Ceritasilat Novel Online

Si Bayangan Iblis 4

Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


tidak mampu meronta, hanya kepalanya saja yang meronta-ronta
minta lepas, akan tetapi sebentar saja kepala itu terkulai dan ia
tewas. Mayatnya dikubur diam-diam dan semua hukuman ini
berlangsung secara rahasia tanpa diketahui orang luar, kecuali
para pekerja di istana. Tentu saja Akim yang "diasingkan" oleh para pekerja lain, merasa
girang bukan main. Justeru inilah yang ia kehendaki. Karena ia
memiliki kamar tersendiri, dengan leluasa ia mampu mengadakan
penyelidikan. Pada malam harinya, setelah semua orang tidur, Akim
pakaiannya dengan pakaian serba hitam yang
persiapkan, menutupi mukanya dengan topeng kain,
menyelinap keluar dari dalam kamarnya tanpa
siapapun. Ia lalu mulai dengan penyelidikannya.
mengganti sudah ia dan iapun diketahui Malam pertama itu ia tidak bertemu dengan Bayangan Iblis
seorangpun, hanya melihat seorang kebiri berjalan mengiringkan
seorang dayang pengawal menuju ke kamar Sang Permaisuri.
Laki-laki kebiri itu usianya kurang lebih tigapuluh tahun, wajahnya
ganteng dengan kulit putih bersih dan perawakannya jantan,
tinggi besar dan kokoh kuat.
Hal ini membuat Akim tertegun dan terheran-heran. Memang
hanya para thai-kam (laki-laki kebiri) saja yang diperbolehkan
berkeliaran melakukan tugas masing-masing di istana bagian
puteri. Laki-laki kebiri dianggap "aman" karena tidak mungkin
dapat melakukan hubungan gelap dengan para wanita istana.
211 Kalau ia melihat thai-kam itu memasuki kamar Sang Permaisuri
pada siang hari, ia tidak akan merasa heran. Akan tetapi malam
hari" Dan ketika semua orang sudah tidur dan mengunci pintu
kamar mereka" Sungguh janggal! Apa lagi ketika ia melihat thaikam itu memasuki kamar sang permaisuri seorang diri saja,
sedangkan dayang pengawal yang tadi bersamanya tinggal di
luar dan melakukan penjagaan dengan para dayang pengawal
lainnya, enam orang jumlahnya.
Apa saja yang dikerjakan thai-kam itu di dalam kamar sang
permaisuri" Ah, mungkin dia seorang ahli pijat, pikir Akim. Ya,
tentu saja. Thai-kam itu seorang ahli pijat dan kini bertugas
memijati tubuh sang permaisuri, untuk mengusir semua kelelahan
dari tubuh yang amat dimanja itu.
Tentu saja Akim tidak mau menghabiskan waktu untuk
menyelidiki persoalan pribadi Sang Permaisuri yang agaknya
tidak ada sangkut pautnya dengan Kwi-eng-cu, dan ia melakukan
penyelidikan ke bagian lain. Namun malam itu ia tidak
menemukan sesuatu yang mencurigakan.
Keesokan harinya, sambil bekerja, iapun memasang mata dan
telinga untuk mengamati setiap orang bahkan ia berhasil
memancing seorang pelayan kebiri yang setengah tua dan yang
gemar mengobrol untuk bicara tentang Kwi-eng-cu. Mereka
berdua sedang mencabuti bulu ayam.
Istana memang merupakan tempat keroyalan dan kemewahan.
Setiap hari tidak kurang dari seratus ekor ayam gemuk dipotong,
belum daging babi atau kambing atau sapi, juga ikan dan banyak
212 macam sayuran. Maka, mencabuti bulu ayam memakan waktu
yang cukup lama sehingga Akim dan thai-kam itu mempunyai
waktu untuk mengobrol. "Ketika aku datang dari dusun ke kota raja, aku mendengar kabar
angin tentang pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di kota raja.
Aku menjadi ngeri. Siapakah yang dibunuh dan siapa pula yang
membunuh, paman?" Akim mulai memancing, dengan suara
biasa dan sikap acuh, sambil lalu saja.
Akan tetapi mendengar pertanyaan itu, Akong, si thai-kam,
nampak terkejut dan ketakutan. Dia menoleh ke kanan kiri. Akan
tetapi memang di situ tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.
Tempat pencucian daging itu memang tidak sebersih bagian lain
dan orang enggan ke situ kalau tidak untuk bekerja. Akim tentu
saja sudah yakin bahwa tidak ada orang lain mendengarkan
percakapan mereka. "Kenapa, paman?"
"Hushhh, jangan keras-keras. Kalau terdengar dia, salah-salah
malam nanti lehermu atau leherku putus!"
Akim menjadi ketakutan dan ia menggeser duduknya mendekati
thai-kam itu, suaranya gemetar dan tubuhnya menggigil. "Aih,
paman, aku....... aku takut.....!" katanya lirih setengah berbisik.
"Akan tetapi...... kenapa tidak boleh keras-keras......" Dan......
siapa yang melarang kita bicara?" Ia sengaja memperlihatkan
wajah ketakutan. "Paman, kalau bersamamu, aku tentu akan
selamat. Jangan takut-takuti aku, paman."
213 Akong menyeringai bangga. "Boleh, bicara, akan tetapi jangan
keras-keras. Kabarnya, Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) memiliki
seribu telinga dan kita tidak boleh bicara buruk tentang dia. Bisa
berbahaya!" katanya lirih pula.
"Ah, agaknya paman tahu banyak. Aku ingin sekali mendengar,
paman. Siapa sih Kwi-eng-cu itu?"
"Ssttt, berbisik saja," kata thai-kam itu sambil mendekat dan
bicara kasak-kusuk berbisik. "Dia seorang yang entah manusia
entah dewa, akan tetapi semenjak terjadi pembunuhan, sudah
puluhan orang pejabat tinggi terbunuh, ada yang melihat
munculnya Si Bayangan Iblis itu. Tak seorangpun melihat dia
yang melakukan pembunuhan, hanya timbul dugaan karena dia
muncul ketika terjadi pembunuhan-pembunuhan......."
"Ih, betapa mengerikan! Apakah tidak kelihatan orangnya,
paman?" Akong menggeleng. "Dia bergerak cepat dan hanya nampak
bayangannya saja. Bayangan tinggi besar dan kepalanya
bertanduk, karena itu dinamakan Si Bayangan Iblis......."
"Hiiii, menakutkan sekali !" Akim kembali menggigil. "Akan tetapi
kita aman, paman, Sehebat-hebatnya dia, tidak mungkin dia
berani muncul di lingkungan istana ini!"
"Siapa bilang" Sstttt.......!" Dia memperingatkan diri sendiri yang
bicara terlampau keras. "Dia dapat muncul di mana-mana. Di sini
juga." 214 "Tidak mungkin, paman. Jangan paman membohongi aku dan
hendak menakut-nakuti aku!"
"Eh, anak buruk! Siapa berbohong?"
"Aku tanggung itu hanya kabar angin saja. Siapa yang pernah
melihat dia di sini?"
"Bukan kabar angin. Aku pernah melihatnya sendiri."
Akim merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan.
Tak disangkanya bahwa ia akan memperoleh keterangan yang
amat penting dari thai-kam ini.
"Aih, paman Akong, engkau hanya main-main saja dan mencoba
untuk menakut-nakuti aku!" Akim berkata mengejek.
"Akim, jangan kurang ajar engkau! Kau anggap aku berbohong"
Engkau tidak percaya kepadaku?"
Akim mengangguk-angguk. "Maaf, maaf, paman Akong yang
baik. Sejak datang di sini bertemu denganmu, aku sudah merasa
seolah engkau ini pamanku sendiri. Engkau begini baik, paman.
Aku tentu saja percaya kepadamu, akan tetapi ceritamu terlalu
aneh. Bagaimana mungkin pembunuh itu dapat berkeliaran di
dalam istana?" "Sssttt, tutup mulutmu yang lancang dan jangan keras-keras
bicara. Dengar, aku tidak berbohong. Ketika aku bertugas di
bagian putera, pada suatu malam aku melihat bayangan
berkelebat dan bayangan itu berhenti sejenak di sudut dinding
215 gudang di belakang. Jelas sekali bayangan itu, dan
menyeramkan. Bayangan tinggi besar dan kepalanya mempunyai
dua buah tanduk. Huuhhh, masih meremang bulu tengkukku
kalau mengenangnya."
"Dan paman tidak menceritakan kepada siapapun sampai
sekarang ini?" "Mana aku berani" Baru sekarang aku bercerita kepadamu untuk
meyakinkan hatimu." "Hanya satu kali itu saja paman melihatnya" Dan tidak pernah
nampak di bagian puteri sini?"
"Baru satu kali itu, dan tidak pernah ada yang melihat bayangan
itu muncul di sini. Dan selain aku sendiri, sebelum itu juga pernah
ada ada seorang perajurit pengawal melihat, bahkan mengejar
bayangan itu di dalam istana bagian putera, akan tetapi bayangan
itu menghilang. "Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Kelima terbunuh di luar
istana, maka pernah gegerlah istana. Akan tetapi setelah
diperiksa di seluruh pelosok, tidak ditemukan Si Bayangan Iblis di
istana." Tiba-tiba thai-kam itu memberi isyarat agar Akim diam dan
mereka melanjutkan pekerjaan mereka dengan tekun, seolaholah mereka tidak pernah bercakap-cakap tentang Si Bayangan
Iblis. Seorang pelayan lain masuk ke dapur bagian pencucian
daging itu. 216 Diam-diam Akim mengenang kembali semua percakapan tadi.
Dugaannya kini semakin kuat bahwa sarang gerombolan
pembunuh itu, atau setidaknya pemimpin mereka, besar sekali
kemungkinannya bersembunyi di dalam istana ini, atau juga
pemimpin itu merupakan seorang anggauta keluarga kaisar
sendiri, atan pejabat yang bertugas di dalam lingkungan istana.
Jelas bukan Permaisuri atau seorang di antara para selir atau
puteri kaisar, karena bayangan itu tidak pernah nampak di sini,
melainkan di istana bagian putera. Akan tetapi, ia tidak sama
sekali melepaskan kemungkinan bahwa pemimpinnya seorang
penghuni bagian puteri, walaupun pemimpin itu bekerja "di
belakang layar". Siapa tahu"
Ia harus menyelidikinya di bagian putera. Malam nanti! Tugas
yang berbahaya memang, namun tanpa menempuh bahaya itu,
bagaimana mungkin ia akan mampu memecahkan rahasia Kwieng-cu"
Setelah mandi sore dan makan malam, karena tidak ada lagi
tugas untuknya, Akim duduk bersila di dalam kamarnya, di atas
pembaringan, mengatur pernapasan dan menghimpun tenaga.
Siapa tahu malam ini ia membutuhkan banyak tenaga. Ia sudah
mengambil keputusan untuk mengalihkan medan penyelidikannya
di waktu malam. Tidak lagi di bagian puteri, melainkan di istana
induk, tempat tinggal Kaisar dan para pangeran yang masih
tinggal di istana. Ia sudah mendengar keterangan Cian Ciang-kun bahwa istana
induk itu berbahaya, dijaga ketat oleh pasukan pengawal thai217
kam, dan ada tiga orang jagoan thai-kam yang amat lihai. Maka,
ia harus berhati-hati karena ia menyelidiki seorang yang rahasia
sehingga ia tidak tahu siapa kawan siapa lawan di dalam istana
itu. Segala kemungkinan ada. Pemimpin para pembunuh itu mungkin
saja seorang pangeran, mungkin seorang thai-kam, mungkin pula
permaisuri, bahkan mungkin kaisar sendiri! Mungkin pula pejabat
penting yang tinggal di istana karena pekerjaan dan tugasnya.
Ia menanti sampai keadaan di istana menjadi sunyi. Kamarnya
berada di antara kamar-kamar para pelayan, pekerja yang paling
rendah tingkatnya di istana itu, dan kebetulan sekali setiap jam
tentu peronda keamanan lewat di kebun belakang perumahan itu.
Maka, ia dapat menghitung waktu dan menjelang tengah malam
ia sudah mengenakan pakaian serba hitam dan memasang kedok
kain hitam pula. Sebetulnya bukan kedok, hanya kain saputangan hitam yang
lebar, diikatkan menutupi hidung dan mulutnya. Juga kepalanya
dibungkus kain hitam, bahkan menutupi dahinya sehingga yang
nampak hanya sepasang matanya saja. Bukan mata Akim lagi,
melainkan mata Hek-liong-li Lie Kim Cu, sepasang mata yang jeli,
indah dan mencorong amat tajamnya!
Karena maklum bahwa tugasnya amat berbahaya, iapun
mengeluarkan pedang pusakanya, Hek-liong-kiam (Pedang Naga
Hitam) yang diselundupkan oleh Cian Ciang-kun dan kemudian
disimpan di tempat rahasia, yaitu di bawah atap kamarnya.
218 Pedang itu ia selipkan di ikat pinggang, tertutup oleh jubah
hitamnya yang lebar. Setelah ia mengintai dari jendela kamarnya keluar, dan melihat
bahwa malam telah larut dan suasana sudah amat sunyi, dan
juga rombongan peronda, yaitu para pengawal thai-kam baru saja
lewat. Ia lalu membuka daun jendela kamarnya dan seperti
seekor kucing saja, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun,
tubuhnya sudah meloncat ke luar jendela. Dari luar, daun jendela
ditutupnya kembali dengan hati-hati, lalu cepat tubuhnya sudah
menyelinap ke dalam kebun di belakang perumahan para pelayan
itu. Di kebun ini terdapat banyak pohon, dan iapun menyusup di
antara pohon-pohon. Ia sejak sore tadi sudah memperhitungkan dan merencanakan
bagaimana ia akan memasuki istana induk. Tentu saja yang
paling mudah dan aman melalui kebun itu. Kebun itu bersambung
dengan kebun di belakang istana induk, hanya dibatasi oleh
pagar tembok yang tinggi dan tidak terjaga ketat. Memang tidak
perlu dijaga ketat karena orang-orang biasa saja tidak akan dapat
melewati tembok itu. Setelah menanti beberapa menit dan melihat bahwa keadaan
sekeliling tetap sunyi, tidak nampak bayangan orang dan tidak
terdengar suara apapun, hatinya lega. Tangan kirinya memegang
kedua ujung jubah yang diselimutkan di tubuhnya, lalu ia
menyelinap di antara pohon-pohon di kebun itu, menuju ke
tembok pemisah antara kebun istana puteri dan kebun istana
induk. 219 Ia memang sudah memperhitungkan bahwa malam itu bulan
bercahaya cukup terang karena bulan sudah berusia sepuluh
hari. Langit bersih dan cerah sehingga dengan mudah ia dapat
menyelinap di antara pohon-pohon yang tidak begitu gelap
dengan adanya sinar bulan.
