Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma Bagian 2
Betapapun Elang Merah adalah seorang mata-mata Kerajaan
Tibet. Diketahuinya belaka bahwa tanda itu berarti seseorang yang
lain harus mengikutinya pula!
Penguntit itu rupa-rupanya tidak sendirian. Tidak jelas berapa lagi
kawan-kawannya yang lain. Apakah mereka anak buah Yang Mulia
Paduka Bayang-bayang yang memang jelas diberi tugas
mengikuti, seperti telah secara tidak langsung disampaikan juga,
ataukah pihak lain yang belum dapat diketahui asalnya"
Kini adalah giliran Elang Merah yang harus cepat bersikap. Apakah
ia akan menghilang secepat kilat agar penguntitnya kehilangan
jejak, lantas ganti menguntitnya dari belakang, ataukah 94 membiarkan diri diikuti saja sambil memikirkan cara terbaik untuk
membongkar siapakah kiranya yang berada di balik segala
penguntitan" Di dalam lorong yang kedua tembok di kiri dan kanannya tinggi,
kadang terdapat pintu yang terbuka atau tertutup, sebagai bagian
samping sebuah rumah di balik tembok itu. Elang Merah melirik
sekejap dan melihat bayangan yang menguntitnya itu bersembunyi
di antara bayang-bayang tembok tinggi yang menahan cahaya
rembulan. Maka ia langsung berhenti, sehingga bayangan itu pun tak keluar
dari balik bayang-bayang.
Lorong itu begitu sepi, dan napas di balik bayang-bayang itu
terdengar jelas bagaikan berdentang di telinga Elang Merah.
Ia telah mengambil suatu keputusan!
Dengan sebat tangannya melemparkan pisau terbang bergagang
gading, yang segera menancap di jantung penguntit yang
bersembunyi di balik bayang-bayang tembok itu. Belum sempat
desah napas itu terhenti, pisau terbang bergagang gading itu telah
tercabut kembali. Jadi rupanya Elang Merah masih memiliki pisau
terbang bergagang gading yang lain!
95 KETIKA tubuh itu ambruk di lorong gelap tersebut, Elang Merah
telah berada di belakang penguntit Yan Zi. Meski jalanan ramai,
karena kini terlihat pula kerumunan penonton wayang boneka yang
tertawa-tawa, dengan iringan bunyi-bunyian yang keras, percakapan murid-murid Harimau Perang itu terdengar jelas bagi
Yan Zi dan Elang Merah, dan tentu juga bagi penguntit Yan Zi
tersebut. Elang Merah menyapukan matanya ke sekeliling. Diperhatikannya
betapa Shangluo ternyata penuh dengan orang-orang dari dunia
persilatan, bahkan termasuk di antaranya para pengemis,
pengamen, para penjual makanan, dan terlebih para pengembara
dengan tongkat berikat bekal mereka yang dari balik capingnya
mengawasi pula kedua murid Harimau Perang.
Kedua perempuan pendekar itu menguping perbincangan muridmurid Harimau Perang.
"Kakak, marilah kita pulang sekarang, tidak ada gunanya mencari
Sastrawan Kejam itu dan menantangnya lagi malam ini. Bukan
Kakak yang meminta bantuan, tapi orang-orang itulah yang
menolong Kakak tanpa diminta. Kakak tidak perlu merasa
bersalah, lagipula Sastrawan Kejam itu karena kelicikannya patut
dipermalukan." 96 "Adik tidak mengerti, bagi seorang pendekar sangat memalukan
jika menang dalam bisai karena dibantu. Pokoknya aku harus
menantang orang Tianshan itu secara terbuka untuk bertanding di
atas bukit di bawah rembulan di luar kota, biarlah pertarungan
berlangsung sampai salah satu ada yang mati."
"Kakak, ingatlah pesan guru, kita memang diperbolehkan keluar
dari perguruan untuk mencari pengalaman, tetapi sama sekali tidak
dianjurkan untuk terlibat dalam pertarungan."
"Ah, tetapi kita tidak boleh tinggal diam melihat ketidakadilan, Adik,
bahkan mati membela kebenaran pun bukanlah suatu kesiasiaan."
Dengan percakapan seperti itu, mengertilah Yan Zi maupun Elang
Merah betapa kedua remaja tersebut memang miskin pengalaman
di dunia luas yang penuh tipu daya. Keduanya sama sekali tak
paham, betapa alih-alih pemuda itu mencari dan menantang
Sastrawan Kejam dari Tianshan, maka petarung yang curang itu
pun sudah mengerahkan orang-orangnya dari dunia hitam untuk
membunuh pemuda tersebut, yang tadinya selamat di gelanggang
bisai hanya karena terdapat orang luar yang membantunya.
97 Maka tentunya bukan bocah ingusan itulah terutama yang harus
dilenyapkan dari muka bumi, tetapi terutama yang telah dengan
sangat kurang ajar berani membantunya!
Kekhawatiranku rupanya sungguh berlaku. Mendekati gelanggang
bisai sungguh merupakan suatu kerawanan bagi kami yang
bermaksud merahasiakan perjalanan, karena di sekitar gelanggang itu pula akan berkumpul orang-orang dari rimba hijau
dan sungai telaga dunia persilatan. Bagi orang-orang ini, setiap
gerak dan langkah dapat memperlihatkan tinggi rendahnya ilmu
silat seseorang, dan apabila mereka melihat sesuatu yang menarik
untuk lebih diperhatikan, tidaklah jarang akan melakukan tindakan
untuk sekadar menguji maupun menyerang untuk menantang!
Apabila dalam kenyataannya Yan Zi dan Elang Merah tak hanya
sekadar bergerak, tetapi bahkan membantu pemuda murid
Harimau Perang itu dengan diam-diam, sudah jelas adalah keliru
jika mengira betapa bantuan diam-diam itu akan mudah
disembunyikan. Ketika Yan Zi sepintas lalu menoleh ke arahnya
dan mereka bertatapan mata, saat itu pula mereka telah
bersepakat untuk menghadapi dan menghabisi para calon
penyerang yang rupanya juga telah sangat penasaran, tanpa harus
diketahui sepasang muda-mudi tersebut.
98 Namun ternyata mereka belum juga menyerang, meski dengan
sekali pandang telah berbagi lawan di segala sudut yang ternyata
dengan diam-diam telah mengikuti mereka. Tentu telah mereka
ketahui pula sekarang bagaimana pisau terbang Elang Merah telah
mengambil seorang anggota komplotan, tetapi bahkan mereka pun
masih menunggu perkembangan ketika mendengar percakapan.
"Jadi apakah kiranya yang akan Kakak lakukan sekarang?"
"Kakak harus mengeluarkan tantangan kepada Sastrawan Kejam
dari Tiangshan itu sekarang juga Adik, sementara orang-orang
persilatan masih berada di Shangluo ini."
"Tetapi hari sudah terlalu malam untuk mengeluarkan tantangan,
Kakak, kita juga tak tahu ke mana mencari tinta dan kertas untuk
kita tulisi dan pasang di papan pengumuman."
"Tidak perlu tinta dan kertas Adik, cukup berteriak agar di dengar
semua orang di pasar malam, sekadar untuk mengikat kehormatan." Adik seperguruannya yang perempuan itu tidak berkata-kata lagi.
Kakak seperguruannya yang laki-laki itu tentu tidak keliru, bahwa
sekali suatu tantangan beredar di dunia persilatan, maka antara
99 yang menantang dan yang ditantang telah terdapat suatu ikatan
untuk bertarung dengan kehormatan seorang pendekar.
JIKA kakak seperguruannya telah menyebutkan nama Sastrawan
Kejam dari Tiangshan sebagai pihak yang ditantang secara
terbuka, maka semenjak saat itu lelaki yang bersenjata kipas
tersebut terikat dalam aturan kehormatan untuk melayaninya, jika
tidak ingin namanya dalam dunia persilatan disebut dengan nada
menghina. Dengan segera menantangnya pun berarti kakak seperguruannya
itu telah menghindari kemungkinan buruk untuk diserang dari
belakang, sesuai dengan perilaku golongan hitam, yang jika
berhadapan satu lawan satu pun tak dapat dijamin tak akan
membawa kelicikan seperti yang diperlihatkan.
Betapapun, sudah jelas pula baginya, bahwa yang terpenting bagi
kakak seperguruannya adalah dirinya yang tidak perlu dibantu. Ia
tak akan peduli bahwa lawannya mungkin melakukan serangan
rahasia, asal bukan dirinya yang menjadi buruk nama karena
menerima bantuan, meski tak dikehendakinya, dari luar gelanggang. "Jadi apakah kita akan menuju pasar malam sekarang, Kakak?"
100 "Sebaiknya begitu bukan, Adik, supaya tantanganku kepada
Sastrawan Kejam dari Tianshan segera terdengar dan tersebar."
Pada saat itu sebuah piauw meluncur secepat kilat menuju tengkuk
pemuda tersebut, tetapi pisau terbang Elang Merah telah keburu
menyampoknya. Trrrrrriiiiingngngng! Kedua senjata itu telontar ke udara dan Elang Merah melesat pula
untuk mengambil pisau terbangnya. Saat itu pula sejumlah piauw
dengan geriginya yang tajam kembali berlesatan, tetapi ke arah
Elang Merah di udara yang pertahanannya terbuka! Namun saat
itu pula Yan Zi telah melesat untuk menangkap semua piauw itu
dan mengembalikannya! Maka di celah keramaian pesta bulan purnama itu, delapan orang
di delapan penjuru angin segera terjungkal dengan piauw masingmasing di dahinya.
Belum lagi Yan Zi dan Elang Merah yang melayang turun sempat
menginjak tanah, setidaknya 20 ragam senjata dari berbagai arah
telah menyerangnya dengan jurus-jurus mematikan. Dalam
keadaan seperti itu, kedudukan Yan Zi dan Elang Merah sungguh
sangat lemah, apalagi jika serangan yang sangat cepat seperti kilat
101 itu jelas datang dari orang-orang rimba hijau dan sungai telaga
yang ilmu silatnya tinggi.
Dengan secepat kilat pula ternyata Yan Zi dan Elang Merah telah
saling menepukkan sebelah tangan, yang ketika bertemu menjadi
daya dorong bagi masing-masing untuk segera berkelebat
menghilang, meski ternyata tak lolos pula dari pengejaran.
Begitulah keduanya yang melesat dari genting ke genting akhirnya
terkejar dan tercegat di depan penginapan, tempat pemiliknya
dengan tergopoh-gopoh memberitahukan betapa kedua perempuan kawan seperjalananku ini sedang menghadapi
pengepungan. *** Hmm. Jadi terdapat kesenjangan antara cerita yang kusimpulkan
dari percakapan awam tersebut, dengan kenyataannya sekarang,
yakni bahwa para pengepung ini ternyata tidak seperti berilmu
sangat tinggi, yang justru bagiku merupakan keadaan bahaya,
karena jika mereka betapapun dapat mengejar Yan Zi dan Elang
Merah sampai di sini, tidaklah dapat dikatakan betapa ilmu silat
mereka itu rendah! Apabila sekarang mereka terlihat seperti
dipermainkan dan hanya mampu bersilat tanpa jurus serta
102 mengepung dengan sembarangan, tiada lebih dan tiada kurang
tentunya merupakan sebuah tipu daya!
Tidak heran betapa sebenarnyalah dengan serangan tanpa
perhitungan tersebut kini Yan Zi dan Elang Merah sedang
kewalahan. Keduanya memang hanya tampak sebagai cahaya
putih dan cahaya merah yang menunjukkan tingkat kecepatan,
tetapi kali ini bukan sebagai suatu kelebihan, melainkan
menunjukkan betapa mangkus dan sangkilnya pengepungan
dalam pendesakan. Sudah kukatakan tadi jangan terkecoh dengan
orang yang pura-pura bodoh, karena dalam dunia persilatan cukup
sekali terkecoh dan nyawa akan melayang. Sun Tzu berkata:
perang itu engkau harus mencegah berdasarkan bergerak (lawan) jika tentang muslihat menguntungkan kedudukanmu dengan penyebaran dan pemusatan 1
Dengan segera sudah dapat kuketahui bahwa duapuluh pengepung ini bukan orang-orang sembarangan. Apa yang tampak
sebagai gerak sembarangan tanpa jurus persilatan adalah siasat
yang sengaja mengacaukan. Tanpa senjata dan keterbatasan
yang disebabkan anjuranku untuk tidak terlibat pertarungan, Yan
Zi dan Elang Merah yang tadinya seperti berada di atas angin kini
103 ternyata tampak terdesak. Hanya kecepatan tinggi sajalah yang
Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuat keduanya lolos dari maut. Gabungan antara siasat
pengepungan ajaib, jurus silat bagai tak mengerti silat, dan senjata
yang aneh menjadi masalah yang tak mudah dipecahkan. Apakah
aku harus melemparkan saja pedang mereka kembali agar bisa
melawan" Di tengah persoalan serba mendadak, aku tidak boleh terlalu lama
berpikir. Saat itu tentu saja aku belum tahu, bahwa terutama
disebutnya nama Harimau Perang yang membuat Yan Zi dan
Elang Merah terlibat dalam urusan. Betapapun persoalan yang
belum terpecahkan harus kusingkirkan demi penyelamatan kedua
kawan yang nyawanya terancam.
"Betina jalang! Jangan berharap lolos setelah mencabut nyawa
para anggota Kawanan Danau Qinghai!"
Mendengar nama itu pun aku segera teringat cerita Iblis Suci
Peremuk Tulang, bahwa di sekitar Danau Qinghai yang indah di
selatan Pegunungan Qilian, terdapatlah kawanan perampok kejam
yang tak pernah bisa dibasmi karena ilmu silatnya yang tinggi.
Seperti perampok yang berangasan ilmu silat mereka bagai tak
beraturan, tetapi dalam kenyataannya sulit ditundukkan, karena
sebetulnya merupakan perwujudan Jurus Orang Awam Sakit Gigi
104 yang digabungkan dengan siasat Naga Menggeliat Berganti Sisik.
Dari namanya saja sudah jelas betapa gabungan jurus dan siasat
pertempuran ini penuh dengan muslihat tak terduga.
Menurut Iblis Suci Peremuk Tulang, sudah bertahun-tahun setiap
kali pasukan kerajaan dikirim untuk membasmi mereka dan
mengamankan Danau Qinghai, selalu kembali ke kotaraja dengan
kehilangan tak kurang dari separuh anggota pasukannya. Padahal
setiap kali yang dikirimkan adalah pasukan yang lebih kuat dari
tahun sebelumnya. Pasukan Wangsa Tang ini selalu kocar-kacir
tak mampu membongkar rahasia Jurus Orang Awam Sakit Gigi
dalam siasat cemerlang Naga Menggeliat Berganti Sisik yang
sangat mengecoh. Bahkan tadi pun aku sempat mengira Yan Zi
dan Elang Merah tidak berada dalam kedudukan yang terdesak.
Artinya betapa jurus dan siasat yang mengecoh ini sungguh
berbahaya! Aku tak mungkin berpikir lebih lama lagi. Aku melesat ke tengah
gelanggang sembari melempar kedua pedang kepada pemiliknya.
"Tiga Naga Mengikat Ekor!"
Kataku kepada mereka, yang berarti bahwa kami harus bertempur
dengan terus-menerus saling memunggungi. Masih berpegang
105 kepada siasat Sun Tzu, menghadapi lawan yang gerakannya sulit
ditebak, tetapi tetap menyerang dengan ganas, kupikir kami harus
menggabungkan siasatnya tentang medan yang menjebak dan
medan yang bercelah. Sun Tzu berkata:
medan tetapi yang mudah sulit adalah medan jika musuh didatangi ditinggalkan yang kembali menjebak tak siap keluarlah dan kalahkan --medan harus yang diduduki bercelah lebih dulu nantikan musuh masuk di situ 1
--Dalam hal ini, dengan saling pengertian yang sudah lama
terbentuk, kami akan manfaatkan keterdesakan untuk membuka
ruang yang mudah dimasuki lawan, tetapi yang segera kami ubah
menjadi celah sempit yang tidak memberinya jalan keluar.
