Ceritasilat Novel Online

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 10

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 10


terbungkam, meskipun di dalam dadanya bergulung-gulung
keterangan-keterangan yang banyak sekali, yang seperti
banjir akan menjebol tanggul.
Sadarlah ia sekarang, bahwa pasti ada pihak ketiga yang
akan memancing ikan di air keruh. Ia jadi curiga, siapakah
yang memberitahukan kepada para pejabat di Istana
Demak, bahwa kedua pusaka itu telah berada di tangannya.
Siapapun yang telah mengatur sedemikian cermatnya
sehingga seolah-olah segala sesuatu itu berjalan menurut
urutan-urutan yang sudah ditentukan. Beberapa gerombolan bersama-sama datang menyerbu daerahnya,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sesudah itu, pejabat-pejabat Istana datang kepadanya
untuk minta pusaka-pusaka yang telah lenyap itu.
Tetapi justru karena kesadaran akan adanya pihak ketiga
yang sengaja akan mengadu domba dirinya dengan alatalat negara itu, maka ia menjadi agak tenang. Karena itu
meskipun masih dengan bibir yang gemetar ia menjawab,
"Paman Palindih. Sekali lagi aku mohon maaf. Paman telah
mengenal aku sejak aku masih muda. Aku selalu
mementingkan kepentingan negara diatas segala-galanya.
Jangankan aku berangan-angan untuk menjadi raja di pulau
ini, sedangkan daerah perdikan yang hanya selebar daun
sirih ini pun aku sama sekali tak keberatan ketika Ayah Sora
Dipayana menyatakan untuk membagi dua. Kemudian lebih
dari pada itu aku tak dapat memberikan keterangan lebih
banyak lagi. Tetapi harap Paman ketahui bahwa aku
berkata sejujur-jujurnya".
Arya Palindih adalah seorang prajurit yang sudah
berpengalaman. Wajahnya yang masih tampak segar itu
ditandai oleh kekerasan hati serta sifat kepemimpinan yang
tegas. Namun bagaimanapun ia adalah pengemban tugas
negara yang mempunyai batas-batas tertentu.
Sebenarnya ia sama sekali tidak dapat mempercayai
ceritera Gajah Sora itu. Ia mendapat keterangan bahwa
pusaka-pusaka itu benar-benar telah berada di Banyu Biru.
Dan ceritera tentang serbuan-serbuan itu adalah usaha
Gajah Sora sendiri untuk menyembunyikan kedua pusakapusaka itu. Dan ia tidak dapat mengerti akan keteranganketerangan yang didengarnya. Apalagi ketika ia melihat
bagaimana teraturnya Laskar Banyu Biru menerima
kedatangannya, sehingga anehlah kalau hanya beberapa
orang gerombolan liar sampai dapat berhasil merampas
kedua pusaka itu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Setelah mereka berdiam diri beberapa saat, kembali
Palindih bertanya, "Anakmas, bolehkah aku bertanya lagi,
kenapa Anakmas tidak segera menyerahkan kedua keris itu
ke Demak setelah Anakmas berhasil merampasnya,
sehingga sampai Sultan Demak terpaksa memerintahkan
petugas-petugasnya untuk datang mengambilnya" Untunglah bahwa Sultan Demak cukup bijaksana sehingga
masih juga beliau mengirimkan hadiah-hadiah untuk
Anakmas". Pertanyaan yang demikian, sama sekali tak diduganya.
Karena itu Gajah Sora menjadi bingung. Memang ia
merasakan suatu kekhilafan bahwa sampai beberapa hari ia
masih belum menyerahkan keris itu. Tetapi maksudnya
mula-mula adalah untuk menenangkan suasana dahulu.
Pada suatu saat secara tiba-tiba ia akan mengejutkan
Baginda dengan penyerahan kedua pusaka itu. Disamping
itu ia terlalu percaya pada kekuatan laskarnya dan
lingkungan ayahnya, Sora Dipayana. Namun bagaimanapun
ia telah berbuat suatu kekhilafan. Karena itu, karena ia
tidak mungkin berkata lain, maka dengan jujur ia
menjawab: "Paman, memang aku telah melakukan
kekhilafan". Jawaban Gajah Sora itu sama sekali juga tidak diduga
oleh Palindih, seperti juga Gajah Sora tidak menduga bahwa
ia akan mendapat pertanyaan yang demikian.
Dan jawaban ini telah mengejutkannya. Sebab ia melihat
dari mata Gajah Sora bahwa ia telah berkata sejujurjujurnya. Karena itu ia jadi bimbang. Namun bagaimanapun
keterangan Gajah Sora tentang hilangnya kedua pusaka itu
sangatlah aneh baginya. Memang, Arya Palindih pernah
mendengar nama-nama beberapa orang penjahat ulung.
Bahkan ia mendengar pula bahwa diantaranya pernah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berhasil memasuki Istana Demak dan hampir saja
memasuki Gedung Perbendaharaan. Untung pada saat itu,
seorang perwira yang perkasa dari pengawal raja yang
bernama Rangga Tohjaya dapat mencegahnya. Arya
Palindih juga pernah mendengar tokoh-tokoh angkatan
yang lebih tua daripada Lawa Ijo yang berhasil memasuki
istana itu, sebagai siluman-siluman yang berbahaya.
Namun meskipun demikian, lepas dari masalah percaya
atau tidak percaya, Palindih adalah seorang perwira yang
tegas dan taat akan kewajibannya. Ia adalah prajurit sejati,
namun cukup bijaksana. Karena itu berkatalah Arya
Palindih: " Anakmas, pengakuan Anakmas bahwa Anakmas
khilaf telah membuka pikiranku. Tetapi bagaimanapun juga
aku adalah prajurit yang mendapat tugas untuk meminta
kembali pusaka-pusaka istana itu. Dan aku telah melakukan
tugasku. Sayang bahwa menurut keterangan Anakmas,
kedua pusaka itu telah lenyap.
Karena aku tidak mendapat kekuasaan untuk bertindak
lebih jauh, maka aku tidak akan melakukan hal-hal lain
kecuali melaporkan peristiwa ini kepada Baginda Sultan.
Baru kemudian kalau ada kewajiban-kewajiban lain serta
ketentuan-ketentuan lain, mungkin aku segera akan datang
kembali ke Banyu Biru".
Bagaimanapun juga, namun kata-kata Arya Palindih itu
merupakan angin sejuk yang telah mengendorkan semua
wajah-wajah yang tegang dari semua yang hadir di
pendapa itu. Bahkan Mahesa Jenar yang mendengar
percakapan dari balik dinding, juga menarik nafas lega.
Dengan demikian setidak-tidaknya ada waktu sehari dua
hari untuk mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan
yang akan datang. Untunglah seandainya dalam waktu
yang singkat itu Ki Ageng Pandan Alas atau Ki Ageng Sora
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dipayana setidak-tidaknya telah mendapat keterangan
tentang kedua pusaka yang hilang itu.
Gajah Sora yang dapat menanggapi keadaan serta
kebijaksanaan Arya Palindih segera menjawab,: "Paman,
aku sejak semula memang percaya bahwa Paman selalu
bertindak bijaksana. Meskipun demikian aku akan selalu
berusaha untuk meyakinkan Paman bahwa aku telah
berkata dengan jujur. Aku berjanji bahwa aku akan
berusaha sekuat tenaga serta kemampuan yang ada di
daerah ini, berusaha menemukan kembali kedua keris yang
hilang itu sebagai bukti kesetiaanku kepada Negara".
Arya Palindih mendengarkan ucapan Gajah Sora itu
sambil mengangguk-anggukkan kepala. Di dalam hatinya
menjalar suatu pengertian yang berpengaruh. Akhirnya
dengan kata-kata yang lunak ia berkata, : "Anakmas...,
Anakmas adalah bekas prajurit pilihan pada masa Anakmas
masih muda. Bagaimanapun juga aku tidak bisa mengerti
peristiwa yang terjadi menurut ceritera Anakmas, namun
aku percaya bahwa oleh jiwa kepahlawanan yang tersimpan
di dalam dada Anakmas itu, maka Anakmas telah berlaku
sebenarnya". Baik Gajah Sora, Arya Palindih, Mahesa Jenar dan
semuanya yang hadir di pendapa itu menyadari, bila sampai
terjadi suatu bentrokan, akibatnya pasti akan jelek sekali.
Sebab Laskar Banyu Biru tidak dapat dianggap remeh.
Laskar yang berakar pada jiwa rakyat yang setia. Mungkin
Demak akan dapat mengatasinya dengan tidak banyak
kesukaran. Tetapi korbannya pasti akan banyak sekali.
Tidak saja korban jiwa, tetapi korban yang lebih besar
artinya bagi negara yang pada saat itu sedang terancam
oleh kekuasaan penjajahan Portugis yang sudah membangun pangkalannya di Malaka. Maka usaha yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pertama, yang harus diutamakan adalah memperkuat garis
armada Banten - Jakarta - Cirebon - Demak - terus ke timur
- Supit Urang - langsung ke Hitu dan Ambon, sebagai garis
utama untuk melumpuhkan usaha Portugis, terutama di
bidang perniagaan laut dan kesiap-siagaan armada, yang
setiap saat dapat menerobos ke wilayah Demak.
Bersandarkan pada kesadaran itulah, maka kemudian
Arya Palindih yang tegas namun bijaksana itu berkata,:
"Anakmas, aku kira tugasku kali ini sudah selesai, meskipun
tidak seperti yang aku harapkan. Dengan demikian aku
akan minta diri, dan mudah-mudahan perkembangan
selanjutnya tidak akan menyulitkan Anakmas dan kami".
Meskipun Gajah Sora mencoba menahannya, Arya
Palindih sudah memutuskan untuk segera pulang ke Demak
dan melaporkan apa yang sudah terjadi, dengan harapan
bersama bahwa segala sesuatu dapat diselesaikan dengan
baik. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
IV SEPENINGGAL Arya Palindih, segera Gajah Sora
mengadakan pertemuan dengan segenap pembantunya
serta Mahesa Jenar. Namun banyak hal yang tak dapat
mereka selesaikan. Sebab kuncinya terletak pada kedua
keris yang hilang itu. Tetapi adalah menjadi kewajiban
Gajah Sora untuk memerintahkan kepada semua laskarnya
agar tidak berbuat hal-hal yang dapat mengeruhkan
suasana. Tetapi bagaimanapun, setelah peristiwa kedatangan
utusan dari Demak itu, Gajah Sora menjadi perenung.
Mahesa Jenar yang semula bermaksud meninggalkan Banyu
Biru, kemudian menjadi tidak sampai hati. Karena itu
ditahankannya dirinya untuk tetap tinggal di Banyu Biru
sebagai kawan berunding dan berbincang Gajah Sora.
Hiburan yang utama bagi Gajah Sora adalah anaknya yang
kini sudah hampir pulih kembali. Bahkan sudah mulai lagi
dengan tingkahnya yang aneh-aneh dan diluar kebiasaan
anak-anak yang sebaya dengan Arya Salaka, yang kadangkadang sangat memusingkan kepala ayahnya. Meskipun
pada umumnya Arya tidak berani membantah peringatanperingatan ayahnya, tetapi kadang-kadang diluar pengawasan ia melakukan hal-hal yang berbahaya.
Beberapa hari kemudian tidak terjadi hal-hal yang luar
biasa. Rakyat dengan tenang dan tenteram bekerja di
sawah serta ladang mereka. Padi-padi yang sudah mulai
menguning, bahkan ada diantaranya yang sudah masak
untuk dipetik. Berduyun-duyunlah wanita turun ke sawah
serta saling menolong memotong padi, sedang laki-laki
bergotong royong bekerja menyiapkan sawah-sawah yang
telah dituai untuk ditanami kembali. Rumah-rumah yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terbakar pada saat penyerbuan gerombolan-gerombolan liar
itu, secara gotong royong telah dibangun kembali. Bahkan
tampak lebih kokoh dan lebih baik daripada yang semula.
Kehidupan yang aman damai telah memancar kembali
menjiwai daerah Perdikan Banyu Biru.
Tetapi, tidak demikian halnya dengan perasaan Gajah
Sora. Meskipun sehari-hari ia tampak tenang dan segar,
serta seperti biasanya ia ikut serta bekerja dengan rakyat
Banyu Biru untuk kesejahteraan daerahnya, namun di
dalam hatinya tersimpan duri yang selalu menusuk-nusuk
perasaannya. Bagaimanapun, ia tidak dapat melupakan, bahwa akan
datang saatnya ia harus mempertanggungjawabkan
hilangnya kembali keris Nagasasra dan Sabuk Inten.
Meskipun ia dapat mengharapkan etikad baik dari Arya
Palindih, namun bagaimanapun usaha-usaha dari pihak
ketiga pasti masih selalu ada. Usaha-usaha dari golongan
yang tidak ingin melihat kehidupan damai di Banyu Biru
khususnya, dan Demak pada umumnya. Tidak aneh kalau
hal ini didalangi oleh orang-orang yang sengaja
merongrong kebesaran Demak untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Sebab di dalam lingkungan mereka ada
orang-orang yang cukup tangkas otaknya. Pasingsingan,
Bugel Kaliki, Sima Rodra tua dapat mewayangkan orangorang dalam yang tidak teguh imannya.
Karena itu, karena kecurigaannya kepada golongangolongan yang ingin dengan sengaja mengeruhkan
suasana. Gajah Sora telah mengambil kebijaksanaan untuk
mengirimkan beberapa orang kepercayaannya ke Demak
untuk mengetahui perkembangan keadaan. Orang-orang itu
bertugas untuk mendengarkan desas-desus tentang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
keadaan Banyu Biru yang tersiar dipusat pemerintahan itu,
serta kalau perlu mengadakan perlawanan dengan
menceriterakan keadaan yang sebenarnya kepada kalangan


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang seluas-luasnya. Tetapi akhirnya, dengan dada yang gemuruh Gajah Sora
mendengar laporan dari salah seorang kepercayaannya itu,
bahwa di Demak telah berkembang keadaan yang sama
sekali tak menguntungkan. Di Demak dengan tak diketahui
sumbernya, telah tersiar berita bahwa kini di Banyu Biru
telah diadakan latihan keprajuritan secara teratur dan
besar-besaran, sebagai salah satu usaha untuk tetap
mempertahankan Keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten. Orang-orang Gajah Sora yang tidak seberapa jumlahnya
itu telah berusaha untuk menyebarkan berita yang
sebenarnya, namun rupanya arus kabar yang sengaja
mengeruhkan suasana itu tak dapat dibendungnya. Bahkan
akhirnya telah mempengaruhi beberapa pejabat Istana
Demak. Belum lagi Gajah Sora sempat mendalami serta
mengupas masalah itu, datanglah orangnya yang kedua
dengan suatu berita yang lebih mengejutkan lagi, yaitu,
bahwa Demak telah mengirim satu pasukan untuk meneliti
keadaan di Banyu Biru. Mendengar berita ini, pikiran Gajah Sora seolah-olah
menjadi gelap. Karena itu segera ia memanggil pembantupembantunya beserta Mahesa Jenar. Apakah yang
sebaiknya mereka lakukan apabila pasukan dari Demak itu
benar-benar mendatangi Banyu Biru.