Ketika ia tiba di bagian terbuka, dan tembok pemisah kebun itu
sudah nampak putih cerah tertimpa sinar bulan, tiba-tiba ia
terkejut bukan main karena bermunculan delapan bayangan yang
agaknya tadi bersembunyi di balik batang pohon yang tumbuh di
sekitar tempat itu! Melihat gerakan mereka, Akim memperhitungkan bahwa tidak
mungkin mereka itu dapat membayanginya sejak tadi tanpa ia
dapat melihatnya. Kalau mereka membayanginya sejak tadi,
sudah pasti ia dapat melihat, atau setidaknya mendengar gerakan
mereka. Jelaslah bahwa mereka memang sudah menanti di balik batangbatang pohon itu sehingga tentu saja ia tidak tahu bahwa ada


Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

delapan orang yang agaknya sudah menghadangnya dan
menanti kemunculannya! Hal ini hanya berarti bahwa gerakannya
sudah diketahui sejak ia meninggalkan kamar, bahkan sudah
diketahui bahwa ia akan lewat di tempat itu! Luar biasa sekali.
Akan tetapi hatinya merasa lega, juga sekaligus terheran-heran
ketika melihat bahwa pengepungnya itu sama sekali bukan
orang-orang berkedok seperti Si Bayangan Iblis! Sama sekali
bukan! Mereka itu adalah pengawal-pengawal thai-kam!
220 "Bayangan Iblis! Menyerahlah, engkau sudah terkepung!" bentak
seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar dan
tangannya memegang sebatang golok besar. Teman-temannya
ada yang memegang golok, ada yang bersenjata pedang dan
mereka itu telah mengepungnya dengan sikap mengancam.
Mendengar bentakan ini, Akim merasa semakin heran. Ia malah
disangka Si Bayangan Iblis!
Hampir saja ia menyangkal. Akan tetapi kalau ia menyangkal ia
harus membuka saputangan hitam penutup mukanya, dan ia
tentu akan dicurigai dan ditangkap pula karena ia kini telah
menanggalkan penyamarannya sebagai Akim, dan wajahnya kini
adalah wajah Liong-li! Andaikata ia berada dalam penyamaranpun, tentu ia tetap akan ditangkap sebagai Akim!
Serba salah memang! Maka, begitu si tinggi besar itu
membentak, ia sudah membalik dan menerjang orang yang
berdiri mengepung di belakangnya.
Melihat gerakan ini, orang yang memegang golok di belakang itu
menyerang dengan bacokan golok. Akan tetapi, dengan mudah
Akim atau Liong-li mengelak dengan loncatan ke samping,
kemudian ia mengerahkan gin-kangnya dan ia sudah berlari
oepat sekali meninggalkan tempat itu!
"Berhenti! Hendak lari ke mana kau?" bentak delapan orang
perajurit pengawal itu dan mereka melakukan pengejaran. Akan
tetapi, bayangan orang berpakaian serba hitam itu sudah lenyap
ditelan bayangan pohon-pohon!
221 Dan pada saat delapan orang itu mencari-cari, Liong-li sudah
menyamar lagi sebagai Akim dan rebah di atas pembaringannya.
Pakaian serba hitam, juga pedang Hek-liong-kiam, sudah
tersimpan aman di bawah atap sehingga andaikata para perajurit
pengawal menggeledah kamarnya, mereka takkan dapat
menemukan tanda-tanda bahwa ialah yang tadi mereka kejarkejar. Dan iapun merasa lega dan dapat tidur pulas setelah tidak
ada gangguan datang, walaupun ia masih menduga-duga dengan
heran bagaimana delapan orang pengawal itu tahu-tahu sudah
menghadang di sana! Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Akim sudah bangun dan
bekerja seperti biasa, membersihkan dapur dan ia pura-pura acuh
saja seperti tidak pernah terjadi sesuatu dengan dirinya.
Semalam Akim tidur nyenyak di kamarnya dan tidak melihat atau
mendengar sesuatu sampai bangun pagi hari ini, demikian ia
meyakinkan penyamarannya. Akan tetapi, diam-diam ia menaruh
perhatian akan keadaan sekelilingnya.
Ia melihat betapa para pelayan lainnya bekerja seperti biasa pula,
menyalaminya seperti biasa. Hanya ada satu hal yang dirasa
aneh, atau hanya kebetulan saja, yaitu tidak adanya Akong. Ia
pura-pura acuh dan tidak berani bertanya, karena kalau ia
bertanya, berarti ia menaruh perhatian khusus untuk Akong dan
hal itu akan dapat saja menimbulkan kecurigaan. Ia menyapu
lantai dapur dengan tenang dan tekun.
Tiba-tiba para pelayan yang sedang sibuk bekerja itu berdiri
dengan sikap hormat dan menunda pekerjaan mereka. Akim
menoleh dan iapun terheran melihat munculnya seorang perwira
222 thai-kam yang gendut dan yang dikenalnya sebagai Kok Ciangkun, perwira yang memasukkannya ke dalam istana! Tentu saja
ia segera memberi hormat, akan tetapi dengan sikap dingin Kok
Ciang-kun memandang kepadanya dan berkata singkat.
"Bergantilah pakaian bersih dan ikut dengan aku!"
"Ke..... ke mana, Ciang-kun?" tanyanya dengan jantung berdebar
tegang. "Engkau dipanggil menghadap oleh Hong-houw!"
Liong-li menekan perasaan hatinya yang terguncang sehingga
wajahnya hanya membayangkan keheranan, bukan kegelisahan.
Ia lalu pergi ke kamarnya dan berganti pakaian sambil mengingatingat.
Adakah hubungannya panggilan Permaisuri ini dengan peristiwa
semalam" Ah, tidak mungkin ada hubungannya, kalau ia
dicurigai, andaikata ada sesuatu yang membocorkan rahasianya,
tentu ia akan ditangkap oleh pasukan pengawal, bukan dipanggil
melalui Kok Ciang-kun, orang yang membawanya masuk ke
istana. Tidak, ia tidak perlu gelisah, harus bersikap tenang.
Sebentar saja ia sudah berjalan bersama Kok Ciang-kun
meninggalkan ruangan dapur menuju ke istana permaisuri. Di
dalam perjalanan ini, ia mencoba memancing dan bertanya
kepada Kok Ciang-kun mengapa ia dipanggil oleh Hong-houw.
Akan tetapi, Kok Ciang-kun menggeleng kepalanya.
223 "Aku tidak tahu. Akupun baru pagi ini, pagi-pagi sekali dipanggil
menghadap, dan setelah menghadap, aku diutus untuk
menjemputmu dan bersama-sama menghadap."
"Aku........ aku bekerja dengan rajin dan sebaik mungkin, aku tidak
pernah melakukan kesalahan," kata Akim dengan suara gelisah.
"Apakah beliau kelihatan marah-marah?"
Perwira pengawal thai-kam itu menggeleng kepala. "Menurut
pengamatanku, beliau tidak marah, hanya nampak kesal."
Lega rasa hati Akim. Kalau memang menyangkut urusan besar,
tentu permaisuri sudah marah dan ia sudah disuruh tangkap. Ia
harus bersikap tenang saja.
Mereka berlutut di depan pintu ruangan yang terbuka, agaknya
memang sejak tadi dibuka menanti kedatangannya. Seorang
dayang pengawal memerintahkan mereka masuk dengan suara
lantang, menyampaikan perintah Hong-houw. Mereka lalu bangkit
dan melangkah masuk dengan kepala menunduk, kemudian di
depan kursi emas Sang Permaisuri Bu Cek Thian, Kok Ciang-kun
dan Akim menjatuhkan diri berlutut.
"Ban-swe, ban-ban-swe......!" Mereka berkata dengan khidmat
sambil menempelkan dahi ke lantai.
"Bangkitlah kalian!" kata Hong-houw. Keduanya mengangkat
kepala dan tubuh mereka tegak, akan tetapi kaki mereka masih
berlutut. 224 "Kok Tay Gu, kepadamu kami mengajukan sebuah saja
pertanyaan yang harus kau jawab dengan sebenarnya. Kalau
jawabanmu bohong, sekarang juga kami akan perintahkan agar
lehermu dipenggal!" Bukan main keras dan tegasnya ucapan itu dan ketika ia melirik,
Akim melihat betapa perwira pengawal itu gemetar seluruh
tubuhnya, dan suaranya tergagap ketika dia berkata.
"Hamba...... hamba akan menjawab dengan sebenarnya...... dan
bersedia menerima hukuman kalau berbohong."
"Kenalkah engkau siapa gadis ini dan dari siapa engkau
menerimanya?" Diam-diam Akim terkejut bukan main. Kiranya, di luar dugaannya,
memang ada sangkut pautnya dengan dirinya! Ia telah dicurigai
dan tentu permaisuri itu tidak bertanya tentang dirinya seperti itu.
Kini, kepala pengawal thai-kam itu mati kutu dan dia sudah
lemas. "Hamba...... hanya tahu... ia bernama Kim Siauw Hwa dan biasa
disebut Akim, dan hamba.... hamba dimintai tolong oleh bekas
Panglima Cian Hui untuk menerimanya sebagai..... dayang atau
pelayan di sini...... mohon beribu ampun kalau hamba
bersalah......" Hening sejenak. Keheningan yang mencekik rasanya, karena
seolah Akim menanti datangnya putusan mati atau hidup!
Kemudian terdengar suara itu, suara yang lembut namun
225 mengandung kekerasan seperti baja, akan tetapi suara itu
terdengar lega. "Engkau berkata sebenarnya. Memang ia bernama Kim Siauw
Hwa alias Akim dan engkau menerimanya dari Cian Hui. Nah,
keluarlah kamu dari sini, laksanakan tugasmu dengan baik.
Perintahkan pasukan pengawal untuk lebih ketat lagi menjaga
istanaku." Akim seolah mendengar betapa kepala pengawal itu bersorak
dalam hatinya, dan ia sendiripun merasa lega, seolah baru saja
lepas dari himpitan batu besar yang berat. Kok Ciang-kun
menghaturkan terima kasih berulang kali, lalu memberi hormat
dan benturan dahinya pada lantai sampai menimbulkan
kekhawatiran di hati Akim kalau-kalau kepala pengawal menderita
gegar otak karenanya. Kok Ciang-kun mundur dan kini tinggal Akim seorang diri masih
berlutut. Karena yang diperintah mundur hanya Kok Ciang-kun,
maka ia tidak berani bergerak dan diam saja, walaupun hatinya
ingin sekali ia segera terbang dari situ.
Baru pertama kali ini selama ia menjadi seorang wanita perkasa,
Hek-liong-li Lie Kim Cu merasa gentar! Ia merasa seperti
menghadapi seorang lawan yang jauh lebih pandai dan lebih lihai
darinya, yang membuat ia merasa hampir tidak berdaya!
Kalau ia disuruh memilih, ia memilih menghadapi dua orang datuk
sesat yang lihai dari pada harus mengadapi permaisuri ini
sebagai musuh! Ia merasa seperti menghadapi seekor ular
berbisa yang amat berbahaya dan ia tidak tahu dari mana dan
226 kapan ular berbisa itu akan mematuk. Membuat ia ingin
menghindar jauh-jauh dari tempat itu, sejauh mungkin!
Akim masih berlutut dan menundukkan mukanya ketika ia
mendengar suara Hong-houw, kini suaranya meninggi dan penuh
ejekan. "Engkau bernama Kim Siauw Hwa, ya" Akim" Hemmm,
orang lain boleh saja kaukelabui, akan tetapi jangan mengharap
akan dapat mengelabui kami." Lalu terdengar perintahnya kepada
para pengawal, "Ambil air dan sikat, cuci bersih mukanya dan
tarik rambut palsunya!"
Bukan main kagetnya rasa hati Liong-li mendengar ini. Kalau ia
meloncat, tentu para pengawal itu mengepungnya dan sekali
terdengar tanda bahaya, ratusan bahkan ribuan perajurit
pengawal akan datang dan ia tidak mungkin dapat lolos. Kalau ia
menangkap dan menyandara permaisuri itupun tidak mudah,
karena para dayang pengawal nampaknya sudah siap melindungi
junjungan mereka. "Ampun, Yang Mulia. Perkenankan hamba menanggalkan
penyamaran hamba sekarang juga!" katanya dan cepat ia
menggosok mukanya, melepaskan kedok tipis yang menutupi
muka aselinya, dan mencopot pula sedikit rambut palsu yang
merubah bentuk sanggulnya.
Sanggulnya terlepas, rambut aselinya yang hitam dan halus
panjang itu terurai, mukanya yang asli nampak, muka seorang
yang cantik jelita dan manis. Bahkan sinar matanyapun kini
berubah, tidak lagi bodoh, melainkan mencorong dan tajam
penuh kecerdikan!" 227 Kini permaisuri itu tersenyum. "Hemm, sudah kuduga, engkau
tentu seorang wanita yang cantik. Nah, sekarang mengakulah,
siapa engkau dan mengapa pula, engkau diseludupkan ke sini
oleh Cian Hui?" Bagaimana pun juga hati Liong-li merasa lega karena tidak
terkandung kemarahan atau permusuhan di dalam suara yang
lembut dan berwibawa itu.
"Ampunkan hamba, Yang Mulia. Akan tetapi sebelum hamba
memberi penjelasan, hamba ingin sekali mengetahui bagaimana
paduka dapat mengetahui rahasia penyamaran hamba......"
Permaisuri itu tidak marah, sungguh mengherankan hati para
dayang pengawal yang menganggap pertanyaan Liong-li itu
kurang ajar. Sebaliknya malah permaisuri itu tertawa geli dan
senang. Memang hati permaisuri itu merasa senang dan bangga
karena pertanyaan Liong-li itu membuktikan bahwa wanita muda
yang cerdik sekali dan pandai menyamar sehingga mengelabui
mata semua penghuni istana, kini kagum kepadanya dan
terheran akan kecerdikannya!"
"Engkau memang seorang perempuan muda yang amat cerdik,
akan tetapi bagi kami, kecerdikanmu itu belum seberapa dan
tidak ada artinya. Ketika kami mengujimu untuk melihat apakah
engkau benar seorang gadis dusun dan bukan seorang matamata berbahaya yang menyelundup ke istana, engkau dengan
cerdik berlagak bodoh dan bahkan membiarkan punggungmu
pecah kulitnya oleh cambuk. Akan tetapi ketika aku mendekat,
228 aku melihat dibalik kain baju yang robek dan kulit punggung yang
terluka, dekat luka itu kulitnya putih halus.
"Aku sudah menduga bahwa tentu kulit tubuhmu yang aseli putih
mulus, tidak kecoklatan dan kasar. Tentu engkau telah memolesi
seluruh kulit tubuhmu dengan semacam obat cairan. Aku sudah
mulai curiga dan engkau lihat siapa yang berdiri di sana itu!"
Karena sejak tadi Liong-li tidak berani mengangkat muka, kini
setelah diperintah, ia mengangkat muka dan memandang ke arah
yang ditunjuk permaisuri itu. Di sudut sana, berdiri dengan
sebatang tombak di tangan, adalah...... Akong! Pelayan thai-kam
itu ternyata adalah seorang perajurit pengawal yang menjadi
kepercayaan sang permaisuri!
Kini mengertilah ia! Tentu karena merasa curiga, permaisuri yang
luar biasa cerdiknya itu telah diam-diam menyelundupkan Akong
ke bagian dapur, bekerja sebagai pelayan dapur sehingga
mendapat kesempatan bercakap-cakap dengannya!
Pada hal, ia merasa cerdik sudah berhasil mengorek rahasia dan
memancing keterangan dari Akong. Tidak tahunya, ialah yang
terkorek rahasianya. Karena sikapnya yang ingin tahu dan
bertanya-tanya tentang Kwi-eng-cu itu tentu saja dicatat oleh
Akong dan pada malam harinya diteruskan kepada Hong-houw.
Dan permaisuri yang seperti dikatakan Cian Hui cerdik seperti
iblis itu sudah memperhitungkan bahwa malam itu ia tentu akan
melakukan penyelidikan ke istana induk, maka sengaja menyuruh
delapan orang perajurit itu untuk menghadangnya dan
mengepungnya. Dan biarpun delapan orang itu tidak berhasil
229 menangkapnya, namun kini ia yakin bahwa ketika ia kembali ke
dalam kamarnya, seperti ia keluar dari kamarnya, tentu sudah
ada beberapa pasang mata yang mengintainya. Agaknya
permaisuri itu hanya ingin merasa yakin bahwa "Akim" benar
seorang mata-mata yang diselundupkan ke dalam istana.


Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat Akong, Liong-li segera memberi hormat kembali.
"Sungguh benar sekali apa yang diterangkan oleh Cian Ciang-kun
kepada hamba tentang paduka yang mulia......"
"Heh" Apa kata Cian Hui" Tentu dia memperingatkan bahwa
engkau harus berhati- hati menghadapi aku, bukan" Heh-heh-hihik!"
Kembali Liong-li tertegun, bukan pura-pura melainkan sungguh ia
merasa heran dan kagum. Wanita ini seolah-olah tahu segalanya!
"Aku mengenal siapa Cian Hui! Dia seorang yang cerdik, kalau
tidak begitu, tentu dia tidak diangkat menjadi penyelidik. Kalau dia
yang menyelundupkan kamu ke istana, tentu dia memperingatkanmu untuk berhati-hati terhadap kami. Dia sudah
tahu siapa aku!" Suara ini mengandung kebanggaan hati yang
besar terhadap diri sendiri.
"Sesungguhnya demikian, Yang Mulia. Karena paduka sudah
tahu segalanya, hamba kira hamba tidak perlu menerangkannya
lagi." "Hemm, Cian Hui memilih engkau, itu berarti bahwa engkau tentu
memiliki kelihaian dan kecerdikan. Akan tetapi di sini, engkau
230 kurang berhati-hati. Bayangkan saja seandainya aku ini Kwi-engcu! Apa kau kira masih hidup saat ini?"
"Hamba beruntung sekali bahwa Kwi-eng-cu bukan paduka. Akan
tetapi hamba yang terkagum-kagum akan kecerdikan dan
kebijaksanaan paduka, hamba ingin sekali tahu apakah paduka
sudah pula mengetahui siapa hamba sebenarnya?"
Kembali para dayang mengerutkan alisnya. Perempuan itu
sungguh kurang ajar, seolah menantang sang permaisuri, atau
seperti mempermainkan saja. Bicaranya seolah permaisuri itu
sahabatnya, bukan junjungannya! Akan tetapi aneh, permaisuri
tidak marah melainkan tersenyum manis! Dan memang hati
permaisuri itu senang sekali, merasa ditantang kecerdikannya.
"Kami memang belum mengetahui siapa kamu, akan tetapi kami
dapat menduganya," kata permaisuri itu dengan suara yang
tenang sekali. Liong-li tertarik dan semakin kagum, ia mengangkat muka
memandang dan sejenak dua pasang mata yang sama indahnya,
sama jeli dan sama tajamnya bertemu dan bertaut. Selamanya
belum pernah Liong-li beradu pandang dengan seorang wanita
yang memiliki pandang mata seperti itu dan diam-diam ia
bergidik. Juga agaknya Permaisuri Bu Cek Thian mempunyai
pendapat yang sama. Ia mengerutkan alisnya dan seperti
mewakili suara hati Liong-li ia berkata.
"Aihhh, matamu seperti mata kucing atau harimau betina!
Mengerikan sekali!" 231 Tepat sekali, pikir Liong-li. Memang matamu seperti mata harimau
betina kelaparan! "Bolehkah hamba mengetahui, paduka menduga hamba ini
siapakah?" ia masih ingin mengetahui sampai di mana kecerdikan
permaisuri itu. "Hek-liong-li Lie Kim Cu, dibandingkan dengan kami, engkau
seperti anak masih ingusan!"
Kini Liong-li menatap wajah permaisuri itu dengan mata
terbelalak. Ia benar takluk dan kagum bukan main, permaisuri itu
tentu tidak berbohong ketika mengatakan bahwa belum
mengetahui dirinya dan hanya menduga saja. Akan tetapi betapa
tepatnya dugaan itu! Matanya penuh pertanyaan, mewakili suara
hatinya yang ingin sekali tahu bagaimana permaisuri itu mampu
menduganya demikian tepat!
Dan agaknya pertanyaan pada sinar matanya itupun terbaca oleh
Permaisuri Bu Cek Thian. Wanita ini kembali tertawa dan
menutupi mulut yang terbuka dengan sapu tangan sutera.
"Mudah saja menduga bahwa engkau Hek-liong-li Lie Kim Cu.
Biarpun kami belum pernah bertemu denganmu, akan tetapi
berita tentang dirimu sudah pernah kami dengar. Kami
mendengar bahwa di Lok-yang terdapat seorang wanita muda
cantik jelita yang kabarnya memiliki ilmu silat yang tinggi dan
kecerdikan yang mengagumkan, namanya Lie Kim Cu dan
berjuluk Hek-liong-li. Bukan seorang penjahat, bahkan kadangkadang menentang kejahatan, kaya raya dan ditakuti dunia kangouw.
232 "Ketika Kaisar, atas dorongan kami, memerintahkan Cian Hui
untuk menyelidiki tentang pembunuhan-pembunuhan di kota raja
dan tentang Kwi-eng-cu, kami mendengar dari penyelidik kami
bahwa Cian Hui pergi seorang diri menuju Lok-yang. Tadinya
kami kira bahwa mungkin dia pergi ke sana ada hubungannya
dengan penyelidikannya, atau untuk mengikuti jejak. Nah,
peristiwa itu saja sudah menunjuk kepadamu.
"Kemudian Kok Tay Gu memasukkan seorang dayang yang
mukanya buruk seperti penyamaranmu tadi. Kami mulai curiga
dan ternyata kecurigaan kami benar ketika kami melihat kulit
punggungmu ada yang putih mulus dekat luka. Dan ketika malam
tadi engkau keluar dari kamar sebagai seorang wanita bertopeng
hitam dan berpakaian serba hitam, kemudian melihat betapa
engkau sedemikian lihainya sehingga mampu menghindarkan diri
dari kepungan delapan orang perajurit pengawal pilihan.
"Lalu sekarang melihat bahwa engkau seorang wanita muda yang
cantik jelita dan juga cerdik, bahkan mampu menguji
kecerdikanku dengan pertanyaan-pertanyaan yang amat cerdik,
lalu siapa lagi engkau, kalau bukan Hek-liong-li Lie Kim Cu" Dan
kami yakin bahwa pedang yang semalam katanya terselip di
pinggangmu tentulah pedang pusakamu Hek-liong-kiam yang
terkenal itu. Entah di mana sekarang pusaka itu
kausembunyikan!" Saking kagumnya, Long-li memberi hormat dan menempelkan
dahinya di lantai. "Ban-swe, ban-ban-swe......! Sungguh hebat,
sungguh luar biasa sekali! Paduka adalah seorang yang amat
cerdik, bijaksana dan hamba mengaku kalah!"
233 "Hek-liong-li, bangkitlah. Aku sudah muak dengan penghormatan
berlebihan seperti itu. Nah bangkit dan duduklah, aku ingin bicara
denganmu!" Lalu ia memberi isyarat kepada para dayang
pengawal agar mereka meninggalkan ruang itu!
Semua pengawal, kecuali dua orang wanita muda yang wajahnya
sama, masih berdiri di belakang kursi permaisuri itu. Mereka
adalah sepasang saudara kembar yang merupakan pengawal
pribadi yang tidak pernah meninggalkan Permaisuri Bu Cek Thian
sejenak pun! Juga Akong sudah keluar tanpa menoleh kepada
Liong-li. Pintu ruangan itu ditutup dan di dalam ruangan yang luas dan
amat indah itu, Permaisuri Bu Cek Thian duduk di atas kursi
emasnya yang agak tinggi. Kedua kakinya menginjak punggung
sebuah batu berukir yang berbentuk kura-kura, lambang panjang
usia, seolah-olah Permaisuri itu selalu menunggangi lambang
yang membuat usianya menjadi panjang.
Dua orang saudara kembar yang menjadi pengawal pribadi itu,
keduanya mahir ilmu silat dan tangan kanan mereka tak pernah
meninggalkan gagang pedang yang tergantung di pinggang,
berdiri di belakang kursi emas itu.
Liong-li diperintahkan duduk di atas sebuah bangku yang agak
rendah. Hanya mereka berempat yang berada di situ dan Liong-li
yakin bahwa tidak ada seorangpun lainnya yang berani mengintai
atau ikut mendengarkan karena hal itu dapat mengakibatkan
hukuman mati! Dan iapun kini merasa lega karena jelas bahwa
permaisuri yang amat cerdik ini, yang dapat menjadi lawan yang
234 amat berbahaya, kepadanya. kini nampaknya sudah percaya benar "Lebih dulu katakan, di mana engkau menyembunyikan pedang
pusakamu itu" Satu-satunya tempat persembunyian adalah di
bawah atap kamarmu!"
Liong-li tersipu. Akan sia-sia sajalah membohongi wanita seperti
ini! "Memang benar di sana, Yang Mulia."
"Hemm, kalau begitu, engkau pergilah dulu, ambil pedangmu itu
lalu kembalilah kesini. Cepat! Berbahaya kalau sampai didahului
orang lain!" Mendengar ini, Liong-li terkejut, cepat memberi hormat dan keluar
dari ruangan itu. Ternyata di dekat ambang pintu, tentu ada alat
rahasianya, karena sebelum ia tiba di pintu, daun pintu itu telah
terbuka dari luar. Agaknya para penjaga di luar tahu bahwa ada
orang hendak keluar! Ia keluar dan cepat pergi ke kamarnya setelah ia memasang
kembali kedok tipisnya dan rambut palsunya sebagai Akim!
Setibanya di dalam kamar, ia menutupkan daun pintu dan
meloncat ke atas, mendorong langit-langit di sudut.
Cepat ia mengambil pedang dan pakaian hitam, lalu melompat
turun kembali. Pada saat itu, ia mendengar langkah kaki dekat
jendelanya. Cepat ia menyembunyikan pedang dan pakaian di
235 bawah kasur, lalu ia sendiri merebahkan diri di atas pembaringan.
Daun jendela terbuka dan sesosok bayangan melompat masuk.
"Heii, siapa itu" Maliiingg......!" Ia berteriak.
Tentu saja ia harus bersandiwara karena bukankah semua orang
di situ mengira ia seorang gadis dusun" Sudah sewajarnya kalau
ia berteriak ada orang laki-laki memasuki kamarnya lewat jendela.
Orang itu jangkung kurus, mukanya tertutup lengan baju, terkejut
dan meloncat keluar lagi. Liong-li tidak mengejar dan kembali ia
mengagumi sang permaisuri. Kalau tidak permaisuri itu cepat
memerintahkan ia mengambil pedang pusakanya, besar sekali
kemungkinan Hek-liong-kiam sudah diambil orang.
Ketika ia menghadapi kembali permaisuri yang cantik berwibawa
itu, Liong-li terus terang menceritakan apa yang baru saja ia alami
di kamarnya ketika ia mengambil pedang. Agaknya, terhadap
wanita yang satu ini, ia tidak boleh menyimpan rahasia karena
segala peristiwa agaknya dapat diketahuinya atau diduganya.
Mendengar cerita Liong-li, permaisuri Bu Cek Thian menganggukangguk.
"Bagaimana wajah bayangan itu?" tanyanya singkat.
"Tidak nampak jelas, Yang mulia. Hanya nampak bayangan yang
bentuk badannya jangkung kurus, akan tetapi dia memiliki
gerakan yang gesit dan cepat sekali sehingga ketika hamba
mengejar keluar, dia telah lenyap."
236 Permaisuri itu mengerutkan alisnya. "Hemm, kehadiranmu
sebagai penyelidik agaknya sudah dicurigai orang. Biarlah untuk
sementara engkau menjadi dayangku yang baru di sini.
Bagaimana, maukah engkau, Hek-liong-li?"
Liong-li menyambut tawaran ini dengan gembira sekali. "Tentu
saja hamba suka dan banyak terima kasih atas bantuan paduka.
Yang penting bagi hamba adalah dapat melakukan penyelidikan
sampai hamba berhasil menangkap, atau setidaknya
membongkar rahasia Kwi-eng-cu itu, seperti yang diminta oleh
Cian Ciang-kun." "Bagus, aku senang sekali engkau mau menjadi dayangku, Hekliong-li. Dan mulai sekarang nama panggilanmu di sini Siauw Cu
(Mestika Kecil). Aku akan merasa lebih aman kalau engkau
menjadi dayangku dan engkau boleh menemaniku setiap saat
membantu tugas Bi Cu dan Bi Hwa ini," katanya menunjuk
kepada dua orang gadis kembar yang kelihatan gagah perkasa
dan yang berdiri di belakang kursinya.
"Hamba merasa terhormat sekali, Yang Mulia, dan mudahmudahan, berkat petunjuk paduka, hamba akan berhasil
membongkar rahasia si Bayangan Iblis."
Permaisuri itu mengerutkan alisnya dan senyumnya manis, akan
tetapi juga mengandung ejekan. "Hemm, sekali ini kepandaianmu
akan diuji berat sekali, Hek-liong-li...... eh, Siauw Cu. Yang kau
hadapi adalah seorang yang amat lihai, amat berbahaya sekali."
"Ah, ampunkan hamba, Yang Mulia. Jadi kalau begitu paduka
sudah mengetahui siapa adanya si Bayangan Iblis" Lebih mudah
237 bagi hamba untuk menghadapinya dan melaporkan kepada Cian
Ciang-kun!" Permaisuri itu menatap tajam wajah Liong-li, lalu menggeleng
kepala dan menarik napas panjang.
