Ceritasilat Novel Online

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 27

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 27


Bagolan, kecuali dalam kecepatan yang tinggi menurut
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
perhitungan yang tepat. Dan memang ia sedang menunggu
kesempatan itu. Kalau mungkin ia akan merampas bola-bola
besi lawannya. Tetapi Bagolan bukan anak-anak seperti
dirinya yang senang pada permainan aneh-aneh. Bagolan
adalah salah seorang dari gerombolan Lawa Ijo yang
menilai jiwa seseorang tidak lebih dari jiwa seekor katak.
Dengan uang beberapa keping ia sudah bersedia memotong
leher seseorang. Karena itu kali ini pun tidak ada soal lain
dalam benaknya kecuali melumatkan gadis kecil yang
banyak tingkah ini. Meskipun kadang timbul pula ingatan
Bagolan bahwa seorang kawannya memerlukan lawannya
itu. Namun seandainya ia berhasil menangkap hidup pun ia
pasti akan membuat perhitungan dengan Jadipa. Gadis
kecil harus ditukar sedikitnya dengan sebuah timang
bermata berlian tiga rantai seperti yang dirampoknya di
daerah Mangir beberapa bulan yang lalu. Tetapi ketika
Widuri itu bertempur semakin cepat, ingatannya tentang
timang bermata berlian tiga rangkai itu pun kabur. Yang
ada kemudian adalah ingatan tentang kepalanya sendiri
yang setiap saat terancam akan terlepas dari lehernya.
Wirasaba pun ternyata melihat kesulitan Mantingan.
Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Ia tidak dapat
meninggalkan lawannya yang pasti akan menyulitkan
kawan-kawannya yang lain. Meskipun ia telah berusaha
secepat-cepatnya menyelesaikan pertempuran, tetapi kedua
lawannya yang bernama Cemara Aking dan Ketapang itu
dapat memberikan perlawanan dengan gigih. Ternyata
kedua orang itu pun sekadar dapat memberikan perlawanan
dan mengikat Wirasaba dalam suatu pertempuran. Sebab
mereka berdua pun yakin bahwa mereka tidak akan dapat
mengalahkan Wirasaba. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Demikianlah ketika malam bertambah malam, pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Ketika tubuh
mereka telah dibasahi peluh yang mengalir dari setiap
lubang kulit, tandang mereka pun menjadi semakin keras.
Masing-masing kemudian bermaksud untuk segera mengakhiri pertempuran dan membinasakan lawan-lawan
mereka. Demikian juga Lawa Ijo yang semakin keras
menekan Ki Dalang Mantingan ke dalam keadaan yang
semakin berbahaya. Mantingan pun kemudian harus bekerja lebih keras lagi
untuk mempertahankan dirinya. Tetapi perasaannya kini
benar-benar telah bulat, bahwa ia harus menegakkan
kesetiakawanannya terhadap Mahesa Jenar, Arya Salaka
dan anak-anak Banyubiru. Apapun yang akan terjadi atas
dirinya. Karena itu ia sama sekali tidak gelisah, bingung dan
berkecil hati ketika tekanan-tekanan Lawa Ijo menjadi
semakin sengit. Namun justru karena itulah maka ia tetap
tenang dan menguasai dirinya sehingga ia tidak kehilangan
akal. Dengan demikian maka setidak-tidaknya ia akan dapat
memperpanjang waktu perlawanannya. Sebab dalam
keadaan-keadaan yang sangat sulit sekalipun, otaknya
masih cukup cerah untuk mencari jalan keluar dari bahaya
itu. Lawa Ijo lah yang justru menjadi gelisah dan marah. Ia
ingin segera membunuh lawannya. Namun sampai
beberapa lama usahanya selalu tidak berhasil. Karena itu,
dibakar oleh kemarahannya yang memuncak, tiba-tiba ia
berteriak nyaring. Kedua pisaunya disilangkan di atas
kepalanya, sedang dari matanya seolah-olah memancar api
yang menyala-nyala. Mantingan terkejut melihat sikap itu.
Ia masih belum tahu apa maksud dari gerakan-gerakan
yang aneh itu. Namun ia yakin bahwa Lawa Ijo sedang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
membuka ilmunya yang diandalkan. Dengan demikian
Mantingan semakin menyiagakan diri. Ia masih melihat Rara
Wilis dan Wirasaba melayani lawannya. Karena itu
bagaimanapun ia harus berusaha untuk menyelamatkan
mereka itu sampai mereka berhasil membunuh lawan-lawan
mereka, supaya mereka tidak ditelan oleh Lawa Ijo. Ketika
Lawa Ijo sudah siap untuk meloncat dan menyerangnya
kembali, Mantingan membelai trisulanya sekali lagi, seolaholah untuk yang terakhir kalinya. Ilmu Pacar Wutah-nya
sudah dikerahkan sejak lama sebelum Lawa Ijo
mempergunakan ilmu terakhirnya. Meskipun demikian ia tak
dapat mendesaknya. Apalagi sekarang, pada saat Lawa Ijo
sudah sampai pada puncak keganasannya. Waktu yang
diperlukan Lawa Ijo untuk memusatkan tenaganya tidaklah
lama. Beberapa kejap kemudian ia sudah meloncat kembali
dan menyerang Mantingan dengan sangat dahsyat.
Mantingan pun dengan mati-matian menggerakkan trisulanya dalam puncak ilmu pacar wutah. Namun hanya
sesaat saja ia mampu bertahan, sebab kemudian terasa
bahwa gerakan-gerakan Lawa Ijo memancarkan udara yang
amat panas. Mantingan sadar bahwa udara yang panas itu
adalah akibat dari ilmu Lawa Ijo yang dipancarkan oleh
kekuatan batinnya yang tinggi dan bersumber pada ilmu
hitam. Beberapa kali Mantingan terdesak. Bahkan kemudian
dengan garang Lawa Ijo meloncat memburu, didahului oleh
udara yang sangat panas. Kali ini Mantingan benar-benar
tidak melihat kemungkinan untuk mengelakkan diri. Udara
panas yang membakar dirinya, seolah-olah membuat
darahnya mendidih dan tak berdaya. Kakinya tiba-tiba
terasa lumpuh. Dalam keadaan demikian, ia hanya mampu
mengacungkan trisulanya lurus ke depan, ke arah Lawa ijo
yang seperti akan menerkamnya dengan dua pisau belati di
tangan. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Namun dalam keadaan yang sangat berbahaya itu tibatiba terdengarlah jerit ngeri. Yang kemudian disusul tubuh
yang jatuh terbanting. Lawa Ijo yang sudah yakin akan
dapat menembus dada Mantingan menjadi terkejut,
sehingga langkahnya terhenti. Ketika ia menoleh, dan juga
Mantingan sempat pula menoleh, dilihatnya Tembini
berguling-guling di tanah. Dari dadanya memancar darah
merah segar. Seleret pandang Rara Wilis menyambar wajah
Mantingan yang kosong. Sebenarnyalah bahwa Rara Wilis
melihat keadaan Mantingan yang berbahaya. Karena itu
sengaja ia berusaha sekuat tenaga untuk mempengaruhi
Lawa Ijo. Karena untuk melukai Wadas Gunung masih agak
sulit dan waktu yang terlalu sempit, akhirnya pedang Rara
Wilis terpusat ke arah dada Tembini. Untunglah bahwa
ketangkasannya mampu mendahului gerak Lawa Ijo yang
hampir saja menentukan batas umur Mantingan dengan
ilmu yang dinamai oleh Pasingsingan, Alas Kobar, sehingga
benar-benar jeritan Tembini dapat menghentikan langkah
terakhir Lawa Ijo. Melihat Tembini terbanting dan berguling-guling di tanah,
Lawa Ijo sama sekali tidak menaruh perhatian. Ia bahkan
menjadi semakin marah karena geraknya terganggu.
Karena itu dari mulutnya terdengar umpatan, "Persetan kau
Tembini. Matilah kau kelinci, dan kulitmu akan aku rentang
di depan regol sarang kita sebagai peringatan dari salah
seorang anggota Lawa Ijo yang memalukan."
Semua yang mendengar umpatan itu mau tak mau
meremang bulu kuduknya. Terhadap anggotanya sendiri,
Lawa Ijo dapat berbuat demikian, apalagi kepada lawanlawannya. Dalam pada itu Bagolan pun menjadi ngeri. Ia
tidak mau diperlakukan seperti Tembini. Apalagi lawannya
tidak lebih dari seorang gadis kecil. Tetapi bagaimanapun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Bagolan mengerahkan tenaganya, ternyata ia tidak dapat
mengatasi keadaan. Sebab rantai perak itu seperti selalu
meraung-raung di telinganya, menyambar-nyambar seperti
lalat yang dapat saja hinggap di mana-mana di bagian
tubuhnya dengan sesukanya. Memang, beberapa kali
Bagolan telah merasakan ujung rantai itu menyengat
tubuhnya. Sakit dan nyeri. Semakin lama semakin sering.
Dan ia tahu benar bahwa gadis kecil itu seperti sedang
bermain-main saja. Kalau akhirnya gadis itu bertempur
sebenarnya, maka benar-benar seluruh kulitnya akan
terkelupas habis. Dalam pada itu, kembali mata Lawa ijo yang memancar
merah menyambar wajah Mantingan. Dan kembali
kemarahan yang membakar dadanya terpancar dari mata
itu seperti terpancarnya api. Kali ini Lawa Ijo tidak mau
melepaskan korbannya lagi. Apapun yang terjadi. Meskipun
semua anggotanya akan berteriak bersama-sama dan mati
bersama-sama sekalipun. Ia akan membunuh Mantingan
untuk kemudian membunuh Wirasaba dan Arya Salaka.
Tetapi ketika ia sudah siap, tiba-tiba dilihatnya seorang
anak muda muncul dari kegelapan malam berjalan
seenaknya ke arahnya. Wajahnya yang cerah selalu dihiasi
oleh senyumnya yang manis. Dengan ramah kemudian
terdengar ia berkata, "Paman Mantingan, sebaiknya Paman
beristirahat untuk sementara. Meskipun aku harap Paman
untuk selalu mengawasi aku di sini. Beberaoa tahun yang
lampau aku mendengar guruku bertempur mati-matian
melawan Lawa Ijo di tengah-tengah hutan Tambakbaya.
Sekarang kurang lebih lima tahun kemudian, biarlah aku,
muridnya, mencoba kesaktiannya. Apakah benar aku telah
dapat memenuhi harapan guruku, mewarisi ilmunya untuk
sedikitnya seperti ilmu guru lima tahun lalu."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Melihat kedatangan anak muda dan mendengar katakatanya untuk mencoba melawannya, Lawa Ijo seperti
dihantam batu hitam sebesar kepalanya. Ia menjadi marah
sekali, sedemikian marahnya sehingga untuk beberapa saat
ia terpaku gemetar di tempatnya. Mantingan pun terheranheran mendengar permintaan Arya Salaka itu. Apakah
benar-benar ia akan melakukannya" Dalam pada itu
Mantingan pun kemudian menengok ke segenap arah untuk
mencari di manakah orang-orang yang baru saja bertempur
melawan Arya Salaka. Tetapi yang tampak hanyalah kegelapan malam. Di sanasini tampak beberapa orang yang terikat dalam pertempuran berpasang-pasang. Jaladri melawan Carang
lampit, Rara Wilis melawan Wadas Gunung, Wirasaba
melawan Cemara Aking dan Ketapang, sedangkan Widuri
melawan Bagolan. Karena keheranannya maka tanpa sengaja Mantingan
bertanya, "Di manakah lawan Angger tadi...?"
Arya Salaka masih saja tersenyum. "Aku terpaksa
membunuh mereka, paman. Karena ternyata sudah tidak
mau mendengar peringatanku. Bahkan mereka dengan
ganasnya mencoba membunuh aku pula."
"Kau bunuh mereka bertiga...?" Tiba-tiba terdengar Lawa
Ijo berteriak. "Maaf Lawa Ijo." jawab Arya Salaka. "Anak buahmu itu
terlalu keras kepala, Sekali lagi dada Lawa Ijo terguncang. Ketika ia
memandang berkeliling ia masih melihat Wadas Gunung,
Cemara Aking, Ketapang, Bagolan, Carang Lampit dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tembini yang terluka. Kalau demikian maka orang-orang
yang terbunuh itu adalah Bandotan, Jadipa dan seorang
kebanggaannya yang bernama Kyai Sada Gebang. Dengan
hampir tidak percaya Lawa Ijo sekali lagi berteriak, "Benar
kau lakukan pembunuhan itu?"
"Aku tidak bermaksud demikian Lawa Ijo. Aku sekadar
membela diri. Dan aku tidak melihat cara lain daripada
membinasakan mereka. Lebih-lebih orang setengah tua
berjanggut panjang dan bersenjata sepasang nenggala.
Ganasnya bukan main."
Tidak atas kehendaknya, Lawa Ijo berkata, "Ialah Kyai
Sada Gebang. Kau bunuh juga orang itu?"
Terpaksa, gumam Arya Salaka.
Mau tidak mau Lawa Ijo berpikir keras. Apakah ada
orang lain yang membantu anak muda itu sehingga ia
berhasil membunuh ketiga orangnya yang sama sekali
bukan orang-orang kebanyakan, Dan sekarang anak itu
datang menantangnya. Tiba-tiba timbullah dendam di
dalam hati Lawa Ijo. Dendam itu semakin lama semakin
membara dan menyala-nyala. Memang sejak semula ia
ingin membunuh anak muda itu untuk memadamkan
semangat perlawanan anak-anak Banyubiru. Sebab anakanak Banyubiru yang menyingkir ke daerah Gedong Sanga
inilah sebenarnya yang berbahaya bagi jalan yang
dirintisnya untuk menguasai seluruh daerah perdikan bekas
perdikan Pangrantun. Dan, sekarang anak itu telah datang kepadanya untuk
menyerahkan dirinya. Maka adalah suatu kebetulan bahwa
tanpa bersusah payah ia akan dapat mencapai maksudnya.
Karena itu dengan menggeram ia berkata, Arya Salaka,
kalau kau benar-benar dapat membunuh ketiga orangSH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
orangku tanpa bantuan orang lain, maka wajarlah kalau kau


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berani menantang aku. Tetapi kalau dalam perkelahian ini
kau akan terbunuh dengan sia-sia, maka jangan salahkan
aku. Bersama-sama dengan Mantingan, kepalamu akan aku
penggal dan akan aku pasang kelak di tengah-tengah alunalun Banyubiru. Dengan demikian apakah kira-kira rakyat
Banyubiru itu akan tetap setia kepadamu"
Arya Salaka tidak menjadi marah mendengar perkataan
kasar itu. Ia tahu dari gurunya, bahwa orang-orang
semacam Lawa Ijo itu memang selalu berkata kasar. Maka
dengan tenangnya ia menjawab, Jangan kau menakutnakuti aku Lawa Ijo. Kepalaku jangan sekali-kali kau
penggal, sebab alangkah sulitnya hidup tanpa kepala.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Gila! geramnya. Mendengar ejekan-ejekan Mantingan,
telinga Lawa Ijo telah terbakar hangus, apalagi sekarang
anak yang baru dapat tegak berdiri itu telah berani
menghinanya pula, menjawab pertanyaan-pertanyaannya
dengan cara yang sama. Karena itu Lawa Ijo sudah tidak
mau berkata lagi. Sebagai seorang maharaja di daerah alas
Mentaok, yang dilindungi oleh gurunya yang maha sakti dan
bernama Pasingsingan, Lawa Ijo tidak biasa membiarkan
dirinya dihina dan tidak biasa pula mencoba menahannahan kemarahannya. Kalau ia ingin membunuh, membunuhlah ia. Kalau ia ingin menyiksa, menyiksalah ia.