106 Demikianlah dengan sebat Yan Zi menyambar Pedang Mata
Cahaya untuk tangan kanan yang segera menghasilkan lingkaran
cahaya dengan sebuah celah di antaranya; sementara begitu
Elang Merah menerima pedangnya segera mengembangkan Jurus
Elang Terbang di Balik Cahaya yang membuatnya tak terlihat di
balik lingkaran cahaya yang dibuat oleh Yan Zi. Seorang anggota
107 Kini Yan Zi yang berteriak setelah pedangnya memakan korban.
"Enambelas!" Bandringanku menyambar kepala. Batunya memang bukan
sembarang batu, talinya pun bukan sembarang tali. Penerobos
celah itu kepalanya langsung pecah.
"Limabelas!" Kali ini tendangan Elang Merah langsung menghentikan jantung.
"Empatbelas!" Ujung Pedang Mata Cahaya membelah leher penerobos yang
malang. Semuanya begitu cepat. Bahkan dengan saling bersentuhan kami
masih berada di udara. Kami menambah kecepatan dan dengan segera korban bertambah. Elang Merah terus menghitung yang masih tersisa.
"Tigabelas!" "Duabelas!" 108 "Sebelas!" Terdengar suitan, dan Kawanan Danau Qinghai itu tiada lagi yang
menerobos celah buatan Pedang Mata Cahaya, melesat pergi dan
saat itulah kulayangkan bandringan, yang meluncur ke tengkuk
korban terakhir. Batu itu mematahkan tulang lehernya dan jatuh
terguling-gulinglah ia dari atas genting penginapan, tempat semula
ia mau menghilang ke balik wuwungan.
Bug! Ia jatuh berdebum di hadapan orang-orang yang berkerumun di
depan penginapan. "Sepuluh!" JADI bersama delapan orang yang mati oleh piauw mereka sendiri.
Semuanya delapanbelas orang Kawanan Danau Qinghai tewas di
Kota Shangluo ini. Apakah hanya karena terdapatnya bisai itu
maka orang-orang rimba hijau dari tempat yang jauh itu sampai di
sini" Bisai yang paling diperhitungkan tentunya adalah bisai di
Kotaraja Chang'an, selain karena yang bertarung tak jarang tokohtokoh ternama, hadiahnya pun paling besar pula. Adapun bisai di
Shangluo biasanya dianggap sebagai pemanasan sebelum
mengikuti bisai di Chang'an, sekaligus menjadi cara menjajaki para
109 calon lawan. Jika pun tidak ikut bertanding, mereka datang untuk
melakukan pengamatan. Namun bisai, dengan segala kelicikan yang menyertainya adalah
pertarungan seorang lawan seorang, sedangkan Kawanan Danau
Qinghai adalah suatu gerombolan yang biasanya berkeliaran
mengganggu ketenteraman nun di timur laut sana, yang
membutuhkan perjalanan berminggu-minggu untuk mencapai
Shangluo. Mayat-mayat bergeletakan. Orang-orang masih terpana. Yan Zi
dan Elang Merah bercerita dengan cepat agar kami segera bisa
mengambil keputusan. Shangluo adalah kota yang terdekat
dengan Chang'an. Di sini mayat yang bergelimpangan menjadi
urusan hukum, masalahnya tidak bisa sekadar dibalas dengan
dendam dan tantangan seperti di rimba hijau dan sungai telaga
dunia persilatan. Mendadak terdengar pula keributan dari tempat Yan Zi dan Elang
Merah mendapat serangan. Seseorang datang berlari dan bicara
dengan terengah-engah. "Di sana! Di sana!"
"Ada apa?" 110 "Ada lagi!" "Apa?" "Dua orang tewas mengenaskan!"
Kami bertiga melesat secepat kilat. Sebelum kerumunan bertambah banyak, sudah kami ketahui siapa yang bernasib
malang. Kedua muda-mudi yang diceritakan Yan Zi dan Elang
Merah sebagai murid Harimau Perang itu tewas mengenaskan.
Wajah keduanya biru menghijau karena racun senjata rahasia, dan
luka-luka di tubuh mereka dapat kubaca sebagai tamparan kipas
besi. Keduanya jelas telah diserang secara licik oleh Sastrawan
Kejam dari Tiangshan sebagai pembalasan dendam karena
merasa telah dipermalukan.
Tanpa bisa memeriksa lebih jauh, kami harus pula segera pergi,
karena makin banyak orang berkerumun. Apabila kemudian para
petugas yang berseragam menunggang kuda datang pula, maka
jelas kami merasa lebih baik tidak menampakkan diri. Di antara
kerumunan dan orang berlalu lalang kami kembali ke penginapan,
tanpa menarik perhatian mengambil kuda kami diam-diam, dan
tanpa menungganginya berjalan menjauhi keramaian, menuju ke
luar kota. 111 Jika sumber perkara mayat-mayat bergelimpangan ini ditelusuri
oleh para petugas tadi, sudah pasti dengan segera akan sampai
ke pintu penginapan kami, dan kami jelas sedang tidak ada waktu
dan selera untuk diadili, karena kami sedang mengemban tugas
rahasia kami sendiri. Demikianlah kami berjalan di bagian kota yang gelap dan sepi,
menuntun kuda kami perlahan-lahan, menjauhi bagian yang penuh
manusia dan bercahaya terang. Menjelang gerbang luar kota kami
melewati penjagaan. "Mau ke mana kalian malam begini?"
Elang Merah yang menjawab.
"Pulang ke Chang'an."
"Kalian orang Chang'an" Kenapa tidak menunggu hari terang?"
"Bisai sudah usai, tak ada perlunya lagi kami di sini."
Para penjaga gerbang adalah anggota pasukan yang tampaknya
sudah biasa berperang. Ia menatap busana ringkas yang
dikenakan Yan Zi dan Elang Merah dan tampaknya berhasil
diyakinkan. Waktu melirikku aku menundukkan kepala, pakaian
112 dan capingku yang buruk kuharap cukup meyakinkan, untuk dikira
sebagai budak kedua perempuan pendekar yang masing-masing
berbusana serbaputih dan serbamerah itu.
"Oho! Tentu kalian mengalami kekalahan, dan hanya bisa bersedih
dalam kemeriahan! Haha! Mungkin kelak harus dibedakan antara
petarung lelaki dan perempuan! Hahahaha!"
Kami menunggangi kuda kami dan berlalu memasuki kegelapan
malam, menempuh jalan yang langsung menuju Kotaraja
Chang'an. Di jalan raya itu Yan Zi dan Elang Merah memacu kudanya susulmenyusul dalam kegelapan malam. Kubiarkan kedua perempuan
pendekar itu salip-menyalip dengan riang, setiap kali yang satu
mendahului segera tersusul oleh yang lain. Aku pun memacu
kudaku tetapi menjaga diriku tetap berada di belakang.
Memandang kedua teman seperjalananku itu, tidak kuingkari
dadaku pun meruap dengan kegembiraan. Membayangkan
petualangan baru yang menanti di depan, sama sekali terlupakan
olehku kenyataan dunia persilatan, yang dari saat ke saat penuh
bahaya mengancam! 113 CAHAYA keemasan musim panas bulan Jyesta di tahun 797
menerpa tembok Kotaraja Chang'an, ketika kami datang dari arah
timur mendekati kota itu. Matahari pagi terasa hangat di punggung
kami, dan bayang-bayang kami bertiga di atas kuda memanjang
sepanjang padang rumput, nyaris menyentuh tembok luar yang
membentang dari utara ke selatan sepanjang 8.000 langkah lebar
orang dewasa. Jarak kami dengan tembok luar itu sebetulnya
masih jauh, tetapi bentangannya yang begitu luas seolah-olah
membuat kotaraja itu sedikit demi sedikit menghisap dan menelan
kami. Elang Merah yang dalam tugasnya sebagai mata-mata Kerajaan
Tibet pernah menginjak Chang'an bersikap bagaikan penunjuk
jalan. "Itu yang di sebelah kanan adalah Gerbang Chunming, dan yang
sebelah kiri adalah Gerbang Yanxing," katanya.
Yan Zi, meskipun tampak sangat menahan diri, tidak bisa menutup
binar matanya yang tampak jelas terpesona. Ia tersenyum tanpa
menoleh ketika aku memandangnya. Betapapun dapat kurasakan
juga ketegangannya, mengingat tujuannya datang ke kota terbesar
di dunia ini adalah menerobos istana dan mengambil Pedang Mata
Cahaya untuk tangan kiri. Mungkinkah kiranya seseorang dari
114 pelosok terpencil, di tempat yang sangat rahasia dan tidak pernah
pergi keluar dari wilayahnya, akan berhasil menjalankan tugas
yang sangat menuntut pengenalan sebaik-baiknya dari sebuah
kota besar" Kami diperiksa ketika melalui Gerbang Chunming. Hanya Elang
Merah yang membawa surat perjalanan resmi, karena dalam
kedudukannya sebagai mata-mata maka Kerajaan Tibet melengkapinya dengan segala kebutuhan penyamaran, termasuk
surat tersebut. Demikianlah surat yang tertulis dalam dua bahasa
itu menjelaskan bahwa pemiliknya adalah warga Kerajaan Tibet
yang sebagai pegawai Kedutaan Besar Tibet bertugas melakukan
perjalanan di seantero Negeri Atap Langit; dalam surat itu terdapat
lampiran bahwa pemiliknya diiringi dua orang budak. Lampiran ini
adalah surat palsu yang dipersiapkan oleh pihak Yang Mulia
Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Paduka Bayang-bayang, dan dalam hal budak untungnya tidak
diperlukan sebuah nama tertulis secara resmi.
Kami disuruh melanjutkan perjalanan begitu saja, meski ketika
melewatinya, kami tahu belaka betapa mata para penjaga yang
mengawasi dari atas tembok setinggi delapan langkah lebar orang
dewasa, dengan ketebalan dua langkah di atas dan melebar
sampai tiga setengah langkah di bawah itu, menatap kami dengan
tajam. Kami bersikap sebagai pengembara biasa, segelintir dari
115 begitu banyak pengembara yang datang dan pergi dari Chang'an,
sebagai pusat perdagangan 1, kebudayaan, dan permainan
kekuasaan. Penduduk Chang'an sendiri, selain dari orang-orang Han, juga
terdiri dari orang-orang berbagai kebangsaan seperti Huihe atau
Uighur, Tubo atau Tibet, dan Nanzhao atau Yi, selain Negeri
Matahari Terbit, Xinluo atau Koguryo, Persia dan Arab, yang sering
disatukan saja sebagai orang-orang Dashi. Sementara para
pengembara yang hilir mudik antara Chang'an dengan berbagai
wilayah mulai dari Daerah Perlindungan An Nam, Jambhudvipa,
dan Kemaharajaan Romawi Timur, selain mengakibatkan tersebarnya kebudayaan Negeri Atap Langit, juga sebaliknya
memberi peluang berbagai kebudayaan, termasuk kebudayaan
suku-suku yang paling terpencil sekalipun di sepanjang jalur itu,
untuk memberikan sumbangan yang memperkaya kebudayaan
Negeri Atap Langit. Pengaruhnya segera terlihat di jalanan Chang'an, kota berpenduduk dua juta manusia dengan serbaneka busana yang
mencolok dan mengagumkan, yang dalam keserbanekaan itulah
kiranya kehadiran kami semakin tersamarkan. Elang Merah
dengan busana serbamerah, Yan Zi dengan busana serbaputih,
dan diriku sendiri masih dengan busana An Nam yang sudah lusuh,
116 yang jika berada di pedalaman barangkali akan cukup menarik
perhatian, hanyalah salah satu warna dalam lautan warna-warni di
jalanan Chang'an yang menggairahkan.
Setelah menyeberangi jembatan batu di atas parit berkedalaman
sekitar enam kali tinggi tubuh orang dewasa dan lebarnya lima
langkah rata-rata orang dewasa, kami segera berhadapan dengan
keramaian Pasar Timur, salah satu dari dua pasar terbesar di
Chang'an. Bagi seseorang yang berasal dari Javadvipa seperti
diriku, meski aku tidak perlu merasa rendah diri sebagai anak
negeri yang mampu membangun Kamulan Bhumisambhara,
kemeriahan Chang'an di sekitar pasar besar itu sangatlah
mencengangkan. KAMI berkuda melewati para pemain zaji cilik 1 yang sepagi itu
sudah jungkir balik memamerkan keterampilannya demi sepotong
roti gandum. Dari balik tembok rumah-rumah gedung yang mewah,
harum susu kedelai panas dan uap bakpau sampai ke hidungku,
membuatku membayangkan makanan terhangat yang bisa
disantap. Kami telah berkuda semalaman, setelah sebelumnya
menginap dua malam di perjalanan. Jadi inilah hari keempat
semenjak kami meninggalkan Shangluo. Banyak orang berlalu
lalang dengan langkah tergesa, seperti selalu ada sesuatu yang
harus dikerjakan segera . Terbiasa hidup di alam terbuka, dan
117 terbiasa dengan dunia persilatan, penuh sesaknya kota ini
membuatku berpikir betapa mudahnya seseorang menjadi korban
serangan rahasia dari belakang. Namun di kota besar seperti ini,
tidaklah dengan segera dapat kuketahui, seberapa jauh ilmu silat
mendapat perhatian, karena begitu banyak yang tampaknya bukan
sekadar berlomba meminta perhatian, tetapi memang layak
diperhatikan. Elang Merah membawa kami menjauhi pasar. Telah kusebutkan
betapa panjang tembok sisi timur kota ini yang membentang dari
utara ke selatan adalah 8.000 langkah lebar orang dewasa, maka
meskipun belum menyaksikannya telah kudengar pula bahwa
panjangnya di sisi utara maupun selatan adalah 10.000 langkah
lebar kaki orang dewasa. Dengan kata lain, panjangnya 10.000
langkah dan lebarnya 8.000 langkah, sehingga dapat kuperkirakan
luasnya dan kuketahui bagaimana Chang'an disebut sebagai kota
terbesar di dunia. Elang Merah mengutamakan agar kami
mengenali kota ini dulu sebelum berhenti dan mencari penginapan,
maka kami pun mengelilingi Chang'an dan Elang Merah
menganjurkan kami makan saja bekal kami sambil menunggangi
kuda perlahan-lahan, dan aku mengikuti saja karena menyadari
bahwa kedatangan kami memang bukan untuk bersenang-senang.
118 Yan Zi mengunyah roti gandum kering sembari melihat-lihat, yang
segera kuikuti karena aku memang merasa kelaparan. Setelah
beberapa saat dapat kulihat bagaimana dari Gerbang Mingde yang
terdapat tepat di tengah tembok selatan, suatu jalan raya yang
lebar membelah kota dengan tepat lurus ke utara menuju Pusat
Tatakota, yang di belakangnya terdapat Gerbang Chengtian, pintu
masuk ke Kota Kerajaan. Jalan itu berpotongan dengan
empatbelas jalan raya yang menyilang dengan serba terukur dan
tepat lurus dari timur ke barat, sementara sebelas jalan raya lain
dengan cara yang sama berpotongan dari utara ke selatan. Jalan
raya yang saling menyilang ini membentuk 108 petak empat
persegi panjang yang masing-masingnya bertembok dengan pintu
gerbang di setiap sisi, dan di dalam setiap wilayah ini terdapatlah
petak-petak yang lebih kecil, yang membuatnya disebut kota-kota
kecil di dalam kota yang lebih besar.
Petak-petak bertembok dan berpintu gerbang pada empat sisi ini
merupakan keistimewaan Chang'an. Tentang Chang'an sendiri,
penyair besar Du Fu pernah menyebutnya selintas dalam puisinya
Kesenduan dalam Hujan Musim Gugur 2: Adakah di Chang'an ini Orang terpelajar lain sepertiku
119 Yang tinggal di balik pintu-pintu tertutup,
Dan di dalam rumah-rumah yang kosong
Sementara di luar rerumputan liar tumbuh
Anak-anak lelaki bermain air dan saling menciprat
Di dalam angin dan hujan,
Hujan yang sudah mulai Menunggangi angin dingin utara
Membuat sayap-sayap angsa liar
Terlalu basah untuk terbang ringan;
Musim gugur ini kita tak melihat matahari
Hanya berhadapan dengan lumpur kotor!
Kapan oh kapan ibu pertiwi
Akan kering sekali lagi"
120 Suasana musim gugur tentu berbeda dengan musim panas
sekarang ini, dan Du Fu menyebutkan hanya berhadapan dengan
lumpur kotor kemungkinan untuk menggambarkan pasukan
pemberontak pimpinan An Lushan yang sempat menguasai kota
itu. Du Fu tidak berada di dalam kota ketika Chang'an berhasil
diduduki, tetapi sejak musim gugur tahun 757 memang berada di
sana, kemungkinan karena tertangkap di luar kota dan dibawa
sebagai pengangkut barang ke dalam kota, sebelum dibiarkan
pergi karena pangkatnya sebagai pegawai yang rendah
KUINGAT puisi itu karena menyebutkan pintu-pintu tertutup dan
rumah-rumah yang kosong, yang menggambarkan suasana
muram kota ini dalam pendudukan An Lushan yang haus darah.
Namun kini seolah-olah peristiwa itu tidak pernah terjadi, kota
dengan 108 petak bertembok dan berpintu gerbang empat sisi, dua
di antaranya seluas dua kali petak yang lain menjadi Pasar Barat
dan Pasar Timur yang dirancang dan berada dalam pengawasan
pemerintah, tampak begitu meriah.
Sembari berkeliling diam-diam kuhitung bahwa di balik tembok
yang tingginya kurang sedikit dari tiga kali tinggi orang dewasa itu,
tetapi kali ini pintu-pintunya terbuka, terdapat tak kurang dari 111
kuil Buddha, 41 wihara Dao, 38 rumah abu milik keluarga untuk
bersembahyang kepada roh leluhur, dua kuil pemerintah, tujuh kuil
121 bagi agama-agama orang asing, sepuluh petak bagi bangunan
tempat kepentingan pedalaman diurus, duabelas penginapan
besar, dan enam tanah pekuburan. Petak-petak kotapraja
merupakan ruang terbuka dengan lapangan atau halaman
belakang dari gedung-gedung mewah untuk bermain bola dengan
kaki yang disebut cuju atau dengan tongkat penyepak bola sambil
naik kuda. Aku bertatapan mata dengan Yan Zi, selintas Elang Merah melihat
bagaimana kami bertatapan itu, tetapi tidak kulihat perubahan
pada wajahnya sama sekali, karena perhatiannya ternyata pada
sesuatu yang lain. Dengan sudut matanya Elang Merah memberi tahu bahwa kami
diikuti orang. Di antara begitu banyak manusia yang lalu lalang,
baik berjalan kaki, menaiki kuda, dibawa gerobak, diangkut tandu,
di atas keledai, maupun menunggang unta 1, tidak terlalu mudah
mencari penguntit yang dimaksud Elang Merah. Namun Yan Zi
segera mengangkat dagunya, saat orang yang dimaksud itu justru
datang mendekat ke arah kami. Orang itu berbusana seperti bhiksu
yang mengenakan caping jerami, mengetuk-ngetukkan tongkatnya
sambil berjalan, seolah-olah matanya buta tetapi sudah begitu
mengenal lekuk liku jalanan. Ia melewati kami begitu saja,
bagaikan kami tidak ada, meski bagi yang waspada ternyata
122 tangannya bergerak dengan amat sangat cepatnya, dan kutahu ia
melempar sesuatu yang segera disambar Elang Merah.
Bhiksu bercaping jerami itu berjalan terus dan menghilang di
tengah keramaian. Elang Merah kulihat membuka lipatan lembaran
yang disebut kertas itu, tempat huruf-huruf Negeri Atap Langit
tampak tertoreh di situ. "Pesan untuk kita," katanya, "agar kita menginap di Penginapan
Teratai Emas." Rupanya inilah sambutan jaringan Yang Mulia Paduka Bayangbayang di Chang'an. Dalam kertas buram itu terdapat petunjuk
jalan, bahwa tempat penginapan kami berada di bagian timur laut
dari Chang'an, dan artinya sudah kami lewati, karena tempatnya
berada di dekat Pasar Timur; sedangkan kami sekarang sudah
meninggalkan Pasar Barat dan menuju ke selatan.
"Kita jalan terus saja," kata Elang Merah, "agar setidaknya
sesampai di penginapan, kalian telah mendapatkan gambaran
tentang luas dan isi kotaraja."
Tentang luasnya tentu sudah dapat diperkirakan dari panjang dan
lebar tembok paling luar kota ini, tapi perbincangan tentang isinya
sungguh jauh lebih beraneka. Telah kusebutkan jumlah petak
123 bertembok dan berpintu gerbang pada empat sisi itu 108
jumlahnya, tetapi luasnya kota tidak dengan mudah diketahui
melalui suatu perkalian, karena meskipun terdapat suatu
keteraturan ukuran, luas berbagai jenis petak itu memang tidak
semuanya sama. Luas petak terkecil dapat kuperkirakan sebagai
perkalian sisi panjang 274 langkah dengan sisi lebar 39 langkah,
sedangkan yang terbesar, di sisi utara di dekat Istana Daming
sehingga disebut Kota Kemaharajaan, sebagai perkalian sisi
panjang 940 langkah dengan sisi lebar 1880 langkah 2. Jika
kusebut langkah, tentu maksudnya langkah lebar orang dewasa
SELAMA berkeliling, dapatlah kuperhatikan bagaimana betapa
jarak di antara petak satu dengan petak lain ini membentuk jalan,
dan lebar jalan ini pun memberi kesan kemegahan yang sangat
kuat kepada Kotaraja Chang'an, karena jalan yang paling sempit
pun lebarnya sudah 25 langkah. Jalan raya yang berakhir pada
pintu gerbang lebarnya pasti tak kurang dari 100 langkah,
sementara Jalan Kerajaan yang merentang antara Gerbang
Mingoe di selatan dengan Pusat Tatakota lebarnya 150 langkah.
Dengan lebar jalan seperti itu, jika terjadi kebakaran dan api
menjilati genting-genting rumah, maka para petugas pemadam
dapat dengan cepat segera datang mengatasinya. Sementara itu,
sejak limapuluh tujuh tahun lalu, tepatnya tahun 740, sepanjang
124 tepi kiri dan kanan jalan telah ditanam pohon-pohon buah atas titah
pemerintah, yang membuat penduduk berterimakasih dan semakin
betah saja tinggal di lingkungan yang sungguh-sungguh tampak
beradab. Tidak kurang dari 25.000 orang asing tinggal di Chang'an, sebagai
akibat keterhubungannya melalui Jalan Sutra ke berbagai penjuru
bumi. Demikianlah Jalan Sutra Barat Daya menghubungkan
Chang'an dengan Jambhudvipa sisi timur; Jalan Sutra Selatan,
setelah melalui Terusan Hexi dan gua-gua Dunhuang, menghubungkan dengan Samarkand, meskipun dapat juga dicapai
melalui suatu jalur di utara Pegunungan Tianshan, yang akan
menyambung ke Jalan Sutra Jalur Padang Rumput yang menuju
Laut Hitam, dan kalau perlu sampai Istambul. Namun adalah Jalan
Sutra Selatan, yang se?telah Samarkand, Negeri Persia, dan Kota
Baghdad, merupakan jalur yang lebih hangat iklimnya dibandingkan jalur utara yang membekukan tulang, untuk
mencapai Istambul, dan melalui laut bisa menuju ke Roma, ibu kota
Kemaharajaan Romawi. Dari ruang pustaka Kuil Pengabdian Sejati
sempat kuketahui di dalam kitab Enam Peraturan Wangsa Tang,
bahwa terdapat antara 70 sampai 300 negeri yang membuat
Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perjanjian dengan Negeri Atap Langit.
125 Namun bukan hanya para duta, utusan, maupun pedagang serta
pengembara negeri-negeri asing yang mewarnai jalanan Chang'An. Penduduk Chang'an sendiri, terutama mereka yang
berasal dari keluarga kaya atau anggota keluarga istana, sangat
menyadari dan menikmati keindahan berbusana. Pernah diceritakan oleh Elang Merah kepadaku, masa kekuasaan Wangsa
Tang ini menerapkan kebijakan untuk menyerap segala bentuk
keindahan apa pun yang belum dikenal, mulai dari penutup kepala
sampai baju, untuk mengembangkan busana Wangsa Tang
sendiri. Di jalanan Chang'an, setidaknya ini tampak dari berbagai
cara berbusana perempuan, seperti yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Dapat kuceritakan mulai dari sanggulnya yang berbagai jenis,
dengan hiasannya yang berjenis-jenis pula, seperti tusuk konde
emas dan zamrud, dan sisir yang terbuat dari cula badak, yang
kemungkinan besar berasal dari Javadvipa yang mereka sebut
Kunlun dan kemudian Cho-po. Pada masa Tang awal, penggarapan rambut cukup sederhana, tetapi semenjak masa
kekuasaan Maharaja Taizong, sanggul dari saat ke saat
bertambah tinggi dan berbagai cara pun tumbuh berkembang.
Semasa Maharaja Xuanzong baru saja menduduki tahta, penutup
kepala Tartar sedang digemari, tetapi pada masa-masa akhir
126 kekuasaannya banyak perempuan memilih sanggul yang melingkar ke depan sehingga dijuluki ''sanggul-salah'', dengan
hiasan bunga-bunga. Namun di jalanan Chang'an ini, lebih banyak
lagi jenis sanggul itu, yang tidak kuketahui pula nama-namanya,
sehingga tidak bisa menyebutkannya.
Perempuan-perempuan cantik jelita dan tampak kaya berseri-seri
dalam cahaya matahari pagi. Kuperhatikan bahwa wajah mereka
dirias, dan tampaknya rias wajah merupakan bagian penampilan
yang penting bagi perempuan Chang'an ini. Mereka mengenakan
bedak, yang kukenal pula di Javadvipa, tetapi pipi menjadi merah,
ini baru pertama kali kusaksikan. Sejumlah perempuan mengoles
keningnya dengan warna kuning gelap, dan suatu bahan warna
biru gelap yang kelak kuketahui disebut dai, digunakan untuk
memoles alis mata menjadi lain bentuknya, yang menurut Elang
Merah disebut dai mei, yakni ''alis mata yang dipoles''. Di jalanan
Chang'an, kuperhatikan tak kurang dari selusin cara untuk
menghias alis mata itu, sementara di antara alis terdapatlah hiasan
warna-warni yang disebut hua dian, yang terbuat dari bintik-bintik
serbuk emas, perak, dan zamrud. Sejumlah perempuan menggambari pipi mereka dengan bentuk rembulan atau mata
uang, dan bibir mereka juga dipoles menjadi sangat merah, begitu
merah, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih merah.
127 Kukatakan sejumlah dan bukan semua perempuan, karena pada
tahun Yuanho pada masa Xuanzong, tata cara berbusana
sebenarnya berubah. Perempuan tak lagi membubuhkan bedak
merah ke wajah mereka, dan sebagai gantinya mereka
menggunakan hanya urap hitam bagi bibir mereka dan membuat
alis mereka seperti aksara Negeri Atap Langit ini "^"
BEGITU menariknya segala warna-warni busana di Chang'an,
membuatku teringat bahwa setiap kali suatu cara berbusana
berganti, maka tak berarti cara berbusana yang lama lantas
menghilang, sehingga dari saat ke saat kota dunia ini semakin
lama semakin meriah. Maka selain terlihat lengan baju luar yang
pendek dan sempit, dengan bebe 1 yang ketat sampai ketiak, yang
menjadi ciri masa Wangsa Sui dan awal Wangsa Tang; terlihat pula
apa yang berlaku sekarang, yakni bahwa lengan menjadi lebar dan
semakin lebar, dengan leher baju bulat, persegi, atau seperti mata
anak panah terbalik ke bawah, bahkan terdapat pula yang
mencekik leher, tetapi tanpa dalaman untuk menutupi payudara.
Memandang busana perempuan yang seperti itu, aku teringat
sajak yang sering dinyanyikan Golok Karat, teman seperjalananku
yang tewas dalam serangan senjata peledak di sebuah kuil di tepi
Danau Bita ketika mencari Mahaguru Kupu-Kupu Hitam, jika
sedang merindukan Chang'an.
128 Salah mengira setengah sebagai penutup salju dada, tersembunyi atau Membiarkan dada putih salju tetap sebagaimana adanya.
Kata-kata itu menurut Golok Karat dulu, ditujukan bagi gadis-gadis
Chang'an yang berbusana seperti itu.
Tanpa sadar kubandingkan busana mereka semua dengan Elang
Merah dan Yan Zi, dan tahulah aku betapa busana kedua teman
seperjalananku ternyata sepadan dengan kecenderungan di
Chang'an semenjak tahun Tianbao 2 selama pemerintahan
Maharaja Xuanzong, bahwa perempuan sudah biasa terlihat
mengenakan busana lelaki. Ini bukan sekadar disukai rakyat jelata,
tetapi juga pernah tersebar di kalangan istana maupun keluarga
bangsawan.3 Saat itu aku tersentak oleh kerasnya suara bunyi-bunyian. Suara
kecer dan canang ditimpa tambur disusul bebunyian tiup bagaikan
mendadak saja terdengar mengawali arak-arakan yang menyembul dari balik tikungan sebuah petak. Di baris terdepan
para pemain zaji melompat dan berputar di udara berkali-kali,
129 tampak penuh daya dan semangat dalam iringan bebunyian yang
ribut, menghentak, dan berdentang-dentang.
Kami bertiga minggir dan turun dari kuda. Inilah jenis arak-arakan
yang tidak tergantung kepada musim, karena tidak semua
peristiwa yang patut dirayakan atau disyukuri berhubungan dengan
musim, melainkan terserah kepada kehendak maharaja. Arakarakan ini dimulai dengan pemain zaji, disusul para seniman bunyibunyian, lantas kereta-kereta yang merupakan panggung berjalan
dengan tiang-tiang yang tinggi, tempat para pemain zaji yang lain
lagi akan memanjat dan mempertunjukkan keterampilannya
kepada khalayak. Kereta-kereta beroda empat, menjulang sampai
lima tingkat, disebut kereta-gunung atau perahu-kemarau dihiasi
oleh bendera-bendera sutra dan kain yang menutupi kerangka
bambu dan berbagai jenis kayu.
