Ceritasilat Novel Online

Naga Jawa Negeri Di Atap Langit 1

Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma Bagian 1


NAGABUMI III "NAGA JAWA NEGERI DI ATAP LANGIT"
SENO GUMIRA AJIDARMA Sebuah karya terbaru Seno Gumira Ajidarma yang di sajikan
dalam bentuk Cerita Bersambung di Koran Jawa Pos periode Juni
2014 - Juli 2015. sumber : Naga Jawa MEGA-MEGA tersibak melingkar tepat di atas Kamulan Bhumisambhara pada tahun 794 Saka, ketika di Celah Kledung,
lelaki 101 tahun yang disebut Pandyakira Tan Pangaran itu
mengangkat alat tulis yang disebut tanah 1 dari lembaran karas 2,
yang sejak lama dari saat ke saat telah ditulisinya. Dari aksara ke
aksara, dari kata ke kata, dari kalimat ke kalimat, mengalir riwayat
sejauh yang bisa diingatnya. Adegan demi adegan, peristiwa demi
1 peristiwa, membentuk lorong waktu tempat segala sesuatu yang
dirasakannya, suka maupun duka, seperti kembali sepenuhnya.
Ia menatap langit dan menghela napas panjang.
"Kitab Nagabumi ini masih jauh dari selesai...," desisnya.
Ia tidak tahu apakah kitab itu akan pernah selesai seperti yang
dibayangkannya, karena waktu yang setiap saat bisa merenggutnya, bukan saja karena usianya yang berada pada
tahun-tahun terakhir daya hidup manusia, tetapi juga karena terlalu
banyak manusia yang ingin mengakhiri kehidupannya secara
paksa. 2 Salwaning Yawabhumi nora wani langghana sahanani ceshaning
pejah Singgih tan hana nusa cakti wenang anglawan ri sira
Wishnnu nginnddarat. (Di seluruh Pulau Jawa tidak ada seorang pun di antara mereka
yang tertinggal tidak terbunuh berani melawan (Jayabhaya).
Sungguh, tidak ada pulau yang sakti dapat melawan (Jayabhaya),
karena ia adalah penjelmaan Wishnnu di dunia ini).
Mpu Panuluh, Kakawin Bharata-Yuddha, 1079 Saka
*** LANGIT, dan hanya langit menjadi saksi ketika banjir besar
bergerak perlahan dari saat ke saat, ketika matahari terbit maupun
matahari tenggelam, ketika malam pekat berhujan maupun langit
terang dengan bulan purnama penuh bintang. Banjir besar
bergerak dari kutub-kutub es terbeku yang mencair, kadang
bergerak dengan sangat amat cepat, kadang bergerak dengan
sangat amat lambat, tetapi dengan pasti menyelimuti hampir
seluruh permukaan bumi dan hanya bumi yang belum hadir
dengan cerita tentang kesucian dan kejahatan, kekuasaan dan
pemberontakan, kesetiaan dan pengkhianatan, sehingga langit
senja hanya dapat menjadi merah tanpa cinta, tanpa kerinduan dan
3 tanpa kehilangan, karena tiada satu pun makhluk yang kelak
disebut manusia ada untuk menyaksikannya.
Itulah suatu masa yang sudah terlalu lama silam, begitu lama,
sangat amat lama, bagaikan tiada lagi yang lebih lama, meski
ternyata terjangka berlangsung 18.000.000 tahun yang lalu.
Hanya langit yang menyaksikan betapa wajah bumi menjadi
berubah, ketika selanjutnya lempeng-lempeng di bawah permukaan bumi bergeser, satu-satunya benua retak, pulau-pulau
besar terbentuk, sementara di segala tempat dan segala keadaan
bumi diselimuti air, dan tiada lain selain air, saat permukaan laut di
segala pantai mengalami pasang naik, hanya naik, dan terusmenerus naik menelan pantai, menelan sungai, menelan rawa,
menelan hutan, menelan padang, dan hanya menyisakan dataran
tertinggi. Lima kali banjir besar dalam rentang berjuta-juta tahun telah
mengubah wajah bumi yang hanya tampak sebesar merica dalam
peredaran semesta di ruang takterbatas nan hampa yang
menghadirkan keheningan tiada tara.
Bumi yang terbenam tak tinggal diam ketika segala kepundan di
dasar laut menggelegak, mencuat dan mendongak, dan dengan
4 segala daya membara, bergerak sepanjang waktu dengan
kecepatan terlambat menembus permukaan laut memunculkan
rangkaian pulau-pulau bergunung api yang segala kepundannya
dari masa ke masa menyemburkan abu berapi ke udara,
memuntahkan gelombang asap terpanas yang menjadi awan
hitam yang menggelapkan langit, mengakibatkan hujan abu yang
berhembus bersama angin ke seluruh penjuru bumi, sementara
lahar yang mengalir dari saat ke saat setiap kali terjadi letusan
mengubah tanah yang kelak menjadi rumah bagi segala macam
makhluk yang ketika saling memperebutkannya akan menumpahkan darah. Makhluk-makhluk muncul dan punah terhisap rawa-rawa tanah liat,
gajah-gajah purba yang gagah melengking dengan belalai
menegang kencang-kencang bagai salam perpisahan bagi dunia
apabila tubuh dan kaki raksasa mereka takbergerak, terjebak, dan
ketika dalam derasnya hujan pada malam terpekat kilat berkeredap
dan guntur menggelegar, tampak burung-burung purba yang
matanya tetap tajam dalam kegelapan menyambar dengan curang
dari angkasa dengan tiada semena-mena, tanpa perasaan iba
untuk membuat sekadar luka tanpa hasrat menyantapnya, karena
juga dalam dunia tanpa makhluk yang kelak disebut manusia
5 bunuh-membunuh adalah nyanyian tanpa makna selain naluri
mempertahankan kehidupan belaka.
Malam demi malam yang terhitam dalam rimba tergelap, terpekat,
dan terkelam saling bergantian memusnahkan dan melahirkan
zaman. Banjir besar terakhir yang berlangsung 10.000 tahun lalu
telah disaksikan makhluk berkaki dua yang berjalan dengan
punggung tegak dan bermukim di dalam gua. Mereka telah
mempelajari segala sesuatu di bumi dengan sangat lambat, amat
sangat lambat, bagaikan tiada lagi yang lebih lambat sejak
2.000.000 tahun lalu, dan dengan segala kelambatan dan
kelambanannya ini pun mereka segera punah, untuk segera
digantikan makhluk berjalan tegak lain yang kali ini mampu
merenung, menimbang, dan mengarang.
Mereka memang bukan sekadar makhluk yang berjalan tegak,
tetapi juga berdaya dalam tipu muslihat untuk bertahan di antara
begitu banyak makhluk yang saling berbunuhan, yang juga suka
memandang langit dan bintang-bintang dan sibuk menduga
apakah benar di suatu tempat yang disebut rembulan leluhur
mereka sedang duduk memandangi mereka dari kejauhan.
Di pulau dengan gunung-gunung berapi yang dari tahun ke tahun
bergantian meletus, memuntahkan lahar, dan melepaskan awan
6 terpanas ke angkasa itu tidak pernah terjadi lagi banjir besar yang
mengubah wajah bumi. Mereka tidak pernah pergi dari pulau itu,
sebaliknya orang-orang datang dari berbagai tempat yang jauh,
untuk tinggal dan kembali pergi, maupun untuk tinggal, menetap,
dan tidak pergi lagi. Pada abad ke-11, pulau itu telah disebut Yavabhumi, yang artinya
tiada lain selain Pulau Jawa.
PADA kegelapan dini hari bulan Magha tahun 693 Saka atau 771
Masehi1 di suatu wilayah di Kerajaan Mataram, seorang
perempuan melahirkan di dalam sebuah rumah berdinding kayu
dan berlantai batu. Itulah satu di antara sejumlah catatan terserak
yang selama ini dihubungkan dengan hari kelahiran Pendekar
Tanpa Nama. Lembar catatan itu berakhir dengan pertanyaan
perempuan berambut panjang tersebut kepada suaminya, ''Kita
namakan siapa anak ini, Kaka?"2
Kelanjutan atas asal-usulnya itu sendiri belum pernah menjadi
lebih jelas. Dalam arti barangkali saja sebetulnya ia memiliki nama,
bahkan dapat dipastikan betapa orang tua tentu akan memberikan
suatu nama kepada anaknya. Namun catatan atas suatu peristiwa,
yang selama ini dihubung-hubungkan dengan kelanjutan riwayat
bayi tersebut, ternyata juga tidak menyebutkan suatu nama, ketika
7 disebutkan betapa pada bulan Margasirsa tahun 694 purnama
tertutup mega-mega, pasukan berkuda berderap menuruni bukit
untuk menyerbu sebuah gubuk dengan maksud merampas bayi
yang berada di dalamnya. Lembar catatan itu berakhir dengan ucapan pemimpin pasukan
berkuda yang telah membakar gubuk tersebut.
''Bayi itu tidak ada! Kejar ke sana! Kejar!''
Tidak ada nama yang disebutkan, selain catatan bahwa bayi yang
dicari itu telah diselamatkan sepasang abdi lelaki berkain panjang
dengan bunga di kepalanya dan abdi perempuan dengan rambut
tersanggul yang juga berkain panjang. Seorang lelaki berambut
panjang terurai, yang berkalung, berikat pinggul, dan berkelat
bahu, menyerahkan lempir lontar kepada abdi lelaki itu.
''Tunjukkan ini, ia pasti mengenalnya, dan tentu akan bersedia
menyembunyikan kalian bersama bayi itu."
Abdi lelaki itu memasukkan lempir lontar tersebut ke dalam
kantung kulit bergambar kura-kura di atas teratai. Bayi itu sendiri,
dibungkus kain sutera bersulam benang emas, telah berada dalam
dekapan abdi perempuan. Tercatat bahwa ketika pasukan berkuda
itu tiba, keduanya sudah keluar gubuk dan hilang ditelan gelap.
8 Gubuk itu berada di sebuah ladang di tepi sungai kecil. Selain lelaki
berkelat bahu yang memerintahkan abdinya lari membawa bayi
tersebut, terdapat pula seorang perempuan yang rambutnya
terurai, berkalung, dan berkelat bahu. Disebutkan betapa
perempuan itu terbaring di atas dipan dengan lemah dan meskipun
di samping gubuk terdapat dua ekor kuda, yang ternyata juga
sudah lelah, ia tidak ingin menghindari pasukan berkuda yang
menyerbu itu. Dalam suatu lempir keropak yang digurat dengan pengutik, tertulis
betapa lelaki itu berlutut dan memeluk istrinya ketika pasukan
tersebut tiba dan membakar rumah gubuk itu sampai habis tanpa
sisa. Siapakah pasangan yang menyerahkan bayi itu untuk diselamatkan oleh kedua abdinya tersebut" Busana keduanya
telah dicatat tidak sesuai dengan rumah gubuk sederhana di tepi
sungai itu. Kedua ekor kuda yang lelah di samping rumah
menunjukkan betapa mereka sedang dalam pengejaran. Mengapa
pasukan berkuda itu mengejarnya" Pasukan berkuda yang masih
terus memburu mereka itu pasukan penguasa yang resmi atau
pasukan pemberontak" Kepada siapakah bayi itu dibawa dan
apakah pesan yang tertulis pada lempir keropak itu" Catatan pada
lempir-lempir keropak lain yang ditulis dalam hubungannya dengan
9 Pendekar Tanpa Nama, sampai catatan ini ditulis, tidak dapat
menunjukkan asal-usul dan tidak dapat juga menunjukkan siapa
namanya. Bahkan kejelasan tentang nama ini juga tidak terdapat dalam
tulisan Pendekar Tanpa Nama sendiri...
PADA tahun 871, seorang lelaki tua berusia 100 tahun mulai
menggurat-guratkan pengutik di atas lempir-lempir lontar, sambil
berusaha keras mengingat-ingat, apakah yang mungkin telah
dilakukannya sebagai kesalahan, sehingga Kerajaan Mataram
mengirim kesatuan prajurit terpilih untuk membunuhnya di tempat,
seketika itu juga, padahal ia telah mengundurkan diri dari dunia
persilatan sampai 25 tahun lamanya, melakukan olah dhyana di
dalam gua. Apabila kemudian para prajurit itu gagal, ternyata lantas beredar
lempir-lempir lontar dengan guratan yang menggambarkan dirinya,
sebagai tawaran bagi para pemburu hadiah maupun vetanaghataka atau pembunuh bayaran untuk mencabut nyawanya,
dengan hadiah 10.000 keping emas. Setelah mencoba dengan siasia mencari jawaban yang meyakinkan, mulailah ia meneliti
dengan terperinci riwayat hidupnya sendiri.
10 Demikianlah sejarah mencatat bahwa Pendekar Tanpa Nama telah
menuliskan riwayat berjudul Kitab Nagabumi. Pada gulungan
keropak yang telah bertumpuk-tumpuk karena ditulis setiap hari
selama beberapa tahun, Pendekar Tanpa Nama yang mengawali
penulisannya pada usia 100 tahun mengaku betapa ingatan
terjauh dari masa kecilnya adalah desing pisau terbang, desis
jarum-jarum beracun, dan bunyi logam berdentang dari pedang
yang beradu. Ini masih ditambah suara jeritan manusia yang
terluka, jeritan terakhir sebelum binasa, maupun suara hiruk-pikuk
yang penuh dengan bentakan, makian, dan lagi-lagi suara
kesakitan, yang kemudian masih dikenalinya akan disusul bunyi
darah terciprat. Tiada juga suatu nama dalam riwayat itu.
Hanya suara-suara. Terutama suara roda gerobak yang dilarikan
seekor kuda. Dalam ingatan Pendekar Tanpa Nama dunia
berguncang, karena dirinya sebagai bayi ternyata berada di dalam
gerobak itu. Suatu gerobak yang melayang jatuh ke jurang tanpa
dirinya, karena seorang perempuan pendekar telah menyambarnya keluar ketika kuda itu melaju. Sais gerobak itu
telah terbunuh oleh gerombolan yang memburunya. Disebutkan


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa sejumlah orang berlompatan dari atas kuda ke dalam
gerobak, seperti berusaha merampas bayi tersebut, bahkan telah
11 memapas leher perempuan yang menggendongnya, sehingga
darahnya yang menciprat membuat wajah si bayi sama sekali
merah. Perempuan pendekar itu menarik dan melempar keluar lelaki
bergolok hitam yang berada di dalam gerobak, hanya untuk
dihabisinya kemudian bersama 30 anggota gerombolan yang
menyerang gerobak itu seperti lebah mengerumuni madu. Di luar
gerobak, suaminya yang juga seorang pendekar telah bergerak
membasmi tanpa pandang. Dalam waktu singkat tigapuluh orang
tergeletak di jalan dengan luka mematikan.
"Kaum pengecut tidak tahu malu," ujar suaminya itu, sambil
menguapkan darah pada pedangnya dengan saluran tenaga
dalam melalui tangannya, sehingga pedang yang bersimbah darah
itu berkilat cemerlang kembali.
Maka bayi itu pun diasuh oleh Sepasang Naga dari Celah Kledung.
Sepasang pendekar dengan Ilmu Pedang Naga Kembar yang tak
terkalahkan. Mereka menolak untuk menjadi pendekar tingkat
naga yang kesepuluh dari Pahoman Sembilan Naga, para
pendekar yang karena kesaktiannya mendapatkan wibawa naga,
dan mendapat kepercayaan untuk menjaga keseimbangan dunia
persilatan di tanah Jawa.
12 Terhadap bayi lelaki yang diasuhnya itu pun Sepasang Naga dari
Celah Kledung tidak memberikan suatu nama.