Kalau ia hanya sekadar ingin merampok, merampoklah ia.
Demikianlah kali ini, timbullah keinginannya untuk
membunuh dengan cara yang paling mengerikan. Ia
menganggap bahwa orang-orang itu sama sekali tidak
menghargainya, tidak merasa ketakutan kepadanya. Karena
itu mereka harus mendapat hukuman.
Dengan menggeram dahsyat ia menerkam Arya Salaka,
sekaligus dengan ilmunya Alas Kobar. Udara yang panas
seolah-olah memancar dari tubuhnya, melingkar ke segenap
penjuru di sekitarnya. Mantingan yang tidak mengalami
serangan Lawa Ijo itu pun merasakan betapa udara panas
itu telah membakar kulitnya. Bersama dengan itu, hatinya
pun terguncang keras. Apakah yang akan terjadi dengan
Arya Salaka" Mantingan sendiri mengalami kesulitan untuk
mempertahankan diri melawan Lawa Ijo. Tetapi hatinya
terlonjak ketika ia melihat Arya Salaka dengan tenangnya
dapat menghindarkan dirinya dari terkaman pisau Lawa Ijo.
Dengan tangkasnya ia berkisar ke samping, dan dengan
gerakan yang cepat dan lincah ia meloncat memutar
tombak pusakanya, langsung mengarah ke ulu hati
lawannya. Lawa Ijo pun terkejut melihat serangan itu. A nak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ini benar-benar seperti anak setan. Serangannya yang
dibarengi dengan ajinya Alas Kobar, masih sempat
dihindarinya. Sebenarnyalah bahwa Arya Salaka pun mula-mula
terkejut merasakan serangan udara panas itu. Namun tanpa
sesadarnya, udara yang panas itu lambat laun menjadi
sejuk dengan sendirinya. Setelah peluhnya mengalir dari
segenap lubang kulitnya, maka tubuhnya semakin merasa
segar. Ia tidak lagi terpengaruh oleh udara panas yang
secara bergelombang melibat dirinya. Ia sendiri tak
menyadari bahwa berkat pertolongan orang berjubah abuabulah, ia dapat membebaskan diri dari serangan aji Alas
Kobar yang ganas. Kekuatan-kekuatan yang ada di dalam
tubuh Arya Salaka, yang semula merupakan tenaga
cadangan untuk menembus urat-urat darahnya di
permukaan kulit untuk melawan rangsang dari luar, kini
telah bebas. Kekuatan-kekuatan itu dapat dipergunakan
untuk keperluan-keperluan khusus. Adalah suatu kurnia
baginya, bahwa ia telah berhasil mengatur jalan
pernafasannya serta jalur-jalur urat-urat di tubuhnya
dengan baik menurut petunjuk Kebo Kanigara, yang
disangkanya untuk mendasari ilmunya Sasra Birawa, disusul
dengan usaha orang berjubah abu-abu yang telah
membuka segenap simpanan kekuatan di dalam tubuhnya.
Demikianlah, maka Arya Salaka seolah-olah telah dapat
membebaskan dirinya dari gangguan simpul-simpul perasa
dari seluruh permukaan kulitnya. Meskipun ia tidak menjadi
kebal dari serangan senjata, namun dalam saat-saat
tertentu dengan sendirinya ia berhasil mengurangi segenap
perasaan yang ditimbulkan oleh simpul-simpul perasa itu.
Sebenarnyalah, bahwa seseorang dengan mengatur
pernafasannya dengan baik, pemusatan pikiran dan
kehendak, percaya kepada kebenaran atas tindakannya,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dan pasrah setulus-tulusnya kepada Tuhan Yang Maha
Besar, dapatlah kiranya orang menyingkirkan diri dari
kesadaran perasaan yang ditimbulkan oleh wujud
jasmaniahnya. Sehingga akhirnya orang dapat menguasai
ujud jasmaniahnya sendiri.
Dalam keadaan yang demikianlah Arya Salaka bertempur
dengan gigihnya melawan Lawa Ijo. Sebagai seorang
pemuda yang sedang berkembang, ia memiliki semangat
yang luar biasa. Otot-ototnya yang mulai tampak berjalurjalur di bawah kulitnya telah membentuk tubuhnya menjadi
bertambah serasi dengan wajahnya yang keras penuh daya
juang dan penuh harapan bagi masa depan.
Mantingan melihat pertempuran itu seperti terpaku di
tempatnya. Mimpi pun tidak, bahwa ia akan berkesempatan
menyaksikan Arya Salaka bertempur melawan Lawa Ijo
dalam keadaan sedemikian baiknya. Ia sama sekali tidak
menyangka bahwa Arya Salaka telah berhasil menempa
dirinya menjadi seorang anak muda perkasa. Yang mau
tidak mau harus diakuinya bahwa anak itu telah
melampauinya, dan menempatkan dirinya sejajar dengan
tokoh hitam yang terkenal itu. Bahkan ternyata bahwa Arya
Salaka sama sekali tidak mengalami kesulitan dalam
pertempuran itu, meskipun ia harus melawan ilmu Lawa Ijo
yang memancarkan panas, sepanas api.
Mantingan tersadar ketika beberapa kali udara panas
melanda dirinya. Karena itu segera ia melangkah surut
menjauhi titik pertempuran itu dengan pertanyaan di dalam
dirinya. Apakah sebabnya maka Arya Salaka seolah-olah
sama sekali tidak merasakan sentuhan-sentuhan udara
panas itu. Meskipun demikian Mantingan belum berani
meninggalkan Arya Salaka bertempur di luar pengawasannya. Kalau terjadi sesuatu atas anak itu, maka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mantingan-lah yang bertanggungjawab sepenuhnya. Sedangkan untuk ikut serta di dalam pertempuran itu,
Mantingan tidak sampai hati. Ia tidak melihat keharusan
untuk bertempur berpasangan melawan Lawa Ijo, meskipun
ia yakin bahwa seandainya ia ikut serta maka pasti ia
berdua dengan Arya Salaka akan segera dapat memenangkan pertempuran itu, meskipun barangkali
tubuhnya akan hangus oleh pancaran panas dari tubuh
Lawa Ijo. Karena itu Mantingan hanya dapat melihat saja
pertempuran itu dengan penuh minat, meskipun trisulanya
tetap tergenggam erat di tangan. Ia kemudian menjadi
bangga ketika melihat Arya Salaka bertempur dengan
gagahnya, menyambar-nyambar seperti burung rajawali
raksasa. Tetapi Lawa Ijo pun lincah. Ia benar-benar dapat
bergerak seperti kelelawar di dalam gelap. Matanya menjadi
bercahaya seperti mata serigala. Dengan menggeram
dahsyat sekali ia bertempur semakin ganas. Namun
demikian di dalam hatinya terseliplah pertanyaan yang
membelit-belit dirinya. Seperti juga Mantingan, Lawa Ijo
menjadi heran, kenapa anak muda itu dapat membebaskan
dirinya dari pengaruh ilmu Alas Kobar.
Ketika Lawa Ijo tidak dapat menemukan jawab atas
pertanyaan itu, justru ia menjadi semakin marah. Geraknya
menjadi semakin ganas. Mirip seperti serigala kelaparan, ia
merangsang lawannya dengan rakusnya. Kedua pisau
belatinya berkilat-kilat menyambar-nyambar seperti sepasang halilintar, yang dipakai Dewa Pencabut Nyawa
seperti dalam ceritera pewayangan. Tetapi Arya Salaka pun
tangguh bukan kepalang. Tombaknya dapat melindungi
tubuhnya rapat sekali. Sedang gumpalan bayangan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tombaknya itu bergulung-gulung seperti awan gelap yang
siap menelan apa saja yang menghalangi jalannya.
Demikianlah, pertempuran itu berlangsung dengan
dahsyatnya. Lawa Ijo, murid terkasih hantu bertopeng,
melawan Arya Salaka. Dalam dunia pengembaraannya,
Lawa Ijo telah banyak memiliki pengalaman yang dahsyat
dan mengerikan. Telah beberapa puluh orang yang cukup
terkenal dilawan dan dibunuhnya. Telah beberapa daerah
perdikan yang didatanginya dan bertekuk lutut menyerahkan segala harta kekayaannya. Tetal beberapa
kali ia berhasil meloloskan diri dari jaring-jaring yang
dipasang oleh para pejabat keamanan dari Kerajaan
Demak. Namun ia masih tetap pada pekerjaannya.
Merampok. Membunuh. Dan yang terakhir, terbersitlah
kemauan Lawa Ijo untuk menundukkan perdikan Banyubiru.
Apalagi ketika tersiar berita untuk kedua kalinya, bahwa
Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten tersimpan di daerah
itu. Ketika itu ia bersepakat dengan kawan-kawan
segolongannya untuk bersama-sama menghancurkan Banyubiru. Meskipun mereka yakin, bahwa setelah itu akan
terjadi saling mendesak dan saling membunuh diantara
golongan hitam itu sendiri.
Namun tiba-tiba rintisan usahanya itu terbentur hanya
karena Arya Salaka datang kembali ke tanah perdikannya.
Apakah sebenarnya arti dari anak ini" Tetapi ia sekarang
menghadapi suatu kenyataan bahwa Arya Salaka yang
masih muda itu memiliki kekuatan yang harus diperhitungkan. Dengan demikian maka dada Lawa Ijo
menjadi semakin bergolak. Dengan darah yang mendidih ia
mengerahkan segenap kekuatannya dengan dilambari oleh
ilmunya Alas Kobar untuk membinasakan anak itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Namum, Arya Salaka bukanlah seekor cacing yang hanya
mampu melingkarkan diri. Lebih dari lima tahun ia telah
membajakan dirinya, dipadu dengan tubuhnya yang sedang
mekar dalam umurnya yang muda itu. Maka ia adalah
seorang anak muda yang luar biasa. Ia memiliki
ketangkasan, ketangguhan dan kelincahan yang dapat
menyamai Lawa Ijo. Bahkan apapun yang dapat dilakukan
oleh Lawa Ijo, dapat disejajari oleh lawannya yang muda
itu. Dengan demikian Lawa Ijo menjadi bertambah marah,
bahkan akhirnya ia kehilangan kesabaran dan perhitungan.
Apalagi ketika sekali-kali ia sempat melihat lingkaranlingkaran pertempuran yang lain. Tak ada tanda-tanda
sama sekali bahwa anak buahnya dapat mengatasi
keadaan. Wadas Gunung, adik seperguruannya ternyata
semakin sulit keadaannya. Ia hanya dapat berkisar mundur
dan mundur. Tanpa Tembini, bagi Wilis, Wadas Gunung
sama sekali tidak berarti, meskipun untuk membunuhnya
tidak pula terlalu mudah. Sedang Wirasaba masih
bertempur pula dengan garangnya. Kapaknya terayun-ayun
menakutkan. Di kejauhan tampak Widuri berdiri tegak
dengan rantai berputar di tangan kanannya. Bagolan yang
berdiri beberapa langkah di mukanya hanya berkisar-kisar
saja. Dengan tertawa-tawa Widuri membiarkan Bagolan
menyerangnya. Tetapi untuk beberapa lama Bagolan sama
sekali tak berani mendekati gadis kecil dengan rantai
berputar itu. Seperti seekor ayam jantan yang takut
menghadapi lawannya, ia berkisar berputar-putar. Namun
kemana ia pergi, Widuri selalu menghadapinya. Akhirnya
Bagolan menjadi marah juga. Marah, malu dan segala
macam perasaan bercampur baur. Kedua bola besi
bertangkai ditangannya telah basah karena peluhnya.
Dengan gemetar ia menggigit bibirnya. Sekali-sekali ia ingin
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
meloncat dan memukul hancur gadis itu. Tetapi setelah
sekian lama ia bertempur, ia mengetahui benar bahwa
gadis kecil itu telah memiliki kesempurnaan dalam bermain

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

main dengan rantainya. Sehingga yang dapat diperbuatnya
hanyalah mengumpat-umpat di dalam hati tak habishabisnya. Kalau saja Widuri menyerangnya, Bagolan akan
mendapat kesempatan pada perubahan-perubahan gerak
gadis itu. Tetapi ternyata Widuri masih berdiri saja di
tempatnya. Tetapi justru karena itu Bagolan merasa malam itu
tegang sekali. Keningnya berkerut-kerut dan nafasnya
terdengar berkejaran. Ia ingin berbuat sesuatu, tetapi tidak
dapat. Karena itulah maka ia menjadi seperti cacing
kepanasan. Lawa Ijo sendiri akhirnya merasa, bahwa Arya Salaka
ternyata jauh meleset dari anggapannya. Anak muda itu
bertempur dengan tangkasnya. Apa yang dilakukan oleh
anak muda itu benar-benar seperti apa yang dilakukan oleh
Mahesa Jenar beberapa tahun yang lalu di hutan Tambak
Baya. Ketangkasan, ketangguhan dan ketrampilan. Bahkan
sekarang, ketika ia telah dapat melengkapi ilmunya dengan
ilmu pamungkasnya Alas Kobar, anak itu sama sekali tidak
menemui kesulitan apa-apa, sehingga menurut penilaian
Lawa Ijo, Arya Salaka sekarang telah lebih jauh maju dari
Mahesa Jenar lima tahun yang lalu.
Disamping perasaan marah, timbul pula sepercik
pertanyaan di dalam dada hantu Mentaok itu. Kalau
muridnya telah berhasil menguasai ilmu sedemikian
tingginya, lalu bagaimana dengan Mahesa Jenar sendiri.
Sementara itu Arya Salaka bertempur terus dengan
cepatnya. Karena ia pernah mendengar, bahwa Lawa Ijo
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
memiliki ilmu yang tinggi, maka ia tidak berani berjuang
dengan separoh hati. Dan sekarang ternyata apa yang
pernah didengarnya itu adalah benar. Ia pernah bertempur
dan bahkan membunuh sepasang Uling dari Rawa Pening.
Namun ternyata Lawa Ijo mempunyai kelebihan dari
mereka. Tetapi Arya Salaka tidak tahu bahwa ilmu Alas
Kobar-lah yang agak mengganggu dirinya, karena sebagian
kekuatan cadangannya tersalur untuk melawan kekuatan
pancaran panas sehingga kulitnya tidak hangus karenanya,
disamping tata pernafasannya yang sempurna serta
kebulatan pikiran dan tekadnya, serta pasrah diri setulustulusnya kepada Yang Maha Besar. Maka hal yang demikian
itulah yang telah mengurangi gangguan-gangguan perasaan pada bentuk jasmaniahnya.
Lawa Ijo semakin lama menjadi semakin ganas. Ia sama
sekali tidak peduli ketika didengarnya sekali lagi sebuah
teriakan nyaring dari mulut orang yang bernama Ketapang,
karena goresan kapak Wirasaba. Bahkan ia kemudian tidak
sadar ketika di sekeliling titik pertempuran itu telah berdiri
berjajar-jajar Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri
disamping Mantingan. Mereka telah kehilangan lawan-lawan
mereka, karena melarikan diri. Tetapi sebenarnya Lawa Ijo
sendirilah yang telah mengeluarkan perintah itu. Perintah
untuk meninggalkan gelanggang, sebab ia yakin kalau anak
buahnya bertempur semakin lama, mereka pasti akan
binasa. Dengan sebuah suitan yang tak dimengerti oleh
orang lain, Lawa Ijo membenarkan anak buahnya untuk
menyingkir. Tetapi ia sendiri sama sekali belum bermaksud meninggalkan pertempuran itu. Ia benar-benar ingin
membunuh Arya Salaka. Ia mengenal sifat-sifat kesatria
dari lawan-lawannya itu. Karena sifat-sifat itu maka mereka
pasti tidak akan menyerangnya bersama-sama. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Perhitungan-perhitungan yang licik ini pun bagi Lawa Ijo
tidak ada halangan apapun. Ia dapat berbuat apa saja
untuk mencapai maksudnya. Dan ternyata perhitungannya
kali ini pun benar. Rara Wilis, Widuri, Mantingan dan
Wirasaba bahkan kemudian juga Jaladri, hanya berdiri
dengan tegang mengamati pertempuran itu dengan
seksama, meskipun di tangan mereka tetap tergenggam
senjata masing-masing. Bahkan ujung pedang Rara Wilis
itupun meskipun menunduk ke tanah, namun tetap
bergetaran, siap untuk menembus dada hantu dari Mentaok
itu. Namun mereka seakan-akan terpesona melihat pertempuran itu. Meskipun mereka tidak merasa curang,
apabila mereka bersama-sama menangkap Lawa Ijo itu,
namun tiba-tiba di dalam hati mereka timbullah keinginan
mereka untuk membiarkan Arya Salaka bertempur sendiri.
Sedang Lawa Ijo yang ingin meyakinkan dirinya, bahwa
ia mengharap untuk dibiarkan bertempur sendiri, kemudian
berkata, "Hai betina-betina dari Banyubiru... kenapa kalian
tidak maju bersama-sama" Jangan berpura-pura bersikap
jantan dengan membiarkan anak kecil ini menjadi korban
kesombongan kalian."
Dari jajaran para penonton itu terdengar Mantingan
menjawab, "Lawa Ijo, jangan pergunakan cara yang
berpura-pura untuk menyelamatan diri. Jangan pula
berbicara tentang kejantanan. Dan apakah salahnya kalau
kami bersama-sama dan beramai-ramai menangkapmu"
Bukankah kau telah dengan sembunyi-sembunyi memasuki
perkemahan kami" Tetapi biarlah untuk sementara kami
ingin melihat kau bertempur."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Hati Lawa Ijo menjadi bertambah panas. Tetapi ia tidak
dapat berbuat banyak. Meskipun orang-orang lain tidak ikut
membantu Arya bertempur, namun senjata-senjata mereka
yang telah siap itu pun sangat mempengaruhinya. Apalagi
memang sebenarnyalah bahwa ia tidak akan dapat
mengalahkan anak muda ini, meskipun anak muda ini pun
mempunyai harapan yang kecil saja untuk mengalahkannya. Namun sebagai seorang tokoh yang namanya telah
bersemayam di dalam hati rakyat di sekitar hutan Mentaok,
maka ia pun menjadi malu atas dirinya sendiri.
Mula-mula Mantingan dan kawan-kawannya menjadi
heran, apakah maksud Lawa Ijo dengan memperpanjang
pertempuran itu. Sebab mereka sudah pasti dan Lawa Ijo
sendiri juga sudah pasti bahwa ia tidak akan dapat
mengalahkan Arya Salaka. Tetapi kenapa ia tidak saja
melarikan diri seperti kawan-kawannya" Pertanyaan itu
akhirnya memenuhi rongga dada Mantingan. Karena itu ia
pun menjadi bertambah waspada. Apakah kawan-kawan
Lawa Ijo pergi untuk memanggil kawan-kawannya.
Kemudian dengan berbisik-bisik disampaikanlah kecurigaannya itu kepada Wirasaba, yang ternyata
sependapat pula. Apalagi kemudian di kejauhan terdengarlah suatu suitan nyaring. Nyaring sekali seperti
suara hantu kehilangan anaknya. Suara suitan itu kemudian
disahut pula dengan suara lain yang lebih jauh tetapi
dengan nada yang lebih tinggi.
Mantingan melihat sesuatu tidak pada tempatnya. Karena
itu, ia tidak dapat membiarkan pertempuran itu lebih lama
lagi. Dengan lantang terdengarlah ia memerintah, "Tangkap
iblis dari Mentaok ini."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Rara Wilis, Widuri, Jaladri dan Wirasaba segera
berloncatan mengepung Lawa Ijo yang tinggal bertempur
seorang diri. Untuk beberapa saat Lawa Ijo meloncat surut
dan berhenti bertempur. Dengan mata yang liar ia
memandang berkeliling, seolah-olah ia sedang mencari
kelemahan dari kepungan itu. Ketika matanya menyambar
wajah Jaladri, ia berharap untuk dapat menembus di sisi itu.
Tetapi tiba-tiba Lawa Ijo melihat Wirasaba merapatkan
dirinya. Kemudian matanya berkisar pada Widuri. Ah, anak
ini bukan main. Wajahnya yang mungil itu tampak cerah,
secerah bintang. Diam-diam Lawa Ijo mengaguminya.
Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengagumi
kecantikan gadis kecil itu.
Dalam kegelisahan, tiba-tiba Lawa Ijo mengangkat
kepalanya letika sekali lagi mendengar sebuat suitan. Dekat
di samping mereka berdiri.
Mendengar suitan itu, tiba-tiba wajah Lawa Ijo menjadi
terang kembali. Tampaklah kemudian sebuah senyuman
menghias bibirnya. Sebaliknya, orang-orang yang mengepungnya menjadi
terkejut karenanya. Mereka sadar bahwa suara itu
mempunyai arti yang penting sekali bagi Lawa Ijo dan
bahkan bagi perkemahan anak-anak Banyubiru itu. Karena
itu, tanpa bersepakat, mereka bersama-sama menyiagakan
diri untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang
lebih berbahaya. ----------o-dwkz-0-arema-o---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
III Dan apa yang mereka cemaskan itu terjadi. Dalam
keremangan cahaya bintang yang lemah, tampaklah sebuah
bayangan seperti bayangan hantu yang melayang-layang
memasuki gelanggang dan kemudian berdiri tegak
disamping Lawa Ijo. Bayangan dari seorang yang berjubah
abu-abu serta menyembunyikan wajahnya dibalik sebuah
topeng yang kasar dan jelek.
"Pasingsingan...!"
Hampir setiap mulut berdesis mengucapkan nama yang mengerikan itu.
Terdengar Pasingsingan tertawa pendek. Kemudian
seperti bergulung-gulung di dalam perutnya ia berkata,
"Apakah yang telah kalian lakukan terhadap Lawa Ijo?"
Pertanyaan itu sederhana sekali, namun di dalamnya
terkandung suatu tuntutan yang dalam. Dalam kalimat yang
sederhana itu Pasingsingan telah menyatakan maksud
kedatangannya. Menuntut bela terhadap murid serta anak
buahnya. Apalagi kemudian terdengar ia bergumam, "Kalian
telah melakukan beberapa kesalahan."
Setiap dada menjadi terguncang karenanya. Mereka
semua telah mengenal, setidak-tidaknya mendengar nama
Pasingsingan. Karena itu, mau tidak mau meremanglah
tengkuk mereka melihat orang yang bernama Pasingsingan
itu berdiri di hadapan mereka dengan sebuah tuntutan yang
mengerikan. Tetapi mereka tidak akan dapat berbuat lain
daripada mengangkat dada mereka sebagai jantan sejati.
Sebab mereka yakin bahwa mereka berbuat diatas
kebenaran, diatas suatu pengabdian yang tulus. Karena itu
kemudian terdengar Mantingan menjawab, "Tidak ada
sesuatu yang kami lakukan terhadap murid Tuan, selain
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengucapkan selamat datang di perkemahan kami, dengan
cara yang disenangi oleh murid Tuan sendiri."
"Hem..." terdengar Pasingsingan mendengus. "Kau tahu
dengan siapakah kau sekarang berhadapan...?"
"Bukankah Tuan yang bergelar Pasingsingan?" jawab
Mantingan. "Bagus!" sahut Pasingsingan dengan suara yang dalam.
"Kalau demikian kalian harus bersikap baik. Jawab semua
pertanyaanku dengan baik pula."
Mantingan mengangguk. "Nah," dengus Pasingsingan dari belakang topengnya.
"Kenapa kalian melakukan pembunuhan terhadap anak
buah Lawa Ijo?" Mantingan menarik nafas panjang. Ia tahu bahwa
Pasingsingan sedang mencari sebab untuk melakukan
pembalasan. Namun demikian ia menjawab. "Kami sama
sekali tidak melakukan pembunuhan tuan. Yang kami
lakukan adalah suatu cara untuk menyelamatkan diri kami."
"Omong kosong" bentak Pasingsingan. "Apapun alasanmu tetapi beberapa orang anak buah Lawa Ijo itu
terbunuh." "Lalu apakah yang sebaiknya tuan lakukan seandainya
seseorang ingin membunuh tuan?" sahut Mantingan.
Untuk beberapa lama Pasingsingan tidak berkata
sesuatu. Namun nampaklah dadanya bergelombang oleh
nafasnya yang memburu. Kemudian dengan lantang ia


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata. "Kaukah yang bernama Mantingan, dalang
Mantingan." "Ya" jawab Mantingan pendek.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Mulutmu terlalu tajam. Karena itu mulutmu itulah yang
pertama-tama akan aku hancurkan" berkata Pasingsingan
perlahan-lahan tetapi mengandung suatu tekanan yang
dahsyat. Mantingan menarik nafas sekali lagi. "Apaboleh buat"
pikirnya. Tetapi dalam pada itu, yang lainpun tidak tinggal
diam. Meskipun Rara Wilis adalah seorang gadis, namun
darah Pandan Alas yang mengalir ditubuhnya telah
menjadikannya seorang gadis yang tabah dan berani.
Meskipun ia menyadari, betapa tinggi ilmu Pasingsingan itu,
namun tidaklah sepantasnya bahwa tetesan darah Gunung
Kidul itu akan bertekuk lutut untuk dipenggal lehernya.
Karena itu ujung pedangnya nampak semakin bergetar
sejalan dengan debar jantungnya yang bertambah cepat.
Bahkan kemudian terdengar suaranya gemetar. "Tuan,
adakah tuan ingin ikut dalam permainan anak-anak ini"."
Juga pertanyaan Rara Wilis itu sederhana, sama
sederhananya dengan pertanyaan Pasingsingan yang
pertama. Tetapi juga didalam kata-kata itu terkandung
suatu tantangan yang dalam. Tantangan bagi kejantanan
Lawa Ijo dan Pasingsingan sendiri. Tetapi ternyata Lawa Ijo
bukan seorang jantan. Ia adalah seorang yang licik, yang
dapat menganggap suatu cara apapun dapat dibenarkan
untuk mencapai maksudnya. Karena itu ialah yang
menjawab pertanyaan Rara Wilis. "Adakah pertanyaan itu
sebagai suatu permintaan ampun dari guru, Rara Wilis?"
Dada Rara Wilis tergoncang. Ia merasa tersinggung oleh
jawaban itu. Namun Wirasaba yang tinggi hati telah
mendahuluinya menjawab. "Dibelakang sayap indukmu kau
masih mampu tertawa Lawa Ijo. Tetapi kami sama sekali
tidak seperti orang yang terkenal dengan sebutan iblis alas
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mentaok, yang ternyata tidak lebih dari seekor anak ayam
yang ketakutan melihat bilalang terbang."
"Diam" bentak Lawa Ijo marah. Tetapi suaranya tiba-tiba
tenggelam dalam derai tawa Endang Widuri. Semua yang
mendengar suara tertawa itu terkejut. Bahkan Pasingsingan
tertarik sekali pada suara itu. Baginya adalah aneh sekali,
kalau dalam keadaan yang demikian, masih ada orang yang
berani memperdengarkan tertawanya.
"Aneh" kata Widuri dalam nada kekanak-kanakan.
"Seorang yang bertubuh gagah kekar, berkumis sebesar
lenganku ini, tiba-tiba tanpa malu-malu bersembunyi
dibelakang punggung gurunya. Bukankah itu suatu
tontonan yang lucu."
Darah Lawa Ijo yang sudah mendidih sejak semula itu
terasa seperti diaduk. Tetapi ketika dipandangnya wajah
gadis kecil yang cerah itu, terasa sesuatu yang aneh
meraba-raba dadanya. Tiba-tiba saja seperti bintang yang
jatuh dari langit, terbesitlah jauh disudut relung hatinya,
yang selama ini seolah-olah tak pernah tampak olehnya,
suatu perasaan yang menyenangkan, apabila iamempunyai
anak seperti Widuri itu. Seorang anak yang manis, berani
dan tangkas. Tetapi berbedalah tanggapan Pasingsingan. Ia
merasa seolah-olah gadis kecil yang menghinanya pula.
Dengan menggeram ia berkata. "Siapakah kau?"
"Seorang yang bergelar Pasingsingan pasti sudah tahu,
siapakah yang sedang berdiri dihadapannya" jawab Widuri
tanpa takut-takut. Sekali lagi Pasingsingan menggeram karena kemarahan
yang sudah hampir memuncak.
Mendengar Pasingsingan menggeram sedemikian dahsyatnya, tegaklah bulu roma mereka yang SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mendengarnya kecuali Widuri. Ia masih saja tersenyum
seperti tidak terjadi sesuatu. Meskipun sebenarnya didalam
hatinya memercik juga kecemasannya atas sikap Pasingsingan itu, namun sebenarnyalah ia memiliki sikap
tenang seperti ayahnya. Karena sikap Widuri itulah maka
Pasingsingan menjadi bertambah marah lagi. Ia merasa
terhina oleh seorang anak kecil yang sengaja merendahkannya. Karena itu ia tidak bersabar lagi. Sebagai
seorang penjahat yang telah berpuluh bahkan ratusan kali
membunuh, maka ia sama sekali tidak lagi punya hati
terhadap calon korbannya. Demikian juga terhadap Widuri.
Meskipun ia melihat betapa gadis itu masih sedang tumbuh,
namun ia telah dibakar oleh kemarahannya. Maka dengan
suara yang bergetar ia berkata. "Gadis kecil yang tak tahu
diri. Apakah kau telah mempunyai nyawa yang rangkap,
sehingga berani menghina Pasingsingan" Karena itu kaulah
yang pertama-tama akan menerima hukuman". Sehabis
kalimat itu, mulailah Pasingsingan bergerak kearah Endang
Widuri. Kembali semua orang yang menyaksikan, hatinya
berdesir. Tetapi mereka tidak mau membiarkan peristiwa
yang mengerikan itu terjadi. Serentak tanpa berjanji lebih
dahulu, berloncatanlah semua orang menghadang dihadapan Endang Widuri. Mantingan dengan trisulanya
yang sudah mengarah kedada Pasingsingan, Rara Wilis
dengan pedang tipisnya yang dipegangnya lurus-lurus
kedepan. Disampingnya berdiri Arya Salaka dengan wajah
yang tegang dan dengan tangan yang gemetar menggenggam Kiai Bancak. Disebelahnya Wirasaba dengan
kapak raksasanya yang sudah tersandang dipundaknya siap
untuk diayunkan sedang diujung berdiri Jaladri erat-erat
memegang canggah andalannya. Melihat sikap orangorang itu, Pasingsingan berhenti. Tetapi sebagai seorang
yang berilmu tinggi, ia sama sekali tidak takut menghadapi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
barisan kelinci-kelinci itu. Bahkan terdengarlah suara
tertawanya bergumam di belakang topengnya. Kemudian
terdengar Pasingsingan berkata, "Bagus.... Aku puji
kesetiakawanan kalian. Tetapi kalian tidak akan dapat
menghalangi aku untuk membunuh gadis gila itu." Ternyata
Pasingsingan siap untuk melakukan kata-katanya. Tetapi
terjadilah sesuatu diluar dugaan. Dalam ketegangan itu
terdengar Lawa Ijo berkata, "Guru... ampunilah gadis kecil
itu." Pasingsingan terkejut mendengar kata-kata muridnya.
Ketika ia menoleh, dilihatnya Lawa Ijo rapat berdiri di
belakangnya. Bahkan tidak saja Pasingsingan, tetapi semua
orang terkejut dan heran mendengar kata-kata itu.
Sehingga terdengarlah Pasingsingan bertanya, "Apa yang
kau katakan itu Lawa Ijo?"
"Ampunilah gadis kecil itu," ulang Lawa Ijo.
"Apa kepentinganmu?" tanya Pasingsingan pula.
Lawa Ijo diam. Tetapi ia menundukkan wajahnya.
Wajahnya yang buas dan liar itu. Namun anehlah bahwa
matanya yang menyala-nyala seperti mata serigala itu tibatiba menjadi suram. Beberapa kali ia memandang wajah
Widuri, hanya untuk seleret pandang. Tetapi ia tidak berani
memandang wajah gurunya. Pasingsingan menjadi semakin heran. Selama hidupnya,
sejak istri dan anaknya meninggal, Lawa Ijo tidak pernah
menaruh perhatian kepada perempuan. Tiba-tiba sekarang
ia merasa sayang kepada gadis kecil itu. Suasana kemudian
dicekam oleh keheningan. Namun setiap dada dipenuhi oleh
ketegangan yang memuncak. Di kejauhan terdengar
gonggongan anjing-anjing liar, berebut makan, disusul oleh
teriakan serigala lapar. Beberapa kali terdengar pula gema
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
raung harimau memecah malam. Angin pegunungan
mengusap tubuh mereka, meresapkan udara dingin.
Kata-kata Lawa Ijo itu ternyata menyebabkan Pasingsingan ragu-ragu untuk bertindak. Ia masih berdiri
saja seperti patung. Patung iblis yang menakutkan. Dalam
keheningan itu terdengarlah suara Lawa Ijo memecah sepi.
"Tetapi kalau guru akan bertindak terhadap yang lain, aku
tidak berkeberatan."
Terdengar nafas berat berdesis lewat hidung Pasingsingan. Sekali lagi ia menoleh kepada muridnya. Dan
sekali lagi ia bertanya, "Apa kepentinganmu atas gadis itu?"
Lawa Ijo menggeleng. "Tak ada," jawabnya.
Sekali lagi jawaban Lawa Ijo itu mengherankan mereka
yang mendengarnya. Bahkan Widuri sendiri menjadi heran.
Dalam pada itu, keragu-raguan Pasingsingan itu telah
mengubah segala keadaan. Kalau semula semua penghuni
perkemahan itu sudah tidak mempunyai harapan untuk
membebaskan diri dari tangan hantu itu, tiba-tiba
terperciklah setitik cahaya terang di dalam dada mereka.
Lamat-lamat di kejauhan, dibawa desir angin malam,
terdengarlah derap beberapa ekor kuda. Mereka berharap,
mudah-mudahan mereka itulah Mahesa Jenar bersama
Kebo Kanigara dan kawan-kawannya. Dengan orang-orang
itu, mereka tidak lagi merupakan umpan-umpan yang sama
sekali tak berarti bagi Pasingsingan. Ditambah dengan
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan beberapa orang lagi,
mereka mengharap untuk setidak-tidaknya dapat mengimbangi hantu bertopeng itu.
Pasingsingan pun mendengar derap kuda itu. Namun ia
tahu pula, bahwa suara itu masih jauh sekali. Dalam malam
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang sepi, suara yang lambat dan jauh pun akan dapat
dikumandangkan oleh tebing-tebing jurang dan kemudian
dapat mencapai daerah-daerah ketinggian seperti daerah di
sekitar candi Gedong Sanga ini. Dengan telinganya yang
tajam, Pasingsingan memperhatikan suara itu dengan
seksama. Wajahnya yang terangkat, seolah-olah dapat
membuat perhitungan yang tepat, kira-kira sejauh berapa
tonggak sumber suara telapak kuda itu. Ketika ia kemudian
yakin akan pendengarannya, berkatalah ia, "Masih jauh.
Waktu masih cukup banyak untuk memusnahkan kalian.
Nah, bersiaplah untuk menghadapi saat terakhir. Melawan
atau tidak melawan, akan sama saja akibatnya bagi kalian."
Kemudian kepada Lawa Ijo ia berkata, "Usahakan supaya
orang-orang berkuda itu agak lambat datang. Pergilah
dengan orang-orangmu yang masih ada."
"Baik guru," jawab Lawa Ijo. Tetapi sekali lagi matanya
menatap wajah Endang Widuri.
"Aku sisakan gadis kecil itu. Atau akan kau bawa dia?"
Tanya Pasingsingan. Lawa Ijo menggeleng. "Aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Aku hanya ingin Guru mengampuninya." "Pergilah," dengus Pasingsingan.
Dalam sekejap meloncatlah Lawa Ijo hilang ditelan tabir
hitamnya malam. Yang tinggal kemudian hanyalah orang
berjubah abu-abu dan bertopeng seperti iblis itu.
Harapan yang semula timbul di dalam dada mereka
untuk dapat bertempur bersama-sama dengan Mahesa
Jenar, Kebo Kanigara dan yang lain-lain, kini telah pudar
kembali. Meskipun mereka masih belum dapat menjajagi,
sampai di mana tingkat ilmu Mahesa Jenar kini, namun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semakin banyak jumlah mereka, semakin kuat pula
perlawanan yang dapat mereka berikan.
Sementara itu suara kuda di kejauhan masih saja
melingkar-lingkar di dalam lembah, seolah-olah tidak
menjadi bertambah dekat. Kemudian mereka pun sadar
bahwa jalan yang harus ditempuh oleh orang-orang
berkuda itu pun melingkar-lingkar seperti ular. Karena itu
akhirnya mereka kembali kepada kepercayaan diri. Kepada
senjata-senjata mereka yang tergenggam di tangan
mereka. Lebih daripada itu, mereka percaya kepada
kekuasaan Yang Maha Tinggi.
Demikianlah mereka dengan dada yang berdebar-debar
melihat Pasingsingan itu bergerak perlahan-lahan. Tangan
Pasingsingan mulai dikembangkan seperti hendak menerkam. Kemudian dengan cepat sekali ia meloncat ke
samping, untuk kemudian menyerang dengan cepatnya ke
arah Dalang Mantingan. Tetapi orang-orang itupun
bukanlah orang-orang yang tak berdaya sama sekali.
Segera mereka berloncatan untuk memencar diri dan
menyerang bersama-sama dari segenap penjuru.
Terhadap mereka itupun ternyata Pasingsingan tidak
dapat menganggap remeh. Ia menggeram sekali lagi
dengan kerasnya. Seperti kilat ia dengan sangat lincah
menghindari setiap senjata yang tertuju kepadanya. Untuk
kemudian menggeliat dengan cepatnya dan melenting
seperti terlempar dari tempatnya berdiri untuk mencapai
daerah diluar lingkaran kepungan lawan-lawannya. Mantingan dan kawan-kawan berdesir melihat cara
Pasingsingan bergerak. Benar-benar seperti singgat, namun
kadang-kadang seperti ular, dan sekali-sekali seperti asap
yang dapat melayang-layang di udara. Mereka diam-diam
mengeluh di dalam hati. Dan terasalah di dalam hati kecil
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mereka bahwa mereka tak akan mampu untuk memberi
perlawanan yang cukup lama sampai Mahesa Jenar tiba.
Apalagi mereka tahu bahwa Lawa Ijo dan kawan-kawannya
telah ditugaskan oleh gurunya untuk menghadang dan
memperlambat perjalanan rombongan berkuda itu. Tetapi
bagaimanapun juga, mereka akan memberikan perlawanan
sekuat tenaga mereka sampai orang yang terakhir. Sebab
lebih baik mati dengan tangan terentang, daripada mati
dengan tangan bersilang di dada. Karena itu seperti angin
pusaran mereka menyerang Pasingsingan berputar. Meskipun mereka tidak pernah mengadakan persiapan
untuk melakukan pertempuran bersama, namun karena
pengalaman mereka masing-masing, segera mereka dapat
menyesuaikan diri. Ternyata gerak mereka dapat sedikit
menolong memperpanjang waktu. Mula-mula Pasingsingan
pun agak sulit untuk dapat mengadakan serangan terhadap
rombongan yang berputar sambil menyerang berganti-ganti
dari segenap arah itu. Namun akhirnya Pasingsingan dapat
pula menyesuaikan diri. Ia pun kemudian ikut berputar pula
mengikuti putaran lawan-lawannya dan menyerang pada
tempat yang tepat. Dalang Mantingan. Untunglah bahwa
Rara Wilis yang berdiri di belakang Dalang Mantingan itu,
sehingga pedangnya dapat membantu melawan iblis yang
mengerikan itu, disamping serangan-serangan yang lincah
dilancarkan Arya Salaka dari arah yang lain. Dalam pada itu
sekali lagi Pasingsingan melenting sambil menyerang
Jaladri. Dengan cepat Jaladri menjatuhkan dirinya untuk
menghindari sambaran tangan Pasingsingan sambil mengacungkan senjatanya. Tetapi dengan demikian
pertahanannya terbuka, sehingga sekali lagi Pasingsingan
berhasil meloloskan diri dari kepungan, meskipun Wirasaba
telah mencoba menyerangnya ketika Pasingsingan sedang
terapung di udara. Tetapi kapak raksasanya itu terayun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menebas angin. Dengan menggeliat Pasingsingan berhasil
menghindari sambaran kapak itu. Namun sayang bahwa
demikian kakinya menjejak tanah, terasalah angin
menyentuh kulitnya. Belum lagi ia berhasil menghindar,
terasalah sebuah benda menyambarnya. Cepat ia berusaha
memutar tubuhnya di atas satu kakinya. Sehingga
sambaran senjata itu hanya menyentuh jubahnya. Ketika ia
sudah siap untuk menyerang kembali, dilihatnya rantai
perak berputar seperti baling-baling. Rantai itu pulalah yang
telah menyentuh jubahnya. Sekali lagi Pasingsingan
berdesis marah. Tetapi demikian ia siap untuk menyerang
dari bawah ke arah tubuh Endang Widuri, teringatlah ia
akan pesan muridnya, sehingga maksudnya terpaksa
diurungkan. Namun ia menjadi semakin marah. Terasa
sesuatu menyumbat dadanya, sehingga terdengarlah
giginya gemeretak. Dengan demikian ia mencari saluran
untuk memuntahkan kemarahannya itu. Ia merasa
tersinggung sekali, bahwa rombongan kelinci itu berhasil
mengenainya, meskipun hanya jubahnya. Dalam kemarahan yang memuncak itu, tiba-tiba dengan cepatnya
tangan Pasingsingan bergerak seperti orang menabur
benih. Dan bersamaan dengan itu memancarlah cahaya
kekuning-kuningan ke segenap penjuru. Ternyata di tangan
iblis itu tergenggam sebuah pisau belati panjang yang
berwarna kuning keemasan. Itulah pusaka Pasingsingan
yang bernama Kyai Suluh. Dengan senjata itu di tangan,
terdengarlah Pasingsingan bergumam, "Aku masih berbaik
hati kepada kalian. Kalau aku ingin membunuh kalian,
dengan senjata ini. Aku dapat membakar tubuh kalian
seperti membakar jangkrik dengan ilmu Alas Kobar."
Mau tidak mau hati mereka tergetar melihat cahaya
gemerlapan yang memancar dari senjata Pasingsingan itu.
Meskipun di malam yang gelap, namun pantulan cahaya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
bintang-bintang di langit telah mampu untuk menyilaukan
mata. Tetapi meskipun demikian, sekali lagi, mereka
bertekad untuk bertempur sampai tenaga terakhir, sampai
tetes darah terakhir pula.
Pasingsingan kini tidak mau memperpanjang waktu lagi.
Ia sudah tidak mendengar derap kuda yang melingkarlingkar di lembah. Pasti orang-orang berkuda itu telah
terlibat dalam pertempuran melawan Lawa Ijo. Pasingsingan mengharap Lawa Ijo dan kawan-kawannya
dapat memberinya waktu. Karena itu, waktu yang sempit ini
harus dipergunakan sebaik-baiknya. Demikianlah akhirnya
terdengar dari mulut Pasingsingan itu suitan nyaring, dan
bersamaan dengan itu melontarlah tubuhnya seperti
bayangan hantu di malam yang kelam menyerang dengan
dahsyatnya. Tak seorang pun yang mengharap dapat keluar dari
pertempuran itu. Karena itu, malahan mereka menjadi
tenang dan bertempur mati-matian. Kalau mungkin mereka
akan membawa iblis itu hancur bersama dengan mereka.
Tetapi ketika senjata-senjata mereka sekali saja
bersentuhan dengan pusaka Pasingsingan, terasa tangan
mereka bergetaran keras, dan perasaan sakit menjalar
kesegenap tubuh mereka. Tetapi ketika saat yang memuncak itu hampir sampai
pada titik tertinggi, mereka mendengar derap orang berlari.
Disusul dengan sebuah sapa yang tergesa-gesa, "Selamat
malam Pasingsingan muda, yang pernah bergelar
Umbaran." Pasingsingan terkejut mendengar sapa itu. Apalagi ketika
ia mendengar orang itu menyebut nama Umbaran. Karena
itu, sedemikian terkejutnya hantu berjubah abu-abu itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terloncat mundur beberapa langkah dan dengan sikap yang
menakutkan ia memutar tubuhnya ke arah suara sapa yang
telah mengganggunya itu. Kemudian tampaklah dalam kegelapan malam, seseorang
tersembul dengan cepat dari balik pepohonan. Dengan
langkah yang tergesa-gesa pula ia berjalan mendekat
lingkaran pertempuran itu. Bersamaan dengan itu hampir
setiap mulut menyebut nama orang itu dengan penuh
harapan dan kegembiraan yang membersit di dalam dada
mereka. Bahkan terdengar Pasingsingan bergumam di belakang
topeng jeleknya, "Mahesa Jenar."
"Ya," jawab orang itu. "Hampir aku terlambat datang."
Pasingsingan memandang Mahesa Jenar dengan seksama. Ia heran bahwa Mahesa Jenar berhasil muncul
dalam waktu jauh lebih cepat dari perhitungannya. Ia
mengharap Lawa Ijo setidak-tidaknya dapat menahannya,
untuk waktu yang cukup baginya membunuh orang-orang
yang telah menyakitkan hatinya itu.
Namun agaknya Pasingsingan salah hitung.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bukanlah anak-anak
yang dapat diberinya sekadar permainan untuk melupakan
ibunya yang sedang pergi. Demikianlah, dalam perjalanan
pulang, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan kawannya
seolah-olah telah mendapat suatu firasat yang kurang baik.
Dengan kencangnya mereka memacu kuda mereka seperti
anak panah. Mereka menjadi tidak tenang, serasa
meninggalkan anak-anak bermain di tepi sungai. Karena itu
maka yang tergores di dalam angan-angan mereka, adalah
secepatnya sampai ke Candi Gedong Sanga.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Apalagi ketika mereka sampai ke lembah di hadapan
daerah perkemahan mereka. Kebo Kanigara ternyata
mempunyai perasaan yang tajam sekali. Ketika angin yang
aneh menyentuh kulitnya, berkatalah ia bergumam seperti
kepada diri sendiri, "Alangkah sejuknya malam."
Mahesa Jenar masih belum merasakan sesuatu yang
tidak pada tempatnya, karena itu ia menjawab, "Sejuk,
bahkan terlalu sejuk. Aku kira malam musim kemarau ini
dinginnya benar-benar sampai menggigit tulang."
Kebo Kanigara menoleh kepada Mahesa Jenar. Dari
wajah kawan seperjalanannya itu Kebo Kanigara dapat
mengetahuinya bahwa Mahesa Jenar belum merasakan
sesuatu. Namun waktu itu tidak terlalu lama. Sebab
kemudian tampaklah alis Mahesa Jenar berkerut. Dan tibatiba dengan nanar ia memandang ke arah perkemahan
anak-anak Banyubiru, meskipun yang tampak hanyalah
kehitaman melulu. Namun seolah-olah ia ingin menembus
hitamnya malam, dan langsung ingin mengetahui apa yang
telah terjadi dibalik tabir malam yang kelam itu.
Tiba-tiba terdengar Mahesa Jenar berkata, "Ya, alangkah
sejuknya malam." Kebo Kanigara tersenyum. Tetapi kendali kudanya
dipegangnya semakin erat. Tumitnya beberapa kali
menyentuh perut kudanya, untuk mempercepat perjalanan.
Mahesa Jenar pun berbuat serupa, diikuti oleh Wanamerta,
Bantaran dan Penjawi yang telah menggigil kedinginan.
Bahkan terdengar Wanamerta yang tua berdesis,
"Alangkah anehnya alam. Kalau siang panasnya seperti
memecahkan kepala. Kalau malam dinginnya sampai
membekukan darah. Tetapi agaknya Anakmas berdua di
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
muka itu tidak merasakan betapa tubuhku hampir
membeku. Bahkan mereka mempercepat lari kuda mereka."
"Bukankah lebih cepat lebih baik Paman?" jawab
Bantaran. "Dengan demikian kita lebih cepat sampai untuk
kemudian menyalakan api sebesar-besarnya. Membakar
jagung dan ketela. Alangkah nikmatnya. Meskipun aku tadi
sudah mendapat suguhan makan, namun laparnya bukan
main." Terdengar Penjawi tertawa saja. Kemudian terdengar di
sela-sela suara tertawanya. "Kakang Bantaran. Untunglah
bahwa tempat nasimu tadi tidak dilubangi oleh orang-orang
Pamingit, sehingga kau masih akan dapat menikmati
perasaan kenyang." Terdengar mereka bertiga tertawa. Kebo Kanigara dan
Mahesa Jenar menoleh sambil tersenyum pula. Tetapi
mereka sudah tidak mampunyai minat untuk turut serta
berkelakar. Sebab sudah terasa oleh mereka itu, bahwa di
Gedong Sanga telah terjadi sesuatu.
Bahkan kemudian terdengar Mahesa Jenar berbisik,
untuk tidak menggelisahkan pengikutnya. "Apakah yang
telah mempengaruhi udara malam ini Kakang?"
"Aku takut bahwa Bantaran dan Penjawi akan tertidur di
atas kudanya," jawab Kebo Kanigara.
"Sirep," desis Mahesa Jenar.
"Ya," jawab Kanigara singkat.
Kemudian untuk sesaat mereka terdiam. Tetapi kuda


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka berpacu lebih cepat lagi. Semakin dekat, semakin
terasa pengaruh yang aneh mengalir menurut angin lembah
menyentuh-nyentuh tubuh mereka. Kemudian terdengarlah
sekali lagi Penjawi menguap sambil menggerutu, "Ah, adaSH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ada saja. Dalam berpacu begini dapat juga aku menjadi
ngantuk." "Kami terlalu letih," jawab Bantaran yang mulai ngantuk
pula. Mendengar pembicaraan mereka, Kebo Kanigara menjadi
cemas. Maka katanya kepada Mahesa Jenar, "Kita beritahu
mereka, supaya mereka berjuang mempertahankan
kesadaran mereka. Sedang Paman Wanamerta, aku kira
mempunyai kemampuan yang cukup dalam tubuhnya yang
telah tua dan penuh pengalaman itu."
"Baiklah Kakang," jawab Mahesa Jenar.
Kemudian Kebo Kanigara melambaikan tangannya dan
sedikit memperlambat jalan kudanya, sehingga dalam
waktu yang hanya sekejap, Bantaran, Penjawi dan
Wanamerta telah menyusulnya.
"Adakah kalian ngantuk...?" tanya Kebo Kanigara.
"Ya," jawab mereka hampir bersamaan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Bagus," sahut Kebo Kanigara, "Itu pertanda bahwa
perasaan kalian cukup tajam. Sayang bahwa kalian kurang
memperhatikan perasaan kalian. Apakah perasaan yang
demikian itu wajar atau tidak."
Mereka menggeleng bersama-sama.
"Nah, kalau demikian kalian berada dalam keadaan yang
khusus. Kantuk sambil berkuda. Hal yang tidak pernah
kalian alami selama kalian menjadi anggota laskar
Banyubiru. Karena itu ketahuilah, bahwa kalian telah
terkena pengaruh ilmu yang tajam."
"Sirep," potong mereka hampir bersamaan.
Kebo Kanigara mengangguk, katanya meneruskan, "Ya,
kalian merasakan betapa nyamannya udara malam ini.
Karena itu kalian harus berusaha untuk tetap pada
kesadaran kalian, bahwa kalian sedang mendapat serangan.
Pertahankanlah diri kalian. Pusatkan segenap kekuatan
kalian untuk melawan serangan ini. Karena itu kalian harus
tetap menjaga dan meyakini keadaan ini."
"Baiklah Tuan," jawab Bantaran dan Penjawi bersamaan.
Dengan demikian mereka mulai dengan perjuangan mereka
untuk menguasai kesadaran mereka. Namun pengetahuan
mereka tentang keadaan mereka pada saat itu, yaitu
adanya libatan pengaruh sirep pada diri mereka, ternyata
merupakan bekal yang baik di dalam usaha mereka
mempertahankan diri mereka masing-masing.
Wanamerta yang tua itupun tampak merenung. Agaknya
iapun sedang merasakan dengan seksama keadaan dirinya.
Kemudian terdengarlah ia bergumam, "Hem.... Untunglah
Angger Kebo Kanigara cukup waskita. Memang kantukku
kali ini agaknya bukan sembarang kantuk."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata pula, "Nah,
kalau demikian akan selamatlah kalian. Sebab kalau kalian
tidur sambil berkuda di jalan-jalan yang terjal dan berkelokkelok ini, sangatlah berbahaya. Lebih berbahaya lagi kalau
tiba-tiba muncul beberapa orang menghadang perjalanan
ini dan melubangi tempat nasi kalian yang nyaris dilubangi
oleh orang-orang Pamingit."
Bantaran, Penjawi dan Wanamerta tertawa perlahan.
Namun mereka tidak lagi mempunyai kesempatan untuk
berkelakar. Mereka segera memusatkan kesadaran mereka
dalam perlawanan mereka terhadap pengaruh sirep yang
terasa semakin tajam. Kembali mereka berdiam diri. Udara malam terasa
menjadi semakin dingin. Dari dinding bukit-bukit kecil di
sekitar lembah itu terdengar gema pantulan derap kaki
kuda mereka seperti ratusan kuda yang berlari-lari
mengitari lembah itu. Semakin dekat mereka dengan
daerah perkemahan anak-anak Banyubiru, perasaan mereka
menjadi semakin tidak tenteram.
Ketika mereka sampai pada tanjakan terakhir, tiba-tiba di
dalam kegelapan malam, mata Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara yang tajam itu melihat beberapa orang berdiri
bertolak pinggang di tengah jalan. Dengan demikian hati
mereka berdesir. Mereka pasti bukan pasukan anak-anak
Banyubiru. Karena itu segera mereka memperlambat jalan
kuda mereka. Kemudian terdengarlah Kebo Kanigara
berbisik, "Mereka benar-benar menghadang perjalanan
kita." "Aku menjadi semakin gelisah atas keselamatan anakanak kita, Kakang," jawab Mahesa Jenar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Lalu apakah yang akan kita lakukan?" tanya Kebo
Kanigara. "Aku harus secepatnya sampai di perkemahan," sahut
Mahesa Jenar. Kebo Kanigara merasakan, apa yang tersirat di dalam
dada Mahesa Jenar. Ia meninggalkan dua orang yang
sangat penting di dalam perbendaharaan hatinya. Yang
pertama adalah Arya Salaka, sebagai beban pertanggungjawaban yang sepenuhnya berada di tangannya. Kedua adalah orang yang telah merampas
hatinya. Yang bagaimanapun juga dikesampingkan, namun
dalam saat-saat yang berbahaya, perasaan itu akan
menjadi bertambah nyata. Karena itu tidak ada alasan
baginya untuk menahan maksud Mahesa Jenar, meskipun ia
sendiri digelisahkan pula oleh satu-satunya putri yang
ditinggalkan di perkemahan itu pula. Namun apabila salah
seorang dari mereka berdua dapat mencapai tempat itu
secepatnya, maka keadaan pasti akan dapat dikuasai,
siapapun yang sedang berada di sana.
"Kalau begitu..." akhirnya Kebo Kanigara mengambil
keputusan, "Biarkan aku berjalan terus menghadapi orangorang itu. Kau cari jalan lain untuk segera sampai ke
perkemahan itu. Kita masih belum tahu siapakah yang
menghadang perjalanan kita. Apakah kita memerlukan
waktu sedikit atau banyak."
"Baik Kakang," jawab Mahesa Jenar. Kemudian dengan
tidak menunggu kata-kata Kebo Kanigara lagi, Mahesa
Jenar meloncat dari kudanya. Kemudian menyelinap hilang
dibalik gerumbul-gerumbul di tepi jalan lembah itu, untuk
kemudian dengan tergesa-gesa lewat jalan memintas
langsung menuju ke perkemahan di Gedong Sanga yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
sudah tidak seberapa jauh lagi. Apalagi Mahesa Jenar
mengambil jalan lurus, meskipun sekali-kali harus mendaki
tebing dan meloncati lubang-lubang yang banyak berserakan di sana-sini. Ia tidak mempunyai angan-angan
lain pada saat itu daripada secepatnya sampai di daerah
perkemahan. Meskipun demikian, ia sempat mendengarkan
saat derap kuda-kuda rombongannya itu berhenti. Namun
ia sama sekali tidak mempedulikan. Ia percaya bahwa Kebo
Kanigara pasti akan dapat mengatasi keadaan.
Dalam pada itu, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi pun
terkejut melihat Mahesa Jenar meloncat turun dari kudanya
dan kemudian menghilang. Tetapi mereka tidak sempat
bertanya ketika kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata,
"Bawalah kudanya. Ia perlu secepatnya sampai di
perkemahan kita. Bersiaplah menghadapi kemungkinan di
depan kita." Sebelum mereka menjawab, jarak mereka dengan orangorang yang berdiri di tengah jalan itu sudah demikian
dekatnya sehingga mereka terpaksa menghentikan kudakuda mereka. Namun mereka masih tetap berada di
atasnya. ----------o-dwkz-0-arema-o---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
IV Sesaat kemudian salah seorang yang berdiri di tengah,
bertubuh kekar dan berkumis tebal melangkah maju sambil
berkata dengan suara yang menakutkan, "Siapa kalian?"
"Aku Karangdjati," jawab Kanigara perlahan-lahan.
"Hem..." dengus orang yang bertanya, yang tidak lain
adalah Lawa Ijo. "Kalian mau ke mana?"
"Kami ingin kembali ke perkemahan kami," jawab
Kanigara. "Hem...." Sekali lagi Lawa Ijo mendengus.
"Dari manakah kalian?" Sampai pertanyaan itu, Kebo
Kanigara merasa bahwa orang yang berdiri menghadangnya
itu ingin memperpanjang waktu dengan mengajukan
berbagai pertanyaan. Karena itu ia segera mencoba
mempersingkat pembicaraan. "Aku datang dari Banyubiru.
Kau tidak usah menanyakan keperluanku. Dan kau tidak
usah mengurus hal-hal di luar kepentinganmu. Nah
sekarang katakan kepadaku siapa kau ini?"
Lawa Ijo tertawa, jawabnya, "Jarang-jarang aku
menemui pertanyaan serupa itu, sebab hampir setiap orang
mengenal aku. Akulah yang dinamai Lawa Ijo dari Alas
Mentaok." "O-dwkz-0-arema-o...." sahut Kanigara. Sekarang ia
dapat mengukur kekuatan lawannya, sebab ia telah
mendengar kekuatan hantu Alas Mentaok ini.
Tetapi agaknya Lawa Ijo masih saja ingin bertanyatanya. Apalagi ketika ia tidak melihat Mahesa Jenar diantara
orang-orang rombongan berkuda itu. "Berapa orang kalian
semuanya?" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Empat," jawab Kanigara mulai jengkel.
"Tetapi jumlah kuda kalian adalah lima. Di mana yang
seorang?" tanya Lawa Ijo pula.
Kanigara sudah tidak mau melayani pertanyaanpertanyaan yang menjemukan itu lagi. Ia ingin cepat-cepat
lewat dan menemui putrinya. Kalau-kalau ia mengalami
sesuatu. Karena itu Kanigara berkata lantang, "Minggirlah
Lawa Ijo, supaya aku bisa lewat, atau supaya kamu tidak
terinjak oleh kaki kuda-kuda kami."
Lawa Ijo adalah seorang kepala gerombolan yang
ditakuti oleh penduduk di sekitar Alas Mentaok. Bahkan
namanya tersiar sampai ke daerah-daerah yang jauh.
Karena itu ketika ia mendengar seorang yang takut terinjak
seakan-akan menganggapnya tidak lebih dari seorang yang
takut oleh kaki-kaki kuda, ia menjadi marah. Apalagi orang
yang duduk di atas punggung kuda dan memandangnya
dengan berani itu bukanlah orang yang pernah menggemparkan karena kesaktiannya. Kalau semula ia
agak cemas terhadap Mahesa Jenar setelah mengetahui
tingkat ilmu Arya Salaka, muridnya, maka kemudian ia
menjadi berlega hati ketika Mahesa Jenar tidak ada di
dalam rombongan itu. Meskipun ia mulai bertanya, ketika
diketahuinya bahwa seekor kuda dari rombongan itu
ternyata tidak berpenumpang.
Maka dengan marah ia menjawab dengan kasarnya,
"Karangjati, kau harus belajar menilai seseorang. Aku minta
kau turun dari kudamu untuk menghormati kehadiranku di
sini. Kemudian kau harus berkata sejujur-jujurnya, di mana
Mahesa Jenar sekarang berada. Sesudah itu baru aku dapat
memberi keputusan apakah kau akan diijinkan meneruskan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
perjalanan ke perkemahan orang-orang Banyubiru, atau
kau terpaksa kembali ke Banyubiru."
Kanigara semakin tidak senang melihat sikap itu.
Sebenarnya ia tidak perlu marah kepada Lawa Ijo, sebab ia
tahu benar bahwa demikianlah sifat-sifat yang pada
umumnya dimiliki oleh orang-orang dari kalangan hitam.
Tetapi kali ini Kanigara tergesa-gesa benar. Karena itu ia
merasa terganggu. Sehingga dengan tajamnya ia menjawab, "Lawa Ijo, aku sedang tergesa-gesa. Kau pasti
tahu apa sebabnya. Dan kau tidak usah menyembunyikan
diri, bahwa kau sengaja menghalangi perjalananku dan
menurut dugaanmu Mahesa Jenar akan lambat datang ke
perkemahan. Tetapi dengan demikian aku menjadi semakin
yakin, bahwa kau pasti telah berbuat kejahatan terhadap
anak-anak Banyubiru. Udara yang mengandung pengaruh
sirep ini telah mengabarkan kepadaku sejak tadi bahwa ada
sesuatu yang kurang pada tempatnya."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dada Lawa Ijo berdesir mendengar kata Kebo Kanigara
yang menebak dengan tepat apa yang sedang terjadi.
Karena itu ia merasa tidak perlu untuk memutar-mutar
pembicaraan lagi, bahkan ia mengharap agar orang yang
menamakan diri Karangjati itu menjadi gelisah dan
kecemasan. Katanya, "Kau benar. Ternyata otakmu terang


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti bintang-bintang di langit itu. Karena itu seharusnya
kau juga mengerti bahwa orang-orang Banyubiru dan
orang-orang yang datang bersama Mahesa Jenar telah
habis terbunuh. Karena itu maka sekarang datang giliran
padamu dan orang-orang yang datang bersertamu itu."
Kanigara mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak yakin
bahwa kata-kata Lawa Ijo itu benar-benar telah terjadi.
Sebab dengan demikian tidak perlu agaknya bagi Lawa Ijo
untuk mencegatnya di perjalanan, meskipun tinggal
beberapa langkah dari perkemahan. Kalau apa yang
dikatakan Lawa Ijo itu benar-benar telah terjadi, maka pasti
Lawa Ijo akan membiarkan mereka itu sampai di
perkemahan dan membunuhnya di sana pula, atau sama
sekali membiarkan hidup apabila mereka merasa tidak
mampu untuk melawan. Dengah demikian maka Kanigara menjawab, "Jangan
membual Lawa Ijo. Apa gunanya kau mempersulit dirimu
menghadang kami di tengah jalan..." Kenapa tidak kau
tunggu saja kami di perkemahan" Tetapi dengan
kehadiranmu di sini, aku menduga bahwa ada orang lain
yang sedang melakukan tugasnya di perkemahan. Katakan
siapakah dia. Gurumu yang bergelar Pasingsingan
barangkali...?" Sekali lagi dada Lawa Ijo berdesir cepat. Orang itu
benar-benar berotak cerah seperti apa yang dikatakan.
Namun demikian ia merasa bahwa dirinya adalah orang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang sukar dicari bandingannya. Dengan demikian sambil
membusungkan dada ia berkata, "Sekali lagi aku
membenarkan kata-katamu. Guruku berada di sana dan
saat ini sedang membinasakan semua orang yang
ditemuinya." Kanigara tidak membuang waktu lagi. Tanpa diduga oleh
Lawa Ijo, Kanigara menarik kekang kudanya dan memukul
perut kuda itu dengan tumitnya. Dengan terkejut kudanya
meloncat maju. Melihat kuda itu seperti akan menerkamnya, Lawa Ijo pun terkejut. Namun ia benarbenar tidak mau terinjak oleh kaki kuda itu. Dengan
cepatnya ia memutar tubuhnya sambil meloncat ke
samping. Dengan mengumpat sejadi-jadinya ia menerjang
Kebo Kanigara. Ternyata Kebo Kanigara memiliki kelincahan
jauh di luar dugaan Lawa Ijo. Ketika ia menerjang dengan
garangnya, tiba-tiba terasa pergelangan tangannya tertangkap dengan kuatnya. Bahkan beberapa saat ia
tergantung-gantung dibawa oleh derap kuda Kebo Kanigara
untuk kemudian terbanting dengan kerasnya di padas tepi
jalan itu. Untunglah bahwa tubuh Lawa Ijo benar-benar
keras seperti batu. Meskipun sakitnya bukan main, namun
ia masih dapat meloncat untuk kemudian berdiri. Ketika ia
sudah tegak berdiri, ia melihat anak buahnya mencoba
untuk menyerang Kebo Kanigara dan kawan-kawannya.
Tetapi apakah yang dapat mereka lakukan, hanyalah seperti
sebuah permainan anak-anak yang sama sekali tidak
menarik. Lawa Ijo melihat, kuda Kebo Kanigara membalik
sekali, dan menyambar beberapa orang sekaligus. Sedang
Bantaran, Penjawi dan Wanamertapun telah melawan
penyerang-penyerangnya dari atas kuda mereka. Tetapi
yang paling mengerikan adalah gerak kuda Kebo Kanigara.
Seperti seekor elang yang gagah melayang-layang dengan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
derasnya menyambar mangsanya. Lawa Ijo benar-benar
ngeri melihatnya. "Gila," gumamnya, "Siapakah orang ini?"
Tetapi ia tidak mau berdiam diri. Dengan sebuah teriakan
nyaring melontarlah dari kedua belah tangannya, dua benda
yang berkilat-kilat seperti tatit melayang ke arah Kebo
Kanigara. Demikian cepatnya kedua pisau belati panjang
itu, sehingga kecepatan mata hampir tak mampu
mengikutinya. Demikianlah Lawa Ijo memang memiliki keahlian untuk
menyerang dengan pisau dari jarak jauh. Tetapi sasaran
Lawa Ijo kali ini adalah Kebo Kanigara. Karena itu meskipun
pisau Lawa Ijo itu dengan cepatnya menyambar satu
kearah kepalanya, sedang yang lain ke arah perutnya,
namun Kanigara masih juga mampu menghindari. Mulamula ia membungkuk lekat dengan punggung kudanya,
kemudian untuk menghindari sambaran pisau yang
mengarah keperutnya, ia memutar tubuhnya melekat ke
bagian sisi punggung kuda itu, sehingga dengan demikian
pisau Lawa Ijo berlari tidak lebih dari secengkang di
atasnya. Kali ini dada Lawa Ijo benar-benar seperti diguncangguncang melihat keterampilan Kebo Kanigara. Tidak saja
kekuatannya yang maha besar, yang telah dirasakannya
pada saat pergelangannya ditangkap. Namun ternyata
orang itu ahli pula mengendarakan kuda. Karena itu, ia
merasa bahwa usahanya menghalang-halangi orang itu
pasti akan sia-sia. Tetapi dengan demikian setidak-tidaknya
ia sudah berhasil memperpanjang waktu, meskipun hanya
sebentar. Karena itu ketika ia melihat kuda Kebo Kanigara
itu sekali lagi berputar ke arahnya, cepat-cepat ia meloncat
ke dalam gerumbul di tepi jalan dengan suatu suitan
nyaring. Bersamaan dengan itu anak buahnya pun segera
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berloncatan meninggalkan gelanggang seperti anak ayam
yang bersembunyi melihat di udara ada seekor elang.
Kebo Kanigara tidak mau membuang waktu lagi. Cepatcepat ia memutar kudanya, dan dengan cepat pula ia
mengajak kawan-kawannya menuju ke perkemahan.
"Ayolah kita tinggalkan tempat celaka ini. Tidak ada waktu
untuk mengurusi Lawa Ijo. Mudah-mudahan Mahesa Jenar
tidak terlambat sampai."
Setelah itu, maka kembali mereka berpacu. Meskipun
jarak lurus ke perkemahan itu tidak jauh lagi, namun
mereka terpaksa melingkar-lingkar menuruti jalan yang
dapat mereka tempuh dengan kuda-kuda mereka. Kembali
terdengar deru kaki kuda memenuhi lembah, memukulmukul lambung bukit untuk kemudian dilontarkan kembali
seakan-akan beratus-ratus ekor kuda berderap bersama di
sekitar lembah itu. Sementara itu, di perkemahan, Mahesa Jenar telah
berdiri diantara mereka yang sedang berjuang melawan
Pasingsingan. Pada saat itu, meskipun mata Pasingsingan
tidak jelas tampak karena terbalut oleh topeng kasarnya,
namun terasa betapa tajamnya ia memandang Mahesa
Jenar dari ujung kakinya sampai ke ujung ikat kepalanya.
Sebenarnya bagi Pasingsingan, yang menilai Mahesa Jenar
seperti beberapa tahun yang lalu, tidak demikian
terpengaruh atas kehadirannya. Pasingsingan merasa
bahwa sekalipun dengan Mahesa Jenar, pekerjaannya tidak
akan bertambah berat, meskipun ia mempertimbangkan
juga kemungkinan lain, karena anak muda, murid Mahesa
Jenar itu. Tetapi bagaimanapun juga, Pasingsingan masih
menganggap orang itu termasuk dalam gerombolan kelincikelinci yang tak tahu diri. Tetapi yang mengejutkan
Pasingsingan, adalah sapa yang telah diucapkan oleh
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar itu. Dari mana dia mendengar bahwa yang
ada sekarang adalah Pasingsingan muda, yang pernah
bernama Umbaran. Karena itu dengan kemarahan yang
masih menyala-nyala di dalam dadanya terdengar suaranya
yang berat, "Mahesa Jenar, kalau aku tidak salah dengar,
adakah kau tadi menyebut Pasingsingan muda yang pernah
bernama Umbaran?" "Ya," jawab Mahesa Jenar singkat.
"Hem..." geram Pasingsingan, kemudian ia bertanya,
"Siapakah yang kau maksud dengan nama itu?"
Mendengar pertanyaan itu Mahesa Jenar tertawa.
Sekarang ia sudah tidak lagi gelisah, justru setelah ia berdiri
berhadapan dengan Pasingsingan, diantara orang-orang
yang namanya tergores hatinya. Ia tidak tergesa-gesa
menjawab pertanyaan Pasingsingan itu, tetapi sekali lagi ia
meyakinkan, apakah orang-orang di perkemahan itu masih
lengkap. Ketika sekali lagi matanya menyambar Arya
Salaka, Wilis, kemudian Endang Widuri dan seterusnya
Mantingan, Wirasaba dan Jaladri, hatinya menjadi semakin
tenang. Ia merasa bahwa kehadirannya tidak terlambat.
Kalau orang-orang itu masih lengkap, maka pasti
Pasingsingan belum berhasil berbuat sesuatu atas orangorang Banyubiru. Melihat sikap Mahesa Jenar itu Pasingsingan menjadi
semakin marah. Dengan membentak ia mengulangi
pertanyaan sekali lagi, "Mahesa Jenar, siapakah yang kau
maksud dengan nama-nama itu?"
Sekali lagi Mahesa Jenar tertawa, jawabnya, "Tuan, aku
pernah berdiri di hadapan Tuan beberapa tahun yang lalu di
alun-alun Banyubiru bersama-sama dengan Kakang Gajah
Sora dan bersama-sama dengan seorang sebaya dengan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tuan, yaitu Ki Ageng Pandan Alas. Pada saat itu aku
mendengar betapa orang tua itu meragukan sahabat
lamanya yang bernama Pasingsingan. Pernahkah Tuan
mendengar ceritanya itu?"
"Hem..." Sekali lagi Pasingsingan menggeram. Tetapi ia
masih mencoba menahan diri. Ia ingin mendengar dari
mana Mahesa Jenar mengetahui dan kemudian membuat
sebutan Pasingsingan muda. Karena keinginannya untuk
mengetahui itulah kemudian ia bertanya lebih lanjut,
"Adakah ceritanya itu menarik?"
"Entahlah," jawab Mahesa Jenar. "Tetapi ceritanya itu
ada sangkut pautnya dengan nama yang Tuan tanyakan
itu." Dengan gelisah Pasingsingan mendesak, "Jawab ptanyaanku. Siapakah yang kau maksudkan dengan
Pasingsingan muda itu"
"Ceritanya harus dimulai dari ujungnya," jawab Mahesa
Jenar. "Pasingsingan sahabat Pandan Alas itu ternyata
pelupa. ia tidak ingat lagi, kapan dan bagaimana ia mulamula bertemu dengan Ki A geng Pandan Alas."
"Aku peringatkan sekali lagi Mahesa Jenar. Jangan
mengigau. Dan ingatlah dengan siapa kau berhadapan,"
potong Pasingsingan semakin marah.
"Jangan marah Tuan," sahut Mahesa Jenar, "Bukankah
Tuan ingin mengetahui siapakah yang aku maksud dengan
Pasingsingan muda yang bernama Umbaran itu" Nah,
dengarkan kelanjutan cerita itu. Setelah aku bertemu
dengan Tuan beberapa tahun lalu di alun-alun Banyubiru
itu, aku bertemu pula, yang aku sangka adalah Tuan. Tetapi
aku keliru. Orang yang aku sangka Tuan itu, belum pernah
bertemu dengan aku sebelumnya. Bahkan ia sama sekali
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tidak bersikap memusuhi aku seperti Tuan. Dan orang itu
juga bernama Pasingsingan."
"Bohong!" teriak Pasingsingan tiba-tiba.
"Dengar dahulu Tuan..." Mahesa Jenar melanjutkan
tanpa memperdulikan teriakan Pasingsingan. "Aku benar
bertemu dengan Pasingsingan satu lagi."
Pasingsingan masih berusaha menahan dirinya. Ia ingin
mendengar di manakah Mahesa Jenar bertemu dengan
Pasingsingan yang satu itu.
Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan,
"Apakah Tuan tidak percaya"- "
"Hem...." Pasingsingan tidak menjawab, tetapi yang
mendengar hanyalah dengusnya yang bernada rendah.
"Pasingsingan itu aku temui di Pudak Pungkuran,"
sambung Mahesa Jenar. Pasingsingan masih berdiam diri.
"Bahkan di sana ada tidak hanya satu Pasingsingan.
Tetapi tiga," Mahesa Jenar meneruskan.
"Tiga...?" ulang Pasingsingan hampir berteriak. Tetapi
kemarahannya sudah menggelegak sampai di kepalanya. Ia
merasa seolah-olah Mahesa Jenar hanya mau mempermainkan dirinya, atau memperpanjang waktu untuk
menanti kawan-kawannya yang masih berada di perjalanan.
Sebab Pasingsingan yang cerdik itupun segera mengetahui,
bahwa Mahesa Jenar pasti pergi mendahului rombongan
yang dicegat Lawa Ijo di perjalanan. Karena itu dengan
marahnya ia menggeram, "Nah, sekarang aku tidak mau
mendengar lagi. Bersiaplah dan bertempurlah bersamasama. Umur kalian tidak akan lebih daripada saat bintang
waluku mencapai ujung cemara itu."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi Mahesa Jenar seperti tidak mendengar kata-kata
Pasingsingan itu dan berkata terus, "Dua orang
Pasingsingan sebaya dengan Tuan, sedang yang seorang
lagi agaknya telah lebih tua, meskipun masih tampak segar.
Dari mereka aku mendengar bahwa selain dari tiga
Pasingsingan itu masih ada satu lagi yang memisahkan diri
dari pergaulan antar Pasingsingan itu. Orang yang
memisahkan diri itulah Pasingsingan yang paling muda dan
bernama Umbaran." Pasingsingan yang

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah siap untuk meloncat menyerang mereka dengan pisau belatinya yang bernama
Kyai Suluh itu menjadi urung. Dadanya yang terbakar oleh
kemarahannya itu menjadi berdebar-debar. Dengan penuh
kecurigaan ia bertanya menyelidiki, "Siapa itu...?" Suara itu
cukup garang, namun terasa betapa ia menjadi cemas oleh
kata-kata itu. "Adakah mereka hanya mengaku diri?" sahut Mahesa
Jenar pura-pura. "Tentu," Pasingsingan menegaskan, "Tak ada duanya di
dunia ini. Pasingsingan hanyalah seorang. Dan akulah satusatunya Pasingsingan itu."
Mahesa Jenar tertawa pendek. Katanya, "Ternyata Tuan
yang menamakan diri Pasingsingan itu, tidak mempunyai
banyak pengertian tentang nama Tuan. Agaknya pengertianku tentang Pasingsingan justru lebih banyak dari
Tuan. Aku pernah mendengar seorang jujur setia, yang
mengantar perjalanan Prabu Brawijaya Pamungkas, ya
Pasingsingan. Aku kenal seorang sakti yang bertapa
mengasingkan diri, yang juga bernama Pasingsingan. Aku
kenal ketiga-tiga muridnya, yang kemudian berebut gelar
itu. Namanya Radite, Anggara dan yang satu Umbaran."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Terdengar Pasingsingan menggeretakkan giginya. Namun
Mahesa Jenar berkata terus, "Sayang bahwa Pasingsingan
yang sekarang memiliki tanda-tanda kekhususannya adalah
Pasingsingan yang sebenarnya tidak berhak atasnya."
Pasingsingan sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi.
Dengan penuh kemarahan sekali lagi ia berteriak, "Tutup
mulutmu, dan matilah bersama-sama dengan orangorangmu yang tak tahu diri."
Ketika Pasingsingan sudah melangkah setapak maju,
Mahesa Jenar pun melangkah maju. Mantingan, Wirasaba,
Wilis, Arya Salaka, Endang Widuri dan Jaladri ternyata telah
bergerak pula. Tetapi dengan isyarat Mahesa Jenar
mencegah mereka. Kemudian terdengar ia berkata,
"Apakah untung kami untuk bertempur bersama-sama,
Pasingsingan..." Aku
kira lebih baik apabila kita menunjukkan kejantanan diri. Biarlah siapa diantara kita
yang sudah puas mengenyam pahit asin penghidupan ini
mencoba mempertaruhkan diri. Kalau kau menang atasku,
biarlah kau dapat menikmati kemenanganmu, dan kalau
sebaliknya, biarlah aku dapat menikmati kemenanganku
sebagai hasil dari sikap jantan."
Mantingan menjadi cemas mendengar kata Mahesa Jenar
itu, sehingga tanpa sesadarnya terloncatlah dari mulutnya,
"Adi Mahesa Jenar, bukankah yang berdiri di hadapan kita
ini Pasingsingan, guru Lawa Ijo?"
Mahesa Jenar tahu sepenuhnya, apa yang bergolak di
dalam dada Mantingan. Mantingan masih menilai dirinya
seperti masa terakhir mereka bertemu, pada saat mereka
berlima bertempur melawan tokoh-tokoh gerombolan hitam
di Rawa Pening. Tetapi ia tidak sempat memberinya
penjelasan, karena kemudian Pasingsingan juga SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menganggap kesombongan Mahesa Jenar. "Mula-mula aku
ingin membunuh kalian dengan senjataku ini, supaya kalian
tidak tersiksa pada saat terakhir, tetapi karena kesombonganmu, aku ingin melihat kau menderita pada
saat terakhir itu. A ku akan membunuhmu dengan tanganku.
Akan aku patahkan anggota badanmu satu demi satu. Aku
ingin melihat kau kesakitan dan berteriak-tariak minta
ampun." Semua yang mendengar ancaman itu, tegaklah bulu
roma mereka. Cara paling keji telah dirancangnya oleh
Pasingsingan. Tetapi mereka tidak berani melanggar
larangan Mahesa Jenar, sebab dengan demikian, mereka
akan dapat menyinggung perasaannya. Tetapi bagaimanapun juga, mereka tetap siap dengan senjata
mereka, sebab kalau benar-benar Pasingsingan akan
melakukan ancamannya itu, tidak mungkin bagi mereka,
untuk membiarkan hal itu terjadi.
Sesaat kemudian Pasingsingan, yang ingin membunuh
Mahesa Jenar dengan tangannya itu menyarungkan pisau
belatinya. Dan kemudian dengan sikap yang mengerikan ia
perlahan-lahan mendekati Mahesa Jenar yang berdiri tegak
seperti sebuah batu karang yang kokoh kuat, tak
tergoyahkan oleh badai dan arus oleh deru gelombang.
Pasingsingan heran juga melihat sikap dan ketenangan
Mahesa Jenar. Tetapi di matanya, Mahesa Jenar tidak lebih
dari seorang anak-anak yang besar kepala. Karena itu,
ketika ia sudah berdiri selangkah di hadapan Mahesa Jenar
yang belum beranjak dari tempatnya, menyerangnya
dengan acuh tak acuh saja. Sebuah pukulan diarahkan ke
wajah Mehasa Jenar. Tetapi meskipun dalam sikap acuh tak
acuh, namun gerakan Pasingsingan itu cukup menggoncangkan dada mereka yang melihatnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar pun mengetahui, bahwa Pasingsingan
memukulnya dengan acuh tak acuh. Tetapi ia tahu pula
bahwa tangan Pasingsingan itu seolah-olah mengandung
bisa yang sangat berbahaya. Karena itu, ia tidak mau
dikenai oleh pukulan itu.
Bahkan kemudian ia mengharap agar Pasingsingan
menjadi marah, dan bertempur sepenuh tenaganya. Ia
mengharap, bahwa dengan ilmu yang telah didalami sampai
ke intinya itu, ia akan dapat setidak-tidaknya mengimbangi
kekuatan Pasingsingan. Karena itu, ketika Pasingsingan memukulnya dengan
sikap acuh tak acuh, maka dengan sikap acuh tak acuh pula
Mahesa Jenar menghindari pukulan itu. Bahkan seperti
orang yang menggeliat sehabis bangun tidur, tanpa
mengubah letak kakinya. Namun karena demikian,
sambaran tangan Pasingsingan itu hampir hampir saja
menyentuh kulitnya, bahkan sambaran anginnya serasa
betapa kerasnya pukulan yang demikian saja dilontarkan.
Semua yang menyaksikan peristiwa itu, hatinya berdesir
copot. Mula-mula dada mereka menjadi tegang, seolah-olah
tak sempat untuk menarik nafas. Tetapi kemudian mereka
heran melihat sikap Mahesa Jenar. Kenapa ia sedemikian
beraninya bersikap acuh tak acuh saja. Namun yang
mereka saksikan, adalah pukulan Pasingsingan itu benarbenar tidak mengenainya. Yang paling heran dari semuanya adalah Pasingsingan
sendiri. Seolah-olah ia tidak percaya pada penglihatan
matanya, bahwa Mahesa Jenar dapat menghindari
pukulannya hanya dengan menggeliat saja. Namun ternyata
hal itu benar-benar telah terjadi. Karena itu marahnya
sampai ke ujung ubun-ubunnya. Sekali lagi, ia merasa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
direndahkan oleh orang yang baginya sama sekali tak
berarti. Namun, Pasingsingan tidak segera mengulangi serangannya. Bahkan kemudian ia berdiri saja tertolak
pinggang. Untuk kemudian memperdengarkan suara
tertawanya. Suara tertawa yang mengerikan, dilontarkan
dengan lembaran ilmu Gelap Ngampar. Suaranya menggetarkan seolah-olah menggoncangkan dunia, menggetarkan setiap dada orang yang mendengarkannya.
Suara itu terdengar nyaring bahkan merontokkan daundaun yang tidak sanggup lagi berpegangan lebih erat lagi
pada dahannya. Semua orang yang mendengar suara tertawa itu terkejut.
Segera mereka berloncatan mundur, untuk mengurangi
tekanan udara yang seperti akan membelah dada mereka.
Dengan penuh tenaga dan pemusatan kekuatan batin
segera mereka berjuang melawan ilmu Gelap Ngampar itu.
Demikian dahsyatnya ilmu itu, sehingga mereka yang
mendengarnya menjadi mengigil seluruh tubuhnya. Perlahan-lahan terasa darahnya seolah-olah membeku, dan
segenap tulang-tulangnya terlepas dari sendi-sendinya.
Yang mula-mula sekali tidak kuat melawan pengaruh
tertawa itu adalah Jaladri. Seperti orang kehilangan
segenap tenaganya ia jatuh tertunduk. Canggahnya
terlepas dari tangannya, yang kemudian dengan sekuatkuat sisa tenaganya ditekankannya tangan itu ke dadanya,
seolah-olah untuk menjaga agar isi dadanya itu tidak
rontok. Wirasaba pun telah menggigil dengan kerasnya. Ia
masih mencoba bertahan pada tangkai kapaknya. Demikian
pula yang lain, semakin lama menjadi semakin kehilangan
tenaga. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mahesa Jenar pun merasakan akibat dari Gelap Ngampar
itu. Ia pernah mengalami serangan serupa, beberapa tahun
lalu di alun-alun Banyubiru. Untunglah bahwa pada saat itu
hadir Ki Ageng Pandan Alas yang dapat melawan Gelap
Ngampar itu dengan suara tembangnya, yang sebenarnya
berlandaskan pada ilmu yang dinamai Sapu Angin.
Tetapi bagi Mahesa Jenar, akibat dari serangan Gelap
Ngampar itu kini terasa berbeda sekali dengan serangan
yang dialaminya lima tahun yang lampau. Suara tertawa itu
kini tidak demikian berpengaruh pada dirinya, seolah-olah
dadanya sudah berlapis baja, akibat dari perjuangannya,
menguasai diri, bahkan ia telah berhasil meragakan sukma
di dalam gua di Karang Tumaritis. Akibat daripadanya
ternyata dahsyat sekali. Kecuali ia telah berhasil
menemukan inti dari ilmu perguruan Pengging, lahirbatinnya juga sudah tertempa kuat sekali. Bahkan Mahesa
Jenar telah menemukan kekuatan-kekuatan yang tak
pernah dikenalnya di dalam tubuhnya. Kekuatan yang
melampaui kekuatan manusia biasa. Yang tak dapat
diketemukan dalam pengamatan wajar dari seorang ahli
sekalipun, karena kekuatan kekuatan itu langsung diterima
dari sumbernya. Inilah ciri adanya kekuasaan yang tak
kasatmata. Kekuasaan dari Yang Mahasa Kuasa. Sehingga
karena itu pulalah maka peristiwa-peristiwa di dunia ini
betapapun dirancang oleh manusia dengan cermatnya,
sebagaimana kewajiban manusia adalah berusaha, namun
akhirnya penentuannya adalah di tangan Yang Maha Kuasa.
Dengan demikian, maka Mahesa Jenar sama sekali tidak
dapat melepaskan diri dari pengaruh ilmu Gelap Ngampar
itu. Tetapi ketika ia menoleh kepada kawan-kawannya ia
menjadi terkejut sekail. Dadanya berguncang cepat. Sebab
ia melihat hampir tak seorangpun dapat bertahan. Mereka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
telah hampir kehilangan kekuatan masing-masing sebagai
akibat dari tekanan ilmu Gelap Ngampar yang langsung
mempengaruhi urat syaraf mereka. Karena itu Mahesa
Jenar menjadi bingung. Ia tidak memiliki ilmu seperti yang
dimiliki oleh Pandan Alas. Meskipun daya tahannya sendiri
barangkali tidak kalah dengan daya tahan Pandan Alas,
namun untuk membantu orang lain, melenyapkan pengaruh
Gelap Ngampar itu adalah sulit baginya. Dalam pada itu
teringat pula olehnya, pengasuh yang serupa di Pulau
Hantu di Laut Kuning. Menurut pendengaran Mahesa Jenar,
di Pulau Hantu itu sering juga terdengar suara yang tertawa
demikian mengerikan sehingga kadang-kadang para pelaut
yang membawa kapalnya lewat di dekat pulau itu dapat
menjadi gila. Kehilangan tenaga dan akal. A da yang bahkan
menjadi lemas dan mati. Yang lebih mengerikan lagi ada
diantara mereka menjadi saling berkelahi dan saling
membunuh. Untuk sementara Mahesa Jenar tidak tahu bagaimana
dapat menolong kawan-kawannya dari serangan yang aneh


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Tetapi kemudian ia menemukan suatu cara yang
mungkin dapat dilakukan. Kalau sumber suara tertawa itu
dapat dihentikan, ia mengharap pengaruhnya pun akan
lenyap sebelum sampai ke puncaknya. Dengan demikian
maka segera ia berdiri, dan dengan sigapnya ia
melontarkan dirinya langsung menerjang dada Pasingsingan
yang terbuka. Pasingsingan terkejut melihat serangan itu. Sejak semula
ia sudah heran melihat Mahesa Jenar dapat mempertahankan dirinya dari serangan Gelap Ngampar,
meskipun ia telah memperketat serangan itu. Bahkan
kemudian Mahesa Jenar dengan derasnya menyerang
dadanya. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Meskipun demikian, serangan Mahesa Jenar itu bagi
Pasingsingan hanya dapat menambah kemerahannya saja.
Ia menganggap bahwa perbuatan itu adalah perbuatan
bunuh diri. Karena itu dengan tetap melancarkan serangan
Gelap Ngampar, Pasingsingan menyilangkan tangannya di
muka dadanya untuk menangkis serangan Mehasa Jenar.
Tetapi ketika kemudian terjadi benturan antara serangan
Mahesa Jenar dengan pertahanan Pasingsingan, terbukalah
mata hantu berjubah abu-abu itu, bahwa lawannya
bukanlah termasuk dalam gerombolan kelinci yang tidak
tahu diri. Karena Pasingsingan tidak mempergunakan segenap
kekuatannya, maka dalam benturan itu ia telah terdorong
surut beberapa langkah. Sedang Mahesa Jenar sendiri,
terpental selangkah mundur.
Peristiwa yang tak terduga-duga itu telah menggoncangkan dada Pasingsingan. Heran, marah,
dendam, bercampur baur melingkar-lingkar di dalam
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dadanya. Dalam pada itu, karena benturan yang tak
terduga-duga itu, terputuslah suara tertawanya. Ia terpaksa
mengerahkan segenap tenaganya untuk menjaga keseimbangan tubuhnya yang hampir-hampir saja terdorong jatuh. Tetapi kemudian dengan sigapnya Pasingsingan pun
telah berhasil menguasai keseimbangannya kembali. Seperti
sebatang pohon raksasa ia kemudian berdiri tegak. Giginya
gemeretak, dadanya mengombak seperti akan meledak.
Sekali lagi matanya yang tersembunyi di belakang lubang
topengnya itu memandang Mahesa Jenar dengan tajamnya.
Kekuatan apakah yang telah membantunya, sehingga ia
mampu melawan aji Gelap Ngampar dan sekaligus
memberinya tenaga yang luar biasa besarnya.." Hanya
dalam waktu kira-kira lima tahun saja, sejak pertemuan
mereka di Rawa Pening, kemampuan Mahesa Jenar telah
sedemikian jauh menanjak. Pada saat itu, Mahesa Jenar
berlima, melawan Pasingsingan dan Sima Rodra tua berdua,
seolah-olah merupakan lima ekor tikus sakit-sakitan
melawan dua ekor kucing yang garang. Sekarang tiba-tiba
salah seekor tikus itu telah berubah menjadi serigala, yang
sedang menerkam salah seekor kucing yang garang itu.
Tetapi Pasingsingan adalah seorang yang telah kenyang
makan garam sehingga segera dapat mengendalikan
dirinya. Kini ia benar-benar menghadapi keadaan yang
cukup berbahaya. Dengan benturan yang terjadi, Pasingsingan segera dapat mengetahui, bahwa Mahesa
Jenar benar-benar memiliki bekal yang cukup untuk merasa
dapat melawannya. Tetapi yang masih perlu diuji, apakah
Mahesa Jenar dapat mempergunakan kekuatannya itu
untuk melawan ketangkasan, ketangguhan dan kelincahan
hantu bertopeng itu. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karena itu, setelah beberapa lama Pasingsingan berdiri
tegak mengawasi Mahesa Jenar, terdengarlah suaranya
menggeram, "Mahesa Jenar, agaknya kau telah mendapat
tenaga dari hantu penjaga Rawa Pening itu. Dan karena
itulah kau merasa mampu untuk bertempur seorang lawan
seorang dengan Pasingsingan. Setelah kau membual
dengan ceritera tentang Pasingsingan yang berbelit-belit itu,
sekarang kau benar-benar ingin mengadu tenaga. Mengadu
liatnya kulit, kerasnya tulang. Tetapi kau jangan merasa
gembira, karena kau berhasil mendorong aku mundur
beberapa langkah. Tetapi kini aku akan maju lagi, dan tak
seorangpun dapat mencegahnya."
----------o-dwkz-0-arema-o---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
V Mahesa Jenar kini melihat, bahwa Pasingsingan telah
memutuskan untuk bertempur dengan sepenuh tenaganya.
Karena itu iapun segera bersiap. Dengan penuh
kewaspadaan Mahesa Jenar mengikuti setiap gerakan
Pasingsingan, meskipun sepintas lalu ia masih sempat untuk
mengerling kepada kawan-kawannya. Ternyata, ketika
serangan Gelap Ngampar itu terputus sebelum sampai ke
puncaknya, pengaruhnyapun terputus pula. Dengan
demikian, meskipun perlahan-lahan, namun mereka yang
dikenai oleh aji itupun terbebas pula. Mantingan, Wilis,
Arya, Widuri, Wirasaba dan bahkan Jaladri, perlahan-lahan
dapat menemukan kesadaran serta kekuatan mereka
kembali. Mereka kini sudah tidak menggigil lagi, meskipun
terasa dada mereka masih bergetar dan jantung mereka
masih berdegupan. Mantingan, Wilis Arya, Widuri dan
Wirasaba telah mulai dapat melihat apa yang telah terjadi di
hadapan mereka. Mereka mulai bertanya-tanya, apakah
yang akan terjadi seterusnya. Yang paling cemas diantara
mereka adalah Mantingan. Meskipun tangannya masih
gemetar, namun ia telah mencoba menggenggam trisulanya
erat-erat. Sementara itu Pasingsinganpun telah bersiap sepenuhnya. Dengan menggeram ia melompat menyerang
Mahesa Jenar. Tidak dengan sikap acuh tak acuh, tetapi kini
ia benar-benar bertempur untuk segera dapat membinasakan lawannya. Namun Mahesa Jenar pun telah
bersiap. Ia telah mengalami, meskipun mulanya tidak
bersungguh-sungguh, namun akhirnya ia harus berjuang
sekuat-kuatnya, pada saat ia harus bertempur melawan
Anggara. Meskipun perkembangan ilmunya kemudian
berbeda, namun Anggara dan Umbaran telah menghisap
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ilmunya dari sumber yang sama. Sehingga dengan
demikian, masih nampak juga persamaannya, apabila salah
seorang dari mereka itu tidak sengaja untuk menyembunyikan diri dalam gerak-gerak lain yang
diciptakannya kemudian. Demikianlah maka sesaat kemudian berkobarlah perang
tanding yang maha dahsyat. Pasingsingan yang telah
menggemparkan tlatah Demak dengan perbuatan- perbuatannya yang mengerikan, baik yang dilakukannya
sendiri maupun yang dilakukan oleh muridnya, melawan
seorang yang telah berhasil menekuni ilmunya sampai ke
intinya. Meskipun Pasingsingan jauh lebih dahulu dari
Mahesa Jenar, namun ternyata dengan satu loncatan,
Mahesa Jenar telah berhasil menjusulnya. Seranganserangan Mahesa Jenar ternyata sama sekali tidak kalah
berbahayanya dari serangan-serangan hantu berjubah itu.
Sekali-kali terjadilah benturan-benturan yang keras. Dan
dalam keadaan yang demikian itulah, Mahesa Jenar menjadi
semakin yakin pada dirinya, bahwa Pasingsingan bukanlah
hantu yang menakutkan dan tak dapat dikalahkan.
Pasingsingan semakin lama menjadi semakin terbakar
hatinya. Kalau semula ia baru dapat mengukur kekuatan
Mahesa Jenar, namun kemudian ia terpaksa melihat
kenyataan, bahwa Mahesa Jenar tidak saja bertambah kuat
lahir dan batin, namun iapun mampu pula mempergunakan
kekuatannya itu sebaik-baiknya. Sebagai seorang murid
Pasingsingan tua, Pasingsingan itu telah mendengar dan
mendapat petunjuk-petunjuk tentang bermacam-macam
perguruan. Juga perguruan Pengging yang terkenal. Kini ia
harus mengalami betapa salah seorang murid dari Pengging
itu telah mampu melawannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit.
Pasingsingan menjadi semakin heran melihat keterampilan
lawannya. Tetapi karena itu pula ia merasa seakan-akan
dirinya dihadapkan pada suatu ujian, apakah ia masih
berhak memakai gelar Pasingsingan untuk seterusnya.
Disamping kenyataan itu, di dalam dadanya bergolak pula
berbagai pertanyaan tentang Mahesa Jenar. Dari manakah
ia pernah mendengar cerita tentang Pasingsingan tua,
tentang Radite, Anggara dan Umbaran..." Darimana pula ia
mengetahui bahwa yang berdiri di hadapannya kini adalah
Pasingsingan yang sebenarnya tidak berhak memakai
tanda-tanda kekhususannya..."
Pasingsingan itupun kemudian menjadi cemas bahwa
sebenarnya rahasia tentang dirinya telah terbuka. Bahkan
kemudian ia menduga bahwa Radite atau Anggara-lah yang
sengaja mengabarkan tentang rahasia itu. Tetapi apakah
Mahesa Jenar pernah bertemu dengan mereka berdua"
Tiba-tiba kemarahan Pasingsingan menjadi semakin
berkobar-kobar di dalam dadanya. Orang yang dapat
berceritera tentang Pasingsingan ini harus dimusnahkan,
supaya rahasia itu dibawanya mati.
Dengan demikian, Pasingsingan bertempur semakin
dahsyat. Jubahnya berkibar-kibar di belakang punggungnya
seperti sayap. Di dalam kelam, tampaklah Pasingsingan
seperti kelelawar raksasa yang terbang menyambarnyambar dengan jarinya yang berkembang mengerikan.
Tetapi lawannya adalah seekor banteng yang tangguh.
Semakin banyak peluh mengalir dari tubuh Mahesa Jenar,
semakin segarlah tubuhnya. Bahkan kemudian ia pun
bertempur semakin tangguh. Ketika Pasingsingan menyerangnya semakin dahsyat, Mahesa Jenar pun
bertempur benar-benar seperti banteng ketaton.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dalam keadaan yang berbahaya sedemikian itu,
Pasingsingan tidak sempat untuk meneliti gerakannya
sendiri satu demi satu, seperti pada saat Anggara
bertempur melawannya. Karena itu semakin lama, gerakgerak mereka berdua, Umbaran yang berjubah Pasingsingan dan Anggara, menjadi semakin rapat
persamaannya. Dengan demikian Mahesa Jenar dapat
mengenal gerak-gerak itu kembali, yang khusus dapat
dilihatnya dalam gerakan-gerakan pertahanan yang rapat,
meskipun apa yang dilakukan oleh Pasingsingan ini tampak
lebih kasar. Bahkan sekali-kali Mahesa Jenar ingin mempengaruhi
pikiran lawannya. Meskipun tidak sempurna, namun dalam
saat-saat yang sedemikian bersahaja, Mahesa Jenar
mencoba-coba menirukan gerak-gerak itu. Bahkan gerakgerak yang belum dilakukan oleh Pasingsingan.
Melihat gerak-gerak khusus Pasingsingan itu dapat pula
dilakukan oleh Mahesa Jenar, meskipun tidak sempurna,
Pasingsingan menjadi semakin heran dan gelisah. Karena
itu Pasingsingan memastikan bahwa Mahesa Jenar pernah


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertemu dengan Radite atau Anggara. Dengan demikian ia
yakin pula bahwa rahasianya benar-benar telah diketahui
oleh lawannya itu. Dalam pada itu, Pasingsingan
mengumpat pula di dalam hati. Bahwa dengan demikian
Radite tidak memegang janjinya. Orang itu telah berjanji
pada saat tukar-menukar antara tanda kekhususan serta
pusaka-pusaka Pasingsingan dengan gadis yang memintanya, terjadi beberapa puluh tahun yang lalu.
Tetapi apapun yang dilakukan, Pasingsingan tidak
berhasil untuk menguasai lawannya. Jangankan membunuhnya, menyentuhnya pun semakin lama menjadi
semakin sulit. Dalam tingkatan ilmu yang seimbang, Mahesa
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jenar masih memiliki kelebihan. Umurnya yang jauh lebih
muda, sehingga pembawaan kodrat alamiah telah
menolongnya. Kalau semula Mahesa Jenar sama sekali tidak
berdaya melawan orang-orang tua adalah karena tingkat
ilmu jaya kawijayan guna kasantikan orang-orang tua itu
jauh lebih melampaui ilmunya. Tetapi sekarang apa yang
telah dicapainya tidak kurang dari apa yang dimiliki oleh
Umbaran. Dengan demikian, pada umurnya itu, ia memiliki
kemenangan-kemenangan. Hal ini pun dirasakan oleh
Pasingsingan. Nafas Mahesa Jenar yang dapat diaturnya
dengan baik itu semakin lama tampak semakin mapan dan
teratur. Ketenangannya mengamati setiap persoalan dan
kesulitan, kecerahan otaknya dalam mengurai setiap
masalah, telah menuntunnya sedikit demi sedikit pada
keadaan yang lebih baik dari lawannya.
Sekali lagi Pasingsingan mengumpat di dalam hati. Ia
pun merasakan betapa Mahesa Jenar berhasil mendesaknya
perlahan-lahan. Sebagai seorang yang merasa dirinya tak
terlawan, hatinya menjadi panas bukan main. Apalagi
mengingat gelar yang harus dipertahankan mati-matian.
Pusaka-pusaka serta ciri-ciri kekhususan Pasingsingan.
Kalau oleh Mahesa Jenar ia sudah dapat dikalahkan, lalu
apakah haknya untuk tetap menjadi orang yang ditakuti..."
Lebih-lebih lagi apabila orang-orang seperti Pandan Alas,
Sora Dipajana, Titis A nganten sampai mengenalnya, bahwa
bukan dirinyalah Pasingsingan yang pernah bersahabat
dengan mereka itu. Maka ia akan semakin banyak menemui
kesulitan dalam usahanya untuk menguasai Kyai Nagasasra
dan Sabuk Inten. Sebab dengan nama Pasingsingan, orang
tua itu merasa segan-segan pula bertindak terhadapnya,
yang disangkanya Pasingsingan sahabat mereka puluhan
tahun yang lampau. Seperti apa yang dilakukan oleh
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pandan Alas di alun-alun Banyubiru, yang masih
memperlakukannya sebagai sahabatnya.
Tetapi tiba-tiba ia teringat, apa yang pernah dialaminya
di Rawa Pening. Ketika ia sudah siap membunuh Mahesa
Jenar dengan keempat kawannya, muncullah dua orang
yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar dan
memberinya pertolongan. Beberapa bulan ia mencoba
memecahkan teka teki itu. Namun akhirnya, ketika orangorang itu sudah tidak pernah dijumpainya lagi, ia menjadi
lupa kepada mereka. Tetapi sekarang tiba-tiba bayangan
kedua orang itu muncul kembali. Kalau demikian, kedua
orang itu pasti telah menemui Mahesa Jenar dan berceritera
tentang dirinya. Ya. Ia pasti sekarang. Orang yang dapat
mengalahkannya dengan begitu mudah, orang dapat
membebaskan diri dari pengaruh ilmunya Alas Kobar. Orang
itu tidak dapat lain daripada Radite dan Anggara.
"Gila!" teriak Pasingsingan tiba-tiba.
Mahesa Jenar terkejut mendengar teriakan itu. Tetapi ia
bertempur terus. Serangan-serangannya semakin lama
semakin deras seperti hujan yang tercurah dari langit
disertai prahara yang bergulung-gulung mengerikan.
Pasingsingan akhirnya tidak mau lagi membiarkan dirinya
digilas oleh anak-anak yang baru tumbuh. Tiba-tiba ia tidak
ragu lagi mengendalikan kemarahannya sehingga ia tidak
segan-segan untuk membakar lawannya dengan ilmunya
yang dahsyat, Alas Kobar.
Sementara itu, Mantingan, Rara Wilis, Arya Salaka,
Endang Widuri, Wirasaba dan Jaladri telah hampir sembuh
kembali dari akibat serangan Gelap Ngampar, meskipun
dada mereka seakan-akan masih terasa berderak-derak.
Namun mereka telah dapat berdiri tegak dan dengan penuh
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kesadaran telah dapat mengikuti pertempuran yang terjadi
antara Pasingsingan melawan Mahesa Jenar.
Mantingan yang sama sekali tidak menduga bahwa
Mahesa Jenar telah dapat mencapai tingkatan yang
sedemikian tinggi dalam waktu singkat, mula-mula tidak
percaya pada penglihatannya, tetapi ketika kemudian ia
melihat betapa orang berjubah abu-abu itu telah berjuang
sedemikian lama dan sungguh-sungguh, tahulah ia bahwa
Mahesa Jenar benar-benar tidak sedang bunuh diri. Karena
itulah ia menjadi berbangga hati. Kalau semula pada saat
Mantingan melihat Rara Wilis, Arya Salaka dan Endang
Widuri turut serta melawan anak buah Lawa Ijo, ia telah
berbangga hati, lebih-lebih ketika ia terpaku pada suatu
kenyataan bahwa Arya Salaka mampu melawan Lawa Ijo
dan membebaskan dirinya dari pengaruh serangan panas
yang luar biasa dari kelelawar Alas Mentaok itu, kini ia tidak
tahu lagi perasaan apa yang berkobar didalam dadanya.
Sebagai seorang sahabat yang sejak semula telah
mengagumi Mahesa Jenar, ia kini benar-benar bersyukur
Kisah Si Pedang Kilat 1 Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Dendam Iblis Seribu Wajah 8

Cari Blog Ini