Ceritasilat Novel Online

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 28

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 28


bahwa sahabatnya itu telah berhasil menempa dirinya
menjadi orang yang luar biasa. Mantingan bersyukur bahwa
Mahesa Jenar telah berhasil dalam pembajaan diri itu.
Sebab ia tahu pasti, bahwa hasil dari pembajaan diri itu ia
akan dilimpahkan di dalam suatu pengalaman kemanusiaan,
pengalaman pada tumpah darah. Ia tahu pasti bahwa Yang
Maha Kuasa telah merestui sahabatnya itu dalam
perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan.
Sedang Wirasaba seperti orang yang terpesona. Ia
berdiri dengan mulut ternganga. Beberapa tahun yang lalu,
hatinya telah digemparkan oleh suatu kenyataan, bahwa
Mahesa Jenar mampu menghancurkan sebuah batu hitam
dengan tangannya, sedang kapak raksasanya hanya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mampu melukai batu itu tidak lebih dari sejengkal.
Sekarang ia melihat Mahesa Jenar itu bertempur, yang
menurut penglihatannya sangat ruwet. Wirasaba tidak tahu
bagaimana orang dapat bertempur sampai sedemikian.
Gerak mereka kadang-kadang seperti singgat. Melenting
berloncatan. Kadang-kadang seperti dua ekor burung yang
menggelepar dengan kerasnya untuk kemudian seperti
seekor harimau menerkam. Tetapi kemudian Pasingsingan
itu terlontar kembali karena yang diterkamnya benar-benar
mirip seekor banteng jarig melemparkan lawannya dengan
tanduk-tanduknya yang kokoh kuat.
Arya Salaka pun terpaku di tempatnya. Sekarang ia
benar-benar yakin bahwa gurunya benar-benar orang luar
biasa. Namun dalam pada itu menjalar pula hatinya hasrat
yang semakin kuat untuk menghisap ilmu sekuat-kuat
tenaganya. Ia tahu benar bahwa gurunya itu telah bekerja
keras untuknya, melampaui yang seharusnya dilakukan oleh
seorang guru. Gurunya itu telah mengasihinya seperti anak
sendiri. Bahkan bersedia mati pula untuknya. Karena itu
Arya Salaka berjanji di dalam dirinya sendiri, bahwa ia tidak
akan mengecewakan orang itu, dan sekaligus ia akan dapat
berbangga diri kepada ayahnya kelak.
Berbangga tentang dirinya sendiri, dan berbangga
tentang gurunya. Sebab ia tahu bahwa ayahnya telah
menyerahkan kedalam asuhan Mahesa Jenar.
Dalam pada itu Endang Widuri sudah mulai tertawa-tawa
pula setelah pengaruh Gelap Ngampar lenyap dari dadanya,
meskipun ia masih agak pucat. Ia melihat Mahesa Jenar itu
seperti melihat ayahnya. Ia menjadi heran, kenapa Mahesa
Jenar itu dalam hampir setiap geraknya mirip benar seperti
ayahnya. Kalau ayahnya dapat bertempur seperti batu
karang yang tak bergerak oleh badai yang bagaimanapun
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dahsyat, Mahesa Jenar pun kadang-kadang berlaku
demikian. Tetapi kadang-kadang melihat lawannya seperti
banjir bandang tanpa dapat dihalangi oleh kekuatan
apapun. Pada saat yang lain seperti juga ayahnya Mahesa
Jenar mengurung lawannya seperti angin prahara.
Meskipun ia hanya melihat ayahnya bertempur dalam
latihan-latihan dengan dirinya, dengan Putut Karang
Tunggal yang sebenarnya bernama Karebet, namun ia
melihat betapa Mahesa Jenar itu memiliki kemampuan yang
mirip benar dalam setiap gerak-geriknya. Tetapi gadis kecil
ini tidak tahu bahwa Mahesa Jenar dan ayahnya, Kebo
Kanigara, meneguk air dari sumber yang sama. Dan bahwa
kedua-duanya telah menguasai ilmunya dengan sempurna,
meskipun Kebo Kanigara sedikit lebih mengendap daripada
Mahesa Jenar. Orang yang sama sekali tidak tahu bagaimana menilai
pertempuran itu adalah Jaladri. Bahkan ia menjadi pening,
dan karena itu ia lebih senang menenangkan dirinya
daripada bersusah payah mengikuti perang tanding yang
tak kenal ujung pangkalnya itu.
Berbeda dengan perasaan mereka adalah Rara Wilis. Ia
mempunyai kesan tersendiri dari pertempuran itu. Ketika
pertempuran itu menjadi semakin seru, iapun menjadi
semakin cemas. Meskipun kemudian ia merasa, bahwa
Mahesa Jenar memiliki kemampuan yang cukup untuk
mengimbangi kekuatan iblis berjubah abu-abu itu, namun
setiap serangan Pasingsingan dirasanya seperti serangan
pada dirinya sendiri. Setiap sentuhan yang mengenai tubuh
Mahesa Jenar, seolah-olah kulitnyalah yang terluka. Rara
Wilis tiba-tiba menjadi cemas, jauh lebih cemas daripada ia
sendiri yang bertempur. Ia sama sekali tidak rela kalau lakilaki itu sampai dapat disinggung oleh lawannya. Ia tidak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
rela kalau laki-laki itu sampai terluka. Ketika Wilis sadar
akan perasaannya itu, tiba-tiba warna merah membersit ke
pipinya. Ia merasa malu sendiri, meskipun ia yakin bahwa
tak seorang pun yang memperhatikannya. Tetapi seolaholah setiap ujung daun-daun pepohonan di sekitarnya itu
tersenyum melihat warna hatinya. Seolah-olah desir angin
yang lewat di belakangnya berbisik di telinganya, "Jangan
cemas Rara Wilis, kau tidak akan kehilangan laki-laki itu."
Tiba-tiba Rara Wilis menundukkan wajahnya dengan
tersipu-sipu. Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba arena itu dikejutkan oleh
sebuah teriakan nyaring yang terlontar dari belakang
topeng kasar Pasingsingan. Bersamaan dengan itu
memancarlah udara panas ke segenap penjuru. Ke arah
mereka yang sedang terpesona menyaksikan pertempuran
itu, sehingga tanpa mereka sengaja, segera mereka
berloncatan mundur beberapa langkah. Bahkan Jaladri
segera berlindung ke balik sebuah pohon untuk
menghindarkan diri dari serangan panas yang luar biasa.
Itulah pengaruh dari ilmu Alas Kobar yang dahsyat, yang
tidak saja dilontarkan oleh Lawa Ijo, tetapi kini oleh
gurunya, Pasingsingan. Alangkah dahsyatnya ilmu itu. Tetapi yang paling dahsyat
mengalami serangan itu adalah orang yang dituju. Dalam
penerapan ilmu itu tubuh Pasingsingan sendiri seolah-olah
telah berubah menjadi bara baja yang panasnya tak
terhingga. Mahesa Jenar terkejut mengalami serangan panas itu.
Setiap sentuhan dengan tubuh Pasingsingan, terasa panas
yang luar biasa menyengat kulitnya, disamping libatan
udara panas di seluruh tubuhnya. Dalam keadaan yang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
demikian, sadarlah Mahesa Jenar bahwa lawannya telah
matek aji yang pernah didengarnya bernama Alas Kobar.
Untuk sementara Mahesa Jenar terpaksa terdesak
mundur. Ia mencoba menghindari setiap sentuhan tubuh
Pasingsingan. Tetapi dalam keadaan yang demikian, Mahesa Jenar
sama sekali tak berniat melarikan diri. Sebagai seorang lakilaki, ia akan menghadapi setiap kemungkinan. Ia merasa
menjadi pelindung dari seluruh perkemahan itu. Kalau ia
terpaksa melarikan diri, maka ia tak ada artinya sama
sekali. Apa saja yang pernah dilakukan dan apa saja yang
pernah dipercayakan orang kepadanya. Dalam perjuangan
melawan kejahatan tak ada niatnya untuk sekadar
menyelamatkan dirinya sendiri, dan membiarkan orang lain
binasa karenanya. Karena itulah maka Mahesa Jenar
membulatkan tekadnya. Mengumpulkan segenap kekuatan
lahir batinnya, dengan tekad bulat untuk melawan
Pasingsingan, betapapun pengaruh panas itu menyengatnya
di segenap bagian tubuhnya.
Anehnya, bahwa yang terjadi kemudian adalah di luar
dugaan. Di luar dugaan Mahesa Jenar sendiri. Ketika ia
telah membulatkan tekad, memusatkan segenap kekuatan
yang ada padanya, lahir batin, serta pasrah diri setulustulusnya kepada Yang Maha Kuasa, maka tiba-tiba terasa,
bersama-sama dengan nafasnya yang semakin teratur,
sejalan dengan peredaran darahnya, mengalirlah udara
segar di dalam tubuhnya. Mahesa Jenar telah mengenal
perasaan itu. Ia merasakan seperti aliran kekuatan yang
luar biasa, yang dalam keadaan khusus, seperti yang
pernah dilakukan apabila ia sedang menerapkan ilmunya
Sastra Birawa, merambat dari pusat jantungnya mengalir ke
sisi telapak tangannya. Tetapi kini, dalam pemusatan tekad,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
untuk melawan libatan udara panas yang mematuk-matuk
seluruh permukaan tubuhnya itu, terasa kekuatan dari
pusat jantungnya itu mengalir menurut peredaran darah ke
segenap bagian, menurut jalur-jalur darah yang paling kecil
sekalipun. Terasalah untuk beberapa saat darahnya seperti
mendidih. Terjadilah seolah-olah benturan yang sengit di
seluruh permukaan kulitnya. Dalam keadaan yang demikian,
terganggulah gerak tempur Mahesa Jenar, karena
perasaannya dipengaruhi oleh pemusatan kehendak untuk
melawan udara panas itu. Maka tanpa setahunya, tiba-tiba
serangan Pasingsingan yang dahsyat telah berhasil
menyusup diantara jaring-jaring pertahanan Mahesa Jenar,
langsung mengenai pundaknya. Serangan itu bukanlah
sekadar serangan Alas Kobar, tetapi benar-benar tangan
Pasingsingan mengenai pundak itu.
Mahesa Jenar yang sedang berjuang melawan Aji Alas
Kobar itu terdorong beberapa langkah surut. Tetapi ia
adalah seorang yang masak dalam pemusatan kehendak.
Meskipun ia terdorong dan bahkan kemudian ia terjatuh,
namun ia sama sekali tidak melepaskan diri dari usahanya,
membulatkan diri, dalam perlawanannya.
Dalam saat yang demikian itulah, sebenarnya Mahesa
Jenar telah menerapkan ilmunya Sasra Birawa pula. Namun
dalam bentuk yang berbeda. Tanpa setahunya sendiri
sebelumnya, bahwa sebenarnya ilmunya Sasra Birawa
dalam bentuk perlawanan dan pertahanan dapat disalurkan
ke segenap bagian tubuhnya. Ke segenap bagian-bagian
yang terkecil sekalipun untuk kemudian melawan rangsangan yang betapapun dahsyatnya, yang mencoba
mempengaruhi tubuh itu. Tetapi meskipun demikian, ilmu itu tidak dapat menahan
dorongan kekuatan yang luar biasa, yang dilontarkan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Pasingsingan dengan penuh kemarahan, sehingga Mahesa
Jenar jatuh terbanting di tanah setelah terdorong beberapa
langkah surut. Mereka yang menyaksikan peristiwa itu, dadanya serasa
akan pecah, Mahesa Jenar bagi mereka adalah satu-satunya
orang yang dapat diharapkan untuk menyelamatkan
perkemahan ini. Ketika mereka melihat betapa Pasingsingan
semakin lama semakin terdesak yakinlah mereka bahwa
Mahesa Jenar akan dapat melakukan tugasnya dengan baik.
Namun tiba-tiba, dalam kabut ilmu Alas Kobar, Mahesa
Jenar ternyata dapat dikuasai oleh lawannya, bahkan
kemudian dengan suatu serangan jasmaniah, Mahesa Jenar
dapat didorongnya jatuh. Apalagi ketika ia kemudian melihat Pasingsingan itu
tertawa sambil bertolak pinggang, dan dari sela-sela lubang
topengnya terdengarlah ia bergumam, "Hem... aku terpaksa
melakukan apa yang telah aku katakan. Mematahkan
tulangmu satu demi satu. Aku ingin melihat kau kesakitan
dan ingin mendengar kau berteriak minta ampun."
Mendengar ancaman itu, teganglah semua orang yang
berdiri agak jauh dari lingkaran pertempuran itu. Tetapi
pastilah bahwa mereka tidak akan tinggal diam. Karena
mereka sama sekali tidak mampu untuk mendekati iblis itu,
maka mereka menjadi agak bingung, bagaimana cara
mereka untuk berjuang bersama-sama, dan kalau perlu
mati bersama-sama dengan Mahesa Jenar.
Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba Pasingsingan
dikejutkan oleh seleret sinar yang tebal menyambarnya.
Karena itu mendadak suara tertawanya terhenti. Dengan
lincahnya ia merendahkan dirinya sambil berputar setapak
ke samping. Namun belum lagi ia berhenti bergerak,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
disusullah sinar tebal itu dengan sambaran sinar yang lain.
Sekali lagi Pasingsingan terpaksa menghindar. Ketika itu ia
kemudian melihat bahwa kedua sambaran sinar itu tidak
lain tombak pendek yang melontar dari tangan Arya Salaka,
disusul oleh sebatang trisula dari tangan Mantingan,
terdengarlah hantu itu menggeram marah. Sekali lagi
terdengar ia bergumam, "Tikus-tikus yang malang. Jangan
banyak tingkah. Supaya kau nanti dapat mati dengan
tenang." Dalam pada itu dada Rara Wilis pun terasa menjadi
pepat. Sesaat ia memejamkan matanya. Ia tidak sampai
hati melihat Mahesa Jenar terbanting. Tetapi ia tidak mau
membiarkan laki-laki itu mengalami cidera. Tetapi tidak
sesadarnya, ia berusaha untuk meloncat mendekati. Namun
langkah Wilis pun terhenti ketika tubuhnya serasa hangus
terbakar. Tetapi hatinyalah yang lebih dahulu hangus
daripada tubuhnya, sebab bagaimanapun juga Mahesa
Jenar adalah tempat ia meyangkutkan harapan bagi masa
depan. Terdorong oleh perasaan yang tak disadarinya sendiri,
yang jauh lebih tebal dari perasaan setiakawan, telah
memaksa Rara Wilis untuk tidak mempedulikan diri sendiri.
Meskipun tubuhnya serasa terbakar oleh panas yang
melampaui panasnya api, ia mencoba juga berjalan setapak
demi setapak ke arah Mahesa Jenar, sedang matanya sama
sekali tidak mau melepaskan setiap gerak gerik hantu
berjubah abu-abu itu. Kalau-kalau tiba-tiba ia meloncat dan
menyerangnya. Tetapi sebalum ia berhasil mencapai lakilaki yang dicemaskan itu, terasa seluruh kulit dagingnya
menjadi luluh. Ketika ia maju setapak lagi, ia menjadi kehilangan
segenap daya tahannya. Bagaimanapun ia berusaha,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
akhirnya ia terhuyung-huyung jatuh. Tetapi betapa


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkejutnya ketika terasa sepasang tangan menyambarnya.