"Siauw Cu, kalau aku sudah mengetahui dengan jelas siapa dia,
apa kau kira dia akan mampu bernapas lagi saat ini" Kami baru
menduga-duga saja tanpa bukti. Yang jelas, dia tidak pernah
berani mencoba untuk mengganggu kami. Bagaimanapun juga,
dia tetap merupakan ancaman dan duri dalam daging yang harus
dihancurkan. Aku sendiri akan memberi hadiah besar kepadamu
kalau engkau mampu menangkapnya, Siauw Cu."
Diam-diam Liong-li merasa girang dan lega. Akan lebih
berbahaya dan lebih sukar rasanya kalau si Bayangan Iblis
menjadi kaki tangan wanita di depannya ini.
Berhadapan dengan permaisuri ini, ia merasa dirinya kecil dan
lemah, seperti menghadapi seekor naga betina yang amat
berbahaya, penuh rahasia dan sukar ditebak dari arah mana akan
menyerang. Kalau si Bayangan Iblis bukan anak buah permaisuri,
berarti ia akan menjadi sekutu permaisuri ini dan ia merasa yakin,
dengan bantuan permaisuri yang amat cerdik ini, ia pasti akan
berhasil. "Hamba tidak mengharapkan imbalan jasa dan hadiah, Yang
Mulia, melainkan hamba menganggapnya sebagai suatu
kewajiban untuk menghalau pengacau yang membahayakan
ketenteraman kota raja. Hamba akan berusaha sekuat tenaga
untuk menangkap si Bayangan Iblis!"
238 "Bagus! Akan tetapi agar hatiku lebih yakin akan kemampuanmu
karena pihak lawan benar-benar tangguh, kami harus menguji
kemampuanmu dulu, Siauw Cu. Bersiaplah engkau untuk
menghadapi dua orang pengawalku ini. Beranikah engkau?"
Tidak ada tantangan yang pernah ditolak oleh Liong-li, dari
siapapun juga datangnya. Dan Bu Cek Thian memang cerdik
bukan main. Kalau ia mengatakan, "Maukah engkau?", mungkin
Liong-li akan mencari alasan dan menolak. Akan tetapi dengan
pertanyaan "beranikah engkau?" tidak ada pilihan lain bagi Liongli kecuali menerimanya!
"Hamba bersedia!" katanya sambil menatap tajam kedua orang
wanita yang selalu berdiri di belakang permaisuri itu.
Mereka adalah dua orang wanita yang serupa benar, baik bentuk
mukanya, bentuk sanggul dan pakaiannya. Sukar sekali
membedakan antara dua orang gadis kembar ini. Usia mereka
sekitar duapuluh lima tahun, dengan bentuk tubuh yang tinggi
langsing dan wajah yang manis, dingin dan angkuh. Di punggung


Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka terdapat pedang dengan ronce berwarna biru. Pakaian
mereka ringkas berwarna kuning sehingga rambut mereka
nampak semakin hitam. "Bi Cu! Bi Hwa! Kalian boleh uji kepandaian Siauw Cu dengan
tangan kosong dan semua tidak boleh menggunakan senjata.
Kami ingin melihat sampai di mana kemampuan Siauw Cu!
Mulailah!" 239 Gerakan dua orang wanita kembar itu ringan sekali ketika mereka
tiba-tiba saja meloncat ke depan Liong-li setelah dengan suara
halus menyanggupi perintah sang permaisuri.
Liong-li melangkah mundur, agak menjauhi permaisuri itu karena
tidak baik untuk bertanding silat terlalu dekat wanita bangsawan
tinggi itu. Pula, ia mencari tempat yang lebih luas agar jangan
sampai merusak perabot dan hiasan di ruangan yang luas dan
amat mewah itu. Ketika mereka berdiri saling berhadapan, Liong-li melihat bahwa
tinggi badannya hanya sampai setinggi bawah telinga kedua
orang wanita kembar itu. Padahal, menurut ukuran wanita pada
umumnya, ia bukan termasuk pendek. Jadi, mereka itulah yang
tergolong tinggi, seperti para wanita dari daerah propinsi Shantung. Tinggi dan biarpun pinggang mereka ramping, namun kaki
tangan mereka kokoh kuat.
"Ketika kedua orang wanita itu memasang kuda-kuda, ia melihat
dasar kuda-kuda dari ilmu silat Bu-tong-pai. Ia menduga bahwa
mereka itu selain lihai dalam ilmu silat tangan kosong, tentu mahir
pula memainkan pedang kalau benar mereka itu murid Bu-tongpai. Maka iapun tidak berani memandang rendah dan berhati-hati.
Dua orang wanita kembar yang sudah terpilih menjadi pengawal
pribadi permaisuri sudah pasti memiliki ilmu kepandaian tinggi
dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
"Enci berdua, majulah, aku sudah bersiap!" kata Liong-li, sikapnya
tenang saja bahkan ia tidak memasang kuda-kuda seperti
mereka, namun biar ia berdiri santai, sesungguhnya di bawah
240 kulit tubuhnya, seluruh urat syarafnya sudah menegang dan siap
siaga menghadapi serangan dari mana pun datangnya.
Bi Cu dan Bi Hwa memang dua orang gadis kembar yang pernah
menjadi murid Bu-tong-pai, dan selain mahir ilmu silat Bu-tongpai, setelah dipilih menjadi pengawal pribadi Bu Cek Thian,
merekapun oleh permaisuri itu diperintahkan untuk memperdalam
ilmu silat mereka dengan mempelajarinya dari jagoan-jagoan
istana. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau mereka
menjadi sepasang gadis kembar yang amat lihai.
Kelihaian mereka terutama sekali terletak dalam kerja sama
mereka yang amat kokoh dan erat. Mereka memiliki kepekaan
satu sama lain yang tidak dimiliki orang lain. Ada semacam
hubungan batin di antara mereka sehingga mereka itu seolaholah dapat saling mengerti kehendak dan dapat mengimbangi
gerakan masing-masing seperti dua badan yang dikendalikan
oleh satu pikiran saja. "Li-hiap, sambutlah serangan kami!" seru Bi Hwa dan merekapun
sudah bergerak maju. "Tahan!" tiba-tiba terdengar seruan Bu Cek Thian dan sungguh
luar biasa sekali, begitu mendengar seruan ini, dua orang gadis
yang sudah mulai melakukan serangan itu tiba-tiba mencelat ke
belakang seperti dipagut ular berbisa. Demikian kuat dan penuh
wibawa perintah dari permaisuri itu sehingga Liong-li yang
tadipun sudah siap siaga memandang heran dan kagum.
241 "Bi Cu dan Bi Hwa, kalian ingat. Sekali-kali tidak boleh menyebut
li-hiap kepadanya, apalagi di depan orang lain. Sebut saja
namanya. Namanya Siauw Cu, mengerti?"
Dua orang wanita kembar itu memberi hormat dengan menekuk
sebelah lutut di depan permaisuri itu dan dengan suara berbareng
mereka berkata. "Baik, Yang Mulia. Hamba mentaati perintah."
"Nah, sekarang seranglah, akan tetapi yang sungguh-sungguh.
Kalau kalian mampu mengalahkan Siauw Cu, kalian akan kuberi
hadiah!" kata sang permaisuri. yang duduk bersandar di kursinya
dengan sikap santai dan sinar matanya berseri tanda bahwa
hatinya gembira. Kembali dua orang wanita kembar itu sudah menghadapi Liong-li
dengan kuda-kuda mereka yang gagah. Mula-mula kedua kaki
mereka dipentang miring dan kedua tangan di pinggang, lalu
perlahan-lahan kaki kanan diangkat ke lutut kiri dan tubuh mereka
tegak, lengan kanan tetap ditekuk di pinggang dan tangan kiri
diangkat ke atas kepala dengan telunjuk menuding ke arah atas
lurus, kepala miring menghadapi lawan.
"Majulah, enci berdua!" kata Liong-li dengan wajah berseri dan
mulut tersenyum. Ia sama sekali tidak berani memandang
rendah, akan tetapi juga sikapnya amat tenang seolah-olah ia
merasa yakin bahwa dua orang pengeroyok itu tidak akan mampu
mengalahkannya. "Haiiittt......!" Bi Cu menyerang dengan luncuran tubuhnya yang
menerjang ke depan dari kiri, tangan kanannya dengan jari
terbuka menusuk ke arah dada kanan Liong-li.
242 "Hyaaattt......!" Bi Hwa juga berteriak dan sudah menerjang dari
depan kanan dengan tendangan kakinya ke arah pinggang.
Menghadapi serangan dua orang yang dilakukan dengan
berbareng ini, Liong-li bersikap tenang, memutar kedua lengan
dari atas ke bawah untuk menangkis dua serangan itu.
"Plak! Plakk!" Kedua lengannya dapat menangkis tangan dan kaki
dua orang lawannya, akan tetapi dua orang wanita kembar itu
sudah memutar tubuh dan kembali menyerang dengan lebih
cepat dan lebih kuat lagi. Kini Bi Cu mencengkeram ke arah
pundak dan Bi Hwa menendang untuk membabat kaki lawan.
Liong-li meloncat menghindarkan sabetan kaki dan terus menarik
tubuh ke belakang untuk menghindarkan cengkeraman, dan
ketika tubuhnya meloncat ke atas itu, kedua kakinya terpentang
dan menyambar dengan kakinya ke arah dua orang lawannya
yang berada di depan kanan kiri. Sungguh merupakan serangan
yang aneh dan tidak terduga. Tidak mudah meloncat sambil
melakukan tendangan kedua kaki pada saat yang sama ke arah
dua jurusan ini. Namun tendangan itu cepat dan kuat sekali.
Hal ini dapat diketahui oleh dua orang wanita kembar itu yang
tidak berani sembarangan menangkis, melainkan cepat
melangkah mundur ke belakang untuk menghindarkan diri dari
sambaran sepatu yang di bawahnya dipasangi baja itu.
Karena tendangannya tidak mengenai sasaran, tubuh Liong-li
membuat pok-say (salto) sampai tiga kali di udara dan begitu
turun, tubuhnya sudah menerjang ke arah kedua orang lawannya
seperti seekor burung garuda menyambar!
243 "Bagus......!" seru Bu Cek Thian yang merasa kagum bukan main.
Permaisuri ini tidak bisa ilmu silat, akan tetapi ia mengagumi
keindahan gerakan Liong-li tadi, dari melayang ke udara,
berjungkir balik tiga kali di udara kemudian turun menyambar
seperti seekor burung garuda.
Dua orang wanita kembar juga cukup waspada, dan
sudah mengelak lagi dengan gesitnya. Begitu tubuh
turun, mereka sudah menyerang lagi dari kanan kiri
tenaga yang kuat sehingga pukulan atau tamparan
mendatangkan angin bersiutan.
mereka Liong-li dengan tangan Liong-li menghindarkan diri dengan mengelak atau menangkis,
dan segera membalas dengan serangan yang tak kalah
dahsyatnya. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan
menarik. Demikian cepat gerakan tiga orang wanita ini sehingga bagi
pandang mata permaisuri Bu Cek Thian, sukarlah mengikuti
bayangan tiga orang yang berkelebatan itu. Yang dapat ia
bedakan hanyalah dua bayangan kuning berkelebatan di antara
bayangan hijau karena Liong-li mengenakan pakaian berwarna
kehijauan. Ia tidak tahu siapa yang mendesak, siapa pula yang
terdesak. Diam-diam dua orang gadis kembar itu terkejut setengah mati.
Mereka berdua sudah memiliki ilmu silat tingkat tinggi dan kalau
hanya para pengawal istana saja, jangan harap akan mampu
menandingi mereka kalau mereka maju bersama. Bahkan selama
244 ini, keamanan permaisuri terjamin karena mereka berdua tidak
pernah meninggalkannya. Akan tetapi sekarang, menghadapi Hek-liong-li, mereka sungguh
menjadi bingung. Wanita itu dapat bergerak dengan kecepatan
yang tak pernah mereka duga, bahkan juga tenaga Dewi Naga
Hitam itu demikian kuatnya sehingga setiap kali mengadu tangan,
mereka tentu terdorong dan terhuyung ke belakang!
Di lain pihak, Hek-liong-li sendiri juga kagum. Dua orang wanita
kembar ini memang pantas menjadi pengawal kepercayaan
permaisuri, karena mereka berdua merupakan lawan yang cukup
tangguh baginya. Kalau saja ia tidak memiliki gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) yang ditunjang ilmu langkah ajaib Liu-sengpouw, sukar baginya untuk dapat mengatasi pengeroyokan dua
orang kembar yang memiliki kerja sama demikian baiknya.
Langkah-langkah ajaibnya membuat ia tidak pernah dapat
tersentuh serangan mereka. Ia tidak berani menggunakan
ilmunya yang ampuh dan mematikan seperti Hiat-tok-ciang
karena ia tidak mau melukai atau membunuh mereka, maka kini
ia merobah ilmu silatnya dan mulai memainkan ilmu silat Bi-jinkun (Silat wanita cantik). Begitu ia mainkan ilmu silat ini, dengan
gerakan diperlambat, sang permaisuri bertepuk tangan dan
memuji. "Bagus! Indah sekali......! Hei, Siauw Cu, engkau ini sedang
berkelahi atau sedang menari?"
Memang Bi-jin-kun merupakan ilmu silat tangan kosong yang
gerakannya seperti orang menari, indah dan lembut. Namun di
245 balik kelembutan itu tersembunyi kekuatan yang dahsyat
sehingga ketika pada suatu saat ia mendorongkan kedua
lengannya dengan gerakan lemah gemulai, dua orang lawannya
itu berseru kaget dan terhuyung ke belakang, hampir saja
terjengkang! Melihat ini, Bu Cek Thian segera bertepuk tangan dan berseru,
"Sekarang kalian coba bermain pedang!"
"Singgg! Singgggg!" Nampak sinar putih berkilat ketika sepasang
saudara kembar itu mencabut pedang mereka dari punggung dan
mereka memasang kuda-kuda dengan menyilangkan pedangnya
di depan dada. Melihat ini, Liong-li tersenyum. Ia harus memperlihatkan
kemampuannya, bukan saja untuk membuat sang permaisuri
percaya kepadanya, akan tetapi juga untuk menundukkan
keangkuhan dua orang saudara kembar ini agar kelak tidak lagi
berlagak di depannya. "Singgg!" Sinar hitam yang menyilaukan mata nampak ketika ia
mencabut pedangnya. "Aihhh! Itukah Hek-liong-kiam?" seru sang permaisuri kagum.
"Benar, Yang Mulia. Inilah Pedang Naga Hitam!" jawab Liong-li
sambil memberi hormat, lalu dengan pedang di depan dada,
menuding lurus ke atas ia menghadapi dua orang wanita kembar
itu. 246 "Siauw Cu, sambutlah pedang kami!" Bi Cu membentak dan
bersama saudara kembarnya ia telah menggerakkan pedangnya.
Dua gulungan sinar putih menyambar-nyambar dengan ganasnya
dan terdengar suara kedua pedang itu mendesing-desing ketika
meluncur dengan ganasnya.
Namun sekali ini Liong-li tidak mau main-main lagi. Ia dapat
menduga bahwa pedang-pedang di tangan kedua orang
lawannya itu bukan pedang biasa. Sebagai pelindung atau
pengawal pribadi permaisuri, tentu saja mereka memiliki pedang
pusaka yang ampuh dan kuat, maka ia tidak khawatir bahwa Hekliong-kiam akan merusak kedua pedang itu, asal ia tidak
mempergunakan tenaga sin-kang terlampau kuat.
Melihat gerakan pedang mereka, ia semakin yakin bahwa mereka
adalah ahli-ahli pedang dari Bu-tong-pai yang hebat. Dilihat dari
gerakan mereka dan ketika bertanding dengan tangan kosong
melawan tadi, ia tahu bahwa tingkat kepandaian dua orang
kembar ini sudah cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan
tingkat ilmu silat Cian Ciang-kun agaknya.
"Trang-tranggg......!" Bunga api berpijar ketika ketiga pedang itu
saling bertemu. Dua orang wanita kembar merasa betapa lengan kanan mereka
tergetar hebat dan mereka terkejut sekali, meloncat ke belakang
dan memeriksa pedang mereka. Sepasang pedang itu adalah
pemberian Hong-houw, merupakan pusaka istana, maka tentu
saja merupakan pusaka yang ampuh. Untung pedang mereka
tidak rusak bertemu dengan pedang hitam di tangan Liong-li.
247 Mereka maju lagi dan menyerang dengan gerakan yang lebih
dahsyat. Akan tetapi, mereka segera menjadi terkejut sekali menghadapi
gulungan sinar pedang yang hitam dan amat kuatnya, seolaholah sinar pedang itu menggulung sinar putih dari kedua pedang
mereka dan membuat mereka sama sekali tidak ada kesempatan
untuk menyerang. Liong-li kini tidak main-main lagi dan ia sudah
memainkan Sin-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti), yaitu
ilmu pedang yang diciptakannya bersama Pek-liong-eng Tan Cin
Hay. Sebetulnya ilmu pedang ini merupakan ilmu simpanan dari Liongli dan tidak ia keluarkan kalau tidak perlu sekali. Akan tetapi sekali
ini, walaupun dengan ilmu yang lain ia masih sanggup untuk
menandingi dua orang gadis kembar, ia ingin memperlihatkan
kepandaiannya kepada sang permaisuri agar percaya penuh
kepadanya. Maka, ia mengeluarkan Sin-liong Kiam-sut itu dan
begitu ia mainkan jurus-jurus ilmu ini, pedang hitamnya seperti
berobah menjadi seekor naga hitam yang menyambar-nyambar
dengan ganas dan dahsyatnya, seperti seekor naga hitam
bermain-main di angkasa. Dua gulungan sinar pedang putih itu semakin menyempit dan
akhirnya tergulung sama sekali.
"Trangg! Trangggg......!" Dua orang gadis kembar itu terhuyung ke
belakang dengan muka pucat karena ronce-ronce pedang
mereka telah terbabat putus, dan mereka mengerti bahwa kalau
tadi terjadi perkelahian yang sungguh, tentu mereka berdua
248 sudah termakan pedang hitam di tangan lawan yang jauh lebih
pandai dari mereka itu. "Kami mengaku kalah!" mereka berdua menjura kepada Liong-li,
lalu berlutut menghadap Bu Cek Thian. "Hamba berdua telah
kalah, siap menerima hukuman."
Akan tetapi Bu Cek Thian tidak marah, bahkan tersenyum lebar
dengan wajah gembira. "Kalian tidak perlu penasaran dikalahkan oleh Hek-liong-li yang
namanya sudah terkenal di seluruh dunia persilatan. Kembalilah
ke tempat kalian!"

Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua orang itu menghaturkan terima kasih lalu pergi kembali
berdiri di belakang sang permaisuri itu, pandang mata mereka kini
tidak angkuh lagi dan bahkan mereka kini memandang kagum
kepada Liong-li. "Siauw Cu, simpan pedangmu baik-baik, agar jangan sampai
diketahui orang lain. Berikan kepadaku, biar aku yang
menyembunyikannya dan engkau boleh menggunakan jika perlu
saja." Liong-li tidak berani membantah, lalu memberikan Hek-liong-kiam
bersama sarungnya kepada permaisuri itu. Bu Cek Thian
menyimpan pedang itu di dalam lubang yang berada di bagian
bawah kursinya sehingga tidak nampak dari luar karena ada
tutupnya. 249 Liong-li memandang kagum. Kiranya kursi berukir yang indah itu
mengandung alat-alat rahasia pula untuk melindungi keselamatan
sang permaisuri yang amat cerdik itu.
Baru saja Permaisuri Bu Cek Thian menyimpan Hek-liong-kiam,
dua orang dayang memasuki ruangan itu sambil berlarian dan
cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Cek Thian.
Permaisuri itu seketika menjadi merah wajahnya dan matanya
mengeluarkan sinar berapi ketika ia memandang kepada dua
orang dayang yang berlutut dengan tubuh gemetar dan muka
pucat itu. "Apakah kalian sudah bosan hidup" Berani masuk tanpa kami
perintahkan?" "Ampun, Yang Mulia, ampunkan hamba...... di luar ada pangeran
Souw Cun yang memaksa masuk. Para penjaga dan dayang
telah berusaha untuk menghalanginya, namun hamba semua
mendapat pukulan dan tendangan......"
Belum habis dayang itu melapor, terdengar seruan marah di luar
ruangan itu. "Kalian berani menghalangi aku" Mau mati?""
Dan muncullah seorang pria berpakaian mewah memasuki
ruangan itu dengan sikap marah, akan tetapi begitu dia melihat
Permaisuri Bu Cek Thian, dia cepat merubah sikapnya. Dengan
sikap sopan dan lembut dia lalu menghampiri dan memberi
hormat dengan membungkuk dan merangkap kedua tangan di
depan dada. Dia membungkuk sampai dalam di depan wanita
yang anggun dan berwibawa itu.
250 "Pangeran, apa artinya ini" Engkau masuk begitu saja tanpa
kupanggil dan memukuli para pengawal dan dayang kami?" Bu
Cek Thian menegur, namun suaranya tetap lembut.
Sementara itu, dalam keadaan masih berlutut, diam-diam Liong-li
memperhatikan pangeran itu. Seorang pemuda yang usianya
kurang lebih tigapuluh tahun, tinggi kurus, wajahnya tampan dan
pesolek, matanya tajam dan lagaknya congkak.
Dari gerak geriknya, Liong-li menduga bahwa pangeran ini bukan
seorang lemah, dan agaknya memiliki kepandaian silat. Hal ini
dapat diketahui dari langkahnya. Sinar mata yang tajam itu
membayangkan kecerdikan dan seketika Liong-li tahu bahwa ia
harus berhati-hati terhadap orang ini.
"Selamat pagi, Ibu Permaisuri!" katanya dan suaranya juga
lembut namun nyaring dan penuh semangat. "Para pengawal dan
dayang itu yang tidak tahu diri. Bagaimana mereka berani
mencegah saya masuk ke sini menghadap paduka" Ibunda
adalah ibuku, dan sudah selayaknya kalau saya sebagai
puteranda datang pada pagi hari ini untuk menghaturkan selamat
pagi, bukan" Saya harus mematuhi pelajaran yang saya
dapatkan dari Bouw Sianseng (bapak guru Bouw)......"
"Hemmm, pelajaran apa yang kaudapatkan dari Bouw Sianseng
yang menjemukan itu?" Permaisuri Bu Cek Thian bertanya, nada
suaranya ingin tahu sekali.
"Bahwa seorang kun-cu (budiman) mengenal tiga macam hauw
(bakti), yaitu pertama berbakti kepada Thian (Tuhan), kedua
berbakti kepada Negara, dan ketiga berbakti kepada orang tua,
251 terutama ibu. Nah, kalau pagi-pagi saya mencari ibunda untuk
menghaturkan selamat pagi, itu adalah untuk memenuhi Hauw
yang ketiga itulah."
Diam-diam Liong-li memperhatikan pemuda itu. Seorang pemuda
yang amat cerdik, pikirnya, akan tetapi juga ia merasa geli
mendengar alasan yang jelas dicari-cari itu.
"Huh! Pelajaran dari orang yang menjemukan itu bisa
menyesatkanmu, Souw Cun! Buktinya, engkau ingin berbakti,
akan tetapi telah melanggar peraturan, menggangguku dengan
hadir di sini tanpa kupanggil!"
Pemuda itu membelalakkan mata dan mengangkat sepasang
alisnya, lalu memandang ke sekeliling. "Aih, kiranya saya telah
mengganggu paduka, ibunda Permaisuri" Akan tetapi saya tidak
melihat paduka sedang bercengkerama, tidak mengadakan rapat
atau persidangan, bahkan hanya ditemani si kembar dan ini......
ah, siapakah gadis jelita ini, ibunda?"
Kini Pangeran Souw Cun memandang kepada Liong-li yang
masih berlutut dan menundukkan mukanya. Jantungnya berdebar
tegang karena ia merasa seolah-olah sikap pangeran itu dibuatbuat. Bukan tidak mungkin kalau pangeran ini sudah tahu atau
dapat menduga siapa ia, atau setidaknya menaruh curiga
kepadanya! "Ah, ia dayangku yang baru, namanya Siauw Cu," kata sang
Permaisuri dengan sikap acuh.
252 "Siauw Cu" Mustika kecil" Wah, nama yang cocok sekali dengan
orangnya. Manis, coba kau angkat mukamu, aku ingin
melihatnya!" kata pangeran itu.
Dengan sikap seorang gadis yang bodoh dan penakut, Liong-li
semakin menundukkan mukanya dan suaranya gemetar ketika ia
menjawab lirih. "Ampun...... hamba..... tidak berani......"
"Hemm, berani engkau membantah?" Tiba-tiba tangan kanan
pangeran itu menangkap dagu Liong-li dan wanita ini merasa
betapa jari-jari tangan itu mengandung tenaga kuat dan kalau ia
mengerahkan tenaganya, tentu jari-jari tangan itu akan
mencengkeram. Ia bersikap wajar saja, nampak ketakutan dan
menurut saja ketika dagunya didorong naik sehingga mukanya
tengadah. "Hmm, cantik jelita...... manis sekali dayang ini,
Permaisuri!" kata Pangeran Souw Cun sambil tertawa.
ibunda "Souw Cun, lepaskan dayangku!" teriak sang Permaisuri dengan
suara marah. Pangeran itu melepaskan tangannya sehingga Liong-li menunduk
kembali dan kini ibu tiri dan pangeran itu saling pandang dengan
sinar mata saling menentang.
"Ibunda, dayang yang satu ini berikan saja kepada saya.
Puteranda suka sekali melihat wajahnya," kata pangeran itu.
253 "Tidak! Tidak boleh! Siauw Cu baru saja kuangkat menjadi
dayang dan ia akan kujadikan dayang pribadiku. Dan engkau
tidak boleh mengganggunya, pangeran!"
Pangeran Souw Cun tertawa, dan ketika dia tertawa, jelas bahwa
sikap hormatnya tadi kepada sang permaisuri hanya pura-pura
saja. Ketika tertawa nampak bahwa sesungguhnya, di balik sikap
hormat itu dia tidak suka kepada ibu tirinya ini! Hal itu tampak
jelas sekali oleh Liong-li yang melirik dari bawah.
"Ha-ha, mohon paduka mengampuni saya, ibunda. Kalau saya
tadi meraba mukanya, hal itu hanya untuk melihat kecantikannya,
dan untuk membuktikan bahwa ia benar seorang wanita!"
"Pangeran! Apa maksud ucapanmu itu?" sang permaisuri
membentak. "Ibunda permaisuri yang mulia, seorang pemuda yang tampan
dan lembut mudah saja menyamar aebagai seorang gadis.
Ibunda, Puteranda mohon mengundurkan diri!"
Dan tersenyum lebar pangeran itu meninggalkan ruangan setelah
menjura dengan sikap hormat sekali kepada Permaisuri yang
memandang dengan mata melotot dan muka merah karena
marah. "TUTUP pintu ruangan ini dan jaga yang rapat. Jangan biarkan
siapapun memasuki ruangan ini, biar kaisar sendiripun sebelum
kuberi ijin masuk!" teriak sang permaisuri dengan marah sekali
sehingga ucapannya itu sudah menyimpang dari peraturan.
254 Mana mungkin sang permaisuri memerintahkan pengawalnya
untuk melarang kaisar sendiri" Hal itu hanya menunjukkan
betapa besar kemarahannya.
Setelah pintu ditutup kembali, kini yang berada di ruangan itu
hanya sang Permaisuri Bu Cek Thian, dua orang pengawal
pribadi gadis kembar dan Liong-li.
Kini Bu Cek Thian menyandarkan diri di kursinya dan menarik
napas panjang. "Menyebalkan, sungguh menyebalkan. Anak itu
makin besar kepala dan semakin berbahaya saja!" katanya
seperti kepada dirinya sendiri.
"Yang Mulia, maaf pertanyaan hamba. Nampaknya...... Pangeran
Souw Cun kurang..... Eh, kurang suka kepada paduka. Benarkah
dugaan hamba?" tanya Liong-li dengan hati-hati.
Permaisuri itu memberi isyarat kepada dua orang pengawal
pribadinya dengan gerakan kepala ke arah jendela dan pintu. Dua
orang wanita kembar itu cepat berloncatan ke pintu dan jendela,
memeriksa semuanya dan segera kembali dan berdiri lagi di
belakang sang permaisuri setelah mengangguk memberi isyarat
bahwa semua dalam keadaan terkunci dan aman, tidak ada
orang yang mendengarkan di luar jendela atau pintu.
Biarpun demikian, permaisuri itu masih menggapai kepada Liongli agar berlutut lebih dekat. Liong-li lalu maju dan duduk
bersimpuh di depan kursi sang permaisuri.
"Siauw Cu, engkau telah kuangkat sebagai dayang pribadiku,
juga pembantu dan pelindungku, membantu tugas kedua orang
255 pengawal pribadiku ini. Oleh karena itu engkau boleh mengetahui
semua rahasia yang kami ketahui atau kami duga."
Liong-li merasa tidak enak. Ia tidak ingin mengetahui rahasia
istana kecuali rahasia Si Bayangan Iblis karena adanya ia di
istana adalah untuk menanggulangi kekacauan yang dilakukan
oleh Bayangan Iblis. Ia tidak ingin terlibat dengan urusan istana
dan keluarga kaisar. "Mohon paduka ingat bahwa tugas hamba adalah untuk
menyelidiki si Bayangan Iblis seperti telah hamba janjikan kepada
Cian Ciang-kun. Oleh karena itu, hamba mohon petunjuk paduka
tentang semua hal yang mengenai kegiatan Si Bayangan Iblis."
"Hemm, Siauw Cu! Berapa kali engkau menekankan bahwa
engkau adalah pembantu Cian Hui. Tahukah engkau bagaimana
Cian Hui sampai terlibat dalam urusan ini" Akulah yang
mendesak Kaisar untuk memanggil dia dan menyerahkan tugas
ini kepadanya! Dan Kaisar telah menyerahkan kepadaku untuk
mengatur semua penyelidikan ini sampai berhasil! Dengan
demikian, maka engkau sebagai pembantu Cian Hui berarti juga
menjadi anak buahku. Mengerti?"
Diam-diam Liong-li terkejut. Cian Ciang-kun tidak pernah bercerita
tentang ini kepadanya. Ia belum pernah selama ini
membayangkan bahwa permaisuri kaisar ternyata seorang wanita
yang demikian luar biasa cerdiknya, juga agaknya memegang
kekuasaan yang amat besar di istana, dan ia tidak akan merasa
heran kalau wanita seperti ini dapat menguasai pula kaisar dan
seluruh penghuni istana! Akan tetapi, juga agaknya permaisuri ini
256 menyimpan suatu rahasia yang kalau diketahui umum amat
merugikannya, dan agaknya ia dapat menduga apa rahasia itu.
Pertama ia pernah melihat thai-kam muda berkeliaran di waktu
malam di daerah yang dihuni sang permaisuri, dan kedua,
sindiran dari Souw Cun, pangeran tadi, membayangkan bahwa
pangeran itu agaknya mencurigai terjadinya penyelundupan
pemuda tampan yang menyamar sebagai dayang!
Dan melihat sinar mata tajam dan jalang dari permaisuri ini,
Liong-li dapat menduga bahwa permaisuri ini memiliki gairah
nafsu berahi yang amat besar sehingga besar sekali
kemungkinannya ia suka melampiaskan gairahnya itu di luar
kamar sang kaisar! Ia sudah banyak mendengar tentang
kehidupan para wanita di dalam harem kaisar, banyak wanita
yang hanya melayani seorang pria saja, yang sudah tua dan
lemah pula sehingga banyak di antara para wanita itu tentu saja
merasa tersiksa, tidak terpenuhi kebutuhan gairah mereka
sehingga walaupun selalu dijaga ketat, mereka itu senantiasa
mencari kesempatan untuk dapat menyalurkan gairah mereka
lewat penyelewengan. "Hamba siap menerima perintah paduka dan mendengar semua
keterangan dari paduka," akhirnya ia berkata.
"Duduklah di atas kursi itu dan dekatkan kursinya ke sini, Siauw
Cu. Tidak enak bicara kalau engkau berlutut di situ."
Siauw Cu atau Liong-li mentaati perintah ini dan ia sudah duduk
di atas sebuah kursi yang diangkatnya dekat di depan sang
permaisuri dan siap mendengarkan dengan menundukkan muka
257 dan dengan sikap hormat. Setelah duduk berhadapan dengan
dekat, ia melihat bahwa wanita yang usianya sudah empatpuluh
tahun lebih ini masih memiliki kulit muka, leher dan tangan yang
putih mulus dan belum ada keriputnya. Wajah itu terhias rapi
sekali, pakaiannya juga amat mewah indah rapi, rambutnya
mengkilap dan dari pakaian dan rambutnya itu semerbak harum.
Seorang wanita yang cantik dan pandai sekali merawat dirinya
sehingga nampaknya baru berusia tigapuluh tahun saja! Entah
bagaimana, ia diam-diam merasa ngeri, seperti kalau berdekatan
dengan seekor ular cobra yang amat berbahaya, yang tidak
diketahui kapan akan menyerang, dan setiap serangannya
mengandung cengkeraman. maut!
Dengan suara bisik-bisik, Permaisuri Bu Cek Thian menceritakan
keadaan di dalam istana yang amat menyeramkan hati Liong-li.
Menurut cerita itu, kiranya di dalam istana, di antara keluarga
kaisar, terdapat suatu pertentangan, suatu permusuhan diamdiam, kebencian dan persaingan yang mengerikan. Walaupun
semua itu tidak nampak sama sekali, ditutup oleh sikap
berkeluarga dan taat kepada kaisar!
"Engkau tentu tahu bahwa aku adalah Permaisuri, juga calon Ibu
Suri karena puteraku, Pangeran Tiong Cung, adalah seorang
Putera Mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukan
ayahnya, yaitu Sribaginda Kaisar. Namun, di samping puteraku
sebagai putera mahkota, masih terdapat banyak lagi pangeran
lain, juga puteri-puteri kaisar dan mantu-mantu kaisar.
258 "Mereka semua itu saling bersaing untuk mendapatkan
kedudukan tertinggi, saling berlomba untuk mengambil hati
Sribaginda Kaisar dan untuk itu mereka tidak segan-segan untuk
saling melempar fitnah, bahkan saling serang secara terbuka,
tentu saja tidak di depan Sribaginda Kaisar. Sribaginda Kaisar


Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlalu sibuk dengan urusan negara sehingga tidak ada waktu lagi
untuk memusingkan diri tentang urusan keluarga sehingga
keadaan keluarga kami menjadi semakin kacau. Dan di dalam
kekacauan ini, tiba-tiba saja muncul peristiwa pembunuhanpembunuhan yang misterius itu."
Permaisuri Bu Cek Thian menghela napas panjang dan ia
nampak khawatir, dan baru sekarang Liong-li melihat wanita yang
cerdik dan pandai itu nampak gelisah, tidak disembunyikan lagi.
"Akan tetapi, Yang mulia, apa hubungannya pembunuhanpembunuhan yang kabarnya dilakukan oleh si Bayangan Iblis itu
dengan persaingan di antara keluarga kerajaan?" Liong-li
memancing. "Memang tadinya kami menganggap bahwa itu hanya merupakan
persaingan yang terjadi di antara para pejabat tinggi di kota raja
yang saling memperebutkan kedudukan. Akan tetapi, semakin
lama keadaannya menjadi semakin mencurigakan. Bahkan
keselamatan diriku sendiri terancam!"
Kini wajah permaisuri itu menjadi pucat dan hal ini tidak
dilewatkan oleh pandang mata Liong-li yang tajam.
"Pernahkah ada serangan yang ditujukan kepada paduka?"
259 Sang Permaisuri menjebikan bibir bawahnya yang merah dengan
sikap menghina. "Mereka takkan mampu! Kalau saja mereka
berani memperlihatkan diri, pasti akan dapat tertangkap! Pasukan
pengawalku cukup kuat, ditambah pasukan rahasia, dan masih
ada lagi Bi Cu dan Bi Hwa. Akan tetapi pada suatu malam pernah
Bi Cu dan Bi Hwa mendengar suara mencurigakan di luar
kamarku di taman. Mereka mengejar, akan tetapi bayangan itu
melarikan diri dan meninggalkan sebatang senjata rahasia
beracun yang agaknya tercecer."
"Ah, kalau begitu menurut paduka, Si Bayangan Iblis itu berada di
dalam istana?" Permaisuri itu menggeleng kepalanya, "Aku tidak tahu. Mungkin
pemimpinnya berada di istana, mungkin juga yang berkeliaran di
istana itu hanya anak buah saja. Siapa tahu" Tugasmulah untuk
menyelidikinya. Yang jelas, istana ini telah dijamah oleh tangan
gerombolan penjahat yang mungkin saja dipergunakan orang
yang memperebutkan kedudukan dan mereka memiliki orangorang yang berkepandaian tinggi."
"Hamba yakin bahwa setidaknya pimpinan mereka, bahkan
mungkin Si Bayangan Iblis sendiri, bersembunyi di dalam istana,
Yang Mulia." "Bagaimana engkau dapat yakin?"
"Cian Ciang-kun bukan seorang bodoh dan dia sudah menyebar
para penyelidiknya di kota raja, namun tak pernah dapat
menemukan jejak Si Bayangan Iblis. Hal itu membuktikan bahwa
Si Bayangan Iblis tentu mempunyai tempat persembunyian yang
260 tidak dapat dimasuki para penyelidik, dan tempat seperti itu, di
mana lagi kalau bukan dl istana" Dan setelah mendengar
keterangan paduka, hamba yakin bahwa dia berada di dalam
istana induk, di bagian putera!"
"Hemm, bagaimana engkau dapat menduga begitu?"
"Yang Mulia, kalau kepala penjahat itu berada di istana bagian
puteri, bagaimana mungkin dia dapat lolos dari pengamatan
paduka yang arif bijaksana?"
Bersinar sepasang mata yang indah itu karena ia yakin bahwa
ucapan itu bukan sekedar pujian kosong belaka. "Siauw Cu,
engkau memang cerdik sekali. Dugaanmu sama dengan
dugaanku, kalau Si Bayangan Iblis benar bersembunyi di dalam
istana, tentu dia berada di bagian putera!"
"Hamba tahu dan yakin kebijaksanaan dan kecerdikan paduka.
Apakah paduka telah menemukan orang yang paduka curigai,
yang patut menjadi Si Bayangan Iblis?"
Permaisuri itu mengerutkan alisnya. "Inilah yang membingungkan, dan ini pula yang membuat kami ingin
menahanmu di sini agar membantu kami. Di istana memang
terdapat banyak orang yang pandai ilmu silat tinggi, namun
mereka adalah hamba-hamba yang setia dan tidak mungkin
mengacau. Bahkan merekapun giat membantu untuk menangkap
penjahat, namun tak pernah berhasil. Menurut penglihatanku,
tidak ada yang dapat dicurigai, dan tidak terdapat orang luar yang
mungkin bersembunyi di dalam istana."
261 "Dia mungkin saja menyamar, Yang Mulia. Mungkin menyamar
sebagai perajurit pengawal biasa, sebagai pelayan, tukang
kebun, pekerja kasar, atau juga bukan tidak mungkin kalau
anggauta keluarga sendiri yang menjadi pemimpin. Maafkan
pendapat hamba ini."
"Tidak mengapa, Siauw Cu. Memang pendapatmu itu masuk di
akal. Dan jalan satu-satunya agar kita dapat membongkar rahasia
ini adalah bahwa engkau harus dapat diselundupkan ke dalam
istana induk bagian pria."
Berdebar rasa jantung Liong-li mendengar ini. "Akan tetapi. Yang
Mulia. Bagaimana mungkin" Hamba seorang wanita dan........"
"Aku tahu. Engkau wanita dan cantik jelita lagi masih muda. Tak
mungkin engkau menjadi hamba pekerja kasar, karena engkau
terlalu cantik. Satu-satunya jalan yalah bahwa engkau harus
masuk ke sana sebagai seorang dayang atau seorang selir....."
"Tapi......!" Liong-li terkejut.
"Menjadi selir Sribaginda tidak mungkin karena hal itu tentu akan
menyolok dan menarik perhatian. Akan tetapi menjadi dayangpun
engkau tetap akan diganggu oleh para pangeran dan para
pekerja pria di sana, dan engkau kurang dihormati karena setiap
perajurit pengawalpun akan berani menggoda dan mengganggumu. Kalau menjadi selir seorang pangeran baru
engkau akan terlindung. Eh, tadi Pangeran Souw Cun ingin
mengambilmu sebagai dayangnya. Bagaimana kalau aku minta
agar engkau dijadikan selirnya yang baru?"
262 Liong-li bergidik. Ia akan dengan senang hati dan suka rela
menyerahkan badannya kepada pria yang disukanya, dan ia
sama sekali tidak suka kepada Pangeran Souw Cun walaupun
pangeran itu cukup tampan. Yang menarik hati pendekar wanita
ini bukan sekedar ketampanan wajah saja. Bahkan ia condong
membenci kepada pangeran itu yang dianggapnya membayangkan kepalsuan dan kekejian.
"Ampun, Yang Mulia. Hamba...... hamba mengabdikan diri
dengan kepandaian hamba bukan dengan tubuh hamba.
Hamba...... tidak suka menjadi selir pangeran itu......" lalu
disambungnya oepat, "Hamba tidak akan menyerahkan diri
kepada pria manapun yang tidak hamba sukai......"
Tadinya Liong-li merasa khawatir kalau-kalau permaisuri itu akan
marah akan tetapi ternyata tidak. Permaisuri Bu Cek Thian
tersenyum dan wajahnya nampak semakin cantik, lalu ia menoleh
ke belakang. "Bi Cu dan Bi Hwa, Siauw Cu ini seorang wanita gagah yang
bijaksana. Jangan engkau khawatir, Siauw Cu. Kalau engkau
tidak ingin tubuhmu dijamah pria yang tidak kausukai, biar
kuselundupkan engkau sebagai selir seorang pangeran yang aku
percaya, seorang pangeran yang baik sekali dan kalau engkau
tidak menghendaki, aku yakin dia tidak akan suka menyentuhmu."
Liong-li hampir tidak percaya akan keterangan ini. Mana mungkin
di dunia ini ada seorang laki-laki, apa lagi kalau dia pangeran,
yang tidak akan mau menyentuh seorang wanita yang telah
263 menjadi selirnya, kalau wanita itu tidak mau menyerahkan diri
dengan suka rela" Sudah terlalu banyak ia mendengar akan nasib para wanita yang
dipaksa menjadi dayang atau selir para bangsawan, kalau tidak
diperkosa secara biadab, tentu ditundukkan dengan obat bius,
dengan obat perangsang, atau dengan alat lain. Namun, terhadap
segala macam obat atau cara lain itu ia tidak takut. Asal pangeran
itu tidak memaksanya, ia mampu menjaga diri.
"Siapakah pangeran itu, Yang Mulia?"
"Dia Pangeran Souw Han, usianya baru duapuluh tahun dan
berbeda dengan para pangeran lain, sampai sekarang dia belum
mempunyai seorangpun selir. Bahkan beberapa orang gadis yang
menjadi dayang dan pelayannya, belum pernah ada yang
diganggunya. Dia seorang yang tekun mempelajari sastera dan
seni dan tidak pernah mau memperebutkan kedudukan sehingga
tidak seorangpun membencinya di istana ini. Nah, dengan
menjadi selirnya, lain orang tidak akan berani mengganggumu
dan engkau dapat dengan leluasa melakukan penyelidikan. Dan
dia sendiripun tidak akan mengganggumu, Siauw Cu."
"Tapi, Yang Mulia. Kalau beliau tidak pernah mau mempunyai
selir, bagaimana hamba dapat menjadi selirnya" Tentu beliau
akan menolak." "Hemm, kalau aku sendiri yang menghadiahi seorang selir
kepadanya, bagaimana dia berani menolaknya" Dia amat sopan
dan tahu aturan. Engkau akan menjadi selir pertamanya, akan
264 tetapi aku yakin, kalau engkau tidak mau dijamahnya, dia terlalu
angkuh untuk merendahkan diri memaksamu. Bagaimana?"
Liong-li tertarik sekali. Kalau memang ada seorang pangeran
yang seperti itu, tentu ia akan aman dan akan mudah sekali
melakukan penyelidikan. "Akan tetapi, bagaimana kalau beliau
curiga kepada hamba?"
"Tidak. Sudah kukatakan, Pangeran Souw Han
mencampuri urusan persaingan. Kalau kujelaskan
bahwa engkau kuselundupkan sebagai selirnya untuk
Si Bayangan Iblis, tentu dia tidak akan menaruh
kepadamu." tidak mau kepadanya menyelidiki curiga lagi "Baiklah kalau begitu, Yang Mulia."
"Y" Hek-liong-li mengerling ke arah pemuda itu dan jantungnya
berdebar penuh kagum. Seorang pemuda yang masih muda
sekali, usianya paling banyak duapuluh tahun, namun sikapnya
demikian dewasa. Begitu tenang, begitu wibawa, begitu sopan
santun ketika dia menghadap Sang Permaisuri yang
mengundangnya. Pemuda itu begitu memasuki ruangan, langsung saja
menghampiri sang permaisuri, tidak sedikitpun melirik kepadanya
atau kepada Bi Cu dan Bi Hwa. Dengan sikap hormat dia berlutut
dengan sebelah kaki dan merangkap kedua tangan di depan
dada. 265 "Semoga Thian selalu melindungi Ibunda dalam keadaan sehat
dan bahagia selalu," katanya. Ucapannya juga lembut dan halus,
dengan kata-kata yang indah.
Bukan main pemuda ini, pikir Liong-li. Amat menarik, amat
mengagumkan, akan tetapi juga membuat orang merasa
canggung dan segan! Dengan sudut kerling matanya, tidak berani
terlalu menyolok, diam-diam Liong-li mempelajari pemuda yang
kini sudah dipersilakan duduk di atas kursi berhadapan dengan
Sang Permaisuri itu. Pangeran Souw Han yang menghadap itu usianya kurang lebih
duapuluh tahun, pakaiannya seperti pakaian pangeran, akan
tetapi tidak terlalu mewah, bahkan mirip pakaian seorang
sasterawan, hanya terbuat dari sutera halus dan topinya
menunjukkan bahwa dia seorang pangeran.
Pakaian itu rapi dan bersih, akan tetapi tidak pesolek, bahkan
sederhana. Juga ketika dia memasuki ruangan itu, tidak tercium
semerbak wangi seperti ketika Pangeran Souw Cun masuk tadi.
Nampaknya seperti seorang pemuda biasa, namun wajahnya dan
pembawaannya sungguh membuat Liong-li kagum bukan main.
Sudah banyak ia berteman pria, akan tetapi belum pernah
bertemu dengan seorang pria setampan ini, sehalus ini. Seperti
wanita berpakaian pria saja! Hanya sepasang alis berbentuk
golok yang hitam tebal itu saja yang menunjukkan dia seorang
pria tulen, juga kalamanjing di lehernya.
Wajahnya berkulit demikian putih halus seperti dibedaki saja, dan
kedua pipinya merah jambon seperti buah tomat, segar seperti
266 pipi gadis remaja saja. Hidungnya agak besar dan mancung,
sepasang matanya lebar dan lembut, dan mulutnya" Hampir
Liong-li sukar mengalihkan pandang matanya dari mulut itu. Bibir
itu begitu merah seperti dipoles gincu. Akan tetapi tidak, bibir itu
memang merah karena segar dan sehat.
Ih, kau mata keranjang, Liong-li memaki diri sendiri dan iapun
menundukkan pandang matanya yang tadi melekat di pipi dan
bibir itu. Ia bukan seorang yang gila sex, bukan budak nafsu
berahi. Ia hanya mau bermain cinta dengan pria yang benarbenar disukanya, bukan sembarang lelaki asal tampan saja! Akan
tetapi ketampanan pangeran muda ini sungguh membuat ia
terpesona, bukan membangkitkan gairah, hanya membangkitkan
kagum dan heran mengapa di dunia ada seorang pria yang
demikian tampannya! Seperti gambar saja!
"Anakku Pangeran Souw Han yang baik, sungguh engkau
menyenangkan sekali hatiku. Terima kasih, pangeran. Dan
engkau juga nampak sehat. Bagaimana dengan pelajaranmu"
Aku mendengar engkau rajin sekali mempelajari sastera dan
seni." "Berkat doa Ibunda Permaisuri, hamba memperoleh kemajuan
dan dapat menikmati ilmu yang hamba pelajari."
"Aihh, Souw Han. Lain kesempatan ingin sekali aku
mendengarkan permainanmu yang-kim dan suling, juga ingin
sekali mendengarkan engkau bersajak atau melukis. Akan tetapi
sekarang, aku mengundangmu untuk suatu urusan yang penting
sekali." 267 Wajah yang tadinya menunduk dan hanya memandang ke arah
sepatu ibu tirinya itu, kini diangkat dan sepasang mata yang
lembut itu menatap wajah sang permaisuri dengan penuh
pertanyaan. Belum pernah dia mempunyai urusan penting


Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan Permaisuri atau dengan siapa saja. Setiap hari dia hanya
sibuk dengan urusan pelajaran sastera dan seni.
"Ada urusan yang penting apakah, Ibunda?"
"Anakku, Souw Han, katakan dulu. Maukah engkau menolong
aku?" "Paduka tentu mengetahui bahwa hamba akan selalu mentaati
perintah paduka, dan tentu saja suka membantu paduka dengan
segala kemampuan hamba, asal saja perintah paduka itu benar
dan sudah sepatutnya dilakukan oleh hamba sebagai putera
paduka, Ibunda." Kembali Liong-li kagum. Jawaban itu demikian tepat dan benar,
akan tetapi juga halus sehingga tidak akan menyinggung. Kalau
permaisuri itu memiliki niat yang tidak patut, maka niat itu akan
lenyap sebelum dinyatakan oleh jawaban itu.
"Tentu saja, anakku. Dengar baik-baik. Engkau tentu telah tahu
akan kekacauan yang terjadi oleh ulah apa yang dinamakan Kwieng-cu (Si Bayangan Iblis), bukan?"
Biarpun sikapnya tetap tenang, namua Liong-li melihat betapa
pangeran itu terkejut mendengar disebutnya nama itu. "Ibunda
Permaisuri, hamba sudah mendengar akan tetapi hamba tidak
268 mencampuri urusan itu yang seharusnya ditangani oleh para
petugas keamanan." "Memang benar, anakku. Akan tetapi sampai kini usaha para
petugas keamanan itu belum juga berhasil dan engkau tentu tahu
berapa banyaknya korban yang telah jatuh. Apakah tidak sudah
sepantasnya kalau engkau sebagai seorang pangeran ikut pula
membantu agar penjahat yang membuat kekacauan itu
tertangkap?" Pangeran itu memandang heran, sepasang matanya yang lebar
itu terbelalak dan nampak indah. "Ibunda Yang Mulia, bagaimana
seorang seperti hamba dapat membantu penangkapan seorang
penjahat yang demikian lihainya?"
"Engkau bisa, anakku. Bahkan justeru kepadamulah aku
menggantungkan harapan akan berhasilnya usaha kami untuk
membongkar rahasia si Bayangan Iblis itu. Kau lihat wanita ini!"
Sang Permaisuri menunjuk ke arah Liong-li yang masih duduk
dengan kepala tunduk. "Ia adalah dayangku yang kupercaya penuh bernama Siauw Cu.
Ia seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi dan
ialah yang kutugaskan untuk menyelidiki si Bayangan Iblis,
bahkan menangkapnya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin dapat ia
lakukan kalau ia tidak diselundupkan ke dalam istana induk,
dibagian putera......"
"Ehhh" Jadi menurut Ibunda...... Si Bayangan Iblis itu berada di
dalam istana?" Sang Pangeran benar-benar terkejut sekarang.
269 "Itu baru dugaan kami, anakku. Oleh karena itu untuk menyelidiki
benar tidaknya dugaan itu, kami ingin menyelundupkan Siauw Cu
ini ke sana. Dengan demikian, ia akan dapat melakukan
penyelidikan dengan leluasa."
"Lalu apa hubungannya dengan bantuan hamba, Ibunda?"
"Agar jangan menimbulkan kecurigaan komplotan si Bayangan
Iblis, ia akan kuselundupkan ke sana sebagai selirmu, Pangeran!"
"Ahh......!" Wajah yang berkulit putih kemerahan itu kini menjadi
merah sekali dan pangeran itu menoleh kepada Liong-li. Sejenak
pandang mata mereka bertemu, akan tetapi melihat betapa
pangeran itu menjadi merah mukanya seperti seorang perawan
dilamar, Liong-li menjadi tidak tega dan iapun cepat menunduk.
"Bagaimana mungkin, Ibunda" Paduka mengerti bahwa hamba....
hamba tidak mempunyai selir dan belum ingin punya selir.....!
Kenapa tidak Ibunda berikan saja kepada para kakak pangeran
lain yang mempunyai banyak selir?"
Permaisuri Bu Cek Thian menggeleng kepala. "Aku tidak percaya
kepada siapapun lagi di sana kecuali Sribaginda Kaisar dan
engkau, anakku. Kalau kuberikan kepada puteraku, Pangeran
Tiong Cung, akan lebih mencurigakan lagi. Hanya engkaulah
satu-satunya orang dapat kupercaya, Pangeran. Demi
ketenteraman istana, bahkan kota raja dan negara, bantulah
kami. Terimalah Siauw Cu sebagai selirmu."
"Tapi...... tapi..... ah, Ibunda. Bukan hamba tidak ingin membantu.
Akan tetapi....... selir" Bagaimana kalau ia hamba terima sebagai
270 dayang saja" Seorang dayang baru" Hamba sudah mempunyai
lima orang gadis dayang, kalau ditambah seorang lagi tentu tidak
mencurigakan." "Akan tetapi kalau menjadi dayangmu, Siauw Cu harus tidur
bersama para dayang lainnya dan hal ini membuat ia tidak
leluasa melakukan penyelidikan, anakku. Kalau sebagai selirmu,
tentu boleh tinggal di kamarmu, dan malamnya ia dapat
melakukan penyelidikan tanpa dicurigai orang lain."
"Tapi...... tapi.... Ibunda......."
"Dengar dulu, Souw Han anakku. Aku sudah mendengar bahwa
engkau tekun mempelajari sastra dan seni, dan mendengar
bahwa engkau sampai sekarang belum pernah dan belum suka
bergaul dengan wanita sehingga belum mempunyai seorangpun
selir. Akan tetapi, jangan engkau mengira bahwa Siauw Cu akan
menjadi selirmu yang sungguh-sungguh!
"Kalau begitu, iapun tidak akan mau. Kalau ia mau menjadi selir
sungguh-sungguh, tentu persoalannya lebih mudah dan ia sudah
kuselundupkan menjadi selir Pangeran Souw Cun yang
menginginkannya. Akan tetapi ketahuilah, anakku, Siauw Cu ini
adalah seorang pendekar wanita.
"Ia bertugas menyelidiki dan menangkap Si Bayangan Iblis dan
iapun hanya mau diselundupkan sebagai selir asal tidak diganggu
pria manapun. Jadi, kalau menjadi selirmu sudah cocok. Engkau
tidak ingin menjamahnya, dan iapun tidak ingin disentuh pria.
Engkau hanya mengakuinya saja sebagai selir, 271 menyembunyikannya di kamarmu dan malamnya engkau biarkan
ia melakukan penyelidikan. Nah, tepat, bukan?"
Kini pandang mata pangeran itu mengamati Liong-li dengan
penuh perhatian dan agaknya dia tertarik sekali. Belum pernah
selamanya dia mendengar ada seorang wanita yang tidak mau
dijamah pria, apa lagi pangeran! Dan di samping keheranannya,
diapun kagum. "Kalau begitu, tentu saja hamba tidak berkeberatan, ibunda
Permaisuri. Walaupun tentu hamba akan digoda setengah mati
oleh para pangeran lainnya." Kemudian ditambahkannya sambil
mengerling ke arah Liong-li, "Dan asal saja ia tidak menganggu
pelajaran hamba!" Liong-li menahan senyumnya, mengangkat muka memandang
pangeran itu dan berkata. "Harap paduka tenangkan hati,
Pangeran. Hamba berjanji tidak akan mengusik atau
mengganggu paduka sedetikpun!"
Kembali dua pasang mata bertemu dan agaknya pangeran itu
bergidik ketika melihat sepasang mata yang demikian indah dan
jelitanya, juga yang mempunyai sinar mencorong, seperti mata
harimau di malam hari! "Nah, sekarang juga bawalah Siauw Cu bersamamu Pangeran.
Dan agar tidak menimbulkan kecurigaan, Siauw Cu harus
berdandan lebih dulu seperti layaknya seorang gadis yang baru
saja diboyong oleh seorang pangeran, dan biar diantar oleh enam
orang dayang pribadiku sehingga orang-orang akan tahu bahwa
selir yang kau bawa merupakan hadiahku untukmu."
272 Liong-li diajak masuk ke dalam kamar oleh seorang dayang yang
dipanggil masuk dan ketika wanita ini merias dirinya di depan
cermin, jantungnya berdebar tegang. Ia akan hidup sekamar
dengan seorang pemuda yang demikian tampannya! Hemm,
tentu membutuhkan pengerahan tenaga batin yang kuat agar
jangan sampai tergugah gairah kewanitaannya.
Kalau pangeran ini bersikap lain, misalnya seperti Pangeran
Souw Cun yang mata keranjang itu, tentu ia tidak perlu khawatir
akan perasaan hatinya sendiri karena ia yakin bahwa sikap
seorang pria seperti itu, yang mata keranjang dan kurang ajar,
tentu tidak mungkin akan mampu menimbulkan gairahnya. Akan
tetapi Pangeran Souw Han ini, hemmmm...... jantungnya
berdebar tegang juga dan ia harus berhati-hati sekali menjaga
dirinya sendiri. Setelah Liong-li menyisir rambutnya, mengenakan pakaian yang
lebih indah dari pada pakaian pelayan ketika ia menyamar Akim,
lalu mengenakan bedak tipis dan membasahi kedua bibirnya
dengan lidah, dayang yang tadi mengantarnya berias,
memandang kagum. "Nona...... sungguh cantik jelita......" kata dayang itu.
Liong-li tersenyum memandang kepada dayang itu, seorang
gadis yang usianya paling banyak delapanbelas tahun dan
berwajah manis sekali. Kalau berada di sebuah dusun, tentu
gadis ini dapat menjadi kembang dusun yang menjadi rebutan
semua pemuda. Akan tetapi di sini, di dalam istana ini, ia hanya
seorang dayang, seperti benda hiasan, seperti setangkai bunga
273 yang sudah dipetik dan ditaruh di dalam gedung indah, entah
bagaimana nasibnya kelak.
Kalau ia bernasib baik, ia akan dipilih menjadi selir seorang
pangeran. Kalau tidak, ia hanya akan menjadi dayang sampai
akhirnya ia dipaksa melayani seorang pangeran atau diberikan
kepada seorang ponggawa, seperti setangkai bunga yang
dibuang begitu saja setelah dipetik, diremas dan menjadi layu.
"Engkau juga cantik, mudah-mudahan engkau akan mampu
menjaga kecantikanmu itu," kata Liong-li dan iapun bangkit
setelah selesai berdandan. Ia lalu diantar oleh dayang itu kembali
ke dalam ruangan tadi di mana permaisuri dan Pangeran Souw
Han masih menantinya. Permaisuri Bu Cek Thian mengangkat mukanya dan jelas sekali
nampak kekaguman pada matanya ketika ia melihat Liong-li yang
kini berdandan sebagai seorang selir, dengan pakaian yang lebih
mewah dan lebih indah dibandingkan pakaian seorang dayang.
"Siauw Cu, sungguh...... sudah kuduga....., engkau cantik jelita
sekali! Mata Pangeran Souw Cun sungguh tajam bukan main,
sekali lihat saja dia sudah tahu bahwa engkau seorang wanita
yang memiliki kecantikan luar biasa!"
Akan tetapi, Liong-li melihat betapa Pangeran Souw Han hanya
memandang kepadanya sepintas lalu saja, seolah-olah ia hanya
sebuah benda biasa saja yang tidak ada bedanya dibandingkan
sebuah meja atau sebuah kursi. Dan di lubuk hatinya, ia merasa
penasaran dan kecewa! 274 Baru sekarang ia merasakan kekecewaan dan penasaran seperti
ini. Kecewa karena tidak dihiraukan oleh seorang pria! Pada hal
biasanya, kalau ia terlalu diperhatikan pria, ia malah marah.
"Ibunda Permaisuri, hamba hanya mentaati perintah paduka
ibunda, hanya untuk memberi tempat persembunyian kepada
nona.... eh, Siauw Cu ini. Akan tetapi, hamba hanya dapat
memberi waktu seminggu saja. Kalau sudah seminggu, hamba
harap paduka mengambilnya kembali agar hamba tidak terlalu
terganggu." Gemas juga perasaan hati Liong-li mendengar ucapan yang
walaupun halus namun jelas menyatakan betapa pangeran itu
merasa terganggu dan sebenarnya tidak suka kalau harus
mengambilnya sebagai selir, walaupun hanya sebutannya saja
demikian. "Yang Mulia, hamba hanya minta waktu lima hari saja. Kalau
selama lima hari hamba belum berhasil menemukan atau
membongkar rahasia Si Bayangan Iblis, hamba akan keluar saja
dari istana ini!" katanya kepada Sang Permaisuri, akan tetapi
matanya mengerling ke arah pangeran muda itu.
Akan tetapi, sang Pangeran itu agaknya malah menyambut
pernyataan Liong-li itu dengan gembira, "Bagus kalau begitu,
lebih cepat lebih baik bagiku! Mari kita pergi. Ibunda, sudah
siapkah para dayang yang akan menjadi pengikut?"
"Sudah," kata Sang Permaisuri karena memang di situ kini sudah
berlutut enam orang gadis dayang, yang akan menjadi
275 "pengantar" Liong-li yang diangkat menjadi selir Pangeran Souw
Han! Dua orang perajurit thai-kam yang gendut dan kuat dipanggil.
Mereka datang membawa sebuah joli karena seperti sudah
menjadi kebiasaan, seorang selir adalah seorang wanita yang
mendapat kehormatan, maka sudah berhak diangkut dengan
sebuah joli. Berangkatlah rombongan itu, sang pangeran di depan
dengan langkahnya yang halus, di belakangnya joli yang
ditumpangi Liong-li digotong dua orang thai-kam, dan di
belakangnya berjalan enam orang dayang permaisuri dalam
barisan dua-dua yang rapi.
Semua penjaga dan perajurit pengawal mengenal Pangeran
Souw Han, dan tahu pula bahwa enam orang dayang itu adalah
dayang-dayang permaisuri, maka tidak ada seorangpun yang
berani menghalangi atau bertanya ketika rombongan ini lewat,
dari bagian puteri memasuki istana induk.
Dan sebentar saja tersiarlah berita di dalam istana bahwa
pangeran Souw Han telah dihadiahi seorang selir oleh
Permaisuri. Berita ini mendatangkan perasaan gembira kepada
semua orang, di samping keheranan dan peristiwa ini tentu saja
menjadi bahan pergunjingan karena selama ini mereka mengenal
Pangeran Souw Han sebagai seorang pemuda yang sama sekali
tidak mau berdekatan dengan wanita!
Tentu saja timbul keinginan tahu dari mereka untuk melihat
seperti apa gerangan wanita yang terpilih menjadi selir pangeran
yang disuka ini. Akan tetapi, selir itu jarang sekali keluar dari
276 dalam kamar. Hanya beberapa orang dayang saja yang pernah
melihatnya dan dari mulut merekalah tersiar berita, bahwa selir
Pangeran Souw Han adalah seorang wanita yang cantik jelita
seperti bidadari! "Y" Ketika enam orang dayang permaisuri yang mengantar Liong-li
kembali ke istana bagian puteri, dan Liong-li sudah berada di
dalam kamar Pangeran Souw Han, diperkenalkan kepada
beberapa orang dayang pangeran itu, Liong-li merasa canggung
juga. Ia bukanlah seorang perawan dusun yang pemalu. Ia
seorang pendekar wanita yang sudah menjelajah dunia kangouw, sudah banyak pengalaman. Namun, kini diperkenalkan oleh
"suaminya" yang lemah lembut itu kepada beberapa orang
dayang, ia merasa canggung bukan main.
Dan ia melihat betapa beberapa orang dayang pelayan pangeran


Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu tidak ada yang cantik seperti dayang permaisuri, hanya wanita
biasa saja namun cekatan dan sopan. Tahulah ia bahwa memang
sang pangeran ini tidak suka diganggu wanita cantik! Ia merasa
semakin penasaran, merasa seperti ditantang kecantikannya
sebagai wanita. Selamanya belum pernah ada secuwilpun ingatan dalam
benaknya untuk memikat atau merayu pria. Dalam hal ini ia tinggi
hati. Akan tetapi, keadaan Pangeran Souw Han sungguh
membuat ia merasa rendah diri.
Kalau saja ia tidak ingat bahwa ia sedang menghadapi tugas
penting yang berat, ingin rasanya ia menyambut keadaan yang
277 dianggapnya sebagai tantangan terhadap kewanitaannya itu.
Ingin rasanya ia menjatuhkan hati pangeran yang tinggi hati
terhadap wanita itu agar pangeran itu tahu bahwa ia adalah
seorang wanita sejati, seorang wanita cantik jelita yang membuat
banyak pria terpesona, dan agar pangeran itu tidak
memandangnya sebagai sebuah kursi atau meja saja!
Setelah Pangeran Souw Han memerintahkan semua dayangnya
untuk keluar dari kamar, kini mereka hanya berdua saja di dalam
kamar itu. Liong-li duduk di atas sebuah kursi, setelah tadi ia
pindah dari tepi pembaringan. di mana ia disuruh duduk ketika
pertama kali dibawa masuk kamar dan segera pindah ke kursi
begitu para dayang keluar, sedangkan Pangeran Souw Han kini
nampak berjalan-jalan hilir mudik, nampaknya bingung dam
gelisah. Dengan sudut matanya yang mengerling Liong-li mengikuti
gerakan pemuda bangsawan itu dan hatinya merasa geli sekali,
juga kasihan. Ia dapat membayangkan betapa kehadirannya di
dalam kamar pangeran itu membuat dia menjadi salah tingkah,
bingung dan agaknya tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Pangeran," ia memanggil lirih.
Hanya lirih saja namun agaknya mengejutkan pemuda itu karena
dia tiba-tiba menghentikan langkahnya, membalik dan
memandang kepadanya. Tidak menjawab, hanya memandang
dengan penuh selidik. Mulutnya yang indah itu, dengan bibirnya
yang merah segar, nampak agak cemberut, membuat Liong-li
menjadi semakin geli. 278 "Pangeran, saya...... saya tidak ingin mengganggu paduka.
Biarlah saya mengundurkan diri, di manakah saya harus tinggal"
Di mana kamar saya?"
"Di mana lagi?" Pangeran itu berkata, bukan menjawab
melainkan bertanya, dan mulutnya makin meruncing cemberutnya. "Aku tidak seperti para pangeran lain yang
mempunyai banyak kamar! Kamarku hanya sebuah ini, kubikin
cukup luas. Ini kamar tidurku, kamar kerjaku, kamar belajarku,
kamar makan, kamar bersantai. Di sebelah itu kamar para
dayang. Di mana lagi kau dapat tinggal?"
Pangeran itu menghela napas panjang, lalu menjatuhkan diri
duduk di atas sebuah kursi. Mereka duduk berhadapan, dalam
jarak lima meter, saling pandang. Liong-li tersenyum simpul,
Pangeran Souw Han cemberut.
Liong-li mengerling ke kanan kiri. Kamar itu memang luas, seperti
empat buah kamar dijadikan satu, dan karena ruangan yang luas
itu maka hawanya sejuk dan menyenangkan. Hanya ada sebuah
tempat tidur di situ, yang didudukinya tadi. Tempat tidur yang
bersih dan cukup lebar, cukup untuk empat orang dan longgar
sekali kalau hanya untuk dua orang!
Ada meja kursi makan, meja kursi duduk, almari penuh buku,
almari pakaian, pot-pot kembang, lukisan dan sajak-sajak dengan
tulisan indah bergantungan. Lantainya bertilam permadani tebal.
Sebuah kamar yang enak ditinggali! Apa lagi berdua dengan
seorang pangeran seperti itu. Sayang muka yang tampan itu kini
muram dan mulut yang indah itu cemberut.
279 "Tempat tidurnya....... hanya sebuah......?" Ia bertanya, hanya
untuk memancing percakapan karena tanpa bertanyapun sudah
jelas bahwa di situ hanya ada sebuah tempat tidur.
Pangeran itu mengangguk. "Tentu saja hanya sebuah! Hanya aku
sendiri yang tidur di kamar ini, sejak aku, remaja!"
"Kalau begitu, biarlah saya tidur bersama para dayang di kamar
sebelah saja, Pange- ran."
"Itu baik sekali!" Pangeran Souw Han berseru gembira sambil
bangkit berdiri, akan tetapi, segera sepasang alis yang tebal
hitam itu berkerut dan dia jatuh terduduk kembali.
"Tidak mungkin! Ibunda Permaisuri tentu akan marah kepadaku.
Bagaimana mungkin seorang....... selir tidur di kamar dayang"
Tentu akan dibicarakan orang dan menimbulkan kecurigaan, dan
orang-orang akan tahu bahwa engkau hanya pura-pura saja
menjadi selirku. Semua rahasia akan terbuka dan Ibunda akan
marah kepadaku!" "Kalau begitu, jangan khawatir, Pangeran. Biarlah kalau siang
hari saya bersembunyi di sini. Dapat kulakukan pekerjaan
membersihkan semua perabot di kamar ini, mengaturnya
sehingga rapi. Kalau malam, diam-diam saya akan menyelinap
keluar dan melakukan penyelidikan......."
"Tapi tentu tidak semalam suntuk. Kalau engkau malam-malam
kembali ke kamar ini......."
280 "Tidak perlu paduka bingung. Saya dapat tidur di sudut sana itu,
di atas lantai yang sudah ditilami permadani dan saya tidak akan
mengganggu paduka. Paduka tidurlah seperti biasa di atas
pembaringan paduka dan......"
Tiba-tiba pangeran itu bangklt berdiri dan memandang kepada
Liong-li dengan mata bersinar dan alis berkerut. "Siauw Cu!
Kaukira aku ini orang apa?"
Liong-li terbelalak. "Paduka" Paduka seorang pangeran yang
terhormat......" "Lebih dari itu, aku seorang laki-laki! Seorang laki-laki sejati, tahu
engkau?" Liong-li memandang heran, terkejut dan menelan ludah sambil
mengangguk, tidak berani membuka mulut karena khawatir salah
bicara. "Dan kaukira seorang laki-laki sejati begitu tak tahu malu enakenak tidur di atas pembaringan dan membiarkan seorang wanita
menggeletak di atas lantai begitu saja" Huh! Kau kira aku
seorang laki-laki yang tidak tahu tata susila, tidak tahu
menghargai kaum wanita yang lemah?"
Sepasang mata yang jeli dan indah itu semakin terbelalak, akan
tetapi bukan hanya karena kaget dan heran, melainkan kini penuh
kagum. Bukan main pangeran ini! Sungguh jauh melampaui
segala kekagumannya! 281 "Lalu...... lalu.... bagaimana maksud paduka" Saya..... hamba...
hanya menurut saja....."
"Kalau engkau ingin tidur, siang ataupun malam, engkau tidur di
atas pembaringan ini, tidak boleh di atas lantai! Mengerti?"
Pangeran itu berkata, suaranya masih lembut akan tetapi
mengandung perintah yang tidak mau dibantah.
Liong-li mengangguk dan jantungnya berdebar aneh. Kiranya
pangeran ini tidaklah seaneh yang ia sangka, kiranya masih sama
saja dengan pemuda lainnya, menghendaki ia tidur bersamanya!
"Aku yang akan tidur di atas lantai!"
Buyarlah semua renungan memandang aneh. Liong-li dan ia terkejut lagi, "Tapi...... tapi.... bagaimana mungkin hamba tidur di atas
pembaringan sedangkan paduka, seorang pangeran...... tidur di
lantai.....?" Liong-li benar-benar terkejut.
"Aku sudah biasa. Seringkali kalau membaca kitab ketiduran di
lantai. Kalau hawa udara panas akupun tidur di lantai. Mengapa"
Engkau wanita, sudah sepatutnya mendapat tempat terbaik."
Liong-li menjadi bengong. Kalau saja ia seorang wanita cengeng
tentu ingin ia menangis saat itu. Akan tetapi, ia tidak menangis,
hanya mengamati wajah itu dan lupa bahwa ia berhadapan
dengan seorang putera kaisar ia berkata, "Pangeran, paduka.......
paduka adalah seorang jantan, seorang laki-laki yang...... hebat!"
282 Wajah yang berkulit putih halus itu menjadi kemerahan, "Hushh,
jangan coba merayuku! Engkau duduk yang baik dan mari kita
bicara. Engkau harus berterus terang karena aku harus mengenal
benar siapa wanita yang tidur di kamarku. Siapa namamu?"
Liong-li tersenyum. Kini ia mengenal watak pangeran ini. Seorang
Pendekar Pengejar Nyawa 22 Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H Kereta Berdarah 16

Cari Blog Ini