Persoalan ini kemudian menjadi buntu. Tak seorang pun
yang dapat memberikan ketetapan pendirian. Tetapi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bagaimanapun, mereka merasa bahwa sebenarnya mereka
sama sekali tak bersalah dengan hal ini. Gajah Sora
hanyalah berbuat suatu kekhilafan yang sebenarnya tak
begitu besar seandainya akibatnya menjadi lain.
Akhirnya, ketika tak seorang pun yang berhasil
memecahkan persoalan itu dengan sebaik-baiknya, maka
satu-satunya kemungkinan adalah menunggu sampai
pasukan dari Demak itu datang, dan kemudian bersamasama memperbincangkan masalahnya. Gajah Sora sadar
bahwa ia tidak boleh tergesa-gesa mengambil sikap, sebab
kemungkinan-kemungkinan yang tak diinginkan selalu akan
terjadi. Maka yang dapat dilakukan sekarang adalah
mempertinggi kewaspadaan.
Diantara mereka yang selalu gelisah karena keadaan,
maka yang paling gelisah adalah Mahesa Jenar, karena ia
dapat melihat kebenaran sikap masing-masing.
Ia tidak dapat menyalahkan Ki Ageng Gajah Sora
seandainya orang itu tetap merasa tak bersalah. Sebab ia
sendiri telah berjuang mati-matian untuk merampas keriskeris itu, dan kemudian dengan sekuat tenaga pula telah
dipertahankannya. Juga orang-orang Gajah Sora pasti akan
mempertahankan kepala daerah mereka yang mereka
segani dan cintai itu. Tetapi sebaliknya, ia mengerti juga alasan Sultan Demak
seandainya Baginda murka. Sebab Baginda merasa bahwa
yang paling berhak atas kedua pusaka itu adalah
pemerintah. Karena itu, pada malam harinya, Mahesa Jenar hampir
tidak dapat memejamkan mata. Ia selalu berangan-angan
apakah kiranya yang terjadi seandainya pasukan Demak itu
telah berada di Banyu Biru. Yang menambah kesulitan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pikiran Mahesa Jenar adalah, lalu bagaimana dengan dirinya
sendiri" Baru ketika ayam berkokok untuk ketiga kalinya, Mahesa
Jenar terlena diatas pembaringannya untuk beberapa saat.
Sebab sebentar kemudian ia mendengar hiruk-pikuk di
halaman. Segera ia meloncat bangun dan lari keluar.
Dilihatnya beberapa orang telah berada di sana, sedang Ki
Ageng Gajah Sora dengan wajah merah menyala berdiri di
ambang pintu rumahnya. Segera Mahesa Jenar naik ke
pendapa, langsung menuju kepada Gajah Sora. "Kakang...,
apakah yang terjadi?"
Gajah Sora memandang Mahesa Jenar dengan pandangan yang gelisah. "Aku tahu kesulitanmu A di, karena
itu sebaiknya kau tidak ikut serta," jawabnya.
"Apakah yang akan Kakang lakukan?" tanya Mahesa
Jenar lebih lanjut. "Aku tidak dapat menahan diri lagi," jawabnya. "Aku
telah memerintahkan untuk menyiapkan laskar Banyu Biru.
Aku tidak peduli akan apa yang terjadi. Aku hormati
kebesaran Demak sebagai pimpinan tertinggi atas segala
pemerintahan di daerah-daerah, namun alangkah kerdilnya
pikiran mereka." Mendengar jawaban Gajah Sora itu darah Mahesa Jenar
serasa berhenti. Dengan penuh kebingungan ia bertanya
kembali, "Apa yang telah mereka lakukan?"
Sementara itu terdengarlah tanda bahaya bergema di
seluruh lereng bukit Telamaya, disusul dengan tanda-tanda
supaya laskar Banyu Biru berkumpul di alun-alun. Mahesa
Jenar menjadi semakin gelisah mendengar tanda-tanda itu,
desaknya, "Apa yang telah mereka lakukan...?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Gajah Sora tidak menjawab, tetapi sorot matanya
bertambah menyala. Ketika dilihatnya kudanya telah siap di
halaman, tanpa menjawab pertanyaan Mahesa Jenar, ia
berlari melintasi pendapa dan langsung meloncat ke atas
punggung kudanya. Sesaat kemudian Gajah Sora sudah
lenyap diantara beberapa orang yang bersama-sama
memacu kudanya ke alun-alun, dimana sudah berkumpul
segenap Laskar Banyu Biru.
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiri kebingungan.
Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi untunglah
bahwa Mahesa Jenar mempunyai otak yang jernih,
sehingga beberapa saat kemudian ia telah berhasil
menguasai dirinya kembali.
Maka dengan tangkasnya ia meloncat ke belakang, ke
kandang kuda. Diambilnya kuda abu-abu yang biasa
dipakainya. Dengan cekatan ia mempersiapkan pelananya.
Dan dalam sekejap kemudian, ia telah berlari diatas
punggung kuda abu-abu itu menyusul Gajah Sora, serta
apabila mungkin mencegah hal-hal yang tak diinginkan.
Tetapi ketika ia keluar dari halaman, segera di arah timur
tampak api menyala-nyala. Mahesa Jenar terkejut bukan
kepalang, sehingga terlontar suatu teriakan tertahan. "Tak
mungkin...." gumamnya seorang diri, "Tak mungkin.
Tentara Demak bukan gerombolan-gerombolan liar yang
biasa membakar rumah dan merampok isinya. "
Maka segera timbul gambaran di dalam otaknya, bahwa
ini pasti suatu usaha pengadu-dombaan. Walaupun
demikian ia bermaksud untuk membuktikan siapakah yang
telah berbuat gila itu. Segera ia menarik kekang kudanya,
dan memutar ke arah api yang menyala-nyala di sebelah
timur itu. Kudanya yang lari secepat angin itu, dalam
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
beberapa saat kemudian telah hampir sampai di tempat api
yang menyala-nyala. Di beberapa tempat, ia bertemu
dengan orang-orang yang berusaha mengungsikan diri.
Kepada salah seorang diantaranya, ia bertanya, "He...,
Kakang yang menjauhkan diri dari keributan, tahukan kau
siapakah yang membakari rumah-rumah itu?"
Orang itu berhenti sejenak, lalu memandang kepada
Mahesa Jenar dengan heran. Tetapi bagaimanapun ia selalu
mengharap perlindungan dari manapun datangnya. Maka
jawabnya, "Aku tidak tahu, tetapi mereka selalu berteriakteriak, bahwa mereka adalah prajurit-prajurit dari Demak
yang mendapat perintah untuk menghancurkan Banyu Biru,
sebab Banyu Biru akan memberontak terhadap Demak."
"Bagaimanakah cara mereka berpakaian?" selidik Mahesa
Jenar lebih lanjut. "Mereka memakai baju merah, ikat kepala merah dan
celana merah pula. Adapun kainnya berwarna hitam," jawab
pengungsi itu. "Wiratamtama," desis Mahesa Jenar.
"Terimakasih, Kakang," kata Mahesa Jenar kepada orang
itu sambil menarik kekang kudanya, yang kemudian berlari
kembali secepat angin ke arah api yang semakin lama
semakin tinggi seolah-olah akan menjilat langit.
Pakaian orang-orang yang membakar rumah itu, adalah
pakaian prajurit Demak dari kesatuan penggempur yang
bernama Wiratamtama, yang terdiri dari orang-orang
pilihan dan perwira, bahkan dapat dikatakan sama dengan
pasukan pengawal raja, yang disebut kesatuan Nara
Manggala. Tetapi pakaian mereka agak berbeda. Sebab
Nara Manggala memakai ikat kepala biru, ikat pinggang
kuning. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena itu ia semakin bernafsu untuk mengetahui
siapakah sebenarnya yang telah menamakan diri mereka
prajurit-prajurit dari Demak itu.
Ketika matahari mulai bercahaya di arah timur, Mahesa
Jenar sampai di tempat kebakaran. Ternyata orang yang
membakar rumah-rumah itu sebagian besar sudah
melarikan diri. Tinggallah di sana-sini beberapa orang saja
yang masih berusaha untuk menemukan barang-barang
yang berharga dari rumah-rumah yang terbakar itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Melihat kelakuan mereka yang tak ubahnya dengan
anjing yang mengais di keranjang sampah, hati Mahesa
Jenar terbakar oleh kemarahannya yang memuncak. Ia
tidak saja merasa marah, bahwa orang-orang yang
menamakan diri prajurit-prajurit itu telah membakar rumahrumah penduduk yang tak bersalah, tetapi kelakuan mereka
adalah suatu penghinaan langsung terhadap kebesaran
nama Wiratamtama khususnya dan prajurit Demak
umumnya. Karena itu segera ia dapat mengambil
kesimpulan, bahwa sama sekali mereka bukanlah prajuritprajurit Demak yang sebenarnya. Karena itu tanpa
bertanya-tanya lagi Mahesa Jenar segera menyerbu ke arah
mereka. Beberapa orang yang sedang sibuk mencari barangbarang itu, segera terkejut ketika mereka mendengar derap
kuda mendekati mereka, apalagi ketika dilihatnya seorang
yang belum dikenalnya langsung menuju ke arah mereka,
dengan sikap yang garang.
Segera mereka melihat bahaya yang datang. Tetapi
karena jumlah mereka yang banyak itu, mereka sama sekali
tidak takut ketika dilihatnya bahwa yang datang hanyalah
seorang. Meskipun demikian mereka bersiap-siap pula
menanti kedatangan Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar yang memacu kudanya seperti badai,
dengan penuh kemarahan langsung menyerang orangorang yang menantinya dengan sikap tak acuh itu. Baru
ketika tiga orang bersama-sama terpelanting dengan
meninggalkan suara parau yang terputus, sadarlah mereka
bahwa yang datang itu bukan orang sembarangan. Dengan
kebingungan karena terkejut mereka mencoba mempersiapkan senjata-senjata mereka, tetapi itu tidaklah
banyak gunanya, sebab sekejap kemudian Mahesa Jenar
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
telah mengulangi serangannya. Sekali lagi dua orang
sekaligus terlempar dengan mengumandangkan teriakan
tinggi. Orang-orang lain yang melihat kelima kawannya sudah
menggeletak tak bernyawa itu, menjadi ketakutan, dan
dengan tidak menunggu lebih lama lagi segera mereka
melarikan diri bercerai-berai.
Mahesa Jenar segera berusaha menangkap salah
seorang diantaranya. Dan kemudian membantingnya di
tanah. Dengan ibu jarinya yang kuat Mahesa Jenar siap
menekan leher orang itu. Sementara itu ia bertanya,
"Siapakah kau sebenarnya?"
Orang itu menjadi ketakutan setengah mati. Karena itu,
meskipun ia berusaha menjawab, tetapi mulutnya menjadi
tergagap-gagap tak keruan. Mahesa Jenar menyumpahnyumpah di dalam hati. Karena bagaimanapun ia memaksa,
mulut orang itu pasti tak akan dapat mengeluarkan katakata yang dapat dimengerti.
Akhirnya dengan sangat marah Mahesa Jenar menarik
bajunya sehingga orang itu berdiri. Bersamaan dengan itu
darah Mahesa Jenar tersirap sampai ke kepala, ketika
dilihatnya, melingkar perut orang itu sebuah ikat pinggang
yang lebar, dengan gambar dua ekor uling yang saling
melilit. Karena itu Mahesa Jenar berteriak nyaring, "Kau dari
gerombolan Uling Rawa Pening...?"
Mulut orang itu tampak bergerak-gerak, tapi suara yang
keluar dari mulutnya tak ubahnya seperti suara orang bisu.
Meskipun demikian karena kepalanya mengangguk-angguk,
tahulah Mahesa jenar bahwa orang itu benar-benar dari
gerombolan Uling Rawa Pening. Karena itu marahnya
semakin membara di dalam dadanya. Alangkah banyaknya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
unsur-unsur yang ingin merusak kedamaian tanah perdikan
kecil di lereng bukit Telamaya itu.
Tetapi, kemudian Mahesa Jenar terkejut ketika ia
mendengar suara tertawa di belakangnya. Ketika ia
menoleh, dilihatnya Arya Salaka agak jauh di belakangnya,
duduk di atas kuda hitamnya. Begitu asyiknya Mahesa Jenar
mengurusi tangkapannya, sehinga ia sama sekali tak
memperhatikan kedatangan Arya yang tentu dengan
sengaja bersembunyi dan sangat berhati-hati.
"Apa kerjamu di situ Arya?" teriak Mahesa Jenar.


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa pula yang Paman kerjakan itu?" jawab Arya
berteriak pula. Mendapat jawaban yang nakal itu, Mahesa Jenar menjadi
jengkel. "Kemarilah," panggilnya keras-keras.
Perlahan-lahan Arya menjalankan kudanya mendekati
Mahesa Jenar. Tetapi ia tidak mau dekat benar, sebab ia
mengira bahwa Mahesa Jenar akan marah kepadanya.
Dengan masih memegangi tangkapannya erat-erat,
Mahesa Jenar mengulangi pertanyaannya, "Apa kerjamu
disini?" Arya menjadi agak bingung, sebab ternyata Mahesa
Jenar benar-benar tak senang akan kehadirannya. Meskipun
demikian ia menjawab dengan jujur. "Aku melihat Paman
memacu kuda ke arah timur. Aku kira pasti ada hal-hal
yang menarik sehingga aku ingin ikut melihatnya."
"Lalu apa yang sudah kau lihat?" desak Mahesa Jenar.
"Paman Mahesa Jenar menangkap kelinci," jawab Arya.
Mau tidak mau Mahesa Jenar menjadi geli mendengar
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
jawaban Arya. Memang anak itu nakalnya bukan main.
"Nah, ayo lekas pulang," perintah Mahesa Jenar.
"Nanti bersama Paman," jawab Arya.
Mahesa Jenar menjadi bertambah jengkel. "Pulanglah
Arya, supaya ayahmu tidak marah."
"Aku takut pulang sendiri," jawabnya mengelak.
Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan kepala. Ia tahu
betul bahwa Arya sama sekali tidak takut. Maka mau tidak
mau ia harus mengantar anak itu pulang. Lalu dengan
sebuah sentakan yang keras Mahesa Jenar mendorong
tangkapannya sehingga orang itu terdorong dan terbanting
menelentang. Matanya memancarkan perasaan takut yang
amat sangat, sedang nafasnya seperti berdesak berebut
keluar. Arya menjadi geli melihat orang itu. "Tidakkah
Paman bermaksud membunuh orang itu?"
Mendengar kata-kata Arya orang itu menjadi semakin
ketakutan, sehingga akhirnya malahan Mahesa Jenar
menjadi kasihan kepadanya. Katanya, "Kalau kau masih
mempunyai sisa tenaga, pergilah cepat-cepat menjauhi aku
sebelum aku mencekikmu"
Orang itu menjadi ragu-ragu sebentar mendengar katakata Mahesa Jenar, seperti ia tidak percaya pada
pendengarannya. Sampai terdengar membentaknya,
"Pergilah!" Orang itu segera berdiri dan mundur beberapa langkah.
Sesaat kemudian ia memutar tubuhnya dan berlari
sekencang-kencangnya menjauhi Mahesa Jenar, seperti
kuda pacu di lapangan pertandingan.