Dan dengan suatu loncatan panjang ia telah dibebaskan
dari daerah pengaruh yang berbahaya dari aji Alas Kobar
itu. Dengan cemas ia mencoba mengamat-amati, siapakah
yang telah menolongnya itu. Sekali lagi ia terkejut
kepadanya. Ternyata yang menyelamatkannya dari lingkaran yang berbahaya itu adalah Mahesa Jenar sendiri.
Semula ia hampir tidak percaya pada dirinya. Bahkan ia
mengira, apakah ia tidak bermimpi atau pingsan atau mati,
dan bertemu dengan laki-laki itu di alam lain. Tetapi
perasaan itu segera lenyap ketika terdengar suara
Pasingsingan menggeram, "Setan. Ternyata nyawamu
rangkap, Mahesa Jenar."
Mahesa Jenar kemudian meletakkan Rara Wilis dari
tangannya. Ternyata daya tahan gadis itu luar biasa pula,
sehingga demikian ia menyentuh tanah, demikian ia telah
dapat berdiri di atas kedua kakinya sendiri. Ketika ia
memandang berkeliling, dilihatnya segenap mata yang
memandangnya memancarkan keheranan dan kekaguman.
Bahkan seperti sorot mata yang bimbang akan kebenaran
penglihatan mereka. Tiba-tiba dari antara mereka Arya
Salaka meloncat berlari ke arah gurunya, kemudian
meraba-raba tubuh itu sambil berkata lirih, "Adakah guru
selamat...?" Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Bagaimana
mereka tidak heran, kalau dirinya sendiripun hampir-hampir
tidak mengerti atas peristiwa-peristiwa yang dialami.
Namun pengenalannya pada getaran-getaran yang memancar dan pepat jantungnya telah memberinya sedikit
keterangan, bahwa kekuatan Sasra Birawa-nya telah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengalir dan membendung segenap rangsangan yang
menyentuh tubuhnya. Memang mula-mula Mahesa Jenar merasakan betapa
udara panas melibat seluruh tubuhnya. Bagaimana kulitnya
serasa terkelupas karena sentuhan-sentuhan tubuh Pasingsingan. Namun sejak ia mulai mengatur diri,
memusatkan tekad pada perlawanan atas serangan panas
di segenap permukaan tubuhnya, pernafasan yang
diaturnya baik-baik seperti apabila ia siap untuk
melontarkan ilmunya Sasra Birawa, terasa betapa di dalam
tubuhnya terjadi pergolakan-pergolakan yang cepat. Terasa
betapa getaran-getaran dari pusat jantungnya mulai
bergerak. Tidak ke sisi telapak tangannya, namun menjalar
ke segenap bagian tubuhnya. Dengan demikian, kekuatan
di dalam dirinya telah langsung mengadakan perlawanan.
Pada saat yang demikian itulah ia merasa sebuah dorongan
yang kuat pada pundaknya, disertai suatu gigitan nyeri
yang bukan main, sehingga ia terdorong dan terbanting
jatuh. Untuk sesaat memang seolah-olah ia kehilangan daya
perlawanannya. Tetapi dalam pada itu, getaran-getaran di
dalam tubuhnya itu menjadi semakin deras mengalir.
Apalagi Mahesa Jenar membiarkan dirinya seperti sebuah
batu yang menggelinding karena sebuah dorongan yang
kuat tanpa daya perlawanan. Dengan demikian ia dapat
tetap pada pemusatan pikiran, mempercepat aliran getarangetaran dari pusat jantungnya itu, sehingga batu itu sendiri
sama sekali tidak mengalami cidera sama sekali.
Akhirnya segenap perasaan sakit, nyeri, panas dan
segala macam perasaan yang merangsang dari luar
tubuhnya, perlahan-lahan menjadi berkurang, bahkan
akhirnya menjadi punah sama sekali. Meskipun ia masih
berada dalam jarak capai aji A las Kobar, namun ia tidak lagi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
merasakan betapa panasnya aji itu, yang semula dirasanya
melampaui panasnya bara. Namun demikian, ia tidak segera bangkit. Ia masih
mencoba meyakin keadaannya. Karena itulah maka seolaholah Mahesa Jenar setelah terbanting jatuh tidak mampu
lagi untuk tegak kembali.
Mahesa Jenar masih tetap berdiam diri, ketika ia melihat
tombak muridnya menyambar Pasingsingan, disusul oleh
sebuah trisula yang terbang secepat kilat. Namun kedua
senjata itu sama sekali tidak mengenai sasarannya.
Tetapi ia tidak dapat tetap berbaring di situ, ketika ia
melihat Rara Wilis dengan tanpa menghiraukan keadaan diri
sendiri, mencoba menerobos lingkaran aji Alas Kobar.
Apalagi ketika ia melihat gadis itu menjadi sangat payah
dan hampir-hampir saja terjatuh. Dengan sigapnya ia
melenting berdiri dan meloncat ke arah Rara Wilis.
Untunglah Mahesa Jenar berbuat cepat pada saatnya,
sehingga dengan lemahnya Rara Wilis terkulai di
tangannya. Meskipun dalam keadaan yang bagaimanapun juga,
namun Rara Wilis yang dengan lemahnya, menyandarkan
kepalanya pada dadanya itu, telah menggetarkan perasaannya. Perasaan seorang laki-laki yang sedang
mengenyam angan-angan tentang seorang gadis. Mau rasarasanya, untuk tidak melepaskan gadis itu dari tangannya
untuk seumur hidupnya. Tetapi keadaan itu kemudian
hancur terurai oleh geram Pasingsingan. Dan karena itulah
maka Mahesa Jenar sadar, bahwa bahaya masih tetap
melekat di hidungnya. Maka perlahan-lahan Rara Wilis itu
kemudian diletakkan di atas tanah. Mahesa Jenar menjadi
terharu juga, ketika muridnya berlari-lari untuk meraba-raba
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tubuhnya, seolah-olah mencari-cari apakah ada yang hilang
darinya. Dengan penuh perasaan sayang seorang ayah,
Mahesa Jenar menepuk kepala anak muda itu sambil
menjawab pertanyaan, "Aku tidak apa-apa, Arya. Bukankah
anggota badanku masih utuh?"
Tetapi mereka tidak bercakap-cakap lebih banyak.
Pasingsingan yang melihat Mahesa Jenar itu bangkit
kembali dan seolah-olah tidak pernah mengalami sesuatu,
menjadi tidak kalah herannya. Tetapi justru dengan
demikian hatinya menjadi semakin panas. Ia cemas pada
kenyataan, bahwa Mahesa Jenar kini adalah seorang yang
memiliki kesaktian yang tinggi. Cemas pada kegagalannya
untuk mendapatkan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten
yang akan dipergunakan sebagai pancatan, nggayuh
kemukten, mencapai impiannya yang indah. Kekuasaan atas
gerombolannya, untuk kemudian meningkat pada kekuasaan atas tanah ini. Atas kerajaan Demak.
Namun demikian, terdorong oleh nafsu yang bergelora di
dalam dadanya, maka ia merasa, bahwa Mahesa Jenar
harus dibinasakan. Ia tidak perlu berfikir lagi, apakah ia
harus bersikap jantan atau tidak. Namun tujuannya sudah
pasti. Membunuh laki-laki yang menghalang-halangi
niatnya. Selama orang yang bernama Mahesa Jenar dan
bergelar Rangga Tohjaya itu masih hidup, selama itu pula
niatnya akan selalu dirintanginya. Karena itu, maka dengan
menggeram penuh kemarahan, berkilat-kilatlah sebuah
pisau belati panjang di tangan hantu berjubah abu-abu itu.
Ia sudah bertekad untuk membunuh Mahesa Jenar dengan
Alas Kobar bersama-sama dengan pusaka Pasingsingan, Kiai
Suluh, yang bercahaya kekuning-kuningan.
Melihat Pusaka itu, Mahesa Jenar terkejut. Ia tahu benar
betapa berbahayanya pisau belati itu. Pisau belati ciri
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
khusus dari orang yang bernama Pasingsingan, yang
diterima turun-temurun dari Pasingsingan tua, Raden
Buntara, lewat Radite, yang kemudian karena keteguhan
jiwa Radite dapat digoncangkan oleh paras yang cantik,
akhirnya pusaka itu jatuh ke tangan iblis yang berbahaya
ini. Demikianlah, maka kini Mahesa Jenar harus berjuang
mati-matian. Untunglah bahwa aji Alas Kobar itu sudah
tidak berpengaruh atas tubuhnya, sehingga ia dapat
memusatkan daya perlawanan terhadap pisau belati
Pasingsingan itu. Ketika Pasingsingan sudah siap, Mahesa Jenar segera
melangkah maju. Dengan dada tengadah ia berjalan
perlahan-lahan, namun dengan penuh kepercayaan pada
diri sendiri, penuh kepercayaan pada kekuasaan Tuhan,
bahwa pengabdiannya akan mendapat limpahan perlindungan-Nya. Sebab iapun yakin bahwa setiap
pengingkaran pada kebenaran, bagaimanapun juga dipertahankan dan diperjuangkan oleh kekuatan apapun,
namun tak ada kekuatan yang mampu melawan hukum
kebenaran dan keadilan yang digoreskan oleh tangan Yang
Maha Adil. Sekali lagi dada Pasingsingan bergetar melihat sikap
Mahesa Jenar. Tenang, namun meyakinkan. Dalam saat
yang sekejap itu melingkar-lingkarlah di dalam benak
Pasingsingan, bayangan-bayangan dari masa lampaunya
dan gambaran dari masa idamannya, yang bergumul pula
dengan bayangan-bayangan Pasingsingan-Pasingsingan
yang terdahulu, silih berganti. Kemudian sampailah ia pada
suatu umpatan yang kotor terhadap Radite dan Anggara.
Kepadanyalah ia melimpahkan kesalahan, sebab Umbaran
itu menyangka bahwa Mahesa Jenar menjadi masak karena
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tangan mereka, untuk dijadikan alat membalas sakit
hatinya, sebab Radite sendiri terikat dengan suatu
perjanjian yang tak akan dilanggarnya. Apalagi ketika ia
melihat Mahesa Jenar sama sekali tidak terpengaruh oleh
aji andalannya, Alas Kobar.
Ketika ia sedang menimbang-nimbang, tiba-tiba bersama
dengan desir angin malam yang mengusap daun-daun
pepohonan, terdengarlah kembali telapak kaki kuda yang
semakin lama semakin dekat. Mahesa Jenar tersenyum
mendengar telapak kaki kuda itu. Ia percaya bahwa tak
seorangpun dapat menghalangi perjalanan Kebo Kanigara.
Kalau orang itu cepat sebelum hantu itu pergi, maka ia
mengharap akan dapat menangkap Umbaran itu hiduphidup. Ia ingin menyerahkannya kepada Pasingsingan tua,
untuk mendapat pengadilan.
----------o-dwkz-0-arema-o---------Editing oleh Ki Arema SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 18 I PASINGSINGAN melihat perubahan wajah Mahesa Jenar
itu. Karena itu ia curiga. Ia tidak tahu siapakah yang datang
berkuda itu. Dengan penuh perhatian ia mencoba
mengetahui, kira-kira berapa orang yang akan datang pula
ke tempat itu. Telinganya yang tajam segera dapat
mengetahui bahwa derap kuda itu tidak akan lebih dari lima
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
atau enam. Dengan demikian ia dapat mengira-ira kekuatan
rombongan itu. Tetapi karena otak Pasingsingan sedang
terganggu oleh bayangan-bayangan yang mencemaskan
hatinya, bayangan bayangan Pasingsingan tua, Radite, dan
Anggara, maka tiba-tiba menjalarlah dugaannya kepada
salah seorang dari mereka. Apakah didalam rombongan itu
akan datang pula Radite atau Anggara" A tau malah keduaduanya..." Seandainya bukan mereka sekalipun, semakin
banyak orang yang harus dilawannya, semakin kecil pula
kemungkinan yang dapat diperoleh untuk memenangkan
pertempuran ini. Sebab ia yakin bahwa seandainya ia pun
pasti tidak akan tinggal diam. Karena itu disamping Mahesa
Jenar sendiri, kehadiran orang lain di perkemahan itu akan
dapat menambah kesulitan bagi Pasingsingan. A palagi kalau
ia mengetahui, bahwa yang datang itu adalah seekor
burung rajawali yang perkasa, yang bahkan melampaui
keperkasaan Mahesa Jenar, lawannya yang mencemaskan
hatinya itu. Karena itulah maka akhirnya dengan kecewa Pasingsingan terpaksa melihat kenyataan-kenyataan itu.
Sebagai seekor serigala yang ganas, ia tidak mau mati di
dalam kandang kelinci. Maka ketika didengarnya bahwa
telapak kuda itu dengan lajunya mendekati perkemahan itu,
tiba-tiba Pasingsingan menggeram keras sekali. Mahesa
Jenar pun segera bersiap menghadapi setiap kemungkinan.
Matanya tidak bergeser dari ujung pisau belati Pasingsingan


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berwarna kuning kemilau.
Tetapi adalah diluar dugaannya, bahwa tiba-tiba hantu
berjubah abu-abu itu seperti terbang melontar mundur, dan
dengan kecepatan luar biasa ia memutar tubuhnya dan
meluncur seperti dihembus badai. Mahesa Jenar untuk
beberapa saat tertegun heran. Karena itulah ia kehilangan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
waktu untuk mengejarnya. Meskipun kemudian Mahesa
Jenar dengan kecepatan yang tak kalah dari kecepatan
Pasingsingan meloncat mengejarnya, namun hantu itu telah
lenyap di dalam semak-semak, berselimut kehitaman
malam. Sementara itu, derap kaki-kaki itu sudah semakin dekat.
Dan tiba-tiba dari dalam gelap tersembullah beberapa orang
penunggang kuda. Yang paling depan adalah Kebo Kanigara
yang masih melekatkan hampir seluruh tubuhnya pada
punggung kudanya. Demikian kuda itu masuk ke halaman
perkemahan itu, dengan sigap para penunggangnya segera
menarik kekangnya, sehingga kuda-kuda itu meringkik dan
berdiri pada kedua kaki belakang. Demikian kuda itu
meletakkan kedua kaki mereka, sedemikian para penunggangnya berloncatan turun.
Ketika Endang Widuri melihat ayahnya datang, segera ia
meloncat berlari ke arahnya sambil berteriak, "Ayah, sayang
ayah terlambat." Melihat putrinya berlari-lari menyongsong, dada Kebo
Kanigara serasa tersiram embun. Namun ia menjadi sedikit
ragu mendengar kata-kata itu, sehingga terlontarlah
pertanyaannya, "Apa yang terlambat?"
Widuri kemudian dengan manjanya memeluk lambung
ayahnya sambil menjawab, "Baru saja kami menonton
pertunjukan yang luar biasa."
"Pertunjukkan apa?" desak ayahnya tidak sabar.
"Paman Mahesa Jenar bermain sulap melawan tukang
sihir berjubah abu-abu," jawab gadis itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mendengar keterangan Endang Widuri, Kebo Kanigara
menarik nafas. Terdengarlah ia berdesis perlahan,
"Pasingsingan...?"
