhiap Bouw Ciong-long adalah seorang tokoh
persilatan yang amat tersohor di kolong langit, bila dia telah
mencarikan jodoh untuk putranya, pihak perempuan sudah pasti
berasal dari keluarga kenamaan juga, masa tidak secuil pun kabar
beritanya tersiar dalam dunia persilatan" Bila beberapa suci mu
yang gemar mencampuri urusan orang lain pun gagal memperoleh
berita, hal ini membuktikan kalau keterangannya merupakan
kenyataan." Lalu sambil tertawa lanjutnya, "Ibu, ternyata ganjalan di hatimu
adalah ingin mencarikan jodoh buat adik."
Tentu saja 'ganjalan hati' Seebun-hujin bukan lantaran masalah
itu, namun dia segera mengakuinya dan menyahut sambil tertawa,
"Karena kau sudah punya kekasih, tentu saja aku harus memikirkan
untuk adikmu. Meski anak Leng hanya murid tidak resmi dari Butongpay, tapi sekarang dia sudah menjadi putri angkatku, berarti
soal status dan kedudukan dia sudah seimbang dengan Bouw It-yu."
Buru-buru Lan Sui-leng berseru, "Gibo, aku baru saja datang, kau
dan cici sudah meledekku habis-habisan, aku...."
"Masalah perkawinanmu adalah masalah besar, mana berani aku
menganggapnya sebagai gurauan" Hanya saja usiamu memang
masih kecil, akupun sudah hampir tiga puluh tahunan tidak pernah
bersua dengan Bouw Ciong-long, meski punya keinginan tersebut,
rasanya kita akan bicarakan di kemudian hari saja."
"Ibu pilih kasih...." teriak Seebun Yan manja.
"Aku pilih kasih?"
"Begitu adik muncul, kau segera mencarikan lelaki yang dalam
pandanganmu terbagus untuk dijodohkan menjadi calon suaminya."
"Memangnya kau akan berebut Bouw It-yu dengan dirinya?" kata
Seebun-hujin sambil tertawa.
"Aaah ibu, kau semakin melantur, aku hanya merasa kau tidak
adil dalam membagi cinta."
"Benarkah begitu?" kata Seebun-hujin sambil tertawa, "lelaki
paling bagus dalam pandanganmu adalah Piauko, memangnya kau
khawatir Piauko tidak akan meminangmu" Baiklah, kalau toh kau
sudah berkata begitu, biar setelah Piauko pulang nanti, aku segera
akan menjodohkan kalian berdua."
Pada mulanya Seebun-hujin hanya bermaksud bergurau, tapi
kemudian dia menganggap ada baiknya juga bila menjodohkan Lan
Sui-leng dengan Bouw It-yu.
Lan Sui-leng polos, lincah dan menarik, dalam sekali pandang dia
telah menyukainya. Maka perasaan hatinya sekarang tidak ubahnya
seperti seorang ibu yang menemukan seorang nona yang cantik
kemudian ingin mengambilnya sebagai menantu.
Terlebih Seebun Yan, dia sangat berharap hal ini bisa menjadi
kenyataan. Sebab biarpun dia percaya Tonghong Liang tidak akan
berubah cintanya, namun apabila Lan Sui-leng sudah punya suami,
maka dia semakin tidak perlu merasa khawatir lagi.
Ibu dan anak mempunyai keinginan yang sama, juga pemikiran
yang sama, Bouw It-yu adalah putra dari orang kenamaan, bila Lan
Sui-leng benar-benar ingin dijadikan istrinya, berarti dia harus
dididik agar bisa menonjol pula dalam dunia persilatan, dengan
begitu dia baru pantas mendampingi Bouw It-yu.
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam hal wajah, Lan Sui-leng dan Bouw It-yu memang serasi,
tapi kepandaian silatnya masih terpaut jauh sekali.
Oleh karena itulah sejak hari ke dua, mereka ibu dan anak benarbenar
bekerja sama untuk wariskan ilmu silat kepada Lan Sui-leng.
Tapi ada satu hal yang membuat mereka merasa sedikit tidak
tenang, tanpa terasa Lan Sui-leng sudah tiga bulan lamanya tinggal
di rumah mereka, namun Tonghong Liang belum juga nampak
kembali. Padahal menurut perkiraan mereka, paling dalam sebulan
dia harus sudah kembali. Lan Sui-leng sendiri meski berharap Tonghong Liang segera
kembali, namun dia pun takut melihat pemuda itu muncul di
hadapannya. Khususnya setiap kali teringat akan janjinya dengan
Bouw It-yu, menggunakan cara apa pun untuk mencelakai nyawa
Tonghong Liang. "Sebenarnya manusia macam apakah Bouw It-yu itu?"
Persoalan ini pernah ditanyakan Seebun-hujin kepadanya dan hal
itu justru masalah yang paling mengusik hatinya selama ini.
Bagaimanapun baiknya sikap Bouw It-yu kepadanya, namum
penampilan siau susioknya benar-benar jauh diluar lingkup
pemahamannya. Tapi persoalan yang benar-benar membuatnya khawatir adalah
masalah adiknya, bagaimana keadaan adiknya sekarang" Benarkah
dia masih berada di kuil Siau-lim"
Sudahkah Tonghong Liang berjumpa dengannya" Tahukah dia
kalau ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang diajarkan gihunya
adalah ilmu pedang palsu"
Berbagai persoalan inilah yang ingin diperoleh jawabannya dalam
waktu singkat. Oleh sebab itu kendatipun dia sedikit takut melihat kepulangan
Tonghong Liang, namun dia masih tetap berharap Tonghong Liang
bisa secepatnya tiba, sebab dari mulut Tonghong Liang lah dia baru
mendapat tahu kabar berita tentang adiknya.
Dia masih belum melupakan peringatan Bouw It-yu kepadanya,
"Jika kau tidak membunuh Tonghong Liang, dia bisa mencelakai
adikmu hingga nama rusak nyawa melayang!"
Dia tidak percaya kalau Tonghong Liang adalah orang jahat, tapi
dalam kenyataan Tonghong Liang pernah naik ke Bu-tong dan
menantang berduel, sejak itu seluruh anggota perguruan Bu-tong
telah menganggapnya sebagai musuh bersama.
Terlepas dia mau percaya atau tidak, hubungan adiknya dengan
musuh perguruan jelas bisa merusak nama baiknya.
Tapi bagaimana bila adiknya kembali ke gunung Bu-tong" Bahaya
yang mengancam jelas akan makin besar! Adiknya mempunyai
seorang ayah angkat yang berjiwa busuk dan licik, mana mungkin
tidak membuatnya jadi risau" Sebenarnya dia ingin sekali
memberitahukan ancaman bahaya ini kepada adiknya, tapi kini dia
sudah terkurung di rumah Seebun Yan, satu satunya jalan adalah
berharap Tonghong Liang segera kembali.
Seebun Yan, Seebun-hujin serta dirinya hampir tiap hari
mengharapkan kemunculan Tonghong Liang, akhirnya hari yang
ditunggu pun tibalah. Ada orang yang telah 'kembali', tapi sayang yang kembali bukan
Tonghong Liang. Dia adalah salah satu diantara ke tiga tamu yang
diusir Seebun-hujin tempo hari.
"Siapa yang datang?" tanya Seebun-hujin kepada dayang yang
masuk memberi laporan. "Orang yang berdandan seperti siucay itu!" jawab Di-giok.
Kontan Seebun-hujin mendengus.
"Orang ini bergelar Im-kian-siucay (pelajar dari alam baka) dan
bernama Liok Ki-seng, wataknya justru kebalikan dengan arti
namanya. Aku paling benci bertemu orang ini. Sudah kubilang
mereka dilarang balik lagi kemari, kurang ajar benar, ternyata dia
masih berani datang menghadap! Cepat usir orang itu dari sini!"
"Lapor lo-Hujin, akupun tahu kalau dia pernah kau usir,
sebenarnya aku melarangnya masuk pintu, tapi....
Cuma...." "Cuma kenapa?" "Dia bilang, dia mempunyai berita tentang piau-sauya yang
hendak disampaikan kepada Hujin!"
Biarpun yang datang bukan Tonghong Liang, namun dia
membawa kabar berita tentang dirinya!
Seebun Yan jadi kegirangan setengah mati, buru-buru serunya,
"Cepat undang dia masuk ke dalam!"
Seebun-hujin mendengus. "Hmm, belum lagi diketahui beritanya benar atau bohong,
kenapa kau sudah keburu girang setengah mati?"
Begitu melihat Liok Ki-seng masuk ke dalam ruangan, dengan
hati tidak sabar Seebun Yan telah bertanya, "Konon kau mengetahui
kabar berita tentang Piauko ku?"
Sesudah memberi hormat kepada Seebun-hujin, Liok Ki-seng
dengan penuh hormat baru menjawab, "Benar, kalau bukan
lantaran persoalan ini, mana ku berani datang mengganggu
ketenangan lo-Hujin."
"Kalau begitu cepat katakan, berada dimana dia sekarang?"
"Saat ini Piau-heng anda sudah tiba di Toan-hun-kok."
"Mau apa dia ke Toan-hun-kok?" tanya Seebun Yan agak
melengak, "kau dapatkan berita ini dari mana?"
"Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri."
"Yan-ji," tukas Seebun-hujin kemudian, "kau jangan menukas
terus. Liok sianseng, coba kau tuturkan pelahan-lahan, apa yang
telah kau saksikan?"
"Lapor Hujin, oleh karena kami bermusuhan dengan pihak Toanhunkok, maka selama ini selalu mengutus orang untuk mencari
tahu gerak gerik lawan. Hari itu kebetulan aku sedang bersembunyi
di mulut Toan-hun-kok, tiba-tiba kusaksikan keponakanmu muncul
disitu, aku merasa keheranan, maka tanpa menggubris jejak kami
bakal ketahuan musuh, dengan melempar batu kami giring dia naik
gunung." "Kalau begitu kau pernah berbincang dengannya?" tidak tahan
Seebun Yan bertanya. "Benar. Akupun bertanya kepadanya: tahukah kau bahwa ToanhunKokcu Han Siang pernah bermusuhan dengan pamanmu,
bahkan pamanmu sebenarnya ingin membunuh dia, hanya karena
nasibnya lagi mujur hingga dia lolos dari target pembantaian."
"Lalu apa jawabannya?"
"Dia bilang persoalan ini adalah urusan angkatan tua, lagipula
kejadian sudah lewat banyak tahun, dia tidak ingin membuat
perhitungan untuk angkatan lama."
"Ehmm, apa yang dia katakan memang agak masuk akal," ujar
Seebun-hujin sambil manggutmanggut, "dalam peristiwa dimasa
lalu, memang harus diakui tindakan suamiku sedikit agak brutal dan
mau mencari menangnya sendiri, kalau dibilang apa salahnya,
sebetulnya orang-orang itu hanya enggan mentaati perintah, mau
dibilang salah pun kesalahan semacam ini tidak perlu harus dibantai
hingga seakar-akarnya."
"Ibu, kenapa kau malah membantu orang luar?" protes Seebun
Yan, "orang yang bernama Han Siang itu bukan saja dimasa lalu
pernah menyalahi ayah, bahkan...."
"Aku tahu," tukas Seebun-hujin cepat, "sekarang merekapun lagilagi
menyalahi bekas anak buah ayah-mu, tapi dalam masalah
hutang lama, aku tidak ingin mencampurinya. Mengenai hutang
baru" Itu mah harus dilihat dulu bagaimana perkembangan
dikemudian hari, untuk sementara ini aku tak ingin
mencampurinya." Biarpun Seebun Yan adalah gadis yang suka menuruti suara hati
sendiri, namun diapun seorang gadis yang cerdas, begitu
mendengar perkataan ibunya dia langsung paham, segera pikirnya,
"Betul juga, kenapa aku harus membeberkan urusan pribadiku
kepada orang luar hingga semua orang jadi tahu. Biarpun anak
buah Han Siang pernah berniat menculikku, toh mereka semua telah
mati kubunuh. Bila Piauko benar-benar punya hubungan dengan
Han Siang, memandang wajah Piauko apa salahnya kalau kuampuni
jiwanya?" Timbul secerca harapan dihati Liok Ki-seng setelah mendengar
ucapan Seebun-hujin tentang " Mengenai hutang baru" Itu mah
harus dilihat dulu bagaimana perkembangan di kemudian hari",
cepat ujarnya, "Lo-Hujin memang berjiwa besar, sebetulnya aku
orang she-Liok tidak berani banyak bicara, hanya saja belum tentu
Han Siang tidak ingat dengan dendam lama, andaikata dia punya
niat busuk, bukankah kehadiran piau sauya sama artinya dengan
menghantar diri masuk perangkap?"
Kembali Seebun Yan dibuat terkesiap oleh ucapan itu, serunya,
"Masuk diakal juga kekhawatiran ini, lantas mengapa kau tidak
berusaha untuk membujuknya?"
"Betul," ujar Seebun-hujin pula, "menghantar diri masuk
perangkap adalah perbuatan yang sangat goblok, tapi aku tahu
keponakanku ini tidak pernah melakukan perbuatan bodoh.
Karenanya aku merasa amat keheranan, kalau berbicara secara
nalar, mustahil Han Siang bisa mempunyai hubungan dengan
dirinya, lantas mau apa dia mendatangi Toan-hun-kok?"
Dari nada pembicaraan ini jelas dia mengartikan kalau curiga
dengan kebenaran laporan Liok Ki-seng.
Tentu saja Liok Ki-seng pun bukan orang bodoh, dia mengerti
maksud ucapan itu, namun sikapnya tetap berlagak bodoh, dengan
mimik seperti orang bingung katanya lagi kepada Seebun Yan,
"Bukannya aku enggan membujukinya, Cuma hubunganku dengan
piau-heng mu tidak akrab, jadi aku tidak berani berbicara kelewat
mendalam. Aku hanya bisa membujuki dia agar segera pulang ke
rumah." "Bagaimana kau membujukinya?" tanya Seebun Yan cepat,
agaknya ucapan itu sangat mengena di hatinya.
"Harap nona sudi memaafkan, terpaksa aku mencatut nama nona
untuk berbohong." "Ooh, jadi berbohong?"
"Aku bilang baru saja kembali dari sini, ketika bertemu dirimu,
kau pun membicarakan soal Piauko, katanya sudah lama tidak
pulang maka kau sangat rindu kepadanya. Bahkan aku tambahkan
kalau kau titip pesan untuk disampaikan kepadanya, kalau bertemu
aku diminta untuk mengingatkan janji kalian. Padahal waktu itu aku
tidak bertemu denganmu, hanya dari cerita ibumu agaknya kau
sedang keluar rumah dan belum kembali. Aku tidak tahu apakah di
antara kalian ada janji atau tidak, bila salah bicara tolong
dimaafkan." "Tidak heran kalau julukanmu siucay dari alam baka, ternyata
memang punya kepandaian juga. Kebetulan saja bohongmu kali ini
sangat tepat, aku memang punya janji dengannya. Kebetulan
akupun baru pulang ke rumah di saat kau berkunjung kemari waktu
itu, Piauko dapat menghitung waktu perjalananku, maka aku
percaya Piauko pun pasti percaya dengan bohongamu yang aspal
(asli tapi palsu) itu."
"Hmm, aku tidak akan segampang itu mempercayai perkataan
orang lain," dengus Seebun-hujin ketus.
"Boleh tahu dalam bagian mana lo Hujin merasa curiga?" tanya
Liok Ki-seng. "Aku bukan curiga kalau kau berani berbohong kepadaku, tapi
paling tidak kau harus ajukan sedikit bukti yang bisa membuat aku
merasa percaya." "Apakah Piauko tidak menitipkan pesan untuk disampaikan
kepadaku?" tanya Seebun Yan pula.
"Ada. Dia bilang suruh kau setiap hari menaruh sebutir telur
angsa di dalam keranjang."
Seebun-hujin kebingungan setelah mendengar perkataan itu,
sebaliknya wajah Seebun Yan kontan berseri, teriaknya, "Bagus, dia
tidak membohongi kita. Dia memang benar-benar pernah bertemu
dengan Piauko!" Ternyata di belakang rumah mereka terdapat sebuah danau kecil,
seringkali ada angsa yang bertelur ditepi danau. Ketika masih kecil
dulu, Seebun Yan senang sekali pergi ke tepi danau untuk melihat
angsa, bahkan gemar sekali makan telur angsa. Dia sering
memungutnya untuk dibawa pulang, tidak usah merepoti dayang
tentulah merupakan satu peristiwa yang menyenangkan.
Suatu hari dia memungut sekeranjang penuh telur angsa dan
siap dibawa pulang, di tengah jalan dia bertemu Piauko, waktu itu
Piauko nya berkata, "Kau selalu suka mengambil banyak-banyak,
coba lihat, keranjangmu sampai nyaris penuh, hati-hati kalau
sampai jatuh, pindahkan setengahnya ke dalam keranjangku."
Waktu itu dia amat tidak suka hati apalagi ditegur Piauko nya,
tahun itu usianya sudah dua belas tahun, sudah mulai belajar ilmu
meringankan tubuh, di sangka Piauko nya sedang memandang
enteng dirinya. Dia segera menjawab, "Aku suka mengumpulkan
barang banyak-banyak, baru hari ini berhasil mengumpulkan
sekeranjang penuh telur angsa, eeh kau malah membuat aku tidak
senang hati. Semua barang yang kusukai harus kubawa sendiri, jadi
kau tidak usah membawakan untukku, mau jatuh, mau pecah, itu
urusanku sendiri." Siapa tahu dia benar-benar tersandung hingga jatuh,
sekeranjang telur pun berhamburan di tanah dan hancur
berantakan. Sambil tertawa tergelak Piauko nya segera berkata, "Nah, itu dia
akibatnya, coba lihat.... hahahaha.... mangkanya jadi orang jangan
kemaruk. Selain itu belajarlah rendah hati, jangan
kelewattekebur...." Perkataan itu kontan saja membangkitkan perangai nonanya,
langsung dia berteriak, "Bagus, jadi dalam pandanganmu aku
mampunyai begitu banyak kekurangan, kalau begitu lebih baik tidak
usah gubris aku lagi!"
Sang Piauko sama sekali tidak ambil perduli, karena itu diapun
tidak mau menggubris Piaukonya, bahkan selama tiga hari berturutturut
dia enggan berbicara dengan sang kakak misan.
Menanti sampai Piauko nya minta maaf, dia baru berbaikan
kembali. Itulah kali pertama dia ribut mulut dengan kakak misannya,
karena itu kejadiannya selalu diingat, terutama atas perkataan
Piaukonya "jangan taruh telur angsa dalam satu keranjang".
Tapi apa maksud Piauko menitipkan perkataan itu kepada orang
she-Liok itu" Kecuali sebagai tanda kepercayaan, apakah masih ada
maksud lain dibalik perkataan itu"
Tapi rasa gembira jauh melebihi rasa curiga, asal mendapat
berita dari Piauko, dia pun tak ingin menduga duga lagi.
"Bagaimana kemudian" Apakah kalian belum mendapat kabar
berita darinya?" tanya Seebun Yan.
"Jalan menuju Toan-hun-kok hanya ada satu, padahal jalanan itu
kami awasi siang malam, namun walau sudah melewati tujuh hari,
belum nampak juga Piauko mu munculkan diri."
Tanpa terasa Seebun-hujin mengerutkan dahinya.
"Kepergian Tonghong Liang ke Toan-hun-kok sudah merupakan
kejadian yang membingungkan, atas dasar alasan apa dia sampai
berdiam tujuh hari disana?"
Seebun Yan jadi sangat gelisah, buru-buru serunya, "Ibu, kalau
begitu besar kemungkinan Piauko benar benar terkurung dalam
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Toan-hun-kok." Tampaknya Seebun-hujin sedang memikirkan sesuatu, dia tidak
menjawab perkataan putrinya.
Kembali Liok Ki-seng berkata lebih jauh, "Akupun berpendapat
begitu. Pepatah kuno mengatakan: serangan yang jelas mudah
dihindari, panah gelap susah dihindar. Dengan kemampuan yang
dimiliki Tonghong sauya, kalau serangan dilancarkan secara terangterangan,
jelas Han Siang tidak akan sangup berbuat apa-apa, tapi
bila dia menggunakan bubuk pemutus sukma atau obat pemabok
lainnya, itu mah susah diduga."
Bubuk pemabok pemutus sukma adalah bubuk yang dibuat dari
sejenis rerumputan yang hanya tumbuh dalam Toan-hun-kok, konon
merupakan obat pemabok paling lihay dalam dunia persilatan.
Seebun Yan semakin terkejut, dengan pandangan ngeri dia
menengok ke arah ibunya. Seebun-hujin tetap tidak ambil gubris, hanya tanyanya kepada
Liok Ki-seng, "Bagaimana selanjutnya?"
"Masih ada sebuah kejadian lagi yang sangat aneh, kami punya
mata-mata yang menyusup ke dalamToan-hun-kok, menurut orang
itu dia tahu ketika hari Tonghong sauya datang berkunjung ke
Toan-hun-kok. Tapi beberapa hari kemudian dia tidak pernah lagi
bertemu muka dengan Tonghong Siauya. Kedudukan orang ini
dalam Toan-hun-kok sangat rendah, karena itu tidak berani mencari
tahu ke tempat tinggal Kokcu."
Makin didengar Seebun Yan merasa semakin terkesiap, akhirnya
tidak tahan ia berseru, "Ibu, kau harus segera mengambil tindakan!"
"Aku sudah punya pemikiran, buat apa kau gelisah?" tukas
Seebun-hujin cepat, "kujamin Han Siang tidak bakalan berani
mencelakai Piauko mu."
Untuk mencelakai Tonghong sauya mungkin saja Han Siang tidak
berani. Tapi dia pernah menyalahi Seebun sianseng, diapun sudah
tahu kalau lo-Hujin tidak berniat membuat perhitungan lama
dengannya, karena khawatir lo Hujin akan membekuknya maka dia
menangkap Tonghong sauya lebih dulu untuk dijadikan sandera,
siapa tahu dia memang punya pikiran begitu!"
"Ibu, kita jangan sampai dipalak orang, kau harus berusaha
untuk selamatkan Piauko!" seru Seebun Yan nyaring.
Begitu teringat bagaimana Toan-hun Kokcu pernah mengutus
orang untuk menculiknya, makin bicara dia semakin mendongkol,
akhirnya setelah mendengus ujarnya lagi, "Han Siang betul-betul
bedebah, besar amat nyali bangsat ini. Menurut aku, biarpun tidak
sampai bikin rata Toan-hun-kok, paling tidak kita harus melakukan
penggeledahan secara besar-besaran!"
Memang itulah yang di harapkan Liok Ki-seng, karena diucapkan
oleh Seebun Yan, otomatis dia pun segera menanti reaksi berikut
dengan harapan keinginannya bisa tercapai.
Orang ini memang banyak akal dan pintar bersiasat, walaupun
dalam hati sangat berharap namun lagaknya tetap tenang, seolah
sama sekali tidak ada pikiran apa apa.
Siapa tahu dengan tegas Seebun-hujin menampik, katanya, "Apa
yang telah kukatakan, selamanya tidak bakalan berubah!"
Liok Ki-seng agak tertegun, serunya, "Tapi dalam kasus kali ini,
keponakanmu yang sudah terjatuh ke tangannya!"
Seebun-hujin sama sekali tidak menggubris, katanya lebih lanjut,
"Han siang masih belum pantas bagiku untuk turun tangan sendiri,
sejak awal sudah kukatakan, aku tidak ambil perduli dengan hutang
piutang tolol itu." Selesai berkata dia sudah mengangkat cawan air tehnya.
"Ibu...."jerit Seebun Yan dengan cemas.
Dengan wajah membesi seru Seebun-hujin, "Ci-giok, hantar
tamu!" Liok Ki-seng tertawa getir, katanya, "Terima kasih banyak untuk
pandangan lo Hujin, anggap saja aku banyak urusan, selanjutnya
aku tidak akan merepotkan Lo-Hujin lagi. Tidak usah sungkan
sungkan, aku bisa pergi sendiri."
Sepeninggal Liok Ki-seng, Seebun Yan baru bertanya, "Ibu, kau
benar-benar tidak ambil perduli dengan keselamatan Piauko?"
"Kau tidak mendengar perkataanku tadi?"
"Ibu, Piauko adalah keponakanmu, bibi yang minta tolong
kepadamu untuk merawatnya, masa kau begitu tega tidak
menolongnya?" "Toh belum tentu diabakalmati!"
Saking cemasnya air mata sampai jatuh bercucuran membasahi
wajah Seebun Yan, katanya, "Tapi dia terkurung di Toan-hun-kok
dan tidak tahu sampai kapan baru bisa keluar. Bukankah
keadaannya sama seperti orang mati" Baiklah, bila ibu enggan
menolong Piauko, lebih baik putrimu mati saja!"
Seebun-hujin tertawa geli, selanya, "Coba lihat tampangmu itu,
gelisah sampai nangis, siapa bilang aku tidak ambil perduli terhadap
Piauko mu" Coba pikirlah, bukankah sudah kukatakan tadi kalau aku
sudah punya rencana" Kenapa tidak kau tanyakan apa rencanaku?"
Kontan saja dari menangis Seebun Yan tertawa cekikikan,
serunya kegirangan, "Ibu, ternyata kau sedang menggodaku, kapan
mau berangkat" Bagaimana kalau besok saja kita berangkat ke
Toan-hun-kok?" "Aku belum pernah berjanji akan pergi ke Toan-hun-kok!"
"Kalau kau tidak pergi, lantas siapa yang menolong Piauko?"
"Aku tidak bakalan menurunkan derajatku hanya untuk bertarung
melawan Han Siang. Tapi aku toh tidak melarang orang lain untuk
pergi bertarung dengannya. Bahkan kalau orang lain ingin
membasmi Toan-hun-kok hingga rata dengan tanah pun aku tidak
bakalan mencegah." "Ibu, jadi kau suruh aku yang pergi" Aku memang ingin sekali
membabat Toan-hun-kok hingga rata dengan tanah, hanya
khawatirnya tidak punya kemam-puan sehebat itu."
Seebun-hujin tertawa, dia berpaling dan ujarnya kepada Lan Suileng,
"Anak Leng, selama tiga bulan ini kungfu mu sudah mengalami
kemajuan yang amat pesat!"
"Benar, akupun merasa ada kemajuan, kesemuanya ini tidak lain
berkat didikan dari gibo."
"Ingin tidak turun gunung untuk menjajal kepandaian silatmu?"
Belum sempat Lan Sui-leng menjawab, dengan perasaan tidak
sabar Seebun Yan sudah menyela lebih duluan, "Ibu, jadi
maksudmu adik Leng akan menjadi pembantuku" Kungfu yang
dimiliki adik Leng saat ini sudah jauh lebih hebat ketimbang dulu,
tapi kalau hanya mengandalkan kekuatan kami berdua, rasanya
masih belum cukup?" "Kenapa musti gelisah" Sudah kuatur semuanya," kata Seebunhujin
lagi tenang. Kepada Lan Sui-leng kembali ujarnya, "Anak Leng, aku bukan
minta kau pergi ke Toan-hun-kok, tapi aku tahu sebenarnya kau
ingin pergi ke kuil Siau-lim-si bukan?"
"Benar, adikku berada disana, tentu saja aku ingin mencarinya.
Tapi aku tidak tahu apakah sekarang dia masih berada di kuil Siaulimsi atau tidak?" "Baik, kalau begitu pergilah ke kuil Siau-lim sambil mencari
berita. Sekalian kau temani cicimu, biar diapun punya teman."
"Mau apa aku pergi ke kuil Siau-lim?"
"Hwee-ko Thaysu yang ada di kuil Siau-lim adalah sahabatku.
Bawalah cincinku ini sebagai tanda pengenal, coba temui Hwee-ko
Thaysu. Dia akan membantumu untuk selamatkan Piauko mu dari
kurungan. Biarpun dalam kuil Siau-lim berlaku larangan untuk nona
muda memasukinya, asal kau minta orang untuk menyampaikan
berita, Hwee-ko pasti akan keluar untuk menjumpai mu. Percayalah,
semuanya akan berjalan lancar."
"Yang bernama Hwee-ko Thaysu itu tianglo dari ruang Tat-mowan
ataukah seorang Tongcu?"
Dia sangka, kalau toh Hwee-ko Thaysu adalah sahabat karib
ibunya, dapat dipastikan dia mempunyai kedudukan atau asal usul
yang luar biasa. Sambil tersenyum Seebun-hujin menyahut, "Dia sama sekali tidak
menjabat apa-apa, hwesio itu hanya seorang tukang masak dalam
kuil Siau-lim-si." "Apa" Hanya seorang tukang masak?" bisik Seebun Yan tertegun.
Seebun-hujin tertawa. "Yang penting dia dapat membantumu untuk membebaskan
Piauko mu dari sekapan, perduli amat dia seorang tianglo dari ruang
Tat-mo-wan atau hanya seorang hwesio juru masak?"
Biarpun Seebun Yan tidak tahu tokoh macam apak Hwee-ko
Thaysu itu, namun dia menaruh kepercayaan penuh atas ucapan
ibunya, setelah menerima cicin itu katanya, "Ibu, aku percaya kau
tidak akan membohongi aku, yang dikhawatirkan adalah Hwee-ko
Thaysu sangat memegang peraturan Siau-lim-pay hingga tidak
berani melanggar pantangan membunuh."
"Dia hanya seorang hwesio juru masak yang berasal dari luar
daerah, jadi bukan berasal dari perguruan Siau-lim. Apalagi aku pun
tidak berani memastikan beberapa bagian perkataan Liok Ki-seng
yang bisa dipercaya. Pokoknya, apakah Piauko mu benar berada
dalam Toan-hun-kok atau tidak, Hwee-ko Thaysu itu mempunyai
kemampuan untuk menghantar Piauko mu ke hadapanmu. Buat apa
kau musti memperdulikan dia akan menggunakan cara apa, mau
melanggar pantangan membunuh atau tidak, i tu urusannya."
Seebun Yan kegirangan setengah mati, ujarnya kemudian, "Ibu,
kaupun tidak usah khawatir apakah aku akan membunuh orang atau
tidak, dalam perjalananku kali ini bersama adik Leng, sebisa
mungkin aku tidak akan melakukan pembunuhan."
Seebun-hujin segera berpaling ke arah Lan Sui-leng, tanyanya,
"Kau benci membunuh" Bagaimana seandainya bertemu orang yang
ingin mencelakaimu, atau bertemu orang yang ingin mencelakai
orang yang kau sayangi?"
Pertanyaan ini seolah langsung menohok ulu hatinya, membuat
gadis itu tertegun. Sampai lama kemudian dia baru menjawab, "Aku
tidak tahu, tapi seandainya orang itu pantas mati, paling baik bila
bukan aku yang membunuhnya, aku.... nyali ku kecil, aku tidak
berani membunuh." Sambil tertawa cekikikan Seebun Yan menyela, "Malam itu, ketika
begundal yang dikirim Han Siang hendak menangkap kami, dia
nyaris kehilangan nyawa, tapi kemudian dia malah menegurku
mengapa membunuh orang-orang itu."
"Anak Leng," ujar Seebun-hujin kemudian, "bila masalah sudah
muncul di depan mata, terkadang mau tidak mau kita harus
melakukan pembunuhan. Misalkan saja perumpamaan yang aku
katakan tadi, masa kau suruh orang lain yang mewakilimu
melakukan pembunuhan?"
"Benar," Seebun Yan menambahkan, "bila kau tidak membunuh
dia, orang itulah yang akan membunuhmu. Aku pernah berkata
begini kepadanya, karena itu kita wajib mempelajari ilmu silat yang
hebat." "Anak Leng, hatimu kelewat baik, di kemudian hari hidupmu pasti
bahagia. Siapa tahu juga segala peristiwa pembunuhan yang
kukatakan tadi, belum tentu akan kau jumpai sepanjang hidup."
"Moga-moga saja begitu," Lan Sui-leng menghembuskan napas
lega. "Cuma," Seebun-hujin menambahkan, "kaupun harus baik-baik
berlatih silat agar bisa digunakan bilamana perlu. Aah betul, bicara
soal ilmu silat, rasanya aku belum pernah melihat kau berlatih
kembali ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat mu?"
"Beberapa jurus yang kupahami adalah hasil pelajaran dari
adikku, sama sekali tidak berguna bila digunakan dalam
pertarungan, karena itu aku tidak melatihnya."
"Ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat merupakan kumpulan dari inti
sari ilmu silat aliran Bu-tong, ada baiknya juga bila kau mengerti
satu dua. Sudah hampir tiga bulan lamanya kau berlatih kungfu
disini dan besok akan pergi. Sebelum kau turun gunung, aku ingin
mengajarkan sebuah jurus yang terakhir untukmu."
Diambilnya sebatang pedang dari tangan putrinya, kemudian
serunya, "Perhatikan baik-baik!"
Seebun-hujin segera memainkan sebuah jurus pedang, jurus
pedang yang membuat Lan Sui-leng tertegun, keheranan dan berdiri
melongo. Ternyata jurus pedang itu tidak lain adalah jurus Pek-hok-liangci,
salah satu jurus andalan dari Thay-kek-kiam-hoat, bahkan
perempuan tua itu dapat memainkannya persis seperti permainan
Bouw It-yu, hanya saja "hasrat pedang" yang terkandung jauh lebih
matang dan kuat ketimbang Bouw It-yu.
Pertama-tama Seebun-hujin menggunakan gerakan normal untuk
memainkan jurus itu, kemudian mengulang sekali lagi dengan
gerakan yang diperlambat, yang mana membuat Lan Sui-leng dapat
mengikuti jauh lebih jelas.
Sambil berseru tertahan Lan Sui-leng segera bergumam, "Gibo,
ternyata kaupun mengerti ilmu pedang aliran Bu-tong?"
Seebun-hujin hanya tersenyum tanpa menjawab.
Seebun Yan yang berada di sampingnya segera menimpali,
"Bukankah ibuku sudah berkenalan dengan Bouw Ciong-long sejak
tiga puluh tahunan berselang. Apa anehnya bila dia pernah melihat
Bouw Ciong-long memainkan jurus pedang Bu-tong-pay?"
Seebun-hujin sama sekali tidak menyangkal, tampaknya dia
setuju dengan perkataan putrinya itu.
Lan Sui-leng benar-benar merasa amat kagum, pikirnya,
"Keluarga mereka betul-betul amat cerdas, Tonghong Toako
mempunyai kemampuan mengingat apa yang pernah dilihat,
sementara gibo mampu memainkan jurus pedang yang pernah
dilihatnya tiga puluh tahun berselang dengan begitu bagus!"
Tanpa terasa satu kecurigaan pun timbul, tanpa sadar ujarnya,
"Gibo, aku pernah melihat Tonghong Toako menggunakan juga
jurus itu, kenapa gerakannya beda jauh dengan gerakanmu?"
"Kau sangka jurus Bangau putih pentang sayap yang dia miliki
adalah hasil ajaranku?"
Sebenarnya Lan Sui-leng sangat berharap apa yang
dipertanyakan merupakan sebuah kenyataan, dengan begitu dia
dapat menyangkal tuduhan Bouw It-yu yang mengatakan kalau
Tonghong Liang mencuri belajar dari adiknya.
Maka begitu selesai mendengar sanggahan dari Seebun-hujin, dia
jadi amat kecewa. Kembali Seebun-hujin berkata, "Akupun tidak tahu darimana dia
mempelajarinya, tapi kalau kuanalisa dari perkataanmu di hari
pertama tiba disini, rasanya jurus yang dia gunakan jauh lebih hebat
ketimbang Bouw It-yu, bukan begitu?"
"Benar," sahut Seebun Yan cepat, "dengan jurus serangan itulah
Piauko berhasil mengalahkan Bouw It-yu. Aku masih ingat, saat
itupun aku pernah berkata kepadamu, tapi kau tidak percaya, kau
bilang Bouw It-yu pasti sengaja mengalah kepada Piauko."
"Anak Leng, dapatkah kau memperagakan ulang jurus Bangau
putih pentang sayap yang digunakan Tonghong Liang waktu itu?"
"Aku tidak dapat menirukan semua perubahan gerakan yang dia
lakukan, yang aku pahami hanya garis besarnya saja."
Selesai mendengar penuturannya itu Seebun-hujin nampak
sedikit sangsi, katanya kemudian."
"Emm, rasanya sudah diselipi daya cipta dia sendiri. Tapi aku
rasa belum tentu lebih hebat daripada jurus yang digunakan Bouw
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
It-yu." Tiba-tiba Seebun Yan teringat kalau jurus yang digunakan ibunya
sekarang berasal dari Bouw Ciong-long, ini berarti sama persis
dengan jurus yang digunakan Bouw It-yu, itu berarti dia tidak boleh
memandang terlalu rendah atas kemampuan Bouw It-yu dalam ilmu
pedangnya, maka segera ujarnya, "Ibu, mungkin saja latihan Bouw
It-yu belum mencapai tingkat kesempurnaan sehingga dia berhasil
dikalahkan Piauko." "Dalam permainan jurus tadi, dalam bagian bagian yang rawan
telah kububuhi dengan sedikit perubahan, anak Leng, sekarang
perhatikan penjelasanku dengan seksama."
Bukan saja dia menguraikan setiap perubahan dalam ilmu
pedang itu dengan teliti, bahkan dijelaskan juga bagaimana
menggunakan jurus itu disertai tenaga dalam aliran Bu-tong.
Kemudian atas dasar kemampuan yang dimiliki Lan Sui-leng
sekarang, dia pun memberikan petunjuk yang tepat untuk
memperbaiki kesalahan yang dimilikinya.
Setelah mengajarkan beberapa saat, mendadak Seebun-hujin
bertanya lagi, "Anak Leng, sesudah berkunjung ke kuil Siau-lim,
apakah kau masih akan kembali ke gunung Bu-tong?"
"Aku tidak tahu, setelah bertemu adikku mungkin aku baru
mengambil keputusan."
"Aku dengar pihak Bu-tong-pay akan menyelenggarakan upacara
penguburan bagi Bu-siang Cinjin, waktu sudah ditetapkan, kalau
tidak salah akan diselenggarakan pada bulan 8 tanggal dua puluh
tujuh." Sewaktu Lan Sui-leng meninggalkan gunung Bu-tong, hari
penguburan untuk Bu-siang Cinjin belum lagi ditentukan, dia jadi
sedikit keheranan, tanyanya, "Gibo, darimana kau bisa tahu?"
"Pihak Bu-tong-pay telah mengirimkan selebaran ke seluruh
partai dalam dunia persilatan, hampir setiap orang di kolong langit
telah mendengarnya."
Biarpun sudah dijawab namun Lan Sui-leng tetap merasa sangsi
dan tidak habis mengerti, pikirnya, "Selebaran itu tidak pernah
dikirim kemari, sedang orang luar yang berkunjung pun selain Liok
Ki-seng, dalam beberapa bulan terakhir tidak seorang pun yang
datang berkunjung, lalu siapa yang memberitahukan hal ini kepada
gibo?" Belum habis ingatan tersebut melintas, Seebun-hujin telah
mengalihkan pokok pembicaraan, sehingga diapun merasa tidak
leluasa untuk bertanya lebih lanjut.
Terdengar Seebun-hujin berkata lagi, "Masih ada lima puluh
harian, masih sempat bila kau hendak pulang ke rumah. Adikmu
adalah cucu murid kesayangan Bu-siang Cinjin, jadi menurut
dugaanku seharusnya dia pun ikut pulang?"
"Masalahnya tidak jelas apakah adikku masih berada di kuil Siaulim
atau mungkin sudah pergi ke tempat lain. Menurut apa yang
kuketahui, dia turun gunung karena mendapat perintah dari
Sucouw, tapi aku tidak tahu selain menitahkan dia pergi menjumpai
hwesio-hwesio di kuil Siau-lim, apakah Sucouw masih perintahkan
dia untuk melaksanakan tugas lain?"
"Sekalipun tidak berhasil menjumpai adikmu, tentu nya kau tetap
akan pulang ke Bu-tong bukan?" desak Seebun-hujin, jelas diapun
berharap Lan Sui-leng bisa pulang ke gunung Bu-tong.
"Ibu," sela Seebun Yan tiba-tiba, "menurutku, lebih baik adik
Leng tidak usah kembali ke gunung Bu-tong, aku merasa berat hati
untuk berpisah dengannya."
"Anak bodoh!" seru Seebun-hujin sambil tertawa, "memangnya
dia tidak bakalan balik lagi" Lagipula orang tuanya tinggal di gunung
Bu-tong, paling tidak seharusnya dia harus pulang untuk tengok
keluarga." Walaupun dalam hati kecilnya Lan Sui-leng tidak berharap
adiknya kembali ke Bu-tong, namun setelah menyinggung tentang
dirinya, mau tidak mau tergerak juga hatinya sesudah mendengar
ucapan Seebun-hujin. Benar juga. Dia sudah tiga bulanan meninggalkan rumah, tentu
saja dia tidak bisa membendung rasa rindunya dengan ayah dan
ibunya. Maka seraya mengangguk sahutnya, "Terima kasih banyak atas
perhatian gibo, aku akan pulang juga ke rumah."
"Bagus, kalau begitu tolong bantu aku lakukan satu pekerjaan."
"Silahkan gibo memberi perintah, khawatirnya dengan
kemampuanku yang cetek, aku tidak sanggup melakukan pekerjaan
apa-apa untuk gibo?"
Seebun-hujin tertawa. "Kalau tahu kau tidak sanggup, tentu saja tidak bakal kusuruh
kau untuk melakukannya."
Bicara sampai disitu diapun berpaling, kepada putrinya ia
berpesan, "Cincin yang kuberikan kepadamu sebagai tanda
pengenal tidak perlu kau serahkan kepada Hwee-ko Thaysu, cukup
diperlihatkan saja."
"Ibu, putrimu tidak bakal sebodoh itu," sahut Seebun Yan sambil
tertawa, "tentu saja aku tahu kalau cincin ini hanya sebagai tanda
bukti kalau aku adalah putrimu, mana mungkin akan kuberikan
cincin yang begini berharga kepada seorang hwesio juru masak?"
Kembali Seebun-hujin tersenyum.
"Aku menyuruhmu minta balik bukan karena cincin itu sangat
berharga, melainkan karena benda itu harus kau serahkan kepada
adikmu." "Buat apa diberikan kepadaku?" tanya Lan Sui-leng tercengang.
"Tentu saja sebagai tanda pengenal."
"Gibo minta aku bertemu dengan siapa?"
"Bertemu Ciangbunjin kalian yang baru."
Kontan Lan Sui-leng tertawa. "Padahal aku sedang berpikir,
sekembali ke gunung Bu-tong nanti perlukah aku melapor kepada
Ciangbunjin" Menurut aturan, seharusnya aku memberi laporan
pada ketua, mengingat posisiku hanya sebagai murid tidak resmi,
kemungkinan besar tidak berhak bertemu Ciangbunjin. Tapi dengan
adanya perintah dari gibo, aku bisa mohon bertemu secara resmi."
"Tapi kau jangan menyebut namaku lebih dulu, pesan yang
kuserahkan kepadamu baru disampaikan setelah berjumpa
dengannya." "Aku mengerti."
"Kau bisa beritahu kepadanya, selama beberapa bulan terakhir
kau berada disini bahkan sudah mengakui aku sebagai ibu
angkatmu, setelah melihat cincin ini, dia pasti tidak akan mencurigai
perkataanmu. Ehmm, bila dia bertanya apa saja yang kau lakukan
selama berada ditempatku ini, kau boleh tunjukkan jurus Bangau
putih pentang sayap yang kuajarkan kepadamu itu di hadapannya."
"Kemudian?" tanya Lan Sui-leng yang menduga masih ada kata
kata yang belum selesai disampaikan.
"Kemudian sampaikan pesanku kepadanya. Pertama, sampaikan
selamat karena dia menjadi Ciangbunjin baru dari Bu-tong-pay. Ke
dua, katakan kepadanya aku ingin berjumpa dengan putranya. Dia
baru saja menjabat sebagai Ciangbunjin, jadi aku tidak berani minta
dia yang menemani putranya berkunjung kemari, katakan saja
suruh Bouw It-yu datang bersamamu."
Merah selembar wajah Lan Sui-leng, katanya, "Aku ingin pulang
selama beberapa hari, belum tentu bisa datang kemari bersama
Siau-susiok." "Ibu," kata Seebun Yan pula sambil tertawa, "kelihatannya kau
terburu-buru ingin melihat menantu angkat sampai tidak bisa
menahan diri. Adikku, ibu telah mencarikan pasangan ideal
untukmu, jangan kau lewatkan kesempatan baik ini."
Darimana dia bisa tahu kalau tujuan ibunya ingin berjumpa Bouw
It-yu bukan lantaran Lan Sui-leng saja.
Sambil tersenyum Seebun-hujin menyahut, "Anak Yan, coba lihat
adikmu sudah tersipu-sipu, lebih baik gurauanmu berhenti sampai
disini saja. Tapi bicara sejujurnya, sebagai seorang jago yang
berkelana dalam dunia persilatan, anak Leng jangan kelewat
mentabukan hubungan antara laki-laki dengan wanita. Bila kau ingin
tinggal selama beberapa hari di rumah demi ayah ibumu, tentu saja
akupun tidak akan memaksa. Tapi kalau hanya karena ingin
menghindar, tidak ingin melakukan perjalanan bersama siau susiok,
aku rasa tidak perlulah kau bertindak begitu."
"Apakah gibo masih ada perintah lain?" tanya Lan Sui-leng
kemudian, sementara dalam hatinya berpikir, "Kalau didengar dari
nada pembicaraan ibu angkat, tampaknya yang paling dia harapkan
adalah bertemu siau susiok, sementara kapan aku akan balik
kemari, rasanya bukan urusan yang dia pentingkan."
Sementara dia masih termenung, Seebun-hujin telah berkata lagi,
"Besok kalian boleh segera berangkat, jadi sekarang pergilah
beristirahat dulu. Aku sudah tidak ada pesan lain lagi yang hendak
disampaikan kepada kalian, aaah, benar, hanya soal cincin itu saja
yang penting, kalian harus menyimpannya dengan hati-hati, jangan
sampai terjatuh atau hilang."
"Ibu, kau tidak usah khawatir, aku tidak akan menghilangkan
barang mestika mu." "Kenapa" Kau mentertawakan aku kelewat tegang" Perlu kau
ketahui, yang menjadi barang mestika ku bukan cincin itu."
"Aku tahu, karena cincin ini akan dua kali digunakan sebagai
tanda pengenal." Walaupun jawaban dari Seebun Yan santai, namun timbul juga
perasaan keheranan di hati kecilnya, seingatnya, belum pernah
ibunya begitu cerewet menyampaikan pesannya, tapi demi cincin
itu, dia sudah berulang kali mengulang pesan wanti-wantinya.
Kendatipun ibunya berusaha tenang namun jelas tidak dapat
menutupi perasaan tegang di hatinya, begitu tegangnya dia sampai
dirinya yang menjadi putrinya pun dapat merasakan.
Tentu saja dia tidak bakal tahu kalau cincin itu mempunyai
riwayat yang luar biasa, jadi bukan lantaran pada tiga puluh tahun
berselang ibunya pernah mengenakan cincin itu, maka ke dua orang
sahabatnya.... Hwee-ko hwesio dan Bouw Ciong-long mengenali
cincin tersebut, hingga benda itu bisa dipakai sebagai tanda
pengenal. Sepeninggal putrinya, tanpa terasa Seebun-hujin terbayang
kembali dirinya saat berusia setara putrinya dulu, untuk sesaat dia
duduk termangu-mangu. Lama.... diabaru menghela napas sambil berpikir, "Entah
bagaimana reaksi Bouw Ciong-long ketika melihat cincin itu?"
Waktu berlangsung begitu cepat, dia pun membayangkan
kembali kisahnya pada tiga puluh tahun berselang.
Tiga puluh tahun yang lalu, Bouw Ciong-long lah yang telah
menghadiahkan cincin itu kepadanya.
Waktu itu mereka sudah saling mencintai, kedua belah pihak
menyangka pihak lawanlah yang bakal menjadi pendampingnya
sepanjang masa. Tapi di kediaman Bouw Ciong-long sedang berlangsung
persiapan lamaran, orang tuanya tertarik untuk meminta Piaumoy
nya menjadi menantu mereka.
Akan tetapi pihak keluarga sang wanita tidak begitu menyukai
Bouw Ciong-long, mereka menganggap meski latar belakang
keluarga Bouw Ciong-long amat termashur, namun dia kelewat
mogor, senang "menggait bunga menyentuh pohon liu" di tempat
luaran, dalam hal 'nama baik' mereka merasa kurang serasi.
Saat itu dia tinggal di rumah famili di kota Hang-ciu, kebetulan
Bouw Ciong-long pun sedang berpesiar di kota Hang-ciu, boleh
dikata hampir setiap dua tiga hari sekali mereka pasti bersua muka.
Tapi sayang tiada perjamuan yang tidak berakhir, bagaimana pun
cinta nya mereka berdua, pada akhirnya tiba juga saat dimana
mereka harus berpisah. Tidak jelas apakah keluarganya sudah mendengar ulahnya itu,
berulang kali ayahnya mengirim surat minta dia untuk pulang,
bahkan akhirnya memberi batas waktu untuknya agar segera
kembali. Bila sampai lewat batas waktunya belum juga kembali,
ayahnya tidak mau mengakuinya sebagai anak lagi.
Cincin inilah yang diberikan Bouw Ciong-long menjelang dia
pulang ke rumah. Pada umumnya cincin digunakan sebagai tanda untuk
pertunangan, tapi sayang cincin yang diberikan Bouw Ciong-long
bukanlah cincin pertunangan.
"Cinta harus teguh dan keras melebihi emas, harus lebih bersinar
daripada batu permata!" inilah kata-kata yang disampaikan Bouw
Ciong-long ketika mengenakan cincin itu dijari tangannya. Cincin itu
memang terbuat dari batu mestika yang kekerasannya melebihi
emas. "Perduli perubahan apa pun yang bakal terjadi kelak, cintaku
kepadamu masih tetap seperti cincin batu mestika ini, selamanya
tidak pernah aus, selamanya tidak pernah pudar. Tunggulah
kedatanganku dengan sabar, walaupun sekarang aku belum
meminangmu, tapi sekembaliku nanti aku akan menikahi dirimu,"
demikian Bouw Ciong-long berpesan.
Diapun mempercayai perkataan Bouw Ciong-long, dia merasa
pernikahan diantara mereka hanya masalah waktu. Karena itu tanpa
ragu dikenakannya cincin pemberian itu.
Siapa tahu kepergian Bouw Ciong-long tidak pernah kembali lagi,
walaupun sinar yang terpancar dari cincin itu tidak pernah
memudar, namun kisah percintaan mereka waktu itu seakan sudah
di segel, sudah pupus sebelum mekar.
Bouw Ciong-long tidak pernah muncul untuk meminang, tapi
orang pertama yang meminangnya bukanlah orang yang
belakangan menjadi suaminya. Dia adalah pemuda lain, pemuda
inilah yang di kemudian hari menjadi Hwee-ko hwesio.
Hwee-ko adalah sahabat karib Bouw Ciong-long, sama seperti
Bouw Ciong-long, dia pun jatuh hati kepadanya.
Terhadap pinangan yang diajukan Hwee-ko, dia tidak pernah
mengucapkan sepatah katapun, yang dia lakukan hanya
mengangkat jari tangannya dan memperlihatkan cincin itu.
Dia tidak tahu apakah lantaran putus cinta hingga akhirnya
Hwee-ko menjadi pendeta, tapi beberapa patah kata yang
diucapkan Hwee-ko menjelang perginya tidak pernah dia lupakan
hingga detik ini. "Aku tidak mempunyai batu mestika untuk diberikan kepadamu,
tapi perasaan cintaku kepadamu tidak pernah akan berubah untuk
selamanya, terlepas dengan siapa pun kau bakal menikah. Aku
sama sekali tidak berharap mendapatkan apa-apa darimu, tapi aku
dapat memberikan benda yang jauh lebih berharga daripada batu
mestika untuk dirimu, yakni nyawaku, bila kau memerlukan,
ambillah setiap saat!"
Peristiwa yang terjadi tiga puluh tahun berselang satu per satu
melintas dalam benaknya. Dari semua kejadian itu sebenarnya siapa
yang salah" Cinta siapa yang lebih tulus" Seebun-hujin tidak tahu,
karena dia pun merasa kebingungan.
Ooo)*(ooO BAB IX Hidup kosong tanpa hambatan
Menyadari ajaran lepas dari beban.
Dia benar-benar tidak habis mengerti, manusia tinggi hati
semacam Hwee-ko ternyata bisa hidup mengasingkan diri, bahkan
kabur ke kuil Siau-lim untuk menjadi seorang hwesio juru masak.
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bila semuanya itu gara-gara aku, diriku benar benar telah
membuat sebuah dosa baru."
"Waktu berlalu sungguh amat cepat, dalam sekejap tiga puluh
tahun telah lewat, kalau waktu itu dia bersedia terjun ke lautan api
demi cinta, tapi kini ia sudah meninggalkan kehidupan duniawi dan
menjadi pendeta, mungkinkah cincin itu masih dapat menariknya
kembali ke kehidupan duniawi?"
Jawabannya sudah pasti, dia yakin sekalipun Hwee-ko sudah
melepaskan diri dari kehidupan duniawi, namun setelah melihat
cincin itu, dia masih tetap akan melaksanakan janjinya.
"Aaai, padahal tidak seharusnya aku pergi mengganggu
ketenangan hidupnya lagi, tapi selain dia, siapa lagi yang dapat
membantuku?" Hwee-ko adalah sahabat karib yang paling banyak mengetahui
masalahnya setengah abad berselang, merupakan pula sahabatnya
yang paling dipercaya. Terhadap sahabat karibnya ini dia menaruh
perasaan menyesal yang sangat mendalam.
Waktu tiga puluh tahun berlalu bagai sambaran petir, kembali dia
tenggelam dalam kenangan masa silam, tanpa terasa terlihat
secerca cahaya mulai muncul di ufuk timur, pertanda fajar mulai
menyingsing. Keesokan harinya pagi-pagi sekali Seebun Yan dan Lan Sui-leng
sudah turun gunung, Seebun-hujin baru berpaling kembali setelah
menghantar bayangan punggung mereka hingga lenyap dari
pandangan, diam-diam dia membesut air mata yang sudah
ditahannya semenjak tadi, karena tidak ingin ketahuan putrinya.
Kedua orang gadis itupun menempuh perjalanan dengan
perasaan sangat berat, namun kalau dibandingkan maka perasaan
Seebun Yan jauh lebih baikan, sebab dia hanya mengkhawatirkan
nasib Piauko nya yang terjebak dalam Toan-hun-kok, namun dia
percaya teman ibunya pasti dapat membantu usahanya.
Pikiran dan perasaan Lan Sui-leng jauh lebih rumit, tentu saja dia
gembira karena mendapat kesempat an untuk mencari adiknya, tapi
diapun merasa takut untuk bertemu Tonghong Liang maupun Bouw
It-yu. Dia merasa kedua orang itu sama sama tidak bisa
membebaskan tali simpul mati yang membelenggu hatinya.
Mereka masih menunggang dua ekor kuda hasil rampasan dari
anak buah Han Siang tempo hari, kini kemampuan Lan Sui-leng
menunggang kuda sudah hampir setara dengan kemampuan
Seebun Yan. Setelah menempuh perjalanan tujuh, delapan hari lamanya,
udara pun terasa mulai hangat, sementara orang yang berlalu lalang
di jalan raya pun semakin banyak.
Hari itu, ketika mereka sedang berjalan menelusuri jalanan bukit,
mendadak terdengar suara bentrokan senjata yang amat nyaring
bergema dari balik hutan, mereka langsung tahu kalau di tengah
hutan sedang berlangsung pertempuran sengit.
"Eeei, siapa mereka" Dari aliran manakah orang orang itu"
Tampaknya pertarungan sedang berlangsung amat seru! Ehmm,
kelihatannya ada dua orang sedang mengerubuti satu orang,
percaya tidak dengan dugaanku" Bagaimana kalau kita tengok ke
sana?" Tentu saja pengalaman Seebun Yan dalam hal ini jauh lebih
matang daripada Lan Sui-leng, saat ini dia tidak tahan untuk
mempamerkan kebolehannya.
"Kita sendiri sedang mengemban tugas, buat apa musti
mencampuri urusan orang?" sahut Lan Sui-leng.
Belum selesai dia berkata, suara umpatan dan makian di balik
pertarungan pun terdengar semakin jelas.
"Aku tidak lebih hanya seorang hwesio pemikul air dari kuil Siaulimsi, belum pernah berhubungan dengan rekan-rekan dunia
persilatan, apalagi membuat permusuhan atau perselisihan dengan
kalian. Sudah pasti kalian sudah salah melihat orang!" terdengar
seseorang berseru dengan nada gugup dan panik.
Segera terdengar seseorang menyahut sambil tertawa dingin,
"Kami tidak bakal salah orang, kaupun tidak usah menggunakan
nama besar kuil Siau-lim-si untuk menakut-nakuti kami. Jangankan
kau belum termasuk hwesio resmi dari kuil Siau-lim, biarpun kau
sudah menjadi pendeta asli dari Siau-lim-pay pun kami tidak
bakalan takut denganmu!"
Seseorang yang lain ikut berseru sambil tertawa terbahak bahak,
"Ternyata kepandaian silat dari kuil Siau-lim tidak terlampau hebat,
bila kau mampus di tengah hutan, biar punya asal usul lebih
hebatpun tidak ada gunanya, sebab tidak bakal ada yang
menuntutkan balas untuk-mu, hahaha.... lebih baik terima nasib
saja!" Pendeta dari Siau-lim itu segera berteriak keras, "Kalau mau
menagih hutang, tagih saja kepada yang berhutang. Kenapa kalian
harus membunuhku" Boleh aku tahu alasannya?"
"Maaf!" jawab kedua orang itu hampir bersamaan waktu, "kami
hanya menjalankan perintah untuk membunuhmu. Kau memang
sudah ditakdirkan menjadi setan penasaran, jadi tidak usah
menyalahkan kami!" Menyusul kemudian terdengar jeritan lengking yang menusuk
pendengaran, tampaknya ada seseorang telah menderita luka.
Ketika mendengar orang yang sedang dikerubut adalah pendeta
dari kuil Siau-lim, Lan Sui-leng sudah merasa hatinya amat terkejut,
apalagi setelah mendengar suara jeritan orang terluka, perasaan
hatinya semakin terkesiap.
Sebaliknya Seebun Yan justru berlagak seolah tidak ambil perduli,
ujarnya sambil tertawa, "Coba kau dengar, kelihatannya yang
terluka adalah pendeta dari Siau-lim, bagaimana kalau kita campuri
urusan ini?" Lan Sui-leng tidak menjawab, dia langsung mencemplak kudanya
dan lari masuk ke dalam hutan.
Benar saja, seperti apa yang dikatakan Seebun Yan tadi, terlihat
ada dua orang lelaki sedang mengerubuti seorang pendeta.
Dua orang lelaki itu, yang satu menggunakan tongkat yang
terbuat dari besi sementara yang lain menyerang dengan
mengandalkan kepalan kosong.
Lelaki yang menggunakan tongkat besi itu masih agak
mendingan, jagoan yang menggunakan kepalan tangan kosong itu
justru nampak lihay sekali, sepasang kepalannya menari kian
kemari, sebentar menghantam, sebentar menyodok, sebentar
mencengkeram, hampir setiap gerakan yang dilancarkan semuanya
tertuju ke bagian mematikan di tubuh pendeta Siau-lim itu.
Sementara pendeta dari Siau-lim itu dengan mengandalkan
toyanya melakukan perlawanan dengan sepenuh tenaga, tampak
angin serangan menderu-deru, pasir dan batu beterbangan
memenuhi angkasa, kekuatannya sungguh mengerikan.
Namun berhubung dia harus melawan dua orang, posisinya jadi
sangat tidak menguntungkan, dengan toyanya dia dapat saja
menghadapi tongkat lawan, namun menghadapi gempuran orang
bertangan kosong yang bertubi-tubi itu dia nampak kewalahan,
toyanya yang panjang tidak mampu membendung pukulan jarak
dekat, posisinya sangat berbahaya.
Dengan perasaan terkejut Lan Sui-leng segera berseru tertahan,
"Bukankah ilmu yang digunakan orang itu adalah Ki-na-jiu-hoat dari
Toan-hun-kok?" Kehadiran mereka tepat pada waktunya, begitu Seebun Yan
turun tangan, ke dua orang laki-laki itu langsung kabur terbirit-birit.
Namun kuda tunggangannya malah sempat terluka oleh sambitan
pisau terbang yang dilancarkan pihak lawan hingga tidak dapat
dipergunakan lagi. Dalam keadaan begini Seebun Yan maupun Lan Sui-leng tidak
sempat lagi melakukan pengejaran, hwesio dari Siau-lim itu sudah
tergeletak ditanah dalam keadaan kritis, karena menolong orang
lebih penting, terpaksa mereka biarkan kedua orang itu melarikan
diri. Seebun Yan yang berpengalaman lebih matang kontan berkerut
kening setelah menyaksikan keadaan luka yang di derita pendeta
Siau-lim itu. Dia tahu jiwa orang ini tidak tertolong lagi, yang
diharapkan sekarang hanyalah pendeta itu dapat hidup lebih lama,
secepat kilat dia menotok jalan darah di seputar mulut lukanya.
Totokan itu merupakan totokan untuk menghentikan
pendarahan, dapat membuat darah yang mengalir keluar agak
berhenti hingga kematian tidak datang lebih cepat.
Untuk sesaat Lan Sui-leng tidak tahu apa yang harus diperbuat,
dia hanya bisa mengawasinya dengan pandangan bodoh. Namun
pandangan matanya, mimik mukanya, hampir semuanya
menampilkan sikap yang jauh lebih perhatian daripada Seebun Yan
atas nasib hwesio Siau-lim itu.
Hwesio Siau-lim itupun memperlihatkan sikap yang sangat aneh,
ujarnya tiba-tiba, "Nona, matamu sangat indah. Aaaai.... mungkin
tidak begini kebetulan, kebetulan mereka pun dua orang nona yang
masih sangat muda!" Berada dalam saat yang kritis, ternyata dia masih punya minat
untuk menikmati keindahan mata Lan Sui-leng.
Namun yang paling menarik perhatian Seebun Yan adalah
perkataannya yang terakhir, buru-buru dia bertanya, "Kejadian apa
yang menurutmu kebetulan?"
"Aku mendapat titipan dari seseorang untuk pergi ke suatu
tempat yang sangat jauh, pergi mengirim surat untuk dua orang
nona yang sangat muda."
"Pergi ke mana?"
"Ke puncak bukit Nyainqentanglha, diatas puncak terdapat
sebuah lembah yang dinamakan lembah seratus bunga (Pek-hoakok)!"
Ternyata tempat yang dimaksud tidak lain adalah tempat tinggal
Seebun Yan. Kejut bercampur girang buru-buru Seebun Yan bertanya, "Siapa
nama kedua orang nona itu?"
"Yang seorang bernama Lan Sui-leng, yang seorang lagi bernama
Seebun Yan!" Ketika hwesio itu menyebut nama mereka, kedua orang gadis itu
kontan menjerit tertahan, "Akulah Lan Sui-leng!"
"Akulah Seebun Yan!"
Tampaknya pendeta itu kegirangan setengah mati, kondisinya
pun jauh lebih segar, gumamnya, "Sungguh tidak nyana di dunia
inipun terdapat kejadian yang begini kebetulan!"
"Siapa yang menitipkan surat kepada kalian" Mana suratnya?"
buru-buru Seebun Yan bertanya lagi.
Dia sangka orang yang menitip surat adalah Piaukonya,
Tonghong Liang. Siapa tahu pendeta itu segera menjawab, "Suhuku yang suruh
aku menyampaikan pesan, dia pun hanya menyampaikan pesan
orang lain lagi!" "Lalu Sangjin dari manakah gurumu itu?"
Sangjin adalah istilah panggilan hormat untuk seorang pendeta,
atau dengan perkataan lain, dari sekian banyak hwesio dalam kuil
Siau-lim, hanya sang ketua serta beberapa orang tianglo dari ruang
Tat-mo-wan yang pantas disebut begitu.
Tapi bagi Seebun Yan, panggilan itu sama sekali tidak bermakna
khusus, dia anggap hanya sebagai sebutan kehormatan saja.
"Aku tidak lebih hanya seorang hwesio tukang pikul air di kuil
Siau-lim, mana pantas menjadi muridnya Sangjin" Kedudukan
guruku dalam kuil hampir sederajat dengan diriku, dia adalah
seorang hwesio juru masak."
"Aaah, hwesio juru masak!" teriak Lan Sui-leng, "apakah gurumu
bergelar Hwee-ko?" "Betul, guruku adalah Hwee-ko, darimana nona bisa tahu?"
"Gurumu adalah seorang tokoh berilmu tinggi, mungkin saja
kawanan hwesio gentong nasi dari kuil Siau-lim-si tidak
mengenalnya, tapi sudah lama kami tahu nama besarnya."
Ketika mendengar kalau kedua orang nona itu sudah sejak lama
tahu akan nama besar gurunya, pendeta itu selain terperanjat
bercampur keheranan, dia merasa gembira juga, serunya, "Ohh,
ternyata guruku benar-benar mempunyai riwayat yang amat luar
biasa" Padahal aku pun belum diangkat menjadi murid resminya, di
hari hari biasa di saat senggang dia sering mengajarkan beberapa
jurus ilmu silat kepadaku, aaai, sayang aku belajar tidak rajin...."
Seebun Yan merasa tidak sabar mendengarkan gerutu dan
penyesalannya itu, segera tukasnya, "Kedua orang itupun
merupakan jago-jago yang punya nama dalam dunia persilatan,
sudah terbilang tidak gampang bagimu untuk melawan mereka
berdua tanpa menemui ajal. Tapi sayang kita tidak ada waktu lagi
untuk berbicara banyak, tolong sampaikan saja sebetulnya apa yang
terjadi dan apa pesan yang kau bawa?"
Sambil berkata dia menempelkan telapak tangan kanannya diatas
punggung hwesio itu dan menyalurkan tenaga dalamnya. Meskipun
tenaga dalam yang dimiliki gadis itu belum termasuk 'sempurna',
namun sudah lebih dari cukup untuk memperpanjang umur pendeta
dari Siau-lim itu. Untuk sesaat tampaknya pendeta itu jadi bingung sendiri, tidak
tahu pembicaraan harus dimulai dari mana, dia malah balik
bertanya, "Nona, sebenarnya apa yang paling kau ingin ketahui?"
"Bukankah tadi kau bilang sedang menjalankan perintah dari
gurumu untuk menyampaikan berita kepada kami" Siapa orang
yang minta tolong kepada gurumu untuk menyampaikan berita ini?"
"Aku tidak tahu apakah pesan itu dari seorang pemuda atau
bukan, yang jelas setelah suhu bertemu dengan pemuda itu dan
sesaat sebelum meninggalkan kuil Siau-lim, dia sampaikan pesan
tersebut kepadaku." "Apakah pemuda itu berusia dua puluh tahunan, bermarga
Tonghong dan bernama Liang?" desak Seebun Yan.
"Aku tidak tahu siapa namanya, tapi kalau dilihat usianya, paling
dia baru berumur lima, enam belas tahunan."
"Aaah, sudah pasti dia adalah adikku," seru Lan Sui-leng cepat,
"apakah hari itu hanya dia seorang yang masuk ke kuil Siau-lim?"
"Seorang temannya menunggu diluar, tapi aku sendiripun baru
mendengar cerita ini beberapa hari kemudian, konon oleh karena
dia adalah murid Bu-tong-pay maka ketua Tat-mo-wan datang
sendiri untuk mengajaknya berbicara, kemudian baru mengijinkan
pemuda itu masuk. Mengenai apa sebabnya teman dia tidak
diijinkan ikut masuk, aku sendiripun tidak tahu."
Seebun Yan menghembuskan napas lega, katanya kemudian,
"Kalau begitu sang pemuda itu pastilah adik Sui-leng, sedang
temannya itu bisa jadi adalah Piauko ku."
Tapi dia tidak ada waktu untuk bertanya lebih jauh, tukasnya
kemudian, "Baiklah, sekarang tolong sampaikan pesan apa yang
diucapkan orang itu kepada gurumu kemudian minta disampaikan
kepada kami berdua?"
"Nona adalah...."biarpun sudah mendengar mereka berdua
menyebutkan namanya, namun berhubung kesadarannya sudah
makin menurun, tidak banyak yang bisa diingatnya lagi, karena
khawatir salah maka sengaja dia mengulang kembali
pertanyaannya. "Aku adalah Seebun Yan!"
"Pesan yang harus diberitahukan kepadamu adalah Piauko mu
akan pergi ke tempat lain karena masih ada urusan penting, dia
tidak tahu sampai kapan baru pulang, jadi minta kau tidak usah
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menunggunya lagi. Seandainya kau menaruh telur angsa dalam satu
keranjang pun dia tidak akan menyalahkan dirimu."
"Masih ada pesan lain?" tanya Seebun Yan dengan kening
berkerut. "Ada. Piauko mu bilang, kau harus baik-baik melayani tamu,
seandainya sang tamu ingin pergi, kaupun tidak boleh
menahannya!" Sambil tertawa getir Seebun Yan segera berkata, "Adik Leng,
ternyata Piauko sangat mengkhawatirkan dirimu, dia khawatir aku
menganiaya dirimu!" "Pesan itu toh bukan Tonghong Liang langsung
menyampaikannya kepada Hwee-ko Thaysu, siapa tahu adikku
hanya titip pesan palsu?"
"Tapi kalau bukan Piauko telah memberitahukan hal itu kepada
adikmu, darimana adikmu bisa tahu."
Lan Sui-leng manggut-manggut, pikirnya, "Ditinjau dari kejadian
ini, nampaknya hubungan persahabatan antara adik Keng dengan
Tonghong Toako memang sangat akrab. Tidak heran kalau siau
susiok menaruh kecurigaan kepadanya."
Di samping girang, diam-diam diapun merasa takut.
Terdengar pendeta itu berkata lagi, "Nona Lan, pesan yang harus
kusampaikan kepadamu nampaknya berasal dari adikmu."
"Apa yang dia katakan?"
"Adikmu bilang, kau tidak usah takut, kalau bisa segera pulang
ke rumah. Dia bilang dia sangat berterima kasih karena ayah ibu
amat menyayanginya, dia minta kau sampaikan salam kepada
mereka berdua, kemungkinan besar dia baru bisa pulang di saat dia
sudah boleh pulang."
"Eeei.... kenapa ucapan adikmu terhadap orang tua sendiri
menyampaikan pesan begitu sungkan?" seru Seebun Yan.
Lan Sui-leng pun merasakan hatinya gelisah bercampur tidak
tenang, pikirnya, "Jangan-jangan adik sudah mengetahui rahasia
asal usulnya?" Sambil berpaling tanyanya lagi kepada pendeta itu, "Apakah dia
tidak bilang mau pergi ke mana?"
"Sewaktu adikmu berbicara dengan Hwee-ko suhu, aku tidak
hadir disana, jadi akupun tidak tahu apakah dia mengatakan hal itu
atau tidak. Tapi dalam pesan yang disampaikan suhu, beliau tidak
mengatakannya." "Jadi mereka bersama-sama meninggalkan kuil Siau-lim?" tanya
Lan Sui-leng lebih jauh. "Tidak. Kurang lebih setengah jam setelah adikmu pergi, suhuku
baru ikut pergi. Sebab walaupun dia adalah hwesio tidak resmi,
namun sebelum meninggalkan kuil Siau-lim, dia wajib memberi
laporan dulu kepada toa-hwesioyang mengurusi dapur."
"Lantas bagaimana dengan kau sendiri?" tanya Seebun Yan,
"apakah kau meninggalkan kuil Siau-lim bersama-sama gurumu?"
"Tidak juga. Sebab.... sebab.... sewaktu aku mengajukan ijin cuti,
ada seorang hwesio yang mengurusi peraturan kuil memanggilku
dan menginterogasi diriku.... jadi.... jadi...."
Sewaktu berbicara sampai disitu, napasnya sudah tersengkalsengkal
dan nyaris terputus. Seebun Yan yang cerdas segera
menduga kalau perkataan selanjutnya adalah "jadi panjang untuk
diceritakan" atau perkataan sebangsanya.
Kontan saja gadis itu habis kesabarannya, cepat dia menukas,
"Apakah pemuda yang menunggu diluar pintu kuil berangkat
bersama mereka?" "Aku.... aku.... darimana aku bisa tahu."
"Tidak mendengar orang lain bercerita?"
"Aku tidak terpikir untuk menanyakan soal ini. Aku tidak tahu."
Berita yang paling ingin diketahui Seebun Yan adalah berita
tentang Piauko nya, mendengar jawaban tersebut diapun berkata,
"Terima kasih banyak kau telah memberitahukan banyak persoalan
kepadaku, aku tidak ada pertanyaan lagi."
Bicara sampai disitu, tangannya yang menempel dipunggung
pendeta itupun segera dilepas.
Begitu dia menarik kembali tangannya, hwesio itu langsung tidak
kuat menahan diri, paras mukanya berubah jadi putih keabu-abuan.
Buru-buru Lan Sui-leng bertanya, "Siapa namamu" Apakah ada
keinginan yang minta kami untuk lakukan untukmu?"
"Aku adalah seorang anak yatim piatu, tiada ayah tiada ibu, tiada
nama marga tiada nama, mau pergi atau datang tiada beban. Bila
kalian teringat akan diriku, sebut saja aku sebagai hwesio pemikul
air." "Kau telah melaksanakan tugas kemanusiaanmu secara
maksimal, selama hidup budi kebaikanmu tidak akan kami lupakan!"
bisik Lan Sui-leng dengan air mata bercucuran.
Tampaknya hwesio itu sudah berada dalam keadaan 'sesaat
sebelum ajal', sahutnya sambil tersenyum, "Sebetulnya aku hanya
seorang manusia biasa, tapi sekarang, paling tidak orang persilatan
sudah tahu kalau ada hwesio pemikul air seperti aku. Aku.... biar
mati pun akan mati dengan meram."
Bicara sampai disitu, sambil tersenyum dia menghembuskan
napasnya yang penghabisan.
Dengan air mata bercucuran Lan Sui-leng memberi hormat
berulang kali kepada jenasah hwesio itu. Sementara Seebun Yan
hanya berdiri termangu-mangu, sama sekali tidak ikut memberi
hormat. Melihat itu Lan Sui-leng merasa sedikit tidak puas, tegurnya,
"Enci Yan, apa yang sedang kau pikirkan?"
"Aku sedang berpikir, seandainya aku sendiri yang sedang
menghadapi sakral maut, mungkinkah sikapku bisa begitu bebas
tanpa beban seperti dia" Aaai, jangankan menghadapi sakral maut,
kehilangan seke-ranjang telur angsa pun membuat aku amat
tertekan dan berat hati. Kitab Buddha mengatakan: hanya dengan
memutuskan belenggu kau akan membuktikan kebenar-an.
Tampaknya aku memang tidak berbakat menjadi pengikut Buddha."
Lan Sui-leng tidak paham pikiran apa yang sedang menyentuh
gadis itu, ujarnya, "Aku tidak mengerti ajaran Buddha, sedang
hwesio inipun hanya bertugas memikul air dalam kuil Siau-lim,
belum tentu dia pernah membaca kitab Buddha, namun sepak
terjang serta perbuatannya tidak malu disebut perbuatan seorang
hwesio agung. Menurut pendapatku, asal seseorang dapat bertindak
jujur, berhati welas dan berbuat mulia, tanpa menjadi seorang
pendeta pun dia dapat memiliki sifat Buddha."
"Siancay, siancay," Seebun Yan segera merangkap tangannya di
depan dada sambil tertawa, "perkataanmu sungguh mengandung
makna yang sangat mendalam. Aku jadi teringat dengan perkataan
seorang pendeta agung, setiap orang sesungguhnya memiliki sifat
Buddha, masalahnya setelah kau tiba di dunia yang penuh
gemerlapan ini, dapatkah dirimu terbebas dari angkara murka dan
sifat kemaruk, karena sifat-sifat itulah yang akan menjadi debu dan
kotoran yang menutupi hatimu yang suci. Hanya sayangnya teori
gampang dimengerti, kalau disuruh melaksanakan itu baru susah."
"Gara-gara ingin menyampaikan pesan kepada kita lah hwesio ini
menemui ajalnya, kita tidak bisa sekedar bicara soal teori dan ajaran
Buddha, paling tidak lakukanlah satu tindakan nyata, dengan begitu
perasaan kita baru ikut tenang."
"Apa yang hendak kau lakukan?"
"Membawa pulang abunya dan serahkan kepada gurunya."
"Apakah kau tidak mendengar perkataannya tadi" Gurunya sudah
pergi meninggalkan kuil Siau-lim, ke mana kita harus mencari?"
Seolah baru tersadar, Lan Sui-leng segera berkata, "Lantas
bagaimana baiknya" Sebenarnya ibu angkat minta kita pergi ke kuil
Siau-lim untuk mencari Hwee-ko Thaysu, siapa tahu Hwee-ko
adalah gurunya, masih perlukah kita mengunjungi kuil Siau-lim
untuk mencari tahu kabar beritanya?"
"Kepada muridnya saja Hwee-ko hwesio tidak menjelaskan ke
mana dia akan pergi, mana mungkin akan mengatakan kepada
orang lain" "Dalam kuil Siau-lim, dia tidak lebih hanya seorang hwesio juru
masak, tidak mungkin orang lain akan memperhatikan dirinya.
Menurut pendapatku, lebih baik kita mencari berita di Toan-hun-kok.
Bukan-kah Liok Ki-seng mengatakan kalau Piauko berada di Toanhunkok" Ketika mengunjungi kuil Siau-lim tempo hari, adikmu pun
pergi bersama Piauko ku, siapa tahu saat ini mereka sudah
berkunjung semua ke Toan-hun-kok."
"Kalau mereka semua telah mengunjungi Toan-hun-kok, kenapa
pihak Toan-hun-kok mengutus lagi orang-orangnya untuk
membunuh murid Hwee-ko Thaysu?"
"Aku sendiripun tidak begitu jelas liku-liku di balik semuanya ini,
tapi satu hal yang pasti, apapun latar belakang sesungguhnya dari
peristiwa ini, semuanya mempunyai hubungan yang erat dengan
Toan-hun-kok, bukan begitu?"
Lan Sui-leng tidak punya pendapat lain, sesaat kemudian dia
baru manggut-manggut. "Benar juga perkataan cici."
"Kini kita tidak punya Hwee-ko sebagai pelindung, itu berarti
perjalanan kita ke Toan-hun-kok kali ini bakal berbahaya sekali.
Adikku, bila kau enggan menyerempet bahaya ini, akupun tidak
akan memaksamu." Sebenarnya saat itu Seebun Yan lah yang memaksa Lan Sui-leng
untuk diajak pulang, tapi setelah berkumpul selama beberapa bulan,
apalagi sikap Seebun Yan terhadapnya benar-benar akrab bagaikan
saudara sendiri, kendatipun dalam banyak hal dia kurang setuju
dengan cara berpikirnya, namun diapun tidak ingin membuatnya
kecewa, katanya kemudian, "Kita berdua adalah saudara angkat,
kalau hanya bisa menikmati bersama di kala senang dan tidak mau
menghadapi bersama di saat susah, terhitung saudara angkat
macam apakah itu" Lagipula kepandaian silat yang kumiliki adalah
ajaran ibu angkat. Terlepas apakah adikku pergi ke Toan-hun-kok
bersama Tonghong Toako atau tidak, aku tetap akan
mendampingimu!" Melihat usahanya 'memanasi hati lawan" membuahkan hasil,
Seebun Yan segera tertawa, katanya, "Sungguh tidak kusangka
kejadian ini begitu kebetulan, ternyata orang yang sedang dicari
adikmu di kuil Siau-lim adalah Hwee-ko hwesio. Dan kebetulan juga
di saat Hwee-ko hwesio mengutus muridnya untuk menyampaikan
pesan, secara kebetulan bertemu pula dengan kita."
Lan Sui-leng tidak berkata apa-apa, pikirannya masih diliputi
kebimbangan. Dia memang sudah tahu kalau Hwee-ko Thaysu
adalah sobat lama Seebun-hujin. Tapi apa pula hubungan hwesio
juru masak ini dengan adiknya" Mengapa adiknya pergi mencarinya"
Betul, dia dapat menduga kalau hal ini disebabkan perintah dari
Bu-siang Cinjin, tapi bukankah Bu-siang Cinjin sudah tahu kalau
umurnya bakal berakhir, mengapa bukannya dia menahan cucu
murid kesayangannya agar mendampingi dia disaat saat terakhir,
sebalik nya dia justru melanggar kebiasaan dengan mengirim cucu
muridnya mengunjungi kuil Siau-lim untuk mencari seorang hwesio
juru masak, bukankah kejadian ini aneh sekali"
Satu-satunya penjelasan yang masuk diakal adalah antara Hweeko
hwesio dengan adiknya pasti mempunyai keterkaitan atau
hubungan khusus, tapi dari-mana pula Bu-siang Cinjin bisa
mengetahuinya" Pelbagai teka teki seketika membuatnya bingung dan tidak habis
mengerti, akhirnya diapun berpikir, "Mungkin urusan ini baru bisa
menjadi jelas setelah aku bertemu adik nanti."
Tentu saja Lan Sui-leng pun tidak tahu kalau adiknya meski telah
bertemu Hwee-ko, namun pelbagai pertanyaan dan teka teki yang
menyelimuti benaknya pun tidak bisa terungkap satu per satu.
Hari itu, setelah berpisah dengan Bu-si tojin, dia melanjutkan
perjalanannya menuju ke bukit Siong-san.
Gunung Siong-san merupakan sebutan gabungan untuk gunung
Thay-si-san dan Sau-si-san, kedua bukit itu berdiri saling
berhadapan dan dipisahkan oleh wilayah seluas belasan li. Di bawah
puncak Ngo-ji-hong di sebelah utara bukit Sau-si-san itulah kuil
Siau-lim di dirikan. Nama besar kuil Siau-lim sudah termashur hingga melewati
wilayah Ho-lam, bukan hanya orang dewasa saja yang tahu, bahkan
kaum wanita dan anak-anak pun mengetahuinya.
Tidak heran kalau Lan Giok-keng begitu mudah memperoleh
petunjuk arah, akhirnya hari itu tibalah dia di gunung Siong-san.
Sejak pagi sekali dia sudah mendaki gunung, di saat fajar baru
menyingsing dia sudah berada di depan kuil Siau-lim.
Tampak pagoda batu tersebar bagaikan hutan, di tengah hutan
pagoda itulah kuil Siau-lim didirikan.
Kecuali hutan pagoda, disana pun banyak tumbuh pohon cemara.
Sepanjang hidup belum pernah Lan Giok-keng menyaksikan pohon
dengan batang yang begitu besar, tidak tahan dia mengawasi
pepohonan itu beberapa kejap.
Sementara dia masih berdiri termangu, entah sedari kapan tibatiba
muncul seseorang di sampingnya. Orang itu adalah seorang
lelaki berewok yang berusia tiga puluh tahunan.
"Hey bocah, mau apa kau kemari?" terdengar lelaki berewok itu
menegur. "Aku mau berkunjung ke kuil Siau-lim."
"Kalau datang kemari, tentu saja kau akan berkunjung ke kuil
Siau-lim. Maksudku mau apa kau ke kuil Siau-lim?"
Tentu saja Lan Giok-keng enggan memberi-tahukan maksud
kedatangannya kepada seorang asing, tapi menduga kalau orang itu
mungkin berasal dari Siau-lim dan bila tidak dijawab mungkin malah
runyam keadaannya, maka diapun menyahut, "Aku ingin
menyambangi seorang hwesio."
"Banyak sekali hwesio Siau-lim-si yang kukenal, siapa nama
orang yang ingin kau jumpai?"
"Yang ingin kucari adalah seorang hwesio juru masak. Kau tidak
mungkin mengenalinya."
Lelaki berewok itu kontan mendengus.
"Hmm, hwesio jum masak" Hwee-ko bukan?" jengeknya.
"Jadi kau kenal dengan dia?" tanya Lan Giok-keng terperanjat.
"Aku saja tidak pantas menjumpai dia, atas dasar apa kau ingin
bertemu dengan dia?"
"Atas dasar apa?" tentu saja Lan Giok-keng tidak ingin berterus
terang. "Aku pun tahu kalau tidak pantas bertemu dengan nya, tapi ada
titipan dari orang yang harus disampaikan, jadi apa salahnya untuk
dicoba," katanya. "Siapa orang itu?" ternyata lelaki berewok itu berusaha mencari
tahu hingga ke dasar dasarnya.
"Siapa pula dirimu" Atas dasar apa aku harus memberitahu
kepadamu?" tidak tahan Lan Giok-keng balik menegur.
Lelaki berewok itu tertawa dingin.
"Kalau ingin mencoba, cobalah dengan diriku lebih dulu!"
jengeknya. Belum sempat Lan Giok-keng memahami maksudnya, tiba-tiba
orang itu sudah melancarkan sebuah cengkeraman ke tubuh Lan
Giok-keng. Untung saja Lan Giok-keng berhasil berkelit dengan cepat,
bentaknya gusar, "Kenapa kau ingin melukai aku?"
"Bukankah kau bertanya atas dasar apa aku bertanya?"Jengek
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lelaki berewok itu lagi, "dasar ilmu Ki-na-jiu inilah aku mau
bertanya! Sekarang coba dulu kehebatanku, kalau mampu
mengalahkan aku, kau baru boleh mencoba untuk bertemu dengan
hwesio juru masak itu!"
Sementara berbicara, gerak serangannya sama sekali tidak
melambat, dalam waktu singkat dia telah melancarkan tiga jurus
serangan secepat kilat bahkan jurus demi jurus dilancarkan semakin
hebat, pada jurus terakhir dia bahkan mengancam tulang pi-pa-kut
di bahu lawan. Tentu saja Lan Giok-keng tidak akan membiarkan lawan
memunahkan ilmu silatnya, sekuat tenaga dia memberi perlawanan.
"Blaaamm....!" tiba-tiba sepasang tangan mereka saling
membentur, tubuh Lan Giok-keng mundur sejauh dua langkah
sementara tubuh lelaki itu hanya sedikit terguncang.
Sambil mendengus kembali lelaki itu mengejek, "Hmm, ternyata
kau si bocah cilik keras juga tubuhnya, tapi sayang masih belum
pantas untuk menginjak dalam kuil Siau-lim."
Sepasang tangannya berputar makin kencang, serangan yang
dilepaskan juga makin gencar dan ketat.
Selama ini Lan Giok-keng hanya mengerti ilmu pedang, dalam
ilmu tangan kosong boleh dibilang sama sekali tidak menguasai, tapi
di bawah serangan lawan yang begitu ketat, nyaris tidak ada waktu
lagi baginya untuk mencabut pedang. Tapi semisal ada peluang
mencabut pedangpun dia tidak ingin menggunakan pedang untuk
menghadapi lawan yang sama sekali tidak bersenjata.
Siapa tahu biar pun lelaki berewok itu hanya berkata ingin
"menjajal" ilmu silatnya, namun semua jurus serangan yang
digunakan justru sangat ganas, buas dan telengas. Apabila sampai
tercengkeram, bisa jadi tulang dan ototnya bakal putus atau remuk.
Akhirnya Lan Giok-keng tak kuasa lagi membendung serangan
lawan, "Breeet!" pakaiannya tersambar hingga robek sebagian.
Dalam gugup dan kagetnya cepat dia mengubah jurus pedang
Thay-kek-kiam-hoat ke dalam permainan tangan kosong, dengan
jums Ya-be-hun-cong (Kuda liar membelah bulu) dia langsung babat
bahu kiri orang itu. Ketika melancarkan serangan itu, Lan Giok-keng sama sekali
tidak berharap jurus itu bisa mengalahkan lawan, dia hanya
berharap bisa membendung datangnya ancaman musuh yang
begitu mematikan. Siapa tahu baru saja jurus itu dilancarkan, terdengar orang itu
menjerit keras, tubuhnya seakan tidak sanggup lagi berdiri tegak,
setelah mundur sempoyong-an tiba-tiba dia roboh terjungkal
kemudian menggelinding jatuh ke bawah tebing.
Perlu diketahui, tebing itu curam sekali, ketika Lan Giok-keng
berhasil menenangkan hatinya yang kaget dan lari ke tepi tebing,
dia sudah tidak melihat orang itu lagi.
Dinding tebing tegak lurus bagai mata pisau, sedang dasar
jurang amat dalam tidak nampak dasar. Diam-diam Lan Giok-keng
bergidik, pikirnya, "Aneh, padahal pukulanku tadi rasanya tidak
mengenai badannya, kenapa dia bisa terpeleset jatuh ke dalam
jurang" Moga-moga saja dia tidak sampai kehilangan nyawa garagara
kejadian ini, kalau tidak dosa ku bakal sangat besar."
Tapi ketika membayangkan kembali jurus Tay-ki-na-jiu-hoat nya
yang begitu ganas dan telengas, seandainya dia bukan "terpeleset"
hingga jatuh ke jurang, bisa dipastikan dirinya kalau bukan mati
pasti terluka parah. Hal ini membuathatinya kembali bimbang. Tapi
benarkah dia 'terpeleset'"
Sejak dilahirkan dari rahim ibunya, Lan Giok-keng hanya pernah
satu kali bertanding pedang melawan Tonghong Liang, itupun hanya
berlatih jurus, hingga boleh dibilang dia sama sekali tidak memiliki
pengalaman dalam menghadapi musuh.
Sekalipun begitu, sedikit banyak dia masih sedikit tahu diri atas
kecetekan ilmu silat yang dimilikinya, dia sadar kungfu yang dimiliki
orang itu sangat tinggi, mustahil bisa dikalahkan hanya
mengandalkan sebuah jurus Ya-be-hun-cong saja.
Tapi kalau bukan lantaran keheranan jurus serangannya, lalu
mengapa seorang jago silat yang berilmu begitu tangguh bisa jatuh
terpeleset tanpa sebab yang jelas"
Matahari yang berwarna merah darah telah muncul dari balik
lautan mega, pemandangan di sekeliling hutan kini dapat terlihat
sangat jelas, tapi jangan lagi bayangan tubuh orang itu, seekor
burung yang sedang terbang pun tidak terlihat.
Dengan perasaan bingung dan tidak habis mengerti terpaksa Lan
Giok-keng melanjutkan kembali perjalanannya, belum tiba di depan
pintu kuil Siau-lim, lagi-lagi dia bertemu seorang pendeta berwajah
hitam. Begitu bersua muka, pendeta berwajah hitam itu langsung
menegur, Lan Giok-keng jadi tidak senang hati, apalagi pendeta itu
menganggap dia sebagai seorang bocah yang harus didampingi
orang dewasa, sahutnya, "Orang tua ku berada seribu li dari sini,
aku kemari seorang diri."
"Ooh, kalau begitu mungkin aku telah salah dengar. Kau seorang
bocah, jauh-jauh dari ribuan li datang kemari, apa tujuanmu?"
Rupanya dia adalah pendeta yang mendapat tugas untuk
menjaga pintu gerbang, tadi secara lamat-lamat dia mendengar ada
orang sedang berkelahi dalam hutan, karena itu cepat-cepat dia lari
keluar untuk menengok keadaan.
Dengan kening berkerut pendeta bermuka hitam itu segera
berkata, "Ooh, jadi kau ingin belajar silat. Sudah tergila-gila dengan
ilmu silat" Kami para hwesio dari kuil Siau-lim, pertama tidak bakal
sembarangan terima murid, ke dua tidak ada banyak waktu luang
untuk mengajarkan ilmu silat kepada orang lain."
Kejadian semacam ini memang sering terjadi di kuil Siau-lim, jadi
peristiwa itu bukan sesuatu yang aneh.
"Pertama, kedatanganku bukan untuk berguru, kedua akupun
tidak ingin mencari orang untuk minta petunjuk, aku ada urusan
penting ingin bertemu dengan seorang Thaysu dari kuil anda."
"Thaysu dari mana yang ingin kau jumpai" Dari ruang Tat-mowan
atau dari ruang Lo-han-tong?"
Jelas sekali di balik nada pembicaraan itu terselip nada sindiran
yang tajam. "Thaysu itu bergelar Hwee-ko," jawab Lan Giok-keng dengan
wajah serius. "Hwee-ko?" gumam pendeta berwajah hitam itu tercengang,
"rasanya di dalam kuil Siau-lim tidak ada seorang hwesio yang
bernama Hwee-ko!" "Siapa yang sedang mencari Hwee-ko?" tiba-tiba seorang
pendeta berwajah kuning bertanya.
"Engkoh cilik ini."
"Aneh, Hwee-ko sudah tiga puluh tahun berdiam disini, belum
pernah sekalipun ada yang datang mencari nya, kenapa hari ini
beruntun ada begitu banyak orang yang datang mencarinya. Engkoh
cilik, beruntung sekali kau bertemu aku."
"Jadi benar-benar ada hwesio yang bernama Hwee-ko dan sudah
tiga puluh tahun tinggal disini?" kata pendeta berwajah hitam itu
semakin keheranan. "Sejujurnya, aku sendiripun baru hari ini tahu kalau ada orang
bernama itu. Cuma apakah orang itu adalah orang yang sedang
dicari engkoh cilik ini, aku perlu menanyai lagi. Hey, apa pekerjaaan
Hwee-ko Thaysu yang kau cari itu dalam kuil Siau-lim?"
"Aku rasa tidak mungkin dia menjabat kedudukan di ruang Tatmowan atau Lo-han-tong. Setahuku, dia adalah seorang hwesio
juru masak di kuil ini."
"Apa" Hwesio juru masak?" pendeta berwajah hitam itu tertegun.
Pendeta berwajah kuning itu ikut tertawa, katanya, "Jangan kau
pandang enteng hwesio juru masak itu, lagaknya mah besar sekali,
kurang lebih dua jam berselang ada seseorang datang mencarinya,
dia mohon kepadaku untuk sampaikan kabar kepadanya, Hwee-ko
sama sekali tidak bertanya siapakah orang itu, dia langsung minta
aku untuk mengusirnya pergi."
Ternyata pendeta berwajah kuning itu adalah petugas yang
menjaga pintu gerbang separuh malam kemarin, fajar baru saja
menyingsing, orang itu sudah munculkan diri.
Saat itu dialah yang sedang bertugas meronda, sedang pendeta
berwajah hitam belum muncul menggantikan posisinya, (biasanya
petugas jaga terdiri dari dua orang, dan kedua orang itu akan
diganti regu lain pada jam jam tertentu).
Pendeta berwajah hitam itu segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... tidak aneh bila aku tidak tahu, ternyata dia hanya
seorang hwesio juru masak."
Perlu diketahui jumlah anggota hwesio yang berdiam di kuil Siaulim
termasuk semua karyawan terdiri hampir seribu orang, tentu
saja pendeta berwajah hitam itu tidak bakalan menaruh perhatian
dengan seorang hwesio juru masak.
"Kalau hanya seorang hwesio juru masak, lalu apa lucunya?"
tegur Lan Giok-keng. "Engkoh cilik, kau salah paham. Kami sama sekali tidak berniat
memandang rendah seorang hwesio juru masak. Hanya baru kali ini
kudengar ada orang memanggil hwesio juru masak sebagai Thaysu.
Benar-benar aneh tapi nyata."
Berbicara sampai disitu tidak tahan lagi dia tertawa terbahakbahak.
"Hmm, sedikitpun tidak lucu," dengus Lan Giok-keng, "Sucouwku
pun menyebut Hwee-ko sebagai Thaysu."
"Kau berasal dari perguruan mana" Siapa Sucouw mu?" tanya
pendeta berwajah kuning itu kemudian.
"Aku berasal dari Bu-tong-pay, Sucouw ku adalah Bu-siang
Cinjin!" Dua orang pendeta itu nampak sangat terperanjat, serunya
hampir serentak, "Bu-siang Cinjin" Kau maksudkan Ciangbunjin dari
Bu-tong-pay?" "Yang menjadi Ciangbunjin sekarang sudah bukan dia orang tua."
Kedua orang pendeta itu baru teringat kalau belum lama
berselang Bu-siang Cinjin telah meninggal dunia. Bahkan beritanya
pun baru diterima pihak Siau-lim-si dua hari berselang.
Pendeta berwajah hitam itu segera bertanya lagi, "Benarkah Busiang
Cinjin yang suruh kau datang mencari Hwee-ko?"
"Buat apa aku membohongi kalian?"
"Hari apa dia suruh kau turun gunung."
Setelah Lan Giok-keng menyebutkan harinya, pendeta berwajah
hitam itu segera menghitung sebentar, lalu katanya, "Berarti sehari
sebelum Bu-siang Cinjin meninggal dunia?"
"Benar, aku pun baru mendapat berita tentang wafatnya Sucouw
sewaktu ada di tengah jalan."
Kontan pendeta berwajah hitam itu tertawa dingin, katanya,
"Sebelum ajalnya tiba, sudah pasti ada banyak urusan yang harus
dia sampaikan, mana mungkin masih ada waktu luang dengan minta
kau datang menjumpai seorang hwesio juru masak di kuil Siau-lim?"
"Mau percaya atau tidak terserah dirimu. Kalau bukan diberitahu
Sucouw, aku masih ada di gunung Bu-tong dan darimana bisa tahu
kalau dalam kuil Siau-lim terdapat seorang hwesio juru masak yang
bernama Hwee-ko?" Sambil tertawa dingin pendeta berwajah kuning itu berkata pula,
"Tahukah kau couwsu pendiri Bu-tong-pay kalian Thio Sam-hong
dulunya pun melarikan diri dari kuil Siau-lim" Selama dua ratus
tahun terakhir belum pernah ada murid agama To dari Bu-tong-pay
yang berani mendatangi kuil Siau-lim, dari antara murid preman pun
hanya Bouw Tok-it seorang yang pernah datang kemari."
"Aku tahu." "Kalau dibilang Bu-siang Cinjin suruh kau datang menyambangi
Hong-tiang kami, mungkin saja aku masih dapat mempercayainya
beberapa bagian, hmm! Hmm! Dia suruh kau datang menyambangi
seorang hwesio juru masak?"
"Lantas apa yang kau inginkan supaya percaya?"
"Yang sudah mah tidak bisa diminta jadi saksi, jadi lebih baik
dibuktikan lewat ilmu silat saja," kata pendeta berwajah hitam itu.
"Ooh, jadi maksudmu ingin menjajal apakah aku mengerti ilmu
silat aliran Bu-tong?"
"Benar, bukan saja akan kucoba apakah kau mengerti atau tidak,
bahkan kau harus sanggup mena-han sepuluh jurus seranganku,
dengan begitu aku baru percaya kalau kau benar-benar adalah cucu
murid Bu-siang Cinjin!"
"Boleh saja. Tapi tidak perlu dibatasi sepuluh jurus, mau seratus
jurus pun tidak masalah!"
"Bagus sekali, besar amat lagak bocah cilik ini!" teriak pendeta
berwajah hitam itu gusar, "tapi sebelum bertarung aku perlu
beritahukan dulu, dalam serangan nanti aku tidak bakal berbelas
kasihan, jadi kalau sampai terluka, jangan salahkan aku bertindak
kejam." "Begitu juga sebaliknya," ujar Lan Giok-keng, "bila aku sampai
melukaimu, harap kaupun jangan menyalah kan."
Tidak terlukiskan rasa gusar pendeta berwajah hitam itu, saking
jengkelnya sepasang mata sampai melotot besar, bentaknya,
"Bocah latah, cabut pedangmu!"
Pendeta berwajah kuning itu adalah suhengnya, tahu kalau dia
temperamen tinggi, khawatir serangannya nanti sampai melukai
seorang pemuda bau kencur sehingga bukan saja akan dihukum
Hong-tiang, bahkan kalau sampai tersiar keluar bakal merugikan
nama baik Siau-lim-pay, maka buru-buru serunya, "Sute, jangan kau
layani seorang pemuda yang tidak tahu diri, lebih baik biar aku saja
yang temani dia bertarung dua jurus."
Dia adalah salah satu diantara delapan belas murid dari ruang
Lo-han-tong, karena tidak ingin membuang waktu, begitu turun
tangan segera menggunakan Siau-ki-na-jiu-hoat untuk
mencengkeram lawan nya. Siau-ki-na-jiu jauh lebih lihay bila dibandingkan Toa-ki-na-jiu
yang digunakan lelaki berewok tadi.
"Breeet!" terdengar suara kain disambar robek, tahu-tahu ujung
baju Lan Giok-keng sudah tersambar hingga robek.
Diam-diam Lan Giok-keng mengulang rumus pedang yang
dipelajarinya, "Thay-kek memutar bundar, tanpa putus tanda jedah,
hasrat ada di pedang, menyerang sambung menyambung. Biar dia
berat bagai tindihan bukit Thay-san, anggap saja angin lembut yang
menerpa wajah." Tanpa berkedip sekali pun secara beruntun pedangnya sudah
melancarkan tiga lingkaran bunga pedang.
Untuk sesaat pendeta berwajah kuning itu gagal menemukan titik
kelemahan, tentu saja jari tangannya tidak berani menerobos masuk
ke tengah lingkaran pedang itu.
Pendeta berwajah hitam itu segera berteriak, "Suheng, mungkin
ada orang lain yang secara diam-diam memberi petunjuk
dibelakangnya, bisa jadi mereka berniat akan mempermalukan Siaulimpay. Lebih baik tidak usah berbelas kasihan lagi."
Kesempurnaan ilmu pedang yang dimiliki Lan Giok-keng jauh di
luar dugaan pendeta berwajah kuning itu, tergerak hatinya setelah
mendengar perkataan sute nya itu, segera pikirnya, "Biarpun sute
adalah seorang lelaki berangasan, namun perkataannya itu masuk
diakal juga. Bocah ini paling baru berusia lima, enam belas tahunan,
tapi ilmu pedangnya sudah begitu hebat, jangan-jangan dia
memang benar-benar cucu murid Bu-siang Cinjin, ini berarti para
tosu tua hidung kerbau sengaja mengutus dia untuk datang
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyelidiki kungfu pihak Siau-limpay. Dia tidak lebih hanya seorang
bocah ingusan, mungkin kawanan tosu tua itu menganggap kami
tidak akan berani mengusik jiwanya. Tapi seandainya ada anggota
kami disini yang sampai menderita kekalahan, sejak sekarang Siaulimpay sudah tidak bisa angkat kepala lagi. Pamornya bakal berada
di bawah Bu-tong-pay."
Begitu timbul perasaan curiga, seketika itu juga pendeta
berwajah kuning itu turun tangan tidak kenal ampun. Sekalipun
tidak sampai akan merenggut nyawa Lan Giok-keng, namun dia
merasa perlu untuk menghajar Lan Giok-keng sampai cacat.
Sambil meraung keras tubuhnya menerjang ke muka, dengan
pukulan tangan dia singkirkan lingkaran pedang dari Lan Giok-keng.
Cepat bocah itu melejit ke samping, dengan jurus Kim-ciam-toksian
(jarum emas merajut) ujung pedangnya mengancam urat nadi
pergelangan tangan pendeta bermuka kuning itu. Perubahan
tersebut dilakukan sangat hebat dan sama sekali di luar dugaan
pendeta berwajah kuning itu.
Dia tidak tahu kalau gerakan ini merupakan daya cipta Lan Giokkeng
dengan dasar ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat, gerutunya di
dalam hati, "Aneh, kelihatannya bocah ini pandai juga menggunakan
ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat, tapi rasanya juga tidak serupa...."
Bicara soal pengalaman maupun ilmu silat, kemampuannya
masih berada diatas Lan Giok-keng, sekalipun dia tidak bisa meraba
latar belakang musuhnya, namun tidak sampai dipecundangi.
Segera sepasang tangannya yang merangkap di depan dada
direntangkan ke kiri dan kanan, kembali dia gunakan sebuah
pukulan yang disertai tenaga dalam sempurna.
Lan Giok-keng segera melompat ke samping untuk menghindar,
lamat-lamat dia merasa kepalannya linu dan kaku.
"Aduuh mak," teriak Lan Giok-keng, "besar amat tenaga mu!"
Merah padam selembar wajah pendeta berwajah kuning itu, dia
merasa pipinya bagaikan dibakar. Serunya diam diam, "Sungguh
memalukan!" Kemudian pikirnya lebih jauh, "Namaku berada dalam deretan
Cap-pwee Lohan, tapi dalam jurus serangan tidak mampu
mengungguli seorang bocah, untung tidak ada orang luar disini,
kalau tidak kejadian ini benar-benar akan menjadi bahan tertawaan
orang lain." Dalam pada itu pendeta berwajah hitam itupun diam-diam
merasa tercengang setelah melihat Lan Giok-keng sanggup
menahan gempuran Toa-lek-kim-kong-ciang dari suhengnya, segera
ujarnya, "Sudah lama kudengar orang berkata bahwa ilmu yang
paling diandalkan Bu-tong-pay adalah ilmu meminjam tenaga, kau si
bocah monyet mengakunya saja sebagai cucu murid Bu-siang Cinjin,
masa ilmu sebangsa inipun tidak paham" Hehehe.... tampaknya kau
memang orang gadungan yang mengaku saja!"
Padahal siapa bilang Lan Giok-keng tidak mengerti teori tentang
menggunakan kelembutan mengatasi kekerasan" Sejak berusia lima
tahun dia sudah mulai belajar silat, dalam jangka waktu sebelas
tahun entah berapa banyak ilmu meminjam tenaga yang telah
dipelajarinya. Akan tetapi biarpun teori mudah dipahami, gerakan tangan tidak
susah dipelajari, justru yang sulit adalah cara penggunaannya
dimana dibutuhkan pikiran yang benar-benar tenang, kalau tidak, di
saat sedang menghadapi musuh dengan begitu banyak perubahan,
selisih waktu sedikit saja bisa menghasilkan akibat yang sangat
berbeda. Di samping itu bila selisih tenaga dalamnya kelewat jauh, sehebat
apapun sistim yang digunakan, belum tentu bisa menghasilkan
akibat yang kelewat maksimal.
Sudah barang tentu pendeta berwajah hitam itu pun memahami
akan teori ini, hanya saja dia memang sengaja mengatakannya.
Pertama untuk membantu suhengnya menghadapi ejekan, ke dua
diapun sudah melihat kalau suhengnya berniat melukai pemuda itu,
karenanya dia sengaja menyangkal kalau dia bukan murid Bu-tongpay,
jadi seandainya di kemudian hari terjadi masalah dan
keonaran, dia lebih gampang mencari alasan untuk menyangkal.
Tapi perkataan itu justru menyadarkan pula Lan Giok-keng.
Selama setengah bulan terakhir, Lan Giok-keng memang sudah
banyak memahami Sim-hoat tenaga dalam yang diberikan Sucouw
kepadanya, hanya saja selama ini dia belum mendapat kesempatan
untuk mencobanya dan dia kekurangan pengalaman.
Dalam waktu singkat teori Sim-hoat tenaga dalam pun mengalir
di dalam bnaknya, "Dari ada menjadi tiada, dibalik tiada tumbuh
ada. Pikiran tidak ternoda godaan, mengalir bagai air di sungai.
Mengurai keganasan Kim-kong, empat tahil mengubah seribu kati!"
Begitu teori dibacakan, seketika pikiran bocah itupun terbuka.
Tiba-tiba pendeta berwajah kuning itu melancarkan kembali
sebuah bacokan maut, cepat Lan Giok-keng menggetarkan
senjatanya dan menyongsong dengan gagang pedang, begitu dia
mencukil perlahan.... "Kraaakk!" sebatang dahan pohon sebesar lengan bocah yang
tumbuh tiga jengkal di hadapannya telah terhajar patah oleh tenaga
pukulan pendeta berwajah kuning itu.
Lan Giok-keng sendiri meski dapat menggiring tenaga pukulan
lawan hingga berubah arah dan mematahkan dahan pohon, tidak
urung dia sendiri pun mundur satu, dua langkah dengan
sempoyongan sebelum akhirnya bisa berdiri tegak. Hal ini
disebabkan dia hanya berhasil memunahkan delapan bagian kekuatan
lawannya. Kontan saja paras muka sang pendeta yang semula berwarna
kuning, berubah jadi merah padam lantaran jengah.
Perlu diketahui, dalam meminjam tenaga memukul tenaga meski
tidak boleh terjadi benturan secara keras melawan keras, namun
andaikata barusan Lan Giok-keng menggiringnya dengan memakai
ujung pedang, sekalipun tidak sampai membuat pendeta berwajah
kuning itu terkurung lengannya, dapat dipastikan dia akan
menderita luka luar yang cukup parah.
Entah dikarenakan rasa curiganya yang menimbul kan pikiran
kacau, sewaktu dia mematahkan batang pohon tadi, lamat-lamat
pendeta berwajah kuning itu seakan mendengar ada seseorang
sedang tertawa dingin. Suara itu mengalun diangkasa, seolah ada seolah tidak ada, sulit
baginya untuk membedakan apakah suara itu suara dahan yang
bergoyang" Atau suara daun yang berguguran" Atau bahkan hanya
suara hembusan angin" Tapi dia merasa seolah mendengar suara
itu, entah khayalan entah kenyataan, namun hal ini segera
menimbulkan teka teki dalam hatinya.
Untuk menyelamatkan kehilangan muka, sambil tertawa dingin
dia segera berseru, "Bocah keparat, biar kutunjukkan ilmu tangan
kosongku untuk merampas senjata mu, jangan kau sangka aku
hanya bisa mengalahkan dirimu dengan tenaga dalam saja hingga
menuduhku yang besar menganiaya yang kecil."
Sembari membentak ke lima jari tangannya bagaikan sebuah
kaitan langsung mencakar Lan Giok-keng.
Walaupun menyerang namun pendeta itu sama sekali tidak
merangsek maju, bahkan tubuhnya selalu menjaga jarak dengan
ujung pedang Lan Giok-keng sejauh tiga, lima inci.
Tujuan tangan kosong merampas senjata adalah merampas
senjata yang sedang digunakan pihak lawan, kalau tidak terjadi
sentuhan, bagaimana mungkin dia bisa mencapai sasaran"
Ternyata kepandaian silat yang digunakan saat ini adalah Liongjiaujiu (tangan cakar naga), salah satu ilmu silat di antara tujuh
puluh dua macam kepandaian andalan Siau-lim-si.
Serangannya dilancarkan cepat bagaikan kilat, dalam setiap
jurusnya serangan tipuan dan serangan nyata saling mendukung,
perubahan yang diciptakan tidak terhingga.
Dia selalu mengincar keteledoran pihak lawan, begitu muncul
kesempatan maka serangan tipuan segera berubah jadi ancaman
nyata, yang diancam pun jalan darah kematian di tubuh bocah itu.
Namun di saat tidak ada peluang yang bisa digunakan, tenaga
pukulannya seolah melayang kian kemari sehingga sulit bagi lawan
untuk mengeluarkan lagi ilmu meminjam tenaga.
Kalau dibilang tidak menggunakan tenaga dalam sama sekali,
jelas pendeta itu sedang berbohong, sebab ilmu yang digunakan
sekarang adalah ilmu pukulan bintang langit kecil (Siau-thian-sengTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
ciam) yang bersifat lembut dan negatip, dalam setiap serangannya
sama sekali tidak menimbulkan angin pukulan.
Cuma saja, ilmu Liong-jiau-jiu memang benar benar tidak
memperagakan tenaga dalam.
Bagi Lan Giok-keng sendiri, sebetulnya ilmu pedang Thay-kekkiamhoat yang dipelajarinya sama sekali tidak kalah dengan ilmu
Liong-jiau-jiu lawan, hanya bedanya, pendeta berwajah kuning itu
sudah hampir dua puluh tahun lamanya melatih ilmu cakar naganya,
sedang Lan Giok-keng baru belakangan belajar ilmu pedang Thaykekkiam-hoat, meski daya ingatnya cukup tinggi bahkan sudah
memiliki 'daya cipta', namun bagaimanapun juga dia masih kalah
jauh dibandingkan lawannya.
Begitu pendeta berwajah kuning itu merubah taktik pertarungan
dengan mulai bertarung bergerilya, sering berubah posisi dan
melakukan ancaman yang bertubi-tubi, daya tekanan terhadap Lan
Giok-keng pun kian lama kian bertambah menghebat, lambat laun
permainan pedang Lan Giok-keng pun terbelenggu hingga sama
sekali tidak dapat dikembangkan lagi.
Pendeta berwajah hitam yang menonton jalannya pertarungan
mulai berseri karena gembira, berulang kali dia bersorak sorai
memberi dukungan semangat kepada kakak seperguruannya.
"Bagus, bagus sekali!"
Sayangnya, setiap kali rekannya berteriak 'bagus sekali', kering
pendeta berwajah kuning itu makin berkerut kencang, mimik
wajahnya pun makin lama semakin tidak sedap dipandang.
Lan Giok-keng sama sekali tidak menghitung berapa jurus telah
dilalui, namun dia sendiri telah menghitungnya secara diam diam,
kini seratus jurus sudah lewat.
Tadi, dia sempat sesumbar dengan mengatakan dalam sepuluh
jurus pasti berhasil meringkus Lan Giok-keng, tapi sekarang jumlah
jurusnya sudah berlipat sepuluh kali, bukankah tempik sorak dari
sute nya sekarang sama artinya sedang mengejek dan mencemooh
dirinya" Kendatipun sejujurnya pendeta berwajah hitam itu sama
sekali tidak bermaksud begitu.
Sambil menggertak gigi diam-diam pendeta berwajah kuning itu
berpikir, "Kalau tidak kutangkap bocah keparat ini, akan kutaruh
dimana wajah ku?" Kobaran api amarah seketika membangkitkan napsu membunuh
Naga Sakti Sungai Kuning 8 Misteri Elang Hitam Karya Aryani W Kisah Para Penggetar Langit 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama