Ceritasilat Novel Online

Naga Sasra Dan Sabuk Inten 41

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Bagian 41


"Ayah, kasihan Panembahan. Tidakkah ayah mengantarkannya sampai ke Karang Tumaritis?"
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar tersenyum di dalam
hati. Gadis itu tidak akan berkata demikian seandainya ia
tahu bahwa Panembahan Ismaya adalah Pasingsingan
sepuh yang dahulu pernah bergelar Pangeran Buntara.
Sebenarnya Ki Ageng Pandan Alas pun menjadi heran,
bahwa Kebo Kanigara yang menjadi salah seorang pututnya dan bernama Putut Karang Jati itu membiarkan orang
setua Panembahan Ismaya menempuh perjalanan sendiri
ke Karang Tumaritis. Jarak yang tidak terlalu dekat dari
Banyu Biru. Tetapi orang tua itu berpikir jauh. Kalau tak ada
sesuatu sebab, pastilah Kebo Kanigara tak berbuat
demikian. Dan bahkan Panembahan itu pasti akan minta
kepada putut-nya untuk mengantarkannya.
"Ayah," terdengar Endang Widuri mengulangi katakatanya, "Apakah Ayah tidak mengantarkannya?"
"Kasihan Panembahan," desis Kebo Kanigara. Kemudian
kepada Widuri ia berkata, "Antarkanlah, Widuri. Aku masih
mempunyai kepentingan di Banyu Biru. Aku akan tinggal di
sini." Widuri mengerutkan keningnya. "Kenapa aku?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Selain aku, kaulah orang yang terdekat" jawab Kanigara.
"Emoh" sahut Widuri sambil menggeleng.
"Kalau begitu, marilah kita pergi bersama mengantarkan
Panembahan" sambung ayahnya.
Widuri kemudian bersungut-sungut sambil menjawab,
"Aku belum melihat Banyu Biru dalam suasana yang
berbeda seperti kemarin."
"Besok kita kembali ke Banyu Biru" desak ayahnya.
"Emoh" Widuri menggeleng lebih keras, "aku mau tinggal
di Banyu Biru" "Apa kepentinganmu disini?" bertanya ayahnya.
Tiba-tiba Widuri terdiam. Apakah kepentingannya di
Banyu Biru". Terasa betapa beratnya meninggalkan tanah
perdikan ini. Apakah karena bukit-bukitnya yang berjajarjajar seperti benteng raksasa, apakah karena Rawa Pening
yang berkilat memantulkan cahaya matahari disiang hari
dan memantulkan cahaya bulan dan bintang-bintang
dimalam hari". Tiba-tiba ia mendengar ayahnya tertawa. Widuri terkejut.
Dan tahulah ia bahwa ayahnya tidak bersungguh sungguh
menyuruhnya mengantarkan Panembahan Ismaya. Dan
tahulah ia bahwa ayahnya sedang menggodanya. Tiba-tiba
wajahnya menjadi merah. Serta merta dicubitnya lengan
ayahnya keras-keras "Jangan Widuri," ayahnya berdesis. Cubitan Widuri
memang sakit. Tetapi justru karena itu, orang-orang
lainpun mengetahuinya. Bahkan kemudian Wilis menggodanya pula, "apakah di Banyu Biru ada yang
mengikatmu Widuri?".
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ada" sahut Widuri sambil memiringkan bibirnya.
"Siapa?" desak Wilis.
"Jaka Soka" jawabnya. Dan yang lainpun tertawa pula
meskipun Widuri masih bersungut-sungut.
Sesaat kemudian Kebo Kanigara berkata, "Biarkanlah
Panembahan Ismaya pulang sendiri. Tak akan ada bahaya
yang mengancamnya. Dan kita, marilah kita temui Ki Ageng
Gajah Sora." Seperti orang tersadar dari mimpi, mereka sekali-kali
memandang kearah api yang hampir padam. Sesaat
kemudian merekapun segera mendapatkan kuda-kuda
mereka lalu meloncat ke punggungnya. Mereka kini tidak
perlu berpacu lagi. Meskipun demikian kuda-kuda itupun
berlari cukup cepat. Banyak persoalan yang berputar-putar dikepala Rara
Wilis dan bahkan didalam hati Ki Ageng Pandan Alas.
Bagaimana kedua keris itu tiba-tiba saja ada di tangan
Panembahan Ismaya. Mereka telah pernah mendengar
cerita Mahesa Jenar, apalagi Ki Ageng Pandan Alas, sesaat
setelah keris itu hilang, Mahesa Jenar dan Gajah Sora
segera mendapatkannya di alun-alun Banyu Biru, dan
mengatakan bahwa sepasang keris itu diambil oleh
seseorang yang mengenakan jubah abu-abu, bahkan pada
saat itu, Mahesa Jenar dan Gajah Sora menyangka bahwa
orang itu adalah Pasingsingan. Meskipun demikian, dengan
bijaksana mereka akan menyimpan pertanyaan itu, sampai
nanti pada saatnya, Mahesa Jenar pasti akan mengatakannya. Beberapa saat kemudian, ketika Mahesa Jenar menoleh
ke lereng bukit Telamaya, dilihatnya api sudah tidak
berdaya lagi untuk merambat ke barat. Asap putih
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kemerahan masih tampak mengepul tinggi, kemudian pecah
berserakan ditiup angin malam yang lemah. Sehelai helai
asap itu masih nampak mengalir ke selatan menghantam
bukit. "Api telah padam" desisnya.
Yang lainpun memandang sesaat ke lereng. Sebuah
lapangan hitam merah menganga di kaki bukit Telamaya.
Bekas-bekas api itu tampak seperti sebuah luka parah, yang
menempel di tebing bukit.
Ketika mereka sudah mendaki lebih tinggi lagi, sampailah
mereka ke tempat orang-orang Banyu Biru berkumpul
setelah mereka berjuang menebas perdu dan alang-alang
serta mengalirkan parit ke lereng bukit.
Ketika Mahesa Jenar melihat Wanamerta tua berdiri
bersandar tangkai pacul maka segera disapanya, "pekerjaan
paman ternyata berhasil."
Wanamerta menoleh. Sambil mengatur nafasnya ia
menjawab, "Ah, bukan pekerjaanku. Pekerjaan kita semua."
"Ya," sahut Mahesa Jenar, "pekerjaan kita semua."
"Dari manakah anakmas tadi?" Wanamerta bertanya.
Mahesa Jenar dan kawan-kawannya segera meloncat
turun dari kuda-kuda mereka. Setelah menambatkan kudakuda itu, berkatalah Mahesa Jenar, "Mengejar kelinci."
"He" Wanamerta heran.
"Aku telah menemukan sebab dari kebakaran ini"
"He" sekali lagi Wanamerta keheranan.
"Nanti aku ceritakan," sahut Mahesa Jenar, "dimana
kakang Gajah Sora dan Arya Salaka?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Disana," jawab Wanamerta, "disebelah timur".
"Aku ingin menemuinya" kata Mahesa Jenar sambil
melangkah. "Nanti dulu," tiba-tiba Wanamerta berteriak, "Siapa?"
"Kakang Gajah Sora" jawab Mahesa Jenar.
"Gajah Sora. Gajah Sora?" orangtua yang gemuk itu
bergumam, "O..." tiba-tiba Wanamerta seperti disengat
kelabang. "Ya, tadi aku melihatnya. Tadi aku sudah
bercakap-cakap dengan Ki Ageng." Wanamerta mengingatingat, "Tetapi, bukankah Ki A geng berada di Demak?"
"Sudah pulang" jawab Mahesa Jenar pendek.
"Ya, sudah pulang. Aku sudah melihatnya" ulang
Wanamerta. Dan tiba-tiba saja orang tua itu melemparkan paculnya.
Dengan meloncat-loncat ia berlari kencang-kencang ke arah
timur. Terdengarlah ia berteriak-teriak, "He, Ki Ageng Gajah
Sora telah kembali."
Laskar Banyu Biru yang baru saja datang dari Pamingit
tidak terkejut. Mereka telah menemui kepala daerah yang
mereka suyudi. Namun bagi mereka yang tinggal di Banyu
Biru, teriakan itu seakan-akan mengetuk-ngetuk hati
mereka keras sekali. Mahesa Jenar dan kawan-kawannya pun segera
mengikuti arah Ki Wanamerta. Menyusup di antara orangorang Banyu Biru yang masih berdiri di sana-sini dengan
alat-alat di tangan mereka.
Ketika Wanamerta melihat Ki Ageng Gajah Sora berdiri di
samping Arya Salaka dan Nyai Ageng Gajah Sora,
terdengarlah Wanamerta itu berteriak keras-keras, "Angger,
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kau telah datang di antara kami." Dan sebelum Gajah Sora
menjawab, orang tua itu telah menubruknya. Dirangkulnya
Gajah Sora seperti memeluk anaknya yang telah hilang, dan
kini ditemuinya kembali. Gajah Sora terkejut, bahkan ia
menjadi heran. Wanamerta telah melihatnya tadi. Tetapi ia
berdiam diri dan membiarkan orang tua itu menangis
terisah-isak. Ya, orang tua yang setia itu menangis. Di selasela tangisnya terdengar Wanamerta berkata, "Aku telah
melihat Angger tadi. Tetapi karena ketegangan urat
syarafku, maka aku menyangka bahwa Angger sudah lama
tidak berada di Banyu Biru. Dan kini Angger telah kembali.
Kembali seperti apa yang kami harapkan. Bahkan kami
yakini, bahwa pada saatnya Angger akan kembali."
"Terimakasih Paman" jawab Gajah Sora.
Perlahan-lahan Wanamerta melepaskan tangannya.
Kemudian Gajah Sora itu pun diperkenalkan dengan
Mantingan dan Wirasaba yang selama ini ikut serta
membantu mereka, merasakan pahit getir bersama rakyat
Banyu Biru yang setia. Setia kepada cita-cita mereka, setia
pada tanah mereka. Kini semua sudah lalu. Tak ada persoalan lagi antara
Pamingit dan Banyu Biru. Tak ada persoalan lagi antara
Banyu Biru dan gerombolan-gerombolan liar yang
dikemudikan oleh orang-orang sakti yang berilmu nasar.
Sebab mereka telah dibinasakan oleh kekuatan-kekuatan
yang dibenarkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Malam bertambah dalam juga. Api di lereng telah padam.
Kini mereka sudah dapat beristirahat. Laskar yang datang
dari Pamingit pun segera pulang ke rumah masing-masing.
Menemui keluarga mereka untuk menyatakan keselamatan
diri. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Beberapa orang terpaksa berkabung karena kehilangan
sanak kadang mereka. Namun mereka yakin bahwa arwaharwah mereka itu akan diterima oleh Tuhan Yang Maha
Pengasih. Sebab mereka gugur dalam perjuangan untuk
menegakkan rasa cinta kasih sesama, rasa cinta kasih
kepada Tuhannya. Yang akan datang adalah hari esok yang penuh dengan
kerja. Memperbaiki tanggul yang jebol, menanami kembali
lereng-lereng bukit yang gundul untuk menahan arus air
hujan. Namun kerja itu akan dilakukan dengan hati yang
cerah di hari-hari yang cerah pula.
Ketika matahari pada keesokan harinya memancarkan
cahayanya yang lembut menyentuh permukaan Rawa
Pening, sibuklah orang-orang Banyu Biru dengan kerja
masing-masing. Wajah-wajah mereka yang riang menggambarkan isi hati
mereka yang terang. Mereka telah merencanakan untuk
menyelenggarakan suatu wiwahan sebagai pernyataan
syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Pengasih, yang telah
melimpahkan cinta kasih-Nya kepada rakyat Banyu Biru.
Di pendapa rumah Kepala Daerah Tanah Perdikan Banyu
Biru, berdirilah seorang anak muda yang gagah, berdada
bidang, berwajah jernih. Ia kini tidak lagi mengenakan
pakaian yang lungset kumal.
Namun kini ia telah pantas disebut sebagai putra Kepala
Daerah Perdikan Banyu Biru. Dengan wajah yang cerah ia
melihat betapa rakyatnya sibuk mempersiapkan hari yang
akan mereka rayakan bersama. Beberapa orang memasang
janur-janur kuning dan yang lain membuat obor-obor yang
besar. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tiba-tiba hatinya bergetar ketika ia melihat seorang gadis
duduk di tangga gandhok kulon. Gadis itu pun berwajah
cerah secerah matahari. Tanpa disadarinya, selangkah demi
selangkah ia pergi menemui gadis itu.
"Bukankah kau ingin melihat Rawa Pening?" ajak Arya
Salaka. Gadis itu tersenyum. Segera ia berdiri. Namun kemudian
wajahnya menjadi kemerah-merahan. Sambil duduk
kembali ia menggeleng, "Nanti Kakang, Ayah sedang
mandi." "Kita pergi berdua" ajak Arya Salaka.
Widuri menggeleng. Tiba-tiba, ya tiba-tiba saja timbullah
perasaan malu di dalam dadanya. Perasaan yang selama ini
tak pernah mengganggu dirinya. Karena itu ia menjawab,
"Aku menunggu Ayah."
Arya Salaka menjadi heran. Gadis itu telah mengalami
suatu perubahan di dalam dirinya. Tetapi Arya Salaka tidak
mengetahuinya. Ia menyangka bahwa ayah gadis itu pun
telah mengajaknya pula. Maka katanya, "Baiklah Widuri.
Nanti aku datang kembali." Dan Arya Salaka pun perlahanlahan melangkah pergi. Kembali ia menemani kerja
rakyatnya. Tak mengenal lelah. Perlambang dari kemauan
mereka di hari-hari yang akan datang. Kerja keras untuk
menyongsong hari-hari yang bahagia bagi anak cucu
mereka. Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja.
Sementara itu di gandhok wetan duduklah dalam satu
lingkaran, Mahesa Jenar, Rara Wilis dan Ki Ageng Pandan
Alas.

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahesa Jenar dalam kesempatan itu telah menceriterakan beberapa persoalan mengenai Kyai SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Sehingga akhirnya Ki
Ageng Pandan Alas berkata sambil mengangguk- anggukkan kepalanya, "Baru sekarang aku menjadi jelas.
Karena itulah Panembahan Ismaya berkata, bahwa
pekerjaanmu sudah hampir selesai."
"Ya, Paman," jawab Mahesa Jenar, "pekerjaanku telah
hampir selesai" "Pada suatu saat, Anakmas..." kata Ki Ageng pula, "Aku
ingin juga pergi ke balik Gunung Gajah Mungkur itu.
Tunjukkan kepadaku rumah orang yang bernama Paniling
dan Darba, seperti yang Anakmas ceriterakan. Alangkah
lucunya kalau aku melihat wajahnya. Persahabatan kami
yang bertahun-tahun di masa lampau seperti persahabatan
di dalam mimpi saja. Dan baru sekarang aku tahu bahwa
Pasingsingan telah melampaui tiga masa."
"Baiklah Ki Ageng," jawab Mahesa Jenar, "Besok aku
antarkan Ki Ageng ke Pudak Pungkuran."
Pembicaraan itu akhirnya terputus ketika mereka
mendengar hiruk-pikuk di halaman.
"Mereka ingin merayakan hari yang cerah ini" desis Rara
Wilis. "Aku akan melihat mereka," kata Ki Ageng Pandan Alas
sambil melangkah keluar. Tinggallah di dalam gandok itu Rara Wilis dan Mahesa
Jenar. Untuk beberapa saat mereka terbungkam. Tak
sepatah kata pun terlontar dari sela-sela bibir masingmasing. Bahkan kemudian terdengar nafas Rara Wilis
semakin cepat mengalir. SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Akhirnya, setelah suasana gandok wetan itu hening
sejenak, terdengarlah Mahesa Jenar berkata, "Adakah kau
ingin kembali ke Gunung Kidul?"
Rara Wilis mengangguk lemah. Katanya, "Aku mempunyai beberapa keinginan, tetapi bukan akulah yang
akan menentukan." "Kita tentukan bersama-sama," jawab Mahesa Jenar.
Rara Wilis tersenyum, katanya, "Terserahlah kepada
Kakang." "Wilis," tiba-tiba Mahesa Jenar berkata bersungguhsungguh. "Aku akan selalu mendekati keris-keris Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Bagaimanakah kalau kami
kemudian untuk sementara tinggal bersama-sama Panembahan Ismaya di Karang Tumaritis sebelum aku
menyerahkannya kembali ke Demak bersama-sama Jaka
Tingkir?" "Terserahlah kepada Kakang. Tempat itu menyenangkan
juga. Tenang dan tentram."
Kembali mereka terdiam. Namun di angan-angan mereka
terancamlah harapan bagi masa depan mereka. Bukan
karena mereka akan mendapat hadiah dan kedudukan,
namun karena hati mereka yang telah bertemu dan
berpadu, setelah sekian lama berjuang untuk mengabdikan
diri mereka kepada tugas-tugas mereka.
Mahesa Jenar sama sekali tak mengharapkan bahwa
kelak namanya akan dicantumkan di dalam rontal-rontal
atau dipahatkan di dinding-dinding istana dan gapuragapura. Ia hanya mengharap, agar Demak kembali
menemukan kekuatannya. Menemukan sipat kandel-nya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sedang apa yang dilakukan adalah kewajiban yang
seharusnya dilakukan. Sekali lagi menggemalah tekad di dalam dadanya, bahwa
pengabdian tidaklah harus dilakukan di dekat dan sekitar
istana. Di antara rakyat pun ia akan dapat melakukan
pengabdian. Pengabdian bagi sesama dan pengabadian
bagi Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Mahasa Besar
yang telah menciptakan bumi, alam dan segenap isinya.
Tetapi Mahesa Jenar tidak dapat segera meninggalkan
Banyu Biru. Masih ada beberapa persoalan yang harus
ditungguinya. Endang Widuri masih ingin tinggal lama lagi,
dan Kebo Kanigara masih harus menemui Mas Karebet.
Namun hari-hari yang akan datang adalah hari-hari yang
cerah. Hari yang cerah bagi Mahesa Jenar dan Rara Wilis.
Hari yang cerah bagi Banyu Biru dan Pamingit. Hari-hari
yang cerah pula bagi A rya Salaka dan Endang Widuri.
Mahesa Jenar dan Rara Wilis tidak akan menunggu
waktu terlalu lama. Sebab umur-umur mereka selalu
merayap-rayap meninggalkan usia mereka.
Tetapi di Banyu Biru terasa menjadi semakin sepi.
Mantingan dan Wirasaba harus kembali ke tempat masingmasing. Wirasaba harus kembali ke istrinya yang setia,
sedang Mantingan harus kembali ke gurunya dan kepada
pekerjaannya, Dalang. "Kakang Mahesa Jenar," kata Mantingan pada saat ia
minta diri dari Banyu Biru, "Aku akan datang kembali
menemui Kakang nanti apabila datang saatnya Kakang
memerlukan aku. Mantingan sebagai seorang dalang.
Bukankah akan nikmat sekali, apabila aku mendapat
kehormatan untuk meramaikan perhelatan perkawinan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Kakang" Aku akan membawakan ceritera yang paling
menarik, Parta Krama"
Mahesa Jenar hanya dapat tersenyum menanggapi katakata Mantingan itu, sedang Rara Wilis menundukkan
wajahnya yang kemerah-merahan. Namun Mahesa Jenar
berjanji di dalam hatinya, bahwa ia akan menerima
sumbangan itu kelak pada saatnya.
Dan Mantingan beserta Wirasaba itu pun kemudian
meninggalkan Banyu Biru, menuju ke timur, Prambanan.
Banyu Biru pun kemudian menjadi semakin sepi. Namun
kesepian itu kemudian dipecahkan oleh hiruk-pikuk
rakyatnya yang rajin. Kerja. Masih banyak yang harus
mereka kerjakan untuk tanah perdikan mereka.
Hanya dengan kerja, maka tanah mereka akan mencapai
nilai-nilai yang mereka cita-citakan. Nilai kehidupan orangperorang. Nilai kehidupan tanah perdikan keseluruhan.
Sehingga karenanya tak ada tempat lagi bagi mereka untuk
berselisih, bersitegang dengan kebenaran menurut tafsiran
masing-masing, bersikeras hati mempertahankan pendapatpendapat yang saling bertentangan. Yang ada kemudian
adalah kerja, membanting tulang.
Kini mereka bermandi keringat bersama-sama, namun
kelak mereka akan menuai bersama-sama pula.
----------0dwkzOarema0---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
III Sementara Mahesa Jenar menunggu di Banyu Biru,
maka Kebo Kanigara telah mulai dengan persoalannya
sendiri. Persoalan kemenakannya sangat menarik perhatiannya. Ceritera yang didengarnya dari Paningron dan
Gajah Alit. Kemudian menurut Panembahan Ismaya, bahwa
seorang Wali telah meramalkan hari depan yang gemilang
buat anak nakal itu. Namun kini, anak itu ternyata sedang
disingkirkan oleh Sultan, karena pelanggaran-pelanggaran
yang telah dibuatnya. Demikianlah maka kemudian Kebo Kanigara itu
memerlukan menemui Karebet. Tidak di rumah Ki Buyut,
tetapi mereka bersepakat untuk bertemu di ujung hutan
perdu di lereng Bukit Telamaya, supaya setiap pembicaraan
dapat mereka lakukan dengan tidak bersegan hati terhadap
orang-orang lain yang mendengarnya.
Malam itu langit yang cerah ditandai oleh sepotong bulan
muda. Kebo Kanigara duduk di atas sebuah batu padas,
sedang Karebet dengan wajah yang tunduk duduk di
hadapannya, seakan-akan seorang tertuduh yang sedang
menunggu keputusan tentang dirinya.
"Karebet" kata Kebo Kanigara perlahan.
Karebet mengangat wajahnya sesaat, namun kemudian
ditundukannya lagi. Yang terdengar adalah suaranya parau,
"Ya, Paman." "AKU telah mendengar beberapa ceritera tentang dirimu
diistana. Sehingga akhirnya kau terpaksa disingkirkan
karenanya. Menurut para perwira yang datang ke Pamingit,
kau telah membunuh seorang yang bernama Dadung
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ngawuk hanya dengan sadak kinang. Namun, dari pancaran
senyumnya aku dapat membaca bahwa bukan itulah yang
telah kau lakukan. Nah, sekarang aku ingin tahu, apakah
sebabnya kau diusir dari istana?"
Wajah Mas Karebet menjadi semakin dalam. Dadanya
berdebar-debar semakin lama semakin cepat, sehingga
kemudian mulutnya malahan menjadi serasa terbungkam.
"Katakanlah, Karebet," desak Kebo Kanigara.
Karebet menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan
hatinya. Kemudian dengan ragu-ragu ia menjawab, "Bukan
semata-mata salahku paman"
Kembali Karebet terdiam. Dan kembali Kebo Kanigara
mendesaknya, "Apa yang terjadi?"
"Sikap putri Sultan terlalu baik kepadaku" jawab Karebet
terbata-bata. "Lalu?" "Aku pun bersikap baik kepadanya" jawab Karebet
"Hanya itu?" Karebet mengangguk, "Ya."
Karebet terkejut ketika pamannya membentaknya,
"Hanya itu?" "Oh. Tidak Paman" sahut Karebet cepat-cepat.
"Lalu?" "Pergaulan kami menjadi semakin baik," jawab Karebet,
"Mula-mula aku mengharapkan lebih dari itu. Tetapi
ternyata perasaan kami masing-masing berkehendak lain.
Tetapi ternyata Sultan tidak senang melihat pergaulan itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Agaknya karena aku tidak lebih dari seorang lurah Tamtama
pada waktu itu." "Kau tahu bahwa Sultan tidak berkenan di hatinya?"
Karebet mengangguk. "Tetapi kesalahan itu masih kau lakukan?"
Karebet menjadi bingung. Tetapi ketika Kebo Kanigara
mengulangi pertanyaannya, maka jawabnya, "Ya. Tetapi
bukan maksudku. Aku mencoba untuk menjauhinya. Tetapi
setiap kali kami selalu bertemu. Aku dalam tugasku sebagai
seorang tamtama, sedang putri Sultan itu, entahlah
apa saja yang dilakukan di
luar keputren." Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mempercayai
sebagai ceritera kemenakannya. Namun ia tahu pula sifat-sifat anak itu.
Kemudian terdengar kemenakannya itu berkata pula, "Kemudian akulah yang menerima akibat dari
pergaulan kami itu. Sultan
marah kepadaku. Sehingga akhirnya aku dipindahkannya."
"Kau tidak mengatakan sebenarnya apa yang terjadi
kepada Sultan?" "Aku telah mencoba," jawab Karebet, "Tetapi ada orang
ketiga yang berkepentingan dengan keputusan Sultan itu."
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. "Siapa?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Tumenggung Prabasemi."
Kembali Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Apakah kepentingannya?"
Pertanyaan itu telah menghanyutkan Mas Karebet itu ke
dalam suatu kenangan yang pahit. Sesaat ia tidak dapat
menjawab pertanyaan pamannya. Namun kemudian
diceriterakannya apa saja yang pernah dialaminya. Satusatu. Tak ada yang dilampauinya. Bahkan ceritera itu


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seakan-akan merupakan tuangan kekesalan hatinya, atas
peristiwa yang tak diharap-harapkan.
"Aku tidak menyangka bahwa Tumenggung itu akan
berbuat sampai sedemikian jauh," kata Karebet.
"Kau kenal orang itu baik-baik?"
"Ya, aku kenal Tumenggung Prabasemi dengan baik.
Seorang Tumenggung yang masih muda. Namun karena
kesaktiannya, ia cepat dapat menempati tempatnya yang
sekarang. Seorang perwira Tamtama yang gagah perkasa."
"Apa yang sudah dilakukannya?"
Karebet terdiam sesaat. Dicobanya untuk mengingatingat peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi itu. Dan
peristiwa-peristiwa itu seakan-akan kini terulang kembali.
Peristiwa demi peristiwa. Mulai dari permulaan sekali.
Pada saat itu, pergaulan Karebet dengan putri Sultan itu
belum diketahui oleh siapapun. Mereka masih dapat
merahasiakan getaran-getaran perasaan mereka. Namun
pada suatu ketika, masuklah orang yang bernama
Tumenggung Prabasemi itu kedalam lingkaran pergaulan
mereka, sejak Tumenggung itu pada suatu saat bertemu
dengan puteri Sultan yang cantik itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karebet adalah bawahan Tumenggung Prabasemi yang
paling menarik perhatiannya. Sehingga lurah Tamtama
yang masih sangat muda itu, seakan-akan tak pernah
terpisah daripadanya. "Karebet," kata Tumenggung Prabasemi, "Kau adalah
anak muda yang mempunyai kesempatan yang sangat baik.
Kau adalah seorang tamtama yang dipungut dari anak-anak
muda yang bertebaran disana sini langsung oleh Sultan
sendiri. Sehingga dengan demikian, kesempatan yang kau
dapat, jauh lebih besar dari setiap kesempatan yang ada
pada kami. Hampir tak pernah salah seorang di antara kami
yang mendapat panggilan langsung dari Sultan selain dalam
tugas-tugas kami. Tetapi kau pernah mendapat kesempatan
itu. Kesempatan yang berada di luar tata peraturan para
tamtama." Karebet masih belum tahu, apakah sebenarnya yang
akan dikatakan oleh Tumenggung Prabasemi. Karena itu ia
menunggu saja sampai Tumenggung itu berkata, "Karebet.
Adalah aneh, kalau aku beberapa hari yang lalu, untuk
pertama kalinya melihat wajah putri bungsu Sultan.
Sebelumnya aku memang pernah melihatnya. Namun sejak
putri itu menginjak usia remajanya, dan kemudian
mengalami pingitan, aku tidak pernah melihatnya lagi.
Namun tiba-tiba aku mendapat kesempatan untuk
memandang wajahnya. Wajah yang betapa cerahnya,
sehingga aku menjadi silau karenanya."
Dada mas Karebet berdesir mendengar kata-kata itu.
Memang puteri Sultan itu demikian cantiknya. Namun
apabila pujian itu keluar dari mulut seorang laki-laki, maka
hati mas Karebet itu terasa seakan-akan meronta.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Ternyata kemudian Tumenggung Prabasemi berkata
pula, "Barangkali aku telah menjadi gila, Karebet. Namun
aku benar-benar ingin mendapat kesempatan yang lebih
banyak untuk dapat memandang wajah itu. Kesempatan
yang kedua aku dapat memandang wajahnya, adalah dua
hari yang lampau. Ketika putri Sultan itu bermain-main di
gerbang keputren." Kerebet menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak
menjawab. Yang berkata seterusnya adalah Tumenggung
itu, "Karebet, apakah kau pernah melihat putri itu pula?"
Dengan kaku Karebet menganggukkan kepalanya,
jawabnya, "Ya Ki Tumenggung. Aku pernah melihatnya."
Tumenggung Prabasemi mengangguk sambil tersenyum,
"Bagaimana menurut pendapatmu?"
"Tak ada kesan apapun padaku, Ki Tumenggung."
Tumenggung itu tertawa. Katanya, "Alangkah bodohnya
kau Karebet. Tetapi tak apalah. Mungkin tangkapanmu lebih
baik daripada aku. Atau aku memang sudah betul-betul
gila." Kemudian setelah diam sesaat ia berkata, "Apakah
kau dapat menolong aku?"
Karebet mengerutkan keningnya. Katanya, "Apakah yang
harus aku lakukan?" "Karebet...", kata Tumenggung itu dengan ragu-ragu,
"Kalau sekali waktu kau dipanggil oleh Sultan, dan apabila
kau lewat di muka gerbang Kaputren, serta kau lihat putri
itu di sana, maka katakanlah, bahwa seorang Tumenggung
menyampaikan sembah sujudnya untuk putri."
Karebet menunggu Tumenggung itu berkata terus,
namun kata-kata itu tak dilanjutkannya, sehingga Karebet
itu bertanya, "Hanya itu saja?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ya. Hanya itu. Katakan kepada puteri, bahwa
Tumenggung Prabasemi sangat mengangumi kecantikan
putri itu." Karebet mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian
jawabnya, "Baik Ki Tumenggung. Tetapi bolehkah aku
bertanya, apakah keuntungan Tumenggung dengan pesan
itu?" Tumenggung Prabasemi mengerutkan keningnya, kemudian ia tertawa, "Kau memang bodoh Karebet. Biarlah
tak kau ketahui keuntunganku dengan pesan itu. Namun
apabila pada suatu ketika kau mendapat pesan dari putri
itu, sampaikan pesan itu kepadaku."
Mas Karebet tersenyum. Katanya, "Aku memang bodoh.
Tetapi aku tidak sebodoh seperti yang Ki Tumenggung
sangka. Aku tahu maksud Ki Tumenggung. Tetapi,
bukankah puteri itu putri Sultan."
Prabasemi tersenyum, "Itulah. Mungkin aku benar-benar
sudah menjadi gila. Tetapi apakah kau sangka bahwa
seorang Tumenggung tidak boleh berkenalan dengan putri
raja" A ku adalah Tumenggung yang mendapat kepercayaan
Sultan dalam bidang keprajuritan. Apa salahnya, apabila
pada suatu ketika aku mampu menaklukkan daerah pesisir
wetanan, dan aku mendapat triman putri itu?"
"Mudah-mudahan," jawab Karebet, "Dan Tumenggung
akan mendapat gelar Pangeran. Pangeran Prabasemi."
Prabasemi tertawa. Ia menjadi puas dengan anganangannya. Ia mengharap Karebet akan memenuhi
permintaannya. Dan ia mengharap putri itu pun telah
pernah mendengar namanya dari Sultan sendiri, seorang
Tumenggung, perwira Tamtama yang sakti. Bukankah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dengan demikian, putri itu setidak-tidaknya ingin melihat
wajah perwira yang sakti itu".
Tetapi, ternyata yang dipesannya adalah seorang anak
muda yang bernama Karebet. Seorang anak muda yang
selalu menuruti perasaan sendiri, yang kadang-kadang
terlalu aneh. Demikianlah beberapa hari kemudian,
Prabasemi itu berkata kepada Karebet, "Karebet, apakah
kau sudah mendapat kesempatan itu?"
Mas Karebet tersenyum, jawabnya, "Sudah, Ki Tumenggung." "He...?" Ki Tumenggung sangat tertarik kepada jawaban
itu. "Aku telah dipanggil oleh Baginda, kemarin" kata
Karebet. "Untuk apa?" "Memijit kaki Baginda. Bukankah aku pernah belajar
memijit?" sahut Karebet.
"Oh, pantas. Baginda sering memanggilmu" kata
Prabasemi. "Tetapi apakah kau sempat bertemu dengan
putri?" Karebet mengangguk. "Ya, Ki Tumenggung," jawab
Karebet. "Tetapi aku tidak sempat menyampaikan pesan Ki
Tumenggung." "Gila," gerutu Prabasemi dengan kecewa,
"Kenapa?" "Aku tidak dapat mendekatinya," sahut Karebet, "Putri itu
hanya lewat di muka bilik pembaringan Baginda."
Prabasemi mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
"Karebet, lain kali kau harus berhasil. Kau akan mendapat
hadiah yang pasti akan sangat menyenangkan bagimu."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Apakah hadiah itu?" tanya Karebet.
"Lembu, kerbau, uang atau apa?"
"Baik. Baik Ki Tumenggung" jawab Karebet.
Dan sebenarnyalah beberapa hari kemudian Karebet itu
datang kepada Ki Tumenggung Prabasemi. Sambil
tersenyum ia berkata, "Ki Tumenggung, aku telah
menghadap Sultan pula."
"Memijit?" bertanya Prabasemi.
"Ya. Aku memijit Sultan sehingga Sultan tertidur" berkata
Karebet. "Ah. Biarlah Baginda tertidur. Tetapi bagaimana dengan
pesan itu?" "Itulah yang akan aku katakan. Ketika Sultan tertidur,
maka putri itu lewat pula di muka bilik pembaringan Sultan.
Ternyata putri baru saja menghadap Ibunda dan akan
kembali ke keputren bersama dua orang embannya."
"Kau sampaikan pesan itu?"
Karebet menggeleng. "Tidak, Ki Tumenggung."
"Gila!" teriaknya, "Apakah kau juga gila seperti aku,
Karebet" Namun kau gila sebenarnya gila, sedang aku gila
karena gadis itu." Karebet hanya tersenyum saja. Katanya, "Apakah Ki
Tumenggung tidak keberatan seandainya kedua embannya
itu mendengar?" "Jangan. Jangan" potongnya.
"Nah, itulah sebabnya," sahut Karebet, "Lain kali akan
aku coba." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi beberapa hari kemudian Karebet menemui
Prabasemi dengan wajah yang sedih. Prabasemi terkejut
karenanya. Maka dengan tergesa-gesa terdengar ia
berkata, "Bagaimanakah dengan pesan itu Karebet?"
Karebet masih tetap tepekur dengan wajah muram.
Perlahan-lahan ia berkata, "Ki Tumenggung. Kali ini aku
telah benar-benar dapat bertemu dengan putri."
"Ha?" sahut Prabasemi, "Kau sampaikan pesan itu?"
"Ya" jawab Karebet.
"Nah, ternyata kau tidak sebodoh yang aku sangka.
Tetapi kenapa kau bersedih?"
"Aku ditamparnya" sahut Karebet.
"Siapa yang menampar?"
"Putri." "Benar?" "Ya." "Oh!" Tiba-tiba Prabasemi berdesah, "Kau berkata
sebenarnya?" "Ya." "Lalu apa yang kau lakukan?"
"Aku hampir saja membalasnya."
"He?" teriak Prabasemi, "Kau benar-benar gila. Apakah
dengan demikian kau tidak menyadari, bahwa kau dapat
dihukum, bahkan hukuman mati?"
"Hampir, Ki Tumenggung. Hampir. Tetapi tidak jadi."
"Lalu apa yang kau lakukan?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Aku minta maaf atas kelancanganku, atas pesan yang
aku sampaikan itu." "Lalu?" Prabasemi menjadi tidak sabar.
"Aku minta maaf atas kelancanganku, atas pesan yang
aku sampaikan itu." "Lalu?" Prabasemi menjadi tidak sabar.
"Putri memaafkan aku, dan putri juga minta maaf
kepadaku." "He?" Prabasemi semakin terkejut, "Putri minta maaf
kepadamu?" "Ya," sahut Karebet, "Dan putri memberikan pesan pula
untuk Ki Tumenggung."
"Jadi putri kenal aku?" tanya Prabasemi.
Tetapi ia menjadi kecewa ketika Karebet menggeleng.
"Oh," katanya, "Apakah putri belum pernah mendengar
nama Prabasemi, perwira Tamtama yang sakti?"
Sekali lagi Karebet menggeleng. Jawabnya, "Putri
menyangka bahwa yang bernama Prabasemi adalah
seorang perwira Nara Manggala yang gemuk bulat."
"Setan!" desis Prabasemi, Katanya, "perwira itu bernama
Gajah Alit." "Atau yang beberapa tahun yang lampau meninggalkan
istana" Tanya putri itu." Karebet berkata seterusnya.
"Ah demit itu. Tohjaya yang dimaksud?"
"Mungkin" sahut Karebet.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Apakah kau tidak mengatakan, bahwa Prabasemi dari
kesatuan Wira Tamtama, bukan Nara Manggala, atau
Manggala Sraja atau yang lain-lain?"
"Sudah, Ki Tumenggung. Aku sudah mengatakannya.
Dan putri berpesan, agar Ki Tumenggung melupakannya.
Melupakan putri itu. Sebab sebentar lagi putri itu sudah
akan menginjak masa perkawinannya?"
"Bohong!" bentak Tumenggung itu, "Putri itu bohong,
atau kau yang bohong?"
"Aku tidak bohong Ki Tumenggung. Aku benar-benar
pernah menghadap putri. Dan kalau Ki Tumenggung tidak
percaya, inilah, aku dapat membuktikannya."
Ki Tumenggung Prabasemi menarik keningnya. Ia
melihat Karebet mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya.
Kemudian ditunjukkannya kepada Prabasemi. Dan inilah
kesalahan

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karebet yang terbesar, yang telah menjerumuskannya pada keadaan yang pahit. Sehingga
akhirnya ia terpaksa diusir dari istana. Bahkan hampir saja
jiwanya menjadi korban pula karenanya.
Prabasemi itu menggigil ketika ia melihat di tangan
Karebet tergenggam sekuntum bunga yang telah layu.
Tumenggung itu segera mengetahui maksud mas
Karebet. Ia tahu pasti bahwa Karebet berbohong. Ia tahu
pasti bahwa Karebet mengatakan kepadanya, bahwa
harapannya itu tidak lebih daripada setangkai layoning
kembang. Karena itu, Prabasemi itu menjadi marah.
Wajahnya segera menjadi merah menyala, dan giginya
gemeretak. Karebet terkejut melihat akibat permainannya. Ia
memang ingin bermain-main dengan Tumenggung itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi ia tidak menyangka bahwa akibatnya akan
sedemikian parahnya. Tumenggung yang marah itu dengan serta merta
menarik bajunya sehingga tubuh Karebet hampir terangkat
karenanya. Dengan gemetar Prabasemi berkata, "Kau
menghina aku Karebet?"
"Tidak Ki, tidak" sahut Karebet.
Tetapi mata Tumenggung Prabasemi benar-benar telah
merah, semerah darah. Katanya pula, "Aku sangka kau
adalah bawahanku yang paling setia. Tetapi ternyata kaulah
yang pertama-tama menghina aku."
"Bukan maksudku Ki Tumenggung. Aku hanya ingin
memperingatkan Ki Tumenggung, bahwa gegayuhan itu
terlalu jauh jangkauannya" jawab Karebet.
"Persetan dengan mulutmu. Kau adalah bawahanku.
Pangkatmu lebih rendah dari pangkatku, umur lebih muda
dari umurku. Jangan menggurui aku."
Karebet tidak menjawab. Ia tidak mau membuat
Tumenggung itu menjadi semakin marah. Seandainya ia
menjawab satu patah kata saja lagi, maka sudah pasti
mulutnya akan ditampar oleh Tumenggung yang sudah lupa
diri. Dan sudah pasti ia akan membalasnya. Namun
untunglah bahwa Karebet berhasil menguasai dirinya.
Sejak saat itu, maka Prabasemi tak memerlukan Karebet
lagi. Seandainya Karebet bukan seorang yang langsung
diambil oleh Sultan dari pinggir blumbang, dan diserahkan
kekesatuannya, maka Karebet itu pasti sudah dipecat, diusir
bahkan sudah dibunuhnya. Tetapi Prabasemi itu masih
takut, seandainya Sultan memerlukan anak itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Namun sejak itu, Prabasemi menjadi semakin gila. Ia
ingin membuktikan bahwa suatu ketika ia akan berhasil
menemui puteri Sultan itu dan berhasil memikatnya.
Tumenggung bukan pangkat yang terlalu rendah. Dalam
peperangan ia telah berhak untuk memegang jabatan
panglima dalam laskar segelar sepapan. Dan ia yakin
kesaktiannya akan ikut menentukan pula keadaan dirinya.
Juga akan dapat menentukan apakah puteri Sultan itu akan
menaruh perhatian akan dirinya atau tidak.
Prabasemi pernah mendengar juga nama-nama perwira
yang pernah menggemparkan Demak. Seorang kawannya
dari angkatan yang lebih tua, dari kesatuan Nara Manggala,
bernama Gajah Alit tak kurang saktinya. Seorang lain dari
panglima pasukan Demak yang berada di Bergota. Arya
Palindih, adalah orang yang sakti. "Tetapi apakah kau tidak
dapat menyamai kesaktian mereka?" katanya dalam hati
Tetapi sebagai seorang perwira yang masih muda, ia
hampir tidak pernah mendapat kesempatan untuk pergi
bersama-sama dengan mereka yang mempunyai nama
dalam keprajuritan Demak. Sehingga dengan demikian,
maka Prabasemi itu belum pernah mendapat kesempatan
untuk melihat atau memperlihatkan kesaktiannya masingmasing angkatan sebelumnya dan dirinya sendiri. Itulah
agaknya yang menyebabkan Prabasemi haus pada
kesempatan kesempatan demikian. Perang merupakan
lapangan permainan yang digemarinya, sekedar untuk
mengukur diri. Tak pernah diperhatikannya, apakah akibat
dari peperangan itu. Tak pernah terpikirkan olehnya, berapa
orang yang gugur. Ia ingin namanya akan semakin
menanjak keatas, merayap kesamping nama-nama yang
pernah didengar sebelumnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dengan demikian Prabasemi merupakan Perwira yang
namanya dikenal karena tindakannya yang kasar. Setia
persoalan yang betapapun kecilnya atas daerah wilayah
Demak, bahkan daerah perdikan akan diselesaikan oleh
Prabasemi dengan kekerasan. Dengan dalih yang dibuatbuat, Prabasemi selalu mengakhiri tugasnya dengan
pertumpahan darah di wilayah yang sangat kecil pun.
Ada anak buah yang senang dengan kebiasaan itu,
namun ada yang membencinya. Karebet termasuk orang
yang muak dengan perbuatan itu. tetapi sebagai seorang
yang patuh pada ketetapan
yang berlaku dalam lingkungan Wira Tamtama, maka tak banyak yang dapat
ia lakukan. Dan sebenarnya
untuk sementara Prabasemi
mendapat sambutan baik dari atasannya. Seakan-akan
semua tugas yang diserahkannya pasti dapat
diselesaikannya. Dan kini Prabasemi telah sampai pada tangga yang cukup tinggi. Tumenggung.
Namun nafsunya yang berlebihan masih belum juga surut.
Bahkan kini ia terdorong dalam satu persoalan yang lebih
gila lagi. Wajah puteri bungsu itu tak pernah dilupakannya.
Dan ia bertekad untuk suatu ketika bertemu dengan gadis
itu. Apa yang dilakukan Karebet ternyata telah mendorongnya ke sudut yang semakin gelap.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi sementara itu Karebetpun menjadi semakin gila.
Seperti Prabasemi yang tersinggung oleh pokal Karebet,
maka Karebet pun tidak mau melepaskan kesempatan yang
telah didapatnya. Sejak ia tahu Prabasemi kasmaran kepada
puteri Sultan, sejak itu ia bertambah jauh tenggelam dalam
permainan yang berbahaya. Sebenarnya ia mengatakan apa
yang diketahuinya tentang Prabasemi kepada puteri itu.
Namun puteri berkata kepadanya "terserah kepadamu
Karebet." "Apakah artinya aku ini puteri" kata Karebet. "Aku tidak
lebih dari seorang Tamtama, sedangkan Prabasemi adalah
Tumenggung sakti dari kesatuan yang sama."
Karebet hampir menjadi lupa diri ketika melihat puteri itu
tersenyum sambil berkata, "Kalau kau mau Karebet, aku
tidak hanya sekedar mendapatkan Tumenggung, tetapi aku
akan mendapatkan seorang Bupati Nayaka atau seorang
Adipati." Dada Karebet menjadi semakin berdebar-debar, "Kenapa
puteri tidak mau?" "Apakah kau menghendaki demikian?" bertanya puteri
itu. "Ah" desah Karebet. "Aku sedang berfikir, bagaimana
cara sebaik-baiknya untuk bunuh diri."
"Kenapa bunuh diri?"
"Aku tak sanggup melihat Puteri dipersandingkan.
Mungkin dengan seorang Adipati, Pangeran dan dengan
Tumenggung Prabasemi."
"Jangan mengigau Karebet" potong puteri itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karebet tersenyum. Kemudian katanya, "lalu bagaimana
aku harus mengatakan kepada Tumenggung yang gagah
itu?" "Terserah kepadamu. Mungkin kau akan mengatakan
kepadanya bahwa aku akan menerima lamarannya."
Demikianlah Karebet semakin yakin akan dirinya. Ia tidak
akan dapat disisihkan oleh Tumenggung yang dipenuhi
segala macam nafsu itu. Tetapi Tumenggung Prabasemipun tidak putus asa.
Dihubunginya beberapa emban, disuapnya dengan uang,
pakaian dan benda berharga lainnya. Dimintanya mereka
menyampaikan beberapa pesan untuk puteri itu. Namun
usaha Tumenggung itupun sia-sia. Puteri Sultan Trenggana
tak pernah memperhatikan pesan itu. Dan bahkan puteri
selalu berpura-pura belum pernah mendengar nama
Prabasemi. Dengan demikian Prabasemi semakin prihatin.
Kadang apbila pikiran jernih datang dan bekerja di
benaknya, maka disadarinya bahwa yang dilakukannya
adalah laku seorang gila. Namun apabila dikenangnya
wajah itu, maka pikiran gilanya kembali menguasai
kepalanya. Dan kembali Tumenggung itu memutar otaknya.
Dan terjadilah suatu peristiwa. Peristiwa tak disangkasangka oleh Prabasemi. Ketika pada suatu hari, seorang
emban yang telah disuapnya berlari kepadanya.
"Ada apa?" bertanya Prabasemi terges-gesa, "Apakah
puteri memanggil aku?"
Emban itu menggeleng, dan Tumenggung itu pun
menjadi kecewa. "Ki Tumenggung," berkata emban itu terengah-engah,
"aku tidak yakin usaha Ki Tumenggung akan berhasil"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tumenggung Prabasemi membelalakkan matanya sambil
bertanya menyentak, "Apa katamu?"
"Ki Tumenggung," sahut emban itu, "seseorang telah
mendahului menyentuh hati tuan puteri..."
"He, " Prabasemi terkejut sekali sehingga terjingkat, "Apa
katamu" "Seseorang telah mendahului Ki Tumenggung"
"Bohong," teriaknya, "aku juga pernah dibohongi
demikian" "Aku tidak bohong" sahut emban.
"Apakah kau dapat mengatakannya, siapakah yang telah
mendahului aku?" "Anak muda itu pernah datang ke keputren. Dan kali ini
aku melihatnya sendiri."
"Gila, apakah para prajurit Nara Menggala tidur semua?"
"Anak muda itu selalu datang ke istana. Baginda sering
memanggilnya, sehingga para Nara Manggala selalu
melepaskannya untuk masuk ke mana saja yang
disukainya." "Siapa dia?" "Aku tidak kenal namanya. Tetapi ia dari Wira Tamtama
seperti Ki Tumenggung."
"Gila, siapa dia" He, siapa?" wajah Tumenggung itu
menjadi merah padam. Ia percaya kata-kata emban itu.
Karena itu maka dadanya bergetar seperti seratus guntur
meledak bersama-sama di dalamnya.
Emban tidak dapat menjawab. Memang ia tidak tahu
siapakah nama anak muda itu. Namun ia dapat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
mengatakan, bahwa Baginda sering memanggilnya untuk
memijat kakinya. A tau kadang-kadang anak muda itu diajak
bermain panah, membidik sasaran-sasaran yang anehaneh. Dan bahkan bermain kecerdasan. Macanan atau mulmulan dengan asyiknya. Mendengar keterangan emban itu, menggigillah tubuh
Prabasemi. Dengan suara yang parau gemetar ia bertanya,
"Apakah anak muda itu masih sangat muda ?"
"Ya" jawab emban itu.
"Bertubuh tegap, berdada bidang?"
"Ya." "Selalu tersenyum?"
"ya." "Gila. Setan itu bernama Karebet" Kau dengar?" bentak
Prabasemi. Kini ia benar-benar kehilangan kesabarannya.
Seandainya Karebet ada dihadapannya, maka sudah pasti ia
akan berusaha membunuhnya. Tetapi yang ada kini adalah
emban itu. Emban yang menggigil ketakutan.
"Kau lihat sekarang orang itu berada di keputren?"
"Ya." Emban itu mengangguk.
"Aku akan kesana. Aku bunuh anak itu" teriak Prabasemi.
"Jangan Tuan" pinta emban itu.
"Kenapa?" "Tuan, apakah Tuan mungkin melampaui penjagaan Nara
Manggala seperti anak muda itu?"
Prabasemi menggeram. Ia tidak mempunyai wewenang
apa pun untuk memasuki bagian dalam istana seperti
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karebet. Kalau ia memaksa, maka ia akan berhadapan
dengan Nara Manggala. Sedang kalau Nara Manggala itu
dimintanya untuk menyergap kaputren beramai-ramai,
maka Karebet pasti sempat melarikan diri. Dan apabila tidak
ditemui bukti, maka Baginda pasti akan murka.
Meskipun perasaan Prabasemi pada waktu itu seolaholah sedang menyala, namun naluri keprajuritannya telah


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencegahnya untuk bertindak. Karena itu, Tumenggung itu
hanya bisa menggeram dan menghentak-hentakkan
kakinya. Dengan gemetar ia berdiri dan berjalan mondarmandir sambil mengumpat, "Setan, Karebet itu. Seharusnya
ia dibunuh." Namun akhirnya Tumenggung itu pun berhenti mondarmandir. Ditatapnya wajah emban yang ketakutan itu. Dan
tiba-tiba Tumenggung Prabasemi tersenyum.
Emban yang ketakutan itu pun terkejut melihat
perubahan sikap Prabasemi yang tiba-tiba itu. Namun ia
tidak berani bertanya sesuatu. Bahkan ia menjadi semakin
gelisah ketika kemudian Prabasemi itu berhenti beberapa
langkah dihadapan emban yang duduk sambil menundukkan wajahnya. "Emban..." katanya, "Sudahlah, biarlah Gusti Putri itu
menuruti kehendak sendiri."
Emban itu menjadi semakin heran. Sekali ia mengangkat
wajahnya dengan sorot matanya yang penuh mengandung
pertanyaan. "Namun putri itu pun harus mendapat pelajaran. Aku tak
akan dapat berbuat apa pun untuknya. Karena itu Emban,
apakah tidak sebaiknya melaporkannya kepada ibunda
permaisuri apabila kau melihat anak muda itu datang
kembali?" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Emban menggeleng, "Aku tidak berani tuan. Dan dengan
demikian maka akibatnya pun akan jauh sekali. Mungkin
putri akan dihukum didalam istana, dan mungkin anak
muda itu dapat dihukum mati."
Prabasemi tertawa. Katanya, "Bukankah itu hukuman
yang wajar?" "Putri akan berduka."
Prabasemi tertawa. Katanya seterusnya, "Jadi apakah
sebaiknya dibiarkan saja perbuatan gila itu" A pakah dengan
demikian kau sendiri tidak akan digantung kelak apabila
kedua anak-anak muda itu terdorong kedalam keadaan
yang makin parah?" Emban itu terdiam. Kata-kata Prabasemi itu memang
benar. Seandainya Gusti Putri itu terperosok dalam
perbuatan yang lebih sesat lagi, maka dirinyapun akan
mendapat hukuman pula beserta seluruh emban yang lain.
Selagi ia sibuk menimbang-nimbang, emban itu terkejut
ketika dipangkuannya jatuh sebentuk cincin emas yang
berkilat-kilat. Dengan mulut ternganga ia menengadahkan
wajahnya menatap wajah Prabasemi. Prabasemi itu masih
tersenyum. Katanya, "Pakailah, supaya kau tidak lupa
kepadaku. Dan supaya kau tidak lupa nasehatku. Sebaiknya
kau laporkan peristiwa-peristiwa semacam itu. Bukankah
tugasmu momong Gusti Putri" Dan bagiku Gustri Putri itu
sama sekali sudah tidak menarik lagi sejak aku melihat
kau." "Ah", desis emban itu. Namun ia pun menjadi berbangga
akan kata-kata Prabasemi itu. Bahkan tiba-tiba timbullah
keinginan untuk benar-benar dikagumi oleh Tumenggung
itu. Sehingga sambil mengerling emban itu berkata, "Tuan
jangan berolok-olok."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Prabasemi tertawa. Jawabnya, "Kenapa aku berolok-olok.
Aku baru melihat putri itu dari kejauhan, sedang aku telah
melihat kau dari dekat. Bukan baru sekali dua kali, tetapi
karena kau sering datang kemari, aku telah melihat hampir
seluruhnya yang ada padamu. Tingkah lakumu, sifatsifatmu, senyummu." "Ah", wajah emban itu menjadi kemerah-merahan.
Namun ia menjadi semakin berbangga.
"Nah, lakukanlah pesanku itu", berkata Prabasemi
kemudian perlahan-lahan, "kau akan mendapat hadiah
daripadaku. Lebih banyak dari yang sudah aku berikan.
Biarlah seandainya putri itu mendapat pingitan yang lebih
keras dari ibunda. Aku tidak peduli lagi, asalkan kau tidak
ikut dipingit pula."
Emban itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ia
berjanji untuk melakukannya, "Ya Ki Tumenggung, akan
aku beritahukan kepada Permaisuri apabila anak muda itu
datang kembali." "Bagus, bagus", sahut Prabasemi, "jangan tanggungtanggung Rumah ini masih kosong."
Dan emban itu pun berdesir. Tanpa dikehendakinya ia
memandang berkeliling ruangan itu. Dilihatnya rumah
Tumenggung yang masih muda itu dipenuhi dengan alatalat rumah tangga yang bagus. Tempat duduk dari kayu
berukir, geledek-geledek berukir dan tirai-tirai sutera di
muka sentong tengah dan kedua sentong samping. Bahkan
tiang-tiangnya pun diukir pula dengan bagusnya dengan
warna-warna sungging yang indah. Tanpa disadarinya pula
emban itu tersenyum. PRABASEMI membiarkan emban itu berangan-angan.
Namun hati Tumenggung itu mengumpat, "Gila pula
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
agaknya emban ini seperti aku. Apa disangkanya ia cukup
bernilai untuk bermimpi menjadi istri Tumenggung?" Bibir
Tumenggung itu membayangkan sebuah senyum. Dan
senyumnya itu telah mendebarkan hati emban yang mabuk
kesenangan. ----------0dwkzOarema0---------SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
IV Ketika emban itu pergi. Prabasemi masih tersenyumsenyum sendiri. Ia mengharap emban yang telah membawa
cincinnya itu memenuhi janjinya. "Apabila benar yang
dikatakan itu," Prabasemi bergumam sendiri, "Maka umur
Karebet itu menjadi amat pendeknya. Kasihan. Tetapi
ternyata ia lebih gila daripadaku."
Tetapi Tumenggung Prabasemi ternyata cerdik. Betapa
darahnya mendidih apabila ia melihat Karebet, namun ia
selalu dapat menahan dirinya. Bahkan sikapnya kepada
Karebet seakan-akan menjadi bertambah baik. Dibawanya
anak muda itu ke mana-mana. Dibawanya Karebet itu ke
tempat-tempat yang disukainya. Ke pasar dan ke warungwarung. Apabila Tumenggung itu membeli kain baru untuk
dirinya, maka dibelikannya pula Mas Karebet.
Namun otak Mas Karebet bukan otak yang tumpul. Ia
merasakan beberapa perubahan sikap Tumenggung. Mulamula Tumenggung itu marah kepadanya, tetapi tiba-tiba
sikap itu berubah. Meskipun demikian ia belum dapat
mengetahuinya dengan pasti, apakah maksud Tumenggung
itu sebenarnya. Dan ternyata Mas Karebet meraba ke arah
yang tidak tepat. Ia menyangka, bahwa Tumenggung itu
sedang menyuapnya supaya ia bersedia menyampaikan
pesan-pesannya kepada Gusti Putri.
Karena itulah maka Karebet tidak juga menyadarinya,
bahwa seakan-akan dari celah-celah setiap pintu kaputren,
sepasang mata selalu mengintipnya. Setiap langkah putri
bungsu itu tak pernah terlepas dari pengawasan emban
yang haus kemukten itu, apalagi Mas Karebet berada di
sekitarnya, meskipun dengan bersembunyi-sembunyi.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Akhirnya datang pula saat itu.
Ketika malam sedang merayap semakin dalam, dan
bintang-bintang dilangit seakan-akan sedang tenggelam
dalam pelukan awan yang kelabu. Sekali-kali lidah api yang
panjang menyala di langit yang gelap, disusul dengan suara
gemuruh diudara. Angin yang dingin bertiup semakin lama
semakin kencang. Seorang anak muda berjalan bergegas-gegas masuk ke
pintu gerbang dalam halaman istana. Seorang prajurit yang
sedang bertugas menyapanya, "He, berhenti. Siapa?"
Anak muda itu mengangkat wajahnya. Dengan tergesagesa ia menjawab, "Kaki Baginda terkilir."
"Oh, kau Karebet?" tanya prajurit itu.
Karebet tidak menjawab. Ia berjalan terus memasuki
pintu gerbang. Dan prajurit bertombak itu kembali ke
gardunya. "Karebet," gerutunya. Kawannya tersenyum, jawabnya,
"Jangan iri. Baginda amat sayang kepadanya. Bahkan
seperti putera sendiri. Setiap kali anak itu dipanggilnya.
Ada-ada saja." "Kenapa bukan aku?" kelakar orang bertombak itu.
"Aku juga sedang belajar, meloncat mundur sambil
berjongkok. Bukankah karena Sultan melihat anak itu
berbuat demikian di halaman masjid, maka Karebet itu
dipungutnya?" "Ternyata ia pun merupakan Tamtama yang baik," jawab
yang lain, "Sebaik Tumenggung yang selalu mabuk tuak
itu." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Beberapa orang prajurit yang sedang berjaga-jaga di
gardu itu pun tertawa. Seorang dari mereka yang sedang
memegang dadu melemparkannya ke sudut, lalu menguap.
Katanya, "Alangkah dinginnya."
"Tidurlah," sahut yang lain, "Giliranmu adalah seperempat malam terakhir."
Orang itu tidak menjawab, namun ia merangkak kesudut.
Dan kemudian merebahkan dirinya di samping dua orang
lain yang sudah mendengkur. Mereka adalah petugaspetugas yang akan mendapat giliran pada perempat malam
terakhir. Karebet pun kemudian memasuki halaman dalam istana.
Seperti biasa ia berjalan menyusur teritis kebilik Baginda.
Namun ia tersenyum sendiri. Baginda pasti sedang tidur
nyenyak dimalam yang dingin ini. Tiba-tiba tubuh anak
muda itu pun kemudian seakan-akan lenyap dibawah
bayang-bayang pepohonan. Tak seorang pun yang
melihatnya. Perlahan-lahan ia menyusur di antara tananam
di pertamanan itu menuju kesisi halaman yang lain.
Kaputren. Angin malam masih bertiup menggoyangkan daundaunan dan menggugurkan kelopak-kelopak bunga kering.
Lamat-lamat di antara desir angin terdengarlah suara
burung bence. Perlahan-lahan dan jarang-jarang. Bukan
suara burung yang sesungguhnya. Tetapi tak seorang pun
yang mengetahuinya selain Gusti Putri.
Dan perlahan-lahan pula, terbukalah pintu kaputren.
Sesaat kemudian tertutup kembali. Seorang gadis yang
berkerudung kain menyelinap keluar dan berjalan tersuruksuruk ke samping dinding kaputren itu.
"Ah kau" desis gadis itu.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karebet tersenyum. Katanya, "Apakah Tuan Putri sudah
tidur?" "Belum," jawab putri itu, "Aku menunggumu."
Putri itu pun kemudian duduk di tanah di samping
Karebet, di balik rimbunnya pertamanan. Sekali-kali kilat
masih menyambar di langit dan guruh masih menggelegar
satu-satu. Namun kedua anak-anak muda itu sama sekali
telah tenggelam dalam keasyikan, sehingga tak dilihatnya
cahaya tatit, dan tak didengarnya gemuruh guntur.
Di sudut lain, emban yang mengenakan cincin emas di
jari-jarinya dan bersembunyi di balik sudut dinding, tampak
tersenyum-senyum. Ia kemudian tidak hanya sekadar ingin
menyelamatkan putrinya dari kemungkinan-kemungkinan
yang lebih buruk. Namun kemudian ia bahkan mengharap
keadaan akan bertambah parah. Bahkan ia mengharap
Sultan menjadi sangat murka kepada putrinya, dan
kemudian mengenakan pingitan yang sangat berat. Dengan
demikian, maka Ki Tumenggung Prabasemi pasti akan
melupakannya. Melupakan putri itu. Bukankah dengan
demikian, kesempatan baginya menjadi lebih luas lagi" Istri
Tumenggung adalah impian yang sangat menyenangkan.
Selagi kawan-kawannya masih tetap menjadi emban, dan
satu dua akan diambil oleh jajar atau setinggi-tingginya
bekel juru taman, maka ia telah menjadi seorang istri
Tumenggung. Tumenggung Wira Tamtama.
Kini kesempatan itu terbuka baginya. Karena itu, dengan
tersenyum ia bergeser surut. Dan sesaat kemudian dengan
tergesa-gesa ia berjalan menyusur dinding belakang,
menuju bilik Permaisuri. Tetapi, ketika ia sampai di samping bilik itu, ia menjadi
ragu-ragu. Apakah Permaisuri mempercayainya, dan apakah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
akibatnya tidak akan terlalu parah dan menyebabkan Putri
berduka" Namun kemudian diingatnya kata-kata Tumenggung Prabasemi, "Apakah dengan demikian kau
sendiri tidak akan digantung kelak apabila kedua anak-anak
muda itu terdorong ke dalam keadaan yang semakin
parah?" Ketika emban itu sedang bimbang, ia menjadi terkejut
bukan buatan ketika terasa seseorang menggapit pundaknya. Ketika ia menoleh, dilihatnya di belakangnya
berdiri seorang emban Permaisuri. Dengan tersenyum,
emban itu bertanya, "He, kenapa kau malam-malam,


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada di sini?" "Oh" jawab emban Putri Bungsu yang bercincin emas
tergagap. "Tidak apa-apa."
"Tidak apa-apa?" tanya emban Permaisuri dengan heran.
Emban bercincin emas itu diam sesaat. Dicobanya untuk
mengatasi getar di dalam dadanya. Getar yang ditumbuhkan oleh benturan-benturan perasaannya. Namun
ketika emban Permaisuri itu mendesaknya, maka terluncurlah kata-katanya, "Ah. Sebenarnya ada sesuatu
yang sangat penting terjadi di kaputren."
Emban Permaisuri itu mengerutkan keningnya. Katanya,
"Kenapa" A pakah Putri sakit?"
Emban bercincin emas itu menggeleng. "Tidak" katanya.
"Lalu kenapa?" "Berikanlah aku kesempatan menghadap Permaisuri."
Emban Permaisuri itu berpikir sejenak. Kemudian
katanya, "Apakah persoalan itu sedemikian pentingnya
sehingga harus kau sampaikah hari ini?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Ya. Sedemikian pentingnya."
"Tidak dapat ditunda sampai esok pagi-pagi?"
Emban bercincin emas itu menggeleng. "Tidak"
jawabnya, "Persoalannya sangat penting dan harus
diselesaikan malam ini."
Emban Permaisuri itu mengerutkan keningnya. Perlahanlahan ia berjalan ke pintu bilik Permaisuri, sedang emban
bercincin emas itu mengikutinya.
"Belum lama Permaisuri tidur," kata emban itu, "Baru
saja Baginda meninggalkan bilik ini. Agaknya ada persoalan
yang penting yang sedang dibicarakan dengan Permaisuri."
"Soal ini pun tak kalah pentingnya," desak emban
bercincin emas. Akhirnya emban Permaisuri itu pun mengetuk pintu
perlahan-lahan. Tidak biasa hal itu dilakukannya. Namun
apabila persoalannya penting sekali, maka Permaisuri pasti
tidak akan murka. Sesaat kemudian terdengar sapa halus dari dalam bilik
itu, "Siapa?" "Hamba, Gusti."
"Emban?" "Hamba, Gusti."
"Kau mengetuk pintu?"
"Hamba, Gusti."
"Ada sesuatu?" "Ya Gusti, emban Gusti Putri ingin menghadap."
"Oh." SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Dan sesaat kemudian terdengarlah gerit pintu bilik itu.
Sebenarnya sinar lampu minyak memercik keluar. Dan
Permaisuri itu telah berdiri di ambang pintu.
"Siapakah yang ingin menghadap?"
Emban bercincin emas itu menyembah sambil berkata,
"Hamba Gusti." Namun terasa suaranya bergetar.
"Ada apakah" Apakah Putri sakit?"
"Tidak Gusti," sahut emban itu. Suaranya menjadi
semakin gemetar. Dan dengan terbata-bata ia berkata,
"Gusti, Putri tidak sedang sakit, tetapi sedang...." Tiba-tiba
suaranya seakan-akan tersumbat di kerongkongan.
"Sedang apa?" desak permaisuri.
Keringat dingin mengalir di seluruh wajah kulit emban
yang bercincin emas itu. Ia menjadi bertambah gemetar
ketika Permaisuri bertanya, "Apakah persoalan ini sangat
penting sehingga kau harus menghadap malam ini?"
"Hamba, Gusti" jawab emban itu.
"Membawa pesan Putri?"
Emban itu menggeleng, "Tidak Gusti."
Permaisuri menjadi heran. Katanya, "Lalu apakah
keperluanmu?" "Gusti..." jawab emban itu tergagap. Sedang emban
permaisuri itu pun tak kalah herannya. Kenapakah
kawannya ini" Apakah agaknya ia diganggu oleh hantuhantu pertamanan" Dan terdengarlah emban bercincin
emas itu meneruskan dengan kata-kata yang patah-patah.
"Gusti. Ampunkanlah hamba. Tetapi sesungguhnyalah
bahwa hamba mengatakannya yang sebenarnya. Hendaknya dijauhkannya hamba dari bebendu." Emban itu
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
berhenti sesaat, dan nafasnya menjadi semakin terengahengah, sehingga permaisuri itu pun menjadi semakin heran.
"Tuanku," kata emban itu pula, "Ampunkanlah hamba.
Sebenarnya hamba ingin menghaturkan ketakutan hamba
atas Tuan Putri di kaputeren."
"Apa yang akan kau katakan, Emban" tanya Permaisuri.
"Gusti, betapa kami, para emban berusaha untuk
mencegahnya, namun apakah kekuasaan kami?"
"Ya emban, tetapi kau belum mengatakan persoalannya."
"Oh." Emban itu menarik nafas. Dicobanya untuk
mengatur perasaannya, baru kemudian ia berkata,
"Sesungguhnya Gusti, di keputren Putri sedang menerima
seorang tamu." Permaisuri itu terkejut sekali mendengar kata-kata
emban itu. Maka katanya, "Menerima tamu, katamu"
Siapakah tamunya?" "Itulah yang menyedihkan kami, Gusti," sahut emban itu,
"Tamunya adalah seorang pria."
Kali ini Permaisuri itu pun tersentak seperti disengat kala.
Sesaat ia tak dapat berkata apapun. Bahkan tubuhnyalah
yang menjadi gemetar, sehingga kemudian dipeganginya
tiang-tiang pintu bilik itu.
Sesaat kemudian barulah Permaisuri dapat berkata,
"Emban, apakah katamu benar?"
"Ya, Gusti." "Kau pernah melihat sendiri?"
"Ya, Gusti. Saat itu, tamu itu ada di petamanan. Karena
itu hamba segera menghadap kemari."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Putri itu kini mengigil seperti orang yang sedang sakit.
Kemudian tanpa berkata apa pun lagi, segera ia masuk ke
dalam biliknya. Membenahi pakaiannya dan sedikit menyisir
rambutnya. Dengan tergesa-gesa pula ia berkata kepada
embanya, "Emban, aku akan menghadap Baginda."
Emban Permaisuri itu pun ikut mengigil pula. Kabar itu
tak diduganya. Karena itu ia ragu-ragu sesaat, dan
perlahan-lahan ia berbisik, "Apakah kau benar-benar
melihatnya?" Emban bercincin emas itu mengangguk. "Ya" jawabnya.
Emban Permaisuri itu mengusap dadanya sendiri. Tak
pernah terpikirkan, bahwa seorang putri raja akan
mengalami masa-masa yang demikian mengerikan. Apakah
kata Baginda nanti" Emban Permaisuri itu menjadi semakin
menggigil karenanya. Sekali lagi ia berbisik, "Apakah kau
pernah memperingatkannya, atau setidak-tidaknya menanyakannya kepada Putri?"
Emban bercincin emas itu menggeleng. "Belum, aku tidak
berani." "Kenapa?" desak emban Permaisuri, "Bukankah kau
pemomongnya" Adalah menjadi kewajibanmu untuk
memberi peringatan kepada Putri apabila pada suatu saat
Putri mengalami kegoncangan keseimbangan. Sebab
bagaimanapun juga Putri itu pun manusia yang sering khilaf
seperti kita." Emban bercincin emas itu terdiam. Dan terdengar emban
permaisuri itu berkata, "Sekarang persoalan itu akan
menjadikan seisi istana gempar. Mudah-mudahan tak
banyak orang yang mengetahuinya."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Emban Putri itu masih berdiam diri. Bahkan kemudian
kepalanya ditundukkannya.
Sesaat kemudian Permaisuri telah selesai. Dengan
tergesa-gesa ia berjalan keluar, menutup pintu dan
kemudian berkata, "Kalian berdua ikut aku."
Kedua emban itu pun menyembah. Mereka berjalan
mengikuti Permaisuri ke bilik raja.
Di halaman, mereka berhenti, karena seorang peronda
Nara Manggala menghentikan mereka. Dengan tombak di
tangan, terdengar ia menyapa, "Siapa?"
Emban Permaisuri menjawab, "Permaisuri."
"Oh!" Peronda itu pun kemudian membungkukkan
badannya dalam-dalam. Namun dari sorot matanya
terpancar pula beberapa pertanyaan di dalam dadanya.
Kenapa Permaisuri memerlukan menghadap Baginda di
malam yang dingin ini" Tetapi ia tidak berani bertanya.
Namun diikutinya dengan pandangan matanya, Permaisuri
itu menuju ke pintu bilik peraduan Baginda.
Seperti Permaisuri, Baginda pun terkejut bukan buatan.
Berita itu seakan-akan telah meledakkan seisi dadanya.
Namun Baginda adalah seorang yang telah terlalu sering
menghadapi bermacam-macam masalah yang sulit, mengejutkan dan bahkan mengkhawatirkan. Karena itu
Baginda dapat lebih cepat menguasai perasaannya. Maka
dengan tenang Baginda itu bertanya, "Kau melihatnya
sendiri, Emban?" "Hamba, Tuanku."
Baginda itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian katanya, "Aku ingin membuktikannya."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Permaisuri mengerutkan keningnya, katanya, "Apakah
Baginda akan memerintahkan beberapa orang prajurit
untuk menangkap mereka?"
Baginda menggeleng lemah, katanya, "Tidak. Aku ingin
menyelesaikannya sendiri. Semakin banyak orang yang ikut
serta menyaksikan masalah ini, makin cepat berita ini
tersebar di seluruh Demak. Lalu apakah aku masih akan
dapat melindungi nama Putri itu?"
"Lalu, bagaimanakah maksud Baginda?" tanya Permaisuri. "Aku sendiri akan melihatnya."
"Sendiri?" Permaisuri itu terkejut.
Baginda menganggukkan kepalanya, jawabnya, "Ya.
Kalau aku dapat menangkapnya sendiri, maka persoalan ini
akan menjadi sangat terbatas."
"Apakah itu tidak berbahaya?" tanya Putri.
"Hanya terhadap para penjahat aku akan menyerahkan
persoalan kepada para peronda. Namun persoalan ini
sangat berbeda. Aku tidak ingin orang lain mengetahuinya
pula." "Tetapi apakah anak muda itu tidak berbahaya seperti
para penjahat?" Sultan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Mungkin. Karena itu aku bersenjata."
Ternyata Permaisuri tidak dapat mencegahnya lagi.
Baginda tidak bersedia memanggil, meskipun hanya
seorang perwira Nara Manggala yang sedang bertugas
malam itu. "Aku tidak dapat membayangkan apakah
akibatnya seandainya seseorang dari mereka mengetahui
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
peristiwa ini. Aku yakin bahwa peristiwa ini segera akan
tersebar." "Tetapi Baginda dapat memberinya pesan untuk
merahasiakan-nya." "Semakin banyak orang yang mengetahuinya, maka
rahasia itu sudah bukan rahasia lagi. Dua orang emban ini
sudah cukup banyak. Dan mereka harus menyimpan rahasia
ini sekuat-kuatnya."
Ternyata Permaisuri tidak dapat mencegah lagi. Baginda
itu kemudian membenahi pakaiannya. Sebuah pusaka
berbentuk keris terselip di pinggangnya. Kemudian katanya
sambil tersenyum untuk menenangkan hati Permaisuri,
"Aku adalah seorang Senapati Perang. Apakah aku tidak
dapat bertempur seandainya keadaan memaksa?"
Permaisuri tidak menjawab. Namun wajahnya menjadi
tegang. "Aku melalui pintu butulan," desis Baginda. "Kalian
bertiga tetap di sini."
Baginda itu pun kemudian keluar dari bilik peraduannya
lewat pintu butulan dengan tidak mengenakan pakaian
kerajaan. Dengan hati-hati Baginda menyelinap di antara
batang-batang perdu di petanaman menuju ke keputren.
Dari emban, Baginda telah mengetahui dimana mereka
berdua, putrinya dan laki-laki itu berada.
Sebenarnya Baginda bukan seorang raja yang hanya
dapat duduk di atas Singgasana. Namun Baginda benarbenar seorang Panglima Perang. Baginda sendiri selalu
berada di garis paling depan dalam peperangan-peperangan


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang besar dan berbahaya. Karena itu, Baginda tidak saja
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
dapat memberikan perintah-perintah untuk bertempur,
namun Baginda sendiri selalu mengalaminya.
Demikianlah malam itu Baginda pun mampu melakukan
pekerjaannya. Dengan hati-hati Baginda berhasil mendekati
tempat putrinya yang sedang bercakap-cakap dengan
seorang laki-laki. Ketika Baginda mendengar suara laki-laki
itu meskipun perlahan-lahan, maka bergetarlah dada
Baginda. "Gila, anak itu," desahnya di dalam hati. Langsung
Baginda dapat mengetahuinya, siapakah yang sedang
bercakap-cakap dengan putrinya itu.
Karena itu maka segera Baginda mendekati mereka.
Setapak demi setapak semakin lama semakin dekat. Tetapi
telinga Karebet adalah telinga yang baik. Tiba-tiba ia
mengangkat wajahnya, dan tiba-tiba pula ia berbisik,
"Seseorang mendekati kami."
Putri yang belum mendengar sesuatu itu menjadi heran.
Dicobanya untuk mendengarkan setiap suara, namun tak
ada yang dapat didengarnya. Meskipun demikian putri itu
pun menjadi gelisah. Desisnya, "Kau berkata sebenarnya?"
Karebet mengangguk. Namun telinga Sultan itu pun tidak kalah baiknya dari
telinga Karebet. Karena itu Sultan pun mendengar dengan
jelas, meskipun betapa lirihnya Karebet berbisik.
Karena itu segera Sultan menyadari bahwa Karebet telah
mengetahui kehadirannya. Berkatalah Sultan didalam
hatinya, "Luar biasa anak ini. Alangkah tajam pendengarannya." Dan sejalan dengan itu, Sultan pun
menjadi semakin berhati-hati. Yang dihadapinya adalah
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
seorang anak muda yang sejak dilihatnya untuk pertama
kali, telah sangat menarik perhatiannya.
Kemudian Sultan itu mendengar Karebet berbisik,
"Masuklah ke keputren, Putri. Biarlah aku pergi dari tempat
ini." Putri bungsu itu menjadi semakin gelisah. Kalau benar
seseorang telah mengetahuinya, maka alangkah aibnya.
Dan tiba-tiba Putri itu menjadi ketakutan. Dengan gemetar
ia berkata, "Karebet, apakah benar kau mendengar
seseorang mendekat kami?"
Karebet mengangguk. "Apakah kau hanya ingin menakut-nakuti aku?"
"Tidak Putri," sahut Karebet, "Masuklah. Aku akan pergi
ke bilik Sultan." "Untuk apa?" "Aku akan keluar dari arah itu."
"Aku takut, Karebet" desah Putri itu.
"Jangan takut," hibur Karebet, "Biarlah aku sendiri
berusaha menyelesaikannya."
Tetapi putri itu menjadi semakin ketakutan. "Aku takut,
Karebet." "Jangan Putri," desak Karebet, "Sekarang masuklah.
Biarlah aku melihat, siapakah yang datang itu. A pabila Tuan
Putri masih di sini, maka aku tidak akan dapat berbuat
sesuatu." Jantung Putri itu kemudian serasa berhenti berdenyut.
Tetapi Karebet itu mendesaknya, "Pergilah Putri."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Putri itu pun kemudian beringsut dan perlahan-lahan
berdiri. Setapak ia melangkah untuk masuk ke dalam
biliknya. Tetapi alangkah terkejutnya putri itu ketika tibatiba sesosok tubuh telah meloncat dari dalam gerumbul
langsung berdiri di hadapannya, sehingga terdengarlah
Putri itu menjerit kecil.
Karebet pun tidak kalah terkejutnya. Dengan serta merta
ia meloncat pula berdiri. Dengan tajamnya ia mencoba
mengamat-amati siapakah yang telah berani mengintip
pertemuannya dengan Putri Sultan itu. Dan dilihatnya
seseorang yang bertubuh tegap, bertolak pinggang di
hadapannya. Secarik kain kepala melingkar menutupi
sebagian wajahnya, sehingga dalam malam yang gelap itu
Karebet tidak segera dapat mengatahuinya, siapakah yang
telah mengganggunya itu. Orang itu masih berdiri bertolak pinggang ketika Karebet
melangkah selangkah maju. Dengan lemahnya orang itu
tertawa sambil berkata parau, "Apakah yang telah kalian
lakukan di sini?" Putri Sultan itu menggigil ketakutan. Namun Karebet
melangkah maju sambil berdesis, "Siapakah kau?"
Orang yang sebagian dari wajahnya tertutup itu
menjawab, "Apakah perlumu mengenal namaku?"
Alangkah marahnya Karebet mendengar jawaban itu.
Setapak ia maju sambil berkata "jangan berbuat gila.
Kutanya siapa engkau dan apa maksudmu?"
Sekali lagi Karebet mendengar orang itu tertawa lirih.
Dari balik kain yang menutupi sebagian wajahnya itu
Karebet mendengar jawabannya, "Katakanlah juga kepadaku, apakah keperluanmu datang kemari."
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karebet benar-benar menjadi marah. Ia harus menangkap orang itu. Apa yang akan dilakukan kemudian
Karebet sama sekali tidak tahu. Tetapi setidak-tidaknya
Karebet harus menghapuskan kesaksian orang itu.
Membawanya keluar dari halaman, kemudian apabila orang
itu kelak mengigau tentang dirinya, maka ia dapat
mengingkarinya. Tetapi dihalaman itu apabila ada orang
lain lagi yang mengetahuinya, atau melihat perselisihan itu
maka sudah tentu ia tidak akan dapat mengingkari lagi.
Karena itu Karebet pun menggeram, "Jangan membuat
persoalan disini. Ikuti aku supaya kau selamat."
"Aneh," desisi orang itu, "kalau aku selamat dengan
menuruti perintahmu, alangkah senangnya. Malam ini tidur
saja aku dirumah. Aku datang kemari, karena kau ada
disini. Sekarang katakan kepadaku, apa yang kau lakukan
disini." Darah Karebet telah benar-benar mendidih. Selangkah
lagi ia maju. Dengan geram ia berkata, "Ikuti aku."
Namun jawab orang itu mengejutkan pula, "tundukkan
kepalamu dan berjongkok dihadapanku. Aku akan
menangkapmu." "Persetan," desis Karebet. Kini ia menyadari bahwa orang
yang datang itu benar-benar berbahaya baginya. Sudah
tentu ia bukan orang kebanyakan. Bahkan tiba-tiba ia
menyangka bahwa orang itu Tumenggung Prabasemi.
Meskipun Karebet belum yakin benar, namun kemungkinan
pertama adalah Tumenggung yang didadanya menyala
segala macam nafsu. Karena itu Karebet tidak dapat
berbuat lain kecuali melumpuhkannya. Apakah nanti yang
dilakukan. Ia tidak sempat memikirkannya lagi. Dengan
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
marahnya Kareber berkata, "Bagus kalau kau berkeras
menangkap aku, cobalah."
Sekali lagi orang itu berkata, "jangan melawan. Sia-sia."
"Mulailah," potong Karebet. "Aku akan mempertahankan
diriku. Dan cobalah kau menyelamatkan dirimu."
"Tidak semua anggota Wira Tamtama dapat melindungi
nyawanya sendiri. Menyerahlah."
"Hem, aku harus menangkap, menyumbat mulutmu dan
melemparmu keluar dinding halaman."
"Cobalah, pecahkan dadaku dan tumpahkan darahku.
Baru kau dapat keluar dari halaman istana."
Kini Karebet tidak dapat menahan diri lagi. Sekali lagi ia
menebarkan pandangannya berkeliling. Sepi. Yang dilihatnya hanyalah batang pohon, tiang-tiang teritisan, dan
bintang-bintang di langit. Karena itu maka Karebetpun
sekali lagi maju melangkah sambil menggeram, "Benarbenar kau menghendaki kekerasan."
Orang itu mengangguk, katanya, "Ya dengan kekerasan
aku ingin menangkapmu apabila kau tidak mau menyerah."
Karebet tidak menunggu lagi. Secepat kilat ia meloncat
menyerang orang itu. Ia ingin melumpuhkannya dengan
serangannya yang pertama supaya ia segera dapat
menyingkir. namun Karebet menjadi kecewa. Dengan
tangkasnya orang itu menghindari serangan Karebet, dan
bahkan dengan kecepatan tak terduga orang itu menggeliat
dan kaki kirinya berputar setengah lingkaran menyambar
lambungnya. Karebet sama sekali tidak menyangka, bahwa orang itu
mampu bergerak secepat itu. Karenanya, maka ia
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
samasekali tak dapat menghindari. Dengan tangannya ia
menangkis serangan kaki itu. Namun alangkah terkejutnya
ketika sebuah benturan terjadi, maka Karebet terdorong
beberapa langkah surut. Sedang orang itu masih saja tegak
ditempatnya, bahkan sesaat kemudian meluncurlah serangannya susul menyusul seperti deru ombak dilautan,
menyentuh pantai. Karebet yang juga bernama Jaka Tingkir itu terkejut
bukan kepalang. Ternyata orang yang datang kepadanya itu
memiliki ilmu yang tinggi. Dengan demikian, maka
dugaannya bahwa orang itu adalah Tumenggung Prabasemi
lenyap. Ia pernah melihat Tumenggung bertempur. Ia
pernah menilai ilmu Tumenggungnya. Dan sudah pasti
Tumenggungya itu tidak akan mampu berbuat demikian.
Karena itu Karebet terpaksa meloncat surut beberapa
kali. Dengan cemas ia melihat serangan serangan mengalir
melanda dirinya. Sehingga karena ingin secepatnya
mengakhiri pertempuran, maka segera ia mengetrapkan
ilemu tersembunyi didalam dirinya, ilmu yang jarang dimiliki
oleh siapapun, apalagi oleh Tumenggung Prabasemi. Aji
Lembu Sekilan. Ketika serangan berikutnya beruntun mengejarnya, maka
Karebet sengaja tidak menghindarinya. Ia ingin menundukkan lawannya segera, setelah lawannya mengetahui, bahwa ia memiliki ilmu yang dahsyat itu.
Demikianlah maka berturut-turut beberapa serangan
lawannya mengenai dirinya. Namun Karebet itu seakanakan telah menjadi kebal, sehingga serangan-serangan
lawannya itu tak berdaya melumpuhkannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Orang yang bertutup kain di wajahnya itu melontar
mundur. Dengan heran ia memandang wajah Karebet
dengan tajamnya. Terdengar ia berdesis, "Lembu Sekilan?"
Karebet tersenyum. Dengan bangga ia berkata kepada
Putri bungsu yang menggigil ketakutan, "Masuklah Putri,
orang ini tidak akan mengganggu. Biarlah urusan kami,
kami selesaikan tanpa sepengetahuan Putri."
Putri itu pun tidak segera beranjak dari tempatnya.
Terasa seluruh tubuhnya bergetar. Dan karena itu maka
seakan-akan kakinya tak sanggup lagi untuk melangkah.
Sehingga kemudian terdengar Karebet itu mengulangi,
"Masuklah Tuan Putri."
Putri itu pun seolah-olah menjadi sadar dari kecemasannya yang telah memuncak. Dilihatnya lawan
Karebet itu masih berdiri di tempatnya, sehingga karena itu
ia menjadi ragu-ragu untuk bergerak.
Ketika orang yang berkerudung itu memandang wajah
Putri Sultan. Karebet membentaknya, "Jangan menakutnakuti. Kaulah yang harus berjongkok dan menyerah."
Tetapi Karebet terkejut ketika kemudian orang itu pun
tertawa. Katanya, "Kenapa kau tiba-tiba menganggap aku
sebagai tawananmu" Apakah karena Lembu Sekilan itu?"
"Aku bukan anak-anak yang takut melihat hantu,"
jawabnya, "Karena itu jangan menakut-nakuti aku dengan
ilmu yang dapat dicari di tepi-tepi parit."
Bukan main marahnya Mas Karebet. Ilmu Lembu Sekilan
adalah ilmu yang jarang- jarang dimiliki oleh siapa pun.
Bahkan orang-orang dari Karang Tumaritis pernah
mengagumi ilmu itu, pada saat ia berkelahi melawan
Surayuda, Demang Gunungkidul. Tetapi tiba-tiba orang


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
yang tak dikenalnya itu kini menghinanya. Karena itu, maka
kini Mas Karebet itu telah kehilangan segenap pengekangan
dirinya. Dengan segenap ilmu yang ada padanya, dengan
kemarahan yang memuncak, maka disergapnya orang yang
telah menghinanya. Kini sekali lagi pertempuran seorang lawan seorang itu
berkobar semakin sengit. Dengan Lembu Sekilan, maka Mas
Karebet memiliki kesempatan yang lebih luas dari lawannya.
Hampir setiap serangan lawannya tak dapat menyentuh
tubuhnya, karena lambaran ilmu Lembu Sekilan itu. Namun
lawannya itu pun lincah bukan buatan. Betapa pun Karebet
mengerahkan segenap kemampuannya, namun orang itu
pun sangat sukar untuk dikenainya.
Semakin lama, Karebet pun menjadi semakin marah.
Namun kecemasannya pun semakin tebal melingkar-lingkar
di hatinya. Seandainya pada saat itu, peronda dari Nara
Manggala melihat mereka, maka ia tidak akan dapat
menghindarkan diri dari mala petaka. Karena itu selagi
sempat ia berkata sambil bertempur, "Tuan Putri masuklah.
Tinggalkan tempat ini."
Namun suaranya itu disahut oleh lawannya, "Tuan Putri
apakah Tuan Putri tidak ingin melihat tamu Tuan Puteri ini
sampai pada saat terakhir. Mungkin ia masih akan
memberikan beberapa pesan sebelum ia mengakhiri
hidupnya." "Jangan mengigau," potong Karebet dengan marahnya.
Dan darahnya serasa mendidih ketika didengarnya orang itu
tertawa berkepanjangan sambil menghindari setiap serangannya. Karena itu, maka Karebet menjadi semakin
memperketat geraknya. Serangannya menjadi semakin
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
lama semakin dahsyat. Bergulung-gulung seperti angin
prahara dipadang-padang rumput.
Namun lawannya benar-benar selincah sikatan, selicin
belut. Betapapun ia berusaha untuk menyentuhnya, namun
sentuhan sentuhan serangannya seolah-olah tidak dapat
menyakiti tubuh lawannya, karena serangan itu seakanakan tergelincir. Tubuh lawannya itu benar-benar licin.
Meskipun sekali-kali Karebet berhasil menangkap tangan
atau kaki lawannya, namun ia tidak dapat menggenggamnya. Tubuh lawannya itu dengan mudah,
meluncur diantara jarinya, betapapun kuatnya ia menggenggam. Akhirnya Karebet yang memiliki Aji Lembu Sekilan itu
menyadari bahwa lawannya itu tidak bertempur dengan
tenaganya melulu. Namun iapun semakin benyak berkeringat mengalir dari tubuhnya, tubuhnya itupun
menjadi semakin licin. Karena itu dengan geramnya ia
mendesis, "Aji Welut Putih."
Lawannya itu tertawa pendek. Tetapi ia tidak berkata
apa-apapun. Namun pertempuran itu semakin dahsyat.
Keduanya seakan tidak dapat disentuh oelh serangan
lawannya. Dengan demikian maka pertempuran itu tidak
dapat dibayangkan kapan berakhir.
Itulah yang sangat mencemaskan Karebet. Betapa ia
berusaha memeras segenap kemampuan yang ada
padanya. Kelincahan, kekuatan dan segenap tenaganya.
Namun orang itupun selalu mengimbanginya.
Orang itu, yang tidak lain adalah Sultan Trenggana
sendiri sebenarnya menjadi heran pula. Karebet, anak yang
dipungutnya dari tepi jalan itu ternyata memiliki
kemampuan yang dahsyat. Baginda itu menjadis angat
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
terkejut ketika menyadari Karebet memiliki ilmu Lembu
Sekilan meskipun belum sempurna. Ilmu yang sudah jarang
diketemukan. Namun kini Baginda itu melihat, bahwa ilmu
itu tersembunyi didalam tubuh anak itu. Karena itu Baginda
menjadi sangat menyesal atas peristiwa itu. Seandainya,
Karebet itu tidak mendahuluinya, masuk keputren sebelum
diijinkannya, maka kesempatan anak itu didalam jabatan
keprajuritan sangat besar. Dengan mengalami sendiri
perkelahian dengan Karebet, Baginda segera menilai
kemampuannya. Ternyata anak itu, dalam olah kanuragan
telah melampau Tumenggung Prabasemi. Sehingga kemungkinan yang akan datang sangatlah luas bagi
Karebet. Namun sayang bahwa anak muda itu kini
ditemukan di keputren. Perkelahian itu berlangsung dengan serunya. Masingmasing mampun melakukan perlawanan dan tekanan yang
mengagumkan. Masing-masing telah menunjukkan kelebihan dari orang kebanyakan. Dan karena itulah Mas
Karebetpun menjadi semakin cemas. Sehingga akhirnya
terasa bahwa ia tidak mampu mengalahkannya, meskipun
ia menyangka, bahwa dalam keadaan demikian, lawannyapun tidak dapat mengalahkannya pula.
Tetapi akhirnya terasa oleh mas Karebet, bahwa tekanan
lawannya menjadi semakin berat. Gerak lawannya semakin
lincah, dan keringatnya semakin banyak, sehingga
tubuhnya menjadi semakin licin pula.
Sebenarnyalah Bagindapun sedang berusaha untuk
mengakhiri pertempuran. Baginda adalah seorang prajurit
yang mumpuni. Beberapa macam ilmu tersimpan dalam
dirinya, sebagaimanapun ia harus memiliki berbagai macam
bekal dalam perjalanannya sebagai seorang raja dan
sekaligus Senapati Perang.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Demikianlah akhirnya, maka Karebet merasakan tekanan
lawannya semakin tajam. Sejalan dengan itu kecemasan
didadanyapun semakin melonjak. Ia menajdi heran, bahwa
tiba-tiba saja ia berhadapan dengan seorang sakti yang
mampu menghadapi ilmunya, Lembu Sekilan. Karena itupun
Karebet mencoba mengingat nama semua yang pernah
dikenalnya. Para Perwira Nara Manggala, para Perwira dari
Wira Tamtama dan beberapa orang yang lain. Gajah Alit,
Prabasemi, Paningron, Danapati, Palindih dan yang lain-lain.
Namun seandainya mereka, apakah dengan mudahnya
melawanLembu Sekilan, tanpa melepaskan ilmu-ilmu
mereka yang lain" Ternyata orang ini mampu. Bukan saja
dengan ilmu Welut Putih, namun serangan tanpa dilambari
ilmupun berhasil mendesaknya pula. Dan Bahkan kemudian
terasa bahwa serangan serangannya mampu mengetuk
dinding Lembu Sekilannya. Meskipun tidak begitu tajam,
namun Karebet merasa, ada kekuatan yang mapu
menerobos pertahanan ilmunya.
Karena itupun Karebet menjadi bingung. Orang ini pasti
orang luar biasa. Dan tiba-tiba saja Karebet mencoba
mencari nama orang sakti diluar istana. Orang-orang
golongan hitam hampir semua dikenali cirinya, sehingga
orang ini pastilah bukan salah seorang dari mereka. Namun
adakah orang sakti dari daerah lain", atau mungkin justru
pamannya yang sedang mencoba mengujinya" Paman Kebo
Kanigara" Namun akhirnya Karebetpun pasti bahwa orang
itu bukan Kebo Kanigara. Akhirnya Karebet yang menjadi sedemikian bingungnya.
Ia tidak mau tertangkap oleh siapapun. karena itu ia tidak
punya pilihan lain daripada melumpuhkan orang itu.
Kemudian menyembunyikan puteri di keputren dan
membuat cerita yang masuk akal, tentang seseorang
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
memasuki istana berkerudung ikat kepala. Meskipun
seandainya orang itu adalah perwira Nara Manggala
sekalipun namun ia tidak dalam kelengkapan pakaian Nara
Manggala. Karena itu Karebet yang sudah kehabisan akal itu dengan
serta merta meloncat surut. Dengan cepatnya ia
mempersiapkan diri dari puncak ilmu yang dimilikinya. Ilmu
yang dipelajari dalam suasanya aneh. Ilmu yang disusunya
tanpa seorang gurupun. Dan dinamainya sendiri ilmu itu Aji
Rog-Rog Asem. Nama yang ditemukan dalam daerah
penggembalaan, apabila para gembala sedang berebut
asem. Namun Karebet itu tidak pernah berebut dahulu
mendahului, namun dengan ilmunya, Karebet mampu
menggetarkan pohon asam yang betapapun besarnya,
sehingga hampir segenap buahnya rontok karenanya.
Meskipun demikian belum pernah seorang temanpun
melihat perbuatannya. Mereka hanya menyangka bahwa
angin pusaran telah merontokkan pohon asam itu.
Ilmu itupun pada dasarnya berpangkal pada pengungkapan kekuatan. Namun ilmu Karebet tidak saja
mendasarkan pada kekuatan yang mampu meremukkan
iga, namun juga mampu meremas tulang-tulang lawannya,
memutar tubuh lawannya sehingga tulamg belakangnya
patah. Itulah keajaiban ilmu Rog-Rog Asem. Ilmu dari
seorang anak gembala yang aneh bernama Mas Karebet.
Kali ini, Karebet tidak melihat kemungkinan lain.
betapapun licinnya Aji Welut Putih, namun ia yakin bahwa
Rog-Rog Asem akan dapat menembusnya. Betapapun
kuatnya orang itu apabila tersentuh Aji Rog-Rog Asem,
maka sudah pasti bahwa ia akan lumpuh.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sultan yang telah merasakan tekanan tekanannya
berhasil, menjadi heran melihat Karebet meloncat mundur.
Ia melihat anak itu menggosokkan kedua telapak
tangannya, kemudian dengan garangnya anak muda itu
meloncat dengan kaki renggang, menekuk kedua lututnya,
siap melontarkan sebuah serangan.
Baginda yang telah kenyang makan garam perkelahian
dan pertempuran itupun segera mengenal, bahwa anak
muda itu telah siap dalam puncak ilmunya. Karena itu
sultanpun menjadi cemas. Ia belum dapat menilai sampai
berapa jauh ilmu yang dimiliki Karebet itu. Kalau kemudian
baginda melawan ilmu itu dengan ilmunya yang didasari
dengan kekuatan dan tenaga, apakah kira-kira yang akan
terjadi " seandainya ilmu itu tidak seimbang, dan ilmu
Baginda itu jauh lebih dahsyat dari ilmu lawannya, maka
terjadi suatu pembunuhan. Dan Baginda tidak ingin
membunuhnya. Membunuh anak sangat menarik perhatiannya itu. Karena itu Baginda tidak segera mengetrapkan ilmunya
yang dahsyat yang dinamainya Bajra Geni. Tetapi Baginda
segera mateg ilmunya yang lain. Ilmu Tameng Waja.
Menurut perhitungan Baginda, betapapun dahsyatnya ilmu
lawannya, namun menilik usianya, serta kemungkinankemungkinan yang lain sesuai dengan tingkat ilmu Lembu
Sekilan yang dimilikinya, maka ilmu itupun belum pasti akan
berhasil meruntuhkan oertahanan ilmu Tameng Waja.
Maka dengan demikian, ketika Baginda melihat Karebet
meloncat sambil mengayunkan ilmunya, Rog-Rog-Asem,
justru baginda berdiri tegak bertolak pinggang. Dengan
wajahnya yang tegang, Baginda mengetrapkan ilmunya Aji
Tameng Waja dalam puncak kekuatannya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sesaat kemudian terjadilah benturan dahsyat. Benturan
dari ilmu Ms Karebet yang disebutnya Rog-Rog-Asem
menghantam benteng pertahanan Baginda dalam ilmu Aji
Tameng Waja. Baginda telah dipenuhi pelbagai pengalaman dan
pengetahuan dari pelbagai macam ilmu itupun terkejut
mengalami hantaman Aji Rog-Rog-Asem. Aji yang
dilontarkan oleh seorang anak muda yang pantas menjadi
anaknya. Terasa didada Baginda sebuah benturan yang
seakan-akan merontokkan seluruh iganya. Karena itu
dengan mata yang berkunang-kunang Baginda terdorong
beberapa langkah surut. Terasa nafasnya menjadi sesak,
dan hampir tidak dapat menguasai keseimbangan. Dengan
terhuyung-huyung akhirnya Baginda berhasil tegak dalam
keadaan keseimbangan yang mantap.
----------0dwkzOarema0---------

Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Editing oleh Ki Arema SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Jilid 27 SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
I Maka kini Baginda itu berdiri dengan kokohnya di atas
kedua kakinya yang merenggang. Meskipun debar di
dadanya masih menggetarkan jantungnya, namun Baginda
kini sudah mulai tenang kembali setelah mengalami
goncangan-goncangan yang tajam. Tetapi goncangangoncangan tubuh Baginda itu, masih belum menyamai
goncangan perasaan Baginda. Hampir Baginda tak percaya,
seandainya Baginda sendiri tidak merasakan bahwa isi
dadanya seakan-akan menjadi rontok karenanya. Anak
muda itu ternyata memiliki kedahsyatan ilmu yang
mengagumkan. Sejak semula Baginda memang telah
mengira, bahwa anak yang mampu meloncat mundur
melampaui blumbang sambil berjongkok, pasti bukan anak
kebanyakan, namun Baginda sama sekali tidak menyangka
bahwa anak itu menyimpan ilmu yang sedemikian
dahsyatnya. Tetapi alangkah menyesalnya Baginda, bahwa anak itu
berada di keputren di malam hari tanpa setahu Baginda.
Pada saat benturan itu terjadi, Karebet pun terkejut
bukan kepalang. Aji Rog-rog Asem, yang mampu
merontokkan buah-buah asem pada batangnya yang
sebesar apapun itu, ternyata hanya mampu mendorong
surut lawannya beberapa langkah. Bahkan tangannya itu
seakan-akan telah membentur selapis dinding baja yang
sama sekali tak tergoyahkan, sehingga kekuatan yang
tersalur lewat tangannya itu sebagian telah melontar
kembali melemparkan Karebet beberapa langkah mundur.
Bahkan kemudian terasa, tangannya itu nyeri dan nafasnya
menjadi sesak. Sesaat Karebet itu berdiri kaku. Kepalanya
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
menjadi pening, dan seakan-akan bintang-bintang di langit
itu beterbangan turun mengerumuni kepalanya.
Ketika perlahan-lahan kesadarannya telah pulih kembali,
dilihatnya lawannya itu masih tegak beberapa langkah
dihadapannya. Betapa Karebet menjadi semakin marah,
sehingga matanya itu seakan-akan menjadi menyala. Baginda, seorang yang memiliki berbagai pengetahuan, kini sekali lagi
terkejut ketika ditatapnya
mata Karebet. Mata itu benar-benar seperti mata kucing di malam yang gelap.
Seakan-akan cahaya yang biru hijau memancar dari dalamnya. Dan karena itulah
maka Baginda menjadi semakin menyesali keadaan.
Anak itu benar-benar anak luar biasa. Dengan demikian
Baginda menjadi semakin tertarik kepadanya. Tetapi bagi
seorang raja dan sebagai seorang ayah, Baginda tidak
dapat membiarkan peristiwa ini terjadi tanpa persoalan.
Sebab dengan demikian, maka baik Baginda sebagai raja
maupun sebagai ayah, akan kehilangan nilai-nilainya yang
wajar, apabila persoalan yang tak pada tempatnya itu
dibiarkannya. Seandainya, ya, seandainya pada saat itu Baginda
menjumpai orang lain, bukan Karebet dan tidak memiliki
ilmu sedahsyat Aji Rog-rog Asem serta Lembu Sekilan, serta
dari matanya tidak membayang cahaya yang biru
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
kehijauan, maka Baginda pasti sudah akan bersikap lain.
Mungkin Baginda akan memaksa putrinya untuk masuk ke
bilik bundanya, dan menangkap anak itu sebagai seorang
pencuri atau apapun yang masuk ke dalam istana. Dengan
demikian, maka orang itu akan dapat dihukum berat.
Tetapi kini yang dihadapi adalah seorang anak muda
yang jarang-jarang ditemuinya. Alangkah baiknya anak itu
dalam kedudukannya dalam pasukan Wira Tamtama.
Namun, betapapun ia harus mendapat hukuman dari
perbuatannya itu. Baginda tidak sempat berangan-angan. Tiba-tiba ia
melihat Karebet meloncat seperti serigala lapar menerkam
mangsanya. Namun Baginda bukan sekadar anak kambing
yang hanya mampu mengembik. Ketika Baginda menyadari
betapa berbahayanya serangan yang masih dilambari
dengan Aji Rog-rog Asem itu, maka Baginda segera
mengelak. Namun Baginda kini berhasrat untuk segera
menyelesaikan perkelahian itu sebelum orang lain
melihatnya. Sebab apabila orang lain melihat perkelahian
itu, melihat putri dan Karebet, maka Baginda tidak akan
menyelamatkan nama putrinya dari aib yang mencoreng
kening, dan wajah Baginda pun akan tercoreng karenanya.
Karena itu, segera Baginda mateg aji kebanggaannya,
Bajra Geni. Aji yang ampuh bukan buatan. Namun Baginda
benar-benar tidak mau membunuh atau melukai Karebet.
Karena itu, Baginda mengambil cara yang tidak berbahaya
bagi lawannya. Dengan kecepatan yang tak disangkasangka oleh Karebet, Baginda melontar menyusul arah
lawannya yang terbang beberapa jengkal di sampingnya,
karena terkamannya dihindari. Dengan Aji yang dahsyat itu,
Baginda memukul Karebet, namun tidak pada tubuhnya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Baginda sengaja mengayunkan tangannya di wajah
Karebet, tanpa menyentuhnya.
Tetapi alangkah terkejutnya Karebet. Baginda tidak
melepaskan Aji Bajra Geni sepenuhnya, namun getarannya
telah cukup kuat untuk menggetarkan tubuh Karebet.
Karebet pun terkejut bukan kepalang. Terasa wajahnya
seakan-akan disiram api. Karena itu, maka dengan serta
merta ia meloncat beberapa langkah surut. Dengan tubuh
gemetar ia memandang orang yang sebagian wajahnya
terselubung oleh kain ikat kepala itu. Dan didengarnya
orang itu tertawa. "Alangkah dahsyatnya," geram Karebet di dalam hatinya.
"Tangannya sama sekali tidak menyentuh tubuhku. Namun
getaran serta panas ilmunya telah mampu menembus Aji
Lembu Sekilan. ORANG itu masih tertawa berkepanjangan meskipun
tidak terlalu keras. Kemudian terdengar ia berkata,
"Bagaimana Aji Lembu Sekilan. Apakah kau masih akan
membanggakan Aji Lembu Sekilan yang setengah matang
itu. Aku belum menyentuh kulitmu, tetapi agaknya kau
telah merasakan akibatnya. Bahwa kekuatan Ajiku mampu
menembus pertahanan Lembu Sekilanmu."
Karebet tidak menjawab. Dengan marahnya ia menggeram. Tetapi ia benar-benar telah dapat mengambil
suatu kepastian, bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan
orang itu. Karena itu Karebet menjadi semakin cemas. Ia
sama sekali tidak mencemaskan nasibnya, bahkan sampai
mati sekalipun. Namun bagaimana kemudian dengan putri
itu" SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Belum lagi ia menemukan cara untuk menyelamatkan
Putri itu, maka terdengar orang yang berdiri di hadapannya
itu berkata, "Nah, apakah kau masih akan melawan.?"
"Jangan menyombongkan diri. Kau lihat aku masih tegak
dihadapanmu," sahut Karebet.
"Hem," desah orang itu, "Kau memang keras kepala.
Meskipun demikian aku beri kau kesempatan hidup. Tetapi
serahkan putri itu kepadaku."
"Apa?" Kata-kata Karebet tersangkut di kerongkongan
karena kemarahannya yang meluap-luap. Sedang Putri
Sultan itu menjadi bertambah mengigil ketakutan. Perlahanlahan wajahnya beredar di antara batang-batang perdu di
petamanan. Namun hatinya menjadi bingung. Ia akan dapat
berteriak memanggil beberapa peronda. Tetapi apa katanya
tentang Karebet dan orang yang berselubung kain itu"
Dalam kebingungan Putri itu mendengar orang
berselubung itu berkata, "Apakah Putri akan memanggil
Nara Manggala?" "Ya," sahut putri itu tiba-tiba.
Kembali orang itu tertawa. Jawabnya, "Mereka akan
menangkap Karebet dan orang yang berselubung kain itu?"
Telinga Karebet menjadi merah karenanya. Kemarahannya telah benar-benar sampai kepuncak kepalanya. Apalagi ketika ia mendengar orang itu
mengulangi, "Anak muda. Tak ada gunanya kau melawan.
Ajimu kedua-duanya adalah ilmu yang sama sekali tak
berarti bagiku. Dengan duduk bertopang dagu aku pasti
akan dapat memunahkannya. Tetapi apakah kau mampu
bertahan terhadap ilmuku meskipun kau membentengi
dirimu dengan Lembu Sekilan?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sekali lagi Karebet mencoba melihat siapakah yang
berdiri di hadapannya. Pamannya" Mahesa Jenar" Pasti
bukan. Mungkin orang-orang sakti yang lain" Di istana tidak
banyak dijumpai orang-orang yang pernah menggetarkan
hatinya. Beberapa orang sakti dari para prajurit berbagai
kesatuan telah dikenalnya. Dan orang ini bukanlah salah
seorang dari mereka. Sebelum Karebet mampu memecahkan teka-teki itu.
Karebet mendengar orang yang berdiri dihadapannya itu
berkata pula, "Jangan menunggu aku marah. Biarlah putri
itu aku bawa." Sekali lagi Karebet menggeram. Sahutnya, "Lampaui
dahulu mayatku. Baru kau bawa Tuan Putri."
Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
"Kau benar-benar keras kepala."
"Adalah akibat dari perbuatanku. Tebusannya maut,"
sahut Karebet, dan diteruskan, "Apakah kau sangka,
sesudah aku, kau akan dapat melepaskan diri dari halaman
ini" Kau mati dipenggal oleh Nara Manggala."
"Tak seorang pun mampu menangkap aku," jawab orang
itu. "Karebet tidak. Gajah Alit tidak dan Panji Danapati pun
tidak." Karebet menarik alisnya. Orang itu dapat menyebut
beberapa nama perwira dari Nara Manggala. Karena itu
tiba-tiba menjadi bercuriga. Apakah orang itu orang dalam"
Gajah Alit pasti bukan. Panji Danapatipun bukan. Siapa"
Dalam kebingungan itu kembali Karebet mendengar
orang itu berkata, "Ayo Karebet. Katakan kepadaku,
siapakah dari seluruh Demak mampu mengalahkan aku?"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Karebet benar-benar mengigil mendengar kata-kata itu.
Hampir saja ia menyebut beberapa nama yang pernah
dikenalnya di Karang Tumaritis. Namun niatnya diurungkannya. Yang terdengar kemudian hanyalah
gemeretak giginya beradu.
Tetapi seperti mendengar seribu guntur meledak
bersama di atas kepalanya, kemudian Karebet mendengar
orang itu berkata, "Karebet, katakan, siapa yang mampu
melawan Aji Bajra Geni?"
"Bajra Geni. Bajra Geni." Tanpa sadar Karebet
mengulangi kata-kata itu.
"Ya," sahut orang itu pendek.
Tubuh Karebet pun kemudian menjadi gemetar. Dengan
ragu-ragu ia memandang orang yang berdiri dihadapannya.
Bajra Geni adalah nama ilmu yang dahsyat, sedahsyat ilmu
pamannya dan Mahesa Jenar. Setingkat pula dengan ilmuilmu luar biasa lainnya, Lebur Seketi,Cunda Manik dan lain
lainnya. Tetapi lebih daripada itu. Aji Bajra Geni dikenal
sebagai ilmu yang dimiliki oleh Sultan Trenggana. Karena
itu betapa debar jantung Karebet seakan-akan terhenti.
Bahkan darahnya pun seakan tidak mengalir lagi.
Sebelum Karebet menyadari apa yang terjadi, maka
tangan orang yang berdiri dihadapannya itupun kemudian
meraih kain yang menutupi wajahnya. Dengan sekali gerak,
maka kain itupun telah direnggutkan.
Demikianlah orang yang tegak berdiri dengan gagahnya
itu menarik tutup wajahnya, terdengar puteri Sultan itu
menjerit kecil. Sesaat ia memandangi wajah itu dengan
tajamnya, namun sesaat berikutnya dengan serta merta
puteri menjatuhkan dirinya dikaki Baginda sambil menangis
sejadi-jadinya. Sedang Karebet pun kemudian berlutut pula
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
pada kedua lututnya sambil menyembah hampir mencium
tanah. "Jangan menangis!," bentak baginda. "Diam atau kututup


Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulutmu!" Dengan sekuat tenaga dan penuh ketakutan, Puteri
mencoba meredakan tangisnya. Tetapi karena itu maka
tangis itu seakan-akan malahan meledak-ledak.
Baginda masih juga berdiri diatas kakinya yang
renggang. Dipandangnya wajah Karebet dengan tajam,
setajam ujung pedang. Dan Karebet pun menundukkan
wajahnya dalam-dalam. "Ayahanda," terdengar puteri berkata diantara sendunya.
"Apakah kau masih berhak menyebut aku sebagai
ayahandamu"," sahut baginda.
"Ayahanda," kembali terdengar kata-kata itu meloncat
dari bibir Puteri yang sedang menangis itu.
Namun Sultan Trenggana itu tidak menjawab. Bahkan
kemudian ia berkata kepada Karebet, "Karebet, apakah aku
harus melampaui mayatmu"."
"Ampun, Baginda," sahut Karebet gemetar, "hamba tidak
menyangka bahwa aku berhadapan dengan Baginda."
"He," Seru Baginda, "jadi kalau tidak ada aku kau dapat
berbuat sekehendakmu" Jadi kalau berhadapan dengan
orang lain, kau mengagung-agungkan kekuatanmu " Lembu
Sekilan atau Aji apa lagi yang kau miliki itu?"
"Ampun Baginda," Karebet semakin tertunduk. Kini
harapannya untuk keluar dari kaputren menjadi lenyap. Ia
tinggal menunggu besok atau lusa, seorang algojo akan
memenggal lehernya, atau menaikkan ke tiang gantungan.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Apalagi ketika didengarnya Baginda berkata, "Karebet
itukah tanda terimakasihmu kepadaku. Bukankah kau telah
aku pungut dari pinggir jalan, kemudian aku coba untuk
menjadikan kau seorang anak muda yang memiliki
kebanggaan dengan menyerahkanmu kepada Prabasemi
dan kesatuannya. Kini ternyata kau telah menyentuh
kehormatanku. Sebagai seorang ayah dan seorang raja."
Mendengar kata-kata baginda itu tiba-tiba Karebet
teringat kepada Tumenggung Prabasemi. Hampir saja ia
mengatakan persoalan Tumenggung kepada untuk mengurangi kemarahan baginda kepadanya, tetapi kemudian niat itupun diurungkannya. "Tak ada gunanya,"
katanya dalam hati. Dan kini ia tinggal pasrah kepada nasib
yang membawanya kearah maut. Tak ada hukuman lain
yang pantas diberikan kepadanya selain hukuman mati.
Apalagi telah berani bertempur melawan Baginda.
"Mungkin baginda sendiri yang akan membunuhku."
pikirnya. Sebenarnya baginda marah sekali kepada Karebet dan
Puterinya. Tetapi terasa sesuatu yang aneh menyelip dihati
baginda. Justru setelah bertempur melawan Karebet,
kesaktian anak itu benar-benar menarik perhatiannya,
sehingga baginda pun berkata di dalam hatinya, "Sayang,
anak ini memiliki kemungkinan dihari depannya. Kemungkinan yang tidak terbatas. Kalau ia mampu
mematangkan aji Lembu Sekilan dengan ilmu rangkapannya
itu, maka ia menjadi seorang sakti yang pilih tanding."
Baginda sendiri mempunyai dua orang putera disamping
puterinya. Yang sulung, adalah seorang yang sakti pula.
Namun sayang, karena sesuatu hal, maka Pangeran itu
mempunyai penyakit berat didalam rongga dadanya.
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Sedang puteranya yang seorang lagi, masih terlalu muda,
dan agaknya tidak akan menyamai kakak sulung.
Tetapi Baginda tidak mau terpengaruh oleh perasaannya
itu. Tetapi kemudian Baginda berkata lantang kepada
puterinya, "Cepat masuk kekeputren. Jangan keluar dari
pintu kalau bukan ibunda yang menjemputmu."
Puteri itupun menyembah sambil menangis. Tetapi ketika
akan menjawab, Baginda membentaknya, "Masuk ke
keputren!." Puteri Baginda itu tidak berani mengangkat wajahnya.
Sekali lagi ia menyembah, dan dengan wajah tunduk serta
airmata berhamburan, Puteri tertatih-tatih masuk kebiliknya. Langsung direbahkannya dirinya dipembaringan
menelungkup. Dan kepada pembaringan serta dindingdinding biliknya ia mengadukan nasibnya yang malang.
Betapa kecewanya dan menyesal hati puteri itu. Tetapi
semuanya telah terlanjur dilakukan. Dan ayahanda Baginda
sendiri telah melihat langsung apa yang terjadi.
Diluar Keputren Karebet duduk bersila dengan wajah
tepekur. Anak muda ini menyesal pula atas semuanya yang
telah terjadi. Namun, semuanya telah berlalu. Dan yang
dapat dilakukan kini tinggallah menunggu hukuman yang
harus disandangnya. Sesaat kemudian Bagindapun menjadi bimbanmg.
Bagaimanapun anak muda itu mempunyai tempat tersendiri
didalam hatinya sehingga dengan demikian, mau tidak mau
segala keputusan yang akan diambil oleh baginda sangat
terpengaruh oleh perasaannya itu.
"Karebet," berkata Baginda kemudian, "ikut aku ke
Ksatriaan". SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
"Hamba tuanku," sahut Karebet sambil menyembah.
Dan Baginda tidak menunggu apapun lagi ditempat itu.
Segera Baginda berjalan diantara rimbunnya daun-daun
perdu dihalaman, supaya tidak seorangpun melihatnya.
Kepada Karebet, Baginda itu berkata, "ikuti aku. Jangan ada
seorang pun yang melihatmu. Apabila demikian, maka
nasibmu akan aku serahkan kepada penjaga itu."
Karebet menyembah sambil menyahut, "Hamba, Baginda." Maka keduanya pun berjalan mengendap endap
menghindari peronda dari pengawal baginda. Sehingga tak
seorang pun yang mengetahuinya, maka berdua telah
memasuki Ksatrian dari pintu samping.
"Karebet," berkata Baginda setelah mereka didalam bilik
ksatrian. "Tinggal disini. Jangan coba melarikan diri. Tak
ada gunanya. Aku segera dapat menangkapmu kemana
saja kau bersembunyi. Sebab setelah ini, akan aku
perintahkan segenap peronda Nara Manggala untuk lebih
berhati-hati. Tak seorangpun boleh meninggalakan halaman
istana. Apapun alasannya."
"Hamba tuanku," jawab Karebet. "Hamba tidak akan
berani melanggar perintah Baginda."
Sesaat kemudian Baginda pun mengenakan baju
keprajuritan yang berada di Ksatrian. Dengan pakaian itu
kemudian baginda pergi meninggalkan bilik. Karebet yang
berada di dalam bilik itu menjadi bingung. Apakah yang
akan dikatakan nanti di pagi hari, jika beberapa orang
emban atau jajar masuk kedalam bilik untuk membersihkannya. Dan apapula jawabnya jika Pangeran
Timur nanti datang pula kemari"
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
Tetapi Karebet lebih takut lagi akan perintah baginda.
Karena itu betapapun ia menjadi cemas, namun ia tidak
berani beranjak dari biliknya. Dengan lesu dijatuhkannya
badannya diatas lantai yang licin bersih dan mengkilap.
Dengan berbagai macam perasaan bercampur baur,
Karebet memandang kedinding yang kokoh kuat sekuat
baja. "Dengan rog-rog A sem aku pasti mampu menjebol pintu
ini," terdengar suara didalam hatinya.
"Gila," jawab suara yang lain
Dan kembali Karebet dengan lemahnya duduk bersandar
didinding. Namun hatinya meronta-ronta seperti api yang
menyala-nyala. Ia tidak tahu apa yang telah dilakukan
Baginda setelah itu. Dan kenapa Baginda tiba-tiba mengenakan pakaian
keprajuritan. Apakah nanti malam ini juga Baginda akan
melakukan hukuman atas dirinya" dan Sultan sendiri yang
akan menanganinya " Tetapi ternyata Karebet adalah anak yang aneh. Betapun
gelisahnya, namun ia tiba-tiba menguap. Dan setelah
menggeliat, ia bergumam, "Persetan dengan segala macam
hukuman. Lebih baik aku tidur. Dengan segala macam
kegelisahan dan penyesalan, soalku tidak selesai."
Dengan tanpa kesan apapun atas segala macam bencana
yang sewaktu-waktu dapat menimpanya, maka Karebet itu
pun kemudian merebahkan dirinya di lantai, dan sesaat
kemudian, ia sudah tidur mendekur.
Dari Kesatrian, Baginda tidak langsung kembali ke bilik.
Betapa terkejutnya penjaga dari kesatuan Nara Manggala
ketika melihat baginda sendiri lengkap dengan pakaian
SH. Mintardja " Tiraikasih http://kangzusi.com/
keprajuritan datang kepada mereka. Dengan tergesa-gesa
mereka segera berloncatan menyambut kedatangan
baginda dan dengan takjimnya mereka pun segera duduk
bersila di hadapan Baginda yang berdiri tegak di muka
gardu. Beberapa orang menjadi pucat, dan beberapa orang lagi
menjadi cemas. Apakah yang akan terjadi sehingga Baginda
datang sendiri kepada mereka.
Mereka lebih heran lagi ketika tiba-tiba Baginda itu
berkata, "Atas namaku, panggil Prabasemi dari Wira
Tamtama." "Hamba tuanku," sahut Nara Manggala yang tertua,
"apakah Tumenggung Prabasemi harus menghadap baginda
malam ini?" "Ya" jawab Baginda, "bawa dia ke Kasatrian"
"Hamba Tuanku." sahut orang tertua itu.
Kemudian ketika Baginda melangkah kembali ke
Kasatrian, dua dari Nara Manggala segera bersiap untuk
Hina Kelana 11 Sepasang Garuda Putih Seri Keris Pusaka Sang Megatantra 5 Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pedang Iblis 20

Cari Blog Ini