Tetapi ia sudah tidak terkejut lagi, sebab ia memang
sudah menduga sebelumnya, bahwa guru Lawa Ijo itu
berada di perkemahan. "Di mana pamanmu sekarang?" tanya Kebo Kanigara.
"Paman mengejar tukang sihir itu," jawab Endang Widuri.
Sementara itu yang lainpun telah berdiri mengitarinya.
Dengan penuh hormat mereka membungkukkan kepala.
"Adakah kalian selamat?" tanya Kebo Kanigara kepada
mereka. "Atas pangestu Kakang, kami semua selamat. Karena Adi
Mahesa Jenar tidak terlambat datang," jawab Mantingan.
Kebo Kanigara masih melihat kesan-kesan yang
mencemaskan pada wajah-wajah mereka. Apalagi pada
wajah Rara Wilis yang hampir-hampir saja hangus oleh aji
Alas Kobar, sedang Widuri itupun masih kelihatan pucat.
"Apa yang sudah dilakukan?" Kebo Kanigara bertanya
pula. Tetapi sebelum Mantingan sempat menjawabnya,
terdengarlah Endang Widuri berceritera dengan riuhnya,
"Setan itu bisa menjadikan dirinya panas seperti bara, dan
dengan suara tertawa ia dapat merontokkan isi rongga
dada. Ah sayang, ayah tidak melihat kami pada waktu itu.
Lucu sekali. Pasingsingan itu sama sekali tidak berbuat apaapa kecuali tertawa. Dan kami semuanya menggigil, bahkan
seperti ayam disembelih. Bukankah itu aneh sekali"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Untunglah bahwa Paman Mahesa Jenar dapat menghentikannya sebelum jantung kami patah karenanya."
Mendengar ceritera anaknya, Kebo Kanigara mau tidak
mau harus tersenyum. Tetapi kemudian senyumnya
terpaksa ditahannya ketika anaknya itu meneruskan,
"Kenapa ayah tersenyum, sedang kami hampir mati
karenanya?" "Bukankah kau sendiri berkata bahwa hal itu adalah lucu
sekali?" bantah ayahnya.
"Tetapi ayah jangan tersenyum. Sebaiknya ayah
mengucapkan ikut berduka cita. Apalagi Bibi Wilis. Ketika
bibi mencoba menolong Paman Mahesa Jenar yang tiba-tiba
terbanting karena serangan Pasingsingan itu, agaknya Bibi
Wilis nekad melawan udara panas yang memancar dari
tubuh tukang sihir jahat itu," sahut Widuri.
Sekali lagi Kebo Kanigara tak dapat menahan
senyumnya. Tanpa disengaja ia memandang ke arah Rara
Wilis yang menundukkan wajahnya. Ia menjadi malu
mendengar ceritera gadis kecil itu. "Aku berkata benar,
Ayah..." Widuri meneruskan sambil merengut. "Paman Mahesa
Jenar itu pun dapat dijatuhkannya, meskipun kemudian
terpaksa bangun kembali."
"Kenapa terpaksa?" tanya Kebo Kanigara.
"Sebab bibi Rara Wilis hampir terjatuh pula. Kalau tidak,
barangkali Paman Mahesa Jenar masih enak-enak
berbaring, menikmati hangatnya udara yang memancar dari
tubuh Pasingsingan dimalam yang begini dingin," jawab
Widuri. "Sudahlah... jangan membual," potong ayahnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Siapa bilang aku membual...?" sahut gadis itu. "Aku
berkata sebenarnya."
Kebo Kanigara masih saja tersenyum. Tetapi kemudian ia
mengangguk-anggukkan kepalanya. Melontarlah di dalam
benaknya perkataan anaknya itu, "Paman Mahesa Jenar itu
pun dapat dijatuhkannya."
Kemudian kepada Mantingan ia bertanya, "Adakah
Mahesa Jenar selamat?"
"Bagi kami" jawab Mantingan, "agak sulit untuk dapat
mengetahui keadaan sebenarnya. Sebab pertempuran itu
berada jauh dalam tingkatan yang tidak dapat kami capai.
Meskipun ia masih tetap segar dan bahkan sekarang iblis itu
sedang dikejarnya," Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Ia terkejut
ketika tiba-tiba didengarnya kemersik daun didalam semaksemak. Kemudian muncullah dari dalam semak itu, seorang
laki-laki yang berjalan perlahan-lahan ke arahnya.
"Mahesa Jenar..." sapa Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar mengangguk hormat sambil menjawab,
"Ya, Kakang." "Bagaimana dengan Pasingsingan?" tanya Kebo Kanigara. Sambil menggeleng Mahesa Jenar menjawab, "Aku tak
berhasil menangkapnya."
Kembali Kebo Kanigara mengangguk-angguk. Kemudian
katanya, "Tak apalah, bukankah ia tidak berhasil
menimbulkan bencana?"
"Pangestu Kakang," jawab Mahesa Jenar.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Baiklah..." kata Kebo Kanigara seterusnya, "Sekarang
cobalah, bangunkan orang-orang yang terkena sirep itu.
Mungkin pengaruhnya sudah jauh berkurang. Apalagi
sumbernya telah pergi pula."
Jaladri, Bantaran dan Penjawi tidak menunggu perintah
itu diulangi. Segera mereka pergi berpencaran untuk
membangunkan orang-orang yang tertidur nyenyak karena
syarafnya dipengaruhi sirep yang disebarkan oleh Lawa Ijo.
Sementara itu malam telah sampai di ujungnya. Di
kejauhan sudah terdengar ayam hutan berkokok bersahutan. Sedang langit telah diwarnai oleh cahaya perak
pagi. Cahaya lintang-lintang telah mulai pudar. Satu-satu
mulailah mereka menghilang dari wajah langit yang biru
bersih. Angin pagi yang berhembus lemah, menggoncanggoncang daun-daun pepohonan rimba.
"Marilah kita beristirahat," kata Kebo Kanigara,
"Bukankah kaliah lelah?"
"Semalam aku tidak tidur," sahut Widuri, "Karena itu aku
akan tidur sehari penuh."
"Aku tidak percaya," jawab ayahnya.
"Kenapa?" tanya Widuri.
"Belum lagi matahari sepenggalah, kau pasti sudah
bangun dan bertanya apakah sudah ada makan pagi,"
jawab ayahnya. Widuri tidak menjawab. Ia hanya mencibirkan bibirnya.
Kemudian ia memutar tubuhnya dan berjalan ke pondok
yang disediakan baginya. Yang lainpun kemudian berlalu
pula ke tempat masing-masing. Mantingan berjalan dengan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
langkah gontai, sedang Wirasaba seolah-olah tinggal
mampu menjerat tubuhnya dengan lemah. Meskipun
sebenarnya ia tidak sedemikian parah tenaganya, namun
peristiwa yang baru saja dilihatnya merupakan suatu
peristiwa yang membekas dalam sekali di dalam hatinya.
Rara Wilis yang masih sangat pucat pun berjalan menyusul
Endang Widuri untuk beristirahat.
Ternyata para anggota laskar Banyu Biru yang tertidur,
sudah tidak lagi dipengaruhi oleh sirep Lawa Ijo. Meskipun
masih ada diantara mereka yang merasa betapa nikmat
mimpi yang diperoleh, namun merekapun kemudian
berloncatan bangun ketika tubuh mereka digoncanggoncang oleh pemimpin-pemimpin mereka. Beberapa orang
malahan menjadi bingung, sedang beberapa orang lain
menjadi cemas dan malu. Lebih-lebih para petugas yang
pada malam itu sedang mendapat giliran jaga. Ketika
mereka meninggalkan gardu pimpinan, mereka mendapat
pesan untuk berhati-hati. Sebab mereka mendapat tandatanda buruk pada siang harinya. Apalagi firasat para
pemimpin laskar Banyubiru itupun telah memberi mereka
peringatan. Tetapi tiba-tiba pemimpin mereka itu terpaksa
membangunkan mereka di saat fajar hampir pecah.
Meskipun demikian, tersangkut pula di dalam dada mereka
sebuah pertanyaan yang tak dapat mereka jawab sendiri,
"Kenapa mereka telah melakukan suatu perbuatan yang
belum pernah mereka lakukan, dan bahkan belum pernah
terjadi didalam perkemahan itu, dimana seorang yang
diserahi tanggungjawab melalaikan tanggungjawab..."
Apalagi tidur di saat-saat penjagaan."
Tetapi, mMereka menjadi agak terhibur ketika mereka
mendengar penjelasan dari pemimpin-pemimpin mereka,
bahwa meskipun mereka tertidur dalam tugas mereka,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
namun itu bukanlah kesalahan mereka seluruhnya. Sebab
memang pengaruh sirep Lawa Ijo itu sedemikian tajamnya,
sehingga sulitlah untuk melepaskan darinya.
Ketika para pemimpin Banyu Biru itu kemudian
menempatkan petugas-petugas baru pada titik-titik yang
dianggap perlu untuk mendapat pengawasan, mereka pun
berpesan wanti-wanti kepada para petugas itu, bahwa
mereka harus benar-benar waspada. Mereka diwajibkan
segera memberikan tanda-tanda apabila ditemuinya sesuatu
yang mencurigakan, apalagi membahayakan.
Sesaat setelah mereka berangkat, di dalam gardu
pimpinan itu duduklah beberapa orang yang bercakapcakap dengan asyiknya. Diantara mereka adalah Jaladri,
Bantaran, Penjawi dan Wanamerta. Dengan penuh
semangat Jaladri berceritera tentang apa yang baru saja
dilihatnya. Sesuatu yang belum pernah dibayangkan,
meskipun hanya di dalam mimpi. Meskipun Jaladri sendiri
pada saat itu harus bertempur, tetapi setiap kali ia sempat
melirik ke arah lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain.
Ia melihat Rara Wilis itu bertempur seperti sikatan
menyambar belalang. Sigap, cepat dan lincah. Endang
Widuri benar-benar seperti burung camar yang bermainmain di atas gelombang. Meskipun lawannya adalah
seorang yang gemuk dan bersenjata di keduabelah
tangannya, namun gadis itu sama sekali tidak dapat
digetarkan. Yang menggemparkan dada Jaladri kemudian adalah
Arya Salaka. Ketika ia telah kehilangan lawannya, melarikan
diri, ia sempat untuk menyaksikan sepenuhnya pertempuran antara Arya Salaka melawan Lawa Ijo. Tak
pernah ia membayangkan bahwa Arya Salaka mampu
mengimbangi kekuatan Lawa Ijo dari Mentaok itu. Apalagi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Lawa Ijo telah berhasil menyerang anak muda itu dengan
udara panas, meskipun tidak sedahsyat Pasingsingan,
namun seakan-akan tak terasa sama sekali oleh Arya
Salaka. Bantaran dan Penjawi mendengarkan ceritera itu dengan


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seksama. Ia kecewa tidak dapat menyaksikan sendiri
tingkat ilmu Arya Salaka. Sebab ia ingin membandingkan
dengan tingkat ilmu Sawung Sariti, yang menurut
pendengarannya telah meningkat sedemikian, bahkan ia
telah memiliki ilmu sakti Lebur Seketi.
Di sebuah pondok yang lain, tampaklah Mahesa Jenar
duduk, bersama Kebo Kanigara. Di sudut yang lain dari
ruangan itu pula, Arya Salaka berbaring di atas sebuah
bale-bale bambu. Ia pun ternyata lelah. Meskipun demikian
ia tidak tertidur. Lamat-lamat ia masih mendengar gurunya
itu bercakap-cakap dengan Kebo Kanigara.
"Aku dengar dari Widuri, Pasingsingan itu berhasil
mendorongmu jatuh...?" tanya Kebo Kanigara.
"Ya, Kakang," jawab Mahesa Jenar. "Semula aku tidak
tahu bagaimana aku melawan udara panas yang dilontarkan
berdasarkan ajinya Alas Kobar."
"Tetapi bukankah kau akhirnya dapat mengatasi aji Alas
Kobar itu?" tanya Kanigara pula.
"Ya, tanpa aku ketahui, bagaimana terjadinya. Tetapi
pada saat aku membulatkan tekad untuk melawan panas
yang melibat seluruh tubuhku itu, tiba-tiba terasalah dari
dalam dadaku getaran-getaran yang aku kenal sebagai
sumber kekuatan Sasra Birawa mengalir ke segenap
tubuhku. Dan dengan demikian aku kemudian terbebas dari
pengaruh udara panas itu. Pada saat aku mengerahkan
getaran-getaran itulah aku dapat dikenai oleh Pasingsingan,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
di pundakku, sehingga aku terdorong jatuh. Karena aku
memang tidak mengadakan perlawanan pada daya dorong
itu, sebab aku tidak mau kehilangan kesempatan, sehingga
getaran-getaran itu terganggu."
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
tersenyum. Ia merasa bangga pula, bahwa Mahesa Jenar,
meskipun tanpa disadarinya sendiri telah meningkat pula
pada penguasaan ilmunya lebih sempurna lagi dengan
mengalirkan ilmu Sasra Birawa ke segenap tubuhnya dalam
bentuk perlawanan dan pertahanan. Kemudian ia bertanya
pula, "Tidakkah iblis itu kau lumpuhkan dengan Sasra
Birawa itu pula" Aku kira ia mempunyai cukup daya tahan
sehingga ia tidak akan mati karenanya. Dengan demikian
kau akan dapat menangkapnya hidup-hidup."
Mahesa Jenar ragu sebentar. Kemudian ia menjawab,
"Kakang, semula aku pun bermaksud demikian. Tetapi
ketika aku sadar bahwa getaran-getaran ilmuku sedang
mengalir ke segenap tubuhku, aku takut kalau-kalau
dengan demikian getaran-getaran itu harus terhisap
kembali untuk kemudian aku salurkan ke sisi telapak
tanganku. Dengan demikian aku akan hangus oleh aji Alas
Kobar itu." Kebo Kanigara kini tidak hanya tersenyum.Tetapi ia
tertawa. Katanya, "Itulah keistimewaanmu Mahesa Jenar.
Kau berhasil menekuni ilmu perguruan Pengging sehingga
hampir sempurna, tanpa tuntunan dari siapapun. Karena itu
di dalam perkembangan yang terjadi pada dirimu, ada
beberapa unsur yang tak kau kenal sendiri. Kau berhasil
meragakan sukmamu pada saat kau capai kesempurnaan
ilmu Sasra Birawa. Tetapi dalam penerapan yang pernah
kau kenal sebelumnya. Sedangkan sebenarnya engkau
dapat menerapkan dalam keperluan lain, karena kekuatanSH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhmu itu adalah
kelengkapan darimu sendiri yang tunduk pada kehendakmu.
Dengan demikian, Mahesa Jenar, aku yakin sekarang,
bahwa kau benar-benar akan dapat mengalahkan iblis itu
apabila pertempuran diteruskan. Sebab ilmu Sasra Birawa
adalah seperti mata air yang agung yang tak akan kering
meskipun airnya mengalir siang dan malam ke segenap
penjuru." Mendengar uraian Kebo Kanigara itu, alangkah besarnya
hati Mahesa Jenar. Ia merasa bahwa dadanya bergetar
karena bangga. Ah, seandainya saja ia tahu sebelumnya,
bahwa ilmu Sasra Birawa yang bersumber di pusat dadanya
itu seperti mata air yang tak akan kering di segala musim.