Arya melihat kelakuan orang itu seperti sebuah
permainan yang menyenangkan. Maka timbullah SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kenakalannya, untuk menakut-nakuti orang itu. Katanya,
"Tangkap orang itu, Paman..., tangkap orang itu. Ia akan
melaporkan kepada pemimpinnya bahwa Paman ada di
sini." Mendengar Arya berteriak-teriak, orang itu berlari
semakin cepat tanpa menoleh, dibarengi dengan suara
tertawa. Arya bergelak-gelak. Arya baru berhenti tertawa
ketika didengarnya Mahesa Jenar berkata, "Marilah Arya,
ada kerja yang lebih penting daripada menunggumu
bermain-main di sini."
Belum lagi habis kata-kata Mahesa Jenar, sayup-sayup
menyusur lereng perbukitan terdengarlah suara sangkakala
bergema. Mahesa Jenar terkejut mendengar suara itu. Maka
tanpa sesadarnya ia berkata, "Itulah pasukan dari Demak."
"Dari Demak?" ulang Arya.
Mahesa Jenar memandang wajah Arya yang masih
memancarkan kebeningan hatinya itu dengan saksama.
Meskipun anak itu nakalnya bukan main, tetapi hatinya
bersih, sebersih hati ayahnya.
"Marilah kita lihat," ajaknya.
Kemudian mereka berdua melarikan kuda mereka naik ke
lereng yang lebih tinggi lagi. Dari sana dapatlah mereka
melihat sebuah iring-iringan besar berjalan perlahan-lahan
seperti semut yang merayapi dinding-dinding batu.
Mahesa Jenar menjadi terkejut bukan kepalang, ketika ia
melihat pasukan Demak itu berjalan sudah dengan gelar
perang. Bukan lagi merupakan barisan yang akan
mengunjungi sebuah wilayah kerajaannya. Gelar itu
merupakan gelar yang langsung akan dapat menghantam
pertahanan lawan. Yaitu gelar Cakra Byuha.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Hati Mahesa Jenar berdebar sangat kerasnya. Mungkin
beberapa penyelidik dari Demak telah menangkap tanda
bahwa yang sudah dibunyikan oleh Gajah Sora, serta
mereka mungkin salah terima terhadap nyala yang tidak
boleh tidak pasti mereka saksikan. Nyala api yang
ditimbulkan oleh kelakuan gerombolan Uling dari Rawapening, yang merasa sangat berkepentingan apabila di
Banyu Biru timbul keributan-keributan.
Segera Mahesa Jenar pun teringat bahwa Gajah Sora
telah pula menyiapkan pasukannya. Maka apabila tidak ada
pencegahan, pertempuran yang dahsyat pasti akan terjadi.
Karena itu dengan tergesa-gesa Mahesa Jenar mengajak
Arya Salaka untuk segera kembali menemui Ki Ageng Gajah
Sora. Dengan kecepatan penuh, Mahesa Jenar dan Arya Salaka
melarikan kuda masing-masing langsung menuju ke alunalun Banyu Biru. Ketika mereka sudah memasuki kota, kembali dada
Mahesa Jenar terpukul oleh suatu kenyataan bahwa Gajah
Sora telah membawa pasukannya untuk menyongsong
pasukan Demak itu dengan gelar yang seimbang. Yaitu
gelar Gajah Meta. Tampaklah dengan garangnya Gajah Sora di atas kuda
putihnya. Di tangannya tergenggam erat pusaka Banyu Biru
yang sakti, Kyai Bancak. Disampingnya dengan kepala
menengadah tampak orang yang telah agak lanjut usianya,
tetapi ialah satu-satunya kepercayaan yang tak pernah
berkisar dari samping Gajah Sora, yaitu Wanamerta. Di sisi
yang lain dengan kepala tegak dan dada yang terbuka,
seorang pemuda yang kelak akan terkenal namanya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sebagai seorang perwira, yaitu Penjawi. Di belakangnya
berturut-turut berjalan beberapa perwira pilihan.
Di belakangnya lagi berkibarlah dengan megahnya
bendera-bendera lambang kebesaran tanah perdikan Banyu
Biru. Panji-panji di atas dasar merah terlukis gambar seekor
gajah berwarna kuning keemasan. Di samping bendera itu
berkibar pula beberapa panji-panji kemegahan serta umbulumbul beraneka warna, yang bertangkaikan tombaktombak yang sudah tak bersarung.
Melihat pasukan itu, sejenak Mahesa Jenar tertegun. Ia
adalah bekas seorang prajurit yang tidak saja satu dua kali
mengalami pertempuran-pertempuran hebat. Tetapi ketika
ia melihat tata barisan Gajah Sora dan gelar Gajah Meta,
hatinya kagum juga. Ia jadi percaya bahwa Laskar Banyu
Biru merupakan laskar yang sudah masak di bawah
pimpinan seorang yang mempunyai pengetahuan yang
cukup. Tetapi ketika ia teringat akan kemungkinan yang terjadi
apabila pasukan ini bertemu dengan pasukan Demak,
darahnya menjadi berdesir cepat. Maka segera ia melarikan
kudanya, langsung menuju ke arah Gajah Sora. Gajah Sora
melihat kedatangan Mahesa Jenar, tetapi sikapnya menjadi
agak lain dari biasanya. Dengan pandangan kosong, Gajah
Sora menghentikan kudanya dan bertanya hambar, "Apakah
maksud Adi Mahesa Jenar menemui aku?"
Mahesa Jenar merasakan perbedaan sikap ini, tetapi ia
tidak peduli. Dengan suara yang perlahan-lahan tetapi jelas
ia menceriterakan apa yang dilihatnya. Orang-orang yang
menyaru sebagai prajurit-prajurit Demak telah membakari
rumah-rumah penduduk. Dengan demikian maka laporan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang sampai kepada Gajah Sora pasti prajurit-prajurit
Demak yang melakukan pembakaran itu.
Gajah Sora mendengar dengan baik kata-kata Mahesa
Jenar, tetapi wajahnya sama sekali tidak berubah. Meskipun
demikian ia bertanya, "Lalu apa kata Adi Mahesa Jenar
terhadap gelar Cakra Byuha itu?"
Mendengar pertanyaan itu terasa sesuatu berdesir di
dada Mahesa Jenar. Rupa-rupanya Gajah Sora telah
mengetahui bahwa prajurit Demak mendekati Banyu Biru
dalam gelar perang yang berbahaya. Karena itu untuk
beberapa saat ia tidak menjawab. Baru kemudian Mahesa
Jenar berkata, "Kakang Gajah Sora, ini adalah suatu
kesalah-pahaman yang berbahaya."
"Sudahlah Adi," potong Gajah Sora. "Aku sudah
mengatakan bahwa aku menyadari kesulitan Adi sekarang
ini. Karena itu aku persilahkan Adi kembali saja."
Sebenarnya Mahesa Jenar sama sekali tidak senang
mendengar kata-kata Gajah Sora itu, tetapi ketika ia akan
menjawab, dilihatnya Gajah Sora melambaikan tangannya,
dan iring-iringan itu mulai bergerak kembali. Iring-iringan
raksasa yang terdiri ribuan prajurit yang terpecah-pecah
menjadi bagian-bagian dalam gelar yang lengkap, "Gajah
Meta." Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung. Ia merasa
bahwa agak terlambat untuk menahan Gajah Sora, namun
ia tidak putus asa. Tanpa mengingat kemungkinan yang
dapat terjadi atas dirinya apabila ia bertemu dengan
prajurit-prajurit Demak, Mahesa Jenar mengikuti perjalanan
pasukan Banyu Biru, untuk menyongsong kedatangan
pasukan-pasukan dari Demak.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Setelah itu tak sepatah katapun yang terdengar. Masingmasing berjalan tanpa bersuara. Di kepala masing-masing
berputarlah berbagai masalah yang berbeda-beda.
Tetapi, selangkah demi selangkah Laskar Banyu Biru
maju terus, dan selangkah demi selangkah mereka semakin
dekat dengan pasukan-pasukan yang datang.
Tetapi setiap jengkal mereka maju, setiap kali pula dada
Mahesa Jenar merasa terbentur sesuatu yang seolah-olah
hendak pecah oleh ketegangan yang semakin memuncak.
Sebentar kemudian pasukan itu menyusup, menerobos
pepohonan dan kebun-kebun yang sedang memamerkan
buah-buahan yang lebat, menembus pagar-pagar dan
meloncati dinding-dinding rendah untuk tidak mengubah
tata barisan mereka, dalam gelar perang Dirada Meta.
Kemudian muncullah pasukan itu di lapangan terbuka,
sebuah padang rumput tempat para penggembala
melepaskan binatang-binatang peliharaan. Masih dalam tata
barisan yang teratur, mereka menuruni lereng bukit
Telamaya. Sejenak kemudian Gajah Sora melambaikan tangannya,
dan berhentilah iring-iringan pasukan Banyu Biru.
Bersamaan dengan itu hampir berbareng terdengarlah
gumam yang seperti mengumandang diantara anggota
laskar itu. Sebab jauh di hadapan mereka, di bawah kaki
bukit Telamaya, tampaklah dalam gelar Cakra Byuha
pasukan-pasukan dari Demak. Lebih dari itu semua adalah
goncangan dada Mahesa Jenar. Kini benar-benar dadanya
serasa akan meledak. Tidak saja sedapat mungkin dirinya
selalu berusaha untuk menjauhi setiap prajurit dari Demak,
untuk melenyapkan segala kenangan pada masa kebanggaannya sebagai seorang prajurit pengawal raja,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tetapi sekaligus ia merasa terharu melihat kebesaran
pasukan itu. Meskipun masih belum begitu jelas, tetapi bagi
Mahesa Jenar apa yang dilihatnya itu seolah-olah telah
melekat di pelupuk matanya. Dengan membeda-bedakan
warna pakaian mereka yang tampak seperti kelompokkelompok yang beraneka warna, Mahesa Jenar segera
mengenal pasukan dari kesatuan apa saja yang telah
ditugaskan untuk datang ke Banyu Biru. Karena pengenalan
itu pula Mahesa Jenar merasakan suatu tekanan yang
dahsyat dalam hatinya. Sebab ia mengetahui dengan pasti
bahwa benar-benar pasukan itu merupakan pasukan
tempur yang kuat sekali. Dalam gelar Cakra Byuha yang merupakan lingkaran
bergerak itu, tampaklah dalam kelompok depan pasukan
Wira Tamtama dengan bendera yang terkenal, Tunggul
Dahana, bendera yang mempunyai dasar merah dan
bergaris hitam lintang melintang. Pada gerigi di sebelah kiri
tampak pasukan penggempur Angkatan Laut Demak yang
terkenal. Pasukan ini diikutsertakan dengan suatu
kemungkinan terjadi pertempuran di daerah rawa-rawa. Di
bawah panji-panji Sura Pati, yaitu sebuah panji-panji yang
berwarna merah bergambar ikan sura raksasa yang
menggigit sebilah keris berwarna putih, pasukan penggempur Angkatan Laut yang bernama Wira Jala Pati itu
merupakan kesatuan yang mengerikan. Yang lebih


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggetarkan dada Mahesa Jenar adalah pasukan yang
berada dalam lingkungan gerigi sebelah kanan. Pasukan ini
adalah pasukan yang tak asing lagi baginya. Sebab ia
sendiri pernah menjadi bagian pasukan tersebut, yaitu
pasukan Nara Manggala di bawah panji-panji Garuda Rekta,
panji-panji yang berwarna kuning, dengan lukisan seekor
garuda berwarna merah, yaitu pasukan pengawal raja.
Mahesa Jenar sadar bahwa pasukan inilah yang harus
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
membawa kembali Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten
dengan selamat sampai di Istana. Sedang pada gerigi
bagian belakang, yang jumlahnya tidak begitu banyak,
tampaklah pasukan inti dari pasukan pengawal kota, yang
disebut pasukan Manggala Sraya, dengan bendera merah
bergaris silang putih, bernama Tunggul Mega.
Tetapi lebih dari segala itu, lebih dari kemegahan
bendera-bendera Tunggul Dahana, Sura Pati, Garuda Rekta
dan Tunggul Mega, adalah panji-panji yang berada di
tengah lingkaran yang bergerigi itu. Sebuah panji-panji
yang dikelilingi oleh sekelompok kecil prajurit dari kesatuan
Manggala Pati yang hampir dapat dikatakan kesatuan
berani mati. Panji-panji itu adalah bendera Kerajaan Demak
yang berwarna gula kelapa.
Menyaksikan semuanya itu, Mahesa Jenar seolah-olah
mendadak menjadi seorang lumpuh yang duduk di atas
kudanya. Kesadarannya hilang, dan ia menurut saja
kemana kudanya berjalan. Hal itu bukanlah disebabkan ia merasa takut berhadapan
dengan kesatuan itu. Sebab ia adalah setingkat dengan
setiap perwira yang memimpin setiap kesatuan dalam
pasukan Demak itu. Bahkan mungkin Mahesa Jenar masih
memiliki kelebihan-kelebihan yang langsung diterima dari
gurunya. Tetapi perasaan yang tak dapat disebutkan
sebabnya telah menjalari dirinya.
Tanpa disengaja, Mahesa Jenar memandang ke arah
Gajah Sora yang masih diam seperti patung memandangi
pasukan Demak yang mendekatinya. Perasaannya bergolak
hebat. Sebenarnya Gajah Sora sama sekali tidak
mencemaskan pasukannya. Sebab ia merasa bahwa
kekuatan kedua pasukan itu tidak akan terlalu banyak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terpaut. Meskipun nilai dari setiap anggota Laskar Banyu
Biru tidak dapat menandingi prajurit-prajurit dari Demak,
Gajah Sora juga mempunyai beberapa orang pilihan dan
mempunyai pasukan yang lebih banyak. Kalau perlu ia
dapat mengubah gelarnya dalam gelar Samodra Rob atau
Gelatik Neba seperti banjir melanda pasukan Demak.
Untuk beberapa saat pasukan Banyu Biru di bawah panjipanji Dirada Sakti, yaitu panji-panji merah berlukiskan gajah
yang berwarna kuning emas itu masih diam tak bergerak,
sementara pasukan Demak semakin lama semakin dekat.
Karena itu semakin jelaslah kemudian setiap langkah dari
setiap orang dalam gelar Cakra Byuha yang sempurna.
Namun sampai sekian mereka masih belum dapat mengenal
orang-orang yang diserahi tugas memimpin pasukan Demak
itu. Sesaat kemudian setelah pasukan itu menjadi semakin
dekat, tampaklah seorang yang duduk diatas kuda
berwarna sawo, yang agaknya memegang pimpinan,
melambaikan tangannya. Maka segera berhentilah pasukan
itu. Pemimpin pasukan itu, yang karena jaraknya yang
masih agak jauh, belum dapat dikenal, segera memanggil
dua orang pembantunya. Rupanya mereka sedang
merundingkan siasat. Mahesa Jenar kini merasa bahwa ia
sudah tidak akan mampu berbuat sesuatu. Dua pasukan
yang sudah berhadapan agaknya sukar untuk ditahannya.
Apalagi ketika yang diduganya benar-benar terjadi. Menurut
perhitungan Mahesa Jenar, pasukan Demak tidak mungkin
dapat melawan pasukan Banyu Biru dalam gelar yang
demikian, sebab keadaan medan memang menguntungkan
pasukan Banyu Biru yang berada di tempat yang lebih
tinggi. Menurut perhitungan Mahesa Jenar, pasukan Demak
harus mengubah tata barisannya sehingga mereka dapat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mencapai tempat yang sama tinggi. Pemimpin pasukan
Demak itu dilihatnya mengangkat kedua tangannya dan
kemudian dengan gerak melingkar tangannya bersilang dan
kemudian direntangkan kembali. Itu adalah suatu aba-aba
untuk mengubah tata barisannya.
Pasukan Demak adalah pasukan yang terlatih baik.
Karena itu segera setiap pimpinan kelompok dengan
serentak mengulangi aba-aba pimpinan pasukan, dan
sesaat kemudian pasukan itu tampaknya menjadi berserakserakan tak karuan. Tetapi sebenarnya mereka sedang
bergerak untuk menempati tempat-tempat mereka dalam
gelar perang yang baru, Garuda Nglayang. Meskipun
dengan gelar ini pasukan Demak sama sekali tak
bermaksud mengepung pasukan Banyu Biru, tetapi mereka
berusaha untuk mencapai tempat yang cukup tinggi, sebab
dengan gelar yang memencar ini, sayap-sayap kanan dan
kiri akan dapat maju mendahului induk pasukannya, dan
seterusnya menerjang dari arah lambung.
Melihat pasukan dari Demak telah memulai dengan
gerakannya, setiap laskar Banyu Biru segera menjadi
gelisah. Mereka serentak memandang kepada Gajah Sora,
untuk menunggu perintah lebih lanjut, terutama pimpinanpimpinan kelompok. Sebenarnya Gajah Sora segera dapat
berusaha mencegah maksud pasukan Demak itu dengan
mengubah gelarnya pula. Hal ini disadari oleh setiap
pemimpin laskar Banyu Biru. Karena mereka pun telah siaga
untuk melaksanakan perubahan gelar itu. Namun untuk
beberapa saat Gajah Sora tidak memberikan perintah
sesuatu. Bantaran dan Sawungrana yang memegang pimpinan
sebagai ujung-ujung gading dalam gelar Dirada Meta,
Pandan Kuning dengan beberapa pasukan pilihan sebagai
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pengawal panji-panji Dirada Sakti, menjadi semakin gelisah.
Wanamerta dan Panjawi pun tidak dapat mengetahui
sebabnya, kenapa mereka masih harus diam menunggu.
Mahesa Jenar juga menebak-nebak di dalam hati, apakah
maksud sebenarnya dari Gajah Sora itu. Ataukah ia
mempunyai suatu siasat di luar pengetahuannya" A ndaikata
Mahesa Jenar memegang pimpinan, pasukan Banyu Biru
harus segera berubah dalam gelar Wulan Panunggal, untuk
menghalangi sayap-sayap gelar Garuda Nglayang yang
melengkung itu, sehingga dapat mengimbangi kekuatan
sayap Garuda Nglayang, apalagi jumlah mereka lebih
banyak. Di dalam setiap perhitungan perang, waktu memegang
peranan yang penting, sehingga meskipun hanya sekejap,
kadang-kadang mempunyai arti yang besar.
Demikianlah pasukan Demak yang terlatih baik itu, hanya
memerlukan waktu yang singkat untuk dapat menempati
kedudukannya yang baru. Bahkan pasukan sayap kanan
dan kiri telah mulai mendaki tebing.
Melihat semuanya itu, Panjawi dan Sawungrana hanya
dapat saling memandang, dan sekali dua kali mereka
melemparkan pandangannya kepada Mahesa Jenar yang
berada di luar kedudukan gelar, meskipun ia berada tidak
jauh dari mereka itu. Sebenarnya di dalam hati Mahesa Jenar tersimpanlah
suatu kecemasan yang sangat besar, melihat tingkah laku
Gajah Sora. Mungkinkah ia menjadi mata gelap dan putus
asa, sehingga sejak langkah pertama sudah akan
dipergunakan gelar-gelar yang menentukan seperti gelar
Samodra Rob atau Gelatik Neba, yang sebenarnya sama
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sekali tidak perlu" Memang, gelar itu akan cepat mencapai
penyelesaian, tetapi korbannya tak akan dapat dihitung lagi.
Karena itu, Mahesa Jenar menunggu perkembangan
keadaan dengan hati yang berdebar-debar. Tetapi dalam
keadaan yang demikian ia tidak akan mengganggu
pemimpin pasukan. Sementara itu, sayap-sayap kiri dan kanan dari pasukan
Demak telah mencapai tempat yang sama tinggi dengan
pasukan Banyu Biru. Bahkan mereka telah siap pula
melancarkan serangan ke arah lambung pasukan Banyu
Biru yang masih mempergunakan gelar Dirada Meta. Dalam
hal ini dengan suatu isyarat tangan dari pemimpin mereka,
pastilah mereka akan segera bergerak.
Tetapi rupanya dalam barisan Demak pun terjadi
sesuatu. Pemimpin pasukan mereka ternyata tidak segera
memberikan aba-aba untuk mulai menyerang. Agaknya
mereka menjadi heran pula, kenapa dalam keadaan yang
demikian pasukan Banyu Biru masih belum juga
menunjukkan tanda-tanda untuk mulai bertindak. Karena
itu, pemimpin pasukan dari Demak itu pun tidak tergesagesa bertindak. -----------odwOkzo---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
V SEMENTARA itu, terjadilah suatu hal yang sama sekali
tak terduga-duga. Dengan suara lirih dan dalam,
terdengarlah Ki Ageng Gajah Sora memanggil Wanamerta
dan Panjawi. Sesaat kemudian Gajah Sora memalingkan
mukanya, mencari Mahesa Jenar, dan dengan isyarat ia
diminta mendekatinya. Ketika Mahesa Jenar melihat wajah Ki Ageng Gajah Sora,
ia menjadi terkejut. Wajah itu nampak begitu suram dan
basah oleh keringat yang tak sempat diusapnya. Segera ia
menarik kekang kudanya, dan cepat-cepat mendekatinya.
Agaknya telah terjadi suatu pergolakan perasaan yang
dahsyat, sehingga ketika Mahesa Jenar telah berada di
sampingnya, semakin jelas bahwa tubuh Gajah Sora
gemetar. Kemudian dengan suara yang bergetar pula ia
berkata, : "Paman Wanamerta, tetua tanah perdikan Banyu
Biru. Panjawi, harapan masa datang, dan Adi Mahesa Jenar
yang berpandangan luas. Harap kalian mengetahui
keputusanku.... Aku sama sekali tidak gentar menghadapi
pasukan dari Demak itu, meskipun ternyata terdiri dari
pasukan penggempur yang kuat". Ia berhenti sebentar, lalu
kemudian, "Tetapi aku tak akan melawannya".
Mendengar kata-kata Gajah Sora itu, Wanamerta,
Panjawi dan Mahesa Jenar sangat terkejut. Segera wajahwajah mereka memancarkan perasaan mereka yang
menyimpan berbagai pertanyaan. Tetapi tak seorang pun
yang menyatakannya. "Dengarlah dengan baik", sambung Gajah Sora,
"Mungkin Adi Mahesa Jenar yang paling dapat mengerti
perasaanku". Gajah Sora diam sebentar untuk menelan
ludah yang seolah-olah menyumbat kerongkongan. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Matanya yang sayu dan kemerah-merahan itu, tanpa
berkedip memandang ke arah bendera Gula Kelapa yang
berbentuk segitiga panjang sebagai lambang kebesaran
Demak. "Beberapa tahun yang lampau...," lanjut Gajah Sora,
"Aku pernah bertempur melawan orang-orang Portugis di
Semenanjung Malaka untuk mempertahankan kebesarannya. Pada saat itu diatas kapalku berkibar pula
dengan megahnya bendera Gula Kelapa itu. Haruskah aku
sekarang melawannya" Tidak, aku tidak bisa." Kemudian ia
terdiam. Dan kembali Gajah Sora menelan ludah beberapa
kali. Matanya nampak semakin merah bukan oleh nyala
kemarahan. Mendengar kata-kata itu, bulu tengkuk Mahesa Jenar
serasa serentak berdiri. Kata-kata itu langsung menyusup
ke perasaannya yang paling dalam. Agaknya perasaan yang
demikian pulalah yang menyebabkan dirinya seperti orang
yang kehilangan pegangan.
Tetapi Wanamerta dan Panjawi mempunyai tanggapan
yang lain. Wajahnya menjadi tegang. Mereka tidak begitu
mengerti maksud Gajah Sora. Karena itu Wanamerta segera
bertanya, "Bagaimanakah maksud Ki Ageng sebenarnya?"
Ki Ageng Gajah Sora memandang Wanamerta dengan
mata yang suram, "Paman, aku ingin menyelesaikan
masalah kedua keris itu tidak dengan cara ini"
"Lalu apakah yang akan Ki Ageng lakukan?" sela Panjawi
yang menjadi semakin gelisah.
"Aku akan berbicara dengan mereka," jawab Gajah Sora.
Mendengar jawabnya itu Wanamerta dan Panjawi saling
memandang dengan kebingungan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Mereka tidak datang untuk berbicara," jawab Panjawi
kemudian, "Tetapi mereka datang dengan gelar perang."
Kembali mata Ki Ageng Gajah Sora melekat pada Sang
Saka Gula Kelapa yang seolah-olah melambaikan tangantangannya kepada Gajah Sora, sebagai salam hangat
setelah agak lama tidak bertemu. Karena itu hati Ki Ageng
Gajah Sora menjadi semakin terkoyak-koyak.
"Kalau mereka tidak dapat berbicara," kata Gajah Sora
Sora selanjutnya, "aku akan menyertai mereka ke Demak.
Sebab aku percaya bahwa pemerintahan berjalan dalam
garis-garis hukum. Bagaimanapun juga masalah ini adalah
masalah kita bersama yang harus dapat kita selesaikan,
tanpa pertumpahan darah."
Wanamerta dan Panjawi agaknya masih belum begitu
mengerti maksud Gajah Sora, sehingga terdengar suara
Wanamerta agak tertahan, "Anakmas, kami adalah orangorang yang bersedia dibujur-lintangkan untuk keselamatan
Anakmas." Gajah Sora memandang Wanamerta dengan penuh


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengertian dan haru. Tetapi ia sudah mempunyai suatu
ketetapan bahwa ia sama sekali tak bermaksud menodai
Sang Saka Gula Kelapa. Karena itu katanya, "Paman..., aku
tahu kesetiaan Paman dan segenap laskar Banyu Biru.
Tetapi aku harap Paman juga mengetahui kesetiaanku
kepada bendera itu, Sang Saka Gula Kelapa, sebagai
lambang kesatuan negara. Termasuk Banyu Biru. Sebab
Banyu Biru sendiri tak ada artinya di muka bumi ini, kalau
tidak bersama-sama dengan daerah-daerah lainnya berkembang di taman sarinya. Negara kita ini. Sebaliknya,
negara kita ini tidak pula akan tegak melawan badai sejarah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kalau tidak berakar di dalam jiwa rakyat di daerah-daerah,
termasuk Paman dan seluruh rakyat Banyu Biru."
Wanamerta dan Panjawi menundukkan mukanya dalamdalam. Di dalam hatinya telah membayang sedikit
pengertian akan ucapan pemimpinnya yang sangat
dicintainya itu. Namun bagaimanapun, agaknya amat sulit
baginya untuk melepas Gajah Sora pergi sebagai seorang
terdakwa yang telah melakukan pengkhianatan. Karena itu
Wanamerta masih mencoba bertanya, "Anakmas, tidakkah
Anakmas dapat berbicara dengan mereka dalam kesempatan lain yang lebih baik, sehingga Anakmas tidak
dianggap sebagai seorang tangkapan?"
"Tak akan ada lagi kesempatan kecuali ini, Paman. jawab
Gajah Sora, "Sebab kalau aku tidak mempergunakan
kesempatan ini, pasti akan terjadi pertumpahan darah
sesama kita yang tak ada artinya"
Kembali Wanamerta menundukkan kepalanya. Ia kenal
betul akan sifat dan watak Gajah Sora. Apabila ia sudah
menjatuhkan keputusan, maka tak seorang pun yang akan
dapat mengubahnya. Karena itu, dengan perasaan yang
tertekan ia terpaksa berdiam diri. Sebaliknya Panjawi yang
masih belum dapat mengendapkan dirinya, berkata
menyela,: "Ki Ageng..., sebenarnya kami lebih senang
apabila Ki Ageng memerintahkan kepada kami untuk
menghunus pedang kami daripada melepaskan Ki Ageng
pergi sebagai seorang tawanan".
Gajah Sora tersenyum pahit. Lalu jawabnya, "Aku
bukanlah tawanan prajurit yang kalah perang, Panjawi. Hal
ini pasti disadari pula oleh orang-orang Demak itu, bahwa
aku masih tegak di hadapan pasukanku yang belum pasti
dapat mereka kalahkan."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Karena itu berikanlah kepada kami perintah, Ki Ageng,"
sahut Panjawi yang agaknya masih berdarah panas.
"Panjawi..." jawab Gajah Sora, "Memang di dalam
tubuhmu mengalir darah jantan sejati. Tetapi dengarlah
perintahku baik-baik. Kau dan Wanamerta tetap berada di
tempatmu. Jagalah bahwa tak seorang pun dalam pasukan
ini yang berkisar dari tempatnya."
Mendengar perintah itu, dada Panjawi serasa menerima
pukulan yang maha dahsyat, sampai ia memejamkan mata
beberapa saat untuk dapat menenangkan perasaannya
kembali. "Adi Mahesa Jenar..." kata Gajah Sora kepada Mahesa
Jenar yang selama itu dengan penuh pergolakan di dalam
dadanya memperhatikan setiap kata-kata Gajah Sora.
Wanamerta dan Panjawi, "Di manakah Arya?"
Pertanyaan ini mengejutkan benar, sebab untuk
beberapa saat Mahesa Jenar telah melupakan anak ini.
"Bukankah tadi anak itu datang di belakang Adi?"
sambung Gajah Sora. "Benar, Kakang," jawab Mahesa Jenar agak gugup sambil
melayangkan pandangannya berkeliling, sampai akhirnya
tertumbuk pada seekor kuda hitam dengan seorang anak di
punggungnya dan tampaknya dengan enaknya melihat dua
pasukan yang hampir bertempur itu seperti melihat
rombongan pawai prajurit. Melihat hal itu jantung Mahesa
Jenar berdesir. Apakah yang terjadi andaikata kedua
pasukan itu benar-benar bertempur, sedangkan Arya
berada diatas sebuah gundukan tanah dalam garis
serangan sayap kanan pasukan Demak. Andaikata sampai
terjadi sesuatu atasnya pastilah ia harus mempertanggungjawabkannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Maka dengan isyarat Arya dipanggil untuk mendekati
ayahnya. Tetapi rupa-rupanya anak itu agak takut, sehingga
isyarat itu sampai harus diulangi dua kali.
Ketika Arya telah berada disampingnya, dengan
pandangan yang semakin sayu dan kata-kata yang
gemetar, Ki Ageng Gajah Sora berkata kepada Arya,
"Arya..., kau telah pernah mempergunakan tombakku yang
sakti ini. Karena itu, pada hari ini tombak ini aku hadiahkan
kepadamu" Arya yang tidak tahu masalahnya, mendengar
kata-kata ayahnya itu menjadi terkejut dan menduga-duga,
tetapi sekejap kemudian ia menjadi kegirangan. Wajahnya
berseri-seri dan dengan segera ia maju mendekat.
Sebaliknya adalah Wanamerta, Panjawi dan Mahesa
Jenar. Ketika mereka mendengar kata Gajah Sora itu dada
mereka bergoncang hebat. Sebab mereka sadar akan arti
kata-kata itu. Dengan demikian maka Ki Ageng Gajah Sora
telah menyerahkan pemerintahan Banyu Biru kepada putra
satu-satunya yang belum dewasa.
"Apakah artinya ini Ki Ageng?" tanya Panjawi dengan
suara bergetar. "Ayah akan menghadiahkan tombak itu kepadaku", sahut
Arya dengan riangnya. "Dan bukankah ayah bermaksud
mengijinkan aku untuk turut bertempur sekarang ini?"
Semua yang mendengar kata-kata Arya itu menarik nafas
dalam-dalam. Lebih-lebih Gajah Sora sendiri.
"Arya, aku tidak bermaksud demikian. Sebab hari ini aku
akan bepergian jauh sekali, dan belum tentu kapan akan
kembali. Kaulah yang berhak untuk memiliki pusaka itu,
tetapi sementara biarlah pusaka itu kau titipkan kepada
eyangmu Wanamerta", kata Gajah Sora dengan suara
lembut. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wajah Arya yang riang itu segera berubah menjadi
kecewa dan bertanya-tanya. Pandangannya beredar
diantara orang-orang yang berada di sekitarnya seperti
minta penjelasan. Akhirnya ia bertanya, "Ayah akan pergi
jauh sekali?" Ki Ageng Gajah Sora mengangguk. "Selama ayah pergi,
kau tidak boleh nakal Arya. Kau harus menurut segala
petunjuk eyangmu Wanamerta. Dan yang akan melanjutkan
pelajaranmu dan olah kanuragan adalah pamanmu Mahesa
Jenar. Bukankah begitu Adi...?"
Mahesa Jenar menjadi agak kebingungan, tetapi ia tidak
dapat berkata lain daripada mengiyakan.
Sesaat kemudian kembali Gajah Sora memandangi
bendera Gula Kelapa yang melambai kepadanya. Sesaat
kemudian dilayangkan pandangannya kepada seluruh anak
buahnya yang berbaris teratur di belakangnya dalam gelar
Dirada Meta. Tiba-tiba Gajah Sora mengangkat tangan
kanannya tinggi-tinggi. Pemimpin pasukan Demak yang rupa-rupanya cukup
bijaksana dan tidak berbuat sesuatu, ketika ia menyaksikan
Gajah Sora sedang berunding dengan bawahannya, juga
mengangkat tangan kanannya untuk menjawab isyarat
Gajah Sora. Sekali lagi Gajah Sora memandang kepala barisannya.
Kemudian ia berkata kepada Wanamerta, "Sepeninggalku
perintahkan pasukan ini mengundurkan diri, Paman. Aku
percayakan Banyu Biru dalam kebijaksanaan paman selama
aku pergi. Sedang, aku minta agar Adi Mahesa Jenar sudi
menjadi pelindung daerah yang tak berarti ini. Aku titipkan
Arya kepadamu" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kemudian, sehabis mengucapkan kata-kata itu, Gajah
Sora menarik kekang kudanya yang kemudian berlari
dengan kencangnya menuju ke arah pasukan dari Demak.
Melihat Gajah Sora telah datang seorang diri, pemimpin
pasukan dari Demak itu pun segera menyongsongnya
bersama dua orang pengawalnya.
Melihat Ki Ageng Gajah Sora pergi seorang diri ke arah
pasukan-pasukan dari Demak itu, Arya terkejut. Untuk
beberapa saat ia diam kebingungan. Tetapi setelah
ingatannya berjalan kembali, ia berteriak memanggil.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar cepat bertindak, menangkap kendali kuda Arya yang hampir berlari
memburu. Dengan memanggil-manggil ayahnya, Arya
meronta-ronta memukul-mukul tangan Mahesa Jenar yang
memegang kendali kudanya itu.
Wanamerta memandangi Arya dengan dada yang sesak.
Perlahan-lahan ia mendekati anak itu dan menghibur
sebisa-bisanya. Namun untuk beberapa saat Arya masih
saja berusaha untuk melepaskan tangan Mahesa Jenar dan
berteriak-teriak sejadi-jadinya.
Sebenarnya bukan saja Arya yang menjadi bingung dan
meronta-ronta, tetapi segenap hati laskar Banyu Biru
menjadi bingung, dan meronta-ronta pula. Bahkan
kemudian terdengarlah suara bergumam yang semakin
lama semakin keras. Bantaran dan Sawungrana tampak
menjadi gelisah. Sedang Pandan Kuning yang tak dapat
menahan diri lagi berteriak nyaring, "Apakah artinya ini
semua Kakang Wanamerta...?"
Wanamerta dapat mengerti semuanya itu, dapat
mengerti kenapa seluruh laskar Banyu Biru menjadi gelisah
dan bingung. Karena itu segera ia mengangkat tangannya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
untuk menenangkan keadaan, sedang tangannya yang lain
mengacungkan pusaka Kyai Bancak tinggi-tinggi sebagai
suatu pernyataan bahwa ia telah mendapatkan wewenang
atas nama Arya Salaka untuk memimpin daerah perdikan
Banyu Biru. Sementara itu keributan agak dapat ditenangkan, tetapi
hati laskar Banyu Biru itu sama sekali tak dapat
ditenangkan. Mereka, dengan darah yang bergelora melihat
Ki Ageng Gajah Sora berlari di atas kudanya menemui
pemimpin pasukan dari Demak yang datang menyongsongnya. Apalagi beberapa saat kemudian seluruh
laskar Banyu Biru yang berada di lereng bukit Telamaya itu
menyaksikan dengan jelas bahwa pemimpin mereka Ki
Ageng Gajah Sora pergi meninggalkan mereka bersamasama dengan pemimpin pasukan dari Demak itu, yang
sebentar kemudian memberi aba-aba kepada seluruh
prajurit Demak untuk menarik gelar Garuda Nglayang itu
menjadi suatu barisan tidak dalam gelar perang.
Rasa-rasanya laskar Banyu Biru itu hampir meledak
ketika mereka menyadari bahwa pemimpin mereka telah
pergi menyertai pasukan dari Demak, yang menurut
anggapan mereka tidak lebih dari seorang tawanan. Dalam
keadaan yang demikian, segera Wanamerta membalikkan
kudanya dan merasa perlu untuk memberi penjelasan.
Segera dengan isyarat tangan ia memanggil segenap
pimpinan kelompok dalam kesatuan laskar Banyu Biru.
Katanya, "Anak-anakku Laskar Banyu Biru yang setia
kepada pemimpinnya. Atas nama kekuasaan yang telah
diserahkan kepada Arya Salaka, aku perintahkan kepadamu
untuk tetap tenang, dan setelah ini menarik kembali seluruh
laskar kita. Penjelasan mengenai hal ini akan aku berikan
kemudian" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mendengar keterangan singkat dari seorang kepercayaan
Gajah Sora itu beberapa orang menjadi ribut, sedang
beberapa orang lagi menjadi kebingungan. Tetapi
bagaimanapun laskar Banyu Biru adalah laskar yang patuh
dan setia sehingga bagaimanapun terjadi pergolakan di
dalam dada namun mereka harus mentaati perintah
pemimpin mereka atau yang dikuasakan. Dan sekarang,
ternyata Wanamerta yang memegang pusaka Kyai Bancak
itu berbicara atas nama Pemimpin tanah perdikan Banyu
Biru. Karena itu tak seorangpun yang berani melanggar
perintahnya. Panjawi yang sebenarnya sama sekali tidak
rela melepaskan Gajah Sora, menjadi gemetar tubuhnya.
Wajahnya jadi sebentar merah dan sebentar kemudian
memutih pucat hampir seperti mayat. Giginya terdengar
gemeretak dan pengertian perasaan yang bercampur aduk
antara marah, kecewa, dan bingung, tetapi juga kesadaran
dan pengertian bahwa apa yang dikatakan Gajah Sora
adalah benar. Sementara itu iring-iringan pasukan Demak itu berjalan
terus semakin jauh, meninggalkan kepulan debu putih yang
segera lenyap disapu angin pegunungan. Sebentar
kemudian pasukan yang membawa Ki Ageng Gajah Sora itu


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lenyap sedikit demi sedikit di tikungan, seperti ditelan oleh
anak pegunungan yang menonjol di hadapan laskar Banyu
Biru itu. Bersama dengan lenyapnya pasukan Demak itu
dari pemandangan mereka, terdengarlah Arya Salaka
terisak-isak. Wanamerta segera mendekatinya dan kembali
ia mencoba menenangkan Arya yang meskipun berusaha
menahan tangisnya tetapi akhirnya air matanya terurai
mengalir. Melihat hal itu hati Panjawi semakin bergelora,
meskipun ia sadar bahwa tak ada yang dapat dilakukan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Arya..., marilah kita pulang," kata Wanamerta lembut.
Dengan masih terisak, A rya menggelengkan kepalanya.
"Pulanglah, Arya..." sambung Mahesa Jenar, "Bukankah
ayahmu telah berpesan supaya kau menuruti nasehat
kakekmu Wanamerta?" Arya memandang Mahesa Jenar dengan mata merah
yang basah. Seolah-olah ia ingin menanyakan, kenapa
Mahesa Jenar tidak berbuat sesuatu untuk menyelamatkan
ayahnya. "Tidakkah Paman pulang ke Banyu Biru?" tanya Arya di
sela-sela isaknya. "Pasti, Arya," jawab Mahesa Jenar. "Aku akan pulang ke
Banyu Biru, tetapi berjalanlah dahulu, aku segera akan
menyusul." Sekali lagi Arya memandang kepada Mahesa Jenar
dengan penuh pertanyaan. Tetapi sejenak kemudian ia pun
menjadi agak tenang. Bersama-sama dengan Wanamerta,
Panjawi dan seluruh laskar Banyu Biru, Arya berjalan
kembali ke Banyu Biru, kecuali Mahesa Jenar. Kepada
Wanamerta, Panjawi dan Arya Salaka, Mahesa Jenar minta
izin untuk tinggal sebentar dan kemudian akan segera
menyusul kembali. Sepeninggal pasukan Banyu Biru, Mahesa Jenar
mengendarai kudanya perlahan-lahan di sepanjang lerenglereng bukit. Rasanya ada sesuatu yang tidak menentramkan hatinya. Firasatnya yang agak tajam
menangkap sesuatu yang tidak wajar akan terjadi.
Beberapa saat kemudian Mahesa Jenar muncul di
sebelah bukit yang menghalangi pandangannya, dan
kembali tampak debu berhamburan jauh di bawah kakinya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Itulah iring-iringan pasukan dari Demak. Tanpa disengaja,
kudanya dilarikan agak cepat ke arah yang sama dengan
pasukan itu. Jaraknya semakin lama semakin dekat. Tetapi
apabila jarak itu sudah terlalu dekat, maka memungkinkan
orang-orang Demak itu dapat melihatnya, sehingga segera
ia menghentikan kudanya dan berdiri di tempat yang agak
tersembunyi. Tetapi ketika sudah agak jauh dari Banyu Biru, tiba-tiba
darah Mahesa Jenar tersirat ketika melihat di lereng-lereng
bukit di sekitar jalan yang dilewati pasukan Demak itu
tampak bintik-bintik yang bergerak-gerak. Ia menjadi
curiga, dan dengan penuh perhatian dicobanya untuk
mengetahui apakah sebenarnya yang tampak bergerakgerak itu. Mahesa Jenar menjadi semakin terperanjat ketika
ia yakin bahwa bintik-bintik yang bergerak-gerak itu adalah
manusia-manusia yang bersenjata.
Tetapi sebelum sempat ia berbuat sesuatu, orang-orang
bersenjata yang bergerak-gerak di lereng-lereng bukit di
sekitar jalan itu telah mulai dengan sebuah serangan yang
melanda seperti air pasang. Inilah gelar Samodra Rob yang
menyerang gelombang demi gelombang dengan jumlah
pasukan yang besar. Dari jarak yang agak jauh, Mahesa Jenar melihat iringiringan pasukan Demak itu berhenti, dan sebentar
kemudian ia melihat gerakan yang cepat dari pasukan itu
menjadi sebuah gelar Gedong Minep. Ini agak aneh bagi
Mahesa Jenar, kenapa pasukan dari Demak itu mengambil
gelar yang sebenarnya kurang menguntungkan untuk
melawan gelar Samodra Rob. Tetapi, terlintaslah dalam
benak Mahesa Jenar, bahwa di dalam pasukan dari Demak
itu ada seorang yang akan dibawa menghadap kepada
Sultan Demak. Jadi pastilah bahwa pemimpin pasukan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
penyerang itu berusaha untuk membebaskan Gajah Sora.
Mendapat pikiran yang demikian, dada Mahesa Jenar
menjadi sesak. Tetapi sementara itu ia tidak dapat berbuat
sesuatu. Dalam hati Mahesa Jenar tersimpullah suatu
tafsiran bahwa ini adalah suatu kesengajaan dari pihakpihak yang ingin melihat suasana Banyu Biru menjadi
semakin keruh. Ternyata bahwa mereka telah menyiapkan
pasukan untuk bermacam-macam kemungkinan dan
kepentingan. Di lembah, di bawah lereng-lereng bukit Telamaya itu
segera terjadi suatu pertarungan yang sengit. Gelar
Samodra Rob itu bagai gelombang menghantam pasukan
dari Demak yang berada dalam kedudukan yang kurang
menguntungkan. Hal ini rupanya kemudian disadari
bahayanya. Maka dengan suatu gerakan melingkar,
pasukan Demak yang terlatih baik itu mengubah gelarnya
menjadi seolah-olah suatu permainan yang selalu bergerakgerak. Kedudukan mereka nampaknya menjadi sangat
lemah di bagian depan sehingga banyak lubang pertahanan
yang dengan mudahnya disusupi oleh penyerang. Tetapi
tidaklah demikian sebenarnya. Melihat perubahan itu,
Mahesa Jenar yang hanya dapat melihat dari jauh, menarik
nafas lega, seolah-olah ialah pemimpin pasukan dari Demak
itu. Dan segera tampak bahwa pasukan penyerang itu tidak
banyak dapat berbuat melawan satu pasukan yang teratur
baik dan terdiri dari orang-orang pilihan.
Pasukan Demak itu telah mengubah gelarnya menjadi
gelar Jurang Grawah. Gelar yang dapat menampung berapa
pun banyaknya air yang mengalir melandanya. Meskipun
serangan-serangan lawannya itu seolah-olah dengan mudah
dapat menyusup ke dalam gelar pasukan Demak, tetapi
demikian gelombang itu masuk, demikian gelombang itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dibinasakan oleh pasukan-pasukan yang justru berada di
garis kedua dan ketiga. Tetapi karena jumlah penyerangpenyerang itu sedemikian banyaknya, maka pertempuran
itu pun berlangsung dengan hebatnya.
Mahesa Jenar melihat pertempuran itu tanpa bergerak
dari punggung kudanya, seolah-olah ia terpaku di atasnya.
Meskipun hatinya bergelora hebat, ia hanya dapat menekan
dadanya dengan tangannya. Sebab dalam kedudukannya
yang sekarang, tidaklah mungkin ia turut campur. Tiba-tiba
tanpa disengaja, mata Mahesa Jenar merayap ke atas bukit
kecil di sebelah lembah, dimana pertempuran yang hebat
itu terjadi. Di sana, dilihatnya beberapa bayangan yang
ternyata adalah orang-orang berkuda. Cepat pikiran Mahesa
Jenar bekerja. Dan ia dapat mengambil kesimpulan bahwa
orang-orang itu pastilah dalang dari keributan ini. Karena
itu, ia bermaksud untuk mengetahui, siapakah kiranya yang
berdiri di atas bukit kecil itu.
Mendapat pikiran itu, terus saja Mahesa Jenar memutar
kudanya, dan dengan mengambil jalan melingkar ia menuju
ke arah bukit kecil, dimana orang-orang yang dicurigainya
itu berada. Dengan hati-hati ia berusaha untuk mendekati
orang itu dari arah belakang.
Maka setelah Mahesa Jenar berhasil mencapai bukit kecil
itu, ia segera turun dari kudanya dan menambatkannya
pada sebatang pohon dengan ikatan yang tidak begitu
keras, supaya apabila setiap saat diperlukan, tidak terlalu
sukar baginya untuk melepaskan tali itu.
Dengan hati-hati sekali ia merangkak naik dan selalu
berusaha untuk melindungi dirinya dengan batang-batang
pohon dan daun-daun yang rimbun. Bahkan kadang-kadang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ia memilih jalan menyusur tebing-tebing yang curam agar
tidak menarik perhatian. Di atas bukit itu ternyata beberapa orang berkuda yang
dengan saksama mengikuti jalannya pertempuran di
lembah. Mahesa Jenar yang dengan sangat hati-hati
berhasil mendekati mereka, segera mengenal siapakah
mereka itu. Pada saat Mahesa Jenar mengetahui orangorang yang berkuda itu, rasanya dirinya seperti terlempar
ke dalam sebuah khayalan yang sangat menakutkan dan
sukar untuk dipercaya. Karena itu jantungnya terasa seperti
berdentam-dentam tak keruan. Cepat ia berusaha
menguasai diri dan mengatur pernafasan untuk menenangkan dirinya. Meskipun demikian, ia menjadi
gemetar juga. Untunglah bahwa Mahesa Jenar adalah orang yang
cukup berpengalaman, sehingga apa yang dilakukan
bukanlah pencetusan perasaannya belaka, tetapi juga hasil
dari pemikirannya yang masak. Karena itu, meskipun di
hadapannya berdiri tokoh-tokoh yang seolah-olah merupakan kejadian yang hanya dapat terjadi di dalam
mimpi, namun ia tetap dapat mempergunakan pikirannya
dengan baik. Orang-orang berkuda itu adalah deretan dari tokoh-tokoh
yang dikenalnya sebagai tokoh-tokoh golongan hitam yang
cukup tangguh. Diantaranya adalah Lawa Ijo dan Padas
Gunung yang rupanya telah sembuh, Sepasang Uling dari
Rawa Pening, Suami-istri Sima Rodra, Jaka Soka dari
Nusakambangan, dan yang lebih mengejutkan hati Mahesa
Jenar adalah hadirnya Lembu Sora bersama-sama dengan
mereka. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dengan demikian maka apa yang terjadi di Banyu Biru
seolah-olah kini menjadi terang benderang baginya.
Berkumpulnya tokoh-tokoh itu adalah suatu petunjuk yang
jelas. Karena itu setelah ia mendapat kesimpulan dari
peristiwa yang tak tersangka itu, otaknya pun segera
bekerja keras. Yang harus diusahakan pertama-tama adalah
menarik pasukan-pasukan yang menyerang pasukan dari
Demak itu. Sesudah itu entahlah apa yang akan terjadi
dengan dirinya. Menilik tata tempat mereka berada, Mahesa
Jenar dapat mengambil kesimpulan, bahwa Lembu Sora
yang berada di tempat paling depan adalah orang yang
paling berkepentingan dengan pertempuran itu. Sedang
menurut perhitungan Mahesa Jenar, laskar yang paling
banyak dari para penyerang itu adalah laskar Lembu Sora.
Sekali lagi Mahesa Jenar melayangkan pandangannya ke
lembah yang semakin samar dilapisi debu yang mengepul
tinggi. Tetapi dengan jelas ia dapat menyaksikan
pertempuran yang semakin dahsyat. Laskar penyerang itu
kemudian hampir kehilangan pegangan, sehingga serangannya sudah mengarah ke gelar Gelatik Neba.
Melihat hal itu, maka Mahesa Jenar merasa perlu untuk
segera bertindak sebelum korban semakin banyak yang
jatuh. Bagi Lembu Sora dan orang-orang seperti Lawa Ijo
dan sebagainya, banyaknya korban tidak merupakan soal.
Yang penting, adalah maksud mereka tercapai. Setelah
berpikir berulang kali, dan menimbang untung-ruginya,
Mahesa Jenar memutuskan untuk mengambil jalan yang
sangat berbahaya. Sebab sudah tidak ada pilihan lain
baginya kecuali menempuh bahaya itu.
----------odwOkzo---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 7 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I Dengan lebih berhati-hati lagi Mahesa Jenar merangkak
semakin dekat dengan orang-orang berkuda. Untung
mereka terlalu asyik menyaksikan pertempuran di lembah,
sehingga kehadiran Mahesa Jenar sama sekali tak mereka
ketahui. Maka dengan suatu gerakan yang cepat sekali, seperti
harimau yang menerkam mangsanya, Mahesa Jenar sambil
menggeram meloncati Lembu Sora yang sama sekali tidak
menduganya. Karena itu, ia sama sekali tidak bersiaga, ia tidak dapat
berbuat sesuatu. Segera Mahesa Jenar mendekapnya dan
karena dorongan kekuatan loncatannya maka Mahesa Jenar
telah mendorong Lembu Sora sehingga keduanya jatuh
berguling dari atas kuda.
Mahesa Jenar yang telah memperhitungkan setiap
gerakannya dengan saksama, segera dapat menyesuaikan
diri dengan keadaan. Sebaliknya, Lembu Sora menjadi
bingung, dan untuk beberapa saat ia seperti kehilangan
pikirannya. Lembu Sora menjadi sadar ketika lengan Mahesa Jenar
yang kuat telah melingkari lehernya. Cepat tangan
kanannya bergerak meraba hulu kerisnya yang terselip di
lambung. Tetapi ia menjadi terkejut ketika keris itu sudah
tidak ada. Ketika Lembu Sora berusaha untuk mencapai tangkai
pedangnya, tiba-tiba terasa ujung sebuah senjata tajam
melekat di punggungnya. Tahulah ia sekarang bahwa orang
yang mendorongnya telah berhasil pula menghunus


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerisnya. Segera Lembu Sora menggigil karena marah,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
matanya merah menyala dan nafasnya mengalir bertambah
cepat. "Orang gila manakah yang telah melakukan pekerjaan
terkutuk ini?" kata Lembu Sora sambil menggeram.
Sementara itu, orang-orang lain yang menyaksikan
kejadian yang hanya sekejap itu menjadi tertegun. Sesaat
mereka pun menjadi kebingungan dan tidak tahu apa yang
dilakukan. Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar menjawab,
"Akulah, Mahesa Jenar."
"Kau orang Pandanaran...," desis Lembu Sora semakin
marah, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Sebab setiap
ia bergerak, keris yang menempel di punggungnya itu
terasa semakin menekan. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ya," jawab Mahesa Jenar singkat.
"Aku sudah menduga bahwa kau tidak berani berlaku
sebagai seorang jantan," sambung Lembu Sora.
"Aku hanya dapat berlaku jantan terhadap orang jantan
pula," jawab Mahesa Jenar.
"Kau kira aku tidak mampu membunuhmu kalau kau
menyerang aku berhadapan?" kata Lembu Sora hampir
berteriak. "Aku tidak peduli, tetapi membinasakan kakak kandung
dengan caramu itu, adalah bukan laku seorang jantan. Kau
bermaksud membinasakan pasukan Demak itu, dengan
harapan Gajah Sora yang tertuduh berbuat khianat dengan
menipu dan kemudian menjebak. Adakah itu laku seorang
jantan?" "Aku sedang berusaha membebaskannya," jawab Lembu
Sora. Mahesa Jenar memang sudah menduga bahwa Lembu
Sora pasti akan beralasan demikian. Karena itu ia
meneruskan, "Membebaskan Ki Ageng Gajah Sora dan
kemudian tidak memberinya tempat menetap karena ia
akan selalu diburu oleh alat-alat negara?"
"Ki Ageng Lembu Sora, kau tidak usah banyak bercerita.
Sekarang perintahkan orang-orangmu untuk menarik
laskarmu yang menyerang pasukan Demak itu."
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, Lembu Sora
terkedjut bukan buatan. Karena itu pula maka darahnya
menjadi semakin mendidih membakar hatinya.
Sementara itu, orang-orang yang menyaksikan peristiwa
itu telah mulai memiliki kesadarannya kembali. Dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bersamaan dengan itu pula mereka menjadi cemas sebab
sebagian dari mereka telah mengenal siapakah Mahesa
Jenar, bahkan Lawa Ijo, Wadas Gunung, Jaka Soka dan
Sima Rodra telah mengetahui sampai di mana kekuatan
Mahesa Jenar. "Mahesa Jenar..." jawab Lembu Sora, "Kau jangan
mencoba-coba menakut-nakuti aku dengan permainanmu
yang licik itu. Kau kira aku dapat kau paksa dengan caramu
yang murahan ini?" Mahesa Jenar tidak menjawab, tetapi keris di punggung
Lembu Sora itu semakin menekan, sehingga ia terpaksa
menahan napas. Kawan-kawan Lembu Sora hanya dapat menyaksikan
semuanya itu dengan hati yang berdebar-debar. Mereka
sama sekali tak berani berbuat sesuatu, sebab dengan
demikian berarti riwayat Lembu Sora akan berakhir.
Meskipun demikian, Lawa Ijo telah mencoba untuk
menyelamatkan jiwa Lembu Sora, katanya sambil tertawa
dalam, "Tuan, Rangga Tohjaya yang perwira. Aku telah
mengenal dan merasakan betapa dahsyatnya ilmu Tuan
yang dinamakan Sasra Birawa. Tetapi meskipun demikian
aku yakin kalau Tuan tak dapat mengalahkan kami semua
ini sekaligus" "Lawa Ijo..." jawab Mahesa Jenar, "Aku tidak merasa
bahwa aku akan dapat mengalahkan kalian. Yang penting
bagiku sekarang adalah Ki Ageng Lembu Sora memerintahkan orang-orangnya untuk menarik diri dari
pertempuran. Setelah itu, aku tidak tahu apakah yang akan
terjadi dengan diriku. Tetapi mudah-mudahan Ki Ageng
Lembu Sora akan menjadi pelindungku yang baik."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Kau gila!" bentak Lembu Sora. "Lepaskan aku, dan
marilah kita berhadapan sebagai orang-orang jantan."
"Itu adalah soal yang mudah," sahut Mahesa Jenar,
"Tetapi perintahkan orang-orangmu menarik diri."
Mendengar kata-kata itu Lembu Sora menjadi semakin
marah, sampai dadanya serasa akan pecah. Apalagi ketika
ujung keris itu serasa semakin menekan punggungnya.
Akhirnya ia tidak mempunyai pilihan lain, kecuali
menuruti permintaan Mahesa Jenar. Ditatapnya satu
persatu wajah-wajah yang kaku tegang di sekitarnya tanpa
mendapatkan suatu kesan apapun juga. Kemudian
berkatalah ia kepada salah seorang yang berkuda itu,
"Berilah tanda untuk menarik pasukan."
Orang yang diajaknya berbicara itu rupanya ragu-ragu.
Beberapa kali ia memandang berkeliling, dan seolah-olah ia
minta penjelasan dari setiap orang yang berada di situ.
Tetapi setiap wajah yang ditatapnya hanyalah mengesankan kebimbangan dan ketegangan. Sampai
akhirnya ia memandang wajah Jaka Soka. Hanya wajah
inilah yang berkesan lain. Mahesa Jenar yang pada saat itu
juga memandang Jaka Soka, melihat suatu perasaan yang
aneh. Apalagi ketika kemudian ia berkata kepada orang
yang memandangnya untuk mendapat penjelasan itu,
katanya, "Jenawi, tak usah kau beri tanda untuk menarik
pasukan" Semuanya yang mendengar kata-kata yang diucapkan
dengan jelas itu menjadi terkejut. Lebih-lebih Lembu Sora
sendiri, sampai ia membentak kepada Jaka Soka, "Apakah
maksudmu?" Tampaklah senyum menghias bibir Jaka Soka. Sedang
matanya yang redup itu memandang Lembu Sora dengan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sinar yang aneh. Pandangan yang demikianlah yang pernah
menarik Mahesa Jenar dalam suatu perjalanan menyeberang hutan Tambakbaya. Meskipun wajah Jaka
Soka itu cukup tampan dan bersih, namun wajah yang
demikian bagi Mahesa Jenar tidaklah lebih atau kurang
daripada wajah iblis yang paling berbahaya.
Mereka menjadi bertambah terkejut lagi ketika mereka
mendengar jawaban Jaka Soka atas pertanyaan Lembu
Sora, "Maksudku... Ki Ageng, tak usah laskar Ki Ageng itu
ditarik. Biarlah mereka membinasakan pasukan Demak itu.
Dengan demikian bukankah benar kata Rangga Tohjaya
atau Mahesa Jenar itu, bahwa Ki Ageng Gajah Sora tak
akan mendapat tempat lagi di dunia ini, sebab selalu akan
diburu oleh alat-alat negara. Syukur kalau segera ia dapat
tertangkap dan dihukum mati."
"Aku tidak berkata tentang Kakang Gajah Sora," potong
Lembu Sora, "Tetapi tentang aku sendiri."
Kembali Jaka Soka tersenyum, katanya, "Kalau kau juga
mati karena Mahesa Jenar, adalah baik sekali bagi kami.
Dengan demikian saingan kami telah berkurang satu orang
lagi" "Tutup mulutmu," bentak Lembu Sora sambil menggigil
karena marah yang tak tertahankan lagi, sambungnya,
"Kalau aku dapat lepas dari tangan pengecut ini, aku ingin
meremas mulutmu itu Jaka Soka."
Kembali terdengar Jaka Soka berkata di sela-sela
senyumnya, "Jangan marah Ki Ageng, dan jangan menyesal
atas nasib jelek yang kau alami."
Tubuh Lembu Sora, menjadi semakin menggigil, tetapi ia
tidak dapat berbuat apa-apa oleh tekanan keris Mahesa
Jenar. Sedang kawan-kawannya yang lain pun tidak kalah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terkejutnya mendengar kata-kata Jaka Soka itu, sampai
terdengar Uling Kuning yang kasar berkata, "Tidakkah kau
dapat diam Ular Laut gila?"
Mendengar kata-kata Uling Kuning itu, malahan Jaka
Soka tertawa lembut, jawabnya, "Jangan berpura-pura
Uling Kuning" "Atau akukah yang harus menutup mulutmu?" potong
Uling Kuning. Jaka Soka agaknya tidak senang mendengar kata-kata
Uling Kuning yang kasar itu, sehingga ia memutar kudanya
menghadap Uling Kuning, katanya, "Cobalah kalau kau
mau" Uling Kuning ternyata betul-betul orang yang kasar dan
terburu nafsu. Hampir saja ia mendera kudanya menyerang
Jaka Soka kalau saja kakaknya, Uling Putih tidak
mencegahnya, katanya, "Kenapa kau perlu mendengarkan
omongan orang gila itu?"
Terdengarlah Lawa Ijo menyambung, "Alangkah beraninya kalian. Tetapi apa yang dapat kalian perbuat atas
orang itu. Orang yang sudah jelas menghalangi usaha
kami?" Sejenak kemudian mereka semuanya saling berdiam diri.
Otak mereka bekerja keras untuk dapat mencapai suatu
penyelesaian tanpa merugikan diri sendiri. Tetapi kesepian
yang tegang itu kemudian tersobek oleh suara Mahesa
Jenar yang lantang, "Aku tidak peduli apakah kalian ini
sebenarnya sedang bersekutu atau sedang bersaing. Tetapi
sekali lagi aku minta, tariklah pasukan penyerang itu." Ia
mengakhiri kata-katanya sambil menekankan kerisnya lebih
keras lagi. Terdengar Ki Ageng Lembu Sora berdesis
perlahan. Kemudian katanya, "Kalian tak akan dapat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berbuat sesuatu atas tanah ini serta segala isinya tanpa
aku. Karena itu jangan halangi Jenawi memberi tanda untuk
menarik pasukan." Semua mata kemudian tertuju kepada Jaka Soka yang
masih dalam keadaan siaga untuk menghadapi Uling
Kuning. Tetapi sesaat kemudian tampaklah kembali sebuah
senyuman di bibirnya. Senyum iblisnya. Katanya, "Ruparupanya kalian lebih senang berpura-pura, meskipun kalian
sudah tahu akhir dari peristiwa ini. Baik mengenai tanah
perdikan Banyu Biru maupun mengenai Kyai Nagasasra dan
Kyai Sabuk Inten. Apakah kalian kira bahwa pertemuan
akhir tahun itu nanti akan dapat memberi kepuasan kita
semuanya" Itu adalah omong kosong yang besar. Kalian
tahu pasti bahwa Kyai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten itu
akan menuntut kematian demi kematian, sampai akhirnya
ia jatuh di tangan orang yang terkuat diantara kita, bahkan
guru-guru kita atau pendekar-pendekar angkatan tua itu.
Meskipun demikian aku akan tetap hadir di pertemuan akhir
tahun, yang sebenarnya tak berarti apa-apa itu. Nah
sekarang aku tidak mempunyai urusan lagi di sini. Aku akan
pergi saja, dan pulang ke Nusakambangan."
Setelah berkata demikian segera ia memutar kudanya
dan menderanya. Kuda itu segera meloncat dan berlari,
seperti gila, diikuti oleh dua orang berkuda yang berlari
menyusulnya. Kedua orang itu pasti pembantu-pembantu
kepercayaannya. Sejenak kemudian orang yang bernama Jenawi itu
bergerak maju. Sekali lagi ia masih memandangi setiap
wajah yang ada disitu. Sesudah tidak ada kesan-kesan lain,
maka segera ia mengambil sebuah bundaran logam yang
mengkilap. Dengan bermain-main sinar matahari yang
memantul dari logam itu, ia sebenarnya sedang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
memberikan aba-aba ke arah bukit di seberang tempat
pertempuran itu. Ternyata tanda-tanda yang dikirim lewat logam yang
mengkilap itu dapat sampai ke alamatnya. Dan karena
itulah kemudian dari balik gerumbul-gerumbul di lereng
sebelah, terdengar suara sangkakala mengumandang
dengan nyaringnya. Itulah aba-aba kepada para laskar
Lembu Sora yang bergabung dengan laskar-laskar para
tokoh hitam untuk mengundurkan diri. Tetapi yang
terbanyak dari laskar penyerang itu adalah laskar Lembu
Sora, sebab dialah yang merasa paling berkepentingan
dengan tanah perdikan Banyubiru.
Sebentar kemudian segera tampaklah perubahan pada
pertempuran yang berlangsung dengan hebatnya di
lembah. Pasukan gabungan yang menyerang pasukan
Demak itu segera berpencaran dan mengundurkan diri cerai
berai. Sebab sebenarnya mereka merasakan betapa
dahsyatnya bertempur pasukan-pasukan Wira Tamtama,
Wira Jala Pati, Nara Manggala, Manggala Sraya, dan lebihlebih kesatuan Manggala Pati yang mengawal Sang Saka
Gula Kelapa. Karena itu ketika mereka mendengar tanda untuk
mengundurkan diri, maka dengan tidak perlu diulang lagi,


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka telah saling berebut dahulu meloncat menjauhi
prajurit-prajurit Demak yang bertempur dengan semangat
yang tinggi sebagai pengemban kewajibannya, melindungi
ketenteraman negara. Sekali lagi bulu tengkuk Mahesa Jenar rasa-rasanya
tegak berdiri, ketika dilihatnya bendera-bendara Tunggul
Dahana, Sura Pati, Garuda Rekta dan Tunggul Mega tetap
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berkibar dengan megahnya, memagari Sang Saka Gula
Kelapa. Pasukan Demak yang menyaksikan penyerang- penyerangnya berlari cerai berai, ternyata sama sekali tidak
berusaha untuk mengejar atau menghancurkan dengan
senjata-senjata jarak jauh. Tetapi ketika pertempuran itu
telah reda segera pasukan Demak itu mengubah gelarnya
menjadi Gedong Minep kembali. Dan dalam gelar ini mereka
akan melanjutkan perjalanan kembali ke Demak. Beberapa
orang dari prajurit Demak itu segera merawat kawan-kawan
mereka yang terluka, malahan ada beberapa diantaranya
yang gugur, untuk dibawa bersama-sama dengan mereka.
Melihat kenyataan itu, meskipun korban dari kedua belah
pihak itu sama sekali tak seimbang, tetapi terlukanya
seorang saja dari prajurit Demak telah dapat menjadi sebab
murkanya Sultan Demak. Dan pasti Gajah Sora yang
menjadi tempat untuk menumpahkan segala kemurkaan itu.
Mengenangkan hal itu jantung Mahesa Jenar berdenyut
semakin cepat. Dan karena kenangannya yang melambung
itu pulalah, maka ia menjadi lengah.
Sebenarnya Lembu Sora bukan pula orang yang dapat
diremehkan. Bagaimanapun ia adalah putra Ki Ageng Sora
Dipayana, seperti juga Gajah Sora. Karena itu ia pun cukup
mempunyai kekuatan yang tidak dapat dianggap ringan.
Ketika tekanan ujung keris Mahesa Jenar tiba-tiba
mengendor, tahulah Lembu Sora bahwa perhatian Mahesa
Jenar hampir seluruhnya tertuju kepada pasukan-pasukan
di lembah. Entahlah, ia sedang menekuri kekalahan
pasukan gabungan itu, atau sedang berbangga hati karena
pasukan Demak masih tampak segar bugar, atau ia sedang
mengenangkan nasib Gajah Sora. Tetapi suatu kenyataan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bahwa Mahesa Jenar telah meninggalkan sikap hati-hati.
Karena itu Lembu Sora ingin mempergunakan kesempatan
ini sebaik-baiknya. Pada saat itu, pada saat Mahesa Jenar sedang hanyut
dalam arus kenangannya yang mengawang, tiba-tiba
Lembu Sora yang mempunyai kekuatan besar sekali itu,
menjatuhkan dirinya setelah dengan cepat sekali ia
merenggut lengan Mahesa Jenar yang melingkar di
lehernya. Demikian ia berguling di tanah, demikian kakinya
menyambar perut Mahesa Jenar yang agak kurang
bersiaga. Demikian keras tendangan Lembu Sora, juga karena
Mahesa Jenar sama sekali tidak menduga bahwa hal yang
demikian akan terjadi, maka segera ia terdorong ke
belakang beberapa langkah. Hanya karena keuletan serta
pengalamannya maka ia tidak sampai jatuh terlentang.
Malahan, meskipun mendadak, perut Mahesa Jenar terasa
mual dan sakit, namun ia segera dapat menguasai
keseimbangannya kembali. Meskipun demikian hatinya
berguncang karena terkejut. Juga orang-orang yang
menyaksikan peristiwa itu menjadi terkejut pula, tetapi
cepat mereka dapat menanggapi keadaan.
Karena itu, ketika mereka melihat Mahesa Jenar surut
beberapa langkah, serta segera dapat menguasai dirinya
kembali, mereka tidak mau memberi kesempatan sama
sekali. Lebih-lebih Lawa Ijo yang tahu pasti sampai dimana
kedahsyatan tangan Mahesa Jenar. Maka sebelum Mahesa
Jenar dapat menguasai diri sepenuhnya, Lawa Ijo mendera
kudanya, langsung menyerang Mahesa Jenar dengan tibatiba di tangannya telah tergenggam sebilah pisau belati
panjang yang putih mengkilap.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi ia menjadi gugup ketika dilihatnya, dalam sekejap
Mahesa Jenar telah berdiri dengan marahnya. Di atas satu
kakinya, tangan kirinya menyilang dada sedang tangan
kanannya terangkat tinggi- tinggi. Lawa Ijo telah mengenal
unsur gerak Mahesa Jenar yang demikian itu. Maka ketika ia
telah hampir sampai di hadapan Mahesa Jenar, dengan
kebingungan dan tanpa perhitungan ia meloncat dari
kudanya. Meskipun gerakannya itu sama sekali tak
dihitungkan dengan saksama, namun ia berhasil menyelamatkan nyawanya. Sebab pada saat itu benarbenar karena marah yang tak tertahankan Mahesa Jenar
telah memutuskan untuk melawan orang-orang itu dengan
Sasra Birawa yang menjadi andalannya. Tetapi pada saat ia
mengayunkan ilmunya, Lawa Ijo dengan gugup telah
menjatuhkan dirinya, sehingga tangannya tidak berhasil
menghancurkan dada Lawa Ijo. Tetapi pukulan Mahesa
Jenar itu telah mengenai punggung kuda Lawa Ijo, yang
kemudian dengan dahsyatnya kuda itu memekik tinggi,
tetapi sekejap kemudian seperti batu saja jatuh terguling
tak bernafas lagi. Tulang belakang kuda itu patah serta
beberapa tulang iganya remuk.
Melihat kedahsyatan pukulan Mahesa Jenar, semua yang
menyaksikan terguncang hatinya. Namun tak ada pilihan
lain dari mereka itu, kecuali melawan bersama-sama. Maka
dengan menggeram dahsyat Sima Rodra segera menyerang
dengan tombak pusakanya dan bersamaan dengan itu
sepasang Uling Rawa Pening pun telah mengayunkan
cambuknya. Cepat Mahesa Jenar meloncat undur untuk
menghindari tombak Sima Rodra yang menyambar dengan
dahsyatnya. Dan pada saat itu pula Lembu Sora telah
mencabut pedangnya yang berukuran luar biasa besarnya.
Tetapi meskipun ia masih belum berani mendekat. Baru
ketika Lawa Ijo telah bersiaga pula, mereka menyerang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bersama-sama dari arah yang berbeda-beda. Sebenarnya
untuk menghadapi sekian banyak tokoh-tokoh sakti itu
Mahesa Jenar merasa bahwa tenaganya tidak akan
mencukupi. Tetapi apapun yang terjadi, pantang ia
menghindari. Karena itu, segera ia menghimpun segenap
kekuatan yang ada padanya untuk dapat memberikan
perlawanan yang sebesar-besarnya. Dengan ayunan yang
deras sekali, Lembu Sora mengarahkan pedangnya ke leher
Mahesa Jenar, dan bersamaan dengan itu pula Lawa Ijo
menusuk ke arah lambung, untuk menangkap gerakan
Mahesa Jenar apabila ia menghindari sambaran pedang
Lembu Sora dengan merendahkan diri. Tetapi ternyata
Mahesa Jenar sama sekali tak menghindar dengan
merendahkan diri, bahkan dengan loncatan yang keras ia
menerkam Lawa Ijo. Gerakan ini sangat mengejutkannya,
sehingga dengan cepat ia menarik pisaunya dan segera
pisau itu dipergunakannya untuk melindungi dirinya dengan
gerakan-gerakan yang berputar. Tetapi Mahesa Jenar pun
segera mengurungkan serangannya. Sementara itu pedang
Lembu Sora yang berat telah berdesing di belakang
punggungnya. Cepat ia memutar tubuhnya dan dengan
dahsyatnya tangan Mahesa Jenar menyusul arah gerakan
pedang itu, dengan sisi telapak tangannya yang
berlandaskan ilmunya Sasra Birawa. Ternyata akibatnya
adalah hebat sekali. Pedang Lembu Sora adalah bukan
pedang sewajarnya. Tetapi adalah pedang yang dibuat
khusus untuknya, dengan ukuran yang tidak lazim, serta
dari baja pilihan. Tetapi demikian sisi telapak tangan
Mahesa Jenar menyentuh punggung pedang itu, terdengarlah gemeretak pedang itu patah dan disusul
dengan keluhan tertahan. Terasa betapa nyerinya tangan
Lembu Sora sampai pangkal pedang itu terlempar. Ia sama
sekali tidak menduga bahwa kedahsyatan ilmu Sasra Birawa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
itu mampu mematahkan pedangnya. Ketika ia melihat kuda
Lawa Ijo jatuh dan mati, ia masih belum begitu kagum,
meskipun hal itu telah mengejutkannya pula. Apalagi ia
tidak segera dapat menyaksikan bahwa pukulan Mahesa
Jenar itu telah meremukkan tulang-tulang iga kuda itu.
Karena terkejut, heran dan kagum campur-aduk, juga pada
saat itu ia teringat ceritera ayahnya tentang beberapa orang
sahabatnya, diantaranya adalah Ki Ageng Pengging Sepuh
yang terkenal dengan ilmu Sasra Birawa, Lembu Sora
menjadi seperti terpaku di tempatnya. Kesempatan itulah
yang akan dipergunakan oleh Mahesa Jenar. Ia sudah tidak
dapat memaafkan lagi kesalahan Lembu Sora yang sudah
sampai hati mengkhianati kakaknya. Maka segera ia
bersiaga dan bersiap meloncat ke arah Lembu Sora dengan
pukulan mautnya. Tetapi keadaan segera berubah dan
berselisih dengan rencananya. Mahesa Jenar pernah
melawan Wadas Gunung bersama dengan kira-kira 20
orang sekaligus, dan dengan suatu keyakinan yang penuh
ia akan dapat mengalahkan mereka. Sekarang ia
berhadapan tidak lebih dari 8 atau 9 orang. Tetapi mereka
bukanlah Wadas Gunung, Carang Lampit, Cemara Aking,
Bagolan dan sebagainya. Mereka yang dihadapi sekarang
adalah Lawa Ijo, Suami Isteri Sima Rodra, Sepasang Uling
dan Lembu Sora. Karena itu keadaannya akan sangat jauh
berbeda. Pada saat itu, pada saat ia telah mengambil suatu
kepastian akan dapat membalaskan sakit hati Gajah Sora,
mendadak ketika ia hampir meloncat, menyerbulah kuda
Suami-Istri Soma Rodra seperti gila menerjangnya. Dan
bersamaan dengan itu pula meluncurlah dua buah sinar
putih dari tangan Lawa Ijo dan Wadas Gunung. Meskipun
mereka tidak pernah bertempur berpasangan, tetapi karena
ilmu mereka cukup tinggi, mereka dengan mudahnya saling
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menyesuaikan diri dan saling mengisi. Demikianlah Sima
Rodra dan sebagainya telah bekerja mati-matian untuk
menyelamatkan Lembu Sora.
Mengalami serangan-serangan yang hampir bersamaan
itu, Mahesa Jenar terpaksa mengurungkan serangannya.
Dengan merendahkan diri dan memutar tubuhnya
sekaligus, ia berhasil menghindari serangan dua pisau Lawa
Ijo dan Wadas Gunung. Tetapi pada saat itu kuda suamiistri Sima Rodra telah demikian dekatnya. Untuk
menghindarkan diri dari injakan kaki kedua ekor kuda itu,
Mahesa Jenar terpaksa berguling-guling beberapa kali.
Dengan gerakannya itu, Mahesa Jenar berhasil menyelamatkan dirinya, tetapi serangan berikutnya telah
mendatanginya pula. Dengan cara yang sama dengan Sima
Rodra, Uling dari Rawa Pening menyerang berpasangan
pula. Serangan itu tidak kurang hebatnya. Ditambah lagi
dengan sepasang cambuk yang berdesing-desing di udara.
Agar tidak terinjak oleh kaki-kaki kuda itu, Mahesa Jenar
melenting jauh dan berusaha untuk tegak di atas kedua
kakinya. Tetapi malang bagi Mahesa Jenar. Ternyata ia
terlalu jauh meloncat, sehingga ketika ia tegak berdiri, ia
telah berada tepat di tepi jurang. Dan celakanya, tanah
tempat ia berpijak itu runtuh. Seperti terseret Mahesa Jenar
dengan cepatnya meluncur ke dalam jurang yang sangat
dalam. Peristiwa itu sama sekali tak terduga oleh siapapun.
Karena itu, mereka yang menyaksikan jadi terperanjat.
Serentak mereka berlarian ke tepi jurang itu untuk melihat
Mahesa Jenar tergulung ke bawah, dan sebentar kemudian
hilang ditelan semak-semak dan batang-batang ilalang yang
tumbuh di tepi-tepi jurang itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar sendiri merasa, seolah-olah telah terhisap
oleh suatu kekuatan raksasa sehingga tidak ada
kemungkinan untuk melawannya. Sesaat setelah ia
terguling, masih dilihatnya semua benda bergerak dengan
cepatnya ke atas, seolah-olah hendak terbang ke arah
matahari yang dengan megahnya mengapung di langit.
Tetapi sesaat kemudian terasalah dirinya membentur
sesuatu yang sangat keras sehingga seolah-olah Mahesa
Jenar terputar melintang dengan kepala ke bawah. Sesaat
kemudian ia menjadi sangat pening, pemandangannya
semakin kabur dan kabur. Akhirnya ia tidak tahu lagi
apakah yang terjadi seterusnya.
Lawan-lawan Mahesa Jenar yang berada di atas jurang
itu, setelah debar jantung mereka tenang kembali,
menjalarlah perasaan lega di dalam dada mereka. Sebab
apabila mereka terpaksa bertempur, meskipun mereka
bekerja bersama, pasti akan jatuh korban diantara mereka,
sebelum mereka dapat bersama-sama membinasakan
Mahesa Jenar. Meskipun demikian, mereka merasa betapa panas hati
mereka, karena dengan tindakannya yang luar biasa itu,
Mahesa Jenar telah menggagalkan maksud mereka untuk
menghancurkan tentara Demak, atau setidak-tidaknya
membuat tentara itu lumpuh, sehingga dengan demikian
hukuman yang akan dijatuhkan kepada Gajah Sora pasti


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat berat. Tetapi dengan serangan yang tak begitu
berarti itu, masih ada kemungkinan bagi Gajah Sora untuk
mengelakkan diri, atau malahan diantara para prajurit
Demak itu dapat memberikan keterangan bahwa serangan
itu bukan dari Laskar Banyubiru.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi bagaimanapun, usaha mereka ada juga hasilnya
meskipun hanya sedikit. Yang pasti adalah bahwa Gajah
Sora untuk beberapa saat tidak berada di Banyubiru.
Keadaan ini pasti akan dapat dipergunakan sebagai modal
untuk melaksanakan rencana-rencana yang akan disusun
kemudian. Karena itu, ketika sudah tidak ada lagi yang akan mereka
lakukan, serta mereka telah yakin bahwa Mahesa Jenar
tidak akan mungkin menyelamatkan diri dalam keadaan
yang demikian, maka segera mereka meninggalkan tempat
itu. Selanjutnya mereka menuju ke tempat yang telah
mereka tentukan sebagai tempat berkumpul bagi segenap
laskar gabungan. Namun bagaimanapun, kata-kata Uling Laut dari
Nusakambangan, Jaka Soka sebagai seorang pemimpin
Bajak Laut yang sangat ditakuti, membekas pula di dalam
otak mereka. Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten pasti
akan menuntut kematian demi kematian, sampai kedua
pusaka itu jatuh ke tangan orang yang terkuat. Dan
wajarlah apabila orang yang terkuat itu kemudian dapat
merajai golongannya. Demikianlah hampir sepanjang jalan tak seorang pun dari
mereka yang mengucapkan kata-kata. Mereka sedang sibuk
menaksir-naksir diri, menaksir-naksir kekuatan gerombolan
masing-masing serta orang-orang mereka yang dapat
mereka percaya. Sebab, akhirnya dalam tata pergaulan
yang tak terikat oleh hukum itu, kekuatan jasmaniahlah
yang akan dapat menentukan siapakah yang berkuasa.
Sementara itu, Laskar Banyubiru yang menarik diri
kembali, telah sampai di alun-alun Banyubiru. Wanamerta,
Panjawi, Arya Salaka dan beberapa pimpinan laskar yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
lain segera menghadap Nyai Ageng Gajah Sora dan
menceriterakan apa yang telah terjadi. Nyai Ageng
mendengarkan cerita itu dengan berdiam dan menundukkan kepala. Tetapi kemudian nampaklah butiranbutiran airmata setetes demi setetes jatuh di pangkuannya.
Sebenarnya ia adalah seorang wanita yang tabah, yang
sadar akan kedudukan suaminya sebagai seorang kepala
daerah perdikan yang sekaligus menjadi panglima
laskarnya. Namun mengalami peristiwa kali ini, Nyai Ageng
Gajah Sora tidak dapat menahan airmatanya. Bahkan
kemudian didekapnya Arya Salaka, anak laki-laki satusatunya, dan kemudian kepala anak itu ditekankan ke
dadanya seakan-akan tak ingin melepaskannya lagi.
Maka setelah cukup mereka memberikan laporan
mereka, Wanamerta dan kawan-kawannya segera mohon
diri untuk memberikan beberapa keterangan kepada laskar
Banyubiru yang masih berkumpul di alun-alun, dan yang
kemudian akan dibubarkan. Tetapi dalam keadaan ini
Wanamerta sadar bahwa Banyubiru harus tetap mempertinggi kewaspadaan, dan bahkan Wanamerta telah
mengambil keputusan untuk mengadakan persiapan yang
lebih saksama dengan mengadakan latihan-latihan keprajuritan. Sementara itu, matahari tetap beredar dalam garis
perjalanannya. Angin pegunungan yang sejuk bertiup
semakin sore semakin kencang, menggoyang pepohonan
dan merontokkan daun-daun kuning yang telah tidak dapat
berpegangan lebih erat lagi.
Pada saat itu, ketika Arya sedang duduk bertopang dagu
di atas tangga pendapa rumahnya, tiba-tiba ia dikejutkan
oleh seekor kuda abu-abu lengkap dengan pelananya,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tetapi tanpa penunggangnya. Kuda itu berjalan perlahanlahan memasuki halaman. Arya kenal betul bahwa kuda itu adalah kuda yang
dipergunakan oleh Mahesa Jenar, karena itu segera ia
berlari ke pintu gerbang untuk menengok apakah Mahesa
Jenar masih berada di luar halaman. Tetapi di luar gerbang
itu sama sekali tak ada seorangpun kecuali dua orang laskar
yang sedang berkawal. "Kau lihat kuda ini, Kakang?" tanya Arya kepada salah
seorang. "Ya, aku melihat," jawab orang itu.
"Tanpa penunggang?" tanya Arya lagi, menegaskan.
"Ya," jawab orang itu pula, "Kuda itu datang tanpa
penunggangnya." Segera Arya menjadi sangat cemas. Apakah yang telah
terjadi dengan Mahesa Jenar" Segera ia meloncat ke atas
punggung kuda itu dan dilarikan ke arah timur untuk
melihat barangkali Mahesa Jenar langsung pergi ke mata air
tempat ia biasa mandi. Tetapi hatinya menjadi kecewa
ketika di sanapun ia tidak melihat orang yang dicarinya.
Dengan perasaan yang semakin cemas segera Arya kembali
ke pendapa. Setelah itu ia meloncat turun, langsung berlari
ke pringgitan, dimana Wanamerta yang belum sampai hati
meninggalkan rumah itu, sedang tidur untuk melepaskan
lelah. "Eyang Wanamerta...!" teriak Arya, "Lihatlah ke
halaman." Wanamerta terkejut mendengar Arya berteriak. Segera ia
meloncat ke halaman dan apa yang dilihatnya adalah
seekor kuda abu-abu tanpa penunggang.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wanamerta pun kenal kuda itu, maka iapun menjadi
terkejut dan kemudian cemas. Katanya, "Adakah kuda ini
datang tanpa penunggangnya?"
"Ya, Eyang," jawab Arya. "Kuda itu datang tanpa
penunggang." "Dimanakah Anakmas Mahesa Jenar?" gerutu Wanamerta
seolah-olah kepada diri sendiri.
"Aku telah mencarinya ke belik tempat Paman Mahesa
Jenar sering mandi dan tidur di bawah beringin di lereng
sebelah, tetapi di sana Paman tidak ada," sahut Arya.
Wajah Wanamerta tampak berkerut-kerut. Ia agaknya
sedang berpikir dan kecemasan. Sesaat kemudian
dipanggilnya pengawal gerbang, perintahnya, "Panggil Adi
Pandan Kuning, Sawungrana, Bantaran serta Panjawi.
Suruhlah mereka membawa anak buah masing-masing 10
orang. Kami akan mencari Anakmas Mahesa Jenar. Mudahmudahan tidak ada apa-apa dengan anakmas itu."
Yang disuruhnya segera melangkah pergi dengan
tergesa-gesa ke kandang kuda, dimana kudanya ditambatkan. Dan sebentar kemudian orang itu telah
meluncur di atas punggung kudanya seperti dilemparkan.
Sebentar kemudian orang-orang yang dipanggil itu telah
lengkap berkumpul di pendapa. Mereka mendengar
keterangan singkat dari Wanamerta bahwa kuda abu-abu
yang dipergunakan Mahesa Jenar telah kembali tanpa
penunggangnya. Karena itu dicemaskan kalau Mahesa Jenar
telah menemui sesuatu kecelakaan. Padahal hadirnya
Mahesa Jenar di Banyubiru pada saat itu, pada saat Ki
Ageng Gajah Sora tidak ada, sangat diperlukan untuk
melindungi tanah perdikan yang sedang kehilangan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pemimpinnya, serta terancam bahaya dari segala penjuru
itu. Setelah mengadakan pembicaraan sebentar, maka
dibagilah pekerjaan mereka. Bantaran dan anakbuahnya
tetap berada di halaman itu, Sawungrana menjadi
penghubung di antara halaman itu dengan rombongan
pencari yang terdiri dari Wanamerta sendiri, Pandan
Kuning, Panjawi dan anak buahnya. Mereka masing-masing
telah menyiapkan alat-alat untuk mengirimkan tanda-tanda
bahaya apabila setiap saat diperlukan. Sementara itu para
penjaga pun telah diperintahkan untuk memukul tanda
supaya setiap laskar Banyubiru tetap dalam keadaan siap.
Ketika segala sesuatunya telah siap, maka segera
rombongan itu berangkat, disusul dengan rombongan
Sawungrana dengan arah yang sama, tetapi dengan
kecepatan yang lebih kecil. Mereka pertama-tama menuju
ke tempat mereka melihat Mahesa Jenar yang terakhir
kalinya, yaitu pada saat pasukan Banyubiru akan ditarik
kembali dari daerah pertempuran.
Sampai di tempat itu segera beberapa orang berusaha
untuk mendapatkan jejak kaki kuda. Dan ketika jejak itu
diketemukan maka mereka mencoba untuk mengikuti
dengan harapan dapat memecahkan teka-teki hilangnya
Mahesa Jenar. "Mudah-mudahan kuda itu hanya nakal saja sehingga
penunggangnya ditinggalnya lari," desis Wanamerta
perlahan-lahan. Tetapi nyata bahwa dibalik kata-katanya itu
tersembunyi suatu pergolakan perasaan yang dahsyat.
Dengan tekunnya mereka mencoba untuk mengikuti
terus jejak seekor kuda yang mereka sangka adalah kuda
yang dipakai oleh Mahesa Jenar, sebab arah kuda ini
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berbeda dengan arah kuda-kuda yang lain dari laskar
Banyubiru. Kalau jejak kuda yang lain berjalan ke arah
barat, maka jejak yang seekor berjalan kearah timur.
Mereka menemukan jejak ini berhenti di sebuah tempat
yang agak tinggi, dan yang kemudian melingkar menuju ke
sebuah bukit di sebelah lembah.
Tetapi mereka akhirnya menemukan jejak itu terputus.
Dan tahulah mereka bahwa kuda itu telah ditambatkan di
sebatang pohon. Dari tempat itu disebarlah beberapa orang
untuk menyelidik beberapa tempat dengan suatu harapan
bahwa mereka akan menjumpai Mahesa Jenar sedang
mencari kudanya. Tetapi yang mereka jumpai adalah mengejutkan sekali.
Beberapa orang yang tersebar itu ada yang sampai pada
bekas daerah pertempuran antara pasukan Demak dengan
laskar Lembu Sora. Di situ, mereka menemukan beberapa
bekas darah, senjata senjata yang tertinggal dan
sebagainya. Sedang orang lain, yang juga mencari Mahesa
Jenar telah sampai di atas gundukan tanah, dan mereka
pun menjumpai bekas-bekas perkelahian. Seekor kuda
ditemukan telah mati. Yaitu kuda Lawa Ijo yang telah
dibunuh oleh Mahesa Jenar dengan tangannya.
Wanamerta mendengar semua laporan itu dengan dahi
yang berkerut-kerut. Otaknya berputar seperti balingbaling. Ia tidak dapat mengambil kesimpulan apapun dari
apa yang telah disaksikan oleh anak buahnya. Tetapi yang
pasti adalah keadaan telah menjadi semakin gawat. Dan
sesuatu dapat terjadi atas Banyubiru. Maka terlintaslah
dalam angan-angannya bahaya dari segala penjuru siap
untuk menerkam tanah perdikan yang seolah-olah sedang
lumpuh itu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Setelah beberapa saat mereka tak mendapatkan suatu
hasil apapun, mereka segera kembali dengan hati gelisah.
Seruling Perak Sepasang Walet 4 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Kisah Sepasang Rajawali 8

Cari Blog Ini