BARU pada usia 15 tahun ia mengetahui perihal ketidakjelasan
asal-usulnya. Suatu peristiwa yang baginya terasa begitu pedih,
dan semakin hari semakin pedih, bukan karena kenyataan betapa
dirinya memang tidak mengetahui namanya sendiri, melainkan
karena pada hari terungkapnya kenyataan itulah Sepasang Naga
dari Celah Kledung pergi meninggalkannya, dengan pesan bahwa
mereka pergi untuk melayani tantangan bertarung dan jangan
diharapkan akan pernah kembali.
Kepedihan karena berpisah untuk selama-lamanya itulah, dan
bukan kenyataan bahwa dirinya tiada bernama, yang mengendap
ke dasar lubuk hatinya. Masih selalu terbayang olehnya
pemandangan itu, Sepasang Naga di atas kuda masing-masing
dengan pedang di punggungnya, melangkah pelahan pada suatu
senja melalui celah antara dua dinding batu yang menyembunyikan tempat tinggal mereka, sehingga mereka bertiga
dapat hidup terbebaskan dari hiruk-pikuk dunia, mempelajari ilmu
silat dari kitab yang satu ke kitab yang lain bagai tiada hentinya.
Tentang namanya itu, Pendekar Tanpa Nama menuliskan pada
lempir-lempir lontar adegan berikut: 13 Airmataku mengalir deras membasahi pipi. Kenyataan betapa
keduanya telah memungutku, dari nasib yang lebih jauh lagi dari
pasti, telah membuat kepedihanku semakin tajam dan dalam.
Namun sebelum mereka berangkat kutanyakan sesuatu.
"Siapakah sebenarnya namaku, Ibu?"
Ibuku tampak menahan airmata ketika telah duduk di atas
punggung kuda. "Kami tidak mengetahuinya Anakku, kami tidak tahu namamu
ketika menemukanmu dan kami membiarkannya tetap seperti itu.
Kami tidak ingin mengubah jalan hidupmu meski kami wajib
menurunkan ilmu silat agar dikau bisa membela diri dari bahaya
yang mengancam hidupmu itu, tetapi selebihnya kami biarkan
dirimu tumbuh sebagai dirimu, kami hanya harus selalu memupuk
pertumbuhanmu itu." "Bapak, Ibu, jangan pergi!"
Namun mereka menarik tali kekang kudanya dan pergi.
Selama ini Sepasang Naga dari Celah Kledung hanya memanggilnya dengan sebutan, "Anakku," dan ia tidak merasakan
terdapatnya kekurangan dalam kehidupannya sebagai seorang
14 anak, karena limpahan kasih yang diterimanya tiada bisa dikatakan
lain selain lebih dari sekadar cukup.
Namun limpahan kasih sepasang pendekar yang sungguh tahumenahu kehidupan dunia yang keras, baik dalam dunia awam
apalagi dalam dunia persilatan yang tiada lain selain seni
pembenaran kekerasan, bukanlah jenis kasih sayang bagi
sembarang bayi berkuncung ingusan berkalung tali kulit dalam
ayunan kain gendongan. Permainan apa pun bagi anak kecil tak
bernama ini, baik permainan bayang-bayang maupun permainan
cahaya, segalanya terarahkan kepada penyempurnaan atas daya
kecepatan dan kepekaan, ketepatan dan ketenangan, serta
ketajaman dan kehalusan. "Di tempat mematikan, dikau hanya cukup memberi sentuhan,
maka telah dikau sempurnakan hidupnya tanpa penderitaan," ujar
keduanya setiap saat bergantian, "bertarunglah tanpa melibatkan
perasaan, hanya pikiran yang bersenyawa dalam gerakan, akan
terbuka bagimu kemungkinan menjadi penentu yang mengakhiri
perlawanan." Bagi sepasang pendekar ini, meskipun begitu berarti ilmu silat bagi
mereka, tiadalah seorang penyoren pedang akan menjadi
pendekar, yang pertimbangannya atas mati hidup lawan-lawan
15 bertarungnya akan bijaksana, tanpa per?bendaharaan pengetahuan atas kehidupan dan kematian. Demi pengetahuan,
Sepasang Naga dari Celah Kledung selalu mencari maupun
mengundang para empu dari berbagai bidang ilmu, dan melibatkan
mereka ke dalam perbincangan yang saling mencerdaskan, ketika
keduanya paham belaka betapa anak asuh tak bernama yang
selalu ingin mengetahui segala sesuatu tentang dunia itu, dari balik
dinding akan diam-diam mendengarkan.
Mereka memang memikirkan anak asuhnya, justru karena anak
yang tak pernah mereka ketahui namanya dan tak hendak pula
mereka gantikan namanya itu bukanlah anak kandung mereka
sendiri, tetapi perlintasan ruang telah menempatkan keduanya
berperan dalam perjalanan hidup anak itu mengarungi waktu ke
masa depan. Menyadari perpisahan yang setiap saat mungkin
terjadi dalam dunia persilatan yang penuh pertarungan, mereka
tuntaskan curahan ilmu persilatan dan segala pengetahuan dalam
keberlimpahan kasih sayang.
Semua itu dirasakan, disadari, dan dinikmatinya, sehingga
perpisahan yang begitu tak terduga menghempaskannya ke dalam
kemurungan yang panjang. 16 Maka, remaja yang kelak akan disebut sebagai Pendekar Tanpa
Nama itu pun memasuki babak baru dalam kehidupannya, karena
dalam kemurungannya ia memutuskan untuk pergi mengembara.
PERISTIWA itu terjadi tahun 786, tulis Pendekar Tanpa Nama
dalam riwayat hidupnya, ketika Rakai Panunggalan baru dua tahun
naik tahta, dan masih akan 17 tahun lagi berkuasa, ketika mereka
yang setia kepada Rakai Panangkaran dalam masa kekuasaan 38
tahun sebelumnya memilih untuk tak tunduk dan tak takluk, meski
tidak tercatat adanya perang dan pertentangan dalam pergantian
kekuasaan itu. Namun wilayah Mataram seperti kembali menjadi terbuka, tempat
penguasa-penguasa di wilayah yang jauh dari kotaraja Mantyasih
dapat mempertimbangkan kembali hubungan mereka dengan
pusat kekuasaan. Suatu keadaan yang memisahkan wilayahwilayah peradaban dalam perlindungan kerajaan, dengan wilayah
tak bertuan tempat kekuasaan dengan segala cara mendapat
perlawanan. Demikian pula keadaan yang berlaku dalam dunia persilatan.
Salah satu dari Pahoman Sembilan Naga, yakni Naga Hitam, demi
kehendaknya untuk mencapai tempat mana pun yang memungkinkan dirinya berkuasa, telah mengembangkan suatu
17 persekongkolan. Antara lain disebut-sebut bahwa Naga Hitam
telah menggunakan jasa guhyasamayamitra atau perkumpulan
rahasia, baik itu Cakrawarti yang jaringan rahasianya tertanam dari
pemukiman paria sampai istana, maupun kelompok penyusup
Kalapasa atau Jerat Maut yang akan bekerja untuk siapa pun yang
mampu membayarnya. Dengan ilmu silat tingkat naga, yang telah membuatnya mendapat
wibawa naga, Naga Hitam tidak mendapat pembenaran untuk
terlibat dalam perebutan kekuasaan. Namun, meski Ilmu Pedang
Naga Hitam yang dikuasai dan diajarkan kepada banyak muridnya
belum tercatat dapat dikalahkan, sebenarnyalah Naga Hitam
belum membuktikan dirinya paham dengan seluk beluk permainan
kekuasaan. Terutama permainan kekuasaan di istana kerajaan
yang penuh dengan jaringan rumit muslihat tak teruraikan.
Di antara para penggenggam ilmu silat tingkat naga, hanya Naga
Hitam yang mempunyai banyak murid, karena memang mendirikan
Perguruan Naga Hitam, dan murid-muridnya itu termasuk ke dalam
golongan hitam, karena mereka semua tidak memerlihatkan sikap
kependekaran. Jika seorang pendekar dengan segala kelebihan
ilmunya terwajibkan membela yang lemah dan tidak berdaya,
maka murid-murid Naga Hitam justru menindas mereka yang
lemah dan tidak berdaya itu.
18 Demikianlah disebutkan dalam golongan para pengampu silat,
terdapatlah yang disebut golongan putih, golongan hitam, dan
golongan merdeka. Akan halnya golongan putih dan golongan
hitam, keberhadapan dan keberpihakannya kepada golongan
masing-masing sudah jelas - bahkan golongan putih masih sangat
berpihak kepada golongan putih sendiri, ketika seseorang yang
dianggap berasal dari golongan putih melakukan tindakan seperti
yang dilakukan golongan hitam.
Para pendekar golongan merdeka adalah golongan yang paling
sulit dirumuskan sebagai golongan, karena para pendekar
golongan ini sangat berbeda-beda sikap dan perilakunya. Sejauh
yang bisa diketahui dalam perbincangan di kedai-kedai tentang
dunia persilatan, maka para pendekar golongan merdeka
memperlakukan ilmu silat sebagai jalan untuk mencapai kesempurnaan hidup. Suatu jalan yang hanya bisa ditempuh dari
pertarungan demi pertarungan sampai mereka sendiri tewas dalam
pertarungan. Kemenangan dalam pertarungan adalah kesempurnaan dalam
ilmu persilatan, tetapi hanya dengan mengalami kematian seorang
pendekar akan mencapai puncak kesempurnaan dalam hidupnya.
Maka dalam ilmu silat sebagai jalan mencapai kesempurnaan
hidup, seorang pendekar justru akan mencari lawan yang bisa
19 mengalahkannya, yang sangat mungkin akan menewaskannya,
sehingga dirinya bisa mencapai puncak kesempurnaan itu.
Naga Hitam semula dikenal sebagai pendekar golongan merdeka,
yang menempur para pendekar golongan putih maupun para
kuhaka berilmu tinggi dari golongan hitam, demi kesempurnaan
ilmu silatnya ataupun memburu kesempurnaan hidup itu sendiri.
Namun kenyataan betapa dirinya tak pernah terkalahkan telah
membuainya dengan rasa kuasa, yang kemudian bukan sekadar
membuat Naga Hitam merasa nyaman untuk memelihara rasa
kuasa itu, tetapi bahkan juga memupuk dan menyuburkannya.
Dengan Perguruan Naga Hitam yang didirikannya, dan hubungan
yang dibinanya dengan jaringan rahasia Cakrawarti dan perkumpulan rahasia Kalapasa, secara keseluruhan jaringan yang
dikuasainya membuat nama Naga Hitam sangat menakutkan.
Setiap gejala yang mengganggu keseimbangan dan ketenangan
dunia persilatan biasanya diatasi oleh Pahoman Sembilan Naga,
tetapi belum pernah terjadi sebelumnya keterlibatan dalam
permainan kekuasaan yang ditabukan para pendekar itu dilakukan
salah seorang dari Pahoman Sembilan Naga sendiri.
20 Dalam hal ini tenggang rasa adalah sumber malapetaka. Namun
bentrokan antar pendekar tingkat naga hanya akan membuat dunia
persilatan menjadi liar tanpa kendali wibawa. Simalakama!
APAKAH remaja tanpa nama itu juga ingin menjadi seorang
pendekar" Sama sekali tidak. Namun Sepasang Naga dari Celah
Kledung tetap mewariskan Ilmu Pedang Naga Kembar kepadanya,
Kitab Jurus Penjerat Naga, dan banyak sekali kitab di dalam
sebuah peti kayu, yang seluruh isinya telah terpindahkan semua
ke dalam otaknya. Pada awal pengembaraannya di Desa Balingawan, remaja tanpa
nama yang masih berumur 15 tahun itu pun bentrok dengan muridmurid Naga Hitam, sampai bertarung melawan Kera Gila, murid
utama Naga Hitam, pemimpin kaum perompak sungai yang sangat
ditakuti. Dalam Kitab Nagabumi yang dibacakan para penjaja dongeng dari
desa ke desa, dikisahkan betapa remaja tanpa nama ini menjual


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenaganya sebagai pendorong gerobak, dalam rombongan
mabhasana atau penjual pakaian yang sedang membawa bendabenda upacara peresmian prasasti pembebasan pajak ke
Ratawun. 21 Setelah membela seorang pelacur yang akan dihukum mati,
remaja tanpa nama bersama para mabhasana yang mengangkat
gerobaknya ke atas rakit besar, telah diserang para perompak
sungai yang mampu berenang seperti ikan lumba-lumba.
Dalam pertarungan melawan Kera Gila, remaja tanpa nama ini
berhasil membunuhnya, tetapi lantas pingsan karena racun gigitan
candala itu di lehernya. Bertarung di dalam air pada malam hari, ia terpisah dari rakit yang
telah menghilir dengan cepat dalam arus deras pada malam yang
berhujan bagaikan tiada akan pernah mereda. Remaja tanpa nama
itu terapung pingsan di atas kayu, dan ketika tersadar kembali
sudah berada di tepi sebuah sungai kecil.
Hari sudah terang tanah, ketika dilihatnya tulisan tergurat dengan
jari pada batu di balik permukaan sungai yang jernih:
Latih dirimu sepuluh tahun Sebelum menantang Naga Hitam
Remaja tanpa nama ini telah mendengar, betapa Naga Hitam
dipastikan akan mencari siapa pun yang telah membunuh
muridnya. Apalagi remaja tanpa nama yang bahkan tidak berminat
menjadi pendekar ini telah menerbangkan nyawa lebih dari satu
22 muridnya. Alih-alih bersikap waswas, remaja ini sebaliknya
menyimpan kehendak mencari Naga Hitam itu.
Sampai saat catatan ini dibuat, belum bisa diketahui siapa yang
mengguratkan tulisan tersebut, yang telah mendorongnya masuk
ke dalam gua penuh lorong berliku, memasuki lapis ketenangan
abadi dalam dhyana tertinggi, dalam pembayangan ilmu silat yang
diarahkan pemahaman ruang dan waktu, tempat matra bumi
berhasil dilepaskan dari peng-alam-an tubuh dan jiwanya,
menjelma keberadaan itu sendiri.
Sepuluh tahun lamanya ia mendalami ilmu silat sebagai olah
penyempurnaan jiwa maupun raga. Sendiri saja dalam gua tanpa
berbicara dan tanpa bersua siapa pun jua, melalui suatu pengalam-an ruang-waktu dalam penghayatan pikiran, sehingga
sepuluh tahun berlalu bagaikan sekejap sahaja.
Tentang peristiwa ini ia mencatat:
Demikianlah aku belajar ilmu silat dengan cara yang aneh, yang
kutemukan secara tak sengaja ketika tak sadarkan diri di tepi
sungai itu. Ataukah seseorang telah sengaja memberikannya
untukku" Jika dia seorang guru, jasanya terlalu besar untukku; dan
jika dia seorang guru, bagaimana caraku mengucapkan terima
23 kasih kepadanya" perjalananku. Karena Bahkan agaknya tanpa dia kuketahui telah mengikuti mungkin sering menyelamatkanku. Pertanyaanku tentu: Mengapa dia berbuat
begitu" Masalahnya, apakah masih penting ditanyakan kenapa" Jika
harus selalu ada sebab dari perbuatan baik seseorang, apakah
masih ada tempat bagi kebaikan itu sendiri" Betapapun, siapa pun
dia, aku harus menghormatinya. Tentang guru, kuingat dari
bacaan: Di tempat tanpa guru, satu kali pun nama Buddha takkan terdengar
para Buddha dari ribuan tahun. Pencapaian Kebuddhaan
tergantung kepada guru. Seorang murid harus mengabdi kepada guru. Aku juga ingin
mengabdi kepada hidup yang telah memberi banyak pelajaran
bagiku. Namun kini seseorang jelas telah mengarahkan aku, bukan
sekadar agar selamat dari ancaman Naga Hitam, melainkan juga
memberi pencerahan. Apakah yang bisa lebih mencerahkan
ketimbang kemampuan untuk mengatasi ruang waktu" Tubuhku
memang tidak mungkin berada di luarnya, tetapi pengolahan
nafasku telah membuat pikiranku terbebaskan dari ruang waktu itu
- ukuran ruang dan waktu mana pun tak berlaku lagi bagiku. Luas
sempit lama sebentar hanyalah kupahami sebagai kesepakatan
24 orang banyak, tapi tidak untuk diriku. Sepuluh tahun memang tetap
sepuluh tahun waktu bumi, tetapi dalam samadhi aku tak terikat
waktu bumi tersebut. Ruang berada dalam diriku, bukan aku
berada dalam ruang; dan dengan keberadaan ruang dalam diriku
maka aku pun memiliki waktuku seperti yang kumau.
Memasuki usia 25 tahun, pada tahun 796, remaja itu telah menjadi
lebih dari sekadar pemuda. Apabila sebelumnya ia telah
menguasai Ilmu Pedang Naga Kembar yang tidak terkalahkan,
bahkan terbukti mampu mengatasi Ilmu Pedang Naga Hitam,
maupun Jurus Penjerat Naga yang dipersiapkan Sepasang Naga
dari Celah Kledung untuk menghadapi lawan dengan ilmu silat
tingkat naga, kini pemuda tak bernama itu juga menguasai Jurus
Bayangan Cermin. Dengan Jurus Bayangan Cermin ini, apabila dirinya menghadapi
ilmu silat dengan jurus-jurus tak dikenal, sehingga kemungkinan
besar akan menjadikannya bulan-bulanan serangan mematikan,
maka jurus-jurus tak dikenal itu justru akan terserap untuk
dikuasainya seketika itu juga. Menguasai jurus-jurus lawan berarti
bisa menggunakannya terhadap lawan tersebut, jika perlu dengan
cara yang berbeda sama sekali, sehingga niscaya akan
membingungkannya, dan dalam kebingungannya itulah suatu
serangan telak akan mematikan.
25 Ini melengkapi perbendaharaan ilmu silat Pendekar Tanpa Nama
yang perlu dijelaskan keberdayaannya:
Jurus Dua Pedang Menulis Kematian. Pengamatannya atas ilmu
silat Pendekar Aksara Berdarah membuatnya menggubah jurus
yang mengacu kepada aksara dalam pembentukan kalimat. Dalam
ilmu silat Pendekar Aksara Berdarah, jurus lawan ditafsirkan
gagasannya dan dilumpuhkan dengan kalimat tak terbantahkan.
Maka dalam jurus sekaligus kalimat Dua Pedang Menulis
Kematian tewasnya lawan sudah tertentukan.
Jurus Penjerat Naga, yang dipersiapkan Sepasang Naga dari
Celah Kledung untuk menghadapi lawan dengan ilmu silat tingkat
naga, tidak memiliki jurus untuk menyerang, dan hanya dapat
menyerang ketika lawan menyerang lebih dulu, karena dalam
setiap serangan terbukalah pertahanan. Jurus ini ditimba dari kitab
peninggalan Pendekar Satu Jurus, yang tak terkalahkan, meski
tidak memiliki jurus apa pun kecuali menanti serangan lawan, yang
akan serentak dibalas secara telak dan mematikan.
Pukulan Telapak Darah. Jenis pukulan yang mengandalkan
tenaga dalam dan meninggalkan bekas telapak tangan sebagai
cirinya. Pukulan ini banyak dikenal dalam dunia persilatan,
sehingga meskipun kelak ia sering menggunakannya juga sebagai
26 Pendekar Tanpa Nama, pukulan ini tidak pernah dianggap sebagai
cirinya. Namun ini sering digunakannya karena tidak pernah
membawa senjata. Ilmu Naga Berlari di Atas Langit. Dengan ilmu meringankan
tubuh yang sangat tinggi, ia dapat berlari tanpa menyentuh tanah,
melesat lebih cepat dari kilat, sehingga tidak terlihat oleh mata
orang awam, yang tidak mempunyai cara untuk mengetahui bahwa
dunia persilatan itu ada. Semula pucuk rerumputan pun cukup
sebagai pijakan, tetapi dengan ilmu meringankan tubuh yang
didukung tenaga dalam amat tinggi, setiap unsur yang membentuk
udara dapat dijejak untuk melesatkan tubuhnya.
Ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang. Ilmu
pendengaran ini bekerja hanya apabila pengguna memejamkan
matanya, karena dalam keterpejaman matanya itulah lawan yang
semula tak terlacak oleh pancaindera biasa, akan terlihat
bentuknya sebagai garis cahaya kuning kehijauan dalam
kegelapan, sehingga keberadaannya diketahui.
Ilmu Bisikan Sukma. Ilmu Bisikan Sukma adalah kemampuan
berbicara ke dalam pikiran orang lain, dan jika lawan bicara
memiliki ilmu yang sama, maka antarmereka bisa saling berbicara
tanpa suara, karena cukup mengucapkannya dalam hati, yang juga
27 berarti mengirimkan pikirannya. Jika tidak ingin orang yang
memiliki ilmu sama mengetahuinya, maka hubungan antara
pembicara ini bisa dikunci, sehingga percakapan hanya dapat
diketahui antara yang saling menyepakatinya sahaja.
Jurus Tanpa Bentuk. Sesuai namanya, jurus ini tidak dapat
diketahui pergerakannya, karena langsung terlaksana sebelum
usai dipikirkan. Jurus ini bukan hanya lebih cepat dari pikiran,
melainkan lebih cepat dari kecepatan tercepat sekaligus lebih
lambat dari kelambatan terlambat, karena ditemukan berdasarkan
pemecahan masalah waktu dan ruang. Banyak pendekar
menempa diri secara jasmani untuk mendapatkan jurus paling
sempurna, tetapi jurus ini digali dari tahap ke tahap oleh Pendekar
Tanpa Nama melalui penghayatan atas pemikiran tentang gerak
dan tak gerak dalam dunia.
Betapapun menjadi pendekar bukanlah keinginannya. Semula ia
memang berpikir untuk menantang Naga Hitam, mengumumkannya ke seluruh dunia persilatan agar dapat
dipastikan kesediaannya. Selama ini Naga Hitam hanya mengerahkan mata-mata dan mengirim pembunuh bayaran, yang
meskipun selalu bisa diatasi akan terus mengganggunya. Namun
semakin berjalan ke utara semakin terpikirkan olehnya dunia di
seberang lautan yang tak terbayangkan.
28 PERJUMPAANNYA dengan keluarga pengembara Kadatuan
Srivijaya dari Samudradvipa yang menjual kemahiran bersilat,
telah mengalihkan perhatiannya. Sementara kisah yang didengarnya dari seorang tua di sebuah kedai, tentang dua kali
serbuan Wangsa Syailendra ke Tanah Kambuja, dari kota-kota
Pandhuranga dan Kauthara di pantai Annam sampai Teluk
Tongkin di utara, pada tahun 767 dan 787, semakin mengarahkannya ke pantai utara Yawabhumi.
Pemuda tanpa nama ini hanya ingin mengembara dan membuka
matanya untuk melihat dunia, tetapi keterlibatannya dalam
berbagai pertarungan ketika harus turun tangan membela yang
lemah dan tidak berdaya, terlalu sering membuat penyamarannya
nyaris terbuka. Dalam adu tenaga seperti panco, yang sebetulnya dengan mudah
akan bisa dimenangkannya, ia harus tampak seperti terdesak dan
selalu hampir kalah, melawan seorang pelaut berbadan raksasa,
meski tak juga akhirnya kalah, karena betapapun mengandalkan
tenaga dalam, tanpa seorang pun mengetahuinya.
Diawali sebuah bentrokan antara para pelaut Srivijaya dan orangorang Mataram di pelabuhan yang berhasil dicegahnya, pemuda
tanpa nama ini diterima untuk menumpang sebuah kapal dagang,
29 asal membayarnya dengan bekerja. Setelah berada di tengah
samudera barulah diketahuinya bahwa nakhoda kapal itu siapa.
Dalam bahasanya sendiri, Pendekar Tanpa Nama ketika sudah
berusia 100 tahun pada 871, menulis dalam riwayat hidupnya:
Jadi nakhoda kapal kami itulah Naga Laut! Betapa buta mataku
ternyata meski selama ini telah melihatnya. Dialah tokoh sempalan
dari Muara Jambi yang tidak sudi menyerah, sebaliknya karena
Jambi-Malayu menyerah kepada Srivijaya, maka lelaki berdestar
yang kelak akan disebut sebagai Naga Laut melepaskan ikatan
dirinya dengan Jambi-Malayu sebagai negara, meski tidak bisa
menolak asal-usulnya sebagai anak negeri Muara Jambi.
''Samudera terbentang milik setiap pelaut," ujarnya mengenai
gagasan tentang betapa lautan lepas merupakan wilayah yang
bebas. Nama Naga Laut lantas berkibar di lautan, justru sebagai momok
bagi kapal-kapal Srivijaya. Ia menyerang, menjarah, menenggelamkan, dan membakar kapal-kapal Srivijaya. Sengketa
ini tidak selalu dipahami orang-orang luar, dan kapal Naga Laut
yang tidak bisa dibedakan dari kapal-kapal Srivijaya sering
disamakan begitu saja. Hanya kadang-kadang Naga Laut
menaikkan umbul-umbulnya, yang berwarna kuning dan 30 bergambar naga, karena ia ingin menunjukkan betapa Srivijaya


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang jaya bahkan tak bisa mengatasi masalah yang ditimbulkan
olehnya. Salah satu ciri Naga Laut yang membedakannya dengan
sembarang bajak laut adalah tidak pernah melakukan pemerkosaan kepada korban; memang menjarah tapi hanya
membunuh mereka yang berbahaya, yaitu yang mengangkat
senjata untuk membunuh; dan tujuan sebenarnya jelas ditunjukkan, yakni merongrong kewibawaan Srivijaya.
Kemudian diketahui bahwa Naga Laut menjarah kapal-kapal
Srivijaya tidak untuk kepentingan dirinya sendiri. Seusai menjarah,
kapalnya akan berlayar di antara pulau-pulau terpencil, di balik
teluk dan tanjung tersembunyi, atau memasuki muara dan
menyusuri sungai-sungai besar memasuki pedalaman; selain
untuk bersembunyi, menambah perbekalan, dan memperbarui
peralatan, ternyata juga untuk membagi-bagi harta jarahan
tersebut. Tidak heran jika namanya diteriakkan dengan nada riang.
Juga harus disebutkan, untuk menghidupi dirinya sendiri Naga
Laut tidak pernah menikmati atau memanfaatkan harta rampasan
mana pun dari kapal-kapal yang dibajak dan dijarahnya. Untuk
menghidupi diri mereka sendiri, Naga Laut dan awak kapalnya
berdagang rempah-rempah, seperti yang dilakukan oleh setiap
31 pelaut yang kapalnya merupakan kapal lintas samudera pada
masa itu. Baru kuperhatikan sekarang bahwa pada umbul-umbul itu
memang terdapat garis merah terputus-putus yang membentuk
gambar seekor naga. Seolah-olah ia ingin menunjukkan kepada
armada Kadatuan Srivijaya, di lautan lepas, siapakah sebenarnya
yang berhak atas pengakuan dan wibawa naga.
Bersama kapal Naga Laut inilah sebenarnya, dari seorang pencari
kerja yang tidak punya nama, pemuda tidak bernama ini mulai
disebut sebagai Pendekar Tanpa Nama, karena dalam ancaman
bahaya, bagi dirinya maupun sesama, begitu sulit untuk tetap
berpura-pura menjadi orang awam tanpa daya. Usaha penyelamatan Putri Asoka, keturunan terakhir bangsawan JambiMalayu yang diburu orang-orang Srivijaya, bentrokan dengan
perompak Samudragni yang dibayar untuk itu, dan pertarungan
menghadapi Pendekar Dawai Maut di atas permukaan laut sedikit
demi sedikit memperlihatkan kemampuan dirinya.
TERNYATA kapal Naga Laut tidak pernah membawanya ke Fo-linfong, kotaraja Kadatuan Srivijaya di daratan Samudradvipa.
Setelah terbawa singgah ke Kota Kapur di Pulau Wangka, dan ikut
bertempur menghadapi tiga kapal Srivijaya, anak muda yang untuk
32 pertama kalinya disebut Pendekar Tanpa Nama itu menginjak
pelabuhan di wilayah Negeri Champa di Tanah Kambuja.
Di tempat yang asing baginya, bukan saja kaki tangan Naga Hitam
dari Yavabhumi telah mengenalinya, tetapi bahkan Puteri Amrita
Vighnesvara yang sakti mandraguna menantangnya bertarung
pula. Ini disebabkan karena ia tetap berdiri tegak, ketika semua orang
menggelesot ke tanah, sebagai bentuk sembah, saat putri
pemimpin bangsa Khmer yang kelak disebut Jayavarman itu tiba
dengan kudanya. Putri yang cantik jelita itu telah menyaksikan kaki tangan Naga
Hitam mengerahkan banyak orang untuk membunuhnya, dan
betapa tenang sikap Pendekar Tanpa Nama menghadapinya.
Dalam dunia persilatan, para pendekar dapat saling mengukur
tinggi-rendahnya ilmu hanya dari gerakan, bahkan juga dari
sikapnya. Jika kemudian ternyata berlangsung peristiwa seperti
yang dituliskan Pendekar Tanpa Nama, semakin besar keinginan
Puteri Amrita menantangnya.
Inilah yang ditulisnya dalam Kitab Nagabumi:
33 Hanya aku yang tidak menggelesot. Aku tetap berdiri. Para
pengawal putri bangsawan itu segera beterbangan dari atas
kudanya, siap membanting dan menyungsepkan wajahku ke
tanah. Namun saat itulah seluruh ilmu silatku tanpa diminta seolah
menjawab serangan tersebut. Tidak seorang pun di antara para
pengawal itu berhasil menyentuh tubuhku. Padahal aku seperti
tidak bergerak. Sama sekali tidak. Padahal tentu saja bergerak. Di
sekitar tubuhku suara pedang, keris, tombak, bahkan cambuk,
berdesau-desau dan meledak-ledak tanpa pernah mengenaiku.
Aku seperti tetap berdiri dan senjata-senjata itu membabat
bayangan diriku sahaja, tetapi sebenarnya aku telah bergerak
dengan begitu cepatnya tanpa terlihat sama sekali sehingga
tampak seperti tetap berdiri.
Demikianlah terceritakan betapa Puteri Amrita saling jatuh cinta
dengan Pendekar Tanpa Nama, yang sementara itu hatinya
ternyata mendua, karena selalu teringat Harini di Desa Balingawan, yang sepuluh tahun lebih tua dan telah membacakan
kepadanya Kitab Kamasutra, sembari mengujikannya pula.
Bersama Amrita, ia mengalami berbagai petualangan dahsyat,
apalagi semenjak putri bangsawan itu hilang diculik para
pemberontak Viet di Daerah Perlindungan An Nam, karena mereka
34 meminta agar Amrita bersedia memimpin dalam perjuangan
melawan kaum penjajah dari Negeri Atap Langit.
Dalam pengepungan Kota Thang-long, pasukan pemberontak
ternyata dikhianati, sehingga bukan saja pasukan gabungan itu
hancur berantakan, dibantai habis sampai Sungai Merah menjadi
betul-betul merah karena darah, tetapi juga Panglima Amrita
kehilangan nyawanya. Ditemukan rebah dengan luka dalam akibat
pukulan prana api dari belakang, ia berbisik kepada Pendekar
Tanpa Nama. ''Harimau Perang...," katanya ''merusak segalanya."
Semenjak itu kehidupan Pendekar Tanpa Nama, yang bagaikan
tanpa tujuan selain mengembara, terarah kepada perburuan
Harimau Perang. Dikenal sebagai kepala mata-mata pasukan pemberontak yang
menguasai segala rahasia, disebutkan betapa Harimau Perang
telah berbalik menggunakan penguasaannya itu demi pasukan
pemerintah Daerah Perlindungan An Nam. Jasa, kecerdikan, dan
kelicikannya disebut-sebut telah menarik perhatian pemerintah
Wangsa Tang, yang kemudian memanggilnya datang ke Kotaraja
Chang'an. Konon kemampuannya akan digunakan untuk 35 menghadapi ancaman Kerajaan Tibet dari barat dan suku-suku
Uighur dari utara yang seperti tiada habisnya menyeberangi
perbatasan dan menjarah kota-kota.
Tidak mudah melacak keberadaan seorang kepala mata-mata
seperti Harimau Perang, yang seperti langsung terbukti kemampuannya, karena tidak seorang pun ternyata pernah
melihatnya. Sebaliknya, dengan kerahasiaan tiada tara seperti itu,
keberadaan Pendekar Tanpa Nama sungguh terlacak karena
selalu berada di dekat Panglima Amrita. Maka, meskipun Thanglong tetap dikuasai pasukan pemerintah, Pendekar Tanpa Nama
menyamar sebagai bhiksu di Kuil Pengabdian Sejati, mengurung
diri dalam perpustakaannya sampai enam bulan, membaca segala
sesuatu tentang Negeri Atap Langit, yang kemas?yhurannya telah
lama terdengar sampai Yavabhumipala.
Ia mulai membaca dengan terbata, karena aksara yang baru mulai
dikenalnya. Namun dalam enam bulan kitab-kitab ilmu silat, ilmu
perang, ilmu keagamaan, dan banyak kitab tentang pengetahuan
yang kelak berguna telah berhasil dipahaminya --dan sebagai
pendekar tak terkalahkan dialaminya betapa tak mudah kerja
membaca! 36 KUIL Pengabdian Sejati di Kota Thang-long, pusat pemerintahan
Daerah Perlindungan An Nam, bukan tak pernah disusupi
pembunuh bayaran maupun mata-mata yang tak pernah jelas
dikirim dari mana, meskipun segenap penyusup itu berhasil
ditewaskan. Namun para bhiksu pun memiliki jaringan mata-mata,
yang akhirnya berhasil mengendus panggilan pemerintah Wangsa
Tang di Negeri Atap Langit kepada Harimau Perang, sehingga
Pendekar Tanpa Nama mendapatkan jejak untuk dilacaknya.
Dalam perburuan itu Pendekar Tanpa Nama dari Javadvipa
semakin lama semakin dikenal sebagai pendekar asing, yang
selain memang tidak memiliki nama juga tidak pernah terkalahkan,
karena memiliki Jurus Tanpa Bentuk yang sudah lama ingin
dipecahkan kuncinya oleh para pendekar di sungai telaga dunia
persilatan. Berita semacam ini membuat para pendekar golongan
merdeka mencarinya ke mana-mana, dan jika bertemu pun belum
tentu menantang terlebih dahulu melainkan langsung menyerangnya. Bagi para pemburu kesempurnaan ilmu silat, pertarungan itu
sendiri merupakan bagian dari pelajaran, apalagi jika menghadapi
yang berilmu lebih tinggi. Tidak terlalu jelas apakah masih disadari
betapa dalam pembelajaran itu kekalahan dalam pertarungan
hanyalah berarti kematian. Menempuh lautan kelabu gunung batu
37 dalam perjalanan menuju Negeri Atap Langit, tak terhitung
banyaknya penyamun gunung yang harus dibantainya, yang tak
jarang adalah sisa-sisa pemberontak dari masa ke masa, yang
tersingkir dan sebaiknya memang menjauh dari pusat pemerintahan. Mereka yang dengan suatu cara masih hidup atau dibiarkan hidup
oleh Pendekar Tanpa Nama akan menyebarkan cerita yang
beredar dari kedai ke kedai tentang seorang pendekar dari Ho-ling,
sebagaimana Yawabhumi dikenal di Negeri Atap Langit, yang
selain tiada bernama ternyata menguasai jurus impian setiap
pendekar itu pula. Cerita itu membuat para penyoren pedang
bergantian mengujinya untuk mengenali Jurus Tanpa Bentuk itu,
yang hampir semuanya sia-sia karena tanpa harus menggunakan
jurus itu pun nyawa mereka sudah beterbangan dibuatnya.
Lagipula, bagaimanakah caranya merasakan, mengalami, dan
melihat bentuk dari Jurus Tanpa Bentuk"
Memasuki wilayah perbatasan Negeri Atap Langit, di tengah lautan
kelabu gunung batu terdapatlah Kampung Jembatan Gantung,
tempat rumah para keturunan anak buah An Lushan, panglima
yang memberontak dan pernah menguasai Kotaraja Chang'an,
menempel di dinding-dinding jurang bagaikan sarang burung. Di
38 tempat ini Angin Mendesau Berwajah Hijau yang tinggi ilmu
silatnya, luas wawasannya, dan bijak pula tindak-tanduknya telah
menguji Pendekar Tanpa Nama. Meski tidak mengeluarkan Jurus
Tanpa Bentuk, Jurus Tarian Naga Salju yang dalam kibasannya
membuat udara setiap kali bertambah dingin, telah meyakinkannya
untuk menitipkan Yan Zi, murid perempuannya, kepada Pendekar
Tanpa Nama, agar ditemani dalam mencuri Pedang Mata Cahaya
di Istana Daming. Betapa tidak jika tubuh Angin Mendesau
Berwajah Hijau nyaris menjadi patung berlapis es"
Demikianlah disebutkan oleh Angin Mendesau Berwajah Hijau
bahwa Yan Zi Si Walet yang meskipun wajahnya kekanak-kanakan
sudah berusia 41 tahun, adalah anak An Lushan dari Yan Guifei
yang hanya mungkin jika tidak mati dicekik. Dalam catatan sejarah
disebutkan, permaisuri Maharaja Daizong itu tewas dicekik atas
keputusan Sang Maharaja sendiri, karena kedekatan Yan Guifei
dan Panglima An Lushan yang sering disebutnya sebagai anak
sendiri telah menimbulkan banyak malapetaka. Keberatan rakyat
Negeri Atap Langit sendiri bukanlah kisah hubungan itu, melainkan
pendapat bahwa terlalu banyak sanak saudara Yan Guifei bercokol
di mana-mana dalam pemerintahan.
Maka Yan Zi mungkin saja diburu untuk dilenyapkan. Mereka yang
setia kepada Yan Guifei menyingkirkannya ke Kampung Jembatan
39 Gantung agar tidak terbunuh. Bersama bayi itu terdapatlah pedang
pusaka keluarga Yan Guifei dari Shannan, Pedang Mata Cahaya
yang sebetulnya berpasangan untuk tangan kiri dan kanan. Yan Zi
telah memegang Pedang Mata Cahaya untuk tangan kanan, Angin
Mendesau Berwajah Hijau mengirimkan Yan Zi ke perguruan
Shaolin untuk mempelajari jurus-jurus tertentu bagi pedang itu,
yang bahkan pantulan cahayanya saja begitu mengenai tubuh
berubah menjadi setajam logam.
Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri berada di Istana Daming di
Kotaraja Chang'an. Tidak sembarang orang bisa mencurinya
dalam penjagaan para pengawal istana yang berilmu tinggi di


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam istana yang penuh seluk beluk kerahasiaan.
KEPADA Pendekar Tanpa Nama dititipkanlah Yan Zi. Dalam Kitab
Nagabumi tercatat ia berujar:
''Yan Zi sejak bayi hidup bersama kami dan belum pernah keluar
dari wilayah ini, kecuali ketika tinggal di Perguruan Shaolin untuk
belajar ilmu silat. Itu pun tidak pernah pergi ke mana pun karena
memang dilarang keluar dari balik tembok. Sebetulnya Perguruan
Shaolin hanya mengajarkan ilmu silat kepada para bhiksu atau
bhiksuni, tetapi mereka bersedia mengajar Yan Zi setelah kami
temui bhiksu kepala, dan menceritakan segalanya, antara lain
40 suatu ketika ia harus mengambil kembali Pedang Mata Cahaya
yang untuk dipegang tangan kiri dari dalam istana.
Serigala Merah telah menyaksikan bahwa gerakan Pendekar
Tanpa Nama tidak dapat dilihat, bahkan oleh orang-orang sungai
telaga dan rimba hijau yang ilmu silatnya sudah sangat tinggi.
Tidak usah dijelaskan lagi bahwa kami sangat mengerti, bahkan
telah lancang menguji kepandaian pendekar yang mengaku tidak
bernama, dan kami merasakan sendiri betapa ilmunya memang
tinggi. Mohon kiranya sudi menemani dan menjaga Yan Zi untuk
mengambil Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri di Istana
Chang'an.'' Tanpa bisa menolak, Pendekar Tanpa Nama yang terbiasa
mengembara sendirian kini mendapat teman seperjalanan tak
berpengalaman, meski ilmu silatnya begitu tinggi, dengan senjata
yang amat sakti sehingga mampu melumpuhkan 50 lawan
serentak dalam satu kedipan.
Dalam perjalanan di wilayah ini Pendekar Tanpa Nama diuji
kemampuannya oleh para bhiksu Shaolin maupun para jagoan
aneh Partai Pengemis. Untuk pertama kalinya ia diserang senjata
rahasia bahan peledak dan berhasil mengembalikannya, sehingga
41 penyerangnya sendiri terledakkan menjadi serpihan daging yang
masih menyala ketika berhamburan di langit malam.
Belum lagi pelacakan Harimau Perang menemukan titik-titik
terang, ia mendapat beban tambahan mencuri pedang mestika di
dalam istana, padahal keberadaan keduanya masih diselimuti
kegelapan. Namun pengembara tanpa nama itu, yang telah mengalami
petualangan melelahkan di lorong gelap terpanjang yang
menembus gunung batu, dari Daerah Perlindungan An Nam ke
perbatasan Negeri Atap Langit, telah menerima uluran tangan
Serigala Merah dan Serigala Hitam, murid-murid Angin Mendesau
Berwajah Hijau itu yang telah memperlakukannya dengan penuh
persahabatan. Melewati wilayah Seribu Air Terjun, yang setiap air terjunnya
bagaikan tirai kerahasiaan, kaki kuda mereka melangkah pelan di
jalan setapak yang menempel di dinding jurang.
Saat itulah perempuan pendekar, yang bertugas sebagai matamata dari Tibet, Elang Merah, menyerangnya dengan pedang jian
yang sengaja dibuat untuk memainkan ilmu pedang.
''Kembalikan pisauku!'' 42 Ketika Pendekar Tanpa Nama baru saja memasuki wilayah lautan
kelabu gunung batu, disaksikannya pertarungan Elang Merah yang
menyambar-nyambar lawan seperti elang dari udara, dan
bagaimana lawannya tertusuk pada perut sehingga darahnya
tumpah ke bawah bagaikan air dituang dari mulut guci.
Ia menyaksikan peristiwa yang berlangsung di udara itu dari tepi
jurang, bagaikan mereka berada di ruang hampa karena ilmu
meringankan tubuh yang luar biasa. Saat itulah perempuan
berbusana serbamerah tersebut mengibaskan tangan, dan pisau
terindah bergagang gading berukir gambar naga meluncur secepat
kilat ke arah jantungnya. Keindahan dan kemewahan pisau itu
adalah penanda selalu mengenai sasaran, dan dapat dicabut
kembali karena lawannya pasti mati.
Namun pengembara itu menangkap pisau terbang tersebut dan
menyimpannya di balik baju. Itulah yang membuat Elang Merah
muncul kembali dan menempurnya, meski Yan Zi Si Walet berada
di sana dengan Pedang Mata Cahaya bernilai mestika, yang
pantulan cahayanya bisa memutus anggota badan bagaikan logam
tertajam. Sebagai orang tua berusia 100 tahun, ia mengguratkan
kenangannya: 43 "Harus kuceritakan segala peristiwa yang telah berlangsung,
bahwa Elang Merah telah beberapa kali menyerangku dengan
maksud membunuh, tetapi beberapa kali pula diriku telah
memperpanjang masa hidupnya, telah membuat Elang Merah
bertekad mengikuti jejakku ke mana pun aku melangkah.
Hanya itulah tebusan terbaik atas semua kesalahan daku, wahai
Tuan Pendekar, mulai saat ini daku akan mengabdikan sisa
hidupku kepada Tuan Pendekar, mengikuti diri Tuan Pendekar ke
mana pun kaki Tuan Pendekar pergi.''
Perjumpaannya dengan Elang Merah mempertemukannya dengan
pembunuh kiriman Golongan Murni, yang bertugas menamatkan
riwayat Elang Merah, demi pembersihan Negeri Atap Langit dari
bangsa asing, yang mengungkap hubungan antara tiga orang
kebiri yang pernah berpapasan dengan pengembara tak bernama
itu: Si Musang sebagai pemilik kedai di suatu sudut di lautan kelabu
gunung batu; Si Tupai dalam keadaan sudah terpotong-potong di
dalam karung; dan Si Cerpelai yang sempat dikenalinya sendiri,
sebagai orang kebiri yang lidahnya dipotong sebelum bunuh diri.
Apakah yang menghubungkannya"
44 DEMIKIANLAH ketiga pendekar ini menjadi teman seperjalanan,
dan hubungan Yan Zi dengan Elang Merah yang semula dingin
beralih membara. Selama perjalanan yang tiada hentinya
melibatkan mereka dalam petualangan, pemuda dari Yavabhumi
yang unggul ilmu silatnya ini merasa tak mampu memahami apa
pun jua dari hubungan kedua perempuan pendekar itu, yang
sementara keduanya tampak akrab dan mesra, kadang tampak
saling curiga apakah masing-masing memiliki hubungan tertentu
dengan dirinya. Maka ketika Mahaguru Kupu-Kupu menyandera Yan Zi dan Elang
Merah, tiada kemungkinan lain bagi Pendekar Tanpa Nama selain
menuruti tuntutannya, yakni mencuri Kitab Ilmu Silat Kupu-Kupu
Hitam yang tersimpan di sebuah tempat bernama Shangri-La.
Kisah perjalanan Pendekar Tanpa Nama ke Shangri-La, yang
dipercaya sebagai perwujudan Shambala dalam kitab-kitab
Buddha, adalah cerita dahsyat tersendiri yang telah memukau para
pendengar pembacaan Kitab Nagabumi, seperti pertarungannya
dalam keadaan berpura-pura awam melawan para penyamun
terbang. Namun pada akhirnya Kitab Ilmu Silat Kupu-Kupu Hitam
itu berhasil dilepaskan dari penguasaan Mahaguru Kupu-Kupu
Hitam, yang untuk itu menguji daya berpikir Pendekar Tanpa Nama
dalam ilmu filsafat, yang berlangsung di puncak sebuah stupa.
45 Kitab yang dilemparkan ke angkasa oleh Mahaguru Kupu-Kupu
Hitam, dan melesat di atas gunung-gemunung, menewaskan
Mahaguru Kupu-Kupu, sehingga ilmu sihir yang menyandera Yan
Zi dan Elang Merah dapat dipudarkan.
Seperti dikisahkan para juru cerita yang membacakan Kitab
Nagabumi dari desa ke desa di Javadvipa, keberadaan Pendekar
Tanpa Nama, yang dalam setiap pertarungan yang tidak pernah
dikehendakinya itu tak terkalahkan, telah diendus banyak orang.
Kemampuannya dengan Jurus Tanpa Bentuk yang langka telah
membuat berbagai kepentingan mengikutinya, baik berdasarkan
kepercayaan maupun kehendak untuk menunggangi kemampuannya. Telah diketahui betapa Yan Zi disebutkan sebagai anak Yan Guifei
dengan Panglima An Lushan yang kebenarannya tidak bisa
diperiksa. Namun bersama dengan dongeng ini menjadi pengetahuan banyak orang, bahwa dengan tersebarnya berita
kematian Yan Guifei yang dibenci, lantas berlangsung pula
perburuan atas keluarga besarnya dari Shannan.
Jaringan keluarga besar Yan Guifei yang dipimpin Yang Mulia
Paduka Bayang-Bayang, yang memiliki Ilmu Pemisah Suara
sehingga bisa berbicara kepada siapa pun dari tempat yang jauh
46 jaraknya, berhasil mengumpulkan berbagai unsur perlawanan dan
membangun jaringan. Di tepi Sungai Yangzi, jaringan yang telah
mengetahui rencana pencurian ini berhasil memancing rombongan
kecil Pendekar Tanpa Nama ke dalam sebuah gua, menawarkan
rencana yang kemudian disetujui saja, bahwa mereka akan
bekerja sama. Direncanakan bahwa pada hari ketika pedang mestika itu akan
dicuri dari Istana Daming, pada hari itu pula gabungan pasukan
pemberontak akan dikerahkan untuk mengepung dan menyerang
Kotaraja Chang'an, agar mengalihkan perhatian atas ketatnya
pengawalan gudang pusaka istana. Meskipun Pedang Mata
Cahaya adalah juga harta pusaka keluarga besarnya, tetapi yang
menjadi kepentingan Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang adalah
runtuhnya wibawa istana, karena keberadaan senjata pusaka bagi
khalayak adalah bagian dari pancaran wibawa.
Di antara mereka bertiga, hanya Elang Merah, yang sepuluh tahun
lebih tua dari Pendekar Tanpa Nama, dan bekerja sebagai matamata, pernah memasuki dan cukup mengenal Kotaraja Chang'an,
kota berpenduduk seratus kali selaksa1) dari segala penjuru dunia.
Pendekar Tanpa Nama berpikir, biarlah mereka kira bisa
memanfaatkan tenaganya, asal melalui jaringan rahasia mereka di
dalam kota, dirinya mendapatkan keuntungan pula.
47 Peranan jaringan rahasia, terutama rumitnya jaringan rahasia di
dalam istana, sangat disadari oleh Pendekar Tanpa Nama berkat
teka-teki perjumpaannya dengan orang-orang kebiri, yang memperkenalkannya kepada kerahasiaan terumit, tentang rahasia
negara terpenting yang kiranya dibagi tiga, tanpa kejelasan apakah
suatu ketika dapat atau perlu terungkap pula. Ini juga membuatnya
waspada terhadap kerahasiaan dalam kerahasian yang berlapislapis
dalam kesengajaan untuk menyesatkan. Maka memanfaatkan jaringan rahasia mana pun adalah sesuatu yang
telah dipertimbangkannya.
SELEPAS dari pertemuan di dalam gua yang merupakan pusat
pergerakan rahasia pasukan Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang,
ketiga pengembara itu melanjutkan perjalanannya di sepanjang
tepi Sungai Yangzi. Mereka telah mendengar tentang terdapatnya kuil-kuil Buddha
yang hancur di sepanjang tepi sungai, dan mereka kemudian
mendengar pula betapa gubuk-gubuk telah didirikan untuk
menggantikannya, tetapi masih terus dihancurkan pula. Apakah
yang menjadi masalahnya"
Perihal keberadaan agama-agama di Negeri Atap Langit pada
masa itu, Pendekar Tanpa Nama dalam Kitab Nagabumi mencatat:
48 Aku tercenung karena juga telah mendengar bagaimana
Pemberontakan An-Shi telah mengakibatkan bencana kepada
agama Buddha di Negeri Atap Langit. Pemerintah yang terpaksa
meningkatkan pendapatan dengan cepat, mengizinkan penahbisan yang tak dibatasi bagi siapa pun yang bersedia
membayar harga resmi. Adapun karena para bhiksu dibebaskan
dari pajak, ini menghilangkan pendapatan negara di masa depan,
tetapi bagi perkembangan Buddha, akibat yang lebih besar adalah
penurunan mutu para bhiksu itu. Pemberontakan itu sendiri
membawa penghancuran atas banyak kuil dan hilangnya banyak
sekali kumpulan naskah, yang sangat berpengaruh, untuk tidak
mengatakannya merusak dan mengacaukan, pengajaran filsafatnya. Di sisi lain, Buddha aliran Tanah Murni diterima banyak
orang dan untuk pertama kalinya diakui istana.
Setelah pemberontakan, agama Buddha semula menerima
perlindungan istana yang lebih baik. Maharaja Daizong dulu
percaya bahwa Wangsa Tang berutang atas keselamatannya
kepada agama Buddha dan mendukung pembangunan banyak kuil
dan meresmikan penahbisan ribuan bhiksu. Ia memamerkan
kesalehan pribadinya dengan memuja peninggalan Buddha dan
mendukung perjamuan masakan bukan daging bagi para pejabat
agama Buddha. Penerusnya, Maharaja Dezong lebih berhati-hati
49 dalam dukungannya, melihatnya dengan keberpihakan kepada
perencanaan yang akan mengurangi beban biaya yang tertimpakan agama Buddha kepada negara. Betapapun ia juga
menjadi pelindung besar kuil-kuil keagamaan maupun pembelajaran Buddha. Sejak lama pertumbuhan Buddha menjadi sasaran pengecaman
oleh musuh-musuhnya. Pada 621, seorang pendeta Dao bernama
Fu Yi berujar bahwa khalayak di sekitar kuil merupakan beban


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang merugikan negara. Ia menganjurkan kepada maharaja untuk
membubarkan kependetaan Buddha, yang juga berarti menghapus
dan mengingkari keberadaan para bhiksu, dan menggunakan
bangunan kuil-kuil Buddha untuk sesuatu yang lebih berguna. Di
bawah Dezong terdapatlah Peng Yan, seorang pejabat penganut
Kong Fuzi pada Badan Pencatatan, yang memberitahu maharaja
agar menghapus penyalahgunaan wewenang di dalam pengajaran
agama Buddha, sambil menyebutkan pengabaian para bhiksu dan
kerugian dalam pendapatan pajak. Ia memperkirakan biaya
tahunan untuk makanan dan pakaian, yang harus disediakan
negara bagi para bhiksu sama dengan pajak yang dibayarkan lima
lelaki dewasa1. Demikianlah harus kuketahui tentu, manakala kami kini berjalan
menyusuri tepian Sungai Yangzi untuk mencari kuil-kuil Buddha
50 Mahayana pada 797, bahwa para penganut Buddha ini sedang
mengalami tekanan, sebagai keyakinan yang tidak tumbuh dari
bumi Negeri Atap Langit seperti filsafat Kong Fuzi yang ajarannya
berlaku dan dihayati sebagai agama, maupun pemikiran Dao yang
telah tumbuh dan berkembang dalam tiga tahap selama ratusan
tahun sehingga memang semakin sempurna, tetapi dari Jambhudvipa, tempat Siddharta Gautama dilahirkan. Kuingat
kembali kisah perjalanan bhiksu Xuanzang yang mengharukan,
dalam perjalanan mengharubiru lebih dari tigaratus ratus lalu,
untuk mengambil naskah-naskah sutra yang sesuai dengan
aslinya, langsung ke Jambhudvipa.
Mengingat segala cerita tentang Xuanzang, yang kemudian
menerjemahkan segenap hasil penemuannya ke bahasa Negeri
Atap Langit, dan menyelamatkan ajaran Buddha yang justru
terdesak sampai hampir musnah di Jambhudvipa, yang sejak lama
memang dikuasai agama Hindu, aku merasa seperti ingin
menjejaki kembali langkah-langkah dalam perjalanannya. Namun
aku pun menyadari, betapa sekarang ini keinginan tersebut
hanyalah merupakan lamunan yang kosong, mengingat segala
kewajiban yang telah kusepakati dan sebenarnyalah masih jauh
dari penyelesaian. 51 Dalam suasana semacam itulah mereka mencari guru terbaik di
sepanjang tepian Sungai Yangzi, bukan karena ingin menganut
agama yang diajarkan, melainkan untuk menambah pengetahuan,
sebagaimana seorang pendekar seharusnya melengkapi diri.
Seorang pendekar tanpa pengetahuan di luar ilmu silat
secukupnya, demikian ajaran Sepasang Naga dari Celah Kledung
kepada asuhannya yang tak bernama itu, hanya akan menjadi alat
yang juga berarti menjadi korban, dalam permainan kekuasaan.
Mereka temukan seorang guru agama yang sudah tua, yang oleh
orang-orang awam tak paham persilatan maupun agama disebut
sebagai orang tua agak gila, yang sementara berbicara dengan
bersila di sebuah pondok sambil menjelaskan ujaran-ujaran Sang
Nagasena, di hadapan pendengarnya dapat berkelebat tanpa
disadari mereka yang menatapnya, untuk membantai para
penyusup yang mengintai tanpa dapat diketahui maksudnya.
Namun mereka bertiga segera menemukan pula, betapa mayat
para penyusup itu hilang lenyap tanpa diketahui sang guru tua.
Inikah penanda permusuhan antar agama di kalangan rakyat
jelata" 52 Saat itulah terdengar gemuruh pasukan berkuda, seperti yang
selanjutnya dan sebaiknya diikuti langsung dari penuturan
Pendekar Tanpa Nama: Bagaikan air bah balatentara pasukan berkuda yang setidaknya
berbilang ribuan menyapu tempat itu. Kami bertiga segera
melenting ke atas, tetapi orang-orang yang sedang mendengarkan
ujaran sang pembicara terlindas, tewas, dan meski ada yang
bangkit dan berlari tetap saja terbantai tusukan tombak, sabetan
kelewang, lecutan cambuk berduri, maupun gebukan gada yang
menyambar dari belakangnya. Sejumlah orang bersembunyi di
sekitar pondok bambu, tetapi pondok bambu itu segera menyala!
Hmm. Api untuk memasak atau menghangatkan badan, kenapa
sekarang harus digunakan untuk membakar rumah manusia"
Masih berada di udara, Yan Zi telah menggerakkan Pedang Mata
Cahaya, dan pasukan berkuda terkejam yang membakar pondok
itu terjengkang dengan darah menyembur ke udara dalam tatapan
para calon korbannya. Namun balatentara yang melaju dan menggebu itu sama sekali
belum habis dan justru baru mulai membantai! Elang Merah turun
tepat pada saatnya untuk menangkis kelewang yang siap
memenggal putus leher seseorang. Ilmu Pedang Cakar Elang
dengan segera berbicara dan menunjukkan daya. Dalam waktu
53 singkat limapuluh penunggang kuda di lima penjuru terjengkang
dengan darah muncrat ke langit yang dalam cahaya bulan tak
tampak merah melainkan kehitam-hitaman.
Sembari melayang turun dari udara, masih sempat kulihat semua,
pasukan tempur dengan seragamnya yang perkasa, yang seolah
jika turun hujan panah dari langit pun tiada satu yang dapat
menembusnya. Busana tempur mereka, sejauh kuketahui dari
Enam Peraturan Wangsa Tang yang kupelajari di Kuil Pengabdian
Sejati, tergolong dalam busana tempur rantai yang bagianbagiannya tersambung potongan kulit, sementara para perwiranya
tampak mengenakan busana tempur yang terbuat dari sutera
hitam, yang sebetulnya tidak untuk dikenakan dalam pertempuran.
Di satu pihak seperti terdapat keadaan darurat, karena tidak
sempat mengenakan busana tempur; di lain pihak, pasukan yang
mengenakan busana tempur rantai pun bukanlah lazimnya
pasukan berkuda, yang menurut peraturan berbahan kayu1.
Kata orang peraturan dibuat untuk dilanggar, tetapi apakah sebab
kiranya sehingga suatu peraturan memang lebih baik dilanggar"
Tidak ada hujan panah dari langit, tetapi kilatan Pedang Mata
Cahaya yang berasal dari pantulan cahaya rembulan maupun
cahaya api jauh lebih cepat, lebih berkemampuan mengincar, dan
karena itu lebih tepat dan lebih berbahaya daripada anak panah
54 yang turun dari langit. Cahaya pantulan yang bagaikan bermata
dari Pedang Mata Cahaya menyambar segala batang leher,
sebagai bagian terlemah dari busana tempur pasukan berkuda
Wangsa Tang ini. Sedangkan jika cahaya pantulan menimpa
lapisan baju bak perisai itu, tetap saja cahaya yang akan mengeras
dan tajam seperti pedang jian itu akan menembusnya pula.
Para penunggang kuda berjatuhan menimpa korban mereka
sendiri dan pada gilirannya terinjak dan terlindas kaki-kaki kuda
dalam pertarungan yang semakin menggila. Elang Merah dan Yan
Zi berkelebat mencabut nyawa di segala penjuru, tetapi kecepatan
mereka pun belum cukup untuk mengatasi pembantaian yang
merajalela. Aku melenting-lenting di celah pertempuran berusaha
menyelamatkan nyawa tersisa, tetapi orang-orang yang datang
hanya untuk mendengarkan ujaran untuk menenangkan jiwa itu
memang terlalu sedikit untuk masih bersisa dalam sapuan air bah
pasukan berkuda ini. Kupentalkan sejumlah perwiranya dengan
angin pukulan Telapak Darah, tetapi bersama ambruknya pondok
yang terbakar itu maka tiada pula yang masih harus diselamatkan.
WU QI, seorang pemikir siasat perang semasa Wangsa Wei, 1
berkata: 55 Sebagaimana medan pertempuran adalah tempat abadi bagi
kematian, dan ia yang memutuskan untuk mati akan hidup, dan ia
yang memutuskan untuk hidup akan mati, dan perwira yang baik
adalah seseorang yang duduk di kapal bocor atau berbaring di
bawah rumah terbakar; tak cukup waktu bagi yang bijak untuk
merancang, atau bagi yang berani untuk marah. Seseorang harus
menyerang musuhnya! Kesalahan terbesar dalam pengerahan
pasukan adalah keraguan, bencana yang menimpa pasukan
bersenjata lahir dari keraguan 2.
Jelas tiada keraguan dalam pembantaian ini, meskipun lawannya
sama sekali tiada sepadan. Nyaris tanpa perlawanan, semua
orang telah ditewaskan, kecuali bahwa pembicara yang tadi
berperan sebagai Sang Nagasena itu hilang dari pandangan. Tiada
keraguan meskipun pembelaan kami bertiga dalam seketika telah
memakan ratusan korban. Terdengar suitan-suitan perintah untuk mengatur pertempuran,
dan dengan sangat tertib pasukan berkuda ribuan orang itu
bergerak serempak mengosongkan ruang, sehingga tinggal kami
saja berada di tengah lingkaran. Kami bertiga saling memunggungi
siap menghadapi setiap kemungkinan. Meskipun tampaknya
begitu mudah Yan Zi dan Elang Merah melenting dan berkelebat
mencabut nyawa dan menghindari pembantaian, tetapi 56 kematangan siasat sebuah pasukan sama sekali tidak boleh
disepelekan. Seorang perwira, yang kemungkinan memimpin pasukan ini, maju
perlahan di atas kudanya menuju ke depan. Ia mengenakan
busana perwira sutra hitam. Sepatunya pun bukan sepatu tempur.
Namun kedua pedang jian yang bersilang di punggungnya itu
membuatnya terlihat sangat meyakinkan.
"Tiga pendekar dengan ilmu gungfu tingkat tinggi," katanya dengan
sangat tenang, "pantaslah menimbulkan banyak korban hanya
dengan beberapa gebrakan."
Kami tidak menjawab. Jika tidak tahu apa yang seharusnya
dikatakan, kurasa memang lebih baik diam. Dengus kuda yang
terdengar menjelaskan kesunyian yang berhasil diciptakan
balatentara berkuda ini dengan luar biasa.
"Namun dengan itu pula Puan dan Tuan telah melanggar aturan."
Yan Zi tampak hendak segera menjawab, tapi kulirik dirinya agar
membatalkan apa yang akan disampaikannya, karena pasti ia
akan bicara tentang bagaimana pendekar harus membela yang
lemah, seperti yang telah diketahui semua orang. Betapapun kami
adalah orang asing, dengan suatu tugas rahasia berbahaya, yang
57 semestinyalah tidak perlu terlalu mengungkapkan diri kami sendiri
termasuk untuk tidak terlibat dalam pertempuran. Namun
segalanya telah terlanjur, aku hanya berharap perwira ini akan
menganggap kami sebagai sembarang penyoren pedang yang
berkeliaran. Perwira itu menunjuk Elang Merah.
"Puan tentunya berasal dari Tubo, bukan?"
Aku sudah khawatir bahwa perwira ini mengenal Elang Merah
sebagai mata-mata Kerajaan Tibet.
"Tentunya Puan paham, betapa tidak dibenarkan seorang asing
terlibat masalah permainan kekuasaan di dalam negeri yang
dikunjunginya itu bukan?"
Aku pun merasa lega. Namun terasa betapa berbedanya dunia
persilatan dengan dunia orang-orang awam yang penuh keberadaban. "Meskipun negeri Puan sedang terikat perjanjian dengan negeri
kami, tidaklah berarti bahwa urusan di dalam negeri kami lantas
bisa dicampuri," katanya lagi, "sepintas lalu orang-orang Sarvastivada ini bagaikan orang-orang lemah dan tidak berdaya,
58 sehingga Puan dan Tuan Pendekar merasa wajib membela,
sehingga menimbulkan banyak jatuh korban di pihak kami, tetapi
Puan dan Tuan sesungguhnyalah tidak mengerti..."
KAMI tetap diam dan merasa lebih baik diam. Tidaklah kukira
secepat ini kami sudah harus begitu waspada meski masih begitu
jauh da ri Kotaraja Chang'an. Sangat mungkin kami terbawa kesan
pertemuan dengan Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang, dengan
pasukan pemberontaknya yang besar, maka kami merasa berada
di dunia bebas merdeka yang ternyata adalah sebaliknya dan
pembantaian ini adalah buktinya.
"Bukankah telah Puan dan Tuan Pendekar lihat juga kehebatan
sang pembicara yang selama ini telah selalu disangka lemah, tidak
berdaya, dan bahkan gila?"
Dalam batinku kuhela napas panjang. Jika ia yang telah berbicara
dengan cemerlang perihal Tujuh Kedai Buddha dianggap bersalah
hanya karena dalam kehidupan sehari-hari tampak lemah, tidak
berdaya, dan bahkan gila, apakah pemerintah Wangsa Tang tidak
meminta terlalu banyak"
Kukira bukanlah kelemahan, ketakberdayaan, dan ketampakgilaan
itulah yang menjadi masalah, melainkan betapa sebentuk ajaran
59 yang keberadaannya tak disukai, jangankan oleh pemeluk teguh
ajaran Kong Fuzi maupun Dao di istana yang jelas sedang
menekan perkembangan ajaran Buddha, melainkan para penganut
Mahayana sendiri, yang meskipun sama-sama percaya kepada
ajaran Siddharta Gotama, tetapi dalam kecamannya atas
kekolotan Hinayana, terlihatlah kekhawatiran terhadap daya
tahannya sebagai aliran pemikiran yang tak kunjung terpunahkan...
Apakah balatentara pasukan berkuda ini ada hubungannya
dengan masalah tersebut, sesungguhnyalah itu tidak terlalu jelas
bagiku, karena apa yang seolah-olah tampil sebagai persaingan
antarkelompok keagamaan, sebenarnya tidak selalu berarti
sebagai perdebatan asas kepercayaan, melainkan sekadar
perebutan wilayah kuasa belaka. Bahkan dalam permainan
kekuasaan semacam ini tak jarang berlangsung perpindahan aliran
dengan seenaknya. "Kami mengerti belaka betapa Puan dan Tuan hanya kebetulan
berada di sini dengan keperluan untuk sekadar mendengar dan
belajar, karena jika Puan dan Tuan menjadi pengikut aliran
Sarvastivada yang sesungguhnya, maka Puan dan Tuan tidak


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan melakukan perlawanan..."
60 Benarkah begitu" Memang benar pernah kusaksikan Iblis Suci
Peremuk Tulang berdiam diri terhadap gigitan nyamuk, bahkan
berkata kepada nyamuk itu agar kembali kepadanya jika
membutuhkan darahnya lagi, tetapi bukankah ajaran Buddha untuk
menolak kekerasan pun tak menghalangi berdirinya Perguruan
Shaolin dalam semangat kependetaan" Pernah kudengar caracara penguasaan yang begitu halusnya melalui pikiran, dengan
menanamkan ajaran betapa kesempurnaan manusia tercapai
ketika tak melawan dan tak membalas saat diserang dalam tindak
kekerasan, seperti yang telah diandaikan oleh perwira pasukan
berkuda itu dipercaya juga oleh kaum Sarvastivada.
Aku sendiri jelas tidak percaya, apalagi setelah menyaksikan
mayat bergelimpangan di balik pohon-pohon bambu itu...
Justru di sinilah rupanya peluang untuk melakukan fitnah kepada
sang pembicara dilancarkan.
"Apakah yang ingin Puan dan Tuan katakan, jika dianjurkannya
segenap pengikut untuk tidak menjadi suci dan murni tanpa dosa,
begitu rupa sehingga membela diri pun tak dibenarkan dalam
pendapatnya, ternyata sangat berdaya dalam penghilangan
nyawa, tetapi tidak melakukan pembelaan apa pun jua?"
61 Tetap saja yang terbijak adalah diam. Aku bukanlah seseorang
yang begitu paham tentang Sarvastivada, kecuali bahwa memang
keberadaannya sebagai aliran pemikiran Buddha mendahului
Mahayana dan masih tetap besar pengaruhnya di bagian utara
Jambhudvipa pada abad-abad awal Mahayana, dengan perbedaan ajaran pada pemahaman bahwa dunia-tampak ini
adalah keintian yang membuat segalanya bersifat sementara.
Dasar dunia ini adalah perubahan, yang berpengaruh kepada
segala pikiran dan segala zat, dan pemikiran ini menguntungkan
dalam kesulitan Buddha untuk menerima keduaan ada dan tiada,
yang telah digantikan menjadi gagasan. Pengandaian Sarvastisada bahwa keintian tak memberi ruang bagi jiwa, dan
mengandaikan masa lalu dan masa depan memang ada,
sangatlah dikecam pemikiran Theravada, nama lain Mahayana 1.
Aku menggelengkan kepala dalam hati. Ajaran Sarvastivada tidak
menyebutkan apa pun yang sengaja ditujukan untuk menolak
kekerasan. Perwira ini begitu yakin bahwa kami adalah orangorang
yang begitu asingnya, sehingga barangkali dapat diarahkannya untuk justru memburu pembicara Tujuh Kedai
Buddha yang tak mampu dikejarnya!
62 Yan Zi dan Elang Merah paham belaka akal licik ini, dan jika tidak
kuberi tanda dengan sedikit gerakan, sangat mungkin berkelebat
memenggal kepala sang perwira berbaju sutera hitam.
"JADI Puan dan Tuan tidak kami anggap sebagai lawan tempat
kami harus melakukan suatu tindakan, meskipun banyak sudah
prajurit kami telah menjadi korban," katanya lagi sambil
mengangkat tangan dan membalikkan kudanya.
"Semoga kita dapat berjumpa lagi kelak di lain kesempatan,"
katanya sebelum menghilang di balik barisannya yang berlapislapis.
Dengan sangat teratur barisan ini dengan sangat cepat menipis
dan menghilang. Di balik kekelaman kemudian terdengar derap
ribuan kuda menjauh, dengan meninggalkan semacam sisa
gempa, terasa sangat mengesankan bagi tiga manusia yang baru
turun dari wilayah pegunungan.
*** Kami melanjutkan perjalanan dengan berkuda menyusuri tepi
Sungai Yangzi, sambil masih terus mencari guru dan mengumpulkan keterangan yang sekiranya berguna bagi tujuan
kami, yakni mencuri Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri dari
63 Istana Chang'an. Meskipun Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang
terikat perjanjian untuk memudahkan penyusupan, betapapun
kami berpendapat semakin banyak yang kami ketahui semakin
baiklah untuk keamanan. Meskipun begitu, pada dasarnya kami
menghindari keadaan untuk menjadi pusat perhatian.
Semakin mendekati kotaraja, sebetulnya sudah semakin sulit
menghindari manusia, tetapi banyaknya orang berlalu lalang
ternyata baik untuk menghindari perhatian, meski kami pun tahu
betapa sangat mungkin kami selalu berada dalam pengawasan.
Bukankah dikatakan oleh Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang
betapa pada saatnya kami akan mendapat pemberitahuan"
Menyadari keadaan seperti itu, kubebaskan diriku untuk tidak
harus selalu tegang dalam kewaspadaan. Sepanjang tepi Sungai
Yangzi kunikmati pemandangan selayaknya pelancong dalam
perjalanan. Semakin menjauhi Tiga Ngarai Yangzi, berpapasan
dengan orang-orang yang sebaliknya menuju ke arah itu,
teringatlah aku kepada puisi Li Bai yang berjudul Mengucapkan
Selamat Jalan Kepada Kawan yang Menuju Ngarai Yangzi:
Angin cabang-cabang tidak xiong bertiup, tergantung rendah, kita yang telah hidup bersama begitu lama mesti segera berpisah;
64 hari ini masing-masing kamu menempuh naik jalannya ke sendiri, Ngarai tempat akan kamu dengar monyet-monyet memanggil, dan
dari puncak-puncak gunung menyaksikan kejayaan munculnya
rembulan; dengan segenap hatiku kini saat hari-hari aku minum semakin untukmu; dingin, kuminta kepadamu perhatikanlah kesehatanmu.1
Tanpa terasa waktu berjalan sudah sebulan, dan setelah melewati
wilayah Zhushan dan wilayah Xunyang, tibalah kami di kota kecil
Shangluo. Dari sini tiada kota lain lagi sebelum mencapai
Chang'an. Tanpa menarik perhatian kami memasuki sebuah
penginapan dan bertanya apakah kiranya masih ada kamar.
"Tinggal satu kamar," kata pemilik penginapan itu sambil
mengawasi, "kalau kalian bertiga masuk satu kamar itu harus
dihitung sewa dua kamar."
"Kami semua bersaudara," kata Elang Merah, "kami biasa tidur
sekamar dan dihitungnya tetap sewa satu kamar."
Pemilik penginapan itu memandang kami dengan wajah yang
menyebalkan. 65 "Aku tidak peduli kalian bersaudara atau tidak," katanya," tetapi
kamar ini disewakan paling banyak untuk dua orang, karena ada
tambahan maka harganya kulipatkan."
"Bukankah seharusnya tambahan itu hanya setengah harga kamar
karena tambahannya hanya satu orang?"
Sekali lagi diperlihatkannya wajah yang menyebalkan itu.
"Kalian orang asing, kenapa merasa lebih tahu aturan?"
Elang Merah tampak hendak mengatakan sesuatu, tetapi aku
menggamit tangannya agar tidak berkata-kata lagi.
"Baiklah kami ambil kamar itu," kataku.
Jika ada sesuatu yang berada di luar kebiasaan, mereka yang
bergerak dalam kerahasiaan lebih baik diam, dan hanya
melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman. Yan Zi dengan
cepat pula meletakkan uang empat tail perak. Dengan segera
tangan pemilik penginapan meraupnya pula dan memberi tanda
kepada seorang perempuan tua untuk menunjukkan kamar.
Pada saat berjalan di sepanjang lorong, dengan kamar serbakecil
di kiri dan kanan lorong itulah kami mengerti, bahwa ini bukanlah
66 sembarang penginapan. Meskipun hari masih terang, meskipun
sudah malam, hampir dari setiap kamar itu dapat kami dengar
suara-suara orang bercinta. Apakah ini tempat pelacuran"
Meskipun aku adalah orang asing yang tidak mengenal sama
sekali peradaban Negeri Atap Langit, aku mengira jika penginapan
ini adalah rumah pelacuran tentu seti?daknya ada tanda yang
menunjukkannya, seperti juga yang bahkan ditunjukkan oleh kotakota yang jauh lebih kecil dari Shangluo dan Elang Merah tentu
akan mengetahuinya. Aku memang tidak bisa mengandalkan Yan
Zi, karena betapapun ia belum pernah turun gunung sama sekali.
LORONG itu gelap dan kamar-kamar itu pintunya hanya bertirai,
yang membuat segala erangan, desah, keluh, dan teriakan
tertahan terdengar jelas tanpa pembatas. Kuketahui betapa Yan Zi
dan Elang Merah merasa jengah, tetapi terlebih-lebih diriku
sangatlah amat jengah, sampai kupikirkan untuk mencari tempat
yang lain. Kamar kami terletak di ujung dan begitu kami masuk hanya
terdapat satu ranjang yang besar dengan kelambu merah jambu
tergulung rapi. Kelambu itu tentu hanya pajangan, karena pada
musim panas di bulan Jyesta seperti ini pun kukira di dataran tinggi
ini tidak ada nyamuk sama sekali. Shangluo di bagian selatan
Pegunungan Qin terletak di dekat hulu Sungai Dan yang alirannya
67 menyatu dengan Sungai Han, meskipun kota kecil tetapi siapa pun
yang bermaksud melakukan perjalanan ke bagian tengah Sungai
Yangzi akan melewatinya sebagai tempat bertukar kabar di antara
mereka. Para pengembara atau rombongan pejalan jauh akan
merasa perlu saling berkabar tentang keamanan berbagai tempat
yang akan mereka lalui. Juga kudengar Shangluo ini merupakan
tempat orang-orang ternama menghindari perang dan kemiskinan.
Shangluo hanyalah sekitar dua sampai tiga hari perjalanan
berkuda dari Chang'an, sehingga menjadi tempat yang baik untuk
menjaring kabar tentang keadaan di kotaraja.
"Cukup besar untuk bertiga bukan?"
Perempuan tua itu berkata dengan dingin dan tidak menunggu
jawaban. Namun kulihat Yan Zi dan Elang Merah wajahnya
bersemu dadu. Kamar terasa sangat sempit bagi kami yang
terbiasa tidur di alam terbuka.
Setelah perempuan tua itu pergi, Yan Zi langsung membuka
jendela. Cahaya terang segera mencerahkan kamar, bahkan untuk
sebagian juga mencerahkan lorong. Penginapan ini berada di
tengah kota, di antara banyak bangunan lain, sehingga meskipun
jendela terbuka lebar, kami tidak melihat apa pun selain tembok
yang tinggi. Namun di balik tembok tinggi itu dapat kudengar suara
68 orang bercakap-cakap sambil berjalan, sayangnya dengan
pengetahuan bahasaku yang terbatas maka tak kuketahui apa
yang sebenarnya mereka percakapkan.
Berbagai perbincangan itu rupanya telah membuat Yan Zi dan
Elang Merah saling berpandangan.
"Apakah dikau akan tidur atau ikut dengan kami menyaksikan
bisai?" "Bisai?" "Ya, banyak orang berdatangan mengadu ilmu silat di atas
panggung sampai tinggal satu orang tak terkalahkan."
Tentu saja kami semua semestinyalah tertarik, tetapi kuanjurkan
agar kami tidak pergi saja.
"Daku sangat mengerti keinginan kalian, tetapi ketahuilah bahwa
perjalanan kita ini semestinyalah merupakan perjalanan rahasia."
"Apa salahnya dengan menonton bisai" Kita tidak akan menjadi
perhatian di tengah orang banyak."
"Dalam acara itu pasti akan banyak orang dari dunia persilatan
yang tinggi ilmunya. Hanya dengan melihat cara kita bergerak saja
69 mereka akan bisa menyerang kita, dan jika orang itu memang
tinggi sekali ilmunya tugas rahasia kita bisa gagal sebelum
dimulai." Yan Zi tampak kesal, dan menghentakkan kakinya. Di antara kami
bertiga, dialah yang paling tua, tetapi lebih sering ia tampak dan
berlaku sebagai yang jauh lebih muda. Ya, umurnya sudah 41,
tetapi gerak-gerik dan keremajaannya bagaikan ia baru berusia 14
tahun! Sedangkan Elang Merah tampak bisa mengerti, dan meskipun
lebih muda bersikap seperti kakak kepada Yan Zi. Setelah
meletakkan buntalan mereka di dalam kamar, ia mengajak Yan Zi
pergi. "Mandi...," kata Elang Merah sambil melirikku penuh arti.
Mereka tetap membawa pedangnya masing-masing. Selama ini,
kalau mandi di sungai, pedang mereka tak pernah terlalu jauh dari
pemiliknya. "Kalian akan tetap membawa pedang kalian?"
Pertanyaan ini mungkin terdengar bodoh jika ditanyakan kepada


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

para penyoren pedang, tetapi apakah kiranya yang akan dikatakan
70 para perempuan lain di tempat pemandian umum" Penginapan ini
tidak menyediakan tempat mandi sendiri, dingin yang nyaris
berlangsung sepanjang tahun seperti membuat mandi tidak
penting, tetapi pada musim panas yang agak lebih hangat
penduduk tak sekadar bisa mandi di sungai, melainkan sebagai
salah satu cara untuk bergaul, bila perlu pada malam hari di bawah
rembulan. Di tempat seperti itu pedang mereka tentu tidak bisa
dibawa terus. Apakah mereka akan meninggalkan pedangnya di
suatu tempat" KAMI sedang melakukan perjalanan rahasia. Perempuan yang
membawa pedang dan meninggalkannya di tempat pemandian
tidakkah dengan sendirinya akan menarik perhatian" Jika di alam
bebas, pegunungan, padang rumput, dan permukiman terpencil
pendekar yang membawa senjata adalah suatu kenyataan; dalam
peradaban kota dunia persilatan bagaikan suatu dongeng. Jika
mereka meletakkan pedang dan membuka baju di hadapan semua
perempuan, tentu perempuan-perempuan itu tidak akan tinggal
diam, mereka akan mendekat, mengerumuni keduanya dan
bertanya-tanya apakah mereka pernah membunuh orang dengan
pedang itu - dan tidak akan pernah diketahui apakah di antara
perempuan-perempuan itu tidak terdapat mata-mata, baik mata71 mata Yang Mulia Tuanku Bayang-Bayang maupun mata-mata
kerajaan! Kedua perempuan itu saling berpandangan kembali. Yan Zi
menundukkan kepala seperti anak kecil. Hampir bersamaan
keduanya melemparkan pedang ke atas ranjang dan segera
menghilang. Kurebahkan tubuhku di ranjang itu juga sambil menghela napas
panjang. *** Kurasa aku telah tertidur. Waktu terbangun tidak kudengar lagi
suara - suara orang bercinta. Hari telah rembang petang. Jadi ini
tentunya bukan rumah pelacuran, tetapi barangkali tempat siapa
pun yang membutuhkan tempat untuk melakukan hubungan di luar
perkawinan. Jika tidak salah, tadi bahkan seorang bhiksu pun
tampaknya kulihat memasuki salah satu kamar bersama seorang
perempuan - meski untuk ini aku harus lebih hati-hati menghakimi.
Keistimewaan yang diberikan Wangsa Tang kepada jalan
keyakinan Buddha telah menimbulkan kecemburuan dan kebencian para penganut Kong Fuzi maupun Kaum Dao 1, yang
membuat cerita ejekan tentang bhiksu dengan nafsu birahinya atas
72 perempuan tersebar dari kedai ke kedai. Aku tidak akan terlalu
heran jika untuk meyakinkan banyak orang bahwa cerita ini benar,
maka ada kalanya harus diperlihatkan seseorang berjubah bhiksu
melakukan kegiatan yang bertentangan dengan ajaran Buddha,
seperti mabuk arak, makan daging, dan melakukan persanggamaan. Sama seperti disebarkannya kesalahpahaman
atas Tantrayana sebagai bukti kesesatan Buddha.
Tidak terdengar suara apa pun di penginapan ini, meski di luar
sana suasananya terdengar meriah. Aku belum terbiasa dengan
suara-suara peradaban. Sudah terlalu lama mengembara naik
turun gunung keluar masuk hutan menyebabkan kepalaku sakit
mendengarkan suara-suara kota. Tidak bisa kubayangkan apa
yang akan terjadi denganku memasuki kota dunia seperti Chang'an
nanti, yang menurut Elang Merah disebut sebagai Kota Sejuta
Manusia. Bahkan dibanding kota kecil Shangluo ini pun kotaraja di
Javadvipa bagaikan sebuah desa gelap gulita, maka kiranya
memang harus kubiasakan diriku terlebih dahulu menghayati
peradaban yang bagiku baru, sebelum menjalankan tugas
mustahil, yakni mengambil Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri
dari dalam istana Chang'an.
Namun kini di manakah Yan Zi dan Elang Merah" Jika mereka
memang pergi mandi, seharusnya mereka telah kembali. Kedua
73 pedang itu masih di tempatnya. Kalau aku pergi mencarinya, jelas
kedua pedang itu harus kubawa. Membawa dua pedang di sebuah
kota yang sedang menggelar bisai barangkali akan tampak biasa,
tetapi jika kedua pedang ini salah satu saja dikenali mata para
penyoren pedang yang setajam elang, berarti perjalanan rahasia
ini diketahui semua orang. Aku belum tahu apa yang harus
kulakukan, ketika kudengar suara langkah tergopoh-gopoh
mendekati kamar ini. Segera muncul wajah pemilik penginapan
yang tadi menyebalkan itu, tetapi yang kini wajahnya memperlihatkan kecemasan yang amat sangat.
"Tuan! Tuan! Cepat Tuan! Cepat!"
"Ada apa?" "Kedua kawan sekamar Tuan... Di depan..."
Sebenarnya masih ada lagi yang dikatakannya, tetapi pemahaman
bahasaku hanya itulah yang bisa kuingat. Ada apa lagi dengan
kedua kawanku ini" Aku segera beranjak, tak lupa membawa kedua pedang.
Kewaspadaanku memang meningkat cepat. Semenjak mereka
berhasil dikuasai Mahaguru Kupu-kupu waktu itu, aku merasa
memang harus lebih memperhatikan keselamatan keduanya tanpa
74 diminta, meskipun ilmu silat keduanya tidak kuragukan lagi. Bukan
ilmu silat mana pun yang kutakutkan akan mencelakakan mereka,
melainkan akal licik tipu daya perkotaan yang tiada terduga.
Memang benar Elang Merah pada dasarnya seorang mata-mata,
tetapi yang lebih berkepentingan dengan gerak pasukan di
perbatasan dalam pengamatan daripada melakukan penyamaran
terpendam. Lagipula semenjak bersumpah mengikuti ke mana pun
diriku melangkah, tampaknya telah melepaskan segenap kepentingan KAMAR-KAMAR yang kulewati telah kosong ketika melesat ke
depan, dan keluar dari penginapan untuk mendapatkan suatu
pertarungan. Yan Zi dan Elang Merah tampak melesat kian kemari
menghindari serangan begitu banyak orang dengan senjata yang
bermacam-macam. Dengan segera kuketahui bahwa kedudukan
kedua perempuan yang menjadi teman seperjalananku itu tidak
berada dalam bahaya. Gerakan mereka begitu cepat, sehingga
tidak bisa dilihat dengan mata awam, tetapi itu membuat busana
Yan Zi yang putih dan Elang Merah yang merah menjadi cahaya
merah dan cahaya putih yang berkelebat-kelebat dengan indah
dalam terpaan berbagai cahaya lampion di sepanjang jalan di
depan penginapan. 75 Orang-orang yang berkerumun ternganga. Mereka dapat melihat
sejumlah orang yang berusaha membacok, menusuk, menyabet,
menggebuk, dan menjerat keduanya dengan berbagai macam
senjata, tetapi selalu luput, menghantam udara kosong, bahkan tak
jarang nyaris membuat mereka saling berbunuhan. Tak kurang dari
duapuluh orang mengepung kedua perempuan pendekar itu
dengan serampangan, tetapi dengan cara yang tak beraturan
seperti itu tidaklah membuat cara mengatasinya lebih mudah. Jika
pengepungnya saling mengenal, dan telah melatih suatu gelar
pengepungan tertentu, justru sangat mudah bagi mereka berdua
untuk mengatasinya, karena perbendaharaan siasat pertarungan
mereka yang lebih dari cukup. Namun cara menyerang yang
membabibuta seperti ini langkah-langkahnya tak dapat diduga, dan
karena itu justru menjadi sangat berbahaya. Wu Zi berkata:
Jika langit aku gelap akan tetapi Pilih tampak jika tempat dan Inilah apakah lebih yang dan tetap terang, tinggi, larikan cara tertahan aku dan diam, akan hindari kereta untuk atau berhujan, yang bergerak. rendah, beratmu. mengikuti, bergerak. 76 Jika musuh bergerak, yakinlah selalu bergantung di belakangnya1.
Meskipun ujaran Wu Zi yang ditulis kembali oleh Wu Qi itu
ditujukan kepada pasukan berkereta dan berkuda dalam jumlah
besar yang bertempur dalam cuaca buruk, penekanannya kepada
jumlah lawan yang lebih besar jelas sedang diterapkan oleh Yan Zi
dan Elang Merah, yang selama dalam perjalanan telah menjadi
semakin akrab dan semakin mengerti cara berpikir masing-masing.
Jadi langit gelap dan berhujan adalah keadaan yang belum jelas,
dan bahwa keduanya hanya menghindar tanpa pernah menyerang
adalah terjemahan dari aku akan tetap diam, dan itu juga sama
dengan keadaan menunggu jika lebih terang sampai memungkinkan untuk aku akan bergerak. Sebelum tercapai
keadaan itu, mereka tetap harus berada di tempat yang tinggi dan
itulah keberadaan keduanya sekarang yang bergerak begitu cepat
sampai tidak bisa dilihat - dan bagaimana mungkin para
pengepung itu bisa melihat mereka, ketika gerak sangat cepat itu
membuat Yan Zi dan Elang Merah selalu bergantung di belakang
mereka" Masalahnya, apabila keadaan lebih terang itu memungkinkan
mereka untuk menyerang balik, mereka tentu ragu untuk
melakukannya, karena dalam kerja rahasia, Sun Tzu berkata:
77 Jika dikau hendak atau menyerang pasukan, mengepung atau benteng, membunuh pertama seseorang, kali sangat penting untuk mengetahui nama kepala penjaga dan pasukan gerbang petugas dan dan rahasia pembantu regu harus dekat, penjaga, diperintahkan

Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk mendapat keterangan ini2.
Maka kuketahui keadaan mereka memang sulit, karena memungkinkan atau tak memungkinkan untuk menyerang, mereka
tetap tak bisa menyerang tanpa mengetahui lebih dulu siapa para
penyerangnya, sekaligus keduanya harus menjaga kerahasiaan
diri mereka sendiri. Mungkin itulah yang telah membuat mereka
terus-menerus bergerak dengan kecepatan kilat, agar tidak
sebelah mata pun sempat melihat keduanya yang telah menjadi
pusat perhatian seperti sekarang, tanpa kuketahui penyebabnya!
''Menyerahlah betina jalang, kalian sudah terkepung!''
Hanya terdengar suara tawa kedua perempuan pendekar tersebut.
Apa yang telah mereka lakukan"
78 Kuperhatikan sekelilingku. Memang benar semuanya tampak
sekadar bagaikan orang-orang awam yang ternganga dengan
mulut terbuka lebar. Namun janganlah terlalu percaya kepada apa
yang tampaknya saja sebagai kebodohan, karena hanyalah orang
bodoh yang suka berpura-pura pintar dan orang yang betul-betul
pintar terlalu suka untuk berpura-pura bodoh. Sedangkan orang
yang berpura-pura bodoh ini bisa saja bukan sekadar orang yang
sungguh-sungguh bijak, melainkan bisa juga seorang petugas
rahasia maupun seorang pendekar dengan ilmu silat yang sangat
tinggi. DI sebuah kota tempat berlangsungnya bisai, tidaklah akan terlalu
mengherankan jika pendekar semacam itu berkeliaran di balik
keramaian. Betapapun seorang pendekar itu ingin menjauhi
peradaban maupun dunia persilatan, gelanggang bisai tidak akan
dilewatkannya untuk mengetahui perkembangan. Meski pengalamanku di dunia persilatan belum lama, kuketahui belaka
betapa di antara penonton bisai pasti terdapat seseorang yang
sangat tinggi ilmunya, dan bagi mereka gerakan tercepat yang
bahkan melebihi kilat pun sangatlah amat begitu jelasnya!
"Apa yang terjadi?" tanyaku kepada orang-orang di sebelahku.
79 Jawaban mereka sebetulnya begitu cepat, sehingga hanya dengan
menghubung-hubungkan sejumlah kata yang kuketahui saja maka
aku bisa menceritakan kembali peristiwa ini.
*** Demikianlah, seperti yang akan menjadi jelas kemudian, ketika aku
lelap tertidur di penginapan, di bawah rembulan Yan Zi dan Elang
Merah berjalan menuju ke sungai mencari tempat untuk mandi.
Mereka telah dengan sengaja berusaha tidak menarik perhatian,
antara lain dengan berjalan pelahan di tepi jalan. Di sepanjang tepi
jalan banyaklah para penjual makanan yang menyambut
rembulan, karena apabila bulan bersinar terang di Kota Shangluo
orang-orang keluar rumah dan berjalan-jalan. Di tepi jalan itu
orang-orang duduk di luar, para pengemis dengan caping yang
lebar dan bebat kain bagi korengnya yang seperti terus-menerus
bernanah menembus kainnya itu terpaku di setiap pojok.
Terdengar pengamen jalanan memetik kecapi lagu pujaan kepada
rembulan. Namun keduanya kemudian disalip oleh sepasang muda-mudi
yang menyoren pedang. Keduanya mendengar percakapan
mereka. 80 "Kakak, tidak usahlah kita berjalan cepat-cepat. Bisai itu pastilah
sudah usai. Bukan salah Kakak bahwa tadi kita terhalang di tengah
jalan. Betapapun rakyat kecil yang membutuhkan bantuan kita
memang harus didahulukan. Kita masih bisa mengikuti bisai ini
tahun depan." "Kalau bukan Adik tadi yang meminta para perampok jangan
dibunuh, urusan kita tentu jauh lebih cepat," sahut kakaknya
dengan kesal, "Adik mengerti jika melumpuhkan mereka tanpa luka
tidaklah lebih mudah daripada membunuhnya. Marilah berjalan
lebih cepat, jika tinggal satu pemenang di gelanggang pun Kakak
masih bisa menantangnya bertarung."
Yan Zi dan Elang Merah saling bertatapan, dan segera lupa akan
pesanku agar jangan terlalu dekat dengan orang-orang persilatan.
Mereka masing-masing mengaku berpikir bahwa melihat bisai itu
sebentar saja tentu akan terpuaskan. Mereka ikuti muda-mudi itu
sampai ke gelanggang yang ternyata masih ramai dikerumuni
orang. Bahkan tidak sedikit yang menonton sambil melakukan
pertaruhan. Di gelanggang tampak seorang lelaki tinggi besar berbaju kulit
binatang bersenjatakan toya, menghadapi seorang lelaki semampai yang tidak berbaju ringkas seperti siap bersilat,
81 melainkan mengenakan jubah biru muda bagaikan seorang xiucay
atau sarjana yang lulus ujian negara, seperti siap akan pergi ke
acara resmi dengan fu tou atau turban sambil membawa kipas.
"Udara dingin begini mengapa harus berkipas-kipas" Kepanasankah kiranya Sastrawan Kejam dari Tianshan?"
Lelaki pembawa toya itu tampak melecehkan, tetapi begitu nama
Sastrawan Kejam dari Tianshan itu disebutkan terdengarlah desis
orang-orang yang tersentak dengan penuh kengerian, karena
meskipun lelaki semampai itu tampak sangat terpelajar namanya
dikenal sebagai pembunuh terkejam. Ia disebut sebagai sastrawan
bukan karena mampu menulis puisi, melainkan karena suka
mengutip puisi-puisi yang terkenal untuk merayakan kemenangan
dalam perta?rungannya, yakni ketika lawan akhirnya tewas setelah
mengalami penderitaan disiksa senjata kipas.
Konon kabarnya ketika meninggalkan Pegunungan Tianshan yang
bersalju di Xinjian di dekat perbatasan dengan Uighur, sebetulnya
lelaki semampai itu ketika masih remaja memang ingin menjadi
sastrawan. Namun suatu kejadian, yakni pemerkosaan yang
dilakukan seorang sastrawan gadungan yang sengaja menipunya,
telah membelokkan riwayat hidupnya. Ia tak pernah belajar ilmu
surat, melainkan ilmu silat yang keampuhannya hanya bisa
82 dibuktikan dengan membunuh lawan. Ia tak pernah mampu
membuat puisi sendiri, melainkan hanya mengutipnya saat
merayakan keberhasilannya menewaskan lawan. Itulah sebabnya
ia diberi julukan Sastrawan Kejam dari Tianshan, yang sebetulnya
lebih merupakan ejekan atas ketidakmampuannya menulis puisi.
Namun mendengar ejekan tersebut, yang berarti dalam satu
kalimat ia telah diejek dua kali, lelaki semampai itu hanya
tersenyum, sambil masih terus mengebutkan kipasnya bagaikan
memang sedang kepanasan. "Hmm, Gembala Sakti dari Gurun Hobq rupanya merindukan
domba-domba yang biasa digiringnya dengan tongkat itu,"
katanya, "sayang sekali ia tidak akan pernah kembali lagi ke
padang rumput Xilin Gol yang telah menghijau kembali musim
panas ini." RUPA - rupanya Gembala Sakti telah menundukkan banyak lawan
di gelanggang. Ia yang datang dari wilayah Uighur itu menjura
dengan sopan, ketika menjura toya itu dilepasnya, tetapi tetap
berdiri seolah-olah sebagian ujungnya terpendam di dalam tanah!
"Gembala gurun yang bodoh ini siap menerima pelajaran."
83 Sastrawan Kejam dari Tianshan tersenyum melihat toya yang
berdiri itu. "Hmm. Kalau begitu, kirimkanlah salam terakhirmu kepada dombadomba itu, sebelum dirimu sendiri mengembik dalam kesejukan
kipasku yang penuh kasih sayang.''
Kembali Gembala Sakti itu menjura lagi.
"Sastrawan Kejam tidak usah berpura-pura menjadi sastrawan,
sudah jelas dirinya hanya berbakat dalam seni pembunuhan."
Agaknya kata-kata Gembala Sakti dari Gurun Hobq ini sungguh
membuat Sastrawan Kejam dari Tianshan sangat tersinggung, dan
apabila kini keduanya hanya tampak sebagai gulungan cahaya
berputar yang tiap sebentar memperdengarkan suara dentang dan
memperlihatkan letik api perbenturan senjata, sudah jelas berarti
Sastrawan Kejam itu menyerang dengan penuh nafsu pembunuhan meski sungguh mendapat perlawanan.
Apa yang tampak sebagai gulungan cahaya tentu jelas belaka bagi
Yan Zi dan Elang Merah yang sudah lupa betapa sebetulnya
mereka belum mandi. Bagi orang awam ataupun para pesilat
dengan ilmu sekadarnya pertarungan itu sungguh-sungguh hanya
merupakan gulungan cahaya, dengan bunyi berdesau yang
84 berasal dari sambaran kipas maupun gebukan toya. Yan Zi dan
Elang Merah juga mendengar apa yang dikatakan sepasang
muda-mudi yang mereka ikuti tentang pertarungan itu.
"Adik, lihatlah betapa hebatnya orang yang disebut Sastrawan
Kejam dari Tianshan itu, dengan senjata kipasnya ia membuat tabir
yang tidak dapat ditembus dalam Jurus Penyair Melamun
Berkipas-kipas; Gembala Sakti telah menggunakan Jurus Menggiring Domba Gila yang ampuh, tetapi Sastrawan Kejam itu
ilmunya tak kurang dari dua tingkat di atasnya; nanti jika Sastrawan
Kejam mengeluarkan jurus lain, jurus Gembala Sakti dari Gurun
Hobq ini sudah habis dan saat itu ia akan menemui ajalnya."
"Dan apakah Kakak nanti akan menantang Sastrawan Kejam itu?"
"Sudah tentu Adik, bukankah kita berdua memang datang ke
Shangluo ini untuk mengikuti bisai ?"
"Ya, tetapi ilmu silat orang Tianshan itu tinggi sekali, dan jurus
seperti Jurus Penyair Melamun Berkipas-kipas itu tampak seperti
akan sangat menyakiti."
"Ah Adik, percayalah betapa ilmu guru kita Harimau Perang itu
tidak akan terkalahkan oleh ilmu silat orang Tianshan."
85 Harimau Perang! Nama itu tentu saja membuat Yan Zi dan Elang Merah teringat
kepada kepentinganku, bahwa bukan sekadar pengembaraanlah
yang telah membuat diriku menyeberangi lautan kelabu gunung
batu semenjak meninggalkan Thang Long di Daerah Perlindungan
An Nam, melainkan tugas yang kuberikan kepada diriku sendiri
untuk membongkar rahasia yang dipegang Harimau Perang.
Sedangkan kedua muda-mudi itu datang untuk mengikuti bisai
yang bisa membuat mereka terbunuh, dan apabila keduanya
terbunuh, jejak samar yang bagaikan mustahil dicari ini akan
menguap! Di gelanggang bisai Gembala Sakti sudah jelas semakin terdesak.
Ilmu toya yang dikuasainya memang hebat, karena kedua
ujungnya yang bagaikan bermata telah berubah menjadi sejuta,
mengejar titik-titik mematikan di tubuh Sastrawan Kejam dari
Tianshan. Hanya ketinggian ilmu kipas Sastrawan Kejam itu
sajalah yang kini telah memasuki Jurus Sambil Mengipas
Menyebar Tusuk Gigi membuat segala serangan toya itu bagaikan
selalu tertahan tabir yang tak kasat mata.
86 Terdengar tawa lemah Sastrawan Kejam yang seperti sudah
memastikan kemenangannya. Sementara kipasnya dikebut ke
sana dan kemari membentengi diri dari sejuta tusukan toya, jarumjarum beracun melesat dari balik jubahnya menyerang segenap
titik lemah pada tubuh Gembala Sakti dari Gurun Hobq. Jika tidak
terdapat suatu keajaiban, jelas nyawa si gembala ini akan
melayang. Namun suatu keajaiban memang terjadi.
Zzzzzzzrrrrriiingngng....
Segenap jarum beracun yang nyaris mencabut nyawa itu rontok
semuanya ke tanah. Gembala Sakti dari Gurun Hobq itu masih
berdiri, sementara Sastrawan Kejam dari Tianshan wajahnya
tampak merah padam. Seharusnya lawannya itu sudah terkapar
dan ia bisa membacakan sebuah puisi pilihan yang disukainya,
tetapi bukan saja lawannya itu masih berdiri, melainkan seseorang
telah berdiri di antara keduanya dengan pedang lurus yang kini
bahkan diacungkan kepadanya.
"CURANG !" kata anak muda yang membawa pedang itu, "dalam
bisai tidak dibenarkan menggunakan senjata rahasia, jarum
beracun hanya untuk orang golongan hitam!"
87 Suasana menjadi tegang. Para penonton, meski tidak dapat
mengikuti pertarungan sebagai gulungan cahaya dan bayangan
berkelebat, tetap saja ikut menjadi tegang karena memahami
persoalan. "Siapa kamu anak ingusan" Apakah kamu tidak tahu peraturan"
Segalanya diperbolehkan dalam bisai, selama yang berhadapan
adalah satu lawan satu. Kini dirimulah yang melanggar peraturan,
karena Gembala Sakti telah mendapat bantuan!"
Gembala Sakti pun berkata.
"Aku pun lebih baik mati daripada mendapat bantuan, anak muda,
sekarang minggirlah biar kuselesaikan pertarungan..."
Gembala Sakti mengangkat toya siap bertarung kembali, tetapi
saat itu pula dirinya ambruk ke tanah dan tidak bangun lagi.
Sastrawan Kejam dari Tianshan tersenyum dingin sembari
mengipasi wajahnya meskipun tidak kepanasan.
"Pertolonganmu gagal anak muda, cukup satu jarum menyerempat
kulitnya, maka darah akan membawa racun bisa kalajengking itu
ke jantungnya. Kini bersiaplah menyusulnya. Kurasa tak penting
88 bagiku siapa namamu, tetapi kamu akan kuberi hukuman setimpal


Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena mengganggu kesenanganku!"
Sehabis mengucapkan kata-kata itu Sastrawan Kejam dari
Tianshan mengebutkan kipasnya, dan meluncurlah jarum-jarum
beracun ke arah anak muda yang memegang pedang. Namun
anak muda itu melejit dengan ringan ke atas sehingga jarum-jarum
beracun itu lewat di bawahnya, meskipun pada saat itu jarum-jarum
beracun lain telah melesat pula dari kibasan lengan baju
Sastrawan Kejam dari Tianshan. Kali ini tidak bisa dibayangkan
betapa anak muda yang tampak masih polos itu dapat menghindar.
Ilmu silatnya mungkin saja tinggi, tetapi sudah jelas ia belum
berpengalaman hidup di rimba hijau dan sungai telaga yang penuh
tipu daya serta kelicikan.
Yan Zi dan Elang Merah, dengan cara pandangnya masingmasing, segera dapat membaca suatu keadaan: bisai memang
diandaikan sebagai gelanggang mengadu ilmu silat secara ksatria.
Semula memang hanya sebagai pertarungan persahabatan tanpa
kematian, karena hanyalah merupakan bagian dari pertemuan
antar perguruan yang besar seperti Shaolin-pai dan Wudang-pai;
tetapi kemudian apabila bisai juga menjadi pertarungan antara
para pendekar golongan merdeka, maka kematian dianggap akibat
yang wajar selama berhadapan satu lawan satu - bahkan
89 kemudian ketika orang-orang golongan hitam yang berilmu tinggi
ikut pula memasuki gelanggang dan mengajukan tantangan,
kelicikan dan tipu daya macam apa pun akhirnya diterima sebagai
bagian dari ujian kemampuan dengan nyawa sebagai pertaruhan.
Betapapun, pendapat tentang bagaimana bisai bisa mengesahkan
kependekaran tetap terpecah-pecah, seperti diperlihatkan oleh
peristiwa ini. Namun kepentingan Yan Zi dan Elang Merah bukanlah bisai,
melainkan jejak melalui anak muda itu untuk menemui Harimau
Perang. Aku memang tidak menjelaskan terlalu banyak perihal
kematian Amrita kepada keduanya, tetapi menekankan pentingnya
peran Harimau Perang dalam gagalnya pasukan pemberontak
yang dipimpin Amrita menguasai Thang-long, yang sebaliknya
bahkan menjadi medan pembantaian mereka di sepanjang Sungai
Merah. Maka dalam secepat kilat, keduanya menggerakkan tangan seperti
tak sengaja membenahi rambut. Gerakan yang seperti tidak ada
artinya ini menghasilkan angin pukulan yang merontokkan sekali
lagi jarum-jarum beracun Sastrawan Kejam dari Tiangshan,
sehingga pemegang kipas maut itu menjadi penasaran, tetapi tidak
sempat berbuat apa pun karena anak muda itu telah menyerangnya dengan sebat.
90 Segeralah keduanya berubah menjadi gulungan cahaya dengan
suara mendesis-desis dari kebutan kipas dan sabetan pedang
yang saling sambar-menyambar. Tidak dapat diragukan lagi
betapa ilmu silat keduanya memang sudah sangat tinggi. Namun
ternyata itulah yang selalu terjadi, bagi mereka yang tingkat ilmu
silatnya sama atau lebih tinggi, tentu akan mengetahui belaka
betapa setiap kali Sastrawan Kejam dari Tianshan itu berada
dalam kedudukan lebih menguntungkan untuk menyelesaikan
pertarungan, terutama dengan cara bersilatnya yang penuh
kelicikan, selalu saja gagal karena pertolongan yang datang dari
luar gelanggang. "Kurang ajar!" Sastrawan Kejam dari Tianshan itu memaki. "Bisai
ini penuh dengan kecurangan!"
Memang benar rupanya pendapat yang disampaikan pemuda itu
kepada adik perempuannya, seperti yang juga telah didengar oleh
Yan Zi dan Elang Merah, bahwa ilmu pedang yang diberikan oleh
guru mereka Harimau Perang lebih dari cukup untuk menghadapi
ilmu kipas Sastrawan Kejam dari Tiangshan, kecuali bahwa
pengalaman bertarungnya ternyata sangat kurang untuk menghadapi kelicinan dan kelicikan lawan dari golongan hitam.
91 MAKA dengan ditepisnya segala kemungkinan untuk menggunakan senjata rahasia, terdesaklah Sastrawan Kejam dari
Tianshan, yang jelas tidak akan memilih kemungkinan untuk mati
terhormat sebagai seorang pendekar.
"Biarkanlah dia lari," kata Elang Merah kepada Yan Zi.
Ya, aku pun selalu ingat ujaran Sun Tzu yang satu ini:
Janganlah mengejar musuh yang berusaha lari 1
Demikianlah Sastrawan Kejam dari Tiangshan itu langsung
menghilang. Namun bagi golongan hitam, menghilang selalu
berarti datang kembali untuk membalas dendam, bila perlu dengan
serangan mendadak dari belakang.
*** Orang-orang yang menonton bertepuk tangan atas kemenangan
anak muda itu, tetapi ia sama sekali tidak tampak senang, karena
rupanya ia tahu dirinya ditolong. Dari jauh Yan Zi dan Elang Merah
melihat anak muda itu menolak pedang kehormatan sebagai
hadiah pemenang yang akan diberikan penyelanggara bisai, yakni
pemerintah Kota Shangluo. Bersama perempuan yang mereka
dengar disebut Adik itu, mereka pergi begitu saja dengan wajah
92 muram, meninggalkan para penyelenggaranya yang bingung
memegang pedang kehormatan.
Rembulan di langit bercahaya keperakan, kerumunan itu
berangsur-angsur menipis dan bubar. Orang-orang berjalan
meninggalkan tempat itu sambil masih membicarakan kejadian
yang tidak sepenuhnya bisa mereka jelaskan, karena mereka tidak
bisa melihat bagaimana pemuda yang tampaknya keluar sebagai
pemenang bisai itu telah mendapat pertolongan.
Perhatian Yan Zi dan Elang Merah terutama tertuju kepada
sepasang murid Harimau Perang, dengan segera mereka telah
berada di belakangnya, yang meskipun dekat tidak akan
mencurigakan, karena jalanan penuh dengan orang-orang yang
keluar ke jalanan menyambut purnamanya rembulan.
Tanpa mereka sadari, rupa-rupanya seseorang juga mengikuti
keduanya dari belakang! Yan Zi dan Elang Merah kembali saling berpandangan. Mereka
tahu belaka jika dirinya diikuti. Saling pengertian keduanya yang
sudah begitu erat, rupanya telah membuat saling pandang sekejap
itu berarti sebagai kesepakatan atas suatu siasat!
93 Maka ketika tampak sebuah lorong, Elang Merah segera berbelok
memasuki lorong itu, sementara Yan Zi terus mengikuti sepasang
remaja yang dari percakapannya terduga sebagai murid Harimau
Perang tersebut. Untuk sejenak, rupanya penguntit itu kebingungan untuk memutuskan siapa yang harus diikutinya, tetapi ia kemudian
ternyata tetap mengikuti Yan Zi, sementara tangannya seperti
bergerak-gerak memberi suatu tanda.
Namun untunglah Elang Merah sempat menangkap tanda ini.
Kisah Sepasang Bayangan Dewa 5 Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen Tusuk Kondai Pusaka 21

Cari Blog Ini