Seandainya ia tahu bahwa ia dapat mempergunakan ilmu
itu sekaligus untuk berbagai kemungkinan. Sebagai
manusia, Mahesa Jenar merasa bahwa ia kini memiliki
senjata yang dahsyat tiada taranya. Bukankah dengan
demikian ia menjadi seorang yang dapat membebaskan diri
dari perasaan sakit yang disebabkan oleh rangsang dari luar
tubuhnya apabila ia menghendaki dengan matek aji Sasra
Birawa" Meskipun ia tidak menjadi kebal karenanya, namun
ia memiliki ketahanan yang mirip dengan ilmu kekebalan.
Tetapi, sebenarnya pada saat-saat yang demikian itulah
saat-saat yang paling berbahaya bagi manusia. Pada saat ia
menyadari kelebihan diri dari orang lain. Pada saat ia
dengan penuh kesadaran merasa tak akan mudah orang
mengalahkannya. Untunglah bahwa Mahesa Jenar memiliki bekal yang
cukup untuk menerima kurnia dari Tuhan Yang Maha Esa
atas usahanya yang tak kenal lelah dalam pembajaan diri.
Itulah sebabnya, pada saat ia sadar akan dirinya, meskipun
mengembang pula perasaan bangga sebagaimana perasaan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
manusia biasa, namun di dalam relung hatinya, Mahesa
Jenar dengan penuh kerendahan diri, mengucapkan syukur
dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Yang Maha
Pengasih atas karunia itu. Bahkan diam-diam ia berjanji
untuk mempergunakan ilmunya dalam kebaktian dan
pengabdian pada titahnya, sesama manusia, dengan penuh
rasa cinta kasih. Kebo Kanigara menyaksikan wajah Mahesa Jenar dengan
seksama, seolah-olah ia sedang membaca apakah yang
tersirat dari wajah itu. Sebagai seorang yang penuh dengan
bermacam-macam pengalaman, tahulah Kebo Kanigara
bahwa pada saat-saat yang paling berbahaya itu, Mahesa
Jenar tidak tergelincir ke dalam sikap yang tercela. Ia tahu
bahwa Mahesa Jenar tidak menjadi sombong karenanya
sehingga kehilangan pengamatan atas tingkah laku dan
perbuatan-perbuatannya pada masa-masa yang akan
datang. Sebagai seorang yang berpandangan luas, Kebo
Kanigara mengerti bahwa Mahesa Jenar itu sampai
tergelincir karena kesombongannya atas keperkasaan diri,
atas ilmu yang dimilikinya, maka akibatnya akan sangat
berbahaya. Ia akan mampu menggoncangkan kerajaan
Demak. Tidak menggoncangkan keamanan dan ketertiban,
namun seandainya ia mau, ia akan dapat menghimpun
kekuatannya untuk menghancurkan Demak. Tetapi ia yakini
kemudian, bahwa Mahesa Jenar akan tetap dapat
memelihara kemurnian dari tujuannya. Mengabdikan diri
setulus-tulusnya pada keyakinannya, pada kebenaran dan
keadilan. Beberapa saat setelah pondok itu dicekam oleh
keheningan, terdengarlah Mahesa Jenar berkata perlahanlahan, "Aku bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, serta
berterima kasih kepada Kakang Kebo Kanigara yang telah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
memberi aku kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas
dalam pengabdian diri. Mudah-mudahan aku dapat
mrantasi, dapat memanfaatkan ilmuku ini sebaik-baiknya."
Kebo Kanigara mengangguk-angguk puas. Ia tidak
menjawab, tetapi hatinya berkata, "Berbahagialah kau
Mahesa Jenar. Berbahagialah atas kurnia yang kau terima,
dan berbahagia atas keluhuran hatimu."
Namun yang terucapkan adalah, "Meskipun demikian
Mahesa Jenar, aku atas nama gurumu, ayah Penging Sepuh
almarhum ingin memperingatkan bahwa ilmu perguruan
Pengging janganlah kau pergunakan pada setiap saat, pada
setiap kesempatan sebagai pameran kekuatan yang tak
berarti. Ilmu itu hanya akan kau pergunakan pada saat-saat
dimana kau harus dapat mempertanggung-jawabkan
akibatnya. Tidak kepada sesama manusia, tidak kepada
para pemimpin di Demak, bahkan tidak kepada Sultan
Demak saja. Tetapi lebih daripada itu, kau akan
mempertanggungjawabkan kepada Yang Maha Ada di atas
segala pertanggunjawaban yang lain. Sebab kau menjadi
lantaran, tidak dari para pemimpin dan tidak siapapun.
Tetapi ilmumu kau terima dari Yang Maha Tinggi."
Meskipun apa yang didengarnya dari Kebo Kanigara itu
seperti apa yang didengarnya dari suara hati nuraninya,
namun Mahesa Jenar dengan penuh minat mendengarkan
nasihat dari orang yang dianggapnya pengganti gurunya.
Sebab ia tahu benar bahwa Kebo Kanigara tidak hanya
mampu berkata, tetapi apa yang dilakukannya pun sesuai
benar dengan kata-katanya itu. Mempergunakan-ilmunya
pada kesempatan yang tepat, untuk keperluan yang tepat
pula. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kecuali Mahesa Jenar, di salah satu sudut ruangan itu
berbaring Arya Salaka. Ia mendengar semua pembicaraan
gurunya dengan Kebo Kanigara itu. Ia mengetahui pula,
betapa gurunya kini benar-benar menjadi manusia yang
luar biasa, yang tidak akan dapat dikalahkan oleh
Pasingsingan. Dengan demikian gurunya sudah tidak akan
lagi silau seandainya ia duduk bersama-sama dengan Ki
Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana, kakeknya,
dan orang-orang lain yang setingkat dengan mereka itu.
Namun disamping itu, ia mendengar pula nasihat-nasihat
Kebo Kanigara kepada gurunya.
Dengan demikian, di dalam hati Arya Salaka timbul pula
harapan, bahwa apabila ia bekerja dengan tekun, iapun
akan mampu pula menerima kekuatan seperti gurunya itu.
Meskipun demikian, di dalam hatinya tumbuh pula janji
kepada dirinya sendiri bahwa ia pun akan berbuat seperti
gurunya, seperti apa yang dinasihatkan oleh Kebo Kanigara.
Karena angan-angannya itu, maka tiba-tiba merasa badan
Arya Salaka bergetar. Bergetar karena harapan pada masa
yang akan datang, pada kesulitan-kesulitan yang masih
harus diatasi. Ketika kemudian Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar itu
bangkit dari tempat duduknya masing-masing untuk
beristirahat, dan membaringkan diri mereka masing-masing,
Arya Salaka masih tetap berangan-angan.
Tiba-tiba meloncatlah perasaan rindunya kepada masa
depan itu. Kepada masa dimana ia dapat menikmati
cerahnya sinar matahari, tanpa perasaan was-was dan
gelisah, tanpa perasaan cemas pada hari kemudian. Dan
tiba-tiba saja ia merasa rindu pula kepada keluarganya,
kepada ibunya yang mengasuhnya pada masa kanakkanaknya dengan penuh kasih sayang, kepada ayahnya,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang meskipun terkadang-kadang marah kepadanya,
namun dengan penuh keikhlasan seorang ayah telah
mendidiknya menghadapi masa kemudian. Arya Salaka
ingat benar betapa ayahnya berkata kepadanya, bahwa
kelak ia akan menjadi seorang pahlawan. Semula ia
mengira bahwa seorang pahlawan adalah seorang yang
hebat berkelahi, yang tak terkalahkan oleh siapapun juga.
Tetapi sekarang ia berpendapat lain. Karena pergaulannya
dengan gurunya, dan karena umurnya yang semakin
dewasa tahulah ia apa yang dimaksud dengan kata
pahlawan. Arya Salaka menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
mencoba memejamkan matanya, malah hilir-mudiklah
bayangan-bayangan masa lampaunya, masa kini dan
harapan-harapan bagi masa mendatang. Meskipun ia
menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mencoba melenyapkan bayang bayang itu, namun semakin ia
berusaha, semakin jelaslah bayangan-bayangan itu mengganggu. Ketika ia membuka matanya kembali, dilihatnya sinar
matahari yang masih sangat condong menembus dindingdinding pondoknya, membuat lingkaran-lingkaran cahaya di
lantai. Di kejauhan terdengar riuh burung-burung liar
berkicau bersahutan. Suaranya terdengar betapa merdunya,
semerdu lagu puji-pujian terhadap Tuhan, yang memperkenankan mereka masih menikmati indahnya pagi
ini. Sekali-kali di tengah-tengah rimba, melengkinglah kokok
ayam hutan bersambutan, di sela-sela angin pagi yang
berdesir lemah. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Di luar pondok itu, Arya Salaka mendengar orang
berjalan hilir-mudik dalam kewajiban masing-masing,
diantar oleh suara gerit timba serta debur air orang mandi.
Tetapi bayangan di dalam rongga matanya masih saja
mengganggu otak Arya Salaka. Bahkan kemudian ia ikut
pula dalam barisan-barisan angan-angan itu seorang gadis
yang nakal, namun cukup memiliki daya hidup yang
menyala-nyala di dalam dadanya. Mula-mula ia mencoba
mengenal gadis itu baik-baik di dalam angan-angannya.
Bentuk tubuhnya, senyum serta tawanya yang renyah,
seolah tingkahnya yang penuh kejujuran.
"Ah..." desah Arya Salaka. Sekali lagi ia mencoba
melenyapkan bayang-bayang yang aneh-aneh itu sambil
menarik nafas panjang. Tetapi bayang-bayang itu tetap
tegak di dalam angan-angannya.
Arya Salaka

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian bangkit dari tempat pembaringannya. Perlahan-lahan ia melangkah ke arah
pintu. Ketika ia berdiri di atas tlundhak pintu itu, ia melihat
kakak-beradik Sendang Papat dan Sendang Parapat lewat di
mukanya. Kedua kakak-beradik itu dengan hormat
membukuk kepadanya. Arya Salaka pun membungkuk
sambil tersenyum bangga. Ia bangga kepada anak-anak
Banyubiru yang gigih itu. Mereka ternyata tidak sekadar
berbuat untuk mendapat pujian atau gelar-gelar yang
menyenangkan, atau hadiah yang berharga. Tetapi mereka
melakukan semua itu dengan penuh kesadaran. Sadar akan
kewajibannya terhadap kampung halaman, sadar akan
kesetiaannya kepada tumpah darah.
Dari ruang di sebelah, Arya mendengar nafas gurunya
mengalir dengan irama teratur. Agaknya Mahesa Jenar itu
telah tertidur dengan nyenyaknya. Tiba-tiba Arya Salaka
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pun menguap. Perlahan-lahan ia menutup pintu pondok itu
dan perlahan-lahan ia berjalan ke tempat pembaringannya,
untuk kemudian merebahkan diri. Karena lelah dan kantuk,
akhirnya iapun tertidur pula.
Apa yang terjadi di perkemahan itu, ternyata telah
memberikan keyakinan yang lebih tebal lagi bagi Mahesa
Jenar maupun Arya Salaka, bahwa golongan hitam benarbenar telah meningkatkan kegiatannya. Mereka untuk
sementara memang dapat bekerja bersama, diantara
mereka menghanyutkan Banyubiru dengan harapan untuk
menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten, dan mempergunakan Banyubiru sebagai sasaran
pertama dalam usaha mereka membentuk pemerintahan
yang akan dapat menjadi tandingan dari pemerintah di
Demak. Bahkan dengan tujuan terakhirnya, melenyapkan
kekuasaan Demak. Dengan demikian, jelaslah kemudian, siapakah yang
mula-mula membuat rencana itu. Dengan desas desus serta
berbagai macam dalih dan alasan, akhirnya tergeraklah
golongan hitam seluruhnya untuk berusaha mendapatkan
keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten, mereka
mengadakan semacam perjanjian, siapa yang memiliki keris
sipat kandel Kraton Demak itu akan diangkat menjadi
pemimpin dari segenap gerombolan hitam yang terserakserak hampir di segenap sudut Demak. Dalam himpunan
itu, mereka mengharap dapat menguasai sebagian wilayah
Demak dan mempergunakan wilayah itu sebagai daerah
pancatan untuk menandingi kekuasaan Demak. Dalam
penelahan Mahesa Jenar, rencana itu pasti timbul dari
Pasingsingan. Apalagi ia telah menyuruh Lawa Ijo untuk
mengambil pusaka-pusaka dari perbendaharaan Istana,
yang sebenarnya perbuatan itu hanya sekedar usaha
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
darinya untuk membuktikan apakah kedua pusaka yang
diperebutkan itu bukan sekadar turunannya saja.
Meskipun dalam ilmu mereka, Pasingsingan merasa tidak
lebih tinggi dari Sima Rodra, Bugel Kaliki, dan sebagainya,
namun ia merasa bahwa ia memiliki kecerdasan dan
kemampuan berpikir lebih daripada mereka itu. Sehingga
bagi Pasingsingan, apabila keris-keris itu sudah berada di
dalam salah seorang anggota gerombolan hitam, baginya
akan lebih mudah untuk mendapatkannya daripada apabila
pusaka-pusaka itu berada di istana atau di tangan golongan
lain. Karena itu, demikian Pasingsingan mendengar Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten jengkar dari Istana,
demikian ia menyusun rencananya. Tetapi rencana yang
disusunnya itu tak dapat dilaksanakannya dengan baik.
Sebab tiba-tiba muncullah Lembu Sora yang meskipun tidak
termasuk di dalam golongan hitam, bahkan yang
sebenarnya mempunyai pertentangan kepentingan, namun
dalam beberapa hal mereka menunjukkan adanya
persamaan perbuatan dan tingkah laku. Mereka sama-sama
menaruh minat yang besar terhadap Kyai Nagasasra dan
Kyai Sabuk Inten, tidak untuk diserahkan kembali kepada
yang berhak, tetapi mereka ingin kedua pusaka itu untuk
diri mereka sendiri. Sehingga, dengan demikian jelaslah bagi Mahesa Jenar,
bahwa meskipun dalam gerak mereka dapat mewujudkan
irama yang senada, namun di dalam tubuh mereka itu,
seperti api di dalam sekam, setiap kali berkobarlah api
pertentangan yang maha dahsyat untuk memuaskan nafsu
kekuasaan mereka masing-masing. Meskipun demikian
Mahesa Jenar yakin, bahwa mereka tak akan mampu untuk
menyusun pemerintahan tandingan, namun apabila mereka
mulai melaksanakan rencana mereka, berarti akan terjadi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kekacauan dan keributan. Pembunuhan, perkosaan terhadap sendi perikemanusiaan dan banyak lagi hal-hal
yang akan terjadi. Rencana Pasingsingan menjadi semakin terpecah belah,
ketika kemudian Gajah Sora telah bertindak jauh
mendahului perhitungannya disusul dengan munculnya
orang yang bernama Mahesa Jenar. Yang ternyata adalah
orang itulah yang menentukan kegagalannya. Karena itu,
tak ada jalan lain bagi Pasingsingan, kecuali membunuh
Mahesa Jenar. Dalam keadaan yang terakhir, muncullah
rencana Pasingsingan yang mahahebat menurut perasaannya. Mengarahkan segenap kekuatan golongan
hitam untuk menghancurkan Banyubiru, memusnahkan
orang-orang seperti Mahesa Jenar, Lembu Sora, Sora
Dipayana, laskar Banyubiru kedua belah pihak, serta tunastunas masa depan, yaitu Arya Salaka dan Sawung Sariti
sekaligus. Mahesa Jenar dapat merasakan betapa dendam yang
tersimpan di dalam tubuh golongan hitam itu kepadanya.
Tetapi adalah menjadi tanggungjawabnya untuk menanggulanginya. Rombongan dari Nusakambangan yang datang ke
Banyubiru, serta rombongan Alas Mentaok yang datang di
perkemahan ini, memperjelas keadaan. Ternyata ketajaman
otak Mahesa Jenar cukup mampu untuk mengurai segala
sesuatu yang mungkin bakal terjadi, serta yang telah
direncanakan oleh golongan hitam itu.
Demikian lelahnya Arya Salaka pada saat itu sehingga ia
tertidur demikian nyenyaknya. Ketika matahari telah lewat
puncak langit, ia terkejut karena gurunya membangunkannya. Ketika ia membuka matanya, dilihatnya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kebo Kanigara duduk menghadap hidangan makan siang.
Nasi jagung dengan lauk daging binatang buruan dan
sayur-sayuran. "Tidakkah kau lapar?" tanya Mahesa Jenar.
Arya Salaka menggeliat. Kemudian iapun segera bangkit
dan pergi mencuci mukanya, untuk kemudian bersamasama dengan Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar, menikmati
makan siang dengan lahapnya.
Ketika mereka telah selesai makan, serta sisa-sisa
makannya telah disingkirkan oleh Endang Widuri, tiba-tiba
terdengarlah Mahesa Jenar berkata seperti kepada diri
sendiri, "Itulah yang aku cemaskan, Kakang."
Arya Salaka tidak tahu maksud kata-kata itu. Agaknya
gurunya telah lama membicarakan sesuatu masalah dengan
Kebo Kanigara. Kebo Kanigara mengangguk kecil. Tampaknya iapun
sedang berpikir. Sesaat kemudian iapun menjawab, "Kita
dihadapkan pada kemungkinan-kemungkinan yang tak
menyenangkan." Arya memandang kedua laki-laki itu tanpa berkedip.
Sebenarnya ingin juga ia mengetahui persoalannya, namun
ia tidak berani bertanya. Ia menjadi semakin tertarik pada
persoalan itu, ketika dilihatnya wajah gurunya menjadi
bersungguh-sungguh. Beberapa saat mereka kemudian berdiam diri. Seakanakan masing-masing terbenam dalam persoalan yang
kurang menyenangkan. Di luar terik matahari seperti membakar daun-daun
rerumputan yang menjadi kering karenanya. Tidak seberapa
jauh dari pondok itu terdengar orang menumbuk padi dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
jagung. Suaranya beruntun seperti suara orang berlagu
dengan irama yang tetap. Di arah lain terdengar suara
tempaan besi gemerinting bersahut-sahutan. Beberapa
orang pandai besi sudah bekerja keras untuk membuat atau
memperbaiki alat-alat pertanian dan bahkan ada diantara
mereka yang membuat senjata.
Kemudian terdengarlah Mahesa Jenar berkata, "Kakang,
aku kira, aku perlu memberikan keterangan keterangan
mengenai tugas kita kepada Arya Salaka."
Kebo Kanigara mengangguk mengiyakan, jawabnya,
"Berilah ia gambaran apa yang sudah terjadi dan apa yang
kira-kira akan terjadi."
Arya Salaka mengingsar duduknya. Ia menjadi bergembira. Dengan demikian ia mengharap akan dapat
mengetahui kesulitan-kesulitan apakah yang sedang
membebani perasaan gurunya serta Kebo Kanigara.
"Arya..." kata Mahesa Jenar, "Aku akan menceritakan
perjalanan kami sebagai utusanmu ke Banyubiru. Aku akan
mengatakan apa adanya, supaya kau mendapat gambaran
yang benar terhadap daerahmu, serta orang-orang yang
sedang berada di sana."
Arya Salaka mendengarkan kata-kata Mahesa Jenar
dengan penuh minat. Ketika kemudian Mahesa Jenar
menceriterakan apa yang telah dialami selama ini, maka
kata demi kata diperhatikannya dengan sungguh-sungguh.
Bahkan seolah-olah ia sendiri ikut serta mengalami
perjalanan yang kurang menyenangkan itu.
Meskipun Mahesa Jenar menceriterakan apa yang telah
terjadi, namun ia mencoba untuk tidak menimbulkan
kecemasan, apalagi ketakutan pada Arya Salaka. Ia
mencoba untuk menyingkirkan sentuhan-sentuhan pada
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
perasaan anak itu. Sebab ia tahu benar, betapa halusnya
perasaan Arya Salaka sebagai seorang anak yang sejak
belasan tahun harus sudah berpisah dari ikatan kasih
sayang ayah bundanya. Meskipun demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
terkejut mendengar pertanyaan Arya Salaka yang pertama.
Ia tidak bertanya tentang kemungkinan-kemungkinan bagi
dirinya sendiri. Ia tidak bertanya, apakah dirinya masih
mempunyai kemungkinan untuk kembali ke tanah
pusakanya yang telah lama terlepas dari tangannya. Ia
tidak bertanya apakah masih ada kemungkinan baginya
untuk kembali ke Banyu Biru sebagaimana ayahnya. Tetapi
pertanyaan yang pertama-tama diucapkan oleh anak muda
itu adalah, "Paman, tidakkah Paman bertemu dengan
Bunda?" Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Beberapa
saat ia berpandangan saja dengan Kebo Kanigara.
Bagaimana ia akan menjawab pertanyaan itu. Memang
dalam saat yang gawat, seperti yang dihadapinya pada saat
itu, terlupakanlah kepentingan-kepentingan lain, sehingga
pada saat itu ia tidak bertanya dan berusaha menemui Nyai
Ageng Gajah Sora. Karena itulah maka ia tidak berceritera
tentang orang itu. Arya Salaka yang mendengarkan setiap
kata demi kata, menjadi kecewa ketika ceritera Mahesa
Jenar itu berakhir tanpa menyebut ibunya, justru ibunya itu
bagi Arya Salaka adalah suatu kepentingan yang tak kalah
artinya dari segenap kepentingan-kepentingan yang lain.
Akhirnya Mahesa Jenar menjawab, "Arya, aku minta
maaf kepadamu, bahwa aku tidak mendapat kesempatan
sama sekali untuk berbuat lebih banyak dari yang sudah
aku lakukan. Sehingga dengan demikian aku tidak dapat
menemui Nyai Ageng Gajah Sora. Tetapi karena kakekmu Ki
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ageng Sora Dipayana tidak mengatakan sesuatu, aku kira
ibumu itu pun tidak mengalami sesuatu."
Mendengar jawaban itu Arya Salaka menundukkan
wajahnya. Ia benar-benar kecewa. Demikian rindunya ia
kepada ibunya, sehingga rasa-rasanya ia meloncat langsung
ke Banyu Biru saat itu juga.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat menyelami
perasaan anak itu sedalam-dalamnya. Mereka merasa juga
bahwa Arya telah menyalahkan mereka, kenapa mereka
sama sekali tidak ingat kepada orang yang telah
melahirkan, membesarkan dengan penuh kasih sayang.
Maka berkatalah Mahesa Jenar perlahan-lahan dan hatihati untuk

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menentramkan hati anak itu, "Arya, tenangkanlah hatimu. Berbanggalah kau, karena kau telah
menjauhkan kepentingan pribadimu, terpisah dari ayah
bunda, tetapi dengan menjunjung tinggi pengabdian diri
terhadap sesama, terhadap rakyatmu dan terhadap
Tuhanmu, sebagai sumber dari pengabdianmu menegakkan
kebenaran dan keadilan."
Arya Salaka masih saja menundukkan wajahnya. Namun
kata gurunya itu meresap pula di dalam kalbunya. Akhirnya
ia mencoba untuk menghadapi kenyataan itu sebagai
seorang laki-laki. Bagaimanapun kerinduan itu bergolak di
dalam dadanya, namun ia mencoba untuk menekannya
kuat-kuat. Bukankah kepentingan rakyatnya jauh lebih
berharga dari kepentingan diri" Seandainya ia kemudian
tenggelam dalam duka karena perasaan rindunya kepada
bunda, apakah yang akan dapat disumbangkan kepada
tanah perdikan Banyu Biru, tanah pusakanya" Karena itu
maka kemudian ia mengangkat wajahnya. Dengan penuh
tekad ia berkata, "Paman, biarlah aku lupakan perasaan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
rinduku kepada bunda. Lalu apakah yang harus aku
kerjakan?" Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bangga. Katanya, "Demikianlah putra Ki Ageng
Gajah Sora....Tengadahkanlah dadamu, besarkanlah hatimu. Sebab di depanmu ternganga jurang kewajiban
yang maha besar. Nah anakku, bersiaplah untuk dapat
beberapa hari ini bersama-sama dengan segenap laskarmu,
datang ke Banyu Biru."
Tiba-tiba wajah Arya Salaka jadi berseri. Dengan
demikian ia akan bertemu kembali dengan tanah tercinta,
dengan sawah ladang kampung halaman, meskipun
mungkin harus ditebusnya dengan darah.
Beberapa saat kemudian, berjalanlah Arya Salaka
meninggalkan pertemuan itu. Ia tidak tahu, kenapa yang
mula-mula dilakukan adalah pergi kepada Endang Widuri
dan mengabarkan rencana pamannya itu kepadanya.
"Kita akan bersama-sama ke Banyu Biru?" tanya Endang
Widuri yang tiba-tiba menjadi bergembira pula.
"Ya," jawab Arya Salaka.
"Aku akan dapat melihat rumahmu yang pernah kau
ceriterakan kepadaku dahulu di lereng pegunungan
Telamaya," sahut Widuri dengan mata yang berkiliat-kiliat.
"Bukankah begitu?"
"Ya," jawab Arya Salaka singkat.
"Dari halaman rumahmu dapat kita lihat wajah Rawa
Pening yang berkilau...?" Widuri meluruskan.
"Bukan dari halaman rumahku, tetapi dari alun-alun di
muka rumahku." Arya Salaka membetulkan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ya. Dari alun-alun di muka rumahmu. Jadi rumahmu itu
mempunyai alun-alun?" tanya Endang Widuri.
"Hem..." Widuri meneruskan, "Kalau begitu kau adalah
anak seorang yang kaya dan terhormat. Menurut ayahku, di
muka istana Demak pun ada alun-alun."
"Tidak selalu," potong Arya, "Ayahku bukanlah orang
yang kaya. Tetapi adalah lazim bahwa di muka rumah
kepala daerah perdikan terdapat alun-alun. Di Pamingit juga
ada alun-alun. Di Pangrantunan, bekas rumah kakek dahulu
juga terdapat alun-alun. Bahkan di muka rumah
kademangan Paman Sarayuda di Gunungkidul, katanya ada
alun-alun juga." "Kapan kita berangkat?" Tiba-tiba Endang Widuri
bertanya seolah-olah tidak sabar lagi menunggu sampai
esok. Arya Salaka menggelengkan kepalanya. "Entahlah,"
jawabnya. "Sebulan... dua bulan... atau setahun lagi...?" tanya
Endang pula. "Seharusnya Arya Salaka-lah yang paling tidak bersabar."
Tiba-tiba terdengar suara Rara Wilis dari belakang mereka.
Segera mereka itu pun menoleh. Dan tiba-tiba
terbersitlah perasaan malu di dalam dada Endang Widuri.
Perasan yang selama ini belum pernah dirasakannya.
Karena itu pipinya pun kemudian menjadi merah. Tetapi
perasaan itu hanya sebentar menjalar di dalam dirinya,
kemudian kembali terdengar suaranya renyah, "Kakang
Arya Salaka pun sebenarnya tidak bersabar pula. Tetapi ia
tidak mau mengatakannya. Sedang aku menjadi sangat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
ingin melihat kehidupan bukit Telamaya dan kecerahan
wajah Rawa Pening di pagi yang bening."
Rara Wilis tersenyum. Sebenarnya di dalam hatinya
sendiripun tersimpan pula harapan, agar segala sesuatunya
menjadi lekas terselesaikan. Sebagai seorang gadis ia lebih
mudah tersentuh oleh perasaan rindu kepada keluarga.
Kepada hidup kekeluargaan yang lumrah. Meskipun di
dalam tubuhnya mengalir juga darah pengembara dari
kakeknya, Pandan Alas, namun baginya lebih baik hidup
tentram damai dalam pelukan keluarga yang bahagia.
Bermain-main dengan anak dan suami serta bergurau
dengan tetangga. Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun
ikut duduk bersama dengan Arya dan Endang Widuri. Ikut
bercakap-cakap dengan mereka itu, untuk melupakan
kerinduannya pada masa yang diimpikan. Namun ia pun
sadar sesadar-sadarnya, bahwa ia harus mengutamakan
membantu orang yang dicintainya dalam mengemban
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kewajiban. Ia harus dapat menekan diri, dalam pergolakan
masa kini. Tetapi agaknya Mahesa Jenar tidak menunda-nunda
waktu lebih lama. Ketika matahari pada sore hari itu
terbenam, mulailah ia mengumpulkan beberapa orang
pemimpin laskar Banyubiru, di gardu pimpinan. Kebo
Kanigara, Rara Wilis bahkan Endang Widuri pun hadir pula.
Mantingan, Wirasaba, Wanamerta, Bantaran, Panjawi,
Jaladri, Sedang Papat, Sendang Parapat, dan beberapa
orang lagi. Dalam kesempatan itu Mahesa Jenar membeberkan
segala sesuatu mengenai persoalan yang rumit yang
menyangkut diri A rya Salaka. Karena itu ia ingin membawa
Arya Salaka ke Banyubiru. Tetapi tidak dalam rombongan
kecil, tetapi mereka bersama-sama akan berangkat, sebagai
suatu pernyataan bahwa apabila terpaksa, laskar Banyubiru
yang setia itupun memiliki kekuatan yang tak dapat
diabaikan. Dalam keriuhan sambutan yang bergelora, disertai
dengan keikhlasan berkorban dari para pemimpin laskar,
terdengar Mahesa Jenar berkata, "Laskar Banyubiru yang
setia, kalian harus ingat akan tujuan kalian. Sekali lagi aku
katakan, kita kembali ke Banyubiru tidak akan membalas
dendam. Kita datang ke Banyubiru untuk kepentingan
kebenaran dan keadilan, untuk kepentingan kemanusiaan.
Karena itu jangan berbuat hal-hal yang bertentangan
dengan kemanusiaan. Bertentangan dengan perasaan
keadilan dan bertentangan dengan sendi-sendi kemanusiaan." Pertemuan itu menjadi hening. Suatu pertanda bahwa
kata-kata Mahesa Jenar itu benar-benar meresap ke dalam
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dada setiap orang yang mendengarkan. Kemudian
terdengarlah ia melanjutkan, "Ingatlah bahwa kalian berada
dalam satu pimpinan. Jangan berbuat sendiri-sendiri yang
dapat merugikan nama baik kalian sebagai pejuang. Nah,
sejak besok pagi, bersiagalah untuk setiap saat berangkat
ke Banyubiru." Laskar Banyubiru yang setia itu menyambut pernyataan
Mahesa Jenar dengan penuh tekad. Mereka menyingkir ke
daerah Candi Gedong Sanga karena mereka sama sekali
tidak mau menerima keadaan yang menyedihkan di tanah
mereka. Karena itu ketika mereka mendapat kesempatan
untuk kembali ke Banyubiru, mongkoklah hati mereka.
Mereka tidak mengharap hal yang berlebih-lebihan. Mereka
tidak mengharap untuk kemudian menjadi Demang, Lurah
atau Bahu. Tetapi mereka sekedar mengharap pemerintahan yang adil dan jujur, berlandaskan pada sendisendi yang telah diletakkan sejak masa pemerintahan Ki
Ageng Sora Dipajana. Sebagai seorang yang patuh kepada
agamanya, Ki Ageng Sora Dipajana mendasarkan pemerintahannya kepada ketaatannya, pengagungan dan
kebaktiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai
sumber tindak tanduk dan tingkah lakunya di dalam
menjalankan pemerintahan, cinta kasih kepada sesama,
kepada manusia sebagaimana Tuhan menjadikan manusia
dengan penuh Cinta kasih, kepada tumpah darah, kampung
halaman serta lingkungan yang dikurniakan Tuhan kepada
manusia. Mendasarkan pemerintahan pada kepentingan
rakyatnya serta mendengarkan dan melaksanakan pendapat
mereka untuk kesejahteraan mereka lahir dan batin.
Tidak hanya dalam ucapan penghias bibir, tetapi benarbenar dalam pengamalan dan perbuatan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sendi-sendi itu pulalah yang kemudian diterapkan dalam
pemerintahan Ki Ageng Gajah Sora di Banyubiru. Tetapi
sejak masih berada di Pamingit, adiknya Ki Ageng Lembu
Sora agaknya sedikit demi sedikit tersesat dari jalan itu.
Sedikit demi sedikit ia tenggelam dalam kepentingan diri
sendiri, nafsu lahiriah yang kadang-kadang sama sekali
bertentangan dengan sendi-sendi dasar yang menurut
pengakuannya juga dianutya. Tetapi apakah artinya
pernyataan, pengakuan dan kesediaan yang diteriakkan
sampai menyentuh langit, namun dalam tindak tanduk dan
tingkah lakunya bertentangan dengan kata-katanya..."
Apakah artinya janji yang tidak pernah ditepati..." Apakah
artinya pengabdian diri yang hanya berupa pameran lahiriah
tanpa satunya kata dan perbuatan..." Beberapa orang yang
pernah mengalami penderitaan lahir batin dapat menjadi
saksi. Lapangan-lapangan yang pernah dipergunakan
sebagai tempat penyelenggaraan tayub, mabuk-mabukan
dan adu jago merupakan saksi-saksi bisu pula. Sedang
tempat ibadah yang semakin hari semakin susut dikunjungi
orang dapat merupakan saksi-saksi yang tak dapat
dibantah. Penganiayaan dan tindak sewenang-wenang
betapapun alasannya. Sebab sebenarnya bahwa pelanggaran atas azas-azas kemanusiaan adalah pelanggaran pula dari azas-azas ke-Tuhan-an.
Itulah yang tidak dikehendaki oleh orang-orang
Banyubiru yang setia. Setia kepada sendi-sendi dasar
pemerintahan itu. Dengan demikian, ketika matahari mulai menjengukkan
wajahnya di keesokan harinya, sibuklah laskar Banyubiru
mempersiapkan diri. Mereka mempertinggi irama latihan
mereka, mempertajam pedang serta tombak mereka.
Meskipun senjata-senjata itu bukan mutlak harus SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dipergunakan, namun terhadap orang yang bernama Lembu
Sora dan Sawung Sariti, hal yang demikian itu tak dapat
dikesampingkan. Hari itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sendiri
memerlukan menyaksikan latihan-latihan yang diselenggarakan tanpa mengenal lelah. Beberapa kali kedua
orang sakti itu langsung memberikan nasehat-nasehat serta
petunjuk-petunjuk. Bahkan beberapa orang yang cukup
kuat, langsung mendapat latihan-latihan khusus dari
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara disamping usaha-usaha
yang terus-menerus yang dilakukan oleh Mantingan,
Wirasaba dan pimpinan laskar mereka sendiri.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
II

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada hari ketiga, ketika Mahesa Jenar menganggap
bahwa waktunya telah masak, dipersiapkannya laskar
Banyubiru itu. Dan pada suatu pagi yang cerah, didahului
oleh pengantar kata dari setiap pimpinan kelompok, untuk
memperteguh jiwa anak-anakBanyubiru itu, menjalarlah
sebuah iringan yang seperti ular menelusuri jalan-jalan
perbukitan. Di ujung barisan itu berjalanlah Mahesa Jenar di
samping Arya Salaka. Kemudian di belakangnya berjalan
seenaknya Endang Widuri di samping ayahnya. Perhatiannya sama sekali tidak tersangkut pada perjalanan
yang penting ini, tetapi ia lebih senang memberhatikan
lembah yang berwarna hijau kekuning-kuningan, diantara
batu-batu padas yang merah tembaga menjorok seakanakan menghadang perjalanan itu. Sinar matahari pagi yang
dilemparkan ke lembah-lembah itu menari dengan lincahnya
mempermainkan titik-titik embun yang masih tersangkut di
ujung-ujung daun. Ketika Arya Salaka muncul dari balik sebuah bukit kecil,
tiba-tiba dadanya berdesir. Tanpa sesadarnya ia berhenti.
Mahesa Jenar cepat dapat mengetahui perasaan apakah
yang bergolak di dalam dada anak itu. Cepat Mahesa Jenar
menariknya ke tepi dan memberi isyarat kepada
pasukannya untuk berjalan terus. Ketika Endang Widuri
lewat beberapa langkah di depan Arya Salaka, ia menoleh
kepadanya dengan heran. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu,
sebab kemudian kembali ia tertarik pada dataran yang
berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari yang sudah
cukup tinggi. "Ai..." teriak gadis kecil itu, "Apakah itu?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ayahnya tertawa, dijawabnya, "Seharusnya aku mengajak kau merantau supaya kau tidak menjadi anak
yang heran melihat matahari terbit."
Endang Widuri sama sekali tidak memperhatikan katakata ayahnya, bahkan kemudian ia berteriak gembira sekali,
"Rawa Pening" Bukankah itu Rawa Pening?"
"Ada apa dengan Rawa Pening?" tanya ayahnya.
"Sejak lama aku ingin melihatnya. Kalau demikian,
bukankah kita sudah tidak jauh lagi dari rumah Kakang A rya
Salaka?" tanya Widuri pula.
Pertanyaan itu terdengar aneh bagi Kebo Kanigara.
Tetapi sebagai seorang ayah dari seorang gadis yang
sedang menjelang mekar, ia hanya menarik nafas. Tetapi
kemudian terdengar jawabannya, "Widuri, Banyubiru masih
jauh. Jalan lembah itu akan berkelok-kelok seperti ular yang
sedang berenang. Meskipun demikian kau sudah dapat
melihat arahnya dari tempat ini. Itulah Bukit Telamaya."
Endang Widuri tidak tahu pengaruh apakah yang
menjalar di hatinya, namun ketika ia mendengar nama itu,
ia menjadi berdebar-debar.
Telamaya dalam pendengaran Endang Widuri, merupakan daerah yang sejuk, tenteram dan damai. Tibatiba angan-angannya memanjat tinggi ke alam cita.
Meskipun ia belum pernah melihat daerah Bukit Telamaya,
namun ia tiba-tiba menjadi sedemikian besar keinginan
untuk pergi ke daerah itu, sebagai daerah yang
menyenangkan. Tanpa sesadarnya pula kemudian ia menoleh ke arah
Arya Salaka. Anak muda itu ternyata masih berdiri tegak di
samping Mahesa Jenar, memandang jauh ke arah lambung
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Bukit Telamaya yang membujur di hadapannya seperti
raksasa yang tidur dengan nyenyaknya. Di balik bukit itu
membayanglah warna biru kehijauan disaput oleh awan
yang tipis, Gunung Merbabu. Kemudian Endang Widuri
meneruskan perjalanannya dengan penuh angan-angan di
kepalanya. Sebagai seorang gadis ia senang pada
keindahan. Juga keindahan alam yang terbentang di
hadapannya. Lembah, ngarai, jurang-jurang terjal dan
dinding-dinding padas yang menjulang tinggi, ditelusuri oleh
jalur-jalur putih, jalan setapak yang selalu dipergunakan
oleh orang-orang yang mencari kayu di hutan-hutan. Di
sana-sini jalur-jalur itu hilang terputus ditelah oleh hutanhutan yang berserakan di lembah itu. Agak jauh di sebelah
Rawa Pening, terbentanglah sawah yang luas. Setingkat
demi setingkat pematang-pematang sawah itu seperti
memanjat tebing pada sisinya. Tetapi daerah itu masih
jauh. Arya Salaka yang berdiri di samping Mahesa Jenar
merasa betapa hatinya berdebar-debar menyaksikan
semuanya itu. Seperti seorang akan menjelang kekasih
yang telah bertahun-tahun tak bertemu. Sawah, ladang,
kampung halaman rumahnya dengan pohon jambu yang
lebat berbuah. Semuanya itu seperti hilir mudik di depan
matanya. Dan dibalik kehijauan lambung Bukit Telamaya
itulah tinggal seorang yang paling dicintai, serta
dirindukannya, yaitu ibunya.
Mahesa Jenar ikut merasakan betapa perasaan rindu itu
mengusik hati muridnya. Tetapi tak sepatah katapun keluar
dari mulutnya. Sebab ia tahu pula bahwa kata-katanya akan
dapat menambah gelora perasaan rindu itu.
Untuk beberapa lama mereka saling berdiam diri. Di
samping mereka berjalanlah iringan laskar Banyubiru. Di
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pundak merekalah terletak masa depan Bukit Telamaya itu,
dan kepada merekalah bukit itu menggantungkan nasibnya.
Tiba-Tiba Arya Salaka menjadi semakin terharu ketika ia
melihat keserasian yang mengetuk dadanya. Di hadapannya
terbentang lembah yang hijau dibatasi oleh lereng bukit
Telamaya, sedang di sampingnya menjalarlah laskar yang
setia. Betapa kemudian tergambar di dalam otaknya itu
seolah-olah merupakan seekor naga raksasa yang sedang
berjuang untuk merebut kembali sebutir telur raksasanya
yang teronggok di hadapannya. Arya menarik nafas. Bukit
Telamaya itu seolah-olah sebuah permata yang berkilauan
ditimpa cahaya matahari. Sinarnya memancarkan ke
segenap penjuru, memerangi seluruh langit dan bumi.
Kemudian teringatlah anak muda itu akan sebuah kisah
terjadinya Rawa Pening. Seekor naga yang rindu kepada
ayahnya. Sedang ayah itu bersedia untuk menerimanya
apabila ular itu sanggup melingkari gunung Merbabu. Tetapi
sayang, bahwa panjang tubuhnya tidak memungkinkan,
meskipun hanya kurang sejengkal. Karena itu ular raksasa
itu tidak menyenangkan ayahnya. Dengan serta merta,
lidah ular raksasa itu segera dipotongnya. Maka matilah ular
itu. Tetapi jiwa ular itu kemudian berubah menjadi seorang
kerdil yang menancapkan lidi di lembah bukit sebelah utara
Gunung Merbabu. Tak seorang pun dapat menarik lidi itu.
Karena itu kemudian orang kerdil itu sendirilah yang
menariknya. Dari lubang bekas lidi itu memancarlah mata
air yang semakin lama semakin besar dan besar. Akhirnya
terjadilah di lembah itu sebuah Rawa. Rawa Pening.
Sekarang, Arya Salaka pun sedang melakukan tugas
yang seolah-olah dibebankan oleh ayahnya. Melingkari bukit
Telamaya. Pasukannya itulah ibarat tubuh ular yang harus
mampu melilit bukit itu. Tetapi kalau kemudian panjang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
tubuh itu tidak memungkinkan, ia tidak akan menyambung
hanya dengan lidahnya. Tidak dengan janji dan prasetya.
Tetapi ia akan menyambung kekurangan itu dengan
darahnya. Dengan nyawanya.
Arya Salaka terkejut ketika terasa setetes air menyentuh
tangannya. Cepat ia mengusap matanya yang sedang
mengaca. Untunglah bahwa pada saat itu Mahesa Jenar
pun agak terpaku juga pada kebesaran alam yang tergelar
di hadapannya. Memang demikianlah tabiatnya. Setiap kali
ia berhadapan dengan kebesaran alam, setiap kali ia
menyebut nama Yang Maha Besar. Kalau ciptaan-Nya saja
sedemikian agungnya, betapa Agung Yang Menciptakannya.
Ketika Mahesa Jenar menoleh kepadanya, Arya Salaka
mencoba untuk tersenyum. Senyum yang diwarnai oleh
gelora hatinya. Meskipun demikian, Mahesa Jenar melihat
juga warna merah yang menyaput mata muridnya. Tetapi ia
pura-pura tidak melihatnya dan malah ia bertanya kepada
anak muda itu dengan pertanyaan yang sama sekali tidak
bersangkut paut dengan Banyubiru, sambil menengadahkan
mukanya. "Arya, udara cerah. Sebentar lagi matahari akan
sampai di atas kepala kita. Mudah-mudahan kita dapat
beristirahat sebentar di hutan di depan kita."
Arya Salaka mengangguk. Dengan terbata-bata ia
menjawab, "Ya, Paman. Hutan itu sudah tidak begitu jauh."
"Kita perlu istirahat sebentar, Arya. Kemudian kita
meneruskan perjalanan. Kita akan bermalam satu malam
sebelum esok paginya kita sampai ke hadapan Bukit
Telamaya itu." "Tidakkah hari ini kita lanjutkan perjalanan, Paman?"
tanya Arya Salaka sekenanya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Tidak perlu," jawab Mahesa Jenar, "Sebab menurut
pertimbanganku, sebelum kita memasuki daerah itu, biarlah
dua tiga orang mendahului menyaksikan keadaan. Sebab
apabila terpaksa terjadi perselisihan, maka kita dapat
mengetahui siapakah yang berada di pihak kita, dan
siapakah yang berbeda pendapat dengan kita. Dengan
demikian kita akan mendapat gambaran yang tegas, apakah
yang perlu kita lakukan."
Arya Salaka yang telah dapat menguasai perasaanya,
sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata
pertimbangan gurunya itu adalah benar-benar merupakan
suatu tindakan yang berhati-hati dan penuh kewaspadaan.
Karena itu ia menjawab, "Agaknya demikianlah yang
seharusnya, Paman." Sekali lagi Mahesa Jenar melemparkan pandangannya ke
Bukit Telamaya yang melintang di hadapannya, lembah,
ngarai serta jurang-jurang yang terjal. Sekali lagi ia
memandang cahaya matahari yang terpantul dari wajah
Rawa Pening. Maka kemudian katanya, "Marilah Arya, ujung pasukanmu telah berjalan agak jauh mendahului kita."
Arya tersadar dari perasaan rindu, haru serta gambarangambaran masa datang. Ketika ia menoleh ke belakang,
dilihatnya laskarnya yang berjalan berjajar dua di jalan
sempit itu telah hampir sampai ke pangkalnya. Di belakang
pasukan itu dilihatnya Mantingan dan Wirasaba berjalan
beriringan dengan Bantaran dan Penjawi.
Melihat Arya Salaka dan Mahesa Jenar yang seolah-olah
sengaja menyaksikan seluruh isi laskarnya, Mantingan
tersenyum. Kemudian setelah sampai di hadapan anak
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
muda itu ia berkata, "Adakah yang kurang dalam barisan
ini?" Sambil berjalan di samping mereka itu Arya menjawab,
"Tidak, Paman. Namun demikian aku mengharap bahwa
barisan kita menjadi semakin lengkap. Apabila kita besok
mulai memasuki Banyubiru, aku harap bahwa di samping
Sang Saka Gula Kelapa, berkibar pula Panji-panji Dirada
Sakti, sebagai lambang kebesaran
tanah Perdikan Banyubiru, di dalam pelukan persatuan dan kesatuan
Demak." Mantingan dan Wirasaba mengangguk-anggukkan kepalanya, apalagi Bantaran dan Penjawi. Sehingga
terdengarlah Penjawi menjawab, "Hebat. Kita pasang pula
umbul-umbul dan tanda-tanda kebesaran lainnya. Bukankah
dengan demikian pasukan kita akan bertambah megah?"
"Demikianlah hendaknya," jawab Arya Salaka, "Asal hati
kita bertambah megah dan besar."
Mahesa Jenar kagum akan kecepatan berpikir Arya.
Dengan demikian ia benar-benar seperti menanti laskarnya
berjalan dahulu untuk berbicara dengan Mantingan.
Hilanglah kesan keharuan dari wajahnya. Hilanglah sikap
kekanak-kanakannya yang rindu pada orang tua. Yang
kemudian menjadi sikap seorang putra kepala daerah
perdikan yang rindu pada kebesaran tanah perdikannya.
Kemudian untuk beberapa lama pasukan itu berjalan
dalam keheningan. Tak seorangpun yang mengucapkan
kata-kata, namun di dalam dada masing-masing bergeloralah berbagai macam persoalan yang hilir-mudik,
serta kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi silih
berganti. Wajah-wajah mereka kadang-kadang tampak
cerah seperti cerahnya matahari, kadang-kadang menjadi
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
suram oleh kenyataan yang mereka hadapi. Bahwa mereka
harus melampaui banyak persoalan, untuk kembali


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekampung halaman sendiri. Bahwa mereka merasa,
seolah-olah mereka adalah orang buruan yang dikejar-kejar
dan terasing karena mereka adalah perampok-perampok
dan penjahat-penjahat. Bahwa mereka harus berhadapan
dengan orang-orang yang tak tahu diri dan membuat
kadang-kadang diluar perikemanusiaan, hanya karena ia
berkata, "Aku tetap setia kepada Banyubiru." Apakah salah
mereka dengan kesetiaannya itu" Kesetiaan yang dilandasi
oleh kesadaran, bahwa dalam keadaan yang sedemikian ini,
hanya pemerintahan yang berlandaskan kebenaran dan
keadilanlah yang akan dapat menjamin ketentraman
Banyubiru. Bahkan pulihnya hubungan yang wajar antara
Banyubiru dan Pamingit, diantara segala sesuatu dapat
dikembalikan kepada tempatnya yang sebenarnya. Sebab
menurut keyakinan mereka, hanya dengan cara-cara yang
demikian, Banyubiru akan dapat berkembang atas
perkenaan Yang Maha Kuasa, serta sejahtera lahir dan
batin. Akan bergemalah kembali kesibukan serta keriuhan
para penjual dan pembali di pasar-pasar. Serta akan
berkembanglah kembali usaha-usaha pendidikan, sebagai
taburan benih buat masa depan. Hanya dari benih-benih
yang baik serta pemeliharaan yang baiklah akan dapat
tumbuh bibit-bibit serta pohon-pohon yang baik pula. Tetapi
apabila pada bibit-bibit yang baik itu tidak pernah mendapat
rabuk yang baik, bahkan kemudian disiram dengan racun,
akan kerdillah pohon-pohon yang akan menjadi tempat
bernaung di masa depan, serta akan muncul pulalah buah
yang dihasilkan. Demikianlah tanpa dirasa, oleh karena tekad yang
memang sudah membaja, matahari telah berada di atas
kepala. Sesaat kemudian pasukan itu memasuki sebuah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
hutan perdu yang tak begitu lebat. Ketika seluruh barisan
itu telah ditelan oleh kesejukan rimba, terdengarlah suara
sangkalala. Suatu pertanda bahwa pasukan itu harus
berhenti beristirahat. Dalam kesempatan itu Mahesa Jenar,
Arya Salaka, Kebo Kanigara, Mantingan serta beberapa
orang penting lainnya mengadakan pembicaraan- pembicaraan. Mereka memilih beberapa orang untuk
mendahului laskar Banyubiru, melihat-lihat suasana. Di
pundak merekalah diletakkan kepercayaan untuk mengabarkan kedatangan laskar mereka kepada rakyat
Banyubiru. Laskar yang akan menempatkan mereka ke
dalam wadah yang sewajarnya. Serta kepada mereka
diletakkan tanggungjawab untuk memberikan warna
kepada rakyat Banyubiru dalam menghadapi kehadiran
laskar mereka. Mereka harus sadar, bahwa kedatangan
laskar itu bukan berarti bencana seperti yang mereka
sangka, yang ditimbulkan oleh berita-berita yang sengaja
ditiup-tiupkan oleh berbagai pihak yang mempunyai
kepentingan yang sama. Golongan hitam yang takut berhadapan dengan rakyat
Banyubiru dan Pamingit yang bersatu bulat selalu berusaha
untuk memperbesar perselisihan antara rakyat Banyubiru
dan Pamingit, antara rakyat Banyubiru dan rakyat
Banyubiru sendiri. Bahkan kadang-kadang mereka dapat
menjadikan diri mereka seolah-olah laskar Banyubiru yang
menyingkir ke Gedong Sanga untuk mengadakan pengacauan dan bahkan kadang-kadang perampokan atas
rakyat Banyubiru sendiri. Namun kadang-kadang mereka
dapat merubah dirinya untuk menjadi orang-orang Pamingit
atau laskar Banyubiru yang menerima pemerintahan Lembu
Sora untuk mengadakan penganiayaan atas orang
Banyubiru yang dianggapnya setia kepada kampung
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
halaman. Dengan demikian mereka telah menggali lubang
yang semakin dalam antara dua keluarga sedarah itu.
Disamping itu, mereka yang telah disilaukan oleh
kedudukan serta harta benda pun menjadi mata gelap.
Mereka pun melakukan perbuatan yang serupa, yang tidak
mereka sengaja telah membantu memperdalam jurang
antara keluarga sendiri. Dari mulut mereka selalu timbul
berbagai celaan dan hinaan terhadap laskar Banyubiru.
Seolah-olah mereka tidak lebih dari gerombolan penjahat
yang sama sekali tidak berbeda dengan penjahat-penjahat
yang lain. Tugas itu bukanlah tugas yang ringan. Karena itu
dipilihlah diantara laskar Banyubiru itu beberapa orang yang
dianggap akan dapat menunaikan tugas dengan baik.
Pilihan itu jatuh kepada kakak-beradik Sendang Papat dan
Sendang Parapat dibantu oleh beberapa orang. Meskipun
demikian Mahesa Jenar masih agak kurang tenang dengan
anak-anak muda itu. Karena itu akhirnya ia minta kepada
tetua tanah perdikan Banyubiru, Wanamerta, untuk
mengawasi pelaksanaan tugas itu.
Dengan senang hati mereka menerima kehormatan itu.
Dengan penuh tekad mereka berjanji akan melaksanakan
sebaik-baiknya, apapun yang akan terjadi dengan mereka.
"Sendang Papat dan Sendang Parapat..." pesan Mahesa
Jenar, "Kalian datang ke Banyubiru bukan untuk menambah
keributan, bukan untuk menakut-nakuti dan bukan untuk
mengancam. Kalian datang ke Banyubiru untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang sewajarnya. Karena
itu jangan menuruti darah muda kalian. Kita memilih kalian,
karena kalian dalam wawasan kami dapat mempergunakan
otak kalian dengan baik. Nah, seterusnya Paman
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wanamerta ada di antara kalian. Jagalah keselamatannya.
Turutilah nasehatnya. Kemudian datanglah kembali kepada
kami dengan kawan yang lebih banyak, bukan lawan."
Maka setelah beristirahat beberapa saat, rombongan
kecil itu pun berangkat mendahului. Mereka mengharap
bahwa menjelang malam, mereka sudah akan memasuki
kota. Sepeninggal rombongan itu, Mahesa Jenar menyusun
rombongan yang kedua, untuk memenuhi anjuran Ki Ageng
Sora Dipayana, membawa Arya Salaka menghadap. Tugas
ini tak dapat dibebankan kepada orang lain, kecuali dirinya
sendiri bersama Kebo Kanigara.
Bantaran, Penjawi dan bahkan hampir segenap pimpinan
laskar Banyubiru itu tidak mengerti, kenapa Mahesa Jenar
masih saja melakukan hal-hal yang menurut pertimbangan
mereka tidak akan berguna. Mereka menjadi tidak bersabar,
bahwa mereka masih harus menunggu dan menunggu.
Perjalanan dari Candi Gedong Sang ke Banyubiru itu terasa
betapa panjangnya. Mereka menjadi gelisah karena dengan
rombongan-rombongan itu mereka masih harus bersabar.
Mereka harus menanti rombongan pertama itu kembali,
seterusnya mereka pun harus menunggu Mahesa Jenar
membawa Arya Salaka kepada kakeknya. Bukankah hal itu
tidak akan banyak berarti"
Mahesa Jenar melihat kegelisahan itu. Karena itu ia
berkata dengan sareh, "Para pemimpin laskar Banyubiru...
aku masih mengharap kalian bersabar. Sekali lagi aku
ingatkan, bahwa yang penting bagi kita bukanlah
menghantam Banyubiru dengan kekerasan, tetapi yang
penting adalah penempatan kembali segala sesuatunya
pada tempat yang seharusnya. Kita ingin melihat Ki Ageng
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Lembu Sora sudi meninggalkan Banyubiru. Nah, dengan
mempergunakan pengaruh yang masih ada, dari hubungan
darah yang rapat antara Ki Ageng Lembu Sora, Ki Ageng
Sora Dipayana dan Arya Salaka, mudah-mudahan usaha
kita tercapai tanpa setetes darah pun yang mengalir dari
tubuh kita. Kita mengharap bahwa apabila Arya Salaka telah
benar-benar berada di hadapan Lembu Sora, akan
berubahlah pendirian pamannya itu. Sebab bagaimanapun
juga anak ini adalah kemanakannya."
Tiba-tiba dari antara para pimpinan laskar Banyubiru itu
terdengar sebuah pertanyaan yang menggambarkan betapa
kesal hati mereka "Tuan, kalau begitu apakah artinya kita
berarak-arak kemari, kalau kita tidak menggilas Lembu Sora
sampai ke anak cucunya" Sebab selama orang itu masih
hidup beserta segenap pengikutnya, maka keadaan
Banyubiru masih akan selalu ribut dibuatnya."
Mahesa Jenar menarik nafas panjang. Ia dapat mengerti
sepenuhnya perasaan itu. Sejak semula mereka sudah
bersiap untuk bertempur, seperti mereka siap pula
bertempur melawan golongan hitam. Karena itu Mahesa
Jenar menjawab dengan sareh, "Kedatangan kalian kemari
adalah bukti dari kesetiaan kalian terhadap Banyubiru.
Sebagai suatu kenyataan yang harus diperhitungkan oleh Ki
Ageng Lembu Sora dalam keputusannya. Nah, para
pimpinan laskar Banyubiru, aku berjanji untuk yang terakhir
kalinya mengecewakan kalian. Kalau usahaku kali ini gagal,
maka akulah yang akan memerintahkan kalian untuk
menggempur Banyubiru, dan akulah yang akan berdiri di
barisan yang paling depan bersama-sama dengan Arya
Salaka. Sebab Arya Salaka-lah yang berwewenang atas
tanah Perdikan Banyubiru, mengemban kewajiban memegang pimpinan. Kecuali ia adalah putra Ki Ageng
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Gajah Sora, suatu kenyataan yang tak dapat disangkal,
bahwa Arya Salaka-lah yang menerima Tombak Kyai Bancak
sebagai lambang pemerintahan Banyubiru."
Meskipun keterangan Mahesa Jenar itu belum memuaskan mereka, namun para pimpinan laskar
Banyubiru itu mencoba untuk mengertinya. Tetapi mereka
sadar bahwa untuk beberapa saat mereka akan melampaui
masa-masa yang menjemukan. Menunggu dan menunggu.
Sedangkan menunggu bagi seorang prajurit yang sudah
bersiap untuk bertempur, adalah pekerjaan yang paling
tidak menyenangkan. Namun mereka adalah laskar yang
mempunyai ikatan yang kuat, sehingga setiap perintah akan
dilaksanakan dengan baik. Demikian juga perintah untuk
menunggu itupun akan mereka laksanakan pula.
Ketika mereka sudah cukup beristirahat, kembali laskar
Banyubiru itu melanjutkan perjalanannya. Mereka mengharap untuk sampai ke perbatasan perjalanannya.
Mereka mengharap untuk sampai perbatasan menjelang
senja. Di sanalah mereka akan berkemah, dan menghabiskan waktu-waktu mereka dengan sebal dan
gelisah. Di langit, matahari yang menyala-nyala berputar
demikian cepatnya. Maka ketika sorotnya yang kemerahan
di langit sebelah barat tenggelam di balik bukit-bukit, laskar
Banyubiru itu telah sampai ke tujuannya. Mereka segera
menempatkan diri sebaik-baiknya. Meskipun mereka tidak
dalam gelar perang, namun mereka harus selalu bersiaga,
kalau-kalau laskar Lembu Sora mendahului menyerang
mereka. Sebagian dari para laskar itupun segera
beristirahat, sebab besok mereka harus membangun
perkemahan untuk beberapa hari lamanya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dalam pada itu Wanamerta, Sendang Papat dan Sendang
Parapat telah pula memasuki kota Banyubiru. Untuk
menjaga keamanan diri, mereka sengaja memilih jalan-jalan
yang sepi. Satu-dua mereka bertemu juga dengan
penduduk yang memandang mereka dengan curiga. Namun
karena malam telah gelap, tak seorangpun yang dapat
mengenalinya. Karena itu, Wanamerta bersama kawan-kawannya dapat
mencapai pusat kota dengan selamat.
Di sepanjang jalan mereka sempat membicarakan
apakah yang sebaiknya mereka lakukan. Mereka pasti tidak
akan mempunyai waktu yang cukup untuk menemui orangseorang, memasuki rumah yang satu ke rumah yang lain.
Karena itu mereka mencoba untuk bertemu dengan
penduduk Banyubiru dalam jumlah yang besar sekaligus.
Dari Bantaran mereka pernah mendengar bahwa orangorang Banyubiru sekarang mempunyai kebiasaan yang
menyedihkan. Menyabung ayam, judi dan tayub di lapangan
di ujung kota. Maka ketika Wanamerta teringat pada
ceritera Bantaran itu, ia berkata, "Sendang berdua,


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukankah sebaiknya kita pergi ke tanah lapang itu?"
Kakak-beradik itu ragu sejenak. Jawab Sendang Papat,
"Paman, tidakkah perbuatan itu terlalu berbahaya?"
Wanamerta tersenyum. Jawabnya, "Aku kira tidak,
Sendang Papat, aku kira lebih mudah berbicara dengan
orang banyak daripada berbicara dengan mereka satu demi
satu, apabila kita dapat menempatkan diri kita. Tetapi kalau
kita gagal, bahayanya menjadi lebih besar. Nah, biarlah kita
mencoba mengail ikan yang besar sekaligus, meskipun
umpannya pun harus besar."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Baiklah Paman," jawab Sendang Papat. Meskipun
dengan demikian mereka harus bersiap menghadapi
bahaya. Tiga orang yang pergi bersama mereka, berjalan agak
jauh di belakang. Ketika Wanamerta sudah mengambil
keputusan, maka segera Sendang Parapat menemui
mereka, dan memberi mereka pesan-pesan untuk
dilaksanakan sebaik-baiknya.
Demikianlah, maka ketika mereka mendengar suara
gamelan tidak demikian jauh di hadapan mereka mulai
dibunyikan, berkatalah Wanamerta, "Nah, itulah, mereka
segera akan mulai dengan acara gila-gilaan itu."
Sendang Papat dan Sendang Parapat tidak menjawab.
Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala.
"Marilah kita mulai dengan permainan kita," sambung
Wanamerta, "Kita ambil jalan yang berbeda-beda, supaya
kedatangan kita tidak menarik perhatian."
Maka Wanamerta pun kemudian berjalan sendiri,
Sendang Papat dan Sendang Parapat beserta ketiga orang
yang lainpun kemudian berpisah-pisah untuk seterusnya
pergi ke tanah lapang yang memancarkan kemaksiatan
yang memuakkan itu. Ketika mereka sampai ke tempat itu lewat jalan-jalan
berbeda dan berdiri ditempat yang berserak-serak dan
gelap, segera mereka melihat kebenaran ceritera Bantaran
itu. Mereka melihat beberapa orang tledek menari-nari di
tengah arena dengan gerak-gerak yang menggairahkan.
Sendang Papat dan Sendang Parapat adalah penari yang
baik pula. Tetapi mereka belum pernah mempelajari
bentuk-bentuk tarian seperti yang ditarikan oleh tledektledek itu. Apalagi ketika mereka kemudian mengenal
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
siapakah yang kemudian bersedia merendahkan diri mereka
sendiri untuk melakukan perbuatan itu, tanpa sengaja.
Sendang Papat, Sendang Parapat dan Wanamerta, tanpa
berjanji, di tempat masing-masing menggeleng-gelengkan
kepala mereka. Gadis-gadis itu ternyata beberapa tahun
yang lalu adalah gadis-gadis yang baik, bahkan mereka
adalah penari-penari yang baik pula. Tetapi tiba-tiba
mereka sekarang menari dengan gaya yang tak pernah
mereka kenal sebelumnya. Bahkan menurut penilaian
mereka, gadis-gadis itu sama sekali tidak menari, tetapi
mereka benar-benar mencoba untuk memancing-mancing
nafsu jasmaniah yang rendah, dalam irama gelap yang gilagilaan pula. Diantara nada-nada yang berirama panas itu
terdengar suara pesinden yang tidak kalah gilanya dari taritarian itu sendiri. Pesinden yang telah kehilangan patokanpatokan seni suara. Maka di lapangan itu terdapatlah suatu perpaduan antara
tari-tarian, lagu dan irama yang benar-benar dapat
membakar hangus dada yang berisi hati yang lemah.
Namun sayang, terlalu sayang, bahwa justru tari-tarian,
lagu dan irama yang demikian itulah yang kini mendapat
penggemar-penggemar yang cukup banyak. Sendang
Papat, Sendang Parapat dan Wanamerta melihat, betapa
pemuda-pemuda sebaya dengan kakak-beradik Sendang
itu, bahkan diantaranya masih sangat muda. Mereka telah
benar-benar tenggelam dalam lagu-lagu yang sama sekali
telah kehilangan bentuknya sebagai lagu, tari-tarian yang
hanya memantulkan gairah tanpa keindahan dan watak.
Apalagi harus dipanaskan dengan suasana yang benarbenar telah berubah seperti panasnya api neraka, telah
menelan seluruh tanah lapang itu ke dalam suasana yang
mengerikan. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ketika Wanamerta dengan beberapa orangnya masih
saja berdiri di dalam bayang-bayang yang gelap, mereka
dalam waktu yang tidak terlalu lama telah menyaksikan dua
kali perkelahian diantara para penonton. Perkelahian orangorang yang mabuk tuak, dibelai oleh suara tertawa
beberapa orang perempuan dengan gembira sekali
menyaksikan perkelahian itu. Namun di samping itu,
Wanamerta dan kawan-kawannya, masih juga melhat
beberapa orang laki-laki yang hanya berjongkok-jongkok
saja menonton suasana itu dari kejauhan. Dari wajah-wajah
mereka, Wanamerta menangkap beberapa kesan yang
berbeda-beda. Ada diantara mereka yang kecewa karena
kehabisan uang. Ada yang kecewa karena mereka
menyaksikan tingkah laku yang seolah-olah kehilangan
kesadaran. Ada yang kecewa karena sejak akhir-akhir ini
mereka tidak dapat menyaksikan lagi bentuk-bentuk
kesenian seperti yang pernah mereka nikmati dahulu.
Wanamerta tidak menunggu suasana menjadi bertambah
ribut dan gila. Ia ingin menjumpai sesuatu pada orangorang Banyubiru itu. Karena itu, ia tidak berlindung di
bawah bayang-bayang yang gelap lagi. Dengan sengaja ia
berjalan maju diantara orang-orang yang berserak-serak di
tanah lapang itu. Di dalam hatinya bergolaklah berbagai
macam perasaan sehingga terasa jantungnya berdebardebar. Tiba-tiba Wanamerta merasa seperti seorang bekel
Bayangkari pada masa pemerintahan Baginda Jayanegara
yang bernama Gajah Mada. Setelah ia berhasil menyingkirkan Baginda Jayanegara dari pemberontakan
yang dipimpin oleh Kuti, kemudian ia kembali ke Majapahit
mengabarkan kepada rakyatnya bahwa Baginda telah
wafat. Ketika ia mengetahui bahwa rakyat Majapahit dan
para pembesar berduka cita atas berita itu, tahulah ia
bahwa rakyat masih cinta kepada Baginda Jayanegara.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Demikianlah kali ini, ia harus berhadapan dengan rakyat
Banyubiru, membawa kabar tentang laskar mereka.
Mula-mula tak seorangpun memperhatikan kehadirannya.
Tetapi beberapa saat kemudian seorang demi seorang
memandangnya dengan penuh perhatian. Mula-mula
mereka ragu, apakah benar yang berdiri di antara mereka
dengan sikap acuh tak acuh itu Kiai Wanamerta.
Ki Wanamerta pura-pura sama sekali tak merasakan
perhatian orang kepadanya. Dengan berdiam diri, ia
semakin maju, melihat pertunjukan di arena. Pertunjukan
yang telah menjadi semakin gila dan panas.
Dalam pada itu terdengarlah bisik-bisik di antara para
penonton. Seorang perlahan-lahan berkata kepada kawan
yang berdiri di sebelahnya, "He Kakang, bukankah itu Kiai
Wanamerta?" Dengan mengedipkan matanya, kawannya itu menjawab,
"Kalau aku tidak salah lihat, beliaulah Kiai Wanamerta"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Mereka jadi berdiam diri. Tetapi karena keinginan mereka
untuk mendapatkan kebenaran atas sangkaan itu, mereka
berjalan perlahan-lahan mengikutinya. Ternyata bukan
hanya kedua orang itu sajalah yang ingin melihat, apakah
orang itu benar-benar Kiai Wanamerta. Dengan demikian
para penonton di tanah lapang itupun berdesakan maju.
Kali ini bukan karena tledeknya yang semakin membuat
tingkah yang aneh-aneh, tetapi karena mereka ingin
memandang wajah orang yang mereka sangka Kiai
Wanamerta itu dengan lebih seksama lagi.
Diam-diam Kiai Wanamerta merasa, bahwa sedikit demi
sedikit ia telah dapat menarik perhatian. Tinggal kemudian
apakah ia dapat melakukannya dengan baik. Sekali dua kali
ia menarik nafas untuk mengatur perasaannya, dan
menenangkan debar jantungnya.
Ketika ia telah merasa yakin, bahwa hatinya tidak akan
bergetar lagi, maka perlahan-lahan ia berjalan ke samping
pertunjukan itu, untuk kemudian menjauhinya.
Orang-orang yang mengikutinya, masih saja berjalan
beriring-iring di belakangnya. Bahkan semakin lama
semakin banyak. Orang-orang yang semula tenggelam
dalam lagu dan tarian yang sudah semakin bubrah itu,
kemudian satu demi satu meninggalkan gelanggang. Sebab
dalam pandangan mereka, kehadiran Kiai Wanamerta
adalah sesuatu yang aneh dalam suasana yang demikian
itu. Para tledek, merasakan suatu keadaan yang berbeda
dengan hari-hari yang telah mereka lewati. Mereka kali ini
merasa seolah-oleh tidak mendapat perhatian dari para
pengunjungnya. Malahan satu demi satu mereka meninggalkan arena. Karena itu, para tledek itu berusaha
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
habis-habisan untuk mengikat penggemarnya. Mula-mula
mereka memperpanas suasana dengan gerak-gerak yang
semakin gairah. Tetapi ketika para penonton masih saja
satu demi satu melangkah pergi, tledek-tledek itu benarbenar kehilangan akal. Mereka bernyanyi dan menari
semakin liar, dan bahkan kemudian mereka lupa diri, bahwa
mereka adalah manusia yang memiliki ikatan-ikatan susila,
meskipun telah sejak lama dilanggarnya, namun tidaklah
sehebat kali ini, dimana mereka menjerit-jerit dengan
lagunya yang merangsang. Tertawa-tawa tak menentu,
meskipun hatinya menangis, sebab apabila para penggemarnya sudah meninggalkannya, berarti tak ada
makan di esok hari. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
III Kiai Wanamerta pun kemudian berhenti di tengah-tengah
lapangan itu. Perlahan-lahan ia memutar tubuhnya
menghadap kepada orang-orang yang mengikutinya. Ketika
mata orang tua yang sejuk itu memandang mereka yang
berderet-deret di hadapannya, maka tiba-tiba terasalah
suatu tusukan yang tajam ke dalam setiap dada orangorang Banyubiru itu. Meskipun
Wanamerta belum mengucapkan sepatah katapun, namun cahaya matanya
telah berkata banyak sekali. Bahkan setiap hati di dalam
dada penduduk Banyubiru itupun ikut serta berkata-kata.
Ikut serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak
terjawab, "Kenapa hal-hal semacam ini bisa terjadi...?"
Teringatlah mereka peristiwa beberapa bulan berselang.
Ketika di tanah lapang ini pula, mereka menyaksikan
perkelahian yang sengit antara Suraban dan Bantaran. Pada
saat itu, mereka seolah-oleh telah berjanji untuk tidak akan
mengulangi kelakuan-kelakuan mereka yang gila ini. Namun
karena pengaruh keadaan, sedikit demi sedikit, tanah
lapang yang penuh dengan kemaksiatan ini menariknya
kembali. Dan sekarang yang berdiri di hadapannya bukan
sekedar Bantaran, tetapi orang yang pernah menjadi
kepercayaan Ki Ageng Sora Dipayana sejak Pangrantunan
lama. Tetua tanah perdikan Banyubiru, Kiai Wanamerta.
Karena itulah maka beberapa orang diantara mereka
menundukkan wajahnya, bahkan ada yang berusaha
bersembunyi di punggung kawan-kawannya, supaya
mukanya tidak terlihat oleh Kiai Wanamerta yang mereka
hormati itu. Tetapi disamping perasaan yang demikian,
disamping perasaan sesal dan malu, ada pula yang merasa
betapa akibat yang akan ditimbulkan oleh kehadiran
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Wanamerta itu. Seperti pada saat Bantaran mengacau di
tanah lapang itu, maka Wanamerta pun akan melakukan hal
yang sama. Karena itu wajah orang-orang yang
berpendirian demikian segera menjadi gelap dan tegang.
Mereka memandang Wanamerta dengan perasaan benci.
Meskipun tanggapan mereka atas kehadiran Wanamerta
itu berbeda-beda, namun tak seorangpun yang mengucapkan kata-kata. Sementara itu para niyaga dan
penarinyapun akhirnya mengetahui pula, apa sebabnya
para penontonnya meninggalkan arena. Bahkan beberapa
orang diantaranya segera meninggalkan pekerjaan mereka,
dan ikut pula berderet-deret melihat tetua tanah perdikan
mereka, yang dengan tiba-tiba ada diantara mereka.
Karena itu, maka untuk beberapa lama tanah lapang itu
tenggelam dalam kesepian. Suara riuh gamelan dengan
irama yang gila, suara perempuan tertawa, seperti iblis
betina, segera lenyap dalam keheningan yang tegang.
Sesaat kemudian terdengarlah suara Wanamerta

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perlahan-lahan, namun merata ke segenap telinga, "Kenapa
kalian berhenti bersuka ria?"
Bergetarlah setiap jantung mereka yang mendengarnya.
Namun tak seorang pun dapat menjawab.
"Kalian benar-benar telah menjadikan tanah kalian
makmur. Ternyata dengan perbuatan kalian, siang-malam
bersuka ria, bergembira atas kemakmuran kalian, seperti
apa yang sering kalian lakukan dahulu hanya setahun
sekali, sesudah kalian menuai padi musim basah. Itu saja
kalian lakukan dalam batas-batas yang jauh lebih sempit
daripada batas-batas yang kalian buat sekarang ini. Dalam
batas-batas yang dibenarkan oleh kepribadian kita, dan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
lebih dari itu dalam batas-batas yang diperkenankan oleh
agama kita." Tanah lapang itu menjadi bertambah hening. Dengan
demikian gemersik daun yang disibakkan oleh angin,
terdengarlah betapa kerasnya.
Ketika tak ada akibat apapun dari kata-katanya,
Wanamerta meneruskan, "Aku datang untuk melihat kalian
bersuka ria. Nah, teruskanlah."
Memburu Iblis 8 Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 3

Cari Blog Ini