Di puncaknya para pemain bebunyian negeri asing ternyata
sengaja merayap ke atas untuk memperdengarkan kemampuannya, kereta dibentuk seperti lembu jantan berkulit
macan yang dibuat terlihat juga sebagai badak dan gajah. Kota ini
akan kuketahui memiliki pula Badan Bebunyian sejak awal abad
VII yang bertugas menciptakan karya-karya resmi kerajaan yang
baru demi kepentingan arak-arakan. Namun untuk kepentingan
apakah arak-arakan yang meriah ini" Pernah kudengar dari Golok
130 Karat, jika suatu arak-arakan diberlangsungkan atas kehendak
maharaja, maka itu bisa berarti karena pasukan tentaranya baru
saja meraih kemenangan, panen berlimpah setelah kekeringan
atau kelaparan yang panjang, persembahan kepada dewa-dewa,
atau pemberian pengampunan kepada para tawanan yang semula
dianggap musuh kerajaan. Di Negeri Atap Langit adat semacam ini sudah berlangsung lebih
dari seribu tahun lalu, ketika Maharaja Qin Shihuang pada masa
kekuasaan Wangsa Qin untuk pertama kalinya menyatukan dan
meresmikan berbagai negeri menjadi Negeri Atap Langit, baik
dalam hal batas negeri maupun bahasanya.
Kulihat Yan Zi bicara dengan seseorang di sebelahnya, lantas
mendekati aku dan Elang Merah.
"Tentara Tang baru saja menang perang melawan pemberontak,"
katanya, "arak-arakan ini untuk merayakannya."
Kami bertiga saling berpandangan.
Yan Zi melanjutkan kata-katanya seperti membenarkan.
"Pertempuran berlangsung di Tiga Ngarai Yangzi."
131 Aku teringat jumlah besar pasukan Yang Mulia Paduka Bayangbayang yang berkemah di luar gua di tepi Sungai Yangzi. Saat itu
pun aku sudah berpikir, berkumpulnya suatu pasukan yang bukan
pasukan pemerintah dalam jumlah ribuan seperti itu bisa dibaca
sebagai pemberontakan. MENGINGAT kedudukan tersembunyi pasukan tersebut, aku tidak
yakin mereka telah ditemukan dan dikalahkan dengan mudah.
Sebaliknya, itulah kedudukan yang sangat menguntungkan untuk
menjebak dan menghancurkan lawan, betapapun lebih banyak
jumlahnya, karena bahkan jika pasukan lawan memburu dan
menyerang, tetap saja mereka dengan mudah akan dapat
menjebak maupun menghilang.
Maka jika disebutkan betapa pasukan pemerintah memenangkan
pertempuran, maka itu memang berarti sebagai perlambangan,
tetapi sama sekali tidak menunjuk kenyataan. Bahkan sebaliknya,
dalam kedudukan seperti yang pernah kusaksikan itu, pasukan
mana pun dan sebesar apa pun yang menyerang tentu akan
mengalami kekalahan. Sun Tzu berkata: Bertempur melawan orang yang banyak jumlahnya
132 Sama saja dengan bertempur
Melawan orang yang sedikit jumlahnya
Itu hanya soal jelas dan terangnya keadaan 1
Dengan demikian aku memikirkan dua kemungkinan, jika
bukannya pemerintahan Wangsa Tang yang memutarbalikkan
kenyataan, maka pihak pemberontak itulah yang berhasil
melakukan pengelabuan dan pengecohan, yakni hanya berlagak
kalah dan mundur teratur dengan korban sesedikit mungkin, demi
kepentingan suatu siasat dalam pertempuran yang lebih luas.
Dentang kecer, dentam tambur, gema canang, dan lengkingan
bebunyian tiup menjauh, tetapi keriuhan tidak berhenti, karena
arak-arakan ini rupanya sungguh panjang sekali, menunjukkan
keberlimpahan Kota Chang'an, dan tepatnya kemakmuran
Wangsa Tang, yang membuat keberlangsungannya dimungkinkan. "Katanya ini berlangsung tiga hari," kata Yan Zi.
Bahkan kadang-kadang penduduk juga dibebaskan dari jam
malam, yakni saat tidak dibenarkan keluar rumah pada malam hari,
133 seperti pada Pesta Lentera yang juga berlangsung tiga hari setiap
pertengahan bulan purnama.
Aku melihat kerumunan manusia pada kedua sisi jalan dan
menghela napas panjang, bagaimana caranya mencari dan
menemukan Harimau Perang" Jika masalah pencurian Pedang
Mata Cahaya untuk tangan kiri segala petunjuknya akan diberikan
jaringan Yang Mulia Paduka Bayang-bayang, maka perburuan
Harimau Perang bagiku sejauh ini pendekatannya belum dapat
kubayangkan. "Bukan hanya tiga hari," Elang Merah menyergah, "tetapi bisa lima,
tujuh, atau sembilan, tergantung kedudukan bumi di tengah langit."
Di Negeri Atap Langit kuperhatikan terdapat takhayul atas angkaangka. Bagi kami, semakin ramai dan semakin lama pesta ini
semakin baik, karena dalam tugas rahasia seperti yang sedang
kami jalani, kemeriahan kota jelas akan menyamarkan banyak hal.
Melihat keteraturan petak-petak dan jam malam yang diberlakukan
dalam kehidupan sehari-harinya yang sangat membantu penjagaan keamanan, kubayangkan suatu tugas rahasia harus
dilakukan dengan peningkatan kewaspadaan.
134 Namun jika benar dugaanku, betapa kemeriahan ini adalah semu,
bahwa sebetulnya tiada kemenangan pasukan, atau bahwa
kemenangan telah
Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diberikan dalam pengelabuan, maka tampaknya kami harus siap bagi suatu keadaan di luar dugaan
pada hari-hari mendatang.
Matahari makin tinggi. Elang Merah memberi isyarat bahwa kami
harus melanjutkan langkah tanpa menunggu arak-arakan berakhir.
Kami pun membawa kuda kami ke tikungan jalan di belakang kami,
dan menungganginya kembali.
"Kita putari dahulu Pasar Barat ini, dan baru ke selatan," ujar Elang
Merah. Rupanya ia bermaksud menunjukkan kedua gerbang sisi barat,
yakni Gerbang Jinguang di utara dan Gerbang Yanping di selatan,
termasuk memperlihatkan kuil agama-agama orang asing di petak
yang terletak di sebelah utara Pasar Barat. Terdapat kuil Buddha
dan wihara Kaum Dao di situ, tetapi untuk pertama kalinya di kuil
agama-agama orang asing yang juga terdapat di sana kulihat
orang asing yang dimaksud. Aku merasa seperti melihat raksasa.
Tubuhnya besar sekali dan jari tangannya seperti pisang. Kulitnya
putih, tetapi kasar dan kemerah-merahan, rambutnya pirang,
135 matanya biru, dan ia mengenakan kalung berbentuk salib. Ia
tampak tersenyum ramah ketika kami melewati gerbang petaknya.
"Itu orang dari Kemaharajaan Romawi," kata Elang Merah,
''tempatnya jauh sekali dari sini."
Matahari sudah berada di atas kepala ketika kami tiba di
Penginapan Teratai Emas yang terletak di bagian barat laut
Chang'an, yang berarti pula terletak di sebuah petak di selatan
Istana Daiming dan di utara Pasar Timur. Ya, kami telah berjalan
memutari Chang'an satu lingkaran penuh. Dengan segala hal baru
yang kusaksikan dengan seketika, rasanya perjalanan berdesakdesak di antara banyak orang yang berpesta itu sangatlah
melelahkan juga. PENGINAPAN itu dicat dalam perpaduan warna merah, kuning,
dan kuning emas. Pada dinding di depan pintu masuk terpajang
sepasang lian atawa kertas memanjang dari atas ke bawah yang
bertuliskan aksara Negeri Atap Langit. Dengan pengetahuanku
yang terbatas dapat kubaca bahwa yang kiri berbunyi Shou San
atau Gunung Panjang Umur, sedangkan yang kanan berbunyi Fu
Hai atau Lautan Rejeki. Agaknya penginapan itu merupakan salah
satu pusat jaringan Yang Mulia Paduka Bayang136 Elang Merah sempat kulihat saling berbisik dan tersenyum-senyum
sambil melirik kepadaku. Ketika kutatap mereka dengan bertanya-tanya, mereka tampak
semakin geli, dan menutupi mulut dalam usaha keras menahan
tawa. Sebetulnya aku sangat penasaran, tetapi karena tahu bahwa
mereka berdua tidak akan pernah mengatakannya, dan terutama
tidak merujuk kepada suatu bahaya, aku tidak merasa perlu
menanggapinya lebih jauh.
Pengurus penginapan, seorang pria yang berjubah biru dan
berturban hitam, dengan bagian leher melingkar, serta alas
kakinya yang disebut sepatu terlihat mungil di balik jubah
panjangnya, menyambut kami seperti yang sudah lama menunggu-nunggu. Alas kaki yang disebut sepatu itu tidak berpipa
tinggi seperti yang juga kukenakan, karena mata kakinya pun tidak
terlindungi, meski kaki yang memasuki sepatu itu mengenakan
pembungkus yang disebut kaus kaki. Dari dalam terdengar denting
petikan pipa atau wuxian, nyanyian, dan suara orang tertawa-tawa.
Dengan agak tergopoh-gopoh ia berkata sambil menjura.
"Puan Pendekar Yan Zi Si Walet, Puan Pendekar Elang Merah,
dan Tuan Pendekar Tanpa Nama, betapa Penginapan Teratai
137 Emas mendapat kehormatan atas kedatangan nama-nama besar,
selamat datang dan salam hangat dari Yang Mulia Paduka
Bayang-bayang." Aku tertegun. Tidakkah begitu gegabah mengucapkan hubungan
kami dengan Yang Mulia Paduka Bayang-bayang secara terbuka"
Betapapun ucapan semacam itu hanya mungkin diberikan dalam
wilayah yang dianggap aman. Pemerintah Wangsa Tang
tampaknya saja berkuasa mutlak, tetapi suatu wilayah rawan
menyeruak di dalam ibu kotanya. Apakah pernah jatuhnya
Chang'an ke tangan persekutuan Kerajaan Tibet dan Khaganat
Uighur pada 765 tidak menjadi pelajaran" Betapapun, seperti aku
telah mempertimbangkan pernyataan pesta kemenangan atas
musuh arak-arakan sebagai korban siasat pengelabuan, aku pun
harus menjaga kemungkinan bahwa kebebasan tempat ini bisa
saja merupakan jebakan. Adalah Sun Tzu juga yang berkata:
Dalam tidak daripada Tidak daripada ketentaraan, ada hubungan hubungan ada yang dengan hadiah hadiah lebih mata-mata. lebih untuk rapat, besar, mata-mata. 138 Tidak ada pekerjaan lebih rahasia, daripada pekerjaan mata-mata. 1
Dengan demikian, apakah yang sebenarnya mungkin kuketahui
dari dunia kerahasiaan para mata-mata" Betapapun, kemungkinan
bahwa tempat ini justru dengan itu memang aman, juga harus
kupertimbangkan. Kami bertiga balas menjura, tetapi Elang Merah yang berkata-kata.
"Kami hanyalah tiga pengelana yang kelaparan dan kelelahan,
Tuan, sudilah kiranya basa-basi ditiadakan, karena penugasan
Yang Mulia Paduka Bayang-bayang tampaknya harus segera
didahulukan." Dengan ini sebetulnya Elang Merah menunjukkan kekesalannya
atas sambutan yang berlebihan, dan memang kata-katanya itu
mendapatkan perhatian. Orang itu bicara terbungkuk-bunguk
dengan wajah ketakutan. "Ah baiklah kalau begitu Puan dan Tuan, silakan menuju ke ruang
yang telah kami sediakan, dan kami akan segera pula
menyediakan hidangan."
139 Sementara mereka berbicara, dari ruang dalam tempat kudengar
denting pipa, nyanyian, dan suara orang tertawa-tawa itu
mendadak muncul seseorang yang menyibak tirai dengan wajah
merah karena mabuk arak beras.
Ia melangkah gontai dan menunjuk-nunjuk kami. Menyanyi-nyanyi
juga dengan secawan arak beras di tangannya. Menyanyikan
sebuah puisi. Secepat panah Sungai Pa; di meluncur ke depan ia tentu sepuluh telah menghempas permukaannya bagaikan pergi bulan ini; arus perahu-perahu terbang; sejauh sekarang 10.000 lantas li kapan ia akan kembali kepadaku" 2
Yan Zi berceloteh dengan geli.
"Kenapa harus mabuk kalau membawakan puisi Li Bai?"
Orang itu berhenti sejenak dari nyanyiannya. Seperti sadar
sebentar ketika mendengar suara Yan Zi. Lantas tertawa-tawa
sambil masuk ke dalam lagi.
"Hihihihihi! Ada perempuan! Hihihihihi! Ada perempuan!"
140 Aku belum mengerti. Apa salahnya jika ada perempuan"
KUDENGAR pula teriakan yang sama mabuknya dari dalam.
"Kenapa harus ada perempuan" Kurang pekerjaan" Hahahaha!"
Yan Zi dan Elang Merah saling memandang lagi, dan memandang
aku lagi, tapi kali ini sudah tak mampu menahan tawa geli. Wajah
keduanya sampai merah di balik tangan kedua perempuan yang
menutupi mulut itu. Aku tak sempat menanggapi apa pun, ketika pelayan datang.
"Marilah saya antar Puan dan Tuan ke kamar masing-masing."
Masing-masing" Kami terbiasa tidur bersama di alam terbuka, sekali-kalinya mau
bermalam di Shangluo, kamarnya tinggal satu pula, itu pun tidak
jadi kami tinggali karena keributan yang timbul sesudahnya.
Sepanjang yang kuketahui di perjalanan, penginapan di pedalaman hanyalah merupakan ruangan tanpa sekat yang dihuni
bersama-sama oleh mereka yang sedang berada dalam perjalanan, dan hanya butuh sekadar tempat berbaring yang tak
berangin dan tak berhujan. Lelaki maupun perempuan, orang
141 dewasa, orang tua, anak kecil maupun bayi, juga menjadi satu di
situ, meski tetap dalam kelompoknya masing-masing.
Namun ternyata kami memang mendapat kamar masing-masing.
Waktu memasukinya aku merasa jengah, karena kamar itu dalam
perasaanku seperti kamar pengantin. Mulai dari sutra penutup
tempat tidur sampai tirai pada pintu dan jendela berwarna merah.
Belum lagi bau wanginya yang bagiku terasa memabukkan.
Setelah itu dengan segera pula datang makanan, yang segera
kuhabiskan bukan saja karena aku sungguh-sungguh kelaparan,
tetapi aromanya yang meruap membuatku ingin segera menelan
apa pun yang dihidangkan. Daging kukus berkuah yang sedap itu
kumakan dengan lahap. Dalam beberapa saat saja lima bulatan
daging kambing dengan rasa gurih itu sudah berpindah ke dalam
perutku. Aku tak tahu apa yang dialami Elang Merah dan Yan Zi. Kupikir
tentunya mereka mendapat pelayanan yang sama. Terpikir
sejenak, apa yang membuat kami harus mendapat pelayanan
begitu istimewa oleh Yang Mulia Paduka Bayang-bayang"
Mungkinkah karena pencurian Pedang Mata Cahaya untuk tangan
kiri itu memang merupakan bagian yang penting, dari siasatnya
untuk mengguncang pemerintahan Wangsa Tang" Aku 142 bersendawa tanpa terasa, dan tidak lama setelah itu begitu
berbaring sebentar lantas tertidur.
Pokok soal yang akan kuceritakan memang justru ketika aku
terbangun. Aku tak tahu berapa lama aku tertidur. Kelelahan dari perjalanan
berbulan-bulan yang menumpuk begitu rupa seperti termanjakan
oleh pembaringan yang empuk, perut kenyang, dan terutama rasa
aman, karena diperlakukan sebagai tamu kehormatan, meski tetap
dalam kerahasiaan, oleh Yang Mulia Paduka Bayang-bayang.
Begitulah aku telah tertidur pulas, nyaris tanpa kewaspadaan sama
sekali, meski barangkali memang tidak terdapat sesuatu yang bisa
disebut sebagai bahaya. Bantal berbungkus sutra merah yang
harum itu bagaikan membuatku terbius. Meskipun sebenarnya aku
sudah terbangun, begitu malas rasanya membuka mata dan
mengangkat kepala. Seolah-olah aku ingin tidur selama- lamanya.Memang benar tidak ada bahaya serangan senjata.
Namun ternyatalah betapa bahaya itu tak selalu dapat diduga
Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wujudnya. Suatu pepatah Negeri Atap Langit berujar:
143 Apa tak yang dapat Apa tak terdapat kita yang dapat pastikan terdapat kita Keberuntungan pada pada pada perhitungkan manusia pagi hari malam hari; malam pada pagi beraneka hari, hari. ragam, seperti angin dan mega-mega di langit. 1
Aku telah melepas baju perjalananku yang kumal dan hanya
membungkus diriku dengan selimut tipis untuk musim panas. Aku
memang sudah terbangun, tetapi setengah kesadaranku seperti
masih berada di dunia mimpi. Alam mimpi seperti sungai
kenyamanan yang menghanyutkan.
Saat itulah kurasakan suatu kehangatan yang lembut merengkuh
tubuhku dari belakang. Aku mungkin memang sudah terbangun,
tetapi aku merasakannya bagaikan berlangsung di dalam mimpi,
yang kuingat bagaikan Harini, dan kemudian Amrita yang
memelukku dalam dekapan, yang sungguh-sungguh membuatku
nyaman, amat sangat nyaman, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih
nyaman. Kelembutan sutra, keharuman sutra, kecanggihan sutra, menenggelamkan diriku dalam impian sadar yang penuh dengan
rayuan memabukkan. Sutra, bukankah kain itu begitu lembut tetapi
144 juga sangat kuat dan bertahan lama" Untuk beberapa saat aku
teringat gagasan wujud bahaya yang tak terduga, tetapi dengan
segera tenggelam dalam kenyamanan antara tertidur dan terjaga.
SAYUP - sayup masih kudengar petikan pipa 1 di kejauhan, suarasuara tertawa, tanpa terdengar suara perempuan sama sekali.
Mereka pasti mabuk, pikirku, tapi aku sendiri tidak bisa berpikir
jernih. Kukira kudengar pula suara dawai yang digesek, seperti
tangisan malang manusia yang diasingkan...
Aku nyaris tertidur kembali ketika sisa-sisa kewaspadaanku seperti
mendadak terbangun, ketika kusadari betapa sepasang lengan
halus ternyata sedang bergerak menyelusuri pinggangku!
Dalam sekejap aku sudah melenting dan siap mengibaskan
pukulan Telapak Darah, tetapi kibasan yang bisa menerbangkan
nyawa itu tertahan dengan sendirinya, ketika kulihat yang tergolek
di balik selimut tipis itu hanyalah sesosok makhluk tak berdaya.
Ia sungguh makhluk yang jelita, tetapi bukan wanita adanya...
Tatapan matanya sendu dan sayu. Dengan segera dapatlah
kumaklumi kini mengapa makhluk seperti itu lebih dari layak
dijatuhi cinta, bahkan mungkin pula membuat seseorang tergilagila...
145 Aku tidak ingin memikirkan sudah berapa lama ia berada di tempat
tidurku. Kutunjuk pintu bertirai merah tempat ia harus keluar
sekarang juga. Ia pun beranjak keluar menyeret kain sutra yang
menutupi separo tubuhnya, tempat yang terlihat mengkilap
bagaikan patung kencana. Tatapan mataku yang tegas tampak telah membuatnya memandangku dengan tatapan patah hati, tetapi kenapa aku harus
peduli" Betapapun indah dan menggetarkan tatapan matanya, tak
akan pernah diriku menghendaki seorang teruna.
mata kesepian dengan beradu saling pandang percaya mata orang terdapat yang baik bahaya tanpa ada yang disalahkan 2
Malam terasa larut. Aku keluar kamar mencari Yan Zi dan Elang
Merah. Aku seorang pengembara yang terbiasa dengan kehidupan
alam terbuka, merasa sangat terpenjara dan tersiksa oleh
kemewahan peradaban kota dunia. Kubayangkan betapa hidup
akan lebih menarik jika saat ini kami berkelebat saja di balik
kegelapan malam, melenting dari wuwungan ke wuwungan,
melihat-lihat setidaknya dari jauh, kemungkinan menembus
pertahanan Istana Daming, tempat diperkirakan terdapat Pedang
Mata Cahaya untuk tangan kiri. Memang benar bahwa jalan masuk
146 ke dalam pertahanan istana yang ketat menjadi tugas jaringan
mata-mata Yang Mulia Paduka Tuanku Bayang-bayang, dan
sebaik-baik t tugas rahasia, maka cara yang terbaik adalah
bergerak dalam ketersamaran, tetapi itu tidak berarti kami harus
terlena dalam jamuan kemewahan.
Agaknya Yang Mulia Paduka Tuanku Bayang-bayang menganggap bahwa yang tugasnya paling berbahaya berhak atas
pelayanan terbaik. Apabila telah kualami bagaimana yang
dimaksud dengan pelayanan terbaik itu, maka apakah kiranya
yang telah didapat oleh Elang Merah dan Yan Zi"
Deretan kamar kami sebenarnya terletak di sebuah balkon
melingkar di lantai atas, tetapi ruang tengah dari lantai bawah
sampai atap terbuka belaka, sehingga dari lantai atas dapat kulihat
sejumlah lelaki berbusana seperti orang terpelajar minum arak
sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa, sementara seorang
teruna menyanyi dengan suara meliuk-liuk bagaikan suara itu bisa
dipegang dan ada yang menekuk-nekuk.
Dari kamar Elang Merah terdengar juga suara orang bercanda.
Rupanya Yan Zi pun ada di situ. Namun suara siapakah yang
terdengar genit dan manja"
147 Kusibak tirai... ... dan aku pun terpana. Di pembaringan yang sama Elang Merah dan Yan Zi sedang tidur
tengkurap dengan punggung terbuka, sementara masing-masing
dipijit seorang teruna yang harus kuakui tak kalah jelita dengan
mata sayu dan juga terpana. Mereka berbusana sutra yang bagian
depannya terbuka, sehingga kulihat anting-anting permata pada
salah satu puting masing-masing dari mereka.
Kedua kawanku segera mengangkat kepala. Keduanya saling
berpandangan lagi dan tertawa.
"Pendekar Tanpa Nama! Janganlah curiga kepada kami berdua!
Kukira dikau pun sudah mengetahuinya bahwa mereka ini
bukanlah pria!" Semula aku mencari mereka dengan semangat tekad bulat untuk
mempertanyakan kesungguhannya, tapi bahkan dengan keadaan
seperti ini, aku hanya bisa ternganga.
Kemudian aku mengerti juga mengapa Elang Merah dan Yan Zi
sejak tibanya kami di penginapan itu memandangiku sambil
menutupi mulut dan menahan tawa. Rupanya keduanya 148 mengetahui belaka sejak semula bahwa kami berada di wilayah
kota bernama Dusun Kecil Utara, yang bukan suatu dusun sama
sekali, pada bagian yang disebut Petak Teruna, tempat segala
lelaki tetapi jelita, sehingga meskipun jantan menjadi betina,
sengaja dikumpulkan menjadi satu di bagian barat laut kota ini,
berdampingan dengan rumah-rumah pelacuran yang menawarkan
wanita-wanita penghibur paling ternama di Kotaraja Chang'an.
DI kota ini para wanita penghibur dihargai tinggi karena
penguasaan mereka atas tata cara perjamuan, tata santun perilaku
dan ujaran, serta memang diadakan untuk melayani golongan atas
penduduk Chang'an, para pejabat tinggi, orang-orang kaya, dan
kaum terpelajar, yang tak dapat terhibur oleh selera murahan yang
hanya mengutamakan ketubuhan. Adapun kaum teruna, bagi para
wanita penghibur ini merupakan saingan beratnya, terutama ketika
segala bentuk penghiburan bahkan dalam kesempurnaannya telah
dianggap terlalu membosankan.
Pergaulan dengan kaum teruna itu dicitrakan sebagai kenikmatan
menggigit buah persik 1. Segala sesuatu yang dikuasai wanita
penghibur dikuasai pula oleh kaum teruna. Mereka menguasai pula
segala tata cara, tata santun, dan segala seni, dari menyanyi,
menari, serta berpuisi, tak asing pula berfilsafat dan memainkan
149 segala alat yang berbunyi - dengan suatu kelebihan yang tak
dimiliki wanita, yakni keterunaannya.
Mungkin bukan kebetulan jika mereka dipusatkan di Dusun Kecil
Utara, yang berada di selatan Istana Daming, tempat berlangsungnya segala kegiatan golongan atas di Kotaraja
Chang'an. Sudah bukan rahasia betapa para wanita penghibur itu
mengincar peluang untuk menjadi selir di istana. Jika bukan selir
maharaja, maka selir sembarang warga istana pun lumayan juga,
meski bagi warga istana yang tak bisa ditawar adalah garis
keturunannya. Justru dengan begitu, keberadaan rumah-rumah
pelacuran di Dusun Kecil Utara itu seperti memberikan kebebasan
tanpa ikatan bagi golongan atas untuk bersenang-senang. Dengan
ketatnya penjagaan dan peraturan di dalam istana, para
bangsawan dapat keluar dari istana untuk mendapatkan kesenangannya. Dengan keberadaan para bangsawan, dan juga para pejabat tinggi
seperti para menteri, tidak mengherankan jika orang-orang kaya,
para pedagang yang memperjuangkan kepentingannya, akan
berdatangan pula ke sana. Sambil mencoba mendekati para
pemegang kunci kekuasaan, mungkin berusaha mempengaruhi
atau menarik perhatian dengan membayar jasa pelayanan
termahal, jika perlu ikut pula mencari dan mendapatkan
150 kesenangan bersama mereka. Bersama dengan itu, dapat
kubayangkan betapa keterangan dan penjelasan yang menjadi
kepentingan mata-mata mana pun berpeluang untuk digali di sana,
ketika arak dan anggur akan memperlancar kata-kata.
Maka bagiku pusat pelacuran di Dusun Kecil Utara itu bukan
sekadar pusat hiburan dan kesenangan, melainkan juga pusat
kegiatan mata-mata dari berbagai penjuru dan kelompok dengan
berbagai macam kepentingan.
Dari tempat ini, mungkinkah kiranya kulacak keberadaan Harimau
Perang" Petugas yang menghubungkan kami bertiga dengan jaringan
rahasia Yang Mulia Paduka Bayang-bayang itu adalah seorang
pemuda cakap yang menyebutkan dirinya sebagai Kaki Angin. Dari
namanya sudah jelas bahwa rupa-rupanya ia mampu bergerak
cepat, sehingga dipercaya sebagai penghubung untuk menyampaikan pesan-pesan penting.
Saat Kaki Angin menemui kami, hari sudah menjelang gelap dan
ia harus segera pergi sebelum dimulainya jam malam. Kami sudah
beberapa hari hanya makan dan minum saja di Penginapan Teratai
151 Emas. Pada dasarnya kami sudah mulai bosan, tapi harus
mengerti bahwa kami terikat untuk bekerja sama dengan pihak lain.
Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pesan pertama adalah yang terpenting, yakni bahwa pencurian
Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri itu harus dilakukan ketika
jam malam sedang tidak diberlakukan, yang berarti ketika kota
sedang tenggelam dalam pesta meriah, tetapi yang belum bisa
ditentukan pesta dan upacara apa akan menjadi hari penentuan terutama karena tempat penyimpanan Pedang Mata Cahaya untuk
tangan kiri itu sendiri belum diketemukan.
Seperti rencana semula, pencurian akan dilakukan ketika
Chang'an mengalami penyerbuan dalam pengepungan. Tepatnya
dalam keadaan sedang kacau, sehingga perhatian terarah ke luar
tembok perbentengan tempat terdapatnya pasukan penyerbu, dan
terandaikan bahwa meskipun penjagaan di luar istana akan
diperketat, terutama untuk melindungi Maharaja Dezong, penjagaan terhadap penyimpanan Pedang Mata Cahaya untuk
tangan kiri itu akan berkurang, jika tidak diabaikan sama sekali.
"Penjelasan itu masuk akal," kataku untuk memancing Kaki Angin,
''tidak setiap hari senjata mestika menjadi pusat perhatian, bahkan
ada kalanya kadang-kadang terlupakan."
152 "Harapan Paduka Yang Mulia Bayang-bayang hanyalah bahwa
penjagaan akan melemah pada titik itu, karena perhatian teralihkan
tetapi Pendekar Tanpa Nama jangan pernah melupakan, justru
saat itulah meningkatnya kewaspadaan," kata Kaki Angin.
KAKI Angin pun melanjutkan.
"Kami sedang melakukan penyelidikan tentang jadwal maupun
cara penjagaan di dalam istana, termasuk cara-cara penjagaan di
gudang penyimpanan senjata mestika, yang agak sulit karena
setiap bulan cara-caranya berganti. Namun kami yakin bahwa
cara-cara itu meskipun selalu berganti juga akan selalu diulangi
sebagai bagian dari keseluruhan cara-cara tersebut. Maka dari itu
kami perlu waktu, di samping memang belum pasti di manakah
tempatnya Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri itu."
Pedang Mata Cahaya yang terpisahkan dari pasangannya itu
konon amat sangat berat. Dengan tiadanya perhatian kepada
pedang itu saat-saat belakangan ini, ketika Wangsa Tang masih
sangat sibuk membenahi tata perdagangan, keuangan, dan
pertanian yang baru akan membaik setelah cukup kacau balau
semenjak Pemberontakan An-Shi, tidaklah kubayangkan pedang
itu sekali ditempatkan akan dipindah-pindahkan.
153 Masalahnya, bagaimana caranya mengetahui pedang itu di mana
disimpan" "Salah satu cara mengetahuinya,'' kata Kaki Angin pula, ''adalah
melihat siapa penjaganya."
Aku mengerti apa yang dimaksudnya. Jika mengikuti cara berpikir
Kong Fuzi, sebetulnya adidaya kesaktian sebuah pedang tidak
mendapat tempat, dalam arti tidak dipercaya sama sekali. Dari
sebuah pedang, yang dipercaya kedahsyatannya adalah mutu
tempaannya, berdasarkan pengetahuan atas cara pembuatan
maupun pengujiannya dalam berbagai macam percobaan. Dengan
pengetahuan atas logam yang tinggi, kelenturan dan kesetimbangannya sebagai senjata tajam, dipadu ilmu pedang
tingkat pendekar, sebuah pedang mencapai kesempurnaan atas
keberadaannya. Namun karena takhayul tetap beredar sebagai bagian dari cerita
sebuah pedang, maka diandaikan justru cerita-cerita dahsyat
tentang sebuah pedang yang dianggap mestika itulah yang
membuat sebuah pedang harus dijaga, termasuk Pedang Mata
Cahaya untuk tangan kiri. Sedangkan cerita penuh kedahsyatan
tentang sebuah pedang yang tidak bisa dibedakan dengan
takhayul itu adalah bagian dari kenyataan dunia kang ouw, dunia
154 sungai telaga persilatan, sehingga dengan masuk akal diandaikan
betapa yang peduli dan tertarik mencurinya tentulah orang-orang
rimba hijau dan sungai telaga juga. Artinya, senjata-senjata
mestika di istana tidak akan dijaga oleh serdadu biasa, dan bukan
juga pengawal istana dengan kemampuan ilmu silat yang setara
dengan para pendekar, melainkan para pendekar dari dunia
persilatan itu sendiri. "Seperti menangkap pencuri dengan pencuri," ujar Elang Merah
menyergah, yang segera dibenarkan oleh Kaki Angin.
"Hanya sesama pendekar dari dunia persilatan akan dapat
melawan senjata rahasia dengan senjata rahasia, ilmu hitam
dengan ilmu hitam, dan ilmu halimunan dengan ilmu halimunan.
Tentu hanya dengan mengetahui siapa yang bertugas menjaga,
tepatnya giliran siapa dan pada hari apa, maka dapatlah dipelajari
cara mengatasinya, berdasarkan pengetahuan dan kelemahannya," ujar Kaki Angin.
"Dunia persilatan terlalu luas," kata Elang Merah, lebih seperti
kepada dirinya sendiri, "ilmu-ilmu silat pun tak selalu bisa diduga."
Kami semua terdiam. Kata-kata Elang Merah ada benarnya.
Pertama, senjata mestika tentunya juga menarik perhatian tokoh155
tokoh dunia persilatan yang sudah lama mengundurkan diri, antara
lain karena tiada lagi lawan yang bisa mengalahkan mereka;
kedua, bahwa dalam kenyataannya nyaris tiada berita tentang
hilangnya suatu senjata mestika di istana, maka dapat pula diduga
betapa penjagaan senjata-senjata itu, bersama penjagaan di
istana secara keseluruhannya, memang ketat luar biasa, dan
terutama untuk menjaga senjata mestika tentulah telah ditempatkan para petugas dengan tingkat ilmu silat yang amat
sangat tingginya. "Barangkali Puan dan Tuan pernah mendengar cerita bahwa
kadang-kadang tersebar berita tentang tempat penyimpanan
sebuah senjata mestika, berikut cara-cara penjagaannya," kisah
Kaki Angin, "Berita semacam itu sengaja disebar untuk memancing
maling, yang ketika terkecoh biasanya mengalami nasib malang,
karena tiada mendapat pengampunan sama sekali ketika terjebak
dalam perangkap siasat penjagaan."
"Ada kalanya pencuri yang tertipu itu terbunuh di tempat, bahkan
ketika baru saja melompati tembok dan melayang turun, tetapi
mungkin juga ia dibiarkan masuk dan mengendap - endap sampai
ke ruang penyimpanan, lantas di sana ditangkap hidup-hidup. Tak
mungkin baginya melawan dalam kepungan para pengawal istana,
156 yang jika berhasil diatasi masih harus di?hadapinya pula para
pendekar berilmu silat sangat tinggi."
Kaki Angin melanjutkan. "Setelah tertangkap ia langsung diadili, dan akan mendapat
hukuman penggal, lantas kepalanya digantung sampai tiga hari
atau seminggu di salah satu gerbang kota, kadang-kadang bahkan
di Pasar Timur atau Pasar Barat, dengan pesan tertulis yang
sangat jelas: MENCURI ADALAH PERBUATAN MELANGGAR
HUKUM, BEGITU PULA MENCURI DI ISTANA DAMING".
"Tentu maksudnya bahwa jika mencuri di luar istana yang
tertangkap memang dihukum, meski bukan hukuman mati. Jika
mencuri di dalam istana, apalagi mencoba mencuri senjata
mestika, hukumannya adalah kematian."
Aku pun memanggut-manggutkan kepalaku mendengar cerita Kaki
Angin itu, tetapi yang kupikirkan bukanlah perkara hukuman mati.
Sejauh yang kuketahui, para pendekar golongan merdeka yang tak
terkalahkan dan terbiasa hidup di alam bebas serta tak jarang juga
kehidupannya cukup liar, akan merasa terlalu merendahkan diri
jika melakukan tugas untuk berjaga di istana, apalagi sebagai
bagian dari suatu regu dalam pasukan pengawal yang memiliki
157 peraturan tersendiri. Namun dapat kubayangkan bahwa para
pendekar golongan putih masih bisa menerima persyaratan
semacam itu, dan kuyakini betapa ilmu silat mereka itu tidak akan
kalah tingginya. Dari perguruan-perguruan silat terbaik di Negeri
Atap Langit, tentu bukan guru besarnya yang akan mengawal
istana, tetapi sangatlah mungkin bahwa murid-murid utamanya
akan dapat memenuhi kebutuhan atas penjagaan senjata-senjata
mestika, yakni bahwa yang tertarik mencurinya adalah orangorang dari dunia persilatan juga. Sedangkan jika para pengawal itu
berasal dari murid utama, maka ilmu silat yang dikuasainya pun
tentulah yang setinggi-tingginya, bukan tak mungkin jika sama
tinggi dengan ilmu gurunya.
Dalam hal Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri, beratnya yang
luar biasa tentulah merupakan bagian dari keamanannya sendiri
yang tak bisa dipungkiri, tetapi kemungkinan penyimpanannya
bersama senjata-senjata mestika lain tentunya membuat pedang
itu menjadi bagian dari penjagaan pula. Tidak akan mungkin
memasuki tempat penyimpanan senjata mestika tanpa melalui
penjagaannya, dan masih menjadi pertanyaan apakah mungkin
pula menyingkirkan para penjaganya yang sakti mandraguna itu
tanpa keributan sama sekali. Penjagaan istana yang berlapis-lapis
itu tentunya sangat sulit ditembus. Semakin kusadari sekarang
158 betapa tugas mencuri Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri itu
sebetulnya berat sekali. Tidaklah kuketahui caranya, dengan
penguasaan bahasa dan pengetahuan tentang Negeri Atap Langit
yang masih terbatas, akan kudapatkan kepastian akan seluk beluk
penjagaan, jika tidak bertukar kepentingan dengan Yang Mulia
Paduka Bayang-bayang. Jadi apakah yang dulu diandalkan Angin Mendesau Berwajah
Hijau dariku ketika memintaku untuk membantu Yan Zi mencuri
Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri itu" Memang disebutsebutnya tentang Jurus Tanpa Bentuk yang bergerak tanpa gerak,
sehingga menjadikannya lebih cepat dari yang tercepat, karena
berada di wilayah gagasan yang tak terpikirkan sebelumnya dalam
dunia persilatan. Namun aku tidak akan pernah bersikap jumawa
hanya karena telah memikirkan dan mendalaminya, karena justru
di Negeri Atap Langit inilah dapat diharapkan segala pencapaian
tentang persilatan dan pemikiran di baliknya termungkinkan.
"Kita jangan terlalu cepat berputus asa," kata Kaki Angin sebelum
pergi, "karena tidak ada penjagaan tanpa kelemahan. Begitu juga
penjagaan Istana Daming. Penjagaan di istana dilakukan
berdasarkan suatu siasat. Namanya siasat penjagaan. Siasat
dapat dilawan dengan siasat. Jadi siasat penjagaan harus dilawan
dengan siasat penerobosan."
159 Rupa-rupanya Kaki Angin bukan sekadar seorang penghubung,
tetapi ia juga seseorang yang memiliki otak.
Tentang siasat, di Negeri Atap Langit memang dikenal pepatah:
Ikan yang tidak dapat ditangkap dengan kail, dapat ditangkap dengan jala. 1
Penginapan Teratai Emas terletak di selatan Istana Xingqing,
tepatnya di sebelah timur Pasar Timur, yang di sebelah baratnya
terdapat Dusun Kecil Utara tempat keberadaan Petak Teruna itu
sendiri. Kedudukan ini memang sangat baik, karena selain dekat
dengan kedua istana dan Pusat Tatakota, juga tidak terlalu jauh
dari tembok sisi timur kotaraja.
"Barangkali maksudnya supaya kita mudah melarikan diri," kata
Yan Zi yang dengan cepat segera mempelajari segala sesuatu di
dekat kami. DENGAN ilmu meringankan tubuh seperti yang dimiliki Yan Zi Si
Walet, hanya dengan dua tiga langkah jejakan pada wuwungan
rumah, ia sudah bisa melompati tembok dan parit untuk langsung
mendarat ke tepi sungai yang mengairi danau-danau di Istana
Xingqing, Kota Kemaharajaan di utara Pusat Tatakota dan Pasar
Timur. 160 "Namun daku tidak akan pernah pergi dari kota ini tanpa pedang
itu," katanya dengan penuh tekad.
Di bagian kota ini pula terdapat Zongren Fang yang selalu
dikenang dengan pahit, tempat sang pemberontak An Lushan yang
menguasai kotaraja pada 756, membantai 23 putri istana dan
suami-suaminya, maupun kawanan di sekitar Yang Guozhong dan
Gao Lishi sebagai pembalasan atas dihukum matinya An
Qingzong, anaknya. Saat aku melewati tempat itu 41 tahun
kemudian, pernah kulihat seseorang yang mungkin kerabat korban
menyalakan dupa di sana dan bersembahyang sendirian.
Bagian kota ini mungkin karena dekat dengan istana dan tempat
hiburan golongan atas, paling bersih dari pengemis, dan karena
merupakan pusat bermukimnya para penari dan seniman bunyibunyian terbaik, juga menjadi tempat jalan-jalan kaum wanita
golongan atas itu untuk memamerkan kekayaan, kecantikan, dan
cara berbusana maupun riasan terbaru yang mereka kenal. Di
antara kesenangan kaum wanita golongan atas ini terdapatlah
kesenangan memiliki binatang piaraan, di antaranya anjing
berbagai jenis yang belum pernah kulihat bentuk rupanya.
Anjing-anjing ini begitu jinak, dan besar kecilnya sangat beragam,
sangat berbeda dengan anjing pemburu di desa-desa yang
161 kukenal di Javadvipa, yang semuanya sejenis sahaja. Mereka
berlari-lari kecil di dekat majikannya, kadang majikannya memeluk
dan menciuminya, sedangkan anjing yang sangat kecil dan berbulu
banyak, dengan salaknya yang sangat tidak berarti, bahkan selalu
berada di tangan majikannya itu. Anjing-anjing ini dicukur dan
dimandikan, dan ka?tanya makanan anjing peliharaan wanitawanita kaya tersebut sangat mahal, karena jika makanan yang
diberikan keliru, maka akan rontoklah bulu-bulunya yang lebat dan
halus itu. Dengan busana mereka yang semarak dan mencolok, wanitawanita golongan atas ini akan melangkah di jalanan paling bersih
di Petak Teruna itu dengan anggun, sambil memegang cambuk
penghela mereka, yang sepertinya digunakan untuk memerintah
dan mengendalikan anjing.
Aku pernah sangat terpesona dengan pemandangan para wanita
Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di jalanan Chang'an dengan anjingnya ini, sehingga rupa-rupanya
membuat yang kupandang merasa terganggu. Seorang wanita
dengan sanggul tinggi dan berbusana Tartar 1, memelototiku
sambil menegur. "Hei! Belum pernah melihat anjing" Orang dari mana dikau?"
162 Kami bertiga sebetulnya telah diberi busana Negeri Atap Langit.
Dalam kedudukan kami yang menjalankan tugas rahasia, Kaki
Angin menyarankan agar kami menyamarkan diri dengan
mengenakan busana seperti warga kota lainnya. Meskipun cara
berbusana di kotaraja sungguh beragam, tetapi terdapat jugalah
busana orang kebanyakan yang tidak akan terlalu me?narik
banyak perhatian, yakni busana orang-orang Han, yang bagi kami
bertiga dipilihkan busana lelaki, seperti yang juga biasa berlaku
bagi di situ. Maka Yan Zi dan Elang Merah akan tetap berbusana cukup ringkas
dengan busana lelaki itu, tetapi tidak lagi serbaputih atau
serbamerah seperti semula. Betapapun angin bertiup cukup
kencang di dunia persilatan, membuat siapa pun yang sedikit saja
peduli akan pernah mendengar sepak terjang keduanya, lengkap
dengan ciri-ciri gerakan silat, senjata, sosok, dan juga busananya.
Begitulah aku tak lagi bercaping dan kini mengenakan turban yang
disebut fu tou. Disebutkan oleh Kaki Angin bahwa aku menyamar
dengan cara berpakaian orang biasa, yakni mereka yang tidak
bekerja sebagai pegawai pemerintah, baik itu petani, seniman,
pedagang, maupun sarjana, yang mengenakan celana gembung,
tunik yang terbuka di depan, tetapi terikat ketat di pinggang, pada
umumnya dengan bagian leher melingkar, tak akan jatuh di bawah
163 paha, dan tenunan yang digunakan untuk semua pakaian ini
haruslah kain cita rami. Alas kaki yang disebut kasut terbuat dari
jerami, atau benang rami, dan terompah teramankan menempel di
kaki oleh tali pengikat, digunakan sebagai sepatu. Beberapa
sepatu kulihat terbuat dari kayu. Kaki Angin menasihati.
"Kalau mau menggunakan sepatu kayu, setelah dipakai ke
dalamnya harus diletakkan kapur dari Barus," Kaki Angin kuingat
menasihati, "supaya baunya tidak tengik."
TERINGATLAH aku kepada minyak wangi otak naga atau long nao
xiang yang telah membuat potongan-potongan mayat orang kebiri
di dalam karung waktu itu tidak berbau sama sekali. Aku jadi
teringat jaringan orang kebiri yang telah banyak kudengar
ceritanya itu sebagai jaringan tempat segala rahasia berlalu dan
berlalang. Bagaimana caranya masuk ke dalam jaringan itu" Aku
pun teringat lagi betapa telah kudengar pada malam berkabut di
lautan kelabu gunung batu waktu itu bagaimana mereka yang
menertawakan orang-orang kebiri tewas sekali tebas oleh Harimau
Perang. Aku kini penasaran, jauh lebih penasaran dari sebelumnya,
siapakah sebenarnya Harimau Perang"
164 *** Perpaduan antara tembok dengan gerbang berpenjaga yang
membatasi petak-petak dan diberlakukannya jam malam, menjadi
kunci keamanan yang sangat berguna di Kotaraja Chang'an.
Apabila matahari telah terbenam akan terdengar bahana
genderang yang ditabuh sampai 400 kali sebagai penanda bahwa
gerbang-gerbang istana harus ditutup; yang setelah dilakukan
akan disusul dengan tabuhan genderang kedua sebanyak 600 kali
sebagai penanda bahwa kali ini gerbang pada petak-petak maupun
gerbang kota harus ditutup. Jumlah pukulan genderang sebanyak
itu memang sengaja untuk memberi kesempatan agar orang-orang
mendapat cukup waktu untuk kembali ke tempat tinggal mereka
sebelum gerbang-gerbang segenap petak tertutup. Menjelang fajar
para penabuh genderang kembali bekerja, kali ini mereka mesti
menabuhnya sampai 3.000 kali, yang merupakan penanda
dibukanya kembali gerbang-gerbang itu.
Pada setiap jalan juga terdapat genderang yang ditabuh saat jam
malam tiba. Peraturan melarang warga untuk bepergian menggunakan jalan-jalan utama di luar petak pada jam malam,
tetapi mereka tidak dilarang keluar rumah pada malam hari di
dalam petak-petak tersebut. Dengan perkecualian bagi pejabat
165 pemerintah yang membawa surat izin, arak-arakan pengantin,
maupun mereka yang mencari tabib ketika orang yang sakit tak
mampu melakukan perjalanan, semuanya dengan permintaan izin
terlebih dahulu dari kepala setiap petak, yang juga berlaku bagi
mereka yang harus keluar petak untuk menyampaikan kabar
kematian, mereka yang melanggarnya akan mendapat hukuman.
Siapa pun yang oleh Penjaga Burung Emas, begitu para penjaga
kota ini disebut, tepergok berkeliaran di luar petak pada jam malam
akan dihukum dengan pukulan batang kayu sampai 20 kali. Jika
Penjaga Burung Emas memergoki seseorang di jalan utama di luar
petak dan orang itu tidak menanggapi panggilan atau pertanyaannya, maka penjaga itu akan memetik tali busurnya. Jika
orang malang ini tidak menjawab panggilan keduanya ini, penjaga
akan melepas anak panah peringatan ke salah satu sisinya. Jika ia
masih saja dengan segala kedunguannya tidak menjawab, maka
penjaga malam itu harus memanah untuk melumpuhkannya, hidup
atau mati. 1 Peraturan semacam itu telah mengamankan kotaraja sejak lama,
meski seusainya Pemberontakan An-Shi pada 763 bangunan
petak ini runtuh bersama tata permainan kekuasaan yang lama.
Sebelumnya hanya para bangsawan, para menteri, dan pejabat
tinggi pemerintah saja yang secara sah dapat membangun
166 gerbang bagi rumah gedung yang langsung terbuka ke arah jalanjalan utama Chang'an di luar petak; setelahnya, warga lain yang
tidak pernah menikmati keistimewaan sebelumnya mengikuti
gugatan. Mereka mulai meruntuhkan tembok-tembok petak dan
melanggar batas di jalan untuk membangun permukiman mereka.
Tahun 797, ketika aku berada di situ, penduduk yang membuka
gerbangnya ke jalanan kadang-kadang tidak lagi terlalu patuh
kepada peraturan jam malam, yakni membukanya sebelum fajar
dan menutupnya setelah malam tiba. Akibatnya, antara lain,
mudah sekali bagi pencuri untuk lari dan bersembunyi di tempat
tinggal mereka itu. Pemerintah berusaha mengatasi masalah ini
dengan memasang pembatas sementara, kecuali tentu saja jika
penghuninya adalah para bangsawan dan para menteri. 2
Namun ini tidak berarti malam di Chang'an menjadi waktu yang
bebas, karena para Penjaga Burung Emas itu betapapun bukanlah
orang-orang sembarangan. Ada kalanya kudengar bagaimana para Penjaga Burung Emas itu
berhasil menangkap dan melumpuhkan pencuri, tetapi sebetulnya
belum tentu pencuri, melainkan penyusup atau mata-mata yang
terdesak untuk keluar petak pada jam malam, yang untuk tidak
menimbulkan kepanikan atas terdapatnya pasukan musuh di luar
167 kota, memang lebih menguntungkan diumumkan sebagai pencuri
-- padahal penyusup itu tidaklah akan masuk ke dalam kotaraja
pada jam malam hanya dengan kemampuan mengendap-endap
sahaja. SESEORANG yang berniat menyusup tentunya telah memperhitungkan apakah kiranya yang harus dilakukan jika
kepergok bergentayangan pada jam malam, dan jika memang
tidak ingin ditangkap serta dihukum dengan pukulan-pukulan pula,
maka tentunya harus melawan, dan harus menang agar bisa
melarikan diri dan menghilang dengan tenang ke balik malam.
Namun jika memang harus membunuh para Penjaga Burung
Emas, maka soalnya tidak menjadi lebih mudah, malah tepatnya
menjadi semakin rumit, karena cara-cara penjagaan terbaik adalah
saling memeriksa dengan bahasa-bahasa sandi pula, sehingga
menghilangnya satu penjaga hanya akan mengundang kedatangan yang lain-lainnya pula.
Maka, apabila seseorang telah memutuskan berkelebat di balik
kelam pada jam malam dapat diandaikan sebagai bukan orang
sembarangan, pada gilirannya ini membuat mereka yang terpilih
sebagai Penjaga Burung Emas pun tak boleh sekadar orang-orang
sembarangan pula. Telah menjadi perhatian sebesar-besarnya di
kalangan para Penjaga Burung Emas bahwa di antara para pencuri
168 dan orang mabuk yang seolah tidak tahu-menahu telah melanggar
peraturan sangatlah mungkin di antaranya terdapat bukan pencuri
dan orang mabuk biasa. "Jadi kita masih merasa tidak perlu mencari cara menyiasati jam
malam," kata Elang Merah, "kita bisa mulai melihat-lihat dan
mendengar-dengar apa yang bisa kita dapatkan di dalam petak."
*** Pada jam malam kegiatan di dalam petak memang tetap dapat
dilangsungkan. Akan halnya Petak Teruna, yang sebetulnya
merupakan petak di dalam petak, justru kegiatannya di malam hari
itulah yang sungguh-sungguh meriah, meski bagiku siang dan
malam di situ bagaikan tiada ada bedanya. Para pejabat tinggi dan
orang-orang kaya yang terlalu lama berasyik masuk dengan wanita
penghibur maupun kaum teruna di rumah-rumah pelacuran sampai
malam, kadang menginap saja di situ, meski sebagai pejabat tinggi
sebetulnya bisa mendapat keistimewaan memiliki surat izin tertulis
secara resmi untuk melakukan perjalanan malam.
Setelah tinggal di Penginapan Teratai selama dua minggu, aku tak
mau hanya beredar di sekitar Petak Teruna saja. Sejak pagi
setelah jam malam berlalu sampai menjelang diberlakukan lagi,
169 aku pergi ke luar petak, keluar masuk petak-petak lain untuk
melakukan pengamatan, bergaul, serta bertanya-tanya, seolah
pengembara asing yang melakukan perjalanan hanya demi
mencari pengalaman, jenis pengembara yang tentunya cukup
banyak di kota tujuan dunia seperti Chang'an, meskipun
sebenarnya aku hanya menutupi keterbatasan berbahasaku.
Sedikit banyak kemudian kuketahui pula betapa para bangsawan
dan pejabat tinggi lebih suka tinggal di petak-petak yang berada di
belahan timur. Suatu petak istimewa yang terletak di tembok
bagian timur laut kota ini, karena semasa pemerintahan Wangsa
Sui seorang peramal menyatakan tempat itu memiliki pancaran
kebangsawanan. Tak diragukan lagi bahwa golongan atas percaya
betapa memiliki sebuah gedung di sana akan memperbesar
kekayaan dan mengabadikan peringkat kedudukan mereka di
antara khalayak. Petak-petak di belahan barat Kotaraja Chang'an ini memang lebih
padat daripada belahan timur, penuh dengan gelandangan dan
orang-orang yang hanya akan tinggal di sana untuk sementara
saja, baik dari luar kota maupun negeri manca, seperti diriku ini
tentunya, dan memang di sinilah terdapat petak tempat orangorang asing bertempat tinggal. Seorang pangeran Hun dan istrinya
dari Hiung-nu1 kuketahui memiliki sebuah gedung di petak
170 tersebut. Kuil agama-agama asing pun sebagian besar terletak di
bagian barat laut. Setelah lebih dari sebulan mengamati, mendengar, bertanyatanya, bercakap-cakap, dan bergaul, kuketahui juga akhirnya
bahwa keberadaban Chang'an sebetulnya tidak lengkap tanpa
mengenal sisi-sisi gelapnya. Golongan pada lapisan yang paling
rendah adalah yang termiskin, yang bertempat tinggal di mana pun
mereka bisa mendapatkan naungan dan mencari makan dengan
mengemis kepada siapa pun yang meskipun sedikit saja lebih
keadaannya dari mereka.2 Tentang cara-cara mengemis ini kudengar banyak cerita yang
akan kusampaikan sebagian.
"Dulu terkenal sekali cerita tentang sapi bertangan manusia yang
menggantung di antara kakinya," kata seseorang yang bersamanya aku sama-sama makan bakpao di tepi kanal, "Mereka
yang mau melihatnya harus membayar kepada yang membawa
sapi itu." "Suatu pertunjukan maksudnya?"
"Bukan, itu hanya cara pintar untuk mengemis."
171 "SAPI itu dibikin seperti itu atau memang seperti itu?"
"Dikau kira ada orang bersembunyi di dalam perutnya dan
melambaikan tangannya" Sama sekali tidak!"
"Sapi ajaib kalau begitu."
"Tepatnya ya sapi cacat."
"Kok tangan manusia?"
"Entahlah, daku juga tidak pernah lihat, hanya dengar ceritanya,
tapi daku kagum dengan pikiran orang yang membawanya ke kota
untuk mencari uang! Ia cukup duduk bersila di sebelah sapinya
dengan mangkuk yang kosong, maka orang-orang yang lewat dan
heran karena melihat sapinya, tanpa diminta akan melempar uang
ke mangkuk kosong itu!"1
Sebetulnya aku pun pernah mendengar tentang bagaimana
berbagai percobaan untuk menukar anggota badan berbagai
makhluk dengan anggota badan manusia berlangsung dalam
masa Wangsa Tang ini. Namun aku tidak bermaksud menunjukkan
betapa aku terlalu ingin
Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu. Kuikuti saja ke mana perbincangannya mengalir.
172 "Mengemis pun bisa menjadi pekerjaan rupanya, ya Tuan."
"Ah, jangan panggil daku Tuan, kita sesama orang miskin kan
memang bersaudara." Hmm. Bukankah ini ujaran yang sering disebut-sebut anggota
Partai Pengemis" Namun orang ini bukan pengemis melainkan
mengaku sebagai pedagang kecil. Aku belum sempat menanyakan
lebih jauh karena ia masih terus bercerita. Permukaan kanal
berkilauan memantulkan cahaya matahari, perahu yang lewat
hanya tampak sebagai bayangan hitam.
"Mengemis memang bisa menjadi pekerjaan," ia berbicara dengan
bahasa Negeri Atap Langit yang cepat sekali, sehingga aku harus
benar-benar memusatkan perhatian, "Orang-orang Partai Pengemis, misalnya, mereka mengemis bukan karena terlalu
miskin, tetapi karena memang harus berlaku sebagai pengemis."
Aku tentu saja tertegun. Berarti orang yang mengaku pedagang
kecil ini mengenal dunia persilatan!
"Pernah seorang perempuan miskin bersama ayahnya yang tua
menyanyi di tepi jalan dalam sebuah petak demi menyambung
kehidupan," katanya lagi, "seorang panglima yang sangat
terpesona oleh suara perempuan itu menjadikannya sebagai salah
173 seorang penghibur pribadinya. Dalam hal ini mengemis menjadi
cara lain untuk mencari pekerjaan."
Aku mengangguk-angguk saja agar ia terus bicara. Lebih baik aku
mengenal dia daripada dia mengenalku. Sungguh kusyukuri jika
cukup hanya berdiam diri saja betapa aku akan mendapat banyak
pengetahuan! "Tidak selalu pengemis itu adalah manusia," ia terus menyambung,
"Ada seorang seniman yang semula bekerja bagi tempat-tempat
kerajinan milik kerajaan, membuat boneka bhiksu dari kayu dan
meletakkannya di pasar sebuah kota di pelosok. Patung itu
membawa mangkuk di tangannya, dan bisa bergerak-gerak
sendiri, mengemis minta uang."
Tanpa harus berpura-pura, aku memang ternganga.
"Kalau mangkuknya sudah penuh dengan mata uang tembaga,
suatu baut dengan tiba-tiba tergerakkan menutup, mengunci
tumpukan mata uang di dalam mangkuk sehingga tak seorang pun
bisa mencurinya. Pendeta kayu ini bisa berbicara sendiri dan
mengatakan 'Alms'. Hehehehe. Orang-orang di pasar itu berkerumun dan berdatangan ingin melihat keistimewaan boneka
tersebut, dan apabila mereka meminta boneka itu bicara, tentu
174 mereka harus mengisi mangkuk yang telah dikosongkan itu
dengan mata uang tembaga!"
"Pandai!" Demikianlah aku seperti larut dalam perbincangan, tetapi tak perlu
kiranya kukatakan bahwa aku tahu belaka jika seniman yang lebih
mampu menghasilkan uang sebagai pengemis daripada bekerja
untuk kerajaan itu kemungkinan besar menghasilkan suara dari
perutnya. Sesuatu yang bisa dipelajari. Jadi bukan keajaiban.
Meski ada kalanya manusia lebih suka ditipu bukan"
Betapapun, suka ditipu lebih baik daripada suka menipu, meskipun
mereka yang pandai bersilat lidah akan berkata, bahwa menipu diri
sendiri adalah suatu penipuan pula!
Dalam Attanagalu-vansa atau riwayat Kuil Attanagala tersebutlah
kalimat: semoga aku meski berbuat berlaku membantai jangan dalam salah mimpi karena serong, pernah mencuri, mabuk, orang, dan takjujur... 2 175 "Namun," demikianlah orang yang mengaku pedagang keliling ini
bercerita lagi, "pada masa kekuasaan Maharaja Xuanzong, para
gelandangan maupun yang pura-pura menjadi gelandangan
disingkirkan dari jalanan, karena Sang Maharaja tidak bahagia jika
mereka tampak berkeliaran di ibu kota."
"Disingkirkan?"
"Mereka semua digaruk oleh pasukan penjaga ibu kota, digiring
dan diangkut untuk disatukan ke dalam Petak Orang Sakit, tempat
berbagai perkumpulan yang didirikan para bhiksu menyumbang
mereka dengan makanan dan mengobati mereka yang sakit, tua
renta, yatim piatu, dan begitu miskin, amat sangat miskin, bagaikan
tiada lagi yang bisa lebih miskin."
Mendadak saja kota yang megah dan meriah ini bagiku serasa
menjadi kota yang gelap, muram, dan berbau apak. Betapapun
kemudian akan kuketahui betapa pemerintah tetap menyediakan
sejumlah besar dana untuk merawat orang-orang yang disebut
gelandangan itu. Bahwa di antara para gelandangan hanya
terdapat orang-orang yang menjadi gelandangan karena malas
bekerja, atau para anggota Partai Pengemis yang selalu tampak
ingin menjadi lebih pengemis daripada yang paling pengemis,
pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa, karena tanpa menjadi
176 bagian dari dunia gelandangan itu sendiri mereka semua hanyalah
tampak sama saja, begitu sama, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih
sama... "Peristiwa penggiringan para gelandangan itu terjadi tahun 734,
empat tahun kemudian Maharaja Xuanzong menggunakan pajak
dari ladang-ladang yang baru dibuka untuk menolong orang-orang
miskin dan rakyat jelata yang kembali ke tanah mereka setelah
melarikan diri. Namun langkah kesejahteraan ini tak berlanjut
setelah Pemberontakan An-Shi sekitar 18 tahun kemudian.1
Hhhh..." Pedagang keliling yang bersamanya aku berbagi makan bakpao
sambil memandang perahu-perahu di kanal itu berbicara seperti
sambil lalu saja, tetapi justru karena itu aku menjadi berpikir keras.
Segala ceritanya tanpa disengaja telah memberikan latar belakang
sejarah yang lebih baik bagiku dalam memahami Chang'an, yang
betapapun mengagumkannya dalam segala usaha tata pemerintahan, sebetulnya terus-menerus sedang berada dalam
masa kemerosotannya setelah Pemberontakan An-Shi.
Kekacauan dalam tata pemerintahan berarti kekacauan pula dalam
tata keamanan. Meskipun belum pasti, aku seperti melihat cahaya
terang di ujung terowongan, dalam kegelapan usaha mencari
177 kejelasan perihal keberadaan Pedang Mata Cahaya untuk tangan
kiri di Istana Daming. Saat itulah, setelah berpisah dengan si pedagang keliling,
perasaanku berkata bahwa aku sedang diawasi seseorang!
Sesosok bayangan berkelebat. Aku pun berkelebat!
*** Dalam secepat kilat kami telah bertukar seratus pukulan. Tak satu
pun di antaranya berhasil mengenai tubuh kami masing-masing.
Artinya setiap pukulannya dapat kutangkis, tetapi pukulanku pun
dapat ditangkisnya. Namun pada pukulan ke-101, pukulan Telapak
Darah mengenai dadanya. Ia terpental muntah darah, tetapi
setelah bergulingan di tanah, segera melenting ke udara dan turun
lagi sudah me?megang pedang, yang teracung tegak lurus
langsung menuju jantungku!
Kini diriku dikepung cahaya seribu pedang. Dapat kurasakan
betapa tajamnya pedang tipis yang begitu lenturnya itu, yang
menyambar-nyambar tanpa memberi peluang sama sekali bahkan
untuk bernapas, sehingga jika lengah dalam sekejap mata saja
akan membuat lenganku hilang, kepalaku menggelinding, dan isi
perutku berceceran di jalanan. Maka aku pun meningkatkan
178 kecepatanku, bergerak lebih cepat dari cepat, tetapi yang
kemudian ternyata diikuti pula oleh lawanku yang bergerak tak
kalah cepat, selincah belut, semulus sutra, dan secepat pikiran.
Aku tidak mengendorkan seranganku. Kugelar Jurus Naga
Mengibaskan Ekor dengan Genit, yang memang ampuh untuk
mengatasi tekanan lawan pada saat yang rawan. Dengan segera
ia dapat kudesak ke tepi kanal, bahkan ia seperti berusaha
melompat ke air, dan tetap kukejar sehingga kami pun melanjutkan
pertarungan di atas air. Di tengah ribuan pertukaran pukulan, yang
saling tertangkis maupun saling luput, meski siang terang
benderang, aku tetap belum berhasil melihat wajahnya!
Walaupun demikian, tanpa harus melihat wajahnya, aku merasa
begitu mengenal jurus-jurusnya!
Memang, meski baru setahun lebih kutinggalkan Yavabhumipala,
tetapi bagaikan sudah begitu lama rasanya aku terakhir kali
menghadapi jurus semacam ini...
Pedang itu berkesiur dari samping kanan. Aku membungkuk untuk
menghindar sambil melambaikan lengan dan telapak tangan ke
samping kanan. Telapak Darah segera menggempur dadanya
yang terbuka! 179 Ia sekali lagi terlempar sambil memuntahkan darah. Jatuh
bergulingan di atas permukaan air dan terkapar mengambang. Aku
mendekat sambil berjalan di atas permukaan air. Kali ini dapat
kulihat wajahnya... Busananya memang sama belaka dengan busanaku, yakni
busana golongan bawah di Negeri Atap Langit, tetapi dari
wajahnya jelas ia seorang Jawa!
"Salam dari Naga Hitam," katanya lirih, dalam bahasa Jawa.
Aliran kanal seperti tiba-tiba bertambah deras membawanya pergi.
Saat itu ia belum tewas, tetapi dengan kibasan Telapak Darah
sekeras itu tiada lagi jalan lain baginya selain mati.
BAGAIMANAKAH mesti dihayati kematian utusan Naga Hitam
yang mengejarku sampai sejauh ini" Ia dikirim dari Jawa, ataukah
ia telah bermukim lama di suatu tempat dan menerima penugasan
lewat surat atau seorang perantara" Namun jurus-jurusnya
kukenal dengan akrab, karena itulah jurus-jurus dari Ilmu Pedang
Naga Hitam. Kuketahui betapa jaringan orang Jawa memang mungkin saja
terdapat di sepanjang pantai Champa sampai ke An Nam, tetapi
setelah Thang-long tak kubayangkan seseorang yang lain dari
180 Yavabhumipala masih akan kujumpai, apalagi menghendaki
kematianku di Kota Chang'an ini!
Kenapa tidak dari dulu kutantang bertarung Naga Hitam itu" Kini
aku harus mengandaikan betapa akan selalu ada seseorang yang
mengejar, memburu, dan mengintaiku dengan tujuan tiada lain dan
tiada bukan mencabut nyawaku. Utusan Naga Hitam itu masih
mengambang dibawa arus sampai jauh, tetapi kemudian di ujung
sana kulihat mayatnya tenggelam.
Aku masih berada di tempatku semula. Berdiri tercenung di atas
air. Namun aku pun segera berkelebat pergi.
maut kemudian datang kebahagiaan sekarang adalah keberuntungan 1
Pertemuan dengan pembunuh dari Jawa itu membuatku berpikir
tentang jaringan Naga Hitam. Jika guhyasamayamitra atau
perkumpulan rahasia seperti Kalapasa, yang menyediakan jasa
penyusupan, termasuk pembunuhan gelap, dan Cakrawarti, yang
memata-matai apa pun bagi siapa pun menggunakan siapa pun
demi sebesar-besarnya bayaran, dengan segenap jaringannya
181 hanya menguasai Tanah Jawa, berarti jaringan Naga Hitam telah
memburuku tanpa perlu bantuan mereka.
Begitulah aku memburu Harimau Perang, tetapi selama ini ternyata
diburu Naga Hitam. Adapun yang menjadi pikiranku adalah
kekerasan hati Naga Hitam ini, yang dengan kehendaknya untuk
terlibat dalam permainan kekuasaan demi mendapat wilayah dan
kedudukan, ternyata masih sangat berkepentingan untuk memastikan kematianku. Setahun lebih menghilang dari Javadvipa
tidaklah cukup menyenangkan bagi Naga Hitam.
Namun, sebenarnyalah, meski dipisahkan laut luas dan gunung
gemunung yang bagaikan tak berbatas, aku merasa tahu belaka
pemikiran di dalam kepala Naga Hitam.
Dalam kelaziman yang berlaku di kalangan para penyoren pedang
di sungai telaga dunia persilatan, Naga Hitam hanya bisa
menantangku atau melayani diriku jika aku menantangnya untuk
bertarung, di puncak gunung saat bulan purnama maupun di tepi
pantai tersunyi saat matahari menyingsing dan menyemburatkan
cahaya pertama. Namun, aku mengerti, betapapun aku tanpa
sengaja telah terus-menerus membunuh murid-muridnya, Naga
Hitam merasa terlalu tinggi hatinya untuk menantangku. Meski
pada usia 15 itu setelah tak sadarkan diri karena racun Kera Gila,
Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
182 seorang murid utamanya, aku telah menghilang sepuluh tahun
dalam gua, dan keluar lagi dalam usia 25, masih saja tak terasa
pantas baginya, karena Naga Hitam adalah salah satu dari
Pahoman Sembilan Naga. Hanya mereka yang ingin merebut wibawa naga akan menantang
para naga, dan siapa pun di antara Pahoman Sembilan Naga yang
bertanggung jawab atas kehormatan dunia persilatan di Javadvipa
terwajibkan untuk melayaninya. Aku tidak pernah menantang Naga
Hitam, dan Naga Hitam tidak mungkin menantangku, karena di
dunia persilatan Javadvipa sesungguhnyalah aku ini hanyalah
orang baru. Seandainya aku pernah menantang Naga Hitam,
mungkin persoalan ini sudah selesai, karena hanya satu orang
yang akan masih tetap hidup dalam pertarungan itu.
Naga Hitam mungkin mengetahui betapa diriku memang tidak ingin
mencari nama dalam dunia persilatan, bahkan dalam kenyataannya pun aku tidak mempunyai nama sama sekali, dan
aku memang tidak pernah berminat memilikinya, meskipun tentu
telah diketahuinya pula bahwa akhirnya dunia persilatan mengenal
adanya Pendekar Tanpa Nama, tak lain tak bukan karena tiada
pernah terkalahkan pula. Namun sebagai mahaguru yang muridmuridnya mati di tanganku, jelas ia merasa perlu mempertahankan
nama Ilmu Pedang Naga Hitam, tentu dengan cara membunuhku,
183 bukan melalui sembarang vetana-ghataka atau pembunuh
bayaran, melainkan terutama melalui siapa pun yang menguasai
Ilmu Pedang Naga Hitam itu!
Ini belum menjelaskan kenapa Naga Hitam masih terus
memburuku. Halnya baru jelas jika kupertimbangkan bahwa Naga
Hitam terlalu sadar betapa dirinya semakin lama semakin
bertambah usia, sementara diriku dalam perkiraannya mungkin
suatu hari akan tetap menantangnya pula, dengan penguasaan
ilmu silat yang mungkin saja sudah makin tinggi tingkatnya.
ITUKAH yang menjelaskan kenapa aku harus terus-menerus
diburu untuk dibunuh dengan segala cara, sebelum ilmu silat yang
kukuasai betul-betul dianggapnya sangat tinggi, sehingga mustahil
dikalahkannya pula" Padahal, dalam perkiraanku, tak dapat kubayangkan sekarang ini
siapa yang dapat mengalahkan para naga...
Tentu Sepasang Naga dari Celah Kledung, yang menolak
bergabung sebagai naga kesepuluh, telah mewariskan kepadaku
Ilmu Pedang Naga Kembar, yang sengaja diciptakan untuk
menghadapi ilmu silat tingkat naga, bahkan telah kukuasai pula
Jurus Penjerat Naga yang jurusnya sama sekali tak seperti jurus
184 ciptaan Pendekar Satu Jurus itu. Namun dalam kenyataannya itu
semua belum pernah diuji untuk menghadapi pendekar tingkat
naga yang sebenarnya. Meski sedikit banyak telah menguasai Ilmu
Ba?yangan Cermin dan Jurus Tanpa Bentuk, aku tak berani
menjamin betapa ilmu silat para naga dapat kuatasi pula. Suatu
pepatah di Negeri Atap Langit berbunyi:
kekeliruan setipis dapat rambut menyesatkan sampai 1000 li Aku masih memikirkan hal itu di Penginapan Teratai Emas, ketika
tampak olehku Yan Zi dan Elang Merah tiba dari penyelidikan
mereka dengan wajah murung.
Kutatap mereka dengan pandangan bertanya-tanya.
"Kami dari Pasar Timur," kata Elang Merah, "kami dengar kabar
bahwa istana bermaksud melelang senjata-senjata mestika yang
dianggap tidak terlalu penting untuk menghemat biaya."
"Apakah itu diumumkan?"
"Tidak, tapi kami dengar orang-orang membicarakannya."
185 Yan Zi menggigit bibir. Mengikuti cerita Kaki Angin tentang
bagaimana gudang senjata mestika dijaga, aku bisa mengerti jalan
pikiran untuk mengabaikan daya keampuhan senjata mestika, dan
mempertimbangkannya hanya dari sisi kemangkus-sangkilan
pembiayaannya sahaja. Artinya, hanya senjata mestika yang
mutlak harus ada sebagai bagian dari kesahihan istana saja yang
harus dipertahankan, dirawat, dan dijaga. Sisanya, begitulah
katanya, bisa dilelang, dan dapat kutebak bahwa pihak istana
ber?harap orang-orang kayalah yang akan membelinya berapa
pun harganya. Sungguh cara tepat untuk berhemat sekaligus
men?datangkan uang! Namun benarkah berita ini" Selama ini jaringan Yang Mulia
Paduka Bayang-Bayang selalu menyampaikan berita yang penting
kami ketahui lebih cepat dan lebih dahulu sebelum tersebar ke
mana-mana. Elang Merah bahkan berpikir, cerita tentang
pe?lelangan ini mungkin hanya gagasan orang kaya saja, yang
meskipun bukan bangsawan tetapi dengan uangnya berusaha
membeli apa pun untuk meningkatkan derajatnya. Mendapatkan
senjata mestika, yang semula tersimpan di istana, kurasa akan
sangat menarik minat mereka.
Pada mulanya adalah gagasan, tetapi kini adalah kabar angin yang
bertiup kencang. Apakah Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri
186 termasuk yang akan dilelang" Jika latar belakang pedang itu -yang tentu semestinyalah merupakan rahasia -- diketahui pula,
jelas akan menjadi rebutan dalam pelelangan, dan harganya akan
membubung tinggi pula. Kuketahui bahwa dalam hal senjata
mestika, riwayatnya akan diuraikan sebelum pelelangan. Apakah
kiranya yang disampaikan juru lelang tentang Pedang Mata
Cahaya untuk tangan kiri itu" Mungkinkah seseorang menyebutkan riwayat selengkapnya, bahwa pasangan pedang itu,
yakni Pedang Mata Cahaya untuk tangan kanan, kini dipegang
perempuan pendekar Yan Zi Si Walet dan disebutkan sebagai
anak Yan Guifei - yang ternyata tidak mati saat diberitakan
terbunuh karena dicekik - dari pemimpin pemberontakan An
Lushan yang selalu disebutkan telah diangkat anak oleh
perempuan yang sangat dicintai Maharaja Daizong itu"
Meski aku mempunyai banyak alasan untuk meragukan cerita
Angin Mendesau Berwajah Hijau, ketika meminta bantuanku untuk
menjaga Yan Zi ketika mengambil kembali pedang itu, tidaklah
kuragukan bahwa cerita semacam ini akan cukup menggemparkan. Namun aku juga bertanya-tanya bagaimana
caranya pedang itu akan dilelang dan dibeli, jika disebutkan betapa
katanya pedang itu sungguh-sungguh berat sekali"
187 "Kita harus mengambil pedang itu sebelum dilelang," kata Yan Zi
dengan wajah tegang. "Tapi kita belum mendapat hasil penyelidikan tentang tata cara
penjagaan," kataku. "Bunuh saja mereka semua," tukasnya, "jika kita masuk bertiga,
tidak ada yang bisa menghalangi kita."
Kalimat seperti ini memang layak datang dari pemegang Pedang
Mata Cahaya untuk tangan kanan, yang pantulan cahayanya saja
dengan segera menjadi benda padat tertajam di dunia ketika
mengenai benda padat lainnya
NAMUN Elang Merah menatapku, lantas berkata kepada Yan Zi.
"Berita itu belum tentu benar," kata Elang Merah menyabarkan,
"ada kalanya berita seperti ini sengaja diedarkan untuk memancing
lawan. Apalagi tidak disebutkan sama sekali bahwa Pedang Mata
Cahaya akan ikut dilelang."
Pendapat Elang Merah kukira tidak keliru. Lagipula sedikit banyak
sebagai mata-mata Kerajaan Tibet ia mengerti cara-cara bersiasat
semacam itu. 188 Dapat kubayangkan, betapa jika kami bertiga melompat masuk
begitu saja ke balik tembok istana, tidak ada yang dapat kami
lakukan, selain menimbulkan keributan ketika para pengawal
istana berdatangan. "Sangat tidak masuk akal dan sangat tidak mungkin mengambil
pedang itu," kataku, "tanpa pengetahuan yang memadai tentang
tempat penyimpanan dan penjagaannya."
Yan Zi hanya mendengus. Memang tidak ada yang bisa
dikatakannya lagi. "Sebaiknya kita tetap terus menyelidik," kataku lagi, "besok aku
akan berkeliaran di pasar."
Saat itu, di Penginapan Teratai Emas, kami tidak berbicara di
kamar, melainkan di sebuah teras di lantai atas, tempat para wanita
penghibur suka melambai-lambai jika di bawahnya lewat arakarakan perayaan yang meriah. Hari masih siang, tetapi mendung
menggumpal menjelang hujan. Terdengar gemuruh guruh dan pijar
kilat di kejauhan. Di jalanan segala macam manusia dan binatang
tunggangan mempercepat langkah, seperti yakin sekali betapa
hujan akan tumpah dari langit dengan deras.
189 Ketika langit tertutup mendung sepenuhnya, dan titik-titik hujan
pertama memperdengarkan suaranya di atas genting, berkelebatanlah senjata-senjata rahasia ke arah kami bertiga.
Senjata-senjata rahasia ini dilemparkan secara luar biasa, yakni
dalam jumlah yang banyak dan secara beruntun bagaikan tiada
habisnya, sehingga siapa pun yang ilmu silatnya hanya
sekadarnya saja mungkin akan mampu menangkis yang pertama,
tetapi yang datang beruntun selanjutnya dengan kecepatan tak
terkira niscaya akan merajamnya.
Senjata rahasia yang meluncur ke arah Yan Zi adalah pisau-pisau
terbang sangat kecil, yang dengan kecepatan seperti itu jelas tak
terlihat mata orang biasa yang selalu mengira betapa dunia
persilatan sungguh hanya dongeng belaka. Namun Yan Zi Si Walet
Pedang Ular Mas 4 Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H Pendekar Sadis 22
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama