Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 12
dalam hati kecilnya, jurus-jurus pamungkas pun mulai digunakan,
sekarang dia sudah tidak ambil perduli lagi apakah serangannya
akan mengancam keselamatan jiwa Lan Giok-keng atau tidak.
Dia sertakan ilmu pukulan Siau-thian-seng-ciang ke dalam cakar
naga nya, sebentar menyodok sebentar menarik, dia gunakan
tenaga dalamnya untuk membetot tubuh Lan Giok-keng seolah
terhisap dalam pusaran air yang kuat, biarpun tidak sampai roboh,
langkah kaki bocah itu mulai sempoyongan hingga tanpa terasa
posisi tubuhnya mulai miring ke samping.
Dengan cepat pendeta berwajah kuning itu melancarkan
serangkaian jurus kilat, semua serangannya aneh dan sakti, dalam
keadaan limbung meski Lan Giok-keng berusaha berkelit ke arah
mana pun, tubuhnya selalu terkurung dalam pengaruh pukulan
lawan. Dalam keadaan seperti ini, seandainya dia gagal untuk
menghindar niscaya tulang pi-pa-kut nya akan hancur kena
cengkeraman musuh, sebaliknya bila cara menghindarnya tepat,
paling tidak pedangnya bakal berhasil dirampas lawan.
Dalam keadaan yang kritis itulah tiba-tiba Lan Giok-keng seolah
mendengar ada orang berbisik di sisi telinganya, "Pek-hok-liang-ci,
Hian-nio-hua-sa!" Tanpa berpikir panjang lagi Lan Giok-keng segera mengeluarkan
dua jurus serangan itu. Untuk menggunakan jurus bangau putih pentang sayap,
tubuhnya harus melejit ke udara, karena itulah di saat langkahnya
sempoyongan, dia segera menggunakan kesempatan itu untuk
melambung. Tapi untuk menggunakan jurus burung belibis mengayuh pasir,
dia harus membalikkan tangan berputar setengah lingkaran busur
ke arah kanan, padahal pendeta berwajah kuning itu sedang
menyerang dari arah depan sedang badannya dalam posisi
melambung, bila jurus itu digunakan, bukankah pertahanannya jadi
terbuka dan memberi peluang kepada lawan untuk menerobos
masuk" Tapi Lan Giok-keng sama sekali tidak berpikir sampai ke situ,
sebab dia sudah mengenali suara bisikan itu berasal dari seseorang,
seseorang yang paling dipercayainya.
"Breeeet!" jubah pendeta berwajah kuning itu segera tersambar
hingga robek sepanjang tujuh inci lebih, begitu nyaris pedang itu
menyambar lewat hingga dada pun dapat merasakan hawa pedang
yang menggidikkan itu. Tidak terlukiskan rasa terkejut yang mencekam hatinya,
tergopoh-gopoh dia melompat mundur sejauh beberapa depa lebih.
Ternyata sebelum memberi petunjuk, orang itu sudah
memperhitungkan dengan tepat langkah berikut yang akan
dilakukan pendeta berwajah kuning itu.
Ternyata dugaannya memang tidak meleset, dalam waktu
singkat dia telah menggeser posisinya dengan menyelinap ke
belakang Lan Giok-keng sambil melancarkan serangan.
Akibatnya, gerakan itu sama halnya dengan menghantar diri
menyongsong jurus Burung belibis mengayuh pasir yang sedang
digunakan Lan Giok-keng. Yang lebih hebat lagi adalah orang itupun telah
memperhitungkan kalau Lan Giok-keng setelah menggunakan jurus
Bangau putih pentangkan sayap masih memiliki kekuatan yang
cukup untuk merobek jubah lawannya dengan jurus burung hitam
mendayung pasir yang akan dilakukan, bahkan kekuatan tersebut
tidak sampai melukai jiwa lawan.
Begitu melihat jubah saudara seperguruannya tersambar robek,
dalam gugup dan paniknya pendeta berwajah hitam itu tidak ambil
perduli lagi apakah suhengnya terluka atau tidak, dengan sifat
temperamen nya dan berangasan segera bentaknya nyaring,
"Bajingan cilik, jangan kau lukai suhengku!"
Senjata sekopnya langsung dihantamkan ke sepasang kaki Lan
Giok-keng. Senjata sekop adalah jenis senjata berat, lagipula ilmu yang
dilatih pendeta bermuka hitam itu adalah ilmu gwa-kang, tidak
heran kalau kekuatan sepasang lengannya mencapai ribuan kati
beratnya. Bukan saja dia sudah menyerang tiga bagian tubuh Lan Giokkeng,
bahkan serangan sekopnya sama sekali tidak kenal ampun.
Dalam menghadapi ancaman yang datang, Lan Giok-keng benarbenar
terjerumus dalam posisi ter-desak, dalam keadaan begini,
seandainya dia berhasil mempertahankan nyawanya pun,
kemungkinan besar sepasang kakinya akan berpisah dengan badan.
Tentu saja Lan Giok-keng enggan jadi cacat, "walaupun kekuatan
lawan berat bagai bukit Thay-san, hadapilah bagai hembusan angin
sejuk", serta merta diapun menggunakan ilmu Si-liang-po-jian-keng
"kekuatan empat kati menangkis tindihan ribuan kati" untuk
menghadapi datangnya ancaman.
Tenaga dalam yang dimiliki pendeta bermuka hitam ini jauh di
bawah kemampuan suhengnya, ketika Lan Giok-keng menggunakan
ilmu Si-liang-po-jian-keng untuk menghadapi pendeta berwajah
kuning tadi, hasil yang diperoleh tidak seberapa besar. Sebaliknya
ketika digunakan untuk menghadapi pendeta berwajah hitam ini,
hasilnya benar-benar luar biasa.
Ilmu Si-liang-po-jian-keng memang tidak takut menghadapi
kekuatan musuh yang besar, makin besar kekuatan musuh maka
daya pental yang dihasilkan pun semakin besar.
"Blaaammmm!" terdengar suara benturan dahsyat yang
memekikkan telinga berkumandang di angkasa, mendadak senjata
sekop pendeta berwajah hitam itu melenceng ke arah lain, begitu
dahsyat getaran yang terjadi, bukan saja dia tidak sanggup lagi
memegang senjatanya hingga terlepas dari genggaman, bahkan
pergelangan tangannya terasa sakitnya bukan kepalang.
Gempuran dahsyat itu dilancarkan dengan kecepatan bagaikan
sambaran kilat, namun hanya dalam waktu singkat menang kalah
sudah ketahuan hasilnya. Dengan termangu Lan Giok-keng memandang sekejap sekeliling
arena, dia menjumpai ke dua orang pendeta itu berdiri lesu
bagaikan ayam jago yang kalah bertarung, wajahnya kelihatan sedih
sekali. Tiba-tiba Lan Giok-keng merasakan pandangan matanya jadi
terang, kedua orang pendeta itupun serentak mendongakkan
kepalanya. Ternyata ditengah arena telah bertambah dengan
beberapa orang. "Tonghong Toako, ternyata memang kau!" Lan Giok-keng segera
berseru tertahan. Dalam pandangan matanya, dia hanya memperhatikan Tonghong
Liang seorang dan sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap
dua orang lain yang muncul pada saat yang bersamaan.
Ke dua orang itu adalah hwesio tua berusia enam puluh tahunan,
bahkan mereka adalah hwesio tua dengan kedudukan yang luar
biasa. Yang pertama adalah Pun-bu Thaysu, ketua ruang Tat-mo-wan
dari kuil Siau-lim, sedangkan orang ke dua adalah Tong-sian
Sangjin, Hongtiang kuil Siau-lim-si.
Mimpipun ke dua orang pendeta penjaga pintu itu tidak
menyangka kalau ketua partai bakal muncul sendiri ke luar pintu,
bahkan diiringi ketua ruang Tat-mo.
Dengan wajah dingin bagai salju Pun-bu Thaysu segera menegur,
"Wan-thong, kau sebagai anggota ruang Lohan mengapa berani
bertindak sebelum tahu persoalan" Apalagi menggunakan ilmu sakti
perguruan kita untuk menghadapi Siau-sicu yang belum lagi
dewasa?" Pendeta berwajah kuning itu segera menyahut, "Tecu tahu salah,
tapi harap ketua maklum, siau Sicu inilah yang berbohong lebih
dulu, dia mengaku sebagai murid Bu-tong-pay bahkan sengaja
provokasi untuk mencari gara-gara. Sudah pasti di belakangnya ada
dalang lain yang memberi perintah, itulah sebabnya tecu berniat
melacak dulu identitasnya."
"Tutup mulut!" bentak Pun-bu Thaysu makin gusar, "bukankah
Siau-sicu itu sudah mengutarakan dengan jelas maksud
kedatangannya" Kau sendiri yang mengada-ada dan berpikir yang
bukan-bukan, ayoh cepat minta maaf kepada Siau-sicu itu!"
Pendeta berwajah kuning itu semakin terkesiap, bisiknya agak
tergagap, "Jadi.... jadi Siau.... Siau-sicu ini benar-benar murid Butong?"
Begitu melihat Hong-tiang partai Siau-lim dan ketua Tat-mo-wan
bersikap begitu hormat terhadap Lan Giok-keng, sebutan "bocah
keparat kecil" pun tidak berani diutarakan.
Terdengar Pun-bu Thaysu berkata lagi, "Atas dasar apa kau
mencurigai dia bukan murid Bu-tong-pay?"
"Ilmu pedangnya memang agak mirip ilmu Thay-kek-kiam-hoat
dari Bu-tong-pay, namun dalam kenyataan sama sekali berbeda.
Jadi menurut pandangan tecu, kemungkinan besar dia bukan ahli
waris dari Thio Sam-hong?"
Pun-bu Thaysu tidak langsung menanggapi perkata annya, dia
berpaling dulu ke arah ketua Siau-lim, kemudian ujarnya, "Suheng,
kau jauh lebih memahami tentang ilmu pedang pelbagai aliran
ketimbang aku, entah bagaimana menurut pandanganmu" Apakah
aku salah lihat?" "Betul," sahut Tong-sian Sangjin, "ilmu pedang yang digunakan
Siau-sicu ini meski sedikit berbeda dengan ilmu pedang Thay-kekTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
kiam-hoat yang beredar saat ini, tapi semua ilmu pedang kalau
hanya mengutamakan gerakan, sudah pasti kemampuannya akan
merosot drastis. Berbeda dengan Thay-kek-kiam-hoat yang
digunakan siau Sicu ini, kemampuannya boleh dibilang sudah
mencapai tingkatan luar biasa!"
"Perkataan suheng sangat sesuai dengan jalan pikiranku,"
dengan wajah berseri sahut Pun-bu Thaysu, "Siau-sicu, bila
dugaanku tidak keliru, ilmu pedangmu pasti warisan langsung dari
Bu-siang Cinjin bukan?"
Sebagaimana diketahui, Lan Giok-keng belajar ilmu pedang dari
ayah angkatnya, tapi kiam-boh berasal dari warisan Sucouw nya.
Sekalipun ayah angkatnya mengajarkan jurus pedang yang keliru,
namun ilmu pedang yang berhasil dia pahami dari Kiam-boh justru
merupakan ilmu pedang yang asli.
Namun 'pemahaman" yang berhasil dia peroleh, sedikit banyak
lantaran petunjuk dari Tonghong Liang, bahkan dilakukan pula dari
perbaikan yang selalu dia lakukan terhadap jurus pedang ajaran
ayah angkatnya, jadi sedikit banyak ayah angkatnya ikut punya
pahala dalam hal ini. Dia tidak tahu bagaimana harus menjawab, setelah sangsi
beberapa saat akhirnya dia berkata begini, "Boleh dibilang
demikian!" Jawaban yang samar samar ini kontan membuat Pun-bu Thaysu
berkerut kening, pikirnya, "Jangan-jangan masih ada masalah lain?"
Namun dia tidak ingin melacak lebih jauh, apalagi terhadap anak
murid perguruan lain. Tong-sian Sangjin menghela napas panjang, katanya, "Tidak
heran kalau belakangan nama besar Bu-tong-pay bisa melampui
nama Siau-lim, terlepas yang lain, orang orang berbakat dalam Butong
ternyata memang jauh lebih hebat daripada Siau-lim-pay.
Hanya seorang cucu murid dari Bu-siang Cinjin pun sudah mampu
menandingi murid kepala dari ruang Lo-han-tong kita!"
"Tecu tidak becus, semoga Hong-tiang sudi memaafkan!" dengan
ketakutan buru-buru pendeta berwajah kuning itu berseru.
"Siau-lim, Bu-tong dulunya berasal dari serumah, jadi
kekalahanmu di tangan cucu murid Bu-siang Cinjin bukan terhitung
sangat memalukan. Aku hanya merasa sedikit menyesal, bukan
lantaran menyalahkan kemampuan mu yang tidak becus. Yang ingin
kukatakan, tindakanmu benar-benar telah salah aturan, bersikap
kurang sopan kepada siau Sicu, sekalipun yang menang dirimu pun
kau tetap harus minta maaf kepadanya."
Pendeta berwajah kuning itu berdiri tersipu sipu, malunya bukan
kepalang. Masih mending kalau dia yang menang dan minta maaf,
sekarang bukan saja sudah keok ditangan musuh, harus minta maaf
lagi. Tentu saja dia tidak berani membangkang perintah sang ketua,
terpaksa sambil menahan rasa malu dia minta maaf kepada Lan
Giok-keng, katanya, "Siau Sicu, maafkan siauceng punya mata tidak
berbiji hingga tidak mengenalimu sebagai murid hebat dari Bu-tong,
mohon maaf yang sebesar besarnya."
Buru-buru Lan Giok-keng balas memberi hormat, sahutnya,
"Tidak berani, tidak berani, padahal...."
Belum selesai dia berkata, sudah ada orang lain yang
mewakilinya berbicara. Pendeta berwajah hitam itu paling tidak sabaran, dia merasa
sangat tidak puas setelah mendengar ketuanya memuji Lan Giokkeng
bahkan memandang rendah kemampuan suheng sendiri, maka
begitu mendengar Lan Giok-keng mengatakan 'tidak berani', dia
langsung menyerobot sambil berseru, "Huuh, siau Sicu itu tidak
sampai kalah karena sudah mendapat petunjuk orang lain. Kalau
tidak, mana mungkin dia bisa mengungguli Wan-thong suheng?"
"Benar," Lan Giok-keng segera membenarkan, "sebetulnya aku
memang bukan tandingan hwesio itu."
"Wan-yap," kata Pun-bu Thaysu tiba tiba, "tahukah kau apa
sebabnya latihan ilmu silatmu selalu tidak bisa peroleh kemajuan"
Ini dikarenakan pikiranmu tidak dapat kosong, coba bayangkan
sendiri, semisal tadi kau sedang bertarung melawan siau Sicu itu,
apakah kau mampu peroleh kemenangan hanya dikarenakan aku
memberimu petunjuk dari samping arena?"
Pendeta berwajah hitam itupun tahu kalau tadi dia dikalahkan
Lan Giok-keng dalam satu gebrakan karena dia sudah termakan
ilmu lembek melawan keras yang di miliki lawan, diapun sadar kalau
tenaga dalam nya amat cetek, yang dimiliki hanya tenaga gwakang
saja. Jadi sekalipun mendapat petunjuk dari guru hebat pun tidak
nanti dia bisa mengalahkan musuhnya.
Biar begitu, dia tetap merasa tidak puas, ujarnya, "Kuakui
kepandaianku memang tidak mampu mengalahkan siau Sicu itu,
tapi pengakuan dari siau Sicu inipun tidak bisa dipercaya seratus
persen." "Apa yang kukatakan adalah kata sejujurnya," ujar Lan Giok-keng
cepat, "dalam hal mana toa hwesio tetap merasa tidak percaya?"
"Kau mengatakan sedang mendapat perintah dari Sucouw mu
Bu-siang Cinjin untuk mencari seorang hwesio juru masak di kuil
kami." "Benar!" "Bu-siang Cinjin hanya memerintahkan kau seorang diri?"
"Benar!" Pendeta berwajah hitam itu mendesak lebih jauh, ujarnya lagi,
"Kau sama sekali tidak mengajak serta saudara seperguruanmu
yang lain?" Lan Giok-keng segera berkerut kening, pikirnya, "Ribet amat
hwesio yang satu ini," namun dia menjawab juga, "Sucouw hanya
mengutus aku seorang, tentu saja tidak di sertai rekan perguruan
lainnya." Sambil tertawa dingin pendeta bermuka hitam itu menuding ke
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
arah Tonghong Liang, serunya, "Lalu siapakah orang itu" Kau berani
mengatakan kalau dia bukan anggota perguruan Bu-tong?"
Sebagaimana diketahui, Tonghong Liang dapat memberi
petunjuk ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat kepada Lan Giok-keng,
tentu saja dia menyangka Tonghong Liang adalah anggota
perguruan Bu-tong. "Dia adalah saudara angkatku, tapi bukan berasal dari Bu-tongpay!"
Wan-thong tampak terkejut, ditatapnya Tonghong Liang dengan
mata melotot kemudian ujarnya, "Petunjuk ilmu pedang yang kau
berikan kepada siau Sicu tadi sangat dahsyat, masa kau bukan
anggota Bu-tong-pay?"
Tonghong Liang mendengus dingin.
"Hmm, biarpun nama besar Bu-tong-pay hampir sejajar dengan
nama Siau-lim-pay namun aku masih tidak berminat menjadi murid
Bu-tong-pay!" Jawaban tersebut kontan saja menimbulkan kecurigaan Pun-bu
Thaysu, selanya, "Maaf bila mata lolap melamur, boleh tahu Sicu
berasal dari perguruan mana?"
"Aku sendiripun tidak tahu diriku berasal dari perguruan mana."
Jawaban itu tidak berhasil berkelit, walaupun Sucouwnya Hian
Tin-cu berasal dari Kun-lun-pay namun ilmu pedangnya boleh
dibilang sudah membentuk aliran sendiri, kemudian ketika tiba pada
jaman gurunya, Siang Thian-beng, dia semakin banyak
membaurkan ilmu pedang dari aliran lain ke dalam ilmu pedangnya
hingga tercipta ilmu pedang Hui-eng-hwee-sian-kiam-hoat yang
membawa dia memperoleh julukan sebagai Kiam-sin, si rasul
pedang. Tentu saja Pun-bu Thaysu tidak mengetahui akan hal ini, sambil
mendengus pikirnya, "Sekalipun kau enggan mengatakannya,
memang aku tidak punya cara untuk mengetahuinya?"
Sementara itu dari dalam kuil kembali bermunculan beberapa
orang pendeta yang mendengar kabar itu, tapi begitu melihat ketua
mereka hadir di arena, serentak mereka hanya berdiri di samping
dengan tenang, siapa pun tidak berani banyak bicara.
"Lolap tidak berminat mencari tahu asal usul Sicu," kembali Punbu
Thaysu berkata, "tapi apa maksud kedatangan Sicu kemari"
Harap kau katakan yang jelas."
Makin lama nada bicaranya semakin keras.
"Kedatanganku sama seperti adik angkatku, ingin menyambangi
seorang pendeta agung," ujar Tonghong Liang.
"Jangan kau sebut dulu siapa nama pendeta itu, sebelumnya
lebih baik kujelaskan dulu peraturan yang berlaku dalam kuil Siaulim.
"Kami Siau-lim-pay sama sekali tidak melarang kunjungan tamu,
namun bila orang itu berniat menjajal kepandaian silat dari Siau-limpay
maka dia harus melakukan pertandingan terlebih dulu kemudian
baru dipastikan apakah dia pantas untuk memasuki kuil kami atau
tidak." Maksud dari perkataan ini jelas sekali, jika tidak memenuhi
persyaratan maka jangan harap bisa melangkah masuk ke dalam
pintu gerbang kuil Siau-lim, otomatis jangan berharap bisa bertemu
dengan orang yang cari. "Ilmu silat dari partai anda sudah tersohor di seantero jagad dan
dikagumi setiap orang," kata Tonghong Liang, "aku rasa tanpa
dicobapun aku sudah tahu kalau kepandaian silat kalian sangat
tangguh. Aku rasa peraturan ini tidak cocok untukku."
"Kami tidak butuh bantahan atau penjelasan dari situ, yang kami
tunggu sekarang adalah tindakan Sicu.
"Tadi, secara diam-diam Sicu telah membantu adik angkatmu
untuk meraih kemenangan, tindakanmu itu sama artinya sedang
menjajal kepandaian silat kami. Mencoba ilmu silat memang bukan
sesuatu yang luar biasa, jadi bila Sicu tetap ingin melangkah masuk
ke dalam kuil, lebih baik jangan ditampik lagi peraturan yang kami
terapkan." Tonghong Liang segera tertawa.
"Thaysu adalah ketua ruang Tat-mo, mana berani kujajal
kemampuan Thaysu?" Pendeta berwajah hitam itu segera mendengus. Selanya, "Hmm,
apakah kau tidak merasa kelewat memandang tinggi statusmu"
Darimana kau bisa tahu kalau ketua ruang Tat-mo kami yang bakal
bertarung melawan mu?"
"Cayhe tidak berani punya keinginan tersebut, namun kalau
dibatasi saling menutul saja, bagaimana kalau persilahkan Toahweesio
yang memberi petunjuk beberapa jurus?"
Pendeta berwajah hitam itu adalah panglima yang kalah perang
ditangan Lan Giok-keng ternyata dia cukup terbuka, sahutnya
sambil mendengus, "Hmm, sudah jelas kau tahu kalau aku bukan
tandinganmu, masih ingin memilih buah yang paling lembek untuk
dimakan" Aku tidak bakalan termakan oleh tipu muslihatmu!"
Pendeta berwajah kuning yang bergelar Wan-thong itu cepat
berkata pula, "Tadi Siauceng sudah merasakan kehebatanmu
tentang ilmu pedang, kalau boleh harap Sicu memberi petunjuk lagi
dalam ilmu silat yang lain, siauceng pasti akan merasa tersanjung."
Rupanya dia menganggap dalam pertarungannya melawan Lan
Giok-keng tadi, dialah yang seharusnya menang, tapi gara-gara
Tonghong Liang memberi petunjuk kepada Lan Giok-keng, akhirnya
dialah yang menderita kekalahan, dia merasa kekalahan itu tidak
seharusnya diperoleh, oleh sebab itu kali ini dia tantang Tonghong
Liang untuk berduel, agar semua rasa kesalnya bisa terlampiaskan.
Sebelum Tonghong Liang memberi pernyataan apapun, Pun-bu
Thaysu telah berkata lebih dulu, "Wan-thong, kau sudah melupakan
peringatan apa yang kukatakan tadi?"
Dengan perasaan terkejut buru-buru Wan-thong menyahut,
"Tecu dilarang bertindak sebelum tahu permasalahannya."
"Benar sekali. Siau-lim dan Bu-tong berasal dari sumber yang
sama, bila kau sedang menjajal ilmu dengan murid Bu-tong maka
bukan menang kalah yang diutamakan, lagipula kau sudah
bertanding satu kali, bila kau tetap harus maju lagi untuk bertanding
dengan orang luar, apa tidak khawatir akan ditertawakan orang
kalau Siau-lim-pay kita memang sudah tidak punya orang lagi!"
Maksud perkataan itu adalah dia ingin memisahkan cara
menghadapi Lan Giok-keng dan Tonghong Liang, oleh karena Lan
Giok-keng berasal dari Bu-tong yang masih terhitung 'satu aliran'
dengan siau-lim, maka dia dianggap orang sendiri. Sebaliknya
menganggap Tonghong Liang sebagai 'orang luar'.
Mendengar perkataan itu, rasa ingin menang di hati kecil
Tonghong Liang pun segera terangsang, pikirnya, "Baru saja ketua
ruang Tat-mo dari Siau-lim-si memperingatkan muridnya agar
jangan mengurusi soal menang kalah, padahal bukankah dia
sendiripun masih bernapsu dengan urusan menang kalah" Hmm,
asal bukan ketua Siau-lim atau tianglo dari ruang Tat-mo yang turun
tangan sendiri, biarpun murid siau-lim sangat banyak, rasanya sulit
untuk menemukan jagoan yang mampu mengalahkan diriku."
Berpikir begitu, diapun berkata, "Kalau toh dalam partai kalian
berlaku peraturan seperti ini, kalau begitu cayhe mohon Hong-tiang
dan ketua Tat-mo mau memilihkan seorang muridmu untuk
memberi petunjuk kepadaku."
"Biarpun orang berbakat dalam kuil Siau-lim tidak banyak
jumlahnya, namun tidak usah dipilih dengan seksama," kata Pun-bu
Thaysu, kemudian sambil menggapai, teriaknya, "Wan-seng, kemari
kau!" Salah satu diantara para hwesio yang baru keluar dari kuil dan
berdiri tenang disisi arena segera berjalan keluar dari rombongan,
dia adalah seorang hwesio kurus kering.
"Tecu Wan-seng menanti perintah dari ketua."
"Sicu ini berkata kalau dia sendiripun tidak tahu ilmu silatnya
berasal dari aliran mana, kini aku minta kau untuk menjajal
kepandaian silatnya, butuh berapa jurus untuk mengetahui asal usul
perguruan orang ini?"
Wan-seng menengok Tonghong Liang sekejap, kemudian
sahutnya, "Sepuluh jurus!"
"Apakah Sicu bersedia untuk bertanding mengikuti peraturan
yang berlaku disini?" tanya Pun-bu Thaysu.
Tonghong Liang tersenyum.
"Sebagai tamu, tentu saja aku harus menuruti kemauan tuan
rumah, silahkan Thaysu memberi petunjuk."
"Dengan sepuluh jurus sebagai batasan, jika dalam sepuluh jurus
dia tidak mampu menunjukkan asal usul perguruanmu, anggaplah
dia yang kalah dan kau yang menang."
"Hahahaha.... bukankah aku yang diuntungkan?" seru Tonghong
Liang sambil tertawa tergelak. Wan-seng mendengus dingin.
"Kelewat awal untuk berkata begitu," ujarnya, "kau sangka
dengan bertarung menurut aturan, maka kau pasti dapat
menangkan pertarungan kali ini?"
"Aku tidak bermaksud begitu, hanya saja aku jadi orang inginnya
semua bertindak adil. Kalau toh dalam pertandingan ini kalian telah
memberi sedikit keuntungan bagiku, maka dalam mencoba pengetahuanmu
nanti, aku pun boleh mengalah satu langkah untukmu."
"Kau terlalu percaya diri," sela Pun-bu sambil tersenyum, "bisa
bertanya, dengan cara apa kau hendak mengalah satu langkah?"
"Bila dalam sepuluh jurus nanti, siapa pun murid Siau-lim yang
berhasil mengetahui asal usul ilmu silatku, anggap saja kalian yang
menang. Jadi tidak terbatas pada Wan-seng Thaysu seorang."
"Bagus, kalau begitu kita tentukan demikian saja. Jika kau
menang, pintu gerbang Siau-lim-si akan terbuka lebar untuk kau
masuki, sebaliknya bila kau kalah, maaf, kami tidak akan
mengijinkan kau untuk melangkah masuk ke dalam kuil kami."
Sambil melepaskan hudtim yang disisipkan di belakang
punggung, ujar Wan-seng kemudian, "Apa yang ingin dibicarakan
kedua belah pihak telah disampaikan secara jelas, sekarang silahkan
Sicu melancarkan serangan!"
Tidak terlihat dia mengambil posisi, hwesio itu hanya berdiri
dengan begitu saja di hadapan Tonghong Liang biar begitu ternyata
hwesio itu berdiri begitu kokoh bagaikan sebuah bukit karang.
Tercekat perasaan Tonghong Liang sehabis melihat hal ini,
pikirnya, "Aku tidak boleh pandang enteng hwesio ini!"
"Maaf!" seru Tonghong Liang sambil mencabut pedangnya.
Tiba-tiba semua orang merasakan pandangan matanya menjadi
silau, sekilas cahaya putih bagai kilat yang membelah bumi telah
menerobos ke muka, kedahsyatannya sungguh mengerikan.
Diiringi kemudian terdengar suara senjata membelah angin,
begitu nyaring suaranya membuat kendang telinga mendengung
keras, Tonghong Liang telah melancarkan jurus serangannya yang
pertama! Lan Giok-keng yang menyaksikan kejadian itu jadi terperanjat,
pikirnya, "Ternyata Tonghong Toako selain mengerti ilmu Thay-kekkiamhoat, permainan Lian-huan-toh-beng-kiam-hoat nya pun jauh
lebih hebat ketimbang aku."
Pendeta berwajah kuning yang berdiri di samping Pun-bu Thaysu
segera berkata, "Gerakan ini mirip sekali dengan jurus Lui-tian-ciauhong
(guntur halilintar bergantian menggempur) dari ilmu pedang
Bu-tong-pay." Sama seperti Lan Giok-keng, diapun merasa terkejut bercampur
sangsi, walaupun artinya sama namun cara bertanya kedua orang
itu berbeda. "Betul," jawab Pun-bu Thaysu sambil tersenyum, "kekuatannya
memang mirip sekali dengan jurus Guntur halilintar bergantian
menggempur, namun daya penghancurnya masih jauh di atas jurus
serangan dari Bu-tong-pay."
Begitu mendengar penjelasan itu, Wan-thong si pendeta
berwajah kuning itu segera menjadi paham, jurus yang digunakan
Tonghong Liang sepintas memang mirip jurus Lui-tian-ciau-hong
dari Bu-tong-pay, pada-hal kemampuannya mengendalikan pedang
justru jauh berbeda, dan jelas bukan berasal dari aliran Bu-tongpay.
Baru selesai perkataan itu diucapkan, jurus pertama dari Wanseng
telah dilancarkan. Sungguh aneh, ketika dia kebutkan senjata hudtim nya dengan
santai, cahaya putih yang semula mengancam tubuhnya seketika
terkungkus di tengah arena. Bukan saja jurus Lui-tian-ciau-hong
yang maha dahsyat itu tidak mampu dikembangkan bahkan
kedahsyatannya seolah mengalami hambatan.
Begitu melancarkan serangan, gempuran lawan seketika
tertahan, hal ini membuat Wan-seng kembali berpikir, "Biarpun dia
ingin membingungkan aku dengan menggunakan jurus pedang
aliran lain, tidak sulit untuk mengalahkan dirinya, tapi yang paling
penting sekarang adalah memaksa dia untuk menggunakan jurus
pedang perguruan sendiri."
Berpikir begitu, seketika dia lancarkan serangan balasan yang
ganas dan mematikan. Tampaknya Tonghong Liang dapat membaca suara hatinya,
dalam sekejap mata ke dua orang itu nyaris pada saat yang
bersamaan berganti jurus.
Wan-seng mengebaskan hudtimnya, seluruh bulu kebutannya
berdiri kaku bagaikan beribu batang jarum baja, semuanya
diarahkan untuk menusuk jalan darah mematikan ditubuh Tonghong
Liang. Biasanya kalau menotok dengan jari tangan, paling banyak hanya
satu jalan darah yang bisa ditotok, tapi bila menusuk dengan bulu
hudtim, nyaris hampir seluruh jalan darah penting di tubuh
Tonghong Liang sudah berada dalam lingkaran ancamannya.
Kepandaian menusuk jalan darah semacam ini belum pernah
dijumpai Lan Giok-keng dalam hidupnya, diam diam dia
bermandikan keringat dingin karena ikut menguatirkan keselamatan
Tonghong Liang. Namun perubahan jurus ke dua yang dilancarkan Tonghong
Liang lebih membuatnya tercengang dan di luar dugaan. Menurut
aturan, ilmu pedang Lian-huan-toh-beng-kiam-hoat harus digunakan
secara berantai dan bersambungan. Setelah jurus pertama Lui-tianciauhong yang merupakan jurus keras, jurus berikut meski tidak
segarang pertama, namun makna jurus seharusnya merupakan
kelanjutan dari jurus sebelumnya.
Siapa tahu perubahan jurus yang dilakukan Tonghong Liang
sama sekali di luar dugaan. Bagaikan ribuan kuda yang sedang
berlari kencang, tiba-tiba serentak menghentikan langkahnya.
Tiba-tiba cahaya pedang menghilang, ujung pedang bergetar
pelan, kekuatan pedang pun berkedip dan memancar tiada
beraturan. Sekalipun nampak kacau, namun dalam pandangan seorang ahli
seluruh tubuhnya saat ini sudah terlindung di bawah penjagaan
yang sangat ketat, pada hakekatnya sama sekali tidak ditemukan
titik kelemahan apa pun. Menyaksikan hal ini tanpa terasa Hong-tiang Siau-lim-si, Tongsian
Sangjin ikut manggut-manggut memuji, "Ilmu pedang Thaykekkiam-hoat yang diciptakan Thio Sam-hong ternyata memang
luar biasa hebatnya, sayang kita semua terlambat lahir dua ratus
tahun hingga tidak punya rejeki untuk menyaksikan permainan
jurusnya." "Akan tetapi permainan Thay-khek-kiam-hoat yang dilakukan
Sicu inipun sama seperti yang kau katakan, sudah mencapai
tingkatan yang luar biasa," sahut Pun-bu Thaysu pula.
"Tepat sekali perkataanmu, ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang dimiliki Sicu ini mungkin saja belum bisa menandingi Thiocinjin
dimasa lampau, tapi kalau kita bicara dari jurus tersebut,
boleh dibilang kemampuan menyerangnya telah mencapai tingkatan
bagaikan geledek dan pertahanannya rapat bagai air samudra."
Kalau dua orang jagoan paling hebat dari Siau-lim-si pun sudah
memberikan pujiannya, tentu saja rasa kagum Lan Giok-keng jauh
melebihi mereka. Ternyata jurus kedua yang digunakan Tonghong Liang adalah
jurus Ji-hong-sip dari Thay-kek-kiam-hoat, seolah bertahan namun
tidak bertahan, seolah menyerang namun tidak menyerang.
Lan Giok-keng cukup tahu bahwa gerakan itu mengandung dua
tujuan yang berlawanan, tanpa terasa dia berpikir, "Dia memang
luar biasa sekali, mungkin hanya Sucouw seorang yang bisa
melakukan perubahan sesuai dengan keinginan...."
Oleh karena Lan Giok-keng belum pernah menyaksikan ilmu
pedang dari Bouw Ciong-long, maka dia tidak bisa memberikan
komentarnya. Padahal waktu itu, Tonghong Liang sendiri pun sedang berpikir,
"Sungguh memalukan! Jangan lagi menandingi Thio-cinjin di masa
lampau, kemampuan Bouw Ciong-long pun sepuluh kali lipat lebih
hebat daripada kepandaian-ku sekarang."
Setelah melalui dua jurus pertarungan, kedua belah pihak samasama
merasa terperanjat dan tidak berani lagi memandang enteng
pihak lawan. Sewaktu pertama kali berjumpa Wan-seng, dia sangka hwesio ini
berasal dari angkatan 'Wan' yang berarti satu angkatan dengan
pendeta berwajah kuning itu, itu berarti kepandaian silatnya tidak
bakalan kelewat tinggi, tapi sekarang dia bara tahu kalau dugaan itu
keliru besar. Ternyata walaupun Wan-seng dan Wan-thong sama sama
merupakan anggota ruang Lo-han-tong, namun dalam deretan
delapan belas Lohan, posisi Wan-thong adalah orang ke tiga belas,
sementara Wan-seng menempati urutan ke dua.
Kalau termasuk para tianglo dari ruang Tat-mo dihitung semua,
maka dia merupakan salah satu jago paling tangguh diantara
sepuluh jago tangguh lainnya dari Siau-lim-pay.
Selain hebat, diapun masih memiliki satu kelebihan, kelebihan
mana tidak akan tertandingi oleh tianglo mana pun dari ruang Tatmo,
yakni pengetahu-annya tentang aliran silat pelbagai perguruan
jauh lebih banyak dari siapa pun, tidak seperti para tianglo lain dari
ruang Tat-mo yang kebanyakan hanya mempelajari ilmu silat aliran
sendiri. Tonghong Liang sendiri walaupun amat cerdas, namun ciptaan
barunya dalam ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat belum mampu
membuat setiap jurus serangannya mencapai tingkatan luar biasa,
apalagi disanapun hadir dua orang pendeta sakti yang ikut
menonton jalannya pertarungan.
Dia sadar bilamana pertarungan semacam ini berlangsung lebih
jauh, maka pada akhirnya aliran ilmu silat perguruannya pasti akan
ketahuan juga. Tonghong Liang menyadari hal ini ketika pertarungan sudah
memasuki jurus ke tujuh, tiba-tiba gerak serangannya berubah,
tubuh pedang berubah jadi gerakan busur, secara bersamaan ujung
pedangnya mengancam lima buah tempat sekaligus.
Pendeta bermuka hitam itu langsung berseru tertahan, katanya,
"Jurus pedang apakah ini" Rasanya seperti pernah dikenal?"
Wan-seng kontan mendengus dingin.
"Goblok! Masa kungfu perguruan sendiripun tidak dikenal?"
dampratnya. "Ooh, ternyata baru saja dia menggunakan jurus Ki-na-jiu!" seru
Wan-thong seolah baru sadar.
Ternyata Tonghong Liang telah melebur ilmu Ki-na-jiu-hoat dari
Siau-lim-pay ke dalam ilmu pedangnya.
Mendengar itu Tonghong Liang tertawa terbahak-bahak.
"Ketika palsu jadi asli, asli jadi palsu, kalau palsu bisa
mengacaukan asli, kenapa tidak kugunakan yang palsu?"
Mimpi pun Wan-seng tidak menyangka kalau pihak lawan bisa
mempergunakan jurus sakti dari perguruannya, dia jadi tertegun,
serangan dahsyat yang dilancarkan pun seketika berhasil
dipunahkan Tonghong Liang.
Namun kemampuan Wan-seng dalam meyakini ilmu Ki-liong-jiu
sudah mencapai tingkatan yang luar biasa, jurus serangan dari
Tonghong Liang tadi hanya sempat mengecoh pandangan matanya
dalam waktu singkat, setelah tertegun segera serunya sambil
tertawa dingin, "Segera akan kusuruh kau mengetahui apa yang
disebut asli dan apa yang disebut palsu."
Senjata hudtimnya digetarkan, beribu lembar bulu segera
mengurung seluruh batok kepala Tonghong Liang.
Jurus serangan dari Wan-seng inipun diciptakan dari ilmu Liongjiaujiu, setelah melalui pengerahan tenaga murninya, hampir
seluruh bulu senjata hudtimnya berubah seakan sebuah jari tangan
yang bisa mencengkeram musuh dari berbagai sudut. Begitu
hebatnya perubahan ini membuat Pun-bu Thaysu sendiri pun ikut
berseru memuji. Tidak mampu membendung datangnya ancaman, Tonghong
Liang mundur satu langkah, pedangnya perlahan-lahan membentuk
gerakan melingkar, biarpun gerakannya sangat lamban, namun
beribu lembar bulu senjata hudtim dari Wan-seng seketika
terbendung di luar lingkaran pedangnya.
Tidak perlu bantuan dari sang Hong-tiang serta ketua ruang Tatmo
pun Wan-seng sudah tahu kalau jurus serangan yang digunakan
lawan adalah jurus Thay-si-mi-kiam-hoat dari aliran Thian-san-pay,
Ho Thian-tok Ciangbunjin pendiri dari Thian-san-pay adalah sahabat
karib partai Siau-lim, dia pernah menggunakan posisinya sebagai
angkatan muda, bertanding melawan ilmu warisan Ho Thian-tok ini.
Ilmu pedang Thay-si-mi-kiam-hoat (Ilmu pedang bukit Si-mi)
mengambil makna dari filsafat yang berbunyi "dalam biji bunga
tersimpan bukit Si-mi", merupakan sebuah ilmu pedang yang paling
handal untuk menghadapi ilmu pengendalian pedang, apabila ilmu
silat yang dimiliki kedua belah selisih tidak terlalu banyak, maka bila
pihak yang lemah menggunakan jurus pedang ini, dia akan segera
merebut posisi di atas angin dan tidak terkalahkan.
Wan-seng pernah menjajal ilmu warisan Ho Thian-tok ini, dia
segera menyadari kalau jurus yang digunakan Tonghong Liang mirip
sekali dengan gerakan jurus ilmu pedang Thay-si-mi-kiam-hoat,
hanya saja tenaga dalam yang digunakan untuk mengendalikan
pedang bukan merupakan Sim-hoat tenaga dalam aliran Thian-sanpay.
Sambil tertawa dingin dia berseru, "Hmm, kalau palsu tetap
palsu, mana mungkin mengaku jadi asli!"
Tiba-tiba dia putar balik senjata hudtim nya, dengan gagang
senjata dipakai sebagai senjata poan-koan-pit, dia sodok jalan darah
Sian-ki-hiat di dada Tonghong Liang.
Walaupun hanya sebuah jalan darah yang ditotok, namun daya
pengaruhnya justru jauh lebih kuat ketimbang ancaman bulu hudtim
yang mengancam seluruh jalan darah ditubuhnya.
Kelihatannya Tonghong Liang sedikit keteteran dan sulit untuk
melakukan penangkisan, tiba-tiba tubuhnya bergerak cepat, dengan
menggunakan sebuah jurus ilmu pedang yang halus dan lembut dia
bergerak kian kemari, gerakannya seperti orang sedang menari,
indah dan sangat menarik.
Begitu Tonghong Liang menggunakan jurus itu, paras muka
Wan-seng yang semula kaku tanpa perasaan tiba-tiba terselip suatu
perubahan yang sangat aneh, tampak tubuhnya ikut bergerak,
senjata hudtimnya bergeser ke samping, dia seolah merasa takut
untuk menghadapi jurus serangan dari Tonghong Liang ini hingga
tidak berani mendesak lebih jauh.
Pun-bu Thaysu yang ikut menyaksikan jalannya pertarungan pun
ikut berseru tertahan. Tentu saja jurus yang digunakan Tonghong Liang ini dilakukan
sangat bagus, namun seruan tertahan dari Pun-bu Thaysu bukanlah
disebabkan karena kehebat-annya.
Ternyata di saat Tonghong Liang didesak lawan hingga keteteran
dan tidak mampu menangkis, tanpa sadar dia telah menggunakan
ilmu pedang dari aliran Kun-lun-pay.
Sucouwnya, Hian Tin-cu memang berasal dari Kun-lun-pay
sementara ilmu pedang aliran Kun-lun yang dipelajari Tonghong
Liang pun berasal langsung dari gurunya, sudah pasti sewaktu
dipergunakan, kehebatannya berbeda jauh dengan ilmu pedang
aliran lain. "Tidak kusangka ilmu pedang aliran Kun-lun yang digunakan Sicu
inipun sangat hebat," puji Pun-bu Thaysu.
"Bukan hebat," sela Tong-sian Sangjin.
"Kalau bukan hebat lantas apa?" tanya Pun-bu Thaysu agak
tertegun. "Palsu bukan aslipun bukan, aku juga tidak tahu harus berkata
apa. Kalau dibilang hebat, lebih cocok kalau dibilang lain daripada
yang lain. Tapi kalau dibilang lain daripada yang lain pun tidak tepat
sama sekali, sebab dia masih tersisip warna lain. Mungkin Sik Lengcu
sendiripun belum tentu bisa mainkan jurus Seng-hay-hu-cha
(rakit terapung di laut bintang) ini sehebat dia."
Ternyata jurus Seng-hay-hu-cha ini sudah mengalami
perkembangan baru setelah jatuh ke tangan Siang Thian-beng, guru
Tonghong Liang, dia telah mencampur kan inti sari dari ilmu pedang
aliran Go-bi serta Cing-shia-pay ke dalam ilmu pedang aliran Kunlunpay nya sehingga jurus Seng-hay-hu-cha ini berubah jadi lebih
gesit, lebih sakti dan luar biasa.
Oleh sebab itulah walaupun 'kerangka' nya tetap berbau Kun-lunpay,
namun isinya sama sekali berbeda.
Itulah dimaksud Tong-sian Sangjin sebagai lain daripada yang
lain dan masih tersisip warna lain.
Tercekat hati Tonghong Liang mendengar perkataan itu, pikirnya,
"Ternyata tidak malu dia menjadi Hong-tiang Siau-lim-pay,
ketajaman matanya memang luar biasa!"
Berhubung sejak dimulai dari gurunya, mereka sudah berdiri
sebagai satu perguruan yang tersendiri, maka biarpun kerangka dari
jurus itu tetap sebagai ilmu pedang Kun-lun-pay, namun dia tidak
bisa dikatakan sebagai murid Kun-lun-pay.
Kemampuan silat yang dimiliki pendeta bermuka hitam itu sangat
biasa, dia tidak mengerti arti ucapan ketuanya, dalam hati segera
pikirnya, "Kalau Ciangbunjin Kun-lun-pay saja tidak mampu
menggunakan jurus ini, sudah pasti keparat itupun bukan anggota
Kun-lun-pay. Celaka, dia sudah menggunakan delapan jurus namun
suheng masih juga belum berhasil mengetahui asal perguruannya!"
Belum habis ingatan itu melintas, tiba-tiba dia saksikan wajah
suhengnya berubah jadi cerah.
"Ketika palsu dilakukan seakan asli, asli pun jadi palsu, namun
biar asli atau palsu semua pasti ada sumbernya!" gumam Wan-seng
dengan suara keras. Tiba-tiba dia membentak nyaring, bulu kebutan yang semula
mengumpul mendadak jadi buyar, perubahan yang terjadi pun aneh
sekali, cahaya pedang Tonghong Liang seakan terguyur air raksa,
seketika tersapu hingga buyar ke empat penjuru. Bahkan lamat
lamat ujung kebutan Wan-seng seakan mempunyai daya perekat
yang sangat kuat, yang membetot pedangnya untuk lepas dari
genggaman. Dengan hati terkejut Tonghong Liang berpikir, "Tidak heran kalau
Siau-lim-pay dapat memimpin dunia persilatan dan nama besarnya
tetap kuat, ternyata kemampuan mereka memang bukan nama
kosong belaka. Kalau seorang murid dari ruang Lohan saja sudah
memiliki kepandaian silat diatas para tianglo dari Bu-tong-pay, entah
bagaimana bila Tong-sian Sangjin dibandingkan Bouw Ciong-long?"
Begitu teringat akan Bouw Ciong-long, tanpa disadari Tonghong
Liang menggunakan jurus Bangau putih pentang sayap dari ilmu
pedang Thay-kek-kiam-hoat.
Jurus ini merupakan jurus pedang yang paling sering dilatih
bersama Lan Giok keng merupakan juga jurus yang paling sering
digunakan, otomatis dari sekian banyak jurus Thay-kek-kiam-hoat,
jurus inilah yang paling dia kuasai.
Di bawah tekanan Wan-seng yang begitu gencar, dia merasa
hanya menggunakan jurus ini saja dia dapat membendung
datangnya ancaman lawan. Tubuhnya melambung ke udara lalu berputar satu lingkaran,
bagaikan seekor burung elang, dia menerobos ke bawah sambil
melancarkan tebasan. Bangau putih adalah unggas jinak, sifatnya amat lembut, tapi
dalam melancarkan serangan ini, dia seperti seekor burung elang
yang menyerang secara ganas, keampuhannya jauh di atas
kehebatan jurus Bangau putih pentang sayap itu sendiri.
Bagi Lan Giok-keng, jurus ini pula yang paling berkenan baginya,
tapi sekarang dia benar-benar dibuat terbelalak dengan mulut
melongo. Sewaktu Tonghong Liang berlatih bersamanya dulu, belum
pernah dia menggunakan jurus tersebut sedemikian hebatnya.
Sebetulnya bulu hudtim di tangan Wan-seng terbuat dari serat
emas yang sangat tangguh dan kuat, terdengar serentetan bunyi
benturan nyaring yang berdentingan di angkasa, Tonghong Liang
dengan gerakan Burung belibis berjumpalitan, langsung mundur
sejauh belasan depa dari posisi semula, kini bajunya telah
bertambah dengan puluhan buah lubang kecil seperti sarang tawon.
Sebaliknya bulu hudtim milik Wan-seng pun putus puluhan
lembar lebih dan tersebar mengikuti hembusan angin.
"Celaka!" pikir Wan-yap diam-diam, "sudah masuk jurus ke
sembilan!" Dalam gebrakan terakhir, kedua belah pihak berada dalam posisi
seimbang, baik Tonghong Liang maupun Wan-seng sama-sama
mundur beberapa lang-kah ke belakang.
Kini Tonghong Liang berdiri mengawasi lawan dengan paras
serius, tangannya menempel ketat pada gagang pedangnya.
Dengan suara hambar Wan-seng berkata, "Aku rasa jurusmu
yang terakhir tidak perlu digunakan lagi."
Wan-yap tercengang, dia tidak habis mengerti mengapa
suhengnya berkata begitu!
Terdengar Pun-bu Thaysu tertawa terbahak-bahak, kemudian
berkata dengan lantang, "Tidak heran kalau ilmu pedang yang Sicu
miliki begitu dahsyat, ternyata kau adalah murid Kiam-seng si rasul
pedang!" Ternyata di dalam menggunakan jurus 'Pek-hok-liang-ci" tadi,
secara tidak sadar dia telah menyisipkan ilmu pedang elang terbang
Hui-eng-hwee-sian-kiam-hoat dari perguruannya.
Dan asal usulnya langsung terdeteksi oleh Pun-bu Thaysu!
Dengan perasaan terperanjat Wan-thong segera berseru, "Dua
puluh tahun berselang, ada seorang bernama Siang Thian-beng
yang datang ke daratan Tionggoan dari pinggir perbatasan, dia
pernah bertarung pedang melawan Pa-san-kiam-kek Kok Thiat-ceng
yang kala itu disebut dewa pedang, konon pertandingan itu
berlangsung selama tiga hari dengan akhir seri. Semenjak peristiwa
itulah Siang Thian-beng disebut orang sebagai Rasul pedang, tapi
dia hanya muncul sebentar kemudian jejaknya lenyap kembali. Jadi
yang dimaksud ketua tianglo sebagai Rasul pedang adalah orang
itu?" Pun-bu manggut-manggut.
"Tepat sekali, dikolong langit hanya terdapat seorang Rasul
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pedang, dialah orangnya. Tapi apa yang kau dengar tentang kabar
cerita itu tidak lengkap dan tidak benar, sebab sewaktu terjadi
pertarungan di puncak gunung Pa-san, tidak seorangpun yang ikut
menonton. Menurut cerita Thiat Ceng kepadaku, konon dia kalah
satu jurus. Jadi cerita tentang pertarungan selama tiga hari
sebetulnya hanya merupakan pujian orang saja."
Diam-diam Wan-thong menyeka keringat dingin, pikirnya, "Masih
untung suheng yang maju menggantikan diriku, coba aku yang
maju, mungkin tidak bakal bisa menahan tiga jurus serangannya."
Saat inipun Lan Giok-keng seolah baru mendusin dari mimpi,
cepat dia menghampiri Tonghong Liang sambil berseru, "Waah,
ternyata jurus Pek-hok-liang-ci bisa menghasilkan perubahan
sedemikian dahsyat, kenapa selama ini aku tidak pernah berpikir ke
situ?" Tonghong Liang tertawa getir.
"Bunga gugur dan berlalu terbawa air, semuanya biar timbul
alami, tidak usah dipaksakan. Perubahan yang kulakukan dalam
jurus ini kelewat dipaksakan dan tidak alami, itulah sebabnya gagal
mencapai hasil yang maksimal. Aku yakin keberhasilanmu
dikemudian hari pasti jauh diatasku, jadi tidak usah belajar dariku."
"Terima kasih banyak atas petunjuk Toako," kata Lan Giok-keng,
setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya, "Delapan jurus ilmu
pedangmu yang lain juga memberikan manfaat yang sangat besar
bagiku. Apakah kalut" Apakah murni" Mungkin akupun tidak bisa
menentukan satu garis yang pasti, namun dalam penggunaan
rasanya memang harus sehati!"
Pun-bu yang mendengar perkataan itu segera tergerak hatinya.
"Suheng, apa yang dia katakan memang sangat tepat," katanya.
"Siancay, siancay," Tong-sian Sangjin segera merangkap
tangannya di depan dada, "bila siau Sicu bisa mempunyai ingatan
seperti itu, boleh dibilang dunia persilatan bakal bertambah lagi
dengan seorang calon tokoh sakti. Cukup memandang dari
pandangan tersebut, walau Siau-sicu bukan cucu murid Bu-siang
Cinjin pun, lolap tetap akan mempersilahkan Siau sicu untuk masuk
ke dalam kuil kami."
Dengan mata melotot besar Wan-seng mengawasi wajah
Tonghong Liang, kemudian menegur, "Di saat Bu-siang Cinjin belum
meninggal, ada seorang pemuda naik ke Bu-tong untuk menantang
berduel, apakah pemuda itu adalah kau?"
"Memang aku. Tapi kehadiranku sama sekali tidak ada sangkut
pautnya dengan kepergian Bu-siang Cinjin ke langit barat."
"Ooh, aku tahu. Aku hanya mengagumi keberani-an serta ilmu
silatmu, sama sekali tidak punya maksud lain."
Sekali lagi Tonghong Liang tertawa getir.
"Semestinya akulah yang mengucapkan kata-kata itu kepadamu.
Ketika bertanding pedang di gunung Bu-tong tempo hari, akulah
yang menderita kalah, dan kali ini, lagi-lagi aku berhasil kau
kalahkan." "Keliru," potong Wan-seng, "susiok ku yang berhasil
memecahkan rahasia identitasmu, bila ingin bicara soal kalah
menang, kau pun hanya dikalahkan oleh susiok ku. Sebaliknya kalau
bicara soal bertanding ilmu, andai diteruskan lagi, akulah yang bakal
menderita kekalahan."
"Terima kasih atas pujianmu," kembali Tonghong Liang tertawa
getir, "tapi dalam kenyataan, akulah yang kalah dalam pertandingan
ini." "Tonghong Toako," sela Lan Giok-keng tiba-tiba, "Kepala tianglo
ruang Tat-mo yang mengalahkan diri-mu, jadi meski kalah pun kau
tetap harus bangga."
Pun-bu Thaysu tersenyum, ujarnya pula, "Tonghong Sicu, dalam
pertandingan yang berlangsung kali ini, pihakku lah yang mengambil
keuntungan darimu. Cuma syarat pertarungan toh sudah disetujui
kedua belah pihak dan sama sekali tidak menyalahi aturan Siau-lim,
jadi kami hanya bisa minta maaf saja kepadamu. Tapi ngomong
ngomong, siapa yang ingin kau jumpai?"
"Seorang hwesio juru masak yang bernama Hwee-ko."
"Ooh, ternyata kaupun sedang mencari Thaysu itu?" seru Lan
Giok-keng agak tertegun. Wan-thong ikut merasa tercengang, ujarnya, "Entah nasib apa
yang sedang menimpa Hwee-ko hari ini, selamanya belum pernah
kujumpai ada orang datang mencarinya, tapi hari ini sekaligus sudah
muncul tiga orang yang datang mencarinya."
Tong-sian Sangjin menggelengkan kepalanya berulang kali,
katanya, "Kalau begitu permintaanmu tidak dapat kami kabulkan."
Dari nada pembicaraan itu bisa disimpulkan, andaikata orang
yang ingin dijumpai Tonghong Liang adalah hwesio lain, maka dia
pasti akan mengijinkan. Tapi mengapa dia tidak memberi ijin karena hendak bertemu
Hwee-ko" Ketua dari Siau-lim-pay ini sama sekali tidak memberi
penjelasan. Namun perkataan seorang ketua dari Siau-lim memang sangat
berbobot, lagipula Tonghong Liang pun gagal menembusi ujian yang
dilakukan pihak Siau-lim-si, dalam keadaan begini diapun merasa
tidak leluasa untuk banyak bicara.
Sesudah berpikir sejenak, Tonghong Liang pun berkata, "Karena
peraturan yang telah ditetapkan pihak Siau-lim tidak mungkin bisa
kulanggar, maka akupun tidak akan memaksakan kehendak, Cuma
ada satu hal aku merasa tidak jelas, boleh minta petunjukmu?"
"Katakan saja!" sahut Pun-bu Thaysu.
"Diantara kawanan jago Tionggoan, hanya Pa-san-kiam-kek Kok
loCianpwee seorang yang pernah menyaksikan ilmu pedang guruku,
dalam memainkan jurus Pek-hok-liang-ci tadi aku memang sudah
membaurkan ilmu pedang perguruanku ke dalam ilmu pedang Butongkiam-hoat, tapi bagaimana mungkin kau bisa mengenalinya
hanya dalam sekilas pandang saja?"
"Tentu saja, karena gurumu pernah berkunjung ke kuil Siau-lim."
Perasaan kaget dan tercengang yang mencekam perasaan Wanthong
jauh lebih hebat ketimbang Tonghong Liang, serunya
tertahan, "Rasul pedang pernah berkunjung ke kuil kami?"
Sedang dihati kecilnya dia berpikir, "Kenapa aku bisa tidak tahu?"
"Ketika dia datang berkunjung, kau masih belum menjadi
pendeta di kuil ini. Waktu itu Siang Thian-beng masih belum
menyandang gelar Rasul pedang, dia memohon untuk bertanding
ilmu melawan Tong-sian suheng saat itu akulah yang telah mewakili
suheng untuk bertanding melawannya, kalau dibicarakan sungguh
memalukan, saat itu aku hanya mampu bertarung seimbang. Dia
tahu kepandaian silat yang di miliki Tong-sian suheng jauh diatas
kemampuanku, maka tanpa mengucapkan sepatah katapun dia
menjura dalam-dalam di luar pintu kuil kemudian pergi
meninggalkan tempat ini. Tonghong Sicu, waktu itupun gurumu
tidak pernah melangkah masuk ke dalam kuil Siau-lim, maka
terhadap dirimu pun kami tidak bisa melanggar peraturan."
Mendengar penjelasan tersebut, Tonghong Liang pun berpikir,
"Ternyata begitu, tidak heran kalau suhu selalu berpesan agar aku
tidak mengatakan kalau diriku adalah muridnya, khusus di depan
para pendeta dari kuil Siau-lim."
Ketika Pun-bu Thaysu sudah selesai bicara, Tong-sian Sangjin
pun berkata kepada Lan Giok-keng, "Siau-sicu, bukankah kau ingin
bertemu Hwee-ko" Mari ikut aku masuk ke dalam."
"Bolehkah aku berbicara beberapa patah kata dulu dengan
Tonghong Toako?" pinta Lan Giok-keng.
"Tentu saja boleh. Aku akan menunggumu di depan pintu kuil."
Pun-bu Thaysu sekalian pun segera berbalik menuju ke pintu
gerbang kuil siau-lim-si dan menunggu disana.
Sambil tertawa getir ujar Tonghong Liang, "Saudara cilik,
sekarang kau sudah tahu kalau aku pernah naik ke Bu-tong untuk
menantang berduel, apakah kau masih baik kepadaku?"
"Toako, bila aku tidak salah menduga, bukankah orang yang
secara diam-diam membantuku tadi adalah dirimu?"
"Dugaanmu tepat sekali. Selama ini aku memang selalu
menguntaimu. Tahukah kau bahwa aku ingin memperalat dirimu?"
"Aku tidak perduli apapun tujuanmu, yang pasti kau pernah
selamatkan jiwaku, sejak berkenalan denganmu, banyak kebaikan
berhasil kuperoleh dari dirimu. Betul kau pernah naik ke Bu-tong
dan menantang berduel, tapi pertama tidak ada yang terluka, kedua
persoalan inipun sudah diselesaikan oleh Ciangbunjin partai kami.
Semuanya ini Bu-si tojin yang beritahu kepadaku. Aku memang
tidak tahu bagaimana pandang an rekan-rekan lain dari Bu-tong-pay
terhadap dirimu. Tapi bagiku pribadi, aku tidak akan menganggap
dirimu sebagai musuh."
"Terima kasih banyak."
"Kalau toh kaupun ingin bertemu Hwee-ko Thaysu, bolehkah aku
mewakilimu untuk menyampaikannya?"
Tonghong Liang segera melepaskan sebuah cincin, katanya, "Kau
hanya perlu perlihatkan cincin ini kepadanya."
"Jadi Hwee-ko Thaysu sudah mengetahui tentang dirimu?"
"Ketika Hwee-ko datang ke biara Siau-lim untuk menjadi
pendeta, waktu itu aku belum lahir, darimana bisa tahu?"
"Lantas kalau dia bertanya tentang asal usul cincin ini"
Bagaimana aku harus menjawab?"
"Kau cukup mengatakan kalau pemilik cincin itu kini sedang
menuju Toan-hun-kok."
"Toan-hun-kok" Tempat manakah itu?"
"Hwee-ko Thaysu pasti tahu. Tuh, ketua Siau-lim-si dan ketua
tianglo sudah menunggumu, cepatan ke sana."
Ketika sang ketua menyambut sendiri kedatangan seorang siau
Sicu yang belum dewasa memasuki kuil, begitu para pendeta dalam
biara mendengar kabar tersebut, hampir semuanya merasa
tercengang bercampur tidak habis mengerti.
Ketua yang membidangi bagian dapur dalam biara itu
mempunyai kedudukan yang tidak terlalu tinggi, namun dialah yang
mengurusi semua hwesio yang bekerja sebagai juru masak,
memikul air dan kerja serabutan lainnya, Hwee-ko selama ini berada
di bawah pengawasannya. Begitu mendapat kabar, dia langsung
menyambut sendiri kedatangan sang Hongtiang.
Dengan kening berkerut Tong-sian Sangjin berkata, "Aku datang
hanya disebabkan urusan pribadi, bukan kemari untuk melakukan
pengontrolan, jadi kalian tidak perlu banyak adat."
Ketua bagian dapur bernama Liau-huan, usianya hampir setara
dengan Wan-seng, tapi angkatannya setingkat di bawah dirinya,
walaupun sang Hong-tiang telah berpesan begitu, dia tetap maju
dan menyembah dengan penuh hormat, kemudian baru katanya,
"Baik, silahkan Hong-tiang memberi perintah."
"Bukankah Hwee-ko adalah salah satu bawahanmu" Apakah dia
berada disini?" "Benar, dia bekerja disini sebagai juru masak."
"Siau-sicu ini ingin sekali pergi menjumpainya...."
Belum habis ketua biara Siau-lim ini menyelesaikan
perkataannya, Lan Giok-keng sudah bangkit berdiri seraya berkata,
"Tidak berani, boanpwee mendapat perintah dari Sucouw perguruan
kami, khusus datang untuk menyambangi Thaysu itu."
Liau-huan terkesiap, pikirnya, "Ternyata dia benar-benar seorang
tokoh sakti, untung di hari hari biasa sikapku terhadap Hwee-ko
cukup baik." Maka sahutnya, "Silahkan Hong-tiang dan Siau-sicu menunggu
sebentar, aku akan segera memangil Hwee-ko keluar."
"Jangan begitu, kau seharusnya membawa aku untuk pergi
menyambanginya!" Liau-huan semakin terkejut.
"Hong-tiang, kau...." pada hakekatnya kata "menyambangi" tidak
berani dia ucapkan. Tong-sian Sangjin kembali tersenyum.
"Sekarang aku datang menjumpainya bukan sebagai seorang
Hong-tiang, aku sedang menemani seorang tamu agung dari biara
kita untuk menyambanginya. Dia adalah tuan rumah sementara aku
adalah tamu, sesuai peraturan kau harus mengabarkan dahulu
kehadiran kami, mengerti?"
"Baii.... baik...." jawab Liau-huan tergagap, "tapi...."
"Tapi kenapa" Apakah dia belum selesai bekerja?"
"Bukan, saat ini dia sedang beristirahat di kamarnya."
Ternyata Hwee-ko punya kebiasaan tidur siang, di antara para
pendeta yang bekerja di urusan dapur, usia dialah yang paling tua,
apalagi mengidap pula sakit batuk hingga selama ini Liau-huan
memperlakukan dia dengan baik sekali. Selain menitahkan seorang
hwesio pemikul air untuk tinggal bersama dalam kamarnya, seusai
santap siang diapun diijinkan tidur siang selama dua jam, Liau-huan
selama ini tidak pernah melarang perbuatannya itu.
"Lalu apa lagi yang kau tunggu?" tanya Tong-sian Sangjin.
Terpaksa Liau-huan mengajak mereka menuju ke depan kamar
tidur Hwee-ko, belum tiba didekat pintu, sudah terdengar suara
dengkuran Hwee-ko yang sangat keras.
Sekarang Tong-sian Sangjin baru tahu kalau Hwee-ko benarbenar
sedang tidur siang, sementara dia masih ragu apakah perlu
membangunkan dia, Liau-huan telah mengetuk pintu.
"Hong-tiang," Lan Giok-keng segera berkata, "silahkan kembali.
Toa-hweesio, tolong kau jangan membangunkan dia, aku bisa
menunggunya diluar pintu hingga dia mendusin."
Tapi ketukan pintu Liau-huan telah membangunkan Hwee-ko dari
tidurnya. "Dasar bocah pikun, memang kau tidak tahu kalau aku sedang
tidur siang" Jangan mengganggu tidurku!"
Rupanya sudah menjadi kebiasaan Hwee-ko untuk menyebut
hwesio pemikul air yang tinggal sekamar bersamanya itu sebagai
'bocah pikun'. Dengan tersipu-sipu cepat Liau-huan berseru, "Hwee-ko, coba
sedikitlah lebih sadar, dengarkan perkataanku. Orang yang datang
mencarimu adalah Hong-tiang dari biara kita, kenapa kau belum
juga membukakan pintu?"
Hwee-ko mendehem dulu beberapa kali, kemudian baru
menyahut, "Bukankah kau pernah mengijinkan aku untuk tidur siang
pada jam begini. Pekerjaanku telah selesai kukerjakan, Hong-tiang
pun tidak bisa mengurusi aku lagi. Maaf, tolong sampaikan kepada
Hong-tiang, dalam waktu waktu sekarang aku tidak bisa menyambut
kedatangannya." Merah padam selembar wajah Liau-huan, untuk sesaat dia tidak
tahu bagaimana harus berbuat.
Sementara dia masih bingung, sambil tersenyum Tong-sian
Sangjin telah berkata, "Hwee-ko, rupanya kau sedang tidur siang,
aku tidak akan mengganggumu. Tapi ada seorang tamu yang telah
berada disini, dia adalah cucu murid Bu-siang Cinjin, Ciangbunjin tua
dari Bu-tong-pay, dia mendapat perintah dari Bu-siang Cinjin untuk
datang menyam-bangimu, sang tamu sudah jauh-jauh datang
kemari, kau...." "Kalau memang khusus datang untuk menyambangiku, kurang
sopan rasanya bila aku tidak terima tamu," tukas Hwee-ko segera,
"hanya saja, aku hanya bisa bertemu dengan tamu yang ingin
berjumpa dengan aku."
"Tentu saja," sahut Tong-sian Sangjin, "aku hanya menemani
sang tamu untuk datang mencarimu, sama sekali tidak berniat ikut
menemaninya di dalam."
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian sambil berpaling, katanya lagi, "Liau-huan, disini sudah
tidak ada urusanmu."
Dengan tersipu-sipu Liau-huan ikut mengintil di belakangnya,
setiba di luar, kembali Tong-sian Sangjin berbisik, "Sebelum Hweeko
menghantar tamunya, siapa pun di larang datang
mengganggunya." Mendapat perintah tersebut, Liau-huan mengiakan berulang kali,
maka sepeninggal Hongtiang, dia langsung berjaga-jaga sendiri di
depan pintu masuk. Ketika Lan Giok-keng berjalan masuk ke dalam kamar, dia jumpai
seorang pendeta tua yang kurus kering sedang duduk kemalasmalasan
di atas ranjang sambil mencari kutu.
Begitu melihat kemunculan bocah itu, sang pendeta segera
berkata, "Sudah hampir tiga puluh tahun lamanya aku datang ke
biara Siau-lim, kau adalah tamu pertama yang datang mencariku.
Tahukah kau, karena menghormati Bu-siang Cinjin maka aku
bersedia menjumpaimu?"
"Terima kasih Thaysu bersedia menjumpaiku," sambil berkata,
Lan Giok-keng segera memberi hormat.
"Aku toh bukan pouwsat, buat apa kau menyembahku?" tukas
Hwee-ko segera, "uhukk, uhukkk.... aku paling benci melihat anak
muda bergaya seperti kakek tua, ayoh cepat bangun!"
Tiba-tiba dia menjulurkan tangannya untuk membangunkan Lan
Giok-keng, namun gerakan tangannya justru mirip sekali dengan
sebuah jurus ancaman Hun-keng-ciok-kut-jiu-hoat (ilmu pembelah
otot penggeser tulang) yang mampu membuat Lan Giok-keng cacat
total. Menghadapi datangnya ancaman itu Lan Giok-keng sangat
terperanjat, tanpa berpikir panjang dia tolak tangannya ke depan
dengan menggunakan sebuah jurus Thay-kek-tui-jiu, tubuh bagian
atas ditegakkan, sementara tangannya membuat gerak melingkar
sambil mendayung untuk memunahkan tenaga ancaman lawan.
Selama beberapa hari belakang, seluruh pikiran dan
konsentrasinya hanya tertuju untuk mempelajari ilmu pedang Thaykekkiam-hoat, karena itu jurus tolakan yang dia lakukan pun tanpa
disadari telah disisipi daya cipta dari hasil pencerahannya.
Terdengar Hwee-ko berseru tertahan, tampaknya dia dibuat
kaget bercampur tercengang. Lengannya kembali berputar satu
lingkaran lalu sambil menyang-gah ujung sikut Lan Giok-keng,
perlahan-lahan dia membangunkan bocah itu, katanya, "Berapa
usiamu tahun ini?" Seketika itu juga Lan Giok-keng merasakan tenaga dalamnya
seolah kerbau tanah liat yang kecebur dalam laut, lenyap dengan
begitu saja, rasa kaget dan tercengangnya jauh melebihi Hwee-ko.
Namun ada satu hal dia merasa yakin, pihak lawan hanya berniat
menjajal ilmunya dan sama sekali tidak berniatjahat.
Setelah berhasil menenangkan diri, sahutnya, "Enam belas
tahun." "Apakah Bu-siang Cinjin sendiri yang mengajarkan tenaga dalam
kepadamu?" "Benar," sementara di hati kecilnya bocah itu berpikir, "Dia hanya
menggerakkan tangannya begitu perlahan tapi segera dapat
menyebutkan sumber tenaga dalamku, ketajaman matanya sungguh
luar biasa, mungkin kemampuannya masih setingkat diatas Pun-bu
Thaysu, ketua ruang Tat-mo dari biara Siau-lim."
Dalam pada itu Hwee-ko telah berkata lagi, "Tidak heranlah kalau
begitu. Tapi aku lihat ilmu pedangmu sedikit agak aneh dan
istimewa, Totiang mana yang telah mengajarkan ilmu tersebut
kepadamu?" "Tecu belajar sendiri dari Kiam-boh yang diwariskan Sucouw
kepada tecu, apakah ada yang keliru?"
"Bakat aneh, bakat luar biasa," Hwee-ko menghela napas
panjang, "keberhasilanmu kelak mungkin akan jauh diatas Sucouw
mu. Sudah hampir tiga puluh tahun lamanya aku tidak pernah
bertemu Sucouw mu, apakah dia orang tua dalam keadaan baikbaik?"
Rupanya selama berada di biara Siau-lim, tugasnya setiap hari
hanya membuat api dan memasak, terhadap kabar berita diluaran
boleh dikata nyaris terputus.
"Sucouw telah meninggal dunia!" jawab Lan Giok-keng sedih.
"Bodhi bukanlah pohon, cermin kebenaran bukanlah mimbar,
mati atau hidup sesungguhnya hanya ilusi. Bagaimanapun, dia
orang tua adalah orang yang paling kuhormati, kepergiannya tetap
mendatangkan perasaan menyesal di hatiku. Apalagi ternyata dia
orang tua masih teringat dengan aku seorang angkatan belakangan
yang tidak becus. Kapan dia kembali ke langit barat?"
"Di saat aku turun gunung. Aku mendapat perintah dari dia orang
tua untuk datang menyambangi Thaysu."
"Thaysu apa" Aku hanya seorang hwesio juru masak. Sucouw mu
begitu menghargai aku, akupun tidak boleh menganggap dirimu
sebagai orang luar, aku pikir Sucouw mu pasti bukan hanya
menyuruh kau untuk datang menengok bukan" Masih ada pesan
apa lagi" Cepat kau katakan."
"Sucouw menyuruhku mencari seseorang yang bernama Jit-sengkiamkek, tapi tidak mengetahui kabar beritanya, maka dari itu aku
kemari untuk mohon petunjuk dari Cianpwee."
Setelah mendengar perkataan itu, sampai lama sekali Hwee-ko
tidak berbicara. Kembali Lan Giok-keng merasa ragu bercampur tidak habis
mengerti, pikirnya, "Kalau tahu katakan saja tahu, kalau tidak tahu
katakan tidak tahu, apa sulitnya?"
Tiba-tiba terdengar Hwee-ko bertanya, "Apakah Hui-bun Toheng
masih berada di gunung Bu-tong" Apakah dia pun dalam keadaan
baik-baik?" Lan Giok-keng tidak habis mengerti mengapa dia ajukan
pertanyaan seperti itu, untuk sesaat dia jadi tertegun.
"Hui-bun tojin" Rasanya tidak seorang pun di gunung Bu-tong
yang bernama Hui-bun Tojin!"
"Mana mungkin?" Hwee-ko segera berkerut kening, "dia naik ke
Bu-tong jauh sebelum aku jadi pendeta di biara Siau-lim, masa kau
sama sekali tidak tahu?"
"Dari sekian tianglo yang ada dalam partai kami, terkecuali Bukek
Totiang yang sudah lama meninggal, setahu ku hanya tinggal
tiga orang. Dua orang tianglo lainnya adalah Bu-liang dan Bu-si.
Rasanya tidak ada tianglo yang memakai urutan 'Hui'...."
"Dia bukan seorang tianglo di partai Bu-tong, konon selama ini
dia selalu melayani Bu-siang Cinjin."
"Oooh.... rupanya tojin bisu tuli yang kau maksudkan," seolah
baru tersadar, Lan Giok-keng segera berseru.
"Semenjak kapan dia berubah jadi bisu tuli?" Hwee-ko balik
bertanya dengan wajah tertegun.
"Aku sendiripun tidak tahu, menurut cerita beberapa orang
tianglo, kelihatannya sebelum sampai di gunung Bu-tong, dia sudah
bisu dan tuli." Hwee-ko menghela napas panjang.
"Mengerti aku sekarang. Rupanya dia ingin menjadi seorang tojin
bisu tuli, sama seperti aku ingin menjadi hwesio juru masak dalam
biara Siau-lim." Dalam hati Lan Giok-keng berpikir, "Ternyata nama asli tojin bisu
tuli adalah Hui-bun, mungkin lantaran ada rahasia yang sulit
dibicarakan maka sengaja dia mengaburkan identitas sendiri dan
bergabung dengan Bu-tong. Tapi kalau didengar dari nada
pembicaraan Hwee-ko Thaysu, jangan-jangan bisu tuli nya pun
hanya pura-pura?" Walau berpikir begitu, dia tetap merasa tidak jelas, maka kembali
tanyanya, "Apakah tojin bisu tuli ada sangkut pautnya dengan jago
pedang tujuh bintang?"
"Dia adalah sahabat karib Jit-seng-kiam-kek, tapi kemudian
lantaran sedikit kesalah pahaman, kedua belah pihak jadi ribut dan
saling bermusuhan. Bu-siang Cinjin sama sekali tidak tahu kalau aku
kenal Jit-seng-kiam-kek, sudah pasti dialah yang memberitahukan
kepada Bu-siang Cinjin. Aaah.... benar, aku ingin bertanya
kepadamu, apakah tojin bisu tuli bersikap baik kepada-mu?"
"Di atas gunung Bu-tong, kecuali orang tuaku, orang ketiga yang
amat menyayangi aku adalah Sucouw ku kemudian orang ke empat
adalah dia." Sebenarnya dia ingin mengatakan kalau orang ke tiga yang
menyayanginya adalah ayah angkatnya Put-ji, tapi berhubung tekateki
seputar pelajaran ilmu pedang palsunya masih mencekam
pikiran dan perasaannya, maka terakhir diapun putuskan untuk
menghapus nama ayah angkatnya dari dalam catatan otaknya.
"Mengapa kau ingin mencari Jit-seng-kiam-kek?" kembali Hweeko
bertanya. "Sucouw yang minta aku pergi mencarinya, aku sendiripun tidak
tahu karena apa?" "Lantas tahukah kau manusia seperti apakah Jit-seng-kiam-kek
itu?" "Aku sama sekali tidak tahu siapakah dia dan siapa pula
namanya. Bahkan persoalan mengenai dirinya pun aku sama sekali
tidak tahu." "Dia dari marga Kwik bernama Tang-lay tiga puluh tahun
berselang termashur sebagai Ciang-ciu-kiam-kek. Berhubung dia
memiliki sebuah ilmu pedang yang aneh, dimana dalam setiap
jurusnya terdapat tujuh buah titik pedang, barangsiapa terkena
sebuah tusukannya maka di tubuh sang korban akan muncul tujuh
buah mulut luka, maka diapun disebut orang sebagai Jit-seng-kiamkek,
si Jago pedang tujuh bintang. Sejak dua puluhan tahun
berselang dia berangkat ke wilayah Liauw-tong dan tidak pernah
kembali lagi. Ada orang bilang dia sudah meninggal, tapi ada juga
yang mengata kan dia sudah berganti nama dan mengundurkan diri
dari dunia persilatan. Tegasnya sejak saat itu tiada orang lagi yang
mengetahui kabar beritanya. Lama-kelamaan, seorang jago pedang
kenamaan pun lambat-laun dilupakan orang."
"Kalau dia adalah seorang jago pedang yang sudah lenyap sejak
dua puluh tahun berselang, mengapa Sucouw minta aku untuk
mencarinya?" tanya Lan Giok-keng keheranan.
Hwee-ko sendiripun merasa keheranan, dia seolah sedang
bergumam seorang diri, "Antara Bu-siang Cinjin dengan kwik Tanglay
selama ini tidak pernah ada hubungan atau saling kontak, jadi
mustahil kalau terdapat perselisihan di antara mereka, ini berarti dia
bukan lantaran urusan pribadinya, saat Kwik Tang-lay lenyap dari
pered aran...." Bicara sampai disini sorot matanya dialihkan ke wajah Lan Giokkeng,
seolah-olah sedang bertanya kepadanya, "Saat itu kau belum
lahir di dunia ini, mengapa Bu-siang Cinjin minta kau untuk pergi
mencarinya?" Justru Lan Giok-keng berharap orang lain bisa membantunya
untuk menjawab pertanyaan ini, kalau dia sendiri yang ditanya,
mana mungkin bisa dijawab"
Ruang kamar yang ditempati Hwee-ko selalu kelihatan redup
walaupun berada di siang hari, kini sorot matanya sedang
mengawasi wajah Lan Giok-keng tanpa berkedip, seolah-olah baru
saja menemukan sesuatu, mendadak dia membuka jendela sambil
berseru, "Berdirilah di depan jendela, jangan bergerak, menghadap
ke arahku. Nah betul, begitu saja, jangan bergerak."
Lan Giok-keng bingung setengah mati, namun dia menurut saja
dan melakukan apa yang diperintahkan. Terdengar Hwee-ko
kembali bergumam, "Benar-benar mirip, benar-benar mirip...."
Mendadak dia bertanya, "Apa hubunganmu dengan Keng Kingsi?"
Lan Giok-keng melengak. "Baru pertama kali ini kudengar nama tersebut," sahutnya.
"Hah" Jadi kau tidak bermarga Keng?"
"Mengapa kau bertanya begitu kepadaku" Aku dari marga Lan!"
Sudah untuk kedua kalinya orang mengira dia berasal dari marga
Keng, orang pertama adalah si Lebah hijau Siang Ngo-nio.
Hwee-ko tidak menjawab pertanyaan itu, malah balik bertanya,
"Apa kerja ayahmu?"
"Ayahku bernama Lan Kau-san, semasa muda bekerja sebagai
pemburu, tapi sekrang menanam sayuran di gunung Bu-tong."
"Kalau begitu tidak benar."
"Kenapa tidak benar?"
Hwee-ko masih saja tidak menjawab, tanyanya lebih jauh, "Kau
tidak mengenali Keng King-si" Lantas tahukah kau tentang Ji-ouw
Tayhiap Ho Ki-bu yang cukup tersohor namanya di partai Bu-tong?"
"Tahu. Kalau dirunutkan kembali seharusnya aku memanggil dia
sebagai Sucouw. Hanya saja aku belum pernah berjumpa dengan
Sucouw ku yang berasal dari kaum preman ini."
"Apa maksudmu?"
"Sebelum guruku menjadi seorang pendeta, dia pernah menjadi
muridnya." "Kalau begitu gurumu baru menjadi murid Bu-siang Cinjin
sesudah Ho Tayhiap meninggal dunia?"
"Benar!" kembali timbul kecurigaan dalam hati Lan Giok-keng,
namun untuk sesaat dia tidak tahu apakah pantas menanyakan hal
tersebut kepada Hwee-ko Thaysu yang baru dikenalnya.
Paras muka Hwee-ko sendiripun menunjukkan perubahan yang
sangat aneh, dengan napas memburu tanyanya, "Siapa nama
gurumu?" "Dia bergelar Put-ji!"
"Yang ingin kutanyakan adalah nama premannya."
"Kalau tidak salah dia bernama Ko Ceng-kim!"
"Tidak salah lagi. Ehmmm, tidak benar!"
Kenapa sebentar mengatakan tidak salah tapi sebentar lagi
berubah jadi tidak benar" Lan Giok-keng makin tidak habis
mengerti. Namun dia masih juga tidak menanyakan hal tersebut.
Dalam pada itu Hwee-ko telah berkata lagi, "Coba kau pikirkan
lagi dengan seksama, benar-kah gurumu tidak pernah menyinggung
tentang nama orang yang bernama Keng King-si itu....?"
"Benar-benar tidak pernah."
"Waah, kalau begitu rada aneh."
"Kenapa?" "Karena antara gurumu dengan Keng King-si sebetulnya saudara
seperguruan." "Haaaah"!" Lan Giok-keng hanya bisa berseru tertahan, untuk
sesaat dia tidak tahu apa yang harus diucapkan. Pikirannya terasa
amat kalut, perasaannya kacau dan gundah. Namun dari balik
kegundahan dia seolah-olah melihat secerca cahaya terang dari
balik ruangan yang gelap.
Bukan untuk pertama kali ini saja dia mendengar nama 'Keng
King-si'. Betul gurunya memang tidak pernah menyinggung nama
tersebut, tapi sebelum disebut Hwee-ko, masih ada seseorang lagi
yang pernah menyinggung soal itu.
Di hari dia jalan bersama Tonghong Liang waktu itu, dia pun
pernah bersua Bu-si tojin, setelah Bu-si tojin berhasil memukul
mundur Tonghong Liang, diapun sempat membicarakan hal ini.
Tapi waktu itu Bu-si tojin hanya menyinggung tentang beberapa
kasus pembunuhan yang menimpa beberapa orang anggota Bu-tong
kemudian sekalian menyinggung tentang nama Keng King-si, sebab
dalam pandangan Bu-si tojin, Keng King-si bukanlah seseorang yang
mempunyai peran penting. Tapi berbeda sekali bagi Lan Giok-keng, terutama sekali waktu
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siang Ngo-nio mengatakan dirinya seharus nya bermarga Keng.
Sejak saat itu secara lamat-lamat dia merasa kalau antara dirinya
dengan 'Keng King-si' besar kemungkinan terjalin suatu 'hubungan'
yang luar biasa. Begitu melihat paras muka bocah itu pucat pias, Hwee-ko segera
menegur, "Kenapa kau?"
"Masih ada satu persoalan lagi, apakah aku boleh bertanya
kepadamu?" "Katakan saja."
"Thaysu, ketika menengok aku tadi kau langsung berseru: benarbenar
mirip sekali. Apakah maksudmu aku mirip sekali dengan
seseorang yang kau kenal?"
"Benar." Diapun seolah membayangkan kembali kejadian masa silam,
lewat beberapa saat kemudian baru melanjutkan, "Sebelum masuk
biara jadi pendeta, aku sempat mampir ke rumah Ho Ki-bu. Waktu
itu Keng King-si pun baru berusia enam belas tahun, tampangnya
waktu itu persis seperti wajahmu sekarang. Cuma bedanya dia lebih
lincah dan gampang mendatangkan simpatik."
Lan Giok-keng tertawa paksa, katanya, "Padahal aku sendiripun
sangat nakal, hanya saja tidak berani berulah sebab berada di
hadapan Cianpwee." "Aku tidak bermaksud mengatakan kalau kau tidak simpatik,
maksudku, bila kau sedikit lebih lincah maka dirimu akan peris sama
seperti Keng King-si."
"Apakah Ho Ki-bu hanya mempunyai dua orang murid?"
"Dia masih mempunyai seorang anak perempuan, usia putrinya
hampir sebaya dengan Keng King-si. Tapi aku dengar sejak kecil
putrinya sudah dijodohkan dengan murid pertamanya, Ko Ceng-kim.
Yang disebut Ko Ceng-kim tidak lain adalah gurumu sekarang."
"Kenapa?" "Biarpun usia Ko Ceng-kim jauh lebih tua, tapi sejak kecil dia
sudah dipelihara Ho Ki-bu hingga selama ini Ho Ki-bu
menganggapnya sebagai putra sendiri, oleh karena itulah meski Ho
Ki-bu pun amat menyukai Keng King-si, namun hubungannya
dengan murid pertama jauh lebih dekat dan akrab."
"Konon Ho Ki-bu mati dibunuh orang?"
"Benar, peristiwa itu merupakan salah satu kasus pembunuhan
yang penuh diliputi misteri."
"Bagaimana dengan nasib putrinya?"
"Aku kurang begitu jelas, tapi konon dia pun mengalami nasib
tragis sama seperti yang dialami Keng King-si."
"Aaah!" sekali lagi Lan Giok-keng berseru ter-tahan, "tidak heran
kalau guruku sepanjang tahun tidak pernah nampak gembira,
ternyata dia menyimpan sebuah peristiwa yang begitu tragis dan
menyedihkan." Hwee-ko menghela napas panjang. "Benar, aku dengar
sebetulnya Ho Ki-bu sudah berencana akan menyelenggarakan
perkawinan mereka, tidak disangka terjadilah peristiwa yang sama
sekali tidak terduga itu."
"Guruku adalah seorang anak yatim piatu, bagaimana pula
dengan Keng susiok" Apakah dia mempunyai sanak saudara?"
"Setahuku, ke dua orang tuanya sudah lama meninggal. Ketika
tertimpa bencana tahun itu, dia belum pernah menikah atau
berkeluarga." Dia memang tidak sengaja bermaksud menge-labuhi kenyataan
itu, ketika Keng King-si kabur bersama Ho Giok-yan waktu itu,
memang jarang ada yang tahu tentang rahasia ini.
Diam-diam Lan Giok-keng menghembuskan napas lega, pikirnya,
"Kalau begitu selama ini aku hanya menduga yang bukan-bukan.
Apa anehnya kemiripan wajah seseorang yang dengan orang lain"
Bisa jadi gihu tidak menyinggung masalah ini denganku karena dia
tidak mau teringat lagi dengan peristiwa pedih di masa lampau. Tapi
kenapa dia pun tidak pernah menyinggung tentang nona Ho yang
mempunyai ikatan perkawinan dengannya?"
Kemiripan Lan Giok-keng dengan Keng King-si dengan cepat
menimbulkan kecurigaan Hwee-ko. Sekalipun Ho Ki-bu telah
berusaha merahasiakan aib keluarganya sedemikian rupa hingga
orang lain tidak tahu tentang kejadian putrinya yang kabur dengan
pemuda lain, namun serapat rapatnya rahasia itu disimpan, tidak
urung akhirnya bocor juga keluar.
Hwee-ko bahkan pernah mendengar cerita sejelasnya mengenai
kejadian di keluarga Ho, bahkan apa yang dia ketahui jauh lebih
banyak ketimbang orang lain. Dia tahu kalau Keng King-si bersama
seorang gadis pernah pergi ke wilayah Liauw-tong.
Hanya saja orang yang pernah bertemu Keng King-si di Liau-tong
hanya mengenali Keng King-si seorang dan tidak tahu kalau wanita
yang jalan bersamanya adalah Ho Giok-yan.
Padahal waktu itu Hwee-ko sedang berusaha melacak kabar
berita tentang sahabat karibnya, Jit-seng-kiam-kek, tentu saja
masalah kemunculan Keng King-si di wilayah Liauw-tong sama
sekali tidak dimasukkan ke dalam hati.
Tapi kini, setelah Lan Giok-keng mendapat perintah dari Bu-siang
Cinjin untuk menyambanginya, kemudian diapun menjumpai kalau
wajah Lan Giok-keng mirip sekali dengan Keng King-si, hal ini mau
tidak mau membuatnya jadi teringat kembali akan peristiwa itu.
Dia memang tidak percaya penuh dengan "isu" yang beredar,
namun mungkinkah bocah ini adalah putra yang dilahirkan
perempuan yang tidak diketahui namanya itu dengan Keng King-si
sewaktu ada di Liauw-tong"
"Tapi mengapa pemuda ini dari marga Lan" Bahkan katanya
kedua orang tuanya masih hidup" Menurut dugaanku.... ehmmm,
bisa jadi isu itu hanya ngaco belo saja."
Hwee-ko merasa tidak leluasa untuk mengemukakan
kecurigaannya itu kepada Lan Giok-keng, maka ujarnya, "Aku hanya
mendapat kabar angin tentang kematian Keng King-si, bagaimana
keadaan yang sesungguhnya, aku sendiripun tidak jelas. Tapi hal ini
tidak terlalu penting, sebab Keng King-si hanya seorang murid
preman yang tidak ada hubungan serius dengan perguruan Bu-tongpay.
Karena kemiripan wajahmu dengan dia itulah maka timbul rasa
ingin tahuku hingga mengajukan pertanyaan tadi. Mari kita kembali
berbicara tentang pokok masalah. Ehmm, apakah kau tahu apa
sebabnya Bu-siang Cinjin ingin kau menemukan Jit-seng-kiam-kek?"
"Sucouw tidak menjelaskan, siapa tahu urusan ini jadi lebih jelas
setelah bertemu Jit-seng-kiam-kek nanti?"
Sementara di hati kecilnya dia berpikir, "Kalau memang tahu
kabar berita Jit-seng-kiam-kek, katakan saja terus terang, bukankah
urusan jadi beres" Buat apa kau musti menyelidiki alasannya....?"
Tapi kalau dilihat dari sikap Hwee-ko, tampaknya dia memandang
serius soal 'alasan', kali ini dia tidak berbicara, seolah sedang
berpikir dengan serius. Tiba-tiba Lan Giok-keng teringat akan satu hal, tanyanya,
"Bukankah Jit-seng-kiam-kek lenyap saat berada di wilayah Liauwtong?"
"Benar, peristiwa itu sudah terjadi pada tiga puluh tahunan
berselang." "Padahal tahun ini guruku pun baru saja pergi ke Liauw-tong
bulan berselang dia baru kembali."
"Karena urusan apa gurumu pergi ke sana?"
"Aku tidak tahu. Aku hanya tahu dia pergi ke sana karena
mendapat perintah dari Sucouw."
Mendadak Hwee-ko seperti menyadari akan sesuatu, segera
serunya, "Aaah, kalau begitu betul sudah!"
Kembali sebuah kata "betul", hanya kali ini Lan Giok-keng seperti
mengerti apa arti kata 'benar' yang diucapkan Hwee-ko.
"Maksud Cianpwee, Suhuku mendapat perintah untuk pergi ke
Liauw-tong karena hendak melacak teka teki seputar kasus
pembunuhan itu?" "Betul. Aku berpendapat begitu. Sebab Bu-kek Totiang maupun
Ji-ouw Tayhiap Ho Ki-bu yang mati terbunuh merupakan jago-jago
tangguh dari Bu-tong-pay, bila kasus pembunuhan dilakukan para
jago dari daratan Tionggoan, tidak mungkin setelah dilakukan
penyelidikan hampir enam belas tahun lamanya, hingga kini belum
juga ditemukan titik terang. Wilayah Liauw-tong merupakan daerah
kekuasaan etnik Jurchens (Nizhen), sejak Nurhaci Khan menguasahi
suku Jurchens, tiada hentinya dia berusaha menyerbu wilayah
Tionggoan. Oleh sebab itu besar kemungkinan para pembunuhnya
datang dari daerah Liauw-tong. Kwik Tang-lay sendiripun lenyap di
wilayah Liauw-tong, jika dia masih hidup dikolong langit maka orang
inilah yang paling menguasai keadaan disana. Kemungkinan besar
tujuan Bu-siang Cinjin mengutus gurumu berangkat ke sana adalah
untuk menemukan jejak pendekar pedang itu, paling tidak mungkin
mencari tahu kabar berita tentang dirinya."
"Lantas apakah orang yang bernama Jit-seng-kiam-kek ini masih
hidup di kolong langit?"
"Semisal dia sudah meninggal, aku rasa pasti ada orang yang
memberitahukan kepadaku."
Maksud dari perkataan itu sangat jelas, tentu saja pendekar
pedang tujuh bintang masih hidup.
Sementara Lan Giok-keng merasa kegirangan, terdengar Hweeko
berkata lebih jauh, "Cuma saja aku khawatir diriku akan
membuat kau kecewa, terutama tentang petunjuk itu."
"Apakah Cianpwee mempunyai masalah yang sulit untuk
diutarakan?" tanya Lan Giok-keng tertegun.
"Bukan kesulitan untuk berkata, tapi memang tidak tahu apa
yang musti diucapkan."
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Selama hampir
dua puluh tahun, pekerjaan yang kulakukan setiap hari hanya
membuat api dan menanak nasi, belum pernah sejengkal pun
meninggalkan pintu biara. Boleh dibilang hubunganku dengan dunia
luar sudah terputus. Oleh sebab itu, walaupun aku percaya Jit-sengkiamkek masih hidup di dunia ini, namun aku tidak tahu dimanakah
dia berada." Lan Giok-keng jadi sangat kecewa, ujarnya, "Boanpwee sedang
melaksanakan pesan terakhir Sucouw, jadi, selama Jit-seng-kiamkek
masih hidup di dunia ini, boanpwee tetap akan berusaha untuk
mencarinya sampai ketemu. Apakah Cianpwee masih mempunyai
cara lain?" Hwee-ko tertawa getir. "Aku tidak yakin dapat menemukan jejak Jit-seng-kiam-kek, tapi
bila dikolong langit terdapat seseorang yang dapat menemukan
dirinya, mungkin orang itu hanya aku seorang."
"Kalau begitu, asal Cianpwee bersedia mengajak tecu untuk
mencari Jit-seng-kiam-kek, biarpun tidak yakin berhasil, paling tidak
kesempatan ini pasti jauh lebih besar daripada tecu mencarinya
secara ngawur!" Hwee-ko tidak menjawab, dia seperti sedang memikirkan
sesuatu. Lan Giok-keng sangat tidak puas dengan sikapnya itu, dia bangkit
berdiri dan serunya, "Tecu tahu kalau permintaanku memang sedikit
kelewat batas, bila Cianpwee memang ada kesulitan, biarlah tecu
mohon diri lebih dahulu!"
"Tunggu sebentar!"
"Apakah Cianpwee masih ada petunjuk?" tanya Lan Giok-keng
sambil berhenti. "Aku pernah memperoleh budi kebaikan dari Sucouw mu Busiang
Cinjin, bila di dunia ini ada orang yang bisa memaksaku
meninggalkan biara Siau-lim, mungkin orang itu hanya Bu-siang
Cinjin seorang." "Terima kasih Thaysu," Lan Giok-keng jadi kegirangan.
"Kau tunggulah sebentar," kemudian sambil membuka pintu
kamar ujarnya, "Liau-huan suhu, harap datang kemari sebentar."
Liau-huan adalah hwesio yang mengurusi urusan dapur, saat itu
sedang berjaga di depan pintu gerbang sambil melarang siapa pun
memasuki ruangan itu. Biarpun suara panggilan Hwee-ko amat
perlahan, ternyata panggilan itu terdengar juga olehnya.
Liau-huan segera berjalan masuk, wajahnya penuh senyuman,
kepada hwesio juru masak yang seharusnya merupakan anak
buahnya itu dia berkata dengan hormat, "Apakah tamu akan pamit"
Ada urusan apa untukku?"
"Aku dan Siau-sicu ini akan meninggalkan biara, tolong
sampaikan kabar ini kepada Hong-tiang."
Liau-huan terperanjat. "Kau akan meninggalkan biara" Mau pergi satu dua hari
ataukah...." "Mungkin tidak akan kembali lagi."
Begitu ucapan tersebut diutarakan, paras muka Liau-huan segera
berubah menjadi terkejut bercampur keheranan.
Setelah tertegun beberapa saat, ujarnya, "Hwee-ko, kau benarbenar
orang hebat tapi pandai menyembunyikan diri. Kalau bukan
kedatangan siau Sicu pada hari ini, aku masih belum tahu kalau kau
mempunyai asal usul yang luar biasa. Bila di hari-hari yang lalu aku
kurang bersikap baik, mohon sudi dimaafkan."
"Mana, mana, selama banyak tahun aku merasa berterima kasih
sekali karena perhatianmu, maafkan kalau aku tidak sempat untuk
membalasnya." "Hwee-ko, urusan masa silam tidak perlu dibicarakan lagi. Tapi
setelah kejadian hari ini, dapat kulihat kalau Hong-tiang menaruh
hormat kepadamu, mengapa tiba-tiba kau akan pergi?"
"Pergi adalah pergi, datang adalah datang. Dari mana aku
datang, kesana aku pergi. Datang adalah pergi, pergi pun bukan
berarti pergi. Tolong laporkan kepada Hong-tiang," ujar Hwee-ko
hambar. Liau-huan tertawa getir. "Aku tidak mengerti perkataanmu itu. Tapi kalau toh niat pergimu
sudah bulat, terpaksa aku harus melaporkan hal ini kepada Hongtiang."
Setelah Liau-huan meninggalkan tempat itu, tidak tahan Lan
Giok-keng bertanya, "Apakah kepergian kita mencari Jit-seng-kiamkek
bakal menyerempet bahaya yang sangat besar?"
"Aku tidak tahu. Tapi menurut kebiasaan, tidak mungkin ada
banyak orang yang bisa mengenaliku lagi, karena sudah dua-tiga
puluhan tahun lamanya aku tidak pernah meninggalkan biara Siaulim.
Kesulitan, hadangan memang tidak bisa terhindar, tapi kalau
dibilang ada bahaya yang terlalu besar mah tidak mungkin."
"Setelah kita berhasil menemukan Jit-seng-kiam-kek, apakah
Cianpwee akan balik lagi ke biara Siau-lim?"
Hwee-ko tertawa getir. "Kini rahasiaku sudah terbongkar, bahkan Liauw-huan pun
memandang lain kepadaku. Padahal kedatang anku ke biara Siaulim
adalah untuk mencari ketenangan hidup, selewat kejadian hari
ini, mungkinkah aku bisa hidup tenang lagi disini?"
Lan Giok-keng merasa tidak enak hati, buru-buru katanya,
"Kesemuanya ini gara-gara boanpwee, kedatangan ku telah
mengacaukan ketenangan hidup Cianpwee."
"Tidak ada urusannya dengan dirimu, semua peristiwa hanya
bersumber dari jodoh. Dosaku belum bersih, biar kau tidak
datangpun tidak mungkin aku akan hidup sepanjang masa sebagai
juru masak dalam biara Siau-lim."
Sudah sekian lama mereka berdua berbincang, namun belum
juga tampak Liau-huan balik kemali.
Tiba-tiba Lan Giok-keng teringat dengan pesan dari Tonghong
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Liang, sebetulnya urusan ini baru akan disampaikan kepada Hweeko
setelah meninggalkan biara Siau-lim, namun mumpung saat ini
ada waktu senggang, maka diapun menyampaikan hal itu
kepadanya. Agak tertegun Hwee-ko bertanya, "Jadi seorang temanmu ingin
bertemu aku juga"' "Betul. Namun berhubung menurut peraturan biara Siau-lim dia
harus dijajal dulu ilmu silatnya, maka sewaktu dikalahkan Wan-seng
Thaysu, dia pun tidak bisa ikut masuk ke dalam."
"Siapa nama temanmu itu?"
"Dia dari marga Tonghong bernama Liang."
"Ooh, dia bermarga Tonghong?"
Lan Giok-keng ambil keluar cincin itu dan diserahkan kepadanya,
lalu ujarnya lagi, "Dia minta kepadaku untuk membawa benda ini
sebagai tanda pengenal, menurutnya, asal kau melihat cincin ini,
segera akan diketahui asal usulnya."
Setelah menyaksikan cincin itu, paras muka Hwee-ko kelihatan
sedikit agak aneh, sahutnya setelah menghela napas, "Betul, di
kolong langit hanya ada dua macam cincin seperti ini. Pemiliknya
kalau bukan Seebun berarti pastilah Tonghong. Aku pernah berjanji
kepada mereka berdua, melihat cincin itu sama seperti bertemu
sahabat lama, apa pun yang diminta pembawa cincin itu, biar harus
terjun ke kuali minyak atau naik ke bukit golok, aku pasti akan
melakukannya. Baiklah, sekarang katakan, apa permintaannya?"
"Dia tidak mengatakannya."
"Ooh, dia ingin mengatakannya secara langsung kepadaku"
Lantas, apakah dia menunggu aku di pintu biara?"
"Kelihatannya dia sudah pergi."
"Sudah pergi?" Hwee-ko berkerut kening, "pergi tanpa
mengucapkan sepatah katapun?"
"Dia hanya minta aku untuk menyampaikan kepada Cianpwee,
dia telah pergi ke Toan-hun-kok."
"Pergi ke Toan-hun-kok" Apakah dia mempunyai perselisihan
dengan Toan-hun Kokcu Han Siang" Aaai, kalau memang begitu,
aku jadi agak sulit."
Lan Giok-keng tidak mengetahui tokoh seperti apakah pemilik
Lembah pemutus sukma Han Siang, apalagi meskipun dia saling
menyebut saudara dengan Tonghong Liang, namun pada
hakekatnya pengetahuan dia tentang asal usul saudara angkatnya
itu sangat terbatas, tentu saja bocah ini tidak sanggup memberi
penjelasan apa-apa. Tiba-tiba Hwee-ko tertawa getir, ujarnya lagi, "Apakah aku akan
berhasil keluar dari pintu gerbang biara Siau-lim masih merupakan
tanda tanya besar, baiklah, kita bicarakan lagi persoalan ini setelah
berada diluar nanti."
Pada saat itulah muncul seorang hweesio.
Begitu mendengar suara langkah manusia, Lan Giok-keng
mengira Liau-huan telah kembali, begitu dilihat, ternyata dia adalah
seorang hwesio setengah umum yang belum pernah dijumpai
sebelumnya. Hwesio setengah umur itupun tidak ambil perduli apakah disana
ada orang luar atau tidak, begitu masuk dia langsung berseru
kepada Hwee-ko dengan nada gelisah, "Suhu, benarkah kau akan
meninggalkan biara Siau-lim?"
"Benar, rasanya hubungan jodoh kita guru dan murid harus
berakhir hari ini. Tapi aku bisa mohonkan kepada Hong-tiang untuk
mencarikan suhu lain untukmu. Kau bisa menjadi murid Siau-lim
secara resmi, tidak perlu seperti sekarang, harus menjadi murid
tidak resmi seorang hwesio juru masak!"
"Aku tidak ingin menjadi murid biara Siau-lim, akupun tidak sudi
menjadi murid orang lain. Suhu, bolehkah kau mengajak aku pergi?"
"Tidak bisa. Ada jodoh kita berkumpul, jodoh berakhir kita
berpisah. Apakah kau pernah menjumpai perjamuan yang tidak
pernah berakhir di kolong langit?"
Kini hwesio tersebut baru memperhatikan Lan Giok-keng yang
berdiri di samping, kembali tanyanya, "Suhu, aku dengar kau akan
pergi bersama Siau-sicu itu, benarkah demikian" Siau-sicu, aku tidak
tahu kau mencari guruku untuk menemanimu pergi ke mana, tapi
bersediakah kau membantu aku untuk memohon kepada suhu, agar
mengijinkan aku turut serta" Aku bernama Liau-wan, hanya seorang
hwesio pemikul air di biara Siau-lim. Selama beberapa tahun
terakhir, aku tinggal sekamar dengan suhu, boleh dibilang siang
malam kami tidak pernah berpisah."
Lan Giok-keng sadar bahwa permintaannya mustahil bisa
dikabulkan, sebab bila membiarkan dia turut serta dalam perjalanan
ini, sama artinya dengan ikut menyeret dia terlibat dalam pusaran
keruwetan dunia persilatan.
Begitu berat hati Liau-wan berpisah dengan gurunya membuat
Lan Giok-keng yang menyaksikan hal itu ikut merasa terharu.
Dasar bocah ini encer otaknya, cepat dia berkata, "Aku adalah
orang luar, tidak sepantasnya ku-campuri urusan antara kalian guru
dan murid, tapi hatiku merasa sesak, ada ganjalan yang membuatku
tidak leluasa, bolehkah kuutarakan ganjalan itu?"
"Aku memang sedang mencari orang untuk merun dingkan
persoalan ini, katakan saja."
"Kalau Cianpwee sendiripun dapat merasa kalau tetap tinggal di
biara ini maka kehidupannya di kemudian hari mungkin tidak bisa
tenang kembali, lantas jika muridmu tetap tinggal dalam biara,
bukankah diapun tidak bisa terhindar dari pelbagai kesulitan?"
Tiba-tiba Hwee-ko seperti tersadar kembali, katanya, "Aaah,
setelah mengurung diri hampir dua-tiga puluh tahun lamanya, aku
betul-betul dibikin sedikit pikun. Kemampuan menganalisa persoalan
ternyata masih kalah jauh ketimbang dirimu. Perkataanmu tepat
sekali, karena aku sudah menjadi murid Buddha, memang tidak
seharusnya menjadi lelaki bebas lagi."
Bicara sampai disitu dia segera berpaling dan ujarnya kepada
Liau-wan, "Baiklah, aku akan mohonkan ijin dan minta Liau-huan
mengabulkan permintaanmu untuk meninggalkan biara ini. Kau
berbeda dengan aku, asal Liau-huan dan para pengurus ruang
disiplin mengabulkan, rasanya tidak akan ada peraturan macammacam
lagi untuk menghadang dan menyusahkan dirimu."
"Berarti suhu mau mengajak aku pergi bersama?" seri Liau-wan
kegirangan. "Bukan berangkat bersama, kita harus berpisah."
"Suhu, apa maksud perkataanmu, aku tidak mengerti."
Seakan ada yang dipikirkan, tiba-tiba Hwee-ko berkata, "Liauwan,
maukah kau melakukan sebuah pekerjaan untukku?"
"Suhu, silahkan kau memberi perintah."
"Aku ingin kau menyampaikan sebuah pesan untuk seseorang,
orang itu berdiam di sebuah tempat yang jauh sekali."
"Siapa" Dimana?"
"Orang yang minta kau menyampaikan berita itu bernama
Tonghong Liang, sedang tempat yang harus kau datangi adalah
bukit Nyainqentanglha yang berada jauh di wilayah Hwee, di atas
puncak bukit itu terdapat sebuah puncak wanita suci, dalam puncak
wanita suci terdapat sebuah lembah yang bernama Pek-hoa-kok,
dalam lembah hidup satu keluarga dari marga Seebun."
Lan Giok-keng yang mendengar perkataan itu jadi keheranan,
pikirnya, "Dia belum berjumpa dengan Tonghong Toako, kenapa
mengatakan kalau Toako yang suruh dia menyampaikan berita?"
"Aku belum pernah melakukan perjalanan jauh," ujar Liau-wan,
"akupun tidak tahu harus lewat mana untuk mencapai tempat itu,
tapi aku percaya pasti akan berhasil menemukan keluarga yang
dimaksud." "Akupun percaya kalau kau memiliki kemampuan itu. Ehmm,
coba aku pikir sebentar, siapakah penerima berita itu" Apakah
bibinya" Atau.... ehmm, lebih baik Piaumoy nya saja. Betul, kalau
begitu sampaikan berita dari Tonghong Liang ini untuk adik
misannya, Seebun Yan!"
"Apa isi berita itu?"
Kembali Hwee-ko berpikir sejenak, dia tidak langsung menjawab.
Lan Giok-keng yang menyaksikan kejadian itu segera berpikir,
jangan-jangan karena ada dia disana maka pendeta itu sungkan
untuk mengatakannya"
Belum lagi melakukan sesuatu, Hwee-ko telah mendongakkan
kepala sambil berkata lagi, "Tonghong Liang adalah pemuda yang
datang bersama Sicu ini, coba kau keluar sebentar, lihatlah apakah
dia sudah pergi" Kalau sudah, kau segera balik kemari, akan
kukatakan beritanya."
"Kalau dia belum pergi?" tanya Liau-wan.
"Buat apa tanya lagi, tentu saja biar dia sendiri yang beritahu
kepadamu." "Benar, ternyata tecu memang bodoh."
Begitu Liau-wan berlalu, Lan Giok-keng seperti teringat akan
sesuatu, tidak tahan tanyanya, "Darimana Cianpwee bisa tahu kalau
Tonghong Liang mempunyai seorang adik misan?"
"Walaupun aku belum pernah bertemu dengan Tonghong Liang
maupun Seebun Yan, namun ayah mereka adalah sahabat karibku,
aaai.... kejadian inipun sudah berlangsung dua, tiga puluh tahun
berselang." Bicara sampai disini, kembali dia terbatuk-batuk.
Menunggu sampai dia selesai batuk, Lan Giok-keng baru
bertanya lagi, "Siapakah paman Tonghong Liang?"
Tiba tiba sikap Hwee-ko berubah agak aneh, ditatapnya Lan
Giok-keng tajam tajam kemudian menegur, "Mengapa kau ingin
tahu siapa pamannya?"
"Tadi Tonghong Liang sempat mengatakan sesuatu kepadaku,
dia bilang ciriku berada dirumah adik misannya. Tapi berhubung
Hong-tiang biara Siaulim sudah menungguku untuk dihantar
menjumpai Cianpwee, maka dia tidak sempat menjelaskan lebih
terperinci." "Oooh, rupanya dikarenakan anak gadisnya maka kau
menanyakan bapaknya?"
"Apa salahnya begitu," pikir Lan Giok-keng, tapi ingatan lain
segera melintas, "eeei, rasanya sedikit tidak beres, kenapa
Tonghong Toako tidak mengatakan berada di rumah pamannya, tapi
bilang berada di rumah adik misannya?"
Belum habis ingatan itu melintas, terdengar Hwee-ko telah
berkata lagi, "Paman Tonghong Liang sudah lama meninggal dunia.
Mungkin saja Piaumoynya mempunyai tabiat nona besar, senang
marah tidak menentu, namun watak aslinya tidak terhitung jahat.
Selama cicimu berada disana, kau tidak perlu khawatir."
Lan Giok-keng semakin keheranan, pikirnya, "Kalau toh bersua
muka pun belum pernah, darimana kau bisa tahu tentang wataknya
dengan begitu jelas?"
Tentu saja dia tidak berani mencurigai Hwee-ko hanya bicara
'mengawur', namun kenyataan tersebut memang cukup
membuatnya bingung dan tidak habis mengerti.
Darimana dia bisa tahu kalau semasa masih muda dulu, ibu
Seebun Yan pernah menjadi "kekasih dalam impian" bagi Hwee-ko,
dia pernah menderita sakit asmara gara-gara perempuan itu,
bahkan demi dia pula dia mencukur rambut menjadi hwesio.
Pemahamannya tentang tabiat Seebun-hujin boleh dibilang tiara
duanya di dunia ini, termasuk pemahaman nya terhadap suami
perempuan itu. Seebun Yan adalah putri tunggal mereka, kendati pun Hwee-ko
belum pernah menjumpainya, namun dia dapat membayangkan,
watak putrinya paling tidak akan mirip sekali dengan tabiat ibunya di
masa lampau. Terdengar Hwee-ko berkata lebih lanjut, "Kalau memang enci mu
berada di rumah adik misan Tonghong Liang, ttitiplah pesan juga
kepada Liau-wan agar disampaikan kepadanya."
Dalam hati Lan Giok-keng tertawa getir, pikirnya, "Asal usulku
sendiripun masih belum jelas, pesan apa pula yang harus
kusampaikan kepada cici?"
Setelah berpikir sejenak, dia pun berkata, "Kalau toh enciku
tinggal di rumah adik misan Tonghong Liang, tentu saja perasaan
hatiku jadi lega. Sebenarnya tiada persoalan penting yang ingin
kusampaikan kepadanya. Tapi aku pun tidak tahu sampai kapan
baru bisa pulang kembali, kalau begitu minta tolong kepadanya agar
menyampaikan salam untuk kedua orang tuaku, minta mereka tidak
usah mengkhawatirkan diriku lagi."
Beberapa saat sudah lewat, Liau-huan yang pergi memberi
laporan kepada Hong-tiang belum juga kembali, namun murid tidak
resmi Hwee-ko, Liau-wan justru telah muncul kembali.
Mimik mukanya nampak sedikit agak aneh, begitu masuk dia
segera berkata, "Tonghong Liang telah pergi, tapi muncul kejadian
lain yang justru kelihatan sangat aneh. Bahkan aku lihat persoalan
ini ada sangkut pautnya dengan kau orang tua."
"Masalah apa?" "Mereka berhasil menemukan sesosok mayat di dasar jeram di
luar hutan pagoda, kalau dilihat dari luka memar yang tertinggal,
tampaknya orang itu terpeleset jatuh."
"Manusia macam apakah itu?"
"Seorang lelaki berewok yang kelihatannya datang dari luar
daerah!" "Kalau memang ada yang terpeleset jatuh, lantas apa
hubungannya dengan aku?"
"Mereka bilang, pagi ini orang tersebut pernah mendatangi biara,
bahkan minta ijin untuk bertemu dengan kau orang tua."
"Omintohud," bisik Hwee-ko, "masa dia mengambil langkah
pendek hanya gara-gara aku menolak bertemu?"
Di hati kecilnya Lan Giok-keng tahu kalau lelaki berewok itu tidak
lain adalah orang yang dijumpainya sewaktu berada di hutan
pagoda tadi, orang itu sempat bertarung melawannya dan terkena
bokongan Tonghong Liang hingga jatuh menggelinding ke bawah
tebing. Mendengar berita kematiannya, diam-diam dia merasa amat
menyesal, namun bocah inipun tidak ingin membuat masalah lain
gara-gara peristiwa tersebut.
Kembali Liau-wan melanjutkan ucapannya, "Tampaknya yang
mereka maksudkan ada hubungan dengan suhu bukan hanya
lantaran peristiwa ini saja."
"Lantas masih ada masalah apa lagi?"
"Dari saku orang itu ditemukan sepucuk surat, surat itu ditujukan
kepada kau orang tua, mereka telah menyerahkan surat itu kepada
tecu." Sambil berkata dia mengeluarkan sepucuk surat dari sakunya.
Begitu dilihat, Hwee-ko langsung mengernyitkan alis matanya,
ternyata nama yang tercantum di depan sampul adalah nama
premannya sebelum menjadi pendeta, bahkan gaya tulisannya
sangat dia kenal. Lan Giok-keng tidak mengerti apa sebabnya dia berkerut kening,
tapi dapat diduga isi surat menyangkut sesuatu rahasia yang sangat
besar. Karenanya begitu Hwee-ko membuka sampul surat itu, dia
langsung menyingkir ke samping sambil berkata, "Toa hweesio yang
tadi belum juga kembali, biar aku tengok sejenak keluar."
"Bagus juga," jawab Hwee-ko acuh tidak acuh.
Di luar kamar tidur para pendeta terdapat sebuah halaman kecil,
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan santai Lan Giok-keng berjalan keluar, meskipun mimik
mukanya tetap tenang namun perasaan hatinya bergejolak keras,
banyak teka teki telah memenuhi benaknya namun tidak satupun
berhasil dia cerna. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki memecahkan keheningan,
ketika Lan Giok-keng mendongakkan kepalanya, terlihat Liau-huan
telah muncul kembali sambil bertanya, "Siau-sicu, mengapa kau
berada disini seorang diri, mana Hwee-ko?"
"Dia sedang berbincang-bincang dengan muridnya di dalam
kamar, karena merasa tidak ada pekerjaan, aku keluar sebentar
mencari angin." Dengan wajah berat dan serius kembali Liau-huan berkata,
"Kepergian Hwee-ko kali ini meninggalkan biara, apakah lantaran
permintaan dari Siau-sicu?"
"Kalau benar lantas kenapa?"
"Pinceng tidak berani bertanya lantaran apa Siau-sicu
mengundangnya pergi, tapi kalau bukan masalah yang kelewat
mendesak dan mengharuskan Hwee-ko pergi, lebih baik biarkan
saja dia tetap tinggal disini."
"Apakah Hong-tiang kalian tidak mengijinkannya?" tanya Lan
Giok-keng semakin kebingungan.
"Bukannya tidak mengijinkan...." bicara sampai disini tiba-tiba
Liau-huan membungkam, tampaknya dia tidak ingin berterus terang.
Sementara itu dari dalam ruangan sudah ter-dengar suara
teriakan dari Hwee-ko, "Jodoh Hwee-ko dengan Buddha telah
berakhir, kejadian ini tidak ada sangkut pautnya dengan Siau-sicu
itu. Silahkan sampaikan fatwa dari Hong-tiang."
Biarpun terhalang halaman dan sederet kamar tidur para
pendeta, suara ucapan itu kedengaran amat jelas, seakan sedang
berbicara disisi telinga mereka.
Liau-huan menghela napas panjang.
"Kalau kuda sudah mulai birahi, mau dikekang pun rasanya sulit
ditahan lagi, baiklah, kalau begitu silah kan saja pergi dari sini."
Baru selesai perkataan itu diucapkan, Hwee-ko dan Liau-wan
sudah berjalan keluar. Kembali Liau-huan berkata, "Kata Hong-tiang, dia akan
mengantar keberangkatanmu, bersama ketua tianglo ruang Tat-mo
dan ketua ruang Lo-han, mereka semua sudah menanti kedatangan
mu di ruang Toa-hiong-po-tian."
"Aah, benar-benar merepotkan mereka," ucap Hwee-ko sambil
tertawa getir, "baiklah, aku segera akan berpamitan dengan
mereka." Lan Giok-keng semakin keheranan, pikirnya, "Bukankah Hongtiang
mau mengantar sendiri keberangkatannya, kejadian ini
merupakan sesuatu yang bergengsi, kenapa dia justru tampak
murung dan sedih?" Terdengar Hwee-ko berkata lagi, "Liau-wan ingin turut serta
pergi ke luar, harap kau mengijinkan."
"Kalau Liau-wan ingin pergi, hal ini tidak akan kelewat
merepotkan, nanti akan kusampaikan kepada pihak ruang disiplin."
Hwee-ko manggut-manggut, katanya kemudian, "Liau-wan, jika
selesai menyampaikan pesan itu, sementara waktu kau bisa tinggal
di rumah orang itu, aku akan mencarimu disana. Tentu saja bila aku
berhasil meninggalkan pintu biara."
"Bagus sekali," sahut Liau-wan kegirangan, "suhu, kau pasti
berhasil keluar dari pintu biara."
Lan Giok-keng makin keheranan, pikirnya, "Bukankah Hong-tiang
telah bersedia mengantar kepergiannya, kenapa dia tidak bisa
keluar dari pintu biara?"
Untung saja teka teki ini tidak perlu kelewat lama mengendon
dalam enaknya, karena tidak lama kemudian dia telah memperoleh
jawabannya. Ketika tiba di ruang Toa-hiong-po-tian bersama Hwee-ko, dia
menyaksikan ketua Siau-lim-pay Tong-sian Sangjin, ketua ruang
Tat-mo Pun-bu Thaysu telah menunggu kedatangan mereka disana,
selain mereka berdua terdapat lagi seorang hwesio setengah umur
yang belum pernah dijumpai sebelumnya, tapi dia bisa menduga
kalau orang itu adalah ketua ruang Lo-han seperti yang dikatakan
Liau-huan tadi. Menanti Hwee-ko memperkenalkan mereka satu per satu,
terbukti kalau dugaannya tidak salah, ternyata hwesio setengah
umur itu adalah ketua ruang Lo-han dengan gelar Wan-tin.
"Hwee-ko," terdengar Tong-sian Sangjin menegur, "aku dengar
kau akan meninggalkan biara?"
"Benar, memohon kemurahan hati Hong-tiang."
Yang dimaksud "kemurahan hati" bagi para murid agama Buddha
adalah mohon kepada pihak lawan untuk "memperingan hukuman"
nya, tapi Lan Giok-keng lagi-lagi dibuat melengak.
"Baiklah," sahut Pun-bu Thaysu, "sekarang kami akan mengantar
kepergianmu, asal dapat kau lewati ke tiga pintu gunung, langit nan
luas dapat kau terbangi sesuka hatimu."
"Tecu tidak akan melupakan semua ajaran yang pernah tecu
terima selama berada dalam biara!"
"Itu urusan pribadimu," tukas Pun-bu Thaysu cepat, "asal hari ini
kau dapat tinggalkan pintu biara Siau-lim, selanjutnya pihak Siau-lim
tidak akan mengurusi sepak terjangmu lagi."
Sekali lagi Lan Giok-keng merasa terperanjat, serunya tertahan,
"Ternyata yang kalian maksud mengantar kepergi-annya adalah
ingin bertanding ilmu silat dengannya?" Tong-sian Sangjin
tersenyum. "Bukan bertanding, kami hanya khawatir dia keluar dari sini
dengan membawa serta kepandaian silat dari biara Siau-lim maka
harus menjajal kemampuannya dulu. Peraturan ini merupakan
peraturan yang sudah berlaku turun temurun, jadi bukan dilakukan
khusus untuk menghadang dirinya."
Dalam hati Lan Giok-keng kembali berpikir, "Apa pun yang kau
katakan, yang jelas dia harus berhasil mengalahkan para jago dari
Siau-lim-pay sebelum dapat meninggalkan biara, kalau bukan
bertanding ilmu silat lantas apa namanya?"
Tentu saja Lan Giok-keng tidak paham, cara mengantar yang
dilakukan pihak Siau-lim jauh berbeda dengan pertandingan ilmu
silat pada umumnya. Kalau bertanding ilmu tujuannya hanya untuk menentukan siapa
kuat siapa lemah, maka cara 'mengantar' yang dilakukan pihak Siaulim
adalah untuk memeriksa apakah Hwee-ko telah mencuri ilmu
silat ajaran biara Siau-lim atau tidak.
Jika dasar ilmu silat yang dimiliki Hwee-ko sangat terbatas,
sementara sebagian besar ilmu silat yang dia gunakan saat ini
berasal dari biara Siau-lim, maka begitu dicoba oleh para jago lihay,
dia pasti akan terdesak hingga terpaksa mengeluarkan ilmu silat
curiannya, karena kalau tidak maka jiwanya akan terancam bahaya.
Sementara itu Pun-bu Thaysu telah berkata, "Wan-tin, silahkan
kau menghantar keberangkatan Hwee-ko."
"Tecu terima perintah," sahut Wan-tin, "Hwee-ko suheng,
silahkan maju. Semoga kau dapat meninggalkan gedung Toa-hiongpotian ini." Ternyata pintu gerbang gedung Toa-hiong-po-tian merupakan
pintu gerbang pertama. Saat itu Wan-tin telah berdiri didepan pintu,
sementara Pun-bu Thaysu menyingkir ke samping, sedang Tongsian
Sangjin tetap tinggal ditempat menemani Lan Giok-keng
menonton jalannya pertarungan.
"Silahkan suheng memberi petunjuk," kata Hwee-ko sambil
merangkap tangannya memberi hormat.
"Tidak usah sungkan, berbicara soal tingkatan seharusnya kau
masih berada diatasku. Tapi dalam kejadian hari ini, aku hanya
menjalankan peraturan yang telah ditetapkan couwsu, jadi maaf
kalau tidak bisa bersungkan-sungkan lagi. Kau harus mengeluarkan
segenap kemampuan yang kau miliki, kalau tidak itu kesalahanmu
sendiri." Bicara sampai disitu, dia langsung membabatkan sebuah pukulan
dahsyat. Pukulan ini dibacokkan dengan tangan diangkat tinggi tinggi,
sama sekali tidak ada kembangan jurus tidak ada gerakan aneh,
sekalipun hanya dibacokkan langsung dari atas ke bawah, namun
deruan angin serangan yang dilancarkan seketika membuat
kendang telinga Lan Giok-keng merasa mendengung nyaring,
kehebatannya betul-betul ibarat membelah batu membuka gunung.
Dengan perasaan terkesiap pikir Lan Giok-keng, "Wan-seng yang
bertarung melawan Tonghong Toako tadi tidak lebih hanya seorang
murid dari ruang Lohan, tapi keampuhannya nyaris membuat
Tonghong Toako menderita kekalahan. Padahal Wan-tin adalah
orang yang menduduki kursi utama di antara Cap-pwee Lohan, bisa
dibayangkan betapa dahsyatnya orang ini. Jangan-jangan Hwee-ko
Thaysu tidak sanggup menandinginya...."
Ketika secara diam-diam melirik sekejap ke arah Tong-sian
Sangjin, dia menyaksikan pendeta ini sedang manggut-manggut
sambil tersenyum, agaknya dia sedang memuji kehebatan jurus dari
Wan-tin. Ternyata jurus serangan yang barusan digunakan Wan-tin adalah
salah satu dari tujuh puluh dua ilmu sakti biara Siau-lim, ilmu toya
Kim-kong-co yang telah dilebur ke dalam ilmu pukulan.
Toya Kim-kong merupakan senjata yang berat, sementara Wantin
hanya bertangan kosong, namun gerakannya seolah olah dia
sedang membawa sebuah toya yang sangat berat. Meski orang lain
tidak melihatnya, namun ketika melakukan bacokan, dia justru
seolah olah sedang menghantam dengan menggunakan seba-tang
tongkat baja. Tentu saja kedahsyatannya jauh lebih mengerikan ketimbang
sewaktu dia menyerang dengan memakai toya sungguhan.
Diantara Cap-pwe-lohan dari biara Siau-lim, Wan-seng yang
menempati urutan ke dua memiliki ilmu silat yang paling beragam,
dia paling banyak mengerti dan menguasai ilmu silat aliran lain. Tapi
untuk ilmu silat dari aliran Siau-lim sendiri maka apa yang dipelajari
Wan-tin merupakan yang paling banyak, dari tujuh puluh dua
macam ilmu dia sudah belajar tiga puluh tiga macam diantaranya,
sekalipun 'belajar' bukan berarti 'menguasai', namun
kemampuannya dalam ilmu-ilmu tersebut pun sudah mencapai tujuh
bagian, jadi dalam biara Siau-lim, tiada orang kedua yang mampu
menandinginya. Dari sisa ilmu yang belum pernah dipelajari, dia pun mempunyai
pengetahuan dasar atau paling tidak pernah mengerti akan rahasia
serta kuncinya, hal ini membuat siapa pun yang menggunakan ilmu
ajaran perguruannya, dia pasti mengetahui dengan jelas.
Justru karena itulah Pun-bu Thaysu menempatkan dirinya untuk
menjaga pintu gerbang pertama, membiar kan dia yang "menguji"
apakah Hwee-ko pernah mencuri belajar ilmu silat biara Siau-lim
atau tidak. Namun pukulan yang dilancarkan Hwee-ko sangat sederhana, dia
memukul sejajar dada dan sama sekali tidak disertai perubahan,
gayanya kaku, seperti seseorang yang baru belajar memukul. Ilmu
pukulan yang digunakan pun merupakan ilmu pukulan Su-peng-kun
yang umum digunakan dalam dunia persilatan.
Ilmu pukulan Su-peng-kun adalah sebuah ilmu pukulan yang
sederhana, tidak termasuk ilmu pukulan dari keluarga mana pun
atau perguruan mana pun, biasanya ilmu ini diajarkan kepada para
pemula untuk memupuk dasar, yang diutamakan adalah keseimbangan
Kasih Diantara Remaja 9 Pendekar Asmara Tangan Iblis Karya Lovely Dear Pendekar Lembah Naga 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama